Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 9


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 9



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   "Si-heng, kau makanlah sendiri sebab perutku sudah kenyang", kata Kam Hong-ti "Aku terburu-buru dari Kang-lam menyusulmu ke Se-shia sini karena ada urusan penting yang harus kuberitahukan kepadamu..."

   Sepotong acar buah tho yang sudah ada di ujung sumpit Si Liong-cu itu tertunda masuk ke mulutnya.

   "Urusan penting apa?"

   Kam Hong-ti bicara langsung tanpa berputar-putar, sesuai dengan kebiasannya.

   "Nyawamu diincar oleh banyak pihak, saudara Si...."

   Wajah Si Liong-cu berkerut, namun kelihatannya tidak terlalu kaget. Irisan buah tho itu langsung dicaploknya dan dikunyahnya dengan tenang.

   "Saudara Kam, selama aku mengembara, kadang-kadang sendiri, kadang- kadang bersama dengan saudara Kam, atau saudara Pek Thai-koan, aku telah mengalahkan entah berapa banyak. orang jahat. Wajar saja kalau mereka mendendam dan mencari aku untuk membalas, tapi toya hitamku sudah siap menyambut kepala mereka..."

   "Saudara Si, orang-orang yang sedang mencarimu itu adalah jago-jago dari istana para bangsawan di Pak-khia, bahkan pernah juga berujud pasukan-pasukan kecil yang memeriksa setiap orang-orang lewat di jalan- jalan besar. Bukan sekedar pencoleng- pencoleng kecil yang kita kalahkan dulu, kalau hanya mereka, buat apa aku jauh-jauh dari Kang-lam hanya untuk memberitahukan kepadamu? Buat apa pula aku susah-susah meminta saudara Pek Thai-koan untuk senantiasa mengamati orang-orang yanq mencarimu itu?"

   Kali ini Si Liong-cu termangu-mangu. Sumpitnya diletakkan dan nafsu makannya hilang. Geramnya dalam hati.

   "Saudara- saudaraku yang haus darah, kalian belum puas hanya sekedar mendesak aku ke luar istana, masih juga memburu-buru aku untuk menumpahkan darahku?!"

   Sementara itu Kam Hong-ti mengamati sikap Si Liong-cu, dan kebimbangannya pun timbul.

   Selama ini dia hanya mengenal sahabatnya itu sebagai murid Siau-lim-pai bernama Si Liong-cu, hanya sampai sekian.

   Sedang tentang asal-usul latar belakang si sahabat itu, baginya gelap sama sekali.

   Kini Kam Hong-ti sendiri mulai ragu, benarkah sahabatnya ini sekedar seorang "anak yang disia-siakan orang tuanya"? Kenapa pihak istana gencar sekali menyebar orang-orangnya untuk mencari Si Liong-cu? Sesaat dua sahabat yang duduk berseberangan itu berdiam diri, Si Liong-cu menarik napas berulang-ulang, dan Kam Hong- ti meneguk araknya hampir tanpa henti.

   Urusan makan nasi, dia jagoan, tapi urusan minum arak lebih jagoan lagi.

   Sampai kesunyian itu dipecahkan suara Kam Hong-ti.

   "Saudara Si, sebenarnya siapakah dirimu ini?"

   Si Liong-cu mengangkat wajahnya dan memaksa diri untuk tertawa dan menghapus keraguan di hati sahabatnya.

   "Pertanyaan aneh. Tentu saja aku adalah Si Liong-cu, murid Pun Bu Hweshio dari Siau-lim-si, sahabat pendekar-pendekar terkenal Kam Hong-ti dan Pek Thai-koan, pembasmi..."

   "Bukan itu yang aku tanyakan, saudara...", potong Kam Hong-ti.

   "Keadaanmu sekarang ini aku tahu semuanya. Kalau boleh, aku ingin tahu keadaanmu sebelum menjadi sahabatku, bahkan sebelum menjadi murid Pun-bu Hweshio".

   "Sudah aku katakan berkali-kali, aku sedih kalau mengingat masa laluku, lebih baik aku lupakan saja. Tetapi saudara Kam agaknya malah sengaja membangkitkan masa laluku yang menyakitkan hati itu". Kam Hong-ti meneguk araknya.

   "Maaf, kalau saudara Si keberatan mnjawab, akupun tidak bisa memaksa. Aku paham saudara tentu bukannya seorang penjahat, sebab selama ini akupun sudah banyak melihat sendiri tindakan- tindakan gagah yang saudara lakukan dalam tugas kependekaran."

   "Terima kasih, saudara Kam. Kau benar-benar seorang sahabat yang mengerti perasaanku. Terima kasih. Mari minum". Keduanya sama-sama mengangkat cawan masing-masing dan mengeringkan isinya.

   "Kalau begitu, saudara Si, aku tidak akan lagi mengorek-ngorek rahasia pribadimu atau keluargamu. Tetapi, mudah-mudahan tak ada hubungannya dengan rahasia pribadi dan keluarga, kenapa banyak sekali kelompok- kelompok istana yang mencari-cari dirimu?"

   "Siapa saja mereka?"

   "Aku bukan orang pemerintahan, aku tidak tahu mereka dari kubu yang mana saja, apalagi karena kelompok-kelompok itu umumnya menyamar sebagai orang biasa. kecuali satu dua yang secara terang-terangan mengenakan seragam". Si Liong-cu menarik napas dalam- dalam, ia bingung apakah akan tetap menyembunyikan diri dari Kam Hong-ti ataukah harus mengaku terang-terangan? Kam Hong-ti adalah Pendekar Kanglam yang pengaruhnya di wilayah selatan sangat terasa, sikap Kam Hong-ti akan sangat mempengaruhi sikap pendekar-pendekar lainnya di Kanglam pula.

   "Saudara Si", kata Kam Hong-ti.

   "Kau dikejar-kejar jago-jago kekaisaran Manchu , itu menandakan kau musuh mereka. Mungkinkah kau adalah anggota salah satu gerakan bawah tanah yang menentang kekaisaran? Kalau benar, kau tidak perlu menyembunyikannya dari aku, aku sudah kau ketahui bagaimana bersikap terhadap kekaisaran yang sekarang ini..."

   Si Liong-cu masih bungkam sambil meremas-remas telapakan tangannya sendiri.

   "Mungkin saudara Si ini anggota Jit- goat-pang (Serikat Rembulan-Matahari) yang bercita-cita mendirikan kembali Wangsa Beng?"

   Tanya Kam Hong-ti. Si Lionq-cu menggelengkan kepalanya.

   "Atau gerakan bawah tanah yang berkedok keagamaan seperti Pek-lian-kau (agama teratai putih)? Atau Sam-tiam-hwe (Serikat Tiga Titik Merah)? atau Pi-siu-hwe (Serikat Pisau Belati)?"

   Setiap kali dijawab dengan gelengan kepala.

   "Oh, barangkali yang jauh lebih besar dan kuat dari itu? Thian-te-hwe (Serikat Langit Bumi) yang dikendalikan dari Pulau Taiwan?"

   Si Liong-cu masih bungkam.

   "Jangan ragu-ragu, saudara Si".

   "Aku menjadi ragu-ragu justru karena membayangkan bagaimana sikap saudara Kam setelah mengetahui siapa diriku..."

   Kam Hong-ti menjadi heran."kenapa?"

   "Karena aku tahu saudara Kam bersikap bermusuhan terhadap orang Manchu, dan aku adalah orang Manchu..."

   "Apa?!"

   Kam Hong-ti bangkit dari duduknya dengan terkejut.

   "Saudara Si ...kau ... adalah..."

   "Benar, saudara Kam. Aku adalah orang dari suku bangsa yang sangat kau benci itu..."

   Goncangan perasaan Kam Hong-ti ternyata demikian hebat setelah mendengar pengakuan sahabatnya bahwa sahabat itu seorang Manchu.

   Tanpa dapat menguasai diri lagi, telapak tangan Kam Hong-ti meluncur melewati meja dan langsung hendak menghantam ubun-ubun Si Liong-cu tepat di jalan darah Pek-hwe-hiat yang mematikan.

   "Kubunuh kau, Manchu keparat!"

   Tapi tinggal sejengkal telapak tangannya dari sasaran, Kam Hong-ti dalam kemarahannya sempat melihat Sikap Si Liong- cu yang memejamkan mata dengan sikap pasrah tanpa melawan.

   Sedetik itu terbayang betapa akrab hubungannya dengan Si Liong- cu, minum arak bersama, bercakap-cakap, saling menolong, menumpas penjahat bersama-sama...

   Kurang sejari sebelum telapak tangannya mengenai ubun-ubun Si Liong-cu.

   Kam Hong-ti menjadi lemah hatinya dan membelokkan hantamannya sehingga mengenai permukaan meja.

   Permukaan meja segera ambrol berlubang berbentuk telapak tangan.

   "Bangsat Manchu! Lawanlah aku! Mana kegagahanmu yang dulu kau tunjukkan untuk mengelabuhi aku?"

   Bentak Kam Hong-ti dengan muka pucat.

   sekaligus hatinya juga pedih karena diapun sebenarnya mencintai sahabatnya ini.

   Tapi sebagai orang Han, ia tidak lupa dendam darah puluhan tahun yang lalu, ketika tentara Manchu menyerbu dan membantai penduduk kota Yang-ciu dan Ke- teng sehingga tercatat sebagai peristiwa mengerikan dalam sejarah.

   Tapi Si Liong-cu tidak bangkit dari duduknya.

   Suaranya tetap pasrah.

   "Kalau saudara Kam ingin membunuhku, silahkan. Aku sendiri merasa hidup tidak ada gunanya dibenci oleh semua pihak, bahkan seoran sahabat baikku juga membenci darah yang mengalir dalam tubuhku". Menghadapi sikap macam itu, luluh lah hati Kam Hong-ti. Perlahan ia duduk kembali, tubuhnya gemetar tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Dengan dua siku bertumpu di meja, ia megang erat-erat kepalanya dengan kedua tangannya seolah takut copot mendadak. Ia telah bersahabat dengan orang dari bangsa yang pernah membantai bangsanya, tetapi juga tidak cukup kuat hatinya untuk membunuhnya...

   "Saudara Kam, apakah kau cukup tenang untuk mendengarkan penjelasanku?"

   Terdengar suara Si Liong-cu bertanya.

   "Setelah itu, terserah kalau kau ingin membunuh aku atau mencincang aku ".

   "Untuk sementara, sebutan 'saudara' di antara kita jangan digunakan dulu, orang she Si.."

   Kata Kam Hong-ti dingin.

   "Kalau kau mau bicara, bicaralah!"

   "Baiklah, Kam Taihiap. aku minta maaf bahwa terhadap seorang sahabat baik semacam kau, telah menyimpan rahasia begitu lama, namun aku melakukannya karena benar- benar terjepit keadan yang tidak menguntungkan", kata Si Liong-cu.

   "Baiklah sekarang aku bayar kesalahanku itu dengan menyebut diriku yang sebenarnya..."

   Kam Hong-ti tetap berwajah dingin dan sinar matanya tajam.

   "Kam Taihiap, namaku yang sebenarnya adalah In Ceng, putera ke empat dari ayahanda Kaisar Khong-hi..."

   Wajah Kam Hong-ti seketika menjadi merah padam, sepasang matanya menyala bagaikan naga yang murka.

   Orang yang duduk di depannya itu bukan sekedar seorang Manchu, tetapi bahkan seorang putera dari Kaisar Manchu.

   Hampir saja ia melampaui meja dan mencekik mampus Si Liong-cu, namun nyatanya dia tetap duduk di tempatnya.

   Hanya mendengus dingin.

   "Kiranya kau seorang Pangeran, hem. nyawamu cukup berbobot untuk ditukar dengan nyawa orang- orang Han yang sudah tewas di ujung senjata orang Manchu". Si Liong-cu alias In Ceng nampaknya sedih sekali. Tanpa menanggapi kata-kata kebencian Kam Hong itu, la meneruskan bertutur dengan nada mengeluh.

   "Ya, aku orang Manchu. Kam Taihiap, kalau seorang calon manusia dikandung dalam perut ibunya, alangkah senangnya kalau calon bayi itu sendiri bisa memilih ingin lahir sebagai bangsa apa, berwarna kulit begini, atau menjadi orang macam ini. Tapi sayang, tak seorangpun manusia berwenang menentukan pilihan itu, semua lahir ke dunia begitu tiba saatnya untuk lahir dan harus menerima apa yang sudah tersedia baginya. Ada yang lahir ditengah bangsa-bangsa yang bermusuhan, yang lahir di tengah kemelaratan, lahir di tengah kecukupan, lahir sebagai bangsa Han..."

   "Sudah!"

   Kam Hong-ti menukas sambil mengibaskan tangannya. Namun suaranya sudah agak luruh dan itu menandakan hatinya terpengaruh juga oleh ucapan-ucapan In Ceng. Sikap bermusuhannya menurun beberapa derajat.

   "Kam Taihiap, itulah nasibku. Aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga Manchu, bahkan keluarga Kaisar, keturunan dari orang- orang yang bertanggung jawab atas Pembantaian di Yang-ciu dan Ke-teng, karena itulah aku tak akan menghindar kalau Kam Taihiap ingin membunuhku, mencincangku". Seandainya In Ceng pasang kuda-kuda untuk bertempur dan menantang-nantang, Kam Hong-ti tentu tidak ragu-ragu lagi untuk membunuhnya. Tapi justru sikap In Ceng yang demkian itu membuat Kam Hong-ti kebingungan, merasa keterlaluan kalau harus melukai seujung-rambutpun terhadap orang yang tak mau melawan sedikitpun. Apalagi selama beberapa tahun terakhir itu In Ceng adalah seorang pendekar penolong rakyat Han, bukan seorang yang bersikap menindas dengan mengandalkan kebangsawanannya.

   "He, orang Manchu, namun selama ini kau sudah menipu banyak orang dengan nama samaranmu, bahkan mungkin menipu Gurumu sendiri, Pun-bu Hweshio yang begitu berbudi mendidikmu dalam ilmu silat".

   "Benar, Kam Taihiap, selama ini memang aku seolah tidak jujur kepada orang lain, bersembunyi di balik nama palsu. Tapi sikapku itu sama sekali bukan untuk menipu atau merugikan orang lain. Terhadap Guruku yang berbudi, Pun-bu Hweshio, aku tidak mengelabuinya, sebab sejak semula guruku itu sudah tahu siapa diriku sebenarnya ". Kam Hong-ti terkesiap.

   "Pun-bu Hweshio sudah tahu kau seorang Pangeran Manchu dan tetap saja menerima dirimu sebagai murid yang dididiknya sungguh- sungguh?"

   Katanya heran. Dilanjutkan dengan kata-kata dalam hati yang entah mengapa tak sampai terluncur keluar dari bibirnya.

   "Tidakkah itu seperti memelihara anak macan yang setelah besar akan menerkam pemeliharanya sendiri?"

   Kata-kata yang tak terucapkan dari mulut Kam Hong-ti itu ternyata malah terucapkan dari mulut In Ceng.

   "Kam Taihiap tentu sedang membatin, Pun-bu Hweshio sedang membesarkan anak macan yang kelak akan menerkam dirinya sendiri, begitu bukan?"

   "Hem, apakah kekuatiranku itu tidak beralasan?"

   Dengus Kam Hong-ti.

   Waktu itu, lantai dua rumah makan itu sudah sepi dari pengunjung-pengunjung lainnya, sehingga Kam Hong-ti dan In Ceng bisa bebas berbicara.

   Sejak Kam Hong-ti menjebol permukaan meja, tamu-tamu sudah kabur semua karena mengira akan terjadi pertarungan di tempat itu, dan semuanya takut terkena senjata nyasar.

   "Kam Taihiap, boleh saja kau berpikir bahwa aku adalah anak macan tak kenal budi yang kelak bakal menerkam pengasuhku sendiri. Bukan kau saja, ribuan orang Han berpandangan bahwa orang Manchu adalah iblis-iblis paling terkutuk, jauh lebih jahat dari orang-orang Hek-eng-po. Tapi aku yakin kepada diriku sendiri bahwa aku bukan manusia macam itu, orang Manchu adalah manusia juga, punya perasaan, pernah kehilangan sanak keluarganya dalam peperangan, mendambakan datangnya perdamaian dan persaudaraan..."

   Kam Hong-ti hanya menarik napas dalam-dalam. Sementara sahabatnya melanjutkan bicara.

   "Aku memang benar seorang Pangeran Manchu, tetapi tahukah Kam Taihiap kenapa aku terbuang dari istana?"

   "Tentu karena kalah dalam cakar- cakaran memperebutkan kekuasaan, apa lagi?"

   Dengus Kam Hong-ti sinis. Di luar dugaan Kam Hong-ti, In Ceng begitu langsung menganggukkan kepala mengiakan tuduhan berebut kekuasaan itu.

   "Benar, karena berebut kekuasaan. Orang sudah terlanjur dijejali pikiran bahwa berebut kekuasaan itu adalah hal yang sangat jahat, memuakkan. Tapi lupa bahwa kekuasaan itu sendiri tidak berwarna hitam atau putih, bukan sesuatu yang jahat atau yang baik, melainkan tergantung siapa pemegangnya dan warna apa yang hendak diberikan kepada kekuasaan di tangannya. Kekuasaan hanya alat, seperti sebuah cangkul, yang bisa digunakan untuk mencangkul mampus kepala tetangga, tapi juga bisa untuku mencangkul tanah, menanam tanam-tanaman yang buahnya dipersembahkan bagi kesejahteraan umat manusia. Bukankah demilkian? Aku memang tersingkir dari istana karena gagal berebut kekuasaan, karena aku berambisi memegang kekuasaan, dan dengan kekuasaan itu aku akan mempersaudarakan bangsa Han dan Manchu, sesama penghuni kekaisaran raksasa ini, tanpa mengingat dendam masa lalu, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah! "Hem, impian hebat!"

   "Benar, impian hebat, Kam Taihiap. Tidakkah Ciubu-ong Ki Koat bercita-cita hebat ketika hendak meruntuhkan Kaisar Tiu-ong dari dinasti Siang? Tidak hebatkah cita-cita Cin-si-ong untuk mempersatukan enam negeri lain? Begitu pula ketika Lau Pang membangun dinasti Han menggantikan dinasti Cin? Ketika Tio Gong-in naik tahta untuk menghentikan kerusuhan di jaman Ngo-tay dan mendirikan dinasti Song? Ketika Cu Goan-ciang mendirikan dinasti Beng sehingga bergelar Beng-thai-cou Hong-bu untuk meruntuhkan kebobrokan Kaisar Goan-sun-te dari dinasti Mongol?"

   "Hem, jangan sungkan-sungkan, tentunya kau ingin menambahkan pula bahwa Liap-ceng-ong To Ji-kun bercita-cita luhur ketika membawa bala tentara Manchu menyerbu negeri kami dengan memanfaatkan Bu Sam-kui , Panglima kota San-hai-koan yang lemah dan tolol itu? Di jaman kakekmu, Sun-ti, masih kanak-kanak? Dan kau samakan dirimu dengan Ciu Bu-ong, Tio Gong-in dan sebagainya?"

   Kembali In Ceng mengejutkan Kam Hong-ti dengan jawabannya yang terlalu terus- terang.

   "Ya, aku ingin menyumbangkan tenagaku untuk kekaisaran yang terancam perpecahan gara-gara ulah beberapa pangeran yang hanya bernafsu berkuasa, tetapi lupa kalau perpecahan bisa mengundang kekuatan asing orang-orang bule itu menjajah negeri ini. Rusia di utara dan barat terus meluaskan wilayah. Jepang di timur memperkuat diri dengan senjata yang dibeli dari pelaut-pelaut Portugis dan Belanda, semuanya mengincar tanah kita. Apakah orang-orang Han lebih suka dijajah setan-setan asing itu?"

   Kam Hong-ti tidak menjawab. Kebingungan menentukan sikap oleh masalah tak terduga yang tiba-tiba saja muncul di depan hidungnya. Sementara In Ceng berkata lagi dengan suara yang lebih rendah.

   "Tapi agaknya impianku hanya akan tetap menjadi impian belaka, aku tidak punya kekuatan untuk mewujudkannya. Aku sudah terbuang dari istana, tidak ada pendukung lagi. Kelak, kekaisaran ini akan jatuh ke tangan pangeran-pangeran yang cara pemerintahannya tak lain hanyalah memperbesar kebencian antara Han dan Manchu, antara Han dan Han, Manchu dengan Manchu, sampai kekaisaran pecah berkeping- keping dan menjadi jarahan setan-setan asing dari luar". Tak terasa Kam Hong-ti mulai hanyut oleh penuturan In Ceng yang panjang lebar tadi. Jauh dalam hati nya, ia tahu,ia tidak pernah membenci In Ceng, entah di kemudian hari. Tiba-tiba ia bertanya.

   "In Ceng, kalau kelak kau berhasil naik tahta, benarkah kau bercita-cita seperti yang kau ucapkan tadi?"

   Tiba-tiba In Ceng tinggalkan kursinya dan berlutut, mengucapkan sumpah.

   "Aku bersumpah demi Thian-hu-te-bo (Ayah Langit dan Ibu Bumi) kalau aku melanggar janjiku, aku akan mati dengan kepala terpisah dari tubuh oleh pedang sahabat-sahabat baikku sendiri..."

   Lalu ia duduk kembali di kursinya.

   "Kam Taihiap, kau boleh saja menganggap sumpahku sebagai omong-kosong, tapi akupun pernah bersumpah serupa di hadapan guruku, Pun-bu Hweshio. Persaudaraan sederajat antara Han dan manchu adalah cita-citaku sejak aku melihat ulah memuakkan dari beberapa pangeran, saudara-saudaraku sendiri!"

   Habis berkata demikian, ia membungkuk hormat dan berkata.

   "Selamat berpisah, Kam Taihiap, sedih sekali bahwa persahabatan kita yang hangat telah terputus hanya oleh perbedaan suku". Lalu ia melangkah pergi, hampir saja Kam Hong-ti mengulurkan tangan untuk menahan tangan In Ceng dan mengajaknya duduk kembali. Tapi itu tak dilakukannya, hanya mulutnya yang bertanya.

   "Kau mau kemana?"

   "Kemana saja, tidak ada tempat aman bagi orang buangan semacam aku ini, mungkin akan meninggalkan kota ini pula". Kam Hong-ti membuang pandangannya keluar jendela dan berkata tanpa menatap In Ceng.

   "Pergilah...."

   Ketika In Ceng mendekat ke arah pemilik rumah makan, si pemilik dan semua pelayan-pelayan telah berlutut dengan tubuh gemetar.

   Rupanya tadi mereka sudah mendengar percakapan tamunya itu, bahwa sang tamu langganan yang royal menghamburkan hadiah itu ternyata adalah putera ke empat Kaisar.

   "Hamba selama ini tidak tahu bahwa Tuanku adalah seorang Pangeran ", kata si pemilik rumah makan sambil menyentuh- nyentuhkan jidatnya ke lantai.

   "Hamba mohon ampun, selama ini bersikap kurang hormat terhadap Tuanku..."

   Gerakan menyembahnya diikuti oleh lain-lainnya. Cepat In Ceng menarik tangan pemilik rumah makan itu dengan sikap ramah.

   "Bangkitlah, dalam beberapa hari ini aku puas dengan masakan-masakanmu, juga pelayanan rumah makan ini ". Dengan takut-takut si pemilik rumah makan itu bangun.

   "Nah, Ciangkui (pengurus), berapa harga makan minumku bersama sahabatku di meja itu?"

   Tanya In Ceng.

   "Aku bayar sendiri!"

   Dari tempat duduknya Kam Hong-ti berteriak, meskipun ia yakin kantongnya terkuras habis pun belum cukup untuk membayar makanan-makanan mahal yang sudah ada dalam perutnya. Tapi In Ceng menjawab.

   "Kam Taihiap, aku tidak ingin menyuapmu. tapi biarlah kali ini aku bayar semua.Mungkin semacam perpisahan persahabatan kita..."

   Kam Hong-ti tak menyahut namun ia kemudian diam saja ketika melihat In Ceng mengeluarkan kantong uangnya.

   "Berapa Ciangkui?"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya In Ceng. Si pemilik membungkuk hormat.

   "Kehadiran dan kesudian Tuanku mencicipi makanan-makanan di rumah makanku yang buruk ini saja sudah merupakan kehormatan besar bagi kami, Ijinkan hamba menghormat Tuanku dengan sebuah perjamuan yang lebih layak, hidangan yang tadi tak usah dihitung lagi..."

   "Terima kasih, Ciangkui , kebaikanmu kuterima. Tapi undangan perjamuanmu tidak bisa kuterima sekarang, mungkin di lain waktu aku masih hidup, sebab setiap detik bisa saja kepalaku ini copot dari tubuhku. Aku harus meninggalkan kota ini. Selamat tinggal."

   Sekali lagi In Ceng menoleh ke arah Kam Hong-ti yang duduk membelakanginya, lalu menarik napas sekali lagi dan meninggalkan tempat itu.

   Setelah duduk sendirian, lama sekali Kam hong-ti duduk merenung, tanpa ada pelayan-pelayan yang mengganggunya.

   Otak dan perasaan sang pendekar seolah bertentangan sendiri.

   Sahabatnya adalah seorang Pangeran Manchu, sikap permusuhan orang Han terhadap orang Manchu tidak mudah terhapus.

   Namun terbayang pula persahabatannya yang hangat dengan Si Liong-cu alias In Ceng, dan selama masa persahabatan itu belum pernah dilihatnya In Ceng melakukan hal-hal tercela.

   Sikapnya benat-benar sikap seorang pendekar sejati yang berpihak kepada rakyat yang tertindas, di beberapa tempat bahkan tidak segan-segan menghajar pembesar-pembesar Manchu yang memeras rakyat Han.

   Haruskah kuhapuskan semua kebaikannya itu, lalu aku kejar dan aku tumpas dia karena dia seorang Pangeran Manchu? Haruskah aku tetap berpegang pada pendirian semula bahwa tahta harus diduduki orang Han, bukan orang Manchu seperti saat itu? Perebutan tahta tentu mengakibatkan perang besar, seandainya menang, lalu bagaimana? Ribuan nyawa akan melayang hanya untuk mendudukkan seorang Han di singgasana? Setelah orang Han duduk di singgasana, apakah kesejahteraan rakyat akan terjamin? Kam Hong-ti masih terlalu muda untuk mengalami jaman dinasti Beng dulu namun dari orang-orang tua, ia sempat mendengar bahwa jaman Kaisar Cong-ceng itu keadaannya begitu bobrok sampai rakyat berontak di bawah pimpinan Li Cu-seng.

   Bagaimana kalau setelah tahta diduduki rakyat Han, lalu keadaan menjadi bobrok kembali seperti dulu?! Tapi kalau dibiarkan saja, bukankah Khong-hi si Manchu itu akan tetap berada di tahtanya sekarang? Tiba-tiba muncul suara hatinya yang lain.

   Kalau Khong-hi kenapa? Kalau Manchu Kenapa? Bukankah di masa pemerintahan Khong-hi ini rakyat umumnya hidup sejahtera? Haruskah dibongkar untuk diganti sesuatu yang belum pasti? Memangnya pemerintahan kekaisaran hanyalah rumah-rumahan kayu yang bisa dibongkar-pasang seenaknya, sehari sepuluh kali? Memperjuangkan kesejahteraan rakyat Han haruskah dengan perang? Sedang sebuah pilihan lain sebenarnya sudah ada, pilihan damai, bersama membangun kekaisaran bersama orang Manchu.

   In Ceng berani menerjang roboh tembok yang memisahkan Han dan Manchu.

   Tembok permusuhan.

   Sekarang, cukup beranikah dirinya melakukan hal yang sama? Ribuan tanda tanya berjubel-jubel di benak Kam Hong-ti.

   Tapi akhirnya ia bangkit dari kursinya dan meninggalkan tempat itu.

   Kepada seorang pelayan di lantai bawah, dia sempat menanyakan ke mana perginya In Ceng, lalu diapun menyusul ke arah yang sama.

   Sementara itu, In Ceng sendiri lebih dulu singgah di Hek-hou Piau-tiam untuk mengambil toya hitam dan bungkusan pakaiannya, lalu menyatakan kepada The Tek- kong bahwa ia akan melanjutkan pengembaraan.

   Tentu saja The Tek-kong dan adik-adik seperguruannya kaget mendengat pamitan yang sangat mendadak itu.

   "Apakah selama ini kami kurang memuaskan melayani Susiok?"

   Tanya The Tek-kong.

   "Tidak, aku justru berterima kasih sekali, tapi aku memang harus pergi", sahut In Ceng, yang oleh The Tek-kong masih dikenal sebagai Si Liong-cu.

   "Setelah aku pergi, tak peduli ada lawan atau kawan yang mencari diriku, tunjukkan saja ke mana arahnya aku pergi".

   "Apakah Susiok menghadapi musuh? kalau begitu, jangan pergi. Biarpun kami tiga saudara berkepandaian tidak seberapa, kami tentu takkan tinggal diam. Demi nama baik perguruan kita".

   "Terima kasih. Tapi aku memang harus pergi". Lalu sambil memanggul bungkusannya, In Ceng tinggalkan gedung besar kantor Hek- hou Pian-tiam itu. Beberapa orang yang berpapasan dengannya telah mengangguk hormat, karena mereka mengenal pemuda yang beberapa hari yang lalu mengangkat singa batu di depan gedung Hek-hou Piau- tiam. In Ceng melangkah terus, dan akhirnya keluar lewat pintu timur kota Se-shia. Di dekat pintu kota ada sebuah pasar kuda, di situ In Ceng membeli seekor kuda kelabu yang tegar, untuk melanjutkan perjalanannya. Ia menjalankan kudanya dengan kecepatan sedang-sedang saja, sebab jalanan di sekitar kota Se-shia itu masih cukup ramai. Namun ketika sudah lewat jalan yang sepi, perlahan-lahan kecepatan kudanya pun ditingkatkan. Namun setelah ia tiba di sebuah jalan sempit di sebuah bukit yang oleh penduduk setempat dinamai Hong-hong-nia (bukit burung hong) karena puncaknya yang terjal itu banyak lubang-lubang batu yang dihuni kawanan burung hong, In Ceng membelokkan kudanya mengambil sebuah jalan sempit di pegunungan. Ia menganggap pemandangan di bukit itu cukup berharga untuk dilihat sambil berjalan. Tetapi baru dua li ia berada di jalan sempit itu, tiba-tiba di belakangnya terdengar derap kaki kuda searah dengannya . Ketika ia menoleh, terlihat tiga ekor kuda hitam mulus, dengan tiga penunggangnya yang berpakaian hitam mulus pula, bahkan memakai mantel hitam pula, dengan kerudung kepala yang lancip dan lagi-lagi berwarna hitam. Ketiga orang itu membawa senjata yang serupa, sebuah sabit panjang bertangkai sepanjang tangkai tombak. In Ceng tidak menghiraukan orang- orang itu, dianggapnya mereka sekedar orang- orang dunia persilatan yang sekedar lewat sebab bukan hal aneh kalau orang-orang kelompok persilatan tertentu berdandan aneh- aneh, seperti ketiga orang itu. Ia jalankan terus kudanya tanpa peduli, didengarnya penunggang-penunggang kuda dibelakangnya itu terus mengikuti, In ceng menoleh dan alangkah terkejutnya ketika melihat orang-orang itu sudah berubah menjadi enam orang. Semuanya berpakaian sama, bersenjata sama, bahkan kuda-kuda yang mereka tunggangi juga hitam semua. Pemandangan itu menimbulkan perasaan seram, meskipun saat itu adalah siang hari bolong, seolah-olah melihat iring-iringan iblis penyebar bencana dari kerak neraka. Setiap kali In Ceng mempercepat kudanya, orang-orang itupun mempercepatnya. Kalau ia memperlambat kudanya, merekapun lebih lambat pula, sehingga In Ceng akhirnya merasa bahwa dirinyalah yang sedang diincar. Toya hitam yang diselipkan di pelana kudanya pun kini diloloskan dan dikempit dengan tangan kanannya sebagai sikap siap sedia. Katanya dalam hati.

   "Bagus kalau mereka benar-benar iblis gentayangan, kebetulan ilmu toya ajaran Suhu juga disebut Hok-mo-tung-hoat (ilmu toya penakluk iblis)..."

   Namun akhirnya ia habis kesabaran juga, dengan gerakan mendadak dia putar kudanya untuk menghadapi orang-orang itu.

   Dan kembali ia terkejut ketika melihat penunggang-penunggang kuda hitam itu sudah bertambah lagi, kali ini tidak tanggung- tanggung, ia hitung jumlahnya genap delapan belas.

   "Siapa kalian? Apa maksud kalian mengikuti aku?"

   Tanya In Ceng.

   Sebagai jawaban, kedelapan belas penunggang kuda hitam itu mengatur barisan dua-dua berderet ke belakang.

   In Ceng diam- diam berwaspada pula melihat itu, namun ia tidak gentar.

   Di masa remajanya, In Ceng pernah mempelajari cara-cara bertempur di atas kuda, di bawah bimbingan beberapa guru istana.

   Sementara itu, kedelapan belas penunggang kuda itu mengingatkan In Ceng akan sebuah kelompok pembunuh bayaran berani mati yang konon berpusat d1 ujung Pegunungan Tiang-pek-san di Liau-tong.

   Kelompok pembunuh yang dikenal sebagai Im- kan-cap-pwe-khi (18 penunggang kuda dari neraka).

   Setiap keluar sarang, mereka selalu berjumlah delapan belas orang, tidak peduli tertumpas habis pun di lain waktu akan muncul delapanbelas orang kembali.

   tidak kurang seorangpun.

   Orang-orang yang percaya tahyul sampai bilang bahwa mereka bisa menghidupkan kembali teman-teman mereka yang sudah mati.

   "Kali. ini kalian ingin mengincar nyawaku?"

   Dengus In Ceng.

   Dua penunggang kuda hitam yang terdepan tiba-tiba memacu kuda mereka bagaikan terbang ke arah In Ceng sambil mengangkat sabit-sabit bertangkai panjang mereka, mereka hendak menjepit dari kiri kanan.

   Begitu dekat, sabit-sabit mereka terayun deras dan telak, yang satu ke arah leher In Ceng dan lainnya ke arah perut.

   Tanpa menggunakan jurus-jurus apapun, tapi nyawa In Ceng bisa melayang.

   Tangkas sekali In Ceng memutar toya hitamnya, dua serangan sabit panjang dari kiri kanan berhasil ditangkisnya semua.

   Bahkan begitu hebat tenaga In Ceng.

   "tenaga arca singa batu", sehingga kedua penyerangnya itu terpelanting dari punggung kudanya masing- masing. Tapi pasangan gelombang kedua segera menerjang datang pula, dan In Ceng berani bertaruh potong telinga bahwa pasangan gelombang ketiga, keempat dan seterusnya akan berturut-turut menyergapnya. Bahkan kemudian ia melihat ujung sepatu dari manusia-manusia serba hitam itu ada ujung pisau yang berkilat-kilat. Serangan gelombang kedua inipun berhasil dihalau dengan toya hitamnya dan terpelanting roboh seperti dua rekah mereka yang terdahulu. Namun salah seorang dari mereka, sebelum roboh sempat menendang sepatu berpisaunya. Maunya mengarah ke perut In Ceng, tapi luput dan mengenai kuda tunggangan In Ceng. Kuda yang terluka itu kontan melonjak- lonjak kesakitan dan tak terkendali lagi, sementara serangan gelombang ketiga sudah menderu datang bagaikan angin. Pasangan pertama dan kedua tadi telah melompat kembali ke punggung kuda-kuda mereka. Kembali In Ceng masih berhasil menyelamatkan leher dan perutnya, tapi pinggangnya tergores sedikit oleh ujung pisau di ujung sepatu salah seprang penyerangnya. Sedang si penyerang sendiri terkapar tak bisa bangun lagi sebab bagian tengah jidatnya terhantam retak oleh toya In Ceng, mampus. Meskipun berhasil mengurangi seorang lawan, In Ceng memperhitungkan bahwa dirinya tak akan sanggup terus-terusan melawan kedelapan belas iblis hitam yang menyerang berpasang-pasangan dan bergelombang itu. Dengan cara bertempur kedelapan belas orang itu, mereka lebih tangguh dari Lo-san Su-koai yang pernah dihadapi oleh In Ceng. Entah pada serangan gelombang ke berapa, In Ceng yakin sabit- sabit maut itu akan mempertemukannya dengan leluhurnya di surga. Serangan gelombang keempat datang, dan kepala kuda kelabu tunggangan In Ceng terbelah oleh sabit lawan, tapi In Ceng berhasil menyodok dada salah seorang penyerangnya dengan ujung toyanya, meskipun dirinya sendiri mendapat tambahan luka di lengannya. Menghadapi gelombang-gelombang serangan berikutnya, In Ceng harus bertempur di atas kedua kakinya sendiri, sebab dalam pelajaran bertempur menunggang kuda, ia belum pernah diajari caranya menunggangi kuda yang tanpa kepala. Dengan demikian, gebrakan-gebrakan berikutnya benar-benar perjuangan berat buatnya. Ia harus berlari-lari pontang-panting menghadapi serangan sabit-sabit maut, ujung- ujung sepatu yang berpisau, juga kaki-kaki kuda yang siap menginjaknya dengan kekuatan ratusan kati. Dalam keadaan terjepit itu dia menemukan akal, untuk sedikit memperpanjang umurnya, tambah umur beberapa detik juga lumayanlah. Dengan kelincahan sepasang kakinya yang terlatih berlari naik turun di gunung Siong-san sejak enam tahun yang lalu, ia mendaki ke lereng bukit Hong-hong-nia. Ia berharap kemiringan lereng bukit itu akan mengurangi keberingasan lawan-lawannya. Akalnya memang agak berhasil, meskipun bukan jaminan bahwa dirinya akan berhasil lolos dari tempat itu dengan selamat. Karena lawan-lawannya yang masih enambelas orang itu, setelah dua orang terbunuh, juga tidak kehilangan akal. Sebagian dari mereka memacu kudanya naik ke lereng bukit untuk mengejar In Ceng dalam garis lurus, sebagian lain memutar ke atas bukit untuk mencegat In Ceng dari atas. Agaknya orang-orang itu sudah dilatih untuk menjepit lawan dalam berbagai keadaan.

   "Bagus, biarpun kalian juga harus menemani aku ke lubang kubur". seru In Ceng murka. Ketika itu dua penunggang kuda menerjangnya berbareng dengan arah bersilangan. ln Ceng menggulingkan tubuhnya pada saat dua sabit maut berdesihg di atas kepala dan punggungnya. Sambil berguling, toyanya menyapu kaki kuda salah satu dari mereka sehingga kuda itu roboh dan penunggangnya jatuh tepat di sisi tubuh In Ceng. Untuk lawan di dekatnya, ia tak sempat menggunakan toyanya, tetapi dengan siku tangan kirinya ia hantam sekuatnya dada orang itu. Orang itu hanya menggeliat sedikit seperti ulat digigit semut, lalu terdiam selamanya.

   "Lumayan, sudah dapat tiga", pikir In Ceng. Tapi ia harus cepat-cepat menggulingkan diri ke samping sebelum sempat melompat bangun, sebab empat kaki kuda hampir saja menimpa tubuhnya dan dua buah mata sabit hampir saja memotong tubuhnya sekaligus. Dengan cekatan seakali ia melompat bangun dengan gerak Le-hi-tah-teng (ikan le meletik), toya hitamnya masih tergeletak di tanah dan tak sempat diambilnya. Ketika seorang penunggang kuda hitam menyerbunya dari arah tebing sendirian saja, tanpa pasangan, In Ceng malah melompat menyongsongnya dan tinjunya yang sekeras besi itu diayunkan menyongsong jidat lawan, dengan ger Ciong-thian-bau (meriam menembus langit). Terdengar suara gemertak tulang patah, kepala si penunggang kuda bagaikan ditekuk tajam ke belakang dan ia terjungkal jatuh...dari kudanya dengan kepala terkulai, seolah-olah lehernya terbuat dari segulung sutera lemas. Tapi ketika tiga penunggang kuda menerjangnya sekaligus, In Ceng cuma berhasil mengelak dua di antaranya. Satu sabit tetap saja menggores punggungnya melintang sehingga baju dan kulitnya robek berdarah. Dengan sengit In Ceng membalikkan tubuh secepat kilat dan kedua tangannya serempak berhasil menangkap tangkai sabit panjang, langsung disentakkan sehingga si penyerang terangkat dari pelana kuda dan terbanting di tanah. Menyusul kakinya menginjak dan mengirim nyawa orang itu ke akhirat.

   "Dua lagi jadi lima!"

   Serunya.

   Tapi anggota-anggota kelompok pembunuh bayaran itu tidak takut mati , mereka memang dilatih demikian demi terlaksananya tugas.

   Masih tigabelas orang yang semakin beringas menyerang In Ceng dari segala arah.

   Ketika In Ceng sedang berjongkok hendak mengambil toyanya, dari atas lereng kembali seorang musuh menyerbu, Ia bukan saja mengangkat sabitnya tinggi-tinggi Untuk menyabet leher In Ceng, tapi sepasang kaki depan kudanya pun terangkat tinggi dan siap menginjak In Ceng, Cepat In Ceng melompat ke samping tanpa sempat memungut toyanya, tapi ia kembali melompat seperti seekor rajawali sambil menebaskan telapak tangannya mengenai rusuk orang itu.

   Tubuh orang itu terlempar dan lehernya tepat mengenai mata sabit yang dipegangnya sendiri.

   "

   Enam!"

   In Ceng menghitung keras keras..

   "empat lagi dan aku matipun puas. Tapi sesosok tubuh memegang pedang tiba-tiba melayang dari balik sebuah batu besar, sambil berteriak,"Tujuh...!"

   "delapan ...!"

   Dua kali cahaya pedang berkelebat seperti kilat dan dua pembunuh hitam terkapar ke tanah. **OZ** Bersambung ke

   Jilid 17 Pojok Dukuh, 25-10-2018; 01.00 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 17

   "SAUDARA....eh, Kam Taihiap...!"

   In Ceng berseru tak percaya ketika melihat siapa yang muncul.

   "Benar, ini aku, saudara In!"

   Sahut Kam Hong-ti. Sekali lagi ia melompat dan melakukan gerak Tay-peng-tian-ci (garuda membuka sayap) untuk membabat kiri- kanan.."Sembilan...sepuluh!"

   "Sebelas!"

   Sambung In Ceng ketika ujung toya hitam yang telah diambilnya itu menyodok telak ke tenggorokan seorang lawan.

   Hatinya gembira dan semangatnya terbangkit ketika mendengar Kam Hong-ti tadi memanggilnya "saudara In", ia harap mudah- mudahan kupingnya tidak salah dengar.

   Sisa tujuh orang dari Delapanbelas Penunggang Kuda dari Neraka itupun porak- poranda dengan munculnya Kam Hong-ti.

   Si Pendekar bertubuh kurus dari Kanglam itu bahkan menunjukkan kekuatan tangannya yang melebihi kekuatan In Ceng yang sudah tergolong luar biasa.

   Suatu kali ia dengan enak mencekuk tengkuk salah satu lawan, dan seringan orang melemparkan anak kucing, ia lemparkan tubuh lawannya yang besar itu ke arah seorang lawannya yang lain.

   Tubuh dua orang bertubrukan dan sabit di tangan mereka saling menggorok leher teman sendiri.

   "Kam Taihiap!"

   Seru In Ceng.

   "Sisakan hidup-hidup satu orang untuk ditanyai!"

   Setelah membereskan lain-lainnya, memang Kam Hong-ti berhasil menangkap hidup-hidup seorang dari orang-orang berpakaian hitam itu.

   Tapi orang itupun tidak bisa ditanyai, sebab dengan nekad ia menggigit dan menelan lidahnya sendiri sehingga mati pula.

   Kini tinggal delapanbelas ekor kuda hitam yang meringkik-ringkik dan berputar-putar tanpa penunggang.

   In Ceng membungkuk hormat dengan sikap sangat resmi kepada Kam Hong-ti.

   "Terima kasih bahwa Taihiap sudi menyelamatkan nyawa seorang Manchu yang tak berharga ini..."

   Setelah menyarungkan pedangnya, Kam Hong-ti mendekati dan menepuk pundak In Ceng sambil berkata.

   "Saudara In, aku minta maaf untuk sikapku tadi pagi di loteng Hok-an-lau. Maukah kau mengganti sebutan "Taihiap"

   Itu dengan sebutan lama?"

   "Saudara Kam, kau...kau..."

   Hanya kalimat terpatah-patah itu yang sanggup dikeluarkan In Ceng. Lalu kedua sahabat itu saling berpelukan dan mengguncang lengan masing-masing.

   "Kau tidak menganggapku sebagai musuh bangsamu lagi?"

   Tanya In Ceng setelah reda goncangan perasaannya.

   "Maafkan kesempitan pikiranku tadi, saudara In. Setelah aku renungkan pembicaraan kita di Hok-an-lau, aku pikir bahwa perang sudah tidak ada gunanya lagi dalam keadaan negeri yang semakin mapan ini. Bahkan aku punya sebuah usul..."

   "Apa usulmu?"

   "Aku terkesan oleh keluhuran cita-cita saudara In tentang persaudaraan Han dan Manchu tadi. Aku berpendapat, saudara In yang pantas menduduki tahta kekaisaran kelak di negeri ini..."

   Wajah In Ceng bercahaya gembira, tapi sekejap kemudian kegembiraan itu padam kembali, dan ia berkata sambil menarik napas.

   "Saudara Kam, kau jangan mengantarkan aku ke alam mimpi khayalan yang tak mungkin terwujud. Bagaimana mungkin aku berani bermimpi semuluk itu, sedang aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa mempertahankan nyawaku? Bagiku, mendapatkan kembali sahabat-sahabatku saja sudah merupakan kegembiraan besar..."

   Kam Hong-ti semakin erat menggenggam lengan In Ceng.

   "Saudara In, dalam pandanganku yang picik, kau bukan sekedar sosok pribadi seperti orang lain, tetapi adalah sebuah peluang emas bagi bangsa Han untuk mendapatkan kembali martabat mereka yang terinjak sejak bangsa Manchu menduduki tahta. Sebuah peluang emas yang bisa dicapai tanpa pertumpahan darah besar-besaran. Tidakkah ini jauh lebih baik daripada bangsa Han harus merebut martabatnya dengan ujung Senjata?"

   "Jelasnya, saudara Kam?"

   "Kelak kau harus naik tahta menggantikan Kaisar yang sekarang, tapi setelah bertahta jangan lupakan cita-cita luhurmu itu. Kalau bangsa Han mendapatkan kembali kehormatannya, aku rasa mereka tidak akan bercita-cita mengusir orang Manchu kembali ketempat asal kalian di Liau-tong. Han dan Manchu bisa hidup berdampingan secara damai di bawah satu bendera, tak peduli siapapun yang bertahta, asal kesejahteraan rakyat diperhatikan baik-baik".

   "Seandainya benar demikian, saudara Kam, itulah cita-cita yang kuimpikan sejak dahulu. Tetapi aku berpijak di atas kenyataan saja, saudara. Mana bisa aku seorang diri menghadapi pangeran-pangeran lainnya yang semuanya mempunyai pendukung-pendukung kuat? Mana bisa sebatang toya ini menahan ribuan golok dan tombak?"

   "Saudara In, asal kita punya keinginan menang demi cita-cita luhur, rintangan apa yang tidak bisa kita lewati? Kau punya nama yang cukup harum di wilayah Kanglam, kalau para ksatria di Kanglam mendengar tentang niat luhurmu, aku kira mereka akan siap menjadi pendukungmu..."

   "Kau bicara gampang saja, saudara Kam. Kau berdada lapang dan berpikiran luas, meskipun tahu aku adalah seorang pangeran Manchu kau tetap sudi bersahabat denganku. Tapi adakah orang lain berpikiran seluas saudara? Sahabat-sahabatku di Kanglam itu kalau tahu aku adalah orang Manchu, tentu akan berami-ramai menghunus senjata untuk menggorok leherku. Tidak gampang meyakinkan mereka..."

   "Aku yang akan bicara dengan hati-hati kepada mereka, jangan begitu cepat putus harapan. Sebuah peluang yang bagaimanapun kecilnya harus diperjuangkan sekuat tenaga, kalau tidak, akhirnya peluang itu akan hilang lenyap dan tak bisa dikejar lagi. Kau adalah peluang itu, saudara In. Aku mohon, demi martabat orang Han dan masa depan kekaisaran ini..."

   Akhirnya In Ceng mengangguk.

   "Baiklah, aku terima tugas berat itu di pundakku. Aku mohon kerjasama yang baik dari saudara Kam dan rekan-rekan pendekar lainnya. Bukan hanya dukungan, tetapi jangan segan-segan memberi aku peringatan keras apabila aku hendak menyeleweng dari cita-cita bersama kita..."

   Janji semanis madu itu membuat Kam Hong-ti semakin bulat tekadnya untuk mendorong In Ceng mencapai puncak kekuasaan.

   Ia sudah membayangkan masa keemasan dan kesejahteraan melimpah akan tercipta di jaman pemerintahan In Ceng kelak.

   Karena senangnya mendengar janji Kam Hong-ti, In Ceng hampir saja menjanjikan suatu pangkat tinggi bagi sahabatnya itu apabila kelak menjadi Kaisar.

   Namun setelah dia ingat Kam Hong-ti itu manusia macam apa, maka diapun membatalkan ucapannya.

   Ia kuatir kalau salah ucap malahan membuat Kam Hong-ti tidak senang dan memandang rendah terhadapnya.

   Yang terucap hanyalah.

   "Kita pikul kewajiban berat ini bersama-sama. Bukan rakyat Han saja yang jemu dengan permusuhan, tetapi Juga kami, orang Manchu. Orang Han dan orang Manchu sama-sama sudah kehilangan terlalu banyak dalam permusuhan yang tak berguna bagi kedua belah pihak selama ini."

   Kedua orang itu kemudian mulai memeriksa mayat-mayat para Pembunuh bayaran itu, untuk mencari tanda-tanda siapa yang menyuruh mereka.

   Tapi tidak diketemukan tanda atau ciri apapun yang bisa menyingkap siapa yang membayar mereka.

   Hanya satu yang pasti, kelompok pembunuh terkenal itu tidak mungkin bergerak sendiri, sebab mereka hanya membunuh demi uang, itu sudah diketahui umum oleh dunia persilatan.

   "Percuma biarpun kita telanjangi mereka, saudara Kam,"

   Kata In Ceng.

   "Tapi asal kau tahu saja, nyawaku ini tergantung di selembar rambut".

   "Asal kau tetap berdiri diatas cita- citamu, aku akan selalu bersamamu, saudara In". Matahari telah turun semakin rendah di cakrawala barat, cahayanya membuat lereng gunung Hong-hong-nia berwarna coklat bercampur merah. Kedua sahabat itupun berjalan berdampingan meninggalkan tempat itu dengan langkah tegap. **OZ** BAGIAN DELAPANBELAS Puri Keluarga Sebun di sebelah selatan, di luar tembok kota kecil Se-shia. Sebun Him, si kepala keluarga, yang sedang menikmati bunga di kebun samping, menolehkan wajahnya ketika mendengar langkah-langkah mendekatinya. Sebun Hiong, anak laki-lakinya, berjalan ke arahnya dengan sikap sopan dan amat tertib. Sesuai dengan ajarannya yang selalu dijejalkan ke otak anak- anaknya, begitulah seharusnya sikap anggota Sebuah keluarga terpandang. Seujung rambutpun seisi rumahnya tidak boleh keluar dari garis tata-tertib yang sudah digariskan.

   "Ada yang ingin kau bicarakan, A- Hiong?"

   "Hanya akan melapokan, ayah. Orang itu sudah sadar dari pingsannya mungkin sudah bisa ditanyai sedikit-sedikit", sahut Sebun Hiong.

   "Apakah dia masih mengamuk dan meraung-raung seperti anjing gila?"

   "Aneh sekali bahwa dia bersikap tenang dan membawa sikap sopan-santun seolah ia berasal dari sebuah keluarga yang terdidik dengan baik,"

   Sahut anaknya.

   "Agaknya penyakit gilanya itu hanya kambuh sesaat- sesaat saja ".

   "Mari kita lihat". Ayah dan anak itu melangkah bersama menuju ke bagian belakang puri keluarga itu, pegawai-pegawai yang berpapasan dengan mereka selalu membungkuk hormat dengan sikap resmi. Seandainya dalam sehari si pegawai berpapasan dengan majikannya delapanpuluh enam kali , maka delapanpuluh enam kali pula mereka harus menghormat seperti itu. Tidak diperkenankan hanya delapanpuluh lima kali. Dimana-mana tidak ada suara orang bergurau, semuanya serba resmi. Ingin kentut pun harus tunduk kepada pasal empatbelas ayat sebelas Peraturan Keluarga Sebun, kentut secara resmi dan sopan, dilarang sembarangan.

   "Ayah..."

   "Hem?"

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ingat bagaimana keadaan mayat Ketua Pek-kiam-pai Ko Jun-lim beberapa waktu yang lalu?"

   "Ya, tubuhnya seperti dirobek-robek binatang buas, kasihan. Tapi salahnya sendiri, sudah aman di rumah ini, kenapa harus menyelundup keluar rumah, malah dengan kelakuan mirip maling pula? Padahal sudah kuperingatkan bahwa keadaan di luar rumah masih berbahaya dengan berkeliarannya orang-orang Hek-eng-po...."

   "Kenapa ia berbuat demikian, ayah?"

   Sebun Him mengangkat pundaknya dengan sikap dingin.

   "Mana aku tahu? Kalau merasa tidak senang di rumah ini. kenapa tidak bicara terang-terangan saja? Memangnya kita akan ngotot menahan orang yang tidak betah di sini? Tapi, daripada lewat pintu gerbang dan diantar dengan penuh kehormatan, dia lebih suka memilih lewat lubang kakus. Entah apa maksudnya. Eh, kenapa mendadak kau tanyakan kematian orang tua itu?"

   "Karena aku ingat keadaan mayat orang tua itu, dan timbul dugaanku bahwa yang membunuhnya adalah... pemuda gila yang aku temukan bersama Pakkiong Eng."

   "Bagaimana kau bisa menduga begitu?"

   "Karena pemuda gila itu berkelahi dengan gaya merobek dan mencengkeram yang keji sekali. Aku tidak kalah bertempur melawannya, tapi untuk bisa menangkapnya hidup-hidup seperti saat ini, aku terang takkan mampu kalau tidak dibantu gadis tamu kita itu". Di bagian belakang, mereka tiba di sebuah ruangan yang dulunya ditempati Ko Jun-lim ketika berada di rumah Keluarga Sebun itu. Begitu Sebun Him dan Sebuh Hiong masuk, dilihatnya pemuda "gila"

   Yang ditangkap Sebun Hiong itu tengah duduk termangu di pinggir tempat tidur.

   Pakaiannya masih saja pakaiannya yang dekil dan compang-camping.

   Namun ketika berhadapan dengan Sebun Him, ternyata ia membawakan sikap sebuah keluarga terhormat.

   Ia berdiri, memberi hormat, dan berkata dengan halus .

   "Aku Liu Jing-yang mengucapk terima kasih kepada Taihiap. Nyawaku telah ditolong oleh putera Taihiap ketika aku hampir mati dikeroyok orang-orang itu. Aku juga minta maaf kepada Sebun Kongcu bahwa ketika itu dalam keadaan tidak sadar aku telah menyerang Kongcu, untunglah Kongcu berilmu tinggi sehingga bisa menyelamatkan dirinya sendiri". Sebun Him kini percaya penuturan anaknya tadi. Tetapi yang menarik perhatiannya adalah she Liu yang dipakai oleh pemuda "gila"

   Itu. Lebih dulu Sebun Him duduk di kursi yang diambilkan oleh anaknya, lalu bertanya.

   "Kau she Liu? Apakah ada hubungan dengan Keluarga Liu dari Ho-lam?"

   Jika tidak sedang terpengaruh pelajaran ilmu sesat yang tercantum dalam gulungan kulit, Liu Jing-yang adala seorang yang waras seratus persen, otaknya bekerja dengan baik.

   Karena itu begitu mendengar Sebun Him menanyakan tentang Liu-keh-chung, ia terkesiap dan ragu-ragu apakah harus berterus-terang atau berbohong? Ia ingat kehancuran Liu-keh-chung gara-gara pihak- pihak luar yang memperebutkan gulungan kulit itu,sampai Ko Jun-lim yang dianggap sanak sendiri pun ternyata juga ikut komplotan memperebutkan benda itu.

   Kini Sebun Him menanyainya, apakah pendekar ini diam-diam juga menginginkan gulungan itu? "Kenapa kau ragu-ragu menjawab?"

   "Eh...ya...aku...aku memang berasal dari Keluarga Liu di Ho-lam, yang telah tertumpas habis oleh Hek-eng-po". Sambil berkata demikian, diam-diam Liu Jing-yang merasakan bahwa gulungan kulit yang selalu disimpannya di balik baju itu sudah tidak ada di tempatnya.Tentunya sudah diambil orang-orang Keluarga Sebun ketika dia pingsan tadi, Namun dia tidak berani bertindak gegabah di hadapan ayah dan anak itu. Sejak masih di Liu-keh-chung, Liu Jing- yang sudah mendengar nama besar Keluarga Sebun di dunia persilatan. Bahkan, dalam pikiran waras Liu Jing-yang timbul gagasan, alangkah baiknya kalau ia bisa memanfaatkan Keluarga Sebun untuk membalaskan. dendam keluarganya sendiri. Sebab ia sudah mendengar pula Hek-eng-po konon segan kepada Keluarga Sebun ini. Karena itu Liu Jing-yang bertekad lebih baik kehilangan gulungan kulit itu daripada kehilangan kesempatan untuk bergabung dengan Keluarga Sebun. Mungkin ia akan beruntung bisa menjadi murid Sebun Him dan mewarisi ilmunya yang tinggi, daripada mempelajari ilmu gila dalam gulungan kulit yang setiap saat merubahnya menjadi binatang buas. Tak terduga, pada saat ia sudah rela kehilangan benda itu, malah dilihatnya Sebun Him mengeluarkan gulungan kulit itu dari dalam jubahnya, untuk disodorkan kepadanya.

   "Terimalah kembali benda kepunyaanmu ini. Maaf kalau aku tadi mengambilnya dari tubuhmu dan membacanya sedikit ketika kau masih pingsan". Diam-diam Liu Jing-yang membatin, orang lain tidak segan-segan menumpahkan darah, merampok, menipu, berkhianat, untuk mendapatkan benda itu, tetapi Sebun Him yang sudah mengantonginya dengan gampang itu malah mengembalikan kepadanya? "Taihiap...Taihiap tidak...menginginkan gu..."

   "Hem, dengan ilmu aliran lurus yang aku miliki ini sudah cukup untuk malang- melintang di dunia persilatan, buat apa aku ingini ilmu kaum iblis yang kotor ini?"

   Sebun Him mendengus congkak.

   "Aku juga tidak mengingini merebutnya daripadamu. Tapi kalau aku boleh usul kepadamu, jangan kau teruskan mempelajari ilmu sesat ini. Bisa merusak tubuhmu sendiri". Liu Jing-yang sendiri ingat betul betapa menderitanya dirinya setiap kali habis mempelajari jurus-jurus dalam gulungan kulit itu. Timbul semacam naluri binatang buas yang harus disalurkan dengn membunuh dan merobek-robek tubuh manusia hidup, tanpa alasan apapun. Sering dia rindu untuk bebas dari naluri aneh itu, namun dia tidak tahu caranya, bahkan makin lama ia terdorong untuk semakin jauh mendalami ilmu sesat itu karena rasa ketagihan. Seperti orang minum candu. Karena pertimbangan "rela kehilangan yang kurang berharga untuk mendapatkan yang lebih berharga"

   Itulah maka Liu Jing-yang tidak segera mengulurkan tangan untuk menerima gulungan kulit itu. Ia malah berlutut dan berkata.

   "Sebun Taihiap, kitab itu memang telah membawa malapetaka bagi keluargaku, bahkan aku yang mencoba mempelajari isinya pun menjadi seperti orang gila macam ini. Karena itu, aku tidak menginginkan kembali kitab itu, kalau Taihiap ingin memusnahkannya, aku tidak keberatan."

   Sesaat Sebun Him mengamat-amati gulungan yang terpegang di tangannya itu sambil menarik napas beberapa kali. Akhirnya ia masukkan gulungan itu ke jubahnya kembali, sambil berkata.

   "Entah berapa banyak nyawa melayang gara-gara berebut kitab ini dan kini benda ini seolah datang sendiri ke tanganku. Hem, tapi biarlah aku menyimpannya di tempat aman...

   "

   Lalu ia berganti-ganti memandang Sebun Hiong dan Liu Jing-yang dan berkata dengan nada yang ditekankan.

   "Dan kalian harus menutup mulut supaya orang-orang serakah tidak berbondong-bondong datang mengganggu ketentraman rumah ini. Aku sendiri menyimpannya bukan untuk dipelajari, aku tidak mau mempelajari ilmu kotor ini, tapi hanya untuk disimpan. Barangkali dalam pertemuanku pertengahan tahun mendatang dengan Pun-bu Hweshio dan Ketua Hwe-liong- pang di Siong-san, kami bertiga akan membahas isinya".

   "

   Apapun yang akan Taihiap lakukan, terserah kepada Taihiap saja,"

   Kata Liu Jing- yang sambil tetap berlutut.

   "Tetapi aku ada sebuah permohonan kepada Taihiap..."

   "Katakan".

   "Sudah lama aku mendengar nama Keluarga Sebun bukan saja sebagai keluarga yang memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi juga luhur budi dan suka menolong. Aku mohon agar Taihiap sudi menolong menyembuhkan penyakit anehku ini, kalau tidak, lebih baik aku mati daripada hidup namun setiap saat seolah bisa berubah menjadi binatang buas yang mengerikan..."

   Untuk memberi tekanan kepada permohonannya itu, Liu Jing-yang, si bekas tuan muda yang sangat angkuh dari Liu-keh- chung itu, kini tidak segan-segan menyentuh- nyentuhkan jidatnya ke lantai untuk menyembah Sebun Him.

   Sebun Him membiarkan saja Liu Jing- yang menyembah-nyembahnya, nikmat juga rasanya disembah-sembah orang.

   Mungkin beginikah rasanya kalau ia sudah menjadi Gubernur Siam-sai, kalau Pangeran In Si yang didukungnya sudah berhasil naik Tahta Naga? Seorang gubernur harus tidak canggung disembah bawahannya, dan hal itu harus dibiasakan mulai saat itu! "Hem, Liu Jing-yang, penyakitmu itu gara-gara tenaga dalammu tersesat dalam tubuhmu, tak terkendali sehingga kadang- kadang membuatmu seperti orang gila", katanya.

   "

   Untuk menyembuhkan, kau harus mempelajari tenaga murni Kun-goan-sin-kang (tenaga sakti alam semesta) milik keluarga kami. Dan pelajaran itu, sayang sekali, tidak diajarkan kepada orang luar!"

   Kembali Liu Jing-yang menyembah- nyembah, sampai jidatnya nyeri karena berbenturan dengan lantai berulang-ulang.

   "Tolonglah aku, Taihiap, kalau tidak biarlah aku mati di depan Taihiap..."

   Sebenarnya, cocok dengan apa yang dikehendaki Liu Jing-yang di dalam hatinya, Sebun Him juga ingin menarik Liu Jing-yang ke pihaknya.

   Dilihatnya Liu Jing-yang kelihatannya cerdik dan berbakat, kalau berhasil dididik dengan ilmu silat yang tinggi maka pemuda in akan menjadi semacam alat yang ampuh di tangannya, untuk berbagai keperluan.

   "Liu Jing-yang, untuk mempelajari tenaga murni Kun-goan-sin-kang, ada dua syarat bagimu..."

   Kata Sebun Him dengan suara penuh tekanan.

   "Pertama, kau harus menjadi murid keluarga kami dan berarti harus tunduk kepada perintahku sebagai gurumu, dan Sebun Hiong serta Sebun Giok sebagai kakak-kakak seperguruanmu..."

   "Aku sanggup...aku sanggup...

   "

   "...dan syarat kedua, kau tidak boleh lagi melatih ilmu sesatmu itu, Itu akan mengotori nama Keluarga Sebun yang harum cemerlang di dunia persilatan."

   "Aku sanggup. Tapi kadang-kadang dorongan dalam diriku sulit dikendalikan, memaksa aku melakukan gerakan-gerakan ganas itu dan tentunya berakhir dengan..."

   "Aku sudah memperhitungkan, mulai nanti, kau akan mulai mempelajari cara-cara pengendalian tenaga liarmu itu menurut ajaran Kun-goan-sin-kang".

   "Terima kasih, Suhu. Terimalah hormat muridmu..."

   Kata Liu Jing-yang kegirangan. Langkah pertamanya dalam rencana untuk membonceng dan memanfaatkan wibawa Keluarga Sebun ternyata berlangsung dengan mulus tanpa rintangan yang berarti.. Ia juga memberi hormat kepada Sebun Hiong.

   "Suheng, terimalah hormatku pula". Tanpa prasangka apapun terhadap niat- niat yang berbelit-belit di hati Liu Jing-yang, Sebun Hiong dengan gembira menyambut pula.

   "Terima kasih, Sute. Mudah-mudahan kau sanggup berlatih dengan giat, sehingga kelak dapat ikut menikmati kejayaan keluarga kami yang tengah...

   "

   Sebun Him cepat mengedipkan mata ke arah puteranya, isyarat agar jangan berkata terlalu banyak.

   Meskipun Liu Jing-yang sudah menjadi murid Keluarga Sebun, namun tetap merupakan orang baru, yamg belum pantas tahu semua rahasia Keluarga Sebun.

   Sebun Hiong cepat-cepat membungkam mulutnya dan memaki dirinya sendiri dalam hati atas keteledoran mulutnya.

   Liu Jing-yang sendiri hanya sempat menangkap 'ikut menikmati' kejayaan' itu, namun sudah lebih dari cukup, membuat ia merasa senang karena merasa "tidak salah memilih kereta".

   Hanya saja ia tetap berlutut dan menundukkan kepala, seolah-olah tidak menaruh perhatian terhadap kalimat Sebun Kiong yang terputus itu.

   Yang terdengar di ruangan itu kemudian adalah suara Sebun Him kepala Keluarga.

   "Pelajaran ilmu silat akan aku berikan setelah upacara pengangkatan murid yang akan kita selenggarakan beberapa hari kemudian secara resmi, tapi cara-cara mengendalikan tenaga sebagai upaya penyembuhan boleh kita mulai sekarang juga".

   "Aku menanti petunjuk Suhu ".

   "Jing-yang, apa yang menyebabkan kau setiap kali timbul nalurimu untuk membunuh dan merobek-robek tubuh si korban?"

   Tanya Sebun Him.

   "Itu terjadi setiap kali Tecu melakukan gerakan-gerakan yang diajarkan dalam gulungan kulit itu. Mula-mula darah bergolak tak keruan, dan pada buntutnya aku bertindak seperti binatang buas tanpa terkendali..."

   "Coba kau lakukan sekarang", perintah Sebun Him. Liu Jing-yang menjadi ragu-ragu.

   "Tapi....Tecu kuatir nanti menimbulkan keonaran di tempat yang tenteram ini..."

   "Jangan kuatir. Kaupikir aku tidak sanggup mengatasi kalau kau mengamuk?"

   Kata Sebun Him bernada sombong.

   "Segala macam ilmu iblis mana bisa mengatasi ilmu lurus yang sejati?"

   "Baiklah, Tecu menuruti perintah Suhu..."

   Ruangan itu cukup lebar sehingga mereka tidak perlu ke Lian-bu-thia (bangsal latihan).

   Sebun Him dan Sebun Hiong duduk di pinggir ruangan dan memperhatikan bagaimana Liu Jing-yang melakukan sikap pembukaan, dan mulai dengan jurus-jurusnya.

   Ayah dan anak keluarga Sebun itu diam-diam menilai bahwa jurus-jurus itu memang luar biasa ganas.

   Banyak terdapat gerakan yang agaknya ditujukan untuk mencabut telinga, mencakar mata, menggaruk leher, atau bahkan mementang mulut untuk menggigit ke arah selangkangan! "Benar-benar jurus kotor!"

   Desis Sebun Hiong sambil membuang muka ke arah lain dengan perasaan jijik.

   Sedang dalam pikiran ayahnya timbul semacam pikiran, tapi pikiran itu tidak dikatakan kepada siapapun dan hanya disimpannya sendiri dalam hati.

   Selama bertahun-tahun, dalam setiap pertemuan tahunan untuk membicarakan dan bertanding silat segitiga antara dirinya, Ketua Hwe-liong- pang dan Pun-bu Hweshio, dirinya selalu jatuh urutan nomor tiga.

   Meskipun pertandingan itu bukanlah pi- bu secara terbuka yang ditonton banyak orang, tapi setiap kali Sebun Him merasa malu dan penasaran.

   Timbul pikirannya, barangkali ia akan mengalahkan Ketua Hwe-liong-pang atau pendeta tua Siau-lim-si itu, kalau jurus- jurusnya sendiri dilengkapi dengan jurus-jurus aneh itu.

   Tentu saja harus "dipoles"

   Agar nantinya tidak kelihatan seperti jurus ilmu iblis...

   Belasan jurus kemudian, memang terlihat perubahan sikap Liu Jing-yang ketika memainkan jurus-jurusnya.

   Ia bukan sekedar bergerak dengan tangan, kaki atau bahkan giginya, tapi pandangan matanya mulai kelihatan keruh dan liar.

   Sering ia melakukan gerakan sambil meraung atau menggeram seperti binatang liar.

   Ia mulai terbawa oleh watak ilmunya.

   Ketika ia menghentikan geraknya, keadaannya benar-benar menyeramkan.

   Ia menatap Sebun Him dan Sebun Hiong seperti serigala yang menatap daging segar, dengan air liur menetes-netes di sudut bibirnya.

   Tapi dengan susah payah Liu Jing-yang menahan diri untuk tida menerkam dan merobek manusia-manusia d hadapannya itu.

   Dengan susah payah ia berdesis, 'Suhu....tolong....aku tak tahan..."

   Tubuh Sebun Him mendadak berkelebat cepat ke arah Liu Jing-yang, sepasang telapak tangannya yang seberat gunung itu tahu-tahu sudah menekan sepasang pundak Liu Jing- yang untuk memaksanya berlutut.

   Detik berikutnya, Sebun Him sudah berputar ke belakang tubuh Liu Jing-yang dan sepasang telapak tangannya menekan punggung murid barunya tepat pada urat-urat Hong-bun-hiat dan Sin-to-hiat.

   "Ikuti perintahku, Jing-yang". Perintahnya."Tenangkan pikiranmu, tekan kuat-kuat gejolak hatimu dan kendorkan seluruh tubuh..."

   Waktu itu tubuh dalam Liu Jing-yang sudah seperti ketel air tertutup yang mendidih, siap menjebol tutup ketelnya dengan kekerasan.

   Tapi Liu Jing-yang sekuat tenaga menuruti perintah gurunya, alangkah sulitnya, namun kemudian dipermudah oleh hawa hangat lembut yang memasuki tubuhnya lewat punggung.

   Gejolak dalam tubuhnya pun perlahan-lahan tertindas oleh hawa yang lembut itu.

   "Sekarang salurkan perlahan hawa liarmu itu ke Tan-tian, aku akan membantumu...Yaa begitu. Bagus, teruskan. Jangan pecahkan pemusatan pikiranmu dari Tan-tian..."

   Perlahan-lahan napas Liu Jing-yang yang tadinya seperti angin ribut ini sekarang mereda, meskipun tubuhnya basah kuyup dengan keringat, tapi dorongan hawa liarnya tadi sudah berhasil dikendalikannya.

   Sebun Him berdiri dan mengusap setitik keringat di jidatnya sendiri.

   Katanya.

   "Penyembuhau akan makan waktu agak lama, tapi jangan putus asa. Jangan coba-coba lagi melatih ilmumu itu kalau aku tidak sedang didekatmu, sebab kalau kau sampai tak berhasil mengendalikan diri dan membunuh salah seorang penghuni rumah ini, rusaklah ketentraman rumah ini".

   "Tecu mengerti, Suhu."

   "A-hiong , bawalah Jing-yang menjumpai Koankeh (pengurus. rumah tangga), supaya ia bercukur, membersihkan badan dan mendapat pakaian yang pantas", kata Sebun Him kepada anaknya. Keadaan Liu Jing-yang saat itu memang mirip gelandangan. Pakaiannya compang- camping, rambutnya melekat satu sama lain, sekitar mulutnya ditumbuhi jenggot pendek yang tak tercukur berbulan-bulan. Dan ketika semuanya beres, maka pulihlah Liu Jing-yang menjadi si tuan muda yang tampan, seperti dulu ketika dia sanggup membuat tergila-gila perawan-perawan, janda- janda dan nenek-nenek di seluruh Lok-yang. Namun Liu Jing-yang tidak berani bersikap seenaknya, sebab Sebun-keh-chung bukanlah Liu-keh-chung di mana dia bisa main perintah seenaknya saja. Ia sadar bahwa di Keluarga Sebun itu ia hanyalah seorang murid, kedudukannya masih di bawah Sebun Hiong, dan harus pandai membawa diri agar berhasil mengambil hati keluarga itu. Namun dalam hatinya, Liu Jing-yang kembali telah menyusun sebuah rencana yang rapi untuk menjadi orang nomor satu di keluarga itu. Ambisinya semakin berkobar setelah ia tahu bahwa Keluarga Sebun lebih besar dari Keluarga Liu dalam segala hal. Dalam ilmu silat, pengaruh, dan kekayaannya. Usaha dagang milik keluarga Sebun memiliki cabang di mana-mana. Dan yang paling penting, Liu Jing-yang mendengar bocoran rahasia bahwa Keluarga Sebun juga sedang merintis jalan ke istana, dengan cara bekerja-sama dengan seorang bangsawan, Tit-hun-ong alias Pangeran In-si. Sesungguhnya, Liu Jing-yang yang berotak waras adalah jauh lebih berbahaya dari Liu Jing-yang yang sering mengamuk seperti binatang buas. Liu Jing-yang yang waras dapat dengan cerdiknya menutupi semua ambisinya dengan sikap yang sopan dan lemah-lembut, seperti sering dikatakannya berulang-ulang bahwa kehadirannya di keluarga Sebun hanya sekedar membalas budi kepada Keluarga Sebun yang telah menyembuhkan penyakitnya. Hanya membalas budi dan berbakti dengan "tulus". Langkah pertama dari rencana Liu Jing- yang adalah menggaet Sebun Giok, puteri Sebun Him yang gampang berganti pacar seperti orang berganti baju saja. Sebun Giok sebenarnya sudah mulai jemu kepada pacar terakhirnya, The Kim-hwa, pemuda kota Se- shia, anak laki-laki dari The Tek-kong, pemimpin utama dan pemegang saham terbesar dari Perusahaan pengawalan Hek-hou Piau-tiam. Kehadiran Liu Jing-yang yang lebih tampan, lebih pintar berpura-pura, lebih luas pengetahuannya itu membuat Sebun Giok memandang The Kim-hwa hanya mirip keledai tolol saja, dan semakin menjauhinya. Pakkiong Eng yang menjadi tamu di rumah Keluarga Sebun, melihat perkembangan itu dan diam-diam heran juga, dalam keluarga yang penuh peraturan ketat macam Keluarga Sebun itu toh muncul seorang manusia macam Sebun Giok. Sementara Liu Jing-yang melakukan pendekatan yang rapi terhadap Sebun Giok, maka Pakkiong Eng sendiri sebagai seorang gadis haruslah waspada terhadap pendekatan lainnya yang ditujukan kepadanya. Sebun Hiong yang gagah dan tampan itu semakin sering mengajaknya bicara berdua, entah di taman, entah di ruang latihan, dan sikapnya terhadap Pakkiong Eng semakin tak bisa disembunyikannya. Pakkiong Eng tahu bahwa Sebun Hiong jatuh cinta kepadanya. Kesan Pakkiong Eng sendiri cukup baik atas diri Sebun Hiong, pemuda itu gagah, sopan, tampan dan pintar pula, hanya sering bicara takabur. Namun kesan baik saja belum cukup bagi Pakkiong Eng untuk menjatuhkan pilihannya. Ia ingat tugas yang dibebankan ayahnya ke pundaknya, melacak jejak Pangeran Ke empat yang menghilang dari istana. Dan sudah cukup lama ia melupakan tugas itu karena berdiam teralu lama di rumah Keluarga Sebun. Karena itulah demi tugasnya, juga demi menghindari Sebun Hiong yang dimabuk asmara, Pakkiong Eng akhirnya memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Tapi ia akan berpamitan secara baik-baik, tidak mau menirukan Ko Jun-lim yang merayap lewat lubang kakus. Begitulah, pada suatu kesempatan ia menghadap Sebun Him dan mengatakan niatnya itu.

   "Eh, kenapa Titli (keponakan perempuan) begitu terburu-buru?"

   Kata Sebun Him setelah mendengar permohonan pamit itu.

   "Apakah kau tidak kerasan di rumah ini?"

   Hampir saja Pakkiong Eng menjawab,"Ya, siapa betah tinggal di rumah yang peraturan rumah-tangganya sepuluh kali lebih ketat dari tangsi tentara ini?". Namun yang terluncur dari bibirnya adalah kalimat lain yang diucapkan sambil tersenyum ramah.

   "Paman, rumah ini membuatku sangat betah seperti di rumah sendiri. Tapi aku masih mengemban tugas dari ayahku yang belum selesai kujalankan..."

   Pakkiong Eng menyesal karena terlanjur mengucapkan kata-kata itu, namun jelas tak bisa ditarik kembali.

   "Kalau sang jenderal besar Pakkiong Liong sampai menyuruh puterinya sendiri untuk ikut memikul tugas, tentu tugas itu bukan urusan remeh", kata Sebun Him sambil tertawa.

   "Kalau Titli tidak keberatan memberitahu aku, tenagaku dan orang- orangku yang tidak seberapa ini mungkin bisa membantu..."

   Sebetulnya dalam hati Sebun Him sudah tahu bahwa yang sedang dilacak jejaknya oleh puteri si Naga Utara ini tentu Pangeran In Ceng, sasaran yang sama dengan yang sedang diincar oleh Sebun Him pula.

   Hanya, Salebun Him ingin tahu siapa yang ada di belakang Pakkiong Eng? Pangeran yang mana? Ia berharap dalam tanya jawab dengan Pakkiong Eng maka hal itu akan dikoreknya.

   Sahut Pakkiong Eng.

   "Tidak perlu repotkan paman dan rekan-rekan lainnya, sebab tugasku ini tidak berat, sekalian bertamasya melihat tempat-tempat yang jauh dari Pak-khia". Sebun Him menggerutu dalam hati karena Pakkiong Eng tidak mau berterus terang, namun ia tidak ngotot memancing keterangan sebab itu bukan hal penting. Biarpun samar-samar, siapapun tahu bahwa Pakkong Liong di Pak-khia berhubungan paling dekat dengan.. Pangeran In Te, Pangeran Ke empatbelas. Dengan demikian dapatlah dianggap bahwa untuk sementara waktu, Pakkiong Eng bukan musuh langsung, tetapi saingan secara tidak langsung, sebab Keluarga Sebun mendukung Pangeran In Si yang punya gelar kebangsawanan Tit-hun-ong. Pakkiong Eng lalu berpamitan pula dengan isteri Sebun Him yang semacam gentong raksasa namun seluruh tubuhnya penuh perhiasan mahal. Berpamitan pula dengan Sebun Hiong, Sebun Giok, Liu Jing- yang serta beberapa pegawai Keluarga Sebun yang selama ini berhubungan baik dengannya. Ketika Pakkiong Eng sudah menuntun si Salju Terbang sampai ke anak tangga terbawah dari pintu gerbang rumah besar itu, Sebun Hiong tiba-tiba menyusulnya dengan menuntun kuda hitamnya yang diberi nama si Angin Hitam.

   "Nona Pakkiong, eh...bolehkah aku memanggllmu Eng-moai (adik Eng) saja, agar lebih akrab?"

   Kata Sebun Hiong agak tersipu- sipu, sambil mempercepat langkahnya untuk mendampingi Pakkiong Eng.

   "Eng-moai, bolehkah aku...aku mengantarmu barang beberapa li?"

   "Kalau tidak merepotkan Toako, boleh saja,"

   Sahut Pakkiong Eng sambil tersenyum.

   Melihat senyuman si "puteri naga", Sebun Hiong hatinya serasa dihanyutkan ke dunia impian yang serba sempurna.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Alangkah cantiknya, beruntunglah nasibnya kalau berhasil memetik kembang itu.

   Keduanya berkuda berdampingan dan sama-sama dijalankan dengan perlahan, Sebun Hiong yang biasanya pintar bicara, kini mendadak menjadi kaku dan canggung.

   Rupanya ia sedang mempersiapkan diri untuk mengucapkan kata-kata yang bakal menjadi kata-kata bersejarah bagi hidupnya .Dan tak terasa tiga li sudah dilewati, di pinggir jalan sudah terlihat tugu besar yang menjadi tanda batas pemilikan tanah Keluarga Sebun.

   Saat itulah Sebun Hiong merasa bahwa apa yang akan diucapkannya tidak boleh ditunda lagi.

   "Nona Eng...eh, Eng-moai..."

   Kegugupannya ternyata menular pula kepada lawan bicaranya.

   "A...ada apa, Toako?"

   "Setelah perpisahan ini, mungkinkah kita bisa bertemu lagi?"

   "Tentu saja, apa susahnya? Kau sudah tahu alamatku di Pak-khia dan akupun tahu rumahmu", sahut Pakkiong Eng yang berangsur-angsur mulai tenang.

   "Aku selalu gembira untuk bertemu dengan sahabat- sahabatku...."

   "Aku...aku juga kau anggap sebagai sahabatmu?"

   "Tentu saja, sahabat baik".

   "Em...hanya sahabat baik saja?"

   Sebun Hiong mengucapkan kata-kata itu dengan punggung basah keringat dingin, menanti entah bagaimana jawabannya.

   "Apa maksudmu, Toako?"

   "Eng-moai, aku ...sebenarnya...eh, tidakkah selama ini kau menangkap perasaanku yang sebenarnya terhadapmu? Eh, maksudku...tidakkah persahabatan baik kita ini bisa ditingkatkan lebih...kokoh lagi?"

   Biarpun sejak semula Pakkiong Eng sudah siap mendengar pernyataan macam itu, tak urung hatinya tergetar juga mendengarnya dan wajahnyapun menjadi merah dari leher sampai ke kupingnya.

   Sesaat ia menundukkan kepala, dan Sebun Hiong terpesona mengagumi wajah yang indah itu, dengan rambut-rambut halus di kening dan di tengkuk yang bergerak-gerak dihembus angin.

   Tetapi jawaban Pakkiong Eng membuatnya tersentak lepas dari angan-angan surgawi yang sedang dirajutnya.

   "Toako, usia kita masih muda, rasanya terlalu pagi untuk membicarakan hal itu. Kita ini pendekar, masih banyak yang harus kita lakukan demi kesejahteraan umat manusia, demi kejayaan negeri, apakah kita akan mendahulukan kepentingan pribadi di atas tugas-tugas kependekaran kita?"

   "Hanya seorang rahib atau imam yang tidak memikirkan soal ini, Eng-moai. Dan bukankah banyak pendekar-pendekar dunia persilatan di jaman ini yang berhasil menjalankan sekaligus kehidupan pribadi dan tugas-tugas kependekaran mereka? Keduanya berjalan sejajar dan tidak saling mengganggu. Contohnya adalah ayahku, ayahmu sendiri, Ketua Hwe-liong-pang, dan beratus-ratus contoh lainnya..."

   Kata Sebun Hiong.

   "Kalau kau mau menerima aku, aku juga tidak bermaksud ...eh, menikah dalam waktu dekat. Tapi...bisakah aku mendapat janji dari mulutmu sendiri?"

   Jantung Sebun Hiong berdenyut keras ketika mendengar jawaban Pakkiong Eng.

   "

   Maaf, Toako, untuk mengucapkan janji itu, aku harus mendalami lebih dulu perasaanku sendiri. Selama ini aku mengaggap Toako sebagai kakakku sendiri, dan belum pernah timbul pikiran tentang...pernikahan itu...."

   Sebenarnya Pakkiong Eng kasihan juga melihat Sebun Hiong yang kelihatan amat terpukul perasaannya, sampai mukanya memucat.

   Kesannya terhadap Sebun Hiong juga baik, dia adalah seorang pemuda yang nyaris sempurna, tapi Pakkiong Eng tidak ingin mengikat dirinya sendiri dengan janji itu, juga tidak bisa mengingkari perasaannya sendiri bahwa Sebun Hiong hanyalah terasa sebagai sahabat baik dan tidak lebih dari itu.

   Dan tidak akan menipu Sebun Hiong dengan memberikan janji yang lebih dari itu.

   "Jangan berkecil hati, Toako"

   Pakkiong Eng menghibur. Bahkan tangannya terulur menggenggam telapak tangan Sebun Hiong yang terasa dingin dan basah.

   "Umur kita masih panjang, jangan biarkan diri kita menjadi selemah orang lain. Ingatlah bahwa kau adalah putera Keluarga Sebun yang perkasa..."

   "Selamat jalan, Eng-moai, mudah- mudahan kau selamat dalam perjalanan."

   Kata Sebun Hiong sambil merenggut telapak tangannya dari genggaman Pakkiong Eng yang hangat.

   "Ketahui satu hal lagi, perasaanku terhadapmu tidak akan berubah selama nyawaku masih ada dalam tubuh."

   Lalu ia membalikkan si Angin Hitam dan memacunya kencang-kencang kembali ke rumah Keluarga Sebun. Pakkiong Eng menatap punggung sahabatnya itu sampai lenyap dari pandangan sambil menarik napas berulang kali. Gumamnya sendiri.

   "Semoga kau kelak meemukan kebahagiaan, sahabatku..."

   Ia tahu betul, watak Sebun Hiong jauh berbeda dengan watak adik perempuannya, Sebun Giok, gadis yang konon sudah berganti pacar sebelas kali, dan yang ke dua belas agaknya adalah Liu Jing-yang.

   Sedangkan Sebun Hiong adalah orang yang memandang segala soal terlalu bersungguh-sungguh, terlalu banyak mengerutkan kening dan bersikap ketua-tuaan.

   Pakkiong Eng tahu bahwa percakapannya tadi tak akan gampang terhapus dari jiwa Sebun Hiong, namun ia berharap mudah-mudahan lama-kelamaan Sebun Hiong akan melupakannya.

   Terlalu sayang seorang pendekar muda semacamnya kalau sampai mengalami keruntuhan hanya gara-gara patah cinta.

   Kini Pakkiong Eng memacu kuda Putihnya ke arah timur.

   Pek-ma Tok-hing (Kelana Tunggal Berkuda Putih) kembal berkelana, dengan kuda putihnya, pakaian putihnya, pedangnya yang bersarung dan beronce putih, panahnya yang berekor putih, seperti malaikat yang turun dari langit dengan tugas membasmi kaum iblis pengacau dunia.

   Dari percakapannya dengan Liu Jing- yang di rumah Keluarga Sebun, Pakkio Eng mendengar jejak "Si Liong-cu"

   Yang bahkan pernah bertempur dengan Liu Jing-yang.

   Pakkiong Eng yakin bahwa Liong-cu itulah sebenarnya Pangeran In Ceng yang sedang dicari jejaknya.

   Kini ia memacu kudanya ke arah yang diceritakan Liu Jing-yang tersebut.

   **OZ** BAGIAN SEMBILANBELAS Beberapa hari kemudian, Pakkio Eng sudah memasuki perbatasan propinsi Kam- siok.

   Propinsi yang sebagian penduduknya beragama Islam itu sedang dalam suasana luar biasa, di mana-mana kelihatan orang menyembelih ternak kecuali babi, yang dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin.

   Itulah hari raya Kiao-kai-cai, hari raya kurban bagi orang Muslim.

   Sambil berkuda perlahan, Pakkiong Eng melihat di mana-mana yang terlihat hanya wajah-wajah yang berseri.

   Kaum miskin yang biasanya merasa terbuang, hari itu serasa menemukan kembali saudara-saudara mereka dalam persaudaraan besar umat manusia.

   Asal manusia suka melaksanakan Amanat Agung itu, tidak akan ada yang terbuang.

   Penduduk Kam-siok juga memeluk agama-agama besar lain, Buddha yang masuk dari Tibet, agama To, dan Nasrani sekte Nestorian yang dibawa orang-orang Mongol Utara sejak jaman dinasti Tong-tiau (624-907 Masehi).

   Namun dalam hari raya Muslim itu toh perbedaan menjadi kabur, semua bersuka-ria bersama dan saling mengucapkan selamat.

   Ketika merasa perutnya mulai keroncongan, Pakkiong Eng justru mencium daging kambing panggang dari sebuah warung di pinggir jalan.

   Sebuah warung yang dibuka seorang suku Hui yang khas dengan topi bundarnya yang putih.

   Pakkiong Eng menambatkan kuda di depan pintu, lalu masuk ke dalam warung.

   Bau kambing bakar dengan asapnya yang memedihkan mata terasa sekali di ruangan itu, hampir saja Pakkiong Eng tidak kebagian tempat duduk, namun akhirnya mendapatkan juga dibagian yang paling tidak enak.

   Dekat perapian ditumpukan kaki kambing yang sudah terpotong-potong.

   Itupun ia harus duduk semeja dengan dua lelaki kasar yang makan dengan mulut bersuara keras.

   Tak lama kemudian di hadapan Pakkiong Eng juga telah tersedia sepiring daging kambing bakar yang dipotong-potong, baunya memang sedap, bercampur bau bawang, membuat air liur Pakkiong Eng hampir menetes.

   Tidak ada sumpit, jadi Pakkiong Eng harus makan dengan tangan seperti orang- orang lainnya.

   Tengah suasana ribut dengan tamu- tamu yang datang dan pergi, mendadak terjadi ribut-ribut di pintu.

   Muncul dua orang tamu yang dengan seenaknya saja mendesak tamu- tamu lainnya.

   Seorang tua berjenggot panjang dan bermata seperti burung elang, dan seorang pemuda yang memanggul golok bersarung.

   Ketika melihat tempat itu sudah penuh, si Orang tua mencengkeram tengkuk sekelompok tamu-tamu yang sedang mengelilingi sebuah meja, dan merekapun dilempar-lemparkan keluar lewat jendela.

   Lalu si pemuda dengan kasar menyapukan goloknya ke permukaan meja sehingga mangkuk- mangkuk bekas makan tamu-tamu sebelumnya tersapu ke lantai semuanya.

   Kekasaran dan kesewenang-wenangan kedua tamu itu membuat tamu-tamu lainnya marah.

   Beberapa orang tamu yang bertubuh kekar segera menggulung lengan baju untuk menghajar kedua tetamu kurang ajar itu.

   Mereka marah karena ada orang mengacau suasana gembira pada hari raya itu.

   Namun ketika si pemuda menghunus goloknya dan menggerakkan goloknya beberapa kali di udara dengan gerakan kilat, sehingga menimbulkan cahaya perak berkilauan, maka orang-orang yang hendak mengeroyok itu mundur semuanya dengan wajah pucat karena kaget.

   Dengan congkak pemuda itu menyarungkan kembali goloknya sambil tertawa dingin.

   "Nah, siapa yang sudah. bosan punya kepala, silahkan maju...."

   Orang-orang itu hanyalah petani-petani yang sama sekali tak paham ilmu silat, keruan saja gertakan itu membuat mereka membatalkan niat mereka. Merasa menang di atas angin, si pemuda semakin congkak. Sambil menggebrak meja dia berteriak.

   "Mana pemilik rumah makan ini?! Guruku ingin minum arak dan makan daging babi panggang, cepat sediakan!"

   Pemilik rumah makan suku Hui itu menjawab.

   "Harap tuan-tuan maafkan, agama kami melarang makan daging babi dan minum arak sehingga kamipun tidak menyediakan di sini. Kalau tuan-tuan mau, daging kambing panggang kamipun cukup terkenal kelezatannya sampai berpuluh-puluh li dari sini, kami akan memasakkan untuk...."

   "Kalau aku bilang daging babi ya daging babi!"

   Bentak tamu muda yang garang itu, sambil melolos separuh goloknya.

   "Kalau tidak ada, sembelih saja salah seorang tamu di sini, daging manusiapun kami doyan!"

   Sikap sewenang-wenang itu tentu saja membuat orang-orang lain tidak puas, bahkan juga mereka yang tidak beragama Islam. Pakkiong Eng yang duduk di pojokan itu tak tahan lagi berkata nyaring.

   "Benar-benar tak kenal aturan!"

   Semua mata serentak menoleh ke arah Pakkiong Eng, dan semuanyapun heran ketika melihat orang yang berani berbicara itu hanyalah seorang "pemuda"

   Yang begitu lembut sehingga "mirip perempuan", tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya Pakiong Eng memang seorang gadis yang menyamar sebagai lelaki.

   Tetamu tua dan muda yang garang itupun memperhatikan Pakkiong Eng.

   Tiba-tiba terdengar orang tua itu berkata dingin.

   "Hem, melihat dandananmu, tentunya kau adalah Pek-ma Tokhing Kiong Eng yang sudah beberapa kali berani menghalangi tindakan orang-orang Hek-eng-po kami?"

   Dengan gaya yang menyolok, sengaja Pakkiong Eng meletakkan pedang dan sarungnya keras-keras ke meja di depannya.

   Tapi diam-diam ia terkejut juga melihat mata orang tua itu demikian tajamnya, menandakan tingkatan tenaga dalam yang tinggi.

   Hanya saja, sekali Pakkiong Eng bertekad memerangi kesewenang-wenangan, dia tidak akan mundur setapakpun biarpun menghadapi setan iblis dari neraka.

   "Jadi kalian iblis-iblis Hek-eng-po? Hem, gaya kalian di mana-mana selalu sama saja, sewenang-wenang, seolah-olah kalianlah jagoan-jagoan nomor satu di jagad ini. Tapi ketahuilah, biarpun yang namanya Lo-san Sukoai (empat siluman lo-san) juga sudah pernah kuhajar kalang-kabut!"

   Pakkiong Eng masih saja menyebut Sukoai, tidak tahu kalau mereka sudah menjadi Sam-koai (tiga siluman) karena matinya Gip-hiat-koai Pek Hong-teng.

   Sedang tiga orang yang masih hidup pun sudah dicacadkan tangan kanan masing-masing oleh In Ceng dan Kam Hong-ti.

   Orang tua bermata tajam itu tertawa seram.

   "Bocah ingusan yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Kau kira dengan mengalahkan keempat keponakan muridku yang cengeng itu lalu kau anggap semua orang Hek-eng-po sudah berhasil kau kalahkan? Hem, sial sekali hari ini kau bertemu denganku!"

   Kata-kata "keempat keponakan muridku"

   Itu membuat Pakkiong Eng terkejut.

   Kalau begitu, orang tua ini adalah paman guru dari keempat siluman itu, kepandaiannya tentu jauh diatas Wan Po dan adik-adik seperguruannya.

   Memang betul, orang tua itu bukan lain adalah Jiat-jiu Lokoai (siluman tua bertangan maut), sedang anak muda yang bersamanya itu adalah muridnya, Ho Hong, yang julukannya mirip dengan gurunya, yaitu Jiat-jiu Longkun (si tampan bertangan maut) yang tingkat kepandaiannya malah lebih tangguh dari masing- masing orang dalam Lo-san Sam- koai.

   Sadarlah Pakkiong Eng bahwa kalau terjadi benturan, maka dirinyalah yang berada di tempat lemah, terang tidak bisa mengimbangi kekuatan lawan, Bahkan untuk kabur saja mungkin juga sulit, tapi Pakkiong Eng tak sudi melangkah mundur.

   Sedang pihak Jiat-jiu Lokoai dan muridnya, bantahan Pakkiong Eng yang hanya beberapa patah kata tadi sudah bisa dianggap dosa tak berampun.

   Yang berani membantah mereka harus ditumpas, demi menjaga "kebesaran nama"

   Mereka. Ho Hong segera menghunus goloknya, katanya.

   "Suhu, biar aku bereskan bocah bermulut besar itu".

   "Baik, hati-hatilah. Suheng-suhengmu pernah dikalahkan olehnya".

   "Hem, Suheng Wan Po dan lainnya itu manusia-manusia tidak berguna, jangan dijadikan ukuran...."

   Waktu itu Pakkiong Eng sudah menghunus pedangnya pula, namun masih sempat berkata.

   "Kalau ingin dihajar, mari kita keluar warung dulu, jangan merusakkan barang-barang milik orang yang tidak bersalah!"

   Waktu itu orang-orang di dalam warung kambing panggang itu sudah berhamburan keluar karena tahu perkelahian tak mungkin dihindari, dan mereka tidak ingin menjadi sasaran pedang atau golok.

   Pemilik warung suku Hui itupun mengeluh dalam hati, habis berantakanlah warungnya kalau dipakai sebagai arena pertempuran.

   Kekuatiran si pemilik warung menjadi kenyataan ketika mendengar Ho Hong berteriak.

   "Hem, aku justru ingin menghancurkan warung miskin ini, takkan ada yang bisa menghalangi kami! Kau mau apa?!"

   Lalu ia mengayun-ayunkan goloknya kian kemari, menghancurkan meja, kursi, piring, mangkuk dan perabotan lainnya.

   Sedang gurunya tenang-tenang saja di tempat duduknya, membiarkan sang murid menunjukkan "kegagahan"nya.

   Malah kelihatan Jiat-jiu Lokoai ikut bangga dengan ulah muridnya itu.

   Pakkiong Eng habis kesabarannya.Secepat kilat ia melompati meja di depannya, tubuhnya meluncur bersamaan dengan ujung pedangnya gemerlap ke arah leher Ho Hong dengan jurus Jiau-hu-mi-loh (tukang kayu menanyakan jalan).

   Kecepatan Pakkiong Eng cukup mengejutkan Ho Hong, tetapi.murid Jiat-jiu Lokoai inipun tangkas sekali menekuk kaki belakangnya sambil melakukan gerak Hong- kui-lok-hoa (angin meniup bunga rontok) untuk menangkis pedang dan sekaligus membacok.

   Pakkiong Eng merasa lengannya bergetar ketika pedangnya membentur senjata musuh, dalam sedetik saja dia sudah bisa menaksir bahwa lawannya yang tampan itu agaknya memang lebih lihai dari kawanan Lo- san Su-koai, bahkan lebih lihai dari Wan Po si Siluman Lengan Besi yang paling tangguh dari keempat orang itu.

   Ia tahu, untuk selanjutnya tidak boleh gegabah dengan mengajak adu tenaga.

   Lincah sekali Pakkiong Eng melejit ke samping, pedangnya dibiarkan terpental, tapi dari samping langsung digerakkan dengan tipu Ki-eng-keng-ih (elang menyisik bulu) untuk menebas turun ke lengan Ho Hong, memaksa Ho Hong-mundur selangkah namun kemudian kembali menyerbu ke depan dengan ganasnya.

   Begitulah, di dalam warung yang tidak seberapa lebar itu berlangsung pertempuran sengit.

   Potongan meja dan kursi, pecahan mangkuk dan bahkan daging kambing bakar beterbangan karena tersambar orang-orang yang bertempur itu.

   Pakkiong Eng yang merasa kalah tenaga, menganggap bahwa tempat yang sempit itu kurang menguntungkan baginya, ia tidak leluasa mengembangkan kelincahannya.

   Putaran golok Ho Hong begitu kencang dan menghabiskan tempat, tidak memberi kesempatan lawannya untuk mendapat tempat berpijak sejengkalpun.

   Karena itu, Pakkiong Eng mulai mencari-cari kesempatan untuk keluar dari tempat itu.

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan dalam pertarungan di luar nanti, Pakkiong Eng pun sadar bahwa untuk mengalahkan lawannya tentu diperlukan seratus jurus lebih.

   Lawan begitu tangguh, apalagi ditunggui gurunya yang pasti tidak akan terlawan oleh Pakkiong Eng, sama pastinya dengan dua kali dua sama dengan empat.

   Ketika Ho Hong menyerbu dengan Long-ki-thian-ge (ombak mendampar cakrawala) yang sangat bertenaga, dengan cerdik Pakkiong Eng menempel pedangnya dan menyeret serangan lawan searah dengan arah serangannya sendiri, itulah tipu Sun-cui-tui-ciu (mendorong perahu searah arus air).

   Dan sebelum sempat Hi Hong melepaskan pedangnya, kaki Pakkiong Eng menendang sepotong tulang kambing yang tergeletak di lantai dan meluncur ke muka Ho Hong.

   Saat Ho Hong gugup menghindari "piau"

   Itulah Pakkiong Eng melompat keluar lewat jendela, selincah burung walet. Ia tidak berani keluar lewat pintu, sebab Jiat-jiu Lokoai duduk dekat pintu dengan angkernya seperti Toa-pek- kong di kuil.

   "He, bangsat! Susul aku kemari kalau kau betul-betul berani!"

   Pakkiong Eng melambai dari halaman warung sambil menantang. Seperti kerbau mabuk, Ho Hong menerjang keluar sambil memutar goloknya. Sempat juga didengarnya suara gurunya menyusup di telinganya.

   "Hati-hati, jangan terpancing oleh bangsat cilik itu...."

   Namun tak dihiraukannya karena kemarahanya.

   Pertempuran pun berpindah ke luar warung, di sebuah halaman yang luas dan ditonton oleh banyak orang karena tempat itu berada di pinggir jalan ramai.

   Dalam pertempuran itu, Pakkiong Eng kini sempat mengembangkan permainan pedang Thian-liong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Naga Langit) yang lebih menguntungkan dimainkan di tempat lapang.

   Tubuhnya banyak melakukan gerakan melompat, melejit, atau menyambar seiring gerak pedangnya.

   Ilmu pedang itu sebenarnya berwatak keras, cocok untuk laki-laki, tetapi karena Pakkiong Liong hanya punya seorang anak perempuan, maka terpaksa Thian-liong-kiam-hoat diajarkan juga kepada anak gadisnya itu, dengan mengalami penyesuaian.

   Tekanan pada kekuatan dialihkan kepada unsur kelincahan, sebab Pakkionq Liong yakin bahwa ilmu silat bukanlah ilmu yang mandeg terpancang pada teori-teori belaka, tapi bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.

   Maka arena itupun seolah dipenuhi tubuh Pakkiong Eng yang berlompatan kian kemari dengan lincahnya, seperti sekor lebah beterbangan di antara kuntum-kuntum bunga.

   Sia-sia saja Ho Hong mengamuk dahsyat dengan goloknya, seperti seekor kerbau gila yang tidak mungkin berhasil menyeruduk seeker lebah.

   Goloknya menderu bagaikan badai dan membentuk cahaya putih keperak-perakan yang bergulung melebar kian kemari, dahsyat sekali, tetapi toh hanya berhasil menebas angin dan menghamburkan debu.

   Sebaliknya Pakkiong Eng juga tidak gampang menembus pertahanan Ho Hong yang ketat.

   Hanya saja, tak lama kemudian putaran golok itu mulai kendor karena Ho Hong mengerahkan tenaganya secara berlebihan dan mulai susut kekuatannya.

   Ia basah kuyup dengan keringat.

   Pada waktu itulah Pakkiong Eng sebaliknya malah meningkatkan serangannya.

   Kalau tadi serangan-serangannya hanya bersifat memancing agar Ho Hong mengamuk dan memeras tenaga, maka kini Pakkiong Eng benar-benar berusaha keras menembus pertahanan Ho Hong yang tidak seketat tadi.

   **OZ** Bersambung ke

   Jilid 18 Pojok Dukuh, 07-10-2018; 22.25 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 18 GADIS itu menerjang dengan Pat- hong-hong-i (hujan angin delapan penjuru) yang membuat ujung pedangnya bagaikan siraman butir-butir perak yang menabur ke segenap bagian tubuh lawannya.

   Ho Hong memutar goloknya di depan tubuh menjadi semacam perisai lebar, tetapi Pakkiong Eng secepat kilat melompat melewati cahaya golok dan menyerang dari atas ke arah tubuh Ho Hong di belakang cahaya golok.

   Itulah jurus Thian-liong-jip-hai (naga langit terjun ke laut).

   Ho Hong terkejut dan berusaha menyelamatkan diri dengan menjatuhkan tubuh rata dengan tanah.

   Tapi ujung pedang Pakkiong Eng berhasil membuat goresan panjang dan dalam di lengan kanannya, dari pundak sampai ke punggung telapak tangan.

   Menyusul Pakkiong Eng terjun dari udara dan menyepak pergelangan tangan Ho Hong keras-keras sehingga goloknya terpental lepas.

   Tetapi Pakkiong Eng lupa bahwa di tempat itu masih ada Jiat-jiu Lokoai yang tentu tidak akan membiarkan murid tunggalnya itu dipermalukan di depan umum.

   Ketika Pakkiong Eng hendak melanjutkan serangannya, sebuah mangkuk menyambar dari dalam warung, deras sekali ke arah jidatnya.

   Dalam kagetnya, Pakkiong Eng menundukkan kepala begitu saja, lupa bahwa di sekitar arena itu banyak orang menonton, sehingga tenaga luncurannya sudah agak berkurang, sehingga si korban tidak mampus dengan kepala pecah, tapi hanya pingsan dengan jidat robek dan berlumuran darah.

   Kemudian Jiat-jiu Lokoai sendiri melangkah keluar dengan wajah yang menyeramkan karena marahnya.

   Ia masuk ke arena dengan sikap seenaknya, jubahnya melambai seperti tangan maut yang mengundang korbannya.

   "Bangsat cilik, penghinaanmu terhadap muridku sama saja dengan menghina aku. Untuk ini, bersiap-siaplah untuk mati!"

   Geram Siluman Tua Bertangan Maut.

   Pakkiong Eng sadar bahwa Jiat-jiu Lokoai adalah seorang tokoh tua golongan hitam yang kepandaiannya jauh di atasnya, namun sudah tentu ia tidak akan menyerah mentah-mentah seperti kambing dibantai dibuat sate.

   Ia mempersiapkan diri untuk melawan habis-habisan.

   Ia juga tidak mau berbantahan siapa benar siapa salah dengan iblis tua itu, sebab percuma saja bicara soal ceng-li (akal sehat) dengan manusia sewenang-wenang itu.

   Satu-satunya jalan ialah bersiap melawan sekuat tenaga.

   Suasana menjadi tegang, para penonton diam-diam bersimpati kepada Pakkiong Eng yang dengan berani menentang kesewenang-wenangan.

   Tapi tak seorangpun turun tangan untuk membantu, sebab masing- masing masih membutuhkan batok kepala yang utuh di atas bahu mereka.

   Namun di saat Jiat-jiu Lokoai siap menerkam korbannya, tiba-tiba dari antara penonton terdengar suara dingin memecah suasana tegang itu.

   Disusul dengan suara mengejek yang dingin pula.

   "Benar-benar tidak tahu malu. Seorang tua akan turun tangan terhadap seorang anak ingusan untuk membela muridnya sendiri yang tidak becus..."

   "Siapa yang buka mulut seenaknya itu?!"

   Bentak Jiat-jiu Lokoai marah sambil menyapukan pandangan matanya ke arah para penonton. Orang-orang yang menerima tatapan matanya menjadi ngeri juga. Orang yang berbicara tadi belum muncul juga, terdengar batuk-batuk sesaat, lalu bersuara lagi.

   "Jiat-jiu Lokoai, kalau dalam sepuluh hitungan kau tidak ajak muridmu minggat dari sini, jangan menyesal kalau kupatahkan tanganmu seperti nasib murid- murid keponakanmu yang tiga orang itu...."

   Jiat Jiu Lokoai kaget.

   Pembicara yang belum nampak itu sudah tahu siapa dirinya, namun masih berani menggertak akan mematahkan tangannya pula.

   Tokoh yang berani bersikap segarang itu di hadapan Jiat-jiu Lokoai tidak banyak jumlahnya di dunia persilatan.

   "Siapa kau?! Apakah kau hanya berani buka mulut, tetapi sambil bersembunyi di antara orang banyak?!"

   Bentak Jiat-jiu Lokoai ke arah asal suara itu.

   Ketika ia melangkah ke arah suara itu, maka orang-orang di bagian itu serentak menyibak dengan ketakutan, sehingga terlihatlah orang yang berbicara tadi.

   Orang itu berdiri bersandar sebatang pohon dengan sikap seenaknya, namun wajahnya tidak kelihatan sebab ia menghadap ke arah lain, agak membelakangi arena.

   Yang kelihatan cuma punggungnya yang tegap, rambutnya yang berwarna kelabu, begitu pula jubah panjangnya juga kelabu dan terbuat dari kain murahan, di pinggangnya terikat sebuah kantong tembakau, dan terlihat asap mengepul dari arah mulutnya diselingi batuk-batuk.

   Begitu melihat orang itu, biarpun hanya dari belakang, Jiat-jiu Lokoai kontan menghentikan langkahnya.

   Dengan sikap kaget ia menyebut sebuah nama.

   "Hwe-liong Pangcu..."

   Sedang Pakkiong Eng merasa seolah batu besar yang menindih dadanya itu diangkat, sehingga perasaannya menjadi lega dan ketegangannya pun mengendor. Ia pun memanggil dengan nada girang.

   "Paman Tong Lam-hou...."

   Orang yang bersandar di pohon itu terus berkata tanpa membalikkan tubuh.

   "

   Jiat- jiu Lokoai, aku akan mulai dengan hitunganku. Satu...."

   Geram Jiat-jiu Lokoai sengit.

   "Pangcu. apakah tindakanmu yang selalu mencampuri urusanku itu tidak keterlaluan?!"

   "Dua...."

   "Kiong Eng sudah melukai muridku, haruskah aku biarkan saja? Bagaimana seandainya ada orang yang melukai anakmu atau muridmu atau..."

   "Tiga...."

   "...kalau selama ini aku mengalah kepadamu, apa kau kira pihak kami takut kepadamu? Heh, ketahuilah bahwa Majikan Hek-eng-po saat ini sudah keluar sarang, untuk meladeni tantanganmu...."

   "Empat..."

   "...beberapa hari yang lalu di pekuburan lama itu!"

   "Lima! Enam! Tujuh!"

   Orang yang bersandar di pohon itu tiba-tiba mempercepat hitungannya.

   "Delapan... Sembilan..."

   Ternyata Jiat-jiu Lokoai yang kalah gertak.

   Kuatir kalay hitungan ke sepuluh benar-benar tiba, maka dia akan kehilangan tangan kanannya.

   Karena itu, begitu hitungan sampai angka sembilan, Jiat-jiu lokoai tak berani berlambat-lambatan atau pentang mulut lagi.

   Muridnya yang terluka segera diseretnya pergi meninggalkan tempat itu.

   Perginya si iblis tua dan muridnya itu menimbulkan perasaan lega Pakkiong Eng.

   Cepat ia mendekati orang yang bersandar pohon itu sambil membungkuk hormat.

   "Hormatku untuk paman Tong Lam-hou..."

   Orang itu tak menoleh sedikitpun, malah berkata dengan nada tergesa-gesa.

   "Cepat naiki kudamu dan ikuti aku, jangan menunggu sampai iblis tua itu kembali kemari!"

   Pakkiong Eng menjadi heran, masakah Ketua Hwe-liong-pang yang terkenal kesaktiannya itu menunjukkan sikap begitu gugup dan ketakutan? "Ada paman di sini, apa yang perlu ditakuti?"

   "Haiya, betul-betul keponakan cerewet, cepat turuti kata-kataku, tinggalkan tempa ini secepatnya!"

   Kata orang itu sambil terbatuk- batuk.

   "Bangsat! tembakau bangsat...!"

   Lalu tanpa memberi kesempatan kepada pakkiong Eng untuk membantah atau memperhatikan wajahnya, orang itu cepat- cepat melepaskan keledainya yang ditambatkan di samping warung, dan cepat dinaikinya untuk kabur.

   Terhadap keledai itu pun, Pakkiong Eng rasanya "pernah mengenal"nya namun kapan dan di mana ia tak sempat mengingat- ingatnya.

   Kalau "paman Tong"

   Begitu gugup, tentu ada sebab-sebabnya.

   Ia sendiripun melepaskan tambatan si Salju Terbang dan melompat ke pelananya.

   Sebelumnya,dikeluarkannya uang beberapa tahil, ia sendiri tak sempat menghitung, diserahkan kepada si pemilik warung yang rugi besar karena warungnya berantakan.

   Sementara itu.

   "paman Tong"

   Telah dicegat seorang lelaki tua yang hanya bercelana kolor saja, yang sejak tadi berjongkok tanpa berani menampakkan diri di balik semak-semak. Lelaki itu berteriak.

   "Jubah dan pipa tembakauku...". Lalu si "paman Tong"

   Melempar uang kepada orang itu, dan memacu keledainya ke arah timur. Adegan itu membuat Pakkiong Eng heran, tapi melihat "paman Tong"

   Sudah berpacu jauh, diapun mengejar dengan kuda putihnya.

   Sambil berpacu, keheranan Pakkiong Eng semakin tebal, menghadapi Jiat-jiu Lokoai saja kenapa Ketua Hwe-liong-pang lari terbirit- birit begitu ketakutan? Jangan-jangan benarlah apa yang berulang-kali dikatakan oleh Sebun Him bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu hanyalah "macan kertas"? Setelah berjarak lima atau enam li dari warung tadi, di sebuah tempat yang sepi, keduanya memperlambat lari tunggangan masing-masing dan akhirnya berhenti.

   Keledai tunggangan "Paman Tong"

   Yang ujudnya tak berharga itu, bulunya sudah rontok di beberapa tempat, ternyata bisa berlari cepat juga.

   "Nah, amanlah kita..."

   Kata penunggang keledai itu. Cepat Pakkiong Eng melompat turun dari kudanya, memberi hormat dan berkata.

   "Aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepada paman, kalau paman tidak ada, aku pasti sudah..."

   Pakkiong Eng tidak melanjutkan kata- katanya, ia berdiri mematung dengan perasaan heran ketika melihat "paman Tong"

   Menepuk- nepuk rambutnya sendiri sehingga debu putih yang membuat rambutnya seolah ubanan itu rontok semua, dan muncullah warna rambut sebenarnya yang ternyata hitam.

   Lalu jenggot dan kumis itupun dicopoti semua karena ternyata palsu semua, dan muncullah wajah aslinya, seorang pemuda bermuka cerah yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Pakkiong Eng.

   "Jadi...jadi kau bukan Paman Tong? Sungguh besar nyalimu berani memalsukan nama dan penampilan Ketua Hwe-liong-pang. Siapa dirimu?"

   Pemuda itu tertawa.

   "Kau mau terus memanggil paman Tong kepadaku juga boleh, karena akupun she Tong dan aku lebih tua dari padamu...". Kata-katanya terhenti karena ia batuk- batuk, mukanya pucat dan matanya berair.

   "Kenapa kau?"

   Tanya Pakkiong Eng.

   "Kau sedang sakit?"

   "Tidak, hanya agak mabuk gara-gara tembakau keparat bermutu rendah tadi. Aku tidak biasa mengisapnya..."

   Lalu ia terbatuk-batuk lagi.

   Diam-diam Pakkiong Eng merasa geli dan mendongkol.

   Geli karena orang ini dalam usahanya menyamar sebagai Ketua Hwe-liong- pang telah mencoba mengisap pipa tembakau, padahal tidak terbiasa.

   Mendongkol karena orang ini berani menyamar sebagai Ketua Hwe-liong-pang, tokoh terhormat dunia persilatan itu.

   Namun jelas tidak bisa marah kepada orang ini, sebab kemunculannya sebagai "Ketua Hwe-liong-pang"

   Tadi berhasil membuat Jiat-jiu Iokoai kabur terbirit-birit dan itu berarti menyelamatkan nyawa Pakkiong Eng.

   "Salahmu sendiri, tapi akupun mengucapkan terima kasih. Siapakah dirimu?"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemuda itu sudah reda batuknya, dengan napas yang masih agak terengah- engah dia menjawab.

   "A-eng, kau sudah lupa orang yang kira-kira sepuluh tahun yang lalu kau siksa di Pak-khia?"

   "Jangan bicara tak keruan, aku belum pernah menyiksa orang...."

   "Anak lelaki yang setiap saat kau suruh memanjat pohon atau genteng untuk mengambil layang-layang atau sarang burung, kau suruh pula merayap-rayap di rumput untuk mencari jangkrik, apakah itu namanya bukan siksaan...."

   Pikiran Pakkiong Eng seketika terbuka.

   Ia ingat teman sepermainannya yang akrab semasa kecil dulu.

   Ketika Ketua Hwe-liong- pang datang mengunjungi ayahnya di Pak- khia, pendekar itu mengajak anaknya yang bernama Tong Gin-yan seorang anak lelaki berusia tigabelas tahun.

   "Jadi... kau adalah... Yan-ko (kakak Yan)?!"

   Seru Pakkiong Eng kegirangan karena bertemu dengan sahabat lamanya yang dulu sering mengganggunya itu.

   "Ah, kiranya kau sudah begini besar..."

   "... dan tampan bukan?"

   Sambung Tong Gin-yan sambil menyeringai. Pipi Pakkiong Eng menjadi merah karena sebenarnyalah ia hampir saja mengucapkan "sudah begini besar dan tampan", tetapi kini yang diucapkan mulutnya justru kalimat lain.

   "Tampan? Huh! Aku malah jatuh cinta kepada keledaimu ini, ia jauh lebih tampan daripadamu..."

   Lalu ia membelai-belai kepala keledai itu. Si keledai agaknya sadar sedang dipuji seorang gadis cantik, lalu mengangkat-angkat kepalanya sambil bersuara menguak-uak. Tong Gin-yan menunjukkan sikap mendongkol.

   "Baiklah, aku memang jelek, lebih jelek dari Sin-loh (keledai sakti) kepunyaanku itu. Tapi jangan dikira kau cantik. Satu-satunya kelebihanmu dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, kau sekarang tidak terus-terusan mengeluarkan ingus dari hidung. Tapi jeleknya sama saja..."

   Biarpun lewat kata-kata saling mengejek, namun dua orang bekas sahabat lama yang berpisah sepuluh tahun itu langsung menemukan kembali keakraban masa kanak- kanak mereka yang dulu.

   "Sekarang kita harus cepat-cepat pergi dari sini, semakin jauh semakin baik", kata Tong Gin-yan.

   "Iblis tua tadi berhasil kugertak dengan nama ayahku, tapi kalau ia sadar telah aku permainkan, tentu ia marah dan akan mengejar kita..."

   


Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Pisau Kekasih Karya Gu Long Kuda Putih Karya Sd Liong

Cari Blog Ini