Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 15


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 15



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   Yang paling senang dengan perpisahan itu adalah Ceng Sin-tong, setidak-tidaknya ia tidak akan lagi melihat Susioknya sebagai ketua Ki-lian-pai membungkuk-bungkuk berlebihan kepad Sebun Hiong dan merendahkan martabatnya sendiri.

   Meskipun yang terjadi kemarin masih cukup mengecewakannya.

   Rombongan Ki-lian-pai itu berpacu dengan kecepatan sedang, meninggalkan debu kuning halus di belakang mereka.

   Kuda-kuda tunggangan mereka sudah segar kembali karena beristirahat semalam dan mendapat rumput serta air yang cukup.

   Sebelum tengah hari, mereka menjumpai sebuah persimpangan.

   Auyang Peng-hong ragu-ragu sejenak, memperhitungkan jalan mana yang kira-kira akan dilalui rombongan keluarga Sebun nanti? Tapi ia tidak berani minta pertimbangan murid- muridnya, sebab perjanjiannya dengan Liu Jing-yang sangat rahasia sehingga murid- murid sendiripun tidak boleh tahu.

   "Mereka hendak menuju ke Siong-san di propinsi Ho-lam, kalau demikian tentu lewat jalan yang kanan,"

   Pikir Auyang Peng-hong diam-diam.

   "Entah arah mana yang dilalui Sumoai Siau-hong?"

   Terdengar Ceng Sin-tong bertanya, seolah ditujukan kepada diri sendiri.

   Nyata bahwa dia mengira paman-ketuanya itu masih tetap pada tujuan semula untuk mencari Auyang Siau-hong, tidak tahu pikiran sang paman-guru sudah menyeleweng.

   Tengah rombongan itu ragu-ragu memilih arah, tiba-tiba mereka melihat di salah satu pohon di pinggir jalan ada secarik kertas tertempel dengan huruf-huruf merah besar.

   Mula-mula mereka anggap biasa saja, tentu itu perbuatan tukang warung sepanjang jalan yang memperkenalkan warungnya kepada para musafir sepanjang jalan.

   Namun orang-orang lewat yang membaca pengumuman itu ternyata menampakkan wajah kaget dan buru-buru menyingkir, maka bisa diduga pengumuman itu tentu lain daripada yang lain.

   Karena rasa tertarik, Auyang Peng-hong diikuti murid-murid Ki-lian-pai memajukan kuda mereka ke dekat pohon untuk membaca huruf-huruf merah besar bergaya cakar ayam itu.

   Pantas kalau orang-orang menghindar dengan ketakutan, sebab kertas itu bukan berisi pemberitahuan tentang tempat minum atau penginapan, namun berupa surat tantangan terbuka.

   "Ditujukan kepada kawanan kura-kura pengecut Hek-eng-po, keluarlah dari sarang kalian untuk menerima kematian kalian. Dari tanggal enam sampai tanggal sepuluh bulan lima, aku menunggu kalian di penginapan Ci-in-tiam, kota Lo-tiong- koan."

   Penantang .

   Liu Beng".

   Jaman itu, orang mendengar kabar munculnya setan-setan penyebar bala dari neraka, namun di luar dugaan bahwa Liu Beng berani menempel surat tantangan terang- terangan di tempat umum macam itu, mau tak mau membuat Auyang Peng-hong dan murid- murid Ki-lian-pai tercengang tak habis- habisnya.

   "Entah iblis atau dewa dari mana yang merasuk Liu Beng sehingga dia punya nyali sebesar ini?"

   Kata Auyang Peng-hong tanpa mengharapkan jawaban dari murid-muridnya yang sama herannya dengan dia sendiri.

   "Sejak di perguruan dulu, kacung dari Liu-keh-chung itu memang sudah banyak lagak, menganggap dirinya sendiri pahlawan satu-satunya yang berani melawan Hek-eng- po,"

   Kata Kam Hun-siong yang masih dendam karena jari tangannya pernah ditekuk patah oleh Liu Beng. Sebaliknya Ceng Sin-tong yang sejak dulu berkesan baik terhadap Liu Beng, bersuara membela Liu Beng.

   "Banyak lagak namun bernyali macan. Itu lebih baik daripada bernyali kecil namun berlagak...."

   Jelas itu menyindir Kam Hun-siong dan manusia-manusia sejenisnya.

   Kam Hun-siong Cuma mendengus lewat hidung, enggan berbantahan dengan Ceng Sin-tong.

   Sementara itu, dalam otak Auyang Peng-hong muncul masalah baru.

   Harus mendahulukan rencana yang disusunnya bersama Liu Jing-yang, ataukah lebih dulu memburu Liu Beng yang dianggapnya merupakan ancaman bagi nama baiknya? Kalau melaksanakan rencana, berarti harus masuk ke jalan sebelah kanan, sedang kalau ingin memburu Liu Beng harus lewat jalan sebelah kiri, sedangkan dirinya tidak bisa memecah diri menjadi dua.

   Akhirnya ia memutuskan, urusan Liu Beng cukup diserahkan kepada Kam Hun-siong bertiga, karena dianggapnya Liu Bneg masih dikiranya seperti ketika meninggalkan Ki-lian- pai dulu, ilmunya masih rendah, paling-paling hanya nyalinya yang besar.

   Sedangkan pelaksanaan rencana rahasianya harus ditangani sendiri.

   Katanya kemudian.

   "Kam Hun-siong bertiga ke Lo-tiong-koan untuk menjumpai Liu Bneg, barangkali dia tahu tentang Sumoai kalian. Sedang aku dan Ceng Sin-tong akan mengambil jalan yang kanan...."

   Sengaja ia membawa Ceng Sin-tong bersamanya, sebab kalau dibiarkan bersama Kam Hun-siong malah akan merintangi Kam Hun-siong untuk membereskan Liu Beng, bukan membantunya.

   "Hun-siong, kalau bertemu dengan Liu Beng, rukunlah dengannya,"

   Kata Auyang Peng-hong dengan nada seorang guru yang bijaksana, tapi tanpa terlihat oleh Ceng Sin- tong dia diam-diam memberi isyarat jari telunjuknya digoreskan ke leher sendiri.

   Isyarat yang mudah dipahami, artinya kalau ketemu Liu Beng, langsung sembelih saja.

   Kam Hun-siong tidak mengerti kenapa gurunya yang di Ki-lian-pai dulu bersikap melindungi dan membela Liu Beng, kini mendadak mengingini matinya Liu Beng? Namun ia tidak banyak tanya lagi, ia sendiri gembira sekali disuruh membunuh Liu Beng.

   Tadinya malah kuatir kalau tidak diijinkan membunuh orang yang dibencinya itu.

   "Baiklah, Suhu, aku kan berdamai dengannya,"

   Kata Kam Hun-siong sambil menyeringai, dan menyambung di dalam hati.

   "Agar kelak arwahnya tidak memburu-buru aku...."

   Rombonganpun terpecah dua dan menuju arahnya masing-masing.

   Kam Hun-siong bersama dua saudara seperguruannya menyusuri jalan yang menuju kota Lo-tiong-koan, dan di sepanjang jalan mereka menemui beberapa surat tantangan Liu Beng kepada Hek-eng-po, entah ditempel di pohon, di batu besar atau dipancangkan di papan di pinggir jalan.

   Tapi saat itu sudah tanggal sebelas bulan lima, tentu Liu Beng sudah meninggalkan Lo-tiong-koan.

   Tapi dengan menempel surat tantangan sepanjang jalan itu, tentu jejaknya gampang diikuti.

   Tengah hari, ketika Kam Hun-siong serta dua temannya singgah di sebuah warung untuk mengisi perut dan membasahi tenggorokan, mereka hanya mendengar orang- orang di kedai itu memuji-muji kegagahan Liu Beng yang mereka sebut sebagai "Liu Taihiap"

   Dengan rasa hormat.

   Ternyata selama perjalanan, Liu Beng bukan saja mencari orang-orang Hek-eng-po, tapi juga melakukan banyak pekerjaan bajik untuk menolong banyak orang.

   Mendengar sanjung-puji untuk Liu Bneg itu, Kam Hun-siong diamuk rasa benci dan iri, hatinya panas, tidak rela.

   Kenapa orang yang dulu difitnah dan direndahkannya itu kini malah dihormati begitu banyak orang? Keparat, pikirnya.

   Karena rasa dengkinya itulah maka dia makan dan minum secara kilat di kedai itu, tanpa menikmati rasanya sedikitpun, dan sesaat kemudian sudah kembali berpacu di atas kudanya.

   Geramnya.

   "Hem, Liu Taihiap apa? Sebentar lagi kalau bertemu denganku, akan kubikin kepalanya menggelinding jatuh."

   "Suheng, kalau kita membunuh Liu Beng, tidakkah kita akan terlibat urusan dengan Hek-eng-po?"

   Tanya seorang adik seperguruannya yang bernama Nyo Lik.

   "Hek-eng-po malah akan berterima kasih kepada kita kalau kita bunuh si besar mulut yang menantang-nantang mereka itu,"

   Sahut Kam Hun-siong gampang-gampang saja.

   "Tapi.... apakah kita akan merusak hubungan baik antara Ki-lian-pai dan keluarga Sebun yang mrupakan cabang Hoa-san-pai itu? Bagaimanapun juga Liu Beng sekarang adalah orangnya keluarga Sebun....."

   "Jangan berpikir terlalu jauh. Tidak mungkin Sebun Taihiap mengorbankan hubungan Ki-lian-pai dengan Hoa-san-pai hanya untuk membela seorang kacung. Lagupula, kita kan bisa mencari alasan untuk tindakan kita? Katakan saja Liu Beng sudah menculik puteri ketua Ki-lian-pai, dan pernah memperkosa seorang murid Ki-lian-pai, habis perkara. Sebun Taihiap pasti percaya asal kita bisa mengutarakannya dengan baik."

   Kota Lo-tiong-koan mereka masuki menjelang sore hari, mereka langsung menuju penginapan Ci-in-tiam.

   Tapi di depan penginapan, di tembok, mereka cuma menjumpai tulisan yang ditempelkan Liu Beng bahwa mulai tanggal sebelas sampai limabelas bulan yang sama.

   "para kura-kura pengecut Hek-eng-po"

   Ditunggu di kota Hong-ciu-koan, limapuluh li sebelah timur Lo-tiong-koan, dekat perbatasan propinsi Shoa-sai.

   Kata-kata dalam surat tantangan itu sama dengan yang di persimpangan tadi, kecuali tanggal dan tempatnya yang diubah.

   Merasa bahwa akhirnya toh tetap bisa menyusul Liu Beng, Kam Hun-siong bertiga menginap di penginapan Ci-in-tiam itu.

   sebagai seorang hartawan di Tiang-an, Kam Hun-siong royal sekali merogoh kantongnya untuk minta kamar terbaik, makanan terbaik dan pelayanan terbaik.

   Namun ia benar-benar terganggu ketika mendengar pegawai-pegawai rumah makan itu tak henti-hentinya bicara penuh kekaguman tentang "Liu Taihiap".....

   Keesokan harinya, manusia dan kuda sama-sama segar untuk meneruskan perjalanan.

   Murid-murid Ki-lian-pai yang memikul tugas membunuh Liu Beng itu segera berpacu kembali di perjalanan, menuju ke arah Hong-ciu-koan.

   Demikianlah, surat tantangan Liu Beng itu dimaksudkan untuk memancin keluar orang-orang Hek-eng-po, yang entah kenapa belum juga muncul sampai saat itu, namun yang terpancing malahan bekas saudara- saudara seperguruan Liu Beng dari Ki-lian-pai, membawa kedengkian dan kebencian yang siap disalurkan lewat ujung pedang.

   Di tengah perjalanan, Kam Hun-siong melihat di depan ada sebuah rombongan orang berkuda tengah berjalan tidak terlalu cepat.

   Dari belakang, nampaknya rombongan itu terdiri dari seorang lelaki dan empat perempuan, semua berpakaian bagus.

   Agaknya rombongan seorang anak hartawan entah dari mana yang diiringi dayang-dayangnya.

   Karena merasa pasti bahwa pemuda itu bukan Liu Beng, Kam Hun-siong dan kedua temannya memacu kudanya mendahului rombongan itu tanpa menoleh, kecuali Nyo Lik yang melirik sekejap dan wajahnya menampilkan keheranan.

   Setelah menyimpan kebimbangannya dalam hati selama beberapa saat, sampai hampir duaratus langkah meninggalkan rombongan itu, barulah Nyo Lik mengutarakan pikirannya.

   "Suheng, orang tadi mirip Liu Beng...."

   "Kongcu yang diiringi empat gadis tadi?"

   "Ya."

   "Nyo Sute, apakah otakmu keracunan mi pangsit yang baru kau makan di warung tadi? Mana bisa Liu Beng perlente seperti itu? kalau dia itu Liu Beng, dari jarak tigapuluh langkah saja aku sudah bisa mencium bau badannya yang dekil itu."

   "Tapi.... daripada di Hong-ciu-koan nanti kita menubruk angin, bagaimana kalau kita lihat sebentar orang itu? Tidak akan memakan waktu sebab kita belum jauh meninggalkannya..."

   Kam Hun-siong pikir usul itu masuk akal juga.

   "Baik, kita lihat mereka. Seandainya Kongcu itu bukan Liu Beng, setidak-tidaknya gadis-gadis itu lumayan juga untuk menyehatkan mata kita..."

   Mereka membalikkan arah kuda-kuda itu ke arah Lo-tiong-koan kembali.

   Menyongsong ke arah rombongan si Kongcu dan empat gadis itu.

   Namun setelah berhadapan muka benar-benar, maka Kam Hin-siong mendadak meragukan kesehatan matanya sendiri.

   Benarkah si Kongcu perlente ini Liu Beng yang dulu dekil dan compang-camping itu? Atau hanya orang yang wajahnya persis? Tetapi kalau benar Liu Beng, dapat harta rampokan dari mana dia? "Apa kabar, Sam-wi Suheng (suheng bertiga)?"

   Suara Liu Beng yang menyapa dengan sebutan lama itu menyapu bersih kebimbangan Kam Hun-siong.

   "Kau..... Liu Bneg?"

   "Benar. Aku Liu Beng, saudara seperguruan kalian ketika di Ki-lian-pai dulu. Apakah Suhu Auyang Peng-hong baik-baik saja? Bagaimana dengan Auyang Hujin (nyonya Auyang) dan Auyang Siocia (nona Auyang)?"

   Seolah-olah perselisihan yang lalu tak pernah terjadi, Liu Beng menyapa mereka dengan nada dan sikap yang bersih dari dendam.

   Sebaliknya Kam Hun-siong lah yang belum sanggup menghapus kebencian dari hatinya.

   Tidak peduli bagaimanapun baiknya sikap Liu Beng, ia tetap dalam sikap bermusuhannya.

   Tanpa banyak bicara lagi ia menghunus pedangnya dan berkata dingin.

   "Liu Beng, kacung busuk, jangan pura-pura tidak tahu. Di mana kau sembunyikan Sumoai Auyang Siau-hong?"

   Liu Beng kaget.

   "Eh, kenapa soal Auyang Siau-hong kau tanyakan kepadaku?"

   "Kalau bukan kepadamu lalu kepada siapa lagi? Sumoai minggat dari Ki-lian-san, dan pasti mencarimu. Sekarang katakan, di mana kau sembunyikan dia? Atau sudah kau perkosa dan kau buang mayatnya?"

   Bicara tentang calon isterinya yang akan dapat mengantarkannya ke kedudukan ketua Ki-lian-pai itu, suara Kam Hun-siong jadi meluap-luap penuh kemarahan, kebencian, iri hati dan emosi-emosi lainnya yang bercampur aduk.

   Dua saudara seperguruannya pun sudah menghunus pedang dan memajukan kuda.

   Sikap Kam Hun-siong bertiga yang seperti petugas keamanan menanyai maling tangkapan itu membuat Liu Bneg tidak senang.

   Ia sudah mencoba menghapus dendam masa lalu, namun kebencian Kam Hun-siong terhadapnya agaknya tidak juga berkurang.

   Pikirnya, apakah di perguruan hanya diajari main pedang namun tidak diadakan pembinaan watak? "Cepat katakan!"

   Bentak Nyo Lik.

   "Tidak tahu,"

   Sahut Liu Beng dengan sikap keras.

   "Kalian percaya atau tidak, terserah. Mendengar kabar Auyang Siau-hong minggat dari Ki-lian-san saja aku baru kali ini, dari mulut kalian!"

   Mendengar jawaban macam itu, murid- murid Ki-lian-pai yang pada dasarnya memang sudah benci sejak dulu, semakin kehabisan kesabaran. Murid yang bertubuh kekar dan bernama Le Ciong segera berkata kepada Kam Hun-siong.

   "Kalau begitu, Suheng. Ringkus saja kacung busuk ini untuk dibawa ke Ki-lian- san, kalau Sumoai Siau-hong mendengarnya, tentu tanpa disuruh pun akan kembali ke Li- lian-san!"

   "Akal bagus,"

   Sahut Kam Hun-siong.

   "Nah, Liu Beng, ulurkan tanganmu untuk kami ikat dan kami seret ke Ki-lian-san!"

   Tangan Liu Beng memang terulur, namun bukan menyerahkan diri untuk diikat, tapi untuk meraih sepasang tongkatnya yang tergantung di pelana kudanya. Biarpun sekarang sudah menjadi "Liu Taihiap"

   Atau "Liu Kongcu", tapi senjatanya masih juga yang dulu.

   Sepasang tongkat besi gergajian dari poros roda kereta, yang pada pegangannya dibelit-belit gombal-gombal lusuh.

   Pernah A-cui mengusulkan untuk membikin tongkat yang bagus di tukang besi, namun Liu Beng menolak, dengan alasan tidak sanggup berpisah dengan sepasang senjata yang disayanginya itu.

   Melihat Liu Beng siap melawan dengan sepasang besi rongsokan itu, murid-murid Ki- lian-pai tertawa terbahak-bahak penuh ejekan.

   Beda benar sepasang tongkat itu dengan pedang-pedang yang mereka bawa.

   Pedang mereka mengkilat bersih, tangkainya terukir indah, dan dihiasi ronce-ronce hiasan yang bagus pula.

   "Kau hendak melawan kami?"

   Ejek Kam Hun-siong.

   "Tentu saja, aku bukan maling atau copet, kalian tidak bisa menggusurku seenak kalian sendiri."

   Sementara itu gadis-gadis pengiring Liu Beng juga sudah mulai panas hatinya melihat Liu Beng dihina.

   Selama mereka berjalan bersama Liu Beng, mereka bukan saja sudah akrab, tetapi juga timbul rasa hormat.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Meskipun secara resmi merekalah pelayan- pelayan yang ditugaskan oleh Sebun Him untuk melayani keperluan Liu Beng sepanjang jalan, namun Liu Beng memperlakukan mereka sebagai teman-teman sederajat, tetap menjaga kesusilaan.

   Mereka selama ini menikmati martabat mereka sebagai manusia.

   A-loan segera mengeluarkan segulung tali pilinan sutera yang sekilas pandang hanya nampak seperti hiasan rambut anak-anak gadis, namun itulah senjata andalannya.

   Katanya.

   "Huciangkui, menghadapi kecoa- kecoa ini, serahkan saja kepadaku...."

   Nyo Lik tertawa.

   "Liu Beng, hebat juga lagakmu, perjalananmu pakai diiringi barisan sundal...."

   Nyo Lik tak sempat menyelesaikan kalimat ejekannya, sebab tali di tangan A-loan mendadak meluncur seperti seekor ular hidup, langsung membelit pedang di tangannya, disentakkan dan terbanglah pedang Nyo Lik.

   A-loan belum puas merampas pedang saja, sebab mendongkol akan ucapan Nyo Lik yang menyebutnya "barisan sundal"

   Tadi. Ujung talinya yang lain menyabet dari samping dan menghantam wajah Nyo Lik sehingga meninggalkan garis merah memanjang menyilang pipinya. Pedas dan panas bukan main, tapi lebih panas lagi hatinya.

   "Sundal keparat!"

   Dia berteriak sengit sambil menggentak maju kudanya, sepasang tangannya mencoba mencengkeram dada A- loan untuk merobek pakaiannya dan mempermalukannya.

   Tapi si gadis dengan tangkas menjauhkan kudanya, ujung-ujung tali dipegang dengan kedua tangan.

   Tali diputar di udara membentuk semacam lingkaran kecil yang disongsongkan menyambut sepasang tangan Nyo Lik.

   Sebelum Nyo Lik sempat menarik kedua tangannya, lingkaran tali telah menyempit dan menjerat kuat dua pergelangan tangannya.

   Sekali A-loan membentak sambil menggerakkan dua tangannya, Nyo Lik pun terseret dari punggung kudanya dan mencium tanah.

   Sementara itu, tali A-loan bagaikan ular pulang ke sarangnya, telah tergulung kembali di tangannya.

   Sedang Nyo Lik bangun dan sibuk membersihkan pakaiannya, serta meludah-ludah karena tadi segumpal kecil tanah bercampur tahi kuda kering telah masuk ke mulutnya.

   Sebenarnya Nyo Lik tergolong seorang murid yang baik pula dalam Ki-lian-pai, biarpun belum masuk "Sepuluh Terbaik", tidak gampang ia dipecundangi jagoan-jagoan biasa saja.

   Kekonyolannya kali ini lebih diakibatkan karena memandang remeh lawannya, bukan karena rendahnya ilmunya.

   Kini Nyo Lik dengan penuh kemarahan berlari mengambil pedangnya yang jatuh tadi, lalu menyerbu ke arah A-loan.

   A-loan melompat turun dari kudanya dan memainkan talinya untuk melawan pedang Nyo Lik.

   Maka bertempurlah kedua orang itu.

   Nyo Lik bertarung seperti seekor serigala lapar yang siap merobek-robek mangsanya, pedangnya menyabet dan menusuk dengan jurus-jurus Ki-lian-pai.

   Sedangkan A-loan memainkan tali panjangnya dengan gerakan-gerakan gemulai seperti orang menari.

   Kadang-kadang tali itu dipegang hanya satu ujungnya, dan gerakannya berliuk-liuk seperti seekor ular, kelihatan lemas, namun kalau ujung tali mengenai kulit tubuh maka akan terasa pedas dan panas.

   Kadang-kadang dua tangan memegang dua ujung tali, dan bagian tengah tali digunakan untuk berusaha menjerat leher, tangan, pinggang atau kaki.

   Tubuh A-loan sendiri berlincahan seperti kupu- kupu bermain di bunga-bunga, menjaga jarak dengan lawannya agar talinya tetap dapat digunakan secara lebih menguntungkan.

   Pertempuran jadi mirip seekor anjing galak yang dengan gemas berusaha mencaplok seekor tawon yang beterbangan di atas kepalanya.

   Tapi untuk sementara belum bisa dipastikan siapa yang akan menang dan kalah.

   Perlawanan itu memang di luar dugaan murid-murid Ki-lian-pai yang tadinya menganggap remeh pihak lawan.

   Apalagi setelah melihat wajah Nyo Lik dihias garis- garis merah silang menyilang akibat sabetan tali A-loan.

   Le Ciong kemudian tidak tahan lagi untuk tidak campur tangan, ia melompat turun dari kudanya dan mendekati arena pertempuran dengan maksud membantu Nyo Lik.

   Tapi baru melangkah dua tindak sesosok bayangan berkelebat di hadapannya, dan seorang gadis canting pengiring Liu Beng lainnya telah menghadangnya.

   Tangannya memegang sepasang golok tipis yang disebut Liu-yap-to.

   Itulah A-cui.

   Le Ciong pantang mundur, sambil membentak, pedangnya bergetar dan membuat dua tusukan beruntun kanan kiri, gerak tipunya Tay-peng-tian-ci (garuda mementang sayap).

   Karena tidak ingin mengikuti jejak kekonyolan Nyo Lik, ia menyerang dengan bersungguh-sungguh.

   *Oz* Berambung ke

   Jilid 28 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 28 A-cui miringkan tubuhnya, golok kiri membacok pergelangan tangan musuh, golok kanannya naik dari bawah untuk menebas bawah ketiak lawan dengan gerakan Liong- thing-hou-yao (naga meluncur, macan melompat).

   Cepat Le Ciong memutar langkah searah dengan tebasan musuh, dengan gerakan Liau-kik-jiau-po (menekuk lutut menggeser langkah), ia coba memutar ke bagian belakang tubuh A-cui untuk menusuk, tapi A-cui sudah memutar tubuhnya pula untuk menghadapinya.

   Demikianlah, dalam waktu singkat keduanya telah tukar-menukar beberapa jurus serangan, dan keduanya sama-sama maklum tidak gampang untuk merebut kemenangan.

   Tinggal Kam Hun-siong sendirian yang masih ragu-ragu.

   Melihat hebatnya perlawanan A-cui dan A-loan, ia yakin gadis-gadis pengiring lainnya pun tentu sama hebatnya dengan mereka.

   Agaknya maksud untuk membunuh Liu Beng akan mendapat hambatan berat.

   Namun tiba-tiba muncul sebuah pikiran.

   Ia sudah mendengar bahwa Liu Beng adalah Huciangkui keluarga Sebun, gadis-gadis itu tentu orang-orang keluarga Sebun yang terkenal lihai silatnya, tapi Liu Beng sendiri belum tentu.

   Kam Hun-siong menganggap, tingkatan ilmu silat Liu Beng paling-paling belum beranjak jauh dari tingkatannya ketika diusir dari Ki-lian-pai dulu.

   Sedang dirinya sendiri selama hampir setahun sudah berlatih keras meningkatkan ilmunya, dan yakin bisa mengalahkan Liu Beng.

   Karena pikiran itulah maka ia membentak Liu Beng.

   "Kalau kau memang bersemangat laki-laki, jangan mengandalkan diri di balik perlindungan kaum wanita. Beranikah menghadapi aku?"

   Kam Hun-siong yakin perhitungannya tepat, tanpa sadar bahwa dialah yang akan menjadi kunci kekalahan pihaknya.

   Liu Beng melompat turun dari kuda dan menyongsong langsung ke arah Kam Hun- siong yang sudah pasang kuda-kuda.

   Terdengar Kam Hun-siong berseru heran.

   "He, kau tidak membawa tongkat rongsokanmu?"

   Sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, Liu Beng dengan mantap melangkah mendekati Kam Hun-siong, penuh kepercayaan diri, membuat Kam Hun-siong malah keder sendiri biarpun memegang pedang.

   Tak terasa ia mundur selangkah.

   A-hui yang masih duduk di atas kuda, tertawa terkikik dan mengejek.

   "Lho, bagaimana ini? Tadi menentang kok sekarang malah mundur?"

   Tak tahan ejekan itu, Kam Hun-siong segera ayun pedang menebas sekuat tenaga ke pinggang Liu Beng, sambil mengharap satu Liu Beng menjadi dua Liu Beng, Liu Beng bagian atas dan Liu Beng bagian bawah, masing-masing separuh.

   Tapi ternyata pedangnya cuma berhasil menebas angin, bahkan Liu Beng dengan langkah aneh tahu-tahu telah menyelonong dekat sekali dengan tubuh Kam Hun-siong.

   Sekali telapak tangannya mendorong pundak Kam Hun-siong, si murid Ki-lian-pai terpental dan masuk parit di pinggir jalan.

   Ketika Kam Hun-siong keluar dari parit, pedangnya masih tergenggam, namun semangat temprnya sudah kabur bersama angin.

   Sungguh tak terduga serangan pedangnya dilumpuhkan dalam satu gebrakan saja oleh "si kasung busuk"

   Itu.

   "Masih penasaran?"

   Tanya Liu Beng sambil melangkah mendekati.

   "Masih!"

   Sahut Kam Hun-siong bandel.

   Sambil melompat ujung pedangnya sekuat tenaga diarahkan ke tenggorokan Liu Beng dengan jurus Jiau-hu-mi-loh (tukang kayu menanyakan jalan).

   Begitu terpusat perhatian Kam Hun-siong pada serangan itu sehingga ia melakukannya dengan mata terpejam.

   "Kena!"

   Ia bersorak dengan mulut dan hatinya, ketika merasa ujung pedangnya terjepit daging manusia, dibayangkannya tentu ujung pedangnya sudah menyusup di sela-sela daging leher Liu Beng.

   Sebentar lagi kalau pedang ditarik, tentu darah akan menyemprot keluar, darah kemenangannya.

   Begitu kakinya menapak tanah dia langsung pasang kuda-kuda untuk menarik pedangnya.

   Tapi pedangnya tak bergeming seperti terjepit gunung batu.

   Ia membuka matanya, dan melihat bahwa ujung pedang terjepit di antara telapak tangan Liu Beng yang ditangkupkan.

   Tak ada setetes darahpun.

   Liu Beng juga masih hidup dan segar bugar.

   Tiba-tiba Liu Beng membentak, sepasang tangan yang tetap tertangkup itu disentakkan ke samping, dan pedang Kam Hun-siong berdetak patah menjadi dua.

   Pemilik pedang sendiri terhuyung mundur dengan muka pucat.

   Tanpa malu-malu lagi Kam Hun-siong akhirnya melempar tanggung jawab ke pihak lain.

   "Aku... aku hanya disuruh.... oleh Suhu..."

   Liu Beng meludah ke samping dengan rasa muak.

   "Kau dengan gurumu, Auyang Peng-hong, sama saja. Berkedok sebagai pendekar-pendekar sejati tetapi tindakannya licik dan pengecut. Auyang Peng-hong pernah berusaha membunuhku namun memakai kedok segala. Hem, kalau demikian maka beberapa tahun lagi Ki-lian-pai akan runtuh menjadi debu persilatan yang tak berharga lagi....."

   Alangkah sakit hati Kam Hun-siong mendengar dampratan sangat tajam itu, namun ia benar-benar tidak berani melawan lagi, sudah jera. Katanya terbata-bata.

   "Aku.... aku tidak benci kepadamu, hanya.... hanya sedang bingung karena.... Sumoai Auyang Siau-hong menghilang...."

   Disebutnya nama Auyang Siau-hong memang sedikit melunakkan kemarahan Liu Beng.

   "Auyang Siau-hong benar-benar pergi dari Ki-lian-pai? Sejak kapan? Karena apa?"

   Kam Hun-siong mengangguk-angguk.

   "Ya, sejak tiga bulan yang lalu, karena.... karena pertengkaran dengan Suhu"

   Ia tidak berani menerangkan bahwa minggatnya sang Sumoai karena oleh ayahnya dipaksa menikah dengan Kam Hun-siong.

   Kam Hun-siong kuatir kalau menjawab demikian maka nyawanya akan langsung dicabut oleh Liu Beng, karena antara Liu Beng dan Auyang Siau-hong ada hubungan akrab pula.

   "Kemana si pendekar gadungan Auyang Peng-hong itu?"

   Tanya Liu Beng. Suhu bersama Suheng Ceng Sin-tong melewati jalan lain ke arah Holam, kami baru saja berpisahan di simpang tiga,"

   Kata Kam Hun-siong. Sudah tentu tak berani bercerita tentang tugas dari gurunya untuk membunuh Liu Beng. Pertemuannya dengan Liu Beng itu dikatakannya "hanya kebetulan"

   Saja.

   "Baik, antarkan aku kepada Auyang Peng-hong!"

   Bentak Liu Beng.

   "Baik, baik,"

   Sahut Kam Hun-siong.

   Dalam hatinya ia berharap kalau sudah di hadapan gurunya, Liu Beng tidak akan seperkasa tadi, agar lebih gampang dibunuh.

   Rontoknya Kam Hun-siong secara amat memalukan di tangan Liu Beng dalam waktu singkat itu membuat dua saudara seperguruannya pun merosot semangatnya dan berlompatan mundur.

   Nyo Lik mukanya sudah babak belur bergaris-garis kena tali A- loan, kakinya juga sudah terserimpat jatuh entah berapa kali, sehingga wujudnya saat itu seperti "manusia debu".

   Le Ciong belum kalah, namun juga tidak tahu kapan bisa menang dari lawannya yang lincah dengan sepasang golok tipisnya itu.

   Demikianlah pertempuran selesai dan pihak Ki-lian-pai mendapatkan malu besar.

   Mereka kini berkedudukan sebagai "tawanan"

   Perang yang harus menunjukkan di mana Auyang Peng-hong. Tapi ketiganya punya pikiran yang sama, kalau sudah ada di depan guru mereka, mereka akan berusaha menghapus rasa malu mereka.

   "Liu Beng berani mencari Suhu, itu artinya ular mencari penggebuk,"

   Begitu pikir mereka hampir bersamaan.

   Mereka selalu mengukur tindakan orang lain menurut ukuran mereka sendiri saja.

   Tak terpikirkan bahwa Liu Beng justru ingin membantu menemukan Auyang Siau-hong yang minggat.

   Sesungguhnya Liu Beng mencemaskan nasib gadis itu kalau berjalan sendirian jauh dari Ki-lin-san, sebab gadis itu adalah "cucu-luar"

   Keluarga Liu, mungkin termasuk incaran orang-orang Hek-eng-po pula.

   Sepanjang jalan, dengan jantung berdebar-debar Kam Hun-siong bertiga melihat gadis-gadis pengiring Liu Beng itu menempel kertas-kertas berisi tantangan ke pihak He- eng-po.

   Kam Hun-siong bertiga cemas, kalau pihak Hek-eng-po muncul, mereka bertiga akan kena getahnya pula sebab bisa dikira satu rombongan dengan Liu Beng.

   Tapi ingin lepas dari rombongan Liu Beng juga tidak gampang, sebab Liu Beng dan A-cui berkuda paling depan, baru murid-murid Ki-lian-pai, lalu paling belakang adalah tiga gadis lainnya.

   Sementara itu, A-liu, salah seorang gadis pengiring Liu Beng yang potongan tubuh dan tampangnya agak kelaki-lakian itu memajukan kudanya sejajar dengan Liu Beng dan berkata.

   "Huciangkui. Seperti biasanya, biar aku jalan di depan untuk melihat-lihat lebih dulu."

   Selama perjalanan, memang sudah biasa A-cui berbuat demikian dan Liu Beng tidak ada alasan untuk curiga sedikitpun.

   Liu Beng hanya mengangguk, dan A-liu membedal kudanya untuk mendahului sebagai pembuka jalan.

   Melihat gaya menunggang kuda A-liu yang tangkas seperti laki-laki itu, A-loan dan A-hui yang berkuda paling belakang saling bertukar pandang sambil tersenyum.

   "A-liu benar-benar berwatak seperti lelaki,"

   Bisik A-loan ke kuping temannya.

   "pernah aku lihat ia kencing di bawah pohon sambil berdiri...."

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ada kejadian itu?"

   "Sumpah, aku tidak bohong. Ketika aku lewat, barulah ia tersipu-sipu berjongkok namun dengan cara yang sangat canggung...."

   "Keterlaluan sekali. Mana ada gadis lain seperti itu?"

   Keduanya tertawa sambil menutup mulut. Sementara A-liu yang sudah jauh di depan itu sambil berkuda ternyata mempunyi pikiran sendiri.

   "Gara-gara bertemu cecunguk- cecunguk Ki-lian-pai itu, si bekas jembel Liu Beng merubah arah perjalanannya. Kurang ajar, menambah pekerjaan saja. Aku harus segera menghubungi teman-teman sepanjang jalan yang akan dilalui agar menyingkiri dan tidak mengganggu si jembel seujung rambutpun, sesuai pesan Pocu kepadaku...."

   Kadang-kadang ia menoleh juga.

   "Kapan aku bebas dari tugas menjadi wanita gadungan ini? Hampir-hampir tidak tahan aku setiap kali melihat A-cui, A-loan, atau A-hui mencopoti pakaian di depan mataku, karena mereka mengira akupun satu jenis dengan mereka....."

   BAGIAN TIGA PULUH DUA Di jalur jalan yang menuju ke propinsi Holam, pada suatu sore tiba-tiba rombongan keluarga Sebun terhambat perjalanannya oleh serombongan penduduk desa yang berlari-lari ketakutan.

   Ada lelaki, perempuan, anak-anak, membawa barang-barang seadanya berjalan bergegas-gegas ke arah yang berlawanan dengan rombongan keluarga Sebun.

   Wajah mereka menunjukkan kecemasan, beberapa lelaki yang bertubuh kuat dan membawa senjata bertindak sebagai pelindung, namun mereka sendiri banyak yang luka-luka.

   Melihat rombongan Sebun yang seperti rombongan keluarga hartawan sedang berpesiar itu, seorang lelaki tua yang memanggul golok berkata.

   "Kalian balik saja. Di depan ada perampok-perampok ganas yang tidak kenal ampun! Jangan sampai kalian mengalami nasib buruk!"

   "Ya, benar,"

   Sambung seorang permpuan setengah baya yang menggendong seorang anak kecil di punggungnya, sementara tangannya memegang bungkusan dari barang- barang yang sempat diselamatkan.

   "Perampok- perampok bertopeng itu ganas sekali, entah dari mana datangnya, sebab daerah ini sudah aman belasan tahun lamanya. Bahkan bayi- bayi juga tidak lepas dari kekejaman mereka."

   "Benar, kalian nampaknya dari keluarga berharta. Lekas menghindar!"

   Begitu mendengar tentang "perampok- perampok bertopeng", Liu Jing-yang diam- diam sudah bersorak dalam hati sebab tahu bahwa rencananya sudah mulai jalan. Namun di luarnya dia pura-pura menggertak gigi dan berkata dengan marah.

   "Kurang ajar, di depan hidung orang-orang keluarga Sebun yang mrupakan pembela-pembela kebenaran, ada juga penjahat yang berani bertingkah? Suheng, hayo kita lihat mereka!"

   Dan jawaban Sebun Hiong tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh Liu Jing-tang.

   "Sute, kau dan lima belas orang kita biarlah tetap di sini untuk melindungi A-giok! Aku cukup bersama lima orang melihat ke depan, kalau perlu mengambil tindakan!"

   "Baik. Tetapi hati-hatilah, Suheng. Kirim isyarat kalau memang kesulitan."

   "Tentu saja,"

   Semua pegawai keluarga Sebun yang ikut dalam rombongan itu adalah orang-orang yang terdidik silat semuanya.

   Ada yang memang sudah punya bekal silat ketika masuk keluarga Sebun, ada yang belajar setelah berada dalam keluarga Sebun, sebab salah satu peraturan keluarga Sebun Him yang tidak bisa ditawar adalah bahwa setiap penghuni rumah harus bisa silat.

   Tidak peduli tukang sapu, tukang memandikan kuda, tukang membersihkan kakus dan sebagainya.

   Lima orang yang dipilih untuk mengiringi Sebun Hiong itu adalah lima lelaki tegap bersenjata aneka ragam, merekalah orang-orang terbaik dalam keluarga Sebun di kalangan bawah.

   Sebun Hiong dan lima pengiringnya segera berderap ke depan bagaikan pasukan berkuda terjun ke medan laga, berlawanan dengan arus pengungsi dari desa yang digasak perampok.

   Langit senja yang mulai kehilangan cahayanya itu menyelubungi seringai kejam di bibir Liu Jing-yang, yang menatap perginya keenam orang itu sambil berdesis tanpa dilihat siapapun.

   "Selamat jalan ke neraka, Suheng...."

   Sementara itu, Sebun Hiong ternyata tidak dapat berkuda dengan cepat karena arus orang-orang desa yang mengungsi menghalanginya untuk berjalan cepat.

   Tak perduli yang dinaikinya adalah kuda hitam Hek-hong (si angin hitam) yang pernah berpacu tanpa kalah dengan kuda putih Hui- soat (salju terbang) milik Pakkiong Eng dulu.

   Tapi akhirnya nampaklah di depan sana langit senja seolah terbakar, menyaingi cakrawala barat tempat terbenamnya mentari.

   Dari tempat itu juga terdengar jerit tangis perempuan, teriak ketakutan anak-anak, dan tertawa buas para perampok yang tengah berpesta-pora dengan kebiadabannya.

   Darah Sebun Hiong mendidih melihat itu, memang sejak kecil ia dibesarkan dalam lingkungan yang membuatnya angkuh dan ambisius, namun ia juga bukan orang berhati batu yang dapat tinggal diam saja melihat kemanusiaan diinjak-injak di depan hidungnya.

   Kakinya menjepit perut Hek-hong keras-keras sehingga kuda itu melompat ke depan bagaikan terbang.

   Pedangnya yang berukuran satu setengah kali lebih besar dan panjang dari pedang biasa, telah tergenggam di tangannya.

   Mantel ungu berkibar-kibar di belakang pundaknya, meneriakkan kebesaran nama Ci-him-siau-eng (ksatria muda beruang ungu).

   Di mulut kampung yang dirampok, ada perampok tengah menyeret seorang gadis yang pakaiannya sudah tiga perempat terbuka, sambil tertawa terbahak-bahak, sementara si gadis menangis dengan wajah pucat.

   Tiga perampok lainnya dengan tangan kiri memegang harta rampokan tangan kanan memegang senjata, tengah membacok membabi-buta terhadap orang kampung yang dijumpainya tak peduli anak-anak kecil.

   Dalam keremangan senja, wajah mereka kemerah- merahan terkena cahaya api, mirip wajah iblis- iblis dari neraka.

   Perampok-perampok itu menoleh serentak ketika mendengar derap kuda mendekati mereka dengan kecepatan angin.

   Mereka belum sempat mengamati siapa si penunggang kuda, kilatan sebilah pedang raksasa telah menyilaukan mata mereka dan mereka roboh serentak tanpa merasakan apa- apa lagi.

   Lima orang sekaligus, entah dengan dada atau punggung yang teriris lurus, atau kepala yang langsung bercerai dari bahu.

   Sebun Hiong menggeram marah, dan terus menerjangkan kuda hitamnya ke tengah kawanan perampok yang tengah mengganas.

   Ia melihat kawanan perampok itu sebagian bertopeng, sebagian lagi tidak mengenakan topeng.

   Namun ia tak peduli, pedang besarnya berayun berulang kali dari atas punggung kudanya, dan para perampok jungkir balik tak keruan.

   "Siapkan barisan!"

   Teriak para perampok.

   "Sebun Hiong sudah tiba!"

   Sekilas Sebun Hiong heran sekali, kenapa para perampok langsung mengenali dirinya? Namun ia tidak mau berpikir pusing- pusing, dianggapnya para perampok mengenalnya karena ia muncul lengkap dengan ciri-ciri Ci-him-siau-eng, mantel ungu, kuda hitam dan pedang yang besar.

   Malah timbul rasa bangga karena namanya dikenal orang sampai tempat sejauh itu.

   Teriaknya.

   "Benar! Si Beruang Ungu datang untuk mengantar kalian semua ke mulut cacing-cacing tanah!"

   Kudanya berputar untuk menerjang balik ke kawanan perampok.

   Namun kawanan perampok itu menyingkir ke lorong-lorong gelap dengan ketakutan.

   Pada saat itulah berlompatan keluar belasan orang bertopeng, ada yang menutup muka dengan kain kedok, ada yang mencoreng-coreng muka agar tidak dikenali.

   Pakaian mereka nampak rapi dan agak berbeda dengan para perampok yang berpakaian acak-acakan.

   Sebun Hiong merasa heran, lamat- lamat nalurinya mengatakan bahwa peristiwa perampok itu bukan suatu hal kebetulan yang terjadi justru pada saat rombongannya hendak lewat, namun seperti terencana dengan rapi, khusus untuk "menyambut"

   Dirinya.

   Pikirannya langsung melayang kepada Hek-eng-po, yang selama ini dianggap musuh utama keluarga Sebun.

   Tapi kalau orang Hek-eng-po, kenapa muka mereka harus disembunyikan di balik topeng atau coreng-moreng itu, seakan takut dikenali? Sesaat Sebun Hiong bimbang.

   "Kalian dari mana? Hek-eng-po?"

   Tanya Sebun Hiong sambil menggenggam tangkai pedangnya lebih erat, sementara tangan kirinya memegang kendali si Angin Hitam. Sebagai jawaban, seorang yang mukanya tertutup topeng "Malaikat Bumi"

   Membandringkan rantai panjangnya yang berujung bola besi.

   Bola besi langsung meluncur ke wajah Sebun Hiong dengan dahsyat.

   Sebun Hiong melompat turun dari kuda sekalian untuk menghindar, membiarkan Hek- hong-ma lari sendirian.

   Ia memperhitungkan, menghadapi orang-orang bertopeng yang agaknya adalah jagoan-jagoan silat itu akan kurang leluasa kalau menunggang kuda.

   Berbeda dengan menghadapi perampok- perampok biasa yang hanya mengandalkan otot yang keras dan kekejaman.

   Serangan bola rantai hanyalah serangan pembukaan, segera disusul dengan serangan- serangan lain beruntun seperti banjir.

   Seorang yang mukanya dicoreng-coreng seperti suku terasing yang hidup di pegunungan Tai-liang- san, bersenjata tombak dan melompat menikam dada Sebun Hiong gerakannya mantap dan cepat, menandakan ia bukan orang sembarangan.

   Disusul orang yang bersenjata sabit besar, lalu yang membawa sepasang Tiat-tui (gada bulat bertangkai pendek) yang rupanya bertenaga besar.

   Pengeroyokan atas diri Sebun Hiong itupun berlangsung di tengah jalan kampung, di bawah cahaya api yang berkobar-kobar dari rumah yang terbakar.

   Tepat seperti dugaan Sebun Hiong, orang-orang itu lebih tangguh dari perampok-perampok yang dibabatnya dengan gampang di mulut kampung tadi.

   Orang-orang ini lebih tangguh.

   Terbukti mereka sanggup menghindar atau menangkis serangan-serangan balasan Sebun Hiong, biarpun harus saling bantu dengan teman- teman lain.

   Sebun Hiong memutar pedang besarnya dengan garang memainkan pedang Hoa-san- pai, tapi tidak gampang lagi ia melukai orang- orang bertopeng itu.

   Di sebuah sudut gelap yang tak terjangkau cahaya api, ada seorang bertopeng lainnya yang diam-diam berdiri di kegelapan untuk memperhatikan pengeroyokan atas diri Sebun Hiong.

   Orang ini berjubah panjang biru tua yang susah dilihat warnanya di kegelapan, sebatang pedang terhunus di tangannya tetapi hanya dipeluk dengan tangannya karena ia jauh dari arena.

   Sambil memperhatikan pertempuran, ia begumam.

   "Sebun Hiong takkan lolos malam ini. Bagus. Liu Jing-yang sebagai menantu lelaki akan segera menggantikan sebagai ahli waris keluarga Sebun, dan aku akan mendapat Perusahaan sutera Yong-con dan perusahaan pengawalan Pek-him Piau-tiam. Uang yang harus kukeluarkan untuk membayar kawanan orang rakus dan bodoh ini tidak seberapa kalau dibandingkan penghasilan besar yang bakal mengalir ke kantongku setiap bulannya kelak. Hem..."

   Dibandingkan lawan-lawannya satu demi satu, Sebun Hiong unggul tiga empat tingkat, namun lawannya saat itu ada delapan orang dengan kepandaian khas masing-masing senjatanya.

   Membuat Sebun Hiong ingin menghirup napaspun rasanya tidak diberi kesempatan.

   Beraneka macam senjata menyambar berganti-ganti ke arah tubuhnya.

   Bola rantai, sabit besar, gada bulat bertangkai pendek, golok, toya gigi serigala, tombak, kaitan tajam dan sebuah pacul bertangkai panjang.

   Delapan macam senjata dari delapan tokoh yang "setengah hitam setengah putih"

   Dijuluki Hong-san-pat-sat (delapan algojo Hong-san).

   Sehari-hari mereka hidup di masyarakat ramai sebagai orang baik-baik, ada yang buka toko, menjadi petani, tukang kayu, pedagang keliling dan sebagainya.

   Tapi mereka punya puluhan anak buah yang bersembunyi di gunung dan tiap saat bisa digerakkan, kalau ada "pesanan"

   Dari pihak lain untuk membunuh atau menghancurkan, dengan bayaran tinggi.

   Begitu pula kali itu, mereka disewa tenaganya, namun agak segan kepada keluarga Sebun sehingga mereka menampilkan wajah yang tidak sebenarnya.

   Menghadapi pembunuh-pembunuh bayaran itu, Sebun Hiong kewalahan.

   Pundak dan lengannya sudah tertusuk tombak, meskipun tidak menentukan tetapi jelas memperlemah perlawanannya.

   Kakinya juga sempat dibelit oleh rantai bola sehingga hampir saja tertarik roboh, sementara senjata-senjata lain terus menghujaninya dan sulit dilawan oleh pedangnya yang hanya satu.

   Tenaga sakti Kun-goan-sinkang (tenaga sakti alam semesta) ajaran keluarganya sudah digunakan sehingga gerak pedangnya selalu mengeluarkan suara menderu bagaikan taufan, tapi tetap kurang cukup untuk lolos dari kepungan Delapan Algojo Hong-san.

   Lima orang pegawai jagoan keluarga Sebun itupun kemudian datang, karena kuda mereka tidak sebaik si Angin Hitam.

   Seperti panglima-panglima perkasa dalam dongeng- dongeng kuno, kelimanya menerjang dengan kuda, senjata dan keberanian mereka ke arah gerombolan perampok.

   Beberapa perampok tertebas roboh atau kena tendangan kaki-kaki kuda mereka.

   Namun para garong juga sangat berpengalaman dalam dunia hitam mereka yang penuh kekerasan.

   Mereka memancing orang-orang keluarga Sebun itu berpencaran di lorong-lorong sempit, kemudian di tikungan- tikungan tajam ada yang menyerampang kaki kuda, sehingga penunggang-penunggangnya dipaksa bertempur di atas tanah.

   Kalau sudah begitu, biarpun lima orang pegawai keluarga Sebun itu cukup berani dan kuat, menghadapi kawanan bandit yang berjumlah jauh lebih banyak, mereka kewalahan juga.

   Satu demi satu mereka roboh tercincang.

   Sebenarnya kalau mau, Liu Jing-yang ditambah limabelas pegawainya ikut menerjang pertempuran, akan bisa mempengaruhi keadaan.

   Ditambah Sebun Giok yang biarpun sedang hamil namun masih kuat untuk bermain pedang.

   Tapi Liu Jing-yang memang tidsk mau lagi melihat Sebun Hiong hidup, ia dan rombongannya tetap berhenti empat lima li dari desa yang dirampok, sambil memandang cahaya api di kejauhan.

   Ketika Sebun Giok dari dalam kereta mendesak suaminya untuk membantu, karena mencemaskan nasib kakaknya, maka dengan berbagai alasan Liu Jing-yang membantahnya.

   "Percayalah kepada kakakmu, isteriku,"

   Hibur Liu Jing-yang dengan wajah palsunya.

   "mana bisa segala macam bandit kecil itu menandingi kakakmu?"

   "Tapi berat rasanya membiarkan Hiong- ko maju sendirian hanya dengan ditemani lima orang pegawai."

   "Hilangkan kecemasanmu, kakakmu pernah dikeroyok dua orang dari Lo-san Su- koai (Empat siluman Lo-san) dan tidak kalah, apalagi sekarang ilmunya meningkat beberapa lapis karena menghadapi pertandingan di Siong-san,"

   Bujuk Liu Jing-yang.

   "Apalagi ibumu berpesan wanti-wanti kepadaku, untuk menjaga dirimu dan kandunganmu, kalau sampai terjadi apa-apa, aku tak punya muka lagi untuk hidup di dunia."

   Omongan dan sikap Liu Jing-yang begitu meyakinkan, sampai akhirnya Sebun Giok tak bercuit lagi.

   Ia bangga punya suami yang begitu "bertanggung-jawab".

   Di tengah desa yang kebakaran dan panik karena perampokan itu, memang Sebun Hiong nampak lebih kuat dan garang dibandingkan hampir setahun yang lalu ketika bertempur dengan Lo-san Su-koai.

   Kalau dulu, dia dapat mengimangi dua dari Su-koai, maka sekarang agaknya tiga dari Su-koai pun bisa dihadapinya sendiri, seandainya su-koai masih hidup.

   Tapi menghadapi delapan orang yang sehari-harinya berlatih tehnik-tehnik membunuh dan mencelakakan orang, Sebun Hiong jadi kewalahan.

   Hong-san-pat-sat secara perseorangan kalah dari Lo-san Su-koai, tapi secara kelompok lebih tangguh satu setengah kalinya Lo-san Su-koai.

   Maka Sebun Hiong pun seperti seekor beruang buas yang jatuh ke sarang ular-ular berbisa, sendirian, sebab lima pegawainya sudah jalan dulu ke nirwana.

   Luka-lukanya semakin bertambah.

   Si orang bertopeng berjubah biru yang mengawasi dari bayangan kegelapan itu mengangguk-angguk kepala dengan puasnya, sambil bergumam.

   "Bagus. Wahai Sebun Him, relakan saja seluruh kekayaanmu di berbagai kota untuk diwarisi oleh menantumu yang durhaka itu, supaya pamannya inipun kecipratan sedikit rejeki......"

   Entah dewa atau buddha yang mana yang sudi mendengarkan doanya itu.

   Namun derap kuda kembali terdengar, memantul-mantul di lereng bukit itu.

   serombongan penunggang kuda muncul dari persimpangan jalan, seorang pemuda yang berpakaian rapi dan tampan, alisnya tebal dan matanya besar menggambarkan kejujuran dan keterus-terangan wataknya.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia berkuda tanpa memegang kendali, hanya menjepitkan sepasang kakinya kuat-kuat ke perut kuda, sebab sepasang tangannya memegang sepasang tongkat bekas gergajian sumbu roda kereta yang pangkalnya dibalut gombal- gombal amoh.

   Seperti malaikat yang terjun dari langit, pendatang berkuda itu langsung menerjangkan kudanya ke arah Hong-san-pat-sat, sambil berteriak kepada Sebun Hiong.

   "Tahan, tuan muda! Aku datang!"

   "Liu Beng!"

   Teriak Sebun Hiong dengan hati terasa sejuk karena bayangan pintu gerbang akhirat di pelupuk matanya segera menjauh kembali, padahal tadi rasanya sudah demikian dekat.

   Dari atas kudanya, Liu Beng mengayunkan sepasang tongkat besinya ke kedua arah kiri-kanan, menghantam ke arah dua orang dari Hong-san-pat-sat yang paling dekat.

   Dalam jurus-jurus sepasang tongkat ajaran ayah angkatnya, Cui-poan-siang Hong Thai-pa yang disebut Cui-siang-sip-sik Siang- koai-hoat (Ilmu Sepasang Tongkat Sepuluh Jurus Gajah Mabuk) memang tidak ada jurus indah dengan sasaran bagian tubuh tertentu.

   Hantaman tongkat ditujukan ke mana saja, ada kepala ya kepala, ada pundak ya pundak, kaki musuh tak terjaga ya kakinya yang diincar.

   Begitu pula kali itu jurusnya adalah Cui-siang-tah-loan (gajah mabuk membabi- buta).

   Kekuatan yang tersalur di kedua tongkat itu seperti gunung ambruk, karena Liu Beng punya pembawaan tenaga yang kuat, disamping telah menerima pelajaran tenaga dalam dari ayah angkatnya.

   Anggota Hong-san-pat-sat yang di sebelah kanannya bersenjata sepasang bola besi bertangkai pendek, terkejut mendengar desing angin yang menyertai gerak tongkat rongsokan Liu Beng.

   Tak sempat menghindar, ia pasang kuda-kuda rendah dan secara kekerasan menahan hantaman tongkat dengan menyilangkan sepasang senjatanya.

   Ia memang bangga dengan kekuatanya yang paling hebat dibandingkan tujuh rekannya.

   Tapi begitu senjatanya tertimpa tongkat Liu Beng, sepasang telapak tangannya pedih dan panas seolah terbakar, tubuhnya terguncang hebat dan terhempas ke belakang dengan megap-megap, sepasang senjatanya terlempar lepas.

   Dengan geragapan ia merangkak menggapai senjatanya, tapi setelah tangkai senjata tergenggam di jari-jarinya, untuk mengangkat saja sudah tidak kuat, apalagi untuk berkelahi.

   Sepasang senjata yang biasanya dapat diputar dengan enteng seolah terbuat dari gabus, kini terasa seberat bukit, karena sepasang tangannya terkilir parah oleh benturan tadi.

   Sedang sasaran di sebelah kiri Liu Beng adalah anggota Hong-san-pat-sat yang bersenjata tombak.

   Ia lincah, namun serbuan Liu Beng terlalu cepat untuk dihindari.

   Sekuat tenaganya ia palangkan tombaknya di atas kepala untuk menangkis tongkat besi Lu Beng.

   Tangkisan yang sia-sia.

   Pertama, tenaganya tidak sekuat temannya yang bersenjata sepasang bola besi bertangkai pendek.

   Kedua, gagang tombaknya hanyalah kayu biasa, biarpun kayu pilihan tapi mana kuat diadu dengan besi bekas sumbu roda kereta? Terdengar suara berderak, sebenarnya dua suara namun hanya kedengaran seperti satu suara karena cepatnya, yaitu suara tangkai tombaknya yang patah dan suara tengkorak kepalanya yang retak, membuat isi kepalanya jungkir balik dan mampus.

   Kedatangan Liu Beng langsung mengubah sebutan dari Hong-san-pat-sat menjadi Hong-san-liok-sat (enam algojo Hong- san).

   Tapi enam pun masih terlalu banyak.

   Di tengah arena, Sebun Hiong menggunakan kesempatan selagi lawan morat-marit mengatur siasat baru, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengayunkan pedang besarnya dalam tipu Heng-sau-jwan-kun (menyapu seribu prajurit), mendatar lebar setinggi perut.

   Dua anggota Hong-san-liok-sat kembali roboh dengan perut menganga merah.

   Sisanya menjadi kocar-kacir menghadapi gabungan tenaga Sebun Hiong dan Liu Beng yang sudah melompat turun dari kuda itu.

   Dari pihak tertekan, Sebun Hiong kini berbalik menekan.

   Lawan-lawannya mencoba mengatur perlawanan dengan sisa kekuatan yang ada, mereka juga bersuit beberapa kali, agaknya semacam isyarat bagi anak buah mereka.

   Apalagi penolong Sebun Hiong bukan hanya Liu Beng, tapi juga empat orang gadis pengiringnya yang mengamuk dengan senjata- senjata masing-masing.

   Para perampok tadinya kegirangan melihat empat gadis cantik seolah "dihadiahkan"

   Kepada mereka, namun kegirangan berubah menjadi kepanikan ketika "hadiah-hadiah"

   Itu berbalik menghadiahkan semburan jarum-jarum lembut, sabetan- sabetan atau jeratan-jeratan tali yang mencelakakan, bacokan-bacokan sepasang golok tipis Liu-yap-to dan tebasan-tebasan toya rotan yang ringan namun selalu telak mengincar jakun atau selangkangan kaum perampok yang bagaimanapun kuatnya tapi kalau kena pasti ambruk.

   Gadis-gadis itu muncul bagaikan bidadari-bidadari kayangan membabat para siluman perusak dunia.

   Bersama rombongan itu ada pula tiga murid Ki-lian-pai yang sebenarnya tidak suka ikut campur urusan perampokan di desa itu.

   Namun karena para perampok menganggap mereka sebagai lawan pula, dan menyerang mereka, maka Kam Hun-siong, Nyo Lik, dan Le Ciong terpaksa juga menghunus pedang tapi sekedar membela diri.

   Bahkan melihat seorang perempuan tua digorok para perampok di depan hidung mereka, mereka juga tidak ambil pusing asal diri mereka tidak diganggu.

   Tugas murid-murid Ki-lian-pai toh hanya "menjaga nama perguruan"

   Saja? Peduli amat urusan orang lain....

   Perkembangan tak terduga itu membuat orang bertopeng, berjubah biru yang bersembunyi di kegelapan itu terpukul hatinya.

   Seolah-olah mimpi, ia melihat bagaimana tangkas dan kuatnya Kiu Beng memainkan sepasang tongkat besinya, agaknya tidak kalah dari Sebun Hiong sendiri.

   Ia ingin terjun ke gelanggang untuk membantu sisa Hong-san- pat-sat yang tinggal empat dan keteteran itu, namun ragu-ragu, apakah kekuatannya sendiri sudah cukup untuk memulihkan keseimbangan seperti tadi? Bagaimana kalau ia malah tertangkap dan kedoknya dibuka? Namun untuk pergi begitu saja ia juga merasa berat kakinya, rencana yang sudah di ambang pintu keberhasilan membunuh Sebun Hiong, menjadi berantakan gara-gara munculnya Liu Beng dan empat gadis pengiringnya.

   Ia mundur semakin dalam ke sudut yang gelap untuk memperhatikan jalannya pertempuran, sambil menyiapkan "tindakan-tindakan yang diperlukan".

   Beberapa langkah dari kakinya, anggota Hong-san-pat-sat yang tidak mati namun sepasang tangannya lumpuh karena terkilir hebat itu, masih merayap-rayap dengan dorongan kakinya untuk minggir, karena tidak mau tubuhnya terinjak-injak kuda.

   Rasa jengkel karena gagalnya rencana, tiba-tiba ditumpahkan kepada anggota Hong- san-pat-sat itu.

   Tangannya melontarkan sebilah belati yang langsung menancap di tenggorokan orang itu, mengakhiri penderitaan sepasang tangannya.

   Di arena, Sebun Hiong dan Liu Beng berturut-turut merobohkan masing-masing satu orang.

   "Tangkap hidup-hidup yang dua orang ini, A-beng!"

   Sebun Hiong berseru.

   "Kita korek mulut mereka untuk mengetahui siapa yang menyuruh mereka! Yang terjadi di desa ini rasanya sebuah perangkap yang disiapkan khusus untukku!"

   "Baik, Siauwya!"

   Sahut Liu Beng.

   Lawan Liu Beng adalah seorang yang bersenjata toya long-ge-pang (pentung gigi serigala) yang berat dan bertenaga besar.

   Namun ia sama seklai tak berdaya menghadapi putaran sepasang tongkat Liu Beng yang mantap itu.

   Bahkan ketika Liu Beng menghantam bertubi-tubi, toyanya tak berhasil ia pertahankan lebih jauh sehingga jatuh dari tangannya.

   Tapi ia agaknya enggan menjadi tawanan, dosanya terlalu banyak sehingga kalau tertangkap hidup-hidup akan mengalami banyak kesulitan.

   Begitu senjatanya hilang dari tangan, ia tanpa ragu-ragu lagi menggigit putus lidahnya sendiri, dan jatuh terkapar dengan nyawa melayang.

   Tinggal satu lagi, yang masih menyerang Sebun Hiong dengan sebatang golok.

   Ketika sadar bahwa ia tinggal sendirian, ia menjadi kebingungan.

   Tidak ingin tertangkap, tetapi juga tidak bisa lari, sedang untuk bunuh diri ia tidak seberani temannya yang terakhir tadi.

   Untunglah dalam keadaan terjepit ia punya seorang "teman yang paham kesulitan"nya, yaitu orang bertopeng berjubah biru yang berdiri di kegelapan itu, yang memberikan jalan keluar tanpa berunding lebih dulu dengannya.

   Jalan keluar itu berupa sebilah belati kecil yang meluncur dari kegelapan dan menyusup daging di punggungnya, langsung merobek jantungnya.

   Dengan demikian batallah rencana Sebun Hiong untuk menangkap dan memeras keterangannya.

   Sebun Hiong dan Liu Beng terkejut, sekilas masih sempat melihat sesosok bayangan berjubah biru berkelebat menghilang di sebuah sudut gelap, dari arah luncuran belati itu.

   Tanpa berjanji, keduanya serentak memburu ke arah bayangan itu dan meneriakkan seruan yang sama pula.

   "Berhenti! He!"

   Cuma si jubah biru bertopeng agaknya seorang jagoan yang ilmu meringankan tubuhnya hebat juga, sehingga dapat lari dengan kencang.

   Sedangkan ilmu meringankan tubuh justru merupakan titik paling lemah pada Sebun Hiong maupun Liu Beng.

   Keduanya adalah pemuda-pemuda bertubuh tegap, bertenaga besar, namun dalam hal meringankan tubuh justru pas-pasan saja.

   Maka gagallah mereka untuk menyingkapkan rahasia siapa yang mendalangi perangkap itu.

   Liu Beng dan Sebun Hiong kemudian lebih sibuk dengan para perampok anak buah Hong-san-pat-sat yang masih merajalela itu.

   tanpa pimpinan lagi, para perampok itu mudah ditundukkan, kemudian sisanya lari lintang- pukang.

   Ketika kemudian Liu Beng dan Sebun Hiong yang sedikit luka-luka itu berkuda berdampingan, diiringi yang lain-lainnya untuk menjemput rombongan yang mengawal Sebun Giok di luar desa, maka Liu Jing-yang menjadi sangat kecewa ketika melihat Sebun Hiong hanya luka-luka ringan tapi masih hidup.

   Lebih kecewa lagi melihat Liu Beng tahu-tahu sudah muncul pula.

   Agaknya Liu Beng inilah yang membantu lolosnya Sebun Hiong dari maut.

   Namun demikian Liu Jing-yang berhasil menyembunyikan jauh-jauh rasa kecewanya.

   Ia menyongsong maju, pura-pura kaget melihat luka-luka Sebun Hiong dan bersikap sebagai adik ipar yang baik.

   "Suheng, kau luka?"

   Sebun Hiong tertawa sambil tepuk- tepuk pundak Liu Beng, katanya.

   "Baru mendapat luka-luka kecil dan Liu Beng sudah menolongku sehingga memperpanjang umurku."

   "Bukankah tadi aku sudah berpesan, kalau Suheng menemui kesulitan agar melepaskan isyarat atau menyuruh orang untuk memberitahu aku?"

   Kata Liu Jing-yang dengan nada menyesal.

   "Akibatnya Suheng mendapat luka-luka, padahal sedang dalam perjalanan ke Siong-san untuk bertanding...."

   Sikap penuh perhatian Liu Jing-yang itu membuat Sebun Hiong merasa lega juga, dan merasa bahwa selama ini sikapnya sendiri keterlaluan dingin kepada sang adik ipar. Katanya.

   "Terima kasih atas perhatianmu, Sute. Tapi selama perjalanan luka-lukaku akan sembuh kembali. Hanya luka-luka ringan di kulit."

   Kemudian, sementara Sebun Hiong diobati oleh A-cui, A-loan dan lain-lainnya, semua perhatian tertuju kepada Liu Beng yang kemunculannya telah menyelamatkan Sebun Hiong dari rencana busuk Liu Jing-yang secara diam-diam.

   "Eh, A-beng, kenapa kau dan orang- orangmu tiba-tiba bisa muncul di tempat ini?"

   Tanya Liu Jing-yang.

   "Hanya kebetulan, Siauwya,"

   Sahut Liu Beng.

   "Aku sebenarnya sedang mencari jejak orang-orang Hek-eng-po yang entah kenapa menghilang sepanjang jalan, lalu menjelang memasuki kota Hong-ciu-koan aku bertemu dengan..... sahabat-sahabat dari Ki-lian-pai ini yang membawa kabar bahwa nona Auwyang pergi tanpa pamit dari Ki-lian-san. Terus saja aku membelokkan arah ke jalan raya propinsi Ho-lam, tak terduga secara kebetulan berhasil membantu Siauwya Sebun Hiong mengatasi musuh-musuhnya."

   Dalam keterangannya, Liu Beng sengaja tidak menyebutkan bagaimana ia dan A-cui dan lain-lainnya telah membuat Kam Hun- siong bertiga pecundang jungkir-balik, supaya ketiga murid Ki-lian-pai itu tidak kehilangan muka.

   Kam Hun-siong bertiga dengan tersipu- sipu memberi hormat kepada orang-orang keluarga Sebun.

   Gelapnya malam membuat tak terlihat wajah mereka yang merah.

   Meskipun sudah tahu apa jawabannya, Liu Jing-yang masih pura-pura bertanya.

   "Lho saudara Kam, kenapa tidak bersama-sama dengan Suhu dan Suheng kalian?"

   "Ya, kami berpisah dengan Suhu dan Suheng di simpang jalan yang menuju kota Lo- tiong-koan, kata Suhu agar...... agar dapat lebih cepat menemukan jejak Sumoai....."

   Sahut Kam Hun-siong.

   "Kenapa lalu kalian sampai berjalan bersama Liu Beng?"

   "Kami.... kami.... kami...."

   Kam Hun- siong menjawab kebingungan. Dan A-hui gadis pengiring Liu Beng yang berwatak periang itulah yang menjawab sambil tertawa.

   "Kam Siauwya, kenapa tidak bicara terbuka saja? Kalian bermaksud menawan Huciangkui, namun malah berbalik kalian yang menjadi tawanan bukan?"

   Liu Beng sebenarnya hendak mencegah pengiring-pengiringnya bicara mempermalukan Kam Hun-siong bertiga, namun sudah tidak sempat lagi.

   Malah A-cui, A-loan dan lain- lainnya pun berebutan bercerita sampai hal sekecil-kecilnya, tidak lupa dijelaskan dengan gamblang bagaimana "Kam Siauwya"

   Nyungsep di selokan pada gebrakan pertama melawan Liu Beng. Rupanya gadis-gadis itu masih dendam karena pernah dimaki "barisan sundal"

   Oleh murid-murid Ki-lian-pai itu. Tak terduga Liu Jing-yang lah yang menghentikan ocehan gadis-gadis itu dengan bentakan sengit.

   "Diam kalian, budak-budak tak tahu adat! Tidakkah kalian sadari derajat kalian hanya budak-budak, sedang saudara Kam ini murid perguruan terhormat?"

   A-cui, A-loan dan A-hui bungkam seketika dengan kepala tertunduk dan mata berkaca-kaca.

   Teguran pedas Liu Jing-yang seperti cermin yang dipasang di depan mereka agar mereka sadar kembali bahwa mereka cuma budak-budak yang tidak mempunyai hak sebanyak "tuan-tuan terhormat".

   Sedangkan A-liu yang sejak semula tak ikut bicara, acuh tak acuh saja, namun otaknya sedang berputar seperti gasing memikirkan pihak mana yang hendak mencelakai Sebun Hiong tadi? Ia yakin bukan dari Hek-eng-po sebab itu berarti melanggar pesan Hek-eng Pocu kepada segenap anak buahnya.

   Sementara itu Liu Jing-yang belum puas melampiaskan kejengkelan, dan kini membentak Liu Beng pula.

   "Dan kau, kacung yang tak tahu berterima kasih! Keluarga Sebun mengangkatmu dari seorang gelandangan menjadi Huciangkui, tapi begitukah caramu mendidik orang-orangmu sehingga mereka tidak tahu tatakrama?"

   Sahut Liu Beng.

   "Aku tidak pernah mengajar mereka untuk tidak tahu adat kepada siapapun, hanya mengingatkan martabat kemanusiaan yang mereka miliki, agar jangan membuat mereka merasa di bawah derajat orang lain, menghargai diri sendiri sewajarnya sebagai manusia, bukan keledai beban atau sapi perahan atau anjing pengawal....."

   "Wah, sudah pintar berkhotbah ya? Tapi orang-orang macam kalian harus selalu diingatkan akan kedudukan kalian, kalau tidak, siapa yang akan melayani kami, majikan- majikan kalian?"

   Liu Beng membungkuk hormat.

   "Tentu saja, Siauwya, kami ingat bahwa kami hanya berkedudukan sebagai pelayan-pelayan, tapi tidak harus kehilangan martabat kemanusiaan kami, bukan? Tidak harus membiarkan kepala kami diinjak atau tangan kami diikat seperti ternak yang diseret ke pasar, bukan?"

   "Belajar dari mana setan kecil ini sehingga pintar memutar lidah sepandai ini? Ah, sejak dari Liu-keh-chung juga dia sudah pintar berlagak seperti pendeta untuk mencegah tindakan-tindakanku, tapi tak pernah aku gubris,"

   Pikir Liu Jing-yang. Lalu ia berkata.

   "Baiklah kalau sadar kedudukanmu, tapi kalian harus lebih banyak belajar tatasusila, agar pantas menjadi pelayan- pelayan kalangan terhormat....."

   Sekonyong-konyong Liu Beng tertawa kecil memutuskan ucapan Liu Jing-yang.

   "Ah, Siauwya berkelakar saja. Kalangan yang sejak kecil diajar tatakrama toh melakukan juga hal-hal yang tak terpuji. Misalnya, menghancurkan kebahagiaan seorang gadis miskin penjaja kue sehingga bunuh diri bersama suaminya meskipun baru semalam menjalani upacara pernikahan, atau seorang ketua perguruan terhormat yang mencoba mengakali besannya sendiri, bahkan dengan cara mengorbankan cucu perempuannya sendiri demi mengingini barang yang bukan haknya. Atau seorang muda dari keluarga antah-berantah yang membunuh saudara sepupunya sendiri untuk merampas barangnya?"

   Liu Jing-yang kontan pucat wajahnya mendengar "pukulan tiga berantai"

   Itu, keringat dingin membasahi punggungnya, kuatir kalau ocehan Liu Beng didengar dan dicerna oleh orang-orang keluarga Sebun.

   Ia bungkam dan tubuhnya gemetar.

   Sementara Liu Beng semakin berani menumpahkan isi hatinya, hanya saja ia tidak berteriak-teriak penuh emosi, melainkan bicara seolah mendongengkan cerita dari negeri jauh yang tak ada sangkut pautnya dengan orang- orang di situ.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi ia memandang murid-murid Ki- lian-pai ketika melanjutkan kata-katanya yang tetap bernada datar.

   ".... atau menjebak dan memfitnah saudara seperguruannya sendiri dengan memperalat seorang gadis yang genit? Memburu dan menyiksa muridnya sendiri dari balik sehelai kedok untuk menanyakan barang yang bukan miliknya sendiri? Aku menyatakan rasa kagumku yang setinggi-tingginya kepada kalangan terhormat yang sangat paham tatakrama ini. Bahkan membunuh, menipu dan merampokpun mereka lakukan dengan penuh tatakrama yang anggun, benar-benar jempolan. Orang lain mereka bungkam mulutnya yang menyuarakan tuntutan kemanusiaan yang wajar, karena tidak boleh melanggar tatakrama. Begitu bukan? Liu Jing-yang dan murid-murid Ki-lian- pai bungkam semua, mereka kuatir kalau membantah akan menimbulkan kemarahan Liu Beng sehingga bekas kacung itu bukan saja akan membisikkan kebusukkan mereka, tetapi meneriakannya mungkin sekalian menyebut nama-nama pelakunya secara terang. Saat itupun Liu Beng sebenarnya sudah marah, cuma kemarahan yang masih terkendali. Kemudian Sebun Hiong yang tengah diobati luka-lukanya oleh A-loan dan A-hui itu bersuara,"Sudahlah, tadi A-cui agaknya hanya bercanda saja, jangan ada yang tersinggung. Apalagi A-cui berempat juga sudah berjasa pula ikut menyelamatkan aku dari tangan para pembunuh bayaran yang menyamar sebagai perampok untuk menjebak aku...."

   Liu Jing-yang terkesiap mendengar sepuluh kata yang terakhir itu. Sesaat ia lupakan "kekurang-ajaran"

   Liu Beng dan dengan was-was mulai berpikir, mungkinkah para pembunuh bayaran itu ada yang tertangkap Sebun Hiong dan menyebutkan siapa yang menyuruh? Tapi Sebuh Hiong tiba-tiba berseru"A- beng, A-cui, A-loan, A-hui dan A-liu, duduklah bersama aku di sini.

   Aku ingin makan bersama dengan penolong-penolongku sebagai ucapan terima kasihku...."

   Liu Jing-yang kaget.

   Semakin sering Sebun Hiong bicara akrab dengan Liu Beng, akan semakin terbuka kemungkinan Liu Beng menceritakan kelakuan Liu Jing-yang yang malang melintang semasa masih menjadi tuan muda di Liu-keh-chung dulu, sebab Liu Beng tahu banyak, di samping mendiang A-piao, kacung Liu Jing-yang yang paling setia.

   Sikap Liu Jing-yang terhadap Liu Beng sejak dulu tidak pernah baik.

   Dulu ia menganggap Liu Beng sebagai seekor cacing tanah yang dapat diinjak semaunya, kini si "cacing tanah"

   Sudah menjadi "ular berbisa"

   Yang setiap saat bisa memagutnya mampus.

   Liu Beng dan keempat gadis pelayan ragu-ragu memenuhi panggilan Sebun Hiong itu.

   barulah ketika Sebun Hiong berseru sekali lagi, mereka berlima bangkit dan berjalan mendekat setelah sekenanya merapikan pakaian mereka.

   Sambil melangkah, Liu Beng berkata.

   "Tapi nanti kami dianggap melanggar tata krama?"

   "Nah, benar,"

   Pikir Liu Jing-yang.

   "Si ular berbisa sudah menggerakkan kepalanya dan siap mematuk, sementara aku belum siap dengan pertahanan apapun kecuali mengandalkan pertolongan keledai betina yang menjadi isteriku ini...."

   "Tata krama apa?"

   Tanya Sebun Hiong.

   "dududklah, kalau kau setuju, tidak lama lagi kita akan menjadi saudara angkat. A-cui berempat juga akan aku usulkan kepada ayah agar ditingkatkan kedudukannya dalam keluarga Sebun. Kemarilah."

   Untuk sementara Liu Jing-yang boleh lega, sebab si "ular berbisa" (memangnya Liu Jing-yang menganggap dirinya sendiri itu apa?) tidak mematuk lebih lanjut.

   Dengan sikap sopan yang sudah disiapkannya, Liu Beng duduk pula di dekat api unggun.

   A-cui berempat melangkah ragu-ragu, setelah dekat api unggun mereka memberi hormat dan berkata.

   "Hamba berempat merasa mendapat kehormatan atas undangan Siauwya."

   Setelah itu barulah duduk pula dekat api unggun, namun cukup di tempat "kelas dua"

   Yang agak ke belakang, agar tidakditegur oleh Liu Jing-yang si Pembela Tata krama. Biasanya mereka berempat cukup membahasakan diri mereka "aku", namun kali ini dirubah menjadi "hamba"

   Untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.

   A-liu duduk paling jauh dari api, di tempat yang terlindung bayangan pohon.

   Sore itu ia lupa mencukur licin jenggotnya, maka ia sengaja menjauhi penerangan.

   Tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau Sebun Hiong atau Liu Beng melihat seorang "gadis"

   Berjenggot kasar seperti parut untuk menggosok kelapa.

   "Duduklah dekat-dekat sini,"

   Kata Sebun Hing dengan ramah.

   "A-liu, kenapa kau duduk sejauh itu?"

   "Hamba cukup di sini, Siauwya,"

   Sahut A-liu dari bawah bayangan pohon.

   "hamba merasa agak gerah kalau berdekatan dengan api....."

   Setelah mereka berdelapan melahapsemangkuk mie rebus dicampur potongan-potongan daging kambing buruan dicampur lagi buah-buahan hutan yang diiris- iris, masakan yang belum diketemukan namanya oleh juru masak yang terbaik sekalipun, mereka mulai bercakap-cakap.

   Di luar dugaan, Liu Jing-yang bersikap cukup ramah dan akrab dalam percakapan itu, bahkan juga terhadap Liu Beng dan A-cui berempat.

   Sebun Giok ikut sebentar dalam percakapan, kemudian menyatakan akan mengundurkan diri untuk beristirahat.

   Nyonya muda yang sedang menuju ke kereta yang tengah dilepas kudanya, dituntun oleh A-loan dan A-hui di kanan-kirinya.

   Liu Jing-yang sendiri, setelah cukup lama mengumpulkan keberanian dan persiapan dalam dirinya, mulai melontarkan pertanyaan yang sejak tadi dipendamnya.

   "Suheng, kau tadi bilang bahwa perampok-perampok di desa itu adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang menyamar. Apa betuk begitu?"

   "Aku menduga demikian, bahkan perangkap itu agaknya disiapkan untukku."

   Liu Jing-yang mengepalkan tinju dan menunjukkan kemarahan dengan kelihaiannya bersandiwara.

   "Kurang ajar, siapa berani main gila kepada keluarga Sebun kita? Suheng, kenapa kau menduga demikian?"

   "Pertama, begitu aku menyerbu para perampok, segera ada di antara mereka yang memperingatkan teman-temannya dengan mengatakan "Sebun Hiong sudah datang , kalau mereka perampok biasa, dari mana mereka langsung tahu namaku? Liu Jing-yang mengangguk-angguk.

   "Memang mencurigakan. Tapi juga tidak terlalu heran, di dunia persilatan kawasan barat laut ini tidak ada yang tidak kenal Ci-him Siau-eng (pendekar muda beruang ungu) dari keluarga Sebun?"

   "Bisa juga demikian, namun khusus delapan orang yang hampir membunuhku, mereka bukan perampok-perampok biasa, mereka berpakaian cukup baik dan memakai macam-macam topeng atau mencoret-coret wajah mereka. Ada kesan bahwa mereka dipersiapkan khusus untuk menunggu aku, dan ternyata hampir saja berhasil. Itu alasan yang ke dua...."

   Kali ini Liu Jing-yang tidak menemukan kata-kata untuk melemahkan pendapat Sebun Hiong tersebut.

   Ia kuatir kalau terlalu banyak membantah malahan akan membuat dirinya dicurigai.

   Sedang tanpa membantahpun Liu Beng sudah melirik tajam ke arahnya, agaknya kacung itu juga ingat kematian Liu Tek-san di Liu-keh-chung di mana ia curigai Liu Jing-yang sebagai pelakunya.

   Orang yang sanggup membunuh saudara sepupunya sendiri demi ambisi, kenapa tidak berani membunuh saudara ipar sekaligus saudara seperguruan? Tapi Liu Beng lebih menyibukkan mulutnya dengan makanannya daripada melontarkan tuduhan atau kecurigaan ke alamat seseorang secara membabi buta.

   Kalau tuduhannya tidak benar, berarti ia memfitnah seseorang, padahal dirinya sendiri sudah pernah mengalami sakitnya difitnah di Ki-lian- san dulu.

   Sementara itu Sebun Hiong telah melanjutkan penjelasan kecurigaannya.

   "Dan yang ke tiga, ada satu pihak yang tidak suka kalau pembunuh-pembunuh bayaran itu tertangkap hidup-hidup oleh aku dan Liu Beng, sehingga ketika mereka tinggal satu, sebilah belati melayang dari dalam gelap, membunuh pembunuh yang gagal itu. Aku tidak mungkin menanyai sesosok mayat bukan?"

   Ketika Sebun Hiong bicara sampai sekian, Liu Beng bukan Cuma mengangguk- angguk tapi juga ikut bicara.

   "Benar, sayang kita tak berhasil mengejar pelempar belati itu. tetapi rasanya aku pernah kenal orang itu......"

   "Kau pernah kenal?"

   Tanya Sebun Hiong tertarik, sedang jantung Liu Jing-yang hampir berhenti berdenyut karena kagetnya.

   Kata-kata dari mulut Liu Beng selanjutnya bisa jadi akan merusak rencananya yang diharap berjalan rapi.

   Namun denyut jantungnya normal kembali ketika mendengar jawaban Liu Beng yang sangat samar-samar.

   "Bentuk punggung serta gerak lompatan orang itu ketika menghilang di kegelapan, aku rasanya pernah melihatnya. Tetapi entah kapan dan di mana, aku sudah lupa. Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku bisa mengingat-ingatnya...."

   "Ya, usahakan untuk mengingat- ingatnya, A-beng,"

   Akhirnya malah Liu Jing- yang seolah memberi dorongan kepada Liu Beng.

   "Agar kita bisa membongkar komplotan jahat yang hendak memusuhi keluarga Sebun....."

   Sesaat tempat itu sunyi, hanya terdengar suara kayu kering yang berdetak- detak termakan api. Tiba-tiba Liu Jing-yang berkata.

   "Aku yakin pasti perbuatan pihak Hek- eng-po. Merekalah musuh keluarga Sebun sebenarnya!"

   Puas hatinya dapat menimpakan kesalahan ke atas kepala orang lain, apalagi masa itu memang Hek-eng-po adalah kambing hitam yang "laris"

   Untuk menanggung tuduhan perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan siapapun.

   "Tidak mungkin......"

   Sebuah suara menyeletuk, dan ketika semuanya menoleh ke asal suara itu, ternyata adalah A-liu yang duduk agak ke belakang, agak jauh dari cahaya api itu.

   Ketika semua menoleh ke arahnya, barulah A-liu menyesali kelancangan mulutnya yang tedorong mengajukan komentar tadi, dan kini harus bisa mundur kembali dengan hati- hati tanpa meninggalkan kecurigaan.

   "Kenapa kau bilang tidak mungkin?"

   Tanya Liu Beng.

   "Maaf kalau aku lancang ikut campur pembicaraan, Jiwi Siauwya dan Huciangkui, aku hanya berpikir bahwa Hek-eng-po selama ini sudah pecah nyalinya menghadapi pihak kita. Sampai jemu aku mengikuti Huciangkui menempelkan surat tantangan di banyak tempat, namun tidak satupun batang hidung yang muncul dari pihak mereka untuk menyambut tantangan." *Oz* Berambung ke

   Jilid 29 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 29

   "Hanya itu alasanmu?"

   "Benar, Huciangkui......"

   "Alasan itu kurang kuat,"

   Kata Liu Beng yang hendak bersikeras mengarahkan tuduhan ke pihak Hek-eng-po.

   "Tidak munculnya orang- orang Hek-eng-po itu mungkin suatu siasat untuk melengahkan kita, lalu mereka tiba-tiba menerkam dengan dengan perangkap mereka yang mematikan....."

   Lalu Liu Jing-yang berpaling kepada Liu Beng dan berkata dengan nada menyalahkan.

   "Ini semua adalah gara-garamu, A-beng!"

   "Kenapa aku yang disalahkan, Siauwya?"

   "Ha, kau masih belum sadar kesalahanmu? Kau selama ini bersikap congkak seolah kau satu-satunya pahlawan yang berani menghadapi Hek-eng-po, menempelkan surat tantangan dan caci-maki di sepanjang jalan. Akibatnya bagaimana? Suheng hampir saja menjadi korban perangkap musuh...."

   Sungguh Liu Beng kelabakan kenapa mendadak ia menduduki kursi terdakwa? Agaknya Liu Jing-yang hendak membalas sindiran-sindiran Liu Beng yang tadi dengan memojokkannya, tapi untunglah Sebun Hiong segera menengahi mereka.

   "Sudahlah, Sute. Tindakan Liu Beng itu aku kira bukan dengan maksud sok pahlawan, tapi demi memancing keluar orang-orang Hek-eng-po dan menumpas mereka. Kita semua anggota keluarga Sebun menanggung resiko yang sama beratnya untuk diserang orang-orang Hek-eng-po, kapanpun dan di manapun. Kalau salah satu diserang, tidak masuk akal kalau saling menyalahkan satu sama lain. Lagipula Liu Beng juga sudah menyelamatkan nyawaku."

   Demikianlah maksud untuk memojokkan Liu Beng terpotong oleh Sebun Hiong.

   Liu Jing-yang kecewa namun tidak berani membantah kakak iparnya itu.

   Dalam percakapan selanjutnya, dengan cara yang licin, halus dan tidak mencolok Liu Jing-yang berhasil mengarahkan kecurigaan ke pihak Hek-eng-po sehingga dirinya sendiri aman dari tuduhan.

   Sebun Hiong dan Liu Beng bukan orang-orang bodoh, namun mereka kalah licin dari Liu Jing-yang, sehingga kedua- duanya pun yakin bahwa Hek-eng-po lah yang mulai "perang terbuka"

   Dengan keluarga Sebun yang selama ini tertunda-tunda.

   A-liu, si mata-mata Hek-eng-po yang menyamar sebagai perempuan dan menyelundup dalam keluarga Sebun itu, hanya mendengarkan percakapan dengan bungkam saja.

   Ia merasa bukan tugasnya untuk membebaskan Hek-eng-po dari tuduhan, maka lebih baik bungkam saja.

   Mengelakkan tuduhan kepada Hek-eng- po yang terkenal sebagai biang keladi segala kejahatan itu, sama sulitnya dengan menjahit robekan-robekan bekas kain lap pel atau lap meja untuk dijadikan baju pengantin yang megah.

   Satu dua orang mulai menguap dan membaringkan diri di rumput, lainnya masih bercakap-cakap namun dengan suara makin perlahan dan jarang, sedang yang bergiliran jaga pun sudah menempatkan diri di berbagai penjuru di sekitar rombongan itu.

   Sebun Hiong, Liu Jing-yang dan Liu Beng akhirnya juga merebahkan diri saling berjauhan.

   Mereka tidak jauh dari senjata masing-masing.

   Sebun Hiong dan Liu Beng langsung saja pulas karena kelelahan, namun Liu Jing-yang masih gelisah biarpun matanya terpejam.

   Dalam hatinya ia mencaci-maki ketololan pamannya, Auyang Peng-hong, yang hampir saja menggagalkan semua rencana seandainya kedoknya terbuka.

   Ia juga bingung bagaimana langkah selanjutnya dari rencana-rencananya.

   Seandainya saja Liu Jing-yang menganggap langkah selanjutnya yang terbaik adalah membuang ambisi untuk merebut warisan keluarga Sebun, tentu ia akan dapat melewati hari-harinya dengan tidur nyenyak dan makan enak, tapi ia justru bertekad tidak akan mundur dari ambisinya tersebut.

   Tengah ia gelisah, kupingnya mendengar suara gemerisik.

   Ketika ia membuka matanya, terlihatlah A-liu yang tidur di bawah pohon belasan langkah dari tempatnya itu bangun dan berjalan dengan langkah ringan ke suatu arah, menjauhi rombongan.

   Cahaya api sudah mulai meredup karena tidak ada lagi kayu-kayu bakar yang ditambahkan ke dalamnya.

   Seandainya bukan Liu Jing-yang, melihat orang bangkit dan berjalan itu tentu akan dibiarkan saja, mungkin hendak kencing di tempat gelap atau keperluan lain yang sepele.

   Tapi bagi Liu Jing-yang yang otaknya senantiasa dipenuhi perhitungan rumit, kecurigaan, kekhawatiran akan terbukanya rahasianya, maka gerak-gerik paling sepele dari orang-orang di sekitarnyapun sudah cukup menarik minatnya.

   Begitu pula kali itu, apalagi mengingat bahwa tadi A-liu adalah satu-satunya orang yang berpendapat bahwa para pembunuh bayaran di desa itu bukan Hek-eng-po.

   Maka Liu Jing-yang merasa perlu menaruh sedikit perhatian kepada "gadis"

   Pelayan keluarga Sebun yang kelelaki-lelakian itu.

   Maka Liu Jing-yang juga bangkit dengan gerakan ringan tanpa suara, dan sambil berlindung di bayangan pepohonan yang tak tersentuh sinar api, ia mengikuti A-liu secara diam-diam.

   Ternyata orang itu memang berjalan menjauhi rombongan keluarga Liu, namun tidak sembunyi-sembunyi.

   Bahkan ketika seorang pegawai keluarga Liu yang berjaga memergokinya dan bertanya A-liu hendak ke mana, maka si "gadis"

   Hanya menjawab dengan cubitan ke pinggang si penjaga, lalu berlalu sambil menunjukkan lenggang-lenggok yang agak di buat-buat. Si penjaga agaknya termasuk jenis lelaki usil, katanya sambil tertawa.

   "Tentunya hendak buang air kecil, bukan? Hati-hatilah, waktu kau jongkok jangan sampai dirambati ulat...."

   Mulutnya bicara, tangannyapun beraksi, terjulur ke dada A-liu, namun ditangkis oleh A- liu yang langsung meninggalkannya, lenyap dalam kegelapan malam.

   Sekilas timbul pikiran si penjaga untuk membuntuti A-liu dan mengintipnya ketika buang air kecil, tapi tugas jaganya tidak bisa ditinggalkan sehingga diapun hanya bisa melihat lenggang-lenggok A-liu dari belakang sambil menelan ludah.

   Liu Jing-yang lah yang membuntuti dengan diam-diam, sampai di sebuah tempat gelap yang agak jauh dari tempat istirahat rombongan.

   Ternyata A-liu tidak melakukan sesuatupun yang menggemparkan, hanya kencing di bawah pohon, namun caranya kencinglah yang "menggemparkan".

   Ia berdiri, membuka celananya dan terdengarlah gemeresak rerumputan yang tertimpa air seninya.

   Liu Jing-yang di balik pohon hampir tak percaya melihat pemandangan "dahsyat"

   Itu. A-liu kencing seperti orang lelaki, bukannya berjongkok. Dan ketika Liu Jing-yang samar-samar melihat semacam benda lonjong menjulur di balik celana A-liu, yakilah dia bahwa A-liu bukan cuma kelelaki-lelakian, namun memang lelaki asli.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Gila, siapa dia sebenarnya?"

   Pikir Liu Jing-yang.

   Sementara si A-liu sudah mengikatkan celananya kembali dan balik ke dalam rombongan.

   Malam itu, Liu Jing-yang semakin sulit tidurnya.

   Ada masalah baru yang masuk ke otaknya gara-gara mengintip A-liu buang air....

   *Oz* BAGIAN TIGA PULUH TIGA Keesokan harinya, setelah dilakukan persiapan seperlunya, rombongan keluarga Sebun itupun segera berangkat kembali dengan arah tujuan semula, ke gunung siong- san di propinsi Ho-lam.

   Dengan bergabungnya Liu-beng dan empat gadis pengiringnya, rombongan jadi bertambah kuat.

   Namun kini di sepanjang jalan rombongan itu juga punya pekerjaan sampingan, yaitu mencoba mendengar-dengar kabar tentang diri Auyang Siau-hong yang minggat dari Ki-liang-san.

   Seperti biasa, tanpa menimbulkan kecurigaan Liu Beng atau Sebun Hiong atau siapapun, A-liu menawarkan diri untuk berjalan di depan terlebih dahulu dengan alasan "melihat-lihat keadaan di depan".

   Sebun Hiong yang kemarin malamnya hampir mati terperangkap musuh, merasa ada perlunya juga untuk mengirim orang mendahului rombongan, seperti Sian-hong Ciangkun (panglima perintis) pada sebuah barisan perang yang mendahului pasukan induknya.

   Sedang Liu Beng juga tidak curiga, sebab selama ini memang A-liu berbuat demikian.

   Hanya Liu Jing-yang yang punya penilaian tersendiri atas A-liu, sejak ia menemukan bukti bahwa A-liu adalah laki-laki.

   Timbul keinginan untuk menyelidiki siapakah A-liu sebenarnya? Dari pihak mana, bisa menguntungkan atau merugikan rencananya? Karena itu, melihat A-liu dengan kudanya sudah menghilang di balik sebuah hutan di depan rombongan itu, maka Liu Jing- yang pun tiba-tiba berkata kepada Sebun Hiong.

   "Suheng, mengingat di bagian depan berkeliaran banyak gerombolan jahat, seperti yang kemarin merampok desa itu, aku agak mencemaskan pamanku yang hanya berdua saja dengan Ceng Sin-tong. Bagaimana kalau aku juga mendahului rombongan untuk mendengar-dengar kabar tentang mereka?"

   Reaksi dari Sebun Hiong ketika mendengar permintaan itu bukanlah kecurigaan, tidak patut mencurigai seorang keponakan yang "mengkhawatirkan nasib pamannya", tetapi reaksinya berujud kekhawtiran. Sahutnya.

   "bawa orang seperlunya, Sute. Jangan sampai kau masuk perangkap seperti aku kemarin..."

   Sudah tentu Liu Jing-yang enggan membawa teman seorangpun, sebab akan mengurangi keleluasaan gerak-geriknya.

   "Tidak perlu, Suheng. Bukankah menurut cerita Suheng dan A-beng, delapan pembunuh bayaran itu sudah habis semua? Tinggal keroco-keroconya saja, masa aku tak mampu menghadapi mereka, setidak-tidaknya melepaskan diri dari mereka?"

   "Tapi dalang kerusuhan itu sendiri belum terungkap, dia mungkin seorang yang cukup berbahaya...."

   "Jangan kuatir, Suheng. Justru lebih banyak orang yang diperlukan dalam rombongan ini untuk melindungi A-Giok yang sedang hamil, juga Suheng sendiri sedang terluka...."

   Mendengar Liu Jing-yang rela "berkorban"

   Demi keamanan dirinya dan Sebun Giok, tergeraklah hati Sebun Hiong. Katanya tanpa prasangka.

   "Baiklah, kalau begitu kau boleh pakai Hek-hong, kudaku. Kalau ada apa- apa yang sulit diatasi, setidak-tidaknya bisa melarikan diri."

   "Baiklah, terima kasih atas perhatian Suheng."

   Sebun Hiong dan Liu Jing-yang kemudian bertukar kuda.

   Sebelum meninggalkan rombongan, Liu Jing-yang berpamitan kepada isterinya dalam kereta.

   Dengan ucapan-ucapan lemah lembut campur gagah perkasa yang sengaja diperdengarkan kepada seluruh anggota rombongan, ia bujuk isterinya agar tenang- tenang saja.

   Lalu berangkatlah ia.

   Tidak sulit Liu Jing-yang mengikuti jejak kaki kuda A-liu di tanah yang lembab oleh embun, meskipun jejak itu agak bercampur aduk dengan jejak kaki kuda dan manusia yang kemarin, tapi jejak baru masih bisa diikuti.

   Dengan menunggang si Angin Hitam, ia yakin sebentar lagi A-liu akan tersusul.

   Ketika lewat kampung yang kemarin dirampok, suasana dalam kampung sedang penuh duka cita meratapi orang-orang yang tewas atau harta benda yang kabur.

   Hati Liu Jing-yang sama sekali tak tersentuh melihat penderitaan orang-orang itu, tapi ia melambatkan lari kudanya kalau-kalau melihat di antara mereka itu ada yang dicarinya.

   Tidak ada.

   Keluar dari gapura kampung, ia mempercepat lagi lari kudanya sehingga tak lama kemudian nampaklah A-liu jauh di depan sedang melarikan kuda.

   Liu Jing-yang tidak ingin mendahului atau menyusulnya, bahkan berusaha agar A-liu tidak tahu sedang dibuntuti, maka ia menjaga jarak kira-kira duaratus langkah.

   Di jalan raya Holam yang ramai lalu lintasnya, seandainya A-liu menoleh ke belakang pun akan sulit melihat Liu Jing- yang diantara ramainya pemakai jalan.

   Tapi ketika mendekati sebuah kota kecil yang cukup ramai, Liu Jing-yang memperpendek jarak karena kuatir kehilangan jejak.

   Sebuah tugu batu di pinggir jalan menyatakan bahwa itulah perbatasan propinsi Holam.

   Kota kecil itu sendiri dinamakan Ban- siong-tin oleh penghuni-penghuninya.

   Memasuki wilayah propinsi kelahirannya, sebagai manusia biasa maka Liu Jing-yang terbawa oleh kenangan masa lalu, masa kejayaan keluarganya yang dianggap sebagai keluarga paling kaya di propinsi Holam, sehingga gadis-gadis di kota Lok-yang senantiasa membicarakan dirinya sebagai tuan muda keluarga Liu yang tampan, kaya raya, pintar dan segudang sanjung-puji lainnya.

   Lalu mincul dua manusia dari padang pasir yang mengaku sebagai bekas saudara- saudara angkat kakeknya, mengacau perkampungan keluarga Liu.

   Dua orang itu ternyata hanya merupakan perintis kedatangan musuh-musuh berikutnya yang lebih tangguh dari Hek-eng-po, sehingga hancur leburlah keluarga Liu bersama seluruh kejayaannya, dihembus badai Hek-eng-po yang dahsyat.

   Dari seorang tuan muda yang manja dan terhormat, Liu Jing-yang sampai pernah mengalami menjadi seorang gelandangan siluman yang makan daging mentah gara-gara mempelajari ilmu sesat dalam gulungan kulit itu secara keliru.

   Kemudian ditolong oleh keluarga Sebun bahkan dengan memperalat Sebun Giok ia berhasil menjadi bagian dari keluarga Sebun yang jauh lebih besar dan berharta daripada keluarga Liu.

   Namun Liu Jing-yang belum puas sebelum berhasil merebut seluruh kekayaan keluarga Sebun, itulah cita-citanya yang nomor satu.

   Urusan membalaskan sakit hati keluarganya terhadap Hek-eng-po itu nomor dua.

   Ia hampir saja kehilangan jejak A-liu karena melamun.

   Tapi matanya masih sempat melihat A-liu berhenti di depan sebuah toko penjual kain tanpa papan nama di pinggir jalan yang ramai, menambatkan kudanya di pelatok, lalu melangkah masuk ke toko itu.

   Tetap saja ia berlenggang-lenggok seperti wanita.

   Sekilas Liu Jing-yang ragu-ragu, haruskah ia membuntuti masuk toko pula? Barangkali dalam toko itu A-liu hanya akan beli sepotong-dua kain, tapi siapa tahu di dalam toko juga akan terjadi semacam perundingan atau komplotan rahasia yang patut diketahuinya? Liu Jing-yang ingat bahwa Sebun Hiong pernah mengatakan bahwa sarang Hek-eng-po ada di mana-mana dalam berbagai penyamaran.

   Di kota Se-shia misalnya, toko kain Hin-seng di jalan Hok-toa-kai dicurigai sebagai salah satu pos Hek-eng-po, tapi sebelum sempat diselidiki, toko itu sudah terbakar habis berikut seluruh penghuninya.

   Liu Jing-yang kemudian memutuskan untuk sedikit menyerempet bahaya dengan menyelidiki masuk ke dalam toko kain itu namun tidak lewat pintu depan.

   Mudah- mudahan dalam toko itu tidak sedang berkumpul tokoh-tokoh utama Hek-eng-po yang tak akan mampu dilawannya.

   Maka dituntunnya kudanya ke pinggir jalan, ditambatkan pula di pelatok dengan tambatan yang gampang dilepas agar jika terjadi apa-apa yang berbahaya dia dapat segera melompat ke kudanya dan kabur.

   Lalu ia masuk ke sebuah lorong sempit di samping toko kain itu yang baunya busuk.

   Itu adalah sebuah lorong yang jarang dilewati, kecuali oleh para gelandangan yang ingin buang air, besar maupun kecil.

   Memang nampak seorang gelandangan dengan celana terbuka sedang berjongkok buang hajat, wajahnya tetap dingin saja ketika melihat Liu Jing-yang berjalan di lorong tersebut.

   Hanya tiga langkah dari si pembuang hajat, seorang gelandangan lain sedang makan dari sebuah mangkuk butut, dengan wajah tak kalah dinginnya sama sekali tidak menunjukkan kesan terganggu oleh aroma lorong itu.

   Liu Jing-yang membelok ke sebuah anak lorong yang lebih sempit dan lebih busuk lagi, tempat yang bahkan gelandangan- gelandanganpun enggan menginjaknya.

   Tempat di mana sampah-sampah ditumpuk dan dibiarkan membusuk meracuni udara.

   Tapi Liu Jing-yang memperkirakan tembok itulah bagian belakang dari toko kain tadi, ia sudah hapal bagaimana orang-orang kota membuat rumah-rumahnya.

   Ia mengibaskan tangan di depan wajahnya untuk mengusir lalat-lalat hijau yang mengira dapat teman baru.

   Seperti seekor kucing, tubuhnya melejit ke atas dinding dan berlindung di balik rimbunnya daun-daun sebatang pohon tinggi di sebelah dalam dinding.

   Matanya menjelajahi sebuah halaman yang luas, di mana kain-kain celupan yang berwarna-warni sedang dijemur, dicantelkan lonjoran-lonjoran bambu panjang yang berjajar-jajar.

   Namun di sudut halaman diluangkan sekotak kecil halaman yang di pinggirnya dipenuhi alat-alat latihan silat dan beberapa senjata.

   Beberapa orang hilir mudik, entah pegawai entah anggota keluarga.

   Liu Jing-yang melangkah di atas genteng seperti seekor kucing besar, dengan hati-hati agar tidak membuat lembaran- lembaran genteng merosot jatuh, mencari sudut pandang yang enak untuk bisa mengawasi pintu tengah yang menghubungkan halaman belakang dengan bagian depan yang menjadi toko kain.

   Akhirnya ditemukannya tempat di belakang sebuah cerobong perapian yang hitam hangus, namun sedang tidak berasap karena masa itu adalah musim panas.

   ia memperhitungkan bahwa tepat di bawah kakinya tentunya adalah ruangan tengah untuk minum teh.

   Kebetulan pula, dari ruang bawah terdengar percakapan, cukup asal Liu Jing- yang mendekatkan telinga ke bibir cerobong, maka semua percakapan di bawah bisa didengar, bahkan kalau ada yang kentut pun baunya akan sampai di atas lewat cerobong.

   Lebih kebetulan lagi, salah satu suara yang bercakap-cakap itu dikenalnya sebagai suara A-liu, yang suara aslinya memang ke- perempuanan.

   Yang satu lagi adalah suara lelaki yang kasar, sering diselingi batuk-batuk.

   Liu Jing-yang hanya mendekatkan kuping ke bibir cerobong asap, tidak berani menjengukkan kepala.

   Ia kuatir di siang hari bolong itu bayangan kepalanya bisa terlihat dari bawah.

   Namun percakapan di bawah menarik perhatiannya.

   "Lao Hong (Hong tua), berat sekali hukuman bagi kalian kalau sampai Pocu (Majikan Benteng) mendengar tentang pelangaran pesan Pocu itu..."

   Kata suara A-liu. Di atas genteng Liu Jing-yang membatin.

   "Sekarang sudah pasti, A-liu adalah seorang mata-mata Hek-eng-po yang mesusup ke dalam keluarga Sebun, dia agaknya sedang menghubungi komplotannya. Siapa lagi yang dimaksud Pocu itu kalau bukan Hek-eng Pocu?"

   Timbulnya pikiran itu membuat Liu Jing- yang semakin waspada, sadar bahwa orang- orang yang menjadi anggota komplotan Hek- eng-po umumnya adalah pesilat-pesilat tangguh.

   Ia berusaha menguasai dirinya agar tidak membuat suara selirih apapun, bahkan aliran napasnyapun dikuasai agar tidak terdengar dari bawah.

   Suara lelaki kasar bercampur batuk itu terdengar membantah.

   "Aku benar-benar mengontrol gerak-gerik semua orang kita yang ada di tempat ini. Sembilan orang semuanya. Tidak ada seorangpun berani bergerak tanpa ijinku, dan aku tidak setitikpun punya keberanian untuk melanggar pesan Pocu. Sudah aku perintahkan orang-orangku untuk membiarkan rombongan keluarga Sebun lewat dengan aman, sesuai pesan Pocu, meskipun mereka akan menempel seribu lembar surat tantangan di dinding-dinding kota kecil ini...."

   "Kau yakin tidak ada anak buahmu yang menyeleweng? Barangkali tidak langsung dengan tangan sendiri tapi dengan meminjam tangan orang lain. Memang Hong-san-pat-sat (Delapan Algojo Hong-san) bukanlah orang- orang kita, namun mereka hanya bergerak jika ada bayaran. Siapa di antara orang-orangmu yang kelihatannya sedang banyak duit?"

   Tahulah Liu Jing-yang bahwa orang- orang di bawah itu sedang membicarakan penghadangan terhadap diri Sebun Hiong, di mana dalang sebenarnya justru sedang menguping dekat cerobong asap.

   Namun Liu Jing-yang heran juga, sebab baru detik itu ia mendengar bahwa Hek-eng Pocu ternyata mengeluarkan perintah kepada anak buahnya untuk tidak mengganggu orang- orang keluarga Sebun, dan agaknya ditaati semua anak buahnya.

   Liu Jing-yang heran, apa alasan larangan itu? "Pantas si kacung busuk Liu Beng begitu petentengan menempelkan tantangan di mana- mana, sehingga namanya terkenal dan menjadi besar kepala,"

   Gerutu Liu Jing-yang dalam hati.

   "Kiranya orang-orang Hek-eng-po memang terikat larangan pemimpin mereka, bukan karena takut kepada Liu Beng dengan sepasang tongkat rongsokannya..."

   Sementara itu, di ruangan bawah, suara si lelaki kasar agak meninggi nadanya dan menyuarakan kejengkelan.

   "Saat ini kami semua memang sedang banyak uang, lalu kau menuduh kami semua melanggar pesan Pocu dengan jalan mengupah Hong-san-pat-sat membunuh Sebun Hiong? Buat apa kami buang-buang uang untuk hal yang tidak menguntungkan kami? Memang kami jengkel melihat ulah orang-orang keluarga Sebun, terutama Liu Beng, tapi kami tidak berani melanggar pesan Pocu!"

   Terdengar pula suara entah meja entah kursi yang digebrak untuk melampiaskan kejengkelan. Sesaat ruangan sunyi sampai terdengar suara A-liu.

   "Baiklah aku percaya bahwa kau tidak melakukannya, Lau Hong. Tapi aku hanya percaya kepadamu dan tidak kepada delapan orang-orangmu, siapa tahu di antara mereka ada yang gatal tangan sehingga melupakan pesan Pocu. Sebaiknya tanyai mereka satu persatu, kalau memang benar ada yang berbuat, hukumlah. Lebih baik kau penggal kepala anak buahmu yang bersalah daripada Pocu menyuruhmu membunuh diri."

   "Baik, akan aku tanyai mereka nanti."

   "Kalu bisa, sebelum sore. Sore nanti rombongan keluarga Sebun akan lewat kota ini, mungkin juga menginap, dan menempel- nempelkan tantangan. Jangan sampai ada orang-orangmu yang tak bisa menahan diri sehingga bertindak tak terkendali, paham? Bukan kalian saja yang penasaran kenapa mereka dibiarkan saja, tetapi akupun yang lama menyusup di keluarga Sebun juga penasaran. Tapi Pocu berpesan, yang penting adalah kemenangan terakhir."

   Terdengar batuk-batuk, lalu Lau Hong berkata.

   "Memang kita sama-sama tidak paham tentang larangan Pocu mengganggu orang-orang keluarga Sebun yang besar mulut itu. Tapi kalau mengganggu pihak Siau-lim-pai atau Hwe-liong-pang yang jauh lebih kuat dari keluarga Sebun, kok malah tidak dilarang?"

   "Ya, akupun sulit memahami. Ada sepotong semangka yang segar dan enak untuk digigit, kenapa memilih menggigit batu? Tapi turuti saja pesan Pocu, supaya umur kita panjang."

   "Baik."

   "Kapan kau akan kumpulkan dan tanyai orang-orangmu?"

   "Hari ini juga, setelah kau pergi nanti. Kau tentu tidak bisa meninggalkan rombongan keluarga Sebun terlalu lama supaya tidak dicurigai mereka bukan?"

   "Ya, aku harus bergabung kembali dengan rombongan. Kau akan mengumpulkan orang-orangmu di sini?"

   "Tidak, akan terlalu mencolok. Kami biasa berkumpul di sebuah rumah penggilingan padi yang sudah tidak terpakai di luar kota, sebelah utara Ban-siong-tin."

   Liu Jing-yang mencatat baik-baik tempat itu dalam hatinya.

   Dalam otaknya sudah terbentuk gambaran sebuah rencana yang akan dijalankannya untuk menebus rencananya yang gagal kemarin sore, Sebun Hiong masih luka, sehingga Liu Jing-yang berharap rencananya akan berhasil.

   "Nah, kau akan berangkat sekarang?"

   Tanya Lau Hong.

   "Tidak segera. Eh, Lau Hong, apa di kota ini ada tempat bordil?"

   "Lho, mendadak kau tanyakan itu? Kau akan ke sana dengan menyamar sebagai perempuan semacam itu?"

   "Tentu saja tidak, pinjami aku pakaian laki-laki. Aku tidak tahan lagi....."

   "Kenapa?"

   "Kau tidak tahu betapa menderitanya menyusup ke sarang musuh dengan menyamar sebagai perempuan? Setiap malam aku tidur sekamar dengan tiga gadis cantik, karena mereka mengira aku seorang gadis pula. Seenaknya saja gadis-gadis itu tidur dengan pakaian yang tipis di dekatku, tidak jarang menempelkan tubuh mereka ke tubuhku. Tapi aku tak berdaya berbuat apa-apa, sebab aku haruslah tetap menyamar sebagai perempuan...."

   Lau Hong tertawa terbahak-bahak.

   "Ha- ha-ha-ha-ha..... benar-benar siksaan luar biasa! Baik, aku pinjami pakaian laki-laki untukmu. Dekat pertigaan ada gang yang mulut lorongnya digantungi lentera merah. Masuk ke lorong itu, kau akan dapatkan perempuan dari yang seperti tiang jemuran sampai seperti gentong tauco. Kudamu titipkan di sini saja, nanti boleh kau ambil lagi setelah bicara dengan seorang pegawaiku yang akan kau tinggali pesan."

   "Baik, mana pakaian laki-lakinya? Dan jangan lupa doakan agar aku cepat bebas dari hukuman batin ini...."

   "Setelah masuk gang berlentera merah itu, hukumanmu nanti akan terasa agak ringan....."

   Langkah-langkah kaki meninggalkan ruangan itu, Liu Jing-yang juga beringsut tanpa suara meninggalkan tempatnya. Ia akan menguntit Lau Hong dengan rencana tertentu. Namun sebelumnya, si Angin Hitam harus dicarikan tempat tersembunyi, kallau "diparkir"

   Di pinggir jalan, bisa berbahaya kalau terlihat oleh A-liu.

   Begitu keluar dari lorong bau busuk tempat gelandangan buang hajat, lebih dulu Liu Jing-yang menitipkan kudanya di rumah terdekat dengan upah dua tahil.

   Lalu membeli sebuah topi rumput lebar yang dipakai untuk menyamarkan wajahnya, dan dari seberang jalan mengawasi pintu depan toko tadi.

   Tak lama kemudian keluarlah dua lelaki.

   Yang satu gemuk kekar bermuka hitam dan berewoknya seperti sikat kakus.

   Liu Jing-yang yakin itulah Lau Hong.

   Satunya lagi lelaki ramping gemulai berkulit putih berwajah terlalu tampan sehingga patut disebut cantik.

   Itulah A-liu yang sudah berpakaian laki-laki, siap mengunjungi gang berlentera merah....

   Pegawai toko kain di bagian penjualan agak heran.

   Tadi juragan mereka masuk bersama seorang gadis yang ke-lelakian, dan kini muncul kembali bersama seorang lelaki yang ke-perempuanan.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Apakah teman sang majikan itu sesosok siluman rase yang bisa berganti-ganti rupa? Terlihat Lau Hong berbicara sebentar dengan seorang pegawainya, sambil menunjuk-nunjuk kuda A-liu yang masih ditambatkan di depan pintu lalu menunjuk- nunjuk A-liu, dan si pegawai mengangguk- anggukkan kepalanya.

   Di depan pintu toko, Lau Hong dan A-liu berpisahan, dan bagi Liu Jing-yang lebih penting membuntuti Lau Hong.

   Ia berjalan sambil menundukkan kepalanya, sampai A-liu menghilang di gang berlentera merah, lalu membuntuti Lau Hong.

   Majikan toko kain itu berjalan ke arah utara, sebentar berhenti untuk bertegur sapa dengan orang-orang yang mengenalnya.

   Tapi Liu Jing-yang sempat memperhatikan bahwa setiap kali dia dengan gerakan yang tidak mencolok telah membuat coretan tertentu di tembok, pohon, atau tempat lainnya.

   Agaknya itulah cara ia menghubungi komplotannya.

   Tapi ia tidak sadar terus dibuntuti oleh Liu Jing- yang, bahkan sampai keluar kota kecil Ban- siong-tin.

   Di luar kota, Liu Jing-yang harus lebih hati-hati membuntuti Lau Hong, sebab jalanan tidak seramai dalam kota, sedang Lau Hong juga sering menengok ke belakang.

   Untung di kedua tepi jalan banyak pohon siong yang besar, tempat di mana Liu Jing-yang dapat menyelamatkan diri dari pandangan Lau Hong.

   Lalu tiba di sebuah tempat yang agaknya dulunya merupakan tempat penumbukan padi, di mana penumbuknya adalah alu-alu batu yang bergerak dengan tenaga kincir air, namun sudah rusak tanpa diperbaiki.

   Tempat itu sekarang mirip sarang hantu.

   Lau Hong masuk ke tempat itu, namun di pintu ia menggantungkan semacam benda, nampaknya semacam lencana atau bandul kalung yang terikat tali rami.

   Setelah itu masuklah ia dan duduk menunggu.

   Dari luar, Liu Jing-yang hati-hati sekali menjulurkan kepalanya untuk melihat ke dalam, dapat melihat Lau Hong dengan enaknya duduk meluruskan kaki dan menyandarkan punggung pada tembok.

   Bahkan mengeluarkan cungkil gigi dan mulai mencungkil-cungkil giginya.

   Liu Jing-yang tahu sudah tiba saatnya untuk mengambil alih tempat Lau Hong supaya bisa menggerakkan komplotan Hek-eng-po di Ban-siong-tin untuk keuntungan diri sendiri.

   Sesaat ia menaksir-naksir kekuatan Lau Hong, perlu berapa juruskah untuk membinasakan si gemuk-hitam-brewok itu? Kelihatannya tangguh juga, namun Liu Jing-yang sendiri sejak mempelajari ilmu dalam gulungan kulit kuno itu sudah menjadi seorang jagoan tangguh pula.

   Gip-hiat-koai Pek-hong-teng, orang ke empat dari Lo-san Su-koai bahkan sudah berhasil dibunuhnya dengan tangan kosong dalam duel satu lawan satu.

   Hanya kali ini keadaan mendesak, ia harus berhasil membereskan Lau Hong sebelum komplotannya datang, harus serba cepat.

   Karena itu, ia memutuskan untuk menggunakan akal.

   Dengan langkah lurus tanpa sembunyi lagi ia melangkah masuk ke pintu bangunan rusak itu, melewati lencana besi berukiran gambar elang yang tergantung di ambang pintu.

   Ia mengejutkan Lau Hong, apalagi dengan pertanyaannya.

   "Apakah saudara ini Lau Hong dari Hek-eng-po?"

   Tubuh gemuk Lau Hong yang tadinya berbaring kemalas-malasan itu sungguh di luar dugaan bisa melompat bangun dan dengan gesit langsung bersiaga, menandakan ilmunya memang tidak rendah.

   Bahkan tangannya sudah memegang senjata andalannnya berupa seutas rantai berujung mata tombak.

   Dengan wajah curiga, dia membentak.

   "Siapa kau?!"

   "Teman sendiri, tenanglah. Aku membawa pesan dari Pocu untuk teman-teman di Ban-sioang-tin. Ketika di kota Ban-sioang-tin aku melihat tanda-tanda orang-orang kita, akupun mengikutinya dan sampai kemari....."

   Sambil berkata panjang lebar, Liu Jing-yang melangkah sampai cukup dekat jaraknya dengan Lau Hong.

   Tiga langkah kira-kira.

   Terpengaruh oleh sikap Liu Jing-yang yang meyakinkan, Lau Hong kehilangan tujuh puluh persen dari kewaspadaannya.

   


Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long

Cari Blog Ini