Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 17


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 17



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   "Ia pasti sangat berduka kehilangan anak lakinya,"

   Kata Tong Lam-hou. Tanpa sadar ia melirik pula kepada anaknya, anak satunya, bagaimana kalau dirinya sendiri kehilangan Tong Gin-yan? Permusuhan dengan Hek-eng-po telah mulai menelan korban penting, dan entah kapan permusuhan itu berakhir....

   "Ia tentunya sangat mendendam kepada Hek-eng Pocu,"

   Kata Ci-sian Hweshio. Lalu Tong Gin-yan menyambung.

   "Ya, paman Sebun sangat mendendam Majikan Hek-eng-po, namun tentu kebingungan bagaimana cara menemukan musuhnya? Seandainya sudah bertemu, bagaimana cara melawannya? Tentu ia kebingungan."

   Semua orang tertarik oleh ucapan Tong Gin-yan yang kedengaran simpang-siur itu.

   "Apa maksudmu, nak?"

   Ketua Hwe- liong-pang bertanya.

   Sudah lama memang Tong Gin-yan ingin mengatakan kepada ayahnya, tentang dugaan kecurigaan terhadap Sebun Him, sejak dia merasa banyak sekali keselarasan tindakan antara Sebun Him dan Hek-eng Pocu meskipun keduanya seolah bermusuhan.

   Kinilah saat yang tepat untuk mengatakan di depan ayahnya dan sekaligus Pun-bu Hweshio.

   Tapi sebelum mengatakannya, ia melirik ragu ke arah Ni Keng-giau yang berdiri dengan alimnya di belakang gurunya.

   Mestikah bocah nakal itu ikut pula mendengarkan rahasia dunia persilatan yang menggemparkan tersebut? Pun-bu Hweshio tersenyum maklum melihat sikap Tong Gin-yan.

   Ia lalu memutar tubuh dan berkata kepada murid kecilnya.

   "Kau boleh pergi untuk berlatih atau membaca buku. Tapi ingat, tidak boleh membunuhi binatang tak berdosa atau mengganggu suhengmu."

   Sebagai anak yang lincah dan gemar bergerak, memangnya Ni Keng-giau sudah lama tidak tahan berdiri seperti patung. Ucapan gurunya itu seperti membebaskannya dari kekangan, ia segera melejit dan berlompatan pergi dari situ dengan riangnya.

   "Anak yang cerdas dan berbakat,"

   Tong Lam-hou sempat mengomentari anak tanggung itu. Pun-bu Hweshio tidak menunjukkan rasa bangga karena muridnya dipuji, malahan menampakkan sikap prihatin.

   "Itulah beban amat berat di pundakku, untuk mengubah anak itu dari bibit bencana besar di kemudian hari menjadi berkah besar bagi umat manusia. Dari batu tajam yang melukai, menjadi batu hiasan yang indah dan berguna. Tapi.... agaknya aku masih harus bekerja keras untuk banyak waktu....."

   "Jangan takut kesulitan atau kegagalan dalam memperjuangkan sesuatu yang baik, Toasuhu."

   "Kalau kesulitan dan kegagalan itu hanya menimpa diriku pribadi, aku tidak ambil pusing. Tapi bagaimana kalau menimbulkan akibat yang luas, menyangkut nasib orang banyak? Tidakkah kegagalanku sama dengan mencelakakan umum?"

   "Mudahan tidak. Ni Keng-giau memang nakal, tapi kita berharap Toasuhu akan berhasil mendidiknya."

   Terhadap sahabatnya tersebut, Pun-bu Hweshio bicara blakan tentang Ni Keng-giau.

   "Mudahan anak itu tidak tersesat. Kalau mendengarkan wejangan ayat suci Buddha atau membaca bukunya, sebentar saja ia sudah mengantuk. Tapi kalau disuruh membaca Kitab Militer karangan Sun Cu, semalam tidak tidurpun betah....."

   "Kitab Militer Sun Cu juga bukan kitab yang melulu mengajarkan perang. Bukankah Sun Cu menulis juga dalam kitabnya. Perang adalah penyelesaian yang buruk, kecuali tidak ada jalan lain. Kepemimpinan utama harus dibuktikan dengan mematahkan perlawanan musuh tanpa berperang. Bukankah begitu?"

   "Ya, memang Sun Cu juga menuliskan itu, tapi itulah susahnya Ni Keng-giau. Tulisan Sun Cu di bagian itu justru dilompatinya, tidak dibaca, malah ia mentertawakan Sun Cu sebagai orang yang menodai karya besarnya itu dengan setitik kelemahan. Yang dipahamkan dari buku itu hanyalah cara menghancurkan musuh, bukan falsafahnya."

   Memang luar biasa juga bahwa bocah seusia Ni Keng-giau berani mentertawakan ajaran Sun Cu, penyusun kitab ilmu perang terbesar dalam abad silam. Buku karangannya menjadi "kitab suci"

   Para jenderal dari segala jaman dan dinasti. Pakkiong Eng pernah juga melihat Pangeran In Te sedang asik membaca buku tersebut.

   "Ni Keng-giau sudah pergi, Tong Siausicu, apa yang hendak kau katakan tadi?"

   Baru kini Tong Gin-yan mendapat kesempatan bicara, setelah tadi percakapan melantur sebentar ke urusan Ni Keng-giau dan Kitab Militer Sun Cu segala.

   Mulailah Tong Gin-yan menceritakan pengalamannya di kampung Liong-coan yang dilanda huru-hara.

   Ceritanya terdiri dari dua bagian.

   Yang pertama tentang kejadian apa adanya, setelah itu barulah Tong Gin-yan mengutarakan dugaannya sendiri.

   Dengan cara itu, anak muda ini berharap agar Pun-bu Hweshio dan ayahnya dapat memandang persoalan secara jernih, tidak terpengaruh oleh kecurigaannya terhadap Sebun Him.

   "Jadi, kampung Liong-coan sudah dijadikan semacam benteng sumber tenaga tempur dan perbekalan bagi keperluan Pangeran In Si?"

   Tanya Pun-bu Hweshio terkejut. Bersamaan waktunya, ketua He-liong- pang juga bersuara kaget.

   "Jadi, si maha durjana itu ketika menawanmu telah berusaha mengorek tentang nama orang kita yang disusupkan ke Hek-eng-po?"

   Pertanyaan kedua tokoh itu tidak berurutan namun bersamaan, tetapi keduanya dapat dijawab dengan satu anggukkan kepala dan satu kata "benar"

   Oleh Tong Gin-yan.

   Itu membuat wajah Pun-bu Hweshio maupun Ketua Hwe-liong-pang berkerut gelisah.

   Begitulah, kedua tokoh itu mendengarkan cerita yang sama secara berbarengan, tetapi yang menjadi titik perhatian mereka ternyata berbeda.

   Pun-bu Hweshio ingat muridnya, Si Liong-cu, yang bukan lain adalah Pangeran In Ceng yang hendak dibantunya naik tahta.

   Seperti pendekar di Kanglam, Pun-bu Hweshio dan para sesepuh Siau-lim-si sependapat bahwa kalau In Ceng naik tahta, martabat bangsa Han akan bisa dipulihkan tanpa melewati pertumpahan darah antara Han dan Manchu.

   Mendengar bahwa Pangeran In Si lewat Sebun Him membentuk pangkalan kekuatan seperti di Liong-coan, Pun-bu Hweshio jadi kuatir bahwa rintangan bagi Pangeran In Ceng untuk sampai ke tahta akan bertambah.

   Kalau In Ceng gagal naik tahta, barangkali bangsa Han akan kehilangan kesabarannya dan mulai mengangkat senjata untuk mengembalikan martabat mereka.

   Itu berarti seluruh kekaisaran akan penuh dengan mayat bergelimpangan.

   Sedangkan titik perhatian Ketua Hwe- liong-pang adalah keselamatan orangnya yang disuruhnya menyelundup ke Hek-eng-po.

   Selama beberapa hari ia berkumpul dengan Sebun Him di Siong-san, karena kepercayaannya yang tebal terhadap Sebun Him, maka ia telah menceritakan se-jelasnya siapa saja orang Hwe-liong-pang yang dia selundupkan tersebut.

   Baik nama dan julukan asli mereka maupun nama julukan palsu yang dipakai bersembunyi dalam Hek-eng-po, ia ceritakan semuanya atas permintaan Sebun Him.

   Dan kalau benar Sebun Him adalah majikan Hek- eng-po, maka ketujuh orang anak buahnya yang menyusup itu terancam nyawanya! Mereka memang orang pilihan yang tangguh, tetapi kalau Hek-eng Pocu mau membunuh mereka, terang gampang sekali...

   "Aku akan mencelakakan para Hutongcu yang menyusup ke Hek-eng-po!"

   Tiba Tong Lam-hou bangkit dan berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya.

   "Kenapa, ayah?"

   Tanya Tong Gin-yan.

   "Ayahmu yang ceroboh ini sudah menceritakan tentang orang kita kepada Sebun Him,"

   Tong lam-hou mengaku.

   Membanjirlah keringat dingin di punggung Tong Gin-yan ketika mendengar ucapan ayahnya tersebut.

   Tapi ia tidak bisa menimpakan kesalahan kepada ayahnya sebab persahabatan ayahnya dengan Sebun Him memang sudah berlangsung akrab dua puluh tahun lebih, sama akrabnya dengan Pun-bu Hweshio dan Pakkiong Liong di Pak-khia, ayah Pakkiong Eng.

   Apakah keliru kalau orang bicara terbuka kepada seorang sahabat? "Kalau begitu, ayah, kita harus cepat menghubungi ketujuh Hutongcu agar mereka meninggalkan Hek-eng-po secepatnya, jangan sampai mereka terjangkau lebih dulu oleh tangan maut Hek-eng Pocu! "Ya, tapi di mana dan kapan kita bisa menghubungi mereka?"

   Menghubungi tujuh Hutongcu itu mudah diucapkan tapi sulit pelaksanaannya.

   Hek-eng- po adalah sebuah kelompok bawah tanah yang tak diketahui kapan munculnya, di mana tempat kumpulnya dan kapan mereka mengadakan gerakan.

   Kalaupun berhasil menemukan sebuah tempat yang menjadi salah satu pos Hek-eng- po, maka belum menjadi jaminan untuk bisa menemukan pos Hek-eng-po yang lain, sebab antara pos satu dengan pos yang lain tidak saling mengetahui.

   Hubungan antara mereka hanyalah Hek-eng Pocu atau pembawa pesan Pocu.

   Saat sebagian besar orang kebingungan itulah maka Pakkiong Eng bersuara.

   "Paman Tong, bagaimana kalau kita pakai dua langkah sekaligus? Langkah pertama ialah seperti yang dikatakan Yan-ko tadi, mencoba menghubungi para Hutongcu se-bisanya. Langkah ke dua, dalam kamus para jendral perang diistilahkan "menggempur Gui untuk menolong Tio, caranya ialah dengan mengerahkan kekuatan Hwe-liong-pang secara besaran dan mencolok ke kota Se-shia, ke sekitar tempat tinggal keluarga Sebun. Tapi harus mencolok, jangan sembunyi. Kalau Hek-eng Pocu mendengar gerakan ini, tentu ia akan paham bahwa inilah isyarat dari Hwe-liong-pang agar Hek-eng Pocu tidak melukai para Hutongcu. Jadi orang keluarga Sebun menjadi semacam sandera kita, begitulah."

   Di dalam hatinya Tong Lam-hou mengakui bahwa gagasan Pakkiong Eng itu cemerlang, gagasan puteri seorang panglima perang yang mahir dalam siasat perang seperti Pakkiong Liong.

   Menekan kelemahan musuh untuk mengunci gerakan musuh.

   Tetapi ia ragu untuk melaksanakan.

   Katanya.

   "Ada dua kelemahan, A-eng. Pertama, pantaskah kalau keluarga yang sedang berkabung itu malah dikepung dan dijadikan sandera? Bagaimana nanti pandangan orang banyak terhadap Hwe-liong- pang? Ke dua, kecurigaan bahwa Sebun Him adalah Hek-eng Pocu masih meragukan, buktinya putera Sebun Him sendiri terbunuh oleh Hek-eng-po....."

   "Paman Tong, dalam keadaan mendesak seperti ini, ragu hanyalah membuang waktu, terpaksa harus kita ambil langkah untungan, siapa tahu nyawa ketujuh Hutongcu masih bisa diselamatkan. Tentang keberatan paman tadi, ada hal yang meringankan. Pengerahan jago Hwe-liong- pang ke Se-shia itu haruslah dengan alasan untuk melayat Sebun Hiong, menyatakan belasungkawa Hwe-liong-pang terhadap keluarga Sebun. Tidak akan ada orang yang memaki hal itu. Sedangkan kalau dugaan kita keliru, bahwa paman Sebun ternyata bukanlah Hek- eng Pocu, maka keselamatan tujuh Hutongcu itu tidak perlu dicemaskan. Bukankah kebingungan kita tadi hanya karena mencemaskan nyawa ketujuh Hutongcu? Kalau Sebun Him bukan Hek-eng Pocu, biarpun paman sudah mengatakan kepada Sebun Him, ketujuh Hutongcu tetap aman....."

   "Wah, ini benar Pakkiong Liong cilik...."

   Tong Lam-hou tertawa sambil mengacungkan jempol.

   Ia pikir karena rasanya tidaka ada jalan yang lebih baik daripada usul Pakkiong Eng tersebut, maka diputuskannya akan diperbuat demikian.

   Pakkiong Eng ter-sipu, namun bangga juga karena ia disamakan dengan ayahnya.

   Karena mendesaknya waktu, maka Tong Lam-hou segera berpamitan kepada Pun- bu Hweshio, tak peduli hari sudah gelap.

   Ketua Hwe-liong-pang itu bertekad tidak akan membuang waktu sedetikpun demi menyelamatkan nyawa ketujuh orangnya yang menyusup di Hek-eng-po.

   Sudah cukup ia merasakan kehilangan Pek-ki Hutongcu (wakil pemimpin regu bendera putih) Lu Hian-to, dan tidak mau kehilangan tujuh Hutongcu lainnya.

   Tong Gin-yan, Pakkiong Eng, dan Auyang Siau-hong segera dipersilahkan istirahat ke gubuk kayu cemara oleh Pun-bu Hweshio.

   Malam harinya, ketika suasana sudah sunyi dan yang terdengar cuma gemerisik daun cemara yang bergelombang seperti danau, Pakkiong Eng tiba keluar dari gubuknya yang didiami bersama Auyang Siau-hong.

   Sesaat ia ter-mangu menghadap ke arah barat.

   Lalu dengan sikap yang khidmat ia berlutut, menggunakan tanah yang dikepal sebagai pengganti hio (dupa), ia bersembahyang dengan khusuknya.

   Begitu menghayati upacara pribadinya itu, sehingga air matanya ikut meleleh...

   "Toako Sebun Hiong, mudahan arwahmu mendengar doaku. Aku pernah mengecewakanmu ketika kau menyatakan cinta. Mudah arwahmu tenang dan lebih cepat menitis lagi ke dalam dunia...."

   Ia kembali berlutut beberapa kali sampai jidatnya kotor dengan tanah, menghormati arwah sahabatnya itu. setelah itu barulah bangkit dari berlututnya dan mengusap matanya yang basah.

   "A-eng,"

   Sebuah panggilan lembut terdengar di belakangnya. Pakkiong Eng memutar tubuhnya dan melihat Tong Gin-yan berdiri ter-mangu di belakangnya.

   "Kau berdoa untuk siapa, A- eng?"

   Kepada kekasihnya ini Pakkiong Eng tidak ingin menyembunyikan isi hatinya. Dengan suara bergetar menahan isak, ia menyahut.

   "Untuk Sebun Hiong, Yan-ko. Ia adalah seorang sahabat yang sangat baik terhadapku. Seorang yang lugu, gagah, sayang umurnya begitu pendek. Ia terbunuh oleh orang Hek-eng-po, menjadi korban dari permainan ayahnya sendiri....."

   Tong Gin-yan sama sekali tidak cemburu atau berprasangka buruk, sebab diapun pernah merasakan betapa sedihnya kehilangan seorang sahabat baik, ketika Lu Hian-to mati.

   Persahabatan yang tulus tidak harus antara lelaki dan lelaki saja, tapi juga antara lelaki dan perempuan, seperti antara Sebun Hiong dan Pakkiong Eng, meskipun Pakkiong Eng menetapkan Tong Gin-yan sebagai bakal pendamping hidupnya.

   "Aku belum mengenal Sebun Hiong secara dekat, namun aku ikut penasaran untuk kematiannya. Kalau benar paman Sebun adalah Hek-eng Pocu juga, maka permainannya itu telah merugikan dirinya sendiri, minta korban anaknya sendiri...."

   Biasanya kalau mereka sedang berdua saja, begitu banyak yang mereka omongkan, namun kali ini bahasa antara mereka sebagian besar hanyalah helaan napas yang berat. Sekian lama saling berdiam diri, sampai kemudian Tong Gin-yan berkata.

   "Tidurlah, A- eng. Aku paham kesedihanmu, tapi jangan sampai merusak tubuh dan semangatmu. Besok, kita bertiga bersama Auyang Siau-hong akan mulai berjalan lagi, ke Se-shia....."

   "Ke Se-shia?"

   "Benar. Paman Sebun tentu bergegas pulang untuk melihat jenazah puteranya. Di tempat yang dilalui paman Sebun itulah paling besar peluangnya kita bisa menyelidiki dan melucuti kedok si maha durjana Hek-eng Pocu..."

   Biarpun nama Sebun Him dan Hek-eng Pocu disebut dalam dua kalimat yang dipisahkan tanda titik, namun nada ucapan Tong Gin-yan itu gamblang menyatakan Sebun Him dengan Hek-eng Pocu.

   Bukan dugaan lagi, tapi bagi Tong Gin-yan nyaris menjadi sebuah kepastian.

   Hek-eng Pocu adalah Sebun Him dan Sebun Him adalah Hek-eng Pocu.

   Pakkiong Eng dengan kepala tertunduk melangkah ke gubuknya.

   Namun langkahnya tiba terhenti.

   "Apakah Pun-bu Hweshio tidak akan pergi bersama kita ke Se-shia?"

   "Baru saja aku ber-cakap dengan beliau. Ia mengatakan akan ke Se-shia juga untuk menhadiri pemakaman Sebun Hiong tetapi lebih dulu akan melihat keadaan di kampung Liong-coan."

   "Buat apa?"

   "Mungkin untuk kepentingan muridnya, Si Liong-cu alias Pangeran In Ceng, setelah dia mendengar ceritaku bahwa Liong-coan hendak dikembangkan menjadi basis kekuatan pendukung Tit Hun-ong...."

   "Apakah pendeta tua yang bijaksana dan berpandangan tajam itu juga terbius oleh anggapan bahwa In Ceng lebih patut bertahta dibandingkan In Te? Apakah pikirannya sedangkal Kam Hong-ti dan pendekar Kanglam?"

   "A-eng, jangan bicara kurang baik tentang Pun-bu Hweshio. Urusan siapa yang akan mengganti Kaisar Khong-hi kelak, tiap orang agaknya punya selera berbeda, dengan pertimbangan masing. Ayahmu, barangkali juga ayahku, menganggap Pangeran In Te yang paling tepat, namun apakah orang lain harus sepikiran dengan ayah kita? Pun-bu Hweshio dan Taihiap Kam Hong-ti justru berpendapat Pangeran In Ceng lah yang lebih tepat. Masing pilihan punya alasan...."

   "Tapi selisih pendapat itu bisa menimbulkan perang antara In Te dan In Ceng, belum lagi pangeran lain yang akan menangguk di air keruh. Mungkinkah gara mendukung calon kaisar yang berbeda ini, ayah kita kelak akan bermusuhan dengan Pun- bu Hweshio serta pendekar Kanglam, seperti terancamnya persahabatan antara ayahmu dengan paman Sebun sekarang ini?"

   "Aku tidak berani meramalkan apakah akan terjadi perang terbuka atau tidak. Mudahan saja tidak. Baik ayah kita yang mendukung Pangeran In Te, maupun Pun-bu Hweshio serta pendekar Kanglam yang mendukung Pangeran In Ceng, bukanlah manusia berpikiran sempit yang gampang melolos senjata untuk menyelesaikan perselisihan pendapat. Kaisar masih sehat hingga saat ini, barangkali masih memerintah limabelas atau duapuluh tahun lagi. Selama itu, ada kemungkinan golongan yang mendukung In Te maupun In Ceng akan menemukan kompromi, sehingga peralihan tahta kelak tidak perlu disertai pertumpahan darah, atau retaknya hubungan antara sahabat karib....."

   "Mudahanlah begitu..."

   Pakkiong Eng kemudian kembali ke gubuknya sendiri, begitu pula Tong Gin-yan.

   *Oz* BAGIAN TIGA PULUH ENAM Malam itu, seluruh kota kecil Ban-siong- tin sudah sunyi, kecuali toko kain milik Lau Hong masih terang-benderang dan banyak orang duduk di ruang tengah atau di halaman, sebab itulah malam mai-song sebelum tubuh si juragan toko kain dimakamkan keesokan harinya.

   Banyak penduduk kota Ban-siong-tin datang melayat, sebab mereka hanya kenal Lau Hong sebagai pemilik toko kain satunya di kota kecil itu, dan tidak tahu bahwa si juragan gemuk itu sebenarnya salah satu jagoan Hek- eng-po yang kejam seperti iblis.

   Dua hari yang lalu, orang menemukan mayat Lau Hong tertelungkup di parit di luar kota Ban-siong-tin, dekat tempat kincir air penumbukan beras.

   Dan terjawablah teka-teki menghilangnya si juragan toko kain selama ini, meskipun orang Ban-siong-tin tetap belum tahu siapakah yang membunuh "juragan yg murah hati"

   Tersebut.

   Lima orang sisa anak buah Lau Hong juga ikut melayat malam itu, namun sudah tentu tidak dengan pakaian hitam dan senjata di tangan, melainkan berpakaian seperti anggota masyarakat biasa.

   Merekapun masih diliputi keheranan akan kematian Lau Hong, sama sekali belum tahu bahwa "utusan pembawa perintah Hek-eng Pocu"

   Yang menhubungi mereka beberapa hari yang lalu itu hanyalah utusan palsu, sekedar ingin memanfaatkan tenaga mereka untuk membunuh Sebun Hiong dan Liu Beng.

   Dan keheranan mereka ber-tambah sebab tak seorangpun dari mereka yang masih hidup itu pernah membunuh Sebun Hiong, tapi toh dengan mata kepala sendiri, mereka melihat kereta bertirai putih yang membawa jenazah Sebun Hiong berangkat meninggalkan Ban-siong-tin.

   Mereka merasa urusan agak tidak beres, cuma tidak tahu di mana ketidak beresannya.

   Di ruang depan toko yang sudah diubah menjadi ruang mayat, peti jenazah Lau Hong hampir tak terlihat karena tertimbun bunga kiriman dari handai taulan.

   Anggota keluarga Lau Hong berpakaian serba putih kain belacu yang dirangkap dengan tikar, bersimpuh ber- deret di kiri-kanan peti mati, setiap saat bangkit untuk membalas penghormatan tamu yang datang dan pergi untuk menyatakan duka cita.

   Asap kayu gaharu dan dupa biting membuat ruangan itu seakan berkabut, menyuramkan cahaya lilin.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba angin malam berhembus masuk, menggoyangkan tirai putih di depan pintu, api lilin tertipu sehingga hampir padam dan ruangan itu menjadi gelap untuk sesaat.

   Pada saat hembusan angin mereda dan api lilin tegak menyala kembali, terkejutlah semua orang.

   Di tengah ruangan itu, tanpa diketahui dari mana datangnya, di depan peti mati, telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar terbungkus jubah serba hitam yang ber-kibar mengerikan.

   Bahkan bagian kepalanya juga hanya merupakan bulatan hitam dan sepasang titik yang bercahaya tajam, yang bukan lain adalah sepasang matanya yang tidak tertutup kerudung hitam.

   Di tempat orang mati, mendadak muncul "makhluk"

   Aneh dengan cara yang aneh pula, seketika menimbulkan kegemparan di antara para tamu maupun tuan rumah sendiri, kecuali lima orang Hek-eng-po anak buah Lau Hong yang bercampur di antara tamu itu, sebab yang muncul itu adalah Hek- eng Pocu sendiri.

   "Ada siluman! Ada siluman!"

   Beberapa tamu yang duduk di dekat pintu langsung kabur ketakutan dengan melompati kursi, menabrak meja atau menyukut tamu lainnya yang juga berhamburan keluar.

   Yang nyalinya lebih kecil, bahkan tak punya tenaga lagi biarpun hanya untuk beranjak dari tempat duduk mereka.

   Mereka langsung merosot jatuh ke lantai dan kencing di dalam celana.

   Seorang dukun berjubah gambar patkwa, dengan lutut gemetar cepat mengambil tindakan.

   Pedang kayu disambarnya, di ujung pedang ditusukkan selembar hu (kertas jimat) untuk didekatkan api lilin sehingga terbakar.

   Jari tangan kirinya meng-gores udara dan me-nuding ke arah si "hantu"

   Sementara mulutnya berkomat-kamit membaca mantera.

   Tapi sial sekali nasibnya, si jubah hitam tiba mencengkeram tubuhnya dengan satu tangan lalu seringan melemparkan boneka jerami, ia melemparkan tubuh itu sehingga membentur dinding dengan keras.

   Tulang berpatahan dan terjatuh ke lantai seperti setumpuk kain saja.

   Seisi ruangan itu terlalu ketakutan untuk mencegah Hek-eng Pocu melangkah mendekati peti mati, semuanya hanya berdiri mematung di tempatnya masing.

   Sebagian masih sadar, sebagian lagi sudah tak merasa apa lagi karena sudah pingsan.

   Peti mati Lau Hong adalah balok besar yang tebalnya satu setengah jengkal lebih, terbuat dari kayu merah asal Lam-yang yang keras luar biasa, keempat sudutnya sudah dipaku dengan paku sejempol kaki besarnya dan dua jengkal panjangnya.

   Namun hanya dengan kebasan telapak tangan yang seenaknya saja, tutup peti mati telah terlempar terbuka, bahkan terbelah dua.

   Tampaklah kini tubuh Lau Hong yang sudah menggembung dagingnya sehingga wajahnya berbeda sekali dengan ketika masih hidup.

   Bau busuk yang dahsyat segera menyebar ke seluruh ruangan, membuat orang hampir tak dapat menahan isi perut untuk tertumpah keluar.

   Maklumlah, Lau Hong mati lebih dari tiga hari yang lalu, sebelum mayatnya diketemukan juga sudah terendam air parit sehari semalam, sehingga sudah mulai membusuk.

   Namun dengan menahan bau busuk, Hek-eng Pocu melihat mayat itu, dan perhatiannya tertarik oleh bekas gigitan gigi manusia di urat leher Lau Hong.

   Sesaat ia berdiri ter-mangu.

   Tiba Hek-eng Pocu menggeram dingin, pandangan matanya menyapu ke arah sanak keluarga Lau Hong yang menggigil ketakutan.

   "Kalian harus mati semua!"

   Padahal di antara keluarga Lau Hong itu terdapat perempuan tak berdaya atau anak di bawah umur, namun sekali Hek-eng Pocu berucap, agaknya pantang untuk membatalkan niatnya.

   Seorang perempuan setengah baya yang berpakaian berkabung dan bertubuh gemuk, agaknya adalah isteri dari Lau Hong, mulutnya ber-gerak tanpa bunyi dan wajahnya menampilkan ketakutan luar biasa.

   Agaknya ia ingin mengucapkan permintaan ampun, tetapi suaranya tidak keluar.

   "Kalian semua harus mati sebagai upah atas kelancangan melanggar pesanku!"

   Geram Hek-eng Pocu kembali, terdengar nada kebencian dan sakit hati yang kental dalam suaranya.

   Cengkeramannya pun sudah terulur ke batok kepala orang yang terdekat.

   Tapi uluran tangannya terhenti, ketika dari luar pintu terdengar suara yang serak berat namun mantap tanpa memperdengarkan rasa takut sedikitpun.

   "Kau tidak boleh membunuh mereka, sobat!"

   Hek-eng Pocu sigap memutar tubuh menghadap pintu.

   Tirai putih tanda berkabung disingkapkan, dan orang yang bersuara tadi melangkah masuk dengan santai.

   Seorang lelaki berusia sekitar limapuluh tahun, meskipun tidak tinggi besar seperti Hek-eng Pocu, namun juga tergolong tegap.

   Rambutnya kelabu, hitam campur putih, jenggotnya tercukur pendek, sepasang matanya memancarkan sorot tajam berpengaruh.

   Jubahnya adalah kain kasar murahan, begitu pula sepatunya, pinggangnya ada kantong tembakau dan di tangannya terpegang pipa tembakau yang sebentar disedot dengan mulutnya.

   Orang yang belum pingsan di rumah duka itu dengan heran melihat bagaimana si "kakek kampungan"

   Itu tanpa ragu sedikitpun berdiri menghadapi si "hantu hitam"

   Hanya dalam jarak empat-lima langkah, malah masih sempat menyedot pipa tembakaunya dengan gaya seenaknya.

   Sedangkan Hek-eng Pocu nampak tergetar oleh kemunculan Tong Lam-hou, ketua Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api) yang kesaktiannya terkenal sekali, konon hanya bisa disejajari oleh Pun-bu Hweshio dari Siau-lim-si serta Panglima Hui-liong-kun, Pakkiong Liong di Ibukota Kekaisaran.

   Namun dengan maksud tertentu, Hek- eng Pocu berlagak belum kenal Hwe-liong Pangcu ini.

   "Siapa kau?!"

   Tong Lam-hou tertawa.

   "Kita sudah saling kenal hampir duapuluh tahun lamanya, sering bermain catur pula, kenapa sobat pura tidak mengenalku?"

   "Persetan dengan ocehanmu!"

   Tiba Hek-eng Pocu menggeram sengit, dua tangannya menghantam dengan tinju dan telapak tangan sekaligus, menimbulkan gemuruh angin kekuatan yang memadamkan sebagian besar lilin di ruangan tersebut.

   Sementara lilin yang terletak jauh telah ber- goyang hampir padam.

   Itulah jurus Lui-hong- tiam-siam (guntur gemuruh kilat menyambar).

   Suasana menjadi gelap untuk sedetik, seperti ketika munculnya Hek-eng Pocu tadi, hanya terdengar empat tangan saling beradu dengan keras, tapi orang tak bisa melihat bagaimana kesudahan gempuran si "siluman hitam"

   Atas diri si "kakek kampung"

   Itu.

   Ketika nyala lilin terang kembali, kedua tamu luar biasa itu ternyata sudah menghilang semuanya, hanya kelihatan tirai putih kain belacu yang tergantung di pintu itu ber- goyang perlahan.

   Orang yang di luar pintu hanya melihat sesosok bayangan hitam melesat bagaikan terbang diikuti sesosok bayangan kelabu di belakangnya.

   Orang yang tidak paham ilmu silat segera saja menganggap bahwa rumah itu sudah kedatangan siluman, tapi seorang dewa berpipa tembakau telah turun pula dari langit untuk mencegah si siluman menyebar bencana.

   *Oz* Bersambung ke

   Jilid 32 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 32 Hek-eng Pocu berkejaran dengan Hwe- liong Pangcu sampai keluar kota Ban-siong-tin yang keadaannya masih gelap.

   Betapapun Hek-eng Pocu mengerahkan kekuatan larinya, tapi ia tak pernah berhasil memperpanjang jarak dengan pengejarnya, bahkan semakin lama terasa semakin dekat di belakangnya sehingga Hek-eng Pocu menggerutu dalam hati.

   "Gila, setan tua yang kecanduan tembakau ini kenapa tidak juga ada tanda kehabisan napas?"

   Gerakan Hwe-liong Pangcu yang se- harinya kelihatan santai dan serba malasan itu ternyata memang pesat sekali. Sepasang kakinya bergerak demikian cepat sehingga seolah tidak menyentuh tanah. Jaraknya dengan orang buruannya semakin dekat.

   "Setan usil, mampus kau!"

   Secepat kilat Hek-eng Pocu menghentikan larinya dan melakukan gerakan Kau-tui-ho-an-tui (menekuk lutut menendang ke belakang), tanpa membalik badan, tumit kakinya meluncur deras ke ulu hati Tong Lam-hou.

   Namun Ketua Hwe-liong-pang dengan tangkas melejit ke atas dan tetap meluncur maju dengan membuat lengkung besar di depan.

   Tubuhnya agak miring, ujung pipa tembakaunya mengancam urat Thian-cu-hiat di tengkuk Hek-eng Pocu.

   Saling serang antara kedua tokoh itu berlangsung beberapa gebrak dengan kecepatan, kekuatan dan gerak tipu yang serba dahsyat.

   Sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar, Hek-eng Pocu memang berkekuatan luar biasa, setiap gerak tangannya menimbulkan angin gemuruh pertanda kekuatannya.

   Sepasang tangannya bergerak cepat menjadi ber-puluh bayangan tangan yang menggempur beruntun seperti bukit batu karang yang longsor dan sanggup memusnahkan sebuah kota.

   Sedangkan Tong Lam-hou bergerak tangkas dan lentur, jarang membentur lawan, tapi serangannya selalu lebih cepat mengincar titik kelemahan yang terbuka setiap kali Hek- eng Pocu membuka serangan.

   Namun tidak berarti Ketua Hwe-liong-pang itu kalah tenaga, sebab kadang terjadi benturan keras juga dan Hek-eng Pocu merasa memukul selembar dinding baja setebal satu depa.

   Akibat saling gebrak itu, dalam tujuh gebrakan Hek-eng Pocu dipaksa mundur tujuh langkah pula.

   Tiba maha durjana itu melompat mundur menjauhi lawannya, sesaat tubuhnya gemetar karena mengerahkan kekuatannya.

   Lalu melompat maju lagi dengan kekuatan yang berkali lipat dahsyatnya, seperti air lautan yang didorong prahara.

   "Apakah ini bukan Kun-goan-sin-kang (Tenaga Sakti Jagat Raya) dari sahabat baikku Sebun Him?"

   Geram Tong Lam-hou menyambut serangan itu.

   untuk mengimbangi ilmu lawan, diapun menggunakan ilmu simpanannya, Hian- im-kang.

   Gerakannya tidak menimbulkan suara gemuruh mengerikan, bahkan kelihatan tak bertenaga, tetapi dalam putaran bergaris tengah sepuluh langkah dari tubuhnya mendadak udara serasa dipenuhi udara sangat dingin yang sanggup menggumpalkan semangkuk arak panas menjadi es batu dalam dua-tiga detik.

   Seolah ada jutaan jarum es lembut tak terlihat yang menyusup ke setiap lubang pori kulit musuh, tak peduli bagian kulit yang terlindung baju tebal sekalipun.

   menghadapi gelombang serangan Hek- eng Pocu yang gemuruh itu, kelihatan Tong Lam-hou terpaksa mundur berulang kali, sebaliknya lawanya mendesak maju.

   Tapi ternyata itu bukan tanda kemenangan Hek-eng Pocu, sebab setiap ia melangkah maju setindak, setiap kali pula tubuhnya menggigil perlahan menahan hawa dingin, bahkan pernah berbangkis satu kali.

   Ia pernah menghadapi Hian-im-kang yang dilakukan Tong Gin-yan, bahkan digabung dengan Hwe-liong-sin-kang yang yang dimainkan Pakkiong Eng yang menimbulkan udara sangat panas, ditambah lagi sepasang tongkat besi Liu Beng yang sangat bertenaga, dan saat itu Hek-eng Pocu masih bisa mengejek.

   Tapi Hian-im-kang Tong Lam-hou berkali lipat hebatnya dari Hian-im- kang Tong Gin-yan, Hek-eng Pocu sampai merasa kulitnya seakan dilapisi es tipis yang sangat mengganggu gerakannya.

   Setiap kali ia kerahkan lwe-kang untuk mengusir hawa dingin sehingga kulitnya merah menguap, namun setiap kali hawa dingin itu datang lagi dengan tajamnya.

   Tapi Hek-eng Pocu mendesak terus dengan keras kepala.

   Dia berharap akan memenangkan adu panas antara dirinya yang tak pernah menghisap tembakau, dengan lawannya yang mulutnya terus mengepulkan asap tembakau.

   Karena habis kesabaran, Hek-eng Pocu memutuskan untuk menggunakan jurus ganas dari gulungan kulit kuno bekas milik keluarga Liu dulu.

   Sambil memekik seperti seekor elang, tubuhnya tiba melayang jungkir balik dengan kaki di atas dan tangan di bawah.

   Sepasang kaki hendak mengait tengkuk, sepasang tangan mencengkeram pinggang, mulut di balik kedok hitam itu terpentang lebar untuk menggigit ke arah selangkangan, tempat sembunyinya "pusaka"

   Kaum lelaki.

   "Jurus yang keji!"

   Bentak Tong Lam-hou kaget.

   "Akupun tidak akan sungkan lagi terhadapmu!"

   Cepat Ketua Hwe-liong-pang itu menekuk sepasang lututnya rendah, dua tangan dengan ujung jari yang lurus bagaikan pisau baja menusuk sejajar ke depan dengan jurus Siang-hi-kiat-ging (sepasang ikan berbahagia).

   Hawa dingin menjadi berkali lipat dahsyatnya karena ia sudah mengerahkan seluruh kekuatan Hian-im-kangnya.

   Serangan Hek-eng Pocu sebenarnya sudah dekat dengan sasaran, tapi karena tubuhnya yang tiba terasa beku ototnya, maka serangannya menjadi tidak lancar.

   Luncuran tubuhnya sedikit oleng, dan saat itulah Ketua Hwe-liong-pang meluncurkan kaki kanannya yang tepat mengenai dada Hek-eng Pocu.

   Dalam ilmu tendangan, Ketua Hwe-liong- pang ini terkenal dengan Pek-pian-lian-hoan- tui (tendangan beruntun seratus perubahan).

   Tendangan yang biasanya sanggup menggempur batu karang, ternyata kini hanya bisa melemparkan tubuh Hek-eng Pocu terpental beberapa langkah dan terhempas di tanah berlumpur.

   Ketua Hwe-liong-pang sendiri membentengi tubuh lawannya.

   Sebaliknya, Hek-eng Pocu merasa dadanya seolah diinjak kaki seekor gajah raksasa.

   Napasnya sesak, darahnya bergolak hendak menyemprot keluar mulutnya namun ditahankannya kuat, sementara matanya ber- kunang.

   Sesaat ia terbaring ter-engah di tanah, bertelekan di atas sepasang tangannya, pandangan matanya penuh dengan kemarahan bercampur kecemasan menatap Ketua Hwe- liong-pang yang masih berdiri tegak beberapa langkah di hadapannya dengan jubah me- lambai megah.

   Hek-eng Pocu mengutuk dalam hati ketika melihat Tong Lam-hou mengeluarkan batu api dari kantong bajunya dan menyalakan tembakau pipanya dengan sikap santai.

   Sebenarnya itulah kesempatan baik bagi Tong Lam-hou untuk melucuti kedok di wajah Hek-eng Pocu, atau sekalian menumpas iblis yang beberapa tahun belakangan ini menggemparkan rimba persilatan.

   Namun Tong Lam-hou tidak berbuat demikian, ia berdiri saja di tempatnya, membiarkan lawannya terbaring mengambil napas.

   "Kenapa kau ber-main dengan cara ini, saudara Sebun?"

   Tiba pertanyaan Tong Lam- hou mengejutkan Hek-eng Pocu, terutama panggilan "saudara Sebun"

   Itu.

   "Kau sudah hidup sebagai pendekar terhormat di Se-shia, punya keluarga tenteram, puter-puteri yang tampan, cantik dan pintar, penghasilan yang melimpah, tapi kenapa....."

   "Tutup mulutmu, Tong lam-hou! Siapa yang kau panggil saudara Sebun itu? atau kau sedang mabuk arak sehingga bicaramu kacau?"

   Bentak Hek-eng Pocu sambil mengangkat tubuhnya untuk berdiri.

   "Sebun Him dari Se-shia justru musuh besarku! Buktinya, aku suruh orangku untuk membunuh Sebun Hiong, anaknya!"

   "Jadi kau bukan Sebun Him sahabatku?"

   "Jelas bukan!"

   "kalau demikian, kenapa tenaga pukulanmu mirip dengan Kun-goan-sin-kang kepunyaan Sebun Him?"

   "Hem, memangnya di dunia ini hanya Sebun Him yang bisa ilmu itu? Kun-goan-sin- kang adalah peninggalan seorang tokoh di jaman menjelang runtuhnya dinasti Beng dulu, Tiat-sim Tojin. Sebun Him hanya kebetulan menemukan ajaran tertulis Tiat-sim Tojin itu dan mempelajarinya, sedangkan aku adalah murid langsung dari Tiat-sim Tojin!"

   Entah benar percaya entah tidak, terlihat Tong Lam-hou meng-anggukkan kepalanya dan bergumam.

   "Kalau kau bukan Sebun Him, kebetulan sekali buatku...."

   "Kau ingin membunuh aku sekarang?"

   Tanya Hek-eng Pocu agak kaget.

   "Hem, tidak gampang hal itu, orang she Tong...."

   Tong lam-hou tertawa.

   "Tidak. Meskipun saat ini kalau aku mau membunuhmu, aku bisa lakukan, biarpun kau punya ilmu iblis tapi takkan lolos dari tanganku. Percaya tidak?"

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau congkak sekali, Tong Lam-hou...."

   "Tapi aku tak bisa membunuhmu, Hek- eng Pocu. Bagaimana kalau Hek-eng-po dan Hwe-liong-pang bekerja sama saja? Kita kuasai dunia persilatan berdua, mula keluarga Sebun harus kita tumpas, seluruh anggota keluarganya akan kita babat habis, lalu....."

   "Jangan! Jangan!"

   Hek-eng Pocu membantah kaget.

   "Lho, kenapa jangan? Kau bilang sendiri bahwa kau membenci keluarga Sebun, dan aku akan membantumu...."

   Kata Tong Lam-hou seakan sungguh.

   "Apa keberatannya menumpas keluarga Sebun? Kekuatan Hwe- liong-pang saat ini sudah aku perintahkan untuk dikerahkan ke sekitar Se-shia, dipimpin isteriku sendiri. Bukan saja keluarga Sebun, bahkan Hoa-san-pai sebagai tulang punggung keluarga Sebun juga bisa kami ratakan dengan tanah....."

   "Tidak boleh terjadi!"

   Suara Hek-eng Pocu semakin gugup.

   Melihat sikap gugup itu, Tong lam-hou merasa bahwa pancingannya kena, tapi sekaligus juga merasa sedih dalam hati.

   Kalau Hek-eng Pocu benar Sebun Him sahabatnya, alangkah berat perasaannya.

   Ia harus memilih antara persahabatan pribadi atau tuntutan keadilan dunia persilatan...."

   Sedangkan Hek-eng Pocu yang hampir merasa lega karena mengira Hwe-liong Pangcu dapat dikelabuinya, terkejut kembali ketika mendengar Tong Lam-hou menarik napas penuh penyesalan dan berkata.

   "Apa gunanya kau terus ber-pura seperti itu, saudara Sebun? Jangan membuatku sedih...."

   "A.....apa....kata...mu?"

   "Saudara Sebun, berpuluh tahun yang lalu aku pernah mengalami kesedihan seperti ini, ketika aku harus berduel dengan sahabatku sendiri, Pakkiong Liong, waktu itu tentu kau sendiri hadir pula. Aku harus membela orang Hwe-liong-pang yang hendak ditumpas, sedangkan Pakkiong Liong mengemban perintah Kaisar yang tak bisa dielakkan untuk menumpas Hwe-liong-pang. Untunglah, di saat kami hampir saling bunuh, datang utusan Kaisar membawa titah Kaisar yang mencabut tugas yang dibebankan kepada Pakkiong Liong. Sekarangpun aku merasa sedih, haruskah kita sebagai sahabat karib berhadapan sebagai lawan?"

   Sesungguhnya jantung Hek-eng Pocu di-guncang oleh kata Tong Lam-hou tersebut. Ia sadar bahwa kedoknya itu percuma saja, tak bisa mengelabui Ketua Hwe- liong-pang tentang siapa sebenarnya dirinya. Tapi toh ia tetap berusaha mungkir matian.

   "Bicara macam apa itu, Tong Lam-hou? Kalau ingin berkelahi matian, hayolah! Aku layani sampai salah satu dari kita mampus, tapi jangan bicara melantur seperti itu! sudah aku katakan, aku bukan Sebun Him!"

   Tong Lam-hou menggeleng.

   "Tidak. Hatiku belum bulat tekad untuk saling bunuh dengan seorang sahabat, aku akan pergi saja. Tapi ingat, bubarkan Hek-eng-po, atau se- tidaknya kendalikanlah Hek-eng-po menjadi kelompok persilatan yang tunduk kepada tata- krama dunia persilatan. Kalau tidak, lihat saja kekuatan Hwe-liong-pang akan menggilas hancur Hek-eng-po."

   "Ha-ha.... jangan sok bersih, Hwe-liong Pangcu. Kau kira aku belum pernah mendengar tentang sejarah hitam Hwe-liong-pang di masa lalu? Waktu itu kalian tidak kurang kejam dan biadabnya dari kami. Lalu sekarang kau berlagak sebagai seorang nabi yang suci untuk menasehati kami?"

   "Benar, karena Hwe-liong-pang didirikan mendiang ayahku dulu, Tong Wi- siang, kami memang pernah bernoda oleh ulah sebagian anggota Hwe-liong-pang yang terdiri dari bekas pelarian golongan hitam, meskipun tujuan ayahku sebenarnya adalah untuk menentang pemerintahan Kaisar Cong-ceng yang korup. Justru karena pengalaman Hwe-liong- pang sendiri itulah maka sekarang aku tidak membunuhmu. Aku yakin, orang yang bagaimanapun jahatnya, asal ber-sungguh memperbaiki diri, akan berhasil kembali ke jalan benar. Seperti pengalaman Hwe-liong- pang sendiri. Aku berharap Hek-eng-po akan demikian pula, saudara Sebun...."

   "aku bukan Sebun Him!"

   "Bukan? Bagaimana kalau kupaksa kau melepas kedokmu?"

   Jantung hek-eng Pocu hampir berhenti berdenyut karena kagetnya. Kalau benar kedoknya dilucuti, hancurlah nama baiknya sebagai seorang pendekar terhormat golongan putih selama ini. Namun ternyata Hwe-liong Pangcu tidak membuktikan ancamannya.

   "Jangan kuatir, saudara Sebun, aku tidak akan melucuti kain hitam di mukamu itu. Bagiku, biarpun kau memakai kedok lapis sepuluh, sama saja tidak memakai kedok selembarpun di mataku. Aku juga tidak ingin menyiarkan rahasiamu ini, agar dunia persilatan tidak guncang, dan saudara tetap menjadi Sebun Him yang dihormati dan dikagumi sebagai penentang Hek-eng-po yang paling gigih. Tapi ingat, hentikan semua kebiadabanmu dan anak buahmu..."

   Hampir saja Hek-eng Pocu berteriak kembali "aku bukan Sebun Him"

   Namun kuatir teriakannya akan menjengkelkan Ketua Hwe- liong-pang dan melucuti kedoknya. Terpaksa dengan menahan kemarahan dan kebencian, ia biarkan saja Tong Lam-hou melenggang pergi dan menghilang di kejauhan.

   "Keparat she Tong, ia sudah bisa menebak siapa diriku!"

   Geram Hek-eng Pocu sendirian.

   "Ini tentu gara monyet kecil Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng sudah menceritakan kejadian di Liong-coan kepadanya. Hem, tiga orang ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama. Harus kukerahkan semua orangku untuk membunuh mereka sebelum mulut mereka sempat berkoar dan merugikan semua rencanaku...!"

   Sesaat dirasakannya dadanya masih nyeri akibat tendangan telak Tong Lam-hou tadi, sehingga ia harus mencari tempat sunyi di luar kota Ban-siong-tin untuk bersemedi mengobati luka dalamnya.

   Diam ia harus mengakui kepandaiannya masih setingkat di bawah Ketua Hwe-liong-pang meskipun ia sudah menambah ilmunya dengan mempelajari gulungan kulit itu.

   Sampai terdengar ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya, ia bersemedi mengobati luka dalamnya.

   Ketika ia membuka mata, cuaca masih gelap, namun sebelah timur sudah menunjukkan tanda akan terbitnya hari baru.

   Saat itulah kuping Hek-eng Pocu yang tajam mendengar suara roda kereta serta ketoplak kaki kuda meninggalkan Ban-siong- tin.

   Tempat semedinya itu memang tidak jauh dari jalan besar yang menjadi tempat keluar- masuknya Ban-siong-tin.

   Bukan hal aneh kalau orang melakukan perjalanan di pagi hari, mungkin dengan perhitungan agar dapat mencapai tempat tujuan sebelum matahari tenggelam.

   Namun yang menarik perhatian adalah percakapan orang dalam rombongan itu.

   Dari sela pepohonan, Hek-eng Pocu melihat rombongan itu lumayan besar, ada belasan kereta yang mengangkat alat rumah tangga seperti meja, kursi, lemari, dan sebagainya, dan sebagian dari kereta ditumpangi oleh perempuan dan anak.

   Lelaki dewasa menunggangi kuda dan membawa macam senjata.

   Nampaknya ada beberapa keluarga mengungsi sekaligus dari Ban-siong-tin.

   "Memang tak terduga tadi malam Pocu muncul di rumah Lau Toako, dan hampir saja membunuh seluruh keluarga Lau Toako seandainya tidak dicegah oleh lelaki berpipa tembakau itu,"

   Terdengar salah seorang lelaki berkata.

   Tubuhnya pendek gempal, di pelana kudanya tergantung sepasang golok Siang- hap-to yang berbadan lebar tipis dengan pegangan terlindung besi melengkung.

   Mendengar satu kalimat itu saja, Hek- eng Pocu tahu bahwa lelaki itu bukan penduduk Ban-siong-tin biasa, sebab mereka langsung bisa mengenali dirinya sebagai Pocu pada kemunculannya malam tadi di rumah perkabungan Lau Hong.

   Timbul dugaan, mereka anggota Hek-eng-po juga, anak buah Lau Hong.

   Memang Hek-eng Pocu tidak bisa mengenali satu persatu anggotanya tingkat bawah, apalagi mereka terpencar dan menyamar di berbagai tempat.

   Ia biasanya hanya menyalurkan perintah lewat tiga pembantu utamanya, Jiat- jiu Lokoai, Hin-heng Lojin, dan Ang-pit Tojin, alias Siluman Tua Bertangan Maut, Orang Tua Pembenci Keadilan dan Si Imam Berhidung Merah.

   Percakapan dalam rombongan para pengungsi itu terus berlanjut, seorang yang bertubuh kurus dan memanggul tombak, berkata.

   "Paling aman memang kita harus mengungsi saja. Agaknya kegagalan kita membunuh Sebun Hiong dan Liu Beng itulah yang membuat Pocu semalam marah...."

   "Benar,"

   Sahut lainnya lagi.

   "Tapi aneh juga. Kita gagal membunuh Sebun Hiong dan Liu Beng, bahkan pihak kita kehilangan banyak teman, tapi kenapa Sebun Hiong mati juga akhirnya? Seingatku, ketika kita kabur di bawah perlindungan bom asap, anak muda itu masih segar-bugar kecuali lukanya yang tidak berarti...."

   "Heran juga, sebenarnya siapa yang membunuhnya?"

   "Mungkinkah pihak lain yang diam membantu kita?"

   "Mungkin utusan pembawa pesan dari Pocu itu sendiri?"

   "Entahlah, semuanya berlangsung demikian aneh, seakan tidak wajar. Kenapa pula Lau Toako diketemukan tewas? Kenapa pula Pocu marah meskipun kita berhasil menjalankan perintahnya, meskipun Sebun Hiong mati oleh tangan lain?"

   "Tidak perlu susah berpikir. Mengungsi untuk cari selamat, habis perkara!"

   Baru saja kalimatnya selesai diucapkan, orang itu tiba merasa tenggorokannya bagai tercekik karena kagetnya.

   Di depan rombongan mereka, dalam keremangan pagi, sesosok tubuh hitam tinggi besar yang kemarin muncul di ruangan mayat Lau Hong, telah menghadang langkah mereka.

   "Hek-eng.... Pocu....."

   Mereka ter- gagap seperti melihat hantu. Berhadapan dengan pemimpin mereka yang sangat mengerikan tersebut, para anak buah Lau Hong tak bisa lain dari berlompatan turun dari kuda masing dan berlutut di hadapan Hek-eng Pocu.

   "Salam kami untuk Pocu!"

   Sembah mereka.

   Sebenarnya, nafsu untuk menumpas habis orang itu telah bergejolak di hati Hek- eng Pocu untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan yang ber-tumpuk di dalam hati.

   Namun ia masih mampu menahan diri untuk tidak melakukan itu.

   Mayat yang bertebaran di luar kota Ban-siong-tin tentu akan cepat tersiar beritanya, kalau sampai didengar oleh Ketua Hwe-liong-pang yang semalam sudah mengancam agar tidak lagi melakukan pembunuhan, maka keadaan akan jadi runyam.

   Selain itu, nampaknya anak buah Lau Hong ini menyerang rombongan keluarga Sebun beberapa hari lalu, bukan karena melanggar pesan Hek-eng Pocu, malah mereka bertindak demikian karena merasa diperintah olehnya lewat "utusan"nya.

   Kini Hek-eng Pocu lah yang ingin tahu siapa "utusan"

   Itu? Karena itulah suara Hek-eng Pocu terdengar lunak tanpa nada mengancam.

   "Bangunlah, jangan begitu ketakutan terhadapku. Aku hanya ingin menanyakan beberapa soal, setelah itu kalian tidak usah mengungsi dari Ban-siong-tin sebab aku tidak bermaksud menghukum kalian..."

   Betapa leganya orang itu, mereka segera bangkit. Seorang yang tertua mewakili temannya berkata.

   "Kami mohon ampun kepada Pocu, bahwa kami gagal melaksanakan tugas yang Pocu bebankan ke pundak kami untuk membunuh Sebun Hiong dan Liu Beng. Kalau akhirnya Sebun Hiong mati juga, itu bukan karena tangan kami. Kami malu akan ketidak-becusan kami...."

   Hek-eng Pocu mengebaskan tangannya.

   "Tidak jadi soal. Tapi apakah kalian tahu siapa yang membunuh Sebun Hiong?"

   Kembali orang tertua bicara mewakili rekannya.

   "Itulah yang masih gelap, Pocu. Kami tidak percaya anak muda setangguh Sebun Hiong mati hanya oleh lukanya yang tak berarti. Tapi nyatanya, Sebun Hiong diketemukan sudah mati di luar Ban-siong-tin oleh pegawainya sendiri."

   Ujung jubah Hek-eng Pocu yang bergetar itu menandakan bahwa tubuhnya sedang bergetar pula menahan gelombang kesedihannya. Suaranyapun agak bergetar.

   "Bagaimana luka yang terdapat di tubuh Sebun Hiong?"

   "Kami tidak berani mendekati rombongan keluarga Sebun yang sedang marah dan berduka, tapi menurut keterangan pegawai rumah penginapan mereka yang kami tanyai, luka Sebun Hiong adalah luka pedang dari belakang tembus ke depan, padahal tak seorangpun dari kami bersenjata pedang."

   "bagaimana potongannya orang yang membawa perintah agar kalian menyerang rombongan keluarga Sebun?"

   Orang Hek-eng-po bekas anak buah Lau Hong itu tercengang heran mendengar pertanyaan itu, karena sang Pocu sendiri tidak mengenal orang yang disuruhnya sebagai pembawa pesannya. Tapi orang tertua dari mereka menjawab juga.

   "Seorang bertubuh ramping dan berpakaian bagus, kelihatannya seorang pemuda. Tapi kami tidak bisa melihat wajahnya sebab ia memakai topi rumput yang ditekan rendah dan selalu bicara sambil menundukkan mukanya...."

   "Kalian benar tolol......"

   Baru saja Hek- eng Pocu bicara sampai sekian, orang Hek- eng-po itu sudah menjatuhkan diri untuk berlutut sambil me-ratap mohon ampun.

   "Kalian benar tidak berotak! Tidakkah kalian curiga bahwa orang itu utusan palsu dan membawa pesan palsu pula?!"

   Geram Hek-eng Pocu sambil mengendalikan diri untuk tidak membantai orang yang menjemukan itu.

   "Kami...kami...utusan itu...membawa tiat-pai (lencana besi) yang biasa dibawa oleh lau Toako kami...."

   Sahut orang tertua dengan ter-gagap.

   "Kami kira dia benar membawa perintah Pocu, kami segera melaksanakannya tanpa berani ber-tanya lagi...."

   Bagaimanapun marahnya, tapi Hek-eng Pocu tak bisa menyalahkan dan membunuh kelima orang anak buahnya itu, apalagi ia sadar bahwa hari belakangan itu ia akan semakin membutuhkan kekuatan mereka untuk menghadapi bermacam kesulitan yang bermunculan.

   "Aku ampuni ketololan kalian. Tapi, bagaimana bunyi perintah utusan palsu itu?"

   "Dia bilang, kerahkan semua kekuatan untuk membunuh Sebun Hiong dan Liu Beng, tetapi jangan ganggu seujung rambutpun Liu Jing-yang dan Sebun Giok yang sedang hamil...."

   "Hah?! Dia berkata begitu?!!"

   "Betul, Pocu. Bahkan ia mengeluarkan lembaran kertas berharga yang bisa ditukar dengan uang ribuan tahil, katanya untuk ongkos mencari tenaga bayaran yang bisa membantu membunuh Sebun......."

   "Keparat!!!"

   Tubuh Hek-eng Pocu menggigil karena marahnya. Keterangan orang itu membawanya pada satu kesimpulan tentang siapa orangnya yang membunuh Sebun Hiong. Tapi untuk memastikan dugaannya, dia berkata.

   "Masih adakah satu lembar saja dari kertas berharga itu? aku ingin melihatnya!"

   Orang tertua dari anak buah Lau Hong itu mengeluarkan selembar, yang seharusnya dibayarkan kepada Tok-beng-ke si raja ayam namun ia keburu mampus ditendang dadanya oleh Liu Beng pada pertempuran malam itu.

   Dengan tangan gemetar, Hek-eng Pocu menerima kertas itu dan memeriksa capnya.

   Itulah cap dari salah satu cabang perdagangan keluarga Sebun, dan ia periksa juga tanggal dikeluarkannya, untuk dicatat dalam otaknya.

   "Keparat! Pasti dia!"

   Geram Hek-eng Pocu.

   Sebelum orangnya Lau Hong sadar apa yang terjadi, Hek-eng Pocu telah berkelebat menghilang dari hadapan mereka.

   Lembaran kertas berharga itu me-layang di udara dan ditangkap oleh salah seorang dari mereka sebelum jatuh ke tanah.

   "Bagaimana kita sekarang?"

   "Pocu sudah memaafkan kita, agaknya ia sudah tahu siapa orangnya yang memalsukan perintahnya itu dan tentu akan mencarinya. Baiknya kita tidak usah meninggalkan Ban-siong-tin. Di Ban-siong-tin kita sudah mapan dengan usaha kita, sayang kalau ditinggalkan...."

   "Memang betul. Ayo kita kembali!"

   Merekapun putar kereta mereka untuk balik ke Ban-siong-tin, tidak jadi mengungsi.

   Sementara itu, Hek-eng Pocu meluncur ke tengah hutan cemara.

   Tiba di tempat yang sepi, ia membanting dirinya dan merenggut kedok yang menutupi wajahnya, wajah sang pendekar terhormat Sebun Him, yang pipinya basah dengan air mata.

   Sambil duduk di tanah ia menangis sesenggukan dan me-mukul kepalanya sendiri.

   "Inikah yang disebut hukum karma oleh para keledai gundul? Dengan Hek-eng-po aku memainkan banyak nyawa di dunia persilatan, tapi kini permainanku meminta korban anak lakiku sendiri...."

   Setengah hari lebih dia hanya meratap sendirian, tidak makan atau minum, sampai akhirnya ketenangannya pulih kembali.

   "Hem, apa boleh buat, seorang lelaki ber-cita tinggi seperti aku ini tidak boleh surut langkah hanya oleh rintangan kecil macam ini. Aku harus maju terus. Anakku sudah terlanjur jadi korban maka aku harus maju terus supaya pengorbanannya tidak sia."

   Lalu ia copot semua pakaian hitamnya, diganti dengan pakaian yang biasa dari dalam bungkusan kecil pakaian yang tergantung di punggungnya.

   Ganti pakaian hitam yang sekarang disimpan dalam bungkusannya.

   Kemudian melangkah keluar dari hutan pohon cemara menuju ke barat.

   Tekadnya ialah menghukum pembunuh Sebun Hiong, setelah itu rencananya akan berjalan terus.

   Salah satu rencananya ialah memusnahkan Tong Lam-hou, Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng, kalau perlu Auyang Siau- hong juga, sebab gadis Ki-lian-pai itu cukup lama bersama Pakkiong Eng dan mungkin sudah tahu rahasia Hek-eng Pocu juga....

   Bagaimanapun juga, janji Tit-hun-ong In Si tentang jabatan gubernur Siam-sai itu tidak boleh lepas dari tangannya.

   "Kalau aku menjadi gubernur setelah Pangeran In Si naik tahta kelak, A-hiong, akan kubangun makammu menjadi yang paling megah di kekaisaran ini, melebihi megahnya makam kaisar dinasti Beng di Lam-khia..."

   Begitu ia berjanji pada diri sendiri.

   *Oz* BAGIAN TIGA PULUH TUJUH Keluarga Sebun adalah sebuah keluarga amat terhormat, bukan saja di Siam-sai tetapi juga di propinsi barat laut, di dunia persilatan maupun di dalam usaha perdagangan.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di dunia persilatan, keluarga Sebun dikagumi dengan keberanian mereka menentang Hek-eng-po secara terangan, suatu hal yang bahkan tidak dilakukan oleh Siau-lim-pai atau Hwe-liong-pang.

   Di kalangan dagang, jaringan usaha dagang yang beranak- cabang di seluruh negeri itu membuat keluarga tersebut di-sebut sebagai yang paling kaya di kawasan barat laut.

   Berita kematian putera keluarga Sebun yang terbunuh oleh Hek-eng-po (begitulah kabar yg tersiar), segera tersiar lebih cepat dari jalannya angin.

   Orang dari berbagai golongan yang bersimpati kepada keluarga Sebun, atau sekedar ingin ramai, segera membanjiri kota Se-shia untuk menyatakan belasungkawa, meskipun sebenarnya rumah Sebun Him tidak di dalam kota melainkan di luar kota, berbentuk puri berdinding tinggi.

   Di balik dinding rumah itu, warna putih di segala sudut menguasai pemandangan mata.

   Orang berpakaian putih, ikat kepala putih, tirai putih, pintu dan jendela yang dilapisi kertas putih, karangan bunga putih, lampion kertas putih.....

   Siang malam tamu datang dan pergi untuk menghormati almarhum, atau sekedar menumpang makan minum gratis.

   Isteri Sebun Him dengan mata merah kebanyakan menangis senantiasa berada di samping peti jenazah.

   Perempuan gemuk itu memakai pakaian belacu putih dan tidak mengenakan perhiasan intan permatanya selama perkabungan, itupun merupakan siksaan tersendiri baginya sebab perhiasannya sudah nyaris menjadi anggota tubuhnya.

   Liu Jing-yang terus mendampingi ibu mertuanya tersebut dengan sikap prihatin, ia berusaha memperagakan kesedihannya yang luar biasa dengan menunggui peti jenazah hampir tanpa selang waktu, siang atau malam.

   Lagaknya memang meyakinkan.

   Persis ketika dulu di Liu-keh-chung dia bersedih untuk kematian Liu Tek-san, saudara sepupunya yg juga "dibunuh Hek-eng-po"....

   Beberapa hari kemudian Sebun Him tiba dari Siong-san dan rumah besar itu kembali diguncang ratap tangis, mengikuti Sebun Him yang menangis di samping peti mati sambil meng-usap pipi Sebun Hiong yg sudah dingin.

   Ketika ratap tangis mulai reda, tiba Sebun Him menatap tajam ke arah Liu Jing-yang sambil berkata.

   "Aku sudah tahu siapa yang telah membunuh A-hiong! Begitu pemakaman selesai, pembunuhnya akan aku hukum seberat-beratnya!"

   Liu Jing-yang yang sedang ikut "meratap sedih"

   Itu sempat terkejut mendengar ucapan mertuanya tersebut.

   Ketika mertuanya menatapnya dengan tajam, keringat dinginpun bagaikan terperas habis dari tubuhnya, sampai membasahi baju kain belacunya.

   Sekuat tenaga ia berusaha tidak memperlihatkan kegugupannya dengan cara menghibur diri.

   "Tidak ada yang melihatku malam itu. Tidak seorangpun. Aku yakin. Gakhu (ayah mertua) tentu hanya ingin melihat perubahan wajah orang di ruangan ini, dan aku tidak boleh terpancing...."

   Meskipun berusaha menenteramkan diri sendiri, toh jantungnya berdenyut lima kali lebih cepat dari biasanya dan keringat dingin tak hentinya mengalir.

   Sebun Him sekuat tenaga mengendalikan diri agar tidak langsung menerkam dan mencekik leher Liu Jing-yang di hadapan ratusan tamu di ruangan itu.

   Ia sudah yakin Liu Jing-yang lah pembunuh puteranya, pendorongnya apa lagi kalau bukan karena warisan harta yang menggunung? Namun ia bertekad, kematian Liu Jing-yang kelak hendaknya merupakan suatu keuntungan pula bagi rencananya, terutama bagi kedoknya yg nyaris terbuka oleh Ketua Hwe-liong-pang....

   Karena pikiran itulah maka sikapnya kepada Liu Jing-yang berubah.

   Bahkan kemudian me-nepuk pundak Liu Jing-yang seolah tidak mencurigainya, dan berkata.

   "Jing-yang, berlatihlah sungguh agar kelak dapat ikut membalas sakit hati Suhengmu...."

   Tadinya Liu Jing-yang sudah takut setengah mati bahwa tepukan di bahunya itu akan merontokkan tulangnya dan membuatnya muntah darah, tapi ternyata tepukan biasa saja. Maka legalah ia. Sambil memamerkan air matanya kembali, ia menjawab.

   "Aku bersumpah untuk membunuh orang Hek-eng-po se-banyaknya demi arwah Suheng...."

   Sebun Him menanggapinya dengan menggeram sinis dalam hatinya.

   "memang Hek-eng-po sudah melakukan banyak pembunuhan demi citaku, tapi enak betul kalau setiap pembunuhan lalu dituduhkan kepada kami...."

   Tengah "sandiwara"

   Antara mertua dan menantu itu berlangsung mengasyikkan, Liu Beng tiba melangkah masuk, mendekati Sebun Him untuk memberi hormat dan melapor.

   "Toaya, tamu dari Hoa-san-pai tiba di pintu gerbang...."

   Mendengar itu, bergegas Sebun Him mengajak isterinya, menantunya dan anak gadisnya untuk menyambut keluar.

   Hoa-san-pai adalah perguruan asal Sebun Him, meskipun kemudian ia menjadi lihai karena menemukan ilmu Kun-goan-sin- kang yang bukan berasal dari aliran Hoa-san- pai.

   Rombongan Hoa-san-pai ternyata cukup besar, terdiri dari belasan orang yang campur- aduk antara Tojin (imam agama To) dan orang biasa, dari segala tingkatan.

   Yang memimpin adalah seorang kakek tua bukan Tojin, Kiau Bun-han yang bergelar Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) yang usianya sudah hampir sembilanpuluh tahun tapi masih kelihatan gagah dengan punggung yg tetap lurus.

   Ia termasuk angkatan tua, paman guru dari Sebun Him, sedang lainnya adalah pendekar yang seangkatan dengan Sebun Him, atau lebih muda.

   Di antaranya terdapat pula Bhe Giok-im dan adik lakinya, anak Bhe Un-liang almarhum dari Liong-coan.

   Anak laki itu tidak lupa membawa sebuah mainan kesayangannya, boneka wayang potehi....

   Sebun Him segera berlutut di depan paman gurunya, diikuti isterinya, menantu dan puterinya, mengucapkan salam dan kemudian mempersilahkan masuk ke dalam untuk bergabung dengan tamu lainnya, tetapi di tempat yang lebih terhormat.

   Setelah anggota rombongan bersembahyang di depan peti jenazah, mereka segera mengambil tempat duduk.

   Kiau Bun- han segera berkata kepada Sebun Him.

   "Sutit (keponakan murid), begitu kabar kematian puteramu sampai di Hoa-san, kami langsung kemari. Sebenarnya kami hendak ke Liong- coan sebab puteri Bhe Sutit datang menangis ke Hoa-san untuk mengadukan nasib ayahnya yang dibunuh si keparat Majikan Hek-eng-po, namun kami kemudian mendengar musibah menimpa keluargamu pula, diakibatkan oleh tangan yang sama!"

   Memang Hoa-san, gunung yang menjadi pusat aliran silat Hoa-san-pai terletak pula di propinsi Siam-sai, sehingga tidak mengherankan kalau orang Hoa-san-pai cepat mendengar berita duka dari Se-shia.

   Sementara itu, seorang saudara seperguruan Sebun Him yang bergelar Seng- hua Tojin dengan geram memukul pegangan kursi sambil berkata.

   "Hek-eng-po sudah berani membunuh Bhe Sute dan Sebun Sutit, ini berarti sudah menantang perang kepada Hoa-san-pai kita! Perguruan kita akan ditertawakan orang kalau tidak berani mengambil tindakan balasan yang setimpal!"

   Sebun Him menunjukkan wajah sedihnya lalu berkata.

   "Semangat untuk membalas sakit hati mungkin ada dalam diri kita masing. Tapi... agaknya sulit.....

   "Hem sesulit apapun, nama besar Hoa- san-pai harus ditegakkan dan tidak boleh dibiarkan di-injak kaum iblis itu!"

   Namun Sebun Him menunjukkan sikap seperti orang yang patah semangat, ia meng- gelengkan kepala.

   "Dulu aku membenci Hek- eng-po matian, tak kusangka bahwa Hek-eng Pocu itu ternyata.... ternyata adalah.... ah, lebih baik tak usah kukatakan saja..."

   "Siapa dia? Katakan namanya!"

   "Betul, bukan saja untuk membalas sakit hati Hoa-san-pai, tapi juga untuk mengamankan dunia persilatan dari teror keji iblis itu!"

   Sebun Him menunjukkan sikap sangat berat hati.

   "Seorang sahabatku yang namanya cukup terhormat di kalangan persilatan, ternyata adalah dalang dari semua malapetaka ini. Aku sebenarnya rela kehilangan puteraku tanpa membuka rahasianya, sebab aku sayang kalau nama baiknya sampai runtuh, aku hanya ingin menasehatinya secara diam agar dia merubah kelakuannya...."

   "Tidak bisa!"

   Imam Seng-hua menggebrak meja begitu keras sehingga tamu lainnya kaget dan menoleh.

   "Nama itu harus disebutkan, harus diumumkan, biar semua orang persilatan tahu siapa iblis itu!"

   "Baiklah,"

   Kata Sebun Him dengan berat.

   "Karena Susiok dan para saudara seperguruan mendesakku, juga demi keamanan dunia persilatan, aku sebutkan siapa dia itu. dia bukan lain adalah Tong Lam-hou, Ketua Hwe-liong-pang...."

   Terdengar suara gemerantang, ketika mangkuk teh di tangan Bhe Giok-im jatuh dan pecah di lantai. Wajah gadis itu merah padam menahan kemarahan.

   "Tong Lam-hou, aku bersumpah akan mencincangmu, biarpun ilmumu setinggi langit dan kau dihormati kalangan luas seperti seorang dewa yang suci!"

   Dengan sikap menyayang, Sebun Him mengulur tangannya untuk membelai kepala gadis remaja yang sudah yatim piatu itu. suaranya kedengaran menghibur, namun sebenarnya menghasut, membakar hati.

   "Relakan saja kematian orang yang kita cintai, A-im, akupun sangat sedih kehilangan anak lakiku. Tapi mau apa lagi? kebanyakan orang sudah terlanjur silau oleh nama Tong-lam-hou, sulit membuat orang percaya bahwa dialah sebenarnya si iblis itu...."

   Para pendekar tua Hoa-san-pai itu sebenarnya bukan manusia otak udang yang berpikiran sempit.

   Kalau mendengar dari orang lain, mereka tidak akan dengan gegabah menerima tuduhan terhadap Ketua Hwe-liong- pang itu, namun yang bicara justru Sebun Him, orang seperguruan kebanggaan mereka yang namanya dikenal bersih dan terhormat.

   Bahkan yang anak lakinya telah menjadi korban Hek- eng-po sehingga sulit untuk tidak mempercayainya.

   Seperti orang tua yang dengan bijaksana menasehati anak tetangganya agar jangan nakal, namun kalau anaknya sendiri nakal dan dimarahi tetangga, maka ia akan membela habisan, kalau perlu batu dan bakiak akan beterbangan.

   Begitu pula orang Hoa-san-pai tersebut, mereka yakin bahwa pihak mereka tidak mungkin salah.

   Selalu benar.

   Yang salah itu pasti orang lain.

   Seorang pendekar seangkatan Sebun Him yang mukanya berewokan, bernama Kong Beng-thian dan berjuluk Jiat-eng-kiam (pedang bayangan maut), menggeram.

   "Sudah aku duga. Tetapi kita tidak perlu heran mendengarnya, seandainya kita mau menengok sejarah Hwe-liong-pang di masa lalu. Mereka memang kumpulan iblis terkutuk. Hanya selama dua puluh tahun terakhir ini, di bawah pimpinan Tong Lam-hou, mereka ganti siasat dengan bertopeng pendekar pembela keadilan. Hampir seluruh dunia berhasil mereka kelabui. Tapi mereka tetap saja dengan nafsu teror mereka membentuk gerombolan lain yang diberi nama Hek-eng-po, padahal Hek-eng-po hanyalah cabang Hwe- liong-pang sendiri!"

   "Sehabis pemakaman, kita harus umumkan kenyataan ini se-luasnya. Kita ajak seluruh kekuatan putih dunia persilatan untuk menggempur Tiau-im-hong! Kalau perlu, Hoa- san-pai kita harus berani berdiri di barisan paling depan!"

   Disamping sedih kehilangan puteranya, Sebun Him juga gembira karena hasutannya berhasil.

   Hoa-san-pai adalah satu dari tujuh aliran silat besar di Tiong-goan, kalau Hoa-san- pai sudah buka suara, maka mau tidak mau dunia persilatan akan mendengarkannya.

   "Tetapi, Sute, dari mana kau bisa tahu bahwa Hek-eng Pocu adalah Tong Lam-hou?"

   Tanya Seng-hua Tojin kepada Sebun Him. Yang ditanya pun mulai mengarang cerita.

   "Ketika aku sedang di Siong-san bersama Pun-bu Hweshio dan Tong Lam-hou, aku mendengar kabar bahwa anakku terbunuh di Ban-siong-tin oleh keparat Hek-eng-po. Rupanya Tong Lam-hou sengaja membuat aku sibuk di Siong-san dengan mengajak main catur, ber-bincang tentangsilat, dan sebagainya, sementara anak buahnya mengganas di luaran untuk membantai keluargaku...."

   "Terus bagaimana?"

   "Waktu itu aku belum percaya Tong Lam-hou adalah penjahatnya, maklumlah, kami berdua bersahabat baik berpuluh tahun lamanya. Aku tinggalkan Siong-san untuk menyelidik ke Ban-siong-tin tapi Tong Lam-hou juga menyusul ke tempat pembunuhan itu. Ketika aku berusaha menyelidiki kematian anakku, dia dengan tetap berlagak sebagai sahabat baik, telah berusaha merintangi dan mengaburkan penyelidikanku. Rupanya cemas jejak kejahatannya akan tersingkap. Namun akhirnya tersingkap juga kedoknya sebagai Hek-eng Pocu, bahkan kami sempat bertempur. Dia dapat aku kalahkan dan kabur sambil mengancam akan menyebarkan desas-desus di dunia persilatan bahwa akulah sebenarnya Hek-eng Pocu, bukan dia...."

   "Bangsat tua Tong Lam-hou itu bukan Cuma pintar membunuh, tapi juga memfitnah!"

   Geram Kong Beng-thian sengit.

   "Itulah cara kerja Hwe-liong-pang sejak dulu. Bermuka dua. Dulu Tong Wi-siang dan Siangkoan Hong ber-pura menjadi pendekar kebajikan, sementara sebagian orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Te-liong Hiang-cu melakukan teror keji. Bangsat!"

   Demikianlah, selagi pembicaraan di kalangan orang Hoa-san-pai semakin sengit mengutuk Tong Lam-hou, Liu Beng kembali masuk memberi hormat dan melaporkan.

   "Toaya, rombongan dari Hwe-liong-pang datang menyatakan duka cita, dipimpin oleh Tong Hujin (nyonya Tong) serta empat Hiangcu (hulubalang)...."

   Mendengar itu, semua orang Hoa-san- pai sudah menggenggam tangkai pedang mereka masing, siap untuk dicabut. Tapi mereka tidak segera bergerak sembarangan, masih ingin melihat bagaimana sikap Sebun Him terhadap tamu "golongan iblis"

   Itu. Sebun Him berkata.

   "Aku mengharap Susiok dan saudara seperguruan tetap tenang. Biarlah rombongan itu masuk dan berlagak sebagai tamu yang baik, kita lihat saja bagaimana tingkah mereka yang penuh ke-puraan. Tapi jangan bertempur di sini dan saat ini, aku mohon...."

   Kalau Sebun Him sebagai tuan rumah dan orang tua yang kehilangan anak saja bisa menahan diri sehebat itu, tidak ada jalan lain bagi pendekar Hoa-san-pai kecuali menuruti permohonan tersebut.

   Tapi mereka tetap bermata mencorong penuh dendam, duduknya juga gelisah, seolah di kursi mereka ada ribuan kutu busuk kelaparan menggigiti pantat mereka.

   Liu Beng agak heran juga melihat gerak-gerik tamu Hoa-san-pai tersebut, tetapi sebagai pegawai dia tidak ingin lancang bertanya.

   Ia kemudian ikut saja di belakang Sebun Him untuk keluar menyambut pelayat dari Hwe-liong-pang.

   Ia berharap mudahan dalam rombongan itu ikut pula Tong Gin-yan yg sudah menjadi sahabatnya biarpun baru bertemu satu kali ketika mengeroyok Hek-eng Pocu dulu.

   Ternyata tidak, rombongan Hwe-liong- pang cuma terdiri dari lima orang dan Tong Gin-yan tidak nampak di antaranya, bahkan ketua Hwe-liong-pang sendiri tidak kelihatan batang hidungnya.

   Yang memimpin adalah seorang perempuan setengah tua yang masih nampak ramping dan cantik, To Li-hua, wanita Manchu isteri Tong Lam-hou.

   Pengiringnya adalah empat kakek berjubah beraneka ragam warna dan potongannya tapi tidak mengandung setitik warna merahpun sebagai tanda hormat kepada keluarga yang sedang berduka, juga tidak ada yang membawa senjata.

   Agaknya merekalah tokoh Hwe-liong-pang yang selama ini dikenal dengan sebutan Su-tay Hiangcu (Empat Hulubalang Utama) yang berkedudukan lebih tinggi dari delapan Tongcu dan delapan Hutongcu.

   Kakek yang bertubuh kurus pucat adalah Oh Yun-kim, seorang berdarah Korea yang mahir tendangan Tae-kyun dari negeri leluhurnya sehingga dijuluki denganBu-ing-tui- siu (kakek tendangan tanpa bayangan).

   Sebelahnya, yang berpakaian seperti orang daerah Se-cuan, lengkap dengan topi kulit dan sepatu jeraminya adalah Auyang Siau-pa yang kecepatan Golok Pendek Bulan Sabit-nya ditakuti lawan, namun kali itu ia tidak membawa goloknya, se-tidaknya tidak kelihatan.

   Entah kalau disembunyikan dalam jubahnya.

   Kakek ketiga bermuka hitam berbadan lebar kekar.

   Namanya Lu Siong dan julukannya Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati).

   Kakek keempat bertubuh agak pendek, hanya setinggi pundak rekannya, tubuhnya gemuk, biarpun memelihara jenggot putih panjang namunwajahnya justru wajah bocah yang putih ke-merahan, banyak tersenyum.

   Ialah Siau-lo-cia (Dewa Lo-cia Kecil) Ma Hong.

   Jaman lalu, keempat kakek itu adalah empat dari delapan Tongcu (Kepala Seksi) Hwe-liong-pang, kemudian empat yang lainnya sudah gugur dalam berbagai peristiwa persilatan, atau meninggal dunia karena usia tua.

   Empat sisany anik kedudukan menjadi Hiangcu, sedang kedudukan Tongcu diisi oleh tokoh muda Hwe-liong-pang.

   Keempat Hiangcu itu biasanya hidup tenteram di Tiau-im-hong, sedangkan riuh- rendahnya dunia persilatan hanya diurus oleh para Tongcu saja.

   Namun kini melihat Su-tay Hiangcu muncul sekaligus di rumah keluarga Sebun, menunjukkan Hwe-liong-pang menganggap cukup serius urusan dalam keluarga Sebun itu.

   Melihat itu, sekilas timbul pikiran Sebun Him untuk menyandera isteri Tong Lam-hou untuk memaksa agar sang ketua Hwe-liong- pang mengakui dirinya sebagai Hek-eng Pocu supaya kecurigaan dunia persilatan menumpuk semua di kepalanya.

   Sebun Him tahu, kepandaian To Li-hua tidak seberapa.

   Namun ketika terpandang olehnya keempat kakek pengiring To Li-hua tersebut, maka bimbanglah Sebun Him.

   Sejak ia masih muda dulu, keempat kakek Hwe-liong-pang itu sudah terkenal ketinggian ilmunya.

   Meskipun dirinya dibantu pegawainya yang berjumlah banyak dan semuanya terlatih silat, ditambah orang Hoa-san-pai, ditambah lagi tamunya yang mungkin mempercayai fitnahannya, belum tentu pihaknya berhasil menangkap To Li-hua berlima.

   Bukan cuma karena ketinggian ilmu Su- tay Hiangcu, tetapi juga karena di antara tamu juga banyak sahabat Hwe-liong-pang yang tidak akan berpangku tangan saja.

   Kalau sampai penangkapan gagal dan Ketua Hwe- liong-pang mendengarnya, maka rahasianya sendiri sebagai Hek-eng Pocu akan segera tersiar melalui mulut Tong Lam-hou.

   Ia sendiri tidak tahu kenapa Tong Lam- hou tidak ikut muncul bersama rombongan Hwe-liong-pang ini, entah di mana dan sedang apa? Ia mengharapkan agar tiga pembantunya, Jiat-jiu Lokoai, Ang-pit Tojin, dan Hin-heng Lojin yang sudah diperintahkannya untuk membunuh Tong Lam-hou sudah berhasil dengan tugasnya.

   Fitnahannya terhadap Tong Lam-hou di hadapan pendekar Hoa-san-pai tadi hanyalah sekedar "siasat cadangan"

   Seandainya Jiat-jiu Lokoai bertiga tidak berhasil melaksanakan tugas.

   Tapi dorongan untuk menyandera isteri Tong Lam-hou telah dibuangnya jauh.

   Itu sejenis permainan untungan yang kelewat berbahaya kalau gagal, kalaupun berhasil bisa menyuramkan pandangan orang banyak terhadap keluarga Sebun yang menyandera isteri sahabatnya sendiri.

   Sebagai Hek-eng Pocu, ia boleh berbuat sekeji apapun dengan berlindung di balik kedoknya.

   Tapi sebagai Sebun Him ia harus tetap menjaga nama baiknya.

   Walaupun kemarahan dan kesedihan bercampur aduk, dia bertekad untuk tetap bertindak dituntun akal sehatnya.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena itulah dia menyambut rombongan Hwe-liong-pang dengan baik.

   Mengantarkan mereka sampai di depan peti jenazah untuk bersembahyang, membalas hormat mereka mewakili pihak keluarga yang berkabung, kemudian mempersilahkan mereka duduk, atau membiarkan mereka saling menyapa dengan tamu yang sudah mereka kenal.

   Tapi ketika To Li-hua serta Su-tay Hiangcu menyapa hormat ke pihak Hoa-san- pai, mereka tercengang karena orang Hoa- san-pai menyambutnya dengan angkuh dingin, bahkan tidak bangkit dari kursi mereka.

   Bahkan pula mata mereka memancarkan rasa permusuhan dan kebencian yang tak diketahui sebab-musababnya oleh orang Hwe-liong- pang tersebut.

   "Apakah karena aku wanita dari Liau- tong (tempat asal bangsa Manchu)?"

   Demikian To Li-hua bertanya kepada dirinya sendiri di dalam hati sambil kembali ke kursinya.

   Ia sadar, jaman itu rasa permusuhan sebagian orang Han terhadap orang Manchu masih tebal.

   Orang Manchu dianggap bersalah atas runtuhnya dinasti Beng, dinastinya orang Han.

   Sebagian orang Han lebih suka di bawah pemerintahan yang kacau-balau asal kaisarnya orang Han sendiri daripada pemerintahan yang tertib tapi kaisarnya kelahiran Liau-tong....

   Sementara Auyang Siau-pa dan lain anggota Su-tay Hiangcu juga heran atas sikap para jenggot putih dari Hoa-san-pai tersebut.

   Selama puluhan tahun terakhir ini, rasanya perhubungan Hwe-liong-pang dengan pihak Hoa-san-pai cukup baik, meskipun tidak akrab benar.

   Kenapa kini mendadak orang Hoa-san- pai menatap mereka seolah mereka sudah mengemplang hutang selaksa tahil? Namun kemudian To Li-hua dan Su-tay Hiangcu tak peduli lagi biarpun orang Hoa- san-pai melotot atau me-ngerot gigi, atau me-megang tangkai pedang, atau saling berbisik sambil me-lirik dengan muka penuh kemarahan...

   "Barangkali mereka baru saja kencing di kuburan yang angker dan kesurupan hantu penunggu kuburan itu,"

   Pikir Oh Yun-kim dalam hatinya.

   Sementara itu, Liu Jing-yang yang masih sibuk membalas hormat para tamu yang datang dan pergi, berdampingan dengan ayah mertuanya, tiba didekati oleh seorang pengawal keluarga Sebun yang membawa sepucuk surat bersampul.

   "Liu Siauya, seseorang menitipkan surat ini untuk Siauya...."

   "Mana orangnya?"

   Tanya Liu Jing-yang sambil menerima surat itu.

   "Sudah pergi, Siauya. Ia hanya minta disampaikan suratnya kepada Siauya lalu buru pergi. Selangkahpun tidak masuk ke pintu...."

   Liu Jing-yang merasa pengirim surat itu agak aneh gerak-geriknya, isi suratnya pun tentu tergolong aneh pula.

   Karena itu ia tidak mau membuka sampul surat tersebut di samping ayah mertuanya.

   Kuatir kalau sang ayah mertua ikut melihat isi surat yang seharusnya diketahui olehnya sendiri saja....

   Dengan alasan akan menyelesaikan sebuah urusan di bagian belakang, Liu Jing- yang mohon diperbolehkan meninggalkan samping peti mati sebentar.

   Sebun Him hanya mengangguk dengan dingin, dan Liu Jing-yang segera menghilang ke belakang.

   Di kebun samping yang sepi, Liu Jing- yang merobek sampul surat dan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi.

   Ketika kertas dibeber, terguncanglah jantung Liu Jing- yang.

   Kertas itu tidak berisi sebuah hurufpun, hanya sebuah lukisan kasar dan jelek seperti hasil karya pelukis pemula.

   Namun toh lukisan jelek itu gampang dipahami artinya oleh orang paling goblok sekalipun.

   Lukisan itu menggambarkan sebuah tempat yang banyak pohon cemaranya, ada gambar seorang lelaki yang sedang ditusuk punggungnya dengan pedang oleh seorang lelaki lainnya.

   Lelaki yang ditusuk itu diberi tulisan "Sebun Hiong"

   Dan yang menusuk bertuliskan "Liu Jing-yang"! Keruan Liu Jing-yang menggigil dan mukanya menjadi pucat pasi, ia yakin peristiwa di luar kota Ban-siong-tin pada saat ia membunuh Sebun Hiong itu tak dihadiri orang ketiga.

   Ia yakin.

   Tapi....

   lukisan itu.....

   Ia tenangkan debaran jantungnya lebih dulu, lalu memeriksa lukisan tersebut lebih cermat.

   Alangkah kasarnya, tentu pelukisnya tidak becus memegang kuas.

   Yang digambarkan sebagai orang itu hanyalah bulatan kecil dengan dua titik sebagai kepala dan mata, dan bulatan besar sebagai badan.

   Tangan dan kaki hanya berbentuk garis kasar.

   Tapi bukan jeleknya lukisan itu, melainkan maknanya yang menimbulkan gambaran menakutkan dalam diri Liu Jing-yang bahwa perbuatan khianatnya di Ban-siong-tin itu ternyata diketahui orang, entah siapa.

   Itu membahayakan kedudukannya sebagai ahli waris tunggal kekayaan keluarga Sebun.

   Siapa pengirim surat itu? "Apakah A-liu?"

   Demikian Liu Jing-yang men-duga dalam hati.

   "Aku tahu A-liu sebenarnya seorang lelaki yang menyamar sebagai gadis pelayan keluarga Sebun sebab aku pernah melihat dia kencing (dan mak plenus...xixixi.......). Dia menghilang setelah kejadian di Ban-siong-tin......"

   Meskipun gugup, tapi per-lahan otak Liu Jing-yang mulai berjalan lagi.

   Siapapun pengirim surat lukisan itu, pikirnya, dia tentu hanya ingin menggertak aku, mungkin hendak mengadakan semacam perjanjian saling menguntungkan denganku.

   Kalau dia hendak menjatuhkan aku, kenapa surat ini tidak diserahkan langsung kepada Gakhu, melainkan kepadaku dulu? Ini pasti semacam pemerasan....

   Berpikir demikian, hatinya menjadi sedikit lega.

   Yang penting, harus diketahui lebih dulu siapakah pengirim surat itu.

   Tentu dalam beberapa hari ini akan menghubungi aku lagi, entah dengan cara bagaimana, pikirnya.

   "Tidak mungkin ia hanya ingin me- nakuti aku, terang ada maunya....."

   Tapi gara surat gelap itu, Liu Jing-yang merasa rumah keluarga Sebun jadi kurang aman baginya.

   Kecuali kalau sang ayah mertua sudah mampus pula, barulah ia dapat mengangkangi warisannya dengan bebas tanpa takut kepada siapapun lagi, baik kepada ibu mertuanya maupun kepada isterinya.

   Ya, ia harus mulai memikirkan langkah untuk melenyapkan mertua lelakinya.

   Tapi mertuanya itu begitu tinggi ilmunya, bagaimana cara membunuhnya? Dengan racun? Belum tentu berhasil, malah bisa konangan.

   Menyewa pembunuh sekaliber Hong-san-pat-sat atau Lau Hong dan kawannya? Percuma, mem-buang uang saja, mereka pasti akan disapu habis oleh ayah mertuanya dengan gampang.

   Lalu dengan cara bagaimana? Oh, ada akal.

   Dengan cara menghubungi dan mengajak kerja sama Hek- eng Pocu, yang dalam pikiran Liu Jing-yang adalah musuh yang setimpal buat ayah mertuanya.

   Ya, Hek-eng Pocu adalah orang yang cocok! Bukankah selama ini ayah mertuanya menyatakan saling membenci dengan Hek-eng Pocu? Dengan sedikit bantuannya, ayah mertuanya akan didorong masuk perangkap Hek-eng Pocu agar mampus! Akal cemerlang, Liu Jing-yang memuji kecerdasan otaknya sendiri.

   Aku memang hebat, aku memang cerdas, aku yang pantas membangun kembali kejayaan Liu-keh-chung! Wahai keparat Hek-eng Pocu, tunggulah dengan sabar sampai mertuaku aku serahkan ke tanganmu untuk kau sembelih, dan mudahan kau ikut mampus juga supaya dendam keluargaku terbalas! Ha-ha, ini namanya sekali dayung, dua pulau tercapai.

   Musuh keluarga dan mertua pelit mampus sampyuh! Tiba Liu Jing-yang ingat bahwa tadi ayah mertuanya me-nyebut bahwa Hek-eng Pocu adalah samaran dari Ketua Hwe-liong- pang Tong Lam-hou.

   Jadi kini Liu Jing-yang tahu ke mana jalannya untuk menghubungi "Hek-eng Pocu"! Ia berharap, kalung besi berlambang elang yang dirampasnya dari Lau Hong itu bisa digunakan untuk menghubungi pihak Hek-eng-po.

   Tapi enaknya menghubungi Tong Lam- hou sebagai Hek-eng Pocu atau sebagai Hwe- liong Pangcu? Ah, sebagai Hek-eng Pocu saja, sebab kalau menghubunginya sebagai Hwe- liong Pangcu dia akan tersinggung demi nama baiknya.

   Ya, sebaiknya begitu saja.

   "Pantas, dulu di kuburan tua, Tong Lam-hou membiarkan Jiat-jiu Lokoai dan tiga orang sisa Sukoai melarikan diri ketika hendak dibunuh Kam Hong-ti dan Si Liong-cu,"

   Pikir Liu Jing-yang.

   "Kiranya mereka diam adalah anak buah Tong Lam-hou sendiri....." *Oz* Bersambung ke

   Jilid 33 TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 33 Liu Jing-yang puas dengan rencananya itu.

   Tapi itu rencana jangka panjang, harus diatur dengan cermat sekali.

   Sedang rencana jangka pendeknya adalah menemukan si pengirim surat itu, pura mau berunding, tapi kalau ada kesempatan langsung gorok saja lehernya....

   Dengan hati lebiih tenang dan langkah lebih mantap, si "menantu cerdas"

   Inipun kembali ke ruang mayat.

   Ketika lewat sebuah keranjang sampah, dilemparkannya kertas yang sudah diremasnya tersebut ke keranjang sampah.

   Namun tiba ia merasa tindakannya tersebut kurang ber-hati.

   Ia melangkah balik ke keranjang sampah untuk mengambil lukisan itu dan kemudian dibakarnya hingga menjadi abu.

   Setelah itu barulah ia merasa aman.

   Upacara pemakaman jenazah Sebun Hiong barangkali adalah upacara pemakaman paling megah yang pernah dilihat rakyat kota Se-shia.

   Bukan itu saja, tetapi juga barisan panjang jago persilatan bernama besar, pemimpin kelompok persilatan atau perguruan ternama, semuanya berbaris di belakang kereta pengusung jenazah dengan sikap hormat.

   Di tengah keharuan dan kekhidmatan yang meliputi upacara itulah orang Hoa-san- pai dengan semangat tinggi, semangat kebencian, menyusup kesana-kemari dan menyebarkan berita bahwa Hek-eng Pocu si durjana besar itu bukan lain adalah Hwe-liong Pangcu Tong Lam-hou.

   Dan tanggapan orang yang mendengarkanpun beraneka ragam.

   "Pantas Hwe-liong Pangcu tak berani muncul sendiri biarpun mengaku sebagai sahabat Sebun Taihiap...."

   Sahut sesorang yang terhasut.

   "Kiranya dia sadar kedoknya sudah terbuka. Dasar pengecut."

   Fitnahan yang disebar Sebun Him menemui "tanah subur"

   Pada diri orang yang leluhurnya atau dirinya sendiri pernah bentrok dengan Hwe-liong-pang dan masih merasa dendam.

   Jumlah orang ini lumayan banyak, tapi secara sendiri mereka tidak berani berkutik terhadap Hwe-liong-pang yang besar dan kuat.

   Dengan beredarnya desas-desus tersebut, orang golongan ini menemukan ikatan untuk bersatu satu sama lain.

   Segera beredarlah bisik yang agak keras tentang usul untuk menggempur Tiau-im-hong, mengadili Tong Lam-hou, atau menggalang kekuatan golongan putih untuk menumpas iblis dan macam pendapat lagi.

   Tapi tidak jarang bibit kebencian yang disebarkan itu menemui "angin keras"

   Seperti misalnya.

   "Omong kosong! Dari mana diperoleh desas-desus bau kentut itu?! Hwe- liong Pangcu Tong Lam-hou berbuat terlalu banyak bagi kesejahteraan umat manusia, terutama di daerah Se-cuan. Bagaimana mungkin ia dituduh sebagai Hek-eng Pocu? Fitnah belaka!"

   "Benar keji fitnah itu! Sudah lupakah orang ketika di masa mudanya Tong Lam-hou rela melepaskan kedudukan panglima kekaisaran yang cukup mulia demi membela pamannya, Tong Wi-hong yang berdiri di pihak pendekar pejuang? Sampai Tong Lam-hou sendiri nyaris dihukum mati...."

   "Betul. Juga sudah lupakah orang akan peristiwa mengharukan di Hek-ku-nia, ketika Tong Lam-hou berusaha menyelamatkan ratusan pendekar pejuang yang nyaris terbantai habis oleh Hui-liong-kun di bawah pimpinan Pakkiong Liong, sehingga dia bertarung sendiri melawan sahabatnya itu? justru Sebun Himlah yang....."

   Sebenarnya orang itu hendak melanjutkan kalimatnya dengan "......hanya bisa gembar-gembor tanpa pernah melakukan sesuatu yang berarti bagi dunia persilatan, hanya sibuk mengumpulkan harta,"

   Namun kalimat lanjutan itu dibatalkannya sebab ingat dirinya sedang dalam iringan pelayatan anak Sebun Him. Kurang pantas kalau si pelayat malah "ngrasani"

   Keluarga yang tengah berkabung. Maka yang dikatakannya kemudian hanyalah.

   "Keluarga Sebun atau orang Hoa- san-pai tentu mendengar desas-desus ini dari mulut usil yang tak bertanggung jawab. Kalau kujumpai si mulut usil itu, akan aku jahit mulutnya. Aku sumpah."

   Tapi sebagian besar yang mendengar desas-desus itu menunjukkan sikap paling klasik.

   "Wah, itu bukan urusanku....."

   Sementara di antara para pelayat terdapat "arus bisik"

   Yang simpang-siur, maka Liu Jing-yang punya kegelisahan sendiri.

   Tak hentinya ia meneliti wajah para pelayat yang berjumlah puluhan ribu itu, kalau menemukan orang yang patut dicurigai sebagai si pengirim surat gelap kemarin.

   Tapi pekerjaannya sia.

   Sementara peti jenazah turun ke liang lahat, suasana menjadi mengharukan, dan Liu Jing-yang harus menunjukkan kesedihannya dan keharuannya di pinggir liang lahat.

   Kemungkinan besar dia terharu karena sebentar lagi akan menjadi ahli waris tunggal Sebun Him.

   Maka diapun berhenti longak- longok kesana-kemari, sebab sikap itu bukanlah sikap orang yang sedang terharu.

   "Suheng.....suheng........."

   Ia meratap di pinggir liang lahat yang mulai diuruk tanah oleh tukang.

   Berkat latihannya selama ini, ia berhasil menunjukkan sikap yang memilukan para penontonnya.

   Liang kubur selesai diuruk menjadi gundukan tanah merah dan itulah rumah baru Sebun Hiong.

   Sebun Him mengucapkan terima kasih kepada para pelayat dan para pelayatpun bubar meninggalkan tanah pekuburan.

   Keluarga Sebun pun kembali ke rumahnya.

   Ketika rombongan keluarga yang bersedih itu lewat di sebuah jalan di kota Se- shia dalam perjalanan pulang, seorang pengemis tiba menyeberangi jalan di depan mereka, wajahnya tak terlihat karena ia memakai topi rumput lebat yang tepinya sudah robek.

   Pengemis berkeliaran di jalan, itu bukan hal yang istimewa, tetapi Liu Jing-yang justru tertarik.

   Pengemis itu kedua tangannya memainkan sepasang boneka terbuat dari kain bekas, di tangan salah satu boneka ada sepotong lidi kecil yang boleh diumpamakan pedang.

   Sambil mengoceh sendirian, pengemis itu berulang kali memainkan boneka berpedang itu menusuk punggung boneka satunya lagi.

   Begitu asyiknya ia ber-main boneka sambil berjalan.....

   Debar jantung Liu Jing-yang berkali lipat kencangnya melihat permainan itu.

   Sekilas diliriknya sang ayah mertua yang berkuda di samping tandu yang ditunggangi isterinya, kebetulan sang mertua juga sedang meliriknya dengan mata yang tajam ber-kilat.

   Hampir saja Liu Jing-yang terperosot jatuh dari pelana kuda saking kagetnya.

   Mendadak ia merasa seperti pesakitan di depan meja pengadilan sang hakim, tak kuasa menolak tuduhan.

   "Apakah.... apakah Gakhu sebenarnya sudah mencium perbuatanku di Ban-siong-tin?"

   Liu Jing-yang ngeri membayangkan kemarahan mertuanya yang sakti itu.

   "Tapi.... tapi kenapa Gakhu belum juga turun tangan terhadapku? Kenapa ia malah me-nyiarkan kabar bahwa pembunuh Sebun Hiong adalah Tong Lam-hou dan anak buahnya?"

   Karena rasa gentar dan bingung menhadapi tatapan tajam sang ayah mertua, ia jadi melupakan si pengemis dan bonekanya yang sudah menghilang di lorong kotor.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siauya, apakah kau kurang enak badan?"

   Liu Beng yang tadinya berkuda di belakang telah mempercepat kudanya untuk mendampingi Liu Jing-yang.

   "Tadi aku lihat Siauya hampir jatuh dari kuda, muka Siauya juga pucat sekali...."

   "Ti... ti...... tidak apa, A-beng."

   Sahut Liu Jing-yang gemetar suaranya.

   Beberapa kali, Sebun Him menoleh kepada Liu Jing-yang dengan pandangan mata menusuk, membuat Liu Jing-yang semakin panik dan merasa ditelanjangi senua kebusukannya yang selama ini disembunyikan.

   Hatinya merasa tenggelam ke laut yang dalam, bayangan akan harta membukit yang bakal diwarisinya itu dalam satu detik saja berubah menjadi bayangan maut yang siap menerkam nyawanya.

   Tiba ia merasa putus asa, haruskah harta karun yang sudah di depan mata itu ditinggalkan? Tapi oleh rasa takut dan paniknya sendiri, ia merasa kalau ikut pulang kembali ke puri keluarga Sebun maka agaknya tidak akan keluar lagi hidup dari rumah itu.

   "Gakhu pasti sudah tahu........ pasti!"

   Pikirnya gugup.

   "Pengirim surat keparat itu barangkali juga mengirimkannya kepada Gakhu, atau Gakhu memperoleh dari sumber lain? Mungkin A-liu? Mungkin juga sisa orangnya Lau Hong di Ban-siong-tin yang berhasil diperas mulut mereka....?"

   Makin dipikirkan, makin ketakutan sendiri Liu Jing-yang.

   Makin segan ia kembali ke rumah keluarga Sebun.

   Dengan perasaan berat ia menghadapkan diri kepada dua pilihan; kekayaan yang membukit ataukah keselamatan nyawa? Ia memilih yang kedua.

   Selama nyawa masih di tubuh, harta yang diincarnya masih mungkin didapatnya.

   Tapi kalau nyawa sudah kabur, harta sebesar gunung Thai-san pun percuma saja.

   Ketika itu rombongan sudah hampir keluar dari pintu selatan kota Se-shia, setelah itu jalan lurus ke rumah keluarga Sebun di luar kota.

   Dengan tekad lebih dulu menyelamatkan nyawanya, Liu Jing-yang membuat alasan kepada Sebun Giok yang duduk dalam tandu kedua, untuk memisahkan diri "sebentar"

   Dari rombongan.

   "Untuk menjumpai seorang sahabat dari jauh yang ikut pelayatan ini,"

   Demikian alasannya.

   "Aku kuatir kalau tidak kutemui sekarang, ia akan keburu meninggalkan Se- shia. Ia seorang sahabatku sejak kanak di Ho- lam...."

   "Kenapa tidak kau undang saja dia ke rumah kita?"

   Tanya isterinya dari balik tirai tandu.

   "Justru aku hendak menjumpainya di penginapan Lam-bun-tiam untuk undang dia datang ke rumah,"

   Liu Jing-yang berdalih.

   "Kau bersama ayah dan ibu pulanglah dulu, nanti aku akan menyusul...."

   Tetapi dalam hatinya ia menyambung.

   "Aku hanya akan pulang kembali setelah ayahmu mati sampyuh dengan Hek-eng Pocu, dan aku akan bisa mengambil alih pimpinan keluarga Sebun...."

   "Tidak perlu berpamitan kepada ayah?"

   Tanya Sebun Giok lagi. kecerewetannya menjengkelkan Liu Jing-yang, namun dia menahan diri sekuatnya.

   "Tidak usah, hanya sebentar. Sebelum tengah hari nanti aku sudah akan bergabung kembali di rumah...."

   "Tidakkah perlu aku menemani Siauya?"

   Sekarang Liu Beng lah yang menjengkelkannya dengan pertanyaan.

   "Jangan sampai masuk perangkap musuh seperti Sebun Siauya...."

   Tentu saja Liu Jing-yang menolak.

   "Tidak usah, dlam kota Se-shia yang sedang dipenuhi oleh pendekar golongan putih ini, mana berani Hek-eng-po memasang perangkap?"

   "Tapi sebaiknya Toaya diberi tahu...."

   "Tidak usah,"

   Hampir saja Liu Jing-yang beteriak membentak Liu Beng karena jengkelnya. Tapi lalu suaranya direndahkan agar tidak sampai terdengar oleh ayah mertuanya yang berkuda paling depan.

   "Tidak usah, ingat pesanku. Gakhu dan Gakbo sedang sangat bersedih, tidak perlu mereka semakin repot dengan urusan kecil yang satu jam saja selesai...."

   Lalu Liu Jing-yang melompat turun dari kudanya, menyerahkan tali kuda ke tangan Liu Beng, dan menghilang di tepi jalan yang penuh manusia. Ia memang masuk ke sebuah rumah penginapan yang bermerk "Lam-bun-tiam"

   Dekat pintu selatan, untuk menghilangkan kecurigaan Liu Beng dan Sebun Giok. Sekali ia menoleh ke arah punggung Sebun Him yang berkuda jauh di depan tanpa me-noleh lagi....

   "Lu Siauya....."

   Pengurus dan pegawai rumah penginapan itu menyapa dengan hormat ketika mengenali tuan muda menantu keluarga Sebun itu.

   "Ada urusan apakah se...."

   Kalimat itu tak terselesaikan sebab Liu Jing-yang tanpa menjawab sepatah katapun telah langsung menerobos ke bagian belakang penginapan itu dengan sikap ter-gesa.

   Tidak ada orang yang menghalanginya, sekalipun mereka ter-heran kenapa menantu keluarga Sebun itu bersikap seperti maling jemuran yang sedang di-buru orang sekampung? Liu Jing-yang sampai di pintu belakang, menyeberangi halaman yang memisahkan kamar para tamu dengan deretan kakus dan kandang kuda, lalu nyeplos lewat sebuah pintu kecil di dinding belakang yang tembus ke sebuah lorong penuh sampah.

   Seorang pengemis dengan sepotong kayu tengah me-ngorek tumpukan sampah untuk mencari sesuatu.

   Ia menoleh ketika mendengar suara langkah dan terkejut ketika tiba ada seseorang yang menerkamnya dan menghadiahkan sebuah hantaman keras dengan pinggir telapak tangan ke lehernya.

   Sebuah pukulan mematikan, sebab leher si pengemis langsung terkulai lemas menandakan lehernya patah dengan mata membelalak penasaran.

   Dengan cekatan Liu Jing-yang mencopoti pakaian dan topi si pengemis yang sudah mati itu.

   Tidak ada kantong kain yang dibawa oleh si pengemis, menandakan pengemis itu bukan anggota Kai-pang (Serikat Pengemis) yang luas dan kuat organisasinya.

   Kalau ia keliru membunuh seorang anggota Serikat Pengemis yang punya jaringan rapi, tokoh berilmu tinggi, dan rasa setia kawan yang tebal, maka Liu Jing-yang akan selalu diburu kesulitan, tidak peduli dia menantu Sebun Him.

   Tapi pengemis itu bukan.

   Liu Jing-yang lalu mencopoti pakaiannya sendiri yang mewah, mengotori mukanya dengan tanah, memakai pakain pengemis itu dan diapun bersalin rupa menjadi seorang pengemis.

   Tak akan ada lagi yang bisa mengenalinya sebagai menantu keluarga Sebun.

   Mayat si pengemis yang telah dirampas nyawanya dan pakaiannya itu disepaknya ke tumpukan sampah, diuruk dengan sampah.

   Berteman dengan lalat sampai kelak ada anjing tak bertuan yang akan menemukan tubuhnya.

   Liu Jing-yang kemudian meninggalkan kota Se-shia dalam ujud seorang pengemis yang tak dikenali siapapun, bahkan oleh Sebun Giok sekalipun.

   Tapi dalam kantongnya ia berbekal kertas berharga bernilai laksaan tahil perak, dan lencana besi yang akan digunakannya untuk menghubungi pihak Hek- eng-po.

   Langkahnya lebar menuju ke barat daya, ke puncak Tiau-im-hong di propinsi Se- cuan.

   Menurut kata ayah mertuanya, Hek-eng Pocu sebenarnya adalah Tong Lam-hou, Ketua Hwe-liong-pang.

   Karena itu di arah barat dayalah dia akan bisa menemukan hubungan dengan Hek-eng-po, begitu pikirnya.

   "Tapi umpan apa yang harus aku gunakan agar pihak Hek-eng-po menjadi beringas dan menggempur mertuaku?"

   Ia berpikir. Lalu sesaat kemudian ia tersenyum sendirian.

   "Ah, ada akal. Gulungan kulit yang pernah aku serahkan kepada Gakhu itulah yang akan menjadi umpan yang merangsang Hek-eng Pocu. Ya, tepat. Bukankah dulu Hek- eng-po menumpas Liu-keh-chung juga karena mengingini benda itu? Nah, mudahan antara mertuaku dan Tong Lam-... eh, Hek-eng Pocu akan terjadi baku hantam sengit dan mampus semuanya."

   Menurut akal dan perasaannya sendiri, Liu Jing-yang merasa bahwa langkahnya bagus.

   Licin menuju ke arah gunung uang, emas dan permata milik ayah mertuanya.

   Tetapi hanya menurut pikirannya sendiri...

   *Oz* BAGIAN TIGA PULUH DELAPAN "Kalau benar dugaan kalian, bahwa Hek-eng Pocu adalah paman Sebun, maka Liu Beng benar berada di tempat berbahaya!"

   Kata Auyang Siau-hong dengan cemas sambil memacu kudanya lebih cepat.

   "Liu Beng terlalu polos, dia bisa diperalat oleh Sebun Him untuk keuntungannya sendiri, bahkan bisa dikorbankan!"

   Kedua teman seperjalanannya, Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng, juga mempercepat kuda masing agar tidak ketinggalan dari Auyang Siau-hong yang mencemaskan Liu Beng-nya.

   "Sabarlah, cici,"

   Kata Pakkiong Eng setelah kudanya sejajar dengan kuda coklat tunggangan Auyang Siau-hong.

   "Biarpun kita sudah pasti bahwa paman Sebun adalah dalang semua kejahatan berdarah Hek-eng-po, tapi kita tidak bisa menerjang begitu saja ke rumah keluarga Sebun. Yang tahu kepastian ini barulah kita bertiga, ditambah paman Tong, selebihnya orang masih menghormati dan menjunjung tinggi Sebun Him. Apalagi setelah gugurnya Sebun Hiong secara misterius, itu akan semakin membentengi Sebun Him dari tuduhan bahwa dialah dalang Hek-eng-po. Biar kita ceritakan sampai tenggorokan kita jebol, mana ada orang mau percaya bahwa Sebun Him adalah Hek-eng Pocu sedangkan anak laki yang dicintainya kabarnya dibunuh pihak Hek-eng-po? Kalau kita terjang langsung ke keluarga Sebun, aku kuatir, kita malah memancing kemarahan orang banyak yang tengah bersimpati kepada kemalangan Sebun Him...."

   "Jadi.... jadi bagaimana?"

   Auyang Siau- hong hampir menangis.

   "Apakah akan kita biarkan Liu Beng tetap berada di rumah keluarga Sebun, tanpa menyadari bahaya yang ada di sekitarnya? Bahkan Liu Beng senantiasa merasa hutang budi kepada Sebun Him, si iblis yang bertopeng dewa welas asih itu."

   "Tenanglah, Siau-hong,"

   Tong Gin-yan ikut menghibur temannya.

   "Aku dan A-eng tidak kalah khawatirnya denganmu mengenai Liu Beng. Tapi kita tidak boleh berbuat gegabah, kita sedang menghadapi jaringan komplotan yang sangat halus dan rapi, dan harus dihadapi dengan siasat yang tak kalah lihainya. Bukan sekedar menghadapi gerombolan perampok berotot kekar yang mencegat mangsa di jalan sepi..."

   "Tahukah kalian betapa berartinya Liu Beng bagi hidupku?"

   Di tengah jalan itu Auyang Siau-hong mulai menangis, dan menarik perhatian orang yang berlalu-lalang. Seorang gadis yang gagah, menunggang kuda tegar, membawa pedang di pinggang, tetapi menangis.

   "Kalau Liu Bneg mengalami situasi yang buruk, aku bersumpah akan menarungkan nyawa dengan Hek-eng Pocu!"

   "Bukan kau saja, kami berdua pun sahabat Liu Beng yang siap membela keselamatannya...."

   "Lalu, kenapa aku tidak boleh menemui Liu Beng di Se-shia untuk memberitahu bahwa majikannya yang dihormatinya itu sebenarnya adalah seorang iblis besar? Kenapa?"

   "Sebab tindakan itu justru akan membahayakan Liu Beng. Cici, tidakkah kau sadari hal itu?"

   Kata Pakkiong Eng.

   "Coba, singkirkan kecemasan dan kekusutan pikiranmu, lalu biarkan akal sehat menguasai dirimu...."

   Auyang Siau-hong mencoba menuruti anjuran puteri panglima berotak encer itu, ditekannya semua kegelisahannya dalam, disiapkannya otaknya sejernih mungkin untuk menerima penjelasan sepasang teman seperjalanannya tersebut.

   "Kenapa justru membahayakan? Tidakkah lebih berbahaya bagi Liu Beng kalau dia sama sekali tidak tahu ada seekor ular berbisa di dekatnya?"

   Tong Gin-yan maupun Pakkiong Eng merasa lega melihat Auyang Siau-hong mulai tenang, tidak lagi ngotot ingin sampai ke Se- shia untuk menjumpai Liu Beng. Kata Tong Gin-yan.

   "supaya kita dapat bicara dengan tenang, alangkah baiknya kalau kita bicara sambil duduk dan menikmati minuman yang menyegarkan. Agar otak kita pun dapat bekerja dengan baik...."

   Mereka memang sudah berkuda setengah hari lebih, kulit muka juga sudah terasa menebal karena debu yang menempel bercampur keringat.

   Kebetulan di sebelah depan ada sebuah warung yang mengibarkan bendera besar bertuliskan "Teh, Arak dan Daging Rusa Panggang".

   Sebuah warung kecil yang letaknya agak di pinggir hutan sehingga menimbulkan suasana sejuk, suasana dambaan para musafir yang kepanasan di perjalanan.

   "Kita ke kedai itu......"

   Begitu tiga ekor kuda ditambatkan di muka kedai, Tong Gin-yan melangkah masuk dan yang terucap dari mulutnya ialah.

   "Tiga piring daging rusa panggang dan panaskan arak!"

   Sedangkan Auyang Siau-hong begitu duduk di bangku langsung mendesak Pakkiong Eng.

   "Kenapa menurutmu kalau Liu Beng diberitahu malah membahayakan dia?"

   Sebenarnya Pakkiong Eng sangat haus dan ingin minum dulu, tapi karena kuatir Auyang Siau-hong akan menganggapnya kurang memperhatikan keselamatan Liu Beng, maka dia menjawab juga.

   "Cici, Liu Beng itu seorang yang berwatak lugu, kalau dia mengetahui suatu rahasia maka sulit baginya untuk menyimpannya, atau ber-pura tidak tahu. Kalau dia tahu rahasia Sebun Him tanpa ampun akan langsung menghabisi nyawanya."

   Bumbung bambu pendek tempat menaruh sumpit itu jatuh ke tanah karena tersampuk oleh tangan Auyang Siau-hong yang terkejut. Sementara Pakkiong Eng melanjutkan.

   "Tenang, enci Hong. Sebaliknya kalau Liu Beng tetap tidak tahu, dia malah aman berdekatan dengan Sebun Him. Alasan lain, Liu Beng menganggap Sebun Him sebagai malaikat penolongnya yang tak bernoda, sulit sekali untuk meyakinkan dia bahwa "malaikat penolongnya itu adalah juga iblis yang menghancurkan Liu-keh-chung. Kecuali kalau kita bisa menyodorkan bukti yang bisa mengubah anggapan kokohnya itu...."

   Kepala Auyang Siau-hong pun meng- angguk paham.

   Mereka kemudian mengisi perut dan membasahi kerongkongan.

   Auyang Siau-hong tidak kelihatan terlalu cemas lagi meskipun sekali alisnya masih juga berkerut dan pandangannya ter-mangu memikirkan Liu Beng, kekasihnya yang lugu namun berada di tengah sarang ular berbisa....

   Sementara itu, sambil makan minum, Pakkiong Eng yang menyapukan pandangannya ke sekeliling, tiba tertarik pada sehelai bendera kecil yang tertancap di meja pemilik warung itu.

   Bendera Hwe-liong-pang.

   Menandakan warung itu di bawah perlindungan Hwe-liong-pang.

   Pakkiong Eng tersenyum sendiri karena ingat bagaimana dia dulu mempermainkan Lo- san Sukoai sampai mereka jengkel setengah mati namun tak berani membalas, sebab takut kepada bendera kecil macam itu.

   Kini, melihat bendera kecil itu, Pakkiong Eng menduga di sekitar situ tentu ada cabang Hwe-liong-pang yang cukup kuat sehingga berani menunjukkan pengaruh di tempat umum seperti kedai itu.

   Menunjukkan pengaruh dalam arti yang baik, bukan untuk menindas orang, melainkan justru melindungi orang tertindas dari tingkah se-wenang pihak yang lebih kuat.

   Sedangkan Tong Gin-yan yang duduk membelakangi meja kasir dan menghadap ke jalan besar, tidak melihat bendera kecil itu.

   pandangan matanya malah sedang memperhatikan ke suatu arah, ke jalanan, di luar warung.

   Dari arah kota Se-shia yang masih kira tujuhpuluh li lagi, menurut petunjuk tugu bertulisan di pinggir jalan, muncul serombongan orang berjalan kaki yang juga sedang menuju ke warung itu.

   Ada beberapa Tojin berjubah kuning dengan punggung menggendong pedang, beberapa hweshio, dan beberapa lagi orang biasa.

   


Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long

Cari Blog Ini