Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 14


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 14



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   Di luar jendela, Sebun Him tersenyum puas sambil mengangguk-angguk sendirian. Senyumannya sama dengan senyum anak yang sedang bersembunyi dalam permainan petak-umpet, ketika kawannya yang sedang "dihukum"

   Mencari teman-temannya ternyata tidak "menembak"nya meskipun lewat dekat persembunyiannya, karena tidak tahu. Tapi di meja, Tong Gin-yan menulis.

   "Hek-eng Pocu dan Paman Sebun muncul berbareng di kampung Liong-coan dengan peranannya masing-masing, yang satu sebagai iblis jahat dan lainnya sebagai dewa sakti penolong, aneh tidak? Bukan hanya menguber kita, tapi agaknya punya maksud tertentu kepada kampung Liong-coan."

   "Maksud apa?"

   Tulis Pakkiong Eng.

   "Belum tahu, masih harus diselidiki. Orang-orang bawahan Hek-eng Pocu sendiripun belum tahu apa maksudnya."

   "Apa Bhe Kausu perlu diberi tahu?"

   "Jangan dulu, cukup kita berdua saja dulu. Bhe Un-liang terlalu jujur dan polos untuk menerima pemikiran yang berbelit-belit, apalagi menyangkut kakak seperguruannya sendiri."

   Pakkiong Eng termangu-mangu tak menjawab lagi, ia tidak siap mendengar tentang hal itu.

   Tidak siap pula mencurigai Sebun Him, apalagi karena anak Sebun Him, Sebun Hiong, pernah berterus-terang mencintainya.

   Tapi melihat sikap Tong Gin-yan yang bersungguh-sungguh, ia tahu bahwa dugaan kekasihnya itu tentu didasari petunjuk- petunjuk yang kuat.

   Mungkin Tong Gin-yan bisa saja salah tafsir, tetapi jelas tidak mungkin dengan sengaja memfitnah Sebun Him yang menjadi sahabat baik ayah Tong Gin- yan.

   Sementara itu, di dekat jendela Sebun Him yang terus menguping itupun merasa sangat aman, karena dari dalam kamar tidak terjadi "pembicaraan yang berbahaya"

   Buat rencana-rencananya selama ini.

   Kedua anak muda itu hanya bicara soal-soal sepele yanq tak perlu di dengarkan lagi, perlahan-lahan diapun menjauhi jendela dengan langkah tak bersuara.

   Ia kuatir nanti ada yang melihat tingkahnya yang seperti maling itu....

   Di kamar depan, pengalaman Bhe Un- liang lain lagi.

   Baru saja ia duduk di kursi panjang dan menjangkau pipa tembakaunya, tiba-tiba seorang muridnya datang melapor bahwa sekelompok penduduk Liong-coan datang dengan sikap marah-marah untuk mengadukan suatu persoalan.

   Memangnya di kampung itu tak ada satupun pejabat resmi yang ditunjuk pemerintah kekaisaran maupun gubernuran, sehingga di situ Bhe Un-liang bukan cuma guru silat, tapi juga tabib, hakim, pemimpin keamanan dan sebagainya.

   Orang-orang kampung hendak mengadukan perkara, itu bukan hal aneh.

   Cepat ia benahi pakaiannya dan melangkah keluar.

   "Ada apa?"

   Suaranya yang keras mengatasi hiruk-pikuk segerombolan orang yang berkerumun di halaman depan rumahnya.

   Semuanya dikenalnya sebagai penduduk Liong- coan.

   Saling berebutan orang-orang itu menerangkan masalahnya masing-masing, tapi Bhe Un-liang menenangkan mereka.

   "Bicara satu-satu! Kupingku hanya sepasang dan di pihak kalian ada tujuhbelas mulut.

   "Baiklah, aku dulu, ya, teman-teman?"

   Kata seorang penduduk yang paling tua. Teman-temannya diam dan orang itu berbicara menghadap Bhe Un-liang.

   "Kausu, Ciang Lotoa si pandai besi telah ingkar janji. Aku memesan sebuah cangkul batu dan ia sepakat hari ini pesananku jadi. Tapi ketika aku datangi bengkelnya, pesananku belum digarapnya sama sekali, ia malah mengembalikan uangnya kepadaku sambil menghina bahwa dia akan menjadi jutawan sebentar lagi, dan tidak mau lagi meladeni pesanan-pesanan kecil. Lalu besok pagi aku harus menggarap ladangku dengan apa? Cangkulku yang lama suda tidak bisa dipakai!"

   Berturut-turut orang lain mengadu pula.

   Keistimewaan dari pengaduan massal kali ini ialah bahwa Ciang Lotoa, si pemilik bengkel besi satu-satunya di kampung Liong- coan,adalah tertuduhnya.

   Ada yang mengadu roda gerobaknya belum di perbaiki, bajaknya belum digarap dan sebagainya.

   Semuanya juga dikembalikan uangnya dan diberitahu bahwa Ciang Lotoa tidak butuh lagi pesanan kecil karena akan jadi jutawan."

   "Kalau aku tidak ingat pesan Bhe Kausu, tentu sudah aku pecahkan hidungnya yang seperti tomat busuk itu,"

   Teriak seorang yang berewoknya seperti sikat kakus.

   ".... atau kumundurkan semua gigi- giginya yang menyelonong ke depan itu!"

   Sambung lainnya yang bertubuh kurus dan napasnya bercuit-cuit karena sakit bengek. Bhe Kausu mengangkat tangannya, menyuruh orang-orang itu agar tenang.

   "Kalian sudah bertindak betul dengan melaporkannya kepadaku dan tidak main hakim sendiri. Mari kita ke bengkel Ciang Lotoa!"

   Beramai-ramai mereka mengiringi Bhe Un-liang menuju ke bengkel besi yang menimbulkan perkara itu. Ternyata pintu bengkel itu dalam keadaan tiga perempat tertutup, dan pintunya digantungi tulisan cakar ayam tapi masih bisa terbaca.

   "Tidak terima pesanan di bawah harga lima tahil perak."

   Namun dari halaman belakang bengkel tetap terdengar suara besi ditempa, dan agak ke dalam juga terlihat api yang merah menyala di tungku besar. Tujuh lelaki yang menjadi magang atau pegawai di bengkel itu tetap bekerja seperti biasa.

   "Benar-benar kurang ajar! Pesanan orang sekampung diabaikan, malahan mengerjakan pesanan orang lain,"

   Si berewokan menggerutu dengan gemas.

   "Si mata duitan yang tak kenal aturan!"

   Bhe Un-liang berkata.

   "Kalian tenang- tenang saja tunggu di luar, aku yang akan masuk dan berbicara kepadanya. Jangan mengambil tindakan sendiri-sendiri!"

   Lalu dengan langkah lebar, membawa perutnya yang gendut namun keras itu, Bhe Un-liang melangkah masuk ke bengkel.

   Langsung mendekati seorang lelaki pendek berotot, bertelanjang dada dan berhidung merah yang tengah menempa sepotong besi menyala di atas blok.

   Melihat kedatangan Bhe Un-liang, dia sejenak.menghentikan ayunan palunya, dan berkata singkat.

   "Maaf, sedang tidak menerlma pesanan, Kausu,"

   Setelah itu perhatiannya kembali tercurah kepada pekerjaannya. Bhe Un-liang merasa bahwa sikap si tukang besi tidak lagi sehormat hari-hari sebelumnya, tapi ia menahan diri.

   "Aku tidak akan memesan apa-apa, hanya ingin bicara sedikit..."

   Tanpa menoleh, si tukang besi memotong kalimatnya.

   "Lebih-lebih kalau hanya untuk mengobrol, aku sedang sibuk, lain kali saja, Kausu."

   Habis juga kesabaran Bhe Un-liang.

   Tiba-tiba ia menyodorkan telapak tangannya, menyongsong palu besi Ciang Lotoa yang tengah terayun ke arah blok besi dengan tenaga penuh.

   Palu menghantam telapak tangan dengan keras, tapi bukan telapak tangan yang luka, malah palu itu terpental balik dan hampir menggempur jidat Ciang Lotoa sendiri.

   "Dengarkan dulu kata-kataku, nanti baru kau teruskan kerjaan,"

   Kata Bhe Un-liang dengan garang.

   Kali ini Ciang Lotoa tahu bahwa si guru silat mulai marah, ia tidak berani menyepelekannya.

   Ia sadar, kalau telapak tangan penuh kekuatan itu diremaskan ke wajahnya, maka wajahnya akan mengalami perombakan besar-besaran.

   Terpaksa ia harus memaksa diri untuk bersikap lebih hormat.

   "Maaf, Kausu. Tadi... tadi aku terlalu sibuk bekerja sehingga kurang hormat kepada Kausu..."

   "Sudahlah,"

   Kata Bhe Un-liang dengan nada lebih sabar.

   "Kenapa kau batalkan pesanan dari tetangga-tetangga sekampung sendiri, dan malah menerima pesanan dari orang luar? Padahal tetangga-tetanggamu membutuhkan alat-alat itu untuk mencari nafkah?"

   "Sebenarnya aku tidak membatalkan, hanya minta kesabaran mereka untuk beberapa hari. Tapi mereka tidak sabar dan mengajak bertengkar, aku sendiri sebetulnya..."

   "Apa yang sebenarnya menghalangimu menyelesaikan pesanan mereka tepat pada waktunya? Dan siapa yang memesanmu sekarang?"

   Ditanya siapa yang memesannya, sikap Ciang Lotoa yang tadinya mengkeret tiba-tiba menjadi gagah kembali.

   "

   Kakak seperguruan Kausu sendiri yang minta agar pesanannya diselesaikan secepat-cepatnya."

   Sambil menjawab demikian, dalam hati ia mengejek Bhe Un-liang.

   "Nah, beranikah kau menentang kakak seperguruanmu yang jauh lebih sakti. dan Iebih berduit daripadamu?"

   Bhe Un-liang mengerutkan alis tanda keheranannya.

   "Jadi Suhengku itu memesan sesuatu kepadamu? Barang apa?"

   "Seperti ini,"

   Sahut Ciang Lotoa sambil melangkah ke sudut bengkel untuk mengambil sebuah kotak kayu berbentuk panjang, yang dibawanya ke hadapan Bhe Un-liang dan diletakkan di atas blok besi.

   Ketika tutup kotak dibuka, terlihat isinya adalah dua pucuk bedil model jaman itu, abad ke delapan belas.

   Sepucuk masih utuh, dan sepucuk lagi dipereteli bagian-bagiannya agar bisa dicontoh oleh Ciang Lotoa dan pegawai-pegawainya.

   Bhe Un-liang pernah juga melihat senjata jenis itu.

   Ketika masih muda, ia pernah pergi ke Makao di propinsi Koantong.

   Kota itu dikuasai orang-orang Portugis sejak abad enam belas, hadiah dari Kaisar dinasti Beng kepada orang-orang Portugis yang berhasil mengamankan Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan antar bangsa.

   Di sana banyak orang Portugis mempunyai senjata macam itu, dan yang ada di hadapannya itupun agaknya bikinan Portugis.

   Yang kurang dimengertinya, buat apa Suhengnya menyuruh Ciang Lotoa membuat bedil? "Ciang Lotoa, biarpun kakak seperguruanku sendiri yang memesan, tapi tidak pantas kau mengabaikan keperluan tetangga-tetanggamu sendiri, yang berpuluh tahun bersama-sama mengalami suka-duka bersamamu? Alat-alat mereka adalah alat-alat untuk mencari makan.

   Kalau kau menelantarkan mereka, berarti juga menelantarkan anak-isteri mereka..."

   Kali ini Ciang Lotoa memberanikan diri untuk membantah.

   "Kausu, aku sendiri punya tiga isteri dan sebelas anak yang keperluannya harus aku cukupi. Sebun Toaya sudah membayar untuk sepuluh pucuk bedil yang harus selesai secepatnya. Kalau ia puas dengan buatanku, setiap bulannya akan dipesan lima pucuk. Harap Kausu juga memahami keperluan keluargaku. Seumur hidup aku miskin, kini ada kesempatan untuk memperbaiki hidupku dengan cara halal, apakah peluang yang hanya sekali seumur hidup ini harus aku lepaskan?"

   Bhe Un-Iiang sulit menjawab, sebab Ciang Lotoa adalah warga kampung juga, berhak mendapat pembelaan sama denga warga kampung lainnya.

   Siapa bisa merebut kesempatan seorang yang ingin menjadi kaya dengan cara halal? Tetapi sulitnya, Ciang Lotoa adalah pandai besi satu-satunya di Liong- coan....

   Dalam hatinya juga timbul perasaan kurang senang kepada Suhengnya, yang sebagai tamu ternyata telah berbuat sesuatu secara diam-diam di belakang punggungnya, yang akibatnya mengganggu kepentingan warga Liong-coan.

   "Baik, aku yang akan bicara kepada Suheng,"

   Kata Bhe Un-liang akhirnya, lalu meninggalkan bengkel itu pulang ke rumahnya.

   Kepada orang-orang di rumahnya, ia tanyakan kemana perginya Suhengnya.

   Bhe Giok-im menjawab bahwa setelah Sebun Him menjenguk Tong Gin-yan sebentar, lalu pergi keluar kampung , katanya hendak menyelidiki gera-gerik orang-orang Hek-eng-po di luar kampung.

   Terpaksa Bhe Un-liang menyabarkan diri.

   Sore hari, barulah kelihatan Sebun Him pulang.

   Tanpa lebih dulu mempersilahkan Suhengnya untuk membersihkan diri atau minum teh, Bhe Un-liang langsung menghadangnya di pintu tengah dan berkata.

   "Suheng, aku ingin berbicara sedikit dengan Suheng...."

   "Ada urusan apa, Sute?"

   "Bagaimana kalau kita bicara di Lian- bu-thia (bangsal latihan) saja? Di sana tempatnya tidak ribut...."

   Tempat yang disebutkan itu terletak agak terpencil dari lingkungan rumah Bhe Kausu yang selalu sibuk, dilingkari rumpun- rumpun pohon bambu.

   Tempat itu adalah arena penggemblengan Bhe Un-liang bagi empatbelas murid utamanya, sedang orang- orang yang belajar silat biasa cukup latihan di halaman depan atau samping.

   Begitu keduanya duduk berhadapan dalam jarak beberapa langkah, tanpa basa-basi lagi Bhe Un-liang mengutik inti masalahnya.

   "Suheng, benarkah engkau telah menyuruh tukang besi Ciang Lotoa menyelesaikan pesanan bedil-bedilmu, sehingga ia mengabaikan pesanan tetangga-tetangganya?" **OZ** Bersambung ke

   Jilid 26 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 26

   "Ya. Apa ada yang salah dengan itu?"

   "Tidak ada yang salah. Cuma Suheng agaknya belum tahu bahwa bengkel Ciang Lotoa adalah satu-satunya bengkel besi di kampung ini. Karena pesanan Suheng, beberapa penduduk terganggu kelancaran mata pencahariannya. Alat-alat mereka yang rusak tidak bisa dibetulkan di bengkel itu, karena bengkel itu menjadi sangat sibuk dengan pesanan Suheng."

   Sebun Him tenang-tenang saja menghadapi sikap adik seperguruannya yang tegang seperti gunung api yang siap memuntahkan lahar itu.

   "Pesanan bedil-bedil itu untuk keperluan kampung ini juga, bahkan keperluan yang lebih mendesak. Lagi pula, nama Ciang Lotoa sebagai pandai besi terbaik di propinsi ini sudah terkenal. Sudah saatnya dia menunjukkan keahliannya yang lebih daripada memperbaiki pacul yang gumpil kena batu atau sumbu roda yang patah kejeblos selokan..."

   "Meningkatkan keahlian itu bagus tapi tidak dengan mengabaikan kepentingan warga Liong-coan. Cangkul dan roda gerobak adalah benda-benda yang menjad inti kehidupan di kampung ini. Lebih berguna dari bedil-bedil itu!"

   "Siapa bilang bedil-bedil itu tidak penting? Itu untuk keamanan rakyat Liong- coan agar bisa membela diri dari bandit-bandit Hek-eng-po. Kalau seorang belajar silat dengan golok atau tombak perlu waktu bertahun-tahun untuk bisa digunakan bertempur. Sedang bedil, cukup latihan sepuluh hari seorang kakek- kakek ompongpun dapat membunuh musuhnya. Kampung ini akan menjadi tangguh dan ditakuti penjahat, seandainya ada lima puluh pucuk bedil di sini dan lima puluh penembaknya yang terlatih!"

   "Suheng, aku berterima kasih bahwa Suheng ikut memikirkan kampung ini, bahkan sudah mengeluarkan banyak biaya dari dompetmu sendiri. Tapi kalau tindakanmu itu tidak dirundingkan dulu denganku, apakah itu bukan lancang namanya? Pembuatan bedil itu membuat terbengkalainya urusan lain seperti pertanian, peternakan dan pengangkutan yang tak kalah pentingnya!"

   Sebagai orang yang biasa hidup di kampung terpencil, segala isi hati diutarakan tanpa basa-basi seperti orang-orang kota.

   Apalagi Bhe Un-liang saat itu merasa bahwa Suhengnya yang banyak berjasa itu ternyata agak menjengkelkan juga.

   Sambil mengusap-usap jenggotnya, Sebun Him menjawab dengan tenang.

   "Tapi aku sudah menanyai pemuda-pemuda di kampung ini, dan sebagian besar dari mereka dengan bersemangat mendukung usulku untuk belajar cara-cara menembak. Kau justru harus gembira melihat semangat mereka..."

   "Tapi Suheng harusnya berunding denganku lebih dulu!"

   "Lho, kalau anak-anak muda itu sendiri sudah bersedia, kenapa harus minta persetujuan orang lain?"

   "Karena akulah pemimpin di Liong-coan ini!"

   Sahut Bhe Un-liang meluap-luap. Tanpa sungkan-sungkan lagi Sebun Him tiba-tiba tertawa.

   "Wah, jadi kau rupanya pemimpin di sini, Sute? Hebat benar. Tetapi, bolehkah aku melihat surat atau tanda pengangkatanmu, supaya bisa aku baca kau diangkat oleh penguasa yang mana, tahun ke berapa dari Kaisar yang mana?"

   Berondongan pertanyaan ini kontan membuat Bhe Un-liang bungkam dengan kulit muka yang berganti-ganti antara warna putih pucat dengan warna ungu tua.

   Ia tak mampu menjawab.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia memang tidak diangkat oleh penguasa yang manapun, kecuali oleh masyarakat Liong-coan dianggap memiliki kelebihan dalam ilmu silat, ilmu pengobatan dan sikap kepemimpinan.

   Hanya itu.

   Tidak ada surat atau lencana pengangkatan segala....

   Tengah guru silat itu kelabakan tak tahu harus menjawab bagaimana, Sebun Him telah mengeluarkan sepucuk surat bersampul kuning dari dalam jubahnya.

   Sudah agak kumal dan agak tertekuk-tekuk ujungnya, karena surat itu agaknya dibawanya ke mana saja.

   Disodorkannya surat itu ke bawah hidung Bhe Un-liang sambil berkata dengan nada penuh kemenangan.

   "Sedangkan aku memiliki ini. Bacalah."

   Bhe Un-liang menerima, membuka sampulnya dan membacanya.

   Wajahnya berkerut-kerut seperti permukaan kolam tersentuh angin ketika menangkap makna huruf-huruf yang membentuk kalimat-kalimat bernada sangat resmi itu.

   Surat itu bercap lambang Tit-hun-ong, gelar kebangsawanan Pangeran In Si, putera tertua Kaisar Khong-hi, yang karena urutan kelahirannya secara tradisi dianggap sebagai calon pengganti kedudukan ayahandanya sebagai Kaisar, meskipun kekurangan pendukung.

   Isi surat itu trgas-tegas melimpahkan kekuasaan kepada Sebun Him untuk mengatur wilayah-wilayah kekaisaran yang belum ada penguasanya yang resmi.

   Kampung Liong-coan dapat dimasukkan dalam batasan itu.

   Apa yang tidak ditulis dalam surat sehingga tidak diketahui Bhe Un-liang, adalah kesepakatan rahasia antara Sebun Him dan Pangeran In Si untuk membangun pangkalan- pangkalan kekuatan yang tersebar, agar kelak dapat digunakan oleh sang pangeran untuk mendukung ambisinya merebut Tahta Naga.

   Dalam perhitungan Sebun Him, kampung Liong-coan adalah salah satu dari puluhan tempat yang cocok untuk keperluan itu.

   Liong-coan sebuah daerah yang subur, banyak penduduk lelaki yang bertubuh kuat dan bernyali besar, yang dengan sedikit bujukan saja akan bisa diubah menjadi pendukung-pendukung Pangeran In Si di kemudian hari.

   Hasil buminya juga cukup untuk perbekalan bagi 3000 atau 4000 prajurit, letaknya agak tersembunyi di pegunungan dan gampang dipertahankan.

   Karena itulah Sebun Him mendatangi Liong-coan dengan dalih hendak mengunjungi adik seperguruannya, tapi sebenarnya bermaksud membentuk kampung itu menjadi salah satu mata rantai kekuasaan Pangeran In Si.

   "Kebetulan"

   Pula kampung itu sedang terganggu oleh Hek-eng-po, sehingga tepatlah kemunculan Sebun Him sebagai pahlawan yang dikagumi dan langsung menancapkan pengaruhnya.

   Bhe Un-liang langsung tak berkutik menghadapi surat bersampul kuning itu.

   Hatinya sedih, bukan karena kedudukannya sebagai pemuka yang dihormati akan tergeser, melainkan karena membayangkan kampung yang tercinta itu akan terseret dalam pertikaian antar pangeran yang sedang berlangsung di pusat pemerintahan.

   Ia pernah mendengar kabar tak jelas dari saudara- saudara seperguruannya, katanya kakak seperguruannya ini mulai main politik dan terlibat hubungan dengan orang-orang istana.

   Kini ia tahu bahwa Suhengnya itu adalah sekutu Tit-hun-ong.

   Sebun Him menarik surat itu dari tangan Bhe Un-liang dan menyimpannya kembali di bajunya.

   "Nah, kini pahamilah dimana posisimu sekarang, Sute..."

   Katanya. Goncangan hati Bhe Un-Iiang berangsur-angsur mereda, lalu katanya.

   "Suheng, kalau hanya dengan mengandalkan secarik kertas itu lalu kau hendak menyeret pemuda-pemuda Liong-coan menjadi alat kepentingan Tit-hun-ong, rasanya aku harus memberanikan diri untuk mencegahmu. Bagiku, kedamaian dan kesejahteraan kampung ini dalam di atas segala-galanya. Berpuluh tahun kampung ini dalam keadaan tenteram, tidak terpercik kegoncangan yang terjadi di Ibukota Pak-khia atau di seluruh kekaisaran. Sekarang aku mohon agar Suheng tidak menyeret rakyat Liong-coan demi kepentingan seorang bangsawan ambisius."

   "Siapa ingin berbuat demikian?"

   Sebun Him mencoba ingkar dari maksud sebenarnya.

   "Kau hanya menduga-duga sendiri, bukankah begitu? Aku justru membuatkan bedil-bedil itu supaya kampungmu aman, tapi kau malah mencurigai aku?"

   "Suheng, jangan menganggap aku orang buta-tuli. Kalau benar-benar hanya ingin mengamankan kampung Liong-coan, siapa yang menyebarkan hasutan agar pemuda- pemuda tidak patuh lagi kepadaku? Apakah hanya suatu kebetulan, kalau ketidak-patuhan mereka itu justru timbul setelah Suheng mendekati mereka dan mencoba mengambil hati mereka dengan menyebarkan uang Suheng yang berlimpah itu?"

   "Aku tidak menghasut. Aku cuma sekedar menolong kian-kemari dengan maksud baik. Tapi aku tidak bisa merintangi pikiran mereka, kalau di antara mereka timbul ketidak-percayaan terhadapmu, Sute. Apa aku harus membekukan otak mereka?"

   Karena kalah berdebat, Bhe Un-liang dengan dada serasa hampir meledak, berkata keras dan terang-terangan.

   "Kalau pemuda- pemuda itu sudah tidak percaya kepadaku, lalu Suheng akan mengambil keuntungan dengan menguasai mereka Bukan? Kedudukan apa yang dijanjikan Tit-hun-ong kepada Suheng, sehingga Suheng tega mengelabuhi pemuda- pemuda lugu itu?"

   "Bukan mengelabuhi, aku justru membuka pikiran mereka melihat cakrawala yang lebih luas, menyalurkan semangat muda mereka ke tujuan yang berharga. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah-berani, mendambakan nama yang harum dan terkenal, tapi selama ini kau hanya menyuruh mereka bergulat dengan lumpur, jerami dan tanah liat, tidakkah itu sia-sia? Aku menawarkan masa depan yang cerah, kelak kalau perjuangan Pangeran In Si berhasil, dan mereka menyambut tawaranku dengan bersemangat. Mereka lalu akan aku ajari menggunakan bedil, mempelajari siasat- siasat perang, dan kelak akan menjadi jenderal-jenderal termasyhur. Sedang kau hanya mengarahkan mereka untuk menjadi petani atau peternak atau pembuat barang pecah-belah..."

   "Bangsat! Kau membius mereka dengan mimpi indah, padahal hanya akan kau peralat demi ambisimu sendiri!"

   Bhe Un-liang tidak sanggup lagi bersikap hormat kepada kakak seperguruannya ini. Panggilan "Suheng"

   Telah berubah menjadi "bangsat"

   Berbareng dengan tubuhnya yang melejit seperti macan tutul, jari-jari tangan kanannya tertekuk dan menyodok leher Suhengnya dengan Hoa-san pe-kun (pukulan macan tutul dari Hoa-san).

   Tapi.

   biarpun mereka berdua seperguruan, selisih ilmu mereka agak jauh.

   Di masa mudanya, Sebun Him pernah menemukan keberuntungen tak disengaja, menemukan pelajaran Kun-goan Sin-kang (tenaga sakti alam semesta) yang membuat ketinggian ilmunya melesat melebihi saudara- saudara seperguruannya.

   Dengan gerakan tak terlihat, pergelangan tangan Bhe Un-liang telah ditangkapnya dan ditekuk ke bawah sehingga tubuh gemuk si guru silat terhempas telungkup di lantai.

   Hampir saja Sebun Him mengayunkan pukulan kanannya untuk membuat berantakan kepala adik seperguruannya itu, tapi mendadak ia ingat bahwa kalau guru silat itu terbunuh, rakyat Liong-coan bisa berbalik menentangnya, sebab Bhe Un-liang masih tetap seorang yang dihormati dan diakui jasa-jasanya.

   Karena itulah ia melepaskan cengkeramannya.

   Dengan sikap seorang kakak yang'kasihan melihat adiknya terjatuh, ia mengangkat Bhe Un-liang.

   "Aku tidak ingin bertentangan denganmu, Sute. Aku justru ingin mengajakmu masuk dalam barisan perjuangan Pangeran In Si agar kelak mengalami kemuliaan bersama..."

   Bhe Un-liang mengibaskan tangan Sebun Him yang memeganginya, bangkit sendiri tertatih-tatih dan berkata.

   "Aku tidak sanggup melihat pemuda-pemuda Liong-coan menumpahkan darah untuk sesuatu yang tidak benar-benar mereka pahami, Suheng."

   "Jangan membayangkan sesuatu yang terlalu seram, Sute. Berpikirlah sedikit ambisius, apa gunanya hidup seperti pertapa terus-terusan di tempat terpencil? Apa salahnya kalau seorang laki-laki memimpikan untuk berbuat sesuatu yang hebat?"

   "Memang. Tapi yang hebat dalam pandanganmu itu berlainan dengan yang hebat dalam pandanganku. Suheng ingin kemuliaan di atas ribuan mayat bergelimpangan, aku ingin kesejahteraan yang membuat semua orang hidup damai. Kenapa yang hebat itu selalu harus diartikan kegagahan dalam peperangan saja?"

   "Tapi pandangan pemuda-pemuda Liong-coan itu berlainan pula denganmu, Sute. Kau tidak berhak menghalangi mereka mencapai cita-cita mereka yang jantan untuk dipaksa mengikuti pikiranmu yang lemah. Mereka anak-anak muda berdarah panas, mereka ingin membuat sejarah, bukan menghabiskan waktu di ladang atau di kandang sapi!"

   Dengan lesu Bhe Un-liang melangkah meninggalkan bangsal itu.

   Hatinya penuh rasa penasaran, tetapi ia bisa berbuat apa? Ilmu silat kalah, soal uang juga kalah dari Suhengnya yang dengan enteng merogoh kantong untuk mengeluarkan duapuluh atau tigapuluh tahil untuk diberikan kepada orang lain.

   Pengaruh terhadap anak-anak muda Liong-coan? Agaknya dalam hal inipun dia sudah hampir kalah.

   Seandainya orang-orang Hek-eng-po tidak sedang mengintai di luar kampung, tentu Bhe Un-liang tidak ragu-ragu untuk mengusir Sebun Him dari kampung itu.

   Tapi dalam pikiran Bhe Un-liang, begitu Sebun Him angkat kaki maka orang-orang Hek-eng-po akan menjarah-rayah kampung itu karena sudah tidak ada lagi yang ditakuti.

   Jadi Suhengnya semacam tanggul penahan banjir, begitulah.

   Dentang-dentang di bengkel Ciang Lotoa masih terdengar, tapi bukan lagi membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian, melainkan menciptakan alat-alat pembunuh.

   Tinggal sedikit orang lelaki Liong- coan yang masih rajin mengurus ladang dan ternak, sebagian besar.

   lebih suka mengikuti latihan perang-perangan yang diadakan Sebun Him di sebuah lapangan.

   Mereka membayangkan diri sebagai jenderal-jenderal perkasa yang berpakaian gemerlap, menunggangi kuda yang perkasa, memimpin pasukan menyerbu musuh.

   Alangkah gagahnya.

   Sebun Him menyediakan jalan ke impian itu dan Bhe Un-liang tidak, karena itu Bhe Un-liang makin lama makin terasa seperti barang loakan yang mengganggu saja.

   Anak-anak itu banyak yang sudah bosan mendengar si guru silat selalu saja bercerita tentang sawah yang subur, pengairan yang lancar dan panen yang berlimpah.

   Mereka terpesona oleh cerita-cerita baru tentang perang-perang yang mengubah sejarah, lalu anak-anak muda itu ingin ukut- ikutan mengukir sejarah pula, dengan pedang dan bedil.

   "Hanya senjata yang mengukir sejarah, bukan pacul,"

   Kata anak-anak muda itu penuh lagak.

   Entah benar entah salah, kalau nanti kepala sudah protol toh tak sempat diketahui lagi.

   Bhe Un-liang dalam keprihatinannya yang mendalam akan arah perkembangan kampung tercintanya, makin tersisih meskipun ada sebagian kecil orang yang tetap setia kepadanya.

   Tong Gin-yan Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong jadi lebih sering menghibur tuan-rumah yan bersedih itu, sementara dalam hati mereka sendiripun sebenarnya mencemaskan ulah Sebun Him.

   Arus baru yang tengah terjadi di Liong-coan tak dapat dibendung."

   "Bagaimana dengan bendera komando Pangeran In Te yang ada padamu, A-eng?"

   Suatu ketika Tong Gin-yan bertanya kepada Pakkiong Eng sendirian.

   "Tidakkah bendera kecil itu bisa menandingi surat Pangeran In Si yang dipegang oleh Pama Sebun? Jangan biarkan Pangeran In Si membangun pangkalan-pangkalan perang yang di kemudian hari bisa dipergunakan mendukung ambisinya. Si Liong-cu dengan dukungan pendekar- pendekar Kang-lam saja sudah cukup mencemaskan, apalagi kalau In Si berhasil membentuk kekuatan pula, bukankah negeri akan terpecah-belah oleh perang saudara?"

   Pakkiong Eng menarik napas bernada kehabisan akal.

   "Bendera komando itu hanya berguna di tempat yang ada tentara kekaisaran, sebab semua tentara tunduk kepada kekuasaan Pangeran In Te. Tapi di Liong-coan ini tidak ada prajurit kekaisaran satupun. Begitu aku kibarkan bendera itu, semakin cepat kepalaku terbang meninggalkan leherku."

   "Jadi bagaimana?"

   "Sementara belum menemukan akal yang tepat, kita harus tetap pura-pura percaya bahwa latihan ini hanya demi keamanan kampung, bahkan membantu sedikit-sedikit. Ini hanya siasat. Kalau Paman Sebun sadar bahwa kita sudah mencium maksudnya yang sebenarnya, nah, agaknya kita hanya bisa jadi suami-isteri di akherat saja..."

   "Karena itu kita tidak boleh terIalu sering berdekatan dengan Bhe Kausu, supaya Paman Sebun tidak curiga."

   "Benar, tapi kita juga tidak boleh terkurung terus-terusan di kampung ini seperti keledai-keledai dungu."

   "Rasanya tidak tega membiarkan Bhe Kausu sendirian dalam kesulitannya."

   "Namun kita tetap di sini juga percuma, tidak bisa membantu apa-apa."

   "Mampukah kita menembus keluar dari kampung Liong-coan, kalau bertemu dengan iblis-iblis tua macam Jiat-ji Lokoai, Hin-heng Lojin atau, Ang-pi Tojin? Apalagi kalau kepergok Majikan Hek-eng-po sendiri?"

   "Memahg sulit, tapi akan kita cari kesempatan sebaik-baiknya. Kita kabur bukan karena takut, tapi mencari pertolongan buat Bhe Kausu yang terjepit dari luar dan dalam."

   "Ya, Auyang Siau-hong harus diberitahu pula agar kalau kesempatan tiba kita bertiga sudah siap kabur tanpa saling mencari atau banyak kerepotan lagi. **OZ** BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN Pada suatu malam, ketenangan kampung Liong-coan tiba-uba dirusakkan oleh kebakaran di pinggiran kampung. Tetapi orang-orang Liong-coan sudah siap, sebab sore harinya Sebun Him memang mengatakan akan ada serbuan musuh. Kata Sebun Him sore itu.

   "Dengan menyerempet bahaya, aku berhasil mendekati kumpulan penjahat-penjahat itu dan mendengarkan mereka merencanakan serbuan malam nanti. Karena itu bersiaplah."

   Sungguh suatu perhitungan yang sangat tepat, malamnya benar-benar orang- orang Hek-eng-po menyerbu. Berkat latihan selama ini.

   "pasukan"

   Liong-coan tidak menjadi panik.

   Sejak sore memang penduduk yang tinggal di bagian pinggiran kampung sudah diungsikan ke bagian tengah, bagian pinggir dijadikan semacam garis pertahanan yang diatur sendiri oleh Sebun Him tanpa mengikut-sertakan Bhe Un-liang.

   Sementara anak-anak muda yang sedang gila cerita-cerita perang, menuruti perintah Sebun Him dengan bersemangat.

   Begitu serbuan datang, bagaikan prajurit-prajurit asli, orang-orang Liong-coan segera menyambut dengan gigih.

   Kaum lelaki yang berusia empatpuluh lima tahun ke atas atau bertubuh kurang kuat untuk berkelahi, membentuk regu-regu untuk memadamkan api.

   Yang berusia enambelas sampai empatpuluh lima dan bernyali besar, segera maju ke pinggir kampung untuk langsung menyongsong musuh dengan ujung senjata.

   Pakai bersorak-sorak segala.

   Orang-orang berilmu tinggi yang berada di pihak kampung Liong-coan segera berpencaran untuk menangani titik-titik pertempuran yang paling gawat.

   Mereka tahu di pihak Hek-eng-po ada orang-orang berilmu tinggi yang berbahaya bagi orang-orang Liong- coan, bagaimanapun berani dan bersemangatnya mereka.

   Di pinggir kampung segera terjadi pertempuran hebat antara kedua pihak.

   Senjata-senjata berkilatan merah oleh cahaya api dan darah yang memancar, berkelebatan saling menyambar.

   Pihak Hek-eng-po mengerahkan hampir seratus limapuluh orang.

   Mereka bukan orang- orang Hek-eng-po asli, melainkan hanyalah gerombolan bandit kecil yang disewa oleh Majikan Hek-eng-po untuk ikut menggempur.

   Manusia-manusia macam itu tidak sulit dicari.

   Apalagi membayangkan di kampung Liong- coan yang subur itu tentunya banyak harta berharga dan wanita-wanita ayu, maka menyerbulah mereka.

   Biasanya mereka keder kepada Bhe Un-liang, tapi kini mereka berani menyerbu karena "membonceng"

   Plhak Hek- eng-po.

   Tak terduga mereka terbentur lelaki Liong-coan yang melawan dengan hebat.

   Memang kalau dibandingkan satu persatu orang-orang Liong-coan kalah dari bandit- bandit yang sudah biasa membunuh orang tanpa berkedip itu, namun jumlah orang Liong- coan hampir tiga kali lipat.

   Pihak Hek-eng-po dan bandit-bandit sewaannya yang tadinya mengira orang kampung akan lari lintang pukang tanpa melawan, kini kaget menemui perlawanan yang begitu gigih, seolah mereka menghadapi sepasukan tentara saja.

   Tapi ketika orang-orang inti Hek-eng-po sendiri mulai turun ke garis depan.

   "pasukan"

   Liong-coan menjadi gentar melihat kelihaian dan kekejaman orang-orang itu.

   Jiat-jiu Longkun (si tampan bertangan maut) Ho Hong muncul dari hitamnya malam dengan goloknya yang besar sehingga gagang goloknya dipegangi dengan dua tangan, seperti orang-orang Jepang bermain Kenjitsu, ilmu pedang.

   Sambil meraung seperti binatang liar sebagai teriakan perangnya, ia memutar goloknya untuk menerjang dan menebas ke arah orang-orang Liong-coan.

   Cahaya goloknya melebar, dan tiga orang Liong-coan kehilangan kepala.

   Barisan pertahanan Liong-coan bergeser mundur dengan perasaan ngeri.

   Orang-orang yang bersenjata panjang seperti tombak atau kaitan atau pentung panjang segera maju ke depan untuk coba membendung si tangan maut.

   Begitulah yang diajarkan Sebun Him ketika melatih perang-perangan, kalau menghadapi lawan tangguh.

   Ho Hong berteriak kembali, goloknya berkelebat, dan tombak-tombak di barisan Liong-coan segera berubah menjadi pentung- pentung pendek tak berguna, kecuali untuk melempar kucing yang naik meja mencuri ikan.

   Ayunan golok Ho Hong yang ke dua membuat beberapa lawan berkepala buntung pula.

   Namun pada saat ia mengganas, dari barisan Liong-coan muncul seorang gadis secantik bidadari, berpakaian serba putih dan tangan membawa pedang.

   Begitu muncul di garis perang, Pakkiong Eng langsung meniru perbuatan Ho Hong tadi namun atas pihak yang berlawanan.

   Cahaya pedangnya menari-nari lincah terpecah dalam jalur-jalur perak laksana naga- naga perak keluar dari balik awan perak pula.

   Tujuh bandit sewaan Hek-eng-po segera roboh terkapar dengan lubang memancarkan darah di dada masing-masing.

   Hanya lubang kecil, tapi cukup untuk lolosnya nyawa dari raga, sebab lubang itu tepat di jantung.

   Cipratan darah korban-korbannya membuat pakaian putih Pakkiong Eng seolah diberi sulaman kembang-kembang merah besar dan kecil.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang-orang Liong-coan yang tadinya nyaris patah semangat melihat amukan Ho Hong, kini bangkit kembali semangatnya ketika melihat seorang gadis muda saja demikian perkasa dan berani melabrak bandit- bandit buas itu.

   Sedangkan Ho Hong begitu melihat Pakkiong Eng yang pernah mengalahkan dan melukainya itu, kontan darahnya mendidih dengan nafsu balas dendam.

   Sambil membentak dengan suara memekakkan telinga, ia melompat, golok besarnya dipegang dengan dua tangan untuk memotong ke pinggang Pakkiong Eng yang ramping.

   Pakkiong Eng merendahkan tubuhnya sampai hampir rata dengan tanah, golok lawannya berdesing tidak lebih tebal dari jari di atas rambutnya.

   Namun begitu golok sudah lewat, ia meleiit mengapung seperti seekor kupu-kupu besar dan balas menikam ke tenggorokan Ho Hong dengan kecepatan yang berkali lipat.

   Jiat-jiu Longkun boleh saja bangga dengan kekuatannya yang seperti tiga ekor kerbau dijadikan satu itu, namun menghadapi lawan selincah seekor lebah yang terbang berputaran, kekuatan besarnya hanya selalu berhasil menubruk angin.

   Tubuh Pakkiong Eng dengan lincah berterbangan kian kemari sambil menusukkan pedangnya bertubi-tubi.

   Demikianlah kekuatan melawan kelicahan.

   Desingan golok Ho Hong yang mampu memotong pohon sebesar paha segampang orang merajang sayur kangkung, kini hanya membacoki udara di sekitar tubuh Pakkiong Eng.

   Sebaliknya Pakkiong Eng sendiri tidak berani gegabah menerjang sabetan golok yang silang-menyilang membentengi tubuh Ho Hong itu.

   Ia sadar bahwa sentuhan golok yang paling ringanpun akan bisa memotong dagingnya berikut tulang-tulangnya sekalian.

   Ia hanya berloncatan sambil berusaha membingungkan lawan atau menguras tenaga lawan, kemudian barulah melancarkan serangan yang menentukan kalau ada peluang.

   Pertarungan kedua orang itu hampir tak pernah terdengar suara benturan logam, hanya terdengar suara golok Ho Hong yang membelah-belah udara dengan suara angin ribut, atau suara kibaran pakaian Pakkiong Eng yang berlompatan kian kemari.

   Gadis itu tidak pernah mau membenturkan pedangnya secara keras ke golok lawan.

   Setelah terpancing untuk mengamuk limapuluh jurus lebih, napas Ho Hong mulai terdengar sama ributnya dengan suara angin goloknya.

   Tenaganya mulai susut, keringat membasahi pakaiannya, dan jurus-jurus mautnya mulai dilakukan dengan kecermatan yang menurun.

   Kemudian dengan licik Ho Hong mulai pura-pura terdesak mundur, menjauhi garis pertempuran para bandit melawan orang-orang kampung.

   Tujuan Ho Hong ialah memancing Pakkiong Eng agar terpisah dari barisan orang Liong-coan, lalu mengerubut mampus bersama-sama teman-teman Hek eng-po-nya.

   Dengan nyali yang besar, Pakkiong Eng terus mengejar dengan serangan-serangannya.

   Bahkan ketika Ho Hong mundur ke tempat yang gelap dan sepi, Pakkiong Eng terus memburunya dengan sengit.

   Gadis itu tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memotong salah satu "akar penyakit masyarakat"

   Itu. Orang yang menganggap kekerasan sebagai landasan hak. Tiba di sebuah semak belukar yang tak tercapai cahaya api dari medan pertempuran, Ho Hong mendadak berhenti berlari dan berseru.

   "Thio Keng, keluarlah dan bantu aku! Ada mangsa cantik untuk kita!"

   Pakkiong Eng menghentikan kejarannya dan menoleh ke sekitarnya dengan waspada.

   Tapi ia tidak gentar.

   Pikirnya, asal bukan Jiat- jlu Lokoai atau Majikan Hek-eng-po, kalau cuma jago-jago kelas dua dari Hek-eng-po, ia sanggup melayaninya.

   Terdengar suara gemeresak rumput yang diinjak atau daun-daun yang disibakkan, dari kegelapan muncul seorang yang bertubuh ceking namun membawa senjata yang tergolong berbobot berat, yaitu sebuah kampak bertangkai panjang seperti tombak, seperti senjatanya Thia Siau-kim, tokoh sejarah jaman dinasti Tong ratusan tahun berselang.

   Begitu muncul, orang yang tadi dipanggil dengan nama Thio Keng itu berkata.

   "Siapa yang membuat terbirit-birit, Ho Hong?"

   Menyaksikan sikap dan cara bicara orang itu terhadap Ho Hong, Pakkiong Eng menaksir Thio Keng ini berkedudukan sederajat dengan Ho Hong dan ilmunya kurang lebih sama tingginya juga.

   Diam-diam gadis itu menaksir pula kekuatannya sendiri, mampukah dirinya menghadapi dua lawan itu? Kalau tidak sanggup, ia sudah siap untuk kabur saja dan yakin kedua musuh itu tak akan bisa mengejarnya.

   Ia ingat kata-kata kekasihnya bahwa "lari cepat itu juga jurus bela dlri".

   Tapi sebelum lari, harus mencoba dulu ketangguhan kedua lawan itu.

   "Siapa dia?"

   Thio Keng bertanya kepada Ho Hong.

   "Pakkiong Eng dari Pak-khia. Yang dulu sering menyamar sebagai laki-laki bernama Kiong Eng dan bergelar Pek-ma Tok-hing (Pengembara Tunggal Berkuda Putih).

   "Betul. Tapi sekarang sudah bukan Pengembara Tunggal lagi, sebab berjalan bersama anak Ketua Hwe-liong-pang seperti pengantin baru yang sedang tamasya."

   Pakkiong Eng merasa wajahnya menjadi panas karena dikatakan "seperti pengantin baru."

   Sementara ltu Ho Hong yang merasa kedudukannya menjadi kuat, telah menyeringai haus darah.

   Perlahan-lahan ia melangkah menyamping sambil memegang tangkai goloknya kuat-lekat dengan sepasang tangannya yang kokoh, mencari sudut penyerangan yang enak.

   Dari sudut lain Thio Keng juga sudah merundukkan kampak bergagang panjangnya.

   Mereka seperti dua ekor kucing yang hendak menundukkan seekor tikus.

   Ho Hong membuka serangan, mengangkat oloknya di atas kepala lalu ditimpakan ke depan dengan jurus Thai-san- ap-teng (gunung raksasa roboh ke kepala), sambil erteriak kepada temannya.

   "Thio Keng, ayo kita cincang dia!"

   "Baik!"

   Sahut Thio Keng. Kampak panjangnya juga mulai mendesing membelah udara dengan kecepatan dan kekuatan yang tidak kalah dari Ho Hong sendiri.

   "He, apakah kau sudah gila....?"

   Ho Hong yang tengah menyerang Pakkiong Eng tiba-tiba berteriak kaget, sebab melihat ayunan kampak Thio Keng tidak ke arah Pakkiong Eng melainkan ke arah dirinya yang terbuka lebar dari samping.

   Buru-buru ia memutar tubuh untuk menangkiskan goloknya.

   Pakkiong Eng yang sudah mengambil jarak bertahan itu, menjadi heran melihat dua jagoan Hek-eng-po itu tiba-tiba saling gempur sendiri di depan hidungnya.

   Sesaat ia tidak dapat mengambil keputusan harus bersikap bagaimana....

   Seandainya harus bertempur satu lawan satu dalam keadaan sama-sama siap, Ho Hong tidak akan kalah dari Thio Keng, malah mungkin ilmunya unggul selapis.

   Namun serangan Thio Keng terhadapnya itu sangat di luar dugaan.

   Goloknya terpental lepas ketika membentur kampak Thio Keng yang bergerak sepenuh kekuatan.

   Menyusul itu, Thio Keng menubruk seperti macan tutul dan gagang kampaknya berhasil menghantam telak ke tulang rusuk Ho Hong sehingga berbunyi gemeretak.

   Murid Jiat-jiu Lokoai itu terhuyung mundur dengan muka pucat, lalu terbatuk menyemburkan darah.

   Matanya terbelalak, telunjuknya menuding Thio Keng dan berkata dengan suara terputus-putus.

   "Thio Keng, kau....kenapa berkhianat....?!"

   Thio Keng menjawab dingin.

   "Laporkan kepada Raja Neraka, bahwa yang mengirim arwahmu ke hadapan beliau bukanlah Thio Keng, melainkan Thio Ki-keng, Jai-ki Hu-tong- cu (wakil pemimpin regu bendera coklat) dari Hwe-liong-pang!"

   Terkejut mendengar kenyataan yang tak terduga itu, jantung Jiat-jiu Iong-kun Ho Hong lebih cepat berdetak, kemudian berhenti sama sekali.

   Ia roboh telantang dengan mata terbelalak namun tidak bisa melihat apa-apa lagi.

   Berakhirlah riwayat berdarah seorang pembunuh keji yang dijuluki Si Tampan Bertangan Maut, dan kini mayatnya ternyata masih juga kelihatan tampan.

   Pakkiong Eng menarik napas lega dan membungkuk hormat kepada Thio Kim-keng.

   "Terima kasih, Hu-tong-cu, nyawaku diselamatkan olehmu...."

   Thio Kim-keng membalas hormat.

   "Salamku untuk nona Pakkiong. Tidak perlu sungkan, sekalipun tanpa bantuanku nona tentu akan bisa membereskan bangsat ini, aku hanya membantu agar nona tidak usah meneteskan keringat...."

   Pakkiong Eng mengangguk-angguk, sementara Thio Kim-keng melanjutkan sambil menuding mayat Ho Hong.

   "Tindakanku membunuh bangsat ini tentunya nampak licik tapi aku terpaksa harus melakukannya agar cepat berhasil sebelum diketahui bangsat- bangsat lainnya. Tugas penyamarankulah yang memaksa aku bertindak demikian. Sejak Ho Hong membantai belasan perempuan tua, anak-anak dan bayi-bayi di sebuah desa, saat itu aku sudah bersumpah dalam hati bahwa suatu saat kampakku harus menghirup darahnya. Waktu itu aku tidak bisa mencegah kebiadabannya, sebab ia ditunggui gurunya dan teman-temannya...!"

   "Tindakanmu itu bisa dimengerti, Hu- tongcu. Orang macam Ho Hong kalau dibiarkan hidup semakin lama, semakin banyaklah korban-korban tak berdosa berjatuhan..."

   Sahut Pakkiong Eng.

   "Nona, bagaimana keadaan Tong Kongcu? Sudah sembuhkah.luka-lukanya?"

   "Luka-lukanya sudah baik semua, bahkan kini dia ikut bertempur bersama-rakyat Liong-coan. Tapi ada kesulitan sedikit..."

   "Katakan kesulitannya, nona, kalau kami bisa membantunya, kami akan membantu sepenuh tenaga."

   Sesaat Pakkiong Eng dan Thio Kim-keng memandang berkeliling untuk mamas )tikan tidak ada orang ke tiga yang ikut mendengar percakapan mereka.

   Ternyata orang ke tiga itu hanyalah Ho Hong yang tak bisa mendengar apa-apa lagi, maka berkatalah Pakkiong Eng.

   "Kami bertiga harus keluar dari Liong-coan, bukan untuk melepaskan diri dari tanggung- jawab tapi justru untuk mencarikan pertolongan bagi Bhe Kausu yang terjepit..."

   Lalu tanpa rasa bimbang sedikitpun Pakkiong Eng menceritakan perkembangan di Liong-coan, secara ringkas dan jelas, Ia anggap seorang Hu-tong-cu Hwe-liong-pang cukup dapat dipercaya untuk mengetahui segalanya.

   Di kejauhan, suara pertempuran masih terdengar, dan api yang berkobar-kobar menggapai langit masih nampak, agaknya orang-orang Liong-coan belum berhasil menguasai api.

   Kata Thio Kim-keng kemudian.

   "Nona, saat paling tepat untuk meninggalkan Liong- coan adalah sekarang. Di bagian barat, yang menjaga adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang menyamar. Saudara Ji Tek-hong dan saudara Ko Tian-beng, bagaimana?"

   Pakkiong Eng merenung dan menganggap gagasan itu masuk akal.

   "Baiklah, saudara Thio. Aku akan kembali ke kampung lebih dulu untuk bergabung dengan Yan-ko dan Cici Siau-hong."

   "Silahkan, nona. Aku hubungi teman- teman di bagian barat agar menyiapkan diri."

   Keduanyapun berpencaran menghilang dari tempat itu dengan ketangkasan seperti kelinci-kelinci liar.

   Sementara itu, di salah satu bagian, Bhe Un-liang memimpin orang-orangnya dan murid-muridnya untuk bertahan dengan gigih.

   Bagaimanapun orang-orang Hek-eng-po di dukung jago-jago lihai macam Ho Yu-yang dan lain-lainnya, tapi jumlah orang Liong-coan yang berkali lipat dan melawan dengan gagah berani itu menjadikan pertahanan mereka tak tertembus.

   Bahkan orang-orang Liong-coan yang rata-rata terlatih silat itupun balas mendesak.

   Dengan sorak-sorai gemuruh, orang-orang Liong-coan menyambut kemenangan Bhe Un- liang yang berhasil membunuh Tok-gia-kang (si kelabang beracun) Ciu Peng, itu bandit perempuan yang.

   bersenjata cambuk ekor kelabang.

   Beberapa pucuk bedil yang dibuat oleh Ciang Lotoa juga sudah bisa digunakan, meskipun masih kasar dan belum dipoles.

   Tapi beberapa ledakan yang menjungkalkan beberapa bandit sewaan Hek-eng-po telah membuat bandit-bandit lainnya menjadi jeri, dan mulai berpikir untuk mundur.

   Sebun Him yang dalam beberapa hari ini menjadi "malaikat pujaan"

   Sebagian besar orang-orang muda di Liong-coan melebihi Bhe Un-liang, entah kenapa tidak terlihat batang hidungnya di bagian medan tempur yang manapun juga.

   Tapi pemuja-pemujanya yakin sekali bahwa Sebun Taihiap tentu sedang membabat pentolan-pentolan Hek-eng-po di garis belakang musuh.

   Seperti ketika membunuh Tiga Siluman dulu.

   Medan tempur yang riuh rendah itu mendadak digetarkan oleh suara pekikan burung elang yang memancar dari jarak agak jauh, membelah udara malam.

   Orang-orang Hek-eng-po, baik tokoh-tokohnya maupun keroco-keroconya, segera mundur berserabutan mendengar isyarat itu.

   Bhe Un-liang yang selama ini merasa kesal karena terhimpit berbagai persoalan, tidak mau membiarkan pengacau-pengacau kampungnya itu kabur begitu saja.

   Diiringi belasan orang muridnya yang bersenjata tajam maupun beberapa pucuk bedil, ia memimpin pengejaran ke arah larinya Ho Yu-yang, jagoan dari gurun pasir yang bersenjata kampak pendek dan belati di kedua tangan itu.

   Tidak dipedulikannya di luar kampung yang gelap itu mungkin akan bertemu dengan Majikan Hek- eng-po yang sakti seperti iblis.

   Sambil mengejar, beberapa muridnya melemparkan lembing ke punggung Ho Yu- yang, namun tidak kena karena jagoan Hek- eng-po itu lari selincah kijang, melompati pematang-pematang dan menerobos kebun- kebun sayur.

   Seorang murid Bhe Un-liang dengan tangkas mengisi bedil dengan obat ledak dan peluru, lalu berjongkok mengincar punggung Ho Yu-yang.

   Pelatuk ditarik, ledakan keras menggelepar dan nampak Ho Yu-yang terhuyung-huyung.

   Dengan lompatan-lompatan seperti belalang, Bhe Un-liang memburu dan membabatkan pedangnya, membuat irisan yang dalam dan lurus dari pundak kiri sampai pinggang kanan di bagian belakang punggung Ho Yu-yang.

   Membuat satu lagi jagoan Hek- eng-po tertelungkup di kebun semangka.

   "Senjata ini hebat sekali bukan?"

   Kata murid Bhe Un-liang sambil menimang-nimang bedilnya.

   "Pantas orang-ora bule dari benua barat itu dengan jumlah yang sedikit dapat menaklukkan prajurit-prajurit benua timur yang berjumlah jauh lebih banyak...."

   "Dari siapa kau mendengar cerita itu?"

   Tanya Bhe Un-liang heran, sebab anak muda yang bicara itu belum pernah bepergian selangkahpun meninggalkan kampungnya.

   Dari mana mendengar cerita tentang orang-orang Eropa yang berhamburan ke negeri-negeri timur untuk mencengkeramkan kuku penjajahan? "Dari Sebun Taihiap,"

   Sahut anak muda itu.

   "Menurut Sebun Taihiap, seratus orang penembak dengan bedil, dengan latihan yang singkat, sanggup memusnahkan pasukan bersenjata tombak atau pedang yang berjumlah sembilan atau sepuluh kali lipat."

   "Memang benar, tapi jangan lupa bahwa bubuk mesiu ditemukan di negeri kita sejak berabad-abad yang lalu. Si Penakluk dari Mongol, Jengish Khan, memperkenalkannya kepada orang-orang Eropa ketika pasukan gerak-cepatnya menyerbu benua barat,"

   Kata Bhe Un-liang.

   "Dan bedil-bedil ini, berguna hanya untuk pertempuran di tempat terbuka, dan dalam jarak jauh. Kalau musuh sudah di depan hidung, sempatkah kau mengisi obat dan pelurunya?"

   "Tapi bedil ini juga dapat untuk perkelahian jarak dekat, seperti ini,"

   Pemuda itu tiba-tiba meraih ke belakang punggungnya untuk mengambil pisau khusus, yang dengan gerakan tangkas beberapa detik saja pisau itu telah terpasang kuat di ujung bedil.

   Bedil di tahun 1712 itu memang panjangnya hampir sepanjang tubuh manusia, maka ketika di ujung bedil terpasang pisau tajam, pemegangnya tak ubahnya memegang sebatang tombak.

   Bhe Un-liang mengangguk-angguk dan diam-diam merasa bangga juga bahwa ana- anak muda di kampungnya mendapat sejenis ketrampilan tempur model orang barat.

   Hanya saja dia cemas kalau sampai ketrampilan itu disalah-gunakan oleh Sebun Him demi ambisi pribadinya.

   Mereka pulang ke kampung dengan menggotong tubuh Ho Yu-yang, seperti serombongan pemburu membawa kijang dari hutan.

   Suara pertempuran sudah tidak terdengar lagi, agaknya pihak Hek-eng-po dan bandit-bandit sewaannya sudah mengundurkan diri.

   Namun sebelum mencapai gerbang kampung, sesosok bayangan hitam besar mendadak menyergap ke arah Bhe Un-liang.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu cepat gerakannya, sehinga tak seorangpun tahu bagaimana munculnya dan dari mana arahnya, tahu-tahu Bhe U-liang merasakan segulung tenaga yang hebat menekan kepala dan dadanya dari arah tangan penyerangnya.

   Dalam kejutnya, Bhe Un-liang tak sempat menghunus pedangnya dan hanya menggulingkan diri menghindar.

   Sekejap matanya yang tajam melihat penyerangnya itu bertubuh tinggi tegap dan berpakaian serba hitam.

   Mulut guru silat Liong-coan itu terpekik.

   "Hek-eng....."

   Hanya sampai di situ tetiakannya, sebab tubuh Hek-eng Pocu bagaikan tanpa bobot tiba-tiba melayang balik dan yang diincarnya melulu Bhe Un-liang, tidak mempedulikan lain- lainnya.

   Tubuhnya melayang dengan kepala dibawah dan kaki di atas seperti sesosok hantu terbang saja, dua kaki dan dua cakarnya malayang sekaligus ke empat sasaran.

   Seumur hidup Bhe Un-liang belum pernah melihat jurus seaneh tetapi juga dengan daya gempur sedahsyat itu, pedangnya baru sempat terhunus dua pertiga dan sepasang kaki si hantu terbang tahu-tahu sudah menimpa sepasang pundaknya bagaikan runtuhan gunung karang.

   Berikutnya dua cakar Hek-eng Pocu merobek sejajar dari bawah ke atas, membuat sang guru silat terkapar berlumuran darah.

   Segalanya berlangsung tak lebih dari dua kejapan mata, orang-orang yang bersama dengan Bhe Un-liang cuma melongo tertegun.

   Yang membawa bedilpun begitu sadar buru- buru membuka kantong mesiu dan mengisikan ke bedilnya begitu gugup sehingga bubuk mesiunya lebih banyak jatuh ke tanah daripada masuk ke bedil, lalu mengisi pelurunya.

   Tapi "si hantu terbang"

   Sudah lenyap. Yang terjadi tadi seolah hanya di alam khayal, seandainya mereka tidak melihat tubuh Bhe Un-liang yang tak berkutik.

   "Bhe Kausu! Bhe Kausu! Cepat! Obatnya! Siapa bawa obat?!"

   "Percuma, Kausu sudah... sudah tiada!"

   Beberapa pemuda masih kurang percaya, meraba-raba dada dan lubang hidung si guru silat, namun memang sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan, malah tangan mereka berlumuran darah. Beberapa murid Bhe Kausu tanpa sungkan-sungkan lagi mulai menangis.

   "Bhe Kausu terbunuh...terbunuh...."

   Pemuda-pemuda itu untuk sesaat jadi kebingungan seperti sekumpulan anak ayam yang berciap-ciap kebingungan karena induk mereka dimangsa elang.

   "Cepat kita laporkan kepada Sebun Taihiap!"

   Maka tubuh Ho Yu-yang ditaruh begitu saja di kebun sayur, lalu mereka menggotong jenazah Bhe Un-liang kembali ke kampung.

   Sesaat yang lalu mereka masih berjalan dengan kepala tegak mengabarkan kemenangan, kini mereka berjalan dengan tertunduk dan airmata bercucuran.

   Setengah berlari mereka masuk ke kampung.

   Kedatangan mayat Bhe Un-liang disambut kegemparan dan kedukaan di kampun Liong-coan, juga oleh orang-orang yang di hari-hari belakangan itu menentangnya.

   Bagaimanapun juga, jasa-jasa Bhe Un-liang terhadap kampungnya tak gampang terhapus dari ingatan.

   Sementara orang segera ribut mencari Sebun Him, lainnya menunggui dan menghibur anak-anak Bhe Un-liang yang sedih dan kalap melihat mayat ayah mereka dalam keadaan serusak itu.

   Ternyata bukan hanya Sebun Him, tetapi Tong Gin-yan, Pakkiong Eng dan Auyang Siauhong juga menghilang.

   Beberapa orang dengan membawa obor membentuk kelompok- kelompok pencari, namun sebagian lagi acuh tak acuh saja.

   "Biar saja, apa urusan kita dengan mati hidup ketiga orang itu?"

   Kata The Coan dengan acuh tak acuh,mempengaruhi teman- temannya.

   "Gara-gara merekalah maka kampung kita mendapat malapetaka se lhebat ini, sampai Bhe Kausu yang kita hormati juga berkorban nyawa!"

   "Benar, mereka tentu sudah melarikan diri secara pengecut, demi diri sendiri, tak peduli lagi kepada kita!"

   Sahut seorang pemuda lainnya sambil menggosok-gosok goloknya.

   "Ah, jangan berkata begitu, tadi di gerbang utara nona Pakkiong Eng juga bertempur dengan hebat di pihak kita. Tanpa kenal takut dia melawan pentolan bandit yang bersenjata golok besar yang dipegang dengan dua tangan. Tanpa Pakkiong Eng, mungkin puluhan teman kita di gerbang utara sudah ditebas kepalanya semua oleh pentolan bandit itu..."

   Sementara itu, Sebun Him sudah tiba di rumah Bhe Un-liang yang penuh ratap tangis.

   "Kenapa....kenapa dengan adik seperguruanku?"

   Sambil melangkah, pendekar dari Se-shia itu bertanya-tanya dengan wajah dan nada suara yang gugup.

   "Taihiap, Kausu telah...telah terbunuh..."

   Sahut seorang pemuda tegap di pintu depan sambil mengusap-usap matanya yang basah. Dialah Kwe Hok-siang, murid Bhe Un-liang yang paling setia.

   "Oh, Sute...."

   Sebun Him menunjukkan wajah yang sedih. Diam-diam diusapkannya jari-jari tangannya di tembok agar noda darah di ujung jari-jarinya terhapus.

   "Di mana jenazah Sute?"

   "Di ruangan tengah...."

   Sesaat kemudian bergabunglah Sebun Him dalam suasana kesedihan di ruang tengah, di sekitar jenazah Bhe Un-liang yang belum dibersihkan.

   Baru kali itu orang-orang Liong- coan melihat seoran pendekar gagah mencucurkan air mata, sehingga orang- orangpun jadi ikut terharu melihat betapa penuh kasih-sayang hubungan antara kakak- adik seperguruan.

   Sebun Him kemudian juga menghibur Bhe Giok-im.

   Adik Bhe Giok-im yang terkecil masih saja memegangi dua boneka wayangnya, meskipun air matanyapun bercucuran berikut ingusnya.

   Tidak ada yang sadar di ruangan itu bahwa seorang dalang lihai tengah mengatur semua adegan sedih di ruangan itu.

   Begitu hebat lakonnya sehingga dalangnya sendiri ikut menangis dengan sedihnya, setidak-tidaknya begltulah nampaknya.

   "Aku menyesal sekali bahwa aku justru mengejar ke arah yang keliru ketika mendengar tanda-tanda isyarat hadirnya si iblis keparat Majikan Hek-eng-po itu..."

   Kata Sebun Him sambil mewek-mewek.

   "Akibatnya, Bhe Sute menjadi korban..."

   Namun ketika Sebun Him menyapukan pandangan matanya ke sekitar ruangan yang penuh sesak dengan puluhan wajah sedih itu, tidak dilihatnya Tong Gin-yan, Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong. Kontan alis Sebun Him berkerut.

   "Eh, ke mana tamu-tamu muda itu?"

   Tanyanya kepada Kwe Hok-siang yang berdiri di sebelahnya.

   "Mereka belum diketahui mati hidupnya,"

   Sahut Kwe Hok-siang tanpa prasangka apapun.

   "Beberapa orang kita melihat mereka di beberapa garis pertempuran, namun begitu pertempuran selesai mereka bertiga tidak kelihatan lagi. Regu-tegu pencari sudah disebar, untuk menemukan setidak-tidaknya ... setidak- tidaknya...

   "

   Pemuda itu ragu-ragu untuk meneruskan kalimatnya dengan menyebut "mayat mereka,"

   Maka digantinya dengan.

   ". setidak-tldaknya letak mereka...."

   Sebun Him mendadak merasa jantungnya berdenyut kencang.

   Cepat ia bangkit dari duduknya dan menuju ke bagian belakang rumah Bhe Un-liang, ke kamar-kamar yang digunakan menginap oleh Tong Gin-yan bertiga.

   Tanpa peduli pandangan heran dari orang-orang yang melihatnya, ia geledah bungkusan bekal yang ditinggalkan mereka bertiga dan tak sempat dibawa.

   Pada bungkusan bekal Tong Gin-yan dan Auyang Siau-hong hanyalah ditemukan pakaian-pakaian mereka dan uang, serta bendera kecil lambang Hwe-liong-pang dalam bungkusan Tong Gin-yan.

   Tapi dalam bungkusan pakaian Pakkiong Eng, ditemuinya benda yang membuat jantung Sebun Him berdenyut semakin kencang.

   Dengan agak gemetar, ia ambil sehelai bendera kecil dari lipatan pakaian Pakkiong Eng.

   Bendera berwarna hitam, berbentuk segitiga, berpinggiran kuning emas, di tengahnya tersulam sepasang anak panah yang bersilangan berwarna ems pula.

   Bendera Komando Pangeran In Te, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kekaisaran.

   "Mereka harus diketemukan, hidup atau mati,"

   Tiba-tiba Sebun Him menggeram sambil mengepalkan tangannya.

   "Rencana sudah berjalan sampai di tahap pertengahan dan tidak boleh mundur kembali, harus maju terus..."

   Bergegas di keluar, lewat ruangan tengah. Ketika orang-orang menanyainya hendak pergi ke mana, dijawabnya.

   "Aku tidak bisa acuh tak acuh terhadap nasib putera- puteri sahabat-sahabatku itu. Aku harus ikut mencari..."

   Jawaban yang mengesankan keluhuran budi, dan tak ada yang mencegahnya.

   "Aku ikut, Supek!"

   Bhe Giok-im tiba-tiba berdiri, gadis enambelas tahun itu masih mengenakan pakaian ringkasnya dan pedangnya yang bersarung masih tergenggam di tangannya.

   "Aku ingin bertemu si durjana, dan membacoknya beberapa kali demi ayahku!"

   "Jangan, Giok-im,"

   Kata Sebun Him.

   "Setelah ayahmu meninggal, kau menjadi orang tua bagi kedua adikmu yang masih kecil, karena itu kau sendiri tidak boleh gegabah bertindak seperti anak kecil pula."

   Gadis itu dengan matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis, menatap dua adik laki-lakinya yang mulai malam itu sudah menjadi yatim-piatu seperti dirinya pula.

   la pikir ucapan Supeknya itu ada benarnya juga.

   Maka diapun menundukkan kepala tanpa membantah lagi, sementara Sebun Him dengan tergesa-gesa melangkah keluar dari ruangan yang terang benderang ke kegelapan di luar.

   Melambangkan hidupnya sendiri yang mondar-mandir antara dua dunia, yang terang dan yang gelap.

   Tidak lama setelah Sebun him keluar kampung Liong-coan dengan alasan menguatirkan keselamatan anak-anak "sahabat-sahabatnya", tiba-tiba di kejauhan, dari bukit tanah liat itu terdengar lagi suara burung elang memekik.

   Suara yang sudah dihapalkan oleh penduduk Liong-coan, suara bencana.

   Di bukit itu, dalam suasana gelap, kembali berkumpul manusia-manusia penyebar bencana dari Hek-eng-po, menghadapi pemimpin mereka yang tak pernah mereka lihat jelas mukanya, hanya berujud sesosok manusia tinggi besar serba hitam dan tak pernah pasti dari mana munculnya dan ke mana perginya.

   Namun perintah-perintahnya selalu ditaati oleh orang-orang Hek-eng-po dengan rasa takut.

   Begitu pemimpinnya muncul, Jiat-jiu Iokoai Ou Heng segera berkata keras.

   "Pocu, aku mohon agar Pocu segera memerintahkan menyerbu kampung keparat itu dan menumpas habis semua penghuninya, Tak peduli bayi- bayi! Kematian murid tunggalku haruslah dibayar dengan nyawa seluruh kampung!"

   Di dekat kaki Ou Heng terbujurlah mayat Ho Hong yang diketemukannya dekat pinggiran kampung Liong-coan dengan tulang iga berpatahan seperti bekas tersodok benda keras.

   Seorang anggota Hek-eng-po yang mengaku bernama Thio Keng dan dulu menjadi anggota gerombolan dengan alasan "minta perlindungan karena dimusuhi orang Hwe- liong-pang,"

   Juga ikut bersuara sambil menghentakkan gagang kampak bertanqkai panjangnya ke tanah.

   "Benar! Hari ini saudara Ho Yu-yang serta Ciu Peng juga telah tewas! Kalau tidak kita balaskan, percuma Hek-eng-po selama ini ditakuti di dunia persilatan!"

   Sambil pura-pura marah, dalam hati sebenarnya ia mengharapkan sekali agar usulnya itu ditolak oleh Hek-eng Pocu. Yang lainnya berteriak.

   "Ya, ! bumi- hanguskan sarang bangsat-bangsat itu, biarpun di sana ada Sebun Him, bukankah di pihak kita ada Pocu yang akan sanggup mengalahkan orang berkepala besar dari Se- shia itu?"

   Sesaat lamanya Hek-eng.Pocu diam, menunggu suasana tenang kembali, lalu berkata.

   "Dalam benturan kekerasan semacam tadi, buat apa menyesali yang sudah tewas? Lagipula, pihak lawan juga kehilangan tokoh pemimpinnya, Bhe Un-llang, dan belasan orang penduduk kampung lainnya."

   "Jadi guru silat itu sudah mampus? Siapa yang membunuhnya?"

   "Kedua tanganku sendirllah yang menghabisinya,"

   Kata Hek-eng Pocu sambil mengangkat kedua tangannya dengan bangga.

   "Hukuman ini aku pikir sudah cukup buat kelinci-kelinci Liong-coan itu, tapi yang penting adalah sasaran utama klta ternyata telah lolos. Merekalah Tong Gin-yan, Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong yang bertanggung-jawab untuk kematian orang-orang kita yang terbaik..."

   Keruan orang-orang Hek-eng-po menjadi gempar.

   Hanya Ou Heng, si siluman tua bertangan maut, yang ragu-ragu mendengar keterangan itu.

   Setahunya, Tong Gin-yan, Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong bersenjata pedang semuanya, sedang luka yang mematikan muridnya adalah bekas benda tumpul sebangsa tongkat atau ruyung yang mematahkan tulang-tulang rusuknya.

   Benarkah ketiga anak muda itu yang membunuh muridnya? Apalagi kepandaian Auyang Siau-hong jelas sangat tidak memadai untuk melukai Ho Hong biarpun hanya seujung rambut.

   "Pocu, siapakah di antara orang-orang Liong-coan yang bersenjata tumpul?"

   Demikian Jiat-jiu Lokoai mengutarakan keeagu- raguannya.

   "Muridku tidak terbunuh oleh pedang, tapi oleh sebangsa senjata tumpul....."

   "Jangan mengajak berbantah denganku!"

   Tiba-tiba Hek-eng Pocu berkata dengan dingin mengandung kemarahan, membuat Jiat-jiu Lokoai mengkeret meskipun hatinya masih penasaran. Terdengar Hek-eng Pocu berkata lagi dengan nada perintah tegas.

   "Tidak banyak waktu untuk bicara bertele-tele. Tinggalkan tempat ini segera, kejar dan temukan tiga orang muda itu dan bunuh di tempat!"

   Orang-orang itupun segera bertebaran membentuk kelompok-kelompok untuk mengejar Tong Gin-yan bertiga.

   Tujuh orang Hu-tong-cu Hwe-liong-pang yang menyusup, sengaja membentuk satu kelompok.

   Di mulut mereka bilang akan mencincang putera Tong Lam-hou, namun dalam hati mereka cemas keselamatan putera Ketua mereka itu.

   Sementara itu, setelah menguburkan mayat muridnya di satu tempat, Jiat-jiu Lokoai diam-diam bersumpah dalam hatinya sendiri karena dendamnya.

   "Tenanglah, anakku, akan aku balaskan sakit hatimu. Bukan hanya ketiga bangsat kecil itu akan aku korek jantungnya, tapi juga anggota-anggota keluarga Sebun. Biarlah Sebun Him si keparat itu merasakan juga kehilangan anak-anaknya. Biarpun Pocu kelak kurang setuju, tapi kalau sudah terlanjur tentu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, paling- paling menegurku dengan keras...."

   Begitulah, di samping rencana Hek-eng Pocu sendiri, ternyata anak buahnya yang merasa punya kekuatan, semacam Jiat-jiu Lokoai juga punya rencana sendiri demi dendamnya.

   Dia yakin rencananya itu tidak bertentangan dengan rencana Hek-eng Pocu....

   Setelah tempat itu sepi, Hek-eng Pocu berkelebat pergi bagaikan sesosok hantu.

   Untuk muncul di lain tempat dengan wajah seorang dewa penolong yang penuh welas- asih....

   Jenazah Bhe Un-liang dimakamkan dengan sebuah upacara besar yang penuh emosi dari penduduk Liong-coan yang mengantarkan pemimpin mereka ke liang lahat.

   Sebun Him dengan ucap-ucapannya telah membakar kemarahan, sekaligus juga menimbulkan keharuan.

   Dipelopori oleh The Coan dan orang- orang lain yang sudah begitu terpesona oleh Sebun Him, muncullah usul agar Sebun Him memimpin kampung Liong-coan.

   Sebagian kecil penduduk masih ragu-ragu tapi suara yang ragu-ragu itu akhirnya tenggelam oleh suara yang mendukung usul The Coan itu.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebun Him mula-mula menolak pengangkatan, namun akhirnya menyetujui untuk memperhatikan dan membimbing penduduk Liong-coan agar semakin kuat dan sejahtera.

   Ia menjanjikan akan memanggil "teman-temannya dari Pak-khia"

   Untuk ditempatkan di kampung itu sebagai wakilnya, karena dia sendiri "masih banyak urusan di lain tempat".

   Pengaruh Sebun Him semakin kuat, ketika ternyata kemudian orang-orang Hek- eng-po membubarkan kepungan dan ancaman mereka atas Liong-coan.

   Sebagian orang berpendapat, bubarnya musuh karena "wibawa Sebun Taihiap yang agung..."

   Sebagian lagi berpendapat, bubarnya musuh karena tiga tamu "pembawa bencana"

   Sudah pergi.

   Sebagian lagi berpendapat, bubarnya musuh karena kekuatan dan keberanian orang- orang Liong-coan sendiri yang berani mempertahankan kampung-halamannya.

   Sebagian lagi tidak berpendapat apa- apa, karena kepala mereka cuma berisi angin dan mereka ikut arus saja, mana yang paling menguntungkan.

   Lepas dari pendapat macam-macam, seorang pemuda Liong-coan yang dianggap setia oleh Sebun Him, telah diutus pergi ke Pak-khia untuk membawa suratt Sebun Him kepada "kawan-kawan dari Pak-khia".

   Pemuda itu sudah pernah pergi ke Pak-khia dan besar harapannya akan dapat menyampaikan surat ke alamatnya.

   Ia menunggangi seekor kuda tegar dan membawa lagi seekor kuda cadangan.

   Senjata yang dibawanya bukan cuma pedang, juga bedil yang ditempatkan di pelana kuda cadangannya, selain uang bekal dari Sebun Him yang cukup banyak jumlahnya.

   Beberapa hari kemudian, dari Pak-khia datanglah beberapa orang berseragam seperti pengawal istana para bangsawan.

   Mereka dipimpin seorang yang bertubuh tegap padat, meskipun tidak besar, berhidung bengkok seperti paruh burung betet dan pandangan matanya tajam seperti elang.

   Dialah Sek Cha, pemimpin pengawal Pangeran In Si yang pernah mengunjungi Sebun Him beberapa hari di rumahnya.

   Sek Cha sudah membaca surat Sebun Him, maka begitu memasuki kampung Liong- coan, matanya yang tajam melihat keadaan kampung itu dan mengangguk-anggukkan kepala, dalam hati ia sependapat dengan Sebun Him.

   Meskipun kampung itu sepi, namun letaknya bagus ditinjau dari segi militer.

   Diapit gunung sehingga tidak gampang diserang, ada bukit tanah liat yang bisa dijadikan bahan baku mendirikan benteng-benteng penahan musuh, tanahnya subur sehingga menjadi sumber perbekalan tentara, masih banyak tanah kosong untuk didirikan barak-barak prajurit di situ, kabarnya sudah ada empatratus lelaki Liong-coan siap dididik menjadi tenaga.

   Tapi Sebun Him juga berpesan wanti- wanti kepada Sek Cah agar lebih dulu menyembunyikan tujuan sebenarnya dari rencana menjadikan Liong-coan salah satu basis kekuatan Pangeran In Si.

   Untuk sementara, Liong-coan juga akan dibiarkan tetap berpenampilan seperti kampung petani dan pedagang, namun jika saatnya tiba Pangeran In Si bangkit merebut tahta, barulah kampung itu menjadi salah satu mata rantai kekuatan pendukung Pangeran In Si.

   **OZ** Bersambung ke

   Jilid 27 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 27 Tentu saja Pangeran In Si tidak mungkin sanggup bersaing dengan Pangeran In Ceng yang bersahabat dengan ratusan pendekar dan pemimpin perguruan di Kang- lam karena diharapkan akan mengangkat "martabat bangsa Han"

   Atau Pangera In Te yang menguasai angkatan perang, kalau hanya didukung orang sekampung. Namun kalau ada dua ratus atau tiga ratus tempat yang bisa "dibina"

   Model Liong-coan, maka Pangeran In Si akan bisa mengobarkan pemberontakan besar.

   Sebun Him sebagai sekutu Pangeran In Si yang dijanjikan akan dijadikan Gubernur Siam-sai kalau Pangeran In Si berhasil menjadi Kaisar, dengan bersemangat telah menjanjikan untuk memupuk kekuatan sebesar-besarnya di wilayah Siam-sai dan Siam-siok.

   Di pintu gerbang kampung, rombongan Sek Cha disambut oleh Sebun Him.

   Keduanya saling memujikan keselamatan, lalu rombongan dibawa ke rumah Bhe Un-liang yang sudah menjadi semacam "pusat pemerintahan"

   Di Liong-coan. Kepada orang-orang Liong-coan, Sebun Him memperkenalkan Sek Cha sebagai "pelatih yang bijaksana"

   Yang akan "memimpin dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Liong- coan"....

   Orang-orang kampung yang lugu dan tidak kenal liku-liku politik itupun cuma mengangguk-angguk, meskipun timbul juga semacam keheranan.

   Kalau Bhe Un-liang sudah gugur, kenapa tidak dicarikan penggantinya orang setempat? Kenapa harus diambilkan jauh-jauh dari Pak-khia? Hanya saja orang-orang kampung sudah terlalu percaya kepada Sebun Him, apapun yang dilakukan Sebun Him untuk mengatur mereka, mereka cuma mengangguk-angguk saja.

   Malamnya, diadakan sebuah pesta perjamuan menyambut si pemimpin baru, sekaligus untuk mengucapkan selamat jalan kepada Sebun Him.

   Esok harinya, dengan diantar orang- orang Liong-coan sampai ke pintu gerbang, Sebun Him berangkat meninggalkan kampung itu.

   Entah ke mana, hanya Sebun Him sendiri yang tahu.

   Hari-hari berikutnya, di bawah pimpinan Sek Cha bersama teman-temannya dari Pak- khia, lelaki-lelaki di Liong-coan mendapatkan latihan-latihan yang Iebih keras.

   Dulu Sebun Him hanya membujuk para pemuda agar sukarela menglkuti latihan, namun kini Sek Cha justru mewajibkan.

   Pokoknya lelaki berusia enambelas sampai tigapuluh lima tahun, suka atau tidak suka harus ikut latihan.

   Yang menolak segera dihukum atau digencet sedemikian rupa sampai tak bisa menolak lagi.

   Bengkel besi Ciang Lotoa masih saja berdentang-dentang dari pagi sampa sore.

   Kini yang digarapnya adalah bedil, tombak, pedang, mata panah dan alat-alat perang lainnya.

   Segala macam cangkul, sekop, garpu jerami, roda gerobak atau kerekan timba menjadi urusan nomor dua.

   Kalau sempat ya digarap, kalau tidak ya dibiarkan saja berkarat kena hujan di halaman samping.

   Orang-orang Liong-coan mendadak merasa tertekan, tidak lagi bebas tertawa atau menggerutu.

   Percakapan-percakapan diwarnai kecurigaan satu sama lain, jangan-jangan lawan bicaranya sedang menunggu lidahnya keseleo lalu dilaporkan Sek Cha supaya digantung? Bepergian keluar kampung juga tidak bebas lagi, sanak keluarga harus ditinggalkan di kampung sebagai sandera agar yang pergi itu tidak minggat untuk seterusnya.

   Orang-orang mulai bertanya-tanya tapi cuma dalam hati, kenapa begini jadinya? Kesejahteraan mau ditingkatkan dengan apa kalau pacul-pacul dibiarkan rompal tidak diperbaiki, sedangkan bedil, tombak dan pedang dibuat terus sampai jumlahnya melebihi keperluan? Seandainya bisa, biarlah Bhe Un-liang bangkit dari kuburnya dan memimpin seperti dulu lagi.

   Tapi itu hanya seandainya.

   **OZ** BAGIAN TIGA PULUH Dengan tekad harus memenangkan pertarungan di gunung Siong-san yang harinya semakin dekat, Sebun Hiong berlatih tak kenal lelah.

   Pagi, siang, sore.

   Tinju, tendangan, pedang.

   Kadang-kadang timbul niatnya untuk kabur dari rumah dan mencari Pakkiong Eng yang dirindukannya, tapi terbayang wajah ayahnya yang bengis kalau ia sampai tampil memalukan di Siong-san nanti, maka dipaksanya dirinya berlatih terus.

   Pada suatu siang, seorang penunggang kuda upahan tiba di rumah Keluarga Sebun.

   Membawa surat dari Sebun Him di perjalanan, memerintahkan agar Sebun Hiong segera berangkat ke Siong-san karena waktunya sudah dekat.

   Maka didapatkan kesepakatan bahwa yang akan pergi itu merupakan rombongan.

   Bukan saja Sebun Hiong, tetapi juga Liu Jing- yang serta isterinya, Sebun Giok yang perutnya sudah menggelembung besar itupun akan ikut, disertai limabelas pegawai keluarga Sebun yang terdiri dari tukang merawat kuda, pencatat keuangan, penghubung dan sebagainya, tapi setiap orang dari mereka sanggup juga bertempur kalau perlu.

   Maka rombongan akan mirip rombongan pejabat tinggi pemerintah yang sedang pindah tempat tugas.

   Sebenarnya Sebun Hujin, isteri Sebun Him yang merupakan sesosok gunung lemak bertaburkan intan permata itu, ingin agar di rumah ia ditemani Liu Jing-yang dan Sebun Giok.

   Tapi Liu Jing-yang memohon dengan sangat untuk ikut, dengan alasan akan sekalian menengok rumahnya di Liu-keh-chung, dekat kota Lok-yang propinsi Ho-lam.

   Kebetulan Gunung Siong-san juga ada di propinsi Ho-lam, jadi Sebun Hujin tak punya alasan lagi untuk menghalangi.

   Dan akhirnta melepas putera-puteri dan menantunya yang tampan untuk pergi semua, tidak lupa membekali mereka dengan daftar panjang barang belanjaan yang harus dibawa pulang kelak.

   "Bagaimana kalau tiba-tiba para penjahat Hek-eng-po menyerang rumah ini?"

   "Dalam surat ayah, ayah yakin Hek- eng-po tak akan berani menyentuh rumah ini seujung rambutpun, Kita harus percaya kepada ayah."

   "Selama ini, entah kenapa, Hek-eng begitu takut kepada keluarga kita."

   "Kalau begitu, baiklah. Kalian boleh berangkat semua. Apakah persiapannya sudah lengkap? Terutama untuk A-giok yang sedang hamil, tentu tidak boleh menunggangi kuda."

   "Ho Ciangkui sudah menyiapkan kereta dengan kasur empuk di dalamnya."

   "Baiklah. Tapi jangan lupa barang- barang pesananku."

   "Ibu sendiri jangan lupa, tanggal limabelas bulan depan adalah batas terakhir Perusahaan Sutera Yong-coan membayar hutangnya kepada kita, kalau tidak mampu, ambil-alih perusahaannya tanpa ampun. Hakim di Se-shia akan membantu kita"

   "Soal lain aku bisa lupa, tapi soal yang satu ini jangan harap ibu bisa lupa. Surat hutang si juragan she Lim itu selalu tersimpan di laciku, aku juga tidak bakal meleset setahilpun dalam menghitung bunga hutangnya. Begitu tiba saatnya, kita caplok dia....."

   Keesokan harinya, rombongan Sebun Hiongpun berangkat.

   Ada sebuah kereta dalam rombongan itu yang mengangkut Sebun Giok yang sedang hamil tetapi bersikeras untuk bertamasya ke propinsi Holam.

   Sebun Hiong dan Liu Jing-yang berkuda paling depan mengawal rombongannya.

   Anak laki-laki dan murid Sebun Him yang kini telah menjadi saudara ipar itu berkuda dengan gagahnya, menimbulkan kekaguman orang-orang yang melihatnya sepanjang jalan.

   Sebun Hiong yang tinggi besar seperti ayahnya dan berwajah tampan, memakai jubah sutera dan mantel ungu yang berkibaran waktu kudanya berlari dengan kecepatan sedang.

   Warna kesayangannya itulah yang membuat ia di kalangan persilatan mendapat julukan Ci-him Siau-eng (Pendekar muda Beruang Ungu).

   Di pelana kudanya tergantung pedangnya yang berukuran satu setengah kali pedang biasa.

   Rambutnya dikuncir panjang dan dibiarkan tanpa penutup apapun.

   Liu Jing-yang lebih ramping dan tampan, mengesankan seorang tuan muda pesolek yang ingin menarik perhatian dengan penampilannya.

   Senyumannya memberi kesan memikat, agak berbeda dengan Sebun Hiong yang gagah angker.

   Inilah perjalanan orang-orang kaya, maka setiap kali rombongan itu berhenti di suatu tempat untuk beristirahat dan makan minum, apalagi kehamilan Sebun Giok menjadikan perjalanan itu agak lambat.

   Tapi Sebun Hiong sudah memperhitugkan bahwa dia tidak akan terlambat sampai di Siong-san.

   Hatinya agak berdebar juga mengingat dirinya harus sanggup bersaing dengan Tong Gin-yan, anak Ketua Hwe-liong-pang yang terkenal, dan dengan Si Liong-cu, murid Pun-bu Hweshio yang tak kalah terkenalnya.

   dan tnyata Si Liong-cu itu adalah seorang Pangeran yang sedang minggat dari istana.

   Kadang-kadang Sebun Hiong merasa bahwa dirinya yang sudah sedewasa ini masih juga menjadi alat ambisi ayahnya yang bercita- cita terlalu tinggi.

   Namun belenggu sutera yang melibat jiwanya sejak kecil, membuatnya tak sanggup memutuskannya hanya dalam sekejap mata.

   Pada suatu hari, ketika rombongan yang mirip tamasya itu tengah melewati sebuah jalan raya yang menjadi urat nadi Propinsi Kam-siok, mereka berpapasan dengan serombongan lelaki berkuda lainnya.

   Ada lima orang, semuanya berpakaian perjalanan yang ringkas dan membawa pedang dengan bentuk yang sama, menandakan berasal dari satu perguruan.

   Berpapasan dengan rombongan kaum persilatan adalah hal biasa di jalan seramai itu, namun kali ini rombongan tersebut cukup menarik perhatian Liu Jing-yang setelah dia mengenal seorang lelaki setengah baya yang berjubah biru, yang agaknya memimpin rombongan itu.

   "Paman Auyang!"

   Liu Jing-yang memanggil.

   "Jing-yang!"

   Pada saat yang hampir bersamaan lelaki gagah berjubah biru itupun memanggil sambil menghentikan kudanya, diikuti seluruh rombongannya.

   Sedang rombongan keluarga Sebun berhenti pula.

   Lelaki gagah itu memang Auyang Peng- hong, Ketua Ki-Iian-pai yang berjulukan Lam- ih-kiam-khek (jago pedang berbaju biru) yang cukup terkenal di kalangan silat.

   Sedang empat pemuda yang mengikutinya adalah murid- murid Ki-lian-pai yang merupakan bagian dari Sepuluh Pemain Pedang Terbaik dari Ki-lian- pai.

   Di antaranya nampak Kam Hun-siong, Ceng Sin-tong, dan dua pemuda lainnya yang bertubuh kekar dan bermata tajam.

   "Jing-yang, sejak malapetaka menimpa Liu-keh-chung, aku sedih sekali karena tidak ada harapan menjumpai keturunan she Liu.....,"

   Kata Auyang Peng-hong.

   "Tapi aku gembira ketika kemudian mendengarmu masih dalam keadaan selamat dan bahkan menjadi menantu Sebun Taihiap yang termasyhur!"

   Isteri Ketua Ki-lian-pai bernama Liu Giok-kiau, adalah adik perempuan dari Liu Goan, ayah Liu Jing-yang, jadi termasuk bibi Liu Jing-yang.

   Liu Jing-yang kemudian memperkenalkan pamannya ini kepada Sebun Hiong dan Sebun Giok, sedangkan Auyang Peng-hong memperkenalkan pula anggota rombongannya.

   Ternyata, begitu tahu sedang berhadapan dengan putera Sebun Him yanq sakti dan kaya-raya itu, sikap Auyang Peng- hong berubah menjadi sangat menghormat berlebihan, malah ada kecenderungan menjilat.

   Sikap yang membuat Ceng Sin-tong sebagai murid Ki-lian-pai merasa agak malu.

   Meskipun Sebun Hiong jauh lebih muda, tapi Auyang Peng-hong lebih dulu mlompat turun dari kudanya dan membungkuk dalam-dalam di hadapan anak muda itu.

   "Salamku untuk tuan muda Keluarga Sebun yang gagah perkasa!"

   Karena sudah biasa dihormati orang, Sebun Hiong hanya mengangguk sedikit sambil mengucapkan kata-kata basa-basi, tetapi tetap duduk di atas kuda.

   Tidak peduli yang membungkuk terhadapnya itu adalah ketua sebuah perguruan.

   Bungkukan hormat Auyang Peng-hong diulangi lagi di depan pintu kereta yang membawa Sebun Giok, seperti seorang prajurit rendah di hadapan seorang ratunya, atau bahkan mirip budak belian.

   Sebun Giok juga hanya menjawab sekedarnya saja dari balik tirai kereta.

   Itupun sudah cukup membuat Auyang Peng-hong berseri-seri mukanya.

   Ceng Sin-tong menarik napas melihat itu, dan menggerutu dalam hati.

   "Apakah orang-orang keluarga Sebun adalah dewa- dewa yang turun dari langit sehingga kami mesti merendahkan diri begini rupa? Bukankah leluhur perguruan Ki-lian-pai sendiri tak kurang jumlahnya yang gagah perkasa dan melakukan perbuatan-perbuatan menggemparkan di dunia persilatan?"

   Terdorong sikap kurang puasnya, maka Ceng Sin-tong pun menunjukkan pendiriannya.

   Tiga saudara seperguruannya mengikkuti jejak sang Ketua untuk turun dari kuda dan menekuk punggung di hadapan Sebun Hiong dan Sebun Giok, tapi Ceng Sin-tong tidak, meskipun Auyang Peng-hong sudah memberinya isyarat dengan kedipan mata dan gerakan kepala, ia tetap duduk di atas kudanya ketika menjura kepada Sebun Hiong, yang tidak dipanggilnya "Sebun Siauhiap"

   Melainkan "Saudara Sebun".

   Sebun Hiong sendiri pada dasarnya tidak berwatak gila-hormat, ia hanya terbiasa menerima hormat dan sanjungan sejak kecil karena ia putera Sebun Him.

   Ada orang hormat kepadanya, ia kurang peduli karena sudah biasa, tapi ada orang yang tidak hormat kepadanya, diapun tidak ambil pusing.

   Ketegaran sikap Ceng Sin-tong itu malah membuat Sebun Hiong menilai lebih terhadap murid Ki-lian-pai itu, lebih dari terhadap Auyang Peng-hong.

   Barangkali karena sifatnya ini maka Sebun Hiong lebih suka bicara kepada Liu Beng yang ceplas-ceplos dengan Ikalimat-kalimat "tak terdidik"

   Daripada dengan Liu Jing-yang yang serba lemah lembut namun hanya selalu berusaha menyenangkan hatinya saja.

   Hanya melontarkan puji-pujian, padahal ia sudah cukup disanjung-puji sejak kecil.

   Melihat Sebun Hiong tidak menunjukan gejala-gejala marah atau tersinggung terhadap sikapnya, barulah dalam hati Ceng Sin-tong timbul pengharapan yang tulus.

   Bukan penghargaan yang dibuat-buat berlebihan dengan membungkuk-bunguk segala.

   Sedangkan Liu Jing-yang sejak kecil sudah biasa melihat pamannya itu sebagai seorang tokoh perkasa yang disegani, sampai kakeknyapun segan kepada mantunya yang satu ini.

   Tapi yang terjadi di depan matanya saat itu membuat ia melihat bahwa pamannya ternyata berwatak lemah, tidak segarang sikap yang selalu dipamerkannya ketika sering mengunjungi Liu-keh-chung dulu.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Timbul pemikiran sendiri dalam otak Liu Jing-yang, tidak peduli pamannya itu si harimau yang memamerkan taringnya atau anjing yang mengempit ekornya, namun dilihatnya ada setitik peluang untuk mengajak pamannya membantu rencananya yang sudah agak lama tersimpan di hati.

   Kini ia yakin bahwa pamannya bukan seorang yang sulit dibujuk untuk diajak kerjasama.

   Ia tersenyum sendiri dalam hatinya.

   "Di luar dugaan, dalam perjalanan ke Siong-san ini, ada kemungkinan rencanaku berhasil maju setahap lagi,"

   Pikirnya dengan puas.

   ".....dengan bantuan pamanku yang gagah perkasa terhadap yang lebih lemah, namun sangat jinak kepada yang lebih kuat. Bagus... bagus...."

   Sementara itu, puas dengan tingkah lakunya sendiri, barulah Auyang Peng-hong naik kembali ke kuda diiringi murid-muridnya yang lain.

   "kalian hendak ke mana?"

   Tanyanya. Sebun Hiong membiarkan Liu Jing-yang bicara mewakilinya.

   "Kami mengantarkan Suheng Sebun Hiong ke Siong-san untuk bertanding dengan murid utama Siau-lim-pai dan Hwe- liong-pang. Hanya pertandingan persahabatan.....

   "

   "Hebat, aku yakin Sebun Siauhiap pasti menang. Siapa tidak kenal jago muda Keluarga Sebun yang tangguh?"

   "Paman sendiri hendak ke mana?"

   "Ah, kami seluruh Ki-lian-pai sedang dibikin pusing oleh menghilangnya adik sepupumu, Auyang Siau-hong, padahal segala persiapan perkawinannya sudah lengkap..."

   "Jadi Hong-moai hendak menikah? Dengan siapa?"

   Auyang Peng-hong menunjuk Kam Hun- siong.

   "Kami dari keluarga Sebun mengucapkan selamat,"

   Kata Liu Jing-yang. yang tanpa diangkat oleh siapapun telah mengangkat dirinya mewakili Keluarga Sebun. Setengah langkah maju dalam rencana, pikirnya.

   "Kalau adikmu itu tidak juga diketemukan, upacara pernikahan yang sudah disiapkan bakal menjadi berantakan. Ah, dasar bocah keras kepala yang menuruti maunya sendiri....."

   Sebun Hiong yang mendengarkan percakapan itu tiba-tiba merasa bahwa anak perempuan ketua Ki-lian-pai itu bernasib hampir sama dengan dirinya.

   Cuma gadis itu lebih punya nyali untuk menjebol kurungannya, sedang dirinya sendiri tidak.

   Kedua rombonganpun bergabung karena kebetulan sejalan.

   Ketika matahari mulai merunduk di balik bukit, dari dalam keretanya Sebun Giok merengek manja menyatakan sudah lelah dan ingin beristirahat.

   Sebelum Sebun Hiong atau Liu Jing-yang menanggapinya, malah Auyang Peng-hong sudah lebih dulu menawarkan jasa.

   "Biar kami jalan di depan untuk mencari tempat yang baik......", katanya sambil menoleh kepada Sebun Hiong untuk mendapat persetujuan.

   "Ah, jangan merepotkan Ketua Auyang, orang-orangku sendiri bisa disuruh..."

   Kata Sebun Hiong sungkan.

   "Tidak apa-apa, aku melakukan dengan senang hati..."

   Jawab Auyang Peng-hong, lalu mempercepat kudanya untuk mendahului rombongan itu. Tiga muridnya berbuat serupa, tapi Ceng Sin-tong tidak mengikutinya.

   "Ayolah, Sin-tong!"

   Teriak Auyang Peng- hong dari depan sambil menoleh ke belakang.

   "Aku tidak ikut saja, Ciangbun Susiok (paman Ketua)..."

   Sahut Ceng Sin-tong dingin, membuat paman ketuanya jadi terperangah dengan muka merah padam.

   "Kenapa?"

   "Keluarga Sebun adalah keluarga persilatan, menginap di hutan atau di tempat terbuka lainnya sama saja, kenapa kita harus repot-repot mencarikan tempat segala?"

   "Tetapi Liu Hujin (nyonya Liu, maksudnya Sebun Giok) sedang mengandung, mana boleh berhenti di sembarang tempat?"

   Hampir saja sang paman-guru bertengkar dengan keponakan murid itu, bertengkar karena mengukuhi sikap masing- masing, namun Sebun Hiong cepat menyela.

   "Jangan menyibukkan diri, Ketua Auyang. Saudara itu benar, bahwa kami sebagai keluarga persilatan bisa istirahat di mana saja. Kami juga membawa tenda-tenda."

   Akhirnya dicapai kesepakatan mereka akan menempati sebuah pinggiran hutan sepi yang agak menjorok masuk agak jauh dari jalan raya.

   Auyang Peng-hong memutuskan ikut berhenti pula, mengambil tempat tidak jauh dari tempat keluarga Sebun.

   Api unggun dinyalakan, tukang-tukang masak keluarga Sebun segera beraksi, hingga biarpun keadaan darurat, namun pinggir hutan itu menjadi ajang pesta.

   Kelompok Ki-lian-pai diundang untuk ikut makan bersama, bicara ngalor-ngidul, dan kemudian kembali ke tempat masing-masing.

   Tengah malam, keadaan makin sepi karena orang-orang yang lelah berjalan itu mulai bergeletakan tidur di rumput.

   Liu Jing- yang yang berbaring dekat roda kereta sambil menatap bintang-bintang itu belum bisa memejamkan matanya, karena pikirannya masih berputar mengutak-atik rencananya sendiri.

   Bagamana melangkah dengan mulus dan aman? Bagaimana impiannya terwujud? Sebun Kiong di seberang kereta sudah mendengkur halus seperti seekor kucing jinak.

   Namun ketika Liu Jing-yang bangkit dan menimbulkan gemerisik halus, si kucing jinak berubah menjadi si beruang ganas yang menggeliat garang.

   Ia mengangkat kepalanya dan telapak tangannya sudah mencengkeram erat tangkai pedangnya yang besar itu.

   "Hendak kemana, Sute?"

   Biarpun sudah bersaudara ipar, keduanya tetap saling memanggil seperti saudara-saudara seperguruan.

   Sebun Hiong tidak pernah membiarkan Liu Jing-yang memperciut jarak hubungan dengannya, dan Liu Jing-yang tidak berani gegabah melanggar garis merah itu, demi kelangsungan rencananya.

   Mengalah sedikit untuk kelak maju dan menguasai.

   "Aku....aku sulit tidur, Suheng,"

   Sahut Liu Jing-yang.

   "Aku akan bercakap-cakap dengan paman Auyang sebentar, sekedar melepas rindu."

   Si beruang ganas meregangkan tubuh sebentar untuk melemaskan ototnya, lalu kembali berbaring dengan santai di rerumputan tebal, agak jauh dari api unggun yang mulai meredup karena kayunya tidak ditambah.

   "Silahkan, Sute."

   Liu Jing-yang bangkit.

   dan melangkah ke arah api unggun lain yang berjarak limapuluh langkah, api unggun kelompok Ki- lian-pai.

   Ketika jarak tinggal duapuluh langkah, Liu Jing-yang tahu bahwa orang-orang Ki-lian- pai belum tidur, masih terdengar suara percakapan mereka.

   Sengaja Liu Jing-yang memperdengarkan langkahnya untuk memberitahukan kehadirannya, kemudian bergabung dengan mereka dan ikut bercakap- cakap.

   Namun setelah berlangsung beberapa lama, Liu Jing-yang tiba-tiba berkata.

   "Paman Auyang, entah kapan kalau ada waktu , aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."

   Terhadap Liu Jing-yang, kini Auyang Peng-hong tidak lagi menganggapnya sebagai keponakan kecil yang pantas ditegur atau dijewer telinganya, namun sebagai menantu Keluarga Sebun yang amat berpengaruh. Karena itu serta-merta ia menjawab.

   "kalau cukup penting, sekarangpun aku bisa meluangkan waktu". Auyang Peng-hong menyimpulkan dari sikap Liu Jing-yang bahwa yang hendak dibicarakan itu tentunya soal penting maka ia.bangkit meninggalkan api unggun dan kerumunan murid-muridnya serta berkata.

   "Tentunya bersifat pribadi? Baik, mari kita bicara di tempat sepi."

   Paman dan keponakan itu menghilang dalam kegelapan, pada jarak seratus langkah lebih dari api unggun kelompok keluarga Sebun maupun kelompok Ki-lian-pai.

   Di sebuah dataran gelap yang hanya dihuni jangkrik- jangkrik dan serangga malam lainnya, Liu Jing- yang menghentikan langkahnya dan berdiri berhadapan dengan pamannya.

   "Paman, Liu Beng si kacung itu sekarang adalah orangnya keluarga Sebun, bahkan berkedudukan sebagai Huciangkui (wakil pengelola), demikian Liu Jing-yang mulai dengan "jurus"

   Pertamanya.

   Seperti yang pernah diperhitungkan, ucapan itu mengejutkan Auyang Peng-hong.

   Seperti diketahui, ia pernah berusaha menyiksa Liu Beng untuk ditanyai di mana adanya gulungan kulit itu.

   Memang ia memakai kedok waktu menyiksa si kacung di hutan di kaki gunung Ki-lian-san, selah menyelamatkan Liu Beng dari ancaman murid-murid Ki-lian-pai yang dengki seperti Kam Hun-siong dan kawan-kawannya.

   Namun kemudian muncul dua jagoan Hek-eng-po, Ho Yu-yang dan Oang Sek-lai, dan di hadapan mereka terpaksa Auyang Peng- hong membuka kedoknya, sehingga Liu Beng melihatnya pula.

   Kemudian Ong Sek-lai terbunuh olehnya, Ho Yu-yang kabur dan Liu Beng yang sudah mengetahui watak serigalanya itu juga hilang entah ke mana.

   Auyang Peng-hong merasa tidak tenteram sejak saat itu.

   Bagaimana kelak kalau para pendekar mengetahui bahwa dia sebagai mahaguru terhormat telah menyiksa seorang murid baru hanya untuk menanyakan barang yang bukan haknya? Tidakkah nama baiknya akan rusak, bukan mustahil juga akan terjungkir dari kedudukan sebagai ketua Ki-lin- pai.

   Kini ia mendengar berita tentang Liu Beng, namun kacung itu sudah menjadi orangnya keluarga Sebun, beranikah ia menyentuhnya? Karena kecemasan akan kehilangan nama baiknya, maka belum lagi Liu Jing-yang menyebutkan hal lain tentang Liu Beng, Auyang Peng-hong sudah berkeringat dingin dan berkata dengan gugup.

   "Kacung keparat itu tentu menceritakan keburukan- keburukanku, jangan percaya. Bahkan dia sendiri kuusir dari perguruan karena hampir saja berhasil memperkosa seorang murid perempuan!"

   Semakin bersemangat, atau lebih tepat disebut kebingungan Auyang Peng-hong membela diri, semakin senang Liu Jing-yang dalam hati karena akan memperkuat kedudukannya untuk menekan dan memperalat pamannya ini.

   Tapi wajahnya pura-pura menampilkan kesan kurang gembira, katanya.

   "Ya, mulut Liu Beng memang lancang sekali, mentang-mentang sudah menjadi orang kesayangan mertuaku. Ia ceriakan bahwa paman adalah orang yang serakah terhadap gulungan kulit keluarga Liu sehingga tega memfitnah dan menyiksanya, ia juga bersumpah akan menceritakan kelakuan paman kepada siapapun yang mau percaya, katanya supaya semua orang tahu bahwa ketua Ki-lian-pai hanyalah seekor maling berkedok pendekar, seekor musang berbulu ayam...."

   Pengalaman Liu Beng di Ki-lian-pai memang pernah diceritakan kepada Liu Jing- yang serba singkat, namun "tanpa warna"

   Hitam atau putih.

   Liu Beng yang lugu itu tidak senang dengan pengalaman itu, tapi juga tidak dendam.

   Sedang soal Liu Beng katanya hendak menyebarluaskan perbuatan busuk ketua Ki- lian-pai itu hanyalah karangan Liu Jing-yang sendiri.

   Sedang Auyang Peng-hong yang jauh di dasar hati memang merasa bersalah, telah terpukul tepat pada kelemahannya sehingga terpengaruh bualan Liu Jing-yang itu dan membayangkan nama harum Lam-ih Kiam- khek selama puluhan tahun akan hancur dalam sekejap mata karena "mulut lancang"

   Liu Beng.

   "Tidak benar! Buat apa aku hendak menipu kacung yang tak punya apa-apa itu?! Buat apa?! Dia menjelek-jelekkan aku untuk menutupi kebusukan sendiri! Jangan percaya semua omongannya!"

   "Lho, kenapa paman malah membentak-bentak aku?"

   Kata Liu Jing-yang dengan kalem.

   "Sudah tentu aku tidak percaya kepadanya, sebab aku kenal betul siapa paman sebagai tokoh terhormat? Tapi, bisakah orang lain bersikap seperti aku?"

   "Kalau begitu, Liu Beng adalah tukang fitnah yang mesti dihancur-leburkan!"

   Suara Auyang Peng-hong masih saja meninggi karena kemarahan bercampur kecemasan akan kerusakan nama baiknya.

   "Jing-yang, kau sebagai menantu Sebun Taihiap, aku mohon untuk membungkam mulut budak liar itu! Harus bisa. Demi pamanmu ini. Di Liu-keh- cung dulu kedudukannya di bawahmu, dalam keluarga Sebun juga demikian, dia hanya Huciangkui sedangkan kau adalah menantu! Dia mesti dibungkam sebelum mencemarkan nama keluarga kita!"

   "Sabar, paman. Tanpa disuruh oleh pamanpun aku sudah ingin merobek mulutnya, tapi..... tidak bisa."

   "Lho, kenapa? Menantu keluarga Sebun masa harus kalah kuasa dari seorang pegawai?"

   "Mestinya tidak, tapi nyatanya begitu. Terus terang, paman, keluarga Sebun menerimaku sebagai menantu karena terpaksa, kecuali Sebun Hujin dan Sebun Giok sendiri. Lihat saja, biarpun aku dan Sebun Hiong bersaudara ipar, namun tetap saling memanggil Suheng dan Sute, bukan panggilan kekeluargaan. Sedangkan terhadap Liu Beng, entah kacung itu memakai guna-guna macam apa, Sebun Him dan Sebun Hiong menyukainya sekali. Rencananya, kalau Liu Beng kembali ke rumah besok, akan segera diadakan upacara angkat- saudara dengan Sebun Hiong yang direstui oleh Sebun Him. Nama Liu Beng akan diubah menjadi Sebun Beng, meskipun kacung itu sudah punya ayah angkat Hong Thai-pa dari Thai-san yang berjulukan Cui-poan-siang (gajah gemuk pemabuk)...."

   "Hah?!"

   Begitu kagetnya Auyang Peng- hong mendengar itu, melebihi kalau mendengar berita mendadak "isterimu kecemplung sumur"

   Atau "mertuamu dicaplok macan".......

   Tak terbayangkan Liu Beng menjadi anak angkat Sebun Him dan namanya terangkat di dunia persilatan, suaranya semakin didengar banyak orang, dan ancaman terhadap nama baiknya semakin hebat.

   Kalau itu sudah terjadi, biarpun Auyang Peng-hong punya tiga kepala dan enam tangan juga tidak sanggup lagi mengganggu Liu Beng biarpun hanya untuk merontokkan selembar bulu tubuhnya.

   Siapa berani melawan keluarga Sebun, sedangkan Hek-eng-po saja kabarnya menghindari bentrokan dengan mereka? "Celaka dua belas....

   celaka dua belas....."

   Auyang Peng-hong mondar-mandir di depan Liu Jing-yang dengan gelisahnya.

   "Pada hari upacara angkat-saudara itulah agaknya aku harus meninggalkan kedudukanku di Ki-lian-pai untuk mencari tempat aman, dan sembunyi seumur hidup bagaikan kura-kura...."

   "Paman, sebenarnya aku ada jalan keluar. Hanya untuk pelaksanaannya, aku tidak sanggup menjalankannya sendirian."

   "Apakah aku bisa membantu?"

   "Kemungkinan besar bisa, paman."

   "Bagaimana?"

   "Aku harus memperoleh posisi yang lebih kuat dalam keluarga Sebun. Bukan sekedar menantu pajangan seperti sekarang ini..."

   "Ya, caranya bagaimana?"

   "Begini...."

   Liu Jing-yang mendekatkan mulutnya ke telinga pamannya, berbisik-bisik, dan membuat wajah pamannya berkerut-kerut kaget.

   "Apa tidak berbahaya?"

   Desis Auyang Peng-hong.

   "Bahaya itu memang ada, tapi lebih banyak terpikul di pundakku daripada di pundak paman. Terserah paman berani menempuh resiko atau tidak? Kalau aku sudah menguasai keluarga Sebun, biarpun Liu Beng mempunyai tujuh nyawa rangkap, tidak akan tersisa satupun. Nama baik paman sebagai ketua Ki-lian-pai dan Lam-ih Kim-khek akan tetap terjaga..."

   Auyang Peng-hong tiba-tiba tersenyum dingin.

   "Jing-yang, jangan berlagak seolah- olah kau menempuh semua resiko ini semata- mata hanya untuk membela aku. Hem, aku kenal dirimu sejak kecil dan kenal tabiatmu pula. Kau sendiri punya kepentingan, bukan?"

   Merasa tak ada gunanya memakai topeng dewa kebajikan di hadapan pamannya, Liu Jing-yang pun menyeringai dingin dan menjawab.

   "Benar, paman, kita sama-sama tahu tabiat kita masing-masing, tapi kita harus saling menjaga rahasia, bukan?"

   "Aku tidak tanya soal saling menjaga rahasia segala, sebab tanpa kita katakanpun akan merupakan kesepakatan tak tertulis di antara kita. Tapi katakan, apa kepentinganmu?"

   "Soal segampang ini paman tidak paham? Aku ingin membangun Liu-keh-chung kembali, bukan menghabiskan umur sebagai boneka hiasan di rumah keluarga Sebun. Untuk itu, warisan keluarga Sebun harus aku kuasai lebih dulu sebagai modal...."

   Kata-kata Liu Jing-yang terputus oleh gelak tawa Auyang Peng-hong.

   "Ha-ha-ha.... ambisimu tidak tanggung-tanggung. Nampaknya saja kita bekerja sama, namun sebenarnya kau sedang berusaha memperalat aku, begitu?"

   "Kenapa memperalat?"

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sebab sasaranmu lebih besar dari sasaranku, jadi bukan kau yang menolong aku, tapi aku yang menolong usahamu dengan imbalan nama baikku terselamatkan, iya?"

   Liu Jing-yang sadar, dengan kalimat itu pamannya sudah mengajaknya memasuki tahap ke dua, tahap tawar-menawar sampai kedua pihak mencapai "kesesuaian harga"

   Setelah tahap pendahuluan dilewati.

   "Benar, paman. Tapi kalau keluarga Liu bangkit kembali dengan kejayaan sepuluh kali lipat dari kejayaan masa lalu, bukankah paman sebagai menantu keluarga Liu akan ikut mendapat muka terang pula? Nama baik paman juga akan terjaga, kalau Liu Beng sudah dimakan cacing. Kurang apa lagi?"

   Namun Auyang Peng-hong tak membuang kesempatan untuk "menaikkan harga".

   "Resikonya terlalu besar, Jing-yang, keluarga Sebun tak bisa dibuat main-main. Lagi pula kalau hanya memburu dan membungkam Liu Beng, aku sendiri juga bisa, tidak usah dengan bantuanmu. Kawan- kawanku banyak tersebar di mana-mana dan siap membantuku...."

   "Paman, setelah keluarga Liu bangkit, bagaimana kalau Perusahaan Kain Sutera di kota Tiang-an itu kelak dialih-namakan kepada paman? Setiap bulan ada enam ribu gulung sutera dikirim dari tempat itu ke seluruh negeri...."

   Enak saja Liu Jing-yang menawarkan perusahaan sutera yang saat itu masih dimiliki mertuanya itu, seolah-olah sudah menjadi miliknya sendiri. Tapi Auyang Peng-hong yang mulai dikuasai ketamakan itu menggelengkan kepala sambil berdesis.

   "Resikonya terlalu besar... terlalu besar.... aku tidak berani..."

   Meskipun ia susah payah menahan diri untuk tidak meneteskan air liur mendengar tentang enam ribu gulung sutera setiap bulan itu.

   Tapi manusia mana yang tidak tergoda keserakahan kalau melihat pintu keberuntungan sudah terbuka lebar di depan hidungnya? Ia masih ingin tambah terus....

   "Paman, bagaimana kalau ditambah dengan Pek-him Piau-tiam (Perusahaan Pengawal Perjalanan Beruang Putih) di Tay- goan, yang jalur-jalur perjalanannya menguasai propinsi Ho-pak dan Soa-tang, dengan pemasukan lebih dari limapuluh ribu tahil perak sebulan?"

   "Wah, berat. Nyawaku sendiri dipertaruhkan, padahal nyawaku bernilai tak bisa dihitung dengan uang...."

   Akhirnya Liu Jing-yang dengan mendongkol berkata.

   "Baik, paman. Lupakan pembicaraan kita tadi. Selamat malam."

   Terus saja ia memutar tubuh hendak melangkah pergi, tapi Auyang Peng-hong dengan kaget mencegah.

   "Eh, tunggu...."

   "Masih ingin bicara apa lagi, paman? Kerja sama kita sudah batal karena keserakahan paman."

   Auyang Peng-hong masih mencoba menggertak.

   "Bagaimanapun juga, kupingku sudah terlanjur mendengar rencanamu atas diri Sebun Hiong. Kalau aku mau, aku bisa melaporkan kepadanya."

   "Silahkan mengadu kepadanya, paman. Pertama, mereka sulit percaya kepada paman yang mereka anggap orang luar. Kedua, bayi dalam perut Sebun Giok sekarang anakku, keluarga Sebun takkan bertindak apa-apa kepadaku karena tidak ingin bayi itu lahir tanpa ayah..."

   Akhirnya Auyang Peng-hong yang mengalah, lebih baik "hanya"

   Mendapat harga jual enam ribu gulung sutera sebulan ditambah limapuluh ribu tahil perak sebulan pula, daripada tidak mendapat apa-apa. Kesempatan itu hanya sekali seumur hidup, mempertaruhkan nyawapun dianggapnya cukup setimpal, pikirnya.

   "Aku setuju, Jing-yang,"

   Katanya.

   "Nah, begitu baru paman yang baik."

   Mereka saling menepukkan tangan sebagai tanda kesepakatan rahasia. Lalu "paman yang baik"

   Dan "keponakan yang manis"

   Itu berunding berbisik-bisik tentang pelaksanaan rencana mereka.

   Keduanya nampak puas, lalu kembali ke pai unggun.

   Malam itu Auyang peng-hong agak sulit tidurnya, terbayang akan harta besar yang bakal membanjirinya.

   Urusan puterinya yang minggat dari Ki-lian-san itu untuk sementara malah terlupakan olehnya.

   *Oz* BAGIAN TIGA PULUH SATU Keesokan harinya, ketika dua rombongan seperjalanan itu sudah sama-sama siap berangkat lagi, mendadak Auyang Peng- hong menemui Sebun Hiong dan dengan sangat hormat mengatakan akan mendahului perjalanan rombongan keluarga Sebun.

   Sebun Hiong merasa agak heran juga.

   Kemarin ketua Ki-lian-pai itu begitu menjilat untuk bisa jalan bersama, sekarang tiba-tiba saja ingin memisahkan diri.

   Namun Sebun Hiong sekedar merasa heran saja, tidak sampai mencurigainya.

   Hakekatnya ia tidak peduli apakah rombongan Ki-lian-pai itu akan bersama atau mendahului atau jungkir balik.

   Sedangkan Liu Jing-yang pura-pura menahan pamannya itu untuk tetap jalan bersama, namun pamannya dengan alasan mencari puterinya yang minggat tetap bersikeras mendahului perjalanan rombongan keluarga Sebun yang seenaknya seperti sedang tamasya itu.

   Kedua pihak saling memberi hormat, berbasa-basi, lalu terpecah menurut kelompoknya masing-masing.

   


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Sukma Pedang -- Gu Long

Cari Blog Ini