Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 18


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 18



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   "Hem,"

   Gumam Mahisa Agni kemudian.

   "ternyata apa yang dikatakan Empu Purwa itu tepat benar. Di padang ini kita akan dapat membangun sebuah bendungan, sebuah saluran yang baik dan tanah persawahan menurut perencanaan yang baik pula. Apakah sebelumnya guru telah melihat daerah ini pula?"

   Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara parau di belakangnya.

   "Air. Air. Kita mendapatkan air."

   Mahisa Agni berpaling.

   Dilihatnya ketika kawannya berlari tertatih-tatih.

   Sinung Sari masih menyeret kain panjang merekayang sudah tercabik-cabik oleh duri dan ranting-ranting perdu.

   Namun ketika dilihatnya air sungai yang jernih itu, tiba-tiba kain itu dilepaskannya.

   Dengan penuh gairah dan nafsu ia meluncur bersama Jinan dan Patalan.

   Mata mereka seolah-olah menjadi liar dan lidah mereka menjilat-jilat bibir.

   Mahisa Agni menjadi cemas melihat mereka itu.

   Seandainya mereka dibiarkannya, maka mereka pasti akan langsung menyurukkan kepala mereka ke dalam air karena perasaan harus yang menyekat leher.

   Dengan demikian, maka mungkin mereka akan mendapat bahaya karenanya.

   Air yang tiba-tiba saja mengalir lewat kerongkongan mereka tanpa diperhitungkan akan dapat mengganggu pernafasan mereka, dan kemudian adalah mungkin sekali mereka akan minum terlalu banyak.

   Karena itu ketika Mahisa Agni melihat mereka semakin dekat maka segera ia berteriak.

   "Berhenti. Berhentilah sebentar."

   Ketiga anak-anak muda itu berpaling sesaat, namun segera mereka berlari semakin kencang.

   "Berhenti,"

   Teriak Mahisa Agni sambil berlari di samping mereka.

   Tetapi mereka tidak mendengar suara itu.

   Mereka berlari terus dan dengan mata yang liar memandangi aliran air yang gemericik.

   Bahkan jarak yang sudah semakin dekat itu seakan-akan tidak pernah dapat dicapainya.

   "Berhenti,"

   Teriak Mahisa Agni sekali lagi.

   Namun kali ini pun mereka seolah-olah sama sekali tak mendengarnya.

   Mahisa Agni menjadi semakin cemas.

   Beberapa langkah, ia berlari mendahului.

   Kini mereka telah sampai ke tebing sungai.

   Beberapa saat lagi mereka berloncatan turun ke tepian.

   Tetapi karena tubuh-tubuh mereka yang lemah, maka mereka bertiga jatuh berguling bersama-sama.

   Tetapi usaha mereka untuk segera mendapat air sama sekali tidak terpengaruh.

   Meskipun mereka kini telentang di tepian, namun dengan penuh nafsu mereka merayap-rayap seperti ular menuju ke pinggir sungai.

   Luka-luka yang timbul pada tubuh mereka, sama sekali tak terasa."Jangan minum dengan menyurukkan kepala kalian ke dalam air,"

   Minta Mahisa Agni.

   "duduklah, dan ambillah air dengan tangan."

   Seruan itu sama sekali tidak mendapatkan perhatian mereka.

   Beberapa langkah lagi mereka akan dapat memasukkan mulut mereka langsung ke dalam air.

   Tiba-tiba Mahisa Agni meloncat maju di hadapan mereka, tepat di pinggir sungai.

   Kakinya membenam setinggi mata kaki di dalam air.

   Dengan serta-merta dicabutnya pedangnya dan diacungkannya kepada ketiga kawan-kawannya yang hampir saja membenamkan wajah-wajah mereka.

   Ketiga kawan-kawannya itu terkejut.

   Betapapun juga ketika mata mereka menatap tajam pedang Mahisa Agni, hati mereka berdebar- debar dan karena itu tanpa mereka sengaja, maka mereka pun berhenti tepat ketika setapak lagi mereka telah menyentuh air.

   Tetapi tajam pedang Agni itu pun hanya sejengkal saja di hadapan hidung mereka.

   "Duduk!"

   Terdengar perintah Mahisa Agni. Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu telah hampir kehilangan perasaan mereka. Namun dengan ujung pedang Mahisa Agni berhasil memaksa mereka untuk duduk.

   "Nah, minumlah dengan cara yang baik supaya kalian tidak mati justru ketika kalian menemukan air."

   Minta Agni.

   "ambillah air dengan kedua telapak tanganmu, dan minumlah air itu sedikit demi sedikit."

   Mahisa Agni kemudian melihat mereka bertiga dengan tergesa- gesa mengambil air di atas.

   telapak tangan masing-masing dan langsung dihisapnya.

   Sekali dua kali, namun mereka seakan-akan tidak menjadi puas.

   Tetapi ketika mereka mengerling, mereka masih melihat pedang Agni seolah-olah telah melekat di ujung hidung mereka.

   "Cukup!"

   Bentak Agni sesaat kemudian.Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu mendengar pula bentakan itu, tetapi leher mereka serasa masih saja kering.

   Karena itu maka mereka sama sekali tidak menghiraukannya seandainya Mahisa Agni tidak menggerakkan pedangnya sambil mengulangi.

   "Cukup!"

   Ketiganya terpaksa berhenti minum. Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan wajah yang memancarkan kekecewaan hati mereka. Bahkan dengan terbata-bata Sinung Sari bertanya.

   "Apakah artinya ini Agni. Apakah kau benar-benar ingin melihat kami kehausan?"

   "Bukankah kalian telah minum?"

   Bertanya Agni.

   "Hanya seteguk."

   "Tidak. Coba sekarang kalian tenangkan hati kalian. Cobalah menyadari keadaan. Apakah kalian masih terlalu haus?"

   "Ya. Kami masih terlalu haus,"

   Sahut Patalan.

   "Tetapi kalian telah minum dan telah membasahi kerongkongan kalian. Sekarang datang giliranku untuk minum."

   "Agni, air sungai ini tidak akan habis kita minum bersama-sama. Minumlah dan biarlah kami minum."

   "Tidak, sekarang akulah yang akan minum. Kalau kalian masih juga akan minum, maka aku bunuh kalian di sini."

   Ketiga kawan Mahisa Agni menjadi kecewa.

   Sangat kecewa.

   Tiba- tiba timbullah berbagai pertanyaan di dalam hati mereka yang masih belum terlampau jernih.

   Apakah memang Mahisa Agni ingin membunuh mereka? Kini mereka melihat bagaimana Mahisa Agni itu minum.

   Ia berlutut di pinggir sungai itu.

   Dengan tangannya ia mengambil air sungai yang melimpah-limpah itu, dan dihirupnya seteguk-seteguk.

   Tidak lebih dari tiga kali.

   Kemudian ia pun berhenti minum, dan berpaling kepada kawan-kawannya.

   Jinan.

   Patalan dan Sinung Sari melihat cara Mahisa Agni itu minum perlahan-lahan dan tidak terlampau banyak meskipun tak ada yang mencegahnya.

   Tidak lebih dari yang mereka minum itupula.

   Sehingga dengan demikian, timbullah berbagai pertanyaan dalam hati mereka.

   "Apakah kalian masih haus?"

   Bertanya Agni tiba-tiba. Ketiga kawan-kawannya mengangguk.

   "Tunggulah sesaat. Nanti kalian akan dapat minum lagi sepuas- puasnya. Air ini tidak akan habis."

   "Kenapa nanti?"

   "Supaya kalian tidak mati."

   Ketiga kawan-kawan Agni itu menarik nafas dalam-dalam.

   Perlahan-lahan disadarinya ketergesa-gesaannya.

   Kalau Mahisa Agni tidak mencegahnya, mungkin perut mereka kini telah menjadi gembung.

   Atau mungkin air yang diteguknya akan mengalir tidak lewat jalan yang sewajarnya di dalam kerongkongan mereka karena masih belum siap untuk dialiri air sebanyak-banyaknya setelah hampir melekat karena kekeringan.

   Kini mereka baru mengerti, apakah maksud Mahisa Agni sebenarnya.

   Dan karena itu maka terasa pula, kerongkongan mereka tidak lagi terlalu kering.

   Ketika mereka kemudian menjadi tenang, barulah mereka berkata.

   "Terima kasih Agni. Kau telah mencegah kami, sehingga kami tidak mendapat bencana karena perasaan haus yang tak tertahankan."

   Mahisa Agni tersenyum. Terbayang di wajahnya sinar matanya yang cerah. Sambil mengangguk ia berkata.

   "Kalian telah kehilangan ketenangan dan kejernihan otak kalian karena perasaan haus itu. Tetapi kini kalian telah menyadarinya."

   "Ya,"

   Jawab mereka serentak.

   "Kini, kalian harus mengingat kepentingan kalian datang ke tempat ini. Bukan sekedar mencari minum. Tetapi ada yang lebih penting. Ternyata yang pertama-tama kalian ingat waktu kalian sampai ke tempat ini adalah air untuk minum. Bukan bentuk sungai ini.""He,"

   Ketiga kawan-kawannya tersentak mendengar keterangan itu. Tiba-tiba mereka dengan nanar memandang keadaan di sekelilingnya. Tebing sungai ini tidak terlampau dalam, bahkan cukup rendah. Karena itu maka terloncatlah dari mulut mereka.

   "Tebing ini cukup rendah. Kita akan dapat menaikkan airnya dengan mudah. Agni, di sini kita dapat membuat bendungan itu."

   Mahisa Agni tersenyum kembali. Dengan puas ia berkata.

   "Nah, kenalilah tempat ini baik-baik. Bukan sekedar tempat untuk mendapatkan minum. Tebing ini memang cukup rendah, sehingga kalian yang meloncat terjun sama sekali tidak mengalami cedera, selain lecet-lecet di beberapa tempat pada tubuh kalian."

   Ketiga kawannya tersenyum pula. Serentak mereka berdiri. Memang kini mereka merasa bahwa tubuh-tubuh mereka menjadi pedih, namun kegembiraan mereka ternyata telah melonjak, sehingga mereka sama sekali tidak merasakannya.

   "Agni,"

   Berkata Sinung Sari.

   "bukankah tempat ini amat baiknya?"

   "Ya,"

   Jawab Agni.

   "tebingnya rendah, dan di sekitar tempat ini cukup banyak bahan yang dapat kita pergunakan. Batu dan dedaunan, ranting-ranting kecil dan sebagainya. Kita akan dapat segera membangun bendungan itu di sini."

   Penemuan itu ternyata telah melenyapkan segala perasaan sakit dan lelah.

   Mereka merasa bahwa tugas mereka berhasil.

   Menemukan tempat yang baik untuk membangun bendungan.

   Karena itu maka kini mereka dapat beristirahat dengan tenang, tanpa takut lagi akan kehausan.

   Sebab di hadapan mereka, air yang jernih mengalir melimpah-limpah.

   Namun dalam pada itu, timbul pulalah gangguan yang lain bagi ketiga kawan-kawan Mahisa Agni.

   Matahari ternyata semakin condong ke barat, dan bahkan menjadi terlalu rendah.

   "Agni. Bagaimanakah dengan kita kini. Apakah kita akan segera kembali?"

   Bertanya Jinan."Apakah kalian tidak lelah?"

   Bertanya Agni. Jinan terdiam. Ia memang lelah sekali. Tetapi perasaan cemas dan takut kembali merayap di hatinya.

   "Kita bermalam di sini,"

   Berkata Agni.

   "jangan takut. Bukankah hantu Karautan telah tidak ada lagi. Bukankah Kuda Sempana pun telah terusir?"

   Ketiga kawan Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepala mereka, tetapi tampaklah bahwa wajah-wajah mereka sama sekali tidak meyakinkan kebenaran kata-kata Mahisa Agni.

   Mahisa Agni pun menyadarinya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi ia tidak berkata-kata lagi.

   Dengan tenangnya ia membaringkan dirinya pada sisa-sisa sinar matahari yang telah menjadi semakin rendah untuk mengeringkan celananya yang basah kuyup dan kotor karena lumpur.

   Namun pada bibirnya membayang kepuasan hatinya bahwa usahanya selama dua hari ini, kini telah berhasil.

   Meskipun dengan susah payah dan berbagai kesulitan, tetapi apabila kemudian di tempat ini benar- benar dapat dibangun sebuah bendungan, maka manfaat dari jerih payahnya adalah berlipat-lipat.

   Mahisa Agni yang lelah tetapi mendapat kepuasan hati itu pun bahkan kemudian tertidur tetap.

   Meskipun celananya masih basah dan tubuhnya dikotori dengan butiran-butiran batu padas dan lumpur.

   Ketiga kawan-kawannya bahkan menjadi sangat gelisah.

   Tetapi mereka tidak berani membangunkan Mahisa Agni.

   Selama matahari masih bersinar, mereka masih dapat menahan kecemasan mereka.

   Tetapi ketika cahaya kemerahan di ujung barat semakin lama menjadi semakin kelam, dan burung-burung liar telah beterbangan pulang ke sarang, maka mereka tidak dapat lagi menahan kegelisahan mereka.

   Meskipun tidak langsung, namun mereka pun mencoba membuat suara-suara yang akan dapat membangunkan Mahisa Agni.Ternyata usaha mereka itu pun berhasil.

   Mereka merasa tenteram ketika mereka melihat Mahisa Agni menggeliat dan kemudian bangkit duduk di samping mereka.

   "Senja,"

   Desisnya.

   "Ya. Senja hampir lampau,"

   Jawab Sinung Sari.

   "Alangkah segarnya tubuhku kini. Apakah kalian tidak ingin tidur?"

   "Sebenarnya. Tetapi kami menjadi gelisah. Kami tidak akan dapat tidur bersama-sama."

   "Kalau demikian, apabila kalian inginkan, tidurlah. Aku akan berjaga-jaga setelah aku mendahului tidur nyenyak."

   Ketiganya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika mereka melihat Mahisa Agni berdiri, terentak mereka bertanya.

   "Ke mana Agni?"

   "Mencari rumput-rumput kering dan ranting?"

   "Untuk apa?"

   "Perapian."

   "Jangan,"

   Teriak mereka bersama-sama.

   "tempat kita akan segera diketahui orang. Mungkin Kuda Sempana yang datang membawa kawan-kawannya."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sependapat dengan mereka, meskipun hanya disimpannya di dalam hati, supaya kawannya itu tidak menjadi semakin cemas. Bahkan katanya.

   "Hem. Kalian masih saja dibayangi oleh ketakutan."

   Ketiga kawan-kawannya tidak menjawab.

   Namun mereka merasa agak tenteram ketika mereka melihat Mahisa Agni seakan-akan tidak menjadi gelisah sama sekali meskipun senja menjadi semakin gelap.

   Mahisa Agni pun kemudian duduk kembali.

   Tetapi ketika angin senja menyentuh tubuhnya terata alangkah dinginnya.

   Dan tiba-tiba diingatnya kain panjangnya yang masih bersambung sambungandengan kain kawan-kawannya.

   Karena itu, maka segera kembali ia berdiri.

   "Ke mana Agni,"

   Serentak kawan-kawannya pun bertanya kembali.

   "Kain panjang kita,"

   Sahut Agni.

   Ketiga kawan-kawannya tidak bertanya lagi.

   Mahisa Agni kemudian berjalan memungut kain panjangnya yang terbelah dan terikat satu sama lain.

   Dicobanya untuk mengurai ikatan itu.

   Tetapi ternyata kemudian bahwa kain itu telah hampir menjadi compang- camping.

   Meskipun demikian, dipakainya juga kain yang telah berlubang-lubang dan kotor itu untuk menutup badannya menahan dingin.

   Ketiga kawan-kawannya pun berbuat serupa.

   Hanya karena itu, maka badan mereka menjadi gatal-gatal.

   Meskipun kemudian Mahisa Agni tetap duduk berjaga-jaga, namun ketiga kawan-kawannya tidak segera dapat tertidur.

   Betapa perasaan lelah merayapi segenap tulangnya, namun perasaan cemas dan gelisah ternyata telah menindasnya.

   Sekali-sekali terasa angin yang sejuk menghanyutkan mereka sekejap-sekejap, tetapi segera mereka tergagap bangun.

   Seakan-akan sesuatu telah siap untuk menerkam mereka satu demi satu.

   Namun ketika terpandang oleh mereka dalam keremangan malam Mahisa Agni masih duduk memeluk kedua lututnya, maka mereka pun menarik nafas dalam- dalam.

   Ujung malam itu semakin lama menjadi semakin dalam.

   Langit yang biru gelap terbentang di atas padang rumput yang luas bertaburkan bintang-bintang yang semakin lama seolah-olah menjadi semakin banyak.

   Sehelai-sehelai awan yang putih dihanyutkan oleh angin perlahan-lahan mengalir ke utara.

   Hati kawan-kawan Mahisa Agni itu benar-benar tidak dapat tenteram.

   Di kejauhan kembali terdengar suara burung kedasih sayup-sayup melas asih.

   Seperti suara tangis biyung yang kehilangan anaknya tersayang.

   Sayup-sayup menyusup di hati di antara desir angin yang lembut.Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu mengeluh di dalam hati.

   Mereka belum pernah mengalami pekerjaan seberat ini.

   Bukan saja tenaga mereka yang terperas habis, tetapi juga perasaan mereka yang gelisah, cemas, takut dan segala macam perasaan yang mengerikan.

   Sekali-sekali mereka mencoba juga menghibur diri mereka.

   Di samping mereka masih ada Mahisa Agni.

   Tetapi agaknya kecemasan dan ketakutan mereka benar-benar telah memenuhi segenap rongga dada mereka.

   Padang itu semakin lama menjadi semakin sunyi.

   Sehingga suara burung kedasih itu pun menjadi semakin jelas bergema memenuhi padang Karautan.

   Kadang-kadang perlahan-lahan, namun kadang- kadang menjadi semakin jelas.

   Tetapi tiba-tiba di antara keluh burung kedasih itu, terdengar suara yang lain.

   Lamat-lamat dalam irama yang seakan-akan teratur.

   Semakin lama semakin jelas.

   Ketika suara itu telah mereka yakini, maka serentak terdengar ketiga kawan Agni itu berkata parau.

   "Kuda. Derap kuda."

   Mahisa Agni pun kemudian mengangkat kepalanya.

   Sebenarnya telah didengarnya pula suara derap kuda itu.

   Namun ia masih saja berdiam diri untuk tidak mencemaskan hati kawan-kawannya.

   Tetapi kini kawan-kawannya itu telah mendengar sendiri.

   Bahkan mereka telah dapat menyebutnya, bahwa suara itu adalah suara derap kaki kuda.

   Karena itu, maka Mahisa Agni pun menjawab.

   "Ya. Derap kaki kuda."

   "Oh,"

   Desah Patalan.

   "pasti Kuda Sempana datang bersama kawan-kawannya."

   Mahisa Agni mempertajam pendengarnya. Sesaat kemudian ia menjawab.

   "Pasti bukan. Suara itu hanya suara derap kaki seekor kuda."

   "Kenapa hanya seekor?"

   Bertanya Sinung Sari.Mahisa Agni heran mendengar pertanyaan itu.

   "Kenapa?"

   Ulangnya.

   "ya kenapa?"

   "Maksudku, apakah kau tahu benar bahwa suara itu suara derap kaki seekor kuda?"

   Sinung Sari menjelaskan.

   "Ah,"

   Sahut Agni.

   "bukankah kalian dapat juga membedakan."

   Sinung Sari kemudian terdiam. Kawan-kawannya pun terdiam. Namun gelora di dalam dada mereka mulai bergolak kembali.

   "Kali ini jangan memperbodoh diri,"

   Berkata Mahisa Agni kemudian.

   "seandainya yang datang itu orang yang akan membawa bencana, jangan kau serahkan kepalamu untuk dipenggalnya. Kalau tidak ada jalan lain, maka kalian harus memilih, dipenggal atau memenggal kepala orang itu. Bukankah kalian membawa pedang? Selama aku masih dapat melindungi kalian, aku akan mencobanya. Tetapi kalau tidak, bukan salahku kalau kalian mati di padang rumput ini. Ayo. Tengadahkan wajahmu. Sambutlah setiap tantangan untuk di atasi. Jangan menyerah."

   Terasa kebenaran kata-kata Mahisa Agni itu.

   Sebuah getaran menyusup ke dalam hati mereka.

   Mereka pun sebenarnya ingin pula berbuat demikian.

   Tetapi mereka sama sekali belum pernah bertempur melawan apapun.

   Ada juga di antara mereka di masa kanak-kanaknya berkelahi satu sama lain.

   Bahkan kadang-kadang mereka pun sering melakukan permainan yang menyerupai perkelahian, binten, bantingan dan sebagainya.

   Tetapi sama sekali tidak berbahaya bagi keselamatan mereka.

   Mahisa Agni melihat keragu-raguan itu, sehingga katanya.

   "Seterusnya terserah kepada kalian. Apakah kalian ingin mati, apakah kalian akan mencoba menghindarinya dengan sebuah usaha."

   Sekali lagi sebuah getaran menyusup ke dalam hati mereka.

   Mereka dihadapkan pada dua buah pilihan, Mati atau berusaha menyelamatkan diri.Derap kuda itu semakin lama menjadi semakin dekat.

   Namun Mahisa Agni yang jauh lebih berpengalaman dari ketiga kawan- kawannya segera dapat mengetahuinya, bahwa kuda itu tidak berjalan terlalu cepat.

   Derap kakinya yang memukul batu-batu padas pun tidak terdengar terlalu keras meskipun kuda itu sudah menjadi semakin dekat.

   "Kita bersembunyi,"

   Bisik Mahisa Agni kepada kawan-kawannya.

   "Tetapi itu bukan berarti bahwa kita adalah pengecut. Namun kita harus mengetahui lebih dahulu siapakah yang datang itu. Kalau tidak ada persoalan yang memaksa, kita akan dapat menghindari setiap persoalan yang tidak kita kehendaki."

   Sebelum Mahisa Agni berbuat sesuatu, ketiga kawan-kawannya telah mendahuluinya, menyurukkan diri mereka sendiri ke dalam semak-semak.

   Mereka mengumpat-umpat di dalam hati mereka, apabila pedang-pedang mereka ternyata malahan mengganggu, karena tangkai-tangkainya, dan kadang-kadang sarungnya menyangkut ranting-ranting kecil Mahisa Agni menarik nafas.

   Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun.

   Yang terakhir, ia sendiri berusaha menyembunyikan diri pula dibalik-balik gerumbul kecil sambil berusaha mengawasi penunggang kuda yang sudah menjadi semakin dekat.

   Sesaat kemudian, seakan-akan muncul dari keremangan malam, sesosok tubuh duduk di atas seekor kuda yang besar.

   Semakin lama semakin dekat.

   Dan mata Mahisa Agni yang tajam, segera dapat melihat sebilah pedang tergantung di lambung penunggangnya.

   Sebenarnya kuda itu tidak berjalan terlalu cepat.

   Bahkan sekali- sekali berhenti dan seakan-akan memang ada yang dicarinya.

   Dada Mahisa Agni berdesir ketika baru saja disadarinya, beberapa macam barang-barang milik kawannya tertinggal di tempat mereka beristirahat.

   Bumbung-bumbung kecil dan sebuah bungkusan bekal makanan.

   "Hem,"

   Mahisa Agni berdesah di dalam dadanya.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebenarnya ia ingin menghindari setiap persoalan dengan menyembunyikandirinya.

   Tetapi kalau penunggang kuda itu melihat beberapa macam benda-benda yang berserakan itu, maka pasti orang itu menyangka bahwa setidak-tidaknya tempat ini merupakan tempat yang harus mendapat perhatian.

   Meskipun Mahisa Agni sama sekali tidak takut seandainya ia harus berhadapan dengan siapa pun yang mengganggu usahanya tetapi baginya, kemungkinan-kemungkinan yang demikian akan dihindarinya sejauh mungkin.

   Mahisa Agni menggigit bibirnya ketika ia melihat kuda itu menjadi bertambah dekat.

   Dan apa yang dicemaskannya itu ternyata benar- benar terjadi.

   Ketika penunggang kuda itu melihat beberapa benda yang terserak-serak, maka segera ia menghentikan langkah kudanya.

   Dengan lincahnya ia meloncat turun, dan kemudian dengan seksama ia memperhatikan benda-benda yang berserakan itu.

   Kini Mahisa Agni seakan-akan menahan nafasnya.

   Ia berada dibalik sebuah gerumbul yang tidak terlalu dekat dengan orang yang baru datang itu.

   Apalagi daun-daun perdu di gerumbul itu selalu saja mengganggunya, apabila ia mencoba untuk melihat orang yang baru saja datang itu.

   Namun lamat-lamat disela-sela dedaunan, meskipun tidak jelas ia melihat orang itu membongkokkan badannya, memungut beberapa macam benda-benda yang terserak-serak itu.

   Tetapi orang itu masih berdiam diri.

   Ketika kemudian ia berdiri tegak terdengar tarikan nafasnya.

   Sambil berjalan beberapa langkah, orang itu bergumam.

   "Pasti di sini. Di sekitar tempat ini."

   Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.

   Kata-kata itu hanya didengarnya lamat-lamat.

   Namun tiba-tiba terasa olehnya, bahwa ia pernah mengenal orang yang baru datang itu.

   Mahisa Agni kemudian melihat orang itu memperhatikan keadaan di sekitarnya.

   Sesaat orang itu berdiam diri.

   Dan kemudian terdengar ia tertawa.

   Dari dalam sebuah gerumbul ia mendengar dengus nafas berdesah semakin cepat.

   "Ha,"

   Katanya.

   "di situ kalian bersembunyi."Jinan, Patalan dan Sinung Sari mendengar kata-kata itu. Darah mereka seakan-akan berhenti mengalir. Tetapi sesaat kemudian teringatlah mereka akan kata-kata Mahisa Agni, bahwa mereka jangan menyerahkan kepala mereka tanpa perlawanan. Namun, sangatlah berat tangan mereka untuk bergerak menarik pedang mereka itu.

   "Kenapa kalian bersembunyi?"

   Terdengar orang itu bertanya sambil berjalan beberapa langkah maju.

   Sedang nafas di dalam gerumbul itu menjadi semakin cepat memburu lewat lubang-lubang hidung mereka.

   Namun tiba-tiba orang itu terkejut.

   Selangkah ia turut, dan dengan tangkai ia memutar tubuhnya ketika ia mendengar suara di belakangnya.

   "Di sini aku. Bukan di situ."

   Suara itu adalah suara Mahisa Agni.

   Ketika ternyata orang itu mengetahui tempat persembunyian kawannya, ia tidak dapat langsung bersembunyi sambil berdiam diri.

   Mahisa Agni terpaksa menampilkan dirinya untuk melindungi ketiga kawannya.

   Tetapi Mahisa Agnilah yang kemudian terkejut mendengar orang itu menyebut namanya.

   "Mahisa Agni."

   "Ya."

   Orang itu berjalan mendekatinya. Semakin lama semakin dekat.

   "Kau telah mengenal namaku,"

   Bertanya Mahisa Agni.

   "Ken Arok berkata kepadaku, bahwa kau berada di padang ini bersama ketiga kawan-kawanmu. Salah seorang yang berani menyatakan dirinya, pastilah hanya Mahisa Agni."

   Mahisa Agni mengawasi orang itu dengan seksama. Ketika orang itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengar Mahisa Agni berkata.

   "Oh, kau Mahendra. Kau mengejutkan kami di sini."

   Mahendra tersenyum. Jawabnya.

   "Aku tidak sengaja. Tetapi Ken Arok telah bercerita kepadaku, bahwa kau berada di padang Karautan bersama tiga orang yang aneh.""Di situlah mereka,"

   Sahut Mahisa Agni sambil menunjuk ke gerumbul tempat kawan-kawannya bersembunyi.

   "Ya. Aku telah mendengar tarikan nafas mereka."

   "He, Jinan, Patalan dan Sinung Sari,"

   Panggil Mahisa Agni.

   "Kemarilah. Yang datang adalah kawan kita sendiri."

   Kembali ketiga kawan Mahisa Agni itu tersuruk-suruk keluar dari tempat persembunyian mereka. Dengan agak malu-malu mereka berjalan mendekati.

   "Inilah mereka,"

   Berkata Mahisa Agni memperkenalkan kawan- kawannya.

   "Kenapa kalian bersembunyi?"

   Bertanya Mahendra. Ketiganya tunduk tersipu-sipu. Namun kemudian Sinung Sari menjawab.

   "Mahisa Agni menyuruh kami bersembunyi."

   "Oh,"

   Desis Mahendra sambil tersenyum.

   "benar begitu?"

   Mahisa Agni pun tersenyum pula. Jawabnya.

   "Ya. Akulah yang menyuruh mereka bersembunyi, meskipun sama sekali tidak mereka kehendaki, sebab aku ingin menghindari persoalan yang dapat timbul kemudian, seandainya yang datang bukan kawan sendiri. Persoalan yang mungkin tidak ada gunanya, selain hanya untuk memenuhi kesenangan mereka bertiga. Bukan begitu Sinung Sari?"

   Seandainya terlihat oleh mereka, maka wajah Sinung Sari menjadi kemerah-merahan.

   Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Mahisa Agni itu, dan bahkan kepalanya menjadi semakin tunduk dalam-dalam.

   Mahisa Agni dan Mahendra tidak dapat menahan senyum mereka.

   Dari Ken Arok, Mahendra telah mendengar cerita tentang ketiga kawan Mahisa Agni itu.

   Karena itu serba sedikit ia dapat mengetahui sifat-sifat mereka.

   Ketika Sinung Sari sama sekali tidak menjawab, dan bahkan dengan perasaan malu ia berkisar ke samping, maka berkatalah Mahisa Agni.

   "Mari, Mahendra, duduklah."Mereka itu pun kemudian duduk melingkar di atas tanah yang berdebu. Di sana-sini rumput liar tumbuh dengan lebatnya. Sesaat malam menjadi hening, sehening padang yang tidak berpenghuni. Sayup-sayup di kejauhan masih terdengar suara burung kedasih menggetarkan sepi malam.

   "Mahendra,"

   Terdengar suara Mahisa Agni kemudian.

   "apakah kau juga ingin menjadi hantu padang Karautan?"

   Mahendra mengangkat wajahnya. Sekilas tampak senyumnya. menggerakkan bibirnya.

   "Sebetulnya,"

   Sahutnya.

   "tetapi aku tidak tahan dingin, karena itu maksud itu aku urungkan."

   "Lalu apakah keperluanmu berada di padang ini?"

   Bertanya Mahisa Agni.

   "Kakang Witantra menyuruhku datang kemari, setelah pagi-pagi tadi kami bertemu dengan Ken Arok."

   "Apa katanya?"

   "Ken Arok melihat hantu padang Karautan saling berkelahi."

   Keduanya tertawa pendek. Lalu Mahendra meneruskan.

   "Tetapi Kakang Witantra tidak tertarik kepada hantu-hantu itu. Ia lebih tertarik pada cerita Ken Arok yang lain"

   "Cerita yang manakah itu?"

   "Mahisa Agni,"

   Berkata Mahendra dengan nada yang lain. Tampaknya kini ia mulai bersungguh-sungguh.

   "Apakah benar Ken Arok telah mengatakan kepadamu tentang adikmu itu?"

   Mahisa Agni mengangguk.

   "Bahwa Akuwu Tunggul Ametung menghendakinya?"

   "Tetapi kenapa kau tidak mau menerimanya seandainya Akuwu itu akan datang kepadamu untuk mewakili ayah gadis itu."Mahisa Agni kini menggelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab.

   "Tidak, tidak perlu. Gadis itu dibawa dengan cara yang kasar. Biarlah cara itu dilakukan untuk seterusnya."

   "Tetapi yang melakukan itu adalah Kuda Sempana."

   "Bukankah Akuwu Tunggul Ametung bersamanya pada waktu itu?"

   Mahendra terdiam sesaat.

   Jawaban Mahisa Agni itu dapat dimengertinya.

   Luka hatinya pada saat ia kehilangan adiknya ternyata terlampau parah, sehingga setiap sentuhan padanya, masih juga akan terasa betapa sakitnya.

   Mahisa Agni sendiri kemudian menundukkan kepalanya.

   Sakit di hatinya itu jauh lebih parah dari yang disangka oleh Mahendra.

   Meskipun demikian, sama sekali tidak terucapkan kepada siapa pun juga.

   Yang dapat mengetahui, apa sebenarnya yang mencengkam jantungnya, hanyalah emban tua, pemomong Ken Dedes, yang tidak lain adalah ibunya sendiri dan gurunya yang tua, ayah Ken Dedes.

   Sesaat mereka duduk berdiam diri.

   Gelap malam semakin lama menjadi semakin dekat dan bintang-gemintang di langit yang biru bertebaran dari ujung ke ujung.

   Terasa udara menjadi semakin dingin sampai menggigit tulang.

   Dalam keheningan itu, kemudian terdengar Mahendra berkata.

   "Agni. Aku tahu betapa hatimu tersinggung karena sikap Kuda Sempana yang pada saat itu datang dalam lindungan Akuwu Tumapel. Tetapi menurut Kakang Witantra, Akuwu Tunggul Ametung menjadi kecewa sedalam-dalamnya terhadap perbuatannya, dan bahkan atas nama Akuwu, Kakang Witantra telah berhasil memisahkan Ken Dedes dari Kuda Sempana. Bahkan kemudian, setelah Akuwu Tunggul Ametung mendengar bahwa Wiraprana telah terbunuh, jatuhlah perasaan ibanya yang tulus kepada Ken Dedes."Mahendra berhenti sesaat seolah-olah ia menunggu katanya itu menghunjam ke pusat jantung Mahisa Agni. Namun masih saja dilihatnya Mahisa Agni menunduk. Maka berkatalah ia seterusnya.

   "Agni. Secara jujur aku katakan, bahwa aku pun kecewa melihat Ken Dedes akan menjadi seorang permaisuri, sebab bagiku belum ada seorang gadis yang lain yang mampu menyentuh hatiku. Namun adalah lebih baik baginya, bagi gadis itu sendiri, apabila ia akan dapat menemukan ketenteraman dan kebahagiaan sebagai permaisuri Akuwu Tunggul Ametung."

   "Hem,"

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, sedalam luka yang menusuk ke dalam jantungnya. Tetapi ia belum menjawab. Dibiarkannya Mahendra berkata terus.

   "Agni, Akuwu telah menetapkan hari perkawinannya. Karena itu, atas namanya, Kakang Witantra mengharap kau akan dapat menerimanya, mewakili ayahmu menyerahkan Ken Dedes kepada Akuwu Tunggul Ametung."

   Mahendra menatap wajah Mahisa Agni dalam-dalam. Sesaat ia menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Mahisa Agni itu. Tetapi dadanya berdesir ketika ia melihat Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.

   "Tak ada gunanya Mahendra. Akuwu telah mengambil keputusan. Mungkin Ken Dedes telah menerima lamarannya pula. Karena itu, biarlah mereka memutuskan kehendak mereka sendiri. Mereka telah cukup dewasa."

   "Tetapi itu tidak lazim, Agni."

   "Sejak permulaan peristiwa itu sudah berjalan tidak sewajarnya."

   Kini Mahendralah yang menarik nafas dalam-dalam. Agaknya pendirian Mahisa Agni telah tidak mungkin dapat diubahnya. Meskipun demikian ia masih mencobanya.

   "Agni. Witantra minta dengan sangat kau mengubah pendirianmu. Sebab dengan demikian, Ken Dedes akan merasa kau lepaskan seorang diri. Mungkin ia merasa bahwa kau tidak merestuinya."

   Mahendra menjadi semakin kecewa ketika ia melihat Mahisa Agni menggeleng sekali lagi."Kau tetap pada pendirianmu Agni?"

   "Maaf Mahendra. Aku tidak dapat menerima Tunggal Ametung. Pembicaraan telah berlangsung tanpa aku. Biarlah persoalan itu selesai tanpa aku pula."

   "Agni. Kau terlalu perasa."

   Mahisa Agni menggigit bibirnya.

   Perkataan Mahendra itu tepat menyentuh hatinya.

   Tetapi ia tidak kuasa untuk mengatasi perasaannya.

   Sehingga dengan demikian kembali ia berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.

   Tetapi Mahendra dengan itu telah dapat mengetahui, bahwa Mahisa Agni benar-benar tidak dapat memaafkan Kuda Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung.

   Bahkan demikian sakit hatinya, sehingga ia sama sekali tidak mengingat lagi kepentingan gadis yang disangka adiknya.

   "Agni,"

   Berkata Mahendra kemudian.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Perkawinan itu akan berlangsung segera. Aku mengharap kau sempat mempertimbangkan keputusanmu, supaya adikmu tidak seolah-olah sehelai daun kering yang diterbangkan angin. Ia tidak dapat menolak keinginan Akuwu, tetapi ia merasa diasingkan dari keluarganya."

   Mahisa Agni terdiam.

   Kepalanya masih ditundukkannya.

   Namun ia masih tidak mampu mengatasi perasaan sendiri.

   Kembali mereka terlempar ke dalam suasana sunyi.

   Masing- masing terbenam dalam pikiran sendiri.

   Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni pun mendengar percakapan itu dengan pertanyaan yang membelit hati.

   Kenapa Mahisa Agni menolak bertemu dengan Akuwu? Bukankah suatu karunia tiada taranya, gadis sedesanya dapat menjadi seorang permaisuri, dan gadis itu adalah saudara Mahisa Agni, meskipun kawan-kawannya tahu bahwa gadis itu adalah saudara angkatnya, karena Agni menjadi murid Empu Purwa.

   Tetapi mereka sama sekali tidak mau mencampuri persoalan yang tidak diketahui benar ujung pangkalnya.

   Mereka takut kalau-kalau dengan demikian mereka berbuat kesalahan.Dalam kesenyapan itu tiba-tiba Mahisa Agni berkata.

   "Ah, lupakanlah semua itu Mahendra. Marilah kita berbicara tentang hal yang lain."

   Mahisa Agni itu berhenti sejenak. Tiba-tiba ia berdiri sambil berkata lantang.

   "Lihat, di sini aku akan membuat bendungan. Bendungan itu akan mengaliri tanah padang rumput ini, sehingga padang ini akan menjadi tanah persawahan."

   Mahendra pun memandang ke arah sungai yang ditunjuk oleh Mahisa Agni.

   Namun ia tidak dapat melepaskah persoalannya dengan tiba-tiba.

   Ia masih dicengkam oleh perasaan yang aneh tentang sikap Mahisa Agni terhadap Akuwu Tunggul Ametung.

   Karena itu meskipun ia memandangi arus air yang gemercik di sampingnya, namun ia tidak segera menjawab kata-kata Mahisa Agni.

   Yang terdengar kemudian adalah suara Mahisa Agni.

   "Mahendra, apabila kami telah berhasil mengangkat air, dan menyalurkannya ke dalam parit-parit yang akan kita buat pula, maka tanah ini akan menjadi tanah subur. Tidak kalah suburnya dengan tanah-tanah persawahan di Panawijen yang sekarang menjadi kering. Bahkan apabila air nanti cukup banyak, kami akan menyalurkannya pula ke tanah-tanah yang sekarang menjadi kering di Panawijen,"

   Mahisa Agni berhenti sebentar, kemudian katanya melanjutkan.

   "Tetapi jarak untuk itu terlalu jauh."

   Ketika Mahisa Agni kemudian berpaling memandangi wajah Mahendra, maka Mahendra itu mengangguk kosong. Katanya.

   "Ya. Mudah-mudahan."

   Mahisa Agni pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Tetapi ia tidak berkata lagi.

   Kini ia berjalan perlahan-lahan mendekati air yang mengalir tanpa ada henti-hentinya.

   Berpuluh- puluh tahun bahkan mungkin telah beratus-ratus tahun.

   Tetapi Mahisa Agni itu terkejut ketika Mahendra berkata kepadanya.

   "Mahisa Agni. Jadi bagaimana jawabmu yang harus aku sampaikan kepada Kakang Witantra?"Mahisa Agni menggigit bibirnya. Tetapi ia masih berdiri di pinggiran sungai. Bahkan ujung kakinya telah menyentuh air yang gemercik di bawah kakinya, mencerminkan bayangan bintang- bintang di langit. Berkilat-kilat dan bergetar karena arusnya.

   "Maaf. Aku minta maaf kepada kakak seperguruanmu itu. Aku minta maaf kepada Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu itu tidak perlu datang kepadaku. Katakanlah kepada Witantra agar disampaikannya kepada Akuwu, bahwa segala sesuatu tergantung kepada Ken Dedes sendiri. Kalau ia menghendakinya, maka biarlah dilakukannya apa yang baik untuknya."

   "Hem,"

   Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia bertanya.

   "Tetapi bagaimana sikapmu secara jujur? Apakah kau berkenan di hati atau sebaliknya?"

   Dada Mahisa Agni berdesir mendengar pertanyaan itu. Kemudian jawabnya.

   "Aku tidak dapat memandang persoalan ini dengan sejujur hatiku. Persoalan ini sudah terlanjur masuk ke dalam keadaan yang tidak aku kehendaki."

   "Mungkin ada soal-soal yang dapat dibicarakan, dicari kemungkinan yang dapat memberimu kepuasan."

   Mahisa Agni itu tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Tetapi kemudian terdengar giginya gemeretak. Tiba-tiba sekali lagi ia berkata lantang.

   "Mahendra. Jangan kau risaukan lagi persoalan itu. Lihat. Lihat arus sungai ini. Cukup besar dan cukup kuat untuk mengaliri padang ini. Bagaimana pendapatmu? Apakah kau melihat pula kemungkinan itu?"

   Tiba-tiba suaranya menurun.

   "Maaf jangan kau singgung lagi tentang adikku itu. Biarlah ia menentukan jalannya sendiri. Aku akan selalu merestuinya. Tetapi bagaimana dengan rencanaku membuat bendungan di sini?"

   Sekali lagi Mahendra menarik nafas dalam-dalam.

   Ternyata Mahisa Agni itu benar-benar sudah tidak mau lagi diajaknya untuk membicarakan masalah adiknya dan Akuwu Tunggul Ametung.Karena itu maka ia tidak mau bertanya lagi, sebab dengan demikian akan dapat menyinggung perasaan anak muda perasa itu.

   Bahkan Mahendra itu pun kemudian berdiri dan melangkah maju mendekati Mahisa Agni.

   diamat-amatinya sungai yang mengalir dalam gelap malam itu.

   Mahendra itu terkejut ketika tanpa disangka-sangkanya Mahisa Agni menepuk punggungnya sambil berkata.

   "He, bagaimana? Bukankah tempat ini akan menjadi tempat yang sangat baik untuk membangun bendungan?"

   Dengan serta-merta, di luar sadarnya Mahendra menjawab.

   "Ya. Baik. Tempat ini baik sekali untuk membuat bendungan."

   Mahisa Agni tertawa masam.

   Ia sadar bahwa jawaban Mahendra itu demikian saja meluncur dari bibirnya.

   Tetapi Mahisa Agni tidak mendesaknya lagi.

   Ketika kemudian mereka terdiam sesaat, terdengar suara gemercik air itu menjadi semakin keras.

   Di bawah mereka, sayup- sayup terdengar gemerajak air jeram.

   Bahkan apabila angin mengalir semakin keras, maka suara jeram-jeram itu pun terbawa pula ke telinga Mahisa Agni, Mahendra, dan ketiga kawan- kawannya, semakin keras pula.

   Namun dalam pada itu, ternyata di dalam dada Mahisa Agni terdengar suara yang jauh lebih riuh lagi dari suara arus sungai itu dan bahkan lebih gemuruh dari suara gerojogan jeram-jeram di sebelah.

   Untuk menindas kegelisahannya tiba-tiba Mahisa Agni berkata.

   "He, Mahendra, dari mana kau tahu bahwa aku berada di tempat ini?"

   Mahendra mengerutkan keningnya. Dengan segan ia menjawab pendek.

   "Dari Ken Arok."

   "Aku bertemu dengan Ken Arok tidak di sini."

   "Kau menelusur sungai ini,"

   Sahut Mahendra.

   "aku pun berbuat demikian menurut petunjuk Ken Arok."Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi suara di dalam dadanya masih saja berdesingan. Sehingga kembali ia mencoba melepaskan tekanan perasaan itu.

   "Kenapa kau berjalan sendiri? Di mana saudara seperguruanmu yang nakal itu, Kebo Ijo?"

   "Ia kini bekerja di istana."

   "He, apakah yang dikerjakannya?"

   "Seperti Kakang Witantra. Baru beberapa hari atas ajakan Kakang Witantra, supaya ia tidak berkeliaran saja sepanjang jalan sambil mengganggu gadis-gadis."

   "Bagus. Itu lebih baik baginya,"

   Sahut Mahisa Agni.

   Tetapi Mahendra tidak berkata apa-apa lagi, sehingga kembali suasana menjadi kaku dan sepi.

   Kembali suara air gemericik itu menyentuh-nyentuh sepinya malam.

   Namun tiba-tiba Mahisa Agni dan Mahendra mendengar suara yang lain-lain.

   Bukan suara gemercik air, dan bukan pula suara jeram-jeram di sebelah.

   Suara itu semakin lama menjadi semakin jelas, semakin jelas.

   Sesaat Mahendra dan Mahisa Agni saling berpandangan.

   Hampir bersamaan pula mereka berpaling memandangi ketiga kawan Mahisa Agni yang duduk membeku memeluk lutut-lutut mereka.

   Bersamaan pula mereka segera mendapat kesimpulan, bahwa bukan mereka bertiga itulah yang sedang berbisik-bisik.

   Tetapi pasti orang lain.

   Karena itu, maka dengan matanya Mahisa Agni memberi isyarat kepada Mahendra, dan Mahendra pun segera menangkap maksudnya.

   Tanpa berkata sepatah kata pun mereka kemudian berjalan kembali ke samping kawannya.

   Namun mereka tidak segera duduk bersama mereka, bahkan kemudian Mahisa Agni dan Mahendra itu pun berdiri berhadapan, sehingga mereka masing-masing dapat melihat, apa yang ada di belakang mereka sebelah menyebelah.Sejenak mereka tidak lagi mendengar apapun.

   Suara berbisik itu seakan-akan lenyap.

   Dengan demikian mereka mendapat kesimpulan, bahwa suara itu berada lebih dekat pada tempat mereka berdiri semula, atau orang-orang yang sedang berbisik-bisik itu kini telah berdiam diri.

   Tetapi Mahisa Agni dan Mahendra tidak kehilangan kewaspadaan.

   Segera mereka mempertajam pendengaran mereka, untuk mencoba menangkap setiap suara yang betapapun lemahnya, menyentuh telinga mereka.

   Dan sejenak kemudian kembali mereka mendengar suara itu perlahan-lahan.

   Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa yang menggetarkan udara malam.

   Mahisa Agni dan Mahendra segera menyadari bahaya yang datang.

   Apalagi ketiga kawan-kawan Mahisa Agni.

   Tubuh mereka tiba-tiba menggigil seperti orang kedinginan.

   Namun mereka sama sekali tidak berani beranjak dari tempat mereka masing-masing, sebab mereka tidak melihat siapakah yang sedang tertawa menyakitkan telinga itu.

   "Orang itukah yang bernama Mahisa Agni,"

   Terdengar suara dari balik-balik gerumbul di pinggir sungai.

   "Ya,"

   Jawab suara yang lain.

   "Bagus. Aku ingin melihatnya dari dekat,"

   Berkata suara yang pertama.

   Mahisa Agni segera memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu.

   Mahendra pun kemudian melangkah maju, dan tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya.

   Sejenak kemudian mereka melihat tiga orang yang muncul dari balik gerumbul.

   Seorang tua bertongkat hampir sepanjang tubuhnya.

   Seorang lagi anak muda yang berpakaian seperti pakaian pelayan dalam namun dalam keadaan yang kusut, yang segera mereka kenal, Kuda Sempana.

   Sedang di sampingnya masih ada lagi seorang yang lain.Dada Mahisa Agni berdesir.

   Dugaannya ternyata terjadi.

   Seperti yang dicemaskan oleh ketiga kawan-kawannya itu, Kuda Sempana datang dengan kawan-kawannya.

   Dalam pada itu terdengar Mahendra berbisik.

   "Kuda Sempana. Aku mendengar pula dari Ken Arok. apa yang telah dilakukan di padang ini."

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.

   Hatinya yang sedang risau itu tiba-tiba seperti terbakar melihat kedatangan Kuda Sempana kembali.

   Anak muda itu adalah sumber dari segala bencana yang menimpa gurunya, Ken Dedes dan dirinya sendiri.

   Bahkan akibatnya telah menimpa Panawijen pula, sehingga malam ini ia terpaksa berada di padang Karautan.

   Karena itu, maka Mahisa Agni itu tiba-tiba menggeretakkan giginya.

   Tiga orang yang datang itu pun semakin lama menjadi semakin dekat.

   Orang yang bertongkat hampir sepanjang tubuhnya itu ternyata seorang yang telah lanjut usia.

   Janggutnya tidak seberapa panjang, namun dalam kelam malam, Mahisa Agni dapat membedakannya, bahwa janggut itu telah mulai memutih.

   Tetapi Mahisa Agni lebih terkejut lagi ketika kemudian dilihatnya kawan Kuda Sempana yang seorang lagi.

   Ternyata orang itu pernah dikenalnya.

   Orang itu adalah saudara seperguruan Kuda Sempana yang pernah bertempur dengannya di sebuah padukuhan di kaki Gunung Semeru.

   Padukuhan Kajar.

   Dan orang itulah yang dahulu pernah dikenalnya dengan nama Bahu Reksa Kali Elo.

   Kini orang yang menyimpan dendam di hatinya itu datang kembali kepadanya.

   Dahulu orang itu pernah berkata kepadanya, bahwa ia pada suatu saat akan menebus kekalahannya.

   Kini ternyata orang itu benar- benar datang.

   Bukan seorang diri, namun bersama-sama dengan orang lain yang menyimpan dendam pula kepadanya, sebagaimana ia mendendamnya, Kuda Sempana.

   Tanpa disadarinya Mahisa Agni berpaling.

   Dipandanginya wajah Mahendra yang tegang.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tangannya masih melekat di hulu pedangnya.

   Namun Mahisa Agni tidak dapat menangkap kata hatianak muda itu.

   Apakah yang kira-kira akan dilakukannya, seandainya ia terlibat dalam perkelahian yang seru dan bahkan ia harus melawan orang-orang yang datang itu sekaligus.

   Apalagi ketika kemudian Mahisa Agni mencoba menduga siapakah orang tua yang berjanggut putih jarang-jarang itu? Apakah orang itu guru mereka? Guru Kuda Sempana dan Bahu Reksa Kali Elo itu? Ketiga orang itu pun kemudian berhenti beberapa langkah di hadapan Mahisa Agni dan Mahendra.

   Mereka memandangi Mahisa Agni seperti memandangi hantu.

   Namun kemudian terdengar orang tua itu bertanya.

   "Bukankah yang ini yang bernama Mahisa Agni itu?"

   Kuda Sempana mengangguk. Jawabnya.

   "Ya. Itulah."

   Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Sekali-sekali dipandanginya pula Mahendra, namun ia tidak berkata apapun, tentang anak muda itu.

   Yang kemudian berkata adalah Bahu Reksa Kali Elo.

   Suaranya terdengar parau di antara suara tertawanya yang menyakitkan hati.

   "He, Mahisa Agni. Apakah kau masih ingat kepadaku?"

   Mahisa Agni tidak segera menjawab.

   Ditatapnya wajah itu tajam- tajam.

   Tiba-tiba ia menjadi muak melihat mukanya, karena itu maka sama sekali ia tidak bernafsu untuk menjawab pertanyaannya.

   Karena Mahisa Agni masih saja berdiam diri, maka berkatalah orang itu pula.

   "Agni, jangan berpura-pura tidak mengenal aku lagi. Apakah kau takut aku membalas sakit hatiku saat itu?"

   Warna merah menjalar di wajah Mahisa Agni mendengar kata- kata orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu. Alangkah memuakkan. Apalagi ketika kemudian ia mendengar orang itu tertawa.

   "Ha. Kau sekarang menjadi pucat melihat kehadiranku di sini? Tetapi sayang, semuanya sudah terlambat. Aku tidak dapat menarik diri lagi, sebab aku sudah bertekad untuk melepaskan dendamku."Gigi Mahisa Agni menjadi gemeretak karena kemarahan yang membakar dadanya. Namun justru karena itu, terasa mulutnya seakan-akan terbungkam. berjejal-jejal kata-kata yang akan diucapkan, namun tak sepatah kata pun yang dapat meloncat keluar selain suara gemeretak giginya. Yang menjawab kata-kata itu justru Mahendra. Anak itu menjadi muak juga melihat tampang orang yang berkata seenaknya seolah- olah ia sendiri orang laki-laki di kulit bumi ini.

   "Jangan membual. Siapa kau?"

   Orang itu berpaling. Ditatapnya wajah Mahendra. Kemudian masih sambil tertawa ia bertanya.

   "Siapa kau?"

   Mahendra menggeram. Ia menjadi semakin tidak senang mendengar orang itu tidak menjawab pertanyaannya, malahan ia bertanya seperti kepada pelayannya. Karena itu maka Mahendra membentak.

   "Jangan membadut. Jawab pertanyaanku, siapa kau?"

   Orang itu mengerutkan keningnya. Sekali-sekali ia mengusap wajahnya yang kasar.

   "Kau ingin tahu namaku?"

   Katanya. Mahendra tidak menjawab. Ditatapnya wajah itu tajam-tajam seakan-akan dari matanya memancar api yang langsung akan menjilat wajah itu. Orang itu berpaling kepada Kuda Sempana. Dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati ia berkata.

   "Inikah cucurut yang bernama Ken Arok itu?"

   Kuda Sempana menggeleng.

   "Bukan. Itu bukan Ken Arok."

   "Oh,"

   Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu menganggukkan kepalanya. Bahkan orang tua yang bertongkat hampir sepanjang tubuhnya menganggukkan kepalanya pula.

   "Siapa orang ini? Apakah kau mengenalnya juga?"

   "Namanya Mahendra,"

   Jawab Kuda Sempana."Nama yang bagus,"

   Sahut orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo. Kemudian kepada Mahendra ia bertanya.

   "Apakah kau saudara seperguruan Mahisa Agni?"

   Mahendra itu pun kemudian menjadi sedemikian muaknya, sehingga ia tidak mau lagi menjawab pertanyaannya.

   "He, apakah kau tidak mendengar?"

   Mahendra masih berdiam diri.

   "Kedua-duanya menjadi bisu,"

   Teriak orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo.

   Namun baik Mahendra maupun Mahisa Agni sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.

   Akhirnya orang yang bertongkat dan berjanggut putih, maju selangkah.

   Diamat-amatinya kedua anak muda itu dengan seksama.

   Kemudian katanya.

   "Agaknya kalian telah saling mengenal. Kalian berdua dengan kedua anak ini. Tetapi baiklah aku memperkenalkan diriku, dan barangkali ada di antara kalian berdua yang belum mengenal salah seorang anak ini. Yang pertama adalah Kuda Sempana, agaknya kalian sudah mengenal. Sedang yang lain yang lebih tua ini bernama Cundaka. Tetapi ia lebih senang disebut Ki Bahu Reksa Kali Elo,"

   Orang tua itu berhenti sesaat. Sedang Mahisa Agni dan Mahendra masih berdiri dengan tegangnya. Tanpa mereka sangka-sangka orang tua itu menunjuk kepada ketiga kawan Mahisa Agni yang benar-benar telah membeku.

   "Kuda Sempana, itukah ketiga kawanmu yang kau katakan?"

   "Ya,"

   Sahut Kuda Sempana. Orang tua itu tertawa. Suaranya yang benar-benar menyakitkan telinga dan hati.

   "Pantas. Orang-orang yang demikian itulah yang malahan akan mati lebih dahulu. Orang-orang yang sangat memuakkan."Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni mendengar pula kata-kata itu. Dan sebelum sesuatu menyentuh tubuhnya, mereka sudah merasa, seakan-akan mereka telah benar-benar mati.

   "Sekarang,"

   Berkata orang tua itu kepada Mahisa Agni dan Mahendra.

   "kalian pasti ingin mengenal aku bukan? Nah, sebut saja aku dengan nama Empu Sada. Ya, itulah namaku."

   Dada Mahisa Agni dan Mahendra menjadi berdebar-debar.

   Orang ini agaknya mempunyai kelebihan dari Kuda Sempana dan Cundaka yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo.

   Mungkin Kuda Sempana sengaja membawanya untuk melepaskan dendamnya kepada Mahisa Agni.

   Bahkan mungkin pula orang ini adalah gurunya.

   Dalam derap jantungnya yang semakin cepat, Mahisa Agni dan Mahendra mendengar orang itu berkata lebih lanjut.

   "Ketahuilah, akulah guru kedua anak-anak ini."

   Darah Mahisa Agni dan Mahendra serasa berhenti mengalir mendengar penjelasan itu, meskipun mereka telah menyangka pula.

   Guru Kuda Sempana pasti bukan orang yang dapat disejajarkan dengan diri mereka.

   Karena itu, maka segera kecemasan merayap ke dalam jantung mereka.

   Apakah yang dapat mereka lakukan terhadap guru Kuda Sempana itu?"

   Namun Mahisa Agni dan Mahendra bukanlah laki-laki pengecut. Apapun yang akan dihadapinya, namun mereka tidak akan berlutut dan mohon belas kasihannya. Kemudian terdengar orang itu berkata.

   "Nah Mahisa Agni, Kepadamulah kami berkepentingan. Anak ini, yang bernama Mahendra sama sekali tidak kami kenal. Namun karena ia hadir juga di sini, maka ia akan mendapat bagian juga, meskipun tidak sebanyak Mahisa Agni."

   Kembali dada Mahisa Agni dan Mahendra berdesir. Namun kata- kata itu ternyata telah membulatkan tekad mereka, untuk menghadapi setiap kemungkinan dengan sikap jantan. Karena itu, justru pada saat-saat yang tegang Mahisa Agni menggeram.

   "Hem.Ternyata Kuda Sempana dan setan itu sama sekali tidak berani menyelesaikan persoalan mereka sendiri."

   Telinga Kuda Sempana dan Cundaka yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu seperti disengat api mendengar kata-kata Mahisa Agni. Karena itu, maka sambil mengumpat Cundaka menjawab.

   "Demit busuk! Ayo, sekarang kau masih juga mencoba menyombongkan dirimu? Hari ini adalah hari terakhirmu. Celakalah kau bertemu aku di padang Karautan."

   "Jangan banyak bicara,"

   Potong Mahisa Agni.

   "apa maumu?"

   Cundaka itu mengerutkan keningnya.

   Ia merasa bahwa ia pernah dikalahkan oleh Mahisa Agni.

   Sedang apa yang dicapainya selama ini, setelah ia berjanji untuk lain kesempatan bertemu kembali, hampir tidak ada sama sekali.

   Ia lebih senang berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain mencari apa saja yang dapat dimilikinya.

   Bahkan ia telah pula kembali ke Kajar mencari Pasik.

   Tetapi Pasik telah menghilang.

   Karena itulah maka dendamnya kepada Mahisa Agni menjadi semakin bertambah-tambah.

   Seandainya Pasik masih ada padanya, maka ia akan dapat dipergunakannya untuk memungut bulu bekti di daerah kaki Gunung Semeru yang jauh itu.

   Sedang apabila ia sendiri harus pergi ke sana setiap kali, maka rasanya ia tidak akan sanggup.

   Untuk sesaat Cundaka itu berdiam diri.

   Ditatapnya wajah Mahisa Agni dan Mahendra berganti-ganti.

   Kemudian ia berpaling kepada Kuda Sempana seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangannya.

   Kuda Sempana itu pun mengumpat di dalam hatinya.

   Ia membawa saudara seperguruannya untuk melepaskan sakit hatinya atas Mahisa Agni itu, seperti juga Cundaka ingin melepaskan sakit hatinya.

   Namun tiba-tiba di tempat itu hadir pula Mahendra.

   Karena itu maka ia pun menjadi ragu-ragu.

   Namun di antara mereka, hadir pula guru mereka.

   Empu Sada.

   Apakah gurunya itu akan membiarkan mereka dalam kebimbangan? Ternyata Empu Sada itu pun tersinggung pula mendengar kata- kata Mahisa Agni.

   Meskipun ia tidak menganggap murid-muridnyasebagai saluran cita-citanya, bahkan murid-muridnya baginya tidak lebih dari sapi perahan untuk mendapatkan kekayaan, namun ketika ia langsung melihat di hadapannya, muridnya seakan-akan menjadi kecut, mau tidak mau harga diri perguruan Empu Sada pun tidak dapat membiarkannya.

   Sejenak kemudian ketika kedua muridnya seakan-akan terdiam membeku, maka terdengar ia berkata.

   "Kuda Sempana dan Cundaka. Bagaimana dengan rencana kalian. Bukankah kalian berdua ingin mengikat Mahisa Agni dan menarik di belakang kuda kalian ke arah yang berlawanan?"

   Dada Mahisa Agni berdesir mendengar pertanyaan itu.

   "Gila!"

   Geramnya di dalam dadanya. Bahkan Mahendra pun terdengar menggeretakkan giginya.

   "Ya, Guru,"

   Jawab Kuda Sempana, tetapi jawaban itu sama sekali kurang meyakinkan.

   "Kenapa kau sekarang menjadi ragu-ragu,"

   Bertanya gurunya.

   "apakah kau menjadi iba setelah kau melihat wajahnya yang pucat seperti mayat itu."

   "Tidak!"

   Sahut Cundaka lantang.

   "Aku akan melakukan rencanaku. Bukan begitu Kuda Sempana?"

   Kuda Sempana mengangguk. Tetapi ia cukup mengenal Mahendra. Dan apakah Mahendra akan tetap berdiam diri? "Nah, apakah yang kalian tunggu?"

   Bertanya gurunya. Kuda Sempana menggeram. Ditatapnya wajah Mahendra yang tegang setegang wajahnya sendiri. Tiba-tiba terdengar Mahendra itu berkata.

   "Kuda Sempana. Dendammu itulah yang kelak pasti akan menghancurkan dirimu sendiri. Agaknya kau tidak mau melihat kenyataan."

   "Tutup mulutmu Mahendra! Kau tidak bersangkut paut dengan urusanku.""Kau pasti telah pernah mendengar pula apa yang terjadi atasku. Aku hampir gila seperti kau pula ketika aku tidak berhasil mendapat gadis Panawijen itu. Tetapi kemudian aku menyadari keadaan. Aku melihat kenyataan. Karena itu aku tidak menjadi gila seperti kau."

   "Persetan dengan bicaramu! Kalau kau ingin selamat tinggalkan tempat ini."

   "Jangan mengancam! Tak ada gunanya. Aku sudah dapat mengukur sampai di mana kemampuanmu Kuda Sempana. Kau tidak mampu mengalahkan Witantra. Meskipun aku adik seperguruannya, namun aku pasti akan mampu pula melawan ajimu Kala Bama yang tidak berarti itu."

   Wajah Kuda Sempana menjadi merah padam mendengar tantangan Mahendra itu.

   Namun bukan saja Mahendra tetapi juga Cundaka merasa tersinggung karena anggapan yang menyakitkan hati atas Kala Bama, ilmu yang dibanggakan.

   Apalagi guru Kuda Sempana itu.

   Betapapun juga, ia adalah sumber dari ilmu itu.

   Ia adalah guru yang telah menurunkan ilmu itu, sehingga kata-kata Mahendra itu benar-benar menyinggung perasaannya.

   Karena itu maka orang yang bertongkat hampir sepanjang tubuhnya itu maju selangkah.

   Ditatapnya wajah Mahendra baik- baik.

   Kemudian katanya sambil memiringkan kepalanya.

   "He, anak muda. Apakah kau sadari kata-katamu? Kau menghina perguruanku."

   "Sebaiknya kau tidak usah mencampuri urusan ini,"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut Mahendra dengan beraninya.

   Sebab ia merasa bahwa ia sudah terjerumus dalam pertentangan yang mendalam dengan perguruan Empu Sada, karena ia telah terlanjur menghinakan ilmunya.

   Tetapi sebagai laki-laki Mahendra tidak juga beranjak surut.

   Tiba-tiba guru Kuda Sempana yang bernama Empu Sada itu tertawa.

   Suara tertawanya benar-benar menyakitkan telinga.

   Katanya.

   "He, Kuda Sempana dan Cundaka. Biarlah aku turut dalam permainan ini. Semula aku hanya ingin melihat anak muda yang bernama Mahisa Agni itu, tetapi tiba-tiba aku ingin menangkapkelinci di padang ini. Kini, teruskan rencanamu. Kau berdua harus dapat menangkap Mahisa Agni. Ikat ia dengan kedua kuda kalian dan paculah ke arah yang berbeda. Aku akan mengikat anak ini pada kudaku, nanti aku akan melihatnya terkelupas seperti pisang."

   Kembali terdengar suara tertawa menyakitkan hati berkepanjangan memenuhi padang Karautan itu.

   Terasa dada Mahisa Agni dan Mahendra bergetar mendengar kata-kata itu.

   Menurut pernilaian Mahisa Agni dan Mahendra, maka Empu Sada itu pasti tidak sekedar bergurau dan mengancam.

   Menilik sikap dan nada tertawanya, ia pasti akan dapat melakukannya seperti yang dikatakannya.

   Mahisa Agni itu pun kemudian menduga, bahwa mereka pasti telah menyembunyikan kuda mereka, atau sengaja mereka menuntun kuda-kuda mereka, sebelum mereka menemukan tempatnya.

   Tetapi ia tidak sempat berpikir tentang kuda.

   Ia kini harus bersikap menghadapi hantu-hantu yang melampaui kebiadaban hantu Karautan yang pernah menggemparkan seluruh Tumapel.

   Yang terdengar kemudian adalah sisa-sisa nada tertawa Empu Sada.

   Kemudian katanya pula.

   "Sebenarnya aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu Mahendra, bahwa dengan mengikutimu, ternyata kau telah menunjukkan kepada kami, di mana Mahisa Agni bersembunyi. Nah, karena kau telah menghina perguruanku, maka sekarang aku terpaksa berbuat sesuatu atasmu. Karena itu, supaya aku tidak mengubah rencanaku dengan rencana lain yang lebih dahsyat, marilah ikuti aku ke tempat kudaku aku tambatkan, sebelum aku mengikutimu dengan berjalan kaki. Sebab menurut perhitunganku, Agni yang mimpi membuat bendungan itu pasti akan tertarik perhatiannya pada jeram-jeram ini. Ternyata perhitunganku benar, sehingga aku tidak menyimpan kuda itu terlampau jauh."

   Sekali lagi Mahendra menggeram. Kata-kata itu benar-benar merupakan penghinaan baginya. Karena itu jawabnya lantang.

   "Jangan banyak bicara tikus tua. Kalau kau mau membunuhMahendra, bunuhlah dengan cara yang kau sukai. Tetapi jangan mencoba menakut-nakuti aku dengan segala macam kata-kata yang bagiku tak akan berarti."

   Empu Sada mengerutkan keningnya. Tampaklah alisnya yang tebal bergerak-gerak. Sekali-sekali ia mengerling kepada Mahisa Agni, namun kemudian kembali ditatapnya wajah Mahendra.

   "Huh, kau terlampau kasar. Seharusnya kau mati dengan cara lain."

   Empu Sada itu kini sudah tidak tertawa lagi. Bahkan kemudian katanya kasar kepada kedua muridnya.

   "Ayo, apa yang kalian tunggu. Tangkap Mahisa Agni. Biarlah anak ini aku selesaikan."

   Kedua murid Empu Sada itu terkejut, dan dada Mahisa Agni pun berdesir.

   Tetapi ia tidak dapat berbuat lain.

   Ia harus melawan dengan segenap kekuatan yang ada padanya.

   Untuk menghadapi kedua lawannya Mahisa Agni tidak boleh kehilangan waktu.

   Sebab kecuali mereka hadir pula guru mereka, Empu Sada yang pasti memiliki banyak kelebihan dari kedua muridnya.

   Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkan Mahendra mengalami bencana pula.

   Karena itu, maka tidak ada pertimbangan lain, daripada segera membinasakan lawan-lawannya.

   Demikianlah maka diam-diam Mahisa Agni memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya.

   Tanpa bersikap disusunnya getaran- getaran di dalam dadanya.

   Dialirkannya segenap kekuatannya ke dalam telapak tangannya.

   Sementara itu ia mendengar Cundaka tertawa.

   Meskipun tidak setajam suara gurunya namun suara itu pun benar-benar telah menyakitkan hati Mahisa Agni.

   "Kuda Sempana,"

   Berkata orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu.

   "kali ini jangan lepas lagi. Kita akan dapat melepaskan dendam kita sekehendak hati. Kalau anak itu telah kami ikat kaki dan tangannya, maka kita akan mendapatkan permainan yang mengasyikkan."Kuda Sempana menganggukkan kepalanya. Tetapi mulut pada wajahnya yang selalu gelap itu sama sekali tidak tertawa. Tersenyum pun tidak. Namun ialah yang mendekat lebih dahulu sambil bergeremang.

   "Agni. Beberapa kali kau menggagalkan rencanaku untuk dapat memiliki Ken Dedes. Kalau bukan kau yang selalu menghalangi, maka aku tidak akan mengalami nasib sejelek sekarang ini. Aku tidak perlu menyangkutkan kepentinganku dengan Akuwu yang ternyata curang. Ternyata Akuwu sendiri mempunyai pamrih atas gadis itu. Nah, jangan menyesal sekarang. Sudah jauh terlambat. Terimalah nasibmu yang jelek sebagaimana nasibku sendiri."

   Mahisa Agni sama sekali tidak menjawab.

   Ketika dengan sudut matanya, ia memandangi wajah Mahendra, dilihatnya wajah anak muda itu menjadi tegang.

   Ternyata Mahendra sama sekali tidak memperhatikan dirinya sendiri dan Empu Sada.

   Perhatiannya sama sekali tercurah pada Mahisa Agni.

   Sekali lagi terdengar gigi Mahisa Agni gemeretak.

   Ketika ia melihat Kuda Sempana bergerak, maka dituntaskannya segenap getaran di dalam dadanya.

   Kini ia tinggal memerlukan dorongan untuk melepaskan puncak kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya, sebab ia sudah tidak melihat kemungkinan lain.

   Dengan demikian ia mengharap segera dapat mengurangi satu lawannya untuk kemudian menghadapi lawan yang jauh lebih kuat daripadanya.

   Meskipun sesaat Mahisa Agni menjadi bimbang untuk dengan tiba-tiba saja mempergunakan puncak ilmu pada gerak yang pertama, namun diamatinya perjuangannya yang akan menjadi jauh lebih berat dari setiap perjuangan yang pernah dilakukan.

   Melawan Empu Sada.

   Kuda Sempana dan Cundaka pun kemudian berjalan semakin dekat.

   Kedua wajah itu bagaikan bumi dan langit.

   Kuda Sempana memandang Mahisa Agni dengan penuh dendam dan gejolak kemarahan, sedang orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa KaliElo itu masih saja tertawa penuh hinaan.

   Namun keduanya bagaikan wajah-wajah hantu yang haus melihat maut.

   Tetapi tiba-tiba Kuda Sempana dan Cundaka tertegun.

   Sesaat mereka justru diam mematung.

   Baru kemudian disadarinya, bahwa bahaya maut justru telah mengancam mereka.

   Dalam gerak yang cepat secepat tatit, mereka melihat Mahisa Agni menyilangkan kedua tangannya di muka dadanya.

   Hanya sesaat sebagai unsur daya penggerak dan pelontar kekuatannya.

   Sesaat kemudian, anak muda itu telah meloncat dengan dahsyatnya sambil mengayunkan tangannya dalam gerak pelepasan kekuatan puncaknya, Aji Gundala Sasra, mengarah kepala Kuda Sempana.

   Bukan main terkejut Kuda Sempana dan Cundaka.

   Loncatan itu sedemikian cepatnya, sehingga sama sekali tak memberi mereka waktu untuk berbuat sesuatu.

   Apalagi Kuda Sempana.

   Ia melihat Mahisa Agni seolah-olah anak panah yang meluncur seperti tatit menyambarnya.

   Ia tidak dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya.

   Tak ada waktu baginya untuk membangunkan kekuatan aji Kala Bama untuk mengimbangi kekuatan aji lawannya.

   Meskipun seandainya kekuatan kedua aji itu kurang seimbang, namun ia pasti tidak akan dapat dilumatkan oleh lawannya.

   Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan itu.

   Satu-satunya usaha yang dapat dilakukan adalah mengelak dan meloncat jauh- jauh.

   Namun Mahisa Agni pasti akan memburunya, dan kemudian memukul tengkuknya sehingga tulang lehernya akan terpatahkan.

   Meskipun demikian, Kuda Sempana masih juga berusaha.

   Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan ia melontar ke samping, untuk mencoba menghindarkan diri dari sambaran maut di tangan Mahisa Agni.

   Mahisa Agni melihat gerak lawannya.

   Cepat ia menggeliatkan dan sekali lagi menyentuh tanah dengan kakinya, sehingga geraknya pun berubah arah.

   Ia benar-benar ingin membinasakan Kuda Sempana untuk segera dapat melakukan perlawanannya ataslawan-lawannya yang tinggal dan yang jauh lebih kuat dari dirinya sendiri meskipun berdua dengan Mahendra.

   Kuda Sempana terkejut melihat perubahan sikap Mahisa Agni.

   Sekali lagi ia melihat maut menyambarnya.

   Karena itu, maka sekali lagi ia terpaksa menghindar.

   Kuda Sempana itu kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali menjauhi Mahisa Agni.

   Namun yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.

   Ketika sekali lagi Mahisa Agni menjejakkan kakinya di tanah dan melontarkan diri mengejar Kuda Sempana, ia melihat sebuah bayangan yang melontar cepat sekali di hadapannya.

   Demikian cepatnya sehingga Mahisa Agni tidak sempat menghentikan dirinya sendiri.

   Dalam keadaan yang demikian itulah, maka Mahisa Agni dengan menghentakkan giginya, menyambar bayangan itu dengan telapak tangannya.

   Telapak tangan yang telah dipenuhinya dengan kekuatan yang disebutnya Gundala Sasra.

   Terjadilah suatu benturan yang dahsyat.

   Bayangan itu tergetar.

   Namun tetap tegak di tempatnya.

   Sedang Mahisa Agni sendiri terpental surut beberapa langkah.

   Terdengar tubuhnya terbanting jatuh di tanah.

   Dan terdengar pula ia mengeluh tertahan.

   Ternyata ayunan tangan Mahisa Agni itu telah membentur tubuh Empu Sada.

   Guru Kuda Sempana.

   Betapapun juga ia tidak dapat melihat muridnya dihancur lumatkan di hadapan hidungnya.

   Meskipun ia sekedar seorang guru upahan, yang mengajar muridnya bukan karena keyakinannya, namun hubungan yang telah terjalin sedemikian lamanya, antara dirinya dan muridnya itu, telah mendorongnya untuk mencoba menyelamatkannya.

   Ketika ia melihat Mahisa Agni berdiri saja seperti patung melihat wajahnya yang tegang, melihat cahaya matanya yang bergetar dan dadanya yang menggelombang, maka Empu Sada yang sudah kenyang melihat hitam putihnya berbagai macam ilmu, segera menyadari bahaya yang sedang disusun oleh anak muda itu.

   Karena itu maka ia tidak melepaskan kesiagaan seandainya muridnya menjadi lengah.

   Dan ternyata hal itu terjadi.

   Muridnya hampir sajadapat dibinasakan oleh anak muda yang akan ditangkapnya, karena itu, maka ia tidak dapat membiarkannya.

   Segera ia meloncat memotong gerakan Mahisa Agni yang sedang mengejar Kuda Sempana yang mencoba menghindari lawannya sambil berguling- guling di tanah.

   Benturan yang terjadi itulah yang kemudian telah melemparkan Mahisa Agni.

   Betapa dahsyat ilmunya, namun ia masih belum mampu melawan keteguhan ilmu Empu Sada.

   Meskipun Empu Sada tidak menyerangnya, namun benturan itu telah menghentakkan kekuatan Mahisa Agni sendiri, sehingga ia tidak mampu untuk menjaga keseimbangannya.

   Bahkan dadanya seakan-akan diketuk oleh suatu kekuatan yang dahsyat, sehingga terasa sesaat nafasnya menjadi sesak.

   Mahendra melihat apa yang terjadi itu dengan getaran yang dahsyat di dadanya.

   Sesaat ia hanya dapat mengikuti peristiwa yang terjadi sedemikian cepatnya itu dengan matanya.

   Tubuhnya sendiri seolah-olah terpaku sehingga untuk sesaat ia tetap berdiri saja mematung.

   Baru kemudian setelah ia melihat Mahisa Agni berguling di tanah disadarinya apa yang terjadi.

   Ia melihat bahaya tidak saja mengancam Mahisa Agni, tetapi akan mengancam dirinya sendiri.

   Karena itu, maka segera ia bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Ia ingin berbuat seperti Mahisa Agni.

   Langsung menyiapkan ilmu puncak di tangannya, sehingga setiap waktu ia akan dapat mempergunakannya.

   Meskipun ilmu itu belum dikuasai sesempurnanya, namun ia sudah mampu mempergunakan untuk menjaga dirinya.

   Tetapi apa yang dilihatnya telah menggetarkan dadanya.

   Ketika ia sedang mencoba menyusun ilmunya, tiba-tiba ia mendengar Empu Sada tertawa dengan nada yang tinggi menyakitkan hati.

   Namun yang lebih mencemaskannya, adalah, tiba-tiba saja orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, yang melihat Mahisa Agni terbanting di tanah dan belum mampu bangkit berdiri, segeraingin mempergunakan kesempatan itu.

   Dengan cepatnya ia meloncat menyerang Mahisa Agni yang masih terbaring di tanah.

   Mahendra tidak dapat membiarkannya terjadi, cepat ia mengambil sikap.

   Ia mengurungkan niatnya, untuk membangkitkan ilmunya, tetapi segera ia pun meloncat secepat Cundaka meloncat.

   Langsung dengan kakinya ia melontarkan serangan ke arah lambung Bahu Reksa Kali Elo.

   Cundaka terkejut melihat kesiagaan Mahendra.

   Karena itu, segera ia menggeliat, dan mencoba menghindari serangan itu.

   Dengan sebuah hentakan di tanah.

   Cundaka berhasil melontarkan ke samping menghindari serangan Mahendra yang meluncur secepat kilat di sampingnya.

   Demikian kaki Mahendra berjejak di atas tanah, cepat-cepat ia memutar tubuhnya siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

   Tetapi ternyata Cundaka belum menyusulnya dengan sebuah serangan balasan.

   Meskipun Mahendra melihat sikap orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu sebagai suatu sikap yang berbahaya, namun ia masih berada di tempatnya.

   Ternyata gurunya, Empu Sadalah yang telah mencegahnya.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kini yang terdengar adalah suara tertawanya yang melengking menyakitkan telinga.

   Di antara suara tertawanya terdengar ia berkata.

   "Hem, anak-anak muda yang perkasa. Meskipun kalian tidak berasal dari satu perguruan, namun kalian ternyata memiliki kemampuan yang cukup untuk saling bekerja bersama-sama."

   Mahendra tidak menjawab.

   Ia menarik nafas ketika ia melihat Mahisa Agni telah berdiri.

   Sekali-sekali dikibaskannya tangannya dan diaturnya pernafasannya.

   Agaknya Mahisa Agni telah berhasil mengurangi perasaan sakitnya dan perlahan-lahan kekuatan yang ada di dalam tubuhnya telah mampu untuk bangkit kembali.

   Empu Sada itu masih tertawa, meskipun semakin lama semakin perlahan-lahan.

   Kemudian katanya pula.

   "Anak-anak muda, aku telah mengenal berbagai macam ilmu dari berbagai macam perguruan. Meskipun aku tidak bergaul dengan orang-orang saktiitu, namun sedikit-sedikit aku dapat mengenal nama mereka. Ternyata kalian adalah murid dari orang-orang sakti yang disegani. Namun nasib kalian agaknya memang kurang baik. Kalian telah melakukan pekerjaan yang berbahaya di tempat yang berbahaya. Karena itu untuk menghilangkan setiap usaha pembalasan dendam, maka kalian harus binasa. Kalau kalian masih hidup, maka kalian akan menyampaikan peristiwa ini kepada guru-guru kalian sehingga mereka pasti tidak akan tinggal diam. Nah, mudah-mudahan guru- guru kalian tidak bermimpi buruk di rumah malam ini."

   Kemudian kepada ketiga anak-anak muda kawan Mahisa Agni yang seakan-akan membeku orang tua bertongkat hampir sepanjang tubuhnya itu berkata.

   "Sayang. Kalian pun harus mati untuk melenyapkan saksi-saksi yang akan mungkin menyebar luaskan berita tentang peristiwa ini. Tetapi jangan takut, kalian akan mati dengan cara yang baik. Kalian akan ditusuk langsung di arah jantung, sehingga kalian tidak akan mengalami derita. Kematian yang demikian itulah yang dicari oleh hampir setiap orang. Mati tanpa menderita. Tetapi tidak demikian dengan Mahisa Agni dan Mahendra. Mereka akan mati dengan cara yang lain sebab mereka telah berani melawan Empu Sada dan murid-muridnya."

   Suasana segera meningkat semakin tegang.

   Kini Mahisa Agni telah hampir menguasai segenap kekuatannya kembali.

   Dengan gigi gemeretak ia berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang.

   Beberapa langkah daripadanya, Mahendra pun telah siap untuk menghadapi segenap kemungkinan.

   "Nah, Kuda Sempana dan Cundaka. Jangan kau dekati Mahisa Agni dalam kewajaran. Siapkan aji Kala Bama. Hantamkan kepadanya bersama-sama apabila seorang-seorang daripada kalian belum dapat memadainya. Ia akan jatuh sekali lagi. Tetapi ia cukup tahan untuk tidak mati. Nah, kemudian kalian akan dapat menangkapnya dan menariknya di belakang kuda-kuda kalian selagi ia masih hidup. Sedang yang satu ini serahkan kepadaku. Bukankah kalian tidak berurusan dengan anak muda yang bersama Mahendra ini?"Tak seorang pun yang menyahut kata-kata itu. Tetapi mereka kemudian segera memusatkan kekuatan lahir dan batin. tanpa berjanji, keempat anak muda itu telah membangunkan kekuatan puncaknya. Kuda Sempana dan Cundaka telah menyusun aji Kala Bama, Mahendra dengan aji Bajra Pati seperti yang dimiliki oleh Witantra dan Mahisa Agni telah memperbaharui kekuatannya dalam ilmunya, aji Gundala Sasra. Dalam ketegangan yang memuncak itu kembali terdengar suara tertawa Empu Sada sambil berkata.

   "Lucu. Aku melihat kelucuan di sini. Kalian, keempat anak-anak muda, sedang membangkitkan ilmu kepercayaan masing-masing. Sebentar lagi kekuatan-kekuatan itu telah siap berbenturan. Namun apakah gunanya kau melawan Mahisa Agni? Dan apa pula gunanya kau mempersiapkan permainan yang buruk itu. Mahendra? Melihat sikapnya, aku menyangka bahwa kau sedang mempersiapkan kekuatan yang dinamai oleh penyusunnya, aji Bajra Pati. Kau sudah melihat Gundala Sasra tak berarti apa-apa bagiku. Karena itu, lebih baik kalian menyerah. Kalian akan segera diikat dan ditarik di belakang kuda. Bukankah semakin cepat semakin baik?"

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak Mahendra tanpa mengenal takut, justru setelah ia menyadari, bahwa ia tidak akan dapat menghindar lagi dari bahaya maut.

   "Ayo, jangan banyak bicara. Kalau aku tak mampu membunuhmu, biarlah aku mati di padang Karautan."

   Orang tua itu menarik nafas. Pandangan matanya kini menjadi semakin buas, seperti burung elang yang melihat anak ayam di pelataran.

   "Hem,"

   Desahnya.

   "kau memang berani. Tetapi kau sedang membuat dirimu sendiri sengsara."

   "Kau hanya mampu berbicara,"

   Potong Mahendra.

   "tetapi kau tidak mampu berbuat apa-apa."

   Orang tua itu agaknya menjadi marah sekali.

   Sebelum Mahendra dapat berbuat sesuatu, tiba-tiba ia merasa sebuah tamparan di pipinya.

   Tamparan tangan orang tua bertongkat itu.

   Gerak itusedemikian cepatnya sehingga Mahendra seakan-akan tidak lebih dari sebuah patung.

   Terasa pipi Mahendra disengat oleh perasaan pedih.

   Ia terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping.

   Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai keseimbangannya.

   "Anak gila!"

   Terdengar suara Empu Sada berat parau.

   "Nah, kau lihat apa yang dapat aku lakukan. Meskipun kau tengah membangun aji yang kau bangga-banggakan namun kau tidak berdaya melawan sebuah pukulan yang sangat sederhana. Apa katamu sekarang?"

   Mahendra menggeram. Namun ia masih menjawab.

   "Persetan! Kau mulai dengan curang sebelum aku bersiap."

   Dada Empu Sada benar-benar terbakar oleh jawaban itu. karena itu maka katanya.

   "Aku memang tidak mempunyai banyak waktu."

   Dalam pada itu, Mahisa Agni yang telah bersiap dengan aji Gundala Sasra itu pun tidak dapat tinggal diam.

   Sekali lagi ia mengerling ke arah Kuda Sempana yang sedang dengan asyiknya melihat gurunya yang sedang marah itu.

   Mahisa Agni masih tetap dalam pendiriannya, bahwa ia harus segera dapat mengurangi jumlah lawan-lawannya.

   Tetapi anak muda itu mengumpat di dalam hatinya ketika ia mendengar Empu Sada memperingatkan muridnya.

   "Kuda Sempana jangan tidur. Sekali lagi kau akan diserang oleh Gundala Sasra. Jangan kau lawan seorang diri. Lawanlah bersama-sama. Kalian akan mendapatkan Mahisa Agni itu seperti seonggok sampah. Nah, kau akan dapat berbuat apa saja atasnya."

   Kini tidak ada jalan lain bagi Mahisa Agni daripada melawan kedua orang itu bersama-sama.

   Karena itu, maka segera Mahisa Agni mengambil sikap.

   Ia harus berusaha mendapatkan arah, yang memungkinkan ia melawan kedua lawannya itu satu demi satu.

   Karena itu, maka ia harus menjadi semakin berhati-hati.

   Dalam pada itu Empu Sada pun telah melangkah maju mendekati Mahendra.

   Perlahan-lahan sekali, seperti seekor kucing sedang menakut-nakuti seekor tikus yang kecil.

   Namun dalam pada itu iamasih berkata kepada murid-muridnya.

   "Hati-hatilah! Meskipun musuhmu itu hanya seorang, tetapi ia cerdik seperti demit."

   Mahisa Agni menggeram.

   Kedua lawannya selalu mendapat peringatan dari gurunya.

   Namun ia tidak dapat mengeluh saja di dalam hatinya.

   Ia harus menghadapi bahaya itu, dan ia harus melawan sekuat tenaga yang ada di dalam dirinya.

   Ia sama sekali tidak akan dapat minta bantuan kepada ketiga kawan-kawannya, yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu.

   Dan Mahisa Agni pun sama sekali tidak menyesali mereka.

   Sebab apapun yang mereka lakukan sama sekali akan tak berarti.

   Ketika Kuda Sempana dan orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu melangkah semakin dekat, serta keduanya kemudian mengambil jarak yang cukup untuk memecah perhatian Mahisa Agni, maka terdengar suara Cundaka menggeram.

   "Mampus kau kerbau gila. Sebut nama ayah bundamu. Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya sebelum kau memeluk bumi. Supaya kau tidak menyesal di dalam alam lain kelak."

   Mahisa Agni tidak menjawab.

   Ia benar-benar telah bersiap menghadapi sepasang kekuatan aji Kala Bama.

   Tetapi ketika kedua lawannya itu melangkah semakin dekat, terjadilah sesuatu yang sama sekali di luar perhitungan mereka.

   Tiba-tiba meluncurlah sebuah batu dari arah ketiga kawan-kawan Mahisa Agni yang duduk membeku.

   Demikian kerasnya dan langsung mengenai dada Cundaka sehingga terdengar orang itu mengaduh pendek.

   "Gila!"

   Ia mengumpat keras-keras.

   "He, kelinci betina. Apakah kau akan ikut campur dalam persoalan ini sehingga kau akan ikut aku ikat di belakang kudaku?"

   Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni benar-benar telah membeku sehingga mereka sama sekali tidak dapat menjawab.

   Bahkan tubuh mereka menjadi semakin gemetar dan tulang-tulang mereka seperti dilolosi."Kalau sekali lagi kalian berbuat gila, maka kalianlah yang akan mengalami nasib yang paling mengerikan."

   Tak ada jawaban sama sekali.

   Ketiganya masih saja duduk seperti patung batu.

   Diam kaku.

   Empu Sada pun melihat sesuatu terbang dari arah ketiga anak- anak muda itu.

   Ia mengetahui pula, bahwa salah seorang muridnya telah terkena lemparan batu.

   Namun ia tidak melihat salah seorang dari ketiga anak-anak muda yang ketakutan itu bergerak.

   Karena itu, timbullah kecurigaannya, sehingga ia berkata.

   "He, Cundaka, apakah kau dapat dikenainya?"

   "Ya, Guru, batu sebesar telur merpati. Tepat mengenai dadaku. Alangkah sakitnya."

   "Batu sebesar telur merpati dapat membuat kau kesakitan selagi kau mateg aji Kala Bama?"

   "Ya, Guru."

   "Setan!"

   Geram Empu Sada. Kemudian kepada ketiga anak muda itu ia berteriak.

   "He, apabila ada di antara kalian seorang yang sakti, yang mampu melempar tanpa menggerakkan tangan, bahkan mampu menyakiti muridku, kenapa kalian atau salah satu dari kalian berpura-pura takut? Sungguh tidak jujur. Ayo, kalau salah satu dari kalian ternyata mampu berbuat demikian, sebutlah namamu dan tampillah ke dalam arena."

   Ketiga anak-anak muda kawan Mahisa Agni itu mendengar kata- kata Empu Sada.

   Namun mereka sama sekali tidak mengerti maksudnya, sehingga justru dada mereka seolah-olah telah tersobek-sobek oleh pedang di lambung Kuda Sempana, atau berlubang ditusuk tongkat orang tua itu.

   Tetapi Empu Sada masih saja berkata kepada mereka.

   "Ayo, jangan curang. Jangan menyerang sambil bersembunyi dalam selubung ketakutan. Kalau salah seorang dari kalian tidak ada yang mengaku, maka kalian bertigalah yang akan aku binasakan dengan cara yang tidak pernah dapat kalian bayangkan. Sebab aku akandapat memotong setiap anggota badanmu perlahan-lahan, dari yang paling tidak berbahaya dan yang terakhir adalah lehermu. Ayo cepat katakan."

   Tubuh-tubuh itu kini benar-benar telah menjadi lemas.

   Demikian takutnya, sehingga dengan tangan gemetar mereka menutupi wajah-wajah mereka sendiri.

   Bahkan Jinan sudah menangis seperti kanak-kanak yang ditinggalkan ibunya seorang diri di gelapnya malam.

   "Ha,"

   Berkata Empu Sada lantang.

   "kau pura-pura menangis? Mungkin kaulah yang telah melakukan keajaiban itu. Melempar sedemikian kerasnya tanpa menggerakkan tanganmu. Kini kau pura- pura menangis melolong-lolong. Apakah kau akan menyerang muridku dengan aji yang dapat kau lontarkan lewat lolonganmu?"

   Jinan menjadi semakin ketakutan.

   Karena itu maka tangisnya menjadi semakin pedih.

   Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak berbuat apa-apa, tetapi suaranya tersekat di kerongkongannya karena ketakutan yang mencengkam dadanya.

   Empu Sada yang marah bukan buatan itu tidak sabar lagi.

   Selangkah ia mendekati ketiga anak-anak muda itu.

   Namun kini, bukan Cundaka yang akan terkena lemparan batu, tetapi batu itu mengarah kepada dirinya.

   Namun ia adalah seorang yang cukup sakti, sehingga ketika butiran batu itu menyambarnya, ia masih mampu memukulnya dengan tongkatnya.

   Namun ketika tongkatnya membentur batu kecil itu, Empu Sada terkejut dan mengumpat.

   "He. Demit buruk! Siapa kau?" (bersambung ) Koleksi . Ki Ismoyo Retype . Ki Raharga Proofing . Ki Raharga Recheck/Editing. Ki Sunda---ooo0dw0ooo---

   Jilid 15 TERNYATA SENTUHAN batu kecil itu benar-benar tidak di duganya.

   Tenaga dorongnya telah mampu menggetarkan tongkatnya.

   Karena itu, maka dengan demikian segera Empu Sada mengetahui bahwa kekuatan orang yang melemparkan batu itu benar-benar kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.

   Kini ia telah dapat meyakini, bahwa sebenarnya memang bukan salah seorang anak-anak Panawijen itulah yang melemparkan batu itu.

   Ketika ia sedang menghadap kepada ketiga anak itu dan memandangi mereka, maka dilihatnya batu itu melontar dari gerumbul di belakang anak-anak yang membeku itu.

   Dengan demikian maka segera Empu Sada mengetahuinya, bahwa seorang telah bersembunyi di balik gerumbul itu.

   Empu Sada itu pun kini tidak mau melangkah maju lagi.

   Seseorang yang melampaui kekuatan kebanyakan orang sedang menunggunya.

   Mungkin suatu ketika orang yang bersembunyi itu tidak melemparnya dengan batu, tetapi suatu kali dapat terjadi orang itu melempar dengan sebilah pisau, atau dengan jarum-jarum baja yang runcing sebangsa paser yang kecil.

   Yang dapat dilakukan oleh orang tua itu kemudian adalah berteriak-teriak lantang.

   "He, pengecut yang bersembunyi di balik gerumbul. Ayo keluarlah! Jangan menyerang sambil bersembunyi!"

   Namun suaranya itu lepas saja tanpa ada yang menyahut.

   Gemanya menggelentang memukul tebing-tebing perbukitan dan menelusuri dinding sungai, mengatasi desir air terjun di bawah jeram-jeram.

   Sesaat Empu Sada itu terdiam.

   Dipandanginya gerumbul itu dengan tajamnya, seakan-akan sorot matanya ingin menembus rimbunnya daun-daun perdu di dalam alam yang semakin gelap.Tetapi ia tidak melihat sesuatu.

   Empu Sada sama sekali tidak dapat menangkap tanda-tanda yang menunjukkan kepadanya, siapa dan berapa orang yang bersembunyi di belakang gerumbul itu.

   Namun dengan demikian, menilik cara orang itu mengatur pernafasannya, cara orang itu sampai ke sana dan bersembunyi di sana tanpa diketahuinya, maka pasti orang itu bukan orang kebanyakan.

   Agak di belakang Empu Sada sebelah menyebelah, berdiri keempat anak-anak muda dengan tegangnya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mahisa Agni, Mahendra, Kuda Sempana dan Cundaka.

   Mereka terpaku di tempatnya seperti sebatang tonggak yang kokoh.

   Namun perhatian mereka pun sama sekali terampas oleh peristiwa yang mendebarkan itu.

   Lebih-lebih Kuda Sempana dan Cundaka.

   Mereka menyangka, bahkan hampir pasti, bahwa orang yang bersembunyi itu, akan berdiri di pihak Mahisa Agni dan Mahendra.

   Ternyata ia telah mencoba menghalangi Cundaka dan Empu Sada sendiri.

   Meskipun demikian, kedua orang itu terlampau percaya kepada gurunya.

   Gurunya adalah seorang sakti yang pilih tanding.

   Seorang yang disegani oleh orang-orang sakti yang lain, sehingga tidak banyak di antara mereka yang sanggup bergaul, bersaing dan bertemu dalam ilmu dengan gurunya.

   Sesaat padang rumput itu terbenam dalam suasana yang sunyi.

   Angin malam yang lembut mengalir mengusap tubuh-tubuh yang kaku tegang, menggetarkan dedaunan dan membuat suara yang sayu.

   Sekali-sekali suara jeram-jeram yang dihanyutkan oleh silirnya angin terdengar gemeresik beruntun susul menyusul.

   Namun kemudian semakin lama menjadi seolah-olah semakin jauh.

   Empu Sada masih berdiri dengan tegangnya.

   Tongkatnya siap untuk menghadapi setiap kemungkinan, ia menyangka bahwa orang yang bersembunyi adalah seorang yang sakti.

   Namun tidak berani beradu dada dengannya, sehingga orang itu hanya dapat melawannya dari tempat yang tersembunyi.

   Kemarahan Empu Sada semakin lama menjadi semakin memuncak pula.

   Ia tidak sabar lagi menunggu keadaan berkembangsemakin jelas.

   Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak.

   "He, Kuda Sempana dan Cundaka. Jangan hiraukan kelinci yang bersembunyi di dalam semak-semak itu. Ayo, selesaikan pekerjaanmu, mengikat Mahisa Agni di belakang punggung kudamu. Biarlah orang ini berada di tempat persembunyiannya sampai kita meninggalkan tempat ini."

   Kuda Sempana dan orang yang menamakan dirinya Babu Reksa Kali Elo itu seolah-olah tersadar.

   Sekali mereka menghentakkan dirinya, maka kini mereka siap menghadapi lawannya.

   Mahisa Agni.

   Tetapi kembali mereka tertegun, karena tiba-tiba Mahendra berkata.

   "Nah, Agni. Marilah kita melawan keduanya. Pilihlah olehmu, manakah yang lebih menarik perhatianmu satu di antara mereka. Mahisa Agni berpaling ke arah Mahendra sesaat. Cepat ia dapat menangkap maksudnya. Ia menganggukkan kepalanya dan berdesis di dalam hatinya.

   "Mahendra cukup cerdik menanggapi keadaan."

   Namun dalam pada itu Empu Sada menggeretakkan giginya sambil berteriak.

   "He, Mahendra. Jangan turut campur! Biarlah mereka menyelesaikan persengketaan mereka sendiri."

   Sebelum Mahendra menjawab terdengar suara Mahisa Agni parau.

   "Dan kau biarkan Mahendra terlalu lama menunggu kau membunuhnya. Ia tidak cukup sabar. Biarlah salah seorang muridmu mewakilmu."

   "Tidak!"

   Teriak Empu Sada.

   "Aku sendiri akan membunuh Mahendra."

   "Silakan,"

   Sahut Mahisa Agni pula.

   "tetapi agaknya kau lebih tertarik pada permainan baru itu."

   Sekali lagi Empu Sada menggeretakkan giginya.

   Kedua anak itu ternyata mampu mempergunakan kesempatan.

   Meskipun tak seorang pun di antara mereka yang mengetahui, siapakah yang berada di dalam semak-semak itu, tetapi mereka merasa bahwaorang yang berada di dalam semak-semak ini, tidak ingin melihat Mahisa Agni dan Mahendra mengalami nasib yang sangat buruk.

   Setidak-tidaknya orang itu ingin melihat persoalan ini berakhir dengan jujur.

   Tanpa ikut campurnya orang-orang luar seperti Empu Sada.

   Meskipun demikian, Mahisa Agni dan Mahendra sendiri pun diliputi oleh kebimbangan dan keragu-raguan.

   Ia tidak tahu pasti, apa yang dikehendaki oleh orang yang bersembunyi itu.

   Yang dapat dilakukan kini hanyalah kemungkinan yang dapat menguntungkan saja dalam keadaan yang sangat berbahaya itu.

   Sesaat Empu Sada berdiri termangu-mangu.

   Ingin ia segera meloncat mencekik Mahendra, namun sebagian perhatiannya terikat pada orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu.

   Kalau ia lengah, mungkin sebuah pisau dapat menembus lambungnya.

   Karena itu, yang terdengar kemudian orang tua itu mengutuk habis- habisan.

   "Setan pengecut! Ayo keluarlah! Kalau tidak, maka aku segera akan membunuh Mahendra. Mungkin kau saudaranya atau gurunya sekali atau apa?"

   Masih tak ada jawaban.

   Namun pertanyaan Empu Sada itu bahkan mengungkit dugaan Mahendra atas orang yang bersembunyi itu.

   Gurunya memang berada di Tumapel saat ini.

   Gurunya melihat kakak seperguruannya menyuruhnya pergi ke padang Karautan.

   Gurunya mendengar pula, apa yang diceritakan oleh Ken Arok kepada Witantra.

   Tetapi kembali Mahendra menghapus dugaannya itu.

   Gurunya tidak berkepentingan apa-apa dengan padang Karautan, dengan Mahisa Agni, Ken Dedes maupun Tunggul Ametung.

   "Aku tidak peduli siapa yang bersembunyi itu,"

   Katanya di dalam hati.

   "tetapi aku akan mengucapkan terima kasih kepadanya seandainya aku masih tetap hidup dan dapat keluar dari padang ini, karena ia telah menyelamatkan aku dan Mahisa Agni."

   Namun kesenyapan padang itu kembali tersayat oleh suara Empu Sada.

   "Bagus. Kalau kau tidak menampakkan dirimu. Aku sudahkehabisan waktu. Tunggulah, aku akan memutar leher Mahendra sehingga ia tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Aku ingin melihat tubuhnya terkelupas di belakang kudaku yang berlari kencang."

   Empu Sada itu pun dengan hati-hati melangkah surut.

   Ia ingin menjauhi gerumbul itu untuk kemudian meloncat mencekik Mahendra.

   Namun kembali ia mengumpat.

   Dengan sigapnya ia terpaksa menggerakkan tongkatnya memukul sebutir batu yang terbang ke arah dadanya.

   "Gila! Gila!"

   Teriaknya.

   "Ayo pengecut, jangan bersembunyi saja! Kalau kau tidak berani berhadapan muka dengan Empu Sada, jangan mengganggu. Pulang saja ke rumah. Ambil periuk, dan lebih baik menanak nasi daripada berada di medan."

   Empu Sada menunggu sesaat.

   Ia menjadi semakin gelisah ketika ia melihat Mahisa Agni ternyata telah mempersiapkan dirinya.

   Ia kini cukup yakin bahwa orang di gerumbul itu memang berusaha untuk mengikat Empu Sada, sehingga orang itu sama sekali tidak sempat mengganggu perkelahian anak-anak muda itu.

   Mahendra yang melihat Mahisa Agni bersiap, segera menyiapkan dirinya pula.

   Ia pun telah mendapat keyakinan seperti Mahisa Agni, sehingga dengan tenang, akan dihadapinya lawannya.

   Salah satu dari kedua murid Empu Sada itu.

   Tetapi keduanya segera terganggu.

   Ternyata orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu tidak ingin bersembunyi terus.

   Sejenak kemudian terdengar suara tertawa lirih, dalam nada yang rendah.

   "Hm,"

   Terdengar suara dari dalam gerumbul itu.

   "ternyata nyamuknya bukan main banyaknya, sehingga aku tidak betah tinggal di dalam gerumbul ini terlampau lama."

   Kembali terdengar gemeretak gigi Empu Sada.

   Ternyata orang itu sengaja menghinanya.

   Bukan karena dirinya, tetapi justru hanya karena digigit nyamuk, maka orang itu keluar dari persembunyiannya.

   Namun Empu Sada masih berdiam diri.

   Betapapun kemarahannya menyala di dalam dadanya, tetapi orangitu, yang bersembunyi di belakang gerumbul masih belum menampakkan diri, selain baru suaranya.

   Bahkan kembali suara itu terdengar.

   "Bukan hanya nyamuk, tetapi semutnya pun banyak sekali. He Empu Sada, apakah kau membawa param untuk menghampiri gigitan semut ngangrang?"

   "Gila! Setan betina! Ayo jangan banyak bicara,"

   Bentak Empu Sada yang tidak dapat menahan kemarahannya.

   "Ayo keluarlah dan marilah kita berhadapan sebagai orang-orang jantan."

   Kembali terdengar suara tertawa dalam nada yang rendah.

   "Jangan marah,"

   Terdengar jawaban.

   "baiklah aku keluar dari persembunyian ini."

   Sesaat kemudian Empu Sada membelalakkan matanya.

   Ia melihat daun-daun yang bergerak.

   Ternyata orang yang bersembunyi itu benar-benar akan meloncat keluar.

   Mahisa Agni, Mahendra, Kuda Sempana dan orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, tertegun kaku.

   Pandangan mata mereka pun melekat pada daun-daun yang bergerak-gerak itu.

   Dengan hati yang berdebar-debar mereka menunggu, siapakah yang akan muncul dari dalamnya.

   Tiba-tiba mereka melihat bayangan itu.

   Tidak meloncat dengan atau sigap melangkah dengan gagahnya.

   Tetapi bayangan itu perlahan-lahan menyibak dedaunan dan dengan langkah satu-satu maju menyusup di antara daun-daun dan ranting-ranting kecil.

   Empu Sada benar-benar tidak sabar melihat orang itu.

   Dengan nada yang tinggi ia berteriak.

   "Cepat, he siput tua. Aku tidak sabar menunggu kau merayap."

   "Jangan tergesa-gesa,"

   Sahut orang itu.

   "aku sudah tua, dan malam gelapnya bukan main."

   "Jangan mengada-ada. Kau mampu melemparkan batu sekeras itu. Kenapa kau tidak meloncat dan menepuk dada, inilah aku.""Tidak-tidak. Kalau aku menepuk dadaku sendiri aku akan terbatuk-batuk."

   "Kau benar-benar setan. Kau ingin mempengaruhi tanggapanku atasmu, supaya aku menjadi lengah. Pengecut!"

   Geram Empu Sada.

   "Itu pun tidak. Bersiagalah, supaya kau tidak mati melawan aku. Tetapi jangan membentak-bentak. Biarlah aku berbuat sesuka hatiku."

   Dada Empu Sada serasa benar-benar telah menyala. Kini ia melihat bayangan itu telah melangkahkan kakinya, menerobos lembaran daun terakhir. Demikian orang itu tampak di luar gerumbul demikian terdengar Empu Sada berkata lantang.

   "Setan! Benar-benar Setan. Jadi kau yang telah mengganggu pekerjaanku. Kenapa tiba-tiba saja berada di tempat ini?"

   Bukan saja Empu Sada yang terkejut melihat kehadiran orang itu, tetapi juga Mahisa Agni, Mahendra, Kuda Sempana dan Cundaka.

   Meskipun sebab dari kejutan itu berbeda-beda, namun sesaat mereka justru terpaku di tempatnya.

   Empu Sada terkejut karena tiba-tiba saja ia melihat orang yang sama sekali tak disangkanya akan hadir di tempat itu.

   Sedang Mahisa Agni, Mahendra, Kuda Sempana dan Cundaka terkejut karena sama sekali belum pernah mengenal orang itu.

   Demikian orang itu ada di antara mereka, demikian orang itu telah memilih pihak.

   Orang itu sendiri berdiri sambil mengibaskan pakaiannya.

   Sekali- sekali ia tersenyum dan kemudian katanya.

   "Hm. Bukan main gatalnya. Nyamuk, semut dan segala macam serangga."

   "He, Ki Sanak,"

   Potong Empu Sada kemudian.

   "kenapa kau tiba- tiba saja berada di tempat ini?"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya.

   "Kebetulan saja aku berada di tempat ini. Berhari-hari aku membayangi anak yang bernama Mahisa Agni. Aku mencarinya dan kini aku telah menemukannya."Dada Mahisa Agni berdesir mendengar jawaban itu. Orang itu juga mencarinya. Siapa dan kenapa? Namun dalam pada itu terdengar Empu Sada berkata.

   "Untuk apa kau cari anak itu?"

   "Seperti kau. Seperti apa yang akan kau lakukan atasnya."

   "He, apakah kau mempunyai kepentingan yang sedemikian penting dan menyangkut persoalan yang langsung menyinggung dirimu, sehingga kau berusaha merebutnya dari tangan muridku?"

   "Ya,"

   Sahut orang itu.

   "lepaskan Mahisa Agni. Akulah yang akan menyelesaikannya."

   Mereka berdua sesaat berdiam diri.

   Empu Sada mengawasi orang itu dengan tajamnya.

   Namun sekali-sekali ia berpaling juga kepada Mahisa Agni dan kedua muridnya.

   Tetapi sesaat kemudian Empu Sada itu tertawa.

   Suaranya melengking tinggi menyakitkan telinga.

   Di antara suara tertawanya itu terdengar kata-katanya.

   "Ha, Mahisa Agni. Nasibmu memang terlampau jelek. Agaknya kau sudah menyangka bahwa seseorang telah datang menolongmu. Tetapi keledai tua ini ternyata sedang mencarimu pula, karena kau telah berbuat dosa atasnya. Hem. Anak semuda kau ini telah mempunyai musuh di segala penjuru angin. Hanya orang-orang yang berwatak jail, suka mencampuri urusan orang lain seperti kau inilah, maka kau mempunyai musuh di mana- mana."

   "Nah, aku minta tinggalkan Mahisa Agni,"

   Berkata orang itu. Namun sekali lagi terdengar Empu Sada tertawa.

   "Jangan mengigau. Aku tahu bahwa kau akan dapat melakukan apa saja yang kau kehendaki atasnya. Terapi aku ingin memberi sekedar permintaan kepada kedua muridku. Mungkin kau ingin melihat permainan itu pula."

   "Permainan apa?""Apakah kau belum mendengar? Sejak tadi aku telah menyebut- nyebutnya."

   "Menariknya di belakang seekor kuda?"

   "Ya."

   Orang itu terdiam sesaat. Namun tiba-tiba ia menjawab.

   "Aku dapat juga melakukannya."

   Jawaban itu benar-benar menggetarkan dada Mahisa Agni.

   Ia belum pernah berbuat sesuatu atas orang itu.

   Ia belum pernah mempunyai persoalan apapun.

   Namun tiba-tiba orang itu datang membawa dendam kepada dirinya.

   Dada Mahisa Agni benar-benar diguncangkan oleh berbagai perasaan.

   Bingung, cemas dan beribu pertanyaan melingkar-lingkar.

   Ia sama sekali tidak mencemaskan nasibnya kini.

   Ia sama sekali tidak gentar menghadapi apapun, apalagi setelah ia mendapat kesimpulan bahwa ia kini sedang menjelang harinya yang terakhir, namun ia merasa bingung dan cemas, bahwa ternyata ia telah menyalahi dan menumbuhkan dendam kepada orang lain atas dirinya tanpa disadarinya.

   Kalau demikian, maka alangkah rendah budinya.

   Alangkah bodohnya.

   Ia sama sekali tidak ingin membuat orang lain menjadi sakit hati, apalagi mendendamnya.

   Kini tiba-tiba ia berhadapan dengan orang semacam itu.

   Sakit hati dan mendendam.

   Namun Mahisa Agni masih saja berdiam diri.

   Ia ingin mendengar apa saja yang akan dipercakapkan oleh Empu Sada.

   Mungkin dalam percakapan itu ia akan dapat menangkap, siapa dan apa saja yang menumbuhkan dendam itu kepadanya.

   Kini yang terdengar adalah suara Empu Sada.

   "Aku ragu-ragu akan kata-katamu."

   "Kenapa?"

   Sahut orang itu.

   "apakah kau ragu-ragu bahwa aku akan dapat menangkapnya hidup-hidup dan mengikatnya di belakang seekor kuda. Namun kini aku tidak sedang membawakuda. Meskipun demikian kau tentu akan memberi kesempatan aku meminjam kudamu."

   "Tidak,"

   Sahut Empu Sada.

   "aku tidak ragu-ragu. Aku kenal kesaktianmu. Tetapi adalah bukan kebiasaanmu berbuat demikian. Selama ini kau selalu menentang tindakan-tindakan yang menyenangkan itu. Kau selalu menganggapnya sebagai suatu kebiadaban dan keganasan, sehingga kau menganggap orang-orang yang harus dijauhkan dari pergaulan. Nah, sekarang kau datang dan akan melakukan perbuatan yang serupa."

   "Khusus untuk anak itu,"

   Sahut orang itu. Empu Sada tertawa terbahak-bahak, sehingga tongkatnya terguncang-guncang. Katanya.

   "Huh, ternyata sifatmu yang selama ini kau bangga-banggakan adalah hanya sekedar pulasan. Ternyata apabila kau sendiri langsung tersentuh perasaanmu, maka sifat- sifatmu yang asli itu terungkapkan. Kalau demikian, maka akulah yang lebih jujur darimu. Aku tidak pernah menyembunyikan segala macam sifat watak dan kesenanganku seperti kau. Dan lihat, muridku pun bukan hanya sekedar anak-anak pedesaan. Kuda Sempana adalah seorang pelayan dalam istana."

   "Jangan ribut,"

   Potong orang itu.

   "serahkan Mahisa Agni kepadaku."

   Empu Sada tidak segera menjawab.

   Sesaat ia masih dicengkam keraguan.

   Dikenalnya orang yang datang itu sebagai seorang yang selama ini menentang hampir segala perbuatannya.

   Meskipun mereka berdua berkawan sejak kecil, namun setelah mereka menempuh jalan hidup masing-masing, maka seakan-akan mereka berdua selalu bermusuhan meskipun tidak berterus terang.

   Hampir setiap usaha Empu Sada bertentangan dengan selera orang itu.

   Sehingga setiap kali mereka pasti berselisih pendapat.

   Akhirnya mereka berdua dipisahkan oleh keadaan.

   Masing-masing menuruti jalannya sendiri-sendiri.

   Hanya kadang-kadang mereka masih bertemu dalam pertentangan pendirian.

   Semakin lama semakin tajam.

   Sehingga setelah mereka kemudian tumbuh menjadiorang-orang sakti menurut saluran ilmunya masing-masing yang diterima dari guru yang berbeda-beda, maka mereka hampir tidak ingin berjumpa kembali yang satu dengan yang lain.

   Mereka masih menghormati persahabatan masa kanak-kanak mereka, namun mereka saling membenci karena pandangan hidup mereka yang jauh berbeda, bahkan berlawanan.

   Tetapi pada suatu saat mereka harus berjumpa kembali.

   Di padang rumput Karautan yang sepi.

   Apabila Empu Sada mengenang segala peristiwa yang pernah terjadi dalam hubungannya dengan orang itu, maka ia yakin, bahwa orang itu datang untuk meneruskan usahanya, menghalang-halangi semua perbuatannya, yang dianggap oleh orang itu bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan.

   Karena itu, akhirnya Empu Sada pun mampu menarik kesimpulan atas segala macam kata-kata orang yang baru datang itu.

   Tiba-tiba padang rumput Karautan yang sepi itu tersayat oleh suara tertawa Empu Sada yang tinggi melengking.

   Semua orang yang mendengar suara itu terkejut.

   Hanya orang yang masih berdiri di muka gerumbul itu sajalah yang seakan-akan sama sekali tidak mendengar suara Empu Sada itu.

   Lebih-lebih Mahisa Agni sendiri.

   Hatinya selama ini selalu terguncang-guncang oleh berbagai persoalan.

   Kini tiba-tiba ia menghadapi persoalan baru yang sama sekali tak dikenal ujung dan pangkalnya.

   Orang yang sama sekali belum dikenalnya, tiba-tiba merasa menyimpan dendam di dalam hatinya.

   Mahisa Agni yang merasakan keanehan itu masih juga berusaha memandangi wajah orang baru itu.

   Namun agaknya kepekatan malam telah mengaburkan pandangan matanya ia tidak berhasil mengenal wajah itu.

   Apalagi ia berdiri tidak begitu dekat.

   Namun betapapun ia mencoba mengingat-ingat bentuk tubuhnya, suaranya dan apa saja yang memungkinkan ia mengenalnya, tetapi usaha itu sia-sia.

   Malam gelap dan hati Mahisa Agni pun gelap.

   Dan kini suara tertawa Empu Sada itu benar-benar telah menyakitkan telinganya dan mengguncang-guncang isi dadanya.Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu surut dengan cepatnya ketika terdengar orang yang baru datang itu mendehem beberapa kali.

   Bahkan tiba-tiba orang itu menguap sambil berkata.

   "Aku mengantuk sekali. Apakah malam ini telah terlampau dalam?"

   Empu Sada mengerutkan keningnya. Suara tertawanya kini telah berhenti. Ditatapnya wajah orang yang baru datang itu dengan tajam. Lalu katanya.

   "Hem, kau sangka aku termasuk anak-anak yang dapat kau kelabui. Apa hubunganmu dengan Mahisa Agni sehingga kau akan melepaskan dendammu kepadanya? Aku tahu apa yang akan kau lakukan atasnya. Sekali lagi kau akan menghalang-halangi maksudku."

   "He,"

   Orang itu seperti acuh tak acuh saja berkata.

   "apa begitu?"

   "Gila!"

   Empu Sada mengumpat.

   "Kau masih saja gila sejak dahulu. Setelah umurmu melampaui pertengahan abad, kau masih saja berbicara tanpa ujung pangkal. Ayo, katakan yang sebenarnya."

   "Kau telah menyebutnya Empu."

   "Hmm, jadi benar dugaanku. Kau akan mencegah murid-muridku membuat permainan yang dapat menyenangkan hati mereka."

   Pembicaraan itu telah membuat Mahisa Agni menjadi pening karenanya.

   Ia sama sekali tidak mampu membuat tanggapan yang sebenarnya dari pembicaraan itu.

   Dan sampai sejauh itu, baik Empu Sada maupun orang yang baru datang itu sendiri belum pernah menyebut namanya.

   Karena itu, dalam kepepatan perasaan tiba-tiba terdengar Mahisa Agni berteriak.

   "Kalian membicarakan tentang nasibku. Tetapi aku belum mengenal siapakah kau orang yang baru datang?"

   Orang itu berpaling. Dipandanginya Mahisa Agni dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya. Kemudian terdengar ia berkata.

   "Mahisa Agni, apakah kau ingin mengenal aku?""Tentu. Meskipun aku tidak tahu maksudmu sebenarnya, apakah kau akan membunuh aku apakah kau akan berbuat apa saja, namun aku ingin tahu siapakah kau ini."

   Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kembali ia berpaling kepada Empu Sada sambil berkata.

   "Anak itu belum mengenal aku Empu."

   "Hem,"

   Geram Empu Sada.

   "apakah aku harus memperkenalkan Ki Sanak kepada anak itu?"

   "Silakan,"

   Sahut orang itu.

   "Sebutlah namamu sendiri. Kau yang datang mencampuri urusanku. Mustahil kalau kau belum mengenalnya Atau kalau demikian, aku menjadi semakin pasti, bahwa kau pasti hanya ingin menggagalkan maksudku. Lain tidak."

   Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya kepada Mahisa Agni.

   "Agni, aku kenal kepada gurumu meskipun tidak begitu rapat. Aku kenal guru anak yang bernama Mahendra itu, juga meskipun tidak begitu rapat. Tetapi hubunganku dengan kau Agni, jauh lebih rapat dari hubunganku dengan gurumu atau guru Angger Mahendra."

   Mahisa Agni mendengarkan kata orang itu dengan terheran- heran. Hubungan apakah yang ada antara dirinya dan orang itu. Namun Mahisa Agni tidak bertanya. Dibiarkannya orang itu berkata terus.

   "Sejak beberapa hari aku sengaja membayangimu Agni. Aku sudah mendengar kabar tentang gurumu yang beberapa hari yang lalu pergi meninggalkan Panawijen. Karena itu, aku harus menemuimu."

   Agni masih saja berdiri seperti patung. Dan ketika orang itu akan berkata terus terdengar Empu Sada memotong.

   "He, apakah yang sedang kau katakan itu? Rupa-rupanya kau sedang mengarang sebuah cerita supaya kau mempunyai alasan untuk berbuat sesuatu."Orang itu tertawa.

   "Kau terlalu curiga kepadaku Empu."

   "Tentu aku mempunyai alasan untuk curiga. Selama ini kau selalu berusaha mencampuri urusan orang lain."

   "Tetapi kali ini bukan urusan orang lain, Mahisa Agni bagiku sama sekali bukan orang lain."

   "Omong kosong!"

   Orang itu tertawa kembali. Suara lunak dalam nada yang rendah. Katanya kemudian.

   "Aku melihat kau malam kemarin bertempur melawan Angger Kuda Sempana yang menamakan dirinya hantu Karautan dan menyembunyikan wajahnya di belakang secarik kain. Sejak itu aku merasa bangga kepadamu Agni. Kau benar-benar mewarisi ketangkasan ayahmu dahulu."

   Dada Mahisa Agni berdesir. Orang itu menyebut-nyebut ayahnya yang telah meninggal. Dan didengarnya orang itu berkata.

   "Aku sangka bahwa aku tidak akan dapat bertemu dengan kau lagi, Agni. Tetapi beberapa waktu yang lampau aku mendengar dari seseorang yang datang kepadaku atas suruhan ibumu, bahwa kau masih ada, dan kau berada di dalam asuhan Empu Purwa. Dan ternyata kau mencerminkan perguruan Panawijen dengan baiknya."

   "Jangan melantur!"

   Bentak Empu Sada yang kehilangan kesabaran.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Perkenalkan dirimu. Lalu kau mau apa? Kalau kau mau berbuat sesuatu untuk anak itu, melindunginya misalnya. maka aku tidak mempunyai cara lain dari menyingkirkan kau, Ki Sanak."

   "Aku minta waktu sesaat lagi,"

   Jawab orang itu. Kemudian kepada Mahisa Agni ia berkata.

   "Agni, kau mempunyai sebilah keris peninggalan ayahmu?"

   Tanpa sesadarnya Mahisa Agni mengangguk.

   Keris peninggalan ayahnya buatan pamannya itu hampir tak pernah terpisah daripadanya apabila ia sedang melakukan tugas-tugas yang penting dan mungkin berbahaya.

   


Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung

Cari Blog Ini