Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 2


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 2



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   "Apa?"

   "Mungkin Hek-eng-po memang sengaja mengincar Liu-keh-chung. Misalnya untuk mendapatkan sesuatu yang mereka kira ada di tempat ini...?"

   Punggung dan tengkuk Liu Hok-tong mulai berkeringat dingin.

   "Menginginkan apa mereka? Kalau hanya butuh bantuan keuangan, datang saja kepadaku secara baik- baik dan demi persahabatan dunia persilatan mana tega aku tidak menolong?"

   Ko Jun-lim menghentikan langkahnya di pinggir sebuah kolam teratai yang dihuni ikan- ikan emas dan angsa-angsa putih. Matanya menatap lekat-lekat wajah besannya, seakan ingi menjenguk pikiran dan perasaan besannya itu. katanya dengan hati-hati.

   "Jin-keh, harap kau tidak tersinggung mendengarnya. Sebagai kerabatmu, aku ingin berkata tentang satu hal dengan maksud baik kepadamu..."

   "Hal apa?"

   "Di dunia luar beredar kabar angin yang agak merugikan nama baikmu. Katanya di masa mudamu kau pernah menjadi...semacam pekerja tanpa modal (membegal), dan semua kekayaanmu katanya juga berasal dari jalan hitam. Bahkan...tapi ini desas-desus, bukan ucapanku sendiri lho...katanya kau pernah mengkhianati dua orang saudara angkatmu sendiri untuk mengangkangi sendir semua harta karun itu...maaf lho!"

   Gemetarlah tubuh Liu Hok-tong mendengar itu.

   Apa yang ia usahakan untuk disembunyikan rapat-rapat, ternyata sudah menjadi kabar yang beredar luas di luar perkampungannya, entah melalui mulut siapa? Wajahnya mula-mula memucat, lalu berubah jadi merah padam.

   "Jin-keh, kau juga percaya akan kabar bohong itu? selama ini aku berdagang dengan halal sehingga mendapat sedikit keuntungan sampai seperti sekarang ini. Fitnah busuk itu tentu disebarkan oleh saingan-saingan dagangku yang iri terhadap keberhasilanku..."

   "Mudah-mudahan kau benar. Tapi aku kuatir bukan begitu yang sebenarnya terjadi..."

   "Jin-keh, jadi kau juga mempercayai kabar bohong itu dan mencurigai aku?"

   "Jangan salah paham, sudah tentu aku berdiri di pihakmu. Tapi aku menduga keras bahwa penyebar kabar bohong itu adalah orang-orang Hek-eng-po yang memusuhimu. Tujuannya untuk membuat pikiranmu kacau, perasaanmu tertekan, lalu mereka dengan mudah akan memeras minta sesuatu padamu..."

   Bukan cuma tengkuk dan punggung, sekarang jidat Liu Hok-tong pun ikut berkeringat dingin. Tapi ia masih juga bersikap seolah-olah tidak takut.

   "Hem, mereka akan sia-sia menggertak aku dengan cara seperti itu. mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Aku akan membuktikan kebersihan diriku, masa laluku dan usaha dagangku. Mereka akan sia-sia memfitnah aku."

   Ko Jun-lim menggeleng-gelengkan kepala.

   "Sungguh suatu berita yang tidak sedap didengar, jin-keh, penyebar desas-desus itu ternyata juga menyatakan bahwa mereka pun punya bukti-bukti kuat dan saksi-saksi untuk merobohkan nama baikmu."

   "Kau tahu dari mana sumber desas- desus itu?"

   "Demi membela kebersihan namamu, aku sudah menyebarkan murid-murid Pek- kiam-pay untuk menyelidikinya. Hasilnya nihil. Tapi aku menduga keras bahwa sumbernya adalah orang-orang Hek-eng-po itulah. Tapi ini hanya dugaan..."

   Kalau teringat cerita tentang gambar- gambar di tutup peti mati itu, rasanya Liu Hok- tong bisa mempercayai dugaan Ko Jun-lim itu. Tapi di hadapan besannya, ia harus tetap bersikeras mengingkari hal-hal yang bisa menodai "kebersihan"

   Dirinya. Sedangkan Ko Jun-lim bukannya membesarkan atau menghibur hati besannya itu, malah kata-katanya terdengar seperti menakut-nakuti.

   "Jin-keh, sungguh sulit kalau harus berurusan dengan dengan pihak Hek- eng-po itu,. lebih baik kita agak bersikap bijaksana daripada gagah-gagahan..."

   "Maksudmu, Liu-keh-chung harus tunduk kepada kelompok yang tak karuan asal- usulnya itu?!"

   "Yang ku katakan tadi hanyalah pendapatku. Tidak diterima juga tidak apa- apa..."

   Mereka sejenak menghentikan pembicaraan ketika melihat seorang pelayan mendekati mereka dengan langkah tergesa- gesa. Di tangannya memegang sesampul surat.

   "Ada apa A-kiat?"

   Pelayan itu mengangguk hormat lebih dulu kepada kedua orang tua itu, lalu menyodorkan surat yang dipegangnya. Katanya.

   "Seorang murid pendekar Koan dari Shoa-tang baru saja tiba menghantarkan surat ini, lalu dengan tergesa-gesa pergi kembali dengan menunggang kuda, bahkan teh yang dihidangkan untuknya pun tidak disentuhnya."

   Liu Hok-tong mengerutkan alisnya.

   Yag disebut pendekar Koan itu adalah sahabat baiknya sejak puluhan tahun, dan pernah menyatakan kesanggupannya untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, tapi ketika isi surat itu dibaca, ternyata isinya adalah pemberitahuan bahwa ia tidak bisa hadir, karena "sesuatu halangan".

   Tentu saja hati Liu Hok-tong kecewa, sebab semakin sedikit tamunya yang merupakan orang-orang terpandang, akan semakin hambarlah perayaan ulang tahunnya nanti, padahal begitu pesta yang berpamor tinggi...

   Ternyata kekecewaan Liu Hok-tong bertambah-tambah dari waktu ke waktu.

   Berturut-turut bermunculan surat-surat dari beberapa tokoh terkenal yang diundang, isinya sama.

   menyatakan berhalangan hadir.

   Alasannya bermacam-macam, bahkan ada alasan yang kelihatannya seperti dibuat-buat.

   Liu Goan yang berangasan itu pun marah menghadapi perkembangan tak terduga itu.

   Sambil menggebrak meja dia berteriak.

   "Kurang ajar! Kalau kita keluarga Liu mengundang mereka, itu berarti memberi muka terang kepada mereka! Tapi mereka malah mengarang bermacam-macam alasan untuk tidak hadir! Hem, memangnya ketidak- hadiran mereka itu akan membuat perayaan ini gagal? Kita jalan terus, dengan atau tanpa mereka!" **OZ** Bersambung ke

   Jilid 03 Pojok Dukuh, 20-09-2018; 24.00 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 03 ANGGOTA-ANGGOTA keluarga Liu umumnya juga merasa heran bahwa ketidak- hadiran orang-orang undangan itu seperti sudah diatur secara serempak, padahal tempat tinggal mereka berjauhan satu sama lain.

   Mereka seolah-olah sudah bersepakat untuk membuat Liu-keh-chung kehilangan muka dalam perayaan nanti.

   Tapi Liu Hok-tong lebih banyak takutnya daripada herannya.

   Nalurinya menangkap adanya suatu gerakan terselubung yang hendak menjegal dirinya.

   Semakin dekat hari pesta itu, Liu Hok-tong bukannya semakin bergembira, malah semakin merosot semangatnya.

   Sikapnya itu mengherankan keluarganya sendiri, hanya Ko Jun-lim yang berani meramalkan, meskipun hanya dalam hati, bahwa kemerosotan semangat itu masih akan berlangsung terus.

   Liu Hok-tong malahan semakin hari semakin gelisah.

   Kejayaan yang selama ini dibangunnya dengan penuh ambisi, mungkinkah akan amblas dalam sekejap mata? Nama harumnya mungkin juga akan menjadi busuk seketika.

   Mengapa orang-orang undangan penting membatalkan kehadiran mereka semuanya? Apakah mereka sudah tahu masa lalunya yang hitam dan mulai jijik bergaul dengannya? Bahkan menantu kebanggaannya sendiri di Ki-lian-san juga sudah membatalkan, apakah sudah tahu masa lalunya? Alangkah mengerikan.

   Ia kuatir akan terbanting jatuh dari menara gadingnya sendiri, mungkin akan menjadi pengemis di lorong-lorong kota Lok-yang hanya untuk segenggam nasi.

   Kekayaan menjadi kepapaan, kehormatan berubah menjadi kehinaan.

   Tiba-tiba Liu Hok-tong menyambar golok yang tergantung di dinding kamarnya.

   Bersamaan dengan sebuah teriakan keras, ia membacoki seperangkat meja kursi di ruangan itu sehingga benda-benda berukir yang mahal itupun hancur berkeping-keping dengan suara ribut.

   Setelah itu barulah kepepatan hatinya terasa agak berkurang namun belum hilang sama sekali.

   Sementara itu, di salah satu ruangan dari sekian ratus ruangan di perkampungan Liu-keh-chung itu, Ko Jun-lim tengah bercakap-cakap empat mata dengan salah seorang anggota rombongan Pek-kiam-pay yang berusia kira-kira 40 tahun, dengan pundak lebar kekar dan wajah garang.

   Namanya Kiau Bun, merupakan orang kuat nomor dua di Pek-kiam-pay setelah Ko Jun-lim sendiri.

   "Jadi Suheng (kakak seperguruan) belum berhasil memancing keterangan?"

   Tanya Kiau Bun.

   "Agaknya kita harus sabar, Sute, orang she Liu itu gampang mencurigai orang lain. Kalau kita tergesa-gesa, dia malah akan mencurigai kita dan semakin sulitlah mendapatkan gulungan kertas kulit itu."

   "Tapi kita hanya punya waktu yang sangat terbatas untuk mendapatkan benda itu..."

   "Jangan gelisah, Sute, kegelisahan hanya akan membuat kita salah langkah. Kita harus melangkah dengan hati-hati, tetapi pasti akan mendapatkan gulungan kulit yang memuat tempat penyimpanan harta karun itu..."

   "Aku memang gelisah. Agaknya kita harus berlomba dengan pihak Hek-eng-po yang juga mengincar benda itu. pihak Hek- eng-po lebih leluasa bertindak, sedang kita bergerak lambat sekali seperti kura-kura..."

   "Sabarlah, Sute, hendak memancing ikan besar tentu membutuhkan kesabaran. Jangan ikut-ikutan cara Hek-eng-po yang kasar itu. Saat ini Liu Hok-tong sudah mulai berkurang ketenangannya, dan kalau kegelisahan sudah memuncak, gampang sekali kita mengorek keterangan dari mulutnya. Segampang mengambil barang di kantong sendiri. Jangan kuatir."

   Kiau Bun mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ramalan"

   Ko Jun-lim memang tepat.

   Semakin dekat hari perayaan, semakin bermunculan peristiwa-peristiwa yang menggelisahkan Liu-keh-chung, khususnya Liu Hok tong.

   Di kota Lok-yang mendadak beredar desas-desus yang merugikan nama Liu-keh- chung.

   Lalu orang-orang undangan yang mengundurkan diri secara mendadak, bahkan juga beberapa orang undangan yang sudah tiba di Liu-keh-chung.

   Lalu Panglima di Lok- yang yang biasanya berhubungan baik dengan keluarga Liu tahu-tahu juga datang untuk mengusut asal-usul harta kekayaan keluarga Liu dengan pertanyaan yang berbelit-belit.

   Katanya, 20 tahun yang lalu, kafilah pembawa upeti dari suku Hui kepada Kaisar Khong-hi telah dirampok habis di tengah jalan.

   Hal itu sudah cukup membuat keluarga Liu berang karena merasa dituduh secara tidak langsung, untunglah tidak sampai bentrok dengan pihak tentara kekaisaran.

   Tapi perkembangan buruk itu membuat Liu Hok-tong semakin sering menyendiri, mengurung diri di kamar penyimpanan buku-bukunya.

   Jangan-jangan pesta yang direncanakan sebagai "pesta mengangkat pamor"

   Itu malah akan berubah menjadi "pesta mencorengkan arang"? Pada saat keadaan semaki tak menentu, Liu Jing-yang sebagai cucu Liu Hok- tong yang paling tua, telah memutuskan untuk mengambil suatu tindakan sendiri bersama tukang-tukang kepruk kepercayaannya.

   Sejak ia lahir, Liu-keh-chung sudah berdiri jaya, belum pernah ia menemui kesulitan.

   Ia menganggap pengaruh kekayan maupun kehebatan ilmu silat keluarganya cukup dijadikan modal untuk mencapai apapun.

   Begitu pula kali ini Liu Jing-yang berangkat untuk mencoba mencari sumber kegelisahan itu dan ia yakin bisa menenangkannya, anggap saja sebagai hadiah ulang tahun untuk kakeknya.

   Begitulah, dengan berpakaian ringkas, menyandang golok di pinggang kiri, dan diiringi 10 tukang pukulnya, Liu Jing-yang menunggang kuda seperti sepasukan prajurit berangkat ke medan perang.

   Tak ketinggalan A-piao yang gayanya mirip betul dengan seorang Panglima.

   Ketika rombongan itu hendak lewat jembatan di depan pintu gerbang perkampungan, mereka berpapasan dengan beberapa orang anggota Pek-kiam-pay yang agaknya sedang berjalan-jalan di luar perkampungan untuk menghirup udara segar perbukitan itu.

   di antaranya nampak Kiau Bun.

   Ketika berpapasan dengan Liu Jing-yang dan rombongannya, Kiau Bun tersenyum ramah sambil bertanya.

   "Hendak ke manakah kiranya Hiantit (keponakan) dengan orang sebanyak ini?"

   Sahut Liu Jing-yang tanpa turun dari kudanya.

   "Hendak menyelidiki ke Lok-yang untuk mencarikan hadiah ulang tahun yang bisa menggembirakan kakekku."

   "Mudah-mudahan berhasil, Hiantit."

   Kemudian Liu Jing-yang dan orang- orangnya itupun berderap lewat dengan gagahnya, meninggalkan kepulan debu. Kiau Bun sendiri tiba-tiba berkata kepada murid-murid Pek-kiam-pay itu.

   "Kalian pulanglah dulu untuk melaporkan kepada Ciangbunjin bahwa aku harus mengawasi Liu Jing-yang. Keselamatannya agak mencemaskan, kalau ia pergi ke Lok-yang hanya diikuti tukang-tukang pukul berilmu rendah itu."

   "Baiklah,"

   Sahut murid-muridnya dan keponakan-keponakan muridnya.

   Kiau Bun sendiri dengan ilmu meringankan tubuh segera menyusul rombongan Liu Jing-yang dari kejauhan.

   Sementara itu, sebelum menuju ke Lok- yang, Liu Jing-yang lebih dulu memimpin orang-orangnya untuk menyelidiki ke perumahan kaum pekerja, tempat tinggal mendiang Ui Kiong dan Yo Kim-hoa dulu.

   Rupanya ia curiga bahwa sanak-keluarga Ui Kiong dan Yo Kim-hoa berusaha membalas dendam ke pihaknya dengan cara menyebar desas-desus yang menjelek-jelekkan keluarganya.

   Tapi rumah keluarga yang malang itu telah kosong, tak berpenghuni.

   Tetangga- tetangga mereka yang ditanyai hanya bisa menjawab bahwa kedua keluarga itu telah mengungsi ke tempat yang jauh, tapi entah ke mana.

   Maka Liu Jing-yang dan orang-orangnya terus ke kota Lok-yang.

   Ketika mereka lewat di sebuah tanah pekuburan di luar desa, tiba-tiba salah seorang anak buah Liu Jing-yang menjerit ngeri dan terjungkal jatuh dari kudanya.

   Kepalanya berlubang tiga buah, dan ia hanya sempat menggelepar sekejap sebelum melepas nyawanya.

   Ternyata, ketika ia lewat di bawah sebuah pohon, sesosok tubuh telah menyambarnya dari atas pohon, dan dengan jari-jari tangannya yang berbentuk cakar elang telah berhasil menembus batok kepala anak buah Liu Jing-yang itu.

   Tulang kepala yang keras itu berhasil ditembusnya semudah menancapkan jari kepada segumpal tahu saja.

   Sehabis menjatuhkan satu korban, sosok tubuh itu melayang seperti seekor burung elang dan menghadang di depan rombongan Liu Jing-yang sambil tertawa terbahak-bahak.

   Orang itu adalah seorang lelaki berusia setengah abad, namun tubuhnya masih ramping dan wajahnya tampan bersih.

   Dia memakai jubah panjang seperti kaum sastrawan dan lagaknya pun seorang sastrawan, lengkap dengan sebuah kipas bertuliskan syair-syair yang digoyang- goyangkan perlahan di depan tubuhnya.

   Hanya saja matanya ganas sekali, dan tiga jari tangan kanannya masih bernoda darah.

   Katanya.

   "Selamat bertemu kembali, tuan muda yang tampan, pintar dan gagah perkasa..."

   Sesaat Liu Jing-yang memperhatikan wajah penghadangnya yang rasa-rasanya pernah dilihatnya belum lama berselang. Tiba- tiba Liu Jing-yang membentak.

   "Bangsat! Jadi kaulah salah seorang pemikul peti mati beberapa hari yang lalu?"

   "Benar. Mudah-mudahan kirimanku cocok untuk ukuran tubuh kakekmu..."

   "Kurang ajar! Kau mengira bisa main gila terhadap Liu-keh-chung? Dan rupanya kau juga yang menjadi sumber desas-desus licik yang memfitnah keluarga kami..."

   Mata si sastrawan setengah umur itu berkilat-kilat marah.

   "Desas-desus licik? Hem, kisah masa lalu kakekmu itu bukan sekedar desas-desus, tetapi suatu kenyataan. Justru kakekmu itulah yang dengan licik berhasil menyembunyikan kejahatannya selama berpuluh tahun, menutupinya dengan berbagai macam kedok."

   Liu Jing-yang yang terlalu bangga dengan keharuman nama keluarganya itu mana bisa menerima ucapan itu? tanpa banyak bicara lagi, ia mencabut golok di pinggangnya, lalu sambil menerjangkan kudanya ke arah sastrawan itu, goloknya menabas ke kepala dengan gerakan Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san Menimpa Kepala).

   Dalam keluarga Liu angkatan ke tiga, Liu Jing-yang lah yang terbaik ilmu silatnya.

   Selain tenaganya besar, gerakannya juga mantap.

   Namun di hadapan si sastrawan, jago muda Liu-keh-chung itu kina batunya.

   Dengan lincah si sastrawan melompat ke samping, dengan gerakan tak terlihat tahu-tahu pergelangan tangan Liu Jing-yang sudah tercengkeram erat.

   Dengan sebuah sentakan bertenaga hebat, tubuh Liu Jing-yang berhasil diseret jatuh dari punggung kuda dan terbanting keras ke tanah, malah goloknya hampir saja membacok mukanya sendiri.

   Wajah si sastrawan sudah memberingas penuh dendam, jari-jari jempol, telunjuk dan tengah sudah ditekuk seperti cakar elang dan siap diayunkan untuk menembus batok kepala Liu Jing-yang.

   Tapi kembali sesosok tubuh melayang secepat kilat dari balik semak-semak, tangkas sekali pendatang baru itu menahan tangan si sastrawan sambil berseru.

   "Tahan, Samte (Adik ke tiga)! Belum ada perintah!"

   Si sastrawan itu sebenarnya memang sudah dikuasai nafsu membunuh yang hebat untuk membunuh Liu Jing-yang, cucu dari orang yang paling dibencinya itu.

   namun cegahan temannya itu menyadarkan dia bahwa dia tidak boleh mendahului perintah pemimpinnya.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi untuk melampiaskan kemarahannya yang sudah terlanjur meluap, ia merampas golok Liu Jing-yang.

   Benda yang terbuat dari baja pilihan dan tebalnya sejari lebih itu, dengan gampang dicengkeram patah oleh ketiga jari tangannya.

   Suatu pameran kekuatan jari-jari tangan yang mendebarkan hati.

   Nyawa Liu Jing-yang seolah baru saja melangkah masuk ke liang kubur dan kembali lagi.

   Cepat ia melompat bangun, dan dengan wajah pucat dilihatnya golok kebanggaannya sudah patah menjadi dua potong.

   Cukup dengan adegan singkat itu, orang-orang Liu-keh-chung yang biasa bertindak garang terhadap orang-orang lemah itu, kini sudah lenyap semua keberanian mereka.

   Baik Liu Jing-yang maupun tukang- tukang kepruknya berwajah pucat, lebih pucat dari wajah seorang teman mereka yang telah menjadi mayat.

   Orang yang mucul belakangan tadi ternyata adalah seorang lelaki bertubuh agak pendek, namun kekar, berpakaian kulit seperti umumnya orang-orang gurun pasir.

   Punggungnya menggendong sebatang golok Ku-gi-to atau golok bergerigi.

   Liu Jing-yang segera mengenali bahwa orang ini adalah pengirim peti mati yang satunya lagi.

   Sejak muncul ke dunia, Liu Jing-yang hanya pernah merasakan dimanjakan, disayangi, dibanggakan, diberi kelimpahan harta, dipuji-puji, dihormati dan sebagainya.

   Sekarang untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa takut sekali, begitu takutnya sampai sepasang kakinya gemetar.

   Ketika ia hendak melompat naik ke punggung kudanya, ia gagal dua kali, pada loncatan ke tiga barulah berhasil duduk kembali di atas pelana kudanya.

   Tapi lagaknya sebagai tuan muda dari keluarga terhormat sudah tersapu bersih dari sikapnya.

   Si sastrawan dan orang berpakaian kulit itu membiarkan saja Liu Jing-yang kembali ke punggung kudanya dengan senyuman mengejek di bibir mereka masing-masing.

   Kata orang berpakaian kulit itu dengan dingin.

   "Anjing kecil, dengarkan baik-baik siapa kami ini. Dulu di gurun pasir ada tiga orang rampok yang dijuluki Tay-mo Sam-sat (Tiga Penjahat Gurun Pasir). Kami adalah orang ke dua dan ke tiga yang bernama He Yu-yang dan Ong Sek- lay, dan orang tua keparat kakekmu itu adalah orang pertamanya. Ia telah megkhianati kami sehingga kami tertangkap oleh tentara kekaisaran dan dijebloskan ke penjara, lalu si keparat itu mengangkangi semua harta rampokan dan hidup mewah sebagai seorang dermawan di Liu-keh-chung. Sekarang sampaikan pesan kami kepada kakekmu, dalam waktu tiga hari seluruh keluarga Liu harus angkat kaki dari perkampungan tanpa boleh membawa benda secuilpun, kalau perlu minggat dengan memakai cawat saja. Kakekmu sendiri harus meninggalkan batok kepalanya untuk menebus pengkhianatannya terhadap kami dulu!"

   Kata-kata itu bagi Liu Jing-yang lebih menyakitkan daripada ujung sebilah pedang yang tajam.

   Ucapan yang langsung meruntuhkan kehormatan keluarga Liu yang selama ini dibanggakan olehnya, sebab langsung membuka kenyataan bahwa keluarga Liu hanyalah keturunan perampok belaka.

   Tubuh Liu Jing-yang gemetar dan wajahnya pucat, tapi sisa-sisa keangkuhannya masih diperlihatkannya dengan sikap gagah.

   Katanya.

   "Kalian hanyalah membual untuk mengincar kekayaan kakekku yang kami peroleh secara halal turun-temurun. Keluarga Liu tidak akan sudi melayani pemerasan ini..."

   Biarpun si sastrawan berwajah lebih halus, tapi ternyata wataknya justru lebih berangasan dari temannya yang pendek dan kelihatan kasar itu.

   Mendengar kata-kata angkuh Liu Jing-yang itu, darahnya meluap naik dan hendak mengamuk lagi.

   tapi kakak ke duanya mencegah.

   "Biarkan anjing kecil itu menggonggong sesukanya untuk melampiaskan kekecewaannya, Samte. Toh cepat atau lambat tak seorangpun yang bisa lolos dari tangan kita."

   Si sastrawan menyahut sambil menggertakkan giginya.

   "Tapi anjing kecil yang satu ini memuakkan sekali, Jiko. Tidak disadarinya bahwa pakaian bagus yang dikenakannya dan makanan enak yang disantapnya sehari-hari itu semuanya adalah hasil jerih payah kita pula. Hanya karena kelicikan si anjing tua itulah maka semua berhasil dikuasainya sendiri dan diwariskan kepada anak cucunya sendiri!"

   Sementara itu, Liu Jing-yang dengan kuping yang panas telah mengajak orang- orangnya untuk meninggalkan kedua orang itu.

   Dalam hati ia merasa alangkah memalukan kalau yang dikatakan kedua orang itu betul, berarti seluruh keluarga Liu selama ini hidup dari hasil rampokan kakeknya dulu.

   Diam-diam dia bertekad untuk menanyakan sendiri kepada kakeknya.

   Ketika kedua orang itupun meninggalkan tempat itu, maka jalan di pinggir tanah pekuburan itu kembali menjadi sunyi seperti biasanya, meskipun saat itu adalah tengah hari bolong.

   Ketika sudah benar-benar sepi, dari balik sebuah gundukan tanah kuburan di pinggir jalan perlahan-lahan muncul sesosok kepala, lalu disusul seluruh tubuhnya yang kotor dengan tanah dan rumput-rumput kering.

   Orang itu bukan lain adalah Kiau Bun, adik seperguruan Ko Jun-lim, ketua Pek-kiam- pay yang telah melihat dan mendengarkan apa yang tadi berlangsung di situ.

   Ia keluar dari persembunyiannya dan bergegas melangkah kembali ke Liu-keh- chung.

   Sepanjang jalan ia berpikir-pikir sambil tersenyum-senyum sendiri.

   "Ho Loji dan Ong Losam bekerja dengan baik, akupun harus bekerja dengan baik pula. Ha-ha... sampai sekarang si tua Ko Jun-lim itu belum tahu siapa aku sebenarnya, aku bisa terus memperalatnya."

   Sementara itu, kedatangan kembali Liu Jing-yang di Liu-keh-chung dengan membawa mayat seorang anak buahnya yang ubun- ubunnya berlubang tiga, menggemparkan perkampungan keluarga yang sedang bersiap menyongsong pesta besar.

   Pegawai-pegawai lain segera mengerumuni mereka dan bertanya-tanya dengan suara ribut.

   A-piao mewakili tuan mudanya untuk bercerita bagaimana gagah perkasanya sang tuan muda menghadapi dua orang jagoan asing.

   Liu Jing-yang sendiri tak begitu peduli ulah A-piao, begitu melompat turun dari kudanya dia langsung bertanya.

   "Di mana kakek?"

   "Loya ada di ruang penyimpanan kitab- kitab..."

   Dengan langkah setengah berlari, Liu Jing-yang segera bergegas ke ruangan kitab.

   Di ruangan yang berisi puluhan ribu kitab itu, Liu Hok-tong tidak sedang membaca kitab, tapi sedang duduk bermuram durja sambil menyangga dagunya dengan tangan.

   Di luar ruangan, ia selalu berusaha menunjukkan sikap gembira dan penuh semangat, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti kiwanya.

   Alangkah sulitnya menjadi seseorang yang sudah terlanjur menyandang nama baik, nama harum.

   Tadinya ia bangga karena menjadi pusat perhatian orang banyak, sekarang perhatian itu menjadi semacam belenggu besar tak berwujud...

   Tiba-tiba pintu ruangan itu didorong dari luar oleh Liu Jing-yang dengan agak kasar.

   Liu Hok-tong heran melihat sikap cucunya yang lain dari biasanya itu.

   "Dari mana, Jing-yang?"

   Di hadapan kakeknya, sang cucu dengan nada meluap-luap menceritakan pertemuannya dengan dua orang tadi, dan semua pembicaraan dengan orang-orang tadi.

   Liu Hok-tong tak bisa mempertahankan ketenangan sikapnya.

   Setengah mati ia mempertahankan rahasianya agar tidak diketahui anak cucunya, malah cucunya mendengarnya dari orang luar akan rahasia memalukan itu.

   Dan jago tua itu bertambah terguncang ketika Liu Jing-yang bertanya.

   "Kakek, benarkah bahwa harta keluarga kita ini hasil rampokan?"

   "Tentu saja tidak, cucuku, jangan percaya kepada gunjingan orang-orang tidak waras itu..."

   "Jawaban kakek tidak meyakinkan!"

   Liu Jing-yang tiba-tiba berkata dengan keras.

   "Harta kita harta rampokan, dan kita tidak punya muka lagi menghadapi masyarakat Lok- yang kalau mereka tahu hal ini. Orang-orang yang kemarin membungkuk hormat kepada kita, besok akan meludahi dan mencaci maki kita!"

   "Jing-yang, kau mulai tidak percaya kepadaku?"

   "Sikap kakek sendiri dalam hari-hari belakangan ini agaknya menunjukkan bahwa kakek pernah berbuat sesuatu yang memalukan di masa silam. Kakek seolah menyembunyikan sesuatu. Kalau benar gunjingan di luar itu hanya fitnah, kenapa kita tidak menghadapi dengan dada tengadah? Pertahankan kehormatan keluarga kita yang hendak diinjak-injak musuh!"

   Dalam luapan perasaannya, Liu Jing- yang bicara semakin keras dan lupa bersikap hormat kepada kakeknya.

   Sebaliknya Liu Hok- tong yang tengah gelisah itu juga membantah dengan keras pula, dengan kata-kata yang simpang-siur, yang semakin meyakinkan cucunya bahwa yang dituduhkan itu beralasan.

   Mereka pun bertengkar dengan sengit dan baru berakhir setelah sang kakek menampar mulut cucunya.

   Demikianlah, semakin dekat dengan hari pesta, suasananya bukan semakin meriah tapi malahan semakin suram.

   Gunjingan yang bersifat "menghukum"

   Keluarga Liu semakin santer, penghormatan masyarakat Lok-yang terasa menurun tajam terhadap keluarga dermawan itu, pertengkaran antara anggota keluarga Liu semakin hebat meskipun berusah untuk ditutup-tutupi.

   Kemudian, acara-acara besar yang direncanakan pun agaknya akan kacau.

   Utusan rombongan wayang potehi dari Pak-khia tiba-tiba datang untuk mengembalikan uang muka, dan menyatakan tidak sanggup hadir karena "sesuatu hal".

   Hwesio agung dari kuil Po-te-bo yang akan mengadakan sembahyang besar untuk keluarga Liu itu juga "sakit mendadak".

   Liu Hok-tong tahu bahwa bekas saudara-saudara angkatnya lah yang mendalangi semua itu.

   Lalu kegelisahan meningkat, ketika mayat tiga orang pegawai Liu-keh-chung ditemukan di kebun bunga dalam keadaan kepala terpenggal.

   Di dada salah satu mayat tergores bekas belati berbentuk tulisan.

   "Selamat ulang tahun, Toako Liu Hok-tong. Salam hangat dari Adik Ke Dua dan Adik Ke tiga."

   Penjagaan semakin diperkuat, bahkan sampai Liu Hok-tong dan anak-anaknya, menantu-menantunya dan cucu-cucunya ikut meronda perkampungan keluarga itu, tapi korban demi korban terus berjatuhan.

   Orang- orang Pek-kiam-pay dan Hai-liong-pang ikut berjaga pula, tapi mereka malah ikut "menyumbang"

   Nyawa pula.

   Dalam beberapa hari saja, suasana pesta berubah seperti suasana kuburan bercampur suasana perang.

   Tegang dan mencemaskan terasa di mana-mana.

   Lenyaplah kecongkakan keluarga Liu, sekarang mereka sendiri kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.

   Ke mana-mana mereka membawa golok, bahkan juga ketika ada di meja makan atau pergi ke kakus.

   Tapi mereka tidak tahu siapa yang harus dibacok karena musuh tak pernah kelihatan, hanya korban-korbannya lah yang terus berjatuhan tanpa ampun.

   Pegawai-pegawai yang lelaki juga kelihatan hilir mudik dengan memanggul toya, tombak, golok dan sebagainya, tetapi wajah mereka tidak lagi garang seperti biasanya, melainkan kecut ketakutan.

   Kalau ada yang ingin pergi ke kamar kecilpun minta diantar tiga atau empat orang temannya, tidak berani sendirian.

   Ada yang mohon berhenti bekerja untuk pulang kampung, dan dikabulkan.

   Tapi baru saja mereka berada di luar tembok perkampungan, kepala mereka sudah lenyap.

   Akhirnya seluruh penghuni Liu-keh-chung seolah tinggal di sebuah kurungan raksasa dan tinggal menunggu nasib saja.

   Pada suatu malam, ketika perkampungan keluarga itu telah menjadi sunyi, tiba-tiba dari salah satu arah terdengar jeritan yang mendirikan bulu roma.

   Disusul dengan suara bentakan-bentakan dan gemerincingnya senjata yang berbenturan.

   "Pembunuhnya datang! Pembunuhnya datang!"

   Beberapa pegawai bersenjata segera berteriak-teriak keras.

   Tapi mereka tidak segera menuju ke tempat suara jeritan tadi, malah bergerombol berdesak-desakan dengan wajah pucat ketakutan.

   Tidak ada yang berani terpisah selangkahpun dari kerumunan temannya.

   Setiap orang malah berusaha mendesak ke tengah kerumunan dan tidak mau berada di pinggir kerumunan.

   Ketika Liu Goan muncul dengan membawa golok, ia marah melihat tingkah para pegawai itu.

   teriaknya.

   "Kerbau-kerbau tolol bernyali tikus! Ikut aku!"

   Kemunculan Liu Goan membesarkan nyali mereka, maka merekapun mengikuti Liu Goan menuju ke tempat jeritan tadi.

   Bahkan entah siapa yang mulai, ada yang bersorak- sorak seperti pasukan maju ke medan perang.

   Kalau ada tambur, mungkin akan ditabuh untuk menambah semangat.

   "Serbu! Serbu!"

   "He, monyet! Kau menginjak kakiku!"

   "Oh, maaf, aku begitu bersemangat ingin segera sampai ke arena pertempuran untuk menghajar musuh!"

   "Bangsat! Tidakkah kau bisa membawa tombakmu lebih baik? Kau menusuk-nusuk pantatku!"

   "Maaf, nah, sekarang sudah agak ku naikkan..."

   "Sekarang menusuk-nusuk punggungku!"

   Bukan hanya Liu Goan yang keluar, tapi semua jago-jago Liu-keh-chung juga keluar.

   Juga tamu-tamu mereka dari Pek-kiam-pay dan Hai-long-pang.

   Liu Hok-tong dengan golok, Ko Jun-lim dan puterinya yang menjadi menantu keluarga Liu dengan pedang, segera menuju ke arah yang sama dengan gerakan gesit.

   Biarpun mereka adalah dua kakek ubanan dan seorang perempuan setengah umur, tapi gerakan mereka pesat karena ilmu mereka yang tinggi.

   Di salah satu halaman dari sekian puluh halaman dalam perkampungan itu, memang tengah terjadi pertempuran sengit satu lawan tiga.

   Di dekat arena bergeletakan 3 mayat pegawai Liu-keh-chung korban pembunuhan, tapi kali ini si pembunuh sendiri agaknya belum sempat menyembunyikan diri sudah kepergok.

   Ia bertubuh pendek gempal dengan pakaian model orang-orang padang pasir, memakai topi kulit pula, tapi wajahnya tertutup sehelai kedok hitam.

   Tangan kanannya memegang kampak bergagang pendek, dan tangan kirinya dengan sebatang belati, dua jenis senjata yang berbeda gaya permainannya itu ternyata bisa dimainkannya berpasangan dengan serasi.

   Kampak pendeknya bergaya kuat, menyambar-nyambar dalam garis lurus atau lengkung dengan membawa deru angin yang menggidikkan.

   Sedangkan belati di tangan kirinya tidak menimbulkan deruan angin tetapi lincah gerakannya, berliku-liku seperti gerakan ular, kadang mirip segerombolan lebah yang beterbangan hendak menyengat lawannya.

   Orang yang hebat ini harus menghadapi 3 lawan sekaligus.

   Kecuali Liu Jing-kiam dan Liu Jing-yang yang masing-masing memainkan ilmu golok keluarga Liu dengan tangkas, masih ditambah A-beng si kacung pendiam yang tanpa kenal takut bertempur dengan tombak panjang, meskipun ilmunya tidak setinggi kedua tuan mudanya itu.

   Biarpun kakak beradik anak-anak Liu Goan itu cukup rapi bekerja sama memainkan ilmu golok keluarga, mereka agaknya tetap terdesak oleh lawan mereka.

   Tapi masih ada A- beng di pihak mereka, meskipun ilmunya tidak tinggi tetapi senjatanya panjang, keberaniannya dan kenekatannya pun kadang- kadang mampu menyulitkan lawannya.

   Pada suatu kesempatan, Liu Jing-yang dan adiknya menyerang berbareng dari dua arah.

   Sang kakak dengan jurus Lian-hoan-cin- po-sam-to (Tiga Bacokan Dengan Langkah Beruntun), sementara adiknya menutup jalan mundur dengan jurus Liong-bun-sam-tiap-long (Gelombang Bersusun Tiga Menggempur Pintu Naga).

   Jurus yang dimainkan kaka beradik itu adalah jurus-jurus pilihan dari 324 jurus Liu- keh-to-hoat, tiap jurus mengandung unsur tiga serangan, sehingga orang berkedok itu menghadapi enam serangan sekaligus.

   Belum lagi ujung tombak A-beng yang suka menyelonong agak ngawur tetapi berbahaya...

   Tapi lawan benar-benar lihai.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam keadaan berbahaya itu ia masih sempat tertawa mengejek.

   "Bagus! Aku kenal inilah jurus-jurus Lian-hoan-cin-po-sam-to dan Liong-bun-sam-tiap-long yang jelek, aku akan memecahkannya!"

   Sementara mulutnya bicara, sepasang senjatanya pun tidak tinggal diam.

   Bukannya mundur oleh desakan ketiga lawannya, ia justru mendesak maju, seolah menceburkan diri ke tengah jaringan cahaya golok yang rapat dari lawan-lawannya, kedua senjatanya berputar kencang dan mirip dengan jurus Lo- cia-lo-hai (Dewa Lo-cia Mengaduk Lautan).

   Melihat terjangan musuhnya itu, Liu Jing-yang tertawa dingin.

   "Kau cari mampus, jangan menyesal kalau tubuhmu terpotong menjadi enam bagian!"

   Sahut musuhnya.

   "Ilmu golok sejelek ini mana mampu melukai aku seujung rambut pun?"

   Habis kata-katanya, terdengar suara berdentang beberapa kali, golok Liu Jing-yang dan Liu Jing-kiam berulang kali terbentur keras, dan setiap benturan membuat kakak beradik itu mundur dengan langkah kacau.

   Jurus-jurus maut mereka tadi pun tentu saja ikut berantakan.

   Orang berkedok itu tertawa bengis dan berteriak.

   "Sekarang lihat jurusku!"

   Kampak pendeknya bergerak ke arah Liu jing-yang dengan tipu Hong-cu-kay-san (Si Gila Mendobrak Gunung) dengan kekuatan besar.

   Sia-sia Liu Jing-yang memalangkan goloknya, goloknya terpental lepas tak sanggup menahan gempuran lawan.

   Liu Jing- yang cepat melemparkan tubuh ke belakang, tapi kampak musuh sudah berhasil membuat goresan memanjang di dadanya.

   Menyusul itu, pisau belati di tangan kiri si orang berkedok telah siap melakukan serangan penghabisan atas Liu Jing-yang.

   "Kakak!"

   Teriak Liu Jing-kiam cemas melihat kakaknya terancam maut. Secara nekad oia melompat maju sambil membabatkan goloknya ke punggung musuh. Dari arah lain, A-beng juga menikamkan tombaknya ke punggung musuh sambil berteriak.

   "Awas tombak!"

   Apa daya musuh terlalu lihai.

   Dengan langkah menghindar selicin belut, orang itu sudah dapat lolos dari golok maupun tombak.

   Malah sambil membalik badan dan mengayun kaki, A-beng kena ditendang terpental.

   Lalu tubuhnya berputar sekali lagi dan pisau belatinya mematuk ke dada Liu Jing-kiam secepat kilat, tak ada kesempatan lagi bagi Liu Jing-kiam untuk menghindar.

   Tapi nyawa Liu Jing-kiam terselamatkan oleh munculnya seorang perempuan berusia kira-kira 45 tahun yang melayang ke tengah arena.

   Dengan mengayunkan tangannya berulang kali, berterbanganlah beberapa batang hui-to (Golok Terbang) ke arah si orang berkedok.

   Terpaksa orang berkedok itu harus membatalkan tikamannya terhadap Liu Jing- kiam dan memutar sepasang senjatanya untuk meruntuhkan semua senjata rahasia.

   Perempuan yang melepaskan hui-to tadi adalah isteri Liu Goan yang bernama Thia Hui- leng, senjata andalannya adalah Lian-cu-tui (Bandul berantai) dan hui-to.

   Bersama munculnya perempuan itu, muncul pula kakak laki-lakinya, Thia Kim-sim, ketua Hai-long- pang yang berpakaian serba merah sehingga dijuluki sebagai Ang-mo-hui-long, Serigala Terbang Berbulu merah.

   Senjatanya juga Lian- cu-tui, hanya lebih berat bobotnya.

   Kini bola besi di ujung rantai itu sudah diputar-putar dan ia siap bertarung di pihak keluarga Liu.

   Liu Jing-yang dan Liu Jing-kiam cepat- cepat meloncat maju mendekati ibu mereka, seperti anak-anak ayam yang berlindung di bawah sayap induknya ketika merasa ancaman burung elang dari angkasa.

   Melihat dada Liu Jing-yang berdarah.

   "Thia Hui-leng bertanya.

   "Yang-ji, kau terluka? Bangsat itu berani melukaimu?"

   "Tidak seberapa, Ibu, hanya luka di kulit. Tapi bangsat itu harus ditangkap, dialah yang selama ini membunuhi orang-orang kita."

   Waktu itu hampir seluruh anggota keluarga Liu sudah mengepung tempat itu.

   masih diambah dengan puluhan pegawai keluarga Liu yang membawa bermacam- macam senjata, bahkan obor-obor sudah dinyalakan sehingga tempat itu menjadi terang benderang.

   Melihat lawan hanya seorang diri dan sudah terkepung rapat, timbul keberanian pegawai-pegawai Liu-keh-chung.

   Mereka mulai berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan senjata.

   "Bunuh penjahat!"

   "Cincang tubuhnya! "Korek keluar jantungnya untuk menyembahyangi arwah-arwah teman kami yang sudah menjadi jorban!"

   Biang keladi dari teriakan-teriakan itu adalah A-piao, kacung kesayangan Liu Jing- yang.

   Tadi waktu A-beng mempertaruhkan nyawa membela Liu Jing-yang, A-piao cuma berdiri di pinggir arena dengan kaki gemetar.

   Sekarang setelah yakin pihaknya akan berhasil menangkap si pembunuh, A-piao merasa perlu untuk mempertontonkan kesetia-kawanan dan keberaniannya, takut kalau gajinya dipotong.

   Dia pula yang berteriak paling keras dan paling garang.

   Kini orang berkedok itu benar-benar terkepung rapat, puluhan senjata siap meluruk ke tubuhnya.

   Tapi dia tetap bersikap dingin.

   Tak lama kemudian Liu Hok-tong juga datang ke tempat itu disertai Ko Jun-lim dan Ko In-eng.

   Dari arah lain muncullah Liu Goan bersama belasan pegawai bersenjata, disusul Liu Seng yang disertai dua anaknya, Liu Tek- san dan Liu Giok-eng si gadis yang telah berpakaian ringkas dan memegang golok.

   Begitu Liu Hok-tong melihat orang berkedok itu, tergetarlah hatinya.

   Samar- samar ia mengenali siapa orang itu.

   Dan orang itupun tiba-tiba membuka kedoknya sehingga terlihatlah wajah seorang lelaki gurun pasir yang berusia setengah abad lebih, bermata tajam penuh dendam.

   Orang itu menyambut Liu Hok-tong dengan tertawa menantang.

   "Liu Toako, mudah-mudahan kau belum lupa wajah adik angkatmu yang malang ini..."

   Wajah Liu Hok-tong memucat karena kagetnya.

   "Kau...kau...masih..."

   Wajah lelaki gurun pasir itu mengeras bagaikan besi, sedangkan matanya menyala seperti api neraka.

   "Kau kaget melihat aku belum mati karena pengkhianatanmu yang licik? Memang aku dan Samte hampir mati, tapi Majikan Benteng Elang Hitam telah menyelamatkan kami dari jurang kematian, dan untuknya lah sekarang kami bekerja."

   Liu Hok-tong memang agak terpukul hatinya.

   Di hadapan begitu banyak orang, bekas saudara angkat ini telah menyebut- nyebut masa lalunya yang memalukan.

   Demi mempertahankan namanya, timbullah nafsu membunuh Liu Hok-tong untuk melenyapkan orang bernama Ho Yu-yang ini agar tak bisa lagi bicara tentang masa lalu.

   Tapi sebelum Liu Hok-tong turun tangan, A-piao sudah lebih dulu berteriak dari pinggir arena.

   "Bohong! Mana pernah Loya punya saudara angkat seperti kau?! Majikan kami selalu bersih, perbuatannya selalu terpuji, kedermawanannya menyelamatkan banyak manusia...!"

   Ho Yu-yang tertawa terbahak mendengar kata-kata A-piao itu. Katanya kepada Liu Hok-tong.

   "Wah, Liu Toako, dari mana kau dapatkan anjing sebagus itu? sangat setia dan gonggongannya pun keras. Kau membeli atau menternakkan sendiri?"

   Keruan wajah A-piao jadi merah padam dan mulutnya pun bungkam. Ia marah tetapi tidak cukup keberaniannya untuk bertindak. Sementara itu Liu Hok-tong telah menghunus goloknya dan melompat ke tengah arena. Serunya.

   "Bangsat busuk! Aku belum pernah mengenalmu, kenapa kau begitu tak tahu diri dan memanggilku Toako?! Kau sudah banyak membunuh orang-orangku, sekarang kau harus mati di bawah senjataku!"

   Ucapan Liu Hok-tong itu menimbulkan kemurkaan Ho Yu-yang.

   "Ha-ha...aku memang seorang gelandangan dari gurun pasir yang miskin, mana bisa bersaudara angkat dengan hartawan macam dirimu? Baik, persaudaraan kita putus! Tapi biarlah semua kuping di sini mendengar bahwa hartamu ini hasil rampokan kita bertiga, lalu kau dengan licik..."

   Sebelum Ho Yu-yang menyelesaikan kalimatnya, Liu Hok-tong telah maju membacok dengan jurus Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san Menimpa Kepala). Goloknya terayun deras dari atas ke bawah hendak membelah kepala musuh. Ho Yu-yang cepat berkelit mundur.

   "Baiklah, kau takut aku melucuti kedokmu? Kita tentukan sekarang siapa yang akan tercincang di arena ini!"

   Maka terjadilah pertarungan sengit satu lawan satu.

   Puluhan pasng mata menyaksikan bagaimana Majikan Liu-keh-chung itu bertempur garang dan kuat seperti seekor harimau.

   Goloknya menyambar-nyambar, semakin lama semakin cepat disertai deru angin keras yang menggoncangkan pohon- pohon bunga di sekitar arena.

   Dalam usia hampir 65 tahun kurang beberapa hari saja, Liu Hok-tong bukannya seorang kakek yang loyo, melainkan tetap melatih ilmu silatnya dengan rajin.

   Ia masih kuat berlari lima putaran di luar dinding perkampungan, padahal kelilingnya cukup panjang dan tanahnya pun berbukit-bukit.

   Untuk kekuatan tangannya, ia masih mampu bermain-main dengan ciok-so (gembok batu) seberat hampir 100 kati, sehingga lengannya kekar.

   324 jurus ilmu goloknya juga masih sanggup dimainkannya dengan urut dan bertenaga sampai jurus terakhir.

   Kini terdorong nafsu membunuhnya untuk membungkam mulut bekas saudara angkatnya ini, gerakannya menjadi berbahaya bukan main.

   Pegawai-pegawai Liu-keh-chung berharap dalam beberapa jurus lagi musuh akan tercincang mampus.

   Liu Jing-yang yang pernah dicegat dan dipermalukan Ho Yu-yang, juga berharap agar kakeknya cepat-cepat membinasakan musuh.

   Bahkan Liu Hok-tong sendiri sudah memperhitungkan kemenangan dirinya.

   Dulu dialah yang terkuat dalam komplotan Tay-mo-sam-sat (Tiga Penjahat Gurun Pasir), sekarang pun mudah-mudahan begitu.

   Tapi Liu Hok-tong kecewa membentur lawan yang begitu tangguh, sanggup melayani jurus-jurus goloknya tanpa terdesak seujung rambut pun.

   Bahkan kemudian serangan balasan lawannya menggebu tak kalah dahsyatnya.

   Begitulah kedua bekas saudara angkat itu bertarung mati hidup dengan diwarnai dendam lama.

   Namun perlahan-lahan Liu Hok- tong mulai terdesak.

   Ia memang rajin latihan, namun hidup dalam kemakmuran.

   Sedangkan Ho yu-yang berlatih dalam keadaan mabuk dendam, alam gurun pasir yang keras itu juga ikut menempanya menjadi manusia bertubuh baja.

   Maka di arena itu berlakulah pepatah "Harimau yang kekenyangan dikalahkan anjing kelaparan."

   Setapak demi setapak Liu Hok-tong terdesak.

   Tiap kali goloknya membentur kampak pendek Ho Yu-yang, maka lengannya tergetar pegal, menandakan ia kalah tenaga.

   Sedang pisau di tangan kiri lawannya bergerak demikian cepat dan membingungkan sehingga ujung-ujung pisau seakan mengerumuni tubuhnya dari segala arah.

   Napas si Macan Tua keluarga Liu itu semakin terengah-engah, keringat membanjiri seluruh tubuhnya, lengannya yang memegang golok semakin gemetar seolah-olah bobot itu menjadi beberapa kali lipat lebih berat.

   Dan musuhnya terus menerjangnya seperti prahara gurun yang mampu memindahkan bukit-bukit pasir.

   Ketika Liu Goan melihat ayahnya terhimpit kesulitan, ia segera melompat ke arena dengan golok terhunus pula.

   Tubuhnya lebih gemuk dari ayahnya, namun lompatannya kelihatan gesit.

   "Ayah!"teriaknya.

   "Biarkan aku membantu mempercepat mampusnya bajingan ini!"

   Yang menjawab adalah Ho Yu-yang.

   "Kalian seluruh keluarga Liu boleh maju semua! Aku tidak merasa heran, kalau bapaknya licik, mustahil melahirkan anak-anak yang berwatak gagah!"

   "Bangsat! Jangan bersilat lidah untuk menyelamatkan nyawamu,"

   Bentak Liu Goan.

   "Kau sudah seperti ikan dalam jaring, jangan harap melangkah keluar dari arena ini tanpa meninggalkan batok kepalamu!"

   Liu Hok-tong sendiri tidak menolak bantuan anaknya itu.

   maka jadilah ayah dan anak itu mengeroyok Ho Yu-yang, sehingga orang padang pasir itu berbalik jadi terdesak.

   Tadi Ho Yu-yang dikeroyok Liu Jing-yang, Liu Jing-kiam dan A-beng dan bisa menguasai lawan-lawannya, tetapi Liu Hok-tong dan Liu Goan tidak bisa disamakan dengan kedua anak cucu tadi.

   Tapi pengeroyokan itu tidak berjalan lama.

   Tempat itu tiba-tiba digetarkan suitan nyaring yang menusuk telinga, lalu sesosok tubuh melayang masuk ke arena.

   Seorang yang berjubah sastrawan warna putih, berwajah tampan dan berkumis rapih meskipun usianya sudah lewat setengah abad.

   Tangannya memegang kipas yang digerak- gerakkan di depan tubuhnya.

   Begitu ada di gelanggang, pendatang baru itu langsung mengejek.

   "Liu Toako, setelah berpisah bertahun-tahun ternyata kau belum meninggalkan watakmu yang rendah. He-he...mengubah watak memang lebih sulit dari memindahkan gunung."

   Sehabis berkata, ia mengembangkan kipasnya dan menerjang ke arah Liu Goan sambil berteriak.

   "Jangan main keroyok!"

   Liu Goan yang berjuluk Siau-bin-hou (Harimau Muka Tertawa) itu sebenarnya ingin tetap bertempur mendampingi ayahnya.

   Tapi karena si sastrawan jubah putih telah menerjangnya dengan ganas, diapun melawan dengan sungguh-sungguh.

   Setelah pertempuran kembali berimbang dalam jumlah, dua lawan dua, maka Liu Hok-tong kembali terjepit kesulitan.

   Ia kepayahan menghadapi kampak pendek dan belati lawannya, sementara lawannya mendesaknya dengan penuh dendam, ingin segera mencincang Liu Hok-tong.

   Ho Yu-yang sudah menerima pesan rahasia dari Majikan Benteng Elang Hitam bahwa pihak Liu-keh- chung sudah boleh diberi "hajaran yang memadai".

   Ayahnya kewalahan, begitu pula anaknya.

   Kekuatan Liu Goan mengungguli ayahnya yang sudah tua, permainan goloknya juga cukup mantap.

   Tapi desing goloknya yang bagaikan hembusan prahara selalu saja menebas angin karena lawannya bergerak amat cepat.

   Liu Goan jadi mirip seekor banteng gila yang dengan sia-sia hendak menyeruduk seekor lebah yang tengah beterbangan.

   Sastrawan berjubah putih itu adalah bekas orang ke tiga dari Tay-mo-sam-sat.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namanya Ong Sek-lai dan berjuluk Kui-sim-su- seng (Sastrawan Berhati Iblis), biarpun wajahnya tampan dan terpelajar, kekejamanya justru berlipat ganda dibandingkan kakak ke duanya yang bertampang galak itu.

   Tingkat kepandaiannya cukup tinggi, hasil dari menggembleng diri bertahun-tahun dengan dilandasi dendam kesumat.

   Karena itu tidak heran kalau Liu Goan terdesak lebih hebat dari ayahnya.

   Kipas di tangan Ong Sek-lay menyambar-nyambar seperti seribu kupu-kupu di taman bunga, tapi "kupu-kupu"

   Ini adalah kupu-kupu maut.

   Ujung kipas maupun gagang kipas senantiasa mengincar jalan-jalan darah mematikan di tubuh lawannya, sehingga kerap kali Liu Goan harus pontang-panting menyelamatkan diri.

   Muka tertawanya sudah lama digantikan muka kecut.

   Thia Hui-leng tidak sanggup tinggal diam lagi melihat suaminya terancam bahaya.

   Dibarengi bentakan keras, senjata Lian-cu-tui di tangannya tiba-tiba berdesing di udara lalu bandul besinya menyambar kepala Ong Sek- lay dengan gerakan Liu-seng-kan-goat (Komet Mengejar Rembulan).

   Karena panjang rantainya tiga tombak lebih, maka dia dapat menyerang dari jarak yang aman.

   Ong Sek-lay harus menundukkan kepala untuk menghindari serangan yang agak licik itu.

   Bentaknya.

   "Perempuan rendah! Masuklah ke gelanggang untuk menemani mampus si gembrot ini!"

   Selagi Ong Sek-lay terpecah perhatiannya oleh bandul besi di ujung rantai yang menyambar-nyambar, Liu Goan cepat menyerang dengan Tui-to-kwa-hou (Mendorong Golok Menikam Leher).

   Sesuai dengan nama jurusnya, yang diincar adalah leher lawannya.

   Tapi yang diincar benar-benar lawan tangguh.

   Dengan kipasnya yang cuma terbuat dari bambu dan kertas, Ong Sek-lay berhasil memukul miring golok baja Liu Goan yang tebal dan berat.

   Teknik Su-nio-po-jian-kin (Empat Tahil Merobohkan Seribu Kati) itu adalah teknik yang dikenal umum, tapi pelaksanaannya membutuhkan tenaga dalam yang lihai dan kecermatan memperhitungkan gerakan yang tepat.

   Semua syarat itu ada pada diri Ong Sek-lay, sehingga Liu Goan terhuyung-huyung hampir roboh karena serangannya "dilempar"

   Ke samping.

   Tapi sebelum Ong Sek-lay melakukan serangan susulan yang mematikan, kembali bandulan besi Thi Hui-leng menyambar punggungnya.

   Tangkas sekali Ong Sek-lay membalik tubuh sambil menendang dengan Pai-lian-ka (Teratai Tertiup Angin) yang berhasil menyapu bandulan besi itu sehingga terlontar balik dan hampir memecahkan jidat Thia Hui-leng sendiri.

   Untung isteri Liu Goan itu dapat segera menguasai senjatanya lewat sentakan rantainya.

   Sementara itu di arena telah bertambah orang.

   Anak ke dua Liu Hok-tong, Liu Seng yang berjuluk Hui-hou-to (Golok Macan Terbang) telah terjun ke arena karena melihat ayahnya ibarat telur di ujung tanduk.

   Berbeda dengan Liu Goan yang gemuk bulat, Liu Seng bertubuh jangkung kurus, tapi lihai dalam ilmu meringankan tubuh.

   Begitu berada di gelanggang, dengan langkah ringan ia mencoba memutari Ho Yu-yang sambil melancarkan bacokan yang bertubi-tubi.

   Dengan demikian, baik Ho Yu-yang maupun Ong Sek-lay masing-masing harus menghadapi dua lawan.

   Ong Sek-lay masih sanggup mengimbangi pasangan suami-isteri Liu Goan dan Thia Hui-leng, tetapi Ho Yu-yang segera merasakan berat menghadapi pasangan ayah dan anak Liu Hok-tong dan Liu Seng.

   Sebagian pegawai Liu-keh-chung dengan dipimpin oleh A-piao semakin riuh bersorak-sorai di sekeliling arena, memberi semangat kepada jago-jago mereka, sekaligus mencaci-maki musuh.

   Kapan lagi kesempatannya kalau tidak sekarang? Keselamatan dua jagoan gurun pasir itu memang terancam.

   Biarpun mereka lebih lihai dari jago-jago Liu-keh-chung, tapi kalau jago- jago dari keluarga Liu itu maju semua, mana bisa mereka berdua memenangkan pertempuran? Bahkan untuk lolos saja sulit.

   Karena itu Ong Sek-lay tiba-tiba berteriak melengking, teriakannya mirip pekik burung elang di gurun pasir.

   Dari arah bukit-bukit di sekitar perkampungan segera terdengar pekikan serupa sebagai jawabannya.

   Pekikan sahutan itu malah bukan hanya keras, tetapi juga tajam menusuk telinga, menandakan bahwa orang yang berteriak itu memiliki tenaga dalam yang hebat.

   Orang-orang Liu-keh-chung terkejut, mereka sadar bahwa musuh memanggil teman-teman, yang agaknya cukup tangguh.

   Sorak sorai A-piao dan teman-temannya mendadak bungkam seperti suara cengkerik disiram air.

   Mereka mulai pucat wajahnya, berdesak-desakan dengan teman-teman mereka sendiri, sambil menoleh ke segala arah dengan ketakutan.

   Tidak terkecuali A-piao yang tadinya berteriak paling keras.

   Karena kakek, ayah, dan pamannya sedang bertempur, Liu Jing-yang segera mengambil prakarsa.

   Perintahnya.

   "Jangan berkumpul di sini semua! Hadang musuh dari luar jangan sampai bergabung dengan yang di sini!"

   Untuk sesaat suasana jadi ribut.

   Begitu banyak pegawai yang tubuhnya kekar-kekar dan mukanya garang, tapi sedikit yang bernyali besar.

   Mereka hanya saling dorong dengan temannya tanpa ada yang berani melangkah lebih dulu.

   Liu Jing-yang naik darah melihat kepengecutan orang-orang itu.

   "Kantong- kantong nasi tak berguna! A-piao, kau jaga di dinding sebelah timur dengan kawan- kawanmu!"

   Wajah A-piao pucat seketika. Ingin menolak perintah tapi kuatir dimaki sebagai penakut, maka terpaksa diapun beranjak pergi sambil mengajak teman-temannya.

   "Hayo semuanya ikut aku menjaga di sebelah timur!"

   "Goblok!"

   Bentak Liu Jing-yang sengit.

   "Jangan semuanya pergi, cukup 30 orang saja! Yang lain menjaga di bagian lain!"

   Dan memilih 30 orang itu ternyata lebih sulit dari menarik tagihan hutang, setiap orang yang ditunjuk telah menolak dengan macam- macam alasan.

   "A-kiat, kau terkenal berani, kau masuk reguku,"

   A-piao berkata kepada seorang temannya yang berewoknya tebal dan mukanya seram. Temannya itupun menyahut.

   "Tidak! Di sini keadannya jauh lebih berbahaya, aku harus siap-siap membantu Loya!"

   "Akupun di sini saja untuk menemani A- kiat,"

   Kata seorang yang tangannya memegang tombak Hong-thian-kek, senjata Panglima Besar Si Jin-kui yang terkenal dari kerajaan Tong-tiau.

   Di punggungnya ia juga menggendong sepasang pedang, pinggangnya dilibat dengan ruyung lemas dan diselipi beberapa jenis senjata rahasia, lambungnya digantungi golok, dan di sepatunya diselipkan sepasang belati.

   Seandainya ia membawa gembreng dan menuntun seekor monyet, tentu ia akan dikira anggota rombongan topeng monyet yang sedang berpindah tempat pertunjukan.

   Sementara para tukang pukul itu berdebat siapa yang harus menjalankan perintah, pekikan mirip suara elang itu terdengar kembali dan sudah dekat.

   Dua sosok bayangan tiba-tiba muncul di atas wuwungan atap gedung dekat arena.

   Salah satu pendatang tersebut memakai tudung bambu.

   Ketika melihat Ho Yu-yang dan Ong Sek-lay terkepung, orang itu melepas tudung bambunya dan dilemparkan ke arah kerumunan orang-orang Liu-keh-chung.

   Tudung bambu itu melesat berpusing bagaikan makhluk hidup saja, dan tahu-tahu tiga batang leher pegawai Liu-keh-chung terpapas putus.

   Setelah membuat putaran melengkung lebar, tudung bambu itu melayang kembali ke arah pemiliknya yang menangkapnya sambil tertawa terbahak-bahak.

   Orang-orang Liu-keh-chung jadi gemetar.

   Mereka sadar si "caping terbang"

   Itu saja sudah begitu hebat, melebihi dua musuh yang datang terdahulu.

   Tenaga dalamnya begitu hebat sehingga pinggiran capingnya yang hanya terbuat dari bambu itu dapat memapas leher orang, dan keahliannya untuk melemparkan caping untuk menyerang dan balik kembali itupun tergolong langka di dunia persilatan.

   Liu Jing-yang berteriak.

   "Semua berlindung!"

   Maka bubarlah pegawaipegawai itu saling tabrak untuk mencari tempat perlindungan.

   Beberapa orang terluka oleh senjata teman-teman sendiri karena gugupnya, obor-obor dilemparkan sembarangan saja dan membakar bebrapa rumpun bunga.

   Tapi si "caping terbang"

   Di atas genteng tidak diam saja.

   Sambil tertawa seram seperti iblis, capingnya kembali melayang dan menebas dua kepala lagi sebelum kembali ke tangannya.

   A-beng marah melihat teman-temannya dibunuhi semena-mena.

   Sambil berteriak marah, ia lemparkan tombaknya ke arah genteng ke arah orang itu, ia memang ahli melempar tombak macam itu, tapi orang di atas genteng itu dengan enak mengangkat kakinya dan menendang runtuh tombak itu.

   Detik berikutnya, caping itu kembali melayang dengan desingan mengerikan dan kali ini khusus ditujukan untuk mencopot kepala A-beng.

   Namun A-beng tanpa kenal takut memungut sebatang golok yang tergeletak di tanah milik seorang temannya yang tewas.

   Sambil menunggu serangan dia berseru.

   "Bangsat kejam!"

   Baru berkata begitu, caping terbang itu telah melayang ke arahnya sambil berpusing hebat, cepat A-beng ayunkan goloknya dengan gerakan Gou-ong-pek-giok (Gou Ong Menebas Batu) dengan maksud memukul runtuh caping terbang itu.

   Secara nalar, kalau caping bambu berbenturan dengan golok baja, tentu caping bambu yang akan runtuh.

   Tapi pusingan caping terbang itu begitu hebat sehingga golok A- beng seolah terhisap kekuatan raksasa dan terenggut dari pegangannya.

   Caping itu sendiri hampir tak berubah arahnya dan terus menyambar ke leher A-beng.

   "Mampus aku sekarang...,"

   Pikir A-beng tak berdaya.

   Detik itulah ia merasa kakinya ditendang dari belakang begitu keras sehingga ia roboh.

   Biarpun pantat dan punggungnya kesakitan karena terhempas tanah, tapi kepalanya masih utuh menempel di lehernya.

   Caping terbang pencabut nyawa itu hanya berselisih seujung rambut lewat di atas kepalanya.

   Ketika A-beng menoleh untuk melihat siapa yang tadi menendang betisnya, ternyata adalah cucu perempuan Liu Hok-tong yang bernama Liu Giok-eng.

   Robohnya berdekatan dengan tubuh gadis itu yang juga bertiarap di tanah.

   Tercium bau harum mulut gadis itu ketika berbisik kepada A-beng.

   "Jangan terlalu gegabah dengan iblis itu, A-beng. Kau baru saja bertamasya ke pintu kubur..."

   A-beng mengangguk.

   Cepat ia melompat berdiri lalu menggandeng tangan gadis itu untuk mencari tempat sembunyi yang lebih memadai, bukan sekedar bertiarap di tanah.

   Sementara caping bambu yang gagal merenggut nyawa A-beng tadi kemudian berhasil menyambar dua nyawa lainnya.

   Sementara keadaan kalang kabut, si "caping terbang"

   Di atas genteng itupun berteriak.

   "Ho Loji dan Ong Losam, tinggalkan arena! Sudah cukup kita memberi pelajaran kepada mereka!"

   "Baik!"

   Hampir bersamaan Ho Yu-yang dan Ong Sek-lay menyahut, tapi tidak gampang bagi mereka untuk melepaskan diri dari lawan mereka masing-masing yang mendesak mereka dengan sengit. Menyadari hal itu, si "caping terbang"

   Berkata kepada temannya yang berada di sebelahnya.

   "Losu, tolonglah Ho Yu-yang berdua melepaskan diri dari lawan-lawan mereka. Aku tidak bisa menggunakan capingku dalam pertarungan jarak dekat seperti itu..."

   Yang datang bersama si "caping ternag"

   Itu adalah seorang lelaki kurus pucat bertampang seperti mayat hidup, pandangan matanya dingin.

   "Baiklah, Losam,"

   Ia menjawab.

   "Tapi capingmu sudah minum banyak darah dan cambukku belum..."

   Si "caping bambu"

   Tertawa seram.

   "Boleh, tapi jangan sentuh dulu anggota- anggota keluarga Liu, cukup pegawai- pegawainya saja."

   "Mari kita turun!"

   Kedua orang itupun melayang turun bagaikan rajawali-rajawali yang garang, dengan senjata di tangan masing-masing. Si "caping terbang"

   Itu senjatanya ternyata memang caping itulah, tapi kali ini hanya dipegang dengan tangannya dan tidak dilempar-lemparkan.

   Sedangkan rekannya memegang sehelai cambuk panjang berwarna kehitam-hitaman, seluruh rantai cambuk penuh duri-duri bengkok sehingga cambuk itu mirip sebuah kerangka ular.

   Pemiliknya sendiri dengan bangga menyebutnya Liong-kut-pian, Cambuk Tulang naga.

   Tiba di bawah, si "caping bambu"

   Langsung menerjang Liu Hok-tong dan Liu seng.

   Caping bambunya tanpa takut-takut digunakan untuk menangkis golok-golok lawan yang tajam, caping bambunya tidak rusak sedikitpun, malah kedua batang golok itu tergetar pergi dan membuat pemiliknya mundur pontang-panting.

   "Ho Loji, pergilah dulu!"

   Perintah si "caping terbang". Biarpun Ho Yu-yang garang, nyata bahwa ia berada di bawah pengaruh si "caping terbang"

   Itu. Ia menuruti perintah dan melompat keluar gelanggang tanpa bisa dihalangi oleh Liu Hok-tong maupun Liu Seng lagi. **OZ** Bersambung ke

   Jilid 04 Pojok Dukuh, 15-09-2018; 00.50 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jilid 04 DI SEBELAH lain, si muka siluman juga menerjang Liu Goan serta Thia Hui-leng dengan cambuk tulang naganya yang bergerak seperti naga mengamuk di samudera, untuk memberi kesempatan Ong Sek-lai meninggalkan gelanggang.

   Setelah Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai berhasil meninggalkan arena dengan melompati atap, maka si "caping terbang"

   Dan si "muka siluman"

   Itupun pergi pula. Bahkan si "muka tengkorak"

   Sebelum pergi sempat membabat nyawa beberapa pegawai Liu-keh- chung dengan buasnya, lalu melompat pergi sambil tertawa terbahak-bahak.

   Tugas mereka malam itu cukup, sekedar menimbulkan perasaan tak berdaya di pihak Liu-keh-chung.

   Malam itu kebanggaan Liu-keh-chung benar-benar terpukul runtuh.

   Cukup empat orang musuh telah berhasil keluar masuk perkampungan keluarga itu segampang orang berjalan di jalan-raya saja, dan menimbulkan korban hampir tigapuluh orang pegawai Liu- keh-chung.

   Yang masih hidup pun sebagian besar sudah kuncup nyalinya.

   Hanya sebagian kecil yang masih punya tekad untuk membela Liu-keh-chung habis-habisan dengan taruhan nyawa, seperti A-beng, namun orang macam ini tidak banyak jumlahnya.

   Liu Hok-tong nampak lesu sekali.

   Meskipun sudah dihibur oleh anak-anaknya, menantu-menantunya dan cucu-cucunya, tapi peristiwa itu sangat menggoncangkan jiwanya.

   Tap Ko Jun-lim malah mengucapkan kata-kata yang bernada manakut-nakuti "Hek- eng-po adalah sebuah kekuatan baru di dunia persilatan yang diliputi kabut.

   Kita tidak tahu sampai dimana ke kuatan mereka.

   Bahkan kabarnya Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api) yang dipimpin Tayhiap Tong Lam-hou itupun tidak berani secara terang-terangan menakar kekuatan dengan Hek-eng-po, padahal kita tahu betapa hebatnya kekuatan Hwe-liong- pang dan betapa tingginya ilmu silat Ketuanya..."

   Alis Liu Hok-tong berkerut sedikit mendengar ucapan besannya itu, lalu menyahut.

   "Tapi mereka yang datang mengacau kemari dan bukan kami yang memusuhi mereka..."

   Tapi pasti ada sebab-sebabnya mereka menyerbu perkampunganmu, jin-keh.

   Pengacau-pengacau itu nampaknya sudah kenal denganmu jauh sebelum ini, mereka memanggilmu Toako.

   Nah, Jin-keh, maukah kau bicara terbuka denganku, supaya dapat kita pecahkan persoalan ini dengan baik?"

   Wajah Liu Hok-tong semakin tidak sedap dilihat.

   "Jin-keh, jadi kau juga mulai percaya cerita bohong bandit-bandit yang mengaku-aku sebagai saudara angkatku tadi? Kau percaya bahwa di masa mudaku aku pernah menjadi begal di padang pasir?"

   Ah, jangan gampang tersinggung, berkepala dinginlah.

   Di dunia ini, siapa orangnya yang tidak pernah berbuat kesalahan? Tong Lam-hou Ketua Hwe-liong- pang yang dijunjung-junjung sebagai pendekar besar di jaman ini pun di masa mudanya pernah sesat jalan sebagai kuku-garuda Manchu.

   Asal kita dengan hati bening sanggup melihat kesalahan diri sendiri dan tidak mengulanginya lagi, itu akan..."

   "Cukup, Ko Jun-lim!"

   Potong Liu Hok- tong sambil membanting kaki.

   "Liu-keh-chung akan jaya atau tertumpas hancur, itu urusan keluarga kami sendiri. Tidak perlu orang luar turut campur!"

   Karena kejengkelannya sudah memuncak, Liu Hok-tong telah menyebut nama Ko Jun-lim begitu saja, bukan lagi "jin- keh".

   Ia berharap besannya itu agar tidak terlalu cerewet lagi.

   Tapi meskipun sudah dibentak macam itu, Ko Jun-lim masih juga bicara dengan suara tetap terkendali.

   "Jin-keh, bagaimana bisa kau menganggapku sebaga orang luar? Puteriku sudah menjadi menantumu dan berarti masuk keluarga Liu. Cucu-cucumu Liu Tek-san dan Liu Giok eng adalah cucu-cucuku juga. Kau anggap aku bisa tinggal diam melihat darah dagingku dibantai orang-orang Hek-eng-po? Biarpun kau maki aku sebagai orang cerewet, aku tidak peduli, pokoknya aku harus ikut campur urusan ini..."

   Akhirnya Liu Hok-tong berkata.

   "Maafkan kekasaranku tadi, Jin-keh. Tapi aku benar-benar belum mengerti kenapa orang- orang Hek-eng-po itu memusuhi aku..."

   "Coba jin-keh ingat-ingat masa lalu, tidak usah malu-malu di hadapanku. Barangkali aku bisa membantu menemukan jalan keluarnya..."

   Sesaat Liu Hok-tong ragu-ragu, berterus-terang atau tidak? Tapi ia memutuskan akan tetap bungkam tentang masa lalunya, tidak sudi menghancurkan namanya sendiri dengan pengakuannya yang terbuka.

   Biarpun orang lain menuduh dengan gencar, ia harus tetap menggelengkan kepala.

   Begitu pula kali itu ia menggelengkan kepalanya.

   Ko Jun-lim kecewa.

   Diam-diam Ketua Pek-kiam-pay ini menggerutu dalam hatinya.

   "Bangsat ini alot juga. Agaknya aku harus bertindak lebih jauh lagi untuk mencari keterangan dimana disimpannya kitab kuno itu."

   Biarpun hatinya jengkel, Ko Jun lim tetap menunjukkan wajah yang biasa-biasa saja.

   "Jin-keh, kalau kau memang bersikap begini, aku tidak bisa memaksamu bicara. Tapi perkampunganmu ini benar-benar terancam bahaya. Empat orang yang datang tadipun sudah demikian hebat kerusakan pihakmu. Orang bersenjata caping dan bersenjata cambuk berkaitan tadi hanyalah orang ke tiga dan ke empat dari Lo-san-su-koai (Empat Siluman Pegunungan Lo-san). Hui-thian koai (Siluman Terbang) Hau It-yau, serta Gip-hiat- koai (Siluman Pengisap Darah) Pek Hong-teng. Kalau sampai orang pertama dan kedua, Tiat- pi-koai (Siluman Lengan Besi) Wan Po dan Hek-hok-koai (Siluman Kelelawar Hitam) Kongsun Gi muncul pula, betapa repot keadaanmu nanti. Nampaknya itupun hanya sebagian kecil dari kekuatan Hek-eng-po, pasti masih ada jago-jago lainnya.

   "Jin-keh, maukah kau biarkan aku sendirian dan berpikir dengan tenang?"

   Karena sudah diusir secara halus begitu, betapapun tebalnya kulit muka Ko Jun- lim, terpaksa ia angkat kaki sambil menggerutu dalam hati.

   Setelah besannya itu menjauh, Liu Hok-tong melambai untuk memanggil A-beng mendekat.

   Saat itu A-beng sedang bersama teman-temannya membersihkan tempat itu dari mayat-mayat yang kebanyakan terpenggal lehernya.

   A-beng pun berjalan mendekat.

   Kepercayaan Liu Hok-tong terhadap A- beng melebihi kepercayaan terhadap kacung- kacung lainnya, sehingga kacung itu sering diajarinya silat dan bisa dianggap "setengah murid".

   Kacung itu diketemukannya lama berselang sebagai bocah yang hampir mati kelaparan di pinggir jalan, lalu dibawa ke Liu- keh-chung.

   Pada diri anak gelandangan itu hanya ada sekeping kalung logam berukir seekor beruang serta bertuliskan huruf "Beng".

   Maka kacung itupun dipanggil A-beng, dan nama keluarganya ikut nama penolongnya sehingga namanya menjadi Liu Beng.

   Meskipun kacung itu kadang-kadang terlalu jujur sehingga kelihatan bodoh, tapi kesetiaannya kepada majikan membuat Liu Hok-tong mempercayainya beberapa bagian.

   "A-beng, besok tengah malam, ajaklah Tek-san ke ruangan penyimpanan kitab. Jangan ada yang tahu, paham?"

   Kata Liu Hok- tong kepada Liu Beng dengan berbisik-bisik.

   "Baiklah, Loya,"

   Sahut si kacung, meski pun sebenarnya agak heran juga dengan perintah itu. Liu Hok-tong kembali ke tempatnya sendiri sambil tertawa dingin dalam hati.

   "Hem, begitu banyak pihak yang mengincar gulungan kitab kuno itu. Tapi jangan harap, aku akan membuat mereka semua gigit jari. Tapi entah siapa yang menyebarkan rahasia ini?" **OZ** BAGIAN TIGA Malam berikutnya, tepat tengah malam, hanya dengan diikuti oleh cucu kesayangannya Liu Tek-san dan kacung terpercayanya, Liu Beng, Liu Hok-tong masuk ke sebuah ruangan rahasia yang terletak di belakang sebuah lukisan besar di ruangan penyimpanan kitab. Empat dinding ruangan rahasia itu dibuat dari batu-batu hitam yang dipahat dan dikaitkan satu sama lain dengan kokohnya. Tidak ada jendela, tidak ada lubang angin, sehingga ruang rahasia itu terasa sumpek. Tidak banyak benda di ruangan itu, namun semuanya adalah benda-benda yang sangat disayangi oleh kepala keluarga Liu itu. Berada di ruangan itu, sikap Liu Hok- tong menjadi sangat bersungguh-sungguh. Katanya.

   "Kalau ada di perkampungan ini orang-orang yang paling kupercayai, itulah hanya kalian berdua. Aku ingin menyelamatkan sebuah benda pusaka keluarga yang belakangan ini mulai diincar banyak pihak, bahkan pihak yang mengaku sebagai keluarga kita sekalipun. Tapi untuk rencanaku ini, harus ada seorang yang sanggup berkorban..."

   Sambil mengucapkan kalimat terakhir itu, matanya menatap wajah Liu Beng dengan tajam. Jantung Liu Beng berdenyut keras, jelas dirinyalah yang diminta kesanggupannya berkorban. Tanpa ragu-ragu ia menjawab.

   "Loya, nyawaku ini hanyalah nyawa pinjaman ketika Loya memungut aku dari pinggir jalan, untuk kepentingan Liu-keh-chung aku sanggup mengorbankan nyawaku. Tetapi harus tidak bertentangan dengan hati nuraniku, sebab nuraniku bukan pinjaman dari siapa-siapa dan menjadi milikku sendiri..."

   Sengaja Liu Beng menambahkan syaratnya itu, sebab sampai mampus pun ia tidak mau disuruh melakukan perbuatar biadab seperti A-piao ketika membawa Yo kim-hoa ke pondok kayu untuk "dimangsa"

   Liu Jing-yang itu. Tentang peristiwa itu, Liu Beng sering menyesalkan diri sendiri kenapa tidak ada kekuatan untuk mencegah mereka... Liu Hok-tong tertawa.

   "Jangan kuatir, A-beng, sebab aku sendiri juga seorang pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan..."

   Ketika bicara sampai di sini, sebenarnya Liu Hok-tong agak malu sedikit. Namun dilanjutkannya kata-katanya.

   "Aku hanya ngin mengelabuhi pihak-pihak yang mengincar benda pusaka itu. Harus ada seorang keturunan lelaki keluarga Liu yang tetap hidup, dan mudah-mudahan benda pusaka itu dapat membantunya di kemudian hari untuk membalas sakit hati. Kalian paham?"

   Hampir berbareng Liu Tek-san dan Liu Beng menjawab.

   "Paham". Liu Tek-san merasa bangga sebab sebagai cucu yang lebih muda dari Liu Jing- yang, ia lebih dipercayai oleh kakeknya daripada kakak sepupunya itu. Tidak mustahil terbuka peluang baginya untuk menjadi Chungcu (Kepala Perkampungan) angkatan ketiga. Karena itu diapun tidak ingin menunjukkan sikap lemah di hadapan kakeknya.

   "Aku paham, kakek. Menerjang lautan api atau rimba senjata, sanggup aku lakukan demi kejayaan keluarga kita!"

   Sedang bagi Liu Beng alias A-beng yang bahkan nama keluarga saja tidak punya, kesempatan itu akan digunakannya untuk membalas budi Liu Hok-tong yang pernah mengangkatnya dari kemiskinan dan kelaparan.

   Setelah hutang budi terbayar lunas, kalau masih hidup, ia ingin melepaskan diri dari Liu-keh-chung yang terasa kurang cocok untuk hati nuraninya.

   Sebagai orang tua yang penuh pengalaman, Liu Hok-tong melihat kesanggupan mereka berdua, dan ia tertawa dalam hatinya.

   Kesetiaan Liu Beng baginya bukan sesuatu yang mesti dihargai, tetapi dimanfaatkannya demi kepentingannya sendiri.

   Dari sebuah rak batu yang dipahat mati di dinding, Liu Hok-tong mengambil dua gulungan kulit yang mirip satu sama lain.

   Katanya.

   "Hanya kalian yang boleh mengetahui apa yang kita bertiga lakukan sekarang ini. Demi kelanggengan ke- luarga Liu."

   Kedua anak muda itu menyatakan sanggup.

   "Kedua gulungan kulit ini, satu asli dan satu palsu,"

   Kata Liu Hok-tong dengan bersungguh-sungguh.

   "Yang asli kupercayakan kepada Liu Tek-san, harus kau rahasiakan dan syukur kalau kau bisa mempelajarinya. Bahkan ayahmu, ibumu dan kakekmu Ko Jun-lim tidak boleh tahu gulungan itu ada padamu. Kalau perkampungan ini tertimpa musibah, Tek-san harus menyelamatkan diri tak peduli apapun yang terjadi..."

   Wajah Liu Tek-san menegang mendengar ucapan kakeknya itu.

   "Kakek, kita belum tentu kalah dari musuh, buat apa bicara tentang musibah segala? Lebih baik kita siapkan diri untuk bertarung mati-matian, bukankah kitab kuno ini bisa kita pelajari untuk meningkatkan ilmu silat kita?"

   Liu Hok-tong menggelengkan kepalanya dengan lemah.

   "Terlambat, cucuku. Aku sendiri menyesal kenapa dulu terlalu sibuk mengejar kekayaan sehingga lupa mempelajari ilmu dalam kitab itu. Kalau kini kita harus mempelajarinya, itu terlambat. Setidaknya kita butuh waktu 5 atau 6 tahun untuk menguasai intisari ilmu itu, sedangkan musuh pasti turun tangan dalam waktu beberapa hari ini. Ah, barangkali ini karma dari perbuatanku di masa lalu..."

   Menyadari dirinya telah kelepasan bicara, Liu Hok-tong tiba-tiba menutup mulutnya. sedang Liu Tek-san dengan darah bergolak berkata.

   "Karma apa? Seumur hidup kakek selalu berbuat kebajikan, tidak sayang harta untuk menolong orang, bukankah begitu? Apa yang pernah kakek lakukan di masa muda?"

   Liu Hok-tong menutup kecanggunganya dengan tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Liu Tek-san.

   "Bagus, cucuku, memang selama ini kakek selalu berbuat baik, tak pernah melakukan yang tercela. Hanya orang-orang dengki saja yang menyebarkan fitnah seolah- olah aku...aku...pernah menjadi...perampok di gurun pasir. Sungguh fitnah yang keji. Aku gembira kau tidak meragukan kebersihan kakekmu, Tek- san..."

   Kemudian kepada Liu Beng diserahkannya gulungan kulit yang satu lagi. Kata Liu Hok-tong.

   "Gulungan ini palsu, supaya perhatian pihak-pihak yang mengingini gulungan asli itu tertuju kepada yang palsu ini, mengerti? Tugasmu ini penuh bahaya, A-beng, karena itu kalau kau keberatan, kau berhak menolak tugas ini..."

   Liu Beng menekuk lututnya untuk berlutut di lantai batu yang keras dan dingin itu.

   "Loya, inilah kehormatan besar bagiku untuk membalas budi Loya yang setinggi gunung..."

   Liu Hok-tong mengangguk-angguk puas.

   "Selanjutnya, kelangsungan keluarga Liu hampir sepenuhnya tergantung kelincahan kalian berdua dalam membingungkan perhatian musuh. Untuk A-beng khusus aku pesankan, kalau keadaan Tek-san sudah cukup aman, kau tidak usah mempertaruhkan nyawa dengan gulungan kitab palsu itu lagi..."

   Ternyata masih ada juga sisa belas kasihan Liu Hok-tong terhadap Liu Beng yang mempertaruhkan nyawa untuk keluarganya itu.

   Bagaimanapun kejamnya ia, pengabdian A- beng yang tulus selama bertahun-tahun terhadap Liu-keh-chung tak bisa terhapus dari hatinya.

   "Masih ada pertanyaan?"

   Tanya Liu Hok- tong kepada kedua anak muda yang menjadi "bidak catur"nya itu. Tanya Liu Tek-san.

   "Kakek, kenapa bukan piauko (kakak misan) Jing-yang yang kakek percayai gulungan kitab kuno ini?"

   Sang kakek menarik napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Seha- rusnya begitu, karena Jing-yang adalah cucu lelakiku yang tertua, calon kepala keluarga angkatan ketiga, tapi ia gemar berfoya-foya, hidup boros, malas latihan dan beberapa kelemahan watak lainnya. Ia bukan orang yang tepat untuk meneruskan kejayaan Liu-keh- chung, malah bisa menghancurkannya."

   Diam-diam dalam hati Liu Beng sependapat dengan Liu Hok-tong.

   Antara Liu Jing-yang dan Liu Tek-san memang ada perbedaan watak yang membuat Liu Beng lebih suka kepada Liu Tek-san.

   Biarpun usia Liu Tek- san lebih muda, na- ada namun dalam banyak hal ia bersikap lebih matang dibanding kakak sepupunya itu.

   Sikapnya terhadap rakyat kecil juga berbeda dengan sikap Liu Jing-yang yang suka sewenang-wenang untuk menunjukkan kekuasaan, seperti dalam peristiwa Ui Kiong dan Yo Kim-hoa yang berakhir dengan mengenaskan.

   Liu Hok-tong kemudian memerintahkan kedua anak muda itu.

   "Kalian keluarlah, tapi jangan sampai ada yang melihat kalian dan ingat baik-baik semua pesanku tadi."

   Cucu dan kacung kesayangan Li Hok- tong itupun segera beranjak meninggalkan ruangan rahasia itu.

   Di luar, malam gelap masih menyelubungi perkampungan keluarga itu, dan kedua anak muda tu berpisahan setelah saling berpesan untuk hati-hati.

   Tapi baru beberapa langkah Liu Tek-san meninggalkan ruang penyimpanan kitab, dari balik gerombolan bunga terdengar suara menyapa.

   "Dari mana kau, piaute (adik misan)?"

   Yang muncul dari situ ternyata adalah Liu Jing-yang yang berpakaian ringkas dan pinggangnya digantungi golok.

   Diiringi kacung kesayangannya, A-piao, yang juga berpakaian ringkas dan menyandang golok pula.

   Agaknya mereka berdua sedang meronda perkampungan.

   Liu Tek-san terkesiap dan dengan gerakan naluriah yang kurang pengalaman ia buru-buru menyembunyikan gulungan kulit pemberian kakeknya di belakang punggungnya.

   Seperti anak kecil yang membawa kembang gula dan mendadak bertemu temannya yang nakal dan suka merebut kembang gulanya.

   Sikap yang tidak wajar itu membuat Liu Jing-yang agak curiga.

   Si kakak misan mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih mendesak.

   "Piaute, kau dari mana dan apakah yang kau bawa itu?"

   Liu Tek-san menenangkan debaran jantungnya dan menjawab setenang mungkin.

   "Aku baru saja berbincang-bincang dengan kakek, hanya membawa segulungan catatan pelajaran dari kakek..."

   Antara kedua cucu lelaki Li Hok-tong ini memang sudah lama merasa saling tidak cocok.

   Liu Jing-yang merasa jelus karena kakeknya memberi lebih banyak perhatian kepada Liu Tek-san yang lebih muda daripadanya, sedang Liu Tek-san tidak suka akan sepak terjang kakak sepupunya di luaran yang sering menyusahkan orang lain.

   Kini dengan pandangan menyelidik Liu Jing-yang menatap Liu Tek-san dan mendesak lagi.

   "Catatan pelajaran tentang apa? Boleh aku lihat?"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eh, maaf, Piauko, gulungan kulit ini harus kusimpan sendiri dan tidak penting bagimu, piauko..."

   Karena gugupnya Liu Tek- san tak dapat lagi mengatur kata-katanya dan sudah terpancing menyebut "gulungan kulit"

   Tadi. A-piao merasa mendapat kesempatan untuk mencari muka terhadap Liu Jing-yang seperti biasanya, maka dia pun ikut mendesak Liu Tek-san.

   "Siauya berdua adalah kakak- beradik misan, buat apa saling bertindak tidak jujur dan menyembunyikan sesuatu? Apalagi Siauya Liu Jing-yang adalah cucu tertua dan calon kepala perkampungan angkatan ke tiga, Siauya Liu Tek-san tidak patut bersikap demikian kepadanya..."

   Diam-diam Liu Tek-san dalam hati memaki ketololannya sendiri.

   "Betapa dungunya aku. Baru beberapa langkah meninggalkan Kakek, aku sudah gagal mempertahankan rahasia yang oleh Kakek dipercayakan kepadaku. Sekarang aku harus bagaimana?"

   Dalam kebingungan itu, kata-kata A- piao membuatnya semakin jengkel, maka dibentaknya A-piao.

   "Tutup mulutmu, memangnya kau anggap dirimu cukup pantas untuk ikut campur dalam pembicaraan kami berdua?!"

   A-piao kontan bungkam dengan wajah merah padam karena tersinggung.

   Namun dengan keahlian menjilatnya, dengan cepat dia berhasil memaksakan mukanya untuk tertawa menyeringai.

   Kemudian Liu Jing-yang sendiri ikut menegur kacung kesayangannya meskipun hanya dengan pura-pura.

   "Betul, A-piao, kau tidak perlu ikut bicara. Kalau Piaute tidak mau berterus-terang kepadaku, kenapa kita haru mendesak-desak sampai Piaute mera tersudut?"

   "Piauko jangan salah paham. Aku hanya tidak berani melanggar pesan Kakek. Bagaimana kalau Piauko tanyakan sendiri saja kepada Kakek?"

   Dalam pendengaran Liu Jing-yang yang dikuasai kedengkian, ucapan adik misannya itu serasa menonjolkan diri bahwa adik misannya itu lebih dekat dengan kakeknya.

   Tanpa berkata apa-apa hanya dengan mendengus dingin, Liu Jing-yang segera berlalu meninggalkan adik misannya itu.

   Diiringi A- piao yang bagaikan seekor anjing yang amat setia mengikuti kemana saja tuannya pergi.

   Sedangkan Liu Tek-san meskipun merasa hatinya tidak enak, tapi lega juga berpisahan dengan kakak misan yang tidak disukainya itu.

   Digenggamnya gulungan kulit kuno pemberian kakeknya itu erat-erat .

   Sementara itu, setelah Liu Jing-yang melangkah agak jauh dari adik misannya, ia menggerutu perlahan.

   "Hem, kurang ajar. Mentang-sentang dia cucu kesayangan Kakek...!"

   A-piao ikut memanas-manasi hati junjungannya itu.

   "Benar, tapi Siauya tidak usah iri kepadanya. Selama ini siauya Tek-san hanya berada dalam perkampungan saja, sedang Siauya sering melakukan tindakan- tindakan berani di luar tembok perkampungan, tentu perkembangan pribadinya pun akan berbeda. Siauya akan menjadi seorang yang kuat, sedang Siauya Tek-san akan menjadi seorang lemah sebab sudah membiasakan diri bersandar kepada orang tua. Siauya, dirimulah calon paling cocok untuk menjadi kepala perkampungan di masa datang, yang lain- lainnya terlalu lemah."

   Biarpun Liu Jing-yang diam, tapi A-piao dengan pengalaman menjilatnya merasa bahwa jilatannya kali inipun kena, artinya berhasil nenyenangkan tuan mudanya, artinya lagi besok kantong uangnya akan ketambahan "penghuni"

   Beberapa tahil...

   Kalau Liu Tek-san telah kepergok kakak misannya, sebaliknya Liu Beng malah belum kepergok siapa-siapa.

   Tetapi dia ingat akan tugasnya untuk mengalihkan perhatian, dan tanpa sadar kakinya melangkah ke bagian utara perkampungan itu, ke tempat menginapnya orang-orang Pek-kiam-pai.

   Liu Beng merasa bahwa selama ini gerak-gerik Pek-kiam-pai itu terlalu mencurigakan, tidak peduli ketua mereka adalah besan dari majikan tuanya.

   Sering tanpa sengaja Liu Beng melihat Ko Jun-lim dan Kiau Bun bicara berbisik-bisik dengan wajah berkerut-kerut tegang, sering pula melihat beberapa orang Pek-kiam-pai celingukan seperti maling di beberapa bagian perkampungan seolah-olah sedang menyelidiki sesuatu.

   Maka Liu Beng bertekad untuk "melempar umpan"

   Agar segera tahu maksud orang-orang Pek-kiam-pai yang sebenarnya. Ia menduga keras bahwa pihak Pek-kiam-pai sebenarnya juga mengincar gulungan kulit kuno itu. Hanya saja mereka mencoba "bekerja dari dalam,"

   Tidak seperti Hek-eng-po yang hendak merampok terang-terangan.

   Diselipkannya gulungan kulit itu di balik bajunya, tapi sengaja ujungnya diperlihatkan sedikit seolah-olah ia kurang rapi menyembunyikannya.

   Dengan langkah tetap ia menuju ke bagian utara.

   Dilewatinya kebun- kebun bunga, halaman-halaman dan pintu- pintu bundar yang tak terhitung banyaknya di perkampungan luas itu, ia tidak gentar seandainya berpapasan dengan pembunuh- pembunuh dari Hek-eng-po.

   Di beberapa bagian, dilihatnya teman-temannya duduk berjaga-jaga dengan bergerombol.

   Meskipun dengan senjata di tangan, tetapi dengan muka yang kecut.

   Di bagian utara, sebagian besar orng Pek-kiam-pai sudah tidur, tapi masih ada segelintir yang duduk berjaga di sebuah serambi.

   Salah satu dari mereka adalah Kiau Bun, orang nomor dua di Pek-kiam-pai.

   Orang-orang itulah yang didekati oleh A-beng.

   "Ada apa, A-beng ?"

   Tanya Kiau Bun.

   Matanya yang tajam menangkap gulungan kulit yang menyembul sedikit dari balik baju Liu Beng, dan jantung Kiau Bun berdetak lebih kencang.

   Ya, benda itulah yang kabarnya bisa membawa seseorang sampai ke puncak kejayaan di rimba persilatan.

   Melihat arah pandangan Kiau Bun, Liu Beng tertawa dalam hatinya.

   "Um pannya mulai didekati sang ikan."

   Tapi ia pura-pura agak gugup membetulkan bajunya untuk menutupi gulungan kulit itu, sambil menyahut sopan.

   "Ah, tidak apa-apa. Beberapa jam yang lalu baru saja ada pembunuhan lagi, Loya menyuruh aku menengok tamu-tamu Liu-keh- chung apakah tidak kurang suatu apa?"

   Biasanya sikap Kiau Bun terhadap pegawai-pegawai Liu-keh-chung angkuh, merasa kedudukannya terlalu tinggi dari pegawai-pegawai itu. Tapi kini sikapnya terhadap Liu Beng benar-benar kelewat ramah. Sahutnya sambil tertawa.

   "Kami semua baik- baik saja, tolog sampaikan terima kasih kami atas perhatian Chungcu. Saudara A-beng, apakah kau baru saja dari tempat Chungcu?"

   "Benar, Kiau Sianseng. Sejak timbulnya kerusuhan ini, Chungcu sering sulit tidur di malam hari dan akulah yang diminta untuk menemaninya bercakap-cakap atau menghangatkan arak baginya..."

   Ucapan itu memberi kesan bahwa Liu Beng benar-benar dipercaya oleh Chungcu, dan makin yakinlah Kiau Bun akan dugaannya sandiri. Sementara itu' Liu Beng telah memberi hormat.

   "Syukurlah kalau tuan-tuan tidak kekurangan suatu apa. Aku mohon diri."

   Ketika Liu Beng telah melangkah membelakanginya, sekilas timbul pikiran kejam di benak Kiau Bun.

   Kalau ia bunuh Liu Beng saat itu juga, lalu mayatnya disembunyikan di kebun bunga itu, maka gulungan kulit itu akan jatuh ke tangannya.

   Tangannya sudah meraba pisau belati di balik bajunya.

   Tapi ia harus membatalkan niatnya ketika Liu Goan lewat di luar pintu, dengan diiringi 5 orang pegawai Liu-keh-chung yang semuanya memanggul senjata.

   Selamatlah Liu Beng dari rencana kejamnya.

   Bintang-bintang satu persatu menghilang dari langit yang semakin cerah, ayam-ayam hutan berkokok di perbukitan sekitar perkampungan, lalu matahari menyibak cakrawala timur mengusir kegelapan.

   Umur alam semesta dan penghuni-penghuninya bertambah satu hari lagi.

   Liu Beng mulai lagi dengan tugasnya sehari-hari sebagai pegawai biasa.

   Pagi itu ia menyapu sebuah halaman dekat bagian perkampungan yang didiami Liu Seng dan anak isterinya.

   Bagian itu sebenarnya punya tukang sapu sendiri, tetapi tadi malam si tukang sapu sudah menjadi korban pembunuhan.

   Maka tanpa disuruh Liu Beng merasa tidak ada salahnya menggantikan tugas temannya yang sudah jadi arwah penasaran itu.

   Tengah ia menikmati kesegaran udara pagi, sambil menikmati pula irama kerjanya sendiri, tiba-tiba didengarnya langkah-langkah lembut di belakangnya.

   Disusul suara merdu yang masuk ke kupingnya.

   "Biasanya bukan kau yang menyapu halaman ini, A-beng..."

   Liu Beng membalikkan tubuh, dan sesaat ia terpesona oleh keindahan yang terpampang didepannya.

   Liu Giok-eng, adik perempuan Liu Tek-san, berdiri di hadapannya dengan wajah ceria dan pakaian satin merah jambu.

   Gadis itu tidak berkesan garang kalau tidak sedang dalam pakaian silatnya dengan golok di tangannya.

   Malah pagi itu di bawah cahaya mentari pagi yang keemasan, dia nampak anggun dan lembut, agak tersipu-sipu, sanggup membuat orang lupa bahwa gadis itu sanggup bermain golok dengan tangkasnya, atau memecahkan sekeping papan dengan tinjunya.

   Liu Giok-eng menunduk dengan pipi memerah ketika melihat sikap Liu Beng itu.

   Sambil tertawa tertahan, gadis itu bertanya.

   "A-beng, kenapa melihatku seperti itu? Apa jidatku tumbuh tanduknya? Atau hidungku terbalik letaknya ?"

   Liu Beng tersentak dari cengkaman pesona yang nakal tak gampang dilupakannya. Dengan canggung dia pun membungkuk hormat.

   "Ma...maaf...aku kurang hormat. Eh, selamat pagi, nona Eng..."

   Liu Giok-eng menyembunikan tertawanya melihat sikap yang ketolol-tololan itu.

   Namun ia bangga juga bahwa Liu Beng sebagai lelaki muda tentu terpesona oleh kecantikannya.

   Apalagi dalam pandangan Liu Giok-eng, kacung yang satu ini memancarkan kepribadian yang lain dari pegawai-pegawai lainnya.

   Dulu Liu Beng dibawa oleh kakeknya dalam keadaan kurus, jelek, compang- camping, ingusnya terus keluar dan agak berkudis.

   Tapi ia tumbuh di Liu-keh-chung menjadi seorang anak muda yang gagah dan berkepribadian menonjol.

   Liu Giok-eng merasa bahwa asal-usul kacung ini tidak sembarangan, meskipun Liu Beng sendiri kalau ditanyai tentang asal-usulnya hanya bisa menggelengkan kepala dengan sedih.

   "Nona Eng, maaf aku tadi tidak mendengar pertanyaanmu, barangkali kupingku sekarang agak tuli."

   "Bukan tuli, tapi tadi kau sedang melamun. Benar tidak?"

   Liu Beng menyeringai dan pura-pura memungut beberapa helai daun kering untuk menutupi kecanggungannya.

   "Memang betul, tadi aku sedang melamun..."

   "Melamunkan seorang gadis?"

   Jantung Liu Beng berdetak keras "Ah, mana berani? Hidupku sendiri belum dapat kuramalkan bagaimana jadinya nanti. Mungkin nanti malam pembunuh itu akan datang lagi dan kepalaku ini yang diambilnya..."

   "He, jangan bicara seperti itu!"

   Liu Giok-eng menukas sambil membelalakkan matanya.

   "Aku tidak suka mendengarnya."

   "Kita sama-sama tidak suka, tapi beginilah keadaannya dan tidak bisa kita tolak."

   "Tidak, kau harus menjaga diri dengan baik. Aku tidak suka kau terluka seujung rambutpun, mengerti?"

   Nada perhatian dalam suara gadis itu membuat Liu Beng agak senang juga, dan ia hanya menjawabnya dengan anggukan kepala mumpung masih punya kepala.

   Mereka kemudian bercakap-cakap tentang jenis-jenis tanaman, lalu bersama sama hendak menangkap seekor burung kecil berbulu kuning, namun gagal sehingga wajah mereka berlepotan tanah dan saling mentertawakan.

   Batas antara nona majikan dan kacung perlahan-lahan mulai mencair.

   Tiba-tiba Ko Jun-lim, kakek luar Liu Giok-eng, muncul di halaman itu dengan mengenakan jubah kain ringan dan sepatu tipis.

   Orang tua itu nampak santai dan segar di pagi yang cerah itu.

   Liu Beng terkejut.

   Sapu yang tadi sudah diletakkannya di tanah segera diambilnya lagi dan diapun mulai menyapu lagi dengan wajah yang menunduk.

   Kedatangan Ko Jun-lim ibarat kedatangan selembar cermin yang diletakkan di hadapannya, supaya ia bisa melihat dirinya sendiri bahwa ia cuma seorang kacung di keluarga itu.

   Bahkan cuma bekas seorang bocah gelandangan yang nama ayah-ibunya pun tidak tahu, sehingga ia memakai she Liu, she dari orang yang memeliharanya sejak kecil.

   Garis batas antara dirinya dan Liu Giok- eng yang tadinya kabur, kini menjadi tajam kembali.

   Liu Giok-eng juga ikut gugup.

   Sejak kecil ia sudah diajari bagaimana seharusnya tingkah laku seorang anggota keluarga terhormat.

   Semua tingkah laku harus diatur, setiap sepak terjangnya sudah dibebani seribu "harus begini"

   Dan sejuta "jangan begitu". Kakek luarnya ini adalah "tukang khotbah"

   Yang sering bicara panjang lebar terhadap cucu-cucunya.

   Kini Liu Giok-eng sudah siap mendengarkan khotbahnya sambil menggerutu dalam hati.

   Tapi alangkah herannya Liu Giok-eng ketika melihat si tukang khotbah berjenggot putih ini malah tersenyum, dan menyapa dengan suara amat ramah.

   "Eh, kalian kelihatan gembira betul. Ada apa?"

   Liu Beng menjawab.

   "Tidak pa-apa, Loyacu. Kami telah berusaha menangkap burung pipit bersayap kuning tadi, tetapi gagal."

   Sikap Ko Jun-lim memang jauh di luar dugaan, kelewat ramah. Sambil menepuk- nepuk pundak Liu Beng, Ko Jun-lim berkata.

   "Dua malam yang lalu, ketika aku lihat kau dengan gagah berani melemparkan tombakmu kepada si penjahat caping terbang itu, aku sudah mengagumi keberanian dan kesetiaanmu, saudara A-beng. Kalau kau bersedia, kita bisa menjadi sahabat yang sederajat."

   Liu Beng bukan pemuda bodoh, hanya saja masih terlalu lugu menghadapi Ketua Pek- kiam-pai yang pintar membuuk itu. Hatinya mulai goyah, manusia mana yang tidak suka dipuji? Tapi Liu Beng tidak berani melompati batas, sikapnya masih merendah.

   "Mana berani aku duduk sederajat dengan Loyacu? Loyacu seorang ketua perguruan yang terhormat, sedang aku ini apa? Cuma seorang kacung yang berilmu rendah, asal-usulpun tidak jelas sehingga tidak punya nama keluarga (she). Nyawaku juga hanya nyawa pinjaman dari Chungcu Loya, sudah sewajarnya kalau aku membelanya tanpa mengharapkan balas jasa..."

   Tapi Ko Jun-lim terus berusaha menggoyhkan kepribadian Liu Beng dengan kata-katanya yang manis.

   "Itulah kelebihan dirimu. Berjasa besar tetapi tetap rendah hati, berbeda jauh dengan umumnya orang yang tidak berjasa apa-apa tetapi membuka mulutnya lebar-lebar. Saudara A-beng, aku semakin kagum kepadamu..."

   "Terima kasih, Loyacu..."

   Sedangkan Liu Giok-eng yang merasa lega karena kakeknya tidak marah kepada Liu Beng, telah ikut memuji Liu Beng namun dengan sikap tulus tanpa berpura-pura.

   "Kau lebih hebat dari aku, A-beng. Aku sering membanggakan kekayaan dan kemasyhuran keluargaku, padahal setetes keringatpun aku tidak ikut menyumbang untuk membangun kejayaan ini. Jadi apa yang patut kubanggakan sebenarnya? Sedangkan kau, biarpun dipandang rendah sebagian besar orang, tapi kau berkepribadian kuat dan setiap tetes keringatmu bermanfaat bagi Liu-keh-chung."

   Hati Liu Beng mekar mendengar penghargaan Liu Giok-eng, yang sama sekali tidak memandang rendah kedudukannya itu.

   Kalau tadi ia cuma kagun kecantikan gadis itu, sekarang ia harus kagum kepada pandangan hidupnya pula.

   Pandangan hidup yang lain dengan umumnya anak hartawan yang gemar memandang rendah orang miskin, tapi mereka sendiri hanya bisa menghambur-hamburkan uang orang tua mereka tanpa bisa mengumpulkan satu sen pun "Sikap Loyacu dan nona Eng membuat semangat hidupku menyala lebih hebat,"

   Katanya hormat.

   "Saudara A-beng, bagaimana kalau aku undang nanti malam kau ke tempatku untuk minum arak sambil bercakap-cakap?"

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Ko Jun-lim lagi.

   "Setiap kali aku bertemu dengan seorang berwatak jantan, aku selalu ingin kenal lebih dekat kepadanya, tidak peduli kedudukannya atau asal-usulnya. Jangan kecewakan aku, sahabatku."

   Liu Giok-eng kembali menimbrung bicara.

   "Benar, Beng-ko (kakak Beng), Kakek memang gemar bersahabat dengan pemuda- pemuda berwatak gagah semacammu. Jangan kecewakan..."

   Yang tua memanggil "sahabatku"

   Dan yang muda memanggil "kakak Beng", mana bisa Liu Beng menolak lagi? Ia pun menganggukkan kepalanya.

   "Baiklah, nanti malam aku akan melayani menghangatkan arak untuk Loyacu,"

   Sahut Liu Beng.

   "Bukan melayani aku, sahabat, tapi minum bersama. Bukankah begitu, A-eng?"

   Gadis itu mengangguk, lalu meninggalkan halaman itu dengan langkah lincah setengah melompat-lompat.

   Ko Jun-lim sekali lagi menepuk pundak Liu Beng sambil tertawa, lalu melangkah pergi pula searah dengan cucu perempuanya.

   Seharian itu Liu Beng bekerja sampai sore dengan hati berbunga.

   Pekerjaan yang berat-berat pun dilakukan sambil bersenandung meskipun suaranya jelek.

   Beberapa temannya menjadi heran.

   Sebagian beranggapan bahwa Liu Beng sudah miring otaknya karena tidak kuat menahan ketegangan yang selama beberapa hari terus- menerus melingkupi perkampungan itu.

   Sebagian lainnya beranggapan mungkin Liu Beng kesurupan arwah pegawai-pegawai lainnya yang mati dalam beberapa hari itu.

   Malam harinya, Liu Beng benar-benar berada di bagian utara perkampungan, minum arak bersama Ko Jun-lim.

   Cawan demi cawan arak mengalir ke perutnya, meskipun merasakan arak suguhan Ko Jun-lim itu agak berbeda dari arak biasanya, tapi ia tidak curiga karena melihat sikap sangat ramah dari Ko Jun-lim.

   Ia terus minum menemani Ko Jun-lim yang minum dari poci lainnya.

   Yang ikut menemani mereka adalah Kiau Bun yang juga amat ramah dan memanggil Liu Beng dengan sebutan "saudara".

   Setelah menenggak beberapa cawan, Liu Beng merasakan darahnya mengalir lebih cepat, jantungnya berdetak keras pula, dan nafsu kelelakiannya berkobar.

   Sebagai lelaki muda yang sehat, sudah sering Liu Beng mengalami bangkitnya nafsu macam itu, tapi selalu berhasil mengatasinya dengan menyibukkan diri atau melatih ilmu silatnya sampai kelelahan.

   Tapi desakan kali ini begitu hebat.

   Kiau Bun tertawa dalam hati melihat perubahan wajah Liu Beng, ia yakin bahwa obat perangsang yang dicampurkan ke dalam arak Liu Beng sudah mulai berpengaruh.

   Sedangkan Ko Jun-lim sendiri merasa sesuatu yang tidak beres dengan araknya sendiri.

   Tadinya ia merencanakan untuk memabukkan Liu Beng lalu mengorek keterangan tentang gulungan kulit itu, dan yakin dengan kelihaian silat lidahnya akan berhasil mendapatan keterangan itu.

   Tapi Kiau Bun agaknya tidak setuju dengan rencana Suhengnya yang dianggap terlalu bertele-tele itu.

   Maka dia pun diam-diam menyiapkan rencananya sendiri untuk mengambil-alih rencana suhengnya, diganti dengan rencananya sendiri yang merupakan jalan pintas yang lebih singkat.

   Kalau Liu Beng terangsang nafsunya, sebaliknya Ko Jun-lim semakin lemas tubuhnya dan matanya terasa berat ingin segera tidur.

   "Sute, apa yang kau perbuat ini ?"

   Tanya Ko Jun-lim dengan sisa-sisa kesadarannya kepada wakilnya sekaligus adik seperguruannya itu. Sahut Kiau Bun dengan tenangnya.

   "Tidak usah gugup, Suheng. Aku tidak merusak rencanamu, justru mempercepat dengan cara yang lebih singkat. Karena aku kuatir Suheng tidak setuju, terpaksa Suheng kuberi obat pelemas, tapi menjelang fajar nanti pengaruh obat itu akan hilang sendiri. Saat itu rencanaku sudah akan selesai pelaksanaannya... Ko Jun-lim merasakan gelombang kemarahan menyesak di dadanya karena adik seperguruannya itu begitu lancang bertindak.

   "Sute, kalau rencanamu itu cukup masuk akal, tanpa berbuat seperti ini pun aku pasti akan menyetujuinya. Kenapa harus berbuat begini?"

   Kiau Bun menyeringai.

   "Aku kuatir Suheng menghalangi, sebab rencanaku ini juga melibatkan cucu perempuanmu. Aku benar- benar minta maaf, tapi ini demi kejayaan perguruan kita..."

   Ketua Pek-kiam-pai itu terkejut sampai hampir roboh dari tempat duduknya.

   "Kau...kau...hendak kau apakan A-eng cucuku itu?!"

   "Tunggu saja sampai rencanaku selesai, Suheng. Barangkali nanti kau akan lebih banyak gembiranya daripada kecewanya."

   Kalau tenaganya masih ada, ingin rasanya Ko Jun-lim meremas hancur wajah adik seperguruannya yang lancang itu.

   Tapi ia terpaksa hanya bisa menyaksikan adik seperguruannya itu mentun Liu Beng yang sudah setengah mabuk itu ke sebuah kamar.

   Ko Jun-lim sudah membayangkan apa yang akan terjadi di kamar itu.

   Liu Beng dicekoki obat perangsang dan cucu perempuannya akan dijadikan umpan, itulah "rencana kilat"

   Yang disusun oleh Kiau Bun.

   Rencana yang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.

   Tapi apa daya Ko Jun-lim untuk mencegahnya? Memang.

   Entah dengan akal apa, Kiau Bun berhasil memancing Liu Giok-eng ke tempatnya, dicekoki dengan obat yang sama dengan yang diminumkan Liu Beng.

   Kiau Bun menuntun Liu Beng ke kamar di mana Liu Giok-eng sedang gelisah pula.

   Katanya.

   "A-beng, malam ini kau harus berterima kasih kepadaku. Gadis yang dalam keadaan sehari-hari tidak mungkin kau miliki, malam ini akan kau miliki dia sepenuhnya, tidak ada batas lagi. Ia sudah menunggumu pula."

   "Siapa ?"

   "Kau akan segera melihatnya."

   Saat itu kejernihan pikiran Liu Beng sudah tersapu oleh pengaruh obat perangsang.

   Yang menguasai hatinya tak lain dari hasrat kelelakiannya yang menuntut pelampiasan tanpa boleh ditunda lagi.

   Takaran yang diminumkan Kiau Bun memang terlalu banyak.

   Di depan sebuah ruangan terpencil yang terletak di tepi kolam teratai, Kiau Bun mendorong pintu dengan kakinya, lalu tubuh Liu Beng juga didorongnya masuk.

   Katanya sambil tertawa, Nah, bersenang-senanglah, A- beng."

   Lalu pintu ditutupkan dari luar. Di dalam ruangan itu Liu Beng melihat Liu Giok-eng tengah duduk di sebuah kursi, dan gadis itu nampak berkali lipat lebih cantik dari pagi tadi.

   "Nona Eng, kenapa kau disini?"

   Tanya Liu Beng dengan suara bergetar, sementara matanya dengan jalang menatap wajiah dan tubuh nona majiknnya itu.

   Suatu sikap yang dalam keadaan wajar tidak akan berani dilakukannya karena hormatnya.

   Liu Giok-eng yang terpengaruh oleh pengaruh yang sama, juga balas menatap Liu Beng dengan mata redup bergairah, tidak lagi malu-malu seperti tadi pagi.

   Keduanya bagaikan tertarik oleh kekuatan tak berwujud untuk saling mendekati, seperti pertemuan minyak dan percikan api yang menghasilkan api yang berkobar dan menghanguskan.

   Keduanya saling berpegangan tangan, tanpa banyak bicara lagi bercumbu semakin menggebu.

   Pagar pembatas mereka lompati, tak ada lagi nona majikan dan kacungnya, yang ada cuma perempuan dan laki-laki.

   Di balik kelambu tipis merah jambu, keduanya menyatukan hasrat yang tak terbendung, sampai kelelahan dan terlena di alam mimpi.

   Dengan senyuman di wajah masing-masing tanpa rasa dosa sedikitpun, seperti bayi yang baru dilahirkan.

   Tetapi ketika pagi hari tiba dan pengaruh obat perangsang memudar, mereka sadar dan sangat kaget melihat diri mereka dalam keadaan yang sangat memalukan.

   Liu Giok-eng yang sadar lebih dulu, tiba-tiba menjerit.

   "He, apa yang terjadi?!"

   Ia segera melompat turun dari pembaringan, namun kembali ia menjerit kaget dan buru-buru menyambar selimut untuk menutupi badannya. Ketika melihat Liu Beng tertidur miring di pembaringan yang sama, dengan muka pucat ia berteriak-teriak.

   "Bajingan! Bangsat! Apa yang kau lakukan atas diriku?!"

   Lalu kedua tangannya berulang kali terayun menghajar tubuh dan kepala Liu Beng.

   Liu Beng menjadi geragapan bangun, buru-buru iapun melompat turun dari pembaringan.

   Tapi diapun melompat naik kembali dengan wajah pucat dan merah padam berganti-ganti, sekenanya disambarnya kain alas tempat tidur untuk ditutupkan ke badannya.

   "Apa yang telah kulakukan? Gila! Apakah aku telah berbuat segila ini?!"

   Liu Giok-eng masih belum sanggup mengendalikan diri. Tangannya masih saja berulang kali menampar muka Liu Beng, disertai caci-maki bercampur ta- ngisan.

   "Binatang! keluarga Liu memungutmu dari kehinaan di pinggir jalan, tapi inikah balasanmu? Menimpakan aib kepada diriku dengan menggunakan obat untuk menyeretku ke kehinaan?!"

   Di bawah hujan tamparan gadis itu, Liu Beng perlahan-lahan dapat mengingat apa yang semalam dialaminya.

   Mulai dari arak yang oleh Kiau Bun terus menerus dilolohkan kepadanya, lalu kamar di mana Liu Giok-eng telah menunggunya.

   Rasanya semuanya berjalan dengan sukarela, tidak ada paksaan, bahkan gadis itu menyambut cumbuannya dengan penuh gairah pula.

   Ia sadar rupanya ada pihak yang menjerumuskan mereka berdua supaya melakukan perbuatan nista.

   Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi.

   Alangkah menyesalnya Liu Beng.

   Ia biarkan muka dan dadanya dipukuli Liu Giok- eng, sementara air matanya sendiri bercucuran.

   Akhirnya Liu Giok-eng sendiri kehabisan tenaga dan jatuh terduduk di lantai sambil terisak-isak.

   Liu Beng sendiri seperti orang kesurupan membentur-benturkan jidatnya ke tepi ranjang yang terbuat dari kayu keras itu, sampai jidatnya robek dan mukanya bermandikan darah.

   "Aku patut mati! Aku patut mati! Kuda atau anjing saja bisa membalas budi, tapi aku lebih rendah dari hewan-hewan itu!"

   Tiba-tiba Liu Beng menggapai sebatang golok yang tergantung di dinding dan langsung hendak disabetkan ke lehernya sendiri. Tapi gerakannya tercegah oleh Liu Giok-eng yang menubruknya meskipun tubuhnya cuma bertutup selimut.

   "Jangan lakukan itu, A- beng!"

   Biarpun Liu Beng seorang lelaki kekar, ia tak bisa menandingi ketrampilan silat Liu Giok-eng yang terdidik sejak kecil. Telapak tangan Giok-eng secepat kilat menebas ke lengan Liu Beng sehingga goloknya jatuh ke lantai.

   "Nona Eng, kenapa kau cegah aku? Aku manusia tak kenal budi yang tidak pantas lagi hidup di dunia ini!"

   Tidak, bukan kau sendiri yang bersalah. Maafkan aku tadi sudah memukul dan memakimu, padahal akupun bersalah juga. Maafkan aku, A-beng."

   Berangsur-angsur keduanya semakin tenang, biarpun wajah mereka tetap murung dan tidak berani saling melihat, seakan apabila mereka saling menatap maka akan tampaklah kotoran busuk yang melekat pada diri masing- masing.

   


Pendekar Bloon Karya SD Liong Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung

Cari Blog Ini