Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 6


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 6



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   "Sabar sebentar... Tempat-tempat yang diberi tanda bendera kecil itu, tandanya sepenuhnya di bawah perlindungan Hwe-liong- pang. Entah warung, entah penginapan, entah kuil atau bahkan rumah penduduk biasa. Di tempat-tempat yang ada tanda itu, orang harus bertindak sesuai dengan aturan. Kalau tidak, berarti si perusuh, itu menantang permusuhan terbuka terhadap Hwe-liong- pang!"

   Su-koai terkesiap mendengar penjelasan itu "Yang kau maksud dengan bertindak sesuai aturan itu yang bagaimana?"

   Tanya Hau It-yau.

   "Hal segampang ini saja ternyata kalian tidak mengerti, ini membuka kedok kalian sendiri, menandakan bahwa selama ini kalian suka bertindak sewenang-wenang di luar aturan. Yang dimaksud kenal aturan tentu saja kalau makan diwarung harus membayar, sesuai harganya, tidak boleh merebut tempat duduk tamu lainnya, tidak boleh berkelahi, sopan, tidak merusak perabotan orang lain....paham tidak?"

   "Kalau sengaja melanggar, bagaimana? Pakkiong Eng sengaja menggoda.

   "Mungkin kalau yang melanggar aturan adalah orang-orang maha sakti seperti kalian berempat, tentunya pihak Hwe-liong-pang tidak berdaya apa-apa melindungi tempat- tempat itu. Kalian ingin mencoba tidak mengindahkan bendera kecil itu? Silahkan, aku ingin menonton."

   Merah padamlah wajah Su-koai.

   "Kita cari warung yang lain!"

   Seru Wan Po kepada adik-adik seperguruannya.

   Merekapun batal mampir di kedai itu dan berjalan kembali menyusuri jalan yang terpanggang matahari.

   Tak lama kemudian, kembali mereka jumpai sebuah warung, mereka segera berlompatan turon dari kuda.

   Tapi ketika hendak melangkah masuk, kembali mata mereka melihat bendera kecil Hwe-liong- pang tertancap di meja kasir.

   "Cari tempat lain!"

   Lalu mereka berlompatan kembali ke punggung kuda dan berderap, menahan perut yang lapar dan tenggorokan yang haus.

   Namun belasan warung sudah mereka datangi, dan tidak ada yang tidak memasang bendera kecil itu.

   Entah di pintu, entah di meja kasir, entah di jendela dan entah di mana lagi.

   Akhirnya Su-koai kebingungan, cacing-cacing perut sudah mulai mengerek panji-panji pemberontakan, tapi mereka rasanya enggan juga kalau harus masuk warung berbendera kecil itu.

   Mereka malu kepada Pakkiong Eng yang terus mengikuti mereka, mereka kuatir ditertawakan dan diejek bahwa merekapun takut kepada bendera kecil itu.

   Sedang Pakkiong Eng yang tidak kalah laparnya itu berkata.

   "Kalau kalian mencari warung atau rumah makan yang tidak ditandai bendera kecil itu, maka biarpun kalia berjalan dua hari dua malam juga tidak akan kalian temukan".

   "Persetan! Kau kira kami sudi tunduk kepada aturan Hwe-liong-pang itu hanya karena tahan kelaparan? Lebih baik mati kelaparan daripada merunduk-runduk di bawah bendera keparat itu!"

   Teriak Kongsun Gi. Meskipun ia berteriak "siap mati kelaparan"

   Namun tak urung biji lehernya bergerak-gerak juga ketika melihat orang- orang dalam warung itu makan minum dengan lahapnya. Pakkiong Eng tertawa.

   "Kalian ini aneh benar. Kalau mati kelaparan demi mempertahankan pendirian yang luhur, aku akan bertepuk tangan tiga hari tiga malam buat kalian. Tapi kalian rela mati kelaparan hanya karena enggan menuruti tata-tertib yang diakui bersama oleh seluruh anggota masyarakat, itu namanya main gagah-gagahan secara konyol. Apa susahnya bertindak tertib dengan mengindahkan orang lain? Apakah gagah kalau kalian menunjukkan bahwa kalian berani melanggar peraturan? Kalau kalian masuk ke warung itu, lalu makan dengan tertib dan membayar sesuai harganya, biarpun Ketua Hwe-liong-pang ada di sini juga tidak ada alasan untuk menghajar kalian". Tak tahan mendengar kata-kata Pakkiong Eng yang memanaskan telinga, yang menganggap mereka berempat bagaikan tikus bernyali kecil di hadapan Ketua Hwe-liong- pang, akhirnya Wan Po menggeram.

   "Kita makan di sini sajal"

   Begitulah, keempat Su-koai itu beramai-ramai melangkah masuk ke kedai itu.

   Bukan cuma hati yang panas karena Pakkiong Eng menganggap mereka penakut, tapi rasa haus dan lapar yang sudah demikian kejam menyiksa mereka.

   Jadi bukan karena timbul kesadarannya setelah mendengar "kuliah"

   Tentang perlunya tata-tertib yang diucapkan oleh Pakkiong Eng itu.

   Mereka berempat menganut paham, yang kuat ialah yang menang.

   Tapi celakalah mereka di wilayah itu, sebab mereka berada di pihak yang lemah, yang kuat ialah Ketua Hwe-liong-pang yang mereka takuti melebihi hantu...

   Pakkiong Eng ikut masuk dengan langkah berlenggang.

   Dilihatnya Su-koai memilih tempat duduk dengan tertib, tidak kalah tertibnya dengan murid-murid sebuah kuil Buddha.

   Mereka tidak melempar keluar pengunjung yang sudah lebih dulu menduduki tempatnya, namun memilih tempat ang masih kosong.

   Mereka tidak memanggil pelayan dengan berteriak sambil menggebrak meja, tapi menunggu dengan sabar sampai pelayan selesai meladeni tamu-tamu lainnya....

   Dari meja sebelah, Pakkiong Eng tersenyum sambil berkata perlahan.

   "Kalau begini terus, dari Su-koai kalian akan menjadi Su-seng (empat nabi)".

   "Tutup mulutmu, monyet cilik...."

   Makian ini diucapkan Hau It-yau tidak dengan suara menggelegar, tetapi dengan berbisik- bisik karena kuatir mengagetkan pengunjung- pengunjung lain dan menyebabkan pertengkaran.

   Pakkiong Eng menahan tertawanya kuat-kuat.

   Ia pikir, ini kesempatan baik untuk mempermainkan keempat tokoh golongan hitam itu.

   Secara kekerasan, Pakkiong Eng tidak bisa mengungguli empat siluman itu sekaligus, namun ketakutan empat orang itu terhadap Hwe-liong-pang bisa dimanfaatkan sekaligus.

   Waktu itu si pelayan sudah datang mendekat, membawa nampan dengan empat mangkuk kuah yan-oh-theng yang panas mangepul dan berbau harum.

   Ketika meletakkan mangkuk-mangkuk itu di meja su- koai, kebetulan pelayan itu membelakangi Pakkiong Eng yang duduk di meja sebelahnya.

   Maka gadis itu mengulur jarinya untuk menotok jalan darah Jing-ling-hiat di lengan pelayan itu.

   Si pelayan merasa lengannya mendadak kaku kesemutan.

   Tak terkendali lagi ia sentakkan nampannya sehingga empat mangkuk kuah panas tertumpah ke muka dan pakaian Su-koai.

   Kong sun Gi malah tersiram matanya sehingga sesaat lamanya dia tidak bisa membuka matanya yang seperti kalong itu.

   Dengan beringas Wan Po telah menekuk jari-jari tangannya dan siap menyerang mampus si pelayan.

   "Bangsat cucu kura-kura, di mana matmu?! Kau harus mam...."

   Ia menelan kata-katanya selanjutnya, dengan wajah kaget ia mengawasi pojok ruangan warung itu.

   Di sana nampak punggung seorang lelaki yang berjubah kelabu dari kain kasar, dduk membelakangi Su-koai, sebentar- sebentar nampak lelaki itu mendekatkan pipa tembakau ke mulutnya.

   Maka Wan Po cepat-cepat mengendorkan sikapnya dan berkata rendah.

   "..... aku tahu kau tidak sengaja, tapi hati- hatilah lain kali...."

   "Baik, tuan-tuan...."

   Kata si pelayan dengan perasaan lega karena batal dihajar.

   "Aku akan mengganti makanan tuan-tuan yang tumpah..."

   "Tidak usah", kata Wan Po.

   "Kami pindah ke tempat lain saja..."

   Kongsun Gi, Hau It-yau dan Pek Hong- teng juga sudah melihat lelaki setengah abad yang duduk membelakangi mereka di pojokan itu, maka diam-diam mereka pun sependapat dengan Wan Po bahwa angkat kaki memang jalan terbaik.

   Diiringi permintaan maaf berkali-kali dari pelayan itu, mereka pergi sebelum perut mereka bertambah isi.

   Pakkiong Eng terpaksa ikut berbangkit pula sebelum ia sendiri sempat makan apapun.

   Ia hanya menjatuhkan setail perak di meja kasir dan menyambar dua buah bakpau yang digigitnya sambil melangkah, menyusul Su- koai yang sudah duduk di punggung kuda dan menderap pergi.

   Mereka tiba di sebuah warung berikutnya yang cukup ramai.

   Di atas pintu warung setengah besar itu terpaku secarik bendera kecil Hwe-liong-pang pula, namun terdorong oleh rasa lapar keempat Su-koai terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka dan masuk ke warung.

   Kembali mereka menunjukkan sikap sopan yang sangat berlebihan, tetapi dengan muka cemberut jelek.

   Ketika Pakkiong Eng hendak duduk di meja sebelah mereka, Kongsun Gi yang matanya masih pedas karena tersiram kuah panas, menggeram sengit.

   "Kalau kau berbuat gila lagi seperti di warung yang tadi, biarpun di warung ini ada sepuluh helai bendera Hwe- liong-ki, akan aku bakar habis. Kau sudah keterlaluan menghina kami!"

   Pakkiong Eng menumpangkan kaki kanannya di atas paha kiri, dan mengipas- ngipas mukanya dengan santai tanpa menjawab.

   Su-koai memesan makanan, dan tak lama kemudian pelayan datang membawa empat mangkuk besar pangsit yang mengepul panas.

   Keempat Su-koai tidak memperhatikan makanan-makanan itu, melainkan mengawasi Pakkiong Eng dengah tajam, siap mencegah "pemuda"

   Itu berbuat gila lagi. Namun kali ini Pakkiong Eng tenang- tenang saja, ia sadar bahwa tumpahnya kuah di warung yang tadi sudak diketahui Su-koai sebagai hasil ulahnya. Namun kini Pakkiong Eng mencari akal lain untuk memberi "hajaran batin"

   Terhadap siluman-siluman kejam itu.

   Ia sendiri memesan makanannya, dan sambil menyantap, ia memperhatikan gerak- gerik Su-koai kalau-kalau ada peluang.

   Setelah memperhatikan agak lama, ia melihat keempat orang itu dengan sikap jeri berkali-kali melirik ke arah meja kasir.

   Meja itu tengah tidak ada orangnya, entah ditinggal pergi ke mana, namun di atas meja ada sebuah sui-poa (alat hitung), setumpuk buku catatan, dan sebuah pipa tembakau yang tergeletak sembarangan.

   Pipa tembakau itulah yang dilirik berkali-kali oleh Su-koai.

   Ketika itu warung memang sedang sepi, seorang pelayan yang kurus tengah duduk menganggur di bangku kosong sambil menikmati pipa tembakaunya.

   Pakkiong Eng melambai ke arah pelayan itu.

   "Kemarilah, paman, temani aku bercakap-cakap..."

   Memangnya orang ini gemar mengobrol, suka mendengar ada seorang tamu ingin bercakap-cakap, diapun tertawa menyeringai dan duduk di seberang meja.

   Pakkiong Eng agak pusing oleh asap tembakau, namun demi memuaskan rasa usilnya mengganggu Su-koai, ia pikir tidak apa-apa sedikit berkorban.

   "Paman, pipamu itu bagus betul...."

   Pakkiong Eng mulai. Pelayan itu tertawa terkekeh dan mengusap pipa tembakaunya dengan perasaan sayang, seperti membelai kepala anaknya.

   "Pipa ini dibelikan oleh anak laki-lakiku yang bekerja menjadl piau-su (pengantar barang) di Lam-tong. Anakku itu hebat, ia dijuluki Ngo- long-cu (si serigala kelaparan) oleh teman- temannya..."

   "Aneh juga. Ia punya ayah bekerja di warung makanan, kenapa bisa sampai kelaparan?"

   "Ah, anak muda, kau ini ada-ada saja..."

   Si tukang warung terkekeh dan memperlihatkan giginya yang seperti papan catur, berselang-seling hitam putih.

   "Bicara tentang pipa tembakau, pa- man, apakah milik paman ini pipa keramat?"

   Tanya Pakkiong Eng.

   "Eh, lagi-lagi pertanyaan menggelikan? Apanya yang keramat? Dengan setail perak saja kau bisa mendapatkannya di Lam-tiong, di pinggir-pinggir jalanan banyak. Kenapa kau bertanya seaneh itu?"

   "Sebab di kampungku ada empat orang tolol, paman", kata Pakkiong Eng sambil tertawa dan melirik ke meja sebelah yang ditempati su-koai "Entah menderita penyakit syaraf bagaimana, keempat orang di kampungku itu takut kepada pipa tembakau. Melihat pipa tembakau, mereka takutnya melebihi melihat hantu...."

   "Eh, ada penyakit seaneh itu?"

   "Memang benar-benar ada, paman. Kalau tidak percaya tanyalah kepada keempat bujangku itu..."

   Sambil menunjuk ke arah Su koai.

   Su-koai nyaris tak mampu menahan kemarahan mereka.

   Tapi mereka menyantap makanan mereka dengan diam-diam.

   Mie pangsit yang tadinya terasa lezat dan gurih, kini rasanya seperti gulungan kawat dicampur kencing kuda.

   Dengan susah payah mereka harus berusaha mendorong dengan otot-otot tenggorokannya agar bisa masuk perut.

   Pakkiong Eng bercerita terus.

   "Kabarnya, ketika keempat orang itu masih dalam kandungan, ibu mereka gemar menyiksa kura-kura. Maka mereka pun kena tulahnya, melahirkan anak-anak penakut seperti kura- kura...ha-ha...."

   Tukang warung itupun ikut terkekeh- kekeh.

   "Memang beberapa orang yang kukenal juga penakut, tetapi tidak ada yang separah yang kau ceritakan itu, anak muda. Begitu takutnya kepada pipa tembakau, ha-ha,... tentunya penyakit gila mereka sudah parah sekali..."

   "Ya, tentu sudah tidak ada obatnya lagi", Pakkiong Eng menimbrung. Pakkiong Eng bercakap-cakap dengan tukang warung itu cukup lama, memnbicarakan "penyakit aneh"

   Karangan Pakkiong Eng itu. Pembicaraan berhenti ketika terdengar gemeretak mangkuk pecah yang diremas kuat-kuat oleh Hau It-yau. Si tukang warung terkejut. Katanya.

   "Anak muda, bujangmu itu merusakan perlengkapan warung kami....."

   "Jangan kuatir, paman. Ia akan mengganti rugi, dari rumah aku sudah memberi bekal uang banyak kepada mereka berempat. Mereka bujang-bujang yang baik, rajin, setia...."

   Suara gemeretak mangkuk pecah lagi, kali ini mangkuk di tangan Wan Po yang hancur. Empat pasang mata Su-koai melotot ke arah Pakkiong Eng dengan kemarahan yang menghanguskan. Melihat itu, diam-diam si tukang warung merasa hubungan antara "majikan"

   Dan "empat bujang"

   Itu agak aneh. Kenapa para bujang berani melotot marah kepada majikannya? Tapi kenapa keempat "bujang"

   Itu kelihatannya juga begitu menurut? Namun si tukang warung tak peduli. Warungnya tidak mau dirugikan, maka dengan sikap bersungguh-sungguh dia berkata kepada Pakkiong Eng.

   "Anak muda, kau lihat bendera kecil di pintu warung kami itu? Tempat yang diberi pertanda bendera itu berarti adalah dilindungi Hwe-liong-pang. Berani main gila di warung ini sama saja dengan main gila dengan Hwe-liong-pang...."

   Pakkiong Eng menjawab sambil tertawa.

   "Jangan gugup, paman, semua makanan dan ganti rugi akan kami bayar...."

   Lalu Pakkiong Eng membentak Wan Po "Cepat bayar! Kau sudah dengar bahwa kedai ini dilindungi Hwe-liong-pang!"

   Alangkah mendongkolnya Su-koai, tetapi kemendongkolan mereka belum melebihi ketakutan terhadap Ketua Hwe-liong-pang. Dengan mendongkol Wan Po membentak si tukang warung.

   "Berapa semuanya?!"

   "...juga makananku sekalian,"

   Kata Pakkiong Eng kalem.

   Sejak membunuhi orang Liu-keh-chung dan membagi-bagi harta milik Liu-keh-chung, Su-koai memang banyak duit.

   Namun sungguh tidak rela bahwa kini mereka harus mentraktir Pakkiong Eng yang mereka benci sampai ke tulang sungsum itu.

   Hanya saja mereka tidak ingin ribut ribut di warung berbendera Hwe- liong-ki itu.

   Sedang si tukang warung ternyata juga bukan orang baik.

   Merasa bahwa tamu- tamunya itu kena digertak dengan nama Hwe- liong-pang, si tukang warung bermaksud sekalian menggorok tamu-tamunya.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia pura- pura menghitung sebentar, lalu berkata.

   "Lima mangkuk mi pangsit duapuluh lima tahil, seguci arak besar limapuluh tahil, tambah ganti rugi mangkuk yang rusak dua biji masing- masing lima puluh tahil. Jadi total seratus tujuhpulh lima tahil..."

   Selama angka-angka itu disebut, mata keempat Sukoai hampir melompat keluar karena kagetnya.

   Itulah harga yang mencekik leher, meskipun mereka sedang mengantongi banyak uang, toh penggorokan terang- terangan itu membuat mereka mendongkol sekali.

   Apalagi Su-koai, sedang Pakkiong Eng yang benci kepada Su-koai juga mengerutkan alisnya.

   Bendera Hwe-liong-pang bermaksud melindungi para pemilik warung yang umumnya bermodal kecil dari tingkah sewenang-wenang tamu-tamu dunia persilatan.

   Tapi perlindungan itu bisa menimbulkan kesewenang-wenangan baru, justru oleh pihak yang tadinya dianggap lemah dan dilindungi.

   Kini Pakkiong Eng melihatnya sendiri.

   Kalau yang digorok itu Su-koai, Pakkiong Eng tidak keberatan, bahkan seandainya Su-koai harus meninggalkan semua celana mereka, sebab keempat orang itu adalah perampok-perampok yang patut mendapat hajaran.

   Tapi bagaimana kalau seorang musafir yang baik hati namun bekalnya tinggal sedikit, tahu-tahu disodori tagihan sebesar itu? Bukankah warung-warung itu menjadi tidak kalah kejamnya dengan perampok? Melihat Su-koai melotot dan belum juga mengeluarkan uangnya, si tukang warung bertolak pinggang dan membentak.

   "Bayar! Atau harus kupanggilkan orang-orang Hwe- liong-pang?!"

   Ingin rasanya Wan Po mencengkeram dan mematah-matahkan tubuh kerempeng si tukang warung yang menggemaskan itu.

   Namun begitu melirik ke pipa tembakau di meja kasir, kuncuplah nyalinya.

   Ia keluarkan kantong uangnya dan membayar harganya.

   Setelah itu, tanpa bicara lagi mereka berempat keluar warung, dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda mereka.

   Sambil tertawa-tawa penuh ketamakan, tukang warung itu menimang-nimang uang banyak ditangannya, sambil berkata sendiri.

   "Hem, tak kuduga kalau bendera kecil itu benar-benar bisa mendatangkan rejeki..."

   "Tapi mulai besok, tidak lagi!"

   Kata Pakkiong Eng dingin.

   Ia belum pergi dari kedai itu, karena ingin memberi peringatan keras kepada pengelola warung itu.

   Ia tidak rela bendera Hwe-liong-pang, lambang pelindung kaum lemah itu, berubah menjadi kedok untuk merampok.

   Tukang warung membelalakkan matanya.

   "Apa? Kau juga minta kupanggilkan orang-orang Hwe-liong-pang?"

   "Panggilkan, aku tidak takut. Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou adalah pamamku. Aku akan menceritakan kepadanya tentang sarang begal berkedok warung ini, dan minta kepada pamanku supaya mencabut perlindungan Hwe-liong-pang atas tempat ini. Lihat saja besok, akan ada orang-orang Hwe- liong-pang yang mengambil bendera kecil itu..."

   Sikap Pakkiong Eng yang mantap itu membuat si tukang warung mulai percaya ancamannya, dan mukanya pun menjadi pucat. Ia berlutut dan menyodorkan seratus tujuhpuluh lima tahil di tangannya sambil memohon.

   "Jangan, anakmuda...jangan minta Hwe-liong-pang mencabut bendera itu, warungku bisa bangkrut nanti. Maafkan aku...uang ini kukembalikan semua kepada Kongcu..."

   "Sudah terlalu lama kau menikmati banjir uang gara-gara perlindungan Hwe-liong- pang yang kau salah gunakan itu bukan?"

   Dengus Pakkiong Eng. Si tukang warung salah sangka akan ucapan "pemuda"

   Itu.

   "Kalau begitu...kalau begitu bagaimana kalau duaratus limapuluh tahil? Tapi jangan bilang kepada Ketua Hwe- liong-pang... Pakkiong Eng menarik napas dengan sedih, kenapa orang-orang macam ini terlalu banyak jumlahnya di dunia? Orang yang tidak segan-segan merugikan orang lain demi uang? Lalu setelah kena batunya mengira uang mereka bisa menyelesaikan persoalan? Ia menunjuk kepada kuda putihnya yang tertambat di luar warung, katanya, Paman tukang warung, di pelana kudaku itu aku membawa bekal uang cukup banyak. Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya butuh janjimu untuk tidak lagi menggunakan bendera Hwe- liong-pang itu sebagai alat keserakahanmu. Kalau kau tidak memperhatikan peringatanku, lihat saja, aku membual atau tidak kalau aku katakan bahwa aku bisa minta Paman Tong Lam-hou mencabut bendera itu. Mulai detik ini, warungmu harus memasang harga yang pantas. Cari untung boleh saja tapi yang sepantasnya..."

   "Aku mengerti...aku mengerti..."

   Sambil tetap berlutut, tukang warung itu melihat si "pemuda"

   Menekankan dua telapak tangannya di meja, wajahnya nampak merah sejenak, lalu menjadi biasa lagi. **OZ** Bersambung ke

   Jilid 11 Pojok Dukuh, 21-09-2018; 22.45 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 11 PAKKIONG ENG bangkit, katanya.

   "Aku tidak minta kau kembalikan uang itu,"

   Lalu berjalan keluar, melompat naik ke kudanya, dan berpacu menyusul "keempat bujang"nya tadi. Si tukang warung bangkit dengan perasaan lega karena uangnya tidak harus dikembalikan. Sambil menatap ke luar pintu, ia mendengus.

   "Hem, bocah kemarin sore yang masih bau susu ibunya, hendak ikut campur urusan...hah!"

   Ketika ia memandang ke atas meja yang habis ditempati "pemuda"

   Tadi maka mukanya pun pucat dan matanya terbelalak.

   Di permukaan meja yang keras itu tercetak dekukan sepasang telapak tangan sedalam kira-kira dua sentimeter.

   Yang mengejutkan lagi, dekukan itu bukan sekedar dekukan tetapi hangus seperti dicap dengan besi membara...

   Si tukang warung hampir pingsan melihat itu.

   Kini ia tidak ragu-ragu lagi bahwa "pemuda"

   Tadi tentu seorang berilmu hebat.

   Tentu bukan membual kalau mengatakan kenal baik dengan Ketua Hwe-liong-pang dan bahkan memanggilnya Paman.

   Sejak itu, iapun sembuh dari kebiasaannya menguras kantong pengunjung warungnya, kuatir kalau bendera kecil itu benar-benar diambil.

   **OZ** BAGIAN SEPULUH Dengan mengikuti jejak kaki kuda-kuda tunggangan Su-koai, Pakkiong Eng memacu si Salju Terbang untuk mengejar mereka.

   Ia bukan sekedar usil, namun mencemaskan kalau keempat Siluman itu berbuat sesuatu yang merugikan orang banyak.

   Bagaimanapun juga dengan keterbatasan dirinya, ia harus berusaha mencegah perbuatan-perbuatan jahat mereka.

   Ia lalu ingat orang tua berkuda yang seorang diri nampak ketakutan tadi.

   Tentu orang itu sedang dikejar-kejar olen Su- koai entah untuk urusan apa...

   Biarpun si Salju Terbang adalah kuda jempolan, tetapi sulit juga untuk menyusul kuda-kuda tunggangan Su-koai yang juga merupakan kuda-kuda gurun pasir yang tangguh.

   Agaknya selagi Pakkiong Eng membutuhkan agak banyak waktu untuk "menjewer kuping"

   Si tukang warung, Su-koai telah memacu kuda mereka sekencang- kencangnya untuk melepaskan diri mereka dari kuntitan Pakkiong Eng yang menjengkelkan itu.

   "Celakalah aku kalau sampai aku tidak bisa mencegah Su-koai untuk mengganas terhadap orang tua yang patut dikasihani tadi..."

   Pikir Pakkiong Eng dengan gugup sambil berkali-kali menjepit keras perut kudanya agar berlari lebih cepat.

   "Keempat siluman itu bersikap alim hanya ketika berada di wilayah pengaruh Hwe-liong-pang. Tapi kalau sudah keluar dari wilayah pengaruh itu, entah perbuatan biadab apa lagi yang bakal mereka perbuat..."

   Sampai di kota Lam-tiong, hari telah menjadi sore, dan Pakkiong Eng belum berhasil menyusul Su-koai, meskipun menurut jejak yang tertera di tanah dia agaknya mengikuti jejak Su-koai yang benar.

   Masuk ke Lam-tiong, ia bertanya kepada seorang pedagang buah di pinggir jalan.

   "Numpang tanya, paman, apakah belum lama berselang ini paman melihat empat orang penunggang kuda lewat di jalan ini?"

   Lalu Pakkiong Eng menggambarkan wajah-wajah, potongan tubuh dan pakaian Su- koai yang memang tak gampang dilupakan itu.

   "Benar,"

   Sahut orang yang ditanya.

   "Mereka datang dari arahmu, dan berkuda dengan cepat di sepanjang Se-toa-kai (jalan raya barat) ini. Tampang mereka memang menakutkan, dan nampaknya begitu terburu- buru..."

   "Terima kasih, paman,"

   Sahut Pakkiong Eng sambil memberi hormat dan buru-buru melompat ke punggung si Salju Terbang kembali.

   Ia bertekad akan mengejar terus, biarpun hari menjelang malam, meskipun sadar bahwa dengan demikian dia akan semakin sulit mengejar buruan-buruannya.

   Membaca jejak di malam hari tentunya akan lebih memakan waktu dari pada di siang hari, dan ia yakin Su-koai tidak begitu tolol untuk bermalam di kota Lam-tiong, tentu mereka hanya melewatinya saja.

   Juga ada kemungkinan mereka menukar kuda mereka, sedang Pakkiong Eng tidak mungkin menukar si Salju Terbang sahabatnya itu...

   Lebih celaka lagi, semangatnya yang menggebu itu mendadak merosot ketika ia merasakan sesuatu pada tubuhnya.

   Ternyata itulah hari-hari khusus yang hanya dimiliki oleh kaum wanita yang sehat, hari yang datang duapuluh delapan hari sekali.

   Tidak peduli ia adalah si Pengembara Tunggal Berkuda Putih yang gagah perkasa, namun pada hari-hari macam itu kesehatannya harus diperhatikan.

   Ilmu silatnya pun tidak akan setangguh hari- hari biasa.

   Apa boleh buat, keputusannya untuk terus mengejar Su-koai itupun diralatnya sendiri.

   Ia harus mencari sebuah penginapan yang tenteram di kota itu, untuk mengurus dirinya lebih dulu.

   Diam-diam ia menggerutu dalam hati, kenapa dirinya bukan seorang Ielaki, yang bebas dari "hari-hari khusus"

   Itu? Ia menempatkan diri di penginapan yang memasang papan nama Cao-an-tiam di pinggir jalan raya Se-toa-kai.

   Dipilihnya kamar dekat kebun bunga di belakang, yang agak aman dari kebisingan jalan raya.

   Selesai membersihkan badan dan menyalin pakaiannya dengan yang bersih, ia merasa segar.

   Dipanggilnya pelayan untuk memesan makanan agar dibawa ke kamarnya, dan dengan upah beberapa chi, dimintanya pula agar si Salju Terbang dikandang dirawat dengan baik.

   Diberi makan cukup dan dimandikan pula.

   Tengah Pakkiong Eng menunggu datangnya makanan pesanannya itu, tiba-tiba didengarnya di halaman samping ada suara kaki kuda yang dituntun orang menuju istal.

   Dan suara si pengurus penginapan yang begitu ramah.

   "Silahkan Sebun Kongcu menempati ruangan itu. Kami selalu menyediakan yang terbaik buat Kongcu..."

   Mendengar itu, Pakkiong Eng tertarik perhatiannya. Desebutnya nama "Sebun Kongcu"

   Membuat ia menduga-duga jangan- jangan tamu ini adalah tuan muda dari Keluarga Sebun yang terkenal di Se-shia? Keluarga dari seorang pendekar besar jebolan perguruan Hoa-san-pai yang nama besarnya nyaris sejajar dengan Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan Pun-bu Hweshio.

   Karena itulah buru-buru Pakkiong Eng menuju ke jendela dan membuka jendela dengan gerakan tidak menyolok, untuk melihat bagaimana tampang seorang tuan muda dari keluarga terkenal itu.

   Dilihatnya Ciangkui (pengurus) pengnapan itu tengah mengantarkan tamunya ke sebuah kamar yang dikitari kebun bunga, tepat berhadap-hadapan dengan kamar yang ditempati Pakkiong Eng.

   Itulah seorang anak muda yang tinggi tegap, jubahnya nampak mewah meskipun agak dikotori oleh debu perjalanan, alisnya tebal dan wajahnya tampan.

   Punggungnya menggendong sebatang pedang yang panjangnya, beratnya maupun tebalnya melebihi ukuran pedang-pedang biasa.

   Pakkiong Eng pernah mendengar cerita ayahnya bahwa pedang besar itulah ciri-ciri keluarga Sebun.

   Tengah Pakkiong Eng memperhatikan pemuda yang gagah itu, tiba-tiba pemuda itupun menoleh ke arah Pakkiong Eng lalu mengangguk dengan ramahnya.

   Dibalas oleh Pakkiong Eng sambil tersenyum pula.

   Sikap anak muda itu cukup mengesankan.

   Pelayan datang membawa makanan ke kamarnya, maka Pakkiong Eng lalu makan minum sendirian di kamarnya, hanya ditemai sebatang lilin.

   Tapi kepada pelayan itu ia sempat bertanya.

   "Anak muda yang dipanggil Sebun Kongcu itu apakah datang dari Se- shia?"

   Pelayan itu mengangguk, dan mendapat peluang untuk membanggakan penginapannya.

   "Benar, Kongcu. Ketahuilah, biarpun penginapan kami bukan yang paling besar di Lam-tiong, tapi tokoh-tokoh terkenal sering menginap di sini. Kongcu di kamar seberang itu memang benar anak lelaki dari Taihiap Sebun Him dari Si-shia. Namanya Sebun Hiong, dikalangan persilatan Se-cuan dan Siam-say dikenal dengan julukan Ci-him (si beruang ungu)."

   Tadi Pakkiong Eng memang melihat Sebun Hiong memakai jubah satin warna ungu lembut, dengan garis pinggiran ungu tua.

   Sementara pelayan itu tiba-tiba mengamat-amati Pakkiong Eng yang berpakaian serba putih dari tutup kepala sampai ke sepatu.

   Tiba-tiba pelayan itu tertawa.

   "...Dan hari ini bertambah lagi seorang langganan terkenal di rumah penginapan ini..."

   "Bicara apa kau ?"

   "Kongcu, kau tadi datang menunggangi kuda putih membawa busur dan panah berekor putih. Tentunya Koncu adalah pendekar muda Pek-ma-tok-hing (Pengembara Tunggal berkuda putih) yang terkenal itu..."

   Ada rasa bangga juga di hati Pakkiong Eng bahwa nama si Pengembara Tunggal Berkuda Putih di kenal sampai ke propinsi- propisi barat ini.

   Sekaligus ia juga percaya bahwa penginapan itu menjadi salah satu titik kegiatan dunia persilatan pula, pelayan- pelayannya pun cukup tajam dalam mengamati tamu-tamunya yang bertampang dunia persilatan.

   Karena itu, tiba-tiba Pakkiong Eng ingat akan tugas utamanya mencari jejak Pangeran In Ceng.

   Karena itu dikeluarkannya gulungan kertas berlukiskan wajah Pangeran In Ceng itu, lalu dibebernya di depan mata si pelayan sambil bertanya "Kalau benar penginapanmu cukup terkenal, banyak dikunjungi orang terkenal, pernahkah orang ini mengunjungi tempatmu ini?"

   Melihat pelayan itu berpikir begitu lama, Pakkiong Eng merasa perlu membantu "Menjernihkan otak"

   Pelayan itu dengan setahil perak yang diletakkannya di meja.

   Betul juga, otak si pelayan menjadi cerah mendadak.

   Lebih dulu uangnya disambar masuk kekantongnya, barulah berkata dengan 'bersemangat "Ya sebulan yang lalu, rasanya memang orang itu pernah datang kemari.

   Ia mengaku bernama Si Liong-cu."

   Hati Pakkiong Eng melonjak. Si Liong- cu? Otaknya yang tajam segera menangkap makna di balik nama itu.

   "Si"

   Tentunya bermakna "empat"

   Dan "Liong-cu"

   Berarti "anak naga."

   Pangeran In Ceng adalah putera keempat Kaisar Khong-hi, dan Kaisar sering dilambangkan sebagai Naga.

   Si Liong-cu dapat dibaca "anak naga yang keempat"...

   Sejak setengah tahun meninggalkan Pak-khia untuk memikul tugas ini, baru sekaranglah Pakkiong Eng menemukan jejak orang yang diduganya sebagai nama In Ceng yang menyamar.

   "Kau yakin orang itu bertampang seperti dalam gambar ini?"

   Ia mendesak si pelayan. Setahil perak di kantong sang pelayan membuat ia sangat bersemangat bercerita.

   "tidak salah, Kongcu.Si Liong-cu itu membawa sebatang toya dari kayu besi hitam yang lihai. Agaknya ia bukan orang sembarangan, sebab ketika mampir di sini, teman seperjalanannya pun bukan orang-orang sembarangan..."

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siapa saja?"

   "Kongcu pernah dengar tentang Kang- lam-sam-eng (Tiga Kesatria dari Kang-lam)?"

   "Siapa yang tidak kenal nama ketiga pendekar muda terkenal itu? Biarpun belum bertemu orangnya, paling tidak sudah mendengar akan kelihaian dan keluhuran budi mereka. Merekalah Kam Hong-ti, Pek Thai- koan dan si dewi pedang Lu Si-nio. Maksudmu, Si Liong-cu terlihat bersama-sama dengan ketiga pendekar terkenal itu?"

   Pelayan itu mengangguk.

   Pakkiong Eng mengerutkan alisnya mendengar berita yang janggal itu, Bukan rahasia lagi bahwa Kang-lam-sam-eng adalah pendekar-pendekar penentang dinasti Manchu yang gigih, sedang In Ceng adalah putera Kaisar Manchu.

   bagaimana mereka bisa bersahabat baik? Jangan-jangan pelayan ini cuma membual? Atau...apa yang dikuwatirkan oleh ayah Pakkiong Eng, Pakkiong Liong benar- benar menjadi kenyataan? Demi merintis jalan ke Tahta Naga, mungkinkah In Ceng tidak segan-segan bersekutu dengan kekuatan dari manapun, tidak perduli apapun kekuatan itu, asal bisa dimanfaatkannya? Kalau itu benar terjadi, itulah ancaman berat kelanggengan dinasti Manchu.

   "Kau tahu sebabnya mereka bersahabat?"

   Pakkiong Eng menanya si pelayan.

   "Mereka berempat baru saja menumpas gerombolan berandalan pengganggu rakyat di gunung Cu-lo-san. Luar biasa, Kongcu. Coba bayangkan, hampir duaratus orang berandal yang ganas-ganas ,dilawan hanya oleh empat pendekar itu dan gerombolan berandal itu berhasil mereka taklukkan."

   "Kemana In...eh, Si Liong-cu itu meneruskan perjalanannya?"

   Pakkiong Eng nyaris keliru menyebut nama In Ceng.

   "Aku tidak tahu, Kongcu,"

   Sahut si pelayan.

   "Mereka berempat bercakap-cakap di meja makan dan aku tidak berani menguping pembicaraan mereka. Hanya samar-samar aku dengar Si Liong-cu menyebut dirinya sebagai orang yang belum berpengalaman dan ingin bersahabat dengan pendekar sebanyak- banyaknya, dan Kam-Hong-ti menyanggupinya untuk memperkenalkannya dengan beberapa pendekar ternama."

   Jantung Pakkiong Eng berdenyut keras.

   Dalam gambarannya, In Ceng tentu sedang mengumpulkan kekuatan besar untuk menyaingi saudara-saudaranya dalam arena perebutan tahta, terutama saingan terberatnya, Pangeran Ke Empatbelas In Te yang paling disayangi kaisar Khong-hi sehingga diserahi kekuasaan militer yang sangat besar.

   "Orang bernama Si Liong-cu itu bukan seorang terkenal tapi agaknya orang menanyakan... kata pel ayan itu tiba-tiba.

   "Eh, selain aku, siapa lagi yang menanyakannya?"

   "Beberapa hari yang lalu, ada beberapa orang berseragam yang menginap di sini pula. Mereka menanyai aku sambil menggambarkan bentuk wajah dan tubuh orang yang mereka cari, dan akupun hampir pasti bahwa Si Liong- cu itulah yang mereka cari. Dan sore ini, Sebun Kongcu itupun menanyakannya..."

   Otak Pakkiong Eng berputar keras.

   Orang-orang berseragam? Dari pihak mana? Apakah keluarga Sebun juga mulai menceburkan diri ke arena persaingan antar Pangeran yang semakin panas itu? Dengan isyarat tangannya, ia lalu menyuruh pelayan itu pergi sambil membenahi bekas-bekas makannya.

   Kini Pakkiong Eng dihadapkan pada dua pilihan.

   Terus membuntuti Su-koai untuk mencegah mereka berbuat kejahatankah? Atau mengejar Pangeran In Ceng yang jejaknya samar-samar mulai terlihat? Setelah menimbang-nimbang sampai hampir tengah malam, akhirnya Pakkiong Eng memutuskan untuk menguntit Su-koai tetapi sambil mendengar-dengarkan berita tentang In Ceng.

   Setidak-tidaknya nama samaran In Ceng sudah diketahui, Si Liong-cu, dan itu sangat membantu daripada tidak tahu apa-apa sama sekali.

   Membuntuti Su-Koai adalah pekerjaan jangka pendek, membuntuti In Ceng adalah tugas jangka panjang.

   Setelah menemukan keputusan, Pakkiong Eng merasa mantap dan mulai membaringkan dirinya.

   Kelelahan dan ketegangan dalam perjalanan sehari sambil "menggarap"

   Su-koai membuat ia cepat terlelap.

   seperti kebiasaan, ia tidur dengan pedang tetap ada di sampingnya, dan busur serta panahnya disandarkan di pinggir tempat tidurnya.

   Pagi tiba, kesibukan di penginapan itu membuat Pakkiong Eng terbangun dan bersiap- siap untuk berangkat pula.

   Mandi air hangat membuatnya segar, lebih-lebih setelah perutnya terisi dua mangkuk nasi dan lauk- pauknya yang hangat.

   Dengan pakaian kesayangannya yang serba putih, diapun siap menyelesaikan pembayaran makan minumnya untuk melanjutkan perjalanannya.

   Di meja kasir, ia melihat "tetangga semalamnya"

   Sebun Hiong agaknya juga sudah siap melanjutkan perjalanan dan sedang menyelesaikan pembayarannya. Melihat Pakkiong Eng, ia mengangguk hormat sambil tersenyum ramah, wajahnya segar dan tampan sekali.

   "Aku gembira sekali bertemu dengan Kiong-heng ( saudara Kiong) yang bergelar Pek-ma Tok-hing,"

   Kata Sebun Hiong dengan sopan tapi tidak menyembunyikan kebanggaannya karena merasa pasti bahwa tebakannya tepat.

   "Perkenalkanlah aku memperkenalkan diri. Aku adala..."

   "... Sebun Hiong, tuan muda keluarga Sebun di Se-shia, bergelar Ci-him Beruang Ungu,"

   Sahut Pakkiong Eng tak mau kalah.

   "Terimalah salamku, Sebun-heng (saudara Sebun)."

   "Kiong-heng, tempat ini sudah tidak jauh lagi dari rumahku. Bagaimana kalau aku undang saudara berdiam di rumahku selama beberapa hari? Bukan saja aku senang memperdalam persahabatan kita, tetapi ayahku pun akan gembira sekali melihat pemuda-pemuda berbakat semacam kau."

   Tentu saja Pakkiong Eng akan senang mendapat teman seperjalanan yang menyenangkan seperti ini, ramah, dan ia yakin tentu berilmu tinggi pula sebab Sebun Hiong adalah putera Sebun Him yang bergelar Se- him Taihiap (Pendekar Besar Beruang Barat).

   Menyenangkan pula untuk berkenalan dengan tokoh terkemuka seperti Sebun Him, sambil nenyelidiki kenapa pihak keluarga Sebun ikut- ikutan pula mencari jejak Si Liong-cu? Tapi Pakkiong Eng ingat akan tugasnya, diam-diam menjadi ragu-ragu memenuhi ajakan Sebun Hiong itu.

   Jawabnya dengan luwes.

   "Sayang sekali bun-heng, perjalananku ini bukan perjalanan bebas yang bisa menentukan arah semauku saja. Aku sedang membututi sekelompok penjahat..."

   "Membasmi penjahat adalah amanat keluarga Sebun juga. Kalau Kiong-heng tidak memandang rendah kepandaianku, bagaimana kalau akupun ikut bersamamu mengejar penjahat itu?"

   Tanya Sebun Hiong.

   "Sebenarnya siapakah penjahat-penjahat itu?"

   Menganggap keluarga Sebun bisa dipercaya, karena Sebun Him adalah kenalan baik Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou, maka Pakkiong Eng menyahut terus terang.

   "Aku sedang membuntuti Su-koai (Empat Siluman). Aku kuatir mereka akan berbuat jahat kepada seorang tua yang mereka kejar- kejar...."

   Diam-diam Sebun Hiong memperhatikan logat bahasa Pak-khia yang kental dalam kalimat-kalimat Pakkiong Eng. Itu mendapat perhatian khusus darinya. Logat ibukota kekaisaran, berarti si Kelana tunggal Berkuda Putih ini adalah orang asal Pak-khia.

   "Jadi saudara sedang memburu keempat orang itu?"

   Sungguh berbahaya..."

   Sahut Sebun Hiong.

   "Dan siapakah orang tua yang saudara katakan sedang terancam nyawanya oleh Su-koai itu?"

   "Aku kurang tahu, hanya merasa dia pantas dikasihani".

   "Ah, saudara ini bertindak gegabah, belum tahu persoalannya dan sudah menerjunkan diri ke dalam persoalan itu. Su- koai bukanlah orang-orang yang bisa diajak bergurau...."

   Alis Pakkiong Eng berkerut mendengar teguran yang dikupingnya terasa terlalu menggurui itu.

   "Aku cuma tidak suka ada kesewenang-wenangan berlangsung demikian saja di depan hidungku. Percuma kita disebut pendekar, kalau kita hanya mau mengurusi soal-soal yang menguntungkan kita atau bersangkut-paut dengan kita. Sedang terhadap nasib orang lain kita acuh tak acuh". Sebun Hiong terperangah dan agak kikuk oleh "serangan balasan"

   Yang ta-mjam itu. Katanya.

   "Ah, sapa bilang aku hendak acuh tak acuh kepada nasib orang tua itu? Kalau dia memang terancam kesewenang- wenangan, marilah kita tolong dia..."

   "Nah, itu baru sikap seorang putera Keluarga Sebun!"

   Pakkiong Eng mengacungkan jempoInya dengan wajah cerah kembali.

   "Ayo kita berangkat mumpung hari masih pagi!"

   Seorang pelayan penginapan sudah menuntun kuda beberapa tetamu yang akan berangkat pagi itu.

   Semua kuda nampak segar, termasuk Si Salju Terbang yang telah menggerak-gerakkan kepalanya begitu melihat tuannya melangkah keluar.

   Pakkiong Eng melompat ke punggung kuda putihnya, sementara Sebun Hiong juga melompat ke atas seekor kuda tegar berbulu hitam mulus.

   Melihat kuda itu, Pakkiong Eng tahu bahwa kuda hitam itu tak kalah hebatnya dengan Si Salju Terbang.

   Sebun Hiong tersenyum bangga melihat Pakkiong Eng menatap kudanya.

   Katanya.

   "Kudaku ini aku beri nama Hek-hong (si Angin Hitam)..."

   "Hebat Sebun-heng, mudah-mudahan Su-koai akan berhasil kita susul dan kita cegah berbuat kejahatan."

   Merekapun berkuda berjajar meninggalkan penginapan Cao-an-tiam.

   Meskipun Pakkiong Eng mencemaskan keselamatan orang tua tak dikenal yang tengah diburu Su-koai, namun selama belum keluar dari kota Lam-tiong dia tidak bisa memacu kudanya.

   Jalanan sangat ramai pagi itu, dan mereka tidak boleh ditabrak begitu saja.

   "Ke mana kita akan mencari jejak buruan kita?"

   Tanya Sebun Hiong.

   "Seperti aku, Su-koai masuk Lam-tiong dari pintu barat. Jadi keluarnya kalau tidak pintu utara, ya timur atau selatan."

   "Astaga, jadi arah lari merekapun kita tidak tahu?"

   "Kita bisa bertanya-tanya orang di pinggir jalan, tampang keempat Su-koai itu terlalu sulit untuk dilupakan oleh orang yang pernah melihatnya sekali saja."

   Pakkiong Eng diam sebentar, lalu berkata lagi.

   "Hanya satu hal yang bisa dipastikan. Keempat penjahat itu tentu berusaha semakin menjauhi wilayah pengaruh Hwe-liong-pang yang mereka segani."

   Dan tanpa diminta lagi, Pakkiong Eng menceritakan bagaimana ketakutannya Su- koai kepada Ketua Hwe-liong-pang sampai- sampai melihat pipa tembakau tergeletak di meja pun mereka seolah melihat hantu kubur.

   Mendengar cerita bagaimana ditakutinya Ketua Hwe-liong-pang itu, Sebun Hiong nampaknya dingin saja.

   Bahkan setelah tiba di pintu kota diapun membelokkan pembicaraan.

   "Kita segera menentukan arah, Kiong-heng."

   Pakkiong Eng merasa aneh kenapa Sebun Hiong tidak suka mendengarkan cerita kehebatan pengaruh Hwe-liong-pang? Lalu Pakkiong Eng menyimpulkan sendiri bahwa.

   Sebun Hiong agaknya iri karena persaingan nama.

   Keluarga Sebun rupanya merasa tidak kalah besar dari Hwe-liong-pang, sehingga kurang suka mendengar orang membicarakan kebesaran Hwe-liong pang.

   Di sebuah toko kecil dekat pintu timur, Pakkiong Eng bertanya tentang Su-koai, dan ia menemukan tempat bertanya yang tepat.

   Pemilik toko itu dengan bersemangat menceritakan kemarin memang ada empat orang berkuda bertampang aneh yang memacu kuda mereka lewat pintu timur.

   Bahkan kuda- kuda mereka menerjang roboh setumpukan semangka dagangan di tepi jalan.

   Begitu tiba di luar kota, maka Si Salju Terbang dan si Angin Hitam seolah berlomba membawa tuannya masing-masing lebih dulu tiba di sasaran.

   Biarpun sudah ketinggalan sehari, tetapi Pakkiong Eng yakin kalau ia menempuh arah yang benar, maka Su-koai pasti akan tersusul sebelum sore.

   Ia percaya kehebatan kudanya, dan kuda Sebun Hiong.

   Tapi setiap kali mereka harus berhenti untuk bertanya-tanya kepada orang di pinggir jalan.

   Suatu saat, mereka harus membelok ke sebuah jalan kecil yang menyambung ke jalan gunung, karena mereka mendengar keterangan bahwa Su-koai membelok ke jalan itu, meninggalkan jalan besar.

   Itu malah kebetulan bagi Pakkiong Eng dan Sebun Hiong, sebab di jalan sepi jejak Su-koai lebih ielas terlihat, tidak lagi bercampur jejak-jejak pelalu-lintas lainnya.

   Tiba di jalan sepi, tiba-tiba Sebun Hiong melambatkan kudanya sambil menunjuk ke depan.

   "Ada orang di sana!"

   Sahut Pakkiong Eng.

   "Biarpun kecil jalan ini jalanan umum juga, apa salahnya kalau ada orang lain berada di tempat ini? Ayo kita maju terus!"

   "Baik, tetapi harus sedikit hati-hati. Mungkin saja orang itu sekomplotan dengan Su-koai yang akan merintangi kita."

   Pakkiong Eng menganggap ucapan Sebun Hiong itu cukup beralasan.

   Memang orang yang di depan itu hanyalah pemuda berpakaian seperti orang desa, usianya mungkin sebaya dengan Sebun Hiong, sedang duduk terkantuk-kantuk di atas punggung keledainya yang berjalan sempoyongan.

   Namun ayahnya pernah berpesan bahwa tinggi-rendahnya ilmu tokoh-tokoh persilatan tidak bisa diketahui dari tampangnya.

   Bukankah tokoh-tokoh Hwe liong-pang, bahkan ketuanya sendiri, berpenampilan sangat sederhana? Kini si penungang keledai di depan itupun bertampang tak berarti, namun Pakkiong Eng tetap tidak ingin meremehkannya.

   Jalan itu sempit, sebelah kirinya tebing pegunungan, sebelah kanannya lereng yang biarpun tidak bisa membikin mampus orang, namun lebih dari cukup untuk membuat orang babak belur kalau tergelincir ke bawahnya.

   Lebih menjengkelkan, sudah jalannya sempit, keledai itu jalannya serong kekiri dan, kanan seperti habis minum arak.

   Hal itu bukan saja membahayakan pemakai jalan lain, juga si penungang keledai sendiri.

   Namun si anak desa tetap saja terkantuk-kantuk di punggung keledainya.

   "Numpang lewat, sobat!"

   Kata Sebun Hiong sambil menghentikan kudanya. Tapi si penunggang keledai hanya menguap lebar, dengan mata setengah terpejam dia menjawab ogah-ogahan.

   "Mau lewat tinggal lewat saja. Silahkan..."

   "Tolong minggirkan keledaimu,"

   Sebun Hiong meminta.

   "Keledaiku ini sangat bengal dan susah diatur. Kalian boleh cari jalan lain saja."

   Sebun Hiong dan Pakkiong Eng mendongkol berbareng, dan semakin curigalah mereka bahwa si penunggang keledai itu adalah sekomplotan dengan Su-koai yang hendak merintangi mereka.

   "Kita lompati saja,"

   Bisik Pakkiong Eng.

   "Aku yakin Sebun-heng pernah melatih kuda Sebun-heng untuk melompati palang-palang kayu yang makin lama makin ditinggikan. Betul tidak?"

   "Benar. Kita lompati saja. Tapi pada saat kuda kita melewati atas kepalanya, itulah saat paling lemah bagi kita, kalau orang itu ternyata seorang lihai yang bermaksud jahat, mudah saja dia menyergap pada saat kita melompatinya..."

   "Jadi?"

   "Kita lompat bergantian Aku akan melompat dulu, Kiong-heng siapkan panah Kiong-heng untuk menjaga kalau orang itu main gila kepadaku. Setelah itu, Kiong-heng melompat dan ganti aku yang menjaga, paham?"

   "Akal bagus!"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Segera Pakkiong Eng siapkan panahnya, dan Sebun Hiong siap dengan ancang- ancangnya. Leher si Angin Hitam ditepuk- tepuknya, itulah "bahasa"

   Yang akrab antara kuda dan penunggangnya.

   Sedangkan si penungang keledai tetap saja duduk membelakangi Sebun Hiong dan Pakkiong Eng, di atas keledainya yang tetap sempoyongan.

   Dengan sebuah bentakan, Sebun Hiong memacu kudanya, lalu seolah-olah terbang, kuda dan penunggangnya melayang Iewat di atas si penunggang keledai dan mendarat di depan dengan selamat.

   Pakkiong Eng mengawasi si penunggang keledai, namun orang itu tidak berbuat apapun kecuali dengan kaget menundukkan kepalanya sambil berteriak.

   "Aiyaah!"

   Ketika giliran Pakkiong Eng yang melompat dengan Salju Terbangnya, orang itupun kembali berteriak "aiyah"

   Sambil memegangi kepalanya.

   Ketika Sebun Hiong dan Pakkiong Eng melihat penunggang keledai itu merosot jatuh dari punggung keledainya dengan muka pucat karena kaget, maka merekapun saling bertukar senyuman.

   Namun dalam hati Pakkiong Eng tiba-tiba merasa bahwa teriakan "aiyah"

   Dua kali dan gerak-gerik si penunggang keledai itu seperti sudah dikenalnya, entah kapan dan di mana.

   Hanya saja ia sedang terburu-buru mengejar Su-koai, ia tidak pedulikan lagi si penungang keledai yang konyol itu.

   Beriring-iringan sebun Hiong dan Pakkiong Eng meniti ke depan lewat jalan pegunungan yang sempit itu.

   Sebelum berbelok, Pakkiong Eng sempat menoleh sekali lagi ke arah si penunggang keledai, dan dilihatnya orang itu sedang menepuk-nepuk keledainya supaya tenang.

   "Orang itu ternyata bukan sekomplotan dengan Su-koai,"

   Kata Pakkiong Eng kepada Sebun Hiong didepannya.

   "Tidak mungkin Su- koai punya teman tidak becus ilmu silat macam itu, dia pasti hanya lah orang desa biasa..."

   Sebn Hiong hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas, sementara matanya terus memperhatikan jejak tapal kuda di tanah. Pakkiong Eng ikut memperhatikan pula, dan tiba-tiba berseru.

   "He, jejak ini masih agak baru! Kita agaknya hampir sampai ke sasaran!"

   Baru saja bibirnya terkatup, di sebelah depan, di balik sebuah bukit kecil, telah kedengaran suara bentakan-bentakan dan orang bertempur. Terdengar pula ringkik- ringkik kuda yang ketakutan.

   "Cepat, Sebun-heng!"

   Desak Pakkiong Eng.

   Ia tidak bisa mendahului Sebun Hiong karena jalan hanya untuk seekor kuda saja terasa pas-pasan.

   Bisa juga menyuruh si Salju Terbang melompati seperti tadi melompati si penunggang keledai, namun terhadap Sebun Hiong tentu dia sungkan.

   Untunglah Sebun Hiong pun segera memacu kuda hitamnya ke depan.

   Tak lama kemudian, terlihat di sebuah dataran yang tidak begitu lebar, seorang tua bersenjata pedang tengah digempur bertubi-tubi oleh dua orang lawan, satu lelaki dan satu perempuan.

   Yang lelaki bertubuh tinggi kurus, tidak bersenjata, tapi sepasang tangannya begitu panjang sehingga jangkauannya mirip dengan orang bersenjata, tiga jari tangannya berbentuk cakar elang, diapun berkelahi sambil melompat dan menubruk dengan ganas.

   Nyata dia memainkan Eng-jiau-hoat (ilmu cakar elang) yang hebat.

   Ditambah sepasang kakinya yang malah lebih panjang dari tangannya, menendang-nendang dengan aneka ragam serangan, jadilah ia mirip sepotong bambu yang bergoyang-gontai ditiup angin tetapi sangat berbahaya.

   Teman wanitanya berusia kira-kira 40 tahun, berpakaian warna-warni agak menyolok, dan bersenjata pecut yang ujungnya mirip ekor kelabang.

   Diapun nampak cukup lihai dengan permainan pecutnya yang lemas tetapi berbahaya.

   Sedang si orang tua yang dikeroyok dua itu bukan lain adalah orang tua yang dilihat Pakkiong Eng dua hari yang lalu.

   Ia memainkan pedangnya dengan bagus, cahaya sambaran pedangnya banyak membuat garis- garis lengkung yang indah sehingga mirip pelangi putih.

   Namun terlalu berat baginya melawan dua orang lawan lihai dengan ilmu- ilmu mereka yang aneh itu.

   Pundak dan punggung si orang tua sudah bertanda guratan merah bekas kena cakaran si jangkung, beberapa bagian bajunya sudah robek-robek terkeana lecutan si wanita ganas.

   Empat sudut dari arena itu, su-koai menjaga di tempatnya masing-masing dengan wajah dingin kejam.

   Biarpun mereka adalah iblis-iblis yang tidak malu berbuat apapun, namun kesombongan mereka mencegah untuk ikut main keroyok.

   Mereka hanya menjaga jangan sampai si korban kabur.

   Suatu ketika, si jangkung menyerang dengan gerakan aneh.

   Ia melompat ke depan, Di tengah udara mendadak tubuhnya melengkung seperti sepotong kain saja.

   Dua tangan dan dua kaki menyerang sekaligus dengan empat sasaran berbeda.

   Si orang tua keripuhan menghadapi gerak tipu yang tidak lazim itu, namun pedangnya dijulurkan dari samping untuk menikam perut si jangkung.

   Tak terduga sebelum pedangnya kena, cambuk si wanita garang sudah menyambar dari samping, melibat pedangnya dan menyentakkannya kuat-kuat sehingga pedang itu bukan lagi ancaman bagi si jangkung.

   Si orang tua terkesiap, jalan satu- satunya untuk melepaskan diri ialah dengan terpaksa melepaskan pedangnya yang terlilit cambuk, dan menjatuhkan diri bergulingan menjauhi lawan-lawannya.

   Ia selamat, namun dengan pedang sudah menghilang dari tangannya, nasib selanjutnya jelas sulit diramalkan lagi.

   Si jangkung dan si wanita garang terus hendak menghajar mampus orang tua itu, namun gerakan mereka tertahan ketika Siluman Lengan Besi Wan Po berteriak.

   "Tahan!"

   Pertempuran berhenti, dan terdengar suara Wan Po yang seram.

   "Ko-Jun-lim, perguruan Pedang Putihmu sudah hancur lebur, kau tidak mungkin lolos dari tangan kami. Karena itu katakan saja di mana gulungan kulit itu, kami tahu pasti bahwa kau menyembunyikannya dan hendak mengangkangi seorang diri!"

   Orangtua itu bukan lain adalah Ko Jun- lim, Ketua Pek-kiam-pai yang berjuluk Pek- hong-kiam (Pedang Pelangi Putih).

   Besan dari mendiang Majikan Liu-keh-chung.

   Ko Jun-lim pernah ikut berambisi memiliki benda rebutan itu sehingga tidak segan-segan mengorbankan cucu perempuannya sendiri untuk menjebak si kacung Liu Beng yang diduganya menyimpan gulungan kulit itu.

   Kemudian dia masuk ke rangkulan Hek-eng-po, tetapi akhirnya iapun memetik buah perbuatannya sendiri yang penuh khianat itu.

   Ketika pihak Hek-eng-po tak juga menemukan gulungan kulit itu, maka Ko Jun-lim lah yang dicurigai, sehingga dia pun diburu-buru oleh orang-orang Hek-eng-po termasuk Su-koai serta si jangkung dan si wanita garang itu.

   Si jangkung itu adalah seorang jagoan Hek-eng-po yang bernama Biau Ek-hong dan berjuluk Tiat-jiau-eng (elang bercakar besi).

   Si perempuan ga- rang bernama Ciu Peng dan berjuluk Tok-gia-kang (si kelabang beracun).

   Kedua-duanya adalah jago-jago andalan Benteng Elang Hitam, meskipun kepandaian mereka masih di bawah Su-koai.

   Kini, terkepung enam orang musuh tangguh yang jelas tak mungkin ditembusnya, Ko Jun-lim nampak mengenaskan sekali wajahnya.

   Pakaiannva sudah robek-robek tak karuan, wajahnya pucat dan tubuhnya luka- luka.

   "Wan Lotoa,"

   Katanya kepada Wan Po "Apa lagi yang bisa aku katakan kalau aku memang betul-betul tidak tahu? Kalian cincang tubuhku seperti kalian sudah mencincang Kiau Bun adik seperguruanku, juga percuma saja.

   Aku akui bahw aku pernah mati-matian memburu benda itu dari besanku sendiri di Liu- keh-chung tapi aku benar-benar tidak mendapatkannya..."

   "Kau masih berani ingkar?"

   Bentak Hau It-yau si Siluman Terbang.

   "Siapa percaya kepada bualanmu? Rupanya kau lebih sayang benda itu daripada nyawamu ya?"

   Wajah agung seorang ketua perguruan tidak nampak lagi di wajah Ko Jun-lim.

   Wajah itu adalah wajah seorang tua yang tak berdaya dan mewek-mewek hampir menangis.

   Ia benar-benar tersiksa oleh keputus-asaan dan penyesalan.

   Ia memaki dirinya sendiri, kenapa sudah begitu tua masih juga dikuasai keserakahan untuk memiliki barang yang bukan haknya? Kini biarpun dia menerangkan sampai mulutnya robek, orang-orang Hek-eng- po tak bakal percaya bahwa dia tidak tahu tentang gulungan kulit itu.

   Berkali-kali ia menarik napas berat, lalu katanya pasrah.

   "Marilah, silahkan kalian cincang aku saja. Barangkali akan kalian temukan benda itu terselip di tulang-tulangku atau di dalam ususku. Aku sudah habis akal untuk menerangkan kepada kalian..."

   "Bangsat ubanan ini benar-benar nekad,"

   Kata Gip-hiat-koai Pek-hong-teng.

   "Dia minta dicincang, mari kita kabulkan permintaannya..."

   Saat "permintaan hampir dikabulkan"

   Suara derap kaki dua ekor kuda hitam dan putih terdengar mendekat dan memantul di lereng-lereng pegunungan. Sebun Hiong dan Pakkiong Eng berderap mendekat, bahkan terdengar suara Pakkiong Eng yang nyaring.

   "Iblis-iblis Hek-eng-po, kalian belum jauh dari tempat Hwe-liong-pang tetapi sudah berani merajalela?"

   Su-koai menoleh, dan mereka mengenali Pakkiong Eng.

   Tapi kali ini su-koai agaknya tidak bisa digertak lagi dengan nama Hwe-liong-pang, sebab merasa sudah berada di "daerah tak bertuan".

   Kedatangan Pakkiong Eng justru membuat darah mereka mendidih karena teringat bagaimana "pemuda"

   Itu sudah mempermainkan mereka di kedai.

   "Losam, bereskan mereka!"

   Perintah Wan Po kepada Hau It-yau.

   "Baiklah,"

   Sahut si Siluman Terbang. Caping bambunya dicopot dari kepalanya, dan sedetik kemudian sudah mendesing dan berpusing hebat. Karena Sebun Hiong berada di depan Pakkiong Eng, maka anak muda itulah yang menjadi sasaran caping terbang itu.

   "Hati-hati, Sebun-Heng,"

   Pakkiong Eng memperingatkan.

   "Caping itu sudah memotong banyak kepala..."

   "Tapi tentunya kepalaku harus dikecualikan..."

   Sahut Sebun Hiong sambil tersenyum.

   Tubuhnya tinggi gagah, namun setelah bergerak nampak begitu entengnya.

   Tubuhnya tiba-tiba melambung meninggalkan punggung kudanya untuk melayang ke depan, seperti seekor burung besar berbulu ungu, dan caping yang menerjangnya itu malah dijadikannya injakan untuk melayang terus ke depan.

   Itulah peragaan gin-kang yang hebat.

   Sebun Hiong terus meluncur ke depan dan yang ditujunya adalah Wan Po si Siluman Lengan Besi.

   Tinjunya yang besar menggempur ke ubun-ubun Wan Po dengan jurus Tok-pek- hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa- san).

   Deru serangan itu membuat Wan Po kaget dan tak berani memandang rendah.

   Cepat ia merendahkan tubuh sambil memasang kuda-kuda, telapak tangannya menyongsong tinju Sebun Hiong secara keras lawan keras.

   Sesuai dengan julukannya sebagai Siluman Lengan Besi (Tiat-pi-koai), diapun memiliki kekuatan tangan yang hebat.

   Benturan terjadi dengan hebat, Sebun Hiong yang tengah melayang di udara itupun terpental mundur, tapi dengan manis membuat dua putaran di udara dan mendarat di tanah tanpa kurang suatu apapun.

   Sedang Wan Po merasa tangannya tergetar keras, tubuhnya tersentak mundur selangkah dan dadanya sesak.

   Katanya dengan kaget.

   "Kun-goan-sin-kang (Tenaga Sakti Alam Semesta)! Kau dari Keluarga sebun di Se- shia?!"

   Sebun Hiong yang bangga dengan kekuatan tangannya itupun dipaksa merasakan pegal pada lengannya, diam-diam harus mengakui bahwa tidak percuma Empat Siluman mempunyai nama besar di dunia persilatan. Tapi ia juga bangga dengan nama keluarganya.

   "Betul! Akulah Sebun Hiong yang disebut Ci-him ( si beruan ungu). Kalian cepat minggat dari hadapanku!"

   Wan Po memang tergetar mendengar nama Keluarga sebun, tapi nama itu masih kalah menggetarkan dari nama Ketua Hwe- liong pang, lagi pula di belakang Wan Po ada Majikan Hek-eng-po yang dianggapnya sesakti.

   Karena itu Wan Po tidak ingin terus-meneru menjadi bahan gertakan orang lain, sahutannya.

   "Hem, masa nama Sebun Him saja bisa membuatku ketakutan?"

   Habis berkata demikian, sambil memiringkan tubuhnya ia menekuk jari-jari tangannya dan mencengkeram secepat kilat ke tenggorokan Sebun Hiong.

   Itulah jurus Poan- liong-yau-po (Naga Melangkah).

   Sebun Hiong marah mendengar nama ayahnya direndahkan.

   Dua telapak tangannya bergerak sekaligus, telapak kanan menekan ke dalam dan telapak kiri menebas ke sikut Wan Po, sebuah gerakan hendak mematahkan lengan lawan di bagian sikut.

   Sekaligus kakinya naik untuk menendang ke rusuk pula.

   Cepat wan Po berputar mundur sambil menarik tangannya, dilain kejap sepasang tangannya berputar seperti roda kereta dan menggempur dengan Oh-li-ong-yu-hai (naga hitam mengaduk samudera).

   Begitu ia kerahkan tenaganya, maka berjangkitlah angin pukulan yang sanggup mengguncangkan sebatang pohon sekalipun, sementara tangan besinya sendiri akan mampu memukul hancur sebongkah batu pdas.

   Tanpa kenal takut, Sebun Hiong bukan menghindari, tapi justru menerjang ke tengah deru pukulan musuhnya sambil mengerahkan kekuatan pukulan pula.

   Maka kedua orang itupun bertempur seperti dua buah prahara dahsyat yang bertabrakan.

   Debu dan rumput- rumput kering berhamburan naik terhembus oleh angin pukulan mereka yang berpusar hebat.

   Sementara itu, Hau It-yau telah menangkap kembali caping terbangnya yang gagal pada serangan pertaman.

   Kini caping itu kembali menyambar ke arah leher Pakkiong Eng untuk memenggal kepalanya.

   Sadar akan kehebatan si Kelana Tunggal Berkuda Putih, Hau It-yau menyertakan selurh tenaga dalamnya ke dalam serangannya kali ini.

   Itulah sebabnya caping itu melesat dengan kecepatan berkali lipat dari biasanya, bahkan meperdengarkan suara mendengung yang menyeramkan.

   Masih duduk di atas kuda putihnya, Pakkiong Eng tangkas sekali memasang sebatang panah berekor putih di busurnya.

   Ia sudah melihat ketangkasan Sebun Hiong, dan dia pun tergoda untuk menunjukkan kehebatannya pula agar tidak kalah pamor.

   Tenaga sakti Hwe-liong-sin-kang yang sangat panas itu dikerahkan ke batang panahnya sehingga ujung panah dari logam itu seolah menyala.

   Sekejap kemudian panah itupun melesat menyambut caping terbang Hau It- yau.

   Adegan seperti pertarungan antara dewa-dewa di jaman kuno yang mengadu po- we (senjata jimat) mereka.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Caping bambu dan panah berujung menyala itu bertabrakan di udara, lalu caping bambu itu bukan sekedar terpanah tembus dan jatuh ke tanah, tetapi juga tiba-tiba menyala terbakar.

   Pakkiong Eng menyimpan busur dan panahnya sambil tertawa.

   "Sudah seja dulu aku katakan bahwa caping rongsokanmu itu tidak berguna di hadapanku, tapi kau belum jera juga."

   Hau It-yau benar-benar kaget bahwa Pakkiong Eng si "pemuda"

   Ingusan itu ternyata sehebat itu dalam hal lwe-kang (tenaga dalam).

   Tenaga dalam bersifat panas membakar itu di dunia persilatan dikenal sebagai milik seorang Panglima Manchu di Pak- khia, ibukota kekaisaran.

   Pakkiong Liong, Panglima pasukan Berani Mati Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang), yang julukannya sendiri adalah Pak-liong (Naga Utara).

   Diam- diam Hau It-yau menebak-nebak, entah ada hubungan apa antara "Kiong Eng "

   Ini dengan Pakkiong Liong si panglima termasyhur itu? Muncul setitik rasa gentar di hati Hau It-yau.

   Ketika melihat Pakkiong Eng telah melompat turun dari kudanya sambil membawa pedang dan menghampiri ke arahnya, tanpa malu-malu lagi Hau It-yau berteriak kepada rekannya Pek Hong-teng.

   "Losi, kita lawan bersama!"

   Pakkiong Eng mengejek.

   "Begitupun baik. Supaya tidak terlalu berat, kalian lawan aku berdua..."

   Biarpun mulutnya mengejek, tapi sebenarnya Pakkiong Eng agak gelisah juga di hati.

   Dalam keadaan biasa, gabungan dua dari Su-koai itu pasti akan bisa diimbanginya.

   Tapi saat itu tubuhnya tidak sesehat hari-hari biasanya, hari itu adalah hari khusus bagi seorang wanita.

   Sementara itu, Pek Hong-teng telah mendekat pula, bahkan langsung mengurai cambuknya yang penuh duri melengkung sehingga mirip kerangka ular itu.

   Cambuk yang dibanggakannya dengan nama Li-ong-kut-pian, Ruyung Tulang Naga.

   Sesaat tiga orang berdiri berhadapan, masing-masing tidak ada yang berani gegabah untuk menyerang lebih dulu.

   Di saat ketegangan mencekam arena, dari jalanan gunung sana terdengar suara ketoplak-ketoplak tak teratur.

   Lalu muncul seekor keledai yang berjalan sempoyongan, ditunggangi seorang pemuda yang pakaiannya seperti orang desa.

   Duduk terkantuk-kantuk dengan mata separuh terpejam.

   Tapi begitu melihat sengitnya pertempuran di lembah kecil itu, mata si penunggang keledai terbelalak kaget, ia berteriak "Haiya!"

   Dan terperosot jatuh dari keledainya. Lalu diapun berteriak-teriak ketakutan.

   "He, jangan berkelahi! ada urusan apa saja boleh didamaikan di depan hakim, kenapa harus main senjata untuk menyelesaikan masalah?!"

   Diam-diam Pakkiong Eng mencemaskan nasib si penunggang keledai yang nampak begitu ketolol-tololan, mungkin kecerdasannya tidak melebihi binatang tunggangannya.

   Karena itu, ketika melihat si penunggang keledai itu berjalan mendekat sambil berkali- kali meneriakkan "jangan berkelahi", maka Pakkiong Eng berteriak.

   "He, tolol, jangan mendekat ke sini! Berbahaya!"

   "Berbahaya?"

   Tanya si penunggang keledai yang sudah menuntun keledainya sampai sepuluh langkah dari arena.

   "Ya, berbahaya sekali!"

   Sahut Pak- kiong Eng.

   "Merekalah siluman-siluman yang membunuh orang seringan membunuh lalat saja...!"

   "Haiya. ..celaka!"

   Teriak si penunggang keledai kaget.

   Mungkin karena kaget dan takutnya, kakinya menjadi lemas dan ia ber jongkok di rerumputan dengan muka pucat, kedua tangannya menutupi kepalanya.

   Sedang keledainya tenang-tenang saja merumput di sebelah tuannya.

   Pakkiong Eng gemas bercampur kuatir melihat tingkah orang itu, tapi ia tidak sempat lagi memperingatkannya, sebab Gip-hiat-koai siluman penghisap darah Pek Hong-teng telah mengayun cambuknya menderu di udara, kemudian menggempur Pakkiong Eng dengan hebatnya.

   Terpaksa Pakkiong Eng mulai memutar pedangnya pula dan meladeni lawannya, apalagi ketika kemudian Hui-thian-koai (Siluman Terbang) Hau It-yau mulai terjun ke gelanggang untuk membantu rekannya.

   Biarpun bertangan kosong karena capingnya sudah rusak, Hau It-yau tetap seorang lawan yang berbahaya.

   Jadilah pertempuran satu lawan dua.

   Pakkiong Eng memainkan Thian-liong-kiam- hoat (Ilmu Pedang Naga Langit) dengan hebatnya.

   Tubuhnya yang terbungkus pakaian putih seakan telah bersatu dengan pedangnya yang bercahaya keperak-perakan.

   Gerakannya seperti seeko naga yang menari-nari di angkasa, membuat orang ketiga dan orang keempat dari Empat Siluman itu tidak berani memandang rendah.

   Sementara itu Ketua Pek-kiam-pai Ko Jun- lim merasa ada harapan lagi untuk keluar dari jaring maut, setelah melihat munculnya dua pemuda perkasa yang memihak kepadanya.

   Apalagi ketika mengetahui bahwa mereka adalah si Beruang Ungu dan Si Kelana Tunggal Berkuda Putih yang sama-sama terkenal itu.

   Ketika itu, dua bekas lawannya tengah tidak memperhatikannya, karena sedang melihat ke arah dua lingkaran pertempuran yang berlangsung di lembah sempit itu.

   Sesaat Ko Jun-lim melirik kepada pedangnya yang tergeletak di tanah karena tadi dilibat dan dirampas oleh cambuk Tok-gia-kang Ciu Peng, memperhitungkan jarak tempat berdirinya dengan pedang itu, dan mengumpulkan semangatnya.

   Tiba-tiba ia berguling dengan cepat, tangannya dengan tepat berhasil meraih tangkai pedangnya dan menggenggamnya erat-erat, seerat menggenggam harapannya yang terakhir, bahkan disabetkannya pedangnya ke arah kedua kaki Ciu Peng yang berdiri dekat dengannya.

   Gerakan Ko Jun-lim memang mengejutkan, Ciu Peng maupun Biau Ek-hong tidak sempat mencegah orang tua itu mendapatkan pedangnya kembali.

   Ciu Peng melompat menghindari sabetan ke kakinya, tapi karena kurang siap maka betisnya terluka juga oleh pedang.

   "Bangsat tua yang ingin mampus!"

   Teriak Ciu Peng marah.

   Cambuk ekor kelabangnya segera berputar menghantam Ko Jun-lim dengan gerak Hek-hun hoan-hu (mega hitam bergulung).

   Tapi Ko Jun-lim sudah siap menghindar dan kemudian membalas menikam dari samping.

   Saat itulah Biau Eng-hong meluncur datang, dengan sepasang tangannya yang kurus tetapi sangat panjang itu dia sekaligus menerkam ke wajah dan tenggorokan Ko Jun- lim.

   Ketiga orang itu kembali bertempur.

   Sekarang beban Ko Jun-lim lebih ringan bukan saja karena betis Ciu Peng suda luka sehingga wanita yang buas itu berkurang kelincahannya, tetapi juga karena Ko Jun-lim sudah timbul harapan hidupnya, sehingga diapun bertarung mati-matian untuk mewujudkan harapannya itu.

   Tapi Ko Jun-lim tetap merasa berat juga menghadapi keroyokan dua jago Hek-eng-po itu.

   Sudah tidak ada yang menganggur di lapangan adu nyawa itu.

   Hek-hok-koai (siluman kalong hitam) Kongsun Gi yang tadinya belum menemukan lawan, kini harus membantu Wan Po, sebab tanpa bantuannya maka Wan Po didesak Oleh Sebun Hiong.

   Dengan bantuannya, dapatlah mereka berdua membalas mendesak Sebun Hiong yang kini terpaksa menghunus pedangnya.

   Yang masih menganggur cuma si anak desa dan keledainya di pinggir arena dan beberapa ekor kuda dari orang-oran yang tengah bertempur itu.

   Si anak desa ternyata adalah seorang penonton yang bersemangat.

   Lupa akan rasa takutnya, ia menonton pertempuran itu dengan gembira, seperti melihat adu ayam saja.

   Kadang-kadang ia bertepuk tangan atau melompat-lompat kegirangan sambil berteriak- teriak.

   "Bagus...bagus...! Wah, sayang...kurang sedikit lagi pasti ken !"

   Bukan saja orang-orang Hek-eng-po yang jengkel, tetapi Sebun Hiong dan Pakkiong Eng ikut jengkel pula, karena mereka dianggap tontonan saja.

   Tapi mereka tidak berani memecah perhatian, sebab masing-masing menghadapi dua lawan berat.

   Setelah pertempuran berjalan puluhan jurus, segera Ko Jun-lim terlihat mulai terjeblos kesulitan.

   Ia sudah tua, tenaganya sudah berkurang, biarpun semangat tempurnya menggebu-gebu karena datangnya bantuan, namun lama-lama mulai kehabisan napas juga.

   Gerakan pedangnya semakin kendor, dan kedua lawannya, semakin beringas.

   Suatu ketika Biau Ek-hong menyerang hebat.

   Habis luput menubruk dari angkasa, tiba-tiba ia merendahkan diri hampir rata dengan tanah.

   Kedua tangannya bertumpu tanah, sementara kedua kakinya menyapu bergantian dan beruntun ke bagian bawah tubuh Ko Jun-lim.

   Dari arah lain Ciu Peng menggempur gencar bagian atas tubuh Ketua Pek-kiam-pai itu dengan cambuknya.

   Ko Jun-lim jadi kerepotan bukan main.

   Pedangnya harus selalu di atas untuk menghalau cambuk Ciu Peng yang bergeliatan bagaikan puluhan ekor ular terbang, sementara ia dipaksa berlompat-lompatan seperti monyet kepanasan untuk menghindari sepasang kaki Biau Ek-hong yang menyapu seperti baling- baling.

   Kaki yang kurus seperti sebatang bambu itu ternyata tidak dapat dianggap ringan kekuatannya.

   Ketika sebuah sapuan luput, kaki itu mengenai sebuah batu sebesar kambing, dan batu itupun terpental dua tombak lebih.

   Ketika Ko Jun-lim makin tersudut, Ciu Peng menyerbu dengan ganas.

   Cambuknya tiba-tiba saja berhasil membelit pedang Ko Jun-lim dan hendak disentakkan lepas seperti tadi.

   Namun saat Ko Jun-lim terancam, tiba- tiba terjadi keanehan.

   Entah dari mana datangnya, tahu-tahu segenggam tanah melayang ke mata Ciu Peng.

   Ciu peng terkejut dan memejamkan matanya, namun tetap saja sebagian kecil tanah masuk ke matanya dan membuat pedas.

   Apa boleh buat, bukan Ko Jun-lim yang harus melepaskan pedangnya, tetapi dialah yang harus melepas cambuknya yang membelit pedang lawan, dan buru-buru melompat mundur sambil mengucak-ucak matanya.

   Biau Eng-hong juga mengalami kejadian aneh.

   Kakinya tengah menyapu ke betis ko Jun-lim, tapi sebelum mengenai sasaran, tiba- tiba jalan darah Goan-tiau-hiat di belakang lututnya serasa tersentuh sesuatu dan kakinya pun menjadi lemas mendadak.

   Bukan saja sapuannya gagal, malah sepasang kakinya yang panjang itu hampir saja saling membelit satu sama lain karena tenaganya tak terkendali.

   Dengan gugup ia melompat mundur pula, bukan dengan melompat, tetapi terpaksa harus merangkak.

   Ko Jun-lim sendiri heran, kenapa lawan- lawannya tiba-tiba melepaskan peluang- peluang emas mereka dan mundur dengan sikap seaneh itu? Sementara itu Ciu Peng berhasil membersihkan matanya namun tidak benar- benar bersih, matanya masih berair dan pandangannya kabur.

   Sedang cambuk kebanggaannya sudah tidak ada di tangannya lagi.

   Biau Ek-hong juga berhasil melompat bangun setelah mengurut-urut jalan darahnya di belakang lutut.

   Kembali mereka bertiga bertempur, tapi keadaan Ko Jun-lim membaik sedikit lagi gara- gara kejadian aneh tadi.

   Namun, di sebelah lain, Sebun Hiong mulai terdesak hebat.

   Betapa pun perkasanya putera Keluarga sebun itu, tetapi lawan- lawannya adalah Tiat-pi-koai Wan Po, yang bertenaga rasaksa dan bertangan sekeras besi serta Hek-hok-koai Kongsun Gi yang begitu lincahnya, sehingga mampu "beterbangan seperti seekor kelelawar asli.

   Dua macam gaya bertempur yang bergabung dan membuat Sebun Hiong yang berkelahi segarang seekor beruang itu menjadi kewalahan.

   Tapi ketika itulah Kongsun Gi mulai terpecah perhatiannya ketika melihat ulah si anak desa di pinggir arena.

   Kiranya anak desa itu mulai bosan menonton pertempuran, lalu dia mulai mendekat ke arah kuda-kuda yang tegar itu, jauh bedanya dibandingkan keledai tunggangannya yang kalau berjalan seperti habis minum arak.

   Mula-mula, pemuda itu hanya menepuk-nepuk kuda kelabu itu sambil berdecak-decak kagum, dibelai-belainya bulu suri kuda itu dan entah apa yang diucapkannya.

   Lalu mulai memegang-megang pelana, dan tangannya, merogoh-rogoh masuk ke kantong pelana.

   Ketika tangannya keluar kembali, sudah digenggamnya segebung lembaran kertas bertuliskan huruf-huruf hitam dan merah.

   Dengan gaya ketolol-tololan ia membolak-balik kertas-kertas itu, berusaha membaca huruf-huruf namun tidak bisa.

   Lalu menggerutu.

   "Ah, keterlaluan sekali, kertas- kertas jelek macam ini kenapa disimpan?"

   Lalu seenaknya ia merobek-robek kertas-kertas itu satu demi satu dan dilempar- lemparkan seenaknya. Melihat itu, keruan Kongsun Gi menjadi gugup.

   "He, bangsat cilik, yang kau lakukan?! Jangan kau sobek kertas-kertas itu! Celaka..,"

   Ada alasannya kenapa Kongsun Gi menjadi segugup itu.

   Kertas-kertas itu bukan kertas sembarangan, tetapi kertas berharga yang setiap lembarnya berharga selaksa tahil emas.

   Dulu ketika Kongsun Gi ikut mencegat dan menumpas rombongan Liu-keh-chung, biarpun gagal menemukan gulungan kulit, tapi mereka mendapat belasan peti harta kekayaan Liu-keh-chung yang nilainya tak terhingga.

   Kongsun Gi mendapat bagian pula yang lalu disimpannya di sebuah bank di Tiang-an, sebagai gantinya ia mendapat kan kertas- kertas berharga yang lebih mudah dibawa- bawa.

   Kini melihat kertas- kertas itu disobek- sobek si pemuda desa, sama saja ia melihat tumpukan emas-intan-berliannya tersapu banjir di depan hidungnya.

   "Keparat!"

   Teriak Kongsun Gi murka.

   Lupa sedang menghadapi Sebun Hiong, perhatiannya begitu kacau, sehingga pedang Sebun Hiong berhasil menggores panjang di lengannya.

   Kalau Wan Po tidak cepat-cepat menolongnya, mungkin perutnya pun akan ditembusi pedang Sebun Hiong.

   "Jangan gugup, Loji, harta bisa dicari lagi!"

   Wan Po menghibur temannya itu sambil melancarkan pukulan beruntun ke arah Sebun Hiong.

   "Tanpa kertas-kertas itupun kita bisa menguras seluruh isi bank Hin-seng di Tiang- an itu sesuka hati kita. Siapa berani menghalangi?"

   Tapi Kongsun Gi sudah terlanjur kacau pikirannya, tiba-tiba ia melompat keluar gelanggang dan berkata.

   "Biar aku hajar mampus bocah itu lebih dulu! Tidak akan memakan lebih dari satu jurus!"

   Wan Po tidak mencegahnya lagi.

   Ia percaya omongan temannya, tentu tidak makan waktu banyak untuk mencopot kepala si pemuda desa yang bertangan jahil itu.

   Biarpun berat kalau harus melawan Sebun Hiong sendirian, tapi Wan Po merasa sanggup bertahan sampai Kongsun Gi kembali ke gelanggang.

   Bagaikan seekor kelelawar, jubah hitam di belakang tubuhnya seperti sayapnya, Kongsun Gi menerkam ke arah si pemuda desa yang tengah asyik mengobrak-abrik isi kantong pelananya.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tangannya telah terulur dan siap dengan kebiasaan lamanya, mencopot kepala manusia dengan cara dipetik...

   **OZ** Bersambung ke

   Jilid 12 Pojok Dukuh, 23-092018; 18.35 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 12

   "Haiya!"

   Si pemuda desa berteriak, dengan sikap ketakutan dia menyusup ke bawah perut seekor kuda sambil mengerutkan kepalanya, dan serangan Kongsun Gi itupun luput.

   Ini mengherankan Kongsun Gi sendiri, rasanya ia melihat suatu keajaiban ketika nampak kepala si anak desa masih menempel utuh ditubuhnya.

   "He, jangan marah!"

   Teriak si pemuda desa.

   "Kalau kau marah hanya karena kertas- kertas jelek tadi, nanti aku mintakan ganti yang lebih bagus kepada pamanku yang suka membuat layang-layang..."

   "Keparat!"

   Kongsun Gi kembali melompat, kali ini dengan seluruh kekuatan dan kecepatannya, setelah lebih dulu mengincar dan memperhitungkan gerak calon korbannya.

   Tapi, si pemuda desa kembali luput selicin belut.

   Kongsun Gi berjanji kepada Wan Po hanya akan membutuhkan satu jurus untuk membereskan pemuda desa itu.

   Ternyata kemudian mulur menjadi dua jurus, tiga jurus, lima belas jurus dan belum berhasil juga.

   Ia terlibat permainan "kucing-kucingan"

   Dengan si anak desa tanpa tahu kapan berakhirnya.

   Anak desa itu dengan gesit luar biasa menyusup-nyusup dan melingkar-lingkar di antara enam ekor kuda yang ditambatkan berdekatan di situ.

   Kadang-kadang tak segan merangkak di bawah tubuh kuda dengan ketangkasan seperti seekor rubah.

   Sia-sia saja Kongsun Gi yang membanggakan ketangkasan tubuhnya itu mengejar kian kemari...

   Sementara Wan Po yang sekian lama ditinggal, mulai terdesak oleh Sebur Hiong.

   "Loji, kau sudah selesa belum?!"

   Ia meneriaki Kongsun Gi yang janjinya cuma sebentar.

   "Sebentar, Lotoa!"

   Sahut Kongsun Gi yang masih uber-uberan dengan si anak desa tanpa hasil.

   "Sebentar lagi..."

   Tapi suara Kongsun Gi sudah tidak mengandung keyakinan lagi. Ia sendiri tidak tahu seberapa lamanya ukuran "sebentar"

   Itu.

   "Bangsat gila cilik! Siapa kau sebenarnya?!"

   Bentaknya.

   Si anak desa masih saja lari berputar- putar di antara kuda-kuda, tanpa menjawab.

   Bahkan kini tangannya mulai ikut bekerja pula untuk menyakiti kuda-kuda itu dengan ujung jari-jarinya, sehingga kuda itu melonjak-lonjak dan menyepak-nyepak sambil meringkik dengan ributnya.

   Itu sangat mempersulit Kongsun Gi.

   Ia harus hati-hati pula agar tidak menjadi korban tendangan kuda.

   Kesulitan Kongsu Gi itu dilirik oleh Wan Po dan terkejutlah orang tertua dari Empat Siluman itu.

   Matanya yang tajam bisa melihat, meskipun anak desa itu kelihatannya bergerak serabutan tapi keberhasilannya meloloskan diri sekian lama dari kejaran Kongsun Gi jelas bukan semacam kebetulan saja.

   Wan Po merasa bahwa tugas mereka kali itu telah terbentur rintangan yang tidak gampang diatasi.

   Apalagi mengingat wilayah itu masih dekat dengan wilayah Se-cuan yang merupakan tempat pengaruh Hwe-liong-pang, dia menjadi jeri sendiri.

   Karena itu, dibawah desakan Sebun Hiong, dia terpaksa memberi tanda kepada teman-temannya untuk mundur semua...

   Teman-temannya pun merasakan pula keanehan si anak desa itu, sehingga merekapun memutuskan untuk mundur saja.

   Demikianlah, mereka berlompatan keluar dari arena, kemudian menaiki kuda masing-masing, dan sesaat mereka sudah menghilang di balik tikungan bukit sana dengan meninggalkan debu tipis.

   Ketua Pek-kiam-pai Ko Jun-lim nampak kelelahan sekali, napasnya terengah-engah dan luka-luka di pundak serta punggungnya mengalirkan darah, tapi wajahnya nampak lega karena lolos dari kejaran orang-orang Hek- eng-po yang kejam-kejam itu.

   Lebih dulu ia sarungkan pedangnya, lalu memberi hormat dan mengucap terima kasih kepada Sebun Hiong dan Pakkiong Eng yang dianggapnya tuan-tuan penolongnya.

   "Jangan terlalu sungkan, Ketua Ko,"

   Sebun Hiong membalas hormat.

   "Kewajiban saling menolong adalah kewajiban seluruh kaum persilatan. Iblis-iblis tadi agaknya gentar kepada nama keluarga Sebun kami, sehingga mereka lari lintang pukang..."

   Sebun Hiong mengatakannya dengan nada bangga, tetapi Pakkiong Eng berkata dengan mengerutkan alis.

   "Namun kita rasanya baru saja lolos dari lubang jarum. Kalau tidak ada si anak desa tadi...he, ke mana dia?!"

   Walaupun Pakkiong Eng sudah menoleh celingukan ke semua arah, namun si anak desa tadi sudah tak kelihatan lagi bayang- bayangnya.

   Keledainya ditinggalkan sendirian merumput di dekat situ, dan tentu saja keledai itu tidak bisa ditanyai kemana perginya tuannya yang aneh itu.

   "Rasanya orang tadi bukan orang sembarangan..."

   Kata Pakkiong Eng. Ko Jun-lim mendukung.

   "Benar, saudara Kiong. Ketika aku terancam bahaya oleh kedua lawanku tadi, mendadak saja mereka mundur sendiri. Yang satu menggosok-gosok matanya, lainnya mengurut-urut belakang lututnya. Tentu ulah si anak desa tadi..."

   "Ah, tidak usah menduga yang bukan- bukan.

   "

   Potong Sebun Hiong.

   "Apa anehnya berlari-lari di antara tubuh beberapa ekor kuda? Hanya suatu keberuntungan saja bahwa dia lolos dari maut..."

   Pakkiong Eng diam saja mulutnya, namun membantah dalam hati, mana ada kebeberuntungan semacam itu? Ia memikir, putera keluarga Sebun ini agaknya seorang yang segan mengakui kelebihan orang lain.

   "Ketua Ko, sekarang ke mana tujuanmu berikutnya?"

   Tanya Sebun Hiong kemudian kepada Ketua Pek-kiam-pai. Sesaat lamanya Ko Jun-lim termangu- mangu sedih.

   "Aku... aku tidak tahu akan pergi kemana lagi. Perguruanku dan rumahku sudah dihancurkan oleh iblis-iblis tadi, gara-gara sebuah benda yang aku sendiri tidak tahu di mana tempatnya...

   "Aku tadi sempat mendengar sedikit, tentang ...gulungan kulit itu?"

   Tanya Sebun Hiong.

   "Ya."

   "Kami keluarga Sebun akan gembira sekali kalau Ketua Ko bersedia menganggap kami sebagai sahabat dan berdiam di rumah kami yang kecil di Se-shia."

   Sesaat Ko Jun-lim merasa was-was, jangan-jangan keluarga sebun mengundangnya hanya sebagai perangkap untuk mengincar gulungan kulit itu pula? Begitulah Ketua Pek-kiam-pai itu.

   Dirinya sendiri tidak segan-segan menggunakan cara kotor terhadap Liu-keh-chung, maka dia pun kuatir karena menganggap jangan-jangan orang lain pun akan menjebak dirinya.

   Namun kelihatannya Sebun Hiong tidak menyembunyikan maksud apa-apa, maka Ko Jun-lim lalu menyatakan setuju dengan sedikit basa-basi.

   Ia pikir, lebih baik berlindung di keluarga Sebun yang terkenal itu, daripada berkeliaran tak tentu arah dan terancam oleh orang-orang Hek-eng-po.

   Maka rombongan yang terdiri dari tiga orang itupun segera berjalan menuju Se-shia di propinsi siam-say.

   Tujuan Pakkiong Eng untuk mengunjungi Keluarga Sebun, selain untuk menyatakan hormat kepada pendekar terkenal Sebun Him, juga diam-diam ingin mencari tahu kenapa keluarga Sebun ikut-ikutan mencari jejak Pangeran In Ceng pula? Ingin diketahui oleh Pakkiong Eng untuk dilaporkan kepada ayahnya.

   **OZ** BAGIAN SEBELAS Rumah Keluarga Sebun sebenarnya tidak terletak di dalam kota Se-shia, melainkan di luar kota, tidak jauh dari dinding kota.

   Bentuk rumah itu meninggi seperti puri kediaman para bangsawan Jepang, di depan pintu gerbangnya melintang sebatang sungai dengan jembatannya yang kokoh.

   Di samping kesan kuat, juga terdapat kesan sejuk karena banyaknya pohon cemara di sekitar dan di bagian dalam benteng itu.

   Ketika pintu gerbang terbuka, orang tidak bisa langsung melihat ke halaman dalam, sebab di balik pintu gerbang itu ada dinding penghalang pandangan yang berlukis gambar seekor beruang besar yang berdiri di atas kaki- kaki belakangnya, dan merentangkan sepasang cakar depannya dengan garang.

   Itulah lambang yang disegani di dunia persilatan.

   Sebun Hiong menjalankan kudanya di depan sebagai pemimpin jalan, Pakkiong Eng dan Ko Jun-lim berendeng berkuda di belakangnya.

   Rasanya mereka sedang diajak masuk sebuah tangsi tentara, melihat angkernya bangunan itu.

   Ko Jun-lim merasa jantungnya berdegup keras karena membentuk bayang- bayangan menakutkan di otaknya sendiri "Kalau Keluarga Sebun bermaksud jahat kepadaku, aku bisa mampus dalam rumah mirip benteng ini.

   Gampang masuknya tidak gampang keluarnya."

   Sedangkan Pakkiong Eng adalah puteri seorang panglima terkenal, pernah juga beberapa kali diajak ayahnya untuk melihat benteng-benteng tentara, bahkan di garis depan yang menghadap langsung perbatasan Kekaisaran Rusia.

   Melihat rumah Keluarga Sebun itu, diam-diam ia pun mengaguminya.

   Tempat itu nyaris sempurna memenuhi syarat sebuah benteng, mudah dipertahankan dengan orang yang jauh lebih sedikit untuk menghadapi serbuan orang yang berkali lipat banyaknya.

   Tapi Pakkiong Eng heran dalam hati.

   "Buat apa? Seolah-olah Keluarga Sebun siap- siap hendak berperang saja, padahal keadaan negeri cukup aman."

   Ketika itu, Sebun Hiong telah mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya, sebagai isyarat untuk dilihat orang-orangnya yang berada di atas benteng.

   Orang-orang di atas benteng memberi isyarat kepada penjaga pintu gerbang, lalu penjaga pintu gerbang membuka pintu lebar-lebar.

   Seperti sebuah benteng menyambut kedatangan seorang Panglima.

   "Boleh juga lagak keluarga ini,"

   Pakkiong Eng tersenyum dalam hatinya.

   Ketiga ekor kuda itu berderap menuju pintu gerbang, melewati sebuah jalan yang agak menanjak.

   Di pintu gerbang, barulah mereka turun dari kuda.

   Beberapa pelayan menyambut kuda-kuda mereka untuk dibawa langsung ke istal.

   Melihat bentuk tubuh dan sikap pelayan-pelayan itu, Pakkiong Eng dan Ko Jun-lim sama-sama menaksir bahwa merekapun terdidik silat.

   Entah berapa banyak jumlah pelayan semacam itu.

   Nampaknya Keluarga Sebun benar-benar ingin menjadikan tempatnya sebagai sarang macan.

   "Silahkan, Ketua Ko dan saudara Kiong,"

   Dengan ramah Sebun Hiong mempersilahkan tamu-tamunya.

   Sambil memanggul pedangnya yang tetap bersarung dan menenteng busur dan bumbung anak panahnya, Pakkiong Eng mengikuti Sebun Hiong lewat sebuah jalan kecil yang dibuat dari lempengan-lempengan batu.

   Kiri kanan jalan diapit pohon-pohon bunga yang teratur rapi dan tengah disirami oleh beberapa pegawai keluarga Sebun.

   Ko Jun-lim berjalan disebelahnya dengan sikap tegang sambil menoleh kesana kemari.

   "Sebun-heng,"

   Kata Pakkiong Eng "Sebaiknya aku dan Ketua Ko lebih dulu menghadap ayahmu untuk memberi hormat dan menyatakan kehadiran kami, agar kami tidak dianggap menyelonong begit saja masuk ke rumah orang. Bukankah begitu, Ketua Ko?"

   Entah kenapa, sejak melangkah masuk ke rumah besar itu, Ko Jun-lim menjadi sangat pendiam.

   Seperti seorang diambang maut yang mendapat firasat bahwa dia telah tiba di tempat yang akan menjadi kuburannya.

   Bahkan untuk mengambil sikap pun dia perlu diwakili oleh Pakkiong Eng yang usianya sebaya dengan cucunya namun bersikap jauh lebih tenang.

   Mendengar pertanyaan itu, kepalanya yang berrambut putih itu mengangguk-angguk kosong.

   Sesaat Sebun Hiong kelihatan sulit menjawab permintaan Pakkiong Eng itu.

   Sambil tertawa terpaksa, ia lalu menjawab.

   "Eh... begini, Kiong-heng dan Ketua Ko, ayahku punya kebiasaan yang agak aneh. Kalau ia sudah mengurung diri di kamar kitabnya, maka ia tidak mau diganggu gugat sedikitpun, biarpun langit runtuh dan bumi meledak, dia juga tidak akan keluar dari kamar kitab kalau bukan karena kemauannya sendiri. Jadi... bagaimana kalau kalian berdua istirahat dulu, lalu aku akan coba menemui ayah lebih dulu?"

   Pakkiong Eng dan Ko Jun-lim bertukar pandangan dengan rasa heran. Ko Jun-lim tetap bungkam, tetapi Pakkiong Eng iseng- iseng bertanya.

   "Kalau Se- bun-heng menemuinya, jangan-jangan Sebun-heng juga bakal dimarahi karena dianggap mengganggu?"

   Sebun Hiong yang di luaran terkenal sebagai seorang pendekar muda yang garang itu, setelah kembali ke rumahnya mendadak berubah menjadi seorang anak manis yang tidak berani melanggar seujung rambutpun apa yang digariskan oleh sang ayah yang maha keras.

   "Tentu saja aku akan menemui ayah kalau beliau sudah keluar dari kamar bukunya. Selagi beliau masih di dalam, biarpun nyaliku sepuluh kali lipat besarnya, mengetuk pun tidak berani. Aku bisa mendapat hukuman berat biarpun aku adalah anaknya sendiri. Aku harap Kiong-heng dan Ketua Ko bisa memaklumi..."

   "Baiklah, di mana kami harus beristirahat?"

   Kata Pakkiong Eng akhirnya. Sedang dalam hatinya Pakkiong Eng bersyukur akan keberuntungan dirinya yang mempunyai seorang ayah yang baik, bisa diajak bicara dan bergurau setip saat di luar tugas. Bukannya seorang "ayah besi"

   Seperti ayah Sebun Hiong.

   Padahal di kalangan persilatan, ayah Pakkiong Eng mempunyai nama yang lebih besar dari ayah Sebun Hiong.

   Ia juga seorang Panglima dengan kesibukannya mengurus pasukannya, seorang sepupu Kaisar Khong-hi yang ikut menggerakkan roda pemerintahan, namun toh di sela-sela kesibukannya dia tetap seorang ayah yang hangat bagi Pakkiong Eng.

   Sehingga Pakkiong Eng merasakan ayahnya itu sekaligus juga ibunya, menggantikan ibunya yang meninggal beberapa tahun yang lalu.

   Sedang peraturan sangat keras yang diterapkan oleh ayah Sebun Hiong untuk anaknya itu, apakah gunanya ? Membuat hubungan ayah dan anak tertutup satu sama lain, tidak akrab, seperti hubungan pejabat atasan dan bawahan.

   Ataukah ayah Sebun Hiong mengatur peraturan keras itu sengaja untuk menambah "angker"

   Rumahnya yang seperti benteng itu? Tapi urusan tetek-bengek keluarga Sebun, Pakkiong Eng tidak ingin mencampurinya. Ia hanya mengikut saja ketika seorang pelayan setengah tua membungkuk hormat kepadanya dan berkata.

   "Kongcu, marilah aku antarkan Kongcu ke tempat Kongcu istirahat. Bolehkah aku menolong membawakan barang-barang Kongcu ?"

   "Terima kasih", sahut Pakkiong Eng sambil menyerahkan pedang, busur, bumbung panah dan bungkusan pakaiannya kepada pelayan setengah tua itu. Ko Jun-lim mendongkol karena tidak ada pelayan yang menawari membawakan bungkusannya dan senjatanya. Jelas dalam pandangan Sebun Hiong dan orang-orang keluarga Sebun lainnya dirinya dianggap lebih rendah dari Pakkiong Eng, Sesaat hati Ko Jun- lim meronta. Bukankah ia Ketua sebuah perguruan? Bukankah ia uga seorang pendekar terkenal berjuluk Pek-hong-kiam (Pedang Pelangi Putih)? Tapi kalau ingat nasibnya di hari-hari belakangan itu, diapun memaki dirinya sendiri yang mengingini kehormatan berlebihan itu. Ia bukan lagi ketua perguruan, sebab Pek-kiam-pai sudah dihancurkan oleh Hek-eng-po. Ia juga bukan lagi pendekar terhormat, sebab hari-hari selanjutnya dia hanya akan menumpang hidup dikeluarga Sebun, resminya sebagai tamu, tapi mungkin "tamu seumur hidup"

   Yang akan dianggap benalu saja.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mungkin derajatnya kelak tidak akan lebih dari kacung setengah tua yang membawakan barang-barang Pakkiong Eng itu.

   Ia sudah runtuh.

   Ia menyesal bahwa keruntuhannya adalah gara-gara keserakahan dirinya sendiri dalam memperebutkan gulungan kulit itu, dan sekarang kehinaanlah yang diterimanya.

   Ko Jun-lim hampir menangis.

   "Mudah- mudahan di kemudian hari aku berkesempatan untuk bangkit kembali. Biarpun sebelah kakiku sudah menginjak pinggir liang lahat, tetapi aku ingin mati sebagai pendekar terhormat. Bukan mati sebagai tunawisma tak berharga di penampungan seorang keluarga dermawan yang berbelas kasihan kepadaku. Jin-keh Liu Hok-tong, anakku Ko In-eng, menantuku Liu Seng, dan cucuku Liu Giok-eng, mudah- mudahan arwah kalian semua mengampuni tua bangka ini...."

   Sekali lagi Sebun Hiong minta maaf kepada kedua tamunya, berpesan kepada pelayan setengah tua itu agar menghormati tamu-tamunya, lalu minta diri untuk berbicara kepada ayahnya lebih dulu. Kini Pakkiong Eng dan Ko Jun-lim mengikuti pelayan itu.

   "Paman, apakah Sebun Taihiap seang sibuk dan sulit ditemui?"

   Tanya Pakkiong Eng sambil melangkah.

   "Ah, kesibukan yang biasa saja", sahut si pelayan.

   "Loya hampir tidak pernah tidak sibuk. Kadang-kadang malah ia pergi cukup lama tanpa ada yang tahu ke mana perginya".

   "Tapi saat ini beliau sedang di rumah bukan?"

   "Benar. Ia sedang berbicara sesuatu urusan penting dengan seorang tamunya yang datang dari jauh, dari Pak-khia."

   "Dari Pak-khia?"

   Pakkiong Eng terkesiap.

   "Kenapa Kongcu kaget? Tamu Loya itu hanya sekedar rekan dagangnya saja, begitu yang aku ketahui".

   "Aku tidak kaget, paman. Hanya sekedar senang mendengar di tempat sejauh ini ada seorang sekampung denganku. Paman tahu, akupun orang Pak-khia..."

   "Kongcu belum bilangpun aku suda tahu. Logat bicara Kongcu itulah yan memberitahu aku. Tempat ini sering didatangi orang-orang dari Pak-khia, teman-teman Loya". Hampir saja Pakkiong Eng menuruti kodrat kewanitaannya memberondong pertanyaan, siapa saja, untuk urusan apa saja? Namun untunglah ia berhasil menahan mulutnya. Tidak sopan kalau seorang tamu menanyai pihak tuan rumah seperti petugas pajak menanyai penunggak pajak. Tanpa banyak cingcong, Pakkiong Eng menurut saja ditempatkan di sebuah ruangan di halaman samping, dekat sebuah kolam ikan, tata ruangnya sebagian besar terbuat dari bambu kuning bertotol yang memberi kesan sejuk. Sayang kesan itu dinodai oleh suasana yang angker, tidak terdengar suara senda- gurau para pelayan sedikitpun. Tapi Pakkiong Eng tak peduli lagi. Ketika pelayan itu mengajak Ko Jun-lim untuk ditempatkan di bagian lain, Ko Jun-lim menjawab.

   "Aku mohon diberi tempat berdekatan dengan Kiong Kongcu ini saja. Tdak usah repot-repot". Beberapa hari yang lalu Ko Jun-lim merasa aman dari kejaran orang-orang Hek- eng-po pada saat berdekatan dengan Sebun Hiong, namun sekarang setelah berada di rumah Sebun Hiong sendiri malah timbul perasaan tidak aman kalau berjauhan dengan Pakkiong Eng. Agaknya ia terpengaruh oleh suasana mencengkam di rumah keluarga Sebun itu. Diam-diam Pakkiong Eng mentertawakan si Pedang Pelangi Putih yang berjulukan mentereng tetapi bernyali kecil itu. Seperti seorang anak kecil yang berjalan di tempat gelap dan tidak berani lepas dari gandengan tangan ibunya. Dengan demikian Pakkiong Eng mendapat seorang "momongan"

   Yang usianya berkali lipat dari usianya sendiri. Si pelayan yang mengantar mereka ternyata tidak berani mengambil keputusan sendiri dalam soal sekecil itu. Katanya.

   "Kalau demikian permintaan Ketua Ko, kalian silahkan menunggu sebentar. Aku akan menemui Toaya (Tuan Besar) atau Hujin (Nyonya) untuk memintakan ijin bagi permintaan Ketua Ko tadi...."

   Ko Jun-lim berkata.

   "Ah, kenapa demikian repot? Aku akan berterima kasih kalau diperbolehkan menempati tempat yang bagaimanapun sederhananya asal berdekatan dengan Kiong Kongcu, agar aku punya teman bercakap-cakap dan tidak kesepian".

   "Maaf, Ketua Ko, aku tidak berani memutuskan sendiri. Biarlah Toaya atau Hujin yang memutuskan hal ini. Silahkan menunggu dan aku mohon dengan hormat agar jangan pergi ke mana-mana lebih dulu...."

   Kata "jangan ke mana-mana"

   Itu mendapat tekanan khusus, menandakan betapa sungguh-sungguhnya peringatan itu. Lalu pelayan itu berjalan menuju ke bagian tengah rumah besar itu.

   "Luar biasa ketatnya peraturan keluarga ini, jangan-jangan untuk kentut saja harus menunggu ijin dari Toaya atau Hujin?"

   Tak terasa Pakkiong Eng menggerutu sendiri.

   "Tangsi tentara kekaisaran di Pak-khia saja tidak sekeras ini peraturannya..."

   Ketua, atau lebih tepat disebut bekas Ketua Pek-kiam-pai menjawab.

   "Ya, rasanya kita seperti masuk ke sebuah penjara besar...."

   "Ah, jangan berpikir sejauh itu Ketua Ko", kata Pakkiong Eng sambil mencoba mencairkan suasana, agaknya ia sendiri pun kuatir akan ketularan menjadi tegang dan gugup seperti Ko Jun-lim.

   "Setiap rumah tangga punya aturannya sendiri-sendiri. Bagaimanapun juga kita sebagai tamu harus menghormati aturan setempat. Aku yakin keluarga ini tidak bermaksud jahat, hanya keliwat tertib. Adanya keluarga Sebun di propinsi Siam-say ini merupakan berkah bagi keamanan propinsi ini, sebab keluarga ini ditakuti pula oleh golongan hitam. Sama seperti Hwe-liong-pang di Propinsi Se-cuan, Siau-lim-si di propinsi Ho-lam, dan Bu-tong-pai di Propinsi Ho-pak. Mungkin juga Tiang-pek-pai di Liau-tong. Merekalah mercusuar-mercusuar dunia per silatan yang membuat golongan hitam tak berani malang melintang seenaknya..."

   Sebagai seorang berdarah Manchu, tidak lupa Pakkiong Eng menempatkan Tiang- pek-pai di Liau-tong untuk disejajarkan dengan kekuatan-kekuatan persilatan di Tiong-goan.

   Tiang-pek-pai adalah sebuah perguruan silat kebanggaan orang-orang Manchu, berpusat di daerah Liau-tong, tempat asal orang Manchu, dari ketua perguruannya sampai murid- muridnya kebanyakan adalah orang-orang Manchu semuanya.

   Ko Jun-lim tidak menjawab, hanya berkata dalam hatinya.

   "Hem, bocah ingusan, kau masih hijau pengalaman dalam dunia persilatan. Kau hanya melihat segala sesuatunya dari luarnya saja..."

   Namun ia lalu menyengir kecut sendiri.

   Pakkiong Eng yang dianggap bocah ingusan kurang pengalaman itu toh sekarang menjadi benteng perlindungan nyawanya yang diandalkan....

   Sementara itu, pelayan tadi telah datang kembali.

   Sambil tersenyum dia berkata.

   "Aku sudah melaporkan permintaan Ketua Ko kepada Hujin dan beliau tidak keberatan. Hujin juga berpesan agar kalian bersikap santai saja, anggap saja di rumah sendiri."

   "Nanti tolong saudara sampaikan ucapan terima kasihku kepada Hujin", kata Ko Jun-lim kepada pelayan itu.

   "Marilah aku antarkan tuan berdua..."

   Sementara itu Sebun Hiong dengan langkah dibuat seringan mungkin telah berjalan mendekati kamar buku, mencari kemungkinan untuk menemui ayahnya.

   Ketika ia sudah dekat dengan ruangan buku, sayup- sayup didngarnya dalam ruangan itu suara ayahnya sedang bercakap-cakap perlahan dengan seseorang.

   Sebun Hiong begitu takut kepada ayahnya, sehingga dia memutuskan untuk tidak mengganggu pembicaraan itu.

   Tapi baru saia ia membalikkan tubuh, suara ayahnya memanggil dari dalam ruangan.

   "Siapa di luar?!"

   Apa boleh buat, Sebun Hiong menjawab.

   "Aku, ayah..."

   "Jadi kau sudah kembali?"

   "ya, ayah"

   "Masuklah!"

   Dengan hati-hati Sebun Hiong mendorong pintu, dilihatnya ayahnya duduk di ruangan itu bersama seorang lelaki sebaya yang belum pernah dilihatnya.

   Sebun Hiong tidak sempat memperhatikan bagaimana wajah lelaki itu, sebab ia cepat-cepat berlutut di depan ayahnya.

   "Aku memberi hormat kepada ayah..."

   "Bangunlah", kata ayahnya datar saja, tidak menunjukkan gejolak hatinya meskipun anaknya itu baru saja bepergian selama setengah tahun.

   "Mari kuperkenalkan kepada tamu kita ini..."

   Sebun Hiong berdiri dan saat itulah ia sempat memperhatikan tamu ayahnya itu.

   Seorang lelaki yang sebaya ayahnya, kir-kira limapuluh tahun usianya, tubuhnya sedang- sedang saja, namun wajahnya keras, matanya seperti mata burung elang, hidungnya panjang dan bengkok, tangannya yang sedang memegangi cangkir teh itu kekar dan jari- jarinya berukuran hampir dua kali lipat jari-jari orang biasa.

   Tubuhnya tertutup jubah panjang dan longgar berwarna biru, dirangkap baju pendek warna ungu.

   "....A-hiong, inilah pamanmu Sek Cha", kata Sebun Him si Pendekar Beruang Barat.

   "Pamanmu ini adalah komandan pengawal Tit- hun-ong..."

   Tit-hun-ong adalah gelar kebangsawanan Pangeran In Si, putera tertua Kaisar Khong-hi, maka komandan pengawalnya tentu bukan manusia sembarangan.

   Sebun Hiong tahu bahwa tahun-tahun belakangan itu ayahnya menjalin hubungan rahasia dengan Pangeran In Si, seorang pangeran yang meskipun kekuatan pendukungnya kurang memadai, namun secara tradisi dianggap paling cocok untuk kelak menggantikan kedudukan Kaisar Khong-hi, sebab ia putera tertua.

   Karena itu Sebun Hiong tidak terlalu heran melihat Sek Cha berada bersama ayahnya.

   Beberapa tahun yang silam, ayahnya adalah seorang yang rajin mengutuk dan mengecam pemerintah Manchu.

   Tetapi entah kenapa, belakangan ayahnya malah semakin akrab dengan orang-orangnya Pangeran In Si.

   Sek Cha inipun nampaknya bukan orang berkedudukan rendah di kalangan ketentaraan.

   Cepat Sebun Hiong hendak berlutut sambil mengucapkan.

   "Hormatku untuk Sek Thongleng (Komandan Sek)..."

   Cepat Sek Cha mengulurkan sepasang tangannya untuk menahan agar Sebun Hiong tidak berlutut.

   "Jangan sungkan, Hiantit. Kita adalah orang-orang sendiri... Sebun Hiong merasa sepasang tangannya tertahan oleh sepasang tangan lain yang sekuat palang-palang besi, sehingga ia hanya tertahan dalam sikap setengah berlutut. Sebenarnya kalau Sebun Hiong mau, ia bisa mengerahkan tenaga Kun-goan-sin-kang (tenaga sakti alam semesta) dibarengi Ban-ki- tui (kuda-kuda selaksa kati) untuk meneruskan gerakan berlututnya tanpa bisa dihalangi oleh Sek Cha. Tapi ia tidak mau membuat sang komandan pengawal itu k hilangan muka, maka diapun berdiri kembali sambil memuji.

   "Sek Thongleng, anda benar-benar hebat...."

   Sek Cha senang juga mendapat pujian itu.

   "Kaupun hebat, Hiantit. Dari Pak-khia yang jauhnya laksaan li dari sini, sudah aku dengar berkumandangnya nama seorang pendekar muda yang berjuluk si Beruang Ungu. Kau betul-betu membuat semakin cemerlangnya nama Keluarga Sebun". Lalu sambil menoleh ke arah Sebur Him, Sek Cha berkata ragu-ragu.

   "Saudara Sebun, tentang pembicaraan kita, apakah bisa dilanjutkan atau harus ditunda...?"

   Sebun Him mengurut jenggotnya sambil tertawa.

   "Bisa dilanjutkan, saudara Sek. Anakku ini bisa menjaga rahasia, dia sudah lama kupersiapkan menjadi penggantiku kelak, dan telah berhasil mengerjakan beberapa urusan penting yang kuserahkan kepadanya. Tapi sebelum pembicaraan kita lanjutkan, bisakah kita luangkan waktu sebentar untuk mendengar laporan perjalanan anakku? Laporannya tentu ada sangkut-pautnya dengan urusan yang kita bicarakan tadi..."

   "Kalau saudara Sebun berpendapat begitu, tentu aku menurut saja", kata Sek Cha sambil duduk kembali di kursinya. Sementara itu, setelah disuruh oleh ayahnya, Sebun Hiong telah duduk pula melingkari meja bundar itu.

   "Nah, A-hiong, kau boleh mulai mendongeng tentang perjalananmu..."perintah Sebun Him kepada anaknya.

   "Baiklah, ayah. Tapi sebelumnya aku minta maaf kepada ayah, bahwa aku telah mengajak dua orang tamu ke rumah kita ini", kata Sebun Hiong.

   "Mereka kutemukan di perjalanan, dan aku kira ayah akan senang berkenalan dengan mereka..."

   Sebun Him mengerutkan alisnya.

   "Siapa tamu-tamu itu?"

   "Yang pertama adalah Ko Jun-lim, Ketua Pek-kiam-pai yang terkenal dengan julukan Pek-hong-kiam", sahut anaknya "Aku ajak dia kemari karena nyawanya terancam oleh orang-orang yang hendak merampas gulungan...."

   Baru mengucapkan "gulungan"

   Tiba-tiba Sebun Hiong merasa kaki ayahnya di bawah meja telah menginjak kakinya. Sebun Hiong mengerti isyarat itu, sehingga diapun cepat- cepat membelokkan kata-katanya.

   "... yang hendak merampas gulungan lukisan kesayangan Ko Jun-lim itu. Sayang, lukisan itu sendiri menjadi rusak gara-gara pertempuran itu..."

   Sebun Him menghirup tehnya dengan lega, sekaligus bangga punya putera yang begitu cerdas menangkap isyaratnya. Sambil meletakkan kembali cangkir tehnya, Sebun Him berkata.

   "Belakangan ini memang Hek- eng-po semakin kurang ajar. Sampai barang tak seberapa milik seorang tuapun hendak mereka rampas..."

   Dengan demikian ayah dan anak itu berhasil menimbulkan kesan kepada Sek Cha bahwa urusan antara Ko Jun-lim dan orang- orang Hek-eng-po itu hanya soal kecil yang tak perlu diperhatikan lagi.

   "Tamu satunya lagi siapa?"

   Tanya Sebun Him.

   "Dia agak punya nama juga, ayah. Seorang pemuda bernama Kiong Eng dan berjuluk Pek-ma Tok-heng (si Kelana Tunggal Berkuda Putih).."

   Sebun Him mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Nama itu agak terkenal juga di Kang-pak, malah ada yang mensejajarkan dengan nama pendekar-pendekar muda dari Kang-lam, Kam Hong-ti Pek Thai-koan dan Lu Si-nio. Bagus kalau kau bersahabat dengan dia. Nanti aku akan menemuinya".

   "Dia orang Pak-khia, ayah...."

   Baik Sebun Him maupun Sek Cha sama- sama tegak kupingnya ketika mendengar keterangan itu.

   "Orang Pak-khia?"

   "Benar, ayah". Sekilas Sebun Him dan Sek Cha bertukar pandangan, bertukar anggukan kepala, dan Sebun Him berkata.

   "A- hiong terhadap sahabatmu dari Pak-khia itu sebaiknya kau tidak sembarangan bicara. Sebun Hiong tersenyum sambil mengangguk.

   "Aku sudah paham, ayah, sejak aku bertemu dengan dia di Lam-tong, aku tidak pernah menyebut-nyebut tugasku. Justru aku ajak dia kemari supaya ayah sendiri, mungkin juga Sek Thongleng bisa meneliti asal-usulnya...."

   


Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Pendekar Bloon Karya SD Liong Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung

Cari Blog Ini