Senopati Pamungkas 2
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 2
Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto
Entah apa hubungannya, Gendhuk Tri berasal dari tempat yang sama.
Mengenai Jagaddhita sendiri Senopati Suro mempunyai rasa sungkan.
Permintaan maaf sebelum menyerang tadi bukanlah sekadar basa-basi seorang ksatria.
Hanya karena tugas Keraton yang dibebankan ke pundaknya saja, membuat Senopati Suro tega menyerang.
Kalau bukan karena ngemban dawuh, disuruh memelototi nenek berambut putih tetap saja ia tak mau menjalani.
Mana mungkin ia berani bertindak kurang ajar kepada penari kesayangan Baginda Raja, yang menjadi sembahan dan tempatnya mengabdi? Jagaddhita adalah nama pemberian Baginda Raja Kertanegara.
Nama itu diumumkan dalam upacara keagamaan resmi pada suatu pesta besar.
Jagaddhita artinya kebahagiaan dunia.
Konon julukan itu diberikan oleh Baginda Raja karena dalam menari benar-benar bisa memberikan kebahagiaan bagi yang menyaksikannya.
Sebagai penari Keraton, Jagaddhita tak pernah memamerkan kepandaiannya di luar dinding.
Bahkan tak boleh menari sembarangan.
Sejauh ini, hanya Baginda Raja yang berhak menitahkan untuk menari, dan sekaligus melarang.
Senopati Suro tak pernah mengetahui apa kejadian yang berlangsung di Keraton.
Ia belum diangkat sebagai senopati, masih prajurit biasa.
Meskipun tugas pengawalannya sudah luar biasadi bagian dalam.
Ketika diangkat sebagai senopati penuh, Jagaddhita sudah tidak berada di dalam Keraton lagi.
Meskipun kejadian itu telah lama berlalu, semua orang yang berada di dalam Keraton mengerti, bahwa Jagaddhita tak mau lagi berdiam di Keraton.
Desas-desus kabar yang terdengar serba bertentangan.
Ada yang mengatakan Jagaddhita menjadi gila dan menari di pasar.
Ada yang mengatakan ia kawin dengan bupati dari tanah dewa, Bali.
Ada pula yang mengatakan ia menjadi rakyat biasa.
Kepastian mengenai Jagaddhita baru sekitar setengah tahun yang lalu.
Senopati Suro bersama para senopati yang lainnya mendengar sendiri dari Baginda Raja Kertanegara.
Yang secara sepintas menyebutkan sanak-saudara yang tidak merasa tenteram di Keraton, dan lebih suka berada di luar.
Jagaddhita disebut.
Meskipun hanya satu kalimat saja, akan tetapi itu cukup berarti Itu pula sebabnya ketika lolos dari serangan, Senopati Suro, Senopati Joyo, Senopati Lebur, dan Senopati Pangastuti tidak melanjutkan serangan.
Mereka seperti ragu dan menunggu.
Lebih suka melirik hormat ke arah tandu.
Kalau ada aba-aba dari situ, mereka akan bergerak cepat.
Kalau tidak, ya tetap saja menunggu.
Satu tarikan napas, tak terdengar perintah atau aba-aba.
Senopati Suro bersila di tanah, menghaturkan sembah, kemudian mengangsurkan selendang.
"Maafkan hamba, Putri...."
Nada dan cara mengucapkan nama sudah berubah sekali.
Kalau tadi, masih terdengar nada congkak, sekarang menunjukkan seorang hamba dengan atasannya.
Jagaddhita menghela napas.
Gendhuk Tri mengambil selendang, dan memakai untuk dirinya sendiri.
Terlalu panjang untuk ukuran tubuhnya.
Seperti tadi juga, Gendhuk Tri seperti tak peduli sekitar.
Tak peduli bahwa sebenarnya ada peristiwa besar berawal darinya.
Kini juga tak menyadari bahwa semua pasang mata mengawasi ke arahnya.
Termasuk di antaranya lelaki berpakaian hitam yang dipanggil sebagai Pu'un.
Dalam beberapa saat ia berhasil membebaskan rasa nyeri yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya.
Rasa nyeri yang membuatnya merasa seluruh tenggorokannya membuntu semua yang biasa lewat di situ.
Dalam hatinya bercekat juga.
Hebat wanita tua ini.
Sekali serang langsung ke bagian yang paling gawat.
Coba tadi nenek itu sedikit menambah tenaga, pasti nyawanya sudah terbang ke alam baka.
"Gendhuk Tri,"
Terdengar suara halus Pembarep.
"Apakah kau tahu ke mana perginya Eyang Sepuh?"
"Tahu, tapi aku tak mau mengatakan ke mana. Percuma, kalian akan mengganggu Eyang. Saat ini Eyang tak butuh tetamu. Lebih baik kalian semua pulang saja. Untuk apa masih ribut-ribut di sini. kalau Eyang Sepuh tidak ada? Dan kalaupun saya tahu tetapi tak mau bilang? "Apa kalian semua mau main paksa? Jangan katakan kami berdua takut menghadapi. Boleh maju bersama-sama atau satu per satu."
"Itu yang akan kujajal"
Dua bayangan melesat ke depan secara bersama-sama.
Sesaat berikutnya bayangan ketiga menyusul.
Dua bayangan pertama adalah Dewa Maut dan Padmamuka.
Sedang bayangan ketiga adalah Upasara.
Bagi Upasara, masih tersimpan dendam lama.
Ia merasa belum puas untuk menjajal ilmunya dengan Dewa Maut.
Apalagi mengingat kejadian yang baru saja, rasa dongkol Upasara tak bisa ditahan lagi.
Dari atas pohon, tubuh Upasara melayang turun.
Ia mempergunakan kuda hitam Senopati Suro untuk batu loncatan sebelum jungkir-balik dengan enteng di tengah arena.
Selagi masih di udara, tangan kirinya mencabut keris dan dengan satu gerakan lurus mengarah ke arah Dewa Maut.
Sadar bahwa yang dihadapi adalah tokoh sakti yang kelewat kejam, Upasara tidak mau main-main.
Ia menyerang dengan sepenuh tenaga.
Semua akal dan kemampuannya dipusatkan.
Dalam gerakan menusuk ia juga melindungi diri, kalau melihat tangan Dewa Maut menyambit dengan bibit racun.
Gaya terjun Dewa Maut boleh dibilang luar biasa.
Di tengah udara, tanpa menunggu bentrok dengan Upasara, bisa seakan bergeser.
Tusukan Upasara mengenai udara kosong.
Tangan kiri Dewa Maut bergerak memapak serangan keris dengan menjentik urat di pergelangan.
Upasara tidak membiarkan lawan berbuat semaunya.
Dengan mengubah gerakan sedikit.
pergelangan tangan terbebas dan menekuk.
Ujung keris jadi berbalik arahnya.
Kini ujung kerisnya menunjuk ke dalam.
Dalam satu tarikan cepat, Upasara berusaha menebas dari samping.
Dewa Maut urung menerjang Gendhuk Tri karena pusat perhatian untuk menangkis serangan beruntun.
Ia bukan tidak mengenali kelebihan dan ketangkasan Upasara.
Dasar gerakan dari serangan Upasara adalah langsung dan keras.
Kalau ia menusuk, seluruh tangannya terulur penuh.
Ditambah dengan ujung keris, jarak tusukannya menjadi panjang.
Ditambah lagi dengan cara bergerak yang cepat, serangannya memang membuat repot.
Akan tetapi sebagai jago yang kenyang makan asam-garam dunia persilatan, Dewa Maut bisa melihat kelemahan.
Dengan serta-merta ia membiarkan dirinya seolah kena tusuk di bagian dada, serentak dengan itu jotosannya mendahului ke arah kepala lawan.
Kalau tangannya bisa lebih dulu meremukkan batok kepala Upasara di bagian dahi, seketika itu juga bakal rontok.
Ini berarti tusukan kerisnya bakal berkurang banyak.
Benar-benar seperti gelarnya.
siap mencabut nyawa tanpa banyak pertimbangan.
Terdengar suara endusan panjang.
Karena Upasara justru tidak nampak akan menarik kepalanya.
Seakan membiarkan untuk dijotos secara keras.
Memang nampaknya begitu.
Terutama karena gerak Upasara adalah gerak seekor banteng.
Gerak patah-patah.
Tapi Upasara bukannya tidak mengetahui tangan pencabut nyawa.
Ia menelengkan kepalanya, sementara kerisnya terus meluncur.
Kini perhitungannya terbalik.
Upasara berharap kerisnya yang amblas lebih dulu.
Kalaupun jotosan lawan bertenaga, kenanya tidak telak.
Luka parah mungkin saja, tetapi kalau dada lawan tidak terbuat dari baja, keris Upasara masih bisa amblas sampai ke gagangnya.
Dewa Maut tak mau berisiko untuk mengadu nyawa.
Apa gunanya bisa meremukkan kepala lawan, kalau dadanya sendiri sobek? Sikap congkak untuk mengadu nyawa dengan bocah kemarin sore, membuatnya berpikir lain.
Arah pukulannya ke kepala lawan diubah dengan menonjok ulu hati, dibarengi dengan gerakan kaki menyapu lawan.
Ini menghindari keris, sekaligus balas menyerang.
Upasara mengeluarkan suara ejekan dari hidung.
Keris di tangan kanan disentil dengan tangannya.
Jadilah keris terbang.
Karena Upasara sengaja menyentil di bagian belakang sisi kanan, keris itu di tengah udara berbelok arahnya.
Persis menuju tengkuk Dewa Maut.
Jurus-jurus Banteng Ketaton yang diciptakan Ngabehi Pandu memang termasuk jurus yang serba ganas.
Jurus menyerang dan menyerang.
Dengan atau tanpa membahayakan diri sendiri.
Bagi Upasara ini sangat sesuai dengan keinginannya.
Akan tetapi Jagaddhita yang melihat sekilas seperti mengernyitkan alisnya.
Samar-samar ia mengenali dasar-dasar silat Upasara.
Itu adalah dasar silat yang hanya dipelajari di Keraton.
Selama ini hanya terbatas untuk kerabat Keraton yang masih mempunyai hubungan darah langsung.
Bahkan yang dimainkan para senopati tadi pun menunjukkan perbedaan yang jelas.
Bahwa Upasara mungkin sekali masih kerabat dekat, Jagaddhita tak meragukan.
Dalam situasi- keraton mana pun, kerabat dekat sangat banyak jumlahnya.
Sehingga tak mungkin mengenali separuh dari jumlah seluruhnya.
Yang membuat Jagaddhita sedikit mengernyitkan alis adalah apa yang diperlihatkan Upasara seperti jurus yang belum jadi.
Dalam artian belum sempurna betul.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tahu betul bahwa apa yang dikembangkan dari dasar ilmu silat Keraton selalu mengandung tiga unsur.
Unsur pertama adalah unsur menyerang.
Unsur kedua adalah unsur bertahan.
Unsur ketiga adalah unsur diserang.
Ketiga unsur ini merupakan kesatuan.
Dalam menyerang, ada bagian untuk bertahan.
ada bagian untuk mundur.
Perbedaan bagian-bagian ini yang menyebabkan satu gerakan yang sama bisa untuk menyerang, bisa pula dipakai untuk bertahan, bisa pula dipakai untuk meloloskan diri.
Ini merupakan ciri khas silat dari Keraton Singasari yang kesohor.
Bukan hanya di tanah Jawa, tapi sampai seberang lautan.
Sehingga dalam pengertian umum, rasanya tak mungkin mengalahkan para senopati atau jago Keraton.
Karena mereka dibekali dasar untuk bertahan, dan bagaimana sebaiknya dalam kedudukan kalah.
Perincian dalam setiap jurus mudah terlihat.
Tak pernah secara total menyerang dan dengan demikian mudah kecolongan.
Tak pernah membuka diri sepenuhnya.
Akan tetapi justru inilah sekarang yang diperlihatkan oleh Upasara.
Ia menyerang bagai kesetanan.
Mencurahkan seluruh tenaganya hanya untuk menyerang, secara habis-habisan.
Yang membuat Jagaddhita bertanya-tanya dalam hati adalah apakah ini juga merupakan ajaran resmi yang disetujui oleh Baginda Raja? Ataukah hanya ulah sementara pendekar saja? Kedengarannya hanya pertanyaan yang sepele, namun Jagaddhita adalah orang dalam yang tahu seluk-beluk keadaan Keraton.
Mengenal Baginda Raja secara langsung.
Sejak dulu pula, secara langsung ia ikut mendengarkan masalah dalam.
Bahkan kadang Baginda Raja memanggil untuk turut dalam pasewakan, pertemuan terbatas.
Saat itulah mulai tumbuh pemujaan yang tak ada batasnya.
Jagaddhita sangat mengagumi kehebatan Baginda Raja.
Pikiran yang cemerlang, gagasan-gagasan yang besar, dan lebih dari itu semua.
Baginda Raja mampu menumbuhkan kepercayaan kepada kerabat dan senopatisampai dengan para prajurit kecil.
Dialah yang membela mati-matian di antara para selir Baginda Raja, jika mereka semua merasa ada sesuatu yang kurang memuaskan dalam pelayanan para pelayan.
Kalau para selir lain menuntut ini-dan-itu.
Jagaddhita menjadi berang.
Ia menuduh para selir itu seperti tak tahu diuntung.
"Kalian para wanita hanya bersimpuh dan menjaga ranjang, mau minta yang aneh-aneh. Nasib kalian menjadi jauh lebih baik hanya karena kebetulan saja. Hanya karena Baginda Raja Dewa Kita pernah melirik. Dan kalian juga cuma mempersembahkan apa yang kalian miliki dengan cara yang paling rendah. Kenapa harus menuntut macam-macam? Kenapa segala dupa, segala minyak harum cendana saja menjadi persoalan besar? Kenapa soal kain saja harus dipertentangkan? "Baginda Raja Dewa Kita mempunyai gagasan yang melebihi luasnya dunia. Apa kalian tidak malu meminta banyak untuk satu kali persembahan? "Sebagai wanita, aku malu dilahirkan sebagai kalian semua."
Jagaddhita tak disukai oleh kalangan selir.
Dan terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan ia harus pergi dari Keraton.
Ketika itu ada pesta memperingati weton, hari lahir, Baginda Raja.
Jagaddhita harus tampil mempersembahkan satu tarian.
Akan tetapi, ketika bangun dan tidurnya, Jagaddhita tak bisa menatap langit.
Kenyataan yang paling hina terjadi pada dirinya.
rambutnya yang panjang, hitam, dan berombak hingga ke bawah pantat.
telah dipotong orang.
Hanya sebatas bahu belaka.
Bagi seorang penari Keraton, semua yang ada pada tubuhnya adalah pusaka.
Bentuk mata, warna kulit, panjang kuku, dan terutama memang rambut.
Rambut seorang penari sama pentingnya dengan selendang, gerak kaki, lentiknya jari.
Susah dibayangkan apa yang dirasakan Jagaddhita saat itu.
Ketika emban, pelayan perempuan, datang ke kamarnya, kamar itu telah kosong.
Ketika emban tadi berusaha melapor ke emban kepala, ia pingsan.
Dan emban kepala ini pun pingsan pula sebelum lapor ke pemimpin karawitan.
Selesai melapor ke Baginda Raja, pemimpin karawitan menyatakan menarik diri sebagai abdi dalem.
Karena ia merasa bertanggung jawab atas terselenggaranya pesta di Keraton.
Ketakutan emban, emban kepala, atau pemimpin karawitan, menandakan betapa Jagaddhita mempunyai hubungan yang sangat erat dan istimewa dengan Baginda Raja.
Yang pada kesempatan itu langsung menghentikan pesta, dan masuk ke dalam Keraton.
Hilangnya Jagaddhita dari Keraton memang tidak diusut.
Baginda Raja tidak menitahkan untuk mencari.
Hanya saja sejak saat itu para selir yang berkumpul di dalam ruangan yang sama dipindahkan ke bagian belakang.
Istilahnya adalah dikebunkan.
Ditempatkan di dalam kebun.
Meskipun tetap di bagian dalam Keraton, tapi letaknya paling ujung belakang.
Ini menandakan bahwa Baginda Raja tidak berkenan lagi melihat mereka.
Tidak ingin dilayani oleh mereka.
Nasib para selir yang dikebunkan sudah jelas.
Tinggal menunggu apakah ada yang mengambil sebagai istripara bupati atau prajurit biasa.
Kalau tidak ada, mereka akan berada di kebun seumur hidup.
Memang mereka pun diizinkan keluar dan hidup sebagai rakyat biasa.
Namun sangat jarang yang memilih ini.
Karena di luar dinding Keraton berarti harus mencari makan sendiri.
Dan rata-rata para selir memang tidak mempunyai keahlian apa-apa untuk sekadar mencari sesuap nasi.
Tragis, tapi itulah yang terjadi.
Jagaddhita saat itu memang meninggalkan Keraton.
Tubuh dan wajahnya ditutupi kain putih.
Ia berjalan meninggalkan Keraton lewat pintu samping.
Dan meneruskan jalannya hingga masuk hutan.
Tanpa makan tanpa minum.
Di tempat yang sepi itu, Jagaddhita melepaskan seluruh pakaian penutup tubuhnya.
Ia bersemadi.
Manekung, mempertanyakan hidup dan seluruh dirinya kepada Tuhan.
Semacam pasrah diri secara total.
Kalau saat itu ada harimau buas atau ular yang memagut.
itulah akhir hidupnya.
Kalau saat itu turun hujan lebat yang mengakibatkan banjir besar, ya itulah nasibnya.
Dalam manekung, seseorang menyerahkan diri secara total kepada Tuhan.
Apa pun yang terjadi, itu semua kehendak Tuhan.
Dari gelanggang pertempuran terdengar seruan tertahan yang keras.
Keris yang bagai mempunyai mata dan perasaan melayang lurus ke arah Dewa Maut.
Tengkuk yang diarah.
Dewa Maut merasakan desis angin bertiup lembut.
Sebagai seorang yang ahli dalam hal racun dan bisa, ia tahu bahwa keris Upasara bukan keris istimewa dalam menyimpan racun.
Racun yang digunakan hanya warangan biasa.
Meskipun demikian.
sekali kena toreh, cukup membahayakan nyawa juga.
Dewa Maut membuang tubuhnya dengan berjumpalitan menjauh keras, sementara ujung kakinya dengan sebat menendang pangkal keris.
Bagai disentakkan keris itu terus melaju ke arah Upasara.
Kecepatan keris itu menjadi berlipat karena didorong dengan tenaga tendangan sepenuhnya.
Harus diakui bahwa pada serangan pendek dan keras seperti ini, Dewa Maut seperti terdesak mundur.
Apalagi secara fisik ia memang mundur, akan tetapi serangan terakhirnya bisa menyelesaikan perkara dalam seketika.
Dan Upasara? Membuang tubuh pun tak sempat.
Rupanya dari sinilah teriakan tertahan ini.
Dan Jagaddhita sudah memperkirakan tadi.
Bahwa dengan mengempos tenaga sepenuhnya untuk menyerang, daya tahan menjadi berkurang.
Apalagi daya untuk meloloskan diri.
Perbandingan antara ngarsa (depan, bisa berarti menyerang), madya (tengah, bisa berarti bertahan), wuri (belakang, bisa berarti menyelamatkan diri) sangat tidak seimbang.
Bagian terbesar tenaga Upasara terkuras untuk ngarsa! Jagaddhita boleh merasakan masih ada hubungan tidak langsung dengan Upasara.
Setidaknya ada benang merah yang bernama Keraton Singasari yang mempertautkan dirinya dengan Upasara.
Lebih dari itu.
masuknya Upasara ke tengah gelanggang adalah untuk memapak serangan yang sebenarnya ditujukan kepada Gendhuk Tri.
Boleh saja Upasara mempunyai alasan lain, akan tetapi perlawanan tadi semata-mata untuk menolong Gendhuk Tri.
Hanya saja jarak Jagaddhita tak begitu dekat.
Terlambat untuk meloncat menolong, karena laju keris memang sangat cepat.
Kalau saja masih ada selendang warna-warni, ia bisa mengebaskannya.
Setidaknya arah keris akan berubah, atau setidak-tidaknya bergeser.
Bukan dahi tapi bisa ke sisi telinga.
Tapi toh tetap tak mungkin karena selendangnya dibawa Gendhuk Tri.
Si gadis kecil ini terpesona melihat pertempuran di sampingnya tanpa menyadari sepenuhnya bahwa sebentar lagi bakal ada tubuh yang menjadi sarung sebilah keris.
Jagaddhita berseru keras.
"Awas."
Itulah satu-satunya yang bisa dilakukan.
Tapi Upasara bukan ksatria sembarangan.
Ia dilahirkan di bawah gemblengan Ngabehi Pandu.
Boleh dikatakan selama dua puluh tahun usianya, Upasara tak mengenal kegiatan lain kecuali berlatih silat.
Ini mungkin sedikit berbeda dari para ksatria dan bangsawan yang lain.
Upasara tidak mengenal pesta-pesta Keraton.
Ia tak pernah terlibat.
Juga sebagai bangsawan muda, ia tak pernah terlibat dalam foya-foya.
Upasara merupakan perkecualian dalam hal ini.
Dalam pesta yang semarakyang memang selalu saja diadakanUpasara tak ada.
Tak ikut bergerombol dengan para bangsawan lain yang bersenang-senang dengan para pesinden atau penari di luar dinding Keraton.
Apa yang mereka namakan "berburu konde", tak masuk dalam perbendaharaan kata Upasara.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jangan kata melakukannya, meninggalkan ruangan tempat berlatih saja tak punya keinginan.
Itu pula sebabnya Ngabehi Pandu bersemangat untuk mengangkatnya sebagai muridsatu-satunya murid.
Namun kesungguhan yang jauh lebih mendorong kuat adalah kenyataan bahwa Upasara melakukan ini dengan sepenuh hati.
Ia memang tak berpikir lain.
Tak tertarik untuk ikut hura-hura dengan para "pangeran kecil"
Yang lain.
Ketekunan, disiplin yang tinggi, dan semangat yang terus berkobar ini kelihatan hasilnya.
Menyadari kerisnya sendiri meluncur ke arah jidatnya, Upasara memusatkan seluruh kemampuannya.
Konsentrasinya hanya satu.
mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya.
Kedua kakinya sedikit mengangkang seperti menunggang kuda.
Pandangannya lurus ke satu titik di depan.
Kedua tangannya bergerak sangat pelan, sepertinya.
Dari samping, kedua tangan tertarik ke atas.
Dua siku terdorong ke belakang, lalu mengembang ke samping.
Dengan gerakan sederhana ini, kedua telapak tangan membuka, lalu menutup.
Seperti sedang menghaturkan sembah.
Gerakan ini boleh dikata menjadi gerakan dasar semua ilmu silat di kolong jagat.
Yaitu menghimpun dan menyatukan tenaga dalam.
Rahasia kekuatan yang muncul adalah dari tarikan napas.
Mula-mula hidung menyedot udara sebanyak mungkin.
Udara dalam kepala digerakkan naik, seolah menuju kening, ke otak, lewat sumsum tulang belakang mengalir turun, sampai di perut, ditahan di pusar.
Dari seluruh himpunan tenaga ini bila telah sampai pusar, tinggal mau mengarahkan ke mana.
Dalam latihan, bila tidak ada lawan, tenaga itu tersalur ke luar lewat pori-pori tangan.
Sehingga tangan seperti menggetarkan menahan gejolak tenaga yang menerobos ke luar.
Dalam ilmu silat, kalau dipikir, sebenarnya tak ada yang istimewa.
Seperti gerak menghimpun tenaga di pusar tadi.
Yang membedakan satu jago dari yang lainnya hanyalah konsentrasi, semangat, dan disiplin yang tinggi.
Konsentrasi ini bersangkut-paut dengan cara hidup.
Makin bersih cara hidup, makin mudah diraih konsentrasi.
Bersih ini pada dasarnya merupakan panutan moral dan sikap hidup.
Tidak main perempuan dalam pengertian yang bukan istrinya termasuk salah satu ajaran yang pokok, di samping melewati beberapa jenis puasa.
Untuk hal ini Upasara boleh dikatakan masih sangat murni.
Tenaga dalamnya masih bersih.
Maka seiring dengan datangnya keris ke arah keningnya, kedua telapak tangan Upasara menutup seperti bertepuk pelan.
Yang digenggam bukan ujung keris, melainkan gagang keris.
Tanpa perhitungan yang cermat dan tepat, bisa meleset.
Dan meleset setengah detik saja, fatal akibatnya.
Suatu demonstrasi yang luar biasa.
Banyak hal yang membuat demonstrasi ini berhasil mulus.
Pertama, persiapan yang matang.
Kedua, keris itu adalah keris milik Upasara sendiri.
Sehingga ia hafal betul di mana titik beratnya, dan bagaimana mengendalikannya.
Begitu bisa memegang sempurna, Upasara merasakan dorongan itu masih keras.
Caranya untuk melunakkan dorongan itu bisa dengan mengeluarkan tenaga ekstra lagi untuk mengisap.
Tetapi, lagi-lagi ini berbeda dari cara yang lazim dalam silat Keraton Singasari, Upasara membalikkan tenaganya.
Dengan dorongan penuh.
keris itu berbalik arahnya.
Dan sasarannya adalah Dewa Maut yang tak bakal mengira serangan balik yang begitu dahsyat.
Kalau tadi ia mampu membalikkan serangan, sekarang justru tak menduga bakal kena serangan balik yang sama cepatnya.
Kejadian ini berlangsung dalam tempo tinggi.
Sebenarnya seruan tertahan tadi juga keluar dari bibir Pu'un yang mengawasi pertempuran.
Tokoh aneh dengan pakaian serbahitam dan rambut awut-awutan ini berseru kaget.
Bukan karena keberanian Upasara, akan tetapi terutama karena pengendalian napas yang didemonstrasikan Upasara adalah seiring dan sejalan dengan apa yang dipelajari.
Pu'un menilai bahwa dalam ilmu silat, Upasara tinggal mematangkan diri dengan berbagai pengalaman dan pertempuran.
Tetapi mengenai caranya mengendalikan napas, membuatnya tak habis pikir.
Usia Upasara masih jauh di bawahnya.
Separuh pun kurang, tapi toh mampu memperlihatkan sesuatu yang luar biasa.
Bahwa yang ditunjukkan belum sempurna, ia maklum.
Pu'un sendiri belum tentu berani memperlihatkan kelas sempurna.
Kelas sempurna itu ialah jika Upasara berani menangkap dengan satu tangan.
Ini ajaran Budha yang sangat terkenal.
"Satu tangan lebih baik daripada dua tangan."
Jurus dasar dari ini semua adalah apa yang disebut Tepukan Satu Tangan, dalam pengertian ini lebih nyaring daripada tepuk tangan dengan dua tangan.
Tetapi memang begitulah adanya.
Dalam hatinya Pu'un bersuara keras.
anak muda ini benar-benar luar biasa.
Kalau saja ia mampu meresapi cara melatih napas yang sempurna, bisa luar biasa di belakang hari.
Sungguh tak nyana, di tanah Jawa bagian timur yang pelosok ini pun, ada bibit unggul.
Entah bagaimana jadinya dengan Pasundan nanti jika mereka menyerbu ke barat.
Ini jelas ancaman besar.
Saya ditugaskan untuk bisa menemui Tamu dari Seberang, agar kerajaan Pasundan bisa diselamatkan dan kembali ke puncak pamornya.
Siapa sangka menghadapi yang masih muda saja belum tentu bisa mengalahkan.
Sungguh, nasib negara tak bisa dipertahankan dengan gampang.
Kalau begini caranya, bagaimana nenek moyang bisa istirahat dengan tenang? Dan bagaimana nanti jadinya anak-cucu yang akan datang? Kalau Pu'un berkebat-kebit hatinya melihat jalannya pertempuran, Jagaddhita berpikir lain.
Sekarang semacam ada kepastian dalam dirinya bahwa gerakan menyerang dari Upasara adalah gerakan dasar.
Semangat besar untuk melebarkan serangan.
Ini berarti para penasihat Keraton mendukung sekali usaha Baginda Raja.
Bahkan menerjemahkan sampai dengan gerakan ilmu alat.
Dahulu dalam pasewakan agung, pertemuan besar, Baginda Raja memang mencanangkan hal ini.
Ketika semua prajurit pilihan, semua senopati.
menganggap sebagai suatu cara yang hebat, jauh dalam hatinya Baginda Raja seperti cemas.
"Aku memang raja yang dilahirkan menjadi besar untuk tanah Jawa. Untuk tanah-tanah lainnya. Tetapi apakah aku bisa selalu benar? Rasanya tidak. Aku ingin seseorang atau beberapa orang senopati mengajukan hal yang berbeda dari gagasanku. Aku sadar bahwa aku tidak bisa sepenuhnya benar. Dan jika tak ada yang mengingatkan, mungkin hasilnya akan lain."
Keluar dari balairung Keraton, Baginda Raja memberi isyarat dengan tangan agar Jagaddhita mengikuti ke kamar peraduan.
Ini adalah kamar peraduan utama.
Barangkali Jagaddhita adalah satu-satunya selir yang diizinkan masuk ruang itu.
Sebuah ruang yang apik, berbau harum di setiap sudutnya, dengan ranjang berukir di tengah ruangan.
Di setiap kaki ranjang terletak bunga setaman.
Tirai dan pelaminan diberi hiasan warna merah, warna yang disukai Baginda Raja.
Jagaddhita menyembah, sebelum masuk ke dalam kamar sambil berjongkok.
Lalu menempati salah satu sudut.
Pengawal utama menutup pintu.
Sesaat ruangan sangat sunyi.
Baginda Raja berjalan mendekati ranjang, tapi tetap berdiri tegak.
Helaan napasnya sangat berat.
"Dhita, di ruangan ini hanya ada aku dan kau, masihkah kau berlutut seperti ini?"
Dhita menghaturkan sembah hormat yang tulus, kemudian berdiri, seirama dengan gerak tangan Baginda Raja.
"Dhita apakah aku juga menakutkan bagimu?"
Dewa junjungan hamba dan sesembahan hamba, kalau takut hamba lebih suka berdiam di kaputren."
"Atau justru sebaliknya? Karena kau takut makanya kau berani masuk kamar ini. Kamar tidur prameswari dalem. Ah..."
Helaan napas beratnya kembali terdengar.
"Pergunjingan baru akan terdengar, kenapa aku memanggilmu kemari. Sama juga kalau aku mengunjungi kaputren dan hanya mampir di tempatmu. Susah, susah.
"Tak ada yang tahu, kadang aku hanya merasa melihat diriku dalam kamar seperti ini. Di tempat ini, aku merasa menjadi manusia yang sama derajatnya denganmu. Ah, sungguh tak pantas aku sebagai raja yang disembah-sembah, sebagai titisan Syiwa, mengatakan hal ini.
"Dhita, adakah kau juga akan mendiamkan pertanyaanku?"
"Baginda, apalah artinya pendapat hambamu ini?"
"Kau lupa, Dhita, bahwa aku berkenan denganmu bukan semata-mata karena kau ayu dan menarik. Seratus gadis seperti kau, dalam satu lambaian tangan akan berbaris di sini dengan hati bahagia kalau aku menghendaki. Seratus penari yang mampu melenggok bahagia akan antre semuanya. Tetapi kau lain, Dhita.
"Ketika pertama kali aku melihatmu, aku melihat sinar matamu. Kaulah satu-satunya anak kecil yang berani memandang ke arahku. Walau itu selintas, aku merasa kau memiliki keberanian yang tidak dimiliki semua anak gadis seusiamu, walau itu darah dagingku sendiri.
"Ketika kau belajar menari di Keraton, aku melihat bahwa kau tak gentar. Kau tak merasa kikuk dengan segala nyai, segala selir yang sudah ada di sini. Kau tak berusaha mengambil perhatianku seperti mereka umumnya. Bahkan ketika aku memanggilmu untuk pertama kali, pertama sekali, kau berani mengatakan bahwa saat itu aku terlalu banyak meneguk minuman keras. Dan kau bertanya, 'Dewa Sesembahan, Baginda Raja Dewa Kita, apakah Baginda yakin bahwa hamba yang Baginda timbali, yang Baginda kehendaki, dan bukan yang lain? Bagaimana Baginda tahu bahwa hamba yang ditimbali, kalau semua gadis di sini berwajah sama? Baginda Raja bahkan tidak menanyakan nama hamba.
"Dhita, ini pertama kalinya aku mengerti bahwa ada yang berani menanyakan sesuatu padaku. Selama ini tak ada perawan yang berani, bahkan memandang mataku secara langsung.
"Kau lain, Dhita.
"Tetapi mengapa sekarang kau berdiam diri? Apakah memang aku harus ditakdirkan sendirian?"
"Hamba tak mempunyai kekuatan apa-apa. Hamba sesungguhnya tak mempunyai arti apa-apa. Menyetujui atau membantah, apa bedanya? Selama ini hamba melihat kejayaan Baginda Raja Dewa Kita."
"Aku tak mau dengar itu lagi. Aku ingin kau membantahku!"
"Siapa yang berani?"
"Harus berani. Aku adalah raja yang berani. Aku berani mengirim senopatiku menyerang Melayu. Aku berani melawan Kubilai Khan, raja diraja, dari gurun neraka yang kini menguasai seluruh jagat raya. Percuma kalian semua mempunyai raja yang digdaya, sakti, mandraguna, kalau hanya bisa melakukan sembah."
"Ada yang berani, tetapi Baginda Raja menyingkirkannya."
"Itu dusta."
"Baginda Raja lebih tahu hal lain."
"Dusta! Dusta besar. Mereka inilah yang tidak mempunyai jiwa besar. Mereka ini mempunyai jiwa anak-anak. Kerdil. Jiwa seekor semut lebih berharga dan mereka.
"Dhita. duduklah di sini. Kepadamu akan kukatakan ini semua. Aku sangat menghormati, sangat menjunjung tinggi Mahapatih Mpu Raganata. Beliau orang yang pantas dihormati semua orang. Siapa yang tidak menilai Mpu Raganata ksatria sejati, pendeta suci? Hidupnya hanya mengabdi kepada kejujuran, kebaikan, dan keberanian. Beliau digdaya. Senopatiku yang paling pilihan pun tak pernah mampu bertanding dengannya. Jangan kata mengalahkannya, membuat Mpu Raganata mengeluarkan keringat pun tak bisa.
"Mpu Raganata adalah tangan kananku yang utama. Sepenuhnya aku mengharapkan kehadiran beliau.
"Beliau hebat. Terpilih oleh dewa. Tetapi aku juga hebat, Dhita. Aku bukan raja yang biasa-biasa. Aku raja yang menerima wahyu. Aku ditunjuk oleh Gusti yang menguasai dunia-akhirat. Akulah satu-satunya raja yang mempersiapkan diri sejak awal. Semasa Ayahanda Wisnuwardhana masih bertakhta aku sudah menyiapkan diri di Daha. Aku sudah menjadi raja muda di sana, karena ibuku adalah Waning Hyun, permaisuri utama. Aku adalah raja muda, aku adalah pangeran pati, aku adalah putra mahkota yang sah. Tetapi aku juga belajar dari segalanya. Sebagai raja muda di Daha, aku sudah mengeluarkan prasasti-prasasti. Bisakah kaubayangkan raja muda yang lainnya mengeluarkan itu? Berpikir untuk masa depan negara? Aku menyiapkan diri karena tahu wahyu itu akan turun padaku. Dan ketika aku dinobatkan sebagai Baginda Raja, aku telah siap. Ketika dari Daha pindah ke Singasari aku sudah lebih dari siap.
"Semasa aku mempersiapkan diri memerintah Daha, semasa aku masih berguru kepada para pertapa di gua-gua yang jauh dari pemerintahan, ketika malam di mana para raja muda dari Panjalu dan Jenggala terlena oleh kenikmatan duniawi, ketika itu aku tirakat. Aku bertanya kepada Gusti. Dan aku mendengar suara Gusti yang menguasai dunia-akhirat lewat bisikan daun, lewat cahaya bulan, lewat serangga malam, lewat kokok ayam fajar pagi, lewat tingginya gunung, lewat deras arus Brantas, lewat mata rakyat di tengah sawah, di tengah pasar, di antara para pengawal. Semua serentak tapi perlahan, semua berjalan sendiri tapi sekaligus. Aku mendengar suara itu. Aku mendengar jawaban doaku.
"Hari ini aku menjadi raja muda di Daha.
"Kelak aku menjadi raja di Singasari.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukankah semua tercapai? "Padahal ketika ini aku hanya raja muda biasa. Dan di Keraton banyak sekali yang muda. Tetapi aku yang menjadi putra mahkota. Tetapi aku yang dipilih Gusti untuk memerintah Daha. Untuk bertakhta di Singasari. Kelak aku akan menjadi raja Jawa. Dari ujung barat, sampai ujung timur. Dari ujung utara ke ujung selatan. Bersama semua sungai, gunung, dan lautnya.
"Kelak, semua tanah di jagat ini datang menghaturkan sembah kepada Sri Kertanegara. Karena sesungguhnyalah, aku yang lebih pantas menjadi raja. Aku menerima sentuhan itu, aku mendengar panggilan itu."
Suara Sri Kertanegara tinggi, gemuruh, seolah didorong tenaga yang luar biasa bergolak dan dadanya. Pandangan matanya tajam dan keras. Gerahamnya beradu. Sangat bertolak belakang dengan ketika menghela napas tadi.
"Tapi tidak semua mendengar bisikan semacam itu. Tidak semua mengerti hal itu. Seperti juga Mpu Raganata.
"Aku lebih hebat dan mereka ini.
"Itulah sebabnya aku memutuskan mengirimkan para senopati ke Melayu. Sebab di sana pun, kelak menjadi bagian dari Singasari. Sebab di mana pun aku bisa mengetahui ada tempat dan lautan serta gunung, di situlah mereka bernama Singasari.
"Mengherankan bahwa panggilan semacam ini tak terdengar oleh para senopati, para pendeta, dan para empu. Jagat Dewa Batara Padahal di ujung jagat lain, ada yang mendengar itu, Kubilai Khan. Ia bukan titisan dewa siapa-siapa. Ia adalah anak-cucu gembala kuda. Ia dilahirkan di tengah padang pasir yang panas bagai neraka. Mereka rakyat kecil yang makan dan minum pun tak pernah punya sisa. Tapi mereka menyerbu. mengibarkan bendera perang di segala penjuru dunia. Tanah luas di negeri orang berkulit putih dan bermata sipit dikuasai. Padahal di tanah itu raja-rajanya adalah dewa di langit. Tapi semua bisa dihancurkan. Sampai ke Campa dan Melayu. Sebentar lagi akan datang kemari.
"Tapi anak turunan gembala kuda itu akan berhadapan dengan Sri Kertanegara. Akan terbukti siapa yang berhak memerintah di jagat ini. Apakah keturunan gembala kuda yang hidupnya di padang gersang neraka. ataukah yang sekarang sedang medar sabda, berbicara denganmu ini.
"Dalam situasi semacam ini, salahkah aku mengalihkan jabatan Mpu Raganata? Salahkah aku kalau ingin pendamping yang mengerti gagasanku? Salahkah kalau Mahisa Anengah Panji Angragani yang memegang jabatan mahapatih? Angragani tidak sebijak Raganata, akan tetapi ia mengerti aku! "Aku berjiwa besar, Dhita, karena aku memang ditakdirkan sebagai raja yang besar. Aku tidak menjadi kecil kalau aku kalah. Aku tidak memusuhi diam-diam kalau aku tidak disukai. Aku berteriak lantang dan menantang. Aku tidak main kucing-kucingan.
"Bagiku semua harus jelas. seperti apa yang kita lihat di bawah matahari ini.
"Gamblang. Aku menggeser Mpu Raganata dengan terang-terangan. Beliau hanya berkuasa di Tumapel. Aku menggeser Wiraraja menjadi adipati di tanah Madura Timur. Tumenggung Wirakreti kugeser menjadi menteri anggabaya menteri pembantu "Aku tahu ini semua tidak menyenangkan. Kalau sampai pujangga yang kuhormati. Santa Semreti, meninggalkan Keraton, itu sangat menggelisahkan aku. Perwira dan petinggi Keraton bisa dendam karena kugeser kekuasaannya. Tetapi seorang pujangga sebenarnya tidak kehilangan apa-apa. Toh begitu ia meninggalkan Keraton. Lebih suka berkelana entah di mana. Lebih suka bertapa dan berdiam diri.
"O, Jagat Dewa Batara.
"O, Gusti yang menguasai dunia-akhirat.
"Apakah aku tidak sedih menggeser mereka? Apakah aku tidak merasa nelangsa karena peristiwa ini? O, Dewatalah yang tahu. Bahwa aku menangis, aku sedih, karena justru orang-orang yang kuhormati pergi meninggalkanku. Hmmmmmmm."
Suaranya berat, berat sekali. Jagaddhita melihat wajah yang muram. Wajah yang menjadi lebih tua, capek, lelah. Seolah yang berdiri di depan Jagaddhita itu manusia tanpa tulang.
"Aku sedih. Tetapi aku tak ingin membagi kesedihan,"
Suaranya kembali mantap, gagah, dan berwibawa.
"Aku tak mau siapa pun melihat kesedihan ini. Tidak juga aku sendiri kalau berkaca di kolam. Tidak akan pernah ada.
"Adalah darmaku, adalah kodratku menjadi raja. Aku tak bisa lari ke hutan dan bertapa. Aku tak bisa membiarkan manusia gurun neraka itu memerintah rakyatku. Aku tak bisa melihat rakyatku hanya bisa mimpi tentang gunung yang sama, sungai yang sama, dan laut yang sama di mana nenek moyangnya melihat.
"Rakyatku harus mempunyai mimpi lebih indah.
"Rakyatku harus mempunyai cakrawala yang lebih luas dan lebih indah.
"Aku yang ditakdirkan Gusti untuk memberikan impian, aku yang dipanggil Gusti untuk menunjukkan cakrawala itu.
"Apa pun yang akan terjadi."
Jagaddhita mendengar helaan napas panjang. Ia merasa pundaknya dibelai halus. Sorot mau Baginda Raja sangat lunak, menyentuh mesra.
"Baginda, kenapa Baginda tidak mengatakan ini semua kepada Mpu Raganata?"
"Tidak pernah aku mengatakan untuk kedua kalinya. Kuanggap cukup dimengerti, dengan satu kali. Padamu pun, aku tak akan mengulangi ini.
"Ah, Jagaddhita... malam ini aku puas, malam ini aku merasa lega dan bahagia. Aku bisa merasakan bila bersamamu."
Sukma Jagaddhita serasa terbang ke langit tingkat tujuh. Seluruh tubuhnya bergetar. Kepalanya bersandar di dada Baginda Raja.
"Banyak yang tak mengerti apa yang kurencanakan. Karena aku orang hebat. Karena aku raja yang besar. Siapa mengira kita berada dalam kamar peraduan untuk membicarakan hal seperti ini? Siapa mengira aku tidak dalam keadaan mabuk mencumbumu, dan di antara bisikan ini kau meminta sesuatu padaku? Meminta tanah pangkat, dan kehormatan yang lain? "Tetapi apa peduliku! "Aku raja besar.
"Aku tak mau dengar suara manusia kerdil. Sebagai seorang raja yang paling berkuasa, aku bisa menggembirakan semua. Bisa memberi anugerah pangkat apa saja. Agar semua senopati. mahapatih. pujangga. makin tinggi memujiku. Itu lebih menyenangkan. Mereka akan makin menghormatiku dan memujaku, lebih dari kepada Dewa Syiwa.
"Tetapi aku tidak melakukan itu. Aku adalah raja untuk rakyatku. Aku tidak berbuat untuk nama besar yang dipuja. Apa pun yang kulakukan, aku tetap seorang raja. Aku berbuat semuanya, menggeser yang dihormati, mendudukkan menteri madya. para kawula muda. karena aku harus berbuat seperti itu. Karena itulah kodratku. Itulah tanggung jawabku.
"Dhita, kenapa kau menangis?"
Baginda Raja merangkul Jagaddhita dan membimbingnya ke peraduan. Lembut sekali. Mereka berdua di tepi pembaringan.
"Kalau kau capek sekali, Dhita, mungkin aku bisa memijati."
Melihat wajah yang heran, Baginda Raja tertawa keras.
Sangat keras.
hingga seluruh tubuhnya berguncang-guncang.
Hingga ranjang ukiran berguncang.
Darah di seluruh nadi Jagaddhita terguncang.
seolah berbalik alirannya.
Mendadak saja tawa itu berubah menjadi teriakan lain.
Teriakan jeritan.
Kelebatan bayangan dalam pikiran Jagaddhita terpupus.
karena jeritan nyaring yang berawal dari medan pertempuran.
Ternyata keris yang dilemparkan balik Upasara mengenai sasaran.
Bukan Dewa Maut yang tak sempat menghindar, melainkan Padmamuka! Seperti diketahui, tadi terjadi dua gerakan serentak menyerbu ke arah Gendhuk Tri, Dewa Maut bersamaan dengan Padmamuka, dan Upasara.
Hanya saja Dewa Maut langsung menggebrak, sementara Padmamuka menunggu.
Ia ragu.
Jago silat bertampang bocah yang wajahnya merah ini merasa tak enak melawan Upasara Wulung.
Bukan karena ia mempunyai sifat ksatria untuk tidak mengeroyok.
Melainkan karena ia merasa segan kepada Upasara.
Dalam jalan pikirannya yang sederhana.
Upasara telah memberi ampun, dengan tidak membunuhnya.
Ada rasa segan dan ngeri sekaligus.
Makanya ia berdiam diri saja, sementara Dewa Maut sibuk bertarung.
Namun ketika melihat serangan mengancam jiwa Dewa Maut, ia tak bisa berdiam diri.
Begitu melihat serangan balik.
dan melihat bahwa Dewa Maut tak bersiaga, ia menggulung dirinya menerjang dari arah samping.
Gerakan gelundungannya yang sedemikian aneh, tapi cepat, menyerbu ke arah lajunya keris.
Semua mata terperanjat.
Yang paling gusar adalah Dewa Maut.
Baginya, Padmamuka yang dipanggil Tole, adalah segalanya.
Apa yang dikatakan Padmamuka akan dituruti dengan serta-merta.
Memang sebenarnya ada hubungan yang aneh antara Dewa Maut dan Padmamuka.
Hubungan ini bukan rahasia lagi di kalangan dunia persilatan.
Dewa Maut konon tadinya adalah pendekar biasa, tidak mempunyai sifat yang aneh.
Sampai kemudian karena mengalami peristiwa yang menghancurkan cintanya.
ia bersumpah tak akan mau menginjakkan kakinya di daratan lagi.
Seumur-umur hidupnya dilewati sendirian di atas perahu yang hilir-mudik di Kali Brantas.
Sampai suatu ketika bertemu dengan Padmamuka.
Seorang yang tersisih dari dunia karena tubuhnya yang tetap kecil dan pendek.
Entah bagaimana ceritanya, Padmamuka diambil sebagai murid atau anak angkat atau cucu angkat.
Diajari ilmu silat.
Sedemikian kerasnya Dewa Maut mengajari sehingga lambat laun wajah si bocah aneh ini menjadi merah, dan dipanggil Padmamuka.
Mungkin sekali karena pengaruh ilmu racun yang diperdalam oleh Dewa Maut.
Sejak pertemuan yang tak banyak diketahui itu Dewa Maut dan Padmamuka selalu bersama-sama.
Paling hanya bertemu orang luar kalau ada nelayan yang lewat sungai.
Untuk dirampas barang yang dibawanya atau diambil nyawanya.
Begitulah selalu, sehingga timbul dugaan bahwa hubungan mereka berdua bukan sekadar hubungan guru dengan murid.
Tetapi lebih jauh dari itu.
Mengingat keduanya manusia yang segi biologisnya normal tapi sikap hidupnya suka melanggar aturan.
Apalagi keduanya tersisih dari masyarakat ramai baik karena kemauan sendiri maupun karena situasi.
Maka hubungan yang aneh-tapi-mesra antara keduanya juga tercermin dalam sikap sehari-hari secara agak berlebihan.
Cara mereka menggendong satu sama lain, cara mereka memperhatikan satu sama lain.
Bisa dibayangkan kini, ketika Padmamuka menjerit, betapa murkanya Dewa Maut.
Dalam keadaan seperti itu, sudah bisa ditebak.
Dengan mengeluarkan teriakan keras, Dewa Maut memutar kedua tangannya ke atas dan serentak dengan itu, dari seluruh bagian tubuhnya meluncur senjata rahasia beracun.
Duri-duri beracun yang sangat diandalkan.
Upasara, untung saja, sudah mengetahui keganasan Dewa Maut.
Ia memakai cara yang dipergunakan Ngabehi Pandu.
Meloloskan kainnya secara seketika, dan memutar bagai payung.
Bagai kitiran hidup, Upasara bergerak menyongsong ke arah serbuan duri beracun.
Gendhuk Tri dengan demikian juga terlindungi.
Jagaddhita mengeluarkan pekik keras.
"Keji!"
Sambil meloncat tinggi.
Senopati Suro, Joyo, Lebur, dan Pangastuti juga berjaga dengan senjata masing-masing untuk melindungi diri secara sempurna.
Tiga Pengelana Gunung Semeru pun serentak saling merapatkan diri, dan mengatur pertahanan dengan gerak bertahan.
Pu'un yang sejak tadi hanya berdiri kaku dan mendongak juga mengeluarkan seruan keras sambil jumpalitan.
Kalau tokoh yang terkenal dengan ilmu kebal pun harus menyingkir dengan cara seperti itu, bisa dimengerti bahwa yang disebarkan oleh Dewa Maut sangat mengerikan.
Kalau di antara mereka yang ada di tengah lapangan bisa mempertahankan diri, tidak demikian halnya dengan yang menjaga tandu.
Para prajurit ini, walau bukan prajurit sembarangan.
akan tetapi tak cukup bersiaga untuk diserang dengan cara hina seperti ini Lima prajurit langsung mengaduh, berteriak keras, sebelum akhirnya menjadi kejang.
Mata masih melotot membayangkan rasa sakit yang tak tertahankan sebelum ajal sampai.
Tidak berhenti di sini, Dewa Maut meloncat maju.
menebarkan sisa-sisa racun durinya.
Sambil menjerit bagai serigala terluka.
Dewa Maut berusaha membunuh Upasara dalam sekali gebrak.
Tirai yang menutup tandu terkuak sedikit dan sebatang anak panah meluncur lurus ke arah mata Dewa Maut.
Di tengah udara, Dewa Maut menampik anak panah dan terus menerjang.
Tapi begitu anak panah pertama berhasil ditebas, anak panah kedua menyusul.
Dewa Maut menghindar ke samping, satu pukulan keras dilemparkan ke arah tandu.
Senopati Suro mengangkat kedua tangannya secara serentak memapak tangan keras Dewa Maut.
Tiga Senopati yang lain juga tak tinggal diam melihat junjungannya diserang.
Dalam sekejap Dewa Maut berada dalam kepungan para senopati.
"Senamata Karmuka, kenapa kau tak ikut keluar melihat suasana? Udara di dalam tandu terlalu sumpek, bukan?"
Jagaddhita bersuara pelan. Arah suaranya ditujukan ke bagian dalam tandu.
"Di dalam lebih enak. Kenapa kau tak masuk saja?"
"Ah, itu undangan bagus sekali. Hanya saja aku takut kau akan mati berdiri melihat diriku. Aku tak pantas menakut-nakuti pada saat sekarang ini."
Meskipun sedang dikerubut, Dewa Maut mendengar percakapan antara Jagaddhita dan yang sedang berada di dalam tandu.
Ekor matanya melirik ke arah tandu.
Kalau ada kesempatan sedikit saja, ia akan menggedor ke dalam tandu untuk memaksa penghuninya keluar.
Adat Dewa Maut memang lain dari kebanyakan orang.
Ada kecongkakan yang mendarah daging.
Ia tak bisa diperlakukan sebagaimana orang biasa.
Selalu ingin lebih dihormati.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena merasa paling jago.
Maka darahnya menjadi mendidih mengetahui ada orang yang enak-enak berada dalam tandu.
Seolah memandang kelewat remeh padanya.
Bahwa nama besar Senamata Karmuka cukup dikenal.
Dewa Maut tak mengingkari.
Semua penduduk Singasari mengenal nama besarnya.
Bagaimana tidak, kalau ia adalah laksamana perang.
atau panglima perang.
Senamata berarti panglima perang.
Sedang Karmuka berarti busur.
karena laksamana yang satu ini terkenal mahir dalam memanah.
Hanya saja ketika menangkis tadi, Dewa Maut merasa keahlian dan gelar besar lawan seperti dilebih-lebihkan.
Jagaddhita memang jeli sekali melihat anak panah meluncur, ia bisa langsung menebak.
Dan melihat cara pembicaraan keduanya, memang terlihat keakraban.
Sementara itu, Padmamuka masih berbaring di tanah.
Darah mengucur keras dan pundaknya.
Keris Upasara masih menancap.
Agaknya Padmamuka tak berani menarik keris itu.
Melihat kejadian ini, Gendhuk Tri merasa tidak sampai hati.
Ia bergerak maju untuk mengobati.
"Hmmm. soal luka kecil begini saja bikin ribut. Mari sini aku tolong.
"Gendhuk Tri maju dua tindak. Pu'un yang mengawasi bersiap diri.
"Ikut aku,"
Katanya keras sambil menyambar Gendhuk Tri.
Kali ini serangan Pu'un cukup kuat menutup kemungkinan larinya Gendhuk Tri.
Bahkan andai berbaring seperti tadi pun, akan tetap tertangkap.
Kesepuluh jari mekar bersamaan.
Bagai cakar harimau.
Gendhuk Tri menebas dengan kedua tangannya, hanya sekali ini ia tak berkutik.
Langsung kena tangkap pergelangannya dan ditarik, untuk digendong lagi.
Pembarep yang melihat ini turun tangan.
Namun kasep.
Gendhuk Tri sudah digendong, dan Pu'un meloncat pergi.
Wuragil mengayunkan pedang sambil meloncat, mencoba menghadang.
Tebasan pedangnya dipapak dengan jotosan keras.
Dan aneh sekali, pedang Wuragil terlepas dari tangan! Bahkan kaki Pu'un langsung menyambar dada.
Wuragil hanya punya satu jalan.
Berjumpalitan ke atas.
...kenapa harus bersedih hati waktu bayi temanmu adalah bidadari...
Gesit loncatan Jagaddhita, dan juga indah.
Akan tetapi Pu'un telah meloncat lebih dulu.
Jadi jarak antara keduanya tetap terentang jauh.
Agaknya ini tak jadi soal benar bagi nenek berambut putih.
Kalau ia bertekad mengejar, sampai ke ujung laut pun akan terus dikejar.
Kalau buruannya masuk jurang atau mendaki gunung, ia akan terus mengikuti.
Sampai bisa dekat dan untuk terus melanjutkan pertempuran.
Sampai salah satu benar-benar tak berdaya.
Pu'un yang satu ini agaknya juga menyadari kenekatan lawan.
Maka ia mengerahkan tenaganya.
Larinya kencang dan sebentar kemudian meninggalkan lapangan.
Tepat di arah jalan masuk ke gerombolan hutan, tiba-tiba muncul seseorang yang juga menggendong orang lain di pundaknya.
Itu adalah Jaghana yang sedang menggendong Wilanda.
Dua-duanya nampak kaget dengan kemunculan yang mendadak.
Bedanya, Pu'un merasa yang menghadang ini juga lawannya, maka langsung melakukan serangan.
Cakar macannya kembali ke arah tengkorak lawan.
Kepala Jaghana yang licin gundul seakan mau dikelupas kulitnya.
Jaghana memiringkan sedikit kepalanya, dan giginya membuka.
Kali ini cakar harimau dilawan dengan gigitan Sebenarnya ini juga pemandangan yang menarik.
Seorang berpakaian serbahitam dengan rambut awut-awutan sambil menggendong gadis cilik di pundaknya, melawan seorang gundul bersih yang juga menggendong seorang tua.
Dilihat sekelebatan seperti orang tua yang sedang bercanda.
Hanya saja kalau diperhatikan benar, ada semacam ketegangan yang menggigit.
Gadis cilik yang dipanggul Pu'un meskipun nampak tersenyum geli, pandangan matanya kosong.
Kesadarannya telah hilang.
Tadi dalam mencengkeram, Pu'un sekaligus melapalkan mantera dengan mengusap wajah Gendhuk Tri.
Yang kontan seperti kena sihir.
Makanya ia tertawa-tawa aneh di atas panggulan Pu'un.
Sementara Wilanda tak bisa banyak bergerak karena racun dalam tubuhnya masih terasakan.
Kalau tenaga dalam dan penolongan padanya tidak dilakukan segera, nasib Wilanda tak berbeda dengan prajurit pilihan yang lain.
Mati seketika.
Membarengi dengan gigitan, Jaghana menyapu kaki lawan.
Justru saat ini Pu'un juga mengayunkan kaki untuk menebas dengkul lawan.
Ini juga tak mengherankan.
Ada beberapa persamaan mengenai asal-usul antara Perguruan Awan dan ilmu yang dimiliki Pu'un.
Juga mengenai pengembangannya dititikberatkan pada gerakan kaki.
Mencari kuda-kuda, memperkuat pertahanan, ataupun menyerang, hampir semua berasal dari gerakan kaki.
Sebenarnya ini memang ciri khas ilmu silat daerah pedalaman.
Agak berbeda sedikit dari yang berkembang di daerah pegunungan.
Di sini gerak meloncat lebih mendapat tekanan.
Mungkin juga karena alam dan situasi di mana ilmu dan gerakan itu lahir mempengaruhi secara langsung.
Di daerah pegunungan loncatan lebih banyak dilakukan.
Dilihat dari titik ini, bisa dimengerti kenapa Wuragil tadi bisa terus-menerus diungguli lawan.
Keistimewaan gerakan loncat tidak diperlihatkan.
Apalagi memang gerakan mereka lebih banyak menuntut permainan bersama.
Dua kaki saling beradu keras.
Jaghana mundur selangkah, tapi juga memapak tendangan lawan dengan kaki yang sama.
Dalam sekejap terjadi delapan kali pertemuan dua kaki.
Sama keras, seakan beradu tulang.
Dalam delapan kali beradu, Jaghana bergeser mundur lima kali.
Pu'un hanya tiga kali.
Itu pun dengan perhitungan satu langkah digunakan untuk menyamping.
Dari situ bisa ditakar bahwa untuk adu keras lawan keras, Pu'un lebih unggul.
Setidaknya dalam situasi seperti itu.
Wilanda yang berada dalam rangkulan Jaghana merasa tidak enak.
Diam-diam ia mengerahkan tenaganya.
Walau rasa sakit kembali menjalar, ia tak peduli.
Dengan satu sentakan, ia melepaskan diri dari rangkulan dan melemparkan dirinya menjauh.
Wilanda, dalam keadaan terluka parah pun, masih unggul dalam soal ilmu meringankan tubuh.
Sehingga loncatannya masih jauh juga.
Hanya saja Pu'un tidak mengira kalau Wilanda membuang diri.
Ia justru berjaga.
Begitu melihat bayangan melesat, disangkanya mau menerjang dirinya.
Ia angkat tangan kanan tinggi-tinggi dan langsung mencengkeram bagian pundak.
Langsung dilempar ke atas untuk terbanting keras di tanah.
Pu'un memang sengaja mengerahkan delapan bagian dari tenaganya.
Hatinya bercekat ketika berhasil mencengkeram tubuh lawan.
Rasanya tidak ada perlawanan sama sekali.
Akan tetapi untuk menarik pulang tenaga dalamnya, bukan hal yang mudah.
Bisa-bisa malah melukai dirinya sendiri.
Pu'un hanya mengurangi sepersepuluh tenaganya.
Akan tetapi jelas bantingan itu masih cukup untuk meremukkan tulang-tulang Wilanda.
Jaghana sama sekali juga tidak mengira bahwa Wilanda akan berbuat nekat.
Perbuatan itu semata-mata dilakukan karena ia tak ingin merepotkan orang lain.
Jaghana terharu.
Sama sekali ia tak menyangka, bahwa jiwa luhur yang diturunkan sebagai sikap dasar dari Eyang Sepuh, ternyata tak pernah berkurang dalam diri bekas murid Perguruan Awan.
Saking terpananya, Jaghana tak menyangka bahwa Pu'un telah berhasil membetot dan mencengkeramnya.
Saat itu yang sedang melayang di udara adalah Jagaddhita.
Ia sejak tadi mengejar Pu'un sambil terus rengeng-rengeng.
Hanya saja Jagaddhita tak curiga sedikit pun bahwa Wilanda dalam keadaan sakit berat.
Ketika melihat larinya Pu'un berhasil dihadang dan disibukkan, Jagaddhita tak menyangka sama sekali kalau ternyata yang sedang dibanting itu nyawanya sudah di ujung bibir.
Dan ia memang bertujuan untuk menyelamatkan Gendhuk Tri.
Maka begitu melihat Pu'un rada bebas dan berusaha lari, Jagaddhita langsung menyambar alis lawan.
Kalau sentuhan itu dilorotkan sedikit saja, mata lawan bisa bolong karenanya.
Kalaupun mencoba mengegos, telinga lawan bisa terpuntir karenanya.
Bukan cuma daun telinganya yang bakal somplak atau lepas, tapi seluruh sarafnya bakal putus.
Kalaupun ia mengegos mundur, rangkaian berikutnya sudah tersedia, yang akan makin menyulitkan kedudukannya.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Inilah rahasia keunggulan silat Jagaddhita.
Jenis penyerangan yang rumit dan penuh dengan variasi.
Agaknya juga sengaja diciptakan khusus untuk dimainkan oleh Jagaddhita.
Disesuaikan dengan kelembutan gaya tarian.
Yang dalam setiap gerak mengandung seribu perubahan.
Penyesuaian ini sangat banyak artinya.
Seperti yang dialami sendiri oleh Upasara Wulung.
Dasar gerakan Banteng Ketaton diciptakan Ngabehi Pandu untuk Upasara Wulung yang memiliki semangat dan daya serangan kuat.
Makanya, seperti menjadi gerakan yang istimewa.
Pu'un juga mengetahui kelebihan ini.
Sekarang biar bagaimanapun, ia sendiri repot dengan Gendhuk Tri yang dipanggulnya.
Nampaknya Pu'un cukup cerdik.
Dalam keadaan terjepit ia menggunakan akalnya.
Daripada makin keteter, Pu'un memutar tubuhnya sambil menekuk lututnya.
Itu berarti kalau Jagaddhita tak mengubah atau tak menarik elusannya, yang menjadi sasaran adalah Gendhuk Tri sendiri.
Dalam perhitungan Pu'un, Jagaddhita tak bakal melukai Gendhuk Tri sendiri.
Toh dari sekian banyak orang, semua mempunyai dendam dan urusan dengan Gendhuk Tri, hanya Jagaddhita yang melindungi.
Tapi justru perhitungannya meleset! Jagaddhita ternyata jauh lebih cerdik dari Pu'un.
Ia tak mengubah dan mengurangi tenaganya.
Ujung jarinya yang lentik terus melaju.
Anginnya mendesir menuju ubun-ubun Gendhuk Tri yang kini terputar ke arahnya.
Dan Gendhuk Tri sendiri dalam keadaan setengah sadar setengah tidak, tak menyadari bahaya besar.
Ia tetap tertawa kosong.
Perhitungan Jagaddhita sebenarnya sama dengan perhitungan Pu'un.
Hanya saja ia menarik kesimpulan yang berbeda.
Ia juga memperhitungkan bahwa Gendhuk Tri menjadi incaran karena Gendhuk Tri mengisyaratkan tahu mengenai Eyang Sepuh serta Tamu dari Seberang.
Pu'un pastilah menghendaki Gendhuk Tri dalam keadaan hidup.
Dengan sendirinya ia akan berusaha melindungi.
Itulah kesimpulan Jagaddhita sehingga ia tak menarik serangannya.
Pada saat Pu'un menyadari hal ini, penahanannya sudah terbuka.
Hanya ada dua kemungkinan.
Pu'un mengorbankan Gendhuk Tri, atau untuk sementara mengalah.
Dan Jagaddhita bisa membaca bahwa kesimpulan terakhirlah yang dipilih Pu'un.
Jauh-jauh ia datang dari ujung barat, pasti tak ingin pulang dengan tangan kosong.
Justru karena sekarang ada kesempatan.
Cerdik benar Jagaddhita membaca jalan pikiran lawan.
Menebak dengan tepat dan memperoleh manfaat.
Sementara di pihak lain, Dewa Maut masih disibukkan dengan serangan bersama para senopati.
Terutama desakan kuat dari Senopati Suro yang paling tangguh.
Dalam keadaan murka, lebih banyak tenaganya terkuras.
Kalau tadi ingin segera menyerbu ke dalam tandu, sekarang harus memusatkan konsentrasi pada lawan yang mengerubuti.
Bahwa ia berada dalam posisi yang unggul, Dewa Maut sangat yakin mengenai hal ini.
Akan tetapi bahwa ia tak bisa menyelesaikan dengan segera, ia mulai menyadari.
Ia harus mengerahkan tenaga ekstra.
Kalau pertempuran ini tak segera diselesaikan, berarti tenaganya akan makin terkuras.
Padahal lawan lain yang bakal dihadapi cukup tangguh.
Selain Upasara Wulung yang menjadi sumber dendamnya, juga masih ada tokoh yang berada dalam tandu yang misterius.
Belum lagi tokoh lain, yang ia tak tahu berdiri di pihak mana.
Dewa Maut mengeraskan hatinya.
Kedua tangannya bergulung bagai kitiran dengan sangat, sangat cepat.
Berusaha menerobos lingkaran penyerangan.
Senopati Suro merasa arus berbalik dalam serangan itu.
Ia merasakan keras dan makin berat.
Ini yang dinamakan Sampan Membalik Arus.
satu jurus simpanan yang diandalkan.
Kekuatan utama jurus ini adalah menggabungkan tenaga sendiri dengan tenaga lawan yang datang, untuk digulung dalam satu kumparan dan dipindahkan ke arah lawan.
Makin besar daya serangan lawan.
daya serang balik juga besar.
Tetapi jika lawan berusaha mengurangi tenaganya.
ia akan segera tergencet.
Dewa Maut menggerakkan tangannya lebih cepat.
Getaran udara yang menekan menjadi semakin berat.
Yang pertama kali terganggu adalah pernapasan Senopati Suro, Tekanan ini bila terus berkelanjutan.
Senopati Suro akan kehilangan penguasaan diri.
Gerakannya sekadar meluncur dari latihan atau hafalan yang ada dan lebih banyak menutup diri.
Bukan lagi memainkan gerakan sesuai dengan situasi yang ada.
Bukan menyerang bagian yang lemah dan memanfaatkan kekurangan lawan.
Ini memang saat-saat yang kritis.
Bagaimanapun Dewa Maut masih setingkat lebih tinggi.
Di samping itu, gerakan dan jurusnya termasuk berbeda dari yang berkembang di darat.
Dewa Maut lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di atas sampan.
Dengan sendirinya situasi lingkungan sangat besar pengaruhnya.
Maka dalam beberapa hal.
variasi dan jurusnya sulit ditebak.
Pada saat berhasil menebak pun, sudah sangat kepepet.
Ini semua masih harus ditambahkan bahwa Dewa Maut mampu memanfaatkan situasi.
Bukan sekadar menguasai jurus yang dimainkan, tetapi bisa membaca.
Biarpun ia jauh lebih lihai, cukup repot juga kalau melayani empat senopati yang mempunyai kepandaian hampir sama.
Jalan satu-satunya adalah mendesak salah satu hingga benar-benar keteter.
Dan itulah yang dilakukan oleh Dewa Maut.
"Tole. aku beresi satu demi satu."
Ketika itu, Pu'un yang mencelos luar biasa.
Ia tak nyana bahwa Jagaddhita sama sekali tak menarik tangannya.
Terpaksa ia meloncat ke depankarena punggungnya menghadap ke Jagaddhitaseperti pohon rubuh.
Dan Gendhuk Tri yang berada di pundaknya, dilontarkan ke atas.
Tak terlalu sulit bagi Jagaddhita untuk meraih Gendhuk Tri lewat selendangnya.
Sekali tarik, tubuh Gendhuk Tri berubah arah.
Dengan satu putaran pendek, Gendhuk Tri mendekat ke arah Jagaddhita dan langsung dipeluk dengan enak.
Jagaddhita mengucapkan mantera pendek, lalu mengusap wajah Gendhuk Tri.
Namun ternyata pengaruh sihir Pu'un.
tak hilang begitu saja.
Dua kali Jagaddhita mengusap, tapi hasilnya sia-sia.
Gendhuk Tri masih bengong saja dan matanya nyalang kosong.
Sementara di tempat lain, terjadi hal yang tak terduga.
Ketika terayun tadi, tubuh Wilanda seperti bakal terempas keras.
Sejak tadi Tiga Pengelana Gunung Semeru seperti penonton saja.
Sejak Wuragil dipecundangi Gendhuk Tri, mereka jadi serba salah.
Tapi Pembarep memang memiliki sifat seorang ksatria tulen.
Melihat seseorang menderita dan mendapat perlakuan tidak adil, hatinya tergerak.
Hanya saja ia tak bisa menolong dengan tangannya sendiri karena ia belum yakin siapa yang ditolong, termasuk lawan atau kawan.
Maka dengan menyalurkan tenaga dalam, ia menepuk pundak Panengah.
Panengah sendiri, sejak tadi sudah bersiap.
Maka begitu mendapat dorongan, langsung menjejakkan kaki dengan kuat ke tanah, dan sedetik berikutnya tubuhnya melayang, menyongsong tubuh Wilanda.
Karena jaraknya yang tak memungkinkan bisa menangkap dengan sempurna, Panengah melemparkan tubuh Wilanda ke angkasa kembali.
Dengan satu gerakan lembut, Pembarep menangkap tanpa menggeser kakinya.
Baru sekarang Upasara yakin bahwa mereka yang berkumpul di lapangan ini, masing-masing memiliki kelebihan utama.
Meskipun hanya satu gebrakan.
apa yang ditunjukkan oleh Pembarep dan Panengah cukup hebat.
Kerja sama yang sangat terpadu.
Seolah hanya satu kehendak saja.
Pembarep merasa tubuhnya menerima rasa hangat yang aneh.
Datang dan pergi, dan tercium bau amis.
Baru ia sadar bahwa tubuh yang digendongnya menderita keracunan yang ganas.
"Dewa Maut, kami mohon obat pemunah untuk saudara ini."
Suaranya tetap kalem dan lembut ketika menurunkan tubuh Wilanda. Wuragil-lah yang lebih dulu menyerang ke arah Dewa Maut.
"Kakang Mbarep, biar Adik yang mengambil sendiri."
Panengah juga langsung menyusun serangan dari arah yang berlainan.
Dewa Maut yang tengah mencecar Senopati Suro jadi terdesak untuk sementara.
Kalau tadi ia berpikir sudah bisa menaklukkan Senopati Suro, kini jadi lain.
Pinggangnya jadi sasaran telak.
Tangan kirinya diadu dengan tangan Wuragil sambil membalikkan tangan lawan ke arah serangan Pembarep.
Dengan memindahkan tenaga, tekanan ke arah Senopati Suro jadi berkurang banyak.
Dengan sigap Senopati Suro membebaskan diri dari tekanan, menghirup udara sangat banyak di dadanya, memusatkan perhatiannya, dan balas menyerang.
Sebenarnya walau Dewa Maut berilmu tinggi, ia tak mungkin menghadapi keroyokan empat senopati dan dua pengelana dari Semeru secara sekaligus.
Justru karena kedua kelompok lawan yang dihadapi bisa menyusun serangan berantai yang rapi.
Dan terutama sekali susah ditembus.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya karena dua kesatuan, jadi untuk sementara Dewa Maut masih bisa bertahan.
Kalau tadi ia berniat menyerang ke dalam tandu, kini pusat perhatiannya dialihkan untuk menghadapi lawan sambil melihat suasana Dan di lain pihak, Upasara mendekati Padmamuka.
Ia merasa salah.
karena kerisnya mengenai Padmamuka.
Dalam hatinya.
Upasara mempunyai penilaian yang berbeda antara Padmamuka dan Dewa Maut.
Meskipun keduanya terkenal sama-sama jahat, tapi tetap berbeda kadarnya.
Mungkin kalau Upasara tahu latar belakangnya jadi lebih yakin.
Bahwa Dewa Maut mengalami kekecewaan yang besar dalam hidupnya karena orang lain.
Sementara Padmamuka, sejak lahir ia sudah merasakan ketidakadilan dunia pada dirinya.
Cacat tubuhnya terbawa sejak lahir.
Kalau hubungannya sangat erat dengan Dewa Maut, itu karena Dewa Maut-lah yang sangat memperhatikan dirinya.
Namun tanpa mengetahui latar belakang ini pun.
Upasara bisa menimbang sendiri.
Bahwa sejak penampilan pertama.
ia mendapat kesan bahwa Padmamuka menampilkan sikap yang memelas.
Di balik wajahnya yang kemerahan, di balik senyum bayinya.
seperti menyembunyikan suatu penderitaan.
"Mari, saya bantu untuk melepaskan."
Padmamuka memandang Upasara.
Seperti menimbang-nimbang.
Tapi sorot mata pemuda itu begitu polos.
Mata itu menunduk mendekat.
Dengan menotok jalan darah di punggung, Upasara berusaha menghentikan muncratnya darah dan sekaligus mengurangi rasa sakit.
Baru kemudian, mencabut kerisnya dengan satu tarikan.
Padmamuka mengeluarkan erangan pendek.
Upasara mengeluarkan sesuatu dari gembolannya.
Sejenis bubuk isika, yang diramu dari sejenis rumputan sebangsa ilalang.
Upasara menaburkan bubuk isika ke luka Padmamuka.
"Sebentar akan mengering."
Bahwa seorang jago silat membawa jenis obat-obatan bukan hal yang aneh.
Apalagi perjalanan ini sudah direncanakan, sehingga Upasara sudah mempersiapkan segala keperluannya.
Yang agak aneh adalah sikap Upasara.
Tadi baru saja bertempur soal mati-hidup.
Sekarang malah membantu lawan dengan pengobatan.
Cara berpikir begini bukannya tidak masuk di akal Dewa Maut.
Sejak melihat Upasara mendekat dan mencabut keris, mendengar Padmamuka mengaduh, dan Upasara menaburkan bubuk, Dewa Maut berubah pikirannya-Pastilah itu sebangsa obat pengurang rasa sakit.
Maka dengan serta-merta Dewa Maut kembali mempraktekkan loncatan simpanan.
Seperti orang yang terjun ke sungai.
Tubuhnya meluncur setengah membelok bagai bentuk buah pisang.
Upasara sama sekali tidak menduga.
Tidak menduga bakal diserang, dan tidak menduga serangan lawan bisa sampai ke arahnya.
Jaraknya masih jauh, namun sentilan tangan mengeluarkan desis tipis.
Tak ada waktu buat menghindar.
Satu-satunya cara adalah menenggelamkan kepalanya.
Tapi serangan lawan tertuju ke arah pundaknya.
Upasara menahan rasa sakit dengan mengatupkan gerahamnya.
Ia tak mau mengeluarkan rintihan atau aduhan.
Mencoba menghindar beberapa tindak, seluruh tubuhnya bagian kiri terasa kaku.
Langkahnya limbung.
Dan ternyata Dewa Maut tidak terhenti dengan satu serangan.
Begitu menjejak tanah.
sudah langsung mengirim serangan beruntun.
Upasara membalik.
Satu tangan terangkat untuk menerima pukulan dari Dewa Maut.
Memang bukan tandingannya.
Bahkan dalam keadaan paling siap pun Upasara bukan tandingan Dewa Maut.
Karena ini soal mengadu tenaga dalam.
Yang bisa melukai dari dalam.
Jika tidak hati-hati, akibatnya bisa fatal.
Cacat seumur hidup.
Dan bagi kaum persilatan, adalah sesuatu yang paling mengerikan kalau tak bisa bermain silat lagi.
Upasara memang tak bisa memilih jalan lain.
Kecuali kalau ia melemparkan tubuhnya dengan pancalan kaki satu, dan itu akibatnya bisa terguling-guling.
Itu pun pasti akan terkejar lagi.
Tapi mana mungkin Upasara memilih cara menghindar bergulingan seperti anjing kena pukul? Kalah atau menang tak jadi soal benar.
Mati atau hidup itu soal kedua.
Yang penting kehormatan tetap terjaga.
Jiwa ksatria Upasara lebih kuat.
Sambil mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya ia himpun tenaganya.
Tangannya terlepas dan terayun lurus.
Dewa Maut tersenyum dalam hati.
Bibirnya menyeringai.
Sejak pertama tadi ia memang mengincar Upasara.
Kini kesempatan untuk melumatkannya.
Namun sebelum ia melanjutkan pukulan, Dewa Maut menggeser tubuhnya, sebelah tangannya digerakkan ke belakang dan berteriak gusar.
Sebatang anak panah kena disampok keras olehnya.
Sementara satu tangan lagi beradu keras dengan Upasara.
Dewa Maut hanya mempergunakan empat persepuluh tenaganva untuk diadu, namun enam persepuluh untuk menyampok anak panah yang menjurus ke arah tenggorokannya.
Karena menyampok panah lebih diperhatikan daripada pukulan Upasara.
Akibatnya sungguh tak terduga! Anak panah itu ternyata tak sehebat yang ia duga.
Bisa disampok dengan mudah.
Sementara benturan tenaga keras menumbuk dari tangan Upasara.
Jotosan tangan Upasara sangat keras dan menyentak.
Itu barangkali bedanya dengan tenaga dalam mereka yang telah berpengalaman.
Pada tingkat Dewa Maut, penyaluran tenaga dalam tidaklah menyentak seperti yang dilakukan Upasara.
Biasanya bergelombang yang makin lama makin besar.
Karena kalau mengerahkan sepenuh tenaga.
dan lawan lebih dahsyat, bisa habis-habisan.
Betul-betul bakal terluka dalam.
Rontok semua isi dada dan perutnya.
Bagi Upasara, serangan ini pukulan terakhir.
Karena tak mungkin bisa menghindar dan tak mungkin menyusun serangan berikutnya.
Dada Upasara merasa sesak sekali.
Panas luar biasa.
Pandangannya jadi kabur.
Tumpuan kekuatan dengan satu bagian yang kaku tak mampu menyangga tubuhnya.
Upasara bagai tertekuk.
Ditahankan hatinya untuk bisa berdiri, tapi tetap tak mampu.
Tubuhnya terguling.
Yang diderita Dewa Maut tak kurang parahnya.
Gempuran tenaga dalam Upasara mampu menerobos ke ulu hatinya.
Terasa sangat nek.
Setelah bertempur sekian lama, tenaga Dewa Maut terkuras cukup banyak.
Kim hanya dengan tenaga kurang dari separuh yang dipergunakan.
bisa jebol pertahanannya.
"Kalian semua setan busuk. Main keroyokan kayak anjing kampung."
Belum selesai omelannya, bibirnya berwarna merah karena darah.
Sementara itu dari tandu keluar seorang lelaki yang tinggi.
Pakaian kebangsawanannya begitu indah dan menawan.
Wajahnya tak begitu kelihatan karena memakai irah-irahan.
atau hiasan berbentuk mahkota.
"Menghadapi sesama anjing kampung. apa pedulinya main keroyok atau tidak."
"Percuma kau bernama panglima besar. Percuma kau laksamana Keraton Singasari, kalau beraninya menyerang dari belakang."
Dewa Maut menghapus cairan merah dari mulutnya. Sebagian rambutnya yang putih terkena semburan.
"Sekarang ini semuanya ada di sini, biar mereka menyaksikan siapa yang jantan dan siapa yang busuk. Ayo majulah, Panglima."
"Kau tahu, aku tak peduli tata krama. Bagiku membunuhmu saat sakit atau jaya apa bedanya? Kau tahu apa bedanya aku dianggap panglima besar atau manusia busuk? Kau tahu itu. Semua tahu itu. Senamata Karmuka bukan orang gagah. Senamata Karmuka orang busuk yang menjadi kentut Baginda Raja. Penjilat besar, itulah gelarku sebenarnya. Nan, kau masih belum puas. Ayo maki sekali lagi."
"Pantas Keraton jadi sumpek. Isinya cuma cecunguk macam begini. Hah. Sungguh tidak nyana. Tadinya aku mengira penjilat besar adalah nama main-main. Hanya karena tidak berani dikirim ke mana-mana dan lebih suka menjadi kentut, makanya gelar itu kauterima. Tak tahunya memang begitu."
"Sudah cukup puas? Kalau sudah, aku akan membunuhmu, agar kau mati dengan sedikit rasa lega."
Kini boleh dikata semua pertempuran berhenti.
Tinggal Senamata Karmuka yang sedang mendesak Dewa Maut.
Semua perhatian tertuju ke arah mereka berdua.
Termasuk Jagaddhita yang merasa bingung karena Gendhuk Tri masih belum juga bebas dari pengaruh sihir Pu'un.
Kalau orang lain dicaci seperti itu, pastilah sudah murka.
Akan tetapi Senamata Karmuka biasa.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tertawa juga tidak, murka juga tidak.
Kalem saja.
Gelar penjilat besar, kentut besar, sudah lama jadi bahan pembicaraan.
Bukan hanya di kalangan Keraton, tetapi juga meluas ke masyarakat Singasari.
Cemooh itu terdengar sejak Baginda Raja Sri Kertanegara banyak mengirimkan pasukan ke luar Jawa.
Iringan demi iringan diberangkatkan.
Para senopati dikirim ke berbagai penjuru tanah Jawa dan ke negeri seberang.
Para senopati yang tingkatnya seperti Senamata, boleh dikatakan semua sudah dikirim ke luar Keraton.
Akan tetapi Senamata Karmuka ini lain.
Boleh dikatakan ia tak pernah meninggalkan Keraton.
Ketika terjadi pemberontakan besar, Senamata Karmuka lebih suka berjaga dalam batas dinding Keraton.
Kalau para pemberontak lari ke luar, itu bukan urusannya lagi.
Bahwa Baginda Raja yang gemar mengirim ekspedisi tidak mengirimkan Senamata Karmuka, itulah awal dugaan adanya penjilatan besar.
Cemoohan seperti kentut, karena sebenarnya justru untuk meledek.
Kentut pun setelah keluar akan menjauh terbawa angin.
Sementara Senamata masih saja ada di sekitar Keraton.
Kalau sekarang ini Senamata Karmuka sampai berada di Perguruan Awan, ini boleh dikatakan sudah luar biasa.
Apalagi disertai dengan empat senopati yang lain.
Pastilah ada peristiwa yang dianggap penting sekali dan segi keselamatan negara.
"Ayo keluarkan semua yang ingin kaukatakan. Aku masih memberi kesempatan sampai hubungan dua. Dua saja, tidak tiga. Dewa Maut menyurut dua tindak. Mengumpulkan tenaga dalam. Memusatkan konsentrasi. Tapi ternyata susah dikendalikan. Buyar entah terserap ke mana. Sebagian perhatiannya terserap ke rasa sakit.
"Bangsat tua."
"Dua..."
"Ayo bunuh aku. Biar dunia menyaksikan..."
"Satu..."
Senamata Karmuka mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seperti mau menepuk nyamuk. Tapi semua sadar bahwa tepukan itu bisa mencabut nyawa.
"Tunggu, Kisanak..."
Terdengar suara lembut. Jaghana maju ke depan sedikit, memberi hormat dengan menganggukkan kepala.
"Kalau saya boleh mengajukan suatu usul, dan kalau Kisanak masih mempunyai waktu untuk mendengarkan..."
"Apa urusannya orang itu denganmu?"
"Semua manusia adalah saudara kandung. Semua titah Dewa Yang Menguasai. Lebih dari itu, Niriti adalah tamu saya. Seperti juga kalian semua yang terhormat. Sungguh tak enak hati saya melihat tetamu harus mati di sini. Maaf, Kisanak, saya Cuma orang dusun yang kurang mengerti tata krama."
"Hmmm, jadi kau dari Perguruan Awan?"
"Saya tak berani mengatakan ini. Saya hidup di dusun ini. Nama saya Jaghana."
Lagi-lagi Jaghana memberi hormat dengan menganggukkan kepalanya. Senamata Karmuka mendongakkan kepalanya.
"Seumur hidupku belum pernah aku mengabulkan permohonan orang lain yang bertentangan dengan kemauanku sendiri. Lalu untuk apa sekarang aku harus berbuat lain?"
Nada suaranya tetap menggambarkan kecongkakan yang luar biasa. Caranya mengangkat wajah benar-benar menggambarkan pribadi yang tinggi hati.
"Kematian, seperti juga kelahiran adalah milik Penguasa Tunggal. Kita adalah hambanya yang kecil dan hina, sama sekali tak berkuasa untuk campur tangan."
"Hmmm. Baguslah itu, Kisanak. Aku memang hanya bisa berbuat hina dan kecil. Membunuh manusia yang telah melukai orang lain yang sedang ditolong. Katakan apakah ini juga campur tangan kehendak Dewa yang kausebut-sebut?"
"Saya minta maaf untuk itu. Kesalahan adalah sifat manusia, kekeliruan bisa kecil bisa besar. Bisa sekali bisa berulang kali. Akan tetapi, jika kita merasakan udara pagi, berarti kita sadar."
"Itu juga bagus. Tapi aku tetap mau membunuhnya. Kecuali kalau dengan satu serangan ia bisa membalas, ini sudah nasib baiknya. Kalau dalam satu serangan ini bahkan bisa melempar racun tikusnya, itulah nasib baikku. Apakah aku tidak cukup adil?"
"Kisanak... Maukah Kisanak membantu saya? Saya mempunyai satu masalah yang tak pernah bisa saya selesaikan. Mohon Kisanak memberi petunjuk.*' Tiba-tiba saja Jaghana bersila di tanah. Helaan napasnya tertahan di dada. Matanya tertutup rapat. Satu tangan terangkat ke atas, sedang tangan kiri tetap di alas lutut. Hanya tangan kanan itu yang sedikit tergetar, selebihnya seluruh anggota badan seperti kosong tak berisi. Pu'un melongo. Ia tak menyangka sama sekali sikap Jaghana menjadi demikian hormat. Dan caranya memberi hormat sama persis dengan yang biasa dilakukannya. Tanpa terasa Pu'un pun mengambil sikap yang sama.
"...Kisanak,"
Suara Jaghana tetap lembut, namun semua yang ada di lapangan bisa mendengar jelas dan empuk.
"Ada satu keluarga yang semua matanya buta. Seorang suami dengan istrinya, dan dua mertua perempuan. Yang satu ibu si suami, yang satu ibu si istri. Pada suatu hari mereka berjalan bersama. Si suami buta ini menemukan barang di jalan. Barang terbungkus itu ketika dibuka isinya adalah tujuh buah mata. Maka si suami pun memakai dua, si istri memakai dua. Satu diberikan pada mertuanya, satu lagi diberikan pada ibunya sendiri. Dan masalahnya tinggal satu mata. Kisanak, kepada siapa seharusnya mata itu diberikan? Kepada ibunya sendiri, ataukah kepada mertuanya?"
Yang hadir melengak.
"Kenapa jumlahnya cuma tujuh?"
Wuragil berteriak gusar.
Jagaddhita, walau merasakan keanehan, akan tetapi tidak mengeluarkan pertanyaan.
Ini memang semacam teka-teki yang biasanya menjadi bagian dari tanya-jawab keagamaan.
Konon, cara menanyakan dan cara menjawabnya dengan sikap seperti yang ditunjukkan oleh Jaghana dan Pu'un.
Sebenarnya juga, ketika Upasara Wulung menangkap lemparan keris dengan dua tangan tadi, sudah membuat Pu'un heran setengah mati.
Itu persis juga dengan gerakan Tepukan Satu Tangan.
Gerakan murni yang diajarkan dengan tanya-jawab seperti ini.
Seperti sekarang ini, hanya menengadahkan satu tangan saja.
Kalau Pu'un terheran-heran, bisa dimengerti.
Karena ia jarang bahkan tak pernah berkelana.
Jarang bersua dengan lawan yang ilmu silatnya bermacam-macamnamun rasa herannya justru berlipat manakala merasa ilmu silatnya yang murni ada yang menyamai secara persis.
Padahal ini merupakan gerak dasar.
Lain dengan Jagaddhita.
Sejak lepas dari Keraton, Jagaddhita selalu berkelana.
Ia juga mendapatkan guru yang bersifat aneh, tapi sangat luas pengetahuannya.
Baru sekarang ia ingat salah satu bagian yang dulu diceritakan.
Mengenai ilmu Tepukan Satu Tangan.
Menurut si empunya cerita, ilmu itu datang dari Jambu Dwipa atau tanah India.
Akan tetapi mengalami proses perkembangan yang sangat berbeda; baik di tanah Kaisar Matahari, Jepang, atau di negara turunan dewa, Cina.
Di kedua negara itu perkembangannya menjadi sangat jauh berbeda.
Walau kemungkinan pada akarnya masih bisa ditemukan persamaan.
Jagaddhita masih ingat kalimat gurunya.
"Angin ada di mana-mana. Dhita. Di bukit di sawah, di laut, di dalam gua. Di luar tubuh dan di dalam tubuh. Tetapi keberadaannya menjadi berbeda-beda. Angin bisa sejuk. bisa membuat badan sakit, dan bisa menjadi badai. Itulah intisari Tepukan Satu Tangan. Ilmu itu sedemikian sederhananya, sehingga semua orang yang paling bodoh pun bisa mengerti artinya. Tapi juga sedemikian sulitnya, sehingga semua orang yang paling pandai pun tak mampu menguasai sepenuhnya. Sejak lama para empu di jagat raya ini gandrung mempelajari.
"Di negeri mana pun, di keraton mana pun, terjadi perebutan dalam mencari keaslian ilmu itu. Dan tak ada yang mengetahui. Yang menemukan merasa tak berhak mengatakan. Yang tidak menemukan merasa berhak menyalahkan dan mencaci bahwa itu semua kabar bohong. Yang menemukan ujungnya saja, merasa berhak berteriak bahwa dialah yang telah menguasai.
"susah, susah."
"Rama Guru, kalau itu ajaran silat. kenapa para raja di semua negeri ikut ribut mencarinya? Ataukah ada wahyu sejati?"
"Susah, susah."
"Siapa yang bisa menjawab? Siapa yang membawa kabar? Siapa sebenarnya Tamu dari Seberang itu? Tak ada yang tahu pasti. Hanya kabar burungnya tersiar bahwa dalam suatu kurun masa tertentu, murid tunggal Tamu dari Seberang ini muncul. Tamu dari Seberang ini semacam Ratu Adil yang ditunggu masyarakat.
"Kalau pihak Keratontidak di India, tidak di Jepang, tidak di Cina mempersoalkan, itu karena dianggap Tamu dan Seberang bakal memberikan wahyu."
"Rama Guru, apakah kita semua menjadi bodoh? Kenapa percaya wahyu itu berasal dari seseorang dan bukan dari Penguasa Tunggal jagat raya ini? Apakah..."
"Ah... kau tak tahu apa-apa. Bagaimana mungkin kau mengatakan dirimu sebagai selir terkasih Kertanegara kalau tidak tahu bahwa raja itu pun mempersoalkan Tamu dan Seberang? Dhita..."
Saat itu sebenarnya Dhita sudah sedikit berdamai dengan Rama Gurunya yang masih selalu menyembunyikan identitas sebenarnya.
Berdamai setelah mengetahui bahwa Rama Guru memang menyebut nama raja junjungannya dengan enteng saja.
Dan memanggil nama Jagaddhita seperti Baginda Raja dulu memanggilnya.
"Bahkan raja yang kaujunjung setinggi langit itu pun pasti selalu memasang kuping dengan teliti, kapan Tamu dari Seberang datang. Ia tak mau kehilangan takhtanya.
"Ia mau Tamu dari Seberang datang padanya. Ia yang paling berkuasa pun masih ragu. Setidaknya masih perlu berjaga-jaga.
"Dhita, kaukatakan dirimu selir terkasih, masa tidak tahu sejarah yang diceritakan, bahwa dulu Tamu dari Seberang telah datang ke tanah Jawa, menemui seorang bromocorah bernama Ken Arok?"
"Kalau mengenai Baginda Raja Ken Arok pendiri Keraton, semua juga mengetahui tanpa perlu mendengar langsung dari Baginda Raja."
"Lalu apa bedanya kalau semua juga percaya? Apa bedanya Raja dengan rakyat jelata dalam hal ini? Yang mengancam Keraton bukanlah Tamu dari Seberang, tetapi Penghuni dari Dalam. Itu yang rajamu tidak mau melihat!"
Kalau sudah berbicara mengenai hal ini, Rama Guru menjadi murka luar biasa.
Bisa selama berminggu-minggu tak mengeluarkan suara lagi.
Dan kemudian menghilang entah ke mana.
Lalu muncul lagi, dan memberikan pelajaran kepada Jagaddhita.
Di antara pelajaran yang diberikan itu disinggung juga mengenai pertanyaan seperti yang diutarakan Jaghana.
Maka kini dengan cukup berdebar-debar Jagaddhita menunggu jawaban Senamata Karmuka.
Senamata Karmuka menatap ke arah langit.
Seakan silaunya matahari tak menjadi penghalang.
Lalu, dengan suara rendah, sambil menahan napas, Senamata Karmuka bersuara pelan, sangat pelan.
"Suwung"
Terdengar helaan napas bersamaan.
Napas berat dari Jaghana dan Pu'un secara bersamaan.
Keduanya dengan cara bersamaan memberi hormat kepada Senamata dan lalu berdiri kembali.
Kini, giliran Upasara yang merasa bingung.
Ini agak aneh.
Jaghana menahan gempuran terakhir pada Dewa Maut dari Senamata, lalu mengeluarkan teka-teki.
Dan Senamata menjawab dengan kata.
suwung.
Lalu terdengar helaan napas berat secara bersamaan, dan Jaghana serta Pu'un seperti menyilakan Senamata melakukan kehendak matinya.
Aneh karena Upasara tidak melihat bahwa Senamata bisa menjawab teka-teki mata ketujuh harus diberikan kepada siapa.
Suwung itu bisa berani kosong, hampa, sunyi, sepi, Lalu apa hubungannya dengan teka-teki yang dilontarkan? "Kisanak yang bernama hebat Dewa Maut, saya tak bisa menghalangi atau menahan lagi.
Barangkali begitulah takdir yang harus dijalani."
Dewa Maut meludah ke tanah.
"Ini baru namanya sandiwara yang paling buruk. Kalian mau main keroyok, silakan. Kalian mau membunuhku, lakukan saja. Kenapa pakai sandiwara teka-teki segala macam? Kau kira aku Dewa Maut akan menyembah kalian untuk memperpanjang umur?"
"Barangkali Senamata yang budiman akan mengampuni Kisanak, kalau Kisanak mau mengobati Dimas Upasara."
Upasara memang masih merasa sebagian tubuhnya kaku. Bagian sebelah kiri susah digerakkan. Beberapa kali dicoba dengan meneroboskan hawa dan pusar, tapi seperti menembus dinding batu yang keras.
"Untuk apa? Bocah itu telah melukai cucuku dan aku melukainya. Siapa yang masih utang?"
"Omong kosong. Aku justru telah menolongnya."
Teriak Upasara gusar.
"Akan tetapi jangan harap kau bisa menyentuh kulitku untuk menyembuhkan. Dengan sekali tiup Pamanda Pandu akan menyelesaikan ini semua. Sekarang pun, kalau kau maju, aku siap meladenimu. Jangan hanya karena sekali gempur, kau sudah mengaku kalah. Niriti atau Dewa Maut hanyalah nama kosong belaka. Sebelum ini kudengar kabar, kau tak bakal meninggalkan lawan tanpa membunuh. Tapi sepagi ini saja sudah dua pertempuran yang kautinggalkan seperti tikus kampung. Masihkah kau punya hati lelaki untuk tetapi memakai gelarmu?"
"Bocah ingusan, omonganmu besar. Tak layak kau jadi murid Ngabehi Pandu yang bisanya cuma membisu. Kalah atau menang dalam pertempuran bukan hal yang aneh. Kau akan segera mengalami juga. Tetapi kau sungguh kurang ajar mengatakan aku omong kosong.
"Kau merasa jago dengan mengobati Padmamuka. Itu tandanya kau masih ingusan. Darah diri tole-ku yang paling cakep berbeda dengan darah kalian semua. Karena ia melatih ilmu khusus mengenai bisa dan racun ikan sungai. Sehingga ketika bubuk rumput kauberikan, itu ibarat racun dalam tubuhnya. Kerismu melukai, itu tak menimbulkan soal. Hanya caramu mencabut yang sembrono menyebabkan ia teracuni, dan parah.
"Nah, sekarang kau bilang aku omong kosong?"
Upasara melengak.
Ia tak menyangka bahwa tubuh Padmamuka berbeda dengan kebanyakan orang.
Dalam tubuh yang hampir seluruhnya beracun, obat malah menjadi racun baginya.
Hilang dan rasa kejutnya.
Upasara menunduk.
Ia mengacungkan jempolnya dengan hormat.
"Maafkan kekeliruan saya. Padmamuka."
Padmamuka meringgis.
"Memang pintar murid Pandu bisu ini. Bicaranya..."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum selesai bicara, Dewa Maut sudah diserang.
Bagi Upasara tak bisa orang merendahkan Ngabehi Pandu begitu saja.
Apalagi dengan menyebut bisu segala macam.
Meskipun tenaganya belum disalurkan sempurna.
Upasara tak bisa menahan diri.
Dewa Maut juga tidak menduga sama sekali kalau dalam keadaan seperti itu.
Upasara berusaha menyerang.
Cari mati juga bukan begitu caranya, pikirnya sekilas.
Anak muda ini benar-benar berangasan, tak bisa diinjak bayang-bayangnya.
Senamata yang lebih dulu bergerak.
Tangan kirinya meraup pundak kiri Upasara dan membetotnya.
"Kalau sudah kubilang aku yang akan membunuhnya, kau jangan turut campur."
Pundak Upasara seperti tersengat.
Ia kaget.
Berusaha untuk mengumpulkankan tenaga sebagai reaksi spontan.
Akan tetapi terobosan tenaga Senamata begitu keras.
Dan sorot mata keras Senamata seperti tak ingin dibantah.
Upasara memang cerdas.
Ia segera menangkap maksud Senamata.
Kau jangan turut campur, dengan cepat diartikan bahwa ia tak usah melawan tenaga yang masuk.
Benar saja.
Rembesan tenaga Senamata bisa leluasa, dan dalam beberapa kejap saja rasa kaku di bagian tubuh sebelah kiri berkurang.
Senamata mengibaskan tangannya.
Upasara terdorong ke belakang agak jauh, terpaksa berjumpalitan.
Benar juga.
Bahkan dalam mendorong pun Senamata memakai perhitungan yang pasti.
Sehingga Upasara terpaksa berjumpalitan dan ini membuat darahnya mengalir lebih cepat.
Diam-diam Upasara berterima kasih dalam hati.
Senamata sendiri setelah selesai mendorong Upasara, tangannya meraih busur beserta anak panahnya sekaligus dari seorang prajurit.
Dengan ketenangan yang dimiliki, kepala Dewa Maut yang dibidik.
Sebelum lawan sadar, anak panah itu sudah melesat.
Wuragil berseru tertahan.
Ia tak menyangka bahwa kekejaman Senamata yang didengar selama ini benar-benar ada buktinya.
Masakan seorang tokoh seperti Senamata, seorang laksamana, tega membunuh lawan yang terluka dengan membidik? Berbeda dengan Wuragil, Pembarep mengawasi jalannya panah dengan waspada.
Benar juga perhitungannya.
Panah hanya beberapa senti di atas kepala Dewa Maut, dan langsung lurus ke arah semak.
Disusul anak panah kedua dan ketiga.
Dari balik semak terdengar teriakan merintih.
Seperti ada orang yang terluka.
Disusul teriakan keras, dan tiga bayangan meloncat ke tengah lapangan.
Yang lebih menarik ternyata bukan tiga bayangan itu saja.
Melainkan munculnya puluhan prajurit dari balik setiap semak.
Ternyata sekitar lapangan telah dikepung.
Di kejauhan terdengar sangkakala ditiup keras, lalu terdengar sorak-sorai yang luar biasa gegap-gempitanya.
Dari arah timur malah muncul umbul-umbul, bendera yang sengaja dikibarkan tinggi-tinggi.
Jagaddhita bisa melihat jelas, akan tetapi seperti tak percaya.
Di antara rombongan yang membawa bendera itu, ada bendera dengan warna dasar kuning dan simbol lingkaran seekor harimau muda.
Itu berarti tanda pengenal seorang pangeran.
Simbol umbul-umbul dengan gambar harimau adalah gambar resmi Keraton Singasari.
Bila pinggiran dilapisi warna emas, itu berarti Baginda Raja sendiri.
Akan tetapi siapa yang datang ini? Siapa yang mengerahkan begitu banyak pasukan ini? Memang selama ini dalam Keraton banyak sekali jumlah pangeran.
Namun dari sekian banyak ini, tidak semua pangeran berhak mengibarkan umbul-umbul sendiri.
Hanya beberapa nama saja yang diizinkan mengibarkan dan memiliki umbul-umbul seperti itu.
Yaitu pangeran yang telah mendapat didikan siasat perang dan mempunyai daerah tertentu sebagai daerah kekuasaannya.
Dulu pun, Baginda Raja Sri Kertanegara memiliki.
Karena saat menjadi pangeran pati atau putra mahkota, Baginda Raja telah memiliki wilayah sendiri, yaitu Daha.
Sehingga beliau berhak memakai umbul-umbul bergambar harimau.
Sampai dengan ketika dinobatkan sebagai raja, Sri Kertanegara masih menggunakan simbol harimau.
Jagaddhita menduga ada sesuatu yang tidak beres.
Kalau mereka prajurit dari Keraton, pastilah Senamata Karmuka mengetahui hal ini.
Setidaknya tahu rencana pengepungan ini.
Nah, kalau ini bukan rombongan dari Keraton Singasari, lalu dari mana? Dan apa maksudnya datang dengan barisan lengkap dengan peralatan perang seperti ini? Pembarep menghela napas.
Kedua tangannya bergerak.
dan Panengah serta Wuragil mendekat ke arahnya.
Pu'un yang sejak tadi berdiam diri, juga mengambil posisi Dewa Maut mendekat ke arah Padmamuka tanpa ada yang memedulikan.
Senamata Karmuka mendongak ke langit.
Pandangannya tertuju ke atas, akan tetapi suaranya ke arah samping, perlahan.
"Jaga dirimu baik-baik. Kejadian ini tak bisa diramalkan. Jangan pedulikan orang lain. Ingat, jaga diri baik-baik."
Upasara menunduk hormat "Terima kasih, Pakde,..."
Sementara itu kepungan sudah makin rapat.
Ternyata bukan hanya puluhan, akan tetapi sudah ratusan.
Benar-benar luar biasa.
Tempat yang begitu sunyi tiba-tiba menjadi medan laga yang paling menentukan.
Senamata Karmuka mendekat kembali ke arah tandu.
Senopati Suro, Joyo, Lebur, Pangastuti bersiap-siap melindungi, dengan sisa beberapa prajurit yang masih ada.
Dari semua yang ada di lapangan, hanya Jaghana dan Wilanda yang bergeming.
Yang satu seperti tidak peduli.
yang lainnya sedang sakit Tiga orang meloncat pertama tadi, berdiri tegak.
Mengawasi sekeliling.
Dilihat dari pakaian yang dikenakan.
jelas ketiganya bukan prajurit sembarangan.
Dilihat dari cara meloncat yang enteng dan sangat pegas.
Ilmu mereka juga tidak sembarangan.
Jagaddhita mengenali mereka sebagai Kawung Sen, Kawung Benggol, dan Kawung Ketip.
Ketiganya dikenal sebagai pemimpin Kelana Bhayangkara.
Nama ketiga pendekar ini pernah mencuat ketika terjadi pemberontakan Cayaraja yang terkenal.
Ketiga bhayangkara Inilah yang berhasil menembus Keraton Singasari yang terkenal dijaga rapih.
Dalam pemberontakan berdarah yang habis-habisan itulah ketiganva tak bisa dikalahkan.
Hanya karena ampunan Baginda Raja, ketiga kawung dibiarkan bebas.
Mereka meninggalkan Keraton setelah pemberontakan berhasil dipadamkan.
Akan tetapi korban dari pihak Keraton tidak sedikit.
Banyak senopati yang terbaik gugur.
Sejak pemberontakan itu ketiga kawung ini menghilang dari peredaran.
Siapa sangka sekarang muncul lagi dengan membawa sekian banyak prajurit yang siap perang? "Atas nama Raja Muda Gelang-Gelang, harap kalian semua berlutut menerima titah."
Kini baru Jagaddhita sadar.
Bahwa rombongan pasukan yang datang mengepung adalah prajurit dari Gelang-Gelang, yang dipimpin Raja Muda Jayakatwang.
Jagaddhita selama ini mendengar kabar angin bahwa Raja Muda Gelang-Gelang sedang menghimpun kekuatan besar.
Akan tetapi selama ini ketaatan dan kesetiaan kepada Keraton Singasari tak pernah diragukan oleh Baginda Raja sendiri.
Jagaddhita sedikit tenang hatinya, namun kewaspadaannya dipertinggi.
Ia menarik Gendhuk Tri yang masih terbengong-bengong.
Bahkan kemudian meloloskan selendangnya dan memakainya sendiri.
"Hanya ada satu matahari yang menerangi bumi ini. Hanya ada satu raja yang berhak memerintah. Maafkan, kalau Prajurit Suro tidak memenuhi peran."
"Selama masih ada pengampunan, gunakan kesempatan. Kalau sudah terlambat tak bisa diulang lagi."
Terdengar suara nyaring, cempreng sangat tinggi.
Dalam barisan muncul seorang lelaki, ada benjolan di bagian punggung.
Hidungnya juga tertekuk.
Sepasang matanya kecil bagai biji gabah.
Pakaiannya luar biasa indah.
Di belakangnya seorang prajurit siap memayungi.
Tangan kanannya diangkat ke atas.
Ketiga kawung itu mundur ke belakang.
Lalu gerakan tangan itu berubah menjadi lingkaran pendek.
Serentak dengan itu, barisan prajurit yang mengepung membentuk barisan lagi.
Barisan yang tadinya bergerombol, dalam sekejap sudah berbaris lapis.
Berkeliling, lalu di bagian belakangnya berjajar rapi susun sepuluh.
Membentuk seperti kalajengking.
Barisan belakang ini merupakan ekor kalajengking.
Yang setiap saat, sesuai dengan aba-aba, akan berubah menjadi bala bantuan di mana diperlukan.
Benar-benar ekor yang berbisa.
"Apakah kalian mau menjajal sengatan kalajengking sebelum bertekuk lutut?"
"Ular busuk, siasat perang itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil. Kau mencurinya dari Keraton, untuk apa kau pamerkan kemari?"
"Senopati Suro kau masih jadi prajurit biasa yang menjaga kamar tidur? Sayang, sayang sekali. Kepandaianmu tidak terlalu menonjol akan tetapi kesetiaanmu bolehlah. Hanya sayang. Orang seperti kamu itu pantas menjadi Senamata. Aku tawarkan pangkat itu padamu"
Senopati Suro tertawa bergelak. Nyaring dan keras suaranya. Terbawa oleh gusar yang bergolak.
"Ular busuk, kau kira kau ini siapa? Menawari pangkat segala macam. Kau kira setiap orang bisa seperti kamu ini, mengangkat dirinya sendiri dan kemudian memamerkannya?"
Upasara kini merasa seluruh tubuhnya kembali seperti semula.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan istirahat beberapa saat ia bisa menghimpun tenaganya.
Ia merasa siap.
Hanya saja kini ia merasa tidak ingin bertindak sembrono.
Setidaknya nasihat Senamata tadi berhasil mengerem keinginannya untuk langsung menyerbu ke lapangan.
Sebenarnya ini saat yang paling ditunggu oleh Upasara.
Selama ini ia hanya mendengar tokoh yang sekarang dijumpai secara langsung.
Dari penuturan Ngabehi Pandu, gurunya, tokoh ini disebut-sebut sebagai gabungan dari jago silat yang sakti, akal licik dan culas, ahli siasat perang, pandai berbicara, dan berkuasa.
Nama sebenarnya tak bisa dipastikan yang mana.
Ia sendiri menyebut dirinya sebagai Pujangga Pamungkas.
Artinya pujangga terakhir, atau pujangga yang menyelesaikan segalanya.
Oleh Senopati Suro tadi dikatakan sebagai ular busuk.
Ular raksasa yang busuk, dalam bahasa kuno disebut sebagai bujangga.
Ini nama ejekan untuk pujangga.
Tetapi ia juga dipanggil sebagai Lembu Ugrawe.
Lembu, sebagai orang yang masih keturunan raja.
Ugrawe, jelas adalah sebutan yang sangat berlebihan.
Ugra artinya puncak, ujung, dahsyat, menakutkan.
Sedang we artinya matahari.
Sehingga sebutan puncak matahari bagi dirinya sendiri kedengarannya sangat berlebihan.
Ia juga menyebut dirinya sendiri sebagai Panji Wacanapati, alias turunan bangsawan tinggi yang ahli berbicara.
Namun siapa pun nama dan gelarnya, ia termasuk tokoh yang disegani karena ilmu silatnya yang diberi nama Sindhung Aliwawar.
alias Angin Topan.
Menurut Ngabehi Pandu, selama ini belum ada tokoh yang mampu mengimbangi Sindhung Aliwawar.
"Mungkin hanya Eyang Sepuh yang bisa mengimbangi. Tapi Eyang Sepuh sudah lama menyembunyikan dirinya di Perguruan Awan dan tidak berniat turun ke dunia lagi. Sehingga sulit untuk ditentukan siapa yang lebih unggul."
Apa yang berkelebat dalam bayangan Upasara tak jauh berbeda dengan apa yang dipikirkan Jagaddhita. Ia pun mendengar nama besar ilmu Sindhung Aliwawar hanya dari penuturan Rama Guru.
"Dibandingkan dengan Rama Guru, ilmu siapa lebih hebat?"
"Ilmu siapa saja sama hebatnya. Tapi manusia busuk itu memang tak bisa diperkirakan. Rama Gurumu ini pernah bertempur dengannya. Akan tetapi itu sudah lama berlalu. Dulu saja masih sulit ditentukan pemenangnya; Apalagi sekarang. Katanya ilmunya maju pesat. Entah apa maunya Dewa Penguasa jagat ini, sehingga ada manusia seperti itu diciptakan di dunia."
Baru sekarang Jagaddhita melihat sendiri, tokoh congkak yang paling banyak disebut-sebut.
"Aku memang mengangkat diriku sendiri, Prajurit Kecil Suro. Karena siapa lagi yang. mampu memberi gelar padaku? "Hari ini kalian semua berkumpul di sini, sehingga mudah untuk menyelesaikannya. Tak usah mencari jauh-jauh. Apakah kalian mau berlutut dan minta pengampunan dari Raja Muda Gelang-Gelang, atau memilih mati? "Aha. rupanya kau yang menyebar kabar bahwa akan ada Tamu dari Seberang di Perguruan Awan ini. Aha, akal licik."
Jagaddhita berseru heran, dan menyadari bahwa mereka yang datang ini masuk dalam perangkap yang dipasang Panji Wacanapati.
"Akal licik apa, kalau kalian semua termakan? Untuk menangkap tikus busuk juga diperlukan umpan kecil yang busuk. Untuk mendatangkan seorang wesya, kan tidak perlu memakai umpan seorang pendeta?"
Jagaddhita mengeluarkan suara tertahan.
Selendang sampai bergetar.
Ia tak nyana bakal dimaki sebagai wesya atau sundal.
di arena begitu luas.
Seumur-umur ia selalu membanggakan diri sebagai selir Baginda Raja.
Itu adalah kehormatan terbesar yang membuat hidupnya berarti.
Mana mungkin sekarang ia dianggap sebagai sundal begitu saja? "Hehehe, kau marah kupanggil sebagai wesya? Kalau bukan, siapa anak kecil itu? Bisakah kautunjukkan siapa bapaknya? Hehehe, mungkin kau pun tidak mengenali lagi siapa bapaknya.
Bahkan kau pasti tidak berani mengakui bahwa akulah bapak anak kecil itu."
Kawung Benggol meloncat ke samping. Ia bersiap kalau Jagaddhita langsung menyerang.
"Untuk apa aku meladeni ucapanmu yang memang busuk itu?"
"Kalau kau bisa menjawab siapa bapak anak itu, aku akan mengampunimu. Mengingat kemesraan yang pernah kauberikan padaku."
"Oho, rupanya Bapak Ugrawe masih ingat kejadian Syiwaratri yang lalu. Sungguh suatu kenangan yang manis."
Jagaddhita benar-benar kepepet hingga tak bisa menjawab sepatah kata pun.
Bagi yang mengenal Ugrawe, mungkin menduga bahwa ucapannya main-main belaka.
Meskipun juga tidak sepenuhnya bohong.
Tetapi Kawung Benggol seperti memberi tekanan bahwa ada suatu peristiwa asmara terjadi pada Syiwaratri.
Syiwaratri, atau malam Syiwa, adalah malam hari bulan purnama, tanggal empat belas, yang dianggap malam kudus bagi Dewa Syiwa.
Melihat Jagaddhita berkumat-kamit tapi tak bisa mengeluarkan kalimat, Kawung Benggol makin keras tawanya.
"Baiklah, kalau kau sendiri tak menentukan siapa bapak anak kecil ini. Tapi untuk yang masih berada dalam kandunganmu itu, aku bersedia mengakui. Setidaknya bisa kudidik menjadi prajurit kelak."
Ugrawe mendengus ringan. Lupakan sejenak urusan hawa nafsu. Sekarang saat membicarakan negara."
Lalu kembali mendongak ke udara.
"Aku telah mengundang kalian semua datang kemari. Kecuali yang berada dalam tandu, semua yang ada di sun bisa memperoleh pengampunan.
"Jika kalian semua mau berlutut dan menghaturkan sembah kepada Raja Muda Gelang-Gelang yang sebentar lagi memerintah di tanah Jawa ini, kalian bisa memperoleh kedudukan.
"Kalau menolak, tanah ini akan diratakan."
Pembarep menggeser kakinya.
"Nama besar yang selama ini terdengar di penjuru angin. bukan nama kosong belaka. Hari ini sungguh suatu kehormatan besar saya bisa bertemu. Entah saya harus menyebut gelar yang mana...."
"Kakang Mbarep. kau terlalu merendah diri. Aku tahu kaulah yang menguasai Gunung Semeru. Kalau kau ingin bicara, katakan apa maumu. Aku sudi memberi ampunan kepada semua saja, kecuali yang berada di dalam tandu. Kentut satu itu tak ada gunanya."
Senopati Suro menggeram keras.
Menerjang bersama kuda hitamnya, dibarengi teriakan nyaring.
Senopati Joyo, Lebur, dan Pangastuti pun serentak bergerak.
Adalah suatu hinaan yang luar biasa kepada Baginda Raja yang tak bisa diterima oleh mereka.
Bahwa Senamata Karmuka dibilang kentut atau lebih dari itu, tak akan menjadi soal.
Akan tetapi sebutan itu sebenarnya ada embel-embelnya.
Senamata Karmuka dikenal sebagai laksamana yang setia kepada Baginda Raja.
Selalu berada di dekat Baginda Raja.
Sehingga dikatakan sebagai kentut.
Tapi ini juga diartikan oleh mereka yang tidak menyukai Baginda Raja untuk mengatakan Baginda Raja adalah kotoran.
Hubungan "kentut dengan kotoran", adalah hubungan yang sangat dekat.
Maka bisa dimengerti kalau Senopati Suro murka.
Kali ini, empat senopati tangguh maju secara serentak.
Dari empat penjuru langsung mengurung.
Kawung Benggol yang sudah bersiaga, langsung memapak Senopati Suro.
Tidak kepalang tanggung.
Kawung Benggol meloncat ke atas punggung kuda.
Satu tangan menjitak ke arah kepala.
satu tangan merebut kendali kuda.
Meski ilmunya tidak termasuk kelas satu, Senopati Suro juga bukan jagoan yang baru lahir.
Apalagi bersatu di atas kuda hitam yang sudah merupakan bagian dari tubuhnya.
dengan mendadak saja Senopati Suro menyepit perut kuda dan menarik keras tali kekangnya.
Kuda hitam yang tengah meluncur, tiba-tiba berhenti mendadak.
Kedua kaki depan terangkat ke atas.
Dan Kawung Benggol yang sudah berada di atas harus berhadapan dengan tendangan kuda.
Meliuk dan samping, Kawung Benggol memutar gerakan tubuhnya.
Kim dua tangan langsung mencekik ke arah Senopati Suro.
Tapi senopati yang punya banyak pengalaman ini menjatuhkan tubuhnya ke samping.
Dengan cepat berputar di bawah perut kuda! Lewat bagian bawah! Dengan tetap menyepit perut kuda, kaki Senopati Suro menjadi poros untuk berputar.
Dengan sangat cepat sudah muncul lagi.
Dan tubuh Kawung Benggol yang menubruk ruang kosong bisa dipukul dari belakang.
Sebenarnya itu juga tidak perlu.
Karena justru Senopati Lebur sudah mengayunkan gadanya dari samping..
Tak ampun lagi Kawung Benggol harus menangkis dengan dua tangan kosong.
Di pihak lain, Kawung Ketip berteriak gusar dan mengayunkan rantainya, sementara Kawung Sen yang bersenjatakan jala juga menerjang dengan jala tertebar.
Dalam sekejap saja pertempuran sudah berlangsung seru.
Kalau pada terjangan pertama, Senopati Suro boleh dibilang unggul, kini mereka berempat harus memusatkan perhatian seluruhnya; Itu pun belum mencapai ke arah Ugrawe.
"Baik. Kalau kalian memilih pertempuran."
"Tunggu,"
Teriak Jagaddhita nyaring.
Ia langsung meloncat menghadang Ugrawe yang siap memberi aba-aba untuk serangan total.
Jagaddhita mencoba menghadang.
Salah satu cara hanyalah dengan mendesak Ugrawe.
Karena ia berpikir bahwa posisi lawan jauh lebih menguntungkan.
Sedangkan Ugrawe sendiri, masih teka-teki siapa yang bisa menghadapi dengan imbang.
Barangkali hanya Senamata Karmuka yang bisa menghadapi.
Itu pun belum tentu bisa menang.
Kalaupun bisa, diperlukan pertempuran yang lama dengan kemungkinan besar dua-duanya luka parah.
Sementara pihak lawan terdiri atas banyak sekali pasukan.
Seratus bisa dibikin binasa, yang lain masih ada.
Sedangkan di pihaknya sendiri, mereka' tidak merupakan kesatuan dengan tujuan yang sama.
Sementara beberapa orang sudah terluka.
Dewa Maut, Padmamuka, Wilanda tak bisa berbuat apa-apa.
Pu'un juga tak bisa diharap.
Belum dihitung bahwa Gendhuk Tri bisa membahayakan dirinya sendiri.
"Kau mau bergabung bersama kami?"
"Tentu, kalau kau bisa mengalahkan kami secara ksatria."
"Hehe, kau kira aku begitu bodoh? Di sini jelas sekali aku menang pasukan. Dengan mengandalkan mereka ini saja, kalian semua bakal bisa diringkus. Untuk apa aku pedulikan tata krama? Untuk apa perlu mengalahkan kalian seorang demi seorang?"
"Licik. Kau sengaja memancing kami datang ke Perguruan Nirada ini, dan menunggu kami bertempur...."
"Licik itu apa? Mulia itu apa? Aku ingin mengembalikan takhta kepada yang berhak. Kenapa kau tidak menyebut Ken Arok licik? Kenapa kamu tidak mengatakan Ken Arok menurunkan raja-raja perampok di tanah Jawa ini? "Hanya rakyat kecil yang tak tahu apa-apa mempersoalkan licik atau mulia. Hanya mereka yang tak tahu yang bisa menuntut macam-macam. Aku sudah berbaik hati untuk mengampuni. Akan tetapi kalian memilih jalan bunuh diri. Aku hormati pendirian kalian. Keraton yang akan kubangun nanti tidak membutuhkan pendekar-pendekar seperti kalian.
"Makanya, sekarang ini juga, yang ada di sini dan tak menganggap raja kepada Raja Muda Gelang-Gelang, akan kubasmi."
Ugrawe menarik suara dari hidung dengan keras.
Lalu tangannya bergerak, meraup bendera kecil di tangan salah satu prajurit.
Cara meraupnya tanpa meninggalkan tempat.
Hanya mengandalkan tenaga mengisap.
Dan prajurit yang memegang bendera seperti terperanjat, tapi tahu-tahu apa yang dipegang sudah lepas dari tangannya.
Jagaddhita terkesima.
Pameran tenaga dalam yang luar biasa.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penguasaan yang sempurna.
kagetnya berubah ketika dari gerakan bendera ini, diikuti suara genderang dan sangkakala, gerak pasukan berubah.
Kalau tadi menunggu saja, kini semua bersiap.
Barisan panah yang mengepung sudah langsung memasang anak panah di busur dan siap membidik.
Satu gerakan lagi dari Ugrawe, terjadilah keroyokan massal.
Jagaddhita meloncat ke belakang.
Mendekati Gendhuk Tri, dan sekali gerakan mendudukkan Gendhuk Tri dalam gendongan.
Dua pasang selendangnya dilepaskan.
Siap untuk melindungi diri dan menyerang.
"Tugas lebih penting ada di Keraton. Kembali!"
Terdengar teriakan menggeledek sangat keras.
Ujung-ujung pohon jadi bergoyang karenanya.
Sisa-sisa burung yang masih bertahan di ujung ranting bagai disentakkan.
Sebagian sempat terbang, sebagian kecil yang lain jatuh ke tanah.
Teriakan itu ternyata untuk memerintah keempat senopati yang masih berkutat dengan ketiga kawung.
Senopati Suro-lah yang pertama menyentak kuda hitamnya dan sekali lagi menerobos maju, sepertinya mau menerjang lurus ke depan.
Kuda hitamnya meringkik panjang, memutar badannya, dan kaki belakangnya menyentak dengan keras.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung