Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 25


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 25



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   "Hati-hatilah,"

   Terdengar Empu Sada berdesis. Tetapi ketika Cundaka meraba hulu pedangnya Empu Sada itu berkata perlahan-lahan.

   "Jangan!"

   Kuda Sempana benar-benar tidak senang melihat sikap Cundaka yang seakan-akan memusuhi kedua orang yang telah menyatakan diri untuk membantunya.

   Tetapi ia tidak berkata apapun.

   Namun berbeda dengan gurunya dan saudara seperguruannya, ia sama sekali tidak menaruh kecurigaan apa-apa kepada mereka berdua.

   Yang terdengar kemudian adalah suara Wong Sarimpat kembali.

   "He, Empu Sada, apakah kau telah menemukan tempat yang baik untuk bermalam?"

   Empu Sada tidak segera menjawab. Ia menunggu kedua orang itu menjadi semakin dekat. Tetapi Wong Sarimpat itu telah berteriak lagi.

   "He, apakah kau sudah menjadi bisu?"

   Namun Empu Sada masih membiarkannya berteriak sesuka hatinya meskipun ia menjadi sangat jengkel pula karenanya, apalagi muridnya yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo. Dengan geramnya ia berdesis.

   "Orang itu benar-benar seperti orang gila."

   "Sekali lagi kau menghinanya,"

   Sahut Kuda Sempana.

   "apakah mulutmu ingin disobeknya?"

   "Diam!"

   Potong Empu Sada.

   "Kalian berdualah yang membuat aku hampir menjadi gila."

   Keduanya kini terdiam. Kedua laki-laki kakak beradik itu kini telah menjadi semakin dekat. Hanya beberapa langkah lagi. Dan terdengarlah suara tertawa Wong Sarimpat.

   "Ha, ternyata kalianmasih hidup. Apakah kalian tidak menjumpai gerombolan anjing- anjing liar itu?"

   "Tidak,"

   Sahut Empu Sada.

   "Beruntunglah kalian. Kalau kalian bertemu dengan serombongan anjing-anjing itu, maka kalian harus bertempur mati-matian. Mungkin kalian bertiga akan memenangkan pertempuran itu, tetapi kalian akan kehabisan tenaga. Apabila kemudian datang rombongan yang lain atau harimau kumbang, maka kalian akan disantap mereka itu dengan nyamannya."

   "Lebih baik bagi kami bertiga,"

   Sahut Empu Sada.

   "He,"

   Wong Sarimpat terkejut.

   "lebih baik dari apa?"

   "Lebih baik berkelahi melawan anjing-anjing liar itu daripada kami harus mati di dalam gubukmu."

   "Kenapa?"

   "Kalian akan mencekik kami selagi kami tidur."

   Kembali terdengar suara tertawa Wong Sarimpat seolah-olah akan membelah gelap malam.

   Demikian kerasnya sehingga perutnya terguncang.

   Namun dalam pada itu wajah Kebo Sindet yang beku itu sama sekali tidak bergerak.

   Wajah itu masih juga beku sebeku wajah sesosok mayat.

   Tiba-tiba terdengar suara Kebo Sindet dalam nada yang rendah.

   "Aku datang karena aku menjadi cemas atas nasib kalian."

   "Apa yang kau cemaskan?"

   Bertanya Empu Sada.

   "Kalian belum mengenal bukit ini. Kalian belum mengenal penghuni bukit ini dan kalian belum mengenal siapa yang merajai bukit ini di malam hari."

   Empu Sada tertegun mendengar kata-kata Kebo Sindet itu.

   Kata- kata bersahabat yang terasa menyejukkan hati.

   Tetapi perasaan orang tua itu telah dicengkam oleh kecurigaan, sehingga setiap kalimat yang diucapkan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat terasabagaikan sebuah jebakan untuk menjeratnya.

   Tetapi Empu Sada tidak segera menjawab.

   Dibiarkannya Kebo Sindet berkata terus.

   "Karena itu kami datang kemari. Kami akan mempersilakan kalian sekali lagi. Tidurlah di rumah kami. Tetapi agaknya kalian telah benar-benar menganggap sikap kami terlampau menyakitkan hatimu sehingga kalian sama sekali tidak mau mendengarkan permintaan kami lagi."

   "Terima kasih,"

   Sahut Empu Sada.

   "aku akan tidur di sini."

   "Sekali lagi aku memperingatkanmu. Bagaimana dengan anjing liar dan harimau-harimau yang berkeliaran di malam hari?"

   Empu Sada tidak segera menjawab.

   Disambarnya wajah kedua muridnya dengan sudut pandangannya.

   Empu tua itu melihat, kesan yang berlawanan pada kedua wajah itu.

   Sekali lagi ia menyesal.

   Ia telah menyalakan kecurigaannya terlampau berterus terang di hadapan muridnya, sehingga Cundaka pun menjadi sangat curiga dan seolah-olah tidak akan dapat mempercayai apa saja yang dikatakan oleh kedua orang itu seperti perasaannya sendiri.

   Tetapi dengan demikian, ia telah membuat garis batas antara kedua murid- muridnya itu.

   Kuda Sempana sangat bernafsu untuk mendapat bantuan melepaskan dendamnya, sedang Cundaka yang tidak terlampau banyak berkepentingan lebih senang meninggalkan tempat itu karena sejak pertama kali ia melihat salah seorang dari kedua orang itu hatinya telah kecewa.

   Menurut anggapannya kedua orang itu benar-benar memuakkannya "Bagaimana Empu Sada,"

   Desak Kebo Sindet.

   "aku hanya sekedar memberimu peringatan. Aku adalah orang di bukit gundul ini. Aku telah memahami watak daerah ini siang dan malam. Aku tahu apa yang dapat terjadi di siang hari dan apa yang dapat terjadi di malam hari. Karena itu, maka kali ini aku membawa obor. Kau tahu, apakah gunanya obor ini bagi kami?"

   Empu Sada tidak menjawab. Tetapi pertanyaan itu telah menarik perhatian Kuda Sempana dan Cundaka. Mereka memang ingin tahu, kenapa kedua orang itu membawa obor."Di malam hari,"

   Berkata Kebo Sindet lebih lanjut.

   "anjing-anjing itu menjadi semakin liar. Di malam hari gerombolan anjing-anjing itu menjadi semakin banyak. Tetapi mereka tidak begitu berani melihat api. Itulah sebabnya kami membawa obor. Dengan obor di tangan kami tidak usah susah payah berkelahi melawan anjing yang jumlahnya tidak terhitung. Kami hanya cukup menggerak-gerakkan obor kami dan anjing-anjing itu tidak berani mendekat. Mereka hanya menyalak dan menggonggong tak habis-habisnya. Tetapi akhirnya mereka pergi. Beruntunglah kalian bahwa kalian belum bertemu dengan gerombolan anjing-anjing itu. Kalau demikian, maka kalian harus berjuangan sekuat tenaga kalian. Tetapi anjing itu akan datang semakin banyak dan semalam suntuk kalian akan berkelahi. Apabila kalian kehabisan tenaga, maka kalian akan menjadi kerangka di bukit gundul ini."

   Di telinga Kuda Sempana kata-kata itu benar-benar sebagai suatu sikap bersahabat yang pantas dihargai.

   Ia sama sekali tidak melihat sikap yang pantas dicurigai.

   Karena itu Kuda Sempana tidak dapat mengerti, kenapa gurunya bersikap aneh terhadap kedua orang itu.

   Mungkin sikap Kebo Sindet agak berlebihan, tetapi bukankah orang itu mengharap upah daripadanya, sehingga ia bersedia sedikit merendahkan dirinya.

   Bahkan menyayangkan jiwanya bersama guru dan saudara seperguruannya? Sebab apabila mereka bertiga binasa di bukit gundul itu.

   Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak akan dapat menerima upah lagi dari mereka.

   Tetapi Empu Sada menangkap semua itu pun dengan sikap yang berbeda.

   Seolah-olah terasa padanya, bahwa dibalik sikap itu tersembunyi maksud-maksud yang sama sekali tidak menguntungkannya.

   Karena itu maka jawabnya.

   "Terima kasih Kebo Sindet. Kalau kau baik hati kepada kami, maka biarkan kami tidur di sini. Berikan saja obormu itu kepada kami, supaya kami dapat terhindar dari gerombolan anjing-anjing liar itu."

   "Obor ini tidak akan dapat menyala terus menerus semalam suntuk Empu Sada,"

   Sahut Kebo Sindet."Kami akan dapat mencari daun-daun kering dan ranting-ranting perdu di gerumbul-gerumbul itu untuk membuat perapian."

   Kebo Sindet mengerutkan keningnya.

   Ketika ia berpaling memandangi wajah adiknya, tampaklah wajah itu disaput oleh kegelisahan.

   Agaknya Wong Sarimpat sedang menahan hati.

   Dalam pada itu Empu Sada pun sekali lagi mencoba memahami perasaan kedua muridnya.

   Kuda Sempana menjadi sangat kecewa mendengar sikap gurunya, sedang Cundaka bersikap acuh tak acuh saja atas pembicaraan itu.

   Namun sekali-sekali tampaklah wajahnya menjadi tegang dan sekali-sekali tampak jelas bahwa orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu sama sekali tidak senang mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Kebo Sindet.

   Meskipun demikian ia mencoba menahan dirinya.

   Tetapi mata Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang tajam, melihat wajah Cundaka seperti mereka melihat warna hati murid Empu Sada yang seorang itu, sebagaimana mereka dapat membaca hati Kuda Sempana pula.

   Kebo Sindet yang mempunyai perhitungan tersendiri masih juga membiarkannya berbuat sesuka hati.

   Wajahnya masih saja membeku sebeku wajah batu-batu di pegunungan gundul itu.

   Tetapi berbedalah dengan Wong Sarimpat.

   Wajahnya yang sekeras batu-batu padas menjadi semakin kasar.

   Sekali-sekali mulutnya berkomat-kamit, namun tak sepatah kata pun yang melontar dari mulutnya.

   "Bagaimana Empu?"

   Terdengar suara Kebo Sindet datar.

   "Berikan obormu. Satu kau tinggal di sini dan satu kau bawa kembali."

   Wajah Kebo Sindet sama sekali tidak menunjukkan perasaan apapun di dalam dadanya, tetapi Empu Sada yang cukup matang menghadapinya, melihat bahwa mata orang itu seolah-olah menjadi semakin tajam memandanginya.

   Dari mata itulah Empu Sada kini mencoba membaca perasaan Kebo Sindet.

   Sejenak mereka saling berdiam diri.

   Gunung gundul itu menjadi sunyi kembali.

   Sunyi namun tegang.

   Dalam pada itu, hati EmpuSadalah yang menjadi gemuruh karena berbagai perasaan yang bergumul di dalamnya.

   Seakan-akan terdengarlah suara Empu Gandring berkata, Hati-hatilah menghadapi kedua orang itu Empu.

   Mungkin kau akan ditelannya.

   Kemudian suara Panji Bojong Santi, Bagaimanapun juga, kau masih jauh lebih baik dari kedua orang- orang liar itu Empu Sada.

   Baru kini Empu tua itu menyadari, bahwa ternyata saat itu hatinya sendiri telah dibakar oleh kemarahan dan dendam atas kekalahan dan kegagalan murid-muridnya meskipun ia sendiri telah ikut merencanakan dan menangani usaha itu.

   Kebo Sindet dan Wong Sarimpat masih juga berdiri tegang di tempatnya.

   Sekali-sekali Wong Sarimpat mengeratkan keningnya dan mencoba memandangi wajah kakaknya.

   Tetapi wajah itu masih sekosong wajah sesosok mayat.

   Kuda Sempana dan Cundaka pun terpaku seperti sebatang tonggak mati.

   Namun pada wajahnya terpancar kesan yang berbeda-beda.

   Kuda Sempana mengumpat-umpat di dalam hatinya atas sikap gurunya, sedang Cundaka pun tidak senang mendengar jawaban gurunya itu.

   Cundaka ingin gurunya berkata.

   "Kita tidak mempunyai urusan lagi. Kami akan pergi. Kami akan kembali ke rumah kami."

   Tetapi gurunya masih saja menuruti nafsu Kuda Sempana yang baginya sama sekali tidak akan memberikan keuntungan apa-apa.

   Membunuh Mahisa Agni atau mendapatkan Ken Dedes, Cundaka tidak akan mendapat apapun juga.

   Mahisa Agni bukan seorang pangeran yang kaya raya, yang pada mayatnya terdapat jamrud, mirah, intan dan berlian.

   Anak muda itu sama sekali tidak bertimang dan tidak berkelat bahu emas murni.

   Apakah sepeninggal Mahisa Agni ia akan mendapat bagian batu-batu bendungan, atau brunjung-brunjung bambu?"

   Yang mula-mula memecah kesepian adalah suara Kebo Sindet.

   "Empu, apakah kau akan keras kepala?"Empu Sada mengerutkan keningnya. Kini ia melihat sikap yang agak wajar dari Kebo Sindet. Orang itu adalah orang yang kasar. Setiap ucapan dan kata-katanya yang baik, sopan dan teratur pastilah menyimpan sesuatu maksud tertentu. Tetapi apabila ia mulai berkata wajar menurut keadaan, sifat dan wataknya, maka agaknya ia akan mulai berterus terang.

   "Jangan hiraukan aku,"

   Sahut Empu Sada.

   "kau tidak berkepentingan apapun juga seandainya kami dicincang oleh anjing- anjing liar atau oleh macan kumbang sekalipun."

   "Tetapi kalian adalah tamuku. Aku bertanggung jawab akan keselamatan sekalian."

   Tiba-tiba Empu Sada tertawa mendengar jawaban itu. Katanya.

   "Sejak kapan kau menjadi terlampau baik hati? Sejak kapan kau merasa, bahwa kau adalah tuan rumah di rumahmu sendiri?"

   Kebo Sindet terdiam.

   Ketika ia berpaling melihat wajah adiknya, maka wajah itu telah memerah darah.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun dada Kebo Sindet itu berdesir ketika ia melihat wajah Cundaka yang seperti Wong Sarimpat, memancarkan kemarahan yang menyala-nyala di dalam hatinya.

   Meskipun demikian wajahnya yang beku masih juga membeku.

   Tetapi terdengar ia bertanya.

   "He tikus kecil. Kenapa matamu menyorotkan kemarahan? Wajahmu yang jelek menjadi bertambah jelek."

   Cundaka hampir saja menjawab pertanyaan itu degan kasar pula, seandainya Empu Sada tidak menggamitnya. Dan Empu Sadalah yang kemudian menjawab.

   "Jangan hiraukan anak itu, dan jangan hiraukan kami semuanya. Kalau kau baik hati, berikan salah satu obormu. Kalau tidak, tinggalkan kami di sini. Kami akan menjaga diri kami sendiri."

   "Tetapi,"

   Sahut Kebo Sindet, yang kata-katanya amat mengejutkan, apalagi bagi Cundaka.

   "mata muridmu yang seorang itu amat menarik. Bagaimana kalau aku mengambilnya sebelah Empu."Dada Cundaka seakan-akan hampir meledak mendengar penghinaan itu. Tetapi sekali lagi terasa tangan Empu Sada menggamitnya, sehingga kembali ia menyadari dirinya, dengan siapa ia berhadapan. Namun sakit di dalam dadanya, terasa menjadi sangat pedih. Yang menjawab adalah Empu Sada pula, katanya.

   "Mata itu masih sangat berguna baginya. Kau tidak akan dapat mempergunakannya. Karena itu jangan bersusah payah. Aku akan menasihatinya, supaya ia dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Tetapi kau jangan membuang waktu untuk urusan-urusan yang tidak berarti. Sekarang bagaimana dengan obormu? Kalau perlu, maka obor itu akan dapat diperhitungkan sama sekali dengan upah yang kau kehendaki atas bantuanmu menangkap Mahisa Agni."

   "Aku belum membicarakan tentang upah yang ingin aku minta darimu,"

   Sahut Kebo Sindet.

   "tetapi kalau kau sudah menyebut- nyebutnya, maka biarlah aku mengatakannya. Upah itu tidak terlampau banyak. Beberapa kerat emas dan sebelah mata muridmu itu."

   Cundaka hampir-hampir tidak dapat menguasai dirinya mendengar kata-kata Kebo Sindet. Namun sebelum ia menjawab, terdengar Empu Sada mendahului.

   "Bagus. Itu permintaanmu. Tetapi bukankah kami dapat menawarnya? Kalau ternyata tawaran kami tidak sesuai, maka permintaan kami akan dapat kami batalkan."

   "Bagaimana tawaranmu?"

   "Anak itu tidak berkepentingan,"

   Sahut Empu Sada.

   "karena itu, maka ia tidak akan dapat turut membayar upah yang kau kehendaki itu. Semuanya akan dibayar oleh Kuda Sempana. Tetapi sudah tentu tidak sebelah matanya."

   "Tetapi mata Kuda Sempana tidak segarang mata muridmu yang satu itu Empu. Mata itu seperti mata burung hantu."

   Sebelum Empu Sada menyahut terdengar suara Wong Sarimpat seperti akan memecahkan selaput telinga.

   "Mata yang demikianitulah Empu, yang dapat kami pergunakan untuk tumbal keselamatan pekerjaan kami."

   Kemudian terdengar suara Wong Sarimpat tertawa.

   berkepanjangan.

   Jauh lebih mengerikan dari suara anjing liar yang menggonggong bersahut-sahutan.

   Cundaka kini tidak lagi dapat menahan diri.

   Betapapun ia merasa kecil, namun di dalam jiwanya membara pula sifat-sifatnya yang keras dan dendam.

   Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeram.

   "He, kenapa kau menggeram tikus,"

   Bertanya Wong Sarimpat.

   "apa kau sangka bahwa seekor tikus akan dapat menjadi seekor harimau."

   Mata Cundaka menjadi semakin menyala. Tetapi Wong Sarimpat itu bahkan menertawakannya semakin keras.

   "Cukup!"

   Tiba Cundaka itu membentak.

   Wong Sarimpat benar-benar terkejut mendengar bentakan itu sehingga suara tertawanya terputus.

   Bukan saja Wong Sarimpat tetapi juga Kebo Sindet dan bahkan Empu Sada sendiri.

   Segera Empu Sada merasa bahwa perbuatan Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu sama sekali tidak bijaksana.

   Seandainya Empu Sada sendirilah yang membentak- bentaknya, maka kedua orang itu tidak akan segera merasa tersinggung, karena Empu Sada adalah orang yang mereka anggap setingkat dengan mereka.

   Tetapi Cundaka adalah seorang murid yang masih berada jauh di bawah tingkat kedua orang itu, sehingga bentakan itu akan sangat menyinggung harga dari mereka, kedua orang liar dan kasar itu.

   Dengan demikian maka hal-hal yang tidak diharapkan akan dapat terjadi.

   Karena itu maka dengan serta-merta Empu Sada berteriak.

   "Cundaka apakah kau sudah menjadi gila. Ayo mintalah maaf kepada kedua pamanmu."

   Sebenarnya Cundaka sendiri pun terkejut mendengar suaranya.

   Suaranya itu seakan-akan demikian saja meloncat dari mulutnya.Sehingga ketika ia menyadarinya, maka mau tidak mau dadanya pun menjadi berdebar-debar.

   Tetapi semuanya sudah terlanjur.

   Ketika gurunya memerintahkannya untuk segera minta maaf kepada kedua laki-laki kakak beradik itu, terjadilah keragu-raguan di dalam hatinya.

   Ingin ia menurut perintah itu, namun betapa ia terlampau merendahkan dirinya sendiri.

   Karena keragu-raguan itu, maka sejenak ia berdiam diri.

   "Ayo,"

   Perintah gurunya.

   "mintalah maaf kepada kedua pamanmu. Segera!"

   Tak ada pilihan lain bagi Cundaka untuk mematuhi perintah itu. Tetapi selagi ia hampir berhasil mengatasi keragu-raguannya, dan hampir saja ia mengucapkan permintaan maaf itu, terdengar Kuda Sempana berkata.

   "Jangan terlalu sombong Cundaka. Kau adalah sumber dari kericuhan. Sebenarnya lebih baik apabila kau tidak ada di antara kami. Tetapi kau telah terlanjur membuat suatu kesalahan yang gila. Sekarang kau harus memohon maaf."

   Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati Cundaka, sehingga kembali ia kehilangan kesadaran dan menjawab kasar.

   "Itu adalah urusanku Kuda Sempana. Kau tidak usah mengatur, apa yang sebaiknya aku kerjakan."

   "Cundaka!"

   Potong Empu Sada.

   "Jangan hiraukan Kuda Sempana!"

   "Tetapi ia menghina aku guru."

   "Sekarang kau minta maaf."

   "Aku sudah ingin melakukannya, tetapi Kuda Sempana membuat dadaku terbakar."

   Percakapan itu terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara tertawa Wong Sarimpat.

   Suara tertawa itu menggeletar lebih keras lagi dari yang pernah mereka dengar.

   Namun wajah orang itu sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan hatinya.

   Meskipun ia tertawa tetapi matanya memancarkan kemarahan yang membakar jantungnya Disela-sela suara tertawa itu terdengar ia berkata.

   "Tidak adagunanya. Tidak ada gunanya kau minta maaf kepada kami, he orang gila. Kalau kau kemudian minta maaf juga maka itu sama sekali bukan karena kau ingin minta maaf, tetapi itu hanya karena gurumu menyuruhmu. Nah, yang paling baik bagimu adalah mempertanggung jawabkan kesombonganmu itu."

   Kening Empu Sada berkerut-merut karenanya.

   Ia melihat wajah Cundaka menjadi tegang.

   Sekilas muridnya itu pun menatap wajahnya, namun kemudian tampaklah Cundaka menjadi bingung.

   Empu Sada sendiri tidak segera dapat menemukan cara yang sebaiknya untuk mengatasi keadaan, sehingga sejenak ia pun terdiam mematung.

   "Nah,"

   Berkata Wong Sarimpat kepada Kuda Sempana.

   "kini kami telah pasti. Apakah yang harus kau bayar kepada kami atas pertolongan yang kau harapkan itu Kuda Sempana. Beberapa kerat emas murni dan sebelah mata saudara seperguruanmu. Kalau kau mampu menyediakannya, maka selambat-lambatnya lima hari kami akan membawa Mahisa Agni itu kepadamu. Setuju?" (bersambung ) Koleksi . Ki Ismoyo Retype . Ki Raharga Proofing . Ki Raharga Recheck/Editing. Ki Sunda ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 20 NAFAS Kuda Sempana tiba-tiba menjadi sendat.

   Upah itu terlampau mahal baginya.

   Bagaimanapun juga, Cundaka adalah saudara seperguruannya.

   Apakah ia sampai hati untuk berbuatdengan demikian, bahkan seandainya gurunya mengizinkannya pula.

   Sejenak Kuda Sempana pun seakan-akan menjadi beku.

   Dan suasana tercengkam oleh kesenyapan yang tegang.

   Tiba-tiba di kejauhan terdengar sebuah auman yang keras, disusul oleh jerit yang melengking.

   Jerit seekor anjing hutan yang karena kurang hati-hati telah diterkam oleh seekor harimau kumbang.

   Itulah kehidupan di dalam rimba.

   Siapa yang kuat, maka ialah yang menguasai segenap keadaan tanpa memperhitungkan keadilan dan kebenaran.

   Dan di bukit gundul itu pun agaknya akan berlaku pula keadaan yang serupa.

   Ketika Kuda Sempana tidak segera menjawab, maka terdengar Wong Sarimpat mendesak "Bagaimana Kuda Sempana?"

   Dada Kuda Sempana terasa menjadi pepat.

   Ia dihadapkan pada keadaan yang sangat sulit.

   Dendamnya kepada Mahisa Agni dan Ken Dedes terasa terlampau sakit menghimpit hatinya, tetapi untuk melepaskan himpitan itu ia harus mengorbankan saudara seperguruannya Alangkah mahalnya.

   Dalam pada itu, Empu Sada pun menjadi bimbang.

   Tetapi akhirnya ia tidak dapat memilih, kecuali mencoba melindungi muridnya.

   Meskipun hatinya mengumpat-umpat atas ketelanjuran Cundaka itu, tetapi adalah gila juga apabila dibiarkannya seorang muridnya kehilangan sebelah matanya di hadapannya.

   Namun sekali lagi ia kecewa atas muridnya itu, kecewa kepada diri sendiri.

   Bahwa ia tidak dapat menempatkan muridnya dalam satu ikatan yang kokoh seperti murid-murid Bojong Santi.

   Kuda Sempana pun tidak kurang mengumpat-umpat di dalam hati.

   "Cundaka memang gila. Ia tidak tahu perasaanku, sehingga ia malahan seolah-olah menghalang-halangiku. Kini akulah yang dihadapkan pada suatu kesulitan. Kalau ia tidak berbuat gila, maka aku pun tidak akan berdiri di persimpangan jalan yang sulit ini."

   Mereka yang berdiri di atas bukit gundul itu kini benar dilanda oleh ketegangan yang semakin memuncak.

   Kuda Sempana tegakseperti patung.

   Namun nafasnya menjadi terengah-engah.

   Sekali- kali dipandangnya wajah gurunya.

   Ia ingin mendapat nasihat daripadanya, tetapi gurunya masih juga tetap berdiam diri.

   Cundaka sendiri sejenak kehilangan kemampuan menimbang dan memperhitungkan keadaan yang dihadapinya.

   Tetapi kemudian ia berhasil menenangkan dirinya.

   Kini ia telah pasti bahwa ketelanjurannya akan mendatangkan bencana kepadanya.

   Namun tiba-tiba ia menjadi tabah menghadapi bencana yang betapapun juga.

   Kalau ia sudah mampu menghindarkan dirinya, maka ia harus berani menanggung segala akibat dari perbuatannya.

   Di dalam hati ia berkata "Terserah kepadamu Kuda Sempana.

   Tetapi namaku hanya dapat lepas bersama nyawaku."

   Ketika Kuda Sempana tidak segera berbuat sesuatu, maka kembali terdengar Wong Sarimpat berkata "He Kuda Sempana, apakah kau juga menjadi bisu? Ayo, jawablah!"

   Kuda Sempana benar-benar menjadi bingung.

   Kembali ia memandangi wajah gurunya mencari jawab atas pertanyaan Wong Sarimpat itu.

   Empu Sada melihat kebingungan di hati Kuda Sempana.

   Ia menjadi sedikit bersenang hati, bahwa Kuda Sempana masih memerlukan untuk berpikir ketika ia harus melakukan sesuatu yang dapat lebih menyakitkan hatinya, yaitu berkelahi sesama muridnya.

   Karena itu, maka Empu Sadalah yang menjawab "Wong Sarimpat.

   Permintaanmu memang tidak masuk akal.

   Nah, kalau demikian maka biarlah aku memberikan tawaran.

   Beberapa potong emas itu saja.

   Mungkin Kuda Sempana mempunyai mata yang bagus, tetapi bukan mata orang.

   Mungkin ia mempunyai mata cincin batu akik yang berharga.

   Akik mata kucing barangkali atau akik Wukir Gading yang kekuningan.

   Kalau kau tidak senang mata batu akik, mungkin kau senang permata intan atau berlian."

   Suara Empu Sada patah ketika kembali terdengar suara tertawa Wong Sarimpat.

   Katanya "Harga Mahisa Agni yang aku berikan tidak dapat ditawar-tawar.

   Ayo, kau tinggal sanggup atau tidak."Tiba-tiba Wong Sarimpat terkejut sehingga suara tertawanya terputus.

   Bukan saja Wong Sarimpat, tetapi juga Kuda Sempana.

   Dengan tegas Empu Sada menjawab singkat "Tidak.

   Aku tidak mau.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kita batalkan pembicaraan kita."

   "Guru,"

   Dengan serta-merta Kuda Sempana memotong "Bagaimana mungkin, Guru. Aku sudah memutuskan, Mahisa Agni harus tertangkap. Hidup atau mati. Aku lebih senang kalau ia dapat tertangkap hidup-hidup."

   "Tetapi harga itu terlampau mahal. Kalau kau masih keras hati untuk membunuh Mahisa Agni, maka berarti kau telah membunuh dua orang sekaligus. Mahisa Agni dan saudara seperguruanmu sendiri. Nah. Pertimbangkan. Kecuali Wong Sarimpat memberikan penawaran lain."

   Kembali Kuda Sempana terbungkam.

   Terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya Dan kembali ia mengumpat-umpat di dalam hati.

   Kejengkelannya terhadap Cundaka semakin meningkat dan bahkan kemudian ia menjadi muak melihat orang itu.

   Orang yang selama ini telah memperlemah tekadnya membalas dendam.

   Adalah omong kosong kalau Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu kelak akan mampu melepaskan dendamnya terhadap Mahisa Agni dengan tangannya sendiri.

   "Kenapa orang itu tidak mati saja diterkam macan?"

   Desisnya di dalam hati.

   Namun dengan demikian tiba-tiba jantungnya serasa akan meledak ketika tumbuh pikiran di dalam benaknya, kenapa orang itu tidak dibiarkannya mati saja? Kenapa gurunya menganggap Cundaka sebagai tebusan yang terlampau mahal? Cundaka itu pun kini tidak berguna lagi baginya, sehingga seandainya anak itu mati.

   maka ia tidak akan merasa kehilangan.

   Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada gurunya.

   Yang terdengar kemudian adalah suara Wong Sarimpat.

   "Kakang Kebo Sindet, bagaimana sebaiknya? Permintaan Kakang terlampau murah. Sebelah mata. Aku sekarang ingin menaikkanharga itu. Tidak hanya sebelah tetapi sepasang mata anak setan ini. Apakah Kakang setuju?"

   Wajah yang beku itu tetap membeku, seolah-olah Kebo Sindet tidak mendengar suara adiknya. Namun Wong Sarimpat itu berkata "Nah, ternyata Kakang Kebo Sindet telah menyetujui. Sepasang mata."

   Kemudian kepada Kuda Sempana.

   "Kau dengar kenaikan harga itu? Karena kau terlampau lama berpikir, maka kami terpaksa menaikkan harga. Kalau kemudian kau tidak segera memutuskan maka harga itu akan naik lagi. Kau tinggal menyetujui atau tidak. Kalau ternyata kau tidak mampu, maka biarlah harga itu kami ambil sendiri."

   Kata-kata itu benar-benar menggetarkan hati. Dan udara di gunung gandul itu pun tergetar ketika Empu Sada menjawab tegas "Tidak. Muridku adalah milikku. Aku tidak akan menjerahkannya. Aku belum gila segila kalian berdua."

   Kembali mereka terdiam. Wong Sarimpat memandang wajah Empu Sada dengan mata yang menyala-nyala. Kemudian sekali ia berpaling kepada kakaknya sambil berkata "Apa pula yang kita tunggu, Kakang?"

   Tiba-tiba terdengar suara Kebo Sindet datar.

   "Empu Sada. Kenapa kau tidak dapat melakukan pekerjaan ini sendiri? Kenapa kau tidak dapat menangkap Mahisa Agni? Apakah orang-orang yang pernah kau sebutkan itu selalu mengawaninya? Empu Purwa, Empu Gandring dan Panji Bojong Santi?"

   Empu Sada tidak segera menjawab, tetapi yang menjawab adalah Kuda Sempana.

   "Salah seorang dari mereka pasti ada di sekitar Mahisa Agni atau Ken Dedes. Dan Guru hanyalah seorang diri."

   "Tidak,"

   Potong Empu Sada.

   "ada sebab-sebab lain. Sebab-sebab yang tidak dapat aku katakan di sini."Tiba-tiba wajah Kebo Sindet yang beku itu bergerak. Matanya tiba-tiba menjadi redup. Dan sejenak kemudian terdengar ia berkata "Kami berdua cukup kuat untuk melakukannya Empu, kau tidak kami perlukan lagi."

   Kata-kata Kebo Sindet itu bagaikan petir yang meledak di dalam dada Kuda Sempana.

   ia tidak tahu pasti maksud orang berwajah beku itu, namun terasa bahwa ada sesuatu yang kurang wajar akan terjadi.

   Bukan saja Kuda Sempana, namun juga Cundaka terkejut sekali mendengarnya.

   Meskipun ia juga kurang menyadari arti kata-kata itu seperti Kuda Sempana, namun ia menjadi semakin muak melihat kedua orang liar itu.

   Empu Sada sendiri mengerutkan keningnya.

   Ia terkejut juga mendengarnya, namun ia telah merabanya lebih dahulu, bahwa ia akan berhadapan dengan kemungkinan itu.

   Kemungkinan yang timbul karena kebodohan Kuda Sempana.

   Kuda Sempana telah mengatakan banyak sekali, bahkan terlampau banyak tentang Mahisa Agni, sehingga kedua orang itu telah mendapat gambaran yang hampir sempurna tentang anak muda itu.

   Cepat Empu Sada dapat mengikuti jalan pikiran Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Mereka pasti akan berbuat untuk kepentingan mereka sendiri.

   Mereka mengetahui dari Kuda Sempana bahwa Mahisa Agni selalu mondar-mandir antara padang rumput Karautan dan padukuhan Panawijen untuk setiap persoalan.

   Mahisa Agni adalah satu-satunya anak muda yang berani melakukannya.

   Dari Kuda Sempana pun, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat mendengar hubungan yang terlampau rapat, terlampau rukun antara kedua saudara itu, Mahisa Agni dan Ken Dedes, meskipun Kuda Sempana tahu bahwa keduanya adalah bukan saudara kandung.

   Kedua orang itu mendengar pula betapa Akuwu Tunggul Ametung sangat bernafsu untuk memperistri Ken Dedes, bahkan mengambilnya sebagai permaisuri.

   "Hem,"

   Empu Sada menarik nafas dalam. Kemudian terdengar ia bertanya "Kebo Sindet, apakah maksudmu sebenarnya?""Cukup jelas bagi seorang seperti kau Empu."

   "Tidak!"

   Sahut Empu Sada.

   "Kurang jelas bagiku, sebab aku tidak biasa berpikir seperti kalian."

   Kini wajah Kebo Sindet telah membeku kembali. Dengan nada datar ia berkata.

   "Cukup jelas. Aku tidak memerlukan kau. Tetapi aku juga tidak mau kau ganggu."

   "Kau keliru. Kau tak akan bisa menyelesaikan pekerjaan ini tanpa aku."

   "Kau berusaha menyelamatkan dirimu?"

   "Kenapa aku menyelamatkan diri? Apakah ada bahaya yang mengancam aku?"

   "Jangan pura-pura tidak tahu. Aku tidak memerlukan kau dan aku tidak mau kau mengganggu untuk seterusnya. Jelas?"

   Tiba-tiba Empu Sada tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Kau akan membunuh aku?"

   Kebo Sindet tidak segera menjawab.

   Ditatapnya mata Empu Sada dengan tatapan mata semakin lama menjadi semakin tajam.

   Hanya tatapan mata itulah yang dapat dibaca oleh Empu Sada, bahwa Kebo Sindet benar-benar berusaha akan melakukannya.

   Percakapan itu benar-benar telah mengguncangkan dada Kuda Sempana.

   Ia benar-benar tidak menyangka bahwa akhirnya ia akan menghadapi keadaan yang sama sekali tidak disangkanya.

   Ia tidak dapat mengerti kenapa Kebo Sindet tiba-tiba ingin menyingkirkan gurunya.

   Seandainya persoalan itu dapat dilakukan oleh mereka sendiri, kenapa gurunya mesti harus disingkirkan? Dengan demikian maka bergolaklah dada Kuda Sempana itu, seperti bergolaknya perut gunung berapi.

   Yang terdengar kemudian adalah suara Wong Sarimpat menyambar telinga mereka seperti guruh di langit.

   "He, Empu Sada! Kami telah cukup mengerti apa yang harus kami lakukan. Karena itu kau bagi kami pasti hanya akan menjadi perintang yangmemuakkan. Mungkin kau akan berkhianat dan bahkan mungkin kau sempat membunuh kami. Karena itu, maka kaulah yang harus kami singkirkan dahulu."

   "Kenapa?"

   Bertanya Empu Sada. Orang tua itu masih tetap saja berdiri dengan tenang "bukankah aku yang memerlukan kalian untuk pekerjaan ini? Kenapa akulah yang mungkin mengkhianatinya?"

   "Kami bukan orang yang kau sangka berotak batu,"

   Sahut Wong Sarimpat "aku tahu rencanamu.

   Kami akan kau jerumuskan dalam persoalan yang tak tanggung-tanggung.

   Berhadapan dengan Akuwu Tunggul Ametung.

   Kemudian kalau rencana itu berhasil, menangkap Mahisa Agni, maka kau akan menghadap Akuwu dan menunjukkan siapakah yang telah melakukan perbuatan itu.

   Dengan demikian maka kau akan bersih dari segenap tuduhan, karena sebelumnya kaulah yang telah membuat persoalan dengan Mahisa Agni karena muridmu, dan keuntungan yang lain, kalau kami kemudian tertangkap maka kau tidak perlu melepaskan sepotong emas pun untuk kami."

   Sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.

   Sekarang disadarinya bahwa apa yang dikatakan Empu Gandring dan Panji Bojong Santi itu bukanlah suatu usaha untuk menakut-nakutinya saja.

   Meskipun di antara mereka, Empu Sada sendirilah yang paling mengenal kedua orang itu karena ia pernah berhubungan sebelumnya.

   Tetapi kini, ia tidak berhasil mempergunakan kedua orang itu.

   Empu Sada itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Dengan tenang ia menjawab "Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Jangan kau sangka bahwa aku pun tidak tahu apa yang kalian rencanakan.

   Bukankah kalian telah merasa cukup mengetahui persoalan Mahisa Agni? itu adalah kesalahan Kuda Sempana.

   Dan bukankah kalian berdua ingin menangkap Mahisa Agni untuk tujuan pemerasan? Mungkin kalian menyangka bahwa dengan menyembunyikan Mahisa Agni, maka akulah yang akan menjadi sasaran tuduhan itu.

   Sementara itu kau akan menjual jasa, mengembalikan Mahisa Agnidan mengatakan bahwa kau telah membunuh Empu Sada.

   Kau mengharap Ken Dedes akan memberi kalian segerobak emas dan berlian, karena ia seorang permaisuri?"

   Empu Sada itu berhenti sejenak. Tiba-tiba ia tertawa sambil berkata.

   "Cobalah. Kau kelak pasti akan digantung di alun-alun. Mahisa Agni tidak pernah terpisah dari orang-orang yang tak akan dapat kau kalahkan."

   Tetapi kata-kata Empu Sada itu disambut oleh suara tertawa pula.

   Suara Wong Sarimpat.

   Jauh lebih keras dari suara tertawa Empu Sada.

   Di antara suara tertawanya yang menggelegar itu terdengar ia berkata "Oh, apakah kau mengharap kami menjadi ketakutan dan mengurungkan niat kami? Kau salah Empu.

   Tekad kami telah bulat.

   Empu Sada harus disingkirkan.

   Mungkin dugaanmu mengenai rencana kami benar."

   Empu Sada masih mencoba menguasai perasaannya. Katanya "Kau akui bahwa kau telah merencanakan membunuh aku dan mencoba melakukan pemerasan?"

   Sebelum Wong Sarimpat menjawab, terdengar suara Kebo Sindet.

   "Otakmu memang cemerlang Empu. Namun karena itu maka kau harus kami tiadakan."

   Empu Sada kini sudah tidak melihat kemungkinan lain.

   Meskipun ia masih kelihatan tenang-tenang saja, namun hatinya benar-benar menjadi gelisah.

   Murid-muridnyalah yang paling terancam jiwanya.

   Apa lagi Cundaka.

   Agaknya kedua orang itu sama sekali tidak senang kepada muridnya yang seorang ini, seperti juga muridnya itu sama sekali tidak senang kepada kedua orang-orang liar itu.

   Kini suasana Tiba-tiba menjadi tegang.

   Empu Sada mencoba untuk memusatkan segenap daya pikirannya untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini.

   Tetapi jalan itu tidak dilihatnya.

   Satu- satunya jalan adalah bertempur.

   Tanpa disengajanya orang tua itu berpaling memandangi kedua muridnya berganti-ganti.

   Kemudian menarik nafas dalam-dalam.

   Lebih-lebih lagi.

   Ketika ia melihat Cundaka yang berdiri tegak dengan tegangnya."Hem,"

   Katanya di dalam hati.

   "Kasihan anak ini. Meskipun ia anak yang bengal, tetapi aku telah menyeretnya ke dalam kesulitan yang tak mungkin padat dihindarinya."

   Tetapi ketika kemudian ia melihat sinar mata muridnya yang menyala itu, hatinya menjadi bangga. Katanya pula di dalam hati "Kalau kau mati anakku, matilah dengan wajah tengadah."

   Empu Sada itu pun kemudian terkejut ketika terdengar suara Kebo Sindet.

   "Empu Sada. Kita sudah cukup lama berkenalan. Kita sudah pernah bekerja bersama dan berhasil dengan baik. Karena itu marilah kita saling berbaik hati. Janganlah kita menyusahkan satu sama lain. Aku harap kau pun mengenal terima kasih kepadaku atas pertolonganmu dahulu, dan sekarang kau bersikap baik terhadap kami. Karena itu, maka sebaiknya kau tidak perlu mempersulit usaha kami membunuhmu dan mengambil sepasang mata muridmu itu."

   Darah di dalam tubuh Empu Sada terasa menggelegak.

   Di kejauhan terdengar suara anjing liar menyalak bersahut-sahutan.

   Tetapi rupa-rupa h kita saling berbaik hati.

   Ja nya perasaan Cundakalah yang lebih dahulu meluap, sehingga tanpa dikehendakinya kembali ia menggeram.

   Wong Sarimpat yang mendengar geram itu, berkata kasar.

   "Jangan tergesa-gesa. Waktu masih cukup. Apakah terlampau terburu oleh keinginan untuk mencoba hidup tanpa mata?"

   Alangkah sakit hati orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu.

   Namun setelah beberapa kali gurunya selalu menggamitnya, maka kali ini pun ia menahan mulutnya sekuat-kuatnya.

   Apalagi setelah ia mendengar pembicaraan gurunya dengan kedua orang liar itu, maka kebenciannya menjadi semakin memuncak.

   Meskipun demikian ia menjadi berdebar-debar pula.

   Agaknya ia tidak akan dapat keluar dari bencana yang sudah membayang di depan matanya.

   Dalam pada itu kembali terdengar suara Kebo Sindet.

   "Bagaimana dengan permintaanku, Empu?"Empu Sada tidak menjawab. Ia tahu benar, bahwa ia tidak dapat mencari jalan untuk melepaskan dirinya. Ia tahu benar, bahwa yang seorang dari kakak beradik itu akan melawannya, dan yang seorang dengan mudahnya akan membunuh kedua muridnya. Sesudah itu, maka kedua orang itu ber-sama-sama akan membunuhnya pula.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Licik!"

   Geramnya di dalam hati.

   Tetapi Tiba-tiba di dalam hati Empu Sada itu pun timbul pula tekadnya untuk melawan kedua orang itu dengan cara seperti yang ditempuh oleh mereka.

   Karena itu maka, meskipun Empu Sada itu masih saja berdiri sambil menundukkan kepalanya, namun kepalanya itu bergelora dengan dahsyatnya.

   "Kebo Sindet,"

   Berkata Empu Sada.

   "apakah tidak ada tawaran lain? Bagaimana kalau kau sebut saja misalnya kami harus membayar lebih dahulu supaya kami tidak menipumu?"

   Wong Sarimpat tertawa. Jawabnya.

   "Berapakah besar kemampuan mau membayar kami, Empu Sada. Ken Dedes adalah seorang permaisuri Akuwu yang kaya raya. Beberapa potong emas bagi mereka pasti tidak akan berarti apa-apa. Bahkan setelah kami berhasil merebut Mahisa Agni dan membunuh Empu Sada yang telah menculik Mahisa Agni itu, kami akan mendapat kedudukan yang baik. Kami akan mendapat hadiah tanah perdikan dan kami akan dapat hidup dengan tenteram untuk seterusnya. Tidak seperti hidup kami saat ini."

   Empu Sada menganggukkan kepalanya.

   "Jadi kau ingin kedudukan dan harta itu dengan beralaskan kepalaku?"

   Wong Sarimpat tertawa terus.

   "Ya,"

   Jawabnya. Kepala Empu Sada menjadi semakin tunduk. Kakinya tiba-tiba menjadi gemetar seperti suaranya yang gemetar pula.

   "Aku masih ingin hidup Wong Sarimpat. Apakah kau tidak kasihan melihat umurku yang sudah menjadi semakin tua. Kau biarkanlah aku beberapa tahun lagi, pasti akan mati sendiri."

   Suara tertawa Wong Sarimpat menjadi semakin keras."He, Empu Sada yang garang.

   Kenapa kau tiba-tiba menjadi ketakutan he? Di mana namamu yang besar selama ini, yang mempunyai puluhan murid tersebar di segenap penjuru Tumapel, bahkan di setiap sudut Kerajaan Kediri?"

   Empu Sada melihat kegembiraan itu Wong Sarimpat agaknya menjadi sangat bersenang hati, seperti melihat permainan yang baru pertama kali dimilikinya.

   Namun Tiba-tiba suara tertawa itu terhenti.

   Terdengar sebuah keluhan pendek terloncat dari mulutnya.

   Wong Sarimpat yang bertubuh besar kekar meskipun tidak terlalu tinggi itu terdorong ke belakang dan terlempar jatuh.

   Betapa terkejutnya semua orang yang berdiri di atas gunung gundul itu.

   Peristiwa itu sama sekali tidak mereka sangka.

   Kebo Sindet, orang yang berwajah mayat itu pun terkejut bukan buatan, sehingga justru karena itu sejenak ia terpaku diam.

   Ia melihat Empu Sada dengan kecepatan yang hampir tidak kasatmata, meloncat, menghantam dada Wong Sarimpat yang sedang tertawa terbahak- bahak.

   Ternyata Empu Sada telah melanggar kehormatan diri sebagai seorang sakti yang disegani.

   Ia telah mulai menyerang sebelum musuhnya bersiap.

   Dalam pada itu, Wong Sarimpat yang sama sekali tidak menyangka bahwa Empu Sada akan berbuat demikian, tidak sempat untuk mengelakkan diri atau menangkis serangan itu.

   Selagi ia terlena oleh kegembiraan hatinya yang seakan-akan membakar segenap dadanya ketika ia melihat Empu Sada ketakutan.

   Namun tiba-tiba terasa seakan-akan Gunung Kawi runtuh menimpa dadanya.

   Kalau yang melakukan serangan itu Kuda Sempana atau Cundaka, bahkan keduanya sekaligus, maka Wong Sarimpat tidak akan dapat digeser setapak pun dari tempatnya.

   Bahkan ia akan tertawa semakin keras.

   Tetapi yang menyerang dengan tiba-tiba sebelum ia bersiap itu adalah Empu Sada.

   Orang yang setingkat dengan Wong Sarimpat itu sendiri.

   Dengan demikian maka Wong Sarimpat tidak dapat mencegah ketika dirinya sendiri terbanting jatuh.

   Bahkan kemudian serasadadanya menjadi pecah.

   Sekali ia menggeliat dan mencoba untuk segera bangkit, namun ia memerlukan waktu untuk melakukannya.

   Tetapi Empu Sada yang telah merendahkan dirinya dengan licik itu tidak berhenti dengan serangan itu.

   Selagi Kebo Sindet masih tercengkam oleh perasaan terkejut, maka tongkatnya telah terayun deras sekali.

   Hampir tidak ada senggang waktu dengan serangannya atas Wong Sarimpat.

   Kebo Sindet yang terkejut itu pun tidak sempat menghindar.

   Tetapi ia mampu bergerak cepat pula.

   Dengan tangannya ia menahan serangan Empu Sada yang menyambarnya secepat tatit.

   Tetapi ternyata tongkat Empu Sada masih lebih keras dari tubuh Kebo Sindet yang hampir sekeras batu padas.

   Tongkat itu adalah tongkat Empu Sada.

   Tongkat seorang yang pilih tanding, sehingga tongkat itu bukan sekedar tongkat untuk mencari jalan di malam yang gelap.

   Terasa perasaan sakit yang sangat telah menyengat tangan Kebo Sindet.

   Seperti Wong Sarimpat ia mengeluh pendek.

   Tetapi yang terasa sakit pada Kebo Sindet hanyalah sebelah tangannya, tangan kirinya, bukan dadanya seperti Wong Sarimpat yang bahkan nafasnya menjadi semakin sesak.

   Dengan demikian, maka perkelahian di antara mereka telah dimulai.

   Dimulai oleh sebuah serangan yang licik, sehingga Kebo Sindet yang kemudian menyadari keadaan berteriak marah sekali.

   "He Empu yang gila. Kau ternyata tidak lagi merasa dirimu berharga untuk menjaga kehormatanmu. Kau mulai dengan sebuah serangan yang licik dan hina. Apakah kau tidak mengenal tata kehormatan dalam setiap perselisihan?"

   Empu Sada kembali memutar tongkatnya, dan meluncurlah sebuah serangan yang dahsyat mengarah ke dada Kebo Sindet.

   Kebo Sindet yang belum dapat menyesuaikan diri sepenuhnya itu segera meloncat mundur, namun tongkat Empu Sada mengejarnya.

   Sekali lagi Kebo Sindet terpaksa menangkis serangan itu dengan tangannya, dan sekali lagi terasa tongkat itu seperti menggigit tulangnya."Gila kau, Empu Sada!"

   "Tidak ada tata kehormatan yang mengikat aku seperti tidak ada kebiasaan dan adat yang dapat mengikat kalian!"

   Teriak Empu Sada tidak kalah kerasnya. Suaranya bergetar dalam nada yang tinggi. Ternyata Empu Sada itu pun telah dibakar oleh kemarahan yang akhirnya meledak.

   "Mungkin aku berbuat curang dan licik. Tetapi maaf, aku terpaksa melakukannya. Aku tidak mau menjadi bangkai makanan anjing-anjing liar."

   Dalam pada itu Wong Sarimpat telah berdiri di atas kedua kakinya.

   Tetapi dadanya serasa akan pecah dan nafasnya seakan- akan telah menyumbat lubang-lubang hidungnya.

   Sekali ia terhuyung-huyung, namun kemudian ia dapat menguasai keseimbangannya dengan mantap.

   Cundaka yang terkejut pun kini telah menyadari apa yang terjadi.

   Ternyata gurunya telah mulai.

   Sudah tentu ia tidak akan dapat berpangku tangan.

   Meskipun ia bukan lawan yang berarti bagi Wong Sarimpat itu telah terluka di dalam.

   Wong Sarimpat itu seolah-olah telah menjadi sangat lemah dan tidak lagi mampu berbuat sesuatu.

   Karena maka nafsunya untuk melawan Wong Sarimpat yang kasar itu segera berkembang di dalam dadanya.

   Dengan serta-merta ia menarik pedangnya dan siap menghadapi setiap kemungkinan.

   Ia terkejut ketika ia mendengar Empu Sada berteriak.

   "Cundaka dan Kuda Sempana. Tinggalkan tempat ini! Cepat! Kau hanya memenangkan perlombaan lari dengan Wong Sarimpat. Jangan mencoba melawan!"

   Tetapi Cundaka menjadi ragu-ragu.

   Ia melihat Wong Sarimpat telah hampir mati.

   Apakah ia tidak akan dapat membunuhnya dengan pedangnya itu.

   Ia tinggal menghunjamkan pedang itu ke dada orang yang berdiri pun hampir tidak mampu itu berdiri kaku di tempatnya.

   Sejenak ia benar-benar kehilangan akal.

   Apakah yang harus dilakukannya? "Jangan gila!"

   Kembali Empu Sada terdengar berteriak.Tetapi Cundaka tidak segera pergi.

   Sekali ia memandang Kuda Sempana dengan sudut matanya.

   Namun Kuda Sempana masih berdiri kaku di tempatnya.

   Sejenak ia benar-benar kehilangan akal.

   Apakah yang harus dilakukannya? Dalam pada itu terdengar Kebo Sindet yang sedang berkelahi dengan Empu Sada berkata.

   "Wong Sarimpat, jangan kau bunuh Kuda Sempana. Ia adalah arak muda yang baik hati, jujur dan mengerti apa sebabnya dilakukan. Sayang jika jatuh ke tangan Empu Sada yang licik. Yang lain itu terserahlah kepadamu. Aku hanya memerlukan sepasang matanya saja."

   Empu Sada tidak tahu pasti maksud Kebo Sindet dengan kata- katanya itu.

   Mungkin ia benar-benar ingin menangkap Kuda Sempana hidup-hidup sebagai orang yang dianggapnya cukup mengerti tentang Mahisa Agni dan Ken Dedes.

   Apalagi Kuda Sempana dan Empu Sada tidak sempat berbicara terlampau banyak, telah mengaku bahwa ia adalah pelayan dalam istana Tumapel, yang banyak mengetahui seluk beluk istana itu.

   Tetapi mungkin juga dengan demikian Kebo Sindet hanya ingin mencegah Kuda Sempana supaya tidak melawan adiknya yang terluka itu bersama- sama dengan Cundaka dengan cara yang licik pula.

   Kebo Sindet berpura-pura membiarkan Kuda Sempana akan tetap hidup, namun apabila lawan yang lain telah binasa, maka akan datang giliran pada anak muda itu.

   Karena itu maka Empu Sada itu pun segera berteriak pula.

   "Kuda Sempana, jangan terpengaruh. Kebo Sindet hanya ingin mencegah kalian bertempur berpasangan melawan Wong Sarimpat yang hampir mampus itu. Kalau kau ingin melawan lawanlah bersama-sama. Kalau sempat, lebih baik tinggalkan tempat ini. Semakin cepat semakin baik."

   Kini Kebo Sindet telah benar-benar berada dalam keadaan yang mantap untuk melawannya.

   Namun tangan kirinya telah terluka.

   Terasa setiap kali tulang-tulangnya seperti menjadi retak karena pukulan tongkat Empu Sada.

   Kebo Sindet itu pun kemudian tidak membiarkan dirinya hancur dan tulang-tulangnya patah oleh tongkat empu tua itu.

   Makadengan tangkasnya ia menarik goloknya yang besar dari rangkanya yang tergantung di pinggang.

   Dengan demikian, maka sejenak kemudian kedua orang itu telah terlihat dalam perkelahian yang sengit.

   Masing-masing adalah orang-orang sakti yang sukar dicari keseimbangannya.

   Dalam pada itu Kuda Sempana masih berdiri dengan ragu-ragu.

   Tiba-tiba ia teringat pada saat-saat ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni di bendungan, kemudian di Panawijen.

   Namun keduanya ia terusir karena kekalahan yang dialaminya.

   Kemudian ia berhasil membunuh Wiraprana dan membawa Ken Dedes, tetapi ia harus berhadapan dengan Witantra.

   Sekali lagi ia gagal.

   Dan ia kemudian terlempar dengan hinanya ke atas tangga serambi istana atas permintaan Ken Dedes yang ingin melepaskan sakit hatinya.

   Dengan demikian maka ia adalah seorang buruan.

   Kuda Sempana itu berdiri membeku di tempatnya.

   Ia melihat Cundaka telah siap dengan pedangnya.

   Namun sekali lagi ia mendengar kembali suara hatinya pada saat ia berkelahi melawan Witantra.

   "Ken Dedes bagiku adalah lambang keteguhan tekadku. Kalau aku tidak mampu mempertahankannya maka dalam persoalan-persoalan yang lain aku pun akan selalu gagal."

   Kuda Sempana menjadi semakin ragu-ragu.

   Apakah ia akan tetap dalam pendiriannya itu meskipun dengan perubahan? Kini ia telah bertekad, kalau ia gagal maka lambang keteguhan tekadnya itu akan dihancurkannya sama sekali lewat kehancuran yang akan dialami oleh Mahisa Agni.

   Orang yang paling dibencinya.

   Kuda Sempana tersadar ketika ia melihat gurunya dan Kebo Sindet tiba-tiba meloncat dekat di mukanya.

   Dengan serta-merta ia meloncat mundur.

   Namun ketika ia telah tegak kembali di atas kedua kakinya, maka ia masih saja dicengkam oleh kebimbangan.

   Kalau ia membiarkan perkelahian itu, maka berarti ia telah mengkhianati gurunya.

   Tetapi kalau ia memihak gurunya dan bersama-sama dengan Cundaka mencoba membunuh Wong Sarimpat, maka kembali ia akan mengalami kegagalan menghadapi Mahisa Agni.Dadanya berdesir ketika sekali lagi ia mendengar gurunya berteriak.

   "Cundaka. Jangan gila! Tinggalkan orang itu, atau berdua melawan ber-sama-sama. Jangan berbuat sendiri!"

   Cundaka pun menjadi ragu-ragu.

   Ia melihat Wong Sarimpat berjalan terhuyung-huyung ke arahnya.

   Sekali-kali orang itu meraba dadanya yang serasa pecah.

   Namun matanya masih memancarkan kemarahan yang membara.

   Dengan ujung jari tangan kirinya ia menunjuk wajah Cundaka sambil berkata serak tersendat-sendat.

   "Jangan lari tikus kecil aku masih mampu membunuhmu."

   Cundaka mundur selangkah.

   Tetapi pedangnya kini telah terjulur lurus mengarah ke dada Wong Sarimpat.

   Dada yang telah berhasil dilukai oleh Empu Sada.

   Namun ketika Wong Sarimpat maju selangkah lagi, Cundaka itu pun surut pula selangkah sambil berpaling memandangi saudara seperguruannya, Kuda Sempana.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi Kuda Sempana itu pun masih juga berangan-angan.

   "Apakah kematian Cundaka dan guru sendiri, akan merupakan korban yang harus aku relakan untuk melakukan rencanaku?"

   Sekali lagi Kuda Sempana mendengar gurunya berteriak.

   "Kau sudah terpengaruh oleh suara iblis ini Kuda Sempana. Jangan kau sangka bahwa kau akan mendapatkan apa yang telah mereka janjikan."

   Kebo Sindet yang tangan kirinya telah terluka itu sempat juga berkata.

   "Kasihan kau Kuda Sempana. Mungkin kau tidak mengerti kenapa kami ingin membunuh gurumu. Sebelum gurumu ini aku singkirkan, maka kau tidak akan dapat mengingkari rencana itu, sebab di belakang semua perbuatannya, tersembunyi pamrih yang tidak kau ketahui. Aku akan mengatakannya kelak, apabila gurumu telah menjadi bangkai."

   Kata-kata Kebo Sindet terputus oleh serangan Empu Sada yang semakin dahsyat.

   Tongkatnya sekali-kali berhasil menyusup ke dalam lingkaran gerakan pedang Kebo Sindet.

   Bahkan sekali-kalitongkat itu berhasil pula menyentuh tangannya yang sakit, sehingga tulang-tulangnya semakin lama terasa seolah-olah menjadi semakin remuk.

   "Gila!"

   Katanya di dalam hati "Empu tua itu tahu benar, bahwa tanganku hampir patah."

   Namun betapapun juga, akhirnya Kuda Sempana menyadari, bahwa ia tidak dapat membiarkan guru dan saudara seperguruannya. Betapapun ia menjadi ragu-ragu tetapi terdengar kata-kata hatinya melonjak-lonjak.

   "Itu adalah gurumu."

   Dengan mata yang tidak berkedip Kuda Sempana melihat gurunya bertempur.

   Hilanglah segala kesan ketuaan Empu Sada.

   Kini Empu Sada itu seolah-olah menjadi seekor burung sriti yang sedang menari-nari di udara, Namun Kebo Sindet melawannya dengan tangkas.

   Goloknya berputar dan terayun-ayun dengan dahsyatnya.

   Kekuatan orang itu benar-benar mengagumkan.

   Golok yang besar itu di tangannya, seolah-olah tidak lebih dari sebatang gelagah alang-alang Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru, seperti pertempuran di dalam dada Kuda Sempana.

   Dalam ke-ragu-raguan ia mendengar gurunya berteriak dengan penuh kecemasan.

   "Cundaka! He, Cundaka! Apa kau sudah benar-benar gila. Lari! Lari cepat!"

   Tetapi Cundaka melihat Wong Sarimpat sudah hampir mati, Dengan sebuah sentuhan yang tidak berarti orang itu pasti sudah akan jatuh telentang.

   Dan ia segera akan menghunjamkan pedangnya di dada orang liar itu.

   Betapa gurunya berteriak-teriak namun perasaan sombong di dalam dadanya telah memaksanya untuk tetap berada di tempatnya, bahkan ia sesumbar di dalam hatinya.

   "He Wong Sarimpat. Betapa nistanya Cundaka yang bergelar Bahu Reksa Kali Elo, namun aku adalah laki-laki juga seperti kau. Sekarang, kenapa aku harus menghindarkan diri sedang kau sudah hampir menjadi bangkai?"Wong Sarimpat menjadi semakin dekat. Dan Cundaka masih mendengar gurunya berteriak. Tetapi ia ingin, ya, ia ingin, bahwa ia berhasil membunuh Wong Sarimpat itu. Karena itu, tiba-tiba Cundaka itu pun memekik tinggi. Dengan satu loncatan yang garang ia menyerang Wong Sarimpat dengan pedangnya mengarah dada.

   "Oh,"

   Terdengar Empu Sada mengeluh, kemudian katanya.

   "Nasibmu memang terlampau jelek Cundaka."

   Tetapi Cundaka tidak mendengar.

   Ia sedang dimabukkan oleh keinginannya membunuh Wong Sarimpat yang di sangkanya hampir mati karena luka di dadanya.

   Kuda Sempana melihat serangan itu.

   Ia mendengar gurunya memerintahkan kepadanya untuk bersama-sama dengan Cundaka menghadapi Wong Sarimpat.

   Betapa ia masih dikuasai oleh kebimbangan, namun tangannya telah menarik pedangnya pula.

   Sekali ia melangkah maju, namun tiba-tiba langkahnya terhenti.

   Matanya seakan-akan meloncat dari pelupuknya.

   Dengan mulut ternganga ia meneriakkan sesuatu, tetapi kata-katanya tidak lagi dapat dimengerti.

   "Sudah nasibmu Cundaka,"

   Geram Empu Sada sambil bertempur.

   Yang terdengar adalah suara parau Wong Sarimpat.

   Betapa luka menghentak-hentak dadanya, namun ia tertawa terbahak-bahak.

   Ternyata Cundaka yang mencoba menusuk dada Wong Sarimpat telah mengalami nasib malang.

   Dengan kecepatan yang tidak disangka-sangka oleh Cundaka, Wong Sarimpat berhasil menghindarkan dirinya.

   Cundaka yang memastikan bahwa pedangnya akan menyentuh lawannya yang disangkanya sudah tidak mampu bergerak itu, terdorong oleh tenaganya sendiri.

   Tiba- tiba terasa sebuah tangan yang kuat menangkap lehernya.

   Demikian kuatnya, sehingga terasa lehernya hampir terputus karenanya.

   Ketika sekali ia mencoba meronta, maka terasa jari-jari tangan itu seolah-olah menghunjam ke dalam kulitnya dan berangsur-angsur tenaganya menjadi kian lemah.Dengan sisa tenaganya Cundaka segera menggerakkan pedang yang masih berada di tangannya.

   Ia melihat sepasang kaki yang renggang di sampingnya.

   Tetapi demikian pedangnya terayun, terasa kaki Wong Sarimpat mengenai pergelangannya sehingga pedangnya pun terlepas dan jatuh di tanah.

   "Kuda Sempana, cepat berbuatlah sesuatu!"

   Teriak Empu Sada.

   Kuda Sempana maju pula selangkah.

   Kini ia telah mencabut pedangnya.

   Ketika ia melihat Cundaka tidak berdaya maka timbullah perabaan iba di dalam hatinya.

   Cundaka itu telah pernah berusaha membantunya pula.

   Namun tiba-tiba kembali Kuda Sempana tertegun.

   Ia melihat Cundaka yang tidak berhasil melepaskan tangan Wong Sarimpat itu mencoba menghimpun kekuatan lahir dan batinnya.

   Dalam keadaannya itu ia masih mencoba membangunkan kekuatan aji Kala Bama.

   Demikian ia merasa siap dengan kekuatannya itu, maka sambil membungkuk karena tekanan tangan Wong Sarimpat, pada lehernya Cundaka mengayunkan tangannya memukul lambung Wong Sarimpat.

   Namun Wong Sarimpat menyadari apa yang akan terjadi.

   Dengan kekuatan yang ada padanya, maka terkaman jarinya itu pun diperketat.

   Suatu kekuatan yang tiada taranya telah menjalar di jarinya, sehingga Cundaka itu pun tiba-tiba menjadi lemah seperti dilepasi seluruh tulang belulangnya.

   Empu Sada yang melihat muridnya mencoba membangun kekuatan terakhir itu pun berdesah "Tak ada gunanya."

   Dan sebenarnyalah, ketika Wong Sarimpat melepaskan tangannya, maka Cundaka itu pun jatuh dengan lemahnya di tanah.

   Kekuatan yang telah mulai tumbuh dan menjalari tangannya, tiba- tiba seperti dihisap oleh kekuatan yang tak dimengertinya.

   Bahkan segenap kekuatan yang ada padanya.

   Kini Cundaka tidak lebih dari sehelai daun yang laju.

   Terasa betapa sakit segenap tubuhnya, dan betapa nafasnya menjadi sesak.

   Sekejap ia menyesal bahwa ia tidak menuruti nasihat gurunya, namun sekejap kemudian ia telah menemukan kekuatan batinnya kembali.

   Adalah wajar, bahwa dalam setiap perkelahian itu,salah satu pihak akan mengalami kekalahan.

   Mati adalah akibat yang telah dimengertinya sejak pertama-tama ia menggantungkan pedang di lambungnya.

   Dan mati itu kini menghampirinya.

   Karena itu, dalam kelemahan, Cundaka bahkan menjadi tenang.

   Meskipun tenaganya telah habis, namun ia masih sempat melihat gurunya bertempur dan melihat Kuda Sempana berdiri termangu-mangu dengan pedang di tangan.

   "Mudah-mudahan guru dapat membalaskan dendamku,"

   Desisnya.

   Suaranya perlahan-lahan dalam nada yang sangat rendah.

   Tetapi Empu Sada mendengar kata-kata itu.

   Hati orang tua itu pun menjadi sangat terharu ketika ia melihat muridnya pasrah kepada maut yang telah siap untuk memeluknya Kuda Sempana yang berdiri dalam kebingungan tiba-tiba tersadar bahwa ia sedang menghadapi bahaya yang sama besarnya dengan bahaya yang telah menelan Cundaka.

   Karena itu, maka segera ia mencoba memusatkan perhatiannya ke pada ujung pedangnya dan kepada Wong Sarimpat.

   Ditindasnya setiap perasaan ragu-ragu dan disingkirkannya setiap harapan akan membalas dendam terhadap Mahisa Agni dengan alat kedua orang liar itu.

   Meskipun harapan itu selalu saja menyentuh-nyentuh hatinya.

   Kuda Sempana itu pun kemudian menggeretakkan giginya.

   Ia masih melihat saudaranya seperguruannya menggeliat.

   Dan sekali lagi Cundaka itu mencoba berkata.

   "Aku sudah tidak dapat membantu guru lagi."

   Sekali lagi dada Empu Sada tersentuh.

   Murid itu diambilnya, karena Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu dapat memenuhi permintaannya.

   Dapat memberinya berbagai macam barang dan uang.

   Bukan karena suatu keyakinan bahwa muridnya itu akan dapat meneruskan cabang perguruannya.

   Namun ketika ia melihat anak itu hampir sampai pada ajalnya, maka hatinya melonjak.

   Kemarahannya pun menjadi semakin menyala di dalam dadanya.

   Tiba-tiba hati orang tua itu berkata "Ya, aku akan mencoba membalaskan dendammu, Anakku."Tiba-tiba Empu Sada itu pun melenting meninggalkan lawannya.

   Gerak yang tiba-tiba dan hampir secepat tatit meloncat di udara itu, tidak segera dapat diikuti oleh Kebo Sindet.

   Namun sebagai seorang yang telah dipenuhi oleh pengalaman maka segera Kebo Sindet dapat menangkap maksud Empu Sada.

   Dengan loncatan yang panjang Kebo Sindet mengejarnya.

   Tetapi Kebo Sindet terlambat sekejap.

   Tongkat Empu Sada telah terjulur lurus ke dada Wong Sarimpat.

   Alangkah terkejutnya Wong Sarimpat yang sedang menikmati kemenangannya itu.

   Ketika ia melihat Empu Sada meloncat ke arahnya, dan ketika ia melihat tongkat orang tua itu terjulur lurus ke dadanya, maka ia menjadi gugup.

   Kalau dadanya tidak sedang terluka maka serangan itu sama sekali tidak akan membingungkannya.

   Ia mampu bergerak secepat Empu Sada.

   Tetapi kini betapa sakit tulang-tulang iganya.

   Setiap geraknya pasti menumbuhkan rasa pedih pada isi dadanya itu.

   Namun ia tidak mau mati karena serangan itu.

   Betapapun sakitnya, tetapi ia harus mengerahkan segenap kemampuannya.

   Karena ia tidak mendapat kesempatan untuk meloncat, maka satu-satunya cara yang dapat menolongnya adalah menjatuhkan diri.

   Sementara itu ia mengharap kakaknya akan datang menolongnya.

   Demikianlah dengan serta-merta Wong Sarimpat mencoba menjatuhkan dirinya mendahului tongkat Empu Sada.

   Meskipun dadanya terluka, namun ia masih juga mampu bergerak cepat, sehingga dadanya terlepas dari dorongan tongkat orang tua itu.

   Tetapi Empu Sada tidak membiarkannya bebas sama sekali dari serangannya, dengan satu putaran ia menghantamkan tongkatnya pada punggung lawannya.

   Sekali lagi Wong Sarimpat terpaksa mencoba menghindarkan diri dengan berguling di tanah.

   Namun kali ini Wong Sarimpat yang sudah tidak mampu mempergunakan segenap kekuatannya itu tidak berhasil membebaskan dirinya sama sekali.

   Sekali lagi ia terpaksa mengalami cedera.

   Kali ini lengannya telah terkena tongkat Empu Sada yang sedang menjadi sangat marah itu.Terdengar Wong Sarimpat mengumpat pendek.

   Perasaan nyeri telah menusuk tulangnya, serasa tulangnya telah menjadi retak pula karenanya.

   Namun dengan demikian, karena nafsu Empu Sada untuk membunuh Wong Sarimpat terlampau menguasai perasaannya, maka sejenak ia menjadi lengah, bahwa Kebo Sindet sedang mengejarnya.

   Empu tua itu mendengar Kuda Sempana berteriak pendek dan terasa sebuah getaran menyentuh punggungnya.

   Cepat ia meloncat ke samping sambil merendahkan dirinya.

   Kali ini ia berhasil menghindari sambaran golok Kebo Sindet, tetapi ketika golok itu terayun melampaui tubuhnya yang sedang merendah, terasa telinganya seakan-akan menjadi pecah.

   Ternyata kaki Kebo Sindet berhasil menyambar kepalanya, menyentuh telinga kanannya.

   Untunglah bahwa Kebo Sindet tidak berhasil mempergunakan sepenuh kekuatannya karena tarikan goloknya sendiri.

   Meskipun demikian Empu Sada itu pun terdorong selangkah dan jatuh terguling di tanah.

   Namun seperti singgat, orang tua itu segera melenting berdiri.

   Tongkatnya masih tergenggam erat di tangannya.

   Tetapi kini kepalanya menjadi pening.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bahkan serasa dunia ini berputar di sekelilingnya.

   "Gila!"

   Orang itu mengumpat di dalam hati.

   Ketika ia melihat Kebo Sindet menyerangnya kembali, maka sementara orang tua itu hanya berhati menghindar sambil mencoba menenangkan dadanya.

   Sementara itu Wong Sarimpat pun telah duduk kembali.

   Tepat di samping Cundaka yang terbaring lemah.

   Betapa kemarahan Wong Sarimpat itu menghunjam jantungnya.

   Maka ketika tiba-tiba dilihatnya Cundaka di sampingnya, dengan serta-merta ia merangkak dan menangkap leher orang yang sudah tidak berdaya itu.

   Dengan gigi gemeretak ia menekankan sepuluh jari-jari tangannya ke leher Cundaka yang tidak dapat melawannya sama sekali.

   Kuda Sempana yang meloncat dengan pedang di tangan ternyata terlambat.

   Cundaka sudah benar-benar mati dicekik oleh Wong Sarimpat.Ketika Kuda Sempana kemudian siap menyerang orang yang masih terduduk itu terdengar Empu Sada memperingatkannya.

   "Jangan kau ulangi kesalahan saudaramu. Orang yang hampir mati itu masih cukup berbahaya bagimu."

   Tetapi suara itu disusul oleh suara Kebo Sindet.

   "Wong Sarimpat, jangan kau bunuh Kuda Sempana. Aku bahkan ingin menolongnya, menangkap Mahisa Agni."

   "Setan!"

   Geram Empu Sada.

   Kini kepalanya sudah tidak terlampau pening lagi.

   Namun telinganyalah yang terata sakit bukan buatan.

   Bahkan hatinya pun menjadi sangat pedih.

   Satu muridnya meninggal di hadapan hidungnya.

   Tetapi muridnya itu telah menjadi korban kesombongan sendiri.

   Ia tidak mau mendengarkan nasihatnya.

   Seruan gurunya, serta suara Kebo Sindet, kembali telah mengganggu perasaan Kuda Sempana.

   Ia kini kembali berdiri tegak seperti patung.

   Ia melihat Cundaka terbunuh karena tidak mau mendengar nasihat gurunya.

   Dan kini gurunya itu melarangnya pula untuk melawan Wong Sarimpat yang tampaknya sudah terlampau lemah.

   Tetapi dalam pada itu ia mendengar Kebo Sindet mencegah adiknya untuk tidak membunuhnya.

   Kuda Sempana menjadi bingung.

   Tetapi bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak berlaku jujur kini mulai terbayang di dalam benaknya, Karena itu maka Kuda Sempana pun kini mulai menyadari betapa bodohnya dirinya sendiri.

   Dan ia ingin mencoba menebus kebodohannya.

   Ia ingin memanfaatkan sikap Kebo Sindet atas adiknya Wong Sarimpat.

   Apabila ia menyerang Wong Sarimpat, maka Wong Sarimpat pasti tidak akan berani membunuhnya karena kakaknya tidak menghendakinya.

   Tidak seperti saudara seperguruannya itu.

   Kedua orang liar itu agaknya benar-benar membencinya meskipun mereka belum mengenalnya dengan baik.

   Apalagi kini Wong Sarimpat telah menjadi semakin parah.

   Karena itu maka Kuda Sempana tidak segera meninggalkan tempat itu.

   Dari cahaya obor yang masih menyala meskipun kini tergolek di atas batu-batu padas, ia melihat betapa wajah WongSarimpat yang tegang.

   Agaknya orang itu berusaha untuk menahan perasaan sakitnya.

   Ketika api obor itu menyala semakin besar, maka Kuda Sempana melihat, betapa wajah itu menjadi sangat mengerikan.

   Wong Sarimpat itu menatap seperti ingin menelannya hidup-hidup.

   Tekad Kuda Sempana telah bulat di dalam dadanya.

   Ia mempunyai kedudukan yang berbeda dengan saudara seperguruannya di mata kedua orang-orang liar itu.

   Betapa Wong Sarimpat marah kepadanya, namun Kebo Sindet agaknya masih memerlukannya.

   Namun kembali ia mendengar gurunya berteriak.

   "Apakah kau juga akan membunuh dirimu Kuda Sempana?"

   Kuda Sempana menggeram.

   Terasa dadanya bergolak.

   Apakah sudah sepantasnya ia melarikan dirinya selagi gurunya bertempur matian dan sesudah saudara seperguruannya itu mati? Dalam keragu-raguan itu ia melihat Wong Sarimpat berusaha untuk berdiri.

   Beberapa kali ia berusaha, namun setiap kali ia berhenti, mengatur pernafasannya dan mengusap dadanya.

   Agaknya dadanya masih terasa sangat parah, di samping lengannya yang serasa menjadi retak.

   "Setan licik!"

   Geramnya. Kemudian ditatapnya wajah Kuda Sempana sambil mengumpat "Kau setan pula. Ternyata kakakku berbaik hati kepadamu. Kalau tidak, maka nyawamu akan meloncat dari ubun-ubunmu seperti demit kecil ini."

   Namun terdengar suara Kebo Sindet.

   "Jangan kau takut-takuti anak itu, Wong Sarimpat. Ia tidak bersalah. Gurunyalah yang gila dan saudara seperguruannya itu pula."

   Dada Kuda Sempana berdesir. Namun ia sependapat dengan gurunya ketika ia mendengar gurunya berkata.

   "Apakah kau dapat mempercayainya Kuda Sempana?"

   Kuda Sempana tidak menjawab, tetapi kepalanya mengangguk lemah-Sementara itu Wong Sarimpat telah berhasil berdiri tegak.

   Ditelekankan kedua tangannya di dadanya, dan dihisapnya nafas dalam-dalam beberapa kali.

   Sejenak ia memusatkan segenap sisa- sisa kekuatannya.

   Dan kemudian terdengarlah ia berdesis.

   Kebo Sindet dan Empu Sada masih juga bertempur dengan sengitnya.

   Keduanya adalah orang-orang yang jarang tandingannya.

   Masing-masing mempunyai kekhususannya sendiri- sendiri.

   Namun terasa bahwa tangan Kebo Sindet yang terluka agak mengganggunya.

   Meskipun demikian goloknya masih dapat berputar seperti baling-baling.

   Empu Sada tidak kalah lincahnya pula.

   Meskipun telinganya menjadi sakit, namun kekuatannya seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh olehnya.

   Tongkatnya masih menyambar-nyambar dan sekali-kali mematuk ke titik-titik berbahaya pada tubuh Kebo Sindet.

   Kuda Sempana kemudian melihat Wong Sarimpat mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil menghisap udara sebanyak- banyaknya.

   Seakan-akan seluruh udara di atas bukit gundul itu akan dihisapnya.

   Ber-kali-kali dan kemudian terdengar ia berdesah lirih.

   "Hem. Setan tua itu harus binasa."

   Dengan penenangan itu ternyata Wong Sarimpat berhasil mengurangi perasaan sakitnya meskipun hanya sedikit.

   Namun karena kemarahan yang membara di dadanya, maka ia tidak dapat membiarkan melihat kakaknya bertempur sendiri melawan Empu Sada.

   Bagi Wong Sarimpat Kuda Sempana sama sekali sudah tidak berarti lagi.

   Karena itu dibiarkannya saja ia berdiri tegak dengan pedang di tangan.

   Tetapi Kebo Sindet tidak ingin membiarkan Kuda Sempana itu.

   Ia tidak menghendaki anak itu dilepaskan.

   Ia tidak akan membiarkan anak itu lari.

   Tetapi ia tidak dapat memberitahukannya kepada adiknya, sebab dengan demikian, maka Empu Sada pasti segera mengetahui maksudnya pula.

   Karena itu, maka Kebo Sindet itu pun menjadi gelisah.

   Tetapi ketika ia melihat Wong Sarimpat telah siap untuk ikut serta dalamperkelahian itu, maka tumbuhlah harapannya untuk dapat menangkap Kuda Sempana hidup-hidup.

   Ia mengharap anak muda itu bukan seorang pengecut yang licik.

   Ia mengharap setidak- tidaknya Kuda Sempana mempunyai keberanian seperti saudara seperguruannya.

   Maka Tiba-tiba berkatalah Kebo Sindet.

   "He, apa yang akan kau lakukan Wong Sarimpat?"

   Wong Sarimpat menggeram. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya itu bertanya. Namun dijawabnya pula pertanyaan itu.

   "Aku ingin memecahkan dada Empu tua itu seperti ia melukai dadaku. Tetapi aku bukan pengecut seperti orang itu."

   Empu Sada tidak merasa perlu untuk menjawab.

   Bahkan serangannyalah yang menjadi semakin garang.

   Ia sama sekali tidak menjadi cemas melawan keduanya telah dilukainya sehingga mereka tidak dapat mempergunakan teraga mereka sepenuh- penuhnya.

   Meskipun demikian Empu Sada tidak dapat memperingan lawannya.

   Apalagi Kebo Sindet.

   Meskipun sebelah tangannya telah terluka namun tandangnya hampir tidak berbeda.

   Tetapi Empu Sada yang telah mengetahui luka di tangan itu, selalu berusaha untuk menyentuhnya dengan tongkatnya.

   Empu tua itu tahu betul, sentuhan yang kecil telah cukup untuk membangkitkan perasaan sakit yang membakar seluruh tubuh Kebo Sindet itu.

   Karena itu ketika Wong Sarimpat berjalan tertatih-tatih mendekatinya, maka Empu Sada itu menjadi semakin berhati-hati.

   Kuda Sempana yang masih tegak seperti tonggak, melihat Wong Sarimpat semakin lama menjadi semakin dekat dengan kedua orang yang sedang bertempur itu.

   Meskipun tataran ilmu gurunya serta Kebo Sindet di atas ilmunya, namun Kuda Sempana dapat melihat bahwa Kebo Sindet yang terluka tangannya itu selalu terdesak oleh gurunya.

   Betapa besar golok orang itu, dan betapa kuatnya ia menggerakkannya, namun setiap kali ia melihat orang itu menyeringai menahan sakit dan sekali dua kali meloncat surut untukmenghindari serangan Empu Sada yang selalu berusaha menyarang titik kelemahan lawannya.

   Sesaat kemudian Kuda Sempana itu pun melihat Wong Sarimpat meloncat menerjunkan diri ke dalam perkelahian itu.

   Alangkah terkejutnya ketika ia melihat orang yang di sangkanya sudah hampir mati itu mampu meloncat dengan kecepatan yang luar biasa.

   Serangannya datang seperti kilat menyambar di langit.

   Tetapi ketika lawannya mampu menghindari serangan itu, maka kembali Wong Sarimpat berdiri terbungkuk-bungkuk.

   Kedua tangannya menekan dadanya dan nafasnya seakan-akan hampir putus.

   Ternyata orang itu telah mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk tetap dapat mengimbangi lawannya.

   Meskipun kemudian luka di dalam dadanya terasa sakit kembali, namun pada saat tertentu, karena nafsu dan kemarahan yang meluap-luap, Wong Sarimpat telah berhasil meluapkannya.

   Sehingga serangan yang demikian itu tidak hanya satu kali dilakukan oleh Wong Sarimpat.

   Setiap kali ia menyerang dan setiap kali pula ia menyingkir dari titik perkelahian untuk menenangkan dirinya.

   Meskipun demikian, namun serangan-serangan Wong Sarimpat itu cukup mengganggu Empu Sada.

   Setiap kali ia harus membagi perhatiannya.

   Bahkan serangan-serangan orang tampaknya telah hampir lumpuh itu pun masih cukup berbahaya.

   Akhirnya Empu Sada pun menyadari, bahwa tidak ada gunanya lagi ia bertempur seterusnya.

   Kini ia tinggal mencoba bertahan dan memberikan kesempatan Kuda Sempana untuk menyingkir sebelum ia sendiri meninggalkan bukit gundul itu.

   Tetapi alangkah jengkelnya Empu tua itu ketika ia masih melihat Kuda Sempana berdiri saja seperti patung.

   "Kuda Sempana, pergilah!"

   Berkata Empu Sada. Tetapi yang menyahut adalah Kebo Sindet.

   "Wong Sarimpat. Jangan putus asa karena luka-lukamu. Marilah kita bunuh Empu tua yang gila ini. Ia telah banyak berbuat kesalahan tidak saja atas kita. Namun lihatlah. Apakah ia telah membentuk muridnya itu denganbaik? Menurut pendapatku Kuda Sempana adalah seorang anak muda yang cukup berani. Tetapi gurunyalah yang mengajarinya menjadi pengecut. Bagi laki-laki, lari dari arena perkelahian adalah sifat yang sehina-hinanya. Lebih hina dari serangan yang licik yang dilakukan oleh Empu Sada itu sendiri."

   "Jangan hiraukan!"

   Teriak Empu Sada sambil bertempur.

   "Jangan hiraukan. Lari tinggalkan tempat ini!"

   "Kalau kau yang lari, Wong Sarimpat, meskipun kau sudah akan mati, maka kau akan aku bunuh sendiri,"

   Geram Kebo Sindet.

   Tiba-tiba Wong Sarimpat yang terluka di dadanya itu melepaskan diri dari perkelahian.

   Terdengar ia mencoba tertawa keras-keras.

   Tetapi suara itu pun patah karena perasaan sakit yang menekan dadanya.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun ia masih sempat berkata "Empu Sada telah mendidiknya berbuat demikian.

   Ternyata murid yang gila, yang kau kehendaki sepasang matanya itu lebih berani daripada Kuda Sempana."

   Baik Empu Sada maupun Kuda Sempana menyadari maksud kata-kata itu.

   Mereka tidak menghendaki Kuda Sempana meninggalkan perkelahian.

   Namun meskipun demikian, harga diri Kuda Sempana tersinggung juga.

   Itulah sebabnya ia masih juga berdiri termangu-mangu meskipun beberapa kali gurunya berteriak- teriak mengusirnya.

   Dalam perkelahian yang kemudian menjadi semakin sengit, Kebo Sindet sempat berkata kepada Wong Sarimpat perlahan-lahan.

   "Tangkap anak itu. Jangan sampai ia lari. Kau tidak akan dapat mengejarnya karena lukamu."

   Betapa Kebo Sindet mencoba berbisik perlahan-lahan sekali, tetapi telinga Empu Sada yang tajam dapat mendengarnya.

   Karena itu sekali lagi ia berteriak "Lari Kuda Sempana lari.

   Kau akan ditangkap hidup-hidup untuk permainan mereka ini.

   Permainan orang-orang liar."

   Karena perhatian yang terpecah-pecah itulah maka Kebo Sindet dan Wong Sarimpat berhasil menekan Empu Sada mendekati KudaSempana.

   Wong Sarimpat yang terluka itu kadang-kadang sama sekali tidak mampu meloncat menyerang karena perasaan sakitnya, namun kadang-kadang apabila ia berhasil mengatasi perasaan sakit dan berhasil menghimpun tenaganya maka luka di dadanya itu seakan-akan sudah tidak berbekas.

   Ketika titik perkelahian itu menjadi semakin mendekatinya, maka Kuda Sempana pun menjadi semakin menyadari apa yang akan dihadapinya.

   Ia benar-benar tidak dapat ikut dalam perkelahian itu, tetapi untuk meninggalkan gurunya, hatinya masih ragu-ragu.

   Meskipun demikian, akhirnya ia mengambil suatu kesimpulan.

   "Lebih baik aku menyingkir. Aku harap Guru berhasil melarikan dirinya pula kemudian."

   Ternyata gurunya yang benar-benar menginginkan Kuda Sempana pergi telah mencoba merendahkan dirinya agar muridnya tidak terlampau terikat pada harga diri pula, katanya "Kuda Sempana, larilah selagi aku mampu menahan kedua orang liar itu, sesudah itu aku pun akan melarikan diri pala.

   Tak ada gunanya lagi berurusan dengan orang-orang liar ini."

   Tak ada pilihan lain bagi Kuda Sempana selain meninggalkan pertempuran itu.

   Ia harus segera pergi, tidak tahu ke mana, asal saja menjauhi kedua orang-orang yang aneh itu.

   Tetapi betapa terkejut Kuda Sempana ketika ia seolah-olah melihat kilat yang menyambar di hadapannya.

   Demikian cepatnya sehingga ia tidak mendapat kesempatan berbuat sesuatu.

   Ketika ia telah mengambil keputusan untuk lari, maka ia telah terlambat.

   Wong Sarimpat yang terluka itu tiba-tiba telah berdiri di hadapannya.

   Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, terasa tangannya yang memegang pedang bergetar, dan pedangnya pun terpelanting jatuh di tanah.

   Kuda Sempana benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.

   Yang terasa olehnya adalah sebuah tekanan yang keras pada lengan kanannya.

   Ketika ia terputar, maka Wong Sarimpat telah menangkap tengkuknya.

   Sebuah tekanan yang keras di tengkuknya serasa sebagai daya yang kuat, yang telahmenghisap seluruh tenaganya.

   Seperti Cundaka, maka Tiba-tiba Kuda Sempana itu menjadi lemah.

   Semakin lama semakin lemah.

   "Gila!"

   Terdengar Empu Sada berteriak.

   Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.

   Kebo Sindet yang telah bersiap untuk menghadapi tindakan adiknya itu dengan garangnya mencoba melibat Empu Sada, sehingga orang itu tidak mendapat kesempatan berbuat sesuatu.

   Betapa jantung orang tua itu dicengkam oleh kemarahan yang memuncak.

   Betapa dadanya serasa akan pecah.

   Tetapi semuanya itu sudah terjadi.

   Ia menyesal tak habisnya atas kedua muridnya yang sama sekali tidak mau mendengarkan nasihatnya.

   Cundaka telah hangus dibakar kesombongannya sendiri, sedang Kuda Sempana telah dibelit oleh keragu-raguannya.

   Namun kedua-duanya kini tidak dapat diharapkannya lagi.

   Empu Sada itu masih melihat Kuda Sempana jatuh dengan lemahnya.

   Sedang Wong Sarimpat, yang terpaksa mengerahkan sisa-sisa tenaganya yang telah lemah pula, berdiri sambil menekan dadanya Sekali ia batuk sambil terbungkuk-bungkuk, namun kemudian orang itu pun jatuh terduduk di tanah.

   "Kau akan mati pula!"

   Geram Empu Sada. Tetapi Kebo Sindet menjawab.

   "Tidak. Kami menyimpan obat- obatan yang dapat menyembuhkannya dalam waktu singkat. Sayang obat-obatan itu tidak kami bawa. Tetapi ia tidak akan mati. Besok ia telah sanggup bertempur melawanmu seorang diri seandainya kau masih hidup. Tetapi sayang pula, bahwa kau akan mati malam ini seperti muridmu yang sombong. Sedang muridmu yang baik itu, biarlah aku mencoba merawatnya. Menjadikannya seorang jantan yang tidak akan dapat kau kalahkan seandainya kau sempat bertemu lagi."

   Empu Sada tidak menjawab.

   Ia melihat kesempatan untuk mencoba menjatuhkan Kebo Sindet, selagi Wong Sarimpat sedang dicengkam oleh perasaan sakit.

   Dengan mengerahkan segenap kemampuannya ia menyerang seperti seekor burung elang di udara.Menyambar dengan tongkatnya, tangannya dan kakinya.

   Namun Kebo Sindet masih mampu untuk menghindarkan dirinya dari setiap serangan yang betapapun berbahayanya.

   Perlahan-lahan Wong Sarimpat mulai dapat mengatasi perasaan sakitnya kembali.

   Perlahan-lahan pula ia mencoba berdiri.

   Dengan mata yang menyala ia memandangi Empu Sada yang sedang bertempur dengan kakaknya.

   Kemudian terdengar ia menggeram.

   "Tinggal kau sekarang Empu tua. Ayo, menyerahlah supaya kemarahan kami tidak menyebabkan kami membunuhmu dengan cara yang tidak menyenangkan."

   Empu Sada masih berdiam diri. Bahkan serangannya menjadi semakin kuat. Namun ia bergumam di dalam hatinya.

   "Setan manakah yang telah bersembunyi di dalam tubuh Wong Sarimpat itu? Meskipun ia sudah hampir mampus, namun ia masih juga kuat untuk berdiri dan bahkan bertempur meskipun ia telah memeras tenaganya melampaui kemampuannya yang sewajarnya."

   Dan Empu Sada itu menjadi semakin geram, ketika ia melihat Wong Sarimpat berjalan tertatih-tatih ke arah mereka yang sedang bertempur mati-matian itu.

   Kini goloknya, yang mirip dengan golok kakaknya telah digenggamnya pula.

   Meskipun nafasnya tersendat- sendat namun nampaknya orang itu masih garang juga.

   Sekali lagi Empu Sada membuat perhitungan.

   Ia juga tidak akan mampu mengalahkan keduanya dalam keadaan serupa itu.

   Ternyata kekuatan tubuh Wong Sarimpat benar-benar berada di luar dugaannya.

   Dalam keadaan serupa itu, ia masih juga mampu mengganggu perkelahiannya dengan Kebo Sindet.

   Karena itu, maka tidak ada jalan lain baginya daripada menghindarkan diri dari perkelahian itu.

   Kalau ia berhasil maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk berusaha membebaskan Kuda Sempana.

   Menurut perhitungan Empu Sada kemudian, Kuda Sempana memang tidak akan dibunuh, sebab kedua orang itu masih memerlukannya.

   Mereka mengharap Kuda Sempana memberinya beberapa petunjuk tentang Mahisa Agni, Ken Dedes dan Tunggul Ametung.Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat pun telah dapat menebak pula maksud Empu Sada itu.

   Karena itu maka terdengar Kebo Sindet menggeram "Jangan mimpi kau berhasil melepaskan diri Empu.

   Meskipun Wong Sarimpat telah kau lukai dengan curang, tetapi ia masih mampu berbuat sesuatu.

   Mungkin kau dapat mengalahkan kami satu-satu karena kecuranganmu.

   Tetapi mengalahkan kami berdua, atau mencoba melepaskan diri dari kami berdua adalah sangat mustahil."

   Empu Sada sama sekali tidak menjawab.

   Tetapi ia memang melihat kesulitan itu.

   Wong Sarimpat yang lemah itu masih juga dapat berbuat banyak untuk mencegahnya meninggalkan perkelahian.

   Namun bagaimanapun juga Empu Sada berusaha untuk melakukannya.

   Sedikit demi sedikit ia menarik perkelahian itu ke sisi dataran gunung gundul yang tidak terlampau lebar.

   Namun setiap kali kedua laki-laki liar kakak beradik itu, selalu berusaha mendesaknya kembali ke tengah.

   Semakin dalam malam memeluk permukaan bukit gundul itu, perkelahian mereka menjadi semakin sengit.

   Wong Sarimpat yang dibakar oleh kemarahannya, ternyata mampu melupakan lukanya pada saat-saat tertentu, meskipun sekali-sekali ia terpaksa menyingkir untuk sesaat, memperbaiki keadaannya dan mengatur pernafasannya.

   Tetapi keadaan Empu Sadalah yang semakin lama menjadi semakin sulit.

   Kebo Sindet dan Wong Sarimpat berusaha dengan sekuat tenaga untuk membinasakan Empu tua itu.

   Orang itu akan dapat mengganggu usahanya.

   Rencananya tentang Mahisa Agni telah matang di dalam kepala Kebo Sindet, seperti yang ditebak oleh Empu Sada.

   Karena itu maka Empu Sada harus tidak ada lagi, supaya rencananya dapat berlangsung.

   Tetapi sudah tentu bahwa Empu Sada tidak akan menjerahkan kepadanya, sehingga bagaimanapun juga, dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada orang tua itu berjuang untuk mempertahankan hidupnya.

   Namun jumlah kekuatan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang luka itu, ternyata masih lebih besar dari kekuatan Empu Sada,sehingga sekali terasa serangan-serangan kedua orang itu hampir- hampir dapat mencapai maksudnya.

   Bahkan sekali-sekali terasa pada pakaian Empu Sada, sentuhan-sentuhan ujung-ujung golok Kebo Sindet atau Wong Sarimpat.

   "Setan belang!"

   Orang tua itu mengumpat di dalam hati.

   Ia kini benar-benar sedang berusaha untuk melepaskan dirinya.

   Namun ternyata bahwa serangan-serangan kedua lawannya semakin lama menjadi semakin garang.

   Batu-batu padas di bukit gundul itu benar-benar tidak menyenangkan bagi kaki Empu Sada.

   Bahkan terasa beberapa kali kakinya terantuk oleh ujung-ujung padas yang menjorok.

   Tetapi bagi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tanah itu merupakan tanah tempat mereka bermain setiap hari sehingga ujung-ujung batu yang runcing tajam sama sekali tidak mempengaruhinya.

   Ketika Empu Sada sekali lagi mencoba meloncat surut, maka tanpa disangka-sangkanya kakinya tergores oleh sebuah ujung batu padas sehingga sesaat ia terhuyung-huyung.

   Namun dengan tangkasnya ia meloncat dan memperbaiki keseimbangannya.

   Tetapi yang sesaat itu benar-benar dapat dipergunakan oleh Kebo Sindet.

   Dengan garangnya ia meloncat menjulurkan senjatanya lurus-lurus ke dada lawannya Tetapi sekali ini Empu Sada masih mampu menghindarinya.

   Dengan lincahnya ia mengelak ke samping sambil merendahkan diri.

   Namun sayang, bahwa Wong Sarimpat dengan mengerahkan segenap sisa-sisa tenaganya masih mampu menyusulnya.

   Sebuah ayunan yang keras mengarah ke lambung Empu Sada.

   Orang tua itu terkejut.

   Tak ada jalan lain daripada menjatuhkan dirinya.

   Dengan demikian maka dengan serta-merta ia menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali.

   Terasa ujung-ujung batu padas telah melukai kulitnya.

   Namun sama sekali tidak dihiraukannya.

   Yang mengejutkannya pula adalah, ketika ia melenting berdiri, Kebo Sindet telah siap menyerangnya dengan sebuah tebasan langsung ke lehernya.Empu Sada tidak dapat menghindarkan dirinya.

   Yang dapat dilakukan adalah melawan serangan itu dengan tongkatnya.

   Tetapi ia tidak dapat menangkis tajam golok lawannya dengan tongkatnya.

   Untunglah bahwa tongkat orang tua itu cukup panjang, sehingga dengan serta-merta dijulurkannya tongkatnya mengarah ke pergelangan tangan Kebo Sindet.

   Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat.

   Benturan yang tidak langsung di antara kedua senjata mereka.

   Ujung tongkat Empu Sada ternyata berhasil mengenai pergelangan tangan Kebo Sindet yang sedang terayun dengan derasnya.

   Terdengar Kebo Sindet berteriak pendek.

   Tulang pergelangannya terdengar gemeretak seakan-akan terpatahkan.

   Goloknya yang terayun itu pun terlepas dari genggamannya.

   Namun karena itu, karena golok yang terlepas itu, maka Empu Sada pun tidak dapat menghindarkan dirinya lagi.

   Golok itu dengan cepat menyambarnya.

   Untunglah bahwa sambaran golok itu tidak tepat mengenai lehernya.

   Tetapi terasa sebuah goresan yang pedih menyilang dadanya, sehingga orang tua itu pun terdorong beberapa langkah surut dan kemudian jatuh terguling di tanah.

   Tetapi Kebo Sindet tidak dapat segera mengejarnya.

   Tangannya yang terkena tongkat Empu Sada itu benar-benar telah melumpuhkan segenap kemampuannya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sambil berdesis menahan sakit ia berjongkok dan mencoba menahan sakit itu dengan tangannya yang lain.

   Tetapi lengannya yang lain pun telah terluka.

   "Gila!"

   Geramnya.

   Hampir-hampir ia berteriak kepada Wong Sarimpat supaya ia berbuat sesuatu atas Empu Sada.

   Tetapi dilihatnya kemudian, Wong Sarimpat itu sedang terbatuk-batuk sambil menekan dadanya.

   Ternyata setelah ia memeras tenaganya pada saat-saat terakhir, menyerang Empu Sada dengan sisa-sisa kemampuannya yang berlebih-lebihan, terasa dadanya seakan-akan meledak.

   Betapa sakitnya.

   Kebo Sindet yang sudah bertekad untuk membunuh Empu Sada itu tidak dapat berdiam diri.

   Betapa perasaan nyeri membakar segenap tubuhnya, namun dengan kemampuan yang menyala-nyalaia berusaha untuk melupakan perasaan sakitnya.

   Dengan gigi terkatup rapat-rapat ia berdiri.

   Tangan kirinya yang terluka pada lengannya, masih memegangi pergelangan tangan kanannya yang retak.

   Tetapi Empu Sada pun telah terluka.

   Dengan geramnya Kebo Sindet berkata.

   "Aku masih mempunyai sepasang kaki yang utuh. Aku akan membunuhmu dengan kakiku."

   Namun Empu Sada itu pun tidak pingsan.

   Ia masih tetap sadar betapapun pedih luka di dadanya.

   Ia masih juga melihat samar- samar di dalam cahaya obor yang hampir padam, Kebo Sindet datang mendekatinya.

   Tetapi untuk melawan, agaknya Empu Sada sudah tidak mungkin lagi.

   Karena itu, maka satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah pergi meninggalkan kedua lawannya.

   Meskipun tulang-tulang tua di dalam tubuh Empu Sada itu serasa telah habis dilolosi, namun ia masih mampu merangkak agak cepat menjauhi bayangan Kebo Sindet yang samar-samar maju setapak demi setapak.

   "He, kau akan lari Empu tua?"

   Geram Kebo Sindet.

   Empu Sada tidak menjawab.

   Ter-tatih-tatih ia mencoba berdiri, untuk melarikan diri.

   Tetapi tubuhnya serasa seratus kali lebih berat dari tubuhnya yang biasa.

   Karena itu kembali Empu Sada itu merangkak secepat ia dapat menghindarkan diri dari tangan Kebo Sindet yang telah dilukainya.

   Kebo Sindet menggeram sambil menggeretakkan giginya.

   Kini ia benar-benar menahan segenap rasa sakitnya.

   Ia harus dapat menangkap Empu Sada.

   Keadaan telah terlanjur menjadi sangat buruk, sehingga apabila orang itu terlepas dari tangannya, maka rencananya pasti akan terancam, meskipun belum tentu Empu Sada segera berani menghubungi Mahisa Agni apalagi Tunggul Ametung karena pertentangan mereka di saat-saat yang lampau.

   Belum pasti pula Mahisa Agni atau Tunggul Ametung mempercayainya, seandainya Empu tua itu mencoba mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.

   Namun meskipun demikian, maka sudahtentu Mahisa Agni akan menjadi lebih ber-hati-hati.

   Orang-orang yang dapat menjadi pelindungnya pun akan semakin ketat mengawasinya.

   Tetapi seperti juga Kebo Sindet, Empu Sada telah mencoba memeras segenap sisa-sisa kekuatannya untuk hidup.

   Apabila ia tetap hidup, maka ia akan dapat membuat perhitungan di saat-saat yang akan datang dengan kedua orang itu.

   Tetapi kalau ia gagal mempertahankan hidupnya, maka ia akan menjadi kerangka di bukit gundul ini.

   Dagingnya pasti akan habis dikoyak-koyak oleh anjing- anjing liar.

   Karena itu, betapapun ia tetap berusaha untuk merang kak pergi.

   Sekali-kali ia mencoba berdiri bersandar pada tongkatnya dan berjalan tertatih-tatih.

   Namun kembali ia harus merangkak karena luka di dadanya.

   Luka karena goresan pedang pada kulit dan daging dadanya.

   Luka yang berbeda dengan luka yang diderita oleh Wong Sarimpat.

   Meskipun akibatnya hampir bersamaan.

   Namun dari luka Empu Sada itu darah mengalir tak henti-hentinya.

   Meskipun orang tua itu mencoba sekali-kali menahannya dengan kainnya.

   Ditambah pula rasa sakit pada telinganya.

   Ketika sekali ia berpaling, dilihatnya Kebo Sindet telah menjadi semakin dekat.

   Dan bahkan ia mendengar orang liar itu berdesis dalam nada yang berat parau "He, ke manakah kau akan lari Empu tua? Jangan membuang tenaga di saat-saat menjelang mati.

   Tenangkan hatimu, supaya nyawamu tidak tersendat-sendat di ujung ubun-ubunmu."

   Kebo Sindet itu sudah semakin dekat.

   Beberapa langkah lagi orang itu akan dapat mencapainya.

   Tetapi seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, Empu Sada bukan orang yang mudah menyerah pada keadaan.

   Ketika ia melihat Kebo Sindet menggeram dan meloncat menerkamnya, maka Empu Sada itu pun seakan-akan telah dapat melupakan perasaan sakitnya.

   Dengan serta-merta orang tua yang terluka itu tegak berdiri.

   Disambutnya serangan Kebo Sindet dengan ayunan tongkatnya.

   Kebo Sindet tidak menyangka bahwa Empu Sada mampu berbuat demikian.

   Karenaitu, selagi ia meluncur dengan derasnya, menyerang Empu yang terluka itu dengan kakinya, ia tidak dapat lagi menghindari tongkat itu.

   Sekali lagi terjadi benturan di antara mereka.

   Kaki Kebo Sindet benar-benar telah mengenai sasarannya, menghantam lambung Empu Sada.

   Tetapi Kebo Sindet pun kemudian terpelanting jatuh, karena tongkat Empu Sada telah menghantam pelipisnya.

   Namun untunglah bahwa kekuatan Empu Sada tidaklah sepenuh kekuatannya, sehingga pelipis Kebo Sindet tidak menjadi retak karenanya.

   Tetapi Empu Sada yang lemah itu ternyata terdorong tidak saja satu dua langkah.

   Beberapa langkah ia terlempar surut dan bahkan kemudian jatuh terguling.

   Empu Sada yang terluka itu sama sekali tidak mampu menahan dirinya ketika tiba-tiba terasa, seakan-akan tanah tempat ia terguling itu runtuh.

   Terasa olehnya seakan-akan ia terlempar ke tempat yang tidak diketahuinya.

   Betapa derasnya ia meluncur.

   Barulah kemudian ia menyadari bahwa ia telah terguling ke dalam jurang.

   Barulah kemudian ia merasa, bahwa ia telah tergores-gores oleh batu-batu padat di lereng bukit gundul itu.

   Namun beberapa saat kemudian, terasa tubuh itu tersentuh dedaunan dan kemudian ranting-ranting perdu.

   Dengan demikian maka laju tubuh orang tua itu menjadi berkurang.

   Di lereng bagian bawah dari bukit gundul itu terdapat berbagai tumbuh-tumbuhan yang dapat menahan tubuh itu sehingga tidak terbanting pada batu-batu padas yang menjorok tajam.

   Empu Sada itu masih tetap menyadari keadaannya.

   Tongkatnya masih belum terpisah dari tangannya, sedang tangannya yang lain berusaha untuk mencapai apa saja yang dapat memperlambat tubuhnya.

   Namun meskipun demikian, ketika terasa seakan-akan tubuhnya itu membentur sesuatu, pandangan mata orang tua itu menjadi berkunang-kunang.

   Sekejap ia kehilangan kesadaran.

   Yang dilihatnya seolah-olah seluruh bintang gemintang di langit meluncur menimpa dadanya.

   Kemudian gelap pekat.Di atas bukit gundul itu Wong Sarimpat berjalan terbungkuk- bungkuk ke arah sesosok tubuh yang terbaring diam.

   Ternyata Kebo Sindet yang tertimpa tongkat pada pelipisnya itu pun menjadi pingsan.

   Betapa perasaan sakit telah melenyapkan segenap kesadarannya.

   Perasaan sakit pada pelipisnya itu dan perasaan sakit pada kedua belah tangannya yang tertimpa tubuhnya sendiri ketika ia terpelanting jatuh.

   "Empu gila!"

   Wong Sarimpat mengumpat-umpat.

   Sambil terbatuk-batuk ia meraba-raba tubuh kakaknya.

   Ia tahu bahwa kakaknya hanya sekedar pingsan.

   Karena itu kemudian dibiarkannya saja tubuh itu terbaring diam.

   Wong Sarimpat itu yakin, bahwa kakaknya itu pasti akan sadar dengan sendirinya.

   Tetapi bagaimana dengan Empu Sada yang terlempar ke dalam jurang itu? "Orang itu sudah terluka.

   Ia pasti akan mampus terbanting di atas batu-batu padas,"

   Gumamnya seorang diri. Ketika ia melihat Kuda Sempana maka sekali lagi ia menggeram.

   "Hem, buat apa Kakang Kebo Sindet memelihara tikus pengecut itu?"

   "He,"

   Teriaknya kemudian "Kuda Sempana, apakah kau sudah mampus pula?"

   Kuda Sempana mendengar suara itu.

   Tetapi tubuhnya yang lemah masih saja belum dapat diajaknya berdiri, meskipun kini telah mulai terasa dijalari oleh beberapa bagian dari kekuatannya kembali.

   Namun Kuda Sempana itu menjadi heran pula.

   Kenapa ia tidak saja dibunuh seperti Cundaka atau seperti gurunya.

   Kenapa ia masih saja dibiarkan hidup? Wong Sarimpat yang.

   masih ingin melepaskan kemarahannya itu pun berteriak-teriak "He, Kuda Sempana.

   Kenapa kau tidak mampus saja sama sekali? Sayang Kakang Kebo Sindet masih membiarkan kau hidup.

   Meskipun aku tidak tahu apa gunanya lagi kau hidup,tetapi aku tidak berani melanggar keinginan Kakang Kebo Sindet, dan kau boleh bersenang hati karenanya."

   Kuda Sempana masih belum menjawab teriakan-teriakan itu.

   Badannya masih sangat lemah, dan ia sama sekali tidak bernafsu berteriak seperti Wong Sarimpat.

   Ketika Wong Sarimpat itu merasa dadanya seperti tertusuk jarum karena ia berteriak-teriak maka ia pun berhenti.

   Kini ditekuninya kakaknya yang masih terbaring diam.

   Perlahan-lahan ia mencoba menggoyangkan tubuh itu.

   Mengangkat tangannya dan menggerakkannya dengan hati-hati.

   Lambat laun Kebo Sindet pun mulai menggerakkan tubuhnya.

   Perlahan-lahan ia menarik nafas, kemudian menggerakkan ujung- ujung kakinya.

   "Kakang,"

   Panggil Wong Sarimpat.

   Lamat-lamat Kebo Sindet mendengar panggilan itu.

   Perlahan- lahan ingatannya pun bangkit kembali merayapi otaknya.

   Diingatnya peristiwa demi peristiwa yang terjadi.

   Yang terakhir dari peristiwa itu adalah pukulan tongkat yang mengenai pelipisnya, sementara kakinya menghantam tubuh orang tua itu.

   Tiba-tiba Kebo Sindet itu pun menggeram.

   Dengan serta-merta ia mencoba bangkit.

   Tetapi terasa betapa kepalanya masih sangat pening dan gunung gundul itu serasa berputar.

   Tubuhnya serasa berada pada poros pusaran itu.

   Kebo Sindet memegangi kepalanya yang pening dan sakit.

   Tetapi ia telah memiliki segenap kesadarannya kembali.

   Karena itu maka kemudian ia berkata parau "He, di mana Empu Sada?"

   Wong Sarimpat mencoba menolong kakaknya. Tetapi dadanya sendiri terasa sakit bukan buatan. Dengan tegasnya ia menjawab.

   "Empu itu terlempar ke dalam jurang."

   "He? Orang itu terlempar ke dalam jurang?"

   Ulang Kebo Sindet.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya.""Orang itu harus kita cari. Kita harus yakin bahwa ia telah mati."

   "Kenapa Kakang masih ragu-ragu. Dadanya terluka karena goresan golok Kakang. Tubuhnya terlempar karena tendangan Kakang yang keras, kemudian terbanting ke atas batu-batu padas. Apakah masih mungkin seseorang dapat hidup mengalami hal itu semuanya? Meskipun seandainya Empu Sada itu empu yang turun dari langit sekalipun, namun ia pasti hancur."

   "Aku ingin melihat mayat dengan mata kepalaku sendiri."

   "Kakang terluka. Sepasang tangan Kakang dan agaknya pelipis Kakang telah menyebabkan Kakang tidak sadar lagi."

   "Persetan! Aku sudah baik,"

   Sambil menggeretakkan giginya Kebo Sindet berusaha untuk berdiri.

   Alangkah besar tekad yang membakar jantungnya, sehingga betapapun juga ia masih mampu berdiri tegak.

   Kebo Sindet menengadahkan wajahnya yang beku.

   Dan wajah yang beku itu kini tampak menjadi semakin mengerikan.

   Lewat matanya memancarlah perasaannya yang meluap-luap.

   Kebencian, kemarahan dan nafsu untuk membinasakan Empu Sada itu.

   Apalagi kini, ia sudah terlanjur memulainya.

   "Kita akan turun dan mencari orang itu,"

   Desis Kebo Sindet.

   Wong Sarimpat kenal betul tabiat kakaknya.

   Karena itu ia tidak menyahut.

   Ia tahu betul bahwa ia akan turut serta turun lereng gunung gundul itu untuk mencari Empu Sada.

   Betapa sakit dadanya, tetapi ia harus berbuat seperti kakaknya.

   "Bagaimana dengan Kuda Sempana?"

   Bertanya Kebo Sindet.

   "Itu,"

   Jawab adiknya sambil menunjuk ke arah Kuda Sempana.

   "aku beri tekanan pada urat lehernya, sehingga ia kehilangan kekuatannya. Tetapi agaknya ia telah mulai di jalari oleh kekuatannya kembali.""Jangan biarkan ia pergi. Biarlah ia beristirahat di sini sebentar. Kita akan pergi. Mudah-mudahan cahaya obor itu akan membantunya, menjauhkan dari anjing-anjing liar."

   "Baik Kakang,"

   Sahut Wong Sarimpat.

   Perlahan-lahan ia berjalan terbungkuk-bungkuk mendekati Kuda Sempana.

   Dengan kakinya ia melemparkan obor yang satu ke arah yang lain, sehingga kedua obor yang telah mulai redup itu menjadi agak besar kembali, setelah bergabung menjadi satu.

   Kemudian setapak demi setapak ia mendekati Kuda Sempana.

   Terdengar orang itu menggeram mengerikan.

   "Kuda Sempana. Kakang Kebo Sindet menghendaki kau tetap di sini. Karena itu aku akan menolongmu supaya kau dapat beristirahat dan tidak pergi meninggalkan tempat ini."

   Sebelum Kuda Sempana menyahut, terasa telapak tangan orang itu pada lehernya.

   Betapapun ia berusaha melawan, namun ia tidak mampu menahan ketika terasa jari-jari orang itu sekali lagi menekan tengkuk.

   Kuda Sempana berdesis pendek.

   Kekuatannya yang telah mulai terasa merambat di urat-urat nadinya, kembali kini seolah-olah terhisap habis.

   Kembali ia menjadi lemah dan terbaring diam di atas bukit gundul itu.

   "Gila!"

   Ia mengumpat dalam hati.

   Terasa tubuhnya seperti tidak bertulang.

   Ia hanya mampu menggerakkan tangan dan kakinya dengan mengerahkan segenap sisa-sisa yang ada bergerak sekedar bergerak.

   Namun tangan dan kakinya sudah tidak mampu lagi berbuat sesuai dengan tugas anggota-anggota badan itu.

   "Sudah Kakang,"

   Berkata Wong Sarimpat kemudian.

   "Bagus, marilah kita cari orang tua itu. Biarlah ia mampus, dan aku ingin melihat bangkainya dan melemparkannya kepada anjing- anjing liar."

   Wong Sarimpat berjalan kembali mendekati kakaknya.

   Kemudian mereka berjalan perlahan-lahan mencari jalan yang dapat dilaluinyauntuk menuruni lereng bukit gundul itu.

   Tetapi Kebo Sindet selalu mengumpat-umpat.

   Agak lama mereka berjalan menyusuri pinggiran bukit, tetapi mereka tidak segera menemukan tempat yang memungkinkan mereka merayap turun.

   "Gila!"

   Kebo Sindet menggeram "Bagaimana kita turun Wong Sarimpat?"

   Wong Sarimpat tidak segera menjawab. Dicobanya untuk memandang ke arah yang agak jauh. Tetapi malam menjadi semakin pekat dan cahaya obor mereka di dekat Kuda Sempana terbaring tidak dapat mencapai tempat-tempat yang dicarinya.

   "Seandainya Empu yang gila itu tidak berbuat curang,"

   Gerutu Wong Sarimpat.

   "Kenapa? "

   Bertanya kakaknya.

   "Kalau kita tidak terluka, maka kita akan dapat terjun di setiap tempat. Di sini pun dapat kita lakukan."

   "Jangan mengigau. Keadaan ini telah kita alami. Sekarang bagaimana kita mengatasinya."

   Wong Sarimpat tidak menjawab. Tetapi matanya masih dengan nanar mencoba mencari lereng yang agak landai.

   "Apabila terpaksa kita melingkar, lewat jalan pendakian yang biasa,"

   Gumam Kebo Sindet.

   "Terlampau jauh."

   "Habis, apa yang dapat kita lakukan?"

   Kembali Wong Sarimpat terdiam.

   Tetapi hatinya masih saja mengumpat-umpat.

   Seandainya mereka tidak terluka, maka mereka tidak perlu bingung tentang jalan turun.

   Tetapi seperti kata kakaknya.

   Luka itu kini sudah mereka derita, sehingga mereka tidak dapat melangkah surut.

   Kedua orang itu berjalan kembali tertatih-tatih di atas bukit-bukit gundul itu.

   Kebo Sindet tidak dapat mundur.

   Ia harus turun danmenemukan Empu Sada.

   Hidup atau mati.

   Kalau orang tua itu masih hidup, maka hidup itu harus segera diakhiri.

   Dalam pada itu, di bawah bukit gundul itu telentang seorang tua yang sudah menjadi sangat lemah.

   Empu Sada yang pingsan itu terperosok ke dalam semak-semak yang rimbun.

   Ketika angin malam yang sejuk perlahan-lahan mengusap wajahnya, maka terasa udara yang segar menjalar di segenap urat- uratnya.

   Perlahan-lahan orang tua itu menjadi sadar kembali.

   Yang pertama-tama dirasakannya adalah nyeri yang menyengat-nyengat dadanya.

   "Hem,"

   Orang tua itu mengeluh.

   Tetapi segera ia menyadari keadaannya.

   Karena itu, maka segera dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya.

   Namun darah telah terlampau banyak mengalir, sehingga tubuh yang tua itu terasa menjadi betapa lemahnya.

   Tetapi Empu Sada adalah seorang yang telah banyak menelan pengalaman yang pahit dan yang manis.

   Itulah sebabnya maka dalam perjalanannya kali ini orang tua itu sudah membawa bekal yang cukup.

   Sejak ia berangkat dari rumahnya mencegat perjalanan Ken Dedes, ia telah memperhitungkan apa saja yang dapat terjadi atas dirinya.

   Di antaranya luka seperti yang dialaminya saat itu.

   Karena itu, maka Empu Sada itu pun telah membawa reramuan obat di dalam kantong ikat pinggangnya yang lebar dan terbuat dari kulit kerbau.

   Dengan tangan yang lemah orang tua itu mencoba mengambil reramuan obatnya.

   Dan dengan tangan sendiri yang lemah itu, maka ditaburkannya obat itu pada luka dadanya.

   Obat itu pun adalah obat yang dibuatnya sendiri berdasarkan pengalamannya yang masak, sehingga obat itu pun dapat dipercayanya, setidak-tidaknya menahan arus darah yang masih saja mengalir.Ternyata taburan obat itu menolongnya.

   Perlahan-lahan darah di lukanya itu mengental, dan menyumbat alirannya.

   Namun tubuh Empu Sada sudah terlampau lemah.

   Orang tua itu menggeram.

   Tubuhnya sendiri terluka.

   Dan ia kehilangan kedua muridnya.

   Ia tidak pernah menduga, bahwa hatinya menjadi pedih juga atas hilangnya kedua muridnya itu.

   Ia mencoba mengembalikan pikirannya kepada masa lampaunya.

   Bagaimana ia menerima kedua anak-anak muda itu menjadi muridnya.

   "Ah, bukankah aku akan dapat mencari yang lain dengan mudah. Bukankah kedua orang itu pada saat-saat terakhir juga tidak memberi aku upah seperti masa-masa lalu? Persetan dengan keduanya. Mereka bukan sanak bukan kadang. Aku menemukan mereka dalam pengembaraan hidupku. Dan kini biarlah mereka meninggalkan aku di tengah jalan."

   Tetapi ia tidak berhasil mengusir kata-kata hatinya sendiri. Bahkan kemudian ia bergumam "Kasihan anak-anak itu."

   Ketika di kejauhan terdengar anjing-anjing liar menyalak tak henti-hentinya, maka hati orang tua itu pun menjadi berdebar- debar.

   Ia tidak dapat berbaring terus di semak-semak itu.

   Ada bermacam-macam bahaya yang dapat mengancamnya.

   Anjing- anjing liar itu dan orang-orang yang seliar anjing itu pula.

   "Aku harus membuat sesuatu kalau aku ingin hidup terus,"

   Gumamnya.

   Empu Sada pun menarik nafas.

   Dicobanya untuk menenangkan debar jantungnya.

   Ketika sekali lagi ia mendengar anjing-anjing menyalak di kejauhan, maka dicobanya pula untuk bangkit dengan perlahan-lahan.

   Orang tua itu menyeringai menahan sakit.

   Tetapi betapa lemah tubuhnya, namun kemauannya yang menjala di dalam dadanya telah menghangatkan darahnya.

   Perlahan-lahan orang tua itu berdiri bersandar pada tongkatnya.

   Sambil memusatkan segenap kekuatannya, serta menyesuaikan jalan pernafasannya, maka EmpuSada itu pun mendapatkan sebagian kecil dari kekuatannya kembali.

   Namun dengan kekuatan yang kecil dibantu oleh tongkatnya, Empu yang tua itu berhasil menggerakkan kakinya.

   Empu Sada tidak tahu benar, apakah yang telah terjadi dengan Kebo Sindet.

   Ia merasa, bahwa tongkatnya berhasil mengenai orang itu.

   Tetapi akibat daripadanya, Empu Sada tidak dapat mengetahuinya.

   Karena itu maka sekarang ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.

   Kalau Kebo Sindet tidak mengalami cedera, maka ia bersama adiknya yang meskipun telah terluka, pasti akan mencarinya.

   Dalam keadaannya, mustahillah ia dapat menyelamatkan diri dari kejaran kedua orang-orang liar itu.

   Dengan demikian, berdasarkan atas perhitungannya, Empu Sada segera meninggalkan tempat itu.

   Ia berjalan saja ke arah yang tidak diketahuinya, namun segera menjauhi bukit gundul itu.

   Tertatih-tatih orang tua itu berjalan.

   Sekali-kali ia masih harus beristirahat mengatur pernafasannya.

   Kadang-kadang matanya terasa seakan-akan menjadi gelap dan pandangannya menjadi kekuning-kuningan.

   Namun ia tidak mau mati.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia harus berjuang untuk menyelamatkan dirinya.

   Kemauan yang kuat itulah yang telah membawanya meninggalkan tempat yang celaka itu.

   Di kejauhan masih terdengar anjing-anjing liar menggonggong dan menyalak bersahut-sahutan.

   Anjing-anjing itu akan sama berbahayanya dengan kedua orang-orang liar yang memuakkan itu.

   Tetapi alangkah terkejutnya Empu Sada ketika agak jauh di sisinya ia mendengar tiba-tiba saja suara menyentak.

   "Aku menandainya Kakang. Di samping batu padas yang menjorok itulah ia terpelanting jatuh. Pasti ia berada di sekitar tempat di bawah batu itu pula. Ia pasti terbaring di sana, apakah ia mati atau pingsan. Bahkan seandainya ia masih hidup pun ia akan mati pula karena darahnya yang mengalir dari lukanya."

   "Tetapi aku harus melihat bangkainya. Harus. Aku tidak puas dengan dugaan-dugaan serupa itu."Dada Empu Sada menjadi berdebar-debar. Seolah-olah luka di dadanya menjadi bertambah pedih.

   


Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung

Cari Blog Ini