Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 26


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 26



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   "Setan itu masih mampu berjalan begitu cepatnya,"

   Desahnya dalam hati.

   Meskipun suara itu masih belum terlampau dekat, namun ia harus memperhitungkan keadaan.

   Ia tahu, bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat masih berada di tempat yang agak jauh.

   Di malam hari, di lereng bukit pula, maka suara itu kedengarannya menjadi semakin jelas.

   "Aku harus segera menjauhinya,"

   Katanya di dalam hati pula.

   Empu Sada mencoba mempercepat langkahnya.

   Tetapi nafasnya dan sakit di dada dan telinganya benar-benar telah mengganggunya, bahkan hampir-hampir ia tidak mampu lagi untuk bergerak.

   Meskipun darah tidak lagi mengalir dari luka di dadanya karena reramuan obat-obatnya namun sakitnya masih juga menusuk-nusuk sampai ke pusat jantung.

   Di kejauhan ia mendengar suara pula.

   "Mudah-mudahan bau darahnya memanggil anjing-anjing liar kemari. Seandainya ia masih hidup, maka ia akan menjadi hidangan malam ini."

   "Bagaimana kalau ia lari?"

   "Tidak mungkin Kakang. Tidak mungkin. Seandainya ia masih mampu berjalan, maka ia pasti hanya dapat melangkahkan beberapa langkah. Kemudian ia akan jatuh terbaring. Mati atau hanya menunggu saat untuk mati. Mati lemas karena kehabisan darah, atau mati karena anjing-anjing liar."

   "Mungkin. Mungkin. Tetapi aku harus melihatnya, harus."

   "Baik. Lihatlah bayangan batu padas yang mencorong itu. Kita lihat di bawahnya."

   Suara itu semakin lama menjadi semakin dekat.

   Dada Empu Sada pun menjadi semakin berdebar-debar.

   Dicoba mengamati daerah sekitarnya.

   Gerumbul-gerumbul kecil dan ilalang liar yang bertebaran hampir di sepanjang lereng itu."Aku tidak dapat bersembunyi di dalam gerumbul-gerumbul kecil,"

   Katanya di dalam hati.

   "dan tidak pula melalui ilalang liar itu. Dengan demikian, maka jejakku akan segera dapat mereka ikuti."

   Empu Sada menjadi bingung sejenak.

   Kali ini ia masih terlindung dari beberapa gerumbul semak-semak dan ilalang liar.

   Tetapi kalau Kebo Sindet dapat menemukan bekas tempat ia terjatuh, maka mereka pasti akan dapat menemukan jejaknya di alang-alang.

   Tetapi kalau ia keluar dari daerah alang-alang, maka ia akan berada di tempat terbuka.

   Kemungkinan akan menjadi besar pula, kedua orang itu melihatnya, meskipun di dalam gelap malam.

   Dalam keragu-raguan, tiba-tiba Empu Sada melihat dataran yang berkilat di sebelah gerumbul-gerumbul liar beberapa puluh langkah daripadanya memantulkan cahaya bintang yang bergayutan di langit.

   Dan tiba-tiba pula mulutnya berdesis.

   "Air. Air. itu adalah sebuah sendang yang agak luar. Tetapi bagaimana aku dapat menyeberangi sendang itu? Kalau sendang itu cukup dalam, maka aku pasti akan tenggelam. Keadaanku tidak memungkinkan aku untuk berenang sampai ke sisi yang lain."

   Kembali Empu Sada menjadi termangu-mangu.

   Seakan-akan tidak ada jalan yang dapat ditempuhnya untuk menyingkirkan diri.

   Ilalang akan memberi jejak kepada kedua orang yang mengejarnya.

   Gerumbul-gerumbul yang bertebaran terlampau kecil untuk tempatnya bersembunyi.

   Di tempat terbuka sama sekali tidak menguntungkannya.

   Dan salah satu arah yang lain adalah air sendang yang luas.

   Sendang yang tidak akan mampu direnanginya karena keadaan tubuhnya.

   Bahkan sendang itu justru menjadi dinding yang mengungkungnya dalam satu lingkaran yang serasa terlampau sempat menempatkan tubuhnya yang kecil itu.

   Kembali Empu Sada mendengar suara semakin dekat.

   "Batu padas itu yang kau maksud?"

   "Ya, Kakang."

   "Kita hampir sampai. Kita akan segera melihat tubuhnya yang terbaring. Aku mengharap ia masih hidup. Aku ingin melihat iamenjadi sangat kecewa menghadapi akhir hayatnya. Aku ingin melihat ia menyesali perbuatannya, tetapi aku ingin melihat orang itu tidak melihat jalan yang dapat membebaskannya meskipun penyesalan itu merobek-robek dadanya. Terdengar Wong Sarimpat tertawa. Tetapi segera suara itu terputus. Yang terdengar adalah suaranya terbatuk-batuk. Empu Sada merasa bahwa ia tidak dapat terlalu lama berdiri termangu-mangu. Ia harus menentukan sikap. Melarikan diri atau melawan sama sekali, yang keduanya sulit dilakukan. Tiba-tiba orang tua itu bergumam kepada diri sendiri.

   "Marilah. Marilah orang tua yang celaka. Marilah kita terjun ke dalam air. Lebih baik ditempuh jalan itu daripada jatuh ke tangan kedua setan- setan liar itu. Kalau aku mampu keluar dari sendang itu, maka aku akan hidup. Tetapi apabila sendang itu sendang lendut, atau kalau aku tidak lagi mampu berenang maka aku akan mati di dalamnya. Mati tenggelam adalah jauh lebih baik daripada mati di tangan orang-orang liar yang mengerikan itu."

   Empu Sada pun kemudian menjadi bulat bertekad untuk terjun ke dalam sendang.

   Ia tidak tahu apakah kira-kira yang akan terjadi.

   Mungkin ia akan tenggelam karena tubuhnya telah lemah.

   Mungkin pula ia akan terbenam ke dalam lumpur dan tidak berdaya untuk melepaskan diri, sehingga ia pun akan mati berkubur di bawah lumpur sendang itu.

   "Tetapi itu lebih baik. Itu lebih baik. Aku gagal setelah berusaha, sehingga aku tidak menyerahkan kepalaku begitu saja kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat."

   Empu Sada itu pun kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan persembunyiannya, batang-batang ilalang di lereng gunung gundul.

   Meskipun ia harus berjalan beberapa langkah di tempat terbuka, tetapi ia mengharap, bahwa ia masih tetap terlindung dari arah pandangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat oleh batang-batang ilalang yang rimbun di belakangnya.Tetapi ketika ia sampai ke ujung rimbunnya batang-batang ilalang, tiba-tiba ia melihat beberapa batang gelagah ilalang mencuat dari ujung batangnya.

   Ujung gelagah yang berumbai itu bergerak-gerak ditiup angin malam, seperti rambut yang jarang- jarang dan telah memutih pula.

   Seperti rambut Empu Sada sendiri.

   Empu Sada itu termenung sejenak.

   Ia sangat tertarik pada gelagah ilalang itu.

   Dengan serta-merta ia meraih dan mengambilnya sebatang.

   Dipotongnya umbai pada ujungnya, dan ketika ia meniup gelagah ilalang itu, maka ia bersorak di dalam hati.

   Gelagah ilalang itu berlubang di tengah seperti sebatang sumpit yang panjang.

   "Hem,"

   Gumamnya.

   "mudah-mudahan aku berhasil."

   Dijinjingnya kemudian tiga batang gelagah ilalang di tangan kanannya, sedang tangan kirinya menggenggam tongkatnya erat- erat.

   Ia kini berusaha tidak lagi berjalan bersandar pada tongkatnya, supaya ujung tongkatnya tidak melukiskan jejak di tanah yang semakin gembur.

   Ketika Empu Sada hampir mencapai tepi sendang itu, ia masih mendengar suara Wong Sarimpat.

   "Di sini, Kakang. Orang itu pasti berada di sini. Lihatlah batu padas yang menjorok itu. Di sebelah batu itu ia jatuh terpelanting. Kepalanya mungkin telah pecah menimpa batu-batu yang keras dan runcing ini."

   Kebo Sindet menjawab keras.

   "Kau selalu puas dengan angan- anganmu. Mungkin orang itu mati. Mungkin kepalanya pecah. Mungkin dimakan anjing. Tetapi mungkin pula ia masih hidup. Mengintai kita, dan dengan curang pula ia menyerang kita dengan tongkatnya."

   "Uh,"

   Bantah adiknya.

   "tidak mungkin Kakang. Tidak mungkin ia masih tetap hidup. Apabila ia tidak sedang terluka, memang hal itu mungkin terjadi."

   "Kau lihat berbagai semak-semak di lereng bukit gundul itu?"

   Bertanya kakaknya."Ya, kenapa?"

   "Semak-semak itu dapat menolongnya. Menahan atau memperlambat."

   "Mungkin. Tetapi kemungkinan itu terjadi satu dari seratus kejadian."

   "Kalau Empu Sada termasuk yang satu itu?"

   Wong Sarimpat terdiam. Dan yang terdengar adalah suara Kebo Sindet.

   "Cari. Kita cari sampai ketemu. Aku mengharap ia masih tetap hidup. Membunuhnya dengan tangan sendiri pasti lebih menyenangkan."

   Wong Sarimpat tidak menyahut.

   Kini keduanya terdiam untuk sejenak.

   Mereka melangkah lebih mendekat lereng bukit gundul itu.

   Meskipun hampir dapat dipastikan bahwa orang yang jatuh terpelanting dari atas bukit gundul itu akan mati, namun ternyata keduanya cukup berhati-hati.

   Seperti dugaan Kebo Sindet, demikian pula tumbuh, meskipun sangat tipis, keragu-raguan di dalam hati Wong Sarimpat.

   Jangan-jangan Empu Sada kini sedang mengintai mereka, dan akan menerkam mereka dengan curang seperti serangannya yang pertama.

   Tetapi mereka tidak segera menemukan Empu Sada.

   Betapa pun mereka mencari, namun mereka tidak melihat sesosok tubuh yang terbaring diam di bawah rimbunnya gerumbul-gerumbul kecil atau di antara batang-batang ilalang liar.

   Mula-mula mereka menyangka, bahwa mungkin Empu Sada terpelanting agak jauh dari tempatnya terguling.

   Mungkin tubuhnya terantuk sebuah batu yang menjorok dan melemparkannya beberapa langkah.

   Tetapi setelah mereka berputar-putar beberapa langkah dari tempat itu, tubuh Empu Sada tidak mereka temukan.

   "Apakah orang tua itu anak demit?"

   Geram Kebo Sindet, yang kemudian berkata kepada Wong Sarimpat.

   "He, Sarimpat. Apa katamu sekarang?"Keringat dingin mulai mengaliri punggung orang itu. Bahkan kemudian dadanya yang sakit terasa menjadi semakin pedih.

   "Ia tidak akan dapat meninggalkan tempat ini Kakang,"

   Katanya. Tetapi ia sudah tidak yakin lagi akan kata-katanya sendiri.

   "Mungkin ia berhasil merangkak beberapa langkah. Tetapi tidak akan terlampau jauh."

   "Orang itu harus kita temukan,"

   Teriak Kebo Sindet yang benar- benar dibakar oleh kemarahannya. Namun tiba-tiba terdengar orang itu hampir memekik.

   "Lihat. Bukankah ini jejak setan itu?"

   Tertatih-tatih Wong Sarimpat mendatangi kakaknya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar, Apakah Empu Sada benar-benar mampu melarikan diri dari tangan mereka?"

   Demikian ia berdiri di samping kakaknya, segera ia melihat apa yang dikatakan oleh Kebo Sindet.

   Di antara batang-batang ilalang mereka melibat seolah-olah sebuah jaluran yang memanjang.

   Ilalang yang terinjak-injak kaki Empu Sada menjadi roboh dan seakan-akan membelah kedua sisinya.

   Dengan demikian, maka jejaknya akan terlampau mudah diikuti.

   Apabila Empu Sada yang terluka, yang berjalan terhuyung-huyung bersandar pada tongkatnya.

   Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata.

   "Inilah jejak orang sekarat itu. Kita pasti akan menemukannya Kakang. Orang itu pasti belum terlampau jauh."

   Kebo Sindet tidak segera menjawab. Ternyata ia terpaksa berpikir menghadapi orang aneh itu. Orang yang ternyata memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa.

   "Mari Kakang,"

   Ajak Wong Sarimpat tidak sabar.

   "Mari,"

   Sahut Kebo Sindet sambil melangkah maju.

   Tetapi dalam pada itu Kebo Sindet terpaksa memperhitungkan keadaan dirinya.

   Kedua tangannya yang telah terluka.

   Pelipisnya yang serasa telah menjadi retak.

   Ia tinggal mempercayakan dirinya pada ketangkasandan kekuatan kakinya.

   Sedang adiknya pun telah hampir mati pula karena luka di dada.

   "Hem,"

   Katanya di dalam hati.

   "Apakah Empu Sada masih mampu bertempur?"

   Tetapi kembali nafsunya mencengkam dadanya.

   Empu Sada harus ditangkapnya.

   Kini ia yakin bahwa orang itu masih hidup, dan ia akan dapat membunuh dengan caranya.

   Mungkin dengan cara yang belum pernah dilakukannya.

   Karena itu maka Kebo Sindet pun segera berjalan tergesa-gesa.

   Meskipun kedua tangannya dan pelipisnya serasa pecah, tetapi kedua kakinya masih cukup mampu untuk berjalan agak cepat.

   Tetapi Wong Sarimpat tidak mampu berjalan secepat kakaknya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sambil terbungkuk-bungkuk ia melangkah maju semakin lama semakin jauh dari Kebo Sindet.

   Dengan seksama Kebo Sindet mengikuti jejak Empu Sada di antara batang-batang ilalang.

   Namun ia sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan.

   Setiap kali ia mendengar gemeresik di sekitarnya, segera ia berhenti dan mempersiapkan diri.

   Tetapi ternyata suara itu adalah suara kelinci-kelinci liar yang berlari karena ketakutan.

   "Bekas ini cukup panjang,"

   Desisnya.

   Tetapi Kebo Sindet tidak mendengar jawaban.

   Ketika ia berpaling, maka dilihatnya adiknya samar-samar agak jauh di belakangnya.

   Tetapi Kebo Sindet tidak memedulikan.

   Ia tidak mau kehilangan buruannya, sehingga justru ia mempercepat langkahnya.

   Namun ia tidak dapat terlampau cepat.

   Ia harus mengamati setiap langkah supaya ia tidak kehilangan jejak.

   Ternyata jejak yang harus ditelusur oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat cukup panjang.

   Kadang-kadang ia kehilangan jejak untuk sesaat.

   Seolah-olah jalur yang menjelujur itu menghilang ke dalam semak-semak.

   Apabila demikian, maka Kebo Sindet harus menjadisangat berhati-hati.

   Orang itu menyangka bahwa Empu Sada bersembunyi ke dalam semak-semak itu.

   Tetapi kemudian ternyata, bahwa di sebelah semak-semak itu, ditemukan kembali jejak Empu Sada yang memanjang.

   Dan kembali Kebo Sindet berjalan menyusurinya.

   Tetapi jejak itu cukup panjang.

   Bahkan terlalu panjang.

   Apa lagi Wong Sarimpat yang berjalan agak jauh di belakang Kebo Sindet.

   Orang itu mengumpat tak habis-habisnya.

   Namun di samping kemarahan yang semakin dalam, ia pun menjadi heran.

   Apakah orang yang sudah terluka dan terpelanting ke dalam jurang itu masih mampu berjalan sedemikian, ia tetap yakin, bahwa suatu ketika ia akan menjumpai tubuh itu terbaring di t as ah dengan lemahnya.

   Wong Sarimpat itu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berteriak menggigilnya.

   "He Sarimpat. Lihat ini. Di sini jejak itu lenyap."

   Dada Wong Sarimpat berdesir.

   Segera ia berusaha mempercepat langkahnya.

   Kata-kata kakaknya benar-benar telah membuatnya menjadi sangat cemas.

   Ketika ia sampai ke dekat Kebo Sindet ia melihat batang-batang ilalang menjadi sangat tipis, bahkan kemudian hampir lenyap.

   Yang terbentang kemudian adalah sebuah lapangan rumput yang sempit dengan gerumbul-gerumbul liar di sana-sini.

   Kemudian di hadapan padang rumput itu mereka melihat sebuah sendang yang agak luas.

   Wong Sarimpat dan Kebo Sindet telah mengenal tempat itu baik- baik.

   Mereka telah mengetahui bahwa sandang itu cukup luas.

   Bahkan di tengah-tengah sendang itu tumbuh semacam tumbuhan air yang berbahaya.

   Ganggeng.

   Yang menurut cerita ganggeng itu sering menelan binatang atau manusia sebagai makanannya.

   Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak meyakininya.

   Yang mereka ketahui adalah, bahwa ganggeng itu berakar banyak dan panjang, sehingga apabila seseorang berenang melampaui sekelompok tumbuh-tumbuhan ganggeng, maka tubuhnya pasti akan terbelit.

   Apabila seseorang menjadi bingung dan kehilangan akal, makamustahil ia dapat melepaskan diri dari belitan akar ganggeng yang sangat banyak dan panjang-panjang.

   "Ia meninggalkan gerumbul alang-alang ini, Kakang. Ia pergi ke tempat terbuka."

   Kebo Sindet meng-angguk-anggukkan kepalanya.

   Ia tahu benar bahwa lapangan rumput itu terlampau sempit.

   Di ujung, lereng bukit gundul itu bertemu dengan sisi sendang, sehingga tak seorang pun yang akan mampu melampauinya.

   Yang dapat dilakukan adalah, terjun ke dalam sendang atau mendaki tebing yang curam, yang keduanya sangat sulit.

   Tak seorang pun yang dapat mendaki tebing yang sangat curam itu dan tak seorang pun yang akan dapat melampaui tebaran tumbuhan ganggeng di tengah-tengah sendang itu.

   Apabila seseorang masuk ke dalam sendang, maka satu-satunya kemungkinan untuk hidup adalah kembali sisi ini.

   Apabila seseorang tidak mendaki tebing dan tidak terjun ke dalam sendang, maka satu-satunya jalan adalah kembali meninggalkan tempat yang terbuka, masuk ke dalam semak-semak batang-batang ilalang bertebaran memenuhi sisi bukit gundul itu.

   Karena itu maka Kebo Sindet itu menggeram "Tidak ada kemungkinan lain."

   Wong Sarimpat yang mengenal tempat itu sebaik kakaknya, tahu benar maksud kata-kata itu, sehingga dengan serta-merta ia menjawab "Ya, tidak ada kemungkinan lain.

   Marilah kita lihat batang-batang ilalang di sekitar tempat ini.

   Kalau tidak ada bekas kakinya meninggalkan tempat ini, maka orang itu pasti mencoba melarikan diri menyeberang sendang itu."

   Kebo Sindet tidak menjawab.

   Segera ia berjalan menyusur pinggiran semak-semak ilalang yang memagari tempat terbuka itu.

   Dicobanya untuk menemukan jejak apabila Empu Sada mencoba meninggalkan tempat itu.

   Wong Sarimpat pun kemudian berbuat serupa.

   Dengan seksama ia meneliti setiap langkah.

   Diamatinya dengan penuh kewaspadaan.

   Bukan saja jejak kaki, tetapi apabilatiba-tiba dari balik semak-semak dan batang-batang ilalang itu mematuk sebatang tongkat panjang.

   Tongkat Empu Sada.

   Tetapi sampai ke ujung, sampai semak-semak ilalang itu bertaut dengan sisi sendang di sebelah yang lain, mereka sama sekali tidak menemukan jejak itu.

   Tak ada tanda-tanda pada semak-semak ilalang itu seperti yang pernah mereka lihat.

   Tak ada batang-batang ilalang yang roboh karena terinjak kaki.

   Kebo Sindet itu menggeram.

   Dadanya seakan-akan menjadi pepat karena kemarahannya.

   "Setan itu telah lenyap,"

   Umpatnya "bagaimana mungkin ia bisa lari?"

   "Tidak mungkin!"

   Sahut Wong Sarimpat.

   "Tidak mungkin! Orang itu aku kira telah terjun ke dalam Sendang. Ia tidak tahu sama sekali bahaya yang telah menunggunya. Selain tubuhnya yang lemah, maka ganggang itu pasti akan menelannya."

   "Aku belum yakin,"

   Sahut kakaknya.

   "ia adalah orang yang sangat cerdik. Otaknya tajam tidak seperti otakmu. Mungkin ia masuk ke dalam sendang di sepanjang tepi semak-semak ini sekedar menghilangkan jejak. Kemudian ia masuk kembali di antara batang ilalang beberapa langkah dari tempat ini."

   Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Hal itu pun memang mungkin terjadi.

   Tetapi Empu Sada tidak akan dapat terlampau jauh menyusur tepi sendang ini, sebab di sebelah yang agak dalam, tepi sendang ini menjadi curam.

   Karena itu maka ia sependapat ketika kakaknya berkata.

   "Kita telusuri tepi sendang ini. Apabila kita sampai di tempat yang curam itu, kita belum menemukan jejaknya, maka baru kita yakin bahwa orang tua itu terjun ke dalam sendang."

   Keduanya pun kemudian dengan hati-hati masuk ke dalam pinggiran sendang yang landai dan tidak terlampau dalam.

   Perlahan-lahan mereka berjalan sambil mengamati semak-semak ilalang di pinggir sendang itu.

   Setiap ada tanda-tanda yangmencurigakan maka segera mereka berdua mengamatinya dengan seksama.

   Tetapi kembali mereka menjadi kecewa.

   Mereka sama sekali tidak menemukan jejak apapun sehingga mereka sampai ke sisi sendang yang curam.

   Kemarahan Kebo Sindet menjadi semakin memuncak.

   Dadanya serasa akan meledak karena kemarahannya itu.

   Wong Sarimpat pun mengumpat tidak habis-habisnya sehingga kakaknya membentaknya "He, tutup mulutmu! Sekarang terbukti bahwa kau masih saja selalu menuruti angan-anganmu yang bodoh.

   Coba katakan sekarang, di mana Empu Sada itu."

   Wong Sarimpat tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram.

   "Ayo, sekarang kita menyusuri tepi sendang ini. Mungkin Empu Sada hanya sekedar masuk ke dalam air merendamkan tubuhnya, untuk nanti menepi kembali."

   "Marilah,"

   Sahut adiknya.

   Kembali keduanya berjalan menyusuri tepi sendang itu.

   Sekali- kali mereka berhenti agak lama dan memperhatikan permukaan sendang itu, seandainya mereka melihat sesuatu.

   Tetapi permukaan air yang datar itu, sama sekali tidak dinodai oleh sesuatu apapun.

   Mereka sama sekali tidak melihat wajah air beriak, atau sebuah kepala yang muncul ke permukaan air.

   "Tak ada orang yang mampu merendam diri sekian lama bersama seluruh tubuhnya. Sekali-kali ia harus muncul ke atas permukaan air untuk mengambil nafas,"

   Geram Kebo Sindet.

   "Mungkin ia telah berenang agak ke tengah dan lenyap ditelan ganggeng."

   "Kau masih juga berangan-angan. Mungkin dan mungkin lagi."

   Wong Sarimpat terdiam. Tetapi hatinya bergumam.

   "Lalu apakah orang itu dapat lenyap menjadi asap?"Beberapa lama mereka menunggui sendang itu. Bahkan kemudian Kebo Sindet melihat sesuatu di tepi sendang itu. Sepotong kain kecil berwarna ungu.

   "Kacu, kau lihat?"

   Teriak Kebo Sindet.

   "Ya, kacu,"

   Sahut Wong Sarimpat dengan serta-merta "Pasti seseorang telah datang kemari. Lihat, apakah yang dibendeli dalam kacu itu."

   Wong Sarimpat segera memungut sepotong kain berwarna ungu, yang ternyata di dalamnya ada sesuatu benda yang terbalut. Ketika Kebo Sindet membuka sepotong kain berwarna ungu itu, maka tiba- tiba ia berkata.

   "Ini pasti milik Empu Sada."

   "Pasti. Kau lihat bumbung kecil ini? Isinya adalah sebuah reramuan obat-obatan. Mungkin obat-obatan ini pulalah yang telah membuatnya menjadi kuat dan dapat menempuh jarak ini."

   Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia mengumpat tak habis-habisnya. Sambil membanting potongan kain itu di tanah ia berkata lantang.

   "Ia pasti terjun ke dalam sendang ini. Pasti. Tetapi dengan demikian ia pasti menemui ajalnya pula, berkubur di dalam perut pelus yang menunggui sendang ini."

   Kebo Sindet yang berwajah beku itu berdiri mematung di tepi sendang.

   Tetapi matanyalah yang memancarkan gejolak di dalam dadanya.

   Apabila Empu Sada itu lepas dari tangannya, maka orang itu akan menjadi orang yang paling berbahaya baginya.

   Orang itu pasti mendendamnya pula.

   Tetapi untuk sementara, Empu Sada pasti masih harus menyembuhkan luka-lukanya yang pasti lebih berat dari lukanya sendiri.

   Empu Sada itu pun pasti tidak akan segera dapat berhubungan dengan Mahisa Agni atau Tunggul Ametung.

   Dengan demikian masih akan timbul salah paham di antara mereka karena hubungan mereka yang terlampau jelek di masa-masa yang lampau.Dalam pada itu Wong Sarimpat masih juga berteriak.

   "He Empu yang gila. Jangan bersembunyi di dalam air. Kau akan mampus ditelan ganggeng. Ayo keluarlah!"

   Namun suaranya yang melontar itu hanya disahut oleh gemanya sendiri. Gema yang memantul dari lereng-lereng bukit gundul.

   "Tak ada orang yang dapat hidup di dalam air,"

   Berkata Kebo Sindet kemudian. Kita tunggu di sini untuk sejenak. Kalau kita sudah yakin, bahwa Empu Sada tidak sekedar merendam diri, maka kita akan mendapat kesimpulan, bahwa orang itu telah mencoba melarikan diri, menyeberangi sendang ini."

   "Dan ia akan mampus di antara ganggeng-ganggeng itu."

   Kebo Sindet tidak menjawab.

   Tetapi ia berdiri dengan gelisah.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan dada yang menghentak-hentak ia berjalan mondar-mandir.

   Ia mengharap melihat sebuah kepala tersembul di permukaan air.

   Tetapi ia tidak melihatnya, meskipun cukup lama ia berada di pinggir sendang itu.

   Ia tidak melihat sebuah kepala yang muncul di permukaan air.

   "Kalau orang tua itu berada di dalam air, maka sekali-sekali ia akan muncul dan akan segera dapat kita lihat."

   "Ya,"

   Sahut Wong Sarimpat keras-keras.

   "tetapi orang itu sangat bodoh. Dan ia mencoba berenang menyeberang."

   Kebo Sindet tidak menyahut.

   Dibiarkannya adiknya berteriak memanggil nama Empu Sada dan sekali-kali ia terbatuk-batuk karena dadanya serasa menjadi pepat.

   Namun demikian ia berhasil mengatur pernafasannya, maka dipuaskannya hatinya dengan berteriak-teriak untuk mengurangi himpitan kekecewaannya atas hilangnya Empu Sada.

   Akhirnya Kebo Sindet menjadi tidak sabar lagi.

   Menurut perhitungannya, ia telah terlalu lama berdiri, dan kemudian duduk, untuk sejenak lagi berdiri, di tepi sendang itu.

   Kalau benar Empu Sada masuk ke dalam sendang itu, maka ia pasti sudah mati lemas,atau mati dibelit ganggang.

   Sedang kemungkinan yang lain tidak ada.

   "Aku harap orang itu sudah mampus,"

   Desis Kebo Sindet.

   "Pasti. Pasti sudah mampus,"

   Teriak Wong Sarimpat. Kemudian keras-keras ia berkata "Kalau belum ia pasti akan muncul di permukaan air."

   "Mari kita kembali. Kita lihat Kuda Sempana, apakah ia masih utuh atau tinggal Kerangkanya saja dirobek-robek anjing liar,"

   Berkata Kebo Sindet.

   "Apakah keberatan kita Kakang?"

   Sahut Wong Sarimpat "biar sajalah Kuda Sempana itu mampus pula."

   "Aku masih memerlukan anak itu. Mungkin masih ada keterangan-keterangan yang bisa diperas daripadanya. Bersikaplah baik terhadap anak itu."

   Wong Sarimpat menggeram.

   Kepada Kuda Sempana ia mempunyai tanggapan yang serupa seperti kepada gurunya dan kepada Cundaka yang telah dibunuhnya.

   Tetapi karena kakaknya menghendaki, maka betapa berat perasaannya, ia harus memenuhinya.

   Keduanya pun kemudian meninggalkan sendang itu.

   Kebo Sindet pun kini telah yakin, bahwa Empu Sada pasti akan mati di tengah- tengah sendang itu.

   Tak ada orang yang dapat menahan nafasnya sekian lama, sepanjang mereka berdua berada di tepi sendang itu.

   Dan tak ada orang yang akan dapat menyeberangi sendang itu dengan selamat.

   Orang itu pasti akan tenggelam dibelit oleh ganggeng yang tumbuh lebat hampir di segenap sudut sendang itu.

   Sedangkan apabila Empu Sada tetap tinggal di tepi, maka setiap kali ia mengambil nafas maka pasti akan dilihatnya.

   Ketika keduanya mulai melangkahkan kakinya, maka tiba-tiba Wong Sarimpat membungkukkan badannya.

   Diraihnya beberapa buah batu dan dilempar-lemparkannya ke dalam sendang itu sambil berteriak.

   "Mampuslah kau! Mampuslah!"Tetapi batu-batu itu tidak terlampau besar, dan wajah sendang itu terlampau luas. Tetapi Wong Sarimpat berbuat asal sekedar berbuat saja. Ia hanya ingin melepaskan kekecewaan, kemarahan dan dendam karena luka di dadanya. Suara Wong Sarimpat yang mengumpat-umpat semakin lama terdengar semakin jauh dari sendang itu. Ketika dadanya menjadi sakit, barulah ia terdiam dan terbatuk-batuk. Seterusnya orang itu tidak lagi berteriak dan mengumpat-umpat. Dengan tertatih-tatih keduanya berjalan menerobos semak- semak ilalang di sekitar bukit gundul itu. Bahkan Kebo Sindet pun kemudian menjadi agak tergesa-gesa. Ia takut Kuda Sempana yang ditinggalkannya akan dikerumuni oleh anjing-anjing hutan, menjadi makanan mereka yang menyenangkan. Ia masih merasa perlu atas Kuda Sempana. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh anak itu. Meskipun apa yang akan dilakukan kelak atasnya, mungkin sama sekali tidak menyenangkan bagi Kuda Sempana, tetapi Kebo Sindet masih merasa perlu untuk bersikap baik terhadapnya. Kebo Sindet pun memperhitungkan, bahwa Kuda Sempana bukanlah seorang pengecut yang berlebihan. Mungkin ia akan mempertahankan harga dirinya, dan membiarkan dirinya mati apabila ia dicoba untuk diperas dengan kasar. Tetapi dengan cara lain, mungkin anak muda yang kehilangan gurunya itu akan menjadi lunak. Meskipun apabila terpaksa, maka segala cara akan ditempuh oleh kedua hantu lereng bukit gundul itu. Demikianlah maka kedua orang itu pun kemudian menganggap bahwa Empu Sada telah berusaha melarikan dirinya dengan menyeberangi sendang. Dengan demikian maka mereka pun menganggap bahwa orang itu pasti sudah binasa di tengah-tengah sendang itu dibelit ganggeng.

   "Tidak mungkin Empu Sada dapat melenyapkan diri seperti asap,"

   Berkata Kebo Sindet di dalam hatinya.

   "dan tidak mungkin seseorang mampu menyeberangi sendang itu dengan selamat."Meskipun demikian, Kebo Sindet itu berkata.

   "Besok kita kembali ke tempat ini untuk meyakinkan kematian Empu Sada."

   "Baik,"

   Sahut adiknya.

   Kembali mereka berdiam diri sambil melangkah di antara batang ilalang menuju ke lereng pendakian bukit gundul itu.

   Sementara itu Empu Sada masih mencoba bersembunyi di dalam air.

   Baginya cara itu adalah satu-satunya jalan.

   Ia belum mengenal daerah itu dengan baik, sehingga ia tidak tahu, ke mana ia akan lari.

   Sedangkan pada saat itu, suara kedua orang liar itu sudah semakin dekat.

   Untunglah bahwa ia merasa terlampau lemah untuk mencoba melarikan diri dengan merenangi sendang yang tidak dilihatnya tepi di ujung lain karena malam yang pekat.

   Maka tak ada pilihan lain baginya daripada terjun ke dalam air.

   Dengan menahan dingin dan pedih pada luka di dadanya, ia merendam dirinya.

   Hanya kepalanya sajalah yang semula masih berapa di atas air.

   Tetapi ketika didengarnya suara Kebo Sindet dan Wong Sarimpat semakin dekat, dan ketika samar-samar telah dilihatnya kedua orang itu mendekati tepi sendang maka segera dibenamkannya segenap tubuhnya.

   Orang tua itu mempergunakan gelagah ilalang untuk menahan supaya ia tetap dapat bernafas meskipun dengan mulutnya.

   Satu ujung gelagah itu dimasukkannya ke dalam mulutnya, sedang ujungnya yang lain dicuatkannya ke atas permukaan air.

   Dengan demikian ia masih mampu melakukan pernafasan meskipun dengan mulutnya.

   Namun usaha itu ternyata telah menyelamatkannya.

   Ternyata Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak memperhitungkan sedemikian jauh, sehingga ketika mereka berada di tepi sendang itu cukup lama, dan tidak dilihatnya sebuah kepala yang kadang-kadang tersembul ke atas air untuk menarik nafas, maka mereka menganggap bahwa Empu Sada tidak berada di tempat itu.

   Tidak berada di tepian sendang yang dangkal.Meskipun Empu Sada merendam seluruh tubuhnya, termasuk kepalanya di dalam air, namun samar-samar ia mendengar suara Wong Sarimpat mengumpat-umpat.

   Memanggil-manggilinya dan berteriak-teriak menentu Ketika Wong Sarimpat melemparkan batu ke dalam sendang itu, maka hampir saja batu itu mengenainya, bahkan hampir saja mengenai kepalanya.

   Tetapi untunglah, bahwa kepalanya nyaris terkena lemparan itu.

   Akhirnya suara ribut Wong Sarimpat itu pun lenyaplah.

   Tidak ada lagi umpatan-umpatan yang didengarnya.

   Tidak ada lemparan- lemparan batu yang dirasakannya.

   Meskipun demikian Empu Sada tidak segera berani muncul ke permukaan air.

   Ia masih takut apabila kedua orang itu masih menunggui di tepi sendang.

   Dengan demikian, maka usahanya merendam diri semakin lama, sehingga ia menggigil kedinginan dan kesakitan yang sangat pada dadanya itu akan sia-sia.

   Tetapi akhirnya Empu Sada itu pun yakin bahwa kedua orang itu telah pergi.

   Perlahan-lahan ia mencoba menjengukkan matanya ke permukaan air.

   Dan kini tidak dilihatnya lagi seseorang di pinggir sendang itu.

   Dengan teliti diamatinya setiap bayangan yang betapapun samar-samarnya.

   Mungkin bayangan itu adalah kedua orang liar yang memuakkan itu.

   Namun akhirnya ia mendapat kesimpulan bahwa kedua orang itu memang telah pergi.

   Perlahan-lahan Empu Sada bangkit berdiri.

   Air tempatnya bersembunyi sebenarnya tidak terlampau dalam.

   Masih belum melampaui perut.

   Namun karena Empu Sada berhasil merendamkan seluruh tubuhnya, dan cahaya bintang-bintang di langit yang sama sekali tidak membantu memecahkan gelap malam, maka kedua orang liar itu tidak melihatnya.

   Empu Sada yang kedinginan itu kemudian melangkah menepi.

   Lututnya gemetar dan darahnya serasa hampir membeku.

   "Gila!"

   Gumamnya.

   "pengalaman ini adalah pengalaman yang paling menarik sepanjang hidupku. Sepanjang petualangan yangpernah aku lakukan. Telah berpuluh kali aku berkelahi, berpuluh kali terluka dan berpuluh kali membunuh lawan. Namun belum pernah aku merendam diri selama ini, hanya sekedar ingin menghindari kedua setan bukit gundul ini."

   Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba-raba ikat pinggangnya, diketahuinya bahwa kacu sepotong yang dipakainya untuk membalut obat-obatnya terjatuh.

   "Hem, pasti ketika aku membenahi diri sebelum aku terjun kemari."

   Empu Sada pun kemudian mencari sepotong kain ungunya. Ketika kemudian kain sepotong itu ditemukan, maka gumamnya.

   "Kedua orang itu pasti melihat potongan kain ini. Kalau demikian, maka mereka pasti sudah tahu bahwa aku masuk ke dalam sendang ini."

   Empu Sada kini menyadari keadaan diri sepenuhnya.

   Kedua orang yang mencarinya pasti menyangka, bahwa ia telah mencoba melarikan diri merenangi sendang itu.

   Namun Empu Sada kemudian tidak dapat mengambil kesimpulan, bagaimanakah anggapan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas dirinya.

   Empu Sada tidak dapat segera mengetahui, bahwa Wong Sarimpat dan Kebo Sindet telah menganggapnya mati ditelan ganggeng di tengah-tengah sendang itu.

   Karena itu, maka Empu Sada itu pun kemudian bergumam.

   "Mungkin mereka masih berusaha untuk segera menemukan aku. Karena itu aku harus segera pergi."

   Empu Sada segera melangkahkan kakinya.

   Beberapa langkah kemudian ia masih menemukan bumbungnya yang berisi reramuan obat-obatan.

   Tetapi sebagian dari obat-obatnya telah berserak-serak di atas rerumputan dan tak mungkin lagi dikumpulkannya.

   Tetapi sebagian kecil yang masih berada di dalam bumbungnya itu pun masih dapat menghiburnya.

   Malam semakin lama menjadi semakin dalam.

   Angin yang dingin berhembus menyusur bukit.

   Alangkah dinginnya.Empu Sada yang tua itu menggigil kedinginan.

   Pakaian dan tubuhnya basah kuyup oleh air sendang tempatnya berdiam diri.

   Tetapi ia tidak mempunyai ganti, sehingga meskipun perasaan dingin menggigit sampai ke tulang, maka terpaksa pakaian yang basah itu pun tetap dipakainya.

   Kini ia dihadapkan pada persoalan, bagaimana ia dapat keluar dari tempat ini.

   Ia harus mampu menghilangkan segala macam kesan, bahwa ia masih berada di tempat itu.

   Ia harus memelihara anggapan bahwa Empu Sada lenyap ke dalam sendang.

   Lari menyeberangi sendang itu, supaya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak berusaha mengejarnya dengan mencari jejaknya.

   Sebab ia merasa bahwa ia masih belum mampu untuk meninggalkan tempat itu dengan cepat.

   Ketika Empu Sada sampai ke semak-semak ilalang, maka ia memperhitungkan keadaan.

   Ia harus berjalan tanpa meninggalkan jejak.

   Karena itu, maka dicarinya jejak Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Dengan hati-hati Empu Sada berjalan di sepanjang jejak mereka, di atas batang-batang ilalang yang telah roboh terinjak- injak kaki-kaki mereka.

   Namun di suatu tempat ia harus memisahkan diri dari jejak itu dan mencari kesempatan yang baik tanpa menimbulkan kecurigaan.

   Demikianlah dengan hati-hati Empu Sada berjalan tertatih-tatih.

   Tubuhnya yang kedinginan, dan dadanya yang pedih merupakan penghambat yang mengganggunya.

   Tetapi ia menyadari keadaan sepenuhnya.

   Ia harus pergi sejauh-jauhnya.

   Akhirnya jejak kaki yang diikutinya itu pun keluar dari semak ilalang.

   Tetapi kedua orang liar itu pasti menuju ke sisi bukit gundul yang landai, tempat mereka mendaki naik ke tempat mereka berkelahi semula.

   Sendang Empu Sada pun kemudian memilih arah yang lain.

   Kalau masih kuat ia harus berjalan sampai pagi.

   Semakin jauh semakin baik.

   Ia masih belum berpikir ke mana ia harus pergi.

   Tetapi tanpa disengaja, Empu Sada telah memilih jalan kembali.

   Jalan yang berlawanan dengan jalan yang ditempuhnya pada saat ia datang ke bukit gundul ini.Sementara itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang menganggap bahwa Empu Sada telah mati, bahkan hampir dapat mereka pastikan, dengan tergesa-gesa menurut kemampuan yang masih mereka miliki, telah mendaki bukit gundul itu kembali.

   Wong Sarimpat yang selalu diganggu oleh perasaan nyeri di dadanya.

   berkali-kali terpaksa berhenti terbatuk-batuk, sehingga kakaknya berjalan semakin jauh di depan.

   Ketika mereka sampai ke atas bukit gundul itu, mereka melihat Kuda Sempana telah berhasil berdiri tegak.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bahkan dengan pedang di tangan ia menggeram.

   "Ayo, kalau kalian telah berhasil membunuh guruku serta saudara seperguruanku, kenapa kalian tidak sanggup membunuh aku sama sekali?"

   Tetapi Kuda Sempana menjadi heran ketika ia melihat wajah hantu yang membeku itu Tiba-tiba tersenyum.

   Betapapun malam diwarnai oleh kegelapan serta obor di dekatnya telah padam, namun Kuda Sempana dapat melihat senyum itu.

   Senyum pada wajah yang beku, sehingga karena itu, maka hatinya menjadi ngeri.

   Seolah-olah ia melihat sesosok mayat yang tersenyum kepadanya.

   Ketika Kebo Sindet melangkah selangkah lagi mendekatinya, tiba- tiba Kuda Sempana yang hatinya keras sekeras batu hitam itu melangkah surut sambil berteriak.

   "Jangan, jangan dekati aku!"

   Tetapi wajah itu masih tersenyum.

   Senyum yang benar-benar telah menggetarkan dada Kuda Sempana.

   Bukan karena Kebo Sindet adalah seorang sakti yang setingkat dengan gurunya.

   Ia sebenarnya telah bersedia untuk mati sekalipun.

   Tetapi ketika ia melihat seakan-akan sesosok mayat tersenyum kepadanya, hatinya bergolak dahsyat sekali.

   Tanpa dikehendakinya kembali ia berteriak.

   "Pergi, pergi, atau pedangku akan memenggal lehermu itu."

   Namun Kuda Sempana terkejut pula ketika ia mendengar Kebo Sindet itu berkata dengan tenang "Kuda Sempana.

   Sadarilah keadaanmu, dan apakah kau mau mendengar keteranganku?"Suara itu sangat berbeda dengan wajah yang ditatapnya.

   Wajah itu benar-benar mengerikan, tetapi suara itu terasa tenang dan bersungguh-sungguh.

   "Aku ingin berkata sesuatu kepadamu. Aku harap kau dapat mendengarnya dengan tenang. Menimbang dengan bijaksana. Sebenarnya aku tidak mempunyai maksud yang jelek terhadapmu."

   Kini Kuda Sempana terdiam seperti patung.

   Ia sama sekali tidak melihat sikap pemusuhan dari Kebo Sindet yang mengerikan itu.

   Bahkan terasa sikapnya sejak semula tidak berubah, meskipun telah terjadi perkelahian antara orang itu dengan gurunya.

   Sejenak kemudian Wong Sarimpat pun telah berdiri di sampingnya pula.

   Sikap orang ini memang agak berbeda dengan sikap kakaknya.

   Tetapi meskipun demikian, ia pun telah berusaha berbuat sebaik-baiknya.

   Ia ingin mencoba berbuat seperti kakaknya, menenangkan hati Kuda Sempana.

   Katanya "Apakah kau masih merasa tubuhmu terlampau lemah Kuda Sempana? Kalau demikian, aku akan berusaha menyembuhkanmu."

   Kuda Sempana memandangi orang kasar itu dengan penuh kecurigaan. Tetapi ia tidak menemukan kesan apapun pada wajah Wong Sarimpat. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar Wong Sarimpat tertawa terbahak-bahak.

   "Matamu masih memancarkan kecurigaan."

   Kuda Sempana tidak segera menyahut, namun terdengar giginya gemeretak.

   Tetapi Wong Sarimpat masih saja tertawa berkepanjangan, sehingga akhirnya ia berhenti dengan sendirinya karena dadanya menjadi sakit.

   Sambil terbungkuk-bungkuk ia batuk-batuk.

   Kedua tangannya menekan dadanya yang sakit itu.

   Yang berkata kemudian adalah Kebo Sindet.

   "Jangan bimbang lagi Kuda Sempana. Aku masih tetap pada pendirianku. Aku ingin menolongmu menangkap Mahisa Agni. Menjerahkannya kepadamu."Kuda Sempana masih tetap berdiam diri. Ia masih belum menemukan sikap yang sebaik-baiknya harus dilakukan. Dalam pada itu Kebo Sindet itu berkata "Jangan hiraukan lagi gurumu. Aku terpaksa membunuhnya. Sekian lama aku menunggu kesempatan ini. Dendam yang tersimpan di dalam dada ini seakan-akan tidak tertahankan lagi. Mungkin kau belum mengetahuinya, persoalan yang selama ini seolah-olah ingin dilupakan oleh gurumu. Tetapi bagiku, sebelum gurumu berkubur di bukit gundul ini, hatiku masih belum puas. Tetapi meskipun kau adalah muridnya, namun kau tidak ikut campur dalam persoalan ini. Kau sama sekali tidak mengetahui ujung dan pangkalnya, sehingga kau kami bebaskan dari setiap tindakan apapun."

   Kuda Sempana masih menggenggam pedang di tangannya.

   Ia masih juga belum dapat menentukan, sikap apakah yang sebaiknya dilakukan.

   Tetapi akhirnya Kuda Sempana itu mencoba untuk memilih kemungkinan yang paling panjang.

   Kalau ia melawan, maka ia pasti akan mati.

   Tetapi kalau ia membiarkan dirinya menurut perintah kedua orang itu, maka ia akan tetap hidup.

   Selagi ia masih hidup, maka kemungkinan-kemungkinan yang lain masih dapat terjadi.

   Berbeda sekali dengan apabila ia terbunuh malam ini.

   Meskipun demikian Kuda Sempana masih juga berdiam diri.

   Tanpa dikehendakinya, sekali ia berpaling memandangi mayat saudara seperguruannya yang masih terbaring di atas batu-batu padas di atas bukit gundul itu.

   "Jangan hiraukan jahanam itu!"

   Teriak Wong Sarimpat sehingga Kuda Sempana terkejut karenanya. Orang itu telah mendapat upahnya sendiri. Kalau ia tidak terlampau sombong, maka ia tidak akan menemui nasib begitu jelek. Kuda Sempana masih belum menjawab.

   "Kuda Sempana,"

   Berkata Kebo Sindet "mari ikutlah kami.

   Kau akan tinggal bersama kami sampai kau dapat berbuat sesuatu atas Mahisa Agni.

   Aku berjanji akan menangkapnya hidup-hidup untukmu.

   Aku dapat menangkapnya pada sebuah tonggak yang kuat.

   Dan kau akan dapat berbuat sesuka hatimu.

   Mungkin kauakan membunuhnya, atau mungkin kau akan membiarkannya tersiksa atau cacat untuk seumur hidupnya."

   Kuda Sempana tidak dapat segera mengetahui perasaannya sendiri.

   Apakah ia menjadi bergembira mendengar tawaran itu, atau tiba-tiba ia telah kehilangan nafsu untuk berbuat demikian.

   Guncangan-guncangan perasaannya masih saja mengganggunya.

   Kematian saudara seperguruannya dan mungkin gurunya sendiri, benar-benar telah mempengaruhi cara dan kejernihannya berpikir.

   Namun ketika sekali lagi Kebo Sindet mengajaknya, maka sekali lagi Kuda Sempana menjatuhkan pilihannya pada kemungkinan yang paling jauh, yaitu, ia ingin tetap hidup, sebelum ditemukannya jalan yang sebaik-baiknya dilakukan.

   "Mari ikut aku,"

   Ajak Kebo Sindet pula. Kuda Sempana tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.

   "Bagus!"

   Berkata Kebo Sindet.

   Kembali wajah yang beku itu tersenyum.

   Dan kembali Kuda Sempana menjadi ngeri melihat senyum itu.

   Terbayang di wajahnya, sesosok mayat yang bangkit dari kuburnya dan tersenyum kepadanya.

   Tetapi Kebo Sindet sama sekali tidak memperhatikannya lagi.

   Segera ia berjalan kembali ke gubuknya.

   Kuda Sempana yang masih saja ragu-ragu merasa punggungnya disentuh.

   Ketika ia berpaling Wong Sarimpat telah berdiri di belakangnya.

   Terdengar kemudian suara tertawanya memekakkan telinga.

   Di antara suara tertawanya itu ia berkata.

   "Marilah Kuda Sempana. Kau akan menemukan tempat tinggal yang baru di antara kami. Kau akan segera mengenal cara hidup orang-orang Kemundungan. Orang Kemundungan ternyata terlampau baik terhadap kami. Mereka merasa bahwa kami telah melindungi mereka dari setiap kejahatan yang dapat terjadi. Kini baik penjahat- penjahat yang berkeliaran di padukuhan-padukuhan. Sejak Baginda di Kediri bertindak lebih keras terhadap kejahatan dan agaknya diikuti pula oleh setiap akuwu termasuk Akuwu Tunggul Ametung, maka penjahat-penjahat lari bertebaran di padukuhan-padukuhanterpencil. Tetapi ternyata sampai saat ini Kemundungan masih tetap lepas dari pengaruh kejahatan itu."

   Kuda Sempana mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menjawab.

   Ketika sekali lagi ia merasa tangan Wong Sarimpat menyentuhnya, maka kakinya pun terayun melangkah mengikuti Kebo Sindet yang telah beberapa langkah di muka.

   Ketika sekali lagi ia berpaling ke arah tubuh Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo, terdengar Wong Sarimpat berkata.

   "Sebelum matahari bertengger di atas punggung bukit di ujung timur itu, maka yang tinggal di sini adalah kerangkanya saja. Anjing-anjing liar segera akan menerkamnya dan merobek-robeknya."

   Terasa bulu-bulu tengkuk Kuda Sempana meremang.

   Bagaimanapun juga orang itu adalah saudara seperguruannya yang telah lama bergaul dan bahkan orang itu telah berusaha membantunya pula untuk mencapai maksudnya, meskipun ia tahu, bahwa Cundaka itu pun mempunyai pamrih juga.

   Namun ketika ia melihat tubuh itu terbaring di atas batu-batu padas, maka hatinya berdesir pula.

   Tetapi Kuda Sempana tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.

   Setiap kali ia tertegun, maka terasa Wong Sarimpat menyentuhnya.

   Sentuhan yang semakin lama terasa menjadi semakin kasar, meskipun orang itu masih juga tertawa-tawa.

   Akhirnya Kuda Sempana berjalan menurut irama langkah Kebo Sindet meninggalkan bukit gundul itu.

   Meninggalkan tempat yang tidak akan pernah dilupakannya.

   Ketika kemudian mereka menuruni bukit gundul itu, terasa dada Kuda Sempana menjadi bergelora.

   Kemarin ia menuruni bukit ini pula bersama guru dan seorang saudara seperguruannya.

   Kini ia menuruni bukit itu bersama dua orang yang belum pernah dikenal sebelumnya.

   Berbagai perasaan bergumul di dalam hatinya.

   Kadang-kadang ia ingin melepaskan diri dari kedua orang itu, tetapi kadang-kadang apabila dilihatnya punggung Kebo Sindet, ingin ia menghunjamkanpedangnya ke punggung itu.

   Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa di belakangnya berjalan tertatih-tatih Wong Sarimpat.

   Meskipun orang itu tampaknya telah hampir mati, tetapi ia masih cukup berbahaya.

   Apalagi baginya, yang kini tidak memiliki kekuatan sepenuhnya.

   Kuda Sempana terkejut ketika tiba-tiba ia melihat Kebo Sindet berhenti dan berpaling.

   Dari sela-sela bibirnya yang beku terdengar orang itu berkata.

   "He, Kuda Sempana, apakah kau masih menggenggam pedang di tangan? Sarungkanlah. Sebentar lagi jalan akan menjadi semakin sulit. Pedang itu akan berbahaya bagimu. Apabila kau terpeleset jatuh, maka mungkin sekali tajam pedang itu akan menyobek kulitmu sendiri."

   Kuda Sempana memandangi wajah Kebo Sindet dengan tajamnya. Namun kemudian tanpa dikehendakinya sendiri, tangannya tergerak menyarungkan pedang itu pada wrangka dilambungnya.

   "Bagus! Hati-hatilah berjalan,"

   Berkata Kebo Sindet itu pula "Baru apabila kita bertemu dengan gerombolan anjing liar, mungkin kau perlukan pedangmu itu untuk menghalaunya."

   Kuda Sempana masih saja berdiam diri.

   Ketika Kebo Sindet berjalan kembali, maka Kuda Sempana pun berjalan pula lewat jalan setapak yang kemarin pernah dilaluinya pula.

   Berbelit-belit di antara batu-batu padas yang menjorok tajam dan kadang-kadang seakan- akan menghadang di tengah jalan.

   Di tempat inilah ia kemarin melihat Wong Sarimpat di bawah jalan ini, kemudian di atas punggung kuda berlari mendaki lereng yang curam ini.

   Kemarin ia masih mengagumi orang yang kasar yang disangkanya terlampau jujur itu.

   Tetapi ternyata orang itu telah membunuh guru dan saudara seperguruannya.

   Kebo Sindet ternyata sengaja berjalan perlahan-lahan supaya Kuda Sempana dan Wong Sarimpat yang terluka itu tidak tertinggal terlampau jauh.

   Namun demikian, mereka semakin lama menjadi semakin dekat pula dengan gubuk di lereng bukit gundul itu.

   Gubuk yang berada di mulut gua.Bulu kuduk Kuda Sempana meremang ketika teringat kata-kata Kebo Sindet, bahwa di dalam gua itu terdapat banyak kerangka manusia.

   Siapa yang masuk ke dalam gua itu, tidak akan dapat keluar kembali.

   "Apakah aku akan dimasukkan ke dalam gua itu pula?"

   Berkata Kuda Sempana di dalam hatinya. Tetapi kemudian ditenangkannya hatinya sendiri. Apapun yang akan terjadi akan dihadapinya, walau mati sekalipun.

   "Ini adalah akibat yang mungkin sekali terjadi,"

   Katanya di dalam hati pula.

   "Kalau aku berhasil, sempurnalah hasilnya, kalau gagal, tebusannya maut."

   Akhirnya mereka berhenti juga di muka gubuk Kebo Sindet.

   Dalam kegelapan Kuda Sempana masih dapat mengenali gubuk itu.

   Mulut gubuk itu masih saja menganga seperti pada saat Kuda Sempana meninggalkannya.

   Dan ruangan di dalam gubuk itu pun masih saja gelap pekat.

   "Wong Sarimpat,"

   Berkata Kebo Sindet "buatlah api! Nyalakan pelita! Apakah kau masih mempunyai minyak?"

   "Masih Kakang,"

   Sahut Wong Sarimpat yang kemudian berjalan memasuki gubuknya.

   Kuda Sempana merasa perbedaan penerimaan atas dirinya.

   Ketika ia datang bersama gurunya, maka seolah-olah kedua orang itu acuh tak acuh saja.

   Tetapi kini terasa keduanya menjadi terlampau baik terhadapnya.

   Anak muda itu bukanlah anak muda yang terlampau dungu.

   Betapapun juga ia dapat mengerti dan merasakan, bahwa ada sesuatu kepentingan atasnya dari kedua orang itu.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Samar-samar ia melihat kepada persoalan yang akan dihadapinya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan memperalatnya.

   Tetapi Kuda Sempana sudah tidak akan dapat melepaskan diri lagi.

   Ia sekarang dan seterusnya pasti hanya akan menjadi alat mati.

   Alat yang tidak dapat menentukan sikapnya sendiri.

   Namun iatidak akan menerima nasib itu tanpa perlawanan.

   Ia harus mempergunakan otaknya, bukan tenaganya.

   Sebab ia pasti tidak akan mampu melawan keduanya.

   Bahkan satu pun tidak, meskipun sudah terluka.

   Ketika lampu telah menjala, maka Kebo Sindet segera mempersilakan Kuda Sempana itu masuk ke dalam.

   Ketika mereka sudah duduk di atas amben yang kemarin mereka pakai pula, terdengar Kebo Sindet berkata.

   "Kuda Sempana. Lupakanlah gurumu dan saudara seperguruanmu. Tinggallah di sini seperti di rumah sendiri. Aku dan Wong Sarimpat segera akan berusaha menyembuhkan luka-luka kami. Dalam waktu yang singkat kami akan memenuhi permintaanmu. Menangkap Mahisa Agni hidup- hidup bagi kami sama sekali bukan pekerjaan yang sulit. Kami heran, kenapa gurumu tidak mampu melakukannya apabila ia benar-benar bermaksud menangkapnya. Karena itu, bagi kami gurumu merupakan penghalang terbesar. Bahkan aku mempunyai perhitungan bahwa gurumu sengaja akan menjebak kami. Selain itu kami memang mempunyai persoalan yang lama terpendam dengan gurumu. Lambat laun kau pasti akan mengetahuinya juga."

   Tiba-tiba Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian ia bertanya.

   "Apakah paman berkata sebenarnya?"

   Kebo Sindet memandang Kuda Sempana dengan wajahnya yang beku.

   Tetapi sorot matanya memancarkan perasaan yang aneh.

   Kenapa Kuda Sempana menjadi lunak hatinya dengan tiba-tiba.

   Perubahan itu berlangsung terlampau cepat.

   Namun Kebo Sindet tidak segera dapat menarik ke simpulan.

   Bahkan kemudian ia menjawab.

   "Tentu. Aku berkata sebenarnya."

   Kuda Sempana terdiam sesaat.

   Ia ingin segera berpura-pura bergembira mendengar jawaban itu, tetapi ia tidak dapat.

   Beruntunglah ia bahwa ia tidak mampu berbuat demikian karena kejutan perasaan yang baru saja dialami.

   Kebo Sindet adalah seorang yang licin.

   Ia akan mampu melihat perubahan yang tidak wajar apabila Kuda Sempana dengan tiba-tibamenyatakan sikapnya yang berlawanan dengan sikapnya sebelumnya.

   Namun karena Kuda Sempana masih dicengkam oleh perasaannya, maka justru sikapnya itu telah menghilangkan kecurigaan Kebo Sindet.

   Sejak saat itu Kuda Sempana terpaksa tinggal di dalam gubuk itu pula.

   Gubuk Kebo Sindet.

   Betapa hatinya ingin melepaskan diri dari lingkungan yang sama sekali tidak di kehendaki itu, tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan.

   Setiap kali ia selalu berada di antara kedua orang liar itu atau salah seorang daripadanya.

   Namun setelah beberapa hari Kuda Sempana berada di tempat itu, sikap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sama sekali tidak berubah.

   Mereka masih bersikap baik dan ramah.

   Bahkan mereka agaknya sangat memperhatikan kebutuhannya.

   Dalam beberapa hari itu Kuda"Sempana dapat mengetahui cara hidup Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Kedua mendapat makanan mereka dari orang-orang Kemundungan.

   Meskipun orang-orang Kemundungan sendiri adalah orang-orang miskin, namun Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak akan pernah merasa kekurangan.

   Mereka mendapat makanan mereka dalam dua bentuk.

   Makanan masak, yang tinggal menyuapkan saja ke dalam mulut, dan bahan- bahan mentah yang dikehendaki.

   Buah-buahan, pala kependam dan pala gumantung.

   Kedua orang itu seolah-olah menjadi raja kecil dalam padukuhan yang terpencil itu.

   Di dalam gubuk Kebo Sindet memang terdapat mulut gua.

   Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak berani memasuki gua itu.

   Setiap kali ia mendengar Kebo Sindet atau Wong Sarimpat berkata kepadanya.

   Setiap orang yang mencoba masuk ke dalamnya, maka orang itu tidak akan pernah keluar lagi.

   Bahkan selama itu, Kuda Sempana belum pernah melihat Kebo Sindet atau Wong Sarimpat sendiri masuk ke dalamnya.

   Yang diketahui oleh Kuda Sempana dengan pasti, selama ini Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selalu mengobati diri mereka masing-masing.

   Ternyata luka-luka yang mereka derita bukanlah luka-luka yang ringan.

   Hanya karena daya tahan tubuh-tubuhmereka yang luar biasa sajalah, maka mereka tidak hancur karenanya.

   Mereka bahkan masih tampak tetap segar.

   (bersambung) Koleksi .

   Ki Ismoyo Retype .

   Ki Sukasrana Proofing .

   Ki Sunda Recheck/Editing.

   ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 21 DARI hari-kehari, maka kedua orang itu menjadi semakin sembuh.

   Tubuh-tubuh mereka kembali menjadi sehat dan kuat seperti pada saat Kuda Sempana pertama kali melihatnya.

   Setiap kali Kuda Sempana melihat keduanya menguji tubuh masing- masing.

   Sehingga, pada suatu hari Kebo Sindet berkata kepada Kuda Sempana,.

   "Kami telah memiliki keadaan tubuh kami seperti semula. Kami telah sehat kembali, seperti pada saat gurumu belum melukai kami dengan curang. Sebentar lagi kami akan menjadi siap melakukan pekerjaan yang kau percayakan kepada kami". Kuda Sempana masih saja diliputi oleh kebimbangan dan bahkan kebingungan. Sesudah sekian hari ia berada di dalam gubug itu, namun ia masih belum menemukan jalan yang sebaik-baiknya ditempuh.Kuda Sempana itu terkejut ketika Kebo Sindet kemudian berkata,.

   "Aku tahu, bahwa kau masih tetap berprasangka kepada kami. Perasaan itu tidak akan lenyap dari kepalamu selagi kami belum dapat membuktikan perkataan kami. Tetapi, percayalah bahwa kami akan melakukannya untuk beberapa keping emas murni". Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba terloncat dari bibirnya,.

   "Paman, apabila aku masih tetap berada di sini, aku tidak akan berhasil mendapatkan emas murni itu".

   "Bukankah kau sudah menyediakannya?"

   "Belum berupa emas murni"

   Sahut Kuda Sempana.

   "aku masih harus berusaha mendapatkannya. Yang aku punya adalah timang emas bertetes berlian. Pendok emas bermata intan dan perhiasan- perhiasan yang lain. Tetapi bukan emas murni". Wajah Kebo Sindet yang beku masih tetap membeku. Namun, tanpa diketahui oleh seorangpun, ia tersenyum di dalam hati. Yang diucapkan kemudian adalah.

   "Barang-barang itu cukup berharga bagi kami, kau tidak perlu bersusah payah menukarkannya dengan emas murni". Kuda Sempana terdiam. Tetapi hatinya bergolak. Barang-barang itu telah dikumpulkannya bertahun-tahun, sejak ia mengabdikan dirinya di istana, bahkan menjadi kepercayaan Akuwu dalam beberapa persoalan. Apakah barang-barang yang telah dikumpulkannya bertahun-tahun itu akan dilepaskannya? Kembali ia menyesali kebodohannya..

   "kenapa aku mengatakannya?"

   Tetapi, penyesalan itu sama sekali sudah tidak berarti. Ia tidak dapat menyesali kematian gurunya karena kebodohannya pula. Karena nafsunya untuk membalas dendam, sehingga ia telah kehilangan segenap pertimbangan yang bening.

   "Tetapi, kenapa guru selama ini membiarkan aku terdorong semakin jauh?"

   Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam.

   "Gurujuga ingin mendapatkan beberapa keping emas murni, atau timang tretes berlian atau pendok emas bermata intan atau apapun yang disenanginya". Kembali Kuda Sempana terkejut ketika Kebo Sindet berkata.

   "Memang kepuasan amat mahal harganya. Tetapi, jangan takut. Aku tidak serakus gurumu. Aku hanya akan menerima sebagian menurut keikhlasanmu. Aku tidak akan menyebut, berapa banyak yang aku kehendaki". Kuda Sempana menarik alisnya. Tetapi, ia tidak percaya akan kata-kata itu. Namun, demikian ia menyawab.

   "Terima kasih paman. Kapan paman memberi kesempatan kepadaku untuk mengambil barang-barang itu?"

   "Tidak terlampau tergesa-gesa"

   Sahut Kebo Sindet.

   "Aku akan menerimanya setelah pekerjaanku selesai". Kembali Kuda Sempana terdiam. Dan kembali ia harus memutar otaknya untuk memecahkan jalan keluar dari tempat yang menyesakkan nafas ini. Tetapi dari hari-kehari, keadaan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menjadi semakin baik. Dengan demikian maka kemungkinan Kuda Sempana untuk melepaskan diri dari tangan kedua orang itu menjadi semakin sempit. Namun, bukan saja kesempatan Kuda Sempana menjadi semakin sempit, tetapi karena nafsu Kuda Sempana untuk pergi meninggalkan gubug itu pun menjadi kecil pula. Setelah beberapa hari ia berada di gubug itu, dirasakannya bahwa sikap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menjadi semakin baik terhadapnya. Apalagi Kebo Sindet. Bahkan, setelah orang itu menjadi sembuh sama sekali, Kuda Sempana sering dibawanya berburu di lereng bukit gundul itu, di dalam hutan-hutan yang tidak begitu lebat dan di padang-padang ilalang. Kuda Sempana pun selalu berusaha untuk tidak menumbuhkan kecurigaan kepada kedua orang itu. Semula anak muda itu berhasilberpura-pura menerima tawaran Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu. Namun, kemudian batinya benar-benar terpengaruh oleh keadaan yang dialaminya. Bahkan, kemudian Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu pun bersedia memberinya sedikit ilmu. Ilmu yang dimiliki oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Ilmu yang agak berbeda dengan ilmu yang diterimanya dari gurunya Empu Sada. Namun, dengan pertolongan kedua orang itu Kuda Sempana berhasil mencoba mencernakannya. Menyusun jenis-jenis ilmu yang berbeda itu dalam tata gerak yang serasi, yang dengan sendiri dapat menambah sedikit kemampuannya bertempur. Hal inilah yang semula sama sekali tidak diduganya. Ternyata kedua orang itu bersikap baik kepadanya, bahkan terlalu baik. Lambat laun, maka Kuda Sempana itu hampir melupakan gurunya sendiri dalam beberapa hari. Seakan-akan ia telah menemukan guru yang baru. Ketika kemudian, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah benar- benar sembuh, dan telah memiliki kekuatannya kembali seperti sedia kala, maka berkatalah Kebo Sindet kepada Kuda Sempana.

   "Kuda Sempana. Kami, aku dan pamanmu Wong Sarimpat telah berhasil menyembuhkan luka-luka di dalam tubuh kami. Sebaiknya kami segera melakukan penangkapan itu. Menangkap Mahisa Agni". Dada Kuda Sempana terasa berdesir mendengar rencana itu. Setelah sekian lama ia tinggal di dalam gubug itu, maka nafsunya untuk melakukan pembalasan telah menjadi semakin berkurang. Tetapi, ia tidak dapat menolaknya. Kehadirannya kemari adalah karena dendam itu. Dan ia mencoba membakar kembali dadanya dengan dendam yang hampir padam. Karena itu, maka dijawabnya.

   "Baik paman. Aku bergembira bahwa paman akan melakukannya".

   "Semakin cepat semakin baik. Pamanmu Wong Sarimpat telah beberapa kali melihat kerja Mahisa Agni bersama kawan-kawannya di Padang Karautan. Dan kesempatan untuk mengambil Mahisa Agni terlampau luas. Kalau gurumu mempunyai otak yang sedikit cerah, maka ia tidak perlu terlampau bersusah payah. Anak itu selalumondar-mandir dari Padang Rumput Karautan ke Panawijen. Kesempatan itu akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya". Kuda Sempana terkejut mendengarnya. Sehingga dengan serta- merta terloncat pertanyaannya.

   "Apakah paman Wong Sarimpat pernah datang ke Padang Karautan?"

   "Tidak hanya satu dua kali"

   Sahut Kebo Sindet.

   "pamanmu selalu datang melihat-lihat, meskipun dari jarak yang cukup jauh".

   "Kapan paman Wong Sarimpat pergi ke Padang Karautan?"

   "Lusa, sepekan yang lalu dan sepuluh hari yang lalu dan hari ini pula. Pamanmu adalah seorang penunggang kuda yang baik. Kudanya pun baik pula, sehingga waktu yang diperlukan tidak terlampau banyak. Senja ia berangkat, maka sebelum fajar di malam berikutnya ia telah berada di tempat ini kembali. Hampir sehari ia mempunyai waktu untuk melihat-lihat tempat itu. Pamanmu untuk menempuh perjalanan tanpa memincingkan matanya sama sekali selama sepekan terus-menerus. Apalagi hanya dua tiga malam". Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam.

   "Bukan main"

   Desisnya di dalam hati,.

   "dan apakah guru mampu berbuat demikian pula?"

   "Tetapi"

   Berkata Kebo Sindet pula.

   "kami tidak akan pergi berdua saja. Sebaiknya kau ikut pula. Mungkin kami masih memerlukan beberapa keterangan dari padamu". Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Ia mencoba berpikir, apakah sebabnya ia harus pergi pula bersama-sama dengan mereka berdua. Tetapi, jawaban yang diketemukan adalah seperti yang dengan terus terang telah dikatakan oleh Kebo Sindet, bahwa mungkin kedua orang itu masih memerlukan beberapa keterangan dari padanya. Karena itu maka jawabnya.

   "Baiklah paman. Apabila paman masih memerlukan aku". Wajah Kebo Sindet yang beku itu masih saja tetap membeku. Namun, kepalanya itu mengangguk-angguk. Dan terdengar,,"Bagus, dengan bantuanmu, maka pekerjaan ini akan menjadi semakin cepat. Aku tidak memerlukan waktu lebih dari sepekan untuk menangkapnya. Sebab hampir setiap sepekan sekali Mahisa Agni pergi ke Panawijen untuk mengambil beberapa keperluan bagi orang-orangnya bersama beberapa kawan-kawannya. Kesempatan itu adalah kesempatan yang sebaik-baiknya bagiku untuk mengambilnya. Mahisa Agni akan hilang dari antara mereka. Bendungan itu akan gagal sebab orang-orang Panawijen pasti akan kehilangan nafsu dan gairah untuk melanjutkannya. Bahkan mereka pasti akan teringat kembali kepada bendungan yang lama, dan mereka pasti akan mengutuk kenapa bendungan itu pecah. Orang- orang Panawijen akan menjadi putus asa dan pergi berpencaran mencari hidup mereka masing-masing. Nah, keadaan itulah yang harus dilihat oleh Mahisa Agni. Karena itu ia harus tertangkap hidup. Orang itu harus disimpan di tempat ini beberapa lama untuk merasakan kepahitan hidupnya. Mungkin ia tidak memikirkan nasibnya sendiri, tetapi kegagalannya pasti akan menyiksanya".

   "Menyiksa perasaannya, sedang kau akan mendapat kesempatan untuk menyiksa tubuhnya. Bukankah kepahitan hidup yang kau alami sekarang ini bersumber pada perbuatan Mahisa Agni itu menurut katamu sendiri?"

   Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Kata-kata Kebo Sindet itu memang dapat mengungkat kembali dendamnya yang sudah menjadi hambar.

   Apalagi ia sendiri memang berusaha untuk menyalakan dendam itu.

   Bahkan kemudian seakan-akan terbayang kembali apa yang pernah terjadi atas dirinya sejak ia menemui Ken Dedes di bawah bendungan, ketika gadis itu sedang mencuci pakaian.

   Kegagalannya yang pertama itu telah mendorongnya ke dalam kegagalan- kegagalan yang terus menerus.

   Dan semuanya itu adalah karena Mahisa Agni.

   Tiba-tiba Kuda Sempana itu menggeretakkan giginya.

   Di dalam hati ia menggeram,.

   "Aku tidak peduli apa yang kelak akan terjadi. Atas diriku atau atas Mahisa Agni apabila ia telah ditangkap olehKebo Sindet dan Wong Sarimpat yang gila ini. Tetapi, aku harus sempat melepaskan dendamku. Seandainya aku pun akan dibunuh oleh kedua orang ini dan dimasukkan ke dalam goa itu, maka aku akan mati dengan tenang, karena dendamku telah terlepaskan. Apalagi kalau benar kata mereka, bahwa mereka hanya memerlukan beberapa macam perhiasan dari padaku". Kuda Sempana itu pun kemudian tersenyum di dalam hati. Ia tidak mau lagi mempersulit otaknya sendiri. Dijalani hidup ini disaat ini. Apa yang akan terjadi besok adalah persoalan besok. Kini ia harus menyiapkan diri bersama-sama menangkap Mahisa Agni. Dan ia ingin melakukannya sebaik-baiknya, sehingga anak muda itu dapat ditangkapnya. Disakiti tubuh dan perasaannya. Kemudian, ia tidak akan mempedulikan lagi, apakah Mahisa Agni itu akan dibunuh dan dilemparkan kebendungan yang sedang dibuatnya, atau seperti kata gurunya, bahwa kedua orang itu akan mempergunakan Mahisa Agni untuk tujuan tertentu, dan bahkan seandainya dirinya sendiri akan diperlakukan serupa itu pula. Anak muda itu terseadar ketika ia mendengar Kebo Sindet berkata.

   "Bagaimana Kuda Sempana, apakah kau sudah siap apabila kita setiap saat berangkat?"

   "Sudah paman. Sekarang pun aku sudah siap".

   "Bagus. Tetapi kita masih menunggu pamanmu Wong Sarimpat". Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Gumamnya.

   "Kapan pun aku sudah siap". Dalam pada itu, di Padang Karautan Mahisa Agni berada diantara kawan-kawannya dan hampir semua laki-laki Panawijen, bekerja memeras tenaga membuat bendungan yang akan dapat memberi harapan bagi kelangsungan hidup mereka dan anak cucu mereka dalam satu lingkungan. Apabila bendungan itu, siap maka mereka tidak harus bercerai-berai mencari hidup masing-masing. Mereka masih akan tetap berada dalam satu lingkungan yang telah berpuluh tahun mereka jalani, sehingga mereka merasa bahwa setiap orangPanawijen adalah keluarga mereka sendiri. Tidak ubahnya keluarga sesaluran darah. Tetapi, kerja itu adalah kerja yang terlampau berat. Bendungan dan saluran-saluran air. Apa yang mereka kerjakan selama ini barulah sebagian kecil dari kerja mereka keseluruhan. Mereka belum dapat membayangkan, kapankah kerja mereka itu akan dapat selesai. Sebulan lagi, dua bulan, tiga bulan atau satu tahun? Sementara itu sawah di Panawijen menjadi semakin kering dan kering. Hampir tak ada jenis tanaman yang dapat ditanamnya lagi. Ubi kayu menjadi semakin kurus dan jagung tidak dapat tumbuh melampaui tinggi anak-anak yang baru dapat berdiri. Sedangkan setiap orang harus memeras keringat di panas terik Padang Karautan. Mereka mulai bckerja sejak matahari terbit dan mereka baru meletakkan ala-alat mereka apabila matahari jauh turun di kaki langit. Namun, kerja itu seolah-olah hampir tidak bertambah- tambah. Setiap hari mereka harus memecah batu-batu, memasukkan ke dalam brunjung-brunjung bambu dan menimbunnya di dasar sungai. Tetapi, brunjung-brunjung bambu yang berisi batu-batu itu seolah-seolah lenyap saja ditelan pasir di dasar sungai itu. Apalagi saluran-saluran yang mereka rencanakan. Mereka sempat menanam patok-patok bambu dan tali-tali yang harus mereka pancangkan untuk membuat garis-garis parit yang akan mereka gali. Tetapi, selebihnya belum. Belum ada seratus langkah tanah yang sudah sempat mereka cangkul. Tenaga mereka hampir seluruhnya dikerahkan untuk memecah dan memasukkan batu-batu ke dalam brunjung dan melemparkannya ke dasar sungai. Beberapa orang telah menjadi cemas akan persediaan lumbung- lumbung mereka. Lumbung-lumbung itu telah menjadi semakin tipis. Tanaman palawijen agaknya terlampau sedikit. Sawah-sawah mereka hanya dapat tertolong sementara ada hujan turun. Sesudah itu akan kering kembali. Tetapi, hujan tidak juga kunjung-kunjung datang.Namun, mereka pun tidak dapat mengharap hujan segera datang. Dengan demikian air sungai akan bertambah besar dan bendungan yang belum siap itu pun akan terancam bahaya. Orang-orang tua mulai mencemaskan keadaan itu. Baiklah, satu dua di antara mereka telah saling berbicara sesamanya. Apabila malam yang kelam menyelubungi padang rumput yang luas itu, maka mulailah terdengar satu dua orang mengeluh. Mengeluh karena lelah, dan mengeluh karena harapan yang mereka pancangkan bersama patok-patok bambu itu agaknya masih terlampau jauh. Dari hari-kehari maka keluhan itu pun menyalar semakin luas. Dari mulut orang-orang tua yang merasa bahwa umurnya tidak akan lebih panyang dari kerja membuka tanah itu, merayap kepada mereka yang lebih muda. Kepada mereka yang sudah setengah umur. Kemudian merembet lagi kepada yang lebih muda pula. Kepada bapak-bapak yang baru beranak satu dua orang. Akhirnya keluh kesah itu sampai pula kepada anak-anak mudanya. Tetapi, mereka masih juga bekerja disiang hari. Mereka masih juga mulai sejak matahari terbit dan selesai menjelang matahari bertengger di punggung bukit. Tetapi, dimalam hari mereka tidak lagi berdendang dan bersenandung. Tidak lagi terdengar suara seruling dan gelak tertawa. Dimalam hari mereka saling berbisik diantara mereka. Punggung yang sakit, pundak yang luka dan kaki yang bengkak. Keluh kesah itu akhirnya terdengar oleh Ki Buyut Panawijen. Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Kalau orang-orangnya nanti menjadi jemu sebelum bendungan itu siap, maka pekerjaan yang mengandung harapan itu akan terbengkalai seperti harapan mereka yang akan terbengkalai juga. Ki Buyutlah orang yang akan menjadi paling bersedih hati, di samping Mahisa Agni, apabila mereka terpaksa berpisah bercerai berai mengungsikan hidup masing- masing ke pedukuhan-pedukuhan yang masih dapat menerima mereka."Angger Mahisa Agni harus segera msngetahuinya pula"

   Berkata orang tua itu di dalam hatinya.

   "tetapi aku harus berhati-hati mengatakan persoalan ini. Jangan sampai anak yang baik itu tersinggung hatinya. Ia telah bekerja melampaui orang lain. Dan karena itu, maka ia akan dapat menjadi sangat kecewa mendengar keluh kesah ini". Tetapi, keluhan itu menyalar semakin lama menjadi semakin luas. Dan Ki Buyut Panawijen menjadi semakin cemas. Lebih baik ia sendiri menyampaikannya kepada Mahisa Agni dari pada anak itu pada suatu ketika mendengar langsung dari orang-orangnya, sehingga akan menimbulkan bekas yang dalam hatinya. Maka ketika matahari telah terbenam, dan ketika orang-orang Panawijen sudah beristirahat sambil memijat-mijat kaki-kaki mereka yang lelah, maka Ki Buyut Panawijen berjalan di antara mereka mencari Mahisa Agni.

   "Apakah kau sudah tidur Ngger?"

   Sapa Ki Buyut itu di depan gubug ilalang yang dipergunakan Mahisa Agni untuk berteduh dari embun di malam hari. Mahisa Agni yang masih duduk-duduk di dalam gubugnya itu terkejut. Dengan tergopoh-gopoh ia bangkit sambil mempersilahkan orang tua itu.

   "Mari Ki Buyut. Marilah duduk di sini".

   "Ya, ya Ngger"

   Sahut Ki Buyut.

   Kemudian mereka pun duduk di atas sehelai tikar yang dibentangkan di atas setumpuk rumput-rumput kering.

   Ki Buyut Panawijen, Mahisa Agni dan paman Mahisa Agni yang masih saja berada di Padang Karautan, Empu Gandring.

   Setelah percakapan mereka melingkar-lingkar dari satu soal ke soal lain, maka dengan dada berdebar-debar Ki Buyut ingin menyampaikan keperluannya kepada Mahisa Agni.

   Tetapi, ketika ia melihat wajah anak muda itu, maka hatinya menjadi ragu.

   Wajah itu memancar penuh harapan bahwa suatu saat mereka akan dapat berdiri di sisi sungai itu sambil memandangi bendungan mereka yang telah dapat menaikkan air ke parit-parit yang memanjangmembelah padang yang kering.

   Mahisa Agni agaknya terlampau yakin bahwa kerjanya akan berhasil.

   Tetapi, kalau ia tidak menyampaikan pendengarannya tentang keluh kesah yang semakin merata itu, maka apabila Mahisa Agni mendengarnya kelak, apabila kejemuan itu benar-benar telah mencengkam segenap orang-orang yang mengerjakan bendungan ini, alangkah parahnya hati anak muda itu.

   Alangkah kecewanya.

   Seolah-olah rakyat Panawijen sama sekali tidak mengenal terima kasih atas segala jerih payahnya.

   Setelah dipertimbangkannya masak-masak, dan setelah dipikirkannya berulang kali, maka dengan ragu-ragu akhirnya Ki Buyut itu pun berkata.

   "Angger bagaimanakah dengan bendungan kita?"

   Mahisa Agni memandangi wajah Ki Buyut Panawijen dengan sorot mata yang aneh. Pertanyaan Ki Buyut itu telah mengherankan Mahisa Agni. Sehingga anak muda itu ganti bertanya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagaimana maksud Ki Buyut?"

   "Ah"

   Ki Buyut menjadi semakin bimbang.

   "maksudku, apakah tidak ada kesulitan apa-apa?"

   Mahisa Agni menjadi semakin heran, jawabnya.

   "Seperti yang Ki Buyut saksikan, bukankah pembuatan bendungan itu berjalan lancar? Bukankah orang-orang Panawijen telah berjuang dengan sekuat-kuat tenaga mereka, tanpa menghiraukan panas, lelah dan jemu?"

   Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam.

   Jalan yang sudah mulai dibukanya itu seolah-olah kini telah tertutup rapat kembali.

   Apakah ia akan sampai hati mengatakan kepada Mahisa Agni, bahwa orang- orang Panawijen itu kini telah mulai berkeluh-kesah.

   Berkeluh-kesah tentang panas terik yang membakar punggung mereka, tentang lelah yang menyalar kesegenap otot baju dan tentang kejemuan yang mulai mcncengkam perasaan? Ki Buyut itu pun menjadi termangu-mangu.

   Sehingga karena itu maka ia pun terdiam.

   Ia telah kehilangan cara yang sebaik-baiknya dapat ditempuh.Bahkan orang tua itu menjadi bingung ketika Mahisa Agni kemudian berkata.

   "Ki Buyut, aku mengharap bahwa kita akan dapat bekerja lebih keras lagi. Kita harus menyelesaikan bendungan itu sebelum hujan turun di musim basah yang akan datang. Apabila kemudian air naik, dan ternyata bendungan kita belum sempurna, sehingga masih berbahaya apabila banjir sekali-kali datang, maka kita masih harus bekerja lagi, menyempurnakan bendungan itu. Namun, setelah itu, kita akan menikmati hasilnya. Padang itu akan menjadi tanah persawahan yang subur dan seluas-luas kita kehendaki. Sawah kita akan tidak terbatas, sebesar tenaga dapat kita berikan, seluas itu tanah yang kita garap".

   "Ya, ya"

   Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Sejenak kemudian mereka berdiam diri, Empu Gandring duduk terkantuk-kantuk di sudut gubug itu sambil memeluk lututnya.

   Seakan-akan ia sama sekali tidak mendengarkan percakapan kemanakannya dengan Ki Buyut itu.

   Namun, sebenarnya ia mendengar semuanya.

   Ia menangkap perasaan yang tidak wajar yang melontar dari percakapan itu.

   Dari setiap kata-kata Ki Buyut Panawijen.

   Namun, Empu Gandring itu tidak tahu, apakah yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Ki Buyut kepada kemanakannya.

   Ketika angin malam berhembus semakin keras, terasa dingin semakin dalam menghunyam ke dalam kulit.

   Beberapa orang telah membuat perapian dan tidur melingkarinya sambil berselimut kain panjang.

   Di kejauhan terdengar suara burung hantu mengeluh seperti orang yang kelelahan.

   Ki Buyut Panawijen masih saja duduk tepekur.

   Ia masih mengharap bahwa ia akan menemukan cara untuk menyampaikan maksudnya.

   Tidak jauh dari gubug itu, tampak api perapian menyala seperti melonyak-lonyak.

   Beberapa orang yang bertiduran dis ekitarnya telah benar-benar menjadi lelap.

   Yang terdengar kemudian adalah dengkur yang bersahut-sahutan.Ki Buyut Panawijen masih saja berdiam diri.

   Mahisa Agni pun seolah-olah terbungkam.

   Dan di kejauhan burung hantu masih saja mengeluh terputus-putus.

   "Alangkah sulitnya"

   Desah Ki Buyut di dalam hatinya.

   "bagaimana aku dapat mulai?"

   Namun, tiba-tiba perhatian mereka terlempar ke arah dua orang yang berjalan perlahan-lahan ke gubug itu.

   Agaknya yang seorang memapah yang lain.

   Ki Buyut Panawijen, Mahisa Agni dan bahkan Empu Gandring yang terkantuk-kantuk itu pun terkejut.

   Dengan serta-merta mereka berdiri dan menyongsong kedua orang itu.

   "Siapa?"

   Bertanya Ki Buyut Panawijen.

   "Aku, Ki Buyut".

   "Kenapa? Dan siapa kawanmu itu?"

   "Bitung".

   "Kenapa dengan Bitung?"

   "Tubuhnya tiba-tiba menjadi panas, tetapi ia menggigil seperti orang kedinginan".

   "Bawalah kemari"

   Minta Mahisa Agni yang menjadi cemas.

   Kedua orang itu pun kemudian memasuki gubug Mahisa Agni.

   Bitung pun kemudian duduk bersandar kawannya.

   Namun, ia masih juga menggigil seperti orang yang kedinginan.

   Ketika Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen meraba tubuhnya ternyata tubuh itu terasa panas.

   "Aneh"

   Gumam Mahisa Agni.

   "Ya aneh"

   Sahut Ki Buyut Panawijen.Tetapi, Empu Gandring yang lebih banyak menyimpan pengalaman dari mereka berkata.

   "Tidak. Sama sekali tidak aneh. Memang ada sejenis penyakit yang demikian".

   "Apakah sakit Bitung ini bukan karena hantu-hantu?"

   Bertanya kawannya. Ki Buyut Panawijen tidak dapat menyawab, namun yang menyawab adalah Empu Gandring.

   "Tidak. Sama sekali tidak. Aku telah sering melihat orang yang terserang penyakit yang demikian". Kawan Bitung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.

   "Aku menjadi bingung ketika ia mulai menggigil. Karena itu maka ia aku bawa kemari. Apakah sakit yang demikian ini dapat diobati?"

   "Tentu"

   Empu Gandring lah yang menyahut.

   "besok usahakan daun kates grandel yang masih muda. Tumbuklah beserta kulit batangnya, buahnya yang masih muda pula, bunganya dan akarnya. Mudah-mudahan ia dapat sembuh. Taruhlah garam sedikit".

   "Tetapi, bagaimana dengan malam ini?"

   "Biarlah ia tidur dan beristirahat". Kawan Bitung itu memandangi wajah Ki Buyut dengan pandangan yang sayu. Bibirnya tampak bergerak-gerak seakan-akan ia ingin mengucapkan sesuatu. Tetapi, tak sepatah kata pun yang terloncat dari bibirnya. Namun, Ki Buyut Panawijen seakan-akan dapat membaca kata hatinya. Seakan-akan Ki Buyut Panawijen mendengar kawan Bitung itu berkata.

   "Siapakah yang bertanggung jawab, sandainya yang terjadi sesuatu dengan kawanku ini? Apakah harus ada orang lain yang mengalami penyakit serupa?"

   Tetapi, Ki Buyut pun berdiam diri. Ia kemudian mendengar orang itu berkata.

   "Baiklah. Besok aku mengharap Bitung dapat diobati. Dan aku mengharap mudah-mudahan obat itu dapat menyembuhkannya".

   "Batang Kates Grandel banyak terdapat di Panawijen"

   Gumam Mahisa Agni."ya. Tetapi Bitung kini tidak berada di Panawijen"

   Jawab kawannya.

   "Tetapi, bukankah kita dapat mengambilnya?"

   "Aku mengharap besok Bitung dapat diobati"

   Berkata kawannya itu seolah-olah tidak mendengar kata-kata Mahisa Agni.

   "aku menunggu dan Bitung pun menunggu". Dada Mahisa Agni berdesir mendengar jawaban itu. Ia tahu benar maksud kata-kata itu. Obat itu harus tersedia. Jadi bukankah dengan demikian berarti bahwa ia harus mengambil obat itu ke Panawijen besok. Meskipun demikian, Mahisa Agni itu berkata.

   "Ya. Mudah- mudahan ada seseorang yang akan dapat mengambilnya".

   "Mudah-mudahan"

   Sahut orang itu.

   Mahisa Agni menggigit bibirnya.

   Ia merasakan keanehan sikap dari orang itu.

   Sikap yang belum pernah dialaminya selama ini.

   Tetapi, ketika Mahisa Agni menyalakan perasaannya, terasa pamannya menggamitnya.

   Mahisa Agni berpaling, Empu Gandring menggeleng lemah.

   Meskipun Mahisa Agni tidak tahu maksudnya, namun ia terdiam.

   "Aku akan kembali ke gubugku"

   Berkata kawan Bitung.

   "Biarlah Bitung di sini"

   Sahut Mahisa Agni.

   "Tidak. Ia bersamaku. Apapun yang akan terjadi atas dirinya". Kembali Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi, ia tidak mencegahnya lagi ketika Bitung kembali dipapah oleh kawannya meninggalkan gubug itu. Bitung masih juga menggigil meskipun tubuhnya panas. Sepeninggal mereka, Ki Buyut Panawijen menjadi semakin cemas. Ia tahu benar apa yang bergolak di dalam hati Bitung dan kawannya. Mereka pasti menimpakan segala kesalahan kepada Mahisa Agni dan kemudian kepada dirinya, Buyut Panawijen."Hem"

   Tiba-tiba Mahisa Agni menggeram.

   "apakah aku juga yang harus pergi ke Panawijen untuk mengambil obat itu?"

   "Tak ada seorang pun yang berani melakukan Agni"

   Sahut pamannya.

   "Terlalu"

   Desah Mahisa Agni.

   "semuanya harus aku lakukan". Apakah hal-hal semacam itu tidak mengganggu pekerjaan yang besar ini? "Besok aku harus meletakkan brunjung-brunjung dasar di sisi seberang sebelum sisi yang sebelah ini selesai supaya ada keseimbangan. Kalau aku pergi, bagaimana dengan rencana itu?"

   Ki Buyut Panawijen dapat memahami perasaan Mahisa Agni yang sepenuhnya diikat oleh persoalan bendungan yang sedang dikerjakannya.

   Segala tenaga dan pikiranya kini sedang dicurahkannya untuk kepentingan kerja yang besar dan berat itu, sehingga hampir tak ada waktu baginya untuk berbuat hal-hal yang lain.

   Tetapi, Ki Buyut itu merasakan pula kepincangan yang terdiri pada orang-orangnya.

   Mahisa Agni yang sudah bekerja melampaui setiap orang itu, masih harus mengurus persoalan-persoalan yang sebenarnya dapat dilakukan oleh orang lain.

   Namun, sebenarnya seperti kata Empu Gandring bahwa tak ada seorang pun yang berani pergi ke Panawijen tanpa Mahisa Agni.

   Kalau ada juga yang harus pergi, maka mereka pasti akan membawa kawan dalam jumlah yang cukup banyak.

   Karena itu justru Ki Buyut Panawijen tak dapat berkata sepatah pun juga untuk menanggapi keluhan Mahisa Agni, Orang tua itu pun bahkan menekurkan kepalanya sambil mengangguk-angguk kecil.

   "Paman"

   Bertanya Mahisa Agni itu pula kepada pamannya.

   "apakah penyakit yang demikian itu berbahaya? Maksudku, apabila obat itu tertunda satu hari saja, apakah akibatnya akan membahayakan sekali bagi Bitung? Apabila tidak, maka aku ingin tetap melakukan rencanaku besok, baru lusa aku akan pergi ke Panawijen setelah dasar bendungan di sisi seberang dapat mapan. Dengan demikian, maka pekerjaan yang barus dilakukan tinggalmenambah dasar itu dengan menimbuni brunjung-brunjung. Apabila tidak demikan, maka air akan mengalir di satu sisi, sehingga sisi itu bahkan akan menjadi semakin dalam". Empu Gandring pun menjadi ragu-ragu untuk menyawab pertanyaan itu. Seperti Ki Buyut Panawijen, ia dapat memahami setiap perasaan yang bergolak di dalam dada anak muda itu. Tetapi, Empu Gandring itu tahu pula, bahwa penyakit yang berbahaya. Meskipun penyakit itu tidak segera membunuh korbannya, tetapi apabila terlambat pengobatannya, maka meskipun perlahan-lahan, pasti penyakit itu akan menjadi semakin padam. Selagi Empu Gandring itu menimbang-nimbang, terdengar Mahisa Agni bertanya.

   "Bagaimana paman? Apakah aku dapat pergi lusa?"

   Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian dengan menganggukkkan kepalanya.

   "Agni. Mungkin tidak terlambat, tetapi sebaiknya penyakit yang demikian segera mendapat pengobatan". Wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Dilemparkannya pandangan matanya ke padang yang luas di luar gubug itu. Gelap, meskipun bintang-bintang gemerlapan di langit. Sudah tentu ia tidak akan sampai hati membiarkan salah seorang kawannya menjadi korban. Perasaannya tidak membenarkannya, apabila Bitung kelak menemui bencana oleh penyakitnya karena kelambatannya. Tetapi, kalau ia menunda rencananya besok meletakkan dasar bendungan di sisi seberang, maka pasir di dasar sungai itu pasti akan menjadi semakin larut dibawa air yang seolah-olah menepi di sisi itu. Dasar itu pasti akan menjadi semakin dalam. Apalagi apabila besok karena rencana itu tidak diteruskan, maka orang-orang Panawijen akan menimbuni sisi yang lain dengan brunjung-brunjung baru. Dengan demikan maka ia akan menjadi semakin terdorong ke sisi seberang, dan sisi itu pasti akan menjadi bertambah-tambah dalam. Ki Buyut Panawijen masih saja duduk tepekur. Ia menjadi cemas memikirkan apa saja akan dapat terjadi. Ia tahu benar keberatan Mahisa Agni meninggalkan bendungannya. Tetapi, apabila Bitungmenjadi semakin patah, maka akan sangat sulitlah bagi Mahisa Agni dan dirinya untuk mengendalikan perasaan anak-anak muda Panawijen yang sudah mulai menjadi jemu itu. Namun, mulutnya tidak dapat mengucapkan dengan kata-kata. Ia tidak sampai hati melihat Mahisa Agni menjadi murung. Tetapi, baik Ki Buyut Panawijen, maupun Empu Gandring terkejut ketika tiba-tiba Mahisa Agni berkata.

   "Aku akan pergi sekarang ke Panawijen".

   "Agni"

   Potong pamannya dan Ki Buyut pun dengan serta merta berkata.

   "Tidak Ngger. Tidak harus demikian".

   "Tidak paman, aku harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ini tanpa merugikan satu dan yang lain. Aku tidak boleh meninggalkan bendungan itu besok dan aku juga tidak boleh membiarkan Bitung dimakan oleh penyakitnya".

   "Tetapi, jangan sekarang Agni. Bukankah kau besok dapat memberi beberapa orang pesan, supaya mereka melakukan rencana itu? Baru setelah pekerjaan itu dimulai dan sesuai dengan kehendakmu kau dapat meninggalkannya".

   "Tidak paman, aku harus ada di sini selama kita meletakkan dasar bendungan itu".

   "Tetapi, jangan sekarang Ngger"

   Tanpa disengajanya Ki Buyut Panawijen memandang padang rumput yang terhampar luas dihadapannya.

   Tetapi, pandangan matanya tidak mampu untuk menembus gelap malam yang pekat.

   Mahisa Agni pun memandangi gelap malam itu pula.

   Tetapi, tiba- tiba bahkan ia berdiri sambil berkata.

   "Aku akan pergi".

   "Agni"

   Potong pamannya.

   "kau pernah berceritera kepadaku tentang banyak hal yang dapat membahayakan dirimu. Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa ada orang yang masih saja menyimpan dendam di dalam diri mereka. Apakah kau melupakannya? Bahkan aku telah melihat sendiri, apa yang terjadi di padang ini sebelum kau mulai dengan pekerjaanmu ini"."Bahaya itu bagiku sama saja paman, siang atau malam".

   "Lain Agni. Kau berjalan di padang yang luas. Di siang hari kau akan dapat melihat bahaya itu jauh sebelum menyergapmu. Kudamu adalah kuda yang baik. Dengan kuda itu kau akan dapat menghindarinya. Bahkan seandainya orang yang mengancammu itu berkuda pula, maka jarak yang ada pasti akan mampu menyelamatkanmu. Apalagi kalau kau pergi berdua atau bertiga. Salah seorang dari mereka akan dapat memberitahukan kepadaku, apa yang terjadi diperjalanan itu". Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun, ia berdesis.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku akan berangkat. Bagi Bitung, semakin cepat, semakin baik. Mudah- mudahan aku tidak bertemu dengan bahaya yang paman katakan itu". Tetapi, Mahisa Agni tidak meyakini kata-katanya sendiri. Mungkin Empu Sada dan Kuda Sempana telah siap menunggunya diluar perkemahan itu. Namun, demikian, adalah tanggung jawabnya untuk melakukan pekerjaan itu. Kedua-duanya. Memasang brunjung-brunjung di kali dan mengambil obat ke Panawijen. Tak ada orang yang dapat dan berani melakukannya. Karena itu, maka ia sendiri harus berangkat. Seperti Empu Gandring, Mahisa Agni percaya kepada kudanya. Apabila ia bertemu dengan bahaya, seandainya bahaya itu sudah pasti tidak dapat diatasinya, misalnya Empu Sada, maka ia akan dapat menyauhkan dirinya. Mudah- mudahan kudanya dapat membantunya. Apabila ia gagal, maka itu adalah akibat dari tanggung jawab yang telah dipikulnya. Namun, Ki Buyut Panawijen dan Empu Gandring berpendapat lain. Dengan terbata-bata Ki Buyut Panawijen berkata.

   "Jangan Ngger. Aku turut juga prihatin atas Bitung, tetapi kepergianmu akan sangat menggelisahkan kami malam ini. Biarlah kau pergi besok siang setelah kau memberikan beberapa pesan mengenai pemasangan brunjung-brunjung itu seperti kata pamanmu?"

   "Kalau aku sudah mulai Ki Buyut, maka aku kira aku tidak akan dapat meninggalkannya satu sampai dua hari. Karena itu, biarlahaku pergi sekarang. Padang rumput itu cukup luas untuk berpacu seandainya aku bertemu dengan Empu Sada misalnya".

   "Agni"

   Berkata Empu Gandring kemudian.

   "jangan bermain-main dengan bahaya. Empu Sada bukan seorang yang dapat diajak bercanda. Dendam Kuda Sempana kepadamu agaknya sudah terlampau dalam. Bukankah menurut anggapannya, segala kegagalan yang dialaminya kini, bukan saja kegagalannya untuk mcmperisteri adikmu itu, tetapi juga kegagalan dalam bidang yang lain, bersumber darimu? Tak ada cara baginya untuk melepaskan dendam itu selain meniadakanmu. Membunuhmu. Kalau kau temui bencana itu, bagaimana dengan pekerjaanmu di sini? Bendungan ini akan terbengkelai dan Panawijen benar-benar akan lenyap. Juga semua yang pernah terjadi akan dilupakan orang". Mahisa Agni terdiam sejenak. Tetapi ia tidak mempunyai cara yang lain. Ia tidak mempunyai waktu lagi. Kedua-duanya tak dapat ditunda-tunda. Kalau saja ada orang lain yang besok berani pergi ke Panawijen, maka kepalanya tidak akan menjadi pening seperti sekarang. Sandainya ada juga yang mau berangkat, maka berbondong-bondong mereka pergi bersama-sama, sehingga pekerjaan di padang ini akan terganggu juga. Karena itu, maka kemauannya telah bulat, sehingga katanya.

   "Aku akan pergi paman. Empu Sada tidak akan berada di padang ini siang dan malam hanya untuk menunggu aku meninggalkan perkemahan ini pergi ke Panawijen. Kalau ia benar memerlukan aku, maka ia akan datang kemari dan menyerang pcrkcmahan ini bersama dengan murid- murid orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo dan saudara saudara seperguruannya yang lain seperti yang dilakukan atas rombongan Ken Dedes". Empu Gandring menggelengkan kepalanya, jawabnya.

   "mereka ragu-ragu untuk berbuat demikian. Apakah laki-laki Panawijen yang sekian banyaknya tidak berbuat sesuatu, sedang Empu Sada tahu benar bahwa aku berada di sini". Kembali Mahisa Agni terdiam. Namun, ia tidak dapat menemukan jalan lain dari pada jalan yang akan ditempuhnya. Bitung danbendungan. Terngiang kembali kata-kata kawan Bitung yang seakan-akan menyerahkan segala persoalan kepadanya. Obat itu ada atau tidak ada adalah tanggung jawabnya. Anak muda itu sama sekali tidak mau berpikir apalagi berusaha untuk mendapatkannya.

   "Hem"

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Kembali persoalan itu melingkar-lingkar dikepalanya.

   Sehingga kembali ia sampai pada suatu tekad untuk pergi malam ini juga, sehingga besok pagi-pagi, selambat-lambatnya matahari sepenggalah, ia akan sampai di tempat ini kembali.

   Dan ia akan segera dapat mulai dengan rencananya, sebelum air mengorek dasar sungai itu lebih dalam lagi.

   Tetapi, dalam penglihatan Ki Buyut Panawijen dan Empu Gandring, keberangkatan Mahisa Agni itu tidak saja didorong oleh kemauan dan tanggung jawabnya, namun juga oleh kekecewaan dan kejengkelan.

   Karena itu maka Empu Gandring berkata.

   "Agni, jangan pergi menurutkan perasaanmu. Cobalah kau sedikit mempergunakan pikiranmu". Namun, Empu Gaudring dan Ki Buyut Panawijen tidak dapat mencegahnya lagi. Mereka hanya dapat memandangi anak muda itu berkemas-kemas. Menggantungkan pedang di lambungnya, kemudian berjalan keluar dari gubug itu.

   "Aku pergi paman, sudahlah Ki Buyut, mudah-mudahan aku selamat dan berhasil membawa obat itu pula. Bukankah obat itu hanya bagian-bagian dari Kates Grandel?"

   Setelah Empu Gandring tidak berhasil menahannya, maka ia pun menyawab.

   "Ya. Semua bagian dari pohon Kates Grandel. Kalau kau sempat, bawalah daun munggur dan biji-bijinya yang kering. Itu pun akan menjadi obat yang baik pula. Jangan membawa terlampau sedikit supaya kau tidak selalu mondar maudir ke Panawijen".

   "Baik paman"

   Sahut Mahisa Agni.

   Sejenak kemudian anak muda itu telah melepaskan kudanya.

   Dikenakannya pakaian kuda itu, dan kemudian Mahisa Agni pun segera meloncat ke punggungnya.Bitung dan kawannya mcndergar derap kuda berlari.

   Ketika mereka mengangkat wajah mereka, maka terdengar Ki Buyut yang telah berdiri dibelakang berkata.

   "Mahisa Agni telah pergi ke Panawijen untuk mencari obat itu". Kawan Bitung terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya.

   "Kenapa malam ini?"

   "Kau meletakkan semua tanggung jawab kepadanya. Kau tidak membantunya memecahkan kesulitan karena Bitung menderita sakit. Kau hanya berkata bahwa obat itu harus datang sendiri kepadamu dan kau tidak mau tahu kesulitan apakah yang dapat terjadi diperjalanan itu".

   "Tidak Ki Buyut"

   Sahut kawan Bitung tergagap.

   "bukan maksudku demikian".

   "Tetapi, Mahisa menangkap kata-katamu demikian dan aku pun menangkap kata-kata itu seperti itu pula"

   Sahut Ki Bayut .

   Dada kawan Bitung menjadi berdebar-debar.

   Ia tidak menyangka bahwa Mahisa Agni akan melakukan pekerjaan itu sekarang.

   Malam ini.

   Ia tidak dapat mengingkari kata Ki Buyut Panawijen.

   Memang semula ia berpendirian serupa itu.

   Bahkan beberapa orang kawan- kawannya pun menganggapnya, bahwa tanggung jawab tentang sakitnya Bitung, seluruhnya terletak di pundak Mahisa Agni.

   Anak muda itu bersama-sama dengan Ki Buyut Panawijenlah yang memimpin pekerjaan yang terlampau berat di padang yang panas terik disiang hari, dan dingin membeku di malam hari ini.

   Tetapi, tidak terlintas di dalam kepala anak-anak muda itu, bahwa segera satelah itu Mahisa Agni telah pergi meninggalkan mereka.

   "Kau tidak tahu, bahaya yang mengancam anak muda itu setiap saat"

   Berkata Ki Buyut Panawijen pula.

   "di antaranya adalah Kuda Sempana. Beberapa di antara kalian telah melihat sendiri, bagaimana Mahisa Agni terpaksa berkelahi di padang ini melawan Kuda Sempara bahkan kemudian guru Kuda Sempana itu pula.Kalau Mahisa Agni dalam perjalanannya ke Panawijen kali ini bertemu dengan Kuda Sempana dan gurunya, maka habislah ceritera tentang dirinya. Habis pulalah tugasnya di padang ini, dan habis pulalah harapan kita untuk mendapatkan tanah yang subur hijau seperti yang pernah kita miliki dahulu". Kawan Bitung itu menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan terasa keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya, meskipun dingin malam sampai menggigit tulang. Dengan nafas tersengal-sengal ia berkata.

   "Apakah kepergiannya itu tidak dapat dicegah Ki Buyut?"

   "Bukankah kau melibat sendiri bahwa ia telah pergi? Bagaimana harus mencegahnya kini? Nah, kalau kau ingin menyelamatkannya, pergilah, susul anak muda itu". Kawan Bitung itu terdiam. Beberapa anak muda yang lain mendengar pula percakapan itu, dan mereka pun menjadi berdebar- debar pula seperti Bitung.

   "Bagaimana? Apakah kau mau menyusulnya dan memintanya agar ia mengurungkan niatnya, atau kau sendirilah yang pergi ke Panawijen? Sebab Mahisa Agni tahu benar, bahwa obat itu tidak akan dapat meloncat dengan sendirinya kemari dari Panawijen. Obat itu harus dibawa dengan tangan. Dan mulutmu hanya dapat berkata mudah-mudahan, dan dapat menunggu obat itu datang". Kawan Bitung itu menekurkan kepalanya. Ia tahu benar bahwa Ki Buyut Panawijen yang sabar itu kini sedang marah kepadanya. Apalagi ketika Ki Buyut kemudian berkata.

   "Bukan saja masalah sakit Bitung, tetapi masalah bendungan itu pun kalian ternyata bersikap serupa. Kalian telah mulai jemu mengerjakannya. Jangan ingkar. Aku pernah mendengarnya. Kalian mengeluh karena panas di siang hari membakar punggung dan di malam hari dingin menusuk sampai kesungsum. Kalian mengeluh luka-luka di tangan dan kaki serta menjadi bengkak pula. Apalagi ada di antara kalian yang menjadi sakit. Apakah dengan demikian kalian mengharap bahwa bendungan itu akan siap dengan sendirinya, seperti kalianmengharap obat itu akan jatuh dari langit. Apakah kalian ingin melihat Mahisa Agni mengerjakannya sendiri, dan kalian menunggu saja sambil berbaring sehingga bendungan itu terwujud?"

   Kawan Bitung itu menundukkan kepalanya semakin dalam.

   Anak- anak muda yang lain, yang mendengar kata-kata itu pun menundukkan kepala masing-masing.

   Bahkan mereka yang telah berbaring dan bahkan telah tertidur pun menjadi terbangun dan duduk sambil tepekur.

   Tak seorang pun dari mereka yang berani menyawab.

   Bukan saja anak-anak muda, tetapi orang-orang yang sudah setengah umur pun menjadi cemas pula.

   Ki Buyut adalah orang yang hampir tidak pernah marah.

   Kini mereka merasa betapa dalamnya penyesalan yang menghentak-hentak hati orang tua itu.

   "Kalau aku berani, dan kalau aku masih mampu menunggang kuda secepat Angger Mahisa Agni, aku pasti akan menyusulnya"

   Gumam Ki Buyut.

   Kata-kata itu menyentuh setiap hati yang mendengarnya.

   Kata- kata itu seakan-akan telah menggerakkan hati mereka untuk segera berlari ketambatan kuda.

   Tetapi, tak seorang pun yang berani berbuat demikian.

   Apalagi di malam hari.

   Di siang hari pun mereka tidak berani pergi seorang diri, meskipun mereka telah mendengar bahwa Hantu Karautan telah tidak ada lagi di padang itu.

   Tetapi, mereka masih juga membayangkan bahaya yang berserak-serak di sepanjang perjalanan ke Panawijen.

   Ki Buyut itu pun kemudian pergi meninggalkan mereka.

   Hatinya menjadi sangat gelisah.

   Bukan saja mengenangkan kepergian Mahisa Agni, tetapi juga oleh ketakutan yang mencengkam hampir setiap laki-laki di perkemahan itu.

   Apabila ketakutan mereka terhadap keadaan di sekelilingnya masih selalu membayang- bayangi, maka apakah kelak, apabila padang itu berhasil menjadi tanah yang subur, mereka pun tidak akan berani berbuat sesuatu? Apakah mereka akan tetap bersembunyi di padukuhan yang baru itu tanpa membuat hubungan dengan padukuhan-padukuhan yang lain karena takut?Namun, ketika terpandang oleh Ki Buyut, malam yang pekat terbentang seakan-akan tidak berpangkal dan berujung itu pun ia bergumam.

   "Padukuhan ini akan menjadi padukuhan yang sangat terpencil". Tetapi, kemudian ia beikata pula.

   "Meskipun demikian, apakah bedanya jarak yang memisahkan padukuhan ini kelak dengan padukuhan-padukuhan yang lain dengan bulak-bulak yang panyang dan luas meskipun terdiri dari tanah-tanah persawahan dan pategalan? Kalau ada hantu atau penjahat sekalipun, maka kejahatan itu akan dapat juga dilakukan dibulak-bulak persawahan dan pategalan. Ketakutan kami adalah bersumber pada kepercayaan kami, bahwa di padang rumput ini pernah tinggal hantu yang menakutkan setiap orang". Dalam pada itu, Mahisa Agni telah berpacu dengan kudanya menembus gelapnya malam. Dingin angin malam mengusap kulitnya dan seolah-olah menusuk kesetiap lubang kulit. Tetapi, Mahisa Agni tidak sempat merasakannya. Hatinya dicengkam oleh perasaan yang sangat aneh. Ia sendiri kurang menyadari, kenapa ia merasa perlu untuk pergi malam ini. Tidak besok atau lusa setelah ia berhasil meletakkan brunjung-brunjung di sisi seberang. Sekali-kali Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Ia mencoba menatap kedalam gelap, sejauh-jauh matannya dapat mencapai. Tetapi, malam terlampau kelam. Betapapun beraninya hati anak muda itu, tetapi ia tidak dapat melenyapkan setiap perasaan was-wasnya, bahwa ia akan bertemu dengan Empu Sada. Kalau yang berada diperjalanannya itu adalah Kuda Sempana, maka ia akan dengan senang hati melayaninya. Tetapi, apabila yang dijumpainya Empu Sada, maka ia pasti harus mencoba berpacu kuda mengelilingi padang ini.

   "Benar juga kata Empu Gandring"

   Desisnya seorang diri.

   "di siang hari, aku dapat melihat seseorang dalam jarak yang masih agak jauh. Tetapi, di malam hari, orang itu baru dapat aku lihat setelah beberapa puluh langkah di muka hidungku". Tetapi, Mahisa Agni sama sekali tidak ingin kembali. Ia harus berjalan terus. Bahaya itu baru ada di dalam angan-angannya.,"Apakah aku sekarang telah berubah meujadi seorang pengecut?"

   Katanya di dalam hati. Tiba-tiba hati Mahisa Agni itu pun berdesir. Ia mendengar derap kuda di belakangnya. Ketika ia menoleh, remang-remang ia melihat bayangan seorang penunggang kuda yang mengejarnya, bahkan telah terlampau dekat.

   "Siapa yang menyusulku?"

   Pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

   "mungkin seseorang yang ingin mencegah kepergianku malam ini. Ah, tidak. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku malam ini". Mahisa Agni pun kemudian menyentuh perut kudanya dengan tumitnya. Kuda itu memang kuda yang tegar. Loncatannya menjadi kian panyang dan cepat. Dan kuda dibelakangnya itu pun menjadi semakin lama semakin jauh. Ia tidak mau diganggu. Mungkin orang itu Ki Buyut Panawijen mungkin pamannya Empu Gandring yang masih akan mencoba membawanya kembali ke perkemahan. Kuda Mahisa Agni berlari kencang seperti angin. Ditembusnya gelap malam seperti anak panah yang menghunyam ke dalam kelam. Semakin lama semakin cepat. Meskipun demikian, Mahisa Agni merasa, bahwa perjalanannya itu terlampau lambat. Malam ini aku harus mendapatkan batang Kates Grandel itu. Besok, sebelum matahari terlampau tinggi aku harus sudah berada di bendungan itu kembali. Aku harus mulai dengan kerja yang sudah aku rencanakan. Derap kuda dibelakangnya telah tidak didengarnya lagi. Mungkin kuda itu telah kembali ke perkemahan atau sudah tertinggal terlampau jauh. Ia tidak peduli, siapakah yang naik di atas punggung kuda itu. Ia ingin pekerjaannya selesai tanpa seorang pun yang mencampurinya. Besok pagi-pagi ia akan datang kepada Bitung dan memberikannya apa yang diperlukan. Kalau sakit Bitung berkurang, bergembiralah ia dan semua orang di perkemahan itu. Tetapi, apabila penyakit itu mengeras, maka ia sudah cukup berusaha. Tak seorang pun yang akan dapat menyalahkannya lagi.Dengan demikian maka hatinya pun menjadi semakin mantap. Ia mencoba mempercepat lari kudanya, tetapi sayang, bahwa tenaga kudanya pun terbatas, sehingga kuda itu tidak dapat berpacu lebih cepat lagi. Ketika Mahisa Agni melewati sebuah gerumbul yang agak lebat, terasa hatinya berdesir. Ia tidak tahu, kenapa ia tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Dan ia tidak tahu, apakah yang telah memaksanya untuk berpaling. Kini hatinya tidak saja terkejut, tetapi hampir ia tidak percaya. Tiba-tiba saja beberapa puluh langkah di belakangnya berpacu seekor kuda dengan penunggangnya. Cepat seperti angin. Mahisa Agni tidak dapat mempercepat derap kudanya. Kudanya yang tegar itu telah mencapai kecepatan tertinggi. Namun, kuda di belakangnya itu agaknya dapat melampaui kecepatan kudanya. Kalau semula kuda itu semakin lama menjadi semakin jauh, dan bahkan telah hilang di kegelapan, maka tiba-tiba kuda itu kini telah menjadi semakin dekat.

   "Kuda itu muncul lagi"

   Pikirnya.

   "ia mengikuti aku sejak aku keluar dari perkemahan. Mungkin Ki Buyut mungkin paman Empu Gandring. Mungkin seseorang yang disuruh oleh keduanya untuk menyusul aku. Tetapi, tak ada seekor kuda pun di Panawijen yang dapat menyamai kudaku, sedang kuda ini agaknya bahkan melampaui". Mahisa Agni mencoba mengingat-ingat, apakah ada seseorang yang memiliki kemampuan berkuda menyamainya.

   "Satu-satunya adalah paman Empu Gandring"

   Desisnya.

   "apakah paman akan memaksa aku kembali?"

   Tiba-tiba Mahisa Agni tersenyum, gumamnya.

   "Alangkah bodohnya aku. Biarlah paman mengejarku. Aku akan biarkan paman mengikuti aku sampai ke Panawijen. Bukankah dengan demikian aku akan mendapat kawan di perjalanan. Bahkan seandainya aku akan bertemu dengan Empu Sada sekalipun, aku tidak perlu gentar".Tetapi, kuda dibelakang Mahisa Agni itu menjadi semakin lama semakin dekat. Betapapun Mahisa Agni mencoba mempercepat laju kudanya.

   "Hem"

   Desisnya.

   "kalau paman dapat mencapai aku sebelum aku melampaui separo jalan, maka aku pasti akan dipaksanya kembali. Kecuali kalau aku dapat membujuknya supaya paman sudi mengantarkanku. Tetapi, mungkin juga paman menyusul untuk mengawani aku ke Panawijen". Dugaan yang terakhir itu justru telah mengendorkan hasrat Mahisa Agni berpacu terus. Sebab ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu lebih lama lagi mendahuluinya. Sebab kuda yang di belakangnya itu terlampau cepat, dan agaknya penunggangnya terlampau tangkas.

   "Biarlah aku"

   Katanya.

   Mahisa Agni itu pun kemudian malahan memperlambat kudanya.

   Sekali-kali ia berpaling untuk mencoba mengenal orang yang mengejarnya itu.

   Tetapi, karena malam terlampau gelap, maka yang tampak hanyalah sebuah bayangan yang hitam.

   Tetapi, semakin dekat kuda itu, hati Mahisa Agni menjadi semakin curiga.

   Bentuk orang di atas punggung kuda itu sama sekali bukan bentuk tubuh pamannya.

   Kembali dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.

   Namun, ia masih belum mendapat kepastian, apakah orang yang duduk di atas punggung kuda itu pamannya atau bukan.

   Tetapi, debar di dadanya menjadi semakin cepat ketika ia melihat kuda itu seolah-olah tidak berpelana.

   "Gila"

   Desisnya.

   "apakah ada orang yang dapat menunggang kuda secepat itu tanpa pelana?"

   Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir ketika tiba-tiba ia mendengar suara tertawa.

   Suara tertawa yang mendirikan bulu-bulu kuduknya.Namun, dengan demikian Mahisa Agni kini menjadi pasti bahwa orang itu sama sekali bukan pamannya, bukan Ki Buyut Panawejen.

   tetapi juga pasti bukan Empu Sada.

   Mahisa Agni pun kemudian tidak mau berteka-teki lebih lama lagi.

   Ketika ia yakin bahwa orang itu bukan Empu Sada, serta tak ada kemungkinan baginya untuk menghindar karena kuda orang itu lebih cepat dari kudanya, maka tiba-tiba ia menekan kendali kudanya itu.

   Dengan serta merta kudanya mencoba-coba untuk berhenti.

   Demikian tiba-tiba sehingga kudanya itu meringkik dan berdiri di atas kedua kaki belakangnya.

   "Bagus"

   Terdengar suara orang yang mengejarnya.

   "Kau pandai juga bermain-main dengan kuda". Mahisa Agni menahan nafasnya. Diamatinya orang yang duduk di atas kuda tanpa pelana itu. Apalagi ketika orang itu pun segera menghentikan kudanya beberapa langkah saja di sampinpingnya. Sekali lagi orang itu tertawa. Suaranya meninggi membelah Padang Rumput Karautan.

   "Kaukah itu?"

   Berkata orang itu disela-sela suara tertawanya.

   


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong Durhaka Karya Boe Beng Tjoe

Cari Blog Ini