Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 20


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 20



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   "Pedang? Pedang apa?"

   Sekar Prabasini tercengang. Lingga W isnu merandek. Kemudian memperlihatkan tongkatnya. Katanya.

   "Lihat! Sepintas lalu hanya tongkat belaka. Tapi sew aktu kuamat-amati, ternyata terdapat lapisan didalamnya. Hal ini baru kuketahui kemarin siang tatkala aku menghunusnya ."

   "Apakah kau menghunus pedang?"

   Sekar Prabasini tertarik.

   "Benar. Lihat!"

   Sahut Lingga W isnu seraya menarik. Dan benar saja. Ia menarik sebilah pedang pendek. Tapi pedang itu guram. Sama sekali tak menarik. Namun di dalam hati Sekar Prabasini tahu bahwa pedang itu niscaya pe dang pusaka.

   "Kau ambillah! Inilah milikmu,"

   Kata Lingga W isnu lagi.

   "Milikku? Akh, tidak, kau yang menemukan, maka engkaulah pemiliknya. Lagipula, kenapa diantara kita masih ada hakku hakmu?"

   Ujar Sekar Prabasini. Terharu hati Lingga W isnu mendengar pernyataan Sekar Prabasini, sekarang tahulah dia, bahwa dirinya tidak lagi dianggap insan asing oleh gadis itu. Maka berkatalah dia.

   "Adik! Tanpa pertolongan ayahmu, tak mungkin aku menemukan goa itu. Akupun sudah memperoleh bagianku. Itulah tongkat mustika yang berisikan segulung peta perang. Kemudian sebuah kitab himpunan ilmu sakti. Karena itu, pedang ini adalah milikmu. Aku tak mau serakah hingga lupa daratan. Lagi pula, pernah aku menerima pedang w arisan ayahmu yang t iada t aranya di dunia ini. Kau terima lah! Bila kau menganggap pedang ini tetap milikku, maka sebagai pemilik aku menghadiahkan kepadamu. Bagaimana?"

   Sekar Prabasini merasa terdesak, maka ia menerima pedang itu dengan berdiam diri. Ia mengamat-amati sebentar, lalu berkata setengah berbisik.

   "Apakah kebagusan pedang ini, sebenarnya aku tak tahu. Sarungnyapun tiada. Masakan harus kuselipkan saja dip inggang semacam belati panjang."

   Lingga W isnu tertawa. Sahutnya.

   "Untuk sementara biarlah demikian."

   Sekar Prabasin i tertawa, lalu menyelipkan pedang pendek itu dipinggangnya. Tiba-tiba seperti teringat sesuatu.

   "Hai! Apa nama pedang ini?"

   "Akh ya! Belum sempat aku memeriksa pamornya. Mari kita periksa!"

   Seru Lingga W isnu. Tatkala itu matahari telah bersinar terang benderang. Segera mereka memeriksa pamor pedang. Remangremang mereka melihat sebuah lukisan seekor naga mencengkeram dunia. Inilah pamor yang belum pernah mereka lihat.

   "Pernahkah kau melihat pedang berpamor? Lingga W isnu mencoba minta pendapat gadisnya.

   "Kata orang, memang terdapat juga,.akan tetapi jarang sekali,"

   Sahut Sekar Prabasin i.

   "Agaknya pedang ini berkeramat seperti sebilah keris pusaka."

   "Pedang ini berpamor seekor naga. Apakah bukan Nagasasra?"

   "Entahlah. Menurut kabar, pamor Nagasasra hanya pant as disematkan pada sebilah keris."

   Sekar Prabasini mengerinyutkan dahinya.

   "Eh, sebentar! Aku pernah mendengar dongeng tentang kepahlawanan Dewa Wisnu tatkala membunuh raksasa sakti bernama Kasjipu. Dewa syiwa dan Dewa Brahmana dikalahkan maka Dew a W isnu merubah diri menjadi singa dengan nama Bathara Narasinga. Dan matilah raksasa K asjipu."

   "Apa hubungannya dengan pamor pedang ini?"

   Lingga W isnu menyela.

   "Menurut cerita, tersebutlah Mpu bernama Hanjali. Dia hidup di atas samudra. Unt uk memperingati kepahlawanan Dewa W isnu, ia membuat dua bilah senjata sakti. Yang pertama. sebatang keris. Y ang kedua sebatang pedang. Keris itu diberi pamor seekor naga tegak berdiri. Ia menamakan keris Nagasasra. Pedang itupun diberi pamor seekor naga pula. Bedanya mencengkeram dunia. Ia menamakan Naga Sanggabuwana."

   Lingga W isnu berenung sebentar. Kemudian memutuskan.

   "Mari kita jenguk goa harta karun. Barangkali kita memperoleh keterangan. Lagi pula, bukankah goa itu yang harus kita selamatkan?"

   Sekar Prabasini mengangguk.

   Dan mereka berdua segra melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.

   Mereka memutar ke arah selatan.

   Lalu mendaki ketinggian.

   Maksudnya hendak mengintai dari atas.

   Dengan demikian t idak semata-mata menghampiri goa.

   Sebab hal itu akan menarik perhatian lawan.

   Mereka berlega hati, karena goa ternyata tidak terusik.

   Hanya saja mereka terkejut tatkala melihat padepokan kakek Argajati.

   Semua bangunan hancur musna.

   Lingga W isnu bergerak mendekati padepokan.

   Tibatiba telinganya yang kini menjadi tajam luar biasa mendengar suatu gerak.

   Ia merandak seraya berseru.

   "Awas! Kita sudah terkepung!"

   Sekar Prabasin i terperanjat. Ia meloncat kesamping beraling pada sebatang pohon besar. Tepat pada saat itu, berdesinglah sebutir peluru. Dan terdengarlah suara Musafig iloh.

   "Hai saudara Lingga! Kalau kau tidak menyerahkan harta itu, tinggalkan kelalamu disini!"

   Berbareng dengan gaung suaranya, muncul ah puluhan orang. Mereka bersenjata tajam dan tampaklah sebagian besar terdiri dari kaum pendekar. Melihat hal itu, Lingga W isnu berseru kepada Sekar Prabasini.

   "Adik! Apa yang akan terjadi janganlah kau keluar dari tempatmu. Aku masih mampu melawan mereka semua."

   Setelah berseru demikian, ia meloncat ketengah lapangan dan menjawab kata-kata Musafigiloh.

   "Dimana Genggong Basuki?"

   Musafig iloh t ertawa. Sahutnya.

   "Dia siap menembak tengkukmu. Karena itu, serahkan harta itu."

   Lingga W isnu tak menjawab.

   Ia menjiratkan pandang kepada wajah lawannya yang kini berada sepuluh langkah disekelilingnya.

   Tiba tiba tangannya bergerak.

   Tiga orang terpental diudara dan jatuh berjungkir balik di atas tanah.

   Itulah suatu peristiwa di luar dugaan siapapun.

   Musafig iloh boleh membanggakan otaknya yang cerdas dan cerdik, akan tetapi sama sekali tak menduga bahwa ilmu sakti Lingga W isnu demikian hebatnya sehingga mampu memukul kawan-kawannya dari jarak jauh.

   Seketika itu juga, ia seperti tersadar.

   Sambil melompat ia berteriak nyaring.

   "Awas! Serbu!"

   Akan tetapi Lingga W isnu kembali menyerang.

   Dan kembali lagi terjadi korban.

   Suara bergedukan terdengar diant ara kesibukan mereka.

   Selanjutnya pertempuran terjadi dengan berserabutan.

   Lingga W isnu dikerubut lebih dari seratus orang.

   Namun ia tetap gagah dan lincah.

   Kemana saja pedangnya bergerak, selalu membawa korban.

   Musafig iloh lantas berteriak penasaran .

   "Semua mundur! Jangan terlalu dekat!"

   Memang, pertempuran seperti sebentar tadi, akan membawa korban banyak.

   Sebab mereka kehilangan sasaran karena berdesak desak.

   Sekarang mereka mundur.

   Dengan demikian gerakan Lingga W isnu kelihatan jelas.

   Sekar Prabasini menyaksikan pertempuran itu dari balik pohon.

   Ia melihat pemuda pujaannya berdiri gagah bagaikan Dewa W isnu.

   Dengan gesit pedangnya berkelebat dan empat orang tahu-tahu menggeletak di atas tanah.

   Seorang laki-laki bertubuh kekar mengayunkan goloknya.

   Terdengar seruan peringatan kawan nya .

   "Awas!"

   Lingga W isnu terkejut.

   Ia lagi menghadapi tujuh orang yang maju sekaligus.

   Kemudian mendengar sambaran golok yang membawa tenaga besar.

   Tanpa berpikir lagi, ia mengangkat tangan kirinya.

   Krak! Golok orang itu dapat dipatahkan Bahkan ujungnya terpelanting menikam perut.

   Dengan sekali menjerit, orang itu terjungkal di atas t anah.

   Menyaksikan kematian orang tua itu anak buahnya marah tak kepalang.

   Dengan serentak mereka maju berbareng.

   Lingga W isnu melayan i dengan gagah perkasa.

   Tiba-tiba terdengarlah suatu letusan beberapa senjata.

   Lingga W isnu mengerang.

   Kedua tangannya bergerak cepat dan empat orang mati lagi.

   Sekar Prabasini yang menyaksikan Lingga W isnu terluka kena peluru, tak dapat lagi menahan diri.

   Ia hendak segera memasuki gelanggang.

   Tapi sekonyongkonyong ia melihat suatu kejadian aneh.

   Pada saat itu berkelebatiah sesosok bayangan berjubah abu-abu.

   Dengan sekali t endang, belasan orang t erpental mundur.

   Lalu melompat menerkam Lingga W isnu.

   Pemuda itu hendak mengadakan perlawanan.

   Tapi lengannya rupanya kena tembus peluru sehingga gerakannya t ak leluasa lagi.

   Tahu-tahu ia kena disambar dan dibawa terbang keluar kalangan.

   "Hei, berhenti!"

   Sekar Prabasini mengejar.

   Tentu saja, ia tidak melint asi daerah pertempuran.

   Akan tetapi mengambil jalan berput ar yang menyekat arah lari si jubah abu-abu.

   Diluar dugaan, orang itu cepat sekali gerakannya tak ubah siluman.

   Sebentar saja, tubuhnya teraling deret pepohonan.

   Sekar Prabasini tak berputus asa.

   Ia t erus mengejar.

   Melihat orang berjubah abu-abu itu mendaki keatas, ia terus mengejar dengan menghunus pedang Naga Sanggabuwana.

   Rimba raya makin lama makin padat.

   Teriakan para serdadu t ak terdengar lagi.

   Yang terdengar hanya gaung suara angin menumbuk jurang-jurang dalam.

   W aktu itu matahari hamp ir berada d i titik tengah.

   Dan tatkala ma tahari mulai condong ke barat.

   Sekar Prabasini tiba-tiba saja berada ditengah lapangan terbuka terselimut awan putih yang berarak-arak t ak henti-hentinya.

   Sekar Prabasin i celingukan.

   Penglihatannya tak kuasa menembus duapuluh langkah didepannya.

   Dan hawa dingin mulai terasa meresapi t ubuhnya.

   Si jubah abu-abu tiada nampak lagi dalam penglihatannya.

   Kemana arah larinya, hanya set an yang tahu.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
W alaupun demikian.

   Sekar Prabasin i berkeputusan akan mencari t erus sampai ketemu.

   Sekiranya harus mati, hatinya ikhlas.

   Sekonyong-konyong ia mendengar bunyi langkah.

   Ia mendekam sambil menajamkan penglihatan.

   Beberapa saat kemudian ia melihat perawakan seorang laki-laki yang berjalan dengan membawa tongkat.

   Rambutnya terurai panjang dan hampir tak mengenakan baju.

   Sekar Prabasin i heran.

   Pikirnya di dalam hati.

   "Orang ini pasti bukan sembarangan. Hawa begitu dingin, namun ia hampir tak mengenakan baju. Kalau bukan orang berjubah abu-abu yang kini menyamar untuk mengelabui mataku? Akh, benar begitu! Lingga terluka, darahnya mungkin membasahi jubahnya. Karena itu, dia t erpaksa membuka jubahnya. Dengan pikiran itu, ia hendak meloncat menghadang. Tepat pada saat itu, ia mendengar orang itu bergumam.

   "Kalau memang sudah jodoh. Siapakah yang tersesat diwilayah begini? Anak dara, kau keluarlah""

   Sekar Prabasini t ertegun Ia kagum bukan main.

   Orang itu tidak hanya melihat diri nya, tapipun jenis kelaminnya.

   Tapi berbareng dengan perasaannya itu, rasa curiganya naik pula.

   Kalau tidak pernah melihat, betapa mungkin dapat mengetahui dirinya seorang gadis? Kata-katanya pasti pula.

   Maka dengan pikiran itu, ia melompat dan menyahut dengan suara membentak.

   "Kemana dia kau bawa?"

   Orang itu ternganga. Dengan menggaruk-garuk kepala, dia berkata.

   "Siapa yang kubawa?"

   "Jangan berlagak dungu. Kalau tidak maka ujung pedang inilah yang akan berbicara."

   Kembali lagi orang itu ternganga-nganga keheranan. Lalu tersenyum lebar. Sahutnya.

   "Kau berbicara mengenai siapa? Kenapa kau menuduh aku?"

   "Bagaimana kau bisa tahu, bahwa aku seorang gadis? Kalau belum pernah melihat, tak mungkin!"

   Ujar Sekar Prabasin i sengit.

   "Kau tadi sudah melihat, sewaktu kukejar dari belakang.

   "

   "Setiap orang pasti tahu, bahwa mengejar seseorang pasti dari belakang. Masakan dari depan? orang tua itu mencoba melucu.

   "Diam! Tak sempat aku bergurau denganmu"

   Bentak Sekar Prabasini. Orang tua itu kini tertawa gelak. Katanya seperti kepada diri sendiri.

   "Benar-benar cocok! W ataknya cocok! Perangainya cocok! Lagak lagunya cocok!"

   "Siapa yang cocok?"

   Sekar Prabasini menegas.

   Sekarang gadis itu berhati panas ini, ganti kena dilagui orang itu.

   Orang itu tertawa terbahak-bahak sampai kedua pundaknya tergoncang.

   Ia merasa lucu sekali menyaksikan peribadi Sekar Prabasini yang gampang kena pengaruh.

   Setelah itu ia berkata.

   "W ilayah ini tak pernah terinjak kaki manusia semenjak puluhan tahun yang lalu. Tiba-tiba aku mendengar suatu pernapasan. Jelas sekali, itulah pernapasan seorang insan. Setelah kuamat-amati, tata napasmu tipis. Tak ragu kau pasti seorang wanita yang masih suci bersih. Kalau bukan, niscayalah kau seorang banci. Nah, itulah alasannya kenapa aku dapat menegormu. Apakah yang aneh?"

   Sekarang, Sekar Prabasin i merasa tertarik. Rasa curiganya hilang sebagian. Namun tak mau ia kalah gertak. Sahutnya.

   "Baik. Memang kau berkepandaian tinggi. T api jangan harap aku bisa kau gertak. Serahkan dia!"

   "Siapa yang harus kuserahkan? Coba jelaskan kepadaku! Mungkin aku bisa menolongmu."

   Kata orang itu.

   "Dan aku segera memberi keterangan t entang istilah cocok tadi kepadamu. Bukankah kau tertarik apa sebab aku mengulangi kata-kata cocok untukmu?"

   Sekar Prabasini mengamat-amati paras orang itu.

   Mukanya sudah berkerinyut dan rambutnya sudah putih pula.

   Orang setua dia, pastilah tidak berbohong.

   Apalagi dia berada di atas gunung yang sunyi.

   Rupanya sudah hidup berpuluh tahun pula.

   Maka berkatalah ia.

   "Temanku dibawa lari seseorang yang memakai pakaian abu-abu. Apakah bukan engkau?"

   Orang itu tertegun sejenak. Lalu tertawa perlahan sambil memanggut-manggut. Meng- guman.

   "Nah, apa kataku. Kalau Tuhan sudah memberinya jodoh, jalan itu pasti ada."

   Lalu berkata dengan tegas.

   "Anak, yang jelas orang yang mengenakan jubah abuabu itu bukan aku."

   "Kalau bukan engkau, siapa lagi yang berkeliaran disin i?"

   "Masih ada dua orang, paling sedikit."

   Sekar Prabasini terperanjat. Teringat kisah semalam, hatinya lantas sibuk menduga-duga. Tak terasa ia menyisipkan pedangnya, kemudian mint a ketegasan lagi.

   "Apakah kau kenal dia?"

   Orang itu memanggut. Jawabnya .

   "Benar. Dia termasuk paman guruku."

   "Akh, kalau begitu, apakah engkau yang bernama Eyang Kemasan?"

   "Hai! Bagaimana kau tahu?"

   Orang t ua itu terperanjat hingga ternganga. Sekar Prabasini bergembira. Terus saja ia membungkuk hormat sambil berkata.

   "Kalau begitu maafkan kelancanganku. Tak patut aku menyebut eyang dengan engkau. Maafkan kesalahanku."

   Orang tua itu yang memang benar bernama Kemasan, masih belum hilang juga rasa herannya. Sekian puluh tahun lamanya ia mengikut i gurunya dan baru hari itu, ia mendengar namanya disebut orang luar.

   "Bagaimana kau tahu, aku bernama Kemasan? Anak, kau jawablah pertanyaanku ini mungkin aku bisa menolongmu lebih banyak lagi."

   "Eyangku yang memberi keterangan. Eyang Argajati yang kini menjadi pemilik pertapaan Argajati,"

   Jawab Sekar Prabasin i dengan hati senang.

   "Semalam, dia mengisahkan tentang riwayat hidup Eyang Rara W indu. Beliau pernah ditolong guru eyang. Lalu lenyap dari percaturan manusia setelah hidup berdamai dengan eyang Jaganala."

   "Bagus! Bagus! Orang yang mengenakan jubah abuabu itulah Jaganala. Dialah paman guruku!"

   Seru Kemasan.

   "Apakah beliau masih hidup?"

   Sekar Prabasini tak percaya.

   "Apakah umur manusia bisa melebihi seratus tahun?"

   Hajar Kemasan tertawa perlahan. Sahutnya.

   "Lima atau tujuh abad yang lalu, manusia hidup sampai duaratus tahun. T api lambat laun makin menjadi pendek. Mungkin satu atau dua abad lagi, manusia sukar mencapai usia tujuhpuluh tahun."

   Mendengar keterangan Hajar Semasan, maka Sekar Prabasin i yang masih muda belia, menjadi kekanakkanakan. Serunya kagum.

   "Apakah eyang Jaganala mempunyai ilmu sakti memperpanjang usia?"

   "Kau tanyakan sendiri!"

   Ujar Hajar Kemasan.

   "Usiaku sendiri sudah melewati seratus tahun. Kenapa tak kau tak tanyakan kepadaku?"

   Lambat laun Sekar Prabasini senang berbicara dengan kakek itu. Hajar Kemasan sebenarnya berkesan demikian pula. Kata Sekar Prabasini.

   "Y a, bagaimana seseorang dapat mencapai usia sepanjang itu?"

   "Apakah kau senang berumur panjang?"

   "Setiap orang niscaya berkeinginan demikian. Apalagi bila h idupnya sejahtera."

   "Benar."

   Hajar Kemasan tertawa.

   "T api kau lebih cocok bila bertemu dengan Rara W indu."

   "Hai! Apakah beliau pun masih hidup?"

   Sekar Prabasini tercengang. Jakar Lefasam mengangguk. Katanya meyakinkan .

   "Masih segar bugar seperti ibumu sendiri. Bila saja bertemu dengan dia, niscaya akan cocok. Itulah sebabnya berulangkali aku berkata cocok."

   Kata Hajar Kemasan menerangkan teka-tekinya t anpa dimint a.

   "Kenapa begitu?"

   Lagi-lagi Sekar Prabasini kagum. Ia seperti mendengar sebuah dongeng tentang bidadari menjadi manusia yang h idup semenjak ratusan tahun yang lalu.

   "Puluhan t ahun sudah, ia mengharapkan memperoleh seorang murid. Seorang pewaris ilmu saktinya. Bila dia berkesan terhadapmu, maka rezekimu melebihi seorang raja. Didunia in i, siapa lagi'yang dapat melawanmu."

   Sekar Prabasin i t ahu, bahwa kata-kata Hajar Kemasan tidak hanya terjadi karena hendak membesarkan hatinya atau sekedar untuk penghibur. Maka dengan sungguhsungguh ia mengucap .

   "Sekalipun aku berkemauan demikian, akan tetapi tiada kemampuanku untuk menjadi muridnya ."

   "Akh, janganlah berkata demikian. Kulihat kau berbakat dan cocok dengan watak dan perangai Rara W indu. Niscaya kau akan berhasil mewarisi. Kenapa kau berkata begitu, anak? Hei, siapa namamu? Kau kenal namaku sebaliknya aku tidak."

   Sekar Prabasini tertawa. Menjawab.

   "Sekar Prabasini."

   "Bagus nama itu! Kaupun seorang dara yang berhati sederhana!"

   Seru Hajar Kemasan.

   Tergetar hati Sekar Prabasini mendengar pujian itu.

   Dialah orang ketiga yang menganggap dirinya manusia baik.

   Yang pertama ibu kandungnya.

   Kedua Lingga W isnu.

   Dan yang ketiga Hajar Kemasan.

   Tak mengherankan, hatinya lantas saja runt uh dan bersedia tunduk.

   Setelah diam sejenak, ia menyahut dengan nada manja .

   "T api semua orang mengatakan aku berandalan."

   Hajar Kemasan tertawa lebar. Katanya.

   "Andaikata di dunia ini tiada Rara W indu, aku berkenan mengambilmu sebagai murid. Biasanya, seseorang yang berkeinginan menjadi murid akan berusaha membuat dirinya meyakinkan akan kemampuannya. Akan tetapi kau tadi berkata, bahwa dirimu merasa tak berkemampuan. Itulah tanda kesederhanaanmu dan kejujuran. Dan biasanya rasa jujur sering terdapat pada diri seorang yang disebut berandalan ."

   Sekar Prabasini merunt uhkan diri. Dia bersembah. Berkata.

   "Akan tetapi dapatkah aku bertemu dengan beliau?"

   "Kau berdirilah! T anah diatas gunung ini sangat dingin dan jahat!"

   Hajar Kemasan mengulurkan tangannya. Dan suatu tenaga halus membangkitkan tubuh Sekar Prabasin i. Katanya lagi .

   "Kau dengarkan perkataanku. Memang tiada mudah bisa bertemu dengan dia. Akupun jarang sekali d itemui. Akan tetapi bila jodoh itu tiba, semuanya seolah-olah memberi jalan kepadamu. Kau terimalah pengikat rambutku. Kau perlihatkan kepadanya. Niscaya ia akan memperhatikan dirimu!"

   Sekar Prabasini menerima pengikat rambut Hajar Kemasan. Tatkala hendak membuka mulutnya orang t ua itu meneruskan perkataannya.

   "Bila kau bertemu dengan dia, panggilah sebagai bunda. Dia pasti senang. Sebab pernah dia bercita-cita ingin menjadi seorang ibu. Tentang orang yang mengenakan jubah abu abu adalah sahabatnya. Dari dia, semuanya akan kau peroleh. 'Kaupun harus menghormati paman guruku itu seperti dia. Bila kau sudah berhasil.mewarisi ilmu kepandaiannya, berjanjilah kepadaku bahwa engkau akan mengamalkan bagi kepentingan umum. Nah, berangkatlah anakku!"

   Terharu "Eyang! Semua kehendak serta harapan eyang, akan kulaksanakan. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan hati eyang di kemudian hari."

   Sahut Sekar Prabasin i.

   Setelah berkata demikian, ia meneruskan perjalanannya dengan petunjuk-petunjuk Hajar Kemasan.

   0odwo0 1.

   ILMU SAKTI GUNTUR DAN BADAI.

   PERTAPAAN RARA W INDU berada diatas laut pasir.

   Laut pasir yang berada dipuncak gunung Lawu, dibentengi dua buah kepundan.

   Di sana terdapat sebuah makam.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Menurut cerita penduduk, itulah makam Putera Mahkota Kerajaan Majapah it penghabisan.

   Dia melarikan diri dan emoh bekerja sama dengan Tentara Islam (tentara Demak) dan bermukim di atas gunung Lawu.

   Dikemudian hari d ia d isebut sebagai Sunan Lawu, dan meninggal di atas gunung itu.

   Rara W indu bermukim didekat makam itu.

   Ia mendirikan sebuah rumah dari batu.

   Tentu saja bentuknya tidak seperti rumah lumrah.

   Barangkali lebih tepat bila disebut kamar atau rumah petak.

   Karena letaknya berada di atas gunung bisa dibayangkan betapa dinginnya.

   Hampir sepanjang hari dan malam tertutup embun awan dan hujan gerimis tiada hentinya.

   Sebelum fajar hari menyingsing, ia keluar rumah untuk berlatih mematangkan ilmunya.

   Kemudian bersiap-siap berburu binatang.

   Biasanya ia tiba dirumah sebelum siang hari tiba.

   Dan kembali lagi, ia memasuki cara hidupnya yang sangat sederhana.

   Menyekap diri sepanjang malam, setelah berlati lagi di petang hari.

   Demikianlah, pada fajar hari itu, ia membuka pintunya.

   Ia heran tatkala melihat tubuh seseorang menelungkup di atas tanah.

   Itulah Sekar Prabasini yang tak ingat dirinya lagi semenjak semalam.

   Siapa dia? Kenapa langkahnya sama sekali tak terdengar olehnya? Biasanya, pendengarannya sangat tajam.

   Dalam mimpipun ia masih sanggup menangkap bunyi suara sesuatu yang bergerak di sekitar rumahnya.

   Meskipun masih acak-acakan, Sekar Prabasini telah mewariskan ilmu sakti ayahnya lewat Lingga W isnu.

   Itulah ilmu sakti Bondan Sejiwan yang pernah menggemparkan jagad belasan tahun yang lalu.

   Kecuali itu, di atas gunung sunyi senyap semenjak puluhan tahun yang lalu.

   Karena itu, tak pernah terlint as dalam benak Rara W indu bahwa pada suatu kali pertapaannya akan diinjak kaki manusia.

   Inilah sebabnya pula, Rara W indu tak mendengar langkah Sekar Prabasini.

   Atau memang atas kehendak Tuhan untuk membuat Rara W indu terbangun perhatiannya.

   Melihat tubuh Sekar Prabasini tertelungkup tak bergerak, Rara W indu membatalkan niatnya hendak berlatih.

   Tak perduli siapa dia, segera ia memapahnya dan dibawa masuk ke dalam rumah.

   Ia meletakkannya diatas t empat t idur yang berselimut tebal.

   Lalu membuat pendiangan api.

   Kebetulan sekali, api tak pernah padam didalam rumahnya.

   Maka ia tinggal menyalakan sebesarbesarnya.

   Oleh penerangan nyala api, dapat ia mengamat-amati wajah Sekar Prabasin i yang cant ik menggiurkan.

   Ia jadi teringat kepada kecantikan sendiri semasa mudanya.

   Karena itu, hatinya kian tertarik.

   Pikirnya didalam hati .

   "Y ang jelas, dia bukan anak bidadari atau keturunan peri (= jin perempuan yang cantik). Lalu, anak siapa sampai tersesat di sin i? Mustahil ia mempunyai masalah seperti diriku, sehingga aku perlu menjauhi dunia ramai."

   Untuk memudahkan penghangatan, ia menanggalkan pakaian Sekar Prabasin i yang basah. T iba-tiba ia melihat pengikat rambutnya. Ia terkejut dan tercengang. Serunya tertahan .

   "Hei, pengikat rambut Hajar Kemasan! Ah kalau begitu kedatangannya niscaya atas petunjuknya! "

   Seketika itu juga, hatinya penuh dengan teka-teki. Apa sebab Hajar Kemasan menyuruh gadis itu datang kepadanya. Selagi demikian, kembali lagi ia terkejut tatkala melihat pedang mustika. Kena cahaya api, pedang itu memantulkan cahaya kemilau.

   "Pedang bagus! Pasti bukan pedang sembarangan!"

   Ia membawa pedang itu keperdiangan agar memperoleh penerangan tajam. Namun, belum juga ia puas. Hatinya ragu-ragu, karena melihat sesuatu yang meragukan hatinya.

   "Ah, masakan benar pedang ..."

   Ia bergumam seorang diri.

   Kembali lagi ia menatap Sekar Prabasini yang masih belum memperoleh kesadarannya.

   Maka ia menyelimut inya dan dibawanya mendekati perdiangan api yang menyala besar.

   Setelah itu, ia lari keluar rumah dengan membawa pedang.

   Tatkala itu matahari mulai bersinar.

   Dan sinarnya tiba diatas gunung mendahului - sinar terang tanah.

   Ditengah lapang, ia bisa memeriksa pedang itu secermatnya.

   Sekarang ia baru percaya, bahwa penglihatannya tadi t ak salah.

   "Benar-benar pedang Naga Sanggabuwana. Bagaimana bisa berada ditangan gadis itu?"

   Ia heran bukan kepalang. Rara W indu tercengang beberapa saat lamanya. Karena hatinya belum yakin benar, ia berlari-larian menuju pondok Jaganala. Dengan mengacungkan pedang itu seperti kanak-kanak, dia berkata kepada Jaganala.

   "Kau kenal pedang pendek ini? Lihat! Bukankah pedang ini yang selalu membuat hatiku risau?"

   Rara W indu memperlihatkan pedang Naga Sanggabuwana. Dan Jaganala mengamat amati. Kena pantulan cahaya matahari, kedua matanya silau. Lalu bergumam seorang diri "Pedang Naga Sanggabuwana! Benar, ini pedang Naga Sanggabuwana. Dari mana kau peroleh?"

   Rara W indu gembira mendengar pengakuan itu. Segera berseru .

   "Usia pedang ini seumur sejarah manusia sendiri. Bukankah begitu? Inilah pedang pusaka dunia yang t iada keduanya. Dan pedang ini berada ditangan anak itu."

   "Anak siapa?"

   Jaganala heran tak kepalang.

   "Coba ceritakan padaku! Pasti engkau mengalami suatu peristiwa yang hebat."

   Kata-kata Jaganala menyadarkan Rara W indu.

   Bukankah semenjak tadi dia belum menceritakan peristiwanya karena terdesak oleh rasa gembira dan kagum? Maka sambil memperlihatkan pengikat rambut Hajar Kemasan, segera ia menceritakan asal-usul di ketemukan pedang itu.

   Ia menemukan seorang dara yang tertelungkup pingsan didepan rumahnya.

   "Kau maksudkan seorang gadis?"

   Jaganala menegas.

   "Kalau begitu niscaya ada hubungannya dengan bocah itu."

   "Bocah siapa?"

   Rara W indu berganti mint a keterangan.

   "Seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Semula kukira dia tak mampu menghadapi lawannya begitu banyak Setelah kulihat ia kena sambaran peluru, segera dia kut olong. Kubawa dia kesebuah goa. Kuuji dia. Ternyata dia berkepandaian t inggi. Sebenarnya tak perlu kutolong. Dengan demikian, kaulah yang berbahagia. Kau sekarang mempunyai harapan, sedang aku belum. Tapi bagaimana pedang mustika itu dapat berada ditangan dara itu?"

   Rara W indu tak dapat menjawab. Setelah berdiam diri beberapa saat lamanya, akhirnya ia berkata .

   "Dalam hal in i ada suatu peristiwa yang berada diluar kekuasaan kita. Bukankah semua peristiwa dunia ada yang mendalangi? Paling baik, mari kita uji pedang ini. Bila benar pedang Naga Sanggabuwana, niscaya terdapat tanda-tandanya ..."

   Rara W indu mengajak Jaganala menghampiri sebuah telaga, sambil membawa pasu. Ia mengambil air kedalam pasu. Lalu memasukkan pedang pendek itu kedalamnya. Setelah itu ia mundur lima langkah sambil berkata.

   "Kita lihat dari sin i. Tajamkanlah penglihatanmu, agar tak kehilangan pengamatan."

   Mereka berdua kemudian meruntuhkan pandangnya kepasu yang berada lima langkah di depannya.

   T iba-tiba permukaan airnya menjadi cerah.

   Lalu berubah merah darah.

   Permukaannya mulai bergelombang.

   Dan warna merah itu berubah lagi.

   menjadi h ijau.

   Tepat pada saat itu, melesatlah segaris cahaya putih melencang keatas sejauh enam depa.

   Cahaya itu kemudian berlenggaklenggok tak ubah gerakan ular menyusur di jalan licin.

   Dan menyaksikan hal itu Rara W indu girang bukan kepalang.

   Setengah berjingkrak ia berseru.

   "Benar! Pedang Naga Sanggabuwana! Lihat cahaya putih itu! Mula-mula lencang. Kemudian berlenggok. Bayangkan saja, andaikata cahaia itu menikam seorang lawan. Itulah merupakan tikaman yang berbahaya. Kau ingat pula perubahan cahayanya tadi. Mula-mu la cemerlang, kemudian merah. Lalu hijau. Itulah suatu himpunan tenaga sakti. Himpunan tenaga sakti W asu Delapan. Menurut cerita, itulah cahaya gapura sorgaloka. Cahaya itu disebut Hasta Pradipt a. Artinya cahaya delapan. Cahaya itu bisa pecah menjadi delapan. Juga merupakan cahaya tunggal. Bila manunggal men jadi cahaya cemerlang. Mengandung kekuatan dahsyat tak terbayangkan." (Depa = dua belah tangan direntangkan. Buw ana = dunia).

   "Dan yang cahaya merah?"

   Jaganala mint a keterangan.

   "Itulah cahaya gelap. Artinya dapat di lepaskan, selagi lawan tak berjaga jaga. Sifatnya rahasia dan dapat dilepaskan dari jarak jauh. Dan tahu-tahu musuh sudah melontakkan darah. Ih, betapa mengerikan!"

   Jaganala kagum bukan main mendengar keterangan tentang kesaktian pedang Naga Sanggabuwana.

   Cahayanya yang lencang naik keangkasa seakan-akan sedang menyangga buwana benar-benar.

   Kini bahkan pecah berderaian se perti kembang api.

   Sungguh! Suatu cahaya pedang yang indah luar biasa."

   Tiba-tiba suatu pertanyaan timbul di dalam benak Jaganala. Kata pendekar itu.

   "Kau merendam pedang kedalam air untuk melihat cahayanya. Maksud air itu, adalah himpunan tenaga sakti, bukan?"

   "Masakan kau perlu bertanya demikian?"

   Rara W indu berkata.

   "Hal itu sudah jelas. Jika air satu pasu saja b isa membersitkan cahayanya, maka bila saja himpunan tenaga pemiliknya maha dahsyat sudah dapat dibayang kan betapa hebatnya ..."

   Jaganala menggelenglan kepalanya. oleh rasa kagumnya. Katanya kepada dirinya sendiri .

   "Bukan main! Syukurlah, pedang itu tak kulihat tatkala aku masih muda. Sekiranya demikian ... hm ... ah, hebat bukan main! Cahayanya pasti dapat membuat menikam gunung ! "

   "Benar! Dan gunung itu akan runtuh berguguran !"

   Rara W indu menguatkan. Jaganala menghela napas pargang.

   "Kau berkata, bahwa pemiliknya seorang dara, apakah kau t ak berniat memperkenalkan kepadaku?"

   Rara W indu tertawa. Sahutnya.

   "Mari, ikut padaku!"

   Dengan membawa pedang mustika dunia itu Rara W indu lari pulang. Jaganala ikut berlari larian pula. Begitu tiba didepan pintu, Sekar Prabasini telah berpakaian lengkap dan duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka. Katanya pendek .

   "Ibu, perkenankan aku bersembah padamu."

   Rara W indu tertegun dipanggil sebagai ibu. Hatinya terharu dan terasa lu luh. Terus saja ia memeluk dan menciumnya. Sahutnya.

   "Anakku! Kau siapa?"

   "Aku Sekar Prabasini. Ayah bundaku telah w afat."

   Rara W indu menatapnya sejenak. Lalu menghibur .

   "T ak apalah. Mulai sekarang, kau kuperkenankan menyebut diriku sebagai ibumu."

   Sekar Prabasin i girang bukan main.

   Ucapan Rara W indu itu menyatakan diri, bahw a ia sudah diterima sebagai anggaut a keluarga sendiri.

   Karena girangnya, air matanya memenuhuhi kelopak.

   Memang, semenjak ibunya meninggal hatinya pepat dan hancur.

   Ia merasa dibenci pula oleh semua pamannya.

   Kini, ia menemukan seseorang yang sudi menjadi ibunya.

   Bahkan seorang pendekar yang maha sakti pula.

   "Nah, berdirilah! Ini kakak bunda. Namanya Jaganala. Kau panggil ah paman."

   Sekar Prabasini segera berdiri dan membungkuk hormat. Dan melihat seorang gadis cant ik yang gerakgeriknya mengingatkan kepada Rara W indu semasa masih muda, Jaganala tertawa lebar. Katanya kepada Rara W indu.

   "Adik! Kau telah menemukan dirimu sendiri. Kau t idak hanya memperoleh anak angkat, akan tetapi pewaris pula. Berbahagialah!"

   Rara W indu mengetahui arti ucapan Jaganala. Cepat ia menyahut.

   "Kakak! Aku tak mau serakah. Kau boleh menganggapnya sebagai pewarismu pula. Tegasnya, biarlah kita asuh bersama."

   Jaganala girang.

   Hatinya penuh syukur.

   Apalagi Sekar Prabasin i.

   Meminta salah seorang diant ara mereka berdua sebagai guru, rasanya tak berani.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekarang mereka bersedia menjadi guru.

   Bahkan kedua-duanya.

   Maka hari depannya sudah dapat dibayangkan mulai sekarang.

   "Sebenarnya, tak berani aku menjadi gurunya. Aku hanya bersyukur untukmu. Bukankah aku sudah mempunyai seorang pewaris?"

   Kata Jaganala. Rara W indu mengangguk. Menyahut.

   "Itulah sebabnya aku mempunyai usul demikian. Muridmu itu, akupun ikut serta mengasuh. Kenapa sekarang kau menolak calon murid dan anakku?"

   "Baiklah. Kuharap saja, anakmu ini bisa bergaul rapat dengan pewarisku."

   "Tentu saja."

   Sebenarnya, ingin sekar Prabasin i mint a keterangan apakah pewaris ilmu sakti Jaganala.

   Akan tetapi dia segera menahan diri Rasanya kurang sopan, ia ikut berbicara Bukankah dikemudian hari masih ada waktu panjang untuk mengenal murid Ki Jaganala? Diapun ingin mint a keterangan tentang Lingga W isnu.

   Sebab siapa lagi si jubah abu-abu itu, kalau bukan Ki Jaganala.

   Akan tetapi melihat betapa baik sikap K i J aganala terhadapnya dia percaya Lingga W isnu tidak menemui kesukaran.

   Mungkin sekali bahkan mendapat kemajuan yang perlu diperoleh.

   o0dw0o LINGGA W ISNU memang dibawa lari Jaganala dari medan pertempuran.

   Hebat cara berlari orang tua itu.

   Diapun mengenal liku-liku perjalanan yang penuh bahaya.

   Mula-mu la menuruni dan mendaki tebing-tebing yang penuh bahaya, setelah itu melint asi padang belukar dan mendaki terus.

   warna sekali ia menganggap tubuhnya ringan saja.

   Diapun sebenarnya sanggup bertenaga seperti orang tua itu, tetapi bahwasanya harus lari begitu cepat sambil membawa orang adalah diluar kemampuannya.

   Suatu kali, perjalanan t erhadang sebuah jurang dalam dan lebar.

   Orang tua itu kemudian melemparkan seutas tali yang mengubat diseberang.

   Lalu, dengan sekali lompat ia melayang bagaikan burung bersayap.

   Akh benar benar hebat! Pikir Lingga W isnu didalam hati.

   Demikianlah, melint asi jurang dalam, Jaganala membawa Lingga W isnu menuruni sebuah lembah yang luar biasa sifatnya.

   Lembah itu terletak diant ara dua kepundan.

   Tiada langit atau matahari.

   Artinya, mega dan matahari tak terlihat oleh penglihatan karena tertutup kepundan itu.

   Dan setelah membawanya kedalam goa lembah itu, Lingga W isnu di letakkan perlahan-lahan diatas t anah.

   Lingga W isnu berdiri tegak.

   Setelah membungkuk hormat ia berkata.

   "Eyang! Perkenankan aku menghaturkan rasa terima kasih tak terhingga. Bolehkah aku mengenal nama eyang?"

   Pandang mata orang tua itu berkilat-kilat. Setelah merenungi wajah Lingga W isnu beberapa saat lamanya ia menyahut.

   "Kau sedang terluka. Kau perlu beristirahat. Disini terdapat makan minum cukup. Kau rawatlah tubuhmu dahulu. Baru kita kelak berbicara."

   Lingga W isnu seorang pemuda yang cerdas.

   Kalau Sekar Prabasini sudah dapat menduga siapa orang tua itu, diapun demikian pula.

   Pikirnya, dia mengenakan juba abu-abu.

   Siapa lagi kalau bukan Ki Jaganala.

   T api biarlah aku berpura-pura t ak mengenal namanya.

   Selagi demikian, sekonyong-konyong Jaganala menempeleng Plak! Plak! Keruan saja Lingga W isnu terperanjat dan tercengang.

   Sama sekali tak diduganya, bahw a dia bakal di tempeleng.

   Selain itu, gerakan Jaganala sangat cepat.

   Maka tak sempat ia mengelak.

   Tapi t atkala Jaganala menempeleng untuk yang kedua kalinya.

   Lingga W isnu sudah bersiaga.

   W alaupun gamparan in i sangat cepat, namun dapat ia mengelak.

   Hanya saja, dia tak mau menangkis karena Jaganala sudah berusia tua dan diwaktu itu berkedudukan sebagai penolong jiwanya.

   Ia hanya melencangkan jari telunjuknya untuk menangkis telapak tangan Jaganala.

   Jaganala terperanjat.

   Cepat-cepat ia menarik tangannya.

   Benar hanya sebuah jari t elunjuk, akan tetapi ia tahu apa akibatnya.

   Ia berkepandaian sangat tinggi.

   Gerakannya luar biasa cepatnya dan datang dari segala jurusan.

   Lingga W isnu tak sudi mengalah.

   Dengan cepat pula ia mengadakan perlawanan.

   Akan tetapi bukan bergebrak.

   Hanya menggerakkan jari-jari seolah-olah sedang menangkis dengan gerakan pemunahnya.

   "Ha, bagus!"

   Seru Jaganala dengan tertawa berkakakan.

   Seperti diketahui, pada zaman mudanya tak sudi ia mengalah terhadap siapapun.

   Maka begitu memperoleh perlawanan, timbul ah sifatnya yang mau menang sendiri.

   Segera ia bersiaga bertempur dengan menggerakkan semua anggauta badannya yang cepat luar b iasa.

   Kali ini menahaskan tangannya mengarah punggung dan pinggang.

   Lalu mendupakkan kakinya.

   Tapi semuanya dapat ditangkis dan dipunahkan Lingga W isnu dengan gerakan kaki dan tangannya pula.

   Lingga W isnu sedang terluka.

   Syukur lukanya tidak begitu parah.

   W alaupun harus memerlukan suatu masa rawatan, namun ia masih dapat menggunakan tenaganya dengan leluasa Syukur, sifat pertarungan itu tidak memukul dengan sungguh-sungguh.

   Hanya bergerak, pada jarak tertentu.

   Jaganala bergerak.

   dia bergerak pula untuk memunahkan.

   Gerakan ini, tidak perlu menggunakan tenaga besar.

   Tapi tak ubah seseorang sedang melakukan gerakan olahraga Meskipun demikian, cepatnya luar biasa dan benar-benar membutuhkan pemusatan seluruh perhatiannya.

   Dalam sekejab saja, dua puluh jurus telah lewat.

   Dan pada saat ini, mendadak Jaganala menarik semua serangannya.

   Kemudian berkata setengah menggerutu .

   "Kalau t ahu begini, tak perlu aku menolongmu. Benarbenar tolol aku!"

   Lingga W isnu membungkuk hormat seraya menyahut .

   "Bagaimana eyang berkesimpulan demikian?"

   "Betapa tidak? Ilmu kepandaianmu sudah sangat tinggi. Kuyakin, bahwa di kemudian hari engkau bakal menjadi seorang pendekar tiada bandingnya. Nah, selamat t inggal. Kau boleh merawat lukamu disini. Makan dan Minuman disin i cukup satu bulan.' ujar Jaganala. Dan setelah berkata demikian, ia memut ar tubuhnya keluar goa.

   "Eyang!"

   Seru Lingga W isnu gugup."Eyang keliru. Masih banyak kekurangan yang kuperoleh. Aku masih membutuhkan petunjuk dari eyang."

   Jaganala menoleh. Dengan pandang tak senang dia menjawab.

   "Membutuhkan petunjukku? Jangan bergurau !"

   "Aku bersungguh-sungguh eyang."

   "Bagaimana aku bisa memberi petunjuk kepada seseorang yang berkepandaian setatar dengan diriku sendiri?"

   Lingga W isnu hendak menyatakan, bahwa tanggapan Jaganala salah.

   Memang dia harus merasa puas setelah memperoleh warisan Bondan Sejiwan.

   Tapi setelah membaca kitab sakti warisan Ki Sabdapalon, ilmu saktinya mendadak saja menjadi sekecil biji merica.

   Dan apa yang diperlihatkan tadi, sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari pada bunyi tulisan Kitab Sakti yang baru diperolehnya.

   Hal itu terpaksa digunakannya, mengingat gerakan Jaganala cepat dan aneh luar biasa.

   "Kalau kau tidak memiliki ilmu kepandaian set araf dengan diriku, betapa mungkin kau dapat melawan serta memunahkan semua seranganku?"

   Kata Jaganala lagi dengan suara tak senang.

   Lingga W isnu hendak menyebutkan Kitab Sakti yang dibawanya serta, akan tetapi suatu pikiran lain menahan dirinya.

   Maka ia hanya berdiam diri dengan berdiri t egak.

   Jaganala merasa tersinggung.

   Tanpa memperdulikan keadaan hati Lingga Wisnu, segera ia meninggalkan goa.

   Dan tepat pada saat itu Lingga W isnu berseru dari dalam goa.

   "Eyang! Cucumu Lingga wisnu perkenankan memberi hormat kepadamu."

   Jaganala merandek sejenak.

   Kemudian.

   Meneruskan perjalanannya pulang ke pondoknya.

   Dan pada hari itu, ia berjumpa dengan Rara W indu.

   Ia masih mendongkol tarhadap kepandaian Lingga W isnu.

   Karena itu tak sudi ia membicarakan atau menyinggungnya.

   Ia bahkan merasa Irihati terhadap Rara W indu, memperoleh pewarisnya yang tepat.

   "Aneh watak orang itu,"

   Pikir Lingga W isnu di dalam hati.

   "Dia bermaksud menolong diriku. Kemudian membawaku kemari. Setelah diuji, aku ditinggalkan d isini agar merawat diri. Sebenarnya dia bermaksud jahat atau tidak?"

   Ia menghempaskan diri pada sebuah batu.

   Matanya tertarik kepada sebuah tikungan yang membentuk sebuah bangunan kamar.

   Segera ia memasuk i dan melihat timbunan makanan dan minuman.

   Ia mencium bau arak pula.

   K arena hawa dingin, bau arak itu menarik pemapasannya.

   "Ah, aku perlu menghangatkan badanku."

   Perlahan-lahan ia merembet menyusur dinding.

   Sebab, lukanya kini mu lai mengganggu.

   Ia memeriksa timbunan makanan dahulu dan melihat terdapat ikan asin, beras dan jagung, setelah itu ia membuka sumbat sebuah guci minuman, lalu meneguk isinya.

   Perasaannya jadi agak segar.

   Karena perutnya terasa lapar, ia mengunyah dendeng yang sebenarnya belum matang.

   W alaupun demikian, sedap juga rasanya.

   Dan kembali lagi ia memperoleh tenaga hidup.

   Lalu meraba-raba sebuah kotak.

   Isinya ternyata ramuan obat luar.

   Segera ia memborehkan kepada lukanya.

   Kena boreh ramuan obat itu, darahnya berhenti mengalir.

   Tatkala malam hari tiba, ia membuat perdiangan.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Semuanya sudah tersedia, seperti rant ing kering dan batu api.

   Dalam keadaan luka, tak dapat ia menuruni goa yang berada diatas ketinggian.

   Apalagi mencoba merangkaki tebing kepundang yang berdiri tegak bagaikan dinding pelindung.

   Maka satu-satunya, jalan yang terbuka baginya hanyalah berusaha menyembuhkan lukanya.

   Himpunan tenaga sakti Lingga W isnu sudah mencapai tataran sempurna.

   Kini dia bisa pula membaca isi Kitab yang diketemukan di dalam goa harta.

   Selain banyak membantu mempercepat kesembuhan, ilmu saktinya maju di luar set ahunya sendiri, dan apabila suatu kesenyapan mulai merayapi dirinya, teringatlah dia kepada Sekar Prabasin i, sahabat sahabat dan kakakkakaknya seperguruan.

   Pikirnya sering.

   "Apakah mereka bisa menerobos kepungan kompeni?"

   Lingga W isnu tak tahu bahwa Sekar Prabasini berusaha mengejarnya. Dan secara kebetulan ia kini berada dalam asuhan Rara W indu dan Jaganala. Maka tak mengherankan pemuda itu menjadi resah.

   "Sebenarnya siapakah kakek ini. Niscaya dialah eyang Jaganala. D ahulu ayunda Sudarawerti dibawanya. Biarlah kut anyakan kepadanya. Mungkin sekali, peristiwa ini adalah kehendak Tuhan untuk mempertemukan aku dengan ayunda."

   Memperoleh keyakinan ini, hatinya mulai tenteram.

   Dengan sungguh-sungguh ia berlatih diri kini.

   Berlatih menurut petunjuk petunjuk Kitab Sakti.

   Ia baru menekuni beberapa lembar, dan hasilnya berada diluar dugaan.

   Ia merasa memperoleh kemajuan pesat, hingga ilmu sakti warisan Bondan Sejiwan terasa ketinggalan jauh.

   "Kakek itu dapat melawan jurusku sampai duapuluh gebrakan. W alaupun demikian belum juga aku mengenal alirannya, suatu kali ia berpikir didalam hati. Dibandingkan dengan kedua guruku, ia berada setingkat atau dua tingkat diatasnya."

   Demikianlah ia berpikir, berlatih dan berusaha menyembuhkan lukanya, selama enam hari. Pada hari ketujuh kesehatannya sudah pulih semua. Segera ia berkemas hendak meninggalkan goa. Tapi alangkah terkejutnya tatkala melihat pint u goa tertutup rapat.

   "Hei! Kenapa?"

   Ia heran.

   Ia mencoba mendorongnya.

   Akan tetapi pintu goa itu sama sekali tak bergeming.

   Ia jadi penasaran, dikerahkan seluruh tenaganya dan dipusatkan.

   Sekali lagi ia mencoba mendorongnya.

   Pintu goa itu terdengar berderak.

   Namun tak bergeming juga.

   Dan menghadapi kenyataan itu, ia lalu berteriak.

   "Eyang! Aku sudah sembuh!"

   Suaranya bergelora dan bergema di dalam ruang goa. Dan setelah menunggu sekian lamanya, tiada suatu perubahan. Karena itu, dia kini jadi berteka-teki. Katanya didalam hati.

   "Dia membawaku kemari dengan maksud menolongku. Tapi setelah mengujiku, ia nampak kecewa. Ia pergi tanpa pamit. Namun membiarkan aku merawat diri dengan persediaan makan minum yang cukup. Sekarang ia menutup goa ini. Sebenarnya apa maksudnya? Kalau dia menghendaki aku mati, tentunya tidak perlu melalui cara begini. Kepandaiannya cukup untuk membunuh diriku, karena aku sedang terluka ..."

   Hatinya agak terhibur memperoleh pikiran demikian.

   Tiba-tiba suatu pikiran lain menusuk benaknya.

   Bagaimana kalau bukan dia yang menutup pintu goa? Mungkin seseorang yang menghendaki dia mati atau angin dahsyat atau suatu pergeseran tanah.

   Hal itu mungkin terjadi.

   Ia lantas menjadi resah hati.

   Dua kali sudah, ia kena tersekap sebuah goa.

   Teringatlah ia tatkala tersekap didalam goa harta.

   Jalan keluarnya akibat suatu pertolongan dari luar.

   Itulah kunci emas yang dibawa Sekar Prabasinj.

   Apakah kinipun dia harus menunggu datangnya Sekar Prabasini.

   Tapi seumpama dia benarbenar datang, tenaganya pun tidak akan dapat menolongnya.

   Ia mencoba memeriksa pintu goa.

   Mungkin sekali terdapat lubang kuncinya.

   Alangkah kecewanya.

   Pintu yang menutup mulut goa hanyalah sebuah batu raksasa.

   Bentuk bangunannya seperti terukur.

   Walaupun demikian tidak rapat benar, tetapi yang dapat melalui selanya hanyalah binatang-binatang serangga.

   "Apakah mungkin terdapat pintu keluar lainnya?"

   Ia menduga-duga.

   Lingga W isnu kemudian memeriksa seluruh goa.

   Setelah berputar-putar sekian lamanya, harapannya tiada berhasil.

   Sama sekali tiada pintu lain, kecuali beberapa lubang kecil yang merupakan lubang angin.

   Mau tak mau ia menghela napas.

   Kemudian duduk berjagang dagu diatas batu.

   "Baiklah, aku berlatih saja seperti dahulu. Nasib manusia bukankah berada ditahan Tuhan? Kenapa aku ikut -ikut an memilir?"

   Ia memut uskan.

   Semangat hidupnya terbangun lagi dan terus saja ia membalikbalikkan halamannya.

   Dan setelah belajar satu hari satu malam, harapannya mulai t imbul.

   Ia menemukan rahasia himpunan tenaga sakti yang hebat.

   Himpunan tenaga sakti itu terbagi menjadi sembilan bagian.

   Setelah merasukkan ke dalam ingatannya, mulailah ia bersemadi.

   Pada bagian pertama, tubuhnya merasa segar-bugar.

   Suatu getaran halus mulai meraba seluruh urat nadinya.

   Hawa bergumpal berputaran seakan-akan menumbuk dinding daging.

   Dan pada bagian kedua, tubuhnya terguncang-guncang.

   Tak dapat ia menguasai gerakan kaki dan kedua tangannya.

   Ia menjadi ketakutan.

   Ingin ia memberhentikan.

   Akan tetapi t ubuhnya justru malah t erguncang hebat.

   Kedua tangannya berserabutan dan kedua kakinya menggigil.

   Tak usah dijelaskan lagi, bahw a dia kini terkuasai o leh suatu tenaga yang membersit dari dirinya sendiri.

   "Gerakan apakah ini?"

   Ia kaget.

   Tentu saja tiada yang dapat menjawab atau yang mendengar.

   Bahkan dia tak tahu, bahwa wajahnya kini berubah menjadi merah membara.

   Syukur, dia seorang pemuda berpembawaan tenang berkat pengalamannya yang pahit semasa kanak-kanak.

   Selain itu, otaknya cerdas dan pandai berpikir.

   "Apakah aku salah menghafal?"

   Pikanya didalam hati.

   Dengan kerlingan mata ia menjenguk isi kitab yang berada didepannya.

   Bunyi kata-katanya sesuai dengan tata napas dan tata- penyalurannya.

   Karena itu ia memutuskan memasuki bagian yang ketiga.

   Suatu perubahan yang menggembirakan terjadi.

   Benar tangan dan kakinya masih bergerak-gerak, akan tetapi dapat menguasai, wajahpun berubah menjadi hijau.

   Dengan lega hati, mulailah ia menghirup napas.

   Sekarang ia mencoba menikmati tata-rasa yang terjadi dalam dirinya.

   Rasa nyaman menyelimut i seluruh perasaannya.

   Dan apabila telah cukup ia melanjutkan kebagian empat.

   Tubuhnya kini menjadi hangat.

   Suatu keuntungan terjadi pada dirinya d iluar pengetahuannya.

   Sebab andaikata dia tak memiliki himpunan tenaga sakti yang kuat, tubuhnya sebenarnya akan terbakar hangus dari dalam.

   Ia merasakan suatu kehangatan, karena hawa dingin diatas gunung.

   Selain itu, himpunan tenaga saktinya yang lama sedang bertempur hebat melawan tenaga sakti yang baru.

   Karena itu kepalanya menguap.

   Sedang warna wajahnya berubah-rubah.

   Kadang hijau, kadang kuning, merah, hitam putih kebiru-biruan dan hijau lembayung.

   Tatkala memasuki bagian kelima, tubuhnya menjadi lemas lunglai.

   Gerakan tangannya berhenti.

   Getarannya tiada lagi.

   Juga kedua kakinya.

   Yang terasa hanya suatu kelumpuhan.

   Akan tetapi seluruh tubuhnya terselimut suatu getaran gergeriming yang membuat bulu kuduknya meremang.

   Dan pada saat itu, w arna wajahnya kembali seperti sediakala.

   Bagian keenam dapat dimasuki dengan lancar.

   Tibatiba saja ruang benaknya seperti terbuka seolah-olah dapat ia mengetahui rahasia alam yang tergelar didepannya.

   Pandang matanya kini tajam luar b iasa.

   Dadanya terasa penuh serta teguh.

   Hatinya tegak dan sikap h idupnya menjadi t egas.

   Ia merasa diri seolah-olah sanggup menggempur dan menghancurkan segalanya yang merint angi.

   Setelah puas merasakan perubahan perasaan itu, ia memasuki bagian ketujuh.

   Di dalamnya terdapat petunjuk-petunjuk mengembalikan tenaga lontaran dari luar.

   meniadakan, memunahkan dan menghisap.

   Karena itu, tubuhnya mendadak, saja menjadi penuh.

   Semua hawa dan angin dapat disedotnya punah.

   Tak mengherankan perasaan tubuhnya kini jadi dingin.

   Pada bagian delapan, perasaan itu tiada lagi.

   Kembali lagi ia merasa sediakala hanya saja inderanya menjadi peka.

   Semuanya dapat dimanunggali.

   Karena dapat manunggal dengan alam, maka alampun seakan-akan memberi kabar rahasianya masing-masing.

   Sudah barang tentu ia girang bukan kepalang.

   Dan pada bagian kesembilan, ia merasakan suatu ketenteraman.

   Sekarang, semuanya berkumpul dihati dan manunggal dengan rasanya.

   Tangan, kaki dan semua inderanya bergerak dan mencapai titik tujuan selaras serta secepat kehendak hati.

   Karena pikiran bersumber pada rasa, maka kecepatan berpikir masih kalah jauh dengan getaran hatinya.

   Merasa sudah tamat.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lingga W isnu melompat bangun.

   Gerakan tubuhnya ringan luar biasa.

   Terus saja ia bersimpuh menyembah kitab itu.

   Katanya setengah berbisik.

   "Entah siapa yang menulis kitab ini. Dengan ini kusampaikan sembah t erima kasihku. Semoga kau selalu melindungi. Akupun berjanji takkan menyalah gunakan wawarahmu."

   Ia melompat bangun lagi. Lalu berseru nyaring.

   "Y a Tuhanku! Dengan kehendakmu aku memperoleh kemajuan. Terima kasih dan maafkan segala dosa serta kesilapanku."

   Hebat gaung suara Lingga W isnu. Sekonyong-konyong goa itu tergetar. Suatu suara gedebrukan. Ternyata bongkah batu yang menutup goa, terpental hancur dan runtuh di dalam jurang. Keruan saja Lingga Wisnu heran tak kepalang.

   "Ah, kalau begitu kitab ini sangat berbahaya! seruan manusia yang bahaya!"

   Serunya di dalam hati.

   "Pantas ayah dikejar-kejar terus oleh manusia manusia yang menghendaki tongkat mustika. Kalau begitu biarlah kupendam saja. Siapa yang kelak berjodoh, biarlah Tuhan memberi petunjuk padanya."

   Akan tetapi dimana dia harus memendam kitab itu.

   Goa itu pernah terinjak orang.

   Apakah goa harta karun? Goa itupun kini kena kepung Musafigiloh.

   Bila harta benda saja yang kena rampas, tak apa.

   T api bila kitab ini jatuh padanya, alangkah bahayanya.

   Niscaya akan banyak manusia yang mati.

   Apakah didalam goa Bondan Sejiwan.

   Goa itupun pernah kena injak keluarga Mataun.

   Lingga W isnu berpikir sejenak.

   Timbul niatnya hendak dibawanya saja kemana dia pergi.

   Namun, itupun cara yang kurang sempurna.

   Suatu kali kitab itu pasti jatuh.

   Atau dibakar saja? Ia merasa sayang.

   Baik dan buruknya adalah akibat budi manusia yang menemukan.

   Demikianlah ia menimbang-nimbang beberapa waktu lamanya.

   Akhirnya ia memut uskan untuk memendamnya didalam goa itu.

   Betapapun jaga, letak goa itu sangat sukar.

   Yang menginjakkan kakinya hanya dua orang saja.

   Dirinya sendiri dan Ki Jaganala.

   Ki Jaganala sudah berusia lanjut.

   Seumpama menemukan kitab itu, tiada gunanya.

   Kecuali bila dia mempunyai murid.

   Setelah memutuskan demikian, ia keluar goa untuk menjenguk sekitarnya.

   Tiba-tiba ia tertarik kepada suatu tempat yang berada di bawah.

   Tegasnya dalam jurang kepundan.

   Samar samar ia melihat suatu lekukan.

   Segera ia meloncat turun dan hinggap pada batu yang mencongak.

   "Ha, inilah t empat yang setepat tepatnya,"

   "pikirnya. Ia memasuki sebuah terowongan sempit. Setelah memeriksa letak tempatnya, ia memendamnya sangat rapih. Kemudian ia mengukir batu penutupnya dengan kata-kata.

   "Dipersembahkan bagi yang menemukan dan berjodoh. Salam dari Lingga Wisnu anak malang yatim piatu."

   Ia berdiri tegak dan membungkuk hormat sekali lagi.

   Kemudian keluar dari terowongan itu dan mendongak keatas.

   Puncak gunung nampak dengan nyata.

   Cepat ia menghimpun tenaganya dan meloncat.

   Suatu tenaga dahsyat luar b iasa, sampailah ia didataran goa pertama dan di sini ia bersembah lagi, dan meninggalkan sebaris perkataan untuk Ki Jaganala.

   Ia menyebut nama itu dengan tak ragu-ragu.

   Juga menanyakan tentang kakak perempuannya.

   Ia menyatakan diri sebagai adik kandungnya.

   Setelah puas, cepat ia melompat mendaki lereng kepundan.

   Tatkala tiba disuatu lembah, petang hari telah tiba.

   Seluruh penglihatan tertutup awan putih.

   Namun penglihatannya sama sekali tak terganggu.

   Juga dingin hawa dan angin tak kuasa mengusik dirinya.

   Tiba-tiba pendengarannya yang tajam luar b iasa menangkap suara pertempuran.

   Ia heran.

   Siapakah yang bertempur diatas gunung yang sunyi ini? Dengan berlari-larian kecil, Lingga W isnu mendekati arah suara itu.

   Benar saja.

   D i seberang sana nampak dua orang sedang bertempur.

   Tatkala itu hujan turun agak deras.

   Namun mereka tidak memperdulikan.

   Puluhan kali bahkan ratusan kali, Lingga W isnu pernah menyaksikan suatu pertempuran.

   Akan tetapi kali ini, hatinya t ertarik.

   Cara mereka berkelahi luar biasa.

   Yang satu laki-laki dan yang lain perempuan.

   Usia mereka sudah lanjut .

   Bila yang satu menikam, lainnya tiba-tiba lenyap.

   Beberapa detik kemudian, dia muncul kembali dalam jarak beberapa puluh langkah.

   Kemudian saling menghampiri, dengan hati-hati.

   Mereka membawa senjata pedang.

   Bila berbenturan, api meletik.

   Lalu lenyap.

   Maka tahulah Lingga W isnu, bahw a mereka bukan sembarangan orang.

   W alaupun demikian, Lingga W isnu seperti mengenal corak perkelahiannya.

   Apakah bukan yang disebutkan didalam kitab sakti? Hanya saja, bahwasanya mereka pandai menghilang merupakan kelebihannya.

   Itulah suatu bukti bahw a mereka dapat bergerak begitu sebat melebihi gerakan bidang penglihatan .

   Tengah mereka saling menyerang, guntur meledak dahsyat.

   Kilat menyambar menusuk seberang bumi.

   Tepat pada saat itu, mereka bergerak dengan berbareng.

   Lingga W isnu mengguratkan kejapan kilat untuk mengamat amati mereka berdua.

   Yang laki-laki ternyata si jubah abu-abu.

   Dan yang perempuan ...

   Lingga W isnu berpikir sejenak.

   Berkata didalam hati .

   "Bila orang tua itu benar-benar Ki Jaganala, maka yang wanita itu pastilah Rara W indu. Tapi benarkah mereka masih h idup dan masih bertenaga begitu dahsyat?"

   Bila tidak menyaksikan sendiri, niscaya Lingga W isnu tidak ataan percaya bahwa di dunia ini masih terdapat semacam ilmu kepandaian begitu hebat.

   Dia sendiri rasanya sanggup melakukan.

   Hanya saja, bila seusia mereka, rasanya belum tentu.

   Ia belum menyadari, bahw a ilmu ke pandaiannya kini sebenarnya masih berada diatas mereka.

   Iapun akan sanggup berbuat demikian dalam seusia mereka.

   Sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba pendengarannya menangkap bunyi halus Siapa lagi yang datang? Hati-hati ia mencuri pandang.

   Dan nampaklah seorang laki-laki berambut panjang duduk berjuntai di atas batu.

   Orang itu mengikuti pertempuran dengan penuh perhatian.

   "Seorang berkepandaian tinggi lagi ..."

   Pi'kir Lingga W isnu didalam hati.

   "Siapa d ia? Kenapa tiba-tiba aku dipertemukan dengan beberapa tokoh tinggi diatas gunung sunyi ini? Dalam pada itu, kilat mengejap lagi. Kedua pedang berbenturan. Pedang si jubah abu-abu berwarna merah, sedang yang berada ditangan wanita itu sama sekali tiada cahayanya. Begitu berbenturan, mereka berdiam sejenak. Lalu mundur dengan berbareng dan maju lagi. Demikianlah belulang kali t erjadi. Lingga W isnu kini tergolong seorang pendekar tokoh tinggi pula. Namun hatinya kagum bukan main. Karena cara bertempur demikian - hanya dapat dibacanya lewat kitab saktinya.- Selama hidupnya belum pernah ia melihat suatu pertempuran yang nampaknya bermain main. Akan tetapi sesungguhnya mengandung suatu benturan adu tenaga yang dahsyat luar biasa. Pedang yang berada ditangan laki-laki berjubah abuabu itu, makin lama makin menjadi merah. Setiap kali meletikkan api seolah-olah sedang membakar pedang lawannya. Dan pada saat itu terdengar suara laki-laki berambut rereyapan bernada mengeluh.

   "Hei! Bibi bakal kalah juga."

   Lingga W isnu melemparkan pandangnya ke arah pertempuran. Penglihatan orang ini tak salah. Tokoh wanita itu kalah dalam hal senjata. Akan tetapi ilmu kepandaiannyapun berada diatas lawannya.

   "T ring!"

   Pedang tokoh wanita itu kena terlempar tinggi diudara dan runt uh di atas telaga.

   Dan kena runt uhan pedang, permukaan air muncrat tinggi pula.

   Lalu berbusa dan berasap.

   Dalam bebrapa detik saja, pedangnya itu luluh dan lenyap.

   Yang nampak di permukaan air hanyalah gagangnya.

   Hal itu membuktikan betapa hebat adu tenaga sakti mereka.

   Laki-laki berjubah abu-abu melesat hendak memotong perjalanan.

   Ia tahu, bahwa lawannya akan segera melarikan diri.

   Gerak-geriknya gesit luar biasa.

   Sekarang Lingga! W isnu mulai dapat mengenal wajahnya.

   Dialah laki-laki yang membawanya ke dalam goa.

   Tapi pada saat itu, ia nampak sangat berwibawa dan luar biasa.

   Tatkala itu, laki-laki berereyapan datang menghampiri wanita yang disebutnya sebagai bibiknya.

   Ia melemparkan sebatang pedang.

   Lalu kembali duduk seperti semula.

   Dan terdengar wanita itu tertawa riang.

   Katanya.

   "Kangmas Jaganala! Sekarang cobalah pedang ini!"

   Mendengar nama Jaganala disebut sebut, hati Lingga W isnu tercekat walaupun tadi ia sudah menerka demikian. Kalau begitu, wanita itu benar-benar Rara W indu. Dugaannya sama sekali tak meleset. Sahut Jaganala dengan tertawa geli pula.

   "Baik! Kau gunakan, W indu! Tapi pedang tak bermata. Jangan menyesal, BiLa aku nanti melukaimu."

   "Masakan kau perlu memperingatkan demikian terhadapku?"

   Kata Rara W indu.

   Suaranya, menyatakan rasa tak puasnya.

   Ia kin i berdiri tegak dengan pedang bersungguh-sungguh.

   Setelah berhadap-hadapan, mereka mulai bertempur lagi.

   Jaganala menerjang bagaikan badai dan guntur.

   Sedang Rara W indu mengadakan perlawanan tak ubah kejapan kilat.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pada suatu waktu, dia mengibaskan pedangnya.

   Cepat bidikannya.

   Pedangnya bentrok Dan sinar merah pedang Jaganala lenyap dengan mendadak.

   "Hei!"

   Jaganala heran.

   Dia melesat sambil memasuki kabut .

   Juga Rara Windu.

   Dan keduanya sebentar saja lenyap dari penglihatan.

   Lingga W isnu masih menunggu.

   Ia mengira, sebentar lagi mereka niscaya muncul kembali.

   Akan t etapi mereka tak muncul-muncul juga.

   Karena itu ia menoleh kepada laki-laki rereyapan yang tadi duduk berjuntai.

   Orang itupun tiada nampak pula.

   Mau tak mau Lingga W isnu terpaksa menggaruk-garuk kepalanya.

   Dia boleh memiliki kepandaian tertinggi di dunia, akan tetapi peristiwa dlemikian belum pernah dialaminya.

   Karena itu dugaannya masih salah.

   "Makin tua orang memang makin g ila,"

   Katanya didalam hati sambil tersenyum geli.

   "Tetapi masakan suatu pertarungan berhenti tanpa penyelesaian? W alaupun mungkin sedang berlatih atau menguji sesuatu, suatu penyelesaian harus terjadi. Tak mungkin begini."

   Dalam hal ini, dugaan Lingga W isnu tepat.

   Ia hanya salah dalam ment aksir lagak-lagu dan sepak terjang mereka yang masih asing baginya, sebab tak lama kemudian, ia menghampiri.

   Didepannya kini tergelar suatu petak hutan cemara.

   Dua sinar pedang bersilangan.

   Pedang Rara W indu hijau, sedang pedang Jaganala yang bersinar merah masih mampu mengadakan perlawanan.

   Pertempuran kali ini lain lagi coraknya.

   Tadi, Rara W indu kena desak sama sekali.

   Akan tetapi dia kini dapat mendesak.

   Dan melihat pertempuran itu, benak Lingga W isnu mencoba membayangkan masa muda mereka.

   Jaganala seorang pendekar yang angkuh dan t inggi hati.

   Ilmu kepandaiannya tak terlawan, sehingga dapat malang-melintang tanpa tandingan.

   Sebaliknya ilmu kepandaian Rara W indu adalah ilmu sakti gabungan.

   Ilmu saktinya sendiri bergabung dengan ilmu sakti Hajar Pangurakan, kakak seperguruan Jaganala, salah seorang kakak seperguruannya saja.

   Sebab ilmu yang diberikan adalah ilmu warisan gurunya.

   Lagipula, tak pernah ia menilik sebagai murid.

   Hanya sekedar menyempurnakan percobaan penggabungan.

   Mereka berdua dahulu pernah bertempur mengadu kepandaian.

   Dua kali berturut-turut Jaganala dikalahkan sehingga kesombongannya runtuh.

   Lalu mereka mendaki gunung dan lenyap dari percaturan pergaulan.

   Ternyata mereka bersatu padu.

   Masing-masing mendalami kepandaiannya.

   Akhirnya mereka kini bertempur lagi untuk mencoba-coba ilmu kepandaiannya masingmasing.

   Ilmu kepandaian mereka sejajar.

   Rara W indu menang sedikit.

   Dia kalah, manakala senjatanya kalah baik.

   Sebaliknya bila bersenjata bagus, Jaganala kena didesak, pikir Lingga W isnu didalam hati.

   Jaganala masih mencoba melawan.

   Pedangnya menyambar-nyambar tiada hentinya.

   Beberapa kali terdengar suara berisik tumbangnya pohon-pohon cemara manakala kena pangkas.

   Kilat mengejap dan tiba-tiba saja petak hutan itu menjadi gundul tertabas.

   Dan kembali lagi, Lingga W isnu tercengang.

   Meskipun ilmu kepandaiannya kini sangat tinggi, melebihi mereka, namun belum pernah ia mencoba coba.

   Karena itu belum dapat membayangkan, bahwa tenaga saktinya kini mampu menabas petak hutan dalam selint asan saja.

   anehnya lagi, baik Jaganala maupun Rara W indu kini lenyap tak keruan.

   "Biar kususul! Aku harus memperoleh keterangan tentang ayunda Sudarawerti, Kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini, kapan lagi aku dapat melihat mereka berdua?"

   Dengan keputusan itu, Lingga W isnu kemudian mengikuti jejak mereka.

   Meskipun seluruh alam hitam lekam, akan tetapi inderanya sudah peka.

   Ia seolah-olah dapat mencium mereka dan masih bisa menerima getaran getaran urat nadi mereka.

   Tahu pulalah dia, bahw a laki-laki yang berambut rereyapan berada tak jauh didepannya.

   Bahkan, ia mulai mendengar langkahnya pula.

   Tak lama kemudian angin meniup kencang sekali.

   Seluruh penglihatan tertutup kabut tebal.

   Namun Lingga tak menghiraukan.

   Ia bahkan merasa segar-bugar.

   Disini hujan tiada lagi.

   Yang mengherankan, hawa terasa kering.

   Dan samar-samar cahaya bulan nampak semu.

   "Ah, seperti mimp i saja."

   Pikir Lingga W isnu di dalam hati.

   Diantara kabut , ia melihat sebuah bangunan.

   Bangunan itu seperti berada di atas puncak gunung.

   Terus saja ia menghampiri dan berlari-lari kencang karena rasa girang.

   Hebat cara lari L ingga W isnu.

   Jurang dan batu-batu dilompatnya dengan mudah.

   Dan jalan lic in dilalu i t anpa kesukaran sedikitpun.

   Sekarang ia melihat sebuah telaga mengitari kepundan.

   Karena berbimbang bimbang, ia berhenti.

   Lalu duduk di atas batu.

   Sebenarnya hawanya luar biasa dinginnya.

   Akan tetapi ilmu saktinya kini sangat tinggi.

   Setelah bersemadi beberapa waktu lamanya, tubuhnya menjadi hangat.

   Dan tatkala menjenakkan matanya, bulan muncul terang benderang.

   "Ah, alangkah indahnya! Kepundan itu seperti membungkuki permukaan telaga. Tak mengherankan, bayangannya terpantul kembali o leh cahaya bulan terang benderang. Apalagi air telaga itu jernih luar biasa. Dan dibelakangnya tergelar suatu dataran tanah agak berpasir. Benar-benar merupakan pemandangan indah yang layak diketemukan dalam khayal seorang pelukis."

   Lingga W isnu pernah mendengar kabar tentang dataran tinggi ini.

   Menurut tutur kata, inilah dataran Jonggring Salaka.

   Dalam cerita wayang adalah kahyangan para dewa.

   Kata orang pula, tidak sembarang insan dapat menikmati keindahannya apabila tidak memiliki mata dagma (indera keenam) atau bila manusia itu belum mengendap rasa hidup nya.

   Memang! Apalagi yang dapat dilihat, kecuali rerumputan lembut yang tergelar ditepi telaga itu seakan-akan permadani? Ditempat-tempat tertentu terdapat kelompok bunga aneka warna yang jarang sekali hidup di tanah rendah.

   Hanya itu saja.

   Bila manusia masih terikat kuat pada duniawi, tiada sesuatu yang menarik.

   Sebaliknya bila manusia sudah terbebas dari belenggu keduniawian, pemandangan itu memang sangat menarik.

   Kadang-kadang terdengar suara burung.

   Itulah burung Jalak Emas.

   W arnanya kuning keemasan.

   Jarang sekali tidur.

   Mungkin sekali oleh pengaruh iklimnya.

   Sebentar nampak dan sebentar hilang dibalik pepohonan.

   Menurut kisah orang-orang tua, itulah anak keturunan burung pengawal Sunan Lawu yang wafat diatas kepundan gunung.

   "Kau datanglah! Kami telah menunggumu semenjak lama,"

   T iba-tiba terdengar suara ramah. Suara itu belum pernah dikenal Lingga W isnu. Tetapi ia dapat menebak, bahwa itulah suara laki-laki berambut rerayapan, muncul dari balik pepohonan dengan tertawa.

   "Kau Lingga W isnu, bukan?"

   "Bagaimana paman tahu?"

   Lingga W isnu heran.

   "Salah seorang sahabatmu yang memberi t ahu."

   "Salah seorang sahabatku? Siapakah sahabatku yang berada disini?"

   Hati Lingga W isnu melonjak.

   "Dialah murid bibi Rara Windu."

   "Hei! Siapa?"

   Lingga W isnu sibuk sendiri. Seketika itu juga, beberapa bayangan berkelebatan di dalam benaknya.

   "Sekar Prabasini."

   Sahut laki-laki itu.

   "Prabasin i!"

   Seru Lingga W isnu.

   "Dia berada disini? Bagaimana caranya?"

   Laki-laki itu bersenyum lebar. Lalu memperkenalkan diri. Katanya.

   "Aku sendiri bernama Hajar Kemasan. Niscaya kau pernah mendengar nama itu."

   "Y a. Eyang Argajati pernah menceritakan kisah paman."

   "Benar. Diapun berkata begitu, tatkala mula-mu la bertemu denganku."

   Kata Hajar Kemasan. Kemudian ia menceritakan peristiwa pertemuan itu.

   "Sahabatmu itu memang bernasib bagus. Ia cerdas pula. Kepandaiannya kini hamp ir menyamaiku. Setiap kali, akulah yang berkewajiban menjadi lawannya berlatih. Setiap kali ia mencoba mencari keterangan tentang dirimu kepadaku. Rupanya, segan ia membicarakan dirimu kepada kedua gurunya."

   Terharu hati Lingga Wisnu mendengar kata kata Hajar Kemasan. Sekar Prabasin i benar benar mencintainya. Ia mendaki gunung, karena berusaha mencarinya. Karena kemuliaan hatinya, dia menjumpai suatu kemuliaan pula. Pikir pemuda itu didalam hati.

   "Sekar Prabasini sekarang menjadi murid Rara W indu dan Ki Jaganala. Rasanya tidak mengecewakan. Bila kepandaiannya di kemudian hari dapat setaraf dengan kepandaian kedua gurunya, didunia ini siapa lagi tandingnya? Mudah-mudahan hatinya yang panas dan liar dapat ditenteramkan oleh iklim yang melingkupi. Dengan demikian, dikemudian hari t idak akan membuah. diriku susah.

   "Mari k ita naik!"

   Ajak Hajar Kemasan.

   "Sebenarnya bibi dan paman sudah mengetahui kehadiranmu. Karena itu, mereka berdua memperkenankan engkau bertemu."

   Lingga W isnu menangguk. Lalu berjalan mendampingi. Sekonyong-konyong suatu ingatan menusuk benaknya. Bertanya mencoba.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Paman! Bolehkah aku memperoleh suatu keterangan yang selalu membuat hatiku resah? "Aku bukan dewa, meskipun tempat ini bernama Jonggring Salaka. Tapi cobalah katakan! Barangkali aku dapat menolongmu."

   Sahut Hjaar Kemasan dengan tertawa lebar. Lingga W isnu berbimbang-bimbang sebentar. Lalu berkata dengan tiba-tiba.

   "Pernahkah paman melihat seorang gadis selain Sekar Prabasin i?"

   "Disini?"

   "Y a."

   "T idak."

   Hajar Kemasan bergeleng kepala dan melihat geleng kepala itu, hati Lingga Wisnu seperti kena ditikam suatu benda tajam yang dingin luar biasa.

   Ia jad i putus asa.

   Selagi demikian, mendadak Hajar Kemasan melanjutkan perkataannya "Akan tetapi dipadepokan paman Jaganala dahulu pernah kulihat."

   "Apakah Jonggring Salaka bukan padepokan paman Jaganala?"

   Lingga Wisnu berharap cemas.

   "Disini tempat berkumpul kita. Tapi kita mempunyai kediaman masing-masing."

   "O, begitu?"

   Lingga W isnu girang.

   "Apakah paman pernah mendengar namanya."

   "Tentu saja. dialah adik seperguruanku. Namanya Sudarawerti. Kenapa?"

   Mendengar Hajar Kemasan menyebut nama ayundanya, Lingga W isnu hampir p ingsan oleh rasa girang. Sebaliknya Hajar Kemasan Yang tak tahu sebab musababnya jadi terperanjat. Gugup ia meraih pundak sambil bertanya minta keterangan.

   "Hai! Kenapa?"

   Lingga W isnu tertarik dan percaya pada kejujurannya Hajar Kemasan.

   Segera ia nguasai diri dan menceritakan peristiwanya.

   Dan teringat peristiwa itu, kedua kelopak matanya berkaca-kaca.

   Maklumlah, pada saat itu, kedua orang tuanya tewas.

   Juga kakaknya Mardanus.

   Hajar Kemasan menghela napas.

   Berkata seperti pada dirinya sendiri.

   "Dunia in i penuh dengan manusia manusia gila. Sudah terlalu banyak, manusia manusia mati oleh kebiadabannya sendiri. Itulah sebabnya, aku lebih senang hidup disini daripada dibawah sana. W alaupun kadangkala terasa suatu kesenyapan yang menyayat."

   Sambil berbicara, petak hutan telah terlint asi.

   Segera nampaklah sebuah bangunan diatas semenanjung kecil.

   Nampak segerombol pepohonan yang agaknya sengaja ditanam.

   Itulah biara atau pertapaan Rara W indu.

   Sebuah pertapaan yang senantiasa terselimut kabut putih.

   Hati Lingga W isnu berdegupan.

   Sebentar lagi, ia akan mengalami suatu pertemuan yang mengharukan.

   Tidak hanya akan bertemu dengan Sekar Prabasini saja, tapipun ayundanya.

   "Apakah ayundaku sudah mewarisi seluruh kepandaian gurunya?"

   Lingga W isnu mencoba bertanya.

   "Kau saksikan saja sendiri."

   Sahut Hajar Kemasan. Didepan biara, berdiri Jaganala dengan Rara W indu. Begitu lihat Lingga W isnu. Dia berkata menuding .

   "Dialah itu! Dia tidak membutuhkan petunjuk petunjuk lagi."

   Rara W indu memanggut pendek. Kemudian dengan ramah melambaikan t angannya. Katanya menyambut.

   "Kami berdua akan mint a maaf, karena membuat hatimu gelisah."

   "Ah, bagaimana aku berani menerima permint aan maaf eyang. Justru akulah yang harus berterima kasih atas budi eyang berdua,"

   Sahut Lingga W isnu dengan membungkuk hormat. Senang Rara W indu mendengar bunyi perkataan pemuda itu. W ajahnya nampak cerah dan segera mempersilahkan masuk. Katanya memperkenalkan Jaganala.

   "Inilah kakakku perguruan. Katanya kau telah memperkenalkan namamu. Akan tetapi dia sendiri tak sudi."

   Ki jaganala tertawa lebar. Diapun menyambut kedatangan Lingga W isnu dengan ramah dan berkata.

   "Kupercaya lukamu te lah sembuh, bukan?"

   "Berkat bantuan eyang, lukaku telah sembuh,"

   Sahut Lingga W isnu.

   "Dan bila kau dapat keluar dari goa tanpa bantuanku, artinya kepandaianmu sudah berada diatas kami berdua."

   Lingga W isnu menundukkan kepalanya. Pujian itu terlalu tinggi baginya. Maka cepat- cepat ia menjawab.

   "T idak! Hanya secara kebetulan saja aku dapat keluar goa itu. Tadinya aku menangis dan berseru-seru memohon bantuan eyang."

   Puas Ki Jaganala mendengar ucapannya. Itulah suatu tanda, bahwa pemuda itu pandai membawa diri. Maka ia membawa Lingga W isnu duduk didekatnya. Dan berkatalah Rara W indu.

   "Kau ingin bertemu dengan sahabatmu Sekar Prabasin i, bukan?"

   "Tentu saja."

   Ki Jaganala mewakili perasaan Lingga W isnu. Rara W indu dan Hajar Kemasan lantas tertawa pelahan. Kata Rara Windu lagi.

   "Tentang diriku, niscaya engkau pernah mendengar. Juga tentang sepak t erjang kakakku seperguruan. Sebab waktu Argajati berkisah, kau berada disamping Sekar Prabasin i. Sekarang, baiklah kami terangkan apa sebab kami masih hidup dan berada disini."

   "Terima kasih atas kepercayaan eyang."

   Sahut Lingga W isnu dengan suara merendah. Rara W indu menghela napas. Lalu melanjutkan perkataannya.

   "Kami sengaja mengasingkan diri untuk mensucikan hati kami masing-masing. Karena itu, kami menutup diri untuk berhubungan dengan dunia Luar. Meskipun demikian, kami tetap memperhatikan apa yang terjadi dimuka bumi ini. Hati kami betapapun juga tak rela bila mendengar apalagi melihat suatu kebengisan menguasai kedamaian hidup rakyat jelata. Maka kami memut uskan untuk mencari pewaris. Maksud kami agar pewaris kami dapat mewakili gurunya berdarma terhadap kebajikan manusia. Namun karena sadar pula bahw a ilmu kepandaian itu makin lama makin maju, set iap kali kami mengadakan pertemuan dan latihan seperti yang kau lihat tadi. Selain memperdalam suatu ilmu, banyak juga gunanya untuk memanjangkan umur. Tentu saja hal ini terserah belaka kepada T uhan diatas kita. Jika Dia yang menghendaki, kamipun tidak berdaya menolaknya. Bukankah begitu?"

   Lingga W isnu mengangguk membenarkan. Ia menganggap ucapan Rara W indu menggelikan hati. Siapapun sadar akan hal itu. Karena itu ia bersenyum. Pikirnya didalam hati.

   "Rara W indu pandai merendahkan hati. Sama sekali tak terlihat bekas-bekas wataknya pada zaman muda menurut tutur kata orang banyak."

   Karena hari sudah cukup malam, Lingga W isnu dipersilahkan beristirahat dahulu.

   Dan pemuda itu tak berani menolak, meskipun hatinya berharap dapat bertemu dengan Sekar Prabasini dan sudaraw erti dengan segera.

   Kamar peristirahatan Lingga W isnu berada didekat telaga yang jernih.

   Sedang Hajar Kemasan menempati bilik lain.

   Dan di mana Ki Jaganala dan Rara windu beristirahat, tak diketahui Lingga W isnu.

   Malam itu terasa sunyi senyap.

   Teringat pengalamannya tadi, Lingga W isnu perlu berlatih menghimpun tenaga saktinya.

   Maka ia duduk bersemadi.

   Sekonyong-konyong ia mendengar suara dipermukaan air telaga.

   Ia bangkit dan mengintip dari lubang angin.

   Dan terlihatlah seorang laki-laki berdandan seperti Ki Jaganala.

   Karena rambutnya reraya pan, pastilah Hajar Kemasan.

   Orang tua itu berlari-larian.

   Hebat cara berlarinya.

   Tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan.

   Didalam sekejap saja, d ia sudah berada di t epi telaga.

   Dan seorang perempuan datang menyambutnya .

   "Hai, siapa?"

   Lingga W isnu te rtarik. Perempuan itu berperawakan sedang semampai. Tubuhnya montok dan berkesan teguh Sayang malam hari membuat penglihatan jadi tak jelas, meski bulan bersinar cukup cerah.

   "Kakang Kemasan! Apa sebab kau berlari-larian di malam hari?"

   Perempuan itu mint a keterangan. Hajar Kemasan tertawa lebar. Sahutnya.

   "Kalau kau mendengar berita ini, n iscaya akan pingsan. Tapi biarlah kusimpan dahulu. Sekarang aku harus lapor dahulu kepada gurumu."

   "Apakah ada suatu kesulitan?"

   "Mari!"

   Ajak Hajar Kemasan.

   Mereka kemudian mendaki ketinggian dan sebentar saja telah melint asi petak hutan.

   Lingga W isnu tertaik mendengar percakapan itu.

   Meskipun pendek, tapi cukup mengesankan baginya.

   Yang pertama, perempuan itu memanggil kakak terhadap Hajar Kemasan.

   Yang kedua agaknya terjadi suatu peristiwa penting.

   Dengan menggunakan ilmu ajaran kitab sakti, ia mengikuti mereka berdua.

   Hasilnya diluar dugaan.

   Sama sekali mereka tak mendengar bunyi langkahnya.

   Itulah suatu kemajuan yang hebat.

   Meskipun demikian, tak berani ia menghampiri terlalu dekat.

   Sebab betapapun juga, mereka berdua bukan tokoh-tokoh sembarangan.

   Kalau sampai ketahuan, rasanya t idak enak.

   "Mereka itu sebenarnya sahabat gurumu semasa mudanya. Yang berperawakan gemuk, pemimpin golongan Ugrasawa. Yang berperawakan jangkung, pemimpin aliran Perwati."

   Kata Hajar Kemasan.

   "Aku tahu siapa mereka, bukankah Anung Danusubrata dan Prangwerdani?"

   Sahut perempuan itu cepat.

   "Kabarnya Prangwedani sudah meninggal dan mempercayakan jabatannya kepada salah seorang muridnya. Ah, rupanya dua-duanya masih saja jadi sember keruwetan."

   "Bagaimana kau tahu?"

   Suara Hajar Kemasan meninggi. Lalu tertawa lebar. Katanya lagi.

   "Y a, aku tahu. Aku telah mendengar riwayat hidupmu."

   "Dari siapa?"

   Perempuan ini ganti bertanya .

   Lingga W isnu mendengar Hajar Kemasan tertawa melalu i dadanya.

   Dan pada saat tahu lah dia, siapa perempuan yang diajak berbicara Hajar Kemasan.

   Pastilah kakak perempuannya.

   Sudarawerti.

   Seketika itu juga, seluruh tubuhnya menggigil.

   Dadanya jadi penuh dan ingin saja ia menyerunya.

   Syukur, dapat ia menguasai diri.

   Bukankah sudah lama dia berpisah? Lagi pula dimalam hari.

   Niscaya akan menimbulkan salah duga walaupun Hajar Kemasan.

   Maka ia menghibur diri.

   "Biarlah esok hari saja. Dengan saksi Ki Jaganala dan Rara W indu, rasanya lebih mengesankan. Akupun takkan kena salah."

   "Danusubrata dan Prangwedani memang sumber keruwetan."

   Terdengar Hajar Kemasan mengalihkan pembicaraan.

   "Barangkali mereka masih penasaran terhadap tongkat Bibi. Tapi nyatanya, tongkat itu kena dialahkan parang gurumu. Sebentar tadi, aku menyaksikan. Baru setelah bibi bersenjata pedang mustika milik muridnya, parang paman Jaganala lu luh dibuatnya.

   "

   Diam-diam Lingga W isnu meraba tongkatnya sendiri.

   Kalau begitu, tongkat yang dibawanya lain dengan tongkat Rara W indu yang terkenal dengan sebutan tongkat mustika.

   Tongkatnya dan pedang Sekar Prabasini berasal dari goa harta karun.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jika pedang Sekar Prabasin i dapat meluluhkan parang Ki Jaganala, maka tongkat yang dibawanya niscaya setangguh pedang itu.

   Kalau begitu, Tongkatnyalah yang layak disebut tongkat mustika bukan tongkat Rara W indu yang menjadi perebutan orang, karena dimashurkan sebagai t ongkat mustika dunia.

   Teringat hal itu, ia jadi bersedih hati karena sudah berapa orang mati dalam perebutan itu.

   Diantaranya termasuk ayah bunda dan kakaknya tertua.

   Belum terhitung mereka yang kena dibunuh ayah-bundanya.

   "Sebenarnya siapakah murid bibi itu?"

   "Seperti dirimu. Sama-sama perempuan. Hanya saja namanya lain."

   Sahut Hajar Kemasan dengan tertawa.

   "Siapa namanya?"

   "Sekar Prabasini. Nah, bukankah lain bunyinya dengan Sudarawerti?"

   Ujar Hajar Kemasan. Tergetar hati Lingga W isnu. Benar-benar Sudarawerti perempuan itu. Dan pada saat itu, Sudarawerti tertawa geli. Katanya.

   "Apakah usianya set ataran pula denganku?"

   "T idak. Dia masih muda belia. Akan tetapi dengan cepat ia dapat menerima ajaran-ajaran bibi. Aku yakin, dalam waktu dua tahun saja dia sudah dapat mewarisi kepandaian gurunya."

   "O begitu?"

   "Besuk atau lusa, bibi akan melantiknya sebagai muridnya. Dia harus mengangkat sumpah. Diapun akan diuji. Itu sebabnya, kau dipanggil datang kemari untuk menghadiri."

   Lega hati Lingga W isnu mendengar percakapan mereka.

   Akan tetapi bagaimana halnya dengan Anung Danusubrata dan Prangwedani? Mereka berdua tidak mempercakapkan lagi.

   Karena mereka segera memasuki pertapaan Rara W indu.

   Lingga W isnu merasa tak sopan bila terus mengikut i.

   Maka ia balik ke peristirahatannya .

   Keesokan harinya ia bangun sebelum pagi hari cerah.

   Hawa gunung terasa sangat segar.

   Setelah bersemadi menghimpun tenaga saktinya, segera ia keluar.

   Dan Hajar Kemasan telah berdiri tegak didepan pintu menunggunya.

   "Anak! Bibi dan paman guru telah menunggumu semenjak fajar hari t adi."

   "Ah! Kenapa eyang tak mau membangunkan aku?"

   "Sebenarnya tidak sebagai b iasanya bibi dan paman membangunkan tetamunya sepagi ini. Tapi karena semalam terjadi sesuatu, maka beliau berdua ingin mendengarkan pendapatmu."

   Kata Hajar Kemasan dengan sungguh-sungguh.

   "kenapa aku? Apa yang harus kupersembahkan kepada beliau berdua?"

   Hajar Kemasan tertawa melalu i dadanya. Sahutnya .

   "Anak, kau membawa dirimu. Sebenarnya bibi sudah mengetahui siapa dirimu."

   "Pastilah Prabasini yang bercerita."

   "Benar,"

   Kata Hajar Kemasan.

   "Perhubungan mereka tak ubah ibu dan anak kandung belaka. Apalagi setelah mendengar kabar, bahw a Sudarawerti adalah ayundamu."

   "Hei! Pastilah eyang yang berkabar,"

   Seru Lingga W isnu bersyukur. Hajar Kemasan mengangguk. Katanya lagi.

   "Disini, semuanya harus terang benderang. Tak boleh diant ara kita menyimpan suatu rahasia atau sesuatu yang harus disembunyikan ."

   Lingga W isnu mengangguk mengerti.

   Ia kemudian mengikuti Hajar Kemasan.

   Sekarang pemandangan pertapaan Jongring Salaka menjadi jelas.

   Dataran ketinggian itu benar benar sedap dipandang dan seolaholah merupakan dunia sendiri yang terpisah dari dunia luar.

   Hajar Kemasan mengikut i pandang Lingga W isnu kemudian berkata sambil menuding.

   "Kami dapat melihat sekitar wilayan ini Lihat, semua yang bergerak dibawah dataran ini segera dapat kita ketahui."

   Lingga W isnu menjengukkan penglihatan.

   Benar semuanya nampak jelas.

   Teringat percakapan Hajar Kemasan dan Sudarawerti semalam tentang Anung Danusubrata dan Prangwedani dapatlah ia mengerti delapan bagian.

   Rupanya dua tetamu itu sudah diket ahui, sebelum mereka tiba.

   Nyatanya sampai pada pagi hari itu, kedua tetamu itu belum nampak.

   Lingga w fcsnu dibawa masuk ke sebuah ruangan mirip pendapa.

   Dari jauh ia melihat Sekar Prabasini dan Sudarawerti duduk bersimpuh menghadap Rara W indu dan Ki Jaganala.

   Mereka mengungkurkan pendapa, sehingga tak melihat kedatangannya.

   Tapi andaikata melihatpun, mereka pasti takkan berani mencoba menoleh atau menegor.

   Rara W indu dan Jaganala kelihatan angkar berwibawa.

   Terdengar suara Rara W indu samar-samar.

   "Betapapun juga, kita tak boleh membiarkan mereka berbuat seenaknya sendiri di sin i. Bukankah mereka yang datang kemari dengan maksud buruk?"

   "Hal itu harus kita buktikan dahulu."

   Jaganala seakan-akan mempertahankan.

   "Mengingat ikrar persabatan, biarlah aku nant i yang memberi penjelasan."

   "Bagaimana bila mereka mau menang sendiri? Apakah kita hanya t inggal berpeluk tangan saja?"

   Jaganala kelihatan berbimbang bimbang. Sejenak kemudian menjawab.

   "Bila demikian halnya, memang tak dapat kita berbuat lain. Hanya saja kuharap jangan dilukai. Aku percaya mereka akan mau mengerti ."

   Tentu saja Lingga W isnu tak dapat membaca persoalannya sangat jelas.

   Ia hanya dapat menarik kesimpulan bahw a baik Rara W indu maupun Ki Jaganala sudah memperoleh sikap.

   Syukur! Ketegangan wajah Rara W indu tidak berjalan lama.

   Setelah berenung renung sebentar, raut w ajahnya berobah.

   Suatu keserian mulai cerah.

   Dengan mengulum senyum ia menggapaikan tangannya kepada Lingga W isnu.

   Katanya.

   "Anak! Sebentar lagi aku akan mengangkat Sekar Prabasin i menjadi murid resmi. Bagaimana? Apakah kau setuju?"

   Itulah-pertanyaan diluar dugaan. Setelah duduk, Lingga W isnu menjawab.

   "Bila eyang berkenan dan dia senang, aku ikut syukur."

   Rara W indu meruntuhkan pandang kepada Sekar Prabasin i. Katanya .

   "Kau berdirilah, anakku! Apakah kau tak sudi menyambut kedatangan sahabatmu?"

   "Tentu saja aku gembira. Tapi bukankah aku sedang melakukan upacara?"

   Jawab Sekar Prabasini. Rara W indu tertegun sejenak. Lalu berkata memutuskan.

   "Biarlah kita tunda dahulu. Sebentar lagi kita akan menerima tetamu."

   Sekar Prabasini kemudian berdiri dan berputar menghadap Lingga W isnu.

   Dan begitu bertemu pandang, wajahnya berubah.

   Jelaslah sudah, bahw a ingin ia berbicara banyak.

   Hanya saja keadaan yang tak mengizinkan.

   Sudarawerti yang ikut berdiri pula.

   Melihat Lingga W isnu ia bergemetaran.

   Hanya saja kesannya lain dari pada Sekar Prabasini Setelah tertegun-tegun beberapa saat lamanya, ia berjalan menghampiri seraya berseru.

   "Lingga! Benarkah kau Lingga W isnu? Coba kemari! Biar kuperiksa keningmu."

   Lingga W isnu lantas saja merasa diri seorang anak yang baru saja pandai beringus.

   Suara Sudarawerti alangkah mengharukan dan menyedapkan hatinya.

   Itulah suara ibu kandungnya sendiri.

   Tanpa menghiraukan apapun juga, ia lari menghampiri dan memeluk ayunda nya.

   "Ayunda! Kau tak lupa padaku, bukan?"

   "Bagaimana aku bisa melupakan? Siang malam aku memikirkan dirimu. Hanya set elah kuperoleh dari guru bahw a engkau berada dalam asuhan paman-paman guru kita, legalah hatiku. Akan tetapi setiap kali besar harapanku dapat melihatmu. Ah, banyaklah yang akan kuceritakan kepadamu. Sekarang, biar kuperiksa bekas lukamu."

   Lingga W isnu mempunyai cacad bekas luka pada keningnya. Itulah cacad, tatkala dia kena luka dalam masa perburuan. Dan apabila melihat cacad itu, Sudarawerti mendekati dengan air mata berlinang.

   "Guru!"

   Katanya.

   "Tak dapat lagi aku menemukan suatu kalimat untuk menyatakan betapa besar rasa terima kasihku kepada guru. Karena guru, aku masih hidup. Karena guru aku menjadi manusia agak berarti. Karena guru aku dapat bertemu dengan adik kandungku. Karena guru ..."

   Jaganala t ertegun-tegun. Hatinya terharu bukan main. Terharu bercampur rasa bahagia. Selama hidupnya baru kali itu ia mengalami perasaan demikian. Tak terasa ia menoleh kepada Rara W indu. Rara W indu bersenyum kepadanya. Kata pendekar w anita itu.

   "Kau mengerti sekarang apa arti kebajikan itu. Karena kebajikanmu in ilah, semua kehilafan lebur punah. Selamat! Selamat!"

   "Kau pun merasakan rasa bahagia in i?"

   Jaganala menegas dengan suara t ak jelas.

   "Tentu."

   "Kaupun akan memperoleh kebahagiaan pula. Kaupun mempertemukan bocah itu dengan Sekar Prabasini."

   Kata Jaganala. Mendengar ucapan Jaganala, merah wajah Lingga wisnu. Iapun lantas mundur satu langkah menghadap padanya. Tatkala hendak membuka mulutnya, tiba-tiba terdengar suara memotong.

   "Hei saudara Jaganala! Kau sudah mempunyai istana, kenapa tak pernah mengundang padaku?"

   Mereka yang berada dalam ruang pendapa, menoleh.

   Dan nampaklah dua orang berpakaian jubah memasuki dataran ketinggian.

   Gesit gerak-gerik mereka.

   Sebentar saja mereka telah t iba dipendapa.

   Usia mereka rata-rata delapan puluh tahun lebih.

   W alaupun demikian, usia itu tidak membelenggu diri mereka.

   Yang berperawakan gemuk pendek adalah Anung Danusubrata.

   Dan yang agak kekurus-kurusan Prangwedani.

   Dengan Anung Danusubrata, Lingga Wisnu pernah melihat.

   Itulah tatkala dia dengan Kyahi Basaman diant arkan menghadap padanya.

   Sedangkan Prangwedani hanya mendengar namanya belaka.

   Mereka jadi tak senang hati mendengar ucapannya.

   Alangkah sombong dan memuakkan.

   Rara W indu dan Jaganala berdiri menyambut.

   Dan setelah mempersilahkan duduk, bertanyalah Rara W indu.

   "Sebenarnya apakah maksud kedatangan saudara berdua? Jaganala adalah kakakku. Tapi kukira saudara berdua datang demi untukku silahkan berbicara!"

   Prangwedani menoleh kepada Anung Danusubrata. Lalu menyahut.

   "Benar. Memang kami datang untukmu. Di manakah tongkat itu?"

   "Tongkat?"

   Rara W indu tercengang. Lalu tertawa geli.

   "Apakah tongkatku dahulu? Apanya yang menarik?"

   "Jangan bergurau!"

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bentak Anung Danu- subrata.

   "Sudah banyak korban dipihakku."

   "Juga pihakku."

   Prangwedani menguatkan.

   "Kenapa sampai jadi korban? Korban apa? Rara Windu heran.

   "Korban tongkat mustika."

   Aba-tiba Sudarawerti menyambung.

   "Eh, Sudarawerti. Didepan kedua tamu kita yang agung, janganlah ikut berbicara."

   Tegur Rara W indu. Akan tetapi suaranya tidak bersungguh-sungguh. Karena itu, Sudarawerti berkata lagi.

   "Merekalah penyakitnya. Merekalah sumber malapetaka keluarga kami."

   "Keluarga yang mana?"

   Bentak Prangwedani dan Anung Danusubrata dengan berbareng. Sudarawerti melemparkan pandang kepada Lingga W isnu. Ia nampak bersedih hati. Lalu menjawab terpaksa.

   "Duapuluh tahun yang lalu, bukankah ada anak buah kalian ikut memburu keluarga kami? "Keluarga kami yang mana?"

   Mereka menegas lagi. Sudarawerti menggigit bibirnya. Menjawab.

   "Pernahkah kalian mendengar nama pendekar Udayana?"

   "Hai!"

   Mereka t erkejut seperti kena sengat. Dan diluar kehendaknya sendiri, mereka sampai berbangkit dari tempat duduknya. Kemudian Anung Subrata menuding Sudarawerti dengan gemetaran. Membentak.

   "Kau siapa? Janganlah sembarang menuduh orang. Kau belum cukup dewasa, akan tetapi kenapa pandai memfitnah orang?"

   "Akulah salah seorang anaknya yang masih hidup."

   Mendengar jawaban Sudarawerti mereka saling pandang beberapa saat lamanya. Kemudian menoleh kepada Rara Windu. Kata Prangwedani .

   "Nah kau dengar sendiri k ini. Tongkat mustikamu yang membuat malapetaka itu."

   "Kenapa tongkatku? Selamanya tak pernah aku meninggalkan tempatku."

   Jawab Rara W indu dengan penasaran.

   "Coba tongkatmu dahulu kau berikan kepada kami, takkan terjadi korban begitu banyak"

   Gerutu Prangwedani seenaknya sendiri.

   Percakapan itu membuka pikiran Lingga W isnu.

   Sekarang, ia agak dapat memahami terjadinya peristiwa itu.

   Rupanya setelah menyaksikan betapa tangguh Rara W indu tatkala bertempur melawan Jaganala, tertariklah mereka pada senjata tongkatnya yang tak mempan oleh senjata tajam.

   Ingin mereka memiliki.

   Tapi dengan cara apa? Mereka percaya, bahwa dengan jumlah banyak akan dapat merebut tongkat itu.

   Namun setelah dipikirnya panjang-panjang, cara demikian t idak tepat.

   Sekarang mereka teringat kepada masalah hubungan antara Rara W indu dan Kyahi Basaman dizaman muda.

   Satu-satunya orang yang dapat meluluhkan kekerasan hati Rara W indu, hanyalah Kyahi Basaman.

   Tetapi orang tua itu terlalu saleh.

   Apa akal? Maka mereka hendak menempeleng dengan meminjam tangan Kyahi Basaman.

   Korban yang mereka pilih ialah Udayana yang hidup diluar rumah perguruan.

   Mereka berharap dengan matinya Udayana akan membangkitkan semangat tempur orang tua itu.

   Udayana digiring terus sampai ke Gunung Lawu.

   Disinilah dia baru dibunuh dengan segenap keluarganya.

   Gunung Lawu tempat Kyahi Basaman bertapa.

   Gunung Lawu tempat Rara W indu bersemayan.

   Dan Ki Jaganala yang mengetahui peristiwa itu, tak dapat mengulurkan tangan mengingat t ali persahabatan.

   Satu satunya jalan, hanya menyelamatkan salah seorang anggauta keluarga Udayana.

   Dan peristiwa selanjutnya yang dialami Lingga W isnu diatas gunung Cakrabuwana adalah dalam rangka merebut tongkat mustika Rara W indu.

   "Prangwedani! Anung Danusubrata!"

   Tiba-tiba Ki Jaganala meledak.

   "Pada zaman mudaku memang aku seorang jahanam. Tapi sama sekali tak pernah mengira, bahw a kalian jauh lebih jahanam daripadaku. Tatkala aku menyaksikan anak buahmu membunuh suatu keluarga dilereng gunung ini, tak sudi aku mengetahui latar belakangnya. Aku hanya t ahu diri. Bahwasanya tak boleh aku merint angi anak buahmu mengingat tali persahabatan kita dizaman muda. Tapi andaikata aku tahu latar belakangnya takkan kubiarkan anak buahmu mengganas begitu jahat."

   "Jaganala! Apakah dalam hal ini kau sudah berbalik memusuhi kami?"

   Teriak Anung Danusubrata.

   "Segala permusuhan dapat didamaikan. Dahulu aku pernah bentrok dengan Rara Windu. T api akhirnya dapat berdamai. Sekarangpun aku berharap demikian pula. Apalagi usia kita sudah lanjut. Sebelah kaki kita sudah masuk keliang kubur,"

   Jawab Jaganala dengan suara tenang.

   "Hm jelek-jelek akupun mempunyai t ongkat. Jika Rara W indu tidak menyerahkan tongkat itu, biarlah tongkatku yang menggebuknya,"

   Ujar Anung Danusubrata tak menghiraukan.

   Kemudian ia mengedipi Prangwedani yang segera berdiri bersiaga.

   Lingga W isnu lantas teringat kepada pengalamannya dahulu.

   Anung Danusubrata semenjak dahulu angkuh dan tak memandang siapapun sampai eyang gurunya bersedia mengalah demi kepentingannya.

   Kenangan itu senantiasa membuat hatinya berterima kasih terhadap eyang gurunya yang saleh.

   Ia berjanji kepada diri sendiri, hendak membalas budi.

   Rara W indu mengangkat kedua tangannya seperti menolak sesuatu.

   Lalu berkata.

   "Kakang Danusubrata dan kakang Prangwedani. Kita bukan anak kecil lagi. Kenapa mati-matian memperebutkan tongkat yang t iada harganya. W alaupun tongkat itu sangat ampuh, tapi sama sekali tak berarti bila yang menggunakan tak berkepandaian. Kurasa dalam hal in i sangat terletak pada ilmu kepandaian seseorang. Dan bukan tongkat itu sendiri."

   "0, begitu? Kau menganggap tingkat itu tak berharga? Nah, berikan kepada kami."

   Potong Anung Danusubrata dengan mengejek.

   Anung Danusubrata dan Prangwedani sengaja bersikap angkuh menghadapi Rara W indu.

   Dahulu mereka menyaksikan betapa Jaganala kena digebah gampang olehnya.

   Peristiwa itu tak pernah terlupakan.

   Mengetahui bahwa hal itu terjadi berkat ilmu gabungan, maka kedua pendekar itu membuat suatu persekutuan untuk saling tukar ilmu saktinya masing masing dengan tujuan hendak menghancurkan ketangguhan Rara W indu.

   Ilmu sakti mereka berdua, memang berasal dari satu sumber.

   Sayang, mereka t ak dapat minta bantuan Kyahi Basaman.

   Sebab Kyahi Basaman dahulu kekasih Rara W indu.

   W alaupun demikian, mereka percaya akan dapat menghadapi Rara W indu dengan bekal dua per tiga ilmu gabungan Ugrasawa dan Parwati.

   Seperti diketahui, ilmu sakti itu berasal dari Resi Roma Harsana d izaman Majapah it.

   Kemudian pecah menjadi tiga bagian.

   Ugrasawa, Parwati dan Aristi.

   Ugrasawa mencintai Parwati, sedang Parwati mencintai Aristi.

   Untuk menghindari suatu malapetaka kemudian hari Roma Harsana memecah ilmunya menjadi bagian.

   Masingmasing dapat berdiri sendiri, akan t etapi t ak dapat saling membunuh.

   Kecuali b ila mereka saling tukar ilmu kepandaian bagiannya masing-masing.

   Karena itu, Resi Roma Harsana melarang penggabungan itu.

   Dia mengutuki atas kehendak Dewa, bahwa barangsiapa melanggar pantangan itu akan bernasib buruk.

   Secara kebetulan, Kyahi Basaman yang menjadi ahliwaris aliran Aristi yang ketujuh terpaksa memohon bantuan Anung Danusubrata akan tetapi.

   kelinci percobaannya justeru mengambil salah seorang anak murid Kyahi Basaman.

   Dialah Udayana ayahanda Lingga W isnu dan Sudarawerti.

   Dengan demikian, terpaksa ia menolak agar tak memberi jejak pada maksud sebenarnya.

   Sementara itu, Anung Danusubrata diam-diam bekerja sama dengan Prangwedani meletakkan jabatannya agar terbebas dari ketentuan tata-tertib rumah perguruannya.

   Dia bahkan berkabar bahw a dirinya sudah meninggal.

   Dan kursi plmpinnan diserahkan kepada salah seorang anak muridnya yang pandai.

   Adapun tujuan mereka berdua hendak meyakinkan sejarah, bahw a ilmu sakti rumah perguruannya adalah yang tersakti dan terhebat.

   Pendek kata, tak sudi mereka melihat dua matahari dalam dunia.

   Demikianlah, sete-lah merasa kuat, mereka kini hendak mencoba ilmu gabungannya melawan Rara W indu.

   Rara W indu bukan manusia goblok.

   Semenjak semula ia menaruh curiga terhadap mereka berdua.

   W aktu mengadu kepandaian melawan Jaganala, mereka berdua hadir.

   Tak mengapa.

   Mungkin secara kebetulan saja.

   Tapi yang kedua kalinya, kenapa justru mereka berdua yang mengajak Jaganala mendatangi pertapaannya? Niscaya ada udang dibalik batu.

   Karena itu, ia menantang mereka pula.

   Tapi tatkala itu Anung Danusubrata dan Prangwedani merasa diri tak ungkulan.

   Itulah sebabnya mereka berjanji hendak hadir sebagai saksi semata.

   Jaganala yang berwatak berangasan semasa mudanya menjadi tak senang hati.

   W alaupun mereka berdua termasuk sahabat sahabatnya, namun dengan Rara W indu ia sudah hidup damai puluhan tahun lamanya.

   Lagipula dia salah seorang adik seperguruannya.

   Puluhan tahun pula, dia senantiasa berlatih bersama.

   Dan tatkala mengambil Sudarawerti sebagai murid, Rara W indu ikut pula menyumbangkan kepandaiannya.

   Oleh pikiran itu, tak terasa ia mengerling kepada Sudarawerti.

   Semenjak tadi, Sudarawerti mendongkol terhadap mereka berdua.

   Apalagi, mereka adalah sumber malapetaka orang tuanya.

   Maka begitu menerima kerlingan gurunya, ia salah terka.

   Ia mengira, gurunya memberi kisikan padanya agar menghajar mereka berdua.

   Tak mengherankan rasa dendamnya meledak memenuhi dadanya.

   Ia sadar, bahw a mereka berdua bukan tokoh-tokoh sembarangan.

   Kepandaiannya mungkin set araf dengan kedua gurunya.

   Akan tetapi ia tak gentar.

   Ia percaya, kedua gurunya tidak akan tinggal diam bila dia berada dalam bahaya.

   Dengan pertimbangan demikian, mendadak saja ia melompat kedepan Prangwedani sambil berkata .

   "Maaf. Biarlah aku yang mewakili."

   Gesit gerakan Sudarawerti.

   Berbareng dengan perkataannya, tangannya menekuk.

   Tatkala kedua kakinya mendarat, kedua tangannya diajukan kedepan.

   Jelas sekali ia melontarkan tenaga himpunan.

   Suatu gumpalan tenaga tiba dengan dahsyat.

   Prangwedani baru saja bangkit dari kursinya.

   Sama sekali ia tak menduga bakal diserang demikian.

   Ia tertolak mundur hingga terjengkang.

   Tentu saja Rara windu dan Jaganala terperanjat.

   Namun t ak sempat lagi mereka mencegah.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   W ajah Prangwedani merah padam.

   Ia terperanjat dan malu sekali.

   Dengan serta merta ia bangun.

   Tanpa menghiraukan lagi siapa yang menyerangnya, ia membalas dengan pukulan tenaga.

   Dialah ketua aliran Parwati.

   Tak usah dijelaskan lagi, bahw a himpunan tenaga saktinya luar biasa hebatnya.

   Apalagi ilmu saktinya kini sudah bergabung dengan ilmu sakti aliran Ugrasawa.

   Seketika itu juga, tempat duduk Sudarawerti yang terbuat dari batu pualam, hancur berhamburan.

   Sudarawerti sudah bersiaga.

   Kedua kakinya menjejak tanah dan tubuhnya mental tinggi.

   Dengan demikian, tempat duduk yang hancur berhamburan itu sama sekali tak mengenai dirinya.

   Lalu mendarat dihalaman dejpan dengan tak kurang suatu apa.

   Prangwedani mendongkol.

   Selama hidupnya belum pernah ia terhina demikian rupa.

   Murid muridnya dahulu yang seusia Sudarawerti ratusan orang jumlahnya.

   Kecuali anak seorang yang berkedudukan baik, kini sudah berumur diatas limapuluh tahun.

   W alaupun demikian tak berani mereka beradu pandang dengannya Apalagi mencoba-coba menyerang berhadap-hadapan.

   Dapat dibayangkan betapa panas hatinya.

   Dengan serentak ia mengejar Sudarawerti sambil melontarkan pukulan.

   Bentaknya.

   "Budak kurang ajar! Kau hendak lari ke mana?"

   Sudarawerti berputar dan menangkis.

   T enaga mereka berdua berbenturan.

   Bres! Dan pada saat itu, tubuh Sudarawerti t erbang ke udara dan hinggap diatas pohon.

   Indah dan cekatan gerakan Sudarawerti.

   Ia sudah mewarisi kepandaian gurunya.

   Gerak-geriknya wajar dan kecepatannya mengingatkan Prangwedani pada Rara W indu semasa mudanya.

   Tapi justru demikian, ia makin mendongkol.

   Kembali lagi ia menyusul dan membarengi dengan pukulan hawa.

   Sudarawerti tak sudi mengadu tenaga lagi.

   Ia mengelak dan meloncat kesana kemari memperlihatkan kelincahannya.

   Dan tak terasa tigapuluh jurus telah lewat.

   Selama itu pula pukulan Prangwedani yang dahsyat bagaikan guntur tak pernah menyentuh dirinya.

   Sekarang Prangwedani yang jadi kelabakan.

   Betapapun juga, usianya sudah lanjut.

   Inilah suatu, hal yang berada diluar perhitungannya.

   Meskipun ragam ilmu kepandaiannya bertambah sekian kali lipat, akan tetapi tenaga saktinya sebagai dasarnya tidak sekuat dahulu lagi.

   Tak dikehendaki sendiri, tenaganya makin terasa berkurang.

   Dan justru pada saat itu, Sudarawerti mulai melancarkan serangan balasan.

   Diapun berani mengadu tenaga pula.

   Prangwedani terpaksa membela diri dan bertahan sebisa-bisanya.

   Dengan tangan kiri ia melindungi dadanya dan dengan tangan kanannya ia mencoba menyerang serta melakukan t ata muslihat.

   Kelima jarinya mencengkeram.

   Maksudnya hendak menangkap kemudian meremukkan.

   Tentu saja Sudarawerti tak sudi menjadi korban Dengan cerdiknya, ia menukar serangannya.

   Tangan kirinya menyapu dan dua jari tangan kanan, tiba-tiba menyelonong mengarah mata.

   Prangwedani terperanjat.

   Terpaksa ia mengangkat tangan kanannya untuk melindungi wajahnya sambil menundukkan kepalanya.

   Ia bermaksud melindungi mata dan menangkis.

   Tapi dengan demikian, ia menutupi bidang penglihatannya sendiri.

   Sudarawerti cerdik.

   Ia membatalkan serangannya.

   Dengan mendadak ia kini yang mencengkeram.

   Yang dicengkeram pergelangan tangan kanan Prangwedani yang terangkat melindungi wajahnya.

   Prangwedani kaget sampai ia berjingkrak, tatkala pergelangan tangannya kena tangkap.

   Tahu-tahu tenaganya menjadi punah.

   Sudarawerti tak mau kehilangan kesempatan yang bagus itu.

   Ia tahu pula, bahw a tenaga himpunan lawannya punah kena cengkeramannya yang tepat mencengkeram urat nadi.

   Terus saja ia mengangkat tubuh Prangwedani tinggi di udara dan dibawanya berputar.

   Dengan sekali menghentak, tubuh Prangwedani terbang bagaikan layang-layang putus dan jatuh tercebur didalam telaga.

   Lingga W isnu tersenyum dan puas.

   Kepandaian ayundanya ternyata berada diatas semua kakak-kakak seperguruannya.

   Mungkin sekali sejajar dengan kepandaian kedua gurunya.

   Betapa tidak? Kedudukan Prangwedani sejajar dengan kedua gurunya.

   Bahkan set ingkat lebih-tinggi.

   Dan tak beda dengan eyang gurunya (Kyahi Basaman) yang memimpin aliran Aristi.

   Dan dalam suatu pertempuran yang cepat, dapat melemparkan Ketua aliran Parwati sangat mudah.

   Jaganala jadi tak enak hati.

   Ia khawatir persoalan akan menjadi tambah rumit.

   Ia menjejak tanah dan tubuhnya terbang kepermukaan air telaga.

   Dan dengan sekali sambar ia membawa Prangwedani kedarat.

   Justeru pada saat itu, Anung Danusubrata datang menyerang.

   "Kau menghianati persahabatan. Maka kau pun harus mandi didalam t elaga."

   Serunya.

   Lingga W isnu merasa berhut ang budi terhadap Jaganala.

   Kecuali ayundanya, dirinyapun pernah diselamatkan.

   Maka tanpa berpikir lagi ia melompat dan memunahkan tenaga pukulan Anung Danusubrata.

   Dan akibatnya hebat sekali sehingga membuat siapapun tercengang.

   Termasuk dirinya sendiri.

   Betapa tidak? Ia hanya mengebaskan tangannya.

   Tapi suatu gelombang himpunan tenaga yang dahsyat luar buasa, mengangkat tubuh Anung Danusubrata tinggi diudara.

   Untung sekali ia tak bermaksud jahat.

   Maka setelah dibawa jungkir balik oleh arus tenaga yang berputaran, ketua golongan Ugrasawa itu didaratkan dengan tak kurang suatu apa.

   Anung Danusubrata begitu terperanjat sampai beberapa saat lamanya, berdiri tertegun.

   Tapi setelah melihat siapa yang melemparkan, ia malu penasaran dan tercengang.

   Dengan t ongkatnya ia menuding.

   Kemudian membentak .

   "Kau siapa?"

   "Siapa namaku tak penting. Tapi biarlah aku yang mewakili. Sebab dalam hal in i aku langsung tersangkut."

   Jawab Lingga W isnu.

   "Kau siapa?"

   Kali ini suara Anung Danusubrata bergetaran.

   "Akupun dahulu pernah datang kebiaramu."

   "Siapa?"

   Anung Danusubrata tertegun. Dan ia nampak berpikir keras.

   "Janganlah kau sembarangan saja menjawab pertanyaanku. Apakah kau kira aku kena kau gertak dengan ...

   "W aktu itu aku masih kanak-kanak. Aku datang dengan eyang gifiuku untuk minta pertolonganmu. Tapi jangan lagi menolong, bahkan aku sengaja kau racuni. Padahal eyang guruku sudah mau mengalah dengan menyerahkan int i rahasia ilmu sakti Alirannya. Meskipun kurang jelas karena eyang guru tidak dapat hadir, tapi sebagai seorang pandai niscaya engkau sudah mengantongi. Sungguh hebat tipu muslihatmu. Kau bekerja sama dengan Prangwedani, tapi dia hanya memperoleh ilmu sakti aliran Ugrasawa. Sedangkan engkau tidak hanya memperoleh rahasia ilmu sakti Parwati tapi lengkap dengan aliran Aristi. Dengan demikian, kaulah yang sebenarnya berhak menyematkan diri sebagai pengganti cikal bakal tritunggal."

   "Hei, sebenarnya kau siapa?"

   Anung Danusubrata penasaran dan bingung. Lingga W isnu sudah terlanjur menelanjangi orang. Tak sudi lagi ia kepalang tanggung. Katanya lagi.

   "Bukankah orang tua yang bersembunyi di dalam tembok itu adalah Prangwedani? Dialah yang menghancurkan aku atas perint ahmu. Setidak-tidaknya atas sepengetahuanmu. Kenapa dia tidak memperoleh bagian? Sekiranya dia memperoleh bagiannya, tidaklah mudah kakakku perempuan menceburkannya kedalam telaga. Jadi apabila d itelusur, maka engkaulah yang menceburkan Prangwedani didalam telaga. Bukan kakakku perempuan."

   Seketika itu juga, Anung Danusubrata tertegun kebingungan. Mendadak saja teringat lah dia kepada sibocah yang berpenyakitan Serunya diluar kemauannya sendiri.

   "Jadi kaulah dahulu yang datang dengan Kyahi Basaman?"

   "Benar. Akulah Lingga W isnu."

   "Kau kenapa adikku?"

   Tiba-tiba Sudarawerti memotong percakapan mereka.

   "Panjang ceritanya. Biarlah aku menghajar pendeta ini dahulu. Sebentar kukabaskan pengalamanku itu."

   Jawab Lingga W isnu.

   Sudarawerti tak mengira bahw a adiknya dapat melontarkan Anung Danusubrata demikian mudah.

   Maka ia percaya akan ketangguhannya hanya sampai dimana masih merupakan teka teki besar.

   Rupanya, baik Jaganala maupun Rara Windu menaruh perhatian besar terhadap Lingga W isnu.

   Ia heran menyaksikan pemuda itu dapat melemparkan Anung Danusubrata dengan sekali kebas.

   Apalagi Anung Danusubrata menyinggung nyinggung nama Kyahi Basaman.

   Sedang pemuda itu mengakui diri sebagai cucu muridnya.

   Dalam pada itu wajah Anung Danusubrata merah padam karena kena dibongkar rahasianya dan Prangwedani yang sempat pula mendengar ucapan Lingga W isnu nampak terlongong longong.

   Ia tertolong Jaganala meskipun pakaiannya tetap basah kuyup.

   Lalu menegas.

   "Hei Anung! Benarkah ucapan bocah itu?"

   "Kau t unggulah barang sebentar! Biarlah aku menutup mulut nya yang liar tak keruan!"

   Jawab Anung Danusubrata mengelakkan pertanyaan Prangwedani.

   "Hm ..."

   Dengus Lingga W isnu. Lalu berputar mengawasi Prangwedani. Berkata.

   "Kaupun nanti harus menerima bag ian pula. Hut ang nyawa haruslah dibayar dengan nyawa. Hutang uang harus dibayar dengan uang dan hutang tenaga harus dibayar dengan tenaga."

   "Hut ang tenaga bagamana?"

   Prangwedani tak mengerti.

   "Bukankah engkau yang meracuni diriku? Bila saja aku tak tertolong, saat ini aku sudah menjadi kerangka. Engkaulah yang menyebabkan. Nah, kau rasakan nant i pembayarannya. Dan jangan coba berpikir hendak melarikan diri! Aku, Lingga W isnu, akan memburumu meskipun kau mengungsi ke ujung neraka."

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Makin berbicara banyak, hati Lingga W isnu makin menjadi panas.

   Itulah berkat pengalaman hidupnya yang terlalu pahit.

   Ia bahkan merasa pasti pula, bahw a Prangwedani, yang memukul dirinya tatkala ayah bundanya kena kerubut.

   Hal itu ingin dilontakkan sekaligus, tapi pada saat itu Anung Danusubrata sudah menyerang dengan tongkat andalannya yang dianggap sakti.

   Memang ilmu kepandaian Anung Danusubrata ternyata berada diatas Prangwedani.

   Tenaganya dahsyat luar biasa.

   Apalagi ia bersenjata tongkat.

   Tak mengherankan mereka yang menyaksikan menjadi cemas.

   Hanya Sekar Prabasin i seorang yang tetap tenang.

   


Legenda Kematian -- Gu Long Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung

Cari Blog Ini