Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas 21


Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 21



Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto

   

   Adegan itu membuat Mahapatih bimbang.

   Tanpa suara, tanpa menoleh kiri-kanan, Mahapatih segera masuk ke dalam senthong.

   Ke dalam bagian rumah yang selalu dibiarkan kosong.

   Kamar yang biasanya selalu dipakai buat bersemadi, berdoa, memasrahkan diri kepada Yang Maha mutlak ini merupakan tempat yang teduh.

   Semua senopati atau prajurit, selalu mempunyai senthong dalam rumahnya.

   Ruangan yang selalu dibiarkan kosong melompong.

   Dengan jendela yang selalu tertutup.

   Hanya ketika Mahapatih membuka pintu, terdengar suara perlahan.

   "Kenapa tak kamu basuh kakimu sebelum masuk kemari, anakku? Kenapa tak kamu biarkan keringat menjadi kering lebih dulu?"

   Mahapatih Nambi berlutut.

   Bersila dan menghaturkan sembah.

   Suara yang lembut, pelan menyentuh telinganya, adalah suara yang diakrabi sejak masih kecil.

   Suara Ayahanda.

   Lelaki perkasa yang seluruh rambutnya putih dengan badan yang kurus itu duduk di lantai dingin.

   Tanpa alas apa-apa.

   Mahapatih menyembah lagi.

   Jauh dalam hatinya, Mahapatih Nambi sangat menghormati ayahnya.

   Tokoh pujaan semasa kecil, sampai ketika ia masuk sebagai prajurit, dan pangkatnya terus naik, hingga ke puncak kekuasaan sebagai mahapatih.

   Selama itu pula, Mahapatih Nambi merasa bahwa apa yang bisa dicapai adalah karena restu dari ayahnya.

   Yang memilih hidup di Lumajang, hidup dari sawah dan sungai.

   Yang tetap memilih cara hidup seperti ketika Mahapatih Nambi masih kecil.

   Tak ada yang berubah.

   Tak ada yang bertambah.

   Beberapa kali Mahapatih Nambi mengirim utusan atau datang sendiri ke Lumajang, baik untuk mengirimkan sesuatu atau memohon ayahandanya pindah ke Keraton.

   Akan tetapi ayahandanya selalu menolak.

   Tak pernah bergerak lebih jauh dari tapal batas desa Gandhing.

   Bahkan ketika Nambi dinobatkan sebagai mahapatih, ayahandanya tetap tak mau diundang.

   Sekarang ini, justru datang.

   "Biarkan keringatmu kering, anakku.

   "Ruangan ini tak bisa mengeringkan keringat seorang lelaki."

   Mahapatih menunduk.

   "Sungguh bahagia, Bapak berkenan menengok anaknya yang berada di jalan persimpangan ini.

   "Rasanya saya merasa bukan anak lola, yang tak mempunyai siapa-siapa dan apa-apa lagi."

   "Tata bicaramu bagus sekali, anakku.

   "Kenapa harus bimbang? Bukankah semua jalan adalah persimpangan? Bukankah semua jalan menuju ke arah yang kita mau? "Anakku, sebagai prajurit kamu tahu di mana jalanmu.

   "Sebagai orang dusun, aku tahu di mana jalanku.

   "Kenapa merisaukan persimpangan, yang bukan jalan kita?"

   "Mohon petunjuk lebih jauh."

   "Anakku, siapa yang berani memberi petunjuk Mahapatih?"

   Suara itu justru menyayat Mahapatih yang makin menunduk.

   "Tapi kamu anakku.

   "Kamu Nambi yang setia menunggu batang padi tumbuh. Setia menunggu air di sawah.

   "Yang mendengarkan dongengan prajurit utama.

   "Nambi, anakku."

   Mahapatih terkejut. Hatinya sedikit kecut. Suara Ayahanda seperti mengisyaratkan sesuatu.

   "Pandanglah bapakmu ini."

   Mahapatih mendongak perlahan. Wajah yang dulu sangat dikenalnya. Wajah yang sekarang selalu dibayangkan.

   "Aku masih bapakmu, Nambi.

   "Kamu masih anakku.

   "Tapi jalan yang kita tempuh jauh berbeda. Sewaktu aku datang, prajurit-prajurit mengelukan, menyambut dengan upacara besar-besaran. Pranajaya Mpu Sina, bapak agung Mahapatih, berkunjung.

   "Ah, siapa yang menjadi empu?"

   "Maaf..."

   "Tak ada yang perlu dimaafkan, Nambi.

   "Tak apa.

   "Semua harus begitu.

   "Kalau ada jalan simpang, itulah jalan simpang yang ada. Akan tetapi jangan membuatmu bimbang.

   "Teruskan langkahmu.

   "Aku bangga padamu.

   "Kamulah anak lelakiku, kamulah prajurit, mahapatih tempat rakyat mencari perlindungan."

   Mahapatih menunduk.

   "Aku tak punya kata-kata. Tata kramaku sangat buruk, Nambi.

   "Bahkan untuk menyembah seorang mahapatih pun tak mampu. Aku hanya ingin menengokmu. Menengok anakku, prajuritku.

   "Sekaligus aku minta pamit.

   "Kalau nanti aku berada di Gandhing, aku akan merasa bahagia karena telah melihatmu.

   "Anakku, prajuritku.

   "Teruskan langkahmu. Langkah prajurit yang gagah."

   Mpu Sina mengangguk. Perlahan berdiri. Mahapatih masih menunduk. Tak bergerak. Mpu Sina berjalan perlahan. Sampai di pintu senthong berhenti sebentar. Tangannya yang lembut menyentuh pundak Mahapatih.

   "Teruskan langkahmu. Langkah prajurit yang gagah.

   "Kalau kamu membelok ke Lumajang, itulah persimpangan yang salah.

   "Selamat, anakku.

   "Dewa Yang Mahaagung akan selalu menyertaimu."

   Mpu Sina meneruskan langkahnya.

   Keluar dari senthong, melalui ruang utama, menuju pendapa, dan melalui halaman kepatihan, menuju pintu gerbang.

   Dan lenyap.

   Kembali ke desa Gandhing.

   Mahapatih masih menunduk di depan pintu senthong.

   Tak berani bergerak.

   Inilah pengalaman yang sangat luar biasa.

   Untuk pertama kalinya, ayahandanya bersedia datang ke Keraton.

   Untuk terakhir kalinya pula.

   Betapa jauh perjalanan dari Lumajang, untuk seorang setua ayahandanya.

   Apalagi ditempuh dengan jalan kaki, sebisanya, sekuatnya.

   Tak ada gunanya mengirimkan kuda, joli, atau pengawalan.

   Seperti juga ketika kembali.

   Satu langkah demi satu langkah.

   Dengan bantuan tongkat dan istirahat.

   Itulah ayahandanya.

   Yang tetap merasa sungkan disebut empu.

   Yang merasa tak pantas dikawal.

   Itulah lelaki yang menempa batinnya sehingga ia seperti sekarang ini.

   Mahapatih bisa membayangkan bahwa jauh sebelumnya, ayahandanya sudah berangkat.

   Dan dengan perhitungan batin yang tak diketahui bagaimana caranya, datang pada saat yang tepat.

   Saat Mahapatih gundah.

   Dan datang dengan petuah.

   Bahwa apa yang dilakukan sekarang ini adalah jalan yang tepat bagi seorang prajurit.

   Dirinya adalah prajurit.

   Tak ada kelegaan yang bisa membuat Mahapatih bersyukur selain kalimat tersebut.

   Tapi juga kekuatiran yang dalam.

   Kenapa disebut-sebut jalan simpang itu justru kalau ia mengingat Lumajang? Kalau ia ke desa Gandhing? Kalau ia menempuh jalan yang diartikan sebagai "bukan jalan prajurit"? Mahapatih merasa bahwa kata-kata ayahandanya mempunyai arti yang dalam.

   Hanya ia tak bisa mengerti ke mana arahnya.

   Dalam hal tata susastra, Mahapatih Nambi merasa dirinya sangat tumpul.

   Apa yang dilatih dan diketahui dengan baik adalah apa-apa yang bisa dilihat.

   Yang serba jelas.

   Rangkaian indah di balik kidungan, tak bisa tertangkap dengan baik.

   Itu salah satu yang membuatnya dulu bimbang mendapat pangkat paling terhormat sebagai mahapatih.

   Masih lama Mahapatih Nambi terus berlutut di depan pintu senthong yang menganga, seakan mengundang segera masuk.

   Prawita Parwa PERMAISURI INDRESWARI yang pertama kali mendengar secara lengkap.

   Wajahnya tetap dingin.

   "Apa istimewanya, Halayudha? "Bukankah itu seharusnya? Seorang pemberontak mati, hukuman yang terbaik.

   "Apa istimewanya kamu laporkan kematian Sora?"

   Halayudha menyembah dengan hormat.

   "Maaf atas kelancangan hamba, Permaisuri Agung.

   "Hamba selalu bersikap lancang dan kurang seronok dalam mengutarakan pendapat. Akan tetapi hamba berpendapat, akan lebih baik kalau Permaisuri memberi perhatian kepada Mahapatih."

   Alis Permaisuri Indreswari bergerak.

   "Halayudha, benarkah kamu ini senopati yang paling dekat dengan Baginda? "Benarkah Baginda memilihmu karena kamu begitu dungu? "Perhatian apa yang perlu aku berikan kepada Nambi? Hadiah?"

   "Begitulah, Permaisuri Agung."

   "Aku ingin menanggalkan derajat dan pangkatnya sekarang juga, kalau mungkin! "Apa istimewanya? "Dalam pandanganku, Nambi gagal menjalankan tugasnya. Kalau tidak, Pendeta Syangka, Kiai Sidateka, tak perlu menderita seperti sekarang ini.

   "Sudah jelas semua mengetahui bahwa Pendeta Syangka pendamping Putra Mahkota, masih juga bisa terluka."

   "Begitulah, Permaisuri Agung."

   "Begitulah?"

   "Maaf, Permaisuri Agung.

   "Dengan memberikan hadiah, Mahapatih Nambi tak merasa dimusuhi. Sebaliknya akan merasa dekat dengan Permaisuri Agung. Pada saat seperti itu, rasanya lebih mudah mengawasi gerak-geriknya.

   "Kalau Permaisuri Agung menunjukkan permusuhan, Mahapatih Nambi akan merasa perlu berhati-hati."

   Kali ini alis Permaisuri Indreswari tergerak lagi.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Rasanya ada gunanya mendengarkan pendapatmu."

   "Maaf, hamba hanya mengutarakan yang biasa-biasa.

   "Karena Mahapatih Nambi sedang mabuk kemenangan saat ini."

   "Halayudha...

   "Kudengar ilmu silatmu juga cukup sakti. Apakah kamu tidak bisa mengusahakan penyembuhan Pendeta Syangka?"

   Darah dalam nadi Halayudha bergolak.

   Kemarahannya mencapai puncak.

   Kehadiran Pendeta Syangka justru sangat menyulitkan posisinya.

   Karena begitu Putra Mahkota naik takhta, pasti Pendeta Syangka yang akan menguasai segalanya.

   Berarti tak ada tempat baginya.

   Sudah bagus sekarang ini keadaannya setengah mati.

   Akan tetapi Halayudha memendam semua perasaannya.

   "Hamba hanya bisa mencoba.

   "Kemurahan Dewa akan menyertai pendeta yang bijak dan mulia. Hanya karena dasar ilmu silat dari Syangka berbeda, hamba memerlukan waktu untuk mempelajari..."

   Dengan pendekatan begini, Halayudha bisa menguasai secara resmi.

   Paling tidak ini memberi kesempatan buat mengulur waktu, kalau tak bisa segera disembuhkan.

   Dan Halayudha bisa mempelajari ilmu Pendeta Sidateka.

   Selama ini, bagi Halayudha masih menimbulkan teka-teki.

   Karena luka di dalam tubuh Pendeta Syangka tidak mengalirkan darah segar, melainkan dalam bentuk gumpalan-gumpalan.

   Semacam kekuatan dingin yang dikuasai dengan baik, hingga ke susunan darahnya.

   Kalau benar begitu, Halayudha yakin bisa mempelajari dan kemudian menguasai lebih baik daripada pemilik ilmu.

   Sejak munculnya para tokoh sakti mandraguna sejagat, mata Halayudha terbuka makin lebar.

   Ia memerlukan waktu untuk mengenal berbagai kemungkinan.

   Naga Nareswara saja sudah begitu hebat.

   Juga Kama Kangkam dari Jepun.

   Beruntunglah ia berhasil mengecap sebagian ilmunya.

   Namun di saat merasa makin bertambah, muncul lagi Ratu Ayu Bawah Langit yang menggetarkan.

   Yang mempunyai dasar yang berbeda.

   Apa salahnya kini berusaha mengenal ilmu dari Syangka? Dengan cara itulah Halayudha mendekati Pendeta Sidateka, dan merawat.

   Berpura-pura menyalurkan tenaga dalam, mempelajari cara pernapasan.

   Namun setiap kali akan berhasil, ia melepaskan kembali sambil menggelengkan kepalanya.

   "Sulit... sulit sekali."

   Yang lebih menggembirakan bagi Halayudha ialah ia mendapat keleluasaan untuk menggeledah suasana dan kamar Pendeta Sidateka.

   Sehingga akhirnya bisa menemukan tulisan pada selembar kain sutra.

   Pandangan Halayudha yang tajam dan menyelidik segera mengetahui bahwa tulisan itu pasti bukan sembarangan.

   Maka secara diam-diam ia menyalin dalam ingatannya, dan kemudian menuliskan untuk dipelajari secara perlahan-lahan.

   Setiap kali mengobati, setiap kali pula mencuri pandang dan mengingat serta kemudian mencatat.

   Adalah di luar dugaan Halayudha ketika rangkaian yang disalinnya memberi rangsangan untuk mempelajari lebih mendalam.

   Karena susunan kidungan yang ada sangat mirip sekali dengan Kitab Bumi.

   Prawita Parwa, adalah kitab permulaan pada mulanya yang ada hanya air air yang mengalir ke tempat rendah air di bumi air di langit air di tubuh di mana ada ruang di situ ada air pada awalnya air pada akhirnya kembali ke air karena air mengalir....

   Yang membuat Halayudha setengah gemetaran ialah kenyataan bahwa kidungan itu justru sangat mirip dengan apa yang diciptakan gurunya! Sifat-sifat air itu pula yang mendasari lahirnya jurus Sindhung Aliwawar yang mencapai puncaknya dengan jurus Banjir Bandang Segara Asat.

   Ini betul-betul luar biasa.

   Halayudha tidak mengerti bagaimana mungkin Kitab Permulaan ini berada di tangan Pendeta Sidateka.

   Sungai juga air setelah menyeberangi sungai, jangan terlalu dekat sebelum menyeberangi sungai, lihatlah riak sungai menciptakan laut laut tak menciptakan sungai sungai mengumpulkan mata air yang menetes, yang merembes tapi tidak menampung...

   Halayudha makin yakin bahwa Prawita Parwa, atau bisa juga disebut Kitab Permulaan, kitab untuk berguru, kitab sebab-musabab, mempunyai kaitan langsung dengan Kitab Bumi yang didewa-dewakan.

   Ketajaman pandang Halayudha dalam soal seperti ini tak perlu diragukan lagi.

   Yang sedikit menjadi tanda tanya dalam hatinya ialah kenapa sejak mula ia tak pernah mendengar adanya Prawita Parwa ini? Padahal kalau diperhatikan, petunjuk yang ada dalam Prawita Parwa jelas menunjukkan cara-cara memainkan ilmu silat dan mengatur pernapasan.

   Dengan kidungan yang lebih jelas, tidak dengan balutan kalimat yang susah ditafsirkan.

   Latihan pertama air selalu rata tenaga merata melalui lubang kulit panas tubuh keluar melalui lubang tubuh dingin tubuh memancar kerahkan tenaga seperti menunggang kuda ambil udara dari dada, kanan dan kiri...

   Matirta Parwa HALAYUDHA mengerahkan seluruh kemampuannya.

   Sekali lagi ia menyelinap ke kamar Pendeta Sidateka.

   Kali ini dengan sepenuh hati ia menjajal mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa dingin yang masih tertahan pada beberapa bagian.

   Pengerahan tenaga yang dilakukan tidak dengan mendorong ke luar, melainkan dengan latihan pernapasan yang dipelajari.

   Yaitu dengan menyelimutkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian yang terganjal alirannya.

   Hasilnya di luar dugaan Halayudha.

   Pendeta Sidateka mulai mengerang.

   Bahkan bibirnya bisa berkomat-kamit.

   "Terima kasih, Senopati Halayudha."

   "Di antara sesama saudara, rasanya ucapan itu berlebihan, Kisanak."

   "Tenaga dalam Kisanak sungguh luar biasa.

   "Dari mana Kisanak mempelajari?"

   Halayudha terlalu mudah menebak arah pertanyaan Pendeta Sidateka yang mulai mencurigainya.

   "Sejak pertama kali saya hanya mempelajari ilmu semacam ini. Apa yang diketahui banyak orang yang lain."

   "Cara mengatur pernapasan dari Kitab Bumi?"

   "Kisanak lebih paham dari saya."

   Pendeta Sidateka menggelengkan kepalanya. Walaupun suaranya lirih dan pengucapannya perlahan, Halayudha bisa mendengarkan dengan jelas.

   "Rasanya aneh sekali. Saya mempelajari, akan tetapi tetap tak bisa memahami. Begitu luar biasa luas dan dalamnya."

   "Ah, saya belum bisa menerima pujian seperti ini."

   "Rasanya saya mengenali cara mengatur napas Kisanak. Kalau benar begitu, saya bisa mempelajari juga."

   Halayudha menjajal lagi.

   Kali ini justru melakukan yang sebaliknya.

   Tenaga dalamnya tidak untuk melindungi, melainkan mendorong seperti pada awalnya.

   Sehingga wajah Pendeta Sidateka menjadi merah dan napasnya tersengal-sengal.

   Halayudha terus memaksa, sehingga Pendeta Sidateka mengeluarkan jeritan tertahan.

   Tak sadarkan diri.

   Saat itu dengan cepat Halayudha membuka lembaran kain sutra dan membaca serta menyimpan dalam ingatannya dengan cepat.

   Setelah mengembalikan ke tempat semula, Halayudha segera meninggalkan kamar.

   Kembali ke dalam kamarnya.

   Sambil bersemadi, Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menuliskan dengan cepat apa yang diingatnya.

   Kidungan pemula ini juga berarti kidungan tentang air, air suci maka kitab ini juga bisa disebut Matirta Parwa, artinya kitab tentang mandi dengan air suci Tirta itu air, Matirta mandi mandi itu membersihkan mandi menyucikan hanya air yang bisa mencuci hanya air yang bisa dicuci Kidungan pertama, di mana air di bumi tanpa air, bumi bukan bumi di langit tanpa air, langit bukan langit di badan tanpa air, badan bukan badan di jiwa, tanpa air, jiwa bukan jiwa Air adalah tenaga tenaga ada di mana saja tarik napas, itulah tenaga biarkan di dada, gerakkan tangan kiri atau kanan sama saja selama tak dibendung air terus menggulung Bumi lebih mudah dikenali karena bumi diinjak setiap kali air terlupakan karena menyatu di badan Bumi ada pusatnya, di pusar air tanpa pusat tanpa pusar Bumi ada bentuknya, pukulan air membentuk rangkulan Inilah kidungan pertama sebagai puji syukur kepada Dewa yang dicipta dari air! Bagi Halayudha kini segalanya menjadi lebih jelas.

   Bahwa kidungan utama Matirta Parwa ini mempunyai sangkut-paut secara langsung dengan Bantala Parwa.

   Karena secara gamblang pula dijelaskan perbedaannya dengan Kitab Bumi.

   Bahkan kelihatannya seperti menerangkan ada sesuatu yang masih kosong dalam Kitab Bumi.

   Hal ini tak usah diragukan lagi.

   Kitab Bumi mengajarkan ajaran pernapasan yang berpusat pada satu tempat.

   Di pusar.

   Semua udara yang diisap kuat disalurkan lewat hidung, ke atas melalui rongga kepala, ke bawah lewat tulang punggung, dan akhirnya terkumpul di perut, dan naik ke dada.

   Baru kemudian disalurkan lewat tenaga dorongan di tangan.

   Sedangkan Matirta Parwa justru sebaliknya.

   Pengerahan tenaga itu bisa dari mana saja.

   Selama tenaga tak terbendung, bisa dialirkan.

   Bisa dikerahkan secara seketika, tanpa harus menghimpunnya lebih dulu.

   Pada tingkat tertentu, kecepatan pengerahan dan perubahan tenaga menjadi kunci keunggulan dibandingkan dengan apa yang dituliskan dalam Kitab Bumi.

   Itu pula sebabnya dengan sangat mudah sekali tenaga dalamnya bisa dikerahkan untuk menahan dan mengepung hawa dingin dalam tubuh Pendeta Sidateka.

   Serta membiarkan saja, dan menyebabkan hawa dingin mencair.

   Leleh, dan menjadi tenaga biasa.

   Tidak mengganjal, tidak menghambat.

   Mempergunakan sifat air.

   Bagai kerasukan Halayudha menjajal, melatih, dan mempelajari ulang.

   Setiap kali mencoba menyalin, Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga berkeringat dan sesudahnya menjadi keletihan.

   Kenyataan ini justru membuat Putra Mahkota Kala Gemet sangat menghargai.

   Karena disangkanya Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyembuhkan Pendeta Sidateka yang sangat dihormati.

   "Sebentar Paman Sidateka akan sembuh kembali,"

   Kata Putra Mahkota dengan wajah berseri.

   "Rasanya begitu, duh sang Calon Raja.

   "Hamba ingin segera sembuh, akan tetapi tujuh hari mulai hari ini, biarlah hamba sendiri yang menjajal. Hamba tak ingin merepotkan Senopati Halayudha."

   "Tak apa, Paman Sidateka."

   "Maaf, tetapi hamba tak bisa menerima kebaikan ini. Hamba mohon sudilah, duh Sang Calon Raja."

   "Kalau itu permintaan Paman, itu yang menjadi keputusan."

   Halayudha menerima perintah dengan menyembah hormat.

   Apa yang menjadi perasaan hatinya sama sekali tak tergambar dalam wajahnya, dan sikapnya.

   Kegalauan Halayudha terutama sekali karena munculnya perhitungan bahwa Pendeta Sidateka mulai mengendus ada sesuatu yang mencurigakan.

   Dengan kata lain, Pendeta Sidateka mulai tahu bahwa sebagian ilmu yang disimpannya tercuri.

   Halayudha tidak kuatir mengenai hal ini.

   Akan tetapi ia tak mau berhenti di tengah jalan.

   Apalagi ketika mulai bisa melatih, Halayudha menemukan perubahan dalam dirinya.

   Ada semacam keleluasaan dalam mengendalikan jurus-jurus yang dimainkan.

   Bahkan ketika melatih jari-jarinya, Halayudha merasa bahwa keempat jari kanannya yang kutung seperti ada kembali! Bisa menyalurkan tenaga.

   Bisa tergetar.

   Bisa digetarkan! Bagi Halayudha itu hanya sedikit memutar akal untuk menemukan jalan, bagaimana merampas atau mengetahui isi Matirta Parwa.

   Jalan yang paling sederhana adalah meminjam tangan Baginda.

   Jamu Asmara HANYA masalahnya sekarang ini, Keraton masih dilanda kemelut.

   Suasana kurang menyenangkan.

   Ternyata kematian Senopati Sora dan seluruh pengikutnya sangat memukul perhatian Baginda.

   Sehingga resmi Baginda tidak mau ditemui siapa pun.

   Baik oleh semua permaisuri, maupun Halayudha.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bagi Halayudha ini sedikit aneh, karena selama ini tak pernah masuk dalam akalnya bahwa dirinya akan dijauhi.

   Selama ini Halayudha merasa bisa berada di dekat Baginda dalam keadaan apa pun.

   "Semua kesalahan saya, Mahapatih,"

   Kata Halayudha merendah ketika Mahapatih Nambi menghubungi.

   "Kesalahan saya yang utama, karena saya berlaku begitu kejam pada Senopati Sora."

   "Bukan Paman Halayudha yang berbuat itu, tetapi saya."

   "Mahapatih, tangan kanan Baginda...

   "Bukan kesalahan Mahapatih. Inilah salah hamba, yang tak bisa menangkap maksud Baginda yang sesungguhnya. Baginda kurang berkenan pelenyapan Senopati Sora terjadi di samping Keraton."

   "Saya yang menyergapnya."

   "Betul, akan tetapi hambalah yang..."

   "Paman Halayudha, kalau ini kesalahan, biarlah saya yang menanggung. Bukan Paman.

   "Silakan Baginda menjatuhkan hukuman, saya akan menerima dengan sikap prajurit sejati."

   "Duh, Mahapatih...

   "Kalau sekiranya Baginda bersabda apa yang menjadi salah kita, hamba tak akan serepot sekarang ini."

   "Cobalah ketahui apa kehendak Baginda. Lewat Permaisuri Indreswari..."

   "Maaf, barangkali hamba lancang.

   "Akan tetapi sesungguhnya Permaisuri Indreswari kurang berkenan dengan Mahapatih."

   Sejenak keduanya terdiam. Halayudha menunduk lesu. Merasa salah. Malu. Menyesal.

   "Saya sudah merasa, Paman."

   "Permaisuri Indreswari sengaja memberi hadiah kepada Mahapatih, agar Mahapatih merasa tak menduga isi hati Permaisuri Indreswari yang sesungguhnya.

   "Hamba hanya abdi Baginda. Keset kaki Baginda.

   "Tak mempunyai hak untuk mendengar apalagi menceritakan."

   "Katakan saja, Paman.

   "Adalah menjadi sikap prajurit untuk ditegur dan dipuji."

   "Mahapatih sungguh bijaksana.

   "Luas pengetahuannya. Hanya sekali ini Mahapatih berhadapan dengan Permaisuri Indreswari yang berasal dari tanah seberang, yang kurang mengenal tata krama Keraton.

   "Permaisuri Indreswari merasa bahwa Mahapatih di belakang hari bisa menjadi penghalang bagi takhta Putra Mahkota Kala Gemet."

   Mahapatih terdiam lama.

   "Hanya karena Putra Mahkota mencalonkan Pendeta Syangka sebagai mahapatih di kelak kemudian hari.

   "Duh, Mahapatih Nambi... sejelek dan seburuk apa pun, hamba bisa menjunjung tinggi jasa-jasa Mahapatih dalam mengabdi Keraton. Dan dalam hal ini Pendeta Sidateka bukan tandingan apa-apa.

   "Akan tetapi dengan ilmu tenungnya, Putra Mahkota bisa dikuasai dan diarahkan.

   "Maaf kalau hamba berbicara agak panjang-lebar, Mahapatih...

   "Bagi hamba tak menjadi masalah kalau itu pikiran Putra Mahkota atau bahkan Permaisuri Indreswari. Akan tetapi kalau sampai terdengar Baginda, akan lain soalnya."

   Mahapatih Nambi mengangguk perlahan.

   "Kadang hamba berpikir buruk untuk tak mau menyembuhkan Pendeta Sidateka... agar tak menimbulkan persoalan di belakang hari..."

   "Jangan lakukan itu, Paman! "Itu bukan jiwa ksatria."

   Dalam hati Halayudha menertawakan Mahapatih Nambi setengah mati.

   Ia merasa bisa memasukkan hasutan yang di kelak kemudian hari akan membara, dan membakar semua hubungan baik yang ada.

   Kalau ini sesuai dengan rencana, berarti jalan yang dirintis berhasil.

   Dirinyalah yang akan keluar sebagai pemenang.

   Bukan Nambi atau Sidateka.

   Melainkan Mahapatih Halayudha! Itu berarti tinggal satu langkah saja untuk menggeser takhta Kala Gemet ke atas kepalanya sendiri.

   Tanpa pendukung yang kuat, Kala Gemet bukan apa-apa baginya.

   Terlalu gampang untuk melenyapkan.

   Hari kedua Pendeta Sidateka mengurung diri, Halayudha sengaja berdandan sebagus mungkin.

   Sisiran dan gelungan rambutnya dibuat sedemikian rupa sehingga aneh, dan wajahnya selalu berseri-seri.

   Begitulah yang dilakukan selama menunggu di depan kamar Baginda.

   Dan seperti jebakannya, umpan ini tercium Baginda yang segera memanggilnya ke dalam kamar.

   Halayudha bersujud, seakan menenggelamkan wajahnya ke lantai.

   "Tubuhmu bau kesturi... pakaianmu bau melati. Ada apa sebenarnya kamu ini?"

   Halayudha menunduk malu-malu.

   "Segala dosa, biarlah hamba tanggung sendiri, Baginda.

   "Karena tidak becus menjalankan perintah dan menjaga keluhuran Baginda, sehingga membuat Baginda berduka, hamba yang tak berguna ini..."

   "Halayudha!"

   "Hamba tak bisa bersembunyi dari bayangan Baginda.

   "Selama ini hamba menjalin hubungan asmara dengan salah seorang dayang hamba sendiri."

   Bibir Baginda tertarik sedikit.

   "Hmmm."

   "Hamba memang sudah tua. Sudah loyo. Akan tetapi sejak hamba minum ramuan jamu asmara... rasanya menjadi muda kembali."

   Dugaan Halayudha tepat. Umpan yang tercium itu mulai diendus.

   "Jamu asmara?"

   "Sembah bagi Baginda...

   "Selama ini hamba minum jamu asmara, akan tetapi hasilnya biasa-biasa saja. Akan tetapi sejak minum ramuan jamu asmara Mpu Suwanda... rasanya agak berbeda."

   "Mpu Suwanda?"

   "Hamba bagian tumbuh-tumbuhan, tetuwuhan..."

   Umpan yang terendus ini mulai disentuh dengan bibir.

   Dengan gigi.

   Meskipun sambil lalu, Baginda menanyakan siapa Mpu Suwanda.

   Dan dengan rendah hati, Halayudha menjelaskan abdi dalem bagian tetuwuhan ini tak pernah diperhitungkan sebelumnya.

   Malah dijauhi oleh para tabit Keraton.

   Para tabit atau tabib Keraton menganggap selama ini Mpu Suwanda hanya mempelajari pengobatan yang kasar dan rendah.

   Sesuai dengan namanya suwanda yang artinya badan atau tubuh.

   Yang bersifat badani.

   Tapi justru berhasil menemukan ramuan jamu asmara yang khasiatnya membuat Halayudha merasa kembali muda.

   Secara tidak langsung Baginda mengatakan keheranannya.

   Bagi Halayudha ini sudah berarti Baginda telah memakan umpan.

   Secara bulat-bulat.

   "Barangkali Baginda ingin melihat hasil yang dibuat oleh Mpu Suwanda. Sebagai abdi dalem, akan merasa sangat terhormat sekali kalau Baginda berkenan melihat apa yang diperbuat.

   "Hamba seharusnya melaporkan semua yang terjadi... tetapi hal ini terlalu sepele di hadapan Baginda..."

   Secara tidak langsung pula Halayudha meninggalkan contoh akar-akar yang bila diseduh memberikan kekuatan asmara.

   Perhitungan Halayudha, Baginda sedikit-banyak akan sungkan kalau diketahui menggunakan jamu asmara.

   Karena sudah ada tabit Keraton yang diam-diam menyediakan.

   Maka dengan meninggalkan contoh, pasti Baginda dengan diam-diam akan mencoba.

   Perhitungan Halayudha sangat sederhana.

   Bahwa Baginda juga seorang lelaki.

   Lebih dari dirinya, Baginda mempunyai pilihan dan kesibukan yang lebih beragam.

   Nyatanya begitu.

   "Tapi dari mana Tabit Suwanda menemukan ramuan yang begitu khusus?"

   "Menurut pengakuannya, diperoleh dari Pendeta Sidateka, dari kitab yang disebut Prawita Parwa, yang disimpan secara diam-diam. Hanya saja belum seluruhnya terpelajari, karena Pendeta Sidateka sengaja merahasiakan.

   "Malah, kalau hamba tidak salah, sekarang tak mau dijenguk siapa pun."

   Baginda mengeluarkan suara dingin.

   "Panggil Kala Gemet kemari. Biar ia yang membawa kitab itu kemari. Sekarang juga."

   Tirta Haruna RASANYA, sebelum kata-kata Baginda selesai, kitab yang dimaksudkan sudah bisa diambil.

   Tak ayal lagi segera Halayudha mengambil salah seorang untuk dipaksa mengaku sebagai Tabit Suwanda, yang kemudian membuat jamu asmara.

   Halayudha sendiri lebih memikirkan Matirta Parwa.

   Beberapa yang sudah dihafal dan dicatat dicocokkan kembali.

   Tak ada satu patah kata pun yang meleset.

   Namun ini tidak membuat Halayudha bergembira.

   Justru sebaliknya.

   Hatinya menjadi was was.

   Karena merasa bahwa Pendeta Sidateka sengaja memasang jebakan untuknya.

   Dengan sengaja kitab itu diberikan, akan tetapi sebenarnya telah diubah! Telah dibuatkan catatan yang baru, yang justru akan mencelakakan Halayudha! Pasti.

   Tak bisa lain.

   Pendeta Sidateka bukan orang yang bodoh, bukan tokoh yang begitu saja menyerahkan kitab pusaka.

   Apalagi kepada seseorang yang sama sekali tak bisa dipercayai.

   Jalan pikiran Halayudha menggambarkan siapa dirinya.

   Kalau dirinya adalah Pendeta Sidateka, hal yang sama inilah yang dilakukan.

   Karena tak mungkin menolak perintah Raja, kitab diserahkan setelah diubah sedemikian rupa.

   Agar si penerima tidak curiga, bagian yang telah disalin tetap dibuat sedemikian rupa sama persis.

   Yang lainnya diubah susunannya.

   Sehingga kalau berlatih dengan urutan yang berbeda, hasilnya akan berbalik.

   Itu sebabnya Pendeta Sidateka meminta waktu satu pekan agar tidak diganggu sama sekali.

   Apa lagi yang diperbuatnya kalau tidak berusaha mengelabui? Apa lagi selain waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan perubahan? Hal yang sangat mudah dilakukan karena lembaran kain sutra itu memang tidak memakai urutan.

   "Ia bisa mengelabui Raja, tetapi tidak seorang Halayudha,"

   Kata Halayudha pada dirinya sendiri.

   Jalan terbaik yang akan ditempuh ialah mencoba mengurutkan sendiri, sesuai dengan kemampuannya.

   Dengan cara ini, ia akan berpura-pura teracuni, dan pada saat itu justru akan bangkit menyikat lawan-lawan atau penghalangnya.

   Karena tidak mempunyai lawan bicara yang bisa mendengarkan dengan baik, Halayudha lebih suka berkata pada dirinya sendiri, dan menjawab sendiri.

   Kidungan kedua, bisa disebut Tirta Haruna Tirta itu air, Haruna itu kijang Air Kijang, ialah kijang yang menjadi air hanyut tapi tak bisa larut hanyut kala tak melawan berarti harus bisa surut berarti berani berkorban kijang akan melompat tetapi Air Kijang mengikuti arus tenaga melompat menjadi tenaga arus tenaga berlari empat kaki tenaga lurus walau ada rumput bukan makanan walau ada air tak merasa haus Air Kijang terus terus-menerus tanpa putus....

   Benar sekali.

   Halayudha bisa mengalirkan semua tenaganya mengikuti gerakan air.

   Ilmu silat yang dimiliki selama ini bisa diubah sedemikian rupa sehingga menyerupai tenaga air.

   Mengalir, tenang tanpa beriak.

   Bahwa masih ada gangguan dalam penyaluran, ia percaya itu pada mulanya.

   Kalau ia bisa mengubah sikap "kijang"

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam dirinya, pasti akan menemukan sesuatu.

   Kijang yang bisa hanyut adalah kijang larut.

   Seumpama kijang yang mati.

   Agak mengherankan, tetapi terbukti hasilnya.

   Halayudha makin penasaran dan makin larut dalam latihan.

   Bahkan kemudian terbersit dalam pikirannya bahwa gerakan-gerakan seperti yang dilatih ini rasa-rasanya pernah dijumpai.

   Ada yang pernah dikenali.

   Dalam waktu yang belum terlalu lama.

   Siapa yang mempraktekkan selama ini? Jelas bukan Pendeta Sidateka yang cara-cara menggali dan melatih pernapasannya sangat berbeda.

   Juga bukan Upasara Wulung atau dari Perguruan Awan.

   Juga bukan dari ilmu dasarnya sendiri.

   Mengalami berbagai pertarungan, Halayudha memeras otaknya untuk menemukan yang paling tepat.

   Selama ini telah disaksikannya sekian banyak jurus ilmu silat dari berbagai penjuru jagat.

   Yang agak aneh dan berbeda dan tidak segera bisa diketahui sumbernya ialah jurus-jurus Galih Kaliki.

   Jurus-jurus itu bahkan tidak mempunyai nama yang bisa dikenali.

   Baru kemudian sekali, diketahui bahwa sumber utamanya tak berbeda jauh dengan jurus-jurus dari Jepun.

   Yang sama anehnya dan selama ini boleh dikatakan tidak dikenal namanya adalah jurus-jurus yang dimainkan oleh...

   Gendhuk Tri! Bocah kecil itu memang mempelajari banyak ilmu dari berbagai sumber.

   Akan tetapi gerakan dasar yang pertama diterima dengan memainkan selendang warna-warni, sampai sekarang masih merupakan teka-teki.

   Hanya menurut kabar, Gendhuk Tri murid seorang penari Keraton Singasari yang bernama Jagaddhita.

   Dan penari itu menjadi murid tidak langsung Mpu Raganata.

   Apakah ini berarti Kitab Air ini berasal dari Mpu Raganata? Harusnya iya.

   Akan tetapi nyatanya tidak sesederhana itu.

   Mpu Raganata justru dikenal karena ilmu Weruh Sadurunging Winarah yang sudah kondang.

   Mana mungkin seorang seperti Mpu Raganata menciptakan ilmu yang sama sekali berbeda dasarnya? "Tak bisa lain, jurus-jurus dari kitab ini ada hubungannya dengan air.

   Ada hubungannya dengan wanita.

   "Kalau Kitab Bumi bisa diumpamakan lelaki, Kitab Air justru bisa disejajarkan dengan wanita.

   "Lalu siapa penciptanya?"

   Pertanyaan Halayudha tak menemukan jawaban. Dibaca dari awal sampai akhir, tak ada nama atau singgungan nama seseorang. Baik tersamar maupun terang-terangan.

   "Satu-satunya jalan ialah dengan menyelidiki dari Gendhuk Tri."

   Pertanyaan dan sekaligus jawaban ini, membuat Halayudha bertekad menemukan Gendhuk Tri.

   Ia langsung memerintahkan anak buahnya untuk menyebar dan mencari tahu di mana Gendhuk Tri.

   Yang pasti hanya ada di sekitar Keraton.

   Perhitungan Halayudha didasarkan pada sifat bocah yang masih serba ingin tahu, dan sedang berlangsung kejadian di Keraton.

   Ini sama sekali tidak meleset.

   Gendhuk Tri memang masih berada di sekitar Keraton.

   Sejak ia kena ilmu membisu dari Ratu Ayu Bawah Langit, Gendhuk Tri hanya bisa bengong melompong.

   Juga ketika matanya melihat sendiri bagaimana Upasara Wulung menggandeng Nyai Demang meloncati dinding Keraton.

   Hatinya gondok luar biasa.

   Tapi tak bisa berbuat suatu apa.

   Karena masih terkena ilmu semacam totokan jalan darah yang membuat Gendhuk Tri mematung.

   Dendamnya segunung.

   Baik kepada Ratu Ayu Bawah Langit, kepada Nyai Demang, maupun kepada Upasara Wulung.

   Baginya ini tindakan Upasara yang paling tak bisa diterima.

   Upasara Wulung adalah kakaknya, gambaran terbaiknya akan seorang lelaki.

   Maka sungguh tak masuk akal sama sekali seorang Upasara menggandeng Mbakyu Demang-nya! Lewat tengah malam, barulah tubuh Gendhuk Tri yang kaku bisa digerakkan kembali.

   Agaknya pengaruh aji sirep Ratu Turkana memang tidak dimaksudkan untuk membunuhnya.

   Hanya sekadar membungkam geraknya untuk sementara waktu.

   Tapi itu sudah lebih dari cukup bagi Gendhuk Tri untuk menerjang dan menuntut balas.

   Hanya saja ketika ia berindap menuju ke tempat peristirahatan rombongan dari Turkana, yang ditemui itu berlalu tanpa ketahuan ke mana perginya.

   Tanpa diketahui kepada siapa ia akan bertanya.

   Juga tak bisa melampiaskan kesalnya kepada orang lain.

   Jadinya Gendhuk Tri merasa serbasalah.

   Dalam keadaan seperti itu, segala apa bisa dilakukan.

   Segala tindakan kecil yang membuatnya tidak suka, bisa membuat tangannya melayang dengan kasar.

   Selendang yang warna-warni bisa mengedut untuk mencabut nyawa.

   Pertemuan Jinalaya SEBENARNYA sewaktu Senopati Sora dan pengikutnya dikepung Mahapatih Nambi, Gendhuk Tri mengetahui.

   Andai saja ia masuk ke dalam pertarungan, ia bisa mengetahui kehadiran Upasara.

   Hanya saja belum tentu juga menjadi lilih atau berkurang gusarnya.

   Karena pada dasarnya, Gendhuk Tri sangat memuja Upasara Wulung.

   Lebih dari siapa pun di jagat ini.

   Baik sebagai kakak, sebagai ayah, sebagai guru, atau bahkan sesembahan dalam arti yang luas.

   Dalam alam pikiran Gendhuk Tri, Upasara adalah ksatria sejati.

   Satu-satunya tokoh yang putih bersih dan baik hati.

   Bahwa kemudian hati kecilnya sangat kecewa karena Upasara menerima tawaran lamaran Ratu Ayu Bawah Langit, itu tak mengubah pemujaan kepada Upasara.

   Kejadian semacam ini masih bisa masuk dalam akalnya.

   Akan tetapi tidak kalau menggandeng Nyai Demang.

   Itu semacam pengkhianat tanpa ampun.

   Dunia akhirat akan mencatat kedurhakaan semacam ini.

   Kalaupun ini semua karena jalan pikiran Gendhuk Tri yang masih serba kekanak-kanakan, belum tentu bisa berubah pada perjalanan hidupnya nanti.

   Saat sekarang ini, yang ada dalam hati Gendhuk Tri hanyalah kekesalan yang luar biasa sengitnya.

   Segala apa yang dipercayai menjadi goyah.

   Maka ketika ia mendengar ada pertemuan Jinalaya, ia langsung berangkat, tanpa perlu banyak bertanya.

   "Siapa tahu wanita tak tahu diri itu ada di sana,"

   Pikir Gendhuk Tri sambil menuju ke bekas tempat bersemadi Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Gendhuk Tri tahu bahwa Jinalaya adalah istilah yang dulu digunakan untuk menyebut bahwa Baginda Raja wafat.

   Jina bisa berarti gelas Sang Budha, atau cawan Sang Budha.

   Sedangkan laya bisa berarti tempat tinggal, rusak, mati, atau musnah.

   Kata sandi Jinalaya digunakan bagi para pengikut setia yang menggambarkan bahwa Baginda Raja kini kembali ke tempat tinggal asal mulanya, yaitu ke dalam gelas Sang Budha.

   Walau Baginda Raja telah lama wafat, ini semua tak mengurangi pemujaan yang selalu dilakukan oleh pengikutnya yang setia.

   Raja yang sekarang memerintah Keraton Majapahit tidak secara terang-terangan melarang, walau juga tidak secara terang-terangan merestui pemujaan pada saat-saat tertentu.

   Hanya saja, sejak Putra Mahkota Kala Gemet memaklumkan gelaran yang tidak lagi menunjukkan keturunan langsung dari Baginda Raja, kegiatan pertemuan Jinalaya dianggap menentang Keraton.

   Sehingga pengikut-pengikut setia Baginda Raja Sri Kertanegara menjadi ketakutan.

   Karena bisa menemukan kesulitan suatu ketika.

   ' Namun, walaupun banyak larangan dan hambatan, nyatanya pertemuan Jinalaya, memperingati hari-hari terakhir Baginda Raja, masih tetap berlangsung.

   Ke sanalah Gendhuk Tri datang, dan langsung bergabung.

   Berada dalam kerumunan di antara orang-orang yang tak dikenalnya, yang mengadakan upacara doa bagi Baginda Raja.

   Sambil satu per satu memuji kebesaran Baginda Raja.

   Ada semacam panggung di mana setiap orang berhak maju dan memuji.

   Kurang dari setengah penanak nasi, Gendhuk Tri sudah merasa sebal.

   Telinganya menjadi gatal.

   Demikian juga bibirnya.

   "Jagat ini tadinya gelap gulita,"

   Tutur seorang pembicara yang memegang tombak panjang.

   "Matahari belum ada. Dunia dalam kegelapan, sampai lahirlah Baginda Raja yang perkasa.

   "Sejak saat itu matahari bisa bersinar.

   "Bulan mau muncul.

   "Padi bisa ditanam.

   "Manusia tak lagi bergayutan di pohon seperti kera.

   "Sungguh besar jasa Baginda Raja."

   Lalu yang hadir menggumamkan nama Baginda Raja sambil menyembah. Gendhuk Tri terbatuk karena tak bisa menguasai perasaannya. Apalagi ketika pembicara kedua, yang membawa dua golok panjang, mulai maju ke tengah.

   "Ketika Baginda Raja memerintah, Keraton menjadi aman dan makmur, seadil-adilnya. Sedemikian tenteram dan bahagianya, sehingga mampu mengalahkan ketenteraman Jonggring Saloka, tempat bersemayam para Dewa.

   "Sehingga karena iri, para Dewa turun ke bumi.

   "Menggoda Baginda Raja agar Baginda Raja berkenan memerintah Dewa. Tapi Baginda Raja menganggap bahwa para Dewa lebih susah diatur daripada rakyat Singasari.

   "Dengan kata lain, Dewa pun kalah pamornya.

   "Apa yang saya ceritakan ini, berdasarkan penuturan para Dewa sendiri."

   Kembali terdengar gumam pujian. Giliran pembicara ketiga maju, Gendhuk Tri berteriak.

   "Para tikus busuk, tanpa membuka mulut pun kalian sudah bau tengik. Jangan memperburuk keadaan.

   "Mendengar omongan kalian, Baginda Raja bisa sakit perut."

   Suara Gendhuk Tri luar biasa nyaringnya.

   Semua yang mendengarnya menoleh ke arahnya dengan wajah gusar.

   Apa yang diucapkan Gendhuk Tri memang menyentak pada sasaran.

   Ia mengatakan ini pertemuan tikus busuk, sesuatu perasaan.

   Karena Gendhuk Tri mengucapkan kata jina seolah terdengar sebagai jinada.

   Jina adalah gelas Sang Budha, sedangkan jinada artinya tikus.

   Jelas sangat kurang ajar.

   Lebih dari itu, dengan kalimat enteng Gendhuk Tri menyebutkan Baginda Raja bisa sakit perut.

   Dalam anggapan para pemujanya, Baginda Raja lebih hebat dari Dewa.

   Mana mungkin disamakan begitu saja dengan orang biasa yang bisa sakit perut? "Kisanak semua, harap tenang...

   "Kalau ada setan yang menyusup kemari, itu sudah biasa. Tikus yang kegerahan akan keluar dari sarangnya untuk mencari seseorang yang mau membunuhnya.

   "Ajaran Baginda Raja adalah kasih sayang..."

   Pembicara pertama yang memegang tombak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Tombaknya menjadi garang.

   "Tikus tersesat yang tidak melihat cahaya suci Baginda Raja Sri Kertanegara, apa maksudmu mengatakan dengan mulut kotor?"

   "Kalian semua tikus tersesat yang kotor, bau, tengik.

   "Kalian pikir apa gunanya memakai sebutan pertemuan Jinalaya kalau isinya cuma ocehan mabuk begini?"

   Semua yang hadir menggerung serentak.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya.

   Kedua kakinya menyepak kiri-kanan secara serentak.

   Lima orang mengerang serentak.

   Termasuk yang memegang tombak.

   Kalau tadinya Gendhuk Tri menduga pertemuan ini hanya dihadiri anggota-anggota yang ilmu silatnya masih pasaran, kini merasa bahwa dugaannya terlalu tinggi.

   Kumpulan manusia ini ternyata hanya bisa mengumbar kata-kata, gagah dalam penampilan dan senjata hebat.

   Tapi ternyata ilmu silat mereka masih jauh dari persyaratan.

   Sehingga dengan sekali gebrak saja seluruh kepungan jebol.

   Gendhuk Tri mengedut selendangnya sekali lagi.

   Kali ini dengan gerakan kedua tangan dan kedua kaki sekaligus berjumpalitan di udara.

   Setiap gerakan membuat dua pengepung merintih kesakitan.

   Ada yang lepas genggaman senjatanya, ada yang memegangi tulang keringnya yang serasa retak.

   Gendhuk Tri meludah ke tanah.

   "Tengik dan kecing.

   "Yang begini kalian namakan memuja Baginda Raja? Hari ini akan saya sembelih kalian semua."

   Di luar dugaan Gendhuk Tri, ternyata yang mengepungnya tidak lari ketakutan. Malah berdiri berjajar. Dan bersuara secara bersama. Bagai koor.

   "Mari kita mati bersama, Saudara.

   "Demi Baginda Raja "Lebih dari Dewa Syiwa "Lebih dari Budha "Mari, Saudara..."

   Mereka malah bergerak mendekati Gendhuk Tri. Yang kalau mau dengan sekali mengebutkan selendangnya, pasti jatuh dua korban sekaligus.

   "Tengik! "Kalian ini apa maunya?"

   Si pemegang golok berat mendongak.

   "Kalau kami mau disembelih karena Baginda Raja, kami akan bahagia. Lakukan, setan kecil."

   Gendhuk Tri menggerakkan selendangnya.

   Menggulung golok berat dan menyentakkan.

   Golok itu berubah arah, menuju leher pemiliknya! Yang bergeming.

   Cebol Kepalang GENDHUK TRI merinding sendiri.

   Dan arah golok berat itu dialihkan ke ruang kosong.

   Berkelontangan ketika saling beradu.

   Menunjukkan bahan yang dipakai untuk membuat bukan besi utama.

   "Aduh!"

   Justru jeritan itu terdengar dari pemilik golok yang segera menjatuhkan diri seolah mati.

   "Kalian ini benar-benar tengik.

   "Biar aku bunuh semua. Agar tak mengganggu pemandangan dan merusakkan pendengaran dengan omongan yang kacau."

   Gendhuk Tri bersiap.

   "Akhirnya ada juga yang mau berbuat baik dan berbudi luhur."

   Gerakan tangan Gendhuk Tri justru terhenti karenanya. Pandangannya bisa menemukan arah suara. Yang tadi tak diduga karena berasal dari seorang yang berkulit sangat hitam, dan terus duduk sejak tadi.

   "Ya, kamu yang mati lebih dulu."

   Gendhuk Tri menyampok dengan selendangnya.

   Ujung selendang memancarkan tenaga pukulan.

   Tubuh membungkuk hitam itu terlempar ke atas.

   Kali ini Gendhuk Tri yang bengong.

   Rasanya tak percaya apa yang dilihat.

   Bukan karena ilmunya menjadi mentah.

   Bukan karena lawan memiliki daya tangkis.

   Justru sebaliknya.

   Tubuh hitam kecil itu benar-benar terpental.

   Yang tak diduga Gendhuk Tri, tubuh itu benar-benar kecil, pendek, bagai segumpal arang.

   Kembali Gendhuk Tri mengubah kedutannya.

   Kali ini memakai tenaga menarik, sehingga tubuh kecil itu terbanting tepat di depan kakinya.

   Dan memang kecil, pendek, hitam.

   Terduduk tak bergerak.

   "Cebol kepalang, apa maumu?"

   Cebol kepalang adalah istilah untuk menyebut seorang yang kerdil, akan tetapi nampak biasa kala duduk, dan kelihatan lebih pendek kala berdiri.

   "Mauku, maulah berbuat baik padaku."

   Tenang sekali suaranya.

   "Membunuhmu?"

   "Itulah budi baik."

   "Tunggu dulu. Siapa namamu?"

   "Kamu sudah menyebut Cebol. Apa pun namaku, apa bedanya?"

   "Cebol kan sebutan, bukan nama."

   "Itulah namaku. Cebol. Bisa ditambahi hitam. Bisa diperhalus, tapi tetap Cebol."

   Di balik ucapan yang seolah penuh pemikiran itu, ternyata tak ada apa-apanya. Dari sentakan tadi, Gendhuk Tri yakin bahwa Cebol ini memang tak memiliki ilmu silat apa-apa. Juga yang lainnya.

   "Tengik.

   "Sungguh tak bisa kumengerti. Kedengarannya saja gagah. Pertemuan Jinalaya, tak tahunya hanya comberan seperti lumpur busuk yang berkumpul."

   "Kami memang comberan, memang lumpur, memang busuk.

   "Kenapa tidak dihilangkan saja agar tak mengganggu?"

   "Kalian bisa cari mati sendiri."

   "Itu mendurhaka ajaran Baginda Raja."

   "Siapa bilang?"

   Jawabannya ternyata koor bersamaan.

   "Tunggu dulu. Tunggu dulu.

   "Aku berjanji akan menyembelih kalian satu per satu, atau bersamaan. Tetapi jelaskan dulu, apa mau kalian dan apa gunanya kalian berkumpul di sini?"

   "Meneruskan ajaran Baginda Raja,"

   Jawab Cebol.

   "Jadi kalian menganggap diri kalian ini ksatria, pendekar, atau bahkan pendeta?"

   "Tidak semuanya."

   "Lalu?"

   "Kami adalah kami."

   "Kenapa memakai nama pertemuan Jinalaya segala?"

   "Gadis berbudi luhur.

   "Siapa yang mengatakan bahwa Baginda Raja yang bijak bestari hanya milik para ksatria, para senopati, para prajurit, para pendeta? Kami juga rakyat Baginda Raja yang dikasihi.

   "Zaman Baginda Raja bertakhta, kami dihargai.

   "Tidak peduli pendek atau panjang.

   "Tidak pandang cebol atau jangkung.

   "Tidak peduli ksatria atau pendeta."

   Lalu terdengar suara bersama.

   "Begitulah Baginda Raja...

   "Sumber segala cahaya...

   "Di jagat..."

   Lirik berikutnya tak bisa terdengar sempurna. Gendhuk Tri menggelengkan kepalanya.

   "Cebol Jinalaya... Baiklah kamu kupanggil begitu saja. Karena kelihatannya kamu paling waras... Apa tujuan kalian sebenarnya?"

   "Menunggu perkenan Baginda Raja memanggil kami.

   "Di alam sana lebih baik, lebih damai, lebih adil, sebab di sana ada Baginda Raja."

   "Itulah yang tidak waras."

   "Gadis baik budi, kamu sudah berjanji mau menyembelih kami. Kami menagih janji."

   Belum pernah Gendhuk Tri menjadi pusing hingga memegangi kepalanya yang pening.

   Ini aneh! Di suatu tempat bisa berkumpul begitu banyak orang.

   Semua memuja kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Berbeda dengan pemujaan para ksatria, para senopati yang kembali dari mancanegara, mereka ini asal berucap saja.

   Dan sangat berlebihan.

   Tapi bukan salah sama sekali.

   Siapa yang mengharuskan bahwa Baginda Raja hanya boleh menjadi pujaan bagi para ksatria? Siapa berhak melarang bahwa Cebol kepalang atau yang lainnya ini memuja? Bukankah mereka ini yang dulu merasakan tenang dan tenteram serta tidak dipermalukan hanya karena tubuhnya cebol dan kulitnya hitam? "Saya tidak meminta, tetapi saya mau disembelih lebih dulu,"

   Kata pemegang tombak.

   "Setelah itu saya,"

   Kata yang memegang golok.

   "Atau kita bertiga bersama-sama,"

   Kata Cebol Jinalaya.

   "Itu mudah sekali.

   "Kalau bukan aku, pasti ada yang lainnya. Prajurit Keraton akan senang sekali menangkap dan membunuh kalian."

   "Sekarang tak ada lagi.

   "Bahkan beberapa prajurit Keraton bergabung bersama kami."

   Dagu Gendhuk Tri tertarik. Memang terlihat ada beberapa wajah dan badan yang penuh dengan otot terlatih. Setidaknya lebih berisi dari yang lainnya.

   "Cebol, berapa umurmu? "Apa aku harus memanggil Paman atau Kakek Cebol?"

   "Panggil Eyang Cebol juga boleh, asal segera disembelih."

   Gendhuk Tri menemukan dirinya berada di tengah kerumunan. Alih-alih ia sendiri yang menjadi repot karenanya. Karena kalau mereka semua mendesak ingin disembelih bisa memuakkan. Kalau tadi karena murka, sekarang justru iba.

   "Aku sudah janji.

   "Tak nanti aku menarik apa yang kukatakan. Hanya saja sebelum aku membunuh kalian semua, aku akan menanyakan sesuatu kepada Cebol Jinalaya.

   "Nah, sekarang dengar baik-baik."

   Semua terdiam.

   Gendhuk Tri berniat meloncat dan segera melarikan diri.

   Seluruh bulu tubuhnya berdiri.

   Kini, seluruh perasaannya justru dibalut perasaan takut dan ngeri.

   Gendhuk Tri pernah berada dalam Gua Pintu Seribu yang ditimbuni dan ditutup.

   Dikubur hidup-hidup.

   Akan tetapi saat itu, meskipun menyaksikan mayat membusuk, Gendhuk Tri tak merasa ngeri seperti sekarang ini.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka cara yang terbaik adalah segera melarikan diri.

   "Yang masuk tak bisa keluar.

   "Yang keluar bisa masuk."

   Gendhuk Tri membelalak. Dari keremangan di ujung, muncul sosok tubuh Nyai Demang! Ya, Nyai Demang yang sangat dibenci. Lebih memuakkan lagi Nyai Demang tengah menggendong seorang lelaki tua yang merangkul kencang.

   "Nyai!"

   Nyai Demang menoleh ke arah Gendhuk Tri. Gendhuk Tri lebih merasa ngeri karena pandangan Nyai Demang seolah kosong.

   "Hei, kamu Nyai Demang... Mbakyu Demang, kan?"

   "Rasanya nama itu pernah kudengar.

   "Siapa kamu?"

   Ini maha aneh! Masa Nyai Demang menanyakan siapa Gendhuk Tri? "Di mana Kakang?"

   Manusia Delahan BARU kemudian Gendhuk Tri menyadari omongannya sendiri melantur tak keruan. Karena pada pertemuan pertama sudah langsung menanyakan di mana Upasara! "Kakang... Kakang siapa?"

   "Kakangku. Yang menggandeng Nyai di luar pagar Keraton."

   Nyai Demang tertawa.

   "Ini kakangmu.

   "Sudah jadi manusia delahan, masih juga merangkulku."

   Tubuh Gendhuk Tri lemas.

   Matanya berkunang-kunang.

   Kakinya kesemutan, hingga tanpa terasa berlutut.

   Kalau tadi merasa sangat ngeri, sekarang lebih lagi.

   Sedemikian keras hantaman menonjok kesadarannya, sehingga kedua kakinya tak mampu menyangga tubuhnya.

   Kalau bisa memilih mati, Gendhuk Tri merasa lebih lega.

   Nyai Demang menjadi seorang yang sangat menakutkan.

   Belum lama disaksikan ketika Nyai Demang masih digandeng mesra oleh Upasara Wulung.

   Kini sudah seperti orang linglung.

   Kehilangan pikiran.

   Rambutnya terurai, matanya kosong tanpa makna.

   Puncak dari kengerian yang paling melipat habis keberanian Gendhuk Tri ialah kenyataan Nyai Demang menggendong seorang lelaki tua yang merangkulnya, yang disebut manusia delahan.

   Manusia delahan, bisa berarti manusia akhirat, manusia yang telah berakhir, alias mayat.

   Berarti Nyai Demang selalu menggendong mayat yang tak bisa dilepaskan! Apalagi yang lebih mengerikan dari ini semua? "Manusia delahan ini namanya Kakek Berune.

   Katanya ahli Pukulan Pu-Ni.

   Tapi sejak kugendong tak bergerak tak bernapas.

   Tapi terus merangkul.

   "Bagus, ya?"

   Air mata Gendhuk Tri mengembeng. Beku. Setelah sedikit bisa menata perasaannya, Gendhuk Tri berbisik kepada Cebol Jinalaya.

   "Sejak kapan Mbakyu Demang berada di sini?"

   "Tak ada gunanya dihitung.

   "Ini tempat terbuka. Siapa saja bisa masuk menjadi anggota dan tak keluar lagi."

   "Peraturan siapa?"

   "Peraturan begitu.

   "Siapa keluar dari kerumunan akan didekati, agar membunuh kami lebih dulu."

   Napas Gendhuk Tri tertahan.

   "Kamulah gadis berbudi yang mau menyembelih kami tanpa diminta."

   Gendhuk Tri mengangguk perlahan. Tubuhnya masih gemetar. Kaki dan tangannya masih gemetar seperti kesemutan. Akan tetapi tekadnya mulai tumbuh.

   "Cebol, kamu akan kubunuh lebih dulu. Akan tetapi bagaimana mungkin aku bisa membunuh yang ada di sini semua? Bagaimana kalau kita jalan bersama menuju Keraton Majapahit?"

   "Di sini Baginda Raja mangkat, dari tempat ini pula kami mengikuti..."

   "Baik, baik, Cebol...

   "Rasanya hanya perlu waktu sedikit..."

   Gendhuk Tri menoleh ke arah Nyai Demang yang tetap berjalan kian-kemari sambil menggendong Kakek Berune.

   "Nyai..."

   "Aku?"

   "Ya... Mbakyu.

   "Mbakyu ingat kidungan Kitab Bumi?"

   "Kitab Bumi? Ingat."

   "Coba kidungkan."

   Gendhuk Tri menatap sambil berdebar. Mulutnya berkomat-kamit.

   "Kidungan awal, kidungan pembuka..."

   Nyai Demang mengangguk-angguk.

   Yang masuk tak bisa keluar Yang keluar tidak ada Baginda Raja lebih dari Dewa karena Dewa berguru padanya...

   Gendhuk Tri benar-benar putus asa.

   Kondisi Nyai Demang sangat gawat.

   Ingatannya sudah tak bisa dikontrol lagi.

   Dengan mengingatkan Kitab Bumi, tadinya Gendhuk Tri yakin bisa membimbing pikiran Nyai Demang.

   Karena justru Nyai Demang-lah yang dulu berhasil menumbuhkan semangat hidup Upasara.

   "Bukan itu, Nyai."

   "Memang Kitab Bumi dimulai dengan bukan, dengan tidak, tiada..."

   "Nyai..."

   "Aku?"

   "Nyai ingat Kakang Upasara Wulung?"

   "Upasara?"

   "Ya, Adimas Upasara Wulung."

   "Adimas... Adimas... Ya, ya... ada Kiai Sambartaka, Pendeta Sidateka, Kakek Berune, tubuhnya berkelojotan, aku yang menggendong, lalu aku menggendong, lalu..."

   Gendhuk Tri berusaha mendekati Nyai Demang. Akan tetapi seluruh yang hadir juga bergerak.

   "Begini saja,"

   Kata Gendhuk Tri mendadak karena mendapat bersitan pikiran.

   "Kalian meneruskan pujian kebesaran Baginda Raja... Ayo kita mulai lagi..."

   Gendhuk Tri membujuk Cebol Jinalaya.

   "Paman Demeng... coba Paman mulai..."

   Gendhuk Tri memohon dengan menyebut Paman Demeng, atau Paman Hitam, tanpa menyebut Cebol.

   Begitu Cebol Jinalaya menuju ke bagian tengah, semua perhatian tertuju padanya.

   Napas Gendhuk Tri berangsur tenang.

   Perlahan ia mulai menyurutkan diri menuju ke bagian tepi.

   Agar bisa meloloskan diri.

   Setidaknya ini yang paling selamat.

   Satu-satunya yang mengganjal hatinya ialah bahwa ia tak bisa mengajak Nyai Demang.

   Namun dalam hatinya, Gendhuk Tri berjanji akan segera kembali untuk membawanya.

   Biar bagaimanapun benci dan dendamnya, Gendhuk Tri tetap merasa tak tega.

   Ternyata pertemuan Jinalaya ini seperti adonan lumpur yang bisa dibentuk semaunya.

   Karena kini semua memandang dan mendengarkan omongan pujian Cebol Jinalaya.

   Yang segera disusul yang lainnya.

   Tanpa memedulikan betul di mana dan bagaimana janji Gendhuk Tri.

   Sampai di bagian pinggir, Gendhuk Tri bersiap meloncat pergi.

   Akan tetapi Cebol Jinalaya sudah berdiri di sampingnya.

   Tak mencapai pinggang Gendhuk Tri, akan tetapi suaranya begitu jelas di telinga Gendhuk Tri.

   "Kamu mau tinggalkan kami, gadis berbudi luhur?"

   "Membunuh orang lain tanpa sebab, bukan ajaran Baginda Raja."

   "Ke mana kamu mau pergi?"

   "Paman Demeng boleh ikut kalau mau."

   Tanpa menunggu persetujuan, Gendhuk Tri mencekal tangan Cebol Jinalaya.

   Begitu menjejakkan kaki, tubuhnya melayang dengan cepat.

   Bebas sudah.

   Bahkan tak ada yang menduga.

   Hanya saja begitu kakinya hinggap di tanah, terdengar suara yang bernada gembira.

   "Bagus sekali.

   "Itulah gerakan air mengikuti angin."

   Gendhuk Tri melepaskan cekalan Cebol Jinalaya. Langsung membuat gerakan bersiaga. Empat helai selendangnya bergerak naik terjepit jari-jarinya.

   "Tidak. Tidak terlalu tepat.

   "Gerakan menjepit tidak selalu telunjuk dan ibu jari. Semua jari bisa digunakan. Jari tengah dan kelingking pun bisa. Sayang saya tidak memiliki lagi."

   Halayudha memperlihatkan tangan kanannya. Yang keempat jarinya kutung.

   "Aku sudah mencarimu, Gendhuk Tri. Dugaanku tak keliru. Kamu pasti datang ke pertemuan manusia cacat dan sakit ini."

   "Ayolah kita jalan sama-sama."

   Halayudha membusungkan dadanya.

   "Kini saatnya kita kuasai jagat. Ayolah..."

   Tangan Halayudha terulur maju.

   Cepat, tetapi seolah tanpa gerakan.

   Gendhuk Tri tak menduga bahwa Halayudha berusaha menariknya.

   Cepat Gendhuk Tri membuang tubuhnya, akan tetapi tangan kiri Halayudha menangkap pundaknya.

   Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya.

   Salah satu jurus andalan yang selalu bisa menyesatkan lawan.

   Tapi justru Halayudha membungkuk, dan menangkap kaki Gendhuk Tri.

   "Air selalu ke bawah, mencari tempat yang kosong.

   "Tepat sekali. Begitu tersentuh pundak, kamu menjatuhkan diri. Hebat. Dugaanku hebat. Kamulah pewaris ilmu Tirta Parwa. Air Mengalir dari Sumbernya GENDHUK TRI mengetahui bahwa Halayudha termasuk tokoh yang luar biasa. Bukan hanya karena kelicikan dan keculasannya yang mampu mengubah total penampilannya, melainkan juga karena ilmu silat yang dikuasai beraneka ragam. Meskipun demikian, Gendhuk Tri juga bisa menilai dirinya bukan contoh yang bisa ditekuk habis dalam sekali gebrak. Kalaupun tingkat ilmu mereka berbeda, masih diperlukan waktu untuk mengalahkan. Akan tetapi kenyataannya justru dalam satu gerakan saja kedua kaki Gendhuk Tri dapat ditangkap. Tanpa bisa berkutik. Karena tepat di pergelangan kaki dan menekan urat nadi. Sehingga dengan sekali tekan, akan putus semuanya. Setidaknya Gendhuk Tri akan menderita cacat seumur hidupnya. Dalam keadaan terdesak, Gendhuk Tri bisa menjadi nekat. Akan tetapi, sekarang ini akal sehatnya bisa bekerja. Apa pun yang dilakukan, sia-sia. Tak mengubah perlawanan. Anehnya, justru pada saat kemenangan di tangan, Halayudha melepaskan begitu saja. Dan berdiri tegak sambil tersenyum. Sebat luar biasa Gendhuk Tri menyapu dengan kedua kakinya. Kedua kakinya terjulur di antara kaki Halayudha, dan dengan satu sentakan kuat memotong dari dalam. Halayudha berjingkrakan.

   "Luar biasa! "Aku yang luar biasa. Itulah tenaga air. Mengalir dari sela-sela. Begitu kekuatan air yang sesungguhnya. Menerobos dari sisi kecil, mengalir, masuk dan menenggelamkan yang bisa dimasuki, atau menghancurkan jalan masuknya sehingga semakin melebar."

   Gendhuk Tri tidak memedulikan ocehan Halayudha.

   Sebat gerakannya, seakan menyentuh lutut bagian dalam Halayudha.

   Hanya saja beberapa kejap sebelum menyentuh, Halayudha sudah meloncat ke atas, dengan masih berjingkrakan.

   Gendhuk Tri mempergunakan kesempatan untuk meloncat ke atas, dengan kedua tangan terulur ke depan, sementara selendang warna-warni menyabet ke arah tenggorokan dan kedua kakinya pun mencegat arah mundur.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dicecar dengan serangan gencar, Halayudha makin liar gerakannya berjingkrakan.

   "Bagus, bagus.

   "Aku yang bagus.

   "Ayo teruskan. Kamu mau menyerang bagian yang mana? Kelihatannya sekilas mataku akan kau cungkil dengan tangan, leherku akan kau libat dengan selendang. Tetapi sebenarnya yang paling berbahaya adalah gerakan kaki.

   "Serangan yang berasal dari bawah itulah sifat air.

   "Bagus.

   "Bagus, aku bisa mengerti.

   "Lihat, aku akan bisa menghindarimu."

   Gendhuk Tri merasa makin jengkel karena dipermainkan.

   Ia mengerahkan seluruh kemampuannya, akan tetapi dengan cara berjingkrakan, enteng sekali Halayudha bergerak.

   Setiap kali Gendhuk Tri mengejar, Halayudha bisa menghindar dengan cara leluasa.

   Sambil tertawa-tawa dan berkomentar.

   Makin cepat Gendhuk Tri mengejar, makin cepat pula Halayudha berloncatan menghindar.

   "Kalau air datang, kamu tak bisa melawan. Sebab tenaga air makin lama makin kuat. Jangan ikut arus, kalau tak ingin hanyut. Jalan satu-satunya adalah dengan meloncat. Tenaga air tak akan menghantam telak.

   "Bukan begitu?"

   Gendhuk Tri terkesima. Semua ilmunya ternyata bisa terbaca secara sempurna. Seumpama seorang yang tengah membaca buku.

   "Ayo, serang lagi."

   Gendhuk Tri menggeleng.

   "Sejak kapan air suci perguruan kami kamu kotori?"

   Terang Gendhuk Tri hanya main gertak saja. Ia sendiri tak mengetahui asal-usul ilmu silatnya. Juga tak mengenal perguruannya secara resmi. Karena hanya belajar dari Jagaddhita, yang mendapatkan ilmunya dari Mpu Raganata.

   "Ha... ha, bukankah kamu yang mencuri Tirta Parwa yang kuwarisi?"

   Halayudha bisa dengan cepat membalikkan persoalan.

   Dan bukan hanya omongan kosong.

   Kalau dilihat dari penguasaan, jelas Halayudha jauh lebih menguasai dibandingkan dengan Gendhuk Tri.

   Sementara itu kerumunan yang menonton pertarungan masih memperhatikan, seolah menunggu kesempatan untuk dilenyapkan.

   Gendhuk Tri termangu.

   Sesungguhnya ia tak begitu mengerti apa nama ilmu silatnya dan apakah mempunyai kitab pusaka yang disebut Tirta Parwa, atau Kitab Air.

   Rasa ingin tahunya jadi melambung tinggi.

   "Air selalu mengalir dari sumbernya. Mana mungkin manusia busuk macam kamu menjadi pewaris Tirta Parwa? Orang seperti kamu lebih pantas menjadi Tumbal Tirta Parwa."

   Gendhuk Tri menjawab angin-anginan saja. Karena kalau disebut Kitab Air, ingatannya adalah Kitab Bumi. Kitab itu mempunyai bagian yang disebut Kitab Penolak Bumi. Jadi kalau ada Kitab Air, tentunya ada pula bagian Kitab Penolak Air.

   "Jangan-jangan ini bagian dari Kitab Penolak Air. Air... Kalau benar begitu, berarti Pendeta Sidateka memang sengaja memutar balik! Mana mungkin isi Tumbal ditulis lebih dulu..."

   "Apa yang kaukatakan?"

   "Kamu benar, anak kecil.

   "Aku tak bisa diakali. Marilah kita kembali ke Keraton. Aku akan memeliharamu. Untuk melihat ilmu silatmu sejauh mana."

   Berada dalam tawanan Halayudha, Gendhuk Tri tak akan bisa bernapas dengan bebas. Ia mengetahui bahwa jago di antara para jago seperti Naga Nareswara atau Kama Kangkam pun bisa diisap habis-habisan ilmunya.

   "Untuk apa aku ikut kamu? "Aku lebih suka mati."

   "Tak akan kubiarkan..."

   Halayudha mendengus perlahan. Kedua tangannya bergerak seolah menepuk air, dan tubuhnya berputar mengelilingi Gendhuk Tri, yang tiba-tiba merasa terkepung, terseret, mengikuti ke arah mana tubuh Halayudha berputar.

   "Air lebih mudah membawa air yang lain. Pusaran arus lebih mudah menggandeng air tenang."

   Masih dengan berhaha-hehe, Halayudha mampu menjinakkan Gendhuk Tri yang benar-benar tak bisa melawan.

   Sehingga dalam satu putaran berikutnya, kedua tangannya sudah terikat dengan selendangnya sendiri! Gendhuk Tri tak mampu mengadakan perlawanan.

   Benar-benar seperti terseret dalam arus, dan terjerumus ke dalam pusaran.

   Hebatnya lagi, Halayudha dapat melepaskan ikatan itu dan sebelum Gendhuk Tri bisa meloloskan diri, ikatan itu sudah erat lagi.

   Seperti main-main.

   "Beginilah cara memainkan tenaga air. Jadilah pusaran, bukan gelombang. Tariklah sesuai dengan tenaga putarmu, jangan sebaliknya.

   "Kalau kamu mau membaca baik-baik, kamu tak akan seceroboh ini."

   Pikiran Gendhuk Tri bermuara pada kesimpulan, bahwa Kitab Air itu benar-benar ada, dan Halayudha telah atau tengah mempelajari.

   "Satu guru satu ilmu sebaiknya tidak saling mengganggu.

   "Anak kecil nakal, kamu masih tak mau mengakuiku?"

   "Sepanjang hidupku, tak pernah ada nama lain yang mempelajari Kitab Air yang tak kukenal. Makanya kamu jangan ngaco dan sembarangan buka mulut."

   "Jagaddhita ngerti apa?"

   "Eyang guruku tak akan sembarangan mengangkat murid."

   "Kamu kira Mpu Raganata yang loyo itu bisa menciptakan ilmu silat yang begini dahsyat? Kamu mimpi apa selama ini?"

   "Kalau begitu siapa yang mengajarimu?"

   Inilah pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Halayudha. Sebab memang itu yang ingin diketahui. Jelas bahwa Gendhuk Tri murid Jagaddhita, dan Jagaddhita murid Mpu Raganata. Akan tetapi dasar-dasar ilmu yang dipelajari sangat berbeda.

   "Katakan kalau kamu tidak mencuri."

   Halayudha tersenyum.

   "Apa perlunya menyebut nama? Kalau aku sudah menguasai, apa bedanya ini ajaran cacing atau kucing?"

   Hanya Halayudha yang menganggap rendah seorang guru! Kalimat yang sangat kurang ajar dan tidak mengenal sopan santun sedikit pun ini membuat Nyai Demang berteriak.

   "Mana ada manusia yang berhati iblis dan berdarah setan seperti kunyuk satu ini? "Sudah jelas penciptanya tokoh yang paling suci, wanita yang paling bijak di seluruh jagat, masih juga disamakan cacing atau kucing? "Sungguh ucapanmu kelewat batas."

   Kali ini Halayudha yang tersentak kaget. Nyai Demang yang sudah mirip orang kehilangan akal sehatnya, justru bisa bicara dengan urut. Aneh.

   "Dari mana kamu tahu?"

   Bumi Itu Tanah dan Tanah Itu Air NYAI DEMANG tertawa ngakak. Badannya bergoyang-goyang sehingga Kakek Berune yang berada dalam gendongannya seperti mau jatuh.

   "Dari mana aku tahu? "Bagaimana aku tidak tahu, kalau itu diciptakan untukku?"

   Di telinga Gendhuk Tri, ucapan Nyai Demang terdengar ngawur.

   Akan tetapi Halayudha melihat dari sisi yang lain.

   Sejak tadi Nyai Demang tak ikut bicara sepatah kata pun yang agak urut.

   Lalu ketika disinggung mengenai Tirta Parwa menjadi "waras".

   Berarti ada sesuatu yang bisa menunjukkan arah yang sama.

   Berarti ada hubungan antara Tirta Parwa dan bawah sadar atau suara batin Nyai Demang.

   "Ya, ya, aku lupa Kitab Air diciptakan untuk kamu.

   "Jadi siapa kamu sebenarnya?"

   "Astaga. Kamu pura-pura tak mengenai diriku? Apakah Bejujag itu sudah demikian jahat mencuci otakmu?"

   "Kalau begitu siapa aku?"

   "Batok tengkorakmu pun kukenali, apalagi tubuhmu. Meskipun suaramu sangat jelek sekarang ini."

   Meskipun tidak tahu persis hubungannya, Gendhuk Tri juga bisa meraba-raba.

   Bahwa yang bicara sekarang ini bukan jalan pikiran Nyai Demang.

   Melainkan suara atau jalan pikiran orang yang digendong, yang sudah menjadi mayat, yang disebut sebagai Eyang Berune! Sangat masuk akal.

   Dalam keadaan seperti sekarang ini, Nyai Demang hanyalah tubuhnya saja.

   Sedangkan detak jantung dan naluri yang dimiliki adalah orang yang digendongnya.

   Hal seperti ini bukan sesuatu yang luar biasa.

   Gendhuk Tri juga pernah mengalami dalam hidupnya.

   Ia pernah kemasukan racun yang luar biasa ganasnya.

   Sehingga tak ada manusia atau binatang yang mau didekati.

   Sejak itu Gendhuk Tri merasa menderita lahir dan batin.

   Baru kemudian hawa racun yang mengalir dalam darahnya tersapu bersih sewaktu Upasara Wulung meminjamkan tenaganya.

   Menguras tenaga dalamnya untuk disalurkan ke dalam tubuh Gendhuk Tri.

   Apa yang dialami Nyai Demang kurang-lebihnya sama.

   Hanya lebih seram.

   Kakek Berune yang berada dalam gendongan Nyai Demang termasuk tokoh sakti, karena nyatanya masih bisa lengket terus.

   Barangkali saja saat-saat terakhir, Kakek Berune mencoba memindahkan dirinya ke dalam tubuh Nyai Demang! ' Juga bukan sesuatu yang mustahil.

   Gendhuk Tri pernah mendengar ilmu memindahkan nyawa.

   Yang termasuk dalam ilmu hitam, yang pantang dipelajari sebagai ilmu.

   Ilmu pemindahan nyawa ini biasanya terjadi dari orang yang hidup ke dalam tubuh orang yang sudah mati.

   Sehingga orang yang sudah mati bisa dipaksa berbicara atau bergerak, sesuai dengan kehendak yang memindahkan nyawa.

   Pada penganut ilmu hitam, biasanya dipakai sebagai senjata tidak langsung.

   Karena mayat-mayat ini bisa menerobos masuk ke daerah lawan dengan meloncat-loncat, dan kalaupun terkena senjata lawan tak akan mengaduh.

   Dan yang jelas, yang menggerakkan mayat tak terluka.

   Bedanya, Nyai Demang bukan memindahkan tenaga dan kekuatannya ke dalam mayat Kakek Berune, melainkan sebaliknya.

   "Jadi kamu mengenaliku?"

   "Tentu saja. Aku sudah membaca dan mempelajari Tirta Parwa yang tak kalah hebatnya dengan Pukulan Pu-Ni yang kumiliki. Jauh di atas Tepukan Satu Tangan.

   "Akan tetapi kenapa justru Kitab Penolak Bumi yang dipakai? "Kenapa?"

   Halayudha tak tahu ke mana arah pertanyaan itu sehingga ia terdiam.

   "Karena kamu masih lebih mencintai Bejujag itu? "Ayo jawab saja!"

   Wajah Nyai Demang menyeringai.

   Mengerikan.

   Dalam hati Halayudha menggigil.

   Hebat juga pengaruh yang menguasai Nyai Demang ini, pikirnya.

   Apa pun alasan atau latar belakang kejadiannya, agaknya tenaga lain Nyai Demang mengenali Kitab Air.

   Kalau aku bisa memanfaatkan, pasti jadi luar biasa.

   Berpikir begitu, Halayudha menghadapi Nyai Demang dengan pemusatan pikiran penuh.

   "Terserah apa yang kamu katakan."

   "Kitab Air lebih dari Kitab Bumi. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan? Ayo ulangi, biar kamu ingat."

   Gendhuk Tri menjadi panas-dingin.

   Kalau benar Nyai Demang menceritakan semuanya, alamat Halayudha bakal makin gila dan menguasai.

   Akan tetapi ia sendiri tak bisa mencegah atau berbuat sesuatu.

   Halayudha menghela napas.

   Lalu menutup kedua matanya.

   Bibirnya berkomat-kamit, perlahan.

   Terdengar kidungan yang halus.

   Bumi itu tanah dan tanah itu air air lebih dari bumi, lebih dari tanah sebab air ada di semua bumi ada di suatu tempat hanya kalau air minggir, bumi terlihat jadi air lebih hidup dan menggeliat bumi itu tanah dan tanah itu air air sama dengan bumi tanpa tanah, air hanya air tanpa air, tanah bukan tanah bumi milik tanah tanah milik air tanah dan air milik yang terakhir...

   Air mata Nyai Demang menetes.

   Duka menggores.

   "Jadi kamu masih ingin selalu bersatu dengan Bejujag?"

   Tak ada jawaban, Tadi Halayudha hanya menghafal kidungan yang kira-kira bunyi dan isinya seperti yang diminta Nyai Demang. Tanpa menyadari bahwa ternyata jawabannya tepat sekali.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tunjukkan yang lainnya, agar aku yakin."

   "Akhirnya kamu mau mengakui aku.

   "Dengar baik-baik. Dalam kidungan yang kau kirimkan padaku tentang Gita Tirta atau Nyanyian Air, dengan jelas kaukatakan..."

   Mendadak suara Gendhuk Tri melengking tinggi.

   "Jangan mengatakan sembarangan. Harusnya kepadaku, karena aku murid yang resmi."

   Nyai Demang melengak.

   Juga Halayudha yang bisa membaca kemauan Gendhuk Tri agar Nyai Demang tidak menunjukkan bagian-bagian yang penting.

   Darah Halayudha menggelegak.

   Dengan sekali tekuk, Gendhuk Tri bisa dibekuk.

   Akan tetapi Halayudha masih ragu.

   Apakah ini membuat Nyai Demang yang kerasukan orang lain menjadi murka atau tidak.

   Kalau murka, dirinya bisa kehilangan kesempatan emas.

   Kehilangan Gendhuk Tri maupun sukma yang memaksa berada dalam tubuh Nyai Demang.

   Dua-duanya merupakan kunci pembuka Kitab Air.

   Hanya saja telinganya sempat mendengar mengenai Nyanyian Air.

   Ah, di bagian mana yang kidungannya berbunyi Gita Tirta? Rasanya semua isi Kitab Air sudah dipelajari.

   Sudah dibaca ulang dan ia hafal dengan baik.

   Akan tetapi, tak ada yang merujuk ke arah Gita Tirta.

   Ini bisa berarti bahwa Pendeta Sidateka tetap merahasiakan satu bagian yang penting.

   Yaitu kidungan Gita Tirta.

   Kalau tidak, pasti ia sudah mengetahui.

   "Sejak tadi aku yang memainkan beberapa jurus ajaran Kitab Air. Masa kamu tidak merasakan. Makanya hanya kepadakulah kamu bercerita."

   "Kamu siapa?"

   "Aku Gendhuk Tri, hubungan kita sama dekatnya dengan Kakang Upasara. Yang belum lama ini menggandeng Mbakyu. Masa tidak ingat nama Upasara Wulung?"

   Nyai Demang bergoyang-goyang tubuhnya.

   Lututnya tertekuk.

   Gendhuk Tri menyadari kesalahan terbesar.

   Secara tidak sadar ia menjawab seolah berbicara dengan Nyai Demang.

   Padahal yang menguasai Nyai Demang adalah Kakek Berune! Tidak sepenuhnya, karena Nyai Demang masih bisa tersentuh oleh ingatan, ketika nama Upasara Wulung disebutkan.

   Tapi justru dua jalan pikiran dari dua orang yang berbeda membuat tubuh Nyai Demang tak kuat.

   Ini bahaya! Kidung Penolak Air HALAYUDHA mengetahui bahwa Gendhuk Tri sangat cerdas.

   Bisa dengan cepat memotong omongan Nyai Demang.

   Sehingga penjelasan mengenai Kitab Air jadi terhenti.

   "Gendhuk kecil, omonganmu yang mengacau bisa membahayakan Nyai Demang. Kenapa kamu ingin melenyapkan dengan cara licik seperti itu?"

   "Siapa yang licik? Kamu atau aku?"

   Halayudha meringis.

   "Semua orang tahu aku licik, licin, culas, jelek, nista, bukan ksatria. Kuakui. Akan tetapi aku tak pernah berpura-pura baik dan berjiwa ksatria seperti kamu."

   "Kamu yang ngaco. Mana mungkin aku berniat jahat kepada Nyai Demang. Apa alasanku?"

   "Apa alasanku...?"

   Halayudha menirukan nada bicara Gendhuk Tri dengan nada lebih tinggi.

   "Hanya karena ingin merangkul Upasara sendirian, kamu menyingkirkan Nyai Demang. Sungguh keji hati wanita. Sekecil kamu sudah busuk dan hina."

   Bibir Gendhuk Tri gemetar.

   Menahan gusar yang kelewat takar.

   Darahnya mendidih, terbakar.

   Kalimat Halayudha berbisa luar biasa.

   Dengan caranya sendiri, Halayudha bisa menangkap perasaan Gendhuk Tri terhadap Upasara.

   Dari ucapan-ucapan seketika.

   Dengan cara itu, Halayudha ganti memojokkan Gendhuk Tri.

   Memutar balik kenyataan adalah keunggulan Halayudha.

   Dalam hal begini, Gendhuk Tri yang bisa bicara menyakitkan pun masih tetap di bawah tekukan lidah Halayudha.

   "Kamu benar-benar biadab!"

   "Semua yang ada di sini menjadi saksi."

   Halayudha berjongkok menghaturkan sembah ke arah Nyai Demang.

   "Saya yang rendah menghaturkan sembah kepada Kakek Sakti. Mohon kiranya diperkenankan mengetahui nama besar Kakek Sakti yang tidak saya ketahui."

   "Apa hubunganmu dengan Dodot Bintulu?"

   Mendadak Nyai Demang bangkit lagi. Berdiri dengan perkasa. Pandangannya keras. Jelas bahwa kini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang bukan dirinya lagi.

   "Jelek-jelek begini, saya pernah berguru pada Paman Sepuh Dodot Bintulu. Namun saya terlalu bodoh..."

   "Aku mendengar Paman Sepuh punya dua murid jahat. Kamu yang pertama atau kedua?"

   Seketika Halayudha seperti terkena serangan telak. Seketika saja. Bukan Halayudha kalau tak bisa mempertahankan diri dengan cemerlang.

   "Maaf, Kakek Sakti, saya hanya murid kesekian yang tak diperhitungkan. Saya hanya sebentar diajari, dan Paman Sepuh, guru kami yang mulia, takut dijahati muridnya sehingga saya tak diakui secara resmi.

   "Hanya karena tadi disebut-sebut dan ditanyakan, saya terpaksa mengaku-aku.

   "Maafkan hamba...."

   "Hmmm... Ilmumu tak begitu jelek.

   "Aku teman main Dodot Bintulu, yang nasibnya sama-sama buruknya. Pernah dengar Pukulan Pu-Ni?"

   Biarpun tak pernah mendengar, Halayudha menyembah hormat.

   "Paman Sepuh, guru yang mulia, pernah menyebut-nyebut kesaktian pukulan yang mementahkan segala pukulan. Sungguh nasib baik dan sukma guru yang mulia yang mempertemukan."

   Nyai Demang mengangguk-angguk.

   "Kenapa sebagai murid Dodot Bintulu kamu mempelajari ilmu Air?"

   Ilmu Air? Pertanyaan itu tergema kembali dalam dinding hati Halayudha.

   "Hamba mendapat pesan terakhir, bahwa Tirta Parwa banyak disalahgunakan oleh orang-orang culas yang tak berhak. Kalau bisa hamba disuruh membersihkan."

   "Itu baik.

   "Itu mulia.

   "Kalau begitu kamu sudah mempelajari?"

   "Serba sedikit, Kakek Sakti Pu-Ni...."

   "Kalau serba sedikit, kenapa kamu tak pernah mendengar Gita Tirta? Ini sungguh aneh... Kidungan itu sampai kepadaku, tentunya Dodot Bintulu, Raganata, Bejujag, sudah membaca dengan baik."

   "Mohon Kakek Sakti Pu-Ni memberi penjelasan. Demi nama baik pencipta Kitab Air...."

   Halayudha setengah main tebak saja. Namun dengan alasan yang kuat. Ia sadar bahwa "Kakek Sakti Pu-Ni"

   Mempunyai hubungan yang erat dengan pencipta Tirta Parwa, yang seangkatan dengan Mpu Raganata, Paman Sepuh, dan Eyang Sepuh.

   Betul-betul tingkat pepunden, tokoh pujaan yang luar biasa.

   Dengan mengatas namakan pencipta Kitab Air, Halayudha ingin mendekatkan diri.

   Dan berhasil.

   Karena Nyai Demang mengangguk-angguk.

   "Ah, bisa jadi gurumu juga tak memahami Gita Tirta. Juga yang lain. Nyatanya bocah kecil yang mengaku didikan Raganata juga tak becus.

   "Ketahuilah, orang-orang bodoh, akulah Kebo Berune, yang sekarang kalian panggil dengan sebutan Eyang Berune, pencipta Pukulan Pu-Ni yang tiada tandingannya di kolong langit ini.

   "Aku mengerti semua ciptaan, semua ilmu kanuragan yang dianggap paling mustahil di tanah Jawa ini.

   "Kalian harus tahu bahwa ilmu yang terbaik, ilmu yang paling sakti, bukanlah yang dituliskan dalam Tumbal Bantala Parwa. Kitab itu karya curian dari Gita Tirta.

   "Sesungguhnya di situ kidungan pertama kali muncul. Itulah ilmu pamungkas, ilmu yang terakhir.

   "Bejujag hanya mengambil alih saja.

   "Dengarkan kidungan lengkapnya, sehingga semua bisa membandingkan mana yang asli mana yang palsu. Dari semua air, dari semua sumber selalu ada akhir, selalu ada penghabisan air melenyap, tinggal senyap air menguap, tinggal senyap bumi yang sangar, bumi yang ganas ada tumbalnya bisa dicipta negara yang panas, negara yang ganas ada tumbalnya bisa ditata air yang mengalir lenyap dari akhir berarti nyanyian Nyanyian Air, Gita Tirta Gita Tirta, tanpa jurus tanpa tarikan napas tanpa kehendak air bisa dihapus, tanpa bekas itulah Nyanyian Air yang terus terdengar selama masih bisa mendengar terasa selama masih bisa merasa...

   "Cukup!"

   Gendhuk Tri berteriak dengan lengkingan tinggi.

   Tubuhnya melayang ke udara.

   Coba menyetop Nyai Demang.

   Halayudha bergerak sama cepatnya! Mengerti arah gerakan Gendhuk Tri, Halayudha menaikkan tangan kiri dengan tekukan.

   Udara yang digeletarkan menahan laju tubuh Gendhuk Tri.

   Yang mendadak berbalik dan menendang Halayudha yang masih duduk bersila.

   Tenang sekali Halayudha menggeser kepalanya, membiarkan sapuan kaki Gendhuk Tri berdesis beberapa jari di depan hidungnya.

   Ketika Gendhuk Tri mengulang lagi, Halayudha cepat menarik selendang Gendhuk Tri dan tubuhnya sendiri melayang ke atas, ke arah Nyai Demang! "Jangan ganggu Guru Sakti Eyang Berune!"

   Dengan cara begitu, seolah Halayudha ingin menunjukkan bahwa ia melindungi diri Kakek Berune.

   Sesuatu yang biasa dilakukan.

   Padahal niatan Halayudha hanya satu.

   Mendapatkan Kakek Berune! Yang pikirannya berada dalam tubuh Nyai Demang.

   Sebab di sinilah kunci Tirta Parwa yang sesungguhnya.

   Bukan pada diri Gendhuk Tri! Dalam gerakan itu Halayudha melindungi Nyai Demang.

   Tangan kiri berjaga atas serangan Gendhuk Tri, tangan kanan mendorong hormat tubuh Nyai Demang.

   Itu bahaya! Tenaga dalam Nyai Demang mengarus ke tubuh Halayudha.

   "Aduh!"

   Pekiknya nyaring.

   Pembunuhan Habis-habisan HALAYUDHA tidak menyangka sama sekali bahwa dalam tubuh Nyai Demang tersimpan tenaga dari Kakek Berune yang masih bergolak.

   Begitu tersentuh tubuh lain, secara otomatis tenaga itu tersalur! Dengan sifat menghancurkan! Sesungguhnya itulah yang dirasakan oleh Nyai Demang sehingga ia tak bisa menguasai diri.

   Merasa tangan kanannya kesemutan, Halayudha membuang tenaga yang menyerang tubuhnya ke sembarang tempat.

   Sudah barang tentu yang menjadi sasaran orang-orang yang ada di sekitarnya.

   Para pengikut Jinalaya tak sempat mengeluarkan teriakan mengaduh.

   Sekali berkelojotan, langsung mati! Dalam sekejap, selusin orang meninggal seketika.

   Termasuk si pemegang golok, tombak, gada, yang begitu tersentuh langsung kejang.

   Cebol Jinalaya yang ingin maju, segera ditarik oleh Gendhuk Tri.

   Rasanya Gendhuk Tri tetap tak rela kalau cebol kepalang ini meninggal karena ulah Halayudha, walaupun sebenarnya tujuan mereka memang ingin mati.

   Ingin menyusul dan tetap mengabdi Baginda Raja Sri Kertanegara! Halayudha masih terus berputar-putar.

   Setiap kali tangan kanannya disentuhkan, ada semacam tenaga yang menerobos ke luar.

   Meskipun ini menyebabkan kematian pada orang lain, akan tetapi tenaga yang membuat tangannya kesemutan makin lama makin berkurang.

   Sehingga ketika semua yang hadir, kecuali Gendhuk Tri dan Cebol Jinalaya serta pengikutnya, terkena sentuhannya, rasa nyeri itu berkurang banyak.

   Betul-betul pukulan yang luar biasa.

   Sisa tenaga yang mengeram di tangan kanannya bisa untuk membunuh sekian banyak orang! Apalagi kalau dipukul langsung.

   Bisa-bisa manusia menjadi bubuk batu! Hancur lebur! Betul-betul pukulan sakti! Ini ilmu yang betul-betul sakti mandraguna, hebat kelewat-lewat.

   Halayudha sendiri masih ternganga karena tak percaya.

   Begitu banyak ilmu yang dipelajari, ditekuni, juga berasal dari tokoh-tokoh kelas utama dalam jagat ini, akan tetapi Pukulan Pu-Ni tetap diakui sebagai pukulan paling ganas dan telengas.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bahwa pukulan itu ciptaan Kakek Sakti Berune, tak disangsikan lagi.

   Akan tetapi bahwa hasilnya luar biasa, didukung oleh beberapa unsur yang lain.

   Tenaga dalam Halayudha sendiri cukup kuat.

   Sehingga pergolakan di tangan kanan setiap kali keluar, juga didorong oleh tenaga dalamnya sendiri.

   Bukan semata-mata tenaga mengeram dari Pukulan Pu-Ni.

   Lagi pula yang menjadi sasaran boleh dikatakan bukan jago silat yang sebenarnya.

   Namun itu semua tak mengurangi ketakjuban dan kecemasan Gendhuk Tri.

   Ketakjuban karena Gendhuk Tri tahu bahwa itu bukan tenaga Nyai Demang.

   Kekuatan Nyai Demang sangat diketahui batas-batasnya.

   Kecemasan karena kini Nyai Demang berada dalam pengaruh tenaga Eyang Berune.

   Entah tokoh mana lagi, akan tetapi yang jelas sejajar dengan nama-nama kampiun yang tadi disebutkan.

   Makin cemas lagi kalau mengingat bahwa sekarang ini Halayudha bisa menemukan, dan bukan tidak mungkin merangkul, Nyai Demang untuk mengisap habis ilmunya.

   Kalau itu terjadi, bumi tak tersisa lagi.

   Akan diinjak sampai rata.

   Yang lebih mencemaskan lagi, Gendhuk Tri sadar tak bisa berbuat suatu apa.

   Ilmunya, seperti telah terbaca jelas dari gerakan maupun tarikan napas.

   Yang dengan mudah bisa ditekuk habis oleh Halayudha.

   "Halayudha busuk! "Bagaimana kamu mengaku murid Paman Sepuh tapi begitu jahat? Bagaimana kamu mau menjaga Tirta Parwa kalau sifat jahat dan hinamu begitu kelewatan? "Kenapa sedikit kesakitan saja tanganmu, semua orang kamu bunuh?"

   Halayudha berdiri kaku.

   Ragu.

   Apakah ia harus menggempur Gendhuk Tri, yang bisa dengan mudah dilakukan, atau membiarkan saja.

   Kalau ia menghajar Gendhuk Tri, bisa saja Nyai Demang muncul kembali kesadarannya.

   Dan ini merepotkan.

   Kalau dibiarkan saja, ia bisa menganggap sepi, dan kemudian meninggalkan begitu saja.

   Asal sudah berhasil mendapatkan Nyai Demang.

   Setidaknya kidungan lengkap Gita Tirta yang disembunyikan Pendeta Sidateka terkutuk itu! Yang akan segera disikat kalau sudah kembali nanti! Dengan meminjam tangan Baginda.

   Dengan melaporkan bahwa secara sengaja Pendeta Sidateka menyembunyikan sebagian isi kitab yang dituliskan di kain sutra.

   Padahal itu atas permintaan Baginda! Dalam keadaan termangu pun, Halayudha masih bisa memikirkan setidaknya tiga langkah di muka.

   "Kamu benar-benar busuk, Halayudha.

   "Tak pantas mendengar Gita Tirta."

   "Jangan bawa-bawa nama itu. Kamu murid pencuri busuk,"

   Jawab Halayudha dengan lantang.

   "Kamu mengaku murid Jagaddhita. Jagaddhita mengaku murid Mpu Raganata. Ternyata itu ilmu curian belaka.

   "Cacian maling busuk tak terlalu didengar."

   Nyai Demang yang masih menggendong Kebo Berune jadi memiringkan kepalanya ke arah Halayudha dan Gendhuk Tri berganti-ganti.

   Seolah mau mencari kepastian siapa yang harus lebih didengar.

   Keadaan itu juga disadari oleh Gendhuk Tri.

   Maupun Halayudha.

   Saat ini jalan yang terbaik adalah mempengaruhi Nyai Demang.

   Siapa yang menguasai, dengan sendirinya bisa menjatuhkan lawan.

   Dan untuk bisa menguasai Nyai Demang, haruslah dengan kalimat-kalimat yang bisa dipahami oleh Kakek Berune.

   Ini juga susah.

   Karena baik Halayudha maupun Gendhuk Tri tak mengerti siapa sesungguhnya Kakek Berune.

   Selain yang tadi dibicarakan.

   Takut salah bicara, Gendhuk Tri berdiam diri.

   Juga Halayudha.

   Keadaan sunyi.

   Di suatu tempat mayat-mayat bergeletakan, yang masih hidup berdiri dan berdiam diri.

   Nyai Demang menghela napas.

   "Kacau... Kalian semua kacau.

   "Kalian semua pencuri busuk. Aku harus melenyapkan kalian berdua. Atau siapa saja."

   Halayudha menyembah.

   "Kalau Kakek Sakti Berune mau mencabut nyawa hamba, itu adalah kehormatan bagi hamba. Tak nanti hamba yang bersalah ini berani menggeser kaki."

   "Bagus. Bersiaplah!"

   Halayudha menyembah lagi.

   Duduk sambil menutup mata.

   Menunggu.

   Seolah menunggu.

   Karena saat itu justru sedang mengerahkan semua kemampuannya untuk menangkap bunyi atau getar yang paling lemah sekalipun.

   Kelihatannya saja menyerah, akan tetapi merencanakan untuk melakukan serangan penghabisan.

   Tak nanti ia rela dibunuh begitu saja, justru di saat hampir menguasai ilmu yang tak pernah dikenal selama ini.

   Cara yang ingin dilakukan ialah menjambret tubuh Gendhuk Tri, untuk dikorbankan.

   Itu akan dilakukan saat terakhir sekali.

   Gendhuk Tri pun bisa terkelabui.

   "Halayudha busuk, apa benar kamu yang berhak atas Tirta Parwa yang kamu sebut-sebut itu?"

   Suara Halayudha terdengar mengandung penyesalan.

   "Sudahlah, buat apa disebut-sebut? "Selama hidup, aku juga tak bisa menjaga kebesaran nama Tirta Parwa. Bahkan walaupun aku bisa menghafal kidungan yang lain, bagian yang terpenting, yaitu Gita Tirta, tak mampu kuingat."

   Nyai Demang terkekeh.

   "Tidak, tidak.

   "Barangkali Pulangsih memang hanya memberitahu aku. Tak mau memberitahukan kepada Dodot Bintulu atau Raganata.

   "Bukankah itu berarti Pulangsih masih melihat wajahku dibandingkan yang lain? "Pulangsih, Pulangsih... Tak sangka kamu masih lebih mementingkan aku dibandingkan yang lain.

   "Sampai kapan pun, aku tak akan melupakan perhatianmu ini... Kalau saja Bejujag, Bintulu, Raganata, mendengar ini, di dalam kubur mereka akan iri, cemburu habis-habisan.

   "Aha, ternyata aku masih lelaki yang paling bahagia."

   Nyanyian Air di Keraton HALAYUDHA menyembah hingga dahinya menyentuh tanah.

   "Eyang Sakti, kalau Eyang Berune tidak berkeberatan, silakan mampir di gubuk hamba di Keraton."

   "Ada urusan apa?"

   "Barangkali Eyang Sakti masih bisa mengenali tulisan tangan Yang Mulia Eyang Putri Pulangsih."

   Gendhuk Tri mengakui bahwa Halayudha bukan hanya sangat licik, tetapi juga sangat cerdas dan cepat sekali mengambil keputusan.

   Dari kata-kata Nyai Demang, bisa diketahui bahwa Kakek Berune menaruh hati kepada Pulangsih.

   Atau yang disebut Pulangsih.

   Itu pula yang digunakan untuk menjebak.

   Nyai Demang meludah ke tanah.

   "Bagaimana mungkin kamu menyebut Eyang Putri? Pulangsih masih cantik jelita dan muda. Kenapa kamu panggil Eyang Putri?"

   Telanjur berdusta, Halayudha tak mau kepalang basah.

   "Beliau selalu lebih suka dipanggil begitu."

   "Kamu masih bertemu?"

   "Dalam pertemuan di Trowulan, Eyang Putri masih hadir. Entah kapan lagi beliau akan hadir."

   Gendhuk Tri yang berada di Trowulan saat pertarungan habis-habisan pun tak mampu mengarang cerita seperti Halayudha.

   "Hmmm, berarti masih sempat bertemu yang lainnya.

   "Baik, baik... Ayo berangkat sekarang!"

   Halayudha menyembah. Berdiri. Satu tangan bergerak ke arah Gendhuk Tri.

   "Tak usah. Kita berangkat."

   Halayudha mengangkat alisnya. Lalu berlalu. Bersama rombongannya dan Nyai Demang yang menggendong Kakek Berune. Tinggal Gendhuk Tri sendirian. Dan Cebol Jinalaya. Tak ada suara. Agak lama.

   "Kamu sedih?"

   Gendhuk Tri tersenyum tawar.

   "Kamu gadis yang baik, yang berjanji akan mengantarkan aku kepada Sri Baginda Raja. Semua temanku sudah sampai, dan aku masih menunggu kebaikanmu."

   Berat beban di hati Gendhuk Tri. Segala yang dikuatirkan terjadi. Upasara Wulung hilang tak ketahuan rimbanya. Nyai Demang yang dicemburui dikuasai Kakek Berune dan kini dikuasai Halayudha. Pada saat yang bersamaan, ia dituntut untuk membunuh.

   "Kalau saya bunuh kamu, siapa yang akan membunuhku? "Kamu kira aku mau berdiam sendiri di jagat ini, Cebol?"

   Cebol Jinalaya ikut termenung.

   "Kalau begitu, marilah kita berdoa bersama. Semoga ada ksatria lewat dan berbaik hati mau membunuh kita."

   Gendhuk Tri mendongak.

   Memandang angkasa.

   Guratan kekecewaan menoreh wajahnya.

   Dengan tenang ia bisa meninggalkan Cebol Jinalaya.

   Sewaktu-waktu ia bisa pergi dengan gampang.

   Dan tidak memedulikan.

   Melupakan.

   Namun sekarang, jalan pikiran Gendhuk Tri jadi lain.

   Kalau ia pergi, mau pergi ke mana? Bukankah keadaannya sekarang ini sama seperti si cebol hitam ini? Sendiri, tak punya siapa-siapa, tak mempunyai keinginan apa-apa yang bisa menjadi semangat hidupnya? Habis terpenggal rata.

   Apakah, apakah perasaan kosong yang sama ini yang dirasakan oleh Upasara Wulung ketika akhirnya Gayatri meninggalkannya? Sehingga Upasara memilih menghabiskan ilmunya, dan membiarkan dirinya mati diterkam binatang buas? Inikah kehancuran dari dalam itu? Apakah, apakah ini yang juga dirasakan oleh Dewa Maut ketika ditinggalkan oleh kekasihnya, lalu ditinggalkan kekasihnya Padmamuka? Apakah, apakah ini yang menyebabkan Dewa Maut memanggilnya Tole, dan justru ia mempermainkannya? Apakah, apakah kekosongan ini yang juga dirasakan Nyai Demang ketika suami dan anak-anaknya dihabisi, walau tidak bersalah? Gendhuk Tri tenggelam dalam lamunannya.

   Sampai bulan muncul, dan lenyap lagi.

   Bersambung dengan sinar panas matahari, disambung dengan kegelapan dan hujan turun rintik-rintik.

   Gendhuk Tri masih terdiam di tempatnya.

   Cebol Jinalaya masih berdoa agar ada ksatria yang baik hati mengantarkan ke alam di mana ia bisa mengabdi kepada raja yang disembah setulus hati.

   Pikiran Gendhuk Tri masih bolak-balik tak ada batasnya.

   Hanya helaan napas yang menandai keyakinan Cebol Jinalaya bahwa dirinya tidak sendirian.

   "Akhirnya doa kita terkabul,"

   Bisik Cebol perlahan.

   "Ada ksatria datang kemari."

   Baru kemudian, Gendhuk Tri sadar. Dengan sisa-sisa kegesitannya, Gendhuk Tri menutup mulut Cebol dan menariknya bersembunyi. Gendhuk Tri agak kecewa karena yang muncul adalah prajurit Keraton yang lewat berombongan.

   "Kenapa kita perlu membawa ke Dahanapura, kalau Putra Mahkota justru berada di Keraton?"

   "Kita sebagai prajurit,"

   Jawab suara yang lain.

   "hanya menjalankan perintah. Lebih baik kita tidak membicarakannya, Adimas. Karena rumput dan ranting bisa mempunyai telinga dan menyampaikan kepada orang lain."

   "Di tengah hutan begini, di tengah malam begini?"

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terdengar suara prajurit pertama.

   "Siapa tahu?"

   "Ah, jangan penakut.

   "Saya pun menjalankan perintah, Kakangmas. Hanya yang membuat saya heran, kenapa Putri Ayu Tunggadewi dan Putri Ayu Rajadewi harus dibawa ke Dahanapura? Dari tadi itu saja yang mempengaruhi pikiranku."

   "Apa anehnya?"

   "Kamu pasti juga mendengar kabar bahwa Permaisuri Rajapatni masih bertapa di depan pintu Baginda."

   "Sssttt...

   "Ayolah kita berjalan terus."

   Belasan langkah kemudian mereka mengeluarkan suara tertahan, ketakutan karena menemukan puluhan mayat yang bergeletakan tak keruan letaknya.

   Gendhuk Tri sebenarnya tak peduli.

   Akan tetapi karena nama kedua putri Permaisuri Rajapatni disebut-sebut, hatinya tergerak juga.

   Karena Permaisuri Rajapatni adalah Gayatri.

   Gayatri-nya Upasara Wulung.

   Berpikir dalam keadaan bagaimanapun, Upasara masih tetap melindungi.

   Siapa tahu justru dengan menguntit mereka, Gendhuk Tri bisa bertemu dengan Upasara Wulung.

   Berpikir begitu, Gendhuk Tri segera mengikuti para prajurit.

   Digandengnya erat-erat pergelangan tangan Cebol Jinalaya untuk dibawanya terbang.

   Dalam sekejap Gendhuk Tri melupakan semua kerisauan yang tadi melanda.

   Kekalutan yang begitu mengimpit seolah sirna begitu saja.

   Dengan riang Gendhuk Tri menyatroni para prajurit untuk mencuri bekalnya.

   Dihabiskannya bersama Cebol Jinalaya yang tersenyum-senyum.

   Bagi para prajurit pengawal, beberapa kejadian aneh membuat mereka makin dicekam ketakutan.

   Setelah bertemu mayat-mayat, bekal makanan tiba-tiba habis.

   Sehingga tak ayal lagi mempercepat perjalanan.

   Menjelang fajar, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa ada joli kecil yang dijaga dengan saksama.

   Tak bisa tidak, itulah kedua putri Gayatri.

   "Ayo kita nakali mereka. Cebol jelek hitam, kamu masuk ke joli itu. Kita tak usah main sembunyi. Bisa enak-enak di dalam joli. Bagaimana? "Kalau itu mempercepat jalan sowan kepada Sri Baginda Raja, aku selalu bersedia."

   "Tunggu sampai malam.

   "Begitu muncul tengah malam, mereka akan kocar-kacir. Itu saat terbaik untuk menyusup masuk."

   "Apakah aku menakutkan?"

   Gendhuk Tri mendadak merasa iba.

   "Tidak. Tentu saja tidak.

   "Merekalah prajurit yang penakut. Bukan karena kamu."

   Cebol menggelengkan kepalanya.

   "Bukankah dua putri itu juga akan takut? Bukankah rencana kita akan gagal?"

   "Pikiranmu tak sependek tubuhmu.

   "Jangan kuatir, aku ada akal."

   "Akalmu banyak sekali.

   "Makin banyak akal, makin tak cepat kita sampai ke pengabdian di alam sana."

   Gendhuk Tri menghela napas berat.

   "Ini putri turunan Sri Baginda Raja. Melindunginya sama juga mengabdi Sri Baginda secara pribadi. Kenapa kamu begitu bodoh?"

   Perangkap Kiai Sambartaka SUARA Gendhuk Tri nyaring karena kesalnya. Itu yang membuat para prajurit pembawa tandu berhenti, menoleh ke belakang, dan bersiap.

   "Jangan main bokong seperti pengecut. Keluarlah!"

   Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Meloncat dari balik pepohonan.

   "Kalian para prajurit yang tak bisa berbaris dengan baik, berani buka mulut sembarangan.

   "Cecunguk macam kalian hanya mengotori lantai Keraton."

   Gendhuk Tri tak mau membuang waktu.

   Cekatan ia meloncat, langsung menuju joli yang terjaga.

   Tiga tombak yang menghalang dilibat dengan selendang dan disentakkan.

   Kedua kakinya menyambar, dan dengan dua gerakan, prajurit yang menjaga terjungkal.

   Gendhuk Tri berkerut keningnya.

   Walau sejak pertama tahu bahwa prajurit pengiring bukan prajurit yang tangguh, akan tetapi tidak seharusnya mereka jatuh-bangun dalam gebrakan pertama.

   Tangan Gendhuk Tri bergerak kembali.

   Siku, telapak, kaki, bersamaan menyambar.

   Setiap gerakan membuahkan hasil.

   Lawan terpencar, jungkir-balik.

   "Prajurit gadungan begini masih mau buka mulut bau?"

   Gendhuk Tri menggerakkan tangan membuka tirai joli. Wajahnya menjadi berubah ketika satu sosok tubuh mengedip ke arahnya.

   "Adik manis, mari masuk..."

   Itu Maha Singanada, yang penampilannya mirip Upasara Wulung. Ksatria gagah yang bicaranya lantang.

   "Kenapa kamu sembunyi seperti anak ayam di situ?"

   Pertanyaan yang wajar diucapkan Gendhuk Tri mengingat Singanada bukanlah ksatria yang suka menyembunyikan sesuatu.

   Pertanyaan yang walaupun selintas terdengar kasar akan tetapi menunjukkan rasa hormat.

   Karena bagi Gendhuk Tri, Singanada adalah satu-satunya lelaki yang dihormatinya, yang menganggapnya sebagai seorang gadis.

   Gadis yang manis, yang baik.

   Tidak menilai sebagai anak kecil.

   Bagi gadis seusia Gendhuk Tri, pertemuan pertama dulu sangat membekas dalam hati.

   Tak mungkin bisa dilupakan.

   "Enak di sini. Tinggal duduk. Menunggu Upasara, dan melihatnya bertempur dengan Kiai Sambartaka yang kesohor."

   "Tipu muslihat apa lagi ini?"

   "Sewaktu aku keluyuran, aku melihat Kiai Sambartaka membayar penjahat-penjahat kecil untuk menyamar sebagai prajurit Keraton. Sambil membawa joli yang dikatakan membawa dua putri Permaisuri Rajapatni. ' "Dengan harapan agar Upasara muncul dan menolong.

   "Dan Kiai Sambartaka akan menantangnya."

   Cukup jelas kata-kata Singanada. Ringkas dan langsung, apa adanya.

   "Kenapa kamu ikut-ikutan?"

   "Aku mau menyaksikan siapa sesungguhnya lelananging jagat ini. Bukankah itu pertarungan yang menarik?"

   "Di mana kiai Hindia yang busuk itu?"

   "Untuk apa kita pedulikan? "Pasti di sekitar daerah ini. Ayo masuk saja! Kita tunggu sampai terjadi pertarungan.

   "Tapi barangkali kurang seru, karena Upasara terkena pukulan Pendeta Sidateka."

   Dada Gendhuk Tri tergetar.

   "Mana mungkin Kakang Upasara bisa dilukai?"

   "Itulah kabar yang terdengar. Entah siapa yang menyebarkan. Upasara terluka parah oleh pukulan Pendeta Sidateka."

   "Kalau benar begitu, sungguh gawat.

   "Syukur kamu mau menolong."

   Maha Singanada menggelengkan kepalanya.

   "Aku tak ada urusan menolong atau ditolong. Aku hanya ingin menyaksikan pertarungan sejati. Jauh-jauh aku mengembara ke negeri seberang ingin melihat ilmu sejati.

   "Setelah semua jago tersingkir, tinggal Kiai Sambartaka dan Upasara Wulung. Entah mana yang lebih jago."

   Gendhuk Tri berbalik. Singanada meloncat keluar dari joli.

   "Kamu tidak tertarik, gadis suci?"

   "Aku lagi tidak ingin ketemu Kakang Upasara."

   Singanada menghampiri Gendhuk Tri. Berjalan di sampingnya, tanpa memedulikan para prajurit gadungan yang membenahi joli.

   "Kenapa bisa begitu?"

   "Bukan urusanmu."

   "Memang bukan. Kalaupun kamu jelaskan, belum tentu aku mengerti. Soal wanita dan lelaki memang serba menggelikan, cabul, dan tak masuk pikiran.

   "Raja Muda Kala Gemet begitu bernafsu mempersunting Ratu Ayu. Aku juga. Tapi ia memilih Upasara Wulung. Yang justru lebih suka pergi mengembara. Bukankah ini aneh? "Sama anehnya, kamu, gadis suci yang mencintai kakangnya tapi tak mau bertemu dengannya."

   "Siapa menyuruhmu ngomong sembarangan?"

   "Upasara juga aneh,"

   Kata Singanada tanpa memedulikan pertanyaan Gendhuk Tri.

   "Ia punya kamu, punya Nyai Demang, punya Ratu Ayu, tapi katanya menyayangi Permaisuri Rajapatni. Aku tak mengerti, dan tak akan pernah mau mengerti.

   "Tugasku telah selesai."

   Maha Singanada berhenti. Dadanya membusung.

   "Apa urusanmu?"

   "Aku ditugaskan ke tlatah Campa membawa Dyah Ayu Tapasi. Tugas mulia dari Sri Baginda Raja telah kami selesaikan. Apa lagi? "Kini aku bebas mau apa saja, ke mana saja.

   "Aku anak turunan prajurit Singasari yang telah selesai menjalankan bakti."

   "Kenapa tidak kembali ke tanah Campa saja?"

   "Ada juga rencana itu.

   "Gadis suci, kamu mau ikut?"

   Tanpa terasa wajah Gendhuk Tri menjadi merah. Jengah. Menunduk.

   "Begitukah cara lelaki mengajak perempuan?"

   "Sudah lama aku tak mengenal tata krama Keraton Jawa. Aku lahir dalam perjalanan, besar di negeri seberang. Aku juga tak peduli ucapan ini cukup sopan atau kurang ajar.

   "Maafkan kalau lancang.

   "Tapi aku ingin mengajakmu.

   "Kepalaku puyeng melihat kejadian-kejadian yang memalukan seperti ini. Dulu, dalam bayanganku, Keraton adalah puncak kesempurnaan. Begitu semua orang tua menceritakan kebesaran Keraton Singasari yang perkasa. Sehingga dalam angan-anganku tak ada yang lebih membahagiakan dan membanggakan selain Keraton Singasari.

   "Akan tetapi nyatanya ketika aku kembali, yang ada seorang raja yang bernama Sanggrama Wijaya. Yang ada anaknya, Putra Mahkota Kala Gemet, yang berebutan. Yang ada pembunuhan para senopati utama. Seperti Senopati Sora.

   "Dan kini Mahapatih Nambi sedang dijebak."

   "Dijebak bagaimana?"

   "Aku tak peduli karena bukan urusanku."

   "Oleh Halayudha?"

   "Mungkin. Apa bedanya? "Di tanah Jawa tak ada lagi jiwa ksatria. Tak ada lagi prajurit sejati. Yang ada cacing-cacing hina yang berebut bangkai nista."

   Suaranya mengandung kegeraman yang luar biasa.

   Gendhuk Tri bisa mengerti.

   Senopati Maha Singanada adalah senopati dan sekaligus juga prajurit sejati yang lahir dalam tugas.

   Tugas mulia ketika Baginda Raja Sri Kertanegara meluaskan pengaruhnya.

   Menjalankan hubungan kerja sama sampai negeri Campa.

   Singanada dibesarkan dalam dongengan kebesaran Singasari.

   Akan tetapi ketika kembali justru menjumpai hal-hal yang membuatnya malu.

   Gendhuk Tri tak bisa menjelaskan dengan singkat bahwa ada perbedaan antara Keraton Singasari dan apa yang ditemui sekarang ini.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Apalagi Singanada kini ditarik mengabdi kepada Kala Gemet! "Aku sudah muak dengan bisul-bisul masalah Keraton.

   Masalah pangkat dan derajat yang palsu.

   Sebagai ksatria, aku hanya ingin melihat di mana masih kutemukan jiwa ksatria.

   Kalau di sini tak ada lagi, untuk apa aku berdiam di sini lagi? "Di tanah Campa, atau di mana saja, aku masih bisa berdiri dengan gagah mendongak ke langit.

   Kalau hanya ingin pangkat, aku bisa menjadi senopati agung di sana.

   Tapi sejak lama aku menolak.

   Aku ingin menjadi ksatria."

   Gendhuk Tri tersenyum. Tiba-tiba wajahnya seperti seorang kakak yang mengerti kerisauan adiknya, seorang ibu yang memahami kerisauan anaknya.

   "Setidaknya kamu masih menganggap Kakang Upasara seorang ksatria, bukan?"

   "Tidak lagi."

   Jawaban Singanada membuat mata Gendhuk Tri membelalak. Kembalinya Pukulan Beku "UPASARA WULUNG bukan lagi ksatria.

   "Ia bermulut kecil, berjiwa kerdil seperti cacing atau yang lainnya. Kesaktian yang dimiliki tidak membuat jiwanya tegar sebagaimana layaknya seorang ksatria.

   "Ia begitu pengecut, lari ke sana kemari tidak jelas. Hanya karena takut menghadapi kain wanita yang terbuka.

   "Lelaki macam apa pula itu?"

   Gendhuk Tri menjadi panas.

   Kalaupun ia tengah membenci Upasara Wulung setinggi langit setebal bumi, tak nanti orang lain dibiarkan mencaci begitu saja.

   Akan tetapi Gendhuk Tri menyadari bahwa Singanada mengatakan isi hatinya secara jujur.

   Sifat dan pembawaannya selalu begitu.

   Hal lain, bukan tidak mungkin apa yang dikatakan Singanada ada benarnya.

   "Kalau Kakang Upasara bukan lelaki, kenapa kamu masih ingin menemui?"

   "Karena aku ingin mengatakan itu padanya.

   "Mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi prajurit Singasari. Atau prajurit mana pun.

   "Upasara bukan didikan Ksatria Pingitan.

   "Aku, Maha Singanada, lebih berhak dari Upasara untuk mengatakan diriku sebagai prajurit Singasari, abdi Sri Baginda Raja!"

   Kali ini Gendhuk Tri menjadi panas.

   "Kamu sama berhati cacing. Dengki."

   "Tak ada sifat itu padaku."

   "Kalau Kakang Upasara bukan ksatria, bukan lelaki, apakah kamu menganggap Kiai Sambartaka yang bersembunyi dan mendengarkan omongan kita sebagai lelananging jagat?"

   "Aku tidak peduli siapa yang memegang gelar itu.

   "Aku sekadar ingin tahu saja. Seperti apa yang menyandang gelar ksatria di antara ksatria, pendekarnya pendekar, jagonya seluruh jago.

   "Kiai Sambartaka busuk atau bau kentut, aku tidak peduli, karena ia bukan prajurit Singasari."

   Kata-kata itu mengenai jantung hati Gendhuk Tri. Sungguh bisa dimengerti apa yang dimaksud oleh Singanada. Tapi Gendhuk Tri tak mau menyerah.

   "Kenapa kamu ajak aku?"

   "Kamu gadis kecil yang suci. Yang tak seharusnya terseret intrik harta, wanita, atau kepangkatan. Kamu sisa-sisa prajurit Singasari yang masih bisa diselamatkan."

   Senyum Gendhuk Tri urung, ketika terdengar suara dingin.

   "Tak usah jauh-jauh menyelamatkan diri. Di sini aku ingin menamatkan kalian yang telah merusak rencanaku."

   Gendhuk Tri menelan ludahnya dengan susah.

   Maha Singanada tetap berdiri gagah.

   Di depannya nampak seorang lelaki tinggi jangkung yang merangkap kedua tangannya.

   Bibirnya tak bergerak ketika berbicara.

   Kiai Sambartaka! Keringat dingin melembapi Gendhuk Tri.

   "Bersiaplah, aku tak punya waktu banyak."

   Bret, bret.

   Dua tangan Kiai Sambartaka bergerak perlahan.

   Hawa dingin bergumpal mengepung dari sisi tangan Kiai Sambartaka berada.

   Inilah Pukulan Beku yang ampuh, Pukulan Mandeg Mangu, yang serta-merta membuat udara sekitar menjadi beku.

   Hingga lawan susah bernapas.

   "Kanyasukla, awas!"

   Kanyasukla adalah panggilan Maha Singanada yang membuat Gendhuk Tri tergetar hati kegadisannya yang sedang tumbuh.

   Maka membuatnya bercekat juga karena gembira.

   Akan tetapi pikiran begitu dengan cepat tersapu.

   Kiai Sambartaka adalah salah satu tokoh yang datang ke Trowulan untuk perebutan gelar lelananging jagat, yang bukan hanya sakti, tetapi juga licik.

   Kalau Eyang Sepuh saja bisa diakali, apalagi yang lain! Kalau Eyang Sepuh bisa dibuat terluka, apalagi yang lain! Apalagi dirinya atau Maha Singanada! Gendhuk Tri menarik kakinya satu tindak ke belakang, sementara Maha Singanada menggerung keras.

   Auman Sembilan Singa! Gebrakan disertai pengaturan napas Nawawidha.

   Cara mengatur napas yang melipatkan tenaga dalam sembilan kali.

   Bahwa ini langsung dikeluarkan, menandakan bahwa Singanada merasa lawan yang dihadapi setingkat atau dua tingkat lebih tinggi.

   Gerakan Singanada juga langsung dengan ilmu andalannya, Siasat Sembilan Bintang.

   Bergerak ke arah delapan penjuru, dan kantar, tombak pendeknya, sudah seketika mencongkel lawan.

   Tubuh Kiai Sambartaka seperti bergoyang sedikit, kedua tangannya naik-turun.

   Tanpa mengubah kuda-kuda.

   Memang luar biasa.

   Singanada yang berloncatan menutup jalan mundur atau jalan maju atau gerakan ke samping, seperti sia-sia.

   Karena Kiai Sambartaka tak berniat mundur atau maju atau menyamping.

   Tetap berdiri di tempatnya semula.

   Kepalan telapak tangannya tiap kali terlontar, setiap kali pula seperti meninggalkan gumpalan dingin yang mematikan.

   Yang tak bisa dipakai oleh Singanada.

   Yang terpaksa menghindar.

   Karena hidungnya seperti menemui tempat kosong, dingin, beku.

   Tak ada udara yang bisa ditarik.

   Tak bisa diisap.

   Kalau kehabisan napas, seorang tokoh sakti seperti dewa pun akan mudah dikalahkan! Perlahan Singanada mulai tertindih.

   Gerakannya menjadi keteter.

   Aumannya yang keras membahana seperti berubah menjadi jeritan singa terluka.

   Tubuhnya makin terhuyung-huyung.

   Gendhuk Tri menggenggam tangannya erat-erat.

   Untuk ikut maju ke medan pertarungan, ia merasa tak bakal menolong lebih banyak.

   Akan tetapi untuk berdiri saja, jelas juga tidak mungkin.

   Sret.

   Gendhuk Tri meloloskan selendangnya.

   Sehelai.

   Dan dengan nekat ia meloncat maju, menutupkan selendang ke wajah Kiai Sambartaka.

   Dengan cara itu, ia berharap kekuatan utama Kiai Sambartaka yang terpancar dari pandangan matanya yang ganjil akan terkurangi.

   Dan kalau selendangnya bisa direbut lawan, Gendhuk Tri tak akan menderita terlalu dalam.

   Karena telah dilepaskan dari ikatan tubuhnya.

   Suatu akal yang jitu.

   Singanada melihat peluang yang menguntungkan.

   Dalam hati ia memuji Gendhuk Tri yang pandangannya sangat tajam, mampu melihat kekuatan lawan dan bersiasat untuk mengatasi.

   Maha Singanada merasakan bahwa udara sekitarnya membeku.

   Akan tetapi yang lebih melumpuhkan ialah sorot mata Kiai Sambartaka! Yang membuatnya terpaku di sana.

   Pandangan mata yang membuatnya letih.

   Singanada bukannya tidak mengendus bahwa ada semacam ilmu hitam, terutama yang berasal dari tlatah Hindia, yang mempergunakan tenaga pancaran mata untuk mempengaruhi lawan.

   Akan tetapi ternyata ia tak bisa membebaskan.

   Begitu terserap, rasanya tak bisa lepas lagi.

   Dan sorot mata itu seolah menyuruh, memerintah untuk mengikuti kemauan lawan.

   Maka pertolongan Gendhuk Tri dengan kibasan selendang menutupi mata Kiai Sambartaka sangat besar pengaruhnya.

   Singanada bisa kembali memusatkan kekuatannya.

   Dan bergerak dengan gesit, beberapa kali kantar-nya menyobek ke arah lambung.

   Mau tak mau Kiai Sambartaka menggeser kakinya.

   Dua, tiga tindak surut ke arah kiri.

   Satu tindak ke arah belakang.

   Kiai Sambartaka sendiri dalam hati kesal.

   Karena ulah Gendhuk Tri yang menampar keangkuhannya.

   


Bara Naga Karya Yin Yong Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini