Senopati Pamungkas 4
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 4
Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto
Wajah Upasara merah. Menunduk gelisah. Perkelahian mati-hidup ia bisa menghadapi dengan tenang. Akan tetapi ditanya secara telak begini, apa yang bisa dilakukan? Ini benar-benar pembicaraan terbuka.
"Paman, orang seperti hamba siapa yang bersedia mengambil menantu?"
"Sama juga. Kalau sudah menjadi abdi dalem, siapa mau mempunyai mertua kusir gerobak?"
Toikromo tertawa bergelak.
Gerobak itu mencapai Pasar Banyu Urip menjelang tengah hari.
Upasara membantu menurunkan peti-peti.
Meskipun Toikromo mengatakan tak usah.
Benar dugaan Upasara bahwa tumpukan peti itu berisi tombak, keris, pedang, gada, serta perisai.
Suatu persiapan yang besar-besaran.
Dari Pasar Banyu Urip, peralatan itu akan diangkut oleh gerobak yang lain.
Sebenarnya di pasar ini Upasara berharap bisa membeli dua ekor kuda.
Ia masih menyimpan gelang emas yang tadinya dipakai di kaki.
Setidaknya itu bisa ditukarkan dengan dua ekor kuda yang bisa digebrak menuju Keraton.
Makin cepat makin baik.
Kalau mengandalkan kekuatan kaki, bisa-bisa sampai sepuluh hari belum sampai.
Dulu saja ketika berangkat ke Perguruan Awan melalui jalan pintas, memakan waktu tiga hari tiga malam berkuda penuh.
Namun harapan sia-sia.
Tak ada bayangan seekor kuda atau kerbau atau sapi yang ditambat.."Kenapa, Anakmas?"
"Biasanya ada kuda yang dijual."
"Biasanya memang ada. Sekarang belum sampai di sini sudah laku. Bahkan yang masih dalam kandungan sudah dipesan. Haha, Paman ini orang bodoh. Tapi semenjak Baginda Raja, yang menjadi sesembahan masyarakat, mengirim pasukan ke negeri seberang, masyarakat jadi makmur. Perang malahan membuat dagangan laku. Haha, Paman ini orang bodoh tidak mengerti apa-apa."
Memang, pikir Upasara.
Kalau mengerti persoalan sebenarnya, tidak mungkin tertawa selepas ini.
Paman Toikromo mi, seperti juga yang lain, mana mungkin memedulikan siapa yang membeli? Yang diketahui cuma satu.
Pihak Keraton.
Tapi apakah itu Keraton Singasari atau Gelang-Gelang ataupun yang lainnya, mana mereka memedulikan? "Mungkin Anakmas akan bisa diterima menjadi prajurit."
"Pangestu Paman."
Toikromo bergerak lagi.
Dua belas tumpukan peti bisa dipindahkan dalam waktu singkat.
Biasanya memakan waktu sampai malam.
Itu pun harus ditangani beberapa orang.
Akan tetapi Upasara sanggup mengangkat sendirian.
Kalaupun berdua dengan Toikromo, Toikromo seperti memegang papan yang enteng.
Dua orang prajurit yang mengawasi, maju ke arah Toikromo.
"Anakmu cukup kuat, Pak Kromo."
Toikromo menghaturkan sembah. Upasara juga menghaturkan sembah. Dalam hatinya tersenyum geli. Mana mungkin ia harus menyembah prajurit biasa-biasa seperti ini? Senopati Suro pun memberi hormat lebih dulu! "Hamba hanya kuat makan, Raden...."
Upasara sengaja mengucapkan sebutan raden dengan keras. Tak peduli pantas disebut raden atau tidak, prajurit itu tersenyum lebar.
"Kami sedang mencari tenaga untuk mengangkut barang. Kalau kau bersedia, aku bisa mempekerjakanmu."
"Anak ini memang ingin nyuwita...."
"Asal tidak bertingkah."
"Maafkan hamba, Raden Prajurit...."
Toikromo berbisik.
"Anakmas, ini peruntungan bagus. Siapa sangka kamu langsung diterima?"
"Semuanya karena pangestu Paman."
"Tapi jangan lupa, Paman masih ingin bermenantukanmu."
Prajurit itu mengeluarkan suara di hidung, sehingga Toikromo buru-buru terdiam tak bergerak. Malah suara napasnya pun tak terdengar.
"Tunggu di sini, malam nanti akan kujemput."
Upasara menghaturkan sembah. Dua prajurit itu berlalu tanpa memperhatikan Upasara. Dengan lirik matanya, Upasara melihat arah berlalunya dua prajurit. Telinganya masih mendengar percakapan dua prajurit itu.
"Enak kita. Kalau ada kuli seperti itu."
"Lebih baik begitu. Kan tidak lucu kalau kita prajurit harus mengangkut barang seperti itu. Kalau kita cepat. kita bisa naik pangkat. Siapa tahu dapat persen dan bisa kawin lagi?"
Menunggu malam hari, Toikromo-lah yang paling sibuk. Ia mengajak Upasara mandi di belik, si sebuah sendang kecil. Dan meminjami sisir, serta memberi bedak.
"Wajahmu tampan, Anakmas."
"Sudahlah, Paman"
Sebenarnya Upasara ingin segera meninggalkan tempat itu.
Namun merasa tak enak jika ia meninggalkan begitu saja.
Ia kuatir jika dua prajurit itu menuduh Pak Toikromo mempermainkan mereka.
Akibatnya bisa runyam semuanya.
Makanya, Upasara ingin penolongnya berlalu dulu dan ia akan mencari kesempatan baik untuk meloloskan diri.
Di samping itu, ia juga ingin menggunakan saat yang sebentar untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.
Tetapi Toikromo ternyata menunggu sampai Upasara diambil dua prajurit itu baru berlalu.
Setelah mengadakan perpisahan sederhana, Upasara mengikuti dua prajurit itu.
Masuk ke dalam bangunan rumah yang agak megah.
Dindingnya dari anyaman bambu.
Demikian juga bagian lantai rumah.
Jadi bukan dari tanah biasa.
"Besok pagi mulai bekerja. Malam ini kau beristirahat di sini."
"Sembah dalem, Raden...."
Salah seorang dari prajurit itu mengeluarkan duit receh terkecil dan melemparkan ke tanah.
"Ini buat beli tembakau."
Dahi Upasara berkerut. Sungguh tersiksa rasa congkaknya untuk memungut duit yang dilemparkan dengan cara seperti itu, dan ini dilihat oleh prajurit-prajurit yang lain.
"Maaf, Raden. Hamba tidak menisik dengan tembakau...."
Upasara bergeming, tidak mengambil duit.
"Pakailah untuk makan."
"Maaf, hamba sudah diberi oleh Bapak...."
Prajurit itu menggertakkan giginya.
"Kalau kuperintah mengambil, jangan berbuat yang lain."
Upasara menghaturkan sembah. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil recehan ketika prajurit itu menyungkil dengan tombaknya. Kepingan mata uang itu melayang ke atas, dan ditangkap dengan sebelah tangan. Upasara menjadi gusar.
"Hah!"
Teriaknya kaget.
Namun bersamaan dengan teriakan kaget dan mulut terbuka, Upasara mengirimkan tenaganya, sehingga kepingan logam itu jadi melenceng.
Si prajurit menangkap angin.
Kepingan duit logam itu jatuh kembali ke tanah.
Prajurit yang lain menertawakan.
Ditertawakan, seperti itu prajurit yang congkak ini jadi merah-padam.
Tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Dan tak menduga ini ulah Upasara.
Hanya geramnya dilampiaskan ke Upasara.
"Pungut duit itu. Ikut aku. Kuajari caranya menisik tembakau."
"Baik, Raden."
Upasara memungut duit dan mengikuti prajurit di depannya.
"Jangan sekadar memanggil Raden. Panggil aku Raden Sukra. Ini pelajaran kalau ingin menjadi calon prajurit."
"Nama hamba Upa...."
"Siapa yang menanyaimu? Tugasmu hanya menjawab pertanyaan dengan kalimat. 'Sendika dawuh, Raden Sukra'"
"Sendika dawuh, Raden Sukra."
Sambil menahan rasa dongkol yang sudah sampai di leher, Upasara mengikuti Prajurit Sukra.
Ada yang menahan Upasara untuk langsung menyikat Prajurit Sukra.
Pertama karena ia ingin mengetahui persiapan apa yang terjadi di tempat ini.
Ini cukup beralasan karena Upasara melihat adanya panji-panji atau umbul-umbul yang sama dengan yang dikibarkan di dalam tenda Raja Muda Gelang-Gelang.
Matanya sempat melihat ke dalam bangunan rumah.
Di bawah penerangan obor yang dinyalakan dari ujung tangkai pohon kelapa yang diremukkan dari beberapa jurusan, beberapa prajurit utama berkumpul.
Semuanya duduk di bawah.
Menghadap kursi yang masih kosong.
"Hei. Jangan longak-longok begitu. Jongkok."
Kali ini Prajurit Sukra bukan hanya berkata, akan tetapi langsung menarik pundak Upasara dan menyeretnya ke tanah.
Upasara mengikuti bantingan, hingga tubuhnya seperti dilontarkan ke depan.
Ia bisa melihat lebih jelas kini.
Sebelum Prajurit Sukra maju kedua kalinya.
terdengar langkah kaki memasuki bangunan utama.
Semua prajurit langsung tunduk dan menghaturkan sembah.
Kesempatan ini digunakan oleh Upasara.
Dengan mengambil batu kerikil kecil, ia menimpuk ke arah Prajurit Sukra dan badan Sukra menjadi kaku.
Tentu saja di saat semua menunduk, kehadiran Prajurit Sukra jadi menarik perhatian.
Begitu yang memegang pimpinan melirik ke arah Prajurit Sukra, semua menahan napas.
"Prajurit mana yang tak tahu adat itu?"
Bersamaan dengan itu tangan ksatria yang berada di tengah ruangan menuding.
Upasara menduga bahwa sebuah tenaga lurus menghantam ke arah Prajurit Sukra.
Upasara tak mau berisiko.
Ia menyambitkan batu kerikil untuk membebaskan kekakuan Prajurit Sukra.
Soalnya kalau orang mengetahui bahwa Prajurit Sukra berdiri kaku karena tertotok jalan darahnya, bisa buyar semua rencananya.
Maka ketika tenaga dan jari telunjuk itu menyentuh Prajurit Sukra, yang terakhir ini sempat mengaduh.
Matanya membeliak dan tubuhnya terjatuh ke depan.
Ksatria di depan itu meraupkan tangannya, dan Prajurit Sukra seperti melayang di udara.
Lalu dengan satu tolakan tangan yang itu juga.
tubuh Prajurit Sukra terlempar jatuh ke belakang.
Tak terdengar suara mengaduh.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Upasara menahan ludah yang hampir tertelan.
Satu gebrakan yang keras dan ganas.
Kalau melawan prajurit biasa.
seorang yang mempunyai kepandaian tertentu di atasnya bisa mempermainkan.
Itu bukan hal yang aneh.
Yang membuat Upasara bertanya-tanya dalam hati ialah gerakan ksatria itu.
Tak ubahnya gerakan yang dipertontonkan oleh Pujangga Pamungkas, Ugrawe.
Siapa ksatria ini? Dilihat dari usianya, masih sepantaran dengan Upasara.
Tapi dilihat dan pangkat dan jabatan, jelas ia pemimpin dalam pasukan ini.
Dilihat dari kemampuan dan tenaga yang dipergunakan, jelas susah ditentukan di mana tingkatnya.
"Sembah dalem, Gusti Rawikara...."
Rawikara melambaikan tangan.
Para prajurit yang menghaturkan sembah tetap menunggu.
Akan tetapi agaknya yang ditunggu tidak segera duduk di kursi yang telah disediakan.
Rawikara berarti sinar matahari.
Kini, pertanyaan Upasara agak terjawab sedikit dengan gerakan yang didemonstrasikan tadi.
Pantas saja gerakannya seperti Ugrawe.
Ataukah ksatria ini murid Ugrawe? Kalau benar begitu, jelas banyak tokoh yang tangguh bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang.
"Bagaimana dengan penjagaan?"
"Sembah dalem, Gusti...."
Seseorang menghaturkan sembah.
"Sampai hari ini belum ada yang melalui jalan di depan."
"Meskipun demikian, jangan sampai lengah. Kita mendapat tugas untuk mengamati jalan di Banyu Urip. Karena ini satu-satunya jalan utama menuju ke Keraton Singasari dari Perguruan Awan.
"Siapa pun yang lolos dari sana, akan melalui jalan ini."
Diam-diam Upasara bersyukur.
Di luar perhitungannya sendiri, ia bisa lolos dari pengawasan.
Kalau saja ia muncul sendirian di pasar, pasti ia sudah ditanyai dengan berbagai pertanyaan dan akan sangat repot.
Untung saja ia muncul bersama Toikromo yang sudah dikenal baik para prajurit di sini.
Sehingga tidak menimbulkan kecurigaan sedikit pun.
Bukan tidak mungkin selama ini Toikromo ditemani oleh keponakan atau anaknya.
Hanya saja karena banyaknya gerobak yang dimiliki semua dipakai untuk mengangkut, jadi hari ini Toikromo terpaksa mengangkut sendirian.
"Meskipun tugas utama kita menghimpun kekuatan, akan tetapi baru saja ada berita dari Perguruan Awan, bahwa Senamata Karmuka sempat lolos. Tetapi ia tak akan pernah mencapai Keraton Singasari.
"Tidak, selama kita masih di sini.
"Aku menginginkan semua menjalankan tugas dengan baik. Jangan mencoba menyepelekan tata tertib yang berlaku."
Secara serentak para prajurit menghaturkan sembah.
"Semua yang diundang ke Perguruan Awan bisa diselesaikan. Sebagian ditawan, sebagian dibunuh, dan sebagian dikubur hidup-hidup."
Upasara menggertakkan gerahamnya. Ia teringat akan nasib Jagaddhita dan Gendhuk Tri.
"Hanya mayat Senamata Karmuka yang belum ditemukan. Boleh dikatakan tugas pertama berhasil sempurna. Tinggal melaksanakan dua tugas berikutnya. Kalau ini sudah terlaksana, kita akan melihat tanah Jawa kembali diperintah oleh yang berhak. Kembali diperintah titisan dewa dan bukan turunan para perampok."
"Sembah dalem, Gusti...."
Rawikara mengeluarkan suara mendesis.
"Tetapi tetap ada yang membuat ganjalan. Maharesi Ugrawe dilukai sedikit, tapi tak menjadi soal. Akan tetapi yang menjadi soal ternyata di antara kita sendiri ada yang berkhianat."
Sejak meninggalkan Perguruan Awan, Upasara tak tahu apa yang terjadi.
Baru sekarang ini semua keterangan bisa diperoleh.
Akan tetapi yang jauh lebih menarik perhatiannya ialah ternyata Maharesi Ugrawe begitulah Rawikara menyebutnyayang menjadi pucuk pimpinan prajurit Gelang-Gelang, mempunyai tiga rencana sekaligus.
Pertempuran hancur-hancuran dan habis-habisan di Perguruan Awan hanyalah salah satu dari tiga rencananya.
Betapa dahsyat tipu muslihatnya! Tiga rencana dilaksanakan secara serentak.
Tidak percuma semua gelar yang diangkat dan dianugerahkan untuk dirinya sendiri.
Ugrawe memang luar biasa.
Jago silat kelas utama, sekaligus ahli siasat perang yang memegang komando sendiri.
Dalam hati Upasara menduga bahwa dua rencana yang lain pasti tak akan dikatakan di pertemuan ini.
Pertemuan ini terlalu terbuka untuk menjelaskan tugas rahasia.
Inilah tugas Upasara untuk bisa mengetahui.
Pasti juga bukan hal mudah.
Akan tetapi jika ia berhasil mengendusnya, bukan mustahil semua rencana bisa digagalkan.
Dan ini berani keselamatan Keraton bisa dipertahankan.
Hanya saja kalimat terakhir Rawikara membuatnya sedikit bergidik.
Kalau dikatakan ada yang berkhianat, apakah Rawikara mengetahui kehadiran dirinya? "Tak perlu kuatir.
Aku sendiri telah menangkap pengkhianat itu."
Tangannya melambai.
Persis gerakan Ugrawe.
Upasara menghimpun tenaganya.
Namun ternyata ucapan itu tidak ditujukan kepada dirinya.
Ucapan itu ditujukan kepada sekelompok prajurit yang menyeret maju seseorang yang telah diikat erat sekujur tubuhnya.
Upasara bisa segera mengenali bahwa yang diikat erat itu adalah...
Kawung Sen! Apakah karena dalam pertempuran lalu Kawung Sen membebaskan dirinya, maka sekarang dianggap pengkhianat? Upasara menahan getaran di tangannya.
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berbuat sembrono.
"Inilah pengkhianat itu. Dan kalian semua akan melihat bagaimana aku menghukumnya, karena Maharesi Ugrawe telah menyerahkan hal ini padaku.
"Hoho, sejak kemarin dulu aku selalu dikatakan pengkhianat. Tetapi apa sebenarnya dosaku?"
"Kawung Sen, kau masih bertanya? Kan tahu siapa aku? Kau tahu kenapa Maharesi Ugrawe menyerahkan persoalan ini padaku? Karena aku bisa menyiksa manusia dan setan untuk mengaku."
"Itu aku sudah tahu. Semua juga tahu. Bahkan kalau disuruh menyiksa ayahmu sendiri, kau akan menjalankan perintah gurumu."
Kini lebih jelas.
Maharesi Ugrawe memang benar guru Rawikara.
Tapi siapa yang disebut sebagai ayah? Mungkin Jayakatwang sendiri? "Aku tak pernah berkata lain.
Aku selalu memegang janjiku.
Nah, Kawung Sen, mengingat jasa baikmu dahulu ketika menyerbu Keraton Singasari, mengingat pengorbanan saudara-saudaramu, katakan di mana kau sembunyikan Kartika Parwa dan Bantala Parwa"
"Hoho, jadi itu dosaku?"
Kawung Sen bergelak. Hanya itu yang bisa dilakukan dengan bebas, karena menggerakkan ujung jari pun agaknya tak mungkin. Kedua tangan dan kakinya diikat, dan itu pun saling dikaitkan. Tubuhnya terbaring di lantai yang dialasi anyaman bambu.
"Semua orang juga tahu, untuk apa aku mencuri kitab bulukan itu. Pasti untuk mempelajari, untuk kubaca pelan-pelan, kuhafalkan. Agar aku bisa mengalahkan Ugrawe yang merasa menguasai segala macam soal matahari, rembulan, bintang dan langit, serta bumi. Untuk apa dipersoalkan lagi. Ayolah paksa aku. Siksa aku. Biar aku mengaku."
Dari jawaban Kawung Sen yang tetap berani, Upasara tak bisa menebak arahnya ke mana.
Karena jawaban itu sudah jelas.
Kalau seorang dituduh mencuri suatu kitab, jelas untuk dipelajari, Apa lagi selain itu.
Rangkaian jawabannya juga benar.
Ugrawe dikenal menguasai ilmu angin puyuh yang dahsyat karena berhasil menggabungkan berbagai unsur kitab-kitab yang ada.
Seperti yang dinamakan sebagai kitab mengenai bintang, Kartika Parwa, dan kitab mengenai bumi, Bantala Parwa.
Bahwa dua kitab itu penting, mudah dimaklumi.
Sama mudahnya memaklumi bahwa Ugrawe memang menyimpan berbagai kitab pusaka.
Akan tetapi bahwa Kawung Sen dituduh mencuri, agak janggal.
Terutama sekali dari jawaban Kawung Sen.
"Ayo lakukan. Tak bakal ada yang menyalahkanmu. Kau putra Raja Muda Gelang-Gelang. Gurumu adalah Maharesi Ugrawe. Apa susahnya? "Tapi ketahuilah, Rawikara. Kau sama bodohnya dengan aku atau Ugrawe. Kenapa untuk soal sekecil ini saja aku harus diseret kemari dari Perguruan Awan? Kenapa Ugrawe sendiri tak bisa menyelesaikannya? Kenapa aku harus dituduh? Semua orang juga tahu bahwa Kawung Sen adalah orang yang paling bodoh di antara kawung yang lain. Karena Kawung Sen tak mengerti baca dan tulis.
"Lalu untuk apa kalian semua menjerat aku seperti ini?"
Upasara baru mengerti sekarang ini bahwa Kawung Sen tidak mengerti baca dan tulis. Agak mengherankan, akan tetapi hal itu memang bisa saja terjadi.
"Sayang benar. Ayahmu bercita-cita jadi Baginda raja. Gurumu jadi paman negara. Tapi kau putranya, muridnya yang terkasih diberi pekerjaan yang tak ada artinya. Tidak sadarkah bahwa kau diperolok-olok?"
Rawikara mengedipkan matanya.
"Dalam tugas besar ini aku memang cuma menjadi penjaga jalan dan menyiapkan alat-alat perang. Aku tak kebagian tugas penting. Tetapi apa pun tugas yang diberikan oleh Maharesi akan kulakukan dengan baik.
"Aku tahu kaulah yang mengambil kitab itu. Pertanyaanku. Kepada siapa kau serahkan kitab itu?"
"Mudah sekali jawabannya. Kepada orang yang bisa membaca dan mau mengajariku."
Belum pernah Upasara melihat peristiwa yang tak masuk akal ini.
Bagaimana bisa seorang seperti Kawung Sen yang pernah dianggap berjasa dan dianggap senopati kemudian dituduh mencuri kitab? Bagaimana mungkin ia diseret begitu jauh untuk dipertemukan dengan Rawikara? Tetapi memang Ugrawe tokoh yang serba aneh dan serba ganjil.
Segala apa yang dilakukan serba tak menentu.
Di satu pihak bisa memerinci suatu gebrakan besar dan bukan hanya satu.
Akan tetapi di lain pihak, perincian itu termasuk yang tak perlu dilakukan.
Upasara, walau baru sekali bertukar kalimat, menyadari bahwa Ugrawe mudah kacau pikirannya.
Seperti ketika diingatkan bahwa ia malah mencari musuh baru dengan mengadakan pertempuran habis-habisan dengan niat membunuh semua yang ada di Perguruan Awan.
Atau seperti yang dilihat sendiri oleh Upasara.
Semua lawan bisa dihadapi dengan mudah dan bisa dikalahkan, akan tetapi rasanya Ugrawe tak berani bentrok dengan Senopati Pangastuti.
Penglihatan Upasara yang tajam bisa seketika menemukan titik kosong dalam masalah ini.
Anehnya hal seperti ini ternyata tertular kepada Rawikara, muridnya.
Mengancam Kawung Sen di depan para prajurit dalam suatu ruang terbuka lebar.
"Bagus. Berikan kepadaku dan nanti aku ajari kamu."
"Mana boleh begitu. Itu sama saja menyuruh aku mengakui. Dan bagiku, pantangan besar mengakui apa yang tak kulakukan."
"Atau begini saja. Kau ambil dulu kitab itu, kauberikan padaku, lalu kukembalikan, dan kau mengajariku, begini?"
Kawung Sen bergelak.
Dan masih bergelak, ketika Rawikara mengangkat tubuhnya lalu melemparkannya ke atas.
Sebat sekali gerakannya, dengan melemparkan bagian ujung talinya sehingga terikat di salah satu tiang.
Tubuh Kawung Sen jadi terayun-ayun di udara.
"Begitulah cara mati yang paling hina. Tubuhnya tak menyentuh tanah. Rawikara tertawa. Tangannya mengambil salah satu cawan tanah dan diguyurkan ke tubuh Kawung Sen.
"Dengan air gula aren ini, semua semut akan menggigitmu. Itulah cara mati yang lebih sengsara lagi."
Tiga cawan air gula aren, ditambah dengan botol yang lain. Sehingga air gula aren itu meleleh ke tanah. Sebagian ditumpahkan ke bagian wajah. Sebagian lagi dioleskan lewat tiang rumah. Memberi jalan semut-semut yang akan menyerbu wajah Kawung Sen.
"Mati karena digigit semut. Aha."
Kali ini Kawung Sen tidak berani membuka mulut. Wajahnya menjadi pucat.
"Sekarang kalaupun kau mengaku, aku takkan membebaskanmu."
Dengan gerakan kilat, Rawikara meloncat ke tengah ruangan.
"Kalau sampai besok tak ada seekor semut datang padamu, kau akan kubebaskan. Rakyatku, dengar apa kata gustimu ini, yang tak pernah menelan ludah yang sudah disemburkan."
"Sembah dalem, Gusti...."
"Sekarang kalian semua bubar dari sini. Meneruskan pekerjaan jaga."
"Sembah dalem, Gusti...."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rawikara nampak puas. Ia berjalan ke bagian belakang dan menghilang. Para prajurit yang tadinya duduk bersila tak berani bergerak kini berdiri. Melihat Kawung Sen yang terayun di udara.
"Kalau ada yang berani menertawakanku, akan kucabut nyawanya begitu aku dibebaskan. Kalau aku mati, akan kucekik lehernya. Sebagai hantu aku bisa melakukan itu."
Beberapa prajurit undur ketakutan.
Upasara bergerak lebih dulu.
Ia masuk ke kemah bagian dapur.
Koki yang sedang tidur ditepuk urat di pundaknya.
Ia mencari garam.
Diremukkan dalam genggaman tangan sehingga menjadi debu yang halus.
Kemudian dengan cepat ia kembali ke tempat Kawung Sen digantung, Melihat seorang prajurit ada yang berani mendekat, Kawung Sen siap untuk mengancam lagi.
"Kutandai kau dan akan kubunuh... eh... kau..."
"Sssst terus memakiku."
Suara Upasara lemah sekali agar tak terdengar yang lain.
"Aku menaburkan garam di sekitar tiang. Sehingga tak mungkin ada semut datang. Jangan takut, sampai besok pagi semut tak akan datang. Dan kau bebas."
"Bagus...."
"Sssttt, terus memakiku."
"Mana mungkin-..."
"Ayo...."
Upasara menaburkan untuk kedua kalinya. Warna garam yang sudah menjadi bubuk itu tak terlihat di antara cairan air gula aren.
"Maaf aku tak bisa menunggu lama. Aku harus pergi."
Tanpa menunggu jawaban, Upasara berlalu dalam gelap.
Ia menuju salah satu penjagaan.
Dua penjaga tak menaruh curiga sedikit pun.
Sebelum keduanya bereaksi, Upasara telah membungkam mulut mereka.
Lalu menyeret, menaikkan ke punggung kuda.
Kuda itu dituntun agak jauh.
Di tempat yang agak sepi, dua prajurit itu diletakkan di tanah.
"Dua jam lagi kalian akan bebas. Kalian bisa kembali ke rumah besar itu. Kalau kalian cerita ada dua ekor kuda hilang, kalian bisa dipenggal. Maka lebih baik pura-pura diam saja. Tidak perlu memberi laporan."
Upasara mencemplak kudanya, dan segera bergegas.
Sengaja ia tidak mengambil jalan di perempatan dekat pasar.
Ia berputar lewat jalan berbukit di dekat sungai.
Dari sana kedua kudanya dipacu sekencang mungkin.
Satu kuda dinaiki, satu lagi untuk pengganti.
Dengan demikian Upasara berharap bisa lebih cepat sampai di Keraton.
Meskipun kuda yang dipilih bukan kuda seperti yang dibawa dari Keraton atau seperti yang dinaiki Senopati Suro.
namun cukup kuat juga.
Karena memang dipersiapkan untuk berperang.
Toh begitu Upasara mempersiapkan duaduanya.
Setiap waktu yang digunakan untuk menanak nasi, Upasara pindah dari punggung satu ke punggung lainnya.
Tanpa istirahat, tanpa berhenti lebih dulu.
Gelap malam diterjang terus.
Upasara mengandalkan ketajaman kuda untuk menerobos jalan malam.
Jalan setapak yang kadang menikung sangat tajam, masuk ke dalam celah-celah pepohonan, muncul di antara semak-semak.
Hanya bintang di langit yang menjadi pedoman.
Bagi Upasara makin jauh jalan yang ditempuh, berani makin dekat ke Keraton.
Ia akan berusaha menghabiskan separuh malam untuk terus berkuda.
Makanya dua kuda terus dipaksa hingga meringkik-ringkik.
"Esok jika matahari mulai terbit, aku tak bisa mengendarai secepat ini. Karena pasti akan menarik perhatian penduduk. Kalau mereka barisan dari Gelang-Gelang, sia-sialah usahaku selama ini. Besok aku mulai berjalan biasa, kecuali kalau melewati hutan. Makanya, kudaku, ayo sekarang saatnya. Kalian dijuluki binatang yang tidak mempunyai pusar, berani tak kenal lelah. Ayo tunjukkan kelebihan kalian."
Upasara terus memacu, hingga kuda-kuda itu benar-benar kelelahan.
Saat itu langit mulai sedikit terang.
Upasara menghentikan kudanya, meloncat turun, dan membiarkan kudanya melepaskan lelah sambil merumput.
Ia sendiri memilih tempat yang agak terlindung untuk beristirahat, sekaligus semadi untuk mengatur tenaganya.
Udara pagi yang dingin makin berkurang.
Samar-samar mulai terlihat keadaan sekeliling.
Dan ketika Upasara memperhatikan keadaan sekitar, ia tak percaya apa yang dilihat.
Tak masuk akal sama sekali! Karena di kejauhan ia melihat gerobak sapi milik Toikromo! Tak masuk akal.
Pun andai Toikromo tokoh silat kelewat sakti, ia tak mungkin bisa membawa gerobaknya melayang di angkasa.
Akan tetapi yang dilihat adalah benar-benar gerobak sapi milik Toikromo.
Bukan dalam mimpi.
Dan jaraknya dari tempatnya berlindung tak lebih dari lima ratus meter.
Begitu Upasara melihat suasana sekitar, ia tahu bahwa dirinya telah masuk perangkap dan melakukan pekerjaan sia-sia selama setengah malam suntuk.
Berapa tidak, kalau nyatanya ia masih berada di sekitar Pasar Banyu Urip! Jagat Dewa Batara! Jadi selama setengah malam ini aku cuma berputar-putar tidak karuan di sekitar tempat ini.
Sungguh luar biasa.
Benar-benar iblis Sakti Ugrawe.
"Upasara, kenapa kau begitu tolol?"
Upasara menepuk jidatnya sendiri. Suara hatinya berkecamuk dan bertanya-jawab sendiri.
"Ugrawe telah mengatur segalanya. Dengan menyerbu habis ke Perguruan Awan, ia menutup jalan di Banyu Urip ini. Bahkan jalan di sekitar tempat ini pun telah dibuat sedemikian rupa, sehingga bakal menyesatkan. Kalau seseorang seperti aku, yang tak begitu mengenal daerah ini, mencoba menerobos, pasti hasilnya sia-sia. Akan bermuara kembali ke Pasar Banyu Urip.
"Pastilah Ugrawe telah memerintahkan Rawikara untuk mengatur desa ini. Jalan lama dihilangkan, jalan baru dibuat. Dan itu hanya melingkar-lingkar saja. Setengah malam aku berkuda, tapi hasilnya kembali ke tempat semula.
"Inilah serangan yang sempurna dan dahsyat. Ah, mudah-mudahan Senamata Karmuka dan Ngabehi Pandu bisa meloloskan diri dari jalan siluman ini. Kalau tidak, percuma juga. Mereka akan tertangkap di sini juga.
"Ugrawe begitu yakin akan bisa menyapu bersih sampai rata semua yang hadir di Perguruan Awan. Ternyata rencananya sangat rapi sekali. Dan betapa dahsyatnya, kalau ini salah satu dari tiga rencana yang dilakukan.
"Ilmu silatnya sudah setinggi langit. Kecerdikannya juga luar biasa. Ditambah penguasaan strategi peperangan seperti ini, Ugrawe benar-benar ancaman luar biasa bagi Keraton.
"Aku bukan tandingannya dalam peperangan. Apalagi dalam mengatur strategi seperti ini. Entah bagaimana aku bisa meloloskan diri dari sini dan bisa menuju ke Keraton. Agaknya keinginan Bibi Jagaddhita tak akan terkabul."
Berpikir begitu Upasara jadi lesu. Semangatnya hilang separuh. Ia menghela napas.
"Satu kesempatan meloloskan diri telah buntu. Aku harus mencari tahu lebih banyak dulu, sebelum bisa lolos dari sini."
Upasara berjalan biasa, menuju ke arah Toikromo, yang sangat gembira melihatnya. Langsung menyambut dengan wajah yang sangat riang.
"Bagaimana, Anakmas, bisa diterima?"
"Mudah-mudahan...."
"Semalam penuh Paman menunggu di sini. Kalau saja diizinkan masuk ke rumah itu pasti Paman sudah masuk. Tapi prajurit galak-galak. Paman menunggu di sini."
"Apakah pagi ini Paman akan berangkat lagi?"
"Ya, mengambil kiriman berikutnya."
"Dari Gelang-Gelang?"
"Ya."
"Paman bisa ke sana sendiri?"
"Bisa. Paman selalu lewat jalan yang sama."
"Tahukah Paman bahwa di tempat ini banyak jalan yang diubah?"
Toikromo mendehem dan berdecak-decak. Perasaan bangga terpancar dari wajahnya "Paman tahu para prajurit itu membuat jalan palsu. Dan menutup jalan aslinya dengan pohon-pohon serta belukar palsu. Tapi mana mungkin bisa mengelabui Paman?"
"Kalau begitu Paman tahu jalan ke Keraton Singasari?"
Toikromo terdiam sejurus. Lalu menggeleng.
"Jalan utamanya telah ditutup sama sekali. Dipersiapkan lama. Tak mungkin bisa dilalui gerobak atau kuda. Semua jalan telah ditutup."
Dada Upasara menjadi panas, Hatinya juga panas.
"Hanya Gusti yang tahu. Kecuali kalau kembali ke Gelang-Gelang lebih dulu. Baru dari sana masih bisa ditemukan jalan lain. Tetapi harus berputar sangat jauh. Heh, Anakmas, kalau pasuwitan-mu diterima di sini untuk apa harus ke Keraton? Bukankah di sini sama saja?"
Belum Upasara menjawab, dari bangunan rumah terdengar teriakan dan suara-suara manusia sangat banyak.
Upasara mengikuti Toikromo mendekat, hingga batas yang diizinkan.
Ternyata asal suara itu dari diturunkannya tubuh Kawung Sen.
Rawikara berdiri tegak.
"Seperti setiap kalimat yang keluar dari bibirku pasti terjadi. hari ini kamu bebas."
Rawikara memberi tanda. Beberapa prajurit membebaskan tali pengikat di tubuh kawung Sen.
"Terima kasih. Aku suka sikap ksatria."
Suara Kawung Sen tetap keras. Tidak tercermin tanda-tanda keloyoan darinya. Rawikara mengangguk.
"Mulai hari ini, Kawung Sen adalah senopati kita. Kalian para prajurit harus menghormati seperti menghormati senopati."
Rawikara membimbing tangan Kawung Sen. Para prajurit menunduk, sebagian bersila menghaturkan sembah. Juga yang di luar dinding bersila. Kawung Sen mengangguk-angguk puas "Hari ini aku ingin makan enak, mandi dengan enak, dan minum madu sepuasnya."
Tubuhnya langsung melesat ke depan.
Meluncur ke arah tanah, kakinya menutul, dan balik kembali berjumpalitan dengan gagah.
Ia menuju ke bagian Samping, mengambil jala, dan berjalan menuju sungai di bagian belakang bangunan rumah.
Dua prajurit mengiringinya.
Disusul seorang prajurit yang membawakan pakaian.
"Kau tidak becus membawakan,"
Bentak Kawung Sen di luar.
"Biarlah hamba yang membawakan,"
Kata Upasara sambil menghaturkan sembah. Kawung Sen menoleh ke arah Upasara dan matanya membelalak.
"Kau..."
"Hamba memang belum resmi diterima sebagai prajurit. Hamba ingin mengabdi kepada Paduka."
Upasara mengedipkan sebelah matanya. Ia masih sangsi Kawung Sen bisa diajak bersandiwara.
"Baik. Mulai sekarang kau menjadi prajurit. Ayo bawakan pakaianku."
Upasara menghaturkan sembah.
Menerima pakaian dari prajurit Gelang-Gelang dan mengikuti langkah Kawung Sen.
Yang langsung menuju ke tengah sendang.
Membuka semua pakaiannya dan langsung berendam.
Menyibakkan air sepuasnya.
Dua prajurit yang mengiringi diusir jauh-jauh.
Diancam akan dipecat jika berani mendekat.
Tinggal Upasara sendiri.
"Ayo mandi di sini."
Tanpa pikir panjang, Upasara menanggalkan pakaiannya. Ia menyimpan cincin, gigi emas Jagaddhita, dan gelang kaki yang terbuat dari emas di bawah tumpukan pakaiannya. Lalu dengan telanjang bulat masuk ke dalam air.
"Hebat. Hebat. Akal sehat. Garam itu betul-betul menolak semut. Kau telah menyelamatkan nyawaku. Kau hebat, Upa...."
"Ya, panggil saja aku Upa. Ingat, kita harus tetap bersandiwara sebagai prajurit dan senopati"
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus. Boleh juga. Aku senang sandiwara begini. Tetapi kenapa kau menolongku sekali lagi? Bukankah aku pantas mati karena aku memang mencuri kitab-kitab itu? Tapi sampai mampus mereka tak akan tahu di mana aku menyimpannya."
Aku tahu. Kau menyimpan dalam jalamu. Jala itu terdiri atas dua lapis. Dan kau menyimpan di tengahnya."
Kawung Sen membelalak untuk waktu yang lama.
"Jadi kau melihatnya waktu aku mencurinya? Aku kesal! Sebal! Mereka selalu meremehkanku. Hanya karena aku tidak bisa membaca dan menulis. Sumpah, siapa pun yang menghina seperti itu, akan kubunuh. Setidaknya kucelakai Juga Ugrawe.
"Makanya ketika ia tak tahu, peti bukunya kubuka dan kuambil dua buah bukunya. Baru tahu dia sekarang.
"Hoho, baru tahu bahwa Kawung Sen tak bisa direndahkan oleh siapa saja. Tidak akan pernah."
"Kenapa kitab itu dicuri?"
"Sudah kubilang aku kesal, Upa."
"Pastilah kitab itu sangat berarti sehingga Ugrawe sampai tega membunuhmu bila perlu."
"Ya, bagi yang mengerti."
Suara Kawung Sen jadi menyesali dirinya sendiri.
"Bagiku lebih berarti air sungai ini. Aku memang bodoh. Kenapa kakak-kakakku bisa membaca, sedang aku tidak? Uh, aku sungguh sangat bodoh sekali. Paling bodoh. Otakku bebal. Sangat bebal"
Kawung Sen meninju air hingga tersibak.
"Itulah sebabnya kepandaianku tak bisa maju. Selama ini hanya Kakang Ketip yang memberitahu secara lisan. Tanpa bantuan itu, aku tak bisa maju. Sayang Kakang Ketip telah tiada. Kakang Benggol juga telah tiada. Uh, kenapa aku tidak mati digigiti semut saja?"
"Selama ada aku, kenapa harus mati digigit semut? Aku bisa membacakan isi kitab itu padamu."
Kawung Sen bersila di dasar sungai hingga air sampai di dagunya. Ia menghaturkan sembah.
"Dewa di langit, hari ini Kawung Sen menghaturkan sembah buat Kakang Upa...."
Upasara hampir tertawa lepas. Ia berusaha menahan diri sekuatnya.
"Adik, aku bersedia menerimamu. Asal hanya kita berdua dan dewa di langit yang tahu hal ini."
"Aku, Kawung Sen yang hina ini, bersumpah, kalau membocorkan rahasia ini, biarlah mati digigit seribu semut!* "Baik, baik."
"Ayolah kita pelajari sekarang juga."
"Mana mungkin?"
"Kenapa tidak? Dari dulu aku sudah senopati. Senopati itu tak punya pekerjaan kalau tidak perang. Dan tak bakal diganggu orang lain. Hanya Rawikara yang berhak memanggilku Ayolah, Kakang. sekarang kita mulai. Kawung Sen meloncat naik, meraih jala. Meneliti, dan mengeluarkan lempengan klika, atau kulit kayu yang sangat tipis.
"Bacakan."
Tidak enak di sini. Kita cari tempat yang lebih aman di tengah hutan. Adik tahu jalan yang dipalsukan?"
Tanpa mengelap tubuh, Kawung Sen memakai celananya. Demikian juga Upasara. Lalu keduanya bergerak dengan cepat ke tengah hutan. Menuruni dua lembah, melewati bukit kecil berputar, mereka berdua sampai ke tanah lapang.
"Ini jalan yang ditutup itu."
Upasara melihat, bahkan di siang hari pun jalan itu tak mungkin bisa dikenali. Tanpa bantuan Kawung Sen, Upasara tak akan bisa menemukan jalan yang sebenarnya.
"Adik, sebenarnya kakangmu ini ada tugas istimewa di Keraton Singasari. Jadi Kakang akan bacakan sekali, lalu ingat-ingat dengan baik."
"Mana mungkin?"
"Harus mungkin. Karena Kakang harus segera ke Keraton."
"Apa susahnya kita ke Keraton sama-sama? Selama dalam perjalanan, Kakang bisa membacakan kitab itu."
Upasara berpikir sebentar. Bersama dengan Kawung Sen akan banyak manfaatnya. Setidaknya kalau di tengah jalan ada bahaya dari senopati Gelang-Gelang yang lain, Kawung Sen bisa menyelesaikan.
"Baik, mari kita segera berangkat. Tapi ingat, kepergian Kakang dan hubungan kita tak boleh ada yang tahu."
Kawung Sen menghaturkan sembah dengan kaku. Kawung Sen memang tidak terbiasa dengan adat-istiadat. Upasara menepuk pundak Kawung Sen, dan keduanya mulai berjalan. Upasara berjalan sambil membuka lempengan klika pertama.
"Ini Kartika Parwa, atau Buku Bintang, disebut juga Dwidasa Nujum Kartika atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Jurus-jurus ini diciptakan berdasarkan gerak dan pengaruh serta nama-nama bintang.
"Jurus pertama, disebut Lintang Sapi Gumarang. Pusat tenaga yang dikerahkan adalah tenaga yang disebut tenaga Kasa- Tenaga berasal dari arah utara dan selatan, serangan ke arah kanan dan ke arah kiri. Pengaruhnya membuat samar, seperti berada dalam bayang-bayang amun-amun, atau fatamorgana."
"Tunggu, Kakang. Mana aku mengerti tentang Kasa segala macam?"
"Kasa adalah perhitungan bulan pertama. Jadi tenaga yang dikerahkan, tenaga dalam yang digunakan, harus mengandung keadaan bintang saat musim yang pertama. Tenaga itu seperti yang dimiliki oleh hujan yang jatuh pertama kali. Hujan pertama menyebabkan benih tumbuhan jadi, belalang dan hewan terbang dari sarangnya, embun putih keluar, langit mulai terang, tanah mulai terlihat, batu bersih. Makanya kalau merasa sombong dan pongah, jurus ini akan luput, jurus ini tidak mencapai sasaran.
"Ingat baik-baik, Adi.
"Jurus kedua, disebut Lintang Tagih. Pusat tenaga yang dikerahkan tenaga Karo. Tenaga yang diambil adalah tenaga dari- utara, di mana pun adik berdiri. Gerak tenaga besar bagai lumbung padi. Pengaruhnya memberi ketenangan si penyerang, tapi membuat kacau yang diserang Tenaga yang dikerahkan adalah tenaga Karo, yang artinya tenaga ketika tetumbuhan mulai bersemi, tenaga cacing bertelur, belalang menetas, pohon besar berkeringat mulai berbunga, serangan pelan tapi terus mengalir. Biarkan tenaga panas di luar akan tetapi tetap dingin di dalam.
"Jurus ketiga, disebut Lintang Lumbung. Pusat tenaga yang dikerahkan tenaga Katiga. Pusat kekuatan berada di kaki, seperti akar yang merayap masuk ke tanah dan berangkulan di dalamnya. Serangan di Luar bagai bumi yang bersih, tapi di dalam tetap bergolak.
"Jurus keempat, disebut Lintang Jaran, atau Bintang Kuda. Pusat tenaga dan arah utara, bergelombang datangnya. Gerak tenaga bagai menumpahkan hujan dan sekaligus petir. Memakai sifat tenaga Kapat. Yaitu sifat perpaduan, seperti perpaduan antara binatang jantan dan betina yang berkaki empat, seperti binatang bersayap yang mulai menggerakkan sayapnya, seperti tenaga daun berebut tempat tumbuh di atas. Perubahan tenaga kalau ke selatan membawa angin, kalau ke utara membawa hujan. Jurus ini bisa membuat kematian mendadak kalau bisa mengenai secara telak.
"Jurus kelima, disebut Banyak Angrem, atau Angsa Mengeram. Pusat tenaga seperti musim Kalima. Tenaga air sama dengan tenaga angin. Pusat tenaga yang diambil dari utara dan barat. Kalau menyerang dengan tenaga air, tanpa tenaga angin. Kalau menyerang dengan tenaga angin, tanpa tenaga air. Hasilnya lebih berlipat ganda. Kekuatan utama adalah penggunaan tenaga kasar.
"Jurus keenam, disebut Lintang Gotong Mayit, atau Bintang Menggotong Mayat. Satu-satunya tenaga yang dikerahkan dari arah barat. Besar, keras, dan harus cepat. Jurus ini dipengaruhi musim Kanem, atau keenam. Jurus ini akan menghasilkan manfaat seperti memetik buah-buahan. Jangan terpengaruh oleh suara dari lawan, atau gerakan lawan. Sebab apa yang nampak adalah palsu. Lawan sudah terpengaruh untuk bisa bertahan. karena seperti mengantuk.
"Jurus ketujuh, disebut Lintang Bima Sekti. Pusat tenaga musim Kapitu atau musim ketujuh. Tenaga dari arah barat. Besar, cepat, dan berulang-ulang secara bergelombang. Tenaga seperti membuat pohon melengkung, tapi tidak sampai rubuh. Menyerang bagian kaki tidak untuk menjatuhkan melainkan membuat bumi yang diinjak amblas. Kunci utama adalah gelombang serangan yang terus-menerus.
"Jurus kedelapan, disebut Lintang Wulanjar. Pusat tenaga dan arah perpaduan antar barat dan selatan, menghajar tapi tanpa tenaga. Ibarat bunyi petir tanpa hujan. Tenaga ditarik ke dalam. Sehingga kekuatan di atas dan di bawah sama rata. Antara akar dan daun sama warnanya. Tak ada penyerangan, kalau bisa berdiam diri.
"Jurus kesembilan, disebut Lintang Wuluh. Pusat tenaga dari selatan persis. Pengerahan tenaga seperti bunyi cengkerik dan belalang, sifat serangan dingin. Merontokkan serangan berbunga dari lawan. Semakin. berbunga-bunga serangan semakin rontok. Tujuan utama serangan perut dan dada. Bagian kaki tak akan terkena telak, tetapi akan menyulitkan kuda-kuda lawan. Bagaimanapun lawan bergerak, perut dan dada yang digunakan untuk bernapas menjadi sasaran utama.
"Jurus kesepuluh, disebut Lintang Waluku. Pusat tenaga diambil dari antara selatan dan timur, cepat sifat serangannya. Terutama untuk menyerap tenaga lawan, seperti sifat bumi menyerap hingga kering, seperti ibu menyerap tenaga ke dalam kandungan. Lawan akan kehilangan keseimbangan dan kehabisan tenaga.
"Jurus kesebelas, juga disebut Lintang Lumbung. Sama dengan jurus ketiga. Pusat tenaga diambil dari timur-selatan, keras sifatnya. Sangat keras. Segala tenaga di atas tanah hancur, seperti tercerabutnya rumput dari tanahnya tercongkel, tenaga didasarkan pada hewan kaki empat akan terguling rubuh, tenaga meloncat seperti burung terbang akan hancur sayapnya, rasa dingin akan menyerang lawan ke bagian tulang, tenaga di tengah dari lawan akan mati terhenti dan sia-sia.
"Jurus kedua belas, disebut juga Lintang Tagih. Memakai kekuatan musim Saddha. Tenaga diambil sebelah timur. Sasaran terakhir adalah membunuh tanpa meninggalkan mayat, mengambil nyawa tanpa terasa, seperti mengguncang pohon merontokkan semua daun, pohon tetap berdiri tapi sudah mati. Bumi terbelah, tapi batangnya tak runtuh. Tenaga panas dan dingin menjadi satu. Menyerang dan bertahan menjadi satu. Khusus untuk jurus terakhir ini bisa terus diulang dan diulang tanpa perubahan, tidak usah melalui jurus pertama,"
Kawung Sen seperti tak bernapas.
Mendengarkan penuturan Upasara yang membaca sambil terus berjalan, Kawung Sen mengerahkan seluruh kemampuannya.
Daya tangkapnya melalui lisan memang selama ini jauh lebih hebat dari dua kawung yang lain.
Hal ini tidak terlalu istimewa, karena sebenarnya Kawung Sen memang lebih menonjol dalam hal mengingat-ingat.
Soalnya ia tak bisa mengulangi dengan membaca.
Namun karena Upasara membaca terus-menerus, tak urung Kawung Sen menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sulit. Sulit sekali, Kakang."
"Kelihatannya justru mudah sekali."
"Kau tidak main-main, Kakang?"
"Tidak. Kita ini sangat senang dengan ilmu silat. Bagaimana mungkin aku main-main?"
"Aku bisa menghafal apa yang kaukatakan. Setidaknya separuh bagian aku tahu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mengerti?"
"Kuncinya ialah pengetahuan kita tentang musim. Tentang letak serta kedudukan bintang. Ini termasuk ilmu pranata mangsa, mengenai-musim. Siapa pun yang telah menciptakan dan menuliskan Kartika Parwa ini, pasti seorang tokoh yang luar biasa luas ilmu pengetahuannya.
"Adik, menurut pendapatku ini bukan sekadar cara penyerangan dan memberitahukan gerak-gerak saja, melainkan terutama pada pengaturan tenaga. Sedang mengenai geraknya bagaimana sama sekali tak ditulis di sini. Menurut Adik bagaimana?"
"Mana aku tahu, Kakang. Aku ikut saja."
Upasara menghela napas.
"Untuk membuktikan mengenai cara memusatkan tenaga, kita harus berlatih. Tetapi sayang sekarang bukan waktu yang baik."
Upasara berhenti, menggulung kembali klika kayu, menyembah, dan mengembalikan kepada Kawung Sen.
"Simpanlah, Adik."
"Percuma, Kakang. Aku tak bisa membaca. Bawa sajalah."
Upasara menggeleng.
"Tidak. Adik yang mendapatkannya. Adik pula yang harus menyimpannya. Aku telah berbuat kurang ajar membacanya. Mudah-mudahan empu yang menuliskan ini mau mengampuniku."
Upasara duduk, bersemadi, dan menghaturkan sembah.
Kawung Sen memperhatikan, dan kemudian mengikuti jejak Upasara.
Tanpa terasa matahari telah menggelincir di arah barat.
Kawung Sen mencari buah-buahan, mengumpulkan, dan mulai menyantapnya.
Ia juga mencari sarang tawon dan memeras, serta meminum madunya.
Upasara mendapat bagian yang sama.
Sejenak setelah beristirahat.
"Kakang, masih ada satu kitab lagi. Lebih pendek. Bantala Parwa. Kalau Kakang mau membacakan, aku akan membuatkan api."
"Baiklah. Akan kubacakan semua untuk Adik. Setelah itu kita berpisah di sini. Aku akan meneruskan perjalanan, dan Adik kembali ke Rawikara agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Rasanya aku bisa meneruskan perjalanan sendiri."
Sementara Kawung Sen sibuk mengumpulkan kayu kering, Upasara beristirahat.
Pikirannya bergelut antara tugas yang harus disampaikan ke Keraton dan kesempatan yang masih tersisa.
Sementara Kawung Sen hanya terpusat pada apa yang baru saja dibacakan oleh Upasara.
"Kakang Upasara, sungguh suatu kemurahan dewa di langit bahwa kita bisa bertemu dengan cara seperti ini. Aku tak menyangka sedikit pun bahwa kita bisa menjadi kakak-adik seperti sekarang ini.
"Sayang, Kakang ada urusan penting di Keraton. Kalau tidak kita akan bisa bersama-sama terus. Ah, mungkin nanti setelah urusan Kakang selesai kita akan bisa berkumpul terus. Bukan begitu, Kakang?"
Upasara berusaha tersenyum.
"Untuk mengatakan terus terang, tidak tahu saat seperti itu bisa terjadi. Urusan di Keraton bukan urusan sepele yang bisa segera diselesaikan. Entah bisa terjadi atau tidak. Entah kapan.
"Adik Kawung Sen, kenapa dulu Adik menyerang ke Keraton?"
"Sudah tentu aku menyerang ke Keraton. Kakek moyangku, tiga turunan ke atas, adalah pengabdi setia Baginda Raja sejak masih di Tumapel. Lalu tanpa ba dan bu, kami semua tidak dianggap lagi. Ayahandaku, Kawung Kencana, tidak mempunyai jabatan apa-apa lagi.
"Ayahanda Kawung Kencana meninggal karena sakit hati. Tetapi kami bertiga bersaudara memutuskan untuk mbalela. Kami mempunyai banyak teman yang juga dipecat, dipindahkan, diturunkan pangkatnya.
"
"Kakang Upasara, apakah kami keliru?"
"Entahlah, aku tak bisa mengerti masalah seperti ini. Hanya saja cara memberontak itu mungkin tak bisa dibenarkan."
"Kami semua merasa malu. Merasa hina. Sejak Baginda Raja mengampuni kami, rasanya kami tak mempunyai harga diri lagi-. Ke mana pun kami pergi, kepada siapa pun kami bertemu, pandangan mereka ini sangat merendahkan.
"Dendam kami makin besar sekali. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu hari aku akan membalas dendam. Sampai kemudian Maharesi Ugrawe mengajak kami bergabung."
"Serba susah. Kalau Baginda Raja dulu tidak mengampuni, mungkin akan lain jalannya sejarah. Adik Kawung Sen, sekarang ini kau masih ingin membalas dendam?"
"Ya, Kakang."
"Jika aku prajurit Keraton, kau akan bertempur denganku?"
"Tidak mungkin. Tetapi aku tetap akan menyerbu ke Keraton. Dan memaksa Baginda Raja mengumumkan bahwa kami bukan orang yang bersalah. Bahwa kami mbalela, kami memberontak, karena kami tidak dimanusiakan lagi.
"Kakang Upasara, bagi kami sekeluarga pangkat tinggi atau bukan tak jadi soal benar. Tetapi kehormatan, harkat diri sebagai manusia, perlu dipulihkan. Kakang akan bisa mengerti kalau Kakang mengetahui bagaimana Ayahanda secara tiba-tiba digeser kedudukannya. Ayahanda begitu berduka sehingga membiarkan tubuhnya tersiksa oleh batinnya. Sampai meninggalnya, sejak digeser, Ayahanda tak berbicara, tak minum, tak makan, tak bergerak.
"Kakang bisa mengerti?"
Upasara, sekali lagi, berusaha tersenyum. Hatinya memang terpukul oleh penuturan Kawung Sen. Ini bukan pertama kali telinganya mendengar kekecewaan mendasar sejak Baginda Raja melakukan penggantian besar-besaran di lingkungan pejabat Keraton.
"Adik Kawung Sen, banyak para pendekar yang bergabung dengan Ugrawe. Akan tetapi kenapa Ugrawe hanya mengajak adik bertiga ke Perguruan Awan? Bukankah terlalu riskan mengandalkan jumlah para prajurit saja?"
"Soal itu aku tak tahu, Kakang."
"Apakah Adik mendengar bahwa Ugrawe menyusun kekuatan yang lain, di mana para pendekar juga berkumpul?"
"Ya, tapi aku tak tahu."
"Begini. Ketika Adik ditawan oleh Rawikara, aku mendengar bahwa Ugrawe mempunyai tiga rencana. Penyerbuan ke Perguruan Awan adalah salah satu rencana. Masih ada dua rencana lain. Apakah Adik mengetahui?"
Kawung Sen menunduk sedih.
"Aku memang bodoh, Kakang."
Upasara mengetahui bahwa Kawung Sen tidak berdusta mengenai hal ini.
"Adik, aku tahu. Rencana Ugrawe adalah menyerbu ke Keraton. Menumbangkan Baginda Raja. Akan tetapi jebakan apa, atau tipu muslihat apa, aku sama sekali tidak mengetahui."
Wajah Kawung Sen berubah gembira.
"Hoho, jangan kuatir, Kakang. Begitu aku mengetahui, aku akan segera memberitahu Kakang."
"Akan banyak gunanya."
Lalu disambung dengan suara perlahan.
"Kalau belum terlambat. Setelah usaha itu berhasil kita semua juga akan mengetahui."
"Ah, dari tadi kita bicara tidak jelas. Bagaimana kalau kita pelajari lagi kitab itu?"
Kawung Sen memberikan klika berikutnya. Upasara menghela napas. Pandangan matanya menatap percikan api.
"Sekarang ini aku tak tahu bagaimana nasib paman dan teman-teman yang berada di Perguruan Awan...."
"Hoho... kalau hal itu aku tahu. Kakang mau mendengarkan?"
Kawung Sen mengisap udara kuat-kuat.
Seakan ingin memenuhi seluruh isi dadanya dengan udara.
Seperti mengumpulkan semua kemampuannya untuk mengingat kejadian yang lalu.
Sejak Kawung Sen melepaskan Upasara, ia masih bersama dengan Kawung Benggol.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu adalah saat Ugrawe mengajak Upasara masuk ke dalam tenda Raja Muda Gelang-Gelang.
Lalu ketika terjadi keributan besar, Kawung Sen terlibat lagi di bagian lain.
Bersama dengan dua kawung yang lain, ia melibatkan diri dalam pertempuran.
Juga saat-saat Padmamuka meninggal dunia, dan dua kawung yang lain menyusul.
"Bagaimana dengan Paman Wilanda?"
"Yang mana itu? Yang gundul. Oh, ilmu hebat. Ia yang paling bisa bertahan dengan tenaga dalamnya ketika yang lain mulai dipengaruhi racun asap."
"Paman Wilanda yang sedang menderita luka."
"O, ia langsung ditawan. Diringkus. Begitu juga Tiga Pengelana Gunung Semeru. Setelah terpengaruhi racun asap, tak terlalu sulit menawan mereka. Ugrawe sendiri bisa membereskan mereka. Tapi lucu, Kakang, Ugrawe kehilangan telinganya. Daun telinganya hilang. Hoho, itu yang menyebabkan Ugrawe murka luar biasa. Hebat sekali Gendhuk Tri. Di jagat ini hanya ia yang bisa melukainya!"
"Semuanya bisa ditawan?"
"Bisa. Tiga Pengelana Gunung Semeru, Dewa Maut, Wilanda, dan akhirnya orang gundul yang hebat itu. Hebat dia, Kakang. Pukulannya juga aneh. Ia menggunakan satu tangan untuk menangkis dan melawan Maharesi Ugrawe. Pertempuran paling lama. Tapi akhirnya bisa diringkus juga."
"Kalah tenaga dalamnya?"
"Aku yang meringkus, Kakang. Aku jala. Tinggal menyeret saja."
Kawung Sen menunjukkan wajah duka.
"Tapi susah. Orang gundul itu tak mau kuajak bicara. Tak mau kuajak bertanding seperti Kakang. Ya sudah.
"Namun yang membuatku jengkel, karena Maharesi Ugrawe menganggap aku paling bodoh, paling tak mengerti situasi. Ini keterlaluan sekali. Ia boleh jengkel karena daun telinganya hilang. Tapi mana mungkin menghinaku. Makanya, aku ambil kitabnya dari peti. Di sana ada beberapa bundel. Aku mengambil dua. Kusimpan dalam jala. Tapi karena orang yang berada di tempat penyimpanan itu hanya aku, akulah yang diringkus.
"Dan segera dikirim ke Banyu Urip.
"Aku sudah bersumpah lebih baik mati daripada harus mengakui sebagai pencuri kitab."
"Kenapa Adik dikirim ke Banyu Urip?"
"Karena akan diadili oleh Rawikara."
"Kenapa Ugrawe sendiri tak melakukan itu?"
"Sehabis pertempuran itusehabis mengubur Kakang Kawung Ketip dan Kakang Benggol, sehabis menjebloskan mayat Pu'un dan Padmamuka ke dalam gua..."
Upasara tanpa terasa mengeluarkan seruan tertahan.
"Ah!"
"Kenapa, Kakang?"
"Kenapa Padmamuka dan Pu'un dilemparkan ke dalam Gua Lawang Sewu?"
"Aku tak tahu nama gua itu. Maharesi menyuruh melemparkan dua mayat itu, dan menimbuni dengan tanah, batu, dan meninggalkan beberapa prajurit untuk menjaga mulut gua."
"Ugrawe tidak menyerbu masuk?"
"Tidak. Ia bilang tak tahu rahasia gua. Ia tak mau berisiko. Makanya ditimbun saja."
Upasara sadar kini.
Bahwa Ugrawe tak mau mengambil risiko untuk menyerbu masuk dalam gua.
Makanya ia sengaja menutup.
Tapi sebelum itu, melemparkan mayat Pu'un dan Padmamuka.
Perhitungan Ugrawe pastilah mayat itu akan membusuk.
Pastilah ini akan merepotkan yang bersembunyi di dalam gua.
Sudah jelas sangat berbahaya.
Karena seluruh tubuh Padmamuka sebenarnya adalah gumpalan racun yang kelewat ampuh! Karena, tubuh Pu'un pun mengandung unsur-unsur gaib yang tak dikuasai.
Unsur-unsur yang bisa membahayakan juga.
Sungguh licik Ugrawe.
Dan perhitungannya sangat tepat.
Siapa pun yang berada dalam gua itu.
Mengingat hal itu, Upasara menjadi sedih.
Pertemuan dengan Jagaddhita sangat singkat.
Begitu juga dengan Gendhuk Tri.
Namun dalam hatinya, Upasara menghormati keduanya.
Dan merasa akrab dengan Gendhuk Tri.
Ia menyesali kenapa meninggalkan Gendhuk Tri di dalam gua! Mestinya ia terus memaksa agar Gendhuk Tri ikut dengannya! Upasara tak bisa menceritakan bahwa Jagaddhita, Gendhuk Tri, masih tertinggal dalam Gua Lawang Sewu.
Melihat Upasara berduka, Kawung Sen jadi merasa bersalah.
"Katakan, Kakang, apa yang bisa kulakukan?"
"Para pendekar utama telah ditawan. Kini lapanglah jalan Ugrawe untuk mencapai maksudnya."
"Kakang, kalau Kakang menginginkan para pendekar yang ditawan itu dibebaskan, aku bisa mengusahakannya."
"Tak begitu mudah. Ugrawe tak akan melepaskan pengawalan."
"Mereka akan dikirim ke Banyu Urip. Rawikara yang akan mengurusi."
"Ugrawe, ke mana ia?"
"Kembali ke Kediri."
Upasara mengernyitkan dahinya.
Apa yang dilakukan Ugrawe di Kediri? Kenapa tidak langsung menyerbu ke Keraton Singasari? Kenapa malah ke Kediri? Dunia kelewat luas, dan aku ini tak bisa menduga sedikit pun.
Kalau Ugrawe secara buru-buru pergi ke Kediri, pasti ada sesuatu yang direncanakan.
Tidak mungkin kalau sekadar berobat atau apa.
Ini berani, bukan penyerbuan langsung ke Keraton yang menjadi langkah berikutnya.
Berani juga, perhitungan Senamata Karmuka dan Jagaddhita meleset.
Memang dengan menutup jalan di Banyu Urip, Ugrawe membuntu kemungkinan lolosnya satu orang ke Keraton.
Menutup kemungkinan Keraton mengetahui kejadian di Perguruan Awan.
Tapi ternyata itu tidak berani Ugrawe dan pasukannya lebih dulu menyerbu ke Keraton.
"Apakah Ugrawe bersama rombongan Raja Muda Gelang-Gelang?"
"Ugrawe berangkat lebih dulu. Raja Muda akan menyusul kemudian."
"Adik Kawung, kau tahu apa yang akan dilakukan Ugrawe?"
"Mana aku tahu, Kakang? Aku sudah diikat."
Paling tidak, untuk sementara Keraton masih aman, pikir Upasara.
Ugrawe ternyata tidak langsung menyerbu.
Juga sangat tidak mungkin ketika Ugrawe pergi ke Kediri, pasukannya akan menyerbu sendiri.
Ugrawe pasti akan terlibat dalam penyerbuan dan berada di garis paling depan.
Nah, kalau bukan menyerbu langsung, rencana apa yang dipersiapkan di Kediri? Sepersepuluh rencana Ugrawe bisa kutebak, aku sudah merasa beruntung, kata hati Upasara.
Makin dikenal tokoh satu ini, makin terasa kebesarannya.
"Kakang, aku bisa pergi ke Kediri untuk mengetahui rencana Maharesi Ugrawe. Kalau Kakang memerintahkan, tak nanti adikmu ini membantah."
Itu juga bisa, pikir Upasara.
Kawung Sen bisa leluasa di sana.
Namun Upasara juga memperhitungkan bahwa Kawung Sen tak akan mendapatkan banyak keterangan.
Meskipun Kawung Sen termasuk salah satu senopati yang diunggulkan, tetapi dalam masalah-masalah pelik dan rahasia, ia tak pernah diikutsertakan.
Pastilah Ugrawe sudah mengetahui bahwa jiwa Kawung Sen mudah goyah.
Tokoh ini sangat angin-anginan.
Ambisinya dalam pertempuran berbeda banyak.
Bagi Kawung Sen, masalah penyerbuan ke Keraton lebih didasarkan pada masalah pribadi.
Kawung Sen menunggu.
Upasara melihat klika yang berisi Bantala Parwa sejenak.
Lalu menggulung kembali, dan menyerahkan kepada Kawung Sen.
"Tidak ada gunanya."
"Masa?"
"Kitab ini bukan berisi pelajaran ilmu silat. Ini mengenai uraian Tumbal Bantala Parwa. Artinya cara menjawab jurus-jurus atau ilmu mengenai bumi. Tanpa membaca Bantala Parwa, kitab ini tak ada artinya."
"Aku memang goblok, Kakang. Coba aku tahu. Aku bisa mengambil dua-duanya. Tapi mana mungkin aku tahu? Aku tak bisa membaca. Aku mengambil sekenanya.
"Hoho, tapi bagaimana Kakang bisa langsung menentukan tak ada gunanya?' "Klika ini berjudul Tumbal Bantala Parwa, artinya Kitab Penolak Bumi. Berarti sebelum ini sudah ada Bantala Parwa, atau Kitab Bumi. Barangkali setelah menciptakan Bantala Parwa, empu yang sama ini menciptakan Tumbal Bantala Parwa. Untuk melengkapi atau mengoreksi kekurangan dalam kitab sebelumnya.
"Bagi yang telah mempelajari Bantala Parwa, kitab ini sangat berguna sekali. Akan tetapi bagi yang belum mengetahui, sama sekali tidak ada gunanya."
Kawung Sen sangat kecewa.
"Adik, aku sama sekali tidak berdusta."
"Kakang Upasara, mana mungkin aku berani mencurigai Kakang?"
Kawung Sen membuang klika kedua. Dalam satu ikat hanya terdiri atas satu lembaran.
"Kakang, barangkali masih ada gunanya. Kalau kita bertemu dengan Ugrawe yang memainkan jurus Bumi, bukankah kita bisa mengatasi?"
"Memang. Tapi, apa itu jurus Bumi tak disebutkan di sini sama sekali."
Upasara mengambil klika yang dicampakkan. Membukanya dan membaca.
"Aku mulai dengan baris pertama.
"Tumbal Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Catatan terakhir bagi Bantala Parwa. Terdiri atas tujuh catatan, sebagai berikut.
"Untuk jurus Manik Maya Sirna Lala, mempergunakan telapak tangan terbuka, seperti dua paruh itik, tenaga ada di sudut.
"Untuk jurus Sri Saddhana, mempergunakan tenaga isi yang dibungkus, seumpama pisang biji. Sumber tenaga dari utara-selatan.
"Untuk jurus Sekar Sinom, mempergunakan tenaga yang terpancing ke luar oleh lawan, ibarat biji asam yang membuka sendiri karena sudah tua. Sumber tenaga dari selatan.
"Untuk jurus Glagah Kabungan, mempergunakan tenaga panas di tengah untuk kuda-kuda. Sumber tenaga dari cara mengatur napas.
"Untuk jurus Kawula Katuban Bala, mempergunakan tenaga dua kaki terbenam, seumpama buah ketela. Sumber tenaga dari arah utara-timur.
"Untuk jurus Sigar Penjalin, mempergunakan tenaga dingin di tengah untuk kuda-kuda. Sumber tenaga dari cara mengatur napas.
"Untuk jurus Asu Angelak, mempergunakan tenaga runcing di setiap sudut. Sumber tenaga tidak disebutkan di sini.
"Untuk Singa Meta, mempergunakan tenaga diam di tengah. Sumber tenaga dari pengaturan napas terbuka tapi..."
Upasara menggeleng.
"Bahkan catatan ini pun tidak selesai...."
Kawung Sen mengangguk-angguk. Lalu menggeleng-geleng.
"Benar-benar mustahil untuk bisa mempelajari. Kalau mengenai Kartika Parwa saja sulit dicernakan, bagaimana mungkin kalau hanya mendapatkan kunci jawaban? Itu pun belum selesai.
"Dengan cara bagaimana Ugrawe itu bisa mempelajarinya, sehingga ilmunya demikian tinggi?"
"Satu hal yang selalu menyertai setiap lahirnya jurus-jurus ilmu silat. Jurus-jurus itu tidak pernah lahir dengan sendirinya. Ada dasar pemikiran yang menyertai. Jurus-jurus Banteng Ketaton yang diwariskan Ngabehi Pandu padaku juga diilhami dari gerakan seekor banteng terluka.
"Dari sifat-sifat itulah kemudian diubah, disesuaikan dengan kemampuan kita. Ngabehi Pandu pernah menuturkan hal ini.."Ugrawe bisa mempelajari dengan baik kalau ia mengetahui mengenai sifat-sifat bumi. Setidaknya sifat-sifat yang disebut dalam nama jurus-jurus tersebut.
"Kakang bisa mengetahui?"
"Tidak begitu pasti. Mungkin..."
Upasara berdiam diri.
"...mungkin sekali. Tetapi tidak. tidak. Apa hubungannya?"
"Apa yang Kakang katakan?"
"Manik Maya Sirna Lala ialah keadaan bumi di mana tanah di sebelah timur rendah dan tanah di sebelah barat lebih tinggi. Keadaan ini sangat tidak baik. Tidak bisa langgeng.
"Sri Saddhana adalah keadaan yang terbalik. Bumi di sebelah timur lebih tinggi daripada sebelah barat. Tidak baik dipakai untuk latihan, karena ini bisa menyebabkan luka berat.
"Salah-salah malah menyebabkan kehilangan kawan latihan.
"Sekar Sinom, keadaan bumi di mana sumber air di sebelah selatan, dan dikepung oleh tenaga lain. Banyak keuntungan akan tetapi... akan tetapi jurus ini tak banyak berguna jika kita tidak bisa menerima kenyataan bakal kehilangan kasih.
"Glagah Kabungan, keadaan bumi lebih tinggi di bagian selatan dan rendah di bagian utara.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kawula Katuban Bala, kebalikan dari Glagah Kabungan. Jika bumi dikepung oleh gunung.
"Sigar Penjalin, jika bumi dikepung air.
"Asu Angelak, jika tak ada tenaga di sebelah timur, atau tenaga yang patah. Ini keadaan bumi yang siap mengamuk.
"Singa Meta, jika keadaan bumi diterobos air secara terus-menerus, tetapi ia tetap kering."
Seumur-umur Kawung Sen belum pernah mendengar penjelasan seperti ini. Selama ini ia berlatih silat mengikuti petunjuk kakak-kakaknya. Menirukan gerakan, mengatur pernapasan, mengulang lagi, tanpa ada penjelasan seperti yang dikatakan Upasara.
"Mungkin jurus-jurus itu menggambarkan sifat-sifat bumi yang tadi. Tapi bagaimana penerapannya, tetap tak bisa dimengerti."
"Tak apa, Kakang. Lupakan saja."
Justru sebaliknya.
Upasara merasa ditantang.
Hatinya seperti dibakar.
Tak mungkin sama sekali, ia tiba-tiba saja berkata seperti yang diucapkan oleh Kawung Sen.
Untuk melupakan begitu saja hal-hal yang ada hubungannya dengan ilmu silat.
Kawung Sen memang tak bisa membayangkan cara hidup Upasara Wulung.
Bahkan kalau diceritakan masa lampaunya, mungkin sulit menerima, meskipun jelas ia mudah -percaya.
Upasara melewati masa kecilnya berbeda sekali dengan anak-anak sebaya.
Juga berbeda dengan sentana dalem, atau kerabat Keraton.
Sejauh ingatan Upasara, ia belum bisa berjalan ketika berada dalam suatu ruangan yang biasa dipakai untuk berlatih silat.
Setiap harinya yang dilihatnya adalah para prajurit, para pendekar berlatih jungkir balik, memukul, melatih senjata, berlatih napas, dan membaca buku.
Sejak masih kanak-kanak sekali, Upasara sama sekali tak mengenal siapa ayah dan siapa ibunya.
Ia juga tak menanyakan hal itu, karena pada pikirnya hal itu tak perlu diketahui.
Sampai dengan usia enam tahun, Upasara melewati waktunya dalam ruangan luas yang sengaja dibangun untuk latihan.
Bersama dengan dua puluh lima anak sebaya.
Setiap harinya, baik siang ataupun malam, mereka berlatih silat, membaca buku, berlatih lagi, membaca buku, berlatih, membaca.
Para guru datang silih berganti.
Pada usia sewindu, untuk pertama kalinya ia diajak keluar dari dinding Keraton.
Melihat sawah yang luas, gunung yang tinggi, sungai deras, dan pasar.
Tetapi kemudian mengeram diri lagi.
Sejak itulah ia mulai dilatih khusus oleh Ngabehi Pandu.
Yang memberitahukan mana kitab yang harus dibaca, perlu dibaca.
Mana yang harus dilatih hingga mahir, mana yang perlu diketahui.
Bagian yang ditempati Upasara adalah sebuah sudut Keraton.
Suatu ruangan yang luas, tempat berlatih silat.
Dan beberapa rumah yang dijadikan tempat tinggal.
Dari sanalah Upasara mengenal dunia.
Dari rumah yang ditinggali dan di tempat latihanlah Upasara menghabiskan masa kanak-kanaknya.
Sampai usia dua belas tahun, ia diajak mengembara lagi.
Ngabehi Pandu mengajaknya pergi ke hutan, dan memperkenalkan beberapa isi hutan.
Tiga bulan Upasara berdiam di hutan.
Berlatih di sungai, di atas tebing, di atas pohon.
Mencoba hidup dari hasil hutan yang bisa ditangkap.
Setelah itu masuk kembali ke dalam Keraton.
Kembali berlatih.
Membaca semua kitab yang ada.
Mengenai cara bernapas, mengatur pemerintahan, ilmu bumi, nama raja, tata cara, adat-istiadat, dan tentu saja sejarah Keraton sendiri.
Sampai usia lima belas tahun, Ksatria Pingitanbegitulah sebutan untuk mereka yang berada dalam ruangan tersebuttinggal tiga orang.
Dan sejak itu Ngabehi Pandu secara khusus melatih sendiri secara maraton.
Melatih membaca, menghafal, berkelahi, ilmu negara, dan segala ilmu pengetahuan yang ada.
Tapi sejak itu, Upasara mulai longgar.
Ia diizinkan pergi ke luar Keraton, jika memang menghendaki Upasara mencoba, akan tetapi kemudian kembali lagi.
Baginya dunia di luar dinding Keraton sangat ganjil.
Bahkan suasana dalam Keraton sendiri tak membuatnya senang..Upasara hanya mencintai ruang di mana ia sejak kecil dibesarkan.
"Baginda Raja membuat dalem pingitan ini sengaja untuk melatih para ksatria. Agar kelak menjadi senopati yang linuwih,"
Demikian ujar Ngabehi Pandu suatu ketika.
"Kau terpilih di sini sampai akhir hayatmu."
"Terima kasih, Paman."
"Segala apa yang terjadi di luar dinding Keraton bisa kau pelajari di sini. Cara menanam padi atau mengubur mayat pun bisa kau pelajari. Kau memang disiapkan untuk menjadi senopati, yang kelak kemudian hari akan menjunjung nama Keraton. Menjelang usia delapan belas, Upasara setiap 35 hari sekali menjajal ilmunya. Dengan para senopati yang lain. Ia mengenal mereka hanya dalam latihan belaka. Termasuk di dalamnya adalah Senopati Suro, Joyo, Lebur, dan Pangastuti. Baik sendiri-sendiri maupun menghadapi keroyokan mereka. Maka boleh dikatakan Upasara sama sekali tak mengenal kehidupan dinding Keraton secara langsung. Ia mengetahui dari buku-buku. Baginya tak ada yang bisa mengalahkan kecintaannya untuk membaca buku dan menembang. Maka ketika membaca Kartika Parwa dan Bantala Parwa, dengan segera Upasara bisa melakukan. Dan untuk memecahkan isi kitab itu adalah tantangan besar. Selama ini tak ada kitab pusaka di Keraton yang tak dipahami. Kitab-kitab itu mempunyai sifat yang sama. Harus bisa dipahami dengan beberapa syarat tertentu. Tidak asal menghafal dari yang tertulis.
"Adik, mari kita jajal jurus Lintang Sapi Gumarang. Tidak perlu dibuka lagi catatan itu. Aku masih bisa menghafal.
"Di sini tidak diterangkan gerakan, karena hanya menyebutkan pengaturan tenaga belaka. Maka sangat boleh jadi, gerakan apa pun tak menjadi soal. Asal pengerahannya seperti yang dimaksudkan."
Upasara berdiri. Di tengah malam, hanya kena pantulan api dari kayu. Ia mengambil sikap sempurna, menghormat dalam dengan menghaturkan sembah.
"Hamba yang rendah ini, Upasara Wulung, minta berkah pangestu. Maafkan segala kelancangan hamba mempelajari ilmu para sepuh."
Lalu dengan serta-merta mengumpulkan tenaga dari ujung-ujung hidung.
Udara disedot masuk, naik ke atas ke ubun-ubun, turun lewat tulang belakang, dan dikumpulkan di pusar.
Ditahan sekuatnya, sehingga arus tenaga yang bergelora itu terasa menggerakkan semua urat dan saraf, membuka semua jalan darah.
Baru kemudian kedua tangannya terangkat ke atas dari samping, hingga pangkal telapak tangan menyentuh ketiak.
Kuda-kuda tetap mengangkang seperti seorang menunggang kuda.
Perlahan kedua tangannya bergerak sesuai dengan yang dihafal.
Tenaga dikerahkan dari arah utara dan selatan.
Seirama dengan penyaluran napas, tangan kanan dan kiri digerakkan ke arah kanan dan kiri.
Pusat perhatian tertuju di satu titik di depan, akan tetapi yang ada dalam bayangan adalah tetesan hujan pertama, loncatan belalang, luncuran burung, tumbuhnya benih padi.
Merasa konsentrasinya kuat, Upasara melemparkan tenaganya ke depan.
Bupb! Kayu api di depannya terpental semuanya.
Api menjadi padam seketika, keadaan menjadi gelap.
Cabang kayu yang tadi dipakai untuk api, baru beberapa saat kemudian terjatuh di tanah.
Saking tinggi terlemparkan! Kawung Sen berjingkrakan.
"Bagus, kau berhasil, Kakang."
Upasara membuyarkan tenaga dalamnya.
"Tidak. Tanpa jurus itu pun aku bisa melakukan."
"Lalu?"
"Ada yang belum bisa kupahami. Cara mengambil sumber tenaga inti masih belum bisa kuketahui. Dalam kitab disebutkan sebagai tenaga musim Kasa. Musim pertama. Itu juga bisa disebut tenaga Kartika. Musim pertama itu mempunyai sifat belas kasih.
"Aha, mungkin itu sebabnya kenapa dalam kitab itu disebutkan kalau mempunyai rasa pongah dan sombong, tidak mencapai sasaran."
"Coba lagi."
"Kita coba sama-sama."
Kawung Sen berjingkrakan.
Ia berdiri sejajar, berjarak tiga tombak.
Keduanya mulai bergerak.
Upasara mengulangi gerakan tadi untuk menghimpun tenaga.
Sedang Kawung Sen, karena latar belakang silatnya berbeda, mengambil tenaga dengan menggerakkan kedua tangan setengah lingkaran di depan tubuh.
Lalu dalam saat yang bersamaan, keduanya melemparkan tenaga ke depan.
Terdengar suara keras.
Dua pohon sekaligus bergoyang.
Pohon di depan Upasara rontok sebagian besar daunnya.
Sedang pohon di depan Kawung Sen somplak beberapa cabangnya.
"Hoho... aku bisa. Aku bisa."
Upasara memusatkan konsentrasi.
Ia mulai dengan jurus Lintang Tagih.
Tenaga mengambil dari utara.
Tenaga bergulung, dan bergelombang besar, dan Upasara memusatkan seluruh daya cipta kepada dirinya, tidak memedulikan arah pukulan.
Membiarkan tenaga dingin tetap berada di dalam, dan tenaga panas menyembur ke luar.
Krak! Kini pohon di depan Upasara tercabut seakarnya.
Pohon di depan Kawung Sen rontok semua daun dan cabangnya.
"Adik, jurus kedua ini hanya mengerahkan tenaga luar, tenaga panas. Sebagian tetap disimpan."
"Kenapa begitu?"
"Inilah inti musim Karo. Musim kedua yang juga disebut Pusa. Jangan terlalu lama menahan tenaga di dalam. Gerakan harus dilakukan dengan cepat. Jauh lebih cepat dari jurus pertama."
"Dasar ilmu silat kita berbeda. Bagaimana Kakang bisa menjelaskan itu? Apa ditulis di situ?"
"Tidak. Tetapi kalau dilihat hasilnya, aku bisa menumbangkan pohon, sedang Adik tidak. Padahal tenaga dalam Adik jauh lebih besar dariku. Adik memiliki latihan dan pengendalian yang lebih berpengalaman.
"Hanya cara mengaturnya yang keliru.
"Kita ulangi jurus satu dan dua, dengan sasaran pohon yang lain.
"Mulai!"
Benar apa yang dikatakan Upasara. Pohon di depan Upasara sudah tumbang dan terlempar. Baru kemudian pohon di depan Kawung Sen bergoyang perlahan sebelum akhirnya rubuh.
"Astaga. Kenapa bisa begitu?"
"Waktu yang digunakan untuk pengerahan tenaga. Pada jurus pertama, karena pengaruh Kasa, waktunya lebih lama. Umur Kasa adalah 41 hari. Sedang Karo hanya 23 hari. Jadi hampir separuhnya. Waktu Karo sama juga dengan waktu Dhestha atau jurus kesebelas yang dipengaruhi Padrawana. Usianya juga 23 hari."
"Bagus, bagus. Boleh juga. Bagaimana dengan musim yang lain? Aku tak pernah mengerti berapa umur bulan yang ketiga dan seterusnya."
"Musim ketiga disebut Manggasri, berumur 24 hari, musim keempat disebut Sitra, berumur 25 hari. Musim kelima disebut Manggakala, berumur 27 hari. Musim keenam disebut Naya dihitung 43 hari. Demikian juga musim ketujuh disebut Palguna berusia 43 hari."
"Susah, susah, Kakang. Kenapa setiap bulan, setiap musim umurnya berbeda-beda?"
"Entahlah, Adik, bagaimana para leluhur menemukan perhitungan ini. Tetapi musim Kasa dihitung mulai terbitnya matahari ketika mulai condong ke selatan. Musim Naya, dihitung sejak matahari terbit ke arah selatan persis. Musim Palguna, ketika matahari terbit mulai condong ke utara. Sedangkan musim kedua belas, yang terakhir disebut Asuji, dihitung dari matahari terbit persis di utara. Dan panjang-pendeknya umur musim mempengaruhi jurus yang dimainkan."
"Bagaimana mungkin matahari agak ke selatan atau di selatan persis, agak ke utara atau di utara persis. Seumur-umur matahari terbit dari timur."
"Tidak persis begitu. Adakalanya agak ke utara dan agak ke selatan. Adik, para leluhur kita telah lama memperhitungkan ini semua dengan arah angin, hujan, ombak laut, ketika para senopati Keraton dikirim ke Melayu. Dengan dasar yang sama pula kini diciptakan dalam ilmu silat. Berbahagialah Adik menemukan ilmu ini."
"Tidak, Kakang yang membuat terang."
"Adik bisa berlatih sendiri. Setidaknya dari Kartika Parwa. Mungkin suatu hari kelak, kita bisa belajar bersama-sama lagi."
"Kakang akan melanjutkan perjalanan?"
"Tugas Keraton...."
"Sudahlah, Kakang. Pertolonganmu tak akan pernah kulupakan. Mudah-mudahan dewa di langit membalas semua budi baik Kakang. Kalau aku mengetahui rencana Maharesi Ugrawe, aku akan segera melaporkan padamu."
"Nuwun...."
Upasara mengangguk. Kawung Sen melompat memeluk Upasara. Lalu cepat melepaskan kembali.
"Aku sungguh tidak sopan."
"Adik Kawung Sen, selamat tinggal."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang Upasara, selamat jalan."
Upasara segera berlalu.
Meskipun tidak menoleh ia tahu bahwa Kawung Sen masih berdiri di tempatnya, sampai ia menghilang di kegelapan malam.
Dan malam itu Upasara terus melanjutkan perjalanan.
Hingga dini hari.
Setelah beristirahat sejenak, ia melanjutkan perjalanan kembali.
Menjelang senja, sampailah ia di batas kota.
Upasara mulai berhati-hati.
Sekali lagi ia menyamar sebagai penduduk biasa.
Malah ia memakai caping lebar sekali yang telah butut.
Dengan perasaan aman, Upasara melangkah ke dalam desa.
Sebuah desa perbatasan yang cukup ramai, pikir Upasara.
Apalagi menjelang senja begini masih banyak orang lalu-lalang.
Setahuku, di luar Keraton tak pernah ada kegiatan begitu matahari tenggelam.
Ataukah ada sesuatu yang terjadi? Dugaan Upasara tidak meleset.
Orang yang berlalu-lalang ini menuju satu tempat.
Yang dituju adalah lapangan yang diterangi banyak obor yang mulai dinyalakan.
Ada panggung luas, di belakangnya dihiasi patung besar, serta umbul-umbul.
Kelihatan kegiatan baru akan dimulai.
Upasara melirik sebentar.
Berniat meneruskan perjalanan ketika terdengar sorak-sorai keras.
Terpaksa kakinya berhenti melangkah.
Pandangannya _.
tertuju ke tengah panggung.
Dan kecele.
Karena panggung tetap kosong melompong.
Dalam herannya, Upasara menegur seorang yang sebaya dengannya.
"Ada apa, Kisanak?"
Yang ditegur memandang heran ke arah Upasara.
"Untuk apa datang kemari kalau tak tahu kegiatan apa?"
"Maaf, saya benar-benar tidak tahu. Apakah akan ada pertandingan silat?"
"Ini sudah malam ketujuh dari Sayembara Mantu. Bisa jadi kalau kamu ikut dan menang, bisa memboyong putri Cina. Ha... ha... ha."
Dari caranya tertawa, jelas Upasara ditertawakan.
"Majulah segera, siapa tahu nasibmu baik. Kami semua sudah tidak sabar menunggu siapa pemenangnya."
Sayembara Mantu, adalah sayembara untuk dipilih menjadi menantu.
Upasara mengetahui bahwa ada cara-cara seperti itu.
Agaknya terlalu banyak calon sehingga perlu diadakan sayembara.
Hanya yang mengherankan, kenapa yang dipilih adalah putri Cina? Upasara tahu bahwa dahulu pernah ada utusan dari negeri Cina yang datang ke Baginda Raja.
Konon, raja dari negeri Cina terdiri atas para jagoan yang luar biasa.
Namun mereka bisa diusir pergi.
Malah utusannya dicoreng wajahnya dengan tulisan.
Sejak itu mereka pulang balik ke negerinya minta bala bantuan.
Akan tetapi Upasara juga mendengar berita bahwa tidak semua utusan pulang kandang.
Beberapa jagonya yang kesohor masih tinggal di sekitar pantai.
Siapa nyana sekarang berani mendirikan tempat pertemuan yang terbuka dan mengadakan Sayembara Mantu? Kalau benar ini malam ketujuh, berarti sudah lebih dari sepasar kegiatan ini diadakan setiap malam.
Dan jaraknya dari Keraton tak terlalu jauh.
Sehingga pastilah pihak Keraton telah mendengarnya.
Pasti juga tak ada larangan dari Keraton, karena nyatanya kegiatan ini masih terus berlangsung.
Bagi Upasara tidak menjadi soal benar hal semacam ini.
Ia sama sekali tak tertarik mencari pasangan.
Dalam otaknya belum ada masalah seperti itu.
Akan tetapi bahwa kegiatan ini diadakan oleh kelompok yang pernah diusir dari Keraton, memang agak mencengangkan.
Seingat Upasara, Ngabehi Pandu pernah menceritakan bahwa dalam utusan Meng-ki terdapat seorang ahli silat yang ilmunya kelewat tinggi.
Yang harus diperhitungkan benar-benar.
Upasara tidak bertanya lebih jauh saat itu.
Akan tetapi mengingat bahwa gurunya memuji, ia jadi penasaran.
Setahunya, gurunya hanya menyebut-nyebut beberapa nama yang termasuk luar biasa.
Yang pertama adalah Eyang Sepuh dari Perguruan Awan.
Ia menduduki tempat teratas.
Hanya saja sudah sejak lama Eyang Sepuh ini mengasingkan diri dan membina Perguruan Awan.
Sehingga tak diketahui lagi.
Menurut Ngabehi Pandu, kemampuan Eyang Sepuh tak bisa diukur lagi.
"Bagaimana bisa diukur kemampuannya kalau selama ini Eyang Sepuh belum ada yang bisa mengalahkan? Bahkan murid-muridnya masih termasuk kelas tinggi. Di dunia ini, hanya Eyang Sepuh yang tak terkalahkan selama pertandingan."
Yang kedua adalah Mpu Raganata.
Mahapatih Keraton yang dianggap mampu menandingi siapa saja, dalam soal apa saja.
Baik dalam pertempuran satu lawan satu, baik dalam mengatur siasat perang, maupun dalam strategi, serta membaca maksud lawan.
Salah satu ilmu andalannya disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah, atau Tahu Sebelum Terjadi.
Rangkaian jurus-jurus ini oleh Ngabehi Pandu disebut sebagai penangkis segala jurus.
Karena Mpu Raganata mampu membaca apa yang dipikirkan lawan.
Tahu ke mana gerakan dan serangan lawan.
Sehingga dengan mudah bisa mengalahkan lawan-lawannya.
"Eyang Sepuh belum pernah terkalahkan. Paman Ngabehi, dibandingkan dengan Mpu Raganata yang menguasai Weruh Sadurunging Winarah, siapa yang lebih unggul?"
"Susah dibuktikan. Tapi Mpu Raganata selalu menolak bertanding dengan Eyang Sepuh. Beliau mengatakan bukan tandingan Eyang Sepuh. Mungkin justru dengan ilmunya itu Mpu Raganata mengetahui bahwa ia tak bisa mengungguli Eyang Sepuh."
Yang ketiga disebut-sebut adalah Ugrawe.
Terutama karena ilmunya Sindhung Aliwawar yang beraneka ragam, dan sulit dipelajari oleh lawan.
Sejak Eyang Sepuh tak lagi terjun ke dunia, dan Mpu Raganata tergeser dari pusat kekuasaan, hanya Ugrawe yang bisa malang-melintang.
Baru kemudian, Ngabehi Pandu bercerita tentang tokoh keempat.
Yaitu panglima utama dari negeri Cina, yang dikenal dengan Mojin, atau Bok Mojin.
"Mojin mewarisi ilmu gulat yang luar biasa yang dikembangkan dari negeri asalnya, negeri padang pasir Mongolia. Dipadu dengan kecepatan gerak bangsa Cina yang ditaklukkan, Mojin benar-benar luar biasa."
Saat itu Ngabehi Pandu tidak menyebut-nyebut Mahisa Anengah Panji Angragani yang menggantikan kedudukan Mpu Raganata.
"Jauh di bawah itu, jumlahnya banyak sekali."
"Termasuk Paman?"
"Aku bukan apa-apa."
"Pakde Senamata Karmuka?"
"Pakdemu itu juga bukan apa-apa."
Saat itu Upasara seperti tak bisa menerima apa yang dikatakan gurunya.
Bagaimana bisa terjadi, Ngabehi Pandu tetap dikatakan bukan apa-apa? Selama ini Upasara mengetahui bahwa Ngabehi Pandu tak pernah bisa dikalahkan dalam Keraton! Kalau benar begitu, pastilah empat tokoh yang telah disebutkan tadi sangat luar biasa.
Upasara sendiri belum pernah menyaksikan jurus-jurus dan ilmu Eyang Sepuh.
Ngabehi Pandu hanya memberikan dasar-dasar sumber gerak sebagai tambahan pengetahuan.
Mengenai Mpu Raganata, Upasara pernah bertemu.
Walau tidak sedang memperlihatkan ilmunya, Upasara bisa merasakan perbawa dan kehebatan sorot mata Mpu Raganata.
Hanya dalam hatinya Upasara kurang hormat karena ketika itu Mpu Raganata seperti meremehkan kehadiran Upasara.
Saat itu ia sedang berlatih keras bersama Ngabehi Pandu, tiba-tiba sebuah bayangan menyeruak masuk.
Upasara tidak mendengar desiran angin, tidak mendengar suara kaki, akan tetapi tiba-tiba melihat seorang tua dengan pakaian putih berdiri di depannya.
Ngabehi Pandu langsung memberi sembah dengan hormat sekali.
Upasara mengikuti.
"Ngabehi..."
"Sembah dalem, Begawan...."
"Hmmmmmmm, ini hasilmu melatih Ksatria Pingitan?"
"Nun inggih. Hamba sama sekali tak berbakat. Mohon petunjuk, Begawan."
"Susah, susah. Keinginan Keraton adalah menciptakan seorang ksatria tulen. Sejak lahir tak tahu apa-apa selain ilmu silat. Dilatih sejak lahir ceprot. Dikurung secara istimewa. Hmmmmm, tak tahunya hasilnya hanya sebegini. Saya dengar banyak sekali yang tak bisa mewarisi ilmu Keraton."
"Nun inggih, hanya tinggal satu orang. Yang lainnya menjadi prajurit."
"Hmmmmm, susah. Susah. Tinggal satu saja seperti ini."
"Hukumlah hamba yang tidak becus ini."
"Bukan salahmu. Mereka memang tidak punya darah ksatria. Dipaksa seperti apa ya susah. Sekalinya cacing tak bisa dipaksa menjadi naga."
Upasara yang terus menunduk sejak tadi, tak terasa mengangkat dagunya.
"Tapi anak muda ini boleh juga. Matanya berani menatapku. Besok kalau sudah pantas, aku ingin sekali melihatnya."
Darah Upasara mendidih. Sejak itu ia berlatih makin keras. Lebih keras dari biasanya. Namun Mpu Raganata tak pernah muncul kembali. Setiap kali Upasara menanyakan, Ngabehi Pandu menggelengkan kepalanya.
"Itu bukan urusanmu. Beliau mempunyai urusan lain lebih banyak. Urusanmu mewarisi ilmu Keraton."
Sejak itu Upasara tak pernah bertemu lagi. Kini, ia ingat lagi karena ia teringat kepada Mojin.
"Jangan-jangan Mojin...,"
Kata Upasara pelan.
"Heh, kamu kenal juga nama itu?"
"Maaf, hamba hanya mendengar bahwa yang harus dikalahkan bernama Bok Mojin...."
"Semprul... kamu ini ngerti apa? Kiai Sangga Langit tak perlu turun tangan untuk mencari menantu. Cukup membiarkan kamu melawan pemenang dan itu sudah cukup untuk menjadi suami putri Cina."
Bulu kuduk Upasara bergidik.
Hebat benar jika Mojin yang digelari Kiai Sangga Langit benar-benar ada di sini.
Jelas ini bukan sayembara sembarangan.
Tapi kenapa mengadakan sayembara di tapal batas Keraton? Kenapa tidak di Keraton sekalian atau di Gelang-Gelang atau di Kediri? Ini aneh, pikir Upasara.
Ia banyak membaca kitab-kitab dan segala macam peraturan, akan tetapi toh kejadian seperti ini masih sulit dimengerti.
Kalau Kiai Sangga Langit berani muncul ke permukaan, pasti ada seseorang yang berdiri di belakangnya.
Sayembara Mantu ini sendiri pasti bukan tak ada apa-apanya.
Selama ini boleh dikata, anak gadis yang memiliki sesuatu yang luar biasa, akan di-sowan-kan ke Keraton atau mendapat panggilan ke Keraton.
Kalau-kalau Baginda Raja berkenan.
Nah, kalau putri Cina terkenal karena keayuannya, kenapa tidak langsung di-sowan-kan ke Keraton? Mata Upasara seperti dicolok.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di pentas muncul seorang wanita yang sangat menarik.
Dahinya lebar, rambutnya yang berombak dibiarkan terurai hingga mencapai pantat.
Pandangannya galak sekali.
Bibirnya tipis, sedikit berwarna merah.
Yang lebih menarik lagi adalah bentuk dadanya yang montok besar, dengan kemben yang lekat.
Kainnya terbuka sedikit di bagian kaki.
"Saya Demang Wangi mengucapkan selamat datang kepada para ksatria di seluruh tanah Jawa. Ini adalah malam terakhir pemilihan menantu. Akan kita ketahui bersama siapa yang berhak mempersunting Dyah Muning Maduwani....
"Akan tetapi seperti malam kemarin, Kiai Sangga Langit tetap memberi kesempatan bagi peserta yang ingin menjajal keberuntungan...."
Suaranya enak, seperti mengelus telinga.
Ada nada bisik-bisik yang menggelitik.
Apalagi ketika mengakhiri kalimatnya dengan menyungging senyum serta menunggu reaksi, membuat lelaki di samping Upasara berdecah-decah.
Demang Wangi, setahu Upasara adalah salah seorang jago silat yang disegani juga.
Sebenarnya yang bergelar Demang Wangi adalah seorang lelaki.
Tetapi entah kenapa malam ini yang muncul adalah perempuan yang mengobral senyum.
Entah apa pula hubungannya dengan Kiai Sangga Langit atau juga Dyah Muning Maduwani.
Kalau ditilik dari namanya, Dyah Muning Maduwani adalah putri Cina yang disayembarakan.
Dyah memang sebutan terhormat untuk gadis.
Sedang Muning, bisa jadi kependekan atau nama yang diluweskan dari Mo dan Ing atau sejenis dengan itu.
Maduwani sekadar julukan untuk menggambarkan keayuannya seperti madu.
Dan wani yang juga berarti berani, mengandung pengertian tersendiri.
Maduwani, bisa juga berarti sangat bermadu, atau menonjol kemaduannya.
"Bagaimana?"
"Bagaimana kalau saya melamar Demang Wangi saja?"
Tiba-tiba terdengar suara dari arah timur. Suaranya cukup keras dan gemanya seperti lebah berdengung.
"Kenapa bicara di tempat gelap, kalau di sini disediakan tempat terang? Silakan maju, biar saya bisa berkenalan."
Terdengar suara tawa berkekeh, disela batuk lunak, ketika satu sosok bayangan masuk ke dalam arena.
Bayangan seorang lelaki yang badannya tinggi tegap, dengan jidat sangat lebar.
Di tangannya tergenggam tongkat berwarna gelap.
Tongkat itu kelihatannya sangat berat sekali, mengilap di sekujur batangnya, sehingga membalikkan sinar api.
Upasara tahu siapa tokoh yang memakai tongkat dari galih pepohonan.
Atau dibuat dari tengah batang pohon.
Galih Kaliki! Mengilatnya tongkat itu konon karena selalu dilap dengan darah korban yang kena kemplangannya.
"O, kiranya Kakang Galih Kaliki yang menginginkan saya."
"Jauh sebelum kau menjanda, aku sudah menginginkan dirimu. Dan kau tahu itu, Nyai Demang. Hari ini aku datang untuk melamarmu."
Nyai Demang Wangi tersenyum menggoda.
"Aha, saya sudah tua. Janda yang tak laku. Kenapa pula Kakang menginginkan saya? Kalau Kakang bisa memperoleh Dyah Muning Maduwani, dengan sendirinya saya akan menjadi pelayan Kakang.
"Baiklah kalau Kakang juga akan mengikuti sayembara ini."
Galih Kaliki menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku cuma ingin dirimu. Bukan yang lain. Apakah ia bidadari atau ular naga apa peduliku. Bicaralah terus terang, Nyai Demang. Kau bersedia atau tidak. Kalau bersedia, aku akan mengemplang siapa pun yang menghalangi. Kalau tidak, aku akan menunggu lagi.
"Perkara lain kita bicarakan nanti. Biarlah para ksatria yang hadir di sini menjadi saksi. Bahwa aku Galih Kaliki melamarmu."
Suaranya keras, nadanya tegas.
Upasara mengenal dari penuturan bahwa Galih Kaliki termasuk tokoh yang aneh.
Bahwa semua tokoh persilatan mempunyai sifat aneh, itu sudah dengan sendirinya.
Akan tetapi Galih Kaliki termasuk yang paling aneh, karena ia tak bisa dengan begitu saja dimasukkan ke dalam golongan hitam atau putih.
Apakah ia memusuhi atau setia kepada Keraton, tidak bisa begitu saja dipastikan.
Bahkan asal-usul perguruannya juga aneh.
Selama ini tak diketahui.
Lebih aneh lagi sifatnya seperti yang ditunjukkan sekarang ini.
Secara demonstratif ia melamar Nyai Demang, justru di saat bukan Nyai yang disayembarakan.
"Saya kira tukang kayu ini salah alamat. Untuk apa ia tampil ke panggung ini?"
"Bayi mana berani bersuara dalam gelap seperti ini?"
"Aku, Bagus Respati dari Keraton Singasari."
Terdengar jawaban ringan dan sesosok tubuh melayang dengan indah.
Wajah yang tampan, bersih, dengan pakaian mewahkedua kakinya dihiasi dengan gelang emas melemparkan senyum tinggi.
Titik-titik berlian di hulu kerisnya memantulkan sinar balik dengan terang sekali.
Titik-titik berlian yang sebesar biji kacang.
Upasara kenal baik dengan Bagus Respati.
Dulu, Bagus Respati adalah Ksatria Pingitan juga.
Seperti dirinya ini.
Hanya kemudian memilih jalan sendiri karena secara khusus diundangkan beberapa guru kepadanya.
Sejak berpisah lima tahun yang lalu, Upasara tak pernah bertemu lagi.
Baru kali ini sempat melihat dari jarak jauh.
"Apa hubunganmu dengan Keraton, cah bagus?"
"Aku adalah putra Yang Mulia Mahisa Anengah Panji Angragani, mahapatih Keraton Singasari, tangan kanan Baginda Raja Kertanegara."
"Jadi kau ingin berebut denganku soal Nyai Demang? Mari kujajal dulu. Apakah masih tercium bau pupuk bawangmu atau tidak."
Galih Kaliki langsung mengambil posisi. Bagus Respati menggelengkan kepalanya.
"Kalau kau menjadi peserta sayembara, aku akan melayani. Karena malam ini aku adalah pemenang terakhir.
"Kalau kau menginginkan Nyai Demang, aku tak mau meladenimu. Malam ini juga akan kuboyong Dyah Muning Maduwani."
Bagus Respati berbalik ke arah penonton.
"Karena aku tidak mau main curang, aku akan memberi kesempatan terakhir. Siapa yang masih mengikuti sayembara, silakan maju.
"Aku tidak mau menakuti. Akan tetapi sayembara ini hanya ditentukan pemenangnya setelah lawannya tak bisa bangkit lagi. Jangan salahkan aku kalau terlalu keras. Silakan kalau ada yang mau mencoba."
Suasana menjadi hening. Upasara berniat meninggalkan lapangan. Tapi kakinya terasa berat melihat senyum Nyai Demang.
"Ternyata peserta yang lain lebih suka mengundurkan diri. Kalau memang tidak ada..."
Suaranya tertahan, seperti menunggu ada yang mengusulkan sesuatu.
"...kalau memang tak ada... memang tak ada?"
Mendadak perhatian terserap ke panggung sebelah kiri.
Serombongan orang berjalan masuk sambil memanggul tandu.
Upasara melihat bahwa bentuk tandu yang sekarang ini agak istimewa.
Penuh dengan hiasan warna-warni.
Warnanya juga beraneka ragam.
Tandu itu diletakkan di pinggir sebelah kiri.
Bagian depan yang tertutup kain tiba-tiba menyibak.
Serentak dengan itu terdengar decak kagum, dan para penonton berdesakan.
Dari dalam tandu terlihatlah bayangan seorang gadis.
Rambutnya panjang, hitam, disanggul sempurna.
Seluruh tubuhnya ditutupi dengan kain sutra putih yang ujungnya diberi hiasan bunga merah muda.
Kulitnya putihsangat putih sekali.
Terutama di bagian wajah, dan lehernya yang jenjang.
Yang membuat Upasara kagum adalah tenaga dalam untuk membuka tirai penutup.
Tirai yang dibuat dari sutra itu membuka, dan ujungnya tetap menunjuk ke atas.
Tertahan di tengah udara.
Mata yang sipit menatap ke arah panggung.
"Karena telah berada di atas panggung, mengapa tidak turut serta?"
Untuk pertama kalinya Upasara merinding. Suaranya sangat halus, merdu, dan menyentuh. Walaupun bibirnya bergerak sangat pelan sekali. Galih Kaliki mendengus keras.
"Aku datang tidak untuk melamarmu. Aku tak suka kamu."
Galih Kaliki membuang muka. Bagus Respati menjejak panggung dan tubuhnya melayang.
"Orang dusun tak tahu tata krama, bagaimana kau bisa menghina begitu busuk? Jangan panggil aku Bagus Respati kalau tak bisa menyingkirkanmu."
Meskipun dalam keadaan murka, Bagus Respati masih memperingatkan lebih dulu.
Kedua tangannya menarik dua kerissatu dari belakang yang diketahui oleh penonton, satu lagi entah dari mana.
Dua keris itu tergetar mengeluarkan bau amis.
Galih Kaliki menyambar tongkatnya, dan langsung menerjang.
Tongkat hati kayu mengemplang dari atas.
Yang diarah langsung batok kepala lawan.
Dengan memiringkan kepalanya, Bagus Respati menarik tubuhnya ke samping.
Gerakan kakinya sangat lincah dan bagus Upasara diam-diam memuji kagum.
Karena dengan gerakan kaki itu Bagus Respati bisa memiringkan tubuhnya, menghindar, dan dalam langkah berikutnya yang bersambungan sudah berada dalam jarak dekat.
Kedua kerisnya bagai sepasang gunting.
Sekali tusuk bakal membuat dua luka.
Dengan variasi gerakan yang ada.
Dua bisa menjadi empat, empat bisa menjadi delapan.
Dalam sekejap seperti ada 32 ujung keris yang datang dan pergi, dengan tusukan tempat yang berbahaya.
Galih Kaliki seperti menyapu semuanya.
Ia maju terus, menggempur dengan tongkat hati kayu.
Gebrakan sapuan tongkatnya hanya satu.
Batok kepala lawan.
Kalaupun menyabet ke bawah, akhirnya langsung ke atas lagi.
Mencongkel dari bawah.
Menggebuk dari samping pun arahnya tetap jidat.
Dengan cara menyerbu seperti ini, Bagus Respati tak bisa mempraktekkan kelebihannya.
Ia tak bisa memamerkan kelebihannya bermain dengan indah.
Karena sebelum satu jurus selesai separuh, sudah harus diubah dari awal, atau ditarik mundur.
Galih Kaliki terlalu merangsek maju.
"Ayo pamerkan ilmu menggelitik ini."
Namun meskipun Galih Kaliki kelihatan sesumbar, ayunan tongkatnya selalu menemui tempat kosong.
Cara bergerak Bagus Respati memang rapi dan tangguh.
Perubahan gerak kakinya sangat luar biasa.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebentar merandek maju, ditarik mundur ke samping, dan tahu-tahu sudah berada dalam jarak yang jauh lagi.
Dalam sepuluh jurus pertama, Galih Kaliki jadi repot.
Beberapa kali tongkatnya ditarik mundurtertarik dengan sendirinya, karena serbuan kaki lawan yang merepotkan.
Sementara Bagus Respati juga tak bisa maju sepenuhnya.
Setiap kali memperoleh peluang, ia tak bisa menggunakan dengan baik.
Karena angin dari tongkat Galih Kaliki sudah terasa di ubun-ubunnya.
Lima jurus lagi telah berlalu, tanpa ada yang berani memastikan pihak mana yang lebih unggul.
Sebenarnya kalau pertempuran diteruskan hingga jurus kelima puluh, Bagus Respati bisa berada di atas angin.
Bagaimanapun juga gerakan kakinya makin terarah dan tetap rapi.
Sementara Galih Kaliki harus terus mengeluarkan tenaga ekstra keras.
Jenis pukulan dan serangannya menuntut tenaga besar.
Jadi biar bagaimanapun kuatnya, makin lama akan makin keteter.
Makin terkuras.
Tapi Bagus Respati tak sabar menunggu.
Selama mengikuti sayembara ini, ia telah mengalahkan empat lawan.
Semuanya di bawah sepuluh jurusdan semuanya tewas dengan enam belas tusukan di satu tempat.
Korban pertama, tertusuk di bagian leher.
Korban kedua, sama juga.
Korban ketiga di bagian dada kiri.
Dan korban keempat...
semuanya di bagian wajah.
Semua dikalahkan dengan cara yang sama.
Posisi kuda-kudanya makin lama makin kedodoran.
Dan ketika suasana menjadi kritis, yang dibenahi lebih dulu adalah bagian penjagaan.
Saat itulah Bagus Respati melancarkan serangan kilatnya.
Dua keris bergerak bersamaan! Memang Galih Kaliki yang dihadapi sekali ini jauh berbeda.
Namun dengan cara yang sama, Bagus Respati bisa mendesak.
Hanya saja setelah lewat dua puluh jurus, masih bisa bertahan dengan kuat dan tetap berbahaya, Bagus Respati tidak sabaran.
Ia mempercepat serangan kaki, setiap kali Galih Kaliki beringsut, tempat yang barusan diinjak ganti diinjak.
Tak peduli Galih Kaliki mundur ke samping kiri atau kanan.
Bahkan kalau mencoba maju, Bagus Respati berusaha mengambil posisi yang ditinggalkan.
Dengan cepat kedua tubuh yang tengah bertempur jadi berputar-putar.
Dari ujung kiri panggung ke kanan, pindah lagi ke tengah, minggir lagi.
Bagus Respati bisa makin keras mendesak, karena ayunan tongkat Galih Kaliki bisa dikenali.
Keras-lembut tenaga serta sasarannya terlalu monoton.
Upasara yang menonton di pinggir panggung hanya bisa kuatir dalam hati.
Dalam perhitungannya, Bagus Respati memang sangat pesat kemajuannya.
Sebagai sama-sama Ksatria PingitandulunyaUpasara melihat kepesatan Bagus Respati bukan hanya dalam soal ilmu silat, tetapi juga dalam membaca kemampuan lawan.
Sementara itu justru sebaliknya dengan Galih Kaliki.
Tokoh aneh yang tak dimengerti asal-usulnya ini, dalam sepuluh jurus pertama sungguh mengagumkan.
Ayunan tongkatnya betul-betul berhasil menekan lawan dengan berat.
Sehingga lawan tak sempat berkembang permainannya.
Didikte dengan keras.
Arah dan sasarannya juga maut.
Ubun-ubun.
Tenaganya yang tidak kecil.
Sehingga untuk ditangkis hampir tidak mungkin.
Hanya bisa dihindari.
Akan tetapi terasa juga tekanan itu tidak makin berat, tetapi malah melonggar di sana-sini.
Terutama karena gerakan pengulangannya Maka perlahan, Galih Kaliki menjadi jatuh di bawah angin.
Bagus Respati memperhitungkan bahwa peluang untuk mengeluarkan pukulan atau lebih tepat tusukanterakhir yang menentukan.
Agaknya Bagus Respati melihat kesempatan itu ketika ayunan tongkat Galih Kaliki berputar sedikit.
Dengan sebat ia menyepak ke arah paha lawan untuk meminjam tenaga, dan pada saat yang bersamaan tubuhnya melayang ke atas.
Dengan kedua keris seperti mencari kutu.
Bergerak cepat, bergantian arahnya, seperti menyerang leher, dagu, telinga, mata, dari arah bawah.
Upasara mengeluarkan seruan tertahan! "Tahan...."
Terlambat.
Tubuh Bagus Respati telah melayang ke atas dan dari ujung kerisnya terlihat warna merah.
Tapi Galih Kaliki tidak sekadar memukul angin.
Putaran tongkatnya dari menyerang kepala menjadi sodokan keras.
Tak urung dada Bagus Respati kena disodok.
Tubuh Bagus Respati melayang ke bawah.
Jatuh di panggung.
Tetapi dengan bergulingan, Bagus Respati mampu berdiri kembali.
Dadanya masih terasa sakit sehingga jalannya terhuyung-huyung.
Sementara Galih Kaliki masih berdiri tegak.
Tapi ada goresan dari dada ke atas.
Goresan yang mengalirkan darah segar.
"Ayo maju lagi!"
Teriak Galih Kaliki keras sambil menyerbu tanpa memedulikan bahwa darah yang mengalir makin banyak.
Ayunan tongkat ditangkis dengan dua buah keris.
Saking kerasnya satu keris terlempar ke tengah udara.
Galih Kaliki mengulang kembali serangannya.
Kalau tadi gerakan monoton yang berulang agak merugikan dirinya, sekarang justru berarti sekali.
Sebelum Bagus Respati bisa mengerahkan tenaganya secara sempurna, lawan sudah mengemplang lagi! Upasara yang berdiri di bagian pinggir hanya melihat satu kemungkinan.
Bagus Respati bakal melemparkan kerisnya, dan Galih Kaliki tak akan memedulikan tapi terus mengemplang.
Akibatnya jelas.
Galih Kaliki akan mati seketika dan ubun-ubun Bagus Respati akan hancur luluh berantakan.
Upasara bisa menebak gerakan Bagus Respati karena dasar gerakan dalam memainkan keris sama dengan yang dipelajari.
Yang berbeda hanya variasi kecilnya.
Maka Upasara melayang maju ke depan.
Ia memegang dua pundak orang di kanan-kirinya.
Sebelum mereka ini tahu apa yang terjadi, tenaga mereka telah dipinjam Upasara.
Di tengah udara, Upasara melemparkan capingnya dengan sepenuh tenaga.
Perhitungan tak banyak berbeda.
Caping itu berputar keras sekali.
Menyelip di antara Bagus Respati dan Galih Kaliki.
Sekaligus "menelan"
Keris Bagus Respati.
Tenaga luncuran keris itu meluncur terbawa pusaran caping.
Dan dalam melayang ke atas caping itu mengenai pergelangan tangan Galih Kaliki.
Sehingga tongkatnya tak bisa dikuasai lagi arahnya.
Malah terlepas dari tangannya.
Upasara menyambar tongkat itu sambil melayang turun.
Lalu dengan berjongkok, menghaturkan sembah ke arah dua orang yang saling menjauh.
Galih Kaliki baru menyadari bahwa caping itu telah menolong nyawanya dari luncuran keris.
Sebaliknya Bagus Respati juga menyadari bahwa ubun-ubunnya telah dibebaskan dari bentuk yang mengerikan.
"Maafkan, Paman Galih, maafkan, Kakang Respati...."
Upasara menghormat sekali lagi. Lalu mengembalikan kedua pusaka ke pemiliknya masing-masing.
"Siapa kau?"
Nyai Demang bergerak maju.
"Kenapa kau berani kurang ajar? Tidak tahu bahwa dalam sayembara ini pemenangnya harus bisa mengalahkan lawan-lawannya? Kalau kau mempunyai sifat ksatria, bukan begitu caranya.
"Sebutkan namamu sebelum terlambat."
"Nama saya Upa, putra Bapak Toikromo. Saya memang kurang ksatria. Akan tetapi kelancangan saya terutama karena dalam Sayembara Mantu ini harus ada pemenangnya. Kalau keduanya tewas, Dyah Muning bakal menjadi janda sebelum mempunyai suami.
"Lagi pula, dalam hal ini sudah ada pemenangnya. Bagus Respati. Sedang Paman Galih menghendaki Mbakyu Demang."
Hebat kata-kata Upasara.
Nyai Demang sedetik berubah parasnya.
Warna merah meronai wajahnya.
Baru sekarang ini ada yang memanggilnya mbakyu, alias kakak perempuan.
Dan bukan nyai.
Dalam sedetik itu Nyai Demang merasa sepuluh tahun lebih muda.
Tapi Nyai Demang dalam detik berikutnya malah berubah geram.
"Anak desa yang sombong. Apa kau kira kau begitu jago sehingga bisa berbuat sesukamu?"
"Maafkan saya, Mbakyu Demang. Usia kita mungkin tak jauh berbeda, akan tetapi saya tidak mengerti tata krama. Saya memang anak desa."
Lagi Upasara melemparkan umpan yang berbisa.
Siapa saja juga bisa melihat dengan mudah, bahwa usia Nyai Demang jauh di atas Upasara yang nampak masih segar.
Tapi Upasara sengaja melemparkan kalimat itu.
Nyai Demang tergetar hatinya.
Akan tetapi penampilannya justru lebih galak.
"Huh. Siapa sudi mempunyai adik seperti kamu? Anak desa, ketahuilah bahwa dalam Sayembara Mantu, siapa pun yang masuk ke dalam gelanggang adalah peserta sayembara. Maka bereskanlah lawan yang lain dan kau akan memperoleh Dyah Muning Maduwani."
Upasara melengak. Ia tak menyangka bakal disebut sebagai calon.
"Tidak bisa. Saya telah mempunyai istri...."
Nyai Demang tertawa cekikikan. Juga para penonton. Cara Upasara mengucapkan kata istri, sangat janggal sekali. Apalagi Upasara sendiri lalu terlihat salah tingkah.
"Anak dusun, kalaupun kau telah mempunyai istri tidak menjadi penghalang.
"Maka kalau kau bisa mengalahkan lawan-lawan yang masih ada di panggung sekarang, kamu akan menjadi pemenang."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Upasara menunduk. Memberi hormat kepada Bagus Respati.
"Kakang Respati, silakan menjemput calon mempelai putri."
Lalu berbalik ke arah Galih Kaliki.
"Paman, silakan mengambil Mbakyu Demang."
"Anak dusun Upa, siapa suruh kau jadi makcomblang seperti ini? Saya bilang lawanlah mereka, kalau kau ingin menjadi pemenangnya?"
"Jelas tidak ksatria, Mbakyu. Dan bukankah sifat itu yang Mbakyu kutuk barusan?"
Bagus Respati menahan rasa sakit di dadanya.
Terasa ulu hatinya seperti ditindih beban yang berat sekali.
Ia bisa mengenali bahwa Upasara adalah teman dekat di Pingitan.
Akan tetapi karena Upasara sendiri tidak mau memperkenalkan diri, Bagus Respati tidak memperlihatkan bahwa ia mengenali.
Galih Kaliki merasa sangat perih.
Luka yang menyayat mulai menimbulkan gatal-gatal.
Upasara mendekati Bagus Respati, dan membimbingnya ke tengah.
Diam-diam ia berusaha menyalurkan tenaga, sambil memencet nadi dibagian punggung.
Bagus Respati merasa sedikit lebih enak.
Makanya tanpa diminta pun ia menyerahkan bubuk pemunah gatal.
Upasara sendiri lalu mendekati ke arah Nyai Demang, sambil menyerahkan bubuk dalam bungkus daun pisang.
"Mbakyu bisa membantu Paman Galih. Kalau saya bisa salah menaburkan."
Galih Kaliki tersipu-sipu.
"Terimalah hormatku, Upa...."
"Paman terlalu merendahkan diri."
"Pertolongan dan kebaikanmu tak akan kulupakan."
"Saya tak berani menerima, Paman."
Galih Kaliki nampak merasa gembira ketika Nyai Demang menuntunnya. Namun baru tiga tindak langkahnya terhenti. Tirai sutra terbuka, dan kembali terdengar suara halus.
"Siapa pemenangnya?"
Upasara tergetar mendengar suara yang begitu merdu di telinganya.
"Aku pemenangnya,"
Jawab Bagus Respati tegas.
"Bawa saya pergi."
Tirai tertutup lagi.
Dari samping panggung, tanpa terdengar suara apa pun, bergerak satu bayangan.
Tanpa memperdengarkan suara berisik.
Bahkan, sepertinya, obor di pinggir lapangan pun tak bergerak karena angin.
Nyai Demang yang lebih dulu memberi hormat.
Upasara menjilat bibirnya.
Sebagian ludahnya tersendat.
Jago mengentengkan tubuh yang selama ini dikenal adalah Wilanda.
Yang bisa bergerak dan meloncat bagai capung.
Namun dibandingkan dengan tokoh yang baru muncul ini, kelihatannya Wilanda masih dua kelas di bawahnya.
Upasara memperhatikan dengan cermat.
Seorang lelaki yang badannya tegap.
Sangat tegap.
Daging di lengannya menonjol seperti paha.
Otot-ototnya terlihat jelas.
Di bawah topi bulu binatang yang aneh, sepasang mata sipit mengawasi panggung.
Dadanya licin, dengan otot-otot keras.
Licin, sehingga seperti diminyaki.
Mengenakan celana yang komprang sebatas lutut.
Kakinya juga memperlihatkan kekukuhan yang luar biasa.
Sedikit di atas mata kaki dibalut dengan bulu binatangyang agaknya berasal dari bulu binatang yang dikenakan sebagai topi.
Kalau melihat bentuk tubuh yang kokoh bagai tukang gulat, sungguh luar biasa ilmu mengentengkan badannya.
Lelaki bertopi itu mengeluarkan suara aneh.
Nyai Demang berbalik ke arah Upasara.
"Kiai Sangga Langit belum menganggap Sayembara Mantu selesai. Masih ada satu pertandingan lagi. Siapa yang keluar dari tempat ini sebagai pemenang pertama, baru boleh membawa pergi putrinya."
Upasara mengertakkan giginya.
Ini ternyata yang disebut-sebut sebagai Kiai Sangga Langit! Pantas saja Ngabehi Pandu memuji dan meletakkan dalam kedudukan yang terhormat.
Kalau benar Kiai Sangga Langit turun tangan sendiri, siapa yang bisa melawannya? "Paman, tanyakan kepada siapa Kiai menantang? Karena ia tak bisa bicara langsung dengan kitadan melalui perantaraan Mbakyu Demang kita pun melalui perantaraan Paman."
"Aku senang sekali. Itu peran bagus untukku,"
Teriak Galih Kaliki. Nyai Demang menerjemahkan ke arah Kiai Sangga Langit. Kiai Sangga Langit menyeringai, berbicara, dan Nyai Demang kembali menerjemahkan.
"Kepada orang asing yang berada di atas panggung."
"Aneh. Dua tokoh utama sedang dalam keadaan terluka. Saya sendiri tidak berminat, untuk apa melayani Kiai Sangga Langit?"
"Kalau tidak mau melayani, akan dipaksa. Kalian bertiga boleh mengeroyok."
"Paman Galih, tolong katakan padanya bahwa kita yang biasa hidup di tanah subur, lain dengan mereka yang dibesarkan di padang pasir. Kita ksatria yang merasa tidak gagah kalau main keroyok.
Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id Kisah Pendekar Sakti Putri Bulan Bintang Karya Lovely Dear Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja