Pedang Sakti Tongkat Mustika 4
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 4
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
Pangeran Mangkubumi, menurut Patih Pringgalaya, menyandarkan kekuatannya kepada Raden Mas Said dan Panembahan Martapura.
Maka Paku Bhuwana II seyogyanya mencari suatu sandaran kuat pula.
Dan sandaran yang maha kuat adalah kompeni Belanda.
"Kebetulan sekali, Gubernur Jendral Baron van Imhoff berada di Semarang. Inilah suatu kesempatan bagus yang diberikan Tuhan kepada Sri Baginda,"
Kata Pringgalaya menganjurkan.
"Maka janganlah Sri Baginda siasiakan. Serahkan dan t itipkan kerajaan ini kepadanya! Serahkan, artinya menyerahkan persoalan dalam negeri tentang tertibnya. Titipkan, artinya Gubernur Jendral harus bertanggung jawab keutuhannya. Seumpama seseorang menitipkan barangnya, maka orang yang dititipi harus dan akan bertanggung jawab merawat dan memelihara barang titipan itu dengan utuh."
Paku Bhuwana II menganggap buah pikirannya Patih Pringgalaya sangat cemerlang.
Maka segera ia menyetujui.
Dan istilah menyerahkan dan menitipkan in i, dikemudian hari akan menerbitkan suatu ekor panjang dan salah tafsir yang membawa nasib kerajaan ke dasar bumi.
Patih Pringgalaya berbesar hati memperoleh kepercayaan Paku Bhuwana II.
Ia segera datang ke Semarang, menemui Gubernur Jendral Belanda Baron van Imhoff.
Ia menyarankan kepada Gubernur Jendral Belanda itu, agar memperlihatkan kekuasaannya di Mataram, dengan turut campur urusan dalam negeri.
Demikianlah kedatangan van Imhoff yang sebenarnya hanya untuk mengadakan pemeriksaan daerah, menjadi kebetulan sekali.
Sebab sebenarnya Belanda belum merasa puas tentang perjanjian Mataram yang terjadi pada t ahun 1743.
Tatkala Paku Bhuwana II datang ke Semarang segera ia mempergunakan kesempatan itu dengan sebaikbaiknya.
Ia sanggup menerima kepercayaan Paku Bhuwana II dengan suatu perjanjian .
1.
Tegal, Pekalongan harus diserahkan kepada Belanda sebagai daerah jajahan.
1.
Bea cukai jalan di daerah hulu dan bea barang yang diangkut sepanjang jalan atau sungai di w ilayah Mataram harus diserahkan kepada Belanda.
1.
Bea keluar-masuk d iseluruh kerajaan d iatur Belanda dan diserahkan kepada V.O.C.
Bea keluar-masuk ini meliputi ampat hal, yakni .
a.
Bea di kali Solo b.
Bea di pasar-pasar c.
Bea tembakau di Kedu d.
Hak penjualan, hak memungut sarang burung.
1.
Susuhunan menerima uang yang sudah ditetapkan jumlahnya sebagai pengganti pemungutan bea-bea itu, ialah 9000 real.
1.
Belanda mengakui putera Paku Bhuwana II yang ditunjuk olehnya, sebagai putera mahkota yang syah.
Perjanjian yang demikian itu sebenarnya memerosotkan derajat Paku Bhuwana II.
Akan tetapi Paku Bhuwana II nyatanya sangat bersyukur dan bergembira.
Karena kecuali mendapat jaminan kedudukan puteranya sebagai putera mahkota, juga mendapat jaminan pemasukan uang bea tanpa bersusah payah lagi.
Perselisihan tentang daerah Sukawati, diajukan pula oleh Patih Pringgalaya kepada Gubernur Jendral Baron van Imhoff.
Pengaduan ini bertambah membuka mata Belanda bahw a Paku Bhuwana II sesungguhnya tidak dapat mengemudikan negaranya sendiri, sehingga perlu dapat atau minta bantuan kepihaknya.
Dalam pertemuan di istana yang dihadiri o leh segenap bangsawan, maka punggawa dan wakil-wakil Belanda Patih Mangkubhumi dipanggil menghadap.
Dan para hadirin, Pangeran itu disemprot habis-habisan oleh Gubernur Baron van Imhoff.
Inilah suatu peristiwa yang menusuk hati Pangeran Mangkubhumi.
Sebab sesungguhnya ia tidak berselisih dengan kakaknya.
Semuanya ini akibat rasa irihati Patih Pringgalaya.
Maka pada hari itu juga, Pangeran Mangkubhumi meninggalkan istana.
Dia lantas menggabungkan diri dengan Raden Mas Said dan Panembahan Martapura.
Kyahi Basaman berada dipihak Pangeran Mangkubumi.
Dia merupakan t ulang punggung Pangeran itu.
Itulah sebabnya ia menjadi musuh Patih Pringgalaya pula.
Maka seraya berpaling kepada pemuda berberewok itu, Kyahi Basaman menegas .
"Apakah betul yang mereka tuduhkan kepadamu?"
Seluruh badan pemuda itu sudah berlumuran darah, namun tangannya masih memondong bocah laki-laki yang tertembus panah tadi. Sambil menahan air matanya, ia berkata .
"Benar, benar! Inilah majikanku. Ia tewas kena panah,"
Dengan kata-kata itu ia mengakui, bahwa dirinya sesungguhnya adalah hamba sahaja Patih Pringgalaya. Keruan saja Kyahi Basaman kaget. Katanya lagi .
"Jadi bocah itu putera Pringgalaya?"
"Benar,"
Sahut pemuda berberewok itu.
"Aku telah gagal memiku l tanggung jawab. Biarlah mereka mencabut jiwaku sekalian."
Setelah berkata deniikian ia meletakkan mayat majikan kecilnya itu, lalu menubruk kearah perwira t adi.
Tetapi karena lukanya terlalu parah, ia gagal, karena anak panah yang menancap dipundak dan punggungnya belum dapat dicabutnya.
Baru ia meloncat, tahu-tahu tubuhnya jatuh terbanting diatas perahunya sendiri.
Tangan anak perempuan itupun terkena panah pula.
Ia menangis sambil berteriak-teriak.
"Kangmas! Kangmas!"
Kyahi Basaman menjadi serba salah. Pikirnya.
"Akh, jika tadi aku tahu bahw a mereka ini puteraputerinya Pringgalaya, lebih baik aku tak ikut campur. Sekarang aku sudah mengulurkan tangan. Masakan harus menarik diri ditengah jalan. Setelah berpikir demikian, ia berkata kepada perwira t adi .
"Saudara! Bocah laki-laki itu sudah mati. Sekarang tinggal dua orang saja yang masing-masing kena panah pula. Mereka in ipun nampaknya akan segera mati. Jasa kalian sudah cukup. Kalian boleh pergi dengan rasa syukur."
"T idak bisa!"
Sahut perwira itu.
"Kepala tiga orang itu harus kupenggal dahulu."
"Kenapa mesti mendesak mereka begitu habishabisan?"
Ujar Kyahi Basaman.
"Sebenarnya engkau ini siapa? Apakah alasanmu sampai engkau berani merint angi kami?"
Bentak perwira itu dengan mendongkol. Kyahi Basaman tertawa. Sahutnya .
"Kulihat saudara agaknya orang beragama pula. Pernahkah saudara mendengar suatu pepatah yang berbunyi begini. peristiwa-peristiwa di dunia ini manusia boleh ikut serta. Tetapi apabila engkau masih dapat mengampuni seseorang, hendaklah engkau ampuni."
Tiba-tiba perwira itu memberi isyarat mata kepada dua bawahannya. Lalu berkata .
"Sebenarnya siapa engkau in i? Agaknya engkau seorang pendeta. Dimana padepokanmu?"
Pada saat itulah mendadak dua orang bawahan yang diberi isyarat tadi terus mengangkat goloknya, lalu membabat pundak Kyahi Basaman.
Betapa cepat dan hebatnya samberan golok itu, tidak dapat terlukiskan lagi.
Kecuali jaraknya sangat dekat, tenaga dua orang itu besar pula.
Pada hakekatnya susah untuk dihindarkan.
Akan tetapi dengan manis sekali Kyah i Basaman dapat mengelakkan.
Tadinya ia menghadap haluan perahu.
Tiba-tiba ia sudah menghadap kekiri.
Elakan in i nampaknya biasa saja.
Akan tetapi sebenarnya, karena jitu menggunakan waktu serta tempat.
Maka babatan kedua golok itu menumbuk udara kosong.
Sebaliknya, kedua t enaga Kyahi Basaman sudah menempel punggung mereka.
"Enyahlah kalian!"
Bentak Kyahi Basaman.
Dan terbanglah tubuh kedua laskar itu kena sodokan Kyahi Basaman.
Dengan diikut i suara bergedubrakan mereka jatuh tertelungkup didalam perahunya sendiri.
Sudah puluhan tahun Kyahi Basaman tidak pernah bergebrak.
Kini dengan menguji kepandaian kembali, ternyata segalagalanya dapat dimainkan dengan sesuka hati.
Meskipun laskar-laskar itu sebenarnya jago-jago pilihan, akan tetapi menghadapi ilmu sakti Kyahi Basaman yang tiada bandingnya itu boleh dikatakan mereka mati kut u.
Oleh rasa terkejut, perwira itu sampai ternganga-ngana mulut nya.
Katanya dengan suara tak lancar .
"Apakah kau ... kau ..."
Tetapi pada saat itu Kyahi Basaman sudah mengebaskan lengan bajunya lagi. Bentaknya .
"Selama hidupku aku paling gemar membunuh kaum penjajah!"
Berbareng dengan perkataannya, dua perwira merasa sesak dadanya.
Untuk sejenak mereka tak dapat bernapas.
Apabila Kyahi Basaman menarik kembali pukulannya, wajah mereka menjadi pucat lesi.
Terus saja mereka berebutan mencari penggayuh dan cepat-cepat menjauhkan perahunya.
Kawan kawannya yang tercebur kedalam sungai segera ditolongnya.
Sebentar lagi perahu mereka hilang di kelokan sungai.
Melihat panah-panah yang menembus pemuda berewok dan anak perempuan itu, Kyahi Basaman segera mengeluarkan obat pemunah racun.
Setelah ditelankan ke mulut mereka, ia menolong mencabut panah-panah itu.
Segera ia mendayung perahu kecil itu menghampiri perahu tambangannya.
Setelah berdempetan, ia lalu membungkuk hendak memajang pemuda berewok itu pindah keperahunya.
Tak terduga, pemuda berewok itu seorang yang luar biasa.
Tiba-tiba ia bangkit, sebelah tangannya memondong mayat anak laki-laki tadi dan yang lain mengempit anak perempuan.
Dengan satu lompatan enteng, ia sudah menyeberang ke perahu Kyahi Basaman.
Diam-diam Kyahi Basaman menjadi memuji di dalam hati.
'Bocah ini terluka parah akan t etapi masih begitu setia terhadap majikannya.
Benar benar seorang laki-laki sejati.
Aku tadi begitu sembrono mengulur t angan.
Akan tetapi menimbang kegagahannya, pantaslah rasanya aku menolongnya ...' Iapun melompat kembali kedalam perahunya.
Setelah memeriksa luka panah pemuda berewok dan anak perempuan itu, segera ia membubuhi obat luar.
Dalam pada itu perahunya sudah menepi di seberang, diamdiam Kyahi Basaman berpikir dalam hati .
"Seluruh tubuh Lingga W isnu sekarang lumpuh, ia sama sekali tidak dapat menggerakkan kakinya. Jika aku meneruskan perjalanan, rasanya kurang menguntungkan. Pemuda berewok dan kedua majikannya ini menjadi buronan pemerint ah Belanda. Jika aku harus melindungi mereka bertiga, rasanya agak susah juga.' Ia merenung sejenak. Kemudian memberi uang sew a kepada pemilik perahu. Katanya .
"Kang! Apakah engkau masih sanggup membawa kami pada suatu tempat yang kira-kira terdapat sebuah penginapan?"
Tukang perahu tadi menyaksikan betapa tangkasnya Kyahi Basaman menghajar dan mengusir laskar Belanda yang bersenjata lengkap.
Hatinya kagum luar biasa.
Dengan sendirinya ia menaruh hormat sekali.
Sekarang ia mendapat uang sewa.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jumlahnya terlalu banyak pula.
Maka tak mengherankan ia segera memanggut dan cepat-cepat meneruskan perjalanan.
Dalam pada itu sipemuda berewok terus berlut ut didepan Kyahi Basaman sebagai pernyataan terima kasih.
Katanya dengan suara terharu.
"Atas budi pertolongan eyang dengan ini aku menghaturkan terima kasih. Eyang, aku bernama Aruji. Semenjak ini aku bersumpah demi bumi dan langit bahw a selama hidupku aku takkan melupakan budi eyang."
Cepat-cepat Kyahi Basaman membangunkannya. Sahutnya .
"Akh, engkau tak perlu berlutut begini terhadapku."
Tiba-tiba tatkala ia menyentuh telapak tangan pemuda itu, ia menjadi kaget. T elapak tangan pemuda itu terasa sangat dingin bagaikan es. Cepat-cepat ia bertanya.
"Apakah kau mendapat luka juga?"
"Benar, eyang. Aku membawa kedua majikanku ini dari Pekalongan. Sepanjang jalan aku bertempur sampai empat kali berturut-turut. Aku kena terhajar punggung dan dadaku. Apakah aku terluka berat?"
Dengan berdiam diri Kyahi Basaman memegang urat nadinya.
Denyutannya sangat lemah.
Dengan hati tercekat, Kyahi Basaman membuka baju pemuda itu dan memeriksa lukanya.
Begitu melihat luka yang dideritanya, orang tua itu makin tercekat hatinya.
Bekasbekas pukulan nampak bengkak hebat.
Itulah suatu tanda bahwa luka pemuda itu bukan luka enteng.
Apabila orang lain yang kena pukulan demikian, pastilah sudah tidak t ahan lagi.
Tetapi nyatanya pemuda ini masih kuat melarikan diri sejauh itu dengan membawa kedua majikan mudanya.
Disepanjang jalan ia mengadakan perlawanan dengan sekuat tenaga.
Benar benar harus dipuji ketangkasan dan jiwanya yang penuh keperwiraan.
Maka ia tidak mengajak berbicara lagi kepadanya.
Ia hanya mempersilahkan agar pemuda itu merebahkan diri didalam perahu, beristirahat.
Kira-kira menjelang tengah malam, sampailah perahu tambangan itu di sebuah kota kecil.
Kyahi Basaman mencoba mencari ramuan obat.
Pada masa itu, seluruh wilayah Jawa Tengah dalam keadaan perang.
Karena penduduk kebanyakan berpihak kepada Pangeran Mangkubumi, apa bila mereka mendengar seseorang mencari obat luka, segera menolong dengan sukarela.
Demikian maka Kyahi Basaman dapat memperoleh ramuan obat yang dikehendaki dengan mudah.
Anak perempuan majikan pemuda berewok itu berumur kurang lebih sembilan tahun.
Ia sangat cantik jelita.
W aktu itu ia duduk disamping mayat kakaknya tanpa bergerak.
Dan menyaksikan hal itu, hati Kyahi Basaman tersayat-sayat.
Ia bertanya dengan suara lembut .
"Siapa namamu, angger?"
"Aku bernama Sitaresmi."
Sahut anak perempuan itu sambil berdiri dengan sopan santun.
"Apakah aku boleh mengetahui nama eyang?"
Heran dan kagum Kyahi Basaman mendengar pertanyaan itu.
Gadis cilik itu belum boleh dikatakan cukup umur.
Akan tetapi didalam keadaan yang begini kusut, masih dapat ia berlaku sopan dan beradat.
Tibatiba saja terbesitlah rasa sayang dalam dada Kyahi Basaman.
Sahut nya dengan tersenyum .
"Aku bernama Basaman."
"Ha!"
Seru Aruji dengan terkejut. W aktu itu ia masih rebah diatas geladak perahu. Mendadak saja bangkit, meneruskan dengan suara setengah berseru .
"Jadi, eyang inilah yang bernama Kyahi Basaman? Pant aslah ilmu sakti eyang tiada tandingnya. Hari in i aku benar-benar berbahagia dapat berjumpa, bertemu dan berhadap-hadapan dengan eyang."
"Mengapa? Apakah aku malaikat?"
Potong Kyahi Basaman dengan t ertawa.
"Aku manusia biasa. Bedanya dengan engkau, karena usiaku sudah lanjut. Selebihnya adalah sama. Anak lebih baik kau rebahkan saja agar lukamu cepat sembuh."
Dalam hati Kyahi Basaman merasa senang terhadap kedua orang yang ditolongnya itu.
Aruji, seorang pemuda gagah perkasa.
Dan Sitaresmi gadis cant ik, ramahtamah, sopan santun dan lembut tak ubah rembulan.
Akan tetapi mengingat mereka berdua adalah keluarga Pringgalaya, hati orang t ua itu menjadi dingin.
Tak ingin lagi ia berbicara berkepanjangan.
Lalu berkata setengah memerint ah .
"Kalian t erluka berat. Lebih baik jangan berbicara lagi. Nah, beristirahatlah selagi ada kesempatan yang baik!"
Hati Kyahi Basaman sebenarnya cukup lapang.
Terhadap golongan lawan, ia tidak berpikiran sempit.
Ia selalu bersedia mengampuni, bilamana perlu diampuni.
Baginya, seorang yang boleh dianggap lawan ialah, apabila dia berada di tengah gelanggang mengadu jiwa.
Akan tetapi Patih Pringgalaya terlalu licik dan terlalu menyakitkan hati orang-orang yang sadar akan negara dan bangsa serta tanah air.
Karena orang itulah yang membuat perpecahan besar ant ara keluarga raja.
K arena orang itu pulalah yang membuat Paku Bhuwana II menulis surat wasiat pada tahun 1749 kepada V.O.C.
yang menyebutkan, bahwa kerajaan dan tahta diserahkan serta dititipkan.
Alangkah merosotnya derajat bangsa, negara dan tanah air.
Kini pihak kompeni merasa agak terdesak.
Lalu merubah sikap untuk mengambil hati.
Patih Pringgalaya menjadi sasarannya.
Mungkin sekali Patih itu kena dibunuhnya.
Akan tetapi, Kyahi Basaman kenal kelic inan dan kelicikan V.O.C.
Baik terhadap Pringgalaya maupun V.O.C., semua kaum pejuang harus selalu berwaspada.
Pada hari itu, Kyahi Basaman menolong keluarga Pringgalaya yang dibencinya sampai ke-bulu-bulunya.
Itulah terjadi karena kemuliaan hati nuraninya.
Sebagai seorang mahaguru, ia harus dapat memberi contoh kepada siapapun, bahwasanya dalam hidup ini seseorang harus saling mengulurkan tangan kepada yang perlu diberi pertolongan.
Dalam hal menolong, seseorang t idak perlu mengetahui atau mengenal pihak yang ditolong.
Akan tetapi, setelah mengetahui siapa mereka sesungguhnya, bet apapun juga membuat suatu masalah besar didalam hatinya.Karena sesungguhnya bertentangan dengan panggilan hidupnya.
Tiba t iba saja teringatlah dia kepada Udayana yang mati kena kerubut.
Mengapa selama menjadi buronan delapan tahun lamanya, tiada seorangpun yang mengulurkan tangan untuk menolongnya? Apakah sesungguhnya didalam dunia ini, hanya dia seorang yang mempunyai panggilan hidup berdasarkan cinta-kasih? Sekarang anak satu-satunya Udayana, menggeletak didalam perahu.
Jiwanya tinggal beberapa saat saja.
T api teringat bahwasanya didalam pertapaan Argapura terdapat seseorang yang mengulurkan tangan tanpa mengenal terlebih dahulu siapa dia dan dari golongan mana dia datang, Kyahi Basaman agak t erhibur.
'A khI Setidaknya aku mempunyai teman,' kata Kyahi Basaman didalam hatinya.
'Tetapi Aruji dan Sitaresmi ini bisa menimbulkan masalah ruwet, apabila aku kurang berhati-hati.
Sebab mereka berdua menjadi buronan kompeni dan kaum pejuang.
Tak terasa orang tua yang berhati mulia itu menghela napas.
Dalam pada itu, pemilik perahu sudah sele sai memasak hidangan malam.
Kyahi Basaman mempersilahkan Aruji dan Sitaresmi makan dahulu, sebab ia hendak menyuapi Lingga W isnu yang t ak dapat bergerak itu.
"Sebenarnya dia menderita sakit apa?"
Aruji mint a keterangan dengan penuh perhatian.
Segera Kyahi Basaman memberi keterangan, bahwa Lingga W isnu kena racun jahat yang kini menyerang bagian perut.
Itulah sebabnya ia terpaksa menghentikan peredaran darahnya untuk menyelamatkan jiwanya.
Lingga W isnu ikut mendengarkan keterangan kakekgurunya itu.
Ia makin sadar, bahwa jiwanya takkan tertolong lagi.
Dan d iam-diam ia jadi terharu terhadap jerih-payah eyang gurunya itu yang berjuang untuk menyelamatkan jiwanya.
Oleh rasa haru, ia tak sanggup makan lagi.
Kerongkongannya serasa tersumbat.
Tatkala Kyahi Basaman hendak memasukkan suapan yang ketiga kalinya, ia menggelengkan kepala.
Tiba-tiba Sitaresmi yang selama itu menaruh perhatian kepadanya, melompat menghampiri.
Ia merebut mangkok nasi yang berada ditangan Kyahi Basaman.
Katanya dengan lembut .
"Eyang, biarlah aku yang menyapinya. Semenjak siang hari t adi, eyang bekerja keras. Silahkan makan dahulu!"
Tercengang Kyahi Basaman melihat sikap gadis cilik itu yang begitu pandai membawa diri. Tatkala itu ia mendengar Lingga W isnu menyangga kepada Sitarismi .
"Terima kasih. Aku sudah kenyang. Tak bisa aku makan lagi."
Sitaresmi menoleh kepada Kyahi Basaman. Mint a keterangan .
"Eyang, siapakah namanya?"
Dengan tersenyum Kyahi Basaman menjawab.
"Ia bernama Lingga W isnu."
Setelah mendengar nama Lingga W isnu, Sitaresmi menoleh kepadanya. Berkata dengan suara halus.
"Kangmas Lingga, jika engkau tidak mau makan, pastilah eyang akan sedih. Dan eyangpun tidak akan bernapsu makan pula. Bukankah engkau membuat eyang lapar?"
Lingga W isnu diam menimbang-nimbang.
Pikirnya, benar juga alasan anak perempuan itu.
Maka tatkala Sitaresmi menyapkan nasi kemulut -nya, ia lantas menelannya.
Sitaresmi ternyata sangat telaten menyuapi.
Sebelum menyuapkan, ia membuangi tulang-tulang ikannya dahulu.
Dan set iap suapan ditambahinya dengan sedikit kuah.
Oleh pelayanan yang begitu sempurna Lingga menjadi doyan makan, sehingga dengan tidak diket ahui sendiri t elah menghabiskan semangkok nasi.
Selama itu Kyahi Basaman menaruh perhatian kepada mereka.
Melihat Lingga W isnu dapat menghabiskan semangkok besar nasi, ia menjadi agak lega.
Pikirnya didalam hati.
'Lingga W isnu ini benar-benar anak yang bernasib malang, la tidak hanya ditinggalkan kedua orang tuanya, tetapi-pun oleh kedua saudaranya pula.
Sekarang ia menderita sakit begini berat.
Memang, untuk menghibur dirinya mestinya harus ada seorang perawat yang sebaya dengan umurnya.
Ia menoleh kepada Aruji.
Meskipun sedang terluka parah, akan tetapi pemuda itu menyambar makan malamnya dengan lahap dan bernapsu.
Dalam sekejab saja ia telah menghabiskan tiga piring, nasi penuhpenuh.
Kena pandang Kyahi Basaman, pemuda itu berhenti mengunyah, menengadah sambil berkata .
"Akh, hampir aku menghabiskan persediaan makan eyang. Eyang, silahkan makan!"
"T idak. Aku mempunyai persediaan sendiri. Anger, senang hatiku engkau dapat menghabiskan tiga piring nasi dengan sekaligus. Hal itu perlu untuk menjaga kesehatanmu. Kulihat t enagamu hebat pula. Dikemudian hari, engkau bisa mengembangkan tenagamu itu."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aruji meletakkan piringnya. Menyahut.
"Akh, eyang. Sekalipun andaikata aku mempunyai tenaga sebesar gajah, kurasa tiada gunanya. Sebab aku ini orang kasar."
Dengan pandang penuh perhatian, Kyahi Basaman menatap wajahnya. Kemudian berkata sambil mengurut jenggotnya .
"Aruji! Berapa umurmu?"
Dengan cepat Aruji menjawab.
"Duapuluh tahun tepat."
Dibandingkan dengan usia Kyahi B asaman, umur Aruji baru seperlimanya.
Akan t etapi karena ia berewok, maka nampaknya seram luar b iasa.
Apabila d ilihatnya sekilas pandang, kesannya seperti sudah berumur tigapuluh tahun lebih.
Dalam pada itu Kyahi Basaman manggut dan berkata dengan hati lapang .
"Hmmm, kau masih sangat muda angger. Sayang, mengapa engkau salah jalan. Engkau terjerumus angger. Orang yang angger sebut sebagai majikan sebenarnya seorang penghianat besar. Akan tetapi hal itu belum terlambat. Aku mempunyai suatu pendapat yang sebenarnya tidak pantas kuucapkan kepada angger. Sebab pendatat ini berkesan sebagai suatu nasehat. Andaikata kuucapkan juga, apakah angger tidak merasa tersinggung?"
"Tersinggung?"
Kata pemuda itu.
"Bila memang eyang sudi memberi petunjuk-petunjuk atau pendapat, apalagi nasehat kepadaku, sudah pasti nilainya bagaikan gunung emas. Bagaimana aku malahan merasa t ersinggung?"
"Baik."
Ujar Kyahi Basaman.
"Ingin aku menasehati angger, agar cepat-cepat meninggalkan jalan sesat in i. Jika angger tiada menganggap aliran kami berkepandaian rendah, aku bersedia menyuruh muridku Ugrasena menerimamu sebagai murid. Kelak, angger bisa bergaul lebih luas lagi untuk mengangkat nama sendiri. Siapapun tidak akan berani memandang hina lagi kepadamu. Mungkin sekali apabila nasib angger baik angger akan diterima dengan tangan terbuka oleh Pangeran Mangkubumi atau Raden Mas Said, atau Panembahan Martapura W aridan."
Ugrasena adalah murid tertua Kyahi Basaman.
Namanya sudah menggoncangkan jagad.
Para pendekar biasa yang belum mempunyai nama, tidak dapat menemuinya dengan mudah.
Pada akhir-akhir in i, para pendekar aliran Resi Aristi, telah murid.
Akan tetapi syarat pilihannya sangat berat.
Apabila seseorang tidak mempunyai bangun tubuh, dan nilai watak serta kelakuan yang dikehendaki, pasti t idak akan dapat masuk rumah perguruan Kyahi Basaman.
Sedangkan Kyahi Basaman tahu, bahw a pemuda itu adalah bekas anak buah Patih Pringgalaya y ang terkenal sebagai penghianat besar.
Karena itu sesungguhnya Aruji mempunyai nasib sangat bagus.
Tak terduga Aruji menjawab dengan tegas.
"Akh, eyang mengira bahw a aku in i budaknya Patih Pringgalaya. Sebenarnya tidaklah demikian. Ayahku memang salah seorang abdinya. Tatkala ia meninggal, ayah berpesan kepadaku hendaklah aku membawa dua putera-puteri asuhannya. Karena aku sudah menyanggupkan diri, maka aku membawanya pergi pada suatu tempat demi keamanan dan keselamatan puteraputeri Patih Pringgalaya in i. Eyang, aku sendiri sebenarnya laskar Raden Mas Said. Sekali aku sudah menyanggupkan diri, se lama h idupku takkan berani menghianati nya."
Kagum Kyahi Basaman mendengar pendirian pemuda itu.
Pikirnya didalam hati.
'Kukuh benar pendirian anak ini.
Sebenarnya bahan bagus sekali, apabila anak ini diabdikan kepada Pangeran Mangkubumi.' Seperti diketahui, kyahi Basaman pernah membantu Pangeran Mangkubumi memadamkan pemberontakan Raden Mas Said dan Panembahan Martapura yang menduduki daerah Sukawati.
Itulah sebabnya meskipun kini Pangeran Mangkubumi sudah bekerja sama dengan Raden Mas Said dan Panembahan Martapura, sesungguhnya masih ia menganggap sebagai lawan.
Maka dengan pikiran demikian, segera ia membujuk Aruji agar meninggalkan majikannya.
Ia berjanji setelah mewariskan kepandaiannya akan membawa menghadap Pangeran Mangkubumi.
Ia menjamin bahw a kedudukannya dikemudian hari akan baik.
Akan tetapi pemuda itu tetap kokoh pendiriannya.
Berulangkali ia mengesankan, bahwa sekali ia sudah mengabdikan diri pada seseorang, dia tidak akan menghianati.
W aktu itu fajar hari t elah t iba.
Kyahi Basaman hendak melanjutkan perjalanannya.
Ia mengambil jalan darat.
Maka segera ia memondong Lingga W isnu dan berkata kepada Aruji .
"Baiklah, kita berpisah sampai disini saja. Mudahmudahan angger dapat mencapai t ujuan dengan selamat sejahtera."
Setelah berkata demikian, ia melompat kedarat hendak meninggalkan perahu. Dengan berdiri tegak, berulangkali Aruji dan Sitaresmi mengucapkan terima kasih tak terhingga. Sedang Sitaresmi berkata dengan lemah lembut kepada Lingga W isnu .
"Kangmas Lingga ! Tiap hari kau harus makan yang kenyang! Dengan demikian kangmas tidak akan membuat sedih eyangmu."
Terharu Lingga W isnu mendengar kata-kata Sitaresmi. Entah apa sebabnya tiba-tiba saja air matanya meleleh dikedua pipinya. Sahutnya .
"Terima kasih atas perhatianmu. Tetapi ... tetapi beberapa hari lagi aku akan tidak bisa makan nasi atau meneguk air ..."
Mendengar ucapan Lingga W isnu hati Kyahi-Basaman seperti tersayat. Dengan terharu ia mengusap air mata bocah itu.
"Kau berkata apa? Kau ... kau .. kenapa?"
Sitaresmi kaget. Lingga W isnu tak kuasa menjawab pertanyaan Sitaresmi. Kyahi Basaman segera menjawabnya .
"Angger, hati nuranimu sangat baik. Mudah-mudahan Tuhan memilihkan jalan yang benar bagimu. Aku sendiri selalu berdoa, agar engkau jangan terjerumus ke jalan yang sesat."
"Terima kasih, eyang,"
Sahut Sitaresmi dengan tulus. Tiba-tiba Aruji berkata setengah berseru.
"Eyang! Ilmu sakti eyang sangat tinggi. W alaupun ribuan racun berada dalam tubuh anak kecil ini, pastilah eyang dapat menyembuhkan."
"Y a, tentu!"
Sahut Kyahi Basaman singkat.
Akan tetapi sebelah tangan yang berada dibawah tubuh Lingga W isnu nampak digoyang goyangkan beberapa kali.
Terang sekali maksudnya, bahw a luka yang diderita Lingga W isnu te rlalu berat, sehingga tiada harapan untuk dapat disembuhkan kembali.
Hanya saja tak pernah ia memberitahukan hal itu kepada Lingga W isnu.
Melihat goyangan tangan Kyahi Basaman, maka Aruji kaget.
Katanya lagi .
"Eyang, luka yang kuderita tidak enteng pula. Aku bermaksud hendak mencari pamanku yang pandai mengobati. Pamanku terkenal sebagai seorang tabib sakti. Tidakkah lebih baik apabila adik kecil in i bersamasama aku menghadap kepadanya?"
Kyahi Basaman mendengarkan ucapan Aruji dengan sungguh-sungguh. Sejenak kemudian ia goyang kepala dan berkata .
"Urat-urat nadi sudah tertembus, sehingga racun yang jahat meresap kedalam perutnya. Kurasa obat dewa sekalipun susah sekali menyembuhkannya."
"Tetapi pamanku mempunyai kepandaian menghidupkan orang mati,"
Ujar Aruji dengan sungguh sungguh. Kyahi Basaman tercengang. Mendadak teringatlah dia kepada seseorang. Katanya mencoba.
"Apakah yang kau panggil pamanmu itu bernama Kyahi Sarapada?"
"Benar! Memang dialah!"
Seru Aruji dengan suara bersorak.
"Kiranya eyang kenal sama paman."
Kyahi Basaman diam merenung-renung.
Ia berbimbang-bimbang.
Memang pernah ia mendengar nama Kyahi Sarapada.
Orang itu terkenal sebagai seorang tabib sakti.
Ia bermukim dilereng gunung Merapi.
Dan ia mempunyai kisah hidup begini .
Kerajaan Mataram dibawah Sultan Agung dahulu pernah mengalami suatu kegoncangan dengan munculnya seorang yang aneh dan sakti bernama Bondan Sejiwa.
Bondan Sejiwa mendirikan semacam ilmu kebatinan tunggal bernama Ngesti Tunggal.
Ia membuat tata sembah sendiri serta tata tertib yang dianggap bertentangan dengan agama.
Itulah sebabnya anggautaanggauta Ngesti Tunggal tidak mendapat t empat dalam masyarakat Mereka dibenci dan disingkiri.
Dan Kyahi Sarapada ini kabarnya masuk menjadi anggauta mashab Ngesti T unggal t ersebut.
Ia seorang yang fanatik.
Artinya tidak sudi membuka pintu terhadap faham-faham yang lain Kepandaiannya mengobati orang hanya diperuntukkan kawan-kawan sefahamnya sendiri tanpa memungut bayaran.
Sebaliknya terhadap orang luar, meskipun teruruk harta benda setinggi bukit, sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Itulah sebabnya walaupun Lingga W isnu kini terancam maut karena racun jahat yanq merumun dalam tubuhnya, akan tetapi Kyahi Basaman tidak rela bahw a penyakitnya itu dikemudian hari menyebabkan dirinya terjerumus dalam suatu mashab tersesat.
Melihat Kyahi Basaman berbimbang bimbang, segera Aruji dapat menebak.
Katanya membujuk.
"Eyang, paman Sarapada meskipun selamanya tidak sudi mengobati orang-orang diluar fahamnya, akan tetapi eyang sudah menanam budi demikian luhur menolong jiwa kami. Kurasa pamanpun akan melanggar kebiasaan sendiri. Sebaliknya kalau ia benar-benar tidak mau menolong, aku, Aruji bersumpah kepada eyang, akan terus berusaha sehingga berhasil. Apabila ia tetap menutup pintu, aku akan menggedornya sehingga terbuka. Jika membangkang aku akan menyudahi dengan cara kekerasan.
"Ilmu kesaktian Kyahi Sarapada in i memang juga pernah kudengar,"
Ujar Kyahi Basaman kemudian.
"Hanya saja racun yang berada dalam tubuh Lingga W isnu ini sungguh luar biasa hebatnya."
Aruji dapat menebak jalan pikiran Kyahi Basaman.
Ia sendiri salah seorang anggauta Ngesti Tunggal yang dibenci dan disingkiri masyarakat.
Pastilah orang tua itu mengkhawatirkan hari kemudian Lingga W isnu.
Pikirnya dalam hati, pastilah eyang mengira paman akan memaksa adik kecil ini memasuki Ngesti Tunggal.
Biarlah kut erangkan bahwa dugaannya itu tidak benar.
Dengan pikiran demikian ia kemudian berkata kepada Kyahi Basaman .
"Eyang, dengarkan. Aku mempunyai sebuah usul ..."
O)))oo-dw-oo((o 1. Mendaki Gunung Merapi Dengan menengadahkan muka dan dengan wajah sungguh-sungguh, Aruji berkata.
"Eyang ! Kalau aku tidak salah tangkap maksud eyang hendak mengatakan kepadaku, bahwa adik kecil ini tiada harapan lagi. Katakan saja dibawa kesana mati, tidak dibawa mati pula. Kenapa tidak diserahkan kepadaku saja? Manusia in i pastilah kalau tidak hidup ya mati. Sebelum mati benar, biarlah aku berusaha. Siapa tahu, berangkali adik kecil ini bisa ditolong."
Mendengar perkataan.
Manusia itu kalau tidak hidup ya mati, hati Kyahi Basaman tergetar.
Katanya didalam hati.
'Bocah ini berwatak terus terang.
Apa yang terpikir olehnya segera dinyatakan tanpa pertimbangan lagi.
Meskipun kasar, ada benarnya juga.
Tampaknya jiwa Lingga W isnu tak akan tahan satu bulan lagi.
Baiklah, biarlah jalan ini kut empuh, dengan kuserahkan nasibnya kepada bocah ini.' Lalu berkata .
"Jika demikianlah kata-katamu, aku terpaksa memohon bantuanmu. Hanya saja aku ing in berbicara terus terang kepadamu. Kyahi Sarapada tidak boleh memaksa Lingga W isnu memasuki fahamnya. Jika oleh usahanya Lingga W isnu dapat disembuhkan, kamipun tidak akan merasa hutang budi kepada alirannya."
Disini bertambah jelas, bahw a Kyahi Basaman menyangsikan mutu rohaniah orang-orang Ngesti Tunggal.
Seperti orang-orang tekun kepada agamanya, ia berpendapat bahwa faham Ngesti Tunggal adalah semacam aliran iblis yang sangat berbahaya karena meracuni jiwa seseorang.
Jika Lingga W isnu sampai terlibat, entah bagaimana nasibnya dikemudian hari.
Ia tidak hanya disingkiri dan dibenci masyarakat saja, akan tetapi didalam alam bakapun tidak akan mendapat tempat yang semestinya.
Aruji menjawab dengan tegas .
"Agaknya eyang terlalu memandang rendah aliran kami."
Tiba-tiba ia berpaling kepada Sitaresmi dan berkata .
"nDorojeng Sitaresmi, untuk sementara, maukah engkau ikut Kyahi Basaman pulang ke Gunung Lawu?"
"Apa katamu?"
Tukas Kyahi Basaman dengan tak mengerti. Sebelum Sitaresmi sempat menjawab dan Aruji menerangkan maksudnya .
"Alasan eyang tidak sudi menemui pamanku cukup terang bagiku. Memang semenjak dahulu sesat dan suci tidak dapat hidup berdampingan. Eyang adalah seorang pemimpin besar yang tidak hanya berkepandaian sangat tinggi akan tetapi pun mempunyai kewajiban memuliakan agama. Sebagai seorang beragama yang saleh, betapa mungkin eyang membiarkan diri memohon bantuan kepada pamanku yang beraliran sesat. Tabiat paman Sarapada memang aneh pula. Belum tentu ia bisa menerima kedatangan eyang dengan semestinya. Apabila sampai terjadi hal demikian, kedua-duanya akan susah. Maka biarlah adik kecil ini aku yang membawanya seorang diri saja. Namun aku tahu, eyang menyangsikan nilai budi aliran kami. Karena itu aku mohon kepada eyang, biarlah ndorojeng Sitaresmi ini mengantarkan eyang pulang ke Gunung Lawu sebagai jaminan. Kelak apabila adik kecil ini sudah sembuh, aku akan menjemputnya kembali.
"
Selama hidup Kyahi Basaman belum pernah mencurigai seseorang.
Akan tetapi mengingat Lingga W isnu adalah keturunan satu-satunya dari Udayana, maka ia bersikap sangat hati-hati.
Sebab jika keturunan anak muridnya itu dikemudian hari sampai masuk kedalam aliran ib lis, bagaimana ia mempertanggung jawabkan kepada arwah ayahnya.
Itulah sebabnya masih saja ia ragu.
Aruji ternyata tidak hanya seorang gagah perkasa, akan tetapi cerdik pula.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera ia main paksa.
Katanya .
"Eyang, ndorojeng Sitaresmi ini merupakan puteri satu-satunya dari gusti Patih Pringgalaya yang masih hidup. Sekarang ini kuserahkan kepada eyang. Gusti Patih Pringgalaya terkenal sebagai seorang penghianat besar. Dahulu beliau kawan kompeni Belanda. Akan tetapi karena kompeni Belanda t erdesak oleh perlawanan Gusti Pangeran Mangkubumi dan Gusti Said, mendadak berbalik arah. Gusti Patih Pringgalaya dimusuhinya. Itulah sebabnya baik fihak kompeni maupun fihak Gusti Pangeran Mangkubumi dan Gusti Said, ingin sekali menangkap ndorojeng Sitaresmi in i. Maka kuharap setelah berada di Gunung Lawu, eyang harus berhati-hati menjaganya.
"
Diam-diam Kyahi Basaman tertawa geli di-dalam hatinya.
Belum lagi ia menyanggupi menerima atau tidaknya Sitaresmi d idalam tangannya, Aruji yang berwatak jujur dan tulus itu lantas saja sudah memberi pesan-pesan gawat.
Memang orang yang ingin mengarah jiwa Sitaresmi sangat banyak.
Akan tetapi orang yang ingin mengarah nyawa Lingga W isnupun tak terhitung banyaknya.
Namun racun yang mengamuk didalam tubuh Lingga W isnu sudah terlalu hebat.
Betapapun juga, akhirnya kalau tidak hidup ya mati.
Bahaya yang bakal mengancam dirinya, apa perlu diperpanjang dan dipertimbang kan lagi.
Oleh pertimbangan itu segera Kyahi Basaman menjawab.
"Aruji, baiklah kita saling janji. Aku akan merawat Sitaresmi in i baik-baik. Dan tolong kau rawat Lingga W isnu sebaik-baiknya pula. Kelak apabila racun yang mengamuk didalam dirinya sudah sirna, hendaklah engkau membawanya sendiri ke Gunung Lawu!"
"Memperoleh kepercayaan seseorang apalagi nendapat tugas demikian mulia, aku harus bersedia,"
Sahut Aruji.
"Eyang, legakan hatimu, aku akan menjaganya dengan mempertaruhkan jiwaku sendiri."
Setelah berkata demikian, ia melompat ke darat.
Ia menggali liang kubur dengan sebatang golok.
Liang itu berada dibawah pohon besar.
Setelah selesai ia menghampiri mayat majikan kecilnya.
Mayat itu ditelanjangi bulat-bulat.
Kemudian ditaruhnya dengan hati-hati kedalam liang kubur.
Cara meletakkannya ditengkurapkan sehingga hidungnya mencium bumi.
Setelah selesai, dengan penuh haru mayat itu mulai ditimbuni tanah.
Kyahi Basaman menyaksikan upacara itu dengan berdiam diri.
Sedikit banyak ia pernah mendengar faham Ngesti Tunggal.
Karena orang ini lahir dengan bertelanjang bulat, maka pulangpun harus bertelanjang bulat pula.
Sedang apa sebab mayatnya harus ditengkurapkan mencium bumi, karena bumi ini adalah sumber hidup jasmaniah manusia.
Tegasnya asal dari bumi kembali ke bumi.
Sitaresmi menangisi kuburan kakaknya dengan sedihnya.
Sedang Aruji hanya berdiri t egak tanpa berkata sepatah katapun.
Ia tidak berdoa atau bersembahyang.
Demikianlah, setelah puas menyatakan rasa dukacitanya, perlahan-lahan mereka memutar badannya dan menghampiri Kyah i Basaman.
Kala itu pagihari telah tiba.
Kyahi Basaman hendak segera meneruskan perjalanan pulang ke Gunung Lawu dengan membawa Sitaresmi.
Arahnya tepat ketimur.
Sedang Aruji membawa Lingga W isnu keselatan.
Setelah tiada berayah bunda lagi, Lingga W isnu menganggap Kyahi Basaman seperti kakeknya sendiri.
Itulah sebabnya perpisahan pada pagi hari itu sangat mengharukan hatinya, sehingga air matanya bercucuran.
Sebelum berangkat, Kyahi Basaman mencoba membesarkan hati Lingga W isnu.
Katanya .
"Lingga ! Aku percaya, penyakitmu akan sembuh. Apabila penyakitmu sudah sembuh kembali pastilah kakakmu Aruji membawamu pulang kembali ke Gunung Lawu. Angger, hanya beberapa bulan saja kita berpisah. Karena itu tak perlu engkau bersedih hati."
Lingga W isnu belum dapat menggerakkan anggauta badannya.
Ia hanya mengangguk.
Namun air matanya mengucur makin deras.
Tiba-tiba saja Sitaresmi kembali keperahunya.
Lalu balik kembali dengan membawa saputangan bersulam sekunt um bunga melati.
Saputangan itu dimasukkan ke dalam baju Lingga W isnu.
Lalu menghampiri Kyahi Basaman, siap untuk berangkat.
Tergerak hati Kyahi Basaman menyaksikan sepak terjang Sitaresmi.
Pikirnya.
'Bocah ini begini cantik.
Kelak apabila sudah dewasa, pastilah akan tumbuh menjadi seorang gadis yang elok luar biasa.
Apabila Lingga W isnu dapat disembuhkan, aku pasti tidak akan mengijinkan pertemuannya dengan gadis ini.
Sebab apabila keduaduanya sampai saling jatuh cinta, bukankah Lingga W isnu akan dapat terseret memasuki aliran sesat? Demikianlah dengan pandang mata yang berat, Lingga W isnu menyaksikan Kyahi Basaman membawa pergi Sitaresmi.
Tiada hentinya dara c ilik itu menoleh dan melambaikan tangan sampai tubuhnya hilang teraling gerombol pohon-pohon yang lebat.
Pada saat itu, terasa didalam hati Lingga W isnu, bahw a dirinya hidup sebatang kara.
Alangkah sunyi dan hampa rasanya.
Oleh rasa itu kembali ia menangis sedih.
"Lingga W isnu. Berapa umurmu sekarang?"
Tanya Aruji tiba-tiba dengan mengkerutkan kening.
"Mungkin duabelas t ahun,"
Sahut Lingga W isnu.
"Bagus, seorang yang sudah berumur dua belas tahun tiada boleh dibilang anak kecil lagi. Masakan engkau menangis demikian rupa hanya disebabkan suatu perpisahan saja? Apa engkau tidak malu?"
Seru Aruji dengan sungguh-sungguh.
"Dahulu sewaktu aku berumur duabelas tahun, entah sudah berapa ratus kali aku kena hajar orang. Akan t etapi selama itu setetespun tak pernah aku mengeluarkan air mata. Seorang laki-laki sejati, hanya mengalirkan darah, tidak air mata. Jika engkau terus menangis lagi begini manja, aku akan segera menghajarmu."
Pandang wajah Aruji nampak bersungguh hati, hingga kelihatan bengis.
Hati Lingga W isnu merasa gentar juga.
pikirnya diam-diam.
'Huh, baru saja eyang berangkat, engkau sudah berlagak-lagak kepadaku.
Apalagi dikemudian hari.
Entah penderitaan bagaimana lagi yang akan kut anggung.
' Meskipun hatinya gentar dan takut, akan tetapi t ak sudi ia mengalah.
Sahutnya .
"Aku menangis sebab berpisah dengan eyangku. Tetapi kalau aku dipukul orang, tidak bakal aku menangis. Kau hendak memukul aku, hayo pukullah aku. Hari ini boleh engkau memukul aku. Akan tetapi satu kali engkau memukulku, dikemudian hari aku akan memukulmu kembali sepuluh kali ..."
Aruji t ercengang. Sejenak kemudian tertawa terbahakbahak dengan mata berseri, serunya penuh syukur .
"Adikku yang baik! Beginilah engkau baru dapat disebut seorang laki-laki sejati. Engkau begini hebat, terus terang saja aku tak berani memukulmu."
"Kau t ahu aku tak dapat bergerak sama sekali. Kenapa kau bilang aku hebat? Hayo pukullah aku!"
Seru Lingga W isnu dengan kalap.
"Jika sekarang aku memukulmu, aku takut akan pembalasanmu dikemudian hari. Sebab dengan berbekal ilmu sakti eyangmu tadi, bagaimana aku sanggup melawanmu?"
Sahut Aruji dengan tertawa.
Mendengar dan melihat Aruji terus tertawa, mau tak mau Lingga W isnu te rpaksa turut tertawa geli juga.
Sekarang tahulah dia, meskipun kakak ini berwajah bengis, tetapi sesungguhnya hatinya baik sekali.
Ia nampak bengis karena mukanya penuh berewok tebal.
Karena pertolongan orang-orang kampung, Aruji memperoleh seekor kuda.
Dengan menunggang kuda ia membawa Lingga W isnu mengarah keselatan.
Siang dan malam Aruji meneruskan perjalanannya.
Hampir-hampir boleh dikatakan tidak mengenal istirahat.
Kurang lebih delapan tahun lamanya, Lingga W isnu mengikuti orang tuanya berkuda dari tempat ketempat.
W alaupun selalu diancam bahaya, hatinya selalu tegar karena berada di tengah keluarga.
Sekarang, benar masih h idup, tetapi ia tak dapat menggerakkan anggauta tubuhnya.
Lagi pula dibawa oleh seseorang yang baru saja dikenalnya.
Tak mengherankan, hatinya terasa menjadi hampa dan sedih luar b iasa.
Sebenarnya ingin ia menangis, akan tetapi takut kena marah Aruji.
Setiap hari, diwaktu matahari berada dititik t engah, racun Pacar keling yang berada ditubuhnya mengamuk hebat.
Dan diwaktu kumat, rasa deritanya luar b iasa.
Ia harus mempertahankan diri dan mengkuatkan hatinya kurang lebih setengah jam lamanya.
Untuk mengenyahkan, rasa sakit ia selalu menggigit bibir.
Setelah setengah jam berkutat mati-matian, sedikit demi sedikit rasa sakit itu berkurang.
Sekarang ia telah melepaskan gigitannya.
Akan tetapi bibirnya sudah terlanjur matang biru.
Tak setahunya, serangan racun itu makin lama semakin sering dirasakan.
Malahan tidak hanya selama setengah jam.
Kadangkadang sampai hampir mencapai satu jam.
Sepuluh hari kemudian, sampailah Aruji di kota Magelang.
Dikota ini ia menjual kudanya yang sudah kelelahan.
Kemudian menyewa sebuah kereta besar, yang lebih kokoh dan sentausa.
Beberapa hari lagi sampailah mereka dikaki gunung Merapi.
Aruji cukup mengenal tabiat pamannya yang sangat aneh.
Pamannya adalah seorang tabib sakti yang tidak senang apabila diket ahui tempat tinggalnya.
Itulah sebabnya, setelah sampai d i kaki gunung Merapi segera ia membayar sew a kereta.
Kemudian memanggul Lingga W isnu.
Dan dengan langkah lebar, ia melanjutkan perjalanan.
Pamannya Sarapada bermukim di sebuah lembah.
Dia menyebut lembah itu dengan nama Mrepat Kepanasan.
Dengan demikian ia mengumpamakan dirinya sebagai dewa yang tinggal di Kahyangan Mrepat Kepanasan, seperti diket ahui, dalam cerita wayang, Mrepat Kepanasan adalah lapangan perang dewa-dewa Suralaya.
Mrepat Kepanasan berada di belakang bukit yang berada ditimur.
Jauhnya kira-kira duapuluh kilometer.
Aruji mengira bahwa sebelum menjelang malam hari, ia sudah tiba dilembah Mrepat Kepanasan.
Tak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa luka yang dideritanya sesungguhnya menjadi rint angan yang amat menentukan.
Diluar kemauannya sendiri, mendadak langkahnya makin lama semakin menjadi perlahan.
Seluruh badannya merasa linu, napasnya tersengal-sengal.
Mengapa jadi begini? pikirnya.
Lingga W isnu walaupun masih berumur duabelas tahun, akan tetapi kaya dalam pengalaman.
Segera ia mengetahui apa yang menyebabkan langkah Aruji makin lama semakin perlahan.
Dengan lemas ia berkata .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Abang! Tak apa engkau berjalan perlahan. Apa perlu engkau berkutat untuk berjalan cepat? Bukankah dengan demikian dirimu akan cepat lelah pula?"
Aruji ternyata seorang pemuda yang mudah sekali tersinggung kehormatannya. Ia menjadi gopoh. Serunya mengandung gusar .
"Sehari aku sanggup berjalan sejauh duaratus kilometer. Dan sedikitpun tak pernah aku merasa letih. Masakan karena cuma kena dua kali pukulan pendeta bangsat itu, bisa membuat langkahku makin lama semakin pendek?"
Oleh rasa penasarannya ia mencoba mempercepat langkahnya, dengan mengerahkan seluruh tenaga penuh-penuh.
Akan tetapi sebenarnya hal itu merupakan pant angan besar bagi seseorang yang mendapat luka dalam.
Ia t idak boleh menjadi gopoh atau marah.
Apalagi sampai mengerahkan tenaga secara berlebih lebihan.
Apabila hal itu sampai terjadi, maka luka dalam yang dideritanya akan menjadi lebih parah lagi.
Tak mengherankan, baru saja ia melangkah seratus meter, seluruh sendi-sendi tulangnya terasa seakan-akan mau lepas.
Namun masih saja ia t ak sudi menyerah.
T ak sudi pula ia beristirahat dahulu.
Selangkah demi selangkah ia memaksa diri unt uk maju terus.
Dengan demikian perjalananya menjadi lambat sekali.
Cuaca sudah mulai gelap.
Akan tetapi belum juga ia mencapai setengah perjalanan.
Sedangkan jalan pegunungan yang berada didepannya, nampak melingkar-lingkar penuh dengan batu tajam.
Hal itu membuat hati Aruji semakin gugup.
Sekali lagi ia memaksa dan memaksa untuk berjalan secepatnya.
Apabila malam hari tiba, sampailah ia ditepi sebuah rimba.
Segera ia memasukinya dengan t ak ragu-ragu lagi.
la meletakkan Lingga W isnu ketanah dengan hati-hati.
Dan barulah ia beristirahat, untuk meluruskan napasnya.
Sambil mengunyah bekal makanan, ia segera memberi keterangan kepada Lingga W isnu bahwa seorang yang menyandang sebagai pendeta telah memukulnya dua kali berturut-turut.
Y ang pertama pada dadanya, yang kedua menghantam punggungnya.
Tatkala bertempur, ia tidak memikirkan akibat pukulan itu.
Ia menganggap sebagai suatu pukulan yang lumrah.
Tak tahunya kini benarbenar menyita tenaganya.
Setelah beristirahat kira-kira satu jam lamanya, Aruji bermaksud hendak melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi Lingga W isnu segera menyanggahnya.
Ia menyarankan agar bermalam saja dalam rimba itu.
Esok pagi setelah matahari t erbit, barulah melanjutkan perjalanan.
Aruji mempertimbangkan saran Lingga W isnu.
Benar.
Meskipun malam ini aku dapat tiba di lembah Mrepat Kepanasan, akan tetapi tabiat paman terlalu aneh.
Jangan-jangan karena gusar, ia lalu memut uskan tidak mau menolong.
Apabila dia sudah menolak, bukankah persoalan akan menjadi runyam? Dan memperoleh pikiran demikian, ia menerima saran Lingga W isnu.
Demikianlah mereka saling bersandar pada sebuah pohon dan tertidur dengan aman dan tenteram.
Kira-kira tengah malam, tiba-tiba penyakit Lingga W isnu kumat menggigil tiada hentinya.
Ia khawatir akan membuat kaget Aruji, maka ia mempertahankan diri dengan membungkam mulut sambil menggigit bibir agar tidak sampai mengeluarkan suara.
Pada saat-saat itulah dari jauh terdengar beradunya senjata tajam.
Kemudian teriak suara beberapa orang.
"Hayo! Mau lari kemana kau?"
"Cegat sebelah timur! Kurung dia didalam rimba itu."
"Jaga dia dan jangan beri kesempatan melarikan diri!"
Hampir berbareng dengan hilangnya kumandang suara itu, terdengarlah langkah seseorang yang cepat sekali.
Kemudian beberapa orang memasuki rimba.
Oleh suara berisik itu Aruji terjaga.
Segera ia menghunus goloknya.
Dengan sebelah tangan membopong Lingga W isnu, ia bersiaga bertempur.
"Abang! Agaknya bukan kita yang diarah,"
Bisik L ingga W isnu.
Aruji mengangguk.
Akan tetapi didalam hati ia sudah mengambil keputusan hendak melindungi jiwa Lingga W isnu meskipun dengan mempertaruhkan nyawa sendiri.
Hanya saja ia dalam keadaan luka parah.
Tiba-tiba terasalah bahw a ilmu ke pandaiannya sudah punah semua.
Maka ia menjadi gugup dan khawatir.
Dengan cepat ia membawa Lingga W isnu bersembunyi dibelakang pohon besar.
Dengan mata penuh kecemasan, ia mengint ip segala yang bergerak didepannya.
Dan terlihatlah berkelebatnya tujuh atau delapan sosok bayangan, sedang mengkerubut orang yang mengenak jubah abu-abu.
Dalam cuaca gelap, wajah mereka semua tidak nampak dengan jelas.
Dengan demikian, baik L ingga W isnu maupun Aruji, tidak segera dapat mengetahui siapa mereka sebenarnya.
Yang mereka ketahui dengan jelas adalah orang yang berada di tengah-tengah mereka.
Tanpa bersenjata orang itu mempertahankan diri dari pengeroyokan mereka.
Kedua tangannya bergerak cepat luar biasa, sehingga para pengeroyoknya tidak berani bertindak sembarangan.
Tak lama kemudian, pertarungan mereka makin lama semakin mendekati pohon tempat bersembunyi Aruji dan Lingga W isnu.
Kebetulan sekali pada saat itu cahaya bulan menembus mega-mega putih.
Sinarnya yang cerah memasuki celah-celah mahkota daun, sehingga Aruji dan Lingga W isnu kini dapat melihat dengan jelas seperti penglihatan mereka yang pertama.
Orang yang kena keroyok itu menyandang sebagai pendeta.
Ia berjubah abu-abu.
Perawakannya tinggi kurus, kira-kira berusia limapuluh tahunan.
Sedangkan para pengeroyoknya terdiri dari bermacam-macam golongan.
Ada yang menyandang pendeta, ada pula yang mengenakan pakaian singsat, dan ada pula yang mengenakan pakaian Malahan terdapat dua orang wanita.
Sesudah memperhatikan pertarungan sengit itu, Aruji nampak terkejut.
Segera ia mengetahui, bahwa para pengeroyok ternyata memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, yang berada d iatasnya.
Dua orang yang menyandang sebagai pendeta, menggunakan senjata tongkat dan golok.
Dua orang lainnya bersenjata seutas rant ai panjang dan penggada.
Dua orang ini bergulingan diatas tanah.
Mungkin sekali mereka hendak menyerang kaki orang berjubah abu-abu itu.
Hebat gerak-gerik mereka.
Semua pukulan mereka membawa angin keras yang menggoncangkan daun-daun kering sehingga rontok berguguran.
Salah seorang pengeroyok yang bersenjata Pedang, gesit luar biasa.
Kecuali cepat, gerakannya aneh pula.
Kadang-kadang ia melesat ke kanan, kadang-kadang ke kiri.
Pedangnya berke-redep di antara cahaya bulan.
Sedang kedua wanita yang bersenjata pedang pula, berperawakan langsing.
Ilmu pedangnya ternyata sangat ringan dan gesit.
Dalam pertarungan semakin sengit, tiba-tiba salah seorang wanita itu memalingkan kepalanya.
W ajahnya kena sinar cahaya bulan nan terang-benderang.
Dan melihat w ajah w anita itu, hampir saja L ingga W isnu memanggil .
"Bibi Damayant i!"
Memang, wanita itu adalah Damayant i, puteri Prangwedhani.
Dialah seorang dari aliran Parwati yang pernah datang kerumah perguruan Kyahi Basaman.
Mula-mu la tatkala melihat tujuh-delapan orang mengeroyok seorang yang menyandang jubah abu-abu, Lingga W isnu diam-diam mengutuk didalam hati.
Inilah suatu pertarungan yang tidak adil.
Maka ia berdoa, mudah-mudahan orang berjubah abu-abu itu dapat membobolkan kepungan mereka dan segera melarikan diri.
Akan tetapi setelah melihat bahwa salah seorang pengeroyoknya adalah Damayanti, ia jadi berpikir lain.
Damayant i ikut pula mendaki Gunung Lawu dan datang kerumah Perguruan Kyahi Basaman karena hendak memperoleh keterangan dimana t ongkat mustika berada.
W alaupun demikian ia berkesan baik terhadap pendekar wanita itu.
Itulah sebabnya, kini ia berada dipihaknya.
Dalam pada itu, Aruji juga berpenasaran, melihat suatu perkelahian yang tidak adil itu.
Perlahan-lahan ia menggerendeng .
"Hmm, delapan orang mengeroyok seorang. Benarbenar memalukan. Entah siapa mereka ini."
Lingga W isnu mendengar gerendeng Aruji. Segera ia membisiki .
"Dua wanita itu adalah golongan Parwati. Dan dua pendeta itu, pastilah orang-orang Argapura."
Setelah mengamat-amati sebentar, ia berkata lagi.
"Dan orang yang berpedang itu, mungkin sekali pendekar Sekar Ginabung. Lihatlah, betapa keji tipu-tipu serangannya. Akan tetapi tiga orang lainnya ent ahlah. Mereka entah dari golongan mana ..."
"Apakah mereka bukan orang-orang Madura?"
Ujar Aruji.
"Bukan,"
Sahut Lingga W isnu dengan menggelengkan kepala.
"Orang-orang Madura biasanya senang menggunakan belati. Meskipun sebelah tangannya memegang senjata panjang, tapi tak pernah ia meninggalkan belatinya."
Mendengar alasan Lingga Wisnu yang sangat nalar itu, diam-diam Aruji kagum akan kepandaiannya.
Pikirnya didalam hati.
'A nak macan, mesti melahirkan macan pula.
Dia cucu Kyahi Basaman.
Tidak mengherankan bahw a pengetahuannya tak mengecewakan.' Akan tetapi sebenarnya pengetahuan Lingga W isnu bukan diperoleh dari rumah perguruan sang kakek.
Itulah berkat pengalamannya selama delapan tahun dibawa merantau ayah-bundanya dari tempat ketempat.
Dan selama delapan t ahun itu, entah sudah berapa ratus kali ia dibawa bertempur dan secara wajar ia faham serta mengenal baik segala tipu-tipu serangan musuh-musuh ayah bundanya.
Itulah sebabnya pula dengan yakin ia memberi kisikan kepada Aruji, bahwa tiga orang yang bersenjata rant ai serta penggada bukanlah orang-orang Madura.
Mereka bertempur belasan jurus lagi.
Tiba-tiba kawan Damayant i menjadi gelisah.
Maklumlah sekian lamanya mereka berdelapan mengeroyok seorang lawan, akan tetapi belum juga berhasil.
Bahkan t enaga pukulan orang berjubah abu-abu itu makin lama makin dahsyat.
perubahannya sukar sekali diduga.
Kadang-kadang cepat, telapak tangannya seakan-akan tak kelihatan.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebaliknya apabila bergerak lambat, mereka semua merasakan seperti tertindih sebuah batu sebesar gubuk.
Sejenak kemudian terdengarlah salah seorang berseru.
"Serang saja dengan senjata bidik!"
Dua orang laki-laki lantas keluar gelanggang.
Pada saat itu, nampak berkeredepnya berpuluh senjata bidik menghantam orang berjubah abu-abu itu.
Menghadapi serangan ini orang berjubah abu-abu itu nampaknya kewalahan juga.
Sedangkan orang yang bersenjata pedang lantas membentak .
"Mayang-seta! Kami bukan bermaksud hendak mengambil jiwamu. Mengapa engkau berkelahi mati matian? Asal saja engkau sudi menyerahkan anak perempuan yang kau bawa dua tahun lalu, bernama Sudarawerti, segera kami akan pergi. Bukankah urusan lantas saja menjadi beres?"
Mendengar orang itu menyebut nama Mayang-set a, Aruji kaget. Bisiknya perlahan .
"Oh, jadi dialah paman Mayang-set a?"
Lingga W isnu mendengar bisik Aruji.
Tetapi ia sibuk dengan pikirnya sendiri.
Itulah disebabkan orang menyerukan nama Sudarawerti.
Kalau begitu, Sudan werti masih h idup.
Sudarawerti adalah kakak perempuannya, yang dahulu masih nampak berkelahi mati-matian mempertahankan diri.
Jadi dia masih hidup! seru Lingga W isnu di dalam hati.
Pada saat itu berbagai pikiran menusuk benaknya.
Pikirnya lagi di dalam hati.
'Benar.
W aktu itu aku melihat seseorang mengenakan jubah abu-abu.
Apakah dia? Abang Aruji ini menyebut namanya dengan Mayangseta.
Agaknya dia kenal.
Apakah Mayang seta juga salah seorang anggauta Ngesti Tunggal?' Segera terdengar Mayangseta menjawab dengan suara lant ang .
"Keluarga Udayana yang kalian ubar-ubar semenjak delapan tahun yang lalu, telah mati semua. Mengapa engkau menyebut-nyebut seorang yang bernama Sudarawerti? Siapa dia?"
"Akh, jangan engkau berlagak pilon!"
Bentak orang itu.
"Bukankah perempuan yang kau bawa bernama Sudarawerti? Dialah anak satu-satunya Udayana yang masih hidup."
Mayang set a tertawa terbahak-bahak. Serunya dengan suara tetap lantang.
"Benar-benar kalian ini sudah kalap. Aku tahu, aku tahu. Kalian menghendaki jiwa anak perempuan Udayana, bukankah kalian berharap dapat mengompes mulut nya dimana tongkat mustika itu berada? Bah! Kalian yang menamakan diri orang-orang suci, sebenarnya berhati iblis!"
Mendengar orang-orang itu mengungkat ungkat nama ayahnya, dan menyebut-nyebut nama saudara perempuannya, hati Lingga W isnu jadi berduka.
Ia belum tahu pasti bagaimana kedudukan orang berjubah abuabu itu yang menyebut dirinya Mayangseta.
Akan tetapi, hatinya tiba-tiba berpihak kepadanya.
Katanya didalam hati.
'Dahulu aku melihat dia muncul didekat jembatan maut.
Menilik pembicaraan para pengeroyoknya ini, agaknya dia membawa ayunda Sudarawerti.
Kalau ayunda berada ditangannya, agaknya lebih terjamin keselamatan jiwanya.' Tanya-jawab itu tidak membuat mereka berhenti berkelahi.
Dengan tetap gesit, Mayangseta melayani mereka.
Gerakan t angannya tidak pernah ayal.
Lawannya yang bersenjata pedang itu, sengaja mengajak berbicara dengan maksud memecah perhatiannya.
Tak terduga, ilmu kepandaian Mayangseta memang sangat tinggi, kecerdasannya juga melebihi orang lain.
Kalau hanya karena t ipu-tipu semacam itu, betapa bisa menjebaknya.
Hanya saja para pengeroyoknya itu adalah jago-jago terkemuka dari berbagai aliran.
Beberapa kali ia berusaha menerjang keluar, akan tetapi masih saja gagal.
Tiba-tiba dua orang yang berada diluar gelanggang bidik berteriak kaget dengan berbareng.
"Aduh, celaka! Senjata bidik habis!"
Mendengar seruan mereka, keenam rekan lainnya lantas menelungkupkan badan serata tanah.
Dan pada detik itu, lima sinar berkeredepan menyambar diudara.
Itulah lima pisau terbang yang dengan kecepatan luar biasa membikik Mayangseta.
Kiranya seruan senjata bidik habis merupakan kata-kata sandi mereka.
Itulah sebabnya mereka lantas saja mendekam serata tanah begitu kedua temannya nenyerukan tanda sandi.
Kelima p isau terbang menyambar dengan cepatnya.
Sasarannya membidik menyambar dada Mayangset a.
Dalam keadaan biasa, asal Mayangseta membungkukkan badannya, mendoyongkan badan kebelakang, pisau-pisau itu akan dapat dihindarinya.
Akan tetapi dia harus riemperhitungkan keenam lawannya yang berada diatas tanah.
Mereka semua menyerang berbareng mengarah kaki.
Maka tak dapat ia bergerak dengan leluasa.
Hati Lingga Wisnu cemas bukan kepalang.
T iba-tiba ia melihat Mayangseta melompat tinggi diudara dan lima pisau terbang yang menyambar padanya lewat dibawah kaki.
Dengan demikian ia dapat menghindari ancaman maut.
Akan tetapi pada saat itu tongkat dan golok kedua pendeta dari Argapura menyerang dengan berbareng.
Juga pedang pendekar Sekar Ginabung sudah menikam kedua kakinya.
Dalam keadaan terapung diudara, terpaksalah Mayangseta mengeluarkan gerak tipu untung-untungan.
Telapak tangannya lantas menghantam kepala seorang pendeta Argapura dengan tepat sekali.
Kemudian t angan kanannya menyambar golok.
Setelah dapat merampas senjata itu, ia menangkis tongkat.
Dan dengan meminjam tenaga pentalan ia melesat manjauhi.
Pendeta Argapura yang kena terhantam kepalanya mati seketika itu juga.
Tentu saja kawan-kawannya yang lain berteriak penuh kegusaran.
Terus saja mereka melesat merubung dengan berbareng.
Mendadak pada saat itu nampak langkah Mayangseta tidak wajar lagi.
Ia seperti kena terkait sesuatu.
Hairpir-hampir ia terpeleset jatuh.
Karena itu ketujuh lawannya kembali dapat mengepungnya rapatrapat.
Yang paling kalap ialah pendekar dari Argapura.
Ia bertempur bagaikan kerbau edan.
Senjatanya menyamber tak hentinya sambil berteriak teriak.
"Mayangset a! Mayangseta! Engkau berani membunuh adikku. Karena itu malam ini aku hendak mengadu jiwa denganmu."
Dalam pada itu berkali-kali pendekar Sekar Ginabung berteriak .
"Kakinya kena tikaman pedangku. Kawan-kawan, pedangku ini beracun. Sekejab lagi racun itu tentu menjalar keseluruh tubuhnya. Dan dia akan mampus terjengkang."
Benar saja. Tidak lama kemudian langkah Mayangseta nampak sempoyongan. Pukulannya lantas menjadi kacau. Terdengar Aruji berteriak tertahan .
"Celaka! Paman Mayangseta adalah tokoh penting dalam Ngesti Tunggal. Bagaimana aku dapat menolongnya?"
Lingga W isnu tahu, bahwa Aruji berhati mulia.
Meskipun dirinya sendiri terluka parah, namun nampaknya ia hendak menerjang keluar untuk menolong Mayangseta.
Apabila hal ini sampai terjadi, kecuali jiwanya sendiri bakal melayang guna faedahnyapun tak ada.
Tiba-tiba pikiran bocah ini tergerak.
Katanya cepat .
"Abang! Engkau hendak menolong paman Mayangseta?"
"Benar. Dia harus ditolong. Lihatlah. Dia kena pedang beracun. Sebentar lagi dia bakal .. akh aku ... sendiri, rasanya t idak mampu menggerakkan tanganku."
"Legakan hatimu. Aku mempunyai akal....."
Ujar Lingga W isnu.
"Begini, maukah engkau kuajar salah satu ilmu ajaran aliran kami? Ilmu itu kuperoleh dahulu dari eyang. Gunanya untuk memulihkan tenaga yang hilang karena luka. Tenagamu akan menjadi berlipat ganda. Akan tetapi setelah itu keadaan tubuhmu akan menjadi rusak. Itulah sebabnya eyang melarang jangan sekali-kali menggunakan ilmu tersebut. Bagaimana? Kau mau menggunakan ilmu itu atau tidak?"
Tadi Aruji mengagumi kepandaian Lingga karena dapat mengenal berbagai tipu muslihat dalam suatu pertempuran cepat.
Ia percaya, bahwa semuanya itu berkat ilmu warisan Kyahi Basaman.
Sekarang iapun yakin, bahwa ilmu ke pandaian yang dikatakan itu pastilah bukan ilmu isapan jempol belaka.
Lingga W isnu menerangkan, bahwa setelah menggunakan ilmu tersebut badannya akan menjadi rusak.
Pikirnya, tak apalah demi menolong jiwa paman Mayangseta.
Bukankah paman Mayangseta jauh lebih berharga daripada aku? Memperoleh pikiran demikian, dengan girang ia menyahut .
"Akh, adikku yang baik. Katakanlah dengan cepat. Menolong orang paling perlu. Sekalipun badan sendiri bakal rusak.
"
"Kalau begitu carilah sepotong batu yang berujung tajam!"
Kata Lingga W isnu. Segera Aruji meraba-raba tanah dan memungut sebuah batu sekenanya saja.
"Coba pegang. Apakah batu ini cukup?"
Tanyanya. Lingga W isnu meraba-raba bentuk batu itu. Kemudian menyahut .
"Dapat. Nah, sekarang kau tutuklah kedua pinggangmu sendiri dengan ujung batu itu. Letak nya diatas kedua paha."
"Apakah disini?"
Tanpa berpikir lagi Aruji mint a keterangan sambil menunjuk paha bagian atas.
"T urun lagi sedikit,"
Ujar Lingga W isnu.
"Nah, disitulah. Kekiri sedikit! Bagus. Nah, sekarang tutuklah. Satu, dua, tiga. Yang keras!"
Aruji bukanlah seorang bodoh.
Dia sudah berumur duapuluh tahun.
Selama itu entah sudah berapa kali ia memperoleh pengalaman dalam satu pertempuran.
Sedikit banyak ia tahu juga ilmu urat.
Didalam hati ia menyangsikan kata-kata Lingga W isnu.
Seseorang yang kena tutuk urat nadi diatas pahanya, akan bisa melumpuhkan kedua kakinya.
Akan t etapi terlalu percaya kepada Lingga W isnu.
Pikirnya waktu itu.
Ilmu sakti Kyahi Basaman tidak dapat dipersamakan dengan ilmu sakti lainnya.
Pastilah ilmu menutuk urat di atas paha ini merupakan salah satu ilmu simpanan aliran Aristi yang hebat.
Dan tanpa ragu lagi ia lantas menghantam urat diatas pahanya sendiri dengan sekuat tenaga.
Duk! Tetapi ia kaget bukan kepalang.
Begitu pahanya terhantam batu, seketika itu juga kedua kakinya lantas lumpuh.
Tepat pada saat itu ia melihat Mayangseta melompat sepuluh langkah jauhnya, akan tetapi segera terbanting roboh ke atas tanah.
Keruan saja hati Aruji gugup bukan kepalang.
Segera ia bermaksud hendak menerjang memberi pertolongan, akan tetapi kedua kakinya tak dapat berkutik.
Bertanya dengan cemas kepada Lingga W isnu .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai! Kenapa jadi begini?"
Diam-diam Lingga W isnu tertawa geli didalam hati. Pikirnya. 'A ku telah menipumu, abang! Tentu saja kau tak dapat bergerak, karena urat nadimu kini tergeser dari tempatnya.' Akan tetapi ia berpura-pura kaget dan heran. Menyahut tak jelas .
"Hai! Mungkin sekali engkau salah menutuk-nya. Tenaga yang kau gunakan kurang tepat. Baiklah jangan kuatir, tunggu saja barang setengah jam, pastilah engkau bisa berjalan kembali."
Tentu saja Aruji mendongkol bukan main.
Ia kena diakali dan ditipu bocah cilik dengan mata membelalak.
Tetapi ia tahu akan maksud baik Lingga W isnu.
Dalam khawatir dan gugup, terbint ik rasa geli juga.
Dalam pada itu Mayangseta menggelet ak di atas tanah.
Racun yang berada dalam tubuhnya mulai bekerja.
Kemudian ia tak bergerak.
Tetapi ketujuh lawannya belum juga berani mendekati.
"Saudara Habib, jangan maju dulu! Biar rekan Mukmin menikamnya dari jauh."
Kata pendekar Sekar Ginabung yang menggenggam pedang panjang.
Orang yang disebut Mukmin lantas mengayunkan tangannya.
Dan pundak kiri serta paha kanan Mayang set a tertancap dua pisau tajam.
Kena tikaman pisau itu tubuh Mayangseta tidak bergerak.
Itulah suatu tanda bahw a ia sudah mati kena racun.
"Sayang, sayang. Dia terlanjur mati."
Pendekar Sekar Ginabung mengeluh.
"Sekarang kita tidak t ahu dimana ia sembunyikan Sudarawerti. Eh, nanti dulu. Biasanya ia selalu d isertai bidalnya yang bernama Kumambang. Hayolah k ita cari orang itu. Pasti dia berada t ak jauh dari sin i."
Akan tetapi kawan-kawannya menghampiri mayat Mayangseta.
Ia merasa tertarik pula dan ikut menghampiri.
Baik Lingga W isnu maupun Aruji, sedih menyaksikan kematian Mayangseta.
Mendadak saja terdengarlah suara barang jatuh lima kali.
Dan pada saat itu lima orang yang merubung mayat Mayangseta terpental dan terbanting keatas t anah.
Setelah itu dengan gagah perkasa Mayang set a bangkit berdiri dengan pundak dan paha masih tertancap dua pisau tajam.
Kiranya, kakinya tadi memang kena tikaman pedang beracun.
Ia sadar bahw a tenaganya tidak akan dapat merpertahankan diri.
Maka ia pura-pura mati untuk memancing ketujuh lawannya.
Begitu mereka mendekat, ia lantas melontarkan pukulan sakti yang dipergunakan apabila menghadapi lawan banyak.
Dahsyatnya t ak dapat diperkirakan.
Maka tak mengherankan lawan-lawannya lantas saja roboh dengan memuntahkan darah.
Hanya dua orang saja yang ketinggalan.
Itulah Damayant i dan kawannya.
Kawan Damayant i bernama Linggarsih.
Dialah kakak tiri Damayant i.
Dalam kagetnya, mereka berdua melompat mundur.
Tatkala menoleh, mereka melihat kelima kawannya menyemburkan darah segar.
Malahan dua diant ara mereka yang berkepandaian agak rendah roboh menggeletak di tanah.
Sebaliknya, karena mengeluarkan tenaga yang berlebihan, Mayangseta nampak terhuyung.
Berdirinya agak tegak lagi.
"Nona Damayant i dan Nona Linggarsih! Tikam saja dengan pedang kalian!"
Seru pendekar Sekar Ginabung yang menderita luka parah.
Sembilan orang yang bergebrak itu, yang satu mati, ialah seorang pendekar dari Argapura.
Kini Mayang set a dan kelima musuhnya juga terluka parah dengan berbareng.
Hanya tinggal Damayanti dan Linggarsih yang masih segar bukar.
Mendengar seruan pendekar Sekar Ginabung, di dalam hati Linggarsih berkata .
'Masakan aku sendiri tak bisa membunuhnya.
Apakah aku harus menunggu perint ahmu? Iddih! Lagakmu ...!' Pedangnya lantas bergerak hendak memotong betis Mayangseta.
Pada saat itu Mayangseta tak bisa berkutik lagi.
Melihat berkelebatnya pedang, ia hanya dapat menghela napas panjang.
Di dalam hati ia berkata .
'Karena kalian berdua adalah wanita, maka aku tidak sampai hati memukul dada kalian.
Itulah sebabnya kalian berdua selamat tak kurang suatu apa.
Eh, sama sekali tak kuduga bahwa kebajikan in i justru mengakibatkan malapetaka sendiri.' Dengan kata hati itu, ia memejamkan mata menunggu nasibnya.
Mendadak saja ia terkejut berbareng heran, tatkala mendengar suara nyaring beradunya dua senjata.
Segera ia menjenakkan matanya.
Masih sempat ia menyaksikan pedang Damayant i menangkis pedang Linggarsih.
"Adik, kenapa?"
"Ayunda, Mayangseta tidak menghendaki kita berdua mati. Bahkan ia t ak mau melukai k ita. Karena itu kitapun jangan keterlaluan."
Sahut Damayanti.
"Aku tidak akan membunuhnya. Aku hanya mau menahannya disin i, agar ia menerangkan dimana Sudarawerti kini berada."
Kata Linggarsih dengan suara tajam.
"Ia terkena tikaman senjata berbisa. Lukanya sudah cukup berat. Lebih baik kita mengobati dulu. Dengan demikian kita bisa mendapat keterangan lebih leluasa lagi."
Damayant i memberi saran. Setelah berkata demikian, ia menghampiri pendekar Sekar Ginabung. Berkata kepadanya.
"Kakang Lemah Ijo, dia kena tikaman pedang beracunmu. Berilah dia obat pemunahnya. Dengan demikian aku bisa mengharapkan keterangannya lebih leluasa."
Memang pendekar berpedang panjang itu, sesungguhnya Lemah Ijo.
Dia termasuk tokoh aliran Sekar Ginabung.
Dahulu dengan dua rekannya, Sadat Satir dan Ruji P inentang, ikut mengejar-ngejar Udayana sekeluarga sampai dilereng Gunung Lawu.
Keruan saja Lingga W isnu kaget mendengar Damayant i menyebut namanya.
Badannya tiba-tiba menggigil, karena diamuk rasa dendam.
Akan tetapi ia tak dapat berbuat sesuatu.
Kecuali badannya tidak dapat bergerak, andaikata dalam keadaan segar bugarpun, belum bisa berbuat sesuatu apa untuk membalaskan dendam ayah bunda dan sekalian saudaranya.
Tatkala itu ia mendengar Lemah Ijo berkata menyahut.
"Ringkus dia dahulu agar tidak b isa melarikan diri. Orang-orang Ngesti Tunggal banyak tipu muslihatnya. Kita harus berjaga-jaga t erhadap manusia-manusia iblis."
Lemah Ijo berkata dengan napas tersengal-sengal.
Setelah sengal.
Setelah berkata demikian, ia menyemburkan darah segar lagi dari rongga dadanya.
Pukulan Esmugunting Mayangseta benar-benar melukai dadanya cukup berat.
Damayant i merenung sejenak menimbang perkataan Lemah Ijo.
Kemudian menunduk.
Setelah melepaskan ikat pinggangnya, ia menghampiri Mayangseta dan berkata dengan lemah lembut .
"Paman Mayangseta! Maaf, t erpaksa aku mengikatmu sebentar."
Kedua kaki Mayangseta terasa pegal luar biasa.
Ia tahu, apabila tidak segera mendapat obat pemunahnya, sebentar iagi t entulah jiwanya melayang.
Pada saat itu ia berpikir.
'Dari pada kena tabasan pedang Linggarsih, lebih baik kena ringkus Damayant i.
Kalau mau, ia b isa membunuh Damayant i dengan sekali pukul.
Akan tetapi disana masih berdiri seorang yang segar bugar.
Ia adalah Linggarsih yang tadi hendak menabas kedua kakinya.
Maka apabila ia membunuh Damayant i maka pendekar wanita itupun bakal menabas kakinya juga.
Terpaksalah sekarang ia membiarkan dirinya kena ringkus Damayant i dengan tersenyum getir.
Melihat Mayangseta sudah kena ringkus, barulah Lemah Ijo mengeluarkan obat pemanahnya.
Dengan napas tersengal-sengal ia memberi tahu Damayant i, bagaimana menggunakan obat tersebut.
Mula-mula Damayant i harus mencabut kedua pisau yang menancap pada punggung dan paha Mayangseta.
Setelah itu barulah ia membubuhi obat pemunah.
Linggarsih yang selama itu mengawaskan gerak gerik adiknya, segera berseru kepada Mayang seta.
"Mayangset a, lihatlah. Hati adikku penuh cinta kasih. Itulah sebabnya kini jiwamu tertolong. Maka bukankah sudah pada tempatnya apabila engkau membalas budi dengan menerangkan dimana engkau sembunyikan Sudarawerti?"
Sebagai jawaban, Mayangseta tertawa. Sahutnya .
"Linggarsih! Kau benar-benar terlalu me mandang rendah padaku. Aku Mayangseta meski terkenal sebagai anggauta aliran iblis, tetapi aku tidaklah serendah sangkamu. Lihatlah, pendekar Udayana, murid kelima Kyahi Basaman. Dengan rela ia mengorbankan anak isterinya karena ia tidak mau dipaksa orang-orang seperti dirimu untuk memberikan keterangan dimana tongkat mustika berada. W alaupun aku tidak bisa menyamai sifat kesatria Udayana, akan tetapi ingin aku mencontohnya."
Kata-kata Mayangseta membuat darah Lingga W isnu bergolak hebat.
Seketika itu juga rasa simpati kepada Mayangseta menjadi bertambah.
Setelah delapan tahun ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa ayahnya dikejar orang dari berbagai aliran.
Dan set iap pengejarnya selalu memaki-maki.
Sekarang ia mendengar seorang bernama Mayangseta memuji dan mengagumi ayahnya.
Keruan saja ia menjadi t erharu.
Pada saat itu terdengarlah Linggarsih berkata dengan nada mengejek .
"Hmm Udayana! Apakah ada harganya untuk dibicarakan? Apalagi untuk ditiru. Cih. Ia mati akibat kebodohannya!"
"Ayunda!"
Potong Damayanti.
"Jangan khawatir adikku,"
Kata Linggarsih dengan mengulum senyum.
"Aku tidak akan merembet Panjalu dan sekalian saudara seperguruannya". Setelah berkata demikian, pedangnya menuding mata kanan Mayangseta. Mengancam.
"Hei iblis! Jika engkau tidak sudi mengaku, pada saat ini juga kedua matamu akan kubut akan. Mula-mula akan kutembus mata kananmu. Kemudian mata kirimu. Setelah itu telingamu akan kupangkas. Mula-mula dari telinga kanan kemudian telinga kiri. Lalu aku akan memotong hidungmu. Pendek kata aku akan membuat dirimu seperti iblis benar-benar."
Ujung pedang Linggarsih kini sudah berada satu senti didepan mata kanan Mayangseta. Akan tetapi Mayangseta sama sekali tidak nampak gentar. Kedua matanya bahkan dipantangnya lebar-lebar tanpa berkedip sekejappun. Sahutnya dengan suara t awar .
"Sudah lama aku mendengar sepak terjang Prangwedani yang berhati kejam dan bertangan gapah. Engkau adalah salah seorang muridnya. Sudah tentu engkau serupa benar dengan dia. Pada malam in i aku Mayangseta jatuh ditanganmu. Nah coba tunjukkanlah kebesaranmu. Hayo butakan mataku. Tidak akan aku berkedip sedikitpun."
"Bangsat gundul!"
Maki Linggarsih dengan suara bengis.
"Engkau berani mengolok-olok nama ayahku?"
Setelah berkata demikian, pedangnya didorong dan seketika itu juga mata kanan Mayangseta buta.
Setelah matanya tertusuk ujung pedang, mata kirinya segera terancam pula.
Akan tetapi lagi-lagi Mayangseta tertawa bergelak.
Mata kirinya d ibelalakkannya lebar-lebar, memelototi Linggarsih, sehingga gadis itu bergidik bulu kuduknya.
Untuk mengatasi rasa ngeri, Linggarsih berkata membentak .
"Engkau toh bukan pengikut Said. Bukan pula budak Mangkubumi. Atau menantu Kyahi Basaman. Apa sebab engkau melindungi Sudarawerti sampai engkau rela mengorbankan jiwamu?"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku adalah seorang laki-laki,"
Sahut Mayangseta.
"Perbuatan seorang laki-laki sejati, sekalipun aku terangkan kepadamu, engkau tidak bisa memahami. Karena engkau seorang wanita."
Bukan main gagahnya jawaban Mayangseta sehingga membuat gadis itu mendongkol.
Betapa tidak, Mayangseta sudah tiada berdaya lagi.
Mata kirinya sudah buta pula.
Sekalipun demikian mu lut nya masih tajam, sehingga masih mampu menghina dan merendahkan dirinya.
Maka dengan kalap ia menusukkan ujung pedangnya mengarah mata kiri Mayangset a.
Syukurlah pada saat itu Damayant i menangkis ujung pedangnya, sambil berkata .
"Ayunda, pendekar Ngesti Tunggal in i memang berkepala batu. Andaikata kau bunuhpun tidak ada gunanya."
"Ia memaki ayahku, berhati keji dan bertangan gapah. Karena itu biarlah aku tunjukkan kekejaman dan kegapahan tanganku."
Sahut Linggarsih dengan suara berkobar-kobar.
"Manusia siluman aliran iblis ini, kalau dibiarkan hidup akan merusak peradaban manusia saja. Kalau aku bisa membunuhnya, artinya aku bisa sekedar memberi sedekah kepada angkatan mendatang."
"Tetapi ayunda, meskipun ia anggauta aliran sesat, akan tetapi nyatanya dia seorang laki-laki sejati. Menurut pendapatku, ampunilah jiwanya!"
Bujuk Damayant i.
"Tetapi rekan kita dari Argapura yang berada disini mati seorang. Dan lainnya menderita luka parah. Lihatlah, paman Lemah Ijo, paman Caraka, paman Mukmin dan paman Gobyok! Mereka semua menderita luka berat. Masakan dengan membutakan kedua matanya, aku berlaku keji terhadapnya?"
Teriak Linggarsih dengan suara keras.
"Karena itu biarlah aku membutakan mata kirinya lalu kita memaksa untuk mengaku dimana dia sembunyikan Sudarawerti."
Setelah berkata demikian secepat kilat pedangnya kembali menusuk mengarah mata kiri Mayangseta. Namun dengan cepat pula Damayanti menangkis tikaman pedangnya. Katanya membujuk.
"Ayunda, orang ini sudah tak berdaya lagi. Menganiaya secara demikian kalau tersiar dalam masyarakat, nama aliran Parwati akan tercemar."
Linggarsih gusar bukan kepalang, karena kehendaknya selalu dirint angi adiknya. Dengan sepasang alis berdiri tegak ia membentak .
"Minggir! Kau minggir atau tidak? Jangan perdulikan diriku ! "
"Ayunda, kau ..."
"Apa?"
Potong Linggarsih dengan cepat.
"Engkau memanggilku ayunda? Bagus, kalau engkau memanggilku dengan ayunda, maka engkau harus patuh kepada perkataanku. Nah, minggirlah!"
"Y a, ayunda,"
Sahut Damayant i dengan suara merendah.
Pedang Linggarsih bergerak lagi mengarah kemata kiri Mayangseta.
Akan tetapi lagi-lagi Damayanti menangkisnya.
Karena melihat t ikaman Linggarsih kali ini sangat ganas dan berbahaya, maka Damayant i menangkisnya dengan sungguh-sungguh pula.
Ia menggunakan tenaga tujuh bagian.
Pada saat itu terdengarlah suara gemerincing.
Api meletik dari perbenturan itu.
Dan keduanya tergetar mundur dua langkah.
Keruan saja Linggarsih gusar bukan kepalang.
Bentaknya dengan sengit .
"Damayanti. Kenapa berulangkali engkau melindungi jiwa pendekar iblis ini? Apakah maksudmu sesungguhnya?"
"Aku tidak mempunyai suatu tujuan, aku hanya berharap agar engkau tidak menyiksanya dengan cara demikian."
Sahut Damayant i.
"Bukankah kita mengejarnya semata-mata hendak memperoleh keterangan dimana beradanya Sudarawerti? Nah,kita tanyakan kepadanya dengan perlahan lahan dan sabar."
"Hem, apa kau kira aku tiada tahu apa yang terkandung didalam pikiranmu?"
Tiba-tiba Linggarsih mengalihkan pembicaraan secara tak lang sung.
"Cobalah engkau bertanya kepada dirimu sendiri. Seringkali engkau berhubungan dengan murid-murid Kyahi Basaman yang bernama Raden mas Panjalu. Bukankah sudah terang latar belakangnya? Apa sebab setiap kali ayah mendesak agar engkau mengejar laskar Mangkubumi selalu engkau mengingkari?"
"Ayunda! Ini adalah urusan adikmu sendiri, dalam hal ini tiada sangkut pautnya dengan persoalan yang sedang kita hadapi. Kenapa kau mencampurkan?"
Kata Damayant i.
"Eh, mari kita bicara dengan t erus terang saja,"
Sahut Linggarsih dengan cepat.
"Dihadapan banyak orang ini, kitapun t idak perlu mencakar borok kita masing-masing. Tetapi perlu kukatakan kepadamu, meskipun engkau berada di tengah-tengah kami, tetapi hatimu berada pula pada gerakan Mangkubumi. Benar atau tidak?"
Seperti diketahui, Prangwedani mengabdikan diri pada Paku Buwana II.
Dialah pendekar andalan Patih Pringgalaya, yang bermusuhan dengan Pangeran Mangkubumi.
Prangwedani adalah pewaris aliran Parwati.
Meskipun dengan Kyahi Basaman satu aliran, akan tetapi nyatanya masing-masing pihak saling bermusuhan dengan tidak terang-terangan.
Hal itu disebabkan Kyahi Basaman berpihak pada Pangeran Mangkubumi.
Sedang Prangwedani sebagai abdi Paku Buwana II, secara wajar berpihak kasununan.
Demikianlah karena diejek t erang-terangan dihadapan para pendekar berbagai aliran itu, wajah Damayant i menjadi pucat.
Katanya sulit .
"Biasanya, biasanya aku menghormatimu sebagai kakak. Kurasa belum pernah aku menyalahi kepadamu. Kenapa engkau sekarang menghinaku dengan cara begini?"
Linggarsih mendengar suara Damayanti agak gemetar. Ia lantas berkata dengan suara gagah.
"Baiklah. Aku tidak mengusut hal ini berkepanjangan. Sekarang aku minta bukti dirimu. Kau tahu, bukan. Bahwa aliran Ngesti Tunggal membantu perjuangan Mangkubumi. Jika engkau benar-benar berada dipihak kami, nah tolonglah, wakili diriku menusuk mata kiri pendekar iblis itu!"
"Ayunda,"
Kata Damayant i dengan suara tegas.
"Aku belajar ilmu pedang bukan untuk membunuh orang yang tidak berdaya atau menyiksa yang lemah. Karena itu aku menolak permint aanmu."
Mendengar jawaban Damayant i, Linggarsih tertawa tinggi. Katanya dengan mencemoh .
"Bagus. Didengar sepintas lalu kata-kata bernilai besar yang pantas diucapkan seorang pendekar yang bernama kosong melompong. Maka dengan sangat menyesal aku membeberkan rahasia hatimu sepatah kata demi sepatah kata didepan para orang-orang gagah yang berada disin i."
Rupanya tuduhan Linggarsih kepada Damayanti mengandung kebenaran. Pada waktu itu Damayanti seperti terdorong kepojok. Ia nampak tak berani melawan dengan keras. Ia menjawab halus .
"Ayunda, hendaklah kau ingat, bahwa aku dan engkau kecuali satu perguruan, juga sesama saudara. Janganlah engkau terlalu mendesakku."
"Sebenarnya bukan aku yang mendesakmu. Tetapi engkau sendiri yang mint a kudesak,"
Ujar Linggarsih dengan tertawa menang.
"Ayah berbareng gurumu memberi perint ah kepada kita berdua agar mencari jejak Sudarawerti, anak Udayana yang kena terbawa lari oleh iblis itu. Sekarang iblis yang berada didepan matamu itu sudah tidak berdaya, tinggal kita mendengar pengakuannya. Akan tetapi mengapa engkau melindungi? Lihatlah dengan matamu yang terang! Lima orang rekan kita kena dilukai dengan berat. Entah jiwanya tertolong atau tidak. Kalau aku hanya membutakan kedua matanya, bukankah aku sudah berlaku murah terhadapnya?"
"Tetapi ingat, ayunda! Bukankah dia tadi menyelamatkan jiwa kita berdua? Andaikata dia tadi melepaskan pukulannya terhadap kita berdua pastilah jiwa kita sudah melayang semenjak tadi."
Damayant i memperingatkan.
"Hemm ..."
Dengus Linggarsih.
"Sering sekali ayah memuji ilmu pedangmu yang hebat, keji dan gapah. W atakmu dipujinya jujur pula, karena berani terus terang menghadapi segala hal, karena itu ayah bermaksud hendak mengangkat kau sebagai ahliwarisnya. Kenapa sekarang engkau berhati selemah cacing begini?"
Semenjak tadi semua orang yang berada di situ tertegun menyaksikan pertengkaran mereka yang tak keruan.
Mereka mencoba menebak-nebak.
Apakah latar belakang sesungguhnya? Setelah Linggarsih menyinggung sikap Prangwedani terhadap Damayant i, barulah mereka dapat menduga duga sebagian.
Agaknya Linggarsih dengki dan irihati terhadap Damayant i karena oleh Prangwedani dicalonkan sebagai ahliwaris.
Sebagai seorang ahliwaris Prangw edani dikemudian hari Damayant i tidak hanya akan memiliki ilmu kepandaian dan kedudukannya, tapipun harta benda yang tak terhitung jumlahnya.
Prangwedani adalah tangan kanan Paku Buwana II disamping Patih Pringgalaya.
Kata-katanya seperti undang-undang negara.
Oleh perhitungan ini sekarang Linggarsih bermaksud menggeser kedudukan Damayant i dengan membuka boroknya didepan para pendekar yang berpihak pada Paku Buwana II.
Dengan demikian kecuali mencoreng muka Damayant i didepan rekan-rekan seperjuangannya, juga untuk mengangkat diri sebagai seorang pejuang yang bersih dan dahsyat.
Pembawaan jiwa Lingga W isnu meletakkan nilai budi diatas segala-galanya.
Ia mempunyai kesan baik terhadap Damayant i t atkala berada di rumah perguruan.
Itulah sebabnya menyaksikan betapa gadis itu kena didesak oleh Linggarsih, hatinya ikut menjadi panas.
Ingin sekali ia melompat dan menghantam kepala Linggarsih sepuas-puasnya.
"Damayanti, tiga tahun yang lalu tatkala ayah mengumpulkan semua murid-muridnya, untuk merundingkan siasat memotong perjalanan mundur Pangeran Mangkubumi dari daerah Sukawati, kau tidak menampakkan batang hidungmu. Dimana kau waktu itu berada?"
Kata Linggarsih dengan suara ditekan.
"W aktu itu aku lagi sakit disuatu tempat, sehingga tidak dapat hadir."
Jawab Damayanti dengan suara agak merasa t akut.
"Hmm,"
Dengus Linggarsih dengan mulut mengulum ejekan.
"Ayah memang sangat sayang kepadamu. Sehingga alasanmu tidak direntangnya panjang. Akan tetapi aku mempunyai pendapat lain. Baiklah aku akan membatasi diri t idak mengajukan sebuah pertanyaan lagi kepadamu. Tetapi asal saja engkau sekarang membutakan mata kiri pendeta iblis itu ! "
Damayant i menundukkan kepalanya. Tampaklah ia berada dalam keadaan serba susah. Akhirnya dengan suara perlahan ia berkata .
"Ayunda, benar-benarkan engkau memaksa diriku, untuk melakukan pekerjaan hina ini?"
"Engkau mau menusuk atau t idak?"
Bentak Linggarsih dengan suara kaku.
"Sudahlah begini saja,"
Ujar Damayant i dengan suara mengalah.
"Aku berjanji dan bersumpah kepadamu, meskipun ayah hendak mengangkatku sebagai ahliwarisnya, aku t idak akan menerimanya."
"Apa kau bilang? Apa kau bilang? Bagus sekali!"
Berteriak Linggarsih dengan muka merah padam. Ia nampak makin mendongkol dan gusar bukan main. Meneruskan dengan kata-kata sengit .
"Jadi engkau mengira aku beririhati kepadamu? Heh! Apanya yang kuirikan? Apakah karena engkau diangkat menjadi ahliwaris ayah? Sekalipun aku ini bukan anak kandungnya, akan tetapi bila aku mau dengan sepatah kataku akan bisa menggugurkan kedudukanmu. Hayo, kau mau mencukil mata kiri iblis itu atau tidak?"
Damayant i nampaknya tidak sudi melayani lagi. Ia memutar tubuhnya dengan sekonyong konyong. Terus melarikan diri. Akan tetapi Linggarsih sudah menduga demikian. Cepat ia mencegat dengan pedang dilantangkan didepan dadanya. Katanya pula .
"Aku tadi sudah bilang. Lebih baik k au t usuk mata kiri iblis itu! Kalau engkau menolak, pastilah rahasiamu akan kubeber dengan terus-terang didepan para pendekar gagah ini. Baiklah. Karena engkau terus menerus membangkang, maka terpaksalah aku bertanya kepadamu. Sudah beberapa kali engkau selalu meninggalkan kota dan masuk kedaerah pedalaman. Ternyata engkau mengadakan pertemuan rahasia dengan seorang pemuda gagah-manis dan ganteng. Dan pemuda itu bernama Pramusint a. Bukankah begitu? Semua orang tahu siapakah Pramusint a itu. Dialah budak dalam Mangkubumi. Akh, rupanya selain engkau berhubungan dengan antek-antek Mangkubumi, engkaupun mengadakan hubungan istimewa yang mesra sekali. Bukankah demikian nona manis? Uah, sedap sekali ..."
Mendengar kata-kata Linggarsih, tak dapat lagi Damayant i menyabarkan diri. Terus saja ia mengibaskan pedangnya sambil membentak .
"Minggir!"
Akan tetapi Linggarsih tak mengacuhkan. Dengan ujung pedang menuding kedadanya, ia membentak lagi .
"Damayanti, akh sayang. Semua orang mengira bahwa Damayant i seorang puteri yang suci dan bersih. Tak tahunya setelah berhubungan dengan salah seorang penghianat pengikut Mangkubumi, tiba-tiba mengandung dan melahirkan hubungan diluar perkawinan. Sayang sekali!"
Ucapan Linggarsih itu bagaikan bumi t er-goncang oleh suatu gempa.
Tidak hanya Damayant i saja yang t erkejut, tetapi semua orang yang mendengar tercekat hatinya.
Benarkah tuduhan linggarsih yang keji itu? 0odwo0 Usia Lingga W isnu belum duabelas tahun penuh.
Delapan atau sepuluh tahun ia berada di Jawa Barat.
Tidak mengherankan, ia asing dalam persoalan negara.
Tetapi andaikata d iapun berada di Jawa Tengah, belum tentu dapat mengikuti apa yang terjadi didalam pemerint ahan Susuhunan.
Tegasnya, sama sekali ia but a terhadap pertentangan antara Paku Buwana II dan Patih Pringgalaya d isatu pihak, dengan Pangeran Mangkubumi.
Kala itu belum dapat ia menerima tuduhan Linggarsih terhadap Damayant i yang menyatakan bahwa gadis itu seorang penghianat.
Seumpama Damayant i benar-benar seorang penghianat, iapun belum dapat mengadili bahwa perbuatannya itu suatu kesalahan besar.
Sebaliknya yang terasa didalam hati ialah t uduhan Linggarsih yang kedua, yaitu bahwa Damayant i pernah melahirkan seorang bayi diluar perkawinan.
Ia ikut tersakit hati karena Damayanti berkesan baik terhadapnya.
Meskipun belum pernah berbicara dengan Damayant i sepatah katapun juga, akan tetapi tatkala gadis itu naik ke atas gunung Lawu, ia bersikap lunak.
Lingga W isnu selalu menjungjung tinggi nilai budipakerti diatas segala-galanya.
Hal itu disebabkan pengalaman hidupnya.
Selama delapan tahun, terusmenerus ia dikejar bahaya.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Didalam keadaan terjepit, serinokali ia memanjatkan doa kepada Tuhan agar menurunkan pertolongan.
Maka apabila dalam keadaan demikian ia memperoleh pertolongan dari seseorang, ia sangat berterima kasih sampai ke dasar hatinya.
Sementara itu pikirnya didalam hati .
"Benarkah Damayant i berhubungan dengan seorang laki-laki diluar perkawinan dan kemudian sampai melahirkan anak?"
Sudah barang tentu seorang bocah berusia belasan tahun belum mengenal masalah penghidupan laki-laki dan perempuan.
Ia hanya bisa me rasakan secara naluriah belaka, bahw a kejadian demikian itu sangat tercela.
Akan tetapi apabila mengingat kesan baiknya terhadap Damayant i, ia membantah segala tuduhan Linggarsih didalam hati.
Karena tak dapat mengambil suatu sikap, ia jadi bingung sendiri.
Akan tetapi sesungguhnya yang menjadi bingung dan heran tidak hanya Lingga W isnu seorang.
Bahkan Mayangseta yang sudah kenyang makan garam, Aruji dan yang lain demikian pula.
Tatkala itu wajah Damayant i nampak pucat.
Dengan membungkam mulut ia menerjang kedepan dengan maksud hendak meninggalkan persoalan.
Sama sekali t ak terduga bahwa ancaman Linggarsih bukan merupakan gertakan belaka.
Dengan sungguh-sungguh ia menggerakkan pedangnya menikam lengan kanan Damayant i.
Cret! Hebat tikaman itu, sampai menembus ketulang.
Kena tikaman tak terduga itu, Damayant i kehilangan kesabarannya.
Tangan kirinya segera meloloskan pedang.
Katanya mengancam .
"Ayunda! Jika terlalu mendesak, jangan persalahkan aku sampai berani melawanmu!"
Semenjak tadi Linggarsih sadar akan perbuatannya.
Ia sudah terlanjur membuka rahasia adiknya d idepan umum.
Dan seseorang yang telah kena bongkar rahasianya didepan umum pastilah akan membunuh sipenuduh untuk menghilangkan saksi.
Tentu saja pakerti demikian itu diukur dengan cara berpikirnya sendiri.
Ia tahu, ilmu kepandaian Damayant i berada diatasnya.
Itulah sebabnya selagi Damayant i tidak berjaga-jaga, ia menikam lengan kanannya.
Setelah berhasil melukai lengan Damayant i, ia menikam lagi ampat kali berturutturut dengan tertawa menang.
Memang, ilmu kepandaian Damayanti menang set ingkat dengan Linggarsih.
Akan tetapi lengan kanannya telah tertikam.
Maka terpaksa ia membela diri dengan tangan kirinya.
Menghadapi serangan Linggarsih yang kejam itu, hati Damayanti tercekat.
Dengan memusatkan seluruh kepandaiannya segera ia memper tahankan diri dan menyerang.
Lantas terjadi dengan cepat sekali, dalam, sekejab mata saja telah berlangsung dua puluh jurus lebih.
Mereka yang menonton, kecuali Lingga W isnu adalah pendekar-pendekar terkemuka.
Diam-diam mereka kagum menyaksikan ilmu pedang Damayant i dan Linggarsih.
Pikir mereka dengan berbareng .
'A kh, benar-benar aliran Parwati bukan nama kosong belaka.
Pantaslah ilmu pedangnya merupakan mercu suar unt uk Jawa Tengah.' Sebagai pendekar-pendekar terkemuka, sudah barang tentu mereka tahu belaka, bahaya yang saling mengancam mereka berdua.
Akan tetapi mereka semua terluka parah sehingga t ak dapat berdaya untuk melerai.
Juga merekapun tak dapat membantu salah seorangnya.
Dan terpaksalah me reka hanya menyaksikan belaka dengan mata terbelalak.
Kedua saudara seperguruan itu mengenal akan kepandaian masing-masing.
Pada saat menyerang dan bertahan mereka bergerak sangat cepat dan gesit.
Maka tak mengherankan pertarungan mereka makin lama makin menjadi seru.
Sayang, lengan kanan Damayanti terluka dan mengalir darah terus.
Makin ia menggerakkan pedangnya, darah makin mengucur deras.
Sadar akan kelemahannya itu, ia bermaksud mendesak Linggarsih ke pinggir.
Setelah itu ia bermaksud meninggalkan gelanggang secepat mungkin.
Akan t etapi karena ia terpaksa menggunakan lengan kirinya, apalagi sudah terluka, kemampuannya menggerakkan pedang tinggal sebagian saja.
Bahwasanya sudah sekian jurus lamanya masih belum tertikam lagi, adalah karena Linggar-sih masih segan terhadapnya.
Tak berani ia terlalu mendesak, karena takut adiknya itu masih mempunyai simpanan tipu muslihat yang belum diketahuinya.
Dalam usahanya untuk memenangkan pertarungan itu, ia melibat Damayant i terus-menerus agar menjadi letih karena darahnya terus keluar dengan sangat derasnya.
Apabila Damayant i kehilangan darah terlalu banyak, pasti ia akan roboh dengan sendirinya.
Perhitungan itu memang benar belaka.
Beberapa saat kemudian langkah kaki Damayant i kelihatan tak tetap lagi.
Gerakan pedangnya mulai kacau.
Teranglah sudah bahw a ia tak tahan lagi.
Menyaksikan hal itu Linggarsih girang bukan kepalang.
Dengan penuh semangat ia melancarkan serangan-serangan berangkai.
Yang dibidik adalah lengan kanan Damayant i yang berlumuran darah.
Karuan saja Damayanti sangat sukar mempertahankan diri.
"Nona Damayant i!"
Tiba-tiba Mayangseta berteriak.
"Silahkan butakan saja mataku! Terima kasihku tak terhingga kepadamu!"
Betapa sulit kedudukan Damayant i dapat disadari Mayangseta.
Karena membela dirinya maka Damayanti terpaksa menerima fitnah yang menodai namanya sebagai seorang gadis yang suci bersih.
Akan tetapi meskipun Damayant i meluluskan permint aan Mayangseta untuk membutakan matanya, pastilah Linggarsih tidak akan mengampuni juga.
Dan menyaksikan gerakan pedang Linggarsih yang makin lama makin keji dan tak kenal ampun itu, Mayangseta menjadi gusar.
Dengan suara menggeledek ia memaki kalang kabut .
"Hei Linggarsih! Kau perempuan tak tahu malu! Pantas saja orang-orang gagah menyebutmu sebagai sundal! Sekarang dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan betapa keji dan kejam hatimu, melebihi ular berbisa. Mukamu jelek, persegi dan kasar. Untunglah wanita di seluruh dunia in i tiada yang mirip dengan mukamu yang persegi itu. Seumpama demikian, pastilah laki-laki diseluruh muka bumi rela menjadi pendeta terkebiri. Ha-ha-ha!"
Padahal wajah Linggarsih meskipun belum terhitung cant ik, akan tetapi lumayan juga.
Namun Mayangseta yang sudah kenyang makan baram, mengetahui kelemahan jiwa wanita pada umumnya.
Tak peduli dia cant ik atau memang jelek wajahnya, apabila kena maki demikian pastilah akan timbul dengkinya.
Ia berharap, terdorong oleh rasa gusar dan dengki itu, Linggarsih akan mengalihkan perhatian kepadanya.
Dalam keadaan kalap gadis kejam itu pasti akan membunuhnya.
Dengan demikian Damayant i memperoleh kesempatan untuk melarikan, diri atau set idaknya bisa membalut lukanya terlebih dahulu.
Sama sekali tak terduga, bahwa Linggarsih bukan gadis bodoh.
Pada saat itu ia berpikir, bahw a yang terpenting ialah membunuh Damayant i terlebih dahulu.
Bukanlah pendekar iblis yang jail mu lut itu sudah terluka berat? Hendak lari kemana lagi dia? Itulah sebabnya ia berlagak tuli dan tidak menggubris makian Mayangset a.
Akan tetapi Mayangseta bukan sembarang pendekar.
Selain gagah, ia licin pula.
Merasa pan cingnya yang pertama gagal, segera ia berseru lantang .
"Damayanti terkenal sebagai seorang gadis sucibersih. Sebaliknya tidak demikian dengan nona Linggarsih yang bermuka persegi dan berbulu itu. Dialah seorang sundal benar-benar. Sadar bahw a kini umurnya sudah duapuluh delapan t ahun, hatinya menjadi ciut dan takut pada masa depannya. Maka setiap kali bertemu dengan laki-laki, ia segera berusaha memancingnya dan menjilatnya. Demikian pula terhadap pendekar Panjalu anak murid Kyahi B asaman yang t ermashur itu. Biasanya dengan menawarkan tubuhnya yang berbuluh itu tiap laki-laki iseng menerima tawarannya. Tetapi kali ini ia menumbuk batu. Pendekar Panjalu tidak menggubris. Bahkan menolak dengan kasar. Nona Linggarsih yang cant ik manis lant as cemburu terhadap nona Damayant i yang berhati suci-bersih. Maka ia hendak membunuhnya! Eh, nona Linggarsih yang cant ik manis bermuka persegi dan berbulu! Cobalah, sekali-kali engkau bercermin yang terang! Lihat yang terlihat dengan kedua matamu! Bukankah selain wajahmu persegi juga berbulu dan hitam seperti serabi hangus? Ha-ha-ha!"
Mendengar ejekan dan olok-olok Mayangseta benarbenar dada Linggarsih hampir- hampir meledak.
Oleh rasa gusar, tubuhnya sampai bergetar tetapi masih saja ia berusaha menguasai diri.
Sebaliknya mata Mayangseta yang berpengalaman segera mengetahui hal itu.
Terus saja ia mementang mulutnya lagi dan berpidato kepada para pendekar yang berada dikiri-kanannya.
Serunya lantang .
"Saudara-saudara! Saudara t adi menyebut aku sebagai iblis ! Memang aku in i iblis. Bahkan raja iblis. Kegemaranku berpesta diant ara kaum wanita cantik. Pada suatu hari, aku melihat nona Linggarsih yang bermuka persegi dan berbulu itu lagi memancing pendekar Panjalu. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat betapa ia sakit hati tatkala ditolak pendekar Panjalu. Dengan uring-uringan ia menghunus pedangnya dan memanjangkan langkah hendak mencari nona Damayanti untuk melampiaskan rasa sesalnya. Karena uring-uringan ia kurang waspada. Didekat t ikungan jalan ia kusergap dari belakang. Kemudian kuperkosa sampai ampatkali berturut-turut. Ha-ha-ha! "
Tentu saja olok-olok Mayangseta itu bualan kosong belaka.
Akan tetapi keterlaluan.
Betapa cerdik dan sabar seseorang, pasti akan meledak dadanya begitu mendengar olok-olok yang beracun itu.
Demikian pula Linggarsih.
Dengan menjerit tinggi ia meninggalkan Damayant i dan melompat menikamkan pedangnya kemulut Mayangseta yang jahil itu.
Melihat Linggarsih keluar gelanggang, masih sempat Mayangseta tertawa syukur.
Memang itulah harapannya.
Dengan demikian ia memberi kesempatan kepada Damayant i untuk melarikan diri atau membalut terlebih dahulu untuk mengadakan balasan.
Itulah sebabnya ia menunggu ujung pedang Linggarsih dengan dada terbuka dan hati ikhlas.
Hanya saja pada saat itu peristiwa di luar dugaan siapapun.
Dari rumpun belukar melompatlah seorang secepat kilat sambil membentak nyaring Perawakan tubuhnya pendek-bulat.
Ia menghadang di depan Mayangseta menunggu datangnya tikaman.
Oleh gerakannya yang cepat dan datangnya tidak terduga, Linggarsih tak dapat membatalkan tikamannya.
Dengan cepat sekali pedangnya menikam dan menancap di jidat orang itu.
Pada detik bersamaan, orang berperawakan pendekbulat itupun melontarkan pukulan yang tepat mengenai dada Linggarsih.
Bluk! Tanpa ampun lagi Linggarsih, terpental dan terbanting ditanah dan melontakkan darah segar.
Dan dengan berbareng pula orang itu roboh ketanah berkelojotan.
Pedang Linggarsih masih menancap dijidatnya.
"Kumambang! Hei, bukankah dia Kumambang!"
T eriak Mukmin, Gobyok dan Carakan dengan berbareng.
Memang benar.
Orang berperawakan pendek-bulat itu Kumambang, bidal Mayangset a yang setia.
Semenjak tadi ia bersembunyi dibelakang-belakang belukar menyaksikan gurunya dikeroyok delapan orang.
Ia percaya, gurunya pasti bisa memenangkan pertempuran itu.
T atkala gurunya terluka parah, hampir saja ia keluar dari persembunyiannya.
Tetapi ia melihat perkembangan baru tatkala Damayant i bertempur melawan kakak angkatnya.
Ia menunggu.
Dan begitu gurunya dalam ancaman bahaya, dengan cepat ia keluar dan mewakili menerima tusukan pedang Linggarsih.
W alaupun ilmu kepandaiannya terpaut jauh dengan gurunya, akan tetapi ia memiliki pukulan dahsyat.
Begitu mengenai dada Linggarsih, beberapa t ulang iga gadis itu patah.
Setelah menenangkan diri, Damayant i mencobek kain bajunya dan membalut luka di lengannya.
Kemudian menolorg melepaskan tali pengikat Mayangseta pada kaki-tangannya.
Dan tanpa berkata sepatahpun ia memutar tubuhnya hendak pergi.
"Nant i dulu, nona Damayant i! Terimalah hormatku!"
Seru Mayangseta sambil membuat sembah. Cepat Damayant i mengelakkan sembah Mayangset a. Pendekar Mayangseta lalu memungut pedang Lemah Ijo yang tadi jatuh ketanah. Katanya .
"Linggarsih ini memfitnah namamu yang suci bersih. Karena itu tidak ia dibiarkan hidup terus!"
Setelah berkata demikian pedangnya lantas menusuk leher Linggarsih. Tetapi dengan cepat Damayanti menangkisnya. Katanya .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia kakak angkatku. Meskipun budinya t ercela, tetapi aku t ak sampai hati menghianati-nya."
"Urusan sudah begitu jauh. Kalau dia tak dibunuh, dikemudian hari pasti akan merugikan nama pribadi nona,"
Ujar Mayangseta. Damayant i mengucurkan air mata. Sahutnya.
"Aku memang gadis malang. Mungkin pula bakal membawa alamat jelek. Biarlah aku menerima nasibku. Paman Mayangset a, jangan engkau mencelakainya."
Mayangseta menghela napas. Berkata .
"Baiklah, jika memang demikian keinginannya. Aku akan mematuhi."
"Ayunda,"
Kata Damayanti dengan suara terharu kepada Linggarsih.
"Harap engkau menjaga dirimu baik- baik."
Set elah berkata demikian ia memasukkan pedangnya kedalam sarungnya.
Kemudian meninggalkan gelanggang pertempuran dengan seorang diri.
Apabila Damayanti hilang dari penglihatan, Mayangseta berkata kepada sekalian pendekar yang mengeroyoknya.
Katanya dengan suara tegas.
"Aku Mayangseta, sebenarnya tiada mempunyai permusuhan kepada kalian. Seumpama pendekar Udayana hidup kembali, beliaupun tidak akan menaruh dendam kepada kalian. Sebab beliau tahu bahw a kalian hanya begundal-begundal belaka. Akan tetapi pada malam ini kalian mendengar perempuan Linggarsih itu memfitnah nona Damayant i begitu keji. Kalau hal itu kalian siarkan, nasib nona Damayant i yang berhati suci bersih bakal menjadi gelap di kemudian hari. Itulah sebabnya, terpaksa aku meniadakan saksi-saksi hidup. Aku mohon maaf kepada kalian. Kelak apa bila kalian menghadapi malaikat-malaikat yang akan menghantarkan kalian kesorga, tolong katakan kepadanya, bahwa aku membunuh kalian karena terpaksa saja."
Setelah selesai berkata demikian ia tidak menunggu reaksi mereka seorang demi seorang di bunuhnya dengan tangannya sendiri.
Setelah itu ia menghampiri Linggarsih.
Dan wajah Linggarsih digarisnya dengan ujung pedang lima sampai tujuh kali.
Dengan demikian wajah Linggarsih yang tadinya agak lumayan kini menjadi cacad seumur hidupnya.
Hati gadis itu hampirhampir pecah tetapi dalam keadaan luka parah tak dapat ia mengadakan perlawanan.
Ia hanya bisa memaki kalang kabut .
Serunya lantang .
"Bangsat gundul! Janganlah engkau menyiksaku cara begini. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku segera!"
Mayangseta tertawa lebar. Sahutnya .
"He-he-he! Perempuan jelek semacammu ini, set anpun enggan mendekati. Sebaliknya kalau kini engkau kubunuh, humm. Mungkin setan setan jahat dan roh roh yang tidak karuan dosanya akan lari kalang kabut karena ketakutan melihat tampangmu. Boleh jadi malaikat Jibril akan lari ketakutan pula!"
Berkata demikian ia tertawa gelak beberapa kali.
Kemudian melemparkan pedangnya dan mendukung jenazah Kumambang.
Setelah menangis menggerung beberapa saat lamanya, dengan mendukung jenazah Kumambang ia berjalan perlahan-lahan meninggalkan gelanggang pertarungan.
Linggarsih berusaha menolong diri.
Dengan napas memburu ia mencoba merayap bangun.
Dan dengan bertongkat pedangnya ia berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Pertarungan yang menggoncangkan hati itu mendebarkan jantung Aruji dan Lingga W isnu.
Setelah Linggarsih tiada nampak bayangannya lagi, barulah mereka menghela napas lega.
"Abang!"
Kata.Lingga Wisnu kemudian.
"Belum pernah aku berbicara dengan bibi Damayanti. Aku hanya melihatnya t atkala ia mendaki Gunung Lawu. Nampaknya ia menaruh perhatian besar kepada pamanku Panjalu. Apakah mereka berdua benar-benar pernah bertemu dekat, aku tak tahu. Apa ... apakah menurut pendapatmu benar-benar bibi Damayant i pernah melahirkan seorang anak di luar perkawinan?"
"Hmm! Perempuan Linggarsih itu mengacau-balau tak keruan. Janganlah engkau percayai"
Sahut Aruji. Mendengar jawaban Aruji, hati Lingga W isnu bergembira. Serunya .
"Benar! Benar! Biar kelak kuadukan fitnah itu kepada paman Panjalu, agar dihajarnya d ia. Aku benci pada mulut nya yang kotor!"
"Jangan! Jangan!"
Cegah Aruji cepat.
"Sekali-kali jangan engkau ceritakan peristiwa ini karena bisa jadi runyam malah!"
"Apa sebab begitu?"
Tanya Lingga W isnu heran.
"Kata-kata kotor yang tak sedap didengar ini, janganlah engkau ceritakan kepada siapapun juga!"
Ujar Aruji.
"Oh!"
Sahut Lingga W isnu. Meskipun dia baru berumur belasan tahun tetapi otaknya sangat -cerdas. Setelah berenung sejenak, segera ia berkata .
"Abang, apa abangpun merasa bahw a fitnah perempuan busuk itu benar-benar terjadi? Tidak bukan?"
"Entahlah, aku sendiri t idak t ahu."
Sahut Aruji.
Setelah t erang tanah, jalan darah Aruji menjadi lancar kembali.
Ia segera menggendong Lingga W isnu meneruskan perjalanan.
Dengan perlahan-lahan ia melint asi mayat-mayat yang bergelimpangan.
Timbul ah suatu pertanyaan besar dalam hatinya.
Mereka bertempur mati-matian karena persoalan seorang gadis yang bernama Sudarawerti.
Sesungguhnya apa latar belakang gadis itu? Sebaliknya Lingga Wisnu yang berada digendongannya berpikir pula.
Katanya dalam hati dengan terharu .
Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja