Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 3


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 3



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   "Mahisa Agni, aku ingin berkata kepadamu dan gurumu, bahwa aku akan berusaha memilih jalan yang sempit dan jelek. Gerbang di ujung jalan itu selalu terbuka, namun jarang- jarang orang yang memasukinya. Aku sangka kau dari dulu telah berada di jalan yang sempit itu pula. Mudah-mudahan sangkaanku itu benar."Kata-kata Ken Arok itu benar-benar menghunjam langsung ke pusat dadanya. Karena itu Mahisa Agni pun menjadi berdebar- debar. Dilihatnya dirinya sendiri yang sedang dibakar oleh perasaan yang tidak menentu. Hantu yang liar itu kini sedang berusaha mencari jalan kembali. Lalu apakah yang akan dilakukan itu? Mahisa Agni menarik nafas sedalam luka di hatinya. Namun tiba- tiba hantu itu telah menariknya dari kealpaan. Hampir saja ia terjerumus ke jalan yang lapang dan licin, yang disebut-sebut oleh Ken Arok itu. Memang alangkah mudahnya terjun ke daerah yang akan bermuara di dalam kegelapan. Dan hampir saja dirinya terjun ke dalamnya. Kekecewaan yang memukul dadanya, pada saat ia mendengar nama Wiraprana disebut oleh Ken Dedes, telah hampir saja menyeretnya ke dalam daerah yang kelam itu. Dan kini, seakan-akan dilihatnya sebuah cahaya yang menerangi hatinya yang gelap. Justru dikatakan oleh hantu yang menakutkan itu. Karena itu untuk sesaat Mahisa Agni jadi terbungkam. Tak sepatah kata pun yang dapat dikatakannya. Sedang Ken Arok pun kemudian berdiam diri, sehingga kembali padang rumput Karautan itu menjadi sepi. Tetapi hati Mahisa Agni kini tidak sesepi padang rumput itu. Terjadilah di dalam dadanya suatu pergulatan yang sengit. Penilaiannya atas perbuatannya sendiri, serta kisah yang diucapkan oleh Ken Arok telah menolongnya, membebaskannya dari suatu tindakan yang kotor. Karena itu, sesaat kemudian terdengar ia berkata parau.

   "Maafkan aku Ken Arok."

   Ken Arok terkejut.

   "Apa yang harus aku maafkan?"

   "Pada saat kau menemukan jalan kebenaran itu,"

   Sahut Mahisa Agni.

   "justru bersamaan waktunya dengan keadaan yang sebaliknya yang terjadi padaku. Pada saat-saat aku hampir terjebak oleh kekecewaan dan nafsu."

   "Oh,"

   Desis Ken Arok.

   "kini terasa pula olehmu, bahwa kau agak berubah."

   "Mudah-mudahan,"

   Sahut Mahisa Agni."Kenapa mudah-mudahan?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Mudah-mudahan tidaklah menjadi watakku sejak semula. Mudah-mudahan apa yang aku lakukan kini benar-benar karena hatiku yang gelap. Dan mudah-mudahan aku dapat meyakini kesalahan itu,"

   Jawab Mahisa Agni. Ken Arok menatap wajah Mahisa Agni seperti baru sekali itu dilihatnya. Dan wajah itu kini sedang diliputi oleh kabut yang suram. Karena itu maka terdengar Ken Arok bertanya.

   "Aku yakin bahwa bukan sifatmu sekasar itu. Tetapi apakah yang sudah terjadi?"

   Mahisa Agni menggeleng lemah.

   "Bukan apa-apa. Suatu kesalahan kecil di dalam lingkunganku."

   "Hem,"

   Ken Arok menarik nafas.

   "kesalahan kecil yang hampir berakibat besar. Hati-hatilah untuk lain kali. Apabila hal yang sekasar itu dilakukan oleh Ken Arok, maka itu bukanlah sesuatu yang pantas disesalkan. Tetapi kalau itu dilakukan oleh Mahisa Agni, maka kau pasti akan menyesal sepanjang hidupmu."

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Terima kasih,"

   Gumamnya.

   "untunglah bahwa kau pun banyak mengalami perubahan. Apabila tidak, akibatnya dapat dibayangkan."

   "Untunglah,"

   Sahut Ken Arok.

   "aku menyadari sepenuhnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam diriku. Tanggapanku kepada dunia, kepada manusia di sekelilingku kini telah berubah. Karena itulah sebenarnya aku ingin bertemu denganmu dan gurumu. Aku minta kepadamu, supaya orang-orang di sekitar padang ini mendengar, bahwa cerita tentang hantu Karautan telah tamat. Selebihnya aku akan mohon diri kepadamu dan gurumu, bahwa aku akan segera pergi ke Tumapel mengikuti Brahmana itu."

   "Apakah kau ingin berjumpa dengan Empu Purwa?"

   Bertanya Mahisa Agni.

   "Sayang, waktuku sudah terlalu sempit,"

   Jawab Ken Arok.

   "kesempatan ini adalah kesempatan yang sebaik-baiknya bagiku untuk mengakhiri cara hidup yang liar ini. Danghyang Lohgawe akanmembawaku ke istana Akuwu. Mudah-mudahan aku diterima pengabdianku, meskipun sebagai juru pakatik sekali pun.

   "Syukurlah.

   "gumam Mahisa Agni.

   "kau akan menempuh suatu kehidupan yang lain dari masa-masa lampaumu."

   Ken Arok itu pun mengangguk lemah.

   "Tekunilah kehidupan yang baru itu,"

   Mahisa Agni meneruskan.

   "mudah-mudahan kau sabar melampaui masa-masa peralihan itu."

   Kembali Ken Arok mengangguk.

   "Mudah-mudahan,"

   Desisnya.

   "Kapan kau akan berangkat?"

   Bertanya Mahisa Agni.

   "Aku belum tahu pasti,"

   Sahut Ken Arok.

   "tetapi aku harus segera pergi kepada Danghyang Lohgawe."

   Mereka berdua pun kemudian terdiam.

   Langit di timur telah membayangkan warna fajar.

   cahaya yang ke merah-merahan memancar di wajah langit yang biru.

   Bulan yang semalaman berkisar dari satu titik kesatu titik di udara, kini telah tenggelam d balik Gunung.

   Sesaat kemudian terdengar Ken Arok berkata.

   "Aku akan segera pergi."

   "Adakah kau masih takut mendengar ayam jantan berkokok,"

   Bertanya Mahisa Agni, Ken Arok tersenyum.

   "Tidak,"

   Jawabnya.

   "Ada soal lain. Sepeninggalku, tak perlu kau menggantikan hantu di padang ini."

   Mahisa Agni pun tersenyum.

   Meskipun mereka belum rapat berkenalan, namun pertemuan yang aneh itu, menyebabkan hati mereka menjadi berat menghadapi perpisahan yang bakal terjadi.

   Ken Arok dan Mahisa Agni pun kemudian berdiri.

   Ketika Ken Arok akan meninggalkan padang rumput, yang selama ini menjadi daerah pengembaraannya di malam hari, maka sekali lagi ia berpamitan, katanya.

   "Mahisa Agni. Baktiku buat gurumu. Ialah orang yang pertama-tama membangunkan sebuah teka-teki di dalam hatiku.Teka-teki tentang Yang Maha Agung. Doakan semoga aku dapat menyesuaikan diri dengan cara hidup yang baru ini."

   "Aku akan berdoa untukmu,"

   Sahut Mahisa Agni.

   Ken Arok itu pun segera meninggalkan Mahisa Agni.

   Dengan cepatnya ia berjalan melintasi padang rumput yang selama ini telah mengikatnya.

   Ken Arok itu seakan-akan telah menjadi bagian yang hidup dari padang Karautan.

   Dan kini daerah itu ditinggalkannya.

   Namun terngiang di telinga Mahisa Agni, kata-kata Ken Arok, meskipun ia hanya ingin bergurau.

   "Sepeninggalku, tak perlu kau menggantikan hantu di padang ini."

   "Hem,"

   Mahisa Agni menarik nafas panjang.

   "Untunglah, semuanya belum terjadi. Seandainya ia berhasil membunuh hantu itu dengan kerisnya. dan seandainya pula ia telah terlanjur membunuh Wiraprana. Apakah akan jadinya? Dengan demikian, mungkin aku akan benar-benar menggantikan anak muda itu menjadi hantu di padang ini."

   Mahisa Agni menjadi ngeri sendiri.

   Dan mengucaplah ia di dalam hatinya puji syukur kepada yang Maha Agung, bahwa ia telah dibebaskan dari bencana itu.

   Mahisa Agni pun kemudian melangkah pergi.

   Tetapi ia tidak berlari lagi seperti pada saat ia datang.

   Di sepanjang jalan itu, terasa betapa hatinya menjadi pedih.

   Pedih atas hilangnya harapan bagi masa depan yang manis, pedih karena ia hampir-hampir tenggelam dalam kegelapan.

   "Wiraprana itu sama sekali tak bersalah,"

   Gumamnya.

   "Akulah yang bersalah. Kenapa aku selama ini berdiam diri. Kenapa aku lebih senang menyimpan perasaanku daripada melimpahkannya? Karena itu jangan menyalahkan orang lain."

   Namun betapapun juga, luka di dadanya terasa betapa sakitnya. Tetapi Mahisa Agni kini telah menemukan dirinya kembali. Karena itu tak seorang pun yang didendamnya. Wiraprana tidak dan Ken Dedes pun tidak."Ayahnya, Empu Purwa tak bisa memaksanya,"

   Katanya di dalam hati.

   "Apalagi aku."

   Bahkan tiba-tiba timbullah di dalam hati Mahisa Agni itu.

   "Biarlah gadis itu menemukan kebahagiaannya. Dan mudah-mudahan dengan demikian aku akan ikut berbahagia karenanya."

   Mahisa Agni itu berjalan perlahan-lahan di dalam sentuhan angin pagi.

   Tetesan embun yang hinggap di dedaunan, membentuk butiran-butiran, seakan-akan butiran mutiara yang satu-satu lepas dari untaiannya, seperti butiran-butiran mutiara harapan yang pecah dari ikatan hati Mahisa Agni.

   Sebagai seorang anak muda yang sedang melambungkan cita- citanya setinggi bintang, maka peristiwa itu tak akan dapat dilupakannya.

   Namun ia pun dapat mengetahui bahwa tak seorang pun akan mampu mengubah perasaan orang lain dengan paksa dalam tanggapannya atas cinta.

   Padang rumput itu adalah padang yang luas.

   Karena itu maka kini terasa, bahwa perjalanan yang telah ditempuhnya semalam adalah perjalanan yang cukup jauh.

   Mahisa Agni pun tiba-tiba menjadi cemas, apakah kata orang apabila salah seorang di antara tetangga-tetangganya melihatnya berlari-lari.

   Matahari yang semakin tinggi di langit, terasa panasnya semakin tajam menyengat kulit.

   Namun sinarnya yang bertebaran di segenap wajah padang rumput itu sama sekali tak terasa.

   Mahisa Agni sedang bergelut dengan angan-angannya.

   "Apakah yang harus aku lakukan kini?"

   Namun di sepanjang perjalanan itu tak ditemuinya jawaban yang memuaskan hatinya.

   Kadang-kadang timbul keinginannya untuk pergi saja meninggalkan gurunya dan desa Panawijen, namun kadang-kadang ada juga maksudnya untuk melihat betapa Ken Dedes dan Wiraprana berbahagia.

   Tetapi di dalam sudut hatinya yang lain terdengar pula suara.

   "Biarlah apa saja yang akan mereka lakukan, jangan mencampurinya dalam segala segi."Mahisa Agni menggeleng-geleng lemah. Wiraprana ternyata belum tahu apa yang semestinya harus dilakukan, dan Ken Dedes semalam menemuinya, bukan untuk menyatakan cintanya kepadanya, tetapi gadis itu akan minta kepadanya untuk menyampaikannya kepada Wiraprana. Mahisa Agni menarik nafas dalam sekali. Gumamnya.

   "Ternyata Wiraprana datang setiap hari ke rumah Empu Purwa tidak semata-mata menemui aku. Ternyata di belakang tirai persahabatannya itu terkandung maksud-maksud yang lain."

   Perjalanan pulang itu terasa betapa menjemukan.

   Baru kemudian terasa, betapa lelahnya setelah semalam suntuk matanya tak terpejamkan.

   Bahkan kemudian ia berlari-lari sepanjang hampir setengah malam.

   Dan kini ia harus menempuh jalan itu kembali.

   Ketika matahari telah hampir mencapai puncak langit, maka tampaklah di hadapan Mahisa Agni beberapa buah desa yang membujur di pinggir padang rumput itu.

   Sekali dilampauinya desa yang pertama, kemudian ia akan segera sampai ke rumah gurunya.

   Namun desa-desa yang hijau itu kini sama sekali tak memikatnya seperti beberapa waktu yang lampau.

   Ikatan yang selama ini.

   terasa menjerat dirinya, tiba-tiba kini telah terurai lepas.

   Desa itu tak menarik lagi baginya, selain sebagai tempat tinggalnya.

   Mahisa Agni memasaki desanya dengan hati yang kosong.

   Selangkah demi selangkah ia menyusuri jalan yang semalam dilaluinya.

   Masih dilihatnya beberapa ranting yang patah sebagai tempat untuk menumpahkan kemarahan dan kegelapan hatinya semalam.

   Ketika dari kejauhan dilihatnya pagar batu yang melingkari halaman rumah gurunya, hatinya berdesir.

   Tak ada gairah lagi untuk segera pulang.

   Tetapi apabila diingatnya, apa yang telah dilakukan oleh gurunya untuknya, dan apa yang telah diberikan oleh orang tua itu kepadanya, maka timbullah sedikit niatnya untuk kembali masuk ke dalamnya.

   Tetapi kembali hatinya berdesir ketika ia melihat Wiraprana telah berdiri di muka regol halaman itu.

   Terungkit kembalilah perasaanyang pedih di dadanya.

   Sekilas tebersitlah kemarahannya kepada anak muda itu.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun kemudian perasaan itu ditekannya kuat-kuat.

   Wiraprana tersenyum ketika ia melibat Mahisa Agni.

   Anak muda itu kemudian berjalan menyongsongnya.

   Tak ada suatu kesan apapun di wajahnya.

   Bersih.

   Mahisa Agni melihat wajah yang jujur itu.

   Dan kembali ia berkata di dalam hatinya.

   "Anak itu tidak bersalah."

   "Dari mana kau, Agni?"

   Bertanya anak muda itu.

   Mahisa Agni menjadi agak bingung.

   Terasa betapa canggungnya kali ini berhadapan dengan Wiraprana.

   Anak muda yang telah bertahun-tahun bergaul dengan rapatnya, tiba-tiba terasa sebuah jurang telah membujur di antaranya.

   Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka Wiraprana mengulangi pertanyaannya seramah semula.

   "Dari mana kau Agni?"

   Mahisa Agni merasa seperti orang yang baru saja terbangun dari mimpi. Dengan terbata-bata ia menjawab sekenanya.

   "Aku tidur di bendungan, Prana."

   Wiraprana terperanjat.

   "He,"

   Sahutnya.

   "aku juga pergi ke bendungan semalam. Kenapa kita tidak bertemu?"

   Mahisa Agni bertambah bingung.

   "Aku pergi sesudah tengah malam,"

   Jawab Agni sekenanya.

   "Oh,"

   Berkata Prana.

   "tengah malam aku sudah pulang. Kenapa kau tak mengajak aku serta?"

   Pertanyaan itu melingkar-lingkar seperti putaran yang sangat membingungkan. Maka jawabnya.

   "Aku tak bermaksud pergi ke bendungan. Aku hanya berjalan-jalan saja. Tetapi kemudian aku sampai ke sana."

   Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Tetapi ketika dilihatnya keris terselip di pinggang sahabatnya, Wiraprana mengerutkan keningnya.

   Mahisa Agni melihat sambaran mata Wiraprana atas kerisnya itu.

   Karena itu ia menjadi semakin bingung.Apabila anak itu bertanya tentang keris itu, apakah jawabnya.

   Tetapi untunglah Wiraprana tak bertanya-tanya lagi.

   "Ayolah,"

   Ajak Wiraprana.

   "kau tampak lelah."

   Mahisa Agni tak menjawab.

   Maka berjalanlah mereka berdua memasuki regol halaman rumah Empu Purwa yang luas.

   Mahisa Agni melihat tanam-tanamnya yang hijau subur.

   Bunga-bungaan, rerumputan dan perdu.

   Dilihatnya pula tanah yang berpetak-petak dan di samping rumah itu sebuah kolam.

   Tetapi semuanya itu kini terasa hambar.

   Bunga-bunga yang sedang kembang sama sekali tak menarik perhatiannya.

   Batang-batang anggrek yang dipeliharanya dengan hati-hati, serta bunga-bunganya yang putih bersih tampak betapa suramnya.

   Mereka berdua langsung pergi ke bilik Mahisa Agni.

   Wiraprana duduk di sebuah bale-bale besar di ruangan dalam, sedang Mahisa Agni langsung masuk ke biliknya.

   Dilihatnya biliknya itu kotor dan barang-barangnya berhambur-hamburan.

   Agaknya semalam ia telah dengan tidak sengaja menghambur-hamburkan barang-barangnya itu.

   Dengan dada yang serasa akan retak, Mahisa Agni menarik keris dari pinggangnya.

   Ketika ia menatap keris itu, terasa hatinya berdesir.

   Untunglah bahwa keris itu belum ditariknya dari wrangkanya.

   Tanpa disengajanya, diciumnya ukiran keris itu sambil berbisik.

   "Betapapun kau telah diselamatkan dari penggunaan yang sia-sia."

   Mahisa Agni pun kemudian segera membenahi barang- barangnya.

   Pakaiannya, beberapa alat-alat lain dan lontar-lontar bacaannya.

   Adalah menjadi kebiasaannya untuk membersihkan biliknya sendiri, sehingga jaranglah orang lain masuk ke dalamnya.

   Dengan demikian, maka tak seorang pun yang mengetahui, bahwa bilik itu menjadi kotor dan bercerai berai.

   Setelah pekerjaan itu selesai, Agni pun tidak segera keluar dari biliknya.

   Dengan lesunya ia duduk di sudut pembaringannya.

   Matanya yang sayu.

   beredar dari satu benda ke benda yang lain di dalam bilik itu.

   Terasa betapa ia menjadi asing.

   Dinding-dinding, tiang, dan sebuah gelodog bambu.

   Dan tiba-tiba tebersit pertanyaandi dalam hatinya.

   "Apakah aku masih akan dapat tinggal di tempat ini?"

   Mahisa Agni menggigit bibirnya.

   Ia tersadar ketika didengarnya Wiraprana terbatuk-batuk di ruang dalam.

   Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri, dan dengan lunglai ia berjalan keluar menemui sahabatnya yang telah memadamkan harapannya di masa depan.

   Wiraprana tersenyum melihat Agni keluar dari biliknya.

   Katanya sambil tertawa.

   "Ah, aku sangka kau tertidur Agni. Aku takut kalau aku harus menunggumu sampai senja. Kelakar itu pun demikian hambar di hati Mahisa Agni. Meskipun demikian dipaksanya juga bibirnya untuk tersenyum. Senyum yang pahit. Dan hatinya pun bertambah pahit ketika ia melihat kenyataan bahwa Wiraprana itu sama sekali tak berprasangka apa pun kepadanya. Tak ada perubahan pada tingkah lakunya dan tak ada setitik kecurigaan apa pun dalam sikapnya. Hatinya tidak akan sepedih itu seandainya Wiraprana itu bersikap kasar dan keras. Seperti Kuda Sempana. Seandainya Wiraprana itu berkata kepadanya.

   "Agni, marilah kita selesaikan persoalan kita dengan bertaruh nyawa."

   Meskipun seandainya ia kalah, bahkan sampai pada ajalnya pun, maka ia akan mati dengan bangga.

   Tetapi Wiraprana sama sekali tak bersikap demikian.

   Matanya yang bening memancar seperti mata kanak-kanak yang belum mengenal dosa.

   Karena itu Mahisa Agni mengeluh di dalam hatinya.

   Dengan lesu Mahisa Agni duduk di samping Wiraprana.

   Dan dengan kaku ia bertanya.

   "Dari mana kau sepagi ini Prana?"

   Wiraprana terperanjat.

   "He? Apakah kau sedang bermimpi? Lihatlah, bayangan matahari telah tegak di lantai."

   Mahisa Agni menyadari, kesalahannya, dan dipaksanya juga dirinya untuk tertawa.

   "Ah, agaknya aku benar-benar lelah dan bingung. Maksudku, apakah kau telah datang sejak pagi-pagi?"Wiraprana memandang wajah Mahisa Agni dengan herannya. Dilihatnya pada wajah itu suatu pancaran yang aneh. Tak pernah ia melihat kerut-kerut di kening sahabatnya itu. Mahisa Agni adalah anak yang selalu gembira. Ah, Mahisa Agni terlalu lelah, katanya di dalam hati, namun yang terlontar dari mulutnya adalah.

   "Seharusnya akulah yang bertanya Agni, dari mana kau sampai sesiang ini. Apakah kau tidur di bendungan sampai matahari merambat ke puncak langit? Apakah kau kemudian mencuci pakaianmu tanpa membawa rangkapan, dan kau tunggu pakaian itu kering sambil merendam diri?"

   Mahisa Agni benar-benar menjadi bingung.

   Tak tahu bagaimana ia akan menjawab pertanyaan Wiraprana.

   Karena itu ia hanya dapat tertawa, namun hatinya merintih.

   Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni teringat kepada Ken Arok yang baru dijumpainya di padang Karautan.

   Diingatnya pesan anak muda itu kepadanya.

   Supaya orang-orang di sekitar padang ini mendengar, bahwa cerita tentang hantu Karautan telah tamat.

   Karena itu, maka Mahisa Agni bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan mereka.

   Katanya.

   "Wiraprana, sebenarnya aku tidak tidur di bendungan semalam."

   Sekali lagi Wiraprana terkejut.

   "Lalu ke manakah kau semalam malaman?"

   "Ke padang Karautan,"

   Sahut Mahisa Agni.

   "He,"

   Wiraprana benar-benar terkejut mendengar jawaban itu sehingga ia bergeser maju.

   "adakah kau pergi ke sana?"

   Mahisa Agni mengangguk.

   "Siapakah yang memaksamu, sehingga kau pergi ke daerah hantu yang mengerikan itu? bertanya Wiraprana pula.

   "Tak ada,"

   Jawab Agni.

   "aku hanya ingin melihat hantu. Karena itu kau lihat aku membawa senjata?"

   "Ya, ya, Aku lihat kerismu."Mahisa Agni pun kemudian bercerita tentang padang itu. Tentang pertemuannya dengan hantu itu untuk pertama kali dan tentang pertemuannya yang terakhir. Mahisa Agni bercerita sedemikian asyiknya dan kadang-kadang tak sesadarnya, diceritakannya kemampuannya melawan hantu itu. Ia bercerita demikian saja untuk melepaskan himpitan-himpitan yang menekan dadanya. Tidak saja sebagai pelarian untuk menghindarkan pertanyaan Wiraprana, tetapi lambat laun dengan tak diketahuinya sendiri, cerita itu telah berubah sebagai suatu cerita untuk menolong kekerdilan perasaannya. Pilihan Ken Dedes atas Wiraprana, telah menyebabkan Mahisa Agni merasa tak berharga. Dan kini ia sedang menutupi perasaan itu dengan menceritakan kedahsyatannya.

   "Alangkah dahsyatnya kau Agni,"

   Wiraprana menyela dengan penuh kekaguman. Dengan jujur anak muda itu berkata pula.

   "Sejak kau berkelahi dengan Kuda Sempana, aku telah menjadi kagum dan tidak mengerti. Dari mana kau mendapat ilmu itu. Kini ternyata kau pun sanggup melawan hantu itu. Ah. Alangkah kecilnya aku. Kenapa baru sekarang aku tahu?"

   Mendengar pujian yang diucapkan dengan ikhlas itu, Mahisa Agni tersadar dari pelariannya.

   Karena itu betapa ia menyesal.

   Namun semuanya terjadi, dan cerita itu tak akan dapat ditelannya kembali.

   Dengan demikian, maka Agni pun justru terdiam, dan luka di hatinya menjadi semakin parah.

   Ketika ia sedang merenungkan dirinya, kesombongannya dan ceritanya, didengarnya langkah kaki lewat di sampingnya.

   Mahisa Agni mengangkat wajahnya, dilihatnya Ken Dedes berjalan dengan tergesa-gesa.

   Ketika gadis itu melihatnya, segera ia berhenti dan berkata.

   "Kakang, ke mana kau semalam? Ayah mencarimu."

   Hati Mahisa Agni berdesir.

   Apalagi ketika dilihatnya, betapa Ken Dedes menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan ketika terpandang olehnya Wiraprana yang duduk di sampingnya.

   Mahisa Agni harus berjuang sekuat tenaga untuk menenangkan hatinya yang bergelora seperti angin ribut di lautan.

   Dengan gemetar ia menjawab.

   "Adakah guru menanti aku?""Tidak sekarang,"

   Sahut Ken Dedes perlahan-lahan, namun wajahnya masih menatap lantai.

   "Ayah sedang di sanggar pamujan."

   "Oh,"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Agni pun terdiam, Suasana di ruang dalam itu menjadi kaku, seperti garis-garis tiang yang lurus.

   Ken Dedes sama sekali tak berani mengangkat wajahnya.

   Kehadiran Wiraprana benar-benar menjadikannya segan.

   Apakah Kakang Agni telah mengatakannya, pertanyaan itu merayap di hatinya.

   Kalau pengasuhnya yang tua itu telah menyampaikan perasaannya kepada Mahisa Agni, maka ada kemungkinan Agni telah mengatakannya kepada Wiraprana.

   Perasaan Ken Dedes sebagai seorang gadis menjadi bergelora.

   Tiba-tiba ia tak dapat menahannya.

   Betapa ia malu seandainya Wiraprana tak memenuhi harapannya.

   Bahwa apa yang dilihatnya di mata anak muda itu, dan apa yang dirasakan di dalam kata-katanya saat-saat bila mereka bercakap-cakap dan bergurau itu keliru.

   Wiraprana merasakan kekakuan itu.

   Suasana itu demikian anehnya pada perasaannya.

   Karena itu tiba-tiba ia berkata.

   "Agni, apakah Ken Dedes menunggumu makan?"

   Agni sadar, bahwa Wiraprana hanya bergurau. Tetapi akibatnya kata-kata seperti air yang tepercik di lukanya. Pedih. Maka jawabnya terbata-bata.

   "Tidak Prana."

   Tiba-tiba sekali lagi dada Agni berdesir ketika Ken Dedes berkata lirih dengan sama sekali tak mengangkat wajahnya.

   "Kakang. Aku mencari Kakang sejak tadi. Bukankah Kakang belum makan?"

   "Oh,"

   Agni mengeluh di hatinya. Pergaulan ini benar-benar menyiksanya.

   "Nah,"

   Sahut Wiraprana sambil tertawa.

   "pantaslah. Ceritamu dan kata-katamu selama ini bersimpang siur tak keruan. Makanlah Agni, supaya hatimu menjadi terang. Dan kau tidak akan gemetar lagi."

   Perasaan Mahisa Agni benar seperti biduk yang kecil di dalam permainan gelombang yang ganas.

   Tetapi ketika sekali lagi iamenatap wajah sahabatnya itu, sekali lagi ia mengeluh di dalam hatinya.

   Wajah itu sedemikian bersih dan jujur.

   Karena itu kembali terdiam.

   Dan kembali suasana menjadi kaku.

   Timbullah suatu harapan di hati Ken Dedes, agar Wiraprana ikut makan bersama Agni seperti kebiasaan mereka.

   Adalah menjadi kebiasaannya pula mengajak anak muda itu berbuat demikian.

   Tetapi kali, ini mulutnya serasa terkunci.

   Dan tak sepatah kata pun dapat diucapkan.

   Ken Dedes menjadi bingung ketika Wiraprana berkata.

   "Ken Dedes, kenapa kau tidak minta aku makan bersama Kakang Agni?"

   Hati Ken Dedes berdesir mendengar pertanyaan itu, dan hati Mahisa Agni pun berdesir.

   Pertanyaan itu bukan untuk pertama kali diucapkan.

   Sepuluh, dua puluh bahkan anak itu sudah sedemikian seringnya datang ke rumah ini, sesering Mahisa Agni datang ke rumahnya.

   Mahisa Agni pun tidak tahu lagi berapa kali ia pernah dipersilakan makan di rumah Ki Buyut Panawijen.

   Tetapi senda gurau Wiraprana kali ini benar-benar memusingkan kepalanya.

   Ken Dedes tidak dapat mengucapkan sepatah jawaban pun.

   Bahkan tiba-tiba gadis itu berlari meninggalkan mereka.

   Wiraprana menjadi heran.

   Kenapa sikap gadis itu tidak seperti biasanya.

   Apakah ia berbuat suatu kesalahan.

   Wiraprana itu pun kemudian sibuk melihat dirinya, sikapnya dan kata-katanya.

   Aku tidak berbuat kesalahan, katanya di dalam hati.

   Namun perubahan sikap Ken Dedes yang manja itu benar-benar mencemaskan.

   Betapa jujurnya hati Wiraprana ketika ia mengucapkan sebuah pertanyaan kepada sahabatnya.

   "Agni, apakah kau bertengkar dengan Ken Dedes?"

   Mahisa Agni menjawab dengan gugup.

   "Tidak Prana. Tidak."

   "Syukurlah,"

   Sahut anak muda itu.

   "aku melihat sesuatu yang agak lain."

   "Mungkin,"

   Jawab Mahisa Agni sekenanya.Tetapi ia terkejut sendiri atas jawabannya itu. Apalagi ketika Wiraprana bertanya.

   "Benarkah dugaan itu?"

   Mahisa Agni merenung.

   Ia tidak tahu bagaimana akan menjawab pertanyaan itu.

   Wiraprana menarik nafas.

   Kini ia tidak bergurau lagi.

   Tiba-tiba ia mencoba menilai, apakah yang dilihatnya sejak Mahisa Agni datang.

   Lesu dan berwajah sayu.

   Anak muda itu seakan-akan menjadi bingung dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya sekenanya saja, bahkan kadang-kadang menjadi gugup.

   Tertawanya yang kosong dan keningnya yang berkerut-kerut.

   "Hem,"

   Wiraprana berdesah.

   "Alangkah tumpulnya perasaanku,"

   Katanya di dalam hati.

   Tetapi ia tidak dapat segera berpamitan.

   Ia takut kalau Mahisa Agni salah mengerti, dan menyangkanya kurang bersenang hati.

   Karena itu ia masih duduk saja di amben yang besar.

   Sesaat mereka saling berdiam diri, Wiraprana menebak-nebak di dalam hati, sedang Mahisa Agni dengan susah payah berusaha menekan perasaannya.

   Kemudian terdengar Wiraprana berkata.

   "Agni, makanlah. Biarlah aku menunggumu di tepi kolam. Adakah guramemu sudah bertambah banyak?"

   Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan demikian setidak- tidaknya ia dapat melepaskan ketegangan perasaannya meskipun hanya sesaat ia makan. Karena itu jawabnya.

   "Baiklah Prana. Tetapi tidakkah kau ikut makan pula?"

   Wiraprana menggeleng.

   Kemudian ia pun berdiri dan berjalan keluar.

   Mahisa Agni melihat pemuda itu pada punggungnya.

   Tinggi, berdada bidang.

   Rambutnya yang lebat digelungnya di belakang kepalanya.

   Langkahnya yang tegap tenang.

   Tiba-tiba terdengar ia bergumam lirih.

   Lirih sekali.

   "Berbahagialah kau Wiraprana. Mudah- mudahan aku dapat ikut berbahagia karenanya."Dan tiba-tiba saja terloncat dari mulut Mahisa Agni.

   "Wiraprana, pulanglah. Datanglah kembali nanti senja."

   Wiraprana terkejut , sehingga ia berputar.

   Ditatapnya wajah Agni.

   Betapa ia menjadi heran.

   Tak sahabatnya itu berkata demikian.

   Mata Wiraprana yang bening itu pun menjadi suram.

   Dari dalamnya memancar pertanyaan melingkar-lingkar di dadanya.

   Kini terasa benar, bahwa ada sesuatu yang terjadi di rumah itu.

   Namun Wiraprana tidak bertanya lagi.

   Ketika ia melihat wajah Mahisa Agni yang sayu, maka Wiraprana pun mengangguk sambil menjawab.

   "Baiklah Agni. Senja nanti aku akan datang kembali."

   Tetapi hati Wiraprana itu pun menjadi gelisah. Di perjalanan pulang, di rumah, di setiap saat ia berteka-teki.

   "Apakah kira-kira yang akan dilakukan Mahisa Agni senja nanti?"

   Sepeninggal Wiraprana, Mahisa Agni pergi ke dapur.

   Dilihatnya makan baginya telah tersedia di amben.

   Tetapi ia tidak melihat Ken Dedes.

   Memang ia tidak mengharap gadis itu menungguinya makan seperti biasanya.

   Meskipun demikian, setiap gumpal nasi yang masuk ke mulutnya terasa seakan-akan menyumbat lehernya.

   Dan Agni pun tidak dapat merasakannya, apakah yang sedang dimakan itu.

   Asin, manis, masam atau apapun.

   Mahisa Agni benar-benar tidak mempunyai nafas untuk makan.

   Setelah makan, Mahisa Agni langsung masuk ke biliknya.

   Ken Dedes tidak tahu, apakah yang sedang dilakukannya, dan apakah yang terjadi atasnya, sebab Ken Dedes sendiri itu pun kemudian merendam dirinya di dalam biliknya pula.

   Mahisa perlahan-lahan meletakkan tubuhnya di atas pembaringannya.

   Ia kini tidak membanting diri lagi seperti semalam, sehingga ambennya berderak-derak.

   Dengan sekuat tenaga ia mencoba mengatur perasaannya.

   Sehingga kemudian tumbuhlah pikirannya yang hening.

   Kini ia tinggal menunda sampai senja.

   Ia mengharap Wiraprana akan datang dan dengan demikian ia akanmenyelesaikan pekerjaannya.

   Ia menyadari, bahwa Ken Dedes benar memerlukan pertolongannya.

   Betapa pun sakitnya.

   Ia tidak dapat berbuat lain, daripada berkata dengan hati yang pedih kepada Wiraprana, seperti yang didengarnya dari mulut Ken Dedes semalam.

   Diminta atau tidak diminta.

   Biarlah mereka menemukan kebahagiaan, gumamnya.

   Mahisa Agni terkejut, ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu biliknya.

   Kemudian didengarnya sebuah pertanyaan lirih.

   "Ngger, apakah Angger sedang tidur?"

   Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Suara itu adalah suara emban tua, pengasuh Ken Dedes. Orang itu pasti akan datang kepadanya, dan akan mengulangi permintaan Ken Dedes kepadanya.

   "Persetan!"

   Teriaknya di dalam hati. Tetapi sesaat kemudian ia menjadi tenang kembali. Perlahan- lahan ia bangkit, dan membuka pintu biliknya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Masuklah, Bibi,"

   Terdengar Mahisa Agni mempersilakan.

   Namun suaranya bergetar.

   Orang tua itu pun masuk ke dalam bilik Agni dan duduk di amben di samping anak muda itu.

   Wajahnya yang telah berkerut-kerut itu ditundukkan jauh-jauh menghujam ke jantung bumi.

   Nafas Mahisa Agni pun serasa tertahan-tahan di hidungnya.

   Ia menanti kata-kata emban tua itu.

   Kata-kata yang sudah didengarnya sendiri.

   Kata-kata yang telah menyobek jantungnya.

   Tetapi untuk beberapa saat emban tua itu tidak berkata apa pun.

   Bahkan terdengar betapa ia berkali-kali menarik nafas dalam-dalam.

   Bilik itu pun kemudian diliputi oleh suasana sepi.

   Sepi yang tegang.

   Namun orang tua itu masih berdiam diri.

   Alangkah terkejutnya Mahisa Agni, ketika kemudian ia melihat, air mata orang tua itu satu-satu menetes di pangkuannya.

   Mahisa Agni menjadi heran.

   Apakah sebabnya? Seharusnya, seandainya dirinya seorang perempuan, maka ialah yang harus menangismelolong-lolong.

   Bukankah perempuan itu hanya harus datang kepadanya, mengatakan seperti apa yang dikatakan Ken Dedes kepadanya? Tetapi kenapa ia menangis? "Kenapa Bibi menangis?"

   Tiba-tiba terdengar Mahisa Agni bertanya. Orang tua itu mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah Mahisa Agni yang suram. Kemudian orang tua itu berdesah.

   "Ah. Alangkah anehnya hidup ini."

   "Apa yang aneh, Bibi?"

   Bertanya Mahisa Agni.

   "Aku tidak menyangka Ngger, bahwa perjalanan hidupmu dan Ken Dedes, pada suatu saat akan sampai di persimpangan,"

   Jawab orang tua itu. Melonjaklah hati Mahisa Agni mendengar kata-kata itu. Ia ingin meyakinkan pendengarannya, maka ia pun bertanya.

   "Kenapa?"

   "Aku adalah orang tua Ngger,"

   Sahut orang tua itu.

   "sudah belasan tahun aku hidup di padepokan ini sebagai emban pemomong putri Empu Purwa itu. Dan sudah belasan tahun pula aku mengenalmu. Betapa aku melihat tingkah laku kalian berdua, hubungan kalian berdua sebagai kakak beradik. Aku, yang hidup di luar ikatan itu, merasa betapa kalian tak akan terpisahkan. Namun tiba-tiba semalam aku mendengar suatu keajaiban. Keajaiban yang tak pernah aku sangka-sangka."

   Mahisa Agni menggigit bibirnya.

   Ditatapnya kembali wajah orang tua itu.

   Orang tua yang seakan-akan memancarkan perasaan belas kasihan kepadanya.

   Karena itu tiba-tiba luka di hati Mahisa Agni seperti diungkit-ungkitnya.

   Sebagai seorang laki-laki Mahisa Agni tidak akan tenggelam dalam kegagalan itu.

   Maka justru harga dirinyalah yang tersinggung.

   Tetapi, jauh di dasar dadanya terdengar hatinya menangis.

   Tidak, ia mencoba menutupi tangis itu.

   Karena itu dengan gagahnya ia berkata.

   "Ada yang bibi tangiskan? Apakah bibi menyangka bahwa aku dan gadis itu akan dapat tetap hidup bersama-sama. Aku adalah laki-laki. Suatu ketika aku akanmeninggalkan padepokan ini. Bukankah aku di sini hanya sekedar berguru?"

   Orang tua itu tidak menjawab. Tetapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang mulai berkeriput.

   "Jangan Bibi berprasangka,"

   Agni meneruskan.

   "tak ada hubungan apa pun antara aku dan gadis itu, selain sebagai anak guruku. Apabila kemudian aku dan gadis itu akan sampai di persimpangan jalan, itu adalah wajar. Aku atau gadis itulah yang akan pergi dahulu meninggalkan padepokan ini. Aku akan dapat segera pergi untuk merantau menambah pengalaman hidup dan pengalaman ilmu yang aku miliki, atau gadis itulah yang pergi dahulu mengikuti suaminya di rumah Buyut Panawijen."

   "Oh?"

   Perempuan tua itu terkejut, sehingga ia berkisar maju.

   Mahisa Agni pun terkejut, ketika ia melihat emban tua itu sedemikian terkejutnya mendengar jawabannya.

   Barulah kemudian ia sadar, bahwa kata-kata yang terloncat dari mulutnya agaknya telah mendahului kabar yang akan dibawa perempuan itu kepadanya.

   Ternyata pula kemudian orang tua itu bertanya.

   "Adakah Ken Dedes telah mengatakannya kepadamu?"

   Mahisa menjadi bingung.

   Ia tidak tahu bagaimana akan menjawab pertanyaan itu, sehingga kemudian wajahnya pun tunduk lesu.

   Dan mulutnya serasa terbungkam.

   Hanya tubuhnyalah yang kemudian bergetar.

   Emban tua itu menjadi sedemikian heran, sehingga ia mengulangi pertanyaannya.

   "Angger, dari manakah Angger tahu, bahwa Ken Dedes pada suatu ketika akan meninggalkan padepokan ini dan mengikuti suaminya ke rumah Buyut Panawijen?"

   Mahisa Agni akhirnya merasa, bahwa ia harus menjawab pertanyaan itu. Tak mungkin ia mengelak lagi. Maka dengan angkuhnya ia berkata untuk menutupi kekurangan yang mencengkam perasaannya.

   "Kenapa tidak? Aku telah mengatakan kepadanya, Wiraprana adalah pilihan satu-satunya baginya. Aku, yang telah menganggap Ken Dedes itu sebagai adik kandungku,telah menyetujuinya gadis itu berbuat demikian, daripada ia harus memilih salah satu dari anak-anak yang belum dikenal watak dan tabiatnya."

   "Oh,"

   Desah perempuan itu, namun ia bertanya.

   "sejak kapan kau mengatakan kepadanya?"

   "Sudah lama aku berkata demikian kepadanya,"

   Jawab Agni. Ia sudah terdorong masuk ke lubang yang digalinya. Karena ia tidak dapat meloncat keluar. Bahkan ia akan menjadi semakin dalam terbenam ke dalamnya, sehingga kemudian terdengar perempuan itu bertanya.

   "Sudah lama? Sehari?"

   "Sebulan,"

   Sahut Mahisa Agni.

   "Oh,"

   Kembali emban tua itu berdesah. Dan alangkah gelisahnya Mahisa Agni, ketika ia melihat mata orang tua itu, yang seakan-akan menjadi semakin kasihan kepadanya. Sedemikian gelisahnya, sehingga Mahisa Agni itu bertanya.

   "Kenapa bibi memandang aku sedemikian?"

   "Aku kasihan kepadamu, Ngger,"

   Jawabnya jujur.

   "He?"

   Agni hampir berteriak.

   "kenapa kasihan? Aku laki-laki yang tidak perlu belas kasihan orang lain. Juga belas kasihan darimu, Bibi. Juga tidak dari Ken Dedes."

   Perempuan itu mengerutkan keningnya.

   "Kenapa Ken Dedes?"

   Kembali Agni terbungkam. Dan kembali ia tidak tahu, bagaimana ia akan menjawabnya.

   "Angger,"

   Berkata perempuan itu kemudian perlahan-lahan.

   "jangan membohongi aku. Pasti kau belum mengatakannya kepada Ken Dedes, bahwa sebaiknya gadis itu memilih Wiraprana."

   Orang tua itu berhenti sejenak, lalu lanjutnya.

   "Baru semalam gadis itu minta kepadaku untuk menyampaikannya kepadamu. Tetapi kau sudah mendengarnya. Adakah semalam kau mendengarkan percakapan kami?"Mahisa Agni benar-benar terkejut mendengar pertanyaan itu. Sehingga ia menjadi bingung dan gugup. Namun ia tidak mau melihat kekurangan dirinya. Ia tidak mau seseorang menganggapnya bahwa ia tidak dapat memadai Wiraprana, sehingga seorang gadis lebih menyukai Wiraprana daripadanya. Karena itu maka katanya.

   "Apa salahnya aku mendengar percakapan kalian. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku sudah berjanji, bahwa aku akan menyampaikannya kepada Wiraprana. Membawanya kepada gadis itu. Kenapa tidak? Aku sama sekali tak berkepentingan dengan keduanya, selain Ken Dedes adalah adikku dan Wiraprana adalah sahabatku."

   Mahisa Agni masih berkata terus, namun orang tua itu memotong kata-katanya.

   "Adakah sedemikian juga kata hati mu?"

   "Jangan mengada-ada, Bibi,"

   Sahut Mahisa Agni sambil berdiri.

   Kemudian ia melangkah beberapa langkah, dan berdiri di pintu sambil bersandar tiang.

   Pandangannya jauh menyeberangi ruang dalam seakan-akan menembus dinding-dinding rumah Empu Purwa.

   Tetapi Mahisa Agni kemudian memutar tubuhnya, dan sekali lagi ia heran.

   Perempuan itu menangis.

   Karena itu sekali lagi Mahisa Agni bertanya.

   "Kenapa kau menangis?"

   Kini emban tua itu menunduk. Dari sela-sela isak tangisnya ia berkata.

   "Angger, aku ingin melihat kau berbahagia. Aku ingin melihat kau dan Ken Dedes, hidup bersama-sama dalam ikatan keluarga."

   "Tidak,"

   Potong Mahisa Agni.

   "tidak! Jangan Bibi mencoba mempengaruhi kemurnian anggapanku terhadap gadis itu. Aku tidak lebih dari kakak kandungnya."

   "Agni,"

   Kata perempuan itu.

   "jangan berbohong kepadaku. Dan jangan berbohong kepada diri sendiri."

   "Cukup!"

   Mahisa Agni membentak. Tetapi ia menyesal. Karena itu ia berkata lirih sambil mendekati perempuan itu.

   "Maaf, Bibi. Tetapi Bibi jangan menyebut-nyebut itu lagi."Mahisa Agni menjadi gelisah ketika kembali wanita tua itu memandangnya. Sinar matanya itu seakan-akan langsung menghunjam ke jantungnya. Karena itu sekali lagi Mahisa Agni melangkah, bersandar uger-uger pintu.

   "Aku menjadi bersedih, Ngger,"

   Bisik emban itu.

   "ketika aku mendengar Ken Dedes menyebut sebuah nama. Dan nama itu bukan namamu."

   "Jangan pedulikan aku Bibi,"

   Potong Agni.

   "Tidak dapat Ngger. Aku menitipkan harapan di hari depanmu."

   Mahisa Agni tersentak. Cepat-cepat ia berpaling dan bertanya.

   "Kenapa?"

   "Kau masih mau mendengar?"

   "Tentang harapan itu, bukan tentang seorang gadis."

   Perempuan itu menunduk. Kemudian ia berkata-kata, namun seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri.

   "Kau adalah satu-satunya harapan bagi masa depan yang panjang Agni. Bukankah kau tidak bersaudara? Kalau masa depanmu suram, masa depanku pun menjadi gelap. Lebih gelap daripada masamu itu. Sebab umurku tidak akan melebihi hitungan jari sebelah tangan."

   Mahisa Agni menjadi semakin tidak tahu arah pembicaraan perempuan tua itu. -Apakah hubungannya hari depannya dengan hari depan orang tua itu. Karena itu, maka dengan berbagai pertanyaan di dadanya ia mendengar perempuan itu berkata.

   "Kalau kalian tidak terpisahkan. Maka aku pun akan selalu bersama kalian. Aku pasti akan ikut Ken Dedes sebagai pemomongnya. Kalau kau terpisah daripadanya, maka aku pun tak akan melihatmu lagi setiap hari."

   "Oh,"

   Agni menjadi kecewa mendengar alasan itu. Betapa sederhana. Maka jawabnya.

   "Bibi terlalu mementingkan kepentingan sendiri. Bibi hanya ingin mengikuti Ken Dedes dan melihat aku setiap hari. Itu saja? Baik. Baik. Kelak aku juga akan ikut Ken Dedesdan Wiraprana. Biarlah aku menjadi juru pengangsu atau menjadi pakatik pemelihara kuda."

   Kata-kata Agni terputus ketika orang tua itu menutup kedua wajahnya dengan tangannya yang kisut. Terdengarlah orang tua itu terisak. Dan Agni pun menjadi semakin tidak sabar. Maka katanya.

   "Kenapa Bibi menangis saja? Bukankah Ken Dedes minta Bibi menyampaikan kepadaku permintaan supaya aku berkata kepada Wiraprana bahwa Ken Dedes menunggunya. Bahkan Wiraprana harus datang kepada Empu Purwa dengan sebuah upacara lamaran. Dan bahwa lamaran itu pasti akan diterimanya? Bukankah begitu?"

   "Ya, ya, Agni,"

   Potong perempuan itu.

   "demikianlah."

   "Nah. Kenapa Bibi tidak mengatakannya? Malahan Bibi menangis saja?"

   "Aku ingin mengatakannya kepadamu. Tetapi bukankah kau sudah mengetahuinya?"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut emban itu.

   "karena itu tentu sudah tidak akan menarik lagi bagimu. Tetapi Ngger, keinginanku melihat kalian berdua hidup bersama bukan karena alasan yang terlalu sederhana itu. Bukan itu. Dan aku tidak berkeinginan untuk memaksamu atau mempengaruhi keikhlasanmu, seandainya kau benar-benar melihat kenyataan itu. Bahkan aku ingin melihat kau melampaui kegagalan ini dengan hati jantan."

   "Ah,"

   Agni berdesah.

   "Tetapi,"

   Orang tua itu meneruskan.

   "aku menjadi gelisah karena aku melihat keadaanmu."

   "Biar, biarlah aku dalam keadaanku,"

   Sahut Agni.

   "Angger, kau masih mau mendengar sebuah cerita?"

   Agni menoleh. Ditatapnya kembali wajah yang sudah berkeriput oleh garis-garis ketuaannya. Tetapi kembali Mahisa Agni menatap titik di kejauhan. Gumamnya acuh tak acuh.

   "Cerita tentang harapan di masa depan. Bukan tentang gadis."Orang tua itu menggeser duduknya. Kemudian sambil menundukkan kepala ia mulai dengan kisahnya.

   "Dahulu adalah seorang gadis yang sederhana. Sederhana ujudnya dan sederhana hatinya. Tetapi di luar setahunya dan kemauannya, beberapa orang pemuda telah mencintainya bersama-sama. Sudah tentu bahwa gadis itu tak akan dapat memilih lebih dari satu di antaranya. Karena itu di luar pengetahuan siapa pun, gadis itu telah berjanji untuk hidup bersama-sama dengan salah seorang dari mereka. Seorang laki-laki yang keras hati dan berkemauan teguh. Untuk bekal hidup mereka kelak maka laki-laki itu memutuskan untuk pergi merantau, mencari daerah-daerah baru yang akan dapat memberi mereka tanah untuk garapan, supaya mereka dapat hidup dengan tenang dan tidak kekurangan makan. Gadis itu pun tidak berkeberatan. Dilepasnya laki-laki itu dengan janji, bahwa gadis itu akan menunggunya sampai ia kembali."

   Mahisa Agni mendengar juga cerita itu.

   Kata demi kata.

   Tetapi ia sama sekali tidak menaruh minat.

   Ia mendengarkan hanya karena ia tidak mau menyakitkan hati emban tua itu.

   Apalagi ternyata cerita itu sama sekali tak menyinggung-nyinggung hubungan antara masa depan perempuan tua itu dengan masa depannya.

   Dan ia masih mendengar emban itu berkisah terus.

   "Setahun, dua tahun sehingga akhirnya sampai pada tahun ketiga. Namun laki-laki itu tak kunjung datang. Harapan-harapan yang telah dianyam oleh mereka berdua, sedikit demi sedikit rontok dari hati gadis itu. Apalagi kemudian ayah bundanya, dan keluarga di sekitarnya, telah mendesaknya untuk segera meninggalkan masa-masa mudanya. Akhirnya gadis itu tak dapat berbuat lain daripada memilih satu dari sekian banyak pemuda yang melamarnya. Laki-laki yang pergi itu tak akan dapat diharapnya kembali."

   Perempuan tua itu berhenti sejenak Dipandanginya wajah Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni tidak berpaling. Anak muda itu masih memandang jauh ke depan, melewati pintu biliknya, menyeberangi ruang dalam dan menembus dinding di sebelah sana.

   "Kau mendengar ceritaku?"

   Bertanya emban itu."Ya, ya, tentu,"

   Agni terperanjat. Perempuan tua itu menarik nafas. Ia tahu bahwa Mahisa Agni tidak berminat atas ceritanya, namun ia bercerita terus. Pada suatu saat anak muda itu pasti akan menaruh perhatian kepada ceritanya itu. Maka ia pun meneruskan.

   "Maka sampailah masanya gadis itu memanjat ke hari-hari perkawinannya. Laki-laki yang dipilihnya kali ini pun adalah laki-laki yang berhati teguh. Ia mengharap bahwa suaminya akan dapat melindunginya apabila sekali-sekali kesulitan datang. Sebab tidak mustahil, apabila anak-anak muda yang menjadi kecewa kelak akan bermata gelap. Namun meskipun laki- laki itu berhati teguh. dan beradat keras, namun ternyata adalah seorang suami yang baik. Dilihatnya kepentingan sendiri, namun. tak diabaikannya kepentingan istrinya itu Sehingga akhirnya, perkawinan itu menjadi semakin terjalin oleh anaknya yang pertama. Laki-laki."

   Sekali lagi perempuan itu berhenti.

   Matanya menjadi semakin sayu, dan wajahnya menjadi semakin tunduk.

   Hampir-hampir ia tidak dapat meneruskan ceritanya, karena lehernya serasa tersekat oleh setiap kata-kata yang akan diucapkannya.

   Namun ia memaksa bercerita terus.

   Katanya.

   "Tetapi pada suatu saat, datanglah badai yang mengguncangkan ketenteraman hidup mereka. Laki-laki yang telah disangkanya hilang itu, akhirnya datang kembali. Dengan bangga ia mencari gadis yang telah berjanji menunggunya. Dengan luka-luka di tubuhnya yang didapatnya dalam setiap persoalan di sepanjang jalan, namun dengan dada menengadah ia berkata, Aku sekarang adalah seorang yang kaya raya "

   Tetapi akhirnya Mahisa Agni menjadi jemu mendengar cerita itu. Karena itu ia mendahului.

   "Aku sudah tahu kelanjutan cerita itu. Kedua laki-laki itu akan bertempur satu sama lain. Laki-laki yang merantau itu akan menang, dan perempuan itu akan kembali kepadanya."

   Emban tua itu menjadi sedih. Katanya.

   "Sayang Ngger, cerita itu berkesudahan lain.""Oh,"

   Sahut Agni.

   "jadi laki-laki yang pulang dari rantau itulah kalah?"

   "Tidak,"

   Jawab perempuan tua itu.

   "Juga tidak. Jadi bagaimana?"

   Bertanya Mahisa Agni. Perempuan itu menarik nafas. Seakan-akan sedang mengatur gelora di dadanya. Kemudian ia meneruskan.

   "Gadis yang telah menjadi ibu itu pun mendengar bahwa laki-laki yang pernah ditunggunya itu datang. Maka ia pun menjadi bingung. Terkenanglah ia pada masa-masa gadisnya. Janjinya kepada anak muda itu. Dan kembali terkenang masa-masa yang penuh gairah menghadapi masa depan. Sebenarnyalah ia masih belum dapat melenyapkan laki-laki itu dari hatinya. Namun disadarinya, bahwa untuk meninggalkan suaminya tak akan dapat dilakukannya. Pergaulan hidup yang selama ini dialaminya, adalah kehidupan yang manis. Karena itu, perempuan itu tak tahu bagaimana ia harus menyelesaikan persoalannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa kedua-duanya adalah orang-orang sakti yang sukar dicari tandingnya."

   "Maka ketika ia tidak dapat menyembunyikan keadaan itu, akhirnya ia memutuskan untuk berkata berterus terang kepada suaminya, dan ia mengharap daripadanya ia akan mendapat pikiran- pikiran baru untuk menyelesaikan persoalan itu."

   "Ketika laki-laki itu mendengar pengaduan istrinya, perasaan- perasaannya dan pengalaman-pengalamannya dengan jujur, laki- laki itu terkejut. Ditatapnya mata istrinya dengan penuh keganjilan. Tetapi laki-laki itu tidak berkata sepatah kata pun. Dibiarkannya istrinya menangis. Bahkan kemudian laki-laki itu pun meninggalkannya seorang diri. Perempuan itu menjadi cemas, bahwa suaminya akan menemui laki-laki yang seorang lagi. Ia takut kalau terjadi perkelahian di antara mereka. Karena itu, maka ia pun segera berlari ke rumahnya. Tetapi suaminya tak ditemuinya di sana. Bahkan laki-laki yang telah pulang dari rantau itulah yang menemuinya. Namun perempuan itu pun tak dapat berkata apa- apa. Ia hanya dapat menangis. Akhirnya laki-laki itulah yangberkata, Pulanglah. Aku sudah tahu apa yang terjadi. Dan aku akan merantau kembali membawa hatiku yang terbelah. Aku pulang dengan membawa harapan. Tetapi laki-laki itu lebih memerlukan kau daripada aku. Kembalilah kepadanya, dan peliharalah baik-baik"

   "Perempuan itu mengeluh. Diterimanya nasihat itu, namun disadarinya bahwa ia telah merusak sebuah hati. Ia tidak tahu, apakah hati yang dilukainya itu akan dapat sembuh kembali. Dengan sedih perempuan itu pulang ke suaminya. Namun suaminya tak ditemuinya di rumah. Akhirnya di dengarnya bahwa malapetaka telah menimpanya tanpa disangka-sangkanya. Seorang pembantunya yang setia datang kepadanya sambil berkata Suamimu telah pergi. Ditinggalkannya pesan untuk Nyai, hidup berbahagia dengan laki-laki yang telah bertahun-tahun ditunggunya"

   "Perempuan itu hampir pingsan mendengar berita itu, apalagi ketika pembantu setianya itu berkata, Anakmu laki-laki telah dibawa serta oleh suamimu, Nyai"

   Emban tua itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Mahisa Agni yang tiba-tiba menjadi merah. Dengan tiba-tiba pula Mahisa Agni berdiri, dan dengan suara yang bergetar ia berkata lantang.

   "Bibi, adakah kau sedang menyindir aku. Apakah kau sangka aku laki-laki cengeng seperti kedua laki-laki itu? Tidak. Atau kau sedang menganjurkan kepadaku, supaya aku menjadi seperti kedua laki-laki yang hanya mampu berpura-pura itu?"

   "Katakanlah ia berbuat kebajikan. Keluhuran budi, namun kedua- duanya tidak jujur. Bukankah Bibi mengatakan bahwa hati mereka terbelah?"

   "Agni..,"

   Potong perempuan tua itu. Namun Agni berkata terus.

   "Ataukah kau menghendaki supaya aku bersikap jantan? Menantang laki-laki yang menghalang-halangi aku. Dengan bertaruh nyawa untuk mencapai idaman hati? Tidak. Tidak. Jangan gurui aku. Sebab aku mempunyai pendirian sendiri. Perempuan itulah yang bersalah. Bukankah dengan demikian, iamemecah dua buah hati sekaligus, atau apabila mereka laki-laki yang rakus, bukankah mereka telah bertempur. Apabila salah seorang dari mereka itu mati atau kedua-duanya, siapakah yang bersalah? Pasti perempuan itu. Gadis itu."

   "Agni. Agni,"

   Perempuan tua itu memekik kecil.

   Sehingga Agni terkejut.

   Dengan demikian ia menjadi terdiam.

   Bahkan ia pun kemudian sadar, bahwa ia telah berbicara terlalu keras, sehingga apabila seseorang mendengarnya, pastilah orang itu menyangka bahwa ia sedang bertengkar.

   Tetapi Mahisa Agni menjadi lebih terkejut lagi ketika dilihatnya mata perempuan tua itu.

   Mata itu tiba-tiba menjadi bercahaya, dan mata itu menatapnya dengan tajam.

   Dan dilihatnya bibir wanita itu bergetar.

   Perlahan-lahan namun pasti perempuan tua itu berkata.

   "Kau benar Agni. Perempuan itulah yang bersalah. Ia telah mengecewakan kedua-duanya. Karena itulah maka perempuan itu harus dihukum. Kau benar anak muda. Perempuan itu harus dihukum. Dan perempuan itu pun telah menghukum diri sendiri. Betapa ia membuang diri dari lingkungannya. Dari keluarga dan sanak kadang. Hiduplah ia kemudian sebagai seorang budak yang hina."

   Emban itu berhenti sejenak. Matanya masih menyala. Kemudian ia meneruskan.

   "Tetapi apakah yang dilakukan oleh kedua laki-laki itu. Meskipun mereka tidak bertempur satu sama lain, namun tak banyaklah artinya daripada itu. Mereka menumpahkan kepahitan hidupnya pada orang-orang lain. Dan kedua laki-laki itu pun tak berumur panjang. Sebelum matinya, laki-laki yang membawa anaknya itu selalu berkata kepada anaknya, bahwa ibunya telah meninggal dunia. Dan akhirnya ayahnya pun meninggal pula."

   Ketika perempuan tua, emban Ken Dedes itu berhenti sejenak Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Masih dilihatnya mata emban itu memandangnya dengan tajam.

   Dan tiba-tiba saja terasa seakan-akan sinar mata itu menusuk ulu hatinya, sehingga Mahisa Agni pun dengan tergesa-gesa berpaling.Kemudian terdengar emban itu meneruskan.

   "Tetapi ke tahuilah Agni. Perempuan itu, ibu anak yang ditinggalkan ayahnya itu, sebenarnya belum mati."

   Dada Mahisa Agni berdesir. Terasa sesuatu bergolak di dalam rongga dadanya. Apalagi ketika ia mendengar emban itu meneruskan dengan suara lembut, namun dalam sekali.

   "Agni, kau ingin melihat perempuan yang berdosa itu. Yang telah mengecewakan dua orang lelaki sekaligus?"

   Agni tidak menjawab. Tetapi ia memandang mata perempuan tua itu. Dan telinganya mendengar emban itu berkata.

   "Inilah perempuan itu."

   "Oh,"

   Agni terperanjat. Dan tak sesadarnya ia berkata.

   "Maafkan aku Bibi."

   "Kau benar Ngger. Tak ada yang harus aku maafkan,"

   Perempuan tua itu menundukkan wajahnya.

   Dan kembali air matanya menetes satu-satu.

   Tetapi kini Agni melihat betapa sedih hati perempuan itu.

   Justru karena ia menyadari, bahwa ia telah menghancurkan harapan dari dua orang laki-laki bersama-sama.

   Agni pun menundukkan wajahnya.

   Ia menyesal akan ketelanjurannya.

   Ia menyesal bahwa ia telah bersikap terlalu kasar kepada perempuan tua itu.

   Kini sedikit demi sedikit terguratlah di dinding hatinya, maksud sebenarnya dari perempuan itu.

   Mungkin perempuan itu akan mengatakan kepadanya, bahwa Ken Dedes pun tak dapat disalahkannya.

   Meskipun perempuan itu tidak membantah, bahkan mengakui, bahwa dirinya telah berdosa, tetapi tersimpan juga pertanyaan di hatinya Apakah sebenarnya aku bersalah?.

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Mungkin, katanya di dalam hati.

   Mungkin perempuan itu akan memberi nasihat kepadaku, supaya aku tidak mendendam dan menjalani sisa-sisa hidup dengan pedih dan duka.

   Tetapi Mahisa Agni tak berkata sepatah pun.Untuk sesaat ruangan itu menjadi sunyi.

   Agni pun kemudian menundukkan wajahnya.

   Dan perempuan tua itu sedang sibuk mengusap air matanya dengan ujung kainnya.

   Tetapi sampai saat itu Mahisa Agni masih belum dapat menghubungkan, betapa perempuan itu menyimpan harapan sejalan dengan masa depannya.

   Sesaat kemudian terdengar emban itu berkata.

   "Angger, kini kau tahu dengan siapa kau berhadapan. Bagaimanakah anggapanmu kepada perempuan yang demikian? Masihkah ia berhak menyebut dirinya di antara keluarganya?"

   Mendengar pertanyaan itu, Mahisa Agni menjadi bimbang.

   Apakah perempuan itu bercerita tentang dirinya, ataukah ia sedang menjajaki tanggapannya terhadap Ken Dedes? Tetapi melihat sinar matanya, maka Agni merasa, bahwa perempuan itu berkata dengan jujur.

   Meskipun demikian Agni tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.

   Sehingga perempuan itu terpaksa sekali lagi mengulangi.

   "Angger, bagaimanakah anggapanmu terhadap perempuan yang demikian? Apakah ia mutlak bersalah dan harus dihukum untuk seumur hidupnya?"

   Dengan serta merta Agni menjawab di luar kemauannya.

   "Tidak. Tidak Bibi."

   Perempuan itu menarik nafas. Kemudian ia bertanya pula.

   "Bagaimanakah seandainya, perempuan itu termasuk salah seorang keluargamu. Kakakmu misalnya atau adikmu perempuan?"

   Kini Agni menjadi semakin bimbang.

   Hampir ia kecewa terhadap perempuan itu.

   Apakah aku harus menentukan tanggapanku terhadap Ken Dedes? Sekali lagi tebersit pertanyaan di dalam hati.

   Namun akhirnya Mahisa Agni tak dapat lagi menyimpan pertanyaan itu, sehingga akhirnya terlontar dari mulutnya.

   "Adakah Bibi sedang ingin mengetahui, apakah aku mendendam kepada Ken Dedes?""Tidak Ngger. Tidak,"

   Jawab perempuan tua itu cepat-cepat, lalu disambungnya.

   "Aku bertanya kepadamu sejujur hatiku. Kalau perempuan itu datang kepadamu Agni, apakah akan kau usir dia?"

   Agni memandang perempuan tua itu dengan tajamnya. Ketika dilihatnya wajah yang sayu, maka ibalah hatinya. Ia tidak mau menambah pedih hati yang luka itu. Karena itu ia menjawab.

   "Tentu Bibi. Seandainya aku salah seorang dari keluarga bibi, maka akan aku terima Bibi kembali kepadaku."

   "Oh,"

   Perempuan itu akan berkata, namun tiba-tiba kembali ia menangis. Dan Mahisa Agni pun menjadi semakin tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang terjadi dengan perempuan itu? Disela-sela tangisnya Agni mendengar ia berkata.

   "Agni. Aku tidak tahu, apakah kau berkata sebenarnya, atau kau hanya ingin menyenangkan hatiku. Tetapi ketahuilah, bahwa perempuan itu, aku, benar-benar ingin kembali kepada satu-satunya keluarganya yang diketahuinya. Bahkan satu-satunya orang yang dapat menyebutnya orang tua. Agni. Ketahuilah bahwa perempuan itu ingin datang kepada anak laki-lakinya. Dan anak laki-laki itu kini telah ditemukannya. Bahkan sebenarnya sudah sejak lama. Namun perempuan itu takut melihat bayangannya sendiri."

   Perempuan itu berhenti sejenak. Kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan dada Mahisa Agni. Apalagi ketika perempuan itu berkata seterusnya. Kata demi kata, bagaikan guruh yang menggelegar di tengah-tengah hari yang cerah.

   "Agni. Anak-anak laki-laki itu kini berada di sini pula. Di ruangan ini."

   "Bibi,"

   Potong Agni terbata-bata.

   "Apakah yang dimaksudkan dengan anak laki-laki itu aku?"

   Perempuan itu mengangguk. Lemah dan ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata pasti.

   "Ya Agni. Kau."

   "Jadi.?"

   Agni ingin berkata lagi. Namun tiba-tiba terasa mulutnya seperti tersumbat dan jantung serasa beku. Tubuhnya yang kokoh itu pun bergetar dan akhirnya terhuyung-huyung ia melangkah maju, sambil berdesis.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ibu. Benarkah?"Perempuan itu mengangguk lemah. Lemah sekali. Peristiwa itu benar-benar tak akan disangka-sangka sebelumnya. Karena itu Mahisa Agni menjadi bingung. Sesaat ia berdiri mematung, namun kemudian ia meloncat dua langkah maju dan berjongkok di hadapan perempuan tua itu. Katanya.

   "Jadi benarkah bahwa yang duduk di hadapanku ini ibuku?"

   "Ya, Agni,"

   Jawab perempuan itu.

   "ibu yang melumuri tubuhnya dengan dosa. Tak ada yang pernah aku kerjakan sebagai seorang ibu untuk anaknya. Dan sekarang terserah kepadamu Agni. Apakah kau ingin menerimanya atau kau akan menolaknya."

   Agni tidak menjawab.

   Tetapi dengan gemetar ia memeluk kaki perempuan tua itu.

   Dadanya yang bergelora serasa akan meledak.

   Setetes demi setetes air mata perempuan tua itu menitik di atas kepalanya.

   Kembali bilik itu menjadi sepi.

   Yang terdengar adalah nafas Mahisa Agni yang berdesak-desakan memburu keluar dari lubang- lubang hidungnya.

   Seperti orang yang kehilangan kesadaran.

   Agni tenggelam dalam suatu gelora perasaan yang dahsyat.

   Pertemuan itu benar-benar mengejutkannya.

   Sebab telah tertanam di dalam hatinya suatu pengertian, bahwa ibunya telah meninggal dunia.

   Kini perempuan itu berkata, bahwa ia adalah ibunya.

   Meskipun kata-kata itu tak akan dapat dibuktikannya, namun Agni mempercayainya.

   Dengan suatu keyakinan, yang tumbuh di dalam hatinya, ia pasti, bahwa perempuan itu adalah ibunya.

   ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 3 KEMUDIAN Agni merasa tangan-tangan yang berkeriput itu membelai rambutnya dan kemudian menepuk pundaknya.

   "Bangkitlah Mahisa Agni. Duduklah supaya orang tidak melihat kejanggalan ini."Mahisa Agni pun kemudian bangkit dan duduk di samping emban tua itu. Tetapi wajahnya masih ditundukkannya, memandang dalam- dalam ke dalam gambaran-gambaran di benaknya. Wajah perempuan itu, matanya, hidungnya, dahinya.

   "Ah,"

   Desah Agni di dalam hati kenapa aku tidak melihatnya sebelumnya. Hampir saya aku melukai hatinya."

   Yang terdengar kemudian ibunya berkata.

   "Agni. Sekarang kau melihat, apakah sebabnya aku menggantungkan harapan masa depanku sejalan dengan keadaanmu. Namun anakku, bahwa apa yang terjadi sebenarnya adalah satu peristiwa timbal balik, hutang piutang dan sebab akibat. Kau yang sama sekali tidak bersalah, kini harus menerima akibat dari kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan sebelumnya. Aku telah mengecewakan hati laki-laki, bahkan dua orang sekaligus. Dan kini kau, anakku, agaknya telah dikecewakan oleh seorang gadis pula."

   Agni masih menundukkan wajahnya. Ia tidak membantah lagi. Tidak seharusnya ia menyembunyikan perasaannya kepada ibunya. Ibu yang meskipun baru saja dikenalinya.

   "Tetapi anakku,"

   Berkata ibunya.

   "kau telah mendengar cerita tentang ibumu, ayahmu dan laki-laki yang merantau itu. Meskipun kau kini mengalami nasib yang mirip dengan laki-laki itu, tetapi kau jangan kehilangan masa depanmu. Kau dapat memilih satu di antara dua. Namun dengan ikhlas dan jujur. Merebut gadis itu atau melepaskan dengan ikhlas. Sudah temu kau tidak akan mengorbankan hubunganmu sebagai seorang murid terhadap gurunya yang telah bertahun-tahun memeliharamu. Tidak saja sebagai seorang murid, namun sebagai seorang anak yatim piatu. Nah Agni, aku ingin mendengar dari mulutmu, apakah yang akan kau lakukan?"

   Agni masih diam menekurkan kepalanya. Ia tidak merasa tersinggung lagi kini. Bahkan serasa ia mendapat saluran yang wajar untuk meluapkan perasaannya. Karena itu maka ia pun menjawab.

   "Ibu. Aku sudah memutuskan untuk melepaskannya dengan ikhlas Sebab aku merasa, bahwa aku tidak akan dapat memaksanya untukmengalihkan perasaannya dengan paksa. Meskipun seandainya aku berhasil berbuat sesuatu yang dapat memaksa gadis itu mengubah pendiriannya, namun aku tidak yakin, apakah gadis itu tidak akan tersiksa sepanjang hidupnya. Dan apakah aku tidak tersiksa pula karena aku hanya dapat memiliki tubuhnya, namun bukan hatinya."

   Perempuan tua itu mengangguk-angguk.

   "Syukurlah,"

   Katanya. Tetapi kau jangan mengorbankan masa depanmu yang panjang. Kalau kau sudah menerima keadaan itu, jangan kau bunuh hari depanmu dengan keputusasaan."

   Agni menggeleng lemah.

   "Tidak ibu,"

   Jawabnya.

   "Demikianlah, Anakku,"

   Sahut ibunya.

   "terimalah akibat ini. Akibat dari perbuatan ibumu."

   "Karma,"

   Desah Agni di dalam hatinya. Dan terdengar ibunya melanjutkan.

   "Dan akibat itu datang terlampau cepat."

   Ibunya diam untuk sesaat. Tetapi kemudian ia berkata pula.

   "Sepeninggal ayahmu Agni, aku telah mencarimu. Akhirnya aku temukan kau dalam asuhan orang lain yang baik hati kepadamu. Tetapi aku tidak dapat mengambil kau sebagai seorang ibu mengambil anaknya. Karena itu, apabila selama masa pembuangan diri itu aku mengabdikan diriku di sini, di padepokan Empu Purwa maka aku minta dengan sangat, supaya Empu Purwa mengambil seorang anak laki-laki kecil sebagai muridnya. Tentu aku tidak mengatakan, bahwa laki-laki itu adalah anakku. Tetapi aku berhasil membujuknya dengan mengungkit rasa belas kasihannya."

   Kini Agni menjadi jelas.

   Dan terasa kemudian, betapa emban Ken Dedes itu sangat baik kepadanya.

   Mula-mula ia menyangka bahwa emban itu baik hati kepadanya, karena ia murid Empu Purwa, yang seakan-akan telah menjadi saudara kandung putrinya.

   Namun kalau demikian halnya maka sikap emban itu agak berlebih-lebihan.

   Dan kini perempuan itu meneruskan kata-katanya.

   "Aku menjadi cemas dengan keadaanmu sejak semalam. Tetapi kini aku sudah mendengar dari mulutmu sendiri. Karena itu aku menjadi berlegahati. Nah, Agni, sebagai emban Ken Dedes, maka biarlah aku minta kepadamu. Sampaikan permintaan yang telah kau ketahui itu kepada Wiraprana. Demi kelangsungan masa depanmu dengan perguruanmu. Sudah tentu kau tak akan mengatakan kepada siapa pun juga, siapakah sebenarnya aku ini."

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Dan terdengar ia berkata lirih.

   "Senja nanti Wiraprana akan datang kemari."

   Perempuan tua itu tersenyum. Sekali lagi ditepuknya bahu Mahisa Agni. Katanya.

   "Aku harap kau berjiwa besar."

   "Mudah-mudahan,"

   Jawab Mahisa Agni. Emban tua itu pun kemudian bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Namun di muka pintu ia berhenti sejenak, berpaling dan berkata.

   "Aku akan pergi kepada gadis putri Empu Purwa itu. Mengatakan kepadanya, bahwa Mahisa Agni telah menyanggupinya, menyampaikan pesannya kepada Wiraprana. Begitu?"

   Mahisa Agni mengangguk lemah.

   "Baiklah,"

   Gumam ibunya.

   Dan sesaat kemudian perempuan tua itu telah hilang di balik pintu.

   Kini kembali Mahisa Agni seorang diri di dalam biliknya.

   Bilik yang semula.

   Tetapi terasa betapa ada perbedaan di dalam dirinya.

   Kini ia tidak lagi merasa terlalu sepi.

   Tiang-tiang, dinding dan sudut-sudut biliknya tidak setegang tadi.

   Dan terasa oleh Mahisa Agni, bahwa padepokan itu masih mengikatnya kembali.

   Ibunya berada di padepokan itu pula.

   Dengan demikian, maka masih diharapkannya untuk tinggal di tempat ini.

   Mudah-mudahan ia memberikan baktinya kepada ibunya itu.

   Meskipun ibunya seakan-akan tak pernah berbuat sesuatu untuknya, namun perempuan itu telah berjuang melawan maut pada saat melahirkannya, kemudian menyusuinya dengan penuh harapan, bahwa bayinya akan dapat hidup terus dan menjadi besar.

   Dan kini ia telah menjadi besar.

   Lalu apakah yang akan dilakukan untuk ibunya itu?Beberapa saat berselang, ibunya memberinya beberapa petunjuk dan pesan-pesannya.

   Pesan seorang ibu.

   Dan tiba-tiba hati Mahisa Agni menjadi besar.

   Dengan dada tengadah ia menanti kedatangan Wiraprana.

   "Aku akan berkata kepadanya. Mudah-mudahan akan dapat memberinya kegembiraan."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Kembali ia meletakkan tubuhnya di pembaringannya.

   Betapa penat telah menjalari seluruh tubuhnya.

   Namun ia tidak dapat memejamkan matanya.

   Kini ia sedang mereka-reka, bagaimana ia harus mengatakan kepada Wiraprana.

   Matahari di langit berjalan di dalam garis edarnya.

   Semakin lama semakin condong ke barat.

   Cahaya-cahaya merah telah bertebaran di atas pohon-pohon kelapa dan mewarnai lereng-lereng perbukitan.

   Burung-burung seriti beterbangan menangkapi belalang di padang- padang rumput.

   Dan hari yang cerah itu pun berangsur-angsur menjadi suram.

   Menjelang senja Mahisa Agni telah membersihkan dirinya.

   Mandi di sumur belakang rumah gurunya.

   Kemudian duduk dengan gelisahnya di regol halaman menunggu Wiraprana.

   Ia harus segera menyampaikan pesan itu sebelum ia bertemu dengan gurunya.

   Mungkin gurunya pun akan bertanya kepadanya, apakah pesan putrinya telah sampai kepada anak buyut Panawijen itu.

   Meskipun ia sadar, bahwa gurunya pun akan memaksa dirinya sendiri untuk menuruti permintaan putri satu-satunya.

   Tetapi, ada juga kemungkinan lain.

   Ken Dedes sama sekali tidak mengatakan kepada ayahnya sampai pada suatu ketika ayahnya mengadakan permainan sayembara pilih kembali.

   "Biarlah, apa yang akan dilakukan,"

   Berkata Agni di dalam hati.

   "namun aku harus menyampaikannya kepada Wiraprana. Hati Mahisa Agni menjadi berdebar-debar ketika dari kejauhan ia melihat anak muda yang ditunggunya itu datang. Karena itu segera ia pun berdiri. Sesaat ia tegak di tengah-tengah regol itu, namun kemudian ia melangkah menepi bersandar pada tiang pintu. Tetapisesaat lagi ia telah berjalan hilir mudik melintasi jalan di muka regol halaman itu. Wiraprana yang berjalan ke arahnya itu pun tidak kalah gelisahnya. Anak muda itu melihat Mahisa Agni berjalan hilir mudik, berdiri tegak, kemudian berjongkok kembali. Karena itu maka Wiraprana pun tak ada habis-habisnya berpikir.

   "Apakah aku telah berbuat suatu kesalahan kepadanya, atau kepada Ken Dedes?"

   Tetapi ia berjalan terus.

   Apapun yang dihadapinya, akan diterimanya dengan baik.

   Seandainya ternyata ia bersalah, maka adalah menjadi kewajibannya untuk minta maaf.

   Baik kepada Mahisa Agni maupun kepada Ken Dedes.

   Akhirnya Wiraprana itu pun sampai di regol itu pula.

   Dilihatnya Mahisa Agni tersenyum dan kemudian berkata.

   "Aku menunggumu sejak tadi Wiraprana."

   Wiraprana pun tersenyum pula.

   "Bukankah kau minta aku datang sesudah senja?"

   Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya.

   "Wiraprana, apakah sudah mengairi sawahmu?"

   Wiraprana mengangguk.

   "Sudah,"

   Jawabnya.

   "Bagus,"

   Jawab Agni.

   "kalau demikian kau tidak akan tergesa- gesa."

   Dada Wiraprana berdesir. Selama ini ia sealu datang ke rumah ini. Tidur di sini, makan di sini. Kenapa tiba-tiba kini Mahisa Agni bersikap demikian. Apalagi kemarin ia tampak terlalu tergesa-gesa. Namun ia menjawab juga.

   "Semua pekerjaanku sudah selesai Agni."

   Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya.

   "Marilah kita pergi ke bendungan."

   Wiraprana mengangguk.

   Meskipun terasa betapa canggungnya pertemuannya kali ini.

   Berpuluh kali ia telah pernah mendengar Mahisa Agni mengajaknya ke bendungan, namun kali ini hatinyaberdebar-debar juga.

   Meskipun demikian Wiraprana mengangguk juga sambil menjawab.

   "Marilah."

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Agni tidak berkata apa-apa lagi.

   Keduanya kemudian berjalan bersama-sama ke bendungan.

   Kemarin, dua hari yang lampau, tiga hari yang lampau, lima, sepuluh dan beratus-ratus kali di saat-saat lampau, keduanya sering pula berjalan ke bendungan.

   Tetapi kali ini keduanya seperti asing.

   Mereka berjalan sambil berdiam diri.

   Cepat- cepat seperti takut terlambat.

   Ketika mereka telah tegak di bedungan, berkatalah Mahisa Agni.

   "Duduklah Wiraprana."

   "Hem,"

   Desah Wiraprana.

   "Agni memang aneh akhir-akhir ini,"

   Katanya di dalam hati.

   "biasanya tak pernah ia mempersilakan demikian. Apakah aku akan berjungkir balik, atau akan terjun sekalipun, tak pernah ia menegurku."

   Meskipun terasa betapa kaku pertemuan itu, namun Wiraprana kemudian duduk juga di samping Mahisa Agni.

   Untuk sejenak mereka masih berdiam diri.

   Wiraprana memandang jauh-jauh ke kelokan sungai, memandang air yang berputar-putar dan kemudian lenyap seperti ditelan hantu, hilang di balik kelokan.

   Beberapa kali Mahisa Agni menarik nafas.

   Ketika melihat warna- warna yang semakin kelam di ujung pepohonan ia menjadi gelisah.

   Sebenarnya Mahisa Agni ingin langsung menyampaikan pesan Ken Dedes.

   Namun ia tidak segera menemukan cara untuk memulainya.

   Tetapi ia sadar, lambat atau cepat ia harus berkata.

   Karena itu akhirnya di cobanya juga berkata.

   "Wiraprana, kali ini aku ingin menyampaikan sebuah pesan untukmu."

   Wiraprana kemudian berpaling. Ditatapnya wajah Agni yang menunduk. Karena Mahisa Agni tidak segera meneruskan kata- katanya maka Wiraprana pun menyahut.

   "Agni. Sudah terasa betapa janggal sikapmu akhir-akhir ini. Supaya aku tidak selalu berteka teki, maka sudah sepantasnya kalau kau mengatakan sesuatu kepadaku.Apakah aku telah berbuat kesalahan, atau apapun yang mengecewakanmu atau mengecewakan Ken Dedes."

   "Tidak!"

   Mahisa Agni menggeleng.

   "Kau tidak mengecewakan siapa pun. Aku tidak, Ken Dedes apalagi."

   Mahisa Agni diam sesaat. Dicobanya mengatur perasaannya. Ia harus mengatakan sesuatu yang dirasakannya terlalu pahit. Namun ketika diingatnya pesan ibunya, maka ia pun menjadi agak tenang. Maka katanya.

   "Sudah lama aku mengenalmu, dan sebaliknya. Kau pun telah mengenal seluruh keluarga kami. Guruku, aku dan Ken Dedes. Wiraprana, hampir setiap hari kau berkunjung ke rumah guru. Apakah benar-benar hanya karena aku ada di sana?"

   Wiraprana terkejut mendengar pertanyaan itu. Sahutnya.

   "Apakah maksudmu Agni?"

   Agni menarik nafas. Dengan sangat berhati-hati ia mengulangi supaya tidak menimbulkan salah mengerti.

   "Wiraprana, maksudku, apakah kehadiranmu setiap hari di rumah Empu Purwa itu benar- benar karena kau ingin menemui aku?"

   "Tentu!"

   Jawab Wiraprana cepat-cepat. Wajah anak muda itu pun menjadi merah, dan hatinya semakin berdebar-debar.

   "Apakah kau menyangka lain, Agni?"

   "Tidak,"

   Sahut Agni.

   "mula-mula aku tidak menyangka lain, namun sekarang aku mengharap, semoga kau mempunyai maksud yang lain."

   "Ah,"

   Desah Wiraprana.

   "aku tidak mengerti. jangan membuat aku bingung, Agni. Katakanlah."

   "Prana,"

   Berkata Mahisa Agni.

   "betapa berat pesan yang dititipkan kepadaku untukmu. Sebagai seorang kakak, aku wajib memenuhinya. Namun aku mengharap kau tidak menjadi kecewa, justru karena pesan itu. Kau jangan salah menilai, bahwa seorang gadis sedemikian berani memberikan pesan yang tak ternilai harganya kepada seorang anak muda. Prana, besuk atau lusa kauakan tahu sebabnya. Kini, dengarlah pesan dari adikku itu. Ia mengharap kehadiranmu dalam perjalanan hidupnya."

   Kembali Wiraprana terperanjat.

   Dan kembali warna merah membersit di wajahnya.

   Karena itu ia menjadi seakan terbungkam.

   Mahisa Agni telah memberitahukan pesan itu terlalu langsung.

   Agni pun kemudian merasakan pula kekakuan kata-katanya.

   Namun untuk mengucapkannya ia sudah harus berjuang di dalam dirinya.

   Karena itu ia tidak dapat berbuat lebih baik daripada apa yang telah dilakukannya.

   Sejenak kemudian keduanya dicengkam oleh debar yang cepat di dada masing-masing.

   Wiraprana bahkan menjadi bingung.

   Apakah yang dapat dikatakannya? Sedang Mahisa Agni sibuk menguasai perasaannya.

   Dengan sekuat tenaga ia berjuang untuk menenangkan diri.

   Baru kemudian ia dapat berkata pula.

   "Wiraprana, jangan menyangka bahwa Ken Dedes dengan tiba-tiba saja merendahkan dirinya dengan pesannya itu. Ia tidak akan berbuat demikian seandainya, sikapmu, kata-katamu sebelumnya tidak meyakinkannya. Setidaknya menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Sehingga pada saat gadis itu terdesak oleh keadaan, seperti yang terjadi dengan Kuda Sempana, ia harus menjatuhkan pilihan."

   Wiraprana mengangkat wajahnya. Kemudian dengan gemetar ia bertanya.

   "Kenapa pilihan itu jatuh atasku?"

   Agni menarik nafas. Kemudian ia meneruskan.

   "Sudah aku katakan, sikapmu dan kata-katamu menumbuhkan harapan di hati adikku. Ketika Ken Dedes mengeluh atas keadaannya, atas sikap Kuda Sempana dan lamaran-lamaran lain yang datang kepada ayahnya, namun tak seorang pun sesuai dengan hatinya, maka aku nasihatkan kepadanya untuk segera menentukan pilihan. Wiraprana, adikku itu telah lama mengenalmu. Aku pun telah mengenalmu pula, hampir segenap watak dan tabiatmu. Karena itu, aku nasihatkan kepada Ken Dedes, supaya ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam masa-masa hidupnya yang akan datang. Agaknya kami, aku dan Ken Dedes sependapat, bahwa tak adaorang lain yang lebih baik dari padamu. Karena itu, apakah Ken Dedes akan memberikan pesan untukmu atau tidak, suatu saat aku pasti akan mengatakannya kepadamu."

   Terasa sesuatu bergelora di dalam dada Wiraprana.

   Kini ia tidak dapat berbohong lagi.

   juga kepada dirinya sendiri.

   Sejak lama terasa sesuatu di dalam sudut hatinya.

   Tetapi ia tidak berani melihatnya.

   Ia merasa bahwa tak sepantasnya ia berangan-angan tentang seorang gadis putri pendeta yang menenggelamkan hidupnya dalam pengabdiannya terhadap sumber hidupnya.

   Ia merasa, bahwa dirinya akan terlalu kasar untuk itu.

   Wiraprana merasa, bahwa ia tidak lebih dari seorang petani yang lebih mengenal dirinya sendiri, alam dan semesta ini pada wadagnya.

   Karena itu ia telah bertekad untuk menekan segenap perasaan yang timbul di dalam dadanya.

   Namun demikian, setiap kali selalu timbul keinginannya untuk datang ke rumah guru sahabatnya itu.

   Karena itu, tiba-tiba timbul pula pertanyaan di hatinya.

   "Apakah aku datang setiap hari mengunjungi Mahisa Agni itu benar-benar karena aku ingin bertemu dengan anak itu?"

   Wiraprana menjadi malu sendiri.

   Agni pun bertanya demikian kepadanya.

   Dan ia tidak dapat menjawabnya.

   Wiraprana kemudian menundukkan wajahnya.

   Di dalam dadanya bergolak berbagai perasaan.

   Terkejut, gelisah namun tebersit pula kegembiraan di dalam hatinya.

   Karena itu, selagi ia sibuk dengan persoalannya sendiri, maka ia tidak melihat betapa Mahisa Agni berjuang untuk menguasai perasaannya.

   Di dalam dadanya pun bergelora pula berbagai perasaan.

   Pedih, sakit dan kecewa.

   Namun ia sudah bertekad untuk menghayatinya.

   Gemericik air di bendungan terdengar seperti sebuah lagu yang lincah.

   Nadanya meloncat-loncat dalam irama yang cepat.

   Ketika Wiraprana memandang ke dalamnya, tampaklah bayangan bintang- bintang di langit seakan-akan meloncat-loncat dipermainkan oleh getaran permukaan air yang riang."Agni,"

   Tiba-tiba ia berkata. Agni mengangkat wajahnya, dan ditatapnya wajah Wiraprana yang cerah.

   "Adakah kau berkata sebenarnya?"

   Bertanya anak muda itu.

   "Tentu,"

   Jawab Agni.

   "Apakah Ken Dedes benar-benar bermaksud demikian? Agni, aku takut kalau Ken Dedes sekedar menuruti permintaanmu,"

   Wiraprana menegaskan. Agni menarik nafas. Terasa dadanya menjadi sesak. Namun ia menjawab.

   "Tidak Ken Dedes benar-benar menyadari pesannya itu."

   "Ah,"

   Desah Wiraprana.

   Kembali mereka berdiam dari.

   Wiraprana kini melihat masa depan yang cerah terbentang di hadapannya.

   Nanti ia akan berkata kepada ayahnya apa yang didengarnya dari Mahisa Agni.

   Ayahnya segera pasti akan memenuhi adat itu.

   Datang kepada ayah Ken Dedes dengan sebuah upacara.

   "Hem,"

   Katanya di dalam hati.

   "Bukankah ayahku Buyut Panawijen? Seharusnya aku tak perlu merasa terlalu kecil untuk melakukannya?. Dan tiba-tiba Wiraprana itu tersenyum sendiri. Meskipun demikian, Wiraprana masih ingin meyakinkan. Karena itu ia bertanya.

   "Agni, bagaimanakah pendapatmu tentang pesan itu. Apakah sudah sepantasnya aku menerimanya?"

   Sekali lagi sebuah goresan melukai hati Mahisa Agni. Tetapi ia menjawab.

   "Tentu Wiraprana. Seharusnya kau penuhi permintaan itu. Pandanglah dirimu dengan jujur, apakah tak ada perasaanmu untuk melakukannya. Jangan hiraukan tanggapan orang lain tentang dirimu, tentang gadis itu dan tentang masa depan kalian berdua. Kebahagiaan kalian di masa mendatang tergantung kepada kalian sendiri. Tidak kepada orang lain dan tidak pula tergantung kepadaku."Wiraprana mengangguk-angguk. Senyumnya kembali membayang di wajahnya. Katanya.

   "Terima kasih Agni. Aku tidak menyangka bahwa aku akan tertimpa ndaru. Aku sebenarnya gelisah melihat sikapmu yang aneh akhir-akhir ini. Tetapi kini aku menjadi sangat berterima kasih kepadamu."

   Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi kemudian ia mengatupkan giginya. Desahnya di dalam hati.

   "Berbahagialah kau, anak muda."

   Tetapi Wiraprana tak melihat luka di dalam dada Agni. Yang dilihatnya adalah keriangannya sendiri. Dan tiba-tiba ia berkata.

   "Agni. Marilah kita pulang. Aku akan mengatakannya kepada Ayah. Supaya Ayah segera dapat melakukannya. Besok atau lusa."

   Mahisa Agni mengangguk. Tetapi ia masih belum ingin pulang. Maka jawabnya.

   "Pulanglah dahulu, Prana. Aku masih akan ke sawah."

   Wiraprana tidak dapat merasakan apapun selain keinginannya untuk segera menyampaikan kabar itu kepada ayahnya.

   Ayahnya pasti tidak akan menolaknya.

   Meskipun ia harus meyakinkan, bahwa keluarga Ken Dedes seluruhnya telah menerima kehadirannya apabila dikehendaki.

   Karena itu, maka katanya.

   "Baiklah, aku pulang dahulu."

   Mahisa Agni mengangguk.

   "Pulanglah. Aku segera menyusul."

   Wiraprana tidak berkata apa-apa lagi.

   Segera ia melangkah dari batu ke batu.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kemudian meloncat dan berjalan cepat-cepat pulang.

   Mahisa Agni kemudian berdiri.

   Dipandangnya Wiraprana yang berjalan tergesa-gesa itu.

   Semakin lama semakin dalam membenam di hitamnya malam.

   Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas.

   Perlahan-lahan pandangan matanya berkisar di seputar bendungan.

   Air di grojoggan masih memercik beruntun.

   Di langit ujung timur, Mahisa Agni melihat semburat kuning membayang di atas ujung-ujung pepohonan.

   Bulan sesaat lagi akan melambung di langit yang biru.Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan menuruni bendungan.

   Dilangkahinya anak-anak tangga di tebing kali.

   Sehingga akhirnya sampailah ia di pinggir belumbang kecil.

   "Di sinilah aku telah menyelamatkan kedua-duanya,"

   Desisnya.

   Agni menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Ketika ia melihat wajahnya di air belumbang yang terang itu, seakan-akan dilihatnya masa-masa lampaunya yang penuh dengan keprihatinan.

   Tetapi justru karena itulah, maka Mahisa Agni mampu menahan arus perasaannya, betapapun sakitnya.

   Ketika bulan telah tersembul di atas punggung bukit, Agni teringat bahwa gurunya memerlukannya.

   Karena itu dengan langkah yang berat, seberat beban di hatinya, ia melangkah pulang.

   Ketika dilewatinya sawah gurunya itu, diperlukannya membuka tutup pematang, untuk mengalirkan air ke dalamnya.

   Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, dilihatnya halaman rumah itu sangat sepi.

   Lampu-lampu minyak telah menyala di setiap ruang di dalam rumah.

   Seseorang telah menyalakan lampu di biliknya pula.

   Di pendapa Agni melihat seorang cantrik melintas.

   Kepadanya Agni bertanya.

   "Di manakah Empu Purwa sekarang?"

   "Di pringgitan,"

   Jawabnya.

   Mahisa Agni mengangguk.

   Ia ingin langsung menemui gurunya.

   Mungkin ada sesuatu yang penting Mungkin ada hubungannya dengan Ken Dedes mungkin pula tidak.

   Perlahan-lahan Mahisa Agni membuka pintu.

   Dilihatnya gurunya duduk bersila.

   Di hadapannya terhidang bintang, teko dan sebuah mangkuk kecil.

   "Marilah, Agni,"

   Berkata gurunya.

   Dan Agni pun kemudian berjongkok dan duduk di muka Empu Purwa.

   Meskipun telah berbilang ribuan ia duduk menghadap gurunya namun kali ini hatinya berdebar-debar juga.

   Tetapi debar jantung Agni pun menjadi semakin kusut ketika ia melihat wajah gurunya yang bening tenang."Marilah, Agni.

   Mumpung masih hangat,"

   Ajak gurunya sambil menyodorkan mangkuk kecil untuknya.

   Mahisa Agni pun mengangguk, dan seperti biasanya segera ia meraih teko dan kemudian segumpal gula kelapa.

   Adalah menjadi kebiasaan gurunya, mengajaknya minum bersama.

   Menurut gurunya minum bersama terasa jauh lebih nikmat daripada sendiri.

   Ketika setengah mangkuk kecil telah terminum, Mahisa Agni meletakkannya kembali di dalam nampan kuningan.

   Sejenak mereka berdua masih berdiam diri.

   yang terdengar kemudian hanyalah bunyi-bunyi jangkrik dan angkup-angkup nangka yang meringkik-ringkik di kejauhan.

   Kemudian Empu Purwa itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Katanya.

   "Aku mencarimu tadi pagi, Agni. Tetapi tak ada keperluan apa-apa. Aku hanya ingin minum bersama seseorang. tetapi ternyata kau tidak ada. Tak seorang pun yang melihat. Aku sangka kau sedang pergi sawah."

   Kembali Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ditundukkannya kepalanya, dan dibiarkannya gurunya berkata meneruskan.

   "Apakah kau benar-benar pergi ke sawah?"

   Mahisa Agni menjadi bingung. Meskipun demikian ia menjawab.

   "Baru saja aku pulang dari sawah guru."

   Empu Purwa tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata.

   "Apakah padimu telah merunduk?"

   "Hampir Empu, tidak sampai berbilang hari,"

   Jawab Mahisa Agni.

   "Ah, syukurlah,"

   Sahut orang tua itu.

   "mudah-mudahan tanaman itu dijauhkan dari hama den kerusakan."

   "Mudah-mudahan,"

   Gumam Mahisa Agni.

   "Kalau demikian, Agni,"

   Berkata Empu Purwa.

   "itu sudah hampir sampai masanya kau membuat gubuk untuk menjaga sawahmu dari gangguan burung.""Ya, Empu,"

   Jawab Agni.

   "sebentar lagi akan aku buat."

   Empu Purwa mengangguk-angguk.

   Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan seksama, seakan-akan ada sesuatu yang aneh pada anak muda itu.

   Sehingga ketika Mahisa Agni menyadarinya, maka ia pun menjadi gelisah.

   Dan kembali wajahnya terpaku di dalam anyaman tikar yang didudukinya.

   Sesaat kemudian Empu Purwa itu berkata pula.

   "Agni. Adalah menjadi hak kita untuk mengusir setiap burung yang akan mencuri padi kita di sawah, sebab kitalah yang menanamnya, memeliharanya dan dengan tertib berbuat untuk kepentingan tanaman itu."

   Mahisa Agni mengangkat wajahnya.

   Kata-kata gurunya itu agak mengherankannya.

   Bukankah hal itu sudah wajar.

   Tak ada sesuatu yang terasa baru pada kata-kata itu.

   Empu Purwa melihat pula wajah Agni yang memancarkan berbagai pertanyaan itu.

   Maka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Empu Purwa berkata.

   "Kita akan merasa kehilangan Agni, apabila meskipun hanya sebutir padi kita yang dimakan oleh burung-burung pipit liar itu. Karena itu kita akan selalu mengusirnya apabila mereka datang."

   Mahisa Agni menjadi semakin heran. Namun ia tidak bertanya. Bahkan kembali ia menundukkan wajahnya.

   "Tetapi Agni,,"

   Sambung gurunya. Suaranya menjadi berat dan dalam.

   "Padi yang kita pertahankan dari serbuan burung-burung pipit, dan kadang-kadang kita harus bekerja siang dan malam, apabila hujan lebat dan parit-parit menjadi melimpah itu, ada kalanya tidak sampai ke lumbung-lumbung kita."

   Empu Purwa berhenti sejenak, lalu katanya seterusnya.

   "Meskipun kita tidak mengikhlaskan sebutir padi pun kepada burung-burung pipit Agni, namun kadang-kadang kita berikan tidak hanya sebutir, bahkan lebih dari itu, seikat, kepada orang lain, apabila kita yakin orang itu membutuhkannya. Dan kita yakin karena itu maka orang itu menjadi berbahagia karenanya."Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata gurunya itu. Sekejap ia mengangkat wajahnya, namun sekejap kemudian wajah itu pun terkulai kembali dengan lemahnya. Kini ia tahu, apakah yang akan dikatakan gurunya itu.

   "Agni,"

   Berkata Empu Purwa.

   "aku tidak dapat menolak apabila seseorang yang kelaparan datang kepadaku, dan minta supaya aku memberinya padi. Sedang padi itu ada padaku."

   "Tentu saja Agni. Aku dapat memberikannya kepada siapa saja sesuka hatiku, tetapi bagaimanakah kalau yang dapat aku berikan itu sangat terbatas?"

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Ketika teringat pesan ibunya, maka Mahisa Agni pun segera dapat menguasai perasaannya.

   Karena itu berangsur-angsur kegelisahannya pun menjadi lenyap.

   Bahkan kini ditengadahkannya wajahnya, dan didengarnya kata-kata gurunya itu dengan hati yang terang.

   Maka gurunya itu pun berkata.

   "Ah, Anakku. Aku tidak dapat menyamakannya dengan butiran padi itu. Mungkin orang lain berbuat demikian. Tetapi aku tidak. Kadang-kadang aku mengingat juga lumbung-lumbung atau tempat penyimpanan orang yang datang itu. Bahkan lebih dari itu, Agni"

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak gelisah. Karena itu ketika Empu Purwa bertanya kepadanya, maka dengan tatag ia menjawabnya. Berkatalah empu tua itu.

   "Agni. Ternyata kau turut memelihara sawahku itu dengan tekun. Bahkan kaulah yang setiap saat melakukannya. Bagaimanakah pendapatmu, kalau suatu ketika hasil sawah itu aku serahkan kepada rakyat Panawijen, atau orang yang dapat mewakilinya?"

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kini ia tidak menundukkan wajahnya. Bahkan dengan tenang ia menyahut.

   "Guru, adalah menjadi kewajibanku untuk ikut memelihara setiap milik guru. Sawah, ladang, halaman ini bahkan dengan segala isinya. Dan apabila kemudian Empu mempunyai keputusan tentangitu semuanya, adalah sudah seharusnya aku pun menjadi bergembira karenanya."

   Empu Purwa itu pun tersenyum, katanya.

   "Tetapi, Agni. Bagaimanakah kalau lumbung kita sendiri menjadi kosong. Dan apakah kita tidak takut, suatu ketika kita sendiri akan menjadi lapar?"

   Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata gurunya. Tetapi ia telah menjadi tenang benar. Karena itu sama sekali tak tampak kegelisahan dan perubahan di wajahnya. Selalu diingatnya pesan ibunya. Cerita ibunya tentang dirinya dan ayahnya. Maka jawabnya.

   "Guru, apabila kita masih mencemaskan keadaan diri sendiri, maka pemberian kita itu menjadi tidak dilambari dengan keikhlasan."

   "Hem,"

   Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan penuh haru. Maka terdengar ia berkata.

   "Kau telah menemukan nilai-nilai dirimu Mahisa Agni. Nilai-nilai yang hampir rontok dalam usia mudamu. Usia yang paling berbahaya dalam hidup ini."

   Kini Mahisa Agni benar-benar terkejut. Apakah gurunya tahu, betapa ia hampir menjadi gila mendengar pengakuan Ken Dedes di hadapan ibunya? Tetapi Mahisa Agni justru menjadi terbungkam karenanya. Kemudian ia mendengar gurunya itu berkata pula.

   "Agni, pagi tadi aku ikuti kau bertamasya."

   "Oh,"

   Mahisa Agni mengeluh. Gurunya benar-benar mengetahui apa yang sudah terjadi. Dan gurunya itu masih berkata.

   "Aku melihat kau hampir-hampir kehilangan keseimbangan, Anakku."

   Ketika Agni akan menjawab, Empu Purwa mendahului.

   "Jangan kau sembunyikan perasaanmu. Orang setua aku, Agni, adalah orang-orang yang pernah mengalami masa-masa semuda kau. Dan apa yang kau lakukan adalah wajar. Sewajar orang mengusir burung pipit di sawahnya. Aku melihat sejak kau bermain-maindengan serulingmu. Aku melihat Ken Dedes datang kepadamu. Aku melihat, betapa kau menempelkan telingamu, untuk mendengar apa yang dikatakan Ken Dedes kepada pemomongnya. Dan aku ikut berlari-lari sepanjang tengah malam itu. Dan aku mendengarkan semua percakapanmu dengan hantu di padang rumput itu, Agni. Aku tidak akan berani mengatakan semua ini kepadamu, apabila kau masih belum menemukan nilai-nilai yang tersimpan di hatimu. Meskipun apa yang dikatakan oleh Ken Arok itu membantumu, namun keikhlasan yang terpancar di wajahmu, membayangkan betapa kau memiliki nilai-nilai di dalam hatimu melampaui dugaanku."

   Mahisa Agni mendengar kata-kata gurunya dengan hati yang berdebar-debar.

   Namun satu hal yang tak diketahui oleh gurunya, ibunya kini telah hadir pula di dalam hatinya.

   Namun Mahisa Agni tak berkata sepatah kata pun.

   Sesaat kemudian terdengar gurunya berkata.

   "Agni. Seorang setia berkata bahwa wanita sana harganya dengan curiga. Dan sama pula harganya dengan nyawanya. Aku tidak keberatan Agni. Namun aku ingin memberinya arti yang agak berbeda dengan arti yang pernah diberikan oleh anak-anak muda. Wanita, curiga, pusaka dan sebagainya adalah lambang dari cita-cita. Setiap cita- cita memang mempunyai nilainya sendiri-sendiri. Kalau cita-cita itu dinilai sama dengan nyawa kita, maka adalah sudah seharusnya kita mengejar cita-cita itu sepanjang umur kita. Dan kau telah sampai pada nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai-nilai wadagnya Agni."

   "Bukan wanita dalam wadagnya, tetapi wanita sebagai lambang yang memancarkan kehalusan, yang memancarkan sifat-sifat pengabdian pada anak-anaknya, pada penerus hidup kita. Pengabdian bagi masa yang akan datang. Wanita tidak sekedar hidup untuk hidupnya, tetapi wanita hidup untuk hidup masa mendatang. Dan adakah kita telah melakukannya. Adakah kita telah menerapkan hidup kita tidak sekedar untuk hidup kita sendiri. Adakah kita sudah menempatkan diri kita dalam pengabdian bagi masa datang?""Agni, curiga dan pusaka yang harus kita udipun(?), janganlah dinilai sebagai bentuk wadagnya. Keris, tombak, bahkan segala jenisnya. Namun setiap kita menempatkan pusaka apapun di hati kita, maka kita menilainya dari setiap unsur yang dapat kita lihat daripadanya. Unsur yang dipancarkan olehnya. Kejantanan, keperkasaan dan keluhuran budi. Atau apapun menurut penilaian kita atasnya."

   Empu Purwa itu pun berhenti sejenak.

   Dicobanya untuk mengetahui, apakah kata-katanya itu dapat dimengerti oleh muridnya yang masih muda itu.

   Agni kini menekurkan kepalanya.

   Didengarnya semua nasihat gurunya itu.

   Dan dicobanya untuk mencernakannya di dalam hatinya.

   Seterusnya gurunya itu berkata perlahan-lahan, namun langsung menyusup ke jantung Mahisa Agni.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Agni. Betapapun juga, aku menyadari, bahwa ada sesuatu yang hilang dari hatimu. Hanya orang-orang yang tabah, dan telah menemukan nilai-nilai kemanusiaannyalah yang dapat menghadapi peristiwa semacam itu dengan tenang dan berhati terang. Dan kau telah melakukannya dalam umur mudamu. Karena itu mudah-mudahan kau selalu diselamatkan oleh Maha Pencipta. Namun, meskipun demikian Agni, aku akan mencoba mengurangi tekanan-tekanan yang berat itu. Meskipun kau pasti akan kuat memanggulnya, namun sebaiknya, aku, gurumu, ikut pula membantumu. Maksudku, aku tidak akan mengubah pendirian anakku, sebab dengan demikian aku akan merampas kebahagiaannya. Dan menurut penilaianku, kau telah memaafkannya."

   "Dan kini, aku akan memberimu imbangannya. Sebuah pusaka."

   Mahisa Agni tersentak sehingga ia bergeser madu. Diangkatnya wajahnya, dan dipandangnya wajah gurunya yang sejuk bening. Dan didengarnya gurunya itu meneruskan kata-katanya.

   "Agni, kau pernah melihat sebuah trisula yang kecil itu? Sudah pernah aku katakan kepadamu, pusaka itu diberikan turun temurun dari guru kepada muridnya yang tepercaya. Dan kini, aku telah mengambil keputusan untuk memberikannya kepadamu. Namun, ingatlah Agni.Pusaka yang berbentuk senjata itu bukan alat pembunuh. Pusaka itu adalah alat untuk menegakkan sendi-sendi kebenaran dan kemanusiaan menurut Sumbernya. Jadi menurut sumbernya, Agni. Bukan menurut kehendakmu dan kepentinganmu. Meskipun kau tak akan mengerti seluruhnya, kebenaran menurut Sumbernya itu, namun kau harus berusaha mendekatkan diri pada-Nya. Kalau kau menemui keingkaran pada kebenaran itu Agni, yang pertama-tama kau lakukan adalah melenyapkan keingkaran itu. Bukan melenyapkan seseorang. Jangan kau lenyapkan seseorang yang mengingkari kebenaran, selagi kau melihat kemungkinan untuk melenyapkan keingkarannya tanpa mengorbankan orangnya."

   Kini Mahisa Agni menundukkan wajahnya dalam-dalam.

   Meskipun gurunya pernah berkata kepadanya di padang rumput Karautan, bahwa pusaka berbentuk trisula itu adalah pusaka turun temurun, dan bahkan gurunya pernah berkata pula, bahwa suatu ketika pusaka itu akan diberikan kepadanya, namun pada sangkanya, tidak secepat yang terjadi.

   Justru karena itu, maka dada Mahisa Agni terasa menjadi sesak oleh berbagai perasaan yang bergulat di dalamnya.

   Bahkan kemudian terasa matanya menjadi panas, dan terasa sesuatu menyumbat mulutnya.

   Demikianlah, malam itu, dengan penuh keharuan dan terima kasih, Mahisa Agni menerima sebuah pusaka dari gurunya.

   Apapun bentuknya, namun itu adalah suatu pertanda bahwa gurunya telah menumpahkan kepercayaan kepadanya.

   Kepercayaan pada ilmu yang telah dimilikinya, dan kepercayaan pada pengalaman yang akan dilakukannya.

   Dalam keharuannya, sekilas Mahisa Agni teringat kepada gadis putri gurunya itu.

   Karena itu hatinya berdesir.

   Tetapi kemudian perasa hatinya menjadi tenang kembali setelah disadarinya, bahwa sebagai gantinya, telah didapatnya dua penemuan yang sangat berarti dalam hidupnya.

   Ibunya dan sebuah pusaka.

   Maka, meskipun tak terucapkan, namun betapa Mahisa Agni mengucapkan syukur di dalam hatinya kepada Maha Pengasih atas karunianya yang tak ternilai.Ketika malam telah menjadi semakin malam, dan bulan di langit telah membuat garis-garis tegak di atas padepokan, maka Empu Purwa melepaskan Mahisa Agni kembali ke biliknya.

   Di samping pendapa Mahisa Agni melihat sebuah bayangan di bawah rimbun daun kemuning, Pandangan matanya yang tajam segera mengenalinya.

   Orang itu adalah ibunya.

   "Apa yang terjadi?"

   Bisik ibunya, ketika Mahisa Agni telah dekat di sampingnya.

   Dengan bangga Mahisa Agni menceritakan kepercayaan gurunya kepadanya.

   Dan dengan bangga pula ditunjukkannya pusakanya kepada ibunya.

   Namun ibunyalah yang lebih berbangga dari Mahisa Agni sendiri.

   Sedemikian bangganya sehingga perempuan itu tak dapat menguasai perasaannya.

   Setetes demi setetes, air matanya menitik.

   Tetapi ia tidak bersedih.

   Bahkan dengan sebuah senyum ia berkata.

   "Berbahagialah kau Agni, dan aku pun berbahagia pula. Pandanglah hari depanmu dengan penuh gairah di dalam dadamu."

   Malam itu adalah malam yang tak akan dilupakan oleh Mahisa Agni.

   Namun demikian, anak muda itu tidak menjadi takabur.

   Dengan tekun ia justru menempa dirinya.

   Setiap saat ada kesempatan, dengan tekad, bahwa nama perguruannya, nama gurunya dan kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadanya, harus dijunjungnya tinggi-tinggi.

   Dan karena itu pulalah maka Empu Purwa pun berbangga pula karenanya.

   Ternyata muridnya benar- benar seorang anak muda yang baik.

   Karena itu, maka Empu Purwa pun untuk selanjutnya telah menempa Mahisa Agni dalam tataran ilmunya yang tertinggi.

   Dalam pada itu, ketika Mahisa Agni tenggelam dalami penekunan tanpa henti atas ilmunya, maka Wiraprana telah pula berhasil meyakinkan ayahnya.

   Sehingga akhirnya Buyut Panawijen itu pun tak dapat berbuat lain daripada memenuhi permintaan anaknya.

   Ternyata semuanya berlangsung seperti yang diharapkan, Empu Purwa tidak mau menunda persoalan itu berlarut-larut.

   Ketika ia menerima sebuah utusan dari Buyut Panawijen, maka dilambaridengan penuh pengertian atas hasrat yang tersimpan di dalam dada anaknya, maka dipanggillah Ken Dedes menghadapnya.

   "Ken Dedes,"

   Berkata Empu Purwa kemudian.

   "pengikut sayembara kali ini hanya seorang, Wiraprana, putra Buyut Panawijen. Bagaimanakah pendapatmu?"

   Ken Dedes menundukkan wajahnya dalam-dalam. Berbagai perasaan bergolak di dadanya. Ia gembira, menerima pertanyaan itu, tetapi ia tidak kuasa untuk menganggukkan kepalanya. Karena itu ia menjawab lirih.

   "Ayah. Terserahlah kepada Ayah."

   Empu Purwa tersenyum. Seorang yang telah berumur lanjut, segera mengetahui isi hati seorang gadis yang telah ditunggunya setiap saat. Ken Dedes tidak menolak.

   "Nah, Anakku,"

   Kata ayahnya.

   "aku harap kau tidak menemui persoalan-persoalan yang sulit di kemudian hari, seperti apa yang telah terjadi. Sebab segera semua orang di Panawijen akan mendengar kabar, bahwa lamaran Buyut Panawijen telah diterima. Kita tinggal memperhitungkan hari yang sebaik-baiknya untuk keperluanmu itu."

   Ken Dedes tidak menjawab.

   Kepalanya masih ditundukkannya dalam-dalam.

   Namun ia berdoa, mudah-mudahan semuanya segera selesai.

   Ketika ayahnya mengizinkannya pergi, Ken Dedes langsung berlari-lari ke bilik Mahisa Agni.

   Dengan serta-merta ia mengguncang-guncang tubuh Agni yang sedang berbaring, setelah dengan sekuat tenaga memeras diri dalam latihannya.

   Betapa terkejutnya anak muda itu.

   Segera ia bangkit bertanya.

   "Ada apa Ken Dedes?"

   "Kakang,"

   Berkata gadis itu terbata-bata, namun wajahnya tampak betapa cerahnya, secerah bintang pagi.

   "Ayah telah menerima lamaran dari Buyut Panawijen."

   "He?"

   Agni tersentak.

   Dan warna merah tiba-tiba tebersit di wajah Ken Dedes.

   Ia menjadi malu kepada kakaknya, dan malukepada diri sendiri.

   Karena itu, kemudian ia terduduk di samping Agni sambil menundukkan wajahnya.

   Sesaat darah Agni bergolak.

   Namun hanya sesaat.

   Kemudian terasa darahnya mendingin kembali.

   Dengan tenang ia berkata, kata-kata yang sudah sewajarnya diucapkan oleh seorang kakak kepada adiknya yang berbahagia.

   "Syukurlah, Ken Dedes. Wiraprana tidak mengecewakan kita."

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya perlahan-lahan.

   "Aku berterima kasih kepadamu, Kakang."

   "Bukankah sudah menjadi kewajibanku Ken Dedes? Kau adalah adikku. Adalah menjadi kewajiban saudara tua untuk mendengarkan tangis adiknya,"

   Jawab Mahisa Agni, kemudian ia meneruskan.

   "Kalau kau berbahagia adikku, aku pun berbahagia pula karenanya. Mudah-mudahan Wiraprana dapat menempatkan diri, dan mudah- mudahan kau pun dapat menyesuaikan dirimu pula."

   Di hari-hari berikutnya, tampaklah betapa cerah wajah Ken Dedes.

   Ia kini tidak mengurung diri lagi di dalam biliknya.

   Dengan rajin ia bekerja seperti dahulu, sebelum hatinya menjadi murung.

   Mencuci pakaian, membersihkan halaman dan bekerja di dapur bersama-sama gadis-gadis pembantunya.

   Kini Ken Dedes tidak pernah membuang waktunya dengan berbagai pekerjaan tak berarti.

   Setiap kali ia sibuk membersihkan rumah dan biliknya.

   Seakan-akan besok pagilah perhelatan perkawinannya akan diselenggarakan.

   Mahisa Agni pun telah berusaha sekuat-kuatnya untuk melupakan luka-luka yang pernah ada di hatinya.

   Diusahakannya untuk berbuat seperti apa yang selalu dilakukan.

   Ke sawah, mencangkul halaman, belumbang, tanaman-tanaman dan petak- petak di belakang rumahnya.

   Namun, sama sekali tak pernah diketahuinya, bahwa setiap kali gurunya, mengawasinya diri sudut sanggarnya sambil menyilangkan tangannya di dadanya.

   Dengan pandangannya yang penuh iba,kadang-kadang orang tua itu bergumam.

   "Kasihan kau, Anakku. Mudah-mudahan kau mendapat karunia, kesabaran."

   Kabar tentang hubungan yang telah diikat antara Wiraprana dan Ken Dedes itu pun segera tersebar di segala sudut-sudut padukuhan Panawijen.

   Ramailah anak-anak muda membicarakannya.

   Bunga di kaki Gunung Kawi itu kini akan dipetik orang.

   Sambil tertawa-tawa, kawan-kawan Wiraprana selalu mengganggunya.

   Di rumah, di sawah di bendungan bahkan di mana saja mereka bertemu.

   "Mahisa Agni,"

   Berkata salah seorang dari mereka.

   "kenapa bukan aku yang kau ambil menjadi adikmu?"

   Mahisa Agni tersenyum. Betapa pedih luka di hatinya. Namun dijawabnya sambil tertawa.

   "Kau bukan Wiraprana. Namun kau belum pernah berkelahi dengan Kuda Sempana."

   Yang mendengar jawaban itu pun tertawa riuh. Sambil menunjuk wajah kawannya itu mereka bersorak.

   "Kalau menjadi adik Mahisa Agni, dan Kuda Sempana itu datang kembali, apa katamu?"

   "Lari,"

   Jawabnya sambil tertawa pula.

   Wiraprana sendiri tak pernah menyahut.

   Ia hanya tersenyum- senyum saja.

   Meskipun kadang-kadang ia mengeluh atas gangguan kawan-kawannya, namun sebenarnya ia berbangga juga.

   Tetapi sejak saat itu Wiraprana tidak pernah lagi mengunjungi Mahisa Agni di rumah Empu Purwa.

   Ia menjadi segan, dan adalah kurang baik apabila ia datang ke rumah itu, sebab Ken Dedes berada di rumah itu pula.

   Bahkan Mahisa Agnilah yang selalu datang kepadanya.

   Mahisa Agni sama sekali tidak mau mengubah hubungan yang telah berlangsung bertahun-tahun.

   Mereka masih saja bergaul seperti biasa, ke sawah, ke bendungan dan membersihkan parit bersama kawan mereka.

   Tak ada kesan apapun dalam tingkah laku Mahisa Agni.

   Dan karena itu Wiraprana tidak pernah mengetahuinya, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan sahabatnya itu.Berita tentang hubungan yang telah disetujui bersama antara Wiraprana dan Ken Dedes itu ternyata tidak saja menggemparkan desanya sendiri, namun berita itu kemudian tersebar sampai jauh di luar daerah pergaulan mereka.

   Lebih-lebih bagi mereka yang pernah mengirimkan utusan untuk melamar gadis itu.

   Berbagai tanggapan telah tumbuh di dada anak-anak muda itu.

   Ada di antara mereka yang acuh tak acuh.

   "Biarlah,"

   Katanya di dalam hati.

   "gadis di dunia ini tidak hanya seorang Ken Dedes saja."

   Namun ada juga yang kemudian dengan sedihnya meratapi nasibnya.

   Mengurung diri di dalam biliknya.

   Kerjanya siang dan malam menggurat-gurat rontal untuk menumpahkan kepedihan hatinya.

   Berhelai-helai.

   Dan disimpannya rontal itu di bawah bantalnya.

   Tetapi di antara mereka ada juga yang mempunyai tanggapan lain pula.

   Ketika kabar itu sampai di telinganya, maka seakan-akan telinganya itu terjilat api.

   "Benarkah?"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Geramnya.

   Tetapi kabar itu benar-benar meyakinkannya, bahwa Ken Dedes telah menerima lamaran dari seorang anak muda.

   Bukan dirinya.

   Sehingga akhirnya datanglah kepadanya, utusan Empu Purwa, yang mengabarkan, bahwa dengan rendah hati dan permintaan maaf yang sebesar-besarnya lamarannya tak dapat diterima.

   Anak muda itu adalah Mahendra.

   Putra sahabat Empu Purwa di Tumapel.

   Seorang anak muda yang tangkas dan tanggon.

   Dengan wajah yang merah membara ia datang kepada ayahnya.

   Katanya.

   "Ayah, Bukankah penolakan itu berarti penghinaan bagi keluarga kita?"

   Ayahnya menggeleng lemah, jawabnya.

   "Tidak, Anakku. Seharusnya kau sadari, seandainya datang dua tiga lamaran. Apakah yang harus dilakukan oleh Empu Purwa itu, Tentu ada diantaranya yang harus ditolak. Dan itu sama sekali bukan suatu penghinaan."

   "Ayah,"

   Sahut Mahendra.

   "kalau Ken Dedes itu menolak kami, tetapi ia kemudian menerima orang lain yang lebih tinggi tingkat dan derajatnya, maka aku tak akan tersinggung karenanya. Tetapi Ken Dedes itu telah menerima lamaran seorang anak muda yang bernama Wiraprana yang menurut pendengaranku tidak lebih dari anak Buyut Panawijen. Tidakkah itu suatu Penghinaan?"

   Kembali ayahnya menggeleng. Katanya.

   "Ken Dedes adalah gadis Panawijen. Anak itu adalah anak muda Panawijen."

   Mahendra terdiam. Namun hatinya masih berbicara terus.

   "Siapakah gerangan anak muda yang bernama Wiraprana itu? Apakah ia seorang maha sakti tak ada bandingnya di seluruh daerah Tumapel?"

   Ayahnya melihat betapa dendam menjalar di dada enaknya.

   Tetapi ia tidak berkata-kata lagi.

   Anaknya adalah anak yang sukar dikendalikan.

   Tetapi ia tidak menyangka bahwa anak itu tidak saja merasa terhina, dan mengumpatnya habis-habisan, namun anak itu benar-benar berhasrat untuk menilai anak muda yang bernama Wiraprana.

   Karena itu, maka pada suatu malam, tanpa setahu ayahnya, Mahendra pergi meninggalkan rumahnya.

   Dengan dikawani oleh dua orang saudara seperguruannya ia pergi ke Panawijen.

   "Dengan tekad yang teguh. Kita bertukar darah, Wiraprana!"

   Gumamnya.

   Mereka sampai ke Panawijen menjelang senja berikutnya.

   Tetapi mereka tidak segera menciri rumah Buyut Panawijen.

   Mereka menunggu sampai malam tiba.

   Di malam yang kelam, tak ada orang yang akan mengganggu pertemuan itu.

   Awan yang kelabu, mengalir seperti lembaran-lembaran kapuk yang diterbangkan angin.

   Bintang satu demi satu mulai menyala di langit yang biru.Ketika seorang petani tua berjalan pulang dari sawahnya, Mahendra menghentikannya dan berkata.

   "Kaki, apakah Kaki kenal dengan Wiraprana?"

   Petani tua itu mengamat-amati ketiga anak muda itu dengan seksama, kemudian ia pun bertanya.

   "Siapakah Angger bertiga?"

   "Kami datang dari jauh, Kami adalah sahabat-sahabat Wiraprana,"

   Jawab Mahendra, Orang tua itu mengangguk-angguk, katanya.

   "Adakah yang Anakmas maksud itu putra Buyut Panawijen?"

   "Ya,"

   Jawab Mahendra pendek.

   "Apakah Angger akan menemuinya?"

   "Ya."

   "Marilah, biarlah Anakmas bertiga saya antarkan ke rumahnya."

   Mahendra menggeleng. Jawabnya.

   "Tidak Kaki. Aku tidak akan datang ke rumahnya. Tolonglah sampaikan kepadanya sahabatnya dari Tumapel menunggunya. Namanya Mahendra."

   


Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Pao Kong Karya Yang Lu

Cari Blog Ini