Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 9


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 9



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   Tungkas gurunya. Ia menurunkan t ubuh muridnya sambil berkata lagi .

   "Sekarang kau ulangi sendiri!"

   Lingga W isnu segera mengulangi jurus-jurus ilmu sakti Sardula Jenar.

   Setelah menperhatikan gerak-gerik Lingga W isnu beberapa kali, Kyahi Sambang Dalan kemudian masuk ke dalam kamarnya.

   Tetapi Lingga W isnu tak sudi beristirahat.

   Ia berlatih terus sampai belasan kali, sehingga makin lama makin mengerti guna faedahnya ilmu sakti Sardula Jenar.

   Ternyata ilmu sakti Sardula Jenar berpokok pada kegesitan dan kesebatan.

   Kesadaran ini membuat hatinya bertambah girang.

   Ia begitu girang sampai tak dapat tidur nyenyak pada malam harinya.

   Jurus-jurus berkelebatan di dalam benaknya, sehingga dalam mimpinya ia sedang berlatih dengan giat.

   Keesokan harinya, tatkala fajar hari baru saja menjenguk di langit timur, Lingga W isnu sudah bangun dari tidurnya.

   Terus saja ia melompat dari pembaringannya dan berlatih mengulangi jurus-jurusnya semalam.

   Ia takut lupa.

   Maka dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian ia berlatih seorang diri.

   Selagi tenggelam dalam latihannya, tiba-tiba ia mendengar batuk gurunya di belakang punggungnya.

   Segera ia berputar dan berseru girang .

   "Guru!"

   Kyahi Sambang Dalan tertawa lebar. Sahut orang t ua itu .

   "Engkau telah paham dan mengerti dengan cepat sekali. Bagus, anakku! Tetapi sebenarnya engkau baru mengerti bagian atas. Bagian bawahnya belum. Karena bagian bawahmu masih kosong apabila menghadapi seorang lawan tangguh engkau bakal celaka. Beginilah seharusnya ..."

   Setelah berkata demikian, Kyahi Sambang Dalan lantas menurunkan ilmu sakti Sardula Jenar bagian bawah. Serunya melanjutkan.

   "Sekarang, hayo kau tirukan!"

   Lingga W isnu segera menirukan gerakan gurunya. Berkat kecerdasan otaknya, ia dapat mengerti dengan cepat sekali. Dengan penuh tekun ia menyelami dan mendalami sehingga dalam waktu satu hari saja, pengertiannya bertambah pesat. Bersambung ke

   Jilid 5.

   00-dw-00 Siapakah Kyahi Sambung Dalan sebenarnya? Ada hubungan apakah antara Kyahi Sambung Dalan dengan Kyahi Basaman? Bagaimana dengan nasib Lingga W isnu selanjutnya? Apakah tongkat mustika itu memang ada? Dan siapakah pemilik t ongkat mustika yang sesungguhnya? Nantikanlah t erbitnya

   Jilid ke 5. 00-dw-00

   Jilid 5 Selanjutnya, semenjak hari itu tak pernah Lingga W isnu mengabaikan ajaran-ajaran gurunya meskipun sesaat saja.

   Tak terasa tiga tahun telah lewat.

   Usia Lingga W isnu kini sudah mencapai tujuh belas tahun.

   Racun Pacarkeling yang mengeram di dalam tubuhnya sekali-kali kumat pula.

   Akan tetapi berkat obat pemunah buatan Palupi, dapatlah ia mengatasi.

   Malahan tubuhnya kini menjadi kuat sekali.

   Ia tumbuh menjadi seorang yang tegap dan gesit geraK geriknya.

   Seperti biasanya, Kyahi Sambang Dalan pada saat-saat tertentu turun gunung selama dua atau tiga bulan.

   Setiap kali akan bepergian, selalu ia mengajari pelbagai ilmu sakti.

   Apabila ia pulang lantas meniliknya.

   Setelah merasa puas ia memberi tambahan lagi.

   Demikianlah, hatinya puas karena memperoleh seorang murid yang rajin sekali dan berotak cerdas luar biasa.

   Pada waktu itu tahun 1752.

   Pada suatu hari Kyahi Sambang Dalan mengeluarkan sebuah lukisan.

   Ia memberi hormat kepada lukisan itu.

   Ia memerint ahkan pula kepada Lingga W isnu agar berbuat demikian.

   Kemudian berkatalah dia dengan suara terang .

   "Lingga, tahukah engkau siapa beliau? Beliau adalah mendiang kakek guruku. Nama beliau, Jaka Puring, pendiri rumah perguruan Sekar Teratai in i. Dan tahukah engkau apa sebab pada hari ini engkau kuperint ahkan memberi hormat kepada cikal bakal Sekar Teratai?"

   Lingga W isnu menggelengkan kepala.

   Kyahi Sambang Dalan kemudian masuk kedaiam kamarnya.

   Ia keluar lagi monbawa peti kayu berukuran panjang.

   Peti itu diletakkan di atas meja.

   Apabila tutupnya dibukanya, berkeredeplah suatu sinar gemerlapan.

   Sinar itu begitu menyilaukan mata.

   Lingga W isnu menjenguknya, dan ia kaget tatkala melihat sebatang pedang yang panjangnya sembilan puluh tiga sentimeter.

   "Apakah guru bermaksud hendak mengajariku ilmu pedang?"

   Ia menegas dengan suara gemetar. Kyahi Sambang Dalan manggut. Ia mengeluarkan pedang tajam itu dan memberi perint ah dengan suara angker.

   "Kau berlututlah! Dan dengarlah perkataanku!"

   Hati Lingga Wisnu tergetar. Selama t iga t ahun menjadi murid, baru pada hari itu ia mendengar gurunya bersikap angker dengan mendadak. Keruan saja ia lantas bersimpuh di hadapannya.

   "Pedang, adalah raja dari pelbagai ratusan macam senjata."

   Kyahi Sambang Dalan mulai.

   "Tetapi pedang merupakan senjata yang paling sukar diajarkan dan dipelajari. Tetapi engkau berotak cerdas dan hatimu keras pula. Aku yakin bahwa engkau sanggup manpAaj arinya. Ilmu pedang kaum kita, kaum Sekar Teratai, sudah beralih tiga kali d itangan ahliwarisnya. Syukur alhamdulillah, makin lama ilmu pedang Sekar Teratai makin memperoleh kemajuan. Pada umumnya, seorang guru biasanya merahasiakan satu ilmu pukulan yang menentukan terhadap ahliwarisnya, untuk berjaga jaga diri. Dengan demikian, ahliwaris yang di kemudian hari melahirkan angkatan-angkatan baru makin lama makin bertambah kurang kepandaiannya. Syukurlah kita tidak memilih cara demikian. Kita tidak perlu berjaga-jaga menghadapi murid-murid, asal saja sebelum kita menerima murid harus mengkajinya benar-benar. Setelah memperoleh seorang murid, yang tiada celanya, semua rahasia ilmu warisan Sekar Teratai harus diwariskan dengan sepenuh-penuhnya. Bahkan di anjurkan agar tiap-tiap ahliwaris pedang ini. di kemudian hari harus dapat menambahi dan melengkapi ilmu-ilmu sakti yang sudah diwarisinya. Dengan demikian, pada tiga ratus atau empat ratus tahun kemudian, apabila ahliwaris Sekar Teratai melahirkan zaman baru, jad i bertambah maju. Ilmu pedang kita memang sulit untuk dipelajari. Tetapi apabila engkau sudah memahami, di dunia ini tiada tandingnya lagi. Mulai pada hari in i, aku hendak mengajarimu ilmu pedang. Akan tetapi engkau harus bersumpah terlebih dahulu bahwa engkau tidak akan membunuh seseorang yang tidak berdosa atau bersalah!"

   Dengan bersembah Lingga W isnu menyahut .

   "Pada hari in i, guru hendak mewariskan ilmu pedang kepadaku. Apabila dibelakang hari aku membunuh seseorang yang sama sekali t idak bersalah atau berdosa, biarlah aku terbunuh pula oleh seseorang."

   "Bagus!"

   Seru gurunya.

   "Nah, bangunlah!"

   Lingga W isnu bangkit dan berdiri dengan t egak. Kata gurunya lagi ?.

   "Aku tahu, engkau berhati mulia. Tidak bakal engkau membunuh seseorang tanpa alasan tertentu. Hanya saja, masalah dunia ini sangat rumit. Benar atau salah sukar dibukt ikan, hanya t ulen dan palsu, lambat laun akan kau ketahui juga. Karena itu mulai saat ini engkau harus belajar bisa membedakan antara yang benar dan yang palsu. Asal hatimu jujur, bersih dan penuh cinta kasih pada setiap insan, aku percaya di kemudian hari, engkau tidak akan main bunuh terhadap seseorang yang sama sekali tidak bersalah atau berdosa. Karena itu kau ingatingatlah pesanku tadi! Jujur, bersih dan cinta kasih!"

   Lingga W isnu memanggut.

   "Sekarang, kau lihatlah!"

   Akhirnya Kyahi Sambang Dalan mengakhiri khot bahnya.

   Dengan sebat ia memegang hulu pedang dengan tangan kanannya.

   Kemudian tangan kirinya diletakkan di atas bagan pedang itu, dan mulailah ia melakukan jurusjurus ilmu pedang Sekar Teratai.

   Pedang yang bergemerlapan itu lantas saja menyinarkan cahaya berkilauan.

   o))00-dw-00((o 1.

   Warisan Aneh Sudah tiga t ahun Lingga W isnu berguru kepada Kyahi Sambang Dalan.

   Baik pendengran maupun penglihatannya jauh melebihi Aria Puguh dan gurugurunya yang lampau.

   Meskipun demikian, ia tak dapat mengikuti gerakan pedang Kyahi Sambang Dalan yang cepat luar biasa.

   Yang tertangkap oleh penglihatannya hanya berkelebatnya sinar berkilauan menyilaukan kedua matanya.

   Tahu-tahu kesiur angin tajam lewat di depan hidungnya.

   Dan pedang itu tertancap bergetaran pada batang pohon yang berada di depan pertapaan.

   Itulah tenaga lemparan yang luar biasa dahsyatnya.

   Lingga W isnu kagum sampai t ernganga mulutnya.

   "Bagus!"

   Seru seseorang yang berada di belakang punggung Lingga W isnu.

   Lingga W isnu kaget sampai berjingkrak.

   Selama tiga tahun berada di atas gunung, tiada suara lain yang didengarnya, kecuali suara guru dan si gagu.

   Sekarang, dengan mendadak saja, ia mendengar suara asing bagi pendengarannya.

   Dan suara itu tiba-tiba saja muncul di sebelah belakang punggungnya.

   Keruan saja ia kaget dan heran.

   Cepat ia berpaling.

   Dan di depan matanya berdiri seorang laki-laki mengenakan pakaian pendeta.

   Laki-laki itu berkumis jembros dan juga berjenggot sejadi-jadinya.

   Seperti rambut nya, kumis dan jenggotnya sudah putih semua.

   Dengan kedua matanya yang bulat bundar, ia tersenyum berseri-seri.

   Kedua tangannya digendongnya di belakang punggung, sehingga sikapnya mirip seorang majikan besar.

   Pendeta itu berjubah abu-abu.

   Setelah memuji Kyahi Sambang Dalan, ia berkata.

   "Barangkali, sepuluh tahun lebih aku tidak melihat engkau menggunakan pedangmu. Sama sekali tak kusangka, engkau t elah memperoleh kemajuan demikian rupa!"

   Kyahi Sambang Dalan t ertawa lebar. Sahutnya .

   "Kakang Gumbrek! Malaikat mana yang telah membawamu sampai ke mari? Eh, Lingga! Cepat engkau bersembah kepada beliau!"

   Lingga W isnu segera menghampiri Ki Ageng Gumbrek. Dan kemudian berlut ut dihadapannya Lalu bersembah. Akan t etapi buru-buru Ki Ageng Gumbrek mencegah. Ia membangunkan Lingga W isnu seraya menolak .

   "Jangan! Jangan! Jangan begitu! Aku bukan raja atau keturunan malaikat!"

   Ia berkata dengan tertawa lebar seraya membungkuk hendak menolong Lingga W isnu bangun.

   Akan tetapi Lingga W isnu tidak membiarkan dirinya kena angkat.

   Sebagai biasanya, seseorang yang mengetahui tentang ilmu sakti, secara wajar ia lantas mengerahkan tenaga saktinya.

   Itulah sebabnya, tidak mudah Ki Ageng Gumbrek mencegah pemberian hormatnya.

   Orang tua itupun hanya hendak mencobanya.

   "Sambang Dalan!"

   Kata Ki Ageng Gumbrek kemudian.

   "Telah sepuluh tahun lamanya tak pernah aku bertemu denganmu. Tak tahunya, engkau mengeram di sini unt uk mendidik muridmu. Inilah suatu karunia besar bag imu. Pada saat engkau menjangkau hari akhirmu, masih b isa engkau memperoleh seorang murid berbadan bagus sekali."

   Kyahi Sambang Dalan girang atas pujian Ki Ageng Gumbrek. Dengan sahabatnya itu, seringkali ia bersenda gurau. Serunya senang.

   "Kakang Gumbrek! Engkau seorang pendekar berkepandaian tinggi. Kalau aku memperoleh karunia Tuhan, pastilah engkau akan memperolehnya pula. Soalnya kini, tinggal menunggu waktu saja!"

   "Hai, hai! Engkau pandai pula berkhotbah!"

   Kata Ki Ageng Gumbrek sambil t ertawa.

   "Sayang, pada hari in i sama sekali aku tak beruang. Dengan cuma-cuma saja terpaksa aku terima sembah muridmu ini. Apa yang harus kubayarkan?"

   Mendengar perkataan Ki Ageng Gumbrek, hati Kyahi Sambang Dalan tergerak.

   Teringatlah dia, bahw a Ki Ageng Gumbrek memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya.

   Alangkah baiknya, seumpama dia sudi mewariskan salah satu dari ilmu kepandaiannya itu kepada Lingga W isnu.

   Hanya saja, selama h idupnya tak sudi ia menerima murid.

   Dengan ingatan demikian, Kyahi Sambang Dalan berkata kepada Lingga W isnu .

   "Lingga W isnu. Ki Ageng Gumbrek berjanji kepadamu hendak memberi hadiah kepadamu. Hayoo, cepatcepatlah bersembah mengaturkan terima kasih."

   Lingga W isnu benar-benar seorang pemuda cerdik. Segera ia mengerti maksud gurunya. Maka cepat-cepat ia bersembah sambil mengucapkan terima kasih. Ki Ageng Gumbrek tertawa terbahak bahak. Katanya .

   "Bagus, bagus! Tetapi, untuk dapat menjadi manusia engkau harus berhati jujur dan polos! Jangan engkau mencontoh pekerti gurumu yang tebal kulit mukanya. Betapa tidak? Begitu mendengar aku hendak memberikan sesuatu, belum-belum ia sudah memaksamu menghaturkan terima kasih. Tetapi, tak apalah! Pada hari ini, hatiku sangat gembira. Biarlah aku memberimu sebuah kenang-kenangan"

   Setelah berkata demikian, ia meraba jubahnya.

   Lalu mengeluarkan sebungkus kain.

   Apabila Lingga W isnu membukanya, ternyata gumpalan kain itu berupa baju berwarna hitam mirip kaos.

   Bahannya seperti dari kulit.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan tetapi mengkilat seperti sutera.

   Selama hidupnya, baru pada hari itulah, Lingga W isnu melihat baju berbahan demikian.

   Tentu saja ia menjadi terharu hatinya, tatkala menerima hadiah yang tak pernah dimimpikannya.

   "Kakang Gumbrek! Jangan engkau bergurau!"

   Tegur Kyahi Sambang Dalan.

   "Bagaimana engkau menyerahkan baju mustika itu kepada anak ini?"

   Ki Ageng Gumbrek tidak menggubris.

   Sebaliknya, men dengar ucapan gurunya, Lingga W isnu terkesiap.

   Jadi, pikirnya di dalam hati.

   Baju mirip kaos itu, sebuah baju mustika? Cepat-cepat ia mengangsurkannya kembali kepada Ki Ageng Gumbrek.

   Tetapi orang tua itu menolak.

   Katanya .

   "Aku tidak sekikir gurumu. Kalau aku sudah memberikan sesuatu kepada seseorang, tidak akan kut arik kembali. Nah, ambillah!"

   Masih saja Lingga W isnu tidak berani menerima pemberian hadiah itu. Ia berpaling kepada gurunya.

   "Jikalau begitu kehendakmu, baiklah. Nah, Lingga! Kau terimalah hadiah itu. Dan bersembahlah menghaturkan terima kasihmu."

   Lingga W isnu menurut. Ia bersembah sekali lagi sambil menghaturkan rasa terima kasih. Lalu dengan wajah sunpguh-sungguh, Kyahi Sambang Dalan berkata kepadanya .

   "Lingga. Sesungguhnya inilah sebuah baju mustika yang tiada taranya. Konon kabarnya, baju ini dahulu milik Empu Kapakisan. Untuk memperoleh baju mustika itu, Ki Ageng Gumbrek telah mempertaruhkan jiwanya sendiri pula!"

   Kali inipun Lingga W isnu menurut. Segera ia mengenakan baju mustika itu. Dan sambil berjalan, Kyahi Sambang Dalan menghampiri pohon untuk mencabut pedangnya. Ujarnya .

   "Baju mustika Bnpu Kapakisan itu, semenjak dahulu kebal terhadap semua senjata tajam."

   Diluar dugaan, setelah berkata demikian, tiba-tiba ia menyabatkan pedangnya ke pundak Lingga W isnu.

   Keruan saja pemuda itu kaget bukan kepalang.

   Hendak ia mengelakkan diri, akan tetapi sudah terlambat.

   Dalam hal kesebatan Lingga W isnu masih kalah terlampau jauh dari pada gurunya.

   Satu-satunya jalan yang dapat di lakukan hanyalah melompat.

   Namun pada saat itu pundaknya telah kena sabatan pedang.

   Ia kaget bercampur heran dan girang, tatkala dirasakannya sabatan itu sangat ringan.

   Dan pedang itupun terpental balik.

   Sedang Lingga W isnu sendiri sama sekali tak terluka.

   Maka dengan serta merta untuk ke sekian kalinya ia bersembah lagi kepada Ki Ageng Gumbrek.

   Ki Ageng Gumbrek tertawa lebar.

   Katanya.

   "Baju mustikaku sangat buruk. Tatkala engkau bersembah kepadaku, pastilah engkau bersembah hanya menuruti perint ah gurumu. Tetapi kali ini, aku tahu hatimu benar-benar puas. Bukankah begitu?"

   Merah muka Lingga W isnu kena sindir Ki Ageng Gumbrek. Meskipun demikian, hatinya penuh haru, girang dan hormat. Kembali lagi ia bersembah. Ki Ageng Gumbrek tidak memperdulikan pekerti Lingga W isnu. Ia berkata lagi .

   "Beberapa kali, baju mustika itu telah menolong jiwaku. Sekarang, kuberikan kepadamu. Asal saja, gurumu t idak mengganggu diriku. Di dunia ini, tidak ada seorangpun yang dapat melukai diriku, meskipun aku tidak mengenakan baju mustikaku lagi."

   Setelah berkata demikian, Ki Ageng Gumbrek tertawa berkakakan. Rupanya ia sangat puas. Dan ityahi Sambang Dalan pun tertawa. Ia berkata pula .

   "Hai, pendeta bangkotan! Kau menjual cerita gede di depan muridku. Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku melawanmu. Akan tetapi dikolong langit in i memang banyak sekali orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi."

   Ki Ageng Gumbrek tersenyum. Sahutnya.

   "Akh! Kita berdua tak boleh menggunakan pedang atau senjata tajam lainnya. Mari, kau ambillah kecapimu, dan aku akan membawa serulingku!"

   "Apakah kita akan mengadu kepandaian dengan kecapi dan seruling?"

   Kyahi Sambang Dalan tertawa.

   "Benar,"

   Sahut Ki Ageng Gumbrek tertawa gelak.

   "Caramu memetik kecapi, benar-benar membuat hatiku ketajlhan mendengarkannya."

   "Baiklah!"

   Jawab Kyahi Sambang Dalan.

   "Telingaku ke tagihan pula mendengarkan tiupan serulingmu. Kau datang dari jauh dan sudi mendaki gunungku. Tak bakal aku mengecewakan hatimu. Hai, apakah kau membawa pula tempurung nasi dan tempat minum?"

   Mereka berdua lantas sibuk dengan keakhliannya masing-masing.

   Ki Ageng Gumbrek meniup seruling.

   Dan Kyahi Sambang Dalan memetik kecapinya.

   Perpaduan keakhliannya masing-masing serasi dan selaras, sehingga membersitkan suatu pendengaran yang indah.

   Mereka bermain terus-menerus tiada henti-hentinya sampai jauh malam hari.

   Sedang si gagu yang menyelenggarakan makan minumnya.

   Selama itu Lingga W isnu menunggu disamping mereka, sama sekali ia tak mengerti permainan mereka.

   Meskipun demikian, lantaran bisa menangkap keindahan dan kemerduannya, ia mencoba mengerti dengan mengamat-amati gerak jari-jari gurunya mementil t ali-tali kecapi.

   Gurunya lant as mengajari cara memetik kecapi.

   Ilmu memetik kecapi terbagi dalam kelompok kelompok perpaduan nada.

   Tegasnya, selain memperindah gaya lagu, ikut serta menentukan iramanya.

   Karena tidak mengutamakan lagu, tatalagunya berbeda dengan ilmu meniup seruling.

   Nampaknya mudah dipelajari, tetapi sesungguhnya untuk menjadi seorang ahli, sulit liku-likunya.

   Sebab apabila belum mengenal lagunya terlebih dahulu, akan sulit menentukan keserasiannya.

   Namun Lingga W isnu mempunyai pembawaan alamiah yang luar b iasa.

   Sekali mendengar dan sekali melihat ia sudah paham likulikunya.

   Ia tertarik karena liku-likunya berkesan seolaholah kelompok tata-mus lihatnya yang diatur dalam jurus-jurus pula.

   Tatkala Ki Ageng Gumbrek dan gurunya beristirahat, ia menekuni dan mercoba menyelami.

   Menjelang fajar hari, jari-jarinya mulai bisa bergerak dengan lancar.

   Ki Ageng Gumbrek benar-benar seorang yang keranjingan dalam hal seni lagu.

   Mendengar irama kecapi Lingga W isnu yang mulai bisa dinikmati, terus saja ia terbangun.

   Tanpa segan-segan ia membangunkan Kyahi Sambang Dalan dan berkata mengajak .

   "Mari! K ita bermain lagi!"

   Kyahi Sambang Dalan tertawa geli menyaksikan tetamunya yang tak lelah itu. Sahutnya .

   "Aku tak bersemangat lagi untuk mengiringi lagumu. Kau beristirahatlah dahulu!"

   Terpaksallah Ki Ageng Gumbrek beristirahat.

   Akan tetapi di dalam kamar peristirahatannya, pendengarannya selalu terganggu oleh petikan kecapi Lingga W isnu.

   Tertatih-tatih ia bangun lagi dan menghampiri pemuda itu.

   Kemudian ia mencoba menerangkan bagaimana caranya memetik kecapi.

   Ia membagi tangga nada menjadi t iga bagian.

   Dan masingmasing pembagian tangga nadanya mempunyai beberapa kelompok-kelcmpok iringan lagu.

   Semuanya itu diajarkan dengan tulus ikhlas kepada Lingga Wisnu.

   Semenjak itu Lingga W isnu mulai belajar memetik kecapi dengan sungguh-sungguh.

   Tiga hari t iga malam ia bertekun.

   Dan selama itu gurunya dan Ki Ageng Gumbrek berbicara terus-menerus mengenai seni sambil sekali-kali meniup seruling dan memetik kecapi.

   Pada hari ke empat, Kyahi Sambang Dalan berkata kepada Ki Ageng Gumbrek.

   "Pada hari in i biarlah kita beristirahat dahulu. Aku harus mengajarkan ilmu pedang kepadanya terlebih dahulu."

   Alasan itu kuat, sehingga Ki Ageng.

   Gumbrek tak dapat menawar-nawar lagi.

   Tetapi menunggu Kyahi Sambang Dalan memberi pelajaran ilmu pedang kepada Lingga W isnu, dirasanya sangat membosankan.

   Tak mengherankan, begitu Kyahi Sambang Dalan selesai memberi pelajaran, segera ia menarik t angan sahabatnya itu dan diajaknya bertempur melalui seruling dan kecapinya.

   "Mari! Kita bermain lagi!"

   Ajaknva dengan penuh napsu.

   Kyahi Sambang Dalan sebenarnya lelah.

   Akan tetapi karena tak sampai hati mengecewakan sahabatnya itu, terpaksalah ia melawani.

   Begitulah terjadi satu bulan lebih.

   Setiap kali selesai melatih muridnya haruslah ia menyediakan waktu untuk melayani tetamunya.

   Apabila Kyahi Sambang Dalan nampak kurang semangat sedikit saja, tetamunya itu menjadi seperti tersiksa.

   Dan semuanya itu tak pernah lepas dari perhatian Lingga W isnu.

   Oleh rasa iba terhadap gurunya, setiap kali memperoleh kesempatan, terus saja ia berlatih.

   Dalam sebulan itu, ternyata ia sudah mahir.

   Pada suatu hari, menjelang fajar, ia memetik kecapinya.

   Tahu-tahu Ki Ageng Gumbrek sudah berada di belakangnya meniup serulingnya.

   Inilah kejadian yang sangat menggembirakan.

   Maka dengan hati-hati dan seksama, Lingga W isnu lalu mengiringkan tiupan lagu Ki Ageng Gumbrek.

   Ternyata sama sekali ia tidak salah.

   Keruan saja Ki Ageng Gumbrek menjadi bertambah semangat.

   Pujinya .

   "Eh, anak! Engkau benar-benar cerdik. Kalau engkau berlatih terus menerus, pastilah dapat mengalahkan gurumu."

   Dua tiga kali Ki Ageng menguji. Ia meniup lagu Asmaradana, Dandanggula dan Pangkur. Semuanya dapat di ringkan kecapi Lingga W isnu dengan sempurna. Memperoleh kenyataan ini, lantaran rasa girang yang meluap-luap, Ki Ageng Gumbrek berkata .

   "Baiklah kita atur begini saja sekarang, set iap kali engkau dapat mengiringkan tiga laguku, aku akan mengajarimu semacam ilmu kepandaian. Bagaimana? Setuju atau tidak?"

   "Biarlah aku mint a pendapat guruku terlebih dahulu,"

   Sahut Lingga W isnu. Ki Ageng Gumbrekpun tahu, seorang murid tak boleh melancangi gurunya. Maka ia menyetujui. Katanya .

   "Baik. Kau t anyalah kepada gurumu!"

   Lingga W isnu lari mencari gurunya.

   Ia mengabarkan kehendak Ki Ageng Gumbrek.

   Tentu saja Kyah i Sambang Dalan girang bukan kepalang.

   Itulah yang diharapharapkannya semenjak sebulan yang lalu.

   Ia tahu Ki Ageng Gumbrek seorang pendekar yang berilmu kepandaian tinggi.

   Hanya saja tabiatnya aneh.

   Tak senang ia menerima murid.

   Sebaliknya apabila sekali sudah berjanji t entu akan ditepatinya.

   Dan hal itu terjadi, karena orang tua itu begitu ketagihan mendengarkan permainan perpaduan suara antara kecapi dan seruling.

   Lantas saja Kyahi Sambang Dalan menarik tangan Lingga W isnu dan diajaknya menghadap Ki Ageng Gumbrek.

   Ia menyuruh muridnya bersembah untuk menghaturkan rasa terima kasih.

   Kemudian dfua sendiri berkata kepada Ki Ageng Gumbrek .

   "Kakang Gumbrek! Engkau hendak menyempurnakan ilmu kepandaian muridku. Akupun menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepadamu."

   Dalam pada itu Lingga W isnu sudah berlimbah. T etapi buru-buru Ki Ageng Gumbrek menolaknya. Katanya .

   "Jangan, jangan! Aku tidak menerimamu sebagai murid. Apabila engkau menghendaki pelajaranku, engkau harus mengiringkan tiga laguku terlebih dahulu. Bukankah ini suatu jual-beli? Dimana ada pembicaraan antara guru dan murid?"

   Kyahi Sambang Dalan tertawa. Dengan cepat ia menyahut .

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah maksudmu, engkau berkata seperti itu?"

   "Dalam hal ilmu pedang dan ilmu pukulan, dikolong langit in i engkau tiada lawannya. Aku takluk kepadamu, sebaliknya dalam hal ilmu berlari dan menyambitkan senjata bidik, aku kira ilmu kepandaianku tidak mengecewakan."

   "Memang siapapun tahu, bahwa engkau anak siluman! Hanya saja ilmu kepandaianmu yang istimewa itu jangan kau bualkan disini,"

   Kata Kyahi Sambang Dalan sambil tertawa gelak.

   "Apakah engkau mencela kepandaianku?"

   Ujar Ki Ageng Gumbrek agak kurang senang. Kyahi Sambang Dalan t ertawa. Sambil menggelengkan kepalanya, ia menyahut .

   "Di dalam dunia ini, siapakah yang dapat menandingi ilmu berlarimu? Engkaupun seorang ahli senjata bidik yang tiada tandingan. Karena itu, kami berdua mengucapkan rasa terima kasih kepadamu."

   Ki Ageng Gumbrek dapat dibuat mengerti. Ia pun lantas tertawa. Katanya.

   "Bukankah adil pertimbanganku? Setiap kali muridmu mengiringkan tiga laguku, aku lantas memberi pelajaran sejurus dua jurus kepadanya."

   "Engkau tidak hanya adil. Malahan bermurah budi pula,"

   Sahut Kyahi Sambang Dalan cepat.

   Dan setelah berpikir demikian, ia berpikir di dalam hati.

   'Pendekar bangkotan ini benar-benar licik dan lucu.

   Akan tetapi dia seorang laki-laki sejati.

   Sekali menyanggupkan diri, ia tak akan menarik janjinya kembali.

   Inilah suatu rezeki besar bagi Lingga W isnu.' Laju berkata memutuskan.

   "Baiklah kita atur begini saja. Yang kukhawatirkan adalah justru Lingga W isnu. Jangan-jangan ia menyianyiakan waktunya yang sangat berharga. Karena itu, setiap kali sudah mengiringkan tiga lagumu, engkau harus segera mengajarkan sesuatu kepadanya. Dengan demikian, ia tidak akan sia-siakan kesempatan yang bagus ini. Sekarang, engkau boleh meniup seruling sesuka hatimu. Delapan atau sepuluh kali, masa bodo!"

   Ki Ageng Gumbrek girang bukan kepalang.

   Demikian pula Lingga W isnu.

   Tanpa sia-siakan waktu lagi, mereka berdua lantas mengambil tempatnya masing-masing.

   Ki Ageng Gumbrek meniup serulingnya dan Lingga Wisnu memetik kecapi mengiringi.

   Mereka duduk berhadap-hadapan seolah-olah dua orang pendekar besar lagi mengadu ilmu kepandaian.

   Enam kali mereka mengumandangkan lagu panjang dan pendek.

   Dan Ki Ageng Gumbrek pun menepati janjinya.

   Katanya .

   "Kali in i aku hanya mengajarimu sejurus ilmu petak. Meskipun hanya sejurus, tetapi faedahnya sangat besar Tubuhmu akan terasa ringan dan kalau sudah mahir, bayangannya saja sulit terlihat. Nah, kau perhatikan gerakanku dengan sungguh-sungguh!"

   Setelah berkata demikian, Ki Ageng Gumbrek bergerak.

   Tahu-tahu tubuhnya sudah berada diatas pohon.

   Tatkala turun dengan berjungkir-balik, sudah berada kembali di depan Lingga W isnu.

   Keruan saja Lingga W isnu kagum bukan main.

   Ia merasa d iri seakanakan terpukau.

   Apabila tersadar, ia bersorak dan bertepuk tangan dengan setulus hati.

   "Sekarang, mulailah berlatih!"

   Seru Ki Ageng Gumbrek.

   Dan pendeta aneh itu segera mengajarkan jurus tersebut.

   Dan untuk menangkap intisarinya, Lingga W isnu berlompatan kian-kemari melemaskan uraturatnya.

   Mula-mula ia merasa kebingungan.

   Lambat-laun ia merasa diri memperoleh kemajuan.

   Untunglah, Ki Ageng Gumbrek ternyata telaten dalam menurunkan pelajarannya.

   Dengan cermat dan tak bosan-bosan ia memberi contoh serta memberi petunjuk int i-int i rahasianya.

   Pada hari kedua, Lingga W isnu tak memperoleh tambahan, meskipun sudah mengiringkan enam lagu lagi.

   Tetapi pada hari ketiga dan keempat, ia mendapat tambahan dua jurus sekaligus.

   Setelah memasuki hari keempatbelas, barulah dia memperoleh tambahan sejurus, dua jurus secara teratur.

   Bahkan pada bulan berikutnya, Ki Ageng Gumbrek mulai mewariskan rahasia ilmu bidiknya.

   Empat bulan lamanya ia belajar ilmu bidik.

   Tatkala pelajaran mu lai menginjak pada bag ian membidik sasaran dengan t igapuluh lima senjata bidik sekaligus, ia membutuhkan waktu t ujuh bulan.

   Dengan demikilan, tak terasa satu tahun lewatlah sudah.

   Sekalipun demikian, Ki Ageng Gumbrek tak bosan-bosan meniup serulingnya dengan iringan kecapi Lingga W isnu.

   Melihat mereka begitu akrab, Kyahi Sambang Dalan bersyukur di dalam hati.

   Ia tahu, apa sebab Ki Ageng Gumbrek betah bertempat t inggal pada suatu t empat sampai satu tahun lebih.

   Itulah disebabkan karena orang tua itu berkenan hatinya terhadap muridnya.

   Maka ia berpesan kepada si gagu, agar melayani Ki Ageng Gumbrek dengan sebaikbaiknya.

   Pada suatu hari, selagi Lingga W isnu berlatih disamping kedua gurunya, tiba-tiba terdengarlah suatu auman hebat.

   Serentak ia menoleh dan melihat si gagu sedang berhadap-hadapan dengan seekor harimau tutul.

   Menyaksikan si gagu dalam bahaya, tanpa berpikir panjang lagi Lingga W isnu segera melompat dan lari menghampiri.

   Pada saat itu, harimau tutul telah melompat serta menerkam si gagu.

   Si gagu nampak marah.

   Ia melejit kesamping dan mendaratkan pukulannya.

   Tetapi bertepatan dengan saat itu, sesosok bayangan berkelebat.

   Itulah Kyahi Sambang Dalan yang menyambar lengan si gagu dan dibawanya menjauhi.

   Kemudian Kyahi Sambang Dalan berseru kepada Lingga W isnu .

   "Lingga! Biarlah engkau yang melayani harimau itu!"

   Lingga W isnu t ahu, gurunya sedang mengujinya T erus saja ia melompat menghadang titik balik harimau tutul itu.

   Akan tetapi entah apa sebabnya, tiba-tiba saja harimau tut ul itu memutar tubuhnya, serta berjalan menjauhi.

   Lingga W isnu melesat dan menggerakkan tangannya memukul pantat.

   Oleh rasa sakit, binatang buas itu mengaum dan memujar tubuh sambil mencengkeram.

   Lingga W isnu mengelak dan melompat ke samping.

   Kemudian t angannya bergerak hendak menyerang.

   Akan tetapi t iba-tiba saja ia merasakan suatu ancaman bahaya datang dari belakang punggungnya.

   Tahulah dia dirinya sedang diserang dari jurusan lain.

   Tak sempat lagi ia memutar t ubuhnya.

   Dengan menjejak tanah ia melompat tinggi.

   Kemudian dengan berjumpalitan ia mendarat di atas tanah dengan tak kurang suatu apa.

   Begitu membalikkan t ubuhnya, ia melihat penyerangnya, seekor harimau kumbang.

   Sebenarnya, semenjak berada di atas gunung Dieng, belum pernah ia berkelahi.

   W alaupun demikian, sama sekali ia tak takut menghadapi kedua binatang buas itu.

   Segera ia menyerang dengan menggunakan tipu-tipu ilmu sakti Sardula Jenar.

   Menyaksikan perkelahiannya, Kyahi Sambang Dalan bergembira.

   Katanya di dalam hati.

   'Bocah ini benar-benar tidak sia-siakan capai lelahku."

   Tetapi setelah mengamat-amati sekian lamanya, Lingga W isnu ternyata hanya dapat menyakiti kedua binatang itu saja.

   Pukulannya sama sekali t ak bertenaga.

   Ia jadi heran.

   Apa sebab jadi demikian? Kyahi Sambang Dalan tak tahu bahwa dalam diri Lingga W isnu mengeram racun jahat Pacarkeling yang memunahkan sebagian tenaganya.

   "Sambut pedangku!"

   Seru Kyahi Sambang Dalan yang tak sempat menyelidiki sebab-sebabnya.

   Lingga W isnu melompat menyambiit pedang tetapi pada saat itu, kedua harimau lari menubras nubras menerjang belukar.

   Lingga W isnu mengejar selint asan.

   Tiba-tiba dua sosok bayangan menyambar dari kirikanan.

   Cepat ia menggerakkan pedangnya sambil melesat kesamping.

   Ternyata penyerangnya adalah dua ekor kera hampir set inggi dirinya.

   "Jangan bunuh!"

   Tiba-tiba terdengar Ki Agung Gumbrek berseru.

   Lingga W isnu mengangguk.

   Kemudian dengan pedangnya ia mendesak.

   Ia dapat bergerak dengan gesit.

   Saban-saban ia menyabat atau menikam.

   Dan diserang secara demikian, kedua binatang itu, berlompat-lompatan dengan gesit pula.

   Sekiranya mau, Lingga W isnu dapat menikamnya dengan mudah.

   Akan tetapi ia hanya melukainya saja pada lengan, pundak, kepala dan kedua kakinya.

   Diperlakukan demikian, kedua binatang itu, nampaknya mempunyai perasaan.

   Mereka mengerti, lawannya tidak berniat membinasakan.

   Tatkala mereka melompat menjauhi, lawannya tidak mengejar.

   Lingga W isnu malahan berhenti menggerakkan pedangnya dan hanya mengawasi saja.

   Bagaikan insan manusia, kedua kera itu memekik tinggi.

   Kedua tangannya ditutupkan ke kepalanya.

   Lalu merebahkan diri sambil menjiratkan pandang menohon ampun.

   Lingga W isnu datang menghampiri.

   Ia mengerti, kedua binatang itu menyerah kepadanya.

   Si gagu jadi girang.

   Dengan berlari-larian ia masuk ke dalam rumah dan keluar kembali dengan membawa dadung sebagai pembelenggu.

   Mula-mu la kedua binatang itu mencoba memberontak.

   Mereka memekik-mekik sambil memperlihatkan kedua baris g igi mereka.

   Akan tetapi tenaga si gagu jauh lebih kuat.

   Akhirnya mereka menyerah saja.

   Dan sama sekali tak berani melawan.

   Baik Kyah i Sambang Dalan maupun Ki Ageng Gumbrek memuji kegesitan Lingga W isnu.

   Mereka menganjurkan agar dia belajar lebih tekun lagi dan bersungguhsungguh.

   Keruan saja, Lingga W isnu menjadi girang dan penuh syukur mendengar pernyataan kedua orang tua itu.

   Iapun merasakan sendiri betapa bagus hasil latihannya.

   Di samping itu, ia memperoleh dua binatang hutan yang seekor jantan dan yang satunya betina.

   Oleh rasa g irangnya, Lingga W isnu mencarikan buah-buahan untuk diberikan kepada kedua binatang itu.

   Selang sepuluh hari, kedua binatang itu menjadi jinak sekali.

   Keduanya mengerti akan kesayangan Lingga W isnu terhadap mereka.

   Sekarang mereka tak perlu diikat dadung lagi.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiada niat mereka untuk kabur.

   Lingga W isnu memberi nama 'Kapi' kepada si Jantan dan 'Kutil' kepada yang betina.

   Agar mereka paham akan namanya masing-masing, Lingga W isnu membiasakan memanggil namanya set iap kali bertemu.

   Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi Sambang Dalan tertawa menyaksikan pekerti Lingga W isnu, dan ikut bergembira menyaksikan kedua binatang itu telah menjadi jinak.

   Dan setelah Lingga W isnu yakin kedua binatang itu benar-benar jinak, ia membebaskannya.

   Kini dengan merdeka Kapi dan Kut il mencari makan sendiri.

   Kadang-kadang mendaki sampai ke puncak gunung.

   Kemudian terjadilah suatu peristiwa yang membuat suatu penemuan yang aneh sekali.

   Seperti biasanya, Kapi dan Kut il mendaki puncak gunung untuk mencari makanan.

   Dengan berani, Kut il memanjat dinding gunung.

   Tiba-tiba saja kakinya tergelincir.

   Tak ampun lagi lepaslah pegangannya, sehingga jatuh ke dalam jurang.

   Dinding gunung itu sangat curam dan mempunyai kedalaman empat sampai limapuluh meter lebih.

   Keruan saja Kapi kaget bukan main.

   Segera ia menjenguk dari tepinya.

   Ia melihat Kut il tersangkut pada cabang pohon yang tumbuh di depan sebuah goa kosong.

   Mulut goa itu nampak hijau berlumut.

   Pada mulut goa inilah Kut il berpegangan.

   Namun tak dapat ia naik atau turun.

   Dengan demikian ia nampak tergantung-gantung pada ketinggian tebing gunung.

   Meskipun daya pikir dan perasaan seekor kera tidak sesempurna manusia, akan tetapi binatang itu banyak akal.

   Dalam sibuknya, Kapi lari pulang mencari Lingga W isnu.

   Tatkala itu majikannya sedang berlatih pedang.

   Ia lantas memekik-mekik tinggi tiada hent inya sambil berjingkrakan.

   Lingga W isnu heran.

   Ia menghampiri dan mengamat-amati tubuh Kapi.

   Di sana sini terdapat beberapa tusukan diuri pepohonan.

   Sedang kesan wajahnya nampak ketakutan.

   Segera ia mencari paman Ganjur, si gagu, untuk di ajak menyelidiki kehendak binatang itu.

   Ternyata Kapi memutar tubuh dan berlari-lari menghampiri jurang.

   Sesampainya di tepi jurang, Kapi memekik-mekik sambil menjenguk ke bawah.

   Lingga W isnu dan Ganjur, si gagu, segera menghampiri dan melihat Kutil dalam bahaya.

   Dengan cepat Lingga W isnu lari pulang untuk mengambil tali.

   Kemudian dilemparkannya tali itu ke dalam jurang.

   Sedang ia mengikat ujungnya pada lengannya dan lengan Ganjur.

   Kut il dalam keadaan sangat lelah.

   Namun tatkala melihat menyambarnya tali, segera ia menangkapnya.

   Dan dipegangnya erat-erat.

   Pada saat itu Lingga W isnu dan si gagu menariknya ke atas.

   Ternyata ia terluka di beberapa tempat.

   Syukur tidak begitu hebat.

   Kemudian dengan memperdengarkan pelikan berulangkali, ia memperlihatkan kedua telapak tangannya.

   Heran Lingga W isnu tatkala melihat dua benda tajam menancap pada telapak tangan si Kut il.

   Ia mencoba mencabutnya, namun benda itu tertancap sangat kukuhnya.

   Si Kutil lant as memekik kesakitan.

   'Apakah di sini ada musuh?' Lingga W isnu bertanya kepada dirinya sendiri.

   Ia menjadi curiga.

   Segera ia menghampiri tebing jurang dan mengamat-amati ke dalamnya.

   Ia melihat sebuah goa kosong.

   Pada mulut goa itulah tadi si Kut il t erkatung-katung.

   Apakah di dalam goa itu terdapat senjata bidik? Tetapi senjata bidik tak akan dapat bekerja tanpa ada yang melemparkannya.

   Lantas siapa? Apakah di dalam goa itu terdapat seorang musuh yang sedang bersembunyi? Rasanya tidak mungkin! Letak goa itu sangat terpencil.

   Dengan berbagai pikiran, Lingga W ijsnu mengajak si gagu pulang untuk mencari kedua gurunya.

   Setelah bertemu, ia menceritakan pengalamannya.

   Mendengar keterangan Lingga baik Ki Ageng Gumbrek maupun Kyahi Sambang Dalan, ikut merasa aneh.

   Ki Ageng Gumbrek adalah seorang pendekar ahli senjata bidik.

   Melihat bentuk senjata bidik yang tertancap pada telapakan tangan si Kut il, ia berkata .

   "Aku seorang yang gemar sekali akan senjata bidik. Pelbagai senjata bidik pernah kulihat. Akan tetapi senjata bidik ini, yang berbentuk seperti kelabang, baru untuk pertama kali inilah kulihat. Sambang Dalan! Kali ini runtuhlah kedudukanku sebagai seorang ahli senjata bidik."

   Kyahi Sambang Dalan menatap sahabatnya. Kemudian berkata mengusulkan .

   "Coba keluarkan dahulu senjata bidik yang menancap pada telapakan binatang ini!"

   Bergegas Ki Ageng Gumbrek masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sebuah pisau kecil.

   Dengan pisau itu ia membedah te apakan tangan si Kut il untuk, mengeluarkan senjata bidik yang aneh itu.

   Agaknya, si Kut il tahu maksud baik Ki Ageng Gumbfrek hendak menolong dirinya.

   Sama sekali ia tidak memberontak.

   Setelah benda yang menancap pada telapakan tangan tercabut, lukanya segera diobati dan dibalut .

   Binatang itu nampak puas dan segera pergi mengikuti Kapi mencari makan.

   Dua senjata bidik itu panjangnya kurang lebih tiga senti.

   Berbentuk seperti kelabang.

   Bersungut dua.

   Kedua sungut itu sekecil dan set ajam jarum.

   W arna keseluruhannya hitam gelap dan kotor berlumut.

   Tetapi setelah Ki Ageng Gumbrek mengerik lumutnya, benda itu nampak mengkilap.

   Ternyata terbuat dari emas murni.

   "Pantas, timbangannya berat. Kiranya terbuat dari emas murni!"

   Seru Ki Ageng Gumbrek.

   "Sungguh berbahagia dan mulia orang yang memiliki senjata bidik begini. Sebab kalau bukan seorang hartawan, tidak mungkin membuang buang emasnya. Bukankah setiap kait ia melepaskan senjata bidiknya berarti kehilangan paling t idak dua puluh gram?"

   Sekonyong-konyong Kyahi Sambang Dalan terperanjat. Tak terasa ia berseru .

   "Inilah senjata bidik yang bernama Cunduk Trisula!"

   "Cunduk Trisula?"

   Ki Ageng Gumbrek menegas dengan wajah tercengang. Ia terdiam sejenak. Lalu berkata meneruskan.

   "Kau maksudkan ..... Bondan Sejiwan pemiliknya? Bukankah kabarnya d ia telah wafat sejak belasan t ahun yang lalu"

   Sambil berkata demikian, sekali lagi ia memeriksa senjata bidik yang berada ditangannya lalu wajahnya benar-benar nampak terkejut, berunya .

   "T idak salah! Benar dia"

   Ia membolak-balikkan senjata bidik berbentuk kelabang itu. Di bagian perutnya tertera sebuah ukiran kecil berbunyi. BONDAN. Dan pada bagian perut senjata bidik yang kedua, terdapat ukiran berbunyi. SEJIWAN.

   "Guru! Siapa Bondan Sejiwan itu?"

   Lingga W isnu bertanya kepada Kyahi Sambang Dalan yang masih saja tercengang sejak tadi.

   "Kelak akan kuberi keterangan,"

   Sahut gurunya setelah berdiam beberapa lama. Setelah menimbang-nimbang sebentar, meneruskan .

   "Kakang Gumbrek, coba katakan kepadaku mengapa senjata bidik ini bisa berada di dalam goa itu?"

   Ki Ageng Gumbrek tidak segera menjawab.

   Ia mengerinyitkan keningnya.

   W ajahnya jadi tegang.

   Tak terkecuali Kyahi Sambang Dalan.

   Keruan saja Lingga W isnu mendengarkan dengan berdiam diri.

   Sama sekali ia t ak mengerti tentang apa yang sedang dibicarakan.

   Ia hanya mendengar kata-kata pembunuhan akibat permusuhan dan pembalasan dendam.

   Kalimat-kalimat lainnya, masih gelap baginya.

   "Jadinya, Bondan Sejiwan datang memasuki daerahmu untuk menyingkirkan diri dari musuh-musuhnya?"

   Kata Ki Ageng Gumbrek menegas. Kyahi Sambang Dalan tak berani menyatakan dengan pasti. Ia nampak berbimbang-bimbang. Sahutnya .

   "Mengingat kepandaiannya, sebenarnya tak ada perlunya, ia menyingkir jauh-jauh sampai kemari. Bersembunyi ditempat yang sunyi sepi, baginya merupakan alasan yang kurang kuat."

   "Mungkinkah dia belum mati?"

   Ki Agung Gumbrek seperti menguji.

   "Dia seorang luar b iasa,"

   Jawab Kyahi Sambang Dalan.

   "Selama ini kita hanya mendengar namanya belaka. Dan belum pernah bertemu dengan dirinya. Memang, kabar berita mewartakan bahwa dia telah meninggal dunia. Akan tetapi sebab-sebabnya atau bagaimana caranya dia meninggal, tiada seorangpun yang dapat memberi keterangan! "Dia memang aneh sepak-terjangnya "

   Ki Ageng Gumbrek menghela nafas "Ada kalanya dia kejam sekali.

   Tetapi tak jarang pula dia berbuat mulia.

   Dengan demikian, apakah d ia seorang jahat atau seorang yang mulia hati, orang hanya dapat mendugaduga saja.

   Beberapa kali pernah aku mencoba mencarinya.

   Namun senantiasa gagal."

   "Sudahlah. Tiada gunanya kita menduga-duga saja. Kyahi Sambang Dalan memut uskan.

   "Baiklah, besok pagi kita menjenguk goa itu."

   Keesokan harinya Kyahi Sambang Dalan mengajak Ki Ageng Gumbrek, Lingga W isnu dan Ganjur menjenguk goa dengan membawa senjata serta tali dan perlengkapan lainnya.

   Lingga W isnu berada di depan sebagai penunjuk jalan.

   Lantaran dialah yang mengetahui letaknya goa itu.

   "Guru,"

   Betkata Lingga W isnu mint a keterangan.

   "Pernah aku mendengar seseorang menyebutkan nama Bondan Sejiwan. Menurut orang itu, dialah cikal bakal atau pendiri h impunar Ngesti Tunggal. Apakah Bondan Sejiwan yang memiliki senjata bidik itu adalah Bondan Sejiwan pendiri himpunan Ngesti Tunggal?"

   "Dalam dunia ini apakah hanya dia seorang saja yang bernama Bondan Sejiwan?"

   Ujar gurunya.

   "Pada zaman Majapah it, pernah hidup seorang yang bernama Bondan Sejiwan pula. Dialah putera Prabu Brawijaja ke V."

   Mendengar ujar gurunya, Lingga W isnu tak bersemangat lagi untuk meminta keterangan yang lebih jelas.

   Di tepi jurang, ia membantu gurunya dan Ganjur mengikat tali pada sebatang pohon yang tumbuh di atas tebingnya.

   Kemudian mendengar gurunya berpesan kepada Ki Ageng Gumbrek .

   "Hati-hati"

   Ki Ageng Gumbrek manggut.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cepat ia mengikat pinggangnya dengan ujung tali yang tertambat pada pohon.

   Kemudian dengan pertolongan Ganjur dan Lingga W isnu, ia dikerek turun perlahan-lahan.

   Di depan mulut goa yang berlumut itu, ia berdiri mengamat-amati.

   Mulut goa penuh kabut, sehingga tanahnya t ak nampak jelas.

   Hatinya tercekat, meskipun ia seorang jago, yang sudah kenyang makan garam.

   Dengan tertegun ia mengawasi ke dalam goa terusmenerus.

   Biasanya, pandang mata seseorang lambat laun bisa menyesuaikan, dalam kegelapan.

   Setidak-tidaknya akan bisa menangkap penglihatan walaupun dalam samar-samar.

   Namun penglihatan Ki Ageng Gumbrek malahan makin menjadi guram.

   Akhirnya ia memperoleh kesimpulan, tentulah goa itu sangat dalam.

   Ia kemudian maju meraba-raba menyelidiki ruang masuk.

   Dan ternyata sempit.

   Ia berbimbang-bimbang sebentar.

   Apakah dirinya b isa memasuki pint u sempit itu? Ki Ageng Gembrek adalah seorang yang keras hati.

   Tak sudi ia mundur, sekalipun menghadapi kenyataan yang tidak memungkinkan Setelah membungkus sebelah tangannya, segera ia memasukan ke dalam mukit goa itu.

   Meskipun seorang pemberani, namun tak berani ia semberono.

   Perlahan-lahan tangannya meraba-raba dan tiba-tiba membentur suatu benda tajam.

   Benda tajam itu menancap pada mulut goa.

   Ia menduga itulah Cunduk Trisula, senjata bidik berbentuk kelabang.

   Segera dengan hati-hati ia mencabutnya.

   Lalu meraba-raba lagi dan mencabut yang kedua.

   Demikianlah, sampai tujuhbelas biji.

   Ia berniat hendak maju meraba-raba lagi, akan tetapi teringatlah dia kepada Ganjur dan Lingga W isnu yang menahan tubuhnya dari atas t ebing.

   Mereka berdua pasti sudah merasa lelah.

   "T arik!"

   Segera ia berteriak memutuskan.

   Teriakannya terdengar oleh Kyahi Sambang Dalan.

   Guru Lingga W isnu itu segera memerint ahkan agar menarik Ki Ageng Gumbrek keatas dengan perlahanlahan.

   Kira-kira dua tombak dari atas tebing, Ki Ageng Gembrek menjejakkan kakinya pada batu lambing.

   Dengan begitu cepat sekali Ki Ageng Gumbrek telah berada diantara teman-temannya.

   "Lihat ini!"

   Serunya kepada Kyahi Sambang Dalan.

   Guru Lingga W isnu itu segera memerint ahkan agar menarik Ki Ageng Gumbrek ke atas dengan perlahanlahan.

   Kira-kira dekat, maka Ki Ageng Gembrek memperlihatkan t ujuh belas batang senjata bidik Cunduk Trisula yang digenggamnya erat-erat.

   Bentuknya sama dengan senjata bidik yang menancap pada telapak tangan si Kut il.

   "Sambang Dalan. Kita memperoleh harta karun! Emas begini banyak...

   "

   Ia tertawa berka- kakan. Sebaliknya wajah Kyahi Sambang Dalan menjadi bersungguh-sungguh. Sahutnya kemudian.

   "Hantu itu menyimpan bendanya didalam goa. Apakah maksudnya? Benda apa lagi yang terdapat dalam goanya? Biarlah aku yang melihat."

   "Percuma saja engkau turun ke bawah!"

   Ki Ageng Gumbrek mencegah.

   "Mulut goa terlalu sempit. Tubuhmu tak akan dapat memasukinya."

   Kyahi Sambang Dalan menundukkan kepalanya. Ia diam berpikir. Tiba-tiba Lingga W isnu berkata mint a pertimbangan .

   "Guru, apakah aku diperkenankan menyelidiki?"

   "Betapa mungkin?"

   Sahut Ki Ageng Gumbrek dengan tertawa panjang.

   "Jurang begini dalam. Apakah engkau berani?"

   "Aku berani, paman."

   Kata Lingga W isnu.

   "Guru, aku diperkenankan ikut menyelidik atau tidak?"

   Kyahi Sambang Dalan masih terbenam dalam pikiran.

   Kata guru yang bijaksana itu di dalam hati .

   'Orang jahat itu menyimpan senjata bidiknya di dalam goa.

   Pastilah mempunyai maksud-maksud tertentu.

   Sebaliknya, apabila tidak diselidiki, benar-benar sayang.

   Akan tetapi siapa tahu, justru di dalam goa itu tersimpan suatu ancaman bencana? Kalau bocah ini kuidzinkan ia pergi seorang diri, tidakkah akan membahayakan jiwanya?"

   Memperoleh pertimbangan demikian, ia lant as berkata.

   "Aku mengkhawatirkan bencana yang mengancam dirimu."

   "Aku dapat berlaku waspada, guru,"

   Lingga W isnu mendesak. Melihat muridnya demikian berani dan bernapsu, akhirnya Kyahi Sambang Dalan mengangguk dan berkata.

   "Baiklah. Tetapi, engkau harus mencoba menyalakan api terlebih dahulu sebelum memasuki goa. Manakala api itu padam, janganlah engkau memaksa dirimu memasuki."

   "Aku tahu, guru."

   Sahut Lingga W isnu Dan cepat-cepat ia mempersiapkan sebatang obor.

   Sedang pedangnya segera dihunusnya.

   Dengan pedang dan obor di tangan, ia dikerek turun perlahanlahan seperti Ki Ageng Gumbrek.

   Cepat sekali Lingga W isnu t elah sampai di mulut goa; Teringat pesan gurunya, ia menyulut obor terlebih dahulu.

   T ernyata tidak padam.

   Ia jad i girang.

   Kemudian dengan hati-hati ia merayap memasuki mulut goa.

   Tali yang mengikat di pinggangnya tak dilepaskannya.

   Setelah merayap kira-kira limabelas meter jauhnya, terowongan yang dilalu inya mulai mendaki.

   Ia maju terus perlahan dengan perlahan.

   Kira-kira tiga meter lagi, sampailah dia pada tempat terbuka.

   Dapatlah ia berdiri tegak.

   Setelah mengatur pernapasannya sejenak, ia maju terus.

   Beberapa saat kemudian, jalan yang ditempuhnya menikung dan memasuki kelokan serta tikungan, empat lima kali.

   Ia jad i semakin berwaspada.

   Dengan menggenggam pedangnya erat erat, ia maju terus.

   Tatkala berjalan kira-kira lima belas meter lagi, ia tiba di sebuah kamar batu.

   Segera ia manasuki sambil memajukan obornya.

   Tiba-tiba ia terperanjat, sampai ia mengeluarkan keringat dingin.

   Di atas sebuah batu yang berada ditengah tengah kamar, duduk sesosok kerangka yang lengkap t ak ubah manusia hidup.

   Kedua tangannya terletak di atas pangkuannya.

   Dengan mata tak berkedip dan jantung menekan-nekan, Lingga W isnu mengawasi kerangka itu.

   Setelah itu, barulah ia memeriksa ruang-ruang kamar.

   Syukurlah t iada suatu penglihatan, yang mengerikan lagi.

   Belasan Cunduk Trisula menancap malang-melint ang di atas tanah mengitari kerangka itu.

   Sebatang pedang panjang terletak di sampingnya.

   Pada dinding kamar terdapat sederet lukisan manusia berukir.

   Sikapnya berlain-lainan, mirip seseorang yang sedang menghadapi tata muslihat lawan.

   Lingga W isnu mengamat-amati dengan penuh perhatian.

   Akhirnya tahulah dia, bahwa lukisan-lukisan itu menggambarkan seseorang lagi berlatih tata-berkelahi tertentu.

   Hanya saja ia tak mengerti maksudnya.

   Apalagi, letak int isarinya.

   Pada ujung gambar terdapat tujuhbelas patah kata berukir pula.

   Lingga W isnu mendekati dan membacanya .

   "Mustika berharga, ilmu sakti rahasia. Diberikan kepada siapa yang memasuki pintuku. Tetapi janganlah menyesal, manakala kena bencana.

   "

   Lingga W isnu masih mengamat-amati dan memperhatikan hal itu, tatkala tiba-tiba seseorang memanggilnya.

   Itulah suara gurunya yang memanggil namanya di depan mulut goa.

   Dengan bergegas ia merayap balik.

   Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi Sambang Dalan yang berada di atas jurang, gelisah setelah menunggu sekian lamannya.

   Mereka tak berani menarik tali pengikat lantaran takut Lingga W isnu telah melepaskan diri dari ikatannya.

   Mereka menyabarkan beberapa waktu lagi.

   Tetapi tetap saja Lingga W isnu tidak muncul.

   Kuatir bocah itu menemui bencana, Kyahi Sambang Dalan memutuskan untuk menyusul.

   Demikianlah, setelah sampai d i mulut goa, segera ia memanggil-manggil nama muridnya.

   Hatinya lega luar biasa, begitu mendengar muridnya menyahut.

   Dengan tanda teriakan, Ki Ageng Gumbrek dan Ganjur lantas menarik tali pengikat.

   Sebentar saja Kyahi Sambang Dalan dan Lingai W isnu sudah berada di atas tebing.

   Seluruh tubuh Lingga W isnu berlepotan lumpur, debu dan lumut.

   Pakaian yang dikenakannya kotor dan wajahnya nampak t egang.

   Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi Sambang Dalan tahu, bahwa hal itu terjadi lantaran bocah itu pasti menemukan atau melihat sesuatu yang luar biasa.

   Maka mereka membiarkan bocah itu tenangkan hatinya terlebih dahulu.

   Dan benar saja, setelah dapat tenangkan hatinya kanbali, Lingga W isnu kemudian menuturkan pengalamannya.

   "Pastilah tidak salah lagi, itulah kerangka Bondan Sejiwan,"

   Ujar Kyahi Sambang Dalan.

   "Akh, tak pernah kusangka, seorang pendekar yang sakti luar b iasa, akhirnya mati di t empat sesunyi ini. Sungguh sayang!"

   "Apakah arti tujuhbelas patah kata pesannya itu?"

   Tanya Ki Ageng Gumbrek minta pendapat rekannya. Kyahi Sambang Dalan tak segera menjawab ia merenung beberapa saat lamanya. Lalu menyatakan pendapatnya .

   "Rupanya Bondan Sejiwan menyimpan suatu benda berharga dalam goanya. Hanya kita tak tahu mustika apa yang disimpannya itu. Dia seorang pendekar yang memiliki ilmu maha sakti. Pastilah dia tidak akan membiarkan ilmu saktinya itu musnah dari percaturan hidup. Dengan cara-cara tertentu, pastilah dia menyimpannya di dalam goanya. Mungkin ia menunggu seorang yang berjodoh dengan pengucapan hatinya untuk mewarisi ilmu ke pandaiannya. Sayang, dia seorang yang hidup dengan menuruti pertimbangan perasaannya sendiri Ia sama sekail tak beragama. Lantas mendirikan Himpunan manusia-manusia liar dengan nama. 'Ngesti Tunggal'. Benar-benar kapir! Hati Lingga W isnu tercekat. Bondan Sejiwan, yang mati di dalam goa itu, ternyata benar-benar Bondan Sejiwan cikal-bakal Ngesti Tunggal yang kemarin dielakkan gurunya. Keruan saja perhatiannya menjadi bertambah. Dalam pada itu Kyahi Sambang Dalan meneruskan perkataannya .

   "Rupanya ia menghendaki, agar yang memasuki pintunya, bisa melanjutkan cita-citanya. Jadi istilah pintu itu bermakna cita-cita atau kaumnya atau pahamnya. Tetapi mungkin pula berarti pintu besar yang mengandung malapetaka."

   "Pendapatmu rasanya tidak meleset terlalu jauh "

   Ki Ageng Gumbrek menyetujui.

   "Hanya, keajaiban apa yang terdapat dalam goanya, sungguh sulit diduga-duga."

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kyahi Sambang Dalan menghela napas. Berkata lagi .

   "Jelek-jelek kita ini manusia beragama. Setidaktidaknya kita mengenal Tuhan. Karena itu tak boleh kita mengharapkan warisan mustika dari orang kapir. Tetapi justeru kita merasa mengambar jalan ketuhanan, kita harus menunjukkan kebesaran dan kelapangan hati. Biarlah Lingga W isnu esok pagi menjenguk goanya kembali untuk mengubur kerangkanya sebagai mustinya manusia yang pernah hidup. Betapapun juga kita harus menghormatinya sebagai seorang sesepuh. Karena itu, engkau Lingga, sewaktu hendak menguburnya, engkau wajib bersembah padanya. Panjatkan doa kehadapan Ilahi agar d iampuni semua dosanya. Dengan cara demikian, kita semua dapat menghormatinya sebagai manusia wajar dan layak. Kita boleh tak sepaham dengan pendiriannya, tetapi sebagai manusia kita semua adalah makhluk Tuhan dan anak Tuhan"

   Lingga W isnu mengangguk. Dan Ki Ageng Gumbrek seiring dengan kata-kata Kyahi Sambang Dalan. Ia bahkan menyatakan rasa kagumnya. Katanya .

   "Kaupun seorang aneh pula! Seorang yang pandai berkhotbah, pantasnya harus hidup didekat mesjid. Kenapa engkau justru bermukim di atas gunung sesunyi ini?"

   "Itulah soal kenikmatan! Kenikmatan bersembah kepada Tuhan serta sekalian alam!"

   Jawab Kyahi Sambang Dalan.

   Dan mendengar jawaban itu Ki Ageng Gumbrek kian menjadi k agum.

   Dua t iga kali ia menghela napas.

   Keesckan harinya Lingga W isnu membekal pacul dan alat-alat lainnya perant i mengubur mayat.

   Ia diant arkan paman Ganjur.

   Kyahi Sambang Dalan dan Ki Ageng Gumbrek tak ikut serta karena menganggap tiada bahayanya.

   Mereka hanya menyertakan restunya dan membekali lima batang obor yang berisi minyak pembakar penuh.

   Ganjur mengerek Lingga W isnu turun dengan perlahan-lahan.

   Setelah tiba di mulut goa, dengan cekatan Lingga W isnu merayap memasuki goa.

   Begitu sampai d i dalam ruang kamar, segera ia menancapkan batang obornya.

   Lalu mulai menggali lubang.

   Berbagai pikiran dan ingatan berkelebatan di dalam benaknya.

   Teringatlah dia kepada nasib ayah-bunda dan kakaknya yang mati tak dikubur.

   Tak dikehendaki sendiri, mengalirlah air matanya.

   Pikirnya di dalam hati .

   'Dialah Bondan Sejiwan pendiri Ngesti Tunggal.

   Meskipun berkesan liar, namun para anggautanya berwatak ksatrya.

   Sebenarnya, bagaimana sesungguhnya?"

   Kata Lingga W isnu di dalam hati. Tentu saja ia tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu. Demikianlah, setelah selesai menggali lubang kubur ia membungkuk hormat dan bersembah kepada kerangka Bondan Sejiwan. Katanya di dalam hati .

   "Kami bernama Lingga W isnu. Secara kebetulan saja kami menemukan jazat paman. Pada hari ini, kami hendak mengubur jazat paman. Semoga tenanglah arwah paman di alam baka. Baru saja ia mengucapkan kata-kata demikian, hatinya mendadak menjadi sedih. Teringatlah dia kembali kepada kedua orang tuanya, kakaknya dan dirinya yang kini hidup yatim-piatu. Ia lantas menangis menggerung-gerung. Tiba-tiba saja, tengkuknya seperti kena raba tangan halus dan dingin. Itulah angin lembut yang datang dari luar goa. Lingga W isnu bergidik. Bulu tengkuknya meremang. Serentak ia menegakkan kepala dan berputar mengarah liang kubur. Untuk menenangkan hati, ia menjajaki. Dirasanya masih kurang dalam. Maka mulailah ia menggali lebih dalam lagi. Tanah yang kena sint uh paculnya ternyata kian menjadi lunak. Ia jadi gembira dan bekerja dengan cepat. Tiba tiba paculnya memperdengarkan suara membeletuk. Itulah akibat suatu benturan dengan benda keras. Rasanya bukan batu. Lalu apa? Besi? Ia mengambil obornya lalu menyuluhi. Ia heran karena pada dasar tanah itu terdapat selembar papan besi. Tertarik akan hal itu, ia memacul sekitarnya. Benar-benar papan besi yang berjumlah beberapa lembar. Lalu ia mengangkatnya. Dibawahnya terdapat sebuah peti besar berukuran enampuluh sentimeter persegi. Terbuat dari besi pula. Terdorong oleh rasa ingin tahu, Lingga W isnu mengangkat peti besi itu. Timbangan beratnya sedang. Dapatlah ia mengira-ira bahw a isinya tidak terlalu banyak. Lantaran tak terkunci, dengan mudah ia dapat membukanya. Di dalamnya ternyata amat dangkal. Kirakira hanya set inggi empat senti saja. Keruan Lingga W isnu menjadi bertambah-tambah heran. 'Mengherankan!' seru Lingga W isnu di dalam hati. Ukuran petinya besar dan tinggi. Kenapa pendek saja dalamnya? Ia menemukan sepucuk surat bersampul, yang berisi delapan patah kata di atas sampulnya. Bunyinya begini . = Barang siapa memperoleh petiku, kuperkenankan membuka isi sampul suratku. = Di dalam sampul terdapat dua pucuk surat bersampul pula yang berukuran lebih kecil. Semuanya terbuat dari kulit kerbau. Sampul surat yang pertama berkepala. 'Cara membuka peti' Dan yang kedua. 'Bagaimana mengubur tulang-tulang'. Setelah membaca sampul surat itu, Lingga W isnu baru mengerti bahw a peti besi itu berlapis. Ia mengangkat dan menggoyang-goyangkannya. Kali in i ia mendengar bunyi benda bersentuhan. Namun hatinya tak tertarik akan segala warisan Bondan Sejiwan yang disebutkan sebagai mustika. Yang terasa dalam hatinya, hanyalah kepiluan dan keharuan. Katanya di dalan hati . 'Paman. Kalau aku mengubur tulang-tulangmu sebenarnya kulakukan demi tulang-tulang kakakku Umardanus, yang mati di dalam jurang. Moga-moga dengan menguburkan tulang-tulangmu, seseorang mengubur pula tulang-tulang kakakku. Oh, Tuhan! demikianlah harapanku. Tentang mustika yang kau janjikan, biarlah diwarisi oleh seorang pendekar yang tepat'. Lingga W isnu kemudian membuka sampul surat kulit yang kedua. Dalamnya terdapat selembar kulit t ipis yang bertulisan. Bunyinya demikian .

   "Leluhurku bernama Bondan Sejiwan, pendiri aliran Ngesti Tunggal. Beliau hidup pada jaman Sultan Agung memerint ah negeri. Keturunan dan pewarisnya menyematkan nama Bondan Sejiwan pula. Sampai di tanganku sudah melalui empat angkatan. Maka gelarku sebenarnya Bondan Sejiwan ke V. Namaku sendiri. Panyuluh. Dan semenjak ini lenyaplah sudah keturunan Bondan Sejiwan. Karena aku tak diberi kesempatan mempunyai keturunan .. Sampai di sin i Lingga W isnu berhenti membaca. Pikirnya d i dalam hati. 'A pakah ini alasan guru, apa sebab beliau mengelakkan pertanyaanku tentang nama Bondan Sejiwan, pendiri Ngesti Tunggal? Tetapi, apa sebab kemarin ia menyebut kerangka paman Bondan Sejiwan ini sebagai pendiri Ngesti Tunggal? Apakah keturunannya memang selalu disebut-sebut sebagai cikal bakal Ngesti Tunggal? Secara kebetulan aku menyebutnya paman. Kiranya t ak begitu salah ... Ia meneruskan membaca .

   "Sekiranya kau sudi mengubur tulang-tulangku maukah mendengarkan pesanku? Setelah kau gali lubang, tolong, gali lebih dalam lagi kira-kira satu meter. Dan tanamlah tulang-tulangku di situ. Berada di dalam liang kubur yang dalam rasanya aku akan bebas dari gangguan segala kutu-kutu dan semut."

   Terharu hati Lingga W isnu membaca surat Bondan Sejiwan.

   Katanya di dalam hati .

   'Paman, aku akan membuatmu puas.

   Aku akan menggali lebih dalam lagi, mematuhi pesan terakhirmu.' Dan kembali Lingga W isnu menggali liang kubur lebih dalam lagi.

   Kali ini t anah penuh batu.

   Tak mudah Lingga W isnu memacul seleluasa tadi.

   Sebentar saja ia telah bermandikan keringat.

   Tatkala paculnya hampir mencapai enam puluh sentimeter dalamnya, mendadak ujungnya membentur sebuah benda keras sehingga menerbitkan suara gemerincing.

   Karena telah memperoleh pengalaman, meskipun heran, Lingga Wisnu menggali terus.

   Dan kembali lagi ia menemukan sebuah peti tesi berbentuk persegi dan berukuran lebih kecil.

   'Pendekar gagah luar biasa in i benar-benar aneh,' pikirnya d i dalam hati.

   'Entah benda apa lagi yang disimpannya di dalam peti ini?' Ia mengangkat peti itu dan dapat membuka tutupnya dengan mudah.

   Dan seperti tadi ia mendapatkan selembar kulit t ipis yang memuat beberapa deret kalimat.

   Manakala ia membacanya, hatinya kaget bukan kepalang sehingga keringatnya mengucur deras.

   Beginilah bunyi t ulisan itu .

   "Engkau benar-benar seorang yang baik hati dan jujur. Karena engkau mendengar pesanku sudah selayaknya aku wajib membalas kebaikan hatimu. Yang pertama dengan ramuan obat mustika. Yang kedua. benda mustika. Dan yang ketiga. ilmu sakti w arisan leluhurku. Manakala engkau membuka peti besar, dari dalamnya akan menyambar anak-anak panah beracun. Surat dan peta yang berada di dalamnya palsu semua. Malahan beracun juga! Biarlah orang-orang jahat menerima hadiahnya yang setimpal. Barang yang tulen, berada dalam peti kecil in i. Pastilah engkau telah mandi keringat. Kau telanlah ramuan obat mustika yang berada dalam lapisan atas"

   Meskipun bunyi surat itu meyakinkan, namun Lingga W isnu tak berani melancangi gurunya.

   Lagi pula, tujuannya memasuki goa bukanlah mengarah mustika yang terpendam di dalamnya.

   Ia d i tugaskan mengubur kerangka seorang leluhur.

   Maka tak boleh dirinya terpancang pada bunyi surat, sehingga mengabaikan tujuan semula.

   Sadar akan hal itu, cepat-cepat ia meletakkan dua peti besi ditepi liang.

   Lalu dengan sikap penuh hormat ia mengebumikan tulang-tulang kerangka Bondan Sejiwan.

   Kemudian dengan hati-hati ia memendam dan meratakan sampai rap ih.

   Setelah meletakkan batu tempat duduk-almarhum di atas pekuburan sebagai nisan, ia bersembah tiga kali.

   Sedang pjedang almarhum tidak disentuhnya.

   Setelah selesai melakukan kewjjiban.

   Dengan tak langsung, selama dia sudah menjadi ahliwaris Bondan Sejiwan.

   Akan tetapi dia tidak memikirkan hal itu.

   Dengan membawa dua peti almarhum, Lingga W isnu keluar kamar.

   Sampai di t ikungan ia berhenti terowongan menjadi sempit.

   Ia mengamat-amati.

   Hatinya lega, karena sempitnya terowongan ternyata teratur oleh rencana bangunan.

   Rupanya Bondan Sejiwan sengaja mengatur danikian rupa, untuk mencegah masuknya seseorang dengan leluasa ke dalam goanya.

   Memperoleh pikiran demikian, cekatan ia membongkar susunan batubatu penyempit.

   Dengan begitu apabila gurunya kini menghendaki, bisa leluasa masuk ke dalam goa? lant aran terowongan menjadi cukup lebar.

   Setibanya di mulut goa, Lingga W isnu memanggil Ganjur, si gagu agar menarik tali pengikat.

   Lalu dengan berlari-larian ia pulang mencari gurunya.

   Ki Ageng Gumbrek memeriksa surat surat wasiat.

   Di dalam hati ia terperanjat.

   Kyahi Sambang Dalan yang ikut pula memeriksa surat- surat, tak terkecuali.

   Tatkala menibuka sampul surat 'petunjuk membuka peti ia membaca dengan nyaring .

   = Di kiri-kanan peti terdapat pesawat rahasia.

   untuk membuka, sentakkan kedua tanganmu dengan berbareng.

   Lalu bukalah penutupnya.= Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi Sambang Dalan kagum bukan main.

   Itulah jebakan yang mengerikan.

   Coba, seumpama Lingga W isnu serakah, sehingga tidak mengubur jenazah almarhum terlebih dahulu ? lalu membuka petinya lantaran bernapsu, pastilah, ia bakal tersambar pesawat rahasia yang tentu ? mengancam jiwa.

   Kyahi Sambang Dalan menyuruh Ganjur mengambil sebuah tong besar.

   Ukuran tong itu setinggi peti besi..

   Lalu ia membuat dua lubang.

   Kemudian peti besi dimasukkan ke dalamnya dan bag ian atas tong itu ditutupnya dengan papan.

   "Mari!"

   K i Ageng Gumbrek mengajak Lingga W isnu.

   Berdua, mereka memasukkan sebelah tangannya masing-masing, lewat lubang tong dan memegang sisi peti bagian pelatuk.

   Setelah saling memberi isyarat, dengan berbareng mereka menyentakkan pelatuk yang dipegangnya.

   Penutup peti terdengar menjeblak.

   Lalu.

   terdengar pulalah suara beruntun-menancap pada papan penutup.

   Dan tong tergetar karenanya.

   Lingga W isnu menunggu beberapa saat.

   Apabila suara-getaran terhenti, ia hendak membuka papan penutup tiba-tiba gurunya menarik lengannya sambil berseru mencegah .

   "T unggu!"

   Baru saja Kyahi Sambang Dalan menutup mulutnya, terdengarlah kembali suara 'susu lan seperti tadi.

   Lingga W isnu, jadi mengerti...

   maksud gurunya menarik lengannya.

   Sekarang, ia berpaling kepada gurunya.

   Dan gurunya bersikap 'menunggu' sekian lamanya.

   "Nah, sekarang balik!"

   Akhirnya guru yang bijaksana itu membuka suaranya.

   Dengan dibantu oleh Ganjur, Lingga W isnu membalikkan tong dan.

   diangkatnya.

   Dan papan penutup yang tertinggal di atas lantai penuh tertancap anak-anak panah.

   Semuanya berjumlah duapuluh tujuh batang.

   Kyahi Sambang Dalan, Ganjur dan Ki Ageng Gumbrek mencabuti sekalian anak panah yang tertancap itu dengan jepitan.

   Setelah diletakkan diatas meja, masih saja mereka t akut menyentuhnya.

   Kyahi Sambang Dalan menghela napas.

   Katanya dengan suara kagum .

   "Bondan Sejiwan benar-benar manusia yang pandai berpikir jauh dan dalam sekali. Rupanya, dia khawatir, serangan pertama akan dapat dielakkan. Lalu diatur demikian rupa, sehingga terjadi serangan susulan setelah serangan pertama reda."

   Ki Ageng Gumbrek mengeluarkan peti besi dari dalam tong.

   Setelah lapisan penutup terbuka, ia memeriksa dalamnya.

   Disin i, terlihatlah isinya penuh dengan uraturat kerbau kering malang-melint ang.

   Inikah alat pesawat penjepret anak-anak panah yang saling menyusul.

   Susunannya seperti jebakan t ikus.

   Sekali kena tarik, pesawatnya segera bekerja menjepretkan panah puluhan batang jumlahnya.

   Benar-benar hebat.

   Dengan menggunakan jepitan, Ki Ageng Gumbrek menyingkirkan urat-urat kerbau yang tidak bekerja lagi.

   Dibawahnya terdapajt se

   Jilid kitab berjudul.

   Kitab sakti rahasia keluarga Setan Kobar.

   Sebutan Setan Kobar itu siapa lagi yang dimaksudkan, selain Bondan Sejiwan? Rupanya ia sadar, bahw a dirinya disebut setan atau iblis atau siluman o leh masyarakat umum - karena dianggap kapir.

   Lalu menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Setan Kobar.

   Dengan terus menggunakan jepitan.

   Ki Ageng Gumbrek meribalik-balik lembaran isi kitab.

   Isinya penuh dengan huruf-huruf kecil, gambar-gambar, peta, keterangan dan contohnya serta gambar berbagai senjata tajam.

   Dan semua makin menjadi kagum.

   Setelah itu Kyahi Sambang Dalan membuka peti besi lainnya yang berukuran lebih kecil.

   Ia menemukan se

   Jilid kitab lagi. Baik bentuk dan isinya serupa. Akan tetapi apabila diamat-amati dengan seksama, ternyata berbeda Baik mengenai bentuk hurufnya, gambar-gambarnya dan petanya. Justru inilah kitab warisan yang sebenarnya.

   "Benar-benar Bondan Sejiwan berotak luar biasa."

   Puji Ki Ageng Gumbrek.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Untuk menghadapi orang yang tak sudi mengubur kerangkanya, dia telah mengasah ot aknya demikian rupa hingga membuat kitab palsu serta panah beracunnya. Bukankah semuanya itu dipersiapkan setelah ia meninggal dunia? Kenapa ia bersiaga begitu rupa terhadap orang yang masih belum diket ahui termasuk buruk dan baik?"

   "Menurut kabar berita, memang ia seorang yang cupat pandangannya,"

   Kata Kyahi Sambang Dalan.

   "Baiknya ia tahu diri, sehingga mau menyebut diri sendiri dengan sebutan Setan Kobar. Tetapi akhirnya ia mengalami kematian demikian rupa. Di sebuah goa yang sunyi sepi seakan akan benar-benar setan atau siluman."

   Ki Ageng Gumbrek memanggut-manggut sambil menghela napas. Ujarnya.

   "Aku sendiri bukan seorang muslim yang baik. Kau sendiri menamakan diriku, pendeta bangkotan. Tetapi, rasanya apabila dibandingkan dengan dia, masih lumayan diriku."

   Kyahi Sambang Dalan tertawa. Kemudian memberi perint ah kepada Lingga W isnu dengan sungguhsungguh.

   "Lingga, kau simpanlah dua peti ini dan semua isinya. Bondan Sejiwan adalah seorang kapir yang berpemandangan sempit. Kitabnya pun pasti akan membuat sesat orang. Karena tiada faedahnya, janganlah engkau membacanya. Apalagi untuk mempelajarinya."

   Lingga W isnu patuh kepada gurunya.

   Kedua kitab warisan Bondan Sejiwan dikembalikan kepada tempatnya semula.

   Setelah menutup kedua peti besi, ia menyimpannya di bilik tengah.

   Cara mengaturnya meniru Bondan Sejiwan mengatur kedua peti warisannya di dalam goa.

   Semenjak itu Lingga W isnu melanjutkan latihanlatihannya bertambah tekun dan rajin.

   Ki Ageng Gumbrek demikian sayang kepadanya, sehingga mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya yang istimewa.

   Itulah ilmu membidik dan ilmu kegesitan.

   Selang beberapa bulan kemudian orang tua itu berpamit turun gunung untuk kembali hidup berkelana seperti yang dilakukan semenjak zaman mudanya.

   Lingga W isnu sebenarnya merasa berat berpisahan.

   Namun tak dapat ia mencegah kehendak Ki Ageng Gumbrek itu.

   Selanjutnya ia belajar terus dibawah pimpinan tunggal, Kyahi Sambang Dalan yang juga telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepada murid yang berbakat dan rajin serta ulet itu.

   Dan empat t ahun lewatlah sudah.

   Lingga W isnu kini sudah berusia duapuluh dua tahun.

   Sepuluh tahun lamanya Lingga W isnu berada di atas gunung Dieng.

   Sekarang dia tumbuh menjadi seorang pemuda yang berkepandaian tinggi.

   Dari Kyahi Sambang Dalan ia memperoleh ilmu pedang dan pukulan tangan kosong.

   Sedang dari Ki Ageng Gumbrek ia menjadi seorang ahli pembidik senjata jarak jauh dan ilmu kegesitan.

   Empat ilmu kepandaian itu, digabungkannya menjadi satu.

   Dibandingkan dengan ilmu kepandaiannya si Ganjur atau bekas-bekas gurunya yang dahulu, ia berada jauh diatas mereka.

   Hanya, mengenai tenaga pantulan ia masih sangat lemah.

   Itulah disebabkan lantaran racun jahat Pacarkering masih tetap mengeram di dalam dirinya.

   Pernah hal ini dibicarakan kepada kedua gurunya itu.

   Akan tetapi baik Kyahi Sambang Dalan maupun Ki Ageng Gumbrek tak dapat mengatasi.

   Mereka hanya dapat membesarkan hatinya, bahwa pada suatu kali racun yang mengeram dalam dirinya itu pasti akan menjadi susut dan akhirnya musnah sama sekali.

   Dalam pada itu, karena belasan tahun tak pernah turun gunung, Lingga W isnu buta mengenai percaturan dunia.

   Apa yang terjadi dibawah gunung, sama sekali gelap baginya.

   Ia hanya mendengar tutur-kata kedua gurunya itu saja.

   Sebaliknya, percaturan duniapun tidak mengetahui bahwa Kyahi Sambang Dalan dan Ki Ageng Gumbrek, kini mempunyai seorang murid penutup.

   Pada suatu pagi, pada permulaan musim semi selagi Lingga W isnu bertekun berlatih dengan di temani kedua ekor keranya, si Kapi dan si Kut il.

   Tiba-tiba muncullah Ganjur dengan menggerak-gerakkan t angannya.

   Tahulah Lingga W isnu, gurunya memanggilnya.

   Tidak ayal lagi, ia segera berhenti berlatih.

   Kemudian dengan cepat ia masuk ke dalam kamar gurunya.

   Ia heran tatkala melihat dua orang asing yang berpawakan tinggi besar berdiri disamping gurunya.

   Selama berada di atas gunung Dieng, selain Ki Ageng Gumbrek, tiada seorangpun yang pernah mendaki mengunjungi pertapaan gurunya.

   Siapa mereka berdua, sama sekali ia belum ke nal.

   "Lingga, inilah kakang Umarsidik dan kakang Kasidha!"

   Kyahi Sambang Dalan memperkenalkan kedua tetamunya.

   "Nah, kau perkenalkan dirimu."

   Karena gurunya memanggil mereka dengan sebutan kakang, Lingga W isnu menduga bahw a mereka adalah sahabat-sahabat gurunya. Lantas saja ia maju menghampiri. Memberi hormat samb il berkata secara sopan .

   "Paman, perkenalkan ..."

   Baru saja Lingga W isnu menyebut kata-kata paman, kedua orang itu buru-buru membalas hormatnya sambil menyahut .

   "Jangan memanggil kami paman. Justru kamilah yang harus menyebut dirimu paman."

   Lingga W isnu tercengang. Bagaimana ini? Masakan mereka berdua memanggil dirinya paman? la jadi berteka-teki. Kyahi Sambang Dalan t ertawa berkakakan. Katanya .

   "Mari mari! Kalian bertiga duduklah sejajar!"

   Baik Lingga W isnu maupun kedua tetamunya, lantas duduk diatas kursinya masing-masing yang sudah disediakan oleh si Ganjur.

   Diam-diam Lingga W isnu mengamat-amati kedua tetamunya itu.

   Mereka berdua berdandan sebagai petani.

   Gerak-geriknya gesit, hanya kesan wajahnya tegang dan pemalu.

   Dalam pada itu Kyahi Sambang Dalaii masih tertawa.

   Kemudian memperkenalkan kedua tetamunya kepada Lingga W isnu.

   Katanya.

   "Belum pernah sekali juga engkau mengikuti aku turun gunung. Maka tak mengherankan, Lingga bahwa engkau tidak mengetahii tingkat derajatmu. Kedua tetamu kita ini, Umarsid ik dan Kasidha, adalah murid keponakanku. Mereka memanggilku eyang. Dengan sendirinya, karena engkau adalah muridku, maka mereka akan memanggilmu, paman. Akan tetapi karena usia mereka jauh lebih tua dari pada dirimu, lebih baik kalian bertiga berkedudukan sesama saudara dan sederajat saja. Lingga harus memanggil Umarsidik dan Kasidha dengan sebutan kakang. Sebaliknya, Umarsid ik dan Kasidha hendaklah memanggil Lingga W isnu dengan sebutan adi."

   Baik Lingga W isnu maupun kedua tetamu gurunya menjadi lega hati kini, setelah mendengar penjelasan Kyahi Sambang Dalan.

   Menurut tingkatan, memang sudah sepantasnya Umar sidik dan Kasidha memanggil paman kepada Lingga W isnu.

   Karena Lingga W isnu murid Kyahi Sambang Dalan yang berkedudukan sebagai eyang mereka.

   Akan tetapi Lingga W isnu yang lagi berumur duapuluh dua tahun, sudah barang tentu tak enak rasanya apabila dipanggil paman oleh mereka yang sudah berumur empatpuluh tahun lebih.

   Sekarang gurunya memutuskan sederajat dan setingkat saja.

   Keruan saja bocah itu bersyukur didalam hati.

   Rasa kekakuannya hilang sebagian besar.

   Dan yang dirasakannya kini suatu keakraban yang nyaman.

   "Kedua kakakmu ini datang dari Sukawati. Mereka berdua bekerja dibawah panglima Sengkan T urunan dan Arismunandar, kedua-duanya, panglima Pangeran Samber Nyawa."

   Kyahi Sambang Dalan memberi keterangan.

   "Karena telah terjadi suatu peristiwa yang penting untuk dirundingkan, maka esok pagi aku harus turun gunung untuk menghadap Pangeran Samber Nyawa."

   Tercengang Lingga W isnu mendengar keterangan gurunya.

   Peristiwa Sukawati? Apa itu? W aktu itu, permulaan tahun 1755.

   Pemerintah Belanda rupanya merasa tak tahan lagi menghadapi pemberontakan Mangkubumi I dan Raden Mas Said.

   Seperti diket ahui, pada tahun 1749, Gubernur Hogendorff berhasil memaksa Paku Buw ana II menanda tangani penyerahan Mataram kepada Belanda.

   Sama sekali t ak diduganya, bahwa ia bakal menghadapi akibat, penyerahan itu.

   Laskar Mangkubumi I dan Raden Mas Said amat kuatnya.

   Maka Guberhur Hogendorff diganti oleh Gubernur Hartingh.

   Gubernur ini diperkenankan berunding dengan Mangkubumi maupun Raden Mas Said dengan kekuasaan penuh untuk memberi hak dipertuan kepada salah seorang pangeran yang berontak itu.

   Penasehat-penasehat di negeri Belanda menganjurkan pula supaya ia sedapat mungkin menimbulkan perpecahan antara kedua orang pangeran itu.

   Tipumuslihat Belanda ini pernah dilakukan juga untuk mengatasi pemberontakan Ratu Bagus Boang dan Ki Tapa di Banten.

   Kini, hendak dipergunakan lagi untuk menghadapi Mataram.

   Dan tipu muslihat ini akhirnya berhasil juga.

   Kepada Raden Mas Said dijanjikan .

   kedudukan sebagai putera mahkota Mataram dan pangkat patih apabila ia menyerah.Akan tetapi Raden Mas Said menolak.

   Gubernur Hartingh nyaris berputus asa.

   Maklum lah, Belanda sudah kehabisan tenaga maupun uang.

   Sebab pada tahuntahun itu pemerintah Belanda lagi menghadapi empat tokoh pemberontak yang gagah perkasa.

   Merekalah Ratu Bagus Boang, Ki Tapa dan Mangkubumi I serta Raden Mas Said.

   Gubernur Hartingh lantas mengarahkan sasarannya kepada Pangeran Mangkubumi I dengan perantaraan seorang Arab.

   Kepada Pangeran Mangkubumi I, Belanda menyatakan kesanggupannya untuk-mengakui .

   1.

   Kedaulatan Mangkubumi I atas daerah-daerah yang didudukinya sekarang.

   1.

   Kedaulatan itu disertai gelar.

   Putera Mahkota.

   Tetapi Pangeran Mangkubumi I menolak pula.

   Sayang sekali, justru pada saat itu terjadilah suatu perselisihan dengan Raden Mas Said.

   Kedua laskar tentara pemberontak itu lantas saling menyerang.

   W alaupun demikian, Belanda tak dapat mematahkan kekuatan tentara yang saling bertentangan itu.

   Hal itu disebabkan karena sesungguhnya Belanda sudah tak mampu lagi berkutik.

   Maka dicarinyalah jalan yang semudah mudahnya dan semurah murahnya dengan melalui perundingan perundingan dan janji janji.

   Akhirnya Belanda berhasil memikat hati Pangeran Mangkubumi I dengan tawaran yang setinggi-tingginya.

   Bunyinya .

   sebagai berikut .

   Pangeran Mangkubumi menerima separo kerajaan Mataram dan diaku i sebagai raja yang berdaulat atas daerah-daerah yang terpaksa diserahkan kepadanya, karena sudah dikuasi penuh oleh laskar Mangkubumi I.

   Pangeran Mangkubumi I kena terjebak.

   Ia menerima tawaran Belanda itu yang dianggapnya pantas dan terhormat.

   Maka ditetapkanlah pembagian Mataram menurut jumlah penduduk.

   Masing- masing 87.050 cacah jiwa untuk Pangeran Mangkubumi I dan 85.450 cacah jiwa untuk Susuhunan.

   Adapun daerah yang masuk dalam wilayah kekuasaan Pangeran Mangkubumi I meliputi .

   Sebagian dari Pajang, Mataram, Kedu dan Bagelen, Madiu, Bojanegoro, Mojokerto, Grobogan dan sebagian dari Pacitan.

   Sedangkan daerah kekuasaan Susuhunan meliputi sebagian dari .

   Pajang, Mataram, Kedu dan Bagelen, Banyumas, Kediri, Ponorogo, W irasaba (Surabaya), Blora dan Jagaraga yang terletak di sebelah barat Madiun.

   Dengan terjadinya peristiwa itu, maka pecahlah kerajaan Mataram yang dahulu dipersatukan dengan susah-payah oleh Sultan Agung.

   Dan perjanjian pembagian ini terjadi di desa Giyanti pada tanggal 13 Pebruari 1755.

   Raden Mas Said yang ditinggalkan oleh sekutunya melanjutkan peperangan dengan hebat.

   Meskipun Belanda sekarang dapat membahayakan kedudukannya, akan tetapi Raden Mas Said pant ang menyerah.

   Inilah yang disebut Kyahi Sambang Dalan peristiwa Sukawati, karena-pemberontakan kedua pangeran itu, dimulai dari daerah Sukawati pada tahun 1745.

   Sudah barang t entu semua peristiwa itu sama sekali t ak diket ahui oleh Lingga W isnu.

   Seumpama diapun berada di tengah masyarakat, semuanya itu akan luput dari perhatiannya.

   "Kali ini aku diperkenankan ikut-serta, bukan?"

   Katanya.

   "Sekiranya belum diperkenankan menjenguk eyang dan sekalian paman-paman guruku biarlah aku mencari paman Puguh."

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kyahi Sambang Dalan tertawa mendengar permohonan Lingga W isnu. Bocah itu ternyata tak pernah melupakan mereka yang pernah melepas budi kepadanya. Ujar Kyahi Sambang Dalan .

   "Pada saat in i dunia kacau-balau. Kawan dan lawan sukar dibedakan. Tadinya, Pangeran Mangkubumi bersatu dengan Raden Mas Said. Sekarang mertua dan menantu itu berbalik saling menyerang. Yang celaka adalah paraanggaut a laskar. Mereka tak tahu arti dan faedahnya suatu perundingan perdamaian. Mereka kini jadi terumbang-ambing. Menang, inilah waktunya yang tepat bagimu untuk turun gunung mengamalkan ilmu kepandaianmu sekalian menuntut balas musuh ayahmu. Hanya saja masih berat hatiku untuk mengijinkan ..."

   "Mengapa? Apakah kepandaianku belum cukup untuk menuntut dendam ayah?"

   "Itupun termasuk salah satu alasanku,"

   Sahut Kyahi Sambang Dalan.

   "Kecuali itu masih ada alasan lain lagi yang lebih penting. Coba kau pertimbangkan.'' Kyahi Sambang Dalan memberi isyarat mata kepada Umarsidik dan Sasidha. Mereka berdua lantas keluar pendapa agar tidak mengganggu pembicaraan antara guru dan murid itu. Setelah berada sendirian dengan muridnya, berkatalah Kyahi Sambang Dalan .

   "Kematian kedua orang tuamu sangat menyedihkan. Sebaliknya, keadaan negara ini, jauh lebih menyedihkan. Perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said meramalkan alamat yang mengerikan di kemudian hari, apabila t idak cepat-cepat kita tanggulangi bersama. Kau hendak menuntut balas kematian ayahbundamu. Itulah bagus! Tetapi, tahukah engkau dengan pasti siapa sebenarnya pembunuh ayah-bundamu? Kedua orang tuamu sendiri tatkala masih hidup masih belum memperoleh pegangan. Itulah menurut tutur katamu dahulu. Apalagi engkau! Bagaimana kalau engkau sampai salah membunuh? Jika sampai terjadi demikian, maka engkau akan menambahi kekacauan dan kesuraman bangsamu. Sedang urusan negara merupakan perkara besar. Dan urusan pribad i menjadi sangat kecil apabila dibandingkan. Aku yakin, arwah ayah-bundamu akan mengutukmu pula bila perbuatanmu itu akan menambah kemuraman perjuangan bangsamu."

   Lingga W isnu terkejut. Ucapan gurunya itu bukan t ak mungkin terjadi. Sebab musuh orang tuanya, yang sesungguhnya, memang belum diketahuinya dengan pasti. Seketika itu juga tubuhnya dirasa menjadi panas dingin.

   "Urusan negara adalah urusan besar! Dan urusan pribadi adalah urusan kecil, kataku t adi."

   Kyahi Sambang Dalan mengulangi perkataannya.

   "Itulah sebabnya aku berkeberatan mengijinkan engkau mengadakan balas dendam pada saat ini. Siapa tahu, musuhmu justru memegang kendali perjuangan yang menentukan. Karena itu engkau harus berani bersabar dan berhatihati. Manakala demikianlah keadaannya, maukah engkau mengorbankan kepentingan pribadimu? Jika engkau berjanji-dan sanggup bersikap begitu, aku akan mengijinkan. Syukurlah, apabila mu suh besarmu itu bukan salah seorang pejuang yang penting."

   Bergolak hati Lingga W isnu mendengar ucapan Kyahi Sambang Dalan yang agung dan berwibawa. T ak terasa ia mengangguk.

   "Bagus!"

   Seru gurunya setengah bersorak.

   "Ilmu kepandaianmu kini telah mempunyai dasarnya. Memang, segala bentuk ilmu kepandaian itu tiada batasnya. Akan tetapi aku telah mewariskan seluruh kepandaianku kepadamu. Aku percaya dengan berpegang kepada ilmu kepandaian yang telah kau pahami itu, engkau akan bisa berbuat lebih banyak lagi. Hanya saja, jangan menganggap dirimu sudah sempurna, sehingga merasa tiada tandingnya. Inilah pant angan yang maha besar! Sebaliknya, bertekunlah di setiap waktu, agar memperoleh kemajuan pesat. Besok aku akan berangkat. Setelah dirimu merasa mendapat keyakinan, engkau boleh menyusulku di markas Panglima Sengkan Turunan!"

   Lingga W isnu girang bukan kepalang?.

   Segera ia berjanji hendak patuh kepada segala pesan gurunya.

   Dan mendengar janji dan kesanggupannya Lingga W isnu, Kyahi Sambang Dalan memberi tahu rahasia-rahasia pergaulan dan tanda-tanda sandi kaumnya.

   Setelah itu ia berkata menambahi .

   "Kau jujur dan berhati-hati. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi engkau masih muda belia. Semangatmu sedang berkobar-kobar. Maka pesanku yang harus kau ingat-ingat ialah tentang godaan paras cant ik. Menghadapi godaan ini, engkau harus waspada luar biasa. Sejarah hidup manusia sudah banyak membuktikan dan mewartakan tentang seorang gagahperkasa yang akhirnya roboh di tangan seorang perempuan cantik, sehingga dirinya kena malapetaka dengan namanya rusak untuk selama-lamanya. Kau ingat-ingatlah hal ini baik baik!"

   Pada keesokan harinya, sebelum terang t anah, Lingga W isnu sudah bangun.

   Dengan dibantu Ganjur, ia menyalakan api dan menanak nasi.

   Setelah makanan siap, ia pergi ke kamar gurunya untuk mempersilahkan gurunya makan pagi.

   Namun kamar gurunya telah kosong.

   Rupanya, gurunya telah berangkat pada tengah malam bersama sama dengan Umarsidik dan Kasidha diluar pengetahuannya.

   Ia jadi terlengang-longang.

   Dengan pandang kosong pula ia mengawasi pembaringan gurunya.

   Kesannya, sunyi menyayatkan hati.

   o)oo0dw0oo(o 1.

   Bondan Sekar Prabasini Tetapi apabila teringat diapun bakal turun gunung, hatinya sangat girang.

   Bukankah ia bakal bisa bertenu dengan eyang serta paman-paman gurunya, Aruji serta Palupi? Oleh rasa g irang, ia berlari-larian mencari paman Ganjur.

   Paman gagu yang baik hati itu, pasti akan ikut menjadi girang.

   Diluar dugaan, paman Ganjur itu ternyata sebaliknya.

   Paman gagu itu memutar tubuhnya dan dengan w ajah berduka keluar dari dapur.

   Lingga W isnu jadi terharu.

   Sepuluh tahun lamanya ia berkumpul, bersenda dan bergaul bagaikan saudara kandung sendiri.

   Sekarang bakal berpisah.

   Tak mengherankan, paman yang baik hati itu jadi berduka.

   Menimbang hal itu, hampir saja ia membatalkan niatnya hendak turun gunung supaya dapat berkumpul terus dengan si gagu.

   Dengan cepat sembilan hari lewatlah sudah.

   Selama itu Lingga W isnu terus berlatih memahirkan semua pelajarannya dengan rajin dan bersungguh-sungguh.

   Semenjak kanak-kanak ia hidup dikejar-kejar musuh.

   Maka tahulah dia, apa arti ilmu kepandaian yang tinggi itu.

   Dengan berbekal ilmu kepandaian yang tinggi, tak perlu lagi ia berkecil hati menghadapi bahaya yang mengancam dengan tiba-tiba.

   Malam hari itu, setelah makan malam, ia duduk terpekur menghadap perdiangan.

   Sebagai pengisi waktu ia membaca se

   Jilid kitab pelajaran.

   Kira-kira satu jam lamanya, ia terbenam dalam isi kitab.

   Tiba-tiba Ganjur masuk dengan menggerak-gerakkan tangannya.

   Orang gagu itu hendak mengabarkan, bahwa seseorang telah memasuki dataran pertapaan Kyahi Sambang Dalan dengan diam diam.

   "Oh, begitu? Biarlah kuperiksanya."

   Kata Lingga W isnu.

   Tetapi baru saja bergerak hendak keluar pintu, Ganjur mencegahnya.

   Orang gagu itu memberi isyarat mata, bahwa ia sudah memeriksanya dan ternyata tiada nampak jejaknya.

   Meskipun demikian, Lingga W isnu merasa belum puas.

   Dengan mengajak Kapi dan Kut il, ia meronda sekeliling pertapaan.

   Ia tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan.

   Setelah yakin tiada yang bakal mengganggu ketenteraman pertapaan, ia kembali dan menidurkan diri.

   Kira-kira tengah malam, ia tersentak bangun mendengar t eriakan Kapi dan Kut il.

   Serentak ia berloncat duduk dan memasang pendengaran.

   Sekonyong-konyong ia mengendus bau wangi Hatinya tercekat.

   Sebagai murid Ki Sarapada, meskipun dalam impian, dan anak didik Palupi tahulah ia arti bau wangi itu.

   Itulah bau wangi ramuan obat pembius, seperti yang pernah dilakukan oleh Palupi, terhadap Janggel, Panjisangar, Roha dan sebaliknya.

   Mereka semua adalah ahli-ahli racun yang tiada taranya dijagad ini.

   Keruan saja ia berteriak.

   ''Celaka!"

   Buru-buru ia menahan napas, lalu meloncat turun.

   Alangkah kagetnya, tatkala dirasakan tenaga kedua kakinya lenyap tak keruan.

   Tatkala menginjak lantai batu, mendadak terhuyung huyung dan hampir roboh.

   'Obat pemunah Palupi!' tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.

   Tangannya meraba-raba kantong bajunya.

   Baru saja ia menelan sejumput, tiba-tiba pintu terjeblak.

   Dan muncul ah sesosok bayangan melompat memasuki kamar.

   Sebilah golok menyambar padanya.

   Kepala Lingga W isnu te rasa pusing sekali.

   Akan tetapi tak sudi ia membiarkan dirinya kena sabatan golok.

   Sadar akan ancaman bahaya, ia mengelak dengan mengendapkan kepalanya.

   Tangan kanannya berkelebat membalas menyerang.

   Bayangan itu ternyata gesit..

   Ia berputar dan menya- batkan golok ke lengannya.

   Menghadapi lawan gesit, Lingga W isnu tak mau bekerja setengah matang.

   Terus saja ia melejit dan menyusulkan tangan kirinya.

   Tepat bidikannya.

   Dengan menggunakan sisa tenaganya, tangan kirinya berhasil menghantam pundak.

   Dan bayangan itu berteriak kesakitan.

   Tubuhnya menjadi limbung.

   Nampaknya dia heran, apa sebab pemuda itu t idak segera roboh setelah menghisap uap racunnya.

   Dia tidak tahu, lawannya mengantongi bubuk ramuan obat dari tabib istimewa.

   Sayang baru menelan sedikit, sudah terlibat dalam suatu perkelahian.

   "Apakah dia masih mampu melawan?"

   Terdengar suara lain bertanya.

   Lingga W isnu tak gentar menghadapi dua lawan.

   Ia bergerak hendak mendahului menyerang.

   Sekonyongkonyong penglihatannya berputar.

   Kepalanya terasa menjadi berat.

   Tak ampun lagi, ia roboh tak sadarkan diri.

   Entah berapa lama ia tak berkutik.

   Tiba-tiba ia tersadar.

   Itulah akibat bekerjanya bubuk pemunah racun.

   Hanya sayang, ia tadi menelan sangat sedikit.

   W alaupun demikian, bubuk pemunah yang hanya sejumput itu masih mampu mengusir pengaruh hawa berbisa.

   Seluruh tubuh Lingga W isnu terasa lemas dan nyeri.

   Tatkala mencoba hendak menggerakkan kedua tangan dan kakinya, ia terperanjat bukan main.

   Ternyata kedua tangan dan kakinya telah terbelenggu.

   Dengan penasaran ia menjiratkan pandangnya.

   Kamarnya telah menjadi terang-benderang.

   Dilihatnya kedua orang itu sedang asyik menggeledah kamarnya.

   Peti pakaian dan segalanya yang tersusun rapi, dibongkarnya hingga morat-marit.

   'Celaka!' ia mengeluh di dalam hati.

   Kemudian ia mengikuti diri sendiri oleh rasa sesal dan kesal.

   Baru satu minggu, gurunya meninggalkan pertapaan, ternyata tempat bermukimnya kena digerayangi pencuri-pencuri.

   Dan ia sama sekali tak berdaya berbuat sesuatu.

   Kalau nant i ada yang hilang, bagaimana ia hendak mempertanggung jawabkan kepada gurunya? 'Nasibku ini memang sial.

   Baru menghadapi begini saja aku tak mampu.

   Apalagi berangan-angan menuntut balas ayahbunda segala.

   Huh ...

   Huh ...

   Pantas guru belum mengijinkan aku turun gunung.

   Nyatanya selain aku tolol, tak berguna pula ...

   Sekalipun demikian, ia sesungguhnya seorang pemuda yang cerdik dan cepat reaksinya.

   Segera ia berpura-pura masih tak sadarkan diri dan menutup kedua matanya kembali.

   lalu mengint ai dari cela-cela pelupuk mata mengikuti gerak-gerik mereka berdua.

   Yang sedang membungkuki bongkaran peti, seseorang yang berperawakan kurus-kering.

   Sedang yang lain, berperawakan pendek-gemuk dan berdandan sebagai pendeta.

   Orang inilah yang tadi kena pukulannya.

   'Dalam pertapaan ini terdapat benda berharga apa, sampai mereka menggerayangi tempat ini?' pikir Lingga W isnu di dalam hati dengan mendongkol.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   'Paling-paling aku mempunyai sisa uang seratus perak pemberian guru sebagai bekal perjalanan.

   Jangan-jangan mereka justru musuh-musuh ayah yang mencium beradaku disin i.

   Celaka kalau begitu! Belum lagi aku turun gunung, sudan kedahuluan ...

   Tetapi, mengapa mereka t idak lantas membunuhku saja? Apa perjlu menggeledahi peti pakaianku? Pastilah ada yang dicarinya.

   Aku dibiarkan hidup untuk persediaan, manakala mereka tak dapat menemukan barang yang dicarinya lantas mereka akan mengcmpes mulut ku.

   Kalau begitu, apakah musuhmusuh guruku? Melihat gerak- geriknya, mereka bukan orang sembarangan.

   Sambil berpikir pulang-balik, Lingga W isnu mencoba merenggutkan t ali pengikat.

   Ia mengerahkan tenaganya dengan diam-diam.

   Ia terkejut setengah mati.

   Ternyata tenaganya punah sama sekali Pada saat itu sekonyongkonyong, si gemuk yang berdandan sebagai pendeta berteriak kegirangan .

   "Cocak Obar-abir! In i dia!"

   Si kurus, yang dipanggil Cocak Obar-abir, menoleh.

   W ajahnya berubah cerah.

   Ia melihat kawannya sedang menyeret peti besi dari kolong pembaringan.

   Itulah peti besi w arisan Bondan Sejiwan.

   Berdua, mereka mengangkat peti besi itu, dan diletakkan di atas meja.

   Dengan berbareng mereka membuka tutup besi itu, serta mengeluarkan se

   Jilid kitab. Setelah pelita didekatkan, terbacalah judul buku itu. Kitab sakti Rahasia Keluarga Setan Kobar. Begitu terbaca judulnya, mereka lantas tertawa berkakakan dengan riuh.

   "Kakang Gumuling! Benar dugaanmu. Ternyata memang berada di sini!"

   Cocak Obar-ab ir berseru girang.

   "T ak sia-sia usaha kita selama lima belas t ahun. Akhirnya ketemu juga I"

   Gumuling tertawa lebar.

   Lebar sekali.

   Lalu dengan pandang melotot ia membuka-buka lembarannya yang penuh dengan huruf-huruf kecil, peta serta gambargambarnya.

   Saking garangnya ia sampai menggarukgaruk punggung daun telinganya.

   Sekonyong-konyong Cocak Obar-abir berteriak kaget.

   "Hai! Mau lari ke mana?"

   Sambil berteriak demikian, ia menuding ke arah Lingga W isnu.

   Pemuda ini jad i terkejut.

   Ia menyadari bahw a sikap pura-puranya ketahuan dan saat itu, Gumuling melihat pula kearahnya.

   Di luar dugaan, Cocak Obar-abir menggerakkan tangan kanannya.

   Sebentar saja, dan punggung Gumuling tertancap sebilah belati sampai ujungnya muncul didadanya.

   Setelah itu, Cocak Obar-abir meloncat mundur sambil menghunus pedangnya.

   Ia bersikap membela diri dengan mengandalkan pedangnya pada tenggorokan Gumuling.

   Gumuling kaget kena tikam belati dengan mendadak.

   Ia menoleh.

   Kesan wajahnya tak terlukiskan.

   Terkejut, menyesal, benci, muak, mengutuk, menangis dan dendam.

   Sesaat kanudian tertawa kosong melolong.

   Lalu berkata .

   "Hoaha ... hoaha ... Limabelas tahun kita mengikat persahabatan. Limabelas tahun bersatu padu mencari ini ... Sekarang berhasil... hoaha lalu ... saudara yang mulia hati hendak mengangkangi sendiri ... Benar-benar adil ..... Hoaha ... Kenapa belum-belum sudah menurunkan tangan jahat ... ha .. ha .. ha ... hi ..."

   Itulah suara t ertawa yang hebat dan seram kesannya, sampai Lingga W isnu bergidik seluruh bulu romanya.

   Ia melihat Gumuling menggerakkan tangan kanannya hendak mencabut belati yang menancap punggung sampai menembus dadanya.

   Akan tetapi tangan itu tak berhasil mencapai punggungnya.

   Dengan serta merta ia mendorong ujung belati yang menembus dadanya, ke dalam.

   Dan pada saat itu ia memekik tinggi.

   Ia roboh terguling.

   Terlihat kakinya berkelojotan sebent ar.

   Lalu terdiam ...

   Cocak Obar-abir menunggu beberapa saat lamanya.

   Ia khawatir, temannya itu lagi menggunakan tipu-muslihat.

   Lantas saja ia menikamkan pedangnya dua kali berturutturut untuk meyakinkan hatinya.

   Dan menyaksikan hal itu, seluruh tubuh Lingga W isnu menjadi panas dingin.

   Alangkah kejam orang itu sampai tega membunuh sahabatnya sendiri! "Kakang Gumuling, maaf."

   Tiba-tiba Cocak Obar-abir berkata.

   "Kita tidak hanya bersahabat saja, t etapi kitapun sesama saudara seperguruan. Ilmu kepandaianmu berada diatasku. Seumpama aku tidak mendahului engkaupun akan membunuhku iuga. Karena itu, terpaksa aku.. Humm!"

   Mendengar perkataan Cocak Obar-abir, hati Lingga W isnu tambah bergidik.

   Jadi, bukan hanya sahabat? Mal han sesama saudara seperguruan! Alangkah bengis oAng ini! Benar-benar bengis dan kejam! Cocak Obar-abir sebenarnya tidak t ahu bahwa Lingga W isnu sudah sadar semenjak tadi.

   Dua kali ia tertawa seram.

   Lalu ia menyentil angus sumbu pelita agar nyalanya jadi bertambah terang.

   Kemudian ia mengambil meja dan membolak-balik lembaran kitab.

   'Kitab Sakti Rahasia Keluarga Kobar.

   Dia begitu bergembira, sehingga membaca dengan mulutnya.

   Lalu berkata .

   "Bondan Sejiwan! Mengapa engkau menamakan ilmu saktimu dengan istilah 'Setan Kobar?' Bukankah ini rahasia ilmu sakti Kebo W ulung yang kau banggabanggakan? Eh, kau bisa membadut juga..."

   Kembali lagi ia membuka-buka lembaran kitab sakti.

   Diantaranya terdapat dua tiga halaman yang saling menempel dan melekat lantaran tersimpan terlalu lama.

   Cocak Obar-abir lantas menempelkan jari tangannya ke lidahnya.

   Dengan kuluman ludahnya itu, ia melepaskan lembaran-lembaran yang berlengket.

   Demikianlah yang dilakukan berulangkali, set iap kali ia menjumpai lembaran- lembaran yang ber lengket.

   Tiba-tiba teringatlah Lingga W isnu, bahwa kitab yang berada di peti besar itu beracun.

   Karena kitab itu sesungguhnya kitab yang palsu.

   Kalau begitu, Cocak Obar-abir bakal keracunan.

   Teringat akan hal itu, ia kaget.

   Tak kehendakinya sendiri ia berseru tertahan.

   Mendengar suara Lingga W isnu, Cocak Obar-abir menileh.

   Tepat pada saat itu pandangnya tertumbuk pada kedua mata Lingga W isnu yang mengabarkan rasa takut.

   Lantas saja ia bangkit dari kursinya.

   Kemudian menghampiri mayat Gumuling yang mati menelungkup! lantai.

   Dicabut nya pisau belatinya yang tertancap dipunggung Gumuling.

   Setelah itu ia menghampiri L ingga W isnu.

   "Kita berdua sebenarnya tidak pernah bermusuhan."

   Katanya dengan suara bengis.

   "A kan tetapi pada hari in i, terpaksalah aku membunuhmu."

   Hebat ancaman kedua matanya.

   Sambil mengangkat pisau belati, ia tertawa melalui hidungnya dua kali berturut-turut.

   Selagi hendak menancapkan pisau belatinya kepada Lingga W isnu, sekonyong-konyong ia seperti teringat sesuatu.

   Ia membatalkan niatnya, kemudian berkata .

   "Jika aku lant as saja membunuhmu, sampai d iahirat engkau pasti belum mengerti sebab-sebabnya. Aku datang dari keluarga Dandang Mataun. Namaku sendiri Cocak Obar-abir, Kami sekeluarga bermusuhan dengan Panyuluh Bondan Sejiwan. Baik kami maupun dia sudah memutuskan tak sudi hidup bersama dalam kolong langit ini. Kami atau dia yang harus mati. Hal itu disebabkan karena ia memperkosa adik seperguruanku. Kemudian kabur kenari. Belasan tahun lamanya aku mencarinya hampir ke seluruh penjuru dunia. Tak tahunya, ia meninggalkan warisan kepadamu. Entah apa. hubunganmu dengan dia. Yang terang apabila engkau tidak kubunuh, di kemudian hari akan membuat onar saja. Karena itu, biarlah kau menuntut balas kepadaku, setelah menjadi hant u. Carilah aku ke dusun Popongan, tempat bersemayam keluarga Dandang Mataun! Ha-haha!"

   Belum lagi Cocak Obar-abir mendpup mulutnya, mendadak ia limbung.

   Ia terhuyung huyung mengarah Lingga W isnu.

   Keruan saja Lingga W isnu terkejut bukan main.

   Inilah saat-saat yang menentukan mati-hidupnya.

   Seketika itu juga datanglah tenaganya secara gaib.

   Terus saja ia merenggutkan tali pembelenggu tangan dan kakinya.

   Entah dari mana datangnya t enaga dahsyat itu.

   Barangkali demikianlah yang terjadi pada set iap mahluk hidup, apabila berada dalam bahaya yang mengancam jiwa.

   Itulah tenaga naluriah.

   Tenaga mempertahankan hidupnya.

   Dan dengan tenaga itu Lingga W isnu berhasil merenggutkan tali pembelenggunya.

   Serentak ia melompat maju, hendak mendahului menyerang.

   Tetapi sebelum dapat melakukan sesuatu, Cocak Obar-abir roboh terjengkang dengan mendadak.

   Belatinya terlempar jauh, kedua kakinya berkelojotan.

   Lalu diam tak berkutik.

   Sesaat kanudian dari mata, hidung dan telinganya mengalir darah hitam meruap-ruap mirip buih kuda kelelahan.

   Lingga W isnu tercengang.

   Itulah akibat racun kitab palsu Bondan Sejiwan.

   Pendekar besar yang sudah lama pulang ke alam baka itu masih bisa merenggut jiwa manusia yang sebentar t adi masih hidup dalam keadaan segar-bugar.

   Hebat ataukah jahat dia? Dalam hal ini Lingga W isnu merasa berhutang budi.

   Coba, seumpama Cocak Obar-abir tidak mati keracunan, pastilah dirinya yang kini mati t erkapar tertancap belati seperti Gumuling.

   Dan teringat betapa Cocak Obar-abir mati t erkena racun, ia jadi kagum luar biasa terhadap perhitungan pendekar besar Bondan Sejiwan.

   Jelas sekali, Bondan Sejiwan adalah seorang pendekar yang nampaknya terlalu mengenal tabiat dan perangai musuh-musuhnya.

   Seumpama Ki Ageng Gumbrik menyaksikan kekejaman Cocak Obar-abir pula, tentu akan hilang sebagian prasangka buruknya terhadap pendekar besar yang disebut sebagai orang kapir dan munafik itu, tidak hanya membuat kitab palsu sebagai jebakan saja, tetapipun mengatur pula secermat-cermatnya agar racunnya tidak hanya menyentuh tangan belaka.

   Sedapat mungkin merasuk ke dalam tubuh.

   Dengan memperhitungkan tabiat lawan yang sangat jahat dan serakah, sengaja ia melengketkan beberapa lembar halaman diant aranya.

   Tepat sekali dugaannya.

   Lawannya menggunakan kuluman ludah sebagai pengurai halaman kitab yang berlengket.

   Dengan setiap kali menempelkan jarinya pada lidah, berarti memasukkan racun ke dalam mulut .

   Dan akhirnya matilah Cocak Obar-abir t anpa ampun lagi.

   Lingga W isnu terpaku beberapa saat lamanya.

   Tibatiba tenaganya yang tadi datang untuk sesaat, lenyap lagi.

   Dan ia kembali roboh terkulai.

   Lebih seperempat jam ia rebah tak berkutik.

   Setelah bahaya yang mengancam jiwanya lenyap, seluruh tubuhnya terasa lelah luar biasa.

   Itulah akibat pudarnya rasa tegang.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi ia sadar, bahw a dirinya tak boleh dalam keadaan demikian terlalu lama.

   Rumah terlalu sunyi dan mengerikan.

   Dengan t ak munculnya paman gagu sekian lamanya, pastilah ia dalam keadaan gawat.

   Dengan sisa tenaganya ia meraba saku celana.

   Kemudian menelan obat pemunah yang tinggal beberapa butir.

   Itulah obat pemunah buatan Palupi yang dikirimkan satu tahun sekali lewat Arya Puguh.

   Meskipun belum dapat memunahkan racun Pacarkeling yang mengeram di dalam tubuhnya namun setidak-tidaknya dapat membantu kesehatannya.

   Demikian, setelah menelan obat pemunah itu, tangan dan kakinya dapat digerakkan kembali seperti sediakala.

   Segera ia lari keluar kamar dan melihat Ganjur terbelenggu dengan kedua mata terbuka lebar.

   Tubuh paman gagu itu tak bergeming.

   Cepat cepat Lingga W isnu menolong membebaskannya.

   Tak jauh dari tempat itu, Kapi dan Kutil menggeletak tak berkutik pula.

   Dengan hati cemas pemuda itu menghampiri.

   Ternyata kedua binatang itu telah terbang nyawanya akibat tangan jahat.

   Hati Lingga Wisnu terpukul penuh haru.

   Dengan kedua binatang itu ia bergaul beberapa tahun lamanya.

   Dalam hatinya, mereka berdua t ak ubah anggauta keluarganya sendiri.

   Sekarang mereka mati akibat malapetaka terkutuk.

   Jadi pekiknya semalam merupakan suara mereka yang peng habisan untuk pendengaran Lingga W isnu.

   "Apa yang telah terjadi?"

   Tanya Lingga W isnu dengan suara menggeletar.

   Paman Ganjur menjawab dengan gerakan gerakan tangannya.

   Ia menceritakan bahwa ia kena dipukul dari belakang.

   Sebelum dapat melawan ia sudah kena belenggu.

   Gerakan-gerakan tangannya mewartakan pula, bahw a hidungnya mencium bau-bauan yang melumpuhkan tenaganya.

   Lingga Wisnu tak berkata lagi.

   Satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah menghela napas.

   Pengalaman si Ganjur tiada bedanya dengan pengalamannya sendiri.

   Tatkala pagi hari tiba, dengan bantuan Ganjur, Lingga W isnu membawa keluar mayat Cocak Obar-abir dan Gumuling untuk dikuburkan di halaman.

   Teringat akan peti besi yang membawa bencana, ia membawanya keluar pula dan dimasukkannya ke dalam liang kubur sekali.

   Kemudian ia mengubur pula si Kapi dan si Kut il tak jauh dari kuburan Cocak Obar-abir dan Gumuling.

   Pada malam harinya, oleh rasa sunyi Lingga W isnu teringat akan pengalamannya.

   Ia bergidik dengan sendirinya, apabila terbayang ancaman yang sangat berbahaya itu.

   Tatkala peti besi W arisan Bondan Sejiwan diketemukan, ia belum lagi berumur duapuluh tahun.

   Kini umurnya menanjak hampir duapuluh tiga tahun.

   Oleh.

   kesibukan latihan-latihannya, hampir saja ia melupakan tentang peti besi tersebut.

   Sekarang, setelah menyaksikan betapa Cocak Obar-abir saling memperebutkan dan saling mencurigai, hatinya tergerak untuk melihat isi kitab warisan yang asli.

   Pikirnya di dalam hati .

   'Limabelas tahun lamanya, mereka mencari terus menerus.

   Mereka saling mengadu jiwa.

   Seumpama wari an pendekar Bondan Sejiwan t idak berharga sekali, tak bakal terjadi demikian.

   Sebenarnya, apakah yang tertulis dalam kitab itu?' Tiba-tiba teringatlah pula Lingga W isnu kepada katapkata kedua gurunya yang melarangnya membaca isi kitab warisan pendekar luar biasa itu.

   Ia jadi berbimbang-bimbang sekian lamanya.

   Dalam hajinya timbul suatu pertengkaran yang seru.

   Akhirnya ia menjenguk kolong pembaringan.

   Peti besi kecil itu, disimpannya di sebelah dalam, peti yang besar.

   Karena terletak di dalam, peti kecil itu teraling oleh peti besar sehingga t ak terlihat Gumuling.

   Orang yang bernasib sial itu rupanya t ergugah napsunya begitu melihat peti besar berada di depan matanya.

   Lingga W isnu menyeret peti kecil itu.

   Peti tersebut sudah berdebu dan bergalagasi.

   Dengan hati-hati ia mengambil kitab warisan yang asli.

   Ia membuka-buka halamannya dan memperhatikan semuanya dengan sungguh sungguh.

   Dalam hal ilmu pukulan dan cara melepaskan senjata rahasia keterangannya jauh berbeda dengan ajaran Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi Sambang Dalan.

   Bedanya terletak pada kelicinannya.

   'Hampir saja aku mati di tangan orang jahat.

   Bagaimana aku harus melayani orang-orang semacam mereka, kalau aku nanti sudah turun gunung?' pikirnya di dalam hati.

   'Kenapa aku t idak mau mempelajari warisan ini? Setidaknya unt uk pembelaan diri.

   Kecuali itu sebagai tambahan pengetahuan pula.

   Pastilah ada harganya dari "pada sama sekali t idak mengetahui.' Oleh pikiran ini, Lingga W isnu lalu membacanya dengan teliti, cermat dan seksama.

   Diperhatikan gerakgerik letak kaki dan tangan yang tertera pada gambar.

   Tiga hari tiga malam ia membaca terus-menerus.

   Makin lama keterangan-keterangannya, gambar dan titik-tolak gerakan jurus-jurusnya terasa asing baginya.

   Syukurlah, ia memiliki pembawaan alam yang cerdas luar biasa.

   Sekali mendengar, apalagi sampai bisa membaca, lantas saja meresap dalam ingatan dan perasaannya.

   Dahulu, tatkala berada di atas rumah perguruan Argapura, ingatannya bisa menangkap ajaran Panembahan Panyingkir dengan sekali mendengarkan saja, sehingga mengejutkan tokoh rahasia itu.

   Juga tatkala berada di atas gunung Merapi.

   Ia memiliki ilmu ketabiban yang tinggi, berkat diperolehnya lew at mimpi belaka.

   Demikian pula kali ini.

   Tanpa guru, otaknya yang cerdas luar b iasa, menolongnya.

   Pada hari ke-empat, ia sudah dapat melakukan pelbagai ilmu pukulan menurut ajaran kitab pendekar Bondan Sejiwan menghadapi suatu kesulitan.

   Itulah pada bagian pelajaran yang tiada contoh-contoh gambarnya sama sekali.

   Ia mengulangi lagi dan membaca lebih tertib dan seksama.

   


Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini