Teror Elang Hitam 7
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 7
Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P
"Puteramu sangat cermat bekerja saudara Sebun", kata Sek Cha sambi tertawa.
"Puteramu pantas bekerja untu calon kaisar berikutnya dari kekaisaran ini, Pangeran In Si..."
"Ah, puteraku masih terlalu bodoh dan masih membutuhkan banyak petunjuk dari Sek Cha Thongleng". Begitulah ketiga orang itu sama-sama menghirup teh dengan satu kesepapakatan bahwa Ko Jun-lim "boleh diabaikan", sebaliknya Kiong Eng harus diteliti asal-usulnya dan kemudian ditentukan suatu sikap atas dirinya. Rencana vang sedang mereka susun adalah rencana besar, dan ketelitian dalam segala hal amatlah dibutuhkan agar rencana itu tidak berantakan.
"Ceriteramu tentang kedua tamu kita itu sudah habis, A-hiong?", kata Sebun Him.
"Sekarang ceriterakan tentang dua tugas utama yang kupercayakan kepadamu..."
Sek Cha tiba-tiba menukas.
"Kalau aku boleh tahu, tugas-tugas apa saja yang saudara Sebun bebankan kepada putera saudara ini?"
"Dua macam tugas sesuai yang dipesankan oleh Hongcu (Pangeran) dalam usaha membantu mewujudkan cita-cita Hongcu", sahut Sebun Him, sekaligus petunjuk halus bagi puteranya agar yang dikatakannya nanti hanyalah soal tugas itu, tidak menyeleweng ke soal-soal lainnya.
"Tugas pertama, menyelidiki bagaimana sikap dua kekuatan besar dunia persilatan, Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang, dalam menghadapi pergolakan di pusat pemerintahan. Tugas ke dua, mencari jejak Pangeran In Ceng sesuai pesan Pangeran In Si".
"Kau bekerja dengan teliti sekali saudara Sebun", Sek Cha mengangkat jempol.
"Pantas junjunganku begitu mempercayaimu, sehingga beliau pernah berkata bahwa kelak kalau beliau berhasil menjadi Kaisar, saudara Sebun akan diangkatnya menjadi Gubernur di Siam-say..."
Sebun Him balas memuji.
"Hongcu juga pernah berkata kepadaku, kelak saudara Sek akan diangkat menjadi Gubernur di Liau- tong..."
Kedua "calon Gubernur"
Itu tertawa berbareng, dan saling memberi selamat dengan mengangkat cawan teh masing- masing. Sebun Hiong pintar membawa diri dengan mengangkat cawannya pula dan mengiringi minum kedua "calon gubernur bawahan "Kaisar In Si", atau lebih tepat.
"calon Kaisar". Setelah teh mengalir ke tenggorokan dan cawan-cawan diletakkan, keduanya pun siap mendengarkan ceritera Sebun Hiong. Sebun Hiong mulai bicara. Kata-katanya tidak terlalu cepat, supaya setiap kali diperlukan, ayahnya sempat menginjak kakinya di bawah meja...
"Tentang tugas pertama, nyaris tidak ada kesulitan apa-apa. Aku pura-pura datang ke Siong-san untuk menemui Pun-bu Hweshio, dan menanyakan apakah pihak Siau-lim-si siap menjadi tuan rumah pada pertengahan tahun nanti. Tuan rumah perundingan tentang ilmu silat yang diadakan setahun sekali antara ayah, Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou dan Pun- bu Hweshio sendiri. Seperti bisa, hweshio tua itu menyatakan kegembiraannya..."
Sebun Hiong berhenti bicara sejenak.
Menunggu kalau-kalau ada injakan ayahnya, namun kakinya tidak merasakan apa-apa.
Mudah-mudahan benar-benar tidak ada injakan, bukan karena ayahnya keliru menginjak kaki Sek Cha.
Karena itu Sebun Hiong tidak berani menggeser letak kakinya seujung rambut pun, agar ayahnya tidak keliru memperhitungkan arah injakannya.
Sebun Hiong bicara terus.
"Lalu aku menginap semalam di kuil terkenal itu, sempat berbincang-bincang hampir semalam suntuk dengan Pun-bu Hweshio. Dari pembicaraan itu aku simpulkan bahwa Siau-lim-si prihatin akan kemelut antar pangeran yang tengah berlangsung di Pak-khia. Namun Siau-lim-pai hanyalah sekedar prihatin dan tidak akan mengambil sikap memihak manapun juga". Tetap tidak ada gerakan di bawa meja, kecuali semut-semut yang sedang menggotong remah-remah makanan ke liangnya.
"Bagus kalau Siau-lim-pai tidak ikut campur", kata Sek Cha sambil menepuk meja.
"Tetapi keledai-keledai gundul itu sering juga pintar menyembunyikan sikap, dan pada saat- saat penting barulah mereka membuka kedok mereka sendiri. Misalnya belasan tahun yang u, mereka juga bilang tidak ikut urusan istana. Tapi ketika Kaisar Sun-ti terancam bahaya di pertapaannya di Kuil Jing liang-si gunung Ngo- tai-san, tahu-tahu Siau-lim-si mengirim belasan jago-jagonya untuk ikut campur. Nah, kita tidak boleh terlalu percaya akan sikap kawanan keledai gundul itu..."
"Aku sependapat, saudara Sek. Itu artinya kita harus tetap mengamat-amati Siau- lim-pai dengan cermat, jangan sampai kecolongan sehingga mengaco rencana kita".
"Benar". Dua pasang mata milik Sebun Him dan Sek Cha menatap Sebun Hiong, dan itu berarti mereka siap mendengarkan keterangan berikutnya.
"Lalu aku berputar ke propinsi Se-cuan untuk mengamat-amati Hwe-liong pang. Menurut aku, Hwe-liong-pang juga tidak atau belum mengambil sikap tertentu mengenai persengketaan di istana. Tong Lam-hou masih saja sibuk mengurus petani-petani yang bendungan airnya jebol, mengobati mereka, menilik keamanan tempat-tempat yang dipancangi bender kecil bau itu, dan belakangan ini kesibukan Ketua Hwe-liong- pang itu bertambah satu lagi..."
"Apa?"
Tanya Sebun Him dan Sek Cha berbareng.
"Menguber-uber orang-orang Hek-eng- po. Tapi nampaknya mereka bertindak dengan sia-sia, sebab orang-orang Hek-eng-po gampang saja melepaskan diri dari jangkauan tangan Ketua Hwe-liong-pang..."
Sebun Him tersenyum.
"Agaknya Tong Lam-hou sudah semakin loyo sekarang. Sejak dulupun aku tahu bahwa Hwe-liong pang hanya besar namanya saja, sekarang terbukti kewalahan menghadapi siasat kucing-kucingan Hek-eng-po. Saudara Sek, bukannya aku sombong, tetapi kalau cuma tikus-tikus Hek- eng-po itu, dalam jarak seratus li seputar tempatku ini, mereka tidak berani main gila". Sek Cha merasa omongan Sebun Him terlalu besar, namun demi terjalin kerjasama antara pihaknya dengan keluarga Sebun, maka diapun pura-pura mengangguk-angguk percaya. Meskipun kemudian merasa perlu untuk memperingatkan.
"Baiklah. Agaknya laporan putera saudara bisa diandalkan. Anggap saja Hwe-liong-pang tidak tahu apa- apa tentang persaingan antar pangeran di Pak- khia, dan karena itu boleh dianggap berdiri di luar gelanggang. Tapi mereka pun harus terus diawasi. Tong Lam-hou adalah sahabat baik Pakkiong Liong, mungkin saja ia mendengar dari Pakkiong Liong lalu timbul sifat usilnya. Kita semua tahu bahwa Tong Lam-hou itu seperti orang kurang kerjaan saja, kadang- kadang ikut campur urusan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya..."
Baiklah, usul saudara Sek aku pertimbangkan. Biarpun Siau-lim-pai dan Hwe- long-pang masih diam, mereka harus diperhatikan, siapa tahu mendadak ikut campur. Bukankah begitu?"
"Tidak keliru junjunganku sangat mempercayai saudara Sebun".
"Terima kasih. Nah, A-hiong, bagaimana dengan tugasmu yang ke dua?"
Sebun Hiong menyahut dengan sikap yang bangga.
"Berkat rejeki yang besar dari Tit-hun-ong yang agung, akhirnya berhasil juga kutemukan jejak Pangeran In Ceng yang sudah menghilang lima tahun seolah-olah ditelan bumi itu."
Sek Cha hampir melompat dari kursinya ketika mendengar kata-kata Sebun Hong.
Dia sendiri selama lima tahun tak kenal lelah mengaduk dan mengintai di berbagai tempat, dibantu orang-orangnya yang merupakan pencari-pencari jejak yang lihai, dan hasilnya adalah nol besar.
Kini kupingnya mendengar Sebun Hiong seenaknya saja berkata bahwa jejak Pangeran In Ceng sudah diketemukan.
Pangeran Ke Empat yang menjadi duri dalam daging bagi cita-cita Tit-hun-ong untuk menduduki tahta kekaisaran.
Kali ini Sebun Hiong kembali mendapat injakan kaki ayahnya.
la paham maksudnya agar keterangan yang diberikan kepada Sek Cha jangan terlalu jelas, biarkan saja komandan pengawal Pangeran In Si itu tetap meraba-raba dalam kegelapan.
Kalau Keluarga sebun yang berhasil menemukan In Ceng lebih dulu, tentu tidak kecil pahalanya di depan Tit- hun-ong.
Ini penting, mengingat Tit-hun-ong adalah calon Kaisar.
Jangan sampai pahala sebesar ini direbut oleh Sek Cha.
Karena itu Sebun Hiong pura-pura menarik napas.
"Sayang juga bahwa jejak yang kutemukan itu agak kabur. Aku hanya mendengar desas-desus di sepanjang perjalanan yang mengatakan bahwa di Kang- lam telah muncul seorang pendekar muda. Ketika aku tanyakan bagaimana wajah dan potongan tubuh pendekar muda itu, aku hampir yakin bahwa dialah Pangeran In Ceng yang menyamar. Karena ituah aku buru-buru pulang kemari untuk memberi kabar ayah, kebetulan pula Sek Thongleng juga sedang ada di sini".
"Siapa nama pendekar muda yang baru muncul itu?"
Tanya Sek Cha tidak sabar.
Dari pelayan rumah penginapan Cao an- tiam di Lam-tiong, Sebun Hiong sudah tahu bahwa pendekar muda itu bernama Si Liong- cu, lengkap dengan cirinya yang selalu membawa toya hitam kemanapun perginya.
Tapi di hadapan Sek Cha, Sebun Hiong sengaja geleng-geleng kepala, pura-pura tidak tahu.
Tetapi semangat Sek Cha tetap tinggi meskipun mendapat gelengan kepala, tanyanya lagi.
"Apa saja yang dilakukan pendekar muda itu? Tentu orang-orang di perjalanan itu menceritakan perbuatan- perbuatannya yang menggemparkan...?"
"Memang perbuatan-perbuatannya membuat namanya cepat melambung menjadi pujaan dunia persilatan. Bahu-membahu dengan pendekar-pendekar Kang-lam seperti Kam Hong-ti dan Pek Thai-koan, pendekar muda itu membasmi beberapa gerombolan perusuh yang tergolong kuat Ia juga menjalin persahabatan dengan banyak pendekar di wilayah Kang-lam."
"Gawat...gawat..."
Sek Cha mendadak menjadi gelisah sehingga meremas-remas telapak tangannya sendiri.
"Aku hampir yakin bahwa pendekar muda itulah Pangeran In Ceng yang menyamar. Rupanya demikianlah caranya mengumpulkan kekuatan bagi dirinya. Ia berusaha mengambil hati para pendekar di Kang-lam untuk berdiri di pihaknya. Karena itu, sebelum kedudukannya menjadi semakin kuat, aku harus segera memburunya dan menyerahkan batok kepalanya ke hadapan Tit- hun-ong...."
"Tapi saudara Sek tidak boleh bertindak gegabah. Jangan sampai Pangera In Ceng merasa terancam, lalu ia masuk ke persembunyiannya lagi sehingga lebih susah untuk menemukannya lagi", kata Sebun Him.
"Tentu... tentu, aku tidak mau kehilangan jejaknya lagi", sahut Sek Cha. Lalu sambil menoleh kepada Sebun Hiong ia bertanya.
"Tapi benarkah Hiantit tidak tahu nama, atau barangkali julukan, dari si pendekar muda itu?"
Sebun Hiong pura-pura menunjukkan sikap tidak senangnya.
"Sek Thongleng apakah kau tidak percaya kepadaku dan menganggap aku masih menyembunyikan sesuatu dalam laporanku? Kita berada dalam satu barisan untuk mendukung Tit-hun-ong naik tahta, kenapa tidak bisa saling mempercayai?"
Oh, maaf, aku tidak bermaksud untuk tidak percaya kepada kalian ayah dan anak", kata Sek Cha.
"Saudara Sebun, besok pagi- pagi benar, aku akan minta diri...."
"Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan saudara Sek tinggal beberapa hari lagi di sini, namun mengingat pentingnya tugas ini, aku tidak akan menahan lagi. Mudah-mudahan berhasil". Tiba-tiba Sebun Hiong berkata sambil tertawa.
"Sek Thongleng, aku punya suatu akal untuk menyelidiki pendekar muda itu". Hampir saja Sebun Him menginjak kaki anaknya, tapi dibatalkannya. Ia sadar bahwa anaknya bukan orang bodoh, tentu punya tujuan tertentu di balik kata-katanya itu.
"Petunjuk Hiantit tentu sangat berharga, aku siap mendengarkannya", kata Sek Cha.
"Sek Thongleng, pendekar muda itu kabarnya bersahabat dengan Kam Hong ti dan Pek Thai-koan, Asal kau jumpai kedua pendekar Kang-lam itu, barangkali bisa kau peroleh keterangan berharga tentang diri si pendekar muda ".
"Bagus! Akal yang bagus!"
Dalam hatinya Sebun Hiong mentertawakan si komandan pengawal itu.
Kam Hong-li dan Pek Thai-koan terkenal kelihaiannya, kalau Sek Cha bersikap gegabah terhadap mereka, kemungkinan besar akan mendapat pil pahit.
Tujuan Sebun Hiong memang menjerumuskan Sek Cha agar terbentur pendekar-pendekar Kanglam itu upaya pamornya merosot di hadapan mata Tit- hun-ong.
Sengaja ia memanaskan hati Sek Cha.
"Tapi hati-hatilah, Thongleng. Kam Hong li dan Pek Thai-koan bukan manusia-manusia sembarangan, jangan-jangan nanti malah... malah...."
Keruan hati Sek Cha kian panas karena merasa kemampuan silatnya diragukan. Ia mengepal tinjunya sambil berkata.
"Pertama- tama aku akan bicara baik-baik lebih dulu kepada mereka. Tapi kalau mereka tidak bisa diajak bicara baik, hem, biarpun Kam Hong-li dan Pek Thai koan berhasil mengangkat sedikit nama di Kang-lam, namun tulang-tulang mereka akan rontok habis kalau terkena pukulan ku Pai-san-tiat-kun (Tinju Besi Mendorong Gunung)".
"Tentu saja, siapa tidak pernah mendengar kelihaian saudara Sek?"
Kata Sebun Him.
"Namun sebelum saudara berangkat besok pagi, malam ini masih ada sedikit pekerjaan kecil".
"Aku tahu. Membongkar asal-usul se benarnya dari si bocah dari Pak-khia Kiong Eng..."
"Betul. Wah, A-hiong, kau boleh tinggalkan tempat ini untuk menemani tamu- tamumu itu. Tapi rahasiakan semua yang kita percakapkan di ruangan ini".
"Baiklah, ayah". Setelah memberi hormat kepada ayahnya dan Sek Cha, Sebun Hiong meninggalkan ruangan itu. **OZ** BAGIAN DUABELAS Malam itu, bulan sabit tergantung di angkasa, dikawal bintang-bintang yang tak seberapa jumlahnya karena tertutup awan hitam yang terserak di sebagian besar langit. Dengan perut kenyang karena habis dijamu oleh Sebun Hiong, Pakkiong Eng dan Ko Jun-lim pulang ke kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Namun di hati Pakkiong Eng masih ada rasa penasaran karena seharian itu dia belum juga berhasil bertemu muka dengan Sebun Him, ayah Sebun Hiong, pendekar yang terkenal di kawasan Siam-say itu.
"Dia pasti bukan seorang tuan rumah yang terlalu ramah" , pikir Pakkiong Eng setibanya di kamarnya.
"Urusan apa yang begitu pentingnya sehingga meluangkan waktu sebentar saja untuk kami pun tidak sempat?"
Tengah ia duduk-duduk sendiri di kamarnya yang diterangi sebatang lilin merah, menunggu datangnya rasa kantuk, tiba-tiba kuping Pakkiong Eng yang tajam mendengar suara berkibarnya kain baju serta suara lompatan ringan di luar kamarnya.
Di kebun bunga.
Langsung saja Pakkiong Eng menjadi curiga, di rumah keluarga Sebun yang disegani itu, orang dari mana berani gentayangan seenaknya? Pasti bukan pelayan keluarga Sebun, sebab kalau pegawai pelayan Sebun sendiri tidak akan bertingkah laku seperti maling.
Cepat Pakkiong Eng menyambar pedangnya dan melompat keluar pintu deng an kesiagaan yang tinggi.
Dilihatnya kamar Ko Jun-lim sudah tidak ada cahaya lilin lagi dan pintunya masih tertutup rapat, agaknya "momongan"
Pakkiong Eng itu masih tidur pulas dengan perut kekenyangan.
Tapi ketika Pakkiong Eng menyapukan pandangannya ke arah lain, dilihatnya sesosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam dan wajah tertutup kedok hitam pula, sedang berusaha menyembunyikan dirii di balik sebuah rumpun bunga.
Bentuk tubuh orang itu tinggi tegap, mengingatkan Pakkiong Eng akan Wan Po, orang tertua dari Lo-san-su-koai (empat siluman dari Lo-san) yang berjulukan Tiat-pi- koai (Siluman Lengan Besi).
Menduga kepada Wan Po, Pakkiong Eng merasa tidak ada perlunya lagi banyak cara terhadap gembong golongan hitam tiu.
Tubuhnya tiba-tiba melejit ke udara, meluncur langsung ke rumpun bunga itu, sambil menghunus pedangnya dan langsung menikam dengan gerak Liong-bun-ko-long (bermain ombak di pintu naga).
ujung pedangnya berkeredep keperak-perakan dan bergerak amat cepat.
Bayangan yang bersembunyi di rumpun bunga itu terpaksa membela diri dengan tangan kosong.
Ia melompat keluar sambil menghindari ujung pedang, lalu sepasang tangannya yang kuat melakukan pukulan Siang-kui-pek-mui (sepasang setan menggedor pintu), yang diarah ialah sepasang pipi Pakkiong Eng.
"Bagus!"
Pakkiong Eng agak kaget juga melihat ketangkasan orang itu yang agaknya jauh di atas Wan Po.
Tubuh Pakkiong Eng berputar sekali di udara sebelum mendarat di tanah, terus disam- bung dengan gerak Heng- kang-cat-tau (memotong dari samping) ke pinggang musuh.
"Bagus!"
Si kedok hitam itupun mengagumi ketangkasan Pakkiong Eng.
Sambil mengegoskan pinggang, tangan kiri menekan ke batang pedang Pakkiong Eng, telapak tangan lainnya menghantam ke depan dan menimbulkan deru angin pukulan yang mirip taufan.
Terpaksa Pakkiong Eng melompat mundur dengan terkejut, itulah ketangkasan dan kekuatan yang jauh di atas Wan Po.
Bahkan tenaga dalam orang itu agaknya beberapa tingkat di atas Pakkiong Eng sendiri.
Dugaannya atas diri Wan Po segera buyar sendiri, berganti rasa herannya akan munculnya tokoh ini.
"Siapa kau?!"
Pakkiong Eng mendapat jawabannya berupa hantaman bertubi-tubi yang harus dihadapinya.
Tidak sampai duapuluh jurus, Pakkiong Eng merasa dirinya sudah terjeblos ke dalam lingkaran prahara yang menghimpit dan menyesakkan pernapasannya.
Kemana pun dia berputar dan menghadap, hanya bayangan tubuh lawannya yang terlihat mengepung dan menghantam dari berbagai jurusan, telapak tangan yang bukan terlihat cuma sepasang tetapi berpuluh-puluh pasang dan menutup semua jalannya.
Sebaliknya sia-sia Pakkiong Eng memainkan Thian-liong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Naga Langit) karena ia seolah kehilangan arah.
Dalam keadaan bahaya, terpaksa Pakkiong Eng menggunakan tenaga dalam ajaran ayahnya yang disebut Hwe-liong- sinkang (Tenaga Sakti Naga Api).
Dengan ilmu itu, dari setiap pori-pori kulit Pakkiong Eng seolah menyemburkan api sangat panas yang membakar udara sekitarnya, sehingga ibaratnya ia menjadi segumpal api yang siap menghanguskan lawan-lawannya.
Namun lawannya itu hampir tidak terpengaruh oleh hawa panas itu.
Ia cuma menggeram, agaknya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, setelah itu kembali menyerbu bagaikan badai mengamuk atau gunung runtuh.
Kembali Pakkiong Eng terdesak hebat.
Diam-diam Pakkiong Eng penasaran juga.
Dengan ilmu Pedang Naga Langit yang digabung dengan Hwe-liong-sinkang dia yakin kalau hanya Wan Po yang dihadapinya tentu sudah dikalahkannya sejak tadi.
Ketika menolong Ko Jun-lim, ia bahkan menghadapi Hau It-yau dan Pek Hong-teng, orang ke tiga dan ke empat dari Su-koai tanpa terdesak sedikitpun.
Tapi kini, apalagi untuk menang, bahkan untuk mempertahankan diri saja semakin lama semakin sulit.
Lebih penasaran lagi, ia tidak dapat mengenali gaya silat lawannya itu dari aliran mana.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keributan perkelahian di kebun bunga itu agaknya mengejutkan Ko Jun-lim yang tidurnya selalu gelisah, karena setiap kali ia memejamkan matanya maka dia bermimpi dikejar-keiar orang-orang Hek-eng-po yang tampangnya bengis-bengis.
Cepat memakai jubah luar dan sepatunya.
Saking tergesa- gesa, hampir saja ia memakai sepatunya lebih dulu dan baru kaos kakinya di bagian luar, lalu sambil menjinjing pedang dia keluar dari kamarnya.
Begitu melihat di kebun bunga ia melihat Pakkiong Eng, pelindungnya yang diandalkan itu terdesak hebat oleh seorang berkedok hitam yang sangat lihai, sukma Ko Jun-lim hampir copot karena kagetnya.
Tiat-pi-koai...."
Bekas Ketua Pek-kiam- pai itu berdesis perlahan.
Seperti Pakkiong Eng mula-mula, diapun mengira orang berkedok itu adalah Wan Po karena potongan tubuhnya memang mirip sekali.
Ko Jun-lim hanya kurang cermat membandingkan tingkat ilmu Wan Po dengan orang berkedok itu.
Keselamatan Pakkiong Eng berarti keselamatan dirinya juga, maka sambil menghunus pedangnya, Ko Jun-lim menerjang ke arah gelanggang pertempuran untuk membantu Pakkiong Eng.
Sambil berbuat demikian, diapun berteriak sekeras-kerasnya.
"Ada penjahat! Ada penjahat!"
Rupanya dengan berbuat demikian, ia berharap orang-orang keluarga Sebun terbangun semuanya sehingga semakin amanlah dirinya.
Teriakan itu segera mendapatkan sambutan.
Hampir dari segala arah bermunculanlah orang-orangnya keluarga Sebun dengan senjata di tangan.
Itu mengingatkan Ko Jun-lim akan kejadian di Liu- keh-chung.
Tapi ada juga perbedaan yang besar.
Kalau pegawai-pegawai Liu-keng-chung dulu hanya bisa berteriak-teriak sambil berdesak-desakan ketakutan, maka orang- orang keluarga Sebun justru dengan tertib mengambil sikap seperti prajurit-prajurit yang terlatih.
Mereka segera berkelompok- kelompok, setiap kelompok terdiri dari enam orang, dan dalam sekejap saja hampir semua tempat-tempat penting di rumah besar itu sudah terjaga dengan ketat, seekor tikuspun agaknya sulit untuk meninggalkan rumah itu tanpa rintangan.
Melihat itu, terkesiaplah Ko Jun-lim, tidak salah kalau rumah keluarga Sebun dianggap salah satu mercusuar dunia persilatan yang disegani golongan hitam.
Ia lihat kelompok-kelompok enam-enam orang itu tiap kelompoknya membentuk barisan yang disebut Liok-hap-tin.
Secara perorangan, pegawai-pegawai keluarga Sebun itu barangkali hanya memiliki silat kelas kambing, namun kalau benar mereka sudah dilatih barisan Liok-hap-tin, itulah rintangan yang tak gampang ditembus oleh jagoan-jagoan tingkat menangah saja.
Tapi Ko Jun-lim tidak sempat memperhatikan lagi orang-orang keluarga Sebun itu mengatur barisannya.
Ia segera ayun pedangnya dan ikut mengerubut orang berkedok itu.
Saat itulah orang berkedok itu mendadak memutar sepasang telapak tangannya di depan tubuhnya.
Segera timbul pusaran angin yang dahsyat melanda Pakkiong Eng dan Ko Jun-lim, pedang-pedang mereka tiba-tiba menjadi enteng tanpa bobot seperti terbuat dari bambu kering saja, tusukan atau sabetan pedang mereka melenceng jauh dari sasaran yang dikehendaki.
Bahkan Ko Jun-lim terhuyung mundur lima enam langkah dengan wajah pucat.
Sedang Pakkiong Eng yang ilmunya lebih lihai tidak mau bertahan secara kekerasan,ia justru memanfaatkan gelombang tenaga itu untuk membuat tubuhnya melayang mundur sambil membuat gerakan Yan-cu-hoan-sin (burung layang-layang memutar tubuh) di tengah udara, dan mendarat dengan empuk tanpa sempoyongan.
"Bagus! ilmu meringankan tubuh yang hebat!"
Orang berkedok itu tiba tiba berseru dan bersikap tidak akan nenyerang lagi.
"Juga ilmu pedang Thian-liong-kiam-hoat serta tenaga dalam Hwe-liong-sinkang yang hebat!"
Pakkiong Eng terkejut karena orang berkedok itu sekaligus berhasil menebak nama ilmu-ilmu kebanggaannya itu.
Sedang Ko Jun- lim pun terkejut mendengarnya, ilmu-ilmu itu adalah milik seorng panglima kekaisaran yang terkenal di Pak-khia, ia hanya pernah mendengar disebut-sebut orang, tapi barulah detik itu tahu bahwa "Kiong Eng"
Memiliki ilmu itu.
Perlahan orang berkedok itu menarik kedoknya, dan begitu wajah itu tampak, kendorlah ketegangan orang-orang Keluarga Sebun yang sudah mengepung kebun bunga itu.
Itulah wajah tuan besar mereka sendiri, Sebun Him.
Ketika itulah Sebun Hiong dan Sek Cha datang pula ke tempat itu, mengiringi seorang perempuan setengah baya yang sebenarnya cukup cantik, namun tidak memiliki leher dan pinggang karena tertimbun lemak yang berlebihan.
Wajah mereka bertiga penuh senyuman dan tidak menunjukkan ketegangan sedikitpun.
Sebun Hiong tersenyum kepada Pa kiong Eng dan berkata.
"'Maaf kalau kami sudah mengagetkan saudara Kiong dan Ketua Ko. Aku perkenalkan kepada kalian, inilah ayahku, dan ini ibuku". Dalam hatinya, Pakkiong Eng menggerutu akan "cara perkenalan"
Ayah Sebun Hiong yang luar biasa itu. Namun diapun menyarungkan pedangnya dan memberi hormat.
"Salamku untuk Sebun Taihiap dan Sebun Hujin. Terima kasih atas petunjuk Taihiap tadi... Sebun Him kembali tertawa sambil mengelus jenggotnya.
"Jangan terlalu merendah, Hiantit. Ilmu pedang dan tenaga dalammu tadi sudah cukup baik untuk angkatan muda dunia persilatan. Masih bisa dikembangkan terus. Namun aku ingin bertanya sesuatu, mudah-mudah Hiantit sudi menjawabnya terus-terang..."
"Silahkan, taihiap"
Ilmu-ilmumu tadi terkenal sebagai milik ciangkun Pakkiong Liong, Panglima Pasukan Naga Terbang, ada hubungan apakah Hiantit dengan Pakkiong Ciangkun?"
Di hadapan pendekar propinsi Siam-say yang bernama harum ini, Pakkiong merasa tidak perlu bersembunyi lagi, ia anggap Sebun Him dan keluarganya bisa dipercaya.
"Taihiap, aku adalah puterinya. Namaku yang sebenarnya adalah Pakkiong Eng. Nama Kiong Eng hanya aku gunakan kalau aku sedang menyamar sebagai laki-laki di dunia persilatan. Ayahku menitipkan salam hormat kepada taihiap". Pengakuan Pakkiong Eng bahwa dirinya adalah anak gadis Pakkiong Liong itu memang mengejutkan semua pendengarnya. Sebun Him tercengang, kenapa puteri seorang panglima bisa keluyuran sendirian sampai ke Siam-say yang ribuan li dari Pak-khia? Sek Cha terkejut karena nama Pakkiong Liong di percaturan pemerintahan pusat adalah nama yang disegani. Sebun Hiong masih agak kebingungan bahwa teman seperjalanannya selama ini ternyata adalah seorang gadis. Sedang Ko Jun-lim tersipu-sipu karena "pelindung"nya selama ini adalah seorang gadis yang usianya sebaya dengan usia cucunya. Seorang bekas ketua perguruan yang berwajah angker dan berjenggot putih, ternyata selama ini berlindung di bawah ketiak seorang gadis muda... **OZ** Bersambung ke
Jilid 13 Pojok Dukuh, 25-09-2018; 19.25 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 13
"KALIAN adalah tamu-tamu terhormat keluarga kami", kata Sebun Him kemudian.
"Mari kita perkenalkan dengan tamu yang lain. Ini adalah saudara Sek Cha, di Pak-khia dia adalah...."
"....pedagang kain!"
Cepat Sek Cha memotong omongan Sebun Him sebelum menyebutkan siapa dirinya sebenarnya.
Sebun Him bisa memakluminya, sebab Sek Cha menjalankan tugas rahasia dari Pangeran In Si, tentu tidak dapat sembarangan memperkenalkan jabatannya.
Sek Cha telah saling memberi hormat kepada Pakkiong Eng dan Ko Jun-lim.
Diam- diam Pakkiong Eng memperhatikan tampang dan gerak-gerik Sek Cha, dan yakinlah ia bahwa orang ini bukan seorang pedagang melainkan seorang jagoan tangguh.
Entah kenapa dia agaknya sengaja menyembunyikan diri.
Karena itu Pakkiong Eng memutuskan dalam hati, bahwa selama menjadi tamu di keluarga Sebun, diapun tidak boleh terlalu terbuka tentang tugas-tugasnya menemukan jejak Pangeran In Ceng alias Si Liong-cu.
"Nona Pakkiong, apakah yang menjadi tujuanmu sehingga melakukan perjalanan sejauh ini dari Pak-khia?"
Tiba-tiba Sebun Him bertanya.
"Taihiap...."
"Jangan panggil aku Taihiap", potong Sebun Him dengan sikap ramah.
"Kalau Titli (keponakan perempuan) suka kau boleh panggil paman saja kepadaku itu lebih menciutkan jarak antara kita bukan? Biarpun aku dan ayahmu belum saling berkenalan, tapi sudah saling mendengar nama masing-masing. Ayahmu disebut Naga Utara dan aku dijuluki Beruang Barat. Kami berdua, ditambah dengan Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou dan Pun Bu Hweshio dari Siau-lim-pai disebut Empat Tokoh Puncak. Itu membuat aku malu saja.... Meskipun mulutnya mengatakan malu, tapi cara mengucapkannya tidak sungkan- sungkan sedikitpun. Pakkiong Eng sendiri selama ini hanya pernah mendengar nama tiga tokoh puncak, bukan empat, yaitu ayahnya sendiri, Ketua Hwe-liong-pang dan Pun-bu weshio. Namun kini mendengar Sebun Him nekad mense jajarkan diri dengan ketiga orang itu, diam- diam ia agak geli juga. Hanya, demi basa-basi diapun berkata.
"Baiklah, paman. Aku berkelana di dunia persilatan sekedar menambah pengalaman, tidak ada tujuan tertentu".
"Syukurlah. Memang bagi anak-anak muda lebih baik memusatkan diri kepada memperdalam ilmu dan menambah pengalaman, tidak usah ikut campur dalam kemelut yang ditangani orang-orang tua", kata Sebun Him. Pakkiong Eng kurang paham kata-kata itu. Yang ia dengar dari ayahnya, justru sejak muda harus melakukan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat bagi sesama. Bukannya "tidak ikut campur urusan orang tua"
Seperti anjuran Sebun Him.
"Terima kasih atas petunjuk paman", toh ia mengangguk juga biarpun dalam hatinya tidak setuju.
"Nah, aku minta maaf telah mengganggu dan mengejutkan kalian", kata Se bun Him dengan ramah.
"silahkan melanjutkan istirahat kalian. Selamat malam".
"Selamat malam", Pakkiong Eng dan Ko Jun-lim membalas. Dengan sebuah isyarat gerakan tangan, Sebun Him membubarkan orang-orangnya yang masih belum meninggalkan kebun bunga itu. Sebelum itu, beringsut setapak pun tidak berani. Halaman penuh pohon bunga itupun menjadi sepi karena ditinggalkan Sebun Him dan orang-orangnya. Pakkiong Eng pun membalikkan badan dan siap masuk ke kamarnya, namun langkahnya tertegun ketika melihat Ko Jun-lim masih berdiri termangu- mangu seperti patung.
"Eh, ada apa, Ketua Ko?"
Tanya Pakkiong Eng.
"Tidak apa-apa... tidak apa-apa..."
Ko Jun-lim menjawab tergagap dan masuk pula ke kamarnya.
Di dalam kamarnya Ko Jun-lim duduk melamun lama sekali sambil berkali-kali menghela napas panjang.
Ia ingat bagaimana ia dihormati orang ketika masih menjadi Ketua Pek-kiam-pai, meskipun hanya orang-orang di lingkungan perguruannya, tapi setelah berada di rumah Keluarga Sebun itu, ia merasa dirinya tidak berharga.
Ia merasa dirinya seperti si kerdil di antara raksasa-raksasa perkasa, tidak ada yang menghiraukan bahwa dirinya adalah Ketua Pek-kiam-pai yang berjuluk Pek-hong- kiam (Pedang Pelangi Putih).
Selama percakapan di kebun bunga tadi, semua perhatian hanya ditujukan kepada Pakkiong Eng yang ternyata adalah puteri dari panglima perkasa Pakkiong Liong.
Sedang dirinya sendiri disapa sepatah katapun tidak, dianggap "orang pinggiran"
Yang tidak diperhitungkan sama sekali. Bahkan ketika Sebun Him hendak pergi, ia hanya diberi anggukan kecil dan terus ditinggal pergi begitu saja. Ia tersenyum pahit dan menggeremeng sendirian.
"Aku memang bukan lagi Ketua Pek- kiam-pai, bukan pula si Pedang Pelangi Putih. Aku kini hanya seorang tuna wisma yang menumpang hidup di rumah orang lain karena berbelas kasihan kepada tua bangka ini. Aku tidak tahu diri kalau mengira diriku masih Ko Jun-lim yang terhormat dulu..."
Merenungkan kebangkrutannya sendiri, kebangkrutan gara-gara keserakahan ingin ikut memiliki gulungan kulit yang konon mengandung pelajaran ilmu silat tinggi itu, makin lama Ko Jun-lim makin menyesal.Tiba- tiba timbul pikiran, kalau ia menjerat lehernya untuk digantungkan di belandar ruangan itu, selesailah semuanya.
Toh ia sudah cukup tua dan umurnya paling-paling tinggal beberapa tahun lagi, tidak salahnya kalau "dipercepat"
Sekarang saja... Hampir saja ia melaksanakan niat sesatnya itu. Sebuah bangku sudah diletakkan di bawah belandar, ikat pinggangnya sendiri sudah diurai, tapi pikiran lain melintas lagi.
"Sedikit banyak aku sudah punya nama terhormat juga. Bagaimana kalau tersiar kabar Ko Jun-lim Ketua Pek-kiam-pai bunuh diri di rumah orang lain? Bagaimana kalau mayatku dikubur oleh keluarga Sebun tanpa batu nisan sama sekali? Nama yang kuperoleh, biarpun kecil, setidaknya sudah kuperjuangkan cukup lama juga, sayang kalau terkubur begitu saja bersama jasadku. Kalau harus mati, harus mati seperti harimau, mati secara menggemparkan". Sayang akan nama baiknya sendiri ternyata bisa juga mencegahnya menjadi Tiau- si-kui (arwah orang menggantung). Dengan lesu ia duduk kembali.
"Biarlah aku tunggu lagi beberapa tahun, siapa tahu kelak ada peluang untuk memperbaiki kesalahanku yang lalu, mengangkat kembali namaku sebagai si Pedang Pelangi Putih. Waktu itu matipun aku puas. Sekarang tidak ada salahnya untuk menahan sedikit hinaan. Cu Goan-ciang toh pernah juga menjadi pendeta pengemis sebelum berhasil membangun Kerajaan Beng..."
Menyamakan diri dengan Cu Goan- ciang, ia akhirnya berhasil menenteramkan hatinya sendiri.
Sementara itu, tidak peduli malam sudah larut, Sebun Him dan Sek Cha tetap meluangkan waktu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan.
Mereka benar- benar bersungguh-sungguh memperjuangkan kemenangan bagi Pangeran In Si.
"Tidak kusangka kalau bocah itu ternyata adalah puteri Pakkiong Liong sendiri".
"Saudara Sebun percaya bahwa dia meninggalkan Pak-khia hanya sekedar merantau mencari pengalaman?"
Sebun Him tersenyum.
"Cuma manusia yang kepalanya berisi tahi kerbau yang bisa mempercayai omongannya. Tapi anak itu cerdik juga, ia berusaha menyembunyikan tujuannya yang sebenarnya".
"Aku menduga keras, tujuannya sama dengan tujuan kita"
"Mencari Pangeran In Ceng?"
"Tepat".
"Menghadapi persaingan para putera Kaisar, bagaimana sikap Pakkiong Liong sendiri? Maksudku, ia memihak pangeran yang mana?"
Tanya Sebun Him.
"Belum jelas, tapi hubungannya dengan Pangeran In Te, putera ke empatbelas, memang agak istimewa, meskipun Pangeran In Gi dan In Tong juga berusaha merangkul Pakkiong Liong ke pihak mereka. Bisa dimaklumi karena Pakkiong Liong adalah saudara sepupu dan orang paling terpercaya Kaisar, saingannya hanyalah Kok-kiu (adik lelaki Permaisuri) Liong Ke-toh. Tapi Pakkiong Liong lebih kuat, sebab dia memimpin pasukan Hui Liong-kun yang kuat dan berwibawa di antara panglima-panglima dari pasukan lain. Kekuatannya harus diperhitungkan oleh semua pihak."
"Gelagatnya, dia memihak Pangeran In Te, putera Kaisar yang memegang kekuasaan angkatan perang itu..."
"Kalau begitu, untuk sementara waktu bolehlah dia dianggap sejalan dengan kita. Meskipun di kemudian hari jalannya mungkin .bersimpangan dengan jalan kita. Saat ini sejalan, sama-sama memburu Pangeran In Ceng."
"Alangkah malangnya In Ceng. Nyawanya diincar dari segala jurusan".
"Ya. Namun kalau benar laporan putera saudara, bahwa i sudah bersahabat dengan para pendekar di Kang-lam, maka sahabat- sahabatnya pasti akan membelanya. Tetapi aku tidak gentar. Ia harus dimusnahkan".
"Apakah saudara Sek besok pagi benar- benar akan pergi?"
"Benar, jangan sampai setitik jejak yang telah ditemukan oleh putera saudara itu menjadi lenyap kembali. Dan tentang puteri Pakkiong Liong yang menjadi tamu di rumahmu itu...."
"Serahkan kepadaku, saudara Sek. Barangkali saja dari pembicaraanku dengannya akan bisa kita ketahui bagaimana persiapan di kubu Pangeran In Te. Ini sangat menguntungkan pihak kita bukan?"
"Baiklah, saudara Sebun. Aku serahkan kepadamu untuk mengurus bocah itu, kelak aku akan melaporkan pahalamu dan pahala puteramu itu ke hadapan Tit-hun-ong agar dicatat."
"Ah, itu sebenarnya tidak perlu. Pahala kami kecil saja", kata Sebun Him sambil tertawa.
"Nah, silahkan beristirahat, saudara Sek". Pembicaraan selesai dan keduanya berpisahan menuju kamar masing-masing. **OZ** BAGIAN TIGABELAS Pagi harinya, Pakkiong Eng terbangun oleh suara sapu lidi yang menggeser lantai di luar kamarnya. Sesuai dengan kebiasaannya untuk selalu mematangkan imunya dan sekaligus menjaga kesehatan badannya, Pakkiong Eng memainkan ilmu pedangnya sendirian di kamarnya yang luas. Di kamarnya sendiri, Ko Jun-lim bukan cuma terbangun oleh suara sapu lidi, tetapi oleh ketukan-ketukan di pintu kamarnya. Cepat ia memakai jubah dan sepatunya dan membukakan pintu. Pelayan setengah tua yang kemarin mengantarkannya ke kamar itu, sudah berdiri di ambang pintu, membungkuk dengan hormat sambil berkata.
"Ko Sianseng, dengan hormat Toaya memohon untuk berbicara dengan Sianseng."
Hati Ko Jun-lim melonjak kegirangan. Semalam ia hampir saja menggantung diri karena sangat kecewa, merasa tidak digubris sama sekali. Tapi pagi ini ia mendapat undangan dari Sebun Him, bahkan disertai kata-kata "dengan hormat"
La. Itu sangat menghibur hatinya. Seketika itu pulihlah lagak Ko Jun-lim sebagai Ketua Perguruan Pek-kiam-pai yang biasa dihormati. Dengan dagu tegak, dada agak membusung dan mengurut jenggot put ihnya, dia berkat kepada pelayan itu.
"Baiklah. Tapi aku harus membersihkan diri lebih dulu dan memakai pakaian yang pantas".
"Silahkan, Ko Sianseng. Aku akan menunggu di luar dan nanti mengantar Sianseng ke tempat Toaya". Sambil merapikan diri di kamarnya Ko Jun-lim membatin.
"Kalau seperti ini, terhitung Sebun Him masih menghargai diriku juga. Mungkin ia akan mengajakku berbincang bagaimana mengatasi ulah Hek-eng-po yang semakin meraja-lela..."
Tidak lama kemudian, di salah satu ruangan dari rumah besar itu, Ko Jun-lim sudah berhadapan dengan si tuan rumah Sebun Him yang kelihatan rapi dan bersikap amat ramah.
"Silahkan duduk, Ko Sianseng", kata Sebun Him. Aku mohon maaf sebesar- besarnya bahwa kemarin aku tidak bisa menyambut Sianseng dengan sepantasnya."
"Jangan pikirkan, Hiantit", sahut Ko Jun-lim sambil tertawa.
"Aku paham Hiantit banyak urusan dan tidak hanya harus mengurus diriku saja". Seorang bujang masuk membawa nampan teh. Dengan sikap terjaga, ia meletakkan dua cawan keramik yang agaknya buatan jaman dinasti Beng dulu, di hadapan Sebun Him dan Ko Jun-lim, lalu mengundurkan diri.
"Silahkan diminum tehnya, Sianseng". Baik si tuan rumah maupun si tamu sama-sama mengangkat cawan dan menghirup sedikit isinya.
"Aku sudah mendengar dari anakku si A-hiong, bagaimana orang-orang Hek-eng-po bertindak sangat keterlaluan terhadap Sianseng. Aku mengucapkan simpati sedalam- dalamnya atas musibah yang menimpa Sianseng dan Pek-kiam-pai."
"Terima kasih. Tapi setelah aku berada di rumah ini, tentu iblis-iblis itu harus berpikir duabelas kali kalau hendak mengganggu aku lagi".
"Sianseng keliru..."
"Hah?"
Sebun Him mengeluarkan dua macam benda dari kantong bajunya dan diletakkan di meja. Itulah sepucuk surat dan sebuah tiat-pai (lencana besi) yang berukir gambar seekor elang yang mementang sayap di atas gurun pasir.
"Sianseng keliru kalau menganggap Hek-eng-po mau menyuahi urusannya dengan Sianseng begitu saja, meskipun Sianseng sudah berada dalam lindungan Keluarga Sebun". Keringat dingin mengalir deras di tengkuk Ko Jun-lim, kegugupannya tidak lagi bisa ditutup-tutupi dengan lagak agungnya sebagai seorang ketua sebuah perguruan.
"A... apa isi surat itu...?"
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh cepat gerakan Hek-eng-po. Baru kemarin Sianseng tiba di sini, dan tadi pagi aku sudah menerima surat dan lencana ini, dibawa oleh seorang utusan Hek-eng-po yang datang tanpa senjata. Silahkan Sianseng memeriksa surat itu."
Dengan tangan agak gemetar, Ko Jun- lim meraih surat itu, mengeluarkan dari sampulnya, membuka lipatannya dan disimaknya huruf-huruf yang tertera.
Secara garis besar, isi surat dimulai dengan kata-kata amat sungkan dari ajakan Hek-eng-po yang memuji-muji Sebun Him sebagai seorang pendekar yang adil, disusul dengan permohonan halus agar Sebun Him sudi menyerahkan Ko-jun lim, anggota Hek- eng-po yang berkhianat dan membawa lari sebuah benda pusaa milik Hek-eng-po".
Lalu, dalam tiga hari akan datang utusan dari Hek- eng-po untuk mengambil si "pengkhianat", tutup dengan ucapan terima kasih yang di- hat sungkan dari Majikan Hek-eng-po.
"Hiantit, kau percaya obrolan Majikan Hek-eng-po dalam surat ini?"
Tanya Ko Jun-lim sambil meletakkan surat itu kembali.
"Bisa percaya, bisa juga tidak".
"Maksud.... maksud Hiantit bagaimana?"
"Ko Sianseng, selama ini keluarga Sebun tidak takut melawan siapapun asal berdiri di pihak kebenran. Tapi kami akan sayang untuk meneteskan biarpun hanya setitik keringat, untuk hal-hal yang tidak ada gunanya. Sudah berpuluh orang datang minta perlindungan dan aku lindungi, sebab mereka termasuk orang-orang tak berdaya yang memang patut dilindungi. Apakah Sianseng termasuk golongan ini?"
Harga diri Ko Jun-lim agak tersinggung juga.
"Hiantit, jangan bicara berputar-putar, langsung saja ke maksud yang sebenarnya".
"Bagus! Ko Sianseng benar-benar jantan dan tentu akan berani bersikap jantan pula. Jawab terus terang, benarkah Sianseng pernah menjadi anggota Hek-eng-po, kemudian menjadi buronan mereka karena mencuri benda pusaka mereka?"
"Bohong besar. Aku akui, memang aku pernah berbuat suatu kekhilafan sehingga tanpa aku sadari aku diperalat Hek-eng-po untuk sebuah tujuan busuk mereka Aku sangat menyesali hal itu, tapi tentang benda pusaka Hek-eng-po, aku benar-benar tidak tahu apa- apa!"
Sebun Him bangkit dari kursinya dan berjalan hilir mudik di ruangan itu sambil mengerutkan alisnya.
"Maaf kalau kedengarannya sedikit menyombongkan diri, Sianseng, selama ini biarpun Hek-eng-po malang melintang dengan buas di mana-mana, tapi terhadap keluarga Sebun ereka tidak berani menyentuh biarpun hanya seujung rambut. Sekarang Majikan Hek-eng-po berani mengirim surat kepadaku dengan tangan terbuka dengan Keluarga Sebun, menanggung pecahnya perten- tentunya apa yang sedang mereka cari cukup berharga. Benda pusaka itu".
"Jadi Hiantit menuduhku menyembunyikan benda itu?"
"Aku bicara terbuka saja, Sianseng. Kau sulit membersihkan diri dari tuduhan itu, apalagi karena di luaran berjangkit pula desas- desus yang buruk tentang dirimu. Katanya kau pernah mengorbankan cucu perempuanmu sendiri di Liu-keh-chung, mengkhianati besannu sendiri, semuanya hanya demi benda itu. Maka akupun menduga bahwa kau tentu lebih menyayangi benda itu dari nyawamu sendiri". Runtuhlah ketegaran hati Ko Jun- lim. Yang terjadi di ruangan itu mengingatkannya yang pernah terjadi di Liu keh-chung, ketika dia dengan segala jalan berusaha menekan dan mengorek keterangan dari mulut besannya, Liu Hok-tong, tentang gulungan kulit itu. Waku itu, biarpun besannya sudah mati-matian mengingkarinya, ia tetap tidak percaya dan terus mendesak. Kini ia menggantikan kedudukan Liu Hok-tong sebagai "terdakwa", akan sulit sekali meyakinkan Sebun Him bahwa ia benar-benar tidak tahu sama sekali tentang gulungan kulit itu, bahkan melihat wujudnya pun belum pernah.
"Kalau aku benar-benar tidak tahu, bagaimana?"
"Sudah aku katakan, sulit menghilangkan kecurigaan atas diri Sianseng. Ketahuilah, segenap penghuni Keluarga Sebun siap mati membela keadilan, membela orang- orang yang patut dilindungi. Tapi untuk membela seorang ...maaf, seorang pengkhianat terhadap besan sendiri, seorang pencuri... "Cukup!"
Potong Ko Jun-lim sengit.
"Bicara terus terang saja, Sebun Him. Kaupun sebenarnya berhati serakah ingin memiliki gulungan kulit itu bukan?"
"Siapa bilang?"
Sebun Him tertawa dingin.
"Kurang tinggikah ilmuku saat ini sehingga ku perlu ikut-ikutan memprebutkan benda sampah itu? Biarpun menurut kabar di gulungan kulit itu ada ilmu pelajaran silat yang lihai? Aku hanya ingin kau berterus-terang, menyerahkan gulungan kulit itu kembali ke pihak Hek-eng-po. Aku tidak mau rumahku ini menjadi tempat persembunyian seorang pencuri untuk menyembunyikan barang-barang curiannya. Ini tempat terhormat, paham?!"
Alangkah sakit hati Ko Jun-lim direndahkan macam itu. Tubuhnya sampai gemetar dan mulutnya kejang karena marahnya, namun tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Sementara Sebun Him berkata lagi.
"Ada waktu tiga hari untuk berpikir-pikir, Sianseng, sebelum utusan Hek-eng-po datang kembali untuk menanyakan jawabanku. Sekali lagi aku ulangi, aku tidak takut berhadapan dengan Hek-eng-po. Namun tidak sudi bertempur hanya untuk melindungi seorang pencuri. Kalau kau serahkan benda milik Hek-eng-po itu, maka kau kalau perlu boleh tinggal di sini kapanpun kau mau, selama-lamanya juga boleh. Aku selalu berbelas kasihan kepada gelandangan yang tidak punya rumah..."
Habis berkata demikian, Sebun Hin meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Ko Jun-lim duduk sendirian dengan wajah yang sangat mengenaskan.
Beberapa saat kemudian, barulah Ko Jun-lim mendapatkan sedikit kekuatan untuk berjalan lunglai kembali ke kamarnya.
Alangkah pahit buah yang harus dikenyamnya akibat pohon yang ditanamnya sendiri.
Ia menjadi buruan, dikejar-kejar, dihina, tidak dipercaya, sementara gulungan kulit yang diimpi-impikan itu tidak ada di tangannya.
Lama sekali ia merenung di kamarnya, bahkan hidangan siang yang dibawakan oleh pelayan keluarga Sebun juga tidak disentuhnya sama sekali.
"Aku harus tinggalkan tempat keparat ini secepatnya!"
Tiba-tiba timbul tekad dalam hatinya.
"Biarpun aku sudah tua dan tenagaku sudah lemah, tapi aku juga seorang pesilat yang pernah punya nama. Mana bisa aku membiarkan diriku terus-terusan menelan hinaan?"
Tetapi ia sadar, begitu melangkah keluar dari lindungan Keluarga Sebun, maka di luar pintu seolah padang belantara yang penuh dengan serigala-serigala buas, siap menerkamnya dari segala jurusan.
Karena itu, Ko Jun-lim kemudian memutuskan bahwa diapun harus mengajak "pelindung"nya pergi pula bersamanya.
Sore itu, ia muncul di tempat Pakkiong Eng.
"Nona Pakkiong, kita harus secepatnya pergi dari rumah ini".
"Kenapa?"
Tanya Pakkiong Eng heran.
"Keluarga ini sangat ramah dan baik menerima kita, aku baru saja bicara panjang lebar dengan Sebun Hiong dalam suasana bersahabat..."
"Ya, suasana bersahabat, tetapi hanya kepadamu, nona, sebab mereka segan kepada ayah nona yang menjadi panglima di Ibukota. Tetapi terhadapku, aku dianggapnya seperti sampah tak berguna saja..."
Lalu Ko Jun-lim menceritakan percakapannya dengan Sebun Him tadi.
"Jadi... Majikan Hek-eng-po telah menulis surat kepada paman Sebun untuk minta dirimu agar diserahkan, begitu?"
"Benar nona".
"Tadi Sianseng lihat, bagaimana sikap Sebun-siokhu?"
"Keluarga Sebun enggan bentrokan dengan Hek-eng-po hanya untuk melindungi aku. Tiga hari lagi, kalau aku tidak cepat-cepat kabur dari sini, aku pasti akan diserahkan kepada utusan Hek-eng-po dan nasibku selanjutnya..."
"Aku tidak percaya paman Sebun menuruti permintaan Majikan Hek-eng-po begitu saja".
"Nona, bukannya Keluarga Sebun takut kepada Hek-eng-po, tapi hanya karena enggan melindungi aku..."
"Apakah Sianseng benar-benar menyimpan gulungan itu? Kalau benar, aku anjurkan untuk diserahkan saja kepadaa Paman Sebun agar Sianseng diperbolehkan tinggal di sini". Ko Jun-lim yang berusia enampuluh lima tahun dan berjenggot putih itupun tiba- tiba menangis terguguk-guguk seperti anak kecil. Mau tak mau Pakkiong Eng merasa kasihan juga akan nasib orang tua yang malang itu. Diselingi suara tangisan, Ko Jun- lim bercerita tentang keserakahan dan kejahatannya sendiri ketika di Liu-keh-chung dulu. Bahkan ketika ia dan Kiau Bun mengumpankankan Liu Giok-eng kepada Liu Beng juga diceritakan semua tanpa tedeng aling-aling. Cerita ditutup dengan pengakuan bahwa ia benar-benar tidak tahu tentang gulungan kulit itu, juga tidak ingin tahu lagi, yang diingininya hanyalah hidup tenteram untuk melewati hari-hari tuanya. Mendengar itu, timbul rasa muak dan jijiknya Pakkiong Eng terhadap bekas ketua Pek-kiam-pai itu. Seorang pendekar yang dihormati, ternyata tidak segan-segan berbuat serendah itu hanya untuk mendapatkan benda yang bukan haknya. Pantas Paman Sebun enggan melindunginya, pikirnya. Tapi melihat betapa Ko Jun-lim mengakui semua perbuatannya sambil menangis penuh sesal, iba juga Pakkiong Eng.
"Nah, nona sudah mendengar semua kebusukanku. Terserah sekarang mau menolongku atau tidak?"
Pakkiong Eng termangu-mangu sulit menjawab.
Orang tua sebusuk ini mesti dibiarkan saja dicincang orang-orang Hek-eng- po, apalagi Pakkiong Eng sebagai seorang gadis dapat ikut merasa bagaimana perasaan Liu Giok-eng yang diumpankan oleh kakeknya sendiri.
Tapi Ko Jun-lim sudah betul-betul menyesal, tidak segan-segan membeberkan sendiri tanpa diminta, ia merasa kasihan juga.
"Aku akan bicarakan ini dengan paman Sebun", kata Pakkiong Eng. Kalau rasa sesal Sianseng ini dilihat sendiri oleh Paman Sebun, aku yakin paman akan bertindak bijaksana terhadap Sianseng..."
"Jangan!"
Cepat Ko Jun-lim mencegah.
"Aku percaya bahwa Keluarga Sebun berwatak luhur dan adil, tapi siapa mau percaya lagi kepada nama Ko Jun-lim yang sudah cukup dihina olehnya, aku tidak ingin mengemis belas kasihannya lagi. Satu-satunya keinginanku sekarang adalah kabur dari sini bersama nona..."
"Kenapa mesti bersama aku?"
Sesaat Ko Jun-lim ragu-ragu menjawab, terhalang oleh rasa malunya.
"Aku..aku...tidak ingin nona terkurung di tempat ini pula..."
Yang sebenarnya, Ko Jun-lim ingin mengajak Pakkiong Eng supaya melindunginya terus sepanjang perjalanan.
"Sianseng, aku tidak terkurung di sini, setiap saat aku bisa pergi dan kelurga Sebun tidak akan menghalangiku. Di sini aku diperlakukan dengan baik dan bersahabat".
"Tapi kalau aku pergi sendiri, lalu bagaimana?"Segala ucapan dan gerak-gerik Ko Jun-lim tidak lagi menyisakan sedikitpun sikap seorang ketua perguruan. Pakkiong Eng tidak tahu harus merasa geli atau muak. Tapi ia masih ingin tetap berada di rumah Keluarga Sebun sambil menyelidiki di pihak mana keluarga terkenal ini berdiri dalam pertentangan antar pangeran. Ia tidak mau menghentikan penyelidikkannya hanya untuk menuruti "momongan"
Setua Ko Jun-lim. Seperti anak kecil yang merengek minta bepergian diantar ibunya, karena takut diganggu temannya yang nakal...
"Ko Sianseng, menyesal sekali bahwa demi tugas yang tengah aku pikul, aku tidak bisa menuruti rencanamu itu. Tetapi kalau Sianseng benar-benar menyesali kesalahan yang dulu, akupun tidak bisa menutup mata tentang urusan keselamatan nyawa Sianseng..."
"Maksud nona?"
"Aku akan memberi dua macam benda sebagai bekal perjalanan Sianseng, mudah- mudahan bisa untuk melindungi diri."
Lalu Pakkiong Eng menghampiri bungkusan bekalnya yang digantungkan di tepi tempat tidur, dan mengeluarkan dua macam benda.
Yang satu adalah sehelai bendera segitiga kecil berwarna hitam, bersulam seekor naga yang sisiknya seolah terbuat dari api yang menyala.
Yang satu lagi sebuah lencana besi, juga berukir naga, namun tidak menyala, melainkan sedang bergulung di tengah mega seolah-olah terbang.
"Bendera ini adalah pertanda dari Hwe- liong-pang ( Serikat Naga Api) untuk orang- orang atau tempat-tempat atau benda-benda yang berada di bawah perlindungan mereka. Yang aku ketahui, setidak-tidaknya Empat Siluman dari Hek-ng-po itu menjadi sangat jinak kalau melihat bendera ini, karena mereka pernah dihajar oleh Paman Tong Lam-hou, Ketua Hwe-liong-pang. Entah kalau orang- orang Hek-eng-po yang lainnya..."
Ko Jun-lim menerima bendera itu dan menggengam erat-erat seolah benda itu adalah nyawa cadangannya.
"Dan lencana ini?"
"Ini adalah Hui-liong-tiat-pai (Lencana Besi Naga Terbang), hanya dimiliki oleh anggota-anggota pasukan rahasia bawahan ayahku. Dengan lencana itu, kau bisa menghubungi anggota- anggota pasukan rahasia ayahku yang tersebar di semua kota besar, kalau kau ceritakan bahwa lencana itu pemberianku mereka akan membantu Sianseng, asalkan tidak bertentangan dengan tugas-tugas utama mereka. Tapi ingat, kedua benda itu hanya untuk perlindungan diri, bukan untuk bertindak sewenang-wenang."
Pakkiong Eng merasa perlu menandaskan kalimat terakhir itu, sebab ia ingat kepada si pemilik warung yang mentang- mentang punya bendera Hwe-liong-ki lalu memasang tarip seenak perutnya sendiri.
Ia tidak ingin Ko Jun-lim menjadi sewenang- wenang pula gara-gar benda-benda itu...
Terima kasih, nona, terima kasih."
Ko Jun-lim buru-buru menyambar kedua benda itu dan memasukkan ke kantongnya seolah kuatir kalau Pakkiong Eng menarik kembali pemberiannya itu.
Perlindungan tidak langsung yang diberikan oleh Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong, Harimau Selatan dan Naga Utara, sedikit membesarkan hatinya.
"Kapan Sianseng akan menyelundup keluar dari sini?"
"Nanti malam, nona. Tapi harap nona tidak membocorkannya kepada orang-orang Keluarga Sebun. Budi nona kepada diriku setinggi gunung dan sedalam lautan".
"Tentu saja aku akan menutup rapat- rapat hal ini". Setelah mengucapkan sebelas kali terima kasih, Ko Jun-lim meninggalkan kmar itu. Pakkiong Eng melihatnya dari belakang sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas.
"Orang tua yang malang. Tapi ia sudah memetik hasil perbuatannya sendiri. Mudah-mudahan sisa umurnya bersih dari pikiran-pikiran menyeleweng". Sisa hari itu digunakan oleh Ko Jun-lim untuk berkeling-keliling di rumah yang besar itu, melihat-lihat bagian mana yang kira-kira nanti malam bisa diterobos. Penjagaan di semua sudut ternyata kuat sekali, dan dengan berat hati Ko Jun-lim terpaksa memilih sebuah tempat penerobosan yang tidak sesuai dengan martabatnya sebagai pendekar terkenal. Itulah lubang kakus, yang dia yakini akan menembus keluar rumah mirip benteng itu. Hanya tempat itu yang tidak dijaga. Selama berkeliling, beberapa kali ia berpapasan dengan pegawai-pegawai Keluarga Sebun, dan pegawai-pegawai itupun masih saja mengangguk hormat kepadanya. Namun Ko Jun-lim bisa merasakan bahwa gerak- geriknya diawasi, agaknya Sebun Him sudah memerintahkan untuk tidak membiarkan lolos orang yang satu ini. Selesai meninjau keadaan tempat, Ko Jun-lim balik ke kamarnya. Hidangan siang yang sejak tadi belum disentuh kini dilahapnya habis supaya badannya cukup segar malam nanti, lalu diapun tidur, meskipun agak gelisah. Datangnya seorang pelayan yang membawakan hidangan malam telah membangunkannya, dan kembali hidangan itu disapunya bersih. Kemudian ia duduk-duduk saja sendirian sambil menunggu malam menjadi larut. Malam semakin sunyi, samar-samar ia mendengar suara Pakkiong Eng dan Sebun Hiong bercakap-cakap di pinggir kolam ikan, dan diam-diam Ko Jun-lim mengutuk dalam hati.
"Dasar gadis murahan, mengakunya saja sedang memikul tugas penting segala. Hem, paling-paling sedang memburu lelaki..."
".... tapi kedua benda yang diberikan kepadaku itu mudah-mudahan ada gunanya juga untuk menggertak orang-orang Hek-eng- po yang memburuku..."
Ketika sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara gembreng tanda waktu tengah malam dibunyikan orang, Ko Jun-lim sadar bahwa saatnya sudah datang.
Ia cepat menyalin pakaiannya dengan pakaian ringkas warna hitam, tetapi bagian luarnya ditutupi dengan jubah panjangnya.
Pedangnya tidak akan dibawanya, sebab tentu akan mencurigakan sekali kalau pergi ke kakus dengan membawa pedang.
Yang tidak ketinggalan adalah dua "nyawa cadangan"nya, bendera dan lencana, serta beberapa tail sisa uangnya yang diikatkan erat-erat di tubuhnya.
Di luar sudah sepi, Sebun Hiong dan Pakkiong Eng yang bercakap-cakap sudah kembali ke kamarnya masing-masing untuk beristirahat.
Ko Jun-lim segera keluar kamarnya sambil pura-pura memegang perutnya.
Memang tak seorangpun yang melihatnya namun ia cukup tua untuk berhati-hat siapa tahu diawasi.
Karena itulah ia berlagak seperti orang yang benar-benar sakit perut.
Di kakus, ia menutup pintu rapat-rapat dan mencopot jubah luarnya sehingga tinggal pakaian ringkasnya.
Dengan menahan rasa jijik dan mualnya karena bau busuk yang menerpa hidung, ia kerahkan tenaganya untuk meggeser batu injakan yanng menjadi alas kalau orang sedang berjongkok untuk buang hajat besar.
Sebuah lubang besar yang berbau tujuhpuluh kali lipat lebih busuk segera ternganga di bawah kakinya.
Isi perut Ko Jun-lim bergolak seperti lahar gunung berapi yang hendak meletus keluar, cepat ia tutupkan sapu tangan ke hidungnya, tapi tak sepenuhnya berhasil menahan bau busuk.
"Inilah saat mati hidupku, aku tidak boleh ragu ragu"' tekadnya, lalu terjunlah ia ke "gudang emas lembek"
Itu.
Dengan meraba-raba, ia temukan lubang pembuangan yang diperkirakannya menembus keluar.
Tapi lubang itu tidak besar dan untuk melewatinya ia mesti merangkak.
Apa boleh buat, merangkakpun jadi.
Begitu ia mulai merangkak menyusup lubang, segera lutut dan telapak tangannya menyentuh sesuatu yang hangat-hangat lembek dan Ko Jun-lim tahu itu bukan bubur kacang kegemarannya.
Baunya saja jelas sangat berbeda.
Setelah merayap puluhan langkah, lubang semakin rendah langit-langitnya sehingga tidak bisa merangkak lagi.
Sekarang harus merayap seperti ular.
Tak terhindar lagi muka, dada dan perut sang pendekar pedang pelangi putih haruslah berlepotan dengan benda-benda terkutuk sepanjang lorong pembuangan itu.
Sapu tangan penutup mukanya tergeser lepas, potongan-potongan tahi manusia segera menempel di hidung dan bibirnya, untung Ko Jun-lim menutup mulutnya rapat-rapat sehingga tidak ada yang menyelonong masuk perutnya.
"Inilah ujian yang lebih berat daripada harus melewati Bo-jin-kang (lorong manusia kayu) di kuil Siau-lim-si bagi murid-muridnya yang dinyatakan lulus pelajaran silat", gerutu Ko Jun-lim dalam hati.
"Alangkah gemparnya dunia persilatan kalau mendengar kabar si Pedang Pelangi Putih merayap di lorong tahi..."
Ujian maha berat itu terlalui ketika Ko Jun-lim meloloskan tubuhnya di ujung lubang, seperti belut keluar dari liangnya.
Ujungnya ialah sebuah kolam buatan manusia yang memang khusus untuk menampung sisa-sisa makanan dari tubuh manusia, dan untungnya terletak di luar tembok rumah keluarga Sebun.
Dengan mencengkeram rumput-rumput di tepi kolam, ia merayap naik dengan tubuh berlepotan kotoran.
Yang petama dilakukan ia membersihkan bibirnya dengan telapak tangan, tapi ia lupa tangannyapun berlepotan kotoran, alhasil dia malah harus muntah- muntah habis-habisan.
Habis muntah, rasa muaknya berkurang banyak.
Ia mendongak memandang bintang- bintang di langit, dan merasa hidupnya baru, seperti baru saja dilahirkan kembali dari rahim ibu.
Bukankah kelahiran pertama semua manusia juga harus lewat lorong berbau yang tidak kalah dahsyatnya? Dengah membawa bau tubuhnya yang luar biasa, ia mulai berjalan, dengan harapan akan menemukan sebuah sungai atau sumur air bersih milik penduduk sekitar situ.
Lalu dengan uangnya dia harus mendapatkan pakaian bersih dan kering, dan senjata.
Entah parang pembelah kayu, entah kampak, entah apa pun pokoknya senjata.
Tanpa senjata ia merasa sebagai kambing kebiri di tengah serigala-serigala kelaparan.
Kalau dengan senjata, setidaknya seperti kambing jantan yang punya tanduk, meskipun yang dihadapinya mungkin tetap saja serigala- serigala buas.
Ia jumpai sebuah sumur di tengah ladang penduduk, lalu diapun mencopot semua pakaiannya untuk menimba air dan membersihkan diri.
Suara timba dan guyuran air di malam larut itu membangunkan tuan rumah, seorang petani pemilik ladang itu.
Ia keluar, tangan kiri membawa lentera dan tangan kanan membawa golok, sambil berseru ke arah sumur,"Siapa?!"
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku, orang yang tersesat jalan!"
Sahut Ko Jun-lim. Si petani segera melangkah mendekat sambil mengangkat tinggi-tinggi lenteranya. Tapi langkahnya terhenti oleh teriakan Ko Jun- lim.
"Jangan mendekat! Aku. ..aku sedang tidak berpakaian!"
Terpaksa tanya jawab dilakukan dari jarak belasan langkah dan terlindung pohon- pohon sayuran pula.
"Dari mana kau sehingga tersesat? Kenapa masuk ke kebunku tanpa ijin? Mau mencuri makanan? Tuduhan mencuri makanan setidaknya jauh lebih gampang dibantah daripada tuduhan mencuri gulungan kulit keluarga Liu.
"Tidak, aku hanya orang tersesat jalan, dan karena gelapnya malam maka aku kecebur ke kolam pembuangann kotoran.. Maaf, memakai sumurmu tanpa ijin...
"
Sesaat sunyi, lalu terdengar suara Ko Jun-lim.
"Saudara, aku punya uang cukup, bgaimana kalau aku membeli sepasang pakaian laki-laki daripadamu, dan juga... sepotong senjata?"
"Pakaian aku punya, tapi buat apa senjata? Mau merampok?"
"Mana berani aku merampok di sekitar rumah Sebun Taihiap, memangnya aku ingin mampus?"
"Baik, lemparkan uangnya kemari!"
Ko Jun-lim melempar setahil perak yang tepat jatuh di depan kaki si petani.
Si petani memungut uang, masuk ke rumahnya sebentar, dan sesaat kemudian sudah melempar segulung pakian sederhana beserta golok rongsokannya.
Pakaian itu sudah cukup tua dan bertambal di beberapa tempat, sedang goloknya pun bikinan sembarangan saja, tangkainya dari kayu kasar yang diikat tali rami.
Tapi bagi Ko Jun-lim, itulah benda-benda yang tak ternilai harganya.
Sesaat kemudian ia sudah bejalan meninggalkan sumur itu dengan tubuh bersih, pakaian kering, dan golok terselip di tangannya.
Pakaian kotornya ditinggalkan begitu saja di pinggir sumur.
Meskipun kelelahan, ia paksakan diri untuk berjalan terus.
Sebelum fajar ia harus sudah meninggalkan rumah Sebun Him sejauh- jauhnya, jalanan yang dipilihnya pun adalah jalan-jalan kecil.
Ia berjalan cukup jauh, tidak ada orang- orang Keluarga Sebun yang mengejarnya, tidak ada pula orang-orang Hek-eng-po yang menghadangnya.
Tetapi nasib yang lain telah menghadang Ko Jun-lim.
Ketika itu sudah dini hari, langit sebelah timur sudah berwarna coklat muda, dan Ko Jun-lim tengah melangkah seenaknya dengan perasaan semakin lama semakin aman.
Tapi tiba-tiba di belakangnya terdengar suara langkah kaki menyusulnya.
Cepat Ko Jun-lim memutar tubuh dengan sikap siaga, jantungnya berdenyut cepat karena tegangnya.
Tangan kanan memegang golok, tangan kiri merogoh bajunya dan siap mengeluarkan bendera Hwe liong- pang serta lencana Hui-liong-pai pemberian Pakkiong Eng, dua "jimat pelindung nyawa"nya...
Yang muncul itu ternyata cuma seorang gelandngan lusuh yang wajahnya tidak terlihat karena tertutup sebuah topi bambu yang sudah rusak pinggir-pinggirnya.
Ko Jun-lim menghembuskan napas dengan lega...
Tapi alangkah kaget hatinya ketika mendengar gelandangan itu tiba-tiba menggeram penuh kebencian.
"Pengkhianat busuk Ko Jun-lim, saat kematianmu sudah tiba!"
Tubuh si pendekar tua bergetar "Sia.... siapa.... kau?!"
Perlahan-lahan si gelandangan lusuh membuka tudung bambunya sehingga terlihat wajahnya.
Itu wajah seorang pemuda yang sebenarnya tampan, tetapi nampak kotor dan tidak terawat.
Dan sepasang matanya sangat menakutkan, seperti mata serigala yang mencium bau darah...
Melihat wajah itu, Ko Jun-lim terkejut melebihi melihat hantu.
"Kau... kau...masih...hi..."
Gelandangan itu tertawa seram.
"Kau tidak menduga bukan? Kau kira semua keturunan keluarga kami sudah habis gara- gara pengkhianatanmu yang menjadi mata- mata Hek-eng-po untuk menyusup ke keluarga kami?"
Ucapan itu menikam ke hati Ko Jun-lim.
"Tidak, aku bukan mata-mata Hek-eng-po..."
Si gelandangan maju selangkah.
"Masih berani ingkar? Sudah lupa bagaimana kau dan orang-orangmu mengacau perkampungan kami, menjatuhkan banyak korban, membuat kami terpaksa mengungsi dan tertumpas di tengah jalan?!"
Si gelandangan lusuh itu bukan lain adalah Liu Jing-yang, satu-satunya keturunan keluarga Liu yang masih hidup ketika keluarga itu dibantai habis oleh Hek-eng-po.
Auyang Siau-hong biarpun cu Liu Hok-tong juga, namun memakai ama keluarga Auyang, sehingga cucu She Liu yang masih hidup memang tinggal Liu Jing-yang inilah.
Bagaimanapun, menghadapi Liu Jing- yang, Ko Jun-lim tidak terlalu takut.
Ia menganggap Liu Jing-yang masih seperti dulu ketika di Liu-keh-chung, tingkat ilmunya beberapa tingkat di bawahnya.
Kegugupannya bukan karena takut, melainkan karena rasa bersalah di dalam hatinya sendiri.
"Ya, aku akui memang sikapku kepada keluarga Liu sangat keterlaluan, aku sangat menyesali itu. Kau tahu, bahwa setelah peristiwa itupun aku sudah menerima ganjaranku? Perguruanku ditumpas habis, aku dikejar-kejar Hek-eng-po hendak dibunuh, dihina dimana-mana, ti dak dipercaya. Aku sudah membayar kesalahanku yang dulu..."
"Belum!"
Bentak Liu Jing-yang beringas.
"Kau baru bisa dianggap membayar pengkhianatanmu dulu setelah aku merobek- robek tubuhmu menjadi beberapa potong!"
"Jing-yang, jangan terlalu mendesak. Aku tidak ingin bertempur denganmu bukan karena takut, tetapi karena tidak mau menambah kesalahanku terhadap keluarga Liu yang sudah menumpuk"
"Kau kuatir aku terbunuh olehmu?"
Sahut Liu Jing-yang dingin. Sambil menyeringai seperti iblis, Liu Jing-yang mengeluarkan gulungan kulit yang diperebutkan itu dari balik bajunya, dibantingkan ke tanah dan berkata dengan congkak.
"Ketahuilah, bangsat tua! Gulungan kulit itu ada padaku selama setengah tahun ini, dan sudah kupelajari isinya. Meskipun belum seluruhnya kupahami, tapi aku sekarang sudah memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk membuatmu mampus!"
Ko Jun-lim menjadi pucat wajahnya, berganti-ganti matanya menatap gulungan kulit dan pemiliknya.
Ia sudah tidak berselera lagi kepada benda itu, namun Liu Jing-yang betul-betul harus mendapat perhatiannya.
Cucu tertua Liu Hok tong itu kelihatannya betul-betul punya kemampuan untuk membuktikan ucapannya, dan sepasang matanya itu sungguh menakutkan.
Itulah gejala dari orang berlatih ilmu secara sesat.
Lenyaplah rasa bersalah Ko Jun-lim bagaimanapun ia harus membela diri, daripada dicincang lebih baik mencincang.
Karena itu, selagi Liu Jing-yang masih tertawa seperti iblis, dia mendahului menyerang secepat kilat dengan gerakan Pek- hong-koan-jit (pelangi putih menembus matahari), goloknya dimainkan dengan gaya pedang untuk menikam leher Liu Jing-yang.
"Bagus, melawanlah! Supaya aku puas merobek-robek tubuhmu!"
Teriak Li Jing-yang, ternyata dengan gampang saja ia mengelakkan serangan Ko Jun-lim.
Cukup melihat gerakan mengelak itu, Ko Jun-lim sudah tahu bahwa ilmu Liu Jing- yang memang sudah meningkat dengan pesat.
Tapi ia sudah terjepit, tak ada jalan lain kecuali melawan habis-habisan.
Sambil memutar pinggang, goloknya segera dibacokkan ke pinggang Liu Jing-yang.
"Mampus kau!"
Namun gerakan lawannya begitu cepat sehingga seolah bisa menghilang saja.
Goloknya hanya berhasil menebas angin, tahu- tahu ia merasa kuping kanannya dicengkeram tangan Liu Jing-yang lalu ditarik sekuat tenaga sehingga copot.
Ko Jun-lim meraung kesakitan, bercampur kemarahan dan kengerian.
Liu Jing-yang tertawa terbahak-bahak sambil melemparkan potongan kuping itu jauh- jauh.
"Bangsat tua! sekarang hati-hatilah dengan kuping kirimu!"
"Kau iblis kecil!"
Seru Ko Jun-lim kalap.
"Lebih baik kau langsung bunuh diriku sekali pukul saja, daripada menyiksaku seperti ini!"
Lalu ia membacok lagi.
"Tidak! Aku ingin kau merasakarn betapa enaknya dicopoti anggota tubuhmu satu persatu!"
Ejek Liu Jing-yang sambil menghindari bacokan bertubi-tubi lawannya.
Tiba-tiba ia berkelebat maju secepat kilat sambil menyengkeram, kembali Ko Jun-lim meraung kesakitan, dengan tangan kirinya ia mendekap samping kiri kepalanya yang banjir darah.
Ia kini menjadi manusia tak berkuping.
Pedihnya bukan kepalang, sementara wajahnya memancarkan rasa takut bukan kepalang.
Kalau Liu Jing-yang benar-benar membuktikan ancamannya, alangkah hebat penderitaannya.
Dalam ketakutannya, Ko Jun-lim ingat bendera dan lencana yang dikantonginya.
Cepat tangan kirinya mengeluarkan benda- benda itu, dicengkeram dengan sebelah tangan dan ditunjukkan kepada Liu Jing-yang.
"Tahan seranganmu! Aku dilindungi oleh Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou dan Panglima Hui-liong-kun Pakkiong Liong! Ini buktinya!"
Teriaknya penuh harapan.
Tak terduga bahwa Liu Jing-yang tidak peduli lambang-lambang itu.
Karena ia mempelajari gulungan kulit itu secara ngawur, maka biarpun ia mendapat ilmu yang tinggi, sekaligus membuat wataknya ganas dan kejam.
Sekali timbul keinginannya untuk membunuh, maka keinginannya itu haruslah terlaksana.
Ia menjadi seorang berpenyakit jiwa yang sangat berbahaya, biarpun hanya sesaat-sesaat.
Penuh dorongan nafsu membunuh, ia menerkam.
"Biarpun kau tunjukkan lencana dari Raja Langit juga tidak akan kubatalkan niatku!"
Dengan gugup Ko Jun-lim memutar goloknya untuk menebas sepasang tangan Liu Jing-yang, tapi sepasang tangan itu bergeliatan seperti seekor ular yang licin dan tak mudah dikenai.
Malah pergelangan tangan kiri Ko Jun- lim tercengkeram oleh jari-jari Liu Jing-yang.
Dengan sebuah putaran dibarengi bacokan telapak tangan ke siku, lengan kiri bekas Ketua Pek-kiam-pai itu tertabas putus seolah-olah dikenai golok saja.
Patahlah semangat tempur Ko Jun-lim oleh penderitaan bertubi-tubi yang dialaminya itu.
Dengan sepasang kuping hilang dan tangan kiri buntung, ia membalik tubuh dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi lawannya yang sangat menakutkan itu.
Tak dipedulikannya darah yang berceceran dari luka-lukanya.
"Lari kemana?"
Liu Jing-yang bergerak bagaikan angin untuk mengejar. Sekali kakinya menyapu dengan deras kaki kanan Ko Jun-lim berhasil dipatahkan persendiannya di bagian lutut, sehingga orang tua itupun ambruk tak bisa berlari lagi.
"Ampun...ampun..."
Ko Jun-lim merintih-rintih memelas.
"Aku mengaku bersalah ....biarkan aku hidup terus..."
"Bagaimana kalau kau minta ampun langsung saja kepada kakekku, ayahku dan pamanku di akherat?"
Dengus Liu Jing-yang.
"Aku antarkan kau ke tempat mereka!"
Tanpa belas kasihan Liu Jing-yang menerkam dan memutar kepala Ko Jun-lin sampai patah tulangnya.
Tanpa suara lagi si bekas Ketua Pek-kiam-pai itu mati dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Liu Jin-yang terbahak-bahak puas, suara tertawanya memantul-mantul d dinding pegunungan, seperti suara iblis yang bergembira ria sehabis memangsa korban- korbannya.
Lalu Liu Jing-yang memungut kembali gulungan kitab kulit itu untuk disimpan di bajunya, dengan gerakan secepat terbang, ia pergi dari situ.
Keesokan harinya, mayat berantakan itu diketemukan oleh beberapa pencari kayu.
Mereka berlari pulang ke desa mereka untuk melapor kepada orang-orang lain, sebagian melapor kepada Keluarga Sebun.
Karena tempat itu masih di wilayah pengaruh keluarga terkenal itu.
Tak lama, tempat kejadian itu sudah dikerumuni orang banyak.
Tapi semuanya menyibak ketika Sebun Him datang menunggang kuda, diiringi oleh Sebun Hiong, adik perempuannya Sebun Giok dan Pakkiong Eng yang tetap saja berpakaian seperti laki- laki.
"Gila, siapa berbuat sekejam ini?"
Geram Sebun Him. Ia merasa kewibawaan keluarganya ditantang, karena ada orang berani berbuat kejahatan di tempat yang jauhnya belum sampai lima li dari rumahnya.
"Barangkali orang Hek-eng-po, ayah!"
Kata Sebun Hiong dan Sebun Giok berbareng.
"Aku yakin tidak..."
Sahut ayah mereka tanpa pikir panjang.
"Kenapa ayah begitu yakin pelakunya bukan orang Hek-eng-po?"
Tanya Sebun Giok. Sebun Him tergagap sejenak.
"Karena ...karena aku yakin Hek-eng-po belum siap untuk pertentangan terbuka dengan kita. Selain itu, kalau pembunuhnya pihak Hek-eng- po, mereka tidak perlu memamerkan keganasan di depan hidungku seperti ini, mereka hanya ingin menangkap Ko Jun-lim hidup-hidup untuk ditanyai tentang benda pusaka mereka yang katanya dicuri Ko Jun- lim". Tapi kalau pihak lain kecuali Hek-eng- po, lalu pihak mana?"
"Tidak bisa ditentukan dalam waktu singkat", kata Sebun Him.
"Yang perlu, sekarang kita rawat tubuh Ketua Pek-kiam-pai ini baik-baik. Bagaimanapun kesalahannya di masa lalu, ia adalah seorang ketua perguruan, dan seorang pendekar angkatan tua."
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan meminjam tenaga dari orang- orang setempat, tubuh Ko Jun-lim dibawa kerumah Keluarga Sebun setelah potongan- potongan tubuhnya dikumpulkan.
Kepala yang terputar menghadap ke belakang itupun diatur seperti sewajarnya.
Ketika potongan tangan kirinya diketemukan, Pakkiong Eng melihat jari-jari tangan yang sudah memucat itu masih menggenggam erat dua buah "jimat"
Pemberian Pakkiong Eng.
Namun benda-benda itu toh tidak berguna untuk melindung nyawanya.
Pakkiong Eng menarik napas dalam-dalam.
Biarpun ia muak akan kesalahan masa lalu Ko Jun-lim, toh ia berkasihan untuk nasibnya yang begitu buruk.
Melihat bendera Hwe-liong-pang, Sebun Him mendengus dingin.
"Hem, nama besar Tong Lam-hou ternyata tidak mampu menakut- nakuti penjahat yang membunuhnya. Itu suatu tanda bahwa Hwe-liong-pang sekarang hanyalah macan kertas saja. Tapi lencana yang satunya itu lencana apa?"
Sahut Pakkiong Eng terus terang.
"Lencana Hui-liong-tiat-pai yang biasa dimiliki semua anggota pasukan rahasia ayahku. Aku memberikannya kepada Ketua Ko supaya bisa membantunya menghadapi lawan-lawannya..."
Sebun Him mengangguk-anggukkan kepala tanpa berkomentar. Karena lencana itu milik ayah Pakkiong Eng, maka ia usngkan mengucapkan kata-kata ejekan di depan Pakkiong Eng. Diam-diam Pakkiong Eng melihat sikap itu, dan berkata dalam hatinya.
"Memang bendera Hwe-liong-pang dan lencana Hui- liong-tiat-pai tidak bisa melindungi nyawa Ko Jun-lim. Tapi toh nams besar dan pengaruhmu sendiripun juga gagal melindunginya. Buktinya pembunuhan terjadi hanya kurang lima li dari rumahmu..." **OZ** BAGIAN EMPATBELAS Di sebuah bukit yang sunyi, Liu Jing- yang merebahkan diri, hatinya merasa agak puas telah membunuh Ko Jun-lim, orang yang dianggapnya punya andil dalam penghancuran Liu-keh-chung. Ia tersenyum-senyum sendiri sambil menatap mega-mega putih yang beriring-iringan di angkasa, mulutnya menggigit-gigit sebatang rumput, dan kepalanya berbantal lengannya. Tiba-tiba senyumannya lenyap dari wajahnya. Rumput di bibirnya diludahkannya, matanya menjadi beringas dan senyumannya berubah menjadi seringai iblis yang menakutkan. Ia bangkit duduk dan menggeram.
"Tapi yang berhasil kubunuh baru Ko Jun-lim. Orang-orang Hek-eng-po harus kubantai pula satu persatu...."
Teringat akan kelihaian orang-orang Hek-eng-po, timbullah keinginannya un tuk menggunakan kesempatan itu untuk memperdalam lagi ilmunya. Diambilnya gulungan kulit itu, dibeberkannya dan dibacanya.
"Jurus ke duapuluhtiga dan duapuluhempat harus kulatih lebih matang lagi". Lalu ditempat itu ia mulai menggerak- gerakkan kaki dan tangannya untuk melakukan jurus-jurus yang dipelajarinya dari gulungan kulit itu. Makin lama makin cepat, sehingga di puncak bukit itu seolah ada beberapa Liu Jing- yang yang berlompatan dengan macam- macam gerakan kilat. Menerkam, mencengkeram, mencakar, merobek dan gerakan-gerakan ganas lainnya. Tapi semakin lama ia berlatih, untuk ke sekian puluh kalinya Liu Jing-yang merasakan dalam tubuhnya ada api yang semakin lama berkobar semakin hebat. Menimbulkan dorongan aneh untuk mencari korban dan merobek-robek korbannya seperti yang telah dilakukannya atas diri Ko Jun-lim. Dorongan itu tidak akan mereda sebelum ia melihat darah mengalir. Tiba-tiba ia melolong seperti serigala. Menjambak-jambak rambutnya sendiri, mencakar-cakar tanah seperti anjing hendak mengambil simpanan tulangnya. Sungguh luar biasa bahwa jari-jarinya itu sanggup menghambur-hamburkan gumpalan-gumpalan tanah keras yang bercampur batu padas. Beberapa saat Liu Jing-yang berbuat seperti binatang gila, berusaha menyalurkan dorongan aneh dalam dirinya, sampai mendadak matanya menatap tajam ke kaki bukit. Di sana ada sebuah jalan besar, dan dilihatnya serombongan orang muncul dari kejauhan. Melihat pakaian orang-orangnya, gerobak-gerobak yang ditancapi bendera- bendera kecil, mudah ditebak itulah rombongan piau-tiam (pengawalan perjalanan). Ibarat seekor serigala kelaparan yang tiba-tiba melihat daging mentah segar berlumuran darah, Liu Jing-yang menjadi beringas. Diambilnya gulungan kulit untuk dimasukkan ke bajunya, lalu ia berlompatan menuruni bukit untuk menyongsong ke arah rombongan piau-kiam itu. Rombongan yang hendak dicegat itu adalah para piau-su dari Hek-hou Piau-tiam (Pengawalan Macan Hitam) yang cukup dikenal pelayanannya di sekitar Se- shia. Jalan raya penghubung antar propinsi sudah dilewati puluhan kali, selamanya cukup aman karena orang-orang yang hendak mengganggu merasa segan terhadap Siau-lim-pai, perguruan terbesar di dunia persilatan. Pemimpin dan pemilik saham Hek-hou Piau-tiam adalah murid-murid bukan pendeta dari Siau-lim-pai. Rombongan kali itu dipimpin oleh pemimpin kedua yang bernama Teng Yu-liong, seorang lelaki empatpuluh tahunan yang berkulit kuning hangus dan bertubuh kurus kering, namun mahir dalam permainan sepasang pedang pendeknya sehingga digelari Tin-se Siang-kiam (sepasang pedang menindas wilayah barat). Cukup melihat bendera-bendera kecil lambang Hek-hou Piau-tiam, kawanan penjahat sudah minggir sendiri. Tapi kali ini sesosok tubuh tiba-tiba meluncur dari lereng bukit dan turun di tengah jalan, menghadang rombongan tersebut. Seorang yang masih muda, seandainya pakaian dan wajahnya dirawat dengan baik tentunya akan tampan sekali, sayang saat itu ia berpakaian lusuh dan berwajah kotor, malahan sepasang matanya menyinarkan cahaya aneh yang menggidikkan. Dua orang piau-su yang berjalan paling depan serentak menyiapkan senjata-senjata mereka.
"Siapa kau? Tidakkah kau lihat panji- panji kami?" **OZ** Bersambung ke
Jilid 14 Pojok Dukuh, 30-09-2018; 06.45 WIB TEROR ELANG HITAM Karya.STEVANUS, S.P.
Jilid 14 Liu Jing-yang menjawab sapaan itu dengan gerengan seekor binatang buas.
Tiba- tiba ia melompat maju, tangannya bergerak secepat kilat mencakar salah satu piau-su itu.
Sia-sia saja si piau-su memalangkan tangkai tombaknya untuk menangkis serangan itu, sebab tangkai tombaknya hancur, sedang lima jari Liu Jing-yang menancap dan menghancurkan wajahnya.
Piau-su itu menjerit dan menggelepar- gelepar di tanah seperti ayam disembelih, dan akhirnya terdiam beku.
Liu Jing-yang masih belum puas, sekali memutar tubuh, piau-su lainnya langsung diterkam perutnya dengan jari-jari tangannya yanq berbentuk cakar itu.
Sekali tarik, isi perut si piau-su telah dikeluarkan semua dari tempatnya semula, lewat kulit perutnya yang lebar menganga.
Keruan rombongan Hek-hou Piau-tiam menjadi gempar melihat dua teman mereka tahu-tahu telah menjadi korban keganasan seorang pemuda yang mengamuk tanpa diketahui sebab-sebabnya.
Para piau-su dengan marah menghunus senjata-senjata mereka untuk menerjang maju, menuntut balas kematian penasaran dari rekan-rekan mereka.
Tapi Tin-se Siang-kiam Teng Yu-liong merasakan sendiri gawatnya keadaan kalau anak buahnya bertindak gegabah terhadap "orang gila"
Itu. Segera ia melompat meninggalkan kuda tunggangannya dan melayang turun di hadapan Liu Jin-yang.
"Tahan!"
Teriaknya, kepada Liu Jing- yang maupun kepada anak buahnya sendiri.
Anak buahnya menuruti perintah, sebaliknya Liu Jing-yang tidak menggubris sama sekali.
Sambil menggeram.
tubuhnya berputar seperti gasing dan tangannya mencakar lagi.
Kembali terdengar jerit ngeri dan seorang piau-su terkapar dengan tenggorokan berlubang.
Habislah kesabaran Teng Yu-liong melihat keganasan lawan.
Dengan gerak hek- hou-tiau-kan (macan hitam melompati parit), ia melompat sambil ayunkan tinjunya yang keras ke rusuk Liu Jing-yang, tangan lainnya berjaga di depan tubuh namun siap menerjang keluar.
Karena melihat lawan tidak bersenjata, Teng Yu-liong tidak mau mendahului menggunakan sepasang pedangnya , karena ingin menjaga nama perguruannya, Siau-lim- pai.
Tak terduga pukulannya itu hanya menyambar angin.
Lawan berhasil menghindar lalu menubruk dengan jari-jari terbuka ke arah mata dan tenggorokan.
"Benar-benar ganas!"
Teng Yu-liong terperanjat.
Tetapi dia pun cukup tangkas untuk memiringkan tubuhnya, berbareng dengan punggung tangannya menampar wajah Liu Jing-yang dengan jurus Siau-kwa-tan-pian (tubuh miring menggantungkan ruyung).
Bukan sembarangan tamparan namun sanggup meremukkan hidung lawan.
Tapi kembali Teng Yu-liong cuma menghantam angin.
Perubahan gerak yang dipelajari dari gulungan kulit itu benar-benar aneh.
Liu Jing-yang yang luput menerkam itu mendadak menggulung dirinya seperti trenggiling dan menjatuhkan diri di tanah, berbareng itu kedua tangannya mencakar pula dan kali ini betis dan paha Teng Yu-liong berhasil digoresnya sehingga berdarah.
Dengan geram Teng Yu-liong menendang, namun Liu Jing-yang sudah berguling menjauh, lewat kolong sebuah gerobak piau-tiam.
Di seberang gerobak itu, dua orang piau-su kembali menjadi korban keganasan cakar-cakarnya.
"Iblis!"
Teriak Teng Yu-liong.
Kini ia tidak segan-segan menarik keluar sepasang pedangnya yang tadinya tergendong di punggung.
Sekali mengayun badannya, tubuhnya melompati kereta barang dan dari udara langsung menikam dengan Siang-liong- jip-hai (sepasang naga masuk samudera) mengincar pundak kiri dan kanan Liu Jing- yang.
Liu Jing-yang tiba-tiba menyambar mayat seorang piau-su yang baru saja dibunuhnya, dan melemparkan tubuh itu untuk menyongsong sepasang pedang Teng Yu-liong.
Sudah tentu murid Siau-lim-pai itu tidak ingin mencincang tubuh anak buahnya sendiri.
Buru-buru menarik sepasang pedangnya, lalu dengan pundak dan lengan atasnya dia mendorong mayat itu ke samping.
Ia agak terhuyung karena tenaga lemparan Liu Jing- yang ternyata cukup hebat.
Selagi ia direpotkan oleh lemparan mayat , Liu Jing-yang kembali telah menerkam maju.
Kali ini Teng Yu-liong tak sempat memperbaiki posisi tubuhnya yang tidak menguntungkan, ia hanya berusaha untuk berguling ke samping, namun tak urung punggungnya terkena cakaran pula.
Baju dan kulitnya robek berbareng.
Sambil meraung lagi, Liu Jing-yang kembali menerkam kearah tengkuk Teng Yu- liong seperti macan tutul menerkam korbannya dari atas pohon.
Namun kali ini Teng Yu-liong selamat dengan cara menggulingkan diri, hanya seorang anak buahnya yang berdiri satu garis dengan arah terkaman Liu Jing-yang itulah yang menjadi korban.
Setelah membunuh delapan orang piau- su dan melukai parah Teng Yu-liong, agaknya Liu Jing-yang merasa dorongan dalam dirinya itu reda kembali.
Dorongan untuk membunuh dan merobek-robek tubuh sesama manusia, setiap ia selesai melakukan gerakan-gerakan yang terlukis di lembaran kulit itu.
Tetapi Liu Jing-yang setiap kali tidak jera untuk berlatih, dan setelah itu haruslah mencari korban untuk dibunuh...
Kini, dengan disertai suara tertawanya yang seram, Lui Jing-yang melompat meninggalkan lawan-lawannya.
Dengan lompatan-lompatan setangkas seekor rubah liar, dia menghilang ke dalam hutan di pinggir jalan.
"Bangsat! setelah membunuh seenaknya terus hendak kabur begitu saja?!"
Seru Teng Yu-liong berteriak marah dan berusaha memburu. Tapi luka-lukanya di bagian betis, paha dan punggung membuat darahnya banyak keluar dan tubuhnya lemah, baru sampai di pinggir hutan, ia sudah terhuyung-huyung dan roboh sendiri.
"Teng Jiya!"
Kawanan piau-su anak bahnya segera menyusul untuk memapah tubuhnya, sementara sebagian lainnya dengan muka-muka yang sedih menaikkan mayat teman-teman mereka ke atas kereta.
Bendera berlukiskan macan hitam yang menjadi kebanggaan Hek-hou Piau-tiam itu masih berkibar-kibar seolah riang gembira, namun rombongan babak belur itu menuju kembali ke pangkalan mereka di kota Se-shia dengan wajah murung.
Ketika rombongan itu tiba di Se-shia, gemparlah orang-orang yang melihatnya.
Biasanya penduduk Se-shia hanya melihat para piau-su Hek-hou Piau-tiam berbaris dengan tegap gagah, mirip belasan prajurit yang pulang membawa kemenangan dari garis depan.
Kini penduduk Se-shia melihat mayat- mayat diletakkan di kereta barang, sementara si Tuan Kedua Teng Yu-liong juga berkuda dengan wajah pucat dan pakaian berlumuran darah.
Rombongan itu tiba di gedung Hek-hou Piau-tiam yang letaknya dl tengah kota Se- shia, dan disambut dengan kegemparan oleh seisi gedung.
Dengan marah dan sedih, para piau-su mendengarkan cerita tentang seorang pemuda gila yang mendadak mengamuk dengan ganas, setelah itu pergi begitu saja.
Beberapa piau-su membantu menurunkan Teng Yu-liong dari punggung kuda, dan memapah masuk ke gedung.
Baru sampai di tangga aula, dua orang sudah muncul dari dalam gedung dengan wajah yang tegang.
Yang seorang bertubuh tinggi besar, perutnya gendut namun kokoh, mukanya merah dan dihiasi jenggot tiga jalur, memakai jubah panjang biru tua dan bertopi bundar.
Dialah pemimpin pertama Hek-hou Piau-tiam The Tek-kong yang berjuluk Keng- thian-it-kun (pukulan tunggal menggetarkan langit).
Selain saudara seperguruan tertua, juga memegang saham Hek-hou Piau-tiam setengah bagian.
Yang berjalan di sebelahnya adalah seorang lelaki ramping, usjanya kira- kira empatpuluh tahun namun masih suka berdanan seperti anak-anak muda.
Rambutnya licin diminyaki, wajahnya tercukur bersih, jari- jari tangan dan kukunya terawat baik.
Dialah pemimpm ke tiga yang bernama Yo Sian, berjuluk Kiu-ing-pian (si ruyung sembllan bayangan).
Melihat saudara-saudara seperguruannya sekaligus rekan-rekan dagangnya itu, Teng Yu-liong meronta lepas dari papahan dua orang piau-su di kiri kanannya.
Dengan tubuh sempoyongan ia menyongsong kedua saudara seperguruannya dan berkata terpatah-patah.
"Toasuheng (kakak seperguruan tertua) dan Samsute (adik seperguruan ke tiga), ketololanku telah membuat runtuh nama baik Hek-hou Piau-tiam dan Siau-lim-pai... The Tek-kong dan Yo Sian serentak memburu maju dan menyambut tubuh Teng Yu-liong yang nyaris terguling di tangga batu itu. Kata The Tek-kong.
"Jangan berkata begitu, Jite. Bertahun-tahun untung dan rugi kita tanggung bersama, susah dan senang kita tempuh bertiga. Tapi, apa yang terjadi?"
Mulut Teng Yu-liong bergerak-gerak hendak menjawab, tapi tiba-tiba ia memuntahkan segumpal darah yang menyemprot ke baju di bagian dada The Tek- kong. Habis itu matanya terpejam.
"Ji sute..! Ji sute!"
The Tek-kong memanggil-manggil sambil menggoyang-goyang tubuh adik seperguruannya denga cemas. Kuatir kalau nyawa adik seperguruannya itu sudah amblas. Yo Sian bersikap lebih tenang, ia tempelkan telapak tangannya ke dada Teng Yu-liong, ia berkata.
"Jisuheng tidak apa-apa ia hanya pingsan. Denyut jantungnya masih ada tetapi harus segera ditolong, ia agaknya kehilangan banyak darah".
"He, salah seorang dari kalian! cepatlah panggil Thio Sin-she(tabib she Thio)"
The Tek- kong menariaki para piau-su yang berkerumun kebingungan di halaman gedung itu.
Lalu The Tek-kong sendiri membantu Yo Sian menggotong tubuh Teng Yu-liong ke bagian dalam gedung.
Setelah Teng Yu-liong berbaring dengan baik dan diselimuti pula, The Tek-kong bertanya kepada Yo Sian.
"Apakah Si Susiok perlu diberi tahu?"
"Aku rasa kurang perlu. Meskipun ia adalah paman guru kita, namun bukan orang Hek-hou Piau-tiam kita. Persoalan Hek-hou Piau-tiam biarlah kita selesaikan sendiri". The Tek-kong agaknya kurang sependapat dengan adik seperguruannya itu.
"Tapi bagaimana juga Si Susiok (paman guru Si) itu adalah orang Siau-lim-pai juga. Siapa tahu terlukanya Jisute ini bukan melulu urusan Hek-hou Piau-tiam, tetapi menyangkut juga perguruan kita Siau-lim-pai, jadi sebaiknya Si Susiok tahu pula urusan ini..."
Yo Sian segan berdebat dengan kakak seperguruannya ini.
Keseganannya bukan hanya karena The Tek-kong adalah Toasuheng, tapi juga karena penanam modal terbesar dalam perusahaan pengawalan itu.
Lima bagian dari sepuluh bagian modal Hek-hou Piau-tiam adalah milik The Tek-kong.
Teng Yu- liong empat bagian dan Yo Sian cuma satu bagian.
Akhirnya ia menjawab.
"Baiklah kalau Suheng berpendapat begitu. Menurut seorang piau-su, Si susiok sedang berada di rumah makan Hok-an-lau untuk menantikan kedatangan seorang sahabatnya dari Kang- lam. Siapa yang akan menyusul ke Hok-an- lau? "Biar aku suruh anakku si A-hwe untuk menyusulnya..."
Lalu The Tek-kong keluar dari ruangan untuk mencari anak laki-lakinya yang bernama The Kim-hwe.
Rumah yang menjadi kantor pusat Hek-hou Piau-tiam itu memangnya rumah keluarga The, warisan dari ayah The Tek-kong.
Sedang Teng Yu-liong serta Yo Sian dengan keluarga masing-masing menempati rumah sediri tidak jauh dari gedung itu, di jalan itu juga.
Namun mereka selalu berada di gedung Keluarga The pada jam-jam kerja seperti saat itu.
Tak lama kemudian, The Tek-kong muncul kembali dengan wajah menahan kejengkelan.
"Kenapa, Toasuheng?"
Tanya Yo Sian.
"A-hwe anak malas jtu tidak ada di rumah. Ia tentu sedang berpacaran dengan rase betina Sebun Giok dari Kelurga Sebun! Aku tidak punya muka kalau hal ini sampai diketahui oleh Jisute, sebab A-hwe sudah aku pertunangkan dengan anak gadis Jisute. Tapi ia masih saja main gila dengan rase betina tak tahu malu itu!"
Demikian The Tek-kong bersungut-sungut.
"Kalau saham-sahamku kelak kuwariskan kepada si pemalas itu, dalam waktu singkat Hek-hou Piau-tiam bisa gulung tikar". Diam-diam Yo Sian gembira mendengar itu. Ia memang mengharap dalam hati agar perbesanan keluarga The dan kelurga Teng batal saja, sebab kalau mereka jadi berbesanan, maka saham gabungan mereka akan menjadi sembilan bagian dan menggencet sahamnya sendiri yang cuma satu bagian. Saham sekecil itu tentu akan membuat suaranya tenggelam kalau sedang berlangsung rapat perusahaan.
"Ah, Toasuheng, tidak usah berkecil hati. Sudah hal biasa kalau anak muda yang masih bujangan mempunyai banyak teman gadis-gadis, biarpun sudah punya seorang calon isteri,"
Katanya sambil tersenyum.
"Bukannnya kita waktu masih muda juga begitu?"
"Tapi bocah itu tidak tahu bahwa tindakannya bisa merusak masa depan perusahaan kita. Bagaimana kalau keluarga Teng mengetahui hal ini dan menarik saham- sahamnya?"
"Itu malah kebetulan", kata Yo Sian, tetapi cuma dalam hati.
"Empat bagian saham Teng Suheng akan aku tutup semua, tabunganku cukup untuk itu". Sedang di mulutnya ia berkata.
"Biarkan saja ulah anak muda itu, Toasuheng. Keluarga Sebun bukan keluarga yang buruk juga, sedikit banyak mereka punya nama di dunia persilatan hampir sejajar dengan keluarga Tong dari Hwe-liong-pang di Se-cuan". Karena jengkel mengingat ulah anak laki-lakinya, The Tek-kong untuk sesaat jadi lupa maksud semula untuk menyuruh mengundang paman gurunya di rumah-makan Hok-an-lau.
"Tapi keluarga Sebun itu congkak serakah!"
Kata The Tek-kong dengan sengit.
"Kukatakan congkak, sebab Sebun Him merasa dirinyalah satu-satunya pendekar di dunia persilalatan, bahkan terhadap Siau-lim-pai kita pun berani memandang rendah, meskipun ia mengaku bersahabat baik dengan Sucou (kakek guru) Pun-bu Hweshio dan bertemu setahun sekali, bertiga dengan Ketua Hwe liong-pang, untuk merundingkan ilmu silat. Di dunia perdagangan ia juga serakah. Hartanya sudah menumpuk setinggi gunung, tapi masih berusaha untuk mengangkangi dan menjerat usaha dagang orang lain dengan cara-cara licik. Samsute tidakkah kau dengar bahwa ia baru saja mengambil alih Perusahaan Sutera Yong-coan setelah lebih dulu pemilik lamanya dijerat dengan hutang berbunga tinggi? Aku yakin Sebun Him sedang berusaha pula mencaplok Hek-hou Piau-tiam kita ini dengan jalan mengumpankan anak perempuannya untuk memikat anakku. Celakanya, A-hwe tidak sadar akan perangkap busuk ini! Hem! Anak celaka!"
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah, Suheng. Suaramu yang keras itu nanti bisa mengagetkan Teng Suheng..."
Ingat akan Teng Yu-liong yang masih terbaring dengan wajah pucat, The Tek-kong ingat pula maksudnya semula untuk memanggil paman gurunya. Tiba-tiba ia berkata.
"Eh, Samsute, bagaimana kalau kau saja yang menyusul Si Susiok?"
Wajah jengkel yang tadinya menempel di muka The Tek-kong, dalam waktu kurang dari satu detik telah berpindah ke muka Yo Sian. Kejengkelannya terhadap Si Susioknya tidak kalah besar dengan kejengkelan Suhengnya terhadap Keluarga Sebun.
"Kenapa harus aku? Di luar banyak piau-su yang bisa disuruh-suruh..."
"Samsute, aku tahu kau kurang cocok dengan Susiok , tapi aku mohon pergilah menyusul dia. Bagaimanapun juga, dialah paman guru kita, kurang sopan kalau hanya menyuruh seorang piau-su rendahan untuk memanggilnya. Kita harus menghormatinya...
"
Akhirnya Yo Sian berangkat juga karena tidak berani membantah Suhengnya, namun sambil menggerutu di dalam hati.
"Bocah itu semakin besar kepala saja kalau dihormati sebagai Susiok. Hem, aku harap dia tidak terlalu lama tinggal di sini. Makin cepat pergi, makin baik". Rumah-makan Hok-an-lau tidak jauh dari gedung pusat Hek-hou Piau-tiam. Setelah berjalan beberapa puluh langkah, sampailah Yo Sian di rumah makan bertingkat dua itu. Ia tahu tempat duduk kegemaran Susioknya adalah lantai atas, tempat duduk pojok yang dekat jendela dan menghadap ke jalan raya. Di rumah makan itu banyak tamu-tamu yang mengangguk hormat sambil menyapa Yo Sian dengan panggilan Yo samya (Tuan ketiga Yo) karena hampir semua orang kenal tokoh paling muda dari tiga pimpinan Hek-hou Piau- tiam ini. Tapi para tamu heran ketika melihat Yo Sian membungkuk hormat kepada seorang 'pemuda berusia kurang dari seperempat abad, yang sejak tadi duduk sendirian menghadap jendela di pojok lantai dua itu. Tamu-tamu menjadi heran, siapakah pemuda itu? Apalagi ketika melihat pemuda itu membalas penghormatan Yo Sian hanya dengan tersenyum saja dan tidak bangkit dari duduknya, juga tidak melepaskan cawan arak yang tengah dipegangnya. Itulah sikap seorang yang berkedudukan lebih tinggi dari Yo Sian. Yo Sian sadar semua tamu sedang memperhatikan adegan itu, dan diam-diam merasa mendongkol kepada sang paman guru muda yang dlanggapnya angkuh itu. Suaranya sengaja dikeraskan untuk "mengumumkan"
Kepada tamu-tamu rumah makan bahwa si pemuda adalah paman-guru, sehingga ia terpaksa menghormatinya karena kalah kedudukan dalam perguruan.
"Siaususiok, Toasuheng sangat mengharap Siaususiok pulang ke Piau-tiam, ada sesuatu hal penting yang hendak dibicarakan, kemungkinan besar menyangkut nama baik Siau-lim-pai kita.."
Para tamu yang mendengar itu memang tercengang, tidak menduga kalau tiga pimpinan Hek-hou Piau-tiam yang sudah jenggotan panjang semuanya itu masih punya seorang paman-guru yang usianya begitu muda, pantas untuk menjadi anak atau keponakan mereka.
Sedang Yo Sian sengaja mengucapkan "Siaususiok" (Paman Guru Kecil) keras-keras, bukan sekedar "Susiok"
Saja untuk sedikit mengangkat kedudukannya yang terpandang di Se-shia.
"Ada apa?"
Tanya si paman-guru yang mengaku bernama Si Liong-cu, nama yang agak luar biasa, sebab Si Liong-cu berarti.
"Anak Naga Ke Empat."
"Teng Suheng dalam perjalanan pulang dari Tiang-an telah dicegat dan dilukai seseorang, delapan piau-su kehilangan nyawa."
Khusus kalimat ini diucapkan dengan lirih oleh Yo Sian, kuatir didengar para tamu dan memerosotkan kepercayaan terhadap Hek-hou Piau-tiam, meskjpun Yo Sian sadar bahwa cepat atau lambat berita itu akan tersebar merata di seluruh Se-shia.
"Aku sebenarnya sedang menunggu sorang sahabatku dari Kanglam yang berjanji akan menemuiku di tempat ini, namun sampai sekarang belum juga menampakkan diri,"
Sahut Si Liong-cu.
"Tapi baiklah aku temui Teng Suhengmu dulu. Parahkah lukanya?"
"Cukup berat, namun mudah-mudahan Thio Sinshe bisa mengobatinya", sahut Yo Sian yang tetap berdiri di samping meja dengan sikap hormat yang agak dipaksakan.
"Baiklah". Lalu Si Liong-cu melambai memanggil pelayan rumah makan supaya mendekat.
"Berapa harga semuanya?"
"Tiga tahil lima chi". Dengan gayanya yang tetap agung- agungan, Si Liong-cu mengeluarkan kantong uangnya dari balik baju. Kantong uang itu sulaman dari Hangciu, berhias dengan beberapa butir intan dan batu giok bermutu tinggi semuanya. Pelayan rumah makan yang berdiri di samping Yo Sian itu diam-diam menelan ludahnya. cukup kantongnya saja agaknya sudah berlebihan untuk membayar makan minum lima enam kali... Si Liong-cu meletakkan empat tahil ke meja, katanya sambil tersenyum.
"Kau melayani aku dengan baik, sisanya untukmu. Tapi aku ada pesan sedikit untuk rumah makan ini..."
"Pesan apapun akan aku perhatikan, Kongcu.."
"Begini. Kalau nanti atau kapanpun ada tamu bernama Kam Hong-ti dari Kanglam, mintalah dia datang ke Hek-hou Piau-tiam untuk mencari aku. Paham?"
"Paham... paham..."
Si pelayan manggut-manggut .
"Seringlah mampir kemari, Kongcu, masih banyak masakan istimewa di rumah-makan ini yang belum sempat Kongcu nikmati". Sementara itu, ketika Yo Sian mendengar bahwa sahabat yang sedang ditunggu oleh paman-gurunya ini ternyata adalah Kam Hong-ti dari Kanglam, bukan kepalang kejutnya. Itu bukanlah nama keroco dunia persilatan. Kanglam Taihiap (Pendekar Agung dari Kanglam) Kam Hong-ti, nama besar ltu siapa yang belum pernah mendengarnya? Karena itu sikap memandang rendahnya terhadap sang paman-guru seketika berkurang beberapa bagian, sebaliknya penghargaannya meningkat beberapa derajat. Kalau sampai orang sebesar Kam Hong- ti mau bersahabat dan bahkan berjanji untuk bertemu dengan si paman guru, tentunya paman-gurunya ini ada harganya di mata Kam Hong-ti... Si Lionq-cu lalu bangkit dari duduknya, mengambil sebuah toya hitam yang sejak tadi disandarkannya di dinding dekat mejanya, lalu berjalan keluar dengan diiringi oleh Yo Sian. Ketika mereka tiba kembali di gedung Hek-hou Piau-tiam, mereka melihat Thio sinshe bahkan sudah selesai mengobati Teng Yu- liong. Bahkan Teng Yu-liong sudah siuman dari pingsannya, meskipun mukanya tetap pucat dan tetap berbaring di pembaringan dengan punggung dan kepala diganjal beberapa buah bantal. The Tek-kong dan Thio sinshe serentak berdiri dan memberi hormat kepada Si Liong- cu, Teng Yu-liong juga berusaha bangun untuk menjalankan penghormatan, tapi karena tubuhnya masih lemah, hampir saja ia jatuh terguling ke lantai. Untung The Tek-kong cepat menyambut tubuhnya dan meletakkannya kembali seperti semula.
"Aku... minta maaf...tidak bisa menghormati... Susiok", kata Teng Yu-liong dengan dada turun naik.
"Perhatikan saja lukamu, Teng Sutit, syukurlah kau sudah siuman", kata Si Liong-cu ramah sambil menyandarkan toya hitamnya.
"Tadi aku cemas sekali mendengar Yo Sutit mengabarkan bahwa lukamu sangat parah."
"Terima kasih atas perhatian Susiok. Lukaku semang tidak seberapa, namun rasa maluku lah yang sulit diobati. Aku telah menodai nama Siau-lim-pai kita yang besar..."
"Jangan terlalu memikirkan itu, Sute", The Tek-kong menghibur.
"Kalah atau menang berkelahi di dunia persilatan itu hal biasa. Pendekar-pendekar yang bernama besarpun pernah mengalam kekalahan".
"Teng Sutit, apakah kau sudah cukup kuat untuk menceritakan pengalamanmu itu?"
Tanya Si Liong-cu.
"Aku rasa bisa, Susiok. Hanya saja aku minta maaf bahwa aku akan berbicara sambil berbaring."
"Tidak jadi soal". Maka beramai-ramai Si Liong-cu, The Tek-kong dan Yo Sian menyeret kursi ke dekat pembaringan untuk mendengarkan penuturan Teng Yu-liong. Thio sinshe tanpa disuruh lagi segera berpamitan, sebab ia tahu yang akan dibicarakan itu mungkin menyangkut beberapa rahasia Siau-lim-pai. lagi pula seorang tabib yang pekerjaannya adalah mengobati dan menyembuhkan sesama manusia, berlawanan dengan orang-orang dunia persilatan yang "pekerjaannya"
Membunuh atau melukai, kadang-kadang dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal.
Thio Sinshe tidak mau mendengarkan itu...
Tapi ketika ia hampir menghilang di ambang pintu sambil menjinjing kotak obatnya, The Tek-kong tiba-tiba bangkit dari kursinya untuk menyusulnya.
"Sinshe, aku ingin minta tolong sedikit kepadamu..."
"Ada apa, Toaya?"
"Mari kita bicara di luar..."
Di luar pintu, The Tek-kong berbisik.
"Sinshe, kalau bertemu dengan puteraku si A- hwe, tolong suruh dia cepat-cepat pulang, katakan bahwa calon mertuanya terluka parah. Kau sudah dianggap orang keluarga kami, kalau perlu boleh kau damprat anak bengal yang hanya tahu bersenang-senang saja dengan si rase betina dari Keluarga Sebun itu. Kalau perlu, rase betinanya sendiri boleh kau damprat."
Rupanya The Tek-kong tidak mau kalau hubungan anaknya dengan Sebun Giok didengar oleh Teng Yu-liong, calon besannya, karena itulah ia ajak Thio Sinshe bicara di luar pintu.
Thio Sinshe mengerutkan alisnya.
Memanggil pulang The Kim-hwe memang bukan tugas berat, namun mendamprat seorang puteri dari Keluarga Sebun , biarpun nyali Thio sinshe ditingkatkan sepuluh kali lipat juga tidak berani.
Pengaruh keluarga Sebun di Se-shia bahkan jauh lebih kuat dari Hek-hou Piau-tiam.
Namun di hadapan The Tek-kong, terpaksa ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Akan aku perhatikan pesan Toaya, tapi jangan terlalu dipikirkan ulah anak-anak muda itu", kata Thio Sinshe.
"
Lagi pula Sebun Giok adalah seorang gadis yang suka ganti-ganti pacar.
Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id