Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas 6


Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 6



Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto

   

   Terus melabrak hingga ke ruang dalam.

   Pada suasana pesta, persiapan tak akan sepenuhnya.

   Dengan keperkasaan ilmunya, ditambah kelicikan yang luar biasa, kini tinggal mengambil langkah terakhir.

   Mpu Raganata bertarung dengan gagah berani.

   Sendirian, tokoh tua ini melindas siapa pun yang berusaha mendekat.

   Namun serbuan makin lama makin kuat.

   Kiai Sangga Langit sendiri langsung terjun ke medan pertempuran.

   Ugrawe juga menggunting dari sisi lain.

   Menghadapi dua keroyokan, Mpu Raganata makin keteter.

   Apalagi Mpu Raganata berusaha mati-matian untuk melindungi Baginda Raja.

   Sehingga perhatiannya terpecah.

   Bertarung habis-habisan Mpu Raganata akhirnya terdesak mundur.

   Upasara mencoba bergabung.

   Dengan Banteng Ketaton ia menyerbu masuk.

   Kiai Sangga Langit langsung memapaki.

   Satu demi satu prajurit Keraton jatuh berguguran.

   Hujan anak panah makin mengganas.

   Ugrawe sendiri kemudian melontarkan bubuk racun sehingga tanpa peduli prajuritnya sendiri atau prajurit lawan bisa disapu bersih.

   Ia sendiri dengan Kiai Sangga Langit dan Rawikara telah membekali diri dengan obat pemunah.

   Sehingga terbebas dari pengaruh racun! Upasara merasa dadanya tertekan keras.

   Rasa sakit yang dulu menyerang ulu hatinya makin membuatnya sesak.

   Mpu Raganata pun terdesak.

   Tinggal waktu saja.

   Dan memang itulah yang terjadi.

   Baginda Raja terluka, tersungkur.

   Raja diraja Keraton Singasari, raja yang berpandangan luas, gugur di keratonnya sendiri.

   Mpu Raganata mulai sempoyongan karena tubuhnya dipenuhi dengan anak panah.

   Upasara sendiri sudah sempoyongan.

   Ugrawe tak bisa melupakan Upasara.

   "Ini bagianku,"

   Teriaknya lantang.

   Kedua tangan berputar di atas kepala.

   Langsung menyerang.

   Dalam keadaan biasa pun, Upasara bukan tandingan Ugrawe.

   Maka kali ini hanya bisa memasrahkan diri.

   Tapi sedetik itu, Mpu Raganata meloncat tinggi dan menahan gempuran.

   Akibatnya, tubuh Mpu Raganata terpental jauh.

   Ugrawe sendiri terlempar tiga tombak.

   Hingga punggungnya menghantam dinding yang langsung jebol! Benturan tenaga maha dahsyat! Hanya saja Ugrawe bisa bangkit kembali.

   Sementara Mpu Raganata tetap rebah.

   "Empu..."

   "Eyang..."

   "Sudah saya bilang, kamu lebih baik lari. Di belakang hari masih bisa melawan."

   Ugrawe berdiri di depannya. Kiai Sangga Langit bersiap. Rawikara menghunus pedangnya.

   "Upasara... hari ini kamu akan mati di tanganku. Selesailah sudah seluruh kisahmu."

   Upasara Wulung berdiri tegap.

   "Majulah bersama. Keroyoklah."

   "Kami tak peduli keroyokan atau tidak. Kalau bisa merebut takhta Keraton, orang lain yang puas. Tapi membunuhmu, aku yang paling puas. Akulah orang paling sakti di jagat raya...."

   "Siapa berani begitu sombong? Bukankah aku sudah memotong telinganya?"

   Suara siapa lagi kalau bukan suara Gendhuk Tri? Bocah yang masih memakai kemben dengan rambut terurai itu berjalan masuk.

   Dalam kepungan dua pendekar besar dan seorang seperti Rawikara, Gendhuk Tri ternyata tak gentar.

   Berjalan di antara mayat-mayat yang berserakan, di antara simbahan darah, ternyata tak membuat kalimatnya berubah.

   "Dewa mengirimmu kemari untuk mati bersama."

   "Memang aku sengaja kemari. Cuma susah masuk tadi. Di luar terlalu banyak orang."

   Suara kenesnya tetap menggema. Gendhuk Tri melihat sekeliling. Melihat ke Upasara. Dan kepada Mpu Raganata.

   "Rama Guru, kenapa kamu di situ?"

   Baru sekarang Upasara sadar bahwa Rama Guru yang disebut-sebut itu adalah Mpu Raganata! Jadi Jagaddhita dan Gendhuk Tri termasuk murid langsung Mpu Raganata! Pantas saja Mpu Raganata tahu banyak hal! Pantas saja Rama Guru begitu membenci raja tetapi sekaligus juga memuja! "Kamu luka, Rama Guru...."

   Mpu Raganata berusaha duduk.

   "Aku ngantuk, anak manis."

   "Mbakyu mati karena dikubur hidup-hidup orang-orang ini... aku disuruh kemari. Rama Guru, orang-orang ini akan kuhabisi. Yang satu itu pernah kupotong telinganya."

   "Bagus. Bagus. Tak percuma jadi muridku...."

   Suara Mpu Raganata makin lemah.

   Rawikara merasa paling panas.

   Resi Ugrawe adalah guru yang sangat dikagumi.

   Mana mungkin dihina begitu saja? Mana mungkin seorang bocah awut-awutan mengatakan telah memotong telinga mahagurunya? Ini kesempatan buat membalas dendam! Pedang Rawikara bergerak cepat.

   Gendhuk Tri mengegos pendek, pergelangan tangannya bergerak cepat.

   Mencengkeram tangan Rawikara.

   Kalaupun tangan itu bisa ditarik kembali, mata Rawikara membelalak.

   Tubuhnya menjadi hitam seketika.

   Dua tindak saja, langsung tubuhnya tersungkur! Meninggal seketika.

   Ugrawe melangkah mundur.

   Kiai Sangga Langit mengerutkan keningnya.

   Ilmu hitam apa pula ini? Sekali sentuh langsung menyebarkan racun? Bahkan Rama Guru pun takkan bisa menerangkan dengan cepat.

   Hanya Upasara yang tahu.

   Karena ia bersama Gendhuk Tri di dalam gua.

   Ia mendengar cerita bahwa mayat Padmamuka dan Pu'un dimasukkan ke dalam gua! Dua tubuh yang sangat beracun! Dan racun itulah yang berpindah ke tubuh Gendhuk Tri.

   Gendhuk Tri sendiri tak mungkin keracunan karena sebelumnya telah kena ilmu sirep Pu'un! Boleh dikatakan semua kejadian luar biasa ini terjadi secara kebetulan.

   Semua memang ulah Gendhuk Tri sendiri.

   Sejak ia muncul dan memamerkan diri dengan omongan Tamu dari Seberang, ia diincar.

   Salah satu yang mengincarnya adalah Pu'un yang menggunakan ilmu sirep.

   Bahkan Jagaddhita sendiri tak berhasil membebaskan ilmu yang aneh ini.

   Ketika Gendhuk Tri dan Jagaddhita terkubur dalam lubang gua, keadaannya sangat menyedihkan.

   Sepeninggal Upasara Wulung, mereka berdua cuma bisa pasrah.

   Jagaddhita dalam keadaan terluka parah, Gendhuk Tri masih terkena pengaruh sirep Pu'un.

   Kejadian menjadi lebih buruk lagi ketika mayat Pu'un dan Padmamuka dimasukkan ke dalam gua.

   Hal ini didengar oleh Upasara.

   Bisa diduga ini semua memang rencana Ugrawe.

   Agar mereka yang masih tersisa, bisa bertahan dalam gua yang ditimbun kalaupun bisa bertahan, akan mati terkena racun dahsyat Padmamuka.

   Memang itulah yang terjadi.

   Mayat Padmamuka dan Pu'un menggembung, membusuk.

   Dan mengeluarkan gas beracun kuat ketika tubuh yang menggembung itu pecah.

   Kejadian ini terjadi pada setiap mayat.

   Hanya bedanya, gas yang keluar sekarang ini adalah gas maha racun.

   Bisa dibayangkan kalau sekujur tubuh Padmamuka sendiri sebenarnya gumpalan dari racun sepenuhnya.

   Upasara mengetahui secara langsung bagaimana hebatnya racun dalam tubuh Padmamuka yang mengalir dalam setiap tetes darahnya.

   Bahkan obat pun menjadi racun bagi tubuhnya yang penuh racun! Dan mengenai Pu'un dengan ilmu yang misterius, dalam banyak hal sama gawatnya.

   Gumpalan asap dari tubuh kedua tokoh beracun inilah yang diisap oleh Gendhuk Tri dan Jagaddhita.

   Gendhuk Tri bisa bertahan karena telah mempunyai dasar yang diberikan oleh Pu'un.

   Sedangkan Jagaddhita tak bisa bertahan.

   Begitu asap racun terisap ia merasa kesadarannya hilang dalam waktu cepat.

   Sebelum meninggal Jagaddhita berpesan agar Gendhuk Tri menyusul ke Keraton.

   Dan Gendhuk Tri masuk ke dalam Keraton di saat yang genting.

   Bahwa ia bisa leluasa masuk, itu karena memang kepandaiannya cukup tinggi.

   Bahwa racun dalam ruangan tak mempengaruhi dirinya, karena dalam tubuhnya sendiri sudah mengalir berbagai racun.

   Makanya ketika Rawikara kena tergores pergelangan tangannya, usianya tak bisa dipertahankan lagi.

   Kiai Sangga Langit menggeram pendek.

   Tubuhnya yang perkasa meloncat ke depan.

   Gendhuk Tri meloncat menghindar.

   Tetapi tenaga dorongan lawan sangat kuat.

   Beberapa kali Gendhuk Tri berusaha maju, akan tetapi seperti berhadapan dengan tembok kuat.

   Kiai Sangga Langit sendiri agaknya tak mau menjamah tubuh Gendhuk Tri.

   Ia bertempur menjaga jarak.

   Pukulan jarak jauh.

   Upasara bangkit kembali.

   "Ini bagianku, Gendhuk,"

   Seru Upasara sambil memapak maju.

   "Kamu selesaikan si tua itu."

   Upasara masih berpikir untuk menghadapi dengan strategi kilat.

   Dalam beberapa hal, Upasara mengerti gerakan Kiai Sangga Langit.

   Pernah mengenal.

   Juga secara teori mempelajari apa yang dilisankan oleh Nyai Demang.

   Jadi untuk sementara bisa mengimbangi.

   Sementara Ugrawe akan dibikin repot oleh Gendhuk Tri.

   Akan tetapi bukan Ugrawe kalau menyerah begitu saja.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekali lagi Ugrawe mengibaskan tangannya ke atas.

   "Ratakan seluruh Keraton."

   Perintahnya segera disambut dengan teriakan dan gemuruh keras.

   Puluhan prajurit menyerbu masuk.

   Mengeroyok dengan membabi buta.

   Anak panah, api, tombak, pedang bagai hujan yang dituang dari langit-langit.

   Tak ada pilihan lain.

   Upasara meloncat mundur.

   Bersama dengan Gendhuk Tri melarikan diri lewat bagian bawah Keraton.

   Pekik kemenangan terdengar di mana-mana.

   Raja Muda Gelang-Gelang telah berhasil mengalahkan Baginda Raja dengan gilang-gemilang.

   Tak ada lagi sisa perlawanan.

   Berakhirlah pula sebutan Keraton Singasari.

   Raja Jayakatwang yang menaklukkan Keraton Singasari memang masih menyebutnya Keraton.

   Akan tetapi sebagai keraton bawahan, yang diperintah langsung dari Daha, Kediri.

   Untuk selanjutnya, keraton yang sama pun disebut Keraton Daha, karena dianggap oleh Raja Jayakatwang sebagai bagian dari kebesaran Daha.

   Kebesarannya.

   Berakhirnya Keraton Singasari bukan hanya ditandai dengan berakhirnya nama dan diucapkan dengan nama baru, akan tetapi juga membawa perubahan yang lain.

   SEMENTARA itu, Upasara Wulung bersama dengan Gendhuk Tri melanjutkan perjalanan.

   Menghindari usaha pencarian besar-besaran.

   Keduanya berjalan bersama, menempuh perjalanan dari satu desa ke desa yang lain.

   "Selama Kakang tidak ada luka, racun saya tidak akan masuk ke tubuh Kakang."

   "Gendhuk... entah kapan kita bisa selalu bersama-sama. Makin lama kita makin tersudut. Satu-satunya harapan adalah mencari Bagus Respati. Putra Patih Angragani ini bisa diharapkan tampil.

   "Ayolah kita cari dia."

   Perhitungan Upasara adalah bahwa dengan Bagus Respati perlawanan bisa lebih diorganisir.

   Apalagi Bagus Respati sendiri adalah menantu Kiai Sangga Langit.

   Hubungan darah secara langsung ini akan membuat gerakan yang dilakukan terlindungi.

   Namun justru perhitungan Upasara meleset besar! Ketika mengetahui di mana Bagus Respati berada, Upasara mengendap mendatangi tempat tersebut.

   Bersama Gendhuk Tri mereka masuk ke dalem kepatihan yang berada di luar dinding Keraton.

   Yang menyambut kedatangan mereka adalah penjagaan yang luar biasa rapatnya.

   Malam hari Upasara meloncati dinding dan masuk ke dalam ruangan.

   Akan tetapi begitu tubuhnya melayang masuk, dalam sekejap saja telah dikepung rapat.

   "Cocok semua perhitungan, kamu akan datang kemari,"

   Terdengar suara merdu mendayu. Hati Upasara guncang. Ia pernah mendengar suara yang sangat merdu itu. Siapa? Seorang lelaki, tampan, putih wajahnya, menatap ke arahnya.

   "Kamu pasti datang kemari, Upasara. Senang bertemu kembali denganmu."

   Upasara menggelengkan kepalanya.

   "Kamu Dyah Muning... suaramu tetap merdu."

   "Ya, akulah mempelai wanita yang diperebutkan. Aku sengaja menyamar sebagai wanita untuk memancing kalian para bangsawan berbunuhan. Sayang kamu tak mau menjadi 'suamiku'. Kalau kamu bersedia, masalahmu sudah selesai."

   "Kalian memang busuk."

   "Kami ingin balas dendam. Kebetulan Ugrawe memberi kesempatan ini. Apakah kamu masih mau menanyakan nasib Bagus Respati?"

   Upasara tak bisa membayangkan bagaimana kejadian yang dialami Bagus Respati. Pada saat masuk pelaminan sebagai pengantin, mengetahui bahwa yang ditemui adalah seorang lelaki! Yang sengaja menjebaknya.

   "Hanya ada satu perintah dari Ugrawe yang belum terselesaikan. Yaitu membunuh atau menangkapmu hidup-hidup. Terserah kamu mau menyerahkan diri atau aku memaksamu."

   Gendhuk Tri langsung beraksi.

   Dengan berjumpalitan ia menyerbu maju.

   Agaknya berita bahwa Gendhuk Tri menyimpan racun telah terdengar luas.

   Sehingga para penyerang melakukan serangan jarak jauh.

   Upasara sendiri bisa memaksa lawan mundur, akan tetapi tak bisa mendesakkan kemenangan.

   Mengingat lawan terus mendesak tanpa peduli, Upasara dan Gendhuk Tri terpaksa melakukan penyerangan mati-matian.

   Korban terus berjatuhan, akan tetapi lawan juga terus bertambah.

   Sampai fajar pertempuran terus terjadi.

   Sampai "si suara merdu"

   Memerintahkan prajuritnya untuk mundur dan meminta bantuan.

   Saat itulah Upasara dan Gendhuk Tri meninggalkan pergi.

   Bergandengan.

   Selama itu pula pencarian terus-menerus dilakukan.

   Suasana Keraton yang kini dipenuhi pesta pora kemenangan tak pernah mengendurkan usaha pencarian atas Upasara dan Gendhuk Tri.

   Tak ada bayangan mereka berdua.

   Beberapa anggota sandi melaporkan mereka muncul di satu tempat, tapi ketika diserbu tak ketahuan rimbanya.

   Sebagian kecil mengatakan mereka sering melihat sepasang manusia satu lelaki muda dan satu bocah perempuandi Perguruan Awan.

   Tetapi tak ada yang memastikan apakah mereka Upasara dan Gendhuk Tri atau bukan.

   Tak ada yang memastikan apakah mereka itu bayangan saja atau benar-benar manusia.

   Tak ada.

   Sampai waktu yang agak lama.

   di lautan asmara gelombang rindu menyapu pada batu karang kesetiaan tersisa pasir penantian di pantai kemesraan membadai kenangan menjilati bersama pasang laut mencumbu lumut birahi meniti buih saat purnama kau tiba karena begitulah aku garam putih tak mungkin pisah dari laut birumu TULISAN itu terpahat di dinding benteng Keraton.

   Yang luar biasa adalah pahatan itu pada bagian dinding yang paling tinggi.

   Dan cara menuliskannya terbalik.

   Jadi saat penulis memahatkan dengan tubuh menghadap ke tanah! Ini sungguh luar biasa.

   Dinding Keraton yang didiami Raja Jayakatwang berada dalam pengawalan yang ketat.

   Tak sembarang hewan terbang bisa melintas di sekitarnya.

   Dinding benteng Keraton itu sendiri tegak berdiri sekitar empat meter dari tanah.

   Susunan batu bata direkat erat dengan tanah liat yang telah mengeras, karena untuk menyatukan diperlukan perasan buah aren.

   Pengorbanan yang besar karena biasanya dipakai untuk gula, sebagai pemanis.

   Makanya bukan hanya lengket, tapi juga mengilat.

   Ternyata, tanpa diketahui sebelumnya, tulisan itu sudah ada di situ.

   Lolos dari pengamatan.

   Mula pertama diketahui oleh penjaga pintu gerbang yang melihat ada sesuatu yang salah dalam pandangannya.

   Ada sesuatu yang rusak di bagian atas dinding benteng Keraton.

   Barulah-kemudian diketahui bahwa itu suatu coretan.

   Lebih mengejutkan lagi bahwa ternyata tulisan yang bisa dibaca.

   Untuk bisa membacanya, orang harus memanjat dinding, berada di atasnya, dengan bertiarap menghadap ke tanah, sejajar dengan dinding.

   Lebih keheranan lagi, ternyata si pemahat dinding agaknya mempunyai perhitungan yang matang.

   Tulisan itu akhirnya akan terbaca oleh masyarakat ramai.

   Karena persis di depan dinding benteng Keraton ada kubangan air hujan.

   Di musim penghujan seperti ini, air penuh.

   Air itulah yang menelan bayangan tulisan di dinding.

   Meskipun si pembaca harus mengeja dari kanan ke kiri.

   Sebenarnya ini pula yang menyebabkan seluruh masyarakat ramai memperbincangkan! Pembicaraan berkembang ke arah tak menentu.

   Semuanya ditambahi bumbu.

   Sebagian mengartikan bahwa itu sekadar perbuatan orang gila.

   Menuliskan sajak percintaan di dinding benteng Keraton.

   Sebagian lagisecara diam-diam, mengartikan sebagai akan munculnya pembalasan.

   Tak bisa dipungkiri.

   Bahwa sejak Jayakatwang, Raja Muda Gelang-Gelang, naik takhta di Singasari dengan menyingkirkan Baginda Raja Kertanegara, banyak sekali perubahan yang terjadi.

   Sebagai senopati utama yang menjadi tangan kanan Raja Jayakatwang, Ugrawe melakukan pembersihan umum.

   Sisa-sisa bangsawan yang menjadi pengikut Kertanegara disikat habis.

   Atau mereka yang dicurigai akan membangkitkan kekuasaan lama, disingkirkan.

   Beberapa pejabat memenuhi tempat penahanan.

   Selebihnya diselesaikan dengan hukuman mati di alun-alun utama.

   Ugrawe yang naik pamor, bersama dengan Kiai Sangga Langit bagai sepasang tangan dan kaki yang jauh lebih kejam dan lebih berkuasa dari Raja Jayakatwang.

   Apalagi Ugrawe memegang komando secara langsung.

   Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Ugrawe-lah yang memerintahkan ini dan itu.

   Mulai dari pemilihan prajurit utama sampai dengan menunjuk siapa yang harus dihukum mati hari ini.

   Pemerintahan Jayakatwang sedang menanamkan fondasi kekuasaan baru.

   Dengan cara yang keras.

   Dalam keadaan memegang semua posisi yang menentukan, Ugrawe bisa mematahkan setiap usaha untuk mengacaukan pemerintahan.

   Walaupun gangguan masih muncul, akan tetapi dianggap tak mengganggu roda pemerintahan.

   Ugrawe telah merencanakan dengan dahsyat sebelum merebut takhta Keraton Singasari.

   Beberapa ksatria telah dikumpulkan ke Perguruan Awan untuk dilenyapkandengan cara apa saja.

   Para bangsawan yang ada di sekitar Keraton telah dipancing untuk mengikuti Sayembara Mantu, dengan memperebutkan Dyah Miming Maduwani, yang ternyata adalah seorang lelaki, putra dan sekaligus murid Kiai Sangga Langit.

   Sebagian lain dipaksa untuk berpihak dengannya.

   Sebagian yang lain lagi malah sudah mengikuti jejak, untuk langsung berpihak.

   Dalam perhitungan Ugrawe, tak mungkin ada lagi yang pantas diperhitungkan.

   Artinya yang setakar dengan kemampuannya.

   Dalam kamus Ugrawe, semua lawan utama sudah dilenyapkannya.

   Maka tak urung kerutnya bertambah ketika menyaksikan sendiri pahatan di dinding benteng Keraton.

   "Sungguh hebat. Di saat seperti ini masih ada yang berani mati berbuat onar. Nyawa siapa yang telah begitu gerah? "Aha, sekian lama istirahat ada juga permainan baru."

   Walaupun kelihatan tetap tenang, senopati yang tinggi dan misalnya yang bergerak karena tiupan angin ini tak urung berpikir keras juga.

   "Selama ini semua jago, semua pendekar, semua ksatria telah berhasil kukalahkan. Meskipun apa yang dicoretkan di dinding lebih merupakan demonstrasi kepandaian yang sesungguhnya, akan tetapi jelas bukan orang sembarangan.

   "Di saat lalu, hanya tokoh sejajar dengan Mpu Raganata yang bisa melakukan itu dengan enteng tanpa mungkin diketahui orang lain. Akan tetapi dalam penyerbuan ke Keraton, empu tua itu telah terbunuh.

   "Memang ia dikenal juga sebagai Rama Guru yang mempunyai sekian banyak siswi di duniadan salah satu yang berhasil melukai telingaku namun rasanya selama ini tak ada yang begitu tinggi ilmunya. Kecuali Jagaddhita yang telah terkubur. Gendhuk Tri, kalaupun maju pesat, tak mungkin bisa melakukan itu. Tulisannya sangat bagus, dan huruf-hurufnya juga bagus. Pastilah seorang yang cukup terpelajar. Ada satu tokoh lagi. Yang bernama Upasara Wulung. Ia sangat cerdas, penuh bakat, elok, dan bersifat ksatria. Mempunyai pendidikan Keraton yang baik. Namun, kalaupun ia bisa menulis seperti itu, masih juga harus diperhitungkan bahwa caranya mengentengkan tubuh tak semudah itu. Ini menunjukkan kelasnya yang sudah prima.

   "Kalau tak salah, dulu di Keraton Singasari ada seorang prajurit yang paling tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Ia digelari sebagai capung dan bernama Wilanda. Ia satu-satunya orang yang bisa melayang di angkasa. Akan tetapi bahkan sejak pertempuran di Perguruan Awan, ia sudah terluka parah. Hanya malaikat penyembuh yang mampu mengembalikan kekuatannya. Dan malaikat itu tak pernah ada.

   "Satu-satunya kemungkinan adalah munculnya seorang ksatria baru. Tak bisa tidak. Dalam dunia persilatan yang begini luas, sangat mungkin sekali lahir keajaiban. Boleh jadi ini pertanda bakal ramai lagi.

   "Merebut Keraton, menggulingkan raja, lebih mudah dibandingkan mengurusi para ksatria. Hmmmmm, ilmu silat ada yang tinggi, ada yang tertinggi. Tapi para ksatria semua merasa tinggi tak bisa dikalahkan.

   "Kejadian ini sendiri tak seharusnya merampas perhatianku. Aku harus lebih keras berlatih. Agar suatu hari, kalau Kiai Sangga Langit ingin berbuat yang tidak-tidak, aku bisa mengatasi."

   Sebagai seorang panglima perang, Ugrawe tak begitu kuatir.

   Ia merasa kekuasaannya cukup besar dan bisa menguasai keadaan dengan baik.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi sebagai seorang jago silat, perhitungannya agak sedikit berbeda.

   Sebagai jago silat kesohor yang merasa dirinya nomor satu, Ugrawe tak mau melihat tumbuhnya jago lain yang bisa menjadi saingannya di belakang hari.

   Meskipun puncak kekuasaan bagi dirinya telah tercapai, akan tetapi pada dasarnya Ugrawe adalah seorang jago silat.

   Kebanggaan yang memenuhi rongga dadanya bukan pangkat dan kekuasaan, melainkan keunggulan silatnya.

   Itulah sebabnya, ia memperhitungkan kehadiran Kiai Sangga Langit.

   Bagi Ugrawe kehadiran Kiai Sangga Langit masih menyimpan teka-teki.

   Ia yang aslinya bernama Bok Mo Jin adalah seorang pendeta yang termasuk kelas tinggi di daratan Cina.

   Ilmunya bukan hanya berbeda, tetapi juga menunjukkan kelebihan yang luar biasa.

   Bahwa Kiai Sangga Langit tak mau pulang kembali, itu juga karena ambisi darahnya sebagai pesilat.

   Untuk sementara urusan negara bisa ditunda.

   Karena ingin mengeduk lebih banyak lagi.

   Bersama dengan Bok Mo Ing yang menyamar sebagai Dyah Muning Maduwani.

   Mo Ing cukup jago.

   Belum pernah bertemu secara langsung, akan tetapi dengan Pangeran Muda Rawikara kelihatan seimbang.

   Bagi Ugrawe ini perlu diperhitungkan.

   Rawikara adalah muridnya secara langsung dan adalah putra Raja Jayakatwang.

   Mempunyai keleluasaan luar biasa dan digembleng sendiri secara keras.

   Akan tetapi kenyataannya belum tentu bisa mengungguli Mo Ing dengan mutlak.

   Ini saja menjadi pertanda bahwa Kiai Sangga Langit bukan sembarangan.

   Apalagi bagi mereka berdua lebih banyak waktu untuk terus-menerus berlatih ilmu silat, mempertajam indriawi, dan memperdalam tenaga dalam.

   Sementara Ugrawe harus disibukkan dengan urusan pemerintahan.

   Tadinya Ugrawe menduga bahwa tulisan di dinding Keraton ini ulah Kiai Sangga Langit, kalau mengingat ilmunya yang tinggi.

   Akan tetapi agak mustahil, karena Kiai Sangga Langit tidak begitu paham huruf serta bahasa setempat.

   Yang lebih mungkin adalah Mo Ing.

   Anak muda ini dengan cepat dan fasih menguasai bahasa sehari-hari, dan bisa lebih cepat lagi mempelajari dari berbagai kitab.

   Sangat mungkin sekali adalah Mo Ing, mengingat ia bisa leluasa berada dalam Keraton, atau keluyuran di sekitarnya.

   Dan kehadirannya tak mencurigakan jika pun suatu ketika berada di dinding Keraton atau bahkan berada di dalam Keraton sekalipun.

   Kesimpulan terakhir ini membuat Ugrawe merasa lebih senang.

   Jika benar Mo Ing yang melakukan, ini berarti intrik dari dalam.

   Bukannya tidak membahayakan, akan tetapi bisa dengan cepat dikuasai.

   Ugrawe memanggil Rawikara untuk menemuinya di depan senopaten utama.

   Tempat kediaman resmi senopati utama, panglima angkatan perang Keraton.

   "Ada persoalan mendadak apa yang menyebabkan Pujangga Terakhir memanggil hamba?"

   Sembah Rawikara dengan hormat.

   "Pangeran Anom yang akan menguasai jagat di kemudian hari, saya ingin menghaturkan sesuatu. Harap Pangeran Anom tak tersinggung...."

   Ugrawe walaupun resminya adalah guru Rawikara, akan tetapi secara kebangsawanan masih tetap di bawah Rawikara.

   Biar bagaimanapun, Rawikara adalah putra mahkota raja yang sedang berkuasa.

   Sedang Ugrawe hanyalah panglima perang, yang statusnya tetap sebagai abdi.

   Maka dalam pembicaraan sehari-hari, keduanya nampak saling menghormat.

   Ugrawe menempatkan diri sebagai seorang prajurit yang siap menerima perintah, sedangkan Rawikara menempatkan dirinya sebagai seorang murid.

   Hubungan semacam ini mungkin membuat Kiai Sangga Langit heran dan sulit mengerti.

   Akan tetapi memang tatanan dan adat-istiadat kebudayaan Jawa mencerminkan sikap merendah untuk posisi dirinya.

   "Silakan, Bapa Guru, hamba menunggu...."

   "Pangeran Anom telah melihat apa yang menjadi pokok persoalan sekarang ini. Yaitu ada tulisan di dinding benteng Keraton. Apakah Pangeran Anom mempunyai dugaan siapa yang melakukan ini?"

   "Hamba tak cukup pengetahuan, Bapa Guru. Tetapi kalau dilihat dari kemampuan yang diperlihatkan, jelas bukan sembarangan. Pemahatnya mempunyai pengetahuan sastra yang tinggi, kemampuan mengentengkan tubuh yang luar biasa, dan mengenal seluk-beluk Keraton dengan baik.

   "Hamba ingin menebak Mo Ing, akan tetapi ini hanya dugaan bodoh yang bisa keliru."

   "Pangeran Anom mempunyai wawasan yang luas dan tajam. Itu sangat diperlukan sebagai calon pemegang kekuasaan tinggi di belakang hari.

   "Saya mempunyai dugaan yang sama. Akan tetapi agak sulit untuk menjebaknya. Raja tidak berkenan untuk melakukan tindakan ke dalam."

   Raja Jayakatwang semenjak naik takhta, memang lebih banyak kelihatan berdiam diri.

   Menahan emosi, dan menghabiskan waktunya buat bermenung.

   Sungguh berbeda dari ketika merebut Keraton.

   Walau dulu ada warna kebimbangan, akan tetapi pada saat mengambil keputusan, Raja Muda Gelang-Gelang ini tak bimbang dan ragu.

   Akan tetapi justru setelah berhasil merebut takhta dan menyingkirkan Baginda Raja Kertanegara, Raja Jayakatwang seperti merasa bersalah.

   Pembantaian besar-besaran, banjir darah di Keraton, korban yang berjatuhan, agaknya di luar perhitungannya.

   Rasa bersalah ini demikian keras menghantui dan menekan pikirannya.

   Sehingga usaha pembersihan lawan-lawan politik pun tak sekeras yang diusulkan Ugrawe.

   Juga mengenai tulisan di dinding benteng Keraton, Raja Jayakatwang tidak ingin mempersoalkan lebih panjang.

   "Kita mesti berhati-hati, Paman.... Kekuatan kita sudah berkurang banyak. Banyak senopati kita yang hilang. Kalau kita harus mengurangi lagi kekuatan yang ada, apakah ini tidak akan memperlemah?"

   "Sabda Raja adalah hukum,"

   Sembah Ugrawe.

   "Kami semua akan menjalankan sepenuh hati."

   "Lakukan pengusutan, dan laporkan hasilnya. Jangan bertindak terlebih dahulu...."

   Ketentuan ini membuat Ugrawe tak bisa menjalankan aksinya untuk mendatangi rumah Kiai Sangga Langit dan mengobrak-abrik isinya.

   Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menunggu hasil pengusutan.

   Ini bertentangan dengan cara kerja Ugrawe yang biasanya.

   Ia akan mengatur rapi seteliti mungkin untuk suatu rencana besarseperti juga penyerbuan ke Keraton.

   Akan tetapi untuk hal-hal yang praktis, Ugrawe akan mengesampingkan tata cara yang merepotkan.

   Ugrawe bisa bertindak tanpa perlu menghiraukan perasaan orang lain.

   Pada saat menunggu itulah terjadi peristiwa baru.

   Tulisan yang sama dipahat di dinding benteng Keraton, terukir kembali.

   Kali ini bukan pada tempat yang keras dan tinggi, akan tetapi pada tempat yang empuk dan rendah.

   Keempat sapi putih kebanggaan Raja Jayakatwang, tubuhnya penuh dengan tulisan yang sama! Rawikara langsung menuju tempat penyimpanan sapi-sapi Keraton.

   Ini adalah sapi kebanggaan yang dipelihara dengan kelewat hati-hati.

   Yang dijaga ekstra hati-hati oleh pengawal pribadi Raja.

   Karena sapi-sapi ini selain pengangkut kereta kebesaran juga merupakan klangenan Raja.

   Binatang yang sangat disayang dan dibanggakan.

   Ternyata di punggung binatang itu ditoreh dengan senjata.

   Keempat-empatnya.

   Punggung dan perut yang putih berleleran darahsebagian sudah mengering.

   Dan tulisannya bisa dibaca jelas.

   Di lautan asmara, gelombang rindu menyapu...

   Rawikara mengertakkan gerahamnya.

   "Hukum pancung semua penjaga yang bertugas semalam. Tak ada ampunan bagi yang lalai. Mustahil mereka tak mendengar teriakan, tak mendengar sapi melenguh atau apa-apa.

   "Seekor nyamuk pun bisa membuat gusar sapi klangenan Raja. Apalagi seluruh tubuhnya dicacah seperti ini."

   Pemeriksaan kepada para penjaga memang tidak memberikan hasil.

   Mereka berjaga, tidak mengantuk, dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

   Meskipun tidak berada dalam satu bangunan dengan Keraton Utama, akan tetapi kandang sapi-sapi itu berada di dalam kompleks Keraton.

   Yang cukup jauh dari dinding sebelah luar.

   Kalau orang luar bisa leluasa gentayangan ke dalam, ini berarti bisa berbuat sesuatu yang lain lagi.

   Yang lebih berbahaya.

   "Tindakan onar ini memancing perhatian. Untuk memberi kesan bahwa kita lemah,"

   Kata Rawikara setengah berteriak di antara prajurit-prajurit pilihan.

   "Kalau kalian semua memang lemah, katakan mulai sekarang. Tak akan menjadi prajurit lagi.

   "Saya sendiri bisa menghukum pancung kalian semua. Mulai saat ini, tak ada lagi kejadian seperti ini."

   Rawikara begitu beringas dan meluap kalimatnya.

   Akan tetapi justru ia menjadi sasaran.

   Keesokan harinya pintu gerbang bangunan yang didiami mendapat coretan yang sama bunyinya.

   Lebih kurang ajar lagi karena coretan itu dibuat dengan tongkat kasar yang bagian ujungnya dileleti kotoran manusia.

   "Memang aku yang membuat,"

   Terdengar teriakan keras, gagah, dan menggemuruh.

   "Kalian semua mengepung aku untuk apa? Aku datang kemari, mencoret, untuk menunjukkan bahwa aku menyimpan laut yang berisi asmara, gelombang rindu, batu karang penantian, dan lumut birahi yang sedang tumbuh.

   "Kalau kamu katakan di mana Nyai Demang, masalah sudah selesai. Selama kamu sembunyikan kekasihku, pakaian Raja Jayakatwang pun akan kuolesi dengan kotoranku."

   Lelaki yang berpakaian serampangan, memegang tongkat besar dari galih pohon asam itu tertawa. Melihat dengan sorot mata remeh kepada mengepungnya.

   "Ayo tangkap aku. Kalian diperintahkan untuk menangkap aku hidup-hidup, kan? Coba saja. Bisa apa tidak.

   "Telah seratus hari aku mencari Nyai Demang. Katakan sekarang juga, Galih Kaliki menunggu di sini. Tidak menunggu bulan purnama, tidak menunggu buih melambung."

   Galih Kaliki memutar tubuhnya. Langkahnya lebar sekali.

   "Nyai Demang, di mana kamu? Jangan sembunyi. Aku tak sabar lagi, Nyai...."

   Disertai tawa ngakak, Galih Kaliki meloncat maju ke depan.

   Tujuh prajurit pilihan dengan cepat menghadang.

   Tongkat hati pohon asam terayun dari bawah ke atas.

   Menyampok senjata yang ditujukan padanya.

   Galih Kaliki memang tak kenal kompromi, atau memakai taktik.

   Tenaga yang dipakai sedemikian kerasnya sehingga bentrokan tenaga menimbulkan bunyi keras.

   Dari sisi kiri-kanan, dua ujung tombak menyerang ke arah lambungnya.

   Galih Kaliki memindahkan tongkat ke tangan kiri langsung mengemplang kepala.

   Tanpa memedulikan sodokan dari kanan.

   Cepat dan keras.

   Terdengar bunyi keras.

   Pergelangan tangan dua prajurit patah, luluh terkulai.

   Galih Kaliki menghindar tusukan dari kanan, dengan memutar tubuhnya.

   Kedua kakinya menendang senjata lawan.

   Bertumpu pada sabetan tangan kiri, tubuhnya meloncat ke depan.

   Berdiri dalam jarak dua tombak dari Rawikara.

   Rawikara mengeluarkan suara dingin dari hidungnya.

   Walaupun Galih Kaliki cukup kuat, akan tetapi dilihat selintasan saja ilmu mengentengkan tubuhnya bukan yang prima.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sehingga, kecil kemungkinannya ia yang menulis di dinding benteng Keraton atau yang mencacah punggung sapi.

   "Kamu pangeran hidung belang itu? Kembalikan Nyai Demang...."

   Ujung tongkat yang bau, bercampur lelehan darah, menuding langsung ke wajah Rawikara! Rawikara tak bisa dipandang enteng.

   Meskipun sebutannya masih pangeran Anom, ia adalah pangeran pati, putra mahkota.

   Yang kelak menggantikan takhta.

   Di depan para prajurit, dituding dengan tongkat kotor semacam itu, darahnya naik melewati ubun-ubun.

   Lebih membuatnya jengkel lagi karena ia disebut sebagai hidung belang.

   Ini jelas tak masuk akalnya.

   Ia merasa jauh dari perbuatan itu.

   Meskipun tidak semurni yang diharapkan, Rawikara bukan tipe pengejar wanita seperti Bagus Respati.

   Tetapi memang yang paling menusuk perasaannya adalah cara Galih Kaliki meremehkannya.

   Selama ini Rawikara merasa dirinya agak tersisih.

   Dalam penyerbuan ke Keraton Singasari boleh dikata ia dianggap masih hijau.

   Bahkan oleh Ugrawe sendiri ia tak dipercaya ke garis depan.

   Dalam pembunuhan habis-habisan di Perguruan Awan, ia tak disertakan.

   Disuruh mengurusi bagian pertahanan.

   Bukannya tidak penting, akan tetapi toh tetap bukan di barisan depan.

   Sedikit-banyak ini mengurangi kebanggaannya.

   Kurang membuat hormat para prajurit.

   Bahwa mereka menghormati, jelas tak terbantah.

   Akan tetapi apakah mereka betul menghormati tulus karena kelebihannya, itu masih perlu dibuktikan.

   Maka Rawikara melihat kesempatan yang baik untuk membuktikan diri.

   "Mundur semua. Biar aku yang menghadapi sendiri."

   Kedua tangan Rawikara mengibas.

   "Galih Kaliki, sebelum menjadi terlambat, katakan apa maumu membuat onar di Keraton?"

   "Sudah kubilang sejak pertama. Aku mencari Nyai Demang."

   "Kalau cuma itu urusanmu, kenapa harus berbuat seperti pencuri?"

   "Ah, yang di dinding itu bukan urusanku. Soal sapi juga bukan urusanku. Aku ini manusia kasar. Bisaku cuma main kotoran. Serahkan Nyai Demang, atau kubikin rata batok kepalamu."

   "Banyak tempat bisa dicari, kenapa harus masuk ke dalam Keraton?"

   "Ke mana lagi kalau bukan kemari. Putri sundal yang mengaku jadi lelaki... aduh, sampai terbalik... Lelaki sundal yang mengaku sebagai putri itulah yang bikin gara-gara. Kalau ia ada di sini, masa Nyai Demang ada di tempat lain. Nah, kita sudah bicara banyak. Mau bertempur atau tidak?"

   Mendadak terdengar jawaban dengan suara yang tinggi.

   "Enak saja memaki orang. Apa hak kamu merendahkan diriku?"

   Masih terdengar nada merdu. Memang itulah Mo Ing yang tubuhnya putih, sehingga kelihatan jelas.

   "Nah, Pangeran... aku tak ada urusan sama kamu. Kecoak putih ini urusanku."

   Galih Kaliki menggeser tongkatnya. Berpindah ke tangan kanan. Dipegang erat. Kaki kiri maju ke depan. Kaki kanan terangkat di ujung telapak. Berat badan condong ke depan. Pandangan matanya menyiratkan kegeraman.

   "Awas."

   Bersamaan dengan itu, tongkat Galih Kaliki mengayun ke depan, seperti menebas.

   Gerakannya memang kaku dan lurus.

   Mo Ing tetap berdiri.

   Hanya mengangkat kedua kakinya dengan gerakan meloncat pendek.

   Kentara sekali bahwa Mo Ing menganggap serangan Galih Kaliki sebagai serangan enteng.

   Kedua tangan Mo Ing masih tetap bersidekap di depan dada.

   Dilihat sepintas Galih Kaliki memang kelihatan bukan tokoh yang disegani.

   Apa yang ditunjukkan, baik gerakan maupun tenaga yang diatur, sangat sederhana.

   Tidak terlalu banyak kembangan, tidak banyak variasi.

   Seolah hanya mengikuti gerak yang sudah pakem.

   Akan tetapi justru di sinilah sebenarnya kekuatan Galih Kaliki.

   Sampai saat ini, belum diketahui asal-usul Galih Kaliki.

   Baik nama perguruan, maupun siapa yang mengajari.

   Lebih menambah baur lagi karena pemunculannya selalu ada kaitannya dengan Nyai Demang.

   Selalu mengejar-ngejar Nyai Demang.

   Maklum saja kalau Mo Ing menganggap enteng.

   Dalam satu gebrakan, Galih Kaliki menekuk pergelangan tangan.

   Tongkat yang menyapu tiba-tiba arahnya berbelok menjadi tegak lurus ke atas.

   Tidak memerlukan lengkungan.

   Kaku tertekuk ke atas dan menyodok! Inilah kekuatan utama gerakan patah dan kaku.

   Mo Ing tak memberikan tubuhnya disodok dari bawah begitu saja.

   Berat badannya jatuh ke satu sisi.

   Cepat sekali.

   Untuk menjaga kalau Galih Kaliki mengubah serangan, tangan kanannya menyampok keras.

   Mengembuskan tenaga panas.

   Galih Kaliki ternyata tidak mengubah arah tongkatnya.

   Sehingga Mo Ing dengan mudah bisa menangkap.

   Galih Kaliki tertawa ngakak.

   "Bagus... bagus... kamu wong bagus, punya gerakan bagus. Enak baunya?"

   Tanpa disadari Mo Ing memegang ujung tongkat.

   Yang diolesi kotoran.

   Keruan saja wajah yang putih berubah menjadi merah padam.

   Tongkat disentakkan keras.

   Kalau tadi merasa bisa mengatasi lawan dengan satu gerakan saja, kini justru merasa bisa dikerjain.

   Mo Ing meraih dua pedang di pinggangnya.

   Matanya menyipit.

   Dua kakinya bergeseran dengan cepat, merangsek maju.

   Galih Kaliki tetap tak bergerak.

   Begitu dua pedang secara langsung menusuk ke arahnya, Galih Kaliki menangkis keras.

   Lagi-lagi tenaga keras.

   Terdengar suara berdengung, benturan senjata.

   Galih Kaliki menggenggam kembali, memutar di tengah, dan maju merangsek.

   Mo Ing memundurkan kakinya, dan dengan kuda-kuda yang cepat kakinya melangkah mengisi kekosongan.

   Kuda-kudanya memang rapi, kuat, dan kukuh.

   Galih Kaliki terpaksa memundurkan kakinya.

   Tongkat yang dipegang di tengah kadang berganti ke ujung, dan terus-menerus menyambar.

   Dari sekian sambaran yang paling berbahaya ternyata kemplangan dari atas.

   Karena pada saat ujung tongkat mengarah ke batok kepala, rasanya seperti takkan berubah arah.

   Tak peduli dengan tusukan pedang lawan.

   Seakan percaya bahwa tongkatnya akan lebih dulu menghantam batok kepala, sebelum pedang lawan bisa menggores kulitnya.

   Ini yang merepotkan Mo Ing, dan sekaligus menjadi pertempuran yang menarik.

   Mo Ing bisa mendesak Galih Kaliki dengan serangan kaki yang kuat, akan tetapi setiap kali memapak maju, harus mundur lagi untuk menjaga kepalanya.

   Dalam sekejap keduanya terlibat dalam pertempuran yang panjang.

   Bagi Mo Ing sebenarnya penggunaan tenaga kuat tak menjadi masalah.

   Ia masih mempunyai darah Mongol, di mana tenaga sebagai andalan juga menjadi ciri khasnya.

   Hanya saja dalam perjalanan hidupnya di negeri Cina, variasi silat dengan gerakan tangan lebih banyak mempengaruhi.

   Sebenarnya ini merupakan kelebihan untuk mengacaukan perhatian lawan.

   Kalau yang dihadapi bukan Galih Kaliki.

   Karena justru tipe permainan Galih Kaliki tak mengenal kompromi.

   Lawan main bagus atau tidak, ia akan terus mengemplang saja.

   Lawan menunjukkan permainan menarik atau tidak, sodok terus.

   Sepuluh jurus telah berlalu.

   Rawikara menggelengkan kepalanya.

   "Mo Ing, mundur saja. Kalau tak bisa menangkap seorang penggali kotoran, lebih bagus pulang saja. Di rumah bisa kau bersihkan tanganmu."

   Kentara sekali bahwa Rawikara tidak menganggap Mo Ing terlalu tinggi. Dari kalimatnya terlihat jelas justru Rawikara seperti merendahkan. Mo Ing terpancing panasnya.

   "Kalau takut, aku dari tadi ada di pinggir."

   Mo Ing balas menyindir Rawikara.

   Dengan begitu Rawikara seperti dikatakan penakut, karena dari tadi tidak langsung turun ke gelanggang.

   Dalam keadaan seperti ini Galih Kaliki jelas memperoleh keuntungan.

   Menghadapi tokoh yang rada aneh satu ini, tak bisa memecah konsentrasi seenaknya.

   Galih Kaliki tak bisa dipandang dengan sebelah mata.

   Ayunan tongkatnya makin berat, makin memberat dengan kesiuran angin yang mantap.

   Tongkat di tangannya berubah menjadi senjata pemukul yang dahsyat.

   Gerakan maju Mo Ing jadi tertahan.

   Dua pedang yang berkelebat dari arah kanan dan kiri seperti mau menggunting, dipatahkan dengan keras.

   Galih Kaliki maju terus.

   Tongkatnya menyambar dari atas ke bawah.

   Lagi-lagi Mo Ing berusaha menghadang.

   Kali ini Mo Ing lebih taktis.

   Satu pedang kanan diangkat sedikit ke atas.

   Untuk menangkis.

   Sedang pedang di tangan kiri digerakkan cepat untuk mencuri tusukan.

   Kalau ini terjadi, Galih Kaliki boleh memegang dadanya yang tertusuk dalam.

   Soalnya, walaupun pedang kanan tak bisa menahan sepenuhnya kemplangan tongkat, namun tetap tak membuat Mo Ing remuk kepalanya.

   Ia juga sudah mengambil ancang-ancang dengan memiringkan kepalanya.

   Paling sial hanya pundaknyalah yang masih mungkin kena kemplang.

   Tapi pedang kirinya sudah akan menghentikan gerakan lawan.

   Mo Ing memang ingin menghentikan serangan secepatnya.

   Agar bisa membuktikan bahwa ia bisa menguasai lawan lebih cepat dari perkiraan Rawikara.

   Agar membungkam komentar Rawikara.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Perhitungan ini banyak benarnya.

   Tapi satu hal yang tak pernah diperkirakan oleh Mo Ing ialah bahwa tipe permainan silat Galih Kaliki lain daripada yang lain.

   Selama main gebrakan mencapai lima belas jurus, Mo Ing unggul dengan kuda-kuda yang mantap.

   Geseran kaki secara teratur bisa mengukuhkan posisinya.

   Hampir semua lawan Galih Kaliki selalu menemukan peluang terbaik untuk menyerang dari bagian bawah.

   Dulu Bagus Respati, putra Patih Mahisa Anengah Panji Angragani pun melihat lubang pertahanan yang lemah di bagian bawah.

   Padahal justru inilah yang agaknya dirasa menjadi soal bagi Galih Kaliki.

   Justru pada saat lawan merasa sangat aman dan kuat di bagian bawah, kaki Galih Kaliki menggempur mantap kuat.

   Kaki kanan mengentak lurus dengan gerakan menyelentak, gerakan merupakan sepakan kaki kuda.

   Tenaganya sangat besar.

   Yang diarah adalah tempurung kaki.

   Mo Ing tak akan bisa sekadar menggeser, karena justru slentakan jaran, tendangan kuda, ini jauh dari jangkauannya.

   Satu-satunya jalan adalah membuang diri jauh ke belakang.

   Atau memilih kemungkinan lain.

   Tetap menangkis tongkat di atas, menusuk dengan pedang yang lain, dan menggeser kaki sebisanya.

   Dalam pertempuran semacam ini, Mo Ing belum tentu menderita lebih berat daripada Galih Kaliki.

   Kerugian fatal bisa berada di kedua belah pihak.

   Mo Ing pernah menyaksikan pertempuran antara Galih Kaliki dan Bagus Respati.

   Sehingga mengetahui bahwa serangan Galih Kaliki memang maut.

   Bukan hanya serangannya yang membahayakan lawan, tetapi juga seperti tak memedulikan keselamatan dirinya sendiri.

   Dalam pertempuran waktu lalu, Galih Kaliki dan Bagus Respati sama-sama nekat.

   Hanya kebetulan karena ada tokoh lain melerai secara jitu, keduanya terhindar dari kematian.

   Meskipun mengakibatkan keduanya terluka parah.

   Mengetahui cara lawan, Mo Ing mengubah permainannya dengan cepat.

   Dalam sepersekian detik, tusukan dan tangkisan diubah menjadi sodetan ke arah wajah.

   Gerakan pedang menjadi lebih cepat dari datangnya kemplangan tongkat.

   Mo Ing sadar ini sekadar memecah sedikit perhatian, karena yang penting adalah meloloskan diri dari slentakan jaran.

   Mo Ing tak mau sekadar membuang tubuhnya ke belakang, ia mengayun, menjatuhkan tubuh di lantai dengan punggungnya dan kedua pedangnya menebas dari kiri dan kanan dengan gerakan miring.

   Galih Kaliki telanjur dalam posisi seperti terjun.

   Memerlukan waktu untuk mengubah gerakannya dalam seketika.

   Tapi bukan itu yang dipilih.

   Tongkat andalan yang berwarna cokelat kehitaman terus menyapu ke bawah.

   Berhenti dengan suara keras menghantam lantai.

   Dalam perjalanan menghunjam ke lantai, berhasil menyapu dua pedang sekaligus.

   Tubuh Galih Kaliki berputar bagai kitiran, tertarik oleh gaya luncur kedua kakinya yang menendang ke arah luar.

   Jadilah pemandangan menarik.

   Mo Ing berputar dengan punggung menempel lantai, sementara Galih Kaliki berputar di atasnya dengan tangan memegang tongkat sebagai sumbu.

   Keduanya berputar dalam arah yang berlawanan.

   Mo Ing terpancing dengan serangan berikut.

   Begitu putaran punggung makin cepat, kedua pedang menyodet ke atas.

   Akan sulit bagi Galih Kaliki mengelak.

   Akan tetapi saat itu Galih Kaliki sudah meluncur turun.

   Dahsyat sekali.

   Tongkat menyampok satu pedang hingga terpental jauh.

   Sementara pedang yang satu terlepas karena tangan Mo Ing kena diinjak.

   Persis di pergelangan tangan! Sekali getok, Galih Kaliki bisa menjebloskan ujung tongkat ke kepala Mo Ing.

   Atau menggempur dada.

   Rawikara tak pernah menduga bahwa pertempuran bisa berakhir begitu cepat! Ia tak menganggap Galih Kaliki terlalu rendah.

   Akan tetapi juga sama sekali tak menduga bisa menyelesaikan pertempuran dengan begitu singkat dan mendadak! Ini semua terjadi dalam gerakan turun tubuh Galih Kaliki yang tepat! Menyampok pedang, menginjak pergelangan, dan menguasai keadaan secara penuh.

   Mo Ing dikalahkan secara sempurna.

   "Ayo katakan, di mana Nyai Demang?"

   Tergeletak di lantai, wajah Mo Ing berubah pias.

   "Kamu boleh bunuh aku. Aku sudah kalah. Untuk apa memaksa mengatakan yang sudah kau ketahui?"

   Galih Kaliki mendongak sedih.

   "Pergilah kalau kamu memang tidak tahu."

   Lembut, tenang, Galih Kaliki berjalan minggir.

   Meninggalkan Mo Ing yang tergeletak di lantai.

   Mo Ing menyambar pedang dan dengan cepat sekali menusukkan pedang.

   Ke arah tubuhnya! Dengan mengeluarkan jeritan tertahan, Mo Ing rebah ke lantai.

   Kejadian berlangsung sangat singkat.

   Bersamaan dengan itu, satu bayangan melayang, dan mengangkat tubuh Mo Ing ke dalam panggulan, sekaligus melepaskan pedang dari tubuh Mo Ing, menotok jalan darah.

   Semua dilakukan dalam seketika.

   Kiai Sangga Langit berdiri gagah.

   Mengangguk ke arah Galih Kaliki, lalu menoleh kepada Rawikara dengan sudut mata.

   Lalu menjejakkan kakinya, memancal lantai, dan melayang melewati kerumunan.

   Kiai Sangga Langit seperti menyalahkan Rawikara.

   Karena Rawikara-lah yang berdiri paling dekat dengan Mo Ing.

   Sebenarnya kalau mau, bisa menahan tusukan pedang.

   Pun andai tusukan itu ditujukan ke arah Galih Kaliki.

   Akan tetapi Rawikara sengaja membiarkan saja.

   Tidak peduli siapa yang akan kena tusuk.

   Bagi Rawikara tidak penting benar siapa yang bakal tertusuk! Tapi yang membuat Rawikara merasa gusar adalah pandangan mata Kiai Sangga Langit.

   Sorot mata yang tak terucapkan itu bukan sekadar menuduh bahwa.

   Rawikara tak ambil peduli.

   Bukan sekadar membiarkan, akan tetapi justru sengaja memperlakukan dengan cara yang hina.

   Kiai Sangga Langit melihat, dalam sekelebatan saja, bahwa gerakan yang didemonstrasikan untuk menjebak tadi adalah gerakan yang sering diperagakan oleh Ugrawe.

   Bagian dari ilmu andalannya! Rawikara sendiri setengah tak percaya.

   Mana mungkin dari gerakan dasar Sindhung Aliwawar yang memakai tenaga putaran sebagai angin puting beliung diperagakan orang lain.

   Selama ini Ugrawe sendiri mempraktekkan dengan gerakan tangan.

   Satu tangan bergerak di atas kepala, menggebah, dan satu putaran tangan lagi menarik dengan sedotan! Dengan demikian lawan akan terhantam di bagian atas tubuhnya, dan diseret di bagian bawah tubuhnya! Galih Kaliki justru mempraktekkan dengan gerakan kaki.

   Yang dikombinasikan dengan tangan.

   Tangan menyampok ke arah luar kaki menekan ke bawah.

   Cara mengatur tenaga dalam seperti ini dengan cara yang bertentanganboleh dikatakan menjadi ciri khas ilmu andalan Ugrawe.

   Selama ini tak ada orang ketiga yang mempelajari.

   Karena cara pernapasan yang luar biasa sulit untuk mengendalikan tenaga yang berlawanan arah dan pemakaiannya.

   Hanya Ugrawe, melatih sendiri, dan Rawikara sebagai murid.

   "Bagus sekali. Satu gerakan yang luar biasa. Boleh saya mengetahui nama gerakan tadi dan dari perguruan mana? "Barangkali kita bisa berbicara lebih leluasa."

   "Aku tidak butuh urusan seperti itu, Pangeran. Kalau kamu berikan Nyai Demang, baru itu namanya menjawab keperluanku kemari."

   Rawikara mendongak ke atas langit.

   "Kalau hanya itu urusannya, mari kita jemput Nyai Demang."

   "Tunggu!"

   Teriak Galih Kaliki gusar.

   "Ada apa lagi? Katanya mau ketemu Nyai Demang, tetapi sekarang pakai alot-alotan segala."

   "Siapa suruh kamu bilang hanya itu. Soal Nyai Demang bukan soal hanya itu. Soal yang besar. Cabut kembali kata-kata itu!"

   Rawikara mengangguk.

   "Maafkan kalau ini menyinggung perasaan. Saya mengira sesuatu yang tak bisa saya lakukan. Tetapi mungkin saya bisa menolong. Selama ini Nyai Demang ada di sini. Dalam keadaan aman. Nyai Demang menjadi penerjemah Kiai Sangga Langit yang baru saja mengangkat Mo Ing. Kita bisa ke sana bersama-sama."

   Rawikara merenggangkan kedua tangannya.

   Menyilakan Galih Kaliki berjalan bersamanya.

   Ini adalah salah satu strategi Rawikara.

   Baginya Galih Kaliki seperti sengaja diciptakan untuk menjelaskan masalah yang ingin diketahui.

   Pertama kali tentang tulisan asmara di dinding.

   Kedua tentang asal-usul perguruan Galih Kaliki.

   Ketiga bisa menjadi kunci untuk membuka rahasia yang ada di dalam kediaman Kiai Sangga Langit.

   Maka Rawikara membalik penampilannya.

   Kalau tadi merasa perlu menghadapi keras sama keras, kini harus menghadapi dengan kelembutan.

   Sebagai murid langsung Ugrawe, Rawikara juga menuruni sifat-sifat Ugrawe.

   Malah sedikit lebih cerdik, atau licik.

   Dalam hati Rawikara mulai curiga kepada Ugrawe.

   Gurunya ini memang luar biasa saktinya.

   Ilmunya tak ada yang melawan.

   Dengan kekuasaan besar di tangannya, boleh dikatakan setiap saat bisa mengubah jalannya sejarah Keraton.

   Apalagi kalau ternyata telah menyiapkan bibit baru sebagai muridnya.

   Sebelum semua berkembang tak terkendalikan, ia bisa mengambil alih inisiatif.

   Agar tak bisa didikte oleh Ugrawe.

   Maka jalan yang diambil adalah berdamai dengan Galih Kaliki.

   Untuk mengorek keterangan lebih banyak.

   Rawikara tahu bahwa Galih Kaliki memang ugal-ugalan dan kasar penampilannya.

   Akan tetapi sifatnya jujur dan tak mempunyai prasangka yang aneh-aneh.

   Dari keinginannya yang mengabaikan kepentingan lain, hanya sekadar mencari tahu Nyai Demang, hal ini sudah memberikan bukti kuat.

   Maka rombongan pun menuju ke kediaman Kiai Sangga Langit.

   "Nyai Demang, ini aku, Pangeran Anom Rawikara... membawa seorang sahabat yang ingin menemuimu. Maukah kamu keluar barang sebentar?"

   Tak ada jawaban.

   "Nyai Demang, kalau Nyai tak mau keluar, biarlah aku yang masuk ke dalam. Maaf kalau kurang menghormati Kiai Sangga Langit, si pemilik rumah. Aku sudah minta izin baik-baik."

   Pintu terbuka. Kiai Sangga Langit berdiri di tengah pintu. Kukuh, bergeming.

   "Kiai Sangga Langit..."

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tangan Kiai Sangga Langit mengibas. Terdengar suara nyaring dari dalam.

   "Hari ini Kiai Sangga Langit tak mau menerima tamu. Ia akan mengobati Mo Ing. Harap datang lain waktu."

   "Nyai Demang... itu suaramu. Akulah garam yang tak bisa dipisahkan dari laut birumu."

   Galih Kaliki meloncat, menerobos masuk. Kiai Sangga Langit mengangkat sebelah tangan. Dalam meloncat Galih Kaliki mengayunkan tongkat dengan keras sekali.

   "Minggir kamu, hantu sawah...."

   Kiai Sangga Langit tak menggeser tangannya.

   Sebat sekali mengangkat tongkat yang terayun ke arahnya.

   Dengan memusatkan tenaga, tongkat itu bisa digenggam dan dipelintir keras.

   Tubuh Galih Kaliki jadi ikut berputar.

   Ngilu menyerang seluruh saraf tangannya.

   Tak bisa ditahan lagi, terpaksa Galih Kaliki melepaskan pegangannya.

   Sebagai gantinya, kaki Galih Kaliki menyepak keras, jurus slentakan jaran yang perkasa.

   Kiai Sangga Langit tetap tak menggeser kakinya, hanya mengubah tangannya yang kini memegang tongkat untuk menangkis.

   Galih Kaliki, seperti diduga, tak menarik kakinya.

   Tapi mencungkil ujung tongkat.

   Tongkat berputar ke arah wajah Kiai Sangga Langit, yang mengeluarkan suara dingin dari bibirnya, menangkis ke luar.

   Tongkat terayun, dan dengan berjumpalitan Galih Kaliki bisa menangkapnya.

   Berdiri di tempatnya semula.

   Satu gebrakan yang luar biasa.

   Galih Kaliki tidak kehilangan muka dalam serangan ini.

   Meskipun ia harus jungkir-balik tidak kepalang tanggung.

   Kedudukan masih sama, akan tetapi jelas bahwa Galih Kaliki setidaknya berada tiga tingkat di bawah Kiai Sangga Langit.

   Rawikara sejenak ragu bertindak.

   Saat itu mendadak terdengar gong kecil dipukul ringan.

   Semua kegiatan terhenti mendadak.

   Seorang prajurit menghaturkan sembah sambil berjongkok.

   "Maaf. Baginda Raja berkenan memanggil Pangeran Anom."

   Panggilan dari Raja, tak bisa ditawar sedikit pun. Rawikara mengangguk.

   "Saya akan menghadap sekarang juga,"

   Katanya lembut kepada prajurit. Lalu menoleh ke arah Galih Kaliki.

   "Saya merasa bahagia kalau setelah menerima dawuh Raja kita masih bertemu lagi. Soal Nyai Demang..."

   Suara Rawikara berubah agak tinggi.

   "Nyai, saya meminta Nyai menemui... saya meminta dengan segala kerendahan hati. Di belakang hari utang budi ini akan selalu saya ingat."

   Terdengar jawaban dari dalam rumah.

   "Saya mau menerima saat bulan purnama, seperti yang dijanjikan."

   "Baik kalau begitu,"

   Teriak Galih Kaliki manggut-manggut. Lalu duduk di depan pintu.

   "Pangeran, kamu masuk ke dalam Keraton karena ada urusan. Aku akan menunggu di sini sampai bulan purnama.

   "Kalau hantu sawah itu mau bikin gara-gara, aku masih bisa menghadapi."

   Rawikara tak mempunyai pilihan lain.

   Ia mengangguk dan segera berlalu.

   Masuk ke dalam Keraton.

   Menyembah, berjongkok, dan kemudian mengambil tempat agak di sudut.

   Ugrawe ternyata telah duduk di situ pula.

   Yang agak mengherankan Rawikara ialah, bahwa ada suatu bayangan tubuh yang duduk khidmat di dekat singgasana Raja Jayakatwang.

   Seorang lelaki tua, yang menunduk dan tangannya tak pernah berhenti memegang biji-biji tasbih.

   Dia adalah Waisesa Sagara.

   Rawikara tidak terlalu mengenal siapa Waisesa Sagara.

   Yang diketahui hanyalah.

   Ia satu-satunya pejabat Keraton semasa pemerintahan Baginda Raja Kertanegara yang sekarang masih mempunyai posisi tinggi dan jabatan utama.

   Malah boleh dikatakan naik pangkat.

   Kalau dulu menjadi penasihat rohani dan sekaligus dukun peramal Mahapatih Panji Angragani, orang kedua di Keraton Singasari, sekarang malah penasihat rohani orang nomor satu di Keraton! Baik Rawikara maupun Ugrawe tak berani mempersoalkan atau mengungkit masalah ini kepada Raja Jayakatwang.

   Karena ini merupakan hak pribadi seorang raja untuk memilih pembantu terdekatnya.

   Bagi Rawikara, ketidaksukaan Ugrawe pernah tercetus walaupun tidak langsung.

   Namun kemudian, Rawikara menyadari bahwa Ugrawe mempunyai perhitungan sendiri.

   Bahwa pengaruh Waisesa Sagara tak akan menjadi besar, selama ia tidak diberi kekuasaan apa-apa.

   Selama Waisesa Sagara hanya berurusan dengan tasbihnya dan mulut yang terus-menerus berkomat-kamit.

   Terdengar gong dipukul pelan.

   Serta langkah kaki yang ringan sekali.

   Ugrawe, Rawikara, Waisesa Sagara segera menghaturkan sembah dengan menunduk seakan ingin mencium lantai.

   Sampai Raja Jayakatwang duduk di singgasana dan mengeluarkan suara perlahan.

   Ketiganya mendongak.

   Sedikit sekali.

   Sunyi di ruang pertemuan.

   Hanya ada mereka berempat.

   Terasa betapa ruangan menjadi sangat luas dan diisi oleh angin yang diam tak bergerak.

   "Hari ini aku memanggil Paman Ugrawe dan putraku, karena kalian berdualah yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.

   "Aku tak bisa menunggu sampai esok atau bahkan nanti...."

   Suaranya menggantung, seperti tak menemukan lanjutan.

   Ugrawe tetap menunduk, akan tetapi pikirannya bekerja keras.

   Raja Jayakatwang memanggil dirinya dan Pangeran Anom Rawikara.

   Sedangkan Waisesa Sagara tidak termasuk yang dipanggil.

   Ini berarti kehadirannya dalam pertemuan sudah otomatis.

   Dari cara berbicara, Ugrawe merasa bahwa Raja Jayakatwang seperti benar-benar kehabisan semangat.

   "...Sebentar lagi aku berada di singgasana ini selama seratus hari. Masih saja belum hilang bayangan yang mengerikan. Mayat-mayat berjatuhan, banjir darah, erangan orang-orang yang kuhormati secara lahir-batin.

   "Kadang aku berpikir sendiri, apakah tindakan yang kulakukan bukan suatu kekeliruan yang bakal dikutuk anak-cucuku besok? "

   Tidak, seharusnya tidak.

   "Aku mendengarkan apa yang dikatakan Paman Ugrawe, Pujangga Pamungkas, yang ahli dalam berbagai hal. Aku mendengarkan saran terbaik dari Paman Wiraraja di tanah Madura. Aku mendengarkan saran Patih Mandarang. Aku merasa di pihak yang benar. Meluruskan kembali sejarah raja-raja di tanah Jawa yang menguasai dunia. Mengembalikan ke jalan yang lurus, yang direstui dewa. Bahwa seorang raja yang menguasai jagat, menjadi panutan, menjadi contoh dalam kehidupan. Seorang raja adalah wakil Penguasa Jagat beserta isinya, seluruhnya. Dan seorang yang semacam ini tidak bisa kalau yang duduk adalah keturunan perampok, seorang pencuri, yang mengambil alih secara paksa.

   "Aku mendapat wangsit, mendapat petunjuk dari Penguasa Jagat untuk meluruskan kembali keturunan raja-raja."

   "Jalan inilah yang kutempuh.

   "Dan hanya jalan ini yang kutempuh.

   "Makanya, kepada Paman Ugrawe aku menganjurkan agar segala pertumpahan darah, segala balas dendam dihapuskan. Yang sudah ya sudah. Gelombang laut pun ada saatnya untuk surut kembali.

   "Pertumpahan darah dan pembunuhan, balas dendam, bukan tujuanku. Bukan tujuan kita semua.

   "Apakah aku bicara keliru?"

   "Sama sekali tidak, Sinuwun. Segalanya benar adanya, seperti yang di-wangsit-kan Dewa Yang Mahatinggi,"

   Sembah Ugrawe.

   "Tepat sekali, Sinuwun,"

   Sembah Waisesa Sagara. Rawikara memberi hormat yang dalam. Raja Jayakatwang mengambil napas lega.

   "Hari ini aku akan memberikan pengampunan kepada semuanya. Untuk secara resmi, pihak Keraton tidak akan mengusut, menghukum, menindak kejadian masa lampau. Justru sebaliknya. Aku akan mengajak siapa saja yang mau bekerja, yang mau mengabdi kepada Keraton. Inilah saat membangun kembali masa kejayaan Keraton.

   "Adalah mustahil. Kalau almarhum Baginda Raja Sri Kertanegara yang justru keturunan perampok bisa mengibarkan panji-panji kebesaran sampai ke tepi samudra jauh, aku justru tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah yang berdarah biru kalah dengan darah perampok? "Aku telah memutuskan ini.

   "Bagaimana pendapat Paman Ugrawe?"

   Ugrawe menghaturkan sembah.

   "Keputusan Sinuwun adalah keputusan yang memberikan warna yang cemerlang, pijakan yang kukuh, gambaran nyata dari suatu jiwa yang amat besar. Dalam sejarah raja-raja yang hamba pelajari belum pernah ada penggambaran sikap begitu mulia. Semua ini demi keagungan Keraton.

   "Dewa Maha tunggal mendengar maksud baik hati Sinuwun."

   "Setelah basa-basi yang menyenangkan ini, apa yang akan Paman katakan?"

   Ugrawe menghaturkan sembah kedua kalinya.

   "Baginda lebih arif dan bijak, mana hamba berani menyembunyikan kebodohan hamba.

   "Tanpa mengurangi kebesaran jiwa Baginda, izinkanlah hamba menghaturkan apa yang hamba rasakan. Mohon seribu maaf jika kurang berkenan."

   "Katakan, Paman."

   "Maksud luhur Baginda bisa disalahgunakan, jika melihat situasi sekarang ini. Hamba kuatir jika sekarang ini Baginda mengatakan itu, para pembangkang dan mereka yang menginginkan kembalinya takhta Keraton ke tangan yang lain, akan merasa mendapat angin.

   "Apakah Baginda tak ingin menunda barang satu purnama lagi?"

   "Bulan depan atau sekarang apa bedanya? Makin cepat kita membangun kembali, rasanya makin baik. Kalau tidak, kita hanya berkubang sekitar masalah balas dendam. Seakan urusan kita hanyalah membunuh orang lain yang kebetulan berbeda pendapat dengan kita.

   "Berapa kuburan lagi yang diperlukan untuk itu?"

   Suara Raja Jayakatwang bergelombang. Tapi diakhiri dengan suara yang lembut.

   "Rawikara putraku... lebih baik pada kesempatan ini kamu berdiam diri saja. Aku memanggilmu agar kamu mendengar lebih banyak.

   "Putraku, sesungguhnya nasibmulah yang membuat aku banyak merenung mengenai apa yang seharusnya kulakukan sekarang ini.

   "Kehidupan dari kematian, menjelaskan bahwa seharusnya ada kehidupan baru dalam alam pikiran.

   "Putraku, kamu tahu maksudku?"

   "Sembah dalem... Rama...."

   "Ketika kita menyerbu Keraton habis-habisan, ketika itulah kamu terluka parah dan kemudian dinyatakan meninggal dunia karena terkena racun Gendhuk Tri, siswi terakhir Mpu Raganata.

   "Tubuhmu telah terbaring, membiru seluruhnya.

   "Kamu sendiri tak ingat. Tak tahu. Bahwa aku menangis di sampingmu. Pada saat itu Mpu Raganata yang telah terbaring karena luka parah, karena seluruh tubuhnya penuh dengan luka, merangkak mendekatimu. Memeriksa nadimu, memeriksa pernapasanmu. Dan mengatakan bahwa untuk suatu ketika, nyawamu masih bisa diselamatkan. Tak ada yang percaya. Bahkan Paman Ugrawe yang sangat kukagumi juga menggelengkan kepalanya. Tetapi Mpu Raganata mengatakan, 'Kematian ialah sesuatu yang tak bisa diubah. Tapi sebelum mati, masih banyak kejadian yang bisa ditangani oleh manusia. Dalam diri anak muda ini, bertempur darah yang racunnya tak bisa dikuasai. Ia kalah. Tapi masih bisa diselamatkan. Seluruh darahnya dipompa ke luar, dan darahnya diganti dengan darah yang murni, darah yang diberikan secara suka rela.

   "'Karena hanya racunnya yang mematikan darah, belum mematikan hidupnya.

   "'Beberapa bagian tubuhnya yang dalam, sudah terluka, akan tetapi bisa disembuhkan dengan pengobatan biasa.' "Dan Mpu Raganata menyalurkan darah ke dalam tubuhmu, putraku. Setelah menguras habis semua darah beracun dari tubuhmu.

   "Betapa mulia seorang Mpu Raganata.

   "Pujangga Ugrawe menyatakan bahwa hal itu dilakukan karena Mpu Raganata ingin menebus dosa. Racun itu berasal dari tangan siswinya, muridnya. Secara moral, Mpu Raganata berkewajiban untuk menyembuhkan, mencuci nama baiknya. Karena Mpu Raganata selama hidupnya tak pernah mempelajari ilmu racun.

   "Tetapi ternyata tidak. Mpu Raganata tak tahu siapa yang dilukai, siapa yang melukai. Beliau yang sudah sangat sepuh, yang memerlukan tenaga untuk hidupnya sendiri, lebih suka menolong orang lain.

   "Ketika aku bertanya sambil berlutut di depannya, Mpu Raganata tersenyum, 'Kalau kamu bisa berbuat baik bagi orang lain, apakah harus kautanyakan sesuatu? Kalau kamu bisa berbuat baik, lakukanlah. Itu wajar.'"

   Raja Jayakatwang menutup matanya. Menahan guncangan yang menggemuruh dalam dada.

   "Kenapa aku selalu mengulang cerita semacam ini? "Karena aku bersyukur bahwa putraku lolos dari kematian. Namun lebih luhur dari semua itu, tindakan nyata Mpu Raganata. Kalimatnya begitu indah, begitu luhur, begitu suci. Kalau kamu bisa berbuat baik pada orang lain, lakukanlah. Itu wajar.

   "Adakah kata keramat yang lebih hebat dari ini? "Aku bukan seorang resi. Aku bukan orang bijak. Aku tak tahu, apakah memberi ampunan ini suatu perbuatan baik atau sesuatu yang wajar, tetapi aku ingin melakukan. Paman Waisesa Sagara, bagaimana?"

   Waisesa Sagara menyembah.

   "Hari ini hari terbaik dalam tiga bulan mendatang."

   Raja Jayakatwang mengangguk.

   "Hari ini akan kukatakan.

   "Paman Ugrawe bisa mulai melaksanakan. Semua tahanan, tanpa kecuali, dibebaskan. Semua kecurigaan dihilangkan.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kita akan mulai membangun kejayaan Keraton yang sesungguhnya!"

   Ugrawe, Rawikara, menunduk, menghaturkan sembah.

   "Perintah Raja kami junjung tinggi."

   "Baik. Mudah-mudahan ini mencuci tangan kita yang terlalu berdarah."

   Lama setelah Raja Jayakatwang meninggalkan tempat pertemuan, Ugrawe masih tetap berdiam diri. Demikian juga Rawikara. Waisesa Sagara sudah pergi meninggalkan, mengikuti Raja.

   "Aku telah mendengar laporan dari Patih Mandarang malam tadi,"

   Suara Ugrawe terpatah-patah.

   "Bahwa ada utusan dari tanah Madura diterima menghadap langsung. Patih Wiraraja mengajukan usul-usul mengenai kebijaksanaan yang baru.

   "Pangeran Anom telah mendengar sendiri bahwa Raja berkenan menuruti nasihat Wiraraja."

   "Bapa Guru, tak ada alasan lain, kita melaksanakan titah Raja."

   "Ya, biarlah aku sendiri yang membebaskan para tahanan di Perguruan Awan!"

   Rawikara termenung.

   "Saya merasa bersalah. Andai Mpu Raganata tidak menolong saya, barangkali akan lain."

   "Jangan kecil hati, Pangeran Anom. Ini semua bukan kesalahan Pangeran. Ini karena jiwa besar Raja, sesembahan kita. Menangkap peristiwa itu sebagai karunia dewa. Raja kita sangat menyayangimu, Pangeran. Baik-baiklah memberi laporan kepada Sinuwun, aku akan segera berangkat ke Perguruan Awan."

   Rawikara menghaturkan sembah.

   "Ada apa lagi, Pangeran?"

   "Tidak ada apa-apa, Bapa Guru...."

   "Wajah Pangeran masih menyembunyikan sesuatu."

   Rawikara mengatakan bahwa ia melihat Galih Kaliki ternyata bisa menunjukkan salah satu gerakan yang intinya sama dengan Sindhung Aliwawar. Jurus utama puting beliung dengan pembagian tenaga menolak dan mengisap itu ternyata bisa dimainkan.

   "Galih Kaliki? Aku tak pernah mendengar nama itu. Dan aku tak yakin ada yang bisa mempelajari. Aku akan berangkat sekarang juga."

   "Bapa Guru benar-benar akan membebaskan semua tawanan ?"

   "Ya. Aku akan membebaskan, sesuai dawuh, sesuai perintah Raja. Yang tidak kujanjikan, yang tidak ada dalam perintah Raja, ialah aku membebaskan semua dalam keadaan sebagaimana adanya. Aku akan menjajal ilmuku untuk menghabiskan semua ilmu silat mereka. Jika pukulan Banjir Bandang Segara Asat berhasil, Kiai Sangga Langit akan menggigit jari. Pangeran Anom boleh mengikuti jika ingin menjajal juga."

   Ini adalah kesempatan terbaik.

   Selama ini sangat susah melatih pukulan Banjir Bandang Segara Asat, Banjir Bah Laut Kering.

   Ini merupakan jurus yang amat sulit untuk dilatih.

   Terutama sekali bukan karena sulit mempraktekkan gerak, akan tetapi sulit memilih siapa yang menjadi sasaran.

   Banjir Bandang Segara Asat mengisyaratkan adanya banjir besar yang menjadi bah, akan tetapi di saat yang sama laut menjadi kering.

   Jenis pukulan yang khas dari rangkaian Sindhung Aliwawar, yang serba bertentangan.

   Rangkaian yang bertentangan antara tenaga menolak dan mengisap.

   Yang khas dari jurus Banjir Bandang Segara Asat ialah jurus ini merupakan jurus yang paling keras dari sifat menolak dan mengisap.

   Dalam jurus ini, pesilat akan mengirimkan pukulan ke arah lawan dengan tenaga penuh, dan sekaligus mengisap habis! Sehingga lawan yang terkena pukulan ini kehilangan kekuatan tenaga dalamnya.

   Seumpama laut, ia dikeringkan, dan tenaganya diisap menjadi banjir di daratan! Pukulan Banjir Bandang Segara Asat tak menjadi masalah besar jika bisa dilatih sekenanya.

   Akan tetapi, pukulan ini tak bisa dipakai sembarangan.

   Kalau menghadapi lawan yang lebih kecil tenaga dalamnya, atau lebih lemah, bisa-bisa malah membahayakan diri.

   Soalnya tenaga gempuran begitu besar, sehingga hampir sepenuhnya tenaga dalam dikerahkan.

   Kalau yang ditarik hanya kecil sekali, tenaga sendiri bisa membalik dan melukai.

   Akibatnya bisa fatal.

   Ibarat kata bunuh diri.

   Itulah sebabnya, untuk melatih pukulan ini diperlukan lawan yang kira-kira setanding.

   Makin setakar kekuatan tenaganya, makin menguntungkan.

   Karena dalam sesaat tenaga dalam yang dimiliki bisa berlipat.

   Selama ini Ugrawe dan Rawikara telah mempelajari secara teori.

   Dan memainkan tanpa tenaga dalam.

   Namun selalu masih ada dorongan untuk mengujinya.

   Dalam pertempuran yang sesungguhnya, Ugrawe sendiri belum pernah mempraktekkan.

   Karena masih merasa gamang.

   Para tawanan di Perguruan Awan bisa dijadikan latihan yang menarik.

   Yang memenuhi syarat.

   Mereka adalah ksatria-ksatria yang mempunyai nama besar.

   Yang terlatih dengan baik.

   Setidaknya ada nama-nama besar seperti Jaghana, si gundul yang mewarisi ilmu Perguruan Awan sendiri.

   Tenaga dalamnya boleh diandalkan.

   Kemampuannya sudah diakui.

   Juga masih ada Dewa Laut yang kurang-lebih memiliki jenis pukulan yang sama.

   Masih ada tiga Pengelana Gunung Semeru, tiga bersaudara yang bila digabung ilmunya cukup tinggi.

   Menghadapi lawan seperti ini sangat membangkitkan gairah pertempuran.

   Karena ketika bertanding, dipaksa mengeluarkan semua simpanan yang ada.

   Tanpa disadari kedua pihak mengeluarkan ilmu yang sesungguhnya.

   Dan justru itulah yang diharapkan dari latihan semacam ini! Mengisap laut sampai kering dan membuat banjir daratan! Rawikara terkesima.

   Ia merasa dirinya cerdik, akan tetapi ternyata dalam masalah mempelajari ilmu silat serta menemukan cara berlatih, gurunya masih luar biasa.

   Dan ini semua dilakukan tanpa perlu harus melawan perintah Raja! "Benar kata Waisesa Sagara...

   Hari ini hari terbaik.

   Kita tak harus menunda waktu.

   Pangeran Anom, hamba menunggu pertimbangan Pangeran."

   "Sebaiknya saya menyertai Bapa Guru...."

   "Atau soal Galih Kaliki masih menjadi ganjalan?"

   "Untuk sementara tidak. Biarlah Keraton sepi barang sehari-dua hari."

   Dengan diam-diam Ugrawe menyiapkan pasukannya.

   Maka iringan pun berjalan dengan diam-diam.

   Inilah perjalanan yang aneh.

   Menuju ke Perguruan Awan kembali.

   Pusat perguruan silat, sumber yang membuat barometer ilmu yang ada sekarang ini.

   Sejak Eyang Sepuh mendirikan perguruan, hingga namanya menyebar ke seluruh penjuru mata angin, Perguruan Awan menjadi sumber munculnya ksatria-ksatria baru, pendekar-pendekar yang mencapai tingkat yang patut diperhitungkan.

   Justru karena di perguruan itu tidak semua menyelesaikan hingga tamat serta menjadi penghuni di situ seumur hidup.

   Justru mereka yang putus di tengah jalan, karena tidak sesuai lagi, menjadi warna yang dominan dalam kehidupan masyarakat dunia silat.

   Perjalanan yang aneh.

   Kalau dulu Ugrawe dan rombongan datang untuk sekadar menghancurkan.

   Kini bukan hanya itu, akan tetapi untuk memindahkan tenaga dalam mereka.

   Kalau ini berhasil, Ugrawe benar-benar tiada tandingannya.

   Bahkan Eyang Sepuh pun takkan mampu mengimbangi.

   Barangkali hanya tokoh legendaris seperti Tamu dari Seberang yang bisa menandingi.

   Akan tetapi tokoh misterius itu saat ini belum pernah muncul.

   Belum ada yang mengaku pernah bertemu dengannya! Kiai Sangga Langit masih memeriksa nadi Mo Ing, ketika mendengar suara yang melangkah tergesa.

   Tangan Mo Ing tetap dipegang ketika berbicara ke arah Nyai Demang.

   "Nyai mendengar suara langkah tergesa?"

   "Tidak... ya... tidak... tidak begitu jelas."

   "Aku merasa ada sesuatu yang sangat penting dan mendadak. Sepertinya Ugrawe sendiri yang pergi.

   "Kurasa ada sesuatu yang akan dilakukan. Kalaupun ada hubungannya dengan perintah Raja, ini tetap sesuatu yang rahasia.

   "Nyai, aku minta pertolongan. Mo Ing harap dijaga baik-baik. Untuk sementara Galih Kaliki tak akan banyak mengganggumu. Aku akan mengikuti Ugrawe pergi. Usahakan seolah aku masih di sini."

   Sebelum kalimat terakhir lenyap, tubuh Kiai Sangga Langit yang tinggi besar telah meninggalkan tempat.

   Dalam tarikan satu napas saja, tubuh yang tinggi besar dan kelihatan berat bisa pindah tanpa menimbulkan kesiuran angin keras.

   Kiai Sangga Langit menunjukkan kelebihannya ketika mengikuti secara diam-diam.

   Perjalanan dari Keraton menuju Perguruan Awan bukan perjalanan yang gampang.

   Melalui jalan sepi, yang sedikit bunyi- bunyian saja terdengar.

   Tetapi ilmu mengentengkan tubuh dan membaca jejak Kiai Sangga Langit sangat tinggi.

   Sehingga dengan mudah bisa mengikuti tanpa diketahui.

   Perguruan Awan sendiri masih seperti pertama kali diciptakan.

   Sebuah hutan yang lebat, lapangan di sana-sini, semak yang tinggi, rendah, gua-gua yang tersembunyi.

   Dari bentuk luarnya tak ada bedanya.

   Hanya saja, sebagian terbesar gua-gua itu dijadikan tempat penahanan para ksatria.

   Sejak penyerbuan habis-habisan, para ksatria yang terkena racun sebagian besar bisa ditawan.

   Sementara dipindahkan ke berbagai tempat, sebelum akhirnya diangkut ke Perguruan Awan.

   Dimasukkan ke dalam gua di bawah tanah.

   Dikumpulkan menjadi satu.

   Dan setengah dibiarkan mati atau hidup.

   Ujung terowongan dijaga sangat kuat, sementara batu-batu bongkahan ditumpuk bersama dengan ujung tombak dan anak panah beracun yang selalu dalam keadaan siap ditembakkan.

   Berada di dalam gua, dalam keadaan nyaris tanpa sinar matahari, para ksatria mencoba bertahan.

   Yang paling menderita adalah Dewa Maut.

   Bukan karena luka dalam tubuhnya masih menggerogoti.

   Hal ini bisa dengan mudah diatasi karena cukup waktu untuk melatih tenaga dalam.

   Tapi jelas sekali manusia yang biasa hidup di atas air sepanjang sisa usianya, sejak mengasingkan diri, paling menderita.

   Karena Dewa Maut juga tak bisa melatih ilmu racunnya yang ganas.

   Di mana bisa mencari ikan yang beracun kalau berada dalam gua bawah tanah? Tiga Pengelana Gunung Semeru, yang terdiri atas tiga bersaudara Pembarep, Panengah maupun Wuragil, meskipun biasa berdiam di atas gunung, masih bisa berlatih.

   Bahkan dalam bulan-bulan terakhir Barisan Trisula yang menjadi andalan mengalami kemajuan yang berarti.

   Seperti sudah diketahui unsur Barisan Trisula adalah menyatukan pikiran dari tiga orang.

   Dengan selalu berada dalam tempat yang sama.

   Satu-satunya yang bertahan dalam keadaan yang sama ialah Jaghana.

   Bukan hanya karena tubuhnya tetap gemuk, atau kepalanya tetap pelontos.

   Sikapnya yang rendah hati, memberikan kekuatan batin dan menular kepada rekan-rekannya.

   Jaghana tetap menolak memakan binatang tanah.

   Ia mencari akar-akar tumbuhan yang sedang tumbuh.

   Mempertahankan hidup seperti itu.

   Jaghana pula yang mulai usaha mencari makanan sendiri, ketika kiriman dari atas kadang datang kadang tidak.

   Jaghana membuka terowongan baru.

   Sering kali gagal karena kemudian tanahnya ambruk.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Gua bawah tanah ini disebut Lawang Sewu, Pintu Seribu. Sudah direncanakan sedemikian rupa sehingga tanah yang lembek tidak dibuatkan terowongan. Sehingga kalau kita mencoba menerobos mencari jalan keluar selalu akan sia-sia. Kalau melalui jalan biasa, di depan sudah ditunggu kawanan musuh.

   "Tetapi kita tak berhenti dengan berdiam diri. Inilah yang saya harus lakukan. Maafkan kebodohan ini, akan tetapi biarkanlah saya selalu mencoba."

   Jaghana pula yang merawat Wilanda.

   "Kakang, saya telah berkhianat pada Perguruan Awan dengan meninggalkan kebahagiaan dan ketenteraman untuk mengabdi kepada nafsu. Saya sungguh tak pantas diperhatikan dengan cara seperti ini."

   "Eyang Sepuh tak pernah membedakan anggota atau bukan anggota. Perguruan Awan yang dibangun Eyang Sepuh untuk menolong sesama, karena kita semua saudara dan anggota.

   "Dalam keadaan sakit dan terluka, Adimas telah banyak menolong orang lain. Itulah tanda bahwa keinginan Eyang Sepuh masih tersimpan dalam diri Adimas. Jangan terlalu sungkan."

   Begitulah, Jaghana melatih tenaga dalam Wilanda secara perlahan.

   Merawatnya seperti merawat bayi yang baru lahir.

   Kekerasan hati dan tekad Jaghana dalam mengobati Wilanda dan Dewa Maut, membuat Pembarep tergugah hatinya.

   Kalau tadinya mereka berhadapan sebagai musuh, dalam nasib yang sama, nyawa dan kesehatan masing-masing menjadi urusan bersama.

   Silih berganti Pembarep, Jaghana, Panengah, mengobati Wilanda dan Dewa Maut berganti-ganti.

   Begitulah waktu terus berjalan.

   Tak bisa dihitung berapa lama waktu sudah berlalu.

   Mereka tak pernah melihat sinar matahari dan bulan purnama.

   Tak tahu ada hujan atau banjir, atau musim kering yang panjang.

   Sampai suatu ketika, entah pagi entah malam, sesosok bayangan masuk sambil menggendong karung.

   "Makan yang banyak. Di situ ada daging, ada sayur yang segar. Ada jagung, ada tembakau. Ada bacaan yang bagus."

   Pembarep lebih dulu maju ke depan, memberi hormat.

   "Terima kasih. Akan tetapi sebelum kami bisa menerima kenikmatan ini, berilah kami kesempatan untuk mengenal Paduka yang baik hati."

   "O, Pembarep,"

   Terdengar suara yang nyaring tinggi.

   "Aku sudah tahu cacing dalam perutmu memberontak keras sekali. Mana ada makanan seperti yang kubawa ini? Tetapi kamu masih basa-basi. Takut kuberi racun? Hehe, itu masih lebih baik. Bukankah lebih enak merasakan sesuatu yang nikmat sebelum mati, daripada tak pernah merasakan sekali juga?"

   "Siapa kamu yang berani omong besar?"

   Dewa Maut berdiri gagah.

   "Ugrawe sendiri tak berani turun kemari. Menyuruh anak ingusan seperti ini."

   Bayangan yang ada di depan mereka menggerakkan kepalanya.

   "Dewa Maut, adatmu masih seperti anak kecil saja. Pantas saja Padmamuka suka padamu. Kamu memang masih tetap kekanak-kanakan."

   Disinggung mengenai hubungannya dengan Padmamuka, Dewa Maut langsung bereaksi cepat.

   Tubuhnya meluncur dengan kedua tangan terjulur ke depan.

   Gua ini terlalu sempit untuk menghindar.

   Tapi bayangan yang menutupi wajahnya dengan daun pisang itu tidak berkelit.

   Malah mengangkat kedua tangan untuk memapak, sambil meniup dengan keras.

   Aneh, mendadak Dewa Maut berhenti.

   Hidungnya kembang-kempis.

   Lebih aneh lagi, lalu menunduk dan menyembah.

   "Tole... arwahmu datang, kangen padaku?"

   Tole adalah sebutan Dewa Maut untuk Padmamuka, si cebol yang wajahnya seperti bayi.

   Teman berlatih seumur-umur dengan Dewa Maut, yang malah dikatakan hubungan mereka berdua bukan sekadar hubungan teman lagi.

   Tak ada yang membuktikan sendiri, akan tetapi kecurigaan semacam itu cukup beralasan, kalau mengingat dalam jarak waktu yang panjang keduanya hidup bersama di atas perahu.

   "Tole apa?"

   "Kamu Tole, kan?"

   "Enak saja kamu ngomong. Tole-mu itu pendek, cebol, biarpun manis. Lihat, aku cukup tinggi."

   "Sangat tidak mungkin kamu bukan Tole. Bau tubuhmu, bau mulutmu sama persis."

   "Padmamuka itu muridku. Tahu tidak? Maka kamu harus menghaturkan sembah padaku."

   Mata Dewa Maut membelalak.

   Rambutnya yang putih seluruhnya, beriapan, nampak menambah kesan lucu.

   Kocak sekali.

   Mulutnya melongo tak mengerti.

   Kalau tahu persis mengenai Padmamuka, tak menjadi masalah.

   Akan tetapi bau tubuh bisa sama, itu baru luar biasa.

   Mungkinkah gurunya? Bisa jadi.

   Tapi sama sekali tak masuk akal.

   Karena guru Padmamuka adalah dirinya sendiri.

   Dewa Maut-lah yang mendidik sejak ditemukan.

   "Kalau kamu gurunya, siapa aku?"

   "Kamu juga muridku. Masa lupa. Hayo menyembah. Kalau tidak, aku tidak akan memberimu ikan sungai."

   Dewa Maut serbasalah.

   Ia sebenarnya tokoh yang mempunyai gelar tinggi.

   Kedudukannya dalam dunia persilatan termasuk kelas atas.

   Puluhan tahun merajalela di Bengawan Solo hingga Brantas, tak ada yang mengusik.

   Tak ada yang berani.

   Gelar Dewa Maut menunjukkan bahwa ia tak pernah membiarkan lawan yang bertempur dengannya pergi dalam keadaan hidup.

   Adalah di luar dugaan bahwa sekarang ini bisa dipecundangi dengan cara yang menggelikan.

   Bahkan ketika bayangan itu mengikik geli, Dewa Maut belum sadar sepenuhnya bahwa dirinyalah yang ditertawakan.

   Sebenarnya keadaan Dewa Maut sendiri sedang guncang.

   Kesadarannya sudah berubah banyak.

   Perpisahannya dengan Padmamuka sangat menghancurkan kekerasannya.

   Tak terlalu sulit dibayangkan.

   Padmamuka selalu bersamanya, lalu tiba-tiba meninggal di depan matanya.

   Tanpa bisa menolong.

   Justru karena ingin menyelamatkannya.

   Betapa menyesal, karena saat itu Dewa Maut sedang luka parah.

   Dalam keadaan kurang seimbang kewarasannya harus terbenam di dalam gua bawah tanah selama beberapa bulan.

   Segala impian, gagasan, dan pikirannya selalu ke Padmamuka.

   Kini tak disangka tak dinyana, ada bayangan yang mengaku guru Padmamuka.

   Keruan saja ia jadi blingsatan.

   Dalam bingungnya Dewa Maut benar-benar menunduk, dan menghaturkan sembah.

   "Bagus, kumaafkan segala kesalahanmu.

   "Nah, sekarang aku tak bisa lama-lama di sini. Aku sengaja masuk kemari untuk mengirimkan makanan, dan mungkin sedikit bacaan. Sekaligus memberitahukan bahwa ada kejadian penting. Dalam satu-dua hari ini Raja Jayakatwang akan membebaskan kalian semua.

   "Tidak menjadi penting, karena hal ini ada embel-embelnya. Ugrawe yang busuk itu akan datang kemari. Itu berarti ia tak sekadar membebaskan kalian. Pasti ada apa-apanya.

   "Sudah itu saja. Saya mau kembali lagi."

   Bayangan itu berbalik. Jaghana menghela napas.

   "Terima kasih, Gendhuk Tri... atas pemberian ini semua."

   Bayangan itu berhenti bergerak, dan membalik.

   "Paman Jaghana kenal aku?"

   Pembarep memandang lebih jelas. Tak salah lagi, itulah Gendhuk Tri. Jelas sekali sekarang ini. Meskipun pakaiannya awut-awutan dan rambutnya beberapa dibiarkan tergerai.

   "Anak yang manis, anak yang baik budi, yang bersedia memberikan nyawanya untuk memberitahukan bahaya kepada orang lain, apakah bisa dilupakan?"

   Dasar Gendhuk Tri, ia bukannya senang ketika dipuji secara tulus oleh tokoh seperti Jaghana, malah berteriak.

   "Siapa sudi mengorbankan nyawa untuk kalian?"

   Jaghana menghela napas.

   "Dewa Agung yang mengatur jagat seisinya memberimu anugerah hebat. Gendhuk Tri, hanya kamu dan Upasara yang bisa lolos dari Lawang Sewu. Tetapi ketika kamu lolos dulu, bukankah seluruh isi gua menutup, karena tanahnya longsor? "Kini kamu bisa masuk kembali. Bukankah itu pun berarti tanah yang kamu lewati longsor dan menutup jalan keluar? Bukankah itu berarti kamu mengorbankan nyawamu sendiri untuk kami? "Dewa Yang Mahaagung, begitu besar dan mulia jiwamu, Gendhuk...."

   Pembarep, Panengah, dan "Wuragil hampir bersamaan menghela napas kagum.

   Wuragil dan Panengah boleh dikatakan pernah dilecekin oleh Gendhuk Tri.

   Pembarep juga kena sedikit.

   Memang, hampir semua tokoh di dunia persilatan yang bertemu dengan Gendhuk Tri pernah dipecundangi.

   Sedikit-banyak mereka merasa keki.

   Kesal.

   Apalagi sikap Gendhuk Tri, anak gadis yang bau kencur ini, sleboran semacam itu.

   Ugal-ugalan seenaknya sendiri dalam mengolok-olok orang yang jauh lebih tua.

   Akan tetapi mendengar penuturan Jaghana, semua yang mendengar sangat terharu.

   Tak pernah terpikirkan bahwa seorang anak kecil seperti Gendhuk Tri rela masuk ke dalam gua Lawang Sewu dengan kemungkinan tak bisa keluar lagi, hanya untuk memberitahukan kemungkinan bahaya! Pembarep menekuk lututnya, diiringi Panengah dan Wuragil.

   Wilanda juga menekuk lututnya memberikan hormat.

   "Hei, jangan tolol. Kalian sudah tua bangka begini melakukan apa?"

   Gendhuk Tri membuang penutup wajahnya dengan kesal.

   "Kalian kira kalau menghormat seperti itu, aku mau ganti menghormat. Jangan berharap tinggi. Ayo kalian makan semua makanan itu."

   "Terimalah rasa hormatku,"

   Kata Wilanda perlahan.

   "Aku tak punya waktu. Aku mau pergi."

   Jaghana menghela napas.

   "Pergi ke mana, anak manis...?"

   "Siapa bilang aku anak manis. Kamu yang gundul itu juga tak akan manis biarpun seluruhnya diberi manisan."

   Gendhuk Tri masih saja berteriak-teriak dengan gusar.

   "Marilah duduk di sini, seadanya... kita makan bersama... sambil berbicara."

   Pembarep mengangsurkan tangan untuk membimbing.

   "Adik manis..."

   "Jangan panggil dengan cara itu. Aku punya nama sendiri."

   "Gendhuk Tri..."

   "Dari dulu aku nggak suka dipanggil itu. Hanya Kakang Upasara yang boleh memanggil itu. Kalian hanya boleh menyebut Jagattri. Dari dulu sudah kuumumkan begitu. Dasar kalian bandel semua. Pantas saja Ugrawe yang sudah rongsokan bisa menjebak kalian.

   "Begini masih mau bilang sebagai ksatria atau pendekar. Kucing pun tak mau menyebut kalian ini ksatria, meskipun dibayar dengan daging burung perkutut."

   "Jagattri... apa sebenarnya maksud Ugrawe datang kemari?"

   "Apa lagi kalau bukan mau menyiksamu? Menyiksa kalian semua?"

   Dewa Maut menatap Gendhuk Tri, menggelengkan kepalanya sendiri. Termenung lagi.

   "Kamu bukan tole-ku?"

   "Tole-mu sudah berada dalam tubuhku. Kalau kamu masih mencintainya, sekarang boleh mencintaiku."

   Ngawur saja omongan Gendhuk Tri.

   Tanpa memedulikan perasaan Dewa Maut yang memang sedang terombang-ambing.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Gendhuk Tri secara sengaja mempermainkan hubungan antara Dewa Maut dan Padmamuka.

   Dalam banyak hal memang sangat beralasan sekali kalau Gendhuk Tri mengaku Padmamuka masuk ke dalam tubuhnya.

   Secara tidak langsung memang begitulah adanya.

   Racun lama yang tersimpan dalam tubuh Padmamuka telah mengental semua sari patinya, dan terisap secara tak sengaja oleh Gendhuk Tri.

   Tidak pula berlebihan kalau dikatakan bahwa bau tubuh dan napas Gendhuk Tri terasa seperti bau Padmamuka.

   Dan Dewa Maut mendadak berjingkrakan gembira sekali.

   Menari-nari, menggerakkan kedua tangannya.

   "Jagat raya, Dewa Yang Maha-Apa-Saja, ternyata kauhidupkan kembali tole-ku. Aku tak bersyukur, tak berterima kasih, karena memang itu sudah menjadi pekerjaanmu.

   "Kalau bukan Kamu, siapa yang bisa?"

   Saking gembiranya, Dewa Maut menubruk Pembarep, merangkul dan menciumi, juga Panengah dan Wuragil, serta Wilanda. Sampai giliran Jaghana, Dewa Maut berhenti.

   "Kamu lain kali saja."

   Pembarep menjadi sangat prihatin melihat perubahan sikap Dewa Maut. Wilanda berdehem kecil.

   "Gendhuk Tri... kamu mengatakan mengenai Upasara Wulung. Apakah momonganku itu baik-baik saja?"

   Wajah Gendhuk Tri berubah kusut.

   "Ia tetap selamat dari penyerbuan di Perguruan Awan ini?"

   Dari nada suaranya, kentara sekali bahwa Wilanda sangat memperhatikan Upasara Wulung.

   "Kakang Upasara mau selamat atau tidak, kenapa ditanyakan padaku? Biar saja, itu urusannya sendiri. Mau selamat atau mau sekarat, itu urusannya. Kakang Upasara itu hatinya jahat. Sangat jahat."

   Wilanda tersenyum bahagia. Ini berarti Upasara dalam keadaan selamat. Lolos dari penyerbuan massal. Sesuatu yang sangat menguatirkan hatinya, karena sejak berpisah, Wilanda tak mengetahui kabar beritanya, dan tak bersama-sama dalam tahanan.

   "Kakang Upasara sangat jahat. Waktu sama-sama terkubur di dalam gua, ia melarikan diri sendirian. Meninggalkan aku. Untung aku bisa keluar. Mengajak bersama menyerbu Keraton untuk membebaskan Baginda Raja dan Rama Guru. Kami lari bersama, berkelana bersama, lalu tiba-tiba saja Kakang pergi!"

   "Pergi?"

   "Katanya mau kawin. Jahat banget!"

   Gendhuk Tri menggedrukkan kakinya dengan sebal. Dewa Maut membelalak. Teriakannya nyaring.

   "Tole Gendhuk Tri, siapa berani kurang ajar padamu? Aku akan menghajarnya hingga habis, akan kukuliti tubuhnya hingga tinggal tulang-tulangnya."

   Gendhuk Tri ganti membelalak.

   "Siapa suruh kamu yang tua bangka itu menguliti? Sebelum kamu menyenggol tubuhnya, aku sudah akan menguliti bulu-bulu tubuhmu."

   Memang aneh.

   Dalam gua bawah tanah yang tak mempunyai kemungkinan keluar, masing-masing masih ribut dengan persoalan sendiri.

   Dewa Maut menjadi dewa linglung dan Gendhuk Tri ternyata bukan sekadar mempermainkan, akan tetapi juga dipermainkan sendiri oleh perasaannya.

   Wilanda hanya terdiam karena belum sepenuhnya sembuh.

   Jalan pikirannya berjalan cepat.

   bahwa ada suatu peristiwa yang menyebabkan Upasara Wulung dan Gendhuk Tri berpisah.

   Kalau ditilik dari gusarnya Gendhuk Tri, ini ada hubungannya dengan soal asmara.

   Malah ada nada cemburu dari suaranya.

   Agak sulit masuk akal, akan tetapi itu bukannya tidak mungkin.

   Tiga Pengelana Gunung Semeru hanya memandang semua yang terjadi dengan perhitungan sendiri.

   Sementara yang tetap paling tenang adalah Jaghana.

   Duduk bersila bagai sesosok patung Budha.

   "Gendhuk Tri... lebih baik kamu sedikit bersembunyi. Ugrawe sebentar lagi akan datang kemari. Ia paling murka denganmu."

   "Justru sekarang ini aku ingin menghadapi, kenapa harus sembunyi?"

   "Betul, Tole, jangan sembunyi. Aku yang tua ini masih bisa membereskan siapa pun yang mengganggumu."

   Pembarep maju sedikit.

   "Apa yang dikatakan Kangmas Jaghana ada benarnya. Ugrawe bukan hanya tinggi ilmu silatnya, akan tetapi sangat licik. Kita harus mengatur siasat. Kalau Ugrawe tidak pernah menduga Gendhuk Tri ada di sini, ia bisa tetap sembunyi. Dan, setidaknya, kita bisa melawan bersama-sama. Gendhuk Tri masih bisa meloloskan diri."

   "Aku datang kemari dengan tekad mantap. Lebih baik aku mati daripada melihat Kakang Upasara kawin. Kenapa kalian menghalangi? "Ugrawe, pujangga busuk, ayo masuk kemari. Ini aku sudah siap untuk mencopot telingamu yang sebelah."

   Teriakan Gendhuk Tri keras sekali hingga gua menggelegar.

   Menggemakan suaranya dengan keras.

   Terdengar jawaban tertawa pendek dan dingin.

   Disusul dengan masuknya sinar matahari.

   Lubang yang ditutup batu dan senjata telah disingkirkan.

   Ugrawe sendiri melangkah masuk diiringi oleh Rawikara dan beberapa prajurit pilihan.

   Tegap dan lebar langkahnya.

   Berhenti pada jarak dua tombak, Ugrawe mengelus misainya.

   "Pangeran Anom, itulah gadis nakal yang telah hampir membunuh Pangeran Anom."

   Pandangan Rawikara bentrok dengan Gendhuk Tri.

   Keduanya seperti kaget.

   Rawikara sama sekali tak menyangka akan bertemu begitu cepat dengan Gendhuk Tri, yang telah meracuni hingga hampir mati.

   Gendhuk Tri mengerutkan kening tak menduga bahwa Rawikara ternyata masih segar bugar.

   "Hari ini Raja Jayakatwang berkenan mengampuni kalian semua di sini, kecuali satu orang itu. Gendhuk Tri. Ia tak dapat pengampunan karena tak bersalah. Hanya masih ada urusan dengan kami berdua.

   "Silakan keluar dari gua, dan berterimakasihlah kepada raja kita yang welas asih."

   Ugrawe memberikan jalan. Rawikara juga minggir. Para prajurit yang berjaga menyingkir. Sehingga terbuka jalan yang luas, lebar. Menuju ke kebebasan. Tapi justru tak ada seorang pun yang bergerak.

   "Jadi kalian menolak anugerah Raja? Bersiap-siap sajalah."

   Tiga Pengelana Gunung Semeru mengambil sikap bersiap.

   "Kami telah bersama-sama di dalam gua, dalam gelap dan dingin. Kalau diberikan kesempatan menghirup udara bebas, biarlah semua keluar. Atau semuanya tidak keluar."

   "Bagus, aku suka ketotolan semacam ini. Kalian pikir itu sikap patriot sejati. Mendasari jiwa setia kawan. Itulah ajaran terburuk dari ksatria yang tersesat. Dalam hidup ini, majulah kalau bisa maju. Jangan menunggu yang lain. Karena kalian sudah memutuskan untuk menolak perintah Raja, aku tak perlu sungkan lagi."

   Ugrawe mengibaskan tangannya. Tangan kanan terangkat ke udara, tangan kiri berputar di bagian dada.

   "Biarlah aku Jaghana yang menerima kehormatan pertama,"

   Jaghana menggelinding maju.

   Benar-benar seperti menggelinding karena bentuk tubuhnya yang bulat.

   Jaghana menunjukkan sikap seorang ksatria sejati dalam tindakan.

   Tanpa banyak bicara ia langsung menghadang sendirian.

   Sebab, jika para ksatria main keroyok, mana ada keberanian untuk menatap matahari lagi? Bahwa Ugrawe diakui sebagai jago nomor satu, Jaghana juga menyadari.

   Bahwa Ugrawe setingkat di atas Jaghana, bukan alasan untuk main keroyok.

   Soal kalah-menang atau bahkan mati-hidup adalah urusan nomor sekian.

   Seorang ksatria tak boleh melakukan perbuatan hina, yang lebih berat akibatnya dibandingkan suatu kekalahan dalam pertandingan.

   Pembarep mengangguk hormat.

   "Karena kalian juga datang bersamaan dengan sama-sama mengemban titah Raja Muda Gelang-Gelang, saya pun ingin menyambut satu per satu."

   Pembarep tetap menyebut Raja Jayakatwang sebagai Raja Muda Gelang-Gelang.

   Seakan tidak mau mengakui kedudukannya yang paling terhormat saat ini.

   Itu cukup untuk membuat Rawikara menggebrak maju.

   Dengan posisi awal yang sama, Rawikara menggerakkan kedua tangan bersamaan.

   Satu tangan bergerak di tengah udara dan memukul, satu tangan di dada untuk menarik tubuh lawan.

   Pembarep menerobos maju, dengan tangan kosong.

   Tanpa memedulikan kesiuran angin, ia menjotos ke arah dagu lawan.

   Pembarep memang dalam keadaan yang lapar tanding.

   Selama dalam penahanan, ia hanya berdiam dan berlatih saja.

   Belum menemui lawan untuk benar-benar mempraktekkan.

   Maka serangan Rawikara langsung disambut dengan gairah besar.

   Ketika dua prajurit pengawal bersiaga di samping Rawikara, Panengah dan Wuragil punya alasan kuat buat bergabung.

   Dalam ruang yang sumpek, gerakan-gerakan pendek lebih tepat.

   Ini agak mengurangi kelebihan Tiga Pengelana, yang biasa bermain di udara terbuka.

   Apalagi ilmu silat mereka merupakan ciri khas ilmu pegunungan, yang lebih mengandalkan loncatan daripada serangan kaki.

   Meskipun demikian, Tiga Pengelana Gunung Semeru dengan mudah menekan Rawikara.

   Karena ilmu mereka bertiga merupakan gabungan yang mutlak diperlukan.

   Bukan sekadar tambahan tenaga seperti Rawikara dan prajuritnya.

   "Tole, kita ikut main?"

   "Tenang saja,"

   Jawab Gendhuk Tri tak peduli.

   "Aku masih ingin melihat pertempuran kampungan ini. Kalau aku turun tangan, sekali kena tanganku, mana ada yang bisa bernapas kembali?"

   "Itu bagus, Tole... itu bagus... Kita tonton saja."

   Meskipun diucapkan secara berkelakar, apa yang dikatakan Gendhuk Tri ada benarnya.

   Ugrawe, dan terutama Rawikara, sangat menyadari hal ini.

   Mereka akan dibuat repot menghadapi sumber racun ganas ini.

   Sekali saja kena cengkeram atau berhasil dilukai, tak ada lagi kesempatan untuk melawan.

   Dan dalam ruang yang begini pendek, hal itu sangat mungkin sekali terjadi.

   Apalagi Gendhuk Tri seperti tak memedulikan keselamatan dirinya.

   Satu-satunya jalan ialah melukai dari jarak jauh.

   Tapi juga tak bisa sembarangan.

   Gendhuk Tri, meskipun dalam usia yang masih belasan dan nampak ingusan, adalah murid langsung Rama Guru alias Mpu Raganata.

   Ditambah adatnya yang liar, ia menjadi monster yang menakutkan.

   Jaghana masih menunggu.

   Ia tak membuka serangan lebih dulu.

   Wilanda tetap duduk dengan sinar mata menyala.

   Ingin terjun dan melibatkan diri, apa daya tak mempunyai kemampuan.

   "Baiklah. Hari ini kalian semua dapat pengampunan. Termasuk Gendhuk Tri. Hanya saja di belakang hari, jangan salahkan saya kalau kita bertemu lagi."

   Ugrawe mendongak ke atas.

   "Hanya dalam hati masih bertanya-tanya, bagaimana Gendhuk yang pintar ini bisa masuk kemari?"

   "Tolol kamu ini,"

   Teriak Gendhuk Tri.

   "Tolol kamu ini,"

   Kata Dewa Maut mengulangi.

   "Aku masuk kemari dengan mudah, dan bisa keluar dengan mudah, karena akulah yang membuat Lawang Sewu ini. Masakan kamu tidak tahu."

   "Benar. Tole yang membuat Lawang Sewu. Aku sendiri membuatnya... eh, aku sendiri melihatnya."

   "Perjalananku kemari pun serba rahasia, bagaimana mungkin diketahui orang lain?"

   "Kamu lupa, Ugrawe yang bertelinga satu! Yang menyuruhku kemari adalah orang yang merindukanku. Yang menuliskan guritan katresnan, sajak cinta, itulah yang menyuruhku. Ia menulis guritan katresnan karena rindu padaku. Aku baru mau menemuinya jika ia sudah menuliskan di jidatmu itu."

   Wajah Ugrawe berubah merah sepenuhnya.

   Tiba-tiba tubuhnya membalik, kedua tangan mendorong ke depan.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Angin puyuh, panas, menyorong ke depan, menyesakkan napas.

   Di saat yang hampir bersamaan, dorongan dari tangan kiri berubah menjadi putaran, dan menjadi tenaga yang mengisap.

   Dengan menurunkan tangan kiri ke bawah, tenaga mengisap ini menjadi daya serap yang hebat.

   Kalau lawan memusatkan pikiran dan tenaga untuk mengadu tenaga di atas, dengan demikian bagian bawah menjadi kosong.

   Inilah yang termakan.

   Rangkaian dasar Sindhung Aliwawar ini mempunyai variasi yang banyak sekali.

   Dan bisa berubah dalam seketika.

   Jaghana tetap mempertahankan sikap berdiri, kedua tangan terangkap seolah menyembah, di depan dada.

   Hanya dengan cepat badannya berputar, mengikuti tenaga dorongan dan isapan sekaligus.

   Gendhuk Tri tertawa mengikik, ia biarkan tubuhnya terseret maju, seolah meluncur dengan kaki lebih dulu.

   Kedua tangan terulur ke depan, menjambret sekenanya.

   Dewa Maut juga langsung bereaksi.

   Ia menggempur tenaga di atas dengan cara meluncur.

   Melawan dorongan yang ada.

   Tanpa diisap pun ia akan maju ke depan.

   Karena ilmunya memang ilmu yang dikembangkan untuk melawan arus air sungai.

   Yang terlontar ke belakang adalah Wilanda.

   Yang bertahan secara sia-sia.

   Gempuran hawa panas membuatnya susah bernapas.

   Dalam satu gebrakan, semua bereaksi dan pertempuran terjadi dalam ruang yang begitu sempit.

   Ugrawe mengegos tak berani menyambut sambaran Gendhuk Tri.

   Meloncat mundur untuk menangkis serangan Dewa Maut dan sekaligus menepiskan gulungan tubuh Jaghana.

   Ugrawe memang tak mau berisiko sedikit pun.

   Ia lebih suka mengambil jalan yang menguntungkan.

   Menerobos ke belakang.

   Sambil menarik tubuh Rawikara ke arah luar gua.

   Gendhuk Tri tertawa mengikik, dan meloncat ke atas dengan cara yang sama.

   Begitu tubuhnya keluar dari bawah tanah, dua tombak beruntun menyambar ke arahnya.

   Tanpa mengalami banyak kerepotan, Gendhuk Tri menangkap dua ujung tombak yang diarahkan kepadanya dan menyentakkan keras, sekaligus membalikkan arah tombak.

   Terdengar dua jeritan bersamaan.

   Gendhuk Tri turun dan berdiri di pinggir mulut lubang ke bawah tanah.

   "Ayo semua naik."

   Dewa Maut yang menyusul pertama kali.

   Sekali genjot, tubuhnya melayang tinggi di angkasa.

   Rawikara meloncat menyambut tubuh Dewa Maut.

   Sekali ini dengan mantap Rawikara menjajal jurus Banjir Bandang Segara Asat.

   Putaran tangan dan tubuhnya bagai awan panas yang keras.

   Dewa Maut masih tertawa ketika menyambut tangan Rawikara.

   Hanya saja kemudian terasa guncangan dalam ulu hatinya yang menyesakkan.

   Lalu seperti diaduk isi perutnya.

   Hanya beberapa kejap, tubuhnya lalu meluncur masuk kembali ke bawah tanah.

   Pada saat itu Jaghana telah mumbul ke atas, sehingga tubuh mereka bertubrukan.

   Jaghana membopong tubuh Dewa Maut dan tetap membawa ke atas.

   Jaghana sudah dua kali membawa tubuh jatuh dari atas.

   Dan dua-duanya membuatnya terkejut.

   Karena orang yang dibopong seperti tak mempunyai tenaga lagi.

   Bagai sebongkah daging saja.

   Pembarep muncul dari permukaan sambil menggendong Wilanda, disusul Panengah dan Wuragil.

   Yang terakhir ini kembali menjadi sasaran Rawikara yang melakukan loncatan yang sama.

   "Bagus,"

   Teriak Ugrawe gembira melihat Wuragil berusaha menangkis.

   Lekatnya dua tangan, disusul jeritan, dan tubuh Wuragil jatuh kembali ke bawah.

   Pembarep yang tengah melayang, melemparkan pelan tubuh Wilanda ke Panengah, dan ia sendiri meluncur turun kembali.

   Begitu kakinya menotol tanah di dasar gua, langsung mumbul kembali sambil membopong Wuragil.

   Yang terasakan hanyalah badan yang tak bereaksi, menggigil dengan gigi gemeretuk.

   Belum hilang kagetnya, Pembarep melihat bahwa Ugrawe sudah meneriakkan kalimat keras sambil terbang ke arah Jaghana.

   Jurus yang sama, Banjir Bandang Segara Asat yang bergemuruh.

   Dua telapak tangan Jaghana membuka ke depan, menyambut pukulan Ugrawe.

   Tenaga Jaghana adalah tenaga lembek, tapi akan menjadi kuat jika lawan berkeras.

   Sepersekian detik Ugrawe kaget juga, akan tetapi dengan mengempos seluruh tenaga di pusat, dorongan tangan kanan menjadi golakan dahsyat, sementara tangan kirinya mengisap luar biasa.

   Jaghana membelalak, untuk pertama kalinya.

   Tanpa mengeluarkan jeritan, tubuhnya meluncur turun.

   Jatuh tak bergerak-gerak lagi.

   Ugrawe mengibaskan tangannya untuk mengendalikan pergolakan dalam tubuhnya.

   Angin panas bergolak bagai mendidih dalam tubuhnya.

   Dalam waktu sekejap saja, Dewa Maut, Wuragil, dan Jaghana telah dibuat tak berdaya.

   Betul-betul ilmu yang luar biasa.

   Pembarep meletakkan bopongannya.

   Bersiap.

   Kalau biasanya memakai senjata pedang, kini menghadapi dengan tangan kosong.

   Gendhuk Tri baru menyadari bahwa malapetaka itu sudah datang.

   Terlambat menolong! Kini praktis tinggal dirinya, Pembarep, dan Panengah yang bertahan.

   Rawikara kembali bergulung, meloncat tinggi ke angkasa, menerjang ke arah Panengah.

   Gendhuk Tri tak membiarkan lawan bereaksi seenaknya, cepat meloncat tinggi ke udara, membarengi dengan gempuran.

   Ia ingin menjajal pukulan yang ajaib.

   Rawikara tak mengira bahwa Gendhuk Tri yang akan menyongsongnya.

   Kalau tadinya takut kena racun, kini Gendhuk Tri menjawab dengan telapak membuka.

   Alias beradu tenaga dalam, bukan untuk melukai bagian kulit luar.

   Namun dalam detik yang bersamaan Ugrawe menolak tubuh Rawikara hingga terlempar jauh.

   Ia sendiri berjumpalitan di angkasa, turun kembali dengan gagah.

   "Berbahaya, Pangeran, tubuhnya penuh dengan racun."

   Keringat dingin mengalir dari tubuh Rawikara.

   Ia masih bertanya-tanya, apakah benar racun dalam tubuh si bocah kecil itu demikian ganas tak terhalangi.

   Panengah juga mengeluarkan keringat.

   Lebih dingin.

   Bukan karena racun yang menakutkan.

   Tetapi setiap kali Rawikara atau Ugrawe menggebrak, dengan satu pukulan saja lawan langsung kehilangan segala tenaga.

   Bahkan untuk bergerak menghindari serangan berikutnya sudah tak mungkin.

   Pembarep yang lebih waspada merasakan bahwa lawan menguasai ilmu iblis yang luar biasa ganasnya.

   Semuanya serba sia-sia.

   Setelah bertahan dalam gua bawah tanah sekian lama, setelah Gendhuk Tri menerobos masuk untuk memberitahukan bahaya, ternyata tetap terlambat.

   Ternyata Ugrawe tetap bisa melaksanakan niatnya.

   Melumpuhkan semuanya.

   Bagi Pembarep tidak ada pilihan lain untuk menghadapi.

   Ia bersiap.

   Berjaga agar tidak terjadi penyedotan tenaga dalam.

   Ini hanya bisa dilakukan jika kedua tangan tidak bentrok.

   Namun ini pun sangat sulit, untuk tidak disebutkan sebagai tidak mungkin.

   "Adik Panengah, hati-hati."

   "Siap, Kakang."

   "Gendhuk Tri, hari ini tugas kita bertiga untuk memberantas segala keganasan dan kelaliman."

   "Mereka tak akan berani maju."

   Belum selesai kalimat Gendhuk Tri, Ugrawe menggulung tubuhnya.

   Berputar dengan dahsyat dan meluncur ke arah depan.

   Dua tangan terentang arah kiri dan kanan.

   Pembarep meloncat sangat tinggi, dengan kaki menendang ke arah tengkuk lawan.

   Panengah tak mau kalah cepat.

   Dengan sigap ia meloncat sambil merampas senjata para prajurit sekenanya untuk menusuk pinggang Ugrawe.

   Ugrawe meraup tombak yang tertuju ke arah pinggangnya, dan dengan memakai kekuatan pelanting tubuhnya melayang ke atas.

   Sama tinggi, dan menggempur Pembarep.

   Di atas angin, Pembarep menekuk tangannya.

   Siku kanan dan kiri menghantam ke arah dada Ugrawe.

   Terdengar teriakan aduh yang keras.

   Bukan Ugrawe yang mengaduh, akan tetapi Pembarep yang terjengkang.

   Siku tangannya seperti membentur karang baja yang melentingkan tenaga panas yang menerobos masuk ke dalam saraf tangannya.- Di lain pihak, Panengah pun terbetot tenaganya sehingga seperti terbanting.

   Baru ketika kedua kakinya menjejak dan memasang kuda-kuda lagi, ia bisa berdiri tegak.

   Ugrawe meloncat maju.

   Kedua tangan berputar di atas kepala.

   Satu bergerak ke depan dengan berputar, satu lagi menarik ke belakang dengan berputar.

   Gendhuk Tri berteriak nyaring sambil maju bergulung.

   Kedua tangannya terjulur dengan jari-jari yang berkembang.

   Siap mencakar apa saja.

   Sedikit saja lawan bisa dilukai, racun dari sekujur tangannya akan merembes tak terbendung ke arah lawan.

   Masuk terseret darah yang mengalir.

   Ugrawe tentu tak membiarkan kulit atau pakaiannya tersentuh Gendhuk Tri.

   Tenaga mengisap dan mendorong diubah menjadi tenaga mendorong sepenuhnya.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tubuh Gendhuk Tri yang meluncur ke arahnya ditolak dengan tenaga keras, panas, dan menyentak.

   Untuk sementara serangan Ugrawe ke arah Pembarep dan Panengah gagal, akan tetapi Gendhuk Tri juga tak bisa mendesak maju.

   Malah beberapa kali arah pukulannya melenceng karena arus tenaga panas dari Ugrawe makin menyesakkan.

   Bertarung dalam penjagaan jarak, Gendhuk Tri tak bisa berbuat banyak.

   Malah menjadi keteter karenanya.

   Ugrawe mempunyai peluang untuk melancarkan serangan satu-dua ke arah Panengah.

   Pukulan kosong jarak jauh membuat Panengah meloncat menghindar, dan pada saat yang bersamaan Rawikara meloncat ke atas.

   Masuk ke dalam pertempuran.

   Pembarep yang sudah terluka dalam, masih memiliki tenaga.

   Ia tak membiarkan adiknya begitu saja dihajar musuh.

   Dengan sisa tenaga yang ada, Pembarep ikut meloncat.

   Darah merah mengalir dari kedua tepi bibirnya.

   Kedua tangannya terentang.

   Rawikara justru dengan gagah menyambut dua pukulan sekaligus! Akibatnya berat! Pembarep langsung ambruk, muntah darah, dan pingsan seketika.

   Tenaga dalamnya yang sudah terluka, menganga lebih dahsyat.

   Panengah justru habis tenaganya karena terisap! Rawikara berdiri dengan gagah.

   "Hari ini Dewa Yang Agung menakdirkan seluruh ksatria menyerahkan tenaganya secara terhormat. Bapa Guru, racun ganas macam apa yang ada di tubuh gadis ingusan ini, biar saya mencicipi."

   Dengan tenaga yang bergolak dahsyat, Rawikara seolah mabuk dengan gumpalan tenaga yang mendesak-desak.

   Maka tak bisa menahan diri untuk tidak menyalurkan dengan gempuran.

   Dikeroyok dua jago utama, guru dan murid, Gendhuk Tri terdesak dalam waktu singkat.

   Jelas bahwa ilmu silat Gendhuk Tri bukan tandingan Ugrawe.

   Belum ada takaran untuk bisa diperbandingkan.

   Meskipun gaya dan jurus Gendhuk Tri aneh dan tidak wajar, akan tetapi variasi demi variasi bisa dibaca oleh Ugrawe dengan tepat.

   Keunggulannya hanyalah karena Ugrawe tak bisa melukai secara langsung.

   Gendhuk Tri berlari, jungkir balik bagai penari yang kesetanan.

   Selendangnya sudah sobek di beberapa ujungnya.

   Rambutnya terurai lepas, kedua tangan dan kaki mencakar ke sana-kemari.

   Dilihat selintasan justru Gendhuk Tri seperti bola mainan yang begitu lemah.

   "Tak ada aturan lagi. Mengaku sebagai panglima perang terbesar, mengangkat diri sebagai pujangga pamungkas, tak tahunya hanya pengeroyok murahan. Ini baru namanya kabar yang perlu didengar oleh belalang dan angin. Guru yang nomor satu, yang lebih hebat dari sinar matahari, bersama dengan muridnya... main-main sepenuh tenaga dengan seorang anak perempuan yang bahkan belum disunat."

   Suara yang dikeluarkan oleh sosok tubuh yang tinggi, kurus, seperti melengkung.

   "Tenang saja, Pakde. Saya bisa mengencingi mereka. Ini malah bagus,"

   


Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja

Cari Blog Ini