Pedang Sakti Tongkat Mustika 21
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 21
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
"Apakah kawanmu sanggup berlawan lawanan dengan Anung Danusubrata?"
Tanya Rara W indu mencoba.
"Guru! Dia pernah dikerubut berpuluh musuh. Namun seorang diri, dia sanggup mentaklukkan."
Jawab gadis itu.
Sebenarnya jawabannya kurang tepat.
Dikerubut berpuluh orang, bukan suatu ukuran.
Rara W indu sendiri akan sanggup menundukkan berpuluh-puluh orang.
Sebaliknya ilmunya dan kesaktiannya Anung Danusubrata bukan olah-olah tingginya.
Menurut titur kata Lingga W isnu, dia kini sudah memiliki ilmu sakti tritunggal.
Gabungan ilmu sakti Ugrasawa dan Parwati serta Aristi yang sudah dapat berdiri sendiri dengan tegaknya semenjak puluhan tahun lamanya.
Rasa Rara W indu sendiri akan dapat dibuatnya repot.
Pendekar wanita tua itu berpikir didalam hati .
"Dapatkah aku berlawan-lawanan dengan tenaga gabungan Anung Danusubrata, Prangwedani dan Basaman?"
Rara W indu menghela napas.
Ia menggigil dengan sendirinya.
Maka ia menganggap Sekar Prabasini bermulut besar.
Atau jawabannya sebenarnya sebuah doa bagi sahabatnya yang mungkin istimewa.
Sebaliknya Sekar Prabasini makin tenang.
Rara W indu tak tahu, bahw a pemuda itu telah menemukan sebuah kitab sakti yang tiada bandingnya di dunia.
Dalam hal ini Sekar Prabasin i t ak mau membuka rahasia itu walaupun kepada gurunya sendiri yang sudah mengangkatnya sebagai anak kandung.
Tatkala itu terdengar suara Lingga W isnu .
"Jangan tergesa-gesa mengadu tenaga. Tenangkan hatimu! Aku akan membuatmu puas."
"Apakah kau malekat?"
Bentak Anung Danusubrata penasaran.
"Kita membuat perjanjian dahulu."
Lingga W isnu tak menghiraukan.
"Perjanjian apa?"
"Mari kita bertempur diatas permukaan air. Bukankah kau t adi berpenasaran melihat sahabatmu jatuh tercebur didalam telaga tak ubah ayam terondol? Setidak-tidaknya didalam hatimu niscay a timbul suatu tekat hendak membalas dengan menceburkan diriku kedalam telaga. Legakan hatimu, aku akan memberi kesempatan. Lagi pula bertempur dengan cara demikian jauh lebih berharga dari pada bertempur semacam anak kampung."
"Jangan mengoceh tak keruan. Siapa tak tahu bahwa kau sedang mengulur umurmu?"
Bentak Anung Danusubrata. Lingga W isnu tertawa. Menyahut.
"Jadi kau set uju bukan? Nah, siapa yang mendarat lebih dahulu, dialah yang kalah. Seumpama aku, kau boleh mengemplang diriku sesuka hatimu. Sebaliknya bila kau kalau kau harus keluar dari dataran ketinggian ini dengan bergelundungan. Bagaimana?"
Anung Danusubrata mencuri pandang ke arah telaga, dilihatnya beberapa helai daun kering mengambang diatas permukaan air. Maka berkatalah dia angkuh.
"Baik. Jadi kau ingin mampus d i dalam air? Itulah kehendakmu sendiri."
Lingga W isnu kemudian menghunus sesuatu dari balik pinggangnya. Itulah sebatang tongkat yang diketemukan didalam goa harta karun - dan melihat tongkat itu, mereka semua berseru tertahan .
"Tongkat! Hei, tongkat apa?"
"Inilah tongkat mustika yang kalian perebutkan. Nah, ambillah tongkat ini. Kepadaku kalian berdua harus menuntut dan bukan kepada pemilik wilayah ini."
Sahut Lingga W isnu dengan mengangkat kepala, dia sengaja, berlagak oleh rasa mendongkol dan benci.
kemudian dengan menjejakkan kakinya ia terbang tinggi dan mendarat diatas daun kering.
Sudah barang tentu Anung Danusubrata tidak sudi membiarkan pemuda itu mendarat dengan aman sentausa.
Dengan tongkatnya ia menggebuk permukaan air.
Seketika itu juga, air teraduk dan berputar-putar.
Bahaya besar segera mengancam.
Sebab mau tak mau Lingga W isnu terpaksa mendarat.
Dan bila sampai mendarat, artinya kalah.
Karena itu Sudarawerti sampai memekik.
Diluar dugaan, Lingga W isnu dapat melesat mundur dan mendarat pada daun kering lainnya.
Anung Danusubrata tak mau kalah pamor.
Segera ia meloncat pula kedalam air.
Meskipun gemuk, tetapi Anung Danusubrata sudah berhasil menggabungkan tiga aliran sakti menjadi satu.
Gerak-geriknya luar biasa gesit dan bertenaga dahsyat.
Ia menyabetkan tongkatnya menghajar law annya yang masih muda.
Lingga W isnu terpaksa mundur lagi.
Menyaksikan hal itu, timbul rasa girang dalam hati Anung Danusubrata.
Ia hendak main desak, bila didesak terus menerus, bukankah Lingga W isnu terpaksa melompat undur kedarat ...
? Akan tetapi dugaan Anung Danusubrata meleset.
Lingga W isnu kini tak sudi mundur lagi.
Ia menghalangkan tongkatnya dan mulai mengadakan perlawanan.
Manakala melihat bahwa Anung Danusubrata mendesak terus, ia menabas permukaan air.
Air lantas saja berput aran cepat sekali.
Berkelahi diatas air tidaklah semudah didaratan.
Kecuali harus mahir meringankan tubuh, harus pula lincah.
Susahnya lagi b ila hendak menghajar lawan mau tak mau terpaksa mengerahkan tenaga.
Dengan tekanan tenaga itu, kaki yang berada diatas daun kering akan melesak kedalam.
Sekarang Anung Danusubrata menghadapi air berputar.
Selagi demikian, air itupun menghisap pula.
Dalam kagetnya, ia memukulkan tongkatnya.
Ia berharap dapat memperoleh arus tenaga berbalik.
Akan tetapi kedua kakinya sudah terlanjur melesak kedalam permukaan air.
Cepat-cepat ia meloncat ke arah daun kering yang berada didepannya.
Tatkala itu, ia melihat Lingga W isnu bergerak hendak menghalangi.
Buru-buru ia menghimpun tenaga dan meniup sekeras kerasnya.
Hebat tenaga tiupannya.
Permukaan air bergelombang dan hampir saja membuat Lingga W isnu kehilangan keseimbangan.
Selagi demikian, iapun menyerang pula.
Lingga W isnu t entu saja tak tinggal diam.
Tongkatnya menabas.
Dan pada det ik itu, tubuhnya membal keatas.
"Hei! Kau mau apa?"
Teriak Anung Danusubrata.
Ia menghajarkan tongkatnya.
Justru demikian, ujung tongkat Lingga W isnu menikam dari udara dan tepat sekali mengenai ujung tongkatnya.
Ia kaget, sebab tongkat Lingga W isnu seakan-akan menempel.
Dengan mati-matian ia mencoba membebaskan diri.
Tapi ia kena tekan.
Tak mengherankan, berat t ubuhnya menjadi dua kali lipat.
Kedua kakinya lantas saja melesak kedalam sebatas dengkul.
"Hei!"
Ia memekik terkejut.
Lingga W isnu tersenyum.
Sebenarnya Anung Danusubrata harus mengaku kalah.
Tapi orang tua itu agaknya tak sudi mengalah.
W ataknya selamanya mau menang sendiri.
Agar membuat hatinya puas, Lingga W isnu menyongkelkan tongkatnya.
Seketika itu juga, tubuh Anung Danusubrata terangkat naik dan di lemparkan kedaratan.
Dia sendiri lant as berjungkir balik dan mendarat pada daun kering disebelah sana.
Anung Danusubrata tak dapat menguasai diri lagi.
Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja saluran perasaannya macet.
Tahu-tahu, ia terbanting diatas tanah bergedebukan.
"Danusubrata! Kau kalah!"
Terdengar suara Jaganala.
"Sudahlah! Kau harus mengaku kalah."
Merah padam wajah Anung Danusubrata. Memang ia harus merasa kalah. Akan tetapi hatinya belum puas. Bagaimana kalau mengadu kepandaian didarat? Tiba-tiba saja t imbullah rasa jahatnya. Ia berpura-pura berseru.
"Anak muda! Aku kalah. Aku pantas menjadi muridmu."
Lingga W isnu tertawa.
Ia lantas mendarat.
Diluar dugaan, tiba-tiba Anung Danusubrata membuang tongkatnya.
Lalu menyerang dengan tangan kosong.
Lingga W isnu menyambut serangan itu dengan tangan kiri samb il menyimpan tongkatnya pula.
Suatu gelombang dahsyat mulai berbenturan.
Sebentar saja, wajah Anung Danusubrata nampak merah padam.
Dengan megap-megap ia berseru kepada Prangwedani .
"Inilah saat-saat pertaruhan kita. Apakah kau akan tinggal diam?"
Prangwedani seperti kena sihir.
Terus saja ia melompat dan menempelkan t angannya pada punggung Anung Danusubrata.
Lingga W isnu kemudian merasakan betapa tenaga Anung Danusubrata jadi bertambah sekian lipat.
Sudarawerti dan Sekar Prabasini jadi tak senang hati.
Inilah pertempuran.
kerubutan seperti kanak-kanak.
Sekar Prabasini yang berwatak panas, lantas saja mengejek.
"Bagus! Inilah Ketua Aliran besar Ugrasawa dan Parwati yang kepandaiannya hanya mengkerubut seorang pemuda yang pantas menjadi cucu muridnya. Bagus!"
Tentu saja, mereka berdua mendengar belaka katakata Sekar Prabasini.
Akan tetapi pada saat itu, mereka seumpama berada diatas punggung seekor harimau.
Tak dapatlah mereka mengalah atau meleng sedikit saja.
Bahaya mengancam akan bertambah besar.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu berkatalah Rara W indu .
"Tenangkan hatimu, anak! Himpunan tenaga sakti sahabatmu itu masih lebih dari pada cukup."
Sekar Prabasin i menoleh.
Mendengar ucapan gurunya, hatinya mau percaya.
Maka sekarang ia dapat mengikuti adu tenaga sakti itu dengan hati mantap.
Anung Danusubrata berdua Prangwedani mengeluh ketika merasa himpunan tenaga sakti mereka seperti terkuras.
Mereka terperanjat dan berusaha mati-matian hendak membebaskan diri.
Akan tetapi jasmaninya seperti kena arus aliran listrik yang mahabesar.
Tak dapat lagi mereka bergerak.
Karena itu mereka mengeluh.
Sekarang mereka hendak berteriak.
Akan tetapi set iap kali hendak membuka mulut kerongkongannya seperti kena gumpalan darah yang akan segera keluar.
Selama hidupnya, belum pernah mereka takut, berkecil hati atau gentar terhadap siapapun.
Kini mereka merasakan hal itu.
Hatinya meringkus ciut.
Dan suatu bayangan mati tercetak didepan kelopak matanya.
Keruan saja wajah mereka pucat lesi.
Syukur, Lingga W isnu dapat menguasai diri.
W alaupun hatinya tadi benci dan terbakar rasa ingin membalas dendam, tapi dia sudah biasa h idup terhina dan direndahkan.
Dapat ia memaafkan dan memaklum i.
Oleh pertimbangan itu, perlahan-lahan ia menarik tenaganya kembali.
Lalu meloncat undur beberapa langkah.
Dan pada saat itu, Anung Danusubrata dan Prangwedani roboh lunglai.
Mulut nya menyemprotkan darah.
Dan seluruh himpunan tenaga saktinya t erkuras habis.
Benar, pengetahuannya tidak hilang, akan tetapi untuk bisa memperoleh himpunan tenaga sakti sedahsyat sekarang, akan membutuhkan waktu, dua atau tigapuluh tahun lagi.
Padahal umurnya kin i sudah mendekati seratus tahun.
Masih adakah harapan untuk memperoleh gerak hidup lagi? Mereka jadi berputus asa.
Semua jerih payahnya jadi sia-sia.
Entah apa sebabnya tiba-tiba teringatlah dia kepada kutuk leluhurnya.
Siapa yang berani menggabungkan tiga ilmu saktinya yang sudah dibagi akan hancur seluruh hidupnya.
Dan kutuk itu benar-benar terjadi kini.
0dewi-kz0 1.
SELAMAT TINGGAL SEMUANYA DENGAN MENGHELA napas Ki Jaganala merenungi dua sahabatnya yang roboh terkulai di atas t anah.
Ia jadi teringat kepada watak serta perangai diri sendiri dikala mudanya.
Diapun dahulu besar kepala dan mau menang sendiri.
Syukur dia sadar serta insyaf terhadap kebajikan manusia sesungguhnya.
Seumpama tidak, diapun mungkin akan mengalami nasib demikian.
"Kemasan! Maukah kau menolong mereka?"
Ia menoleh kepada kemenakan muridnya.
Tak dapat ia mint a bantuan terhadap Sekar Prabasini maupun Sudarawerti.
Karena mereka gadis, mereka pun bermusuhan dengan dua sahabatnya itu.
Juga, ia tak dapat mint a bantuan Lingga W isnu yang justru bermusuhan langsung.
Tapi diluar dugaan, Lingga W isnu menghampiri dan t erus memondong Anung Danusubrata.
Menyaksikan hal itu, Ki Jaganala kagum bukan main.
Sedang Rara W indu memanggut puas dan teringat kepada Basaman waktu mudanya.
Diapun memiliki hati lapang.
Selapang hati Lingga W isnu.
Ki Jaganala kemudian menggendong Prangwedani.
Tatkala Hajar Kemasan buru-buru hendak menggantikan, ia menolak.
Dengan lembut ia berkata.
"Kata orang, kanak-kanak harus belajar mewarisi pengalaman orang tua. Tapi sesungguhnya, pada w aktu ini orang tua harus belajar kepada pengucapan hati kanak-kanak. Sekarangpun aku sedang menjadi murid anakku Lingga W isnu."
Sudah barang tentu, Lingga W isnu tersipu. Sahutnya.
"Eyang! Tak berani aku menerima penghargaan demikian tinggi. Kalau sampai terjadi begini, sesungguhnya karena t erpaksa saja. Hatiku tadi, sangat sakit. Sekarang setelah melampiaskan, apa guna aku berkepanjangan. Siapapun berhak dan diberi kesempatan untuk mencari jalan kesadaran."
Anung Danusubrata dan Prangwedani kemudian ditempatkan didalam bilik sebelah.
Mereka masih belum memperoleh rasa sadarnya kembali.
Luka yang diderita terlalu parah.
Andaikata tidak memiliki himpunan tenaga sakti yang sudah mencapai tataran kesempurnaan, niscaya jiwanya sudah terenggut.
Lingga W isnu kemudian menceritakan latar belakang peristiwa pertemuannya dengan Anung Danusubrata dan Prangwedani.
Rara W indu dan Jaganala menghela napas panjang.
Sedang Sekar Prabasini dan Sudarawerti merah padam karena mendongkol dan benci.
"Sekarang, perkenankan aku mohon penjelasan agar tenteramlah hatiku."
Akhirnya Lingga W isnu berkata.
"Eyang Jaganala adalah tokoh berjuba abu-abu yang menolong dan menyelamatkan ayunda. Tapi seingatku, aku melihat tiga tokoh yang berpakaian jubah. Yang pertama eyang. Yang kedua paman Podang W ilis dan yang ketiga samar-samar. W aktu itu, aku kena dipukulnya. Apakah bukan pendekar Prangwedani?"
"Benar."
Jaganala mengangguk membenarkan.
"Itulah sebabnya tak dapat aku mengulurkan tangan tatkala melihat ayah bundamu kena keroyok. Satu-satunya jalan yang dapat kulakukan hanyalah menyelamatkan ayundamu. Maklumlah, mereka adalah sahabat sahabatku. Aku terikat pada arti persahabatan itu."
Diingatkan peristiwa itu, Sudarawerti menangis sedih. Lingga W isnu kemudian menghibur .
"Ayunda! Ayah bunda sudah terkubur baik baik. Eyang dan paman-paman guru yang melakukan upacara penguburan. Akupun dahulu menangis sedih diantara kesadaranku yang bentar ada dan tiada. Hal itulah yang membuat hati eyang guru runtuh. Eyang guru sampai mengorbankan pantangan rumah perguruan demi merebut hidupku. Akan tetapi ternyata kebaikan eyang guru disalah gunakan Anung Danusubrata dan Prangwedani."
"Kenapa t ak kau bunuh saja?"
Sudarawerti menyahut diant ara sedu sedannya.
"Mereka kini sudah punah seluruh himpunan tenaga saktinya. Seorang penggembalapun dapat memukulnya roboh. Mudah-mudahan, mereka menjadi sadar. Dan kuharapkan saja b isa merubah diri dalam menghabiskan sisa hidup nya."
Ki Jaganala dan Rara W indu mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa maksud Lingga W isnu. Kemudian bertanyalah Rara W indu.
"Anak! Jika kau tak berkeberatan, maukah kau menerangkan tentang asal usul tongkatmu itu? Dan siapakah gurumu?"
Lingga W isnu berbimbang-bimbang sebentar.
Kemudian ia menyebutkan nama.
Kyahi Sambang Dalan dan Ki Ageng Gumbrek.
Setelah itu pengalamannya merint au dengan Sekar Prabasin i.
Karena percaya bahw a baik Rara W indu dan Ki Jaganala sudah menjauhi serba duniawi, ia menyebut tentang goa penemuannya.
Hanya saja tidak menyinggung tentang harta karun.
Didalam goa itulah ia menemukan tongkat sakti dan pedang Naga Sanggabuwana.
Juga kitab sakti yang kin i d ipendamnya menunggu jodohnya.
Rara W indu dan Jaganala menghela napas kagum.
Mereka saling pandang.
Kemudian berkata hampir berbareng.
"Inilah yang dinamakan jodoh. Benar-benar kehidupan ini ada yang mendalangi."
Kemudian berkatalah Rara W indu.
"Anak! Ilmu saktimu kini berada jauh di atas kami. Bagaimana dengan sahabatmu Sekar Prabasini?"
"Eyang ... kitab sakti itu telah kupendam. Kalau aku bisa mewarisi adalah karena aku telah memiliki bekal sebelumnya. Himpunan t enaga sakti Sekar Prabasini kini masih rendah. Bila kelak sudah dapat mewarisi kepandaian eyang berdua, akulah yang akan menjemputnya. Dan selanjut nya akulah yang akan menyempurnakan. Maksudku, barulah aku dapat mengisikkan ajaran-ajaran yang terdapat didalam kitab sakti itu."
"Baik."
Rara W indu mengangguk.
"Tapi kenapa kau rela berkabar kepadanya?"
"Sebab kitab sakti itu, kami berdua menemukannya. Seperti tongkat dan pedang. Aku tongkatnya dan dia pedangnya."
Jawab Lingga W isnu cepat.
"Dan kakakmu Sudarawerti. Bagaimana?"
Tiba-tiba Jaganala ikut berbicara.
"Dia sudah selesai pelajarannya. Apa yang kumiliki sudah kuwariskan kepadanya."
Lingga W isnu menoleh kepada kakak perempuannya. Dengan girang ia menyahut.
"Sudah barang t entu, ingin aku hidup berkumpul lagi seperti dahulu."
"Y a, begitulah baiknya. Dengan demikian pelajaran Sekar Prabasini tidak akan terganggu."
Rara W indu membenarkan.
Itulah keputusan yang menggembirakan meskipun berat hatinya berpisah, namun kesediaan guru mereka berdua merupakan suatu rezeki yang luar biasa besarnya.
Karena itu, dengan ikhlas ia mengangguk.
Lalu Sekar Prabasini menghampiri L ingga W isnu menyerahkan pundi-pundi.
Katanya.
"Kau masih sanggup membawa ini, bukan?"
Mereka semua tak mengerti apa isi pundi pundi itu. Mereka hanya mengira, niscaya bersangkut paut dengan suatu perjanjian. Lingga W isnu merasa perlu memberi penjelasan. Katanya .
"Inilah abu jenazah ibunya. Sebelum wafat beliau mint a kepadaku agar mempersatukan dengan kerangka suaminya. Itulah ayah Sekar Prabasini berbareng guruku."
"Guru yang mana?"
Jaganala menegas.
"Y ang memberikan aku se
Jilid kitab warisannya, disamping kitab yang kutemukan."
"Bondan Sejiwan?"
"Benar."
"Dialah ayah Sekar Prabasin i?"
"Benar."
"Hm."
Jaganala menjenak napas.
"aku mendengar nama itu. Nama yang menggoncangkan jagad. T ernyata dia pendekar yang benar-benar hebat."
Puas hati Sekar Prabasini mendengar Ki Jaganala memuji ayahnya. Dan tatkala ia hendak menyatakan terima kasih, t iba-tiba Sudarawerti berkata.
"Adik. Aku seorang perempuan. Meskipun belum jelas, tapi aku tahu arti hubunganmu. Kau serahkan dia kepadaku! Aku akan mewakili dirimu. Selama kau menyelesaikan pelajaranmu, akulah yang mengawal dan mengamat amati - kalau dia nyeleweng, akulah yang akan menarik t elinganya. Karena itu, legakan hatimu."
Sekar Prabasini tertawa lebar.
Ia menundukkan pandangnya.
Sedang wajah Lingga W isnu menjadi panas.
Tapi ucapan itu, benar-benar mengenai sasarannya.
Hal itulah yang sesungguhnya membuat hati Sekar.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prabisini gelisah.
Apa arti segala kepandaian, bila kehilangan kekasih hati? Gurunya, Rara W indu adalah contoh yang jelas."
Demikianlah, pada keesokan harinya Lingga W isnu dan Sudarawerti berpamit turun gunung.
Baik Ki Jaganala maupun Rara W indu menyertai doa restunya.
Sedang Sekar Prabasini melepaskan dengan ikhlas.
Sepanjang jalan mereka berbicara tak berkeputusan.
Sudarawerti menceritakan pengalaman hidupnya selama berpisah.
Tiada yang dapat diceritakan, kecuali hanya perasaan sedihnya dan rasa sunyinya.
Maklumlah ia hidup tersekap di atas gunung.
Sedang Lingga W isnu mengulangi kisah perjalanan hidupnya yang berlaratlarat.
Kali ini lebih cermat dan bersungguh-sungguh.
Maka tak terasa mereka telah t iba dipinggang gunung.
Hari itu, tiada hujan tiada kabut.
Matahari bersinar cerah, sehingga pemandangan terasa segar.
Petak-petak hutan nampak tegak berwibawa serta agung.
Kadangkadang angin meniup membungkuk- bungkukkan puncak mahkot anya.
Lalu suara gemeresah dan bergaungan saling menyusul dan mengendapkan.
Pada waktu itu sepak terjang kompeni memang kejam.
Mereka tidak hanya membunuh saja tapi menawan, menyiksa, memperkosa dan merampas hartabenda milik rakyat.
Kaum pujangga menyebutnya sebagai 'wedon putih (=hantu putih).
Kecuali menggambarkan w arna kulitnya yang putih, juga sebagai makhluk menakutkan.
"Ayunda! Akan kubawa engkau melint asi rimba dan celah-celah jurang untuk mengintip mereka."
Kata Lingga W isnu.
"Apakah kau kira aku orang kota sampai kau perlu menyebut rimba dan jurang?"
Sahut Sudarawerti.
Lingga W isnu tertawa.
Maksud perkataan itu menggambarkan betapa besar perhatiannya terhadap kakaknya perempuan satu satunya.
Kemudian ia mendahului berjalan.
Makin lama makin cepat.
Setelah itu berlari-larian sedang dan kencang.
Dan selama itu, Sudarawerti dapat menjajari bahkan seringkali mendahului.
Sama sekali napasnya tak mengangsur, itulah suatu tanda, bahwa himpunan tenaga saktinya telah mencapai t ataran sempurna.
Tatkala tiba didekat padepokan Argajati petang hari hampir tiba.
Suasananya sunyi senyap.
Hal itu bahkan membuat hati Lingga W isnu berdegupan.
Cepat mendaki ketinggian.
Merasa kurang puas, ia memanjat pohon.
Dan begitu melihat kebawah, darahnya tersirap.
Pertapaan telah menjadi abu.
Disana-sini tanah terbongkar.
Syukur, dengan sekali pandang tahulah dia, bahw a goa harta karun agaknya belum tergerayangi.
Maka bergegas ia turun sambil berkata.
"Niscaya telah terjadi suatu perubahan yang mengerikan. Pertapaan menjadi abu serata tanah. Mari kita lihat goa peninggalan gurumu."
Dengan melalui jalan yang telah dikenal Lingga W isnu membawa Sudarawerti melompati jurang dan memasuki terowongan. Dalam goa itupun, kosong melompong. Karuan saja Lingga W isnu terperanjat sampai tertegun. Dengan wajah setengah pucat, dia berseru.
"Ayunda! Kalau sampai terjadi sesuatu mengenai keluarga eyang Argajati, aku akan menanggung malu selama hidupku."
Sudarawerti ternyata dapat berpikir cepat. Tatkala menghadapi malapetaka keluarga, ia sudah cukup dewasa sehingga apa yang di alaminya merasuk dalam perbendaharaan hati - setelah menatap wajah adiknya, dia berkata.
"Biarlah aku yang menyelidiki. Aku seorang perempuan. Bila pandai membawa diri, takkan terjadi suatu halangan atau hambatan."
Sudarawerti t ak menunggu pembenaran Lingga W isnu, dengan gesit tiba-tiba tubuhnya melesat keluar goa.
Sebentar saja, bayangannya lenyap dibalik rimbun pepohonan.
Lingga W isnu kemudian mulai membuat penyelidikan.
Ia menyalakan lentera, dan dengan lentera itu ia memeriksa seluruh ruang goa.
W alaupun sunyi tapi t iada yang rusak.
Itulah suatu tanda, bahwa goa belum pernah terinjak kaki musuh.
Memperoleh kesimpulan demikian, dia berlega hati.
Setelah itu memasuki bilik-bilik penginapan.
Di belakang terdapat sisa makanan dan minuman.
Sedang bilik penginapan Botol Pinilis kosong.
Tiba-tiba teringatlah dia bahw a kakaknya seperguruan yang seorang ini pandai berpikir seperti meramal.
Maka ia menyelidiki kamarnya dengan teliti dan cermat.
Tapi sekian lama ia meneliti dan memeriksa, sama sekali tiada di ketemukan tanda-tanda yang menggembirakan.
"Apakah mereka memutuskan untuk menyerbu musuh dengan tiba-tiba?"
Pikir Lingga W isnu.
"Mungkin sekali mereka memikirkan diriku dan Sekar Prabasini."
Teringat akan peristiwanya, ia jadi sedih. Andaikata mereka adalah dirinya, tentu akan gelisah dan bingung pula. Memperoleh pikiran itu, tiba-tiba timbul an semangat juangnya. Katanya kepada diri sendiri.
"Kalau mereka sampai celaka, akulah yang berdosa."
Dia bergegas keluar. Tepat pada saat itu Sudarawerti melayang masuk sambil berseru.
"Semuanya sepi. Tapi kuketemukan sebuah kuburan baru. Entah kuburan siapa."
Tercekat hati Lingga W insu mendengar warta itu. Bergegas ia keluar menjenguk kuburan itu. Ia bermenung beberapa saat lamanya. Lalu berkata.
"Bila ada yang dikubur, pasti ada pula yang mengubur. Mari kita cari."
Lingga W isnu masih asing terhadap wilayah itu. Karena itu usahanya sia-sia.
"Bagaimana kalau k ita ikut i jejak kompeni? Setelah itu kita mencari keterangan pa da penduduk yang hidup. Kukira mereka bisa memberi keterangan."
"Akh benar."
Seru Lingga W isnu.
Hari masih gelap.
Untung sekali dalam usaha musim hujan.
Jejak kaki manusia dan binatang belum t erhapus, karena air hunan senantiasa mengalir ke bawah.
Dua jam kemudian bulan muncul dilangit.
Hal itu memudahkan pengamatannya.
Tapi setelah sekian lama tetap siasia.
"Kau dikenal oleh beberapa orang disini - kenapa kau tak menyulut obor saja dan mendatangi padepokan? Kukira akan menarik perhatian orang."
Kata Sudarawerti mengemukakan pendapatnya.
"Akh, benar."
Seru Lingga W isnu tertahan.
"Kenapa tidak semenjak tadi?"
Oleh pikiran itu segera ia mencari rumput kering dan rant ing-ranting.
Kemudian ia membakarnya.
Beberapa saat saja obor istimewa itu terbakar.
Dan dengan obor itu mereka memasuki padepokan lagi membuat pemeriksaan.
Dugaan Sudarawerti ternyata benar.
Pendengaran mereka berdua yang tajam melebihi manusia lum rah, mendengar pernapasan orang.
Napas orang itu kian mendekat.
Dia berhenti, lalu mengint ip.
Tiba-tiba berseru ragu.
"Apakah angger Lingga?"
"Eyang puteri! Benar, aku Lingga."
"Akh, kau membuat kami bingung dan membuat segala perubahan."
Kata nenek Argajati mendekat.
"Mari ikut aku. Sebentar kau akan mendengar semuanya."
Mereka dibawa memasuki celah tebing dan tak lama kemudian tiba disebuah pedusunan yang terletak ditengah hutan. Selama perjalanan, mereka tidak berbicara sepatah kata-pun. Baru setelah memasuki batas dusun itu, nenek Argajati berkata.
"Ayah Saraswati telah pulang dengan tenteram dua hari yang lalu."
"Kenapa? Apakah sakit?"
Lingga W isnu terbelalak.
"Akibat lukanya. Tapi tak mengapa. Dia puas karena sudah selesai menunaikan darma baktinya."
Lingga W isnu merasa tak enak hati. Ia merasa berdosa. Maka dengan wajah berubah ia mint a keterangan .
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"
Nenek Argajati menatap wajah Lingga W is nu. Kemudian menjawab.
"Mari masuk. Anak-anak ingin bertemu denganmu."
Mereka dibawa memasuki sebuah rumah beratap alang-alang. Lingga W isnu kemudian memperkenalkan Sudarawerti pada Saraswati juga Rara W itri. Mereka nampak gembira begitu melihat Lingga W isnu.
"Eyang! Kulihat padepokan hancur menjadi abu. Dengan uang itu, biarlah adik-adik membangunnya kembali. Juga perkampungan ini.
"Terima kasih, angger."
Sahut nenek Argajati.
"Tapi coba kisahkan kembali, kemana saja angger pergi selama ini."
Lingga W isnu kemudian menceritakan kepergiannya dengan singkat tapi jelas.
Juga tentang diri Sekar Prabasin i yang kini sudah menjadi murid Rara Windu dan Ki Jaganala.
Mendengar disebutnya kedua tokoh tua itu yang ternyata masih hidup segar bugar, keluarga Argajati nampak berbahagia dan terhibur.
Setelah itu nenek Argajati ganti berkabar.
Katanya .
"Kami semua percaya, angger tidak akan mendapat halangan. Sebab kami percaya rezeki angger sanget besar. Sekiranya tidak demikian, angger sudah meninggal sewaktu terjungkal dalam sumur itu. Tentang padepokan itu sendiri, sebenarnya kami sendiri yang membakar. Dengan tidak memperoleh tempat meneduh, kompeni akhirnya mengundurkan diri. Tetapi tentang gurumu dan ketiga kakakmu seperguruan, angger harus segera menyusul."
"Kenapa?"
Migga W isnu terperanjat.
"Pada hari itu juga, kami berhasil menembus kepungan kompeni. Lalu mengungsi kemari. Pada malam harinya kami membakar padepokan itu. Eyangmu Argajati terluka. Disini dia kami rawat. Dan disini pula dia meninggal."
Kata nenek Argajati dengan suara tenang.
"Setelah kompeni mengundurkan diri, ketiga kakakmu seperguruan dan Ki Ageng Gumbrek berusaha mencarimu. Tiga hari mereka pergi lalu memut uskan hendak mengikuti gerakan kompeni. Dua hari yang lampau angger Botol Pinilis datang kemari. Dia berkabar bila Lingga wisnu datang kemari katakan bahw a dia sudah berada dipadepokan Kyahi Basaman untuk menyelamatkan dari sasaran kompeni yang kian menjadi biadab. Hanya itu pesannya."
"Apakah dia t idak memberi keterangan lain lagi?"
"T idak."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kompeni akan menyerbu padepokan eyang guru?"
"Kalau mereka bisa menyerbu kemari, kenapa tidak dapat kesana?"
Jawab nenek Argajati.
"Aku merasa berhut ang kepada eyang guru bila sampai terjadi malapetaka, hidup berumur panjangpun rasanya tak senang. Biarlah malam ini juga, kita menyusul mereka."
"Bila diperkenankan, kamipun akan ikut serta."
Tibatiba Saraswati dan Rara W itri memohon. Lingga W isnu berbimbang sejenak. Lalu memutuskan.
"Terima kasih, adik. Akan tetapi adik masih dalam suasana berduka. Lagipula padepokan eyang guru t iada sangkut annya dengan padepokan Argajati. W alaupun dalam hal ini adik bersiaga penuh demi memunahkan kompeni yang sewenang terhadap rakyat kita."
Alasan L ingga-Wisnu masuk akal.
Maka nenek Argajati dapat menahan lagi.
W aktu terasa amat berharga.
Terpaksa mereka melepaskan Lingga W isnu dan Sudarawerti melanjutkan perjalanan.
Untuk mencapai padepokan Kyahi Bafeman harus mengambil jalan berputar.
Perjalanan demikian, membutuhkan waktu t iga atau empat hari pada dewasa itu.
Sebab harus melalui perbatasan W engker, W alikukun dan Ngrambe.
Angkatan bersenjata tak dapat mengambil jalan memotong, mengingat letak tanahnya.
Kecuali itu, akan dihadang jurang dan tebing yang tinggi.
Apalagi bila mereka membawa per lengkapan senjata berat.
Hal inilah menguntungkan Lingga W isnu.
Karena tidak membawa sesuatu dan hanya berjalan dengan Sudarawerti seorang, dapat ia menembus hutan rimba, melalu i jurang dan mendaki tebing tinggi tanpa kesukaran sedikitpun.
Tapi, karena ia kalah tempo, betapapun rasa hatinya jad i gelisah.
Memikir demikian, larinya kian pesat.
Sampai dibawah suatu tanjakan, mereka melihat serombongan orang.
Jelas sekali mereka salah satu rombongan kompeni.
Hanya saja mereka terdiri dari rombongan pekerja bayaran.
Kata Lingga W isnu.
'A yunda! Mereka membawa beberapa obor kuda.
Mungkin sekali persediaan bahan makanan.
Meskipun mereka hanya pekerja lepas namun tak boleh kita biarkan sampai di t ujuannya.
"
"Kita gebah saja kudanya. Atau harus kita bunuh?"
Sahut Sudarawerti.
"Jangan! Jangan melakukan pembunuhan da hulu."
"Baik."
Mereka menghampiri dan dengan tiba-tiba menyergap.
Tanpa berkata sepatah katapun juga.
Sudarawerti melemparkan beberapa penunggang kuda dan menggebah kudanya.
Sudah barang tentu mereka terkejut.
Tatkala terbanting diatas tanah, mereka mengerang sambil berteriak.
"Perampok! Perampok!"
Satu rombongan lain datang hendak memberi pertolongan akan tetapi kena dicegat - dengan sekali kebas mereka terpental balik dan kuda-kuda lari berjingkrakan.
Tak mengherankan, pemiliknya memaki kalang kabut .
Namun mereka harus merasa untung, karena t ak perlu kehilangan jiwa.
Lingga W isnu dan Sudarawerti kemudian melanjutkan perjalanan.
Baru saja melint asi tanjakan, muncul ah beberapa orang dari balik tikungan jalan.
Mereka lantas saja menghadang.
Ternyata mereka bersenjata senapan.
"Minggir!"
Bentak Sudarawerti.
Ia mengayunkan cemiti hasil rampasannya.
Gugup mereka menangkis dengan senapannya.
Dan tepat pada saat itu Lingga W isnu mengebas.
Suatu gelombang angin dahsyat mementalkan tubuh mereka.
Lalu terdengar jerit mereka, karena terhunjam senjatanya masing-masing.
Sebenarnya Lingga W isnu tiada bermaksud membunuh atau melukai mereka.
Ia mengibaskan tangannya, karena mengkhawatirkan Sudarawerti.
Maklum, selama hidupnya atau sebagian besar hidupnya ia tersekap diatas gunung.
Niscaya masih asing t erhadap daya tembak sepucuk senapan.
Tatkala tiba dibawah padepokan, Lingga W isnu merasa lapar.
Ia mengajak Sudarawerti menghabiskan sisa bekalnya.
Lalu mulai mengatur rencana.
Karena padepokan Kyahi Basaman tak mempunyai anggauta wanita, maka Sudarawerti harus menyamar.
Tepat pada saat itu, ia mendengar derap kuda ramai.
Serombongan serdadu berkuda lewat.
Segera Lingga W isnu dan Sudarawerta melesat mendahului.
Karena cepatnya, t iada seorangpun yang mengetahui.
Kemudian ia menggelundungkan beberapa batu pegunungan.
Celakalah mereka.
Tatkala itu mereka sedang memasuki celah tebing.
Kena gelundung batu, mereka mati kena gencet.
Makin lama Sudarawerti makin tertarik menyaksikan gerak-gerik Lingga W isnu yang cekatan serta sebat.
Segala tindakannya pasti dan meyakinkan.
Dibandingkan dengan dahulu, ia kagum luar biasa.
Tak sempat lagi ia bermenung.
Lingga W isnu telah mengajaknya mendaki gunung.
Tak jauh didepannya nampak serombongan orang lagi.
Kali ini mereka bersenjata tajam.
"Jika begini halnya, niscaya telah ada rombongan yang mendahului. Pada saat ini mungkin mulai bergebrak. Tapi kenapa tak terdengar letusan senapan sekalipun?"
Lingga W isnu menjadi gelisah.
"Untuk mengurangi kekuatan mereka, biar lah kusingkirkan dahulu manusia-manusia itu. kata Sudarawerti. Tanpa menunggu persetujuan adiknya, Sudarawerti melompat. Hebat gerakannya. Tahu t ahu mereka semua sudah tak bersenjata lagi. Berbareng dengan runtuhnya senjata mereka, terdengar jeritan memilukan. Mereka terpental tinggi di udara dan runtuh, sebagian besar jatuh ke dalam jurang. Sedang lainnya terkapar pingsan.
"Bagus!"
Puji Lingga wisnu.
Sekarang barulah dia menyaksikan kepandaian Rara W indu dan Ki Jaganala yang rupanya sudah diwarisi kakaknya perempuan.
Jika kelak Sekar Prabasini demikian pula, ia tinggal menyempurnakan saja.
Mereka meneruskan perjalanan lagi.
Kembali lagi ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan mengenakan jubah.
Ia sedang diubar delapan orang yang berteriakteriak.
"Hei, kau mau apa? Jangan harap kau bisa memberi bantuan kawanan berandal disin i."
Terang sekali, bayangan berjubah itu berada dipihak Kyahi Basaman. Dan Lingga W isnu bersakit hati mendengar orang-orang itu menyebut padepokan Kyahi Basaman sebagai sarang kawanan berandal. Terus saja ia melesat dan mencegat mereka.
"Kalian menyebut sarang berandal? Nah, inilah berandalnya."
Seru Lingga wisnu. Mereka terperanjat, karena kena hadang dengan tibatiba. Sebelum sempat berbuat apa pun, mereka terlanda angin dahsyat. Tiba-tiba saja tubuh mereka terangkat tinggi. Dan tanpa ampun lagi mereka terpelanting jatuh.
"Lingga!"
Seru bayangan berjubah yang balik dengan mendadak. Lingga W isnu menoleh. Ia kaget bercampur girang karena mengenal suara itu. Sahutnya .
"Kakang Botol Pinilis!"
"Kau baca pesanku?"
"Lewat nenek Argajati."' "Bagus! Kau nant i harus mengabarkan semuanya. Sekarang, marilah kita lintasi tebing itu! Mungkin sekali Kyahi Basaman sedang menghadapi keroyokan. Untung, gurumu sudah tiba disana."
"Guru yang mana?"
Lingga W isnu minta ke terangan.
"Kedua-duanya. Guru kita dan gurumu Ki Ageng Gumbrekz."
Jawab Botol Pinilis. Karena keadaan tak memungkinkan untuk berkepanjangan, mereka melanjutkan perjalanan dengan berdiam diri. Tebing yang menghadang didepan, segera mereka rangkaki. Dan sampailah mereka disebuah Ketinggian yang datar.
"Kakang! Biar aku yang masuk. Kakang dan ayunda berjaga-jagalah disini. Barangkali mereka menyembunyikan penembak penembak jarak jauh."
Kata Lingga W isnukz.
"Benar. Majulah!"
Botol Pinilis menyetujui .
Lingga W isnu kenal liku-liku pertapaan.
Ia mengambil jalan memut ar.
Tatkala sampai d ibelakang gununggunungan, ia melihat seseorang lari ketakutan.
Ia menduga dan mengamati.
Kiranya si Samin salah seorang pekerja dapur pertapaan.
Dia dahulu sering membawakan makanan, t atkala ia berebah sakit didalam kamar.
Seringkali dia bercanda dengan maksud menghiburnya.
Maka segera ia menegor dan mendekapnya"
"Mau kemana?"
Kena dekapan Lingga W isnu, Samin bergemetaran. Katanya mohon dikasihan i.
"Ampun, tuan."
"Mint a ampun?"
Lingga W isnu tertawa.
"Coba lihat, siapa aku!"
Perlahan-lahan L ingga W isnu menguraikan t angannya. Sekarang Samin memut ar tubuhnya dan mengamatamati. Agaknya tak segera ia mengenal. Mungkin karena malam hari atau masa perpisahan yang terlalu lama.
"Bukankah kau Samin?"
Tanya Lingga.
"Terdengarnya seperti suara gus Lingga. Benar?"
"Benar. Aku Lingga W isnu."
"Masya Allah!"
Seru Samin. Lalu melompat memeluk.
"Min! Padepokan ini sudah t erkepung. Kau hendak lari kemana? Dari pada kau tertangkap seorang diri, bukankah lebih baik bersama-sama aku?"
"Benar. Tapi apa sebab bila memasuk i pendapa itu, siapapun lantas rebah tak berdaya? Menurut bunyi ajaran paman pamanmu dahulu, itulah obat bius. Apakah bukan pengaruh roh jahat?"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lingga Uilnu perlu cepat-cepat. Maka ia mendahului berjalan. Didebat persimpangan, penciumannya yang tajam menangkap bau yang mencurigakan. Ia merandek. Lalu berbisik kepada Samin.
"Kau bersembunyilah disin i!"
Samin mengangguk.
segera ia menyesapkan tubuhnya kedalam gerumbul.
Dan seorang diri Lingga wisnu memasuki bangunan padepokan.
Segera ia mengenakan ilmu saktinya tingkat tujuh.
Seketika itu juga, nalurinya menyibakkan jalan.
Ia seolah-olah dibawa menghampiri sesuatu.
Lalu berhenti dengan tiba-tiba.
Dan tatkala itu ia melihat gelombang asap.
"Hai! Apakah asap ini yang menyebabkan?"
Pikirnya didalam hati.
Memang, itulah asap hashish, semacam tetumbuhan yang mengandung asap pelumpuh.
Tetumbuhan itu berasal dari negeri Cina dan dibawa masuk ke Timur Tengah.
Pada zaman dari Omar Khay am, daun pelumpuh itu sangat termashur dan ditakuti orang.
Terutama para wanita dan gadis-gadis.
Siapapun akan roboh tak berdaya bila menghisap asapnya.
Apalagi sampai memakannya atau minum.
Tak mengherankan muridmurid Kyahi B asaman kena t erobohkan.
Mereka bersedia berkelahi sampai mati, namun tiba-tiba seluruh sendi tulangnya lemah lunglai.
Lalu lumpuh dan akhirnya kehilangan kesadaran.
Syukur Lingga W isnu sudah memiliki tingkatan ilmu manunggal dengan sarwa alam seakan-akan mendapat petunjuk.
Ia melihat empat orang menutupi hidungnya dengan sehelai kain.
Mereka sedang meniup-niup suatu persediaan yang berasap tebal.
Lingga W isnu menaruh curiga.
Terus saja meloncat dan menerkam mereka.
Perdiangan itu kemudian di padamkan.
"Siapa yang perintah?"
Bentaknya. Mereka berempat sama sekali tak mengira, bahw a seseorang akan menerkamnya dan ternyata tahan menghisap asap. Karena itu, mulutnya seperti terkunci. Selagi demikian, Lingga W isnu membelejeti kain penutupnya.
"Jangan!"
Mereka mencegah dengan ketakutan.
"Masih berasap."
Mereka menuding kearah sisa asap yang masih mengepul tebal.
Seketika itu juga timbul ah pikiran Lingga W isnu hendak mengetahui tentang cara kerja asap yarg menyebarkan bau tak sedap.
Ia melemparkan mereka berempat.
Ke arah asap.
Mereka megap-megap dan tersendat.
Tahu-tahu mereka roboh tak berdaya.
Lingga wisnu memeriksa keadaan mereka.
W alaupun kehilangan kesadarannya, namun peredaran darah, denyut nadi dan pernapasan masih berjalan wajar.
Ia jadi girang.
Kalau begitu, paman-paman gurunya yang kena asap jahat itu, masih b isa disadarkan kembali bila asap bius y ang dihadapannya hilang.
Maka ia menginjakinjak.
Setelah itu, ia membuat mereka berempat lumpuh.
Lingga W isnu tak mau kepalang tanggung lagi.
Ia menanggalkan pakaian salah seorang yang berperawakan besar.
Kemudian dikenakan pada dirinya sebagai pakaian rangkap.
Setelah itu menyelungdup lewat dapur menuju serambi depan.
Danjpada saat itu, ia mendengar suara beberapa orang bersahut-sahut an .
"Jika tua bangka itu tak mau tunduk, kita sembelih saja beramai-ramai.
"' "Y a, padepokan inipun kita bakar saja."
"Jangan! Jangan kita bakar! Anjing tua itu akan mati terbakar. Terlalu nyaman. Biar kita seret dahulu, lalu kita kuliti."
Merah telinga Lingga W isnu mendengar suara mereka.
Ia melihat empat orang berdiri didepan serambi yang sudah penuh dengan manusia.
Hal itu mengingatkan dia kepada peristiwa yang pernah dialami dahulu.
Tapi kali ini penuh dengan manusia-manusia berseragam.
Terdiri dari suku-suku bumiputera dan beberapa orang serdadu Belanda.
Lingga W isnu memasuki ruang depan dengan hatihati.
Karena ia berseragam seorang serdadu bawahan, tiada orang yang memperhatikan.
Ia melihat Kyahi Basaman duduk di atas meja bundar berkaki rendah.
W ajahnya pucat dan pandang matanya kuyu.
Suatu tanda bahwa dia sedang sakit keras.
W alaupun demikian ia tak rebah, kena asap bius.
Sebaliknya mereka semua mengenakan kain penutup.
Karena itu bisa bergerak dan berbicara dengan bebas.
Apalagi empat orang tadi yang mempunyai tekanan suara bernada nyaring dan kuat.
"BasamanI"
Kata seorang murid Mayor Belanda.
"Semua muridmu sudah berada ditanganku. Mereka hanya luka sedikit."
"Luka? Apakah bukan keracunan?"
Sahut Kyahi Basaman dengan tenang. Mayor itu terhenyak sedetik seakan akan kena tusuk. Lalu berkata terpaksa.
"Benar. Terpaksa kami menggunakan alat pertolongan, karena ilmu kepandaian kalian sangat tinggi. Karena itu kini perkenankan aku menasehatimu. Hendaklah kau ikut kami semua."
"Apakah hanya itu nasehatmu?"
"Kau dengarkan dahulu. Seluruh penduduk kini sudah mau mengerti maksud baik kompeni Jakarta. Kami datang untuk meninggikan kebudayaan kalian. Agar keludukar kalian sejajar dengan bangsa lainnya."
"O, begitu?"
"Maksud kami datang kemari semata mata untuk menyadarkan dirimu. K ami jamin, bahwa murid-muridmu akan mendapat kedudukan yang layak. Lihatlah contohnya kaum Parwarti dan Ugrasena."
"Hm. W alaupun kaum Parwati dan Ugrasena mempunyai semangat bertempur demi napsunya, namun selamanya berlawanan dengan kompeni. Karena itu aku heran, apa sebab tiba-tiba dua kaum itu takluk kepada Belanda."
Ujar Kyahi Basaman.
Tubuhnya tiba-tiba bergoyang dan menyaksikan hal itu, mereka semua bergembira.
Jagonya sudah tak berdaya.
Lain-lainnya adalah mudah.
Jika semuanya ini tidak atas kehendak Tuhan, siapa lagi yang mengatur serba kebetulan itu? Mayor itu tersenyum.
Sekarang ia tak perlu takut lagi.
Apa yang dapat diperbuat seseorang yang lagi sakit.
Maka dengan menegakkan dadanya, ia menjawab.
"Benar. Mereka itulah orang-orang yang pandai melihat cahaya terang dan segeta meninggalkan dunia gelap."
"Hm."
Kyahi Basaman mendengus.
"Semenjak dahulu manusia yang pernah hidup, mati. Siapa yang takkan mati? Apa yang akan diwariskan kepada angkatan mendatang? Hanya ini. Semangat pahlawan. Nah, biarlah semangat pahlawan dan keadilan orang-orang yang mendahului terpancang di bumi ini sebagai panji-panji hidup."
Mayor itu tertegun. Tiba-tiba seorang yang sangat dikenal Lingga Wisnu berkata nyaring .
"Jika Kyahi Basaman kukuh pendiriannya, tak perlu lagi berbicara berkepanjangan. Mari kita ringkus saja."
Dialah Musaf igiloh.
Dan dibelakangnya, berdiri tiga.
orang yang menghampiri Kyahi Basaman dengan gerakan gesit.
Tak usah dikatakan lagi, bahw a mereka berkepandaian sangat tinggi.
Lingga W isnu heran.
Dari mana manusia hianat itu memperoleh anggauta anggautanya begitu hebat? "Mereka bukan golongan pendekar.
Tapi sekumpulan serdadu.
Tak ada kamus angger-angger pertarungan kasatria sejati.
Seumpama dapat aku mengalahkan beberapa orang, lainnya tidak sud i mengaku kalah."
Pikir Lingga W isnu didalam hati.
Selagi hendak bergerak, tiba-tiba terdengar suara tertawa panjang.
Sesosok bayangan berjubah kekuningkuningan menyelinap masuk.
Gerakannya bagaikan kilat.
Dalam sekejab saja sudah berada dibelakang Musafigiloh dan langsung melontarkan pukulan.
Musafig iloh bukan seorang pendekar berkepandaian rendah.
Tahu dirinya diserang, ia memut ar tubuhnya sambil menangkis.
Maksudnya hendak mengadu keras lawan keras.
Akan tetapi bayangan itu tak sudi kena bentrok.
Sama sekali tak terduga, ia beralih sasaran.
Yang diserang kini orang yang berdiri mengepung Kyahi Basaman.
Lalu pindah kelainnya set elah itu yang keempat.
Luar biasa cepat gerakannya.
W alaupun tidak mengenai sasaran, akan tetapi gerakan perpindahannya itu cepat bagaikan iblis.
Keruan saja yang diserang tertegun sejenak.
Orang berjubah kuning itu kemudian membungkuk hormat kepada Kyahi Basaman.
Berkata dengan suara ramah.
"Kakang Basaman. Selama h idupku baru untuk yang pertama kali ini, aku menginjak pertapaan ini. W alaupun sudah lama aku mengenal namamu yang cemerlang, namun Tuhan baru mempertemukan pada hari in i. Terimalah sebuah sungkem adikmu Gumbrekz. Jelekjelek aku ikut mengasuh cucumu Lingga W isnu."
Memang orang itu Ki Ageng Gumbrek. Ia muncul pada saatnya yang tepat. Dan mendengar namanya, Kyahi Basaman tertawa lebar. Sahutnya sambil memanggut .
"Ah, Ki Ageng Gumbrek. Sudah lama pula aku mengagumi dirimu. Kau berkata tentang cucuku? Apakah dia masih hidup?"
"Cucumu masih segar bugar."
Jawab Ki Ageng Gumbrek. Akan tetapi didalam suaranya mengandung kebimbangan. Sebab sebenarnya ia tak tahu apakah Lingga W isnu pada saat itu masih h idup. Yang diketahui, Lingga W isnu lenyap tak keruan.
"Kalau Ki Ageng yang mengasuh cucu muridku, matipun hatiku ikhlas."
Kata Kyahi Basaman.
Itulah suatu pujian yang luar biasa.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
K i Ageng Gumbrek sudah lama kagum kepada Kyahi Basaman.
Kepandaiannya memang terkenal.
Tapi bahw a Kyahi Basaman ikut menaruh perhatian benar-benar diluar dugaan.
Tak mengherankan pandang matanya berseriseri.
Dengan suara rendah ia menyahut .
"Kyahi Basaman merupakan panji panji pendekar bangsa. Pujianmu terhadapku merupakan suatu kehormatan tak ternilai harganya."
Setelah berkata demikian, ia berputar mengarah kepada Musafigiloh. Membentak .
"Ketuamu Danusubrata betapapun seorang yang mempunyai kehormatan Kenapa kau malahan sudi menjadi begundal kumpeni? Apakah kau bercita-cita ingin jadi raja"
Mayor Belanda yang berada didekat Musafigiloh membuka mulut. Ia mendahului Musaf igiloh membuka mulut .
"Dia memang pant as menjadi raja. Apa sangkut pautnya dengan tampangmu."
Pada saat itu, sekonyong-konyong masuklah suatu benda bulat yang terbang menghantam opsir Belanda itu.
Keruan saja ia kaget.
Cepat dia berputar dan menghantam benda itu sehingga terpukul kesamping dan jatuh ke lantai bergelundungan.
Mereka semua tak tahu benda apakah itu.
Akan tetapi begitu kena pukulan, terdengar jerit memilukan.
"Hai! Siapa main gila ini?"
Bentak Musafigiloh. Seorang laki-laki bertubuh jangkung melesat masuk seraya menjawab.
"Aku, Sambang Dalan. Kenapa?"
Lingga W isnu bergembira, dialah gurunya yang dirindukan siang dan malam. Oleh rasa gembira itu, hampir saja ia meloncat.
"Hai!"
T eriak Mayor Belanda. Kenapa manusia manusia tak keruan macamnya ini, di biarkan masuk?"
"Kenapa tak boleh? Laskar Panglima Sengkan Turunan kini mengepung dan menelanjangi begundalbegundalmu."
Mayor itu tertawa. Sahutnya.
"Aku bukan anak kemarin sore yang dapat kau buali. Hayo buka! Siapa yang berada dalam karung itu."
Mayor itu mendongkol.
Sama sekali la t ak percaya apa yang dikatakan Kyahi Sambang Dalan.
Ia hanya percaya, bahw a mereka yang datang orang-orang berkepandaian tinggi.
Yang mengherankan, kenapa mereka bisa datang tanpa penutup hidung? Apakah pengaruh asap bius tak mempan lagi.
Sambil menunggu karung itu dibuka salah seorang sersannya, ia melayangkan pandangnya, Alam pegunungan itu berkabut, tetapi bukan berasap.
Hai kenapa? Mendadak ia melihat murid murid Kyahi Basaman yang rebah di atas lantai mulai menjenakkan matanya.
"Musafigiloh, lihat!"
Ia t erkejut. Musafig iloh hendak mengalihkan pandangnya. Mendadak pada detik itu, ia mendengar suara sersan yang membuka karung.
"Genggong! Saudara Genggong!"
Lingga W isnu terkejut, ia sampai melongokkan penglihatannya. Genggong Basuki berdarah mukanya. Napasnya kembang kempis. Menyaksikan hal itu, Mayor Belanda itu membentak kepada Kyahi Sambang Dalan.
"Hei! Kau berani menyiksa salah seorang anggauta kami yang baik?"
Kyahi Sambang Dalan tertegun. Ia seperti tak mempercayai pendengarannya sendiri. Berkata menegas.
"Benarkah dia termasuk anggautamu?"
"Dia seorang pembantu yang baik,"
Teriak Mayor itu. Sebenarnya Musafigiloh hendak mencegah, tapi kasep.
"Ha, pernyataanmu itu justru memantapkan hatiku,"
Ujar "Kyahi Sambang Dalan.
"Aku hanya memusnakan kepandaiannya. Sayang dia membunuh paman gurunya pula ...
"
Tenang kata-kata Kyahi Sambang Dalan. Tapi bagi Lingga W isnu cukup tegas, bahwa gurunya marah benar. Biasanya jarang sekali d ia berbicara. Pada saat itu pula muncul ah Sukesi dan Sugiri. Mereka muncul seperti iblis. Dengan berbareng mereka berkata.
"Guru! Kamilah yang salah. Sebenarnya adik Lingga sudah mengkisiki, tapi aku kena dibakarnya. Genggong Basuki membunuh guru sendiri. Sudah sepatutnya ia mati karena hutang jiwa."
Dalam pada itu Mayor Belanda pemimpin penyerbuan menjadi penasaran.
Kenapa makin banyak muncul t okohtokoh pandai.
Dimanakah anak buahnya? Mustahil laskar Panglima Sengkan Turunan benar-benar tiba.
Lagi-lagi muncul dua orang.
Kali ini seorang berjubah.
Merekalah Sudarawerti dan Botol Pinilis.
Teriaknya.
"Adik Lingga! Kau sekarang boleh menghajar mereka. Seluruh Kompeni sudah berhasil k ita rampas senjatanya."
"Lingga!"
Hampir semua hadirin berseru. Ki Ageng Gumbrek tertawa. Sedang Kyahi Basaman dan Kyahi Sambang Dalan menatapnya dengan berbagai pertanyaan. Lingga W isnu kemudian berkata kepada Musafig iloh.
"Musafigiloh! Maaf, terpaksa aku memusnakan semua kepandaianmu, demi kebaikanmu sendiri dikemudian hari. Gurumu pada saat in i, sudah menjadi manusia lumrah pula."
"Hai L ingga!"
Kyahi Basaman memotong.
"Kaulah anak yang berpenyakitan dahulu?"
"Benar."
Lingga W isnu segera datang bersembah.
"T uhan Maha Adil."
Ujar Kyahi Basaman.
"T api hendaklah kau jangan menyebut rekan Anung Danusubroto dan Prangwedani dengan begitu saja. Kalau kau mau memanggil diriku eyang. Merekapun rekan eyangmu."
"Eyang, panjang ceritanya. Tapi demi Tuhan, pada saat ini mereka berdua berada di bawah asuhan eyang Jaganala dan eyang Rara W indu."
Kyahi Basaman seorang yang saleh. Tapi mendengar Lingga W isnu menyebut nama Rara W indu, betapapun hatinya bergetar sampai tertegun. Mustahil Lingga Wisnu mengarah kisah bohong. Sebab Rara W indu lahir sebelum ia dilahirkan. Maka berpikirlah dia.
"Y a, biarlah dia menyelesaikan peristiwa ini. Masih sempat aku mint a keterangan."
Dan Lingga W isnu kemudian melayangkan pandangnya kepada Musafigiloh.
"Bagaimana? Aku akan mengampuni jiwamu, bila kau mau menjelaskan tentang dua hal. Yang pertama, peristiwa terbunuhnya kakakku seperguruan Purbaya. Yang kedua, dimanakah adikku Suskandari, Harimawan kau t awan?"
Musafig iloh kelihatan pucat, dan dia menyahut.
"Aku ... Basuki yang memikat Purbaya dia dibawa kesuatu tempat. Karena hubungan guru dan murid, Purbaya tak curiga.. ia kena Kami bius. Selanjutnya Genggong Basuki sediri yang membunuh ..."
Sampai disitu Botol Pinilis, Sukesi dan Sugiri memekik karena marah. Kyahi Basaman nampak menguasai diri. la menundukkan kepala dan Musafigiloh berkata lagi.
"Tentang Suskandari dan Harimawan mereka berada disin i. Suskandari kami sekap didalam keret a sebab Genggong Basuki tak mau berpisah dengannya. Ia tidak hanya gandrung, t apipun sudah gila. sedang Harimawan kami... ikat dibawah pohon gerumbul itu. Dia ..."
Belum selesai ia b icara, peluru senapan meletus, Musafig iloh roboh terkulai dengan dada tertembus.
Mayor Belanda yang berdiri d ibelakangnya yang menembaknya, lalu melarikan diri.
Tepat pada itu sekalian anak murid Kyahi Basaman tersadar.
Mereka melompat bangun dan hendak menegejar.
00oodwoo00 PA DA MALAM harinya, pesta terjadi di serambi pertapaan Kyahi Basaman.
Suskandari dan Harimawan sudah terbebaskan.
Dan Lingga W isnu kemudia mengisahkan riwayat hidupnya kepada Kyahi Basaman semenjak berpisah.
Mereka yang mendengarkan.
bergeleng kepala.
Sungguh-sungguh ajaib.
Lingga W isnu sendiri merasa sangat berbahagia.
Ia bertemu dengan tokoh-tokoh yang dikenalnya dan yang dihormati.
Tinggal seorang saja, ialah Palupi.
Dalam hati ia berjanji hendak menyambangi dalam perjalanan mendaki gunung Dieng untuk mengubur kerangka pendekar Bondan Sejiwan bersama abu istrinya.
Setelah itu ia akan bebas mengarahkan seluruh perhatiannya ke arah Gunung Lawu, karena seumpama orang hutang, semuanya sudah dibayarnya lunas.
Kini tinggal menunggu turunnya Sekar Prabasini.
Bila terasa terlalu lama, ia dapat menyusulnya.
Kenapa tidak? (tamat) PDF by Dewi KZ
Tiraikasih W ebsite
http.//kangzusi.com/
Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung