Senopati Pamungkas 20
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 20
Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto
"Eyang, apa nama kitab pusaka itu?"
"Lupakan.
"Itu bukan kitab. Apalagi pusaka.
"Itu hanya merupakan beberapa baris kidungan, yang dinamai Kidung Paminggir. Entahlah kalau sekarang sudah diganti lagi.
"Ah, aku tahu. Bejujag tak berani muncul karena takut ketahuan belangnya. Makanya ia menyembunyikan diri. Kalau tidak, ia pasti tahu aku di sini.
"Bejujag, Bejujag! "Sampai kapan kamu dipuja?"
Meskipun meragukan, tak ada rasa dendam dalam nada ucapannya.
"Kamu akan kecewa, kalau sudah membaca tulisannya. Aku lebih kecewa, karena aku tahu persis ia main-main. Ia mempermainkan aku, mempermainkan Bintulu dan Raganata. Mempermainkan seluruh ksatria sejagat.
"Dan ia menikmati.
"Aha, apakah tidak ada yang lebih ajaib dari hal ini? Bahkan kamu pun tahu 'bait yang tak terbaca di hati'. Kalau ia berani muncul, akan aku telanjangi ia di sini, memaksanya meminta ampun dan menjilati kakiku, dan aku tak memperbolehkan.
"Biar tahu rasa."
Pukulan Pu-Ni NYAI DEMANG, yang merasa begitu tulus menghormat pada Eyang Sepuh, merinding kulitnya. Baru sekarang ia mendengar sendiri, seorang kakek yang terbaring dan sedang sekarat mencaci Eyang Sepuh dengan kata hinaan yang keterlaluan.
"Bisa jadi Eyang Sepuh menulis kitab yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang telah sampai pada tingkat tinggi."
"Salah.
"Keliru.
"Itu selalu jalan pikiran orang lain. Tapi aku tak pernah bisa dikibuli. Aku tahu persis siapa dia.
"Upasara, coba kamu mainkan dasar-dasar Kitab Bumi. Aku ingin menyaksikan sebentar."
Upasara memberi hormat.
Lalu berdiri, dengan kaki sedikit mengangkang.
Mulailah ia memainkan dengan cepat, Dua Belas Jurus Nujum Bintang secara penuh, kemudian disusul dengan Delapan Jurus Penolak Bumi.
Kemampuan Upasara dengan pengaturan tenaga dalam membuat Nyai Demang makin bertambah rasa kagumnya.
Getaran tenaga dari seluruh kulit Upasara mampu menggerakkan debu dan abu dalam rumah, akan tetapi setelah selesai memainkan, debu dan abu itu seperti tertumpuk di tempatnya semula! Seperti tak pernah ada angin sebelumnya.
Namun, Eyang Kebo Berune sama sekali tak menoleh.
Tetap tergeletak memandang langit-langit.
Melirik pun tidak.
Yang membuat Nyai Demang heran, justru karena tanpa melirik pun Eyang Kebo Berune bisa mengetahui apa yang dimainkan Upasara.
"Dasar-dasar ilmu Kitab Bumi itu masih saja seperti yang ditulis oleh Bintulu. Hanya delapan jurus terakhir itu dikembangkan sedikit oleh Bejujag. Apa itu yang disebut-sebut sebagai Tepukan Satu Tangan?"
"Pandangan Eyang sangat tepat."
"Hebat. Sekali lagi aku harus memuji Bejujag itu. Bintulu yang susah payah menemukan, dengan satu polesan saja menjadi Tepukan Satu Tangan yang seolah ciptaan Bejujag.
"Tapi ada apa dengan tangan kananmu? "Bagaimana kamu bisa menjadi lelananging jagat dengan tangan lumpuh seperti itu?"
Upasara menjelaskan bahwa tangan kanannya masih kaku digerakkan, meskipun tidak selalu mengganggu, karena pukulan dari Halayudha.
"Siapa Halayudha? "Halayudha atau Bintulu?"
"Besar kemungkinan murid yang mencelakakan Paman Sepuh Dodot Bintulu."
"Nah, berarti jelas sekali sekarang ini.
"Ilmu yang dipuji seluruh jagat, yang membuat semua pendekar sejati kelas utama datang ke tanah Jawa ini, bisa dikalahkan. Tepukan Satu Tangan yang hebat itu bisa dipatahkan oleh Bintulu. Berarti ia sudah berhasil memecahkan rahasia ciptaan Bejujag! "Bintulu, akhirnya kamu yang paling perkasa juga."
Pujian yang terdengar menggeletar.
Upasara seperti disadarkan bahwa dalam banyak hal, Halayudha memiliki ilmu yang sakti mandraguna.
Ilmu sakti sejati, yang bisa mematahkan ciptaan Eyang Sepuh.
Pada penguasaan yang sempurna, benar-benar merupakan maha malapetaka di belakang hari.
Baru sekarang terjawab, kenapa Upasara bisa dilumpuhkan oleh pukulan Halayudha.
"Upasara, apakah kamu juga murid Bintulu?"
"Saya tak berani mengaku.
"Sebagian yang saya pelajari adalah dari Kitab Bumi yang ternyata ciptaan besar Paman Sepuh Dodot Bintulu."
"Bukan, bukan itu.
"Apa yang kamu mainkan sepenuhnya Kitab Bumi yang sudah disempurnakan Bejujag. Terutama sekali dalam Delapan Jurus Penolak Bumi. Itu tak perlu diragukan lagi.
"Akan tetapi tarikan napasmu, adalah murni dari dasar yang diajarkan Bintulu."
Upasara menyembah hormat. Menjelaskan bahwa ia pernah menghancurkan tenaga dalamnya. Dalam perjalanan kemudian, bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang mengajarkan cara-cara memanggil kembali yang tersimpan, sehingga kekuatannya pulih kembali.
"Mungkin ini jawabannya."
"Bukan mungkin. Memang begitu.
"Kalau begitu bisa bahaya."
Nyai Demang yang berkeringat.
"Bahaya?"
"Kalau kamu menyebut bahaya, cah slemok."
"Di mana bahayanya?"
"Seperti aku ini.
"Terbaring seperti ini. Karena pertarungan antara kekuatan tenaga dalam. Berganti-ganti aku mempelajari apa yang ditulis Bintulu dan Bejujag, sehingga akhirnya seperti ini.
"Aku mempunyai ilmu yang kuberi nama Pukulan Pu-Ni. Nama ini untuk mengingatkan bahwa pukulan ini benar-benar tercipta di tanah Pu-Ni atau Beruni atau Brunei, atau Barune, atau Berune, tergantung lidah kamu mau bilang apa.
"Pukulan ini, demi Dewa, seperti Tepukan Satu Tangan. Akan tetapi ternyata tenaga murni yang kumiliki dasarnya berbeda. Waktu aku seusia kamu, hal ini tak terasakan. Sekarang baru terasakan akibatnya.
"Aku sengaja datang untuk memberitahu Bejujag. Bahwa keduanya adalah manusia paling terkutuk di jagat ini. Bahwa persaingan keduanya menghancurkanku."
"Kenapa Kakek selalu mendendam pada mereka yang terhormat?"
Pertanyaan Nyai Demang membuat sorot mata Eyang Kebo Berune menatap langit-langit lebih keras.
"Kamu akan begitu juga, kalau mengetahui kekasihmu ini hanya bisa berbaring seperti aku, dan susah mati."
Nyai Demang bergidik.
Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune merobek seluruh angan-angannya.
Bukan karena disebutnya Upasara sebagai "kekasih", melainkan karena keadaan Eyang Kebo Berune yang mengenaskan.
Seperti sekarang ini! Bukan oleh lawan, melainkan oleh dirinya sendiri.
Benarkah Upasara akan mengalami keadaan sekarat seperti ini? Dan ini karena persaingan antara Paman Sepuh dan Eyang Sepuh? "Mereka berdua sengaja memberikan ilmu silat dan cara pernapasan yang bertentangan.
Agar dipelajari dan masing-masing pastilah berpikir yang lainnya akan rontok dan hancur.
Celakanya, justru akulah yang terkena.
"Upasara, seharusnya kamu bisa membaca bahwa pengerahan tenaga tumbal adalah penyerahan. Yang berarti kerelaan. Kerelaan yang... apakah kalau menderita seperti ini juga harus rela? "Nah, apakah kalian masih mau mengatakan aku jahat dengan memaki Bejujag? "Siapa yang paling jahat? "Aku, yang memilih menjadi prajurit dan dikirim ke tanah seberang? Ataukah Bintulu yang merasa dirinya paling tampan dan perkasa? Ataukah Raganata yang ingin menikmati kebesaran duniawi dengan mengabdi kepada Baginda Raja? Ataukah Bejujag yang secara sengaja menuliskan lamunan untuk menjungkirbalikkan ketenteraman? Ataukah Pulangsih yang menggoda itu?"
Kini, Nyai Demang bisa menangkap lebih luas daripada Upasara Wulung.
Cepat sekali jalan pikiran Nyai Demang berkembang ke arah masa yang diceritakan Kakek Kebo Berune.
Bahwa pada masa-masa itu ada tiga ksatria muda yang mempunyai nama besar.
Di samping mereka ada juga seorang ksatria yang menjadi senopati, dan kemudian sesuai dengan sebutannya, dikenal sebagai Kebo Berune.
Ini ternyata belum semuanya.
Masih ada satu lagi yang disebut dengan nama Pulangsih.
Entah siapa tokoh yang satu ini, dengan kesaktian seperti apa pula.
Yang jelas, sebutan nama itu menunjukkan adanya dendam atau kemarahan, penyesalan, tetapi juga kegeraman yang berhubungan dengan asmara.
Pulangsih bisa berarti nama seorang wanita, akan tetapi juga bisa berarti kumpul asmara.
Bermain asmara.
Nyai Demang bisa mengetahui bahwa tokoh wanita yang satu lagi tidak bernama Pulangsih.
Nama itu lebih menunjukkan julukan yang akrab bagi mereka.
Seperti halnya menyebut Eyang Sepuh dengan Bejujag atau si Kurang Ajar.
Sangat mungkin sekali, di masa mudanya Eyang Sepuh di antara sebayanya dikenal sebagai kurang ajar.
Dan nama Pulangsih diberikan karena keempat ksatria ini sama-sama terlibat daya asmara.
Siapa pun orangnya yang disebut Pulangsih ini pasti luar biasa.
Kalau tidak, mana mungkin keempat ksatria yang perkasa pada zamannya memperebutkan? "Kakek Kebo Berune, di manakah Eyang Putri Pulangsih sekarang ini?"
Tak ada jawaban. Hanya dada kakek tua yang tergeletak tanpa gerak itu jadi turun-naik dengan cepat. Napasnya tersengal-sengal.
"Rasanya aku mati sekarang ini."
Kidung Paminggir, Pupuh Pertama TUBUH kakek tua itu tergetar hebat.
Tanpa suara gigi gemeretuk.
Tanpa gerak.
Hanya dengus napasnya tak teratur.
Makin lama makin cepat, bergejolak.
Nyai Demang memandang ke arah Upasara.
Namun Upasara hanya menunduk tak memperlihatkan reaksi.
"Kakek sedang lelaku..."
Lelaku adalah istilah yang lebih halus dan menghormat daripada sekarat.
Intinya sama saja.
Menjelang ajal.
Biasanya ditandai dengan tarikan napas yang makin lama makin cepat, tersengal.
Walau ilmu tenaga dalam Nyai Demang tidak sangat istimewa, akan tetapi cukup bisa merasakan betapa gawatnya keadaan.
Nyai Demang tak bisa berdiam diri.
Hatinya tidak tega melihat lelaki tua yang menderita sendirian itu.
Tangannya terulur ingin menenangkan.
Ingin melakukan sesuatu yang bisa, sedikitnya, memperingan penderitaan.
Tubuhnya maju ke depan.
Satu jari dari tubuh Kebo Berune, Nyai Demang menjerit.
Tubuhnya tertekuk, kedua kakinya mendadak lemas.
Ada sengatan tenaga yang menghantam ke ulu hatinya.
Bagai kena sentakan halilintar.
Sungguh tak dinyana tak diduga.
Dari tubuh yang kering kerontang tergeletak tanpa gerak ini bisa mengalirkan tenaga yang begitu kuat.
Nyai Demang memegangi perutnya.
Rasa mual dari ulu hati tak bisa ditahan.
Saat itu tangan Upasara menyentuh.
Dan mendadak Upasara menarik tangannya.
Terasakan sentakan yang keras, bagai gelombang tenaga yang sangat tipis menyusup.
Berbeda dengan Nyai Demang yang terhuyung-huyung, Upasara tetap berdiri kukuh.
Malah lalu merangkap kedua tangan, menggosok telapak tangan dengan gerakan kaku karena tangan kanannya belum sempurna.
Lalu satu tangan maju mendekat ke arah tubuh Nyai Demang.
Mendekat.
Lekat.
Dan ditarik kembali.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyai Demang mengaduh.
Tubuhnya terkulai.
Upasara mengulang kembali setelah memusatkan seluruh pikirannya.
Kini, lebih jelas bahwa tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang adalah tenaga yang kelihatan bertentangan, bertarung satu sama lain.
Sentuhan tangan Upasara mengalirkan tenaga yang terbendung itu.
Ini yang tadi dirasakan oleh Nyai Demang ketika menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune.
Sentuhan kedua, masih terasakan getaran yang kuat.
Upasara mencoba menolak, akan tetapi tubuh Nyai Demang jadi berkelojotan dan mengeluarkan rintihan memelas.
Terpaksa tenaga yang bergolak dari tubuh Nyai Demang diserap, sehingga Upasara merasakan getaran yang dahsyat di ulu hatinya.
Sesaat.
Tangannya dilepaskan.
Upasara memusatkan perhatian kembali.
Mengumpulkan tenaga dalam, dan menjajal kembali.
Di luar dugaannya, tenaga bergolak dalam diri Nyai Demang masih tetap kuat menyerang.
Dan setiap kali Upasara berusaha menggempur, badan Nyai Demang bergoyang tak tahan.
Ini hebat! Bisa dibayangkan pergolakan tenaga dalam yang luar biasa dalam tubuh Eyang Kebo Berune.
Pasti jauh berlipat ganda dari yang sekarang sedang mengamuk dalam tubuh Nyai Demang.
Mengejutkan.
Upasara cukup pengalaman dalam soal olah pernapasan dan latihan tenaga dalam.
Boleh dikatakan unsur-unsur yang sejati dalam cara melatih pernapasan sangat dikuasai.
Dengan Kitab Bumi sebagai sumber utama, Upasara tumbuh sebagai ksatria yang bisa disejajarkan dengan pendekar-pendekar berusia lanjut.
Lebih menguntungkan lagi, justru pada usia masih muda Upasara sempat menjajal dengan berbagai pertarungan yang penting dan menentukan.
Akan tetapi, tenaga bergolak dari tubuh Nyai Demang tetap menimbulkan teka-teki baginya.
Karena agaknya tenaga dalam Nyai Demang seperti terkuras untuk meletup ke luar.
Kalau tidak akan menggerogoti kekuatannya sendiri.
Seakan butuh penyaluran.
Bahayanya, jika tenaga itu didorong atau dilawan, tubuh Nyai Demang yang termakan, yang menjadi korban.
Dengan kata lain, semacam tenaga bebas yang bergerak dan bisa menghantam apa saja.
Sejak pertama kali, Upasara telah mengetahui ada sesuatu yang luar biasa dalam diri Eyang Kebo Berune.
Itu sebabnya ia menyabarkan diri untuk tidak bertindak sembrono.
Hal itu yang juga diisyaratkan pada Nyai Demang.
Hanya saja pada saat terakhir, Nyai Demang merasa tidak tahan.
Ia menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune.
Akibatnya cukup gawat.
Kini Upasara sendirian.
Eyang Kebo Berune masih tetap tak bergerak, sementara Nyai Demang juga mengalami nasib yang sama.
Kini saatnya bergerak untuk melakukan sesuatu.
Upasara pernah mengalami kejadian yang kurang-lebih sama.
Yaitu saat di mana Gendhuk Tri terkena hawa racun yang luar biasa.
Sehingga seluruh tubuhnya dialiri racun berbisa.
Siapa yang tercakar, tenaga racun dalam tubuh Gendhuk Tri akan merembes masuk ke arah lawan.
Sangat berbahaya, karena ini berarti maut.
Bahkan jenis binatang berbisa tak berani mendekati tubuh Gendhuk Tri.
Waktu itu Upasara bisa menyembuhkan dengan cara memberikan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa racun.
Ini bedanya.
Sekarang ini kalau Upasara akan memberikan tenaga dalamnya, belum tentu berhasil.
Karena tenaga dalam yang bergolak tak bisa dijinakkan.
Dipaksa keluar dengan perlawanan, akibatnya membahayakan si penderita.
Sementara kalau diterima, pengalihan tenaga bergolak ini rasanya tak berkurang.
Nyai Demang masih tetap menderita, dan dirinya sendiri diamuk tenaga perlawanan.
Tenaga sesat yang menjadi korban lebih banyak.
Upasara mencoba lagi.
Kali ini berdiri tegak, dengan kedua kaki mengangkang.
Tangan tertekuk di pusar.
Perlahan kedua tangan bergerak ke atas, dengan siku mundur.
Telapak tangan menghadap ke atas, bergerak naik.
Seiring dengan tarikan napas yang dalam.
Lewat ujung hidung, masuk ke dalam otak di kepala, lalu turun ke belakang lewat sumsum tulang belakang, dan dikumpulkan di bagian pusar.
Sementara kedua tangannya bergerak perlahan ke depan, mendorong.
Perlahan, dengan tangan kiri lebih mengarah, mendahului tangan kanan.
Bersama dengan embusan napas yang sudah ditahan sebisa mungkin di pusar.
Napas Bumi! Tubuh Nyai Demang bergetar.
Gejolak tenaga dalam menembus ke dalam tubuh Upasara lewat tangan Upasara.
Yang untuk sementara melekat erat.
Upasara menampung sekuat mungkin.
Baru kemudian melepaskan dan melampiaskan tenaga yang bergolak ke arah luar.
Terdengar gejolak keras.
Pohon-pohon di luar rumah bergoyangan dan roboh.
Gubuk itu sendiri bergerak, seolah jebol dari dasarnya.
Sesaat Upasara menahan diri, merasakan sisa-sisa serangan tenaga Nyai Demang.
"Apakah lebih baik, Mbakyu Demang?"
"Ya."
"Kalau begitu akan saya coba lagi.
"Mbakyu jangan melawan. Biarkan saja."
Upasara bersiap lagi.
"Percuma.
"Kamu akan mati kelelahan. Tenaga Pukulan Pu-Ni tak bisa dipindahkan begitu saja."
Upasara memandang hormat kepada Eyang Kebo Berune.
"Nyai Demang-mu itu menjadi lebih baik tubuhnya karena memang begitulah adanya. Tenaga Pukulan Pu-Ni akan muncul dan lenyap secara mendadak. Sampai satu saat tertentu, ia tak kuat lagi dan mati.
"Bukankah sekarang aku segar lagi?"
"Eyang Berune, saya masih terlalu dungu untuk memahami. Akan tetapi rasanya selalu ada jalan keluarnya."
"Bejujag mungkin tahu.
"Tapi ia tak mau mengatakan."
Mendadak Nyai Demang menggeliat dan bangun, seperti segar kembali.
"Kakek Berune, coba katakan bagaimana bunyi kidungan yang Kakek sebutkan. Siapa tahu kita bisa bersama-sama memecahkannya.
"Setidaknya kidungan yang pertama saja."
"Kenapa kita tidak mati bersama tanpa penasaran? Pupuh pertama atau terakhir, apa ada gunanya?"
Kidung Pujian bagi Baginda Raja SEBENARNYA Nyai Demang sudah sangat merendah.
Dengan mengatakan bisa dipecahkan bersama, Nyai Demang tidak ingin menunjukkan dirinya lebih pintar dalam menguraikan arti Kidungan Paminggir dibandingkan Eyang Kebo Berune.
Bahkan dengan menyebutkan pupuh pertama, atau bait pertama saja, Nyai Demang ingin mengetahui sampai sejauh mana kitab yang konon ditulis oleh Eyang Sepuh.
Alasan yang lain bagi Nyai Demang ialah karena secara langsung Eyang Sepuh menyebutkan hal itu dalam pertemuan dengan Upasara.
Dan selama ini, beberapa kali Nyai Demang berusaha menerjemahkan makna kata-kata Eyang Sepuh.
Dengan membolak-balik arti kidungan dalam Kitab Bumi.
Hasilnya? Merasa bisa tapi juga ternyata bukan jawaban yang sebenarnya.
Sehingga rasa ingin tahu Nyai Demang makin menggunung.
Sebenarnya Upasara juga mempunyai keinginan yang sama.
Alasannya tidak jauh berbeda dari Nyai Demang.
Dalam Kitab Bumi, selintas bisa dibaca mengenai cara berlatih tenaga dalam, cara mengatur pernapasan.
Akan tetapi dari Kitab Bumi itu pula, dengan lirik kata-kata yang sama, bisa diterjemahkan secara lain.
Bahkan kurungan bawah tanah yang berliku-liku juga bisa dipecahkan dengan lirik-lirik Kitab Bumi! Seperti yang telah dilakukan Dewa Maut ketika memberi petunjuk Nyai Demang.
Seperti yang telah diusahakan Nyai Demang untuk memancing kembali tenaga dalam Upasara yang musnah.
Seperti yang diajarkan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam mengembalikan tenaga dalam Upasara Wulung.
"Eyang, barangkali ada gunanya dicoba."
Terdengar helaan napas.
"Baik, baik. Kuakui keunggulan Bejujag itu.
"Di jagat raya ini, rasanya hanya aku yang mendengar Kidung Paminggir. Tinggal aku yang bisa mengajarkan dusta ini. Bintulu sudah tak ada, Raganata sudah musnah, Bejujag sendiri sudah bersembunyi sepenuhnya.
"Tinggal aku.
"Kecuali kalau Pulangsih si penggoda masih ada.
"Baik, baik. Upasara dan Nyai Demang, dengarkan baik-baik. Katakan dengan jujur apakah aku yang membual, atau Bejujag itu yang kurang ajar."
Sunyi sebentar.
Upasara memusatkan perhatiannya.
Nyai Demang siap mencatat kidungan di lantai yang berdebu.
KIDUNG PAMINGGIR Pupuh pertama, rasa syukur kepada segala Dewa yang memberkati keluhuran raja bijaksana sembahan seluruh umat manusia bergelar agung Baginda Raja Sri Kertanegara tanpa cela, seumpama Dewa yang sesungguhnya seluruh jagat terpikat mendengarnya! Upasara masih menunggu.
Nyai Demang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa kalian masih ingin mendengarkan pupuh berikutnya?"
"Hanya itu pupuh pertama?"
"Kamu kira Bejujag itu mau bersusah payah menyusun seperti Bintulu?"
Nyai Demang segera menghapus tulisan tangan di tanah.
"Nah, kalian masih beranggapan tulisan Bejujag sejajar dengan kitab yang lain?"
"Rasanya tidak di pupuh pertama."
Terdengar tawa halus.
"Aku lebih hafal dari Bejujag itu sendiri. Sampai pupuh kesembilan tetap tak ada apa-apanya. Bahkan lebih membual. Tapi baiklah, Nyai, karena kamu baik hati mau mati bersamaku, apa salahnya aku kabulkan keinginanmu? "Sekalian menjelaskan bahwa Bejujag tak harus dipuja seperti itu. Dengar baik-baik, catat sampai putus jarimu."
Sunyi lagi.
Upasara kuatir jika serangan dalam tubuh Eyang Kebo Berune bergolak lagi.
Karena bisa terhenti di tengah jalan.
Untuk selamanya.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ini adalah kesempatan yang amat langka.
Bisa bertemu secara langsung dengan tokoh yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan mengetahui lebih banyak dari siapa pun.
Pupuh kedua, masih atas Baginda Raja yang lebih cendekia dari segala Dewa Duh, Baginda, inilah kisah seorang lelaki yang bertemu Tamu dari Seberang memberikan takhta padanya jadilah ia seorang raja melahirkan anak cucu bermahkota sampai akhir turunannya Sampai akhirnya, adalah kisah lain lelaki paminggir, lelaki nista dan miskin mendengar suara, mendapat wahyu Wahyu Paminggir menjadi penguasa seperti Dewa Wahyu Paminggir dimiliki oleh lelaki jelata tanpa mahkota Itulah saat, seluruh jagat menatap kebesaran Keraton Duh, Baginda Raja yang lebih bijak dari Dewa ini bukan gempa, bukan bencana sebab Wahyu Paminggir telah hadir sejak sebelum dituliskan oleh si pandir! Nyai Demang jadi ragu-ragu.
Cara Kakek Kebo Berune mengidungkan sangat kurang enak di telinga, akan tetapi arti yang tertangkap lebih tidak enak lagi.
"Nah, kalian tahu sendiri bualan itu sekarang.
"Di saat Bintulu menyusun Kitab Bumi dengan jungkir balik, di saat Raganata merampungkan Kitab Negara, Bejujag justru main-main dengan lamunan.
"Bukankah semua tahu bahwa dulu ada lelaki bernama Ken Arok yang naik takhta, meskipun ia tidak dialiri darah Dewa? "Bukankah Bejujag ingin menjelaskan lagi, bahwa kebesaran semacam itu akan terjadi lagi? "Bukankah Bejujag ingin mengatakan ia sangat ingin sekali memegang jabatan itu? "Dan ia berhasil. Berhasil mengguncangkan Keraton. Sejak itu Baginda Raja melarang Bejujag menulis. Melarang Raganata membaca semua karyanya."
"Jangan-jangan yang diramalkan adalah Adimas Upasara."
"Hmmm."
"Bukankah paminggir berarti yang tidak pernah dianggap. Berarti selir, gundhik yang tidak resmi? "Adimas Upasara juga ksatria yang tidak diakui resmi. Ia yang akan tampil suatu hari nanti.
"Ya, ya, ramalan dan perhitungan yang jitu."
"Tolol!"
Terdengar seruan geram Kakek Kebo Berune menanggapi ucapan Nyai Demang. Untuk seorang tua, suara emosional begini terdengar menggelikan.
"Sangat tolol.
"Karena semua orang yang tidak berdarah turunan merasa bakal jadi pahlawan dan penguasa besar di belakang hari. Ini meracuni jiwa. Dan semua keturunan Dewa dibuat risau karenanya.
"Lagi pula apa istimewanya nujum seperti ini? Bisa diartikan siapa saja."
Upasara tetap tenang. Pikirannya lebih jernih dibandingkan Nyai Demang maupun Eyang Kebo Berune.
"Maaf, Eyang Berune, saat apa Eyang Sepuh menyusun Kidung Paminggir itu?"
"Saat apa? "Tiap kali, ketiga ksatria perkasa mengirimkan hasil pemikiran dan pencariannya. Tidak saat apa-apa."
"Apakah bukan jawaban bagi jurus-jurus yang dikemukakan oleh Paman Sepuh Bintulu? Atau jawaban bagi Eyang Mpu Raganata? Atau justru bagi Eyang Kebo Berune sendiri?"
"Atau bagi Eyang Putri Pulangsih?"
Tambahan kalimat Nyai Demang membuat Eyang Kebo Berune berkejap-kejap matanya.
"Kenapa kamu berdua mempunyai jalan pikiran yang sama? "Apa betul Bejujag itu yang paling sakti di antara kita semua? Sedemikian saktinya sehingga aku tak mampu menangkap kalimatnya? "Bejujag, semoga kamu dikutuk semua Dewa yang pernah ada!"
Pamiluta, Ilmu Bujuk Rayu KAKEK tua tetap tergeletak. Hanya jakunnya yang bergerak. Lebih cepat dari biasanya. Helaan napasnya agak tersendat. Nyai Demang terus memperhatikan.
"Maaf, Kakek Berune, kami tak ingin mengganggu Kakek. Apa pun pengalaman masa lampau yang pahit, kami tak ingin menghadirkan kembali. Keinginan kami hanya ingin menjajal sesuatu yang barangkali bisa untuk menyembuhkan saya, atau Kakek sendiri."
"Dengan kata lain, kalian masih lebih percaya Bejujag.
"Mungkin harus begitu.
"Di antara kami berempat, Bejujag adalah yang paling tidak bisa apa-apa. Bintulu yang paling tampan, gagah perkasa tapi sekaligus lembut. Putri-putri Keraton akan merasa bahagia jika mimpi dilirik.
"Lebih dari ketampanannya, Bintulu paling tekun, paling baik budinya. Di antara kami bertiga, sama-sama mengakui bahwa Bintulu yang paling pantas menjadi pemimpin, yang paling pantas mendapatkan Pulangsih.
"Aku rela kalau Bintulu yang mendapatkan Pulangsih. Seperti juga Bejujag dan Raganata.
"Tapi karena perhatian Bintulu yang luar biasa kepada ilmu kanuragan, dan jauh di dalam hatinya ia tak tega mengkhianati sahabat-sahabatnya, maka ia agak malu-malu mendekati Pulangsih.
"Calon berikutnya, pastilah aku. Saat itu akulah yang paling biru darahnya, paling mapan kehidupannya dengan kemampuan ilmu silat yang tak kalah dari yang lainnya. Akan tetapi Pulangsih kurang menyukai ketika aku memutuskan menjadi prajurit. Apalagi ketika akhirnya aku berangkat sebagai senopati utama yang diutus ke Keraton Berune. Dari semua prajurit muda, akulah yang paling muda dan paling berpengharapan.
"Kalau aku tak bisa, agaknya Raganata pantas menyanding. Dia termasuk tampan, mempunyai perhatian yang lebih kepada sesama, tutur katanya manis, dan sangat asih kepada wanita.
"Sebelum aku berangkat, kami berlima mengadakan pertemuan. Aku yang mengutarakan niat baik, kepada siapa Pulangsih akan menjatuhkan pilihannya. Siapa pun di antara kami berempat yang dipilih Pulangsih, kami akan menerima dengan hati terbuka.
"Inilah kelebihan kami sebagai ksatria muda.
"Upasara, Nyai Demang, kalian tahu siapa yang dipilih Pulangsih?"
Nyai Demang menjawab perlahan.
"Eyang Sepuh."
"Itulah gilanya. Pulangsih mengatakan pilihannya jatuh kepada Bejujag. Serta-merta kami bertiga bertanya. Kenapa memilih Bejujag? "Jawaban Pulangsih membuat kami terkesima, seakan tak percaya. Dari hati wanita yang paling lembut dan jujur, dialah lelaki yang bisa membahagiakan wanita.
"O-ho! "Sebodoh-bodohnya kura-kura masih lebih bodoh hati wanita! "Akan tetapi karena kami berempat sudah sepakat apa pun pilihan Pulangsih, kami menerima. Aku yang berangkat lebih dulu. Dengan janji akan bertemu setiap lima puluh tahun. Mengundang seluruh ksatria di penjuru jagat. Untuk menguji siapa yang paling kuat menyerap ilmu.
"Agak kekanak-kanakan memang.
"Lima puluh tahun ternyata sangat lama. Bisa mengubah segalanya. Akan tetapi ternyata tak cukup dua tahun untuk mengetahui siapa sebenarnya Bejujag.
"Belum dua tahun, Bejujag sudah melemparkan Pulangsih. Menampik Pulangsih dengan cara yang paling menyakitkan. Ia bergendak dengan wanita-wanita yang lain.
"Rasanya aku ingin segera kembali dan menghajar Bejujag. Tak sepantasnya wanita setulus Pulangsih disia-siakan dengan cara begitu hina.
"Hanya karena mengemban tugas negara, aku tak kembali waktu itu. Aku kuras kemampuanku untuk memperdalam ilmuku, Pukulan Pu-Ni, yang kuyakin tak ada yang mampu menandingi. Sementara kiriman dari Raganata datang beraturan, dan aku ganti mengirimkan apa yang kuperoleh.
"Aku makin yakin bahwa aku siap melabrak Bejujag."
"Kakek juga menanyakan keadaan Putri Pulangsih?"
Wajah Kakek Berune berubah. Ah, masih tersimpan kenangan indah yang mendadak terbuka.
"Ya."
"Juga kabar yang diberikan Mpu Raganata?"
"Ya."
"Juga dari Paman Sepuh Bintulu?"
"Ya.
"Kami bertiga ternyata masih menyimpan harapan yang sama. Hanya karena aku paling jauh, aku tak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya."
"Juga dari Eyang Sepuh?"
"Ya."
"Apakah..."
"Ia menerangkan kemudian, bahwa Pulangsih tak pantas dijadikan pendampingnya, karena Pulangsih mempelajari ilmu Pamiluta, ilmu pelet untuk merayu lelaki dengan bujukan manis.
"Demi Dewa segala Dewa! "Pulangsih tak memerlukan apa-apa untuk membuat Dewa menciumi kakinya minta daya asmara.
"Bagaimana mungkin aku bisa percaya penjelasan busuk semacam itu? "Tiap kali aku kirimkan utusan kembali ke tanah Jawa, hanya untuk mengetahui apa yang terjadi atas diri Pulangsih."
"Ternyata Putri Pulangsih dilepas oleh Eyang Sepuh."
"Ya."
"Ternyata Putri Pulangsih tidak mendendam pada Eyang Sepuh. Malah tetap memujanya?"
"Ya.
"Hei, dari mana kamu tahu itu, Nyai?"
"Saya dilahirkan sebagai wanita, dengan hati dan perasaan wanita sejati."
"Apa betul begitu? "Setolol itukah semua wanita di jagat ini?"
Nyai Demang mendesis.
"Selama lelaki masih menilai begitu kejam, jangan harap bisa memahami hati wanita. Itulah kelebihan Eyang Sepuh."
"Kelebihan?"
"Ya."
"Tunggu, jangan kaubikin aku mati penasaran.
"Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu, Nyai?"
Kini berbalik.
Nyai Demang-lah yang ditanyai.
Upasara menunduk.
Pikirannya sedang berkelebat antara bayangan Ratu Ayu dan Gayatri.
Silih berganti saling menindih.
Akan tetapi, setiap kali bayangan Gayatri yang muncul lebih jelas.
Ah, inikah daya asmara yang luar biasa itu? Yang juga terjadi pada diri Eyang Sepuh, Paman Sepuh Dodot Bintulu, dan Mpu Raganata...
serta Eyang Kebo Berune? "Sederhana sekali, Kakek Berune."
"Sederhana?"
"Sangat sederhana. Dari penuturan Kakek, jelas sekali Putri Pulangsih- tentunya mempunyai nama yang lebih bagus dari julukan jorok seperti itu- sangat ayu dan menawan. Sehingga Kakek berempat tergila-gila padanya."
"Semua bidadari dikumpulkan menjadi satu pun tak bisa menyamai saat Pulangsih cemberut."
"Saya percaya itu."
"Ha-ha... bagaimana mungkin aku bisa bicara seperti ini? Rasanya mulut ini jadi enteng kalau bicara mengenai Pulangsih. Ia bintang pujaan kami, akan tetapi sekaligus sumber kebencian yang tiada habis-habisnya.
"Justru di saat Pulangsih dicampakkan, dihina, ia menitipkan pesan agar jangan ada yang mengganggu Bejujag. Tak diperbolehkan untuk menantang atau menganiaya. Hanya diizinkan membantu, kalau-kalau Bejujag menemui kesulitan.
"Pulangsih sendiri yang meminta itu.
"Seumur hidup hanya sekali aku menerima tulisannya, dan itu pun memintaku agar tidak mengganggu Bejujag! "Dewa pun tak bisa percaya."
"Kakek tahu kenapa Putri Pulangsih justru sangat mencintai Eyang Sepuh?"
"Karena tol..."
Nadanya mendadak berubah, seperti teringat apa yang dikatakan Nyai Demang.
"Kenapa, Nyai?"
"Karena mencintai."
"Ya, kenapa?"
"Itulah jawaban, bukan pertanyaan."
"Dewa segala Dewa.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Seharusnya begitu. Daya asmara bukanlah perhitungan bahwa dengan mengerahkan tenaga ke tangan, tangan akan lebih sakti dari kaki. Dengan menyimpan tenaga di pusar, akan bisa disalurkan ke arah mana saja.
"Itu perhitungan ilmu kanuragan.
"Bukan daya asmara."
Upasara bisa melihat bahwa di bagian tepi mata Eyang Kebo Berune terlihat titik air mata. Lahirnya Bantala Parwa "AKU tahu, bahwa selama ini aku tidak mengerti, Nyai. Dan akan tetap tidak bisa mengerti."
"Bukankah itu sendiri pengertian?"
"Dewa segala Dewa.
"Kalau aku sudah bertemu denganmu sejak dulu, aku bisa memahami apa yang dilakukan Pulangsih.
"Hmmm, daya asmara...?"
Hening sunyi. Air mata itu seperti membeku.
"Maaf..."
"Tak apa, Nyai. Justru sekarang ini baru terbuka mata batinku untuk memahami apa yang telah terjadi."
"Saya tidak bermaksud mengajari Kakek."
"Kamu sangat baik budi, Nyai.
"Dewa akan melindungi siang dan malam."
Nyai Demang mengalihkan ke arah pembicaraan yang lain.
"Bagaimana kalau kita cari air kelapa untuk Kakek Berune, Adimas?"
"Tidak perlu.
"Saat serangan mengancamku seperti ini, aku hanya bisa menggeletak seperti ini. Semua makanan atau minuman akan menjadi racun dahsyat yang merusak. Rasanya aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tergeletak di sini. Hanya nyamuk yang kebetulan lewat di bibir bisa kumakan.
"Selebihnya menunggu kematian.
"Tapi aku kini bisa mati dengan lega.
"Mengagumkan. Ternyata Dewa masih mempunyai rasa welas asih padaku, sehingga ragaku tidak penasaran.
"Nyai tahu yang dikatakan Raganata mengenai permintaan Pulangsih? "Raganata mengatakan bahwa ini kesalahan kita bertiga. Ternyata memburu-memuja-mengharap Pulangsih. Dan Pulangsih sudah muak dengan sikap pemujaan seperti ini.
"Makanya justru kehadiran Bejujag yang biasa-biasa, menjadikan hatinya tergugah. Bejujag tak pernah memujinya secara terbuka. Bejujag tak memperlakukan Pulangsih secara istimewa.
"Yang biasa itu yang menarik."
"Bisa juga begitu.
"Meskipun sebenarnya setiap penjelasan, tak akan menjawab secara tuntas.
"Maaf, Adimas, kalau saya menyinggungmu... Adimas Upasara juga terpaut hatinya oleh seorang wanita. Dan tak akan pernah lekang sedikit pun, walau kini wanita yang dikasihi telah mempunyai dua putri.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Begitu juga sebaliknya."
"Itu baik.
"Artinya Upasara dan kekasihnya menyimpan daya asmara.
"Bejujag ini betul-betul kurang ajar! "Ia sengaja menyakiti hati Pulangsih demi ilmu silatnya! Betapa konyol dan hinanya."
"Demi ilmu silatnya?"
"Demi keunggulan pribadi Bejujag.
"Semua ini diceritakan oleh Bejujag dengan segala kemenangan. Dengan segala kebanggaan yang ada.
"Nyai, kamu tahu apa yang dikatakan Bejujag padaku?"
"Tunggu... Rasanya saya bisa menebak."
"Apa?"
"Bukankah sikap Eyang Sepuh itu yang mengilhami ilmu silatnya yang kesohor, yang dikenal dengan Tepukan Satu Tangan?"
"Jangan-jangan kamu murid Pulangsih."
"Kalau saya ada hubungan dengan Putri Pulangsih, saya sudah akan mengubur Kakek hidup-hidup.
"Tetapi saya kurang mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi."
"Aku sudah bercerita panjang.
"Bintulu yang menuliskan bagian pertama Kitab Bumi yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Suatu maha karya yang tiada taranya. Akan tetapi Bintulu merasa belum puas. Masih ingin menyelesaikan satu bagian lagi, yang akan terdiri atas delapan jurus.
"Itu sebabnya diberi nama Dwidasa Nujum Kartika, walau hanya terdiri atas dua belas jurus.
"Jalan pikiran Bintulu sangat cemerlang. Mengagumkan. Gagasan dasarnya ialah ingin menciptakan jurus-jurus dan atau latihan pernapasan yang bisa mementahkan semua jurus dan perkiraan, dan meminta pendapat dari kami bertiga.
"Pada saat seperti itulah, Raganata mengembangkan bagian yang disebut Weruh Sadurunging Winarah, atau Tahu Sebelum Terjadi. Inilah cara mementahkan semua Jurus Bintang.
"Dengan mengetahui apa yang menjadi sasaran serangan lawan, dengan sendirinya akan berhasil mengatasi.
"Raganata menempuh latihan pernapasan yang dalam, untuk mengetahui napas lawan. Karena sesungguhnya, di situlah sumber serangan. Bukan gerak kaki atau tangan. Bukan lirikan mata. Melainkan dengus dan tarikan napas.
"Rumit dan berat, akan tetapi Raganata berhasil melatih dengan luar biasa.
"Aku tak mau kalah. Aku menunjukkan cara-cara memainkan Pukulan Pu-Ni. Satu pukulan yang bisa membereskan semua serangan. Dengan sekali serang, Pukulan Pu-Ni akan menghancurkan lawan. Dengan demikian serangan yang berikutnya, apa pun bentuknya, tak akan lahir.
"Sudah ditumpas sejak awal.
"Kalau Raganata lebih melatih napas dan rasa, aku memakai tenaga keras."
"Dan Paman Sepuh Dodot Bintulu?"
Upasara tak bisa menahan diri ikut bertanya.
"Bintulu? "Lebih dekat dengan penyelesaian yang dipakai juga oleh Raganata, tetapi juga dekat dengan cara yang kupakai. Bintulu mengajukan pukulan yang dinamai sementara Banjir Bandang Segara Asat. Menciptakan banjir besar di darat dengan mengeringkan laut.
"Intinya pukulan keras.
"Mengadu tenaga dalam, pada saat yang bersamaan, menyedot tenaga dalam lawan untuk dijadikan tenaga dalamnya sendiri. Kalau kita yang memainkan lebih unggul, berarti tenaga dalam lawan terisap. Bahayanya ialah, jika kita kalah kuat, tenaga kita yang terisap."
"Saya pernah menyaksikan dan merasakan kehebatan ilmu itu, Eyang."
"Bagus. Kuakui, Bintulu memang cemerlang. Karena di samping tenaga keras, cara-cara mengisap tenaga lawan adalah memakai tenaga lembut, seperti yang pemikirannya dilontarkan oleh Raganata."
"Eyang Sepuh memperlihatkan Tepukan Satu Tangan. Bukankah begitu, Kakek?"
"Ya, Bejujag mengajukan pemikiran bahwa satu tangan yang bertepuk menimbulkan suara lebih nyaring dari dua tangan. Inti mendasar dari ilmu ini ialah pengorbanan, menjadikan diri kita korban, diri kita tumbal. Maka niatan yang pertama lahir adalah penolakan.
"Selama kita masih berpikir untuk meraih kemenangan, menginginkan keunggulan atau kepentingan pribadi, nafsu itu yang lebih menguasai. Kita tak mempunyai rasa pasrah. Kita yang akan kalah oleh daya nafsu kita sendiri.
"Pasrah total. Itulah inti pengorbanan diri."
"Saya tahu... saya tahu..."
"Kamu tahu bahwa inti ajarannya justru bersumber dari penolakannya kepada Pulangsih? "Bejujag gila.
"Justru dengan menolak Pulangsih, Bejujag akan mendapatkan. Justru dengan mencampakkan Pulangsih, daya asmaranya akan berlipat ganda. Dengan bertepuk sebelah tangan, lebih nyaring gemanya daripada dua tangan bersambut. Dengan tidak memiliki Pulangsih, Bejujag justru mendapatkan seumur hidupnya. Bahkan sampai di alam lain.
"Nyatanya begitu. Karena justru Pulangsih yang meminta-minta agar ia tak diganggu menyelesaikan ilmunya.
"Aku paling membenci. Dan kuanggap ilmunya lebih berbahaya dari Banjir Bandang Segara Asat yang diciptakan Bintulu.
"Akan tetapi segalanya serba gila.
"Bintulu dan Raganata yang merundingkan, yang berpikir masak-masak, akhirnya memutuskan menerima ilmu Bejujag sebagai pelengkap utama Kitab Bumi.
"Kitab resmi, untuk diajukan kepada Baginda Raja.
"Dan Baginda Raja juga memilih serta menyetujui bahwa Kitab Bumi yang utuh terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi! "Itulah lahirnya Bantala Parwa.
"Yang diakui juga oleh Bintulu, Raganata, dan aku sendiri. Mengakui secara resmi, bahwa ajaran utama yang dituliskan adalah apa yang diajukan oleh Bejujag.
"Ilmu yang didasarkan pada penolakannya kepada Pulangsih. Kemampuannya untuk meniadakan Pulangsih.
"Maka, sejak itu pula Bantala Parwa direstui menjadi pelengkap yang dipakai sebagai pegangan dan ajaran Keraton Singasari. Sampai jagat ini tamat."
Wahyu Paminggir "KALAUPUN Kitab Bumi yang direstui Baginda Raja, bukankah itu tidak berarti satu-satunya yang boleh dipelajari?"
"Tentu saja tidak, Nyai.
"Di jagat ini mana ada seorang yang bisa mengharuskan dan melarang hanya mempelajari jurus tertentu? "Pukulan Pu-Ni belum tentu kalah dengan Bantala Parwa. Aku masih berniat menguji."
Nyai Demang tersenyum dalam hati. Kakek Kebo Berune yang napasnya tinggal satu-satu dan tak mampu bergerak, masih bisa menyombongkan diri.
"Kakek Berune, kenapa Baginda Raja Sri Kertanegara mempunyai maksud memakai pakem atau kitab pegangan?"
"Agar bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan diri.
"Ada yang tercatat, dan diakui tak akan membahayakan.
"Masa soal semudah ini kamu tidak tahu, Nyai."
"Itulah masalahnya,"
Tukas Nyai Demang cepat.
"Dalam mempelajari ilmu silat, kita cenderung mengagungkan milik kita sendiri. Boleh dikatakan rahasia bagi perguruan lain. Akan tetapi kini malah disatukan. Dan disebarkan.
"Kakek sendiri juga menerima hasil rembugan para ksatria sejati, walau berada di seberang. Bukankah ini aneh dan bertentangan?"
"Di jagat ini, mana ada raja seperti Baginda Raja? "Lebih dari siapa pun. Dewa saja kalah jauh pemikirannya. Kita semua, para ksatria, pendekar, bahkan para durjana, mempunyai rasa hormat yang tinggi kepada Baginda Raja. Beliau raja yang dihormati bukan hanya karena kekuasaannya.
"Tapi karena kehebatannya.
"Baginda Raja mempunyai kehendak yang mulia. Keraton Singasari direncanakan akan mencapai seluruh ujung jagat. Itu hanya bisa dicapai jika kekuatan Keraton tak terkalahkan.
"Dengan membuat pakem dari Kitab Bumi, Baginda Raja ingin menyebarluaskan gagasan itu. Semua prajurit atau bukan prajurit akan dilatih. Sehingga kelak di kemudian hari, Keraton Singasari akan digdaya tanpa tanding.
"Bahkan Baginda Raja mendirikan Ksatria Pingitan."
Upasara menyembah.
"Saya didikan Ksatria Pingitan, Eyang."
"Itulah.
"Di samping mengirimkan semua senopati ke negara seberang, seperti aku, Baginda Raja memperkuat di dalam. Pada suatu saat nanti, semua penduduk Singasari adalah prajurit sejati. Yang bisa menguasai kanuragan dan sekaligus mempunyai budi pekerti yang baik.
"Bayangkan kalau itu terjadi!"
"' "Lalu apa kesulitannya?"
"Tak ada.
"Tak ada, kan?"
"Kelihatannya..."
"Kelihatannya Baginda Raja menginginkan dari penduduk yang biasa-biasa bisa mempelajari ilmu silat. Mereka akan menjadi bibit-bibit prajurit yang tangguh, yang di kelak kemudian hari menjadi senopati. Dan akan muncul senopati-senopati yang gagah perwira.
"Tak ada apa-apanya kalau Bejujag tidak mengacaukan semua kehendak Baginda Raja."
"Mengacaukan?"
"Dengan Kidung Paminggir.
"Yang meramalkan bahwa suatu hari akan lahir seorang senopati utama, yang lebih besar dari raja itu sendiri. Itu yang dikatakan sebagai Wahyu Paminggir."
"Maaf, Kakek Berune, saya tak bisa menangkap.
"Kalau Baginda Raja begitu luas pandangannya, kenapa tak menyukai kemungkinan yang telah diletakkan dasar-dasarnya?"
"Karena Bejujag! "Perhitungan atau ramalan atau nujuman Bejujag menegaskan hal itu. Kalian akan mengetahui betapa kurang ajarnya Bejujag jika mengetahui kidungan bagian itu. Akan kubacakan. Ini pupuh kesekian, mengenai Wahyu Paminggir Wahyu ialah zat dari Dewa Sukma kekuasaan tertinggi hanya ada pada tangan raja sebab raja adalah raja raja adalah Dewa Dewa berada dalam raja Selain Wahyu Utama milik hanya para Dewa ada pula Wahyu Paminggir bagi yang berada dipinggir tak punya nama besar, bukan keturunan raja tak punya darah biru, bukan keturunan selir Mereka ini memperoleh Wahyu Paminggir yang sinarnya bisa lebih terang dari Wahyu Utama yang gemilang Berbahagialah penerima Wahyu Paminggir Kidungan ini tertuju padanya yang keringat dan kemauannya tak bisa berakhir Berbahagialah raja yang membawahkan Kidungan itu tertuju hormat padanya yang kebesaran dan takdirnya tiada terkalahkan Antara Wahyu Utama dan Wahyu Paminggir seperti bibir atas dan bibir bawah Dewa segala Dewa, raja segala raja tak bisa menerka yang mana Paminggir atau utama..."
Nyai Demang bisa mengerti kalau Baginda Raja murka dengan kidungan yang diciptakan Eyang Sepuh.
Dengan mengetengahkan gagasan adanya Wahyu Paminggir, secara jelas Eyang Sepuh mengatakan ada wahyu yang lain, di samping wahyu yang khusus untuk seorang raja! Itu tak boleh terjadi.
Tak akan ada raja, di mana pun, menerima kenyataan bahwa ada matahari lain.
Kekuasaan mutlak ada padanya.
"Bejujag mau kraman, mau mengambil alih Wahyu Raja. Bukankah itu keterlaluan? "Bukankah itu tak bisa diampuni?"
Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune mempunyai gema dalam hati Upasara Wulung.
Karena setelah terkurung selama dua puluh tahun, untuk pertama kalinya ia muncul ke dunia persilatan, karena gema adanya Wahyu Paminggir! Di mana Eyang Sepuh mengisyaratkan datangnya Tamu dari Seberang, yang akan menentukan siapa yang bakal menjadi raja.
Eyang Sepuh memakai contoh lahirnya raja pertama yang mendirikan Keraton Singasari, yaitu Ken Arok.
Yang tidak berdarah biru.
Saat itu terjadi kegemparan yang luar biasa.
Baginda Raja memerintahkan semua senopati untuk melabrak ke Perguruan Awan, untuk mengetahui hal yang sebenarnya.
Saat itu, Eyang Sepuh sudah menghilang.
Yang ada para pendekar, para ksatria yang justru sedang akan ditumpas habis.
Baru sekarang Upasara mendapat keterangan yang lengkap.
Namun tak bisa ditutupi, justru perhitungan Eyang Sepuh mendekati tepat.
Saat itu Raja Muda Gelang-Gelang menghancurkan Keraton Singasari, menduduki takhta kehormatan.
Dan baru dengan munculnya pasukan Tartar, yang bisa disebut Tamu dari Seberang, bisa menggulingkan Raja Muda Jayakatwang.
Dilihat dari sisi ini, segala perhitungan atau ramalan Eyang Sepuh tak bisa dikatakan sekadar lamunan kosong.
Nyatanya terbukti.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Upasara.
"Bejujag dianggap sangat tepat ramalannya. Mungkin begitu, mungkin kebetulan. Yang bisa saja terjadi. Tapi dalam hal ilmu silat, Bejujag tak ada apa-apanya. Tidak bila dibandingkan dengan aku.
"Bahkan ketika kamu mainkan jurus-jurus Penolak Bumi, aku bisa memecahkan dengan mudah. Juga Bintulu yang sanggup mematahkan satu tanganmu."
Nyai Demang merintih.
Tubuhnya kembali bergoyang, sebelum akhirnya jatuh berkelojotan.
Benturan tenaga yang terserap dari Pukulan Pu-Ni kembali muncul.
Upasara menjajal kembali.
Satu tangan bergerak dari lambung ke arah atas beberapa jari di atas tubuh, dan mendadak terdorong ke depan.
Menyentuh kaki Nyai Demang.
Sentakan tenaga bagai sabetan halilintar menyergap.
Upasara mendesis.
Tubuhnya bagai kosong.
Tenaga yang menyerbu masuk dibiarkan melalui semua tenaga penghalang.
Ada dua kemungkinan.
tenaga dalam Upasara bakal rontok, atau sengatan yang mengalir terhenti.
Ternyata tidak dua-duanya! Sifat Bumi TENAGA itu tetap masuk menerobos tubuh Upasara.
Tidak berhenti.
Tubuh Upasara bergeming.
Tenaga dalamnya tidak rontok.
Karena sekejap kemudian, Upasara bisa melepaskan kembali tangannya tanpa merasa adanya gangguan yang berarti.
Juga ketika menghela napas, dan mengatur pernapasan.
"Bisa. Bisa, Mbakyu.
"Saya bisa."
Kebo Berune berseru kaget.
"Bisa apa?"
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bisa menyalurkan tenaga bergolak dari dalam tubuh Nyai Demang."
"Mana mungkin?"
"Maaf, Eyang, saya baru menjajalnya.
"Rasa-rasanya bisa tersalur."
"Aku bisa mati membelalak. Selama ini aku mempelajari Pukulan Pu-Ni dengan sepenuh hati seumur hidupku. Dan Nyai Demang itu terkena pula. Bagaimana mungkin kamu bisa mementahkan begitu saja? "Apakah kamu disuruh Bejujag memperolok aku?"
Tentu saja Upasara tak mempunyai pikiran untuk mempermainkan Eyang Kebo Berune.
Jalan pikirannya sangat polos untuk permainan semacam itu.
Yang pertama dirasakan Upasara ialah bahwa tenaga dalam yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang bisa diambil tanpa merusakkan tenaga dalamnya sendiri.
Dengan cara membiarkan dirinya kosong, dan tenaga itu tersalur terus.
Hilang di dalam bumi.
Upasara memang memakai jalan pernapasan bumi.
Sesuai dengan sifat bumi yang menerima segala apa.
Sambaran tenaga halilintar yang betapapun hebatnya, lenyap seketika kalau masuk ke perut bumi.
Sewaktu Upasara mengutarakan gagasan itu, Eyang Kebo Berune jadi terbengong-bengong.
"Sifat Bumi?"
"Begitulah, Eyang."
"Tunggu dulu, apakah itu ada di dalam Kitab Bumi? Apakah itu diajarkan dalam Kitab Bumi?"
"Ya, Eyang."
"Di bagian mana?"
"Di bagian Penolak Bumi.
"Dalam Tumbal Bantala Parwa, diterangkan pada kidungan awal, bahwa gerakan-gerakan yang ada adalah dengan mempelajari unsur-unsur tanah, tata letak bumi. Dekat gunung, dekat mata air, dekat batu, dan lain sebagainya.
"Masing-masing kedudukan tanah yang demikian mempunyai kekuatan yang berbeda-beda.
"Masing-masing bisa membawa rezeki dan bahaya.
"Untuk yang mengandung bahaya, bisa diatasi dengan tumbal. Kalau kita mengenali sifat tanah, kita mengetahui kekuatannya."
"Demi Dewa segala Dewa.
"Bukankah itu bagian yang dituliskan Bejujag?"
"Maaf, saya tak begitu paham."
"Jelas. Itu akal Bejujag.
"Kalau benar begitu, ia sebenarnya telah mengalahkan Pukulan Pu-Ni yang kulatih seumur hidup, yang membuatku cacat seperti ini."
Suaranya mengandung penyesalan yang dalam.
Upasara tak mau terganggu pikirannya.
Dengan mengosongkan diri, tangannya terulur kembali.
Kali ini dengan tenang, tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang tersalur.
Amblas ke dalam bumi.
Tak sampai sepenanak nasi, tubuh Nyai Demang telah pulih kembali.
Seperti sediakala.
"Luar biasa."
"Maaf, kalau Eyang bersedia, saya ingin mencoba pada Eyang."
"Tak bisa. Tak bisa.
"Mana mungkin aku mau dihina begini rupa? Lebih baik aku mati seperti sekarang. Sebentar lagi toh akan mati juga. Buat apa kamu menyombongkan diri sebagai pemenang kepada orang yang sedang sekarat?"
Nyai Demang merasa jengkel juga.
"Adimas Upasara telah berbaik hati ingin membebaskan Kakek dari penderitaan yang berkepanjangan, tetapi masih ditolak. Dengan cara menyakitkan.
"Sudah saja.
"Mari kita tinggalkan."
Suara Nyai Demang mengandung kemarahan besar. Bisa dimengerti karena Nyai Demang merasakan siksaan tenaga Pukulan Pu-Ni.
"Mari, Adimas, masih banyak yang harus kita lakukan.
"Tak bisa menunggui di sini."
Upasara menggeleng. Ia tak bisa meninggalkan begitu saja. Biar bagaimanapun, Eyang Kebo Berune adalah tokoh tua yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata. Tak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan segala hormat, Upasara justru menyembah lagi.
"Tak perlu, Adimas.
"Hanya akan membahayakan Adimas sendiri. Saat menyalurkan tenaga Kakek Berune, Adimas berada dalam keadaan kosong. Saat itu kalau saya berniat jahat, dengan mudah bisa membunuh Adimas."
"Mbakyu tak akan melakukan itu."
"Jangan bodoh, Adimas.
"Saya tak akan melakukan itu. Tapi siapa saja bisa melakukan itu. Prajurit dari Keraton atau bahkan Halayudha bisa melakukan itu. Tempat ini tak jauh dari Keraton, di mana setiap saat bisa ada yang lewat.
"Saya tak bisa melindungi."
Benar juga yang dikatakan Nyai Demang! "Aha, kalian bertengkar sendiri.
"Aku juga tidak sudi kalian tolong. Itu sama juga mengakui keunggulan Bejujag. Aku tak bisa menerima."
Upasara jadi serbasalah. Menolong, jelas berbahaya. Tidak menolong, hatinya tak tega.
"Sudah pergi sana! "Aku masih bisa memanggil orang lain."
"Eyang..."
"Cukup. Bagiku sudah cukup. Kalian sengaja datang disuruh Bejujag untuk menunjukkan ketinggian ilmu kalian. Sampai di alam sana nanti, tetap akan kucari Bejujag."
Nyai Demang berdiri.
"Mari, Adimas."
"Mbakyu berangkat saja sendiri."
Bagi Nyai Demang sangat gampang berangkat sendiri.
Tapi ia tak mau melakukan itu.
Justru karena mengetahui bahwa Upasara pasti akan tetap menolong Kakek Berune, tanpa memedulikan keselamatannya sendiri.
Itu sifat Upasara.
Repotnya, Nyai Demang juga tak bisa memaksa Upasara pergi.
Jadinya ia berdiri kaku.
"Kakek, lalu Kakek mau apa?"
"Itu bukan urusanmu."
Mendadak Nyai Demang mengerutkan keningnya.
Lapat-lapat telinganya mendengar suara orang mendatangi.
Dengan cepat Nyai Demang menuju ke bagian samping yang tak terlihat dari luar.
Upasara mengikuti tindakan Nyai Demang.
Suara langkah yang mendekati kian jelas.
Nada pembicaraan mulai terdengar jelas.
"Mungkin sudah meninggal sekarang ini."
"Sayang kita belum bisa menyadap ilmunya."
Dalam sekejap, dua bayangan muncul di pintu.
Nyai Demang mengenali bahwa salah seorang dari yang datang ialah Pendeta Syangka.
Pendeta Sidateka! Yang seorang lagi tak begitu jelas, karena Nyai Demang tak bisa melihat dengan jelas.
Nyai Demang lebih berusaha menyembunyikan diri dengan mengatur jalan napas agar tak dirasakan kehadirannya.
"Berune, kamu belum mati?"
"Belum. Apa maumu, Pendeta Busuk?"
"Tak ada. Selain kami berdua akan menjajal ilmu. Siapa tahu tubuhmu masih bisa dipakai untuk latihan memukul."
Upasara mengertakkan giginya. Nyai Demang memegang tangan Upasara erat-erat. Terasa dingin.
"Coba saja. Mana ada Pendeta Busuk yang suka berbuat tak senonoh punya pukulan bagus? Pukulan dingin kamu tak lebih dari bau kentut.
"Lebih memuakkan daripada menakutkan."
Wajah Pendeta Sidateka berubah gusar.
"Kalau kamu tahu siapa yang datang bersamaku, kamu tak akan bermulut besar seperti itu."
"Segala jenis ular busuk kamu bawa, apa kamu kira ada racun yang bisa melukaiku?"
Nyai Demang merinding.
Rasanya ia mengenali siapa yang datang bersama Pendeta Sidateka.
Sangat mengenali.
Karena tokoh itu tak lain dan tak bukan adalah Kiai Sambartaka! Rangkulan Dua Musuh Bebuyutan NYAI DEMANG mengerahkan kemampuannya untuk mengatur jalan napasnya.
Agar tidak terdengar oleh Pendeta Sidateka maupun Kiai Sambartaka.
Getaran pikiran yang menyeruak membuat sedikit sakit di dada.
Cekalan tangan Upasara yang mengalirkan ketenteraman sedikit-banyak membantu penguasaan diri Nyai Demang.
Ini cekalan yang kedua, yang dilakukan secara sadar.
Yang pertama ketika Upasara membimbingnya keluar dari Keraton.
Bahkan mencekal pinggangnya ketika meloncati tembok.
Lalu sekarang ini.
Sungguh aneh.
Setelah sekian tahun bersama-sama, justru dalam satu malam saja, Upasara telah mencekal tangannya dan mengalirkan tenaga yang menenteramkan.
Kalau usaha penyembuhan juga dihitung, barangkali yang ketiga.
Akan tetapi Nyai Demang tidak menghitung itu sebagai perlakuan yang istimewa.
Karena untuk menyembuhkan luka.
Bagi Nyai Demang sikap Upasara menjadi jauh berbeda.
Tadinya adalah perjaka yang serba kikuk, yang menjadi merah padam mukanya, walau hanya saling berbicara.
Sekarang berani menyentuh.
Nyai Demang membuang jauh-jauh pikiran yang bukan-bukan.
Hatinya tergetar dan gusar karena mengetahui bahwa Sidateka datang bersama Kiai Sambartaka.
Gusar karena Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat yang sakti dari tlatah Hindia itu, ternyata sangat culas hatinya.
Tega mencurangi Eyang Sepuh yang telah menolong jiwanya.
Pada pertarungan di Trowulan, Nyai Demang-lah yang berusaha terjun ke Brantas untuk mencari Kiai Sambartaka.
Karena merasa dendam! Bahwa sekarang Kiai Sambartaka bisa muncul lagi dalam keadaan segar bugar, itu tak terlalu mengherankan.
Sebagai tokoh sakti tingkat Dewa, hal seperti itu bukan sesuatu yang istimewa.
Akan tetapi bahwa kini bergandengan dengan Pendeta Sidateka, itu yang aneh sekali.
Tak masuk akal.
Sejauh yang diketahui Nyai Demang, kedua negeri, yaitu tlatah Syangka dan tlatah Hindia, tak pernah akur.
Dalam segala hal.
Permusuhan yang bebuyutan ini berkembang terus hingga ke anak keturunan yang kesekian.
Dalam berbagai kitab yang dibaca oleh Nyai Demang atau siapa saja, sangat jelas terasakan.
Bahkan dalam cerita-cerita yang paling kesohor, bisa dimengerti adanya permusuhan tanpa akhir itu.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar dan para ksatria dari tlatah Hindia menganggap tlatah Syangka adalah pusat segala kejahatan jagat, yang sama dengan Keraton Alengka.
Sementara tlatah Hindia adalah tanah yang dimiliki titisan Dewa Wisnu yang selalu menghancurkan angkara murka dan kejahatan.
Setiap tindakan yang menghancurkan Syangka adalah tindakan sangat terhormat.
Permusuhan yang tak terjembatani lagi.
Dalam banyak hal, pendeta ataupun ksatria dari Syangka ingin mengibarkan panji-panji tersendiri.
Tak mau berlindung dalam wilayah kekuasaan Hindia.
Hanya memang selama ini, para pendeta dan ksatria dari Syangka selalu keteter, selalu terdesak keberadaannya.
Maka sangat mengejutkan bahwa sekarang Kiai Sambartaka yang sakti mau bersahabat dengan Sidateka.
Apa pun alasannya, sulit diterima.
Sejahat-jahatnya Kiai Sambartaka dalam kelicikan, rasanya tak bisa dimengerti mau bersahabat dengan Sidateka.
Lebih baik mati ngenas.
Karena kalau sampai terdengar ke tlatah Hindia, kabar itu tak bisa dicuci sampai tujuh puluh turunan.
Kekuatiran Nyai Demang dari segi yang lain ialah, bahwa bersatunya antara Sidateka dengan Kiai Sambartaka, bisa merupakan kekuatan yang tangguh dan sulit dicari tandingannya.
Kiai Sambartaka menguasai segala jenis racun yang berasal dari dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Lebih dari itu, Kiai Sambartaka juga menguasai apa yang disebut Pukulan Beku, atau pukulan Mandeg-Mangu.
Yang mampu menghentikan jalan darah atau napas, setiap kali bisa menyentuh bagian tubuh lawan.
Hal ini Nyai Demang sudah menyaksikan sendiri.
Sedangkan Pendeta Sidateka juga memiliki ilmu dingin yang luar biasa yang mampu bergerak cepat.
Gabungan dari kedua ilmu ini adalah sesuatu yang luar biasa.
Bukan tidak mungkin Upasara Wulung pun akan kecolongan.
Satu pukulan saja, Upasara bisa beku selamanya.
"Kerbau Tua, lebih baik kita bicara baik-baik,"
Kata Pendeta Sidateka dengan nada tinggi.
"Toh kamu sebentar lagi bakal mati juga.
"Akan lebih baik kalau kamu mengatakan sesuatu, dan saya berjanji akan mendoakan arwahmu, menguburmu baik-baik, dan mengabulkan apa permintaanmu.
"Bukankah ini jual-beli yang baik?"
"Kalau aku tak mau? "Apa yang bisa kamu lakukan?"
"Tak ada. Selain melihat seekor kerbau tua sekarat. Setiap kali akan mati, kami akan berusaha menolongmu."
Nyai Demang mengetahui alasannya. Setidaknya bisa menebak bahwa ada yang dikehendaki dari Eyang Kebo Berune oleh Pendeta Sidateka maupun Kiai Sambartaka.
"Mana mungkin kalian bisa menolong atau tidak? Apa yang kalian ketahui selain bagaimana mencari racun cacing dan berkomat-kamit seperti demit?"
Kiai Sambartaka menyemburkan ludahnya ke tanah.
"Mulut kerbau tua ini sangat busuk.
"Aku lebih suka melihatnya sekarat, dan kita menyembuhkan. Biar tambah lama tambah menderita."
"Suara perut juga sama busuknya dengan bau kentut.
"Dengan apa kamu berkaca? Kudengar kamu bisa datang ke Trowulan, dan bisa hidup, tapi bukan pemenang. Buat apa melihat matahari kalau tubuh dan jiwanya bau?"
Nyata-nyata Eyang Kebo Berune masih galak.
"Trowulan hanya tipuan anak-anak muda. Tak ada yang pantas dipakai sebagai ukuran.
"Kebo Bangkai, dengar baik-baik. Aku sudah tahu apa itu Kitab Bumi. Dan karena kamu juga mempelajari itu, rasanya aku bisa menyembuhkan dengan baik. Setidaknya menjaga agar kamu tidak segera mati."
"Itu bagus.
"Kalau bisa."
"Apa susahnya mempelajari ilmu anak-anak bayi seperti itu? Dalam Kitab Bumi ada bagian cara mengatur pernapasan dengan memusatkan pikiran sehingga serasa kosong.
"Membuat tubuh menjadi kosong.
"Membuka gendang telinga kiri sama lebar dengan telinga kanan. Seolah tak mempunyai gendang telinga. Suara sekeras apa pun tak akan mengganggu."
Darah di nadi Nyai Demang bergolak lagi.
Apa yang dikatakan Kiai Sambartaka adalah apa yang dipamerkan secara luar biasa oleh Upasara Wulung.
Upasara berhasil memainkan dengan baik.
Yang dikenal sebagai ilmu Memindahkan Tenaga Suara.
Ini memang ada dalam kidungan Kitab Bumi.
Yang mencapai puncaknya pada penguasaan Eyang Sepuh dengan aji Manjing Ajur-Ajer, menyatu dengan alam.
Bisa bergerak tanpa suara.
Bisa ada di mana-mana.
Bisa antara kelihatan dan tidak.
Yang akan sampai ke tingkat moksa.
Seperti yang dicapai oleh Eyang Sepuh.
Ilmu ini pula yang dikatakan Nyai Demang lebih setingkat dari apa yang dipakai oleh Ratu Ayu Bawah Langit sebagai penguasaan langkah Tathagati! Dari sekian cabang Jalan Budha yang ada, Eyang Sepuh telah mencapai tatanan yang tak terkalahkan.
Dan tadi dengan enteng saja Kiai Sambartaka mengatakan seolah ia yang menemukan.
Sungguh licik! Bagi Upasara, hal semacam ini bukan sesuatu yang mengganggu harga dirinya.
Tak ada rasa keakuan untuk bisa tersinggung karena kelicikan semacam itu.
Malah Upasara membenarkan dalam hati.
Bahwa yang dikatakan Kiai Sambartaka sangat tepat.
Ketika tadi menyembuhkan tenaga bergolak dalam tubuh Nyai Demang, Upasara juga memakai cara yang sama disebutkan Kiai Sambartaka.
Bedanya, Upasara memakai tenaga bumi untuk menyerap golakan tenaga dalam.
Ibarat kata sambaran halilintar dimusnahkan dalam bumi.
Dengan tubuh Upasara sebagai pengantar.
"Coba saja, kalau kamu bisa."
"Kerbau Tua, kenapa kamu tak mau bekerja sama?"
"Apa untungku? "Selama hidup, aku selalu dianggap kalah oleh Bejujag, Bintulu, dan Raganata. Kini di saat-saat terakhir, aku harus mengajarkan ilmu Bejujag? "Siapa yang mau mengakui cara begitu? Ilmu Bejujag tak ada gunanya. Jangan terlalu berharap."
Tengkorak Kekasih UPASARA bisa memahami Eyang Kebo Berune yang menjadi gusar.
Dari pengalamannya selama ini, Upasara menjumpai dua tokoh seangkatan yang begitu kesal pada polah Eyang Sepuh.
Yang pertama adalah Paman Sepuh Dodot Bintulu.
Yang kedua adalah Eyang Kebo Berune.
Keduanya menyebut sebagai si nakal, berandal, tanpa menyebut nama yang sesungguhnya.
Bedanya ialah Paman Sepuh tidak menaruh dendam seperti Eyang Kebo Berune.
Maka bisa dimengerti jika Eyang Berune menjadi murka justru karena dipaksa menyerahkan sesuatu yang agaknya bisa dikaitkan dengan Eyang Sepuh.
Nyai Demang yang lebih jitu menebak.
Bahkan sesuatu itu adalah ilmu, atau kitab, yang menjadi ciptaan Eyang Sepuh.
Apa lagi kalau bukan bagian "yang tak terbaca di hati"
Atau juga Kidung Paminggir atau Wahyu Paminggir? Sesuatu yang tadi dikatakan oleh Eyang Kebo Berune kepada Upasara dan dirinya.
Ini berarti sebenarnya Kakek Kebo Berune lebih memilih mereka berdua, dibandingkan dengan Kiai Sambartaka dan Pendeta Sidateka.
"Kalian mau memakai ilmu Memindahkan Tenaga Suara? Boleh saja dicoba. Kalian pikir aku tak bisa mengubah tenaga dalam milikku sendiri? "Tak semudah itu Kitab Bumi mengungguliku.
"Sebelum kalian bisa makan dengan tangan, aku sudah membaca kitab itu dengan baik."
Nyai Demang bersorak dalam hati.
Apa yang dikatakan Kakek Kebo Berune memang masuk akal.
Dengan kemampuan yang begitu tinggi, tak mungkin bisa dikuasai begitu saja.
Kalau tadi Upasara berhasil menyalurkan tenaga dalam dari tubuh Nyai Demang, itu juga belum sebagai jaminan utama.
Karena tenaga utama Nyai Demang berbeda dari tenaga Kakek Kebo Berune yang menjadi sumber tenaga utama.
Dalam sekejap, Nyai Demang juga bisa menilai bahwa sesungguhnya Kakek Kebo Berune ini mempunyai adat yang aneh.
Keras, rada angkuh, dan dengan demikian mudah mengumbar kata-kata.
Sesuatu yang seharusnya tak dilakukan.
Karena dengan demikian seolah membiarkan dirinya terbuka untuk dibaca lawan-lawannya.
"Aku mau mencobanya, Kakek Bangkai.
"Tetapi aku punya sesuatu yang bagimu penting."
Kiai Sambartaka mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya.
Dilemparkan ke atap.
Tepat di atas, dalam pandangan mata Kakek Kebo Berune.
Napas Nyai Demang tertahan.
' Yang dilemparkan ternyata tengkorak yang telah kering.
Entah dengan cara apa tengkorak itu bisa ditancapkan di situ.
"Kamu pasti mengenali, Kebo Bangkai."
"Permainan apa itu?"
"Lihatlah baik-baik. Wajahnya bisa kamu bayangkan. Kepala begitu kecil, dengan rambut, dengan bibir mungil."
"Apa itu?"
"Masa kamu tak mengenali tengkorak kekasihmu?"
Tarikan napas Kakek Berune terdengar jelas sekali.
"Katakan kidungan itu dengan baik-baik.
"Atau kamu mau melihat tengkorak itu kuperkosa? Kakek Bangkai, aku tega memperkosa tengkorak itu di depan matamu."
Tubuh Nyai Demang menggigil.
Juga Upasara merasa bulunya merinding.
Ini memang keterlaluan.
Nyai Demang tak bisa menahan dirinya untuk segera bergerak.
Walau Nyai Demang tak kenal sama sekali dengan Putri Pulangsih, akan tetapi bisa mengerti perasaan kakek Berune.
Perasaan yang dikuasai daya asmara.
Bagaimana tercabik-cabiknya perasaan Kakek Berune bisa dimengerti oleh siapa pun yang paling tumpul perasaannya.
Sesudah menjadi tengkorak pun masih akan diperkosa.
Di depan mata seorang yang begitu mencintai.
Nyai Demang mengertakkan giginya.
Ia melepaskan cekalan Upasara.
Hanya saja ternyata ada tubuh lain yang bergerak.
Melayang ke atas.
Terbang dari tanah.
Ini bukan perumpamaan.
Karena tubuh Kakek Berune yang terbang ke angkasa.
Masih dalam keadaan terbaring, lurus tak bergerak, tapi bisa naik ke atas.
Tanpa gerak.
Hanya perutnya yang bergerak naik-turun.
Seakan dari situlah diatur tenaga dalamnya! Bahkan Pendeta Sidateka pun membuka matanya lebar-lebar sambil menahan napas.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai Sambartaka menyembunyikan kekagumannya dalam wajahnya yang membeku.
Dalam hatinya berkelebat pikiran-pikiran yang bertentangan.
Antara mengakui apa yang dilihat, dan suara hatinya yang ingin memenangkan dirinya sendiri.
Dirinya adalah jago segala jago di tlatah Hindia.
Sepenuh hidupnya diabdikan untuk mempelajari ilmu silat.
Berlatih diri habis-habisan, menyiksa diri dengan ambisi yang tinggi.
Segala daya dan kemampuan dikerahkan.
Baik dengan jalan yang dipakai oleh para ksatria maupun yang ditolak.
Itulah kedudukan yang dicapai saat ini.
Dengan keyakinan akan menjadi lelananging jagat yang sanggup menundukkan siapa saja.
Adalah di luar dugaannya bahwa lawan-lawan yang setara dan sulit dikalahkan begitu banyak bermunculan.
Salah satu dari lawan yang berat justru masih bau kencur di jidatnya.
Yang lebih menggetarkan hatinya lagi, ia dikalahkan oleh seorang tokoh dari tanah Jawa! Tanah yang dianggap hanya menjadi gema dari apa yang terjadi di negerinya.
Akan tetapi justru Eyang Sepuh, antara kelihatan dan tidak, bisa menundukkan.
Lebih dari itu semua, Eyang Sepuh tak mau menjatuhkan tangannya.
Bagi Kiai Sambartaka ini bukan kehinaan, akan tetapi kesempatan untuk meloloskan diri.
Setidaknya dengan hancurnya sebagian jawara-jawara jagat, ia bisa malang melintang sendirian.
Tak tahunya, masih ada pendekar lain.
Dari tanah Jawa pula! Yang bisa terbang dalam keadaan tetap terbaring tanpa gerak.
Yang mendekati ke arah tengkorak, dan hanya dengan sorot mata, tengkorak itu terlepas, jatuh tepat di atas perutnya.
Lalu perlahan-lahan, tubuh itu turun.
Ke tanah.
Tempat ia berbaring.
Seperti tak terjadi sesuatu sebelumnya.
Kenyataan ini sangat memukul Kiai Sambartaka.
Dalam ilmu silat, jenis-jenis yang serba aneh dan muskil adalah bagian yang secara khusus diperdalam.
Salah satu di antaranya adalah berbicara melalui perut, mengebalkan kulit yang tak bisa ditembus senjata apa pun.
Segala macam jenis ilmu hitam juga dipelajari dan dilatih secara terus-menerus.
Siapa nyana bahwa sekarang ini, seorang yang telah cacat total tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya, mampu melayang ke angkasa? Bukankah kalau Kebo Berune ini ikut muncul di Trowulan, kesempatannya untuk menjadi lelananging jagat makin kecil? Suasana menjadi sunyi beberapa saat.
Angin dingin mulai terasakan.
Suara kokok ayam mulai terdengar satu-satu di kejauhan.
"Ambil tengkorak itu, Kebo Bangkai.
"Aku masih bisa memperkosa tulang-tulangnya yang lain."
Napas Eyang Kebo Berune bergerak naik-turun sesaat, lalu tiba-tiba saja tengkorak itu melayang ke atas. Kembali ke tempatnya semula.
"Kenapa kalian begitu ceroboh mempermainkan aku? Bahkan tengkoraknya pun aku bisa mengenali dengan baik.
"Sekarang pergilah! ' "Akan kutunggu siapa yang cocok untuk mendengar obrolanku. Sana pergi sana! Cari bubur buat makan, dan minta susu kambing. Ha... ha... bagaimana tengkorak jelek begitu bisa disamakan dengan Pulangsih?"
Pendeta Sidateka terbatuk keras.
"Cepat pergi! "Masih mau bertingkah seperti apa lagi? Toh kalian tak akan mendapatkan apa-apa dariku. Belajar ilmu baik-baik. Nanti lima puluh tahun lagi kalian berdua kemari, untuk bertanding dengan anak bayi yang lahir sebelum itu.
"Pergi sana!"
Luar biasa.
Tokoh utama seperti Pendeta Sidateka yang mampu menguasai Angin Dingin dan Kiai Sambartaka yang menguasai Pukulan Beku, diusir seperti binatang yang menjijikkan.
Rasanya Nyai Demang ingin tertawa sepuas hati.
Agar Kiai Sambartaka mengetahui ada saksi.
Karena kalau hanya diceritakan rasanya sulit dipercayai.
Jemputan Dewa NYAI DEMANG sudah hampir bergerak, sewaktu Upasara Wulung justru menahan napas.
Semua tenaga tersalur ke ujung tangan kiri dan menggeletar.
Barulah Nyai Demang sadar sesuatu sedang terjadi.
Ternyata Kiai Sambartaka dan Pendeta Sidateka tidak segera meninggalkan gubuk.
Dua kali melangkah ke luar lalu berbalik! Serentak dengan itu dua tangan terulur.
Pukulan berganda! Dua telapak tangan bersatu, saling menempel.
Tangan kanan Pendeta Sidateka menempel pada telapak kiri Kiai Sambartaka.
Sementara kedua tangan yang bebas itulah yang dipakai mengerahkan tenaga untuk memukul jarak jauh ke arah Kakek Kebo Berune! Pukulan berganda! Yang kedahsyatannya pernah dibayangkan oleh Nyai Demang.
Gabungan antara Pukulan Beku dan Angin Dingin.
Tadinya hanya berada dalam lintasan pikiran.
Nyatanya bisa dilakukan.
Dan korbannya adalah seorang kakek tua yang hanya bisa berbaring.
Sungguh kejam.
Bisa dimengerti kalau Upasara menyiapkan tenaga dalam untuk mengimbangi pertarungan.
Akan tetapi tangan Upasara bergetar tanpa mengeluarkan tenaga.
Pandangannya menyatu, tertuju ke satu arah.
Tubuh Kakek Berune bergoyang, seakan hampir terbalik.
Guncangan terulang lagi.
Hanya dengan berdiam diri, Kakek Berune mencoba mementahkan daya pukul berganda.
"Tempelkan pantat kalian berdua, belum tentu bisa menyentuhku. Coba lagi!"
Jumawa sekali kata-katanya.
Dalam keadaan tak bergerak pun, Kakek Berune masih bisa mempermainkan dua tokoh kaliber jagat! Nyai Demang merasa rambut kepalanya menjadi gatal.
Ini hebat! Kakek Berune ternyata bisa menganggap serangan Kiai Sambartaka dan Pendeta Sidateka tak ada artinya.
Bahkan menyindir, kalaupun mereka berdua saling menempelkan pantat, tetap tak akan menguasai.
Sindiran yang kelewat tajam.
Dan kena sasaran.
Beradu pantat bagi dua tokoh yang tadinya selalu bermusuhan saja sudah merupakan hinaan.
Apalagi ini juga bisa berarti dua lelaki! Sekilas Nyai Demang teringat kepada Dewa Maut.
Yang hidup berdua dengan sesama lelaki, yang dipanggil Tole, sebelum bertemu dengan Gendhuk Tri.
Ingat Dewa Maut, wajah Nyai Demang menjadi merah.
Ada pengalaman menggetarkan yang terjadi yang tak bisa dimengerti sendiri.
Ketika keduanya berada dalam gelap! Ketika saling menularkan tenaga dalam.
Mendadak terjadi perubahan lain.
Tubuh Kakek Berune menggeletar.
Kejang-kejang terjadi lagi.
Suaranya parau.
Wajahnya yang pucat menjadi lebih pucat lagi.
Pertarungan tenaga dalam yang saling menggempur, kumat lagi! Ini bahaya! "
Ajalmu kini sampai.
"Kami akan menahanmu, agar tetap menderita."
Suara Kiai Sambartaka sangat dingin.
Tangan terulur ke depan.
Tubuh Kakek Berune bergoyang, menjadi miring.
Kini Nyai Demang menjadi bingung.
Pandangan matanya melirik ke arah Upasara.
Ia berharap Upasara segera bertindak.
Upasara sendiri sebenarnya sedang bingung.
Antara berbuat sesuatu dan tidak.
Tenaga telah tersalur sepenuhnya ke tangan kiri.
Akan tetapi menjadi ragu, bagaimana harus bertindak.
Membuyarkan pukulan Kiai Sambartaka dan pukulan Pendeta Sidateka, berarti mempercepat kematian Eyang Berune.
Karena justru pukulan itu dimaksudkan untuk mencegah kematian.
Membiarkan saja, berarti menambah penderitaan Eyang Berune.
Ragu! Sejenak.
Tapi waktu yang sejenak itu sudah cukup bagi Nyai Demang untuk bergerak.
Semata-mata karena dorongan nuraninya.
Tanpa perhitungan menolong atau justru menghancurkan Kakek Berune.
Tubuh Nyai Demang menggulung maju.
"Awas, Kakek!"
Upasara mengeluarkan suara tertahan.
Sambaran pukulan berhawa dingin, membuat tubuh Nyai Demang terdorong bergulingan.
Tapi Nyai Demang tak berpikir soal mati-hidupnya sendiri.
Dengan nekat Nyai Demang justru menyongsong ke arah pukulan.
Tubuhnya terdorong ke arah Kakek Berune.
Ketika jatuh bergulingan, Nyai Demang langsung memeluk Kakek Berune! Menggendongnya dan membawa minggir! Sama juga bunuh diri! Karena tenaga dalam yang bergolak dalam tubuh Kakek Berune kini mengalir sepenuhnya ke tubuh Nyai Demang.
Yang menggeletar hebat dan membuat langkahnya terhuyung-huyung tak menentu.
Pada saat yang bersamaan, Upasara sudah menghadang dengan pukulan tangan kiri.
Memapak dua tangan Kiai Sambartaka dan Pendeta Sidateka! Terdengar suara keras.
Gubuk itu sepenuhnya ambruk.
Rata dengan tanah! Upasara masih berdiri gagah.
Di seberang, Pendeta Sidateka masih bergandengan tangan dengan Kiai Sambartaka.
Sementara tubuh Nyai Demang makin keras bergoyang-goyang bagai pemabuk berat.
"Mbakyu... bagaimana rasanya?"
Kekuatiran Upasara lebih tertuju ke arah Nyai Demang.
Yang ternyata tak bisa menjawab dengan isyarat sekalipun.
Kesempatan itu digunakan oleh Pendeta Sidateka dan Kiai Sambartaka untuk menyambar.
Kesiuran angin dingin yang membekukan udara sekitar mengurung Upasara.
Dengan menggeliatkan tubuhnya, Upasara mendesak maju.
Memapak dengan satu tangan kiri.
Telapak tangan terbuka.
"Jemputan Dewa telah sampai. Sekaligus tiga nyawa. Sungguh tak nyana. Upasara, jangan berharap kami bisa menguburmu dengan baik. Biar cacing dan lalat yang menyantapmu."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Upasara tak bisa melayani kata-kata Kiai Sambartaka yang meremehkan.
Karena nyatanya tekanan udara dingin yang membekukan begitu kuat mempengaruhi.
Sehingga seakan seluruh darahnya membeku.
Udara yang dihirup membongkah di lubang hidung.
Dada menjadi panas.
Sesak.
Dalam pertarungan kali ini, Upasara tak bisa berbuat banyak.
Pemusatan kekuatan sepenuhnya hanya mampu mengimbangi tekanan lawan yang makin menggigilkan.
Bertarung melawan Kiai Sambartaka, Upasara memerlukan waktu yang lama dalam pertarungan yang sangat alot.
Tak mudah memetik keunggulan.
Kini Kiai Sambartaka menyatu dengan Pendeta Sidateka.
Jelas menjadi berlipat kemampuannya.
Dalam situasi yang biasa, Upasara lebih memerlukan pemusatan kemampuan untuk bisa mengimbangi.
Celakanya, justru saat ini pikiran Upasara terpecah.
Karena biar bagaimanapun tak bisa membebaskan rasa kuatir akan nasib Nyai Demang.
Yang secara langsung mengemban tubuh Eyang Berune.
Kalau tersentuh saja membuat Nyai Demang berkelojotan, bisa dibayangkan sekarang ini.
Kesempatan ini yang dipergunakan Kiai Sambartaka.
Sehingga tidak terlalu berlebihan jika mengatakan bahwa ketiga nyawa kini sedang menunggu Dewa Pencabut Nyawa.
Lima jurus, Upasara makin terdesak.
Satu tangan tak bisa menandingi empat tangan yang merupakan satu rangkaian.
Dengan dua tangan tetap saling melekat, Kiai Sambartaka dan Pendeta Sidateka terus merangsek maju.
Menggencet Upasara.
Satu tangan menyambar ke atas, satu tangan yang lain menyerang bagian tengah.
Dan karena dua tubuh bergabung, seolah menjadi besar.
Seolah menguasai seluruh medan pertarungan.
Ke arah mana pun Upasara menghindar, tangan lawan sudah menunggu.
Yang lebih membuat Upasara terdesak adalah, setiap kali ia melangkah surut, ia tak bisa mendesak maju lagi.
Karena udara di tempat semula sepenuhnya dikuasai oleh lawan.
Seakan di tempat itu udaranya sudah membeku.
Napas Upasara tersengal-sengal.
Bahkan mulai batuk-batuk.
"Serang kiri... kiri... kanan... ulang!"
Dengan memberi aba-aba Kiai Sambartaka makin merangsek maju, mengepung dari berbagai penjuru.
Secara langsung Kiai Sambartaka pernah merasakan ilmu Upasara Wulung.
Pernah bertarung antara hidup dan mati.
Jadi cukup mengenali, dan bisa melihat titik-titik kelemahan di mana ia bisa menerobos.
Sesuatu yang sangat berharga.
Justru karena Upasara memainkan jurus-jurus dari Kitab Bumi! Yang pernah dijajal Kiai Sambartaka dari sumber utamanya, baik Eyang Sepuh maupun Paman Sepuh! Penundaan Kematian DALAM pertarungan habis-habisan di Trowulan, Kiai Sambartaka merasakan betapa dahsyatnya jurus-jurus dari Kitab Bumi.
Sebagai pentolan jagat yang sangat luas pengetahuannya, Kiai Sambartaka bisa memahami gerakan-gerakan tersebut.
Meskipun ada perbedaan antara yang diperlihatkan Paman Sepuh dan Eyang Sepuh, namun dasar-dasar bisa dengan mudah dicari persamaannya.
Juga yang dimainkan Upasara.
Makanya kini bisa menekan.
Setiap saat bisa mematikan.
Upasara bukannya tidak menyadari bahaya yang mengancam.
Mata batinnya sudah memperingatkan sejak dini.
Bahwa keunggulan utama Kitab Bumi, terutama sekali bukan pada gerakan atau jurus-jurusnya.
Melainkan pada saat memainkan dengan tepat.
Pengaturan tenaga dalam lebih menentukan.
Dengan kata lain, kalaupun lawan sudah mengetahui arah pukulan, masih bisa tertipu dan tak menduga berat-ringannya tekanan yang datang.
Akan tetapi yang menjadi syarat utama adalah kekuatan yang terpusat.
Yang justru saat ini tak mampu dilakukan oleh Upasara.
"Kena!"
Teriak Pendeta Sidateka.
Telapak tangannya menjotos ke arah pinggang Upasara.
Sekali sentuh, seluruh tubuh Upasara akan menggigil kedinginan hingga ke ulu hati.
Pada saat itu Kiai Sambartaka bisa menghantam dengan Pukulan Beku, Pukulan Mandeg-Mangu.
Habislah Upasara! Begitulah menurut perhitungan.
Begitulah seharusnya.
Karena setelah berhasil mengurung lawan pada satu titik, Pendeta Sidateka tak melihat lagi bahwa Upasara mempunyai kemungkinan untuk meloloskan diri.
Satu tangan memapak pukulan Kiai Sambartaka yang dianggap lebih berbahaya, satu tangan yang lain terkulai saja.
Arah mundur sudah dicegat.
Dan sewaktu mengangkat tangan, pinggangnya terbuka.
Saat itu pukulan Pendeta Sidateka masuk! Sap! Upasara tak bisa menghindar.
Hanya saat telinganya mendengar gema teriakan "Kena!", inti tenaga tumbal seperti terpanggil dengan sendirinya.
Inti tenaga berkorban.
Inti penyerahan.
Pinggang Upasara tetap terbuka, pukulan Pendeta Sidateka masuk, hanya saja akibatnya berbeda.
Pukulan dingin itu justru seperti mengenai bongkah es yang lebih dingin.
Yang menelan tenaga yang ada.
Pendeta Sidateka yang mengeluarkan jerit tertahan.
Karena tangannya mendadak kaku.
Dadanya sesak, dan tubuhnya menggigil.
Hanya Kiai Sambartaka yang menangkap pengertian bahwa suasana bisa berbalik.
Upasara bisa menjadi di atas angin.
Walau tidak bisa melanjutkan serangan.
"Tebas kiri... kiri... tebas kaki..."
Pendeta Sidateka tak menduga sama sekali bahwa pukulannya jusru berbalik mengenai tubuhnya.
Membekukan tangannya.
Merasa gagal, Sidateka menuruti apa yang dikatakan Kiai Sambartaka.
Kaki kiri dan kanan bergerak maju, menebas kaki Upasara.
Keras lawan keras.
Dengan serangan yang mantap begini, Upasara tak mempunyai kesempatan untuk menyiapkan diri.
Menghadapi keras lawan keras pertarungan kaki, atau menghindar.
Yang terakhir tak mungkin dilakukan.
Karena Kiai Sambartaka telah mengincar.
Yang pertama juga mengundang bencana.
Karena justru pada saat mempertahankan kuda-kuda, serangan Kiai Sambartaka tak terbentengi.
Pukulan Beku yang akan membekukan nyawa Upasara.
Kalau Nyai Demang masih normal, jalan pikirannya juga tak berbeda dari Pendeta Sidateka.
Demikian pula Upasara.
Maka Upasara mencoba mencuri keunggulan dengan putaran tangan, memperkuat kuda-kuda kaki.
Putaran tangan yang mengeluarkan desis kuat untuk mengurangi tekanan gempuran Kiai Sambartaka, dan sekaligus mencuri kemenangan dari Pendeta Sidateka yang lebih lemah.
Kuda-kuda yang kuat untuk mengimbangi tebasan kaki akan membuatnya tetap bersiaga.
Tidak demikian dengan Kiai Sambartaka.
Pikirannya menemukan sisi yang lain.
Ia bisa memaksa Upasara mengarahkan pukulan ke arahnya.
Ia bisa memaksa perhatian Upasara ke arahnya.
Agar serangan tebasan kaki Pendeta Sidateka berhasil.
Seperti yang diperintahkan.
Itu yang tidak dilakukan.
Apa yang dilakukan Kiai Sambartaka justru sebaliknya.
Ia menarik tenaga dalam, menyimpan, dan dengan satu putaran tubuhnya melesat ke udara.
Tempelan tangannya terlepas dari Pendeta Sidateka.
Berarti membiarkan Pendeta Sidateka menghadapi bahaya sendirian.
Pada saat satu tangan telah terluka.
Pada saat seluruh pemusatan tenaga berada di kaki.
Tanpa bantuan tenaga dalam yang sudah menyatu, Pendeta Sidateka merasakan kekosongan dalam tubuhnya.
Seolah sebagian besar tenaga dalamnya terhenti.
Sehingga gempurannya menjadi berkurang.
Dalam perhitungan Kiai Sambartaka, dalam tenaga penuh pun, kuda-kuda kaki Upasara tetap akan bergeming.
Karena pengerahan tenaga di kedua kaki bukan sesuatu yang luar biasa bagi Upasara.
Kiai Sambartaka tak mengetahui persis bahwa itu adalah jurus-jurus yang mendasar dari Banteng Ketaton, awal ilmu Upasara Wulung.
Hanya sewaktu bertarung, Kiai Sambartaka bisa merasakan kehebatan daya tahan kuda-kuda ilmu Banteng Terluka.
Kini ditambah satu putaran tenaga dari tangan kiri Upasara.
Pendeta Sidateka benar-benar berada dalam bahaya.
Ini yang justru dikehendaki Kiai Sambartaka! Sesaat kaki Pendeta Sidateka seperti menebas tiang karang yang kukuh.
Pada saat yang sama, pundaknya seperti kejatuhan bongkahan karang.
"Tobat!"
Seruan tertahan dari bibir Pendeta Sidateka menunjukkan luka dalam.
Sekaligus kekalahan, dan juga minta ampun! Tak biasanya tokoh sakti meminta ampun.
Tapi memang tak ada pilihan lain.
Upasara hanya bisa memindahkan sebagian tenaga pukulan ke kaki.
Namun selebihnya tetap membuat Pendeta Sidateka terbanting ke tanah.
Muntah darah beku.
Bagai gumpalan daging merah.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mentah.
"Baguslah itu,"
Suara Kiai Sambartaka terdengar dalam nada dingin.
"Sebentar atau sebentar sekali, kamu akan lebih dulu mati. Penundaan kematian ini hanyalah karena Upasara berbaik hati sedikit padamu.
"Tetapi dengan begitu, ia sendiri akan mengalami kerepotan menyelesaikan pertarungan ini denganku."
Tubuh Pendeta Sidateka menggelepar.
"Bajingan kamu..."
"Puaskan memaki.
"Sebelum kamu tak bisa membuka bibirmu. O, betapa tololnya Pendeta Syangka, negeri bawahan yang berjiwa budak hina.
"Kamu kira kamu bisa berdiri sejajar denganku? "Kamu mimpi besar, Syangka jelek!"
Kiai Sambartaka tersenyum tipis. Lalu wajahnya berubah menjadi kaku lagi menghadapi Upasara.
"Anak muda, yang mengaku lelananging jagat, dengarlah.
"Pagi ini sebelum mentari sepenuhnya bersinar, gelar itu sudah berada dalam genggamanku. Dan tak akan ada lagi yang menghalangiku.
"Tak ada yang menghalangiku.
"Sebentar ini kakimu sudah kedinginan, napasmu sesak. Aku hanya menunggu sampai di puncak penderitaan, dan menyelesaikan pertarungan.
"Siapa lagi yang menghalangiku? "Tak ada.
"Tak ada lagi.
"Tak ada lagi yang menghalangiku. Syangka jelek ini mendahuluimu, Kebo Bangkai itu tak ada gunanya. Eyang Sepuh sudah hilang! "Oh, Dewa... akulah lelananging jagat yang sesungguhnya!"
Upasara tak pernah membayangkan bahwa Kiai Sambartaka mabuk kemenangan seperti sekarang.
Menganggap menjadi ksatria sejati adalah tujuan utama.
Lebih tak memperhitungkan bahwa kakinya terasa dingin, ngilu, dan terganggu.
Pendeta Syangka berhasil melukai.
Karena rasa dingin menggigil itu mulai mengalir, mulai menyusup, sehingga Upasara perlu mengerahkan hawa perut melawannya.
Tenaga yang masih diperlukan untuk bertarung.
Persembahan Kematian DENGAN perhitungan yang penuh tipu tapi jitu, Kiai Sambartaka akan keluar sebagai pemenang.
Pendeta Sidateka yang di belakang hari bisa merusak nama baiknya telah dicelakakan.
Upasara yang disegani telah tercuri kekuatannya.
Benar-benar tak akan ada lawan yang sanggup menghadapi ilmu Kiai Sambartaka.
"Manusia berhati lebih buruk dari binatang, sungguh percuma gelaran Kiai yang kamu sandang."
Kiai Sambartaka tersenyum dingin. Lewat hidungnya.
"Katakan apa saja. Lebih buruk dari itu tak membuat aku sedih.
"Percuma saja kalian di tanah Jawa ini mengaku berilmu tinggi, ksatria sejati, memakai sebutan eyang atau kiai atau empu. Nyatanya kalian ini masih mementingkan gelar yang tak ada artinya.
"Hmmm, sungguh menjengkelkan.
"Bagaimana kalian bisa memperdalam ilmu yang begitu tinggi, tapi juga sekaligus menggali kepicikan? "Upasara, kamu dari turunan kesekian, masih tercium bau pupuk di ubun-ubunmu. Akan tetapi kamu pun telah dicekoki bahwa ksatria harus begini-begitu. Bahwa kiai, empu, eyang harusnya tidak boleh begini-begitu.
"Siapa yang mengharuskan semua itu? "Kepicikan sempit macam apa pula yang mendasari ini semua? Bukankah pengertian-pengertian derajat dan pangkat itu yang membuat kalian semua tersesat? "Bukankah itu yang menghancurkan kalian? "Sehingga aku yang mau tak mau disebut sebagai lelananging jagat, ksatria nomor satu.
"Aku tak mengerti ajaran kalian di tanah Jawa ini.
"Tetapi aku tak peduli.
"Bagiku, hanya ada satu gelar yang tak tertandingi. Menjadi ksatria nomor satu. Sekarang sudah di depan mata. Sebelum matahari bersinar sempurna, aku telah memiliki, menyandang. Dan seluruh jagat akan mendengar nama besarku.
"Aku bisa mempercepat dengan menggempurmu sekarang, tetapi aku masih ingin menikmati perlahan-lahan."
Dalam benak Upasara, Kiai Sambartaka ini tak berbeda jauh dari Halayudha.
Mengejar sesuatu dan untuk mendapatkannya menempuh semua cara.
Bedanya, Kiai Sambartaka mabuk keunggulan sebagai pesilat, sementara Halayudha lebih kepada kekuasaan Keraton.
Mengingat Halayudha, rasa gusar Upasara seperti terpancing.
Pergolakan darahnya menderas.
Pada saat itu terasa darah dingin merayap ke atas.
Sehingga buru-buru ditenangkan kembali.
Bagi Kiai Sambartaka, cara mengatur napas Upasara membuktikan bahwa memang ada gangguan dalam tubuhnya.
Sesuai dengan perhitungannya.
"Sayang sekali. Kamu masih muda. Ilmumu begitu sempurna. Tapi di jagat ini hanya boleh ada satu lelananging jagat. Dan nasib tidak berpihak padamu."
"Tak begitu mudah."
"Memang tidak.
"Tapi aku pasti bisa meraihnya.
"Kini saatnya kamu rasakan pukulan Mandeg-Mangu, inti utama dari yang kalian tiru sebagai Kitab Bumi.
"Aku paling segan berbicara. Akan tetapi pagi ini hatiku sangat gembira."
Kiai Sambartaka tertawa dingin. Kedua tangannya terkembang. Wajahnya dingin. Matanya menyorot tajam. Upasara berdiri tegak. Sedikit memiringkan tubuh. Tangan kanan berada di bagian belakang. Bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Upasara, kuambil gelaran terhormat ini."
Sebat Kiai Sambartaka menggertak maju.
Menyambar dada dan perut, dengan menguasai serangan bagian tengah.
Dengan sangat cerdik, Kiai Sambartaka berusaha menerobos kekuatan Upasara.
Yang agaknya tepat diperhitungkan oleh Kiai Sambartaka.
Pukulan dengan satu tangan masih dihindari.
Upasara menangkis dengan tangan kiri yang disampokkan ke bawah, dan dengan siku tertekuk menyodok ulu hati lawan.
Kiai Sambartaka menyedot udara dalam hidungnya dengan kuat-kuat.
Jurus-jurus yang sangat dihafal di luar kepala.
Maka dengan enteng, dada Kiai Sambartaka ditekuk.
Kedua tangan tetap terkepal, siap membekukan darah di daerah yang tersentuh.
Upasara membarengi dengan sebat, meloncat maju.
Pada saat itulah terasakan bahwa tenaga kaki tak bisa sepenuhnya dikuasai.
Tenaganya seperti macet.
Kakinya seperti kesemutan.
Inilah kehebatan pukulan Pendeta Sidateka.
Udara dingin yang diciptakan dari pukulan Pendeta Sidateka bukanlah jenis Pukulan Beku.
Melainkan bekerja perlahan-lahan.
Sekali lawan sudah terkena, hawa dingin itu akan menjalar dengan sendirinya.
Tanpa perlu tenaga Pendeta Sidateka.
Tenaga dalam lawan yang terkena yang akan menyebarluaskan hawa dingin menggigilkan itu.
Kini hal itu dialami oleh Upasara.
Bebannya menjadi berat.
Menghadapi Kiai Sambartaka di satu pihak, dan menghadapi menjalarnya hawa dingin di lain pihak.
Makin kencang ia mengerahkan tenaga dalam, makin kencang pula selusupan hawa dingin itu.
Sepuluh jurus kemudian Upasara merasa bahwa kakinya bukan tak leluasa digerakkan, akan tetapi beberapa kali seperti tak terasakan.
Sudah bergerak atau belum.
Rasanya sudah melangkah, tapi ternyata Kiai Sambartaka masih di luar jarak pukulan dan tendangan.
Kalau benar begini, sebelum matahari sempurna, Kiai Sambartaka sudah bisa merobohkannya.
Upasara benar-benar keteter.
Pikirannya masih berbias akan nasib Nyai Demang dan Eyang Kebo Berune.
Dan makin merasa terdesak karena untuk melangkah surut pun gerakan kakinya menjadi lamban.
"Aku hitung sampai tiga.
"Satu..."
Kiai Sambartaka mencengkeram pundak. Upasara mengelak dengan mengegos, tapi saat itu kaki Kiai Sambartaka menerobos di antara kaki Upasara. Membedah dari dalam.
"Dua..."
Upasara meloncat dengan gerakan tersendat.
Tangan Kiai Sambartaka menyambar ulu hati, dan tak diundurkan lagi.
Sampokan tangan kiri Upasara dihadapi dengan keras.
Mengejutkan.
Tangan Kiai Sambartaka seperti terkedut keras.
Tenaga dalam Pukulan Beku seperti diaduk dan dikocok.
Tepukan Satu Tangan memang pengerahan tenaga luar biasa! Tidak terduga.
Pada serangan berikut, Kiai Sambartaka tidak berani menghitung "tiga", karena tidak yakin bisa memenangkan pada saat itu.
Namun ini tak mengubah akhir pertarungan.
Andai tidak terganggu hiruk-pikuk yang berkepanjangan.
Suara kaki-kaki dan gemerincingnya senjata.
Dalam waktu sekejap, muncul beberapa puluh prajurit dengan senjata yang siap.
"Ini aku yang tua tak berguna, Sora yang hina. Tak perlu kalian berbasa-basi. Aku sengaja datang, sengaja sowan ke Baginda sebagai tanda baktiku yang terakhir.
"Aku persembahkan kematian yang papa ini sebagai tanda kesetiaan kepada Keraton."
Suaranya mengguntur, keras, menyakitkan telinga.
"Dulu nyawaku tertolong oleh ksatria sejati Upasara Wulung. Kini tak ada lagi yang menghalangi niat kalian semua. Mahapatih Nambi yang terhormat... apa lagi yang Mahapatih tunggu?"
"Tangkap pemberontak!"
Dalam sekejap terjadi kekalutan.
Para prajurit Keraton bergerak secara serentak.
Sementara para pengikut Senopati Sora pun mengangkat senjata.
Pertarungan tak bisa dihindarkan.
Medan pertarungan juga meluas ke arah Upasara Wulung dan Kiai Sambartaka yang segera berada di tengah pergulatan.
Kiai Sambartaka menjadi geram.
Ia main hantam kiri-kanan.
Beberapa prajurit Keraton mati beku seketika.
Akan tetapi dengan demikian prajurit yang lain mengurung dan menyerbu ke arahnya.
Meskipun bukan tandingan Kiai Sambartaka, serangan itu merepotkan juga.
Sehingga ia tak bisa menyelesaikan serangan berikutnya kepada Upasara.
Yang segera mengepung dan menyerangnya.
"Paman Sora... ini saya..."
Upasara mencoba melompat ke arah Senopati Sora yang menoleh ke arahnya.
Akan tetapi karena gerakan kaki Upasara tidak sempurna, senjata Mahapatih Nambi lebih dulu amblas ke perut Senopati Sora.
Ketika senjata disentakkan, tubuh Senopati Sora terbanting.
Seluruh tubuhnya seolah bermandikan darah.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terang di Tanah, Tenang dalam Darah UPASARA menggertak maju.
Tiga senjata diempaskan.
Sabetan Mahapatih Nambi disodok dengan pukulan terarah.
Merasa terbebas dari kepungan, Upasara berlutut.
Menunduk ke arah Senopati Sora.
"Paman..."
Wajah Senopati Sora pucat pasi. Hanya senyuman bahagia yang terkembang di sudut bibir, memberi warna lain dari darah dan usus yang terurai ke tanah.
"Anakmas Upasara..."
Suara Senopati Sora terdengar jelas.
"Dua kali Anakmas menyabung nyawa menyelamatkan Paman yang tak berharga ini..."
Upasara menggelengkan kepalanya.
Banyak yang ingin dikatakan seketika.
Banyak sekali.
Ingin juga dikatakan bahwa sesungguhnya sekarang ini justru Senopati Sora yang menyelamatkan nyawanya.
Ingin dikatakan betapa terima kasihnya yang tulus ingin disampaikan karena Senopati Sora telah sedemikian baiknya menyimpan cundhuk milik Gayatri.
Ingin diceritakan panjang-lebar bahwa kekaguman tak pernah berkurang kepada Senopati yang begitu penuh pengabdian, begitu gagah, tapi juga begitu pedih penderitaannya.
Ingin diceritakan bahwa ia mendengar semua dari Nyai Demang tentang siksaan batin itu.
Ingin ditumpahkan semua unek-unek batinnya yang mengganjal.
Keinginan tinggal keinginan.
Saat ini justru Senopati Sora lebih perlu mengatakan, bukan mendengarkan.
Suasana sekitar tempat Upasara menjadi hening sepi.
Meskipun di luar lingkaran yang mengepung, korban terus berjatuhan.
Para prajurit dan senopati yang mengepung Upasara setengah merasa ngeri akan ketangguhan Upasara, setengahnya lagi merasa tergetar hatinya.
Pemandangan yang memilukan.
Saat matahari mulai terang, di medan peperangan yang ganas, seorang Upasara menunduk, memangku kepala Senopati Sora.
Tidak sedikit yang menyaksikan pemandangan yang sama, beberapa saat lalu.
Bedanya, saat itu Senopati Sora hanya terluka dan kemudian bisa sembuh dan melanjutkan pengabdian, sekarang ini tak ada kemungkinan lagi.
"Tanah sudah terang... darah sudah tenang.
"Jangan iring kepergian Paman dengan air mata, Anakmas Upasara. Jelek-jelek begini, Paman adalah prajurit, dan Anakmas Upasara juga prajurit.
"Sesama prajurit tak harus saling memamerkan air mata.
"Anakmas, sejujurnya inilah jalan paling terhormat bagi seorang prajurit."
Pundak Upasara terguncang.
Bahunya bergerak-gerak menahan kepedihan hatinya.
Bayangan wajah Senopati Sora menghablur.
Berubah menjadi wajah gurunya, ayah angkatnya yang membesarkannya, Ngabehi Pandu.
Dulu juga seperti sekarang ini.
Di pangkuannya pada saat-saat terakhir.
Hanya saja saat itu Ngabehi baru saja menyelesaikan pertarungan yang paling ganas dengan lawan yang ingin menghancurkan Keraton.
Sekarang ini, berbeda.
Berbeda? Tidak.
Bagi prajurit sejati, kematian selalu sama.
Sebagai tanda pengabdian, sebagai persembahan utama.
Senopati Sora sudah mempersiapkan diri sejak lama.
Saat-saat terakhir sudah memakai pakaian serba putih, sudah keramas dan memotong semua kukunya.
Bersih.
Siap lahir-batin.
"Tanah sudah terang, Anakmas."
"Ya, Paman."
"Darah sudah tenang."
"Ya, Paman."
"Anakmas, Paman akan meminta sesuatu.
"Janganlah kepergian Paman menjadi penyebab huru-hara dan balas dendam. Paman tak akan bisa tenang kalau itu terjadi. Tolong sampaikan kepada semua pengikut Paman.
"Bersediakah Anakmas Upasara?"
Upasara mengangguk.
Senopati Sora mangkat.
Matanya tertutup.
Bibirnya menyunggingkan senyuman.
Tanah telah terang, darah telah tenang.
Selamat jalan, Paman Sora.
Upasara bersujud, menyembah.
Lalu berdiri dengan gagah.
Kakinya masih kaku.
Tangan kanannya tetap terkulai.
Tapi pandangan matanya keras membatu.
Mahapatih Nambi melangkah ke depan.
Berhadapan.
"Upasara, kita bisa mengadakan perhitungan lain waktu."
Upasara menggeleng.
"Tidak karena soal ini."
"Terima kasih.
"Kalau begitu, silakan datang ke Keraton."
Upasara menggeleng.
"Tidak sekarang.
"Maaf, Mahapatih."
Upasara melangkah seperti menyeret kakinya.
Perlahan menjauh, ke arah matahari yang makin membesar cahayanya.
Terang di tanah, tenang di darah.
Betapa indah kata-kata mulia itu.
Yang terucap dari seorang yang begitu pahit dan getir pengabdiannya.
Batin Upasara terguncang.
Senopati Sora tak begitu dikenal secara pribadi.
Tak berbeda dari para senopati Keraton yang lain.
Pun saat-saat bertarung melawan pasukan Tartar.
Kalau ada sedikit keistimewaan hanyalah kaitannya dengan Gayatri.
Akan tetapi, terutama sekali yang menggeletarkan sukma Upasara bukan itu.
Senopati Sora bukan paman, bukan saudara, tidak bertalian darah dengannya.
Namun Upasara seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang dimiliki.
Jiwa pengabdian.
Jiwa prajurit.
Jiwa yang mencintai tanah tumpah kelahirannya.
Keraton yang menyemai kebanggaannya.
Betapa mulia pengabdian Senopati Sora kepada Keraton.
Seperti juga Gajah Biru dan Juru Demung serta pengikut-pengikutnya yang setia.
Yang datang ke Keraton untuk memberikan nyawa, sebagai bukti kesetiaan tanpa tanding.
Walau mungkin ditanggapi secara lain.
Walau memang diartikan secara berbeda.
Tak apa.
Tak membuat Senopati Sora dan pengikutnya benar-benar memberontak, benar-benar mbalela, melawan perintah Raja, tidak membuat kraman atau memberontak.
Sebab itu bukan jiwa prajurit sejati.
Sebab itu bukan sukma ksatria sejati.
Terang di tanah, tenang di darah.
Upasara terus menyeret langkahnya.
Setiap langkah meninggalkan bekas di tanah.
Seakan menggoreskan luka, membekaskan duka.
Ah, betapa banyak kesengsaraan dan penderitaan.
Sejak Dewa Maut yang masih terkurung di bawah Keraton, Upasara menyadari kegetiran hidup.
Apa salahnya, sehingga Dewa Maut harus kehilangan semua ilmunya dan semasa jaya dikucilkan hanya karena hidup bersama dengan sesama pria? Sejak menyadari bahwa pendekar dan prajurit pengabdi seperti Eyang Kebo Berune tersiksa oleh tenaga dalamnya.
Sejak menyadari bahwa seorang penduduk biasa tanpa dosa tanpa terlibat masalah Keraton dan dunia persilatan, seperti Pak Toikromo, yang hidupnya begitu jujur terbelah dadanya.
Pikiran Upasara berjalan bolak-balik tak menentu.
Saat seperti itu, kakinya makin sukar digerakkan.
Makin tidak mengikuti kemauannya.
Mengatur kembali pernapasan, melatih tenaga dalam, dan kemudian membalas dendam? Melabrak Kiai Sambartaka? Menantang Halayudha? Ah, betapa kecilnya.
Betapa kerdilnya, dibandingkan jiwa besar Senopati Sora yang terang di tanah, tenang di darah.
Upasara membiarkan tubuhnya ambruk.
Telentang di pinggir sawah.
Matahari makin panas.
Gerah.
Helaan napas.
Lepas.
Tapi darahnya masih bergolak, pertanyaan silih berganti menggelegak, bertarung keras dalam benaknya.
Jalan Simpang UPASARA makin terbaring.
Tanah semakin kering.
Secara pribadi kesadarannya makin menurun.
Hawa dingin mulai naik dari bawah kakinya.
Kini sudah mencapai ke arah lutut.
Merayap perlahan ke bagian paha.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan kemampuan dan pengaturan tenaga dalam yang dimiliki, bagi Upasara tak terlalu sulit untuk menghentikan aliran hawa dingin.
Akan tetapi, jalan pikiran Upasara masih bercabang, di mana setiap cabang pikiran mengembang ke cabang yang baru.
Kematian Senopati Sora mengguncang batinnya.
Justru karena keikhlasan menerima dengan damai dan bahagia.
Dengan pasrah, sumarah.
Inilah sesungguhnya bagian dasar Kitab Bumi yang dipelajari.
Kemampuan dan kemauan yang tulus untuk menjadi tumbal, untuk mengorbankan diri.
Guncangan batin ini tak jauh berbeda dari apa yang dialami oleh Eyang Kebo Berune.
Inti Kitab Bumi, sesungguhnya lebih dalam dari ketajaman daya pikirnya.
Semakin dipelajari sesuai dengan perkembangan daya pikirnya, semakin menarik.
Sewaktu mempelajari Kitab Bumi pada awalnya, Upasara seakan menemukan jalan buntu.
Kagok.
Pada saat ilmu dan tenaga dalam makin sempurna, pada saat yang sama Upasara merasa ada bagian yang keliru dari yang selama ini diperdalam.
Ada arah yang salah, hanya dengan mempelajari ilmu silat.
Titik kritis yang tak bisa diatasi menyebabkan Upasara melepaskan semua ilmu yang dimiliki.
Bertekad menjadi manusia biasa.
Tanpa beban pertarungan.
Namun ternyata Upasara tak bisa membebaskan diri dari pergulatan.
Ia mengundurkan diri, akan tetapi dunia persilatan justru makin melibatkan diri.
Tak ada titik untuk melangkah surut.
Tak ada titik untuk memalingkan wajah.
Pada pertemuan dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu, Upasara mampu mengembalikan tenaga dalamnya dari tenaga cadangan.
Ini semua menyebabkan terlibatnya kembali ia dalam dunia persilatan.
Yang mencapai puncaknya pada pertarungan habis-habisan di Trowulan.
Semua jago jagat turun ke lapangan, dan meninggalkan korban-korban yang selama ini justru melatih diri dalam dunia persilatan.
Mata Upasara pedih.
Sangat jelas dalam gambarannya, bahwa pertarungan ini juga dialami para empu-empu linuwih, empu-empu yang bijak bestari.
Seperti halnya ketika Paman Sepuh Dodot Bintulu menuliskan gabungan ajaran-ajaran jurus silat, yang kemudian dinamai Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
Ajaran yang bersumber kepada sifat-sifat bumi yang perlu diteladani ini menjadikan suasana dunia persilatan semarak.
Di zaman Baginda Raja Sri Kertanegara, dasar-dasar itu memperoleh tempat persemaian.
Dengan berhasilnya merumuskan Dua Belas Jurus Nujum Bintang, para ksatria sejati justru merasa lebih risau.
Karena perkembangan ilmu silat tak bisa dikendalikan lagi.
Menjamunya ajaran silat, membuka peluang besar adanya adu kesaktian yang terus-menerus.
Keinginan untuk menciptakan ksatria sejati yang kelak menjadi senopati utama, pada saat yang sama juga menciptakan petualang-petualang yang sekadar mencari kemenangan.
Gegeran berlangsung lama.
Sampai kepada satu titik, di mana para ksatria utama saat itu menciptakan kembali ilmu penangkal.
Melalui pergulatan yang paling panjang, melalui semadi yang tanpa ujung, lahir dan terpilihlah ciptaan Eyang Sepuh, Delapan Jurus Penolak Bumi.
Tumbal Bantala Parwa mengajarkan jurus-jurus untuk mengendalikan ketelengasan Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
Lebih dari Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dalam Kitab Penolak Bumi tidak semata-mata diajarkan cara mementahkan jurus lawan, cara mengatasi jurus-jurus serangan.
Kitab Penolak Bumi lebih menitikberatkan kepada ajaran menghilangkan keinginan untuk menang, keinginan untuk unggul dengan menghancurkan lawan.
Kitab Penolak Bumi berisi kidungan-kidungan penyerahan.
Sekaligus penolakan.
Inilah yang menyebabkan Upasara seperti menemukan jalan buntu.
Dan sekarang ini guncangan itu terjadi lagi.
Apa artinya semua ilmu yang dipelajari, kalau ternyata seorang Senopati Sora yang begitu penuh pengabdian, harus menerima kematian sebagai pemberontak? Dasar dari meniada yang sangat gamblang disebutkan dalam kidungan Kitab Penolak Bumi, menemukan bentuk utamanya pada apa yang dialami Senopati Sora.
Bahwa sesungguhnya, semua yang ada harus ditolak.
Karena yang ada itu tak pernah ada.
Karena daya asmara Putri Pulangsih tak pernah ada.
Karena segala pangkat dan derajat hanyalah titipan.
Karena segala gelar kiai, empu, eyang, tak membuat seseorang menjadi lebih bijak.
Dalam perjalanan hidup, apa yang dilakukan Eyang Sepuh adalah bagian dari sikap yang didasari cara mengatur napas Kitab Penolak Bumi.
Yang akhirnya menempatkan langkah hidup Eyang Sepuh moksa.
Tak terlibat dalam percaturan ilmu silat.
Tak jauh berbeda dari apa yang dilakukan Mpu Raganata ketika berada di dalam Keraton Singasari saat Raja Muda Jayakatwang menyerbu.
Mpu Raganata mampu melawan, mampu menyelamatkan diri.
Akan tetapi justru memberikan tenaga dalamnya kepada lawan.
Tak jauh berbeda dari Dewa Maut yang merasa damai dengan kurungan bawah Keraton.
Penjara seumur hidup itu justru diterimanya sebagai bagian dari kebahagiaannya.
Sehingga mampu menangkap getaran alam.
Mendengar akar tumbuh.
Mengetahui daun akan berubah warna.
Pokok pangkalnya sama.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan saat ini? Mengembalikan tenaga dalam, menyelesaikan dendam seperti semula, baru kemudian pergi bertapa di Perguruan Awan? Apakah dengan membalas dendam, dirinya menjadi lebih benar? Apakah justru tidak mengundang pertarungan yang lain lagi? Berbeda dari Upasara, Kiai Sambartaka justru tengah berada dalam semangat untuk tampil.
Kebimbangan seperti yang dirasakan Upasara tak berbicara dalam hatinya.
Sewaktu pertarungan pengikut Senopati Sora dengan prajurit Keraton makin menghebat, Kiai Sambartaka justru menyudutkan diri.
Baginya, pertarungan ini tak ada hubungan sama sekali dengan dirinya.
Hanya akan merepotkan saja.
Maka ia segera menyingkir, menjauh dari pertarungan.
Apa yang diinginkan hanya satu.
Mengungguli Upasara.
Kemudian mengumumkan diri sebagai ksatria nomor satu di jagat! Pada saat itu, ia bisa malang melintang dan tercapailah semua yang diangan-angankan.
Maka satu-satunya halangan yang harus segera diselesaikan adalah melindas Upasara.
Dengan cara apa saja.
Sekarang adalah kesempatan terbaik.
Kiai Sambartaka bisa memperhitungkan, bahwa bagaimanapun hebatnya Upasara, pukulan Pendeta Sidateka akan menjadi gangguan.
Hawa dingin yang bersarang dalam pembuluh darah Upasara, ibarat anggur, yang secara perlahan akan mempengaruhi dalam jarak waktu lebih lama.
Upasara pasti tak bisa lari jauh.
Dengan kaki yang kaku, langkahnya tak akan sampai ke ujung pantai yang lain.
Dengan jalan pikiran seperti itu, Kiai Sambartaka bergegas menyusul ke arah matahari terbit.
Arah ke mana Upasara menghilang.
Dengan harapan akan menemui Upasara yang sedang kesakitan, dan ia berhasil memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan.
Sewaktu Kiai Sambartaka meninggalkan medan pertempuran, peperangan antara pengikut Senopati Sora dan prajurit Keraton sudah berhenti.
Semua senopati utama berhasil ditaklukkan, dan sebagian prajurit menyerahkan diri.
Mahapatih Nambi memerintahkan segera dilakukan pembersihan agar tidak meninggalkan bekas-bekas.
Medan pertarungan bisa segera dikembalikan ke suasana semula.
Korban yang meninggal dikuburkan, yang sakit dirawat, yang menyerah diurus untuk tata peradilan yang berlaku.
Belum sepenanak nasi, suasana kembali seperti semula.
Bagian pinggir dinding Keraton bersih seakan tak pernah terjadi sesuatu yang mengerikan.
Seakan tak pernah ada pertumpahan darah sesama saudara.
Akan tetapi, pertarungan dalam hati Mahapatih tak segampang itu dibersihkan.
Hati yang jauh lebih kecil, yang tak lebih lebar dari telapak tangan, seperti tak bisa dibungkam sepenuhnya.
Telinga seperti mendengar rintihan.
Rintihan sendiri.
Yang makin jelas ketika Mahapatih kembali ke dalem kepatihan.
Sebelum akhirnya melapor kepada Baginda.
Simpang Kebimbangan BAHWA dirinya akan menangkap dan mengadili Senopati Sora yang membangkang, itu sedikit pun tak membuatnya ragu.
Semua sudah terbayangkan secara rinci dalam benak Mahapatih.
Yang tetap membuatnya terenyak adalah kenyataan bahwa tubuh Senopati Sora menelentang di tanah dengan perut hancur, tetapi dengan sunggingan senyuman luhur.
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen