Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 16


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 16



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   Namun ia masih tertawa juga.

   "Kalau teman sendiri, mana tanda pengenalmu?"

   Liu Jing-yang pura-pura memasukkan tangan ke dalam kantong sambil berkata.

   "Ini tanda pengenalku...."

   Namun mendadak tangannya secepat kilat menaburkan segenggam pasir yang telah disiapkannya ke mata Lau Hong.

   "Keparat...."

   Teriak Lau Hong sambil memejamkan mata dan mundur selangkah, berbarengan dengan rantainya yang diputar untuk membela diri.

   Tapi serangan Liu Jing- yang memang di luar dugaan, sehingga matanya tetap saja kelilipan, tak bisa dibuka untuk sementara.

   Liu Jing-yang segera menerjang dengan tubrukan yang ganas.

   Tanpa kenal ampun, tampa memperdulikan rantai yang berputar kacau tak terarah di depan tubuh Lau Hong.

   Sepasang cengkeraman menerkam bagian bawah ketiak, lutut menghantam selangkangan Lau Hong, tak ketinggalan giginyapun tiba-tiba menacap di leher Lau Hong, langsung menggigit urat besarnya.

   Lau Hong menjerit keras, kaget dan ngeri oleh serangan yang mirip binatang buas tersebut.

   Ia sendiri jika sedang menjalankan perintah Hek-eng Pocu juga melakukan banyak kekejaman hewaniah.

   Tapi kini ia seperti seekor hewan liar yang kepergok hewan lain yang jauh lebih buas.

   Hanya beberapa detik Lau Hong berkelejet meregang nyawa, lalu ketika Liu Jing-yang melepaskan cengkeramannya, tubuhnya terkulai dengan mata terbelalak namun sudah mati, lehernya berlumuran darah.

   Si pembantai kemudian bekerja cepat menyembunyikan mayat korbannya, semua bekas-bekas kekerasan, juga mulut dan giginya sendiri yang berlumuran darah.

   Sekilas Liu Jing-yang menyeringai nikmat sambil menjilat-jilat darah di bibirnya.

   Sudah agak lama ia tidak merasakan segar dan manisnya darah yang dihirup langsung dari sumbernya, sejak penyakitnya "disembuhkan"

   Oleh Sebun Him yang kemudian menjadi gurunya.

   Kini ia merasakannya lagi.

   Sebagai jagoan yang memimpin orang- orang Hek-eng-po di Ban-siong-tin, sebenarnya Lau Hong bukan orang lemah, kalau bertempur sungguh-sungguh dengan Liu Jing-yang, Liu Jing-yang akan membutuhkan seratus jurus lebih untuk bisa mengalahkannya.

   Namun sergapan Liu Jing-yang terlalu mendadak sehingga diapun menjadi korban.

   Kini juragan toko kain yang hanya untuk kedok itupun tertelungkup di sebuah parit di belakang tempat penggilingan beras, tubuhnya ditutup dengan jerami sehingga tidak terlihat dari atas.

   Lalu Liu Jing-yang lah yang sekarang ganti duduk di tempatnya tadi.

   Tidak lama kemudian terdengarlah suara langkah-langkah mendekat, dari luar terdengar suara.

   "Lau Toako di dalam?"

   Sebelum Liu Jing-yang menjawab, dua orang sudah melangkah masuk dan terkejut ketika melihat bahwa yang smenungu mereka bukannya si "Lau Toako"

   Namun malah orang lain; Seorang yang agaknya masih muda, berpakaian bagus, namun wajahnya tidak nampak jelas karena memakai topi rumput yang ditekan rendah dan agak ditundukkan.

   "Siapa kau?!"

   Bentak kedua orang itu.

   mereka berdua bertampang seperti anggota masyarakat kelas menengah biasa yang penampilannya biasa-biasa saja, tidak ada yang kelihatan mencolok.

   Namun cara mereka memisahkan diri sambil bersiaga menunjukkan kehebatan silat mereka masing-masing meskipun tanpa senjata.

   "Tenanglah, aku teman kalian juga, membawa pesan dari Pocu untuk kalian yang di Hek-eng-po Ban-siong-tin,"

   Kata Liu Jing- yang tanpa mengangkat mukanya.

   "Mana teman-teman kalian?"

   Kedua orang itu ragu-ragu antara percaya dan tidak. Yang bertubuh kurus kecil namun bermata tajam dan telapak tangannya bertotol-totol hitam menandakan dia ahli Tiat- seeciang (Telapak Tangan Pasir Besi), bertanya.

   "Biasanya Lau Toako yang menyampaikan perintah dari Pocu kepada kami. Kenapa dia tidak muncul?"

   Dengan jawaban yang sudah disiapkan, Liu Jing-yang menyahut mantap.

   "Aku baru saja dari toko kain kepunyaannya, dia mendapat tugas dari Pocu lewat aku agar segera berangkat ke suatu tempat. Aku yang kemudian menemui kalian untuk menyampaikan perintah. Kalau kalian kurang percaya, memangnya Hek-eng- Tiat-pai (Lencana Besi Elang Hitam) yang tergantung di ambang pintu itu kalian anggap barang rongsokan tak berharga?"

   Kedua anak buah Lau Hong kaget.

   Yang paling ditakuti oleh orang-orang Hek-eng-po hanyalah kalau dituduh tidak menaati perintah, meskipun perintah itu tidak disampaikan langsung oleh Pocu, tapi lewat suruhannya.

   Hek-eng Pocu sanggup bertindak tidak tanggung kejamnya terhadap anak buah yang membangkang.

   Karena itulah gertakan Liu Jing-yang membuat kedua orang itu tidak berani banyak bertanya lagi, meski ada juga setitik keheranan, namun lebih banyak percayanya bahwa Liu Jing-yang memang suruhan Hek-eng Pocu.

   Sementara itu berturut-turut muncul pula enam orang, semuanya kena gertak pula sehingga jadilah mereka jagoan-jagoan yang "jinak"

   Karena takut kepada Lencana Besi Elang Hitam, meskipun gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa masing-masing punya keahlian khusus dalam bidang silat.

   Salah seorang dari mereka malah masih membawa pikulan yang membawa dua ikat ayam hidup yang kaki-kakinya diikat jadi satu.

   Ayam-ayam itu berbunyi ramai.

   "Hanya kalian berdelapan?"

   Tanya Liu Jing-yang tetapi dengan kepala tunduk.

   Diam- diam ia agak menyesal karena tadi lupa memasang topeng atau kedok di mukanya.

   Sekarangpun di kantongnya ada sehelai saputangan, tapi tentu mencurigakan sekali kalau memasangnya di hadapan delapan orang tersebut.

   Seorang yang berkulit putih dan berpipi kemerah-merahan seperti bayi yang sehat, menyahut.

   "Benar. Biasanya cukup kami delapan orang, sembilan orang bila ditambah dengan Lau Toako, kami sanggup mengatasi masalah yang terjadi dalam garis tengah seratus li sekitar Ban-siong-tin."

   Jawabannya mantap dan berbada agak sombong juga. Bahkan seorang yang bertubuh kurus dan matanya tidak lebih besar dari biji kedelai menyambung ucapan temannya.

   "Dulu Liu-keh-chung yang malang melintang itupun dihancurkan dengan andil kami bersembilan. Meskipun kami tidak langsung di garis depan, tapi dari tempat inilah diaturnya semua serangan yang membuat Liu-keh-chung hancur luluh dalam kehinaan.... ha-ha....!"

   "Cukup!"

   Bentak Liu Jing-yang dengan darah mendidih hampir tak dapat menguasai diri. Namun secara mengagumkan ia kemudian berhasil menekan kemarahannya, dan suaranya terdengar biasa lagi.

   "Nah, dengarkan pesan dari Pocu!"

   Seperti prajurit mendengarkan perintah komandan mereka, begitulah kedelapan orang itu begitu akan mendengar "perintah Pocu"

   Segera berdiri dengan rapi dan penuh perhatian, tidak ada lagi yang buka mulut atau bersikap tidak sungguh. Melihat itu, Liu Jing-yang membatin.

   "Wajar kalau Hek-eng-po mampu mengganas di rimba persilatan, karena mereka punya ikatan seerat ini dalam diri tiap anggota, bukan gerombolan liar yang sekedar berani dan ganas. Mirip juga dengan pegawai keluarga Sebun yang disiplin mirip prajurit itu."

   Kemudian Liu Jing-yang berkata singkat saja.

   "Larangan Pocu selama ini untuk tidak mengganggu-gugat keluarga Sebun telah dicabut sebagian. Sore nanti, rombongan keluarga Sebun aka lewat dan mungkin menginap di Ban-sioang-tin. Siapkan diri kalian. Bunuh Sebun Hiong dan Liu Beng, tetapi biarkan hidup Liu Jing-yang dan isterinya, Sebun Giok...."

   "Kenapa suami-isteri muda itu harus dibiarkan? Tumpas saja sekalian!"

   Jantung Liu Jing-yang bergetar mendengar teriakan ganas itu. namun ia berhasil menguasai diri dan membentak.

   "Jalankan saja perintah Pocu dan jangan meleset seujung rambutpun!"

   "Baik,"

   Orang yang berteriak tadi menyahut sambil menunduk. Sesaat suasana sunyi, lalu Liu Jing-yang berkata.

   "Kekuatan pihak lawan seperti ini. Sebun Hiong yang luka ringan, Liu Jing-yang, Liu Beng, Sebun Giok yang sedang hamil lima bulan, empat gadis pelayan yang berkepandaian lumayan, namun salah satu dari mereka adalah orang kita yang menyusup sebagai mata-mata di keluarga Sebun, ditambah limabelas pegawai laki-laki yang semuanya terdidik silat. Perhitungkan, cukupkah kekuatan kalian berdelapan?"

   Kedepakan orang itu saling bertukar pandangan, dan dari mimik wajah mereka segera terlihat bahwa mereka tidak yakin dapat menjalankan "pesan Hek-eng Pocu"

   Itu dengan baik. Kurang tenaga. Maka salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk berkata.

   "Bagaimana kalau bersembilan dengan tuan sendiri?"

   Liu Jing-yang terkesiap, sudah tentu dia tidak mungkin muncul sebagai orang Hek-eng- po dalam penyergapan nanti.

   Ia akan berperan sebagai menantu keluarga Sebun yang "dengan gigih membela keluarga mertuanya".

   Namun dengan cepat ia segera menemukan sebuah alasan palsu.

   "Tidak, aku tidak bisa ikut bersama kalian. Sehabis inipun aku akan langsung ke kota Teng-hong untuk menghubungi orang-orang kita di sana, ada pesan Pocu yang harus disampaikan kepada mereka pula."

   Kedelapan orang itu kembali saling pandang. Mereka bimbang. Bukan bimbang akan keaslian "perintah Pocu", melainkan bisakah melaksanakannya? Sampai salah seorang akhirnya berkata mewakili teman- temannya.

   "Kalau demikian, kita harus pakai tenaga bayaran...."

   Cukup dengan mendengar sepotong kalimat itu, otak Liu Jing-yang yang licin dapat segera memahami cara kerja orang-orang Hek- eng-po.

   Yang menjadi anggota Hek-eng-po sebenarnya tidak banyak, misalnya di Ban- siong-tin dan sekitarnya saja hanya sembilan orang.

   Tapi jumlah yang tidak banayak itu semuanya adalah pesilat-pesilat tangguh, pemikir-pemikir yang pandai, orang-orang yang cermat tindakannya.

   Mereka sembunyi di berbagai tempat, menyusup dan menyamar.

   Kalau mereka butuh banyak tenaga untuk suatu aksi, mereka lebih suka memanfaatkan tenaga-tenaga bayaran dari luar Hek-eng-po, sebab di rimba persilatan cukup banyak orang-orang bayaran macam itu.

   diam-diam Liu Jing-yang memuji cara kerja itu.

   itulah sebuah kelompok yang ramping, dan memperkecil kemungkinan untuk bocornya rahasia kelompok, sebab makin kecil jumlah anggota inti, makin terjaga kuat rahasianya.

   Makin banyak jumlah anggota yang hanya pintar jual lagak, makin gampang rahasia komplotan bocor keluar.

   "Kelak aku harus meniru cara kerja komplotan iblis ini,"

   Pikir Liu Jing-yang diam- diam.

   "Tuan,"

   Salah seorang dari delapan orang itu berkata.

   "Kalau kita mau berhasil, harus meminjam tenaga bayaran dengan biaya tidak sedikit...."

   "Asalkan perintah terlaksana, Pocu tidak segan ehilangan biaya tiga atau empat ribu tahil emas. Tenaga siapa yang akan kalian pakai?"

   "Karena waktu sudah mendesak, kita harus cari tenaga yang dekat-dekat saja. Empat saudara seperguruan Gui, Wi, Song dan Thau yang memimpin pesanggrahan bandit di Jing-liong-kok (Lembah Naga Hijau) mungkin akan tergerak kalau di bawah hidungnya diletakkan tiga ribu tahil. Mereka juga punya lima orang thaubak (jago andalan) yang tangguh..."

   "Ya, benar. Tapi untuk menutup resiko kegagalan, kita undang pula si gila Tok-beng- ke (si ayam pematuk nyawa) dari Ban-hong- gai (tebing selaksa tawon). Meskipun si gila itu hidup sendirian tanpa anak buah, selain ayam- ayamnya, namun dia selalu pasang tarip tidak kurang dari limaribu tahil...."

   Tanpa mengangkat kepala Liu Jing-yang mengeluarkan segebung kertas bertuliskan angka-angka besar dan huruf-huruf, dan sebuah cap merah di pojoknya.

   Diambilnya tiga lembar dan dilemparkan ke hadapan delapan orang Hek-eng-po tersebut.

   Itulah tiga lembar kertas berharga yang bisa diuangkan di mana saja ada cabang perusahaan milik keluarga Sebun.

   Angka pada tiap lembar kertas tertulis limaribu tahil perak, jadi tiga lembar berarti limabelas ribu tahil perak.

   Jauh melampaui biaya yang diusulkan.

   Keruan saja kedelapan orang hek-eng-po itu menelan air liur, namun mereka tetap berdiri berderet dengan tertib.

   Kata Liu Jing-yang.

   "Ambil. Kalau perlu cari tambahan tenaga supaya jangan gagal. Ingat, bunuh Sebun Hiong dan Liu Beng, tapi biarkan Liu Jing-yang dan Sebun Giok."

   "Kami paham."

   "Pergi bekerja sekarang juga."

   "Baik."

   Setelah memungut tiga lembar kertas bernilai tersebut, kedelapan orang itupun segera meninggalkan tempat itu dengan membagi diri.

   Sebagian ke Jing-liong-kok, sebagian lagi ke Ban-hong-gai untuk menghubungi tenaga-tenaga bayaran yang akan diminta membantu mereka.

   Melihat cap keluarga Sebun tertera di kertas itu, orang- orang itu menyeringai aneh.

   "Sial sekali si Sebun Him itu. uangnya sendiri akan dipakai untuk membiayai pembunuhan anaknya dan orangnya."

   "Tapi dari mana utusan Pocu itu memperoleh kertas-kertas ini?"

   "Kertas ini beredar bebas di kalangan orang dagang, tidak sulit memperolehnya. Buat apa kita pusing-pusing memikirkan dari mana asalnya? Pokoknya kita laksanakan perintah Pocu, dan uang ini masih sisa cukup lumayan untuk kita, habis perkara."

   Sementara itu Liu Jing-yang lalu bergegas kembali ke Ban-siong-tin untuk mengambil si Angin Hitam yang dititipkan di sana, sambil berharap mudah-mudahan si A-liu belum mendahuluinya bergabung ke dalam rombongan.

   Tak lama kemudian kuda berbulu hitam mulus itu sudah dipacu meninggalkan Ban-siong-tin untuk bergabung kembali dengan rombongan keluarga Sebun yang juga sedang maju ke arah Ban-siong-tin secara perlahan- lahan.

   Sebun Hiong dan lain-lainnya lega melihat Liu Jing-yang muncul dalam keadaan selamat.

   Ketika Sebun Hing bertanya.

   "apakah berhasil menemukan pamannya?"

   Maka Liu Jing-yang menjawab.

   "tidak". Tak lama, A-liu juga bergabung kembali, sudah berpakaian perempuan kembali. Wajahnya nampak berseri-seri lega. Ketika mendekati Ban-siong-tin, Liu Jing-yang menggunakan kesempatan untuk berganti pakaian. Meskipun wajahnya tidak dikenali anak buah Hek-eng-po tadi, namun siapa tahu mereka masih mengenali pakaiannya? *Oz* BAGIA TIGA PULUH EMPAT Ban-siong-tin memang menjadi tempat pilihan beristirahat untuk rombongan keluarga Sebun. A-liu bukan saja bersenang-senang di gang lentera merah, namun juga telah mencarikan sebuah penginapan untuk rombongan sebesar itu. sehingga begitu rombongan tiba, langsung menuju ke penginapan yang sudah dipesan. Ketika lewat di depan toko kain milik Lau Hong, A-liu agak heran melihat Lau Hong tidak kelihatan di bagian penjualan, entah sedang ke mana. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lau Hong sudah terendam di air parit di belakang penggilingan padi setengah hari lebih, sementara arwahnya mungkin sudah sampai di depan meja pendaftaran Giam-lo- ong untuk mengadukan nasibnya. Tiba di penginapan, barang diturunkan. Kereta dan kuda tunggangan dibawa ke bagian belakang, air hangat disiapkana untuk tuan dan nyonya muda keluarga Sebun yang akan membersihkan debu yang melekat di tubuh, disusul dengan makanan enak belasan macam banyaknya siap dilahap di meja. Benar bukan perjalanan para pendekar, lebih tepat disebut perjalanan para hartawan yang berpesiar. Sebenarnya Liu Beng sudah siap dengan kertas, kuas dan tinta untuk menulis surat tantangan kepada Hek-eng-po yang akan ditempelkannya di kota kecil itu. Namun setelah berpikir-pikir sejenak, akhirnya ia batalkan niatnya, Sebun Hiong sedang terluka, meskipun tidak berat, kalau orang Hek-eng- po benar muncul menjawab tantangannya maka keadaan akan kurang menguntungkan. Maka kertas, kuas dan tinta gosokpun disimpan kembali. A-liu yang berdiri di samping Liu Beng dan siap menggosokkan tinta untuk si Huciangkui itu, lalu bertanya.

   "Kenapa tidak jadi menulis, Huciangkui?"

   "Sebun Siauwya sedang terluka dan butuh istirahat, lebih baik tidak usah menantang Hek-eng-po untuk sementara waktu."

   Sambil membenahi alat-alat tulis yang berceceran di meja, A-liu membatin dalam hati.

   "Biarpun kau tidak berhenti menulis tantangan sampai habis kertas segerobak, orang Hek-eng-po tak akan muncul karena perintah Pocu, kacung goblok...."

   Sebaliknya Liu Jing-yang yang memperhatikan tingkah laku Liu Beng dari jarak beberapa langkah, tertawa dingin dalam hati.

   "Biarpun kau tidak menulis tantangan satu hurufpun, malam ini musuh akan datang berbondong-bondong mencabut nyawamu dan Sebun Hiong, kacung goblok...."

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sama-sama memakai istilah "kacung goblok", yang dipikirkan oleh Liu Jing-yang dan A-liu ternyata bertolak belakang sama sekali...

   Kota kecil Ban-siong-tin seperti umumnya kota kecil lainnya, belum lama matahari terbenam, seluruh kota telah sepi.

   Toko-toko sudah menutup pintu, hanya lorong lampion merah yang buka siang dan malam, sayup malah terdengar suara musik dan nyanyian dari lorong itu.

   Tapi pada saat kota mulai sepi, sungguh janggal bahwa dari salah satu sudut jalan mendadak muncul sebuah gerobak dorong yang dijalankan oleh seorang lelaki setengah baya yang berbaju kedodoran.

   Di atas gerobak ada kurungan ayam berbentuk kotak terdiri dari dua tingkat yang berisi duapuluh ekor ayam lebih yang semuanya besar dan galak.

   "Siapa mau beli ayam?! Ayam! Ayam!"

   Si pendorong gerobak memperdengarkan suaranya yang parau di jalanan yang mulai sepi.

   Perlahan-lahan ia dorong gerobaknya ke pintu tempat penginapan rombongan keluarga Sebun yang masih terbuka, bahkan dari penginapan itu terdengar suara mangkuk dan sumpit yang semarak, tanda sedang ada perjamuan kecil.

   "Ayam gemuk! Ayam gemuk! Siapa mau beli?"

   Dua pengawal rumah penginapan yang bertubuh tegap dan berbaju pendek segera menghadang di depan gerobak ayam sambil membentak.

   "He, pergi! Di dalam, keluarga Sebun sedang beristirahat, dilarang mengganggu!"

   "Siapa tahu keluarga Sebun mau membeli ayamku?"

   Sahut si penjual ayam dari belakang gerobak ayamnya.

   Terlindung oleh gerobaknya, kedua pengawal penginapan tidak melihat bagaimana si penjual ayam mengeluarkan sepasang sarug tangan yang luar biasa.

   Nampaknya terbuat dari tenunan serat logam yang dibuat khusus.

   Di ujung lima jari- jarinya ada semacam cakar besi tajam.

   Ketika topi bututnya dilepas, di tengah-tengah dahi orang tersebut ternyata juga dipasangi besi tajam melengkung berbentuk seperti paruh ayam yang diikat erat dengan kepalanya.

   Ketika celana disingsingkan, pada kedua tumit orang itupun ternyata ada taji besi tajam mirip ayam jago.

   Jadilah ia mirip seekor ayam raksasa yang siap brlaga.

   Kedua pengawal penginapan masih belum menyadari bahaya, lagak mereka masih petentengan seperti biasanya.

   "Pergi! Jangan ganggu ketenangan penginapan ini!"

   Si penjual ayam tiba-tiba tertawa dengan suaranya yang mirip ayam berkotek,katanya.

   "Kalau tidak mau beli, baiklah aku berikan secara gratis saja!"

   Lalu ia tarik seutas tali di bawah gerobak, membuat pintu kurungan ayam menjeplak terbuka di bagian depan.

   Ayam- ayam itupun segera menyerbu keluar, ke arah kedua penjaga penginapan.

   Ayam-ayam yang tadinya kelihatan manis-manis dan lucu-lucu mendadak menjadi makhluk ganas yang menakutkan.

   Di bawah aba si penjual ayam yang berkotek-kotek dengan bahasa ayam, ayam- ayam itu berlompatan menyerbu.

   Ternyata ayam-ayam itu jauh lebih tangkas dari ayam- ayam biasa, patukan maupun cakarannya bertenaga.

   "Keparat!"

   Berbareng kedua penjaga itu memaki sengit.

   Mereka segera mengulur tangan yang kekar itu untuk menangkap ayam-ayam yang menerjang mereka yang mereka kira akan gampang saja ditangkap.

   Ternyata mereka segera menerima pil pahit.

   Ayam-ayam itu melejit, dengan sebuah patukan keras, salah seorang dari penjaga itu segera menjadi buta matanya.

   Penjaga satunya berteriak marah, menyambar ayam yang mematuk mata rekannya tersebut, sekali puntir maka patahlah leher ayam itu dan mati.

   Tapi ayam-ayam lainnya menyerbu, secara terlatih hewan- hewan itu menyerbu ke arah mata.

   Ketika orang itu menyilangkan tangan di depan wajah untuk melindungi mata, terasa patukan ayam- ayam itu bagaikan tusukan-tusukan paku ke lengannya yang segera saja berdarah.

   Sementara teman yang terpatuk matanya itu menjerit-jerit sambil mengelosor- gelosor di depan pintu sambil menutup wajahnya karena kesakitan.

   Beberapa ayam dengan buas masih saja mematuki bagian tubuhnya yang lain dengan paruh-paruh yang seperti paku besi.

   Si penjual ayam kemudian melepaskan jubahnya yang longgar dan nampaklah baju dalamnya yang ringkas yang terbuat dari bulu- bulu ayam yang diikat satu sama lain sehingga menjadi semacam pakaian yang aneh.

   Sambil berteriak keras, melompatlah ia ke halaman penginapan, melompati gerobaknya.

   "Bayar nyawa saudara-saudaraku!"

   Teriaknya ganas.

   Cakarnya menyambar dengan cepat dan robeklah tubuh si penjaga yang masih kesakitan di lantai dan hadiahkan sebuah sepakan ke belakang yang telak.

   Taji besi di tumitnya langsung mengakhiri penderitaan si penjaga, karena menembus jantungnya langsung.

   Lalu mulutnya berkotek-kotek lagi dan "pasukannya"

   Segera menyerbu ke dalam penginapan untuk mematuk atau menaji siapa saja manusia yang dijumpainya.

   Penjaga- penjaga penginapan lainnya yang berjumlah lima orang keluar dengan pentung-pentung mereka untuk menghalau pasukan ayam tersebut.

   Tetapi mereka tak berdaya, apalagi ketika si penjual ayam itu sendiri turun ke gelanggang.

   "Aku menuntut keadilan bagi kaumku!"

   Teriak si penjual ayam. Kepalanya bergerak dengan gerakan seperti mematuk, cepat dan kuat, dan seorang penjaga di depannya roboh dengan dahi berlubang kena "paruh besi"

   Di jidatnya. Dua tangannya mencakar ke samping, kembali seorang penjaga terbantai. Kakinya menyepak lagi untuk menambah jumlah korbannya. Yang dimaksudkan dengan "kaumku"

   Dalam teriakannya tadi, siapa lagi kalau bukan ayam-ayamnya. Sudah lama ia menganggap dirinya sebagai ayam, bukan manusia. *Oz* Bersambung ke

   Jilid 30 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 29 Orang ini sesungguhnya seorang pembunuh bayaran yang berpenyakit jiwa.

   Ketika kecil, ia pernah punya sepasang anak ayam yang disayanginya hingga besar, bertelur, dan menjadi banyak sekali.

   Begitu sayangnya dia kepada ayamnya sehingga dia jadi membenci ayah, ibu dan saudaranya sendiri, ketika bebrapa ayamnya disembelih untuk menyambut tahun baru.

   Pernah juga punya isteri, namun ketika isterinya melahirkan seorang bayi, bukan telur, maka diapun langsung menuduh isterinya telah "main serong dengan manusia", dan isteri serta bayinya langsung dibunuh.

   Perayaan tahun baru beberapa tahun berikutnya, kembali beberapa ekor ayamnya dipotong.

   Ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   Esoknya, langsung saja ia memberi "selamat tahun baru"

   Kepada ayah- ibunya, saudaranya, iparnya dan keponakannya dengan bacokan golok yang telak sehingga habis semua. Dengan membawa ayamnya ia kabur ke tempat yang sepi untuk mendirikan "kerajaan ayam"

   Di situ, mengembang-biakkan dan melatih ayam untuk menjadi "prajurit"nya dengan cita suatu saat kelak akan merobohkan semua "kerajaan manusia"

   Di muka bumi sehingga manusia dan ayam akan bertukar tempat.

   Keributan di bagian depan itu membuat pegawai keluarga Sebun bangkit serempak dengan senjata terhunus, untuk melindungi tuan mereka yang tengah bersantap di ruangan tengah.

   Pegawai keluarga Sebun memang terlatih silat semuanya, tetapi Tok-beng-ke (ayam pematuk nyawa), demikian julukan si gila ini tanpa ada yang tahu nama aslinya, terlalu lihai bagi pegawai itu.

   kalau dicarikan pembanding, tingkat ilmunya tidak kalah dari Lo-san Su-koai.

   Seandainya otaknya tidak miring, barangkali sudah lama Hek-eng Pocu menariknya menjadi salah seorang pembantunya.

   Pegawai keluarga Sebun tak sanggup membendung terjangan si Ayam Pematuk Nyawa ini, malah empat pegawai roboh sebagai korbannya, dua orang lagi terpatuk matanya oleh ayam buas yang terlatih itu.

   Tok-beng-ke berhasil menyerbu ke ruang perjamuan dengan sikap beringas.

   Begitu melihat ayam panggang bergeletakan di meja perjamuan, sebagian malah sedang di- kunyah oleh Sebun Hiong dan Liu Beng, kemarahannya semakin berkobar.

   Teriaknya sambil me-nuding orang dalam ruangan itu.

   "Kalian memang terlalu biadab! Ber-abad kalian menindas bangsaku! Kalian cabuti bulu bangsaku untuk dijadikan bulu, kalian pecahkan telur bangsaku untuk pelampias kerakusan kalian, kalian sembelih, kalian goreng, kalian rebus, kalian jadikan abon, kalian isikan ke dalam bakpau atau lumpia! Kini datanglah pembalasan buat kalian!"

   Sebun Hiong, Liu Jing-yang, Sebun Giok dan Liu Beng yang tengah duduk mengelilingi meja perjamuan tercengang kaget ketika melihat "siluman ayam"

   Mendadak masuk dan mencaci-maki tak keruan juntrungnya. A-cui berempat yang mengambil meja lain, juga kebingungan melihat munculnya tamu tak diundang ini. Tapi mereka segera meninggalkan kursi mereka untuk ber-siap.

   "Siapa kau?"

   Tanya Sebun Hiong. Di pihak keluarga Sebun, hanya Liu Jing-yang yang paham dari mana munculnya "siluman ayam"

   Ini.

   Tadi siang ketika menghadapi orang Hek-eng-po dengan menyamar sebagai suruhan Hek-eng Pocu, ia sudah mendengar di-sebutnya tentang si gila Tok-beng-ke dari tebing Ban-hong-gai.

   Tentunya inilah orangnya.

   Tetapi mana yang lainnya? Liu Jing-yang tak perlu berharap terlalu lama, sebab dari luar terdengar keributan hebat, bentakan bercampur suara senjata yang berdentangan beradu.

   Seorang pegawai keluarga Sebun berlari masuk dengan berlumuran darah dan berteriak.

   "Siauya! Kita diserbu Hek-eng-po!"

   Semuanya kaget.

   Namun yang betul kaget adalah A-liu.

   Apakah Lau Hong sudah bernyali demikian besar sehingga berani melanggar pesan Hek-eng Pocu? Pegawai yang berteriak itu roboh karena tubuhnya diterjang seseorang dari luar.

   Seorang yang bertubuh pendek kecil, menjinjing sebatang tombak gerigi yang mengkilat mengerikan dan bersinar keunguan menandakan mata tombak yang telah dioles racun.

   "Mana yang namanya Sebun Hiong dan Liu Beng?!"

   Bentaknya.

   Menyusul bermunculanlah tujuh orang lainnya yang sudah dikenal oleh Liu Jing-yang tadi siang.

   Ditambah lagi empat orang yang berpenampilan seperti bandit besar, sehingga jumlah musuh menjadi tigabelas orang manusia dan sembilanbelas ayam.

   Liu Jing-yang menghunus pedangnya dan melindungi di depan Sebun Hiong yang terluak sambil berkata.

   "Yang ingin mengganggu kakak iparku, lebih dulu harus melawan aku!"

   "Dan yang mana Liu Beng?"

   "Akulah Liu Beng, kalian dari Hek-eng- po?"

   "Benar!"

   "Ha! Baru muncul sekarang? Sampai hampir jemu aku menempelkan surat tantangan di mana..... Tiba-tiba Tok-beng-ke meraung keras dan menubruk secepat kilat ke arah Liu Beng. Yang menjadikan ia marah ialah karena melihat tangan kanan Liu Beng masih memegang sumpit yang menjepit sepotong daging "saudaranya"

   Yang sudah dicelup saus dan siap dicaplok.

   "Ganti nyawa saudaraku!"

   Raungnya.

   Liu Beng terkejut melihat serangan sehebat itu.

   Namun sejak ia mendapat didikan ayah-angkatnya, Cui-poan-siang Hong Thai-pa, Gajah Gemuk Pemabuk, ia bukan lagi Liu Beng si kacung berilmu rendah yang dulu.

   Sambil meletakkan sumpitnya, ia tendang sebuah kursi sehingga melayang menyongsong tubrukan si gila.

   Setelah itu ia berjongkok mengambil sepasang tongkatnya yang tadi ditaruh di kolong meja, sebagai tindakan jaga sejak peristiwa yang mengakibatkan terlukanya Sebun Hiong kemarin.

   Kursi yang melayang deras itu dengan mudah dihancurkan oleh Tok-beng-ke, tubuhnya terus melaju ke arah Liu Beng dengan ancaman "paruh"nya, sepasang cakarnya dan sepasang taji di kakinya.

   Cara berkelahinya benar meniru ayam.

   Melabrak, mengebas, mematuk, atau mencakar dengan kelima jenis senjata di tubuhnya.

   Namun membentur Liu Beng yang memainkan sepasang tongkat dengan Sepuluh Jurus Gajah Mabuk, Tok-beng-ke harus bekerja keras.

   Sepasang tongkat Liu Beng berputar deras menjadi dua gulung cahaya berkekuatan dahsyat yang bisa meremukkan tulang musuhnya.

   Begitulah, keduanya bertarung sengit sekali, membuat meja dan kursi berantakan menjadi serpihan kayu kecil yang hanya bisa untuk kayu bakar.

   Di sebelah lain, musuh yang terdiri campuran manusia dan ayam menyerbu ke pihak orang keluarga Sebun, terutama Sebun Hiong yang diancam.

   Liu Jing-yang tadi pura melindungi Sebun Hiong, sebenarnya itulah petunjuk halus bagi lawan untuk memilih sasaran.

   Kini diapun bertempur melawan dua orang lawan yang masing bersenjata ruyung besi.

   Lainnya menyerbu Sebun Hiong.

   Di ruangan itu sebenarnya masih ada A- cui, A-loan dan lain, namun mereka segera membentuk semacam perisai untuk melindungi Sebun Giok yang sedang hamil.

   Meskipun puteri Sebun Him itu sudah menghunus pedangnya pula, jelas dalam keadaan perut besar seperti itu tak akan bisa bertempur sepenuh tenaga.

   Beberapa ekor ayam dengan buas mencoba mematuk dan melabrak mereka, namun betapapun terlatihnya ayam itu juga sulit mengalahkan gadis yang ilmu silatnya di atas rata orang.

   Banyak ayam yang dibabat mampus.

   Tok-beng-ke yang melihatnya menjadi semakin sakit hati.

   Ia hendak menerjang gadis yang membunuh "saudara"nya itu tapi terhalang Liu Beng yang bertempur dengan tangguhnya sehingga cuma bisa ber-teriak kalap.

   Menjeritkan seribu tuntutan keadilan bagi bangsa ayam"

   Ruangan itu segera bergelora dan riuh- rendah dengan pertempuran sengit.

   Pihak Hek- eng-po dan tenaga bayarannya yang ganas dan berjumlah banyak, mengepung rapat orang keluarga Sebun yang jauh lebih sedikit dan tidak menduga akan mendapat serangan macam itu.

   Yang paling kebingungan dalam menetapkan tindakannya adalah A-liu.

   Ia tidak habis mengerti, siang tadi Lau Hong mengatakan sanggup mentaati pesan Hek-eng Pocu agar membiarkan rombongan keluarga Sebun lewat tanpa diganggu, kenapa kini malah mengerahkan serbuan sehebat ini? Sedang Lau Hong sendiri tidak tampak batang hidungnya, apa maksud Lau Hong dengan semuanya ini? Demikian gadis gadungan itu kebingungan sendiri.

   Melihat ke tengah ruangan, dilihatnya Sebun Hiong mendapat tekanan berat karena harus menghadapi enam lawan sekaligus.

   Keenam lawan itu bersenjata beraneka macam tapi semuanya menunjukkan permainan silat yang tangguh dan menyulitkan putera Sebun Him.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan demikian, dua hari berturut-turut nyawa Sebun Hiong berpesiar ke perbatasan negeri orang mati....

   Akhirnya A-liu mengambil keputusan.

   Penyergapan terhadap Sebun Hiong yang kemarin bukan didalangi Hek-eng-po berdasar penyangkalan Lau Hong siang tadi.

   Dan penyerbuan kali inipun dia yakin bukan digerakkan oleh pihaknya, entah pihak dari manai, sebab Lau Hong tidak nampak batang hidungnya di antara para penyerbu.

   Sedangkan terhadap orang Hek-eng-po di Ban-siong-tin, A-liu hanya kenal Lau Hong, tidak kenal anak buahnya.

   Berdasar dugaan seperti itulah maka A-liu memutuskan untuk bertempur sepenuh hati di pihak keluarga Sebun, kalau sampai ada orang keluarga Sebun yang luka seujung rambutpun, tentu Hek-eng Pocu akan menyalahkannya.

   Ia sendiri tidak tahu kenapa Hek-eng Pocu bersikap sedemikian aneh terhadap keluarga Sebun yg menjadi musuhnya tersebut? Dengan tekad bulat ia lalu keluarkan senjatanya berupa Liang-ciat-kun (ruyung dua ruas), dua potong kayu keras sepanjang hampir tiga jengkal dan masing berpenampang segi delapan, dihubungkan dengan seutas tali kulit berjalin tiga.

   Dengan senjatanya itulah dia menerjang ke tengah pertempuran.

   Seorang musuh bersenjata tombak menyerang A-liu dengan tusukan ke arah leher.

   Namun A-liu memiringkan tubuh, dengan tali ruyungnya ia mendorong leher tombak lawan ke samping dibarengi kakinya terayun deras ke pinggang lawan membuat lawannya melompat mundur dengan kaget.

   Ruyung berruas duanya berputar satu putaran di samping tubuh lalu menyambar hebat ke tulang pundak lawan.

   Lawan memang kaget sekali melihat A- liu yang nampak cantik dalam penyamarannya sebagai gadis ternyata berkelahi sekuat dan segarang lelaki.

   Ia tundukkan kepalanya untuk menghindari Liang-ciat-kun lawan tapi jidatnya tetap saja kena dan menjadi benjol dan matanya ber-kunang.

   Sialnya, beberapa ekor ayam buas kemudian mematukinya dengan ganas.

   Biarpun ayam itu terlatih untuk menyerang, namun hewan tetap hewan, tentu saja tidak bisa membedakan mana teman mana lawan, asal manusia langsung saja dipatuk, kecuali "pemimpin"

   Mereka.

   Tapi ia tidak berani membabat mampus ayam itu dengan tombaknya, kuatir melukai perasaan Tok-beng-ke sebagai teman seperjuangan.

   Ia hanya berusaha menghalau dengan suaranya, kadang tangannya bergerak seolah sedang menaburkan segenggam beras atau jagung.

   Apa mau dikata, ayam "prajurit"

   Itu tidak kenal kompromi dan terus melabrak dengan hebat.

   Maka repotlah ia dengan lawan barunya.

   Di pihak lain, kedatangan A-liu untuk membantu Sebun Hiong tidak berarti banyak, sebab enam lawan itu tangguh semuanya dan hampir pasti Sebun Hiong dan Liu Beng sebagai sasaran utama akan mampus malam itu.

   Merasakan perkembangan keadaan tersebut, Liu Jing-yang bersorak dalam hati dan yakin bahwa rencananya malam itu akan berhasil dengan cemerlang.

   Tapi ia tetap memperlihatkan kegigihan perlawanannya.

   Bahkan berharap alangkah baiknya kalau ia mendapatkan beberapa luka, asal tidak berbahaya agar orang melihatnya dapat menjadi saksi bahwa ia bersungguh-sungguh membela kakak iparnya....

   Memang keadaan semakin berat sebelah untuk keuntungan pihak Hek-eng-po dan rekan bayaran mereka.

   Liu Beng dengan sepasang tongkat besinya telah mengerahkan segenap kekuatan dan ilmunya untuk secepatnya membereskan "siluman ayam", lawannya tersebut agar bisa segera membantu Sebun Hiong yang nampak tertekan hebat.

   Tapi si "siluman ayam"

   Juga musuh tangguh, biarpun sudah terdesak tapi tidak gampang untuk membunuhnya.

   Masih diperlukan puluhan jurus lagi sebab si gila itu ternyata adalah lawan yang bahkan lebih tangguh dari Wan Po, si Siluman Lengan Besi, orang nomor satu dari Lo-san Sukoai yang pernah dilihat Liu Beng semasa masih menjadi kacung di Liu-keh-chung dulu.

   Saat orang keluarga Sebun di ambang kekalahan, di luar pintu penginapan mendadak muncul tiga orang pendeta berjubah kelabu, jubah khas pendeta Siau-lim-si, dengan leher berkalung tasbih hitam, kepala bertutup topi rumput dan senjata di tangan masing.

   Ketiga pendeta itu memegang jenis senjata panjang yg berbeda-beda.

   Yang satu memegang toya biasa yang tingginya melebihi kepalanya sendiri, satu lagi membawa Hong-pian-jian (toya berujung seperti bulan sabit), dan lainnya membawa garu besi bertangkai panjang.

   "Bukankah ini penginapan yang dipakai rombongan keluarga Sebun?"

   Tanya yang membawa toya kepada kedua temannya, dengan alis berkerut melihat bangkai ayam dan manusia yang bergeletakan di halaman depan penginapan.

   "Benar, menurut laporan teman kita. Tapi nampaknya terjadi sesuatu, dengarlah ribut di bagian dalam...."

   Pendeta yang membawa garu itu agaknya berwatak berangasan, ia segera hantamkan tongkat garunya ke tanah sambil menggeram.

   "Keluarga Sebun adalah tamu gunung kita dan kita bertugas menyambutnya. Tapi ada pihak lain yang tidak memandang mata kepada gunung kita sehingga berani membuat keributan di pintu masuk propinsi Holam ini. Ayo kita hajar si pembuat keributan....!"

   Di rimba persilatan memang umum ada anggapan bahwa suatu kelompok persilatan tertentu menjagoi suatu wilayah tertentu.

   Seperti Hwe-liong-pang di wilayah selatan, keluarga Sebun di wilayah Sian-sai dengan dukungan Hoa-san-pai, Bu-tong-pai di wilayah Hopak.

   Sedang Ban-siong-tin itu sudah masuk propinsi Holam, wilayah "propinsinya Siau-lim- pai"

   Yang berpusat di Siong-san.

   Murid-murid Siau-lim-pai akan tersinggung kalau ada penjahat berani malang-melintang di Holam, ibaratnya petakilan di depan hidung Siau-lim- pai, apalagi mengganggu pihak yang sedang menjadi tamu undangan Siau-lim-pai, seperti keluarga Sebun itu.

   Tanpa menunggu jawaban temannya, hwesio berangansan itu dengan langkah lebar melangkah ke dalam.

   Topi rumputnya dilepas dan dibuang begitu saja.

   Kedua temannya mengikuti.

   Setelah topi terbuka, nampaklah mereka bertiga adalah hwesio berusia tiga puluh sampai empat puluh tahun.

   Mungkin satu tingkatan di bawah Pun-bu Hwesio.

   Belum habis mereka menyeberangi halaman, lima sosok bayangan muncul menghadang ketiga pendeta itu.

   di bawah cahaya bulan yang hanya separuh, tampak lima orang itu semua berbadan tegap, berbaju bulu lengan pendek sehingga nampak otot lengan mereka yang ber-gumpal.

   Senjata yang dipakai mereka juga sama, yaitu toya Long-ge-pang (pentung gigi serigala) yang nampaknya berat bobotnya.

   "Dilarang masuk!"

   Bentak orang itu dengan sikap mengancam. Tapi sipendeta bersenjata garu besi malah tertawa dan berkata.

   "Aha, kiranya Lima Serigala dari lembah Jing-liong-kok! Belum jera kah kalian tahun lalu aku beri hajaran di Teng- hong, sehingga kini nampakkan diri lagi??!"

   "Memang belum puas, keledai gundul! Malam ini kami akan membalas kekalahan yang dulu!"

   "Ha-ha.... dengan andalan apa kalian berani bertingkah lagi?"

   Dengus hwesio bersenjata garu besi alias Ci-hian Hwesio.

   "Kami sekarang bekerja untuk Hek-eng- po!"

   Gertak orang tertua dari Lima Serigala untuk menakut-nakuti pendeta Siau-lim-si itu. Tapi bukannya berhasil menakut-nakuti, malah menimbulkan kemarahan Ci-hian Hwesio.

   "Oh, dengan demikian dosa kalian menjadi ber-kali lipat sehingga tak boleh diampuni lagi! tak peduli kalian ditulangpunggungi oleh Hek-eng-po atau Pek- eng-po atau gerombolan iblis manapun juga, malam ini kalian berlima harus musnah!"

   Habis bicara, garu besinya langsung menyambar ke kepala Toa-long (serigala tertua) dengan jurus Siok-lui-kik-ting (petir menyambar kepala).

   Toa-long mengangkat senjatanya untuk menangkis tapi kalah tenaga sehingga tersentak mundur.

   Dari samping, Sam-long segera menyergap untuk membantu saudara tertanya.

   Ci-hian Hwesio yang termasuk salah satu anggota barisan Lo-han yang masyhur dari Siau-lim-si, maka serigala lainnya pun serempak menerkam dari berbagai arah.

   Namun dengan gagah perkasa Ci-hian Hwesio memutar garu besinya sehingga seperti seekor naga hitam ber-gulung menghadapi keroyokan lima lawannya.

   Dua pendeta lainnya, Ci-sian dan Ci-sin Hwesio hendak turun tangan membantu Ci- hian tetapi Ci-hian telah berseru.

   "Serahkan saja kelima anjing buduk ini kepadaku untuk menghajarnya! Suheng berdua lebih baik masuk ke dalam untuk melihat bagaimana keadaan rombongan keluarga Sebun!"

   Kedua pendeta lainnya juga anggota Barisan Lo-han, artinya adalah murid Siau- lim-si pilihan, di atas rata teman seangkatannya.

   Sesaat mereka memperhatikan pertempuran di halaman dan yakin bahwa Cihian Hwesio tidak akan mengalami kesulitan seandainya ditinggalkan sendirian.

   Karena itu, seperti dua ekor burung kelabu raksasa, keduanya melompati orang yang sedang bertempur untuk langsung masuk ke dalam penginapan.

   Di bagian dalam, keadaan keluarga Sebun sudah kritis.

   Sebun Hiong, Liu Jing- yang, A-cui dan gadis lainnya, sudah mendapatkan luka semua.

   Hanya Liu Beng dan Sebun Giok yang tidak luka.

   Karena Liu Beng bertempur satu lawan satu melawan Tok- beng-ke yang tidak mau dibantu siapapun.

   Seorang anak buah Lau Hong yang bermaksud membantunya malah "ditaji"

   Sehingga pahanya terluka.

   "Kami bangsa ayam adalah bangsa ksatria, bukan pengecut seperti bangsa manusia!"

   Teriak si siluman ayam ketika itu.

   lalu sambil berkokok seperti ayam jantan di waktu fajar, dia memperhebat perlawanannya terhadap Liu Beng.

   Sedang Sebun Giok tidak terluka, karena meskipun ikut bertempur tetapi di belakang lapisan perlindungan yang dibuat oleh A-cui dan A-loan yang rela luka demi melindungi nyonya muda majikan mereka itu.

   A-hui sudah bergabung dengan A-liu untuk meringankan tekanan terhadap diri Sebun Hiong yang menjadi sasaran utama musuh.

   Jarum A-cui yang pernah mematek lalat di dinding itu sudah habis dihamburkan dan hanya berhasil membuat luka ringan atas beberapa musuh, tapi hampir tak ada artinya.

   Musuhnya bukan lalat, melainkan jagoan garang dari Hek-eng-po dan Jing-liong-kok yang selama ini menguasai dunia hitam di sekitar Ban-siong-tin.

   Sedangkan ayam didikan Tok-beng-ke ternyata sebagian kurang beruntung karena terbunuh atau terinjak, sebagian lagi "kurang disiplin".

   Beberapa ayam malah kabur meninggalkan arena, sebagian lagi dengan tenangnya mematuki remah makanan di lantai yang berceceran, tak peduli riuh- rendahnya pertempuran.

   Dua ekor hinggap di ambang jendela untuk mendekam tenang dengan mata ber- kedip.

   Rupanya mereka mulai bosan, meskipun pertamanya mereka mematuk dan melabrak dengan buas.

   "Hayo prajuritku! Gempur habis mush kalian!"

   Tok-beng-ke ber-teriak sampai tenggorokannya nyaris jebol. Cuma saja para "prajuritnya"

   Sudah tidak menggubris lagi.

   Malah kemudian Tok-beng-ke yang dilabrak habisan oleh Liu Beng.

   Sepasang tongkatnya bergerak ber-ganti, semakin lama semakin cepat seperti sepasang baling yang diputar oleh prahara.

   Akhirnya habis juga perlawanan si "siluman ayam".

   Suatu saat cakar kanannya kena terhantam menyilang oleh sepasang tongkat besi Liu Beng sehingga terdengar derak tulang patah.

   Ia menjerit kesakitan, kali ini suara manusia dan bukan suara ayam.

   Tanpa ampun karena memikirkan keselamatan Sebun Hiong, Liu Beng tambahkan sebuah tendangan keras yang membuat tulang dada Tok-beng-ke amblas dan tubuhnya terpental membentur tembok, lalu meringkuk diam di kaki tembok.

   Tak sempat memperhatikan mati- hidupnya orang itu, Liu Beng langsung melompat ke arah Sebun Hiong untuk membantunya.

   Robohnya Tok-beng-ke memang mengagetkan pihak Hek-eng-po dan temannya, namun dengan kekuatan mereka yang berlipat ganda, mereka tetap memegang kendali kemenangan.

   Apalagi Liu Beng pun sudah kehabisan separuh tenaganya untuk mengalahkan Tok- beng-ke tadi, sedang Sebun Hiong semakin lemah.

   Bukan saja luka barunya, tapi luka kemarin telah pecah kembali karena terlalu banyak gerakan.

   Namun Ci-sian dan Ci-sin Hwesio segera muncul di ruangan itu dan langsung mengeluarkan suara menggelegar.

   "Iblis Hek-eng-po berani mengganas di tempat ini?!"

   Kedatangan mereka mengejutkan orang Hek-eng-po, juga Liu Jing-yang mengeluh dalam hati karena perangkapnya untuk menyingkirkan Sebun Hiong dan Liu Beng terancam kegagalan lagi.

   padahal kalau sudah sampai di Siong-san, bergabung dengan Sebun Him serta di lingkungan Siau-lim-si yang dikenal sebagai "Kubangan Naga dan Harimau", maka rencananya bakal lebih sulit terwujud lagi.

   Selain delapan orang Hek-eng-po yang menjadi anak buah Lau Hong, di ruangan itu juga ada empat saudara seperguruan yang menjadi kepala kelompok bandit di Jing-liong- kok, yang dimintai bantuan oleh orang Hek- eng-po dengan bayaran tinggi.

   Yang tertua dari empat benggolan itu bernama panggilan Gui Tiat-cu, Gui Si Besi, karena badannya yang keras dan tenaganya yang kuat.

   Senjatanya sebatang golok Kui- thau-to yang tebal dan berat.

   Begitu melihat munculnya dua pendeta Siau-lim-si, tanpa pikir panjang Gui Tiat-cu menyongsong ke pintu sambil membentak.

   "Keledai gundul! Aku ingin separuh bundaran kepalamu untuk kujadikan mangkok!"

   Goloknya langsung berkelebat tegak lurus dengan gerak Thai-san-ap-teng (gunung menimpa kepala).

   Yang dibacoknya adalah Ci-sian Hwesio yang bersenjata toya.

   Dengan tangkas pendeta itu sedikit merendahkan tubuh sambil memalangkan toya di atas kepala dengan sepasang lengan setengah tertekuk.

   "Nah, mampus kau sekarang, bangsat gundul!"

   Sorak Gui Tiat-cu dalam hati karena menurutnya menangkis serangan bertenaga dari atas haruslah dengan sepasang tangan yang lurus kokoh agar tangkisannya kuat, bukan dengan persendian siku menyudut seperti yang dilakukan si hwesio.

   Gui Tiat-cu segera membentak keras dan menambahkan tenaganya.

   Golok beradu tegak lurus dengan toya yang melintang di atas kepala, sepasang tangan Ci-sian Hwesio yang kurus itu tertekuk sejengkal ke bawah sehingga mata golok lawan hanya tinggal tiga-empat jari di atas kulit kepala gundulnya.

   Namun tiba ia dorongkan sepasang lengannya sekuat tenaga sehingga golok lawan tersentak naik, Gui Tiat-cu terdorong mundur.

   Habis itu, ujung toya kanan menggempur ke kepala Gui Tiat-cu dengan jurus yang sama yang dipakai Gui Tiat-cu tadi, Thai-san-ap-teng, membuat Gui Tiat-cu ter- gopoh memalangkan golok di atas kepala seperti yg dilakukan Cisian hwesio tadi.

   Bahkan telapak tangan kiri juga ikut menahan di punggung golok untuk menambah kekuatan tangkisannya.

   Tapi tak ada benturan golok dan toya sebab Ci-sian Hwesio dengan tangkas merubah jurusnya menjadi Hek-liong-boan-jiu (naga hitam melilit pohon).

   Ujung kiri toyanya tiba menyambar rendah ke rusuk Gui Tiat-cu.

   "Keparat!"

   Teriak Gui Tiat-cu dengan gugup.

   Goloknya ditangkiskan ke samping, masih dengan telapak tangan kiri menahan punggung golok.

   Tapi lagi Ci-sian Hwesio dengan lincah menarik serangannya sehingga Gui Tiat-cu hilang keseimbangan.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berikutnya, ujung toya si pendeta meluncur lurus dari atas dan menyodok remuk punggung telapak kaki Gui Tiat-cu.

   Si pemimpin perampok dari Jing-liong- kok itu meraung keras untuk mengimbangi rasa nyerinya.

   Dengan sebelah telapak kaki yang remuk macam itu, ia tak dapat menyangga tubuhnya yang gemuk besar, dan roboh terguling, namun masih berusaha dengan goloknya untuk menyambar kaki Ci- sian Hwesio.

   Si pendeta menyongsong golok dengan ujung toyanya yang kemudian diputar dan dicongkel ke atas, maka golok Gui Tiat-cu terbang deras ke atas dan menancap di belandar ruangan.

   Berikutnya, ujung toyanya memukul remuk pundak Gui Tiat-cu.

   Dengan demikian, meskipun tidak mati, Gui Tiat-cu tidak akan dapat lagi menekan orang lemah dengan mengandalkan kekuatannya.

   ci-sian Hwesio sendiri pantang membunuh kalau tidak terpaksa sekali.

   Ia anggap hukuman pundak remuk dan sebelah kaki remuk itu sudah cukup memadai untuk hukuman kejahatan Gui Tiat-cu selama ini.

   Begitulah, hanya dengan satu tangkisan dan empat serangan, Ci-sian Hwesio menamatkan kejahatan Gui Tiat-cu.

   Tiga tokoh lembah Jing-liong-kok lainnya menjadi keder melihat kehebatan pendeta Siau-lim-si tersebut.

   Biarpun mereka sudah dibayar empat ribu tahil perak oleh anak buah Lau Hong, namun mereka lebih sayang nyawa daripada uang.

   Sambil menggotong Gui Tiat-cu, mereka terus hendak kabur dari arena.

   "Hendak ke mana?"

   Tanya salah seorang anggota Hek-eng-po. Tokoh kedua dari Jing-liong-kok yang bernama Wi Ciok segera menjawab.

   "Uangnya akan aku kembalikan. Kami mengundurkan diri dari perjanjian tadi siang!"

   "Tidak bisa!"

   Bentak salah seorang anggota Hek-eng-po sambil menudingkan pedang.

   "Sekali perjanjian disepakati, harus dilaksanakan sampai tuntas, entah berhasil entah gagal! Kalau kalian berniat kabur begitu saja, jangan salahkan kami kalau suatu ketika nanti Hek-eng Pocu akan meratakan Jing-liong- kok kalian sampai rata dengan tanah!"

   Gertakan itu membuat tokoh Jing- liong-kok menjadi ragu dan menghentikan langkah mereka.

   Ternyata persoalannya tidak menjadi selesai sekedar dengan mengembalikan uang bayaran saja, alangkah ngerinya kalau sampai bermusuhan dengan Hek-eng-po yang dikenal sebagai gerombolan iblis durjana itu....

   Tapi Ci-sian Hwesio dari Siau-lim-pai menambah kebingungan mereka yang berkata dengan nada lembut namun tegas.

   "Saudara dari Jing-liong-kok, kalau ingin kembali ke jalan lurus jangan takut apapun. Sebaliknya, kalau kalian nekat di jalan sesat seperti sekarang ini, jangan kaget kalau kelak kami kirimkan murid Siau-lim-pai untuk mengunjungi lembah kalian dan menghentikan tingkah biadab kalian."

   Pentolan Jing-liong-kok ini biasanya hanya kenal menindas terhadap orang yang lebih lemah, menjepit pihak tak berdaya.

   Dan baru kini mereka merasakan diri mereka terjepit tak berdaya oleh kekuatan raksasa yang jauh di atas mereka.

   Berbuat ini, Hek- eng-po mengancam.

   Berbuat begitu, Siau-lim- si yang mengancam.

   Untuk sesaat mereka nampak kebingungan, dan wajah garang itu berubah menjadi wajah yang patut dikasihani.

   Yang tidak kalah bingungnya adalah Liu Jing-yang.

   Kalau pihak Jing-liong-kok mengundurkan diri, delapan orang Hek-eng-po jelas tidak akan mampu lagi menghadapi gabungan orang keluarga Sebun dan tiga pendeta Siau-lim-si.

   Itu berarti rencananya gagal lagi, dan entah kapan lagi ada peluang emas.

   Namun ia memilih bungkam saja.

   Sedangkan A-liu diam merencanakan, setelah pertempuran selesai, ia akan menemui Lau Hong di toko kainnya untuk menanyakan kenapa anak buahnya bernyali begitu besar untuk bertindak di luar pesan Hek-eng Pocu? A-Liu sama sekali belum tahu bahwa Lau Hong sudah terbunuh! Saat itu Liu Jing-yang menemukan akal untuk tetap melibatkan tokoh Jing-liong-kok.

   Satunya jalan hanyalah membuat mereka terjepit dalam satunya pilihan.

   Iapun berkata dingin.

   "Hem, kawanan bandit itu sudah berani bermaksud membunuh seorang putera keluarga Sebun, betapapun juga tidak ada ampun lagi!"

   Semua yang mendengarnya menganggap ucapan itu sekedar ungkapan kemarahan Liu Jing-yang sebagai menantu keluarga Sebun, tidak ada yang menduga adanya maksud lain di balik ucapan itu.

   Benar juga, ucapan itu membuat pihak Jing-liong-kok putus asa dan nekad.

   Daripada nasib mereka ter-katung antara Hek-eng-po di satu pihak dan keluarga Sebun di pihak lain, mereka memutuskan lebih baik sekalian bergabung dengan Hek-eng-po yang kuat, siap menanggung semua resikonya.

   Tubuh Gui Tiat-cu yang masih meng- geliat sambil me-rintih diletakkan di lantai.

   Sejata yang sudah disarungkan dicabut kembali.

   Wi Ciok berkata dengan memaksakan diri supaya kelihatan gagah berani.

   "Hem, cacingpun menggeliat kalau diinjak. Kalau keluarga Sebun tidak mau mengampuni kami, apa kami harus me-ngemis belas kasihan? Kami ini laki yg punya harga diri!"

   Sedang Ci-sian hwesio sebagai pendeta Buddha masih berusaha mencarikan jalan agar tokoh Jing-liong-kok dapat bertobat. Ia merangkapkan tangan menghormat Liu Jing- yang.

   "Tuan, biarpun Jing-liong-kok adalah sarang penjahat, tetapi hendaklah memberi kesempatan kepada mereka untuk menemukan sinar kebenaran. Janganlah mendorong mereka menjadi semakin jahat dengan bergabung ke dalam Hek-eng-po!"

   Sekilas Liu Jing-yang melirik Sebun Hiong, ketika dilihatnya kakak iparnya diam saja, membiarkannya menjadi "juru bicara"

   Keluarga Sebun, maka Liu Jing-yang semakin besar hati. Ia membalas hormat Ci-sian Hwesio tetapi menjawab dengan dingin.

   "Siau-lim-pai ingin memaafkan kejahatan mereka, itu terserah Siau-lim-pai sendiri. Tapi Hek-eng-po dan begundalnya sudah dua kali berusaha membunuh kakak iparku dengan perangkap licik, itu tidak bisa kami maafkan...."

   "Tuan, kami mohon...."

   "Tidak!"

   Potong Liu Jing-yang keras.

   "Sikap pemaaf dari Siau-lim-pai juga Hwe- liong-pang adalah sikap yg terlalu lemah. Membuat kaum iblis bebas bergentayangan menyebar maut. Tapi sikap lemah tersebut bukanlah sikap keluarga Sebun!"

   Sebun Hiong diam saja dan meng- anggukkan kepala, membenarkan bantahan Liu Jing-yang.

   Itu cocok dengan pendirian keluarganya yang selama ini menganggap diri sendiri berdiri di garis paling depan dalam membendung kebiadaban Hek-eng-po dan menganggap orang lain hanya berani berdiri di garis belakang.

   Juga cocok dengan Liu Beng yang membenci Hek-eng-po sampai ke tulang sunsumnya.

   Sebab Hek-eng-po itulah yang membunuhi puluhan jiwa Liu-keh-chung, termasuk Liu Giok-eng, gadis yang punya kenangan tersendiri di hati Liu Beng.

   Ia tahu Jing-liong-kok bukan bagian dari Hek-eng-po, hanya tenaga bantu saja, namun bagi Liu Beng, si penjahat atau sekedar begundal penjahat adalah sama saja dan harus ditumpas.

   Maka tak terhindarkan lagi tokoh Jing- liong-kok harus bertempur lagi.

   Kali ini bukan sekedar untuk mendapatkan uang, tapi karena harus mempertahankan nyawa yang tidak ingin mereka serahkan secara gratis kepada musuh.

   Ci-sian hwesio hanya bisa menarik napas melihat suasana kembali memanas.

   Jelas pihaknya tak akan bisa berpeluk tangan saja, mau tidak mau harus membantu pihak keluarga Sebun yang merupakan tamu Siau- lim-pai.

   Tapi ia berbisik kepada Ci-sim Hwesio.

   "Se-bisanya jangan membunuh, lumpuhkan saja."

   Ci-sim Hwesio mengangguk.

   Kembali senjata berkelebatan di ruangan itu.

   bentakan marah menggema bercampur gemerincing senjata yang berbenturan., ditambah suara gemeratak dari perabotan rumah penginapan yang hancur berantakan.

   Kali ini keadaan seimbang, sulit ditentukan pihak mana yang akan menang sebab pihak keluarga Sebun ketambahan dua pendeta Siau-lim-si yang tangguh.

   Hanya saja keseimbangan itu tak bertahan lama.

   Sebab dari pintu masuklah si pendeta berangasan Ci-hian Hwesio yang agaknya sudah menyelesaikan Lima Serigala dari Jing-liong-kok.

   Begitu masuk gelanggang ia langsung memutar garu besinya tanpa ampun, sesuai dengan wataknya yang berangasan.

   Seorang pemimpin Jing-liong-kok segera terjungkal dengan dada remuk.

   Lalu menerjang ke lawan lainnya.

   "Sute, jangan membunuh kalau tidak terpaksa!"

   Ci-sian Hwesio berteriak kepada adik seperguruannya itu.

   "Baik!"

   Sahut adik seperguruannya.

   Meski demikian, sudah enam nyawa melayang oleh garu besinya.

   Lima Serigala di luar, dan satu lagi di dalam.

   Seperti seekor banteng terluka ia menerjang dan sekaligus sisa tokoh empat sekawan dari Jing-liong-kok telah dirobohkannya, tapi tidak dibunuh.

   Sadar akan gelagat jelek, kini kedelapan orang Hek-eng-po merasa tidak mampu menjalankan tugas mereka yang diperintah oleh "utusan Majikan Hek-eng-po"

   Siang tadi.

   Mereka tidak ingin mati konyol di bawah senjata orang keluarga Sebun atau pendeta Siau-lim-pai.

   Maka beberapa patah kalimat rahasia segera diertukarkan di antara mereka.

   Hampir bersamaan mereka menggebrak lawan semakin keras, namun kemudian serentak melompat mundur ke arah jendela dan pintu di berbagai arah.

   "Jangan lari!"

   Bentak Sebun Hiong. Meskipun menderita beberapa luka, tapi gerak- geriknya tetap tangkas dan kuat seperti beruang muda. Ayunan pedangnya masih berhasil "memetik"

   Satu nyawa lagi di pihak Hek-eng-po.

   Tapi tujuh jagoan Hek-eng-po lainnya serempak mengeluarkan sebutir benda bulat yang langsung dibantingkan ke lantai atau diarahkan ke lawan mereka.

   Bau belerang yang tajam segera memenuhi ruangan.

   Ci-sian Hwesio berteriak kaget.

   "Jangan tangkis dengan keras, itulah Liu-hong-hwe-tan (peluru api menyala)!"

   Pendeta itu sendiri mengebaskan lengan jubahnya yang longgar sehingga menimbulkan hembusan angin yang sangat kuat, meniup balik dua butir hwe-tan yg terbang kembali ke arah punggung dua orang pelemparnya yg sedang membalik tubuh hendak kabur lewat jendela.

   Orang keluarga Sebun berlompatan menghindar.

   Namun toh terdengar jeritan A- cui yg terlambat menghindar sehingga sekejap saja ia berubah menjadi manusia obor raksasa yg ber-guling sambil men-jerit memilukan.

   "A-cui!"

   Liu Beng, A-loan dan A-hui berteriak kaget.

   Terdengar letupan tujuh kali ber-turut.

   Dua orang Hek-eng-po yg punggungnya terkena hwe-tan senjata makan tuan itupun men-jerit dan bergulingan di lantai dengan tubuh menyala.

   Sialnya, salah seorang dari mereka berguling tanpa melihat arah sehingga menerjang seguci arak yg langsung tumpah dan menyala lebih hebat karena arak.

   Letupan lainnya membuat ruangan penuh kobaran api dan asap, memberi kesempatan kepada lima orang Hek-eng-po yg tersisa untuk melompat keluar dan menghilang di gelapnya malam.

   Ci-sian Hwesio dengan tangkas mencopot jubah luarnya untuk di-kebutkan ke tubuh A-cui sambil berteriak.

   "Ambil kain basah!"

   Sebelum air dan kain basah datang, api sudah padam, namun A-cui tidak tertolong lagi.

   Rambut dan pakaiannya terbakar habis, A-cui yg cantik jelita kini hanyalah sesosok tubuh hangus hitam berbau sangit.

   Begitu pula dua orang Hek-eng-po yg terkena senjatanya sendiri....

   A-loan dan A-hui segera menangis men- jerit kehilangan sahabat karib mereka.

   Sementara A-liu pura menggertak gigi, tiba melompat keluar dari ruangan itu.

   "Hendak ke mana, A-liu?!"

   Tanya Lu Beng.

   "Membalas sakit hati A-cui!"

   Sahutnya yg sudah tiba di halaman luar lalu melompati tembok dengan ringan.

   Sebenarnya ia hendak ke toko kain satunya di Ban-siong-tin untuk menemui Lau Hong akan menanyakan kenapa anak buahnya melanggar pesan Hek-eng Pocu untuk tidak mengganggu keluarga Sebun? Sementara Liu Beng yg berdarah panas dan dendamnya terhadap Hek-eng-po ber- tumpuk itupun melompat keluar sambil menjinjing sepasang tongkat besinya.

   "Lima orang yg lolos tadipun harus ditumpas semua, tidak boleh sisa seorangpun! Demi nyawa seluruh penghuni Liu-keh-chung dan A-cui!"

   Tiga pendeta Siau-lim-si tak sempat mencegah.

   Apalagi mencegah, bahkan Ci-hian Hwesio yang berangasan itu malah sudah menjinjing garu besinya dan hendak ikutan mengejar Hek-eng-po.

   Namun kedua suhengnya menahannya.

   Ci-sian Hwesio tidak mau meninggalkan tempat itu, sebab kuatir kalau tiga tokoh Jing- liong-kok yg masih hidup dan terluka itu dicincang oleh orang keluarga Sebun yg tengah mabuk dendam.

   Ia merasa berkewajiban menunggui dan menjaga keselamatan mereka, biarpun mereka itu musuh.

   Kemarahan ternyata memang menguasai orang keluarga Sebun, termasuk Sebun Hiong.

   Kedatangannya ke Holam adalah untuk bertanding dengan Tong Gin-yan dan Si Liong-cu, untuk menaikkan pamor keluarga Sebun.

   Tak terduga, baru saja ia menginjak propinsi Holam, sudah ditemuinya bencana hebat semacam ini.

   Banyak orangnya yg terbunuh dan terluka.

   Dengan keangkuhan keluarga Sebun yg sejak kecil sudah ditanamkan oleh ayahnya ke dalam jiwanya, ia pikir kalau kejadian hari itu tidak dibalas secara setimpal, maka nama besar keluarga Sebun akan merosot jatuh, diletakkan di bawah urutan Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang.

   Karena itulah, tanpa peduli lukanya yg dianggap sebagai luka ringan di kulit saja, iapun melompat keluar jendela sambil menjinjing pedangnya.

   Tujuannya sama dengan Liu Beng, memburu orang Hek-eng-po tidak peduli sampai ke sarang mereka.

   "Hendak ke mana, Suheng?"

   Tanya Liu Jing-yang.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mengejar musuh,"

   Sahut Sebun Hiong ringkas.

   Tubuhnya yg tinggi besar melejit dengan ringan ke atas genteng dan segera melesat ke depan bagaikan angin.

   Mendadak timbul pikiran Liu Jing-yang untuk membereskan rencananya itu.

   Maka diapun menjinjing pedangnya untuk menyusul Sebun Hiong.

   Setelah pertempuran usai, barulah pegawai penginapan itu berani menampakkan diri.

   Mereka membawa ember, kaitan, karung basah dan lainnya untuk membantu memadamkan api.

   Sedangkan Ci-sian Hwesio bertiga menjadi sibuk mengobati yg luka, tidak peduli kawan atau lawan.

   Sementara itu, dalam jarak belasan langkah, Sebun Hiong dan Liu Jing-yang terus berlompatan ke arah yg sama.

   Dari atap rumah yg satu ke atap rumah yg lain selincah tupai.

   Dalam hati, Liu Jing-yang hanya tertawa dingin saja.

   Ia sadar sepenuhnya bahwa pengejaran itu sia, lawan sudah tak tampak lagi jejaknya.

   Pengejaran itu hanya bersifat pelampiasan kemarahan saja.

   Tapi Liu Jing- yang tidak berkata apapun kepada Sebun Hiong, ia mengikut saja dari belakang.

   Ban-siong-tin hanya sebuah kota kecil, bahkan tembok kota pun tidak ada.

   Maka setelah berlompatan sekian lama, dua saudara ipar itu tiba di luar kota.

   Tidak terlihat musuh sebatang hidungpun, hanya kegelapan malam di segala arah, dan kesunyian.

   "Iblis Hek-eng-po! Keluarlah dan hadapi aku dengan jantan!"

   Sebun Hiong ber- teriak dengan menggunakan sepasang telapak tangannya sebagai corong, pedangnya disarungkan di pinggang.

   Tapi hanya desir angin yang meng-goyangkan pohon cemara yg menjawab teriakannya tersebut.

   Liu Jing-yang menghunus pedangnya dan melangkah mendekati Sebun Hiong sambil berkata.

   "Hatilah, Suheng. Mereka licik dan banyak akalnya...."

   "Aku justru mengharap mereka muncul."

   Dengan pedang terhunus, Liu Jing-yang meng-amati segala arah seolah ikut mencari musuh. Tiba telunjuknya menuding ke satu arah sambil berseru.

   "Suheng, lihat!"

   Sebun Hiong cepat berputar ke arah yg ditunjukkan Liu Jing-yang, tangannya cepat meraih gagang pedang yg hendak dicabutnya.

   Tapi di arah yg ditunjukkan itu tidak ada suatu gerakanpun, jangkrik melompat pun tidak ada.

   Yang terasa dingin dan pedih adalah punggungnya ketika pedang Liu Jing-yang tak terduga amblas di punggung sampai tembus ke bagian depan tubuh.

   "Sute!"

   Ia berteriak kaget, memutar tubuh menghadapi Liu Jing-yang.

   Pandangan matanya penuh rasa penasaran dan marah, juga tak percaya bahwa ia mati di ujung pedang adik seperguruannya sendiri yg pernah ditolongnya ketika hampir gila karena melatih ilmu sesat.

   "Ke.....napa...?"

   Tubuhnya yg gagah tegap itu tersentak dan terhuyung roboh ketika Liu Jing-yang mencabut pedangnya dengan gerak menyentak dan sekaligus memperlebar luka di punggung maupun dada Sebun Hiong.

   Tubuh sang pendekar muda roboh ke tanah dan lukanya memancarkan darah seperti sebuah parit kecil.

   Tapi Sebun Hiong yg berdaya taha kuat itu tidak segera mati, ia masih menggeliat sedikit di rerumputan, bibirnya ber-gerak.

   "Liu.... Sute...., kena.... pa kau.... laku....kan....."

   Liu Jing-yang tertawa dingin.

   "Sebab aku harus membangun kembali Liu-keh-chung menjadi sepuluh kali lebih besar dan jaya daripada yg dulu. Untuk itu, semua yg dimiliki keluarga Sebun haruslah jatuh ke tanganku lebih dulu, sebagai ahli waris satunya setelah anak laki keluarga Sebun tiada...!"

   Wajah Sebun Hiong pucat karena kehilangan banyak darah, semakin pucat di bawah cahaya rembulan sepotong. Katanya ter-bata.

   "Bukan....kah, kami.... juga siap.... membantu....mu memba....ngun kembali.... Liu-keh......"

   Liu Jing-yang tertawa tanpa perasaan.

   "Ya, kalian juga siap membantu. Tapi itu rencana kalian, dan aku sudah bosan menjadi menantu pajangan yang hanya meng- anggukkan kepala mendengarkan rencana kalian. Akulah sekarang yg akan pegang kendali, rencanaku lah yg akan berjalan! Supaya kau tidak mati penasaran, sekalian aku beritahu bahwa ayahmupun kelak akan kusingkirkan sehingg akulah penguasa harta milik keluarga Sebun!"

   Mata Sebun Hiong terbelalak, lalu kepalanya terkulai dan nyawanya melayang.

   Dingin sekali Liu Jing-yang menatap tubuh kakak ipar sekaligus suhengnya itu.

   Disepaknya tubuh itu beberapa kali untuk meyakinkan bahwa benar sudah mati.

   Sekilas timbul niat di hatinya untuk mencari sepotong besi guna menghancurkan tengkorak kepala Sebun Hing agar dikira Liu Beng yang melakukannya sehingga dia dapat memfitnah kacung yg dibencinya itu lalu kemudian dapat dihukum mati oleh Sebun Him.

   Namun sebelum hal itu dapat dilakukannya, dari arah barat Ban-siong-tin ada serombongan pegawai keluarga Sebun yg masih hidup, membawa obor dan senjata, bergerak menuju tempat itu.

   Liu Jing-yang terkejut, ia tidak ingin dipergoki sedang membawa pedang berlumuran darah, sementara di dekatnya tergeletak mayat Sebun Hiong yg belum dingin.

   Dengan gerakan selincah kelinci liar ia melompat berlari ke arah lain.

   Pegawai keluarga Sebun akhirnya sampai di tempat itu dan menemukan mayat Sebun Hiong, dan terkejutlah mereka.

   Alangkah hebatnya kemarahan Tuan Besar mereka nanti kalau dikabari kematian anak lelaki tunggalnya.

   Mungkin sang majikan akan mengumumkan "perang terbuka"

   Dengan Hek- eng-po, dan itu berarti semua pegawai yg selama ini sudah dilatih silat akan terjun langsung dalam kancah pergolakan.

   Orang itu segera menggotong mayat Sebun Hiong kembali ke penginapan dengan perasaan sedih dan gusar.

   Tapi apalah daya, sebab musuh sudah menghilang entah ke mana.

   Setelah orang itu pergi, tempat itu menjadi sunyi kembali.

   Namun sesaat kemudian ada sesosok tubuh yg tadinya bertiarap di rerumputan mulai ber-gerak sedikit.

   Kepalanya yg kotor oleh rumput dan rontokan daun cemara terangkat sedikit dan meoleh ke kiri-kanan, lalu pundaknya, dan akhirnya seluruh badannya.

   Seorang lelaki setengah abad yg wajahnya cukup berwibawa, karena dia adalah Auyang Peng-Hong yg berjuluk Lam-ih Kiam- khek (jago pedang berbaju biru), ketua Ki-lian- pai.

   Apa yg terjadi antara Sebun Hiong dan Liu Jing-yang tadi sudah didengar dan dilihatnya semua.

   Sejak ia gagal membunuh Sebun Hiong dengan menyewa tenaga Hong-san-pat-sat (delapan algojo Hong-san), ia diam masih membuntuti rombongan keluarga Sebun untuk mencari peluang lain.

   Ketika melihat Sebun Hiong berlompatan di atas genteng keluar Ban- siong-tin, ia mengikutinya diam untuk maksudnya itu.

   Tapi sudah tentu ia tidak akan menyerangnya secara ber-hadapan sebab dirinya tak mungkin menang melawan Sebun Hiong, ia hanya bersembunyi sambil menunggu kesempatan untuk menyergapnya.

   Tak terduga Liu Jing-yang menyusul dan tanpa bantuannya ia sudah membunuh Sebun Hiong.

   "Bukan main kau, Liu Jing-yang...."

   Desis Auyang Peng-hong dalam hati.

   "Apapun sanggup kau lakukan untuk mencapai ambisimu...."

   Namun tiba Auyang Peng-hong tersenyum sendiri dan meng-angguk puas. Pikirnya.

   "Bagus, sekarang aku punya senjata untuk menekan Liu Jing-yang agar tunduk kepadaku. Akulah saksi tunggal pembunuhan Sebun Hiong, Liu Jing-yang harus tunduk kepadaku. Kalau tidak, aku ancam akan mengadukan semua perbuatannya ini kepada Sebun Him, mertuanya. Ha-ha..... ternyata aku juga tidak kalah cerdasnya dari dia....."

   Puas akan rencananya sendiri, diapun kemudian meninggalkan tempat tersebut secara diam.

   *Oz* BAGIAN TIGA PULUH LIMA Ketika mayat Sebun Hiong sampai di penginapan, ternyata Liu Jing-yang sudah kembali lebih dulu di penginapan tersebut.

   Kedatangan mayat itu disambut dengan isak tangis orang keluarga Sebun, terutama Sebun Giok.

   Kutukan dan caci-maki ke alamat Hek- eng-po segera berhamburan.

   Liu Jing-yang memeluk jenazah Sebun Hiong sambil ber- pura menangis sedih dan bahkan ia kemudian ber-pura pingsan.

   Tiga pendeta Siau-lim-si repot menghibur mereka, tapi juga repot mencegah mereka yg bernafsu ingin mencincang tiga tokoh Jing-liong-kok yg masih hidup sebagai tawanan di bawah perlindungan tiga pendeta itu.

   Sementara itu, A-liu yang baru kembali dari toko kain milik Lau Hong juga tidak memperoleh keterangan yang memuaskan tentang di mana Lau Hong saat itu.

   keluarganya hanya menagis dan mengatakan bahwa Lau Hong tidak pulang sejak tadi siang.

   Namun ketika A-liu kembali ke penginapan dan diberitahu bahwa Sebun Hiong sudah tewas "dibunuh orang Hek-eng-po", maka kepala A-liu serasa hampir pecah karena bingungnya menghadapi persoalan yang ber- tubi yg serba di luar rencana.

   Jalan satunya ia menyelinap keluar tanpa diketahui siapapun, berganti pakaian dengan pakaian lelaki lalu kabur se-jauhnya.

   Ia tidak tahu bagaimana harus menerangkan kepada Hek-eng Pocu tentang peristiwa tersebut, maka ia berharap dalam pelariannya ini ia tidak akan lagi bertemu dengan majikan Hek-eng-po atau begundalnya yg lain.

   Kalau perlu kabur ke pulau Taiwan, atau menyeberang perbatasan Burma sampai ke Malaka.

   Pokoknya se- jauhnya.

   Ketika pakaian wanita A-liu diketemukan orang, maka A-loan dan A-hui semakin sedih.

   Mereka mengira tentu A-liu telah "diperkosa"

   Orang Hek-eng-po lalu mayatnya dibuang entah ke mana...

   Karena Sebun Giok tidak bisa berbuat lain daripada menangis di sisi mayat kakaknya, sementara Liu Jing-yang juga hanya bisa mengutuk dan mencaci-maki Hek-eng-po, maka Liu Beng si Huciangkui yang ambil tindakan untuk mengurus keperluan seluruh rombongan.

   Biarpun malam sudah larut, sebuah toko penjual peti mati di Ban-siong-tin digedor pintunya, dan hampir semua peti mati persediaan dalam toko itu diangkut ke penginapan.

   Selain Sebun Hiong dan A-cui, ada tujuh orang pegawai keluarga Sebun yang tewas dalam keributan tersebut.

   Karena Liu Beng membayar harga peti mati tanpa banyak cing- cong lagi, maka si penjual peti mati sangat senang dan dalam hati berharap mudahan ada orang mati lagi.

   Mayat orang Hek-eng-po dan Jing- liong-kok terpaksa diurus oleh tiga pendeta Siau-lim-si, sebab orang keluarga Sebun tidak mau mengurusnya, malah beberapa pengawal keluarga Sebun menendangi mayat mereka.

   Ketika dini hari, barulah semua persiapan selesai.

   Hasil perundingan antara Liu Beng dengan tiga pendeta Siau-lum-si membuahkan kesepakatan.

   Liu Beng akan tetap bersama rombongan keluarga Sebun yg sudah susut banyak untuk kembali ke Se-shia membawa jenazah yg sudah diolesi obat pengawet dengan kereta sewaan di Ban- siong-tin.

   Sedangkan tiga pendeta Siau-lim-si akan kembali ke Siong-san sambil membawa tiga tawanan yg masih hidup untuk melaporkan peristiwa itu kepada Pun-bu Hwesio.

   Juga kepada Sebun Him dan ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou yg sudah berkumpul di Siong- san semua.

   Liu Beng, atas nama keluarga Sebun mengucapkan terima kasih kepada tiga pendeta Siau-lim-si atas bantuan mereka.

   Meskipun malamnya sempat berselisih pendapat tentang tiga tawanan Jing-liong-kok itu.

   Tidak menunggu sampai fajar menyingsing, dua rombongan itu berpisah meninggalkan Ban-siong-tin.

   Liu Beng dan rombongan berkabungnya menuju pulang ke Se-shia di propinsi Siam-sai, sedang tiga pendeta Siau-lim-si dan tawanannya pulang kembali ke Siong-san.

   Baik Liu Beng maupun ketiga pendeta itu tidak tidur sekejap matapun malam itu, namun dengan daya tahan tubuh mereka yg tinggi berkat latihan silat, mereka masih sanggup berjalan jauh meskipun agak mengantuk.

   Sejak matahari terbit sampai matahari hampir terbenam, tiga pendeta Siau-lim-si melangkah tanpa istirahat, bahkan juga tidak berhenti untuk makan atau minum siang.

   Sampai sore, langkah kaki mereka tetap sama tegapnya dengan ketika mulai berangkat.

   Melihat itu saja, tiga tawanan Jing- liong-kok yg masing diseret di atas sebuah gerobak satu oleh pendeta itu, menjadi sadar akan dua hal.

   Pertama, ketangguhan jasmaniah pendeta Siau-lim-si itu adalah buah dari hidup dan latihan yg teratur.

   Kedua, biarpun pendeta itu berilmu tinggi, namun mereka semua memiliki watak belas kasihan kepada sesama, sehingga suka merawat mereka bertiga yang merupakan bekas penjahat.

   Mungkin juga pendeta itu pernah membunuh dalam suatu pertempuran, tapi tentu dilakukan karena dalam keadaan terpaksa sekali dan dengan hati yang penuh sesal.

   Bukan membunuh secara se-wenang untuk mencari kepuasan.

   Sehari dalam perjalanan, timbul perubahan dalam batin ketiga penjahat itu.

   Rasa benci terhadap tiga pendeta Siau-lim-si yg melukai mereka, bahkan menewaskan satu dari antara mereka, berkurang banyak dan berubah menjadi rasa hormat dan terima kasih.

   Mereka mulai memahami ajaran kaum Siau-lim-si yg terkenal.

   Kekuatan tanpa cinta kasih adalah kezaliman, cinta kasih tanpa kekuatan adalah kelemahan, kekuatan yang berlandaskan cinta kasih adalah kemenangan.

   Kini ketiga penjahat itu merasa dikalahkan oleh pendeta itu, bukan hanya dikalahkan dalam hal ilmu silat, tapi tunduk sampai ke dalam batin.

   Hati kecil mereka sendiri yang menuntut untuk merubah cara hidup lama, dan mereka akan memenuhi tuntutan tersebut.

   Ketika hari gelap, mereka menumpang istirahat di sebuah wihara kecil yg merupakan cabang Siau-lim-si di Siong-san.

   Meskipun kepala wihara itu juga murid Siau-lim-si yg pandai bersilat, namun muridnya di wihara tersebut menitik-beratkan kepad pelajaran agama saja.

   Silat yang diajarkan paling cuma Tam-cap Hoa-hong yang hanya bisa untuk gerak badan agar sehat, bukan untuk berkelahi.

   Di tempat itu, Wi Ciok bertiga dirawat kembali lukanya, diganti obatnya, diganti perbannya, diberi makan, dan diajak ber- cakap dalam banyak hal.

   Tak terjadi apapun malam itu, meskipun tiga tawanan itu hampir tidak bisa tidur karena gelisah, membayangkan orang Hek-eng-po tiba muncul untuk membunuh mereka karena pernah menunjukkan sikap ragu dalam pertempuran kemarin malam.

   Ketika fajar menyingsing, perjalanan ke Siong-san diteruskan lagi.

   Jarak dengan gunung terkenal itu tidak jauh lagi, diperhitungkan sebelum sore mereka sudah akan tiba di Siau-lim-si.

   Ketika perjalanan hendak diteruskan, Song Liang, orang ke tiga dari keempat gembong Jing-liong-kok itu mendadak merasa tidak enak sendiri kalau dirinya terus-menerus dinaikkan gerobak seperti kakek jompo saja.

   Ia menawarkan diri untuk berjalan kaki, bahkan untuk menyeret gerobak yang memuat salah satu rekannya.

   "Bagaimana dengan lukamu sendiri?"

   Tanya Ci-sian Hwesio kepada Song Liang.

   "Baik, Toasuhu. Aku malah akan merasa kurang sehat kalau berbaring saja seharian tanpa gerakkan apapun."

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baik, tapi kalau merasa lukamu sakit kembali, jangan memaksakan diri."

   Song Liang membungkuk hormat dengan tulus, penuh rasa terima kasih karena dirinya diperlakukan bukan sebagai tawanan, tetapi sebagai sahabat.

   Pikirannya untuk kabur di tengah jalan malah sirna dari benaknya.

   Lagipula, selagi terancam oleh Hek-eng-po, kuil Siau-lim-si bisa menjadi tempat perlindungan yang aman, meskipun di kuil itu mereka akan mendapat pekerjaan kasar, mengangkut air atau membelah kayu bakar.

   *Oz* Bersambung ke

   Jilid 31 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 31 Perjalanan dilanjutkan, menyongsong ke arah bulatan besar kuning emas di cakrawala timur, diiringi nyanyian unggas di pepohonan.

   Mereka semuanya memakai topi rumput yg ditundukkan bagian depannya untuk menahan cahaya matahari yang tajam langsung ke mata mereka.

   Di tengah perjalanan mendadak terdengar derap tiga ekor kuda dari arah belakang mereka.

   Para bekas penjahat Jing- liong-kok itu berpaling dengan wajah tegang, mengira orang Hek-eng-po memburu mereka.

   Meskipun senjata mereka telah dilucuti, namun mereka lega melihat tiga pendeta Siau-lim-si itu masih pegang senjata dan siap membela mereka.

   Ternyata tiga orang penunggang kuda itu tidak ada potongannya sebagai orang Hek- eng-po yg rata bertampang ganas.

   Seorang pemuda tampan yang punggungnya menggendong pedang dan dua orang gadis cantik yang pinggangnya digantungi pedang pula.

   Salah seorang dari gadis itu agak menyolok penampilannya, sebab pakaiannya serba putih, kuda tunggangannya juga putih mulus, rumbai pedangnya putih bahkan ekor anak panah yang tergantung di pelana itupun berbulu putih semua.

   Tiba di hadapan rombongan Ci-sian Hweshio, ketiga penunggang kuda itu melompat turun.

   Si pemuda tampan member hormat dan bicara mewakili temannya.

   "Maafkan kalau kami mengganggu perjalanan para Suhu, kami hanya ingin bertanya, masih jauhkah jarak gunung Siong-san dari sini?"

   Sahut Ci-sian Hweshio.

   "Perjalanan setengah hari juga akan sampai kalau kalian berkuda dengan kecepatan sedang saja. Bolehkah kami mengetahui keprluan apakah kalian hendak menuju Siong-san?"

   Si pemuda melihat jubah Ci-sian Hweshio bertiga serta tasbeh hitam yang melingkari leher mereka segera tahu bahwa tiga orang itu adalah pendeta Siau-lim-si.

   Tapi entah siapa tiga orang lainnya yang bertampang ganas, meskipun dua dari antara mereka terbaring luka di atas gerobak dorong.

   Mengingat persahabatan ayahnya dengan Pun-bu Hweshio, sesepuh Siau-lim-si, maka pemuda itu menjawab terus-terang.

   ""Ayahku sudah lebih dulu berada di Siong-san, karena itu akupun menyusul untuk bergabung dengan ayahku. Nama ayahku....."

   Belum sampai si pemuda menyebutkan nama ayahnya, terbukalah pikiran Ci-sian Hweshio. Sikapnya yang resmi berubah menjadi ramah dan akrab.

   "Ayah tuan tentunya adalah Hwe-liong Pangcu Tong Lam- hou. Tuan sendiri tentunya adalah puteranya yang bernama Tong Gin-yan, betul?"

   Tong Gin-yan tersenyum.

   "Mata Suhu sungguh tajam. Aku memang putera Hwe-liong Pangcu. Dan menilik dandanan serta senjata Suhu bertiga, tentunya Suhu bertigalah yang disebut Siau-lim-hok-mo-sam-tiang-ceng (tiga pendeta bertongkat penakluk iblis dari Siau- lim), pembasmi kejahatan yang namanya terkenal di tiga propinsi Holam, Hopak, dan Shoatang. Benarkah?"

   Memang itulah julukan Ci-sian Hweshio bertiga yang didapatkan karena pengembaraan mereka membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan.

   Kedua pihak sama memberi hormat.

   Tong Gin-yan lalu memperkenalkan kedua teman seperjalanannya, yang satu adalah Pakkiong Eng puteri Panglima Hui-liong-kun Pakkiong Liong dari Pak-khia, satunya lagi Auyang Siau-hong puteri Ketua Ki-lian-pai.

   Mendengar tentang puteri Pakkiong Liong, alis Ci-sian agak berkerut karena Pakkiong Liong masih dianggap sebagai "panglima penjajah bangsa Manchu"

   Oleh sebagian orang Han.

   Tapi kalau Ci-sian Hweshio ingat bahwa di Siau-lim-si sendiri ada seorang murid Manchu pula, bahkan seorang pangeran, maka iapun tidak dapat menentukan sikap keras.

   Batas antara Manchu dan Han memang semakin lama semakin kabur karena banyaknya perkawinan campuran.

   Bahkan ibu kandung dari Kaisar Khong-hi, Kaisar Manchu yang bertahta di masa itu, adalah seorang berdarah Han yang bergelar anumerta Hau- kong Hong-hou, sehingga Kaisar Manchu itu berdarah separuh bangsa Han.

   "Suhu, apakah ayahku sudah tiba di Siong-san?"

   Tanya Tong Gin-yan kemudian. Ci-sian mengangguk.

   "Benar, Tong- heng. Sepuluh hari yang lalu ayahmu sudah ada di Siong-san. Dua hari kemudian Sebun Taihiap dari Se-shia juga sudah tiba."

   Mendengar Sebun Him juga sudah berada di Siong-san, seketika alis Tong Gin- yan, Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong mengerut tajam.

   Mereka kabur ter-birit dari kampung liong-coan karena merasa tidak aman berdekatan dengan Sebun Him.

   Juga mencari bantuan bagi Bhe Un-liang dan penduduk Liong-coan yang selangkah demi selangkah digiring untuk dijadikan kekuatan pendukung salah satu pangeran yang bersaing di Pak-khia.

   Tapi kini, baru saja mereka mendekati Siong-san, mereka sudah mendengar bahwa Sebun Him juga sudah berada di gunung itu mendahului mereka.

   Ci-sian Hweshio heran melihat perubahan air muka Tong Gin-yan bertiga, namun tidak menanyakannya.

   Mereka bersembilanpun kemudian berjalan bersama menuju Siong-san.

   Tong Gin- yan bertiga tidak lagi menaiki kuda mereka tetapi hanya menuntunnya, meskipun Ci-sian Hweshio sudah mempersilahkan untuk mendahului ke Siong-san.

   Siong-san memang tidak jauh lagi.

   Karena itu meskipun Auyang Siau-hong serta bekas tiga penjahat Jing-liong-kok yang daya tahannya kurang kuat itu merasakan kaki mereka hampir patah namun sebelum sore tiba jugalah mereka di kaki sebuah gunung yang seolah diselimuti beludru hijau kalau dilihat dari kejauhan, sebab tumbuhnya pohon cemara yang rapat.

   Di tengah lautan cemara tersebut, puncak atap wihara besar nampak seperti pulau di tengah danau hijau.

   Itulah Siau-lim-si yang didirikan oleh Tat-mo Cousu di jaman Lam-pak-tiau, lebih dari seribu duaratus tahun silam.

   Tempat yang begitu sejuk dan tenang, rasanya orang sulit percaya bahwa tempat itu merupakan sumber kekuatan yang disegani di dunia persilatan.

   Ci-sian Hweshio langsung membawa tamu dan ketiga tawanan untuk mendaki Siong-san di jalan setapak yang memutari pinggang gunung di arah timur.

   Berdasar peraturan wihara yang sudah ditetapkan selama ratusan tahun sebelumnya, kaum wanita tidak diperkenankan masuk wihara.

   Tapi mereka tidak menuju ke wihara, melainkan ke tempat Pun-bu Hweshio yang di luar wihara, di lereng timur Siong-san, berjarak lebih dari empat li dari kuil, sehingga Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong tidak akan mengalami kesulitan lebih lanjut dengan peraturan lama itu.

   Tengah mereka berjalan berurutan menyusur jalan setapak yang teduh karena lebatnya pohon cemara, tiba mereka melihat di lereng gunung itu ada seorang anak lelaki tanggung sedang berlatih silat sendirian.

   Usianya antara duabelas atau tigabelas tahun, pakaiannya sederhana, namun wajahnya tampan bercahaya, terutama sepasang matanya kelihatan cerdik sekali.

   Dengan sebatang pedang yang terlalu besar dibandingkan tubuhnya yg masih pendek, ia memainkan jurus Tat-mo-kiam- hoat (ilmu pedang Tat-mo gaya Siau-lim-pai).

   Lincah dan tepat namun masih kurang tenaga karena usianya yang masih sangat muda.

   "Anak yang cerdas dan berbakat,"

   Tong Gin-yan berdesis.

   "Siapakah anak itu?"

   Ci-sian Hweshio menyahut kurang bergairah.

   "Dia murid paling muda dari Pun-bu Susiok, namanya Ni Keng-giau. Nakalnya bukan main."

   Ada nada kurang suka dalam ucapan Ci- sian Hweshio itu, Ci-hian Hweshio yang berangasan malah sudah menggeram gemas dan membuang muka.

   Sedang Ci-sim Hweshio mengerut alis.

   Si anak tanggung Ni Keng-giau sendiri ketika melihat rombongan Ci-sian Hweshio segera menghentikan latihannya.

   Dengan lompatan lincah ia menyongsong ke hadapan Ci-sian Hweshio dengan pedang tetap terhunus.

   "Suheng!"

   Serunya.

   "Kau sudah kembali? Wah, ada tamu sebanyak ini?"

   Janggal juga seorang anak begitu muda memanggil "suheng"

   Kepada seorang pendeta berusia hampir empat puluh tahun seperti Ci- sian Hweshio, namun demikianlah peraturannya.

   Karena Ni Keng-giau murid Pun- bu Hweshio, sedang Pun-bu Hweshio seangkatan dengan guru Ci-sian Hweshio, maka Ci-sian dan Ni Keng-giau jadi seangkatan dalam perguruan.

   Diam Tong Gin-yan dan lainnya tertawa dalam hati, mungkin inilah urusan yang membuat Ci-sian Hweshio tak senang.

   Setelah cukup dekat, memang wajah anak tanggung ini sangat menyenangkan.

   Anak gadis umumnya, seperti Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong yang tidak punya adik lelaki, langsung dengan gampang merasa sayang kepada bocah ini.

   Sebaliknya Ci-sian Hweshio dengan wajah angker berkata.

   "Sute, selama kau latihan pedang, berapa nyawa burung, kelinci, rusa, dan hewan tak berdosa lainnya yang kau bunuh?"

   "Belum seekorpun,"

   Sahut Ni Keng-giau dalam nada kegembiraan kanak-kanaknya, tak peduli sikap angker Ci-sian Hweshio.

   "Sejak pagi aku latihan di sini, belum aku temui seekor binatangpun sebagai sasaran pedangku...."

   "Tentu saja tidak ada!"

   Bentak Ci-sian Hweshio.

   "Semua sudah habis kau bunuh, bahkan anak burung yang belum bisa terbang juga pernah kau bakar hidup bersama sarangnya bukan?"

   Tapi Tong Gin-yan bertiga merasa sikap Ci-sian Hweshio kelewat keras terhadap Ni Keng-giau, meskipun kalau benar apa yang dilakukan oleh Ni Keng-giau seperti kata Ci- sian Hweshio, maka bocah itu agak "berbakat"

   Menjadi seorang kejam dan berdarah dingin. Hanya saja mereka tidak mau ikut campur urusan dalam perguruan orang lain. Ni Keng-giau cengar-cengir saja dengan bandelnya, bentakan kemarahan Ci-sian Hweshio itu nyaris tak berpengaruh apapun terhadapnya.

   "Ah, burung dan hewan lainnya itu, biarpun setiap hari kita bunuhi juga takkan habis, kenapa Suheng semarah itu?"

   Katanya membela diri.

   "Karena merekapun makhluk yang berhak hidup!"

   Jawaban Ci-sian Hweshio masih bernada kemarahan.

   Ni Keng-giau menyeringai, matanya tiba tertarik kepada tiga penjahat Jing-liong- kok.

   Melihat keadaan mereka yang babak- belur, bahkan dua dari mereka masih terbaring di atas gerobak roda satu, Ni Keng-giau tiba bertanya.

   "Eh, Suheng, siapa mereka?"

   "Pemimpin Jing-liong-kok."

   Sahut Ci- sian Hweshio dingin.

   "Orang Jing-liong-kok? Aku pernah mendengar dari orang di kota Teng-hong bahwa merekalah gerombolan perampok yang jahat, kenapa di-bawa ke tempat kita?"

   Tanya Ni Keng-giau, nada perkataannya malah berbalik menyalahkan Ci-sian Hweshio bertiga.

   "Tapi malah kebetulan bagiku. Bisa untuk sasaran latihan jurus Kim-ciam-toh-jiat (jarum emas menantang maut) yang masih kurang lancar...."

   Habis katanya, tubuhnya melejit ke depan dengan cepat dan pedangnya menikam ke dada Song Liang yang pundaknya masih dikalungi tali penyeret gerobak dan kedua tangannya masih memegangi kayu pendorong.

   Jelas peluangnya untuk membela diri kecil sekali, sedangkan Ni Keng-giau nampak tidak ragu sedikitpun menikamkan pedangnya.

   Suatu hal luar biasa untuk anak seusianya.

   Namun ujung pedang tertahan oleh gigi garu besi Ci-hian Hweshio yang diayun dari samping untuk melindungi tawanannya.

   Langsung dipuntir dan disentakkan sehingga lepas dari tangan Ni Keng-giau, melayang ke atas dan menancap di dahan sebuah pohon yang tinggi.

   Bahkan karena merasa jengkel dengan kekejaman adik seperguruan ciliknya itu, kaki Cihian Hweshio langsung mendupak pinggul Ni Keng-giau.

   Tidak terlalu kuat, namun cukup membuat bocah itu ter-guling beberapa langkah.

   "Suheng jahat, tunggu pembalasanku!"

   Ni Keng-giau bangun dan berlari menjauh dengan agak ter-pincang, dan menghilang di bayangan pohon cemara tanpa menghiraukan pedangnya.

   Tiga pendeta menarik napas menahan kejengkelan mereka, tapi mereka tidak mengejar.

   Hanya Ci-sian Hweshio berkata.

   "Mulai sekarang, kami bertiga tidak dapat lagi melewati hari dengan perasaan tenteram...."

   "Lho, kenapa begitu?"

   Pakkiong Eng tak dapat menahan mulutnya untuk tidak bertanya.

   Ia merasa heran, menghadapi seorang bocah cilik saja kenapa seolah menghadapi Majikan Hek-eng-po yang amat ganas? "Ya, karena bocah itu pasti akan membalas mengganggu kami dengan ber- macam cara liciknya, namun sulit untuk menangkap dan menggebuknya sebab Pun-bu Susiok sangat menyayanginya.

   Pernah seorang hweshio menghukumnya dengan mengikat tubuhnya di pohon, sebab Ni Keng-giau tertangkap basah sedang menyiksa seekor anak rusa.

   Apa yang terjadi? Tiga hari kemudian, hweshio itu sedang memikul air dari kaki gunung, dan di sebuah tikungan tiba menggelundunglah batu besar secara aneh, menghantam lutut si hweshio sehingga cedera berat, dan ketika lukanya sembuh ia menjadi pincang seumur hidup.

   Itu hanya satu contoh, masih ada lagi belasan contoh yang tak bisa disebut satu-persatu karena ceritanya terlalu panjang."

   Orang yang mendengarkannya tentu akan menganggap Ci-sian Hweshio bercerita berlebihan seandainya tadi tidak menyaksikan sendiri bagaimana si bocah tampan menikam Song Liang tanpa rasa ragu sedikitpun, untung bisa digagalkan.

   Pakkiong Eng serta Auyang Siau-hong yang tadinya merasa senang melihat si bocah yang lincah dan lucu, kini rasa senangnya jadi berkurang beberapa bagian.

   Mereka mulai setuju bahwa si bocah harus diajar lebih keras.

   Sedangkan Song Liang bertiga mengeluh dalam hati.

   Tadinya mengira Siau- lim-si atau gunung Siong-san adalah tempat perlindungan yang aman, hanya dipenuhi pendeta alim.

   Tak terduga, di Siong-san ternyata ada seorang "bocah setan"

   Semacam Ni Keng-gaiu.

   Mereka juga ber-debar karena tahu sebentar lagi akan bertemu dengan Sebun Him, sang pendekar besar, padahal mereka baru saja ikut sebagai komplotan yang berusaha membunuh anak Sebun Him.

   Tapi sebagai tawanan, mereka benar tak berkutik, ingin kabur juga sudah terlambat, ibaratnya tak ada pintu keluar lagi.

   Dengan perasaan pasrah, mereka bertiga dibawa oleh Ci-sian Hweshio mendaki lereng timur Siong-san.

   Sementara dalam hati Tong Gin-yan, Pakkiong Eng, dan Auyang Siau-hong juga timbul keheranan, Pun-bu Hweshio yang terkenal welas asih dan bijaksana itu kenapa mendidik seorang murid macam Ni Keng-giau? Apa ingin menciptakan seorang durjana lagi semacam majikan Hek-eng-po? Ci-sian Hweshio agaknya paham akan keheranan tiga tamunya itu, sehingga sambil berjalan maka diapun menerangkan.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dua tahun yang lalu, dalam pengembaraannya, Pun-bu Susiok menemukan bocah itu dan diajak pulang ke Siong-san untuk dididik. Susiok pintar meramalkan wajah orang, dia menganggap Ni Keng-giau punya cahaya wajah akan menjadi seorang berpangkat dan berkuasa besar di kemudian hari. Sayang, pendidikannya dalam keluarganya tidak beres, ia terlalu dimanjakan karena ayahnya seorang kaya-raya, bujang pembantunya tak ada yang mencegah kenakalannya. Banyak orang tak bersalah telah menderita gara kenakalannya. Maka Susiok lalu mohon kepada orang tuanya agar diperbolehkan membawa Ni Keng-giau kemari untuk dididik lebih baik. Agar dengan bakatnya, kecerdasannya, serta masa depannya yang diramalkan gemilang, dia kelak bisa menjadi manusia yang berguna bagi kesejahteraan manusia, bukannya malah menjadi bencana besar."

   Semua yang mendengar penjelasan itupun mengangguk-angguk, mencoba mengerti alasan Pun-bu Hweshio menerima murid Ni Keng-giau. Namun Ci-hian Hweshio yang berangasan itu telah menggeram menyambung keterangan Suhengnya.

   "Tapi menurut pendapatku, Pun-bu Susiok hanya membuang tenaga, pikiran, dan waktu saja. Bocah berwatak iblis itu tak mungkin berubah menjadi baik. Ia bukan hanya nakal, tapi jahat sekali. Usaha memperbaikinya akan sama mustahilnya dengan memindahkan gunung Siong-san ke propinsi lain. Harusnya dicacatkan saja, barulah orang lain akan aman."

   Dalam hati Pakkiong Eng kurang setuju pendapat si Hweshio berangasan itu.

   perasaan halus kewanitaannya menentang hukuman yang begitu keras terhadap seorang anak, hanya berdasarkan ramalan yang bisa meleset ditambah kelakuan nakal dari anak itu.

   Ni Keng-giau toh masih seorang bocah yang masih bisa dididik dan diarahkan ke jalan yang baik.

   Sambil ber-cakap, mereka tiba di sebuah lapangan rumput yang luas, sekitarnya dinaungi pohon cemara dan pohon bunga kecil yang menyegarkan pemandangan.

   Di seberang lapangan ada beberapa buah rumah kayu yang seluruhnya terbuat dari kayu cemara, sehingga keberadaannya serasa lebur dalam suasana damai itu.

   Di depan salah satu rumah kayu, di bawah naungan cemara, tiga orang sedang duduk mengitari sebuah meja rendah dari kayu cemara pula, dengan bangku cemara juga.

   Yang menghadap ke lapangan, sehingga wajahnya bisa langsung dilihat oleh Tong Gin- yan dan lain, adalah seorang pendeta tua berjubah kelabu, beralis dan berkumis-jenggot putih, kepalanya tidak gundul namun lebih tepat disebut berrambut pendek seperti rumput habis dipangkas, wajahnya berwibawa.

   Tak perlu disangsikan lagi dialah Pun-bu Hweshio yang kesaktiannya sama terkenalnya dengan Ketua Hwe-liong-pang yang duduk di sisi meja lainnya tanpa ketinggalan dengan pipa tembakaunya yang terus mengepulkan asap.

   Di seberang mejanya, duduk seorang lelaki setengah abad bertubuh gagah besar, berpakaian mewah sehingga kelihatan mencolok dibandingkan Pun-bu Hweshio dan Tong-lam-hou yang berdandan sederhana.

   Dia bukan lain adalah Sebun Him dari Se-shia.

   Ni Keng-giau si bocah nakal berdiri di belakang Pun-bu Hweshio dengan sikap yang diam dan alim.

   Tapi melihat Ci-sian Hweshio bertiga, dari belakang punggung gurunya ia menjulurkan lidah untuk mengejek.

   Tanpa menggubris ulah anak itu, Ci-sian Hweshio bertiga maju memberi hormat kepada Pun-bu Hweshio lebih dulu, lalu kepada Tong- lam-hou dan Sebun Him.

   Sedangkan Tong Gin- yan, Pakkiong Eng, dan Auyang Siau-hong menyapa hormat kepada Ketua Hwe-liong- pang lebih dulu, baru kepada Pun-bu Hweshio dan paling akhir kepada Sebun Him.

   "salamku untuk paman Sebun,"

   Tong Gin-yan membungkuk hormat, diikuti Pakkiong Eng dan Auyang Siau-hong.

   "Bagus ya? Kalian pintar membuat hatiku kebingungan ketika pada malam pertempuran itu kalian menghilang mendadak dari kampung Liong-coan,"

   Kata Sebun Him ramah, menyambut salam anak muda itu.

   "Sampai semalam suntuk aku mengaduk bukit dan hutan di sekitar Liong-coan untuk menemukan kalian...."

   Sudah tentu Tong Gin-yan bertiga tidak mau menyebutkan alasan sebenarnya yang mendorong mereka meninggalkan kampung Liong-coan secara diam.

   Mereka hanya tersenyum kecut menghadapi sikap ramah Sebun Him yang terasa palsu itu, kemudian berdiri di belakang Ketua Hwe-liong-pang.

   Sebenarnya waktu itu sedang berlangsung permainan tioki (catur) antara Ketua Hwe-liong-pang dengan Sebun Him, dengan Pun-bu Hweshio sebagai "wasit"nya.

   Tapi kedatangan rombongan Ci-sian Hweshio itu telah membuat perhatian berpindah kepada mereka bersembilan.

   Yang paling berminat adalah Sebun Him.

   Ia tahu bahwa Pun-bu Hweshio telah memerintahkan Ci-sian Hweshio bertiga untuk menjemput rombongan anaknya dari Se-shia, tapi ketika pendeta itu tidak datang bersama Sebun Hiong dan lainnya, malah membawa tiga manusia babak-belur dari Jing-liong-kok.

   Keruan Sebun Him jadi ber-tanya dalam hati.

   Pun-bu Hweshio lah yang kemudian menanyakan hasil tugas keponakan muridnya.

   "Kenapa kalian tidak datang bersama tamu dari keluarga Sebun?"

   Ci-sian Hweshio merasa lebih bijaksana kalau sebelum memberi laporan selengkapnya, ia "ungsikan"

   Dulu tiga gembong Jing-liong-kok ke tempat yang aman, agar bebas dari amukan Sebun Him yang mungkin takkan bisa mengendalikan diri kalau mendengar berita kematian anaknya. Ketika itulah ia berkata.

   "Susiok, tiga sicu dari Jing-liong-kok ini sedang terluka, bagaimana kalau diantar dulu ke dalam kuil untuk mendapatkan pengobatan seperlunya?"

   Pun-bu Hweshio merasa ucapan keponakan muridnya itu punya maksud tertentu yang lebih mendalam, maka diapun mengangguk dan berkata.

   "Baiklah. Biar diantarkan oleh Ci-sim dan Ci-hian."

   Ci-hian dan Ci-sim Hweshio memberi salam lalu meninggalkan tempat itu dengan menggiring tawanan tersebut.

   Ketiga tawanan itu merasa berterima kasih dalam hati karena mereka memahami maksud Ci-sian Hweshio tersebut.

   Biarpun mereka bertiga adalah pentolan yang biasa malang-melintang di sekitar Jing-liong-kok dengan se-wenang, tapi di hadapan orang macam Pun-bu Hweshio, Ketua Hwe-liong-pang dan lainnya, mereka sadar tak ubahnya seperti domba gemuk di depan moncong macan kelaparan.

   Sudah tentu Sebun Him tidak sabar ingin mendengar tentang rombongan keluarganya.

   Sudah dua malam ia bermimpi buruk tentang anak lakinya, namun ia masih mengharap dari mulut Ci-sian Hweshio akan keluar kabar yang baik.

   "Bagaimana dengan putera-puteriku?"

   Sebun Him berusaha bicara dengan nada sesabar mungkin meski hatinya bergejolak.

   "Dalam surat yang kuterima, katanya puteriku yang sedang mengandung cucu pertamaku itu juga ikut dalam rombongan...."

   "Sebun Taihiap, kami bertiga tiba di Ban-siong-tin, tepat pada saat rombongan keluarga Taihiap sedang diserang oleh sekelompok orang Hek-eng-po...."

   "Tidak mungkin!"

   Karena terperanjatnya, Sebun Him sampai melompat dari kursinya. Sedetik kemudian ia sadar bahwa kata "tidak mungkin"

   Tadi tentu kedengaran janggal, namun yang sudah keluar dari mulut tak bisa ditarik kembali, hanya bisa diperbaiki dengan tambal sulam.

   "Eh, maksudku...maksudku, tidak mungkin Hek- eng-po berani muncul di Ban-siong-tin, tempat yang sudah begitu dekat dengan Siong-san, apakah mereka berani menantang Siau-lim- pai?"

   "Teruskan laporanmu, Ci-sian..."

   Perintah Pun-bu Hweshio.

   Dengan singkat Ci-sian Hweshio menceritakan bagaimana ia dan dua adik seperguruannya langsung ikut bertempur di pihak keluarga Sebun.

   Semuanya mendengarkan dengan tegang, terutama Sebun Him.

   Juga Auyang Siau-hong, sebab dalam rombongan keluarga Sebun itu terdapat dua orang yang punya hubungan erat dengannya, yaitu Liu Jing-yang, kakak sepupunya, dan Liu Beng.

   Akhir cerita itulah yang mengejutkan.

   "..... kami sebenarnya berhasil mengusir pergi orang Hek-eng-po itu, meskipun seorang gadis pelayan keluarga Sebun yang bernama A-cui tewas terkena Liu-hong-hwe-tan yang disambitkan orang Hek-eng-po, tetapi......"

   Sebun Him yang dahaga akan berita keselamatan puter-puterinya itupun langsung memotong kata Ci-sian Hweshio dengan kesimpulannya sendiri.

   "Syukurlah kalau orang Hek-eng-po berhasil dipukul mundur. Tetapi bagaimana?"

   "Sebun Taihiap, puteramu telah melakukan suatu tindakan yang kurang hati, terbawa oleh kemarahannya. Dia lalu mengejar orang Hek-eng-po yang sudah kalah itu, dan.... dan....."

   Ci-sian Hweshio agak ragu melanjutkan.

   "Kenapa dengan puteraku?!"

   "Dia.... dia terperangkap di luar kota Ban-siong-tin dan tewas........"

   "Apa?!!"

   "Putera Taihiap diketemukan sudah gugur di luar Ban-siong-tin, ketika kami dan pegawai keluarga Sebun menyusulnya. Menilik luka di punggungnya, ia pasti diserang dengan licik dari belakang....."

   Berita tewasnya Sebun Hiong seperti guruh yang meledak sejengkal di atas meja catur, mengejutkan semua orang yang ada di situ.

   Pun-bu Hweshio menundukkan kepala dengan sikap prihatin, keganasan Hek-eng-po semakin menjadi-jadi.

   Pakkiong Eng terkejut dan hatinya menjadi rawan pula mengingat perhubungan baiknya selama ini dengan Sebun Hiong, bahkan pemuda itu sempat menyatakan cinta terhadapnya.

   Sebun Him merasa pohon cemara di sekitar tempat itu seolah bergerak berputar semakin lama semakin kencang, kepalanya ber-kunang, dengan susah payah ia mencoba menemukan keseimbangan antara akal dan perasaannya.

   Bagaimana mungkin anak lakinya dibunuh orang Hek-eng-po? Bagaimana mungkin orang Hek-eng-po melanggar pesan untuk tidak mengganggu anggota keluarga Sebun? Yang membuatnya tersiksa, segala keraguan dan kebingungan itu harus dipendam saja di hatinya sendiri, tidak dapat dikatakan dengan bebas kepada orang lain, sebab itu berarti melucuti kedoknya sendiri.....

   Tong Gin-yan belum pernah kenal Sebun Hiong, namun agak di luar dugaan juga bahwa Sebun Hiong terbunuh oleh Hek-eng-po, sedangkan tadinya ia mencurigai Sebun Him dan Hek-eng Pocu adalah orang yang sama.

   Sesaat Tong Gin-yan bingung sendiri, timbul dugaan, mungkinkah orang Hek-eng-po yang mebunuh Sebun Hiong itu adalah samaran orang Hwe-liong-pang? Agak sulit dipastikan, orang Hwe-liong-pang yang menyusup ke Hek-eng-po akan bertindak segegabah itu.

   Sementara itu Sebun Him berpegangan meja dengan kedua tangannya, wajahnya pucat sekali, dan lelaki gagah tinggi besar itupun meneteskan air matanya sambil berseru lirih.

   "A-hiong.... A-hiong......."

   Semuanya ikut larut dalam kesedihan seorang ayah yang kehilangan anak lelaki semata wayangnya, tak peduli orang yang pernah mencurigainya.

   Ketua Hwe-liong-pang dengan kata sebisanya mencoba menghibur sahabatnya tersebut.

   Tiba Sebun Him menggebrak meja kayu cemara yang ada dihadapannya itu se- kerasnya sehingga biji catur mencelat berhamburan, meja tebal itu sendiri ringsek bagian tengahnya menjadi serpihan kayu kecil.

   Ia hapus air matanya, lalu berkata pada Pun-bu Hweshio.

   "Toasuhu, aku mohon dengan hormat agar tiga orang tawanan tadi diserahkan kepadaku."

   Pun-bu Hweshio merangkapkan kedua telapak tangannya di depan dada.

   "Omitohud, Sebun sicu, janganlah sicu menjadi mabuk dendam oleh peristiwa ini....."

   Ci-sian menyambung.

   "Tiga orang Jing- liong-kok tadi hanyalah orang yang diperalat oleh Hek-eng-po, bahkan setengah dipaksa. Mereka tidak punya keberanian untuk memusuhi keluarga Sebun yang terkenal."

   "aku mohon, serahkan mereka kepadaku...."

   "Hendak sicu apakan mereka?"

   "Menuntut pertanggung-jawaban atas kekurang-ajaran mereka kepada keluarga Sebun."

   "Menuntut pertanggung-jawaban bagaimana? Sedang menurut laporan Ci-sian, mereka sendiripun hanya diperlalat. Bukan mereka yang bertanggung-jawab atas musibah yang menimpa putera Sicu, tetapi pihak Hek- eng-po, bahkan si iblis besar Hek-eng Pocu itulah!"

   Sebun Him tertawa getir, bagaimana bisa menuntut balas kepada hek-eng Pocu? Apa harus memukul bayangannya sendiri di air kolam? Atau menghantam dirinya dalam cermin? Kini Sebun Him merasa terjepit oleh permainannya sendiri.

   Seorang dalang boneka wayang yang tiba dikeroyok dari segala penjuru oleh bonekanya sendiri.

   Tiba ia berdiri, memberi hormat kepada Pun-bu Hweshio dan ketua Hwe-liong-pang dan berkata.

   "Toasuhu dan Tong Pangcu, aku mohon pamit!"

   "Sebun Sicu...."

   "Saudara Sebun....."

   Kedua patah kata yang dimaksudkan untuk mencegah perginya Sebun Him itu diucapkan bersamaan oleh Pun-bu Hweshio dan Tong Lam-hou.

   Namun setelah mengucapkan kata singkat itu, Sebun Him melangkah bagaikan terbang cepatnya, sekejap kemudian sudah menghilang dari pandangan.

   "Omitohud, mudah-mudahan Sang Buddha berkenan memberi cahaya dalam jiwanya agar tidak terjerumus ke dalam pusaran gelap dendam kesumat."

   


Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini