Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 3


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 3



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   Dengan saling membelakangi, keduanya mengenakan pakaian masing-masing yang berceceran di lantai.

   Pakaian yang tadi malam telah mereka campakkan karena mereka anggap penghalang hasrat mereka.

   "Sekarang bagaimana?"

   Tanya Liu Giok- eng sambil menundukkan kepala dan sekuat tenaga bertahan agar tidak menangis kembali. Sahut Liu Beng.

   "Kita telah dijerumuskan oleh si keparat Kiau Bun dengan arak terkutuknya itu, aku akan mengadu nyawa dengannya. Tapi sebelumnya aku punya sebuah permohonan kepadamu, nona Eng,"

   "Permohonan apa?"

   "Aku minta nona hadapi malapetaka ini dengan sikap seorang anggota keluarga pendekar, jangan mengambil jalan pintas yang nekad, sebab itu adalah cara pengecut. Berjanjilah."

   Airmata Liu Giok-eng kembali mengalir deras, terbayang masa hitam yang panjang terbentang dihadapannya dan harus dijalaninya. Sesaat lamanya ia tak mampu menjawab permohonan Liu Beng itu. Liu Beng lah yang berkata lagi.

   "Nona Eng berasal dari keluarga terhormat, bukan saja menyandang kehormatan pribadi tetapi juga kehormatan keluarga. Karena itu, untuk menutup aib ini, biar aku yang tak berharga ini sajalah yang mati agar nama baik nona tetap terjaga, tapi Kiau Bun harus dibungkam pula untuk selama-lamanya...!"

   Lalu Liu Beng sudah memungut kembali golok di lantai itu, namun Liu Giok-eng cepat mencegah.

   "Jangan, Kiau Bun bukan tandinganmu. Tidak adil kalau hanya kau yang menjadi korban, sedang kesalahan ini kesalahan berdua. Aku terima permohonanmu bahwa aku akan tetap hidup dan tidak akan membunuh diri, tapi kaupun tidak perlu mati. Asal kita simpan rapat-rapat kejadian ini dan kita berdua bunuh Kiau Bun, maka..."

   "Bagus, mari kita cari dia!"

   Tapi saat itulah pintu kamar terdorong dari luar, Kiau Bun dan Ko Jun-lim melangkah masuk berdampingan. Kiau Bun wajahnya menyeringai penuh kemenangan, sedang Ko Jun-lim sulit ditebak apa yang bergolak dalam hatinya. Kata Kiau Bun.

   "He-he...jangan dikira persoalannya akan selesai begitu saja, anak- anak manis. Biarpun kalian tutup mulut dan membunuh aku, tapi dalam beberapa detik saja perjinahan ini akan segera tersebar ke seluruh Liu-keh-chung. Biar seluruh anggota keluarga Liu wajahnya dipupuri kotoran..."

   Liu Beng menjawabnya tidak dengan kata-kata, tapi dengan tindakan langsung.

   Seperti kerbau gila, ia menerjang ke arah Kiau Bun sambil membabatkan goloknya.

   Ia benar- benar kalap dan bertekad akan mencincang biang keladi malapetaka itu.

   Tetapi ilmu silat Kiau Bun jauh lebih lihai dari Liu Beng.

   Dengan sebuah elakan yang sederhana, Kiau Bun berhasil lolos, berbareng dengan itu kakinya menendang dengan keras sehingga Liu Beng terlempar jungkir balik sampai menubruk tepi pembaringan.

   Dan Kiau Bun kembali memperdengarkan ejekannya.

   "Sedang membunuh aku saja kau tidak mampu. Berlatih sepuluh tahun lagi pun tidak akan mampu."

   Liu Beng terduduk di lantai dan bersandar di tepi pembaringan dengan wajah yang menampilkan campuran perasaan putus asa, marah, malu, benci, muak, kecewa dan entah apa lagi yang membuatnya serasa hampir meledak dadanya.

   Tapi sisa akal sehatnya masih mencegahnya untuk menggunakan goloknya menggorok lehernya sendiri.

   Kematiannya tidak akan menyelamatkan nama baik Liu Giok-eng, hanya itulah yang dipikirkan Liu Beng.

   Ia rela tubuhnya hancur dicincang, tapi tidak rela nama baik Liu Giok-eng ternoda biar oleh setitik debu.

   Akhirnya ia bertekad harus bertahan hidup untuk mencari akal menyelamatkan keadaan, bukannya menjadi pengecut dengan bunuh diri.

   Sementara itu Liu Giok-eng telah berada dalam pelukan kakeknya dan menangis keras-keras.

   "Kakek, kau harus membunuh bangsat she Kiau yang telah menjerumuskan cucumu ini!"

   Hati Ko Jun-lim bukannya tidak tersentuh oleh tangisan cucu perempuannya itu, tetapi ia kini begaikan dibelenggu dan tak bisa berbuat apa-apa.

   Kiau Bun adalah adik seperguruannya, tetapi tadi malam Kiau Bun telah berterus-terang ke padanya bahwa sebenarnya adik seperguruannya itu bekeria pula untuk Hek-eng-po.

   Tepatnya, selama ini Kiau Bun adalah musuh dalam selimut, dan Ko Jun-lim sadar bahwa Pek-kiam-pai yang dipimpinnya pun telah jatuh ke dalam cengkeraman Benteng Elang Hitam.

   Ko Jun-lim tidak berani mempertaruhkan nyawanya untuk menentang Kiau Bun, sehingga ratap tangis cucunya itu tidak dihiraukannya.

   Terbukti betapa lihainya Hek-eng-po.

   Ho Yu-yang dan kawan-kawan bekerja dari luar untuk menekan dan menteror, sementara Kiau Bun bekerja dari dalam dengan membonceng Ko Jun-lim yang tadinya tidak tahu siapa Kiau Bun sebenarnya.

   Sekarang sudah tahu, tapi juga sudah terlambat.

   Ia ahu selanjutnya ia sebagai Ketua Pek-kiam-pai hanya akan menjadi boneka wayang belaka, Majikan Hek- eng-po dalangnya, dan Kiau Bun adalah tali yang menghubungkan sang dalang dengan wayangnya.

   Tapi Ko Jun-lim terlalu takut untuk memutuskan "tali"

   Itu.

   "Kakek, cepatlah hunus pedangmu! Bukankah Pek-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Pelangi Putih) cukup ampuh untuk memenggal kepala bangsat itu? Kakek, kenapa diam saja melihat aku dihina orang?"

   Tangisan Liu Giok- eng menghebat dan bahkan sambil mengguncang-guncangkan tubuh kakeknya.

   Namun kakeknya cuma menarik napas berulang kali dan berdiri seperti patung.

   Sikap Ko Jun-lim itu membuat Liu Beng menduga bahwa kakek itu ikut ambil bagian dalam rencana busuk itu.

   Bukankah kemarin kakek itu yang mengundangnya minum arak? Dan minum arak itulah awal dari malapetaka itu.

   Kata Liu Beng dengan geram.

   "Ko Jun- lim, sekarang terlucutilah kedokmu sebagai pendekar budiman, sebenarnya kau cuma anjing berwujud manusia. Nona Eng, kau minta kakekmu membunuh Kiau Bun, itu sama saja dengan minta agar matahari terbit dari barat, sangat mustahil. Ia berkomplot dengan Kiau Bun untuk menjerumuskan kita!"

   Liu Giok-eng tersentak dan buru-buru melepaskan tubuh kakeknya. Ia melangkah mundur dengan wajah pucat, campuran antara terkejut dan tidak percaya. Sikap kakeknya memang janggal tapi tidak menduga kalau kakeknya telah melangkah sejauh itu.

   "Benar...benarkah itu...?"

   Liu Beng menggantikan sikap dengan sikap beringas.

   "Tanyalah sendiri kakekmu, nona Eng. Ingin kulihat apakah ia cukup jantan mengakui kesalahannya, atau seperti kura- kura yang menyembunyikan kepalanya!"

   Wajah Ko Jun-lim merah padam karena dimaki sebagai kura-kura. Maka de- ngan berat hati diapun berkata kepada cucunya.

   "A-eng, orang hidup ini tentu punya cita-cita untuk naik ke tempat yang lebih tinggi, begitu pula kakek. Kau tentunya bisa memaafkan kakek bukan ?"

   Alangkah terpukulnya perasaan Liu Giok-eng mendengar jawaban kakeknya yang secara tidak langsung mengakui tuduhan Liu Beng.

   Orang tua yang diharapkan membantu menutupi aib dirinya, ternyata justru berdiri di phak orang yang menjerumuskannya.

   Perlahan-lahan Liu Giok-eng terkulai pingsan, Liu Beng lah yang buru-buru menyambut tubuh itu sehingga tidak terbanting di lantai yang keras.

   Setelah meletakkan tubuh gadis itu di pembaringan, dengan mata menyala Liu Beng menatap Ko Jun-lim dan Kiau Bun berganti- ganti.

   "Kalian benar-benar berhati binatang. Aku mengerti bahwa kalian mengincar gulungan kulit itu sehingga tidak segan-segan mengorbankan Liu Giok-eng..."

   Lalu sambil menuding wajah Ko Jun-lim.

   "....dan kau, setan tua she Ko, sebelah kakimu sudah berada di pinggir liang kubur, cita-cita busuk apa lagi yang kau kejar sehingga tega mengorbankan kebahagiaan cucumu sendiri?!"

   Si pendekar tua terhormat yang bergelar Pedang Pelangi Putih itu ternyata tidak sanggup menentang sinar mata seorang kacung rendahan yang ilmu silatnya jauh berada di bawahnya.

   Ia pura-pura mendengus angkuh dan membuang pandangan ke arah lain, meskipun hatinya tertusuk oleh ucapan Liu Beng.

   Yang tetap tersenyum-senyum tanpa rasa bersalah sedikitpun adalah Kiau Bun, Katanya ringan.

   "Mengorbankan yang kurang berharga untuk mendapatkan yang lebih berharga, itu tindakan biasa dalam dunia persilatan. A-beng, aku akan bicara langsung ke sasaran. Serahkan gulungan kulit itu lalu kami berjanii akan tutup mulut tentang peristiwa ini."

   Liu Beng masih belum menyerah kepada tekanan itu. Katanya kepada Ko Jun- lim.

   "Setan tua, tercemarnya seorang cucumu sama dengan tercemarnya namamu sebagai leluhurnya. Apakah kau akan tetap bersekutu dengan orang berhati binatang itu untuk mencemarkan keturunanmu sendiri? Kau sendiri manusia atau binatang?"

   Jawaban Ko Jun-lim sungguh menjengkelkan.

   "Untuk mencapai cita-cita yang tinggi, kadang-kadang seseorang harus menjadi binatang. Bahkan binatang buas yang tak berperasaan sama sekali..."

   Kiau Bun tersenyum puas mendengar awaban Suhengnya itu. Pikirnya.

   "Baru tadi malam aku membujuk Suheng agar mau bekerja bagi Hek-eng-po, dan belajar menjadi orang Hek-eng-po. Nah, Sekarang Suheng sudah melewati pelajaran pertamanya dengan baik..."

   Sementara itu Liu Beng merasa terjepit kesulitan.

   Harus membela nama baik Liu Giok- eng dengan menutupi peristiwa itu, atau harus tetap mempertahankan gulungan kulit itu? Kalau dia mengatakan bahwa gulungan yang asli ada di tangan Liu Tek-san, maka nyawa Liu Tek-san akan terancam.

   Sesaat ia menjadi kebingungan.

   **OZ** Bersambung ke

   Jilid 05 Pojok Dukuh, 15-09-2018; 16.30 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 05 SEMENTARA Kiau Bun terus mendesak.

   "Nah, kau serahkan tidak?"

   Liu Beng menjawab dengan teriakan kalap.

   "Tidak! Iblis-iblis macam kalian sungguh berbahaya kalau memiliki kitab pusaka itu!"

   "Kurang ajar!"

   Kiau Bun bangkit pula kemarahannya.

   Kedua tangannya sudah ditekuk jari-jarinya seperti cakar elang dan siap menubruk maju.

   Itu bukan pelajaran silat dari Pek-kiam-pai tetapi dari Hek-eng-po, diam-diam Ko Jun-lim mengerutkan alis ketika melihatnya.

   Tapi langkah Kiau Bun tertegun ketika melihat Liu Beng tiba-tiba menumpangkan golok di leher Liu Giok-eng yang masih pingsan.

   "Kau maju selangkah lagi, aku bunuh nona Liu lebih dulu, lalu kugorok leherku sendiri. Biarpun kelak kau sebarkan peristiwa tadi, kami berdua tidak akan mendengar lagi karena sudah menjadi mayat. Kau juga akan kehilangan jejak gulungan kulit kuno itu."

   Kemantapan suara Liu Beng itu membuat Kiau Bun ragu-ragu dan kedua tangannya turun perlahan-lahan.

   Sementara itu Liu Beng merasa mendapat setitik harapan lagi.

   Ia akan memenangkan kedua-duanya, baik kehor matan Liu Giok-eng maupun gulungan kulit itu.

   Biarpun hanya setitik harapan, betapapun harus direbut dan diubah menjadi kemenangan.

   Sesaat memang Kiau Bun kebingungan menghadapi sikap nekad Liu Beng.

   Menurut perhitungannya, agaknya Liu Hok-tong sudah menyerahkan gulungan kulit itu kepada Liu Beng, dan kini hanya si kacung itulah yang tahu letaknya dimana, Liu Hok-tong sendiri kemungkinan besar sudah tidak tahu.

   Diam- diam Kiau Bun mengutuk dalam hatinya.

   Ko Jun-lim lalu membisiki Kiau Bun.

   "Sute, jangan terlalu mendesak sehingga kacung keparat itu menjadi nekad. Toh tali kendali sudah ada di tangan kita, cepat atau lambat akan kita menangkan permainan ini..."

   Suara Ko Jun-lim terdengar kurang bersemangat.

   Maklumlah, sejak ia tahu adik seperguruannya adalah kaki tangan Hek-eng- po yang menyusup ke Pek-kiam-pai, maka Ko Jun-lim putus harapan untuk memiliki gulungan kulit itu.

   Seandainya diketemukan, toh orang-orang Hek-eng-po yang akan memilikinya.

   Bisikan Ko Jun-lim ditambah kenekadan Liu Beng membuat Kiau Bun tidak berani terlalu mendesak lagi.

   Bersama Ko Jun-lim ia keluar dari ruangan itu, namun masih sempat menoleh dan menyeringai.

   "saat ini otakmu masih keruh, A-beng. Tapi pikirkan baik-baik kata-kataku tadi..."

   Kiau Bun tiba-tiba menunduk karena sebuah jambangan bunga yang dilemparkan Liu Beng hampir mengenai kepalanya.

   Jambangan itu membentur tembok dan hancur berkeping-keping.

   Setelah kedua orang yang memuakkan itu pergi, Liu Beng memeriksa Liu Giok-eng dan cemas melihat wajah gadis itu begitu pucatnya.

   "Ia harus segera mendapat pertolongan,"

   Pikirnya.

   Tanpa pikir panjang, ia pondong gadis itu untuk dibawa ke bagian perkampungan yang menjadi tempat tinggal Liu Seng dan keluarganya.

   Kedatangan Liu Beng disambut dengan kegemparan dan pertanyaan yang bertubi-tubi dari sesama pegawai, tapi Liu Beng menjawab secara awur-awuran tanpa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

   Liu Seng dan Ko In- eng segera sibuk dengan puteri mereka yang belum juga sadar itu.

   Liu Tek-san, kakak gadis itu, entah kenapa belum di ketemukan meskipun sudah dicari ke mana-mana.

   Kalau Ko Jun-Lim dan Kiau Bun memperhitungkan bahwa Liu Beng tidak akan berani bicara dengan siapapun tentang peristiwa semalam, maka perhitungan itu keliru.

   Setelah, menyerahkan Liu Giok-eng kepada orang tuanya, Liu Beng dengan tekad bulat melangkah menuju kediaman Liu Hok- tong.

   Terhadap orang tua yang dulu memungutnya dari pinggir jalan itu, ia tidak akan merahasiakan apapun.

   Ia akan menceritakan semuanya, setelah itu biarpun disuruh mati ia akan siap menjalaninya.

   Kebetulan kepala Liu-keh-chung itu sedang di tempatnya seorang diri, dan Liu Beng langsung berlutut di hadapannya, membuat orang tua itu tercengang heran.

   "Apa yang terjadi, A-beng?"

   "Aku pantas mati, Loya..."

   "He, kenapa bicara seperti itu? Ceritakan ada apa?"

   Liu Beng pun bercerita apa yang terjadi semalam, tanpa ada yang disembunyikan sedikitpun.

   Ceritanya membuat mata Liu Hok- tong melotot lebar, wajahnya bergantian antara pucat dan merah padam, hampir saja ia mengangkat golok yang terletak di meja di dekatnya untuk membelah kepala Liu Beng yang berlutut di depannya.

   Namun masih ada Juga sedikit sisa rasa kasihannya kepada kacung yang mengabdinya belasan tahun itu.

   "Kenapa...kenapa sampai bisa terjadi?"

   Tanya Liu Hok-tong gemetar.

   "Kau sadar bahwa itu berarti mencoreng kehormatan keluarga Liu yang selama ini dijunjung tinggi?! He?!"

   "Aku memang bodoh sampai bisa dijebak, Loya,"

   Sahut Liu Beng tenang dan pasrah.

   "Loya, hukuman apapun yang akan Loya jatuhkan akan aku terima dengan ikhlas, tanpa mengurangi kesetiaanku sedikitpun terhadap keluarga Liu."

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Liu Hok-tong merasa kepalanya berputar pusing.

   Masalah ancaman orang- orang Hek-eng-po belum terpecahkan, kini muncul persoalan baru lagi.

   Kini jelaslah bahwa pihak Pek-kiam-pai adalah musuh dalam selimut yang menyusup ke Liu-keh-chung untuk ikut mengincar kitab kuno itu pula.

   Liu Hok-tong sendiri tidak peduli Liu Beng mampus atau hidup, toh cuma seorang kacung rendahan, tapi bagaimana kalau kematian Liu Beng itu membangkitkan kemarahan si "musuh dalam selimut", lalu mereka menyebar-luaskan peristiwa perjinahan yang memalukan namanya itu? "Apakah Ko Jun-lim dan Kiau Bun berhasil mengorek dari mulutmu tentang siapa pembawa gulungan kulit yang asli?"

   Tanyanya kepada Liu Beng yang masih berlutut.

   "Belum, Loya, meskipun mereka sudah menggertak dan menekan aku. Aku siap mati demi rahasia ini."

   Sekilas Liu Hok-tong dijangkiti nafsu membunuh.

   Asal ia bunuh Liu Beng, musuh akan kehilangan jalan untuk menyelidiki gulungan kulit itu.

   Tapi sekali lagi ia harus memikirkan nama baik keluarganya.

   Bagaimana kalau Pek-kiam-pai marah? Bagaimana kalau Liu Giok-eng kemudian hamil akibat peristiwa itu? Tengah otaknya berputar mencari jalan keluar yang aman, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar ruangan.

   Lalu anak keduanya, Liu Seng melangkah masuk dengan golok terhunus, diikuti Ko In-eng yang membawa pedang.

   Suami-isteri itu wajahnya merah padam karena marah.

   Begitu melihat Liu Beng, Liu Seng langsung berteriak.

   "Kacung tak tahu diri! Berani benar kau berbuat sekotor itu atas diri A-eng?!"

   Sedangkan isterinya tidak banyak bicara lagi langsung mengayunkan pedangnya ke leher Liu Beng.

   Nampaknya sebentar lagi kepala si kacung itu akan menggelinding di lantai, apalagi karena Liu Beng sendiri tetap berlutut dan tidak berusaha menghindari pedang itu.

   Tapi Liu Hok-tong cepat melompat maju dan mendorong pundak Ko In-eng sehingga menantunya itu terdorong dan tabasan pedangnya hanya mengenai sebuah meja.

   "Gakhu (ayah mertua), kacung keparat ini sudah menodai A-eng!"

   Kata Ko In-eng dengan kemarahan meluap.

   "Kepalanya harus dipenggal untuk perbuatannya itu!"

   Liu Hok-tong tetap menghalangkan tubuhnya di depan Ko In-eng sambil berkata.

   "Sabarlah kalian berdua. A-beng datang ke sini juga untuk mengakui kesalahannya itu, tak ada sedikitpun yang disembunyikannya."

   "Lalu akan kita biarkan saja? Kemana muka keluarga kita akan disembunyikan?!"

   Kata Liu Seng sambil menudingkan goloknya ke arah Liu Beng yang tetap bungkam. Sahut Liu Hok-tong.

   "Tentu saja Liu Beng harus mempertanggung-jawabkan kelakuannya itu. Tetapi ada dua orang yang harus lebih bertanggung-jawab untuk peristiwa memalukan ini. Mereka adalah Ko Jun-lim dan Kiau Bun, yang mengatur rencana mesum ini dengan tujuan tertentu!"

   Wajah Ko In-eng memucat mendengar ayahnya dilibatkan pula, tapi ia segera membantah.

   "Tidak mungkin! Tentu kacung busuk ini mengarang cerita bohong untuk meringankan kesalahannya sendiri! Mana mungkin ayahku tega menjerumuskan cucunya sendiri? Tidak bisa dipercaya!"

   "A-beng tidak bohong, ibu!"

   Dari arah pintu tiba-tiba terdengar sahutan. Lalu muncullah Liu Giok-eng dengan pakaian yang kusut, wajah yang pucat, mata yang bengkak dan tidak lagi memancarkan keceriaannya.

   "A-eng!"

   Seru Liu Seng dan Ko In-eng berbareng, lalu Ko In-eng melanjutkan sendiri.

   "Jangan bicara sembarangan, mana ada kakek mau menjerumuskan cucunya sendiri?!"

   Kepedihan gadis she Liu itu sudah mencapai puncaknya, sehingga air matanya sudah tidak ada lagi, suaranya pun serak dan datar saja.

   "Memang seharusnya tidak, tetapi kakek telah melakukannya demi ambisinya. Aku minta kepadanya untuk membalaskan sakit hatiku kepada Kiau Bun, dan apa jawabannya? Ia bilang cita-citanya tinggi dan untuk itu harus berani bersikap seperti binatang buas, sanggup mengorbankan apapun termasuk cucunya sendiri. Aku inilah korbannya. Ko Jun-lim itu bajingan tua yang busuk!"

   "A-eng, jaga mulutmu! Dia itu kakekmu!"

   Bentak Ko In-eng.

   "Kau malah memberi hati kepada kacung busuk ini dan memfitnah kakekmu sendiri?!"

   Liu Giok-eng tertawa dingin.

   "Meskipun seorang kakek, apa gunanya dihormati kalau tidak sanggup membela darah dagingnya sendiri dan malah mengumpankan diriku hanya untuk ambisinya? Ayah, ibu, A-beng tidak bersalah. Kami berdua telah dicekoki obat pembangkit berahi sehingga terjadilah hal itu..."

   Ko In-eng sungguh tidak percaya bahwa ayahnya yang tergolong pendekar terhormat itu sanggup berbuat begitu rendah.

   Tapi menilik sikap Liu Giok-eng yang begitu membenci kakeknya, agaknya puterinya itu tidak berdusta.

   Sesaat perempuan setengah baya itu berdiri terlongong seperti kehilangan sukma, lalu dengan lemahnya mendudukkan diri di kursi, wajahnya tidak kalah pucatnya dengan wajah puterinya.

   "A-eng, be...benarkah kakekmu...itu..."

   Tanyanya terputus-putus.

   "Aku bersumpah, ibu,"

   Sahut puterinya. Jawaban penuh keyakinan itu membuat Liu Seng dan Ko In-eng kebingungan kehilangan pegangan, karena yang pantas untuk dibacok ternyata bukan orang lain, melainkan ayah mertua atau ayah mereka sendiri...

   "Ayah, bagaimana sekarang?"

   Akhirnya Liu Seng melempar persoalan kepada ayahnya.

   "orang-orang Pek-kiam-pai itu harus bertanggung-jawab..."

   "Kendalikan diri kalian, jangan berbuat gegabah supaya kecemaran ini tidak semakin tersebar luas,"kata ayahnya.

   "Setiap tindakan harus dipikirkan masak-masak."

   Ketika itu Ko In-eng terduduk lemas di kursi dan tidak bisa ikut dalam pembicaraan.

   Jiwanya berturut-turut mendapat dua goncangan hebat.

   Puterinya ternoda, dan ayahnya adalah biang keladinya.

   Mendadak seorang pelayan melangkah masuk ke ruangan yang tegang itu dengan napas terengah-engah dan keringat bercucuran.

   Sikapnya saja sudah tidak mungkin membawa berita gembira.

   "Loya, ada keributan besar di bagian utara, tempat menginapnya tamu-tamu Pek-kiam-pai!"

   Liu Hok-tong menggebrak meja.

   "Kurang ajar! Di siang hari bolong mereka berani membuat keributan? Apakah orang she Ko itu sudah tidak menghormati aku sebagai tuan rumah dan besannya?"

   "Apa yang menjadi sumber keributan?"

   Tanya Liu Seng kepada pelayan itu.

   "Memang aneh, Jiya (Tuan Ke dua). Tamu-tamu Pek-kiam-pai itu mendadak saja mengemasi barang-barang mereka dan mengambil kuda-kuda mereka di istal, lalu hendak pergi. Ketika seorang temanku menanyakan apakah kepergian mereka sudah berpamitan kepada Loya, salah seorang dari mereka menendang temanku itu sehingga muntah darah. Beberapa pegawai kita membela, lalu terjadi perkelahian banyak lawan banyak. Mula-mula hanya dengan tangan kosong, tapi sekarang kedua pihak sudah banyak yang menggunakan senjata dan beberapa korban sudah jatuh!"

   Geram Liu Hok-tong.

   "Mungkin salah satu dari orang Pek-kiam-pai itu sudah melihat Liu Beng datang ke tempatku dan mereka merasa kedok mereka sudah terbongkar, lalu hendak pergi begitu saja. Kita tidak boleh membiaran mereka lolos!"

   Kepada pelayan tadi, Liu Hok-tong memerintahkan.

   "Kumpulkan semua teman- temanmu dengan senjata, tutup semua pintu perkampungan dan tidak ada yang boleh keluar kecuali dengan ijinku! Itu berarti pertikaian terbuka dengan Pek-kiam-pai, sebab hampir pasti bahwa Pek- kiam-pai akan menolak diperlakukan seperti itu, dan akhirnya senjatalah yang akan berbicara. Yang masih kebingungan menetapkan sikap adalah Ko In-eng. Di satu pihak ada mertuanya, suaminya, iparnya dan anak- anaknya. Di sebelah mana ia harus memihak? Sementara itu, di bagian utara perkampungan telah terjadi pertempuran sengit antara orang-orang Pek-kiam-pai yang dipimpin Ko Jun-lim dan Kiau Bun melawan pegawai-pegawai Liu-keh-chung yang berjumlah jauh lebih banyak sebab bergabung dengan orang-orang Hai-long-pang pimpinan Thia Kim-sim. Namun orang-orang Pek-kiam- pai itu memiliki ketangguhan yang lebih tinggi dari lawan-lawan mereka, sehingga beberapa orang di pihak Liu-keh-chung sudah menjadi korban. Ketua Hai-long-pang Thia Kim-sim dengan senjata bandul rantainya bertarung satu lawan satu melawan Kiau Bun. Tetapi Kiau Bun yang tetap bertangan kosong itu mampu mendesak tokoh sindikat yang berjuluk Ang- mo-hui-long (Serigala Terbang Berbulu Merah) itu. Selisih kepandaian kedua orang itu terlalu jauh. Di sebelah lain, Ko Jun-lim tanpa ampun membabat pegawai-pegawai Liu-keh-chung yang merintangi jalannya. Pedangnya yang putih sudah berubah warna menjadi merah. Karena amukan jago tua itulah maka pegawai-pegawai Liu-keh-chung yang rata-rata bernyali kecil itu tidak berani menghalangi orang-orang Pek-kiam-pai untuk mendekati pintu gerbang perkampungan. Meskipun pintu gerbang sudah ditutup, tapi tidak akan ada kesulitan berarti bagi orang-orang Pek-kiam- pai untuk membukanya kembali. Saat itu tibalah Liu Goan dan isterinya serta dua anak lelaki mereka yang membawa golok. Kedatangan Liu Goan sekalian itu mengobarkan kembali semangat orang-orang Liu-keh-chung yang hampir putus asa. Isteri Liu Goan, Thia Hui-leng, ketika melihat kakaknya terdesak oleh Kiau Bun segera memutar rantai bandringannya sambil berseru.

   "Koko, aku bantu kau!"

   Lalu bandringannya melesat dengan gerak tipu Gin-liong-liau-ka (Naga Perak Menggetarkan Sisik), berusaha membelit kaki Kiau Bun untuk ditarik roboh.

   Kiau Bun melihat datangnya serangan dari samping itu, dan menghindar dengan lompatan Ui-ho-cong-thian (Burung Kuning Menembus Langit).

   Sedangkan Thia Kim-sim cepat memanfaatkan pertolongan adik perempuannya itu untuk menyerang pula dengan tipu Liong teng-tou-cu (Merebut Mutiara Di Kepala Naga), sebuah jurus yang dicangkok dari jurus pedang namun cukup dahsyat dimainkan dengan bandringannya.

   Bola besi di ujung rantai itu meluncur ke kepala Kiau Bun dengan disertai deru angin hebat.

   Di udara, Kiau Bun melakukan putaran Yan-cu-hoan-sin (Walet Memutar Tubuh), tapi Thia Kim-sim sambil membentak telah menyentakkan rantainya ke samping, sehingga bola besi itu terus mengejar ke arah Kiau Bun.

   Kiau Bun terhantam pundaknya sehingga melompat turun dengan pundak terasa nyeri.

   Meskipun tidak terluka, tapi muka Kiau Bun telah menunjukkan kemarahannya.

   Cepat tangannya meraih senjata yang tadinya tergendong di punggungnya.

   Itulah sebatang tongkat besi sepaniang lengan yang diujungnya juga ada tiga besi melengkung tajam seperti cakar elang.

   Dengan senjatanya itu semakin jelaslah bahwa Kiau Bun bukan orang Pek-kiam-pai, karena orang Pek-kiam- pai seluruhnya bersenjata pedang sesuai dengan nama aliran silat mereka.

   Dengan senjata anehnya itulah ia menghadapi keroyokan kakak beradik Thia Kim-sim dan Thia Hui-leng dengan bandringan masing-masing.

   Kiau Bun bertempur seperti seekor elang mengamuk di angkasa, senjatanya bergerak-gerak sangat cepat, membuat kakak beradik she Thia itu kembali kalang kabut.

   Sementara itu Liu Goan melihat bagaimana Ko Jun-lim membabati pegawai- pegawai Liu-keh-chung dengan ganas.

   Liu Goan ingin mencegahnya, namun ia menjadi ragu-ragu sebab Ko Jun-lim adalah mertua adiknya.

   Ia kuatir tindakannya nanti menyinggung hati Liu Seng.

   Untunglah, di saat ia masih ragu-ragu, telah muncul pula ayahnya bersama Liu Seng dan Liu Beng yang membawa tombak panjangnya.

   Ko In-eng tidak kelihatan, mungkin memilih untuk bersembunyi saja di kamar daripada harus keluar melawan ayahnya sendiri.

   Sedang Liu Seng sudah tidak hormat sedikitpun kepada mertuanya, sambil memutar goloknya ia terus menerjang ke hadapan Ko Jun-lim sambil membentak.

   "Setan tua berjantung anjing, kau harus dicincang menjadi berpuluh potong sebagai hukuman kekejianmu!"

   Cepat Ko Jun-lim melompat mundur dan menyahut.

   "Hiansai (menantu), semuanya berjalan di luar rencanaku. Aku tak berdaya ketika Sute Kiau Bun menjalankan rencananya sendiri. Kau kira aku tidak menyesali peristiwa itu?"

   "Menyesal?! Omong kosong! Kau tidak berani menghukum Kiau Bun, malah sekarang bersama begundal-begundalmu nembunuhi orang-orang kami, itukah bentuk penyesalanmu?!"

   Bentak Liu Seng.

   Tanpa memberi kesempatan bicara Lagi, goloknya berturut-turut menyerang dalam jurus-jurus Ou-liong-yu-hai (Naga Hitam Mengaduk Lautan), Tay-hong-bu-liu (Angin Badai Menggempur Gunung).

   Dua kali Ko Jun-lim berhasil menangkis dan tangannya terasa pegal.

   Biarpun ia cukup ulet, tapi usianya sudah 65 tahun, sedang yang dihadapi adalah Liu seng yang lebih muda 25 tahun daripadanya, apalagi menantunya itu bersungguh-sungguh ingin membunuhnya.

   Karena didesak terus, marah juga Ko Jun-lim.

   Serangan Liu Seng yang ke tiga dielakkannya dengan gerak Hi-jin- sai-bong (Nelayan Menebar Jala), disusul dengan tusukan ke dada Liu Seng dalam jurus Coan- cing-cin-kiam (Meluruskan Tangan Memajukan Pedang) yang berhasil memaksa Liu Seng menghentikan serbuannya dan berbalik bertahan.

   Dengan demikian bertempurlah mertua dan menantu itu.

   Melawan Liu Seng yang berkelahi dengan sengit, kalau tidak tubuhnya bisa dirajang golok menantunya sendiri.

   Liu Seng menubruk dan menggempur seperti harimau, Ko Jun-lim licin dan gesit seperti ular, maka untuk sementara sukar ditetapkan yang akan menang dalam pertempuran itu.

   Biarpun rata-rata orang-orang Pek- kiam-pai lebih tangguh dari pegawai-pegawai Liu-keh-chung, tapi setelah jago-jago keluarga Liu keluar semua, apalagi ditambah dengan orang-orang Hai-long-pang yang semakin memihak keluarga Liu, Maka pihak Pek-kiam- pai mulai terancam bahaya.

   Kiau Bun sebenarnya unggul dalam pertempuran melawan Thia Kim-sim dan Thia Hui-leng, tetapi secara keseluruhan pihaknya dalam bahaya.

   Karena itu, tiba-tiba ia melompat mundur untuk mengambil jarak dari kedua lawannya, lalu terdengarlah pekik nyaringnya membelah udara.

   Pekik nyaring yang mirip suara burung elang yang marah.

   Orang-orang Liu-keh-chung terkejut campur heran melihat seorang tokoh Pek- kiam-pai memekik mirip pekikan orang-orang Hek-eng-po.

   Bergidiklah mereka kalau ingat bagaimana si "caping terbang"

   Membantai orang begitu gampang dengan melempar- lemparkan capingnya.

   Apakah manusia ganas itu akan muncul kembali? Memang betul demikian.

   Kiau Bun ternyata memanggil orang-orang Hek-eng-po yang masih tetap berkeliaran di sekitar perkampungan itu.

   Pekikan elang itulah isyarat orang-orang Hek-eng-po kalau berhubungan satu sama lain.

   Tidak lama setelah pekikan itu diperdengarkan, muncullah orang-orang yang dipanggil itu dengan jalan melompati dinding.

   Selain Ho Yu-yang yang bersenjata kampak pendek dan belati, Ong Sek-lai yang selalu berjubah warna putih, muncul pula dua manusia ganas yang keganasannya belum dilupakan oleh orang-orang Liu-keh-chung.

   Masing-masing adalah si "Caping terbang yang bernama Hau It-yau dan berjulukan Hui-thian- koai (Siluman Terbang) serta si wajah siluman Pek Hong-teng yang berjuluk Gip-hiat-koai (Siluman Pengisap darah) yang bersenjata ruyung berduri yang dinamainya Liong-kut- pian (Cambuk Tulang Naga).

   Kemunculan mereka berempat membuat pihak Liu-keh-chung rusak.

   Tapi rupanya mereka tidak ingin menumpas Liu- keh-chung, hanya sekedar ingin memamerkan kepandaian dan kekejaman mereka, sekaligus berusaha menolong Kau Bun yang merupakan teman sekomplotan mereka.

   Melihat kedatangan mereka, Ko Jun-lim sebagai ketua Pek-kiam-pai merasa lega sekaligus putus asa.

   Lega karena ia akan tertolong keluar dari Liu-keh-chung, tapi putus asa karena sadar bahwa mulai detik itu ia dan perguruan silatnya akan jatuh ke dalam cengkeraman Hek-eng-po, dan ia lebih dari sekedar ketua boneka saja.

   Begitu gembong-gembong Hek-eng-po itu muncul, pihak Liu-keh-chung segera kena dipukul mundur, dan orang-orang Pek-kiam-pai berhamburan keluar pintu gerbang yang telah mereka buka.

   Hui-thian-koai Hau It-yau sendiri menghadang di depan Liu Hok-tong sambil tertawa seram.

   "Liu Hok-tong, masihkah kurang bukti bahwa pihakmu tak berdaya menghadapi kami? Atau harus kupenggal kepala semua orang-orangmu baru kau percaya? Aku dan kawan-kawanku sanggup meratakan perkampunganmu ini menjadi abu hari ini juga". Liu Goan yang berdarah panas itu telah melangkah maju dengan goloknya, tapi dicegah oleh ayahnya dengan sebuah isyarat. Sedang ayahnya menjawab Hau It-yau.

   "Iblis Hek-eng-po, kataka langsung apa kemauanmu!"

   Berhasil juga Liu Hok-tong memaksa sebuah sikap gagah untuk dipertontonkan kepada semua orang. Hau It-yau tidak perduli sikap Liu Hok- tong itu, katanya sambil tertawa.

   "Orang she Liu, ini menyangkut nasib seluruh keluargamu. Serahkan gulungan kulit kuno dari Tibet itu kepada kami, maka kami akan berhenti mengganggumu, kau boleh tetap menikmati kekayaanmu dalam perkampunganmu. Atau kau menolak dan kau akan kami hancur leburkan sekeluarga hari ini juga! Pilih yang mana?"

   Selama berhari-hari mengalami tekanan dan ancaman, semangat Liu Hok-tong sebenarnya sudah mulai mengendor juga.

   Tawaran Hau It-yau itu membuatnya tergoda untuk menyerah saja, supaya bisa menikmati hari tuanya dengan aman.

   Tapi ketika ia melihat orang-orang disekelilingnya, ternyata tidak dilihatnya Liu Tek-san, cucunya yang membawa gulungan kulit asli itu.

   "Entah ke mana anak itu?"

   Pikirnya dengan heran. Tengah Liu Hok-tong celingukan mencari Liu Tek-san, tiba-tiba Ho Yu-yang dari pihak Hek-eng-po tertawa mengejek.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jangan berlagak bodoh, Liu Hok-tong. Gulungan kulit itu tentu ada padamu, karena benda itu kita dapatkan ketika kita sama-sama merampok iring-iringan kafilah Tibet di padang pasir beberapa tahun yang lalu."

   Sebenarnya Liu Hok-tong sudah hampir saja menyerah kepada permintaan Hau It-yau tentang gulungan kulit itu, tetapi ucapan bekas saudara angkatnya, Ho Yu-yang, membuat hatinya keras kembali.

   Ho Yu-yang mengungkit-ungkit masa lalunya sebagai perampok, hal yang sangat memalukan dan berusaha disembunyikannya rapat-rapat.

   Mengakui memiliki gulungan kulit itu sama saja dengan mengakui pernah menjadi perampok, karena itu Liu Hok-tong menyahut dengan keras kepala.

   "Gulungan kulit apa? Benda itu hanya ada dalam angan-angan kalian agar kalian mendapat alasan untuk merampok perkampunganku!"

   Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai datang ke Liu-keh-chung bukan sekedar menjalankan tugas majikan Hek-eng-po, tetapi juga karena punya dendam pribadi dengan Liu Hok-tong. Jawaban Liu Hok-tong itu membuat amarah mereka berkobar.

   "Bangsat tua, kau lebih suka membiarkan anak cucumu dan orang-orangmu tertumpas habis?!"

   Bentak Ho Yu-yang sengit. Sebenarnya jagoan padang pasir ini menyesal juga karena ucapannya tadi telah mendorong sikap keras Liu Hok-tong. Hau It-yau memang melotot dengan sikap marah ke arah Ho Yu-yang.

   "Ho Loji, apa kau tidak bisa sedikit mengendalikan mulutmu? Kalau tugas kita sampai gagal, kau mau bertanggung-jawab di hadapan Pocu (majikan benteng)?"

   Wajah Ho Yu-yang memucat seketika dan menyahut tergagap-gagap.

   "Maaf.....aku.....aku tidak sabar melihat Liu Hok-tong pura-pura bodoh ketika ditanyai tentang gulungan itu....."

   "Sudah, diam!"

   Bentak Hau It-yau. Lalu kepada Liu Hok-tong ia berkata.

   "Kau mau mengingkari, terserahlah, tetapi kami tahu pasti bahwa gulungan kulit itu ada padamu. Kau harus menyerahkannya kepada kami. Kalau tidak, inilah contohnya...! Selesai kata-katanya, caping bambunya dilempar ke udara. Benda itu berpusing keras, lalu melayang membuat lingkaran lebar di udara. Sepasang naga-nagaan batu yang menghias bagian atas pintu gerbang Liu-keh- chung itupun terpapas hancur oleh benda yang cuma terbuat dari bambu itu. Tidak terbayangkan kalau caping bambu itu di arahkan ke leher manusia biasa. Liu Hok-tong sendiri heran, macam apakah majikan Hek-eng-po itu? Kalau orang- orang suruhannya saja sudah demikian lihai semuanya, bagaimana hebatnya sang majikan sendiri? Hau It-yau tertawa puas melihat semua lawan-lawannya menampilkan sikap gentar. Katanya.

   "Nah, kami akan berbaik hati untuk tidak terlalu mendesak kalian. Liu Hok-tong, kuberi waktu tiga hari untuk memilih, keluargamu tetap hidup atau hancur. Kami tidak main-main!"

   Lalu rombongan orang-orang Hek-eng- po dan Pek-kiam-pai itupun meninggalkan tempat itu dengan gaya sebuah pasukan yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan.

   Pihak Liu keh-chung tak berdaya merintangi, mereka cuma merenungi belasan mayat di pihak mereka.

   Setelah musuh pergi, sibuklah Liu keh- chung mengurusi teman-teman mereka yang luka atau tewas.

   Dalam kesibukan itu, A-piao mendekati Liu Jing-yang dan berbisik-bisik.

   "Siauya, bagaimana ini? Dalam tiga hari, kalau gulungan kulit itu tidak diserahkan maka perkampungan ini akan menjadi pekuburan raksasa..."

   Liu Jing-yang mengerutkan alisnya dan menyambut.

   "Itu bukan urusanmu, A-piao". Kontan muka A-piao menyeringai kecut. Dulu ia bangga menjadi tukang kepruk Liu- keh-chung, dengan meminjam pengaruh majikannya dia bisa berbuat sewenang- wenang. Sekarang ia merasa alangkah celakanya menjadi orang Liu-keh-chung, nyawanya terancam oleh orang-orang Hek- eng-po gara-gara sikap keras kepala keluarga Liu. Ingin kabur dari perkampungan keluarga itu juga tidak bisa, sebab pihak Hek-eng-po tak akan membiarkan seorang pun lolos, kuatir kalau gulungan kitab kuno itu ikut lolos pula keluar perkampungan. Mengingat pula akan keselamatan nyawanya sendiri, maka A-piao memberanikan diri mendesak Liu Jing-yang.

   "Harap Siauya mempertimbangkan keselamatan seluruh perkampungan. Di sini ada puluhan nyawa, jangan sampai nyawa-nyawa itu mati sia-sia hanya karena gulungan kulit itu..."

   "Aku suruh kau tutup mulut! dengar tidak?!"

   Liu Jing-yang semakin marah. Dalam keadaan biasa tentu A-piao akan segera diam seperti anjing yang dibentak tuannya. Tapi kali ini ia benar-benar cemas, sehingga ia berkata terus.

   "Kalau Siauya tidak mau mempertimbangan keselamatan kami, baiklah, aku terpaksa harus lancang mengambil langkah tersendiri demi keselamatanku..."

   "A-piao, kau tidak percaya lagi kepadaku?!"

   "Maafkan aku, Siauya, tapi aku lihat Siauya lebih sayang kepada gulung-an kulit itu, jadi.... jadi...."

   Mata Liu Jing-yang menyempit untuk menyembunyikan nafsu membunuh yang mulai berkobar di hatinya.

   "Jadi apa yang akan kau lakukan?"

   "Kalau Siauya tidak mau merelakan gulungan kulit itu demi keselamatan bersama, terpaksa aku akan melapor kepada Chung-cu Loya tentang apa yang telah Siauya lakukan terhadap Siauya Tek-san. Demi keselamatan...., Siauya!"

   Mereka bercakap-cakap sambil berjalan, dan waktu itu mereka telah berada dibalik sebuah rumpun bambu yang sepi.

   Di tempat itulah A-piao mendapat ganjarannya.

   Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya sebab pisau belati Liu Jing-yang telah amblas di perutnya tanpa diduga.

   A-piao perlahan-lahan roboh di bawah rumpun bambu itu dengan wajah pucat.

   Tangan kiri mendekap perutnya yang berlumuran darah, tangan kanan menuding Liau Jing-yang.

   "Kau...Kau... benar-benar ke.... kejam. Bukankah selama ini a ...ku selalu setia?"

   Liu Jing-yang tertawa dingin dan jawabannya sangat tidak berperasaan.

   "Justru karena kau terlalu dekat denganku, kau terlalu banyak mengetahui hal-hal yang seharusnya aku ketahui sendiri. Nah, selamat jalan, hambaku yang setia...."

   Mata A-piao memancarkan kemarahan dan sakit hati yang tak terkira. Desisnya di sela-sela bibirnya yang memutih.

   "Ingatlah, binatang! Arwahku dan arwah Liu Tek-san akan selalu memburumu...! Lalu matanya semakin redup dan akhirnya padam sama sekali cahayanya. Tapi mata itu tetap terbuka lebar, biarpun nyawanya sudah terbang meninggalkan raganya. Liu Jing-yang menyepak perlahan tubuh A-piao untuk memastikan bahwa tikaman pisaunya tidak sia-sia. Katanya dingin.

   "Seumur hidup aku tidak percaya tentang arwah penasaran segala. Aku berani berbuat, berani pula menanggung semua akibatnya."

   Lalu belati yang berdarah itu dibuangnya ke dalam kolam.

   Belati yang dua malam yang lalu juga digunakan untuk membunuh Liu Tek-san, adik sepupunya sendiri, demi merampas gulungan kulit itu.

   Bahkan waktu pembunuhan itu A-piao membantunya pula dengan memegangi tangan Liu Tek-san agar tidak melawan.

   Kini A-piao sudah mendapat upahnya pula.

   Seisi perkampungan gempar ketika menemukan mayat A-piao, tapi lebih gempar lagi ketika menemui mayat Liu Tek-san yang sudah berbau dan dikerumuni semut.

   Baik mayat A-piao maupun Liu Tek-san punya ciri luka yang sama, berlubang perutnya.

   Tuduhan dan caci-maki yang sengit segera dialamatkan kepada orang-orang Hek- eng-po.

   Liu Jing-yang ikut mencaci-maki pula dan bersumpah "akan menuntut perhitungan kepada Hek-eng-po"

   Liu Seng dan isterinya mendapat pukulan hebat dengan hal itu.

   Peristiwa ternodanya puteri mereka, disusul dengan terlibatnya Ko Jun-Lim, dan sekarang harus kehilangan anak laki-laki mereka.

   Ko In-eng sampai pingsan beberapa kali, apalagi setelah melihat mayat anaknya yang keadaannya begitu menyedihkan.

   Tidak lama kemudian, mayat itu sudah dibersihkan, diberi pakaian bersih dan dibaringkan dalam peti mati.

   Ruang sembahyang keluarga Liu penuh dengan asap kayu garu yang dibakar, seluruh keluarga dan pegawai mengganti pakaian mereka dengan pakaian belacu putih.

   Orang-orang Hai-long- pang yang biasa berpakaian merah itu kini harus menyesuaikan diri dengan suasana berkabung di Liu-keh-chung.

   Menghadapi kematian Liu-Tek-san itu, Liu Hok-tong kebingungan.

   Gulungan kulit yang asli sudah diserahkannya kepada Liu Tek- san, tapi sekarang cucunya sudah jadi mayat dan gulungan itu tidak terdapat pada tubuhnya.

   Lenyap ke mana? Atau sudah diambil sendiri oleh orang Hek-eng-po atau Pek-Kiam-pai? Sekilas timbul kecurigaan Liu Hok-tong terhadap si kacung Liu Beng, jangan-jangan kacung itulah yang membunuh Liu Tek-san sebab hanya kacung itulah yang tahu bahwa Liu Tek-san menyimpan benda itu? Tapi sikap Liu Beng yang lugu, setia dan belum hilang sesalnya atas peristiwa dengan Liu Gi- ok-eng itu menghilangkan kecurigaan.

   Sampai Liu Tek-san dimakamkan di bukit di belakang perkampungan, Liu Hok-tong belum menemukan dugaan yang meyakinkan tentang siapa pembunuh Liu Tek-san dan siapa yang mendapatkan gulungan kulit itu.

   Yang ada hanya dugaan-dugaan yang mengambang tanpa bukti apa-apa.

   Liu-keh-chung sudah runtuh.

   Bukan runtuh bangunan gedung-gedungnya, tapi runtuh semangatnya, kewibawaannya dan kejayaannya.

   Bahkan di bawah tekanan musuh yang berat, muncullah watak asli dari penghuni-penghuninya.

   Yang biasanya tersembunyi di balik senyum yang keningrat- ningratan, gaya bicara yang teratur dan sopan dan penuh bunga kata-kata yang serba indah, kini sudah terlucuti semuanya.

   Kini orang- orang sekeluarga saling mencurigai, mementingkan keuntungan sendiri, dan tidak lepas dari kecemasan yang semakin tebal.

   **OZ** BAGIAN EMPAT "Perkampungan ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi,"

   Demikian keputusan Liu Hok-tong dalam sebuah pertemuan antar keluarga.

   Di ruangan itu berkumpullah Liu Goan, Thia Hui-leng, Liu Seng, Ko In-eng yang matanya masih bengkak karena kedukaannya yang berlarut-larut, juga Liu Jing-yang yang juga nampak "bersedih", Liu Jing-kiam dan Liu Giok-eng yang kuyu.

   Suasananya berbeda sekali dengan pertemuan sebulan yang lalu ketika mereka bersepakat mengadakan pesta besar-besaran menyambut ulang tahun Liu Hok-tong yang ke .

   "Apa yang ayah maksudkan dengan tidak dapat dipertahankan lagi?"

   Tanya Liu Goan yang gemuk. Liu Hok-tong duduk di sebuah kursi besar yang pegangannya berukir kepala macan. Tapi ia kelihatan demikian loyo dan jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya, pipinya juga agak cekung. Katanya.

   "Aku tidak peduli akan dicap sebagai penakut, tapi aku harus memikirkan kelangsungan kalian, anak cucuku. Aku tidak ingin lagi diganggu oleh orang-orang yang menuntut gulungan kulit, yang sebenarnya aku tidak tahu itu..."

   Diam-diam Liu Jing-yang tertawa dalam hati mendengar kata-kata kakeknya itu. Pikirnya.

   "Kakek masih saja pura-pura tidak tahu tentang gulungan kulit itu. Padahal benda itu benar-benar ada dan sekarang sudah di dalam kantongku. Ha-ha-ha...."

   Sementara itu, suara serak Liu Hok- tong kembali menggema di ruangan itu.

   "Entah apa kesalahanku, ada juga orang yang tega hendak menghancurkan nama baikku, memfitnah bahwa aku pernah bekerja sebagai rampok dan sebagainya. Malangnya, harus kita akui bahwa kita tidak sanggup melawan kekuatan musuh-musuh kita itu..."

   "Jadi maksud ayah?"

   Tanya Liu Goan lagi.

   "Maksudku? Kita semua berangkat ke Ki-lian-pay, ke tempat anak perempuanku dan menantuku yang menjadi Ketua Ki-lian-pai dan berlindung di sana. Ki-lian-pai memang bukan perguruan sebesar Siau-lim-pai dan Bu-tong- pai, bukan pula perkumpulan setangguh Hwe- liong-pang, tapi kekuatannya tidak bisa diremehkan di dunia persilatan. Barangkali Hek-eng-po akan berhenti mengganggu kita kalau kita sudah di Ki-lian- pai...."

   Sesaat harga diri Liu Goan dan Liu Seng meronta.

   Apakah mereka sebagai kaum lelaki malah akan minta perlindungan ke tempat adik perempuan mereka? Apa kata orang kalau melihat lelaki-lelaki keluarga Liu lintang- pukang meninggalkan rumah mereka yang diinjak-injak orang? Tapi kalau mereka lihat wajah-wajah muda seperti Liu Jing-kiam dan lain-lainnya, maka hati mereka pun terketuk.

   Pantaskah orang-orang muda itu dikorbankan ke ujung senjata-senjata Hek-eng-po? Tanpa perdebatan yeng bertele-tele, kesepakatanpun tercapai untuk "mengungsi"

   Ke Ki-lian-san.

   "Pengungsian"

   Akan dilakukan secepatnya, tanpa menunggu batas waktu yang ditetapkan oleh Hek-eng-po.

   "Kakek, kalau di tengah perjalanan bertemu dengan musuh, lalu bagaimana?"

   Tanya Liu Jing-kiam.

   "Kita lawan habis-habisan. Menunggu di perkampungan ini, kita akan mati juga, jadi lebih baik gugur dalam usaha perlawanan daripada duduk bertopang dagu sambil menunggu mereka menyembelih kita."

   Memang rasanya kecuali jalan itu, tidak ada lagi jalan yang lebih baik. Keesokan harinya, persiapan pun dilakukan. Semua pegawai akan turut, tapi bukan oleh kesetiaan, melainkan karena takut ditinggal sendirian di "perkampungan hantu"

   Itu.

   Lebih baik pergi beramai-ramai, mungkin bertempur beramai-ramai dan mati beramai- ramai pula.

   Bagi Liu Beng, keikut-sertaannya bukan sekedar karena tak ada pilihan lain, tapi untuk membalas budi keluarga Liu, juga ingin melindungi Liu Giok-eng dalam perjalanan karena sesalnya.

   Ia siap mempertaruhkan nyawa demi gadis itu.

   Malamnya, rombongan orang-orang Liu- keh-chung itu masuk ke sebuah pintu rahasia di belakang gudang penyimpanan berbagai keperluan.

   Lorong itu sebagian buatan alam, sebagian lagi buatan Liu Hok-tong sendiri, memang sudah lama dipersiapkan untuk keperluan darurat seperti itu.

   Ujung lainnya menembus ke belakang bukit.

   Di balik bukit, hampir seratus orang Liu- keh-chung itu muncul seperti semut-semut yang keluar dari lubangnya.

   Di antara mereka bukan hanya lelaki-lelaki yang pintar berkelahi, tetapi juga perempuan-perempuan tukang masak, tukang cuci pakaian dan lain-lainnya.

   Tidak ada yang ketinggalan, pokoknya perkampungan keluarga Liu benar-benar mutlak dikosongkan.

   Tiba di belakang bukit, hampir semua anggota rombongan menarik napas lega.

   Tapi atas perintah Liu Hok-tong, semuanya harus tetap berjalan di gelapnya malam, kuatir disusul orang-orang Hek-eng-po.

   Belasan ekor keledai yang dibawa berguna untuk mengangkut barang-barang atau orang-orang yang tidak bisa berjalan cepat.

   "Kenapa lorong ini tidak digunakan sejak dulu?"

   Gerutu seorang pegawai kepada temannya.

   "Kalau kita kabur sejak dulu, tentu banyak kawan-kawan kita yang masih hidup saat ini..."

   Jawab temannya.

   "Karena keluarga Liu adalah keluarga pendekar. Ketika ancaman datang, tentu sebisa-bisanya mereka harus melawan lebih dulu. Setelah tidak sanggup, barulah mundur."

   Si penggerutu tadi diam saja, namun dalam hati ia merasakan susahnya menjadi pegawai "keluarga terhormat". Nyawanya ikut dipertaruhkan demi "keharuman"

   Nama majikannya, padahal di luaran sudah berjangkit desas-desus yang santer bahwa majikannya yang "terhormat"

   Itu ternyata bekas perampok. Sampai di belakang bukit, Liu Hok-tong berbicara kepada Thia Kim-sim.

   "Hiantit, aku mengucapkan terima kasih atas keikut- sertaanmu menanggung bahaya selama ini. Sekarang bahaya sudah lewat, apakah Hiantit akan ikut terus bersama kami atau akan memisahkan diri?"

   Sekilas Ketua Hai-long-pang itu melirik adik perempuannya, lalu menyahut.

   "Chungcu, adikku sudah masuk keluarga Liu. Begitu pula Jing-yang dan Jing-kiam adalah keponakanku, biarlah aku selesaikan kewajibanku sebagai paman dan kakak untuk mengantar sampai ke tempat yang aman di Ki-lian-san."

   "Bagus, koko, kau benar-benar menyadari apa artinya hubungan kekeluargaan,"

   Sambut Thia Hui-leng sambil melirik ke arah Ko In-eng yang menundukkan kepala.

   "Kita keluarga Thia berbeda dengan orang yang mengaku keluarga, ternyata malahan musuh dalam selimut."

   Ucapan itu memang ditujukan untuk menyindir Ko In-eng. Antara kedua menantu perempuan itu memang sudah lama terjadi "perang dingin"

   Untuk berebut mencari muka terhadap sang mertua.

   Penyebabnya sudah umum, yaitu harta warisan sang mertua yang luar biasa jumlahnya itu.

   Terlalu sayang kalau dibagi dua, kalau bisa ya semuanya harus dikangkangi sendiri.

   Sindiran ThiaHui-leng itu sebenarnya terlalu kejam.

   Ko In-eng masih terluka karena tiga musibah yang berturut-turut memukul jiwanya.

   Dan Thia Hui-leng bukannya menghibur, malah sekalian menginjak sampai amblas.

   Di hadapan sang mertua harus ditunjukkan bagaimana keluarga Thia penuh setiakawan dan rasa kekeluargaan, dibandingkan keluarga Ko yang menjadi musuh dalam selimut.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ko In-eng enggan bertengkar, ia hanya menunduk sambil menahan tangisnya.

   Rombongan itupun berangkat diselubungi kegelapan malam.

   Ada belasan peti yang masing-masing dipikul dua pegawai.

   Dalam peti-peti itulah tersimpan harta keluarga Liu yang sempat dibawa pergi, yang jumlahnya cukup untuk membuat seorang pangeran pun meneteskan air liurnya.

   Berhari-hari rombongan itu melakukan perjalanan.

   Kalau siang mencari tempat sembunyi yang aman, kalau malam barulah berani melanjutkan perjalanan lagi.

   "Sulit dipercaya bahwa kita akhirnya berjalan seperti maling yang takut tertangkap semacam ini,"

   Liu Goan sempat menggerutu.

   "Kalau tiba di Ki-lian-san, masihkah kita punya muka untuk menemui adik Kiau dan suaminya?"

   Tidak ada yang menjawab gerutuan itu.

   Beberapa hari kemudian, rombongan hartawan yang ketakutan itu tiba di lereng bukit tandus, di sebelahnya lagi ada jurang yang dalam.

   Mereka sudah berjalan sejak sore dan saat itu adalah menjelang fajar.

   Mereka sudah kelelahan, tapi begitu Liu Hok-tong melihat bukit tandus itu, dia berseru gembira.

   "Kita hampir tiba di Ki-lian-san! Setengah hari lagi kita harus berjalan, dan sepuluh Hek-eng po pun tidak perlu kita takuti lagi!"

   Semangat seluruh anggota rombongan pun terbangkit.

   Mereka mempercepat langkah kaki mereka seakan baru saja menelan obat kuat.

   Perjalanan yang begitu menegangkan dan hampir membuat gila itu kini hampir berakhir.

   Tapi baru saja mereka bergembira ria, tiba-tiba dari puncak bukit tandus di depan mereka terdengarlah suara pekikan mirip suara burung elang di angkasa.

   Suara pekikan di depan disambut dengan suara pekikan serupa dari beberapa penjuru, itu artinya rombongan Liu-keh-chung itu sudah terkurung.

   Hati Liu Hok-tong seolah tenggelam ke samudera keputusasaan, begitu pula orang- orangnya.

   la sudah berusaha melarikan diri dan pihak Hek-eng-po tentu sulit memaafkannya.

   Tapi Liu Hok-tong tidak mau dibantai mentah-mentah, ia segera memerintahkan orang-orangnya.

   "Semua bersiap! Perempuan-perempuan yang tidak bisa berkelahi berkumpul di tengah!"

   Sementara itu, dari bukit di depan, lereng samping, hutan di belakang mereka, telah bermunculan sosok-sosok tubuh yang berlompatan dengan tangkas untuk mengepung rombongan Liu-keh-chung.

   Mereka hanya tujuh orang, mengepung hampir seratus orang, tapi Liu Hok-tong sadar bahwa kepungan tujuh orang itu sama kekuatannya dengan tembok besi yang tak tertembus.

   Lima dari tujuh orang itu sudah pernah dilihat orang-orang Liu-keh-chung.

   Mereka adalah Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai, yang selalu mengaku bekas saudara angkat Liu Hok- tong namun Liu-Hok-tong selalu menyangkalnya.

   Lalu Hui-thian-koai Hau It-yau dan Gip Hiat-koai Pek Hong-teng, orang ke tiga dan ke empat dari Lo-san-su-koai (Empat Siluman Lo-san).

   Seorang lagi adalah Kiau Bun.

   Menilik gerak-gerik dan sikapnya, Kiau Bun dalam Hek-eng-po berkedudukan tidak di bawah kedudukan Ho Yu-yang maupun Ong Sek-lai.

   Itu cukup beralasan, di Liu-keh-chung, Kiau Bun pernah menunjukkan ketangkasannya.

   Yang dua orang lagi belum pernah terlihat, tapi Liu Hok-tong bisa menebak bahwa mereka tentu orang pertama dan orang kedua Lo-san-su-koai.

   Yang tinggi besar dan berwajah seperti patung hasil karya pemahat yang baru belajar, tentunya adalah orang pertama yang bernama Wan Po dan berjuluk Tiat-pi-koai (Siluman Lengan Besi).

   Yang pendek kecil, mukanya berbulu mulutnya monyong dan matanya yang hanya sebiji kedelai itu senantiasa berkedip-kedip dengan cepat, tampang yang seperti kalong, bisa ditebak tentunya Kongsun Gi yang berjuluk Hek-hok-koai (Siluman Kelelawar Hitam).

   Menaksir kekuatan lawan, mau tak mau terguncang juga hati Liu Hok-tong.

   Tapi tak ada jalan lolos lagi.

   Terpaksa harus bertempur mati-matian dengan harapan akan ada bala bantuan dari Ki-lian-pai, sebab tempat itu sudah dekat dengan Ki-Lian-san.

   Dengan golok melintang di depan tubuh, Liu Hok-tong berkata.

   "Sudah ku katakan berkali-kali bahwa aku tidak tahu- menahu tentang gulungan kulit itu, tapi kalian terus mengejar-ngejar kami. Kalian benar- benar keterlaluan!"

   Liu Jing-yang yang berdiri tidak jauh dari kakeknya, diam-diam mentertawakan kakeknya itu dalam hati.

   "Kakek benar-benar keterlaluan, terhadap keluarganya sendiripun dia tidak jujur. Sudah terang ia punya benda itu, tapi agaknya kakek lebih rela mengorbankan seluruh keluarganya daripada mengakuinya. Biarpun aku cucunya, tapi aku tidak sudi membuang nyawa untuk membela seorang kakek macam dia!"

   Sambil berpikir demikian, Liu Jing-yang memperhatikan keadaan sekelilingnya dan mulai merencanakan siasat untuk menyelamatkan diri sendiri.

   Soal mati hidup kakeknya, kedua orang tuanya, paman dan bibanya, adik kandungnya dan adik sepupunya, Liu Jing-yang tak peduli.

   Biar merekapun menyelamatkan diri mereka sendiri-sendiri kalau bisa.

   Dirinya sendirilah yang paling penting, begitulah watak Liu Jing-yang.

   Sebaliknya seorang kacung rendahan yang bernama Liu Beng, sudah menggenggam senjatanya erat-erat dan siap mengadu nyawa.

   Baginya, lebih baik mati daripada menjadi orang hina yan tak tahu membalas budi.

   Ia tidak terpisah jauh dari Liu Giok-eng yang pernah menjadi "isterinya"

   Walaupun cuma semalam.

   Bagi lelaki lain, permainan lelaki- perempuan demikian bisa dilakukan sepuluh hari sekali dan sepuluh kali pula melupakannya.

   Tetapi bagi Liu Beng, kenangan itu suci dan kudus, ia siap menjunjungnya tinggi-tinggi di atas nyawanya sendiri.

   Ketika Liu Giok-eng menoleh kepadanya, Liu Beng balas menatapnya dan berbisik.

   "Aku siap menebus kesalahanku atas diri nona pada malam itu, dengan nyawaku, nona Eng."

   Pada detik-detik yang merupakan batas kehidupan dan kematian itu, Liu Giok-eng tidak menyembunyikan lagi perasaan hatinya. Sahutnya lirih.

   "Aku berbahagia, A-beng...."

   Keduanya memang berdiri berdekatan sehingga dapat berbisik-bisik tanpa didengar orang lain. Kehangatan mengembang dalam hati kedua orang itu, tidak peduli musuh- musuh sudah siap membantai mereka.

   "Nona Eng, kau...."

   Bisik Liu Beng dengan jantung melonjak. Gadis itu menundukkan wajahnya yang memerah, katanya tetap lirih.

   "A-beng, setelah peristiwa malam itu, kau masih juga menyebutku nona Eng?"

   Sesaat Liu Beng gelagapan.

   Sudah terlalu lama ia hidup sebagai pesuruh yang hanya menjalankan perintah-perintah, namun detik itu dia merasa menjadi manusia biasa yang berhak juga untuk mendapatkan apa yang didapatkan manusia lain.

   Keberaniannya timbul, tangannya menggenggam tangan Liu Giok-eng erat-erat.

   "Is.... isteriku, hari ini aku mapti pun rela...."

   "Isteri"nya bahagia sekali mendengar itu. Tapi perkataan "mati pun rela"

   Mengingatkannya bahwa saat itu mereka tidak sedang berkasih-kasihan di taman bunga yang indah, melainkan dikelilingi sorot mata mengancam dari jago-jago Hek-eng-po.

   Namun dalam keadaan seperti itupun, yang namanya cinta tetap merupakan pembangkit semangat juang yang hebat.

   Bukan nyanyian cinta dari langit yang terdengar di situ, tapi bentakan bengis dari Siluman Berlengan Besi Wan Po.

   "Bunuh semua! Nanti kita geledah peti-pti bawaan atau tubuh-tubuh mereka, mustahil kita tidak menemukan benda vang diingini Po-cu!"

   Rupanya manusia berwajah patung rusak ini tidak sabar mendengar perdebatan yang bertele-tele.

   Yang pertama kali menyambut teriakan perang itu adalah Ho Yu- yang dan Ong Sek-lai yang memang punya dendam pribadi kepada Liu Hok-tong, si bekas kakak angkat yang pernah mengkhianati mereka.

   Hampir berbarengan mereka meiompat ke arah Liu Hok-tong dengan wajah beringas.

   "Serahkan saja kepadaku, Jiko!"

   Seru Ong Sek-lai.

   "Mungkin Toako kita ini rindu kepadaku, biar aku yang mengantarkannya ke liang kubur!"

   "Tidak, Samte! Kampak dan belatiku sudah lama dahaga untuk menghirup darah pengkhianat ini!"

   Jawab Ho Yu-yang penuh dendam.

   "Kau babat saja anak cucunya, kan sama saja?"

   Terpaksa Ong Sek-lai mengalah dan belokkan sasarannya ke arah Liu Goan.

   Kipas Ong Sek-lai kali ini tidak terbuat dari kayu dan kertas, melainkan terbuat dari lempengan- lempengan baja tipis sebagai jari-jarinya, sedang tangan kanannya memegang Kui-gi-to, golok bergerigi.

   Kelihatannya lucu, seorang berjubah sastrawan memegang golok yang biasa dipakai kaum berandal, tapi Ong Sek-lai tidak bermaksud melawak, ia benar-benar siap menumpas keluarga Liu.

   Kesempatan yang sejak dulu diangan-angankannya.

   Liu Goan sudah kenal lihainya orang ini, ia tidak berani terlambat bertindak.

   Ia segera menyambut terjangan Ong Sek-lai dengan jurus se-ceng pai-hud (Se-ceng Menyembah Buddha), goloknya digerakkan membacok ke tengah-tengah kepala lawan.

   Sambil tertawa mengejek, Ong Sek-lai menangkis golok Liu Goan dengan golok bergeriginya.

   Keras lawan keras.

   Liu Goan bertubuh bulat gempal penuh otot, lawannya bertubuh ramping dan kelihatannya tidak terlalu kuat.

   Tapi ketika dua golok berbenturan, Liu Goan terdorong mundur selangkah dengan kuda-kuda yang goyah.

   Terang dia kalah tenaga.

   Belum sempat memperbaiki keseimbangannya, lawan telah merapatkan kipasnya sehingga mirip belati, dan dengan kecepatan kilat ditusukkan ke tenggorokan Liu Goan.

   Cepat Liu Goan melompat mundur.

   Tak terduga bahwa serangan Ong Sek-lai beruntun cepat datangnya.

   Habis golok, kipas, lalu kakinya menendang, dan mengenai perut Liu Goan sehingga Liu Goan terjengkang roboh.

   Segera disusul golok Ong Sek-lai menebas dari atas untuk membelah tubuh bulat yang mirip kura-kura terbalik dengan perut diatas itu.

   Thia Hui-leng, isteri Liu Goan tidak tinggal diam.

   Bandringannya berputar di ujung rantainya, lalu secepat kilat diluncurkan ke batok kepala Ong Sek-lai.

   Suami-isteri itu pun segera berdampingan menghadapi Ong Sek-lai, yang satu dengan golok dan yang lain dengan bandringannya.

   Ho Yu-yang juga sudah terlibat pertarungan satu lawan satu dengan Liu Hok- tong.

   Ketika masih sama-sama menjadi perampok di padang pasir, ilmu Liu Hok-tong lebih tinggi setingkat dari Ho Yu-yang.

   Tapi bertahun-tahun Liu Hok-tong hidup makmur, sebaliknya adik angkatnya itu "diasah"

   Oleh kerasnya alam padang pasir dan dendam yang membara di hati.

   Maka Liu Hok-tong hanya bisa mengeluh dalam hatinya karena merasa desakan yang demikian hebat.

   Ketua Hai-long-pang Thia Kim-sim mau tidak mau terlibat pula dalam urusan keluarga Liu itu, karena membela adik perempuannya.

   Ia berhadapan dengan kiau Bun yang bersenjata tongkat besi yang ujungnya berbentuk cakar elang, dan dalam belasan jurus saja Thia Kim-sim sudah terdesak hebat.

   Dua orang thau-bak (jago andalan) Hai long-pang segera maju membantu ketua mereka.

   Yang seorang bersenjata sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas) dan seorang lagi bersenjata ce-bi-kun (toya setinggi alis) yang kelihatannya bertenaga besar.

   Dengan tiga lawan satu, barulah Kiau Bun bisa ditandingi.

   Baru tiga orang jago Hek-eng-po yang tingkatannya paling rendah yang turun ke gelanggang, dan kesulitan sudah membayang di pihak Liu-keh-chung.

   Kalau empat siluman Lo-san turun ke gelanggang pula, sulit dibayangkan bagaimana nasib orang-orang Liu-keh-chung.

   Tapi cucu Liu Hok-tong yang bernama Liu Jing-kiam nampaknya tidak gentar.

   Ia mengajak Liu Jing-yang, kakaknya.

   "Koko, mari kita terjun ke arena! Tanganku sudah gatal!"

   Liu Jing-yang yang sudah punya rencana sendiri itu pun menyahuti adiknya.

   "Tenanglah. Empat orang yang paling tangguh di pihak musuh justru belum turun tangan, kita harus mengawasi mereka sebaik-baiknya agar dapat menempatkan diri kita dengan tepat. Mendengar alasan kakaknya cukup masuk akal, Liu Jing-kiam pun menahan diri, meskipun tangannya sudah gatal melihat kakeknya terdesak, dan ayah ibunya juga sulit memenangkan Ong Sek lai. Akhirnya Liu Jing-kiam tidak tahan lagi.

   "Koko, aku harus membantu ayah dan ibu!"

   "Baik, majulah, biar aku yang tetap mengawasi keadaan."

   Liu Jing-kiam sama sekali tidak berprasangka apapun kepada kakak kandungnya, diapun segera masuk arena. Jurus Lui-hong-tian-siam (Guntur Gemuruh dan Kilat Menyambar) segera dilancarkan untuk membacok pinggang Ong Sek-lai.

   "Jing-kiam, hati-hati!"

   Hampir berbarengan Liu Goan dan Thia Hui-leng memperingatkin anak mereka. Jangan kuatir!"

   Teriak Liu Jing-kiam. Ketika serangan pertamanya berhasil dielakkan musuh, ia langsung melanjutkan dengan Tui- to-kwa-hou (Mendorong Golok Menikam Tenggorokan) tanpa kenal takut.

   "Anjing kecil, kau cari mampus!"

   Bentak Ong Sek-lai marah. Kipasnya diputar untuk "menyeret"

   Golok Liu Jing-kiam ke samping, lalu golok bergeriginya meluncur untuk "menggergaji"

   Leher lawannya. Liu Jing-kiam yang kurang pengalaman tetapi terlalu berani itu sesaat kehilangan keseimbangan, nampaknya sebentar lagi lehernya akan putus oleh golok lawan. **OZ** Bersambung ke

   Jilid 06 Pojok Dukuh, 16-09-2018; 16.37 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 06 LIU GOAN dan Thia Hui-leng serentak menerjang maju untuk menolong putera mereka.

   Melawan tiga orang sekaligus, betapapun lihainya Ong Sek-lai tapi mulai merasa berat juga.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kepandaian Liu Jing-kiam memang biasa-biasa saja, tapi keberaniannya yang luar biasa itulah yang patut diperhitungkan.

   Kadang-kadang anak muda itu melancarkan jurus beruntun yang membuat ayah ibunya sendiri merasa cemas.

   Empat Siluman dari Lo-san mulai mengerutkan alis.

   Siluman Lengan Besi Wan Po memerintahkan.

   "Losu, kau masuk arena!"

   Siluman Penghisap Darah Pek Hong- teng segera menyahut.

   "Baik, Lotoa!"

   Bersamaan dengan terkatupnya bibirnya, tubuhnya melesat seperti seekor burung.

   Cambuk Liong-kut pian dibiarkan tetap terlibat di pinggangnya, dengan sombong ia hanya menggunakan tangan kosong saja.

   Jari-jari tangannya yang kuat bagaikan besi itu segera mencengkeram dengan sasaran pertamanya adalah kepala Liu Goan.

   Serangan disambut dengan serangan, Liu Goan menggunakan tinju kirinya menyongsong telapak tangan Pek Hong-teng.

   Pukulan yang pernah membunub seekor harimau itu diharapkan akan membunuh lawannya pula.

   Tapi hasiInya malah Liu Goan yang terpental mundur dengan mulut menyemburkan darah.

   Ia mendapatkan luka dalam.

   "Goan-ko!"

   Teriak Thia Hui-leng cemas.

   Sesaat ia lupa sedang di tengah pertempuran, ia tinggalkan lawannya dan melompat mendekati suaminya.

   Hampir berbarengan dengan robohnya Liu Goan, terdengarlah Liu Jing-kiam berteriak kesakitan.

   Beberapa detik saja ia ditinggalkan ayah-ibunya, ia tidak sanggup menahan amukan Ong Sek-lai yang ilmunya berkali lipat lebih tinggi daripadanya.

   Liu Goan melompat bangun dengan wajah pucat dan bibir masih berlumuran darah.

   Ia mendorong tubuh isterinya sambil berkata.

   "Tolong anak kita lebih dulu! Aku tidak ap- apa..."

   Ketika itu Liu Jing-kiam tengah pontang-panting terdesak oleh Ong Sek-lai.

   Sebelum datang pertolongan dari ayah ibunya atau dari manapun juga, Ong Sek-lai dengan buas telah menyabetkan goloknya mendatar setinggi perut, itulah serangan yang membuat Liu Jing-kiam langsung terkapar tidak berkutik lagi.

   "Anakku!"

   Teriak Thia Hui-leng Seperti seekor induk macan yang kehilangan anaknya, Thia Hui-leng lalu menyerang Ong Sek-lai bertubi-tubi dengan kalapnya.

   Liu Goan dengan menahan rasa nyeri dalam tubuhnya, telah bangkit pula dan ikut bertempur menyerang Ong Sek-lai.

   Dalam keadaan semakin memburuk bagi pihak Liu-keh-chung, Liu Seng dan Ko In- eng telah maju pula.

   Mereka menghadang Pek Hong-teng, meskipun sadar bahwa Siluman Penghisap Darah itu berilmu tinggi.

   Sementara itu, jago-jago Hek-eng-po lainnya sudah tidak sabar ingin menyelesaikan pertempuran.

   Merekapun turun ke gelanggang serempak.

   Siluman Lengan Besi Wan Po tubuhnya bagaikan sebuah menara besi yang bisa berjalan, tangannya yang kuat dan keras luar biasa itu dalam waktu singkat telah memecahkan beberapa buah kepala orang- orang Liu-keh-chung atau Hai-long pang, sama gampangnya memukul remuk sebuah tomat.

   Beberapa pegawai Liu-keh-chung atau orang Hai-long-pang yang bernyali besar, menggabungkan diri untuk coba membendung Wan Po.

   Tapi perlawanan mereka ibarat dinding yang terbuat dari jerami dan kertas yang mencoba menahan amukan seekor kerbau.

   Liu Beng tidak tahan melihat teman- temannya dibantai semena-mena oleh raksasa itu.

   Ia segera mengangkat tombaknya dan bergabung dengan teman-temannya, Liu Giok- eng tidak membiarkn Liu Beng bertempur sendirian, segera ikut maju pula dengan goloknya.

   Ketika "siluman-siluman"

   Lainnya ikut mengamuk, maka rusaklah pihak Liu-keh- chung.

   Siluman Kelelawar Hitam Kong-sun Gi bertubuh pendek kecil sehingga tampangnva mirip kalong.

   Ia nampak lucu sebelum bertempur, namun setelah bertempur tidak kelihatan lucu lagi, bhkan menggidikkan hati.

   Ia "Beterbangan"

   Kian kemari, dan setiap kali ia mencengkeran dan memuntir kepala seorang korban dengan enaknya seperti anak- anak memetik buah di pohon.

   Cara bertempurnya yang mengerikan itu mengakibatkan kegemparan di pihak Liu- keh-chung.

   Sebagian pegawai melawan mati- matian, sebagian lagi berlari-lari sambil berteriak-teriak ketakutan.

   Diantara yang berlari-lari itu banyak pekerja-pekerja yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat, seperti perempuan-perempuan tukang cuci atau tukang masak.

   Beberapa diantara mereka berlari begitu gugupnya sehingga tergelincir masuk ke jurang.

   Melihat orang-orang Liu-keh-chung berlari-lari bertebaran, Hau It-yau alias Siluman Terbang menjadi kuatir kalau diantara mereka yang lari serabutan itu ada yang membawa gulungan kulit kuno.

   Karena itu, diapun segera turun tangan.

   Caping bambu yang tergendong di punggungnya, diambil dan mulai melempar- lemparkannya.

   Sekejap kemudian caping itu sudah berdesing berputar-putar di udara, seperti makhluk hidup yang mengejar orang- orang yang melarikan diri.

   Beberapa kepala terlepas dari tubuh mereka, kepanikan semakin menjadi-jadi.

   Orang-orang Liu-keh- chung yang mencoba melarikan diri segera tergiring kembali berkumpul di tengah-tengah arena.

   Di saat kepanikan belum reda, Liu Jing- yang bukannya berniat bertempur bersama keluarganya, malah mulai mencari peluang supaya lolos daci arena neraka itu.

   Kematian adiknya Liu Jing-kiam tadi tidak membuatnya sedih, niatnya hanyalah menyelamatkan diri bersama gulungan kulit yang ada di kantongnya.

   Toh ia masih berhasil mengarang sebuah alasan untuk menenteramkan hatinya sendiri.

   "Keluarga Liu tidak boleh putus keturunan. Aku harus dapat menyelamatkan diri untk membangun kembali keluarga Liu di kemudian hari...."

   Di tengah-tengah orang-orang yang lari simpang-siur dan jerit-tangis, Liu Jing-yang diam-diam mendekati pinggir jurang dan memilih bagian yang agak landai.

   Tengah ia berlari, didengarnya deru angin tajam menerpa dari belakangnya.

   Ketika ia berpaling, alangkah terkejutnya melihat caping maut Hau It-yau itu tengah menyambar ke arahnya.

   Dalam gugupnya, Liu Jing-yang menyambar tubuh seorang perempuan tua juru masak Liu keh-chung untuk dijadikan perisainya.

   Liu Jing-yang selamat, tapi perempuan itu mati dengan pinggang hampir putus oleh caping maut yang dahsyat.

   Pegawai-pegawai Liu-keh-chung lainnya terkejut melihat tindakan si tuan muda.

   Sang tuan muda yang sehari-harinya nampak sopan santun dan lemah lembut, tidak jarang pula bicara panjang lebar tentang falsafah kebajikan, kini telah menunjukkan sifat aslinya yang kejam.

   Sanggup mengorbankan seorang perempuan tua yang sudah berpuluh tahun mengikuti keluarganya dengan setia.

   Para pegawai itu segera menjauhi Liu Jing-yang, karena sang tuan muda yang tampan itu rasanya tidak kalah menakutkan dari lawan-lawan mereka yang garang.

   Semua takut dijadikan tameng oleh Liu Jing-yang.

   Sedang Liu Jing-yang sendiri tidak peduli apapun pandangan orang terhadap dirinya, yang penting dirinya selamat lebih dulu.

   Begitu ada kesempatan, ia menggelundungkan tubuhnya ke bagian yang landai dari bibir jurang.

   Biarpun sampai di dasar jurang dalam keadaan babak belur, tapi lebih baik dari pada kepalanya lenyap disambar caping terbang itu.

   Beberapa pegawai ikut-ikutan cara Liu Jing-yang, dengan menggelundungkan diri ke jurang.

   Tapi tindakan mereka disusul jeritan ngeri ketika tubuh mereka menyongsong dasar jurang dengan derasnya.

   Rupanya mereka salah memilih tempat untuk menjatuhkan diri mereka, bukan di tempat yang agak landai tapi di tempat yang curam.

   Pertempuran di atas jurang semakin berat sebelah.

   Pihak Hek-eng-po membantai nyawa lawan-lawan mereka dengan semena- mena, bahkan pembantaian itu agaknya merupakan semacam keasyikan yang menggembirakan mereka.

   Matahari muncul perlahan-lahan di ufuk timur, dan pembantaian sudah hampir selesai....

   Berturut-turut Thia Hui-leng roboh karena ulu hatinya kena tendangan Coan-sim- tui (tendangan menembus hati) tanpa bisa menghindar atau menangkis.

   Lalu Ko Im-eng menyusul roboh pula, sementara suaminya sudah terluka.

   Nampaknya sebentar lagi Liu- keh-chung akan lenyap dari muka bumi.

   Di saat itulah dari balik punggung bukit muncul seekor kuda putih yang tegar, penunggangnya seorang pemuda tampan yang berjubah panjang warna putih pula.

   Di punggungnya tergendong pedang bersarung putih, tangkai pedangnya berhias benang- benang putih pula.

   Agaknya penunggang kuda ini seorang penggemar warna putih yang fanatik.

   Di pinggangnya tergantung bumbung anak panah dari kulit kambing berbulu putih beserta busurnya yang pendek, dan bulu-bulu di tangkai anak panah itupun putih semuanya.

   Dibawah cahaya matahari pagi yang keemas-emasan, kemunculan si serba putih itu benar-benar membuahkan pemandangan yang menakjubkan, seolah-olah ada dewa turun dari langit.

   Tapi ketika melihat pertempuran di kaki bukit itu, di mana orang-orang Hek-eng-po tengah berpesta pora dengan nyawa korban- korban mereka, wajah pemuda itu seketika menampilkan kemarahannya.

   Denqusnya.

   "Kudengar beberapa tahun yang lalu keempat siluman Bu-san itu sudah ditaklukkan oleh ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou, lalu dibebaskan lagi dengan janji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Tapi kini mereka berbuat kejahatan lagi...."

   Semangat kependekaran pemuda berpakaian putih itu seketika menyala melihat kesewenang-wenangan itu. Busur di pinggangnya segera dilepas, lalu dijepitnya perut kuda tunggangannya sambil berseru.

   "Hui-soat (Salju Terbang), hayo kita basmi siluman-siluman pengacau dunia itu!"

   Kuda putih bernama Hui-soat itu seolah mengerti ucapan tuannya, segera melompat tangkas menuruni lereng gunung.

   Si pemuda berpakaian serba putih itu segera mementang busurnya dan melepaskan sebatang panahnya, yang diincar adalah caping terbang Hau It-yau yang masih beterbangan menyambar kepala.

   Panah berdesing dan tepat menghantam caping bambu.

   Caping bambu itu dilontarkan dengan pengerahan tenaga dalam Hui-thian-koai Hau It-yau yang hebat, tidak sembarang orang bisa meruntuhkannya.

   Tapi kini caping yang sudah berlepotan darah itu toh runtuh ke tanah bersama-sama sebatang anak panah berekor putih.

   Hau It-yau terkesiap melihat senjata kebanggaannya runtuh.

   Cepat ia menoleh ke arah asalnya panah berekor putih itu, lalu berteriak dengan terkejut "Pek-ma Tok-hing (Pengelana Tunggal Berkuda Putih)!"

   Pemuda yang berkuda putih itu memang seorang yang dalam satu tahun terakhir telah membuat nama di dunia persilatan.

   Ia mengaku bernama Kiong Eng, dan orang-orang dunia persilatan menjulukinya Si Kelana Tunggal Berkuda Putih.

   Pemuda itu sendiri sudah membekali diri dengan ilmu silat yang lihai ajaran ayahnya sendiri, karena itu nama Bu-san Su-koai tidak membuatnya gentar seujung rambutpun.

   Bentaknya.

   "Empat Siluman Bu-san, kalian sudah lupa janji yang kalian ucapkan ketika ketua Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api) mengampuni kalian dulu? Sekarang kalian berani melanggar janji kalian?!"

   Disebutnya nama Ketua Hwe-long-pang membuat kaum siluman itu jadi ciut nyalinya.

   Sedangkan Kiong Eng kembali melepaskan panahnya tiga kali berturut-turut, semuanya diarahkan kepada Hau It-yau sehingga si Siluman Terbang itu sibuk berlompatan menghindar.

   Munculnya Pek-ma Tok-hing Kiong Eng memberi sedikit harapan kepada Liu Hok-tong dan sisa rombongannya.

   Seandainva Kiong Eng tidak bisa mengungguli gembong-gembong Hek-eng-po itu, setidak-tidaknya bisa mengulur perlawanan sampai munculnya orang-orang Ki-lian-pai.

   Sampai detik itu, Liu Hok tong masih mengandalkan akan datangnya pertolongan dari menantu laki-lakinya.

   Mudah- mudahan nama Ketua Hwe-liong-pang tadi juga bisa menggertak kabur musuh.

   Tak terduga si siluman pertama Wan Po sebagai pimpinan sama sekali tidak bisa digertak.

   Malah ia berteriak kepada Siluman Kelelawar Hitam Kongsun Gi "Loji, bereskan Kiong Eng supaya tidak ada bibit penyakit di kemudian hari!"

   Kongsun Gi segera menjalankan tugasnya.

   Ia memang pernah mendengar nama Kiong Eng, tapi belum pernah menguji sampai di mana kehebatan pendekar muda yang terkenal diwilayah Ho-pak itu.

   Tubuhnya melesat tinggi meninggalkan lawan-lawannya, sepasang tangannya dengan jari-jari yarig melengkung seperti cakar mengancam sepasang pelipis Kiong Eng yang masih duduk di atas kuda.

   Kalau kena, batok kepala pemuda itu akan berlubang sepuluh.

   Tapi Pakkiong Eng dengan tangkas meraih ke punggungnya, pedangnya yang mengkilat segera terhunus dan langsung dimainkan dengan gerakan In-liong-sam-hian (naga muncul di awan tiga kali), kesepuluh jari yang mengancam pelipisnya kini berbalik terancam akan terpapas putus.

   Kongsun Gi terkejut melihat Kiong Eng dapat bergerak setangkas itu.

   Kesombongannya berubah menjadi rasa kaget luar biasa.

   Dalam keadaan terapung di udara tanpa pijakan kaki, ia membelokkan luncuran tubuhnya supaya tidak menyongsong ke ujung pedang lawan.

   Tapi tak urung baju di bagian pinggangnya terkoyak lebar, dan itu cukup membuatnya berkeringat dingin.

   Melihat Kongsun Gi menghindar, ganti Kiong Eng yang menyerang.

   Tubuhnya bagaikan dilemparkan dari atas pelana kudanya, langsung memainkan Thian-liong- kiam-hoat (Ilmu Pedang Naga Langit) ajaran ayahnya.

   Ujung pedangnya mengejar ke arah Kongsun Gi dengan kecepatan luar biasa, membuat si siluman yang biasa besar kepala itu harus menghidar dengan gugupnya.

   Kongsun Gi cepat-cepat mengeluarkan senjatanya berupa sepasang pit (pena) dari baja yang segera diputarkanya rapat-rapat untuk membentengi tubuhnya.

   Kedatangan Kiong Eng ternyata juga tidak memberi banyak harapan untuk keadaan sulit yang dialami pihak Liu-keh-chung.

   Memang pemuda berpakaian serba putih itu dapat sanggup mendesak Kong sun Gi, tapi untuk menyelesaikan Kong sun Gi saja agaknya akan diperlukan banyak waktu.

   Sedang teman-teman Kongsun Gi punya banyak waktu untuk membantai habis orang- orang Liu-keh-chung.

   Sesaat kemudian Liu Seng roboh terkapar dengan tenggorokan berlubang.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bukan oleh senjata, tpi hanya oleh jari-iari tangan Pek Hong-teng yang sekuat besi, dan cukup untuk mengirimnya ke akhirat.

   Sambil menyeringai buas, Pek Hong-teng menjilati darah di ujung jari-jarinya dengan nikmat sekali.

   Liu Giok-eng yang tengah mengeroyok Wan Po bersama Liu Beng dan beberapa pegawai bernyali besar lainnya, terkejut melihat robohnya ayahnya.

   Ia segera keluar dari arena dan berlari ke arah tubuh ayahnya yang tidak jauh dari tubuh ibunya, keduanya tewas dengan luka yang sama, lubang di tenggorokan.

   Liu Beng terkejut melihat "isteri"

   Nya menerjang ke arah Gip-hiat-koai Pek Hong- teng.

   Iapun segera menyusul untuk melindungi Liu Giok-eng, lupa bahwa ilmu silatnya sendir hanya pas-pasan saja.

   Waktu itu Liu Giok-eng dengan bibir pucat yang terkatup rapat, secara nekat telah menerjang si Siluman Penghisap Darah dengan goloknya.

   Liu Beng segera memutar tombaknya dan ikut menerjang Pek Hong-teng pula dengan sengit.

   Belum lagi kematian Liu Seng terbalas, Liu Goan telah kebagian nasib buruknya pula.

   Tadinya bersama-sama isterinya, suami-isteri itu bisa mengimbangi Ong Sek-lai, tapi setelah isterinya roboh dulu, maka Liu Goan sendiri tidak sanggup membendung amukan Ong Sek- lai yang dimabuk dendam.

   Maka tidak lama kenudian dia pun roboh dengan luka parah di perut.

   Ong Sek-lai dengan puas memandang korban-korbannya, lalu matanya berkeliaran melihat keadaan seluruh arena.

   Ia tersenyum lebar nelihat kawan- kawannya rata-rata sudah hampir memastikan diri untuk merebut kemenangan.

   Ia melihat Hau It-yau masih asyik dengan caping terbangnya, sama asyiknya dengan anak-anak yang sedang memainkan layang-layang.

   Wan Po dengan santai menghadapi keroyokan belasan pegawai Liu-keh-chung, dan setiap kali ada kepala lawan yang retak terkena pukulannya vang mirip palu godam.

   Ho Yu- yang dengan buas telah mendesak Liu Hok- tong yang telah terengah-engah hampir kehabisan napas.

   Kiau Bun berkelahi seimbang melawan Thia Kim-sim yang dibantu dua orang thaubak.

   Pek Hong-tong seperti seekor kucing buas mempermainkan sepasang tikus, Liu Beng dan Li Giok-eng.

   Agaknya pek Hong-teng tidak ingin cepat-cepat membunuh kedua korbannya, tetapi ingin mempermainkan dulu sepuasnya.

   Tapi Ong Sek-lai heran melihat Kongsun Gi dengan sepasang pitnya masih saja terdesak oleh seorang pemuda berbaju putih.

   Padahal Ong Sek-lai tahu betapa hebat kepandaian Kongsun Gi, lebih tinggi dari dirinya sendiri, sulit dipercaya Kongsun Gi terdesak oleh pemuda yang lemah lembut mirip perempuan itu.

   Ilmu silat yang dimainkan pemuda baju putih itupun hebat.

   Cahaya pedangnya melingkar-lingkar seperti naga bersisik perak, kadang-kadang bergelombang memanjang seperti naga terbang.

   Sedang tangan kiri yang memegang busur panah itu tidak mengganggu gerakannya, malah melengkapinya.

   kedua ujung busur tidak jarang meluncur mengincar jalan-jalan darah di tubuh Kongsun Gi.

   Tidak heran kalau si Siluman Kelelawar Hitam itu terus terdesak.

   Meskipun melihat hal itu, Ong Sek lai tidak berani sembarangan terjun membantu Kongsun Gi.

   Selain ragu-ragu apakah dirinya mampu berbuat berarti dihadapan pemuda yang lihai itu, Ong Sek-lai juga kuatir nanti Kongsun Gi malah tersinggung karena dibantu.

   Maka Ong Sek-lai memutuskan untuk lebih dulu membantu Kiau Bun merampungkan ketiga lawannya.

   Kedatangan Ong Sek-lai ke arena kecil itu menggoncangkan keseimbangan.

   Ia langsung "mengambil"

   Kedua thaubak Hai-long pang itu, dan membiarkan Thia Kim-sim diurus oleh Kiau Bun dalam pertarungan satu lawan satu. Maka ketiga pentolan sindikat itu segera terancam bahaya. Salah seorang thaubak segera meneriaki pemimpinnya.

   "Pangcu, selamatkan dirimu lebih dulu supaya kelak ada yang membalaskan sakit hati kami!"

   Seandainya bisa, tentu tanpa disuruh pun Thia Kim-sim sudah kabur sejak tadi, tap keadaan memang tidak memungkinkan untuk kabur. Apa boleh buat, Thia Kim-sim harus berlagak sebagai laki-laki sejati yang tidak takut mati.

   "Aku tidak sudi lari! Mati hidupku bersama kalian, saudara-saudara!"

   Kedua thaubak itu menjadi amat terharu oleh "setia kawan"

   Sang pemimpin, dan semangat tempur merekapun berkobar-kobar biarpun tahu bakal mampus hari itu.

   Sambil berdoa mudah-mudahan utangnya yang ditinggalkan anak-isterinya di rumah menjadi lunas pula.

   Sementara itu alangkah marahnya Kiong Eng melihat korban-korban Hek-eng-po semakin banyak dan terus bertambah.

   Ia merasa malu bahwa di depan hidungnya toh para penjahat bisa beraksi seenak perut mereka sendiri, dan ia tidak danggup mencegahnya.

   Karena marahnya, Kongsun Gi yang menjadi sasaran kemarahannya.

   Lebih dulu Kiong Eng pura-pura terdesak mundur, pura- pura kacau permainan pedang dan busurnya.

   Melihat itu, Kongsun Gi bersorak dalam hati.

   "Jurus-jurus pedang bocah ini begitu hebat, sehingga aku berhasil didesaknya sampai kehilangan muka. Tapi tenaga dalamnya ternyata tidak cukup kuat ntuk bertempur jangka panjang, sekarang aku harus menghajarnya untuk memulihkan pamorku...."

   Berpikir demikian, putaran sepasang poan-koan-pit Kongsun Gi semakin kencang.

   Dengan gerak tipu Sam-seng-boan-goat (tiga bintang melingkari rembulan) tahu-tahu enam buah jalan darah Kiong Eng terancam bahaya.

   Hong-bwe-hiat di pundak, Nui-moa-hiat di rusuk, Tong-bun-hiat di dada, Gi-bun-hiat di tenggorokan, Kian-ceng-hiat di pundak dan Kin-bun-hiat di pinggang.

   Melihat Kiong Eng terdesak mundur Kongsun Gi semakin besar hati.

   Jurusnya diganti dengan Hui-bou-liu-coan (air terjun terbang dan sumber air berputar) sepasang senjatanya terlihat menjadi berpuluh puluh pasang yang mengepung seluruh jalan darah Kiong Eng.

   Karena terlalu bernafsu menyerang, pertahanan Kongsun Gi terbuka lebar.

   Cepat sekali Kiong Eng menggeser mundur sambil memiringkan badan, pedangnya menabas dari atas ke bawah.

   Tangan kiri membuang busur lalu menghantam dengan telapak terbuka ke arah lawannya.

   "Ha-ha, bocah cilik, jangan bertingkah..."

   Belum selesai kalimat ejekan Kongsun Gi, dia telah melompat mundur dengan kaget.

   Pukulan tangan kiri Kiong Eng ternyata membawa sambaran udara yang sangat panas, serasa akan menghanguskan kulit.

   Sadar bahwa dirinya terjebak oleh si bocah cilik yang pantas menjadi cucunya itu, Kongsun Gi gugup dan agak terlambat menyelamatkan dirinya.

   Udara panas sempat terhirup paru-parunya dan membuat dadanya sesak.

   Rusuknya terhantam telak dan ia terpental roboh sambi memuntahkan darah.

   Pakaiannya di bagian rusuk meninggalkan bekas seperti habis terbakar dan menyebabkan sakit buka main.

   "Bangsat cilik, kau... kau..."

   Teriak Kongsun Gi sambil melompat bangun kembali.

   Tapi Kiong Eng melompat maju dengan tubuh miring, kakinya lurus menjejak dada Kongsun Gi dengan tendangan Hui-hou-tui (tendangan macan terbang).

   Kali ini si Siluman Kelelawar Hitam itu benar-benar roboh dalam keadaan tiga perempat mampus.

   Tenaga dalam Kongsun Gi sebetulnya setingkat lebih matang dibanding Kion Eng.

   Namun Kiong Eng bertempur bukan hanya mengandalkan tenaga dalam, tetapi juga otaknya yang cerdik.

   Hau It-yau yang sebetulnya masih sibuk dengan caping terbangnya, terkejut melihat robohnya Kongsun Gi.

   Ketika melihat Kiong Eng tengah menusukkan pedangnya ke arah dada kakak seperguruan ke duanya itu, cepat Hau It-yau menyambitkan caping terbangnya.

   Suaranya berdesing mengerikan.

   Kiong Eng terpaksa harus membatalkan tikamannya.

   Ia memutar tubuh dan menyongsong caping terbang itu dengan tebasan pedangnya.

   Caping itu segera terbelah dua dan rontok, tetapi Kiong Eng merasakan lengannya pegal pula karena tenaga si pelempar caping itu cukup hebat.

   Sebaliknya Hau It-yau tidak kalah kagetnya melihat senjata kebanggaannya itu berhasil dibelah oleh lawan.

   Sadarlah ia bahwa nama besar Si Kelana Tunggal Berkuda Putih yang terkenal di wilayah Ho-pak itu bukan nama kosong yang terlalu dibesar-besarkan.

   Kiong Eng sadar bahwa kalau dirinya terikat pertempuran dengan satu lawan saja, ia tidak bisa mengawasi seluruh arena.

   Maka ia cepat melompat kembali ke punggung kuda putihnya setelah memungut busurnya.

   Mengira Kiong Eng hendak kabur, Hau It-yau membentak marah.

   "Jangan lari, bangsat kecil. Kau pikir Bu-san-su-koai bisa kau permainkan semaumu saja?!"

   Sambil membentak, diapun menyerbu maju. Tanpa capingnya, ia terpaksa harus bertempur jarak dekat seperti orang-orang lain. Kiong Eng dari punggung kuda berteriak.

   "Siapa hendak lari?! Nih, terimalah!"

   Lalu dua batang panah berekor putih meluncur berturut-turut ke arah Hau It-yau, bukan saja suaranya mendesing karena derasnya, tapi juga membawa udara panas.

   Rupanya Kiong Eng menyalurkan ilmu Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) ke batang panahnya.

   Sambil mengelak Hau It-yau heran juga bahwa Kiong Eng yang usianya baru kira-kira duapuluh tahun itu memiliki tenaga dalam sehebat itu.

   Sedangkan Kiong Eng telah mengendarai kudanya berkeliling arena sambil menembakkan panah-panahnya.

   Ulahnya tersebut ternyata sangat mengganggu pihak Hek-eng-po yang hampir menang.

   Kiau Bun yang hampir berhasil membunuh Thia Kim-sim, tiba-tiba saja disambar sebatang panah yang nyaris menembus pelipisnya.

   Ia berhasil mengelak, tapi segumpal rambutnya tersambar, dan rasanya ada segumpal bara yang lewat di atas jidatnya.

   Panah itu membawa hawa panas.

   Sedang Thia Kim-sim yang hampir kehabisan napas itu jadi mendapat kesempatan untuk memperbaiki posisinya kembali.

   Lalu Gip-hiat-koai Pek Hong-teng yang tengah mempermainkan Liu Beng dan Liu Giok-eng itupun mendapat giliran untuk diganggu panah-panah Kiong Eng.

   Tadinya Pek Hong-teng dengan sombong mencoba menangkap sebatang anak panah dengan tangan kosong saja, tapi ia buru-buru melepaskan kembali ketika batang panah itu sepanas bara.

   Terpaksa ia harus berlompatan mundur sambil melepaskan cambuk Liong-kut- pian yang membelit pinggangnya, dan dengn senjatanya itulah ia menangkis panah-panah berikutnya.

   Namun bagaimanapun hebatnya Kiong Eng, ia cuma sendirian.

   Panah-panahnya pun hanya bersifat menganggu, tapi tidak punya kemampuan menentukan akhir dari pertempuran.

   Hanya memperpanjang sedikit umur sisa orang-orang Liu-keh-chung tapi tidak bakal menolong mereka dari kematian.

   Terdengar teriakan ngeri ketika Ho Yu- yang berhasil menikam perut Liu Hok-tong dengan belatinya, lalu menyentakkan belati itu kesamping sehingga perut si Macan Tua itu robek lebar.

   Menyusul kampak di tangan kanan menimpa kepala ubanan itu, maka tamatlah riwayat tuan hartawan terkaya di propinsi Ho- lam itu.

   Kiong Eng marah melihatnya.

   Tiga batang panah berturut-turut diarahkan kepada Ho Yu-yang, pengerahan tenaga dalamnya membuat ujung panah-panah itu membara kemerahan.

   Kalau keempat "siluman"

   Saja kaget oleh panah itu, apalagi Ho Yu-yang yang kepandaiannya lebih rendah.

   Panah pertama berhasil dielakkan, panah kedua hampir menembus lehernya, panah ketiga benar-benar kena.

   Menembus lengan bagian atas sampai tembus ke belakang.

   Ho Yu-yang tak tahan untuk tidak melolong kesakitan karena merasa lengannya seakan ditembus dengan besi membara...

   Dialah korban ke dua di pihak Hek eng- po setelah Kongsun Gi yang masih menggeletak.

   Namun secara keseluruhan, keberhasilan Kiong Eng itu tidak bisa menyelamatkan Liu-Keh-chung.

   Pada saat yang sama cambuk Liong-kut-pian milik Pek- hong-teng berhasil melecut hancur punggung Liu Giok-eng.

   Cambuk yang penuh kaitan- kaitan tajam berlumur racun ganas itu menimbulkan keracunan yang tak akan sembuh kecuali dengan obat yang ada di kantong Pek Hong-teng sendiri.

   Liu Beng melontarkan tombaknya sekuat tenaga ke arah Pek Hong-teng.

   Lalu tanpa mempedulikan apapun lagi, Liu Beng memeluk tubuh Liu Giok-eng.

   Melihat wajah gadis itu dengan cepat berubah menjadi kebiru-biruan, tahulah Liu Beng bahwa racun ganas mulai bekerja di tubuh gadis itu.

   Liu Beng segera melotot ke arah Pek Hong-teng sambil berteriak.

   "Siluman busuk, asal kau mau memberikan obat pemunahnya, kau minta kepalaku pun akan aku berikan dengan ikhlas!"

   Pek Hong-teng tertawa seram.

   "Ha-ha- ha.... benar-benar adegan yang mengharukan. Kalau aku ingin mengambil batok kepalamu, aku bisa mengambilnya dan tidak usah menunggu kerelaanmu!"

   "Kau binatang!"

   Maki Liu Beng.

   "Terserah apapun kata-katamu. Tapi asal kau serahkan gulungan kulit itu, akan aku berikan obat untuk kekasihmu it."

   Di samping rasa marah, terbersit juga keheranan Liu Beng.

   Bukankah Liu Tek-san sudah mati dan gulungan kulit asli itu tidak ada pada mayatnya? Kenapa pihak Hek-eng po masih Juga menanyakan tentang gulungan kulit itu? Tentu saja Liu Beng yang berhati lurus itu sedikitpun tidak menduga kalau Liu Tek-san dihabisi oleh kakak sepupunya sendiri.

   Liu Beng ingat gulungan kulit palsu dalam bajunya, dia pikir tidak ada salahnya menukarnya dengan nyawa Liu Giok-eng.

   Sahutnya.

   "Baik, kau keluarkan dulu obatmu!"

   Tapi saat itulah Liu Giok-eng merintih dalam pelukan Liu Beng dan berkata lirih.

   "A- beng, kalau kau benar-benar tahu di mana benda itu, jangan diberitahukan kepada musuh. Kawanan iblis itu akan semakin congkak kalau memiliki benda pusaka itu. Biarlah kita mati..."

   Liu Beng ingin mengatakan bahwa gulungan yang akan diserahkan itu adalah gulungan palsu, tapi sudah tentu tidak bisa berbicara di hadapan Pek Hong-teng.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sesaat ia kebingungan bagaimana harus mengambil keputusan.

   Sementara itu, berturut turut Thia Kim- sim dan orang-orang Hai-long-pang telah tersapu bersih, begitu pula semua pegawai Liu- keh-chung, tidak terkecuali tukang masak atau tukang cuci yang tak bisa membela diri.

   Di tengah-tengah mayat bergelimpangan, tinggal Liu Beng yang masih berjongkok memeluk Liu Giok-eng sambil tawar-menawar dengan Pek Hong-teng.

   "Di mana gulungan kulit itu, bangsat?!"

   Desak Pek Hong-teng yang mulai habis kesabarannya. Ketika Liu Beng hendak menjawab, Liu Giok-eng menggeliat dalam pelukannya dan mengerahkan kekuatan terakhirnya untuk berkata.

   "Jangan katakan atau aku tidak akan memaafkanmu..."

   Habis itu, terkulailah kepala gadis itu bersamaan dengan perginya kehidupannya.

   Gadis itu bukan cuma keracunan, tapi juga hancur bagian dalam tubuhnya karena cambukan dahsyat Pek Hong-teng tadi.

   Dunia yang cerah, seketika berubah menjadi gelap buat Liu Beng, segala macam obat yang bakal ditawarkan kepadanya tidak akan ada gunanya lagi.

   Biarpun ia tidak meneteskan air mata setitikpun, tapi sinar matanya membayangkan betapa duka hatinya.

   Ia merasa gagal mutlak membela keluarga Liu yang telah menghutangkan budi terhadapnya.

   Perlahan-lahan diletakkannya tubuh Liu Giok- eng, perlahan-lahan pula diambilnya golok di tangan gadis itu, lalu secepat kilat hendak digorokkan ke lehernya sendiri.

   Pek Hong-teng terkejut, ia tidak mau Liu Beng mati sebelum menyebut tempat gulungan kulit itu, tapi ia tidak sempat mencegah...

   Hanya kurang sejari sebelum tajam golok menyentuh kulit leher Liu Beng, sebatang anak panah berekor putih menghantam golok itu sehingga terpental lepas dari tangan Liu Beng.

   Gagallah kacung itu membunuh diri....

   Detik berikutnya, sebatang panah lagi memaksa Pek Hong-teng melompat menjauhi Liu Beng.

   Lalu Kiong Eng dengan kuda putihnya berderap ke arah Liu Beng yang masih berjongkok di sisi tubuh Liu Giok-eng.

   Dengan ketangkasan dan kekuatan yang mencengangkan, Kiong Eng membungkuk di atas pelana kudanya dan tangannya menyambar tubuh Liu Beng untuk dinaikkan ke atas kudanya sekalian.

   Tubuh Liu Beng yang beratnya berpuluh-puluh kilo itu dengan ringan berhasil diangkatnya.

   Sedang kuda putih itu juga kuda istimewa.

   Bertambahnya satu penunggang lagi tidak menbuatnya lari bertambah lambat.

   Bahkan ketika Kiong Eng menjepit perutnya sambil membentak, kuda itu melompat bagaikan terbang cepatnya.

   Tiat-pi-koai Wan Po cepat berseru.

   "Kacung Liu-keh-chung itu barangkali membawa gulungan kulit! Kejar dia!"

   Hau It-yau, Pek Hong-teng dan Kiau Bun segera melesat ke depan untuk mengejar, meskipun mereka tidak yakin apakah kaki mereka sanggup menandingi larinya kuda istimewa itu.

   Sedangkan Ong Sek-lai cepat menolong Ho Yu-yang yang lengannya tertembus panah dan belum berhenti merintih itu.

   Wan Po juga lebih dulu menolong Kongsun Gi yang matanya terpejam dan wajahnya pucat.

   Siluman Lengan Besi mengertak marah melihat keadaan adik seperguruannya.

   "Bangsat cilik itu benar-benar kejam. Akan ada perhitungannya kelak!"

   Begitulah, ia mencaci Kiong Eng kejam, ia sendiri lupa bagaimana ia dan teman- temannya membantai orang-orang Liu-keh- chung dan Hai-long-pang seperti membantai semut saja.

   Kesalahan orang lain nampak jelas, kesalahan diri sendiri tidak disadarinya.

   Di atas pelana kuda putih itu, Kiong Eng agak kerepotan membuat Liu Beng tenang.

   Kacung itu terus meronta-ronta sambil berteriak-teriak ingin terus bersama kekasihnya yang sudah jadi mayat.

   Terpaksa Kiong Eng menekan jalan darah Thian-teng- hiat di tengkuk Liu Beng, membuat kacung itu kehilangan tenaga untuk berontak lagi.

   Bisik Kiong Eng.

   "Jangan bodoh, Kalau kau mati juga, siapa akan membalaskan sakit hati kekasihmu? Bertahanlah hidup, sebab perjuangan masih panjang."

   Bisikan Kiong Eng membuat Liu Beng sadar, dan diam-diam malu sendiri karena hampir saja membunuh diri.

   Kenapa harus putus asa dan membiarkan kawanan iblis terus berkeliaran tanpa lawan? Maka Liu Beng menjadi agak tenang, dan berkuda dalam pangkuan penolongnya...

   Setelah agak tenang, diam-diam Li Beng merasa heran.

   Penolongnya ini adalah seorang yang berilmu tinggi, harusnya memiliki dada yang kekar keras seperti dadanya sendiri.

   Tapi ia merasa dada sang penolong yang menempel di punggungnya itu empuk dan Lembut, dan samar-samar hidungnya mencium bau harum tubuh seorang gadis.

   Maka tanpa diberi tahupun Liu Beng tahu bahwa Kiong Eng ini bukan laki-laki, tetapi seorang gadis yang menyamar sebagai laki-laki.

   Sadar akan hal itu, Liu Beng merasa malu juga.

   Tapi sekaligus juga kagum, sebab gadis yang menolongnya itu agaknya berusia lebih muda daripadanya, namun sudah memiliki ilmu begitu tinggi sehingga berani malang-melintang dihadapan gembong- gembong Hek-eng-po yang ditakuti.

   Namun sambil berkuda menjauhi musuh, Liu Beng berkata.

   "Aku berterima kasih atas pertolongan nona...."

   Kontan wajah Kiong Eng menjadi merah sebab sadar rahasia penyamarannya sudah terbongkar, tapi apa boleh buat, ia harus tetap memegangi erat- erat tubuh Liu Beng supaya tidak terguling jatuh dari kuda.

   "....tapi nanti aku harus balik ke tempat itu untuk memakamkan tubuh majikan- majikan dan teman-temanku...."

   Sambil tetap memacu kuda putihnya, Kiong Eng bertanya.

   "Tubuh sebanyak itu hendak kau makamkan semuanya? Lalu memakan berapa bahyak waktu dan tenaga?"

   "Tidak peduli bagaimanapun susahnya, mereka harus dimakamkan. Mereka adalah orang orang yang merawat aku sejak kecil, sejak aku masih menjadi bocah gelandangan yang nyaris mati kelaparan. Haruskah aku biarkan tubuh mereka menjadi santapan serigala dan burung-burung gagak?"

   Diam-diam Kiong Eng memuji dalam hati.

   Biarpun Liu Beng cuma seorang kacung rendahan, tapi memiliki kesetiaan yang besar dan tahu membalas budi.

   Watak yang justru jarang terdapat di antara orang-orang kalangan atas yang suka mengaku terpelajar atau terhormat.

   Sahut Kiong Eng.

   "Baik, nanti kita kuburkan mereka dan aku akan membantumu. Tapi harus menunggu sampai iblis-iblis itu pergi. Mereka toh tidak mungkin menunggui tempat itu terus-terusan".

   "Merepotkan nona saja. Bolehkan aku mengetahui nama nona?"

   Terhadap Liu Beng, Kiong Eng kagum akan sifat-sifat baiknya dan merasa pantas untuk dijadikan sahabat. Terhadap seorang sahabat, tidak seharusnya menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya, maka iapun menyahut.

   "Namaku yang sebenarnya adalah Pakkiong Eng Nama Kiong Eng hanya kugunakan selama aku mengembara dan menyamar sebagai laki-laki...."

   "Aku Liu Beng. She yang kupakai di depan namaku itu adalah she majikanku, bukan she-ku sendiri, sebab aku sendiri tidak tahu she apa. Menilik she nona tadi, agaknya.... agaknya nona bukan seorang bangsa Han ?"

   "Benar. Ayahku orang Manchu berasal dari Liau-tong tapi tinggal di Pak-khia tetapi ibuku adalah orang Han berasal dari Kiang-se. Apakah masih ada gunanya membeda-bedakan antara orang Han dan orang Manchu hanya untuk mempertentangkan masa lalu yang sudah lewat? Saat ini Han dan Manchu sudah hampir melebur menjadi satu bangsa, sudah berdampingan puluhan tahun lamanya, dan dinding-dinding pembatas sudah saatnya dirobohkan. Liu Beng termangu-mangu tak bisa membantah. Waktu itulah dari belakang mereka terdengar bentakan-bentakan.

   "Bangsat cilik, lepaskan kacung itu supaya kami bisa membiarkanmu lolos!"

   Kiranya yang mengejar itu adalah Hau It-yau yang berjuluk Hui-thian- koai (Siluman Terbang) karena mahir ilmu meringankan tubuh.

   Disusul Pek Hong teng dan Kiau Bun.

   Mereka mati-matian mencoba menyusul larinya kuda putih itu.

   Liu Beng segera berbisik kepada penolongnya.

   "Nona Pakkiong, kalau dirimu terancam, tinggalkan saja aku. Tidak ada gunanya nona mempertaruhkan nyawa untuk hal yang tidak ada sangkut-paut dengan diri nona...."

   Sahut Pakkiong Eng mantap tanpa terbantah.

   "Semua orang jahat yang bertindak sewenang-wenang adalah menjadi urusanku. Mereka memang patut dihajar...."

   Lalu.

   "Nah, saudara Liu, peluklah leher kuda erat-erat. Aku akan menghajar mereka, jangan sampai kau terlempar jatuh". Tanpa diulang lagi, Liu Beng memenuhi permintaan itu. Baru saja tangannya memeluk leher kuda putih itu, Pak kiong Eng telah membalikkan kudanya dengan tangkas. Sesaat kemudian busurnya menjepret berturut-turut demikian cepatnya, dan deretan anak panahnya terbang beriringan seperti sekumpulan burung belibis terbang. Hau It-yau dan Pek Hong-teng yang berkepandaian cukup tinggi, sanggup menghentikan langkah dan menghindari panah-panah yang lihai itu. Tapi Kiau Bun tidak selihai kedua rekannya, sebatang panah menancap di pahanya dan membuatnya roboh terguling.

   "Bagus, nona Pakkiong. .."

   Puji Liu Beng kagum.

   Robohnya Kiau Bun membuat Hau It- yau dan Pek Hong-teng gentar melanjutkan pengejarannya.

   Si Kelana Tungga Berkuda Putih itu benar-benar sulit ditundukkan, kalau salah perhitungan malah bisa menjadi korban panah-panah berekor putih yang lihai itu.

   Gulungan kulit memang penting, tapi nyawa merekapun penting.

   Dengan pandangan gusar dan kecewa, mereka terpaksa membiarkan Kiong Eng kabur membawa Liu Beng.

   Bahkan mereka menghamburkan caci-maki ketika melihat "pemuda"

   Itu dari kejauhan sempat melambaikan tangan sambil tersenyum manis.

   "Losam, bagaimana kita harus melapor kepada Pocu tentang kegagalan ini?"

   Tanya Pek Hong-teng. Sepasang taring disudur-sudut bibirnya yang sering digunakan untuk menghisap darah itu kelihatan bergerak-gerak mengerikan ketika ia berbicara.

   "Apa boleh buat, siapa menyangka kita dipecundangi oleh bangsat cilik she Kiong itu?! Kita laporkan seadanya dan mudah-mudahan pocu bisa memahami dan memaafkan kita,"

   Sahut Hau It-yau sambil menarik napas.

   Mereka segera berjalan kembali untuk bergabung dengan teman-teman mereka lainnya.

   Pek Hong-teng sambil menggerutu terpaksa harus menggendong Kiau Bun yang tidak bisa berjalan karena pahanya tertembus panah.

   Di bekas arena pembantaian, Wan Po dan Ong Sek-lai sudah menggeledah semua mayat, bahkan hampir menelanjangi mayat- mayat itu, namun gulungan kulit yang dikehendaki majikan Hek-eng-po itu tidak juga ditemukan.

   Peti-peti besar dan kecil bawaan keluarga Liu itupun sudah digeledah habis- habisan, hasilnya tetap nihil.

   Namun sebagai "obat kecewa"

   Ada enam peti berisi perhiasan- perhiasan emas, intan, berlian, batu giok dan benda-benda mahal lainnya yang bisa membuat seorang pertapa pun tergiur.

   Sebenarnya Ho Yu-yang dan Ong Sek- lai merasa diri mereka paling berhak atas harta keluarga Liu itu.

   Harta itu hasil jerih payah mereka juga ketika bersama-sama Liu Hok- tong masih menjadi begal di padang pasir, membegal saudagar-saudagar India dan Persia yang berdagang ke Cina.

   Tapi Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai tidak berani bersuara menuntut hak mereka, sebab mereka kenal betapa kejamnya Wan Po dan ketiga adik seperguruannya.

   Kalau ucapannya kurang menyenangkan keempat siluman itu, bisa jadi mereka malah akan ikut mampus di tempat itu.

   Karena merasa tidak sanggup membawa enam peti besar harta karun itu, gembong-gembong Hek-eng-po itu lalu membawa seperlunya saja.

   Mengisi kantong- kantong mereka sampai penuh sesak, diam- diam mereka menyesal kenapa tadi tidak membawa karung besar dari rumah? Setelah semuanya ikut mengambil, itupun belum sampai sepertiga dari keseluruhan harta karun itu.

   Terpaksa sisanya dipendam di tempat itu untuk diambil pada kesempatan lain.

   "Sisa harta itu akan dipersembahkan kepada Pocu atau tidak?"

   Ong Sek-lai pura- pura bertanya. Tiat-pi-koai Wan Po menjawab sambil menyeringai.

   "Pocu kaya raya luar biasa, kalau kita mempersembahkan harta sesedikit ini malah bisa dikira menghinanya. Kita sudah berjerih payah, sampai ada yang terluka, tentunya Pocu akan merelakan kalau harta rampasan ini dimiliki kita bertujuh saja..."

   


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long

Cari Blog Ini