Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 7


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 7



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   Sudah barang tentu Ki Sarapada tahu, bahwa Aruji terpaksa tidur di lumpur.

   Tetapi nampaknya ia t ak perduli.

   Menyaksikan hal itu Lingga W isnu gusar tak kepalang.

   Kutuknya di dalam hati .

   'Manusia ini benar-benar anak kambing.

   Aku pernah mendengar ayah berkata bahwa seorang tabib harus mengamalkan pengetahuannya yang luas dan mulia untuk mengabdi kepada manusia di seluruh dunia.

   Tak perduli apakah manusia itu sepaham dengan dia atau justru bermusuhan.

   Sebaliknya orang ini tidak demikian.

   Dia benar benar seorang cendekiawan, tetapi semua ilmu kepandaiannya hanya d iamalkan ke dalam kitabnya melulu.

   Sedang amal perbuatannya justru bertentangan dengan apa yang ditulisnya.

   Kalau bukan keturunan iblis, mustahil rasanya T uhan melahirkan manusia seperti dia.' Pada malam hari ke t ujuh, hujan turun semakin lebat.

   Kilat mengejap-ngejap dengan diseling suara guntur.

   Dengan mengertak gigi, Lingga W isnu berkata di dalam hati.

   'Biarlah aku akan mencoba menolong abang Aruji sedapat-dapatku.

   Barangkali caraku mengobatinya akan salah, akan tetapi dari pada mati d itengah hujan badai, lebih baik aku berusaha atas nama Tuhan.' Dengan alat perlengkapan tertentu dari dalam peti penyimpan alat-alat ketabiban Ki Sarapada.

   Kemudian keluar menghampiri Aruji.

   "Abang,"

   Kata Lingga W isnu terharu.

   "Selama beberapa hari ini adikmu berusaha mati-matian untuk mempelajari rahasia kitab ketabiban Ki Sarapada. Hanya saja aku masih belum dapat memahami seluruhnya. Karen terdesak oleh keadaan, aku nemberanikan diri untuk main coba-coba. Sebab racun yang mengeram di dalam tubuhmu tak dapat ditunda-tunda lagi pengobatannya. Esok pagi, sudah kasep. Maka apabila cara penyembuhanku ini akan mencelakakan abang, akupun tak akan hidup seorang diri lagi dalam dunia in i. Segera aku akan bunuh diri dihadapan mayatmu."

   Mendengar ucapan Lingga W isnu, Aruji tertawa. Sahutnya .

   "Adik, kenapa engkau berkata demikian? Nah cepatlah engkau berusaha menancapkan semua alat penyembuhanmu ke dalam tubuhku, moga-moga kau berhasil sehingga paman akan merasa malu sendiri. Tetapi apabila usahamu itu justru akan merengut jiwaku, lebih baik begitu dari pada mati d i dalam lumpur begini seperti babi cacingan."

   Dengan tangan bergemetaran Lingga W isnu merabaraba urat nadi Aruji dengan cermat.

   Kemudian mengambil pisau tajam untuk membedah.

   Sudah barang tentu, selama hidupnya belum pernah Lingga W isnu menbelah seseorang.

   Bahkan menyembelih babipun belum pernah.

   Kalau kin i ia berbuat demikian, adalah semata-mata dipaksa oleh keadaan.

   Sebab menurut catatan ilmu ketabiban Ki Sarapada, cara melawan pukulan beracun yang kini sudah bercampur baur dalam darah, hanya dengan cara membedah urat-urat nadi tertentu.

   Tetapi karena selama hidupnya belum pernah menancapkan pisau belati pada tubuh seseorang, tangannya nendadak menggigil.

   Bid ikannya justru meleset, sehingga ia harus mengulangi beberapa kali.

   Keruan saja Aruji lant as saja mand i darah.

   Membedah di tempat dekat urat nadi, sangatlah berbahaya.

   Hal itu disadari oleh Lingga W isnu setelah hafal dengan bunyi kitab ilmu ketabiban Ki Sarapada.

   Itulah sebabnya ia menjadi gugup.

   Dan melihat darah Aruji yang membanjir keluar, kini tidak hanya gugup akan tetapi bingung pula.

   Tiba-tiba pada saat itu terdengarlah suara seseorang tertawa di belakang punggungnya.

   Lingga W isnu menoleh, dan melihat Ki Sarapada berjalan sambil menggendong t angan.

   Dengan berpayung ia bebas dari air hujan, ia nampak puas nenyaksikan Lingga W isnu mencoba menolong Aruji dengan cara yang salah.

   "Paman Sarapada,"

   Kata Lingga W isnu dengan suara mohon belas kasihan.

   "Darah terus mengalir, bagaimana caranya aku menghentikan?"

   "Tentu saja aku tahu. Tetapi apa perlu aku beritahukan kepadamu?"

   Sahut Ki Sarapada dengan suara dingin.

   Setelah itu ia tertawa perlahan melalui hidungnya .

   Mendengar tawa Ki Sarapada, seluruh tubuh Lingga W isnu menjadi dingin.

   Apalagi tatkala itu ia berada di tengah hujan badai.

   Lantas saja ia menggigil, dengan menguatkan imannya ia berkata lagi .

   "Baiklah begini saja, kita mengadakan penukaran secara adil. Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Kau tolong abang Aruji, setelah sembuh aku segera akan bunuh diri dihadapanmu."

   Kembali Ki Sarapada tertawa melalui h idungnya. Sahutnya .

   "Sekali aku telah berkata tidak sudi mengobati, selama hidup tak akan sudi mengobati. Dia hidup atau mati tiada sangkut pautnya dengan aku. Kalau dia h idup oleh pertolonganku, apakah malaikat akan menggendongku masuk ke sorga? Sebaliknya kalau dia mampus, apakah aku lantas menjadi set an berkeliaran? Juga aku tidak perduli dengan dirimu. Meskipun sepuluh Lingga W isnu mati dihadapanku, tidak bakal aku sudi menolong Aruji."

   Mendengar jawaban Ki Sarapada, hati Lingga W isnu menjadi berputus asa.

   Tahulah sudah, bahwa tiada gunanya lagi untuk berbicara berkepanjangan dengan tabib itu.

   Keberaniannya mendadak saja terhimpun dengan tak setahunya sendiri.

   Itulah disebabkan oleh rasa dengki benci dan dendam terhadap Ki Sarapada.

   Lantas saja ia bekerja sedapat-dapatnya, berdasarkan ingatannya belaka.

   Ia seperti lagi membalik balik lembaran kitab ilmu ketabiban Ki Sarapada di depan matanya.

   Dan sesuai dengan petunjuk di dalamnya, tangannya bergerak membedah ke sana ke mari dan menyekat meluas nya racuh Rajah Pideksa.

   di luar dugaan, tiba-tiba saja aliran darah Aruji terhenti.

   Pemuda berewok itu tidak lagi mengeluarkan darahnya.

   Hal itu melegakan hati Lingga W isnu.

   Beberapa saat ia menunggu.

   Tiba-tiba saja Aruji melontakkan darah kental beberapa kali.

   Melihat Aruji melontakkan darah hitam kent al, tak tahulah Lingga W isnu apakah dia berhasil, atau justru sebalik nya.

   Tak heran hatinya menjadi berdebar-debar.

   Ia sudah mengambil ketetapan, apabila Aruji mati diapun akan segera menyusul mati bunuh diri.

   Tiba-tiba teringatlah dia Ki Sarapada berada belakang punggungnya.

   Terus saja ia menoleh, masih saja Ki Sarapada nampak bersenyum mengejek.

   Akan tetapi samar-samar wajahnya memperlihatkan rasa kagum dan heran.

   Maka tahulah ia, bahwa usahanya tidak gagal seluruhnya.

   Artinya juga belum tepat sekali.

   W alaupun demikian, hatinya agak terhibur.

   Dengan cepat ia lari masuk ke dalam rumah dan membalik-balik buku kadar ramuan obat.

   Setelah bertekun beberapa saat lamanya, dapatlah ia membuat kadar ramuan obat.

   Akan tetapi sesungguhnya jenis ramuan obat yang ditulisnya itu merupakan obat penyembuh racun Rajah Pideksa.

   Setelah menimbang sebentar ia memberanikan diri untuk menyerahkan kepada seorang pelayan agar membuat ramuan obat yang ditulisnya.

   Pelayan itu segera membawa surat resep Lingga W isnu kepada Ki Sarapada.

   Dia mohon izin kepada majikan nya apakah diperkenankan melayani bocah itu.

   Setelah bunyi resep itu dibaca Ki Sarapada, ia mendengus beberapa kali.

   Kemudian dia berkata .

   "Kau buatkan saja menurut bunyi resep ini. Biarlah diminumkan. Kalau tidak mati seketika, anggap saja memang berumur panjang."

   Mendengar kata-kata Ki Sarapada, dengan cepat Lingga W isnu meminta kembali surat resepnya.

   Kadarnya lantas dikurangi.

   Setelah itu di serahkan kepada si pelayan yang segera rembuat ramuan obat menurut resepnya sehingga menjadi semacam obat kental.

   Dengan mata berkaca-kaca Lingga W isnu membawa obat ramuannya kepada Aruji.

   Katanya dengan bingung.

   "Inilah obat ramuan hasil jerih payahku mencuri bunyi kitab paman Sarapada. Setelah abang minum obat ini, entah sembuh, entah malah celaka. Adikmu tak tahu."

   "Bagus!"

   Seru Aruji penuh semangat.

   "

   Inilah namanya orang buta menuntun kuda buta. Apabila sampai tergelincir ke dalam jurang, kedua-duanya akan jatuh saling t indih."

   Setelah berkata demikian Aruji tertawa terbahak bahak.

   Kemudian dengan memejamkan matanya ia meneguk ramuan obat Lingga W isnu.

   Semalam sunt uk perut Aruji sakit bukan kepalang.

   Ususnya melilit seperti tersayat.

   Dan tiada hentinya melontakkan darah.

   Lingga W isnu menunggunya semalam sunt uk pula dibawah hujan lebat.

   Menjelang esok hari barulah terang.

   Matahari muncul di udara dengan cahayanya yang lembut.

   "Adik, aku belun mati!"

   Seru Aruji tiba-tiba dengan girang.

   "Ranuan obatmu benar-benar manjur. Penyakitku jadi berkurang."

   Keruan saja Lingga W isnu girang bukan kepalang. Sahutnya .

   "Kalau begitu resepku semalam boleh juga, bukan ? "

   "Benar, t ak pernah kuduga bahwa pada hari ini dunia melahirkan seorang t abib sakti yang masih belum pandai beringus. Biarlah aku menamakan engkau 'Dukun Malaikat'. Sebab resepmu ternyata bisa menyembuhkan babi. Hanya saja ramuan obatmu terlalu keras, usus baku sepertinya tersayat-sayat oleh ratusan pisau kecil."

   "Y a, kadar ramuan obatku memang agak berat."

   Lingga W isnu menyesal.

   Ramuan obat yang dibikin Lingga W isnu, sebenarnya sesuai dengan iImu Ki Sarapada.

   Boleh dikatakan tepat sekali.

   Akan tetapi kadarnya terlalu berat, sehingga merupakan obat pemunah racun Rajah Pideksa yang kuat luar biasa.

   Apabila Aruji tak mempunyai tenaga jasman i melebihi manusia biasa, pastilah dia akan mati.

   Pada pagi hari itu, Ki Sarapada datang memeriksa.

   Melihat w ajah Aruji bersemu merah dan bersemangat, ia terkejut.

   Diam-diam ia berpikir di dalam hati.

   "Y ang satu pandai, dan yang lain berani. Berkat kerja sama mereka berdua, t ernyata racun Rajah Pideksa bisa disembuhkan."

   Pada keesokan harinya, Lingga W isnu membuat racikan obat-kuat untuk mengembalikan tenaga Aruji.

   Ia membongkar semua simpanan obat kuat Ki Sarapada dan tanpa menghiraukan apakah sipemilik menggerutu atau tidak, lantas saja ia berikan kepada A ruji.

   Pikirnya di dalam hati.

   'Kalau dia marah, paling-paling aku hanya dibunuhnya.

   Akan tetapi tenaga abang Aruji harus pulih seperti sediakala.' Dengan pertolongan obat-obat simpanan Ki Sarapada, tenaga Aruji tidak hanya pulih seperti sediakala akan tetapi himpunan tenaga saktinya malah menjadi bertambah.

   Maka dengan rasa penuh terima kasih ia berkata kepada Lingga W isnu .

   "Adik, lukaku kini sudah sembuh, tenaga saktiku pulih pula. Setiap hari engkau menemani tidur di atas tanah terbuka ini, tanpa menghiraukan kesehatanmu sendiri. Inilah cara yang kurang baik. Biarlah sekarang berpisah dulu."

   Satu bulan mereka bergaul.

   Dalam hati masing-masing sudah terikat rasa persahabatan, seia sekata dan sehidup semati.

   Kini mereka terpaksa berpisah, dengan sendirinya hati Lingga W isnu menjadi terharu.

   T ak ingin ia memperkenankan Aruji meninggalkan dirinya.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan tetapi ia ingat pula bahw a Aruji tak mungkin mengawaninya terus menerus di atas gunung Merapi.

   Maka dengan sedih dan pilu terpaksalah ia mengucapkan selamat jalan kepada abangnya itu.

   "Kaupun tak perlu bersedih hati, adik. Setiap tiga bulan sekali aku pasti datang menjengukmu. Mungkin sekali racun yang mengeram di dalam tubuhmu sudah dapat dibuyarkan. Apabila engkau sudah sembuh seperti sediakala, aku segera menghant arkanmu kembali kepada kakek gurumu di gunung Lawu,"

   Aruji menghibur. Setelah berkata demikian, pemuda itu menghadap Ki Sarapada untuk mohon diri. Katanya.

   "Berkat kitab iImu ketabiban paman, akhirnya aku tertolong. Tak sedikit aku menghabiskan obat simpanan paman, yang sangat berharga"

   "Akh, hal itu t iada artinya,"

   Sahut Ki Sarapada dengan manggut-manggut.

   "Lukamu kini memang telah sembuh benar, hanya usiamu menjadi berkurang enampuluh tahun."

   "Apa? Usiaku?"

   Aruji t ak nengerti.

   "Menilik kesehatan tubuhmu yang tetap kuat itu, sedikitnya engkau bisa hidup seratus duapuluh tahun lagi,"

   Ujar Ki Sarapada.

   "Akan tetapi bocah itu keliru membuat kadar ramuan obatnya. Kadarnya sangat kuat, karena itu obat pemunah racun Rajah Pideksa justeru berbalik meracuni umurmu. akibatnya, apabila engkau berada ditengah hujan dalam cuaca yang lembab Pula, seluruh tubuhmu akan menjadi nyeri. Dan kira-kira pada umur tujuh puluh tahunan, riwayatmu akan tamat."

   Mendengar keterangan Ki Sarapada, Aruji tertawa. Sahutnya dengan hati ikhlas .

   "Seorang laki-laki memperoleh kesempatan untuk beramal dan berbuat kebajikan kepada negara dan bangsa serta umat mdi seluruh dunia, sudahlah cukup apabila dapat berumur limapuluh tahun saja. Sekarang aku mendengar bahwa aku bisa berumur tujuhpuluh tahun. Itulah lebih dari cukup. Sebaliknya apa perlu seseorang hidup sampai seratus tahun lebih apabila, tiada mempunyai kebajikan sesuatu ? Hidup demikian hanyalah menghabiskan beras dan sayur mayur saja."

   Ki Sarapada manggut , akan tetapi ia tidak berkatakata lagi .

   Melihat hal itu, Aruji lantas mengundurkan diri.

   Dan Lingga W isnu mengantarkan sampai di mulut lembah Mrepat Kepanasan.

   Di sini mereka berdua berpisah dengan mencucurkan air mata.

   Tadi Lingga W isnu mendengar perkataan Ki Sarapada, bahwa umur Aruji kurang enampuluh tahun.

   Ia sangat berprihatin.

   Katanya di dalam hati.

   'Dengan asal jadi saja aku mengaduk ramuan obat.

   Kini usianya rusak k arena t anganku.

   Biarlah sisa h idupku kupergunakan untuk menekuni segala ilmu rahasia ilmu sakti paman Sarapada.

   Siapa tahu, akan kuperoleh suatu uraian t entang memperpanjang umur.' Bagaikan patung tak berjiwa, Lingga W isnu mengawasi kepergian Aruji sampai bayangan pemuda itu hilang dari penglihatan.

   Kemudian perlahan-lahan ia nemutar tubuhnya dan balik pulang ke pondok.

   Sepanjang jalan ia menghela napas dengan hati duka, alangkah pedih perpisahan itu.

   Perpisahan yang tak dikehendaki sendiri.

   Selagi bermenung-menung, tiba-tiba ia mendengar suara menggelegar.

   Ia mendongak mengawasi udara.

   Awan hitam mendadak saja menutupi seluruh penglihatan.

   Guruh berdentuman seperti sedang berlomba, dan kilat mengejap-ngejap menusuk cakrawala.

   Kemudian hujan turun sangat deras.

   Hujan deras di tengah gunung Merapi bukan suatu kejadian yang perlu diherankan.

   Selama di pondok Sarapada, hampir sepuluh kali ia melihat hujan turun.

   Akan tetapi hujan kali ini la in sifatnya.

   Hujan itu mengandung lumpur.

   Tak mengherankan sebentar saja hujan, lumpur itu telah menbenam bukit-bukit yang berada disekitar gunung Merapi.

   Dan tanah-tanah yang membenam ikut longsor pula.

   Menyaksikan kejadian itu Lingga W isnu terkejut bukan main.

   Segera ia memanjangkan langkah lari menyingkir.

   Akan tetapi baru saja me langkah beberapa tapak, guntur meledak di atas kepalanya.

   Kilat mengejap dan menembus dadanya.

   Dan ia jatuh terkapar di atas t anah.

   Dalam keadaan lupa d iri, tiba-tiba ia melihat berkelebatan sebongkah batu turun dengan sangat deras dari angkasa.

   Tak mengherankan, hatinya jadi tergetar karena rasa takutnya.

   Pada detik itu tubuhnya merasa panas dingin tak menentu.

   Dalam keadaan putus asa, ia memejamkan kedua belah matanya menunggu maut.

   "Bres!"

   Bongkahan batu itu menimpa dadanya.

   Dan ia berteriak bangun dari mimpinya.

   Iapun siuman ke mbali ......

   o)00oodwoo00(o 1.

   Persiapan Balas Dendam Mimpi tak ubah w anita yang terus-menerus membuat teka-teki dunia, set iap orang yang pernah hidup dapat menceritakan pengalamannya tentang keajaibannya mimpi.

   Dan set iap bangsa mempunyai perbendaharaan cerita khayal tentang keragaman mimpi pula, lantaran ajaibnya serta sulit diterima akal.

   Keajaiban dan tiadanya masuk akal itu, lantaran mimpi persoalan bawah sadar.

   Dia mempunyai dunianya sendiri.

   Mempunyai kehidupannya sendiri.

   Mempunyai persoalannya sendiri.

   Tetapi anehnya, mempunyai hubungan erat sekali dengan dunia kenyataan.

   Seorang laki-laki pernah bemimpi menjadikan dirinya seorang gadis tatkala tercebur di dalam telaga iblis.

   Kemudian datanglah seorang sakti yang bisa menolong mengembalikan jenis semula, asal saja mau dikawinkan.

   Kelak apabila sudah beranak lima orang, ia akan kembali pulih seperti sediakala.

   Lantaran terpaksa, ia menerima syarat itu.

   Demikianlah ia mengandung sampai lima kali berturut-turut.

   Anak-anaknya terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan.

   Dan tatkala tersadar dari mimpinya oleh rasa girang, masih sempat ia melihat asap penghabisan lilinnya yang tadi dihembuskan padam sebelum tidur.

   Dengan demikian mimp inya hanya berlangsung dalam detik-detik saja.

   Padahal dalam mimpinya ia tercebur di dalam telaga sakti.

   Berunding dengan laki-laki sakti.

   Mengandung serta berturut-turut melahirkan lima orang anak.

   Paling t idak, kisahnya berjalan selama lima tahun.

   o)00oodwoo00(o

   Jilid 4 Sebaliknya, seseorang pernah bemimpi tercebur dalam sumur.

   Ia terbangun lantaran rasa kagetnya.

   Inilah mimpi terlalu pendek Dan untuk mimpi sependek itu, ia membutuhkan waktu hampir satu malam suntuk.

   Demikian pula pengalaman Lingga W isnu.

   Dalam mimp inya ia bertemu dengan Ki Sarapada, guru Palupi yang sudah meninggal.

   Kemudian berada di dalam pondokannya hampir satu bulan penuh.

   Selama itu, ia bertekun mempelajari semua h impunan rahasia ilmusakti ketabiban yang tiada keduanya di dunia.

   Mimpi dalam keadaan pingsan in i, hanya berlangsung .

   selama tiga hari saja.

   Ajaib.

   Tetapi yang lebih mengherankan lagi ialah pengalamannya dalam mimpi itu.

   Siapapun tidak akan percaya, bahwa Lingga W isnu dikemudian hari akan mengenal segala rahasia ilmu sakti ketabiban, lantaran mimp inya itu.

   Palupi yang mendengarkan tutur katanya, berkali-kali menghela napas lantaran herannya.

   Gadis in i lantas mengujinya dengan berbagai pertanyaan sulit.

   Dan Lingga W isnu dapat menjawab dengan tepat sekali.

   Malahan bocah itu pandai mengemukakan soal-soa l sulit yang membuat palupi harus berpikir keras sebelum memperoleh jawabannya.

   Demikianlah, selama dua tahun Lingga W isnu dirawat Palupi.

   Selama itu Aruji sudah dapat disembuhkan.

   Tatkala berpamit, kejadiannya seperti dalam mimp inya.

   Bocah itu mengantarkan jauh-jauh.

   Lalu balik pulang ke pondokan Palupi seorang diri.

   Hanya saja, w aktu itu tiada hujan lumpur atau kilat mengejap, yang membuat ia sadar dari mimpinya.

   Sebaliknya, alam bahkan nampak cemerlang sekali.

   Langit terang benderang.

   Angin meniup sejuk dan bunga Badjra Rinonce sedang merekahkan bunga-bunga birunya yang indah.

   Tatkala Lingga W isnu memasuki usia lima belas t ahun, pada suatu hari Palupi menemukan sesuatu yang aneh sekali yang terjadi di dalam tubuh bocah itu.

   Beberapa kali ia mencoba kepekaan urat-urat Lingga W isnu.

   Akan tetapi ternyata urat-urat Lingga W isnu seperti tiada berperasaan lagi.

   Gadis itu mencoba menyelami dan menggunakan cara-cara lain yang lebih cermat.

   Akan tetapi betapapun dia berusaha, racun Pacar keling yang mengeram di dalam sumsum Lingga W isnu sana sekali tak dapat dikeluarkan.

   Belasan hari lamanya Palupi mencari sebab sebabnva namun masih saja gelap baginya.

   Seorang gadis pendiam.

   Hampir tiga tahun Lingga W isnu bergaul dengan gadis itu akan tetapi boleh dikatakan pemah berbicara berkepanjangan.

   Dia bekerja sendiri dan memecahkan berbagai persoalan sendiri pula.

   Pada hari itu karena tak tahan menghadapi teka teki yang masih gelap baginya.

   Ia mint a keterangan kepada Lingga W isnu.

   Katanya sambil menghela nafas .

   "Ilmu sakti kakek gurumu memang sangat tinggi, Akan tetapi, rupanya dalam ilmu ketabiban kakek gurumu masih sangat asing. Boleh dikatakan tiada berpengalaman sama sekali. Itulah sebabnya ia malahan membuat celaka dirimu. Jelas sekali, engkau terkena racun hahat Pacar Keling. Namun dia bahkan membantu menembus jalan-jalan darahmu, sehingga seluruh urat nadi di dalam tubuhmu menjadi terbuka semua. Benarbenar hal itu membuat dirimu celaka"

   Lingga W isnu kenal watak Palupi.

   Biasanya gadis itu diam dan t enang serta tak mengacuhkan segala kejadian di luar d irinya.

   Sekarang ternyata ia kata-kata yang agak keras.

   Jelaslah bahw a gadis itu menyembunyikan marahnya, maka buru-buru ia menjawab .

   "Itulah Perbuatan Panyingkir. bukan eyang guru"

   Meskipun Palupi gadis Pendiam dan ketiga saudaranya berhati busuk namun hati Lingga W isnu berkenan kepadanya.

   Ia menganggap Palupi tak ubahnya seperti saudara seperguruannya sendiri.

   Maka dengan tulus ikhlas ia menceriterakan pengalamannya semenjak kanak-kanak sehingga datang ke rumah perguruan eyang gurunya.

   Ia mengenal berbagai cabang ilmu sakti berkat warisan orang tuanya.

   Ayahnya mewarisi tata ilmu sakti aliran Aristi.

   Sedangkan ibunya mewarisi ilmu sakti aliran Panembahan Larasmaja.

   Dengan jelas pula ia menceritakan bagaimana tatkala ia bertenu dengan seorang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir.

   Dahulu, t atkala Lingga W isnu dibawa masuk ke dalam padepokan Argapura, ia kena kebasan tangan salah seorang saudara seperguruan Anung Danudibrata, sehingga jatuh tertidur.

   Tetapi berkat tata ilmu sakti warisan ibunya, yang justru bertentangan dan berlawanan dengan t ata ilmu sakti dari aliran Argapura, begitu kena kebut lantas saja terjadilah suatu perlawanan yang wajar.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan Lingga W isnu tersedar dari tidurnya! Dasar ia seorang anak cerdik, berpura-puralah ia masih tertidur pulas.

   Namun dengan diam-diam ia mendengarkan percakapan antara Anung Danudibrata dengan keempat saudara seperguruannya .

   Karena pembicaran itu tahulah Lingga W isnu bahw a Anung Danudibrata dengan keempat saudara seperguruannya sama sekali belum mewarisi seluruh ilmu sakti aliran Ugrasawa.

   Satu-satunya tokoh di Argapura yang sudah berhasil menyelami ilinu sakti warisan Resi Ugrasawa hanyalah panembahan Panyingkir seorang.

   Memang, ilmu sakti warisan Resi Ugrasawa, tidaklah mudah.

   Jarang sekali anak keturunannya dapat mempelajarinya.

   Rata-rata murid-murid keturunannya hanya mencapai tingkatan ke tujuh.

   Dan yang sudah menyelami sampai tingkat ke sembilan hanyalah Panembahan Panyingkir.

   Sayang ia terlalu aneh wataknya.

   Puluhan t ahun lamanya ia selalu menutup diri di dalam kamar dan tak pernah bergaul dengan sekalian saudara-saudara seperguruannya.

   W alaupun demikian karena merasa d iri bukan ketua Argapura, ia menghormati Anung Danudibrata sebagai pengganti almarhum gurunya.

   Sedangkan terhadap Saptawita, Jarot , Hasan Hidayat dan Saroni sama sekali ia tak mengacuhkan.

   Setiap tahun sekali, peraturan padepokan Argapura mengharuskan anak-anak muridnda menguji kepandaiannya masing-masing.

   Akan tetapi justru pada hari yang sangat penting itu, Panembahan Panyingkir selalu jatuh sakit sehingga tak dapat hadir.

   Tentu saja banyak diant ara mereka yang lantas menaruh curiga kepadanya Benarkah dia sakit atau hanya pura-pura saja? Namun tak berani mereka mencoba-coba menanyakan.

   Itulah sebabnya, baik Anung Danudibrata dan sekalian tokoh sakti padepokan Argapura, sama sekali tidak mengetahui sampai di mana tingginya ilmu kepandaian Panembahan Panyingkir.

   Dan Anung Danudibrapa pun tak pernah mau mendesak agar merrperlihatkan ilmu kepandaiannya.

   Tetapi sekarang, lantaran kena desak Kyahi Basaman, mau tak mau Anung Danudibrata teringat kepada Panyingkir.

   Mula-mu la ia ragu, kemudian teringat pula ia mengutus Saptawita menghadap Panembahan Panyingkir dengan membawa tongkat ketua.

   Demikianlah, dengan diant arkan oleh salah seorang anggota Padepokan Argapura, Lingga W isnu dibawa menghadap Panembahan Panyingkir dan masih teringat dia akan kata-kata Panembahan Panyingkir yang gelak.

   "Kau siapa dan darimana datangmu, tak perlu aku menanyakan."

   Suara itu datang dari balik dinding.

   Suaranya sama sekali tak mirip suara seorang Panembahan yang saleh, kesannya seolah-olah dia sedang berhadapan dengan seorang algojo yang hendak menjatuhkan golok besarnya.

   Namun dia bersikap mendengarkan saja.

   Kata orang itu lagi.

   "Duduklah! Dengarkan baik-baik. Aku akan menguraikan int isari ilmu sakti warisan Resi Ugrasawa. Aku hanya menguraikannya sekali saja. Kau sanggup mengingat-ingatnya atau tidak, tergantung kepada nasibmu belaka. Ketua kami memerint ahkan agar aku menurunkan ilmu sakti warisan Resi Ugrasew a kepadamu. Sebenarnya inilah perint ah yang sangat mengherankan. Namun aku tak perduli. Kau sendiri saksinya, bahw a hari ini aku tunduk dan patuh kepada perint ah ketua biara. Bagaimana? Apa kau sudah siap? Nah aku akan mulai ..."

   Semenjak tadi Lingga W isnu tertarik perhatiannya kepada suara orang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir.

   Suara itu datang dari balik tembok.

   Sebenarnya hal itu tak perlu diherankan.

   Setiap tokoh sakti dapat melakukannya hanya yang membuat Lingga W isnu tercengang adalah bahwasanya orang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir ini, dapat berbicara dengan wajar, seolah-olah sedang berhadaphadapan muka.

   Lingga W isnu yang sudah berpengalaman banyak, bertemu dan berbicara dengan tokoh-tokoh sakti yang mengejar-ngejar ayah bundanya, diam-diam tercekat hatinya.

   Benar-benar dia merupakan tokoh sakti yang tiada taranya.

   Dalam pada itu, orang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir terus saja menguraikan rahasia ilmu sakti warisan Resi Ugrasawa.

   Ia tidak memperdulikan apakah Lingga W isnu sudah siap atau belum.

   Tanpa berkeputusan dia membuka mulutnya terus menerus selama dua jam.

   Dan sama sekali ia tak memberi penjelasan tentang apa yang sudah dikatakan.

   Apalagi mengulanginya dan sejenak kemudian dia berkata memutuskan.

   "Nah, selesailah sudah aku menguraikan rahasia ilmu sakti warisan Resi Ugrasawa. Sekarang terserah kepada nasibmu, apakah engkau sanggup mengingat-ingatnya atau tidak."

   Untuk membesarkan hati Panembahan Panyingkir, Lingga W isnu lantas saja menyahut.

   "Semua uraian tuan sudah dapat kuingat dengan baik."

   Mendengar ucapan Lingga W isnu, orang yang menamakan diri Panonbahan Panyingkir terkejut. Segera berkata menguji .

   "Coba, aku ingin mendengar!"

   Tanpa menaruh prasangka sedikitpun, Lingga W isnu mengucapkan kembali ajaran-ajaran Panembahan Panyingkir dengan lancar di luar kepala.

   Dari awal sampai akhir ternyata hal itu membuat orang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir tercengang bukan main.

   Benar-benarkah di dunia ini ada seorang bocah yang memiliki daya ingatan begitu hebat? Ia terpaku beberapa saat lamanya.

   Anung Danudibrata memberi perint ah kepadanya agar ia mengajarkan rahasia ilmu sakti w arisan Resi Ugrasawa kepada Lingga W isnu sampai bocah itu dapat memahami.

   Sebenarnya di dalam hatinya ia tidak rela sama sekali.

   Hanya lantaran tunduk kepada ketua, terpaksalah ia melakukan.

   Terdorong oleh rasa hati t idak rela, ia membuka mulut nya asal jadi saja.

   Sama sekali tak pernah terduga, bahwa bunyi hafalan rahasia ilmu sakti warisan Resi Ugrasawa yang cepat dapat tertangkap oleh daya ingatan Lingga W isnu yang luar biasa.

   Demikianlah, setelah merenung beberapa saat lamanya, berkatalah dia .

   "Coba, biarlah ku lihatnya urat-urat nadimu. Kudengar suaramu tidak lancar. Pastilah engkau menderita sesuatu ..."

   Dan apabila kedua tangan Lingga W isnu di serahkan kepadanya lewat lubang dinding, mulailah dia menembusi jalan darah bocah itu.

   Dia seorang tokoh sakti maha hebat.

   Himpunan tenaga saktinya luar biasa tingginya.

   Dan dengan himpunan t enaga sakti itulah, dia menembusi seluruh jalan darah Lingga Wisnu.

   Palupi bermenung-menung setelah mendengar cerita Lingga W isnu.

   Tiba-tiba ia berkata setengah berseru .

   "Adik Lingga! Pendeta itu sangat jahat padamu!"

   Keruan saja Lingga W isnu terkejut mendengar sernan Palupi itu. Sahutnya gagap .

   "Baik aku maupun dia tak pernah saling mengenal. Apa gunanya ia mencelakakan diriku?"

   "Coba, apa yang telah dikatakan kepadamu, setelah ia selesai menembusi seluruh jalan darahmu?"

   Palupi menegas.

   "Dia mengulangi kata-katanya yang tadi bahwa dia t ak perlu mengenal namaku, tak perlu tahu pula dari mana asalku dan aliranku,"

   Jawab Lingga W isnu sungguhsungguh. Dan mendengar jawaban Lingga W isnu, Palupi tersenyum. Katanya .

   "Hmm! Seumpama aku Panembahan Panyingkir maka akupun tak perlu menanyakan namamu dan dari mana engkau datang, serta apa pula golonganmu. Sebab dengan sekali menyentuh tanganmu saja, tahulah aku bahw a dirimu adalah anak murid Kyahi Basaman. Bukankah engkau pernah menerima pelajaran-pelajaran tata ilmu sakti w arisan Resi Aristi lewat ayahmu? Akupun akan segera tahu pula, bahwa di dalam dirimu mengeram racun yang sangat berbahaya. Kenapa dia justru menembusi jalan darahmu? Bukankah dengan demikian, dia justru memang sengaja hendak mencelakai dirimu?"

   Lingga W isnu terpukau. Selagi hendak membuka mulut nya, Palupi telah mendahului .

   "Eyang gurumu seorang yang sangat jujur, diapun agaknya tidak begitu paham akan azas-azas pengobatan sehingga sama sekali tidak mencurigai seseorang. Ia menganggap tabiat semua orang seperti dirinya sendiri."

   "Seumpama Panembahan Panyingkir berbuat demikian, apakah tujuannya? Dan apa pula maksudnya?"

   Lingga W isnu mencoba manbantah.

   "Apa alasan sesungguhnya, akupun tak tahu. Barangkali karena engkau terlalu jujur terhadapnya. Engkau bisa menghafal semua ajarannya di luar kepala tanpa salah sedikitpun. Untuk alasan in i saja cukuplah sudah seseorang membunuhmu."

   "Kenapa begitu?"

   Lingga W isnu heran.

   "Kau ingat tabiat dan sepak terjang ketiga saudara seperguruanku? Seumpama mereka mendengar dirimu dengan tiba-tiba saja dapat menguasai rahasia ilmu ketabiban almarhum guru, pastilah engkau bakal dituduhnya telah mencuri buku warisan guru. Merekapun akan segera membunuhmu !"

   "Kata eyang guru, pendiri Padepokan Argapura adalah murid tertua Resi Roma Harsana. Biara Argapura merupakan menara aliran suci. Dan sudah seratus t ahun Argapura memimpin aliran-aliran pendekar-pendekar sadar. Kupikir, meskipun benar didalam padepokan Argapura mungkin terdapat beberapa orang yang berpikiran sempit dan berjiwa rendah, namun rasanya tak mungkin berbuat serendah itu. Apalagi eyang guru meniadakan pertukaran pula semacam jual beli. Tukar menukar ini jauh lebih menguntungkan pihak Argapura dari pada aliran Aristi, sebab eyang guru terikat janji tak boleh mempelajari rahasia ilmu sakti aliran Ugrasawa yang diajarkan kepadaku."

   "Hmm, aliran pendekar-pendekar sadari"

   Potong Palupi dengan suara dengki.

   "Ayahbunda dan saudaramu bukanlah mati lantaran keganasan tangan orang-orang yang menamakan diri golongan pendekar-pendekar sadar, lant as saja mereka berbuat semena-mena terhadap pendekar pendekar yang digolongkan aliran tersesat dan liar. Alangkah keji cara mereka mengadili Pendekar-pendekar dari golongan mereka belum tentu merupakan manusia baik. Sebaliknya para pendekar Ngesti T unggalpun belum tentu busuk semua."

   Kata-kata Palupi ini benar-benar mengenai lubuk hati Lingga W isnu.

   Bocah itu lantas saja teringat pada peristiwa pembunuhan kedua orang tuanya dan saudaranya di atas gunung Lawu.

   Memang, ayah bunda dan saudaranya mati di t angan mereka yang menamakan diri para pendekar aliran suci dan sadar.

   Tatkala melihat mayat ayah bundanya, mereka nampak berduka cita.

   Akan tetapi di dalam hati masing-masing justru berkata bahw a kematian ayah-bundanya sudah pada t empatnya.

   Kesan demikianlah yang selalu teringat dalam lubuk hati bocah itu.

   T entu saja terhadap eyang guru dan pamanpaman gurunya, belum pernah ia menyatakan kesan hatinya itu.

   Kini Palupi dengan sengaja atau tidak, tibatiba membongkar rahasia yang tersimpan dalam lubuk hidupnya.

   Hatinya lantas saja tergoncang, seperti tersentak ia menangis menggerung-gerung.

   "Sejak jaman dahulu, manusia hidup dan mati sebenarnya tanpa teman dan tanpa kawan. Hanya anehnya, setelah berada bersama-sama di dalam dunia yang sama ini pula, mereka lant as bersaing dan bermusuhan,"

   Kata Palupi menghibur.

   "Karena teringat pada peristiwa ayah bundamu, engkau menangis. Akan tetapi bila engkau tidak mati, di kemudian hari pasti banyak manusia-manusia yang akan membuatmu menangis menggerung gerung lagi."

   Mendengar kata-kata Palupi, Lingga W isnu lantas berhenti menangis. Sambil mengusap air matanya ia menatap wajah gadis itu. Katanya sulit .

   "Jadi, orang yang menamakan dirinya Panembahan Panyingkir itulah ... sesungguhnya musuh besar ayahbundaku?"

   Palupi tidak segera menjawab.

   Ia tersenyum rahasia seperti biasanya.

   Iapun tidak melayani lagi.

   Setelah memutar t ubuh, ia mengambil cangkulnya dan berangkat ke ladang merawat bunga Brajarinonce seperti yang dilakukan pada set iap hari.

   Sampai petang hari, dia baru muncul kembali.

   W ajahnya yang tadi siang nampak guram, kini menjadi cerah.

   Katanya dengan suara gembira.

   "Baiklah, adik Lingga. Sebenarnya hatimu bergolak hebat lantaran ingin membalaskan dendam ayah-bunda dan saudaramu. Sayang, penyakitmu terlalu berat. Meskipun aku masih sanggup mempertahankan jiwamu dengan ramuan obatku, tetapi untuk memusnakan racun yang sudah mengeram di dalam sungsummu, benar- benar aku merasa tak sanggup. Akan t etapi membiarkan dirimu menjadi manusia tak berguna lantaran racun Pacarkeling, rasanya kurang tepat pula. Meskipun penyakitnya berada di dalam tubuhmu tak dapat disembuhkan namun setidaknya engkau harus dapat membalas dendam kepada musuh-musuh ayahbundarnu. Dengan demikian, engkau akan membuat arwah ayah bundamu dan saudaramu tenteram di alam baka. Besok pafi, biarlah kuant arkan engkau kepada seseorang. Dia seorang sakti yang berilmu kepandaian tinggi. Aku akan memohon kepadanya agar dia sudi mewariskan ilmu saktinya kepadamu. Dan selama itu, aku akan menjaga kesehatanmu agar tidak lumpuh karena racun Pacarkeling. Bagaimana, apa engkau setuju?"

   Sudah tentu hati Lingga W isnu girang bukan kepalang. Begitu girang dia sampai menandak-nandak. Lalu berseru.

   "Terima kasih, oh Ayunda! Terima kasih! Berapa lama aku hidup, memang semenjak aku turun dari padepokan Argapura, t idak kupikirkan lagi. Akan tetapi hatiku selalu gelisah manakala teringat arwah-arwah ayah bunda dan saudaraku yang masih menanggung penasaran. Aku berjanji kepadamu dan juga kepada diriku sendiri serta berjanji kepada hidupku, bahwasanya apabila aku sudah mewarisi sekalian ilmu sakti pamanmu, akan cepat-cepat melaksanakan balas dendam ayah-bunda dan saudaraku."

   Lingga W isnu tak berani mint a keterangan tentang siapakah orang yang dijanjikan itu.

   Selamanya Palupi bersikap rahasia.

   Akan t etapi ia percaya bahwa gadis itu bermaksud baik terhadap dirinya.

   Hanya saja gerak geriknya sangat sukar ditebak.

   Dan malam itu Lingga W isnu tak dapat tidur dengan nyenyak.

   Hatinya sangat girang karena janji Palupi.

   Memang ia sudah mengantongi beberapa ragam ilmu sakti yang diwarisi dari ayah-bundanya.

   Akan tetapi keragamannya masih seperti cakar ayam.

   Sekarang apabila ada seseorang yang sudi memberi petunjuk-petunjuk, bukankah dia akan menjadi orang yang berarti di kemudian hari? Meskipun, mungkin sekali belum boleh diandalkan untuk menghadapi musuh besar ayah-bundanya, namun set ldaknya sudah merupakan tataran persiapan balas dendam.

   Dan dengan bekal tata ilmu sakti yang teratur itu, dia akan bisa menanjak ketataran kesempurnaan dikemudian hari.

   Orang yang dijanjikan itu bernama Kerdhana.

   Ia bermukim dipinggang gunung Merapi bagian timur.

   Orangnya berperawakan pendek ketat.

   Seperti Palupi, dia seorang pendiam pula.

   Saudara seperguruannya berjumlah t iga.

   Jabrik, Puthaksa dan Wirupaksa.

   Satu tahun lamanya Lingga W isnu menerima dasardasar pelajaran mereka berempat.

   Yang bernama.

   ilmu sakti Sardula Jenar.

   Dan selama itu Palupi tak pernah meninggalkan.

   Setiap kali habis berlatih, selalu ia memeriksa keadaan tubuh Lingga W isnu.

   Setiap malam ia menggpdok ramuan obat-obatan tertentu untuk mengikis habis racun Pacarkeling.

   Pada suatu hari datanglah Palu menghampiri.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata gadis itu dengan berbisik.

   "Adik Lingga, gurumu menghendaki engkau berkemaskemas sebentar malam. Sekarang ini ke empat gurumu telah mendahului berangkat. Dan esok pagi engkau bersama aku disuruh mengikuti jejak mereka."

   "Ke mana?"

   Lingga W isnu heran.

   "Gurumu akan selalu meninggalkan tanda-tanda disepanjang jalan. Lihatlah, kita berdua masing-masing diberinya sebatang panah hijau. Panah hijau ini semacam tanda pengenal dijalan"

   Jawab Palupi cepat. Dan setelah menyerahkan sebatang anak panah kepada Lingga W isnu, ia berkata meneruskan.

   "Pada saat ini negara sedang kacau balau. Pangeran Mangkubumi sudah bertekad bulat untuk mendirikan kerajaan baru. Dan kita ini, tergabung dalam himpunan laskar perjuangan yang membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi menegakkan keadilan. Kompeni Belanda dan laskar Kasunanan adalah musuh-musuh kita. Aku tahu, engkau bukan salah seorang anggauta Ngesti Tunggal. Akan tetapi keempat gurumu semua termasuk tokoh-tokoh pembantu Pangeran Mangkubumi. Terserah padamu, apakah engkau berada dipihak gurumu atau tidak."

   Mendengar kata-kata Palupi, Lingga W isnu merenung.

   Sejak di rumah perguruan Kyahi Basaman, tahulah ia bahwa Ngesti Tunggal membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi menentang kebijaksanaan Patih Pringgalaya.

   Eyang gurunya pun menggabungkan diri dengan laskar Raden Mas Said.

   Karena baik Pangeran Mangkubumi maupun Raden Mas Said menentang pihak Belanda, rasanya t idak tercela apabila dia k ini berpihak kepada keempat gurunya untuk membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi.

   Setelah memperoleh pertimbangan demikian, ia menyahut .

   "Ayahku murid aliran Aristi yang membantu perjuangan Raden Mas Said membangun kerajaan baru. Kurasa akupun tidak akan kena damprat eyang guru dan sekalian paman guru, manakala aku berada di pihak Pangeran Mangkubumi. Tegasnya, seumpama aku ini seorang penumpang perahu, akan tunduk patuh kepada pemegang kemudinya. Hanya saja tentang panah hijau ini, benar-benar aku tak mengerti maksudnya."

   Palupi t ersenyum. Jawabnya.

   "Meskipun engkau kini telah menjadi menusia lain, akan tetapi engkau masih tergolong pelajar lemah. Tidak selayaknya engkau berkelana t urun Gunung seorang diri. Karena ini aku di perint ahkan untuk selalu menyertaimu. Tetapi karena akupun hanya pandai ilmu ketabiban saja, keempat gurumu memandang perlu untuk memberikan tanda pengenal pencegah bencana di perjalanan demi keselamatan kita berdua."

   Lingga W isnu memeriksa panah hijau yang berada di tangannya. Dia boleh berotak cerdas, akan tetapi tak dapat menemukan keanehannya. Akhirnya ia mengira bahw a panah hijau itu hanya semacam benda yang membawa alamat baik saja.

   "Baiklah, ayunda. Aku sangat berterima kasih atas perhatian guru."

   Berkata demikian ia segera menyimpan panah hijau itu ke dalam bungkusannya.

   Keesokan harinya, berbareng dengan munculnya matahari di t imur, mereka berdua berangkat dengan naik kuda.

   Mereka menempuh perjalanan perlahan-lahan.

   Dan menjelang petang hari, tibalah mereka di sebuah kampung.

   "Kita singgah di sin i,"

   Kata Palupi.

   Mereka lantas mencari pondokan, untuk dapat beristirahat satu malam penuh.

   Dan pada esok harinya mereka meneruskan perjalanan kembali.

   Mereka melewati dusun-dusun yang pernah dirampok Kompeni Belanda.

   Banyak penduduknya yang mati terbunuh.

   Dan menyaksikan bekas-bekas kekejaman Kompeni Belanda, Lingga W isnu jadi teringat akan nasibnya sendiri.

   Lantas saja ia mengaburkan kudanya untuk melupakan kesan-kesannya itu.

   W aktu itu t engah hari tepat dari arah depan kelihatan seorang penunggang kuda mendatangi dengan mengaburkan kudanya secepat angin.

   Debu tebal membubung keudara.

   Tatkala berpapasan, orang itu berpaling.

   Akan tetapi baik L ing ga Wisnu maupun Palupi bersikap acuh tak acuh.

   Baru mencapai perjalanan lima atau enam kilometer, mereka mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakang.

   Makin lama.

   derap itu terdengar makin nyata.

   Tatkala Lingga W isnu berpaling, ia melihat seorang penunggang kuda be-roman gagah, nampak memakai ikat kepala hijau.

   "Aneh sekali gerak-gerik orang itu!"

   Kata Lingga W isnu setelah penunggang kuda itu melint asi.

   "Bukankah yang berpapasan dengan kita tadi pula?"

   "Memang, orang itu pula yang tadi datang dari depan dan berpaling sew aktu berpapasan."

   Palupi pun sebenarnya memperhatikan secara diam diam. Ia tidak menjawab pertanyaan Lingga W isnu. Ujarnya .

   "Sebentar lagi, kalau d ia balik kembali, kau larikan kudamu secepat-cepatnya."

   Lingga W isnu terperanjat. Ia mint a keterangan .

   "Apa? Apa ia penyamun?"

   "Kau lihat sajalah. Lima kilometer lagi di depan kita, pasti akan t erjadi suatu peristiwa,"

   Kata Palupi.

   "Dan kita tidak akan dapat mundur lagi. Rasanya, satu-satunya jalan hanyalah mencoba menerjang untuk meloloskan diri."

   Mendengar kata-kata Palupi, hati Lingga W isnu menjadi gelisah.

   Ia menatap wajah Palupi.

   Gadis itupun nampaknya tegang sendiri.

   Sebenarnya ingin Lingga W isnu minta penjelasan lagi.

   Akan tetapi melihat wajah Palupi begitu tegang , ia membatalkan diri.

   Dan dengan berdiam diri ia mengikut i kuda Palupi.

   Kira-kira empat kilometer lagi, tiba-tiba terdengarlah mengaungnya sebatang anak panah di tengah udara.

   Kemudian nampak tiga penunggang kuda melint ang ditengah jalan.

   Melihat mereka, Lingga W isnu segera maju ke depan dan mengangguk hormat.

   Ujarnya .

   "Aku bernama Lingga W isnu. Dan kawanku ini bernama Palupi. Kita berdua sedang melakukan perjalanan jauh. Sama sekali kita tidak membawa harta benda yang berharga. Apakah kami berdua diperkenankan lewat?"

   W alaupun masih merupakan pemuda tanggung, akan tetapi Lingga W isnu mempunyai pengalaman banyak dalam riwayat hidupnya.

   Itulah pengalamannya tatkala selama delapan t ahun terus menerus dikejar-kejar lawan.

   Dia pandai membawa diri.

   Karena itu berhadapan dengan mereka bertiga yang melint angnya kudanya di tengah jalan, segera ia berkata merendah.

   Seorang diant ara mereka tertawa melalu i dadanya, sahutnya .

   "Kami kekurangan uang. Karena itu tolong pinjami kami uang seratus ringgit saja."

   Lingga W isnu tercengang. Ia berpaling kepada Palupi mint a pertimbangan. Dalam pada itu sipenunggang kuda yang berikat kepala hijau yang tadi mondar-mandir dengan kudanya, membentak .

   "Kami hendak pinjam uang seratus ringgit. Kamu ngerti apa tidak?"

   Mendengar bentakan itu, Lingga W isnu menjadi gusar. Tak sudi ia kalah gertak. Sahutnya membentak pula .

   "Sudah belasan tahun aku berkelana, belum pernah aku bertemu dengan orang yang sekurang ajar engkau!"

   Mendengar bentakan Lingga W isnu, mereka bertiga tertawa.

   Alangkah lucu ucapan bocah itu.

   Sudah belasan tahun berkelana.

   Memang meskipun apa yang diucapkan Lingga W isnu sedikit banyak mengandung kebenaran, akan tetapi mengingat usianya, siapapun tentu tidak akan percaya.

   Orang berikat kepala hijau itu lantas berkata lagi .

   "Baiklah, taruh kata engkau sudah belasan tahun berkelana seorang diri. Apakah engkau pernah melihat seorang yang bisa memanah seperti aku?"

   Setelah berkata demikian, ia mengambil busur dan peluru.

   Dengan beruntun ia melepaskan tiga peluru ke udara.

   Setelah itu ia melepaskan anak panahnya.

   Dan ketiga peluru itulah sasarannya.

   Jitu sekali bidikannya.

   Ketiga peluru itu pecah menjadi enam bagian dan runtuh berbareng meluruk ke bawah.

   Lingga W isnu ternganganganga menyaksikan kepandaian orang itu.

   Justru demikian, tiba-tiba lengan kirinya terasa sakit.

   Ternyata ia terkena panah dengan tak setahunya.

   Pada saat itu orang ketiga yang berperawakan pendek dan berewok, tiba-tiba menyambarkan cemetinya.

   Dengan sebat Lingga W isnu menggerakkan kudanya untuk mengelakkan diri.

   Ia berhasil menggagalkan serangan orang itu.

   Akan tetapi selagi demikian, mendadak cemeti itu berbalik arah.

   Kini melilit golok yang diselipkan dipinggangnya.

   Dan berbareng dengan gerakan itu, tibatiba Lingga W isnu melihat berkelebatnya sebatang pedang memapas tali bungkusan yang berada dipunggungnya.

   Kena babatan pedang, bungkusannya jatuh di atas t anah.

   Dan setelah mengambil bungkusan itu dengan cemetinya, orang itu lantas mengaburkan kudanya.

   "Terima kasih!"

   Kata penunggang kuda yang berikat kepala hijau sambil tertawa senang.

   Dan setelah berkata demikian, dia lantas menyusul temannya.

   Sedang orang yang berada disampingnya mengeprak kudanya pula.

   Sebentar saja ketiga penyamun itu hilang dari penglihatan.

   Lingga W isnu jadi sangat lesu.

   Ia sangat berduka dan mendongkol.

   Ia merasa diri tiada guna.

   Ia telah belajar tata berkelahi satu tahun lamanya.

   Namun menghadapi tiga penyamun itu saja t ak dapat ia berbuat sesuatu yang berarti.

   "Mari kita jalan terus!"

   Ajak Palupi dengan suara tenang.

   "Masih untung, jiwa kita tidak diarahnya.."

   Lingga W isnu menundukkan kepalanya.

   Dengan tetap berdiam diri ia mengikut i Palupi meneruskan perjalanan.

   Kira-kira setengah jam mereka berjalan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda sangat berisik.

   Lingga W isnu menoleh.

   Hatinya tercekat, karena yang datang adalah mereka bertiga tadi.

   Apalagi yang mereka kehendaki? Apakah belum merasa puas telah memperoleh uang? Dan kini hendak merenggut jiwa? Memperoleh dugaan demikian, bulu kuduk Lingga W isnu bergidik dengan sendirinya.

   Ketiga penyamun itu dapat mengejar Lingga W isnu dan Palupi dengan cepat sekali.

   Selagi mereka berdua saling memandang dengan wajah penuh pertanyaan, tiba-tiba ketiga penyamun itu melompat dari kudanya masing-masing.

   Lalu membungkuk hormat.

   Kata orang berikat kepala hijau itu .

   "Akh, ternyata kalian berdua orang sendiri. Maaf, maafkan! Kami tak kenal kalian, sehingga telah berbuat keliru. Harap kalian berdua memaafkan perbuatan kami tadi."

   Si pendek berewok lantas saja menyerahkan bungkusan Lingga W isnu yang tadi dirampasnya.

   Ia menyerahkan kembali dengan kedua tangannya.

   Dan Lingga W isnu jadi terheran-heran.

   Hatinya penuh pertanyaan.

   Itulah sebabnya tak berani ia menyambuti bungkusannya sendiri.

   Ia berpaling kepada Palupi mint a pendapatnya.

   Ternyata gadis itu memanggutkan kepalanya.

   Dengan wajah tenang sekali.

   Maka W isnu segera menerima kembali bungkusannya.

   "Perkenankan kami bertiga mengenal nama kalian berdua, agar dikemudian hari kami tidak berbuat keliru lagi."

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bukankah tadi kami sudah memperkenalkan diri? Aku Lingga W isnu, dan kawanku ayunda Palupi."

   Sahut Lingga W isnu. Orang berikat kepala hijau itu senang. Sambil menegakkan badannya ia menyahut .

   "Nama bagus, Aku sendiri bernama Galong. Dan kedua temanku ini bernama Gandu dan Tanjung. Kalau tadi adik segera memperlihatkan tanda panah hijau kepada kami, pastilah kami segera mengerti. Untungnya kami bertiga t idak sampai melukai dirimu."

   Mendengar kata-kata Galong, barulah Lingga W isnu.

   khasiat panah hijau yang dibawanya.

   Sewaktu berkemaskemas di rumah perguruan, ia menyimpannya di dalam bungkusannya.

   Coba seumpama disimpan dibalik bajunya, bukankah dia bakal kehilangan bungkusannya yang berisi uang pula? "Pastilah adik berdua hendak mendaki gunung Merbabu, bukan?"

   Menegas Galong.

   "Kalau begitu, mari kita berjalan bersama-sama. Saudara kita berdua, Gandu dan Tanjung berasal dari Madura. Meskipun demikian mereka bisa menangkap bahasa kita, asal saja bahasa sehari-hari."

   Galong berbicara dengan nada ramah, akan t etapi hati Lingga W isnu tetap bimbang. Betapapun juga melihat mereka berdua bekerja sebagai penyamun, sedang katakata penyamun tak dapat dipercaya penuh. Maka jawabnya mengelak .

   "Kami berdua tak mempunyai tujuan tertentu."

   Mendengar jawaban Lingga W isnu, Galong nampak tersinggung. W ajahnya berubah merah. Katanya menegur .

   "Kami bertiga datang dari Jawa Timur. Ratusan kilometer telah kami tempuh siang malam, lantaran tiga hari lagi himpunan laskar perjuangan Mangkubumi akan mengadakan pertemuan besar di atas gunung Merbabu. Kenapa kalian t idak sudi mendaki?"

   Pilu juga hati Lingga W isnu mendengar teguran itu.

   Dengan sesungguhnya, ia tak mengerti tujuan perjalanannya.

   Di sepanjang jalan Palupi selalu membungkam mulut dan tak pernah memberi keterangan.

   Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang berpembawaan dapat menangkap suatu keadaan dengan cepat sekali.

   Maka dengan suara wajar ia berkata.

   "Apakah pertemuan itu sangat penting artinya?"

   "Tentu saja!"

   Sahut Galong dengan suara tetap mengandung kegusaran.

   "Bukankah kita diharuskan datang menghadiri pertemuan itu untuk menghormati panji-panji Imogiri?"

   Kembali Lingga W isnu bingung.

   Apa itu panji panji Imogiri? Meskipun dia seorang pemuda yang cerdas sekali, akan tatapi pergaulannya dalam percaturan hidup masih sempit.

   Apa yang dinamakan panji-panji Imogiri itu sesungguhnya hanyalah merupakan suatu lambang perjuangan saja.

   Itulah terjadi pada t ahun 1749.

   Pada tahun itu kedaulatan Mataram diserahkan dengan percuma dan t anpa alasan kepada pemerint ahan Belanda.

   Sri Pakubuwana wafat.

   Mataram bersama dengan susuhunan dimakamkan.

   Tidak di Imogiri, tempat pemakaman raja-raja Mataram, akan tetapi di Batavia *).

   Seperti yang t elah dijanjikan Belanda, putera mahkota diangkat menjadi susuhunan Paku Buwana III sebagai pengganti almarhum ayahnya.

   Akan tetapi seluruh Keraton marah besar terhadap penyerahan Mataram itu.

   Timbul ah kini berbagai golongan di dalam istana yang membahayakan Sri Pakubuw ana III.

   V.O.C.

   lantas saja bertindak.

   Dengan alasan demi menyelamatkan Sri Paku Buwana III, beberapa Pangeran yang menentang Belanda ditangkap dan diangkut ke Semarang.

   Nasib pangeran- pangeran itu belum dapat diketahui sejarah, hingga kini.

   Peristiwa penculikan pangeran-pangeran itu dijadikan hari lambang perjuangan membebaskan Mataram dari cengkeraman Belanda.

   Dan panji-panji Imogiri dijadikan sebagai peringatan adanya pangeran-pangeran yang diangkut Belanda ke Semarang.

   Panji-panji Imogiri memperingatkan pula kepada sekalian rakyat, bahwa Belanda hendak mengimogirikan **) kerajaan Mataram dan Susuhunan.

   ***) *) Sekarang Jakarta.

   **) mengimogirikan = membunuh atau meniadakan selaras dengan pengertian bahwa Imogiri tempat pemakaman raja-raja.

   ***) Baca.

   R.

   Moch.

   Ali S.S.

   "Perjoangan Feodal Indonesia", halaman 191. Penerbit Ganaco N.V., Bandung - tahun 1963. Lingga W isnu tidak mengetahui semua kejadian itu. Tak mengherankan, kepalanya menjadi penuh teka-teki tentang apa yang disebut panji-panji Imogiri. Namun dasar seorang pemuda cerdas, lantas saja ia memutuskan .

   "Kita baru saja bertemu dan berkenalan. Karena itu wajib aku merahasiakan tujuan perjalanan. Bukankah begitu? Mari, mari kita berjalan bersama-sama."

   Mendengar kata-kata Lingga W isnu, Galong lantas manggut-manggut penuh pengertian. W ajahnya berubah menjadi girang. Dia tertawa lebar sambil menyahut .

   "Memang telah kuduga bahwa adik hendak menyembunyikan maksud sebenarnya. Bagus! Akupun akan bersikap demikian terhadap seseorang yang belum pernah kukenal."

   Sampai disitu, berlima mereka berjalan sama sama melanjutkan perjalanan mendaki gunung Merbabu.

   Galong memimpin perjalanan.

   Setiap kali berjumpa dengan rombongan-rombongan atau garudu-gardu penjagaan, ia hanya menggerakkan tangannya saja.

   Gerakan-gerakan tangannya ternyata besar khasiatnya.

   Rumah-rumah di sepanjang jalan bersiaga penuh untuk menerima kedatangan mereka berlima.

   Juga rumahrumah makan yang disinggahi tak sudi menerima pembayaran.

   Perlayanan terhadap mereka berlima sangat manis sekali.

   Selang dua hari tibalah mereka diatas pinggang gunung Merbabu sebelah Utara.

   Diatas gunung ini barulah Lingga W isnu mengembarakan penglihatannya dengan bebas merdeka.

   Di segala penjuru ia melihat ratusan orang berlerot t iada putusnya mendaki gunung.

   Pakaian mereka warna-warni.

   Cara dandanannya berbeda-beda pula.

   Perawakan mereka pun macammacam.

   Ada yang gemuk, ada yang kurus, ada yang jangkung dan ada yang pendek.

   Sebaliknya yang boleh dikatakan sama ialah bahw a mereka semua memiliki gerakan yang gesit.

   Diantara mereka banyak yang sudah kenal dengan Galong, Gandu dan Tanjung.

   Lingga W isnu dan Palupi bersikap tidak ingin tahu dengan rahasia mereka.

   Itulah sebabnya, selagi mereka berbicara, mereka berdua sengaja berdiri jauh-jauh.

   W alaupun demikian pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap logat bahasa orang-orang yang datang mendaki gunung Merbabu itu.

   Ternyata mereka yang datang mempunyai logat Banyumas, pantai ut ara, Jawa Timur serta orang-orang yang hidup di selatan gunung Merapi.

   Mengapa mereka mendaki gunung di sini beramai-ramai? Sebenarnya Lingga W isnu sangat ingin memperoleh keterangan dari Palupi, akan tetapi tatkala itu Palupi tiba-tiba bersembunyi.

   dibalik sebuah batu besar.

   Sewaktu muncul kembali, ia sudah mengenakan pakaian laki-laki.

   Malam itu Galong membawa rombongannya bermalam di kaki Gunung.

   Dan keesokan harinya, ia memimpin rombongannya mendaki gunung Merbabu sebelah Utara.

   Selagi bersantap, tiba-tiba terdengarlah seruan orang sambung-menyambung .

   "Pangeran Natayuda datang!"

   Mendengar seruan sambung-menyambung itu delapan orang berdiri serent ak. Kemudian berlari-lari menyambut kedatangan orang yang diserukan.

   "Mari kita lihat!"

   Ajak Lingga W isnu.

   Palupi tidak membantah.

   Segera di kut inya bocah itu dengan langkah panjang.

   Seperti berbaris, mereka yang mendaki gunung Merbabu berdiri dengan rapih dan tenang.

   Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda, dan muncul ah seorang pemuda berumur dua puluh tahun.

   Kudanya berjalan perlahan-lahan.

   Manakala me lihat jumlah penyambutnya terlalu banyak, segera ia melompat turun dari kudanya.

   Seorang berperawakan tinggi besar, muncul diant ara gerombolan orang.

   Orang itu segera menyambut kuda Pangeran Natayuda.

   Segera Pangeran Natayuda menyerahkan kendalinya.

   Dia sendiri lantas berjalan dan memanggut hormat kepada para penyambutnya.

   Melihat Lingga W isnu yang masih berkesan kanak-kanak, ia tertegun sejenak.

   Kemudian bertanya dengan manis.

   "Siapakah saudara ini?"

   "Aku bernama Lingga W isnu."

   Sahut Lingga W isnu pendek.

   "Apakah tuan, yang disebut Pangeran Natayuda?"

   "Akh, jangan memanggil aku tuan,"

   Potong Pangeran Natayuda dengan tertawa ramah.

   "Panggil saja namaku. Natayuda."

   Lingga W isnu tertarik akan sikap pangeran itu yang sopan.

   Segera ia membungkuk hormat.

   Dan dengan tersenyum Pangeran Natayuda berjalan mengarah penginapan yang disediakan.

   Lingga W isnu benar-benar tertarik hatinya.

   Selagi tertegun, tiba-tiba Palupi meniup telinganya.

   Kata gadis itu.

   "Dia seorang Pangeran! Kita berdua ini keturunan orang lumrah. Rupanya dia berpengaruh. Inilah kesempatan baik, apabila engkau hendak bersahabat dengan dia. Kalau engkau bisa berbicara dari hati ke hati dengan Pangeran itu, setidaknya martabatmu akan naik."

   Geli hati Lingga W isnu mendengar kata-kata Palupi.

   Akan tetapi pikiran gadis itu menarik hati pula.

   Lantas saja ia menyusul ke rumah penginapan, mencari Pangeran Natayuda.

   Di depan kamar Pangeran Natayuda, ia sengaja berbatuk kecil.

   Kemudian mengetuk pintu perlahanlahan.

   Ia mendengar suara seseorang sedang membaca buku di dalam kamar itu.

   Begitu pintu terbuka dan muncul ah Pangeran Natayuda dengan wajah berseriseri.

   "Dalam rumah penginapan sesunyi ini. Saudara Lingga sudi datang kemari. Inilah bagus sekali,"

   Kata Pangeran Natayuda dengan suara ramah. Lingga W isnu masuk. Dan nampak di depan matanya se

   Jilid buku dan sehelai peta diatas meja.

   Itulah sehelai peta dari sebuah kerajaan baru.

   Khawatir ia bakal dicurigai Pangeran Natayuda cepat-cepat ia mengalihkan pandangnya.

   Dan pada saat itu Pangeran Natayuda mint a keterangan kepadanya asal usul dirinya.

   Lingga W isnu tidak menyembunyikan riwayat hidupnya.

   Dengan terus terang dia berkata bahwa dirinya adalah putera pendekar Udayana yang menemui ajalnya di atas gunung Lawu.

   Kemudian dia kini berada dipinggang gunung Merapi untuk menyembuhkan penyakitnya.

   "Oh!"

   Pangeran Natayuda berseru tertahan.

   "Ayahmu seorang pendekar yang putih bersih. Kami juga menghargainya ..."

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mendengar Pangeran Natayuda menghargai diri ayahnya, hati Lingga W isnu tergerak. Lantas saja ia merasa dekat sekali dengan Pangeran itu. Dengan katakata ia menyahut .

   "Penghargaan Pangeran terhadap almarhumah, sangat mengharukan hati kami. Akan tetapi tak berani kami menerima penghargaan Pangeran yang terlalu tinggi."

   Pangeran Natayuda tertawa lebar. Ujarnya.

   "Adikku inilah yang dinamakan jodoh. Kita bisa bertemu di sini dan berbicara dari hati ke hati. Besok adik akan mendaki gunung pula, bukan? Biarlah esok kuperkenalkan kepada pendekar pendekar gagah dari seluruh Nusantara ini. Adik bisa membuktikan sendiri bahw a mereka semua mengenal nama ayahmu dan menghargai kemegahannya. Kutanggung adik akan merasa gembira sekali."

   Bangga juga hati Lingga W isnu mendengar kata-kata Pangeran Natayuda.

   Segera ia berbicara panjang lebar tanpa segan-segan lagi.

   Ia membicarakan tentang kancah perjuangan, ilmu tata sakti dan ilmu ketabiban yang dikenalnya.

   Dan mendengar tutur kata Lingga W isnu, diam-diam Pangeran Natayuda tercengang.

   Pikir Pangeran Natayuda di dalam hati.

   "Bocah narrpaknya luas sekali pengetahuannya. Jarang sekali aku menjumpai seorang bocah seperti dia. Bocah seperti dia sangat dibut uhkan oleh Pangeran Mangkubumi. Biarlah kubawanya serta di dalam pertemuan-pertemuan resmi. Siapa t ahu dikemudian hari ada gunanya."

   Mereka berdua berbicara sampai larut malam sekaji.

   Apabila suasana d i situ bertambah sunyi senyap, barulah Lingga W isnu kembali ke kamarnya.

   Palupi ternyata belum memejamkan matanya.

   Seperti biasanya, ia menunggu kedatangan Lingga W isnu dengan setia.

   Dan dengan semangat menyalanyala Lingga W isnu segera menceritakan pengalamannya bergaul dengan Pangeran Natayuda.

   Seperti biasanya juga, Palupi bersikap mendengarkan saja.

   W ajahnya sangat t enang dan tiada nampak perobahan atau kesan sesuatu.

   Entah dia ikut bersyukur lantaran perkenalan itu atau tidak, hanya malaikat dan Tuhan sendiri yang tahu.

   0o-dwe-o0 Pada hari keempat, adalah hari pertama tahun 1754.

   Itulah hari yang dijanjikan Pangeran Natayuda hendak membawa Lingga W isnu untuk diperkenalkan dengan para pendekar gagah yang datang dari segala penjuru.

   Sebelum bertemu dengan Pangeran Natayuda, ia dan Palupi dibagi Galong mendaki dan menuruni bukit-bukit tak keruan juntrungnya.

   Kadang-kadang setelah sampai di pinggang gunung, dibawanya turun ke kaki gunung kembali.

   Kadangkala melintasi pedusunan dan lamping bukit.

   Dan seperti kanak-kanak belajar berjalan, ia dibawa pula beringsut-ingsut dari keblat ke keblat.

   W alaupun hati Lingga W isnu kerapkali merasa kesal, namun tahulah dia bahw a maksud Galong untuk menyesatkan penglihatan orang-orang tertentu yang tidak dikehendaki.

   Tatkala Lingga W isnu hendak berangkat meneruskan perjalanan mendaki puncak gunung.

   Palupi datang menghampiri dan menyerahkan sebuah kantong berisi ramuan obat.

   Kata gadis itu.

   "Di dalam pertemuan besar in i mungkin kita berdua akan duduk berpisahan. Maka kau bawalah kant ong obat pemunah racunmu ini. Setiap kali dirimu merasa akan kumat, cepat-cepatlah menelan t iga butir."

   "Engkau akan ke mana?"

   Lingga W isnu tercekat.

   "Aku? Akupun berada diant ara para hadirin. Hanya saja, rasanya akan mengganggu dirimu. Sebab pastilah Pangeran Natayuda akan membawamu duduk kesampingan. Kalau akupun duduk mendampingimu, akan menimbulkan berbagai pertanyaan."

   "Kenapa begitu?"

   Lingga W isnu tidak mengerti.

   Palupi tidak menjawab.

   Dia hanya tersenyum manis.

   Kemudian mendahului berangkat meninggalkan kamarnya.

   Menjelang tengah hari, sampailah mereka di pinggang gunung.

   Belasan orang berdiri menyambut dengan niru penuh hidangan.

   Setelah berhenti sebentar untuk bersantap dan minum serta beristirahat pula, mereka yang mendaki gunung meneruskan perjalanannya keriba|i.

   Sejak itu terus menerus terdapat gardu-gardu penjagaan yang ketat main tanya dan periksa kepada set iap orang yang datang dan melint asi penjagaan.

   W alapun demikian, cara mereka bertanya dan memeriksa sangat sopan.

   Tatkala giliran memeriksa t iba pada Lingga W isnu dan Palupi, Pangeran Natayuda hanya memanggutkan kepala dan lantas saja mereka diijinkan melint asi penjagaan tanpa pertanyaan lagi.

   Malahan barisan penjaga bersikap hormat terhadap rombongannya.

   'Sungguh berbahaya,' kata Lingga W isnu di dalam hati.

   Makin sadarlah ia betapa besar pengaruh Pangeran Natayuda.

   Ia bergirang dan bersyukur di dalam hati karena sonalam dapat berbicara secara akrab sekali.

   Hanya saja belum dapat menduga-duga apa yang bakal terjadi nanti.

   Tatkala magrib tiba, sampailah mereka di atas gunung.

   Ratusan orang berdiri dan berbaris dengan rapih.

   Mereka menyambut kedatangan para tetamu.

   Sikap mereka angkar.

   Tetapi begitu melihat kedatangan Pangeran Natayuda, pemimpin laskar itu, lantas saja maju menyambut.

   Kemudian dengan bergandengan tangan mereka berdua masuk ke dalam sebuah rumah pasanggrahan yang besar.

   Di kiri-kanan pasanggrahan itu terdapat berpuluhpuluh bangunan yang berpencaran letaknya.

   Yang paling besar adalah rumah tadi, yang dimasuki Pangeran Natayuda.

   Sama sekali ada pagar pagar ketat dan kokoh, sehingga keadaannya tiada mirip dengan sarang berandal.

   Di atas banyak bangunan-bangunan itu yang terpancang sehelai bendera berwarna hijau dan kuning.

   Itulah bendera yang disebut orang dengan nama bendera Pare Anom.

   Bagi Lingga W isnu sama penglihatan itu merupakan pengalaman baru.

   Belasan tahun ia lakukan berkelana, akan tetapi baru kali inilah ia merasa berkumpul dengan ratusan manusia yang nampaknya bersatu padu.

   Dengan penuh selidik ia mengamati wajah setiap orang yang dilihatnya.

   Mereka semua bergaul sangat rapat sebagai sahabat.

   Akan tetapi, wajah mereka nampak berduka.

   Inilah anehi Palupi yang berpakaian sebagai pemuda, mendapat sebuah kamar bersama Lingga W isnu.

   Karena mereka berdua termasuk dalam rombongan Pangeran Natayuda, pelayanannya lebih sempurna.

   Akan tetapi hidangan yang disajikan hanya berupa nasi putih dan sayur mayur belaka.

   Sama sekali t iada daging atau ikan basah.

   "Ayunda,"

   Kata Lingga W isnu.

   "Guru katanya berada di sin i. Dan kita kinipun berada di sin i pula. Mengapa guru tidak cepat-cepat menemui kita? Apakah mereka justru tidak menghendak pertemuan kita?"

   Palupi hanya mendengus, Sama sekali ia tidak menjawab atau memberi keterangan.

   Lingga W isnu yang kenal tabiat Palupi, tak mau mendesak pula.

   Akan tetapi dengan demikian ia jad i bermenung-menung seorang diri.

   Kepalanya penuh teka-teki yang tak dapat segera menemukan jawabannya.

   Pada keesokan harinya, tanggal 2 Januari 1754, Palupi dan Lingga W isnu dibangunkan sebelum pagi hari tiba.

   Setelah mandi dan makan pagi, mereka berdua berjalanjalan menyusur tepi kepundan gunung.

   Kali in i mereka melihat orang-orang yang cacad tubuhnya.

   Ada yang hanya memiliki sebelah tangan atau sebelah kaki dan wajah wajah bekas sabetan senjata tajam.

   Itulah suatu bukti, mereka baru saja datang dari medan pertempuran.

   Sebenarnya ingin Lingga W isnu memperoleh keterangan tentang diri mereka, akan tetapi Palupi segera membawanya pergi.

   Pada siang sampai sore hari, barang hidangan yang dibawa masuk ke dalam kamar melulu sayur mayur belaka.

   Semuanya ini kian menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati Lingga Wisnu.

   Katanya di dalam hati.

   'Siapakah mereka yang cacad tubuhnya itu? Kenapa sekalian hadirin berwajah muram? Mereka nampaknya bergaul sangat rapat, akan tetapi selalu membungkam mulut .

   Dan apa maksudnya hidangan yang disajikan hanya sayur mayur belaka? Memang di atas gunung sukar mendapat daging.

   Tetapi pertemuan secara besarbesaran ini tidak terjadi secara kebetulan belaka.

   Mestinya jauh sebelumnya mereka sudah bersiap-siap.

   Masakan t iada terdapat seiris daging saja?' Dan malam seperti kemarin, tiba lagi.

   Seseorang mengetuk pintu kamar Lingga W isnu.

   Berkata dari luar ambang pintu .

   "Pangeran Natayuda mengundang saudara W isnu untuk menyaksikan upacara pertemuan ini."

   Lingga W isnu berpaling kepada Palupi. Gadis itu menundukkan kepalanya dengan sikap acuh tak acuh. Agaknya jauh-jauh sudah dapat menebak akan adanya undangan ini. Katanya.

   "Berangkatlah! Jangan lupa, kau bawa pula obat pemunah racun Pacarkeling."

   "Dan ayunda?"

   Lingga W isnu menegas.

   "Aku dapat mengurus diriku sendiri,"

   Jawab Palupi dengan suara d ingin.

   "Kau tak usah memikirkan aku. Percayalah, selama engkau berada di sini, aku tetap mendampingimu!"

   Oleh jawaban itu hati Lingga W isnu menjadi t enteram.

   Segera ia mengikut i pesuruh tadi memasuki sebuah bangunan besar yang berada di tengah-tengah pasanggerahan.

   Pangeran Natayuda ternyata menunggu dirinya di depan pintu pasanggrahan.

   Setelah ia menggabungkan diri dengan rombongannya, segera Pangeran itu masuk ke pasanggrahan.

   Begitu masuk ke dalam pasanggrahan, perhatian Lingga W isnu terbangun.

   Ia melihat bermacam-macam senjata tertancap di atas tanah semacam pagar.

   Semuanya delapan belas macam.

   Dan masing masing senjata menyinarkan sinar gemerlapan oleh pantulan cahaya dian yang dinyalakan terang benderang.

   Jumlah orang-orang yang berada di dalam pasanggerahan itu kurang lebih tiga ribu orang.

   Inilah suatu jumlah yang luar biasa.

   Mau t ak mau Lingga W isnu menjadi heran.

   Kenapa orang sebanyak itu bisa berkumpul di atas gunung yang sunyi sepi itu.

   Di tengah ruangan, Lingga W isnu melihat rangkaian gambar sebagai hiasan d inding.

   Setelah diamati, sekalian gambar itu memperlihatkan luk isan serdadu-serdadu Kompeni Belanda bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang yang ditangkapnya.

   Dibawah lukisan itu terdapat sederet tulisan yang berbunyi.

   semoga Tuhan menerima arwah pendekar-pendekar pencinta bangsa dan negara.

   Amien.

   Membaca tulisan itu, hati Lingga W isnu terkesiap.

   Siapakah mereka yang disebut sebagai pendekar pencinta bangsa dan negara? Pemuda itu belum pernah mendengar peristiwa berdarah yang terjadi di dalam istana Kartasura setelah Sri Paku Buwana III naik t akhta.

   Mereka sesungguhnya para pangeran, yang diculik dan diangkut Kompeni Belanda, ke Semarang.

   Bagaimana nasib mereka, hanya Tuhan sendiri yang t ahu.

   Lingga W isnu kemudian menebarkan penglihatannya ke semua penjuru.

   Bendera berkibar-kibar menghiasi dinding pertemuan.

   Terdapat pula berbagai macam alat senjata dan pakaian kuda serta topi perang.

   Dari ruang ke ruang terdapat semboyan-semboyan yang berupa tulisan.

   Karena kurang jelas, tak dapat Lingga W isnu membacanya.

   Akan tetapi yang lebih menarik perhatiannya ialah wajah para pengunjung yang semuanya nampak muram dan berduka.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pemuda itu menjadi bingung.

   Apakah semua yang memasuki pasanggrahan w ajib berduka cita ? Kalau memang diwajibkan denikian, dia harus berduka cita terhadap siapa? Seorang laki-laki berperawakan tinggi kurus tiba-tiba berdiri dari kursinya.

   Setelah membuat sembah terhadap hadirin, berkatalah dia dengan suara nyaring.

   "Saudara-saudara hadirin, marilah kita mulai bersembahyang!"

   Semua orang lantas melakukan sembahyang.

   Pangeran Natayuda menjadi imamnya.

   Lingga W isnu yang sedikit banyak pernah mendapat tuntunan bersembahyang dari kedua orang tuanya, juga ikut bersembahyang.

   Hanya saja ia tak tahu tujuan sembahyang itu.

   Tetapi setelah orang tinggi kurus itu berkhotbah tentang gugurnya para pangeran yang diangkut Kompeni Belanda ke Semarang, hati bocah itu terkesiap.

   Entah apa sebabnya tiba-tiba hatinya bergelora.

   Darahnya meluap dan semangatnya berkobarkobar.

   Teringat akan nasib ayah-bunda dan saudaranya yang mati t iada berkubur, justru lantaran dikenal sebagai sepasang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya, tak dapat lagi ia menahan air matanya.

   Meskipun ayah bukan seorang pangeran, akan tetapi nasibnya mirip sekali dengan para Pangeran yang diangkut ke Semarang, justru lantaran mereka dianggap berbahaya bagi yang sedang berkuasa.

   Selagi bersedu-sedan, sekali lagi ia terperanjat tatkala hadirin tiba-tiba berteriak seperti kalap.

   "Kalau di dunia ada dua matahari, bagaimana k ita bisa hidup aman dan damai? Hancurkan Kompeni Belandal Atau kita akan hancur sendiri!"

   "Benar, kembalikan gunung-gunung dan pohon pohonku!"

   "Hidup! Basmi semua malapetaka dunia!"

   "Benar. Kembalikan tanah-tanah dan sungaisungaiku!"

   "Hidup Pangeran Mangkubumi!"

   "Cincang Patih Pringgalaya!"

   "Dia sudah mampus!"

   "Membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya! Bunuh semua anak keturunannya!"

   Dan makin lama teriakan-teriakan itu makin menjadi kalap. Masing-masing meledakkan isi hatinya. Dan teringat akan lawan-lawan ayah bundanya yang bersembunyi, di belakang tabir, tanpa merasa Lingga W isnu ikut berseru pula .

   "Gempur orang-orang yang mengaku diri golongan Suci! Hancurkan padepokan Argapura! Cincang orang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir!"

   Sekalipun ia berseru kalap, akan tetapi suaranya tenggelam dalam keriuhan t eriakan-teriakan hadirin yang berjumlah dua-tiga ribu orang.

   Orang jangkung kurus yang memimpin upacara sembahyangan itu, mengangkat kedua tangannya.

   Hadirin yang berteriak-teriak kalap menjadi tenang kembali.

   Apabila suara kalap tadi sudah padam, berkatalah dia dengan nyaring.

   "Para utusan daerah diberi kesempatan untuk melaporkan keadaan daerahnya masing masing kepada Pangeran Natayuda. Silahkan!"

   Seorang laki-laki yang duduk di sebelah barat, segera bangkit dari kursinya. Berkata.

   "Musuh kita sesungguhnya adalah Kompeni Belanda. Sri Paku Buwana II, Susuhunan Kartasura, sesungguhnya hanya boneka belaka. Karena itu sedapat mungkin kita harus mencari kepala-kepala Kompeni Belanda dan bukan kepala-kepala orang-orang yang kebetulan mengabdi kepada Sri Paku Buwana III!"

   Suara itu nyaring luar biasa, sehingga Lingga W isnu terkejut. Sama sekali tak diduganya bahw a seseorang bisa mempunyai suara demikian nyaring. Berkata orang itu lagi.

   "Saudara-saudara seperjuangan ...!"

   Selagi orang itu hendak meneruskan perkataannya, tiba-tiba terdengarlah suara nyaring sambungmenyambung di luar perkemahan .

   "Panglima Aris Munandar, ut usan Raden Mas Said datang untuk ikut serta memeriahkan pertemuan ini!"

   Mendengar seruan itu, Pangeran Natayuda bangkit dari kursinya. Berkata menyambut.

   "Saudara-saudara sekalian! Marilah kita sambut utusan Raden Mas Said!"

   Semua hadirin kenal siapa Raden Mas Said.

   Dialah menantu pangeran Mangkubumi yang menyulutkan pemberontakan sekitar Kartasura..

   Ia dibannt u Panembahan Martapura dan laskarnya tersebar mulai dari Madiun, Bojanegara dan Wonogiri.

   Ia d itakuti baik pihak lawan maupun kawan.

   Karena sikap tegasnya terhadap lawan, ia disebut dengan Pangeran Samber Nyawa.

   Maka begitu mendengar aba-aba Pangeran Natayuda, maka sekalian hadirin lantas saja bangkit dari kursinya masing-masing.

   Pintu pasanggrahan terbuka lebar.

   Dua orang masuk membawa dua obor besar.

   Kemudian berjalan mendahului menyusur garis kiri dan garis kanan seolaholah merupakan batas jalan.

   Tak lama kemudian masuklah tiga orang yang mengenakan pakaian singsat.

   Yang berjalan di depan, seorang laki-laki kurang lebih berumur empat puluh t ahun.

   Romannya bengis, pakaian yang dikenakan sangat sederhana terbuat dari kain kasar.

   Dia mengenakan sepatu rumput t anpa kaus kaki.

   Rambutnya kusut masai dan lengan bajunya nampak usang.

   Kesan pribadinya seperti petani yang gagal dalam masa panen.

   Akan tetapi dia sebenarnya seorang panglima andalan Pangeran Samber Nyawa.

   Dialah yang disebut orang Panglima Sengkan Turunan.

   Asalnya memang seorang petani dari daerah Wonogiri.

   Akan tetapi karena jasa-jasa dan keberaniannya serta kesetiaannya, ia dilantik oleh Raden Mas Said, menjadi salah seorang panglimanya.

   Orang kedua, yang berjalan di sebelah kiri adalah seorang berkulit kuning bersih.

   Dia seorang ningrat.

   Pandangnya tajam dan cemerlang.

   Pakaian yang dikenakan bersih pula, bahkan berkesan mentereng.

   Usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun.

   Namanya Aris Munandar.

   Dan orang ketiga adalah seorang laki-laki yang berperawakan tinggi kekar.

   Kulitnya hitam lekam seperti kulit manggis.

   Usianya belum melebihi tigapuluh tahun.

   Meskipun demikian, pandang matanya berwibawa penuh.

   Gerak-geriknya gesit.

   Dialah Aria Puguh, salah seorang pengawal pribadi Pangeran Samber Nyawa yang termashur.

   Sampai di depan gambar-gambar lambang perjuangan, mereka bertiga berdiri tegak.

   Kemudian membungkuk hormat.

   Itulah suatu pernyataan duka cita dan penasaran atas hilangnya beberapa pangeran yang tiada beritanya.

   Setelah itu, Panglima Sengkan Turunan berkata kepada Pangeran Natayuda .

   "Junjungan kami, Raden Mas Said, dengan ini menyampaikan salam perjuangan kepada paduka. Junjungan kami ikut berduka cita atas hilangnya beberapa pangeran pecinta bangsa dan negara karena diculik Belanda. Rasa dukacita junjungan kami dinyatakan dengan memaklumkan perang kepada kompeni Belanda beserta antek-anteknya. Junjungan kami k in i sudah menduduki lembah gunung Lawu. Setiap kali bersiaga untuk bekerja sama antara laskar Pangeran Mangkubumi."

   Kata-kata Panglima Sengkan Turunan sebenarnya sederhana, akan tetapi, kesannya menarik hati.

   Lantaran kesederhanaannya itu, justru mengasi lihat wataknya yang tulus ikhlas dan jujur.

   Maka para hadirin riuh rendah bertepuk tangan.

   Pangeran Natayuda bangkit dari kursinya - Dia membalas hormat Pangeran Sengkan Turunan .

   "Terima kasih, terima kasih. Saudara-saudara kita yang hilang diculik kompeni Belanda sebenarnya bukan milik pangeran Mangkubumi, akan tetapi adalah milik saudara-saudara pula. Karena itu sudah sepatutnyalah kita bekerja sama dengan laskas Raden Mas Said. T etapi sebelum kami membicarakan hal in i, perkenankan kami mengenal nama saudara."

   "Orang menyebut kami Senkan Turunan. Jabatan kami, salah seorang panglima Raden Mas Said, akan tetapi sebenarnya kami ini hanya seorang dusun yang dilahirkan di pojok desa Wonogiri ."

   Kembali lagi para hadirin mendengar betapa jujur dan tulus hati utusan Pangeran Samber Nyawa itu. Sekali lagi mereka bertepuk tangan riuh.

   "Jadi saudaralah yang terkenal dengan nama Panglima Senkan Turunan?"

   Kata Pangeran Natayuda.

   "Nama saudara sangat kami kagumi. Dengan ini perkenankan kami atas nama saudara-saudara yang hadir dalam pertemuan ini untuk ..."

   Belum lagi Pangeran Natayuda menyelesaikan katakatanya, tiba-tiba Arya Puguh, tetamu yang berkulit hitam lekam, melesat ke pintu.

   Dengan menebarkan pandangnya ke arah hadirin dengan mata penuh selidik, ia bersikap menghadang.

   Sudah tentu semua hadirin heran menyaksikan hal itu.

   Setelah kena pandang, mereka berbalik mengawasi ut usan Pangeran Samber Nyawa itu.

   Pada saat itu, Arya Puguh mendadak menuding dua orang berusia pertengahan yang duduk di ant ara hadirin.

   Terus membentak.

   "Bukankah kamu berdua begundal Pringgalaya? Mengapa berada di sini?"

   Kata-kata itu membuat kaget sekalian hadirin.

   Semua yang hadir tahu belaka siapakah Patih Pringgalaya.

   Dialah sumber kekacauan dan kerincuhan.

   Dengan t idak sepengetahuan Sri Paku Buw ana III, ia melaporkan kepada Gubernur Jendral Belanda Baron van Imhoff tentang perselisihan hasil sebidang tanah antara Pangeran Mangkubumi dan dirinya sendiri.

   Dan sebenarnya dia sama sekali tidak mempunyai w ewenang dalam hal itu.

   Tetapi laporan itu sendiri sesungguhnya mempunyai tujuan tertentu.

   Dengan pengaduan itu sekaligus ia hendak berkata kepada pemerint ah Belanda, bahw a didalam pemerint ahan Susuhu- nan sama sekali tiada yang pandai mengemudikan negara, sehingga perlu mohon bantuan Jendral Baron van Imhoff untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

   Disarnping itu, ia mempunyai maksud pula hendak mengadu domba antara Pangeran Mangkubumi dan kakaknya, Sri Paku Buwana II sedang latar belakang sesungguhnya ia iri hati atas kegagahan Pangeran Mangkubumi, yang dapat menindas pemberontakan Sukawati.

   Sepak terjang Patih Pringglalaya inilah yang mengakibatkan pemberontakkan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, yang kemudian hari mengakibatkan runtuhnya kerajaan Mataram.

   Sekarang para hadirin mendengar tuduhan Aria Puguh bahwa kedua tetamu yang berada di antara mereka adalah begundal Patih Pringgalaya.

   Benarkah tuduhan itu? Dua orang yang kena tuding itu tetap saja duduk di atas kursinya.

   Yang pertama seorang laki-laki kira-kira berusia empatpuluh tahun.

   Mukanya licin dan sikapnya sopan sekali.

   Perawakannya tinggi semampai, sedang yang kedua, bertubuh pendek ketat.

   Ia berkumis dan berjenggot tebal.

   Kulitnya kehitam-hitaman, sehingga mengingatkan orang kepada kulit seorang Arab.

   Ia nampak terkejut, tatkala kena tuding.

   Akan tetapi pada detik itu pula ia dapat bersikap tenang kembali.

   Ia menegas sambil t ertawa .

   "Salah lihat?"

   Bentak Aria Puguh.

   "Bukan kah engkau Sersan T itiprana dan kawanmu itu Letnan Srinadi? Hem! Dengan kedua kupingku aku mendengar sendiri kasak kusukmu di rumah penginapan. Lantas kamu berdua menelusup ke mari. Siapapun akan segera tahu, apa maksudmu menyelundup ke mari. Dengan tanda-tanda sandi engkau akan memberi kabar kepada Kompeni Belanda atau anjing-anjing Pringgalaya untuk segera menyerbu ke mari. Bukankah demikian? Ya, begitulah kasak kusukrnu di dalam penginapan."

   Mendengar kata-kata Aria Puguh, orang yang disebut Sersan Titiprana segera menghunus goloknya, lalu melompat menerjang dan segera hendak menyerang. Akan tetapi kawannya, Letnan Srinadi segera mencegahnya. Dengan sikap tenang, Letnan Srinadi berkata .

   "Raden Mas Said adalah yang terkenal dengan sebutan Samber Nyawa, menantu Pangeran Mangkubumi. Meskipun menantu, akan tetapi siapa pun tahu, bahwa dia mempunyai cita-citanya sendiri. Tatkala dahulu menyulutkan api pemberontakan di sekitar Sukawati, ia kena dihancurkan laskar Pangeran Mangkubumi. Apakah kekalahannya yang telah mencoreng mukanya itu, akan dibiarkan saja?. Siapapun tak akan percaya. Dan sekarang dia mengutus kamu berdua menghadap Pangeran Natayuda sebagai wakil Pangeran Mangkubumi, bukankah kau bermaksud untuk mengacau balau di sini? Aha, kau benar-benar pandai memutar balik keadaan."

   Suara Letnan Srinadi halus tetapi tajam.

   Kata-katanya mempunyai pengaruh besar sehingga para hadirin yang mendengar jelas menjadi bimbang.

   Sengkan Turunan mengenakan pakaian seorang petani.

   Akan tetapi ia seorang peperangan ulung yang cerdik dan segera saja dapat menanggapi pandang hadirin yang berbalik curiga kepada pihaknya.

   Segera ia mencampuri berbicara.

   Tanyanya .

   "Engkau siapa tuan? Bukankah engkau Letnan Srinadi? Tadi tuan belum menjawab tuduhan saudaraku."

   Mendapat pertanyaan demikian, Letnan Srinadi tergugu. Mulutnya nampak bergerak hendak mengungkap kata-kata, akan tetapi berhenti di kerongkongannya. Menyaksikan hal itu Pangeran Natayuda segera menghampiri. Tanyanya menegas.

   "Apakah benar, engkau anak buah Patih Pringgalaya? Atau engkau salah seorang kerabat Pangeran Mangkubumi? Kalau aku tak salah dengar, kau tadi berbalik menuduh utusan Pangeran Samber Nyawa hendak membuat kekacauan di sini sebagai pembalas dendam majikannya terhadap Pangeran Mangkubumi. Kalau begitu, engkau benar-benar kerabat Pangeran Mangkubumi. Akan tetapi kenapa aku tak pernah kenal dirimu? Apakah mataku yang sudah lamur? Saudara, coba jawab yang benar!"

   Tak dapat Letnan Srinadi berpura-pura dungu lebih lama lagi.

   Segera ia mengerling kepada Sersan T itiprana dan memberi isyarat mata.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sersan Titiprana meloncat, iapun segera menyusul.

   Malahan dia lantas membabat wajah Aria Puguh dengan pedangnya.

   Gerak-gerik Letnan Srinadi mirip seorang banci.

   Akan tetapi gerakannya gesit sekali..

   Dalam sekejab mata ia menghujani dada Aria Puguh dengan tikaman-tikaman berbahaya.

   Utusan Pangeran Samber Nyawa datang ke pasanggrahan semata-mata untuk menyatakan rasa setia kawan.

   Sama sekali mereka tidak mempersiapkan senjata.

   Itulah sebabnya serangan Letnan Srinadi dan Sersan Titiprana yang bekerja sama rap i dan cepat, membuat sekalian hadirin terperanjat dan cemas.

   Di antara mereka lapat-lapat seperti telah pernah mendengar nama letnan Srinadi.

   Kalau tak salah dia salah seorang perwira andalan Patih Pringgalaya yang dahulu pernah tertangkap Raden Mas Said dan kemudian dibebaskan kembali.

   Hal ini disebabkan lantaran Letnan Srinadi d iwaktu itu berkedudukan sebagai dut a.

   Dan membunuh duta adalah tabu bagi pejuang-pejuang Raden Mas Said.

   W alaupun demikian untuk memberi sedikit hajaran, Letnan Srinadi di sunati hampir habis.

   Aria Puguh ternyata seorang berkepandaian tinggi.

   Dengan gerakan sebat luar biasa, tangan kirinya t iba-tiba mendahului gerakan pedang Letnan Srinadi.

   Ia mengendapkan tubuhnya sedikit, lalu tangan kanannya menyambar, menghantam sersan Titiprana.

   Karena tubuhnya sudah merendah maka ia tak khawatir kena tikaman pedang Letnan Srinadi.

   Menyaksikan kesehatan Aria Puguh, tanpa merasa para hadirin bersorak-sorak memuji.

   Dengan seorang diri saja kedua tangannya dapat melabrak kedua penyerangnya dengan sekaligus.

   Dan kedua penyerangnya itu ternyata dapat diundurkan; Sebab apabila kasep sedikit saja, mereka pasti akan kena tercengkeram tangan perkasa Aria Puguh.

   Kini para hadirin berubah menjadi girang dan berada dipihak Aria Puguh.

   Tadinya, banyak diantara mereka yang hendak membantu.

   Menyaksikan kesehatan dan kegagahan Aria Puguh, mereka lantas saja menonton.

   Hebat cara perlawanan Aria Puguh.

   Kedua t angannya menyambar-nyambar tiada hentinya dengan cepat dan sebat.

   Letnan Srinadi dan Sersan Titiprana dibuat sibuk tak keruan.

   Mereka berdua kini sadar pula bahwa mereka yang tadinya hendak mengepung Aria Puguh, kini malahan kena kepung rapat-rapat.

   Mereka berdua tak ubah tercebur ke dalam sarang harimau yang setiap saat mengancam jiwanya.

   Itulah sebabnya mereka berkelahi sambil mundur perlahan-lahan.

   Kemudian dengan tibatiba mereka merangsak maju mendesak dengan maksud, apabila Aria Puguh kena didesak mundur, dengan sekali menjejakkan kaki mereka hendak melarikan d iri lewat pintu depan.

   Akan tetapi Aria Puguh bukan pendekar yang mudah kena diingusi.

   Ia berkelahi sangat hati-hati.

   Mula-mula membela diri, kini berbalik menyerang.

   Tak perduli ia bertangan kosong, ternyata berkali-kali ia dapat merint angi maksud kedua penyerangnya dengan rapat sekali.

   Kedua kakinya y ang teguh tetap menjaga ambang pintu, sehingga Letnan Srinadi maupun Sersan T itiprana tiada memperoleh kesempatan untuk bisa lolos dari penjagaannya.

   Dalam seribu kesibukan Letnan Srinadi menjadi nekad.

   Tangan kirinya menghunus pedang dengan ukuran pendek.

   Dengan demikian ia menggunakan sepasang pedang, panjang dan pendek.

   Kemudian merabu dan merangsak Aria Puguh dengan mati-matian.

   Ia harus bisa merobohkan lawannya itu sebelum tercapai maksudnya mendekati pintu.

   Sersan Titiprana yang berada disampingnya, rupanya mengerti pula maksud kaw annya.

   Segera ia bergulingan di tanah dan membabat kedua kaki Aria Puguh.

   Inilah cara berkelahi yang sangat berbahaya.

   Setiap saat Aria Puguh bakal kena dikut ungi.

   Kalau bukan kakinya, pastilah tangannya.

   Tetapi Aria Puguh nampak tenang-tenang saja.

   Ia dapat diundurkan beberapa langkah.

   W alaupun demikian langkahnya tidak menjadi kacau.

   Bahkan sebentar kemudian ia berbalik dapat mendesak lagi, sehingga kedudukannya kembali seperti semula.

   Pertempuran mereka makin lama menjadi makin seru.

   Bayangan mereka berkelebatan menyambar-nyambar sehingga mengaburkan penglihatannya para hadirin.

   Letnan Srinadi nampak menjadi gemas sekali.

   Ingin ia bisa mengutungi tubuh lawannya dengan cepat.

   Oleh hasrat itu, lantas saja ia merangsak maju.

   Tepat pada saat itu mendadak ia mendengar Sersan Titiprana memekik kesakitan.

   Pedangnya terpental ke udara dan tangannya terkulai ke bawah.

   Dan pada saat itu, muncul ah seorang laki-laki dalam gelanggang menyambar pedang yang terpental ke udara.

   Ternyata dia adalah W irupaksa, guru Lingga W isnu.

   Berbareng dengan terlemparnya pedang ke udara, Aria Puguh menendangkan kakinya.

   Tak ampun lagi, Sersan Titiprana terjungkal, roboh.

   Tepat nada saat itu, kaki kirinya melayang menendang Letnan Srinadi pula.

   Letnan Srinadi ternyata lebih gesit dari pada Sersan Titiprana.

   Masih dapat ia meloloskan diri dari sambaran kaki.

   Pedangnya berkelebat membalas menyerang.

   Lagilagi yang di arah adalah kedua kaki dan tangan Aria Puguh.

   Aria Puguh ternyata tidak hanya perkasa dan gagah saja, akan tetapi gesit pula.

   Ia membiarkan ujung pedang Letnan Srinadi nyaris menyentuh dadanya.

   Dan tiba-tiba ia memiringkan tubuhnya.

   Tangannya berkelebat menyambar hulu pedang dan ditariknya dengan suatu hentakan.

   Keruan saja Letnan Srinadi kaget setengah mati.

   Tak dapat ia mempertahankan pedangnya.

   T erpaksa ia melepaskannya.

   Dan pada saat itu tangan kirinya yang membawa pedang pendek menikam.

   Aria Puguh melihat berkelebatnya pedangnya Letnan Srinadi, cepat sekali ia memut ar pedang rampasannya dan menangkis.

   Trang! Api meletik berbareng dengan suara nyaring yang mengaung-ngaung memenuhi ruang pasanggrahan.

   Dan celakalah letnan Srinadi! Selagi tangannya tergetar karena adu tenaga itu, tiba-tiba saja Aria Puguh mengulangi serangannya lagi.

   Dan pedang pendeknya terpental runtuh di atas tanah.

   Karena ia tidak bersenjata lagi, terpaksalah ia mundur dan mundur.

   Aria Puguh tertawa panjang.

   Sambil tertawa tangan kanannya menyambar dada.

   Letnan Srinadi mati kut u.

   Tubuhnya kena diangkat tinggi di udara.

   Diluar dugaan tangan kiri Aria Puguh secara tiba-tiba saja menyambar celana Letnan Srinadi dan direnggutkan ke bawah.

   Berbareng dengan suara memberebetnya kain, celana Letnan Srinadi kena dicopot ke bawah.

   Dengan sertamerta, Letnan Srinadi jad i bertelanjang bulat dari pinggang ke bawah.

   Dan semua hadirin lant as saja melihat suatu pemandangan yang mengherankan.

   Itulah bekas sunatan yang hampir habis! Seperti membawa sebuah benda saja, Aria Puguh lantas menghadapkan muka Letnan Srinadi kepada hadirin seraya berkata nyaring.

   "Saudara-saudara sekalian, lihatlah yang terang! Dia menjadi banci lantaran apa? Dahulu dia menjadi duta kepercayaan Patih Pringgalaya menghadap majikan kami. Inilah upahnya orang yang tidak tahu malu. Orang demikian patut disunati sampai habis!"

   Baru sekarang para hadirin sadar.

   Mereka yang tidak mengerti latar belakang terjadinya peristiwa penyunatan itu segera mendapat keterangan dari teman-temannya, yang mendengar kabar.

   Sebentar saja mereka dapat diyakinkan oleh bukti itu.

   Sekarang mereka mengalihkan pandang kepada belalai Letnan Srinadi yang nampak terkutung, hampir habis.

   Lantaran lucu, mereka semua tertawa lebar.

   Lantas berjalan menghampiri dan mengepung Letnan Srinadi, yang kini tidak hanya pucat lesi t apipun merah padam karena malu.

   Aria Puguh lalu menyerahkan Letnan Srinadi dan Sersan Titiprana kepada panitya pertemuan.

   Semua hadirin kagum dan memuji-muji kegagahannya.

   Pangeran Natayuda kemudian menghampiri Letnan Srinadi yang sedang ditelikung bersama Sersan T itiprana.

   Tanyanya menegas .

   "Kau mengenakan pakaian seragam perwira Susuhunan. Sesungguhnya engkau laskar Susuhunan ataukah laskar kompeni Belanda? Dan apa maksudmu menyelundup ke mari? Coba katakan kepada kami, berapa teman-temanmu yang kau bawa kemari dan bagaimana caranya engkau bisa menyelundup ke mari?"

   Baik Letnan Srinadi maupun Sersan Titiprana membungkam.

   Dua-tiga kali Pangeran Natayuda mencoba membujuk, namun tetap saja gagal.

   Dan melihat kebandelan itu, Pangeran Natayuda lalu mengerdipi seorang anggauta panitya pertemuan.

   Orang itu lantas maju bersama empat orang kawannya.

   Kemudian membawa Letnan Srinadi dan Sersan T itiprana keluar pasanggrahan.

   Nasib kedua mata-mata itu tidak hanya disunati saja, t etapi dikutungi kepalanya pula.

   "Jika tiada pertolongan saudara bertiga, tentu sekali kami bakal mengalami bencana,"

   Kata Pangeran Natayuda Panglima Sengkan Turunan. Setelah itu ia memberi hormat menyatakan rasa t erima kasihnya. Buru-buru Panglima Sengkan Turunan membalas hormatnya.

   "Akh, itupun hanya secara kebetulan saja. Selama di tengah Jalan kami melihat dua orang tadi yang gerakgeriknya sangat mencurigakan. Selagi mereka menginap, kami bertiga mengint ainya. Kesudahannya kami segera mengetahui dan mengenal siapa mereka sebenarnya. Rupanya mereka berdua belum insyaf kalau kami int ai, sehingga berbicara kasak-kusuk dengan leluasa."

   Sementara Pangeran Natayuda berbicara dengan Panglima Sengkan Turunan, W irupaksa mendekati Aria Puguh.

   Dengan menggoncang goncangkan tangannya, ia menjabat t angan utusan Pangeran Samber Nyawa yang gagah itu.

   Dan tatkala Panglima Sengkan Turunan dibawa Pangeran Natayuda untuk membicarakan masalah-masalah yang resmi, ia membawa Aria Puguh keluar pasanggrahan.

   katanya sambil berjalan mencari tempat yang sepi.

   "Saudara Puguh! W alaupun kita baru bertemu pada hari in i, akan tetapi rasanya aku seperti bertemu dengan seorang sahabat kekal. Dapatkah saudara memandang demikian pula terhadapku? Aku disebut orang W irupaksa."

   "Akh, kangmas W irupaksa! Meskipun aku belum pernah bertemu dengan kangmas, akan tetapi nama kangmas sangat termashur di antara kami. Kangmas salah seorang perwira laskar Pangeran Mangkubumi. Beberapa kali kangmas menghancurkan Kompeni Belanda dan melindungi rakyat. Itulah perbuatan yang sangat mengagumkan diriku. Sekarang aku bertemu muka dengan kangmas, rasa hatiku girang bukan main!"

   W irupaksa tertawa lebar. Katanya.

   "Akh, jangan memuji berlebih-lebihan kepadaku. Kaupun seorang yang hebat pula."

   Setelah berkata demikian, ia mengalihkan pembicaraan.

   "Siapakah gurumu?"

   Memperoleh pertanyaan itu, wajah Aria Puguh berubah, sahutnya.

   "Guruku bernama Kyahi Solihin. Satu tahun yang lalu beliau gugur di medan perang Sokawati."

   Tatkala itu Kredana menyusul. Ia sempat mendengar jawaban Aria Puguh. Dia seorang berhati tulus. Setelah saling memandang dengan W irupaka , ia berkata.

   "Kyahi Solih in seorang pendekar yang kami kagumi juga. Tetapi maaf, sekalipun Kyahi Solihin berkepandaian tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan saudara, masih jauh terpautnya."

   Aria Puguh berdiam diri. Ia tidak segera menyahut. Nampak sekali ia berbimbang-bimbang.

   "Memang benar. Seringkali kepandaian seorang murid melebihi gurunya sendiri. Akan tetapi cara saudara melayani kedua mata-mata tadi benar-benar mengagumkan. Kalau tak salah, kepandaian yang kau perlihatkan bukan berasal dari Kyahi Solih in."

   Aria Puguh merasa diri terdorong ke pojok. Setelah berbimbang-biirbang sejenak, ia menjawab.

   "Kangmas W rpupaka. berdua adalah saudaraku seperjuangan. Rasanya tidak se layaknya apabila aku terus menerus main bersembunyi. Memang setelah guru wafat, aku bertemu dengan seorang yang aneh. Dia menaruh iba kepadaku dan mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan sakti. Aku belajar kepadanya selama enam bulan. Dan aku di suruh bersumpah untuk tidak menyebutkan namanya. Lantaran itu, maafkanlah aku apabila t idak bisa menjawab pertanyaan kangmas."

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   W irupaksa dan Kredana melihat Aria Puguh menjawab pertanyaannya dengan sungguh-sungguh karena itu buru-buru Wirupaksa berkata .

   "Kalau begitu, maafkan kami berdua. Apa sebab aku mohon jawaban siapa gurumu, semata-mata lantaran kami berdua mempunyai urusan yang sangat penting."

   "Apakah itu?"

   Aria Puguh menegas.

   "Sekiranya dapat aku melakukan, coba jelaskan kepadaku. Bukankah kita saudara-saudara seperjuangan? Kenapa bersegan-segan terhadapku?"

   W irupaksa memanggut. Setelah itu bersama Kredana ia mencari dua saudara seperguruannya. Jabrik dan Putaksa. Kemudian mereka berempat berbicara dengan berbisik-bisik.

   "Kau hendak bicara apa?"

   Tanya Jubrik.

   "Aku hendak membicarakan utusan Pangeran Samber Nyawa, Aria Puguh,"

   Jawab W irupaksa dengan sungguhsungguh.

   "Kita berempat tiada sanggup melawan ilmu kepandaiannya. Sedangkan menurut penglihatanku, dia seorang jujur."

   "Kecuali mengenai gurunya. Dia tidak mau berbicara terus terang."

   Kredana menambahi.

   W irupaksa segera menuturkan pembicaraannya dengan Aria Puguh.

   Lalu menerangkan maksudnya.

   Sudah satu t ahun Lingga W isnu belajar kepada kita.

   Kita berempat hanya memberinya dasar dasar belaka.

   Sedangkan dia anak seorang pendekar suci bersih.

   Kalau kita tidak bisa menolong bocah itu membalaskan dendam ayah-bundanya, rasanya kitapun ikut bertanggung jawab terhadap arwah-arwah di alam baka.

   Eyang guru murid kita, Kyahi Basaman, adalah seorang pejuang yang berada di pihak Pangeran Samber Nyawa.

   Karena itu apabila pendidikan selanjut nya kita pasrahkan kepada Aria Puguh, rasanya t idak salah.

   Akan tetapi, bagaimana caranya kita menyerahkan kepadanya?"

   "T iada halangannya kita berbicara terus terang kepadanya."

   Jabrik memberi saran.

   "Kita mengajukan permohonan. Diterima atau tidak tergantung belaka kepada nasib murid kita."

   "Bagaimana apabila hal in i kita bicarakan terlebih dahulu dengan Pangeran Natayuda?"

   Putaksa usul.

   Usul in i segera memperoleh persetujuan dan mereka berempat segera menemui Pangeran Natayuda yang sudah selesai mengadakan pembicaraan secara resmi dengan utusan Pangeran Samber Nyawa.

   Pangeran Natayuda memangnya tertarik kepada Lingga w isnu.

   Semalam, setelah Lingga Wisnu kembali ke kamarnya, segera ia memanggil mereka berempat yang menjadi guru Lingga W isnu.

   Karena itu setelah mendengar alasan W irupaksa berempat, ia menyetujui maksud mereka.

   Katanya.

   "Akan tetapi lebih sempurna apabila kalian mengetahui dulu bagaimana pendapatnya saudara Aria Puguh, sebelum mengambil keputusan."

   W irupaksa berempat segera menemui Aria Puguh kembali. Jabrik bertindak sebagai penyambung lidah. Katanya .

   "Saudara Puguh. Tadi saudaraku W irupaksa belum sempat memberi keterangan tentang apa sebenarnya yang kami sebut urusan penting. Baiklah sekarang kami terangkan saja kepadamu. Kemudian, terserah kepadamu apakah engkau bisa menerima usul k ami atau tidak."

   Setelah berkata demikian, segera menuturkan riwayat hidup Lingga W isnu. Kemudian ia menyudahi dengan kata-kata.

   "Anak itu mempunyai masa depan gemilang di kemudian hari. Kami berempat mencoba mendidik dalam hal ilmu pengetahuan dan ilmu kepandaian. Otaknya sangat terang dan bahannya baik sekali. Daya ingatannya jauh melebihi kita berempat. Baru satu tahun dia belajar kepada kami, kepandaian kami sudah dihirupnya habis. Dia masih sangat muda. Sedangkan banyak hal-hal yang terjadi di dunia in i belum diket ahuinya dan diinsyafinya. Kami berempat berpendapat, bahwa apabila anak itu berada dibawah asuhanmu, akan memperoleh kemajuan pesat. Sebaliknya apabila tetap di tangan kami, sukar sekali ia memperoleh kemajuan ..."

   Mendengar alasan Jabrik berempat, Aria Puguh diam menimbang-nimbang. Sejenak kemudian ia berkata .

   "Jadi, saudara-saudara sekalian mengharap aku mendidiknya?"

   W irupaksa, Kredana, Jabrik dan Putaksa menganggut berbareng. Sahut Jabrik.

   "Kami t adi memperoleh kesempatan menyaksikan ilmu kepandaianmu. Ternyata ilmu ke pandaian itu sepuluh kali lipat t ingginya dari pada ilmu kepandaian kami berempat. Itulah sebabnya apabila saudara tidak sudi menerima dia sebagai murid, pastilah arwah almarhum Udayana akan tetap penasaran. Sebaliknya, apabila saudara menerimanya, arwah almarhum Udayana dan isterinya akan berterima kasih kepadamu."

   Setelah berkata demikian, Jabrik berempat lalu membungkuk hormat. Keruan saja Aria Puguh tercekat hatinya. Buru-buru ia membalas hormat dan berkata .

   "Kangmas berempat sangat menghargai aku. Sudah sepantasnya bila aku menerimanya. Hanya sayang, sekarang ini aku berada dalam laskar perjuangan. Siang dan malam tiada waktu tertentu. Setiap kali aku dikirimkan ke medan perang melakukan t ugas. Seringkali pula aku bertempur melawan tentara Belanda atau laskar Susuhunan. Entah berapa lama lagi umurku. Itulah sebabnya, meskipun aku membawa murid kangmas sekalian akan banyak gagalnya dari pada hasilnya. Sebab, sama sekali aku tidak mempunyai waktu senggang untuk mendidiknya. Selain itu keselamatannya selalu terancam."

   Alasan itu masuk akal, sehingga Jabrik dan tiga saudaranya menjadi putus asa. Di lain pihak, melihat mereka berputus asa maka Aria Puguh menjadi gelisah. Katanya tak jelas seolah-olah kepada dirinya sendiri .

   "Ada seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian seratus kali lipat dari pada aku. Jika d ia sudi menerima murid kangmas berarrpat, benar benar merupakan karunia Tuhan ..."

   Sampai di situ mendadak saja ia menggoyang-goyangkan kepalanya. Lalu berkata lagi.

   "T idak! Tidak mungkin! Ini t ak mungkin bisa terjadi ..."

   Jabrik ber empat heran. W irupaksa yang berdarah panas lantas saja mint a keterangan.

   "Siapa orang itu?"

   "Itulah orang aneh yang kusebutkan tadi."

   Jawab Aria Puguh.

   "Kepandaiannya tiada batasnya dan ia hanya mengajarkan selama enam bulan saja. Meskipun demikian, aku sudah dapat memiliki kepandaian seperti kini. Padahal apa yang ku w arisi itu barulah ku litnya saja ..."

   "Siapa orang aneh itu?"

   W irupaksa menegas. Suaranya bernada girang bukan kepalang.

   "Dia aneh tabiatnya."

   Aria Puguh memberi keterangan.

   "Dia mengajariku ilmu kepandaian W alaupun demikian, dia melarangku menyebutnya sebagai guru. Diapun melarangku memberi tahukan kepada siapa saja tentang nama dan tempatnya. Itulah sebabnya hatiku berbimbang-bimbang, apakah dia sudi menerima murid kangmas ber empat, sebagai muridnya."

   "Di mana tempat tinggal orang aneh itu?"

   Tanya Kredana.

   "T adi aku sudah berkata, aku dilarang menyebutkannya. Dia sebenarnya aku sendiri tidak tahu. Agaknya dia tidak mempunyai t empat tinggal yang t etap. Mungkin sekail dia seorang perantau yang berjalan dari tempat ke terrpat dan datang maupun pergi seenaknya sendiri. Ke mana perginya dan kapan datangnya, tidak pernah memberi kabar kepadaku."

   Jabrik ber empat merasa kewalahan memperoleh keterangan dari Aria Puguh.

   Sekarang t inggal satu usaha lagi dengan memanggil Lingga Wisnu menghadap.

   Bocah itu lantas diperkenalkan kepada Aria Puguh.

   Senang Aria puguh melihat Lingga W isnu yang beroman cakap dan bertubuh sehat sekali.

   Tatkala ia mint a keterangan sampai dimana Lingga W isnu belajar kepada W irupaksa berempat, bocah itu segera dapat menjawab dengan rapi sekali.

   Tiba-tiba bertanyalah Lingga W isnu dengan tak segan-segan lagi kepada Aria Puguh.

   "Paman Puguh. Tatkala paman merobohkan dua matamata tadi, pukulan apakah yang paman gunakan?"

   Aria Puguh tertawa lebar. Tak pernah disangkanya, bocah itu memperhatikan. Jawabnya.

   "Itulah salah satu pecahan ilmu sakti Sardula Jenar, yang pernah kau pelajari juga."

   "Mengapa begitu cepat dan dahsyat? Kedua mataku sairpai tak sanggup mengikuti gerakannya."

   Ujar Lingga W isnu.

   "Apakah engkau ingin mempelajari ilmu pukulan itu?"

   Tentu saja tawaran itu menggirangkan hati. Lingga W isnu seorang anak yang cerdas pula. Lantas saja menyahut .

   "Jika paman sudi mengajariku, ajarilah aku."

   Aria Puguh menoleh kepada W irupaksa empat. Katanya kemudian.

   "Setelah pertemuan ini, aku ditugaskan untuk tetap hadir diantara saudara-saudara seperjuangan, seminggu atau dua minggu. Biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk menurunkan beberapa jurus ilmu sakti kepada murid kangmas berempat."

   Tentu saja Jabrik berempat girang bukan kepalang.

   Cepat-cepat mereka menghaturkan terima kasih.

   Sedangkan Lingga W isnu lantas pula membungkuk hormat.

   Pada hari ketiga pertemuan resmi, boleh dikatakan sudah selesai.

   Antara Panglima Sengkan Turunan sebagai utusan Pangeran Samber Nyawa dan Pangeran Natayuda yang mewakili Pangeran Mangkubumi, sudah terjadi kata sepakat untuk di lakukan suatu perserikatan.

   Masingmasing p ihak bertekad untuk menggempur Kompeni Belanda sampai Kerajaan Mataram dikembalikan ut uh seperti semula.

   Maka dengan tercapainya kata sepakat itu, pada hari keempat pertemuan antar angkatan dibubarkan Pangeran Natayuda segera mengantarkan para tetamunya untuk berpisahan.

   Mereka pulang dengan hati puas dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan.

   Puncak Gunung Merbabu yang sunyi sepi lantas saja tergetar kena perbawanya.

   Panglima Sengkan Turunan pulang ke daerahnya berserta Aris Munandar.

   Sedang Aria Puguh tetap berada di atas gunung menemani Pangeran Natayuda sebagai wakil laskar Pangeran Samber Nyawa.

   Dan Jabrik berempat selalu menemani.

   Sebaliknya, selama hari-hari itu Lingga W isnu mencari di mana beradanya Palupi Ia sadar apa sebab keempat gurunya tiba-tiba menyerahkan dirinya kepada Aria Puguh.

   Itu semua berkat pengaruh Palupi.

   Dan gadis yang selalu bersikap rahasia itu, kian menjadi teka-teki besar baginya.

   Siapakah sesungguhnya Palupi? Pastilah dia bukan seorang gadis sembarangan! Di atas meja, ia menemukan sepucuk surat.

   Sederhana saja bunyinya.

   Begini .

   = Adikku Lingga Aku telah mendengar kabar dari keempat gurumu.

   Hatiku girang bukan kepalang.

   Belajarlah dengan sungguh-sungguh! Jangan lupa obat Pemunah racun Pacarkeling.

   Setiap kali engkau harus menelannya.

   Dan jangan sampai kau buang= Terharu dan geli hati Lingga W isnu, membaca surat Palupi.

   Dibuang? Masakan dibuang? Dan teringat akan jasa-jasa Palupi yang merawat dirinya begitu cermat dan sabar, membuat hatinya sangat pilu.

   Seumpama tidak teringat bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata sebagai persiapan balas dendam demi ketenteraman arwah ayah-bundanya, pastilah dia sudah turun gurung untuk mencari gadis itu.

   Apabila gadis itu kembali ke pinggang gunung Merapi, ia rela pula untuk menyusulnya.

   Akhirnya ia menghibur diri.

   Baiklah, apabila aku sudah mewarisi ilmu sakti paman Aria Puguh, belum kasep rasanya aku menyusulnya kembali ke pinggang gunung Merapi.

   Pada malam itu ia tidur sekamar dengan ke empat gurunya.

   W aktu itu panitya pertemuan masih sibuk membereskan perkemahan.

   Karena itu masing-masing sibuk dalam urusannya sendiri.

   Aria Puguh yang beroleh kamar penginapan di depan kamar Lingga W isnu dan guru-gurunya, datang menyambangi.

   Kata orang gagah itu.

   "Kangmas W irupaksa sekalian. Begitu aku melihat murid kangmas, hatiku sangat tertarik. Siapakah namanya?"

   "Lingga W isnu,"

   Jawab Jabrik.

   "Rupanya dia sudah memperoleh dasar-dasar ilmu sakti Sardula Jenar. Ini sangat memudahkan untuk menerima ajaran jurus-jurus sakti yang ku peroleh dari orang aneh itu. Sebab orang aneh itu sesungguhnya mewariskan rahasia int i ilmu sakti Sardula Jenar kepadaku. Sebab itu aku-akan meniru dan mencontoh cara menurunkan ajarannya kepadaku dahulu. Akan tetapi tentu saja aku tak dapat membuat bocah itu bisa mewarisi dengan sempurna, lantaran waktunya sangat sempit. Namun diatas segalanya ini masih ada Tuhan yang maha ajaib. Selain Tuhan yang maha ajaib, masih ada harapan lagi yang boleh kita andalkan, yaitu bakat dan pembawaan, kerajinan serta keuletan calon pewarisnya. Menimbang semuanya itu perkenakan, aku mengundang namanya saja dari pada sebagai guru dan murid. Sebab nyatanya tak dapat aku berjanji akan t erus menerus meniliknya."

   "Alasan saudara kurang tepat,"

   Ujar W irupaksa.

   "Apabila Lingga W isnu sudah menerima pelajaran darimu satu atau dua gebrak saja, artinya dia sudah menjadi muridmu, dan saudarapun berhak menyebut diri sebagai gurunya. Akh, saudara Aria Puguh, hatimu terlalu sederhana!"

   Aria Puguh dapat menerima alasan W irupaksa ber empat, akan tetapi pendiriannya tak dapat diubahnya lagi.

   Tetap saja ia hanya mengakui dirinya sebagai paman angkat saja, sedang Lingga W isnu sebagai anak angkatnya.

   


Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung

Cari Blog Ini