Teror Elang Hitam 5
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 5
Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P
Yang lebih menyakitkan hati Kam Hun-siong adalah ketika di antara saudara-saudara seperguruannya diam-diam banyak yang diam-diam menjuluki Liu Beng sebagai "Murid Terbaik yang ke Sebelas."
Tentu saja ada yang tidak senang, tapi yang tidak senang itupun tidak berani menantang Liu Beng secara terang-terangan, kuatir jangan-jangan malah kehilangan pamor seperti Kam Hun-siong.
Hari-hari lewat, dan Liu Beng semakin bersemangat menggembleng dirinya.
Hari- harinya dihabiskan dengan latihan bersama saudara-saudara seperguruannya, berlari-lari di lereng gunung, memukul dan menendang kantong pasir sehingga sekarang sepasang tangan dan sepasang kakinya merupakan empat buah palu godam yang sangat berbahaya.
Jurus-jurusnya pun semakin matang dan tidak lagi ngawur.
Si "kacung hina"
Dari Liu-keh-chung itu kini tak seorangpun berani meremehkannya lagi.
Ilmu silatnya sudah sejajar dengan Sepuluh Murid Terbaik, dan persahabatannya dengan puteri Ketua Ki-lian-pai semakin mendalam.
Kam Hun-siong yang sering menepuk dada sebagai "calon menantu Ketua Ki-lian-pai"
Itu kedudukannya semakin terancam.
Keinginannya untuk menyingkirkan Liu Beng jadi semakin mendesak, dan Kam Hun- siong tidak akan segan menggunakan cara apapun.
Dari depan atau dari belakang, tapi ia memilih dari belakang lebih dulu.
Pada suatu malam, ketika Liu Beng baru kembali dari ruang latihan di mana ia baru saja memukul kantong pasir duaribu kali, ia berjalan langsung ke kamarnya dengan pakaian basah oleh keringatnya.
Begitu ia masuk ke kamarnya, ia terkejut melihat Le Bun-hiang sudah berada dalam kamarnya.
Le Bun-hiang adalah seorang murid perempuan Ki-lian-pai yang kecantikannya, bentuk tubuhnya maupun gerak-geriknya bisa membuat kaum lelaki tergoncang imannya.
Kehadiran Le Bun-hiang di kamarnya membuat Liu Beng heran, apalagi pada malam hari.
Tempat tinggal murid-murid lelaki dengan murid-murid perempuan dipisahkan dinding yang tinggi, untuk menjaga, jangan sampai terjadi hal tercela yang bisa menodai nama perguruan.
Entah bagaimana Le Bun-hiang bisa menerobos sampai ke situ? Karena dalam urut-urutan murid-murid Ki-lian-pai Le Bun-hiang adalah kakak seperguruannya, maka Liu Beng lebih dulu memberi hormat sambil menyapa.
"Selamat malam, Le Suci. Ada keperluan apa Suci menemui aku?"
Sambil melepaskan kerlingan matanya yang memikat, Le Bun-hiang menjawab.
"Aku hanya ingin melihat bagaimana luka-lukamu setelah beberapa har yang lalu berkelahi dengan Kam Suheng. Aku membawakan obat- obat untukmu, Sute..."
"Luka-lukaku sudah baik, Suci. Yo Susiok sudah memberi aku obat-obatan lebih daki cukup. Terima kasih atas perhatian Suci."
Tapi Le Bun-hiang, telah bangkit dari duduknya dan dengan halus menarik Liu Beng untk duduk di kursi, suatu hal yang tak mungkin ditolak dengan kasar oleh Liu Beng.
Lalu jari-jarinya yang runcing dan berkulit lembut itu mulai membuka kancing-kancing baju Liu Beng satu demi satu.
Sesaat mata gadis itu menyala melihat otot-otot pundak lengan dan dada yang kekar penuh kejantanan itu.
Lalu matanya meredup kembali sambil berkata.
"Biarpun kau bersemangat berlatih silat, tapi jangan sampai mengabaikan kesehatanmu, Sute."
Liu Beng seakan berubah menjadi orang lumpuh dan bisu karena tidak tahu bagaimana harus menghadapi kakak seperguruannya yang sangat merangsang ini.
Tangan-tangan Le Bun-hiang dengan lembut membuka baju Liu Beng dan mulai mengelap keringat Liu Beng dengan sehelai handuk kecil.
"Obat yang diberikan oleh Yo Susiok tentu obat luka biasa saja. Tapi aku membawa obat yang lebih baik dari buatan Yo Susiok. Mari kuusapkan ke tubuhmu. Ih, Kam Suheng benar-benar keterlaluan..."
Di malam dingin dan sunyi, berdua dalam kamar dengan seorang gadis macam Le Bun-hiang tentu saja membuat pikiran Liu Beng mulai menyeleweng ke arah yang bukan- bukan.
Apalagi karena Le Bun-hiang nampaknya sengaja membangkitkan nafsu Liu Beng.
Sambil menggosokkan obat luka ke bagian depan tubuh Liu Beng, Le Bun-hiang menempelkan dadanya ke punggung Liu Beng dan tangannya melingkari tubuh kekar itu.
Jantung Liu Beng berdenyut tak karuan apalagi ketika ingat kenangan manis bersama Liu Giok-eng di Liu-keh-chung.
Bagaimanapun juga dia adalah seorang lelaki muda yang sehat jiwa dan raganya, bukan seorang pertapa yang sudah tidak menghiraukan rangsangan-rangsangan jasmaniah.
Ternyata bukan hanya Liu Beng yang semakin "terbakar", tapi juga Le Bun-hiang sendiri.
Ia sebenarnya sudah bukan seorang gadis lagi, sebab sudah berhubungan dengan beberapa lelaki termasuk Kam Hun-siong, namun tubuh yang sejantan Liu Beng belum pernah dilihatnya sehingga diapun mulai terangsang.
Napasnya memburu, tangannya seperti dua ekor lintah besar yang membelit kuat leher dan pundak Liu Beng.
Karena ia merasa Liu Beng tak bakal menolaknya, maka Le Bun- hiang dengan beraninya berkata.
"Aku ingin bersamamu malam ini, Liu Sute..."
Dengan sebelah tangannya sendiri ia lepaskan bajunya dengan trampil karena sudah terbiasa...
Tapi tindakannya itu justru membuat kesadaran Liu Beng muncul seperti kilat di benaknya yang sudah mulai keruh oleh nafsu.
Ia tiba-tiba teringat kepada kakak seperguruan perempuan lainnya yang amat dihormatinya, Auyang Siau-hong, dan sadar bahwa perbuatan nista dengan Le Bun-hiang akan berarti berkhianat terhadap Auyang Siau-hong.
Tiba-tiba Liu Beng mendorong tubuh Le Bun-hiang yang sudah setengah lanjang itu sehingga jatuh dari kursi.
Katanya gemetar.
"Jangan, Suci. Kita adalah murid-murid perguruan terhormat, dan harus menjunjung tinggi kehormatan itu..."
Namun Le Bun-hiang benar-benar sudah nekad. Begitu bangkit dari lantai, dengan tangkas ia sudah melepaskan semua pakaiannya sendiri dan tak tersisa selembarpun. Dengan rengekan yang menggoncangkan hati itu ia berkata.
"Biarpun murid-murid perguruan terhormat, namun kita adalah manusia biasa yang membutuhkan pengalaman ini untuk menyegarkan jiwa kita. Sute, jangan menunda lagi..."
Liu Beng memutar tubuhnya untuk membelakangi Le Bun-hiang.
Ia kuatir kalau menyaksikan tubuh kakak seperguruannya, pertahanan batinnya akan runtuh.
Sedangkan tanpa melihat, hanya melihat bayangan tubuh Le Bun-hiang di tembok, ia hampir tak bisa menguasai dirinya.
Dengan mengerahkan kekuatan batinnya, Liu Beng melangkah ke pintu untuk meninggalkan tempat itu.
Tapi ia masih kalah cepat, tubuh Le Bun-hiang tiba-tiba telah melekat di punggungnya dan memeluknya dari belakang.
Desah napasnya terasa di tengkuk Liu Beng "Hendak kemana, Sute? Kejam benar kau tinggalkan aku kedinginan di sini..."
Benar-benar ujian maha berat buat Liu Beng. Tubuh yang menempel punggungnya itu begitu halus, hangat dan kenyal, membuat darah Liu Beng mengalir cepat. Tapi ia masih sanggup berkata dengan nada yang tegar.
"Kalau Suci ingin di sini, silahkan. Aku akan numpang tidur di tempat Suheng Lim Siu-seng saja."
Betapa tersinggung Le Bun-hiang mendengar penolakan itu. Selamanya ia bangga akan kecantikan dan daya tariknya, tapi saat itu dia sampai sudah "banting harga"
Dengan mencopot semua penutup badannya, Liu Beng belum juga berhasil ditaklukkannya.
Sebenarnya ia disuruh Kam Hun-siong hanya untuk menjebak dan memfitnah Liu Beng, tapi nafsunya sendiri sudah terlanjur meloncat dan ingin bermain cinta lebih dulu.
Tetapi rencana yang tersusun rapi itu agaknya membentur batu karang.
Gagal mengajak Liu Beng, Le Bun-hiang langsung melangkah ke tahap berikutnya.
Tiba-tiba dia menotok pinggang Liu Beng sehingga Liu Beng lemas, lalu ia berteriak- teriak.
"Tolong... tolong... ada murid cabul!"
Teriakan itu menggema di malam sunyi.
Liu Beng hendak meronta tapi tenaganya sudah lenyap karena totokan tadi, dan tangan Le Bun-hiang telah melucuti celana Liu Beng sehingga ia tinggal memakai celana pendek saja.
Urutan kejadian berikutnya tidak masuk akal Liu Beng.
Sehabis reda teriakan Le Bun- hiang, mestinya ada suara orang yang berlari- lari datang lebih dulu.
Tapi yang ini tidak.
Begitu ada teriakan, begitu pintu didobrak dari luar dan Kam Hun-siong dengan beberapa teman-teman sekomplotannya sudah masuk dengan pedang terhunus.
Teranglah bahwa Kam Hun-siong sekalian sudah menunggu di sekitar kamar Liu Beng sejak tadi, seperti pemancing ikan yang dengan sabar menunggu umpannya dicaplok sang ikan.
"Apa yang terjadi?!"
Teriak Kam hun- siong dengan lagak marah. Le Bun-hiang menjawab sambil menangis terguguk-guguk.
"ToLonglah, Kam Suheng...kacung...hina ini...hendak memerkosa aku...hu-hu-hu..."
"Bohong! Bohong!"
Teriak Liu Beng membantah. Tapi ia bukan seorang yang pintar bicara, kecuali kedua kata "bohong"
Tadi, dia tidak bisa mengucapkan kata-kata lainnya karena marah dan gugupnya.
Jeritan Le Bun-hiang tadi telah membangunkan penghuni Ki-lian-pai yang rata-rata sudah tidur.
Orang-orang segera berdatangan dan berdesak-desaka merubung kamar Liu Beng, bukan saja untuk mengetahui apa yang terjadi, tapi juga untuk menonton Le Bun-hiang yang berjongkok di sudut tembok tanpa selembar benangpun di tubuhnya.
Dan kedua telapak tangan Le Bun-hiang sungguh sangat tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Apa yang terjadi?"
Ceng Sin-tong muncul pula di ruangan itu setelah menyibakkan orang-orang yang berjubel-jubel di pintu.
Matanya masih kelihatan mengantuk, namun darahnya berdesir ketika melihat Le Bun-hiang.
Kam Hun-siong menudingkan telunjuknya yang masih dibalut kain itu ke arah Liu Beng.
"Si pahlawan besar dari Liu- keh-chung itu agaknya merasa bahwa jasanya terlalu besar, sehingga berani berbuat apa saja yang dikehendakinya di perguruan kita yang tidak dipandangnya sebelah mata ini...."
"Bohong! Bohong!"
Lagi-lagi cuma perkataan itu yang meluncur dari mulut Liu Beng.
Namun alangkah sulitnya meyakinkan pendengar-pendengarnya, apalagi karena orang-orang sudah melihat celananya melorot...
Kerumunan menyibak sekali lagi.
Ketua Ki-lian-pai disertai anak isterinya dan beberapa sesepuh perguruan telah datang pula ke tempat itu, karena Kiang Hun-hou baru saja melaporkan adanya "pemerkosaan"
Dengan Liu Beng sebagai pelakunya. Munculnya Ketua Ki-lian-pai membuat Kam Hun-siong tidak berani terlalu banyak bicara lagi. Ia lebih mempercayakan kepada Le Bun-hiang yang diharap akan berperan cukup baik dalam "sandiwara"
Yang sudah digariskannya itu.
Melihat pakaian Liu Beng tidak beres, Ketua Ki-lian-pai dan para sesepuh mengerutkan keningnya, sedangkan Liu Giok- kiau dan Auyang siau-hong memalingkan muka ke arah lain dengan sikap canggung.
Apalagi melihat Le Bun-hiang yang masih meringkuk di pojok dengan sikap "menyesal"
Dan "sangat takut". Melihat kedatangan Auyang Peng-hong, Le Bun-hiang kembali mena- ngis dan meratap.
"Ciangbunjin (Ketua), aku mohon keadilan untuk diriku yang tak berdaya ini. Liu Beng hendak memaksa aku, menodai aku..."
Yang tertusuk hatinya adalah Auyang Siau-hong.
Selama ini ia telah merasa hatinya semakin dekat dengan Liu Beng, kagum kepada kejujuran dan kegagahan bekas kacung dari Liu-keh-chung ini.
Ia ingin tidak percaya, nyatanya keadaan di ruangan itu memperkuat tuduhan ke arah diri Liu Beng.
Tidak ada bukti lain yang meringankan.
Maka ruangan itu menjadi tegang menunggu keputusan Ketua Ki-lian-pai.
Tapi sebelum mengucapkan keputusannya, lebih dulu sang Ketua menyuruh Le Bun-hiang agar berpakaian dulu.
"Baiklah, Ciangbunjin,"
Sahut Le Bun- hiang dengan sikap seolah-olah sangat malu.
Tapi hatinya senang dan bangga bukan main, sebab ia tahu puluhan pasang mata lelaki sedang melihatnya seperti kucing kelaparan melihat ikan asin di atas meja.
Sebagai seorang perempuan yang mahir memikat lelaki, bahkan gayanya ketika memunguti pakaian dan memakainya itupun mampu membikin melotot para penontonnya, meskipun Le Bun-hiang melakukannya seolah- olah takut dan gugup.
Bahkan beberapa sesepuh Ki-lian-pai yang rambutnya sudah ubanan dan pipinya sudah kempot pun mendadak menyesal kenapa mereka bukan lagi anak-anak muda.
Mereka merasa kurang leluasa kalau melotot terang-terangan ke arah Le Bun-hiang, bisa menjatuhkan wibawa mereka.
Mereka menghadap ke arah lain, tetapi ujung mata mereka terus berusaha mengamati Le Bun- hiang sampai matanya terasa pegal, namun pemandangan luar biasa itu tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Le Bun-hiang selesai berpakaian dan para penonton lelaki sangat menyesal kenapa semuanya berlangsung begitu cepat.
**OZ** Bersambung ke
Jilid 09 Pojok Dukuh, 19-09-2018; 21.30 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 09
"CERITAKAN kejadiannya,"
Perintah ketua Ki-lian-pai kepada Le Bun-hiang.
Diselingi isak tangisnya, Le Bun-hiang mulai mendongeng.
Katanya ia baru saja kembali dari balik dinding yang memisahkan tempat tinggal bagian lelaki dan bagian perempuan, tahu-tahu Liu Beng muncul dan merayunya.
Karena ia menolak, Liu Beng lalu memaksanya, membekap mulutnya dan 'menggotongnya ke kamarnya.
Le Bun-hiang mengaku agak lambat berteriak minta tolong "karena takutnya."
Lalu cerita pun ditutup dengan tangisan yang begitu memilukan.
Kam Hun-siong puas sekali melihat sandiwara Le Bun-hiang, ia yakin kali ini Liu Beng tidak akan lolos dari perangkapnya.
Ketika Ketua Ki-lian-pai mengalihkan pandangannya kepada Liu Beng, buru-buru Liu Beng berlutut sambil menjawab.
"Apa yang dikatakan pela...eh, Le Suci itu tidak benar semuanya. Murid baru saja berlatih memukul se-pao di ruang latihan barat, dan ketika kembali ke kamar tahu-tahu Le Suci sudah di sini dan hendak merayu murid..."
"Bohong! Bohong!"
Le Bun-hiang meminjam kata-kata Liu Beng tadi untuk membantah.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Liu Sute, kau memfitnahku menganggap aku ini perempuan murahan yang tak tahu malu dan suka mengejar lelaki? Apalagi lelaki itu cuma seorang kacung hina seperti dirimu!"
Darah Liu Beng menggelegak mendengar ucapan yang menyakitkan hati itu.
Namun karena marahnya, ia malah seolah menjadi bisu.
Ribuan kata-kata hanya berjejal- jejal dalam tenggorokannya dan tidak ada satu pun yang mampu keluar lewat bibirnya.
Mukanya pucat dan merah padam berganti- ganti.
"Ada yang menjadi saksi mata tindakan Liu Beng?"
Tanya Auyang Peng-hong.
Dengan isyarat tak kentara, Kam Hun- siong memerintahkan salah seorang komplotannya untuk menjadi saksi palsu.
Murid itu bernama Suto Beng, termasuk dalam Sepuluh Murid Terbaik, sehingga ucapannya diharapkan akan lebih berbobot dari murid- murid biasa.
Suto Beng segera maju ke depan, memberi hormat kepada Ketua Ki-lian-pai dan berkata dengan gayanya yang mantap sekali.
"Ciangbunjin, tadi dari kejauhan memang aku secara tidak sengaja memang melihat Liu Sute bercakap-cakap dengan Le Sumoai di dekat dinding pembatas. Tadinya aku kurang menaruh perhatian, sebab aku enggan mencapuri percakapan yang mungkin bersifat sangat pribadi. Tak lama kemudian aku mendengar jeritan Le Sumoai dari arah kamar ini..."
Seperti disambar geledek ketika Liu Beng mendengar itu.
Selama ini hubungannya dengan Suto Beng cukup wajar, tidak terlalu akrab, juga tidak dingin.
Liu Beng menghormatinya sebagai kakak seperguruan, tak terduga sekarang Suto Beng tega memfitnahnya.
Lalu berturut-turut tampil pula beberapa orang yang menyatakan "melihat sendiri kejahatan Liu Beng", merekalah orang-orang yang sudah diberi hadiah oleh Kam Hun-siong.
Kini Liu Beng terjepit tidak bisa lolos lagi.
Kam Hun-siong bersorak kemenangan dalam hati, ia hampir pasti bahwa Liu Beng akan mendapat hukuman berat.
Dalam peraturan Ki-lian-pai, menodai seorang wanita baik-baik adalah kesalahan besar.
Bisa jadi Liu Beng akan dicacadkan sepasang tulang pundaknya, lalu tidak diakui lagi sebagai murid Ki-lian-pai.
Namun dalam keadaan terjepit macam itu, Liu Beng tidak ditinggalkan sendirian oleh sahabat-sahabat karibnya.
Lim Siu-seng segera maju ke depan dan berbicara.
"Ciangbunjin, kalau Liu Sute dihukum, maka Le Suci juga harus dihukum pula. Mungkin memang Liu Sute tergoda, tetapi selama ini siapa yang tidak kenal kegenitan Le Suci yang selalu berusaha memikat murid-murid lelaki? Liu Sute adalah lelaki biasa yang tentu punya kelemahan, seperti kita semua juga punya kelemahan serupa!"
"Benar! Benar!"
Beberapa murid mendukung keberanian sikap Lim siu-seng itu. Dari deretan belakang malah terdengar teriakan.
"Aku punya bukti Le Suci memang genit sekali!"
Ketua Ki-lian-pai segera berkata.
"Siapa yang bicara itu? Maju ke depan!"
Sesaat keadaan jadi sunyi, orang yang bicara di bagian belakang itu agak menyesal bahwa mulutnya tak terkendali.
Tapi ia tidak berani menolak perintah Ketua Ki-lian-pai, terpaksa ia maju ke depan dengan takut-takut.
Ia adalah seorang murid biasa bernama Ui Liang, mukanya penuh dengan jerawat yang besar-besar seukuran biji kedelai,termasuk salah seorang teman baik Liu Beng.
Tiba didepan ketua Ki-lian-pai ia tunduk kemalu-maluan tanpa bicara.
Melihat sikapnya itu, banyak orang menduga bahwa kesaksiannya tentu merupakan suatu cerita mesum.
"Kau tadi bilang bisa membuktikan kegenitan Le Bun-hiang,"
Kata Ketua Ki-lian- pai dengan wajah kereng.
"Coba ceritakan."
"Hal ini...rasanya kurang pantas dikatakan di sini..."
"Katakan saja. Semua yang melakukan pelanggaran peraturan perguruan hrus dibeber di muka orang banyak, agar pelakunya merasa malu dan yang lainnya tidak berani meniru kelakuannya. Ui Liang, aku perintahkan kau bicara sekarang juga!"
Ratusan jerawat hitam dan merah di wajah Ui Liang seakan hendak meltus semuanya karena tegangnya wajahnya. Tiba- tiba ia berlutut sambil berkata.
"Aku mohon ampun kalau ucapanku kurang pantas..."
"Ceritakan!"
"Pada suatu hari aku berpapasan dengan Le suci di lorong dekat penyimpanan kayu bakar, lalu...lalu...tanganku yang terkutuk ini meremas dada Le suci. Ternyata ia tidak marah, malah tertawa kepadaku..."
Beberapa murid menahan tertawanya kuat-kuat. Le Bun-hiang menggigit birnya. Beberapa sesepuh rupanya agak menyesal kenapa bukan mereka pelaku di lorong kayu bakar itu...
"Kau boleh mundur,"
Ketua Ki-lian-pai mengibaskan tangannya.
"Siapa lagi akan bicara?"
Tentu saja bukan Ui Liang melulu yang pernah gerayangan tangannya di tubuh Le Bun-hiang, tapi semuanya memilih tetap bungkam. Lalu Ketua Ki-lian-pai mengeluarkan keputusannya.
"Liu Beng dihukum dipecat dari keanggotaan Ki-lian-pai dan diusir."
Hati Liu Beng terasa tenggelam mendengar keputusan itu.
Berarti ia harus berpisah dengan Auyang siau-hong yang sudah melekat di hatinya, berpisah dengan sahabat- sahabat baik yang selama ini mengalami susah dan senang bersama-sama, kehilangan kesempatan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi di Ki-lian-pai.
Ia akan bergelandangan di dunia persilatan seperti seekor domba tersesat di padang belantara yang dihuni serigala-serigala kelaparan.
Auyang Siau-hong berkaca-kaca matanya, namun tetap membungkam.
Ia tahu keputusan ayahnya atas diri Liu Beng itu tidak mungkin bisa dirobah.
Sementara itu, Kiang Hun-hou yang sekomplotan dengan Kam Hun-siong itu telah berkata.
"Ciangbunjin, menurut peraturan perguruan kita pasal ke enambelas, kejahatan terhadap kehormatan serang wanita harus dihukum dicacadkan tangannya seumur hidup dan diusir dari Ki-lian-pai. Kenapa Liu Beng hanya diusir saja dan tidak dicacadkan? Kalau hukumannya seringan ini, tidakkah murid- murid lain akan tergoda untuk mencontoh tindakan biadabnya di kemudian hari?"
Lim Siu-seng juga berbicara.
"Tapi kesalahan tidak bisa sepenuhnya ditimpakan ke pundak Liu Beng, sebab..."
Ucapan terputus oleh Ketua Ki-lian-pai yang tidak memberi peluang kepada murid- muridnya itu untuk bertengkar.
"Peraturan harus dijalankan dengan menimbang kesalahan dan jasa si terhukum. Mengingat Liu Beng pernah berjasa mempertaruhkan nyawa membela Liu-keh-chung, ia tidak usah dicacadkan, cukup diusir saia. Untuk Le Bun- hiang, aku beri peringatan keras agar tidak menggunakan tubuh dan wajahmu untuk mengacau... Le Bun-hiang menangis kembali, namun banyak yang yakin bahwa tangisan itu cuma sandiwara saja. Sedang Li Beng berlutut dengan kepala tunduk. Sepatah-kata pun ia tidak menyahut, sebab ia sadar bahwa dirinya telah terjeblos sebuah perangkap yang sangat rapi, membantah bagaimanapun kerasnya tidak ada yang akan mempercayainya lagi.
"Hukuman mulai berlaku detik ini juga,"
Kata Ketua Ki-lian-pai dengan tegas.
Padahal saat itu sudah tengah malam lewat, itu berarti saat itu juga Liu Beng harus meninggalkan Ki-lian-pai.
Liu Beng merasa nasibnya sangat buruk, tapi ia tidak sudi minta ampun karena tahu pasti dirinya tidak bersalah.
Sekilas diliriknya Kam Hun-siong dan teman-temannya yang tersenyum dengan sikap para pemenang.
Dengan mulut bungkam, Liu Beng membenahi barang-barang miliknya yang hanya berupa dua helai baju kasar yang lusuh dan beberapa keping uang yang tidak cukup untuk makan tiga hari.
Sekali lagi ia memberi hormat kepada Ketua Ki-lian-pai, isterinya dan para sesepuh, melontarkan pandangan sedih ke arah Auyang siau-hong dan saudara- saudara seperguruannya yang selama ini bersahabat dengannya, lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Satu persatu orang-orang pun meninggalkan kamar Liu Beng itu untuk kembali tidur.
Kam Hun-siong sengaja bergerak paling akhir meninggalkan tempat itu.
Ia berbisik ke arah Le Bun-hiang tanpa terdengar orang lain yang sudah pergi jauh.
"Permainan sandiwaramu sungguh hebat. Kau bisa menjadi bintang panggung nomor satu di kekaisaran ini."
Le Bun-hiang tidak menangis lagi, malah dengan genit mencubit pinggang Kam Hun-siong sambil berkata.
"Tapi sepuluh tahil emas yang kau janjikan jangan lupa lho..."
"Tentu saja tidak lupa,"
Sahut Kam Hun- siong.
"Besok sore datanglah ke dekat air terjun di belakang gunung itu."
"Kenapa harus jauh-jauh di tempat itu?"
Le Bun-hiang pura-pura heran meskipun sebenarnya sudah paham maksud Kam Hun- siong.
"Sebab tempat itu sepi dan rumputnya tebal..."
"Ih!"
Le Bun-hiang mencubit lagi.
"Kalau sekarang saja bagaimana?"
"Malam ini, aku dan beberapa teman akan menyusul Liu Beng. Tapi kau jangan bilang siapapun."
"Kau hendak membunuhnya?"
"Betul. Itulah satu-satunya cara mencegah agar tidak ada kemungkinan dia kembali ke Ki-lian-pai lagi."
"Sayang, dia begitu tampan, gagah dan jantan..."
"Tapi ia harus mati. Nah, janga lupa besok sore di belakang gunung."
"Tapi kau jangan lupa minum obat kuatmu lebih dulu. Jangan seperti beberapa hari yang lalu, sebentar saja sudah loyo..."
Le Bun-hiang terkikik genit.
Lalu berjalan meninggalkan Kam Hun-siong yang menelan ludahnya.
**OZ** BAGIAN TUJUH Tidak lama setealah Liu Beng berjalan menembus malam yang gelap dan dingin meninggalkan gedung Ki-lian-pai dengan luka di hatinya, maka dari Ki-lian-pai muncul pula tiga sosok bayangan hitam yang keluar dari gedung dengan tingkah mirip maling.
Mereka keluar lewat pintu samping, berpakaian serba gelap, dan membawa pedang.
Setelah agak jauh dari gedung perguruan, barulah mereka berani berbicara.
Suara Kam Hun-siong terdengar.
"Ayo kita jalan lebih cepat sedikit. Jangan sampai kacung keparat itu terlepas..."
Sahut Kiang Hun- hou.
"Jangan secemas itu, tentu ia berjalan tidak terlalu cepat."
Ketiga orang itu adalah Kam Hun-siong, Kiang Bun-hou dan Suto Beng yang hendak mengejar dan melenyapkan sama sekali Liu Beng.
Mereka tidak rela Liu Beng sekedar diusir dari perguruan dan rusak namanya.
Bagi Kam hun-siong, selama Liu Beng masih hidup, biarpun di tempat yang jauh, rasanya masih ada sebutir pasir di pelupuk matanya.
Ia harus mengamankan cita-citanya menjadi menantu Ketua Ki-lian-pai dan kelak menggantikan Auyang Peng-hong sebagai Ketua.
Ketika itu Liu Beng tengah melangkah di jalan setapak dengan sedihnya.
Tapi ia tidak mendendam kepada Ketua Ki-lian-pai yang menghukumnya, malah berterima kasih karena ia sudah mendapat pelajaran silat selama empat bulan.
Pelajaran silat yang belum terlalu tinggi, tapi sudah merupakan kemajuan pesat dibandingkan ketika ia di Liu-keh-chung.
Ia maklum bahw Ketua Ki-lian-pai harus menjalankan peraturan perguruannya tanpa pandang bulu.
Namun betapapun sedih hatinya, ia melangkah ke depan dan menatap jalannya dengan pasti.
Hanya di depan ada harapan, biarpun harapun itu belum nampak, tapi ia yakin sedang menyongsong ke arah itu.
Malam yang gelap toh selalu disusul fajar yang cemerlang.
Baru saja ia sampai di kaki gunung Ki- lian-san, tiba-tiba didengarnya suara langkah kaki memburu di belakangnya.
Ia menoleh, dan melihat tiga sosok bayangan mendatanginya dengan pedang terhunus.
Jantung Liu Beng bergolak.
Biarpun malam gelap dan ia tidak bisa mengenali wajah pengejar-pengejarnya itu, namun potongan tubuh ketiga orang tiu ia sudah hafal.
Menuruti kemarahannya, ia ingin menghantam ketiga orang itu, tapi akal sehatnya memperingatkan bahwa ia yang tidak bersenjata itu tidak mungkin melawan Kam Hun-siong bertiga yang membawa pedang.
Satu-satunya jalan ialah mengambil langkah seribu.
Kam Hun-siong bertiga tidak membiarkan buruan mereka lolos, dengan nafsu embunuh yang meluap-luap, mereka pun mengejar.
"Jangan lari, bangsat cabul!"
Teriak Kiang Hun-hou.
"Tunjukkan keberanian dan kegagahan yang selama ini kau bualkan!"
Tapi Liu Beng tidak memperlambat langkahnya.
Kalau ia berhenti lalu melawan tiga batang pedang dengan tangan kosong, itu bukan tindakan gagah berani melainkan tindakan maha tolol.
Malah kini ia berlari sambil menyusup-nyusup pepohonan sehingga semakin sulit diburu Kam hun-siong bertiga.
Begitulah kejar mengejar berlangsung seru di dalam hutan.
Yang mengejar maupun yang dikejar sama gigihnya, sampai akhirnya terdengar Liu Beng mengaduh perlahan karena kakinya tersandung akar pohon besar yang menonjol di tanah.
Lalu Kiang Hun-hou berteriak.
"Kemari! Aku sudah menemukan bangsat itu!"
Dengan menggertak gigi, Liu Beng berusaha bangun untuk lari kembali, namun pergelangan kakinya yang tersandung akar pohon tadi terasa nyeri sekali.
Sementara langkah kaki pengejar-pengejarnya semakin dekat.
Dalam kedudukan terjepit, semangat juang Liu Beng berkobar.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biarpun harus mati, tapi harus melawan sekuat tenaga lebih dulu, jangan dibantai mentah-mentah begitu saja.
Dalam kegelapan, tangannya menggeragap ke sekitarnya dan ditemukannya sepotong kayu panjang seukuran lengannya sendiri.
Senjata darurat itu digenggamnya erat-erat untuk menantikan musuh-musuhnya.
Nyeri yang berdenyut-denyut di pergelangan kakinya tidak digubris.
Begitu melihat sesosok bayangan muncul di dekatnya, kayunya terayun menghantam kaki orang itu.
Orang itu bukan lain adalah Kiang Hun-hou, ia menjerit kesakitan dan roboh.
Lalu Liu Beng tambahkan lagi satu gebukan yang membuat Kiang Hun- hou entah pingsan entah mampus.
Tapi gerakan Liu Beng memberi petunjuk bagi musuh-musuhnya.
Suto Beng segera menikam dari arah tak terduga yang langsung melukai pundak Liu Beng, meskipun yang diincar pedangnya sebenarnya jantung Liu Beng.
Demikianlah, di tengah hutan itu terjadi pertempuran satu lawan dua.
Sebatang kayu panjang melawan dua batang pedang saling menyambar di tengah kegelapan.
Kadang- kadang terdengar Kam Hun-siong atau Suto Beng mengaduh apabila mereka dikenai kayu Liu Beng.
Di lain saat Liu Beng lah yang berdesis menahan sakit kalau ujung-ujung pedang lawan-lawannya menggores badannya, biarpun tidak telak namun membuat darahnys terus menetes sehingga melemahkan tubuhnya.
Makin lama Liu Beng makin sering dikenai.
Betapapun hebat kemajuan silatnya selama empat bulan belakangan, tetapi lawannya adalah dua orang dari Sepuluh Murid Terbaik Ki-lian-pai.
Namun sambil menggertak gigi, Liu Beng melawan terus dengan gigih.
Lebih sedetik hidupnya bisa diperpanjang, sedetik pula ia akan berjuang untuk itu.
Tangannya yang menggerakkan kayu panjang itu sudah pegal, pandangannya sudah mulai kabur dan luka-luka di kulitnya terasa pedih karena terkena keringat.
Ketika Liu Beng berhasil menangkis sebuah tikaman Suto Beng, justru tendangan Kam Hun-siong menyelonong dari arah lain dan mengenai telak pinggangnya.
Saat itu Liu Beng terhuyung, maka Kam Hun-siong dan Suto Beng berbareng melancarkan sergapan mematikan.
"Sekali ini mampuslah aku,"
Pikir Liu Beng tak berdaya.
Namun nasibnya masih terhitung baik, mendadak muncul pula seorang menolongnya.
Sesosok bayangan melompat keluar dari balik pohon, dan hanya dengan sepasang tinjunya yang digerakkan berturut-turut, Kam Hun- siong dan Suto Beng berhasil dipaksa mundur teratur dengan rasa kaget.
Terdengar bayangan hitam itu membentak kedua murid Ki-lian-pai itu dengan garang.
"Minggatlah kalian! Jangan menunggu sampai kesabaranku habis dan aku pecahkan kepala kalian sampai berantakan!"
Tapi Kam Hun-siong tidak gampang digertak begitu saja.
"Siapa kau? Kau berani mencampuri urusan murid-murid Ki-lian-pai?"
Sengaja ia menonjolkan nama perguruannya untuk balas menggertak orand tak dikenal itu. Orang itu tertawa dingin.
"Hem, hanya murid Ki-lian-pai saja berani jual lagak di hadapanku, Bahkan Ketua kalian, orang she Auyang itu, juga tidak aku takuti!"
Lalu dengan gerakan yang nampaknya acuh tak acuh saja, ia hantamkan telapak tangannya ke sebatang pohon yang batangnya sebesar paha manusia dewasa.
Dengan suara gemuruh hebat, pohon itupun patah batangnya dan ambruk.
Itulah kekuatan pukulan yang bahkan tidak semua sesepuh K-lian-pai memilikinya.
Terpaksa Kam Hun-siong dan Suto Beng mengeloyor pergi dengan menggotong tubuh Kiang Hun-hou.
Mereka tidak berani bercuit lagi di hadapan musuh yang begitu lihai.
Setelah orang-orang Ki-lian-pai itu lenyap dari pandangan, Liu Beng segera memberi hormat kepada penolongnya,"Terima kasih atas pertolongan tuan.
Kalau aku boleh tahu, siapa nama tuan yang mulia?"
Tak terduga sang penolong itu ternyata bersikap tidak ramah sama sekali.
"Tidak usah berterima kasih, nanti setelah kau lihat mukaku pasti kau akan berbalik sangat membenciku. Aku juga tidak menolongmu dengan cuma-Cuma..."
Liu Beng memang terkisap mendengar suara itu. Suara yang bernada kebencian dan permusuhan itu rasa-rasanya memang pernah didengarnya, tapi ia lupa di mana dan kapan... Sementara orang itu berkata lagi.
"Gulungan kulit kuno milik Liu Hok-tong itulah yang aku minta sebagai imbalan pertolonganku tadi. Kalau kau menolak, aku bisa menyiksamu lebih keji dari murid-murid Ki-lian-pai tadi."
Sudah berbulan-bulan Liu Beng melupakan gulungan kulit yang menjadi pangkal malapetaka di Liu-keh-chung, dan kini ia mendengarnya lagi ada orang yang masih saja mencari-carinya.
Gulungan kulit yang palsu yang ada padanya itu sudah lama dibakarnya karena dianggap tak berguna lagi, sedang yang asli entah di mana sejak tewasnya Liu Tek-san.
Karena itu Liu Beng memutar otak untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap orang itu.
"Cepat serahkan!"
Bentak orang itu.
"In-kong (tuan penolong), tidak ada salahnya aku bicara terus terang kepadamu karena aku berhutang budi atas pertolonganmu tadi. Menjelang runtuhnya Liu-keh-chung, memang benar Chungcu Loya menyerahkan gulungan kulit kepadaku sebagai pembantu kepercayaannya. Tapi itu hanya benda palsu, tujuannya tak lain hanya untuk menyesatkan arah orang-orang yang mencari benda yang asli."
"Lalu yang asli di mana?!"
"Yang asli diserahkan kepada Siauya Liu Tek-san, aku melihatnya sendiri Liu Tek-san mati di Liu-keh-chung tanpa diketahui siapa pembunuhnya, dan gulungan asli itupun ikut lenyap tanpa jejak."
Si bayangan hitam itu menggeram kecewa, tapi keterangan Liu Beng tidak ditelannya mentah-mentah begitu saja.
"Liu Beng, kau kira aku ini anak kecil yang begitu gampang kau bohongi? Lebih baik jangan bicara berbelit-belit supaya kesabaranku tidak habis. Kau kira pihak kami tidak tahu bahwa sebelum Liu Hok-tong mati, dia sering bicara secara rahasia denganmu? Hayo serahkan benda itu!"
Diam-diam Liu Beng mengeluh dalam hati, alangkah sulitnya membuat percaya orang-orang atau pihak-pihak yang sudah terlanjur diamuk nafsu serakah, ingin memiliki barang yang bukan haknya.
"Aku benar-benar tidak tahu..."
Nampaknya si bayangan hitam itu benar-benar habis kesabarannya, tiba-tiba ia melompat maju dan menotok jalan darah Kui- jong-hiat di dada Liu Beng. Dan Liu Beng segera merasakan akibatnya bukan kepalang sampai ia menjerit dan bergulingan di tanah.
"Di mana?! Jawab! Kau pasti tahu sebab kau adalah orang kepercayaan Liu Hok-tong, bahkan kau lebih dipercaya dari cucu laki- lakinya yang manapun juga, jangan kau kira aku tidak tahu hal itu!"
Waktu itu Liu Beng semakin mengenal suara orang itu, dan ia seolah bermimpi karena tidak mempercayai pendengarannya sendiri ? Benarkah orang itu? Kalau benar, alangkah menakutkannya dunia ini, rasanya tak seorangpun lagi yang pantas dipercayai...
"Aku...benar-benar... ti-.. tidak ta...hu..."
Sahut Liu Beng sambil menggelosor- gelossor di tanah karena sakitnya.
"Jangan keras kepala, bangsat kecil! Aku bisa membebaskan kau dari siksaan, tapi bisa juga memperberat siksaan sampai berkali lipat. Jawabanmu menentukan nasibmu sendiri!"
Tapi karena benar-benar tidak tahu, Liu Beng tetap saja menjawab tidak tahu.
Sebaliknya si Tuan Penolong yang sekarang telah berubah menjadi Tuan Penyiksa itu tidak kepalang kejamnya.
Ia terus menyiksa Liu Beng dengan totokan-totokannya.
Di kegelapan hutan itu terdengarlah rintihan Liu Beng yang mengenaskan.
Beberapa kali Liu Beng tak sadarkan diri karena tak tahan lagi, tapi setiap kali pula orang itu menyadarkannya hanya untuk disiksa dan ditanyai lagi.
Menjelang fajar, Liu Beng bukan cuma setengah mati, tapi tiga perempat mati.
Tapi jawaban-jawabannya tetap saja membuat kecewa si bayangan hitam.
Si bayangan hitam semakin kalap, suatu saat ia begitu gemasnya sampai kedua tangannya mencengkeram wajah Liu Beng sehingga kulit wajah itu terasa pedih.
"Kau mau menjawab dengan benar atau tidak?! Atau mesti kuhancurkan mukamu?!"
Geramnya sengit sekali. Saat itu Liu beng merasa seolah kulit wajahnya hampir robek, mendadak dari pinggir hutan terdengar langkah-langkah kaki dan suara seseorang.
"Losam, rasanya suara rintihan tadi berasal dari sekitar sini..."
Lalu suara jawaban.
"Betul. Jangan- jangan ada teman kita yang kepergok musuh, mari kita lihat!"
Suara langkah itu kian dekat.
Si bayangan hitam yang menyiksa Liu Beng semalam suntuk itu buru-buru hendak menyembunyikan Liu Beng, tapi Liu Beng lebih dulu berteriak untung-untungan, siapa tahu yang datang itu adalah orang baik hati yang hendak menolongnya.
"He, aku di sini!"
Belum lenyap gema suara Liu Beng, dua sosok bayangan telah meluncur datang bagaikan terbang, dan sekejap saja sudah tiba di hadapan orang berkedok hitam itu.
Yang satu bertubuh agak pendek namun berotot gempal, memakai paju pendek dan topi bulu seperti dandanan orang Mongol, di ikat pinggangnya terselip sebatang kampak bertangkai pendek dan sebatang belati.
Satunya lagi seorang berusia setengah abad namun masih tampan, berjubah seperti sastrawan dengan potongan yang bagus, tangannya memegang sehelai kipas hitam.
Orang yang ke dua ini meskipun kelihatan selalu tersenyum-senyum, namun sinar matanya dingin dan kejam, membuat senyumannya itu tidak mempermanis wajahnya, sebaliknya malah menggidikan hati siapapun yang melihatnya.
Ketika mengenal wajah kedua pendatang baru itu, Liu Beng menyesal bahwa tadi ia telah berteriak memanggil.
Memang ia mengharap penolong, tapi bukan kedua orang yang sudah dikenalnya sebagai gembong- gembong Hek-eng-po tu.
Mereka adalah Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai yang dulu mempelopori serangan terhadap Liu-keh- chung.
Pepatah "lolos dari mulut macan disambut mulut buaya"
Agaknya masih kurang untuk menggambarkan nasib Liu Beng hari itu. Mestinya.
"dari mulut serigala, ke mulut macan, lalu ke mulut buaya"
Dan entah ke mulut apa lagi...
Waktu itu hari sudah hampir pagi dan agak terang.
Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai juga tercengang ketika mengenal Liu Beng yang tergeletak di rerumputan.
Ong Sek-lai menggamit pundak Ho Yu-yang dengan tangan kiri dan menuding Liu Beng dengan kipas di tangan kanannya.
"Eh, bukankah itu si kacung Liu-keh-chung yang dulu berhasil lolos dari kita gara-gara ikut campurnya bangsat kecil Kiong Eng itu?"
"Betul. Kabarnya ia menjadi murid Ki- lian-pai. Kini kita tidak usah susah-susah lagi menggerebek Ki-lian-pai, ringkus saja dia sekarang dan tanyai di mana benda yang kita ingini!"
Kedua pentolan Hek-eng-po itu bicara seenaknya sambil tertawa-tawa, seolah-olah Liu Beng hanyalah barang di atas meja yang tinggal diambil saja.
Orang berkedok yang menjaga di samping Liu Beng itu dianggap enteng sama sekali.
Orang berkedok itupun menggeram marah sambil mencabut pedangnya.
Katanya.
"Hem, selama aku ada di sini, jangan harap bisa membawa Liu Beng!"
Pela-pelan Ho Yu-yang pun melolos sepasang senjata yang terselip di pinggangnya.
"Eh, manusia yang tak berani menampakkan muka, kau berani menentang Hek-eng-po? Siapapun dirimu, menentang Hek-eng-po sama dengan bosan hidup!"
Tapi si manusia berkedok tidak ingin mundur sedikitpun.
Sudah lama ia mendambakan gulungan kulit yang konon berisi pelajaran silat tingkat tinggi dan keterangan tentang benda itu akan didapatkannya dari mulut Liu Beng.
Sementara Ong Sek-lai juga telah menggertak.
"Nah, daripada harus bermusuhan dengan Hek-eng-po, serahkan kacung itu kepada kami!"
Dan tanpa minta ijin lagi, segera ia mendekati Liu Beng dan sudah mengulurkan tangannya untuk mencengkeram tubuh Liu Beng. Tapi ia buru-buru menarik tangannya ketika pedang orang berkedok itu berkelebat membabat ke tangannya.
"Eh, berani melawan?"
Teriak Ong Sek- lai. Sahut si rang berkedok "Hek-eng-po tidak membuatku gentar sedikitpun. Kalianlah yang harus minggat dari depanku!"
Begitu ucapan orang itu selesai, Ong Sek-lai telah melipat kipas besinya dan mengayunkan mendatar ke pinggang orang itu dengan gerakan Heng-sau-jian-kn (Menyapu Seribu Prajurit).
Sungguh luar biasa bahwa kipas yang nampaknya ringan itu ketika digerakkan telah menimbulkan suara menderu hebat.
Dengan tangkas orang berkedok itu menarik kakinya selangkah mundur, namun pedangnya balas menikam dengan gerakan secepat patukan ular, memaksa Ong Sek-lai mundur dengan kaget.
"Ha, kiranya ilmu pedang Ki-lian-pai!"
Serunya ketika mengenali jurus pedang orang berkedok tadi. Ho Yu-yang yng melihat dari samping juga berteriak pula.
"Bagus, kiranya Lam-ih- kiam-khek (Jago Pedang Berbaju Biru) Auyang Peng-hong juga suka main sembunyi-sembunyi di balik kedok. Auyang Ciangbunjin, buka saja kedokmu, kami sudah tahu!"
Liu Beng yang masih tergeletak lemah di rerumputan itu terkejut mendengat seruan kedua pentolan Hek-eng-po itu.
Benarkah orang berkedok yang telah menyiksanya semalam suntuk dengan cara keji itu adalah Ketua Ki-lian-pai yang dihormati dan dihargainya? Bukankah tadi orang berkedok itu menggertak Kam Hun- siong dan Suto Beng dengan mengatakan "tidak takut kepada Ketua Ki-lian-pai"? Ataukah kata-katanya tadi cuma untuk berpura-pura di hadapan murid-muridnya sendiri? Jika benar orang berkedok itu adalah Ketua Ki-lian-pai, kepada siapa si lemah bisa berlindung, kalau tempat berlindungnya ternyata adalah sarang serigala berbulu domba? Orang berkedok itu berdiri termangu- mangu dan menghentikan serangannya.
Ia merasa agak di luar dugaan bahwa sejurus ilmu pedangnya tadi dapat ditebak oleh kedua pentolan Hek-eng-po itu.
Sadarlah ia bahwa kedua orang Hek-eng-po itu cukup lihai matanya, namun orang berkedok itu tetap yakin bisa membunuh kedua tokoh Hek-eng-po itu demi menutup rahasianya.
Perlahan-lahan tangan kirinya terangkat ke wajahnya untuk membuka kedoknya sendiri.
Liu Beng menatapnya dengan tegang.
Mengharap wajah di balik kedok itu bukanlah wajah tokoh yang dikaguminya seperti dewa yang berhati emas, ayah dari gadis yang menghuni hatinya.
Tapi hati Liu Beng terbanting hancur luluh ketika melihat kedok itu telah terbuka, ternyata benar-benar Auyang peng-hong.
Ketua Ki-lian-pai yang sehari-harinya berwajah agung dan berwibawa itu, kini tampangnya sama menakutkannya dengan tampang serigala rakus.
Auyang Peng-hong sendiri sudah bertekad bahwa di tengah hutan itu Ho Yu- yang, Ong Sek-lai dan Liu Beng harus dibunuhnya semua karena telah mengetahui kejahatannya.
Tapi Liu Beng akan dibunuhnya paling akhir, setelah menyebutkan di mana gulungan kulit kuno.
Setelah mendapat gulungan itu, Auyang Peng-hong akan diam- diam mempelajari ilmu silat dalam gulungan itu, sambil tetap memakai kedoknya sebagai seorang pendekar yang terhormat di dunia persilatan.
Pedang di tangan Auyang Peng-hong teah terangkat dan bergetar, siap menjadi alat dari nafsu membunuhnya.
Tetapi Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai juga tidak gentar, biarpun mereka sadar bahwa melawan Ketua Ki-lian-pai itu bukan pekerjaan ringan.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menantu Liu Hok-tong itu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Liu Hok-tong sendiri, namanya cukup dikenal di dunia persilatan.
Sesaat tempat itu diliputi suasana tegang, tiga manusia dengan senjata-senjata terhunus sudah siap saling bantai demi memperebutkan Liu Beng.
Ketiganya sama- sama tidak berani melakukan langkah gegabah yang bisa membahayakan diri sendiri.
Liu Beng melihat dengan tegang pula, namun diam-diam ia mengerahkan kekuatan dirinya sendiri dan menanti peluang untuk kabur.
Ia akan biarkan ketiga orag itu bertempur dulu, saat itulah ia berbarap ada kesempatan menyelamatkan dirinya.
Siapapun pemenang pertarungan itu nanti, nasib dirinya akan sama saja.
Disiksa dan ditanyai sesuatu yang ia sendiri tidak tahu jawabannya.
Sementara Auyang Peng-hong telah membuka pertempuran dengan jurus Tan- hong-tiau-yang (burung hong sendirian menghadap matahari) ke leher Ho Yu-yang.
Ketika lawan menghindar mundur, dengan ganas Ketua Ki-lian-pai mengejarnya dengan gerakan Pek-ho liang-ci (bangau putih membuka sayap) untuk menikam pinggang lawan.
Ketangkasannya sebagai jago pedang ternama memang tidak mengecewakan.
Dari samping, Ong Sek-lai telah menerjang.
Kipasnya dengan jurus Cun-lui-ce- tong (guntur meledak di musim semi), sesuai namanya, seperti musim semi yand indah namun mendadak guntur meledak dengan hebatnya.
Permainan silat kipas biasanya lembut dan halus, atau lincah, namun Ong Sek-lai justru memperagakan jurus jurus yang keras dan garang.
Kipasnya itu terbuat dari besi pilihan yang tidak takut rusak biarpun berbenturan dengan golok atau toya besar.
Cepat Auyang Peng-hong memutar badan sambil memalangkan pedangnya, untuk menahan kipas Ong Sek-lai, sementara kakinya menendang ke siku tangan Ong Sek- lai.
Ketangkasan Ketua Ki-lian-pai itu memang luar biasa, tapi kedua lawannya pun bukan jagoan-jagoan kelas kambing.
Kalau bertempur satu lawan satu, baik Ho Yu-yang maupun Ong Sek-lai tak akan bisa mengalahkan ketua Ki-lian-pai.
Tapi mereka maju berbareng, Ketua Ki-lian-pai harus sangat waspada menghadapi sepasang saudara angkat bekas begal di gurun pasir itu.
Begitulah, bersamaan dengan menyorotnya sinar matahari pagi yang sinarnya menerobos daun-daunan di hutan, pertempuran satu lawan dua itu semakin sengit.
Ilmu pedang Ki-lian-pai memang pantas disejajarkan dengan ilmu-ilmu pedang ternama lainnya.
Begitu Ketua Ki-lian-pai mengumpulkan semangatnya dalam gerakan pedangnya, maka tubuhnya seakan terbungkus bayangan pedangnya yang menari-nari seperti selendang perak.
Kadang-kadang bayangan pedangnya sepert seekor ular yang membelit dan mematuk dengan cepatnya, di lain saat bergerak lurus dan garang seperti tubrukan seekor harimau tutul, atau menderu seperti prahara.
Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai, harus menghadapi ilmu pedang yang dahsyat ini dengan sungguh-sungguh, tanpa boleh lengah sekejap pun.
Menghadapi Auyang peng-hong tidak sama dengan menghadapi Liu Hok-tong dan jago-iago keluarga Liu lainnya yang hanya menjagoi di wilayah kecil sekitar kota Lok- yang.
Sebaliknya Ketua Ki-lian-pai tidak kalah waspadanya.
Ho Yu-yang memainkan kampak pendek dan pisau belatinya dengan amat lihai.
Dua senjata yang berbeda gaya permainannya, tetapi dimainkan oleh Ho Yu-yang seolah ia punya dua otak di kepalanya.
Kampak adalah senjata berat yang bertenaga, gerakannya keras tanpa memerlukan tipu-tipu yang rumit, semuanya serba langsung dan kuat.
Sedang belati adalah senjata berbobot ringan yang dimainkannya dengan lincah penuh tipu gerak yang beraneka ragam.
Tapi kedua gaya itu dimainkan berganda pasangan dan sangat berbahaya.
Sedang Ong sek-lai berkelahi sesuai dengan wataknya yang berangasan.
Ia menyergap dan menerkam seperti serigal buas.
Tipu-tipu permainan kipas besinya bukan saja membingungkan, tapi juga keji bukan main.
Pada suatu ketika, Auyang Peng-hong menubruk Ho Yu-yang dengan gerakan Pek- bok-ki-siau (rajawali menyambar), sambil melompat tinggi, ujung pedangnya meluncur ke tenggorokan lawan.
Ho Yu-yang menyilangkan kedua senjatanya dan diangkat ke atas untuk menangkis.
Tapi serangan pedang musuh rupanya hanya pancingan, sebab sepasang kaki Ketua Ki-lian-pai mendadak menendang beruntun dalam keadaan tetap mengapung di udara.
Tendangan pertama hanya berhasil mengenai pangkal lengan Ho Yu-yang yang menyebabkan lengannya pegal, tapi tendangan ke dua biarpun tidak sekuat yang pertama mengenai dada Ho Yu-yang.
Ho Yu-yang terpental ke belakang dan punggungnya menubruk pohon.
Wajahnya pucat, meskipun tidak sampai luka dalam, namun dadanya serasa sesak dan matanya berkunang-kunang.
Namun di saat Ketua Ki-lian-pai hendak mengirim sebuah serangan penghabisn, Ong Sek-lai secara nekad menyerbu dari samping untuk menyelamatkan nyawa kakak angkatnya itu.
Kipas besinya bagaikan segumpal mega hitam yang menyam-bar ke kepala Ketua Ki- lian-pai.
"Bangsat, rupanya kau ingin mampus lebih dulu!"
Auyang Peng-hong merendahkan diri dan menyabetkan pedangnya.
Pedang dan kipas besi sama-sama meluncur tak terkendali ke sasarannya masing-masing, agaknya Ong Sek-lai dan Ketua ki-lian-pai akan gugur bersama.
Ong Sek-lai akan robek perutnya, namun Ketua Ki-lian-pai akan retak kepalanya terhantam kipas besi.
Detik terakhir mendadak Ketua Ki-lian- pai memiringkan tubuhnnya, sehingga hanya pundaknya yang terhantam kipas besi.
Ia merasakan seolah-olah sebungkah batu padas sebesar anak kerbau dijatuhkan ke pundaknya, membuat ia cerhuyung.
Tapi berbareng dengan itu ia rasakan darah yang hangat menyemprot membasahi pakaiannya, sebab pedangnya berhasil merobek perut Ong Sek-lai dengan telak.
Ong Sek-lai roboh tewas, sebelumnya sampat berteriak kepada Ho Yu-yang, Jiko! Mintalah Pocu (majikan benteng) membalaskan sakit hatiku..."
Ho Yu-yang menjawab.
"Ki-lian-pai akan menyesal karena sudah membuka permusuhan berdarah dengan Hek-eng-po!"
Habis berteriak demikian, ia terus kabur menyusup hutan.
Auyang Peng-hong hendak mengejar dan membunuh Ho Yu-yang sekalian agar tidak menjadi bibit penyakit di kemudian hari.
Tapi kejarannya tertunda ketika melihat Liu Beng sudah lenyap dari tempatnya, akhirnya dia memilih untuk lebih dulu mencari Liu Beng daripada mengubar Ho Yu-yang.
Namun yang membuatnya penasaran dan tak habis mengerti ialah ketika sekian lama belum juga berhasil diketemukannya Liu Beng.
Padahal ia tahu tubuh Liu Beng sudah lemah, kakinya juga sudah cedera, tidak mungkin bisa berjalan jauh.
Tapi nyatanya hutan itu sudah diperiksanya dan Liu Beng tetap lenyap seolah ditelan bumi.
Terpaksa sambil menggerutu dia pulang ke gedung Ki-lian-pai, meninggalkan mayat Ong Sek-lai sebagai hadiah untuk binatang- binatang liar.
Sejak itu Ketua Ki-lian-pai sangat rajin meningkatkan ilmu silatnya, sebab hidupnya sudah dibayangi dua hal yang membuatnya tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan.
Pertama, ia sudah membunuh orang Hek-eng- po.
Kedua, Liu Beng tentu masih hidup namun entah di mana.
**OZ** BAGIAN DELAPAN Propinsi Se-cuan di bagian barat wilayah kekaisaran Manchu adalah sebuah tempat yang subur, sering dijuluki Propinsi Gudang Beras.
Tapi karena menjadi gudang beras, maka tempat itu yang menjadi ajang perebutan apabila terjadi pertempuran.
Siapa yang menguasai Se-cuan, pasukannya akan terjamin dari bidang perbekalan.
Pek-ma Tok-heng (Pengembara Tunggal Berkuda Putih) Kiong Eng, yang nama aslinya sebenarnya Pakkiong Eng, kini sudah berada di sebuah jalan besar di wilayah Se-cuan.
Kiri kanannya adalah sawah-sawah yang terbentang luas, dan tubuh para petani nampak terbungkuk-bungkuk di tengah lautan pohon padi.
Mereka kelihatan tidak lebih besar dari boneka-boneka milik Pakkiong Eng yang ditinggalkan di rumahnya di Pak-khia.
Namun kini Pakkiong Eng bukan gadis cilik lagi.
Teman-temannya bukan lagi boneka dan layang-layang, melainkan pedang yang tergendong di punggungnya, panah dan busur yang tergantung di pelana kudanya, dan kuda putihnya sendiri yang diberi nama Hui-soat, si Salju Terbang.
Dan di pundaknya terpikul tugas penting, mencari Pangeran Ke Empat In Ceng yang lolos dari Istana.
Empat bulan ia menjelajahi propinsi Ou- lam, Hun-lam dan Kui-ciu, dan jejak Pangeran In Ceng belum juga ditemukannya.
Akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke Se-cuan, untuk menemui Ketua Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api) Tong Lam-hou yang berdiam di puncak Tiau-im-hong, salah satu dari duabelas puncak terkenal pegunungan Bu-san.
la berharap, Ketua Hwe-liong-pang akan mau membantunya, sebab Ketua Hwe-liong-pang adalah sahabat ayahnya sejak sama-sama masih muda.
Ayahnya dijuluki Naga Utara dan Ketua Hwe-liong-pang itu disebut Harimau Selatan.
Dua jago tua yang konon di jaman itu hanya bisa ditandingi oleh Pun-bu Hweshio, jago tua di kuil Siau-lim-si.
Karena kuil Siau- lim-si terletak di gunung Siong-san di Propinsi Ho-lam, sedang gunung itu disebut juga Tiong- gak (gunung tengah), maka ada orang-orang yang berolok-olok Naga Utara dan Harimau Selatan mestinya dilengkapi dengan Keledai Tengah.
Keledai gundul adalah olok-olok untuk kaum hweshio, dan Pun-bu Hweshio yang sakti itu adalah seorang hweshio.
Naga, Harimau dan Keledai....
Sambil menikmati suasana makmur sepanjang jalan, diam-diam Pakkiong Eng berpikir.
"Belasan tahun yang lalu, ketika Peng-se-ong Bu Sam-kui memberontak, pemberontakannya bisa bertahan agak lama antara lain karena dia menguasai Se-cuan ini sebagai daerah perbekalannya. Dia bahkan berhasil merebut Hengciu dan menjadikan dirinya Kaisar di sana. Untung kemudian Kheng Cin-ti-ong dan Siang Ci-sin menarik dukungannya kepada Bu Sam-kui, sehingga pemberontakannya pun berhasil ditumpas dan kekaisaran tetap utuh sampai sekarang. Kalau ia berhasil, negeri ini tentu sudah terpecah- belah, Bu Sam-kui tidak akan cukup berwibawa untuk mengatasi kekuatan-kekuatan yang bersaingan di kekaisaran. Mungkin negeri ini sudah jatuh ke tangan orang-orang kulit putih seperti nasib negeri-negeri di selatan. Pikirannya melayang sampai ke urusan politik, Pakkiong Eng sadar bahwa tugasnya mencari dan menemukan Pangeran In Ceng itupun termasuk urusan politik. Diam-diam dia berharap agar dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, dengan demikian ia puas dapat menyumbangkan tenaga bagi kekaisarannya. Tengah Pakkiong Eng berkuda sambil melamun, tiba-tiba dari arah depan muncul dua orang penunggang kuda berbaju hitam yang langsung menyongsong ke arahnya. Keduanya berpakaian ringkas hitam, usianya pun sebaya, kira-kira empat puluh tahunan. Yang satu membawa sepasang Gun-goan-pai (perisai berpinggiran tajam) yang digantungkan di pelana kuda. Satu lagi mengempit toya panjang Ce-bi-kun yang terbuat dari perunggu. Begitu tiba dihadapan Pakkiong Eng, kedua penunggang kuda itu langsung menghentikan kuda mereka, lalu serentak memberi hormat sambil menyapa.
"Apakah aku berhadapan dengan nona Pakkiong Eng?"
Pakkiong Eng tidak heran bahwa dirinya langsung diketahui oleh orang-orang itu, karena kudanya yang berbulu putih dan juga pakaiannya yang serba putih itu terlalu menyolok.
Namun yang diherankan bahwa mereka langsung mengenalinya sebagai seorang gadis bernama Pakkiong Eng, sedang dia mengembara dengan menyamar sebagai lelaki yang bernama Kiong Eng.
Namun dengan melihat dandanan kedua penghadangnya, itu, Pakkiong Eng tah bahwa merekalah anggota-anggota Hwe-liong-pang.
Ayahnya pernah bercerita bahwa orang Hwe- liong-pang sukaa berpakaian hitam-hitam, dan memiliki delapa orang jagoan yang berpangkat Tongcu (kepala regu).
Kini dengan memperhatikan ciri-ciri kedua penghadangnya itu, Pakkiong Eng yang cerdas segera bisa menebak siapa kedua orang itu.
Diapun membalas penghormatan mereka.
"Memang, aku Pakkiong Eng. Hwe- liong-pang benar-benar hebat, sehingga langsung tahu kehadiranku di wilayah Se-cuan ini, pantas ayahku selalu memuji cara kerja kalian yang rapi."
Salah seorang penghadang itu, yang pinggangnya dibelit kain berwarna kuning, tertawa dan menjawab.
"Ayah nona tentunya terlalu memuji saja. Perkenankanlah kami memperkenalkan diri kami..."
Tapi ucapan itu ditukas oleh Pakkiong Eng sambil tertawa.
"Paman ini tentunya Ui-ki Tongcu (kepala regu bendera kuning) Yu Leng- hua, dan paman yang satu lagi itu tentu Hek-ki Tongcu (kepala regu bendera hitam) Lamkiong San yang berjulk Jian-li-hui-eng (elang terbang seribu li). Tebakanku tidak keliru bukan?"
Kedua jago Hwe-liong-pang itu tercengang karena Pakkiong Eng berhasil menebak dengan tepat. Sesaat mereka bertukar pandangan, lalu tertawa berbareng. Lamkiong San yang bertubuh agk kurus dan berjenggot seperti kambing itu berkata.
"Kecerdasan nona sungguh mengagumkan. Tidak mengecewakan nona menjadi puteri Ciangkun (Panglima) Pakkiong Liong..."
"Bukan karena kecerdasanku, paman berdua, tetapi karena paman-paman sudah terkenal. Siapa yang tidak kenal Delapan Jago Utama Hwe-liong-pang? Dan paman berdua termasuk dalam delapan jago itu..."
"Nona membuat kami berdua tua bangka ini menjadi besar kepala"
Kata Yu Leng-hua.
"Kalau nona tidak berkeberatan, kami boleh tahu tujuan nona?"
"Aku menuju ke Tiau-im-hong untuk menghadap Ketua Hwe-liong-pang. Selain untuk menengok keselamatan beliau, juga untuk menyampaikan salam dari ayah".
"Kalau begitu, Ketua kami agaknya tidak salah tebak. Ketua memang mengirim kami berdua untuk menyongsong nona dan membawa dengan aman sampai ke Tiau im- hong"
"Ketua kalian terlalu memperhatikan aku, aku sangat berterima kasih. Tetapi apakah keadaan tidak aman?"
"Sejauh ini tenang-tenang saja, tetapi kami harus berjaga-jaga. Jangan sampai nona sebagai tamu Hweliong-pang mendapat kerepotan di tengah jalan".
"Terima kasih. Aku jadi merepotkan paman berdua".
"Tidak apa-apa, nona. Di wilayah Se- cuan ini, biarpun ada seekor jangkrik melompat dari daun satu ke daun lainnya, kami bisa mengetahuinya..."
Pakkiong Eng tertawa.
"Apalagi jangkriknya sebesar aku, ya?"
Maka Pakkiong Eng pun melanjutkan perjalanan ke Tiau-im-hong dengan dikawal kedua jago Hwe-liong-pang itu.
Diam-diam ia berterima kasih kepada Ketua Hwe-liong-pang yang begitu memperhatikan keselamatannya.
Sudah sepuluh tahun lebih Ketua Hwe-liong- pang tidak mengunjungi ayahnya di Pak-khia.
Kunjungan yang terakhir kali, Pakkiong Eng ingat bahwa Ketua Hwe-liong-pang mengajak seorang anak laki-laki tanggung yang nakalnya bukan main, yang diperkenalkannya sebagai puteranya.
Waktu it Pakkiong Eng masih gadis cilik berumur sepuluh tahun, dan bermain-main beberapa hari dengan bocah tanggung yang bernama Tong Gin-yan itu.
Ingin Pakkiong Eng menanyakan tentang Tong Gin-yan kepada Yu Leng-hua atau Lamkiong San, tapi tertahan oleh rasa malunya sebaga seorang gadis.
Sepuluh tahun telah lewat dan kini tentunya Tong Gin-yan bukan lagi seorang anak tanggung, dirinya sendiripun bukan gadis kecil yang merengek-rengek minta ditangkapkan jangkrik atau kupu-kupu.
ia tersenyum sendiri mengingat yang terjadi dulu.
Karena kurang leluasa menanyakan Tong Gin-yan, maka Pakkiong Eng lebih dulu bertanya tentang Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou dan isterinya.
"Paman berdua, selama ini baikkah kesehatan paman dan bibi Tong?"
Yang menjawab Lamkiong San.
"Pangcu baik -baik saja. Biarpun pipa tembakaunya tak pernah terpisah dari tangannya tapi kesehatannya baik sekali. Pang Hujin juga baik-baik saja"
Sebenarnya Pakkiong Eng mengharap kedua teman seperjalanannya itu menyebut-nyebut tentang Tong Gin-yan sebelum ditanyakan, tapi kedua orang itu tidak nenyebut-nyebutnya sama sekali.
"Apakah keluarga lainnya juga dalam keadaan baik-baik saja?"
Akhirnya Pak- kiong Eng nekad bertanya. Ketika Yu Leng-hua dan Lamkiong San tertawa berbareng, merahlah pipi Pak- kiong Eng karena malu, merasa bahwa kedua orang tua itu sudah tahu arah pertanyaannya.
"Maksud nona, Kongcu Tong Gin-yan? Diapun baik-baik saia, meskipun sering membikin pusing ayah ibunnya...."
"Masih suka.. menangkap jangkrik? tanya Pakkiong Eng.
"Belakangan ini dia sedang sibuk..."
Yu Leng-hua nampak ragu-ragu melanjutkan jawabannya. Lalu Lamkiong San yang melanjutkannya sambil tertawa,"...sibuk berburu elang".
"Berburu elang?"
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, elang hitam."
Berburu elang hitam.
Kata-kata itu bisa diucapkan sambil tertawa ringan namun pelaksanaannya pasti menempuh bahaya yang tidak sedikit.
Pakkiong Eng tahu yang dimaksudkan elang hitam itu tentunya adalah orang-orang Hek- eng-po.
Timbul perasaan cemas dalam hatinya akan keselamatan Tong Gin-yan, sebab ia pun pernah bertempur dengan "elang-elang hitam"
Dan tahu betapa tangguhnya mereka.
"Jadi saat ini Tong Gin-yan tidak ada di Tiau-im-hong?"
"Sudah dua bulan lebih Kongcu memburu orang-orang Hek-eng-po, untuk itu tentu saja harus meninggalkan Tiau-im hong, bahkan harus memburunya keluar dari wilayah Se-cuan ini, sebab elang-elang hitam itu tidak berani menampak kan batang hidung mereka di kawasa ini...."
Ucapan Lamkiong itu bukan suatu kesombongan. Betapun besar nyali "elang hitam"
Itu, mereka tentu tidak berani mendekati sarang "naga-naga api"
Yang garang itu.
Hwe-liong-pang di Se-cuan adalah kekuatan persilatan yang sama diseganinya dengan Siau-lim-pai di Ho-lam dan Bu-tong-pai di Ho-pak.
Sepanjang perjalanan ke Tiau-im-ong, Pakkiong Eng membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.
Sepanjang jalan sering dijumpainya anggota-anggota Hwe-liong-pang, baik yang secara menyolok berdandan pakaian hitam-hitam, maupun yang menyamar dalam berbagai bentuk seperti petani atau pedagang di kota-kota.
Ucapan "seekor jangkrik yang melompat pun tidak lepas dari pengamatan Hwe Long-pang"
Agaknya bukan bualan belaka.
Selain itu, Hwe-liong-pang juga berpengaruh, tetapi tidak ditakuti, sebab rakyat jelata menganggap orang-orang Hwe-liong-pang sebagai sahabat-sahabat baik mereka.
Pakkiong Eng melihat sendiri bahwa tentara kekaisaran pun segan kepada Hwe ong-pang, sebaliknya rakyat tidak menyembunyikan rasa persahabatan mereka terhadap Hwe-liong-pang.
"Kalau aku kembali ke Pak-khia kelak, aku akan minta ayah mengusulkan agar Hongsiang mengangkat Paman Tong Lam-hou sebagai Sunbu (Gebernur) di Se-cuan, pasti rakyat akan sejahtera", kata Pakkiong Eng sambil tertawa. Yu Leng-hua dan Lamkiong San tertawa pula, mereka tahu bahwa kata-kata Pakkiong Eng itu hanya bercanda saja namun mereka merasa bangga juga sebab itulah pujian terhadap Hwe-liong-pang.
"Pangcu selalu menanamkan pengertian kepada kami, bahwa Hwe-liong-pang bukanlah sebuah menara gading tempat tinggalnya dewa-dewa yang kakinya tidak menginjak bumi", kata Lamkiong San "Tapi kami adalah saudara rakyat. Rayat tertawa, kita ikut tertawa. Rakyat menangis, Hwe-liong-pang ikut menangis. Kami bukan saja melindungi rakyat dengan pedang-pedang kami, tetapi juga menyingsingkan lengan baju kalau rakyat Se-cuan membangun bendungan, mengg saluran air, memperbaiki jalan-jalan..."
Pakkiong Eng jadi lebih paham kenapa ayahnya mengagumi Ketua Hwe-liong-pang.
Sikap Hwe-liong-pang itu agak berbeda dengan kebanyakan kelompok persilatan yang mengutamakan berlatih silat agar mendapat nama dan mengungguli kelompok lain.
Kehormatan perguruan atau kelompok lebih diutamakan dari kesejahteraan bersama, sangat ahli membabat leher atau menikam jantung, tapi canggung dan enggan menolong sesama.
Hwe-liong-pang juga tidak peduli yang duduk di atas tahta orang Han atau orang Manchu, yang penting bagaimana pemerintahannya? Rakyat sejahtera atau idak? Biarpun dipimpin Kaisar bangsa Han seperti jaman Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng, kalau negeri kacau-balau dan berantakan, apa gunanya darah Han yang mengalir di tubuh sang Kaisar? Biarpun Kaisar Khong-hi yang bertahta masa itu adalah seorang Manchu, tapi pemerintahannya mampu mensejahterakan rakyat, apakah harus berontak? Mengobarkan perang itu cukup dengan ulah beberapa orang sinting, tapi memadamkannya lah yang susah.
Pakkiong Eng, Yu Leng-hua dan Lamkiong San beristirahat semalam di kota Seng-toh, ibukota propinsi Se-cuan.
keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke Tiau-im-hong, dan menjelang sore maka pegunungan Bu-san dengan puncaknya yang berderet-deret sudah tampak di depan mata.
Pakkiong Eng segera diantar naik salah satu puncak yang bernama Tiau- hong, disitu markas Hwe-liong-pang, namun bukan di puncaknya melainkan hanya naik beberapa ratus langkah dan sudah tiba di markas yang megah itu.
Kalau markas kelompok persilatan yang lain kelihatan angker, maka di markas Hwe-liong-pang kesan itu tidak ada.
Orang- orang yang berpakaian seperti penduduk desa, hilir mudik di pintu markas itu.
Mereka memang orang-orang desa, ada yang minta pengobatan, tapi kebanyakan menyumbangkan bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan kepada Hwe-liong-pang.
Tidak ada kesan terpaksa.
Malah seorang desa menuntun empat ekor kambing gemuk untuk diberikan kepada Hwe-liong-pang.
Melihat itu semua, Pakkiong Eng diam- diam membatin.
"Paman Tong benar-benar berhasil memimpin anak buahnya untuk menyatu dengan rakyat. Inilah kelebihan Hwe- liong-pang dari kelompok-kelompok persilatan lainnya."
Pakkiong Eng lewat sebuah ruangan di mana banyak orang-orang desa yang menderita sakit sedang diobati oleh anggota- anggota Hwe-liong-pang yang kebetulan ahli pengobatan.
Lalu masuk ke ruangan lebih dalam lagi, di mana belasan anggota Hwe- liong-pang sedang beratih sillat dengan macam-macam senjata.
Anggota-anggota Hwe-liong-pang itu agak heran melihat seorang "pemuda"
Yang sangat tampan berjalan masuk diantar oleh Yu Leng-hua dan Lamkiong San. Tapi mereka tidak bertanya kecuali mengangguk hormat kepada kedua Tongcu itu. Sambil berjalan lewat sebuah kebun sayuran di bagian dalam markas, Pakkiong Eng bertanya.
"Paman berdua, sejak tadi, yang kulihat dari Delapan Tongcu hanyalah paman- paman saja, ke mana perginya enam Tongcu lainnya?"
Sahut Lamkiong San.
"Keenam rekan yang lain mengemban tugas yang sama dengan Kongcu Tong Gin-yan, yaitu menylidiki gerak-gerik orang-orang Hek-eng-po supaya pihak Hwe-liong-pang dapat segera memutuskan sikap terhadap mereka. Kabar kejahatan mereka sudah terdengar di mana- mana, tapi Pangcu ingin menyelidiki lebih dulu sebelum turun tangan."
Pakkiong Eng mengangguk dan tidak bertanya lagi. Merekapun tiba di sebuah ruang yang sederhana tetapi amat rapi. Di sini Yu Leng- hua berkata.
"Nona Pakkiong, silahkan menunggu sebentar. Duduklah. Kami berdua akan melaporkan kepada Pangcu tentang kedatangan nona."
Sambil menunggu di ruangan itu, Pakkiong Eng meresapi benar suasana tenang tempat itu, ditambah lagi dengar sejuknya udara pegunungan Bu-san yang mengalir lewat jendela-jendela.
Diam-diam ia merasakan alangkah jauh bedanya dengan suasana kota Pak-khia yang senantiasa ribut itu.
Seorang anggota Hwe-liong-pang datang membawa semangkuk teh yang di letakkan di meja disamping tempat duduk Pakkiong Eng dengan sikap hormat, lalu berlalu kembali.
Tak lama kemudian dari balik tirai bambu yang menutup ruang itu dengan ruang belakangnya terdengar langkah kaki dua orang, dan muncullah Ketua Hwe-liong pang Tong Lam-hou, didampingi isterinya yang berdarh Manchu namun berpakaian seperti wanita Han, To Li-hua, yang nampak agak gemuk.
Cepat Pakkiong Eng berdiri dan memberi hormat.
"Aku menyampaikan salam hormat kepada paman dan bibi Tong."
Tong Lam-hou tertawa dan berkata.
"Sepuluh tahun aku tidak melihatmu A-eng. Gadis cilik yang suka memanjat pohon untuk menangkap burung itu sekarang adalah Pengembara Tunggal Berkuda Putih yang menggetarkan dunia persilatan...ha-ha...
"
Pakkiong Eng tersipu-sipu mendengar itu.
"Paman hanya berolok-olok saja, apa artinya Pengembara Tunggal Berkuda Putih itu dibandingkan Ketua Hwe-liong pang si Harimau Selatan..."
"Duduklah. Bagaimana keadaan ayah dan ibumu di Pak-khia? Juga paman-pamanmu yang lain seperti Ha To-ji da Han Yong-kim?"
"Ayah dan ibu baik-baik saja, da menitipkan salam untuk paman dan bibi. Sambil berbicara, Pakkiong Eng mengamat-amati ketua Hwe-liong-pang yang terkenal ini. Rasanya tidak bertambah tua sejak dilihatnya sepuluh tahun yang lalu. Itulah seorang lelaki berusia setengah abad, memakai jubah kelabu dari akin kuat murahan, rambutnya sudah diselang-seling warna putih, jenggot dan kumisnya terpotong pendek sehingga memberi kesan agak kasar, namun sepasang matanya lembut, secara keseluruhan kelihatan segar bugar. Tangannya memegang pipa tembakau yang tiap kali dihirupnya dan dilepskan asapnya, sementara di pinggangnya tergantung kantong tembakau terbuat dari anyaman kulit. Sungguh tampang orang kampung yang amat sederhana dan orang akan sulit percaya bahwa dialah salah satu dari tiga jago puncak dunia persilatan jaman itu. Diam-diam Pakkiong Eng membandingkan dengan ayahnya sendiri. Ayahnya juga segagah Ketua Hwe-liong-pang ini, usianya sebaya pula, namun kepala ayahnya sudah hampir penuh dengan uban putih. Itu bisa dimengerti, sebab ayahnya adalah Panglima Hui-liong-kun Pasukan Naga Terbang, orang dekatnya Kaisar Khong-hi, terlibat dalam jalannya roda pemerintahan, sehingga rambuthya jauh lebih cepat memutih dari Ketua Hwe-li-ong-pang yang hidup tenteram di Tiu-im-hong.
"Syukurlah kalau ayah ibumu sehat- sehat saja,"
Kata Tong Lam-hou setelah mengisap nikmat pipa tembakaunya.
"Bagaimana pula dengan paman- pamanmu lainnya, Han Yong-kim dan Ha To- ji?"
Nama-nama yang ditanyakan itu adalah perwira-perwira Pasukan Naga Terbang yang bersahabat baik dengan Tong Lam-hou sejak muda, sebab sewaktu muda ia pernah juga menjadi seorang perwira berpangkat Cong- peng. **OZ** Bersambung ke
Jilid 10 Pojok Dukuh, 20-09-2018; 04.30 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 10 PAKKIONG ENG menarik napas dan menjawab.
"Enam tahun yang lalu paman Han yong-kim gugur dalam pertempuran di Laut Kuning ketika menghadapi armada Jepang yang dibantu orang-orang Portugis..."
"Ah!"
Tong Lam-hou berseru perlahan. Sedangkan Pakkiong Eng meneruskan.
"Tiga tahun kemudian, paman Ha To-ji juga gugur, ketika ia dan pasukannya terlibat pertempuran di pinggir sungai Amur untuk membendung tentara Kozak Rusia yang hendak menerjang ke seberang sungai. Tubuhnya berlubang oleh sepuluh peluru lebih, namun tentara musuh berhasil dipaksa balik ke seberang sungai Amur kembali..."
"Ah, sahabat-sahabatku yang gugur secara perkasa...,"
Keluh Tong Lam-hou seorang diri.
"kalian sudah memberikan yang terbaik buat kejayaan kekaisaran dan aku enak-enak saja hidup tenang di sini..."
Yang bersedih bukan saja Tong Lam- hou, tetapi juga To Li-hua, sebab Han Yong- kim dan Ha To-ji adalah sahabat-sahabat masa mudanya pula. Kini ia mendengar sahabat- sahabat itu sudah tiada.
"Mereka sudah menetapi sumpah prajurit mereka,"
Desis To Li-hua.
"0leh orang-orang macam merekalah maka kekaisaran jaya..."
Pakkiong Eng lah yang kemudian berkata menghibur.
"Paman bukannya tidak berbuat apa-apa terhadap kekaisaran, jasa paman pun sampai sekarang masih diingat oleh Kaisar. Ketika paman dengan mengorbankan diri berhasil mendamaikan Hwe-liong-pang dengan pemerintah kekaisaran di Liong-pwe-nia dulu. Sekarang pun paman sudah berbuat banyak di propinsi Se-cuan, karena berbakti kepada kekaisaran tidak harus dengan pedang. Rakyat Se-cuan yang sangat menghormati Hwe-liong-pang adalah buktinya."
"Ah, yang kulakukan tidak seberapa dibandingkan dengan paman-pamanmu Han Yong-kim dan Ha To-ji, apalagi ayahmu sendiri...
"kata Tong Lam-hou.
"Tapi sudahlah, jangan membicarakan hal-hal yang menyedihkan. Kau tentu lelah setelah berjalan jauh, bibimu akan menunjukkan tempat untukmu."
Sebenarnya Pakkiong Eng ingin segera membicarakan tugas yang dibebankan ayahnya ke pundaknya, mencari Pangeran In Ceng, namun karena merasa waktunya di Tiau-im- hong masih cukup banyak, maka ia merasa tak perlu terburu-buru menyampaikan persoalan itu.
Malam harinya, sempat diadakan perjamuan kecil-kecilan oleh Ketua Hwe-liong- pang dan isterinya untuk menjamu Pakkiong Eng.
Ikut hadir dalam perjamuan kecil itu Yu Leng-hua dan Lam-kiong San, dua dari Delapan Jago Utama Hwe-liong-pang.
Percakapan dalam perjamuan itupun masih berkisar hal-hal ringan membuat Pakkiong Eng tetap tidak sempat menyampaikan persoalannya.
Namun keesokan harinya, Pakkiong Eng memberanikan diri menemui Ketu Hwe-liong- pang, ketika tokoh itu sedang berada sendirian di ruangan kitabnya.
"Maaf, aku mengganggu paman.
"
Kata Pakkiong Eng setelah berdiri di ambang pintu.
"Tapi aku membawa sebuah soal penting dari ayah yang ingin kusampaikan kepada paman."
"Sudah aku duga kedatanganmu tentu bukan hanya membawa salam hangat dari ayahmu,"
Sahut Tong Lam-hou sambil tertawa.
"Duduklah..."
Pakkiong Eng memilih tempat duduk yang agak berjauhan dari pamannya itu karena tidak tahan bau asap tembakau yang terus- terusan mengepul dari mulut pamannya itu.
"Sekali lagi aku minta maaf bahwa urusan yang hendak kusampaikan ini akan mengganggu ketenteraman paman..."
"Jangan ulangi lagi kata-kata itu, kau seperti menghadapi orang luar saja, padahal antara aku dan ayahmu sudah hampir seperti saudara kandung saja. Aku justru gembira kalau ayahmu masih ingat kepadaku, mau membagi beban persoalannya kepadaku, supaya akupun tidak menjadi penganggur saja di gunung yang sunyi ini. Nah, katakan..."
"Baiklah, paman, Urusan ini menyangkut tegak atau runtuhnya kekaisaran ini, sehingga aku merasa tidak mampu memikulnya seorang diri, dan terpaksa harus minta bantuan paman."
"Tegak dan runtuhnya kekaisaran?"
Sepasang alis Ketua Hwe-liong-pang yang kelabu itu bergerak-gerak seperti dua ekor ulat yang menempel di jidatnya.
"Benar, paman Pangeran Ke Empat telah menghilang dari istana. Sebenarnya ini kejadian beberapa tahun yang lalu, pihak istana merahasiakan agar ini tidak bocor keluar dinding istana Tapi ayah merasa gelisah, juga dan menyuruh aku untuk berkelana mencari jejak Pangeran Ke Empat..."
"Pangeran In Ceng?"
"Ya, paman."
Sesaat ruangan kitab itu sunyi oleh ketegangan, beberapa kali Tong Lam-hou menghembuskan asap tembakaunya sehingga ruangan itu seolah-olah berkabut. Diam-diam Pakkiong Eng menggerutu dalam hati. Lalu terdengar suara Tong Lam-hou.
"Aku kenal baik siapa ayahmu, ia tidak akan gelisah hanya oleh persoalan-persoalan sepele. Tapi kalau ia sampai gelisah oleh hilangnya Pangeran In Ceng dari istana, tentu kegelisahannya itu beralasan."
"Menurut kata ayah, lolosnya In eng dari istana sama saja dengan lolosnya seekor macan buas dari kurungan. Ia adalah seorang Pangeran yang sangat berambisi menggantikan Kaisar yang sekarang, ayah kuatir ambisinya itu akan membuat In Ceng melakukan tindakan yang membahayakan keutuhan kekaisaran."
"Ya, ayahmu tentu tidak sekedar mengada-ada. Ia adalah saudara sepupu kaisar, dekat dengan kalangan istana, sehingga tentu sanggup menilai dengan tepat pula keenambelas orang putera Kaisar dengan watak mereka masing-masing. Ayahmu tidak bercerita tentang sebabnys In Ceng kabur dari istana?"
"Kata ayah, mula-mula In Ceng bertengkar dengan kakaknya, Pangeran Ke Satu In Si yang bergelar Tit-hun-ong. Ia tidak puas karena mendapat teguran ayahandanya. Lalu bertengkar lagi dengan Permaisuri Tek- huai, ditegur lagi oleh ayahandanya. Yang terakhir, ia merasa ayahandanya terlalu pilih kasih, terlalu menganak-emaskan Pangeran Empatbelas In Te yang diberi kekuasa besar di bidang ketentaraan. Sedang In Ceng merasa dirinya lebih tua tapi malah tidak mendapat kedudukan apa-apa. Ia merasa seisi istana tidak menyukainya, lalu meninggalkan istana tanpa pamit. Yang dikuatirkan ayah ialah kalau perginya In Ceng itu membawa dendam hatinya yang keras."
Tong Lam-hou mengangguk-angguk.
"Memang berbahaya kalau dugaan ayahmu jadi kenyataan. In Ceng bisa saja mengumpulkan kekuatan di luar istana, untuk merebut tahta dengan kekerasan. Tapi kalau demikian maka pangeran-pangeran lain pun tidak akan tinggal diam dan negeri ini akan terjerumus kancah perang saudara..."
"Apa yang paman katakan tepat benar dengan yang pernah ayah katakan."
"Tapi itu baru dugaan bukan?"
"Ya, baru dugaan. Lebih baik lagi alau Pangeran In Ceng menyadari kekeliruannya sendiri, sehingga ketenangan negeri ini tidak perlu terguncang."
"Jadi apa bantuan yang kau harapkan dari Hwe-liong-pang?"
"Mudah-mudahan paman mau memerintahkan anak buah Hwe-liong-pang yang tersebar di mana-mana kalau saja menjumpai jejak Pangeran In Ceng..."
Lalu Pakkiong Eng menyebutkan ciri-ciri tubuh dan wajah Pangeran yang hilang itu. Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tentu saja aku bersedia. Bukan saja karena hubungan pribadi dengan ayahmu, tapi karena urusan apapun yang menyangkut kepentingan orang banyak adalah urusan Hwe- liong-pang kami. Dan setelah menemukan In Ceng, apakah harus ditangkap dan digusur ke Ibukota Kekaisaran?"
"Rasanya belum perlu, sebab pangeran itu belum terbukti melakukan apapun yang bertentangan dengan undang-undang kekaisaran. Cukup diawasi saia gerak-geriknya secara diam-diam, kalau ada tingkah lakunya yang mencurigakan, biar ayah saja yang mengatasinya dalam kedudukannya sebagai Panglima."
"Baik."
"Aku berterima kasih sekali untuk bantuan paman yang berharga..."
"Jangan berkata begitu. Ayahmu pun membuatku merasa berharga dengan mengajakku ikut dalam urusan ini. Itu artinya dia masih memandangku sebagai sahabatnya."
Demikianlah, Pakkiong Eng merasa hatinya setengah lega karena sudah mendapat janji bantuan Ketua Hwe-liong-pang.
Baru setengah lega, sebab Pangeran 'In Ceng sendiri belum diketemukan jejaknya, dan belum diketahui apa yang tengah dilakukannya di persembunyiannya.
Saat itulah tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari luar.
"Siapa?"
Tanya Tong Lam-hou.
"Pangcu, aku Cu Tiat-ho dari Pek-ki- tong (regu bendera putih) hendak melapor..."
Suara dari luar nenyahut. Pek-ki-tong adalah bagian dari Hwe- liong-pang.
"Masuk."
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pintu dibuka dan seorang anggota Hwe- liong-pang yang berpakaian hitam dan bersabuk warna putih melangkah masuk dan memberi hormat.
"Pangcu, seorang utusan dari Keluarga Sebun di Se-an ingin bertemu Pangcu..."
Tong Lam-hou segera bangkit dari duduknya, namun ia masih berkata kepada Pakkiong Eng.
"Kau tunggu di sini, A-eng, aku hanya sebentar menemui suruhan Keluarga Sebun itu. Paling-paling ia hanya menyampaikan undangan tentang Pibu (pertandingan silat) untuk tahun ini. Nanti aku masih ingin berbicara banyak denganmu tentang banyak hal, terutama perkembangan keadaan di pusat pemerintahan..."
"Baik, paman."
"Kau boleh membaca buku apapun di ruangan ini. Tidak ada yang dirahasiakan di sini..."
"Terima kasih, paman.
"
Lalu Tong Lam- hou diikuti anggota Hwe-liong-pang itupun keluar meninggalkan ruangan itu.
Selama ditinggal sendirian, Pakkiong Eng memperhatikan isi ruangan itu, ada ribuan kitab yang tersimpan di situ dan diam-diam ia kagum kepada Ketua Hwe-liong-pang.
Kitab- kitab yang tersimpan di situ bukan hanya tentang ilmu silat, tetapi tentang ketata- negaraan, sejarah, filsafat, pengobatan, sastra, agama, ilmu alam dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Ada juga buku catatan ilmu silat hasil tulisan Ketua Hwe-liong-pang sendiri, meskipun tadi Ketua Hwe-liong-pang sudah mengatakan "tidak ada rahasia"
Namun Pakkiong Eng merasa tidak enak membuka catatan pribadi tentang ilmu silat, meskipun hatinya tertarik.
Baru saja ia membuka-buka sebuah buku tentang sejarah, tahu-tahu Ketua Hwe- liong-pang sudah muncul kembali, dengan wajah yang tetap santai.
Tembakau di mulut pipanya agaknya sudah diganti tembakau baru dengan asapnya yang mengepul tebal.
Dalam hati Pakkiong Eng mendoakan agar tembakau itu cepat terbakar habis, yang di dalam kantong cadangan pun mudah- mudahan sudah kosong.
Pakkiong Eng mengembalikan buku yang dipegangnya ke tempat semula dan bertanya.
"Apakah tamu dari keluarga Sebun sudah pulang, paman?"
"Ya, Utusan itu hanya memberitahukan aku bahwa Pun-bu Hweshio di Siong-san untuk tahun ini bersedia menjadi tuan rumah Pibu, waktunya adalab pertengahan tahun nanti. Aku langsung menyetujuinya tanpa bertele-tele..."
"Keluarga Sebun itu apakah dari Se-an, yang bernama Sebun Him dan berjuluk Se-him Taihiap (Pendekar Besar Beruang Barat)?"
"Benar, setahun sekali kami bertiga, yaitu aku sendiri, Pun-bu Hwesio dan Sebun Him mengadakan pertemuan yang kami istilahkan sendiri Pi-bu. Namun Pi-bu kami bertiga jangan diartikan secara kasar dimana kami bertiga adu jotos untuk merebut kemenangan. Bukan begitu, Kami bertiga hanya membicarakan tentang ilmu silat, kadang-kadang berbicara sambil minum teh dan makan kacang, dan kalau perlu barulah memperagakan jurus-jurus yang sedang kami bicarakan. Kami saling mengasah dan mempertajam pegetahuan kami tentang silat dengan cara itu. Maklumlah, pekerjaan orang- orang menganggur..."
"Alangkah mengasyikkannya. Dan tuan rumahnya tentu bergantian antara markas Hwe-liong-pang, rumah keluarga Sebun dan Siong-san, begitukah?"
"Nah, kau cukup pintar juga". Siapa pemenang-pemenang dari Pi-bu tahun-tahun yang lalu?"
"Sudah aku katakan, Pi-bu kami bertiga tidak dalam pengertian biasa, lebih tepat dikatakan kami bertiga hanyalah berkongkow- kongkow selama empat lima hari untuk membicarakan imu silat. Karena itu tidak ada pemenang dan tidak da pecundang. Kami berkumpul, berbicara dalam suasana bersahabat dan kadang-kadang diselingi adu jurus beberapa gebrak, lalu berpisah lagi dengan suasana santai pula untuk bertemu tahun depannya lagi."
"Menyenangkan sekali. Seandainya ayah tidak sibuk membantu kaisar dengan roda pemerintahan, tentu ayah suka sekali acara semacam itu..."
"Ah, pertemuan itu hanya untuk orang- orang kurang pekerjaan seperti pamanmu ini. Oh, ya, sudah lama aku terasing di wilayah barat ini, aku ingin mendengar bagaimana keadaan Pak-khia sekarang?"
"Dilihat dari lur, baik-baik saja..."
"Kenapa hanya dilihat dari luar?"
"Karena di seputar istana sebenarnya terjadi gejolak perebutan pengaruh. Putera- putera Kaisar Khong-hi sudah' menjadi dewasa semuanya, dan masing-masing pangeran mulai menyiapkan diri untuk menggantikan ayahanda mereka duduk di tahta".
"Begitu keadaannya?"
"Betul, paman, ini menurut kata ayah. Saling dengki antar pangeran sudah bukan rahasia lagi. Pangeran In Si misalnya, sebagai pangeran tertua, ia merasa kedudukannya terancam oleh In Ceng yang minggat dari istana. Ia menyebarkan iago-jago pukulnya untuk senantiasa mencari jejak In Ceng dan membinasakannya sekalian..."
"Sejarah berulang kembali. Demi nafsu kekuasaan, orang-orang tidak segan-segan saling menjegal dan membunuh sesama saudara...."
"Itulah yang terjadi di balik dinding istana, paman. Di lurnya, para pangeran kelihatan rukun satu sama lain, sering berburu bersama atau berpesiar bersama-sama, tapi di balik senyuman mereka sudah tersedia pisau tajam yang siap menghabisi sesama saudara yang dianggap menyaingi ambisi mereka. Tinggal menunggu munculnya peluang saja"
"Selain pangeran In Si yang bergelar Tit-hun-ong, siapa lagi pangeran-pangeran yang kelihatannya berambisi?"
"Pangeran ke delapan In Gi, Pangeran ke sembilan In Tong dan Pangeran ke sepuluh In Go. Di gedung-gedung tempat tinggal mereka sudah berkumpul jago-jago silat bayaran yang setiap saat bisa digerakkan untuk membela majikan masing-masing".
"Celakalah kalau tahta sampai jatuh ke tangan-tangan manusia macam mereka. Manusia-manusia yang hanya haus kekuasaan, tanpa menghayati kewajiban yang berat yang ada di balik kekuasaan itu. Kekuasaan itu sendiri tidak berwarna, bisa hitam dan bisa putih tergantung dari si pemegang kekuasaan sendiri. Bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bisa juga digunakan untuk hal-hal yang buruk".
"Tetapi paman tidak perlu terlalu sedih. Di balik ancaman badai yang ngerikan, toh ada juga setitik sinar terang yang memberi harapan...."
"Maksudmu?"
"Pangeran ke Empat Belas In Te, dialah titik terang itu. menurut ayah, Pangeran In Te memiliki watak dan sikap yang jauh berbeda dengan saudara-saudaranya yang berwatak serigala. Ayah sudah siap mengambil langkah- langkah untuk mendukung Pangeran In Te apabila saatnya datang untuk menaikkannya ke tahta menggantikan ayahandanya. Hanya dia tokoh yang tepat untuk menjadi Kaisar berikutnya kalau negeri ini tidak mau hancur berantakan. Meskipun dia saat ini memegang kekuasaan militer yang besar, namun sikapnya tetap rendah hati dan memperhatikan pendapat menteri-menteri tua yang dihormati. Ia juga seorang pecinta rakyat, seorang yang mendambakan Han dan Manchu lebur dalam satu ikatan yang kokoh tanpa garis pembatas lagi..."
"Bagus..."
"Meskipun demikian, paman, kerikil- kerikil tajam yang bakal menghalangi Pangeran In Te naik ke tahta masih bertebaran sepanjang jalannya."
"'Mudah-mudahan tulang-tulang tuaku ini masih berguna untuk disumbangkan kepada masa depan kekaisaran ini...." **OZ** BAGIAN SEMBILAN Menyadari bahwa dirinya tidak sedang bertamasya, tapi sedang memikul tugas berat, maka Pakkiong Eng hanya tiga hari di markas Hwe-liong-pang. Setelah itu diapun berpamitan untuk melanjutkan tugasnya. Sebagai penghormatan kepada Hwe-liong-pang, ia tidak langsung menaiki kuda putihnya, begitu ada di luar markas Hwe-liong-pang, melainkan dituntunnya lebih dulu sampa ke kaki gunung, barulah ia naik ke kudanya. Kini ia kembali menjadi Kiong Eng si Pengelana Tunggal Berkuda putih yang tampan sehingga menarik perhatian gadis-gadis di sepanjang jalan. la merasa beban tugas di pundaknya terangkat sebagian karena janji kesanggupan Ketua Hwe-liong-pang untuk mencari Pangeran In Ceng. Ia tahu Hwe-liong-pang memiliki jaringan kerja yang luas, bantuan mereka tentu sangat berharga. Tapi ia merasa heran juga, sungguh lihai In Ceng menyembunyikan diri sehingga lima tahun pihak istana tidak berhasil menemukan jejaknya sedikitpun. Dan mencari seorang yang bersembunyi di negeri maha luas dengan jutaan penduduknya itu sama sukarnya dengan mencari sebatang jarum di dasar laut. Tapi Pakkiong Eng yakin suatu saat orang yang dicarinya itu akan diketemukannya juga. Orang berambisi besar seperti In Ceng tidak mungkin tahan disuruh bersembunyi terus-terusan, suatu saat pasti muncul sendiri, kalau masih hidup. Hanya saja munculnya itu entah membawa berkat atau malapetaka bagi kekaisaran? Tiba-tiba ia ingat kepada Hek-eng po. Itu sebuah kekuatan yang baru muncul di dunia persilatan, sedangkan siapa orangnya yang berada di puncak kekuatan itu kabarnya tetap misterius. Tak seorangpun tahu siapa majikan Hek-eng po itu sebenarnya, tapi pasti lihai sekali ilmu silatnya, sebab ia bisa membawahi sekian banyak jagoan lihai. Bahkan empat siluman yang ditakuti itupun tunduk dibawah perintahnya.
"Pasti bukan In Ceng..."
Pakkiong Eng membantah dugaan yang timbul dalam pikirannya sendiri.
"In Ceng tidak mungkin selihai itu, ia hanya belajar beberapa silat cakar kucing dari beberapa guru silat yang kepandaiannya tidak seberapa. Lagi pula In Ceng yang licin itu tidak mau bergerak demikian kasarnya seperti orang-orang Hek- eng-po. Mengingat halus dan licinnya cara kerja In Ceng, Pakkiong Eng membayangkan betapa seru persaingan merebut tahta di kemudian hari antara tiga calo kuat, In Si, In Ceng dan In Te. In Si dengan kedudukannya yang sangat menguntungkan sebagai putera tertua Kaisar Khong-hi, In Ceng dengan otaknya yang cerdas, dan In Te dengan kekuatan militer yang terpegang di tangannya. Akan semakin ramai dengan pangeran-pangeran lain dengan ambisinya masing- masing seperti In Gi, In Tong dan In Go. Mereka juga sedang memupuk kekuatan untuk meratakan jalan menuju Tahta Naga.
"Mudah-mudahan Kaisar tetap berwibawa, supaya kelak dapat mewariskan tahtanya tanpa goncangan", harapan Pakkiong Eng dalam hati.
"Tapi semakin hari Kaisar semakin dekat dengan In Te, semakin menunjukkan rasa kasih-sayangnya secara menyolok. Ini betul-betul berbahaya, bisa membuat pangeran-pangeran lain semakin cemburu..."
Begitulah, keadaan negeri yang nampak tenang itu sebenarnya menyembunyikan bibit pergolakan yang berbahaya. Pergolakan yang bisa membuat ribuan nyawa melayang di ujung pedang.
"Kapan kekaisaran ini benar-benar menemukan kedamaian yang langgeng? Pakkiong Eng gelisah dalam hati. Sejak pemberontakan Li Cu seng terhadap dinasti Beng, lalu runtuhnya Li Cu-seng oleh Kerajaan Ceng, pemberontakan Bu Sam-kui, pemberontakan sisa-sisa dinasti Beng, semuanya berlangsung dalam jarak waktu yang hanya belasan tahun satu sama lain. Rakyat tidak pernah mengalami masa damai lebih dari limabelas tahun..... Perang yang satu disusul perang lainnya, lama-lama orang-orang kulit putih akan mendapat peluang untuk menyerbu dan menjajah". Si Salju Terbang berlari dengan kecepatan sedang menuruti jalan besar yang menuju kota Seng-toh. Sepanjang jalan banyak orang yang menoleh untuk mengagumi kuda tegar yang putih mulus dan penunggangnya yang tampan berpakaian serba putih pula. Orang-orang yang belum mengetahuinya bertanya-tanya siapakah pengembara yang gagah itu? Yang ada sedikit pengalaman di dunia persilatan dapat segera menebak, tentulah itu si Pengelana Tunggal Berkuda Putih yang mulai terkenal namanya... Menjelang sore, Pakkiong Eng melihat tembok benteng Seng-toh sudah di depan mata, diapun segera menjepit perut kuda tunggangannya supaya berlari lebih cepat. Ia merencakan akan beristirahat semalam di Seng-toh, berendam air hangat lalu menikmati masakan khas Se-cuan yang asin-asin pedas itu. Kalau tiga hari sebelumnya ia memasuki Seng-toh dari timur dan keluar pintu barat, kini ia menempuh arah sebaliknya. Masuk dari barat, namun ia merencanakan untuk membelok ke utara untuk masuk ke propinsi Kam-siok. Propinsi itu belum "diperiksa"nya untuk mencari jejak Pangeran In Ceng. Ia beristirahat semalam di Seng-toh dan mendapati apa yang diingininya, mandi air hangat dan masakan Se-cuan. Lalu keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan dengan tubuh dan pikiran yang segar. Di sebelah kirinya dilihatnya pegunungan Busan berderet- deret memanjang seperti seekor ular yang tidur. la mengikuti saja jalan besar yang menuju ke kota besar berikutnya, lam-tiong. Tapi ketika ia tengah berkuda dengan enaknya, tiba-tiba dari arah belakangnya terdengar derap kaki seekor kuda yang dilarikan dengan kencang. Jalan itu memang jalan besar, umum saja orang lewat berjalan kaki atau dengan kendaraan lain termasuk kuda. Tapi yang tidak wajar adalah sikap penunggang kuda itu, ia berkuda dengan cepat dan sebentar-sebentar menoleh ke belakang dengatn wajah ketakutan. Ia adalah seorang aki-laki yang usianya mungkin sekitar enampuluh lima tahun, tapi tubuhnya masih tegap. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya. Melihat sikap orang tua itu begitu ketakutan, tertariklah hati Pakkiong Eng. Agaknya orang itu telah diburu musuh. Tidak lama kemudian, orang tua itu sudah jauh berada di depan. Tapi kembali terdengar derap empat ekor kuda dari arah yang sama menuju ke arah yang sama pula. Ketika Pakkiong Eng memperhatikan keempat penunggang kuda yang agaknya sedang memburu orang tua tadi, terkejutlah Pakkiong Eng, karena a mengenali keempatnya sebagai Empat Sluman yang pernah bertempur dengannya ketika ia membela orang-orang Liu- keh-chung beberapa bulan yang lalu. Keempatnya adalah Tiat-pi-koai (siluman tangan besi) Wan Po yang bertubuh raksasa, Hek-hok-koai (siluman kelelawar hitam) Kongsun Gi yang tubuhnya kecil dan mukanya penuh bulu seperti kalong, Hui-thian- koai (siluman terbang) Hau It-yau yang memakai caping yang juga merupakan senjatanya, dan Gip-hiat-koai (siluman pengisap darah) Pek Hong-teng yang mempunyai sepasang taring di mulutnya. Keempat golongan hitam itupun terkejut ketika mereka mengenali Pakkiong Eng, terutama Kongsun Gi yang pernah merasakan hebatnya tendangan "pemuda"
Itu di dadanya, Namun kini agaknya mereka begitu tergesa-gesa mengejar sesuatu, sehingga mereka tidak sempat mempedulikan Pakkiong Eng.
Mereka hanya menoleh dengan mata melotot marah, tetapi terus melarikan kuda mereka ke arah orang tua berkuda tadi.
Sebaliknya Pakkiong Eng tidak tinggal diam.
Pikirnya.
"Keempat bangsat jahat ini sudah menjadi anak buah Majikan Hek-eng-po, sekarang mereka mengejar-ngejar seorang tua, tentu bukan dengan maksud yang baik. Coba aku lihat.."
Dengan nyali yang besar, Pakkiong Eng memacu kudanya pula untuk mengikuti Empat siluman itu.
Mengandalkan kehebatan kudanya, ia percaya seandainya tidak sanggup melawan mereka berempat tentunya akan sanggup melarikan diri Tapi ia jelas tidak ingin membiarkan kejahatan berlangsung di depan hidungnya tanpa berbuat apa-apa.
Merasa diri diikuti, keempat penjahat itu menjadi geram.
Mereka menghentikan kuda mereka dan berbalik menghadap Pakkiong Eng.
Hau It-yau langsung saja memaki.
"Setan cilik! Kekurang-ajaranmu dulu ketika ikut campur urusan kami belum sempat kami perhitungkan, dan sekarang kau mau membuat urusan baru ?!"
Pakkiong Eng juga menghentikan kudanya. Sahutnya sambil tertawa.
"Eh, kalian ini habis salah makan obat atau sedang kesurupan? Kenapa marah-marah kepadaku?"
"Kenapa kau mengikuti kami?!"
"Jalan ini milik pemerintah kekaisaran, kenapa aku tidak boleh lewat di sini? Memangnya milik nenekmu?"
"Jangan berpura-pura! Kau tentu sedang mengikuti kami!"
Menghadapi empat siluman itu sekaligus, sebenarnya Pakkiong Eng agak was- was juga, namun sikap luarnya justru kelihatan santai seenaknya.
"Baiklah, kalian menuduh aku mengikuti kalian, aku mengakui. Kalian sedang mengejar orang tua tadi bukan?"
"Itu urusan kami!"
Sahut Wan Po dengan berang sampai otot luarnya tegang semua.
"kau mau ikut campur lagi seperti dulu?!"
"Tergantung keadaan. Kalau kalian berbuat tidak selayaknya terhadap orang lain, tentu saja aku harus ikut campur..."
"Kalau begitu, biar kau mampus sekarang juga!"
Hau It-yau habis kesabarannya.
Secepat kilat caping bambu di atas kepalanya sudah dipegang dengan tangan dan siap dilontarkan, tapi gerakannya tertegun...
Ternyata Pakkiong Eng dengan gerak yang sama cepatnya telah mengambil busur dan anak panahnya, dan anak panah berekor putih itu sudah terpasang di busurnya.
"Marilah kita lihat, caping rongsokanmu itu lebih dulu menebas leherku, atau panahku menembus jantungmu lebih dulu!"
Hau It-yau tertegun karena ia sudah pernah melihat sendiri betapa lihainya panah berekor putih itu.
Ia tidak yakin caping terbangnya akan lebih dulu di sasaran.
Mungkin ia bisa mengelakkan panah pertama, tetapi Pakkiong Eng juga bisa mengelakkan capingnya, hanya saja capingnya cuma sebuah sedangkan panah Pakkiong Eng ada belasan batang banyaknya yang bisa dilepaskan berturut-turut, lolos dari panah pertama tidak merupakan iaminan lolos dari panah ke dua, ke tiga dan seterusnya.
Hau It-yau melirik kiri kanan, mengharap bantuan dari teman-temannya, Namun teman-temannya pun nampak bimbang.
Bahkan Wan Po memerintahkan.
"Pakai capingmu kembali, Losam. Jangan kita urus setan kecil ini sehingga kita lupakan urusan kita dengan tua bangka Ko Jun-lim tadi!"
"Tapi kalau bangsat ini terus mengikuti, kita akan terganggu..."
"Pada kesempatan lain akan kita bereskan monyet kecil itu, namun tidak sekarang dan di tempat in.i"
"Kenapa? Masa kita berempat kalah dari dia?"
"Bukan dia yang Kita takuti", sahut si Siluman Tangan Besi Wan Po.
"Yang kite kuatirkan ...kau ingat berada di mana kita sekarang ini?"
Perkataan Wan Po itu membuat ketiga teman mereka berubah wajahnya, dan kelihatan rasa gentar di wajah-wajah yang biasanya garang itu. Melihat sikap takut dan mendengar percakapan para "siluman"
Itu, Pakkiong Eng tertawa mengeiek.
"Biarpun kalian tidak bilang, aku tahu bahwa kalian takut kepada Ketua Hwe-liong-pang bukan? Ha-ha... terhadap orang-orang Liu-keh- chung kalian galak melebihi macan, namun mendengar nama Ketua Hwe-liong-pang saja kalian sudah jeri. Sungguh tidak sesuai dengan tampang kalian yang seperti patung iblis di kuil-kuil..."
Wajah keempat gembong hitam itu langsung saja merah padam karena isi hati mereka diketahui dengan tepat oleh Pakkiong Eng.
Beberapa tahun yang lalu, mereka berempat memng pernah dihajar jungkir balik oleh Ketua Hwe-liong-pang, Sampai detik itu, mereka masih merasa takut luar biasa kepada Ketua Hwe-liong-pang, biarpun mereka sudah punya sandaran baru, Majikan Hek-eng-po.
Apalagi saat itu mereka berada di wilayah Se-cuan, wilayah di mana pengaruh Hwe-liong-pang sangat besar, Kalau mereka berbuat gegabah, mereka kuatir nanti tubuh mereka akan terkubur di wilayah itu.
Karena itu, neskipun dada mereka serasa hampir meledak oleh olok-olok Pakkiong Eng, mereka tidak berani sembarangan bertindak.
Namun sebagai tokoh-tokoh golongan hitam yang bernama besar, mereka malu juga menunjukkan ketakutan mereka, Wan Po tertawa dingin sambil mendengus.
"Hem, Ketua Hwe-liong-pang? Dulu kami tidak takut, sekarangpun lebih-lebih tidak...."
Tiba-tiba Pakkiong Eng menyimpan panahnya dan mengangkat tangannya menjura ke suatu arah, sambil berkata dengan wajah sungguh-sungguh.
"Aku yang rendah Kiong Eng menyampaikan salam hormat kepada Tong Pangcu (Ketua Tong)."
Hampir bersamaan Empat Siluman itu menoleh ke belakang dengan muka kaget bercampur gentar.
Tapi di belakang mereka tidak ada siapapun kecuali beberapa orang yang berlalu-lalang di jalan itu.
Mereka baru sadar telah ditipu oleh Pakkiong Eng ketika mendengar "pemuda"
Itu tertawa terpingkal- pingkal sambil memegang perutnya. Bagaikan paduan suara, empat mulut dari Empat Siluman itu mengucapkan kata- kata yang sama.
"Bangsat!"
Pakkiong Eng dengan air mata bercucuran karena masih menahan rasa gelinya, berkata.
"Nah, kalian masih berani gagah-gagahan mengaku tidak takut kepada Ketua Hwe-liong-pang? Baru mendengar namanya saja sukma kalian sudah hampir copot...ha-ha-ha..."
Otot-otot di wajah keempat siluman itu bagaikan bertonjolan karena menahan murka mereka.
Ingin rasanya mereka mencincang Pakkiong Eng sampai hancur lebur, tapi karena ingat bahwa mereka masih belum jauh dari Tiau-im-hong.
Bayangan tubuh seorang lelaki setengah abad yang berjubah kelabu kasar, dengan kantong tembakau di ikat pinggangnya, dan pipa rokok panjang yang diisap dan dikebulkan, masih saja menghantui mereka berempat.
Apa boleh buat, mereka harus menerima kedongkolan itu mentah- mentah.
Geram Wan Po.
"Kita teruskan pengejaran. Urusan penting menunggu kita dan jangan terhambat hanya oleh monyet cilik itu. Jalan!"
Mereka memutar kuda-kuda mereka ke arah semula, dan melanjutkan perjalanan ke arah tadi.
Masing-masing sempat memelototkan mata mereka kepada Pakkiong Eng dengan perasaan geram.
Apalagi ketika kemudian mereka tahu bahwa Pakkiong Eng pun tetap saja menguntit mereka pada jarak tertentu, secara terang-terangan.
"Begitu keluar dari wilayah pengaruh Hwe-liong-pang, seandainya monyet cilik itu punya tiga butir kepala, akan kita penggal semuanya sampai satu kepala pun tidak punya!", desis Wan Po hanya terdengar oleh teman-temannya.
"Dia mengikuti kita terus..."
Desis Pek Hong-teng.
"Biarkan saja, ia hanya mengantarkan nyawanya".
"Apakah kita akan sempat menyusul Ko Jun-lim?"
"Kita susul terus, pasti Ko Jun-lim tidak akan lolos. Di depan ada orang-orang kita yang akan menghambat jalannya."
"Tapi selama masih di wilayah Se-cuan, rasanya kita kurang leluasa untuk turun tangan..."
"Selewatnya kota Lam-tiong, biarpun sepuluh Tong Lam-hou juga tidak akan bisa mencegah kita membunuh siapapun", Sahut Wan Po. Namun sambil berkata demikian, toh ia menoleh kiri kanan seolah-olah Ketua Hwe- liong-pang itu sesosok hantu yang bisa muncul mendadak di manapun.
"Dan akan kita bereskan sekalian monyet kecil itu, tidak peduli dia murid siapa atau anak siapsa, kita tidak takut."
Sementara itu, Pakkiong Eng yang mengikuti Empat Siluman itu diam-diam geli juga melihat mereka ketakutan kepada Ketua Hwe-liong-pang.
Selain itu ia juga kagum kepada Ketua Hwe-liong-pang yang demikian lihainya sehingga ditakuti oleh gembong- gembong penjahat selihai mereka berempat.
Dan kekaguman kepada Ketua Hwe-liong-pang menjalar pula menjadi kekaguman kepada ayahnya sendiri, Pakkiong Liong, Panglima Hui- liong-kun (Pasukan Naga Terbang).
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukankah nama Pakkiong Liong, Tong Lam-hou Pun-bu Hweshio diletakkan sejajar sebagai tiga maha- meru dunia persilatan? Melihat kekuatiran su-koai (empat siluman) itu, mendadak saja timbul watak jahil Pakkiong Eng untuk mempermainkan mereka sepanjang jalan.
Seandainya kepandaiannya cukup, ingin rasanya dia membunuh habis keempat penjahat kejam itu agar masyarakat lebih tenteram.
Namun ia sadar dirinya tidak mungkin mengalahkan mereka berempat sekaligus, terpaksa harus cukup puas dengan menggoda mereka saja.
Tak terasa mereka sudah berjalan puluhan li.
Meskipun Su-koai masih sering menengok ke belakang dengan wajah gemas, tapi mereka masih belum berani berbuat apa- apa di wilayah pengaruh Hwe-liong-pang.
Mendadak mereka berubah dari siluman- siluman yang buas menjadi pendeta-pendeta alim...
Ketika matahari sudah mencapai tengah langit, rasa lapar mulai mengusik perut Pakkiong Eng, tapi ia tidak mau melepaskan keempat siluman itu.
Untunglah, agaknya Wan Po dan teman-temannya juga merasa lapar sehingga merekapun berbelok ke sebuah kedai di pinggir jalan.
Namun sebelum mereka melompat turun, mereka melihat sehelai bendera kecil tertancap di pintu kedai, Secarik kain segi tiga berwarna hitam, bersulam naga bertubuh menyala.
Setiap orang dunia persilatan tahu bahwa itulah lambang Hwe-liong-pang.
Melihat lambang itu, Su-koai hanya saling berpandangan dengan wajah tegang.
"Apa artinya ini?"
Pek Hong-teng melontarkan pertanyaannya, dijawab dengan gelengan kepala oleh ketiga temannya.
"Aku tahu artinya"
Tiba-tiba Pakkiong Eng menyahut dari belakang mereka.
"Monyet kecil! kami tidak bertanya kepadamu....!"
Bentak Wan Po. Pakkiong Eng tertawa.
"Meskipun kalian tidak tanya, aku akan berbaik hati untuk mengatakannya kepada kalian. Supaya kalian tahu artinya, dan dengan demikian kalian panjang umur. Nah, bukankah aku baik hati?"
"Jangan mengoceh saja, cepat kata- kan!"
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id