Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 10


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 10



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   "Kalau bangsat tua itu datang, kita lawan dia...."

   "Hem, biarpun masing-masing dari kita ditambah sepasang tangan lagi pun tetap tidak bisa mengalahkannya. Hanya mengantarkan nyawa saja...."

   "Biarpun begitu, rasanya jauh lebih terhormat daripada lari terbirit-birit."

   "Kenapa kalau lari dianggap kurang terhormat? Itu adalah salah satu jurus unggul dalam ilmu beladiri juga".

   "Hem, Beginikah putera Ketua Hwe- liong-pang? Bernyali kecil seperti tikus..."

   "Dan beginikah puteri Panglima Hui- liong-kun yang terkenal sebagai ahli siasat perang nomor satu di seluruh kekaisaran? Tidak punya otak, melawan secara membabi- buta. Sepuluh laksa prajurit pun kalau dipimpin panglima tolol seperti kau ini pasti habis dalam waktu satu hari saja. Sebenarnya Pakkiong Eng mengakui dalam hati, bahwa menghadapi seorang tokoh tua macam Jiat-jiu Lokoai memang paling cocok kalau ditinggal lari. Namun ia bungkam, tidak menyatakan persetujuannya, kuatir Tong Gin-yan menjadi besar kepala. Baru saja mereka membicarakan Jiat-jiu Lokoai, mendadak dari kejauhan nampak ada seseorang yang berlari ke arah mereka, seperti terbang cepatnya bahkan sudah terdengar teriakannya, Tikus-tikus kecil, jangan lari! Aku ambil nyawamu!"

   Jelas itulah Jiat-jiu Lokoai.

   Dalam gertak larinya dan teriakannya, sekaligus ia memamerkan ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalamnya yang tinggi.

   Agaknya ia sudah merasa dirinya ditipu oleh Ketua Hwe- liong-pang gadungan, maka kembali untuk mengejar.

   Muridnya yang terluka itu entah ditaruh di mana mungkin juga ketinggalan di belakangnya.

   Pakkiong Eng yang tadinya menentang penggunaan "jurus langkah seribu", agaknya ngeri juga menghadapi Jiat-jiu lokoai, sehingga dialah yang lebih dulu melompat ke punggung kuda putihnya, sambil berteriak.

   "Iblis itu datang lagi, cepat lari!"

   Tapi Tong Gin-yan tidak segera melompat menunggangi keledainya, malah ia merangkak di rerumputan dan kedua tangannya menggagap-gagap rumput seperti mencari sesuatu. Pakkiong Eng menjadi tidak sabar lagi, dan membentak.

   "He! Kau sedang mencari jangkrik? Atau menyamar sebagai kambing?"

   "Bukan kedua-duanya", sahut Tong Gin- yan tanpa menoleh dan tetap saja membuka- buka rerumputan.

   "Kau cari apa?!"

   Tanya Pakkiong Eng gelisah, sambil menoleh ke belakang dan melihat Jiat-jiu Lokoai semakin dekat.

   "Aku mencari... pipa tembakau tadi...,"sahut Tong Gin-yan.

   "...dan jenggot tadi..."

   Alangkah mendongkolnya Pakkiong Eng.

   "Kalau iblis tua itu masih bisa kau takut-takuti dengan jenggot dan pipa tembakaumu itu, kau kira dia akan berani mengejar kemari? Hayo cepat tolol!.Iblis itu semakin dekat!"

   Suara bentakan Jiat-jiu Lokoai memang terdengar sudah semakin dekat.

   "Jangan merat, bocah-bocah kurang ajar!! Aku patah- patahkan tangan kalian dan aku puntir leher kalian!"

   Tong Gin-yan akhirnya melompat ke punggung keledainya dan memacu berdampingan dengan Pakkiong Eng di atas kuda putihnya.

   Meskipun lari keledai itu cukup cepat, namun tidak bisa menandingi si Salju Terbang yang merupakan kuda istimewa.

   Tapi Pakkiong Eng tidak mu meninggalkan sahabatnya itu, sehingga Hui-soat hanya dilarikan sepertiga dari kecepatannya yang asli.

   Akibatnya, Jiat-jiu Lokoai yang larinya bagaikan terbang itu semakin lama semakin dekat.

   Teriakan ancamannya juga terdengar semakin menyeramkan, ada kata-kata "cincang"

   Dan "bakar hidup-hidup"

   Segala... Pakkiong Eng tidak sabar lagi, ia majukan sedikit duduknya di pelana sehingga membuat sebuah tempat longgar di belakang tubuhnya, sambil berteriak.

   "Naik .kemari!"

   "Tidak!' Kalau kudamu itu membawa dua orang-malah akan semakin berat dan lambat larinya!"

   "Kau pikir Hui-soatku ini sejelek keledai-malaikatmu itu Biarpun harus membawa tiga orang juga sanggup berlari tiga kali lipat cepatnya dari sekarang!"

   "Tidak, kalau kau ingin aku naik ke kudamu, kau harus mempersilahkan aku dengan kata-kata manis, bukan seperti membentak-bentak maling semacam itu!"

   Sungguh kedongkolan Pakkiong Eng membuat ubun-ubunnya terasa panas, kalau sebutir telur diletakkan di ubun-ubunnya, barangkali telur itu akan langsung menjadi telur mata sapi.

   Dalam keadaan terancam bahaya semacam itu, Tong Gin-yan masih sempat juga bermain-main, sementara derap kaki Jiat-jiu Lokoai sudah semakin dekat...

   Terpaksa dengan.muka merah, dia memaksa diri untuk mengucapkan kata-kata.

   "Oh, kakaknda yang manis, tampan, pintar dan gagah perkasa, marilah berkuda bersama adikmu yang jelek ini..."

   Tong Gin-yan tertawa, ia tepuk-tepuk kepala keledainya sambil berkata.

   "Sin-loh sahabatku, aku tidak bisa menolak tawaran si jelek itu, nah, kau larilah sendiri dan selamatkan diri sendiri ya?"

   Lalu seperti seekor belalang, Tong Gin- yan melejit dari punggung keledainya yang tengah berlari kencang, dan hinggap dengan ringan di punggung Hui-soat yang tengah berlari pula, bahkan kedua tangannya langsung memeluk perut Pakkiong Eng dari belakang.

   Keruan Pakkiong Eng menjadi merah mukanya dan kelabakan bukan main.

   "Gila! Lepaskan tanganmu!"

   "Tidak, aku bisa jatuh! Seumur hidup aku belum pernah naik kuda, apalagi yang berlari kencang!"

   Bantah Tong Gin-yan.

   Derap kaki Jiat-jiu Lokoai masih terdengar, dalam keadaan terdesak keadaan, pakkiong Eng memaksakan diri untuk tidak menggubris lagi ulah Tong Gin-yan meskipun jantungnya berdebar kencang merasakan tubuh si pemuda yang melekat di punggungnya.

   Ia jepit kuat-kuat perut si Salju Terbang, dan kuda putih itupun melesat ke depan secepat kilat.

   Sambil membalap seperti itu, Pakkiong Eng mengancam pemboncengnya.

   "Kalau kelak tanganmu belum sempat dipatahkan oleh Jiat- jiu Lokoai akulah yang akan mematahkannya. Tunggu saja!". Tong Gin-yan hanya tertawa menanggapi gertakan itu, yang penting saat itu dia menikmati benar-benar perjalanannya. Kurang dari sejengkal di depan hidungnya, ada sebuah tengkuk berkulit halus yang berbau harum dengan anak-anak rambut yang halus pula. Hampir saja ia mencium tengkuk itu, namun berhasil disingkirkannya dirinya dari niat semacam itu. Ia hanya berharap mudah- mudahan kejar-kejaran dengan Jiat-jiu lokoai itu berlangsung agak lama. Hui-soat memang kuda yang hebat, meskipun membawa dua penumpang, tetapi ia dapat dipacu secepat terbang. Jiat-jiu Lokoai yang hanya mengandalkan sepasang kakinya itu ketinggalan makin lama makin jauh. Suara maki-makiannya pun makin tidak terdengar, sampai akhirnya menimbulkan perasaan aman pada diri Pakiong Eng dan Tong Gin-yan.

   "Iblis tua itu tak mungkin mengejar lagi,"

   Kata Pakkiong Eng setelah tiba di tempat sepi, sambil melambatkan lari kudanya.

   "Ya sayang...."

   Sahut Tong Gin-yan sambil tertawa.

   Tiba-tiba Pakkiong Eng ingat sepasang tangan pemuda itu masih melingkar di perutnya, maka iapun menyikut ke belakang agak keras.

   Tong Gin-yan merasa rusuknya disodok pentung besi sehingga ia mengaduh dan terperosot jatuh dari pelana kuda.

   "Perempuan jelek! Kau benar-benar kejam!"

   Dia memaki.

   "Apa kau tidak bisa menyuruhku turun dengan cara yang Iebih mesra?"

   "Cara ini terhitung yang paling mesra buatmu,"

   Sahut Pakkiong Eng sambil tersenyum.

   Lalu iapun melompat turun dari kudanya, menuju ke sebuah bangunan besar bekas lumbung orang kaya yang sudah lama ditinggalkan sehingga sebagian bangunan itu sudah runtuh.

   Waktu itu memang matahari mulai tenggelam, sehingga kebetulan sekali menemukan tempat istirahat yang memadai untuk melewati malam.

   Dinding-dinding bangunan bekas lumbung yang belum ambruk itu lumayan juga untuk menahan angin malam yang dingin.

   Pakkiong Eng lepaskan begitu saja kudanya di halaman rumah bobrok itu, tanpa diikat, sebab kuda itu sudah demikian jinak kepadanya sehingga tidak mungkin kabur meninggalkannya.

   Lalu iapun membersihkan sebuah ruangan yang dianggap pantas untuk beristirahat, dengan menggunakan seikat jerami sebagai sapu.

   Waktu itulah Tong Gin- yan melangkah masuk pula dengan mulut meringis-ringis, tubuh terbungkuk-bungkuk dan telapak tangan menempel di rusuknya yang sakit.

   "Perempuan celaka"

   Ia menjatuhkan diri di lantai, menyandarkan punggungnya ke tembok."Ce1akalah laki-laki yang kelak menjadi suamimu, setiap hari akan kau hajar seperempat mampus..."

   Segala ucapan Tong Gin-yan itu bagi Pakkiong Eng hanya masuk kuping kanan dan keluar lewat kuping yang kiri.

   Ia tidak menanggapi sepatah katapun, melainkan sibuk bekerja.

   Mengumpulkan kayu-kayu kering untuk perapian menyongsong malam, lalu keluar sebentar membawa panahnya, dan kembali dengan menjinjing dua ekor ayam hutan yang ditembus panahnya, menyalakan api, mencabuti bulu ayam dan membersihkannya, membubuhinya bumbu yang selalu dibawanya, dan sesaat kemudian di rumah bobrok itu sudah tercium bau ayam bakar yang sedap.

   Ketika ayam bakar sudah matang, Tong Gin-yan mengganti kesibukan mulutnya.

   Tidak lagi untuk mengutuk si "gadia jelek"

   Itu, melainkan untuk mengunyah salah satu dari dua ayam bakar itu. Tanpa ada yang mempersilahkan, ia mengambil sendiri bagiannya, tidak peduli Pakkiong Eng mentertawakannya.

   "He, keledai, bagaimana hasil masakan olahanku?"

   Tanya Pakkiong Eng ketika melihat pemuda itu menggerogoti daging ayam dengan gaya gelandangan yang sudah tiga hari tidak makan. Hampir saja Tong Gin-yan memuji daging yang lezat itu, tapi dibatalkannya.

   "Huh, masakan macam apa ini? Inilah masakan paling tidak enak yang pernah kurasakan seumurku, rasanya aku seperti mengunyah sebuah sepatu kulit". Mulutnya mengecam, tapi terus juga menggerogoti dengan lahap sampai seekor ayam tinggal tulang belulangnya saja. Bahkan tulang belulangpun masih dijilati dengan bernafsu.

   "Kau masih lapar?"

   Tanya Pakkiong Eng sambil melemparkan separoh dari bagiannya sendiri ke arah Tong Gin-yan. Tanpa sungkan- sungkan Tong Gin-yan menerimanya, menggerogotinya dengan lahap dan tidak lupa mencela "masakan paling tidak enak sedunia"

   Itu.

   Pakkiong Eng sendiri lebih suka tidur daripada mendengarkan Tong Gin-yan.

   Digelarnya setumpuk rumput kering di dekat tembok, lalu dibaringkannya tubuhnya berbantal sepasang lengannya sendiri dan matapun terpejam.

   Tong Gin-yan berhenti menggerutu, dengan menahan napas ia menyaksikan penglihatan indah di hadapannya, di bawah cahaya api unggun yang bergoyang-goyang.

   Tak bosan-bosannya ditatapnya tubuh gadis itu dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, balik lagi ke ujung kaki.

   Yang paling banyak menyita waktunya ialah wajah bulat telur berkulit putih kemerah-merahan itu....

   "Kurang ajar, monyet ini memang cantik", kata Tong Gin-yan dalam hatinya sambil menarik napas. Lalu iapun membaringkan diri di seberang ruangan, berbaring miring supaya bisa melihat terus ke arah Pakkiong Eng di seberang api unggun yang agaknya sudah tidur pulas.

   "...dan ingusnya tidak lagi berleleran dari hidungnya. Sepasang kuncir kecilnya yang menjemukan itu juga sudah tidak ditampilkan lagi, tapi sikutnya betul-betul tajam. Hem..."

   Tengah Tong Gin-yan membiarkan angan-angannya melayang-layang sambil menunggu datangnya kantuk, tiba-tiba kupingnya yang tajam menangkap suara langkah kaki di luar ruangan itu.

   Cepat ia melompat bangun sambil menyambar pedangnya yang disandarkan dekat kepalanya, bersamaan dengan Pakkiong Eng yang terbangun pula dan menyambar panahnya.

   "Padamkan api..."

   Tong Gin-yan berdesis perlahan sambil bekerja pula, menghambur-hamburkan tanah ke api unggun dibantu oleh Pakkiong Eng, sehingga sebentar saja api itu sudah padam dan kegelapan menyelimuti ruangan itu.

   "Kita tengok keluar, Hati-hatilah..."

   Bisik Pakkiong Eng, Mereka berdua tampaknya masih terpengaruh oleh ketegangan setelah diuber-uber Jiat-jiu Lokoai hampir sehari suntuk.

   Namun tanpa saling berbicara pun, mereka merasakan keheranan yang sama.

   Suara langkah kaki macam itu tidak mungkin langkah kaki Jiat-jiu Lokoai yang berilmu tinggi.

   Sedang suara langkah-langkah itu derapnya sebentar berat sebentar ringan, iramanya juga tidak tetap, menandakan bahwa orangnya entah sedang mabuk atau sedang luka berat.

   Tapi Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng tidak mau melepaskan kewaspadaan mereka, siapa tahu di belakang orang itu masih ada orang lainnya yang suara langkahnya tidak terdengar.

   Seperti dua ekor kucing yang menyimpan kuku-kukunya, Tong Gin-yan dan Pakkionf Eng menyelinap keluar dalam selubung kegelapan dan mengawasi ke arah datangnya suara langkah kaki.

   Sesosok tubuh berjalan sempoyongan, wajahnya tidak jelas karena di langit hanya ada beberapa bintang dan api unggun sudah padam.

   Bayangan itu nampak bersandar sebentar di pintu pagar, suara napasnya yang berat tersendat-sendat terdengar nyata oleh Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng.

   Ia mencoba melangkah lagi, tapi ternyata ambruk di pintu pagar.

   "Orang terluka,"

   Hampir bersamaan Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng berdesis kaget, disambung oleh Tong Gin-yan sendirian.

   "Aku akan menolongnya, kau tetap pegang pedangmu dan lindungi aku kalau ada serangan gelap...."

   Tanpa menunggu jawaban, Tong Gin- yan menyarungkan pedangnya dan memburu ke arah orang terluka itu, sedang Pakkiong Eng mengikuti dalam jarak kurang dari dua langkah dengan pedang terhunus dan kewaspadaan tertinggi.

   Begitu Tong Gin-yan dekat orang terluka itu dan berhasil melihat wajahnya, terkejutlah dia.

   "Saudara Lu..."

   "Siapa dia ?"

   "Lu Hian-to, Pek-ki Hu-tong-cu (wakil pemimpin regu bendera putih) Hwe-liong-pang kami!"

   Sahut Tong Gin-yan sambil menggertak gigi karena kemarahan yang tertahan. Lu Hian- to yang sudah setengah mampus itupun agaknya mengenali suara putera Ketuanya, sehingga semangatnya bangun.

   "Saudara Tong..."

   Katanya lirih.

   "Kau?"

   "Benar, saudara Lu. Kuatkan dirimu, jangan banyak bicara dulu, akan aku obati lukamu..."

   "Lukaku parah sekali, kematianku sudah dekat, jangan buang-buang waktu, dengarlah baik-baik..."

   Untuk mengucapkan beberapa patah kata itu saja napas Lu Hian-to sudah terengah- engah.

   "....Majikan Hek-eng-po ada di dekat tempat ini, selamatkan dirimu. Penyusupanku ke Hek-eng-po sudah diketahuinya dan dialah yang melukaiku...."

   Terengah-engah lagi, memuntahkan segumpal darah, dan melanjutkan ucapan dengan suara makin lirih.

   "...carilah ayahmu dan beritahu beliau agar tidak masuk perangkap licik. Majikan Hek-eng-po ternyata bukan lain adalah...."

   Tenaga Lu Hian-to sudah habis, tinggal sebuah nama yang harus diucapkannya dan sebuah rahasia besar dunia persilatan akan terungkap, rahasia yang melingkupi pribadi Majikan Hek-eng-po yang misterius.

   Namun nama itu belum terucapkan dan kepala Lu Hian-to sudah terkulai dalam pelukan Tong Gin-yan, sukmanya sudah terbang meninggalkan raganya, meninggalkan sebuah rahasia yang tetap terkunci rapat.

   "Saudara Lu! Saudara Lu!"

   Tong Gin- yan memanggil-manggil dengan sia-sia.

   Perlahan Tong Gin-yan mengusapkan telapak tangannya untuk menutupkan kelopak mata Lu Hian-to yang masih terbuka, lalu dengan sikap hormat diangkatnya mayat jagoan Hwe-liong-pang itu untuk dibawa ke dalam rumah, diletakkan di lantai.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pakkiong Eng terus mengikutinya dengan pedang terhunus.

   "Yan-ko..."

   Panggil gadis itu dengan lembut.

   Ketika Tong Gin-yan berdiri sambil mengangkat wajahnya, terkejutlah Pakkiong Eng.

   Di keremangan malam, terlihat wajah Tong Gin-yan begitu mengerikan, giginya gemeretak, matanya memancarkan api kemarahan yang menghanguskan, kedua tangannya dikepal erat-erat sehingga kuku-kuku tangannya menusuk kulit telapak tangannya sehingga berdarah.

   "Majikan Hek-eng-po, aku bersumpah akan mencincangmu menjadi delapan belas potong. Tunggulah pembalasanku....."

   Tong Gin-yan sekarang bukan lagi pemuda yang ceria dan senantiasa bersenda- gurau, tetapi penuh kemarahan sehingga Pakkiong Eng merasa takut juga.

   "Yan-ko, sabarlah, tenangkan diri..."

   "Selama ini, apakah pihak Hwe-liong- pang kurang sabar menghadapi ulah memuakkan dari orang-orang Hek-eng-po? Berapa kali ayah mengampuni bangsat- bangsat itu meskipun sebenarnya ayah bisa membunuh mereka dengan gampang? Tapi Hek-eng-po lebih dulu menumpahkan darah Hwe-liong-pang, berarti mulai detik ini terbit perang terbuka Hwe-liong-pang melawan Hek- eng-po! Kalau kami berpapasan, darah harus tertumpah, entah darah Hwe-liong-pang entah darah Hek-eng-po!"

   Akhirnya Pakkiong Eng merasa lebih bijaksana kalau sementara waktu membiarkan Tong Gin-yan menumpahkan kemarahan dan kesedihannya, supaya nantinya agak lega.

   Dalam keadaan marah dan sedih bercampur- aduk macam itu, Tong Gin-yan tidak akan bisa diajak bicara dengan kepala dingin.

   Maka Pakkiong Eng memilih untuk bungkam dulu.

   Tapi gadis itu kemudian terkejut dan tak sempat mencegah ketika Tong Gin-yan bertindak lebih jauh.

   Anak muda itu melompat ke halaman, lalu dari halaman rumah bobrok itu melompat ke atas genteng yang paling tinggi, dan dari tempat itu berteriak sambil mengerahkan tenaga dalamnya .

   "Heeeeiii! Keparat Majikan Hek-eng-po, rahasiamu sudah kuketahuiiiiii! Kalau berani, datanglah kemari membunuhkuuuuuu!!". Pakkiong Eng membayangkan, kalau Jiat-jiu Lokoai saja susah dilawan, apalagi Majikan Hek-eng-po yang sanggup membuat tokoh semacam Jiat-jiu Lokoai menjadi anak buahnya. Tantangan Tong Gin-yan itu menggunakan umpan yang terlalu berbahaya, namun dalam kemarahannya Tong Gin-yan telah melupakan bahaya itu. Diam-diam Pakkiong Eng mempersiapkan diri apabila Majikan Hek-eng- po benar-benar datang terpancing, ia tidak yakin apakah gabungan dirinya dengan Tong Gin-yan mampu menandingi tokoh misterius yang menggemparkan itu? Namun jelas dia tidak ingin menjadi pengecut yang menyelamatkan diri sendiri dengan meninggalkan Tong Gin-yan. Dan pancingan itu ternyata benar-benar mendatangkan "ikan"

   Besar yang diharapkan, sesuai dengan kata-kata Lu Hian-to sebelum ajal tadi, bahwa Majikan Hek-eng-po ada di sekitar situ.

   Yang terpancing ini bukan ikangemuk, namun ikan hiu yang sangat berbahaya.

   Tidak sampai sepuluh detik setelah teriakan itu bergema, di halaman rumah bobrok itu tiba-tiba muncul sesosok tubuh bagaikan kabut hitam yang entah dari mana munculnya.

   Suara langkahnya tak terdengar, suara kibaran bajunya juga tidak terdengar, tahu-tahu orangnya sudah muncul di tempat itu dan memperdengarkan suara tertawa seremnya.

   Tong Gin-yan cepat meluncur dari atas genteng untuk menghadapi tokoh misterius itu dengan pedang terhunus.

   Pakkiong Eng juga melompat keluar halaman, ia tidak tega membiarkan sahabatnya sejak kecil itu menghadapi bahaya seorang diri.

   Keduanya memperhatikan wujud tokoh yang menggemparkan itu, dan keduanya sama-sama terkesiap.

   Majikan Hek-eng-po itu dalam kegelapan malam benar-benar berwujud seperti sesosok arwah saja.

   Ia tidak nampak seperti sebuah benda padat yang bisa disentuh, ujung kepala sampai yjung kaki hitam semua, dan sulit diketahui dia sedang berdiri menghadap ke mana, sebab orang tidak bisa memperkirakan mana depan tubuhnya dan mana pula belakangnya.

   Terdengar suara yang bergulung-gulung dari dalam perut dan menggema di udara dari berbagai jurusan.

   "Kau yang berteriak-teriak menantang aku?!"

   Jelas dia menggunakan Hok-ghi-sut (ilmu bicara dengan perut) untuk melontarkan kata-katanya.

   Ilmu yang sebetulnya tidak terlalu aneh, banyak pemain-pemain boneka keliling yang bisa melakukannya, namun tidak dalam tingkatan setinggi itu, di mana suaranya mampu menggetar udara dalam jarak lingkaran belasan tombak seperti itu.

   Itulah tingkat tenaga dalam yang hebat sekali.

   Namun Tong Gin-yan yang marah tidak lagi gentar biarpun berhadapan dengan raja iblis sendiri.

   Ditudingkannya pedangnya.

   "Ya, kau harus mengganti nyawa Pek-ki Hu-tong-cu yang kau bunuh itu!"

   "Hem, jadi manusia yang kumampuskan tadi ternyata berkedudukan Hu-tong-cu dalam Hwe-liong-pang? Bagus. Biar Tong Lam-hou tahu bahwa aku sama sekali tidak takut kepadanya ".

   "Iblis! serahkan nyawamu!"

   Bentak Tong Gin-yan marah.

   Sekali tubuhnya meuncur maju sambil menggerakkan pedang, ia telah menyerang dengan jurus Ya-long-tiau-kan (serigala liar melompati parit) untuk menikam ke dada Majikan Hek-eng-po, atau kalau ia tidak lahu yang mana letak dada, setidaknya bagian tengah dari tubuh wujud hitam berkabut itu.

   Tapi ujung pedang Tong Gin-yan cuma mengenai tempat kosong, sebab Majikan Hek- eng-po bergerak seperti asap terhembus angin, tanpa kelihatan cara bergeraknya, tahu-tahu sudah bergeser berapa langkah.

   Ketika Pakkiong Eng hendak ikut maju pula, Tong Gin-yan berseru.

   "A-eng, jangan ikut campur! Ini urusan hanya antara Hwe- liong-pang dan Hek-eng-po! Pergi saja dari sini!"

   Meskipun nada suaranya seperti memerintah dengan kasar, namun di dalamnya terkandung perhatian yang besar atas keselamatan Pakkiong Eng.

   Itu membuat hati gadis itu terasa hangat manis, sekaligus menyingkirkan kekuatiran akan mati hidupnya sendiri.

   Bukannya menyingkir, Pakkiong Eng malah melompat ke tengah arena dan menikam dengan Jurus Thian- liong-jip-hai (naga langit masuk samudera).

   "Mati hidup kita bersama-sama!"

   Sahut gadis itu penuh tekad.

   "Hem, Thian-liong- kiam-hoat (ilmu pedang naga langit) yang buruk!"

   Terdengar Majikan Hek-eng-po mendengus.

   Serangan yang hampir memakan seluruh tenaga Pakkiong Eng itu dapat dihindarinya segampang ia menghindari serangan Tong Gin-yan tadi.

   Tapi Tong Gin-yau kembali telah menyambung serangan Pakkiong Eng, dengan demikian Majikan Hek-eng-po itu harus menghadapi keroyokan anak-anak muda yang berani itu.

   Puluhan tahun yang lalu, ayah Pakkiong Eng dan ayah Tong Gin-yan, Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou, adalah sepasang panglima kekaisaran yang perkasa sehingga dijuluki Pak- liong Lam-hou(Naga Utara dan Harimau Selatan).

   Merupakan tokoh-tokoh angkatan muda yang menggemparkan.

   Kini, di halaman rumah bobrok itu, putera-puteri mereka kembali bergabung untuk menghadapi seorang maha durjana dunia persilatan yang diliputi kabut rahasia yang tebal.

   Tong Gin-yan memainkan Tian-jong- kiam-hoat (ilmu pedang Tiam-jong-san) yang diajarkan ayahnya, sedang ayahnya adalah murid tunggal dari Tiam-jong-locia (si tua sesat dari Tiam-jong-san) In Hoan yang namanya diakui sebagai nama nomor satu di dunia persilatan di jaman menjelang runtuhnya wangsa Beng.

   Ilmu pedang yang sama sekali mengabaikan unsur keindahan, jurus-jurusnya diciptakan khusus untuk berkelahi, karena itu serangan pedang Tong Gin-yan selalu melakukan serangan-serangan yang ganas dan telak, langsung ke sasaran tanpa berputar- putar lagi.

   Kekuatan, kecepatan dan ketepatan ke sasaran adalah inti ilmu pedang ini.

   Tong Gin-yan bertempur seperti seekor harimau muda yang garang dan kuat, tanpa kenal takut terus mengamuk dengan pedangnya.

   Sedangkan Pakkiong Eng memainkan Thian-liong-kiam-hoatnya yang bergaya lincah, meninggalkan gaya asli Thian-liong-kiam-hoat yang seharusnya kuat dan keras.

   Tubuhnya seperti seekor naga putih yang bermain-main di angkasa, lebih banyak menyerang bagian atas tubuh lawannya.

   Meskipun Majikan Hek-eng-po merasa pasti akan sanggup membantai kedua orang muda itu, namun ia harus berhati-hati juga menghadapi gabungan ilmu-ilmu pedang terkenal itu.

   Ia tidak berani lagi bersikap gegabah, namun sudah bulat tekadnya untuk membunuh kedua lawannya, sebab disangkanya kedua lawan itu benar-benar sudah tahu rahasia pribadinya.

   Sesaat kemudian Majikan Hek-eng-po bukan cuma menghindar kian kemari, tetapi juga mulai membalas menyerang juga dengan sepasang telapak tangannya.

   Begitu ia mengeluarkan serangan, maka di halaman itu seolah berjangkit angin puyuh yang dahsyat.

   Meskipun Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng sudah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu pedang mereka, tetapi gabungan ilmu pedang mereka dalam waktu kurang dari tigapuluh jurus sudah berhasil ditekan dalam posisi bertahan saja.

   Majikan Hek-eng-po benar-benar sesosok iblis yang unggul segala- galanya dari kedua orang muda itu.

   Kecepatannya bergerak membuat tubuhnya menjadi berpuluh-puluh buah, menerkam dan menekan kedua lawannya dari bebagai arah, sehingga kemanapun Tong Gin- yan dan Pakkiong Eng menghadap, mereka selalu melihat bayangan lawan ada di situ.

   Sedang kekuatan sepasang tangan Majikan Hek-eng-po itipun luar biasa.

   Setiap geraknya menmbulkan angin bertiup yang mampu menerbangkan debu naik ke atas, dan telapak tangan itu sendiri seperti gunung batu yang runtuh.

   Dalam keadaan terdesak, Pakkiong Eng sempat juga memperhatikan gaya bertempur lawannya, dan ia menjadi heran.

   Gaya semacam itu serasa pernah dilihatnya, tapi kapan dan entah di mana, dia tidak sempat membagi pikiran untuk mengingat-ingat.

   Pikirannya haruslah tetap terpusat pada satu hal, mempertahankan nyawa.

   Tapi mempertahankan nyawa pun agaknya akan sulit.

   Tekanan lawan semakin berat, tidak sampai duapuluh jurus lagi ia dan Tong Gin-yan akan jadi bangkai di tempat itu.

   Suatu saat Tong Gin-yan yang menerjang dengan berani, pundaknya tertampar oleh telapak tangan Majikan Hek- eng-po yang seberat gunung batu.Tong Gin- yan terhempas telungkup ke tanah, hidungnya mengenai tanah sehingga berdarah dan dadanya serasa sesak.

   "Mampus kau!"

   Majikan Hek-eng-po menghantam ke tanah, Tong Gin-yan mati- matian bergulung menghindar.

   Tanpa tersentuh oleh kulit Majikan Hek-eng-po, hanya oleh deru anginnya, permukaan tanah itu berdebum dan amblas sejengkal bagaikan diinjak kaki seekor gajah raksasa.

   Meskipun Tong Gin-yan berhasil menghindar, namun lawannya terus mengejar dengan pukulan ke dua, ke tiga, ke empat dan seterusnya sampai suatu saat Tong Gin-yan yang berguling-guling itu tak akan bisa menghindar lagi.

   Namun Pakkiong Eng takkan membiarkan sahabatnya pontang-panting sendirian menghadapi maut.

   Diiringi jeritan nyaringnya, ia meluncur maju dan pedangnya menyerang dengan jurus Tay-boh-liu-soa (pasir menghambur di gurun luas), pedangnya berputar cepat sekali dan mencoba mengurung lawannya.

   Tapi cukup dengan kebasan sepasang telapak tangannya berturut-turut, majikan Hek-eng-po membuat Pakkiong Eng terpental ke samping oleh sejalur kekuatan tak berbentuk.

   Untung Pakkiong Eng menyadari lihainya pukulan lawan, sehingga dia tidak melawannya secara kekerasan, melainkan membiarkan tubuhnya terpental ke samping sambil menjaga keseimbangan.

   Tujuan serangannya memang hanya mengalihkan perhatian musuh, agar Tong Gin-yan mendapat waktu untuk memperbaiki posisinya.

   Putera ketua Hwe-liong-pang itu telah melompat bangkit.

   Sekarang gilirannyalah menolong Pakkiong Eng yang megap-meqap di bawah tekanan angin pukulan maha dahsyat itu.

   Dalam keadaan bahaya, tiba-tiba Pakkiong Eng membentak, lalu terjadilah perubahan di gelanggang pertempuran.

   Sambaran pedangnya membawa udara yang hangat, lalu semakin lama semakin naik suhunya dan akhirnya gulungan hawa panas seperti dalam tungku peleburan logam menggulung ke arah Majikan Hek-eng-po.

   Bahkan batang pedang juga mulai kelihatan kemerah-merahan.

   Ketika satu waktu bacokan Pakkiong Eng luput dan pedangnya mengenai sepotong kayu, maka kayu itu bukan saja tertebas putus tapi juga meninggalkan bekas hangus pada potongannya.

   "Hem, Hwe-liong-sin-kang (tenaga sakti naga api)?"

   Dengus Majikan Hek-eng-po, nampaknya tidak terlalu terpengaruh oleh ilmu kebanggaan kaum Thian-liong-pai itu.

   Tong Gin-yan tidak mau ketinggalan, diapun mengerahkan kekuatan Hian-im-kang (tenaga inti dingin) warisan keluarganya.

   Sebaliknya dari serangan Pakkiong Eng yang membawa udara panas membara, maka setiap gerak Tong Gin-yan membawa udara yang dingin membekukan.

   Seolah ia menebarkan jarum-jarum salju lembut yang menyusup langsung ke setiap lubang pori-pori kulit.

   Dengan demikian majikan Hek-eng-po itu terkepung dua macam udara yang berlawanan tapi sama-sama membahayakan.

   Campuran udara maha panas dan maha dingin itu tidak membuat sejuk dan nyaman, tapi tetap berdiri sendiri-sendiri dan menimbulkan siksaan bagi orang yang tidak kuat tenaga dalamnya.

   Tapi majikan Hek-eng-po memang luar biasa, ia hampir tak terpengaruh oleh ilmu- ilmu dahsyat itu.

   Terdengar ejekannya.

   "Hwe- liong-sin-kang dan Hian-im-kang?"

   He-he-he... permainan anak-anak yang tak berguna!"

   Lalu ia mempercepat putaran tangannya dan tekanan serangannya menjadi beberapa kali lebih dahsyat dari semula.

   Samar-samar suara angin pukulannya seperti bunyi guruh di kejauhan.

   Ketangguhan durjana besar itu membuat Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng benar-benar kehilangan harapan untuk menang.

   Mereka bahkan sudah mengerahkan Hwe-liong-sin-kang dan Hian-im-kang, tetap saja tak berhasil memperbaiki keadaan.

   Paling- paling hanya memperpanjang perlawanan, tapi hasil akhirnya akan tetap sama, hancur di tangan Majikan Hek-eng-po.

   Waktu itulah kembali terdengar derap langkah seseorang mendekati tempat itu.

   Mendengar suara langkahnya yang berat seperti langkah gajah, agaknya pendatang itu seorang yang bertenaga besar, namun jelas bukan orang yang mahir ilmu meringankan tubuh.

   Lalu dari kegelapan terdengar suara yang kasar "Tadi ada yang berteriak-teriak memanggil Majikan Hek-eng-po, yang mana majikan Hek-eng-po? Aku harus menghajarnya sampai mampus!"

   Jelas yang datang itu adalah seorang musuh Hek-eng-po pula, namun Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng tidak berani mengharap bantuan yang berarti dari pendatang ini, malah mencemaskan keselamatannya sebab menilik langkahnya yang berat, pendatang ini bukan seorang yang tinggi ilmunya.

   Karena itulah Tong Gin-yan berteriak kepada bayangan di ambang pintu itu.

   "Saudara, cepat pergi selamatkan dirimu. Kami berdua hampir tak sanggup menahan iblis jahanam ini!"

   Tapi pendatang yang wajahnya tak gampang dikenal karena gelapnya malam itu malah melangkah mendekati arena sambil mengeluarkan sepasang senjatanya.Dua potong besi sepanjang lengan yang bulatannya sebesar mulut mangkuk kecil.

   "Aku memihak kalian berdua untuk menghadapi durjana ini! Aku harus membalaskan sakit hati keluarga majikanku! Mendengar suara orang itu, Pakkiong Eng mendadak teringat kepada seseorang yang pernah ditolongnya di dekat Ki-lian-san ketika rombongan Liu-keh-chung dibasmi orang- orang Hek-eng-po, lebih dari setengah tahun yang lalu. Seorang kacung bernama Liu Beng yang keberanian dan kesetiaannya membuat kagum Pakkiong Eng, meskipun kacung itu berilmu sangat rendah.

   "Apakah saudara Liu Beng di situ?"

   Teriak Pakkiong Eng dari tengah arena yang gemuruh. Pendatang itu menyahut.

   "Ya. aku Liu Beng. He, kau adalah nona Pakkiong Eng dari Pak-khia itu? Kalau begitu, lebih-lebih lagi aku harus ikut campur menggempur bangsat ini!."

   Lalu tanpa peduli kecemasan Tong Gin- yan dan Pakkiong Eng, Liu Beng melangkah maju dengan langkah-langkah seperti gajah, sepasang tongkat besinya sudah dipegang erat-erat.

   Ketika ia lewat dekat Tong Gin-yan, ia tersambar hawa dingin sehingga bersin dan berkata.

   "He, kenapa begitu dingin?"

   Cukup kejadian itu saja sudah membuat heran orang-orang yang bertempur.

   Udara dingin Hian-im-kang tak tertahan oleh sembarangan orang, namun si kacung yang ketolol-tololan itu hanya bersin satu kali dan setelah itu maju terus seolah tak terjadi apapun.

   Ketika lewat di dekat Pakkiong Eng yang "menebar"

   Kan udara panas, Liu Beng juga hanya menggerutu.

   "Eh, kenapa di sini sebaliknya malah begitu gerah?"

   Maka baik Majikan Hek-eng-po, Tong Gin-yan maupun Pakkiong Eng yang tadinya menganggap Liu Beng tak berarti apa-apa dalam pertempuran tingkat tinggi itu, kini harus merubah pandangan, Orang yang tidak pandai ilmu meringankan tubuh sehingga langkahnya berbunyi keras, tidak berarti ilmu silatnya rendah.

   Ilmu silat toh tidak terdiri dari ilmu meringankan tubuh saja.

   Begitu masuk arena, tongkat kanan Liu Beng langsung mengepruk ke kepala Majikan Hek-eng-po, gerakannya sederhana, tapi kuat dan cepat.

   Majikan Hek-eng-po tertawa dingin, dengan congkaknya ia mengulur tangannya untuk mencengkeram tongkat yang menyambar kepalanya.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Geraknya begitu cepat sehingga batang tongkat besi tahu-tahu telah tercengkeram olehnya, namun reaksi Liu Beng ternyata mengejutkan juga.

   Tongkat kiri tiba- tiba dihantamkan ke tongkat kanannya, tepat pada bagian yang dicengkeram Majikan Hek- eng-po, sehingga memungkinkan jari-jari dan telapak tangan orang itu terhantam remuk.

   Cepat-cepat Majikan Hek-eng-po melepas cengkeramannya sambil mundur.

   "Bangsat kecil, kumampuskan kau sekalian!"

   Bentak Majikan Hek-eng-po sambil menyiapkan serangan ke arah Liu Beng, tapi dari arah lain ujung-ujung pedang Tong Gin- yan dan Pakkiong Eng sudah menyambar dengan hawa dingin dan panasnya.

   Kini pertarungan berlangsung satu lawan tiga.

   Dan semua pihak bersepakat dalam hati bahwa kehadiran Liu Beng di arena bukanlah sesuatu yang bisa dianggap angin lalu saja.

   Meskipun kepandaiannya belum setingkat Tong Gin-yan atau Pakkiong Eng, tapi kalahnya juga hanya selapis.

   Sepasang tongkatnya menyerang dalan gerak-gerak sederhana dan polos, tetapi serangan yang satu bersambung dengan serangan lainnya tak habis-habisnya.

   Kadang- kadang gerakannya kacau diiringi langkah alsempoyongan, namun cukup berbahaya.

   "Cui-siang-sip-sik Siang-koai-hoat (ilmu sepasang tongkat sepuluh jurus gajah mabuk)!"

   Geram Majikan Hek-eng-po setelah mengenali gerak-gerak sepasang tongkat itu.

   "Tikus tolol, apa hubunganmu dengan Cui- poan-siang (gajah gemuk pemabuk) Hong Thai-pa?"

   "Beliau adalah ayah-angkatku!"

   Sahut Liu Beng sambil menyerang dengan Cui-siang- kay-loh (gajah mabuk membuka jalan).

   Sambil merendahkan tubuhnya sampai setengah berjongkok , sepasang tongkat besinya menyambar bersilangan ke arah lutut dan tulang kering Majikan Hek-eng-po.

   Pakkiong Eng sendiri heran melihat kemajuan ilmu silat Liu Beng yang maju pesat dibandingkan tujuh bulan yang lalu.

   Tapi keheranannya berkurang setelah mendengar pengakuan Liu Beng bahwa ia menjadi anak- angkat dari Cui-poan-siang Hong Thai-pa, tokoh terkenal dari Thai-san di pesisir timur.

   Diam-diam ia ikut bergirang akan kemajuan Liu Beng dan mengucapkan selamat meskipun cuma dalam hati.

   Menghadapi tiga orang muda yang bergabung itu, Majikan Hek-eng-po benar- benar kehilangan peluang untuk berhasil membunuh mereka.

   Satu demi satu orang- orang muda itu bisa dibantainya, namun tiga sekaligus tidak mungkin membunuh mereka.

   Tong Gin-yan berkelahi seperti harimau kelaparan yang menerkam dan menerjang dengan hebatnya, Pakkiong Eng berlompatan seperti seekor naga terbang yang menyambar- nyambar di angkasa, Liu Beng menyeruduk dan mengamuk seperti gajah kesurupan.

   Akhirnya majikan Hek-eng-po dengan gemas memutuskan untuk menunda pembantaian atas diri mereka.

   Diam-diam ia mengutuk dalam hati, kenapa bermunculan begitu banyak orang-orang muda berilmu tinggi? Ia baru saja mendapat laporan anak buahnya bahwa dua anak muda bernama Kam Hong-ti dan Si Liong-cu juga sudah mengobrak-abrik pekerjaan Hek-eng-po di berbagai tempat....

   Dengan dibarengi geraman yang menyatakan kejengkelannya karena gagal membunuh korban-korbannya, Majikan Hek- eng-po melakukan gempuran tiga kali beruntun ke arah tiga sasarannya, sekedar untuk melonggarkan kepungan.

   Setelah itu, seperti segumpal asap yang berhembus , ia melompat meninggalkan arena.

   Liu Beng yang tidak kalah mendendamnya dari Tong Gin-yan karena tertumpasnya orang-orang Liu-keh-chung, ternyata bagaikan didorong kekuatan gaib telah melompatmenyusul Majikan Hek-eng-po itu dari belakang sambil mengayunkan lepasang tongkat besinya menghantam ke sepasang pundak belakang musuh.

   Majikan Hek-eng-po mendongkol sekali.

   Tiba-tiba ia melejit sambil membalik tubuh dengan gerakan selicin belut, lalu melakukan gerakan Oh-liong-tam-jiau (naga hitam mengulurkan cakar) untuk mencengkeram hancur leher Liu Beng.

   Keadaan Liu Beng saat itu sangat berbahaya, sebab dia terpisah dari kerjasamanya dengan Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng.

   Sepasang tongkatnya yang sudah terayun juga sulit ditarik kembali untuk dijadikan pertahanan, sedang cakar Majikan Hek-eng-po meluncur dari samping tanpa terbendung lagi.

   Melihat itu, demi menyelamatkan Liu Beng, Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng tanpa berjanji telah melakukan gerakan yang hampir bersamaan.

   Mereka melompati kepala Liu Beng dari belakang dan berbarengan menikam ke kepala musuh, memaksa musuh lebih dulu membatalkan serangannya.

   Cakaran Majikan Hek-eng-po ke leher Liu beng itu menjadi lemah.

   Tidak berhasil meremukkan tenggorokan Liu Beng, melainkan hanya berhasil melukai kulit leher dan merenggut lepas kalung lempengan besi yang tergantung di leher Liu Beng pada seutas tali rami yang sederhana itu.

   Benda yang oleh Liu Beng dianggap satu-satunya benda yang bisa untuk menyelidiki asal-usul dirinya, benda peninggalan ibunya.

   Begitu kalung terampas, Liu Beng menjadi nekad.

   Sambil menerjang ke depan, ia berteriak.

   "Kembalikan kalungku!"

   Majikan Hek-eng-po berhasil menghindari serbuan beruntun dari ketiga lawan mudanya.

   Sekilas ia sempat melirik kalung rampasannya dan memperhatikannya di bawah cahaya bintang yang tak seberapa.

   Tiba-tiba tergetarlah hati Majikan Hek-eng-po melihat kalung itu, guncangan hatinya begitu hebat sehingga ia agak lengah.

   Ujung pedang Pakkiong Eng sempat menyelonong dari samping dan melukai punggung telapak tangan kanannya.

   Tetapi Majikan Hek-eng-po yang biasanya membunuh manusia seperti membunuh semut, tiba-tiba kehilangan nafsu bertempurnya gara-gara melihat kalung rampasan itu.

   Tubuhnya melesat tinggi seperti seekor burung dan sekejap kemudian ia sudah lenyap ditelan malam.

   "Kalung peninggalan ibuku!"

   Teriak Liu Beng dengan suara setengah menangis sambil mengejar.

   "Kembalikan kalungku!"

   Tapi dalam ilmu meringankan tubuh, Liu Beng justru amat rendah, meskipun ia pernah latihan di Ki-lian-san, berlari-lari di lereng gunung dengan kaki dibebani kantong pasir, namun dibandingkan majikan Hek-eng-po dia jadi mirip kura-kura yang hendak mengejar kelinci.

   "Percuma, saudara Liu!"

   Pakkiong Eng melompat keluar.

   "Kita tak akan sanggup mengejarnya, iblis itu terlalu lihai, apalagi kalau iblis lainnya seperti Jiat-jiu Lokoai juga ada di sekitar sini , kita hanya akan mengantar nyawa!"

   "Tapi kalungku.....satu-satunya peninggalan ibuku..."

   Suara Liu Beng sedih sekali.

   Tadi, Pakkiong Eng sempat melihat keanehan sikap Majikan Hek-eng-po ketika melihat kalung Liu Beng, ia tidak tahu bagaimana pastinya gejolak hati si maha durjana itu, namun kini tugasnya hanyalah menenangkan Liu Beng, juga menenangkan Tong Gin-yan yang masih marah karena kematian Lu Hian-to tepat di depan hidungnya.

   "Menghadapi Hek-eng-po harus dengan kepala dingin, saudara Liu", Pakkiong Eng menepuk pundak si bekas kacung Liu-keh- chung yang berani dan setia itu.

   "Masih untung kita bertiga tidak kehilangan nyawa di tangannya yang ganas..."

   Sesaat kemudian, ketiga orang muda itu sudah mengelilingi api unggun yang dinyalakan kembali di dalam rumah bobrok itu. Melihat mayat Lu Hian-to, Liu Beng terkejut.

   "Siapa dia?"

   Tong Gin-yan menjawab sambil mengertak gigi.

   "Dia temanku, salah satu keganasan Hek-eng-po pula. Kita memiliki musuh yang sama, saudara Liu". Liu Beng meninju keras-keras lantai di samping tempat duduknya sehingga ubin keras itu retak.

   "Benar, saudara Tong. Aku akan menentang Hek-eng-po kapanpun dan di manapun kujumpai mereka!"

   "Tapi hati-hatilah kalau kepergok tokoh- tokoh utama mereka,"

   Pakkiong Eng memperingatkan.

   "Bukankah gabungan kita bertigapun hampir saja mampus semua di tangan Majikan Hek-eng-po?" **OZ** Bersambung ke

   Jilid 19 Pojok Dukuh, 09-10-2018; 21.30 WIB TEROR ELANG HITAM Karya.STEVANUS, S.P.

   Jilid 19 UCAPAN Pakkiong Eng itu bukan karena ketakutan, namun sekedar memaparkan kenyataan yang tak terbantah.

   Ketiga oang muda itu boleh dihitung sebagai jago-jago utama angkatan muda di dunia persilatan, namun mereka bertiga maju bersama tak bisa mengapa-apakan Majikan Hek-eng-po.

   Punggung telapak tangan Majikan Hek-eng-po tadi berhasil digores luka oleh Pakkiong Eng, tapi bukan karena rendahnya ilmu orang itu, melainan karena kelengahan orang itu, yang seolah tersihir ketika melihat kalung yang dijambretnya dari leher Liu Beng.

   Sampai jauh malam, Pakkiong Eng bercakap-cakap dengan Liu Beng yang dianggapnya seorang sahabat lama, sedang Tong Gin-yan yang biasanya ramah dan senang bercanda itu, lebih banyak duduk menyendiri dengan wajah muram, sambil setiap kali mengertak gigi atau mengepal tinju penuh kemarahan.

   "Saudara Liu,"

   Kata Pakkiong Eng.

   "Rasanya belum lama sejak kita berkenalan di dekat Ki-lian-san, tempat pembantaian orang- orang Liu-keh-chung, dan saat itu ilmu silatmu masih..."

   Pakkiong Eng ragu-ragu untuk melanjutkannya dengan kata-kata "rendah"

   Sebab kuatir menyinggung Liu Beng. Namun justru Liu Beng yang melanjutkannya sambil tertawa polos.

   "...masih sangat rendah? Memang. Kemudian empat bulan aku belajar di Ki-lian-pai, namun yang kudapatkan selama empat bulan itu tidak ada artinya dengan yang kudapatkan selama tiga bulan terakhir ini, sejak aku menjadi anak- angkat Cui-poan-siang Hong Thai-pa..."

   "Jadi, pendekar pengembara dari timur itu yang mengajarmu jurus-jurus silat?"

   "Ya. Tapi ayah-angkatku tidak suka memakai istilah "Jurus-jurus silat", beliau lebih suka menyebut "cara berkelahi dan berusaha untuk menang"! Aku hanya diajari sepuluh gerakan sederhana dengan sepasang tongkat, tetapi ayah-angkatku tak henti-hentinya mengingatkan bahwa dalam pertarungan sebenarnya tidak boleh terikat hanya oleh sepuluh gerakan itu. Gihu (ayah angkat) juga mengajari aku duduk bersila sambil mengatur pernapasan, entah apa namanya, yang terang aku merasakan hasilnya. Tubuhku senantiasa segar, dan tenagaku terus bertambah". Pakkiong Eng tersenyum mendengar penuturan yang polos itu, dan ketika ia menoleh ke arah Tong Gin-yan, dilihatnya pemuda itupun tersenyum pula melupakan kesedihannya, Pakkiong Eng menjadi lega sedikit.

   "Ayolah, Yan-ko, ikut bercakap-cakap dengan kami..."

   Dengan susah-payah Tong Gin-yan memaksa beberapa helai otot pipinya untuk memperlebar senyumnya, meskipun hasilnya hanyalah sebuah senyuman kecut.

   "Kalian berdua saja yang bicara, aku cukup mendengarkan".

   "Jangan terlalu disedihkan apa yang sudah terlanjur terjadi, saudara Tong", Liu Beng ikut menghibur.

   "Akupun pernah begitu sedih sampai hampir menggorok leherku, untung dicegah Pakkiong Kohnio dengan panahnya. Lalu aku memancangkan tekad di hatiku, aku harus berlatih keras agar kelak dapat menumpas Hek-eng-po, bibit malapetaka umat manusia itu".

   "Terima kasih, saudara Liu. Kau membangkitkan semangatku kembali. Nah, silahkan bicara terus, sayang ayam panggangnya sudah habis. Lezat sekali."

   "Tapi tadi kau mengatakan seperti mengunyah sepatu...", potong Pakkiong Eng tiba-tiba. Tong Gin-yan menyeringai tak menjawab. Sementara Pakkiong Eng berkata.

   "Saudara Liu, sepuluh gerakan yang sederhana itu jangan kau pandang enteng. Itulah yang dikenal sebagai Cui-siang-sip-sik Siang-koai- hoat, Bukankah sepasang tongkatmu tadi cukup mengejutkan majlkan Hek-eng-po juga?"

   "Benar. Sebulan yang lalu, sepasang tongkatku juga berhasil mengemplang pecah tiga perampok di Gunung Kek-mo-san. Tiga bersaudara yang dijuluki Jai-mo-sam-long (tiga serigala berbulu coklat) ketika mereka dan anaknbuah mereka menyerbu sebuah dusun...."

   Nada suara Liu Beng tak menyembunyikan kebanggaannya.

   Ia menoleh ke arah sepasang tongkat besinya yang disandarkan di tembok di sebelah tempat duduknya, seperti memandang sahabatnya yang akrab.

   Pakkiong Eng mengikuti arah pandangan Liu Beng dan melihat sepasang "sahabat"Liu Beng tersebut.

   Itulah sepasang benda yang sangat sederhana.

   Dua buah lonjoran besi yang bulatannya sebesar mangkuk kecil, dipotong sama panjang, masing-masing sepanjang lengan orang dewasa.

   Melihat bekas-bekas gergajian kasar di ujung benda-benda itu, terang kalau sepasang tongkat itu bukan dibuat khusus di pandai besi, melainkan mengambil entah dari mana.

   Pada bagian yang dijadlkan pegangan tongkat, agar tidak licin kalau telapak tangannya berkeringat, dibungkus dengan robekan-robekan kain yang diikat kuat dengan tali kulit.

   Satu tongkat dibalut kain putih dekil, tongkat lainnya dengan kain coklat bertotol- totol putih, keduanya bekas celana kolor yang oleh Liu Beng ditemukan di pinggir jalan.

   "Senjataku jelek bukan?"

   Kata Liu Beng tanpa malu-malu.

   "Ini kupotong dari sumbu roda kereta yang sudah rusak, yang kutemukan di pinggir jalan, agaknya bekas dirampok. Kuambil besi sumbu keretanya, dan jadilah senjata yang lumayan berguna". Diam-diam Pakkiong Eng kagum kepada kesederhanaan pikiran Liu Beng. Sahutnya.

   "Siapa tahu kalau benda-benda rongsokan itu berhasil memusnahkan Jai-mo-sam-long, bukan? Saudara Liu, pertempuran dalam dunia persilatan bukanlah kontes keindahan senjata, tetapi kontes siapa yang lebih mahir memainkan senjata itu. Betul bukan?"

   "Benar sekali".

   "Saudara Liu, aku punya berita yang mungkin menggembirakanmu", kata Pakkiong Eng tiba-tiba.

   "Apa?"

   "Keluarga Liu majiikanmu itu tidak tertumpas habis, masih ada seorang cucu keluarga Liu yang hidup...."

   "Hah? Siapa?"

   Liu Beng melonjak kegirangan, sambil mengharap nama cucu yanq maih hidup itu benar-benar dari Liu-keh- chung, bukan dari Ki-lian-san yang memang diketahuinya belum tersentuh orang-orang Hek-eng-po.

   "Liu Jing-yang. Ia sekarang menjadi murid pendekar besar Sebun Him di Se-shia".

   "Hah? Jadi seorang keturunan laki-laki Keluarga.Liu masih ada? Terima kasih kepada langit dan bumi. Aku harus segera berangkat menemui Siauya Liu Jing-yang besok pagi..."

   "Memang sebaiknya begitu, saudara Liu. Dan aku juga ingin menitipkan pesan kepada Sebun Taihiap, tolong kau ingat-ingat."

   "Katakan, nona Pakkiong."

   "Sebun Taihiap sangat membenci Hek- eng-po, tolong beritahu dia bahwa majikan Hek-eng-po sudah muncul di dunia persilatan, supaya keluarga Sebun lebih berhati-hati, sebab mereka pun musuh Hek-eng-po".

   "Paham!"

   Liu Beng mengeluarkan segebung kertas kusam, bekas bungkus- bungkus makanan yang dijahitnya menjadi sebuah buku.

   Lalu dengan sebatang pensil yang biasa untuk menghitamkan alis kaum wanita, ia menulis pesan itu di salah satu halaman dengan tulisan bergaya ceker ayam.

   "Supaya tidak lupa", katanya kepada Pakkiong Eng sambil memasukkan benda- benda itu kembali ke balik bajunya. Pakkiong Eng cuma tersenyum saja.

   "Dan pesan yang ini tidak usah kau tulis, sebab untukmu sendiri. Kepada keluarga Sebun, terutama kepada... kepada.. anak lelakinya yang bernama Sebun Hiong, tidak usah kau katakan tentang diriku. Kau bilang saja bahwa berita tentang Majikan Hek-eng-po itu kau dapatkan dari orang-orang di perjalanan..."

   "Baik, nona. Tetapi. inipun harus kucatat supaya tidak lupa". Kembali Liu Beng mengeluarkan "buku"

   Dan pensilnya dan mencatatnya pula, sehingga Pakkiong Eng cuma geleng-geleng kepala.

   Sebenarnya, Pakkiong Eng masih inqin bercakap-cakap, tapi ketika dilihatnya Liu Beng menguap lebar-lebar secara terang-terangan, Pakkiong Eng tahu bahwa bekas kacung itu mulai mengantuk.

   Lalu Pakkiong Eng menoleh ke arah Tong Gin-yan, tetapi temannya itupun nampak bemuram-durja sehingga Pakkiong Eng segan mengajaknya bercakap-cakap.

   Kini perhatiannya lebih banyak ditujukan ke arah mayat Lu Hian-to.

   Wakil pemimpin regu Bendera Putih dari Hwe-liong-pqng itu nampak tidak terluka seujung rambutpun di seluruh permukaan kulitnya.

   Namun ketika Pakkiong Eng menyentuhkan ujung jari-jarinya ke dada mayat itu, maka tempat itu terasa empuk seperti bantal saja.

   Jelaslah tulang-tulang dada tokoh itu sudah remuk, Pakkiong Eng lalu membayangkan betapa dahsyatnya pukulan Majikan Hek-eng-po tadi.

   Kekuatan pukulannya mungkin setara dengan Kim-kong-ciang (telapak tangan malaikat) kepunyaan Pun-bu Hweshio dari Siau-lim-pai yang tersohor itu, atau ayahnya sendiri, atau Ketua Hwe-liong-pang.

   Namun kemudian perhatian Pakkiong Eng tertarik kepada telapak tangan kanan Lu Hian-to yang kelihatannya menggenggam sesuatu, entah apa.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Yan-ko, tangan kanan Lu Hutongcu nampaknya menggenggam sesuatu,"

   Demikian ia mencoba menarik perhatian Tong Gin-yan, karena Liu Beng sudah mendengkur keras sekali dan air liurnya berleleran.

   "Mungkin sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk tentang rahasia pribadi Majikan Hek-eng-po yang belum sempat diucapkan oleh Lu Hutongcu tadi sebelum ajalnya..."

   Betul juga, Tong Gin-yan mulai tertarik perhatiannya dan menggeser mendekati mayat itu.

   Lalu dengan agak dipaksa karena mayat itu sudah membeku, ia buka telapak tangan Lu Hian-to.

   Benda yang digenggamnya hanyalah secarik kain hitam, lebarnya tidak lebih dari telapak tangan, nampaknya seperti sobekan ujung baju.

   Di atas secarik kain itu tertulis kata-kata .

   "Toko Kain Hin-seng, Pak-toa-kai (jalan raya utara), Se-shia".

   "Kemungkinan besar ini adalah sobekan baju Majikan Hek-eng-po. Apakah tokoh misterius itu adalah...juragan toko kain itu?"

   Pakkiong Eng keheranan.

   "Ada dua kemungkinan. Dia si juragan toko, atau hanya membeli bahan di toko itu. Kalau kemungkinan yang terakhir, sulit melacaknya, sebab tentu ada ribuan pembeli di toko itu. Jadi petunjuk ini nyaris tak ada gunanya sama sekali."

   "Belum tentu", sahut Pakkiong Eng, carikan kain itu disimpannya baik-baik "Betapapun kaburnya petunjuk ini, lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Yang harus waspada adalah Sebun Taihiap, dia menyatakan diri sebagai musuh besar Hek- eng-po , dan ternyata ada jejak Hek-eng-po di depan hidungnya. Di Kota Se-shia yang hanya lima li dari rumahnya". Mereka mempercakapkan berbagai kemungkinan, tapi tak ada kesimpulan yang memuaskan. Sementara pikiran Pakkiong Eng mulai bercabang, harus membantu menyelidiki Majikan Hek-eng-po lebih dulu atau mengejar jejak Pangeran In Ceng? Menyingkap misteri Majikan Hek-eng-po menyangkut keselamatan dunia persilatan, sedang urusan Pangeran In Ceng menyangkut goncang atau tidaknya pemerintahan kekaisaran. Kedua-duanya sama pentingnya dan bingung memilih. Atau ia harus berpisah dengan Tong Gin-yan untuk menjalankan urusan mereka sendiri-sendiri? Itupun amat berbahaya. Kalau mereka sendiri-sendiri, tidak usah bertemu Majikan Hek-eng-po, cukup bertemu Jiat-jiu Lokoai saja pasti akan melayanglah nyawa mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk istirahat dulu menjernihkan pikiran. Keesokan harinya, dalam suasana muram, mayat Lu Hian-to dikubur di tempat itu juga dengan diberi batu nisan sederhana. Setelah itu ketiga orang muda itu berpisahan. Liu Beng akan ke rumah keluarga Sebun untuk bergabung dengan Liu Jing-yang, sambil menyampaikan pesan Pakkiong Eng tentang Majikan Hek-eng-po, sedang Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng akan menjelajah ke timur untuk urusan ganda, melacak Pangeran In Ceng dan menyelidiki Majikan Hek-eng-po.

   "Hati-hatilah, saudara Liu, kau berjalan sendirian."

   Pesan Tong Gin-yan pada Liu Beng.

   "Kalian berdua juga hati-hatilah,"

   Kata Liu Beng.

   "Tapi kita semua sama-sama bertekad siap menerjang hutan golok dan hujan panah, bukankah begitu?"

   "Benar. Kalau kita tak sempat bertemu lagi, mudah-nudahan arwah-arwah kitalah yang akan sempat bertemu". Biarpun mereka saling mengucapkan kata-kata itu dengan nada ringan, tetapi dalam kata-kata itu mereka seolah sudah berikrar siap mati demi menumpas keangkara-murkaan Hek-eng-po. Liu Beng melangkah ke arah barat sambil memanggul sepasang tongkat besi bekas gergajian sumbu roda keretanya itu. Langkahnya tegap penuh kepercayaan diri. Sambil menatap langkah-langkah si kacung sederhana itu, Tong Gin-yan bergumam.

   "Hek-eng-po bertambah satu lawan lagi. Si Pendekar Sumbu Roda Kereta..." **OZ** BAGIAN DUA PULUH Liu Beng menempuh perjalanannya dalam suasana prihatin. Ia bukan seorang yang mengantongi banyak uang, karena itu ia melakukan perjalanan dengan berusaha sehemat-hematnya. Ia tidak pernah menginap di penginapan, cukup di emperan toko atau menumpang gratis di kuil-kuil. Makanannya sederhana, dan setiap kali uangnya habis maka diapun melakukan pekerjaan apa saja untuk mengisi kantongnya hanya dengan beberapa keping uang receh. Menjadi kuli angkut di kota-kota yang dilewatinya, menyewakan tenaga untuk menjadi penjaga pasar dari gerayangan si tangan panjang, kadang-kadang ikut rombongan piau-su (pengawal perjalanan) untuk sekali jalan dengan upah sekedarnya. Yang terang semangatnya tidak susut. Di tengah jalan sempat juga dihajarnya beberapa gerombolan penjahat yang menyusahkan rakyat. Entah penyamun di jalan yang sepi, entah gerombolan pemeras pedagang di pasar, entah pembesar-pembesar desa yang menindas rakyatnya sehingga sepanjang perjalanannya muncullah cerita tentang seorang pengembara bertampang dekil yang bersenjata sepasang tongkat besi rongsokan. Hari itu, dengan langkah lebar Liu Beng melangkah keluar dari pintu gerbang selatan kota Se-shia. Sepasang tongkatnya di panggul dan ia melangka sambil bersiul-siul. Hatinya gembira sekali karena tak lama lagi akan tiba di rumah Keluarga Sebun dan bertemu dengan tuan mudanya. Ternyata untuk berjumpa dengan tuan mudanya, ia tidak usah menunggu sampai ke rumah Keluarga Sebun. Tengah ia berjalan berlenggang-kangkung, dari arah belakangnya terdengar derap kaki kuda. Ketika ia menoleh, ada tiga penunggang kuda yang masih muda dan semuanya berpakaian indah, dua laki-laki dan satu gadis. Dan salah seorang dari pemuda itu adalah Liu Jing-yang yang tetap dikenalnya.

   "Siauya! Siauya!"

   Liu Beng memanggil kegirangan. Sebaliknya Liu Jing-yang sudah tidak mengenali Liu Beng yang tampangnya dekil tak keruan itu, namun toh ia nenghentikan kudanya, diikuti kedua teman seperjalanannya.

   "Siapa kau?"

   Tanyanya.

   "Aku A-beng, hambamu dari Liu-keh- chung!"

   Liu Jing-yang tercengang.

   "He, jadi kau adalah Liu Beng? Kenapa sampai jadi semacam ini?"

   "Aku mengembara mencari Siauya dan membalas dendam kepada orang-orang Hek- eng-po. Dari seorang teman, aku mendengar Siauya sudah menjadi murid Keluarga Sebun, aku mengucapkan selamat! Siauya, bolehkah aku mengabdi kepadamu kembali?"

   Bertemu dengan kacungnya itu, biarpun semasa di Liu-keh-chung banyak ketidak- cocokan, tapi Liu Jing-yang merasa senang juga.

   Apalagi dirinya sendiri jugapernah menjadi jembel sebelum diketemukan oleh Keluarga Sebun dan disembuhkan dari akibat ilmu sesatnya.

   Sahutnya sambiI tertawa.

   "A-beng, jangan kau anggap aku masih sebagai tuan muda yang berkuasa menentukan segala- galanya seperti di Liu-keh-chung dulu. Aku hanya menumpang di rumah Keluarga Sebun sebagai seorang murid. Kalau kau ingin bersamaku, mohonlah kepada tuan rumahnya..."

   Ia berkata sambil menunjuk Sebun Hiong di sebelahnya.

   Liu Beng menoleh kepada Sebun Hiong, dan bergetarlah hatinya oleh semacam perasaan ganjil ketika bertatapan muka dengan pendekar muda yang dijuluki Ci- him (si Beruang Ungu) itu.

   Terjadi pertentangan antara otaknya dengan perasaannya.

   Otaknya yang masih bekerja dengan baik itu sadar sepenuhnya bahwa antara dirinya dengan Sebun Hiong belum pernah bertemu, pertemuan itu adalah pertama kalinya.

   Namun perasaannya bergetar aneh, mengatakan bahwa Sebun Hiong bukanlah orang asing baginya, rasanya begitu dekat.

   Namun Liu Beng tidak tahu apakah yang mendorongnya berperasaan demikian.

   Sebun Hiong sendiri juga merasakan naluri yang serupa, meskipun lebih lemah getarannya.

   Timbul semacam pikiran dalam hatinya.

   "Kalau aku kelak bertambah tua tiga empat tahun lagi, wajahku barangkali akan menjadi seperti kacung ini..."

   Ia seolah menghadapi sebuah cermin ajaib yang bisa mempertua wajah orang yang bercermin kepadanya.

   Kemudian Liu Beng membungkuk hormat sperti selayaknya seorang berkedudukan rendah terhadap seorang tuan muda dari sebuah keluarga yang kaya-raya dan terkenal.

   Jauh lebih kaya dan terkenal dari Liu-keh-chung tempatnya mengabdi dulu.

   Juga jauh terkenal ketangguhannya.

   "Sebun Siauya, bagaimana dengan permohonanku untuk melayani Siauya Liu Jing-yang? Aku tidak akan sekedar menjadi beban di Keluarga Sebun. Aku bisa memotong rumput, mengapur tembok, menyapu halaman, mengangkut air, membersihkan kakus, memandikan kuda..."

   Dari alam bawah sadar Sebun Hiong sudah timbul perasaan akrab terhadap Liu Beng, ingin rasanya Sebun Hiong langsung menjawab untuk menerima Liu Beng di rumahnya.

   Tapi ia ingat bahwa dirinya bukan kepala rumah-tangga, masih ada ayahnya yang ketat dalam menjalankan peraturan keluarga dan pengambllan keputusan.

   "A-beng, akupun tidak berhak memutuskan. Tapi aku mengajakmu ke rumah agar kau bisa mohon sendiri kepada ayah. Akupun senang kalau kau diterima di keluarga kami..."

   "Akupun senang sekali", si gadis Sebun Giok yang sejak tadi bungkam, tiba-tiba ikut bicara sambil tertawa.

   "Aku akan minta kepada ayah agar menerimamu..."

   Liu Jing-yang melirik ke arah gadis itu dengan sepasang alis yang berkerut.

   "Suci (kakak seperguruan perempuan), mudah- mudahan kau benar-benar membutuhkan tukang kebun". Sebun Giok terkikik genit sambil mengulur tangannya untuk mencublt lengan Liu Jing-yang.

   "Sute, begitu gampang kau cemburu, bahkan hanya terhadap seorang kacung?"

   Liu Jing-yang dan Sebun Hiong ikut tertawa pula, begitu pula Liu Beng.

   Tapi dalam hati Liu Beng timbul dugaan bahwa antara Liu Jing-yang dan Sebun Giok ada hubungan yang lebih dari sekedar hubungan antara saudara seperguruan, melihat sikap dan ucapan-ucapan mereka.

   Diam-diam kacung itu berharap mudah-mudahan Liu Jing-yang sudah bisa bersikap lebih menghormat kepada wanita, bukan seperti atas diri Yo Kim-hoa, si gadis penjual kueh ketika masih menjadi tuan muda di Liu-keh-chung dulu.

   Biarpun dulu sering tidak cocok dengan tuan-mudanya ini, toh kini Liu Beng mendoakan kebahagiaan buatnya.

   Maka rombongan itupun melanjutkan perjalan menuju rumah Keluarga Sebun yang tidak jauh lagi.

   Tugu yang menjadi batas tanah milik keluarga Sebun itu sudah terlihat dari kejauhan.

   Sebun Hiong, Liu Jing-yang dan Sebun Giok tetap menunggang kuda, sedang Liu Beng sesuai dengan kedudukannya sebagai kacung Liu Jing-yang tetap berjalan kaki mengiringi mereka bertiga.

   Sekali pernah juga Sebun Hiong menoleh ke belakang sambil bertanya.

   "A beng, kau lelah? Maukah berkuda denganku? Sebelum Liu Beng menjawab, sudah didahului oleh Liu Jing-yang.

   "Suheng nanti debu di pakaian A-beng mengotori pakaian Suheng", Lalu kepada Liu Beng "Kau tidak lelah bukan?"

   Liu Beng menggeleng.

   "Tidak, aku sudah biasa berjalan jauh dengan berjalan kaki saja". Demkianlah, tiga orang muda yang tampan dan cantik serta berpakaian bagus- bagus, berkuda di depan. Di belakangnya melangkah si dekil yang memanggul sepasang tongkat rongsokannya, hanya memandang pantat-pantat kuda di depannya. Ketika tugu batas tanah milik keluarga Sebun baru dilewati beberapa langkah, dan di kejauhan sudah nampak atap puri Keluarga Sebun yang menjulang seperti sebuah pulau di lautan daun hijau, mendadak dari arah belakang kembali terdengar derap kaki kuda, dan suara memanggil-manggil.

   "A-giok! A-giok!"

   Seorang pemuda yang gagah,berpakaian tidak kalah bagusnya dengan pakaian yang dikenakan Sebun Hiong dan Liu Jing-yang, memacu kudanya yang tegar untuk menyusul.

   Ia diiringi empat lelaki kekar yang berpakaian ringkas seperti para piau-su (pengawal perjalanan).

   Semuanya tidak bersenjata, namun sikap mereka bukanlah sikap yang bersahabat.

   Kedua rombongan itu kini sudah berhadapan di tengah jalan.

   Sebun Giok bersikap acuh tak acuh, Liu Jing-yang bersikap dingin mengejek kepada pemuda yng menyusul itu, sedangkan Sebun Hiong tidak memberi kesan apapun.

   Pemuda yang menyusul itu sekejap melirik Liu Jing-yang dengan sikap marah dan benci, namun kemudian perhatiannya lebih ditujukan kepada Sebun Giok.

   Kata-katanya tidak keras namun bernada menuntut.

   "A-giok, sepuluh hari lebih aku berusaha menemuimu, tapi gagal karena kau tidak mau menjumpai aku. Ada apa dengan perubahan sikapmu terhadapku ini? baru saja orang-orangku melaporkan melihat kau berbelanja di kota, tapi kenapa tidak singgah di rumahku seperti biasanya?"

   Sebun Giok diam-diam gembira sekali melihat pemuda itu marah-marah karena cemburu, semakin banyak laki-laki muda yang berhasil dipermainkannya, semakin gembiralah hatinya, karena merasa dirinya semakin "laris".

   Kini ia sengaja membuat pemuda itu semakin naik darah dengan sikapnya yang acuh tak acuh.

   "Kenapa harus menemuimu? Kenapa harus datang ke rumahmu? Aku bebas menentukan ke mana saja hendak pergi."

   "Tapi ....hubungan kita bagaimana?"

   "Hubungan apa? The Kim-hwe, jangan menganggap hubungan kita terlalu bersungguh-sungguh. Aku punya banyak teman lelaki, semuanya sama rata, apakah kau minta diistimewakan?"

   Sisa-sisa ketenangan The Kim-hwe larut, hanyut oleh kemarahannya.

   "Sebun Giok, berarti kau telah mempermainkan aku. Apakah ini gara-gara kedatangan si kunyuk pesolek itu?"

   Ia menyebut "kunyuk pesolek"

   Sambil menudingkan cambuk kudanya ke arah Liu Jing-yang. Sebelum Liu Jing-yang balas mendamprat, Sebun Giok telah mendahuluinya.

   "Kaulah si kunyuk yang tak tahu malu. Kita hanya berteman biasa, dengan hak apa kau hendak mengaturku agar aku menuruti semua kemauanmu? Kau tidak berharga dibandingkan Sute Liu Jing-yang. Dia adalah tuan muda Keluarga Liu yang dihormati di seluruh Lok-yang, sedangkan kau ini apa? Hanya anak majikan sebuah perusahaan an pengawalan kecil seperti Hek-hou Piau-tiam saja berani mengimpikan yang tidak-tidak!"

   Lelaki mana yang tahan "dibanting"

   Harga dirinya secara terang-terangan oleh seorang gadis seperti itu? Apalagi The Kim-hwe pada dasarnya adalah anak manja, anak yang biasa disanjung dan dihormati di Se-shia.

   Ayahnya, The Tek-kong, adalah pemimpin Hek- hou Piau-tiam yang disegani.

   Caci-maki Sebun Giok itu kontan membuatnya lupa diri.

   Tiba-tiba ia melompat turun dari kudanya, dan berseru marah.

   "Bagus, aku memang anak seorang piausu miskin, mana bisa aku bermimpi muluk menjadi menantu Keluarga Sebun yang seperti keluarga dewa- dewa yang turun dari langit? Tetapi apa kelebihan orang she Liu itu daripadaku? Paling- paling hanya ingin mengincar harta benda ayahmu! He, orang she Liu, ayo hadapilah aku kalau berani!"

   Hampir saja Liu Jing-yang melompat turun dari kudanya pula untuk menghajar The Kim-hwe yang tidak dipandangnya sebelah mata. Namun Liu Beng telah mendahului bersikap untuk membela tuan mudanya.

   "Siauya, biarlah aku yang menghadapinya. Sebenarnya, setelah mendengar pertengkaran tadi, Liu Beng dapat menyimpulkan apa yang telah terjadi. Diam- dim ia juga tidak setuju kepada tingkah Sebun Giok yang terlalu genit sehingga membuat pemuda-pemuda jadi baku hantam memperebutkannya. Namun diapun tidak suka sikap The Kim-hwe yang kasar dan mencaci- maki Keluarga Liu tadi, sebab Keluarga itu bagi Liu Beng adalah keluarga yang menghutangkan budi sangat besar terhadapnya. Ia tentu sudah mati kelaparan di pinggir jalan sebagai anak gelandangan, mayatnya akan dikubur begitu saja seperti mengubur mayat kucing atau ayam, seandainya puluhan tahun yang lalu Liu Hok-tong tidak memungutnya dan memeliharanya. Karena itulah Liu beng siap membela cucu penolongnya itu. The Kim-hwe tercengang ketika melihat yang menghadapinya bukan Liu Jing-yang yang dicemburuinya, tetapi seorang pemuda yang tampang dan pakaiannya dekil sekali, memanggul sepasang besi yang pangkalnya dibalut kain-kain gombal beraneka warna.

   "Minggir kau, jembel kotor! Aku menantang Liu Jing-yang dan tidak sudi berurusan denganmu!"

   Bentaknya sambil mendorongkan telapak tangannya ke samping untuk membuat si jembel terjungkal.

   Sebagai anak laki-laki The Tek-kong, dia dididik ilmu silat aliran Siau-lim-pai sejak kecil oleh ayahnya sendiri.

   Dorongan telapak tangannya itu kuat sekali, ia biasa melatihnya dengan mendorong kantong pasir yang setiap kali dltambah isinya sehingga menjadi dua kali lipat berat tubuh lelaki kekar biasa.

   Dalam latihan, The Kim-hwe sanggup mendorong roboh dua orang piausu yang disuruhnya berdiri berdampingan sambil berdiri kuat-kuat.

   Namun kali ini The Kim-hwe terkejut.

   Tubuh Liu Beng seperti sebuah tugu batu yang tidak bergeming sedikitpun oleh dorongannya.

   Malah Liu Beng sempat mengoceh sambil tertawa-tawa.

   "Hem, Liu Siauya sudah menjadi murid Keluarga Sebun dan ilmunya tinggi sekali. Sekali jotos, kau bisa kembali ke Se-shia lewat udara. Karena itu, sebelum menghadapinya dan berharap mengalahkannya, kalahkan aku lebih dulu yang rendah ilmunya". Merasa dipermalukan di depan Sebun Giok, The Kim-hwe tidak sungkan-sungkan lagi, tinju kanan segera menjotos dengan gerakan Hek-hou-tau-sim (macan hitam mencuri hati) ke lambung Liu Beng.Gerakannya cukup mantap, di Hek-hou Piau-tiam tidak sembarangan piausu bisa lawannya. Tapi Liu Beng hanya memiringkan tubuhnya dengan enak, sambil melemparkan sepasang tongkat besinya ke tanah karena lawannya tidak bersenjata. Lalu tangan kiri menangkap lengan lawan dan disentakkan, tanpa ampun lagi The Kim-hwe roboh mencium tanah. Ketika bangkit lagi, hidungnya berdarah karena membentur tanah terlampau keras.

   "Bangsat!"

   Hanya sepatah kata itu yang diteriakkan oleh The Kim-hwe untuk menyatakan kegeramannya.

   Kembali dua tinjunya menjotos serentak dalam gerakan Siang-liong-jut-hai (sepasang naga keluar lautan), disusul tendangan keras ke arah lambung.

   Lagi-lagi pukulan maupun tendangan berhasil dielakkan oleh Liu Beng, bahkan tangannya dengan tangkas menangkap tumit The Kim-hwe yang tengah menendang, lalu dilemparkan ke atas.

   The Kim-hwe terkapar terlelentang denga punggung terasa sakit, kali ini tidak bisa bangkit sendiri dan ia harus dibantu oleh dua orang pengiringnya.

   Mukanya menyeringai sakit tetapi juga karena marah dan malu, seringai campur aduk.

   Melihat cara Liu Beng menghadapi The Kim-hwe, diam-diam Liu Jing-yang dan Sebun Hiong sama-sama heran.

   Gerakan-gerakan Liu Beng tadi adalah gerakan-gerakan sederhana, namun kecepatan dan ketangkasan dalam menggunakan sehingga The Kim-hwe dua kali jungkir balik adalah mengagumkan.

   Liu Jing- yang sudah berpuluh kali melihat kepandaian silat Liu Beng sejak dari Liu-keh-chung dulu.

   The Kim-hwe masih hendak mengamuk, tetapi seekor kuda tegar berderap dari arah kota Se-shia.

   Penunggangnya yanq tegap dan berjubah indah sudah berteriak-teriak dari kejauhan.

   "A-hwe, tahan dirimu!"

   Itulah The Tek-kong, ayah The Kim- hwe, pemimpin pertama Hek-hou Piau-tiam yang berjuluk Keng-thian-it-kun (pukulan tunggal menggetarkan langit). Dengan wajah merah padam The Tek- kong membentak anaknya sendiri.

   "Manusia tak berguna! Membuang tenaga dan pikiran hanya untuk seekor ra....eh, seorang gadis yang tidak mengacuhkanmu!"

   Hampir saja mulut The Tek-kong menyebut Sebun Giok "seekor rase", untung cepat digantinya dengan "seorang gadis"

   Karena bagaimanapun juga masih segan terhadap Keluarga Sebun. Tapi makiannya yang sempat diralat tadi sempat juga membuat kuping Sebun Giok merah karena marah.

   "Kurang ajar sudah tua tapi bermulut kotor", Sebun Giok hendak memajukan kudanya ke arah The Tek-kong, tetapi kakaknya merebut dan menahan kendali kudanya sambil berkata.

   "Jangan kurang ajar, A-Giok! Ingat pesan ayah, setidaknya kita harus memandang wajah Pun-bu Hweshio sebagai sahabat ayah".

   "Tapi tua bangka itu hampir memaki aku sebagai rase, tidakkah tadi Koko mendengarnya?"

   Sahut Sebun Giok penasaran.

   "Dikiranya keluarga Sebun bisa dia hina seenaknya". Sebun Hiong menatap tajam-tajam adik perempuannya dan berkata dengan suara penuh tekanan.

   "Kalau kau tidak ingin dimaki orang, ubahlah sedikit kelakuanmu terhadap teman-teman lelakimu. Kau kira aku dan ayah senang mendengarkan gunjingan orang-orang di Se-shia tentang tindak-tandukmu, puteri keluarga Sebun yang terhormat?"

   Terhadap kakaknya yang senantiasa bersikap angker dan bersungguh-sungguh ini, Sebun Giok memang tak berani membantah dan hanya menundukkan kepalanya sambil memberengut.

   Liu Jing-yang yang mendengarkan perbantahan itu, diam-diam berubah pandangan terhadap Sebun Hiong.

   Sebun Hiong kini mulai dilihatnya sebagai batu penghalang bagi rencananya, mungkin suatu saat kelak harus disingkirkannya.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun ia menyimpan kesan itu jauh-jauh dalam hatinya.

   Sementara itu, The Kim-hwe telah naik kembali ke punggung kudanya.

   Tangannya tak henti-hentinya mengusap-usap hidungnya yang nyeri, atau pakaiannya yang menjadi kotor oleh debu.

   Sedangkan The Tek-kong memberi hormat dengan sikap amat resmi kepada Sebun Hiong, namun suaranya sedingin wajahnya yang tidak menyembunyikan kejengkelannya.

   "Sampaikan salam sejahtera ke hadapan ayahmu, Kongcu. Sudah kulihat sendiri betapa gagah perkasanya sikap orang- orang Keluarga Sebun terhadap orang-orang tak berdaya seperti kami. Hem, benar-benar hebat". Sebun Hiong membalas hormat dan menjawab dengan sopan.

   "Paman The, aku harap peristiwa kecil ini tidak sampai mengganggu hubungan baik kita selama ini sebagai sesama warga Se-shia yang bertetangga".

   "Hem", The Tek-kong cuma mendengus lalu memutar kudanya dan berderap kembali ke kota Se-shia diiringi orang-orangnya.

   "Lihatlah betapa hebat gara-gara yang hendak kau perbuat...."

   Sebun Hiang menoleh kepada adiknya dan berkata dengan nada menegur.

   Adiknya hanya membuang muka.

   Melihat itu, diam-diam Liu Beng timbul rasa sukanya kepada Sebun Hiong, sebaliknya mulai merasa muak terhadap Sebun Giok meskipun gadis itu cantik.

   Mereka melanjutkan perjalanan dan tak lama kemudian tiba di depan puri keluarga Sebun yang memberi kesan mewah, kokoh dan angker.

   Dari atas dinding yang mirip benteng, beberapa pelayan keluarga Liu sudah melihat kedatangan mereka dan bergegas-gegas membukakan pintu gerbang.

   Di belakang pintu gerbang ada sebuah dinding penahan angin, juga penahan pandangan dari luar pintu gerbang agar tidak bisa melihat langsung ke bagian dalam puri itu.

   Dan perasaan Liu Beng bergetar keras ketika melihat pada dinding itu terpahat lukisan besar yang menggambarkan seekor beruang besar sedang berdiri di atas kedua kaki belakangnya, sementara sepasang kaki depannya terangkat tinggi dengan cakar-cakarnya yang terkembang.

   Kesannya gagah sekali.

   Tapi lebih dari itu, lukisan pahatan itu mengingatkan Liu Beng akan kalungnya yang dirampas Majikan Hek-eng-po beberapa hari yang lalu.

   Pada lempengan kalungnya itu juga ada lukisan yang mirip dengan lukisan di dinding itu.

   Melihat Liu Beng mengamat-amati gambar itu, Sebun Hiing berkata.

   "Itu lambang keluarga kami, A-beng."

   "Hebat sekali, Siauya", sahut Liu Beng. Di balik tembok, Liu Beng kagum melihat luas dan rapinya rumah keluarga pendekar itu, bahkan pelayan-pelayan juga bersikap tertib seolah-olah prajurit yang ada di tangsi. Tidak peduli hanya tukang rumput atau tukang sapu. Kepada seorang pelayan, Sebun Hiong menanyakan di mana ayahnya, dan pelayan tu menjawabnya bahwa majikannya ada di kebun bunga. Sebun Hiong segera mengajak Liu Beng menemui ayahnya, sedang Liu Jing-yang dan Sebun Giok memisahkan diri setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada seorang pelayan untuk dibawa ke kandang. Pelayan-pelayan melihat dengan mulut melongo ke arah Sebun Hiong yang bersikap demikian akrab terhadap seorang "gelandangan"

   Yanq memanggul sepasang tongkat besi itu.

   "Apakah rumah majikan kita akan berubah menjadi tempat penampungan para gelandangan?"

   Seorang tukang rumput berbisik kepada rekannya, si tukang sapu.

   "Beberapa saat yang lalu, kita mendapat seorang gelandangan berotak miring, yang setelah sembuh lalu menjad murid Toaya, bahkan mungkin akan menjadi calon menantunya. Kini datang seorang lagi..."

   "Tapi yang ini tidak gila".

   "Memang, tapi baunya luar biasa. Tadi ketika lewat didekatku aku mencium bau badannya. Aku berani bertaruh sebulan gajiku, dia pasti tidak mandi lebih dari tiga hari".

   "Tapi biarlah, semakin banyak teman kita, semakin ringan pekerjaan kita. Akan aku usulkan kepada ciangkui (pengurus rumah tangga) agar pegawai baru itu diberikan tugas membersihkan kakus-kakus. Cocok dengan baunya...."

   "...dan cocok pula dengan rambutnya yang seperti sikat pembersih kakus. .."

   Sebun Him sedang duduk merenung di sebuah pondok kecil tak berdinding, hanya berpagar setinggi perut, yang letaknya seperti sebuah pulau kecil di tengah-tengah sebuah kolam pohon teratai yang luas, dihuni ratusan ikan dan puluhan burung wan-yoh yang hilir mudik di kolam dengan riangnya.

   Ia menengok ketika mendengar langkah-langkah kaki menapak di jembatan kayu bercat merah yang menghubungkan pulau kecil itu dengan tepi kolam.

   Dilihatnya anak laki-lakinya datang diiringi Liu Beng.

   Komentar si tukang rumput tadi tidak keliru, bau badan Liu Beng sudah tercium dari jarak beberapa langkah, sayup-sayup terbawa angin memasuki hidung Sebun Him.

   Bau ini salah satu penyebab sehingga ia menoleh.

   "Ayah..."

   Sebun Hiong menyapa. Sedang Liu Beng tanpa disuruh sudah berlutut.

   "Toaya..."

   Liu Beng sudah memperhitungkan bahwa Sebun Him sebagai seorang tuan besar yang kaya raya dan pendekar terkenal dunia persilatan tentu akan bersikap angker.

   Tapi perhitungannya keliru.

   Melihat Liu Beng, Sebun Him malah menunjukkan sikap agak kaget, dan sinar matanya kelihatan aneh sekali ketika menatap Liu Beng.

   Satu hal yang pasti, sinar mata itu tidak menunjukkan pemusuhan, atau kebencian, atau memandang rendah.

   Sebaliknya malah memancarkan kehangatan, kasih-sayang, bahkan kelihatan agak terharu juga.

   Ini sangat mengherankan Liu Beng, sebab rasanya baru sekali ini ia bertemu dengan pendekar terkenal di Siam-sai ini.

   Sebun Hiong sendiri merasa sikap ayahnya agak luar biasa.

   Namun ia bukan cuma heran terhadap ayahnya, tapi juga kepada dirinya sendiri.

   Kenapa diapun merasa Liu Beng lain daripada yang lain? Kenapa diapun merasa ikut senang ketika melihat ayahnya bersikap demikian kepada Liu Beng? Pengaruh aneh apa yang mempengaruhi diri ayahnya dan dirinya sendiri? Apakah Liu Beng ini punya guna-guna untuk memikat orang agar merasa senang kepadanya? Sebun Hiong tiba-tiba merasakan bahwa Liu Beng ini jauh lebih menyenangkan hatinya dibandingkan Liu Jing-yang yang menjadi adik- seperguruannya, entah kenapa.

   Rasanya hubungan antara dirinya dengan Liu Beng begitu dekat.

   "Ayah, A-beng ini adalah bekas kacung Liu Sute ketika masih di Liu-keh-chung dulu. Kami bertemu secara kebetulan ketika dalam perjalanan pulang belanja dari Se-shia. Kalau ayah tidak berkeberatan, A-beng ingin bekerja di tempat kita untuk mendampingi Liu Sute sebagai bekas tuan-mudanya...."

   "Tentu, aku tidak keberatan", jawaban Sebun Him serta merta, mengagetkan Sebun Hiong. Biasanya ayahnya sangat berbelit-belit ketika menerima pegawai baru, namun sikap ayahnya kali ini memang luar biasa.

   "A-beng, kau boleh bekerja di sini"

   "Terima kasih, Toaya", sahut Liu Beng kegirangan, tidak menduga kalau semuanya berlangsung semudah itu, padahal Pakkiong Eng pernah menceritakan betapa ketat dan angkernya Keluarga Sebun ini.

   "Aku akan bekerja dengan baik, Toaya. Aku memotong rumput, memandikan kuda, membersihkan kakus, memasak dan...."

   "Tidak, kau tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar itu,"

   Sebun Him menukas.

   "Kau akan menduduki jabatan Huciangkui (wakil pemimpin urusan rumah tangga), kerjamu hanya mengawasi pegawai- pegawai lainnya. Gajimu duapuluh tahil sebulan..."

   Keruan Liu beng mencapai puncak keheranannya sampai mulutnya melongo lebar. Ia baru tersentak dari lamunannya ketika Sebun Hiong menepuk pundaknya.

   "A-beng, selamat."

   "Tetapi...tetapi...aku hanya...kacung biasa..."

   Katanya tergagap-gagap.

   "Aku ...terlalu berat menerima kehormatan setinggi itu". Sebun Him berkata sambil tertawa.

   "

   Aku memang harus menghargaimu lebih dari pegawai-pegawai lainnya.

   Aku sudah mendengar kabar di luaran, bagaimana berani dan setianya kau ketika membela Liu-keh- chung.

   Apalagi sekarang kau adalah anak- angkat Cui-poan-siang (si gajah gemuk pemabuk) Hong Thai-pa..."

   Berucap sampai sekian, Sebun Him tiba-tiba sadar bahwa ia sudah terlanjur jauh, namun kata-kata sudah terlanjur meluncur keluar dan tak mungkin disedot kembali ke dalam mulut.

   "Eh, jadi Toaya sudah tahu bahwa aku dalah anak-angkat beliau...?"

   "Eh...ya, hm, aku...aku mendengar berita di luaran tentang itu...."

   Sahut si Majikan keluarga Sebun itu agak terbata-bata.

   Liu Beng heran.

   Tentang dia mengangkat ayah kepada Hong Thai-pa itu, rasanya yang mengetahui peristiwa itu baru Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng, belum ada orang ketiga, kenapa Sebun Him sudah tahu? Apakah barangkali Sebun Him sudah bertemu dengan ayah-angkatnya, entah kapan dan dimana, karena sang ayah-angkat itu juga seorang pendekar yang terkenal di wilayah timur? Kalau begitu, tidak mengherankan kalau sikap Sebun Him terhadap dirinya begitu baiknya...

   Sebagai seorang yang berpikiran polos, apa yang terpikir di benaknya langsung dikatakannya terang-terangan.

   "Toaya, apakah toaya sudah bertemu dengan Gihu (ayah- angkat)? Sebab hampir belum ada yang ku beritahu tentang pengangkatan ayah itu?"

   Sebun Him mengibaskan tangannya, tidak mau menghiraukan pertanyaan itu. Sedangkan Sebun Hiong berkata dengan bersemangat.

   "Bagus kalau A-beng murid pendekar dari Thai-san itu, aku akan mempunyai kawan latihan yang memadai. Sejak Pakkiong Eng pergi dari sini, tidak ada lawan latihan yang memadai. Liu Sute dan A- Giok lebih suka bertamasya ambil berpacaran...

   "

   Sebun Him tertawa.

   "A-hiong, kau pergi panggil Ho Ciangkui kemari. A-Beng, duduklah di sini untuk berbicara sebentar dengan aku".

   "Ah, mana berani aku duduk sama tinggi dengan toaya..."

   "Aku yang memerintahkan, duduklah..."

   Terpaksa dengan sikap yang agak canggung, Liu Beng duduk pula. Apa yang dialaminya hari itu rasanya seperti mimpi saja, namun mimpi yang menyenangkan. Sementara Sebun Hiong sudah melangkah pergi untuk menjalankan perintah ayahnya.

   "Liu Beng, apakah kau benar-benar she Liu?"

   Itulah pertanyaan Sebun Him yang pertama kepada pemuda dekil di hadapannya, sementara matanya dengan lembut tak henti- hentinya memandang wajah Liu Beng. Liu Beng menarik napas.

   "Orang yang tidak tahu siapa ayahnya seperti aku bisa punya she? She Liu kupakai karena itulah she seorang yang menolongku dari kedinginan dan kelaparan ketika aku menjadi gelandangan cilik yang hampir mati di pinggir jalan, sesaat setelah ibuku dikuburkan."

   Hati Sebun Him tertusuk mendengar itu, suaranya agak bergetar.

   "Kau...kau pernah menderita sehebat itu?"

   "Ah, itu kisah masa lalu yang tidak ada gunanya diceritakan, membuat Toaya merasa ikut sedih pula. Toh kemudi aku hidup berkecukupan di Liu-keh Chang,. meskipun hanya menjadi kacung. Loya Liu Hok-tong yang menolongku itu bersikap sangat baik kepadaku. Sayang..."

   Terdengar gigi Liu Beng gemeretakan, gemeretak pula ruas-ruas tinjunya yang dikepalkan erat-erat.

   "...sayang sekali, Loya yang begitu baik terhadapku dlbantai oleh orang-orang Hek-eng-po dan aku terlalu tidak becus untuk membelanya. Salah satu cita- citaku saat ini adalah menghancurkan Hek- eng-po dan melihat mayat Majikan Hek-eng-po tercincang hancur..."

   Hati Sebun Him tergetar, lalu ia menarik napas beberapa kali untuk meredakan gejolak hatinya.

   "Cita-cita yang hebat, Liu Beng. Menghancurkan Hek-eng-po juga menjadi cita- cita Keluarga Sebun kami, sebagai benteng kaum ksatria di Siam-sai ini. Aku akan membantumu kelak.

   "

   Omong-omong soal Majikan Hek-eng- po, Liu Beng jadi teringat pesan Pakkiong Eng yang dititipkan kepadanya untuk disampaikan kepada Sebun Him.

   Tangannya merogoh bajunya dan mengeluaran kitab catatannya yang terdiri dari bungkus-bungkus makanan yang dijahit secara kasar.

   Dibacanya pesan Pakkiong Eng yang tertulis di buku catatannya itu.

   "Eh, apa itu?"

   Tanya Sebun Him heran. Samar-samar tercium bau campuran dari kuweh kacang, bakpao isi babi dan arak dari arah buku di tangan Liu Beng tersebut. Dengan agak tersipu Liu Beng kembali menyimpan bukunya, dan berkata.

   "Toaya, aku membawa pesan dari seseorang untuk disampaikan kepada Toaya".

   "Dari siapa, dan apa isi pesannya?"

   "Dari nona Pakkiong Eng yang katanya pernah ada di rumah ini selama beberapa hari. Tentang Majikan Hek-eng-po, nona Pakkiong Eng berpesan bahwa misteri yang menyingkap pribadi Majikan Hek-eng-po itu sudah sedikit tersingkap dan Toaya harus diberitahu agar waspada..."

   Hampir saja Sebun Him terlempar dari kursinya ketika mendengar kalimat "misteri sudah agak tersingkap"

   Itu.

   "Apa saja yang dikatakan Pakkiong Eng kepadamu?"

   "Toaya agaknya begitu membenci Hek- eng-po, lihat saja sikapnya yang begitu bernafsu ketika mendengar pesan ini", pikir Liu Beng ketika melihat sikap Sebun Him. Katanya.

   "Menurut dugaan nona Pakkiong Eng, jejak Hek-eng-po mungkin bisa ditelusuri dari Toko kain Hin-seng di jalan raya Pak-toa-kai, kota Se-shia. Toaya harus waspada karena kota Se- shia berada tepat di depan hidung kita".

   "Hanya itu?"

   "Ya, hanya itu. Tapi petunjuk yang lumayan bukan? Daripada kita terus-teusan dibingungkan oleh ulah Majikan Hek-eng-po yang seperti hantu itu". Sebun Him mengendorkan kembali oot- ototnya yang tegang dan menyandaran punggungnya ke sandaran kursi.

   "Damana Pakkiong Eng bisa tahu hal itu?"

   Tanyanya.

   "Beberapa hari yang lalu, pada suatu malam. aku kebetulan memergoki nona Pakkiong dan seorang pemuda temannya, yang ternyata adalah anak laki-laki Pangcu Hwe- liong-pang, tengah mengeroyok seorang berjubah hitam yang bukan lain dari Majikan Hek-eng-po. Tanpa pikir panjang aku ikut bertempur dan Majikan Hek-eng-po berhasil dipukul mundur oleh kami bertiga, tapi kalung peninggalan ibuku berhasil dirampas oleh iblis keparat itu..."

   "Jangan bersedih, aku berjanji kepadamu, A-beng. Dalam waktu kurang dari lima hari, akan kucari Majikan Hek-eng-po, dan aku rebutkan kembali kalung itu untukmu. Teruskan ceritamu tadi".

   "Ah, hanya seuntai kalung besi bertali rami yang tidak ada harganya dibandingkan tenaga Toaya untuk merampasnya kembali, aku tidak berani menyusahkan Toaya. Eh, ceritaku tadi sampai pada..."

   "...kalian bertiga melawan Majikan Hek- eng-po".

   "Ya, tepat. Di dalam rumah itu ada sesosok mayat, seorang anggota berkedudukan tinggi dari Hwe-liong-pang yang katanya tewas di tangan Majikan Hek-eng-po, agaknya tewasnya orang itulah yang membuat Tong Gin-yan bertempur kalap ketika menghadapi Majikan Hek-eng-po.... Eh, ceritaku menyeleweng lagi.... Di dalam genggaman mayat yang kuketahui bernama Lu Hian-to itu ada secarik kain hitam, diduga sobekan ujung jubah Majikan Hek-eng-po yang juga serba hitam. Nah, pada carikan kain itulah tertera nama toko kain itu..."

   Sebun Him tertawa mendengar penuturan itu.

   "Pakkiong Eng itu biarpun cerdik, tapi masih kurang pengalaman dan agak kekanak-kanakan. Hanya secarik kain saja mana bisa dia menganggap seolah-olah sudah berhasil menemukan jejak Majikan Hek- eng-po? Toko Hin-seng di Se-shia adalah toko besar, setiap hari ratusan pembeli keluar masuk di toko tersebut utuk membeli kain, mungkinkah kita bisa menemukan Majikan Hek-eng-po dengan menyelidiki begitu banyak orang?"

   "Tapi kain warna hitam adalah kain yang jarang dibeli orang karena warnanya yang tidak menarik. Mungkin penyedikan bisa lebih terarah..."

   Diam-diam Sebun Him membatin, meskipun Liu Beng nampaknya lugu dan polos, tetapi bukannya bodoh. Sebun Him rara haruslah cukup berhati-hati untuk mengucapkan setiap patah kata di depan kacung barunya itu...

   "Ya, tentu saja aku akan tetap menyelidiki petunjuk yang bagaimanapun lemahnya. Eh, tadi kau bilang bahwa ada anggota tingkat tinggi Hwe-liong-pang yang tewas dibunuh Majikan Hek-eng-po, apakah pertentangan terbuka antara kedua kelompok itu sudah mulai?"

   "Entahlah, Toaya. Tapi melihat sikap Tong Gin-yan begitu geram atas kematian Lu Hian-to, nampaknya Hwe-liong-pang bisa lebih dulu mengobarkan pertentangan terbuka dengan Hek-eng-po. Syukur kalau begitu, biar iblis-iblis Hek-eng-po tahu bahwa masih ada kekuatan yang berani membendung nafsu angkara murka mereka. Dan itu bukankah berarti Hwe-liong-pang adalah sekutu kita?"

   "Hem....ya, begitulah. Tapi adalah lebih baik kalau antara Hwe-liong-Pang dengan Keluarga Sebun bisa bertindak dalam satu rencana yang terpadu. bukan bertindak sendiri-sendiri. Tentu hal ini akan lebih mempercepat kehancuran Hek-eng-po. Kau sependapat, A-beng?"

   Liu Beng merasa mendapat kehormatan besar, bahwa dia seorang kacung yanq baru diterima belum ada sejam yang lalu, kini telah dimintai pendapat oleh pendekar besar yang terkenal untuk sebuah urusan besar. Diapun menjawab.

   "Benar, semua kekuatan putih di dunia persilatan harus menyatukan langkah menghantam Hek-eng- po, Toaya benar-benar berpikiran luas".

   "Bagus kalau kau sependapat. Kelak kalau kau bertemu lagi dengan sahabatmu dari Hwe-liong-pang itu,tanyakan kepadanya tentang langkah-langkah yang hendak diambil oleh pihak Hwe-liong-pang, sia-sia saja orang- orang Hwe-liong-pang yang sudah berhasil menyusup masuk menjadi orang Hek-eng- po,agar Keluarga Sebun dapat membantu sekuat tenaga kepada gebrakan Hwe-liong- pang itu. Kau paham?"

   "Paham sekali, Toaya,"

   Sahut Liu Beng bersemangat. Semangatnya berkobar-kobar karena dirinya termasuk dalam barisan yang akan menumpas Hek-eng-po.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hari-hari akhir gerombolan iblis itu sudah dekat. Siapa suruh mereka begitu sewenang-wenang bertindak terhadap orang lain?"

   Sebun Him membiarkan saja kacung barunya itu tetap dalam keadaan demikian.

   Sementara itu, Sebun Hiong telah melangkah datang kembali dengan diiringi Ciangkui she Ho.

   Seorang lelak kurus kecil dengan muka lancip sepert tikus, berkumis tikus pula.

   Begitu mirip tikus tampangnya, sehingga pegawai- pegawai lainnya sering mencemaska nyawanya jika ada kucing berjalan-jalan di dekat Ho Ciangkui...

   "Ayah, Ho Ciangkui. ..."

   Kemudian mata tikus Ho Ciangkui yang hanya setitik kecil itu membesar empat kali lipat karena herannya melihat majikannya duduk sederajat denga seorang pemuda kotor mirip gelandangan.

   Bahkan bercakap-cakap dengan ramahnya.

   Hampir saja Ho Ciangkui bergabung dengan bebek-bebek dan ikan-ikan di kolam teratai karena kagetnya.

   "Toaya memanggil aku?"

   Tanya Ho Ciangkui, sementara matanya tak berkedip menatap Liu Beng yang nampak bagaikan makhluk aneh dari dunia lain.

   Mencoba mencari kelebihan apa yang ada pada diri Liu Beng sehingga mendapat kehormatan sebesar itu, yang belum pernah dialami oleh Ho Ciangkui sendiri.

   Mata tikusnya tak berhasil menemukan kelebihan apapun, tapi panca inderanya yang lain, hidungnya, berhasil menemukannya.

   Bau campur aduk, agaknya hanya "kelebihan"

   Itu yang berhasil ditemukan. Sebun Him mencoba meredakan keheranan Ho Ciangkui.

   "Ho Kian, aku perkenalkan Liu Beng, murid dan anak-angkat Hong Thai-pa, pendekar dari timur. Ia akan menjadi wakil Ciangkui, mudah-mudahan kau bisa bekerja sama dengan baik dengannya untuk mengawasi kerja pegawai-pegawai kita".

   "Baik, Toaya...."

   Tadi Sebun Him sengaja tidak menyertakan "pangkat"

   Liu Beng sebagai bekas kacung Liu Jing-yang di Liu-keh-chung, untuk sedikit mengangkat Liu Beng di mata Ho Ciangkui yang nama aslinya Ho kian itu. Lalu Sebun Him berkata lagi.

   "Liu Beng akan mendapat dua puluh tahil sebulan, mulai bulan ini juga. Empat potong pakaian yang pantas untuk kedudukannya sebagai Huciangkui setiap bulan dan makan bebas meminta kepada pengurus dapur. Apapun dimintanya, usahakan tersedia...

   "

   Justru Liu Beng sendiri yang merasa tidak enak dengan sambutan yang berlebihan itu.

   "Toaya, soal makan, aku sudah biasa makan apa saja asal kenyang. Biarlah jatah makanku sama dengan pegawai-pegawai lainnya saja..."

   "Tidak, ini keputusanku ", sahut Sebun Him yang ingin menyenangkan Liu Beng. Kepada Ho Kian ia melanjutkan perintah- perintahnya.

   "Suruh orang membersihkan salah satu ruang di sayap utara untuk menjadi tempat tinggalnya, dan dalam waktu dua hari, semua pegawai di lingkungan rumah ini harus sudah mengenal Liu Beng dan tahu bagaimana kedudukannya..."

   "Baik, baik, Toaya", Ho Kian mengangguk-angguk berulang kali, namun mencaci-maki dalam hatinya.

   "Maknya, untuk mencapai kedudukan seperti itu, dulu aku harus mengabdi limabelas tahun lebih. Sekarang tikus selokan ini mendapatkannya hanya dalam satu hari saja ..."

   Sementara si "tikus"

   Selokan Liu Beng telah memberi hormat kepada Ho Kian.

   "Aku harap Ciangkui tidak keberatan bekerja-sama denganku. Mudah-mudahn aku bisa membantu..,"

   Ho Kian membalas hormat.

   "Tentu saja, saudara Liu, tenagamu tentu akan sangat berharga".

   "Nampaknya kalian berdua langsung merasa cocok satu sama lain", kata Sebun Him gembira.

   "Nah, Ho Kian, apa yang sudah kau persiapkan untuk rekan barumu ini?"

   "Aku pikir...saudara Liu ini perlu air hangat, sikat, sabun, pisau cukur dan mungkin sedikit pewangi.."

   Sebun Him dan Sebun Hiong tersenyum mendengar itu, sedang Liu Beng menyeringai agak tersipu-sipu, namun ia tidak marah karena menganggap Ho Kian berkelakar saja.

   "Maafkan aku, Toaya dan Siauya, begitu tegesa-gesa tadi aku ingin menemui kalian sehingga lupa memperhatikan penampilanku yang pantas". Kemudian Liu Beng diantarkan oleh Ho Kian ke ruangan yang bakal ditempatinya. Ia sudah berkali-kali kaget sehingga kini tidak kaget lagi melihat bahwa dirinya mendapat ruangan yang begitu besar dan nyaman. Di Liu-keh-chung dulu, ruang sebesar itu hanya ada tiga, ditempati Liu Goan, Liu Seng dan Liu Jing-yang. Kini, Liu Beng mendapatkannya pula.

   "Ini tempatmu, saudara Liu", kata Ho Kian.

   "Terlalu besar dan bagus untukku, di Liu-keh-chung dulu aku hanya menempati..."

   "Ah, dulu di Liu-keh-chung saudara hanyalah ka...eh, pegawai biasa. Di sini kau adalah Huciangkui dari sebuah keluarga yang jauh lebih besar dari Liu-keh-chung".

   "Betul juga, Sebun Toaya menanam teralu banyak kebaikan kepada diriku."

   "Karena itu, kita semua harus menunjang Toaya mencapai cita-cita besarnya!"

   "Cita-cita besar?"

   "Ah, sudahlah, Iupakan saja. Mulutku tadi terlanjur omong yang bukan-bukan. Nah, saudara Liu, air mandimu sudah datang berikut pelayan-pelayan yang akan melayanimu..."

   Liu Beng merasa sangat canggung, sebab dua orang yang akan melayaninya mandi itu adalah pelayan-pelayan perempuan muda semua.

   Dua orang lelaki menggotong sebuah tahang besar berisi air hangat dan Liu Beng tahu bahwa ia harus mandi dengan "gaya tuan besar"

   Alias mencebur ke dalam tong besar itu. Satu pelayan lagi memegang baki besar dengan pakaian bersih, handuk sabun, sikat, pisau cukur dan perlengkapan Iain yang malahan membuat Liu Beng berkunang-kunang matanya.

   "Letakkan saja di situ". Liu Beng menunjuk ke dalam kamarnya.

   "Aku biasa mandi ...sendiri..."

   "Perintah Toaya, kami berdua harus melayani Huciangkui", sahut dua pelaya wanita itu dengan hormat. Liu Beng benar-benar kebingungan. Di Liu-keh-chung dulu juga ada Huciangkui, namun tidak seperti ini, dan ia tidak pernah menduga akan diperlakukan seperti itu.

   "Paman Ho, ba bagaimana ini sebaiknya?"

   Ia berkata kepada Ho Kian dengan nada seorang pesakitan yang menghadapi tiang gantungan. Ho Kian menyeringai.

   "Jangan gugup dan jangan menolak penghargaan yang diberikan oleh Toaya kepadamu. Biasa-biasa saja, saudara Liu, itu kehormatan bagimu."

   Liu Beng tidak bisa mengelak lagi.

   Maka tong air hangat itu digotong masuk, Liu beng segera mencopot semua pakaiannya dan mencebur masuk ke dalam tong, namun celana pendeknya, satu-sanya pakaian yang masih melekat di tubuhnya, tidak dilepaskannya melainkan dibawa mencebur sekalian.

   "Tidakkah celana pendek itu dilepas sekalian, Huciangkui?"

   Tanya seorang pelayan tanpa kikuk, sebab ia sudah biasa melayani Sebun Hiong dan Liu Jing-yang mandi.

   "Ti...tidak usah..." 'sahut Liu Beng kuatir kalau celana pendeknya dilepas sekalian, maka makhluk kecil penghuni celananya itu akan menjadi liar dan menuntut yang bukan- bukan, sebab di hadapannya ada dua gadis cantik yang juga sudah melepaskan pakaian luarnya agar tidak basah, sehingga merekapun tinggal mengenakan baju dan celana pendek yang memperlihatkan lengan paha mereka yang putih halus. Liu Beng lebih suka memejamkan matanya dan membayangkan wajah Lo-san su-koai yang seram-seram itu, untuk mengalihkan pikirannya. Lalu ia merasakan tangan gadis-gadis pelayan itu menggerayangi seluruh tubuhnya. Mengeramasi rambutnya, mencukur jenggotnya yang seperti sikat kakus, merontokkan daki di seluruh permukaan kulitnya yang cukup untuk dijadikan pupuk pengisi sebuah pot bunga. Dan ia menjadi tegang ketika tangan salah seorang pelayan itu menggosok kulit perutnya, semakin ke bawah mendekati "daerah bahaya"

   Sampai terdengar Liu Beng memerintah.

   "Cukup, seterusnya biar olehku sendiri saja..." **OZ** Bersambung ke

   Jilid 20 Pojok Dukuh, 10-10-2018; 23.45 WIB TEROR ELANG HITAM Karya.STEVANUS, S.P.

   Jilid 20 KEDUA gadis itu tanpa diketahui Liu Beng telah saling bertukar pandangan dan menahan tertawa mereka.

   Tapi merekapun melanjutkan tugas menggosok kulit Liu Beng di bagian-bagian yang tidak dilarang.

   Tak pernah terpikirkan oleh Liu Beng bahwa mandi saja begitu tegang dan menggelisahkan, meskipun tubuhnya merasa segar juga ketika merasa hawa hangat menembus segenap pori-pori tubuhnya.

   Tapi acara yang menggelisahkan itupun akhirnya selesai juga.

   Air dalam tong yang tadinya jernih itu ketika ditinggalkan Liu Beng menjadl mirip tempat pemeliharaan belut.

   "Kalian keluarlah dulu,"

   Perintah Liu Beng.

   "Kami akan membantu Huciangkui berganti pakaian..."

   "Tidak usah. Suruh saja orang untuk mengeluarkan tong ini dan siapkan makanan."

   Dengan gerakan yang jauh lebih cepat dari gerakannya ketika bertempur dengan Majikan Hek-eng-po dulu, Li Beng menyambar tumpukan pakaian dan handuk bersih, lalu menyelinap ke belakang sekesel yang terbuat dari kertas berhiaskan lukisan bunga-bungaan.

   Kedua pelayan itupun mengenakan pakaian luar masing-masing untuk menjalankan perintah si Huciangkui.

   Dua pelayan lelaki dipanggil untuk menggotong keluar "tempat pemeliharaan belut"

   Itu. Ketika salah seorang pelayan perempuan melihat tumpukan pakaian lama Liu Beng yang mirip setumpukan lap, ia berseru ke balik sekesel.

   "Huciangkui..."

   "Ada apa?"

   Sahut Liu Beng sambil melangkah keluar dari balik sekesel karena sudah selesai berpakaian.

   Pelayan yang memanggil-manggil itu kontan melongo kaget ketika melihat yang keluar dari balik sekesel itu bukan lagi seorang gelandangan dekil, namun seorang pemuda yang tampan meskipun pakaiannya sederhana.

   Malah beberapa bagian ada miripnya dengan Sebun Hiong, hanya Liu Beng kelihatan lebih tua dua tiga tahun, kulitnya lebih gelap karena lebih sering terkena sinar matahari.

   Seandainya diberi pakaian sebagus Sebun Hiong atau Liu Jing-yang, agaknya Liu Beng tidak akan kalah penampilan dari keduanya.

   "Apa yang kau lihat?"

   Liu Beng menegur si gadis pelayan yang masih melongo. Gadis pelayan itu menundukkan kepala dengan wajah merah, sahutnya tergagap.

   "Huciangkui, ba...bagaimana dengan pakaian lama Huciangkui itu? Apakah akan dicuci kembali atau dibuang saja?"

   "Dicuci dulu, digunting pada bagian- bagian yang masih baik untuk disimpan kalau- kalau kelak masih bisa dipergunakan biarpun hanya sebagai lap". Gadis itu diam-diam menggerutu dalam hati, alangkah pelitnya si Huciangkui baru ini, sampai pakaian rongsokan pun harus dicuci dan dipilihi bagian-bagiannya yang terbaik. Tetapi kalau menilik latar belakang kehidupan Liu Beng yang sudah terbiasa serba hemat dan sederhana, sikap itu wajar saja. Namun karena enggan disuruh mencuci, gadis itu menjawab.

   "Sudah tidak ada bagian yang baik, Huciangkui....."

   Jawaban itu seolah peringatan halus kepada Liu Beng akan kedudukannya saat itu, sehingga mukanya pun menjadi merah.

   "Kalau begitu, buang saja ke sungai..."

   "Baik", sahut si gadis pelayan dengan hormat. Dalam hatinya meneruskan.

   "Jangan ke sungai, Huciangkui, nanti ikan-ikan keracunan semua dan kasiha para pencari ikan..."

   Ketika Liu Beng tidak melihatnya, pelayan itu menggunakan sepotong dahar untuk menyungkit dan membawa pakaian lama itu ke tempat pembakaran.

   Ia memperabukan baju pusaka itu.

   Hari itu dihabiskan oleh Liu Beng dengan makan enak, mengenali para peqawai Keluarga Sebun yang berjumlah puluhan orang dan mengetahui tugas mereka masing-masing.

   Semua pegawai membungkuk hormat setiap kali berpapasan dengan si Huciangkui baru itu.

   Liu Beng lalu tahu pula bahwa kedua gadis yang akan membantunya mengurus diri itu bernama A-cui dan A-loan.

   Tugas mereka berdua khusus mengurus diri Huciangkui dari soal makan, pakaian dan lain-lainnya.

   Hanya saja Liu Beng masih meraba-raba sampai di mana batas pengertian "dan lain-lainnya"

   Itu. Malam harinya, ketika Liu Beng hendak masuk tidur, barulah ia tahu bahwa pengertian "dan lain-lainnya"

   Itu benar-benar "tak terbatas"

   Untuk diri kedua pelayan perempuan itu.

   Tetapi Liu Beng tidak mau dilayani sampai ke situ.

   Ia ingat riwayat dirinya sebagai seoang anak tak berbapak yang sudah kenyang hinaan dan penderitaan, dan ia tidak ingin memperbanyak jumlah manusia-manusia tak berbapak semacam dirinya di masa mendatang.

   Ia katakan hal itu terang-terang kepada A-cui dan A-loan.

   Mendengar itu, kedua gadis pelayan itu bersujud tulus dengan mata yang memancarkan rasa terima kasih.

   Keduanya merasa diri mereka diperlakukan sebagai manusia seutuhnya oleh Liu Beng yang sebenarnya punya kekuasaan mutlak atas diri mereka, budak-budak belian yang dibeli dari orang tua mereka yang miskin sejak kecil.

   Malamnya, untuk pertama kali dalam hidupnya, Liu Beng tidur di atas kasur yang empuk dan hangat, berkelambu pula.

   Sebelum meninggalkan ruangan, A-ciu sempat menyulut sebatang dupa harum di sudut ruangan untuk pengusir nyamuk, sedang A-loan menyelimutkan selimut ke tubuh Liu Beng.

   "Terima kasih untuk kalian berdua", kata Liu Beng.

   "Selamat malam, Huciangkui", A-cui dan A-loan membungkuk hormat dan meninggalkan ruangan dengan langkah lembut. Liu Beng tidak bisa segera tidur. Perubahan yang dialaminya hari itu benar- benar di luar dugaannya. Kemarin malam dia masih tidur meringkuk di sebuah pasar di kota Se-shia, berdekatan dengan tumpukan keranjang ikan asin, semalam suntuk tidurnya terganggu oleh nyamuk-nyamuk yang ganas dan kucing-kucing yang senantiasa gaduh. Siangnya berjalan. bertemu Liu Jinqlg-yang dan dibawa ke rumah Keluarga Sebun, dan malam ini ia sudah menjadi Huciangkui yang bahkan punya dua pelayan pribadi yang cantik- cantik. Sulit dipercaya, tapi kenyataan.

   "Seandainya A-cui dan A-loan melihatku ketika masih di pinggir jalan dengan baju rombeng, tentu mereka akan meludahi aku,"

   Katanya dalam hati, lalu dibantahnya sendiri.

   "Ah, tidak. Mereka gadis-gadis yang baik, akupun harus memperlakukan baik kepada mereka". Ya, putaran nasib orang siapa tahu? pikirnya. Tetapi mengingat ibunya yang mengakhiri hidup dalam kemiskinan, dia menarik napas. Alangkah senangnya kalau dia sempat berbagi kesenangan hidup dengan ibunya, alangkah puas.

   "Selamat malam, lbu....."

   Ia berbicara sendiri sambil menengadah, seolah ibunya ada di atas kepalanya dan sedang membelai kepalanya seperti ketika ia masih bocah dulu.

   Ditariknya selimut dan diapun mulai pulas dipeluk kehangatan.

   Ia benar-benar bermimpi bertemu ibunya, bercakap-cakap, makan bersama, dibelai-belai, hanya saja wajah ibunya dia sudah lama lupa sehingga begitu kabur wajah perempuan yang muncul dalam mimpinya itu.

   


Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Pendekar Cacad Karya Gu Long

Cari Blog Ini