Senopati Pamungkas 13
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 13
Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto
Bisa dimengerti kalau dalam berlari kencang, Gendhuk Tri seperti berputar-putar di dalam hutan.
Baru setelah menyadari, Gendhuk Tri memilih jalan yang paling dekat ke Keraton.
Untuk tidak mudah dikenali Upasara, Gendhuk Tri menyamar sebagai lelaki desa.
Ia menambahi dengan kumis yang dipotongkan dari sebagian rambutnya.
Barulah dengan begitu Gendhuk Tri merasa aman.
Kalau banyak orang, Gendhuk Tri berjalan sebagaimana biasa.
Kalau sepi, baru melatih ilmu meringankan tubuh.
Bergegas.
Jalan yang ditempuh ialah meniti sepanjang Kali Brantas.
Walau tidak mau memikirkan, namun setiap kali Gendhuk Tri merasa Kakang Upasara-lah yang berada di sekitarnya.
Kadang seseorang yang berjalan disangka Upasara, sehingga ia bersembunyi.
Kadang bayangan pohon bergerak saja membuatnya berpikir bahwa itu adalah bayangan kakangnya! Satu-satunya jalan bagi Gendhuk Tri ialah tidak mau menyendiri.
Agar jalan pikirannya tidak menukik ke arah Upasara.
Di keramaian pasar, Gendhuk Tri sengaja berlama-lama.
Kalau ada kerumunan tertentu, ia akan memperhatikan dengan saksama.
Walaupun berdandan sebagai orang tua, Gendhuk Tri sering lupa.
Pernah ketika makan di warung, kumisnya terlepas ketika bersin.
Terpaksa Gendhuk Tri segera melemparkan uang pembayaran dan kabur dengan cepat.
Setelah memperbaiki dandanannya dan kini pura-pura menjadi wanita tua ia datang kembali.
Sekadar untuk mengetahui apakah kini ia masih dikenali.
Betapa gelinya ia mendengar kisahnya diceritakan kembali.
Dan ia masih tetap dianggap aneh.
Karena ternyata selama ini boleh dikatakan tak ada wanita yang datang ke warung.
Peminta-minta pun tidak.
"Makanya kalau masih muda, kawin saja. Agar dirawat anakmu."
Gendhuk Tri jadi panas.
Ingin segera menyabetkan selendangnya, menghajar omongan yang menyakitkan.
Tapi kalau itu dilakukan, berarti membuka penyamarannya.
Dan bisa berarti Upasara, kakangnya, akan mengetahui! Bukankah kakangnya tahu siapa yang mampu menggebrak dengan selendang? Gendhuk Tri merasa sayu setiap kali mengingat bahwa pikirannya selalu tertuju ke arah Upasara Wulung.
Makin lama makin sering.
Juga dalam lamunan maupun impian.
Betapa berat tanggungan jiwa Gendhuk Tri.
Ternyata perpisahan dengan Upasara lebih menyakitkan dari yang dibayangkan.
Perpisahan bisa berjalan pendek.
Tapi kerinduan sangat panjang.
Untuk melepaskan pikiran ke arah Upasara, Gendhuk Tri kembali mendatangi kerumunan.
Namun sekali ini hatinya bercekat.
Karena kerumunan kali ini bukan kerumunan biasa.
Ada pertarungan di pinggir kali.
Sewaktu Gendhuk Tri mendekat, darahnya berdebar sangat kencang sekali.
Tubuhnya menggigil.
Bukan karena pertarungan ini dilakukan jago kelas satu, akan tetapi terutama karena Gendhuk Tri mengenali siapa yang bertarung! Agaknya kini telah memasuki saat-saat yang menentukan.
Rantai berat yang bergulung itu adalah senjata andalan Adipati Lawe.
Gendhuk Tri tentu saja mengenali Adipati Lawe, sejak pertemuan habis-habisan dengan pasukan Tartar.
Adipati Lawe saat itu ikut berada di atas benteng dalam pertempuran mati hidup! Dan juga ikut melabrak kembali ke Perguruan Awan.
Lebih mengejutkan lagi karena yang dihadapi adalah Senopati Anabrang.
Dua pedangnya berusaha menangkis setiap tindihan yang datang.
Senopati Anabrang sudah makin terdesak ke pinggir sungai.
Ditonton begitu banyak prajurit Majapahit yang mengelilingi medan pertarungan, Gendhuk Tri tadinya menduga bahwa kedua senopati ulung itu tengah berlatih.
Akan tetapi melihat jurus-jurus maut dari keduanya, jelas ini pertarungan mati-hidup.
Adipati Lawe bahkan tidak memperhitungkan tusukan dua pedang.
Rantai berbandul dimainkan bagai bandringan, mainan kanak-kanak dari tali yang diberi beban ujungnya.
Hanya saja ini adalah bandringan maut.
Gendhuk Tri tahu bahwa Adipati Lawe yang dikenal ini mampu memainkan berbagai jenis senjata, teristimewa senjata yang bobotnya berat.
Bola besi yang dimainkan bisa berputar bagai kitiran.
Sebentar menyapu kaki, sebentar menyapu batok kepala.
Kesiuran anginnya begitu panas menyayat.
Senopati Anabrang berusaha menghindar, akan tetapi ruang geraknya makin sempit! Bandul Adipati Lawe yang menyerempet air sungai, seakan bisa menghentikan seluruh aliran untuk sementara.
Benar-benar luar biasa.
Mendadak Gendhuk Tri merasa bahwa pertempuran mendekati titik yang menentukan.
Gasakan Adipati Lawe makin tak tertahankan.
"Tongkring. Mati kamu."
Bandul itu menghantam dengan sentakan keras.
Dari bawah ke atas.
Yang diarah dagu Senopati Anabrang yang kehilangan keseimbangan.
Sentakan ini pasti di luar dugaan, karena nampak Senopati Anabrang justru menangkis dengan kedua pedangnya.
Gendhuk Tri menjerit.
Kedua pedang itu terjerat dalam rantai dan terlepas! Akan tetapi meskipun demikian, Senopati Anabrang berhasil menyodok dada Adipati Lawe.
Adipati Lawe malah membusungkan dada.
Kini bandul rantainya berkibaran di angkasa.
Menimbulkan angin yang siap mencabut nyawa.
Senopati Anabrang berusaha mengambil keris sebagai usaha terakhir untuk mempertahankan diri.
"Tongkring!"
Teriakan menyayat Adipati Lawe.
Gendhuk Tri hampir tak percaya.
Adipati Lawe yang dikenalnya, mendadak justru terhuyung-huyung.
Keris Senopati Anabrang amblas ke dada Adipati Lawe sampai ke gagangnya.
Darah muncrat ke air sungai.
Gendhuk Tri menjerit.
Karena justru Senopati Anabrang mencabut keris yang sudah amblas, dan menusukkan berulang kali.
Tubuh Adipati Lawe menggeliat.
Setiap kali akan ambruk, ditusuk dengan genjotan yang keras.
Jeritan Gendhuk Tri bukan hanya karena Senopati Anabrang berlaku kejam kepada lawan yang telah kalah, akan tetapi sentakan tenaga mendadak Senopati Anabrang mengingatkannya pada tenaga Upasara Wulung.
Itulah tenaga dalam Penolak Bumi.
Yang muncul menggelora ketika terdesak.
Jeritan Gendhuk Tri menyayat hatinya.
Betapa sedih andai Upasara mengetahui bahwa sebagian tenaga dalamnya maha telengas.
Keris Kebo Dendeng KEKUATIRAN Gendhuk Tri sangat beralasan.
Ia sendiri merasakan ampuhnya tenaga dalam yang dipindahkan dari tubuh Upasara.
Kalau yang maha racun saja dimusnahkan, apalagi dipakai untuk menambah tenaga! Gendhuk Tri mendengar cerita dari Nyai Demang dan sebagian dari Wilanda.
Bahwa Senopati Anabrang bisa membebaskan diri dari barisan Gandring karena terdorong oleh tenaga dalam pemberian Upasara.
Agaknya tenaga pemberian itu belum bisa menyatu sepenuhnya dalam diri Senopati Anabrang, sehingga penguasaannya belum sempurna.
Kadang bisa dikerahkan, kadang tidak.
Atau juga karena sifat tenaga itu sendiri.
Dalam Kitab Penolak Bumi, cara pengaturan napas dimulai dengan penolakan atau peniadaan.
Sehingga sangat mungkin sekali tenaga itu melonjak sendiri di saat Senopati Anabrang sangat terdesak.
Di saat tak mempunyai pilihan lain.
Ini yang tak disadari Adipati Lawe.
Justru di saat kemenangan sudah di tangan, mendadak ada tenaga panas yang menghalau, dan mendadak keris Senopati Anabrang menghunjam dadanya.
Dengan tenaga penuh yang tak mungkin ditangkis! Akibatnya memang parah.
Lebih dari itu semua adalah kenyataan bahwa Senopati Anabrang sendiri seperti tidak yakin dengan tusukan pertama, kedua atau ketiga.
Sehingga berulang kali keris pusakanya ditusukkan, sehingga tubuh Adipati Lawe seperti dicincang.
Gendhuk Tri hanya bisa menduga sepasang pedang, seorang yang biasa memainkan sepasang pedang, kepercayaannya kepada senjata andalannya lebih dari senjata lain yang digunakan.
Seperti dirinya, Gendhuk Tri lebih mempercayai sabetan selendangnya dibandingkan menggunakan senjata lain.
Padahal keris yang digunakan Senopati Anabrang bukan sembarang keris.
Keris itu berlekuk lima, umumnya disebut keris Pandawa.
Mengingatkan tokoh wayang dari Amarta yang lima ksatria bersaudara.
Namun berbeda dari keris Pandawa, seperti Pandawa Lare atau Pandawa Bakung yang memakai banyak hiasan dan pernik-pernik, keris Kebo Dendeng adalah keris berlekuk lima yang lugas.
Tanpa hiasan apa pun.
Bahkan bagian sogokan, bagian tengah keris yang biasanya diisi dengan hiasan atau campuran besi tertentu, dibiarkan kosong.
Nampak berlubang.
Keistimewaan keris Kebo Dendeng, terutama karena ketajamannya.
Bentuk yang nyaris tanpa hiasan itu juga menunjukkan bahwa keris ini tidak memerlukan kerumitan dalam penggarapan dan pemakaian.
Keris Kebo Dendeng sangat cocok bagi Senopati Anabrang, karena sebenarnya ia banyak menggunakan pedang.
Sejak berkelana ke tlatah Melayu, Senopati Anabrang boleh dikatakan selalu mempergunakan pedangnya.
Hanya saja, sebagai ksatria dari tlatah Jawa.
Keris tak pernah ditinggalkan atau ditanggalkan.
Memainkan keris hampir menjadi kemampuan pertama siapa pun yang terjun ke gelanggang atau bahkan ketika belajar ilmu kanuragan.
Ada yang menekuniseperti Upasarasebelum akhirnya lebih suka memainkan tangan kosong.
Ada yang mengganti dengan senjata yang lain.
Namun rata-rata bisa memainkan keris dengan baik.
Adipati Lawe pun bisa menangkis dengan baik.
Andai tidak dikagetkan dengan tenaga panas yang menyusup masuk! Pekikan dan jeritan terdengar setiap kali Senopati Anabrang menghunjamkan keris Kebo Dendeng.
Gendhuk Tri merasa ngeri.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena di sekelilingnya adalah prajurit-prajurit dalam keadaan siaga perang.
Karena menyadari bahwa prajurit Tuban yang berdarah panas dan sebagian prajurit dari tlatah Madura tak akan berdiam begitu saja melihat pahlawannya, melihat senopati agul-aguling jurit, senopati yang diunggulkan para prajurit, ditikam secara kejam di depan mata.
Ini juga berarti bahwa prajurit Keraton di bawah pimpinan Senopati Anabrang tak bakal tinggal diam.
Dengan kata lain, pertempuran ganas siap membuka.
Dan Sungai Tambak Beras, bagian dari Kali Brantas, akan berubah warna menjadi warna darah! Ini hanya soal waktu saja.
Gendhuk Tri menggigil.
"Anabrang, cukup!"
Suatu bayangan mengeluarkan teriakan lolongan nyaring, seiring dengan tubuh yang melayang.
Gendhuk Tri merasa dadanya makin sesak.
Bayangan tubuh Mpu Sora yang perkasa melayang sambil mengeluarkan bunyi berdenging yang tinggi.
Luapan kemurkaan akan tetapi juga pengerahan tenaga sampai puncak.
Jurus Lebah Hantu menyerbu.
Mpu Sora sadar bahwa yang dihadapi adalah Senopati Anabrang yang sedang kalap.
Mpu Sora juga mengetahui bahwa Senopati Anabrang seperti menyimpan kekuatan gaib pada saat terdesak.
Maka jurus Bramara Bekasakan yang ganas menyerbu tanpa memperhitungkan keselamatan diri.
Senopati Anabrang mendongak kaget.
Dengan tangan masih memegang keris Kebo Dendeng yang berlumuran darah segar, Senopati Anabrang meloncat ke angkasa.
Menyongsong Mpu Sora! Sambil menggertak nyaris kerisnya menembus ulu hati! Mpu Sora meninggikan suara dengingannya, dan memutar tubuh, menyambut serangan Senopati Anabrang, berganti dengan jurus Bramara Braja, atau Lebah Topan, atau Topan Lebah, yang menyerbu dan mengurung bagai badai.
Dua, tiga, empat sengatan membuat Senopati Anabrang merasa kesemutan.
Menyadari bahaya, Senopati Anabrang meloncat ke tengah sungai untuk melepaskan diri dari kerubutan lebah.
Sebab menurut cerita, lebah-lebah tak akan menerjang orang yang bersembunyi di sungai! Sambil meloncat ke tengah sungai, yang pasti tak diperhitungkan Mpu Sora, Senopati Anabrang menyabetkan kerisnya ke arah belakang.
Inilah kesalahan utama! Gendhuk Tri mengeluarkan pekikan sambil menutup mulutnya.
Gerakan Senopati Anabrang jelas mengundang bahaya maut.
Dalam keadaan membelakangi lawan, Senopati Anabrang berusaha menyerang.
Padahal jelas yang dihadapi adalah lawan tangguh yang memainkan serangan maut.
Dan Senopati Anabrang tidak terlalu mahir dalam serangan sambil membalik.
Dasar-dasar ilmu silatnya tidak memiliki kembangan, atau bunga-bunga hiasan semacam ini.
Kekuatan utama jurus-jurus Senopati Anabrang tak berbeda jauh dari ilmu silat Galih Kaliki.
Mengandalkan ketangguhan, bukan ketangkasan.
Gendhuk Tri sempat berpikir, apakah Senopati Anabrang terlalu menganggap enteng Mpu Sora? Ataukah karena yakin bahwa tenaga dalamnya masih dikuasai dan mendesak-desak? Sebelum jawaban dalam hati Gendhuk Tri terasakan, apa yang dilihat di depan mata merupakan jawaban nyata! Benar apa yang dijeritkan! Menghadapi sabetan keris, Mpu Sora menangkis maju dengan meneruskan jurus Bramara Braja.
Tangan kanan yang bergulung menangkis tangan Senopati Anabrang dengan keras.
Keris menjadi berbalik arah.
Amblas ke punggung Senopati Anabrang, dengan ujung mencuat dari dadanya.
Teriakannya meninggi sebelum tubuhnya amblas ke Sungai Tambak Beras.
Anak sungai yang cukup deras itu seketika berubah warnanya.
Dalam beberapa kejap tubuh Senopati Anabrang diapungkan kembali.
Tanpa bergerak lagi.
Kejadian berlangsung sangat cepat sekali.
Mpu Sora turun ke tanah.
Dan untuk beberapa saat tak bergerak.
Seolah tertegun dengan apa yang terjadi.
Dalam sekelebatan terjadi pertarungan batin yang tak kalah serunya dengan apa yang baru saja terjadi.
Biar bagaimanapun ia adalah senopati unggulan Keraton.
Mempunyai wibawa dan kehormatan.
Mpu Sora juga ksatria yang menjunjung tinggi sifat-sifat luhur, pun dalam pertarungan.
Sehari-hari ia mencoba berlaku adil.
Bahkan keinginan-keinginan pribadi ditenggelamkan untuk ketenteraman dan keamanan Keraton.
Puncak pengabdiannya ialah ketika begitu banyak suara mendukungnya untuk menduduki jabatan mahapatih, Mpu Sora menolak secara tegas.
Pangkat, derajat, dan kehormatan seperti itu bukan yang dikejar mati-matian dalam hidupnya.
Melainkan pengabdian.
Namun peristiwa yang baru saja terjadi, justru melumuri dengan kehinaan.
Apa pun alasan yang bisa dikemukakan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi, tetap tak mengubah fakta bahwa Senopati Anabrang tewas oleh tangannya, dengan keris menancap di punggung! Seolah serangan dari belakang.
Seperti mati karena dibokong! Lebih menyulitkan lagi, karena dalam hal ini Mpu Sora adalah paman Adipati Lawe.
Masih ada hubungan darah secara langsung.
Salah-salah, dirinya dituduh mengeroyok! Kemenangan yang sangat hina.
Tapi sesungguhnya, itulah yang terjadi.
Gerhana adalah Purnama bagi Durjana PUNDAK Mpu Sora turun.
Tangannya lunglai.
Pandangannya menatap prajurit yang mengangkat tubuh Senopati Anabrang untuk dirawat di tepian.
Sementara prajurit Tuban juga merawat tubuh Adipati Lawe yang tidak keruan wujudnya.
Kemelut dalam hati Mpu Sora makin berkabut.
Tarikan napasnya yang dalam tak segera diikuti oleh embusan.
Mpu Sora masih tergetar dan berdiri luruh untuk beberapa saat.
Adalah di luar perkiraannya, bahwa Senopati Anabrang akan menerjang dengan ganas ketika mengundurkan diri.
Sehingga berakibat fatal.
Sejak semula Mpu Sora hanya ingin menghentikan Senopati Anabrang yang mencincang tubuh Adipati Lawe.
Darah ksatria tak bisa membenarkan itu.
Kalah dan menang dalam pertarungan adalah hal yang lumrah.
Yang akan selalu terjadi.
Karena dari sinilah diketahui siapa yang lebih unggul.
Akan tetapi mencabik-cabik tubuh lawan yang sudah kalah, adalah di luar batas kemanusiaan yang bisa diterima Mpu Sora.
Mpu Sora tetap akan mencegah kalau itu terjadi pada musuh yang paling dibenci sekalipun.
Tindakan ini semata-mata bukan karena yang diperlakukan secara kejam adalah keponakannya.
Tidak, Mpu Sora tidak menyesali apa yang terjadi.
Mpu Sora merasa siap dan merasa ikhlas menerima hukuman apa pun karena pembunuhan ini.
Karena apa pun, ia bisa dianggap membunuh.
Senopati Mahisa Anabrang tidak kalah dalam pertempuran.
Tuduhan kehinaan itu akan diterima.
Tak akan dibantah.
Mpu Sora tak akan membela diri.
Mpu Sora getun, menyesal dalam, karena ini bukan akhir yang diinginkan.
Tak pernah terlintas sedikit pun bahwa akan berakhir seperti sekarang ini.
Dua senopati utama Keraton tewas.
Bukan dalam menghadapi pasukan Tartar.
Bukan ketika mempertahankan Keraton, bukan ketika berbakti kepada tanah dan air yang menghidupi.
Melainkan dalam pertarungan dengan pamrih pribadi.
Dan ia terlibat di dalamnya.
Tangannya sendiri ikut berlumuran darah! Sungguh tragis.
Mpu Sora telah menempati kedudukannya di Dahanapura.
Dengan kesetiaan pengabdian, tanpa rasa penyesalan atau meremehkan pekerjaan.
Mengabdi kepada Bagus Kala Gemet, sang Putra Mahkota.
Saat itu Mpu Renteng mengadakan kunjungan.
Setelah berbicara mengenai keadaan masing-masing, Mpu Renteng menyinggung mengenai kabar yang telah tersiar luas.
"Kakang Sora pasti sudah mengetahui."
"Daha sekarang ini adalah dusun yang kecil. Tetapi saya merasa tenteram di sini, karena tidak mendengar kabar-kabar yang membuat tidur tak nyenyak, makan tak enak."
"Kakang jangan salah tampa.
"Saya tidak ingin mengusik batin Kakang Sora. Lahir-batin saya mengerti perasaan Kakang.
"Hanya saja saya mendengar dan melihat sendiri, bahwa Senopati Anabrang membawa para prajuritnya untuk menemui Adipati Lawe."
"Ah, itu soal lama. Kenapa tak jemu-jemu mempersoalkan nasi yang telah basi?"
"Kakang, saya kuatir bahwa pertentangan ini memuncak. Pertanda yang buruk bakal terjadi. Beberapa hari lalu saya bermimpi ada gerhana di Keraton kita. Bulan tak bersinar karena tertutup bayangan hitam.
"Bayangan itu menutupi Anakmas Lawe, juga menutupi Kakang."
"Aku tak mau menceritakan, tetapi aku mengalami impian yang sama. Aku cemas.
"Cemas karena dalam gerhana, merupakan purnama bagi yang berhati durjana. Justru saat gelap, para pengkhianat melihat kesempatan terang untuk melihat."
Untuk tidak terlalu mencolok dan meninggalkan kesan yang kurang tepat mengenai hubungan mereka berdua, Mpu Renteng pamit kembali ke Keraton.
Mpu Sora masih termenung.
Baru kemudian meminta izin Putra Mahkota Kala Gemet untuk pergi ke desa Tampak Beras.
Bersama dengan rombongan kecil, Mpu Sora akhirnya berangkat.
Yang pertama ditemui adalah keponakannya.
"Kata-kata telah diucapkan, Paman.
"Tantangan telah dilantangkan. Saya tak mempunyai lidah yang panjang untuk menelan kembali ludah yang sudah jatuh ke tanah."
"Lawe, keponakanku yang gagah.
"Jangan kamu lihat diriku. Tetapi lihatlah ramamu. Yang akan prihatin sekali dan makin mengasingkan diri di dalam Keraton kalau melihat ini semua.
"Kemenangan apa yang kamu cari? "Kekalahan apa yang belum kamu hindari?"
Adipati Lawe menyembah.
"Bahkan andai Baginda Raja yang datang, saya tak akan mundur. Hanya kalau Anabrang sendiri datang dan meminta maaf, saya akan kembali ke Tuban dengan tenang."
Mpu Sora mengetahui tabiat keras keponakannya yang tak bisa ditekuk sedikit pun. Masih ada sedikit harapan ketika Mpu Sora menemui Senopati Anabrang dan mengutarakan maksudnya. Agar pertarungan lebih baik diurungkan.
"Saya datang untuk meminta ampunan."
Senopati Anabrang menggeleng.
"Paman Senopati Sora yang budiman.
"Adalah kehormatan besar bagi saya Paman sudi mengunjungi saya. Kita ini sudah sama-sama tua, sudah kenyang makan asam gunung dan garam laut.
"Yang bertindak kurang ajar bukan Paman Senopati Sora. Tidak layak Paman Senopati datang meminta maaf."
"Paman Senopati Anabrang, saya datang sebagai pengganti Lawe yang kurang ajar."
"Maafkan saya.
"Senopati Lawe mempunyai mulut sendiri untuk mengatakan hal itu. Satu patah kata saja bagi saya sudah cukup untuk memberi laporan yang baik kepada Baginda Raja.
"Akan tetapi justru Senopati Lawe memastikan waktu dan tempat pertarungan.
"Maaf, Paman Senopati, saya ini sudah tua. Tidak bisa membiarkan anak muda berbuat kurang ajar."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mpu Sora menarik diri.
Dan bersiap kembali ke Daha untuk menenteramkan hati.
Akan tetapi sorak-sorai para prajurit membuat langkahnya tertahan.
Pada saat itu pun Mpu Sora masih mempunyai harapan bahwa pertarungan bisa dihindarkan.
Setidaknya dihentikan di tengah jalan.
Akan tetapi semua telah terlambat.
Buah yang terlalu masak akhirnya memang busuk.
Buah yang busuk hancur ke tanah, tak berharga.
Adipati Lawe tak menyadari kekuatan Senopati Anabrang yang tersimpan.
Dan Senopati Anabrang tak memperhitungkan bahwa Brahmara Braja tak bisa dihadapi dengan membelakangi.
Terlambat! Gerhana ini telah menutupi sebagian dari wajahnya.
Gerhana yang berarti purnama bagi para durjana.
Akan tetapi siapa sesungguhnya yang mengobarkan permusuhan ini? Bagi Mpu Sora masih serba gelap.
Sama sekali tak terpikir bahwa Halayudha memainkan peranannya dengan baik.
Sama sekali tak terduga, karena Senopati Halayudha kemudian datang bersama Mpu Renteng untuk mengucapkan belasungkawa atas mangkatnya Adipati Lawe.
"Baginda Raja menyampaikan belasungkawa yang dalam. Baginda bersabda, sebaiknya hal ini tak perlu terjadi. Yang penting lagi, tak perlu terulang kembali."
"Senopati Halayudha, tolong sampaikan rasa syukur saya ke hadapan telapak kaki Baginda. Saat ini saya tengah menunggu hukuman dari Baginda. Apa pun hukuman itu, akan saya jalankan dengan rasa syukur."
Halayudha memperlihatkan wajah sangat muram. Suaranya menjadi terbata-bata.
"Duh, Senopati Agung Sora, kepercayaan Baginda Raja.
"Kenapa Paman Senopati berkata seperti itu? Bukankah itu hanya akan menyuburkan pertengkaran yang selama ini ada? "Duh, Gusti Dewa Batara! "Cobaan apa yang sedang terjadi di Keraton yang kita muliakan ini? "Sebelum saya sowan, menghadap Senopati Agung, saya rerasanan dengan Senopati Renteng. Bahwa kejadian ini bisa digunakan sekelompok durjana untuk menyebarkan berita buruk, untuk menjelek-jelekkan Senopati Sora yang perkasa.
"Bahwa sesungguhnya utang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Sesuai dengan kitab Kutara Manawa, Senopati Sora hanya bisa menebus kematian ini dengan nyawa yang sama.
"Duh, Gusti! "Apakah begitu banyak mata yang buta tak bisa membedakan antara membela diri dan membunuh? Kenapa kitab luhur keagamaan itu dibawa-bawa? Bukankah ini berarti menghendaki kematian Senopati Agung Sora sebagai suatu keharusan keagamaan suci?"
Kitab Kutara Manawa CULAS, bergetah, licik, serta menyakitkan.
Itulah inti kata-kata Halayudha.
Apa yang diutarakan secara tidak langsung, justru membungkam Mpu Sora serta Mpu Renteng, dan mendudukkan sebagai pesakitan yang berkhianat kepada tata krama Keraton.
Tata krama masyarakat yang ditulis dalam kitab Kutara Manawa.
Halayudha sangat sadar ketika menyebut kitab Kutara Manawa.
Halayudha sadar bahwa Mpu Sora sangat menyadari kitab yang telah dimaklumatkan Baginda Raja sebagai satu-satunya sumber utama untuk menjaga ketenteraman tata krama dalam pergaulan masyarakat.
Sewaktu menjadi raja, Baginda Raja pun disumpah dengan kitab yang sama dengan kesaksian bahwa kitab yang mulia Kutara Manawa adalah sumber untuk memutuskan pertikaian.
Dengan kitab yang mulia Kutara Manawa, seorang raja yang menguasai dunia, harus menjalankan isinya tanpa pandang bulu kepada siapa pun.
Sebab hanya dengan menaati apa yang tertulis, seorang raja menjadi bijaksana dan Keraton akan makmur sentosa sepanjang masa.
Sebaliknya seorang raja akan tidak adil kalau mengetahui isi kitab akan tetapi hanya menjalankan separuh-separuh.
Alamat Keraton dan pemerintahan akan kacau-balau, karena tak ada yang ditaati secara hati suci.
Halayudha tahu bagaimana bunyi sumpah yang diikrarkan Baginda Raja.
Halayudha tahu bahwa Mpu Sora yang arif juga tahu.
Bahkan lebih dari itu, Halayudha merasa bahwa Mpu Sora mengetahui kedudukan kitab Kutara Manawa, sebagai sumber perundang-undangan dasar, yang juga disebut-sebut sebagai Kitab Agama.
Begitu tinggi kedudukan moral kitab pusaka itu, karena menjadi panutan bagi semua masyarakat, tanpa membedakan darah-keturunan serta pangkat-kedudukan.
Begitu luhurnya isi kitab itu, bukan hanya karena penyebutannya dengan istilah Kitab Agama, melainkan karena sumbernya konon berasal dari tlatah Hindia, dari kitab Manawa Dharma Sastra.
Meskipun jelas banyak sekali perubahan di sana-sini yang lebih disesuaikan dengan tradisi penduduk setempat.
Bahkan nama lengkapnya kitab Kutara Manawa Dharma Sastra, menunjukkan sedikit kemiripan.
Sekurangnya menunjukkan kesucian isi kitab yang harus dijunjung tinggi.
Karena telah dibuktikan dipakai sebagai pegangan oleh beberapa raja dalam beberapa keturunan.
Melanggar isi kitab itu, berarti juga menentukan seluruh kekuasaan yang telah diatur dan disepakati dari 275 pupuh atau pasal yang telah mencakup semua persoalan.
Baik mengenai pencurian, pembunuhan, paksaan, jual-beli, gadai, mahar perkawinan, mencaci, mewarisi, perkelahian, memfitnah, semua ada aturan dan bentuk-bentuk hukumannya.
Dalam posisi ini Mpu Sora bisa termasuk melanggar pupuh mengenai pembunuhan, yaitu pupuh astadusta.
Atau bab yang menjelaskan delapan macam pembunuhan.
Dalam Kutara Manawa sudah dijelaskan bahwa delapan macam pembunuhan itu adalah.
membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh bunuh orang tak berdosa, melukai orang yang tidak berdosa.
Ini tiga macam pembunuhan dari delapan macam yang ada.
Tiga macam ini yang dianggap sangat berat, karena hukuman yang tertulis adalah.
hukuman mati! Apalagi tindakan Mpu Sora termasuk pupuh bagian pertama, yaitu membunuh orang yang tak berdosa.
Dalam kasus Senopati Anabrang tertusuk keris di bagian punggungnya, bisa diartikan sebagai pembunuhan orang yang tak berdosa.
Inilah yang disodokkan ke ulu batin Mpu Sora! "Bukankah itu sangat kejam sekali, duh, Senopati Agung Sora? Bukankah Keraton akan makin lemah, kalau justru para senopati yang gagah perwira dan banyak jasanya dihukum dengan kitab perundangan yang suci? "Duh, Dewa, kenapa bukan aku, Halayudha yang tak ada jasanya yang menerima hukuman itu?"
Halayudha kemudian menyebut-nyebut bahwa kelima macam kejahatan yang berhubungan dengan pembunuhan yang menjadi satu dalam astadusta seperti makan bersama pembunuh, mengikuti, melindungi, bersahabat, memberi tempat, memberi pertolongan, tetap ada hukumannya.
"Kalau karena menemui Senopati Agung Sora ini saya harus dihukum, saya rela sepenuhnya. Karena selama ini, walau saya tidak melihat sendiri, saya tidak menganggap Senopati Agung Sora adalah pembunuh.
"Sama sekali tidak."
Mpu Renteng menggeleng keras.
"Tidak banyak mengubah keadaan dengan menyalahkan. Karena sayalah yang sebenarnya bersalah menganjurkan Paman Sora melerai pertarungan.
"Hanya Baginda Raja yang bisa mengubah hukuman itu."
Senopati Halayudha menunduk mantap.
"Akan saya usahakan menemui Baginda Raja."
"Terima kasih..."
Ucapan Mpu Renteng terpotong oleh gelengan kepala Mpu Sora.
"Terima kasih atas perhatian Senopati Halayudha untuk melindungi saya.
"Akan tetapi saya tak bisa meminta pengampunan seperti ini. Saya akan menerima dengan tulus dan ikhlas hukuman yang lebih berat dari kematian sekalipun."
Suara Mpu Sora terdengar lantang, namun tidak menantang.
Mpu Renteng mengakui kekeliruannya.
Halayudha merasa bahwa sikap ksatria Mpu Sora tak perlu diragukan lagi.
Bahkan di saat ada kesempatan untuk memohon ampunan, hal itu tak dilakukan.
Karena bertentangan dengan sikap hidupnya! Bagi ksatria, sikap atas kehormatan dan jiwa yang besar mampu mengatasi ancaman maut! "Duh, Senopati Agung Sora, kalau saya diberi izin Senopati Sora, saya akan mengatakan kejadian yang sebenarnya.
Bahwa kejadian meninggalnya Senopati Anabrang bukanlah suatu pembunuhan seperti yang disebut pupuh-pupuh itu.
"Peristiwa ini sama sekali tidak berdiri sendiri.
"Bahwa sesungguhnya Senopati Agung Sora berniat melerai kekejaman Senopati Anabrang yang sesungguhnya tidak pantas dilakukan."
Mpu Sora menggeleng. Mpu Renteng terkesiap. Halayudha melihat kekukuhan sikap Mpu Sora tak tergoyahkan.
"Maafkan. Saya tak ingin merepotkan Senopati Halayudha. Saya mengucapkan terima kasih atas budi baik ini.
"Akan tetapi secara pribadi, saya tidak meminta Senopati Halayudha melakukan hal ini."
"Bagaimana kalau saya melaporkan sendiri?"
Mpu Sora tersenyum dingin.
"Itu kehendak Senopati, bukan kehendak saya.
"Saya tak bisa menghalangi, tak bisa mendorong."
Mpu Sora bangkit dari tempat duduknya. Pandangannya tajam menerawang.
"Bagi saya semua telah jelas. Terang benderang seperti sinar surya tengah hari.
"Tak perlu merepotkan hati."
Bagi Mpu Renteng sikap Mpu Sora memang sangat jelas.
Apa pun yang terjadi, semua akan dihadapi dengan terbuka dan ikhlas.
Sewaktu kembali ke Keraton Majapahit, Mpu Renteng memang tak bisa menjelaskan bahwa gugurnya Senopati Anabrang semata-mata karena kekeliruan, bukan kesengajaan.
Posisinya yang rapat hubungannya dengan Mpu Sora, melemahkan pembelaannya.
Apalagi ia sendiri tak berada di tempat kejadian.
Hanya yang membuat Mpu Renteng ragu ialah bahwa berita itu tersebar luas ke masyarakat dan dengan satu penilaian akhir.
Mpu Sora harus dihukum mati, sesuai dengan pupuh dalam astadusta.
Kini tinggal apakah Baginda Raja akan segera bertindak atau tidak.
Kegelisahan ini telah menyebar luas.
Menjadi hangat dalam pembicaraan para senopati.
Bahkan Mahisa Taruna, putra Senopati Mahisa Anabrang, secara terbuka mengatakan bahwa kalau Baginda Raja tetap tidak turun tangan, ia sendiri yang akan datang ke Dahanapura untuk menyelesaikan utang pati ini.
Nyata sekali pertentangan telah meluas.
Karena dengan mudah Mahisa Taruna memperluas persoalannya.
Kini bukan sekadar hukuman kepada Mpu Sora, melainkan juga menyangkut masalah yang lain.
"Aku ditinggal Rama Anabrang menjelajah Melayu selama dua puluh tahun. Hanya aku yang bisa merasakan kehilangan seorang rama yang mestinya mendidikku.
"Semua ini dilakukan demi kejayaan Keraton.
"Rama pulang kembali dengan kemenangan gemilang, akan tetapi dibunuh secara hina oleh Mpu Sora. Dan kini Mpu Sora dibiarkan saja, hanya karena beliau Senopati Keraton Majapahit.
"Apa banyak bedanya antara Senopati Singasari dan Senopati Majapahit? "Apakah bukan suatu dusta jika tadinya dikatakan Majapahit adalah kelanjutan dari Singasari? "Apakah kitab Kutara Manawa selama ini hanya untuk pajangan bagi senopati. Hanya berlaku untuk penduduk dan senopati yang tidak berasal dari prajurit Baginda?"
Membuka Kedok Klikamuka SUARA Mahisa Taruna terdengar lantang. Garang.
"Sejak semula aku sudah curiga itikad baik Mpu Sora. Ia senopati yang paling tidak pantas menyandang gelar empu.
"Disiarkan kabar secara sengaja ia menolak jabatan mahapatih, bahkan juga pura-pura murka kepada Adipati Lawe. Akan tetapi sekarang terbuka kedoknya. Terlihat apa sebenarnya isi hatinya.
"Aku ragu apakah jabatan senopati yang dipegangnya diraih karena jasa-jasanya atau hanya merupakan jasa anugerah? Yang diberikan karena belas kasihan belaka karena selama ini mengintil Baginda Raja.
"Aku tak pernah mendengar kepahlawanannya. Yang kudengar selama ini hanyalah untuk mengawal Permaisuri saja bisa dikalahkan oleh seseorang yang tak bernama, yang menutupi wajahnya dengan kulit kayu.
"Senopati macam apa itu?"
Bagi Mpu Renteng itulah kata-kata pertama yang didengarnya menyinggung mengenai Klikamuka.
Tokoh sakti yang selama ini tak diketahui asal-usulnya.
Agak menjadi pertanyaan bagi Mpu Renteng bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Mahisa Taruna.
Selama ini hanya beberapa prajurit yang pernah melihat pemunculan Klikamuka.
Dan hanya beberapa kepala saja yang mengetahui bahwa Permaisuri Rajapatni pernah diculik oleh Klikamuka.
Yang agak jelas mengetahui duduk perkara adalah Senopati Nambi, yang sekarang menjadi Mahapatih Nambi.
Mpu Renteng bercekat sendiri.
Selama ini ia berusaha menekan kecurigaan yang selalu mengusik.
Kecurigaan kepada sesama senopati seangkatan.
Perasaan yang selalu diredakan oleh Mpu Sora, sobatnya yang sangat dihormati.
Akan tetapi dalam beberapa hal Mpu Renteng tak bisa menghilangkan kesan kecurigaan yang muncul.
Terutama kepada Mahapatih Nambi.
Bukan tidak mungkin yang memberi kisikan mengenai kegagalannya mengawal Permaisuri Rajapatni adalah Mahapatih Nambi.
Alasan yang masuk akal kalau diingat bahwa sekarang ini Mahisa Taruna begitu berani berkata secara kasar.
Tanpa pendukung di belakangnya, tak akan mungkin senopati muda seperti Mahisa Taruna berani menghujat.
Siapa lagi orang kuat di belakang Mahisa Taruna kalau bukan Mahapatih? Kalau dugaannya benar, berarti Mahapatih sedang memaksakan suatu rencana yang lebih luas.
Yaitu berusaha menyingkirkan Mpu Sora yang masih tetap dianggap klilip atau gangguan di matanya.
Tak ada alasan lain yang lebih kuat, selain bahwa Mpu Sora tetap merupakan ancaman di belakang hari.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya Mpu Sora yang bisa mengancam kedudukannya sebagai mahapatih.
Sekarang ataupun di belakang hari.
Sesuai dengan tindak-tanduknya yang serba tersembunyi sebagai pimpinan utama prajurit telik sandi, liku-liku intrik ini sangat masuk pikiran.
Sekarang saatnya Mahapatih Nambi menyingkirkan Mpu Sora! Dengan caranya yang tetap bisa menyembunyikan tangan untuk menyentil telinga lawan.
Menonjolkan Mahisa Taruna.
Sungguh pilihan yang tepat! Mahisa Taruna masih berdarah muda, sehingga mudah terpancing untuk menunjukkan kebolehannya.
Apalagi kini merasa memiliki dua pedang panjang dari ksatria Jepun.
Ditambah dengan kematian ramanya, Mahisa Taruna muncul ke permukaan.
Mengibarkan bendera sendiri.
Seakan menggugat Baginda Raja, akan tetapi tujuannya jelas.
Menghukum Mpu Sora.
Atau mendesak pelaksanaan hukuman bagi Mpu Sora.
Dan Mahapatih Nambi akan mendesakkan hal ini kepada Baginda Raja.
Nyatanya Baginda Raja tergerak hatinya untuk mendengarkan keluhan Mahisa Taruna.
Sungguh pengatur siasat yang ulung, kata Mpu Renteng dalam hati.
Dengan cara seperti ini Mahapatih Nambi bisa meluruskan jalan dan mengamankan kepangkatan yang kini disandang tanpa perlu turun tangan sendiri.
Sesuai dengan rencana prajurit telik sandi.
Hanya saja Mpu Renteng tak menemukan bukti-bukti yang bisa menguatkan dugaannya.
Satu-satunya jalan ialah mencoba menempatkan prajurit yang setia kepadanya, untuk mencari tahu sejauh mana hubungan antara Mahapatih dan Mahisa Taruna.
Namun justru yang terlihat, Mahapatih seakan tak pernah mengunjungi Mahisa Taruna.
Bahkan ketika upacara pemakaman Senopati Anabrang, Mahapatih hanya mengirimkan wakilnya.
Ia sendiri tidak muncul.
Kenyataan ini justru membuat Mpu Renteng berpikir dua kali.
Pertama, memang tak ada hubungan.
Kedua, Mahapatih sengaja menutupi hubungannya dengan pura-pura tidak memedulikan Mahisa Taruna.
Sehingga tak ada kesan bahwa Mahapatih mendalangi keberanian Mahisa Taruna.
Bahwa ada dugaan Klikamuka masih ada hubungan dengan Keraton bisa dimengerti dari gerak-gerik serta ucapan Klikamuka yang ketika itu menyebut nama Permaisuri Rajapatni dengan hormat.
Rasanya justru agak janggal kalau dari kalangan ksatria atau pendekar menyebut dengan hormat seperti itu.
Agak masuk akal kalau itu prajurit atau senopati.
Yang memang sudah terbiasa menghormat.
Dan diperhitungkan dari segi kemampuan ilmu silatnya serta ketidakmauan diketahui wajahnya, jelas sekali orang dalam.
Siapa lagi orang dalam Keraton yang begitu sakti dan mengetahui begitu banyak lika-liku Keraton? Mpu Renteng memusatkan dugaan pada Mahapatih.
Bukan tidak mungkin Klikamuka adalah senopati yang dekat hubungannya dengan Mahapatih.
Atau bahkan Mahapatih sendiri! Hal ini tetap bukan mustahil, andai pada suatu kesempatan baik Mahapatih maupun Klikamuka muncul secara bersamaan.
Justru untuk menghilangkan jejak! Bukankah saat pemunculan pertama pun, Klikamuka ini berdua? Dan sewaktu Mahapatih Nambi muncul, Klikamuka yang satunya tidak kelihatan? Bukankah Dyah Pamasi dan Dyah Palasir, yang merupakan senopati kepercayaan Mahapatih, dibunuh secara tidak langsung? Untuk menghilangkan jejak? Bukankah yang menunjuk kedua senopati Dyah untuk menyertai dan untuk menyeret Toikromo hanya mungkin berasal dari alam pikiran prajurit telik sandi? Semakin diperhitungkan, Mpu Renteng makin yakin bahwa Mahapatih mempunyai hubungan dengan Klikamuka.
Menyadari bahwa kalau dugaannya benar dirinya berada dalam bahaya, Mpu Renteng bersiap siaga.
Dipasangnya mata dan telinga dengan awas untuk mengamati semua kejadian yang berkaitan dengan Mahapatih.
Bahkan Mpu Renteng tak segan-segan untuk langsung mengamati secara sembunyi-sembunyi.
Mpu Renteng mulai mengingat-ingat jurus-jurus yang digunakan Klikamuka sehingga bisa menjatuhkan dirinya dalam satu gebrakan.
Bagaimanapun hebatnya, Mpu Renteng tak bisa dikalahkan begitu saja.
Kecuali kalau bukan orang yang sangat mengenal jurus-jurus Bujangga Andrawina yang diandalkan.
Serangan mengarah ke tengkuknya dulu, pasti bukan hanya dari membaca gerakan.
Tapi juga didasari pengertian bagaimana memainkan jurus tersebut.
Sepanjang pengetahuan Mpu Renteng, yang mengetahui keunggulan ilmu Bujangga Andrawina bisa dihitung dengan jari.
Terbatas Adipati Lawe, Mpu Sora, dirinya sendiri, dan...
Mahapatih Nambi! Dari kemungkinan ini memang akhirnya bermuara kepada Mahapatih Nambi.
Mpu Renteng membuat suatu langkah yang berani.
Dengan diam-diam ia memahat tulisan di tiang Keraton bagian dalam.
Kenapa masih menyembunyikan wajah di balik klika, jika kita masih bersaudara Kenapa menggoda penculikan jika kita hanya mempunyai satu pengabdian Perhitungan Mpu Renteng ialah hanya yang merasa bersembunyi di balik topeng kulit kayu itu yang bisa mengartikan.
Dan sengaja tulisan itu diguratkan di tiang Keraton sebelah dalam, karena tulisan itu hanya mungkin terbaca oleh mereka yang biasa lalu-lalang di dalam Keraton.
Dan itu bukan sembarang senopati.
Sekarang yang dilakukan Mpu Renteng tinggal menunggu reaksi.
Siapa yang menambahkan jawaban pada guratan itu bakal terjebak.
Namun nyatanya beberapa hari Mpu Renteng mencoba mengawasi, tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Karena tak tahan dengan apa yang diperkirakan, Mpu Renteng memutuskan secara diam-diam akan melaporkan kepada Mpu Sora.
Maka dengan diam-diam Mpu Renteng meninggalkan kediamannya.
Adalah di luar perhitungannya bahwa justru dalam perjalanan bakal dihadang oleh seseorang.
Yang memakai topeng kulit kayu.
"Akhirnya kamu muncul juga, Klikamuka."
"Kepalamu cukup keras menantangku."
"Aku tahu sarangmu, dan aku tahu siapa kamu sebenarnya. Untuk apa sesama kita saling sembunyi?"
Mpu Renteng langsung menerjang maju.
Ujung kainnya menggebrak bagai lidah ular raksasa.
Hanya saja kini tidak memainkan Bujangga Andrawina secara persis.
Mpu Renteng tak ingin terjegal dengan cara yang sama.
Sabetan ujung kainnya adalah tipuan untuk mengalihkan perhatian.
Begitu Klikamuka terjebak menyerang kuduk, ia menyentakkan tali topeng.
Terlepas.
Bumi Terbelah MPU RENTENG sangat bernafsu untuk membuka kedok Klikamuka, sehingga tidak menyadari bahwa agaknya Klikamuka justru secara sengaja memancingnya.
Mpu Renteng bisa membuka kedok, akan tetapi ulu hatinya kena sodokan siku.
Sambil menahan ngilu, Mpu Renteng tersurut langkahnya.
"Kamu..."
Tubuh Mpu Renteng berkelojotan sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Klikamuka membetulkan penutup kepalanya, memakainya, dan berdiri gagah.
"Renteng, kamu tahu siapa aku, akan tetapi tak ada gunanya. Kamu tetap akan mati penasaran."
Satu tendangan keras mengenai perut Mpu Renteng yang dalam sisa-sisa tarikan napasnya merasa dirinya sungguh tidak berguna.
Dalam pertemuan pertama dengan Klikamuka ia bisa dikalahkan.
Kini dalam pertemuan kedua pun, ia bahkan dihabisi! Kesimpulan dari pertempuran pertama, yang dipakai untuk menjebak, ternyata justru dipakai sebagai jebakan yang sama.
Topeng yang diincar sengaja dipasang, dan sebagai gantinya sodokan ke arah ulu hatinya.
Serangan yang mematikan.
Mpu Renteng merasa bumi yang diinjaknya terbelah, ketika tendangan Klikamuka tepat mengenai sasarannya.
Lamat-lamat masih terdengar tawa dingin memamerkan keangkuhan dan kemenangan, sebelum akhirnya hilang gelap dari pandangannya.
Bumi yang terbelah telah menelannya.
Mpu Sora tak bisa berbuat sesuatu ketika mendengar kabar kematian Mpu Renteng.
Hanya dugaannya mengatakan bahwa Mpu Renteng telah menemukan rahasia yang berarti, yang ingin disampaikan kepadanya, mengingat tempat terbunuhnya merupakan jalan utama menuju Dahanapura.
Kini Mpu Sora benar-benar merasa sendirian.
Tak bisa mengerti apa yang seharusnya dilakukan.
Sampai sejauh ini, Baginda Raja belum memutuskan hukuman tertentu.
Masih menunda.
Utusan yang dikirim langsung menghadap kepada Mahapatih Nambi, sebagai atasan langsung para adipati, pulang tanpa membawa keputusan yang berarti.
"Mahapatih tak ingin diganggu, Yang Mulia Senopati Sora,"
Lapor prajurit utusannya.
"Sedemikian pentingnya hingga pengunduran diriku menjadi tak berharga? Prajurit itu menyembah ketakutan.
"Hamba hanya menjalankan perintah Yang Mulia.
"Akan tetapi hamba melihat sendiri bahwa di Keraton ada kesibukan luar biasa. Yang Mulia Aria Wiraraja menghadap Baginda Raja."
Bagi Mpu Sora, ini semua hanya berarti bahwa gerhana itu kini meluas.
Menghitamkan seluruh Keraton.
Mpu Sora bisa mengerti bahwa saudara tuanya yang masih dekat hubungan dengannya sangat terpukul hatinya dengan kematian Adipati Lawe.
Senopati Sepuh Aria Wiraraja, yang cerdik dengan perhitungan pengaturan siasat perang tanpa tanding ini, tetap saja seorang ayah yang tak tega melihat putranya tewas dalam pertarungan.
Adipati Lawe adalah putra kebanggaan Senopati Sepuh Wiraraja.
Bahkan sejak kecil Adipati Lawe telah diberi nama kecil Aria Adikara, nunggak semi alias sama dengan nama kecil Senopati Sepuh.
Mpu Sora melihat bahwa jagat di depannya makin gelap.
Kalau sampai Senopati Sepuh Wiraraja menemui Baginda Raja, pastilah ada sesuatu yang sangat berarti.
Ini bukan hanya menyangkut soal mati dan hidup nyawa seseorang atau dua orang saja.
Ini bisa berarti kehidupan kenegaraan dalam arti yang luas.
Mpu Sora mengenai sangat baik saudara tidak sekandung ini.
Dibandingkan dengan dirinya, Wiraraja sungguh memperlihatkan kearifan yang mulia.
Sejak pembukaan pertama desa Tarik, Wiraraja yang turun tangan mengerahkan para prajurit yang menjadi petani pembuka ladang.
Wiraraja tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri, dan memerintahkan putranya yang paling dibanggakan untuk turut serta.
Sampai dengan siasatnya yang jitu untuk pura-pura mengabdi kepada Baginda Jayakatwang.
Sejarah Keraton tak bisa dilepaskan dari jasa Wiraraja.
Akan tetapi selama ini, Senopati Sepuh yang sangat dihormati ini boleh dikatakan tak pernah menonjolkan diri.
Tak pernah mencoba untuk tampil.
Walau berdiam di dalam Keraton, namun seperti tak meninggalkan bekas yang mengganggu.
Suasana bisa berjalan lancar tanpa terganggu kehadirannya.
Inilah yang sungguh luar biasa.
Sikap yang manjing ajur ajer, hadir tanpa mengganggu, bercampur tanpa menghambat.
Sudah barang tentu Baginda Raja sangat hormat dan menghargai sikap Senopati Sepuh.
Maka cukup mencengangkan bahwa pada akhirnya Senopati Sepuh Wiraraja meminta bertemu langsung dengan Baginda Raja.
Baginda Raja sendiri merasa canggung.
Sungguh tidak enak dibuatnya.
Maka begitu mendengar niatan Senopati Sepuh menghadap kepadanya, malam itu juga Baginda Raja datang ke kasepuhan.
"Sungguh kurang ajar kalau sampai Pamanda harus meminta izin untuk menemui saya,"
Suara Baginda Raja mencoba menerobos kekakuan sikap hormat Wiraraja yang menyembah sambil bersila.
"Marilah duduk bersama saya, Paman Sepuh Wiraraja."
Wiraraja menghaturkan sembah ke kaki Baginda Raja.
"Hamba sudah bersyukur bisa menghadap Baginda. Bersyukur kepada Dewa yang Maha agung masih diperkenankan menyembah Paduka."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman Wiraraja adalah pamanku sendiri. Jangan menambah beban pikiran dengan basa-basi yang berkepanjangan. Saya adalah raja yang menguasai bumi. Akan tetapi saya juga yang dulu datang kepada Paman untuk meminta pertolongan.
"Saya tak akan melupakan jasa baik Paman Wiraraja."
"Dewa bermurah hati memberi raja yang bijaksana.
"Hamba ingin menghadap untuk mengukuhkan kebesaran Paduka, yang dulu pernah menjanjikan bumi belah kepada hamba. Rasanya, karena hamba makin tua, ingin rasanya menikmati sisa-sisa usia dengan ketenangan."
Lama Baginda Raja termenung.
Mahapatih yang mendampingi dengan bersila di lantai kasepuhan, menunduk tanpa bergerak.
Halayudha yang berada agak jauh di belakangnya juga tak menimbulkan suara.
Bumi belah adalah kata-kata janji yang telah diucapkan ketika merebut Keraton Singasari dan juga ketika mengusir pasukan Tartar.
Baginda Raja menjanjikan suatu ketika kelak jika kemenangan bisa diperoleh, Baginda akan memberikan separuh dari wilayah yang dikuasai.
Bumi belah sigar semangka adalah membagi bumi menjadi dua bagian yang sama besar, seperti juga buah semangka yang dibelah.
Potongan yang satu dan potongan yang lain sama besarnya.
Janji itu pernah diucapkan.
Dan tak akan dilupakan.
Baik sebagai ksatria maupun kini sebagai raja.
Kata yang pernah diucapkan seorang raja, atau juga seorang pendeta, adalah kata yang tak bisa dicabut lagi.
Inilah sifat ksatria yang sejati.
Mengingkari janji adalah hal yang lebih hina daripada seekor cacing tanah! Ksatria yang mengingkari janji tak akan pernah lahir kembali sebagai manusia tujuh turunan.
Janji atau ucapan seorang raja tak berubah, pun kalau langit runtuh.
Itu yang membuat Baginda termenung.
Sesaat.
"Paman Sepuh, kalau itu menjadi keinginan Paman Sepuh, hari ini juga saya akan mengumumkan dalam pasewakan agung. Agar ditulis dalam kitab-kitab perundangan, disaksikan para pendeta, dan direstui Dewa yang Mahakuasa.
"Bahkan tlatah sebelah timur menjadi milik Paman Sepuh. Berikut dengan Kadipaten Lumajang sebagai pusat pemerintahan. Bantuan apa yang Paman perlukan untuk membangun akan saya sediakan."
"Sungguh Baginda Raja berada dalam cahaya Dewa yang Maha Bercahaya.
"Hamba mengucapkan doa syukur diperkenankan mendengar sabda Baginda Raja.
"Mohon perkenan Baginda..."
"Sebentar, Paman Sepuh.
"Apakah Paman Sepuh akan segera meninggalkan Keraton?"
Wiraraja menyembah tiga kali hingga tubuhnya bagai digulung karena dalamnya tekukan punggungnya.
"Hamba ingin merasakan sisa-sisa usia hamba untuk bertani."
Baginda Raja menghela napas dan segera beranjak pergi.
Cepat datangnya, cepat pula perginya.
Sejak kembali ke Keraton, Baginda Raja seperti tak berkenan melangkah keluar dari kamar.
Bahkan Mahapatih yang ingin menghadap tidak segera dijawab.
Pembagian bumi Majapahit ini bukan hanya berarti pembagian buah semangka.
Ini juga berarti bahwa kejayaan yang ingin ditegakkan, terganggu kesentosaannya.
Seakan tiang Keraton ditanam di bumi yang terbelah.
Gangguan di Peraduan BAGINDA merasa gundah.
Bumi Majapahit telah terbelah.
Bagian timur telah diserahkan ke tangan Senopati Sepuh Aria Wiraraja.
Untuk sementara satu masalah tuntas sudah.
Walau dihitung secara perimbangan kekuatan dan atau kekuasaan, wilayah timur bukan bahaya, akan tetapi bagi Baginda Raja ini merupakan langkah kalah.
Pembagian wilayah ini mempunyai arti bahwa keutuhan dan kebesaran Keraton yang sedang diangkat terasa goyah.
Baginda makin gelisah.
Satu demi satu bata yang disusun sebagai bangunan megah seperti lepas.
Atau menunjukkan tanda-tanda keretakan yang parah.
Adipati Lawe, senopati unggulan yang diakui darma bekti dan kepahlawanannya telah tewas.
Juga Senopati Mahisa Anabrang yang telah mempersembahkan dua putri dari tlatah Melayu.
Yang lebih membuat parah ialah kenyataan bahwa dalam hal ini menyangkut Senopati Lembu Sora yang dihormati.
Senopati andalan yang banyak jasanya semasa merebut Singasari dan mendirikan takhta.
Baginda merasa tak bisa tinggal diam.
Cepat atau lambat, Mpu Sora harus ditindak.
Akan tetapi juga berarti keretakan dari dalam akan makin menganga.
Makin banyak bata-bata pondasi yang menulangi kebesaran Keraton terangkat.
Dalam keadaan demikian, Baginda Raja mengurung diri dalam kamar peraduannya.
Satu-satunya yang bisa menemani adalah Permaisuri Tribhuana yang datang tidak hanya menghibur Baginda, akan tetapi bisa diajak bicara.
"Yayi Ratu, aku adalah suamimu. Aku juga rajamu yang harus kausembah. Tetapi aku juga manusia seperti yang lainnya. Aku juga lelaki yang bisa bingung dan membutuhkan pendapat.
"Di antara sekian banyak permaisuriku, kamu satu-satunya yang mengerti tata cara Keraton. Cobalah katakan, apa yang seharusnya kulakukan pada saat seperti sekarang ini?"
Permaisuri Tribhuana menghaturkan sembah.
"Hamba tak pantas memberikan pendapat, duh, Junjungan Seluruh Keraton Majapahit.
"Bukan hanya karena pengetahuan hamba terbatas, akan tetapi sesungguhnya hamba tak mengetahui apa yang terjadi di luar dinding kamar kaputren dan kamar peraduan ini. Hanya dua tempat inilah yang bisa hamba lihat."
"Kamu keliru, Yayi Ratu.
"Aku tak akan memanggil permaisuriku yang lain, kalau ingin mendengarkan pendapat. Kamulah satu-satunya yang bisa dan berani mengutarakan.
"Katakan, Yayi Ratu."
Permaisuri Tribhuana menyembah lagi.
Duduk bergeming di lantai.
Apa yang bisa dilaporkan? Memang ia mengerti tata cara Keraton.
Ia mengenal dan bisa menangkap suasana yang menghangat tapi berkabut.
Ia bisa cepat merasakan dan melihat bayangan di belakang suatu peristiwa.
Akan tetapi yang dihaturkan adalah hal yang sebenarnya.
Apa yang diketahui hanyalah seputar kamar kaputrentempat para putri, serta kamar peraduan.
Makin lama makin tidak mengetahui perkembangan di luar.
Ini semua berbeda dari zaman ketika Baginda Raja Ayahanda Sri Kertanegara dulu.
Kalau ia banyak diajak bicara, ia merasa bisa memberi jawaban.
Karena Sri Kertanegara membiarkan mengetahui dan atau mendengarkan pembicaraan-pembicaraan yang menyangkut peristiwa yang terjadi.
Sementara Baginda Raja yang menjadi suaminya sekarang ini lebih banyak mengurungnya.
Namun anggapan bahwa dirinya mahalalila atau luwes dalam bertutur kata masih belum tanggal.
"Yayi Ratu, aku memanggilmu kemari tidak untuk membisu."
Permaisuri Tribhuana menyembah lagi.
Apa yang diketahui sekarang ini hanyalah peristiwa yang dilaporkan oleh Halayudha.
Hanya Senopati Halayudha-lah yang leluasa menemui di kaputren untuk menyampaikan undangan Baginda.
Dalam waktu yang pendek, Halayudha berbaik hati menceritakan apa yang terjadi.
"Hamba merasakan kegelisahan dan udara sangat panas di sekitar Keraton, sampai terasa gemanya dalam kamar peraduan yang biasanya tenteram ini.
"Bisa jadi karena bau amis keris Kebo Dendeng belum sepenuhnya terusir. Karena keris itu masih bau darah."
Permaisuri Tribhuana hanya mengulang apa yang dikatakan Halayudha.
Yang mengatakan bahwa kegelisahan di antara para senopati makin meninggi, karena Baginda Raja tidak segera mengambil tindakan terhadap Senopati Sora.
Ini membuat kepatuhan kepada Baginda Raja bisa bergoyang.
Karena Baginda dianggap berbuat pilih kasih dalam menjalankan perundang-undangan Keraton yang sudah ditulis secara jelas.
Adalah sangat mustahil seorang muda seperti Mahisa Taruna sampai berani mengasah pedang sambil sesumbar.
Halayudha sempat pula membisikkan bahwa hal yang terbaik memang Baginda menghukum Mpu Sora.
Sesuai dengan tata krama dalam kitab Kutara Manawa.
"Kamu pun berpikiran seperti itu? "Aku bisa memerintahkan hukuman sekarang ini juga. Tetapi aku akan dianggap buta kalau harus menghukum mati Mpu Sora.
"Yayi Ratu, sedangkan pohon maja tahu membalas budi luhur kebaikan tanah. Walaupun pohon maja hanya bisa memberikan buah yang pahit dan memabukkan, akan tetapi itu diberikan kepada bumi sebagai balas budi.
"Menghukum mati Mpu Sora ibarat kata seperti memutuskan salah satu jariku sendiri."
Permaisuri Tribhuana ingat bahwa Halayudha pun pernah menceritakan keberatan Baginda. Menurut kata-kata Halayudha.
"Duh, Permaisuri yang paling dicintai dan dihormati Baginda, sesungguhnyalah Baginda Raja berhati luhur dan mulia. Akan terasa beban berat bila Baginda sampai menjatuhkan hukuman seperti dalam pupuh astadusta. Ibarat kata memutus jari sendiri. Akan tetapi barangkali lebih baik kehilangan satu jari daripada satu tangan.
"Maaf, hamba berkata lancang. Akan tetapi sesungguhnya hamba hanya mencoba membayangkan betapa berat hati Baginda yang Mulia. Yang pasti hal ini akan mengganggu ketenteraman dan kenyamanan ranjang peraduan."
"Senopati Halayudha, kenapa kamu ceritakan ini semua padaku?"
"Maaf, Gusti Permaisuri.
"Menurut pikiran hamba yang picik, hanya Permaisuri Tribhuana-lah satu-satunya yang dimintai pertimbangan oleh Baginda. Karena Gusti Permaisuri yang paling arif dan dewasa.
"Hamba menghaturkan ini semata-mata ingin sedikitkalau mungkin mengurangi kegelisahan Baginda, karena di saat seperti sekarang ini Baginda membutuhkan seseorang yang berani dan bisa mengutarakan secara tepat.
"Tak ada orang lain, selain Gusti Permaisuri.
"Mahapatih Nambi pun tidak diajak bicara mengenai hal ini. Apalagi senopati yang lainnya. Apalagi hamba yang hanya alas kaki Baginda."
"Aku bisa mengerti maksudmu, Halayudha."
"Sungguh luhur dan luas pandangan Gusti Permaisuri."
Halayudha menyembah, menunduk, dan melanjutkan kembali.
"Minggatnyamaafkan istilah hamba yang kasar, akan tetapi begitulah sesungguhnyaSenopati Sepuh tak bisa dibiarkan berlanjut. Membawa pengaruh yang buruk bagi kebesaran Keraton. Karena Mahapatih Nambi akan merasa berkuasa. Mahapatih lupa perkataan Baginda bahwa anak kucing tak akan menjadi harimau di kelak kemudian hari.
"Memang dengan tersingkirnya Senopati Sora, Mahapatih makin kuat kedudukannya, karena merasa tak ada orang kedua di belakangnya."
"Apakah Mahapatih Nambi merasa tersaingi oleh Senopati Sora?"
Halayudha menunduk. Menunjukkan penyesalan dan rasa bersalah.
"Ini buah pikiran hamba yang sangat picik. Semata-mata dugaan yang bisa salah, Permaisuri Tribhuana.
"Akan tetapi nyatanya, sejak kematian Senopati Renteng, Mahapatih tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mengusut tuntas masalah ini. Bahkan agaknya sengaja mendiamkan saja. Padahal sebagai pimpinan telik sandi, seharusnya Mahapatih mengetahui segala sesuatu yang terjadi.
"Ibarat kata seekor nyamuk pun dikenali kalau masuk ke dalam Keraton."
"Saya bisa merasakan bahwa Baginda sangat berat menentukan pilihan."
"Sesungguhnya yang hamba sesalkan ialah justru kasih sayang dan keluhuran budi Baginda Raja disalahgunakan sebagai tepa selira, tenggang rasa yang melemahkan Baginda.
"Hamba percaya bahwa Baginda Raja sangat kuat dan dipayungi oleh kebijakan Dewa Agung dan tak akan goyah, akan tetapi bara yang mulai meletik tak bisa dibiarkan."
"Menurut pendapatmu, apa yang sebaiknya Baginda lakukan?"
Halayudha bersorak dalam hati. Tapi kepalanya menggeleng.
"Hamba tak berani mengutarakan, Gusti Permaisuri."
Lepas Busana Senopati SEWAKTU Permaisuri Tribhuana mendesak, Halayudha menjawab lirih.
"Pikiran hamba sangat pendek. Tak lebih jauh dari batang hidung hamba yang pesek ini.
"Tapi sesungguhnya memang hanya ini yang bisa hamba haturkan."
Akan cukup menenteramkan kegelisahan bilamana Senopati Sora dihukum lepas busana senopati."
Dengan kata lain, Senopati Sora dicopot segala pangkat dan derajatnya sebagai senopati.
Diturunkan pangkatnya ke titik yang paling rendah! Dalam keprajuritan hal itu bisa diterima.
Juga Permaisuri Tribhuana bisa menerima.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setidaknya ini lebih baik daripada dihukum mati.
Dengan hukuman "lepas busana senopati", masih ada kemungkinan untuk diberi ampunan.
Berarti masih ada kesempatan memperbaiki diri, dan ada kemungkinan diterima pasuwitan atau pengabdiannya.
Sehingga pangkat dan derajatnya bisa disandang kembali.
Masuk akal sebagai jalan tengah.
Permaisuri Tribhuana memuji buah pikiran Halayudha.
Barangkali akan terbalik ucapan Tribhuana andai mengetahui bahwa sesungguhnya Halayudha sedang mengusulkan hukuman yang jauh lebih kejam.
Hukuman yang paling hina! Yang akan membuat Senopati Sora malu seumur hidupnya! Tribhuana, walaupun jauh jangkauan pikirannya, akan tetapi tidak merasakan kehidupan sebagai senopati, atau kehidupan prajurit yang sesungguhnya.
Pengetahuannya selama ini diperoleh dari berbagai kitab.
Inilah justru yang dimanfaatkan Halayudha.
Karena biar bagaimanapun, Senopati Sora adalah ksatria sejati.
Julukan empu menunjukkan gelar yang terhormat sebagai tetua.
Bagi seorang ksatria sejati, dicopot dari jabatannya secara tidak hormat lebih menyakitkan daripada dihukum mati.
Lebih memalukan dan membuatnya hina.
Bukan hanya seumur hidupnya.
Sampai ke anak-cucunya! Sama saja artinya menguliti Senopati Sora secara hidup-hidup.
Permaisuri Tribhuana, yang tak melihat liku-liku keculasan pikiran Halayudha, menyampaikan hal ini kepada Baginda.
Dan Baginda tak menaruh curiga sedikit pun, bahwa Halayudha berada di belakang saran ini.
Maka Baginda kemudian memerlukan bertanya langsung kepada Halayudha.
Berpura-pura tidak mengetahui apa yang dibicarakan dengan Permaisuri Tribhuana, Halayudha menyembah hingga hampir menyentuh lantai di mana kaki Baginda berada.
"Kalau hamba boleh mengutarakan kepicikan, duh, Baginda Raja yang dipilih Dewa yang Maha bijak, hamba tidak ingin melihat Senopati Sora menjalani hukuman mati.
"Hamba mengerti bahwa Senopati Sora sangat terburu nafsu dan tidak mematuhi Kitab Agama yang dijadikan sumber pengatur tata krama.
"Namun, perkenankanlah Baginda tidak terbawa hawa panas."
"Lalu?"
Halayudha menyembah makin rendah.
"Perkenankan Baginda memberi kesempatan Senopati Sora menebus semua dosa dan kesalahannya seperti manusia biasa."
Baginda Raja mengangguk.
"Dua suara yang sama maksudnya.
"Mungkin kalau kutanyakan kepada yang lain, akan sama juga jawabannya.
"Baik, kelihatannya ini jalan keluar yang baik, Aku tak ingin tindakan Senopati Sepuh ataupun Senopati Lembu Sora menjadi contoh.
"Dalam pasewakan yang akan datang, akan kuambil keputusan. Terima kasih, Halayudha, tidak percuma aku mengangkatmu sebagai senopati pendamping."
Begitu keluar dari kamar peraduan, malam itu juga Halayudha menemui Mahapatih.
Merasa bahwa Halayudha adalah orang dekat Baginda, Mahapatih memerlukan untuk menerima secara berdua saja.
Setelah menyampaikan sembah dan tata pergaulan sebagaimana biasanya, Halayudha menceritakan apa yang didengar dari pembicaraan Baginda Raja dengan Permaisuri Tribhuana.
"Baginda begitu murka, duh, Mahapatih yang perkasa. Begitu murkanya Baginda, sehingga malam ini juga sebenarnya ingin segera melepas pakaian senopati yang dikenakan Senopati Sora.
"Tapi sesungguhnya Baginda masih menyimpan suatu keluhuran budi, dan berharap Senopati Sora yang terang bersalah melakukan sendiri hal ini."
Mahapatih diam tak bereaksi.
"Saya mendengar bahwa besok atau lusa Mahapatih akan dipanggil menghadap Baginda untuk mendengar penjelasan hal ini.
"Maafkan kalau saya berbuat lancang, akan tetapi sesungguhnya ini muncul dari niatan hati saya yang paling dalam, meminta Mahapatih untuk bertindak tidak ragu dalam mengemban titah Baginda.
"Bukannya saya meragukan Mahapatih yang mahapatuh, akan tetapi karena dalam hal ini bukan tidak mungkin terjadi sedikit ketegangan. Bahkan mungkin sampai perlu mengasah senjata."
"Halayudha, Paman Senopati yang penuh perhitungan. Alasan apa Paman Senopati mengatakan perlu mengasah senjata?"
"Maaf, ini semata-mata hanya dari perhitungan, bahwa Senopati Sora agaknya sangat terikat erat dengan pangkat dan jabatannya yang sekarang ini, ataupun nanti sebagai pendamping Putra Mahkota.
"Dalam pikiran saya, kalau jelas mengakui kesalahan yang bisa dibuktikan semua orang, kenapa Senopati Sora tidak melepaskan busana senopati atau setidaknya mengundurkan diri secara terhormat? "Kenapa justru berdiam diri, sambil menyiapkan pengikutnya yang setia, seperti juga memanggil Mpu Renteng yang tewas dalam perjalanan?"
Mahapatih mengangguk. Bisa mengerti pikiran Halayudha.
"Paman Senopati Halayudha, saya pribadi akan menghadap Baginda. Sampaikan dan atur waktu. Saya ingin menegaskan bahwa putusan apa pun yang diberikan Baginda, akan saya junjung tinggi.
"Dengan mendahului sowan sebelum pertemuan atau dipanggil nanti, saya hanya ingin menguatkan pendapat, bahwa kami para senopati berada di belakang Baginda Raja."
Halayudha mengangguk. Sorot matanya menggambarkan kekaguman dan pemujaan.
"Mahapatih sungguh luar biasa.
"Sebisa mungkin saya akan mencoba menyampaikan kepada Baginda Raja pada saat yang tepat. Karena saat ini Baginda Raja sedang bermuram durja di kamar peraduan, saya akan menunggu saat yang baik untuk menyampaikannya."
"Terima kasih atas kunjungan Paman Senopati."
Kembali ke dalam Keraton, Halayudha segera masuk ke kamarnya.
Disusunnya sebuah nawala, surat-surat yang menerangkan kejadian di dalam Keraton.
Surat itu dikirim langsung ke Senopati Sora dan dibawa salah seorang prajurit yang dipercaya.
Halayudha menjelaskan kepada Senopati Sora bahwa sesungguhnya Baginda Raja tak berkenan menjatuhkan hukuman kepada Senopati Sora mengingat jasa-jasa Senopati, dan mengingat bahwa kejadian yang membawa kematian Senopati Anabrang bukan kesengajaan.
Akan tetapi karena desakan Mahisa Taruna yang didukung sepenuhnya oleh Mahapatih, Baginda tak bisa bertindak lain.
Halayudha menjelaskan bahwa ia sangat tidak setuju dan sangat menentang hukuman "lepas busana senopati", akan tetapi ia malah dipencilkan dan dianggap mendukung Senopati Sora.
"Duh, Senopati Sora, padahal niatan Mahapatih sudah jelas. Hanya ingin menyingkirkan Senopati Sora dengan cara yang sangat menjijikkan, dengan cara yang paling tidak terhormat.
"Nawala, surat keterangan, ini saya tulis seperti juga memasang tali jerat ke leher saya. Akan tetapi saya melakukannya karena saya tak bisa mendustai isi hati saya yang sejati.
"Bahwa dalam hal ini ada usaha-usaha yang ditutupi kabut tetapi mudah diterka. Seekor serigala memakai bulu kambing, tetap tercium bau busuknya.
"Saya sendiri barangkali tak bisa menatap matahari esok karena tindakan ini. Akan tetapi saya tak menyesal kalau sampai nawala ini terbaca selain oleh Senopati Agung Sora. Karena saya telah mengeluarkan apa yang ingin saya sampaikan.
"Sampai saat saya menuliskan ini semua, Baginda masih mengingat jasa Senopati Agung Sora. Akan tetapi gerak-gerik Mahapatih yang memakai tangan Mahisa Taruna yang bau kencur sesungguhnya perlu diwaspadai.
"Semoga Dewa yang Maha tahu selalu melindungi Senopati Agung Sora, karena sesungguhnya hal ini juga berarti melindungi Keraton, bumi yang dihuni leluhur."
Halayudha kaget sewaktu selesai menitipkan surat kepada Dyah Embang, prajurit kepercayaannya, merasa ada angin lain dalam Keraton.
"Siapa kamu?"
Halayudha bersiap.
Kedua tangan menggeletar, menyimpan tenaga yang siap dimuntahkan.
Siapa yang berani mati menyusup ke Keraton? Sarang Naga yang Sesungguhnya HALAYUDHA mengawasi sekitar dengan cermat.
Sebagai senopati yang lahir dan dewasa dengan segala intrik dan tipu muslihat, kecurigaannya sudah lahir dengan sendirinya.
Seperti juga napas atau denyut jantungnya.
Segala sesuatu penuh perhitungan untung-rugi sekecil-kecilnya.
Perubahan alis mata menjadi lebih sedih atau kagum, termasuk gerakan yang disadari dan diperhitungkan.
Maka kalau ada sesuatu yang sedikit berbeda, Halayudha tanggap.
Seperti sekarang ini Begitu memerintahkan Dyah Embang, Halayudha merasa ada bayangan bergerak entah di mana.
Tidak, ia tidak sepenuhnya melihat.
Ia merasa ada sesuatu yang berbeda.
Ada suatu bayangan.
Mungkinkah ini bayangan yang ada dalam isi kepalanya yang lagi penuh? Bisa jadi, jawab Halayudha dalam hati.
Karena nyatanya tak ada yang lain sedikit pun.
Lagi pula ruangan ini berada dalam lingkungan Keraton.
Di bagian dalam.
Bukan hanya prajurit, bahkan senopati pun tak sembarangan melewati ruangan ini.
Kalau ada jalan yang laindan selalu adapasti akan memilih jalan bukan ruangan ini.
Seseorang yang berada di ruang ini bisa dicurigai dan bisa dihukum mati karena alasan mengancam dan atau mengganggu Baginda Raja.
Dyah Embang pun akan mendapat hukuman yang sama jika berada di ruangan ini.
Hanya tiga orang yang bisa secara mendadak muncul di ruangan ini tanpa dicurigai.
Yang pertama Baginda Raja sendiri.
Rasanya tidak mungkin Baginda Raja muncul begitu saja dan berjalan-jalan di tengah malam seperti sekarang ini.
Yang kedua adalah Mahapatih.
Sebagai pelaksana harian yang bertanggung jawab atas masalah keamanan dan ketertiban Keraton, Mahapatih bisa berada di mana saja.
Namun, kalau Mahapatih berada di ruangan ini secara pribadi, agak kurang masuk akal.
Ataukah Mahapatih mulai mencurigainya? Apakah Mahapatih mulai mengendus bau tidak sedap yang dilakukan? Halayudha merasa keringat dinginnya membanjir.
Jika benar begitu, ia bagaikan sedang mengalungkan jerat ke leher sendiri seperti yang dituliskannya kepada Mpu Sora.
Tapi Halayudha tidak kuatir kalau sampai suratnya jatuh ke tangan Mahapatih.
Dalam perhitungannya, yang tersirat dalam surat itu, Mpu Sora pasti akan menghancurkan surat itu.
Mpu Sora terlalu luhur budinya untuk membocorkan rahasia karena ini sama juga dengan mengadu domba.
Dan itu bukan sifat Mpu Sora! Yang ketiga adalah dirinya sendiri.
Halayudha merasa yakin bahwa yang terasa lain tadi adalah bayangannya sendiri.
Karena terlalu tegang dan terlalu banyak rencana yang sedang dijalankan.
Akan tetapi bukan Halayudha kalau ia melupakan begitu saja.
Begitu membelok ke ruangan lain, ia segera bersembunyi ke balik tiang.
Menunggu terus sambil mengerahkan kemampuannya kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan.
Kesiuran angin sedikit saja, pasti membuatnya waspada dan tahu apa yang terjadi.
Namun sampai waktu yang bisa digunakan untuk menghabiskan makanan, tak ada angin tak ada bau lain.
Halayudha melintasi ruangan yang agak terbuka itu, kembali ke dalam kamarnya.
Menunggu lama.
Baru setelah yakin tak ada sesuatu apa, Halayudha masuk ke bawah ranjang tidurnya.
Membuka papan di situ, dan masuk ke lubang terowongan.
Menyusuri gelap.
Halayudha meyakinkan dirinya kembali bahwa terowongan bawah Keraton ini tak ada yang mengetahui.
Karena ia yang membuat sendiri, dibantu para prajurit setia, yang setelah menyelesaikan pekerjaan langsung dibunuh dengan tangannya sendiri.
Tak beda dari Dyah Embang yang kini sedang menjalankan tugas.
Begitu tugas selesai, tamat pula riwayatnya.
Terowongan bawah Keraton ini dibuat berdasarkan gua bawah Keraton di mana ia menyimpan Nyai Demang serta ketiga Kama dari Jepun.
Memang lolosnya Nyai Demang merupakan teka-teki terbesar baginya.
Karena dalam alam pikirannya tak mungkin ada yang bisa meloloskan diri.
Sehingga selama beberapa waktu Halayudha sengaja berada dalam kamar Nyai Demang untuk menemukan cara-cara Nyai Demang meloloskan diri.
Betapa kaget ketika Halayudha menemukan Dewa Maut yang diringkus dengan mudah.
Dari Dewa Maut yang bicaranya ngacau, Halayudha memperoleh gambaran bagaimana Nyai Demang lolos.
Sejak itu bagian dapur Keraton ditutup rapat.
Hanya ada satu jalan yang dikuasai sepenuhnya oleh Halayudha.
Di dalam gua kurungan bawah Keraton, ia menahan Dewa Maut bersama ketiga Kama dari Jepun.
Halayudha belum bisa memastikan akan diapakan keempat tawanan itu.
Namun rasanya masih bisa diperas sesuatu dari mereka.
Itu akan dilakukan suatu hari.
Toh tak ada bahayanya, selama pintu masuknya dikuasai.
Mengenai ruangan di bawah ranjang tidurnya, bahkan Baginda Raja sendiri tidak mengetahui.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena saat itu dibuat bersamaan pembangunan Keraton.
Sehingga gundukan tanah yang berlebih tak akan menimbulkan kecurigaan siapa pun.
Halayudha merasa bahwa dalam soal kecermatan dan ketelitian, ia lebih jago daripada siapa pun yang ditemui.
Hampir semua rencananya yang semula kelihatan hampir tak masuk akal nyatanya bisa terlaksana.
Boleh disebut sempurna, kecuali lolosnya Nyai Demang yang akan segera dibereskan jika suasana sudah mengizinkan.
Untuk semua ini, Halayudha sering memuji dirinya sendiri.
Selama ini ia belum pernah menemui orang lain yang bisa berbuat seperti dirinya.
Bahkan Naga Nareswara, yang akan didatangi sekarang ini, tak menduga rencananya yang utuh.
Halayudha merasa bahwa di atas bumi dan di bawah langit ini tak ada yang mampu menyamainya, apalagi menandinginya! Keyakinan mutlak kepada kemampuannya yang sempurna dalam mengatur dan mengarahkan suasana ini menyebabkan dirinya sedikit alpa.
Bahwa sesungguhnya masih ada yang tak sepenuhnya bisa diatur.
Yaitu takdir.
Inilah yang terjadi pada diri Gendhuk Tri.
Bayangan yang menimbulkan suasana angin agak berbeda tadi sebenarnya adalah imbasan dari gerakan tubuh Gendhuk Tri! Dalam perjalanan berkelana, Gendhuk Tri akhirnya sampai ke dalam Keraton.
Dengan keinginan masuk ke kurungan bawah tanah untuk membebaskan Dewa Maut.
Bagi Gendhuk Tri, menyusup ke dalam Keraton tak menimbulkan gangguan suatu apa.
Ia pernah mengenai keadaan Keraton, yang boleh dikatakan sangat banyak kemiripannya dengan Keraton Singasari yang dikenalnya.
Hanya saja Gendhuk Tri mengalami kesulitan mencari jalan masuk.
Beberapa hari berada di ruangan dalam Keraton, masih saja tak menemukan sumur di kaputren atau bagian dapur.
Namun Gendhuk Tri tidak putus asa.
Ia terus mengawasi Halayudha, sebisanya.
Karena menurut Nyai Demang, Halayudha-lah yang membawanya masuk.
Dalam pikiran Gendhuk Tri, hanyalah mencari saat yang tepat untuk menawan Halayudha dan memaksanya membebaskan Dewa Maut.
Ia tak mempunyai rencana lain yang lebih muluk.
Namun rencana Gendhuk Tri menjadi berantakan, karena Halayudha ternyata sangat sibuk dan berpindah tempat yang terjaga sempurna.
Ini semua tidak membuat Gendhuk Tri kehilangan akal.
Ia akan melawan dengan kesabaran.
Rencananya hampir berhasil sewaktu Halayudha sendirian.
Namun justru saat itu Halayudha seperti mengenali.
Maka Gendhuk Tri segera menyembunyikan diri.
Menyelinap masuk ke kamar peraduan Halayudha! Cerdik seperti seratus kancil, licik seperti seribu buaya, Halayudha tak akan pernah menduga ada orang yang memilih persembunyian di kolong ranjang peraduannya! Padahal pikiran Gendhuk Tri sederhana.
Dalam kamar peraduan, seperti diceritakan Nyai Demang, ia bisa memaksa lebih leluasa.
Dalam kamar peraduan, siapa yang mengira bisa dipakai sebagai tempat persembunyian? Dan kebiasaan para senopati, selalu sendirian di dalam kamar peraduannya.
Seperti juga Baginda Raja.
Hanya saat diperlukan, permaisuri atau wanita yang lain dipanggil datang menghadap.
Sesudah itu kembali lagi ke kaputren.
Terang saja waktu Halayudha menunggu di tempat persembunyiannya, tak ada yang muncul.
Karena Gendhuk Tri sudah berada dalam kamarnya.
Dan tempat persembunyian yang paling aman adalah di bawah kolong ranjang.
Sewaktu menyusup masuk ke bawah kolong, Gendhuk Tri tidak merasa sesuatu yang aneh.
Baru kemudian menyadari ada bagian bata yang bersih.
Ternyata papan kayu yang dibentuk seperti lantai.
Ketika Gendhuk Tri membuka, saat itu tubuhnya terjeblos ke bawah dan papan lantai itu menutup sendiri.
Dalam gelap, Gendhuk Tri terkesiap.
Ternyata Halayudha masuk ke bawah juga! Raja Segala Naga DALAM kagetnya Gendhuk Tri berjalan ke depan, mengikuti lorong.
Ada kejadian yang boleh dikatakan kebetulan bagi jalan hidup Gendhuk Tri.
Dirinya pernah terkurung dalam Gua Lawang Sewu dalam jangka waktu yang cukup lama.
Sehingga tak terlalu kaget.
Maka begitu ada bagian cekungan, Gendhuk Tri segera masuk ke dalamnya.
Harap-harap cemas menunggu langkah Halayudha yang ringan.
Perhitungannya hanya satu.
Gendhuk Tri akan menyergap Halayudha lebih dulu.
Pasti Halayudha tak menduga.
"Tikus celurut kenapa membuat langkah ganda?"
Gendhuk Tri merasa jantungnya copot! Bukan karena ternyata di dalam gua di bawah kolong ranjang ada manusia lain, akan tetapi ditilik dari suaranya jelas memiliki tenaga dalam yang luar biasa penguasaannya.
Gendhuk Tri hanya bisa membandingkannya dengan Upasara Wulung.
Upasara Wulung di saat jaya.
Ah, dalam soal mati-hidup seperti sekarang ini pikirannya masih saja ke arah Upasara! Darah Gendhuk Tri berdesir kencang.
Kini, walaupun sifatnya yang sradak-sruduk masih terlihat, akan tetapi Gendhuk Tri sudah jauh berbeda.
Pikirannya mulai banyak terbuka sejak dirinya menyimpan racun yang maha berbahaya.
Pikirannya mulai berhati-hati dan penuh pertimbangan.
Seperti seruan yang baru saja didengar tadi.
Dengan menyebut langkah ganda, berarti bisa diketahui bahwa setidaknya lebih dari satu orang yang masuk! Kalau gema dan getaran bisa diketahui secara persis, itu sungguh luar biasa.
Bahkan Halayudha sendiri tadi hanya berhenti sejenak ketika Gendhuk Tri melintas sambil mengentengkan tubuhnya! Tapi yang satu ini jauh di atas Halayudha.
Mendengar panggilan namanya, Halayudha segera mendekat.
Melewati tempat persembunyian Gendhuk Tri.
Lurus ke arah depan.
Baru sekarang Gendhuk Tri bisa melihat segalanya lebih jelas.
Halayudha menuju ke salah satu tempat di ujung terowongan yang luas.
Di depan Halayudha yang duduk bersila sambil menyembah, nampak sesosok bayangan yang seolah menyatu dengan tanah sekitarnya.
Gendhuk Tri hampir tak percaya pada apa yang dilihat.
Sosok itu duduk bersila, akan tetapi pantatnya tidak menyentuh tanah di bawahnya.
Seolah ada tenaga dalam yang mengganjalnya.
Baru setelah berbicara untuk kedua kalinya, perlahan-lahan tubuhnya turun menyentuh tanah.
"Kabar apa yang kaubawa sehingga kamu bolak-balik kemari?"
Gendhuk Tri menahan napas. Ini benar-benar sarang naga yang sesungguhnya. Sumber segala sumber bahaya. Tokoh yang ditemui Halayudha mengetahui bahwa tadi sudah ada langkah kaki mendekat. Hanya barangkali menduga tadi adalah langkah Halayudha.
"Sembah saya kepada yang mulia Naga Nareswara, Raja Segala Naga di jagat raya ini.
"Saya datang guna memberikan laporan mengenai Mpu Sora yang sekarang tinggal menunggu pelaksanaan untuk disingkirkan."
Sementara Halayudha menceritakan pertentangan yang berhasil diracunkan dalam diri Mahapatih-Sora-Taruna-Baginda Raja, Gendhuk Tri mencoba memeras seluruh kemampuannya untuk memastikan siapa yang dipanggil dengan Naga Nareswara.
Sudah jelas bagai siang hari, Naga Nareswara tokoh yang sakti mandraguna.
Akan tetapi selama ini ia tak pernah mengenai atau mendengar namanya.
Paman Jaghana juga tidak menyebut.
Kangmas Upasara juga tidak.
Ah, kenapa pikirannya ke Kangmas lagi? Tapi memang selama ini tak pernah disinggung nama Naga Nareswara, yang diulangi Halayudha sebagai Raja Segala Naga.
Nareswara memang bisa berarti raja.
Akan tetapi selama ini, itu hanya sebutan untuk mengatakan raja.
Tidak dipakai untuk orang yang jelas bukan Baginda Raja.
Kalau ketiga Kama dari Jepun seperti bisa diketahui oleh Paman Jaghana ketika Nyai Demang bercerita, sekarang ini boleh dikatakan belum pernah disinggung sama sekali.
Raja Segala Naga? "Tikus celurut, aku tak mau mendengar rencana-rencanamu yang busuk.
Kalian semua manusia yang busuk hatinya tapi lembut senyumnya.
"Aku hanya mau tahu apakah ksatria Jepun itu tidak membawa sesuatu.
"Ambillah Kitab Bumi, aku sudah muak membacanya.
"Kalian hanya memakai gaya berbeda yang lebih memusingkan."
Sambil mengerahkan kemampuannya untuk mengatur pernapasan, Gendhuk Tri masih bertanya-tanya.
Raja Segala Naga? Begitu kasar memaki Halayudha sebagai tikus celurut, tikus kecil yang baunya busuk.
Mengatakan Kitab Bumi tak ada apa-apanya.
Raja Segala Naga? Rasanya...
"Tikus celurut, aku tak peduli apakah Lawe mati, Anabrang mati, atau siapa lagi yang mati, atau siapa lagi yang hidup. Bagiku mereka sama saja. Akan mudah kutaklukkan.
"Kalau kamu ingin menjadi mahapatih, itu urusanmu sendiri.
"Aku hanya ingin mengenal hati tikus celurut yang sesungguhnya. Supaya aku bisa memenggal kepalanya, dan menunjukkan kepada Kaisar, bahwa tidak seluruh anak buahku gagal menjalankan tugas.
"Bahwa masih ada aku, Raja Segala Naga.
"Kamu paham?"
"Sepenuhnya saya mengerti.
"Tapi di Keraton saat ini sedang kisruh, sedang banyak persoalan. Terserah Naga Nareswara, apakah Paduka yang Mulia ingin bergerak sekarang atau menunggu waktu.
"Sebab jika Yang Mulia memenggal kepala raja kami, Yang Mulia Raja Segala Naga akan tersita waktunya untuk memenggal kepala seluruh penduduk yang tak akan membiarkan Yang Mulia pergi.
"Saya percaya Yang Mulia Raja Segala Naga bisa mengatasi, akan tetapi ini pekerjaan yang merepotkan. Kalau saya sudah menjadi mahapatih, segalanya akan lancar.
"Yang Mulia Naga Nareswara telah menunggu sekian lama, kenapa tidak mau menunggu sebentar lagi, saat purnama segera tiba? "Bukankah purnama pasti tiba? "Bukankah saya tak mungkin lepas dari Yang Mulia?"
"Sungguh merdu kata-katamu. Kalian bangsa tikus celurut yang pandai menyusun kata-kata merdu di telinga."
Gendhuk Tri menggigil.
Belum pernah ia mendengar hinaan begitu membangkitkan semua bulu tubuhnya.
Gendhuk Tri menggigil.
Karena kini muncul kesadaran baru.
Naga Nareswara mengaku sebagai gegeduging para Naga.
Ini berarti Naga Nareswara yang bisa duduk di tengah udara ini guru dari ketiga Naga yang perkasa.
Ketiga senopati perang Tartar yang sungguh menggetarkan.
Mereka bertiga adalah Naga Kembar, Naga Wolak-Walik, serta Naga Murka.
Yang diketahui Gendhuk Tri, ketiga senopati perang Tartar itu pemegang pucuk pimpinan tertinggi utusan yang datang ke tanah Jawa.
Ternyata masih ada gembongnya.
Yang bersembunyi.
Yang menyebut dirinya Raja Segala Naga.
Masuk akal kalau mengaku sebagai Raja Segala Naga.
Karena kalau ketiga Naga itu saja sudah membuat seluruh ksatria mengerahkan tenaga, apalagi gurunya! Gendhuk Tri bisa mengerti karena secara jelas mengetahui kehebatan mereka.
Dirinya pernah ditawan.
Hanya jago-jago kelas satu yang mampu mengimbangi mereka.
Bahkan Ngabehi Pandu, guru Upasara Wulunglagi-lagi Kangmas terucapkan gugur bersama Kiai Sangga Langit.
Salah seorang pendeta yang datang bersama Naga Murka, Naga Wolak-Walik, serta Naga Kembar.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan selama ini menurut sejarah yang terdengar adalah pujian bahwa senopati Tartar adalah senopatinya para senopati.
Karena mereka terbukti bisa menaklukkan seluruh jagat.
Dari tempat matahari terbit sampai tempat matahari terbenam.
Gendhuk Tri menggigil.
Karena ternyata Naga Nareswara masih menyimpan dendam dan akan membawa kepala Baginda Raja, sebagai persembahan bagi Kaisar Tartar.
Karena ternyata Halayudha berada di bawah pengaruh total Naga Nareswara.
Bisa jadi ada semacam aji sirep yang luar biasa yang bisa dipakai Naga Nareswara untuk mengendalikan Halayudha.
Bukan tidak mungkin, kalau mengingat Halayudha juga banyak menggunakan aji sirep.
Termasuk ketika menguasai Nyai Demang.
Sumber dari semua intrik, asal semua kebusukan diketahui.
Akan tetapi Gendhuk Tri juga menggigil karena praktis tak ada gunanya.
Kepada siapa ia melaporkan? Apa mungkin bisa lolos? Di sarang Raja Segala Naga, neraka mungkin masih terasa dingin.
Gendhuk Tri menggigil.
Kiai Sambartaka Samar-Samar Gendhuk Tri bisa melihat lebih jelas.
Naga Nareswara mempunyai wajah bulat.
Seperti Jaghana.
Hanya saja alis matanya tumbuh sangat panjang.
Yang membuat Gendhuk Tri bertanya-tanya ialah ternyata alis itu berbeda warnanya.
Sebelah kiri seluruhnya putih, sebelah kanan seluruhnya hitam legam.
Pakaian yang dikenakan seperti dikerudungkan begitu saja, warnanya kuning pucat dengan sulaman naga di bagian ujung lengan.
Bagian tengah diikat oleh kain yang juga bersulamkan naga yang tengah menelan matahari.
Daun telinganya sangat lebar.
Begitu juga jidatnya, karena rambutnya diikat ke belakang.
Kedua tangannya seperti sikap tengah bersemadi.
Ada tongkat keemasan yang di ujungnya tergambar pula naga.
Raja Segala Naga, dengan tongkat emas.
"Tikus celurut, kamu mempunyai kesabaran yang tak dimiliki bangsa lain. Kenapa tidak kamu gebuk saja Nambi, kalau kamu sudah bisa mengimbangi ilmunya?"
Halayudha tidak segera menjawab.
"Kalau hanya bersandar pada ilmu kanuragan, saya telah lama bisa mengalahkan Mahapatih Nambi. Akan tetapi kemenangan tidak akan berada di tangan saya.
"Yang Mulia Raja Segala Naga tahu sendiri, tiga Naga dari Tartar ditambah Kiai Sangga Langit tak dapat dikalahkan para ksatria dari mana pun.
"Nyatanya bisa dipecundangi dan didepak ke laut.
"Dalam perbendaharaan budaya kami, ada suatu kata untuk bersabar. Aja nggege mangsa, jangan mempercepat musim. Semua ada saatnya.
"Buah maja tetap pahit, baik ketika masih muda ataupun sudah tua. Akan tetapi sepahit-pahitnya saat buah itu tua, lebih pahit saat muda.
"Buah kelapa tetap bisa dimakan, baik ketika masih muda ataupun sudah tua. Akan tetapi kalau mengharap isi buah yang putih lebih banyak, kita tunggu sampai tua. Kalau menginginkan air buahnya, kita petik selagi muda.
"Buah cabe, tetap pedas, baik ketika muda maupun tua. Tetapi sepedas-pedasnya yang muda, masih tetap pedas yang tua. Alam sendiri memberi warna, tanda masak.
"Yang paling tepat adalah menuai di saat yang tepat, untuk mengambil apa yang dibutuhkan.
"Untuk meraih kemenangan, Yang Mulia Raja Segala Naga hanya menghadapi satu lawan utama. Upasara Wulung. Tapi untuk menjadi yang nomor satu, benar-benar Raja Segala Naga dan binatang hutan yang lain, harus bisa memenggal kepala.
"Memenggal kepala pun, ada saat yang tepat.
"Memetik buah maja pun, ada saat yang tepat. Agar bisa mengambil buahnya, tanpa mengotori tangan terkena getah."
Gendhuk Tri bisa mendengarkan dengan jelas.
Luar biasa culasnya Halayudha ini.
Secara sengaja memakai nama Upasara Wulung untuk menghalangi niatan Naga Nareswara.
Di samping memakai bahasa yang muluk-meliuk dengan segala pengertian mengenai waktu dalam tata budaya.
"Aku suka omonganmu, tikus celurut.
"Tetapi kamu keliru kalau hanya menganggap Upasara Wulung satu-satunya lawanku.
"Sebentar lagi pasti akan muncul orang Hindia yang akan meramaikan perebutan gelar ksatria lelananging jagat."
Gendhuk Tri lagi-lagi bercekat.
Istilah yang digunakan Naga Nareswara dalam banyak hal tidak tepat.
Akan tetapi pengertian dan maknanya bisa dimengerti.
Selama ini memang tidak ada gelar ksatria lelananging jagat, yang bisa diartikan sebagai ksatria yang paling jantan di seluruh jagat.
Akan tetapi bahwa dalam dunia persilatan ada perebutan sebutan pendekar paling sakti, adalah hal yang lumrah.
Gendhuk Tri mempertajam pendengarannya.
"Di tanah Jawa ini sebentar lagi akan terjadi pertemuan puncak dari segala puncak ksatria yang datang dari berbagai arah mata angin.
"Kamu, tikus celurut, tak tahu hal ini. Kamu hanya tahu bagaimana mengadu domba orang dan merebut pangkat serta anak-istrinya."
Halayudha menggeleng lemah.
"Untuk apa saya mengikuti perebutan itu, kalau menyentuh Raja Segala Naga saja tak bisa?"
"Kata-katamu sungguh berbisa.
"Tapi itu urusanmu.
"Uruslah sendiri.
"Saat ini kita masih bisa bekerja sama. Kamu mencukupi kebutuhanku, dan aku menyiapkan pertarungan sakti yang akan datang. Saat itu seluruh jagat akan mengakui siapa sesungguhnya lelananging jagat ini. Dan Kaisar akan menganggapku sebagai senopatinya yang sejati. Yang telah menaklukkan seluruh mata angin."
"Dan keraton ini, di bawah pimpinanku, akan mengibarkan panji-panji Tartar."
"Aku tak peduli.
"Aku telah menunggu sekian lama. Kalau Kama Kangkam telah muncul, pasti sebentar lagi Kiai Sambartaka akan muncul. Karena kalau Kama Kangkam sudah menampakkan diri, berarti ia telah mengetahui aku ada di sekitar sini."
Lagi-lagi nama yang tak dikenal Gendhuk Tri.
Tetapi kalau hanya didengar dari namanya, dan disebut dengan keseganan tertentu, pasti mempunyai ilmu yang setara.
Nama Sambartaka bisa diartikan semua hancur-hancuran atau juga kiamat! Kalau sebutan Raja Segala Naga saja sudah nampak aneh karena tak biasa dipongahkan, kini ada lagi sebutan Kiai Kiamat! Gendhuk Tri juga menyadari bahwa Naga Nareswara adalah nama yang dipakai di tanah Jawa.
Sehingga terdengar agak janggal.
Kiai Sambartaka, kalau benar dari tlatah Hindia, pasti juga nama yang disesuaikan dengan sebutan di tempat ini.
Tidak sepenuhnya tepat.
Akan tetapi cukup memberi gambaran dan bagaimana kira-kiranya.
"Aku juga heran, kenapa justru di tanah yang selalu kehujanan dan matahari bisa menghilangkan bayangan tubuh kita saat tengah hari dipilih sebagai tempat pertemuan.
"Ini memang akal tersembunyi dari mulut manis Eyang Sepuh."
Kalau saat itu Gendhuk Tri tengah menelan ludah, mungkin akan tersedak.
Bagaimana tidak, kalau tokoh pepunden, tokoh pujaan yang dihormati, disebut-sebut? "Sewaktu Kaisar Tartar ingin menguasai dunia, waktu itulah kami semua ingin membuktikan bahwa sesungguhnya ilmu yang sejati itu berasal dari kami.
"Para pendeta dari tlatah Hindia sesumbar sumber segala ilmu silat berasal dari negerinya. Barangkali ada benarnya. Tetapi di negerikulah ilmu itu menjadi ilmu yang sejati.
"Kami menyebutnya sebagai ilmu Jalan Budha, sedangkan ksatria Jepun di bawah pimpinan Kama Kangkam juga menyebut nama itu dengan tambahan Zen ataupun laku, atau juga koan. Kiai Sambartaka menyebut dengan Tepukan Satu Tangan, dan Eyang Sepuh mengatakan hal yang kurang-lebih sama, dengan embel-embel dari Kitab Bumi.
"Aku bisa menyebutkan kitabku sendiri.
"Kama Kangkam bisa menyebutkan kitabnya sendiri.
"Kiai Sambartaka bisa menyebutkan kitabnya sendiri.
"Sekarang saatnya membuktikan ilmu siapa yang paling murni, yang harus diakui.
"Kami sudah merencanakan suatu pertemuan bersama, dan Eyang Sepuh yang akan mewakili tanah Jawa. Jauh sebelum secara resmi sebagai tamu negara rombonganku datang, aku sudah berada di tanah ini. Seperti juga Kama Kangkam dan Kiai Sambartaka. Semua terpikat omongan manis Eyang Sepuh yang mengatakan telah membandingkan semua kitab dan menganggap, untuk tanah Jawa, Kitab Bumi yang tak bisa ditandingi.
"Kami datang untuk membuktikan.
"Tapi sudah kukatakan, kalian hanya bisa pamer bermulut manis. Begitu kami semua datang, Eyang Sepuh menghilang. Tak adakah yang lebih pengecut dari semua itu? "Kini yang dimajukan adalah bocah ingusan yang bernama Upasara Wulung. Tapi karena ia menjadi pemimpin Perguruan Awan dan telah mempelajari Kitab Bumi untuk menggasak Naga-Naga dari Tartar, aku tak berkeberatan menghadapinya."
Lain yang dipikir Gendhuk Tri, lain pula jalan pikiran Halayudha.
Kalau Gendhuk Tri gusar karena Upasara dikatakan anak ingusan, Halayudha berpikir tentang imbangan kekuatan.
Jelas Upasara Wulung tak bisa dijagokan.
Masih ada Kama Kangkam, dan kedua muridnya.
Kalau kemudian juga muncul Kiai Sambartaka, ia juga akan mengatur agar pertarungan antar mereka berhasil memusnahkan ketiganya! Ini jelas tidak mudah, karena yang dihadapi adalah jagonya jago.
Kama Kangkam bisa ditekuk dengan tipu muslihat.
Akan tetapi bukan tidak mungkin akan dicarikan saat yang tepat untuk menggasak Naga Nareswara.
Tapi di mana Kiai Sambartaka? Dan apakah adatnya tidak lebih gawat dari Kama Kangkam atau Naga Nareswara? Kalau semua ini bisa dipusatkan, jalan terang di depannya! Senja Kala Dini Hari GENDHUK Tri hampir tak bisa menahan keperihan.
Menggurat luka di batinnya.
Alangkah bedanya keadaan sekarang ini.
Tak ubahnya perbedaan sinar matahari.
Sama-sama hangat dan tidak panas, akan tetapi hangatnya sinar pagi menandai lahirnya hari panjang yang gemilang.
Sementara hangatnya sinar matahari senja akan bersambung dengan kegelapan.
Belum pernah sepanjang hidupnya Gendhuk Tri merasa bahwa ia begitu mencintai bumi yang diinjak seperti sekarang ini.
Belum pernah ia begitu prihatin dengan tanah kelahirannya seperti sekarang ini.
Inilah yang membuatnya makin berduka.
Ketika Eyang Sepuh memimpin Perguruan Awan, wawasan dan jangkauannya meliputi ke segala tempat di mana matahari bersinar.
Seiring dengan Baginda Raja Sri Kertanegara yang memperluas cakrawala, Eyang Sepuh juga mengangkat derajat para ksatria dan pendeta.
Bukan hanya kekuatan Keraton yang menggema, tetapi juga kekuatan batin para ksatria dan pendeta yang luhur budinya.
Dengan kehadiran Eyang Sepuh di Perguruan Awan, Tepukan Satu Tangan ternyata bisa menggema dan diakui oleh para ksatria di belahan bumi yang lain, baik dari Negeri Cina yang menguasai pasukan Tartar, Jepun, maupun Hindia.
Dan termasuk sangat diperhitungkan, karena untuk membuktikan siapa yang paling murni mempelajari kitab yang disengketakan itu, mereka perlu datang sendiri.
Sungguh masa yang gemilang.
Eyang Sepuh telah mengawali dengan langkah-langkah besar dengan pandangan yang jauh.
Gendhuk Tri merasa bangga menjadi salah seorang murid Perguruan Awan.
Lepas dari adat Naga Nareswara, Kangkam, maupun Sambartaka yang tak bisa diterima, Gendhuk Tri menganggap mereka semua tokoh yang menjadi tempat di mana para ksatria memandang.
Ngenesnya, atau tragisnya, justru Upasara Wulung yang menjadi pewaris Tepukan Satu Tangan, yang bisa mewakili pertemuan tokoh sakti mandraguna dari berbagai penjuru jagat, sedang dalam keadaan cacat.
Karena pertikaian dari dalam.
Karena intrik-intrik dan cara-cara yang culas.
Seperti juga yang dilakukan Halayudha.
Di saat kebesaran dan keksatriaan diuji, Halayudha justru mengemukakan keinginan menjadi mahapatih dengan menjegal saudara-saudaranya sendiri.
Dan tak segan-segan mengabdi kepada Naga Nareswara.
Kalau tubuhnya masih dipenuhi racun ganas, Gendhuk Tri saat itu juga sudah meloncat dan menantang.
Tapi itu seperti juga menyerahkan nyawa.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, tanah kelahirannya akan menjadi ajang pertarungan laki-laki mancanegara.
Sementara para ksatria hanya bisa bertikai di antara mereka sendiri.
Betapa mengerikan seorang Adipati Lawe berbunuhan dengan Senopati Anabrang.
Apa pun alasannya! Betapa mengerikan seorang Jayakatwang memberontak dan menghancurkan Sri Kertanegara yang mengibarkan panji kebesaran.
"Apa yang kamu pikirkan, tikus?"
"Saya ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri Yang Mulia Raja Segala Naga tetap saya hormati setelah pertarungan nanti."
"Ya. Tetapi aku tidak suka dengan caramu menawan Kama Kangkam. Aku merasa malu kalau menang melawan seseorang yang telah menjadi tawanan dan mengalami penyiksaan. Aku malu dengan diriku sendiri."
"Saya akan segera melepaskan begitu keadaan memungkinkan. Karena ketiga Kama itu muncul untuk mengaduk Keraton, saya terpaksa membungkamnya."
"Itu percuma, Kama Kangkam telah mengetahui aku berada di tempat ini.
"Cepat atau lambat akan terjadi penentuan ksatria lelananging jagat.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku makin tidak sabar."
"Tinggal dua langkah.
"Satu langkah sudah terayun, yaitu tersingkirnya Mpu Sora. Langkah berikutnya, Mahapatih Nambi.
"Sekali lagi saya harus mengatakan bahwa saya tak ingin menyalahi tata budaya tanah ini. Tak mungkin begitu saja saya diangkat menjadi mahapatih.
"Saya sedikit terlambat mengikuti perjuangan merebut Singasari. Dan saya tak bisa menipu pasukan Tartar. Sungguh tak pantas saya mendesak Baginda Raja.
"Kalaupun Baginda Raja bisa saya paksa, tidak penduduk yang lain. Saya akan dianggap mbalela atau kraman, atau memberontak. Memberontak kepada tata budaya yang ada.
"Yang Mulia Raja Segala Naga, saya minta sedikit kesabaran. Saya akan mengusahakan semua yang diminta. Semua kitab pusaka telah saya serahkan kepada Yang Mulia."
Naga Nareswara tak menjawab.
Bersemadi.
Perlahan tubuhnya naik kembali.
Berhenti di tengah udara.
Halayudha menyembah, lalu berjalan kembali.
Gendhuk Tri menunggu.
Ia bisa menyergap Halayudha.
Tapi apa gunanya? Jelas musuh yang harus dihadapi ada di depannya, kenapa mereka harus saling bunuh? Bukankah sikap menghindari saling bunuh, saling tarung ini yang dipilih Kakang Upasara? Ah, Kakang lagi! Tapi nyatanya memang begitu.
Upasara mengorbankan dirinya, menghancurkan tenaga dalamnya untuk menghindari pertumpahan darah di antara saudara sendiri.
Dan menyelamatkan dirinya.
Gendhuk Tri terbelit dengan pikirannya sendiri.
Sementara Halayudha sudah menjauh.
Dan tak kelihatan lagi.
Karena begitu keluar dari bawah peraduannya, Halayudha segera menuju ke gua bawah tanah.
Menemui Kama Kangkam, dan kedua muridnya.
Halayudha berdiri dari jarak yang cukup jauh, memandang Kama Kangkam yang terikat seluruh anggota tubuhnya.
"Aku tahu, kamu ksatria Jepun pastilah mendendamku, membenciku, dan menghinaku.
"Aku terima semua hinaan dan cacian.
"Akan tetapi aku sesungguhnya ingin menyelamatkan kalian dari tipuan busuk yang direncanakan Naga Nareswara."
Kama Kangkam mengerutkan keningnya.
"Aku tahu rencananya. Sebenarnya aku tahu sejak kalian datang mau menghancurkan Keraton. Karena kalian telah mengetahui bahwa Naga Nareswara bersembunyi di dalam Keraton.
"Dengan salah seorang muridnya yang kini menjadi mahapatih.
"Begitu banyak rencana busuk untuk mencelakakan kalian."
Kama Kangkam tertawa.
"Aku kenal siapa Naga Nareswara. Seperti juga aku mengenal Eyang Sepuh. Tak nanti mereka kotor ujung kukunya."
"Kamu salah mengerti, Kama Kangkam. Tak bisa disalahkan karena kamu sesungguhnya ksatria sejati. Kalau Eyang Sepuh bisa dilenyapkan tanpa bekas, kenapa kalian tidak? "Justru karena takut menghadapi kalian, menghadapi Eyang Sepuh, takut menghadapi Kiai Sambartaka, maka Naga Nareswara melakukan siasat licik."
Halayudha melihat perubahan di mata Kama Kangkam. Hatinya bernyanyi. Meskipun wajahnya tak berubah.
"Selama ini aku menahan diri untuk tidak mengatakan kepadamu, bahkan aku berlaku kejam pada kalian bertiga. Ini hanya untuk mengupayakan agar Naga Nareswara mendapat laporan dari Mahapatih bahwa kalian benar-benar disiksa, dan kehilangan ilmu.
"Pada saat itulah kalian membalas dendam.
"Terserah siapa yang lebih unggul. Apakah yang berada di langit atau yang berada di tanah.
"Aku hanya ingin mengatakan ini, dan kamu tetap bersabar sedikit, sampai saatnya datang.
"Maafkan aku, Kama Kangkam, kalau aku bersikap jahat padamu."
Dengan pendekatan itu, Halayudha merasa mendapat sedikit jaminan ketenangan dalam hatinya.
Kalau suatu hari nanti Kama Kangkam lepas dan berhadapan dengan Naga Nareswara, siapa pun yang keluar sebagai pemenang, nasibnya tetap terjamin.
Karena kedua calon pemenang itu tak melihat sesuatu yang perlu dimusuhi.
Bahkan Halayudha bisa dianggap bersahabat.
Seperti yang saat ini dilakukan untuk menjerumuskan Mpu Sora! Taruna, Mahapatih, bahkan Sora sendiri tak mencurigainya.
Malah sebaliknya.
Demikian juga Baginda Raja.
"Mahapatih barangkali ingin menunjukkan kekuasaannya dengan menghadap Paduka Baginda Raja. Namun tidak akan mengurangi kebesaran Paduka yang dilindungi Dewa Maha Pelindung, sekadar memuaskan Mahapatih dengan memberi kesempatan sowan."
Dengan cara ini Halayudha akan dinilai Mahapatih bisa memberikan jalan untuk menghadap Baginda Raja.
Bagi Halayudha, langkah berikutnya adalah menggarap Mpu Sora! Memancing Raja Segala Raja GENDHUK.
Tri keluar dari persembunyiannya.
Lalu menunduk dengan hormat sambil merangkapkan kedua tangan di atas kepala.
"Hari ini saya, cucu murid, datang menghadap."
Terdengar tarikan napas dingin.
Bagi Gendhuk Tri memang tak ada pilihan lain.
Biar bagaimanapun, Naga Nareswara tetap akan mengetahui persembunyiannya.
Cara mengatur napasnya masih kalah jauh.
Sebelum diketahui, Gendhuk Tri lebih dulu memunculkan diri.
"Cukup cerdik kamu segera keluar, kalau tidak kamu akan mati lemas terkena tenaga dalamku yang mengisap udara dalam gua ini."
Gendhuk Tri tersenyum.
Adalah sesuatu yang luar biasa bahwa dalam keadaan begitu genting, Gendhuk Tri masih bisa tersenyum.
Seseorang yang memiliki hati baja pun tak akan bisa lentur seperti yang ditunjukkan Gendhuk Tri.
Padahal Gendhuk Tri bukannya tidak mengetahui bahwa apa yang dikatakan Naga Nareswara bisa terbukti.
Dengan kemampuan tenaga dalam yang dimiliki, Naga Nareswara bisa saja mengatur sedemikian rupa sehingga semua udara bersih terisap olehnya.
Dengan demikian Gendhuk Tri bisa mati lemas.
"Mati atau tidak, bukan hanya karena tak bisa bernapas. Sekali berkedip Kakek Guru bisa mengambil nyawa saya.
"Tetapi saya akan mati dengan puas karena telah bertemu dengan Kakek Guru."
"Bangsa tikus celurut, kalian memang pintar memainkan lidah memutar kata. Muslihat apa lagi yang akan kamu mainkan?"
"Kalau bukan karena pesan Guru Kiai Sangga Langit, tak nanti saya menyusup kemari dan membahayakan diri. Kalau bukan mengingat itu semua, saya tak akan peduli siapa yang sok suci berada di sini."
Naga Nareswara bergelak.
"Sungguh baru pertama kalinya aku mendengar suara yang sombong. Aku suka mendengarnya."
"Maaf kalau saya kurang ajar, Kakek Guru."
"Tidak, tidak apa. Selama ini aku hanya menemui tikus yang merunduk. Tak ada yang berani menatap mataku. Siapa namamu?"
"Saya biasa dipanggil Gendhuk Tri.
"Secara kebetulan saya pernah ditolong oleh Kiai Sangga Langit, dan mendengar cerita bahwa..."
Terdengar tarikan napas dingin.
Walau hatinya bercekat, Gendhuk Tri tetap tenang.
Ini adalah satu-satunya cara untuk meloloskan diri dari cengkeraman Raja Segala Naga.
Dengan nekat Gendhuk Tri mengatakan diri sebagai salah seorang murid Kiai Sangga Langit.
Seperti diketahui, Kiai Sangga Langit adalah pendeta yang berkelana di Keraton Singasari.
Pendeta Tartar yang perkasa, yang pernah jatuh hati untuk mengajarkan sebagian dari ilmunya kepada Upasara Wulung, yang dianggap bisa menyerap ajaran Budha.
Kiai Sangga Langit sendiri telah gugur bersama dengan Ngabehi Pandu, guru Upasara Wulung.
"Sepanjang yang kuketahui, Sangga Langit tak pernah punya murid."
"Saya tak cukup kurang ajar untuk mengaku sebagai muridnya. Akan tetapi saya pernah diajari ilmu congklak yang dikenal sebagai Sembilan Jalan Budha. Apakah perlu saya mainkan untuk membuktikan?"
Gendhuk Tri masuk ke tengah perhatian Naga Nareswara.
Dengan menyebutkan Sembilan Jalan Budha atau juga Sembilan Langkah Budha yang dikaitkan dengan permainan congklak, Naga Nareswara menjadi terpengaruh.
Permainan congklak dengan sembilan lubang memang merupakan permainan khusus jika ingin memenangkan dalam langkah pertama.
Dulu Kiai Sangga Langit membuat sayembara.
Barang siapa bisa menang lawan tanding main congklak dengannya, akan diberi seluruh ilmunya.
Kunci dari permainan itu ialah, jika dalam satu langkah pertama bisa mendapatkan seluruh biji yang dimainkan.
Dengan demikian akan berarti menang! Dalam sayembara itu, Upasara Wulung bisa memecahkan cara bermain.
Dalam pandangan Kiai Sangga Langit, ini sungguh pencerahan yang luar biasa.
Selama ia melanglang dunia, belum pernah ada yang mematahkan.
Akan tetapi ternyata dalam sekali gebrak Upasara bisa membuyarkan ilmu congklaknya.
Gendhuk Tri sendiri tak cukup cerdas untuk bisa memainkan seperti Upasara Wulung.
Akan tetapi dengan menggertak seperti itu, Naga Nareswara jadi manggut-manggut.
"Untuk apa kamu masuk kemari?"
"Untuk memberi laporan.
"Apa yang dikatakan Halayudha banyak dustanya. Yang disebut lawan tangguh, Upasara Wulung, sekarang ini tak ada apa-apanya. Ia telah menjadi orang biasa, karena semua ilmu dan tenaga dalamnya telah musnah."
Tarikan napas dingin terdengar kembali.
"Apa mungkin ada yang bisa menggempurnya?"
"Tak ada yang mampu mengalahkan, kecuali dirinya sendiri. Yang gagal memahami Kitab Bumi."
"Itu mungkin sekali.
"Tapi untuk apa kamu katakan?"
"Saya tak cukup tahu apa rencana Halayudha yang sesungguhnya. Akan tetapi jelas ia berdusta. Ada sesuatu yang disembunyikan. Pertama, soal Kakang... soal Upasara Wulung. Kedua, soal Kama Kangkam dengan dua muridnya yang dicelakakan.
"Begitu nistanya, sehingga bukan tidak mungkin dengan cara yang sama liciknya akan mencelakai Kakek Guru.
"Itu saja yang ingin saya katakan.
"Sekarang saya lega. Mati pun tak akan menyesal. Entah Kakek Guru mau percaya atau tidak."
"Kalau tidak?"
"Kiai Sangga Langit menurunkan ilmunya tanpa berharap sesuatu. Memberi sesuatu yang baik. Itu yang saya lakukan sekarang."
"Kamu pintar sekali atau jujur sekali.
"Aku tak bisa menentukan penilaian sekarang.
"Kalau aku percaya?"
"Ada kesempatan keluar dari persembunyian. Untuk membuktikan diri sebagai lelananging jagat, sebagai Raja Segala Naga dan binatang lainnya."
Bagi Gendhuk Tri, kalau ia berhasil memancing Raja Segala Naga ini keluar dari sarangnya berarti bisa mengubah jalan sejarah. Termasuk sejarah hidupnya sendiri! "Bagaimana kamu tahu aku di sini?"
Meskipun pertanyaan ini angin-anginan, akan tetapi jelas menyelidik. Sekali terdengar jawaban yang keliru atau janggal, nyawa Gendhuk Tri bakal lepas tanpa sempat pamitan.
"Halayudha selalu menyembunyikan sesuatu dalam gua bawah tanah Keraton. Baik ketiga Kama, atau seseorang yang bernama Dewa Maut. Saya menduga kalau Kakek Guru sudah datang, pasti disembunyikan dalam satu gua. Saya berusaha menyusup."
"Rasanya aku percaya yang kamu katakan."
"Terima kasih, Kakek Guru."
"Akan tetapi aku akan membunuhmu lebih dulu."
Gendhuk Tri mengeluarkan tarikan napas dingin.
"Karena ini berarti kamu mengetahui sesuatu yang rahasia tentang diriku. Aku sudah bersumpah tak mau percaya kepada semua tikus celurut, semua tikus celurut yang menjijikkan, kalau ingin menang dan menguasai.
"Kematian cara apa yang kamu pilih?"
"Kematian yang Kakek Guru tentukan sendiri.
"Kenapa mesti repot-repot menentukan kematian? Apa bedanya mati berdiri atau mati duduk bersila?"
"Siapa yang mengajarimu kurang ajar?"
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naga Nareswara nampak begitu gusar, sehingga tubuhnya naik ke tengah udara, dan tongkat emas di sampingnya ikut tertarik tenaga menjadi tegak.
"Kalau untuk kurang ajar saja mesti diajari, apa gunanya guru dan belajar?"
"Sebelum ketemu Kiai Sangga Langit, siapa yang mengajarimu?"
"Kakek Guru akan kaget kalau saya sebutkan bahwa yang mengajari saya adalah Mpu Raganata, pendeta agung dari Keraton Singasari yang mempunyai ilmu Weruh Sadurunging Winarah."
"Apa itu ilmu Tahu Sebelum Terjadi?"
"Ah, mana mungkin Halayudha tak pernah menyebutkan selama ini? Berarti ia berdusta lebih banyak lagi dengan mengatakan bahwa semua kitab telah diberikan kepada Kakek Guru."
Gendhuk Tri berhasil mendekatkan kailnya.
Dan Raja Segala Naga telah mengendus umpan.
Walau sebenarnya Gendhuk Tri tak sepenuhnya berdusta.
Ia memang murid Mpu Raganata yang mempunyai ilmu Weruh Sadurunging Winarah.
Ajaran ilmu kanuragan yang tiada duanya bagi yang telah menguasai.
Karena ilmu tersebut lebih mengandalkan kepada ketajaman rasa.
Gerakan lawan yang belum dilakukan seakan sudah bisa ditebak maksudnya.
Arah gerakan bisa terbaca sebelum dilakukan.
Ilmu Weruh Sadurunging Winarah sedemikian saktinya, sehingga disejajarkan dengan Tepukan Satu Tangan.
Hanya saja bedanya ialah ilmu Mpu Raganata itu tak dikenal secara luas.
Karena Mpu Raganata sendiri mempelajari secara diam-diam.
Bahkan muridnya tak mengetahui siapa dan apa yang diajarkan.
Jurus Gender dan Rebab GENDHUK Tri sadar bahwa setiap kalimat yang diucapkan bisa membuatnya mati seketika atau sebaliknya.
Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id