Pedang Sakti Tongkat Mustika 2
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 2
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
Tak memalukan ia menjadi murid Kyahi Basaman yang namanya menggetarkan jagad.
o))oo-dw-oo((o 1.
Lonceng Tanda Bahaya Umardanus mengeluh.
Sebenarnya enggan ia meninggalkan ayah-bundanya menghadapi bahaya yang menentukan.
Akan tetapi pesan ayahnya sangat penting artinya.
Terus saja ia menarik lengan lengan Lingga Berkata.
kepada Sudarawerti .
"Sudarawerti, adikku. Tak dapat kita sia siakan harapan ayah dan ibu. Jari kita maju membuka jalan untuk Lingga!"
Sudarawerti menyusut air matanya. Sahutnya dengan menghela napas.
"Baiklah, kak. Biarlah aku yang membuka jalan.
"
Mereka bertiga memasuki jalan batu, yang berlumut dan Karena sangat sempitnya, tak dapat mereka berjalan berendeng. Umardanus segera menolak Lingga W isnu agar berjalan didepan.
"Jangan ! Biar aku yang didepan!' kata Sudarawerti.
"Kalau aku menemukan suatu kesulitan Aku bisa segera mengkisiki L ingga."
"Benar,"
Sahut Umardanus dengan terharu, Kemudian kepada Lingga .
"Kau sendiri mendengar Lingga ! engkaulah harapan kita semua, semenjak detik ini, kau harus menyayangi tubuh dan jiwamu. Kalau kau gagal hancurlah harapan keluarga Udayana."
Lingga W isnu sendiri kala itu telah merasa kehilangan diri.
Dengan hati dan kepala kosong, ia melangkah maju.
Setapak demi setapak.
Jari-jari kakinya dicengkeramkan kepada dasar itu.
Kalau t idak demikian ia akan terpeleset dan akan tergelincir kedalam jurang curam.
Umardanus yang berada dibelakang,rusak hatinya.
Dengan muka berkeringat ia menoleh.
Bukan main kagetnya.
Ayahnya ternyata sudah rebah melint ang diatas tanah pegunungan yang lembab.
Sedang ibunya berkelahi dengan pedang ditangan kanan dan belati ditangan kirinya.
Udayana sebenarnya sudah menderita luka parah.
Hanya saja ia pandai menyembunyikan di hadapan keluarganya untuk menanamkan rasa kepercayaan terhadapnya.
Tetapi begitu kena keroyok Ruji Pinent ang bertiga, mendadak saja ia merasa kehilangan sebagian tenaganya.
Dia berhasil melontarkan penggada OrangAring dari genggaman.
Akan tetapi gerakannya sendiri sudah kurang gesit.
Tatkala Lemah Ijo menusukkan pedangnya, tak dapat ia mengelakkan.
Masih bisa pedangnya menangkis.
Diluar dugaan Orang-Aring melayangkan kakinya.
Dak! Dan ia mundur t erhuyung.
Tepat pada saat itu, sepasang golok Ruji Pinent ang menyambar dengan berbareng.
Dan ia roboh terkulai menungkrapi t anah.
Ruji Pinent ang melompat mengulangi serangannya.
Udayana masih menggenggam belati.
Dengan sisa tenaganya, ia menikam.
Inilah suatu serangan balasan yang sangat mengejutkan.
Hati Ruji Pinent ang tercekat.
Buru-buru ia mundur jumpalitan.
Dan selamatlah d ia dari tikaman belati itu.
Melihat ayahnya roboh terguling, Umardanus nyaris tak dapat menguasai diri.
Kakinya sudah bergerak, tatkala ia melihat suatu pemandangan ngeri lagi.
Ibunya yang lagi repot melayani keroyokan musuh, kena tikam pedang Lemah Ijo dari belakang.
Berbareng dengan itu pula, Orang-Aring yang licik sudah berhasil memungut senjatanya kembali.
Dengan hati panas, ia melesat dan menghantamkan penggadanya.
Larasati sudah tak dapat bergerak banyak.
Ia melihat datangnya bahaya.
Namun tak sudi ia menjerit.
Dengan memejamkan matanya, ia menunggui Bres! Dan ia roboh tersungkur! .
Betapa keadaan hati Umardanus pada saat itu, tak dapat digambarkan lagi.
Itulah suatu kejadian yang hebat sekali.
Ia dipaksa menyksikan gugurnya kedua orang-tuanya didepan matanya.
Serentak ia mengertak gigi dan menggerakkan kakinya.
Tiba-tiba ia menoleh kebelakang seperti ada yang mengingatkan.
Lingga W isnu ternyata sudah berada dibelakangnya dengan pedang Gumbala Geni ditangan kanan.
Melihat adiknya hendak menuruti kata hati untuk membuat suatu pembalasan, tersadarlah ia.
Umardanus kini merasa bertanggung jawab penuh untuk mempertahankan jiwa adiknya, demi pesan ayahnya.
Segera ia menghadang dengan merentangkan t angannya.
"Lingga! Kau mau kemana!"
Bentaknya. Pada saat itu terdengar Orang-Aring berteriak nyaring .
"Hai bocah! Kamu mau kemana? Hayo, menyerah atau tidak ? "
Panas hati Umardanus mendengar suara Orang Aring. Serentak ia menjawab dengan mata menyala .
"Kami anak-keturunan Udayana tak dapat kalian hina. Kalian boleh mengutungi kepala kami atau menyiksa kami. Tetapi jangan harap, kami akan menyerah begitu saja t anpa perlawanan."
Mendengar jawaban itu, banyak diant ara pengroyoknya menyatakan rasa kagum dan hormat. Berkatalah salah seorang diantara mereka .
"Benarlah kata orang, harimau tidak akan melahirkan anak anjing ..."
Sebaliknya Orang-Aring tak mau sudah. Dengan perisai dan penggada ditangan kiri kanan-nya, ia maju mendekati jalan. Katanya .
"Benar-benarkah kalian tak sudi menyerah? Benarbenarkah kalian segagah ayahmu? Baiklah,aku akan mengujimu."
Orang-Aring ternyata tidak hanya lic ik dan ganas tapipun berangasan pula.
Setelah berkata demikian, penggadanya menyamber.
Umardanus pandai membawa diri.
Kalau melompat kedarat, ia bakal kena keroyok.
Maka perlahan-lahan ia mundur lalu membalas dengan menabaskan pedangnya.
Trang ! mereka berdua lantas bergoyang-goyang.
Orang-Aring sudah terlanjur mengumbar mulut besar Tak dapat ia menarik diri.
Melihat lawannya mundur, ia maju set apak demi setapak dengan melindungi diri dengan perisai bajanya.
Dasar lebih berpengalaman, setelah terseret maju ia dapat memindahkan gelanggang.
Setiap kali pedang Umardanus manghant am perisainya, ia memut ar sambil undur sedikit.
Gerakan mundur dan membawa musuh ini ketepi, benar-benar berhasil.
Tahu-tahu Umardanus sudah berada diluar jalan.
"Ha, bagus! Sekarang mampus kau ! "
Bentak OrangAring. Pendekar ini terus mencecar dengan perisai dan penggadanya. Mendadak pada saat itu, sebatang pedang berkelebat disampingnya. Orang-Aring tahu maksud rekannya. serunya nyaring .
"Bagus! Lemah Ijo. lebih baik bocah itu kau ringkus saja."
Hati Umardanus tercekat. Berteriak gugup.
"Lingga ! Awas!"
Sudarawerti yang berada dibelakang Lingga, tak memikirkan keselamatan jiwanya lagi.
terus saja ia melompat sambil menangkis.
Tentu saja tak dapat ia mengadu tenaga dengan Lemah Ijo.
Tubuh dan pedangnya terpental tinggi diudara.
Dan Lingga W isnu tak terlindungi lagi .
Menyaksikan hal itu, Umardanus mengerahkan segenap kepandaiannya.
Ia mendesak Orang-Aring yang hendak mendekati Adiknya.
Akan tetapi pada saat itu, belasan orang datang mengeroyoknya.
Umardanus tak gentar sedikitpun.
masih ia berkesempatan berpaling mencari Sudarawerti.
Adiknya itu tengah bertempur melawam seorang yang mengenakan jubah abu-abu.
Orang itulah yang tadi membuat teka-teki ayah dan ibunya .
Sudarawerti walaupun belum sempurna, namun ilmu pedangnya tidak tercela.
Itulah di sebabkan pengalamannya selama tujuh tahun lebih.
Gerakannya gesit dan berbahaya.
Setiap kali ada kesempatan ia menukam atau menabas.
Akan tetapi musuhnya si jubah abu-abu, terlalu kuat baginya.
Dengan memperdengarkan suara tertawanya serangan Sudarawerti kena dipunahkan sangat mudah .
Dalam pada itu Umardanus tak berkesempatan lagi mengelanakan pedangnya.
Yang di ingatnya hanya Lingga W isnu yang masih bercokol di atas jalan maut.
cepat ia berseru .
"Adik jangan perdulikan kami berdua !, sebaliknya ingatlah keluarga ayah bundamu kau satu-satunya anggauta keluarga yang kami harapkan. Lekas seberangilah jembatan Jala Angin ! jangan kau sia-siakan harapan Ayah dan Ibu ! Lekas ! Lekas ! Seberangi jembatan itu ! "
Sudarawerti mendengar suara kakaknya.
Ia menoleh sambil melayani pendekar berjubah abu bu.
Tatkala itu, Umardanus menaruh perhatiannya kembali kepada ketiga lawannya.
Perlahan-lahan ia undur kembali kepada kearah pintu jalan.
Maksudnya hendak menutup jalan, agar Lingga W isnu bisa meneruskan perjalananya tanpa diganggu.
Lingga W isnu sendiri cepat hatinya.
Ia melihat ayahibunya tak berkutik lagi dengan berlumuran darah.
Kemudian kakaknya perempuan yang kerepotan menghadapi musuh.
Sedang kakaknya Umardanus terus terdesak oleh musuh yang luar biasa banyaknya.
W alaupun masih belum cukup umur, akan tetapi dalam hidupnya sering ia melihat suatu pertempuran.
Secara naluriah, tahulah dia bahw a kedua kakaknya tiada harapan bisa menang.
Kalau begitu benar kata kakak.
Tak boleh aku mati.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau aku membuat ayah-bunda kecewa, matipun rasanya belum bisa menebus kesalahan in i.
'Baiklah kak Umardanus, kau tutuplah jalannya.
Aku akan mencoba melangkah maju'.
katanya didalam hati.
Tepat selagi mengambil keputusan demikian, mendadak ia mendengar jerit kakaknya.
Dengan hati mencelos ia menoleh.
Dan ia masih berkesempatan menyaksikan kakaknya Umardanus kena t ikam dan roboh terjungkal kedalam jurang.
"Linggaaaaa t erussss ... ! "
Teriak kakaknya.
Dan itulah teriak yang penghabisan, yang selalu d ikenangkan dan menggeridikkan bulu romanya, dikemudian hari.
Suara teriakan itu mengaung panjarg dan makin tipis.
Kemudian lenyap sama sekali.
Hebat pemandangan itu.
Dalam menghadapi maut, Umardanus masih teringat akan kewajibannya untuk.
memperingatkan Lingga W isnu, agar menyelamatkan diri.
Dan teriakan peringatan penghabisan itu berpengaruh bukan main besarnya, sehingga Lingga W isnu seperti lupa akan segalanya.
Tanpa merasa.
Ia melompat pula sambil berteriak "Kak Mardanuuuusss ...!"
Tepat pada saat itu, tiba t iba suatu tenaga mahabesar menyambar padanya.
Dan tubuhnya terangkat naik dan jatuh dengan bergulingan di tepi jurang.
Tetapi begitu mukanya mencium tanah, tiba-tiba saja ia dapat berdiri tegak.
Rasa kaget yang berkecamuk didalam diri Lingga W isnu bukan main hebatnya.
Beberapa saat lamanya, belum dapat ia menemukan dirinya kembali.
Namun secara naluriah ia menoleh mencari keterangan.
Dan diantara kedua pipinya yang melepuh bengkak, ia melihat seorang berbaju panjang memancarkan pandang berapi kepada belasan lawan ayah-bundanya.
Orang itu kira-kira berumur sebaya dengan ayahnya.
Kesannya.
agung dan berwibawa.
Baju panjang yang dikenakan berwarna hijau dan t erbuat dari kain kasar.
Yang terkejut ternyata tidak hanya Lingga W isnu saja.
Baik Ruji Pinent ang bertiga maupun yang lain saling pandang dengan wajah berubah.
Mereka tadi menumpahkan seluruh perhatiannya kepada Umardanus yang roboh terjungkal ke dalarn jurang dengan teriakan menyayatkan hati.
Tahu-tahu orang itu muncul dengan tiba-tiba.
Kapan ia berada didekat gelanggang pertempuran itu, tiada seorangpun yang dapat memberi keteranqan.
Seumpama semenjak tadi, dia bersembunyi dibalik batu, pastilah pendekarpendekar seperti Ruji Pinent ang, Orang-Aring dan Lemah Ijo sudah mengetahui.
Apalagi diatas bukit berdiri seorang berjubah abu-abu yang mempunyai kesempatan leluasa mengamat-amati semua yang berkutik ditengah gelanggang.
Satu lagi yang membuat hati mereka meringkas.
W alaupun Lingga W isnu masih kanak-kanak, namun berat badannya kurang-lebih duapuluh lima kilo.
Dengan melompat kedalam jurang, pelontaraan tubuhnya mempu nyai daya tekanan sendiri.
Namun dengan hanya mengebaskan t angannya, tubuh Lingga W isnu terangkat naik dan dibawa ke tepi jurang.
Jelaslah, bahwa orang itu menpuryai ilmu sakti yang susah diukur t ingginya.
Ruji Pinent ang, Orang-Aring dan Lemah Ijo, menatap wajah orang itu seperti saling berjanji.
Ternyata orang itu memiliki wajah cemerlang Sepasang alisnya tebal.
Tepi mulut nya nampak beberapa jalur kerutan kulit.
Itulah suatu bentuk wajah yang sudah melampaui masa remaja serta kenyang akan berbagai penderitaan hidup.
Orang itu membungkam.
Sikapnya acuh tak acuh.
Sama sekali tak bergerak dan pikirannya seperti melayang pada masa-masa lampau.
Ruji Pinent ang mendehem.
Ia bersikap hati-hati.
Sebaliknya Orang-Aring yang berwatak berangasan, lantas saja menyapa dengan suara kasar.
"Siapa engkau? Kenapa begitu datang lalu ikut campur urusan kami?"
Disapa demikian, orang itu tidak merasa tersinggung. Ia membungkuk. hormat, lalu menjawab .
"Tempat ini termasuk wilayah kami. Kalau tidak boleh dikatakan begitu, setidak-tidaknya berdekatan dengan rumah-perguruan kami. Karena itu, sudah selayknya kami harus menghaturkan selamat datang dan menyambut kedatangan tuan-tuan sekalian. Siapakah sebenarnya tuan-tuan ini? Kenapa tuan-tuan melakukan suatu pembunuhan disini?"
"Siapa kau?"
"Kami bemama. Podang W il s,"
Jawab orang itu.
Begitu mendengar nama itu, baik mereka bertiga maupun Lingga W isnu berseru berbareng.
Hanya saja seruan Lingga W isnu bernada kaget bercampur girang.
Sebaliknya, Orang-Aring bertiga kaget berbareng gusar.
Serentak mereka mundur selangkah dan memberi isyarat agar bersiaga.
Dengan pedang bergemerlapan, Lemah Ijo melint angkan senjatanya didepan perut.
Sebaliknya Ruji Pinentang memasang sepasang goloknya miring ketanah.
Kedua gerakan itu merupakan inti ilmu saktinya masingmasing.
Nampaknya seperti bertentangan.
Tetapi apabila mulai digerakkan tikamannya sangat ganas.
Dengan jurus itulah mereka bekerja-sama mengkeroyok Udayana.
Dan Orang-Aring yang licik, diam-diam sudah memilih kedudukannya sendiri.
Ia melindungi dirinya dengan perisai bajanya.
Dan penggada bergiginya disembunyikan dibalikya.
Tetapi, walau diancam demikian, sama sekali Podang W ilis tidak gent ar.
Sikapnya masih saja acuh tak acuh.
Perhatiannya malah kepada Lingga W isnu yang tadi berseru kaget bercarrpur girang.
Ia nampak heran dan menoleh dengan pandang menebak-nebak.
Tatkala itu seluruh muka Lingga W isnu penuh lumpur.
Meskipun demikian rasa girangnya tak lenyap dari kesan wajahnya yang tak keruan macamnya.
"Benarkah engkau paman Podang W ilis?"
Tanyanya.
"Darimana kau mengenal namaku?"
Podang heran.
"Bukankah paman ... eh, kakak perguruan ayahku?"
Lingga W isnu menegas. Semenjak di lumbung desa, ia menghafal nama-nama semua paman gurunya. Itulah sebabnya begitu mendengar nama Podang W ills, serent ak ia berseru girang.
"Eh, bocah! Kau siapa?"
"Aku bernarna Lingga W isnu. Bukankah paman datang karena melihat sinar api semalam ? "
"Benar. Coba berkata yang terang! Siapakah ayahmu ?"
Kata Podang W ilis dengan suara.gemetar.
"Ayahku ...... ayahku ....... bernama Udayana "
Sahut Lingga W isnu dengan tersekat-sekat.
"Udayana? Adinda Udayana?"
Podang W ilis menegaskan.
Sebenarnya usia Udayana jauh lebih tua dari Podang W ilis.
Tetapi dalam urut an rumah perguruan, Podang W ilis adalah kakak seperguruannya.
Itulah sebabnya, meskipun usia Podang W ilis jauh lebih muda., ia berhak memanggil adik terhadap Udayana.
"Ayah ........ itu. Ayah dikeroyok dan akhirnya dibunuh manusia-manusia ganas ini "
Teriak Lingga W isnu.
"Ibu juga ...... ibu juga ...
"
Podang W ilis memut ar pandangnya kearah dua mayat yang bergelimpang tak jauh dari padanya. Dan melihat mayat itu, wajahnya pucat.
"Jadi ...... jadi ........ ayahmu semalam yang melepaskan panah. berapi ? "
"Bukan ayah. Tetapi kakak. Diapun mati terjungkal ke dalam jurang ..."
Sahut Lingga W isnu dengan suara parau.
"Y a, Al ah ..."
Sera Podang W il s.
"Akulah yang semberono. Panah api itu, tidak pernah kulihat. Aku hanya menerima laporan. Akh, adikku maafkan aku!"
Setelah berseru demikian, dengan sekali melompat ia melesat melewati mereka yang mengepung.
Kemudian menghampiri adik seperguruannya Udayana.
Dan begitu melihat mayat adik seperguruannya yang rusak seperti terajang, Podang W ills jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Panah api tanda bahaya itu, memang tak pernah dilihatnya.
Pada waktu itu, ia berada di dalam rumah.
Tiba-tiba seorang datang berlari menyerbu rumahnya dan mengabarkan tentang panah api.
Mula-mu la dikiranya kejapan kilat.
Akan tetapi masakan berwarna biru.? Podang W ilis berbimbang-bimbang, menerima laporan itu.
"Panah api bercahaya biru, memang suatu isyarat bahaya katanya. masing-masing anak murid membekal beberapa batang. Akan tetapi selama tigapuluh tahun belum pernah salah seorang diant ara kami melepaskan panah tersebut. Apakah kau tak salah lihat ? "
Orang yang memberi laporan itu murid kesayangannya dan dapat dipercaya.
Maka setelah itu ia memutuskan hendak menyelidiki.
Dan bertemulah dengan rombongan Ruji Pinent ang.
Sayang kasep.
Udayana dan isterinya telah tewas kena keroyok.
maka betapa hebat rasa sesalnya kepada diri sendiri t ak dapat terlukiskan lagi.
Meskipun dia seorang pendekar yang sudah banyak makan garam, tak urung pingsan juga.
Tepat pada saat itu, sesosok bayangan menghantam Lingga W isnu.
Dan bocah itu lantas saja roboh tak berkutik.
Tatkala menjenakkan mata, ia melihat Ruji Pinentang, Orang Aring dan Lemah Ijo datang merubung Podang Wilis.
Kata Orang-aring.
"Mari berant as rumput harus sampai ke akarnya ! Dia mumpung tak berdaya. Kita kutungi saja lengan dan. kakinya. Akulah yang bertanggung jawab dikemudian hari."
"Benar."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ruji Pinentang menguatkan.
Lingga W isnu kala itu seperti kehilangan tenaga.
Kepalanya pening.
Dan seluruh anggauta tubuhnya terasa nyeri.
Entah siapa tadi yang memukulnya, ia tak tahu.
Ia pingsan dan tersadar seorang diri saja.
Tiada yang menaruh perhatian kepadanya.
Mungkin sekali, mereka mengira bocah itu telah terbang nyawanya.
Demikianlah, untuk kesekian kalinya, ia menyaksikan ancaman terhadap pihaknya.
Karena terkejut, kecewa, gusar dan rasa ngeri, ia lupa kepada semua penderitaannya.
Memang ia sama sekali tak dapat berkutik.
Tetapi pikirannya jernih dan sadar penuhpenuh.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia terus menjerit sekuat-kuatnya.
Kalau manusia belum sampai pada ajalnya, terjadilah tiba-tiba suatu peristiwa diluar akal dan nalar.
Oleh jeritan itu, Poding W ilis tersadar.
Tapi tepat pada saat itu, ujung sebatang pedang terasa menempel dijidatnya.
Kemudian berkelebatlah sebatang golok menabas kelengan kirinya.
Dalam keadaan demikian, meskipun bermaksud menangkis, tidaklah keburu lagi.
Apalagi ujung pedang Lemah Ijo telah mengancam jidatnya.
Sedikit digerakkan, ia akan mati tertembus.
Dalam keadaan tak berdaya sama sekali, satu-satunya jalan hanya menghimpun tenaga sakti yang segera disalurkan kelengan kiri untuk melindungi.
Brt! Golok Ruji Pinentang menabas lengan kiri Podang W ilis.
Tapi begitu mengenai sasaran goloknya meleset kesamping seperti membentur suatu benda keras.
Ternyata kebal Podang W ilis dapat melindungi lengan kirinya.
Meskipun demikian, darah segar t etap merembes keluar.
Dan pada saat itulah, sekonyong-konyong tubuh Podang W ilis yang terlentang diatas tanah, meluncur sejauh beberapa meter.
Gerakan itu benar-benar aneh.
Tubuhnya seakan-akan mirip se buah botol yang terikat tali panjang, kemudian disentakkan seseorang dari luar gelanggang.
Kecepatannya mengelakkan t ikaman pedang Lamah Ijo, benar-benar mentakjubkan.
Sebenarnya ujung pedang Lemah Ijo berada satu senti diatas jidat Podang Wilis.
Dengan satu gerakan saja akan bisa menggores hidung, mulut dan dada.
Dan tindakan Podang Wilis unt uk membebaskan diri memerlukan suatu keberanian yang sangat berbahaya.
Sebab apabila ujung pedang Lemah Ijo tertekan lagi satu senti saja, maka dada, perut dan muka Podang W ilis akan terobek menjadi dua.
Anehnya, begitu terlepas dari bahaya, Podang W ilis berdiri tegak kaku bagaikan mayat.
Kedua gerakan ini tidaklah mungkin bisa terjadi apabila tidak d itolong oleh sesuatu yang gaib.
Betapa tidak? Dalam gerakan membebaskan diri, ia menekuk lut ut dengan pinggang tetap t egak lurus.
Dan setelah lobos dari ujung pedang, mendadak berdiri tegak bagaikan berpegas.
Kemudian dengan satu gerakan senapas, terdengarlh suara patahnya pedang Lemah Ijo dan golok Ruji Pinent ang.
Krak, krak! Inilah suatu kejadian yang berada diluar nalar manusia.
Sebenarnya, pedang Lemah Ijo maupun gclok Ruji Pinentang tidak mungkin dapat dipatahkan oleh Podang W ilis dalam satu gebrakan saja.
Sekalipun andaikata Podang Wilis mempunyai ilmu sakti berlipat ganda.
Soalnya, karena gerakan dan datangnya serangan balasan itu, tidak mungkin dapat dilakukan manusia betapa tinggi ilmu kepandaiannya.
Tatkala tangan Podang Wilis bergerak, Lemah Ijo dan Ruji Pinent ang tak berke-sempatan lagi menarik senjatanya masing-masing.
Begitu sadar akan akibatnya, pedang mereka kena dipatahkan dengan serentak.
Podang W ilis memang lebih tangguh daripada Udayana.
Begitu berhasil mematahkan senjata lawan, dengan satu gerakan melint ang ia melontarkan patahan senjata itu kepada majikannya masing masing.
Keruan Lemah Ijo dan Ruji Pinentang kaget setengah mati.
Buruburu mereka melesat undur kesamping mengibaskan lengan untuk mengurangi daya lontaran.
Hebat pengaruh serangan balasan itu.
Belasan orang yang berada dibelakang Lemah Ijo dan Ruji Pinent ang ikut bergerak pula untuk menjaga diri.
Dan kesempatan itu dipergunakan Podang W ilis untuk mentaksir-taksir kekuatan lawan.
Pikimya didalam hati.
"Adinda Udayana tewas ditangan mereka. Dia dibantu anak dan isterinya. Namun tak dapat ia mengatasi. Aku sendiri mungkin pula bisa merobohkan beberapa orang diant ara mereka. Akan tetapi untuk merebut kemenangan, rasanya t idak mudah. Baiklah kumengambil jalan lain, untuk menolong bocah itu ......
"
Setelah meraperoleh pikiran demikian, ia berkata nyaring kepada mereka .
"Anak murid Kyahi Basaman, selamanya mengambil jalan terang-benderang Kamu semua telah membunuh salah seorang saudara seperguruan kami. Kenapa kamu lancang tangan ? Apakah kamu mengira kami akan berpeluk tangan ? Sayang sekali, sampai pada detik ini aku belum mengetahui perkaranya dengan jelas. Kalau kamu mempunyai keberanian, hayo ikuti aku ! "
Dengan langkah perlahan, ia menghampiri mayat Udayana dan Larasati. Ia memanggulnya di atas kedua belah pundaknya. Lalu berkata kepada Lingga W isnu .
"Anakku! Kau naiklah dipunggungku."
Tetapi Lingga W isnu tak dapat bergerak sama sekali. Ia hanya bisa membuka mulut nya. Sebagai seorang pendekar yang kenyang makan garam, dengan sekali pandang tahulah Podang W ilis yang sedang diderita anak itu. Pikirnya di dalam hati.
"Aku harus mengambil tindakan cepat, sebelum keadaan mereka berubah."
Dengan sekali menggerakkan kakinya, tubuh Lingga W isnu dilontarkan keudara. Berseru .
"T angkap leherku!"
Pukulan yang diderita Lingga W isnu, tidak melumpuhkan seluruh anggauta tubuhnya.
Anak itu masih bisa menggerakkan kedua tangannya.
Mendengar seruan Podang W ilis dan sadar akan bahaya yang mengancam, kedua tangannya lantas saja merangkul leher penolongnya.
"Bagus, anak!"
Podang W ilis berlega hati. Kemudian berputar kepada Ruji Pinent ang dan kawan-kawannya. Berkata garang.
"T uan-tuan, aku akan pergi. Siapa yang bosan hidup, ikut i aku. Sebaliknya siapa yang tak sudi mengikuti aku, akan kucari sampai ketemu ..."
Berbareng dengan ucapannya, ia melesat bagaikan bayangan. Tiba-tiba Lingga W isnu setengah memekik .
"Eh, mana kak Sudarawerti?"
"Siapa dia?"
"Kakak-perempuanku."
Sahut Lingga W isnu.
Ia memut ar pandangnya.
Akan tetapi pada saat itu, ia telah terbawa melint asi dua dinding bukit.
Tatkala terpukul oleh berbagai tumpuan peristiwa yang mengejutkan, memedihkan dan menyakitkan hati, bocah itu lupa kepada segalanya.
Akan tetapi setelah terlepas dari marabahaya, mendadak saja ingatannya sadar kembali.
Yang teringat untuk pertama kalinya ialah Sudarawerti.
Sebab dialah yang masih bergerak.
Dan mendengar ucapan Lingga W isnu, Podang W ilis berhenti dengan mendadak.
"Selain engkau, tiada lain."
Kata Podang W ilis dengan suara cemas.
Tadi sewaktu melihat jenazah adiknya seperguruan, ia jatuh pingsan karena merasa kecew a kepada keteledorannya sendiri.
Lingga W isnu pun demikian pula.
Karena itu, kedua-duanya t idak dapat mengikuti lagi yang telah terjadi sewaktu dalam keadaan tak sadar.
"Sebenarnya bagaimana semuanya ini b isa terjadi ? "
Podang Wilis menegas.
Lingga W isnu tak dapat menjawab dengan segera.
Perutnya mendadak terasa melilit dan pandang matanya berkunang-kunang.
Hati-hati ia merosot turun dari gendongan.
Setelah berdiri tegak, ia segera memberi keterangan yang pernah dialami.
Kemudian tentang latar belakang sebab-musabab yang didengarnya dari mulut ayah Katanya dengan menahan air mata .
"Ayah berkata ... ayah berkata ... itulah perkara tongkat mustika ......
"
Dan setelah berkata demikian, ia jatuh pingsan untuk yang kedua kalinya.
Podang W ilis mengira, bocah itu jatuh pingsan karena kecapaian dan rasa sedih.
segera ia melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat dari pelangi.
Setelah mengikat bocah itu pada dadanya, kembali ia bersiaga hendak lari sekencang-kencangnya.
"Akh, bagaimana mungkin malapetaka ini bisa menimpa adinda Udayana."
Katanya didalam hati. Mendadak saja ia mendongak dan berteriak panjang. Begitu keras dan hebat tenaganya, sehingga bumi seakan-akan tergetar dan daun kering rontok berguguran. Lama dan ia baru berhenti berteriak. Lalu berkata .
"Baiklah, aku akan membawanya menghadap guru. Entah bagaimana keputusan guru, tapi aku sendiri akan turun gunung. Disetujui atau tidak, aku akan membuat perhitungan. Hai adikku Udayana, kau tenteramlah! Dendammu pasti terbalas ! "
Setelah berkata demikian, ia lari sekencangkencangnya bagaikan anak panah meluncur dari gendewa.
Dalam pada itu, Lingga W isnu belum sadar juga dari pingsannya.
Tatkala menjenakkan mata, ia sudah berada disebuah pendapa sebuah rumah besar.
Ia mendengar suatu kesibukan tak keruan.
Bentakan-bentakan yang diseling dengan suatu suara membujuk.
Oleh suara-suara itu, Lingga W isnu tersadar benarbenar dari pingsannya.
Ia tersentak bangun.
yang terlihat oleh matanya untuk yang pertama kalinya ialah jenazah ayah dan ibunya.
ak mengherankan, hati bocah itu tergetar lagi.
Terus saja ia berteriak menyayatkan hati .
"Ibu ! Ibu! Ayah! Ayah ...! "
Terus ia menubruk dan merangkul jenazah ayah-ibunya.
Sekarang barulah ia merasa sedih diant ara berbagai perasaan yang saling menyerang dan mengedapkan.
Karena sangat sedihnya, tak dapat ia menangis.
Tiba-tiba tangannya menyentuh sebatang belati yang menancap pada punggung ayahnya.
Ia kaget.
Lalu menoleh kepada ibunya.
Pada dada ibunya nampak pula sebatang belati menancap dalam.
Serentak ia mencabut dua batang belati itu dengan kedua tangannya.
Begitu mencabut, mengucurlah darah segar yang segera membeku.
Melihat hal itu, kalaplah dia.
Dengan mata melotot, ia berputar mencari penglihatan.
Mendadak saja, ia melihat wajah-wajah bengis yang dikenalnya.
ltulah musuh-musuh ayahnya yang selalu mengejar-ngejar sampai d iketinggian Gunung Lawu.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rupanya mereka mengejar Podang W ilis, setelah bersepakat.
Mereka kini berada dirumah perguruan Udayana.
Kata-kata penghabisan yang didengar oleh Lingga W isnu adalah penuntutan tentang dimana beradanya tongkat mustika.
"Kamu semua ........ kamus semua ...... membunuh ayah dan ibuku."
Teriaknya dengan terengah-engah.
"Kamu mendesak kakakku pula, sehingga ia terpaksa terjun kedalam jurang. Mengapa ? Mengapa kamu begitu ganas dan kejam?"
Mereka senua tadi sudah bersepakat untuk bertekat menuntut tongkat mustika.
Akan tetapi menyaksikan betapa duka bocah itu setelah melihat ayah ibunya mati terbunuh, tergoncanglah hati nurani mereka.
Tak terasa mereka bergerak mundur seperti menghadapi binatang raksasa yang buas.
"Anakku!"
Tiba-tiba terdengar suatu suara berwibawa dari samping.
"Amat-amatilah mereka. Coba katakan padaku, siapakah yang menbunuh ayah-bundamu."
Lingga W isnu menoleh. Ia melihat Podang Wilis berdiri tegak diant ara enam orang yang mengenakan pakaian singsat berwarna putih. Sambil berbicara Podang W ilis menghampiri. Kata paman gurunya itu lagi .
"Anakku! Maukah engkau berjanji padaku?"
Lingga W isnu merasa dekat kepada penolongnya itu. Ia memanggut.
"Bagus!"
Seru Podang W ilis.
"Nah, kau amat-amati mereka seorang demi seorang. Kau jangan tergesa-gesa ingin menuntut dendam. Kau bersabarlah menunggu saatnya. Tak usah buru-buru, akan tetapi seorangpun jangan kau ampuni!"
Tergetar hati Lingga W isnu mendengar suara pamannya itu. Air matanya lantas saja menggenangi kelopak matanya. Tetapi sedapat mungkin ia menahan turunnya air mata. Serunya .
"T idak! Aku takkan menangis! Aku takkan menangis dihadapan orang-orang jahat ini, paman. Hai! Bukankah engkau yang membunuh ayah-ibuku ? "
Pandang mata Lingga W isnu mengarah kepada Ruji Pinentang. Entah sebabnya, begitu kena pandang sibocah, hati Ruji P inentang tergetar. Tak dikehendaki sendiri, ia menjadi gugup. Sahutnya .
"Bukan ... bukan aku yang membunuh ayah dan ibumu ......
"
Sambil membawa dua belati pada dua belah tangannya, Lingga W isnu berjalan perlahan-lahan mengitari pendapa.
Ia menatap w ajah orang-orang yang memenuhi ruang pendapa.
Seorang demi seorang diingatnya baik-baik dalam perbendaharaan hatinya.
Dan ucapan paman gurunya tadi mengiang dalam pendengarannya.
'T ak usah buru buru akan tetapi seorangpun jangan kau ampuni ......
' Mereka yang datang kependapa rumah perguruan Kyahi Basaman, bukannya pendekar-pendekar picisan.
Kalau bukan seorang jago kenamaan, tidakkan berani menginjak halaman rumah perguruan tersebut.
Apalagi mereka datang dengan maksud hendak menuntut diserahkan tongkat mustika.
Akan tetapi anehnya, setiap orang yang di pandang sorot mata Lingga W isnu yang penuh benci, dendam dan penasaran, meremang bulu kuduknya dengan tak dikehendaki sendiri.
Puluhan orang seperti kena terpukau oleh suatu kekuatan gaib.
Ruji Pinent ang yang mengenakan jubah pendeta, mendadak saja merasa diri sangat segan.
Setelah berdeham, lalu berkata .
"Saudara Ugrasena dan ...... eh ...... semuanya saja. Sebenarnya tujuan kami kemari hendak bertemu dengan guru saudara Kyahi Basaman. Sayang, beliau tak dapat hadir disin i. Dengan begitu, kami tidak memperoleh keterangan yang kami kehendaki. Baiklah, perkara tongkat mustika ini kami sudahi saja sampai disini. Apa yang sudah terjadi, biarlah terpendam begitu saja. Kami tidak akan mengungkat-ungkat lagi. Dengan ini, perkenankan kami mohon diri saja."
"Hm ..."
Dengus Ugrasena.
"Kau datang dengan tidak kehendak kami. Kamu semua berpamit atau tidak, bukan urusan kami. Tetapi.. perkara matinya adik kami seperguruan, terpaksa harus kami laporkan kepada guru kami. Silahkan!"
Murid Kyahi Basaman berjumlah tujuh orang.
Murid tertua bernama Ugrasena.
Didalam rumah perguruan, ia bertindak mewakili gurunya.
Sifatnya tenang dan berwibawa.
Jarang dia berbicara berkepanjangan.
Akan tetapi tiap perkataannya, merupakan sikapnya yang bulat.
Murid kedua bernama.
Dewabrata.
Perawakan Dewabrata sedang, langsing dan gesit.
Dan murid ketiga bernama.
Tawangalun.
Ia berperawakan tinggi besar, berjenggot t ebal.
Matanya tajam bulat.
Karena itu kesan wajahnya kasar.
Ia pandai berdebat pula.
ltulah sebabnya, seringkali ia mewakili gurunya dalam pertemuan perdebatan atau manakala menghadapi tetamu yang bermulut jahil.
Murid keempat adalah Podang W ilis.
Kemudian Udayana.
Dan murid ke-enam dan ketujuh bernama.
Panjalu dan Samtanus.
Kedua adik seperguruan Udayana ini berusia tigapuluhan t ahun.
W aktu Podang W ilis tiba dirumah perguruan, lonceng tanda bahaya segera dibunyikan.
Kebetulan sekali, hari itu menjelang ulang tahun Kyahi Basaman yang ke 90 tahun.
Semua murid-murid hadir dalam rumah-perguruan menunggu kehadiran gurunya.
Dan begitu mendengar lonceng tanda bahaya, mereka senua lari kepaseban.
Betapa terkejut dan rasa gusar mereka, tak perlu dikatakan lagi, begitu melihat jenazah saudara seperguruannya, Udayana.
Selagi mereka sibuk memperoleh keterangan dari mulut Podang W ilis, datanglah para pengroyok Udayana berturut-turut.
Mereka semua berjumlah enam puluh orang lebih.
Semuanya menyandang senjata.
W alaupun m garang, akan tetapi mereka sadar, meskipun jumlah rekannya berlipat ganda, belum tentu bisa melawan anak murid Kyahi Basaman yang tentu saja akan mendapat bantuan badal-badalnya.
Sekarang ke-enam Saudara-seperguruan Udaana tahu pokok persoalannya.
ltulah mengenai tongkat mustika yang dikatakan berada dalam tangan Udayana.
Hanya apa sebab Udayana menjadi buronan selama tujuh tahun lebih, mereka kurang jelas.
Mereka yang datang tak dapat dimint a keterangannya.
Pembicaraan mereka hanya berkisar kepada tongkat mustika.
Apa latar belakangnya sesungguhnya, sama sekali t ak disent uhnya.
Demikianlah, set elah Ruji Pirent ang memohon diri, yang lain segera ikut bergerak pula.
Mendadak Panjalu membentak .
"Hai ! Kalian ... kalian membunuh kakakku seperguruan Udayana. Apa alasannya, kalian tak dapat memberi penjelasan. Baik, untuk sementara kalian boleh menyimpan jiwa kalian masing-masing. Tapi aku ....... aku ..."
Panjalu tak dapat melanjutkan perkataannya.
Diantara ketujuh murid Kyahi Basaman, memang dialah yang paling halus perasaannya.
menyaksikan kakak seperguruan mati bergelimpang berlumuran darah, tak dapat lagi ia menguasai diri.
Untunglah, Kyahi Basaman belum hadir.
Apabila gurunya hadir, apalagi merestui mengadakan pembalasan, entah bagaimana jadinya.
Tapi justeru demikian, ia merasa diri terkekang.
Rasa penasarannya meluap tinggi, setinggi kepalanya.
Karena tak dapat melampiaskan rasa penasarannya itu, akhirnya ia menelungkupi jenazah kakaknya seperguruan dan menangis menggerung-gerung.
Tentu saja mereka semua menjadi tak enak hati.
Segera mereka meninggalkan ruang paseban seperti lagi berlomba.
Dalam hati mereka masing masing timbullah suatu prarasa bahw a anak murid Kyahi Basaman tidak mungkin tinggal diam saja.
Dengan memaksa diri, Dewabrata mengantar mereka sampai kepintu pagar.
Tatkala balik kembali, tak dapat lagi ia menahan air matanya.
Dan dalam paseban itu terdengarlah suara tangis para badal dan orang-orang yang mengenal Udayana sewaktu masih berada dalam rumah perguruan.
Dipojok paseban masih terdapat serombongan tetamu yang belum bergerak dari tempatnya.
Mereka rombongan yang datang dari Kartasura.
Dengan mata basah kuyup, Panjalu berdiri tegak.
Kemudian berkata dengan suara tersekat- sekat .
"Antara guru kami dan guru kalian Adipati Parangwedani, belum pernah timbul suatu perselisihan. sebab kalian ikut datang pula mengeroyok kakakku seperguruan Udayana?"
"Bukan, bukan begitu."
Jawab Yudanata. Dia adalah pemimpin rcmbongan anak murid Mipati Parangwedani.
"Guruku hanya ingin mohon keterangan kepada gurumu Kyai Basaman tentang beradanya tongkat mustika itu. Bukankah gurumu sudah berhasil membawa pulang tongkat mustika itu dari seberang jembatan Jala Angin?"
"Mengapa engkau tak menanyakan kepada orang yang meniupkan berita bahw a ayahkulah yang menyimpan tongkat mustika itu?"
Tiba-tiba Lingga W isnu menimbrung.
Bocah itu sangat berduka.
Akan tetapi ia seorang anak yang cerdik dan berbakat.
ia membalikkan pertanyaan Yudanata dengan suatu jawaban diluar dugaan.
Tentu saja Yudanata tak sudi berdebat dengan bocah yang belum pandai beringus itu.
Segera ia menyimpangkan pcmbicaraan.
Katanya.
"Anakku yang baik, dibawah asuhan sekalian paman gurumu, engkau bakal menjadi seorang pendekar ulung dikemudian hari."
Dengan kata-kata itu ia hendak berkata bahwa dikemudian hari dia bisa menyelidiki sendiri siapa yang meniup-niupkan berita tentang beradanya tongkat mustika didalam tangan ayahnya.
Setelah berkata demikian Yudanata melepaskan ikat pinggangnya yang berteretes berlian.
Ia maju mengangsurkan ikat pinggang itu.
Katanya .
"Anakku, perkenankan pamanmu memberi suatu permainan kepadamu. Dikemudian hari, mungkin besar sekali faedahnya____ "
Ikat pinggang itu terbuat dari emas murni yang lemas.
Dipinggirnya berteretes berlian sebagai garis.
Pastilah ikat pinggang demikian berasal dari istana, karenanya harganya melebihi sebuah kota.
Sekarang ikat pinggang itu di berikan kepada sibocah dengan ikhlas dan rela.
Tetapi diluar dugaan siapa saja, bocah itu mendadak melompat mundur sambil berteriak dengan suara benci .
"T idak! Tidak sudi aku menerima benda milik musuh!"
Karuan saja, wajah Yudanata menjadi merah. Ia jadi serba salah. Tangannya yang mengangsurkan ikat pinggang itu berhenti ditengah jalan. Sebelum dapat menentukan sikapnya, bocah itu berteriak lagi .
"SudahlahI Kalian pergi saja. Aku akan menangis!"
Yudanata ternyata seorang yang halus perasa.
Ia tahu, bocah itu terlalu berduka menyaksikan kedua orang tuanya mati bergelimpang berlumuran darah didepannya.
Dan siapa saja merasakan pukulan hebat itu.
ltulah sebabnya, mereka yang tadinya datang hendak merecoki tongkat mustika mundur bubar dengan sikap mengalah.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yudanata dalam hal ini bersedia mengalah pula dengan ikhlas.
Katanya setengah merrbujuk .
"Kami bukan musuhmu. Kami memang ikut datang, akan tetapi sama sekali kami tidak ikut mengkerubuti ayah-bundamu."
Lingga W isnu menahan rasa marahnya, sehingga giginya bercaterukan. Sejenak kemudian meledak .
"Makin halus kata-kata seorang, makin pandai ia menipu orang ! "
Inilah ucapan yang merupakan halilint ar meledak di siang hari terang benderang.
Sebab ucapan itu tercetus dari mulut seorang bocah seusia Lingga W isnu.
Tak terasa Yudanata undur setindak.
Sekarang orang tua itu merasa malu benar-benar.
Ia menebarkan pandang kepada sekalian anakmurid Kyahi Basaman yang bersikap diam.
Dan sikap itu kian tak mengenakkan hatinya.
Sekonyong-konyong seorang gadis berumur duapuluhan tahun maju menyambar lengan Yudanata.
Kata gadis itu.
"Marilah kita mundur. faedahnya bercekcok dengan seorang anak."
Gadis itu bernama Damayant i.
Dialah adik seperguruan Yudanata, putera Mipati Perangwedani.
Dengan Panjalu, ia mempunyai hubungan agak rapat.
Rupanya ia menaruh hati terhadap pendekar itu.
Setelah berkata kepada Yudanata, ia berpaling kepada Panjalu.
Lalu mint a diri K atanya lembut .
"Panjalu! Perkenankan kami mengundurkan diri."
"Akh ! Kaupun ... kenapa ikut pula kemari."
Sahut Panjalu dengan suara kecewa.
Tatkala itu, Lingga W isnu berdiri t erpaku.
Kedua belah pipinya bergerak-gerak menahan tangisnya yang terasa melonjak lonjak didalam dadanya.
Dan begitu rombongan Yudanata meninggalkan pendapa rumah perguruan, ia melepaskan semua yang terasa bergolak didalam dadanya.
Akan tetapi selagi ia hendak menangis sekeras kerasnya, mendadak napasnya berhenti ditengah jalan.
Dan ia terguling diatas lantai dengan tangan terkapar.
Panjalu dan Samtanus melompat berbareng Berbareng dengan itu terdengarlah suara halus dari belakang pintu.
"Bocah itu keras tabiatnya. Tetapi ia seorang anak yang besar pula perasaannya."
"Guru!"
Kata Ugrasena dan ketiga adiknya seperguruan dengan berbareng.
Yang datang dengan tiba-tiba itu, memang guru Ugrasena.
Dialah Kyahi Basaman, yang namanya disegani orang seumpama menggetarkan bumi.
Perawakan Kyahi Basaman sedang, agak tipis dan lembut.
W ajahnya bercahaya terang, bersemu merah.
Suatu tanda, bahwa keadaan tubuhnya sehat kuat.
Rambut, kumis, dan jenggotnya memutih perak.
Pandangnya lemah-lembut, penuh kemanusiaan.
Seperti keterangan Udayana, Kyahi Basaman jarang sekali muncul dirumah perguruan.
Ia hadir satu tahun satu kali, yakni tepat pada hari ulang tahunnya.
Pada hari itu, ia tiba dirumah perguruan untuk menyambut ucapan selamat murid-muridnya.
Sama sekali tak diket ahui, bahwa rumahperguruannya baru saja dimusuhi puluhan orang yang datang dengan maksud mint a keterangan tentang tongkat mustika yang dikabarkan berada ditangannya.
Tatkala memasuk i pendapa, mayat Udayana dan isterinya t eraling ke-enam muridnya.
Tetapi begitu mereka bergerak menyambut kedatangannya, mayat Udayana dan Larasati nampak jelas didepan matanya.
Seketika itu juga, berubahlah wajahnya.
Dengan langkah penuh pertanyaan ia menghanpiri.
Begitu melihat wajah muridnya yang ke-lima itu, tergetarlah hatinya.
Dia adalah seorang pertapa yang telah berusaha melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
W alaupun demikian hubungan antara murid dan guru sudah meresap dalam bagian dari hidupnya sendiri.
ak dikehendaki sendiri, gemetarlah seluruh t ubuhnya.
Namun ia bisa membawa diri.
Dengan tenang, ia membungkuki.
Kemudian meraihnya.
Setelah mengetahui bahwa muridnya yang kelima sudah tak bernafas lagi, mulailah ia memeriksa lukanya.
"Apakah ini isterinya?"
Tanyanya perlahan.
"Benar."
Sahut Ugrasena mendekat. Kyahi Basaman lalu berpaling kepada Lingga W isnu. Bertanya .
"Dan bocah itu?"
"Dialah putera satu-satunya yang masih hidup ..."
Kyahi Basaman berhenti sejenak. Berkata dengan suara perlahan .
"Panjalu! Kau tolonglah anak itu. Pastilah dia ingin menangis .....
"
Semua orang mengira, bocah itu pingsan karena menahan luapan tangis dan rasa dukanya. cepatcepat Panjalu meraihnya dan dipijat-pijatnya. Urat dadanya diurut perlahan-lahan.
"Anakku! Nah, kau menangislah sekarang! Menangislah! Menangislah ! "
Tetapi Lingga W isnu t etap t ak bergerak. Menyaksikan hal itu, Ugrasena dengan sekalian saudara-saudara seperguruannya terkejut. Seperti berjanji mereka berpaling kepada gurunya minta pertimbangan.
"Anak itu keras wataknya."
Kata Kyahi Basaman dengan menghela nafas.
"Coba bawa kemari!"
Dimulut nya Kyahi Basaman memberi perint ah agar Lingga W isnu dibawanya mendekat, akan tetapi dia sendiri lantas berdiri untuk menghampiri sebelum bocah itu terangkat Panjalu.
Orang tua itu segera mengulurkan tangannya kepunggung Lingga W isnu, pusat urat syarafnya.
Segera ia mengerahkan tenaga saktinya untuk menyadarkan.
Tenaga sakti Kyahi Basaman tak dapat diukur betapa t ingginya.
Murid-muridnya saja sudah bisa mengagumkan pendekar-pendekar kelas ut ama.
Seperti Udayana, misalnya.
Tujuh tahun lamanya d ikejar-kejar, namun tak gampang-gampang bisa dirobohkan.
Podang W ilis yang datang kemudian, memperlihatkan kecekatannya melebihi mereka yang mengeroyok.
ltulah suatu bukti betapa t inggi ilmu ke pandaian mereka berkat dasar tenaga sakti yang diberikan gurunya.
luka tak peduli betapa beratpun, asal kena tersalur tenaga sakti Kyahi Basaman, pasti akan pulih sebagian.
Dan yang pingsan akan segera siuman ke mbali.
Sama sekali tak terduga, setelah tenaga sakti Kyahi Basaman menyusup kedalam urat syaraf, wajah Lingga W isnu mendadak berubah warna.
Kini tidak hanya pucat saja, tapipun kehijau-hijauan dan menjadi ungu gelap.
Bocah itu terus menggigil.
Seluruh tubuhnya terasa dingin luar biasa.
Kyahi B asaman mengerutkan dahinya.
Ia meraba jidat Lingga W isnu.
Mendadak t angannya terasa dingin seperti kena sentuh sebongkah es.
Dalam terkejutnya, Kyahi Basaman dengan cepat menggerayangi punggung sibocah.
Tetapi ditengah punggung terdapat sebagian daging yang panas seperti terbakar.
Anehnya sekitar rasa panas itu diselimut i hawa dingin luar biasa sampai meresapi tulang.
Kalau bukan Kyahi Basaman yang sudah memiliki ilmu sakti t ak dapat diukur lagi betapa tingginya, pastilah akan ikut menggigil kedinginan begitu kena sentuh hawa yang bertentangan itu.
"Podang Wilis ! W aktu kau bertemu dengan bocah ini, dia dalam keadaan bagaimana?"
Kata Kyahi Basaman. Podang W ilis nampak menjadi bingung. Sulit ia menjawab .
"Sewaktu mula-mula kami memasuki pertempuran, bocah itu dalam keadaan sehat. W alaupun ia kehabisan tenaga. Kemudian kami tak sadarkan diri, sew aktu melihat jenazah adinda Udayana. Begitu aku bangun, kami melihat bocah itu sedang berseru-seru memanggil kami..."
"Apakah engkau akin, bocah itu bebas dari suatu siksa, sew aktu engkau dalam keadaan tak sadar ? "
Kyahi Basaman mint a keterangan dengan sabar. Podang W ilis ragu-ragu. Setelah menimbang-nimbang sebentar, ia menjawab.
"Seumpama demikian, mereka yang mengeroyok adinda Udayana, sebentar tadi berada disini. Kami kira, mereka takkan menganiaya bocah itu. Sekiranya demikian, masakan mereka begitu tebal muka sehingga masih bisa berhadapan-hadapan dengan pandang bocah itu. Eh, nanti dulu ..."
Tiba-tiba Podang W ilis terperanjat.
Ia memberi keterangan menurut ukuran pribadinya.
Baginya, memukul apalagi sampai menganiaya seorang bocah, adalah suatu perbuatan yang memalukan.
Disaat itu teringatlah dia, bahw a muka Lingga W isnu matang biru, seperti kena pukulan.
Seketika itu juga, ia mengerahkan ingatannya kembali kepada daerah pertempuran.
Lantas berkata setengah berseru .
"Benar, guru. Muka bocah itu matang biru. W alaupun demikian, benarkah dia kena aniaya orang-orang yang menyebut diri mereka golongan pendekar? Kami rasa ... kami rasa ... Eh, nanti dulu ... Guru, sewaktu kami datang memasuki gelanggang pertempuran, kami melihat seorang yang mengenakan pakaian juba abu-abu sedang bertempur melawan seorang gadis. Menurut bocah itu, dialah kakaknya. Tapi benarkah dia sempat menganiaya bocah itu?"
"Apakah orang itu datang kemari?"
Kyahi Basaman menegas.
"Benar ... benar ... k kami lihat dia datang kemari."
"Kalau begitu, carilah dia ! Lebih cepat lebih baik ! "
Potong Kyahi Basaman dengan suara agak keras. Makin teringat gerak-gerik orang berjubah abu-abu itu, hati Podang W ilis kian merasa curiga. Lantas saja ia bergerak hendak melakukan perintah gurunya.
"Biarlah aku ikut pula!"
Kata Panjalu.
Mereka berdua kemudian melesat keluar pendapa.
Perint ah Kyahi Basaman mempunyai alasan yang kuat.
Selagi mendengarkan keterangan Podang W ilis, ia merobek lengan baju Lingga Wisnu dan tampaklah t apak lima jari berwarna hijau merekam pada kulit daging anak itu.
Jelas sekali tapak lima jari itu.
W arnanya mengkilap seperti kena minyak.
Tatkala Kyahi Basaman merabanya, orang tua itu merasakan suatu hawa yang panas luar biasa.
Sedang sekitarnya dingin, sedingin es.
Hati orang t ua itu merasa tak enak, apalagi bocah yang sedang terluka.
Betapa rasa deritanya, t ak dapat dibayangkan lagi.
Beberapa waktu lamanya Podang W ilis dan Panjalu datang kembali menghadap gurunya.
"Diatas gunung tiada nampak tanda-tandanya lagi,"
Kata Podang W ilis.
"Kami kira dia pergi pula, setelah melihat para tetamu pulang. Barangkali ...... dia sudah meninggalkan daerah ini setelah dapat membawa gadis kakak bocah itu."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak ia berhenti berbicara, begitu melihat tapak lima jari h ijau mengkilat. Tatkala itu Kyahi Basaman diam termenung. Dahinya berkeringat. Lalu berkata perlahan, seperti pada dirinya sendiri .
"Aku kir, Bantar Angin sudah meninggal tigapuluh tahun yang lalu, dan ilmunya Pacarkeling dibawanya masuk kedalam liang kubur. Siapa mengira bahw a dijagat in i ilmu sakti yang hebat itu ternyata masih ada yang mewarisi. Pacarkeling! Pacarkeling ... !"
"Hai ! Bocah ini kena pukulan Pacarkeling yang beracun?"
Ke-enam murid Kyahi Basaman berseru berbareng lantaran terperanjat.
"Guru! Benarkah bocah itu kena pukulan Pacarkeling?"
Ugrasena menegas.
Ugrasena adalah murid yang tertua.
Usianya limapuluh lima tahun.
Diantara saudara-saudara seperguruannya, dialah yang pernah melihat hebatnya pukulan Pacarkeling yang bersifat dingin serta berbisa.
Sedang yang lain hanyalah mendengar namanya.
"Benar."
Sahut gurunya.
"W arna hijau gelap dengan disertai tapak lima jari merupakan tanda khas Pacarkeling yang mudah dikenal."
"Bagaimana cara mengobati, guru? Kami bersedia melakukan,"
Sambung Samtanus dengan suara khawatir. Tetapi Kyai Basaman tidak menjawab. Ia menghela napas sedih. Tiba-tiba air matanya mengalir keluar. Sambil mendukung Lingga W isnu,ia menghampiri mayat Udayana dan isterinya .
"Oh, Udayana, anakku. Belumlah jelas sebab musabab kematianmu ini, gurumu sudah menghadapi masalah baru lagi. Engkau telah mengangkat aku sebagai gurumu. Ternyata aku tak pandai menjaga keselamatan jiwa anakmu. Bukankah bocah ini anakmu satu-satunya yang masih hidup? Oh, Udayana! Tiada gunanya aku hidup seratus tahun. Nama perguruanmu termashur diseluruh persada bumi. Akan tetapi, ternyata orangorang tak menghargai rumah perguruanmu dengan segenap hati. Ternyata engkau mati berselimut nama rumah perguruanmu. Bukankah mereka yang membunuhmu tahu juga, bahwa engkau salah seorang muridku? Akh, Udayana. perlu aku hidup lebih lama lagi ? "
Sungguh tak kepalang rasa terkejutnya sekalian muridnya mendengar ucapan guru mereka.
Selama berguru padanya, belum pernah mereka mendengar ucapan Kyahi Basaman yang menyatakan suatu rasa kecewa, marah, dendam.
benci, penasaran dan berduka.
Tapi kali in i dengan satu napas, Kyahi Basaman merangkum seluruh perasaan demikian.
Inilah suatu tanda bahwa guru besar itu dalam putus asa dan sedih tak terhingga.
"Guru! Apakah bocah ini benar-benar tak dapat tertolong lagi?"
Panjalu memberanikan diri untuk mohon ketegasan.
"Kecuali ... kecuali kasatria yang berada diseberang jembatan maut Jala Angin tiba-tiba datang kemari untuk menurunkan ilmu sakti pelengkapku."
Jawab Kyahi Basaman tak lancar.
Dan seraya berkata demikian, ia ber jalan kesana ke mari meraba lantai pendapa dengan mendukuhg t ubuh Lingga W isnu yang pucat dingin serta kehijau-hijauan.
Mendangar jawaban gurunya yang mengandung rasa putus asa, sekalian murid terpukul hatinya.
Kasatria yang berada diseberang jembatan Jala Angin, sebenarnya lebih merupakan suatu dongeng belaka.
Dengan demikian luka Lingga W isnu berarti tak dapat disembuhkan lagi.
Tiba-tiba Panjalu yang berperasaan halus, memberanikan diri lagi untuk minta keterangan kepada Kyahi Basaman.
Katanya .
"Guru! Menurut keterangan kakang Podang W ilis dan mendengar kata-kata mereka yang datang kerumah perguruan setelah mengkeroyok kang Uda, tongkat itu ... tongkat mustika milik kasatria yang berada diseberang jembatan Jala Angin, ditimpakan pada pundak kakang Udayana. Mereka menuduh, seolah-olah kakang Udayana menyimpan atau mengetahui beradanya tongkat mustika itu. Sebenarnya bagaimana? Apakah di seberang jembatan Jala Angin, benar-benar ada makh luk yang hidup ? "
Kyahi Basaman menghela napas. Tatkala hendak membuka rrrulut , tiba-tiba Lingga W isnu berteriak .
"Ayah! Ayah! Kau t ak boleh mati! Kau t ak boleh mati ! Kasihan ilah Ibu kasihan ilah ibu! Addduuuuh ... !"
Begitu mengerang, Lingga W isnu memeluk Kyahi Basaman kencang-kencang.
Kemudian menyesapkan kepalanya kedalam pelukan orang tua itu.
Tergoncang hati Kyahi Basaman kena rangkul dan mendengar t eriakan Lingga W isnu.
Ia menjadi iba sekali.
Dengan memusatkan seluruh semangatnya, ia berkata .
"Mari lah k ita berusaha dengan sepenuh tenaga untuk merebut hidup bocah ini. Berapa lama dia bisa hidup, terserahlah kepada Yang Maha Kuasa."
Lalu ia menoleh kepada mayat Udayana. Dengan air mata bercucuran, ia berkata setengah isak.
"Oh anakku Udayana, malang benar nasibmu .... ! Dengan tertatih-tatih, Kyahi Basaman membawa Lingga W isnu kedalam kamarnya sendiri, segera ia memijat delapan belas urat nadi untuk mengurangi kepekaan. Dan kena pijat itu Lingga wajahnya kian menjadi gelap. Kyahi Basaman tahu, bilamana warna hijau gelap itu berubah menjadi hitam, bocah itu tak dapat ditolong lagi. Kesadaran itu membuat ia segera bertindak. Baju Lingga W isnu ditanggalkan. Kemudian iapun menanggalkan jubahnya sendiri. Dan dengan mengadu dada ia mendekap punggung sibocah. Tatkala itu Ugrasena dan Panjalu sibuk mengurus penguburan mayat Udayana dan Larasati. Yang ikut serta memasuki kamar Kyahi Basaman adalah Dewa Brata, Tawangalun, Podang W ilis dan Samtanus. Mereka tahu yang sedang dilakukan gurunya untuk menolong Lingga W isnu. ltulah ilmu sakti Dasa Sila atau ilmu sakti murni sejati yang tinggi untuk menarik dan menghisap hawa berbisa yang mengeram dalam tubuh Lingga W isnu. Selarna hidupnya, Kyahi Basaman tak pernah bersentuhan dengan seorang wanita. Kini sudah berumur 90 tahun. Pada hakekatnya ia masih seorang jejaka, oleh karena itu ia bisa melihat ilmu sakti Dasa-Sila dengan murni. Kurang lebih tujuhpuluh tahun ia menghimpun tenaga itu. Maka ia sudah mencapai puncak kesempurnaan. Dewabrata berampat berdiri t egak disamping gurunya. Hati mereka tegang luar biasa. Sebab pengobatan dengan cara demikian, besar sekali bahayanya. Kalau kurang tepat, tidak hanya Lingga W isnu gagal memperoleh kesehatannya kembali. tetapipun yang berusaha menyembuhkan akan tertimpa malapetaka . Pikir mereka, tenaga sakti guru yang murni memang dijagat ini tiada tandingannya. Meskipun demikian, dia sudah berusia lanjut. Betapa pun juga tenaga jasmaninya sudah mundur. Jangan-jangan malah t erjadi hal-hal yang mengerikan. Tak mengherankan, bahwa hati mereka kini malah menjadi kebat-kebit tak keruan. Setengah jam lamanya mereka berdiri tegak bagaikan patung. Akhirnya Kyahi Basaman nampak bergerak. W ajahnya samar-samar bersemu hijau dan sepuluh jari-jarinya bergemetar. Setelah membuka mata, ia berkata perlahan .
"Dewabrata! Kau majulah menggantikan aku. Apabila merasa tak tahan, cepat-cepat kau harus mundur. Kemudian Tawangalun yang mengganti. Jangan sekalikali engkau memaksa diri!"
Cepat Dewabrata membuka bajunya dan memeluk Lingga W isnu kedalam pangkuannya. Begitu tubuhnya tersentuhan ia terperanjat. Bukan main dinginnya. Ia merasa diri seolah-olah sedang memeluk satu balok es. Maka cepat-cepat ia berseru .
"Samtanus! Perint ahkan beberapa orang membuat unggun api! kin garang min baik! "
Anak-murid Kyahi Basaman bermukim diatas Gunung Lawu yang berhawa dingin.
Seringkali mereka mendaki gunung untuk melatih diri dalam hawa yang sangat dingin.
W alaupun demikian, begitu memeluk tubuh Lingga W isnu, Dewabrata kaget sampai berteriak.
k dapat dibayangkan, betapa dingin hawa yang meruap dari dalam tubuh bocah itu.
Seumpama dia bukan anak gunung, pastilah akan terancam bahaya lebih besar.
Tidak lama kemudian api unggun segera dinyalakan dalam kamar itu.
Sekalipun demikian, Dewabrata masih nampak kedinginan.
Kadangkala ia menggigil dengan gigi berceratukan.
Sadar an ancaman malapetaka, cepatcepat ia menghimpun tenaga murninya.
Namun setiap kali akan t erhimpun mendadak bubar buyar.
Sekarang barulah dia mengenal betapa hebat ilmu sakti Pacarkeling yang ditakuti orang semenjak puluhan tahun yang lalu.
"Guru sudah berusia lanjut. Walaupun demikian masih bisa tahan setengah jam. Sebaliknya aku baru saja memeluk tubuh bocah ini, tapi sudah menggigil tak keruan. Akh, tenaga murni guru benar-benar sudah mencapai kesempurnaan."
Katanya didalam hati.
Ia jadi malu sendiri, sebab tadi ia menyangsikan tenaga gurunya yang sudah berusia lanjut.
Ternyata dia yang merasa diri lebih muda dan mungkin pula lebih bertenaga, kalah sangat jauh.
Dalam pada itu Kyahi Basaman sudah terbenam dalam semadinya.
Ia tak menghiraukan segalanya, seumpama tiada melihat dan tiada mendengar sesuatu.
Perhatiannya dipusatkan untuk menghapus hawa berbisa yang tersedot oleh tenaga murninya kedalam jasman inya.
Apabila hawa berbisa terkuras habis dari jasman inya, waktu itu, Samtanus sudah menggantikan kedudukan Podang W ilis.
Sedang Dewabrata, Tawangalun dan Podang W ilis duduk bersemadi disarrpingnya dengan dibantu panas perdiangan.
Tak lama kemudian Samtanus berteriak memanggil beberapa pembantu rumah tangga.
Ia sudah tak tahan lagi dan cepat-cepat menyuruh memanggil Ugrasena dan Panjalu.
Ugrasena segera menggantikan kedudukannya.
Ia mencontoh cara penyembuhan terhadap Lingga W isnu.
Ia memeluk kedalam pangkuannya.
Kemudian tubuhnya yang bidang ditampelkan.
Dan segera terjadilah suatu perjuangan mengadu ketahanan tenaga sakti.
Memang, secara tak langsung mereka sama seperti lagi d iuji himpunan tenaga saktinya.
Siapa yang dangkal segera tak tahan kena serangan hawa berbisa Pacarkeling yang dingin luar b iasa.
Rata-rata mereka semua hanya tahan duapuluh menit.
Tetapi Ugrasena tahan hampir satu jam.
Sedang Panjalu yang berperasaan halus, menjerit begitu tubuhnya bersint uhan.
Ia menggigil dengan gigi berceratukan.
"Serahkan kepadaku!"
Perintah Kyahi Basaman dengan terkejut.
"Duduklah kau disampingku. Pusatkan pemapasanmu dan jangan sekali-kali pikiranmu berpencaran ! "
Rupanya karena sangat berduka menyaksikan kematian Udayana yang begitu menyayatkan, pikia Panjalu menjadi gelap dan kabur.
Tetapi setelah dapat menguasai ketenangannya kembali, barulah dia sanggup memeluk tubuh Lingga W isnu hampir set engah jam lamanya.
Dengan cara bergilir mereka berenam berjuang mengusir hawa beracun yang mengeram dalam tubuh Lingga W isnu selama tiga hari tiga malam.
Cara mereka berkutat seperti lagi berjuang dalam menghadapi ancaman maut yang menyerang rumah perguruan.
Sama sekali mereka tak kenal lelah.
Dan oleh ketekunan mereka, hawa beracun yang mengeram dalam tubuh Lingga W isnu lambat-laun makin tipis dan tipis.
Dengan demikian daya tahan mereka kini bisa mencapai waktu dua jam.
ltulah sebabnya, pada hari ke-empat mereka bisa tidur dengan bergiliran.
Dan sem inggu kemudian, mereka sudah bisa membagi waktu.
Masing masing sudah bisa menanggulangi sisa hawa dingin dengan seorang diri.
Dengan demikian yang lain dapat beristirahat, untuk mengembalikan tenaga sakti yang sudah terhambur keluar.
Pada hari keduapuluh, berangsur-angsur kesehatan Lingga W isnu memperoleh kemajuan.
Suhu dingin yang menyerang badannya makin berkurang.
Pikiran bocah itu nampak menjadi jernih pula.
Ia mulai makan sedikit demi sedikit.
Hal itu menggembirakan semua penghuni rumahperguruan.
Mereka mengira, bahwa beberapa hari lagi kesehatan Lingga W isnu akan pulih kembali seperti sediakala.
Mendadak pada hari ke-40 sewaktu tiba pada giliran Panjalu, terjadilah suatu hal yang mengejutkan.
Panjalu menemukan suatu bintik dingin yang membeku dalam pusar Lingga W isnu Ia mencoba mendorong keluar dan membuyarkan.
Akan tetapi betapapun ia mengerahkan tenaga, hawa dingin yang membeku itu tidak dapat didesaknya.
Bahkan bocah itu kembali menjadi h ijau gelap.
Penjalu mengira, bahw a kegagalan itu disebabkan lantaran tenaga saktinya kurang kuat.
ia melaporkan kepada gurunya.
Tatkala Kyahi Basaman mencoba mendorong hawa dingin yang beku itu, ia gagal pula.
Lalu dicobanya untuk menghancurkan.
Usaha itupun gagal.
Ugrasena lantas menggantikan.
Murid tertua inipun tak berdaya.
Dan selama lima malam, mereka semua gagal melenyapkan dingin haw a yang mengeram.
Segera mereka berunding dan bertukar pikir.
Akhirnya diputuskan untuk mengambil jalan lain dengan menelankan butiran-butiran ramuan obat penghancur serta pelawan hawa dingin.
Juga percobaan ini tak berhasil.
"Anakku ! Bagaimana perasaanmu?"
Pada suatu hari Panjalu menegas.
Lingga W isnu sudah bisa berbicara.
Selama itu, sedlkit-sedikit ia bisa menceritakan kembali pengalaman orang tuanya semenjak tujuh tahun yang lalu.
Dengan demikian, siapa namanya.
Dan samar-samar sudah b isa menebak - nebak latar belakang peristiwa yang menghantui keluarga Udayana.
Hanya saja keenam saudara seperguruannya, belum berani mint a keterangan yang meyakinkan tentang tongkat mustika kepada gurunya.
Demikianlah, tatkala mendengar pertanyaan Panjalu yang dikeluarkan dari lubuk hati yang tulus iklas ia memberi keterangan .
"Kaki dan tanganku hangat t etapi ubun-ubunku, dada dan perut rasanya makin lama makin menjadi dingin."
Kyahi Basaman yang hadlir pada saat itu, diam-diam tercekat hatinya. Cepat-cepat ia mencoba menghibur .
"Cucuku, angger. Lukamu kini sudah sembuh. Aku tak perlu lagi mendukungmu pada set iap hari. Kau boleh rebahan diatas tempat tidurku."
Lingga W isnu mengangguk. Perlahan lahan ia turun dari tempat tidur dan merangkak menghampiri Kyahi Basaman dan sekalian paman gurunya. Ia membuat sembah dengan mencium lant ai. Katanya halus .
"Eyang dan sekalian paman, Lingga takkan melupakan budi eyang dan paman merebut jiwaku ini. Kini Lingga mohon kepada eyang dan paman, agar mengajari ilmu kepandaian yang tinggi dan sakti benar, agar dikemudian hari Lingga dapat menuntut balas sakit hati ayah bunda dan kedua saudaraku."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ucapan Lingga W isnu, mereka semua terharu bukan main.
Bocah seumur dia, mengapa sudah dapat berbicara begini fasih? Mereka lupa, bahw a selama tujuh tahun Lingga W isnu digodok dan digembleng oleh pengalamannya yang dahsyat sehingga memtangkan cara berpikir dan pernyataan perasaannya.
Dengan berdiam diri, Kyahi Basaman meninggalkan kamar.
Dan ke-enam muridnya mengikuti dari belakang.
Di pendapa Kyahi Basaman menghela napas berkata .
"Racun Pacarkeling sudah meresap kedalam ubunubun, dada dan perutnya. Artinya suatu tenaga lagi yang bisa mengusir dari luar. Tampaknya jerih-payah kalian selama ampatpuluh hari ampatpuluh malam adalah siasia belaka. Hanya saja yang tiada kumengerti, sebab terjadi perubahan begini?"
"Guru!"
Kata Podang W ilis set elah berpikir sejenak.
"Kami mendengar kabar bahwa mertua adinda Udayana, seorang pendekar kenamaan. Apakah tidak mungkin Lingga menerima warisan himpunan tenaga sakti eyangnya lewat ibunya? mungkin dalam usahanya mempertaharkan diri dari rasa sakit, Lingga melawan serangan hawa berbisa itu dengan himpunan tenaga sakti warisan eyangnya. Karena kurang pengalaman, dia mungkin salah pengetrapannya. Dia tidak mengusir tetapi malahan menyedot sehingga kini melengket dengan himpunan tenaga saktinya sampai meresap kedalam urat-urat syaraf."
Kyahi Basaman mendengarken alasan itu. namun ia menggelengkan kepalanya. Sahutnya.
"Seumpama ampat atau lima tahun lebih usia nya, kemungkinan itu ada. Tetapi masakan sekecil dia mempunyai tenaga yang berarti untuk mengadakan perlawanan?"
"Menurut keterangannya, dia dibawa bertempur semenjak masih berumur satu tahun. Seumpama tidak memiliki daya t ahan ..."
"Pannembahan Larasmaja adalah seorang pendekar yang maha luas pengetahuannya."
Potong Kyahi Basaman.
"Ilmu saktinya t iada mudah dapat diwarisi atau dimengerti. Apakah karena dalam keadaan terdesak terus-menerus, ibunya menuruna ilmu warisan ayahnya secara darurat? Akh ya mungkin begitu!"
Kyahi Basaman menepuk pahanya karena tersadar. Lalu berkata setengah berseru .
"Benar, benar. Kiranya ilmu sakti w arisan Panembahan Larasmaja berada pula didalam dirinya. Sebab kalau hanya warisan Udayana, h impunan tenaga saktinya adalah sejalan dengan kita. Pastilah bant uan kita dari luar tidak akan mengakibatkan sesuatu. T api bagaimana corak himpunan tenaga sakti aliran Panembahan Larasmaja itu, aku tak mengerti. Biarlah kucobanya."
Berkata demikian, Kyahi Basaman kembali kedalam kamarnya. Lalu berkata kepada Lingga W isnu .
"Angger ! Coba pukullah eyangmu tiga kali berturutturut, dengan sungguh- sungguh!"
"Bagaimana aku berani memukul eyang?"
Sahut Lingga W isnu. Kyahi Basaman tertawa. Jawabnya .
"Angger! Bukankah engkau ingin aku mengajari ilmu kepandaian? Kalau belum kuketahui sampai d imana dangkal dan dalamnya h impunan tenagamu, bagaimana aku bisa mengajarimu?"
Lingga W isnu menimbang-nimbang. Alasan Kyahi Basaman masuk akal. Lalu berkata patuh.
"Baiklah kalau begitu. Hanya saja, eyang jangan memukul aku keras-keras!"
"Tentu saja. Masakan aku akan memukulmu kambali? Aku hanya ingin menguji himpunan tenagamu."
Sahut Kyahi Basaman dengan tertawa.
Memang, secara darurat Larasati pernah menurunkan ilmu warisan ayahnya kepada Lingga W isnu.
Ilmu sakti itu bernama Gumbala Hagni sejalan dengan nama pedangnya.
Larasati sendiri belum memahami seluruhnya.
Dia hanya bisa menguasai tiga jurus saja.
Hal itu dikatakan dengan terus terang pula kepada anaknya yang bungsu itu.
Gerakan Lingga W isnu yang kini diperlihatkan kepada Kyahi Basaman adalah jurus ketujuh.
Larasati ajurus itu 'T ritunggaldewa'.
Jurus ketujuh dari himpunan jurus dari Ilmu Sakti Gumbala Hagni yang semuanya berjumlah 72 jurus.
Bres ! Dengan tangan kiri Kyahi Basaman menyambut pukulan yang dahsyat itu.
Dan tenaga pukulannya yang dahsyat kena dihisapnya hilang.
Dan Lingga W isnu merasa diri seolah -olah lagi memukul udara kosong yang lembek.
Diam-diam ia terkejut.
"Bagus juga!"
Puji Kyahi Basaman seraya mengangguk-angguk.
"Menurut ibu, pukulan in i b isa merobohkan gunung. Akan tetapi didepan eyang, mengapa habis dayanya ? Eyang ...! Eyang hebat sekali. Tolong ajari aku ilmu sakti itu, agar aku bisa membalaskan dendam musuh-musuh orang tuaku."
"Kau pusatkan perhatianmu dahulu pada pukulanmu yang kedua dan yang ketiga, angger."
Kata Kyahi Basaman membelokkan perhatian.
Lingga W isnu tiba-tiba berputar, terus mambalikkan tubuh.
Kemudian menggablok.
Inilah salah satu tipu- pukulan Ilmu Sakti Gumbala Hagni yang ditakuti orang.
Melihat berkelebatnya tangan, Kyahi Basaman menyambut dengan tangan kanannya.
Dan daya pukulan itu amblas sirna.
Y ang mengherankan sama sekali L ingga W isnu tidak merasa kena pukulan pant ulan tenaga sakti Kyahi Basaman yang membalik.
Selagi heran dan kagum, orang tua itu memuji lagi .
"Lingga! Bagus sekali, engkau angger. Anak seusia engkau sudah bisa mencapai himpunan tenaga sebesar ini. Benar-benar patut mendapatkan pujian."
"Eyang, sudahlah. Tiada guna lagi aku melepaskan pukulanku yang ketiga. Kurasa tiada berarti apa-apa bagi eyang."
Kata Lingga W isnu.
"Kedua pukulanmu tadi sangat hebat. Kau pukullah aku dengan pukulanmu yang ketiga!"
Sahut Kyahi Basaman.
Dengan memaksa diri, Lingga W isnu menghimpun tenaga sakti Gumbala Hagni pada telapak tangannya.
Ia perlu melingkar dahulu sebelum tangannya bergerak.
Dan apabila tenaga saktinya sudah merasa terhimpun, tiba-tiba ia menyodok dengan keras.
Inilah tipu muslihat jurus ke sembilan.
Barang siapa kena pukulan ini, meskipun kebal dari sekalian senjata tajam, akan roboh terjengkang dengan luka dalam.
Diam-diam Kyahi Basaman terperanjat.
Pikirnya didalam hati .
'Benar-benar dia bisa melakukan pukulan hebat ini ?' Terus saja ia bersiaga.
Akan tetapi pukulan yang ketiga.
ini ternyata tiada bertenaga.
Perbawanya memang hebat.
Angin seolah-olah kena gulung dan dilontarkan dengan suara menderu.
Akan tetapi begitu tiba pada sasaran, hebatnya pukulan itu tidak seperti pukulan yang pertama dan yang ketiga.
Kyahi Basaman jadi kecew a.
Sebab mestinya pukulan ini dahsyat tak terkira.
dengan menggelengkan kepalanya ia berkata menasehati .
"Angger ! Seranganmu kali in i kurang kuat. ungkin sekali engkau belum memahaminya.
"
"Bukan begitu,"
Potong Lingga W isnu dengan bernapsu.
"Soalnya ibu sendiri belum mahir. Begitulah kata ibu kepadaku. Ibu Kata, bahwa ilmu sakti Gumbala Hagni in i, merupakan salah satu cabang ilmu sakti yang hebat. Ilmu ini t ermasuk salah satu ilmu sakti t ertinggi di dunia. Benarkah itu, eyang ?"
"Benar,"
Jawab Kyahi Basaman dengan mengangguk.
"Ibu hanya mewarisi tiga jurus saja, karena menurut eyang, ibu kekurangan himpunan tenaga sakti yang dibutuhkan. Itulah sebabnya, ibu belum bisa menyelami int isarinya. Gerak tipu pukulan ketiga yang bernama. Gora-antariksa ini menurut ibu dahsyat luar biasa. Ibu tahu, aku belum bertenaga sama sekali. Akan tetapi aku boleh menghafal dan mempelajari kulitnya dahulu. Dikemudian hari aku masih menpunyai kesempatan untuk menyelami. Dengan jalan demikian mungkin sekali aku dapat mencapai int isarinya."
"Akh, begitulah maksud ibumu?"
Kata Kyahi Basaman dengan suara terharu.
"Tapi mulai saat ini, dalam suatu pertempuran sungguh-sungguh - jangan sekali-kali engkau menggunakan t ipu jurus ini. Sebab selain engkau belum bertenaga seperti yang dikehendaki, engkaupun bakal kena akibatnya sendiri. Terbentur tenaga lontaranmu sendiri."
"Kalau begitu, ajarilah aku, eyang,"
Lingga W isnu memohon.
"T idak ! Bukan aku t ak mau, tapi lantaran aku sendiri tiada dapat menggunakan pukulan itu yang dahsyat luar biasa."
Jawab Kyahi Basaman. Kemudian dengan mengurut-urut jenggotnya, ia berkata.
"Eyangmu Larasmaja benar-benar hebat luar biasa. Didunia in i, kukira hanya d ia seorang yang mewarisi ilmu sakti tersebut dari para leluhur dijaman purba. Sayang, dia belum menemukan seorang ahliwarisnya. Apakah engkau pernah bertemu dengan eyangmu?"
"T idak. Menurut ibu eyang sudah wafat sebelum aku lahir,"
Sahut Lingga W isnu.
Kyahi Basaman menarik napas dalam.
Kemudian mint a keterangan tentang ragam ilmu sakti yang pernah dipelajarinya.
Dengan lancarnya Lingga W isnu mengucapkan kalimat kalimat hafalannya.
Ternyata ia hanya menerima ajaran patah -patah dari ibunya.
Meskipun demikian mendengar kalimat hafalannya, Kyah.
Basaman kagum luar biasa.
Ia seorang guru-besar yang sudah banyak makan garam.
Berbagai cabang ilmu sakti sudah hampir semua diketahuinya.
Akan tetapi dengan terus-terang ia mengakui, bahwa ada beberapa hafalan yang sama sekali asing baginya.
Pikirnya didalam hati .
'Benar-benar luas ilmu pengetahuan rekan Larasmaja.
Sedang ibu bocah mi, tak dapat mewarisi.
Rupanya hanya bisa menghafal kalimat-kalimat rahasianya.
Akan tetapi belum memperoleh kunci int ipatinya.' Pendekar Larasmaja hidup pada jaman tiga puluh tahun yang lalu.
Namanya menggetarkan jagad.
Dengan ilmu tunggalnya, ia malang melint ang tanpa tandingan.
Kiranya dia tidak hanya memiliki ilmu Gumbala Hagni saja, tapi ternyata sangat luas ilmu pengetahuannya.
Pant aslah kalau dahulu ia menguasai bumi Priangan sampai kehampir W ilayah Jawa Tengah bagian pant ai ut ara.
"Angger! Coba perlihatkan kepadaku cara melakukan kalimat-kaliirat hafalanmu itu,"
Kata Kyahi Basaman.
Segera Lingga W isnu melakukan perint ah Kyahi Basaman.
Akan tetapi ternyata ia hanya bisa melakukan seperlima bagian dari semua kalimat hafalannya.
Memang ibunya dahulu mengajarkan kepadanya sematamata terdorong oleh rasa cinta kasih semata.
ltulah disebabkan karena diuber-uber lawan selama t ujuh tahun lebih.
Dan ibu itu secara naluriah ingin mempertahankan anak keturunannya.
Ia berharap dengan modal ilmu kepandaian leluhurnya yang luar biasa banyaknya, Lingga W isnu akan dapat melindungi diri sendiri.
Tentu saja harapan penuh dengan doa daripada kenyataannya.
Seumpama Podang W ilis tidak tepat tibanya digelanggang pertempuran, Lingga W isnu sudah tidak ada di alam cerah ini.
"Bagus, angaer, bagus sekali."
Berkalikali Kyahi Basanan memuji.
"Aku tahu maksud ibumu. Engkau berbakat baik. Dengan bakatmu itu ibumu akin, bahwa engkau akan dapat memahirkan semua ragam ilmu sakti warisan eyangmu dengan perlahan-lahan."
Menyenangkan bunyi ucapan orang tua itu.
Akan tetapi didalam hatinya sesungguhnya ia sangat terharu.
Setelah mencoba tiga pukulan tadi, tahulah Kyahi Basaman bahw a himpunan tenaga sakti yang dipelajari Lingga W isnu, kecuali belum mahir, ruwet pula.
Hinpunan tenaga sakti demikian, memang hebat perbawanya dalam menghadapi lawan jangka pendek.
Akan tetapi apabila harus menghadapi suatu pertarungan jangka lama, ia akan termakan oleh himpunan tenaganya yang belum dapat dikuasai.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hal ini ternyata, setelah dipergunakan untuk menahan merembesnya hawa berbisa Pacarkeling.
Hawa berbisa itu kini lebih susah untuk ditarik keluar.
Satu-satunya jalan untuk merenggutnya keluar, apabila napas Lingga W isnu berhenti calam waktu satu atau dua jam.
Akan tetapi apabila manusia kehilangan napas selama satu atau dua jam, bukankah dia akan mati? Setelah bermenung-menimg sekian lamanya, akhirnya Kyahi Basaman mengambil keputusan darurat.
Katanya didalam hati .
'Kalau hendak memusnakan hawa berbisa Pacarkeling yang sudah melekat rapat dalam sungsumnya, Lingga W isnu harus berusaha sendiri.
Ia harus mempunyai tenaga himpunan yang bisa mengatasi tenaga hawa berbisa.
Dengan mendorong dari dalam, barulah hawa berbisa itu bisa dilenyapkan.
Soalnya kini, dapatkah dia memiliki tenaga yang dahsyat yang dibutuhkan? Aku hanya memiliki seperti ilmu sakti Brahmandaprana.
Ah, seunpama aku mewarisi ilmu sakti tersebut secara keseluruhan, hawa berbisa itu bukan lagi merupakan satu persoalan.
Tetapi jalan lain, kurasa t iada lagi kecuali menurunkan ilmu himpunan tenaga Brahmandaprana yang hanya kumiliki sepertiga bagian.
Biarlah d ia melatih diri.
Usianya bisa diulur satu hari, bukankah lebih baik dari pada mati sekarang.
Oh, Udayana, semoga arwahmu ikut membantu memanjangkan umur anakmu sehari demi sehari ...! Setelah memperoleh keputusan demikian, keesokan harinya ia mulai menurunkan ilmu sakti Brahmandaprana yang dikuasainya sepertiga bagian.
Ia berharap dengan tenaga murni itu, menjalarnya hawa berbisa Pacarkeling dapat dibendungnya.
Syukur, apabila terjadi suatu peristiwa yang ajaib diluar nalar manusia, sehingga dengan tiba-tiba hawa berbisa itu dapat terusir sirna.
Ilmu sakti himpunan tenaga Brahmandaprana tanpaknya sederhana saja.
Akan tetapi sesungguhnya didalamnya banyak keruwetan-keruwetan gawat.
Dasarnya harus bersih dan murni.
ltulah sebabnya, maka mula-mula Lingga W isnu diberi pelajaran berlatih menghimpun tenaga murni yang kemudian disalurkan keperut, pusat dan terus menanjak keubun.
Dari sana hawa yang hangat dan bersih itu menyusuri urat-urat seluruh tubuh.
Dalam diri Lingga W isnu lantas saja terjadi suatu ketegaran.
Rongga perutnya seperti terisi suatu gunpalan awan yang selalu bergerak dan terapung-apung.
Setiap kali berput ar semua urat yang diambahnya terasa menjadi segar sekali.
Kyahi Basaman berharap, setelah Lingga W isnu mencapai tingkat ketujuh, hawa dingin yang berkumpul didalam perut akan bisa terusir bagaikan embun kena cerah surya.
Dengan t ekun Lingga Wisnu berlatih diri, kurang lebih dua tahun lamanya.
Lambat-laun dalam perutnya mulai berkumpul suatu gumpalan awan yang hangat nikmat.
W alaupun demikian, bisa Pacarkeling yang bersarang di dalamnya masih saja melengket kuat-kuat.
Malahan hawa berbisa itu seperti mengejek himpunan tenaga murni Beberapa bulan kemudian, wajah Lingga W isnu nampak makin hijau dan gelap.
Pada saat-saat tertentu penyakitnya kumat.
Dan derita yang berkecamuk didalam dirinya serasa tak tertanggungkan lagi.
Selama dua tahun itu, Kyahi Basaman benar-benar mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menurunkan ilmu warisan Brahmanaprana kepada Lingga W isnu.
Dia selalu berada dirumah pertapaan dan tidak lagi bepergian seperti yang dilakukan belasan t ahun yang lalu.
Dan Ugrasena beserta segenap adik-adiknya seperguruan sibuk mencarikan obat pemunah racun yang mengeram dalam badan Lingga W isnu.
Semua orang pandai didatangi dan semua obat-obat mujarab dibelinya.
Setiap kali tiba dirumah perguruan, obat yang dibawanya segera diminumkan kepada anak keturunan Udayana satu-satunya.
Akan tetapi hasilnya, n ihil belaka.
Tetap saja bisa Pacarkeling t ak tergoyahkan.
Tidak lah mengherankan, bahwa mereka sama menjadi perihatin melihat keadaan tubuh Lingga W isnu makin lama makin kurus kering.
Akan tetapi dihadapan bocah itu, tentu saja mereka bersikap lain.
Selalu mereka menyatakan syukur bahwa bisa yang mengeram didalam tubuh sibocah makin menjadi tipis dan tipis.
Dan setelah mereka berada sendirian diluar kamar, hati mereka sangat berduka.
Benar-benarkah darah daging Udayana satu-satunya itu tak dapat dipertahankan lagi ? .
Karena terlalu berduka dan sibuk memikirkan obat yang mungkin bisa menanggulangi, tak sempat lagi mereka mengusut siapakah musuh ayah Lingga W isnu sesungguhnya.
Dan selama dua tahun itu, rumah perguruan Kyahi Basaman tiada lagi yang menginjaknya.
Mereka yang dahulu ikut -serta mengeroyok Udayana benar-benar berniat hendak menghapuskan saja permusuhan itu.
Akan tetapi tentu saja sekalian murid Kyai Basaman tak mau sudah.
Meskipun tidak rerncih terucapkan atau berunding atau bermusyawarah, akan tetapi mereka berjanji pada diri sendiri, bahw a pada suatu kali mereka akan membuat perhitungan terhadap yang pernah mengeroyok Udayana, manakala jiwa Lingga W isnu sudah berhasil direbutnya kembali.
Hari itu adalah hari ulang tahun ke 93.
Seperti biasanya, murid-murid Kyahi Basaman berkumpul dipaseban untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada gurunya.
Mendadak saja, sebelum pesta ulang tahun dimulai, Lingga W isnu kumat lagi.
Tetapi anak itu mengerti diri.
Dengan menggigit bibirnya, ia mencoba bertahan serta menyembunyikan rasa sakitnya.
Sudah barang tentu sekalian paman-gurunya tak dapat di kelabui.
Sebab wajah bocah itu nampak hijau gelap.
Dan tubuhnya menggigil sampai giginya berceratukan.
Cepat-cepat Panjalu membawa Lingga W isnu masuk kedalam kamar.
Hati-hati ia merebahkannya diatas tempat tidur, kemudian menyelimut i dengan selimut tebal.
Setelah itu, ia membuat api unggun sebesarbesarnya diatas tungku dan didorongnya di bawah ranjang agar badan Lingga W isnu menjadi hangat.
Kyahi Basaman menatap w ajah Lingga W isnu dengan berduka.
Akhirnya setelah menghela napas, ia berkata memutuskan .
"Biarlah esok pagi aku membawanya menghadap Anung Danudibrata."
Sekalian murid Kyahi Basaman terperanjat.
Selamanya, belum pernah gurunya turun gunung.
Benar gurunya hanya nampak satu kali pada set iap t ahun.
Akan tetapi mereka tahu, bahwa gurunya itu tetap berada diatas gunung untuk bersemedi atau menyelami suatu ilmu sakti untuk bisa diwariskan kepada angkatan mendatang.
"Anak-anakku,"
Katanya lagi.
"Kalian semua tahu bahw a gurumu ini hanya memiliki sepertiga ilmu sakti Brahmandaprana. Sekalipun hanya sepertiga, akan tetapi cukuplah sudah untuk bisa menancapkan kedua kaki k ita diatas bumi dengan kokoh. Akan tetapi, apabila pada suatu kali ada seorang yang bisa mewarisi ilmu Brahmandaprana dengan menyeluruh, maka ilmu warisanku in i t idak berarti sedikitpun. Ugrasana, bawalah adik-adikmu kedepan!"
Sebagai murid, mereka semua tahu sejarah pecahnya ilmu sakti Brahmandaprana menjadi tiga bagian.
Akan tetapi mereka belum tahu perinciannya.
Itulah sebabnya, segera mereka keluar paseban, untuk dapat mendengarkan keterangan gurunya lebih lengkap lagi.
Ilmu sakti Brahmandaprana konon dikabarkan adalah ciptaan Dewa Brahma yang dibawa turun kedunia oleh Parikenan.
Dan Parikenan kemudian mewariskan kepada salah seorang cucunya bernama Romaharsana.
Kemudian hari Romaharsana mempunyai tiga murid.
Murid tertua bernama Ugrasawa.
Yang tengah seorang wanita bernama Parwati.
Dan murid termuda seorang pendekar berparas cakap bernama Aristi.
Masing-masing murid itu mempunyai keistimewaannya sendiri.
Yang pertama pukulannya sangat berbahaya.
Yang kedua, kegesitannya.
Dan yang ketiga ilmu pedangnya.
Romaharsana tidak membeda-bedakan atau pilih kasih.
Masing-masing keistimewaannya diberi dasar yang kokoh agar mencapai kesempurnaan.
Sayang, setelah mereka menanjak dewasa penuh, terjadilah suatu kisah asmara segi-tiga.
Mula-mula saling bersaing, kemudian bermusuhan.
Parwati diam-diam mencint ai Aristi.
Sebaliknya Ugrasawa yang sint ing melihat kecantikan serta kejelitaan Parwati tidak sudi membiarkan jatuh dalam pelukan Aristi.
Hal ini, tentu saja membuat hati Parwati jengkel.
Sebaliknya Ugrasawa yang merasa cinta kasihnya bertepuk sebelah tangan lantaran hadirnya Aristi, menaruh dendam kepada adik seperguruannya yang ganteng itu.
Aristi pun merasa demikian pula.
Ia merasa dirinya t ak aman, karena dirint angi Ugrasawa.
Romaharsana jadi kecew a.
Menurut kata hati, ingin ia mengusir ketiga muridnya itu.
Namun ia tak sudi pula membiarkan ketiga muridnya itu saling bent rok dan bunuh membunuh.
semenjak itu, ia membagi kesaktian ilmu Brahmandaprana menjadi tiga bagian.
Apabila sudah tamat, mereka diperintahkan turun gunung.
Dan tidak diperkenankan saling bertemu.
Siapa yang melanggar larangannya ini, dikemudian hari akan b isa menemui suatu malapetaka.
Anehnya, Apabila mereka toh saling bertemu dan akhirnya saling hantam, masingmasing tidak akan bisa malukai.
Sebab Romaharsana membagi ilmu saktinya demikian rupa, sehingga masingmasing tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Demikianlah, Ugrasawa berangkat ke Jawa Barat dan menetap disana.
Dikemudian hari, ia mendirikan suatu perguruan.
Anak muridnya ribuan orang jumlahnya dan makin lama makin menjadi subur sampai kini.
Rumah perguruannya berada diatas Gunung Cakrabuwana.
Dan ia menyebut dirinya golongan Parahiangan.
Parwati menetap dipinggang Gunung Merapi-Merbabu.
Pengaruhnya meluas keseluruh Jawa Tengah.
Golongannya menyebut diri anak keturunan Mataram.
Ilmu saktinya kini d iwarisi pendekar Perangwedani yang berkedudukan di Kartasura.
Dan Aristi berada di Gunung Lawu.
Dialah Kyahi Basaman.
Pengaruh ilmu sakti Aristi melingkupi wilayah Jawa Timur.
Golongannya menyebut dirinya kaum Aristi pula.
Mengingat keadaan yang mendesak, pernah Kyahi Basaman berkirim surat kepada pendekar Perangwedani untuk mohon bantuan.
Akan tetapi Surat itu tak pernah sampai kepada Perangwedani.
Ditengah jalan sudah kena robek anak-anak muridnya.
Panjalu yang mempunyai hubungan istimewa dengan Damayanti, pernah pula mencoba menyampaikan surat gurunya lewat gadis itu.
Damayant i berhasil membawa surat itu menghadap gurunya berbareng ayah kandungnya sendiri.
Tetapi setelah mendengar bunyi surat Kyahi Basaman, Perang wedani menolak memberi bant uan.
Takut melanggar pant ang leluhurnya.
Karena itu harapan Kyahi Basaman kini beralih kepada murid-murid Ugrasawa yang bermukim di Jawa Barat.
Sekalian murid mengerti maksud hati Kyahi Basaman itu.
Dalam keadaan terpaksa dan demi mempertahankan anak-keturunan Udayana satu-satunya, gurunya rela turun gunung.
Orang tua itu berharap Anung Danudibrata mau menambahi kelengkapan ilmu sakti Brahmandaprana yang berada dirumah perguruannya sepertiga bagian.
Kalau hal itu terjadi, gurunya akan mengantongi ilmu sakti Brahmandaprana duapertiga bagian.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dengan modal itu ia berharap akan dapat menolong jiwa Lingga W isnu.
Alangkah besar pengorbanan orang tua itu untuk menyelamatkan anak keturunan Udayana satu-satunya.
Betapa tidak? Semenjak terjadi perpecahan antara ketiga murid Resi Romaharsana, masing-masing plhak tidak pernah berhubungan demi mempertahankan kehormatan diri.
Malahan masing-masing saling bersaing.
tak mengherankan setelah Kyahi Basaman berhasil mengangkat diri menjadi seorang guru besar aliran Aristi, hubungan masing masing pihak kian menjadi renggang.
Pihak Ugrasawa dan pihak Parwati memandang dengan hati curiga terhadap kecemerlangan nama Kyahi Basaman yang merupakan bintang cerah dipagi hari.
Kini terjadilah suatu peristiwa pengeroyokan terhadap Udayana.
Dalam hal ini anak murid Ugrasawa dan Parwati ikut campur pula, walaupun mereka tidak melakukan pembunuhan secara langsung.
Hubungan ketiga aliran itu lantas saja terasa retak.
Tidak lagi bersaing, tetapi benar-benar sudah mendendam suatu permusuhan.
Kyahi Basaman tahu akan hal itu.
Inilah pokok sengkata sebab Udayana dituduh yang bukan-bukan, seolah-olah ia menyembunyikan sebatang tongkat mustika dunia yang membuat rumah perguruan aliran Aristi menanjak sangat tinggi.
W alaupun demikian, Kyahi Basaman kini mau juga merendahkan diri dan bersikap mengalah dengan memohon - mohon bantuan kepada aliran Perwati dan Ugrasawa.
Tegasnya ia rela mengorbankan kedudukannya yang tinggi, demi anak keturunan Udayana.
Ia sadar pula, apabila kelak Anung Danudibrata yang kini menduduki ketua aliran Ugrasawa mau merberi petunjuk-petunjuk dan pelengkap ajaran ilmu sakti Brahmandaprana, aliran Aristi semenjak itu berada dibawah kewibawaan aliran Ugrasawa.
Kyahi Basaman tidak mempedulikan.
Apakah artinya belaka? Yang penting baginya adalah menolong jiwa.
Jiwa jauh lebih berharga dari pada ketenaran nama kosong.
Pada saat ia menghadapi keenam muridnya di paseban, timbul ah suatu gagasan.
Bukankah lebih baik apabila Ugrasena saja yang menghadap Anung Danubrata ? Dengan demikian kehormatan serta kedudukan kaum Aristi akan lebih bagus dari pada dia sendiri yang datang menghadap.
Tetapi ia kenal siapakah Anung Danudibrata.
Ia seorang pendekar yang meletakkan panji-panji kehormatan diatas segalanya.
Dan orang semacam dia sudikah menurunkan rahasia pelengkap ajaran ilmu sakti Brahman daprana kepada seorang utusan yang tingkatannya berada dibawahnya ? Pastilah tidak mungkin! oleh pertimbangan itu ia segera memberi keputusan.
Katanya dengan suara pasti .
"Anak-anakku! Aku tahu, kalian masgul dan prihatin mendengar keputusanku hendak berangkat sendirian menghadap rekan Anung Danudibrata. Pasal masgul dan prihatian kalian itu lantaran mengingat nama besar aliran leluhur kita Resi Aristi yang tersohor selama puluhan tahun yang lalu. Dan sekarang aku yang mewakili menjujung tinggi kehormatan leluhur kalian, mendadak rela tunduk dan membungkuk kepada aliran Ugrasawa. Bukankah demikian? sebab aku tidak memerint ahkan salah seorang diantara kalian yang berangkat menunaikan tugas ini? Tidak, anakku! Manakala tidak aku sendiri yang berangkat, akan terjadilah suatu kesulitan. Sebab, tidak mungkin rekan Anung Danudibrata menyerahkan sepertiga bagian ilmu sakti Brahmandaprana yang berada dirumah perguruannya, tanpa suatu upah jasa. Paling tidak, dia akan mint a saling menukar. Dapatkah kalian berbuat demikian? Kecuali sangat sulit, rekan Anung Danudibrata akan bercuriga terhadapmu. Dia akan menuduh aku curang dalam hal ini. Karena itu tiada jalan lain, kecuali aku sendiri yang datang ..."
Dengan keputusan Kyahi Basaman, maka suasana pesta ulang tahun yang ke 93 menjadi muram.
Sekalian anak murid tiada dapat menyanagah keputusan gurunya, karena beralasan sangat kuat.
Namun dalam hati, tahulah mereka banwa lonceng tanda bahaya sudah mulai menggema dalam perasaan mereka masingmasing.
"Kalau begitu, biarlah kami dan adinda Podang W ilis mengantarkan guru sampai ke rumah perguruan paman Anung Danudivrata,"
Kata Ugrasena dengan suara mantap.
"Jangan, anakku."
Sanggah Kyahi Basaman dengan tersenyum.
"Maksudmu memang baik sekali. Tetapi justeru akan menimbulkan kecurigaan mereka. Lebih baik biar kami berdua, yang satu seorang tua bangka dan yang lain seorang anak muda belia, berangkat berbareng mengadu untung dengan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa."
Hebat keputusan itu.
W alaupun terdengar kuat, akan tetapi didalamnya terasa terjadi percikan tangis hati, penuh prihatin.
o))0oo-dw-oo((o 1.
Orang yang bersembunyi di balik dinding.
Pada esok harinya, Kyahi Basaman membawa Lingga W isnu berangkat ke Jawa Barat.
Bagi Lingga W isnu, itulah suatu perjalanan pulang ke kandang sendiri.
Ia nampak terharu, karena kini berjalan dengan seorang diri tanpa ayah-bunda dan kedua kakaknya yang dahulu selalu mendampinginya.
Ugrasena dengan kelima adiknya seperguruan mengantar sanpai dikaki Gunung.
Dan sekali lagi Kyahi Basaman menguatkan keputusannya kemarin kepada mereka.
Katanya .
"Kalian tahu, bukan. Apakah sebab aku hanya membawa Lingga W isnu saja. Sebab kalau kalian ikut serta, akan menimbulkan rasa curiga mereka,"
Dengan menunggang seekor kuda, Kyahi Basaman dan Lingga W isnu melanjutkan perjalanan.
Tujuan mereka mengarah Barat laut.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka dibumi Priangan.
Sekarang mulailah mereka memasuki daerah pegunungan yang berhutan lebat.
Menghirup udara segar, tergetarlah hati Lingga W isnu.
Teringatlah dia, tatkala ayah-bundanya membawa lari dari tempat ketempat sambil menggebu musuh.
Kerapkali ia dibawa mendaki gunung dan menuruni jurang.
Kadangkala menyeberangi sungai-sungai yang berarus besar dan memasuki hutan lebat penuh binatangbinatang berbisa.
Sepuluh hari kemudian, Gunung Cakrabuwana nampak tegak didepan.
Kyahi Basaman menambatkan kudanya pada sebatang pohon.
Kemudian dengan menggandeng tangan Lingga W isnu, mulailah dia mendaki pinggang gunung.
Dibalik bukit yang berada didepan, tergelarlah suatu lembah yang sangat indah.
Hijau daun bersemarak memenuhi persada bumi.
Angin meniup lenbut dan segar.
"Dibalik bukit itulah, kita nant i melihat rumah perguruan leluhur Anung Danudibrata."
Kata Kyahi Basaman.
"Kau nant i harus belajar dengan sungguh-sungguh, agar bisa menolong dirimu sendiri."
Lingga W isnu mengangguk.
"Kau berjanji, bukan?"
Kyahi Basaman menegas. Kembali lagi Lingga Wisnu mengangguk.
"
Bagus ! "
Seru Kyahi Basaman bersyukur.
"
Dengan begitu, engkau tidak akan sia-siakan harapan orang tuamu "
"Benar, i ....... diant ara musuh-musuh ayah kabarnya ada diant aranya yang terdiri anak murid pendekar Anung Danudibrata."
"Akh, angger! Untuk tujuan besar, kau harus belajar mengkesampingkan hal-hal kecil. Ingatlah, kerapkali tujuan besar bisa tergelincir oleh sebuah kerikil belaka. Aku mengharapkan agar engkau kelak tumbuh menjadi manusia yang berlapang hati."
Lingga W isnu mengangguk lagi untuk yang ketiga kalinya.
Dan dalam pada itu, bukit yang berada didepan tadi sudah terlampaui.
Dan di depannya tergelar suatu pemandangan yang menggairahkan.
Tetapi didepan penglihatan, berjajarlah tiga bukit yang sedang tingginya.
Lapat-lapat nampaklah sebuah gedung agung yang berpagar dinding batu pegunungan.
Bentuk gedungnya mirip sebuah candi yang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Itulah biara Anung Danudibrata, peninggalan leluhur Ugrasawa yang bemukim diatas gunung ini."
Kata Kyahi Basaman.
"Padepokan itu disebut orang Argapura. Indah, agung dan damai. Dan disebelah kanan itu adalah gardu penjagaan. Sebelum kita menginjak halaman padepokan Argapura, harus melewati gardu penjagaan itu dahulu. Mari kita mencoba memberi keterangan maksud kedatangan kita ini kepada para penjaga.
"
Kyahi Basaman adalah seorang guru besar.
Ia Kedudukannya sama tingginya dengan Anung Danudibrata yang menjadi ketua aliran Ugrasawa.
W alaupun demikian, ia mau bersikap merendahkan diri.
Dengan membimbing Kira-kira menjelang tengah hari sampailah dia ketempat itu.
Gardu penjagaan itu mirip sebuah biara kecil.
Diatas atap terpancang suatu papan dengan tulisan huruf daerah Kuno.
Kyahi Basaman mendongak.
Lantas mambaca.
'Yananghel rahadyan sanghulun mararyana'.
Artinya.
'Kalau tuan jemu, hendaklah beristirahat sebentar.' Inilah suatu kata-kata anjuran yang halus sekali.
Setiap tamu dikehendaki agar mendaftarkan diri d igardu penjagaan dengan istilah ' istirahatlah' sebentar.
Dan menperoleh pengertian demikian, Kyahi Basaman bergeleng kepala dengan rasa kagum.
Didalam gardu penjagaan, Kyahi Basaman bertemu dengan sebelas orang penjaga yang memakai pakaian seragam putih.
Melihat pakaian yang dikenakan Kyahi Basaman dan Lingga W isnu sangat kasar, dekil dan kotor, mereka lantas bersikap tawar.
Dengan bersikap perkataan, mereka mempersilahkan duduk diatas lantai dan menyodorkan dua potong juadah yang keras sekali.
Kyahi Basaman adalah seorang petapa yang sudah bisa melonggarkan diri dari semua bentuk ikatan dunia.
Ia tak mempedulikan sikap dan pandang mereka.
Dengan duduk bersila diatas lantai, ia menggerumiti juadah pemberian penjaga.
Sebaliknya Lingga W isnu yang berkesan buruk terhadap segala anak murid Anung Danudibrata, mendongkol bukan main.
Seumpama tidak berada disamping Kyahi Basaman, pastilah juadah itu sudah dilemparkan kepada yang memberinya.
mengherankan dia jadi muak melihat tampang mereka .
Segera ia membuang pandang.
Matanya beralih kepada pemandangan alam yang memang indah luar biasa.
Apalagi waktu itu matahari bersinar cerah.
Selagi melayangkan pandangnya, t iba-tiba ia melihat beberapa deret kalimat pada tembok biara.
Ia meraba lengan Kyahi Basaman dan dengan pandang matanya ia memberi kabar.
Kyahi Basaman menoleh.
Rupanya orang tua itu tertarik pula hatinya.
Cepat ia berdiri dan menghampiri.
Gardu yang berada dipojok kanan, agaknya merupakan sebuah penginapan darurat bagi tetamu yang kemalaman.
Pada pint u masuknya terdapat sederet kalimat bahasa Parwa, yang di susun semacam sajak.
Sebagai seorang guru besar Kyahi Basaman faham bahasa Parwa itu.
Ia lantas membaca dan menterjemahkan kepada Lingga W isnu.
Bunyi sajak itu .
'Sang Hyang Agni maka saksi hana irikang kala samangkana Nahan ing ling akasawakya Parwati Aristi kaparnah wetan tan madoh dahat saka ngke Nihan tang laras Nihan tang tinuju Syapa ngkana wegi lengku? Yan nghulun mangjanma irikang dlaha Taku males amatyani kita.
Alih bahasa.
'Dewa Agni menyaksikan pada waktu itu Beginilah kata suara dari angkasa Parwati Aristi berada di timur jauh dari sini Inilah Busur Sasaran ltulah yang kau tuju Kepada siapakah mint a perlindungan ? Manakala aku kelak lahir kembali Aku akan membalas membunuhmu.' Terperanjat Kyahi Basaman membaca bunyi sajak itu, sehingga sesaat ia lupa menggerumiti juadahnya.
Setelah bermenung sesaat, ia melanjutkan menikmati juadah.
Meskipun sudah berusia tua, namun gigi Kyahi Basaman masih tetap utuh karena kesehatannya.
Selain itu ilmunya tinggi pula.
Jangan lagi juadah keras, kalau perlu, sebongkah batu bisa digigitnya hancur ! "Eyang!"
Kata Lingga W isnu.
"Sajak ini tertulis pada tembok pintu masuk. Pastilah maksudnya agar diket ahui orang sebelum memasuki pintu. Apakah tujuan penulis ini ? "
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senang Kyahi Easaman mendengar pertanyaan Lingga W isnu. ltulah suatu tanda, bahwa otak Lingga W isnu cukup cerdas. k dengan senang hati pula ia menjawab .
"Barangkali, inilah tulisan almarhum Ugrasawa setelah terusir dari rumah perguruan. Dia menaruh dendam kepada leluhur Aristi dan Parwati. ia mengancam hendak membunuh kedua-duanya. Karena pada waktu itu gurunya masih hidup, tak dapat ia melaksanakan niatnya. Tapi ia bersumpah bahw a apabila lahir kembali di dunia, dia akan datang untuk membalaskan rasa penasarannya. Bagus dan kuat peribadinya Ugrasawa. Hanya saja t erlalu sempit ..."
Kyahi B asaman menghampiri dan meraba-raba bentuk tulisan yang terukir halus. Dengan penuh perasaan ia mengusap-usapnya. Entah apa sebabnya, hatinya jadi terhibur .
"Eyang ! Terang sekali leluhur paman Anung Danudibrata bermusuhan dengan leluhur kita. Kalau begitu, anak keturunannyalah yang membunuh ayah dan ibu "
Kata Lingga W isnu.
Kyahi Basaman menahan napas.
Mendadak tangannya menepuk tulisan berukir itu.
Kena tenaga saktinya, tembok itu lantas ront ok berguguran.
Ia jad i terkejut kembali.
Pada saat itu, ia mendengar langkah ringan.
Tatkala menoleh, ia melihat dua orang berpakaian jubah pendeta.
Usia dua pendeta itu sebaya dengan usia Podang Wilis dan T awangalun.
Kira-kira hampir mencapai umur limapuluh tahun.
Dengan pandang tajam mereka mengawaskan rontoknya tembok yang berukir.
Sejenak kemudian, mereka berputarbadan dan berjalan dengan cepat.
Melihat gerakannya yang gesit, tahulah Kyahi Basaman bahw a mereka telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Segera Kyahi Basaman menduga bahwa mereka berdua mungkin pula dua utusan dari Argapura yang diperint ahkan menyambut kedatangannya turun gunung.
Pada jaman mudanya, pernah sekali ia diajak gurunya mengunjungi pertapaan Argapura dan padepokan Parwati.
Maksud kunjungan itu untuk memperkenalkan asal-usul ilmu sakti Brahmandaprana yang terpecah menjadi tiga aliran.
Sekarang ia berada di Gunung Cakrabuwana untuk yang kedua kalinya dengan ditemani seorang anak kecil.
Sudah barang tentu, sekalian anak murid Anung Danudibrata tidak mengenalnya.
Begitu pula Kyahi Basaman.
Itulah sebabnya, begitu melihat munculnya dua orang pendekar yang mengenakan pakaian pendeta, segera Kyahi Basaman t ergerak hatinya untuk menemui.
Dengan membimbing tangan Lingga W isnu, ia mengejar.
Tetapi dua orang pendeta itu sudah berada duapuluh langkah didepannya dengan berlari kencang.
'Saudara ! Berhenti dahulu! Ingin aku berbicara denganmu."
Teriak Kyahi Basaman.
Hebat suara orang tua itu.
Sama sekali tiada nampak urat-urat lehernya.
Namun suaranya keras bagaikan genta seolah-olah menggetarkan pinggang gunung.
Kedua pendeta itu kaget.
Mereka berhenti dengan mendadak.
Lalu berputar mengamat-amati Kyahi Basaman yang berperawakan sedang, berambut dan berjenggot putih serta berwajah segar-bugar.
Dia selalu bersenyum ramah.
Akan tetapi melihat pakaiannya yang kotor dan terbuat dari bahan kasar, mereka jadi berbimbang-bimbang dan akhirnya yang berdiri disebelah kiri membuka mulutnya .
"Sebenarnya siapakah tuan?"
"Tolong sampaikan kepada rekan Anung Danubrata, bahw a aku Kyahi Basaman anak keturunan Resi Aristi, datang hendak menghadap."
Mendengar kata-kata Kyahi Basaman kmbli lagi mereka terkejut.
Benarkah orang tua itu ahliwaris kaum Aristi yang kabamya bermukim di atas Gunung Lawu? Mengapa orangnya begini kotor dan datang tanpa pengawal ? Peribadi Kyahi Basaman manang terlalu sederhana.
Kecuali itu, ia seorang petapa.
Ia tak begitu senang pada semua tata-cara yang berlebih-lebihan.
Ia memandangnya tak lebih seperti badut-badut.
Itulah sebabnya, pakaian yang di kenakan terlalu sederhana bagi seorang yang berkedudukan seperti dia.
Alangkah jauh bedanya dengan pendekar Anung Danudibrata yang memegang tata-cara lahiriah sangat keras.
Boleh dikatakan ia melangkah sejengkal, dibelakang dan di sampingnya berdiri para pengiringnya.
Sedangkan Kyahi Basaman yang melakukan perjalanan begitu jauh, hanya disertai seorang anak kecil.
Lantaran demikian, watak sederhana serta pekertinya yang mengarah-arah seorang pertapa, membuat mereka menjuluki dengan sebutan Kyahi.
"Kyahi Basaman adalah seorang yang memegang panji-panji kebesaran Resi Aristi."
Kata pendeta itu.
"Apakah tuan benar-benar Kyahi Basaman?"
"Benar,"
Sahut Kyahi Basaman dengan w ajah gembira.
"Akulah orangnya. Benar-benar tulen, tanggung tidak palsu ..."
Jenaka jawaban Kyahi Basaman. Justeru demikian, membuat hati dua pendeta itu makin curiga. Masakan seorang pemimpin aliran Aristi begitu bercanda sehingga mengurangi kewibawaannya ? Menimbang demikian, mereka menegas.
"Apakah tuan tidak... tidak bermain gila dihadapanku?"
"Ah! Saudara t idak percaya? Apanya sih kehebatannya Kyahi Basaman, sehingga kemungkinan besar ada seorang yang memalsu dirinya?"
Sahut Kyahi Basaman, dengan tertawa.
Kedua pendeta itu saling pandang.
Pikir mereka, seumpama dia memang benar Kyahi Basaman, apakah maksud kedatangannya? Hubungan antara aliran Ugrasawa dan Aristi semenjak dahulu renggang bagaikan bermusuhan.
Kemudian terjadilah peristiwa Udayana salah seorang anak murid orang tua ini.
Apakah tidak mungkin kedatangannya hendak membuat perhitungan? Berpikir demikian, mereka berdua lantas memberi isyarat.
Segera mereka berputar dan memanjangkan langkahnya.
Dan menyaksikan hal itu Kyahi Basaman terheran-heran.
"Eh, kenapa mereka lari ? Apakah mereka meragukan diriku ? "
Memikir demikian, ia segera mengejar dengan membimbing tangan Lingga W isnu. Dalam sekejab mata saja, mereka berdua sudah terlampaui.
"Saudara ! Mengapa kalian menjauhi aku? '' Kedua pendeta itu mati kutu. Melihat gerakan orang tua itu yang gesit luar biasa, hati mereka bercekat. Sekarang mereka akin benar-benar, bahwa orang itu adalah Kyahi Basaman. Cepat mereka melompat kesamping sambil membentak .
"Kau kemari mau ?"
"Apakah kalian anak murid rekan Anung Danudibrata?"
Tanya Kyahi Basaman dengan suara manis sekali.
"Kalau benar, apakah kehendakmu?!"
Sahut yang berdiri disebelah kanan dengan suara tawar.
"Aku adalah sahabat rekan Anung Danudibrata. Nah, bawalah aku menghadap .
"
"Hm ..."
Dengus mereka.
"Kalau kau mempunyai keberanian, menghadaplah sendiri ! "
Berbareng dengan perkataan itu, mereka lalu menggerakkan tangannya seperti saling berjanji.
Terpaksalah Kyahi Basaman mengelak sedikit.
Diluar dugaan, begitu pukulan mereka kena terelak, tiba-tiba berbalik menggencet dari samping.
Hebat daya pukulan mereka, Lingga W isnu yang berada tak jauh dari mereka, kena dipentalkan mundur beberapa langkah.
Kyahi Basaman menyesal menyaksikan pekerti mereka.
sebab mereka melepaskan pukulan begitu jahat, sedangkan pakaian yang dikenakan adalah pakaian pendeta.
Benar-benar tidak sesuai dan seirama.
Mereka agak masgul, Kyahi Basaman tak sudi berkelit lagi.
Ia mengangkat kedua tangannya.
Dan suatu benturan keras tak dapat dielakkan lag i.
Dan kedua pendeta itu berteriak kesakitan.
Mereka terhajar tenaga pukulannya sendiri yang membalik.
Pergelangan tangannya lantas saja men jadi bengkak.
Kedua pendeta itu sudah berlatih menghimpun tenaga sakti ilmu Brahmandaprana selama tigapuluh t ahun lebih.
Meskipun demikian, dalam satu gebrakan saja mereka terluka.
Keruan saja mereka kaget bukan kepalang.
Pikir mereka.
'Ah, Benar-benar Kyahi Basaman dia.
Kalau bukan, mustahil d ia b isa menangkis pukulanku dengan berbareng."
Justeru berpikir demikian, mendadak saja timbul ah rasa bersaing didalam dirinya.
"Coba, bagus mana bagian yang diwarisi Resi Ugrasawa dan bagian yang berada di t angan Resi Aristi."
Katanya didalam hati mereka.
Setelah berkeputusan demikian, sambil berseru mereka menendang dada Kyahi Basaman.
Ilmu sakti Brahmandaprana yang berada ditangan Ugrasawa terkenal ilmu pukulannya.
Karena itu, anakanak muridnya mahir benar dalam mengolah tendangan kaki dan pukulan tangan.
Sebaliknya Kyahi Basaman yang sama sekali t idak berniat jahat, heran menyaksikan sepak terjang mereka.
Ia kenal sejarah Resi Ugrasawa, cikal bakal aliran yang bermukim diatas gunung Cakrabuwana.
Dia bukan seorang penjahat atau seorang murid yang murtad.
Perpecahan itu terjadi karena soal asmara semata-mata.
Karena prihatin Resi Ugrasawa itu justru bertapa pada akhir hidupnya.
Dia berharap dapat lahir kembali untuk bisa memperisteri titisan Parwati.
Itulah sebabnya pula, maka anak muridnya rata-rata beribadah pula.
Maka ia heran, mengapa dua pendeta itu justru berangasan dan mudah sekali meluap hawa amarahnya.
Melihat gerakan tendangan mereka, Kyahi Basaman tetap berbesar hati.
Kembali ia mengerahkan tenaga saktinya.
Dan kembali lagi, dua pendeta itu mengerang kesakitan apabila kedua kakinya mendarat pada sasarannya.
"Apakah orang ini keturunan lblis? Mengapa t ubuhnya tak mempan kena tendanganku ? "
Teriak mereka di dalam hati . Menyaksikan betapa eyang gurunya kena gebuk dan tendang namun tidak mau membalas, Lingga W isnu jadi naik darah. Terus saja ia maju beberapa langkah. Kemudian membentak .
"Hai pendeta keparat ! Kenapa kalian memukuli eyangku?"
"Lingga! Tutuplah mulut mu!"
Kata Kyahi Basaman.
"Hayo, bersembahlah pada paman pamanmu itu!"
Tercengang Lingga W isnu mendengar perint ah eyangnya.
Alangkah sabarnya.
Bocah itu jadi terlongonglongong.
Namun ia patuh juga, meskipun kepalanya penuh dengan teka teki.
Segeraia memperbaiki diri dan hendak membungkuk memberi hormat.
Sekonyong-konyong dua pendeta itu mencabut pedangnya yang tersimpan dibalik jubahnya.
Lalu menikam dada Kyahi Basaman.
Diluar dugaan yang satu menyabetkan pedangnya kearah kaki L ingga W isnu yang sedang bergerak hendak berlutut.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benar-benar mengejutkan! o))0ooodwooo0((o
Jilid 2 Kyahi Basaman tidak begitu mempedulikan tikaman pedang yang diarahkan kepadanya.
k tetapi begitu melihat berkelebatnya pedang yang satunya menyabet kearah kaki Lingga W isnu, hatinya tercekat.
Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L Lembah Nirmala -- Khu Lung Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id