Pedang Sakti Tongkat Mustika 6
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 6
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
Setelah mengetahui latar belakangnya, maka Lingga W isnu ikut bergembira dan bersyukur seolah-olah iapun ikut menang dalam persoalan ini.
Sebaliknya Palupi heran melihat kegirangan Lingga W isnu.
Tanyanya menegas .
"Kenapa engkau begitu girang? Bukankah tanganmu terkena racun jahat kakak seperguruanku?"
"Kau tadi berjanji hendak menyembuhkan aku,"
Sahut Lingga W isnu cerdik.
"Dan aku tahu, ayunda Palupi adalah seorang bidadari y ang jujur. Aku kira duduk dekat anak murid terkasih Ki Sarapada, seorang tabib maha sakti tak ubah malaikat. Karena itu meskipun andaikata aku kena pukulan dewa maut, murid Ki Sarapada pasti sanggup menolong jiwaku. Apa perlu aku takut?"
Mendengar perkataan Lingga W isnu yang kekanakkanakan , Palupi tertawa geli.
Tiba-tiba ia memadamkan lenteranya.
Kemudian terdengar suara gemersik dari tempat keranjang diletakkan.
Dan ternyata Palupi sudah berganti pakaian.
Kini ia mengenakan kebaya hijau dan berkain batik parangrusak.
"Lihatlah, sekarang aku berganti pakaian baru. Kau t ak perlu takut akan racun yang kulumurkan di pakaianku tadi,"
Kata Palupi dengan tertawa lebar.
"Ayunda, kau dapat memikirkan segala sesuatunya dengan cermat t erlebih dahulu sebelum bertindak. Hai ! Apabila aku dapat mewarisi sepersepuluh bagian saja dari kepandaianmu ini, aku sudah bersyukur set inggitingginya kepada Tuhan serta sekalian alam."
Kata Lingga W isnu bersungguh-sungguh. Mendengar kata-kata Lingga W isnu, mendadak Palupi berkilat-kilat kedua matanya. Dengan suara mengandung penuh penyesalan ia berkata .
"Kau berkata ? kau bisa jadi manusia bahagia apabila mengenal racun? Huh ! Orang yang mengenal racun, akan selalu tergoda oleh pikirannya terus menerus untuk mengadakan berbagai percobaan penebaran racun-racunnya. Setiap detik yang dipikirkan hanyalah bagaimana dapat mennbuat racun sehebat-hebatnya melebihi yang sudah-sudah. Lihatlah aku ini, set iap saat manakala aku bangun tidur sampai nanti menjelang tidur kembali, dalam hatiku terus bergumul satu perjoangan hebat antara hawa napsuku sendiri. Karena itu apabila dapat aku memohon kepada T uhan serta sekalian alam, agar aku dilahirkan kembali sebagai manusia biasa seperti dirimu. Alangkah bahagianya!"
Setelah berkata demikian, ia menghela napas berulangkali.
Kemudian menarik lengan Lingga W isnu.
Segera ia menusuk jari-jari Lingga W isnu dengan tusuk kondenya.
Kemudian mengurut-ngurutnya sehingga tak lama kemudian, darah merah meleleh keluar.
Lingga W isnu semenjak tadi membiarkan tangannya ditarik dan ditusuk dengan tusuk konde perak Palupi.
Ia heran, karena tusukan itu sama sekali tidak terasa sakit.
Bahkan tatkala darah mengalir keluar, ia merasakan suatu hawa yang nyaman sekali meresap kedalam peredaran darahnya.
Ia jadi kagum luar biasa.
Pada saat itu mendadak saja ia mendengar suara Panjisangar mengeliat.
Ia terperarrjat dan lant as berseru .
"Hei, dia tersadar! "
" k mungkin!"
Sahut Palupi yakin.
"Paling cepat, t iga jam lagi!"
Memperhatikan keadaan Panjisangar, Lingga W isnu menjadi t eringat kepada pengalamannya tadi. Terus saja mint a keterangan .
"T adi sewaktu aku mengangkat keranjang, sama sekali dia tak bergerak sehingga aku tak tahu bahwa dalam keranjang itu ada manusianya. Akh, benar-benar tolol aku ..."
Palupi t ersenyum lebar. Menjawab.
"Hemm! Orang yang menyatakan dirinya tolol, biasanya justru orang pinter luar biasa."
Lingga W isnu tidak menjawab. Ia hanya tertawa. Akan tetapi di dalam hatinya puas. Sesaat kemudian ia berkata lagi .
"Eh, mereka tadi berebutan kitab sakti warisan gurumu. Apakah mengenai ilmu pengetahuan ketabiban atau sarwa racun?"
"Dugaanmu tepat sekali,"
Jawab Palupi senang.
"Itulah hasil jerih payah almarhum guruku. Semua ada dua buku. Yang satu tentang ilmu ketabiban, dan yang lain tentang rahasia ramuan sarwa racun. engkau ingin melihat?"
Heran Lingga W isnu mendengar tawarannva.
Bukankah dia tadi menolak keinginan ketiga kakak seperguruannya untuk membaca kitab warisan gurunya barang sebentar saja? Melihat Palupi mengeluarkan sebuah bungkusan kain putih yang disimpan dalam sakunya, Lingga W isnu jadi terharu.
Dalam bungkusan kain putih itu terdapat bungkusan kertas minyak.
Dan setelah kertas minyak itu dibuka, terlihatlah dua
Jilid kitab kuning dan hitam yang panjangnya enam sent i dan lebar ampat senti.
Dengan menggunakan tusukkonde Palupi membuka-buka lembaran kitab yang penuh tulisan-tulisan huruf Jawa kuno.
k usah dikatakan lagi, bahw a setiap lembar kertas itu pasti lah sangat beracun.
Orang akan celaka apabila berani dengan sembarangan menyentuh atau membuka-buka dengan tangannya.
Memperoleh kepercayaan Palupi yang begitu besar terhadap dirinya, Lingga W isnu merasa sangat bersyukur dan girang sekali.
Dengan mengangguk, ia memberi isyarat bahwa sudahlah cukup ia melihat buku w arisan Ki Sarapada itu.
k Palupi kembali membungkusnya dengan rapih.
Dan dimasukkannya ke dalam saku.
Kemudian ia mengeluarkan sebotol bubuk berwarna ungu.
Ia menuang di atas telapak tangan dan mamborehkan pada telapak tangan Lingga W isnu yang tadi ditusuknya dengan tusuk-konde perak.
Sebentar ia mengurut jari-jari itu dan tak lama konudian bubuk berwarna ungu tadi lantas saja terhisap masuk melalui lubang-lubang bekas t usukan Palupi.
"Benar-benar hebat engkau, ayunda!"
Lingga W isnu memuji dengan setulus hati.
"Seumurku belum pernah aku menyaksikan seorang tabib seperti dirimu ! "
"Kepandaianku in i tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan kepandaian guruku,"
Sahut Palupi.
"Guru pandai membedah perut dan dada serta ahli menyambung tulang. Apabila engkau telah menyaksikan kepandaiannya, barulah engkau pantas merasa kagum."
"Benar,"
Kata Lingga W isnu.
"Gurumu mahir menggunakan racun. Tetapi pasti ahli pula dalam menyembuhkan penyakit. Pantaslah eyangku pernah memuji gurumu setinggi langit."
"Siapa eyangmu?"
Tanya Palupi penuh perhatian.
"Eyangku bermukim di atas Gunung Lawu. Namanya Kyahi Basaman."
Jawab Lingga W isnu. Mendengar jawaban Lingga W isnu, Palupi jadi terperanjat. Agaknya ia mengenal nama Kyahi Basaman yang termashur itu. Terus saja ia berseru girang.
"Akh! Jika guru masih h idup dan mendengar pujianmu ini, pastilah beliau akan girang bukan kepalang. Hanya sayang, beliau sekarang sudah tiada di dunia in i."
Perkataannya yang penghabisan diucapkan dengan nada penuh duka.
"Kakak seperguruanmu, Roha, tadi berkata bahwa gurumu pilih kasih. Beliau agaknya hanya sayang kepadamu belaka."
Kata Lingga W isnu dan manambahkan .
"Kurasa kata-katanya benar belaka. Tetapi hal itu terjadi karena engkaupun mencintai gurumu dengan sepenuh hati. Dengan demikian terjadi timbal balik yang sewajarnya."
Palupi tertawa melalui dadanya. Ia menundukkan kepala. Dan beberapa saat kemudian ia berkata .
"Guru mempunyai ampat murid. Keampatnya sudah kau ketahui semua. Yang tertua Kangmas Panjisangar, kemudian kangmas Janggel dan ayunda Roha. Dan yang keampat adalah aku sendiri. Sebenarnya setelah mempunyai tiga orang murid, guru tidak ingin menerima murid lagi. Akan tetapi melihat ketiga kakak seperguruanku itu saling bermusuhan dan mendendam, guru menjadi cemas juga. Kalau nanti guru sudah meninggal dunia, siapa yang dapat menguasai mereka bertiga? k dalam usianya yang lanjut, beliau menerima aku sebagai muridnya yang termuda."
Palupi berdiam sejenak. Kemudian meneruskan sambil menatap wajah Lingga W isnu .
"Mereka bertiga sebenarnya bukanlah orang jahat. Permusuhan itu terjadi semata-mata karena ayunda Roha kawin dengan kangmas Janggel. Kangmas Panjisangar jadi sakit hati. Dan samenjak itu mereka saling bermusuhan sehingga tak dapat didamaikan lagi."
Lingga W isnu manggut. Tanyanya .
"Kakakmu Panjisangar apakah mencint ai ayunda Roha? Kukira demikian bukan?"
"Bagaimana kisah asmara itu terjadi sesungguhnya aku tidak menyaksikan. Sebab pada waktu itu mungkin sekali aku belum lagi d ilahirkan di dunia ini,"
Sahut Palupi dengan tertawa manis.
"Aku hanya mengetahui dari guruku, bahwa kangmas Panjisangar dahulu sudah beristeri. Akan tetapi rupanya ayunda Roha diam-diam mencintai kangmas Panjisangar. Pada suatu hari ayunda Roha meracun isteri kangmas Panjisangar hingga mati."
Mendengar sepak-terjang Roha yang sampai hati meracun isteri Panjisangar, bulu romanya Lingga W isnu terbangun.
Terasa dalam hatinya, bahw a orang yang pandai menggunakan racun, pasti kejam pula hatinya.
Sehingga apabila ada persoalan kecil saja, mereka lantas main bunuh dengan racunnya itu.
"Karena gusar, kangmas Panjisangar lantas membalas meracun ayunda Roha, sehingga menjadi orang cacad seumur hidup. Ia menjadi wanita bongkok dan kakinya pincang pula."
Kata Palupi.
"Akan tetapi kangmas Janggel yang menyintai ayunda Roha dengan segenap hati, tidak berubah cinta kasihnya, meskipun ayunda Roha telah cacad tubuhnya. k mereka berdua lantas kawin. Entah bagaimana alasannya, setelah ayunda kawin dengan kangmas Janggel, mendadak kangmas Panjisangar teringat akan hubungannya pada masa lampau. Ia kembali baik hati kepada ayunda Roha dan mulai mengganggu cinta kasih mereka berdua. Dengan demikian, kalau tadinya ayunda Roha yang salah, kini kangmas Panjisangar yang tercela. Sebab yang membuktikan cinta kasih sejati adalah kangmas Janggel. Dan menyaksikan peristiwa itu, guru menjadi jengkel. Berulangkali guru mencoba menasehati mereka bertiga agar teringat akan nilai-nilai budi pekerti. Akan tetapi nasehatnya sama sekali t iada guna. Mereka menganggap seperti segumpal awan berserakan di tengah udara. Makin lama permusuhan mereka makin hebat. Masingmasing mempersiapkan kubu-kubu pertahanan. Kangmas Janggel yang sangat menyintai ayunda Roha membangun sebuah rumah dari besi. Bentuknya setengah bulat seperti bola. Rumah itu dilumuri racuh penyepuh, dan ia menanam pula pohon-pohon Bangaspati disekitar rumahnya. Itulah pohon-pohon racun yang sangat berbahaya, karena tiada pemunahnya. Semula rumah itu di maksudkan sebagai kubu pertahanan menghadapi kangmas Panjisangar. Akan tetapi karena merasa diri terancam bahaya terusmenerus, akhirnya mereka bertempat tinggal dalam rumah tersebut. Hanya sekali-kali mereka mengadakan perjalanan unt uk mengintai dimana kangmas Panjisangar berada. Demikian pula yang dilakukan kangmas Panjisangar terhadap mereka berdua. Dengan demikian, karena mereka bertiga menggunakan nama guru, masyarakat dibuat bingung oleh munculnya tiga tokoh yang berbeda perawakan tubuhnya tetapi nama yang dikenakan sama. k banyaklah cerita dan kisah-kisah mengenai diri pribadi guruku Sarapada. Penduduk disebelah selatan yakin bahw a Ki Sarapada adalah seorang laki-laki berjubah. Sedangkan sebenarnya dialah kangmas Panjisangar. Sebaliknya penduduk yang bermukim di sebelah barat Gunung Merapi berkata, bahw a Ki Sarapada sebenarnya seorang perempuan. Sedang penduduk sebelah timur Gunung Merapi mengabarkan bahwa Ki Sarapada adalah seorang laki-laki berperawakan kasar dan nampak dungu. Itulah kedua kakak seperguruanku kangmas Janggel dan ayunda Roha."
"Oh begitu?"
Kata Lingga W isnu sambil memanggut manggutkan kepalanya.
"T etapi sebenarnya diant ara mereka bertiga, siapakah yang berhak memakai nama K i Sarapada?"
"Aku sendiri tidak tahu."
Jawab Palupi dan menairibahkan lagi.
"T etapi satu hal yang pasti. Betapapun alasan mereka bertiga, guru tidak merestui. Hal itu disebabkan karena permint aan racun mereka. Apa yang mereka lakukan benar-benar bertentangan dengan panggilan hidup guruku. Berulangkali guru berkata kepadaku, begini.
"Aku mampelajari sarwa racun demi untuk menolong sesama hidup. Sekarang kakakmu bertiga menyematkan namaku untuk melampiaskan dendamnya masingmasing. Tidak segan-segan mereka membunuh sesama umat dengan menggunakan racun. W alau pun aku sama sekali t idak melakukan hal itu, akan tetapi karena mereka murid-muridku, maka kesalahan itu akan ditimpakan diatas pundakku juga.. Apakah engkau mengira bahw a Ngesti Tunggal ini tadinya seorang biadab yang senang membunuh sesama hidup? Tidak, anakku. Ilmu pengetahuanku ini kuperoleh dari padanya. Dia se orang maha mulia yang bijaksana. Setiap saat yang dipikirkan ialah bagaimana menolong orang dari lembah kesengsaraan hidup ...
"Akan tetapi racun kami memang sangat dahsyat, sehingga tiada seorang saktipun di dunia in i yang sanggup menghadapinya. Sayang sekali, ketiga kakak seperguruanku itu meracun orang baik-baik. Karena mereka murid-murid guru, maka nama Ki Sarapada menjadi bulan-bulanan orang. Hampir set iap orang mengutuk dan menyumpah sampai langit ketujuh. Akh ! Benar-benar menyedihkan sekali. Adik yang baik, bagaimana menurut pendapatmu?"
Lingga W isnu menghela napas. Sebagai anak yang baru berumur belasan tahun, belum dapat ia membuat pertimbangan. Tetapi secara naluriah ia tahu pekerti baik dan buruk. Maka ia menjawab.
"Sepak terjang kakakmu bertiga memang ke-terlaluan. Pastilah orang akan segera teringat pada gurumu manakala orang-orang sekitar Gunung Merapi ini salah tafsir dan salah terka mengenai pribadi gurumu Ki Sarapada. Mereka menyangka bahwa ketiga kakak seperguruanmu itulah Ki Sarapada. Herannya, sebab gurumu tidak turun gunung untuk membereskan dan membersihkan namanya?"
"Hal itu gampang dikatakan tetapi sukar di lakukan."
Sahut Palupi.
"Apabila guru sampai turun gunung, maka salah pengertian akan jadi semakin parah ......
"
Gadis itu lantas menghela napas dalam. Ia memeriksa luka-luka Lingga W isnu sekali lagi. Kemudian menyatakan bahwa racun telah larut sirna. Ia bangkit berdiri dan berkata .
"Malam in i aku masih harus menyelesaikan dua tugas lagi. Yang pertama, kita harus mengambil obat pemunah racun rumput Baiduri. Dan, yang kedua mengobati Sukasa, puteri kangmas Janggel. Apabila tidak ..."
Ia tersenyum dan tidak menyelesaikan perkataannya.
"Semua ini terjadi karena kesemberonoanku saja ..."
Lingga W isnu menghela napas pula, dan menyambung lagi.
"Jika aku tadi tidak mencampuri urusanmu, pastilah engkau telah dapat membereskan mereka berdua. Bukankah engkau ingin berkata demikian kepadaku?"
"Y a ! "
Jawab Palupi dengan tegas.
"Baguslah jika engkau tahu, marilah kita berangkat sekarang."
"Apakah dia dimasukkan ke dalam keranjang lagi?"
Tanya Lingga W isnu sambil menunjuk Panjisangar yang masih menggeletak di tanah.
"Benar, kau tolonglah."
Kata Palupi.
Lingga W isnu menghampiri Panjisangar dan mencoba mengangkatnya.
Tentu saja tak dapat ia mengangkat tubuh Panjisangar dengan seorang diri.
Maka Palupi membantunya.
Dengan gabungan tenaga mereka berdua, t ubuh Panjisangar terangkat dengan mudah dan dimasukkannya ke dalam keranjang kembali.
Palupi kemudian mencari pikulannya.
Setelah diketemukan, seperti tadi ia memikul kedua keranjangnya dan berjalan mengarah ke jurusan baratdaya.
Berjalan kira-kira tiga kilometer, t ibalah mereka di sebuah gubuk.
Palupi lantas berteriak .
"Paman Mawas! Hayolah!"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pintu terbuka, dan muncullah seorang laki-laki h itam legam memikul beban pula.
pandang matanya berkilatkilat.
Dengan tak mengeluarkan sepatah katapun, ia segera mengikuti Palupi.
0ooo=dw=ooo0 1.
Membongkar Rumah Aneh Melihat munculnya orang hitam lekam itu, meremanglah bulu rana Lingga W isnu.
Pikirnya di dalam hati.
'Lagi-lagi orang aneh .....' Akan tetapi melihat kesungguh-sungguhannya dan Palupi menanggapi dengan sikap wajar pula, tak berani Lingga W isnu minta keterangan kepadanya.
Iapun segera mengikuti Palupi dalam jarak tiga langkah.
Ampat-lima kali Palupi menengok dan menghadiahkan suara tertawamanis.
Itu adalah suatu tanda bahwa kini ia merasa puas terhadap si bocah yang mendengar kata.
Dari gubuk orang hitam itu, Palupi terus berjalan mengarah ke utara.
Dan selama berjalan mereka bertiga membisu.
Kira-kira jam ampat pagi, tibalah mereka didepan rumah aneh yang bentuknya seperti topi ditengkurupkan.
Itulah rumah suami-isteri Jenggel dan Roha.
Palupi kemudian mengeIuarkan tiga ikat bunga biru dari dalam keranjang.
Yang seikat diberikan nya kepada Lingga W isnu, yang lain di berikan kepada orang hitam tersebut dan seikat lagi dipegangnya sendiri.
Setelah melompati pagar pohon Bangaspati, ia berteriak nyaring .
"Kangmas Janggel! Ayunda Rolla! Apakah kalian berdua sudi membuka pintu bagiku?"
Tiga kali ia berseru, akan tetapi sama sekali tak memperoleh jawaban.
Setelah nenunggu beberapa saat lamanya,Palupi memberi isyarat anggukan kepada Mawas.
Orang itu segera meletakkan bebannya di atas tanah, dan mengeluarkan alat-alat besi terdiri dari sebuah alat penyemprot api, tungku dapur, bubuk besi, timah dan perabot pengebor.
Ia membuat api dan mulai melumerkan bubuk besinya.
Setelah bubuk besi lamer, ia lalu memateri bagian-bag ian yang renggang dari rumah aneh tersebut.
Lingga W isnu yang selama in i mengikut i gerak-gerik orang hitam-lekam itu segera mengetahui bahwa dia sedang menutup pintu-pintu dan jendela-jendela rumah besi Janggel dan Roha.
Rupanya karena merasa diri t idak dapat mengatasi kepandaian adik seperguruannya, Janggel dan Roha tak berani lagi menongolkan kepalanya.
Tak ubah seperti kura-kura sembunyikan kepala, mereka lantas saja menutup semua pintu dan jendelanya.
Dengan demikian, seperti halnya yang dilihat oleh Lingga W isnu, rumahnya yang aneh itu nampak seperti tidak berpintu maupun berjendela.
Setelah semua lubang ditutup rapat, Palupi menggapai Lingga W isnu.
Dengan isyarat mata gadis itu memberi perint ah kepada si bocah agar mengikutinya.
Dia berjalan mendahului dan melompati barisan pagar pohon-pohon Bangaspati.
Arahnya ke jurusan barat-laut dan setiap kali mengalahkan kakinya, ia selalu menghitung dengan cermat.
Setelah berjalan beberapa puluh langkah, is membelok ke timur lima langkah lagi dan ke kiri ampat langkah.
Kemudian berkata memutuskan .
"Di sinilah!"
Lalu ia menyalakan lilinnya. Dengan matanya yang tajam Lingga W isnu mengamati dua batu besar yang berada di depannya. Ternyata di antara dua batu besar tersebut terdapat sebuah lubang kira-kira sebesar piring dan teraling sebuah batu.
"Inilah lubang tempat bernapas mereka,"
Kata Palupi sambil t erus berjongkok.
"Mereka tak dapat keluar lagi dari rumah itu, karena semua lubang angin maupun pintu dan jendela telah tertutup rapat. Maka sebentar lagi pastilah mereka akan menghampiri lubang ini."
Lilin yang telah dinyalakan tali didekatkan ke mulut lubang dan dengan bantuan angin perlahan-lahan asapnya masuk ke dalam.
Menyaksikan t indakan Palupi yang dianggapnya sangat kejam, Lingga W isnu jadi bergidik.
Tiba-tiba saja ia jadi merasa iba terhadap mereka yang terkurung di dalam rumah besi tersebut.
Apakah perbuatan begini dapat dibenarkan? .
Beberapa saat kemudian, Palupi bahkan mengeluarkan kipas bambunya, dan dengan kipas itu ia mulai mengipasi asap lilin ke dalam lubang pernapasan.
Dan Lingga W isnu tak dapat bersabar lagi kini.
Dengan berdiri tegak ia berkata menegor .
"Ayunda Palupi! Apakah engkau sangat berdendam terhadap kedua kakak seperguruanmu itu? Tak dapatkah mencari jalan damai lain lagi?"
"T idak!"
Jawab Palupi dengan suara tawar.
"Apakah gurumu memberi perint ah kepadamu agar engkau membersihkan rumah perguruanmu?"
"Belum sampai sebegitu jauh. Hanya mirip mirip saja."
Sahut Palupi acuh tak acuh.
"T api tapi ..."
Kata Lingga W isnu terputus-putus. Tak tahulah ia bagaimana hendak nenyatakan perasaan hatinya. Palupi mendongak mengawaskan dan berkata dengan suara dingin .
"Kenapa engkau jadi begitu bingung?"
"Jika kedua kakak seperguruanmu mempunyai dosa yang sangat besar, biarlah kali ini diberi kesempatan agar mereka dapat merobah sepak terjangnya yang telah lampau unt uk menebus dosadosanya."
Ujar Lingga W isnu dengan suara memohon.
"Y a!"
Sahut Palupi.
"Gurukupun pernah berkata begitu."
Ia berdiam sejenak dan berkata lagi.
"Sayang sekali, guruku kini sudah berada di alam baka. J ika beliau masih hidup, pasti beliau merasa cocok dengan cara berpikirmu."
Sedang mulutnya berkata demikian, tangannya tetap mengipasi asap lilin yang makin lama makin banyak yang masuk ke dalam lobang. Lingga W isnu menggaruk-garuk kepalanya. Dengan menuding lilin berasap itu ia berkata.
"Bukankah asap beracun itu dapat membunuh manusia?"
"Oh, kalau begitu, hatimu yang mulia ini menyangka aku hendak mengambil jiwa mereka?"
Seru Palupi dengan tersenyum.
W ajah Lingga W isnu lantas saja menjadi merah.
Sebab oleh jawaban itu, Palupi hendak meyakinkan kepada Lingga W isnu, bahwa ia tidak berniat hendak membunuh kakak seperguruannya.
Maka bocah itu merasa malu sendiri.
Palupi sendiri t idak menghiraukan keadaan hati Lingga W isnu.
Dengan kukunya ia menggores lilinnya sambil berkata .
"Adikku Lingga, tolonglah engkau menggantikan aku. Tetapi jaga, jangan sampai lilin ini padam. Kau boleh memadamkan lilin ini, apabila apinya sudah membakar sampai d igoresan ini."
Segera ia menyerahkan kipas bambunya kepada Lingga W isnu dan kemudian bangkit berdiri sambil menebarkan penglihatannya ke sekitar rumah aneh itu serta memasang telinga.
T anpa berkata sepatah katapun lagi.
Lingga W isnu lant as saja melakukan t ugasnya.
Apabila keadaan sekitar rumah aneh itu tetap sunyi dan tiada terjadi sesuatu diluar perhitungannya, Palupi lantas duduk di atas sebuah batu besar dekat Lingga W isnu.
"Orang berkuda yang menghancurkan kebun bungaku adalah Sukasah, puteri kangmas Janggel"
Ujar Palupi dengan tiba-tiba.
"Akh!"
Lingga W isnu berseru heran.
"Bukankah dia seorang laki-laki?"
"Apakah orang perempuan tidak bisa menyamar sebagai laki-laki?"
Sahut Palupi membalas pertanyaan Lingga W isnu dengan pertanyaan pula. Lingga W isnu tergugu sejenak. Minta keterangan .
"Apakah dia pun berada dalam rumah ini?"
"Benar!"
Jawab Palupi dengan tertawa lebar.
"Apa yang kita lakukan sekarang ini justru untuk menolong dia. Kita harus merobohkan kedua kakak seperguruanku terlebih dahulu, agar mereka berdua tidak merint angi pekerjaan kita."
Sekali lagi Lingga W isnu berseru tertahan.
Di dalam hati ia berkata .
'Benar-benar diluar dugaanku semua gerak geriknya.
Dia membakar lilin yang sama.
Akan tetapi dia tidak bermaksud membunuh orang.
Sebaliknya malah hendak menolong.
Sepak terjangnya ini y ang sukar diduga hanya set an dan iblis yang bisa menebaknya.' "Sebenarnya kangras Janggel dan ayunda Roha mempunyai seorang musuh bernama Anung Sukahar."
Ujar Palupi.
"Anung Sukahar sudah berada ditempat ini kira-kira set engah tahun yang lalu. Akan tetapi masih belum mampu ia menerjang rumah. Bangaspati ini Itulah disebabkan karena pohon Bangaspati yang sangat beracun. Di dunia ini tak ada orang yang mampu melawan racun dahsyatnya. Hanya bunga biru itulah satu satunya pemunah racun Bangaspati. Mula-mula kangmas Janggel dan ayunda Roha tidak mengetahui khasiat bunga biruku. Akan tetapi begitu kuberikan kepadamu berdua, mereka lantas tersadar. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya mereka berdua, begitu menyaksikan engkau dapat melawan pohon-pohon racun nya."
"Benar!"
Lingga W isnu memotong.
"Tatkala aku dan abang Aruji datang ke mari, lapat-lapat aku mendengar suara mereka, kaget berbareng gusar dari dalam rumah ini."
Palupi manggut dan berkata lagi .
"Seperti kataku t adi, racun Bangaspati sebenarnya tak dapat dipunahkan oleh ramuan pemunah yang terdapat di dunia in i. Sebaliknya kita bisa kebal terhadap racunnya, apabila sering makan buahnya. Unt unglah, meskipun besar bahayanya, tanda-tanda Bangaspati mudah sekali dikenal. Jika pohon itu tumbuh di suatu tempat, disekitarnya dalam jarak sepuluh atau dua puluh meter, tiada terdapat seekor semut atau sebatang rumputpun."
"Benar katamu!"
Lingga W isnu mengamini.
"T adinya aku heran sekali melihat sekitar rumah ini tiada terdapat tumbuhan apapun juga. Akh! jika aku tidak kau hadiahkan bunga birumu itu ..."
Berkata sampai disitu, Lingga W isnu bergidik dengan sendirinya karena teringat pengalamannya yang seram bersama Aruji.
"Bunga biru itu bernama Badjrarinonce. Dan Baru saja berhasil aku tanam."
Palupi memberi keterangan.
"Aku merasa syukur terhadap kalian berdua yang bisa menghargai jerih payahku. Mengapa tidak kau lemparkan saja ditengah jalan?"
"Bunga itu sangat indah!"
Kata Lingga W isnu.
"Hemm Karena indah, maka engkau tidak membuangnya, bukan?"
Palupi menegas.
Lingga W isnu tergugu.
Ia mendeham beberapa kali karena t ak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Berkata di dalam hati.
'Benar.
Jika bunga itu t idak indah, barangkali tak sudi aku menyimpannya di dalam saku.
Dengan begitu yang menolong aku dan abang Aruji sesungguhnya adalah keindahannya.' Selagi ia mendengarkan kata hatinya sendiri, angin mendadak meniup keras sehingga memadamkan nyala lilin.
Lingga W isnu terperanjat bukan main sampai setengah berteriak .
"Hai! Bagaimana ini?"
"Sudahlah! Kira-kira sudah cukup!"
Kata Palupi menghibur.
Hati Lingga W isnu tercekat mendengar suara Palupi agak kurang senang.
Ia jad i malu sendiri karena segala yang dimint a Palupi berakhir dengan kejadian-kejadian yang tidak memuaskan hati.
Maka segera ia berdiri dengan membungkuk penuh sesal.
Katanya .
"Maaf, mbakyu! Entah sudah berapa kali aku mint a maaf kepadamu. Entah kenapa, malam ini pikiranku menjadi kusut begini."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Palupi tidak menyahut. Karena itu Lingga W isnu meneruskan .
"Aku tadi sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba angin kencang meniup mBakyu Palupi! Tatkala engkau menghadiahi aku bunga biru itu, sama sekali tak kuketahui bahwa bunga itu menolong jiwaku. Meskipun demikian, aku tetap menyimpannya, karena aku pikir segala hadiah dari seseorang itu, harus dan wajib disimpan dengan sebaik-baiknya."
Sekali lagi Palupi membungkam mulut. Ia hanya mendengus beberapa kali. Dan hati Lingga W isnu jadi pedih. Beberapa saat kemudian, ia mencoba berkata lagi.
"Belum lagi umurku mencapai sepuluh tahun, aku sudah tiada berayah-bunda lagi. Jarang sekali orang menghadiahi sesuatu kepadaku ..."
"Akupun begitu,"
Tiba-tiba Palupi memotong.
"Akan tetapi semua orang dewasa di dunia ini berasal dari bocah yang belum pandai beringus lambat laun, seseorang akan bisa menjadi dewasa ..."
Sambil berkata demikian ia turun dari batu. Ia menyerahkan lilinnya kembali dan mencari sebuah batu. Kemudian ditutupkan ke lubang pernapasan rumah aneh itu. Dengan menghela napas ia berkata memerint ah .
"Hayooooolah!"
Ia mendahului berjalan dan Lingga W isnu segera mengikuti dengan menbungkam mulut.
Bocah itu tak berani lagi mengumbar pikirannya yang ternyata selalu salah.
Dan ternyata tatkala mereka t iba di rumah Janggel Roha, si tukang besi berkulit hitam-lekam itu sedang duduk di atas tanah sambil merokok.
"Paman Mawas! Tolong sekarang buka kembali semua!"
Perint ah Palupi samb il menunjuk bagian rumah yang tadi dipateri.
Tanpa berkata sepatah katapun juga, tukang besi itu segera mengambil alat-alatnya.
Lalu ia melakukan perint ah Palupi dengan sesungguh hati.
Kira-kira seperempat jam kemudian semua yang dipateri tadi selesai dibuka kembali.
"Sekarang bongkarlah pintunya, papan!"
Perint ah Palupi.
Mawas segera bekerja.
Setelah mengetukngetuk beberapa kali, ia kemudian menyentak dengan martilnya.
Dan dengan suara berkerontangan sepotong papan besi jatuh ke bawah, dan terbukalah sebuah pintu yang tingginya enam kaki dan lebarnya tiga kaki.
Lingga W isnu heran menyaksikan cara kerja pandai besi itu.
Ia benar-benar paham akan pekerjaannya, perlengkapan rumah dikenalnya dengan baik.
Dengan cekatan ia menarik sebuah tombol yang ada dibalik pint u, lalu muncul ah sepasang tangga kecil.
"Sekarang buanglah semua bunga biru!"
Perint ah Palupi. Ia mendahului melaksanakan perint ahnya sendiri, yang segera diikut i Mawas dan Lingga W isnu. Tatkala hendak mendaki tangga penghubung, ia menebarkan penciumannya. mendadak menoleh kepada Lingga W isnu. Katanya.
"Adik. Dalam sakumu masih tersimpan bunga biru pemberianku, jangan kau bawa masuk."
"Akh!"
Seru Lingga W isnu heran sambil menggerayangi sakunya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kain dan dibukanya. Katanya lagi .
"Penciumanmu benar-benar tajam! Meskipun didalam bungkusan, masih saja t ercium olehmu."
Lingga W isnu membungkus bunga biru tersebut dalam saputangan pemberian Sitaresmi.
Bunga itu ternyata telah layu.
Dengan hati-hati ia menaruhkannya di luar pintu.
Melihat cara menaruh dan menyimpan, terharu hati Palupi.
Benar-benar Lingga W isnu menghargai bunga pemberiannya.
Tadi ia tidak yakin akan kejujuran bocah itu, akan tetapi kini hatinya menjadi girang dan bersyukur.
Ia berpaling menatap wajah Lingga W isnu dan memberi hadiah senyum.
Katanya kemudian .
"Adik yang baik, kau benar tak berdusta!"
Lingga W isnu tak mengerti, apa sebab Palupi berkata demikian. Serunya tersinggung.
"Dusta! Kenapa aku berdusta kepadamu?"
Palupi tidak menjawab. Ia mendahului me langkahkan kakinya ke duhang pintu sambil berkata .
"Mereka yang berada di dalam tak tahan dengan bunga biruku. Karena mereka biasa makan buah pohon Bangaspati."
Setelah berkata demikian, ia meneruskan perjalanan memasuki rumah aneh tersebut dengan membawa lenteranya.
Lingga W isnu dan Mawas segera mengikuti di belakang.
Tiba di kaki t angga terakhir, mereka berada di sebuah terowongan yang sangat sempit.
Setelah membiluk dua kali, lalu masuk ke dalam sebuah ruangan kecil berdinding penuh lukisan dan perabot rumah tangga dari bambu.
Menyaksikan hal itu diam-diam Lingga W isnu heran didalam hatinya.
Sama sekali diluar dugaan, bahw a Janggel yang nampaknya begitu kasar mempunyai perasaan halus sampai dapat menghiasi rumahnya dengan lukisan-luk isan serta perabot meja kursi yang sedap dipandang mata.
Palupi t erus berjalan t anpa membuka mulut.
Beberapa saat kemudian mereka bertiga tiba dibagian dapur.
Dan apa yang terjadi didalam dapur itu sangat mengejutkan Lingga W isnu.
Janggel dan Roha nampak menggelet ak diatas lantai.
Mereka berdua tidak berkutik, entah mati entah masih hidup.
Akan tetapi bukan keadaan mereka itulah yang mengherankan hati Lingga Wisnu.
Ia t ahu, mereka roboh akibat racun bunga Badjrarinonce.
Apa yang mengherankan hatinya ialah, ia melihat seorang dewasa berada didalam sebuah kuali benar.
Sedang air didalam kuali itu nampak mengepulkan uap.
W alaupun belum mendidih, akan tetapi sudah pasti panas sekali.
Dan melihat hal itu, secara naluriah Lingga W isnu mempercepat langkahnya.
Ia bergegas mendahului Palupi yang berjalan didepannya.
Maksudnya sudah terang hendak menolong orang itu yang tersiksa digodok dalam kuali.
Dia menduga bahwa orang itu terjatuh dalam kuali tatkala pingsan akibat asap beracuh bunga Badjrarinonce memasuki lubang pernapasan.
"Hai, kau mau ke mana?"
Tegor Palupi samba menarik lengan baju Lingga W isny.
"Coba lihat, dia laki-laki atau perempuan?"
"Dia laki-laki atau perempuan, bukan soal", sahut Lingga W isnu dengan suara gemetar.
"Oh begitu? Coba lihat yang jelas, d ia me makai celana atau tidak?"
Kata Palupi dengan muka merah.
"Apakah ...... apakah,"
Lingga W isnu ragu-ragu tatkala melihat perobahan wajah Palupi.
"Apakah dia tidak memakai celana?"
Pada waktu itu, orang perempuan tidak memakai celana panjang.
Maka begitu mendengar keterangan Palupi bahwa orang yang berada di dalam kuali besar itu seorang perempuan bertelanjang bulat, Lingga W isnu merandak.
Hatinya t ercekat dan wajahnya terasa papas.
Dia bukan anak bodoh, sekarang jelaslah sudah persoalan yang timbul antara Janggel dan Roha dengan Panjisangar.
Anaknya, Sukasah terkena racun Badjrarinonce.
Maka sadar dia, bahw a wanita yang terendam dalam kuali besar itu tentu Sukasah.
Itulah sebabnya ia jadi bimbang.
Selagi demikian, terdengar Palupi berkata lagi memerint ah.
"Bungkukkan saja badanmu dan mendekatlah! Tolong tambah kayunya, agar airnya cepat mendidih!"
Lingga W isnu percaya akan kecerdasan otak gadis itu. Akan tetapi ia perlu meyakinkandiri. Tanyanya menegas .
"Apakah dia Sukasah?"
"Y a!"
Jawab Palupi.
"Kangmas Janggel dan Ayunda Roha ingin melarut kan racun yang berada dalam diri Sukasah dengan jalan menggodoknya dalam kuali. Akan tetapi tanpa bantuan bubuk racun Badjrarinonce, jerih payahnya t idak akan berhasil.
"
Mendengar keterangan Palupi, Lingga W isnu menjadi berlega hati.
Tanpa ragu-raqu lagi ia menambah beberapa potong kayu bakar ke dalam tungku api.
Akan tetapi tak berani ia menambah terlalu banyak, karena khawatir Sukasah tidak akan tahan.
Terdengar Palupi berkata memerint ah lagi .
"T ambah lagi! Kenapa engkau begitu pelit?"
Dengan ragu-ragu Lingga W isnu menatap wajah Palupi, dengan pandang menyelidik.Palupi berkata meyakinkan .
"Percayalah, dia t idak akan mati!". Dengan kepala penuh teka-teki ia menambah sepotong kayu bakar lagi ke dalam tungku itu. Kemudian mundur dengan tetap membungkuk. Setelah mundur lima langkah, ia memut ar badan menjauhi. Melihat pekerti Lingga W isnu, Palupi tersenyum dengan muka bersemu merah. Tak lama kemudian, Palupi menghampiri kuali besar itu. Ia mencelupkan jari telunjuk untuk mengukur suhu air yang nampak mulai mendidih. Ia menunggu kira-kira sepuluh menit lagi, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil yang herisi bubuk berwarna ungu. Itulah bubuk bunga biru Badjrarinonce. Ia menaburkan ke dalam air mendidih dan kemudian mengaduknya. Setelah itu ia menghampiri Janggel dan Roha. Dengan jari telunjuk ia mengambil bubuk pemunah racun kemudian dise lomotkan ke hidung mereka ber dua. Dan begitu menyedot obat pemunah racun yang ditempelkan Palupi, lantas saja mereka bersin. Pada saat itu juga mereka menjenakkan mata .. Dalam pada itu, Palupi mulai bekerja. Ia menyenduk air mendidih dalam kuali besar dengan sebuah gayung. Air mendidih itu dibuangnya dan diganti dengan air dingin. Sembari menuang air d ingin, tak lupa ia mena burkan bubuk bunga birunya. Menyaksikan hal itu, paras muka Janggel - Roha yang tadinya guram lant as saja berubah girang. Mereka tahu bahw a Palupi sedang menolong puterinya. Serentak mereka bangun berdiri mengawasi gerak-gerik adik seperguruannya itu dengan membungkam mulut. Lingga W isnu menoleh dan mengamati w ajah mereka. Nampaknya masih bimbang. Hal itu dapat dimengerti. Puterinya kena racun adik seperguruannya, dan kini gadis yang meracuni anaknya datang menolongnya. Inilah pekerti yang tak pernah terlint as dalam benak mereka. Janggel dan Roha tadi sudah berusaha mati-matian untuk menolong jiwa puterinya itu dengan hati kurang yakin. Sekarang Palupi dapat memunahkan racun dengan cekatan dan pasti. Tentulah gadis itu sudah mewarisi seluruh kepandaian gurunya. Menyadari hal itu, mereka berdua nampak jelas. Akan tetapi mereka mati kutu, bukankah dalam waktu singkat saja mereka berdua dan kakak seperguruannya Panjisangar roboh ditangan adik seperguruannya itu ? . Palupi tidak menghiraukan kesan mereka, ia tetap bekerja dengan tekun dan sungguh-sungguh. Seperti tadi, setiap kali air mendidih, ia me nyendok dengan gayung dan membuanqnya. Kemudian diganti dengan segayung air dingin. Direbus secara begitu, racun yang mengeram di dalam tubuh Sukasah terhisap perlahanlahan oleh bubuk pemunah. Setelah beberapa lama, Palupi kemudian berpaling kepada Mawas. Berkata memerint ah .
"Paman Mawas, hayolah turun tangan! Tunggu sampai kapan lagi? Bukankah sekarang saat yang paling baik? "
"Baiklah,"
Jawab si tukang pandai besi sambil mengambil sepotong kayu bakar. Dan selagi Lingga W isnu sedang merasa heran, tiba-tiba tangan Mawas yang menggenggam kayu bakar terayun memukul kepala Janggel.
"He, gila kau!"
Bentak Janggel dengan suara gusar. Segera ia hendak menggerakkan tangannya, tetapi isterinya mencegah .
"Kangmas Janggel, saat ini adik k ita sedang menolong jiwa anak kita satu-satunya. Budi ini bukan main besarnya. Menerima pukulan beberapa kali tanpa membalas, rasanya bukan apa-apa. Kau terima saja dengan ikhlas, orang itu hanya melaksanakan perint ah adik kita."
Mendengar kata-kata isterinya, Janggel jadi tercengang. Akan tetapi akhirnya ia nenundukkan kepala. Lalu berkata dengan suara menahan rasa gusar.
"Baiklah."
Dan ia menyerahkan dirinya kepada situkang besi untuk digebuk pulang-balik sampai babak belur.
"Anjing!"
Teriak Mawas, situkang besi itu.
"Kau sudah merampas sawah ladangku, rumahku dan kau paksa pula aku membangun rumah besi ini. Jangankan, kau merasa hutang budi atau memberi upah kepadaku. Bahkan kau gebuki aku sampai nyaris mati. Lihatlah, tulang igaku patah tiga! Dan hampir satu tahun aku terpaksa rebah tidak berdaya. Karena sawah ladangku kau injak dan rumahku kau rampas, aku terpaksa mengobati luka itu dengan sisa-sisa barangku yang masih ada. Anjing! Aku ini orang miskin, kenapa engkau begitu kejam dan biadab? Apa aku pernah mengganggu selembar rambutmu? Oh, Tuhan ...! Akhirnya pada hari ini aku bisa bertemu dengan kalian berdua!"
Sambil terus memaki, tukang besi itu memukul, menghantam dan menendang kalang kabut tubuh Janggel.
Meskipun tidak memiliki himpunan tenaga sakti, akan tetapi pukulannya cukup keras, karena tangannya terlatih sebagai t ukang pandai besi.
Kayu pembakar yang digunakan sebagai alat penggebuk, patah dalam tujuhdelapan kali sabetan saja.
Dapat dibayangkan, bahwa Janggel sangat menderita karenanya.
Namun dengan mengertak gigi ia menerima pukulan-pukulan pandai besi itu tanpa membalas atau mengelak.
Sekarang tubuhnya serta mukanya tidak hanya babak belur, tetapi mulai berdarah.
Dalam pada itu Lingga W isnu yang berotak cerdas, lantas saja dapat menebak latar belakang peristiwa itu.
Tukang besi itu rupanya menyimpan dendam begitu rupa kepada suami isteri Janggel - Roha.
Oleh pertolongan Palupi, dapatlah ia melampiaskan dendamnya.
Dia sendiri adalah seorang anak yang mendendam pula terhadap lawan-lawan ayah-bunda dan saudaranya yang mati penasaran.
Karena itu, menyaksikan betapa si tukang besi dapat melampiaskan dendamnya, hatinya mendadak ikut bersyukur pula.
Tak sekehendaknya sendiri ia memanjatkan doa syukur kepada Tuhan yang Maha adil.
Dalam waktu yang pendek saja, tiga potongan kayu bakar sudah patah untuk alat penggebuk.
Muka dan seluruh t ubuh Janggel berlumuran darah, t ukang besi itu lalu menghentikan gebukannya.
Betapapun juga dia bukan manusia kejam.
Segera ia melemparkan kayu bakarnya ke tanah.
Lalu menghadap Palupi.
Sambil membungkuk hormat ia berkata .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nona Palupi. Pada hari ini engkau telah menolong aku melampiaskan dendam. Budimu ini takkan kulupakan selama-lamanya. Entah dengan cara bagaimana aku dapat membalas budimu."
"Paman Mawas. Tak usah kau berkata demikian,"
Sahut Palupi. Kemudian menoleh kepada Roha. Katanya.
"Ayunda, kembalikanlah sawah ladang dan rumahnya. Aku mohon kepadamu, agar mulai saat ini ayunda berdua jangan membalas sakit hati kepadanya lagi. Maukah ayunda berdua berjanji?"
"Selama hidupku, tak akan lagi menginjak daerahnya,"
Jawab Roha dengan angkuh.
"Akan tetapi jangan harap aku akan melupakan peristiwa yang terjadi pada hari in i."
"Baiklah,"
Sahut Palupi memaklumi.
"Paman Mawas, kau pulanglah dahulu. Di sini tiada lagi sangkut -pautnya dengan perkaramu. Semuanya sudah beres, bukan?"
Dengan muka berseri-seri, tukang besi itu memungut beberapa potongan kayu bakar yang berlumuran darah. Berkata.
"Orang itu sangat jahat. Tetapi aku telah dapat melampiaskan dendamku. Perkenankan aku menyimpat alat penggebuk pembalas dendam ini,sebagai kenangkenangan."
Setelah berkata demikian, kembali ia membungkuk hormat kepada Palupi kemudian memutar tubuhnya meninggalkan ru angan itu dengan langkah panjang.
Melihat pandang rata tukang besi yang berseri-seri itu, jant ung Lingga W isnu t ergoncang.
Itulah suatu keserian yang membersit dari rasa syukur luar biasa.
Ia jadi ingat dirinya sendiri.
Apabila dikemudian hari ia juga berhasil melampiaskan dendamnya, pastilah akan segirang dia pula.
Teringat pula ia kepada musuh musuhnya yang kejam.
Kekejaman mereka tiada beda dengan kebengisan Janggel dan Roha.
Mengingat pekertinya yang busuk, bukanlah suatu hal yang mustahil, akan mengejar si tukang besi untuk menganiaya sekali lagi, begitu Palupi meninggalkan rumahnya.
Memperoleh pikiran demikian, segera Lingga W isnu lari mengejar Mawas sambil berseru ia berkata .
"Paman Mawas, menurut pendapatku, Janggel dan Roha bukanlah manusia baik, karena itu, lebih baik paman mengungsi jauh-jauh. Sawah dan ladang serta rumah paman segera dijual saja dan dengan bekal uang hasil penjualan itu, hendaklah paman mencari daerah yang jauh dan aman dari perbuatan mereka."
Mawas, si tukang besi tercengang.
Sejenak kemudian ia terperanjat.
Benar, plkirnya.
Mereka berdua, suami isteri Janggel dan Roha adalah manusia-manusia beracun.
Kemungkinan besar mereka akan datang kembali untuk menyakiti dirinya.
Akan tetapi menjual sawah ladang dan rumah yang telah didiami belasan tahun alangkah sayang.
Rasa c int a kepada kampung halaman sudah demikian meresap di dalam d irinya.
Maka berkatalah dia mencoba minta pertimbangan .
"Tetapi, bukankah mereka berdua sudah berjanji kepada nona Palupi? Masakan mereka akan melanggar janjinya sendiri?"
Palupi tadi menyesali Lingga W isnu, nengapa ia memperkenalkan namanya terhadap suami isteri Janggel dan Roha. Pastilah hal itu ada alasannya yang kuat. Itulah sebabnya begitu ia mendengar ucapan Mawas, Lingga W isnu lalu berkata meyakinkan .
"Mereka berdua adalah manusia beracun, kataku t adi. Apakah paman percaya kepada janji janji orang seperti mereka?"
Mawas seperti tersadar dari tidurnya. Dengan suara nengeluh ia berkata.
"Benar, benar! Baiklah, kalau begitu aku harus nenyingkir jauh-jauh."
Setelah berkata demikian, dengan bergegas ia nenuju ke ambang pintu. Sekonyong-konyong pula ia berhenti lalu menoleh dan berkata kepada Lingga W isnu .
"Terima kasih, anakku. Siapa namamu?"
"Lingga W isnu,"
Jawab Lingga W isnu pendek.
"Lingga W isnu, alangkah bagus namamu!"
Sera Mawas si t ukang besi. Tiba-tiba ia tersenyurn. Kemudian berkata setengah berbisik .
"
Aku harap dengan sangat, hendaklah engkau memperhatikan nona Palupi selama hidupmu."
Mendengar ucapan Mawas, Lingga W isnu tercekat hatinya berbareng heran. Bertanya menegas .
"Apa maksud paman?"
"Anakku, Lingga,"
Kata Mawas dengan sungguh sungguh.
"Selama hidup aku ini hidup sebagai pandai besi. Tetapi meskipun tolol, tidaklah set olol kerbau. Umurmu ampat atau limatahun lebih muda dari dia. Meskipun demikian, ia sangat memperhatikan dirimu. Dia seorang gadis yang suci bersih, berhati mulia dan berkepandaian tinggi. Tahukah engkau siapa dia sebenarnya, selain kau kenal sebagai murid Ki Sarapada? Sebenarnya dia anak seorang maha sakti. Karena itu baik-baiklah engkau bergaul dengan dia."
Setelah berkata demikian, Mawas memutar t ubuh dan keluar ambang pintu dengan tertawa.
Keruan saja Lingga W isnu tak dapat menyelami arti kata-katanya.
Secara naluriah tiba-tiba ia merasa malu seperti melihat seorang perempuan bertelanjang bulat dihadapannya.
Untuk mengatasi perasaan nalu riahnya itu, ia berseru membalas .
"Paman, sampai bertemu lagi ! "
"Anakku, sampai bertemu kembali!"
Jawab Mawas.
Ia lalu mengumpulkan alat-alat besinya ke dalam keranjang.
Setelah lengkap semua, segera ia memikulnya berjalan pulang ke kampungnya dengan hati lega.
Kirakira sepuluh langkah berjalan, ia bersenandung.
Itulah suatu bukti kesederhanaan hatinya.
Ia menangis sewaktu sedih, ia membungkam mulut sewaktu prihatin, dan tertawa serta bersenandung tatkala hatinya tegar.
Seperti seorang hukuman melihat salah se orang sahabatnya memperoleh kebebasannya kembali, Lingga W isnu menghela napas karena jelus, irihati atau ikut bersyukur.
Dan dengan langkah perlahan ia berjalan kembali ke dapur.
Tatkala itu Sukasah telah sadar dari pingsannya, ia sudah berdiri di atas lant ai dengan berkerebong selimut kain panjang.
Terhadap Palupi, keluarga Janggel dan Roha jelus, dengki dan benci.
Akan tetapi menyaksikan kepandaian gadis itu dalam hal menggunakan obat dan racun.
Mau tak mau, mereka merasa sangat kagum.
Dengan berdiri tegak mereka menatap pandang Palupi seakan-akan persakitan menunggu keputusan hakim dengan membungkam mulut.
Sama sekali mereka bertiga tidak menghaturkan rasa t erima kasihnya.
Palupi sendiri tak menghiraukan sikap mereka yang dingin itu.
Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan tiga ikat rumput obat kering berwarna putih.
Diletakkannya ketiga ikat rumput obat kering itu diatas meja, kemudian berkata.
"Rumah kalian tidak lagi merupakan rumah tertutup. Sekalian pohon-pohon racunmu sudah kupunahkan. Karena itu pada suatu kali musuh kalian Anung Sukahar, sew aktu-waktu dapat memasuki rumah in i. Karena itu kalian bisa memilih, keluar atau tetap berada di dalam rumah ini. Kedua-duanya sama saja bahayanya bagi kalian bertiga. Inilah rumput Kalajana, yang dahulu kut anam diant ara bunga Badjararinonce. Dengan membakar rumput ini, kukira kalian sanggup mengundurkan gangguan Anung Sukahar, akan tetapi semenjak ini, janganlah engkau mengambil jiwa orang dengan sesukamu sendiri. Kuharapkan pula agar permusuhan kalian dengan keluarga Anung Sukahar dapat diselesaikan dengan damai."
Paras muka Janggel dan Poha berubah-rubah.
Kadang merah-padam.
Kadang pula nampak berseri.
Mereka merasa girang dan bersyukur karena memperoleh pertolongan.
Sebaliknya mereka mendongkol karena harus mendengarkan segala petuah dan ceramah adik seperguruannya yang masih kanak-kanak.
Itulah suatu penghinaan luar biasa bagi mereka.
Meskipun danikian, mereka tak dapat memungkiri kenyataan.
Janggel segera mengatasinya dengan berkata.
"Adik Palupi, terima kasih atas segala perhatianmu ini."
"Hmm."
Dengus Lingga W isnu di dalam hati.
"Engkau berterima kasih terhadap alat pemunah lawan, dan bukan karena tertolongnya jiwa anakmu."
Setelah suaminya menghaturkan terima kasih, Roha mengeluarkan sebuah botol kecil, yang kemudian diserahkan kepada Palupi. Katanya .
"Adikku, inilah obat pemunah racun Pacarkeling. Aku percaya, engkau bisa membuatnya sendiri. Akan tetapi kukira tak keburu lagi untuk menolong temanmu itu."
Mendengar disebutnya racun Pacarkeling, hati Lingga W isnu te rcekat.
Ia girang tercampur heran.
Bagaimana ia dapat melihat racun Pacarkeling yang mengeram di dalam dirinya dengan sekali melihat saja? Sedang hatinya penuh pertanyaan demikian, ia melihat Palupi menerima botol pemberian Roha.
Gadis itu segera memeriksanya dan kemudian menoleh kepada Lingga W isnu.
Katanya lembut .
"Adik yang baik, orang yang berhati mulia di mana tempat mudah memperoleh pertolongan Tuhan. Terimalah!"
Setelah berkata demikian kepada Lingga W isnu, gadis itu berputar arah kepada Sukasah. Katanya dengan suara angker .
"Sukasah! Kenapa engkau memberikan racun Pacarkeling kepada orang luar?"
Sukasah terkesiap. Ia heran bukan main,bagaimana Palupi bisa mengetahui rahasia itu yang ditutupnya rapat-rapat. Karena ditanya secara mendadak, ia menjawab dengan gugup .
"Aku aku ..."
"Adik Palupi,"
Kata Janggel.
"Sukasah memang keterlaluan. Dan aku sudah menghajarnya."
Setelah berkata demikian, ia berjalan mendekati puterinya.
Kemudian memutar tubuh Sukasah sehingga memunggungi Palupi dan Lingga W isnu.
Dibukanya selimut kain panjang yang menutupi punggung puterinya, dan begitu selimut kain tersibak, nampak punggung Sukasan penuh jalur bekas sabetan cambuk yang bersemu darah.
Sebenarnya tatkala menolcng melarut kan racun yang mengerarn di dalam tubuh Sukasah, Palupi melihat bekas sabetan cambuk tersebut.
Tetapi mengingat bahwa perbuatan Sukasah melanggar undang-undang gurunya, merupakan kesalahan sangat besar, ia wajib menegor.
Bahwasanya Sukasah telah memberikan racun Pacarkeling kepada orang luar, diket ahui Palupi tatkala Roha menyerahkan obat pemunahnya.
Ia teringat pula bahw a racun Pacarkeling yang mengeram di dalam tubuh Lingga W isnu.
Pada saat itu serasa ia dengar suara gurunya mengiang dalam telinganya .
"Jika engkau sendiri yang meracuni orang, andaikata kesalahan tangan, segera engkau dapat memberi pertolongan. Sebaliknya apabila racun itu jatuh ke tangan orang lain yang kemudian menggunakannya untuk mencelakakan orang baik-baik, maka korban itu takkan tertolong lagi. Dosa ini sepuluh lipat besarnya dari pada meracuni orang dengan tangan sendiri."
Palupi percaya bahw a larangan demikian itu pastilah sudah sering dikatakan kepada Sukasah, oleh kedua orang tuanya.
Kenapa dia masih melanggar juga? Pastilah ada latar belakangnya yang beralasan kuat.
Sebenarnya Palupi ingin mint a keterangan lebih jelas lagi.
Akan tetapi karena anak itu sudah dihajar keras oleh kedua orang tuanya, ia merasa t ak sampai hati.
Segera ia mengambil keputusan untuk berangkat saja.
Katanya sambil membungkuk hormat kepada kedua kakak seperguruannya.
"Kangmas Janggel berdua, maafkan aku. Pada akhirakhir in i aku banyak melakukan kesalahan kepada kangmas berdua. Sampai bertemu lagi."
Janggel segera membalas hormat, akan tetapi tidak demikian halnya Roha.
Perempuan bongkok itu hanya mendengus.
Sudah barang tentu Palupi tahu akan arti itu, namun ia tidak menghiraukan.
Dengan memberikan isyarat mata kepada Lingga W isnu, ia mendahului bertindak keluar ruangan.
Baru saja ia hendak melangkah ambang pint u, Janggel mengejar berseru .
"Adik! Adik!"
Palupi memut ar tuhuhnya. Dan begitu melihat paras muka kakak seperguruannya penuh rasa bimbang dan guram, segera ia mengetahui apa yang berkutik di dalam hatinya. Dengan tertawa manis Palupi berkata .
"Kangmas Janggel, apakah yang menyulitkan hatimu?"
"Keluarga Anung Sukahar berjumlah tiga orang. Himpunan ilmu saktinya sangat tinggi dan untuk mengundurkan mereka bertiga, kami membutuhkan bantuan seorang lagi,"
Sahut Janggel.
"Himpunan tenaga sakti dalam tubuh Sukasah, kemenakanmu, masih terlalu dangkal. Karena itu ingin aku memohon kepadamu ..."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tak dapat menyelesaikan perkataannya, karena tiba-tiba hatinya menjadi segan. Palupi tersenyum. Dan segera menunjuk ke keranjang bambu yang menggeletak di luar pintu.
"Kangmas Panjisangar berada di dalam keranjang itu! Bubuk bunga biru Badjrarinonce ada ditangan ayunda Roha dan cukup untuk memunahkan racun yang mengeram di dalam tubuh kangrnas Panjisangar. Kangmas Janggel, kenapa engkau tak mau menggunakan kesempatan sebagus ini untuk memperbaiki hubunganmu dengan kangmas Panjisangar? Jika engkau memberikan pertolongan kepadanya ia tentu akan membantu kesulitanmu juga."
Mendengar keterangan Palupi, bukan main g irang hati Janggel.
Belasan tahun lamanya ia bermusuhan dengan kakak seperguruannya sendiri.
Sebenarnya ingin ia memperoleh kesempatan untuk damai, akan tetapi selalu gagal.
Bahkan makin lama makin mendalam.
Sama sekali tak pernah di duganya, bahwa adik seperguruannya yang masih belum pandai beringus itu dengan mudah saja dapat mengatur siasat yang mengagumkan.
Kecuali mengundurkan lawan berbareng memperbaiki perhubungan antara sesama saudara seperguruan.
Keruan saja hati Janggel jadi terharu.
Setelah menghaturkan terima kasihnya, segea ia mengambil keranjang bambu itu.
Dalam pada itu Lingga W isnu sudah memungut bunga birunya lagi yang t adi diletakkan di luar .
Palupi mengalihkan perhatiannya kepadanya.
Kemudian ia berpaling lagi kepada Janggel dan berkata.
"Kangmas Janggel. Kepala dan hampir seluruh tubuhmu mengalirkan darah. Tetapi begitu hawa racun yang mengeram di dalam tubuhmu ikut merembes keluar pula. Kuharap janganlah engkau menaruh dendam terhadap perbuatanku yang kurang ajar t adi."
Lagi-lagi Janggel terkejut seperti orang yang tersadar dari t idur nyenyak.
Pikirnya di dalam hati.
'A kh, baru sekarang aku tahu, bahwa perint ahnya agar pandai besi itu memukul aku sebenarnya, kecuali menghukum kesalahanku, juga mengandung maksud baik.
Racun yang mengeram di dalam tubuhku kini sudah hilang, sebaliknya pada Roha masih ada.
Kalau begitu aku harus mengeluarkan darahnya pula agar ia t erhindar dari keracunan.' Memperoleh pengertian itu, ia merasa benar benar takluk terhadap adik seperguruannya yang jauh lebih muda dari dirinya.
Benar-benar si kecil itu banyak akal dan lebih unggul dari pada dirinya sendiri.
Segera lenyaplah napsunya untuk merebut atau merampas buku warisan gurunya yang berada di tangan Palupi.
Dengan berdiam diri Palup i dan Lingga W isnu meninggalkan rumah aneh itu.
Di dalam benak Lingga W isnu berkecamuk banyak persoalan yang berkelebatan tiada hentinya.
Ia menggeridik tatkala mereka bertiga tadi membicarakan perkara racun Pacarkeling.
Berbagai pertanyaan timbul dalam hatinya.
'A ku terkena racuh Pacarkeling.
Siapa yang melukai aku, agaknya set an dan iblis yang tahu.
Kini set itik cahaya menyingkap kabut tebal itu.
Sukasah memberikan racun kepada seseorang.
Sayang, ayunda Palupi tidak mint a keterangan kepadanya, siapa orang itu.
Ia kecew a dan menyesali Palupi.
Akan tetapi tiba-tiba suatu pertimbangan lain menusuk benaknya.
Katanya didalam Kati.
'Dalam semua sepak terjangnya, gadis in i selalu mengandung dua maksud yang saling bertentangan.
Dia menggebuk sambil menolong.
Dia tak mau mint a keterangan yang lebih jelas lagi tentang orang yang membawa racun Pacarkeling dari tangan Sukasah.
Apakah dia bermaksud melindungi aku? Memang hatiku penuh dendam terhadap orang itu dan semua yang membunuh ayah-bunda dan saudaraku.
Tetapi aku belum mempunyai kepandaian yang berarti.
Kalau mendadak hatiku panas dan ingin melampiaskan dendamku, bukankah sama saja artinya aku mengantarkan jiwaku sendiri?' Dan memperoleh pertimbangan demikian, hatinya menjadi lega.
Tatkala itu fajar telah menyingsing.
Mereka berdua sudah bekerja berat dan semalaman sunt uk tidak memejamkan mata.
Meskipun demikian karena terselimut kesejukan hawa pegunungan yang segar, sarna sekali rereka t idak merasa letih.
"Ayunda Palupi, bagaimana engkau tahu bahwa Sukasah kena racun Badjrarinonce?"
Tanya Lingga W isnu.
"Dalam kegelapan malam, mataku tak dapat melihat tegas."
"Mula-mu la sew aktu melihat kawanan anjing hutan itu, kukira yang datang adalah salah seorang keluarga Anung Sukahar,"
Sahut Palupi.
"Akan tetapi begitu melihat pada leher orang itu terikat seikat rumput obat, segera aku mengetahui bahwa ia adalah Sukasah."
"Apakah sebeIumnya kau pernah melihat Sukasah?"
Potong Lingga W isnu.
"Belum pernah aku melihat orangnya, tetapi kenal namanya."
Jawab Palupi dengan sederhana. Kemudian meneruskan.
"Kemudian kuserang dia dengan paku beracun milik kangmas Panjisangar dan paku itu sangat terkenal diant ara kita sesama rumah perguruan. Itulah salah satu senjata guruku yang diajarkan kepadanya. Namanya paku Yomani. Sudah barang tentu kangmas Janggel berdua menemukan surat tulisan kangmas Panjisangar yang sebenarnya tulisanku sendiri. Itulah sebabnya pula mereka berdua menuduh kangmas Panjisangar meracuni anaknya."
"Dari mana kau peroleh senjata rahasia kakakmu Panjisangar?"
Tanya Lingga W isnu.
"Adik yang balk, engkau bukan anak tolol. Pastilah engkau bisa menebaknya,"
Jawab Palupi dengan tertawa lebar. Lingga W isnu berdiam sejenak, kemudian ia berkata nyaring seperti baru tersadar.
"Akh, sekarang tahulah aku. Pada saat itu kakakmu Panjisangar t elah kau bekuk dan kau masukkan ke dalam keranjang. Bukankah begitu? Dan engkau mengambil sebuah paku Yomaninya."
"Benar,"
Sahut Palupi.
"Melihat bunga biru itu kangmas Panjisangar sudah menaruh curiga. Ia mengikuti dirimu tatkala engkau berdua mint a keterangan jalan yang menuju ke rumah guru. Dan akhirnya ia masuk ke dalam keranjangku."
Mereka berdua lantas tertawa gembira. Tiba tiba wajah Palupi berubah menjadi sungguh-sungguh. Katanya .
"Adik Lingga, racun Pacarkeling yang mengeram di dalam dirimu itu belum larut seluruhnya. Sewaktu-waktu engkau masih akan terserang hawa yang dingin luar biasa. Karena itu obat pemunah hadiah ayunda Roha harus kau telan secepat mungkin."
Diingatkan tentang racun Pacarkeling yang mengeram di dalam dirinya, Lingga W isnu segera menceritakan bagairnana terjadinya.
Maksudnya ia hendak memperoleh keterangan pula siapakah orang yang memukul dirinya dengan racun Pacarkeling.
Akan tetapi Palupi hanya bersikap diam saja.
"Ayunda Palupi, kemarin aku menerangkan kepadamu bahw a orang tua dan sekalian saudaraku tiada lagi. Mereka sesungguhnya coati terbunuh oleh lawan-lawan yang belum kuketahui dengan jelas."
Kata Lingga W isnu menambahi.
Dan sekali lagi, tanpa dimint a Palupi dengan sukarela mengisahkan riwayat hidupnya.
Dan mendengar riwayat hidup Lingga W isnu, Palupi nampak menundukkan kepalanya.
Tetapi gadis itu tetap membungkam mulut .
Tak terasa mereka berdua sudah tiba kenbali ke gubuk Palupi.
Aruji masih nampak tidur nyenyak.
Palupi segera mengeluarkan obat pemunah dan diberikannya kepada Lingga W isnu.
Kemudian ia mencari cangkulnya dan berangkat ke ladang untuk mengatur kembali bungabunga birunya yang semalam terinjak-injak kuda Sukasah dan kawanan anjing liar.
Menyaksikan hal itu, segera Lingga Wisnu menjejalkan obat pemunah ke dalam mulut Aruji.
Kemudian ia mencari cangkul pula dan menyusul ke ladang untuk membantu Palupi.
Semalam penuh ia bekerja berat, dan sama sekali tidak memicingkan mata.
Namun begitu, ia berangkat ke ladang juga untuk merawat kembali bunga-bunga birunya.
Dia sudah begitu memperhatikan diriku, kalau aku tidak membantu apa yang menjadi perhatiannya, maka aku adalah manusia yang tak mengenal budi, pikir Lingga W isnu sambil bekerja dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi sebenarnya dia tak boleh bekerja menggunakan tenaga yang berlebihan.
Karena racun Pacarkeling yang masih mengeram dalam tubuhnya.
Meskipun Palupi seorang gadis yang kurus kering, akan tetapi kesehatannya menang seratus kali lipat apabila dibandingkan dengan Lingga W isnu.
Inilah perhitungan yang tak pernah terpikirkan oleh Lingga W isnu.
Bocah itu hanya menurut i luapan perasaannya belaka yang penuh dengan tata susila dan kemanusiaan.
Matahari sudah sepenggalah t ingginya tatkala tiba-tiba seseorang nenegor dirinya .
"Hai, adik Lingga! Kau sudah bisa bergerak bahkan mencangkul pula, apakah aku sedang mimpi?"
Serentak Lingga W isnu menoleh dan melihat Aruji berdiri di pengempangan ladang dalam keadaan segar bugar.
W ajahnya nampak bersemu merah, satu tanda kesehatannya telah pulih kembali.
Tetapi justru pada saat itu suatu gumpalan hawa dingin bergolak hebat di dalam perut Lingga W isnu.
Ia terkejut, buru-buru diletakkannya cangkulnya dan menbungkukkan tubuhnya.
Dengan mengertak gigi ia menahan rasa sakit luar b iasa sedangkan tubuhnya lantas saja menggigil dan kanudian roboh terguling ke atas t anah.
Keruan saja hal itu membuat Aruji kaget setengah coati.
Dengan sekali menjejak tanah ia melesat mengham piri dan memeluk Lingga W isnu.
Teriaknya .
"Adik! Adik! Kau kenapa? Apakah kau kumat lagi?"
"Abang Aruji ......... aku bersyukur karena kau telah sehat kembali,"
Sahut Lingga W isnu dengan suara lemah. Aruji jad i kebingungan. Tubuh Lingga W isnu terasa dingin sekali. Dengan sekehendaknya sendiri ia menoleh kepada Palupi. Gadis itu berhenti mencangkul dan berkata .
"Bawa masuk saja ke dalam rumah!"
"
Sebenarnya bagaimana? Sejak kapan ia bisa menggerakkan kaki dan tangannya? Dan kenapa tiba-tiba ia roboh kembali?"
Aruji menegas dengan suara menggeletar.
"Aku bilang, bawa dia masuk ke dalam rumah!"
Sahut Palupi dengan suara dingin.
Kanudian ia berjalan mendahului mengarah ke rumahnya.
Meskipun dalam hati Aruji masih penuh pertanyaan, tetapi pemuda itu tak berani membuka mulut lagi.
Segera ia memondong tubuh Lingga W isnu dan dibawanya berjalan mengikut i Palupi.
"Kau berkata, engkau keponakan Ki Sarapada, bagaimana engkau memanggil padanya?"
Tanya Palupi setelah Aruji meletakkan Lingga W isnu diatas dipan. Aruji terkesiap. Menyahut "Paman."
"Apakah dia kakak ibumu?"
"Bukan. Aku memanggil paman padanya, karena aku termasuk sealiran dengan dia."
"Hem!"
Dengus gadis dusun itu.
"Apakah kau seorang anggauta Ngesti Tunggal?"
"Benar."
"Engkau sudah tahu, tatkala dia kau bawa menginap ke mari, sudah dapat menggerakkan kaki dan t angannya. Mengapa hal itu kau tanyakan padaku?"
Tanya Palupi dengan wajah bersungguhsungguh. Aruji bercekat hatinya. Mendadak pikirannya yang seperti diliputi kabut menjadi terang kembali. Terus saja katanya sambil menepuk kepalanya .
"Akh, benar! Kenapa pikiranku menjadi kacau begini? Tatkala dia kembali dari rumah aneh itu, kaki tangannya sudah dapat digerakkan. Ia bahkan berseru dan menegas kepadaku, apakah hal itu hanya suatu mimpi belaka. Aku menegaskan bahwa dia bisa bergerak benar-benar. Hanya saja aku tak tahu, bagaimana dia b isa menggerakkan kaki dan tangannya dengan tiba-tiba saja?"
Palupi tidak segera menjawab. Ia memeriksa denyut nadi dipergelangan tangan Lingga W isnu. Sejenak kamudian berkata .
"T ahukah engkau, racun apakah yang mengeram di dalam tubuhnya?"
"Aku hanya mendengar keterangan dari kakek gurunya Kyahi Basaman. Dia terkena pukulan tangan jahat yang beracun. Racun itu racun Pacarkeling."
Jawab Aruji. Palupi tersenyum. Agaknya ia puas. Kemudian memanggut kecil. Katanya .
"Apakah bocah ini anggauta Ngesti Tunggal pula?"
"Bukan,"
Sahut Aruji dengan suara tegas.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tatkala kubawa dia mendaki gunung Merapi, aku berjanji kepada kakek gurunya. Bahwasanya tujuanku hendak membalas budi dengan mengandalkan kesaktian paman Sarapada. Dan apabila d ia dapat disembuhkan kembali, tak perlu merasa berhutang budi. Aku berkata kepada Kyahi Basaman bahw a untuk kesemuanya itu tak perlu dia masuk ke dalam golongan kita."
Palupi menatap wajah Aruji dengan pandang heran. Tanyanya tak mengerti .
"Kakek bocah ini mengapa begitu picik pandangannya terhadap golongan kita?"
"Entahlah,"
Sahut Aruji dengan tertawa melalui dadanya. Kemudian meneruskan.
"Golongan kita ini disebut aliran ib lis. Mereka yang menamakan diri orang yang berTuhan, jijik bersent uhan dengan orang dari golongan kita."
"Oh, begitu?"
Dengus Palupi dengan suara kecewa.
Dan hati Aruji bercekat.
Ia, khawatir Palupi tidak mau menolongnya lagi, setelah mendengar bahwa kakek guru Lingga W isnu memandang aliran Ngesti Tunggal sebagai golongan iblis Yang menjijikkan.
Maka buru-buru ia berkata dengan suara memohon .
"Sebenarnya setelah aku bertemu dengan paman Sarapada, segera aku akan membicarakan hal in i. Sayang sekali sampai hari ini, aku belum berhasil menghadap beliau. Apakah engkau masih sudi menunjukkan di manakah tempat tinggalnya?"
"Hmmm!"
Dengus Palupi. Ia diam beberapa saat lamanya. Kemudian berkata.
"Engkau menyebut beliau paman, bukan?"
"Benar!"
"Beliau adalah guruku."
"Akh ! "
Aruji kaget sampai berjingkrak.
Tetapi dia seorang pemuda berpengalaman dan cerdas.
Kemarin, meskipun dapat berjalan seperti sediakala, namun tenaga saktinya belum pulih kembali.
Tetapi pada pagi hari ini, ia merasa diri sehat benar.
Bahkan di dalam tubuhnya terasa segumpal hawa hangat yang nyaman luar biasa berputar-putar menembus peredaran darahnya.
Itulah suatu tanda bahwa dirinya sudah pulih.
Padahal dia belum bertemu dengan pamannya Ki Sarapada.
Kalau begitu, siapa lagi yang menolongnya, selain gadis di depannya ini? Maka segera ia menjatuhkan diri dan bersimpuh di hadapannya.
Katanya dengan suara memohon .
"Dengan sekali melihat t ahulah sudah kau bahwa anak ini terkena pukulan jahat PacarKeling. Maka aku yakin, pastilah engkau mempunyai pegangan untuk menyembuhkannya. Aku sendiri yang menderita pukulan jahat dapat kau sembuhkan hanya dalam waktu satu malam saja. Ini semua membuktikan, bahwa engkau sudah mewarisi kepandaian paman Sarapada. Teringatlah aku akan suatu pepatah. menolong jiwa orang lebih penting dari pada menolong rumah tingkat tujuh yang terbakar api. Memang sekali menolong orang, seyogyanya jangan setengah-setengah."
"Hmmm! Rupanya engkau pandai berkhotbah di hadapanku,"
Potong Palupi dengan memberengut.
"Bukan begitu! Aku telah berhutang budi terhadap kakek gurunya, maka dengan ini aku mo hon kepadamu agar engkau menolong cucunya."
"T ak kukira engkau ternyata seorang bajik. Engkau tahu pula membalas budi,"
Kata Palupi dengan suara dingin.
"Yang berhutang budi adalah engkau, bukan aku!"
Cepat-cepat Aruji membungkukkan badan dan menundukkan kepala sampai mencium bumi. Katanya dengan suara putus asa.
"Adik yang baik, adik kecil ini anak seorang pendekar sejati. Aku percaya bahwa darah ayahnya mengalir dalam dirinya. Kita boleh kehilangan ribuan orang yang tiada gunanya. Akan tetapi apabila sampai kehilangan seorang berjiwa kasatria, sesungguhnya sangat disayangkan"
"Apakah seorang pendekar sejati mesti baik hatinya? Haih, di dalam jagad in i berapa jumlahnya orang yang berhati baik? Kalau aku harus menyembuhkan orangorang berhati baik diseluruh dunia in i, mestinya aku harus mempunyai tangan seribu dan kaki seribu pula,"
Kata Palupi lagi. Kemudian ia menghela napas panjang. Berkata meneruskan.
"Sekiranya dia salah seorang anggauta golongan kita, masih mau aku berusaha menolong jiwanya. Sebaliknya, dia adalah cucu seorang pendekar yang mengaku dirinya seorang kasatrya sejati dan memandang hina kepada golongan kita. Kenapa dia tidak mencari seorang dukun pandai lain saja?"
"Sebenarnya akulah yang membawa adik kecil in i ke mari,"
Sahut Aruji.
"Oh, begitu?"
Palupi mengerutkan kening.
o))0oodwoo0((o 1.
Mimpi Lingga Wisnu Lingga Wisnu sendiri kala itu kehilangan kesadarannya .
Satu kekuatan yang berada diluar kemampuannya merenggut dirinya.
Ia di bawa terbang tinggi ke udara menyusupi gumpalan gumpalan awan, kemudian dibanting ke atas tanah sehingga debu lantas saja membubung tinggi dan matanya menjadi gelap.
Selagi demikian, tiba-tiba ia mendengar deru angin melanda bumi.
Dan debu yang menutupi penglihatannya dibawa buyar berderai.
Segera ia mengucak matanya.
Dan tibatiba saja ia sudah berada di dalam sebuah ruangan besar.
Aruji berada disampingnya.
Dan didepannya berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih tujuh puluh t ahun.
Perawakan orang itu tinggi kurus-kering.
Kepalanya setengah botak sehingga dahinya menonjol ke depan dan matanva kelihatan sipit.
Hidungnya kecil akan tetapi lobangnya terlalu besar.
Melihat dirinya, orang itu tertawa lalu berkata dengan suara parau .
"Hai, tahukah engkau siapa aku? Akulah Sarapada, tabib sakti tak ubah malaekat yang sanggup menghidupkan manusia yang sudah terkubur di dalam bumi seribu t ahun. Kau percaya, tidak?"
Aruji lantas saja menjatuhkan diri. Setelah bersembah sampai mencium bumi, ia berkata dengan suara mint a belas kasihan .
"Paman, meskipun ayahnya murid Kyahi Basaman yang mengaku diri dari aliran suci dan memandang jijik kepada aliran kita, akan tetapi ibunya adalah puteri Panembahan Larasmaya yang sealiran dengan kita."
Mendengar kata-kata Aruji, Ki Sarapada yang pada mulanya bersikap kaku lantas saja kelihatan berubah. Katanya menyahut .
"Jika begitu, bangunlah engkau! Jadi dia putera Larasati? Itulah lain perkara,"
Set elah berkata demikian, ia menghampiri Lingga W isnu. Dengan suara lemah lembut dia berkata .
"Anakku, di dalam dunia ini tak terhitung jumlahnya orang-orang yang mengaku dirinya suci akan tetapi sesungguhnya jahat sekali. Mereka yang mengaku dirinya suci kebanyakan hanya mementingkan diri sendiri. Lihatlah, selagi kancah peperangan di tanah air begini bergolak, mereka berebut nama kosong agar diakui masyarakat sebagai aliran suci-bersih yang mengerti perkara T uhan. Kami yang berada dipihak Gusti Pangeran Mangkubumi, tidak memperdulikan suci atau kotor dan baik atau buruk. Perkara in i berada d idahului mereka, maka kami terpaksa juga membuat peraturan. Bahwasanya kami tidak akan menolong orang-orang yang menganggap dirinya kasatrya dari aliran suci dan golongan baik. Engkau adalah cucu Panembahan Larasmaya yang sealiran dengan kami. Baiklah, aku akan menyembuhkan penyakitmu. Asal saja engkau berjanji, setelah sembuh engkau akan meninggalkan rumah perguruan Kyahi Basaman yang menganggap dirinya golongan kasatrya suci dan baik. Bagaimana?"
"Itu tidak boleh, paman!"
Tiba-tiba Aruji menjawab mewakili Lingga W isnu yang belum sempat membuka mulut nya.
"Sudah kukatakan tadi bawa sebelum berangkat ke mari aku telah berjanji kepada Kyahi Basaman. Sekali-kali paman Sarapada tidak boleh mamaksa adikku Lingga W isnu ini memasuki aliran kita sebagai suatu jual beli. Bahkan kyahi Basaman tidak sudi pula mengakui menerima budi dari aliran kita."
"Hmm. Orang yang bernama Kyahi Basaman itu manusia macam apa? sampai berani menghina golongan kita? Kalau begitu apa perlu aku menolong menyembuhkan penyakit cucunya? Tetapi mengingat bocah ini cucu Panembahan Larasmaya, biarlah aku ing in mendengar ucapannva sendiri. Nah, bagaimana?"
Lingga W isnu sadar, bahwa racun Pacarkeling sudah mengamuk ke seluruh jalan darahnya.
Demikian hebat penderitaannya sampai kakek gurunya, Kyahi Basaman yang berkepandaian t inggi, merasa t ak berdaya.
Jiwanya kini hanya tergantung kepada t abib Ki Sarapada belaka.
Kalau tabib itu mau mengulurkan tangannya, dia bakal hidup.
Sebaliknya apabila tidak sudi menolong, dia akan segera mati.
Tetapi tatkala berpisah dengan kakek gurunya, ia dipesan berulang kali jangan sampai memasuki aliran sesat.
Orang boleh mati t ak berkubur di dalam dunia in i, akan tetapi dalam menghadap Tuhan jangan sampai tersesat, demikianlah pesan Kyahi Basaman.
Sebaliknya, bagaimana sesungguhnya aliran Ngesti T unggal itu, belum ia ketahui dengan jelas.Apakah benar aliran sesat atau tidak? Namun terhadap Kyahi Basaman ia menaruh hormat karena orang tua itu sangat kasih kepadanya, tak ubah ubah cucu kandung sendiri.
Ia berpesan demikian karena terdorong oleh rasa kasih sayangnya dan bukan bermaksud jahat atau hendak menjerurnuskan dirinya ke dalam jurang.
Oleh pertimbangan demikian, ia berpikir di dalam hati.
'T abib ini nampaknya galak dan memang aneh adatnya.
Baiklah, meskipun dia akhirnya tak sudi menolong jiwaku, tetapi rasanya adalah suatu dosa besar apabila melanggar pesan kakek guru.' Dengan keputusan itu Lingga W isnu menjawab dengan lantang.
"Paman Sarapada, ibuku anak Panembahan Larasmaya yang sealiran dengan paman. Pastilah ibuku seorang yang baik hati pula. Hanya saja eyangku berpesan kepadaku, agar aku tidak masuk aliran Ngesti Tunggal. Aku sudah sanggup. Dan kalau sekali sudah sanggup, bagaimana mungkin aku melanggar perkataanku itu sendiri? Kalau sampai terjadi demikian, aku bukan laki-laki lagi. Bukankah ucapan seorang lakilaki berharga seribu gunung? Dengan pendirian in i, apabila paman tidak sudi rnengobati aku, tidak apalah. Seumparna aku berhasil kau sembuhkan tetapi kemudian masuk aliran Ngesti Tunggal, maka di dunia ini hanya ketambahan seorang laki-laki dengan mulut tidak dapat dipercaya lagi. Apakah gunanya hidup demikian dan apakah keuntungannya dunia menghidupi aku?"
Mendengar jawaban Lingga W isnu, diam-diam Ki Sarapada terkejut.
Pikirnya.
'Setan cilik ini besar mulut nya.
Ia berlagak seperti seorang kasatria sejati yang tidak butuh nasi dan pakaian.
Hmm, kalau aku tidak mau mengobati, masakan dia tidak berlutut memohon belas kasihan ku?' Memperoleh pikiran demikian, ia berkata lant ang kepada Aruji.
"Aku sudah mendengar pendirian bocah ini. Dia tidak sudi memasuk i aliran kita. Karena itu bawalah dia keluar! Tak sudi aku menyaksikan orang mati di dalam rumah ku."
Aruji kenal tabiat pamannya itu.
Sekali ia berkata tidak, dia tetap akan mempertahankannya pendiriannya itu.
Sebaliknya kalau sudah sanggup, meskipun yang berkepentingan akan lari, akan dikejarnya sampai dapat ditangkapnya kembali.
Maka segera ia berkata kepada Lingga W isnu .
"Adikku, meskipun aliran Ngesti Tunggal tidak mempunyai Nabi, akan tetapi tujuannya sama dengan agama lain yang menyembah Tuhan yang Maha Esa. Banyak di antara anggautanya adalah kasatrya sejati yang tak usah kalah dengan golongan eyangmu. Eyangmu, Panembahan Larasmaya membuktikan hal itu. Bukankah ibumu seorang wanita sejati pula? Karena itu, apakah jeleknya engkau masuk aliran Ngesti Tunggal? Kelak dihadapan kakek gurumu, aku yang bertanggung jawab ."
"Baik."
Jawab Lingga W isnu diluar dugaan.
"Nah, pukullah punggungku beberapa kali. Disin i, tulang punggung ke delapan dan ke sebelas!"
"Baiklah!"
Sahut Aruji girang. Dengan cepat ia melakukan apa yang dimint a Lingga W isnu. Dengan seketika itu juga kedua kaki Lingga W isnu bisa bergerak.
"Abang!"
Kata Lingga W isnu sambil menggerakkan kakinya.
"Benar, aku percaya kepada perkataanmu. Apabila engkau berani bertanggung jawab, pastilah eyang guru tidak akan marah. Tak kukira, bahw a engkaupun berpendirian seperti pamanmu Ki Sarapada,"
Setelah berkata demikian, dengan angkuh Lingga W isnu keluar ruangan. Keruan saja Aruji sangat terkejut. Serunya kepada Lingga W isnu .
"Hai, hai! Engkau mau ke mana?"
"Jika aku mati di depan rumah Ki Sarapada, seorang tabib sakti, tak ubah malaekat, bukankah akan mengotori namanya yang menjulang tinggi di atas gumpalan awan?"
Jawab Lingga W isnu dengan suara mengejek.
"Karena itu, biarlah aku mati di jalan saja."
Dan setelah itu, ent ah dari mana datangnya kekuatan, Lingga W isnu lari kencang bagaikan melesatnya anak panah! "Bagus! Orang boleh mati di luar kandangku dan apa peduliku?"
Kata Ki Sarapada dengan tak kurang angkuhnya.
Aruji tidak menggubris ujar pamannya.
Dengan matimatian ia mengejar Lingga W isnu.
Meskipun dia terluka pula, akan tetapi lukanya lebih ringan dari pada luka yang diderita Lingga W isnu.
Dalam hal ilmu kepandaian, Aruji pun menang seratus kali lipat dari pada Lingga W isnu.
Kecuali gerak-geriknya lebih gesit, langkahnya panjang pula.
Maka tak mengherankan, lengan Lingga W isnu kena disambernya dan dibawanya kembali ke pondok Ki Sarapada.
Kedua tangan Lingga W isnu bergerak ingin merenggutkan diri.
Akan tetapi tenaganya terlalu lemah, sehingga ia menjadi mati kutu.
"Oh, paman!"
Seru Aruji dengan tersengal-sengal.
"Apakah paman benar-benar tak sudi menolong bocah ini?"
"Sekali aku menolak, tiada lagi yang bisa merobah pendirianku. Kalau kau tidak percaya boleh engkau mint a bantuan seribu dewa untuk menggugurkan pendirianku ini dan aku tidak akan bergerak meski serambutpun."
Sahut Ki Sarapada dengan angkuhnya. Aruji lalu berkata lagi .
"Tetapi paman akan menolong menyembuhkan lukaku, bukan?"
"Y a,"
Jawab Ki Sarapada.
"Balk,"
Kata Aruji setelah menghela napas. Meneruskan.
"Karena aku pernah berhutang budi kepada kakek guru bocah ini, maka idzinkan aku menolong cucunya. Hal in i demi menjaga nama Ngesti Tunggal. Kalau salah seorang anggauta Ngesti Tunggal tak dapat dipercaya lagi mu lutnya, dimanakah pamor Ngesti Tunggal hendak paman sembunyikan? Karena itu, biarlah paman tidak usah menyembuhkan aku lagi, sebaliknya tolonglah bocah ini. Dengan begitu idzinkan aku menukar jiwa. Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Paman tidak rugi, bukan?"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Sarapada mengerutkan dahinya. Menyahut.
"Jant ungmu kena pukulan Rajah Pideksa, itu adalah pukulan beracun yang sangat berbahaya. Dalam satu minggu ini, apabila engkau bisa mencari tabib pandai, jiwamu masih dapat tertolong tetapi apabila sampai lewat satu minggu, hanya jiwamu saja yang dapat diselamatkan, sedangkan himpunan ilmu saktimu akan musnah. Kalau sampai dua minggu sedang engkau kumat dan belum menemukan t abib pandai, jiwamu akan melayang."
"Hal itu janganlah paman hiraukan. Inilah urusanku sendiri. Mati sekarang atau besok bukankah sama saja? Tetapi mati untuk satu kebajikan, sarna sekali aku tidak akan menyesal,"
Ujar Aruji dengan suara tegas. Mendengar kata-kata Aruji, Lingga lantas berseru nyaring .
"Aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku tidak mau kau tolong!"
Setelah itu ia berpaling pada Aruji, serunya nyaring pula.
"Abang! Apakah kau kira Lingga W isnu ini manusia h ina dina? Kenapa engkau menukar jiwamu sendiri dengan jiwaku ? Sekalipun aku hidup, rasanya dunia tiada untungnya. Duapuluh, t igapuluh tahun yang lalu, bukankah di dunia ini tiada seorang manusia kecil bernama Lingga W isnu? Dan dunia tidak pernah merasa rugi. Karena itu tak perlu abang menukar jiwa dengan jiwaku."
Akan tetapi Aruji adalah seorang laki-laki sejati.
Sekali dia berkata, tidak sudi ia menarik kembali.
Dengan kedua tangannya yang kuat ia menyamber Lingga W isnu dan didudukkannya di kursi.
Kemudian ia mencari tali dan Lingga W isnu diikatnya erat-erat pada sandaran kursi itu.
Keruan saja Lingga W isnu gugup setengah mati.
Teriaknya .
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kalau tidak , engkau akan kumaki hab is-hab isan!"
Dan tatkala melihat Aruji tidak menggubris teriakannya, ia terus mencaci kalang kabut. Mula mula ia mengutuk Ki Sarapada, kemudian Aruji. Teriaknya kalap .
"Kau bangsat Sarapada! Kepalamu kecil seperti kelapa! Perutmu gendut seperti kerbau. Benar benar kau seperti kutu busuk! Katanya kau seorang tabib pandai, akan tetapi nyatanya gigimu kuning semua! Kau begitu bangga kepada aliranmu Ngesti Tunggal, nyatanya engkau adalah seorang yang tak punya perikemanusiaan. Engkau iblis! Engkau siluman! Engkau setan! Dan engkau Aruji, engkau kerbau berewok! engkau juga setan busuk!"
Makian Lingga W isnu makin lama makin tajam dan ia tidak sembarang memaki saja, tetapi bersajak pula.
Dan mendengar Lingga W isnu bisa memaki dengan bersajak, Ki Sarapada dan Aruji merasa aneh luar biasa.
Beginilah sajak makian Lingga Wisnu .
Ting tong ting prut, Ada singkong dirubung semut Sarapada otaknya berlumut Tabib sakti tukang kentut.
Bang beli getuk Setalen dua tumpuk Aruji seperti kunyuk Kalau kencing keluar masuk! Mereka berdua jadi tercengang dan saling memandang, akhirnya Aruji membuka mulut .
"Paman, sekarang idzinkan aku mencari seorang t abib pandai."
"Di p inggang gunung Merapi ini tiada se orang tabib pandai,"
Sahut ki Sarapada dengan suara dingin.
"Dan engkau tak dapat mencapai kaki gunung Merapi dalam waktu t ujuh hari, karena itu sebeIum engkau kembali ke mari mayatmu sudah dimakan busuk gagak."
Aruji tertawa. Sahutnya.
"Kalau di dunia in i hidup seorang tabib sakti yang tidak mau menolong apabila sekali berkata tidak sudi menolong, maka di dunia ini pun terdapat seorang lakilaki yang t idak takut mati di tengah jalan."
Setelah berkata demikian penuda itu melangkahkan kakinya keluar.
"Oh, Sarapada!"
Teriak Lingga W isnu yang sudah terikat erat di atas kursi.
"Jika engkau tidak mau mengobati abang Aruji, pada suatu hari aku akan datang kemari unt uk membunuhmu. Aku aku ..."
Karena diamuk gejolak hatinya, ia terkulai t ak sadarkan diri.
"Hmm, Mrepat Kepanasan adalah satu Padepokan yang suci bersih. Tak bisa ada orang yang mati d i atas tanahnya."
Kata Ki Sarapada seperti pada dirinya sendiri.
Kenudian ia mengambil sepotong tandung menjangan muda yang terletak di atas meja.
Terus ditimpukkan ke arah Aruji yang sedang berjalan membelakanginya.
Tepat timpukan itu tanduk menjangan itu mengenai belakang lutut Aruji, yang lantas saja roboh di tanah t ak berkutik lagi.
W atak Sarapada memang benar benar aneh.
Kalau dia sudah menolak, tak perduli siapa yang nemohon kepadanya, ia takkan merubah keputusannya tadi.
Sebaliknya apabila dia mau menolong meskipun orang yang berkepentingan tidak sudi ditolongnya, pasti ia akan memaksa menyembuhkannya juga.
Kecuali itu ia bisa berpikir pan jang pula.
Tadi ia mendengar ancam Lingga W isnu.
Dan ucapan bocah itu benar benar berkesan di dalam lubuk hatinya.
Ia melihat Lingga W isnu, seorang bocah yang masih berumur belasan tahun.
Namun demikian bocah itu berjiwa kasatria sejati.
Sesungguhnya bukan bocah sembarangan.
Dialah cucu murid Kyahi Basaman.
Di kemudian hari apabila bocah ini sampai mati di dalam rumahnya, pasti akan menerbitkan ekor panjang.
Setelah menimbang beberapa saat lamanya, akhirnya ia nengambil keputusan.
Katanya didalam hati.
'A kh, buat apa aku bersusah payah menolong mereka berdua? Biarlah kedua-duanya mati di luar rumahku.
Ada baiknya, Mrepat Kepanasan in i bertambah dua setan penasaran ' Setelah mengambil keputusan demikian, ia menghampiri Lingga W isnu dan melepaskan tali pengikatnya.
Maksudnya setelah bocah itu dilepaskan, akan dilemparkan keluar p int u.
Mati atau hidup, apa perduliku, pikirnya.
Akan tetapi tatkala tangannya menyentuh pergelangan Langan Lingga W isnu, ia tertegun.
Dirasakan urat nadi Lingga W isnu berdenyut dengan sangat aneh.
Hatinya tercekat.
Ia mengulangi lagi dengan cermat.
Kini ia jad i heran.
Pikirnya.
'Masakan bocah seumur dia sudah bisa menembusi seluruh peredaran darah dan urat nadinya? Sedang aku sendiri yang dengan susah payah melatih diri berpuluh tahun lamanya, belum mampu berbuat demikian.
Mengapa bocah belasan tahun ini sudah dapat menembusi seluruh peredaran darah dan urat nadinya.
Oh, ya! Kini aku mengerti, pastilah in i perbuatan kakek gurunya, Kyahi Basaman yang t erlalu sayang kepadanya.
Begitu sayang dia kepada cucunya ini, sampai dia rela membuang tenaga himpunan saktinya untuk membantu menembusi seluruh jalan darahnya.' Sekali lagi Ki Sarapada memegang urat pergelangan Lingga W isnu.
Kemudian memeriksa seluruh urat-urat bocah itu dengan t erlebih cermat.
Benar-benar urat nadi dan jalan darah si bocah berjalan sangat lancar tanpa rint angan.
Segera ia nembuka pakaian Lingga Wisnu dan memeriksa seluruh tubuhnya.
Bagian perut, dada dan lain sebagainya, setelah memijit pada tempat tempat tertentu, maka t ahulah dia unt ungnya maupun ruginya si bocah.
Katanya dengan tertawa dingin .
"Kyahi Basaman berlagak pandai. Dia terlalu sayang kepada cucunya. A kan tetapi malah bocah ini jadi celaka. Kalau peredaran darah belum tertembus semua, masih ada harapan untuk memperoleh pertolongan. Kini racun Pacarkeling sudah merayap ke seluruh isi perutnya, kecuali oleh malaikat, jiwanya tak dapat ditolong lagi, hehe-he! Orang memashurkan ilmu kepandaian Kyahi Basaman set inggi langit, akan tetapi menurut pendapatku, dialah seorang tua yang paling bodoh di dunia ini!"
Kira-kira seperempat jam kemudian, perlahan lahan Lingga W isnu menjenakkan matanya.
Ia telah sium an kembali.
Ia melihat Ki Sarapada di atas kursinva yang berada di pojok ruangan.
Dan Aruji masih tetap menggeletak di rumput di luar rumah.
Ketiga orang itu membungkam mulut dengan pikiran masing-masing.
Ki Sarapada memang seorang tabib sakti.
Seluruh hidupnya dipersembahkan untuk ilmuke tabiban.
Segala macam penyakit aneh dapat di atasinya.
Itulah sebabnya namanya termashur ke seluruh penjuru Nusantara.
Racun jahat yang berada dalam tubuh Lingga W isnu adalah semacam racun yang paling berbahaya.
Apalagi sekarang urat nadi bocah itu sudah tertembus.
Dengan demikian, menjadi arus yang sangat baik bagi menjalarnya racun Pacarkeling.
Inilah suatu persoalan pelik dalam ilmu ketabiban.
Seorang ahli catur, merasakan sulit sekali mencari tandingan setimpal.
Seorang ahli ilmu pasti akan melupakan makan dan minumnya sebelum soal soal yang berada didepan matanya dapat di jawabnya.
Begitu pula Ki Sarapada pada saat itu.
Ia menemukan suatu masalah pelik dalam diri Lingga W isnu.
T entu saja ia ing in dapat mengatasi.
Setelah menimbang setengah harian, akhirnya ia memperoleh suatu akal.
Katanya kepada dirinya sendiri .
'Baiklah, aku akan menyembuhkan dahulu.
Kemudian baru kubunuh.' Akan tetapi menolak racun yang berada di dalam isi perut bocah itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Ki Sarapada dipaksa untuk memeras ot ak dan pengalamannya.
Lama sekali ia berdiam diri.
Akhirnya ia mengeluar kan alat-alat ketabibannya.
Lantas ia bekerja membendung aliran-aliran racun menjadi bagian-bagian yang kecil.
Ia hendak merebut jiwa Lingga Wisnu sedikit demi sedikit dengan melalui bagian -bagian racun yang disekatnya.
Mula-mu la ia mengikat pergelangan tangan Lingga W isnu.
T iap-tiap ruas tulang diikatnya erat-erat.
Dengan demikian darah jadi terbendung.
Setelah itu ia mulai menggunakan pisaunya yang terbuat dari baja dan perak.
Kemudian ia menyelomoti bocah itu dengan bara yang telah ditaburi ramuan obat pemunah tertentu.
Karena terdesak oleh obat pemunah itu, racun Pacarkeling yang mengeram di dalam urat nadi Lingga W isnu lantas saja meruap keluar dan merembet melalu i pisau-pisau baja yang tertancap di antara daging dan urat.
Ki Sarapada tidak perduli apakah Lingga Wisnu kesakitan atau tidak.
Untungnya Lingga W isnu seorang bocah yang tidak gampang menyerah.
Kalau ia merasa disakit i, ia makin menjadi gigih mempertahankan diri.
Itulah berkat pengalamannya delapan tahun terus menerus hidup dikejar-kejar musuh.
Pikir Lingga W isnu di dalam hati.
'Hemm, engkau hendak membuat aku mengeluh atau merint ih, bukan? Kau memang iblis! Kau memang setan!' Dan untuk membuat jengkel Ki Sarapada, ia malah mengajaknya berbicara dan bergurau dengan bebas.
Ia malah mengajaknya berdebat pula dengan persoalan ilmu hayat dan anatomi.
Meskipun Lingga W isnu tidak paham dengan berbagai azas ilmu ketabiban, tetapi ayah dan ibunya didalam perantauannya selama delapan tahun, berusaha mengobati luka-luka yang dideritanya dengan kemampuannya sendiri.
Sedikit banyak mereka semua memreroleh pengalaman.
Tak terkecuali Lingga W isnu.
Tentu saja pengetahuan Lingga W isnu apabila dibandingkan dengan tabib sakti Ki Sarapada bedanya seperti langit dan bumi.
Akan tetapi karena soalnya mengenai ilmu ketabiban, yang menjadi kegemaran Ki Sarapada, maka orang tua itu pun mau juga mendengarkan dan membicarakan.
Sudah berpuluh tahun Ki Sarapada hidup mengasingkan diri di atas Gunung Merapi.
Dia tak mempunyai teman bergaul kecuali para pelayannva sendiri.
Dalam banyak hal para pelayan itu hanya bersikap menghamba.
Jangan lagi berani berdebat, membantah perint ah saja merupakan pantangan besar baginya.
Kin i bocah itu berani berdebat dengan dirinya.
Meskipun pengetahuannya ngawur belaka, akan tetapi menarik juga karena sekian tahun lamanva tidak pernah berbicara secara bebas dari hati ke hati, maka kehadiran Lingga W isnu itu sedikit banyak menggembirakan hatinya juga.
Demikianlah, berbareng dengan tibanya petang hari, selesai sudah babak pertama Ki Sarapada merebut jiwa Lingga W isnu.
Dalam padanya itu dua orang pelayan telah merrpersiapkan makan malam di atas neja dan membawa sepiring nasi dengan lauk pauknya ke luar rumah, untuk Aruji yang masih menggeletak di atas rumput.
Pada malam itu juga Aruji tetap berada di luar rumah berselimut hawa gunung Merapi yang dingin luar biasa.
Sementara itu anggauta badan Lingga W isnu sudah dapat digerakkan lagi.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Aruji tak bergerak di luar rumah, bocah itu datang menghampiri.
Ia lant as tidur disampingnya sebagai kawan sepakat dan sefaham.
Ki Sarapada sama sekali tidak menggubris sepak terjang Lingga W isnu.
Hanya saja diam-diam ia kagum dalam hati.
Betapa pun juga bocah itu memang lain dari pada bocah umumnya.
Pada keesokan harinva Ki Sarapada melanjutkan pengobatannya terhadap Lingga W isnu.
Tetapi racun Pacarkeling yang merayap di dalam tubuh bocah itu sudah terlalu luas.
Unt uk menolaknya keluar, sesungguhnya sudah sangat sulit.
Setelah berpikir sekian lamanya, akhirnya Ki Sarapada membuat ramuan obat pemunah.
Ia hendak menggunakan dingin untuk menghilangkan dingin, karena racun Pacarkeling bersifat dingin.
Begitu obat pemunah masuk kedalam tubuh Lingga W isnu menggigil sampai set engah harian lamanya.
Namun set elah rasa d ingin lenyap, semangat bocah itu maju sangat baiknya.
Kira-kira matahari sudah doyong ke barat, kembali lagi Ki Sarapada mengobati Lingga W isnu dengan menyelomotkan bara.
Berulangkali Lingga W isnu mencoba memancing tabib itu agar sudi menolong Aruji yang masih menggeletak di luar rumah, akan tetapi usahanya siasia belaka.
Ki Sarapada tetap tidak menggubris.
Benar benar ia tabib berkepala batu.
Lingga W isnu agaknya dilahirkan sebagai anak yang cerdas luar biasa.
Tiba-tiba saja suatu pikiran menusuk benaknya.
Katanya diluar dugaan Ki Sarapada.
"Paman, sebagai tabib pastilah paman paham akan urat-urat manusia. Umpamanya urat samping yang terletak di tubuh manusia in i paling aneh, bukan? Akan tetapi pernahkah paman mendengar bahwa ada seorang yang tidak mempunyai urat samping itu?"
Mendengar perkataan Lingga W isnu, Ki Sarapada tergugu. Inilah buah pikiran luar biasa. Bentaknya kemudian .
"Omong kosong! Betapa mungkin orang tidak mempunyai urat itu?"
Lingga W isnu memang sengaja membual untuk memancing tabib sakti yang aneh adatnya itu. Sahutnya.
"Dunia in i terlalu luas, paman. Segala keanehan mungkin saja terjadi. apalagi perkara urat samping."
"Urat itu memang agak aneh. Akan tetapi tidak dapat dikatakan bahw a tiada gunanya sama sekali. Kau tak percaya? Baiklah? Aku mempunyai se
Jilid buku tentang ilmu urat yang kutulis dengan tanganku sendiri. Kalau kau sudah membacanya, barulah kau akan paham tentang liku-liku urat ditubuh manusia."
Kata Ki Sarapada. Lalu ia masuk ke kamarnya dan kembali membawa se
Jilid buku tipis berwarna hitam.
Dan buku itu kemudian diserahkan kepada Lingga W isnu.
Lingga W isnu segera membalik-batik lembaran buku itu.
Ternyata isinya sangat luas.
Masalah urat nadi yang berada dalam tubuh manusia dibahasnya dengan cermat dan tertib sekali.
Ki Sarapada membandingkan penemuan-penemuan orang kuno dan kekinian.
Dengan tekun Lingga W isnu membacanya.
Setiap halaman ia hafalkan dengan baik.
Tiba-tiba saja teringatlah dia kepada Musafigiloh Busih, salah seorang murid Argapura yang berot ak cemerlang.
Dengan hanya sekali Baca Musafig iloh Busih dapat menghafalkan seluruh tulisan himpunan sakti eyang gurunya, Kyahi Basaman.
Dibandingnya dengan liku-liku ilmu sakti tulisan Ki Sarapada in i, jauh lebih mudah sebab sebab setiap soal dibahas secara jelas sekali.
Maka set elah membaca isi kitab tersebut sampai selesai, Lingga W isnu mengembalikan buku itu kepada Ki Sarapada saMbil menggelengkan kepala dan berkata .
"Kitab ini telah pernah kubaca. Sewaktu eyang guru berumur tigapuluh tahun. Beliau telah mengarang sebuah kitab 'pengantar dan tuntunan ikht isar urat-urat nadi manusia'. Kitab karangan eyang guru itu isinya serupa benar dengan karangan mu ini. Dengan demikian, semenjak tadi aku heran, entah siapa yang menjiplak. Engkau ataukah eyang guru."
"He-he-he,"
Sarapada tertawa dengan mendongkol.
Kemudian menatap wajah Lingga W isnu dengan tercengang.
Tapi lantas saja ia menjadi gusar tak kepalang.
Katanya di dalam hati.
'Usiaku kini baru mencapai 60 tahun, dan Basaman kalau tak salah sudah berumur 90 tahun.
Dan aku mengarang buku ini sew aktu berumur 30 tahun.
Maka benarlah kalau anak set an itu menuduh aku yang menjiplak Sebab tatkala itu Basaman sudah berumur 60 tahun.
hm.
kurang ajar! Padahal semua uraian dan persoalan yang kutulis di dalam buku itu, benar-benar hasil keringatku sendiri.
Tetapi bagaimana anak set an itu bisa berkata, bahwa apa yang kutulis itu hanyalah kata pengantar karangan Basaman? Eh, benar-benar anjing budak setan cilik in i.
Kalau tidak diberi hajaran sedikit, mulut nya makin besar.' Dan setelah berpikir demikian, kembali lagi ia memperdengarkan suara tawa, lalu membentak .
"Baik, jadi kau bilang buku itu hanyalah kata pengantar buku karangan kakekmu ? Kalau begitu, kau sudah pahan benar. Hayo, bacalah diluar kepala! Kalau salah sehuruf saja, jiwamu akan kucabut dengan kedua telapak tangan ini, kayo, mulai!"
Semenjak berumur ampat-lima tahun, Lingga W isnu dipaksa oleh keluarganya untuk menghafalkan semua ilmu pengetahuan dengan cepat.
Apabila sampai t erdapat kesalahan sedikit saja, segera ia dihadiahi cubitan atau gamparan.
Hal itu disebabkan oleh keadaan yang memaksa.
Sejak bayi, Lingga W isnu dibawa merant au dari tempat ke tempat untuk menghindari pengejaran lawan.
Kesempatan dalam memberikan pendidikan sangat sempit.Karena itu dalam hal ingatan, Lingga Wisnu boleh dikatakan sudah terlatih dan menjadi keistimewaannya.
W alaupun demikian, ancaman Ki Sarapada benar-benar sangat menakutkan.
Maklum lah, apabila sampai salah satu huruf saja, jiwanya akan dicabut .
Dia percaya, bahwa Ki Sarapada benar-benar akan melakukan apa yang telah dikatakan, mengingat tabiatnya yang sangat luar biasa.
Memperoleh pikiran demikian ia jadi menyesal di dalam hati, apa sebab tadi ia membuat tabib Sarapada menjadi marah dan penaran.
Inilah suatu senda gurau yang lewat batas.
Tetapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur maka t erpaksa ia mengumpulkan semua ingatannya.
Lalu mengucapkan isi buku yang t elah dibacanya tadi dengan suara lant ang.
Untunglah, sepatah kata pun tiada yang salah.
Ki Sarapada heran bukan kepalang.
Hampir-hampir ia percaya bahwa bocah itu memang pernah membaca buku ciptaan Kiayi Sarapada yang sama sekali tiada bedanya dengan buku ciptaannya sendiri.
Akan tetapi karena buku itu memang ciptaannya sendiri, akhirnya ia menjadi kagum akan kecerdasan Lingga W isnu.
Pikirnya di dalam hati .
"Setan kecil ini benar-benar hebat. Dengan hanya membaca sekali, dia sudah sanggup menghafalkan semua isi buku di luar kepala. Inilah bakat yang tiada bandingnya di jagad ini."
Ia tak tahu bahwa di dalam b iara Argapura masih terdapat seorang bernama Musafigiloh Busih yang daya ingatannya tidak berada dibawah Lingga W isnu.
"Pint ar, benar-benar pintar!"
Ki Sarapada memuji. Lalu ia melanjutkan usahanya mengenyah racun yang mengeram di dalam tubuh bocah itu. Setelah beristirahat sebentar, sengaja ia hendak menguji sekali lagi kepintaran Lingga W isnu dengan berkata .
"Aku masih mempunyai duabelas
Jilid kitab ketabiban. Entah siapa yang menjiplak, Kyahi Basarnan atau aku."
Setelah berkata demikian, ia mengambil buku ciptaannya sendiri yang terdiri dari duabelas jilid.
Lingga W isnu kagum, tatkala membuka lembaran buku itu.
Sudah tentu tak mudah untuk dihafalkan dalam sekali baca saja.
Mendadak saja suatu ingatan menusuk benaknya.
Pikirnya .
'Meskipun isi buku ini sangat luas, akan tetapi masih sanggup aku menghafalkan.
Hanya saja aku membutuhkan waktu sepuluh hari.
Biarlah aku mencari saja bab-bab yang ada sangkutpautnya dengan urusan penyembuhan luka abang Aruji.' Karena berpikir begitu, dengan cepat ia membalikbalik kitab dan membuka bagian uraian penyembuhan luka-luka akibat pukulan sakti dalam
Jilid ke sembilan.
Uraiannya sangat jelas sekali.
Disitu terdapat uraian tentang menangkis pukulan-pukulan beracun seperti Brajamu sti, Esmugunting, Rajah Pideksa dan lain-lain.
Keruan saja Lingga W isnu girang bukan main.
Segera ia membacanya dengan cermat.
Tanda-tanda kena pukulan sakti diuraikan dengan jelas sekali.
Akan tetapi cara menyembuhkannya hanya di sebutkan sangat ringkas, dengan berbagai petunjuk singkat saja.
Pada halaman terakhir, terdapat pula uraian tentang akibat pukulan beracun Pacarkeling.
Akan t etapi cara pengobatannya hanya ditulis pendek saja.
Bunyinya.
tidak ada.
Semenjak turun dari Argapura, sadarlah ia, untuk mengobati racun yang mengeram di dalam tubuhnya memang sangat pelik.
Bahkan tiada harapan lagi.
Sekiranya tidak demikian, eyang gurunya yang mempunyai kesaktian luar biasa pasti dapat menolongnya.
Karena itu ia menjadi acuh tak acuh.
Perhatiannya kini tertuju kepada ba-gaimana caranya dapat menolong Aruji.
Maka kembali lagi ia mernbuka lembaran yang memuat racun pukulan Rajah Pideksa yang melukai Aruji.
Pikirnya.
'Baiknya pikiranku kin i kupusatkan untuk menyembuhkan abang saja.
Dan jangan sampai aku membuat Ki Sarapada mendongkol lagi.' Segera ia meletakkan semua kitab itu di atas meja.
Kemudian dengan hormat ia berkata kepada Ki Sarapada.
"Ilmu sakti paman Sarapada menang kalah jauh bila dibandingkan dengan ilmu sakti eyang guruku. Akan tetapi didalam hal pengobatan, paman menang jauh. Kedua belas buku ini sangat dalam isinya. Betapa tinggi ilmu kepandaian kakek guruku, pastilah beliau tak sanggup mengarangnya. Akan tetapi berbicara tentang cara mengobati luka akibat pukulan beracun, kukira kemahiran paman Sarapada belum b isa menyamai kemahiran eyang guruku."
"Heng!"
Dengus Ki Sarapada.
"Jangan coba membakar hatiku."
"Paman tak percaya? Dengar. Aku akan menghafalkan kitab karangan eyang guruku."
Sahut Lingga W isnu dengan suara tegas.
Lalu ia mu lai menghafalkan bunyi ajaran-ajaran eyang gurunya t entang cara penyembuhan luka-luka akibat pukulan beracun.
Akan tetapi semuanya itu sebenarnya adalah hasil hafalannya setelah membaca bukunya Ki Sarapada.
Setelah menghafal di luar kepala tanpa salah sedikitpun juga, berkatalah dia .
"Tentang menyembuhkan luka akibat pukulan beracun Pacarkeling, eyang guru menyerah kalah. Akan tetapi paman Sarapada ternyata demikian pula."
"Hmm! T ak perlu engkau memancing hatiku."
Sahut Ki Sarapada dengan suara dingin. Kau sendiri akan menjadi saksi, apa aku benar-benar tidak mampu melawan racun Pacarkeling. Hanya saja apabila aku sudah berhasil menyembuhkan lukamu, jiwamupun tak akan berumur panjang."
Meskipun Lingga W isnu cerdik dan pintar luar biasa, akan tetapi t ak dapat ia menangkap maksud kata-kata Ki Sarapada.
Sama sekali tak pernah terlint as dalam pikirannya, bahwa maksud Ki Sarapada untuk menyembuhkan dirinya adalah semata-mata untuk membuktikan bahwa dia sanggup menaklukkan racun Pacarkeling.
Setelah rengesankan bahw a dirinya benarbenar seorang t abib sakti dan pandai, segera ia hendak membunuh Lingga W isnu.
Itulah sesuai dengan peraturan yang dibuatnya sendiri bahw asanya aliran Ngesti Tunggal tak diperkenankan menolong yang tidak sealiran.
Lingga W isnu sendiri sebenarnya tidak memikirkan dirinya sendiri.
Semenjak turun dari biara Argapura.
Pada saat itu perhatiannya penuh ditujukan kepada usaha menyembuhkan Aruji.
Maka berkatalah dia .
"Sekiranya umurku tak dapat dipertahankan, perkenankan aku memohon kepada paman untuk membaca kitab buah pena paman sendiri. Tentu saja boleh, bukan?"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Sarapada yakin bahw a bocah cilik itu tak akan hidup lebih lama lagi.
W alaupun sanggup menghafalkan seluruh rahasia ilmu ketabibannya, apakah gunanya? Paling-paling hanya akan dibawanya pulang ke neraka.
Maka tanpa pikir panjang lagi ia manggut menperkenankan.
Katanya .
"Kau boleh membaca semua kitab-kitab karanganku."
Pengetahuan Ki Sarapada sebenarnya sangat luas.
Seseorang yang tak berhati lapang pula, pasti t idak akan sanggup mengarang ilmu ketabiban yang demikian besar.
Akan tetapi setelah memasuki aliran Ngesti Tunggal, ia menjadi seorang pejoang yang membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi I.
Karena itu dia sangat membenci sekalian hamba-negeri, hartawanhartawan rakus dan orang-orang yang menganggap dirinya sok suci.
Terhadap golongan, yang paling belakang dia sangat benci.
Apalagi t erhadap para pendekar, yang memusuhi haluan perjuangannya.
Itulah sebabnya tak sudi ia menolong orang-orang yang tidak sepaham dan sealiran dengan keparcayaan yang dianutnya.
Akan tetapi ilmu pengetahuan yang dimiliki olehnya memang terasa sia-sia saja, sebab selama hidupnya bakal tiada seorangpun yang dapat di ajaknya saling bertukar pikiran.
Apalagi diapun tak mengharapkan mempunyai seorang ahli waris.
Itulah sebabnya ia senang hidup di atas gunung seorang diri.
Tetapi setelah berpuluh tahun hidup seorang diri, lambat laun ia merasa sunyi juga dan ingin mencari iseng.
Kebetulan sekali Lingga W isnu datang.
W alaupun masih bocah kemarin sore, akan tetapi dia pandai dan bisa diajak berbicara mengenai ilmu ketabiban, diam-diam ia berkenan terhadap bocah itu.
Sayang sekali, mengapa si bocah t ak sudi memasuki alirannya.
Dalam pada itu Lingga W isnu dengan tekun mempelajari kitab-kitab ketabiban siang malam tiada mengenal lelah.
Begitu tekun sampai lupa makan dan kurang tidur.
T adinya dia hanya bermaksud mempelajari bagian-bagian yang bersangkutan dengan luka Aruji, akan tetapi setelah membaca kitab-kitab tulisan Ki Sarapada hatinya lambat laun kian tertarik.
Sekarang tidak hanya beberapa bagian saja yang dibacanya, akan tetapi ratusan macam buah karya Ki Sarapada.
Melihat si bocah begitu tekun mempelajari kitab-kitab ketabiban buah karyanya, diam-diam Ki Sarapada girang bukan main.
Hatinya menjadi puas karena kini bisa mentaklukkan anak setan itu.
Pikirnya di dalam hati .
'Kau bilang bahw a kitab-kitab karyaku ini hasil jip lakan kakekmu.
Huh! Kau berlagak pandai dan yakin bisa mengingusi aku.
Sekarang rasakan betapa luas ilmu pengetahuanku mengenai ketabiban.' Tatkala itu Ki Sarapada melihat Lingga W isnu bersunggut-sungut.
Dan ia mengira bocah itu tentu tak dapat memahami Inti sari uraian uraian tertentu yang terdapat di dalam kitab karangannya.
Sebenarnya Ki Sarapada seorang cendekiawan yang cerdik dan cerdas.
Apabila dia mau berpikir agak mendalam lagi, pastilah dapat menebak maksud Lingga W isnu sesungguhnya.
Hanya saja karena terpengaruh oleh rasa girang yang meluap, prasangkanya tak begitu peka lagi.
Puas hatinya melihat anak set an itu, dengan mati-matian menekuni hasil karyanya.
Beberapa hari lewat sudah.
Karena kesungguhannya, Lingga W isnu berhasil menghafalkan semua resep-resep pengobatan tertentu yang ribuan macamnya.
W alaupun kadarnya mungkin sekali asal jadi saja, akan tetapi kesanggupannya itu benar-benar mengagumkan.
Seorang tabib yang sudah berpengalamanpun mungkin sekali tak dapat meniru kemampuan Lingga W isnu yang dapat menghafalkan duabelas
Jilid kitab ketabiban dalam waktu enam hari saja di luar kepala.
Diwaktu siang pada hari keenam, kembali Lingga W isnu membalik-balik lembaran kitab yang memuat tentang luka yang diderita Aruji.
Ki Sarapada pernah menyatakan, apabila dalam waktu tujuh hari dapat menemukan seorang tabib pandai, lukanya mungkin sekali masih dapat disembuhkan.
Sebaliknya apabila sampai melampaui batas waktu, meskipun sembuh akan tetapi himpunan tenaga saktinya tak akan bisa pulih seperti sediakala.
Itulah sebabnya, karena pukulan Rajah Pideksa sangat beracun, dan mulai menembus ke seluruh tulang dan carat nadi.
Selama enam hari, Aruji terus rebah tak berkutik di atas rumput di luar rumah.
Pada hari keenam, tiba-tiba hujan turun pula setelah matahari bersinar sangat teriknya di siang hari.
Pohon Kramat Karya Khu Lung Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu