Pedang Sakti Tongkat Mustika 3
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 3
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
Dan mendadak timbul ah sepercik rasa gusarnya.
Katanya didalam hati .
"Bocah ini dosanya sampai hendak dikutungi kedua kakinya? "
Cepat ia memiringkan dadanya dan mengebas pedang pendeta yang berperawakan ramping tipis.
Kena benturan tenaga sakti Kyahi Basaman, pedang yang mengarah kaki lingga W isnu terpental balik dan menghantam pedang pendeta yang berperawakan gemuk pendek.
Kedua pendeta itu lantas saja matang biru mukanya, karena terpaksa mengadu tenaga sendiri yang berimbang.
Ilmu memukul balik tenaga seseorang itu bernama.
Tripurusa.
Konon kabarnya, ciptaan Dewa W isnu pada jaman purba, tatkala dunia in i masih kosong dan hanya terisi o leh tiga cahaya hidup.
Jangan lagi hanya menghadapi dua orang saja, seumpama Kyahi Basaman dikerubut tiga puluh orang sekaligus, ia masih dapat melontarkan semua tenaga mereka dengan sekaligus.
Tidak mengherankan pergelangan tangan mereka yang sudah bengkak terasa nyeri luarbiasa.
Buru-buru mereka mamijat tangannya sambil melototi Kyahi Basaman.
Betapapun juga mereka sangat kagum.
Tetapi mereka adalah anak-murid Anung Danudibrata pewaris ilmu sakti Ugr asawa.
Semenjak menanjak dewasa, mereka digembleng dalam hal ketabahan dan keuletan.
Maka mereka tak sudi mengalah.
Dengan menggerung mereka menyerang lagi.
Kyahi.
Basaman khawatir akan keselamatan jiwa Lingga W isnu.
Cepat ia menyambar tubuh bocah itu dan dibawanya menyingkir.
Berkata dengan sabar .
"Saudara! Haraplah sabar sebentar. Coba, kalian bawalah aku menghadap gurumu. Pastilah dia akan segera mengenal aku."
"Hm ... siapa sudi mendengarkan ocehanmu. sekalipun kau menggunakan nama Resi Romaharsana jangan harap kau bisa mengelabuhi mataku!"
Bentak yang berperawakan ramping.
Kyahi Basaman benar-benar tak mengerti, sebab dua pendeta itu bersikap bandel dan garang sekali.
Syukurlah, dia seorang petapa yang sudah bisa mengendalikan diri.
Tetap saja ia membawa sikapnya yang manis.
Apalagi ia teringat bahwa kedatangan kepertapaan Argapura, semata-mata untuk keselamatan jiwa Lingga W isnu.
Kalau belum-belum sudah bentrok, tidak baik akibatnya bagi Lingga W isnu yang harus belajar bag ian ilmu sakti yang diwarisi Resi Ugrasawa.
k sekali lagi ia hendak membuka mulut untuk mencoba menjelaskan.
Tetapi kedua pendeta itu sudah lari mendaki.
Pastilah mereka akan mengadu kepada atasannya.
Beberapa saat kemudian, nampaklah lima orang berpakaian pendeta keluar dari gapura biara Argapura.
Mereka berlima diiringkan dua puluh orang berpakaian jubah kuning.
Kyahi Basaman kenal corak susunan rumah-perguruan Ugrasawa yang tidak pernah berubah semenjak dahulu.
Yang berjalan didepan itu, pastilah Anung Danudibrata.
Ia d idampingi keampat adik seperguruannya.
Saptawita, Jarot, Hasan Hidayat dan Saroni.
Keampat adik seperguruan Anung Danudibrata ini, merupakan ampat tiang agung rumah perguruan Argapura.
Kedudukannya sangat tinggi.
Selain menjadi penasehat juga merupakan ampat panglima yang tangguh.
Mereka berampat inilah sesungguhnya yang mewarisi ilmu sakti Resi Ugrasawa.
Kyahi Basaman segera menduga sebab mereka datang beramai-ramai.
Pastilah dua orang pendeta tadi sudah melaporkan kedatangannya.
Sekalipun kedudukannya masih kalah set ingkat dengan kedudukan mereka, namun agaknya mereka perlu menyongsong kunjungannya, mengingat dia adalah seorang ahli waris Aristi, adik seperguruan Resi Ugrasawa.
Cepat Kyahi Basaman melangkah maju.
Dan dengan membungkuk hormat ia berkata menyambut.
"Sungguh tak dapat kukatakan betapa besar rasa terima kasihku atas kesudian rekan Anung Danudibrata menyambut kedatanganku bersama adik adik seperguruan padepokan Argapura."
Dengan dipimpin Anung Danudibrata para pendekar itu membalas hormat Kyahi Basaman. Kata Anung Danudibrata.
"Dari jauh rekan Kyahi Basaman datang mendaki gunung kami. Entah hendak memberi petunjuk kepada kami."
"Bukan petunjuk, tetapi satu permohonan,"
Sahut Kyahi Basaman.
"Akh, begitu? Silahkan duduk! Mari!"
Para pendeta Argapura mendahului berjalan memasuki gardu penjagaan.
Dan digardu penjagaan itu, Kyahi Basaman dan Lingga W isnu disuguh air teh.
Juadah keras yang tadi disodorkan penjaga, kini tiada nampak dihidangkan.
Diam-diam Kyahi Basaman mendongkol dalam hati.
Pikimya .
'Jelek-jelek, akupun seorang ahliwaris dari Resi Aristi.
Kedudukanku setingkat dengan ia.
sebab aku hanya dipersilahkan duduk didalam gardu penjagaan dan nampaknya tiada niatnya menerima kunjunganku didalam b iaranya? Benar-benar keterlaluan! Jangan lagi aku yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat, seumpama tetamu biasapun rasanya tidak w ajar diterima di dalam gardu penjagaan.
Tetapi Kyahi Basaman seorang petapa tulen.
Setelah timbul gagasan itu, segera ia bisa menguasai d iri.
Pikiran serta hatinya sekaligus menjadi jernih kembali seperti permukaan sebuah telaga diatas gunung sunyi sepi.
"Rekan Basaman!"
Anung Danudibrata membuka suaranya.
"Menurut tata sant un, sebenarnya engkau harus kami terima didalam biara akan tetapi mengingat leluhur kita dahulu melarang adanya pertamuan ini, maka kami tidak berani melanggar pant angan itu. Malahan didalam rumah perguruan kami terjadi suatu peraturan keras. Barangsiapa sudah meninggalkan rumah perguruan, tidak diperkenankan lagi memasuki pertapaan. Siapa yang melanggar pantangan ini, akan dihukum tabas kaki. Karena itu maafkan kami."
"0, kiranya begitu."
Sahut Kyahi Basaman dengan tertawa gelak.
"Rumah perguruan kami tidak mengenal peraturan demikian. Siapa saja boleh keluar masuk dengan hati bebas sebagai manusia wajar. Siapa saja boleh belajar ilmu warisannya dengan bebas merdeka. Seumpama ditengah jalan tiada tahan lagi, diperkenankan mengundurkan diri. Sebab memaksa seseorang untuk berbuat kebajikan demi mengabdi kepada kepentingan golongannya sendiri, bukanlah hak kami."
"Akh, saudara Basaman pandai bergurau!"
Seru Anung Danudibrata dengan tertawa.
"Resi Aristi mewarisi sepertiga bagian ilmu sakti Brahmandaprana. Sayang sekali hatinya kotor sehingga sampai hati merebut kekasih orang."
Betapa sabar Kyahi Basaman, akan tetapi begitu leluhurnya difitnah orang, timbul ah rasa panas dalam hatinya.
Menurut kata hati, ia ingin mendamprat.
Syukur, pada saat itu ia mempunyai pertimbangan lain.
Katanya didalam hati.
'Dipandang dari sudut Ugrasawa, memang leluhurku seakan-akan merebut Parwati yang sesungguhnya tidak demikian.
Biarlah dia berkata begitu.
Aku datang kemari demi untuk merebut jiwa Lingga.
Kalau belum-belum sudah bentrok, alangkah buruk jadinya' Dengan pertimbangan demikian, ia lant as bersenyum.
Kemudian berkata.
"Perkataan rekan Anung Danudibrata tepat sekali. Justru itulah, aku datang kemari."
Tercengang Anung Danudibrata mendengar perkataan Kyahi Basaman.
Ia jad i tak mengerti.
Pikirnya di dalam hati.
'Apakah maksudnya justru oleh alasan itu, ia datang kemari.' Karena tak dapat memperoleh jawaban, ia menoleh kepada Saptawita, Saroni, Hasan Hidayat dan Jarot untuk mint a pendapatnya.
Tetapi ke ampat adiknya seperguruanpun tidak dapat mendjaga maksud Kyahi Basaman sesungguhnya.
Karena itu, Anung Danudibrata yang tabiatnya tidaklah sesabar Kyahi Basaman, segera berkata .
"Silahkan, berilah kami keterangan maksud kunjungan saudara!"
Kyahi Basaman tertawa gelak. Setelah diam sejenak, ia memberi keterangan dengan hati hati.
"Rekan Anung Danudibrata tadi sudah menyinggung leluhur kami Resi Aristi yang mewarisi sepertiga bagian ilmu sakti Brahmandaprana. Hal ini menang benar belaka. Tetapi apabila dibandingkan dengan Resi Ugrasawa dan Bhiksuni Partiwi, pihak kamilah yang paling rendah ilmunya. Mungkin lantaran Resi Aristi adalah murid Resi Romaharsana yang paling muda. Itulah sebabnya pula, maka setelah melampaui ratusan tahun lamanya dan akhirnya jatuh ditanganku, kesaktian ilmu Brahmandaprana jad i bertambah merosot pamornya.
"Hm., itupun belum tentu."
Potong Anung Danudibrata dengan mendengus.
"Pada jaman itu, bhiksuni Parwati menaruh hati kepada Resi Aristi, sehingga bukan mustahil mereka saling melengkapi kekurangannya masing-masing. Hari ini rumah perguruan saudara, termashur seumpama bintang conerlang diangkasa. Bukankah itu suatu bukti?"
Kyahi Basaman mengkerutkan dahi.
Lalu tertawa gelak sambil mengurut jenggotnya.
Sekilas itu ia berkata didalam hati.
'Udayana mati karena dituduh menyimpan tongkat mustika.
Apakah alasan sesungguhnya bukankah perkara jelus? Jangan-jangan begitu.' T etapi.
segera dia berkata dengan suara sabar .
"Rekan Anung Danudibrata tadi berkata bahwa leluhur kita dahulu melarang ada suatu pertamuan. Masakan beliau melanggar pant angannya sendiri? Lagipula, sew aktu beliau bertiga berumur enampuluh tahunan, gurunya Sang Maharsi Romaharsana masih hidup, sehingga pertamuan demikian t idak mungkin terjadi."
Diantara kelima ketua rumah-perguruan Argapura, Sapt awita adalah yang paling luas pergaulannya.
Budipakertinya agung pula.
Akan tetapi agaknya ia menempatkan diri dibawah kedudukan Anung Danudibrata.
W alaupun tahu kata-kata kakaknya seperguruan banyak yang saling bertentangan, namun ia bersikap diam.
Kyahi Basaman dapat menghargai sikapnya.
Hasan Hidayat sebaliknya seorang banyak pula pertimbangannya.
Ia seorang sabar dan saleh.
Dengan begitu wajahnya nampak terlalu tenang, sehingga sukar ditebak keadaan hatinya.
Terhadap pendekar ini, Kyahi Basaman bersikap hati-hati.
Saroni dan Jarot merupakan dua sejoli yang terlalu polos hati, sehingga mereka berkesan kekanak-kanakan dalam suatu pembicaraan tingkat tinggi.
Sebaliknya Anung Danudibrata seorang pendekar berpikiran sempit dan agak dengki.
Lantaran kurang bergaul, kerapkali ia lebih banyak menggunakan perasaan daripada pertimbangan.
Karena jalan pikirannya sempit, timbul ah kecurigaannya.
Ia menganggap kedatangan Kyahi Basaman bersangkut-paut dengan kematian Udayana.
Belum-belum ia sudah berjaga-jaga terhadap kemungkinan tamu itu melancarkan suatu penuntutan dendam.
Sebab, meskipun dia sendiri tidak ikut -serta mengejar-ngejar Udayana, akan tetapi anak-anak muridnya banyak yang mengambil bagian.
Betapapun juga, ia harus memikul t anggung jawab.
Terhadap orang luar, dapat ia bertindak keras.
Sebaliknya terhadap anggautarya sendiri, ia bersikap melindungi.
Inilah suatu kesalahan besar dimata umum.
Dua tahun yang lalu, semenjak Udayana mati kena keroyok, pertapaannya sering didatangi tetamu untuk mint a keterangan tentang wasiat t ongkat mustika.
Sudah tentu tak dapat ia memberi keterangan.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berkata bahw a pihaknya ikut mengejar Udayana semata-mata demi setia kawan belaka.
Tentu saja, alasan ini tak dapat meyakinkan para tetamunya.
Mereka menuduh bahwa pihak Argapura sudah mengetahui tentang rahasia tongkat mustika tersebut dan bermaksud hendak mengangkangi sendiri.
Karena pepat, dalam hati Anung Danudibrata lantas timbul rasa uring-uringan.
Ini semua gara-gara murid Kyahi Basaman.
Coba seumpama tiada cerita tentang tongkat mustika, pastilah pertapaannya akan tetap aman sentausa seperti sediakala.
Tidak seperti sekarang! Setiap kali, orang dapat memasuki dan menginjak halamannya.
Sebab setelah udayana mati, perhatian orang-orang yang bernapsu hendak memiliki tongkat mustika beralih kepada rumah perguruannya.
Mereka menaruh curiga, lantaran rumah pertapaan Argapura merupakan bintang cemerlang di bumi Priangan.
Kebetulan sekali, Kyahi Basaman datang tanpa diundang.
Ini namanya ular mencari gebuk.
Kesempatan bagus ini akan dipergunakan untuk melampiaskan rasa mendongkol yang disimpannya selama dua tahun didalam perbendaharaan hatinya.
Maka Anung Danudibrata lantas berteriak.
"Saudara Basaman bilang, leluhur kita berpantang tidak akan saling bertemu. Itupun benar, juga tidak benar. Bukankah pada hari tuanya, mereka sadar dan kemudian saling mencatat bagian ilmu saktinya masingmasing? Dan masing-masing bagian ilmu saktinya itu lantas dikumpulkan menjadi satu dan disimpan didalam sebatang tongkat. Bukankah begitu? Sekarang dimanakah t ongkat itu?"
Kyahi Basaman tertawa perlahan. Sahutnya.
"Itulah suatu dongeng belaka. Rekan Anung Danudibrata sebenarnya tidak percaya pula kepada dongeng itu."
"Belum tentu ! "
Potong Anung Danudibrata dengan bernapsu.
"Karena Bhiksuni Parwati dekat hubungannya dengan leluhurmu, kemungkinan besar tongkat itu diserahkan kepada Resi Aristi."
"Akh, itupun baru dugaan. Justru karena itu, aku datang kemari untuk memohon petunjuk."
Kata Kyahi Basaman dengan sabar.
Anung Danudibrata terperanjat mendengar istilah mohon petunjuk.
Apakah Kyahi Basaman dengan terangterangan hendak menantangnya? Sebab kata-kata mohon petunjuk itu berarti hendak menguji.
Maka ia jadi tergugu.
Pendekar Saroni yarg berwatak berangasan lantas mendamprat .
"Bagus! Terang-terangan leluhurmu berlaku curang. Setelah memperoleh gabungan ilmu sakti Brahmanda prana sampai lengkap, ia lantas mengangkangi untuk para ahliwarisnya. Hm .... kau anak pencuri, kini berani menantang kami."
"Bukankah lantaran kau mengandal kepada ilmu sakti Brahmandaprana yang sudah lengkap? Coba bantahlah bukti ini ! Tetapi aku Saroni, tidak akan gent ar menghadapimu. Hayo, kau boleh menguji kami. Kami disin i tidak hanya berlima atau berenam. Dibelakang kami masih berderet ratusan orang anggauta pertapaan Argapura. Apakah kau sanggup membasmi mereka?"
Kata-kata tidak akan gentar, sebenarnya justru membuktikan, bahwa dalam hati kecil Saroni sudah timbul rasa jeri. k belum-belum ia sudah memberi aba-aba kepada ratusan anak buahnya agar main keroyok. Kyahi Basaman segera berkata dengan sabar.
"Akh, kiranya saudara-saudaraku salah terima dan salah faham akan kedatanganku ini. Kata-kataku 'mohon petunjuk' benar-benar bukan berarti hendak menguji kepandaian. Dan cerita tentang tongkat mustika itu, sebenarnya hanya cerita khayal belaka. Andaikata benar, tongkat mustika itu berada ditanganku, perlu aku datang kemari? Padahal kedatanganku kemari ini justru merasa diri kurang. Dan kini hendak memohon petunjukpetunjuk."
Penjelasan Kyahi Basaman itu diluar dugaan mereka.
Mereka jadi bungkam berbareng heran.
Benarkah demikian? Kyahi Basaman kin i sudah berumur 93 tahun.
Betapa tinggi ilmu kepandaiannya, siapapun takkan bersangsi.
Kalau sekarang datang mendaki Gunung Cakrabuwana untuk memohon petunjuk-petunjuk pastilah beralasan kuat.
Tetapi apakah alasannya? "Akh, saudara hanya bergurau saja,"
Kata Anung Danudibrata.
"Usia kami berada dibawah saudara. Baik pengalaman maupun pengetahuan masih sangat dangkal. Saudara hendak minta petunjuk kami. Petunjuk ?"
Oleh jawaban itu, Kyahi Basaman jadi sadar.
Memang kedatangannya itu, kalau dipikir sangat aneh.
Kalau t idak menerangkan alasannya dengan jelas sukarlah mereka percaya.
Maka dengan perlahan-lahan ia menceritakan penderitaan Lingga W isnu dan sebab bocah itu sampai kena hawa berbisa yang kini meresap kuat dalam tubuhnya.
Dikesankan pula bahw a Lingga W isnu adalah putera Udayana satu-satunya.
Tak peduli bagaimana alasannya, ia wajib menyelamatkan.
Dan satu-satunya jalan, kecuali dengan ilmu sakti Brahmandaprana yang berada ditangannya.
Sebagai timbal-balik, iapun mengharapkan bagian Brahmandaprana yang berada dipertapaan Argapura.
Dengan demikian, kedua pihak mempunyai hak untuk mempelajari.
Mendengar penjelasan Kyahi Basaman, Anung Danudibrata termangu, setelah menimbang sebentar ia berkata.
"Saudara Basaman Bagian ilmu sakti Brahmandaprana yang berada ditangan leluhur kami Resi Ugrasawa terdiri 72 macam ilmu kepandaian. Selama ratusan tahun anak-anak muridnya mencoba mempelajari, akan tetapi tiada seorang pun yang sanggup mewarisi lebih daripada 14 macam saja. K arena itu, maksud baik saudara Basaman hendak menyerahkan bagian ilmu sakti Brahmandaprana kepada golongan kami, sebenarnya tiada gunanya. Akhirnya, kamipun tak ada waktu serta tak sanggup mampelajari."
Ia berhenti sebentar mengesankan. Berkata lagi.
"Kecuali itu, semua orang tahu Resti Aristi adalah adik seperguruan Resi Ugrasawa. Seumpama kami lantas menerima bantuan saudara bukankah berarti merosotkan pamor leluhur kami? Padahal Resi Ugr asawa menang setingkat dari kedudukan Resi Aristi. Sebagai seorang yang kini memegang tampuk pimpinan pertapaan Ugrasawa, tak dapat kami memikul tanggung jawab ini."
Kyahi Basaman tertegun mendengar kata-kata Anung Danudibrata.
Ia jadi kecew a dan kesal.
Katanya didalam hati.
'Kau terkenal sebagai seorang pendekar sakti.
Tetapi penglihatanmu sebab begini sempit?' Akan tetapi lantaran merasa d iri bahwa kedudukannya kini hendak memohon sesuatu, terpaksalah ia mengalah untuk mengelakkan suatu perdebatan.
Katanya .
"Rekan Anung Danudibrata dengan keampat adik- seperguruan yang bermukim diatas Gunung Cakrabuwana ini merupakan lima-serangkai ulama yang mengutamakan cinta-kasih diatas segala-galanya. Semenjak dahulu terkenal sebagai lima serangkai yang ringan kaki dan ringan tangan dalam usaha menolong sesama h idup. Sekarang kami memohon suatu pertolongan. Dapatkah kiranya kalian berlima. mengulurkan tangan? Dengan ini aku sangat berterima kasih."
"Hm. W alaupun kami hidup berlandaskan rasa c int akasih, akan tetapi keluarga Udayana pulang dengan tangan berlumuran darah. Entah sudah berapa puluh orang, Udayana mambunuh orang-orang tak berdosa. Dipihak kami saja, kehilangan ampat puluh orang. Kami sekarang tidak mengusut sepak-terjangnya lagi, hal itu karena mengingat dia sudah mati. Menurut faham kami, akan terkutuklah seseorang yang mengganggu- gugat yang sudah mati. Karena itu, perkaranya kami sudahi saja. Pada saat ini, datanglah anak nya hendak mohon pertolongan. Seumpama dia terpaksa mati, rasanya memadailah sebagai penebus keganasan ayahbundanya."
Kata Anung Danudibrata dengan suara merendahkan.
Menuruti hati, Kyahi Basaman mendongkol bukan main.
Namun demi tujuan, ia menguasai diri sebaikbaiknya.
Sebaliknya, Lingga W isnu yang semenjak tadi berdiri didamping kakek gurunya, gusar bukan kepalang.
Apa lagi ia mendengar nama ayah-ibunya diungkatungkat seolah-olah orang-tuanya yang berlumuran dosa.
k tak sanggup lagi ia membungkam.
Lalu berkata keras.
"Eyang! Pendeta-pendeta ini justru membuat ayah-ibu mati dengan penasaran. Tetapi mereka seakan-akan memikulkan seluruh tanggung jawabnya kepada ayahibu. Aku tahu sendiri, baik ayah maupun ibu tak habis- habis mengerti, sebab diburu-buru terus-menerus selama delapan tahun. Karena itu eyang, lebih balk aku mati daripada memohon-mohon pertolongan mereka. Mari kita pulang saja, eyang."
"Akh, angger ! "
Kyah i Basaman mengeluh.
"Kematian ayah-bundamu, sebenarnya tiada sangkut pautnya dengan para pendeta ini."
Mendengar ucapan Kyahi Basaman, Lingga W isnu tercengang.
Ia jadi bingung.
Akhirnya mendongkol berbareng marah.
Karena gejolak perasaannya yang tak menentu itu, mulutnya jadi tergugu.
Akan t etapi didalam hatinya sudahlah timbul keputusannya, tidak sudi menerima belas kasih pendeta-pendeta itu.
Katanya didalam hati 'Meskipun eyang berhasil rrembujuk mereka untuk menurunkan ilmu sakti Brahmandaprana yang berada di perguruan Argapura ini, aku emoh mempelajari.
Biarlah aku mati kering daripada menerima budi-baik musuh ayah-bunda ...' Dalam pada itu Kyahi Basaman tak bosan-bosan berusaha membujuk dan membuat mereka mengerti tanpa menyinggung persoalan Udayana.
Berjam-jam ia berbicara sanpai mu lut nya terasa kering.
Dan para pendeta itupun tak bosan-bosan menolak segala bentuk permint aannya.
Selagi demikian, sekonyong-konyong terdengarlah derap kuda mendatangi gardu penjagaan.
Dan tampaklah lima penunggang kuda muncul di ant ara debu jalan.
Yang berada didepan seorang laki-laki berperawakan kekar, gagah perkasa.
Sesampainya didepan gardu penjagaan ia menahan kudanya sambil berseru bagaikan guntur .
"Ha ... kebetulan sekali. Inilah orangnya"
Mendengar suaranya yang keras bagaikan guntur itu, semua orang terkejut. Sementara itu laki-laki berperawakan gagah tersebut sudah turun dari atas kuda sambil menebarkan penglihatannya. Kemudian berkata kepada Anung Danudibrata .
"Sadat Satir ut usan golongan Sekar Ginabung datang menghadap tuanku Anung Danudibrata. Harap saudara sudi mengantarkan kami."
Rupanya orang itu belum pernah bertemu muka dengan Anung Danudibrata, sehingga mengira dirinya sedang berhadapan dengan salah seorang pendeta dari padepokan Argapura.
Dalam pada itu, mereka yang mendengar suara Sadat Satir menjadi pengang telinganya.
Orang itu wajar saja sew aktu berbicara.
Akan tetapi suaranya bukan main kerasnya.
Itulah suatu tanda, bahwa dia memiliki himpunan tenaga sakti yang dahsyat sekali.
Merekapun terperanjat pula dengan disebutnya golongan Sekar Ginabung.
Sekar Ginabung adalah nama suatu perkumpulan yang bersarang diatas Gunung Papandayan.
Tak jelas, bagaimana sepak terjang golongan itu, akan tetapi menurut kabar, mereka jarang sekali berhubungan dengan orang luar apabila tidak sangat penting.
Gerakgerik mereka sangat sukar diamat-amati.
Namun merajai suatu wilayah yang mempunyai sumber hidup makmur.
Mereka yang memasuki daerahnya atau melint asi, harus membayar pajak.
Dengan demikian, cara hidup mereka tak beda dengan tata-tertib seorang raja memerint ah daerah kerajaannya.
Lingga W isnu lantas saja teringat kepada peristiwa dua tahun yang lampau.
Ayah bundanya sangat segan menghadapi dua tokoh pengejarnya.
Mereka bernama Lemah Ijo dan Ruji Pinentang.
Dua pendekar itu menyebut diri sebagai anak-murid Panembahan Padang Bulan yang berkedudukan sebagai Ketua golongan Sekar Ginabung.
Tatkala Lemah Ijo dan Ruji penentang mendadak memasuki gelanggang pertempuran, ayah dan ibunya kena dilukai.
Akan tetapi merekapun menderita luka tak ringan pula.
Tak mengherankan bahwa mereka berdua berdendam terhadap keluarganya.
Lemah Ijo dan Ruji Pinentang merupakan tetamu yang amat garang, tatkala ikut datang ke paseban rumahperguruan Kyahi Basaman.
Sekarang Lingga W isnu melihat seorang tokoh lain yang gagah perkasa dan garang.
Diam-diam hatinya meringkas.
Terus saja ia bersembunyi di belakang punggung eyang-gurunya.
Dalam pada itu Anung Danudibrata berkerut keningnya.
Berpikir didalam hati.
'Eh, kembali lagi ada orang yang ingin mengusut perkara tongkat mustika.
apalagi alasannya kalau perkara tongkat mustika.
Benarbenar anak murid Basaman ini membuat susah saja ...' "Kau mencari ketua kami.
Apakah sangat penting?"
Teriak pendekar Saroni. Dengan membungkuk hormat, Sadat Satir menjawab .
"Sebenarnya kami t ak berani mengganggu ketua tuan. Cukuplah asal kami diberi k abar, di manakah sebenarnya tongkat mustika itu berada."
"Kami d isini adalah sekumpulan tulang belulang yang hanya pandai bersemedi atau berdoa. Karena itu, sama sekali tidak mengerti tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar pertapaan. Silahkan t uan pergi saja."
Mendongkol hati Sadat Satir diusir dengan cara demikian. Menyahut agak keras.
"Sebenarnya siapakah tuan sampai berani mewakili suara golongan Argapura?"
Saronipun seorang pendekar yang rnudah tersinggung pula. Sahutnya pedas .
"Akh, nama hanyalah semacam sebutan bentuk luar. perlu kami perkenalkan?"
Keruan saja hati Sadat Satir kian mendongkol. Sekarang kedua alisnya berkerut. Lalu membentak .
"Hm, selagi mohon mendengar nama t uan yang agung saja tidak berhasil. Apalagi mengharapkan yang bukanbukan. Apakah kedatanganku kemari sia-sia belaka?"
"Itupun belum tentu,"
Tiba-tiba timbul suatu pikiran lain didalam hati Saroni.
"Bukankah engkau datang kemari unt uk mengusut rahasia tongkat mustika?"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akh, benar!"
Seru Sadat Satir dengan suara keras.
"Jika tuan sudi memberi kabar, alangkah besar rasa terima kasih kami. Golongan kami akan bersedia bersahabat sepanjang masa dengan golongan tuan."
"Benarkah demikian?"
Saroni tertawa terbahak-bahak.
"Kunjunganmu hari in i benar-benar merupakan suatu karunia Tuhan. Coba, seumpama lambat satu hari saja atau mendahului satu hari, akan sia-sia."
"Mengapa demikian?"
Sadat Satir heran. Tapi pada wajahnya terbayang rasa syukur yang meluap. Keampat temannya segera menghaturkan rasa terima kasih berulang kali sebagai penyambut ke sediaan pihak golongan Argapura.
"Mengapa demikian? Karena satu-satunya orang yang mengetahui dimanakah beradanya tongkat mustika itu, sekarang ada disin i. Itulah dia, putera tunggal Udayana."
Kata Saroni sambil menuding kearah Lingga W isnu yang bersembunyi dibelakang Kyahi Basaman.
Keruan saja hati Lingga W isnu tercekat.
Akan tetapi begitu mendengar nama ayahnya disinggung, serentak timbul ah rasa jant annva.
Teringat betapa ayahbundanya mati dengan penasaran, terus saja ia maju sambil merribent ak.
"Kedua saudara-seperguruanmu Ruji Pinent ang dan Lemah Ijo dengan tak menghiraukan harga diri, ikut mengeroyok ayah dan ibuku. Hari in i aku akan membuat perhitungan."
Ucapan anak kecil itu mengejutkan dan menggelisahkan hati.
Mereka semua berpaling kepadanya seakan-akan berjanji.
Menilik wajahnya yang pucat lesi.
pant asnya ia harus d ikasihani.
Akan tetapi ternyata bocah itu menpunyai kegarangan hati yang berlebih-lebihan.
Masakan dia bisa membuat perhitungan terhadap Sadat Satir, seorang pendekar yang berkesan begitu perkasa.
"Akh, anak kecil Mulut mu kenapa gampang bocor? Apakah kau bosan hidup?"
Bentak Sadat Satir dengan suara menggeledek.
Dlbent ak dengan suara yang keras bagaikan geledek itu, betapapun juga hati lingga W isnu menjadi meringkas.
Tetapi dia seorang anak yang keras hati.
Dengan matimatian ia mencoba menghimpun semua keberaniannya.
Lalu membalas bent ak dengan suara sekeras-kerasnya .
"Dua tahun yang lalu, golonganmu pernah ikut mengeroyok ayah-bundaku. Yang memimpin dua orang, bernama Lemah Ijo dan Ruji Pinentang. Ke duanya mengenakan pakaian pendeta seolah-olah manusia suci. Tak tahunya mereka haus darah dan beraninya hanya main keroyok. Apakah kau tak malu?"
Kembali mereka semua terkejut mencengar ucapan Lingga W isnu.
Benar-benar mereka tak menyangka, bahw a bocah cilik itu mempunyai keberanian berlebih.
Sebaliknya Sadat Satir dan keampat kawannya gusar bukan main, karena kena ditelanjangi oleh seorang anak kemarin sore di hadapan para pendekar.
Lantaran sangat malu, tanpa berpikir panjang lagi Sadat Satir melompat maju menggampar kearah muka Lingga W isnu.
Namun, betapapun juga ia seorang pendekar yang merasa diri bertenaga kuat.
Khawatir kalau tenaganya bisa memecah kepala sibocah, Sadat Satir hanya menggunakan tenaga satu bagian saja.
W alaupun demikian, apabila mendarat pada sasarannya, Lingga W isnu akan bisa dibuatnya jungkir balik dengan muka pengap.
Melihat berkelebatnya tangan, Lingga W isnu hendak melompat mundur dengan segera.
Akan tetapi tangan Sadat Satir terlalu cepat baginya.
Ia merasa diri seakanakan kena kurung sangat rapat.
Tiada jalan lain kecuali menangkis.
Maka dengan nekat-nekatan, ia mengangkat kedua tangannya untuk melindungi mukanya.
Dan pada saat itu mendadak suatu tenaga yang halus dan hangat terasa memasuki punggungnya dan terus berkumpul pada telapak tangannya.
Bres ! Gamparan Sadat Satir kena tertangkis kedua tangan Lingga W isnu.
Hanya saja, bukan Lingga W isnu yang terpental, melainkan Sadat Satir yang gagah perkasa terhuyung mundur beberapa langkah.
Tatkala terasa kaki nya hendak tergeser lagi, ia mempertahankan diri.
Sebab tumitnya sudah meraba tangga gardu penjagaan.
Kalau mundur setengah langkah saja, ia akan rebah terjengkang.
Akan tetapi maksud itu tidaklah mudah.
Ia menjadi kelabakan, begitu tubuhnya terdoyong ke belakang.
Setelah dengan mati-matian menghimpun tenaga saktinya, barulah d ia dapat berdiri tegak.
Akan tetapi wajahnya merah padam oleh rasa malu.
Sedang rasa hatinya runyam tak karuan.
Dengan mata melotot ia mengawaskan Lingga W isnu.
Didalam hati, ia heran bukan kepalang.
Pikirnya.
Ruji Pinentang dan Lemah Ijo memuji ilmu kepandaian Udayana set inggi langit.
Agaknya bukan bualan kosong.
Anaknya saja sudah memiliki t enaga lumayan sanpai b isa mengundurkan tenaga pukulanku.
Sadat Satir tidak tahu sebab ia sampai kena terpukul mundur.
Ia mengira bocah itu tidak bertenaga, mengingat wajahnya pucat dan tubuhnya kurus kering.
Maka ia hanya menggunakan sebagian saja.
Diluar dugaan, bocah itu ternyata memiliki tenaga sakti yang tak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya Anung Danudibrata dan keampat saudaraseperguruannya mempunyai penglihatan lain.
Dengan matanya yang tajam, mereka tahu sebab Sadat Satir kena t erpukul mundur oleh tangan Lingga W isnu.
Itulah disebabkan Kyahi Basaman berada dibelakang punggung sibocah.
Dengan demikian ilmu sakti Dudu Kasyapa ia menggempur tenaga pukulan Sadat Satir lewat punggung Lingga W isnu.
Dengan demikian, kedua tangan Lingga W isnu sebenarnya hanya merupakan sebatang tongkat belaka.
Ilmu sakti Dudu Kasyapa, merupakan pecahan ilmu sakti Brahmandaprana.
Semua pendeta golongan Ugrasawa kenal akan kehebatan ilmu sakti itu.
Akan tetapi ilmu sakti tersebut sangat sukar dipelajari.
Mereka yang dapat menggunakan ilmu sakti Dudu Kasyapa hanya mereka berlima.
Akan t etapi kalau dikatakan atau dibanding dengan kesanggupan Kyahi Basaman menggempur musuh tanpa terlihat, mereka semua mengakui kalah.
Sebaliknya, Sadat Satir yang kurang waspada, hanya menuruti gejolak hatinya yang mendongkol.
Pikimya didalam hati, aku t erpental mundur karena kegoblokanku sendiri.
Coba aku tadi menggunakan tenaga penuh, tak usah aku menanggung rasa malu dihadapan para pendeta Argapura.
Sekarang kalau aku tidak memperlihatkan gigi, bukankah pamor Sekar Ginabung menjadi suram? Biarlah aku tak dapat mengetahui dimana beradanya t ongkat w asiat lewat mulut bocah itu.
Yang pentmg sekarang, aku harus bisa menggempur bocah itu sampai mampus.
apa boleh buat! Setelah memperoleh keputusan demikian, Sadat Satir tertawa penuh ancaman seraya maju menghampiri.
Lalu membentak .
"Monyet cacingan! Kau terimalah lagi pukulanku ! "
Ia melompat dan terus menghantam dada si bocah.
Kali in i Sadat Satir tak segan-segan lagi.
Tenaga sakti yang digunakan, penuh-penuh.
k mengherankan, belum lagi pukulannya mendarat pada sasarannya, suatu angin dahsyat sudah t iba bergulungan.
Lengan baju para pendeta berkibaran dan gardu penjagaan nampak tergetar.
Mereka adalah pendeta-pendeta yang merupakan tiang agung pertapaan Argapura.
Mereka disebut lima pendeta sakti.
Ilmu kepandaiannya sangat tinggi.
Meskipun demikian, kena samberan angin pukulan Sadat Satir, dada mereka terasa menjadi sesak.
k cepatcepat mereka menghimpun tenaga penolak.
Dalam pada itu, hati Kyahi Basaman tergoncang, menyaksikan hebatnya tenaga pukulan yang digunakan Sadar Satir.
Pada detik itu ia berpikir sengit didalam hati.
Ah, kenapa untuk melampiaskan rasa mendongkol saja, engkau menggunakan tenaga begini dahsyat terhadap seorang anak kecil? Hm, kalau aku tidak kebetulan berada disini, bukankah kepala Lingga pecah berantakan kena hantamannya ini? Karena sengit, Kyahi Basaman tidak lagi menyalurkan ilmu sakti Dudu Kasyapa ke dalam urat nadi Lingga W isnu, akan tetapi langsung menggunakan int i-sari ilmu sakti Brahmandaprana Tripurusa yang pernah dipergunakan untuk merebut jiwa Lingga W isnu dahulu.
Seperti diketahui, titik tolak ilmu sakti Tripurusa bersandar pada tenaga murni.
Kyahi Basaman selama h idupnya belum pernah bersint uhan dengan w anita.
Karena itu tenaga murninya masih penuh dan suci bersih.
Dan tenaga murni ini dituangkan habis-habis ke dalam urat nadi Lingga W isnu untuk melindungi.
Dan akibatnya hebat sekali.
Begitu dua tenaga raksasa berbenturan, maka genting gardu penjagaan rontok berhamburan.
Suatu debu tebal meledak dan melambung keudara.
Lalu terdengarlah suara gemeretakan.
Ternyata gardu penjagaan yang berada didepan pagar biara ambrol kena tubuh Sadat Satir yang terpental akibat gempuran tenaga sakti Tripurusa.
Karena Sadat Satir memiliki tubuh yang kebal dari senjata, ia bisa merobohkan gardu penjagaan yang terbuat dari batu pegunungan.
Begitu ambrol, tubuhnya terus melayang terbang bagaikan bola keranjang kena pukulan keras.
Dan tahu-tahu tubuhnya terkait pada sebatang dahan cemara yang berada ditepi jurang.
Sadat Satir kaget bukan kepalang.
Karena terdorong rasa kaget, ia sampai berkaok-kaok.
Sedangkan kedua kakinya berkeroncalan di udara dalam usahanya melepaskan diri dari dahan pohon yang menggaetnya.
Untunglah, tenaga sakti yang dipergunakan Kyahi Basaman memunahkan tenaga sakti Sadat Satir yang kejam, adalah himpunan tenaga sakti yang murn i.
W alaupun dahsyat luar biasa, namun sifatnya lurus dan halus.
Tenaga itu tidak untuk merusak, akan tetapi hanya menolak.
Itulah sebabnya, tubuh Sadat Satir sama sekali tak terluka.
Seumpama Sadat Satir sempurna ilmu saktinya, tak sampai ia terkait batang pohon.
Sebaliknya kini, apabila sampai terlepas dari kaitan itu, malah besar bahayanya.
Dia bisa terjatuh ke dalam jurang yang penuh dengan batu-batu tajam.
Sadar akan hal itu, dengan menahan napas ia memut ar tubuhnya menghadap pangkal pohon.
Lalu memeluk erat-erat.
Benar-benar suatu kejadian yang lucu mengharukan.
Menyaksikan kejadian itu, semua orang terkejut, heran dan geli.
Sedang dua orang bawahan Sadat Satir segera menghunus goloknya.
Berbareng mereka melompat dan berusaha mematahkan dahan pohon dengan goloknya.
Tetapi dahan pohon itu terlalu tinggi.
Golok mereka tak sampai.
Maka dengan berjumpalitan mereka turun ketanah.
Setelah menyimpan goloknya, mereka memanjat pohon tanpa mempedulikan senyum simpul para pendeta Argapura.
Kyahi Basaman lantas menbisiki Lingga W isnu.
Bocah itu nampak memanggut.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia membungkuk memungut sebutir batu kecil.
Setelah diincer baik-baik segera jarijarinya menyentil.
Dengan suara bersu ling, batu itu menyambar dahan pohon.
Krak! Dahan itu patah dan runtuh ketanah berikut tubuh Sadat Satir yang memeluk erat-erat.
Kedua pembantunya kaget.
Seperti berjanji, mereka berdua melompat dengan berbareng.
Tangan mereka menyambar dalam usahanya menghindarkan Sadat Satir jatuh kedalam jurang.
T api celakanya mereka kena daya tekan tubuh Sadat Satir yang terbanting dengan tiba-tiba dari atas udara, mereka berdua malahan kena tindih.
Dan dengan suara berkedubrakan, ketiga-tiganya terbant ing diatas t anah saling t indih.
Kejadian inipun mengherankan semua yang menyaksikan.
Mereka tak pernah menduga, bahwa sebutir batu kecil bisa mematahkan dahan pohon cemara yang cukup besar dengan suatu sentilan dari jauh.
Selagi mereka ternganga-nganga keheranan, kembali lagi Ky ahi Basaman menunjukkan kepandaiannya.
Tiba-tiba tangan Lingga W isnu terangkat.
Suatu kesiur angin dahsyat bergelungan menyendok tanah tenpat Sadat Satir bertiga jatuh saling tindih.
Tahu-tahu tubuh mereka terangkat naik keudara dan terlempar balik.
Dengan demikian, mereka bebas dari ancaman tebing jurang yang meluruk berguguran kena benturan berat badannya.
W alaupun danikian Sadat Satir bertiga tak kurang kagetnya, tatkala tubuhnya kena terangkat naik.
Mereka bertiga mengira bahw a Lingga W isnu hendak menceburkannya ke dalam jurang mengingat kedua orang tuanya mati kena keroyok.
W alaupun yang membunuh Udayana tidak hanya golongan mereka sendiri, namun oleh rasa dendam bocah itu bisa kalap.
Diluar dugaan, mereka justru berada dalam sebaliknya.
Setelah dapat menancapkan kaki, ternyata mereka berada agak jauh dari tebing jurang yang sedang berguguran.
Kemudian suatu hawa hangat yang nikmat luar b iasa merayapi seluruh tubuhnya.
Akh, bocah ini bermaksud baik sekali, pikir mereka.
Apakah dia menghendaki kepergiannya? Tiba-tiba mereka teringat, bahw a pendeta-pendeta Argapura pun ikut memikul tanggung jawab.
Memperoleh pikiran demikian, segera mereka mengangkat kaki.
"Anak muda, kami benar-benar kagum. Sungguh kagum !"
Kata mereka dengan membungkuk hormat.
Setelah itu dengan isyarat mata Sadat Satir menghampiri kudanya dan mendahului turun gunung.
Dan keampat pembantunya segera menyusul cepat-cepat.
Mereka belum juga sadar, bahw a semuanya itu tadi adalah berkat ilmu sakti Kyahi Basaman yang tersalur pada tubuh Lingga W isnu.
Lingga W isnu hanya merupakan sebuah boneka belaka.
Sebaliknya, para pendeta Argapura yang bermata lebih tajam, kagum luar biasa t erhadap Kyahi Basaman.
Pikir mereka, pada jaman ini orang memashurkan nama Kyahi Basaman, sebagai seorang pendekar nomor satu tiada bandingnya.
Setelah menyaksikan sekelumit kepandaiannya, ternyata kepandaiannya orang tua itu melebihi kabar berita orang.
Akh, kalau begitu, ilmu saktinya cukup berharga untuk dipelajari - Sebenamya Anung Danudibrata berlima sudah mengambil keputusan tidak sudi tukar-menukar ilmu sakti Brahmandaprana bagian mereka masing-masing.
Akan tetapi setelah menyaksikan kepandaian Kyahi Basaman, mereka jad i sibuk mempertimbangkan.
Pikir mereka lagi .
'Sekalipun aku berlatih limapuluh tahun lagi, takkan mampu aku mencapai t ingkatan kepandaian setinggi dia.
Ini suatu bukti, bahwa himpunan tenaga sakti kaum Aristi memiliki keistimewaannya sendiri.
Karena itu, apabila aku bersedia menukar rahasia ilmu sakti Ugrasawa, rasanya tidaklah rugi.' Memperoleh pertimbangan demikian Anung Danudibrata lantas berkata dengan suara agak sabar.
"Apakah ilmu sakti tadi saudara peroleh rahasia ilmu Brahmandaprana?"
"Bukan,"
Sahut Kyahi Basaman.
"Kepandaian itu tadi adalah ciptaanku sendiri. Namanya Tripurasa. Masih ada lagi cabangnya yang kusebut. Trinetra. Trinetra terdiri dari 14 jurus. Tetapi kedua-duanya bersumber kepada rahasia titik-tolak Ilmu Brahm andaprana yang berada di tanganku. Apabila rekan-rekan disini bersedia menolong jiwa cucuku ini, tak berani aku menyimpan semua kepandaianku yang kumiliki. Semuanya akan kupaparkan kepada rekan-rekan yang sudi mempelajari."
Sungguh menarik tawaran Kyahi Basaman.
Meskipun demikian, Anung Danudibrata belum berani mengambil keputusan.
Sebab ia mengira, bahw a yang tertarik hanya dia seorang diri.
Maka ia melemparkan pandang kepada sekalian adik seperguruannya.
Apabila mereka memanggut pendek, segera ia berkata .
"Baiklah. Kami akan mengajarkan rahasia ilmu sakti Brahmandaprana yang berada ditangan kami. Hanya saja, saudara Basaman harus berjanji, bahw a yang berhak mempelajari seorang saja. Dialah sibocah ini. Selain dia, tidak kami perkenankan. Sebab ilmu ini kami relakan kepadanya semata-mata untuk menyembuhkan penyakitnya. Dengan begitu, diapun tidak kami perkenankan mengajarkan kepada orang lain. Juga tidak kami perkenankan, menggunakan ilmu sakti ajaran kami untuk bermusuhan dengan anak-murid keluarga Argapura. Syarat ini berlaku dibawah sumpah. Nah, bagaimana?"
Bukan main g irang hati Kyahi Basaman. Sahutnya cepat .
"Rekan Anung Danudibrata! Akulah saksinya, bahw a dia menerima dua syarat tersebut. Yang pertama. tidak boleh mengajarkan kepada orang lain. Y ang kedua. t idak boleh menggunakan ilmu sakti tersebut untuk bermusuhan dengan keluarga Argapura. Nah, angger Lingga W isnu! Cepatlah kau bersumpah!"
Diluar dugaan Lingga W isnu menggelengkan kepalanya. Katanya dengan suara tegas .
"T idak! T ak sudi aku bersumpah. Karena aku pun tak sudi menpelajari ilmu ke pandaian mereka."
Kyahi Basaman tercengang.
T ak segera ia memaklumi keadaan Lingga W isnu yang terlalu sedih memikirkan kenatian ayah-bundanya.
Disepanjang jalan, tidak hentihentirya ia memberikan pengertian yang mendalam dan mencoba membimbing kearah penglihatan yang lebih luas.
Akan tetapi w atak Lingga W isnu terlalu keras.
T idak mudah dia menyerah.
Malahan lebih baik mati tak terkalang tanah daripada menerima belas-kasih lawan.
Teringat hal ltu, cepat-cepat Kyahi Basaman membawa Lingga W isnu keluar gardu penjagaan.
Kemudian berkata dengan suara perlahan .
"Angger, tatkala aku membawamu kemari, bukankah engkau sudah setuju untuk mohon belajar ilinu ajarannya pendeta Argapura? Kenapa kau kini mengingkari kesanggupanmu sendiri?"
"Aku harus bersumpah t idak boleh menggunakan ilmu ajarannya untuk bermusuhan dengan keluarga Argapura."
Jawab Lingga W isnu dengan suara sungguhsungguh.
"Bagaimana mungkin aku lakukan, eyang? Bukankah mereka ikut serta membunuh ayah-bunda dan sekalian saudaraku?"
"Benar."
Sahut Kyahi Basaman dengan menghela napas.
"Tetapi kalau kau kini menolak ajarannya, dalam waktu satu tahun jiwamu akan melayang. Lantas bagaimana caramu hendak membalas dendam orang tua dan saudaramu yang mati penasaran? Karena itu yang paling pent ing sekarang, adalah menyelamatkan jiwamu dahulu. Kemudian engkau berlatih ilmu sakti yang banyak ragamnya didunia ini. Masakan engkau tak sanggup mengalahkan musuh-musuhmu dengan ilmu sakti yang lain? Kenapa kau hanya menganggap hanya ilmu sakti Brahmandaprana saja yang bisa mengalahkan mereka ? "
Suatu cahaya berkelebat didalam benaknya.
Samarsamar ia seperti mengerti, sebab eyangnya bersikap mengalah dan sama sekali tak mau menyinggung kematian muridnya.
Mungkin sekali, inilah perhitungannya.
Yang penting.
menyelamatkan jiwanya dahulu.
Setelah itu, perkara penuntutan dendam, dapat dilaksanakan dengan perlahan-lahan.
Sepuluh tahun rasanya belum kasep.
Dan memperoleh pengertian demikian, lantas saja ia menjawab.
"Baiklah, eyang. Lingga patuh kepada kebijaksanaan eyang."
"Bagus!"
Kata Kyahi Basaman dengan setengah berteriak.
"Kau mengerti maksud eyang, bukan? Sekarang, cepatlah kau berlutut dihadapan mereka, sebelum mereka berubah pendirian. Kau bersumpahlah akan menetapi janji."
Kyahi Basaman kemudian membawa Lingga W isnu memasuki gardu penjagaan kembali.
W aktu itu Anung Danudibrata berampat, sudah berdiri tegak menunggu keputusannya.
Dengan pandang berkilat-kilat ia menatap wajah Lingga W isnu yang pucat dan perawakannya kurus kering.
"Bagaimana?"
Kata Anung Danudibrata dengan suara tak sabar.
Lingga W isnu kemudian membungkuk hormat.
Dengan berdiri berjajar Anung Danudibrata menatap Lingga W isnu seakan-akan lima dewa sakti turun dari langit hendak menebarkan maut.
Kemudian berkata memutuskan .
"Kalau begitu, mari kita masuk ! "
Setelah berkata demikian, ia mendahului berjalan memasuki pertapaannya tanpa memperdulikan tetamunya.
Dan Kyahi Basaman yang sudah bebas dari semua bentuk ikatan t ata-tertib keduniawian dengan tak merasa tersinggung membimbing tangan Lingga W isnu mengikuti mereka.
Sebaliknya hati Lingga W isnu semakin menjadi mendongkol.
Namun melihat eyang-gurunya bersikap sabar dan tenang, lambat-laun ia menjadi t enang pula.
Diserambi depan Lingga W isnu diharuskan bersumpah.
Ia berlut ut didepan Anung Danudibrata.
Karudian bersumpah .
"Aku, Lingga W isnu, berkat kedermawanan serta keluhuran budi para pendeta pertapaan Argapura menerima petunjuk-petunjuk ilmu sakti Brahmandaprana warisan Resi Ugrasawa pada hari ini. Ilmu sakti ini bertujuan untuk menyembuhkan tubuhku yang menderita sakit runyam. Karena itu, aku tidak akan mengajarkan ilmu sakti ini, kepada siapapun. Juga tidak akan menggunakan untuk memusuhi anak-murid pertapaan Argapura. sampai melanggar sumpah in i, biarlah aku terajang seperti ayah-bundaku."
Tatkala mengucapkan perkataan ayah-bunda, hatinya tergetar.
hampir saja ia mengucurkan air mata.
Dengan sekuat tenaga ia menahan perasaannya yang bergolak itu.
Akan tetapi mendadak ia jadi sakit hati.
Dan terletuslah sumpahnya didalam hatinya.
Ayah dan ibu mati kena keroyok mereka.
Dikemudian hari, masakan aku tak mampu membalas dengan menggunakan ilmu sakti lainnya.
Hm, mudah-mudahan kalian masih hidup agar bisa merasakan betapa besar rasa dendamku ini.
Tentu saja kelima pemimp in pertapaan Argapura t idak mendengar gelora hati Lingga W isnu.
Setelah dapat menerima bunyi sumpah Lingga W isnu, ia berpaling kepada Kyahi Basaman.
Berkatalah Anung Danudibrata dengan suara merasa menang.
"Baiklah, sekarang juga kami akan menbawa bocah ini masuk kedalam pertapaan. Dia akan memperoleh petunjuk-petunjuk rahasia ilmu sakti kita dari seorang yang kami wajibkan menurunkan ilmu warisan kami. tetapi ilmu sakti w arisan Resi Aristi ..."
"Pinjami kami alat tulis,"
Potong Kyahi Basaman.
Sekarang juga akupun hendak menulis seluruh rahasia ilmu sakti warisan Resi Aristi.
Malahan, akupun hendak menulis pula rahasia ilmu sakti Dasasila ciptaanku sendiri, sebagai bunganya.
Nah, biarlah aku menulis didalam gardu penjagaan saja."
"Baiklah."
Sahut Anung Danudibrata.
"Kalau begitu, silahkan saudara menunggu digardu penjagaan, sementara kami menyediakan alat tulis dan beberapa hidangan sederhana."
Lingga W isnu kala itu sudah berdiri.
Mendengar maksud eyang-gurunya hendak menulis pula ilmu sakti ciptaannya sebagai bunga semacam hutang-piutang, ia menjadi penasaran.
Katanya didalam hati.
'Ilmu sakti aliran Ugrasawa belum tentu lebih unggul daripada w arisan Pesi Aristi.
Tukar menukar itu sudahlah adil.
Masing masing tidak rugi.
sebab eyang-guru hendak menambahi dengan rahasia ilmu sakti ciptaan nya sendiri ? Mereka bisa mempelajari dan menggunakan bilamana perlu.
Sebaliknya, ilmu sakti mereka sama sekali tak boleh kugunakan.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apabila menggunakan, sedang mengajarkan kepada orang lain tidak boleh diperkenankar.
Benar-benar tidak adil! Dengan menyerahkan rahasia ilmu sakti Resi Aristi tanpa suatu ikatan, bukankah membuat aliran Argapura menjadi lebih tinggi ? Dengan demikian, aliran eyang-guru akan berada dibawah telapak kakinya.
Akh, eyang, demi untuk merebut jiwaku, eyang-guru mengorbankan masa depan paman Ugrasena, paman Dewabrata, paman Tawangalun, paman Podang W ilis, kedua paman Panjalu dan Samtanus.
Sejak hari ini, sekalian paman guru tidak dapat menegakkan kepalanya lagi.
Hanya karena aku! Ya, Al ah ...
bagaimana baiknya? ' Lingga W isnu bukanlah seorang pemuda yang goblok.
Kepintaran dan keenceran otaknya bahkan melebihi anak-anak sebayanya.
Tetapi usianya masih terlampau muda.
T atkala itu, tak dapat ia menemukan jalan keluar.
Maka ia hanya patuh saja, sew aktu diperint ahkan mengikuti seorang pendeta, memasuki pertapaan.
Rumah pertapaan Argapura bersandar pada sebuah pinggang bukit yang mempunyai penglihatan sangat luas.
Tempatnya tenang dan berhawa bersih.
Dlbandingkan dengan rumah pertapaan Kyahi Basaman di Gunung Lawu keindahannya menang beberapa kali lipat.
Halamannya luas dan ditanami berbagai macam bunga.
Kebetulan sekali pada waktu itu musim bunga.
Maka sambil berjalan, hidung Lingga W isnu menghirup udara semerbak wangi.
Sesungguhnya hal itu dapat menyegarkan perasaan.
Akan tetapi Lingga W isnu sedang murung.
Ia mengikuti pendeta pengantarnya dengan kepala kosong.
Setelah berjalan serint asan, mulailah dia d ibawa menyeberangi lapangan rumput.
Kemudian memasuki petak hutan yang tampaknya sengaja di tanam.
Apabila semak-belukar yang berada didepannya tersibakkan, maka nampaklah batu yang berbentuk panjang.
Bangunan itu mempunyai beberapa jalan batu yang bersih.
Kiri kanannya sunyi lenggang.
Tiada sebatang hidungpun yang nampak.
Akan tetapi Lingga Wisnu yang biasa di bawah serta orang tuanya menyingkiri puluhan bentuk bahaya, memiliki pancaindera yang tajam.
Ia merasa diri selalu diikut i suatu pandang mata yang bersembunyi entah dimana, sehingga bulu romanya meremang.
en saja, tatkala memasuki ruang dalam, tiba-tiba terdengarlah suara bergelora dari balik dinding .
"Siapa yang kau bawa kemari?"
Pendeta pengantar Lingga W isnu lantas saja menjatuhkan diri.
Kemudian memberi keterangan siapa Lingga W isnu dan maksud kedatangannya, dengan berlutut menghadap dinding.
Setelah itu ia menunggu.
Dan kesunyian terjadi sangat lama, sehingga Lingga W isnu yang berdiri di belakangnya menjadi gelisah.
"Kau berlututlah!"
Bisik pendeta itu setengah menghardik.
"Kalau kau berdiri seperti patung, masakan beliau sudi meladeni."
"Siapa dia!"
Lingga W isnu mint a keterangan sambil berlutut.
"Beliaulah anembah Panjingkir. Beliau lah yang bakal mengajari engkau ilmu sakti kami."
Mendengar keterangan pendeta itu, mau tak mau Lingga W isnu merasa diri harus bersikap mengambil hati.
Maka dengan takzirrnya, ia menghadap dinding.
Dan benar saja.
Setelah Lingga W isnu pandai membawa diri, barulah terdengar suara lagi d ibelakang dinding.
Kata suara itu kepada pendeta pengiring .
"Dia sudah menghadap padaku. Tetapi engkau tak lekas-lekas menyingkir. Apakah kau mint a aku bertindak kasar?"
Selagi pendeta itu hendak mengiakan dengan suara gugup, tiba-tiba Lingga W isnu merasakan suatu kesiur angin lewat disampingnya.
Dan pendeta pengantar itu mendadak saja terbuncang keluar dan jatuh menelungkupi tanah.
Begitu bangun, ia lantas lari tunggang-langgang dengan wajah ketakutan.
Menyaksikan kejadian itu, Lingga W isnu jadi gentar juga.
Ia kaget, kagum dan akhirnya tercekam rasa takut sehingga hatinya meringkas dengan tak dikehendaki sendiri.
"Bocahl"
Kata seorang yang bersembunyi di balik dinding.
"Aku tak kenal, siapakah dirirnu. Aku tak tahu pula siapakah ayah-bundamu. Juga aku tak mint a keterangan padamu, kau berasal dari golongan mana atau aliran . Sebaliknya kaupun tak perlu tahu siapakah namaku. Pendek kata antara aku dan engkau tetap asing untuk selama-lamanya. Kau mengerti? Nah, mengangguklah manakala kau set uju, dan gelengkan kepalamu bila kau tak set uju. Aku melarang engkau berbicara, kecuali aku yang memberi perint ah. Mengerti?"
Karena tak diperkenankan membuka mulut, Lingga W isnu lantas mengangguk.
"Bagus!"
Kata orang itu lagi.
"Kau datang kemari untuk mint a petunjuk-petunjuk tentang ilmu warisan leluhur kami Ugrasawa, semata-mata demi mengobati lukamu. Bukankah begitu? Nah, sekarang kemari!"
Dengan merangkak Lingga W isnu menghampiri dinding arah datangnya suara itu. Kemudian duduk bersimpuh sambil menebarkan matanya.
"Kemari!"
Perint ah suara itu. Lingga W isnu memutar kepalanya dan melihat sebuah lobang sebesar lengan seorang dewasa pada dinding kamar didepannya. Segera ia menggeser tubuhnya mendekati.
"Ulurkan tanganmu biar kuperiksa."
Perint ah suara itu lagi.
Dengan menutup mulutnya, Lingga W isnu memasukkan kedua tangannya kedalam lobang dinding.
la merasa kera raba pada pergelangan tangan lalu didorongnya mundur.
Dan kena tenaga dorong itu, ia terpental mundur seperti terseret dari belakang.
Kira-kira sepuluh langkah jauhnya dari dinding kamar, tubuhnya berhenti dengan tetap duduk bersimpuh.
"Sekarang, dengarkan baik-baik. Aku akan membacakan tiap pasal dan tiap ayat ilmu sakti Brahmandaprana bagian Ugrasawa. Tetapi aku hanya membaca satu kali saja. Kau bisa mengingat-ingat samanya atau t idak, tergantung kepada nasibmu belaka."
Sejarah hidup ini ternyata mempunyai tabiatnya sendiri.
Dalam segala halnya, manusia yang dikehendaki seakan-akan telah dipersiapkan untuk menghadapi masa depan.
Demikian pulalah Lingga W isnu.
Semenjak bayi, dia dibawa berlari lari oleh orang-tuanya dari tempat ketempat sampai berumur delapan tahun lamanya.
Selama delapan tahun itu, terus-menerus, perasaannya peka dibangunkan oleh suatu ancaman bahaya yang mengancam setiap saat.
Itulah sebabnya yang didengar dan dilihatnya segera melekat dalam ingatannya, karena pancainderanya selalu berwaspada.
Selalu terbangun dan selalu bekerja.
Tegasnya, ia seumpama sebatang pedang yang digosok terusmenerus sehingga menjadi t ajam luar biasa.
Orang yang bersambunyi dibelakang dinding itu benar-benar hanya membaca ayat-ayat dan pasal-pasal int isari ilmu Brahmandaprana warisan Ugrasawa sekali saja.
W alaupun demikian, ingatan Lingga W isnu yang terlatih terus menerus semenjak delapan tahun tidak mengalami kesulitan sama sekali.
Daya tangkap dan ingatannya dengan serta merta melengkatkan t iap patah kata orang itu kedalam perbendarahaan hati.
Tatkala orang itu selesai membaca ayat dan pasal ilmu Brahmandaprana, ingatan Lingga W isnu sudah mencakup keseluruhannya.
"Nah, aku sudah menurunkan ilmu Brahmandaprana yang tersimpan dalam pertapaan Argapura in i."
Kata orang itu.
"Sekarang terserah kepadamu. Coba, aku ingin mendengar apakah engkau sudah berhasil menghafalkan bunyi kitab Brahmadaprana!"
Lingga W isnu merasa wajib mematuhi perintah orang itu.
Bukankah eyang-gurunya menghendaki agar dia mempelajari dengan sungguh sungguh? Maka segera ia mambaca bunyi ilmu Brahmandaprana yang didengarnya tadi diluar kepala, mula i dari permukaan sampai akhir, dan tiada sepatah katapun yang terlampaui.
Seketika itu juga, kesunyian terjadi dengan mendadak.
Kemudian terdengarlah orang di belakang dinding itu menghela napas.
Katanya .
"Aku sudah berkata, bahwa aku hanya membaca satu kali saja. Benar atau salah hafalanmu tadi, hendaklah kau cari sendiri. Kuharap janganlah engkau mempersalahkan siapapun. Sekarang, mendekatlah! Aku ingin. memeriksa penyakitmu sekali lagi!"
Lingga W isnu kala itu sudah berumur sepuluh tahun lebih.
Anak seusia dia, walaupun memiliki ot ak cerdas luar biasa, namun tiada pernah terlint as dalam pikirannya, bahw a kata-kata orang dibelakang dinding itu sesungguhnya mengandung duri berbisa.
Mendengar Lingga W isnu dapat menghafalkan kalimat-kalimat ilmu Brahmandaprana tanpa salah sedikitpun, diam-diam hatinya tercekat.
Betapa mungkin seorang anak bisa terus hafal begitu mendengar bunyi kalimat kallmat ilmu Brahmandaprana sukar di mengerti dan difahami oleh seorang dewasa meskipun sudah sudah kenyang makan garam.
Orang dibalik dinding itu lantas mencemaskan masa depan golongannya sendiri.
Betapa tidak? Lantaran Lingga W isnu adalah orang luar.
Kalau pada umur sepuluh tahun saja sudah mempunyai kesanggupan demikian mengagumkan, maka masa depannya sudah dapat dibayangkan kehebatannya.
Dan terdorong oleh rasa jelus dan cemas mka ia mencoba mengesankan kepada Lingga W isnu bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan diluar kepala itu, masih belum tentu benar tidaknya.
Dalam pada itu, Lingga W isnu telah mengangsurkan kedua tangannya.
Seperti tadi, kedua tangannya lantas kena sint uh kedua tangan yang kuat luar biasa.
"Akh, bocah ! Otakmu cemerlang. Sayang penyakitmu ini, belum tentu bisa disembuhkan."
Kata orang itu dengan suara berduka.
"Biarlah aku menolong menyalurkan jalan darahmu. Dengar aku tidak kenal siapa d irimu, siapa orang tuamu dan tidak kenal pula golonganmu, kaupun tidak perlu kenal siapa diriku dan siapa namaku. Inilah perkenalan kita yang pertama dan yang penghabisan kali. Kau tak perlu mengenal wajahku dan akupun tak perlu melihat wajahmu pula. Nah, pejamkan matamu ! "
Lingga W isnu menurut.
Ia memejamkan matanya.
Mendengar ucapan orang dibalik dirding itu tak tahulah dia, apakah orang itu bermaksud jahat atau baik.
Selagi mencoba menduga-duga suatu hawa kuat luar biasa, memasuki tubuhnya lalu urat-uratnya terasa kena ditembusi, dan suatu rasa nyaman menyelimut i seluruh tubuhnya.
Setelah itu, ia tak ingat dirinya lagi ..
W aktu menjenakkan mata, ia sudah berada di paseban pertapaan Argapura.
Ia mendengar beberapa orang sedang sibuk berbicara seperti lagi merundingkan suatu masalah yang pelik.
Cepat ia memejamkan matanya kembali dan mencoba mengintip dari celah-celah bulu mata.
Anung Danudibrata dengan keampat saudara seperguruannya duduk berhadapan.
Mereka memeriksa bunyi tulisan yang dibawa masuk oleh seorang pelayan.
"Basaman seorang pemimpin aliran Aristi. Meskipun orangnya tak keruan macamnya, akan tetapi katakatanya pasti dapat dibuat pegangan. Kata Anung Danudibrata.
"Dia berjanji hendak tukar-menukar dengan ilmu warisan kita. Kukira yang ditulisnya in i adalah ilmu warisan Resi Aristi. Memang susah sekali ment afsir arti kalimat-kalimatnya yang bersembunyi dibelakangnya. Akan tetapi aku percaya, didalam waktu singkat saja, kita semua dapat menyelami."
Mendengar ucapan Anung Danudibrata, hati Lingga W isnu tergerak.
Dasar berotak cerdas, timbul ah pikirannya .
'Agaknya aku sengaja dibius setelah memperoleh pertolongan.
Mengapa tidak segera diserahkan kembali kepada eyang? Akh, tahulah aku.
Eyang belum selesai menulis semua rahasia ilmunya, sehingga aku dijadikan semacam sandera.' Sebenarnya, Lingga W isnu kena bius berat sekali.
Menurut perhitungan, ia akan tersadar kembali setelah melampaui ampat jam.
Ilmu b ius aliran Argapura terkenal sejak seratus tahun yang lalu.
Jangan lagi seorang anak seusia Lingga W isnu, sedang orang dewasa pun apabila kena dorong tenaga sakti tertentu, akan kehilangan kesadarannya selama yang dikehendaki.
Tadinya, pukulan bius itu berasal dari suatu pukulan yang dikurangi sembilan bagian.
Penemunya bernama.
Musafig iloh, salah seorang tokoh aliran Argapura pada abad kelima belas.
Pada suatu malam, padepokannya digerayangi seorang pencuri.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam usahanya menangkap pencuri itu, terpaksalah ia melepaskan suatu pukulan.
Akan tetapi karena tidak berniat membunuhnya, ia hanya melepaskan pukulan dengan tenaga sakti sepersembilan bagian.
Ternyata pukulan seringan itu sudah cukup melumpuhkan.
Pencuri itu jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Dan semenjak itu, anak-anak murid Argapura menggunakan pukulan ringan untuk membuat pingsan seseorang.
Mereka menanamkan ilmu pukulan bius.
Lama tidaknya se seorang kehilangan kesadarannya, tergantung belaka pada berat tidaknya pukulan sakti yang di lepaskan.
Lingga W isnu kena pukulan sakti yang dapat membius dirinya selama ampat jam.
Akan tetapi ilmu sakti yang berada didalam bocah itu berada diluar ketentuan hukum.
Itulah akibat ilmu sakti warisan Panembahan Larasmaja yang dapat merubah letak urat apabila kena dorong suatu tenaga sakti yang kekuatan berada diatasnya.
Ilmu sakti inilah yang dahulu mengejutkan Kyahi Basaman, karena bisa mengadakan perlawanan.
Demikianlah, bocah itu kena pukulan sakti seorang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir.
Seketika itu dia tertidur pulas.
Mestinya ia tertidur ampat jam lamanya, akan tetapi Lingga W isnu hanya tertidur setengah jam saja.
Tatkala darahnya lancar kembali dan urat-uratnya bergeser tempat, ia tersadar.
Sebenarnya Anung Danudibrata dan keampat saudara seperguruannya adalah pendeta-pendeta agung Argapura yang terpuji budi pekertinya.
W alaupun diant ara aliran Kyahi Basaman dan Argapura terdapat perselisihan, tetapi betapapun juga mereka tidak akan menggunakan tipu muslihat licik terhadap Kyahi Basaman.
Sebab apabila sampai terjadi demikian akan meruntuhkan pamor padepokan Argapura yang lebih dari seratus tahun terkenal sebagai suatu aliran yang penuh kebajikan serta amal suci t erhadap Tuhan dan manusia.
Pada saat itu Kyahi Basaman sedang bertekun menulis pokok-pokok rahasia ilmu sakti dari Brahmandaprana warisan Resi Aristi dan ilmu t enaga dalam mumi Dasasila didalam gardu penjagaan.
Tengah ia menulis, datanglah seorang bidal kecil manbawa minuman keras dan pangan.
Beberapa saat kemudian bidal kecil itu membawa kertas tulisan Kyahi Basaman yang diserahkannya kepada Anung Danudibrata.
Rupanya dialah yang ditugaskan Anung Danudibrata sebagai pesuruh untuk datang-pergi membawa naskah yang ditulis Kyahi Basaman.
Sepanjang jalan bidal kecil itu melihat, memeriksa dan membaca tulisan Kyahi Basaman.
Kyahi Basaman tentu saja mengetahui hal itu, akan tetapi dia tidak menghiraukan.
Sebab menurut jalan pikirannya, ia sudah menyerahkan rahasia ilmu sakti Brahmandaprana warisan Resi Aristi dengan suka rela sebagai penukar ilmu warisan Ugrasawa yang pada saat itu sedang diberikan kepada Lingga W isnu.
Tak peduli siapa yang membaca, baginya sama .
Lingga W isnu yang berpura-pura tidur nyenyak melihat betapa bidal kecil itu berkemat-kamit menghafalkan kalimat-kalimat sakti Kyahi Basaman.
Selang sejenak selesailah sudah Kyahi Basaman menulis naskah rahasia ilmu sakti Brah mandaprana warisan Resi Aristi.
Dan bidal kecil itu membaca sekali lagi tumpukantumpukan naskah.
Kemudian dengan menbungkuk hormat diserahkan kepada Anung Danudibrata.
Katanya .
"Paman, ilmu kepandaian sakti yang dikatakan milik aliran kaum Aristi, sebenarnya adalah asli kepunyaan leluhur kita Resi Ugrasawa. yang ditulis orang tua itu sudah pernah kami pelajari."
"Omong kosongl"
Bentak Anung Danudibrata. Keampat saudara seperguruan Anung Danudibrata membentak pula. Katanya .
"Musafigiloh Busih! Engkau menyematkan nama leluhur kita pada zaman seratus tahun yang silam. Almarhum Musafigiloh Basih adalah seorang pendekar yang tidak hanya sakti tapipun berhati suci-bersih. Engkaupun kami harapkan demikian pula. Mengapa selagi umurmu belum masuk lima belas tahun hatimu sudah pandai memfitnah? Ketahuilah, naskah ini adalah hasil jerih payah Kyahi Basaman. Yang disusun dan dicipt akannya sebagai ilmu w arisan aliran Resi Aristi. Dan ilmu tenaga murni Dasasila benar-benar khas ciptaan Kyahi Basaman. Hanyalah anak anak muridnya saja yang berkesempatan mempelajari. Mengapa kau bisa berkata bahw a dirimu t elah mempelajarinya ? Dimana ? "
Tetapi w ajah bidal kecil itu tetap tenang- tenang saja. Sambil menuding kepada t unpukan naskah yang berada didepan Anung Danudibrata ia berkata kepada keampat paman gurunya .
"Baiklah jika sekalian paman tidak percaya kepada kami. Silahkan paman memeriksa bunyi naskah itu dan kami akan mengucapkan bunyi kata-katanya dari sini."
Setelah berkata demikian bidal kecil yang bernama Musafig iloh Busih itu terus mengucapkan bunyi naskah Kyahi Basaman diluar kepala.
Mula-mula Anung Danudibrata berlima, bersikap d ingin terhadap perkataan Musafig iloh Busih.
Akan tetapi setelah mendengar bidal itu dapat mengucapkan kata-kata bunyi naskah Kyahi Basaman pada halaman satu dan dua dengan lancar, tertariklah mereka.
Terus saja mereka seakan-akan, berebutan membalik-balik lembaran-lanbaran naskah.
Dan kemudian saling diangsurkan, diperiksa dan dibaca dengan bergantian, serta dicocokkan dengan ucapan- ucapan Musafigiloh Busih diluar kepala.
Sejenak kemudian pendekar Saroni berkata kepada Anung Danudibrata.
"Benar, benar! "
Katanya.
"
Memang yang ditulis oleh rekan Basaman ternyata adalah kalimat ajaran kami."
Tidaklah mudah Anung Danudibrata mempercayai pernyataan itu.
Akan tetapi, Musafigiloh Busih dapat membuktikan.
yang diucapkannya diluar kepala, sepatah katapun t iada yang salah atau terlampaui.
Mau tidak mau ia harus percaya penuh.
Setelah menimbangnimbang sebentar, ia berkata memerint ah .
"Saroni, sadarkan bocah itu ! Mari kita bawa bocah itu dan naskah ini kepada rekan Basaman.
"
Setelah Lingga W isnu disadarkan, yang sebenarnya tidak perlu lagi, mereka bergegas menemui Kyahi Basaman dengan langkah panjang.
Di hadapan Kyahi Basaman, Anung Danudibrata menuduh sikap orang tua itu yang kurang baik.
Ternyata yang ditulisnya adalah kalimat-kalimat sakti warisan Resi Ugrasawa.
Tentu saja Kyahi Basaman terkejut dan gusar bukan kepalang.
Pikirnya didalam hati.
'Ilmu sakti Brahmandaprana warisan Resi Ugrasawa memang belum pernah kulihat, kubaca atau kupelajari.
Mungkin pula ada kemiripannya dengan ilmu sakti Brahmandaprana warisan Resi Aristi.
Sebab keduaduanya bersumber satu.
Dengan demikian bukan tidak beralasan bahw a int i sarinya tidak merupakan hal baru bagi pendekar-pendekar Argapura.
Tetapi ilmu tenaga murni Dasasila adalah hasil jerih payahku sendiri se lama duapuluh tahun lebih.
Dan baru tiga tahun yang lalu kususun dan kuperbaiki.
Ilmu sakti Dasasila adalah ilmu sakti yang mengajarkan sarwa lemah melawan sarwa kuat.
Bergerak lambat akan tetapi mendahului lawan.
Gerakan begini terang sekali berlawanan dengan ilmu sakti aliran Ugrasawa.
Kenapa bisa dikatakan adalah kalimat ilmu Ugrasawa? Bahkan ilmu warisan Resi Aristi sendiri y ang sudah berada ditanganku semenjak delapan puluh tahun yang lalu, telah kutambahi dan kurubah gerakan-gerakannya.' Dalam pada itu Anung Danudibrata menyerahkan tumpukan naskah kepada Kyahi Basaman, dan berkata dengan tawar .
"Memang leluhur kami murid tertua guru besar Resi Romaharsana. Sehingga betapapun juga beliaulah yang mewarisi ilmu sakti Brahmandaprana terbanyak. Bagian yang berada pada Resi Aristi, nyatanya tidak berarti sama sekali."
Pikiran Kyahi Basaman tiba-tiba tergetar.
Tahulah dia maksud.
Anung Danudibrata.
Pendekar Argapura itu takut bahkan kejadian ini akan d isiarkan luas dalam pergaulan hidup, bahwasanya kaum Argapura telah mempelajari rahasia ilmu sakti aliran Resi Aristi.
Dan peristiwa ini akan sangat merugikan nama baik kaum Argapura.
Itulah sebabnya Anung Danudibrata mengesankan bahwa bunyi naskah tulisannya sudah diket ahui-nya semenjak lama.
Memperoleh pikiran demikian Kyahi Basaman tertawa memaklumi.
Katanya .
"Saudara Anung Danudibrata ! Ilmu kepandaian ini memang hanya ilmu kasaran saja. Tiada artinya sama sekali bagi para ahli seperti saudara saudara sekalian. Baiklah dibuang saja."
Karena berkata demikian, maka tumpukan naskah itu dibiarkan saja berada didepannya.
Ia tak sudi menyentuhnya.
Seolah-olah tumpukan sampah belaka.
Betapapun juga hati nurani Anung Danudibrata berlima tertusuk.
Khawatir apabila hal itu akan menerbitkan ekor panjang di kemudian hari, Anung Danudibrata perlu memperbaiki kata-katanya.
Setelah memanggil Musafig iloh Busih menghadap, ia berkata meyakinkan Kyahi Basaman.
Katanya dengan suara ditekan-tekan.
"Agaknya rekan Basaman tidak percaya pernyataan kami. He, Musafigiloh Busih, kemarilah! Ilmu sakti Brahmandaprana dan Dasasila yang pernah kuajarkan kepadamu dahulu, coba hafalkan dihadapan Kyahi Basaman. Biar beliau mengetahui dengan mata kepala sendiri, apakah ada bedanya atau tidak."
"Y a,"
Sahut pemuda itu. Lalu ia menghafalkn dengan suara nyaring.
"Bumi bulat, lautan bergelombang. Sekali bergerak, seluruh badan gesit dan enteng ...
"
Demikianlah ia terus menghafal tanpa sehurufpun yang kelompatan.
Setelah selesai menghafal bunyi ayat-ayat dan pasal pasal ilmu Brahmandaprana, beralihlah ia menghafal bunyi ilmu tenaga murni Dasasila dengan tepat.
Mendengar anak itu bisa mengucapkan bunyi dua naskah yang ditulisnya tanpa salah sedikitpun, Kyahi Basaman tercengang sehingga berbuka mulut.
Hampirhampir saja ia t ak mempercayai pendengarannya sendiri.
Selagi dalam keadaan demikian, tiba-tiba Lingga W isnu berkata dengan suara bernapsu .
"Eyang ! Anak itu telah membaca dan menghafal semua tulisan eyang dengan baik. Kemudian berkata kepada paman-paman gurunya bahw a tulisan eyang adalah bunyi ayat-ayat dan fatsal-fatsal ilmu warisan Argapura. Sungguh tebal mukanya."
"Ha? Bagaimana kau tahu?"
Kyahi Basaman mint a keterangan dengan berbimbang-bimbang.
"Dalam keadaan tak sadar aku berada di antara mereka. Tengah mereka membalik-balik lembaran naskah tulisan eyang, sesungguhnya aku telah tersadar kembali. Hanya saja mereka tak tahu. Pada saat itu aku sempat memperhatikan anak itu berkomat-kamit menghafal bunyi naskah eyang."
Sekarang Anung Danudibrata dengan keampat saudara seperguruannya ang berganti tercengang cengang.
Bagaimana mungkin Lingga W isnu bisa tersadar dalam waktu yang sesingkat itu.
Padahal sentuhan tenaga sakti yang membuat Lingga W isnu pingsan, paling t idak bertahan ampat jam lamanya.
Sampai disini jelaslah sudah bagi Kyahi Basaman.
Kiranya murid Anung Danudibrata yang bernama Busafigiloh Busih ini mempunyai daya ingatan luar biasa tajamnya.
Boleh dikatakan yang pernah dibacanya dapat dihafalkan pada saat itu juga.
Maka Anung Danudibrata dengan meminjam ot aknya yang cemerlang menyuruhnya mengingat dan menghafalkan semua naskah yang ditulis Kyahi Basaman.
Lalu naskah yang ditulisnya itu dikembalikan kepada Kyahi Basaman untuk menunjukkan bahwa Argapura tidak mendapatkan sesuatu tambahan dari Resi Aristi.
Demikianlah jalan p ikiran Kyahi Basaman.
Pada umumnya adalah benar.
Hanya satu hal yang kurang tepat.
Ialah bahw asanya Anung Danudibrata sendiri belum mengetahui kemampuan otak muridnya itu yang bisa menghafal dengan cepat semua tulisan yang pernah dibacanya.
"Ha-ha-ha,"
Kyahi Basaman tertawa perlahan melalui dadanya sambil mengurut jenggotnya dan berkata.
"Saudara-saudara memberi hadiah kepadaku sembilan caw an minuman keras. T ak pernah kukira bahw a dalam waktu sesingkat itu saudara kecil in i dapat menghafal semua tulisanku dengan t epat sekali. Betapa pintar dan tajamnya ot aknya, sungguh-sungguh aku merasa kalah. Dapatkah aku mengetahui namamu, saudara kecil yang terhormat?"
"Kami bernama Musafig iloh Busih,"
Sahut bidal kecil itu.
"Orang mananggilku dengan si Giloh atau si Busih."
"Saudara Giloh atau saudara BusihI"
Kata Kyahi Basaman dengan suara sungguh-sungguh. Dan ia menyambung lagi.
"Dengan kepintaranmu ini dan berbekal dengan ketajaman ot akmu, segala cita-citamu kelak rasanya akan mudah tercapai. Moga-moga janganlah engkau sampai tersesat, anakku. Perkenankan ku pendeta dekil dan tua in i menghadiahkan suatu pesan kepadamu. Jujurlah terhadap orang lain! Biasakanlah berendah hati untuk mengatasi nafsu diri sendiri!"
Ketika sinar mata Musafigiloh Busih terbentur dengan sinar mata Kyahi Basaman yang meletup bagaikan kilat itu, tanpa merasa tergetarlah hatinya.
Tetapi dalam benaknya timbul ah suatu pikiran.
'Hm, kau pendeta degil telah kena kutipu.
Karena malu engkau lantas pura pura berlagak memberi nasehat.
Tetapi meskipun berpikir demikian ia menyahut dengan hormat .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih atas petuah Kyahi Basaman. Tetapi kami adalah murid Argapura. Dengan sendirinya yang berhak mengajar kami hanyalah guru dan paman-paman guru kami."
Tertegun Kyahi Basaman sejenak mendengar jawaban yang licin dan beracun.
Anak sekecil itu, betapa sudah memiliki lidah set ajam demikian.
Namun Kyahi Basaman adalah seorang petapa yang saleh.
Dengan tertawa perlahan sekali ia mendongak keudara sambil mengurut- ngurut bagian jenggotnya, berkata diantara tertawanya.
"Benar, saudara kecil. Kalau begitu anggaplah saja bahw a mulutku yang keropos ini terlalu lancang dan usil."
Tatkala itu pendekar Saroni yang berwatak berangasan mengangsurkan tumpukan naskah kepada Kyahi Basaman dengan tidak berkata.
Maksudnya jelas sekali.
Ia hendak berkata kepada Kyahi Basaman bahw a orang tua itu jangan mengoceh berkepanjangan.
Tentu saja Kyahi Basaman mendongkol bukan main.
Tiba-tiba saja ia mengerahkan tenaga saktinya yang tak tampak dari penglihatan.
Dengan melalui tumpukan naskah cli depannya hinpunan tenaga saktinya menghantam tubuh Saroni.
Dan kena hantaman hinpunan tenaga sakti Kyahi Basaman, tubuh Saroni tergoncang keras dan roboh terjengkang kebelakang.
Musafig iloh Busih yang berdiri d isanping pendekar Saroni, dengan cepat melarpat maju hendak menahan.
Tak terduga daya roboh Saroni - keras luar b iasa.
Meskipun Musafigiloh Busih seorang bidal yang pintar luar biasa, namun ilmu kepandaiannya masih terpaut sangat jauh dibandingkan dengan kesaktian Kyahi.
Basaman.
Kena tertumbuk tubuh paman gurunya, seketika itu juga ia terpental keluar gardu penjagaan dan jatuh terbanting diatas tanah.
Saroni sendiri betapapun juga seorang pendekar yang tiada mengecewakan.
Limapuluh tahun ia berlatih menghimpun tenaga sakti w arisan ilmu Brahmandaprana Ugrasawa.
Kedahsyatannya dan kekuatannya seunpama tegaknya sebuah bukit.
Kecuali itu, tenaga sakti yang dilontarkan Kyahi Basaman sesungguhnya tidak berniat merobohkannya benar-benar.
Kyahi Basaman hanya sekedar hendak mempamerkan ilmu saktinya warisan Resi Aristi yang dikatakan tadi jiplakan dari ilmu Resi Ugrasawa.
Apabila dia hendak membuat pendekar Saroni benar-benar menanggung malu, maka tenaga sakti yang dilontarkannya pasti tidak kepalang tanggung.
Itulah sebabnya pada saat Saroni terjengkang hendak roboh, tiba-tiba lenyap.
Dengan demikian Saroni dapat menegakkan kakinya kembali t ak kurang suatu .
"Nah, inilah yang dinamakan ilmu p icisan, Dasasila."
Kata Kyahi Basaman dengan tersenyum.
"Saudara Saroni tadi berkata, bahwa sudah hafal benar bunyi kalimat-kalimatnya. Sayang, agaknya saudara Saroni belum sempat mempelajari. Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, tumpukan naskah didepannya disambarnya dan berhamburan diudara bagaikan abu.
Mematahkan pohon sebesar pelukan orang, banyak yang melakukan.
Menghancurkan batu sebesar raksasa atau menghantam dinding benteng sampai rcboh, banyak pula yang sanggup Akan tetapi menyambar tumpukan kertas yang ringan menjadi berhamburan bagaikan abu, merupakan suatu tontonan ilmu kepandaian yang jarang sekali t erdapat.
Kalau seseorang belum mencapai tataran kesempurnaan, tidak akan mampu.
Anung Danudibrata dan ketiga adiknya seperguruan tertegun karena tercekat hatinya.
Mereka saling pandang dengan bingung.
Dan pada saat itu, dengan tenangtenang saja seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Kyahi Basaman menggandeng tangan Lingga W isnu berjalan meninggalkan gardu penjagaan.
"Bukan main! Kalau begitu ilmu ciptaan pendeta degil itu benar-benar ada harganya."
Kata Anung Danudibrata dengan suara menggeletar. Dan diam-diam ia menjadi girang. Bukankah ilmu Dasa sila sudah kena dihafalkan muridnya? Untuk meyakinkan diri, ia bertanya menegas kepada Musafigiloh Busih.
"Giloh, masihkah engkau sanggup menghafal ilmu Dasasila?"
"Masih."
Jawab muridnya dengan mengangguk.
"Bagus !"
Seru Anung Danudibrata girang.
"Kalau begitu, cepat tulislah kembali. Dikemudian hari tak usah kita berkecil hati menghadapi segala murid pendeta degil itu."
Dalam pada itu, Kyahi Basaman dan Lingga W isnu sudah meninggalkan kaki Gunung Cakrabuwana.
Setelah memperoleh penginapan, Kyahi Basaman segera menyuruh Lingga W isnu melatih diri menurut ajaranajaran ilmu sakti Brahmandaprana warisan Resi Ugrasawa yang diperolehnya dari seorang yang menamakan diri Pananbahan Panyingkir dipertapaan Argapura.
Karena tak ingin melihat gaya latihan W isnu, Kyahi Basaman mengambil dua kamar, yang letaknya berpisahan.
Dasar ilmu sakti Kyahi Basaman sudah mencapai puncaknya.
Meskipun tidak mendengar istilahistilahnya, akan t etapi asalkan melihat cara duduk Lingga W isnu dan cara tata bernafasnya, dengan sendirinya ia dapat menangkap int i rahasianya.
Apalagi d ia melihat pula caranya menjalankan peredaran darahnya.
Inilah yang tidak dikehendaki.
Sebagai seorang yang memegang tanpuk pimpinan suatu aliran tersendiri, tak boleh berbuat danikian.
Itulah sebabnya pula, betapa cara Lingga W isnu memperoleh kemajuan melalui ilmu ajaran Panembahan Panyingkir, tak ditanyakan pula.
Kyahi Basaman memang seorang petapa yang saleh dan jujur hati.
Karena kejujurannya, ia mengukur keadaan hati orang lain dengan keadaan hatinya sendiri.
Maka ia percaya benar kepada kelima tokoh pimpinan aliran Argapura.
Ia akin mereka pasti memegang janjinya.
W alaupun mereka agak sempit pikiran dalam menghadapi persoalan harga diri mengenai rumah perguruannya, akan tetapi betapapun juga mereka adalah tokoh-tokoh tertinggi dalam percaturan masyarakat.
Kata-katanya seumpama undang-undang.
Karena itu, yang mereka katakan, tentulah dapat dipercaya.
Kalau sudah berjanji mengajarkan ilmu sakti, pasti pula t idak akan melakukan suatu tipu muslihat atau berdusta.
Kyahi Basaman menjadi g irang tatkala disepanjang jalan melihat w ajah Lingga W isnu makin hari makin men jadi segar dan bersemumerah.
Itulah suatu tanda bahwa bocah itu telah memperoleh kemajuan.
Diam-diam ia berpikir, bila Lingga W isnu telah mendapat ajaran asli ilmu Brahmandaprana dari kedua aliran Argapura dan Aristi sehingga bisa saling mengisi kekurangannya masing-masing, tentu daya gunanya dikemudian hari akan banyak bertambah.
Dengan berbekal dua bagian ilmu sakti Bramandaprana pastilah racun Pacarkeling yang mengeram didalam sungsumnya akan bisa terhapus sirna.
Pada hari keampat mereka telah sampai ditepi sungai Serayu.
Untuk mengurangi lelah, mereka menumpang sebuah perahu dagang.
Sedang kudanya dijual sebagai penambah bekal.
Sepanjang perjalanan Kyahi Basaman terkenang pada masa mudanya waktu dia masih sebagai seorang pendekar.
Seringkali ia dikejar-kejar lawan kebanyakan tertolong oleh perahu-perahu yang berada ditepi sungai.
Tatkala itu ia masih muda belia.
Dan sama sekali tidak pernah diduganya sendiri, bahw a pada hari ini ia menjadi tokoh utama malahan pendiri aliran Aristi yang derajatnya sama besar dan sama tinggi dengan aliran Argapura Sedangkan pada hari in i Lingga W isnu malah sudah berhasil merangkap ilmu kepandaian dua aliran itu.
Maka sudah dapat dibayangkan, bahwa masa depan bocah itu pasti akan lebih gilang-gemilang dari pada dirinya sendiri.
Oleh rasa puas, ia mengelus jenggotnya.
Selagi ia mengelus jenggotnya sambil tersenyum sendiri, tiba-tiba Lingga W isnu berteriak dengan suara gemetar .
"Eyang! aku, aku .."
Dan wajah anak itu berubah hebat. Merah membara seperti terbakar. Dan diant ara warna merah membakar tersembul ah w arna hijau semu pula. Rasa terkejut Kyahi Basaman t ak terkirakan. Setengah menjerit ia bertanya .
"Kau ... kenapa?"
"Aduh ... aduh ... sakit! Tak tahan aku..!! "
Sahut Lingga W isnu dengan menggigil set elah ia berkata demikian.
Tubuhnya bergeliat dan terlemparlah ia keluar perahu.
o))0oo-dw-oo0((o 1.
Pertempuran Disepanjang Sungai Cepat Kyahi Basaman mengulurkan tangan kirinya menyambar pergelangan tangan Lingga W isnu, sedang tangan kanannya terus menahan bagian punggung.
Segera ia menyalurkan tenaga saktinya membantu Lingga W isnu melawan serangan hawa berbisa yang mengamuk didalam tubuh.
Tak terduga tenaga sakti Kyahi Basaman yang disalurkan lewat punggungnya, ternyata menembus seluruh urat nadi pada detik itu juga.
Keruan saja Lingga W isnu menjerit tinggi dan jatuh pingsan.
Sungguh terkejutnya Kyahi Basaman tidak kepalang.
Dengan cepat kesepuluh jari-jarinya, bekerja menutup aliran darah yang penting.
Di dalam hati ia menjadi heran.
'Mengapa seluruh urat nadinya dapat kutembus dengan mendadak.
Padahal seluruh tubuhnya terkena gumpalan gumpalan hawa berbisa yang luar biasa dahsyatnya.
Betapa mungkin urat nadinya yang penting penting dapat tertembus dengan sekaligus! Kalau uraturat nadinya menjadi begini lancar, hawa berbisa yang mengeram dalam sungsumnya akan segera merangsang jant ung.
Hai, sekarang dan untuk selamanya hawa berbisa yang sudah meruap begini hebat terang sekali tidak dapat dihilangkan lagi.' Menghadapi keadaan demikian walaupun Kyahi Basaman sudah berusia 90 tahun lebih, kesadaran dan ketenangannya sudah terlatih sampai ke puncaknya namun tidak urung ia merasa bingung juga hingga keringat dingin membasahi jidatnya.
Sama sekali tak pernah disangkanya bahw a ilmu sakti Brahmandaprana aliran Argapura begitu hebat luar biasa.
Tak pernah pula diduganya bahwasanya seseorang yang baru saja terlatih beberapa hari saja sudah dapat terbuka seluruh urat nadinya.
Menurut pendapatnya hal itu tidak mungkin terjadi.
Sedangkan Panjalu dan Samtanus saja yang sudah berlatih belasan tahun lamanya belum dapat juga menembus urat nadinya sampai aliran darahnya menjadi lancar.
Masakan ilmu sakti Ugrasawa lebih bermujijat daripada ilmu warisan Aristi yang sudah terlatih belasan t ahun lamanya? Harus d iketahui, apabila Kyahi Basaman mau membantu dengan tenaga saktinya kepada kedua muridnya itu, sudah tentu bukan soal sulit untuk menembus seluruh urat nadi peredaran darah mereka.
Tetapi tenaga bantuan yang datangnya dari luar, betapa baikpun tidaklah sebaik dan sesempurna tenaga yang timbul dari badannya sendiri yang sesungguh nya jauh lebih kuat , jauh lebih murni dan dapat diandalkan.
Itulah sebabnya Kyahi Basaman tidak mau membant u muridmuridnya menghimpun tenaga saktinya.
Ia berharap murid-muridnya akan mencapai kemajuannya sendiri set indak demi set indak dengan berbekal kemauannya sendiri.
Meskipun hal itu terjadi sangat lambat.
Tatkala itu perahu mereka t elah laju sampai ditengah sungai.
Baik arus maupun gelombang tidak terlalu keras.
Meskipun demikian perahu kecil mereka tetap tergoyanggoyang.
Sebaliknya hati Kyahi Basaman tergoncang jauh lebih hebat dari pada ombak-ombak kecil yang menggoncang perahunya.
Beberapa waktu lewatlah sudah.
Perlahan-lahan Lingga W isnu memperoleh kesadarannya kembali.
Keduabelas tempat peredaran darahnya sudah tertutup.
Hawa berbisa Pacarkeling untuk sementara dapat tertahan, sehingga tidak sampai menjalar ke jantung.
Tetapi tangan dan kakinya tak bisa berkutik lagi.
Dalam keadaan demikian, Kyahi Basaman tak perduli lagi akan pandang orang.
Iapun tidak menghiraukan bahw a gerakgerik maupun kata-katanya dapat menimbulkan kecurigaan orang.
Segera ia bertanya kepada Lingga W isnu .
"Angger, ilmu Brahmandaprana yang kau peroleh dari Argapura itu sesungguhnya bagaimana macamnya? Apa sebab seluruh urat nadimu dan peredaran darahmu menjadi lancar semuanya seolah-olah ada tenaga besar yang telah menembusnya?"
"Eyang,"
Sahut Lingga W isnu.
"Yang menembus jalan darahku ini bernama Panembahan Panyingkir. Dia berkata akan bisa membant u aku mempercepat meyakinkan ilmu Brahmandaprana golongan Argapura."
"Bagaimana cara dia menolongmu?"
Kyahi Basaman mint a keterangan.
Maka berceriteralah Lingga W isnu tentang semua pengalamannya didalam pertapaan Argapura.
Bagaimana mula-mu la d ibawa pendekar pengantar sampai dia mengetahui nama orang sakti yang bersembunyi dibalik dinding.
Menurut pendekar pengantar ia bernama Panembahan Panyingkir.
Diterangkan pula bagaimana cara Panembahan Panyingkir melancarkan seluruh peredaran darahnya.
Mendengar keterangan Lingga W isnu, beberapa saat lamanya Kyahi Basaman termangu mangu.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berenung-renung dia berkata .
"Jika demikianlah syarat untuk mempercepat peresapan ilmu Brahmandaprana, masakan aku tak bisa? Sebenarnya menurut perasaanmu, orang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir bermaksud baik atau buruk?"
"Beberapa kali ia berkata kepadaku begini. Aku tak kenal engkau bernama siapa (Lingga W isnu memberi keterangan). Akupun tidak tahu kau datang dari aliran dan golongan apa. Sebaliknya engkaupun tak perlu mengetahui namaku. Juga, tidak perlu mengenal wajahku! Akupun tidak perlu mengenal w ajahmu pula."
Heran Kyahi Basaman mendengar penjelasan Lingga W isnu tentang sikap Panembahan Panyingkir.
Sejenak kemudian Kyahi Basaman berkomat-kamit kepada dirinya sendiri .
'Panyingkir! Panyingkir! Agaknya belum pernah aku mengenal nama seseorang yang berbunyi Panembahan Panyingkir diant ara tokoh-tokoh sakti Padepokan Argapura.
Dia mau menolong engkau tanpa mengenal namamu tanpa mengetahui pula dari golongan atau aliran apa engkau datang.
Jika begini, rasanya ia memang tidak tahu hubunganmu dengan aku.
Untuk menolong dirimu, dia harus mengorbankan tenaga murni yang dihimpunnya paling tiada sepuluh sampai duapuluh tahun lamanya.
Kalau pengorbanan ini tidak timbul dari hati nuraninya yang bersih, mustahil dia rela berkorban.' Setelah itu Kyahi Basaman mint a kepada Lingga W isnu agar mengucapkan kembali kalimat-kalimat sakti ilmu Brahmandaprana golongan Argapura.
Lingga W isnu segera mengucapkan kalimat kalimat sakti ilmu Brahmandaprana yang pertama sampai yang ketiga diluar kepala.
Sebagai se orang yang berkepandaian tinggi, dengan sekali dengar saja Kyahi Basaman segra tahu betapa hebat intisari ilmu Brahmandaprana golongan Argapura.
Cepat ia memotong .
"Sudalah, tak usah kau teruskan! Angger, maksudku tadi hanya ingin menguji palsu atau tulennya ilmu sakti yang diajarkan kepadamu. Itulah sebabnya aku mint a kepadamu engkau menghafalkan kembali kalimat-kalimat saktinya. Selanjutnya ilmu ajarannya tadi janganlah kau kabarkan kepada siapapun. Ingatlah sumpah yang pernah kau ucapkan. Seorang kesatria sejati pant ang melanggar sumpah yang sudah diucapkan!"
"Y a, Eyang,"
Sahut Lingga W isnu.
Tatkala dilihatnya kata suara eyang gurunya agak bergemetar apalagi kedua matanya basah berkaca-kaca, tahulah Lingga W isnu menebak keadaan hati orang tua itu.
Ia seorang anak yang dianugerahi alam suatu kepintaran luar biasa, cerdik dan cerdas bukan main.
Pada saat itu sadarlah d ia bahw a hidupnya tinggal waktu-waktu singkat saja sehingga walaupun tidak mengucapkan sumpah kepada para pendekar Argapura artinya sama saja.
dia toh tidak mempunyai waktu lagi untuk mengajarkan ilmu Brahmandaprana golongan Argapura kepada orang lain.
Sejenak kemudian pikirannya tergerak.
Katanya kepada Kyahi Basaman .
"Eyang, apakah jiwaku tak dapat dipertahankan lagi sampai aku bisa pulang ke gunung?"
"Jangan engkau berkata demikian! Betapapun hebat lukamu, eyangmu pasti berusaha menolong dirimu,"
Sahut Kyahi Basaman dengan menahan air matanya.
"Eyang, aku tidak mengharapkan apa-apa lagi, asal saja aku bisa melihat paman Podang W ilis untuk sekali saja."
Ujar Lingga W isnu.
"Apa sebab?"
Kyahi Basaman heran.
"Eyang, paman Podang W ilis adalah satu-satunya orang yang mengetahui bahwa aku masih mempunyai seorang kakak perempuan. Ingin aku membeberkan rahasia ilmu sakti Brahmandaprana golongan Argapura kepadanya lewat paman Podang W ilis. Dengan berbekal ilmu kepandaian ajaran ayah dan dilengkapi dengan ilmu Brahmandaprana warisan Ugrasawa, dia akan menjadi seorang pendekar wanita yang kelak dapat menuntut balas ayah bunda. Aku sendiri, setelah mengabarkan ajaran ilmu sakti Brahm andaprana warisan Ugrasawa kepada paman Podang W ilis, segera bunuh diri. Dengan demikian aku bertanggung jawab atas pelanggaran janjiku ini kepada para pendeta Argapura. Maka sedikit banyak aku t idak t erlalu mengecewakan pesan ayah dan ibu."
Mendengar kata-kata Lingga W isnu, Kyahi Basaman terperanjat bukan kepalang.
Kemudian ia kagum dan terharu.
Sama sekali tak terlint as dalam benaknya, bahw a anak sekecil itu ternyata sudah pandai menjangkau hari depan begitu jauh.
Oleh rasa terperanjat, kagum dan terharu, Kyahi Basaman menyahut sejadi-jad inya .
"Angger, janganlah engkau berkata yang bukanbukan!"
"Eyang, tiap kali aku membuka mata, dan set iap kali aku tertidur lelah, serasa aku mendengar suara ayah dan ibu yang selalu memperingatkan daku, agar aku menuntut balas kepada lawan sebenarnya. Juga aku selalu mendengar teriakan kangmas Umardanus yang begitu menyayatkan hati, tatkala ia mati terjungkal ke dalam jurang ent ah berapa ribu meter dalamnya."
Kata Lingga W isnu dengan suara gemetaran.
Ucapan Lingga W isnu ini membuat hati Kyahi Basaman hancur.
Dengan tidak dikehendaki sendiri, terbayanglah masa muda ayah Lingga W isnu.
Dan diingatkan kenangan lama itu, air matanya meleleh membasahi pip i.
dan jubahnya.
Cepat-cepat ia memut ar badan lalu membentak dengan suara parau .
"Angger! Tak boleh lagi engkau berpikir yang tidaktidak!"
Orang tua itu kemudian berusaha menenangkan diri. Apabila ketenangan diri sudah bisa d i kuasai, ia berkata lagi .
"Seorang kasatria sejati, harus bersih hati dan jujur kepada diri sendiri. Semua sepak terjangnya harus terang-terangan. Ia harus memperlihatkan dadanya pada saat apa saja, dimanapun berada dan dalam keadaan betapa sulitpun. Kau sudah berjanji kepada para pendeta sakti pertapaan Argapura, bahwa kau t idak akan mengajarkan ilmu yang diberikan kepadamu pada orang lain. Maka sejak saat itu engkau harus dapat memegang teguh janjimu sendiri sampai detik terakhir!, sebab saksinya adalah dirimu sendiri."
Ucapan Kyahi Easaman terdengar penuh semangat dan berwibawa.
Sehingga Lingga W isnu te rtegun.
Tanpa merasa ia mengangguk.
Sebenarnya semenjak ia sadar hidup diant ara ayah bunda dan kedua saudaranya, ia terlatih menjadi seorang kasatria sejati.
Namun didalam pengalaman hidupnya selama delapan tahun, ia menghadapi manusia manusia muslihat yang bertentangan dengan anggar-anggar jiwa kasatria.
Janji belum tentu harus ditepati.
Semuanya tergantung kepada keadaan.
Baru set elah ia berada dipadepokan Gunung Lawu, semua paman-pamannya memberi contoh bagaimana sepak-terjang seorang kasatria sejati.
Dan bahw asanya janji bagi seorang kasatria harus dipegang teguh sampai mati barulah untuk yang pertama kali didengarnya lewat mulut Kyahi Basaman.
W alaupun demikian, ucapan Lingga W isnu itu menusuk kalbu Kyahi Basaman.
Pikir orang tua itu didalam hatinya .
'Bocah ini tahu, bahwa beberapa hari lagi jiwanya akan melayang.
Akan tetapi sama sekali ia tak gentar atau menjadi kecil hati.
Malahan, lantas teringatlah dia kepada pesan ayah bundanya, bahwa ia harus bisa membalas dendam terhadap musuhnya yang benar.
Demi berbakti kepada ayah-bundanya, ia rela membunuh diri setelah mengabarkan rahasia suatu ilmu sakti yang dianggapnya bisa mencapai angannya itu kepada Podang W ilis.
Dan Podang W ilis d iharapkan meneruskan kepada kakaknya perempuan.
Kalau dipertimbangkan, sesungguhnya hal itu sesuai dengan panggilan jiwa kasatria.
Akh, mengapa T uhan t idak melindungi seorang yang memiliki jiwa demikian besar in i ...' Selagi orang tua itu memuji jiwa Lingga W isnu didalam hati, tiba-tiba terdengarlah suatu kumandang suara di jauh sana.
Nyaring benar suara itu .
"Hoooooee ...! Kau serahkan saja bocah itu! Dan engkau akan kami ampuni. Kalau membangkang, janganlah mengutuk kami, seolah-olah kami seorang makhluk yang kejam dan bengis!"
Suara itu terbawa oleh angin.
Tiap patah katanya terdengar sangat jelas.
Itulah suatu tanda, bahwa pemilik suara tersebut pastilah memiliki tenaga sakti terhimpun baik.
Dan mendengar bunyi kata-katanya, Kyahi Basaman tertawa di dalam dada.
Katanya kepada dirinya sendiri.
"Eh, siapa dia, sampai berani memerint ah aku agar menyerahkan bocah ini kepadanya ...
"
Kata-kata itu diucapkan sangat perlahan, sehingga telinga Lingga W isnu tidak mendengar.
Dengan perlahanlahan ia memut ar badannya.
Dan pada saat itu ia melihat sebuah perahu kecil meluncur sangat deras.
Penumpangnya seorang laki laki berberewok lebat.
Usianya duapuluh tahunan.
Ia berada diant ara dua kanak-kanak yang melindungkan dirinya didepan dadanya.
Sedang pemuda berberewok lebat itu, dengan semangat menyala-nyala mendayung perahu kecilnya bagaikan kalap.
Hebat perawakan pemuda berberewok itu.
Tubuhnya tegap.
Dadanya bidang, sehingga dapat melindungi dua bocah yang bersembunyi didepan-nya.
Kyahi Basaman segera mengamat-amati dua bocah itu.
Yang satu lakilaki dan lainnya seorang perempuan berwajah cantik mungil.
Perahu yang ditumpangi Kyahi Basaman berada diluar tikungan, sehingga setiap perahu yang datang harus muncul terlebih dahulu dari balik tikungan.
Demikianlah setelah perahu pemuda berberewok lebat itu masuk kedalam tikungan, muncullah sebuah perahu lagi.
Perahu yang memasuki tikungan in i berukuran besar sehingga jalannya agak lambat.
Penumpangnya berjumlah delapan orang.
Mereka menyandang pakaian serdadu.
Perahu ini agaknya hendak mengejar perahu si berewok.
Dengan berteriak-teriak nyaring, seorang laki-laki.
yang berada didepan mengancam dan memperingatkan.
Akan tetapi pemuda berberewok itu tidak mengindahkan.
Dengan, suatu tenaga luar biasa kuatnya, ia menggayuti cepat sekali dan sebentar saja, perahunya hampir melewati perahu Kyahi Basaman.
Melihat perahu pemuda itu makin lama makin menjauh, pengejarnya lantas menghujani anak-panah.
Diantara puluhan anak-panah yang menyambar pemuda berbereweok itu, terdengarlah sebatang panah yang mendesing sangat tajam.
Itulah suatu tanda, bahwa pembidiknya bertenaga kuat.
'A kh!' kata Kyahi Basaman d idalam hati.
'Kiranya mereka menyuruh pemuda itu meninggalkan atau menyerahkan kedua bocah yang dilindungi.
Kukira seruannya tadi dialamatkan kepada ku.' Sebenarnya Kyahi Basaman hanya sebagai penonton saja.
Akan tetapi, semenjak mudanya ia benci terhadap gerombolan manusia yang menyandang serdadu.
Apalagi manakala itu ternyata merupakan serdadu Belanda.
Sebab mereka yang menyandang serdadu biasanya mengagul-agulkan wewenangnya.
Kerapkali membuat susah rakyat kecil atau terhadap orang-orang tertentu yang lemah.
Maka Kyahi Basaman bermaksud hendak menolong pemuda berberewok itu.
Tetapi selagi hatinya bergerak hendak menolong, tibatiba teringatlah dia kepada masalah sendiri.
Lingga W isnu yang tidur menggeletak disampingnya terancam pula jiwanya.
Meskipun jiwanya tidak bakal terenggut oleh suatu senjata, akan tetapi bila tidak memperoleh pertolongan dengan segera, ia akan mati pula.
Teringat akan hal itu, hati Kyahi Basaman menjadi terharu dan berduka.
Ia jadi berbimbang-bimbang hendak menolong pemuda berberewok yang terancam keselamatannya.
Dalam pada itu, pemuda berberewok yang melindungi kedua bocah didepannya, menangkis hujan anak panah yang menyambar padanya, dengan tangan kanan.
Sedang tangan kirinya tetap menggayut i dengan sekuat tenaga.
Gerak-geriknya nampak tangkas dan berani..
Diam-diam Kyahi Basaman menaruh perhatian.
Pikirnya didalam hati .
"Ilmu kepandaian bocah ini tidak rendah. Ia berani dan tenang menghadapi bahaya. Masakan aku akan tetap berpeluk tangan menyaksikan dia mati tertembus panah?"
Memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi perint ah kepada pemilik perahu.
"Kang, potong perjalanan mereka!"
Tentu saja pemilik perahu itu kaget mendengar kehendak penyewanya.
Memotong jalan? Inilah bunuh diri.
Sebab perahu besar yang berada dibelakangnya sedang menghujani anak panah bagaikan hujan turun kedada perahu pemuda berberewok yang berada didepannya.
Maka dengan suara bergemetaran ia berkata .
"Kakek, apakah maksudmu hanya bergurau saja?"
Sebenarnya Kyahi Basaman ingin mengesankan bahwa ia bermaksud menolong pemuda berberewok itu.
Akan tetapi sebagpi seorang pendekar yang sudah kenyang makan garam, tahulah dia bahw a pemilik perahu dalam ketakutan.
Tatkala menoleh keadaan pemuda berberewok itu berada dalam bahaya.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedikit terlambat, jiwanya takkan tertolong lagi.
Maka tanpa berbicara lagi, Kyahi Basaman merebut penggayuh dan terus meluncurkan perahunya memotong perjalanan.
Lalu ia berputar menyongsong kedatangan perahu besar.
Tepat pada saat itu, ia mendengar suatu jerit melengking menyayatkan hati.
Anak laki-laki yang berlindung didepan dada pemuda berberewok kena terbidik.
Sebatang anak panah yang kuat luar biasa, menembus punggungnya.
Bukan main kagetnya pemuda berberewok itu.
Gugup ia menelungkup hendak melindungi berbareng memeriksa.
Akan tetapi pada saat itu pula, beberapa batang anak panah menancap pada lengan dan pundaknya.
Ia tak menghiraukan sama sekali.
Sayang sew aktu hendak meraih anak laki-laki yang dilindungi, penggayuhnya jatuh terkulai didalam permukaan air.
Seketika itu juga perahunya yang sudah berada didepan perahu Kyahi Basaman, berputar arah.
Kemudian berputar-putar bagaikan sebuah gangsing.
Dalam sekejab saja, perahu besar yang mengejarnya sudah berhasil menghampiri.
Ampat serdadu melompat kedalam perahu itu.
Akan tetapi pemuda berberewok itu, tak sudi menyerah mentah-mentah.
W alaupun tidak bersenjata, ia melawan dengan tinju dan kakinya.
Kyahi Basaman terhenyak sebentar t atkala mendengar jerit bocah itu yang mati tertembus anak panah.
Ia sampai lupa kepada tujuannya semula.
Setelah perahu besar lewat disampingnya dan kemudian merabu perahu pemuda berberewok itu barulah ia t ersadar.
Terus saja ia berseru nyaring .
"Anakku! Jangan berkecil hati! Aku akan menolongmu!"
Tanpa berpikir lagi, ia mengangkat dua papan dari dalam perahunya.
Lalu dilemparkan ke dalam air.
Begitu dua papan terapung di atas permukaan air, Kyahi Basaman berlompat turun.
Jarak antara perahunya dan perahu mereka yang sedang bergulat t idak begitu jauh.
Maka set elah Kyahi Basaman melompat-lompat dari papan ke papan bagaikan mengambah papan jembatan, sampailah d ia d iburitan perahu.
Ia lantas melompat tinggi diudara.
Jubahnya berkibar-kibar tak ubah sepasang sayap burung garuda.
Dua serdadu yang berada didalam perahu, kaget melihat kedatangannya.
Mereka lantas melepaskan panahnya.
Akan tetapi dengan sekali mengebaskan lengan bajunya, Kyahi Basaman mementalkan dua batang anak panah itu, runtuh ke dalam sungai.
Dan begitu mendarat diatas geladak perahu tangannya memukul.
Seorang serdadu yang berperawakan tinggi besar terpent al kena pukulannya dari jauh.
Dan dengan berjungkir-balik, serdadu yang sial itu tercebur di dalam sungai.
Kedatangan Kyahi Basaman benar-benar tak ubah malaikat turun dari langit.
Dengan sekali bergerak, ia bisa mementalkan dua batang panah dan melontarkan seorang serdadu yang berperawakan tinggi besar.
Inilah suatu kepandaian yang sudah dibayangkan.
Maka tak mengherankan, tujuh serdadu yang berada didalam perahu itu tertegun seperti kena pukau.
Sejenak kemudian, seorang serdadu yang menyandang seragam perwira berteriak keras .
"Hai, kakek! Tiada geledek tiada angin apa sebab engkau mencampuri urusan ini? Pergi sebelum kasep!"
"Hm ..."
Gerendeng Kyahi Basaman.
"Kau anjing Belanda berani benar membuka mulut besar didepanku. Entah sudah berapa kali, kalian mencelakai rakyat jelata. Hayo, perintahkan kawan-kawanmu pergi secepat mungkin!"
"Eh, kakek! Hatimu sebenarnya mulia. Akan tetapi kau-salah alamat. Tahukah engkau siapakah mereka bertiga in i? Mereka anak-anaknya si penghianat Pringgalaya."
Mendengar disebutnya nama Pringgalaya, hati Kyahi Basaman tercekat.
Serentak ia berpaling mengamatamati pemuda berberewok dengan dua bocah yang dilindungi.
Pikirnya didalam hati.
'Benarkah mereka anak Pringgalaya?' Pringgalaya adalah patih Paku Bhuwana II.
Dialah biang keladinya yang membuat Pangeran Mangkubumi I berontak.
Tatkala Pangeran Mangkubumi ditugaskan kakaknya merebut daerah Sukawati, dengan diam-diam ia bersekutu dengan Belanda karena iri hati.
Tatkala itu yang memerint ah V.O.C., Gubernur Jendral Baron van Imhoff.
Dialah seorang Gubernur Jendral yang lic in dan bengis.
Mula-mu la ia dapat menggunakan Ratu Banten Syarifah Fatimah untuk memadamkan pemberontakan Ratu Bagus Boang dan Ki Tapa.
Setelah tidak terpakai lagi, ratu itu dibuang ke Saparua.
Akan tetapi ratu Fatimah mati ditengah perjalanan.
Bagi Belanda, ratu itu mati atau tidak samalah halnya.
Setelah Banten dapat ditenteramkan, pada tahun 1746 Gubernur Baron van Imhoff melawat ke Surakarta mengadakan perjalanan pemeriksaan terhadap daerahdaerah bekas huru-hara dan hendak pula memperbaiki perjanjian-perjanjian Mataram.
Perlawatan Gubernur Jendral itu benar-benar di rid loi Tuhan.
Secara kebetulan didalam negeri pemerint ahan Kasunanan, timbul suatu percecokan antara Paku Bhuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Sebenarnya, belumlah boleh disebut suatu percecokan atau suatu perselisihan, apabila Patih Pringgalaya tidak ikut campur dalam hal in i dan kemudian mengipasi unggun bara didepan timbunan kapuk.Adapun peristiwanya sebagai berikut .
Daerah Sukawati semenjak lama dikuasai dua orang pemberontak.
Raden Mas Said dan Martapura.
Paku Bhuwana I tidak sanggup mengatasi.
Sedang Patih Pringgalaya hanya pandai bicara dan menjilat majikan, sama sekali t ak berdaya.
Pangeran Mangkubumi tidak sampai hati melihat kakaknya dalam kesedihan.
Ia lant as mengajukan diri untuk memadamkan pemberontakan itu.
Sudah barang tentu kesanggupan Pangeran Mangkubumi ini diterima dengan hati penuh syukur oleh kakaknya (Paku Bhuwana II) .
Oleh rasa sukacitanya, Paku Bhuwana II berjanji hendak menyerahkan daerah Sukawati kepada Pangeran Mangkubumi apabila pemberontak dapat dikuasainya.
Pikirnya daripada d ikangkangi pemberontak, lebih baik menjadi milik ad ik sendiri.
Pangeran Mangkubumi adalah sahabat Kyahi Basaman dalam pergaulan masyarakat.
Seperti Kyahi Basaman, dia seorang pendekar yang berkepandaian sangat tinggi.
Maka dengan bantuan Kyahi Basaman, ia dapat mengalahkan Raden Mas Said dan Martapura yang terkenal dengan sebutan Panembahan Puger Martapura W aridan.
Tapi justru ia dapat mengalahkan dua pemberontak itu, timbul ah t iupan desas-desus.
Pada suatu hari Patih Pringgalaya menghadap Paku Bhuwana II.
Dengan terang-terangan patih itu menaruh curiga kepada Pangeran Mangkubumi, karena dapat mengalahkan dua pemberontak sakti dengan mudah.
Ia menuduh bahwa telah t erjadi suatu persekutuan rahasia yang teratur rapih.
Buktinya, Pangeran Mangkubumi membiarkan dua pemberontak itu lolos dari cengkeramannya sehingga dengan penuh yakin ia berkata, bahwa daerah Sukawati sebenarnya hendak dijadikan pangkal penyusunan kekuatan baru dengan bantuan dua pemberontak dari luar.
Paku Bhuwana II adalah seorang raja yang lemah, baik soal peribadinya maupun dalam pemerint ahan.
Mendengar alasan Patih Pringgalaya,ia terpengaruh.
Akan tetapi tak bersedia bertindak.
Akhirnya persoalan itu dipercayakan kepada Patih Pringgalaya.
Patih Pringgalaya segera menerima pertanggungan jawab itu.
Katanya dengan suara berapi-api .
"Sri Baginda! Hambamu ini sudah terlalu kenyang menerima anugerah kerajaan. Karena itu, berilah hambamu kesempatan untuk berbuat suatu kebajikan demi pembalas budi keluhuran Sri B aginda dan kerajaan. Belasan t ahun lamanya, hamba hanya makan-minum dan tidur. Selama itu pastilah Sri Baginda mengira bahw a hamba tidak sanggup mengerjakan sesuatu. Itulah sebabnya, Sri Baginda lalu menitahkan Pangeran Mangkubumi memadamkan pemberontakan Said dan Martapura. Hm! Kalau cara menyelesaikan pemberontakan itu dengan membiarkan mereka berdua lolos, siapapun dapat melakukannya. Sekarang persoalannya kian menjadi ruwet, pelik dan rumit! Sri Baginda di kepung lawan dari dalam dan luar. Pangeran Mangkubumi yang berpura-pura membantu Sri Baginda adalah musuh dalam selimut. Sedang Said dan Martapura yang dibiarkan berkeliaran diluar dengan bebas, sesungguhnya merupakan perwira-perwira cadangan.
"Alangkah jahat persekutuan ini. W alaupun keadaan sudah menjadi berlarat begini, hambamu akan memperlihatkan sedikit kebajikan kehadapan duli t uanku. Sri Baginda tidak perlu beresah hati. Serahkan saja persoalan ini kepada hamba."
Gembira dan penuh syukur Paku Bhuwana II mendengar ucapan hambanya yang menyatakan kesetiaannya itu. Raja itu menjadi terharu sehingga kedua matanya berlinang air mata. Ia lantas memeluk dan memujinya.
"Pringgalaya yang baik hati!"
Kata Paku Bhuwana II dengan suara berduka.
"T iada suatu peristiwa yang lebih hebat dan yang lebih menyedihkan apabila terjadi suatu perselisihan antara sesaudara sendiri. Dimas Mangkubumi terlalu kuat bagi kami. Bagaimana cara mengatasinya?"
Patih Pringgalaya lalu menganjurkan, agar meniru cara Pangeran Mangkubumi menyusun kekuatan.
Rase Emas Karya Chin Yung Legenda Kematian -- Gu Long Durhaka Karya Boe Beng Tjoe