Bunga Di Kaki Gunung Kawi 27
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 27
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja
"Siapa kau?"
Bertanya Mahisa Agni.
"Hem, kaukah yang bernama Mahisa Agni, begitu?"
Mahisa Agni tidak segera menyawab.
Diamati wajah orang yang belum pernah dilihatnya.
Wajahnya keras seperti batu-batu padas dan suara tertawanya pun sekeras suara guntur di langit.
Sekali lagi bulu-bulu Mahisa Agni meremang.
Anak muda itu bukan seorang penakut, namun wajah itu benar-benar mengerikan.
Mahisa Agni pernah bertemu dengan Hantu Padang Karautan, pada masa hantu itu masih sering menakut-nakuti orang yang lewat padang ini.
Tetapi, meskipun hantu itu tampak kusut dan liar, namun wajahnya tidak mengerikan seperti wajah orang ini.
"Siapakah kau?"
Sekali lagi Mahisa Agni bertanya.
"Aku penunggu padang ini"
Sahut orang itu."Bohong"
Tiba-tiba Mahisa Agni pun berteriak.
"aku kenal Hantu Karautan". Kembali orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Katanya.
"Oh, hantu kerdil yang sering merampok orang lewat itu? Hem, orang-orang di sekitar Padang Karautan benar-benar pengecut. Kenapa mereka takut akan hantu gila yang sering dikatakan orang? Sudah lama aku ingin menemuinya, tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan, dan memang aku tidak pernah ingin merendahkan diri bertemu dengan hantu cengeng itu".
"Kalau kau penunggu padang rumput ini, apakah kau tidak pernah bertemu dengan hantu yang selalu berkeliaran di padang ini pula"
Bertanya Mahisa Agni. Orang itu mengerutkan keningnya. Namun, suara tertawanya meledak kembali mengguntur berkepanjangan.
"Cukup"
Bentak Mahisa Agni.
"jawab pertanyaanku"
"Baik. Baik"
Katanya.
"kau benar. Aku memang bukan penunggu padang ini. Aku mencoba berbohong, tetapi kau cukup cerdik". Kini Mahisa Agni lah yang tertegun mendengar jawaban itu. Jawaban yang berterus-terang. Pengakuan yang demikian tiba-tiba itu semula sama sekali tidak diduganya. Namun, kemudian ia bertanya kembali.
"Jadi siapakah kau?"
Orang itu tidak segera menyawab. Diamatinya Mahisa Agni dari ujung ubun-ubun sampai keujung kakinya. Dan sekali lagi orang itu bertanya.
"Hem. Kaukah Mahisa Agni?"
"Apa kepentinganmu dengan orang yang bernama Mahisa Agni?"
Sahut Mahisa Agni curiga.
"Aku kagum akan keberaniannya. Tak seorang pun dari anak- anak muda Panawijen yang berani berjalan seorang diri dari Padang Karautan ke Panawijen, selain Mahisa Agni".
"Kau salah. Hampir setiap anak muda Panawijen berani melakukannya"
Sahut Mahisa Agni.Tetapi, kemarahan Mahisa Agni pun terungkat ketika orang itu tertawa kembali.
"Kenapa kau tertawa?"
Bertanya Mahisa Agni keras, untuk mengatasi suara tertawa itu.
"Tak ada orang yang berani berbuat demikian selain Mahisa Agni".
"Omong kosong"
Teriak Mahisa Agni semakin keras. Suaranya melontar memenuhi padang itu, menembus gelap pekat yang seolah-olah menelungkupi Padang Karautan. Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.
"Sekarang aku yakin. Hanya ada dua orang yang dapat dibanggakan diseluruh Panawijen. Yang pertama adalah Kuda Sempana, seorang pelayan dalam yang berani, dan yang kedua adalah Mahisa Agni".
"Katakan siapakah kau dan apa keperluanmu?"
Mahisa Agni kehilangan kesabaran.
"Menangkap Mahisa Agni"
Jawab orang itu.
Sekali lagi Mahisa terkejut.
Orang itu berkata langsung tentang dirinya.
Karena itu, maka jantung Mahisa Agni pun serasa menyala.
Ia belum pernah mengenal orang itu.
yang dicemaskannya adalah Empu Sada, namun tiba-tiba ia bertemu dengan orang berwajah keras sekeras batu karang yang akan menangkapnya juga.
Maka sekali ia bertanya dengan penuh kemarahan.
"Siapa kau, siapa?"
"Apa pedulimu tentang aku. Aku akan menangkap kau dan membawanya pulang ke rumah. Kau akan dapat menjadi permainan yang mengasyikkan". Kata-kata orang yang berwajah keras sekeras batu padas tu serasa api yang menyentuh telinga Mahisa Agni. Alangkah panasnya. Namun, karena itulah maka sejenak Mahisa Agni tidak dapat mengatakan sesuatu karena kemarahannya serasa menyumbat kerongkongannya. yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu.Tetapi, orang itu masih saja tertawa seperti melihat lelucon yang mengasyikkan.
"Apakah kau marah?"
Mahisa Agni masih berdiam diri.
Dicobanya untuk menenangkan perasaannya, supaya ia tidak tenggelam dalam ke marahannya sehingga tidak mampu lagi untuk melihat setiap keadaan dengan sewajarnya.
Berkali-kali Mahisa Agni menarik nafas panyang.
Udara dingin di malam yang kelam itu telah mengusap jalan pernafasannya.
Namun, terasa darahnya masih terlampau panas.
Dengan suara gemetar sekali lagi ia bertanya.
"Siapakah kau?"
"Apakah kau perlu mengenal namaku?"
Bertanya orang itu.
"Sebutlah namamu, atau gelarmu?"
"Aku tidak punya gelar. Aku hanya punya satu nama".
"Ya, sebutlah satu nama itu".
"Wong Sarimpat". Tanpa sesadarnya kembali bulu-bulu Mahisa Agni meremang. Nama itu pernah didengarnya dari pamannya dan dari mulut Empu Sada sendiri. Wong Sarimpat dan yang seorang lagi bernama Kebo Sindet. Sekali lagi Mahisa Agni menggeretakkan giginya. Kini ia sadar bahwa ia benar-benar berhadapan dengan bahaya. Meskipun ia tidak bertemu dengan Empu Sada, namun orang ini adalah sama berbahayanya dengan Empu Sada. Tidak mustahil bahwa Empu Sada telah benar-benar minta kedua orang itu untuk membantunya. Sehingga dengan serta merta Mahisa Agni menggeram.
"Hem. Apakah kau diminta oleh Empu Sada berbuat demikian?"
"Ya"
Sahut penunggang kuda yang ternyata Wong Sarimpat itu.
"Empu Sada minta bantuanku dan kakang Kebo Sindet. Mereka datang ke rumahku bersama Kuda Sempana dan seorang saudara seperguruannya bernama Cundaka".Jantung Mahisa Agni serasa berdentang semakin keras. Orang itu selalu berkata terus terang, tanpa banyak pertimbangan. Namun, dengan demikian, maka Mahisa Agni menjadi semakin berdebar- debar. Ia dapat meraba perasaan orang itu, yang merasa tidak perlu berbohong atau menyembunyikan sesuatu, karena sebentar lagi Mahisa Agni telah ditangkapnya. Bahkan orang itu meneruskan.
"Kalau aku berhasil membawamu pulang, maka kau akan bertemu dengan Kuda Sempana. Ia ingin aku menangkapmu hidup-hidup. Mungkin ia menyimpan dendam dihatinya. Adalah salahmu, bahwa kau tidak cukup berhati-hati, sehingga kau melukai hatinya. Sekarang kau terpaksa membayar sakit bati itu dengan tebusan yang cukup mahal. Kau harus membayar sakit hati itu dengan sakit di hati dan tubuhmu. KudaSempana ingin melihat kau diikat pada sebatang pohon yang kuat. Kuda Sempana akan dapat berbuat sekehendak hatinya atasmu. Mungkin mencambuk, mungkin menyentuhmu dengan api atau pisau, atau apa pun yang akan dilakukan untuk menyakiti tubuhmu. Sedang untuk menyakiti hatimu Kuda Sempana akan memecah bendungan yang sedang kau kerjakan. Kalau kau hilang dari antara orang-orang Panawijen itu, maka mereka pasti akan kehilangan gairah. Mereka akan menjadi jemu dan mungkin berputus-asa. Dan kau akan melihat, bahwa Padang Rumput Karautan itu akan menjadi sepi kembali. Sepi seperti sedia kala. Tidak ada orang yang mengotori kehijauan rumput yang luas seakan-akan tidak bertepi ini". Wong Sarimpat berhenti sejenak. Ketika dipandanginya wajah Mahisa Agni, maka wajah itu menjadi sangat tegang. Beberapa titik keringat telah membasahi keningnya, meskipun malam sangat dinginnya.
"Jangan menyesal, bahwa kau bertemu dengan aku malam ini"
Berkata Wong Sarimpat kemudian sambil tertawa.
"sebenarnya tugasku tidak menangkap kau. Aku hanya sekedar harus mengetahui dengan pasti jalan yang sering kau pergunakan hilir mudik ke Panawijen. Sebenarnya malam ini aku harus sudahkembali kerumahku. Tetapi, tiba-tiba aku melihat seseorang berpacu dengan kudanya. Aku pernah melihat kau lewat jalan ini ke Panawijen beberapa hari sebelumnya, sehingga aku yakin bahwa jalan inilah yang selalu kau tempuh apabila kau kembali ke Panawijen. Ternyata aku kini mengambil keputusan lain. Aku akan kembali dengan membawamu sama sekali". Perasaan Mahisa Agni kini tak dapat dikuasainya lagi. Tiba-tiba dengan sebuah gerakan kilat, ia menarik pedangnya sambil berdesis.
"Jangan membual. Aku bukan benda mati yang dapat kau perlakukan sekehendak hatimu. Mungkin kau akan mampu membunuhku, sebab kesaktianmu pernah aku dengar menyamai orang-orang yang aku kagumi. Tetapi, itu adalah lebih baik bagiku dari pada kau akan berusaha menangkap aku hidup-hidup". Suara tertawa Wong Sarimpat meledak seperti ledakan gunung yang pecah. Demikian kerasnya sehingga tubuhnya berguncangan di atas punggung kudanya. Katanya kemudian disela-sela suara tertawanya.
"jangan banyak tingkah. Kalau kau akan mencoba melawan aku, maka setiap batang rumput dan ilalang akan mentertawakan kau. Setiap helai daun dan setiap tangkai bunga perdu pernah mendengar siapa Wong Sarimpat. Adalah mustahil kalau kau belum pernah mendengar namaku. Mungkin kau pernah mengenal Empu Sada. Apakah kau mampu melawan orang itu pula? Orang yang diakui memiliki ilmu setingkat dengan gurumu? Aku dengar bahwa Mahisa Agni adalah murid Padepokan Panawijen Murid Empu Purwa yang oleh penduduk di sekitarnya di kenal sebagai seorang tua pendiam yang hanya mampu berdoa dan bertani". Sejenak Mahisa Agni terdiam. Kata-kata itu memang mengandung kebenaran, ia pasti tidak akan mampu melawan Wong Sarimpat. Tetapi, ia tidak ingin menyerahkan kepalanya dengan suka rela. Karena itu, baginya, lebih baik mati di Padang Karautan sebagai tanah harapan yang sedang diolahnya, dari pada ditangkap hidup-hidup dan dibunuh oleh Kuda Sempana sebagai suatu permainan yang bengis.Dengan demikian maka hati Mahisa Agni pun menjadi semakin bulat. Ia bertekad untuk melawannya, meskipun perlawanannya itu tidak akan berarti. Ketika ia mendengar Wong Sarimpat itu tertawa lagi, maka tiba- tiba Mahisa Agni menggerakkan kudanya menyambar orang yang berwajah keras seperti batu padas itu. Pedangnya terayun deras sekali langsung mengarah ke lehernya. Suara tertawa itu pun terputus. Namun, Mahisa Agni harus melihat kenyataan, bahwa orang itu memang terlampau lincah. Pedangnya yang diayunkannya secepat-cepat kemampuaanya itu sama sekali tidak. berarti bagi lawannya. Babkan betapa terkejut anak muda Panawijen itu ketika terasa pergelangannya seolah-olah digigit oleh perasaan nyeri yang dahsyat. Ketika ia menyadari keadaan, maka pedangnya telah terlempar dauh dari padanya. Kembali suara tertawa itu mengumandang. Demikian kerasnya. Dan diantara suara tertawa itu terdengar kata-katanya.
"Kau memang anak muda yang luar biasa. Tenagamu memang melampaui tenaga Kuda Sempana. Dan sebenarnya kau pasti dapat mengalahkan anak muda itu seperti yang dikatakannya. Tetapi, dengan demikian kau jangan menjadi terlampau sombong. Yang kau hadapi kini sama sekali bukan Kuda Sempana"
Dada Mahisa Agni berdesir. Malam terlampau gelap, sehingga ketika ia mencoba mencari pedangnya dengan pandangan matanya, ia tidak segera menemukanya.
"Kau mencari pedangmu?"
Desis Wong Sarimpat Mahisa Agni tidak menjawab.
"Ambillah"
Teriak Wong Sarimpat.
"aku memberimu kesempatan"
Sekali lagi, dada Mahisa Agni berdesir. Tetapi, ia masih saja duduk mematung dfi atas punggung kudanya yang masih bergerak- gerak.
"Ambillah"
Teriak Wong Sarimpat pula. Suara itu terlampau keras, sehingga Mahisa Agni terkejut. Dan suara itu agaknya telahmemaksa Mahisa Agni bergerak tanpa sesadarnya ke arah pedang terlempar.
"Cari di kegelapan itu. Mungkin disela-sela batang ilalang atau terlempar ke dalam gerumbul"
Darah Mahisa Agni benar-benar mendidik. Betapa orang itu telah menghinanya. Dibiarkannya ia menjauh, masuk ke dalam kegelapan tanpa diikutinya. Bahkan dengan nada tinggi, Wong Sarimpat berteriak.
"Aku tunggu kau di sini. Jangan mencoba lari, tidak ada gunanya. Dalam sepuluh hitungan kalau kau belum menemukan pedangmu, adalah salahmu sendiri. Kau harus datang kembali dan bertempur dengan tanganmu. Kalau tidak, aku akan menjemputmu. Tetapi dengan demikian kau pasti akan menyesal"
Mahisa Agni tidak menjawab. Kudanya dibawanya berjalan ke arah pedangnya terlempar. Tetapi, karena malam terlampau gelap, maka ia tidak segera dapat menemukannya. Di belakangnya, Wong sarimpat yang gila itu mulai menghitung sambil tertawa-tawa.
"satu, dua. tetapi jarak di antara setiap hitungan cukup lama, seolah- olah ia sengaja memberi weaktu kepada Mahisa Agni untuk menemukan pedangnya. Betapa panasnya hati Mahisa Agni. Setiap hitungan yang didengarnya serasa sebuah tusukan langsung di lambungnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeram. Namun, pedangnya masih belum diketemukan. Sekilas, timbullah keinginannya untuk melarikan diri menjauhi orang yang berwajah keras sekeras batu padas itu. Namun, ia kemudian merasa bahwa itupun tidak akan ada gunanya. Orang itu pasti akan mendengar kudanya berderap dan segera mengejarnya. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kuda orang itu mampu berlari lebih cepat dari kudanya. Untuk bersembunyipun rasa-rasanya tidak akan mungkin. Gerumbul-gerumbul yang jarang- jarang itu akan segera dapat disasak olehnya. Dan ia akan hancur terinjak-injak kaki kuda yang liar seliar penunggangnya itu.Dalam kebimbangan itu, Mahisa Agni membiarkan kudanya berjalan semakin jauh. Bahkan, kini ia tidak lagi bernafsu untuk menemukan pedangnya. Ia merasa bahwa usaha itupun tidak akan berhasil. Yangkemudian bulat di dalam kepalanya adalah ia akan berkelahi dengan kekuatannya yang terakhir, dengan puncak ilmu yang dimilikinya. Gundala Sasra. Ilmu itu pasti akan lebih tajam daripada pedangnya. Mungkin Wong Sarimpat tidak dapat dibunuhnya dengan ilmu itu, namun apapun yang akan terjadi adalah lenih baik daripada ia harus ditangkap hidup-hidup. Suara Wong Sarimpat terdengar semakin lama semakin jauh. Kini ia mendengar orang-orang itu menyebut bilangan kelima.
"Hem,"
Mahisa Agni menggeram.
"ia tidak telaten mendengar betapa lambannya Wong Sarimpat menghitung. Ia ingin segera terjadi apa yang akan terjadi. Kalau ia akan mati, biarlah segera terjadi pula. Ketika ia berpaling, malam yang gelap seakan-akan telah memisahkannya dari orang itu. Sekali lagi Mahisa Agni mengumpat di dalam hatinya. Adalah suatu penghinaan baginya, dengan membiarkannya pergi menjauhi lawannya. Mungkin Wong Sarimpat ingin mempermainkannya. Dibiarkannya ia lari, kemudian orang itu akan menyusulnya. Mungkin orang itu akan memberinya kesempatan pula untuk kedua, ketiga dan seterusnya. Apabila kemudian nafasnya telah hampir putus, maka segera ia ditangkapnya dan dibawanya ke rumahnya.
"Hem,"
Sekali lagi Mahisa Agni menggeram. Tiba-tiba ia memutar kudanya sambil bergumam di dalam hatinya.
"Aku tidak mau menjadi permainan. Seperti seekor tikus menghadapi kucing. Biarlah aku mati dengan jantan. Aku akan kembali kepadanya dan menyerangnya. Mahisa Agni sama sekali tidak dapat melihat Wong Sarimpat lagi karena gelap malam. Tetapi, ia masih mendengar suaranya. Karena itu, segera dihadapkannya kudanya ke arah suara itu. Ia akan berpacu dan mempersiapkan kekuatan puncaknya. Apabila kudanyatelah menghampiri orang itu, maka segera ia akan membenturkan ajinya. Kalau orang itu memiliki kekuatan seperti baja yang berlapis- lapis, biarlah dadanya sendiri hancur karena kekuatannya, tetapi kalau tidak maka pasti akan mengurangi kekuatan lawannya. Kini Mahisa Agni mulai memusatkan segenap kekuatannya. Ia mendengar Wong Sarimpat telah sampai kehitungan yang ketujuh. Sekali lagi Mahisa Agni menggeram. Hitungan itu terdengar sangat memuakkan. Tetapi, ia tidak akan menunggu sampai hitungan yang kesepuluh. Tetapi, tiba-tiba kembali Mahisa Agni itu terkejut sehingga seakan-akan darahnya membeku. Pada saat ia telah siap untuk berpacu dan siap pula melepaskan kekuatan pamungkasnya, maka terasa sebuah genggaman tangan yang kuat pada lengannya. Demikian kuatnya sehingga Mahisa Agni hampir tertarik jatuh dari kudanya meskipun ia telah bersiap dengan puncak kekuatannya. Dengan sekuat tenaga Mahisa Agni mencoba merenggut dirinya, tetapi ia sama sekali tidak berhasil. Ketika ia kemudian berpaling, maka nafsunya pun terhenti sesaat. Matanya terbalik dan mulutnya ternganga.
"Turunlah"
Terdengar sebuah perintah.
Perintah itu benar-benar seperti telah memukau dirinya tanpa disadarinya.
Segera ia meloncat dari kudanya dan sebelum ia berbuat sesuatu orang yang mencengkam lengannya itu telah meloncat naik.
Ketika Mahisa Agni akan mengucapkan kata-kata, terdengar suara orang itu menggeram.
"Aku telah mendengar hitungan ke sembilan". Sebelum Mahisa Agni sempat menyahut, maka kudanya telah bergerak membawa orang itu mendekati Wong Sarimpat. Mahisa Agni menjadi bingung, matanya menjadi seolah-seolah melihat hantu berseliweran di padang itu. Kehadiran Wong Sarimpat yang tiba-tiba itu telah menggoncangkan hatinya dan tiba-tiba hadir pulaorang lain seperti demikian saja muncul dari padang rumput itu, atau tumbuh dari sela-sela rumput-rumputan dan gerumbul. Tetapi, kehadiran orang itu telah agak menenteramkam hati Mahisa Agni. Perlahan-lahan ia menjadi tenang kembali, sehingga ia kini dapat mempergunakan otaknya dengan lebih baik. Ternyata ketika ia meninggalkan perkemahannya, seseorang telah menyusulnya. Namun, kudanya agaknya terlampau jelek, sehingga orang itu tertinggal terlampau jauh. Namun, tanpa disangka-sangkanya, dari sebuah gerumbul muacul pula kuda yang lain. Kuda Wong Sarimpat yang mengejarnya. Tetapi, agaknya Wong Sarimpat tidak menyadari bahwa ada seekor kuda jelek mengejar di belakangnya. Meskipun kuda itu semakin jauh, namun ketika mereka berdua berhenti dan bermain-main dengan pedang, maka kuda yang jelek itu sempat menyusul mereka. Tetapi, kenapa mereka sama sekali tidak mendengar suara derapnya. Kalau ia tidak mendengar mungkin karena hatinya yang kacau. Tetapi, apakah Wong Sarimpat juga tidak mendengarnya? Apakah orang itu telinganya hanya mampu mendengar suara tertawanya sendiri yang mengguntur-guntur. Mahisa Agni tidak sempat berangan-angan terlampau lama ia ingin melihat apa yang terjadi. Adalah pertolongan dari Yang Maha Agung bahwa pamannya hadir pada saat ia di cengkam oleh bahaya. Dan kini pamannya telah mewakilinya, menemui orang yang berwajah keras sekeras batu padas itu. Mahisa Agni masih melihat kudanya berjalan perlahan-lahan mendekati arah suara Wong Sarimpat. Dengan hati-hati ia berjalan mengikutinya. Ia ingin melihat apakah yang terjadi di antara mereka, ia percaya bahwa pamannya menyadari siapakah yang dihadapinya, dan ia percaya bahwa pamannya cukup mengerti perbandingan kekuatan antara mereka. Sebab pamannya telah pernah menyebut-nyebut nama itu pula, Wong Sarimpat. Akhirnya Wong Sarimpat sampai kehilangan yang kesepuluh. Setelah ia mengucapkan bilangan itu, maka ia pun segera berteriak,"Mahisa Agni. Aku sudah sampai kebilangan yang ke sepuluh. Ayo kemarilah, apakah pedangmu telah kau ketemukan?"
Ia melihat pamannya telah semakin dekat, di samping sebuah gerumbul. Beberapa langkah dihadapannya kudanya berhenti dan pamannya agaknya lebih senang menunggu Wong Sarimpat itu berteriak sekali lagi.
"Mahisa Agni, ayo, kemarilah". Tanpa dikehendaki, Mahisa Agni berusaha berdiri di balik lindungan sebuah gerumbul perdu. Sementara itu kudanya berjalan maju perlahan-lahan.
"Ayo, kemarilah"
Teriak Wong Sarimpat pula.
"apakah kau sudah menemukan pedangmu? Dan kenapa kau tidak lari saja he?"
Mahisa Agni yang berada di belakang sebuah gerumbul itu pun mengumpat di dalam hatinya.
Dugaannya ternyata benar, bahwa Wong Sarimpat ingin mempermain-mainkannya.
Wong Sarimpat sengaja memberinya kesempatan untuk lari.
Orang itu akan segera mengejarnya, Demikian sehingga nafas Mahisa Agni akan habis dengan sendirinya.
Tetapi, rencana itu harus berubah, sebab ada orang lain yang akan turut dalam permainan yang mengerikan itu.
Ketika Wong Sarimpat kemudian melihat kuda yang perlahan mendekatinya, maka terdengar suara tertawanya mengumandang di padang rumput yang luas itu.
Perhatiannya sama sekait tidak tertarik kepada gerumbul disampingnya.
Matanya terpaku pada kuda dengan penunggangnya itu, sehingga Mahisa Agni sempat merangkak lebih mendekat lagi.
Bahkan Mahisa Agni itu pun telah melupakan dirinya sendiri pula.
Keinginan untuk melihat apa yang akan terjadi telah mendorongnya untuk mengintip dari balik dedaunan.
"Agni"
Teriak Wong Sarimpat. Tetapi, kuda itu tidak mendekat lagi.
"Kemari""Kemari"
Teriak Wong Sarimpat lagi. Kuda itu masih tegak ditempatnya.
"Apakah kau takut Agni?"
Bertanya Wong Sarimpat.
"kalau kau menurut maka aku tidak akan menyentuhmu. Mari pulang ke rumah. Urusanmu seharusnya kau selesaikan sendiri dengan Kuda Sempana. Aku hanya sekedar meraba maksudmu". Tetapi, tiba-tiba dada Wong Sarimpat itu seperti terhantam guruh ketika ia mendengar penunggang kuda itu menjawab perlahan- lahan, namun dengan suara yang mantap.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik Wong Sarimpat, aku akan datang". Dan suara itu sama sekali bukan suara yang pernah didengarnya diucapkan oleh Mahisa Agni. Suara itu jauh berbeda. Nadanya dan getarannya. Karena itu Wong Sarimpat justru seakan-akan terpesona melihat sebuah bayangan hitam duduk di atas punggung seekor kuda. Ketika kuda itu menjauhinya, maka orang yang duduk di atas punggungnya adalah Mahisa Agni. Tetapi, ketika kuda itu datang kembali, maka orang itu sudah berganti bentuk dan suaranya. Dalam pada itu terdengar kembali bayangan di atas punggung kuda itu berkata.
"Wong Sarimpat, apakah kau menanyakan pedangku?"
Wong Sarimpat tidak segera menjawab, dicobanya untuk melihat dengan lebih saksama. Tetapi, jarak itu belum terlampau dekat, dan hitam malam seakan-akan menjadi kian pekat.
"Siapakah kau?"
Teriak Wong Sarimpat.
"Mahiia Agni"
Jawab suara itu.
"apakah kau kini telah menjadi seorang pelupa, baru saja kau memberi kesempatan kepadaku untuk mengambil pedangku. Bukankah kau menghitung sampai hitungan kesepuluh dan memanggilku untuk kembali". Terdengar Wong Sarimpat menggeram. Sejenak ia menjadi bingung. Apakah suara Mahisa Agni segera berubah? Mungkin anak muda itu menjadi ketakutan sehingga nada suaranya berubahmenjadi terlampau rendah. Tetapi, suara yang didengarnya itu sama sekali tidak berkesan ketakutan. Dengan demikian maka dada Wong Sarimpat itu pun di amuk oleh kebimbangan dan kebingungan. Tetapi, meskipun demikian, Wong Sarimpat adalah seorang yang mempunyai kepercayaan yang kuat kepada kemampuan diri sendiri sehingga bagaimanapun juga, maka dihadapinya setiap persoalan dengan dada tengadah. Sejenak kemudian kembali terdengar suara tertawa orang itu menggelegar memenuhi Padang Karautan. Bahkan Mahisa Agni yang bersembunyi itu pun menjadi terkejut bukan buatan. Ia tidak tahu, mengapa tiba-tiba saja orang itu tertawa. Apakah kini Wong Sarimpat itu telah mengenal bahwa yang duduk di atas punggung kuda itu sama sekali bukan Mahisa Agni? Tetapi, ketika ia mencoba memperhatikan pamannya, yang telah menggantikannya, maka kembali ia menjadi tenang. Pamannya itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara yang mengguruh itu. Orang tua itu masih saja duduk dengan tenangnya, dan membawa kudanya selangkah demi selangkah maju.
"Kemarilah"
Teriak orang itu.
"Aku sedang mendekat"
Sahut pamannya.
"Hem"
Wong Sarimpat menggeram.
"apakah Mahisa Agni mampu ajur-ajer mancala putra mancala putri? Ajo katakan siapa kau?"
"Siapakah aku menurut anggapanmu? Apakah aku bukan Mahisa Agni?"
Sekali lagi Wong Sarimpat tertawa berkepanjangan. Ketika suara tertawanya menjadi semakin lirih, terdengar ia berkata.
"Bagus. Bagus. Suatu permainan yang bagus sekali. Ternyata aku telah tcrjebak oleh permainan sendiri. Aku ingin melihat Mahisa Agni lari terbirit-birit. ternyata kini ia telah datang kembali dengan wajah dan keberanian baru". Tiba-tiba suara tertawa kembali meninggi-ninggi. Kini Wong Sarimpat tidak sekedar menunggu kehadiran bayangan di atas punggung kuda itu. Perlahanlahan maka didorongnya kudanyauntuk mendekat. Semakin dekat suara tertawanya menjadi semakin keras, sehingga kemudian diantara derai tertawanya itu ia berkata.
"Oh. kau. Kau".
"Ya, ternyata kau mengenal aku Wong Sarimpat". Wong Sarimpat itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini suara tertawanya telah berhenti. Dengan menunjuk kearah wajah Empu Gandring ia berkata.
"Hem, bukankah kau tukang keris yang termasyur itu?"
"Terlalu berlebih-lebihan"
Jawab Empu Gandring.
"tidak banyak orang yang mengenal aku. Masih jauh lebih banyak orang yang mengenal nama Wong Sarimpat". Kembali Wong Sarimpat tertawa, katanya.
"Kau memaag jenaka. Kau masih saja suka bergurau. Meskipun aku belum mengenalmu terlalu dekat, tetapi aku sudah banyak mendengar tentang kau. Empu Gandring. Pusaka buatanmu adalah pusaka yang tak ternilai harganya".
"Apakah kau sekarang membawa barang sehelai?"
"Sayang Wong Sarimpat"
Jawab Empu Gandring.
"aku tidak membawanya. Tetapi, kalau kau memerlukannya, aku dapat membuat untukmu sekarang".
"He"
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya.
"dengan apa kau akan membuat keris disini?"
"Aku dapat membuatnya dari batu. Tanganku dapat menyala untuk meluluhkan batu yang betapapun kerasnya Tanganku pula dapat aku pakai untuk menempa di atas lutut". Suara tertawa Wong Sarimpat seakan-akan meledak menecahkan anak telinga. Tubuhnya yang kekar pendek itu terguncang-guncang, bahkan demikian kerasnya sehingga sebelah tangannya menekan perutnya yang bergerak-gerak."Bagus, bagus. Kau memang Empu yang terlampau sakti. Tetapi, kau tidak akan dapat menyalakan api disini, sebab aku dadat menghembuskan hujan dari mulutku. Api mu pasti akan padam dan batumu tidak akan dapat luluh".
"Kalau demikian, maka aku pun mampu mempergunakan batu itu untuk senjataku. Batu ditanganku tidak akan kalah berbahayanya dari sebuah keris yang bagaimanapun saktinya".
"Ya. Aku percaya"
Potong Wong Sarimpat.
"tetapi sayang. Kau sekarang berhadapan dengan Wong Sarimpat".
"Apa bedanya, apabila aku berhadapan dengan Kebo Sindet atau Empu Sada?"
"Bagus, bagus Kau tahu benar siapa saja kau hadapi. Kau tahu pula hubungan antara Wong Sarimpat dengan Empu Sada. Ternyata kau sengaja menyebut-nyebut namanya".
"Kau tidak perlu ingkar".
"Aku tidak akan ingkar. Bahkan aku kini membenarkaanya, bahwa seorang diri amat sulit untuk menangkap Mahisa Agni, karena kau selalu membayanginya". Empu Gandring mengerutkan keningnya, sedang dada Mahisa Agni yang mendengar kata-kata itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata Empu Sada benar-benar berusaha untuk menangkapnya untuk kepentingan Kuda Sempana. Mahisa Agni menggeram, katanya di dalam hati.
"Dendam Kuda Sempana benar-benar telah meracuni hidupnya. Ditinggalkannya istana dan mengembara tak menentu. Anak muda itu benar-benar menjadi korban sikapnya yang terlampau keras". Sejenak kemudian terdengar Empu Gandring menjawab.
"Nah, sekarang apakah yang akan kau lakukan? Bukankah Empu Sada sendiri mengakui, bahwa ia tidak dapat melakukannya? Apakah kau sekarang datang bersama dengan Empu Sada?""Tidak"
Jawab Wong Sarimpat.
"aku datang sendiri. Aku ingin menangkap Mahisa Agni dan membawanya pulang. Aku sangka Mahisa Agni hanya seorang diri, sebab aku tidak melihat orang lain pergi bersama-sama dengan anak itu".
"Beruntunglah bahwa kuda yang aku pakai adalah kuda yang terlampau jelek, sehingga kuda itu tidak mampu lari mengejar Mahisa Agni. Agaknya kau bertemu dengan anak muda itu tanpa menyadari bahwa aku berpacu di belakangnya". Wong Sarimpat mengerutkan keningnya. Kemudian katanya.
"Aku tidak mendengar derap kudamu mendekat".
"Telingamu tersumbat oleh suara tertawamu sendiri. Masih jauh aku sudah mendengar suaramu. Lebih keras dari derap kudaku. Kemudian aku terpaksa menghentikan lari kuda itu. Perlahan-lahan kudaku kemudian berjalan mendekat".
"Setan,"
Desis Wong Sarimpat.
"tetapi sekarang ceritera tentang Empu Gandring pasti akan berbeda. Aku akan memaksamu untuk manyerahkan Mahisa Agni. Ia tidak akan dapat lari. Kudanya sekarang kau pergunakan. Sedang kudamu adalah kuda yang jelek. Kau tahu bahwa kudaku mampu berlari secepat tatit yang meloncat di langit. Dan kudaku ini memang kunamakan Tatit".
"Mahisa Agni adalah kemanakanku. Jangan mengigau. Kau tahu bahwa aku tidak akan merelakannya. Sekarang, bukankah kau akan mempergunakan kekerasan? Cobalah pergunakan. Aku sudah siap melawan setiap kekerasan dengan kekerasan pula".
"Setan alasan"
Sekali lagi Wong Sarimpat mengumpat.
Tatapi kata-katanya kemudian seperti tersumbat dikerongkorgan karena kemarahannya Dengan serta merta ia menggerakkan kudanya dan menyerang Empu Gandring.
Tetapi, Empu Gandring telah siap menunggu.
Karena itu, maka kendali kudanya pun digerakkan, sehingga kudanya segera maju pula.Keduanya adalah orang-orang sakti yang pilih tanding.
Itulah sebabnya maka keduanya tidak dapat meninggalkan kewaspadaan tertinggi.
Ketika kedua ekor kuda itu berpapasan, maka Wong Sarimpat segera mengayunkan tangannya.
Dengan telapak tangannya ia menyerang ke arah Empu Gandring.
Tetapi, Empu Gandring segera melawan serangan itu.
Empu Gandring sengaja tidak menghindarkan dirinya.
Meskipun ia pernah mendengar tentang Wong Sarimpat, tetapi ia belum perrah mengukur langsung, betapa besar kekuatannya.
Karena itu, ketika ia melihat tangan Wong Sarimpat terayun kearahnya, maka segera ia pun memukul telapak tangan itu dengan sisi telapak tangannya.
Wong Sarimpat menggeram.
Ia melihat cara Empu Gandring menyambut serangannya.
Orang tua itu sama sekali tidak mcncoba menghindar.
Namun, agaknya Wong Sarimpat pun ingin tahu, sampai dimana kebenaran kata orang, bahwa tangan Empu Gandring itu mampu dipakainya untuk menempa keris.
Dengan sengaja Wong Sarimpat tidak menarik serangannya.
Bahkan dihentakkannya tangan itu sekuat tenaganya.
Dengan dahsyatnya kedua kekuatan itu berbenturan.
Keduanya menyeringai menahan getaran yang menggigit tangan masing- masing.
Kedua tangan itu terdorong kebelakang sehingga hampir- hampir mereka terlempar dari kuda masing-masing.
"Bukan main"
Desis Empu Gandring.
"Alangkah besar kekuatannya". Namun dalam pada itu, Wong Sarimpat mengumpat keras-keras.
"Anak demit. Ternyata bukan cerita melulu, bahwa dengan tanganmu kau mampu menempa keris. Hampir aku hampir terjatuh dari kudaku, dan hampir-hampir pula lenganku kau patahkan. Sekarang aku percaya bahwa kau menyimpan tenaga raksasa di dalam tubuhmu yang kering itu. Tenagamu tidak kalah dengan tenaga Empu Sada. Tetapi, kau tidak curang seperti Empu Sada".Empu Gandrirg mengerutkan keningnya. Tiba-tiba tanpa dikehendakija sendiri ia bertanya.
"Hei, apa Empu Sada Curang?"
Wong Sarimpat pun terdiam. Agaknya mulutnya telah terlanjur mengatakannya. Tetapi, segera ia tertawa gemuruh memenuhi Padang Karautan. Katanya.
"kita selesaikan. Jangau kau hiraukan Empu Sada. Aku telah mewakilinya. Ayo, sekarang kita selesaikan persoalan ini. Aku harus kembali membawa Mahisa Agni. Kalau kita berkelahi dengan tangan, menggunakan segala macam Aji yang ada pada kita, maka kita tidak akan selesai. Mungkin kita tidak akan dapat menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam sepekan. Sekarang kita simpan Aji kita untuk kepentingan lain. Kalau kulitmu tidak kebal, maka tajamnya akan membelah dadamu". Wong Sarimpat tidak menunggu jawaban Empu Gandring. Tiba- tiba sebuah golok yang besar telah tergenggam di tangannya. Golok yang dengan serta merta telah telah ditariknya dari sarung di lambungnya. Sekali lagi lagi Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Golok itu memang terlampau besar. Tetapi, tidak terlampau panjang. Tangkai golok itu terlalu lampau pendek.
"Ambil senjatamu"
Teriak Wong Sarimpat.
"aku tidak mau membunuh orang yang tidak bersenjata".
"Baik"
Sahut Empu Gaadring.
Tangannya pun segera begerak, meraih tangkai senjatanya lewat di atas pundaknya.
Kerisnya yang khusus melekat di punggungnya.
Keris yang sebesar pedang, sedang tangkainya mencuat dibelakang kepalanya.
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya melihat senjata Empu Gandring itu.
Sejenak ia terdiam, namun sejenk kemudian iapun tertawa pula berkepanjangan.
Dengan suara yang menggelegar memenuhi Padang Rumput Karautan ia berkata.
"Lihat Empu Gandring. Mentang-mentang kau tukang membuat keris, kau buat keris untuk dirimu sendiri sebesar itu?""Apakah kau baru sekali ini melihat keris sebesar ini Worg Sarimpat?"
Bertanya Empu Gandring.
"Tidak. Tidak. Para bangsawan Kediri juga mempunyai keris yang besar, sebesar kerismu. Apakah kau pula yang membuat keris-keris itu?"
"Bukan hanya seorang Empu keris di seluruh Kediri ini Wong Sarimpat". Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan. Kemudian katanya.
"Kalau keris buatanmu terkenal disegenap penjuru Kediri, maka keris yang kau buat untukmu sendiri, pastilah sebilah keris yang luar biasa. Mungkin kerismu sakti tiada taranya. Tersentuh kerismu berarti binasa. Bahkan mungkin gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering. Begitu?"
Empu Gandring mengerutkan keningnya. Tetapi, ia menjawab.
"Ya. Gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering". Dan Wong Sarimpat itu menjawab pula.
"Tetapi, Wong Sarimpat teguh timbul melampaui gunung dan lautan".
"Kerisku mampu meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan. Kalau kau teguh timbul melampaui gunung dan lautan, maka kau harus memperhitungkan tenaga ayunan tangan Empu Purwa. Jangan membantah dahulu. Tak ada gunanya. Sebab tenaga kita telah beradu. Aku dapat mengukur kekuatanmu dan kau dapat mengukur kekuatanku".
"Bagus. Bagus. Kau benar Empu. Kita tak usah membual. Mari kita bertempur, setelah satu dari kita mati, maka bualan kita baru akan terbukti".
"Aku sudah menunggu"
Sahut Empu Gandring.
Wong Sarimpat terdiam.
Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang.
Sejenak dipandanginya keris Empu Gandring yang besar, sebesar pedang.
Namun, ujungnya yang runcing dan tajam di kedua sisinya, serta luk pitu, memberikan ciri, bahwa yang digenggam di tanganEmpu Gandring itu adalah sebilah keris.
Bukan pedang dan bukan pula golok seperti senjatanya.
Kini Wong Sarimpat tidak ingin lebih lama lagi menunggu.
Disadarinya bahwa malam telah membenam lebih dalam lagi.
Karena itu maka terdengar suaranya melengking mengejutkan.
Kudanya seolah-olah meloncat menyergap Empu Gandring.
Namun, Empu Gandring telah siap benar menunggu serangan itu.
Dengan demikian maka orang itu sama sekali tidak gugup.
Digerakkannya kendali kudanya dan dengan sigap pula disongsongnya serangan Wong Sarimpat.
Beruntunglah Empu Gandring bahwa kini ia berada di punggung kuda Mahisa Agni, sehingga dengan demikian ia dapat cukup lincah mengimbangi Wong Sarimpat.
Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam sebuah perkelahian yang sengit.
Wong Sarimpat memiliki keahlian yang mumpuni dalam hal menunggang kuda.
Tetapi, Empu Gandring pun cukup cakap mengendalikan kudanya.
Apalagi ketrampilannya menggerakkan kerisnya adalah ngedap-edapi.
Hampir setiap saat ia bergulat dengan keris.
Mungkin ia sedang membuat, dan mungkin sedang berlatih seorang diri untuk menyempurnakan ilmunya.
Sehingga dalam keadaan yang memaksanya benar-benar mempergunakan senjata itu, Empu Gandring sama sekali tidak mengecewakan.
Namun, Wong Sarimpat pun adalah seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna.
Goloknya yang besar itu seakan-akan hampir tidak menahan gerak tangannya.
Senjata itu berputar dan terayun-ayun seperti sepotong lidi saja.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian, maka kedua orang itu tidak segera dapat melihat, apakah yang akan terjadi dalam perkelahian itu.
Kedua ekor kuda yang tegar itu pun menyambar-nyambar seperti Burung Garuda, sedang di punggungnya seolah-olah Wisnu sedang menari- nari dengan gairahnya, menarikan tari maut.Mahisa Agni melihat pertempuran itu.
Anak muda itu pun adalah anak muda yang menyimpan ilmu yang cukup di dalam dirinya.
Tetapi, orang-orang yang sedang bertempur itu adalah orang-orang yang mengagumkan.
Pamannya dan Wong Sarimpat dapat disejajarkan dengan gurunya, Empu Purwa yang seakan-akan kini telah lenyap dari pergaulan karena duka yang mencengkam hatinya tiada tertanggungkan lagi.
Dengan dada yang bergelora Mahisa Agni mengikuti setiap gerak dari kedua orang yang sedang bertempur itu.
Ternyata Wong Sarimpat adalah benar-benar seorang yang kasar.
Dengan memekik-mekik dan berteriak-teriak ia menyerang dengan garangnya, goloknya terayun-ayun mengerikan, sekali-kali menyambar kepala namun segera mematuk lambung.
Lawannya Empu Gandring, cukup tenang menghadapi tata gerak yang kasar itu.
Tetapi, ErpPu Gandring yang memiliki pengalaman yang cukup segera melihat apa yang dilakukan oleh lawannya itu dengan cermat.
Gerak Wong Sarimpat tampaknya kasar dan tidak teratur, namun dalam gerak yang kasar dan tampaknya tidak teratur itu tersembunyi ilmu yangg dahsyat.
Ilmu yang memang dalam ungkapannya berbentuk serupa itu, kasar dan mengerikan.
Namun, Empu Gandring tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaannya.
la tidak mau terseret dalam tingkah laku yang kasar pula.
Sebab dengan demikian ia telah menjerumuskan dirinya sendiri kedalam bahaya.
Ia tidak dapat mengimbangi kekasaran itu dengan kekasaran pula.
Itulah sebabnya maka kini Empu Gandring tidak lagi ingin melawan setiap serangan dengan serangan.
Ia tahu, bahwa kekuatan Wong Sarimpat tidak melampauinya, namun ia akan terseret ke dalam sikap yang tidak dipahaminya.
Maka untuk seterusnya Empu Gandring menghadapi dengan sikap yang tenang.
Tetapi, setiap gerak tangannya, benar-benar menimbulkan desir di dada lawannya.
Perkelahian diantara kedua orangg yang sakti itu semakin lama menjadi semakin seru.
Masing-masing telah mcncoba mengerahkansegenap kemampuan untuk dapat mengalasi lawannya.
Namun, ternyata bahwa mereka berdua benar-benar seperti sepasang Burung Rajawali yang berlaga di udara.
Tak ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari mereka akan berhasil memenangkan perkelahian itu.
Silih-ungkih desak-mendesak.
Debu yang putih pun semakin lama menjadi semakin banyak berhamburan dilontarkan oleh kaki-kaki kuda yang seakan-akan ikut serta berlaga.
Kadang-kadang terdengar kuda-kuda itu meringkik dengan kerasnya apabila terasa penunggangnya menarik kendali terlampua keras, dan kadang-kadang kuda itu pun saling berbenturan sementara penunggangnya membenturkan senjata- senjata mereka.
Namun, keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding Semakin banyak keringat membasahi tubuh-tubuh mereka, maka mereka menjadi semakin trampil.
Wong Sarimpat menjadi semakin garang dan kasar, sedang Empu Gandring menjadi semakin lincah dan cekatan.
Mahisa Agni masih saja duduk di belakang gerumbul.
Tetapi, ia sudah kehilangan nafsunya untuk bersembunyi terus.
Bahkan semakin lama ia bergeser semakin jauh dari tempat persembunyiannya, dan malahan kadang-kadang ia harus mendekat untuk dapat melihat kuda-kuda itu berlari-larian di Padang Karautan.
Tetapi, perkelahian itu masih berlangsung dalam keadaan yang serupa saja.
Mereka masing-masing mencoba menunggu apabila lawan-lawannya membuat kelalaian-kelalaian kecil, sehingga salah seorang dari mereka akan mendapat kesempatan yang baik.
Tetapi, kesempatan itu tidak juga kunjung datang.
Sehingga dalam kejemuan akhirnya Wong Sarimpat berteriak-teriak keras sekali.
Empu Gandring sama sekali tidak menanggapinya.
Ia bertempur dengan cermat.
Kerisnya yang besar itu bergetar dan mematuk dari segenap penjuru.
Namun, setiap kali senjata itu selalu membentur golok Wong Sarimpat yang besar itu, seakan-akan golok itu pun melebar seluas perisai yang mengelilingi tubuh Wong Sarimpat.Di langit bintang gemintang beredar dengan terangnya seakan- akan sama sekali tak dihiraukannya pertempuran yang dahsyat yang terjadi di Padang Karautan.
Angin yang dingin mengalir lambat mengusap tubuh-tubuh yang berkeringat itu.
Tetapi, mereka yang bertempur sama sekali tidak menghiraukannya betapa sejuknya udara di malam yang dingin itu.
Wong Sarimpat akhirnya benar-benar menjadi jemu.
Ia ter paksa melilat suatu kenyataan, bahwa Empu Gandring tidak dapat dikalahkannya, betapapun ia berusaha.
Apapun yang dilakukannya, maka Empu Gandring pasti mampu menyelamatkan dirinya seperti apa yang terjadi sebaliknya.
Karena itu, tiba-tiba Wong Sarimpat berpendirian lain.
Lebih baik ditinggalkannya mereka kali ini.
Ia akan menyampaikan semua peristiwa itu kepada kakaknya.
Ia memang harus datang berdua sedikit-dikitnya supaya dapat melepaskan Mahisa Agni dari pamannya yang selalu membayanginya itu.
Kini, dalam perkelahian ini, ia sama sekali tidak dapat melihat siapakah yang akan dapat memenangkannya.
Ia tidak melihat kemungkinan untuk membawa Mahisa Agni.
Dengan demikian, maka Wong Sarimpat itu pun kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan lawannya dan kembali ke Kemundungan.
Ia akan segera kembali bersama dengan Kebo Sindet untuk mengambil Mahisa Agni.
Ketika perkelahian itu masih berlangsung dengan sengitnya tiba- tiba Wong Sarimpat menarik kendali kudanya yang kemudian berputar dan berlari menjauh.
Yang terdengar kemudian adalah suaranya mengguruh disertai derai tertawanya.
"Maaf Empu Gandring, aku terpaksa meninggalkanmu". Empu Gandring tertegun melihat lawannya menyingkir. Di dalam remang-remang gelap malam ia melibat Wong Sarimpat itu berhenti beberapa langkah dari padanya sambil berkata terus.
"Aku tidak melihat titik akhir dari perkelahian ini, sehingga aku menganggap bahwa apa yang terjadi seterusnya sama sekali tidak akan berarti.Karena itu, aku mohon diri, aku sudah rindu kepada kakakku Kebo Sindet. Mungkin ia ingin menemuimu. Lain kali aku akan membawanya kemari". Empu Gandring tidak menjawab. Didorongnya kudanya maju mendekat, tetapi kuda Wong Sarimpat pun berjalan menjauh.
"Jangan mencoba mengejar aku. Kudamu lebih jelek dari kudaku, sehingga kau tidak akan berhasill. Meskipun seandainya kau mempunyai kesaktian berlipat-ganda dari padaku pun kau masih harus tergantung kepada kaki-kaki kudamu. Kalau kau tidak percaya, buktikanlah". Wong Sarimpat tidak menunggu Empu Gandring menjawab. Ditariknya kekang kudanya sehingga kudanya berputar setengah lingkaran. Kemudian kuda itu pun seakan-akan meloncat dan terbang meninggalkan Empu Gandring yang memandanginya dengan wajah yang kecut.
"Hem, hantu itu benar-benar berbahaya"
Gumamnya.
Mahisa Agni pun melihat betapa Wong Sarimpat memacu kudanya meninggalkan Padang Karautan.
Tetapi, ia menyadari pula bahwa pamannya pasti tak akan dapat mengejarnya karena kuda Wong Sarimpat yang bernama Tatit itu mampu berlari benar-benar seperti tatit.
"Agni". Mahisa Agni mendengar pamannya memanggil. Perlahan- lahan ia berdiri dan berjalan mendekati Empu Gandring.
"Bukankah benar kataku bahwa di padang ini tersembunyi seribu macam bahaya?"
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Sepatah pun ia tidak menjawab.
"Kau melihat sendiri, betapa berbahayanya orang sekasar Wong Sarimpat. Bahkan menurut penilaianku, orang ini jauh lebih berbahaya daripada Empu Sada sendiri. Dan kini mereka agaknya berdiri di pihak yang sama. Aneh. Untuk melawanmu Empu Sada harus bersusah payah mencari teman seliar Wong Sarimpat.Mahisa Agni masih saja berdiam diri Bahkan kepalanya pun masih juga ditundukkannya. Kalau dikenangkan apa yang baru saja terjadi, maka ia menjadi ngeri sendiri. Meskipun ia sama sekali bukan seorang pengecut, tetapi menghadapi orang yang ganas seperti Wong Sarimpat, adalah suatu pekerjaan yang tidak menyenangkan. Dalam pada itu terdengar Empu Gandring betkata.
"Semula aku juga hanya ingin mengharap bahwa kau tidak bertemu dengan bahaya, tetapi akhirnya aku tidak sampai hati untuk melepaskan kau pergi seorang diri di malam yang terlampau gelap untuk menyeberangi Padang Karautan yang garang ini.. Karena itu aku mencoba menyusulmu. Ketika kudaku menjadi semakin dekat, agaknya kau telah mamacu kudamu. Padahal yang aku dapatkan hanya seekor kuda yang tidak terlampua baik, sehingga jarak diantara kita menjadi semakin lama semakin jauh. Mahisa Agni masih berdiri mematung. Dan Empu Gandring itu pun akhirnya berkata "Sekarang bagaimana Agni. Kita sudah melampaui separo jalan. Apakah kau akan kembali atau kau ingin meneruskan perjalanan ini". Sejenak Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Tetapi, ketika diingatnya bahwa di perkemahan seorang kawannya mengharap kedatangannya dengan membawa obat, maka jawabnya kemudian.
"Aku akan meneruskan perjalanan ini paman".
"Hm"
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Namun, ia berkata.
"Baiklah. Perjalanan ini sudah cukup jauh. Marilah aku antarkan kau ke Panawijen. Mudah-mudahan kita akan segera kembali sebelum Wong Sarimpat sempat memanggil kakaknya yang bernama Kebo sindet itu".
"Apakah rumah mereka tidak terlampau jauh?"
"Aku dengar mereka bersembunyi di Kemundungan. Jarak cukup jauh. Tetapi, apabila kakaknya, Kebo Sindet telah berada di perjalanan kemari, maka mereka akan segera kembali". Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia menyesalkan Kuda Sempana. Persoalan yang ada sekarang sudah jauh berkisardari persoalan yang semula. Kuda Sempana kini sudah tidak lagi mempersoalkan Ken Dedes, karena ia menyadari, bahwa ia tidak akan mungkin lagi merebutnya dari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi, yang ada sekarang adalah dendam yang tiada akan padam menyala di dada anak muda yang merasa dirinya dikecewakan dan disakiti hatinya. Tetapi, Mahisa Agni tidak dapat terlampau lama berangan-angan. Sekali lagi pamannya berkata.
"Kalau akan meneruskan perjalanan, marilah. Kudaku aku tambatkan di belakang semak-semak tempat kau mencari pedangmu". Mahisa Agni tidak menjawab. Perlahan-lahan ia melangkah ke dalam gelap, mencari kuda Empu Gandring.
"Apakah kau akan memakai kudamu ini?"
Bertanya Empu Gandring.
"Tidak paman"
Sahut Mahisa Agni.
"sama saja bagiku. Bukankah kita akan berjalan bersama-sama". Empu Gandring tersenyum. Diikutinya Mahisa Agni berjalan mengambil kuda pamannya. Sejenak kemudian mereka berdua telah berpacu kembali ke Panawijen. Namun, mereka sudah pasti tidak akan dapat berada kembali di bendungan yang sedang mereka kerjakan terlampau pagi. Perjalanan mereka telah terganggu, sehingga waktunya pun menjadi bertambah panjang. Sementara itu Wong Sarimpat berpacu pula cepat-cepat kembali ke Kemundungan. Ia menyesal bukan kepalang atas kegagalannya, dan tanpa kesadarannya mulutnya telah mengumpat habis-habisan.
"Setan tua itu sepantasnya dipancung kepalanya. Ia harus dibinasakan seperti Empu Sada. Aku ingin membenamkannya pula di dalam sendang tempat Empu Sada membunuh dirinya. Melibatkannya pada akar-akar ganggang dan menggantungi lehernya dengan batu".Dan Suara Wong Sarimpat itu pun mengumandang berkeliling padang yang luas dan gelap. Namun, padang itu terlampau sepi. Tak seorang pun mendengarkannya dan tak seorang pun yang melihatnya ia berpacu seperti dikejar hantu. Ketika orang itu kemudian memasuki sebuah hutan tiba-tiba ia merasa jemu berpacu. Orang yang tidak pernah mengenal lelah itu, tiba-tiba ingin berhenti dan beristirahat. Mungkin kudanya memang memerlukan waktu untuk beristirahat sejenak. Tetapi, istirahat itu pun terasa menjemukan sekali. Wong Sarimpat mencoba berbaring sejenak. Begitu saja di atas tanah yang lembab. Dicobanya untuk mereka-reka, bagaimana mungkin ia membalas sakit hatinya. Tetapi, ia tidak segera menemukannya. Ketika perlahan-lahan ia mendengar suara berdesir disisinya, cepat ia meloncat bangkit. Dalam kegelapan malam, ia mendengar suara itu menyelusur menjauhi kakinya.
"Ular gila itu ingin aku cekik sampai mati"
Teriaknya.
Tetapi, malam di dalam hutan itu cukup kelam, sehingga betapapun tajam penglihaannya, namun ia tidak berani menyerang ular itu, meskipun disiang hari adalah pekerjaan Wong Sarimpat menangkap dan membunuh ular hanya dengan tangannya.
Kulitnya sangat digemarinya seperti ia merggemari berbagai macam batu- batuan.
Dalam kejengkelannya Wong Sarimpat itu kembali meloncat ke punggung kudanya, dan kembali ia berpacu menembus jalan-kalan sempit di hutan itu.
Jalan yang biasa dilalui oleh para pejalan dan para pencari kayu bakar.
Ketika kudanya meluncur di antara batang-batang yang agak jarang, maka ditengadahkannya.
Sekali lagi ia mengumpat keras- keras ketika ia melihat bayangan yang mewarnai langit.
Orang itu sampai di Kemundungan melampaui tengah hari.
Langsung ia mencari kakaknya untuk menceriterakan apa yang telah dilihatnya.Kebo Sindet yang sedang mencoba memberikan beberapa macam ilmu kepada Kuda Sempana tertegun mendengar adiknya berteriak-teriak didepan gubugnya.
Sambil bersungut-sungut ia menjawab.
"Aku di sini Wong Sarimpat". Kuda Sempana pun tertegun pula. Bahkan ia terkejut. Sebelum ia melihat Wong Sarimpat, ia telah mendengar suaranya mengumpat- umpat tak habis-habisnya.
"Kita berhenti sebentar Kuda Sempana"
Berkata Kebo Sindet.
Kuda Sempana yang memang kurang mempunyai gairah untuk berlatih ilmu yang kasar itu, menjadi gembira didalam hatinya, meskipun setiap kali diminta untuk berlatih, ia tidak berani menolaknya.
Sejenak kemudian Wong Sarimpat telah muncul dari balik sudut gubug yang kotor itu.
Dengan nafas terengah-engah ia berjalan mendekati kakaknya.
Wajahnya tampak tegang dan mulutnya masih saja mengumpat-umpat.
"Apa yang telah terjadi?"
Bertanya Kebo Sindet. Tetapi, wajahnya sama sekali tidak bergerak. Beku.
"Hampir aku berhasil meskipun aku hanya seorang diri"
Berkata Wong Sarimpat dengan bertolak pinggang.
"Apa yang berhasil?"
Bertanya kakaknya.
"Buruanmu. Seakan-akan telah berada ditelapak tangan. Tetapi, tiba-tiba berhasil lepas kembali".
"Mahisa Agni maksdumu?"
Bertanya Kebo Sindet.
"Ya". Wajah yang beku itu tiba-tiba bergerak. Tampak beberapa garis kerut merut di dahinya. Namun, hanya sesaat. Sesaat kemudian wajah itu telah beku kembali.
"Aku telah berhasil menangkapnya"
Berkata Wong Sarimpat pula.
"Dimanakah anak itu sekarang"."Sudah aku katakan, anak itu lepas kembali".
"Kenapa?".
"Setan tua itu datang mengganggu".
"Siapa yang kau maksud? Empu Purwa, Bojong Santi, atau Empu Sada sendiri?"
"Kali ini Empu Gandring. Pamannya". Terdengar mulut Kebo Sindet menggeram, Tiba-tiba ia berkata tidak terlampau keras, tetapi mengejutkan Wong Sarimpat.
"Kaulah yang bodoh". Wong Sarimpat mengerutkan dahinya. Katanya.
"Kenapa aku yang bodoh?"
"Sudah dikatakan oleh Empu Sada bahwa anak itu tidak dapat ditangkap seorang diri. Kalau kau mampu melakukannya. maka Empu Sada tidak akan ribut kemari memanggil kita". Wong Sarimpat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, ia tidak menyahut. Dan kakaknya berkata pula.
"Bukankah Empu Sada pernah mengatakan bahwa ada saja yang selalu membayanginya. Kali ini kau bertemu dengan Empu Gandring, mungkin kalau kau berbuat bodoh untuk kedua kalinya kau akan bertemu dengan Empu Purwa, guru anak itu sendiri. Di lain kali kau akan bertemu dengan Panji Kelantung dari Tumapel atau bahkan apabila masih hidup, Empu Sada sendiri akan menemuimu". Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan. Tetapi, ia menjawab.
"Jangan kau sebut orang yang terakhir itu kakang. Aku pasti bahwa ia telah mampus ditelan ganggang".
"Mudah-mudahan"
Sahut kakaknya.
"tetapi meskipun Empa Sada telah mati, namun kebodohanmu tidak terhapus karenanya. Kau tahu akibat dari perbuatanmu?"
Mata Wong Sarimpat meredup, seakan-akan ia mcncoha berpikir. Tetapi, akhirnya ia hanya menggelengkan kepalanya sambil menjawab.
"Akibatnya adalah kita masih harus menangkapnya"."Kau benar-benar bodoh"
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara Kebo Sindet datar, tetapi mengandung tekanan sehingga Wong Sarimpat terdiam. Dibiarkannya kakaknya beikata terus.
"Akibatnya adalah Mahisa Agni dan Empu Gandring itu menyadari bahaya yang mengintainya. Kini ia tahu pasti siapa yang harus mereka hadapi. Bukan sekedar Empu Sada. Tetapi, Empu Gandring itu sudah melihat tampangmu yang kasar seperti batu asahan. Wong Sarimpat menggeram. Tetapi, ia tidak menjawab. Ketika dilihatnya Kuda Sempana mengawasinya pula, tiba-tiba matanya terbelalak sehingga cepat-cepat Kuda Sempana melemparkan pandangannya ke titik yang jauh.
"Jangan menyalahkannya"
Bentak kakaknya.
"sudah sewajarnya Kuda Sempana kecewa terhadap sikapmu. Dengan demikian maka usaha ini akan menjadi semakin panjang. Kalau kau tetap pada kuwajiban yang aku bebankan padamu, mengintai saja anak muda itu, maka aku pasti akan segera berangkat ke Panawijen. Aku dapat mengikat Empu Gandring dalam perkelahian dan kau dapat menangkap anak itu dengan mudah. Sekarang, setelah kegagalan yang bodoh itu, apa katamu?"
Mulut Wong Sarimpat bergerak-gerak. Tetapi, tak sepatah kata pun meloncat dari sela-sela bibirnya. Kemudian Kebo Sindet itu berkata kepada Kuda Sempana.
"Kita harus bersabar lagi beberapa lama karena kebodohan pamanmu". Kuda Sempana tidak segera menyawab. Sekali lagi mencoba memandangi wajah Wong Sarimpat, tetapi sekali lagi ia melihat Wong Sarimpat membelalakkinya, sehingga Kuda Sempana itu menundukkan kepalanya. Tetapi, ketika Kebo Sindet berpaling, maka Wong Sarimpat pun menundukkan kepalanya pula secepat- cepatnya.
"Kuda Sempana,"
Berkata Kebo Sindet.
"pekerjaanmu kemudian adalah berlatih sebaik-baiknya. Kita masih harus menunggu beberapa hari lagi. Kita mengharap mereka akan menjadi lengah. Tetapi, aku mempunyai harapan yang lain pula. Mudah-mudahanaku segera menjadi semakin sempurna dalam olah kanuragan, sehingga suatu saat kau sendiri akan mampu menghadapi Mahisa Agni. Akan berbanggalah kau kiranya apabila kau datang dan mangajukan tantangan jantan. Perang tanding di hadapan beberapa saksi". Kuda Sempana tidak menjawab. Sepercik kebanggaan melonjak di dalam dadanya. Tetapi, kemudian di sudut yang lain kembali memancar perasaan syaknya. Ia tetap berprasangka terhadap orang yang berwajah beku sebeku majat itu. Tetapi, Kuda Sempana tidak mau membebani kepalanya dengan segala macam kebingungan. Kini ia menghadapi kesempatan. Apa pun yang akan terjadi kemudian akan dihadapinya kemudian. Namun, peningkatan ilmu baginya pasti akan berguna. Untuk apapun. Sehingga Kuda Sempana pun kemudian justru berusaha untuk menambah ilmunya sebaik-baiknya. Dicobanya untuk mengatasi perasaan segan yang hampir setiap kali mengganggunya. Ketika Wong Sarimpat itu pun kemudian dengan langkah yang tersendat-sendat meninggalkan kakaknya yang memarahinya, kembali Kebo Sindet dan Kuda Sempana meneruskan latihan mereka disamping gubugnya dibawah bukit padas. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Empu Gandring pun telah berpacu kembali ke Padang Karautan. Sekali-sekali Mahisa Agni menengadahkan wajahnya. Hatinya menjadi gelisah ketika matahari telah merambat semakin tinggi. Rencana hari ini pasti akan tertunda.
"Hanya tertunda satu hari bagi pekerjaan sebesar itu"
Ia mencoba menghibur dirinya. Tetapi, perasaannya seakan-akan selalu terganggu. Penundaan rencananya kali ini seolah-olah tidak disebabkan oleh alasan yang wajar. Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar pamannya berkata.
"Kau kecewa atas rencanamu yang tertunda itu Agni".Mahisa Agni tidak dapat menjawab lain. Pamannya itu seolah- olah dapat melihat isi hatinya seluruhnya. Maka jawabnya.
"Ya paman. Sebenarnya aku sudah mantap untuk memulainya hari ini".
"Pekerjaan itu hanya tertunda satu hari saja Agni. Jangan kau risaukan. Seandainya air itu membawa pasir pada dasar sungai, maka perbedaan dalam hari ini dengan besok tidak akan lebih dari lima cengkang". Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi, ia benar-benar dicengkam oleh perasaan kecewa. Meskipun demikian, hatinya terhibur pula ketika tersentuh olehnya bagian-bagian dari batang kates grandel yang dibawanya. Katanya di dalam hati.
"Mudah-mudahan usahaku ini tidak sia-sia. Mudah-mudahan penundaan rencanaku itu pun tidak sia-sia. Anak yang sakit itu pun segera menjadi sembuh". Karena Mahisa Agni tidak menjawab maka pamannya berkata seterusnya.
Orang-orang Panawijen termasuk orang-orang yang kurang gairah menghadapi kerja.
Tetapi, kau harus mengucap sukur bahwa semakin lama menurut penglihatanku mereka menjadi semakin sadar, bahwa apa yang dikerjakan itu merupakan harapan bagi masa depan mereka sehingga tampaknya merekapun menjadi semakin bernafsu.
Tetapi, ingat Agni.
Pada dasarnya orang-orang Panawijen sudah terlampau lama menikmati tanah yang subur, air yang berlimpah, sehingga seakan-akan apa pun yang dilemparkan ke tanah, pasti akan tumbuh dan memberi hasil yang baik.
Dengan demikian pada dasarnya, mereka tidak menghendaki bekerja terlampau berat seperti yang dilakukan kali ini.
Kau harus memperhitungkan setiap keadaan.
Jangan kau abaikan pemeliharaan nafsu bekerja dan gairah akan harapkan mereka dimasa dating".
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia menyadari sepenuhnya kata-kata pamannya itu.
Matahari yang memanjat langit pun menjadi semakin tinggi.
Sejenak kemudian maka dicapainya puncak langit untuk seterusnya turun kembali kearah Barat.Meskipun Mahisa Agni berusaha untuk menenteramkan hatinya, tetapi ia tidak dapat melupakan kekecewaannya hari ini.
Bahkan di dalam hatinya ia masih saja bergumam.
"Aku terlampau lama di Panawijen. Tetapi, ternyata bahwa pohon kates grandel itu tidak terlampau banyak, sehingga agak sulit juga aku mencari. Kalau saja aku tidak usah menunggu bibi Nyai Buyut menanak nasi, mungkin aku sudah sampai di bendungan sebelum tengah hari. Mungkin aku masih dapat memasukkan satu dua brunjung ke dasar sungai itu. Tetapi, kini tengah hari itu sudah lampau". Keduanya kemudian tidak lagi bercakap-cakap. Keringat-keringat mereka bercucuran seperti diperas dari dalam tubuh-tubuh mereka. Panas yang terik terasa membakar kulit. Semak-semak yang jarang- jarang tumbuh disana-sini tidak banyak memberi kesegaran bagi mereka. Selepas-lepas mata memandang, Mahisa Agni hanya melihat sinar matahari yang menyala di atas padang rumput yang luas itu. Bahkan kadang-kadang seakan-akan dilihatnya padang itu menguap dan mencerminkan wajah air. Tetapi, Mahisa Agni menyadari, bahwa penglihatannya itu adalah karena udara yang terlampau panas membakar. Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba saja pamannya berkata.
"Agni, setiap hari kalian bekerja dibawah terik matahari seterik hari ini. Setiap hari kulit kalian telah dipanasi seperti padang ini. Alangkah berat pekerjaan itu". Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula .
"Tetapi, kalau kalian berhasil, maka kalian akan dapat menepuk dada dan berkata kepada anak cucu, inilah peninggalan kami. Peninggalan pada masa kami muda". Mahisa Agni mengangguk dan menjawab singkat.
"Ya paman".
"Tetapi, bukan saja kebanggaan. Namun, juga kepuasan melihat anak cucu hidup dengan bahagia"."Ya paman. Mudah-mudahan mereka menyadari pula".
"Mereka telah bekerja dengan baik".
"Ya".
"Meskipun rencanamu tidak dapat kau lakukan hari ini, tetapi bukankah ada kerja lain yang dapat mereka lakukan?"
"Kerja masih terlampau banyak paman. Aku kira mereka kali ini akan meneruskan menggali induk susukan yang akan membelah pedang ini, yang akan merupakan jalur-alur air induk untuk segenap tanah persawahan yang kita rencanakan. Kita mengharap, bahwa demikian air dapat naik, maka jalur-jalur induk itu pun sudah akan dapat menampungnya. Tetapi, pekerjaan itu terlampaui. Kami sebenarnya mengharap janji Akuwu Tunggul Araetung yang akan memberikan bantuan bukan saja tenaga tetapi juga pedati, lembu dan alat-alat yang lain".
"Jangan terlampau mengharap bantuan orang lain Agni. Percayalah kepada tanganmu sendiri. Yang Maha Agung akan memberi tuntunan kepadamu". Mahisa Agni tidak menyahut. Kepalanya tertunduk memandangi rerumputan yang seperti berlari kearah yang berlawanan. Ia dapat memahami kata-kata pamannya itu, dan ia pun telah berpendirian serupa pula. Namun, sebagai seorang yang wajar, ia memang mengharapkan bantuan itu segera datang. Tetapi, seandainya janji Tunggul Ametung itu tidak juga dipenuhi, maka itu sama sekali bukanlah suatu alasan untuk mengurungkan rencananya atau mengurangi gairah kerjanya. Dan pamannya pun ternyata berkata.
"Kalau bantuan itu datang Agni, mengucaplah terima kasih. Kalau tidak, maka sejak semula kau mulai pekerjaanmu dengan kekuatan tenaga sendiri, tenaga orang-orang Panawijen yang berjuang untuk masa depannya". Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab.
"Ya paman".
"Mudah-mudahan kau dapat berhasil"."Mudah-mudahan paman". Keduanya terdiam. Panas yang terik serasa menjadi semakin panas. Keringat mereka telah membasahi segenap wajah kulit. Sekali-kali mereka terpaksa berhenti dan mencari air untuk kuda- kuda mereka yang haus dan untuk mereka sendiri. Karena itu maka mereka berpacu sepanjang tebing sungai. Akhirnya, dikejauhan, seakan-akan muncul dari dalam padang rumput dan celah-celah, gerumbul-gerumbul yang layu, tampaklah perkemahan mereka. Perkemahan ilalang, tempat mereka berteduh dari panas matahari di siang hari dan tempat mereka menghindari embun di malam hari. Ketika tampak oleh Mahisa Agni atap-atap ilalang itu, maka dengan serta-merta ia berkata.
"Mudah-mudahan mereka tidak berbuat sesuatu atas bendungan itu. Kalau mereka berbuat kesalahan, maka pekerjaan kita akan menjadi semakin sulit".
"Aku kira tidak terlampau sulit Agni"
Sahut pamannya.
"apakah tidak seorang pun yang mengerti akan rencanamu?"
"Kalau mereka terpaksa melakukannya tanpa menunggu aku, aku harap Ki Buyut dapat memberi mereka petunjuk. Kalau tidak, seandainya mereka meletakkan brunjung-brunjung itu disembarang tempat, maka sisi sungai itu akan melebar dan mungkin dapat mengakibatkan sisi seberang longsor". Pamannya tidak menyahut lagi. Kalau terjadi demikian maka Mahisa Agni pasti akan kecewa. Tetapi, seandainya demikian sekalipun, itu bukan berarti suatu kegagalan. Mungkin pekerjaan akan menjadi semakin sulit, tetapi bukan berarti tidak dapat diatasi. Keduaya pun kembali terdiam. Kuda-kuda mereka yang lelah bcrjalan semakin perlahan. Agni dan Empu Gandring pun menyadari bahwa tidak sepantasnya ia melecut kudanya untuk berpacu. Meskipun dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar oleh keinginannya segera sampai ketempat ia bekcrja membuat bendungan itu.Betapapun lambatnya, namun mereka semakin lama menjadi semakin dekat. Gubug yang berderet-deret menjadi semkin jelas. Tetapi, semakin dekat Mahisa Agni dengan perkemahan itu, maka hatinya pun menjadi semakin berdebar-debar. Disebelah gubug-gubug itu adalah susukan yang sedang mereka kerjakan meskipun terlampau lambat karena hanya dikerjakan oleh sebagian dari tenaga yang ada. Sebagian yang lain harus mengisi brunjung- brunjung dengan batu dan sebagian yang lain harus memecah batu- batu itu. Namun, kali ini Mahisa Agni sama sekali tidak melihat sesuatu pada susukan itu. Tak ada selapis debu pun yang mengepul ke udara. Tak ada satu titik pun yang bergerak-gerak disekitarnya. Karena itu, dengan bimbang ia berkata.
"Paman, apakah penglihatanku yang salah? Aku tidak melihat sesuatu di susukan yang sedang dikerjakan itu". Empu Gandring mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia menjawab.
"Aku pun tidak Agni".
"Apakah seluruh tenaga dikerahkan oleh Ki Buyut ke bendungan untuk meletakkan brunjung-brunjung di sisi seberang?"
"Satu kemungkinan Agni"
Desis pamannya.
"Semula aku menduga sebaliknya paman. Aku sangka justru semua tenaga hari ini dikerahkan untuk menggali susukan karena aku tidak ada". Empu Gandring berpaling. Dipandanginya wajah kemanakannya itu dengan sorot mata yang ragu pula. Namun, ia berkata.
"Kalau ada seseorang yang dapat melakukan Agni, maka kau seharusnya menjadi bergembira, sebab tidak semua pekerjaan dibebankan dipundakmu". Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, ia tidak tahu kenapa ia tidak menaruh kepercayaan kepada orang lain. Ia tahu benar, bahwa orang-orang Panawijen bukan pekerja-pekerja yang baik. Itulah sebabnya ia ingin menunggui setiap kerja yang dianggapnya penting.Namun, pamannya berkata lagi.
"Agni, kalau tidak kau ajari mereka melakukan sesuatu, maka semuanya pasti akan tergantung kepadamu. Mereka tidak punya keberanian dan kecakapan untuk berbuat. Mereka akan menjadi tenaga yang mati, yang tidak punya gairah yang timbul dari dalam dirinya tentang sesuatu yang baru. Mereka hanya akan menunggu perintahmu". Sekali lagi Mahisa Agni menganggnk-anggukkan kepalanya. Memang, alangkah baiknya apabila demikian. Apabila ada seorang atau dua orang yang dapat diluntunnya untuk membantunya. Yang dapat berbuat agak banyak hanya Ki Buyut yang sudah agak lanjut itu. Yang lain, masih perlu dicarinya diantara anak-anak muda Panawijen itu. Namun, Mahisa Agni telah menjadi agak puas bahwa rakjat Panawijen itu telah dapat dibawanya untuk melakukan pekerjaan yang cukup besar. Tetapi, tiba-tiba dada Mahisa Agni terguncang ketika kemudian ia menjadi semakin dekat dengan perkemahan. Ia tidak melihat seseorang di sekitar ujung susukan yang sedang dikerjakan, tetapi ia melihat orang-orang Panawijen itu berada di sekitar perkemahan. Mereka duduk-duduk saja dan bahkan ada pula yang berbaring- baring dengan malasnya. Sejenak Mahisa Agni menjadi bingung. Apakah mereka sedang beristirahat? Menurut kebiasaan, maka waktu istirahat ditengah hari telah lampau. Apakah yang terjadi? Kemudian perlahan-lahan Mahisa Agni itu pun berdesis.
"Mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu paman?"
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya meskipun ia sendiri tahu bahwa jawaban itu tidak benar.
"Mereka sedang beristirahat".
"Waktu beristirahat telali lampau". Empu Gandring terdiam. Tiba-tiba Mahisa Agni tidak sabar lagi. Dilecutnya kudanya yang lelah supaya ia segera sampai ke perkemahan itu. Betapa pun jugakudanya berlari agak lebih cepat, tetapi nafas kuda itu telah menjadi semakin deras. Empu Gandring segera mengikuti dibelakangnya. Kudanya pun telah menjadi lelah pula, sehingga dengan malasnya kuda itu berlari tersuruk-suruk. Ketika orang-orang Panawijen melihat kedatangan Mahisa Agni, tiba-tiba sejenak mereka menjadi ribut. Beberapa orang yang berbaring segera bangkit, namun mereka tidak beranjak dari tempat masing-masing. Sejenak mereka saling berpandangan, namun kemudian mereka menunggu Mahisa Agni itu semakin dekat. Demikian Mahisa Agni sampai di perkemahan itu, maka sebelum ia meloncat turun dari kudanya, yang terdengar adalah pertanyaannya.
"Kenapa kalian tidak bekerja?"
Kembali orang-orang Panawijen itu saling berpandangan. Tampaklah kecemasan di wajah mereka. Tetapi, tidak seorang pun yang segera menjawab, sehingga Mahisa Agni mengulangi lagi.
"Kenapa kalian tidak bekerja apa pun hari ini?"
Tiba-tiba terdengar seseorang menyahut agak jauh daripada Mahisa Agni.
"Kami ingin beristirahat".
"Apakah waktu istirahat belum lampau?"
Bertanya Agni pula.
"Kami ingin beristirahat tidak hanya pada saat tengah hari. Tetapi, kami ingin beristirahat beberapa bari. Kami sudah menjadi sangat lelah dan lemah". Terasa darah Mahisa Agni seakan-akan membeku. Jawaban itu benar-benar tidak disangkanya. Karena itu, maka sejenak mulutnya terbungkam oleh gelora di dadanya. Empu Gandring yang kini telah berada disisinya menggamitnya sambil berbisik.
"Turunlah Mahisa Agni". Mahisa Agni berpaling. Ketika Empu Gandring melihat wajah anak muda itu membara, maka katanya.
"Tenanglah Agni"."Tetapi, pekerjaan tidak akan selesai dengan duduk-duduk dan berbaring-baring malas, paman"
Sahut Mahisa Agni.
"Aku tahu"
Jawab pamannya.
"tetapi tenanglah. Turunkah dari kudamu. Bukankah kau mau mendengar kata-kataku?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya terguncang oleh keadaan itu. Tetapi, tatapan mata pamannya telah memaksanya turun dari kudanya. Namun, terdengar ia berkata.
"Apakah artinya ini paman?"
"Aku tidak tahu Agni, tetapi di sini ada Ki Buyut Panawijen. Sebaiknya kau minta keterangan kepadanya". Mahisa Agni tidak menjawab. Cepat-cepat ia melangkah ke gubug tempat Ki Buyut Panawijen sering beristirahat. Di sepanjang langkahnya, hatinya tak habis bertanya, apakah sebabnya hal ini terjadi? Sudah sering kali ia pergi meninggalkan pekerjaan ini untuk beberapa keperluan. Bahkan sampai dua tiga hari, seperti pada saat ia pergi ke Tumapel. Namun, mereka yang ditinggalkannya bekerja dengan penuh gairah seperti biasa. Tetapi, kenapa kali ini mereka ingin beristirahat? Bahkan berapa hari? Langkah Mahisa Agni demikian tergesa-gesa sehingga ia tidak sempat memperhatikan orang-orang yang memandanginya dengan pandangan yang aneh. Orang-orang Panawijen itu menjadi cemas melihat sikap Mahisa Agni. Ki Buyut Panawijen yang melihat kehadirannya pun dengan tergesa-gesa menyongsongnya. Sebelum Mahisa Agni mendekat, orang tua itu telah bertanya hampir berteriak.
"Kau sudah datang Ngger?"
Tetapi, Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan keras pula ia bertanya.
"Kenapa hari ini kita tidak berbuat sesuatu Ki Buyut?"
Wajah Ki Buyut pun menjadi tegang. Dengan terbata-bata ia menjawab.
"Ya, ya Ngger. Tetapi, marilah silahkan duduk dahulu"."Aku ingin berbuat sesuatu untuk mempercepat pekerjaan ini Ki Buyut, bukan dengan duduk-duduk dan berbaring".
"Ya, ya Ngger, aku tahu. Tetapi, marilah duduk dahulu".
"Terima kasih"
Sahut Agni.
"aku ingin tahu, kenapa kita tidak bekerja hari ini?"
"Itulah yang akan aku katakan". Mahisa Agni masih akan berteriak lagi ketika terasa tangan pamannya menggamitnya. Terdengar pamannya itu berkata.
"Mendekatlah Agni. Jangan berteriak-teriak. Ki Buyut ingin menjelaskan persoalannya". Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah berada dekat dimuka gubug Ki Buyut Panawijen.
"Duduklah Ngger". Mahisa Agni akan menjawab lain, tetapi terdengar pamannya mendahului.
"Baik Ki Buyut. Duduklah Agni". Kata-kata pamannya lah yang memaksanya duduk di dalam gubug itu. Demikian mereka diteduhi oleh atap ilalang, maka terasa tubuh-tubuh mereka menjadi segar setelah hampir sehari mereka dibakar oleh terik sinar matahari. Kini mereka dapat merasakan angin yang silir berhembus dari Selatan. Meskipun ketika mereka menatap padang yang terhampar dihadapan gubug itu, mereka masih juga melihat seakan-akan padang itu menguap. Dengan tidak sabar lagi Agni pun segera bertanya.
"Ki Bujut, kenapa kita hari ini tidak berbuat sesuatu? Waktu kita tidak terlampau banyak". Ki Buyut tidak segera menjawab. Ia berkisar secangkang maju. Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan sorot mata yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Apalagi ketika dilihatnya wajah Mahisa Agni yang tegang itu. Mahisa Agni menjadi semakin tidak sabar lagi. Kembali ia mendesak.
"Kenapa Ki Buyut?"Ki Buyut Panawijen menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar bahwa Mahisa Agni menjadi sangat terkejut melihat mereka duduk- duduk saja dan bahkan ada yang berbaring-baring dengan malasnya. Dengan hati-hati Ki Buyut itu pun berkata.
"Akan aku katakan sebabnya Ngger. Tetapi, apakah angger berdua dengan Empu Gandring tidak terlalu haus dan ingin minum air kendi yang dingin ini?"
"Aku ingin tahu kenapa kita hari ini tidak berbuat sesuatu Ki Buyut, sebab "
Agni tidak dapat meneruskan kata-katanya. Terdengar Empu Gandring memotong sambil beringsut meraih kendi berisi air dingin. Katanya.
"Agni. Minumlah. Aku pun haus sekali. Air yang dingin ini akan mendinginkan hati dan kepala. Dengan demikian kau akan dapat mendengar ceritera Ki Buyut dengan tenang. Sebelum hatimu menjadi dingin Agni, maka kau tidak akan dapat berpikir bening. Nah, minumlah. Aku juga akan minum". Empu Gandring segera mengangkatnya dan minum lewat paruh gendi itu. Alangkah segarnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam diserahkanya kendi itu kepada Mahisa Agni. Katanya.
"Minumlah. Dalam keadaan kita sekarang ini, maka adalah kenikmatan yang tiada taranya. Minum air dingin". Mahisa Agni tidak dapat menolak uluran tangan pamannya. Kembali ia berbuat diluar kehendaknya. Seperti seorang yang kehilangan kesadaran diri. Diterimanya kendi itu, dan diangkatnya pula kemulutnya. Seperti pamannya ia pun minum air yang dingin segar itu. Kesegaran air kendi itu seolah-olah telah menjalar kesegenap saluran darah Mahisa Agni. Ketika ia meletakkan kendi itu, terasa seluruh tubuhnya menjadi segar. Dan kepalanya pun tidak lagi dikerumuni oleh gejolak perasaan yang melonjak-lonjak. Meskipun ia tetap berkeinginan untuk segera mengetahui sebab-sebab kenapa orang-orang Panawijen itu tidak bekerja hari ini, namun kini ia dapat menahan dirinya oleh kesegaran yang sejuk."Nah"
Berkata pamannya.
"kalau kau sudah tidak haus lagi, sekarang bertanyalah kepada Ki Buyut. Tetapi, kau pun wajib mendengarkan keterangan dan alasannya". Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Kini ia berkata perlahan- lahan.
"Ya Ki Buyut. Aku ingin tahu kenapa hari ini kita tidak meneruskan pekerjaan kita?"
Ki Buyutlah kini yang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya.
"Pertama-tama aku minta maaf kepadamu Ngger. Hal ini pasti membuatmu kecewa Tetapi, aku tidak dapat berbuat lain daripada menuruti kehendak mereka. Beristirahat. Hanya itu. Tidak ada maksud apapun. Meskipun ada pula alasan yang berbeda-beda, namun kesimpulan mereka, mereka ingin menghentikan kerja barang sehari dua hari".
"Bagaimana mungkin Ki Buyut"
Bantah Mahisa Agni.
"Kita pasti akan kehabisan waktu. Justru kita harus bekerja lebih banyak. Kalau mungkin siang dan malam, supaya pekerjaan ini segera selesai".
"Agni"
Potong pamannya.
"cobalah kau mendengarkan alas- alasan yang dikatakan oleh Ki Buyut. Alasan yang meskipun berbeda-beda, tetapi kesimpulannya adalah, mereka ingin beristirahat. Cobalah mendengarkan. Kalau kau saja yang berbicara, maka kau tidak akan mengerti". Mahisa Agni pun terdiam. Dan Ki Buyut itu berkata.
"Alasan mereka bermacam-macam Ngger. Ada yang hanya karena lelah. Lelah dan tidak lagi mampu untuk bekerja terus. Ada yang menjadi sakit pegal dan linu-linu pada punggung mereka. Mereka perlu beristirahat supaya sakitnya menjadi sembuh. Ada pula yang kakinya menjadi bengkak. Sedang yang lain ingin menunggui anak yang sakit itu. Pagi ini ia mengigau tak henti-hentinya. Tubuhnya menjadi sangat panas, dan kemudian ia menggigil kedinginan"
Ki Buyut itu berhenti sesaat. Ketika Mahisa Agni akan memotong kata- katanya Empu Gandring menggamitnya sehingga kembali Mahisa Agni terdiam. Sejenak kemudian Ki Buyut itu berkata lagi.
"Sebenarnya pagi-pagi tadi, ketika matahari terbit, kami sudah siap untuk bekerja. Tetapi, kami dikejutkan oleh igauan anak yang sakititu. Beberapa orang segera mengerumuninya. Ketika satu di antara mereka berkata, Aku tidak bekerja hari ini. Aku akan menunggui anak ini, maka tiba-tiba seperti meledak kata-kata itu disahut berturut-turut oleh kebanyakan dari mereka yang mengerumuni anak itu. Aku juga tidak. Kakiku sakit, bengkak-bengkak, yang lain lagi, punggungku akan patah, dan yang lain, kepalaku hampir pecah kepanasan".
"Itulah Ngger. Aku tidak dapat memaksa mereka"
Kembali Ki Buyut berhenti sejenak, ia menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian terpaksa ia berkata.
"Angger Mahisa Agni, sebenarnya telah agak lama aku mendengar keluh kesah ini. Keluh kesah yang kemudian meledak menjadi alasan-alasan yang menyebabkan kami hari ini tidak bekerja. Tetapi, aku harap Angger dapat mengerti". Wajah Mahisa Agni kembali menjadi merah membara. Alangkah kecewa hatinya. Ia merasa bahwa apa yang dilakukannya selama ini sama sekali tidak dihargai oleh orang-orang Panawijen itu. Bahkan mereka telah berusaha untuk memperlambat. Karena itu, maka dengan serta-merta ia menyahut.
"Jadi apakah kemauan mereka? Apakah kita hentikan saja pekerjaan ini?"
"Agni"
Berkata pamannya perlahan-lahan.
Orang tua itu tahu benar, betapa sakit hati Mahisa Agni mendengar keadaan yang ada diperkemahan ini.
Keadan yang sama sekali tidak diduga-duganya.
Tetapi, orang tua itu pun dapat mengerti, kenapa orang-orang Panawijen ingin berhenti bekerja barang sehari dua hari.
Maka katanya seterusnya.
"Berpikirlah dengan kepala dingin. Cobalah kau cernakan dahulu apa yang kau dengar, baru kau membuat tanggapan. Jangan tergesa-gesa mengambil sikap Agni". Kini wajah Mahisa Agni yang merah itu menjadi semakin tegang. Terasa dadanya bergelora seperti gunung yang akan meletus. Namun, sorot mata pamannya telah menahannya untuk tidak melepaskan luapan perasaannya. Karena itu maka kepala Mahisa Agni itu justru menjadi pening.
"Agni"
Berkata pamannya sareh.
"kau harus melihat keadaan ini secara keseluruhan. Jangan kau melihat sepotong-sepotong daripadanya. Maka kau akan dapat mengurangi kepahitan yang harus kau hadapi kini". Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Tetapi, pamannya mengetahuinya bahwa anak muda itu mengatupkan giginya rapat- rapat. Ia masih berusaha untuk menguasai perasaannya. .
"Kau harus dapat mencoba mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Buyut Panawijen"
Berkata pamannya pula.
"Tetapi paman"
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Betapapun Mahisa Agni mencoba menahan diri namun terloncat pula dari bibirnya.
"keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus. Memang lebih senang duduk-duduk dan berbaring- baring daripada bekerja dipanas terik matahari. Tetapi, apa yang kita dapatkan dengan duduk memeluk lutut?"
"Kau benar Agni. Kau benar. Tetapi, bagaimana kau menyampaikan hal itulah yang sulit bagimu". Tiba-tiba Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dilihatnya di sekeliling gubug itu banyak orang-orang Panawijen yang berkumpul. Agaknya mereka ingin tahu, apakah yang akan dikatakan oleh Mahisa Agni. Namun, sebagian yang lain malah pergi menjauh. Mereka duduk berkelompok-kelompok di ujung-ujung perkemahan. Di ujung yang paling jauh dari gubug Ki Buyut Panawijen supaya seandainya Mahisa Agni marah, mereka tidak mendapatkan kemarahan itu yang pertama-tama. Sebab bagaimana pun juga, tersembunyi pula rasa takutnya kepada anak muda itu. Sebagian dari setiap laki-laki Panawijen telah mengetahui bahwa Mahisa Agni mampu berbuat di luar kemampuan mereka. Mereka telah mengetahui bahwa Mahisa Agni mampu berkelahi dan memenangkan perkelahian melawan Kuda Sempana.
"Aku akan mengatakan kepada mereka"
Nada suara Mahisa Agni datar namun penuh tekanan.
"Apa yang akan kau sampaikan"
Bertanya pamannya.
"Mereka harus bekerja"."Lihat Agni. Matahari telah menjadi semakin condong. Kalau kau menyiapkan mereka untuk bekerja, maka kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Demikian mereka siap, demikian matahari tenggelam". Mahisa Agni terdiam. Tetapi, wajahnya masih tetap tegang.
"Meskipun tidak hari ini"
Berkata Mahisa Agni kemudian.
"besok misalnya, tetapi mereka harus tahu bahwa mereka telah berbuat suatu kesalahan. Kesalahan yang besar sekali. Musim hujan yang akan datang tidak mengenal istirahat. Apapun alasan kita disini, tetapi musim itu akan datang pada waktunya".
"Apa yang akan dilakukan?"
Sebelum menjawab, Mahisa Agni telah meloncat berdiri. Tetapi, ketika ia mengayunkan kakinya selangkah, terdengar pamannya berkala pula.
"Apa yang akan kau lakukan Agni?"
"Aku akan berkata kepada mereka, bahwa apa yang mereka lakukan sama sekali tidak dapat dibenarkan".
"Tunggulah".
"Aku akan berkata kepada mereka sekarang".
"Tunggulah".
"Apa yang harus aku tunggu paman. Kini adalah saatnya. Mereka harus segera menyadari kemalasan mereka".
"Duduklah Agni".
"Tak ada waktu. Aku bukan pemalas yang lebih senang duduk dari pada bekerja".
"Duduklah Agni. Duduklah". Ketika Agni akan menjawab, sekali lagi pamannya memotong.
"Duduklah. Kau dengar?"
Mulut Agni terdiam.
Meskipun dadanya menjadi sesak, namun iapun melangkah kembali dan duduk di hadapan pamannya.
KiBuyut Panawijen kini seolah-olah menjadi patung.
Hatinya menjadi kusut dan bingung.
Bahkan terasa pula kecemasan mencengkam jantungnya.
( Bersambung ke
Jilid 22 ) koleksi . Ismoyo Retype . Sukasrana Proof . Wiek (Wijil) Cek ulang . Arema ---ooo0dw0ooo---
Jilid 22 EMPU Gandring pun tidak segera berkata sesuatu. Dibiarkannya Mahisa Agni duduk dengan nafas yang berkejar-kejaran dari lubang hidungnya. Ditatapnya wajah pamannya dengan penuh pertanyaan yang bergelut di dalam dadanya.
"Kenapa pamannya menghalanginya untuk berbuat sesuatu?"
Sejenak kemudian baru Empu Gandring berkata.
"Kau akan mengumpat-umpat di hadapan mereka Agni?"
Agni tdak menjawab.
"Kalau kau berbicara sekarang, sedang hatimu masih dibakar oleh kemarahan dan kekecewaan, maka kalimat yang akan meloncat dari mulutmu adalah kalimat-kalimat yang mencerminkan kepahitan tanggapan perasaanmu atas peristiwa ini. Dengan demikian maka kau sama sekali tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali menyinggung perasaan kawan-kawan seperjuanganmu. Kausangka bahwa mereka dapat kau perlakukan seperti bajak dan cangkul itu? Tidak Agni"
Empu Gandring berhenti sejenak Dipandanginya wajah kemanakannya yang kini tertunduk. Sejenak kemudian diteruskannya.
"Aku bangga melihat nafsu kerjamu yang meluap-luap. Tenagamu cukup tangkas dan kuat melawan terik matahari, melawan udara yang panas dan melawan kerja yang berat. Tetapi tidak semua orang-orang Panawijen memiliki ketahanan tubuh seperti kau. Kalau kau tidak percaya, ayo berlomba lari dengan aku. Meskipun aku sudah setua ini. Tetapi dengan janji, kau tidak boleh berhenti? Kau tahu maksudku? Aku hanya ingin mengatakan bahwa ketahanan tubuh seseorang tidak selalu sama. Kau dan aku. Dan kau dengan orang-orang lain. Kalau kau marah-marah kepada mereka hari ini, maka kau benar-benar akan kehilangan hari ini. Mereka sudah pasti bahwa hari ini tidak dapat dan sudah nyata, tidak berbuat apa-apa. Mereka hari ini tidak bekerja. Tetapi kalau kau marah-marah, maka istirahat yang sudah terlanjur dijalani ini akan tidak terasa nikmatnya"
Empu Gandring berhenti sejenak sambil menelan ludahnya.
Kepala Mahisa Agni yang tunduk menjadi semakin tunduk.
Dadanya yang bergejolak itupun sedikit demi sedikit mereda.
Pamannya telah memaksanya untuk mencoba mengerti keadaan yang dihadapinya kini.
Dalam pada itu pamannya berkata pula.
"Agni. Manfaatkanlah keadaan ini. Hari ini adalah hari yang menyenangkan. Jangan kau biarkan hari ini menjadi hari yang benar-benar tidak berarti. Karena itu, senangkanlah hati mereka dengan istirahat ini, supaya terasa benar nikmatnya. Besok mereka pasti akan dengan senang hati bekerja kembali. Tetapi kalau hari ini kau jadikan hari yang gelap, maka besok mereka akan mengangkat alat-alat mereka dengan hati yang gelap pula". Kini Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Hari ini memang sudah terjadi dan hampir dilampaui. Ia tidak akan dapat memutar matahari untuk kembali kearah Timur. Karena itu, mau tidak mau ia harus menerimanya sebagai kenyataan, apa yang telahterjadi. Dan sebenarnyalah kata pamannya, bahwa ia harus memanfaatkan yang ada untuk kepentingan hari-hari mendatang. Terdengar kemudian pamannya bertanya.
"Kau tahu maksudku Agni?"
"Ya paman"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Buyut Panawijen yang sejak tadi duduk mematung, tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesah.
"Hem. Demikianlah Ngger. Hatiku yang tinggal semenir dapat menjadi tegar kembali". Empu Gandring tersenyum. Katanya.
"Ki Buyut sudah berbuat sebaik-baiknya yang mungkin dapat Ki Buyut lakukan". Orang tua itu mengangguk-angguk, jawabnya.
"Ya, ya Empu. Aku sudah mencoba apa saja yang dapat aku lakukan".
"Tetapi, kemampuanku memang terlampau jauh ketinggalan".
"Tidak Ki Buyut. Siapa pun yang menghadapi persoalan ini, tidak akan dapat mengambil sikap yang lebih baik dari pada yang telah Ki Buyut lakukan". Kembali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali- kali tangannya mengusap dadanya sambil bergumam.
"O, rasa- rasanya dada ini hampir pecah". Empu Gandring tertawa perlahan-lahan. Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya. Tetapi dengan demikian ia dapat mengerti pula, betapa berat perasaan orang tua itu menghadapi orang- orangnya.
"Nah Agni"
Berkata Empu Gandring kemudian.
"sekarang ambillah obat yang kau bawa itu. Obat itu harus dilumatkan, dan kemudian air perahannyalah yang harus diminum sebagai obat". Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Pamannya benar. Adalah lebih baik berbuat sesuatu yang dapat menyenangkan hati orang- orang Panawijen dari pada mengumpati mereka itu. Karena itumaka Mahisa Agni pun menjawab.
"Baik paman. Aku akan mencoba mengobatinya". Ketika Mahisa Agni kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan pamannya dan Ki Buyut, sekali lagi pamannya berpesan.
"Jangan membuat hati orang-orang Panawijen tersinggung. Tetapi usahakan mengatakan dengan baik, bahwa tidak seharusnya mereka bermalas-malas". Mahisa Agni mengangguk, jawabnya.
"Ya paman. Akan aku usahakan". Anak muda itu pun kemudian melangkah meninggalkan gubug itu. Ketika ia sampai di luar, maka sikapnya pun menjadi canggung. Perasaannya sama sekali tidak senang melihat orang-orang Panawijen duduk-duduk bermalas-malasan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan perasaannya itu. Pikirannya membenarkan pendapat pamannya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni harus mengekang sikapnya sejauh-jauh dapat dilakukan. Orang-orang yang berada di sekitar gubug Ki Buyut itupun menjadi berdebar-debar ketika mereka melibat Mahisa Agni keluar seorang diri. Bermacam-macam tanggapan merayap di dalam dada masing-masing. Tetapi mereka menjadi heran ketika mereka melihat Mahisa Agni itu tersenyum kepada mereka sambil berkata.
"Apakah kalian sudah tidak lelah lagi?"
Sejenak mereka menjadi bingung. Senyum Mahisa Agni memang terasa agak hambar. Tetapi mereka tidak menyangka bahwa Mahisa Agni tidak menjadi kecewa melihat keadaan itu.
"Siapakah yang kakinya menjadi bengkak?"
Bertanya Mahisa Agni sekenanya. Orang-orang itupun menjadi saling berpandangan. Tetapi belum ada seorang pun yang menjawab. .
"Siapa?"
Desak Mahisa Agni.
"aku dengar ada diantara kalian yang kaki-kakinya menjadi bengkak karena pekerjaan yangterlampau berat ini. Ada yang punggungnya hampir patah. Nah, aku ingin tahu, siapa yang telah menderita itu". Orang-orang itupun menjadi ragu-ragu. Apakah Mahisa Agni itu benar-benar bertanya tentang kaki yang bengkak dan punggung yang sakit, atau sekedar merupakan pendahuluan untuk menumpahkan kemarahannya. Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahisa Agni berkata.
"Kalau demikian, memang sebaiknya kalian beristirahat hari ini. Matahari sebentar lagi akan turun ke cakrawala. Nikmatilah hari istirahat ini sebaik-baiknya supaya besok kita dapat mulai lagi dengan tenaga baru". Mahisa Agni berhenti sejenak, tetapi ia bertanya kembali.
"Tetapi siapakah yang menjadi sakit?"
Tiba-tiba terdengar jawaban penuh keragu-raguan.
"Aku Agni. Kakiku menjadi bengkak". Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sejenak kemudian ia melangkah mendekati orang itu sambil berkata.
"Lihat. Kenapa kakimu menjadi bengkak?"
Orang itu menjulurkan kakinya dan memperlihatkan bagian yang bengkak.
Mahisa Agni terkejut melihat kaki yang bengkak itu.
Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa satu di antara kawan-kawannya menderita sakit semacam itu.
Karena itu maka dengan serta-merta ia bertanya.
"Kenapa kakimu bengkak?"
Orang itu menjawab.
"Kakiku tertimpa pecahan batu, Agni". Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera berkata apapun. Diamatinya kaki yang bengkak itu seperti melihat sesuatu yang ganjil baginya. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika dilihatnya sebuah luka hampir pada mata kakinya.
"Apakah luka itu sakit?"
Bertanya Mahisa Agni.Orang itu memandang Mahisa Agni dengan sorot mata yang aneh. Ia tidak segera dapat menjawab karena keheranannya atas pertanyaan itu. Sehingga Mahisa Agni mendesaknya.
"Sakit?"
"Tentu Agni"
Jawab orang itu kemudian.
"kalau tidak sakit maka aku tidak akan menyeringai sepanjang hari". Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa- peristiwa semacam ini berada di luar perhitungannya. Disangkanya bahwa setiap orang akan mampu bekerja seperti dirinya, dan memiliki ketahanan tubuh seperti dirinya pula. Dalam pada itu teringatlah ia akan pesan pamannya. Maka dengan ramahnya ia berkata.
"Baiklah. Beristirahatlah hari ini. Pergunakanlah hari ini sebaik-baiknya untuk menenangkan diri, besok kita akan mulai kembali". Mahisa Agnipun kemudian melangkah pergi. Tetapi ia tidak sempat melihat wajah orang itu. Wajah orang yang kakinya bengkak karena lukanya yang rnenjadi semakin parah. Ketika Mahisa Agni sudah berjalan beberapa langkah dari padanya terdengar ia bergumam.
"Bagaimana mungkin aku harus bekerja besok. Apakah kakiku malam nanti sudah akan sembuh?"
Beberapa kawan-kawannya mernandanginya dengan iba.
Tetapi sebagian dari mereka menjadi berlega hati.
Ternyata Mahisa Agni tidak menjadi marah seperti yang mereka sangka.
Meskipun seandainya demikian, mereka sudah terlanjur tidak bekerja hari ini.
Dan hari ini kini sudah hampir sampai ke ujungnya.
Mahisa Agni berjalan dengan berbagai angan-angan di kepalanya.
Apa yang dilihatnya telah meninggalkan bermacam- macam kecemasan.
Beberapa orang yang sakit pasti akan benar- benar menghambat pekerjaan itu.
Orang-orang yang lain, yang sekedar karena malas, akan dapat berpura-pura sakit pada punggungnya atau pada tulang rusuknya atau sakit perutnya.
Semakin banyak orang yang sakit dan berpura-pura sakit, maka pekerjaannya akan menjadi semakin lama.
Musim hujan sama sekalitidak dapat diajaknya berbicara tentang orang-orang yang sakit dan berpura-pura sakit.
Langkah Mahisa Agni terhenti diantara beberapa anak-anak muda yang duduk di bawah sebuah gubug.
Ketika mereka melihat Mahisa Agni berhenti di depan gubug itu, maka anak-anak muda itu pun menundukkan kepalanya.
Dada mereka pun menjadi berdebar- debar.
Meskipun mereka dengan sengaja tidak bekerja hari ini, tetapi ketika mereka melihat Mahisa Agni berada dihadapan hidung mereka, maka jantung mereka pun menjadi semakin cepat berdenyut.
Ketika Mahisa Agni melihat anak-anak muda yang sehat-sehat itu, hatinya menjadi agak tenang.
Anak-anak muda inilah yang harus membantunya sepenuh tenaga untuk membangun bendungan itu.
Namun ketika dilihatnya anak-anak muda itu duduk bermalas- malasan, maka hatinya pun menjadi kecewa.
Sebenarnya mereka hari ini tidak perlu beristirahat seperti orang-orang yang sudah berumur agak lanjut.
Biarlah orang-orang tua dan mereka yang sakit beristirahat.
Tetapi anak-anak muda ini seharusnya mempergunakan setiap waktu dengan sebaik-baiknya.
Bahkan apabila ada diantara kawan-kawannya yang terpaksa tidak dapat bekerja, maka mereka yang sehat-sehat itu harus melipat-gandakan kerja yang mungkin dilakukan.
Sejenak Mahisa Agni berdiri saja mematung di luar gubug itu.
Sedang anak-anak muda yang duduk di dalam pun tidak menegurnya, sehingga sejenak mereka saling berdiam diri? Meskipun mereka setiap hari bertemu, kekerja bersama-sama dan kadang-kadang bergurau pula, namun kali ini seolah-olah mereka merupakan kawan yang baru saja dikenalnya.
Masing-masing menjadi canggung dan tidak segera menemukan kata-kata pertama untuk saling berbicara.
Yang mula-mula mencoba menegur adalah Mahisa Agni, sekenanya ia bertanya.
"Apakah yang kalian kerjakan?"Pertanyaan itu tidak segera terjawab. Beberapa anak-anak muda saling berpandangan. Namun kemudian kembali mereka menundukkan kepala mereka.
"Baru apakah kalian kini?"
Bertanya Mahisa Agni kembali. Sejenak kemudian terdengar jawab perlahan-lahan.
"Kami sedang beristirahat, Agni". Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sinar matahari yang semakin condong masih juga memanasi kulitnya yang berwarna tembaga oleh keringat yang membasahinya. Tampaklah keningnya berkerut mendengar jawaban itu. Dengan serta-merta pula ia bertanya.
"Apakah kalian sakit?"
Kembali anak-anak muda di dalam gubug itu menjadi bingung. Kembali mereka saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan itu, sehingga Mahisa Agni terpaksa memperbaiki pertanyaannya.
"Apakah ada diantara kalian yang sakit?"
Mahisa Agni melihat beberapa diantara mereka menggelengkan kepalanya dan terdengar jawaban lirih.
"Tidak Agni. Kami tidak sakit. Tetapi ada diantara kami yang sakit. Tubuhnya menjadi panas tetapi ia menggigil seperti orang kedinginan".
"Bitung yang kau maksud?"
"Ya".
"Aku sudah mengambil obat untuknya. Bitung memang sakit, tetapi bukankah kalian tidak sakit?"
Kembali Mahisa Agni melihat beberapa diantara mereka menggeleng.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka tidak sakit"
Berkata Mahisa Agni didalam hatinya.
"mereka hanya malas saja".Tetapi ditahannya hatinya. Diingatnya kata-kata pamannya. Biarlah mereka menikmati istirahat yang sudah terlanjur dilakukannya.
"Baiklah"
Berkata Mahisa Agni kemudian.
"beristirahatlah. Besok kita bekerja kembali". Mahisa Agni itu pun segera melangkah pergi. Kini ia akan mengambil obat yang masih terikat di kudanya. Ia ingin segera memberikannya kepada Bitung, supaya sakitnya segera menjadi berkurang. Tetapi betapapun Mahisa Agni berusaha, namun perasaannya masih juga bergolak melihat orang-orang Panawijen duduk dengan malasnya. Meskipun apabila Mahisa Agni lewat disamping mereka, tampak juga mereka menjadi seakan-akan malu. Tetapi Mahisa Agni selalu ingat akan kata-kata pamannya. Karena itu, ia sama sekali berusaha untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Bahkan setiap kali ia melewati kelompok-kelompok orang-orang Panawiijen, anak muda itu selalu mencoba tersenyum dan berkata.
"Mudah-mudahan kalian, puas dengan istirahat ini."
Namun tidak lupa ia selalu mengatakan.
"Besok kita segera mulai kembali. Mudah-mudahan pula kita mendapatkan tenaga baru". Apabila Mahisa Agni telah lampau, maka mereka pun saling berpandangan. Tetapi tanggapan mereka atas sikap Mahisa Agni itu pun berbeda-beda. Mereka yang masih mempunyai tanggung jawab atas pekerjaan itu berkata di dalam hatinya.
"Ya, besok aku akan bekerja lebih baik setelah hari ini aku beristirahat". Tetapi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Mahisa Agni adalah mereka yang memang tidak mempunyai nafsu untuk berjuang. Mereka yang acuh tak acuh menghadapi masa-masa yang akan datang. Ketika mereka melihat sikap Mahisa Agni yang lunak itu, mereka berkata di dalam hati.
"Nah, lihat. Mahisa Agni tidak berani berbuat apa-apa. Kenapa kita terlampau bodoh pada masa- masa yang lewat. Bekerja terlampau banyak sehingga tubuh kita hampir remuk karenanya. Di saat-saat yang akan datang, ia pastiakan berdiam diri pula apabila kita memaksa beristirahat seperti hari ini". Alangkah sayangnya, bahwa justru pikiran yang demikian itulah yang lebih banyak menguasai orang-orang Panawijen yang sebagian dari mereka sudah menjadi jemu menghadapi pekerjaan yang berat itu. Mahisa Agni tidak dapat membedakan wajah-wajah mereka yang menyimpan perasaan yang berbeda-beda itu. Karena itu ia berjalan terus ke tambatan kudanya. Diambilnya obat yang dibawanya dari Panawijen dan dimintanya kemudian petunjuk dari pamannya. Bagaimana ia harus membuatnya. Dengan petunjuk pamannya Mahisa Agni menumbuk bagian- bagian dari pohon kates itu sendiri dengan tangannya, kemudian memerasnya ke dalam mangkuk dan membawanya kepada Bitung bersama dengan Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen. Bitung berbaring di atas anyaman ilalang. Dikerudunginya tubuhnya dengan selimut kain berlapis-lapis. Beberapa orang kawan-kawannya meminjaminya kain kepadanya. Tetapi ia masih juga menggigil kedinginan. Sekali-kali terdengar mulutnya berdesah menahan perasaaan dingin panas dan nyeri-nyeri di sendi-sendi tulangnya. Ketika tangannya yang gemetar menerima semangkuk cairan yang kehijau-hijauan, maka anak itu mengerutkan keningnya.
"Minumlah"
Berkata Ki Buyut.
"Kalau kau tidak mau meminumnya, maka sakitmu tidak akan berkurang.
Berkata Empu Gandring. Bitung pun kemudian terpaksa minum obat itu. Ketika ia hampir muntah karena obat yang pahit itu, Mahisa Agni berkata.
"Bitung, aku ambil obat itu dengan taruhan yang mahal sekali. Aku hampir mati dipenggal leherku oleh iblis yang belum pernah aku kenal. Untunglah paman melindungi aku. Karena itu jangan kau muntahkan obat itu, supaya aku tidak perlu lagi pergi ke Panawijen.Meskipun aku tidak hanya membawa untuk satu kali pengobatan, namun setiap teguk obat itu akan berarti bagimu". Bitung menahan mulutnya dengan kedua belah tangannya. Namun ia berhasil untuk menelannya betapapun pahitnya. Dalam pada itu, matahari kini sudah menjadi semakin rendah. Setiap saat matahari itu bergeser turun. Sehingga akhirnya, matahari itu pun tenggelam di balik bukit di ujung Barat. Mahisa Agni merasa, betapa lambatnya waktu merayap. Ia hampir-hampir tidak sabar menunggu malam itu berjalan. Terasa seakan-akan waktu terhenti..
"Waktu pun menjadi sangat malasnya berjalan"
Gumamnya.
Anak muda itu ingin matahari segera terbit.
Ia ingin segera berada kembali di bawah teriknya sambil bekerja memeras segenap tenaga.
Meskipun debu yang kotor melekat di kulitnya yang basah karena keringat, meskipun tubuhnya menjadi merah-merah hangus oleh sinar matahari, tetapi ia merasa mendapatkan kepuasan.
Ia merasa bahagia berada di tengah-tengah derunya kerja yang berat itu.
Sebab anak muda itu berkeyakinan, bahwa hanya dengan kerja, maka hari depan mereka dan anak cucu menjadi baik.
Oleh karena itu, maka justru Mahisa Agni tidak dapat memejamkan matanya.
Hatinya menjadi risau dan gelisah.
Sekali- kali terasa ia terlena sejenak, tetapi seperti dikejutkan oleh deru guguran batu-batu di tebing, ia tersentak bangun.
Akhirnya Mahisa Agni itu bangkit dari pembaringannya, sehelai tikar yang dibentangnya diatas tumpukan daun-daun ilalang.
Perlahan-lahan ia berjalan menyusuri gubug demi gubug.
Ia masih melihat beberapa perapian yang masih membara.
Tetapi ia tidak melihat seorang pun yang masih menunggui perapian itu.
Tetapi langkahnya kemudian tertegun ketika ia berjalan di samping gubug Bitung.
Ia mendengar anak itu merintih.
Sekali-kali terdengar suara kawannya menghibur.
Tetapi agaknya sakit anak itu belum juga susut.Perlahan-lahan Mahisa Agni mendekat.
Kemudian ia pun menyusup kedalam gubug itu pula.
Kawan Bitung agak terkejut melihat kehadirannya.
Tetapi kemudian matanya menyala, Seakan-akan berkata kepadanya.
"Sakit Bitung adalah tanggung jawabmu, Agni". Tetapi anak muda, kawan Bitung tidak berkata sepatah katapun. Mahisa Agni pun kemudian duduk disamping Bitung. Tangannya mencoba meraba dahi anak muda itu. Tetapi ia menjadi terkejut. Terasa dahi itu panas sekali. Mahisa Agni menggigit bibirnya. Tanpa disadarinya ia berkata.
"Obat itu baru saja diminumnya. Mudah-mudahan nanti akan berpengaruh. Besok pagi-pagi aku buat obat untuknya sebelum kita bekerja".
"Apakah besok kita akan bekerja lagi?"
Bertanya kawan Bitung.
Pertanyaan itu telah mengguncang perasaan Mahisa Agni.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi pertanyaan seorang anak muda yang demikian.
Meskipun ia dapat meraba bahwa anak-anak muda lebih senang beristirahat, duduk- duduk dan berbaring sambil mengunyah makanan, namun bahwa seseorang langsung mengucapkan pertanyaan itu adalah sangat mengecewakan.
Tetapi Mahisa Agni segera berusaha menahan perasaannya sendiri seperti pesan pamannya.
Beruntunglah bahwa pamannya telah memberinya pesan, sehingga setiap kali pesan-pesan itu dapat mengekangnya.
Dengan menahan diri Mahisa Agni kemudian bertanya kepada anak muda itu.
"Jadi, bagaimana maksudmu?"
"Kita perlu beristirahat"
Jawab kawan Bitung itu.
"Bukankah hari ini kita sudah beristirahat".
"Sehari tidak cukup untuk menghilangkan lelah".Mahisa Agni menarik nafas. Kekecewaanya menjadi kian bertambah. Tetapi ia menjawab hati-hati.
"Kita tidak boleh terlampau lama beristirahat. Musim hujan tidak akan dapat ditunda".
"Tetapi kita tidak akan dapat bekerja terus-menerus. Bitung sakit Aku harus menunggui. Meskipun seandainya kita besok bekerja kembali, aku tidak akan dapat ikut serta. Kasihan apabila tak ada yang mengawani anak yang sakit ini".
"Besok aku carikan kawan buat Bitung. Biarlah orang-orang tua atau orang yang lagi berhalangan bekerja, karena sakit kakinya, misalnya. Dengan demikian kita tidak akan banyak kehilangan tenaga". Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya tidak mejakinkan bahwa ia dapat mengerti kata-kata Mahisa Agni. Namun ketika anak muda itu tidak menyahut, Mahisa Agni pun tidak berkata lagi. Mereka kemudian terdorong dalam kesepian yang mencengkam. Malam yang kelam menjadi semakin jauh merayap. Dikejauhan terdengar korek bilalang yang sedang berlari-larian, berloncat- loncatan di padang rumput. Mereka berpaling ketika mereka mendengar Bitung merintih perlahan-lahan. Tetapi anak itu kini telah tertidur. Tubuhnya tidak lagi terlampau panas dan tidak lagi menggigil ke dinginan.
"Mudah-mudahan obat yang diminumnya itu akan berarti baginya"
Gumam Mahisa Agni. Tak ada jawaban.
"Tidurlah. Kau pasti lelah pula. Besok aku harap seseorang merawat Bitung. Kita yang muda-muda wajib bekerja menyelesaikan bendungan itu". Masih tak ada jawaban. Mahisa Agni pun kemudian bergeser sambil berkata.
"Aku pun akan beristirahat pula".Anak muda yang sedang menunggui Bitung itu mengangguk.
"Silahkan"
Jawabnya hambar.
"aku akan tidur, selagi Bitung juga sedang tidur". Mahisa Agni pun meninggalkan gubug itu. Kembali ia berjalan menyusuri celah-celah gubug yang bertebaran. Ia terhenti ketika ia mendengar seseorang merintih pula. Orang yang kakinya sedang bengkak.
"Hem"
Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang.
Panjang sekali.
Tetapi ia tidak singgah ke gubug itu.
Ia berjalan terus dalam kegelapan, menuju ke gubugnya sendiri.
Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id