Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 34


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 34



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   Empu Sada sama sekali tidak menjawab kata-kata Wong Sarimpat.

   Ia sedang berusaha untuk menekan Kebo Sindet selagi ia masih mendapat kesempatan.

   Kudanya masih saja menyambar- nyambar seperti burung elang di udara.

   Tetapi Kebo Sindet bukanlah seekor anak ayam yang ketakutan melihat elang.

   Dengan garangnya ia menyambut setiap serangan seperti seekor harimau yang kelaparan.

   Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat.

   Keduanya adalah orang-orang sakti yang sukar di cari bandingnya.

   Adalah suatu keuntungan bagi Empu Sada, bahwa kelincahan kudanya dapat membantunya mempersulit kedudukan lawannya.

   Meskipun demikian Empu Sada masih juga belum mendapat kesempatan untuk berbuat banyak.

   Wong Sarimpat yang telah selesai mengobati luka-lukanya itu tidak segera masuk kedalam perkelahian.

   Ia melihat kakaknya masih akan dapat bertahan seorang diri.

   Dibiarkannya tubuhnya menjadi lebih baik dan kuat setelah beberapa saat ia harus berjuang untuk melawan racun.Bahkan Wong Sarimpat itu kemudian mendekati Kuda Sempana yang melihat perkelahian itu dengan mata tanpa berkedip, tetapi dengan jantung yang berdegupan dengan gemuruh.

   Anak muda itu terkejut ketika Wong Sarimpat menggamitnya "He KudaSempana.

   Kau lihat perkelahian itu?"

   Kuda Sempana mengangguk.

   "Katakan, siapakah yang bakal menang?"

   Kuda Sempana terbungkam.

   Ia tidak dapat menjawab pcrtanyaan itu.

   Ia mengharap gurunya tidak mati, tetapi ia mengharap pula bahwa Kebo Sindet akan melindunginya dari keinginan gurunya untuk menyelamatkan Mahisa Agni.

   Meskipun ia tidak lagi dapat mempertimbangkan, apa yang sebaiknya dilakukan atas Mahisa Agni, tetapi kini yang dipikirkannya adalah, bahwa Mahisa Agni itu akan selalu merupakan hantu baginya di masa-masa mendatang apabila ia masih akan tetap hidup.

   Mahisa Agni akan selalu membayanginya dengan penuh dendam dan kebencian.

   Karena itu, maka baginya kini, lebih baik apabila Mahisa Agni itu lenyap saja sama sekali.

   Karena Kuda Sempana tidak menjawab, maka berkatalah Wong Sarimpat.

   "Mungkin kau tidak cukup mampu menilai perkelahian itu Kuda Sempana. Baiklah aku beritahu bahwa keduanya dalam keadaan seimbang. Kelebihan Empu Sada hanyalah terletak pada kudanya itu. Meskipun demikian kudanya itu pun tidak akan banyak menolong, sebab segala macam geraknya mau tidak mau harus diperhitungkan pula dengan setiap kemungkinan yang dilakukan oleh kudanya, sebab kuda itu mempunyai otaknya sendiri. Kalau kuda itu tidak mempunyai otak dan kemauan sendiri, maka Empu Sada pasti akan segera memenangkan perkelahian itu. Kuda-Sempana masih saja berdiam diri.

   "Tetapi"

   Wong Sarimpat meneruskan.

   "aku akan segera terjun ke dalam arena. Nah, kau akan dapat mempertimbangkan, apakah yang kira-kira akan terjadi. Mungkin kau tidak akan sampai hatimelihat gurumu mati terbunuh, bahkan untuk meyakinkannya, mungkin aku akan mencincangnya". Kuda Sempana sama sekali tidak menjawab.

   "Nah"

   Wong Sarimpat berkata lebih lanjut.

   "Apakah kau akan menyaksikannya, apakah kau akan pergi lebih dahulu membawa Mahisa Agni itu ke Kemundungan? Atau kau akan mencoba berbuat sesuatu?". Kuda Sempana seolah-olah telah benar-benar membeku di atas punggung kudanya. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab.

   "Jangan takut kepada Mahisa Agni. Urat nadinya terganggu karena sentuhan tangan kakang Kebo Sindet. Ia akan menjadi sadar, apabila kakang Kebo Sindet menghendakinya". Kuda Sempana masih tetap mengatupkan mulutnya.

   "Hem, kau menjadi bisu agaknya. Baiklah. Duduk sajalah di situ". Wong Sarimpat itu pun kemudian memutar kudanya. Kini ia melihat perkelahian antara kakaknya melawan Empu Sada telah bergeser beberapa langkah. Tetapi ia masih melihat bahwa keduanya sama sekali belum banyak mendapat kemajuan. Meskipun demikian, agaknya keadaan Empu Sada masih lebih baik dari kakaknya yang harus berloncatan menghindari derap kuda Empu Sada dan tongkatnya yang terayun-ayun mengerikan. Sedang Kebo Sindet itu sendiri hanya mendapat sedikit saja kesempatan melakukan serangan-serangan atas lawannya.

   "Pertempuran itu tidak adil"

   Desis Wong Sarimpat.

   "aku harus membantunya". Tetapi orang itu tidak pernah mempertimbangkan, bahwa untuk melawan mereka berdua adalah perbuatan yang tidak adil pula. Demikianlah, maka Wong Sarimpat itu perlahan-lahan mendekati arena perkelahian. Ia melihat sekali-sekali kakaknya terpaksa meloncat jauh-jauh surut. Sekali-sekali bahkan ia terdorong dengan kerasnya. Namun meskipun demikian, Kebo Sindet masih juga tetap memberikan perlawanan yang sengit.Wong Sarimpat itupun kemudian berhenti beberapa langkah dari titik pertempuran. Diamatinya keadaan dengan seksama, seperti seorang saksi yang sedang memperhatikan sebuah perang tanding yang seru. Diperhatikannya cara Empu Sada menggerakkan kudanya menyambar lawannya, dan diperhatikannya bagaimana ia menghindar apabila Kebo Sindet membalas menyerangnya.

   "Ternyata Empu tua itu ahli pula bermain-main dengan kuda, agak lebih baik dari Empu Gandring"

   Desisnya di dalam hati.

   Beberapa langkah lagi ia maju.

   Hampir pada garis serangan Empu Sada.

   Sambil menyeringai maka Wong Sarimpat menggerakkan pedangnya berputaran.

   Empu Sada melibat bagaimana Wong Sarimpat ingin memotong garis serangannya.

   Karena itu, maka segera diputarnya kudanya menghindar, dan ditempuhnya sebuah garis serangan yang lain.

   "Huh"

   Wong Sarimpat berdesis.

   "pengecut. Kau tidak berani menghadapi aku yang sama-sama berada di atas, punggung kuda". Tetapi Empu Sada tidak menjawab. Namun segera ia bersiap untuk menghadapi lawannya yang baru. Ternyata Wong Sarimpat tidak melepaskan waktu terbuang lebih banyak. Segera ia menggerakkan kendali kudanya dan kuda itu pun meluncur dengan cepatnya menyerang Empu Sada. Agaknya kali ini Wong Sarimpat telah memperhitungkan banyak kemungkinan. Ia telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan untuk bertempur di atas punggung kudanya. Karena itu, maka kudanya kali ini diberinya berpelana. Serangan Wong Sarimpat itu pun cukup dahsyat. Meskipun pangkal lengan kirinya telah terluka, namun tenaga tangan kanannya masih cukup menggetarkan tongkat lawannya. Kini, Empu Sada harus menghadapi dua orang lawan yang masing-masing memiliki kekuatan setingkat dengan dirinya. Ia hanya sempat mengurangi kelincahan Wong Sarimpat denganmelukai tangannya. Meskipun demikian, tetapi Wong Sarimpat masih tetap garang dan buas. Untuk menghadapi keduanya maka Empu Sada harus benar- benar berkelahi dengan licik. Setiap kali ia melawan Wong Sarimpat sambil berputaran menjauhi Kebo Sindet yang meloncat-loncat mengejarnya. Tetapi ternyata tenaga kuda Empu Sada masih lebih cepat dari tenaga wajar Kebo Sindet, sehingga dengan demikian, maka Kebo Sindet tidak dapat mendekatinya. Setiap kali ia mendekat, maka Empu Sada mendorong kudanya untuk berlari menjauh sambil menyerang Wong Sarimpat atau menghindari serangannya.

   "He, Empu Sada"

   Kebo Sindet akhirnya tidak dapat menahan kemarahannya.

   "kau benar-benar pengecut. Jauh lebih pengecut lagi dari yang aku sangka. Kau sama sekali tidak berani berhadapan langsung melawan aku. Kau selalu melarikan kudamu menjauh, setiap kali menjauh".

   "Jangan berteriak-teriak Kebo Sindet"

   Jawab Empu Sada.

   "aku masih sibuk melayani adikmu yang tangannya hampir menjadi patah ini".

   "Tutup mulutmu"

   Teriak Wong Sarimpat.

   "aku masih mempunyai kemungkinan yang cukup untuk membelah dadamu yang penuh dengan kesombongan, tetapi licik, curang, pengecut, penakut, penipu .."

   Wong Sarimpat tidak sempat meneruskan kata-kata umpatannya.

   Tiba-tiba saja tongkat Empu Sada mematuk hampir tepat masuk kemulutnya.

   Dengan tergesa-gesa Wong Sarimpat membungkukkan badannya dan dengan cekatan digerakkan goloknya menangkis serangan yang datangnya dengan tiba-tiba itu.

   Hanya oleh keahliannya mengendalikan kudanya, maka Wong Sarimpat dapat menghindari serangan Empu Sada berikutnya.

   Serangan yang hampir membabi buta.

   Namun Empu Sada masih memiliki kesadaran menghadapi kedua iblis yang mengerikan itu.Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru.

   Empu Sada dan Wong Sarimpat bertempur seperti sepasang burung Rajawali yang sedang berebut sarang.

   Sedang Kebo Sindet dengan dada yang bergelora hampir meledak tidak banyak mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam perkelahian berkuda itu.

   Hanya kadang-kadang saja ia sempat meloncat pada garis perkelahian itu, dan dengan goloknya yang dahsyat menyerang Empu Sada.

   Namun kuda Empu Sada ternyata dengan lincahnya, selalu menghindarinya.

   Berlari dan membuat sebuah putaran yang panjang.

   "Empu Sada"

   Kebo Sindet menjadi semakin marah.

   "Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan itu? Sebenarnya lebih baik bagimu, bersembunyi saja di belakang pekiwan dari pada kau datang kemari. Apakah sebenarnya maksudmu menjumpai aku he? Sekarang kau selalu menghindari setiap benturan. Benturan kekuatan, ilmu atau tenaga dan Senjata". Empu Sada yang menjadi semakin jauh dari Kebo Sindet masih saja sibuk melayani serangan-serangan Wong Sarimpat. Keduanya adalah orang-orang yang hampir mumpuni bermain-main di atas punggung kuda. Sehingga dengan demikian maka perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Meskipun demikian Empu Sada masih sempat menjawab.

   "Kebo Sindet, jangan tergesa-gesa. Aku bunuh dahulu adikmu. Kemudian kita akan berhadapan. Dan aku akan segera turun pula dari kudaku".

   "Persetan"

   Teriak Wong Sarimpat.

   "mulutmu sama sekali tidak berarti lagi bagi kami. Mampuslah kau orang tua yang tidak tahu diri". Kuda Sempana yang membeku di atas punggung kudanya melihat perkelahian itu dengan hati yang bergolak dengan dahsyatnya, seperti badai yang mengamuk di dalam dadanya. Gemuruh seolah-olah akan merontokkan tulang-tulang iganya. Gurunya adalah seorang yang di kenal dan dikaguminya sejak lama. Tongkat panjangnya itu adalah ciri kebesaran dankeperkasaannya. Kuda Sempana tidak pernah melihat gurunya mempergunakan senjata lain daripada tongkat panjang itu. Tongkat panjang yang telah berada bersama-sama dengan gurunya sejak ia bertemu untuk pertama kalinya dengan orang itu. Senjata yang telah mengawaninya melawan seribu macam senjata lawan- lawannya. Dan Kuda Sempana tetap menyangka bahwa tongkat panjang pusaka gurunya itulah yang tetap bersamanya sampai saat ini. Sedang kedua hantu dari Kemundungan itu adalah orang-orang yang tidak kalah dahsyatnya. Goloknya adalah golok yang luar biasa pula. Kuda Sempana pernah menyaksikan Kebo Sindet memukul sebatang besi gligen dengan goloknya itu. Dan besi itupun terpatahkan, sedang golok itu sama sekali tidak menjadi cacat. Bahkan semenirpun golok itu tidak gempil. Kini Kuda Sempana melihat kedua macam senjata itu beradu dalam genggaman tangan-tangan yang mengerikan. Kebo Sindet yang akhirnya kehilangan kesabaran, tidak lagi ingin menunggu lebih lama. Tiba-tiba ia berteriak nyaring sambil menggetarkan tubuhnya. Dipusatkannya segenap kekuatannya yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Dengan kemarahan yang meluap-luap maka disalurkannya kekuatannya yang bersumber pada kekuatan sesat itu pada tangan kanannya yang menggenggam goloknya. Dan dengan penuh nafsu ia melenting seperti seekor bilalang raksasa, melampaui kecepatan loncat seekor kuda menyerang Empu Sada dengan kekuatan Aji Bajang. Tetapi Empu Sada yang tua itu telah melihatnya. Dengan demikian maka ia tidak membiarkan dirinya lumat. Maka di benturnya Aji Bajang itu dengan kekuatan Ajinya, Kala Bama. Kedua aji itu adalah kekuatan yang dahsyat, sedahsyat guntur dan petir. Itulah maka sebabnya ketika Kuda Sempana melihat keduanya bersiap dalam kekuatan tertingginya, maka hatinya seakan-akan menjadi meledak pula karenanya. Hampir ia berteriak, tetapi suaranya tidak terdengar oleh siapapun. Bahkan oleh dirinya sendiri.Sementara itu Wong Sarimpat pun mengerutkan keningnya. Dibiarkannya kakaknya membenturkan Aji Bajang. Ia yakin bahwa kekuatan Aji Bajang sedemikian dahsyatnya, sehingga hampir tak dapat dibayangkau akibatnya. Meskipun Wong Sarimpat tahu pula bahwa Empu Sada pun pasti memiliki simpanan kekuatan, namun setidak-tidaknya Aji Bajang tidak akan dapat dikalahkan.

   "Hanya setan dari Tumapel itu yang tidak lumat karena Aji Bajang"

   Desis Wong Sarimpat.

   "tetapi apabila Aji Bajang itu diulang, maka prajurit Tumapel yang sombong itu pasti akan menjadi debu". Dalam pada itu, Kuda Sempana yang benar-benar membeku itu melihat Kebo Sindet meloncat seperti petir menyambar di langit. Namun dalam pada itu ia melihat Empu Sada seperti sebuah gunung karang yang kokoh kuat, yang tak tergetarkan oleh petir yang betapapun dahsyatnya. Demikianlah maka Empu Sada segera menyongsong Kebo Sindet. Kali ini dihempaskannya segenap kekuatannya pada tongkat panjangnya. Apapun yang akan terjadi. Ia merasa pula bahwa Kala Bama tidak akan berada di bawah kekuatan iblis dari Kemundungan itu. Sejenak kemudian terjadilah sebuah benturan yang mengerikan. Demikian kerasnya, sehingga bunga api memercik di udara, meloncat dari kedua senjata yang sedang beradu. Sesaat mereka yang menyaksikan benturan itu dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Seperti mereka pun ikut pula dalam benturan yang dahsyat itu. Akibat dari benturan itupun dahsyat pula. Kebo Sindet terlempar beberapa langkah surut. Dengan kerasnya ia terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling, kemudian dengan terhuyung-huyung iblis itu mencoba tegak berdiri. Goloknya yang besar masih berkilat-kilat di dalam genggamannya. Sedang Empu Sadapun kemudian terpelanting dari kudanya. Dengan kerasnya kuda itu meringkik. Terasa pula dorongan kekuatan benturan itu, sehingga kuda itu tegak berdiri. Namun kudaitu tidak berlari meninggalkan penunggangnya yang jatuh berguling- guling di tanah. Seperti Kebo Sindet, Empu Sada pun segera mencoba berdiri. Ia masih menggenggam tongkatnya, tetapi ketika ia tegak sambil mengamati tongkatnya itu, maka dadanya berdesir. Ia berpaling ketika ia mendengar Wong Sarimpat tertawa berkepanjangan sambil berteriak-teriak.

   "He, Empu. Ternyata tongkatmu terpatahkan". Kuda Sempana terkejut mendengar teriakan itu. Ketika ia memandangi gurunya yang berdiri dengan nafas terengah-engah, maka dadanya berguncang dengan dahsyat. Iapun kini melihat bahwa tongkat gurunya, yang selama ini selalu menemaninya, melawan segala macam senjata yang ada di dunia ini tanpa dapat dilukai apalagi patah, maka kini dalam benturan dengan golok Kebo Sindet, tongkat itu patah menjadi dua hampir ditengah-tengah. Apa yang dilihatnya itu benar telah membuat Kuda Sempana hampir kehilangan kesadaran. Ia menjadi bingung dan merasa seakan-akan berada dalam sebuah mimpi, yang dahsyat. Tetapi, ketika ia melihat gurunya menimang tongkatnya yang patah itu, segera ia tersadar, bahwa yang terjadi itu bukanlah sebuah mimpi. Yang terdengar adalah suara tertawa Wong Sarimpat di samping kata-katanya.

   "Hayo Empu yang sakti. Apakah sekarang kau masih juga menyombongkan diri sambil menengadahkan dadamu untuk melawan sepasang Garuda dari Kemundungan? Menyerahlah, supaya kau mati dengan tenang". Terdengar Empu Sada menggeram. Tetapi segera ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Sekali-sekali diamat-amatinya tongkatnya yang patah itu. Tetapi ia tidak terkejut seperti Kuda Sempana. Seharusnya ia telah melihat kemungkinan itu dapat terjadi. Tetapi Empu Sada tidak sempat merenung terlampau lama. Tiba- tiba ia melihat kuda Wong Sarimpat datang menyerangnya benar- benar seperti seekor Garuda menyambar anak kambing yangkehilangan induknya. Tetapi Empu Sada bukan seekor anak kambing. Betapapun juga ia masih mampu menghindari serangan itu. Dipungutnya potongan tongkatnya yang lain, sehingga dengan demikian kini ia bersenjata sepasang potongan tongkatnya. Serangan Wong Sarimpat itu pun kemudian datang bergelombang seperti ombak di lautan. Beruntun tak henti-hentinya menghantam tebing, sehingga beberapa kali Empu Sada terdesak semakin jauh. Sekali lagi dada Empu Sada berdesir ketika ia melibat Kebo Sindet dengan tiba-tiba meloncat ke atas punggung kudanya. Ya, kuda yang telah terlepas dari tanganya karena benturan kekuatan. Terdengarlah orang tua itu menggeram semakin keras. Tiba-tiba ia mendengar Kuda Sempana berteriak "Guru, pakailah kudaku."

   Empu Sada terkejut mendengar teriakan itu. Kemudian disusul dengan teriakan Kebo Sindet.

   "Kuda Sempana. Apakah kau sadari perbuatanmu itu?". Dengan tiba-tiba Empu Sada melihat Kuda Sempana telah berada di sampingnya. Sekali lagi ia berkata.

   "pakailah kudaku". Empu Sada menjadi ragu-ragu. Di atas punggung kuda itu terdapat Mahisa Agni. Tetapi apakah ia dapat melepaskan diri dari kedua iblis itu? Apakah dengan demikian ia tidak mempercepat kematian Mahisa Agni?". Dalam keragu-raguan itu ia mendengar muridnya bertanya lirih "Guru, kenapa tongkat itu terpatahkan?".

   "Jangan heran Kuda Sempana. Tongkat ini bukan tongkat ciri kebesaranku selama ini. Tongkat itu telah aku serahkan kepada adikmu, Sumekar. Tongkat ini adalah tongkat rangkapan, yang biasa kita pakai di padepokan."

   "Oh", dada Kuda Sempana berdesir.

   "jadi "."Ya. Aku tidak biasa mempergunakan senjata jenis yang lain. Tetapi tongkat ini tidak sekuat tongkat ciri kebesaran Empu Sada sendiri."

   Terasa jantung Kuda Sempana menghentak-hentak di dalam dadanya.

   Betapapun ia menjadi sangat cemas melihat gurunya kini hanya bersenjata tongkatnya yang telah patah menjadi dua.

   Apalagi Empu Sada kini sudah tidak berada di punggung kuda, sedang Kebo Sindet justru telah mendapatkan kudanya.

   Dengan demikian maka Empu Sada harus berhadapan dengan dua orang lawan yang masing-masing memiliki ilmu setingkat dengan dirinya dan mereka berada di punggung kuda kedua-duanya.

   Sementara itu Empu sada sendiri berada dalam keragu-raguan.

   Ia mendengar tawaran muridnya untuk mempergunakan kudanya.

   Tetapi ia tidak segera dapat menerimannya.

   Dengan demikian, maka tindakan Kuda Sempana itu pasti akan menimbulkan kemarahan yang tak terkendali pada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atasnya.

   Kalau Empu Sada tidak berhasil mempertahankan dirinya, maka Kuda Sempana pun pasti akan menjadi korban.

   Mungkin Empu Sada dapat mengambil cara yang lain tanpa menghiraukan nasib orang lain.

   Mungkin ia dapat dengan serta merta melarikan diri sambil membawa tubuh Mahisa Agni yang pingsan itu.

   Tetapi dengan demikian ia pasti akan mengorbankan Kuda Sempana.

   Ia berhasil menyelamatkan satu nyawa, tetapi ia akan mengorbankan nyawa seorang yang lain.

   Meskipun ia dapat membedakan nilai kedua anak muda itu, tetapi ia masih belum sampai hati berbuat demikian, betapapun ia menjadi benci dan muak melihat muridnya itu.

   Namun pada saat-saat terakhir muridnya masih juga merasa cemas aka keselamatannya.

   Dan agaknya sikap itulah yang telah melunakkan hati Empu Sada atas Kuda Sempana.

   Sejenak Empu Sada berada dalam kebimbangan dan kegelisahan.

   Dalam pada itu ia mendengar Kebo Sindet berteriak.

   "Kuda Sempana, apakah kau ingin mengalami nasib seperti bekas gurumuitu nanti? Kalau kau mengurungkan niatmu memberikan kudamu kepada setan tua itu, maka aku akan memaafkan kesalahanmu". Kuda Sempana tidak menjawab. Tiba-tiba iapun dilanda oleh kecemasan yang tajam. Terasa dadanya bergelora semakin keras. Dipandanginya gurunya dan kedua hantu Kemundungan itu berganti-ganti. Sementara bulan yang tua beredar dengan malasnya, semakin tinggi menggapai puncak langit. Tiba-tiba Kuda Sempana itu mendengar gurunya berdesis.

   "Terima kasih Kuda Sempana. Pikirkanlah nasibmu sendiri. Sokurlah kalau kau mampu melupakan dendammu kepada Mahisa Agni dan mencoba menyelamatkannya". Yang di dengar adalah suara Wong Sarimpat, sambil berkata "Apa yang akan kau lakukan Kuda Sempana? Apakah kau akan mencoba lari? Kau harus menyadari bahwa hal itu akan tidak berguna sama sekali bagimu. Salah seorang dari kami akan mengejarmu, menangkap dan menyeret kau di belakang kaki-kaki kuda sampai kulitmu terkelupas seperti pisang yang telanjang. Apakah kau pernah membayangkan betapa pedihnya luka-luka itu apabila di sentuh oleh air asam atau air jeruk dan garam?". Bulu-bulu Kuda Sempana meremang mendengar ancaman itu. Baik Kuda Sempana maupun Empu Sada merasa bahwa hal yang demikian itu sebenarnya dapat terjadi atas Kuda Sempana apabila ia melanggar perintah kedua iblis itu. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sebelumnya akan dapat berlaku apa saja atas seseorang yang mengecewakannya. Tak ada lagi perasaan apapun pada kedua orang itu menghadapi kekejaman yang bagaimanapun juga. Dengan demikian, maka Empu Sada tidak akan sampai hati membiarkan hal itu terjadi atas Kuda Sempana, betapapun sifat dan watak anak muda itu. Namun, Empu Sada itu pun kemudian menjadi semakin bulat tekatnya menghadapi kedua iblis itu dengan tangannya. Meskipun ia menyadari bahwa keduanya bukanlah anak-anak yang sedangbelajar bermain-main di atas punggung kuda dengan golok di tangan, tetapi Empu Sada itu tidak mempunyai pilihan lain. Sekali lagi ditimang-timangnya kedua potongan senjatanya. Ternyata tongkatnya tidak dapat bertahan terhadap golok Kebo Sindet. Meskipun tongkat itu bukan tongkat kebesaran perguruannya, tetapi Senjata yang patah itu telah menyentuh perasaannya, seperti ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit, maka bulan masih juga berkalang. (Bersambung 27) Koleksi . Ismoyo Retype . Sukasrana Proofing . Mahesa Rechecking . Arema ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 27

   "ALAMAT yang kurang menyenangkan"

   Desis Empu Sada di dalam hatinya. Tetapi hati itu telah bulat. Tekad di dalam dadanya telah mengendap.

   "Aku akan bertempur sampai aku tidak mampu lagi menggerakkan tubuhku."

   Katanya di dalam hati.

   "aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk menenteramkan perasaanku. Kematian yang demikian adalah kematian yang paling menyenangkan". Dan tiba-tiba Empu Sada itu berkata.

   "Minggirlah Kuda Sempana. Jangan pikirkan aku lagi.""Tetapi Empu sekarang tidak bersenjata lagi. Bagaimana Empu akan melawan ke duanya?"

   Dengan wajah yang tegang Empu Sada memandangi ke dua potongan tongkatnya sambil berdesis.

   "Aku mengharap bahwa aku dapat mempergunakannya."

   Dan tiba-tiba saja, tanpa diduga-duga oleh siapa pun, baik oleh Kuda Sempana maupun oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat maka, Empu Sada dengan serta merta melemparkan sepotong dari potongan tongkatnya itu.

   Demikian keras dan tiba-tiba sehingga, Wong Sarimpat tidak sempat untuk berbuat sesuatu.

   Ia melihat tongkat itu meluncur ke arah pahanya.

   Demikian cepatnya.

   Betapapun ia cakap mengendalikan kudanya, tetapi kali ini ia tidak sempat apa-apa.

   Ia hanya mampu menghindarkan pahanya dari sambaran potongan tongkat Empu Sada.

   Namun kedudukannya kurang menguntungkannya.

   Tongkat itu menyambar dari sisi sebelah kiri.

   Meskipun tangan kirinya tidak kalah cepatnya menggerakkan goloknya dari tangan kanan, tetapi goloknya saat itu berada di tangan kanannya sehingga, Wong Sarimpat itu tidak pula sempat menangkis dengan mempergunakan goloknya.

   Sehingga, yang terjadi sangat mengejutkannya.

   Terdengar kuda Wong Sarimpat itu memekik tinggi kemudian, jatuh terbanting di tanah.

   Di lambung kuda itu menancap potongan tongkat Empu Sada menembus tubuhnya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wajah Kebo Sindet yang beku sebeku wajah mayat itu tampak berkerut melihat kejadian itu.

   Sejenak ia terpukau di tempatnya dengan desah nafas yang memburu semakin cepat.

   Terdengar ia menggeram dalam nada yang berat.

   Sementara itu, Wong Sarimpat telah meloncat turun sambil mengumpat keras-keras,.

   "he setan tua yang licik. Kenapa kau berusaha membunuh hanya seekor binatang. Kenapa kau tidak membidik kepalaku atau tengkukku?"

   "Tak akan ada gunanya"

   Sahut Empu Sada,.

   "kau pasti mampu menghindarinya. Tetapi kuda itu tidak. Dan ternyata kau kini sudahtidak berkuda lagi. Dengan demikian maka pekerjaanku akan menjadi semakin ringan. Kini aku tinggal berusaha untuk membunuh kudaku yang di curi oleh Kebo Sindet itu, supaya kita dapat berhadapan dengan kaki kita masing-masing berjejak di atas tanah".

   "Persetan dengan seseorahmu. Ayo kita selesaikan persoalan ini".

   "Jangan hanya banyak bicara"

   Potong Empu Sada,.

   "aku sudah siap menunggu kalian". Wong Sarimpat yang di landa oleh arus kemarahan itu pun maju setapak demi setapak mendekati Empu Sada. Terdengar ia berkata,.

   "Kuda Sempana. Pergilah, supaya aku dapat dengan leluasa membunuh Empu tua yang tak tahu diri ini". Kuda Sempana tidak menyahut. Sekali ia berpaling ke pada Empu Sada yang berdesis,.

   "menepilah". Tetapi Kuda Sempana masih tetap di tempatnya.

   "Empu Sada"

   Berkata Wong Sarimpat,.

   "selagi tongkatmu masih utuh, kau tidak mampu melawan kami berdua. Kini tongkatmu itu tinggal sepotong. Apakah kau masih akan mencoba melawan? Apalagi salah seorang dari kami berada dipunggung kuda. Nah, umurmu akan menjadi semakin singkat. Dan kau akan mati dengan cara yang barangkali belum pernah kau bayangkan". Ancaman Wong Sarimpat itu ternyata memberi kesadaran kepada Empu Sada bahwa, senjatanya memang tidak akan banyak berarti lagi untuk melawan sepasang golok yang berada di tangan sepasang hantu dari Kemundungan itu. Tetapi apakah yang akan dilakukannya? Ia tidak akan dapat mengambil potongan senjatanya yang lain, sebab potongan itu terletak terlampau jauh dari padanya. Sementara itu ia melihat kuda Kebo Sindet pun telah bergerak pula. Bahkan orang itu telah mempersiapkan diri untuk menyambarnya dengan kuda itu. Sambil mengayun-ayunkan goloknya Empu Sada melihat Kebo Sindet telah siap menyerangnya.Dalam waktu yang singkat itu Empu Sada mencoba berpikir untuk mendapatkan cara yang sebaik-baiknya melawan ke dua orang yang liar itu. Tongkatnya yang tinggal sepotong itu tidak akan dapat membantunya. Tetapi apa yang dapat dilakukannya? Dalam ketegangan itu, maka suasana di cengkam oleh kesenyapan yang mengerikan. Tak seorang pun yang telah mulai dengan sergapan dan serangan, seakan-akan mereka menunggu perkembangan keadaan. Tetapi wajah-wajah mereka menjadi semakin keras sekeras batu karang. Sedang senjata-senjata mereka menjadi semakin erat di dalam genggaman. Ketegangan itu tiba-tiba dipecahkan oleh derap kuda Kebo Sindet yang meluncur seperti badai menyambar Empu Sada. Golok Kebo Sindet terayun dengan cepatnya mengarah kepada lawannya. Namun Empu Sada pun telah bersiap pula menerima serangan itu. Dengan lincahnya ia meloncat kesamping menghindari sambaran golok Kebo Sindet, namun kemudian, ia melenting menyerang dengan potongan tongkatnya. Tetapi potongan tongkat itu ternyata terlampau pendek. Meskipun tangannya sudah terjulur lurus, tetapi ujung tongkatnya yang sepotong itu masih belum mcnyentuh tubuh lawannya sama sekali meskipun, Kebo Sindet sama sekali tidak berusaha untuk menangkisnya. Dengan menggeser tubuhnya sedikit saja, maka iblis itu telah dapat membebaskan dirinya dari lawannya. Terdengar Empu Sada berdesis. Senjata yang selama ini dipergunakan adalah sebuah tongkat yang panjang. Sebenarnya, ia telah meletakkan senjatanya itu. Ia tidak ingin lagi melibatkan diri dengan persoalan yang harus diselesaikan dengan senjata. Tetapi persoalan Mahisa Agni, anak Jun Rumanti itu, telah memaksanya untuk mengangkat sebatang tongkat lagi. Tetapi tongkat itu tidak dapat membantu sepenuhnya seperti tongkat pusakanya, ciri kebesarannya.Sementara, Kebo Sindet memutar kudanya, Wong Sarimpat telah melompat pula sambil memutar goloknya menyerang Empu Sada dengan garangnya. Sekali lagi Empu Sada harus menghindari serangan itu, tetapi ia tidak sekedar mau menjadi sasaran yang meloncat kian kemari seperti sedang menari di atas bara. Dengan dahsyatnya ia pun segera menyerang. Tongkatnya yang sepotong itu mematuk dengan lincahnya. Tetapi sekali lagi ia menjadi kecewa, bahwa tongkatnya ternyata terlampau pendek.

   "Hem"

   Ia berdesah di dalam hati.

   Meskipun demikian, Empu Sada adalah seorang tua yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang banyak sekali.

   Karena itu meskipun, setiap kali ia dikecewakan oleh tongkatnya yang pendek, namun ia masih mampu juga bertahan untuk beberapa saat.

   Tetapi, sejenak kemudian segera terasa, bahwa melawan kedua hantu dari Kemundungan itu adalah pekerjaan yang berat sekali baginya.

   Dan disadarinya bahwa ia tidak akan mampu melakukannya.

   Apalagi keadaan kedua orang itu jauh lebih baik dari padanya.

   Yang seorang dari mereka berada di punggung kudu yang dapat menyambarnya seperti seekor Garuda, dan keduanya masih menggenggam senjata masing-masing.

   Sedang Empu Sada harus melawan mereka berdua seorang diri dengan senjata yang telah patah pula.

   Dalam keadaan yang semakin sulit, tiba-tiba Empu Sada itu meloncat ke arah Kuda Sempana.

   Dengan serta merta ditariknya pedang anak muda itu tanpa minta ijin dahulu kepadanya.

   Alangkah lerkejut anak muda itu.

   Tetapi semuanya itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat, dan Kuda Sempana hanya dapat melihat pedangnya itu sudah berada di tangan Empu Sada.

   Kini Empu Sada mempergunakan senjata rangkap pada kedua belah tangannya.

   Tangannya yang kiri menggenggam pedang Kuda Sempana, dan tangannya yang kanan memegang potongantongkatnya.

   Ia masih belum yakin benar terhadap kekuatan pedang Kuda Sempana.

   Apakah pedang itu mampu mengalami benturan- benturan dengan golok kedua orang Kemundungan yang besar dan tebal, apalagi terbuat dari baja pilihan.

   Ia masih lebih percaya kepada tongkatnya yang patah.

   Tongkat itu kini menjadi pendek.

   Karena itu, maka kemungkinan patah pun menjadi semakin kecil.

   Dengan sepasang senjata itu lah Empu Sada melawan ke dua kakak beradik itu.

   Betapa Empu tua itu masih dapat meloncat-loncat dengan lincahnya.

   Menyambar-nyambar dengan penuh nafsu yang menyala di dalam dadanya, sehingga seolah-olah tenaganya menjadi bertambah-tambah.

   Wong Sarimpat yang kemudian melihat Empu Sada itu bersenjata pada kedua tangannya, mengumpat tak habis-habisnya.

   Bahkan ia berteriak kepada Kuda Sempana.

   "He, anak yang tidak tahu diri kenapa pedangmu kau biarkan di ambil oleh setan tua itu? Sekarang, mumpung belum terlanjur, pergilah. Pergi jauh-jauh atau kembali ke Kemundungan lebih dahulu". Kuda Sempana mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih belum beranjak dari tempatnya. Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus.

   "Cepat pergi"

   Bentak Wong Sarimpat.

   "atau kau ingin aku bunuh pula". Kuda Sempana tidak menjawab, tetapi ia masih belum bergerak. Kuda Sempana itu berpaling ketika Kebo Sindet tiba-tiba telah berada di sampingnya, dan membiarkan adiknya bertempur seorang diri melayani Empu Sada. Dengan nada yang datar ia berkata.

   "Kuda Sempana. Sebaiknya kau mendahului kami pergi Kemundungan. Letakkanlah Mahisa Agni itu di pembaringan, supaya ia tidak terlanjur mati. Aku memerlukannya hidup-hidup, seperti kau juga. Bukankah kau ingin melihat anak muda itu mengalami seperti yang pernah kau alami. Sakit hati yang tidak tersembuhkan". Kuda Sempana merasakan suatu perbawa yang tak dapat di atasinya. Ketika ia perpaling dan menatap wajah Kebo Sindet,tampaklah sepasang mata iblis itu seolah-olah menyala. Karena itu maka cepat-cepat Kuda Sempana menundukan kepalanya.

   "Aku tidak menyalahkanmu"

   Berkata Kebo Sindet yang suaranya seolah-olah bergulung-gulung saja didalam perutnya.

   "memang di luar kemampuanmu untuk mempertahankan pedangmu itu. Tetapi sebelum keadaan berkembang semakin jelek, dan Wong Sarimpat itu menjadi semakin marah, nah pergilah. Pergilah lebih dahulu ke Kemundungan. Aku merasa bahwa kau tidak akan sampai hati melihat gurumu terbunuh dengan cara yang diinginkan oleh Wong Sarimpat. Tetapi aku tidak dapat mencegah adikku itu mendapatkan permainan yang menyenangkan, apalagi mencegah keinginanku sendiri. Supaya kau tidak pingsan, maka pergilah. Kecuali kalau kau menang ingin menyaksikan, bagaimana tubuh gurumu akan menjadi makanan burung gagak dan anjing-anjing liar". Terasa dada Kuda Sempana menjadi semakin pepat. Namun ia masih saja tidak bergerak. Kata-kata Kebo Sindet yang diucapkannya perlahan-lahan itu justru terasa betapa mengerikannya. Tanpa dikehendakinya, maka Kuda Sempana itu memandangi gurunya yang sedang berkelahi melawan Wong Sarimpat. Meskipun kemampuannya sama sekali masih kurang cukup untuk menilai perkelahian itu, tetapi ia dapat merasakan bahwa gurunya mempunyai beberapa kelebihan dari Wong Sarimpat. Senjata gurunya di kedua belah tangannya tampak menyambar-nyambar mengerikan di antara ayunan golok Wong Sarimpat. Tetapi Empu Sada sendiri dapat pula melihat bahwa Wong Sarimpat tidak berada dalam puncak kekuatannya. Dan Empu Sada dapat melihat, bahwa hal itu adalah akibat luka di pangkal lengannya. Luka itu agaknya selalu mengganggunya. Hanya karena ketahanan tubuh Wong Sarimpat yang luar biasa, maka luka itu tidak banyak mempengaruhinya. Kebo Sindet pun melihat pula hal itu. Tetapi ia sama sekali tidak mencemaskannya. Ia memang melihat kelemahan adiknya, dan apabila hal itu dibiarkannya, maka Wong Sarimpat akan lebih dahulu kehabisan tenaga. Tetapi waktu itu pasti cukup lama. Mungkinsehari, mungkin dua hari. Dan Kebo Sindet yakin, bahwa sebentar lagi apabila ia telah kembali ke arena, maka waktu yang diperlukan akan surut berlipat-lipat. Empu Sada itu pasti akan segera dapat mereka selesaikan. Tetapi Kebo Sindet itu ingin supaya Kuda Sempana menjauhkan dirinya. Kebo Sindet menjadi cemas apabila tiba-tiba saja Empu Sada mendorong Kuda Sempana dari kudanya, dan kemudian berusaha melarikan kuda beserta Mahisa Agni. Ia hanya akan dapat menyusul Empu Sada itu seorang diri karena Wong Sarimpat sudah tidak berkuda lagi. Apabila mereka harus berkuda berdua, maka pasti akan memperlambat. Sebab kuda yang di pakai oleh Kuda Sempana agaknya lebih baik dari kuda Empu Sada yang dipakainya. Dan ia pun kemudian harus bertempur seorang diri pula di sepanjang pengejarannya. Dengan demikian, maka Kebo Sindet tidak yakin sampai berapa lama ia mampu mengalahkan Empu Sada. Bahkan mungkin sampai ke Tumapel, mereka masih juga harus bertempur di sepanjang jalan. Karena itu maka sekali lagi ia berkata.

   "Kuda Sempana. Menyingkirlah selagi kau masih mempunyai kesempatan". Pengaruh kata-kata Kebo Sindet, serta sorot matanya yang seakan-akan langsung menembus kejantungnya itu tidak dapat di hindari oleh Kuda Sempana, sehingga seperti terdorong oleh suatu tenaga yang tidak dimengertinya, tiba-tiba ia menggerakkan kendali kudanya. Perlahan-lahan kuda itu berjalan dan kemudian memutar.

   "Bagus"

   Desis Kebo Sindet.

   "dahululah. Jangan terlampau cepat supaya kami segera dapat menyusulmu". Kepala Kuda Sempana yang kosong telah membawanya bcrjalan perlahan-lahan menjauhi arena. Sekali-sekali ia berpaling, dan kini dilihatnya Kebo Sindet telah pula menyerang Empu Sada. Untuk menahan senjata-senjata lawannya, maka kedua senjata Empu Sada itu berputar seperti baling-baling, sehingga putarannya menjadi sebuah perisai yang tak akan dapat di tembus oleh ujung jarum sekalipun.Tetapi Kuda Sempana itu tertegun sejenak. Bahkan terdengar mulutnya menggeram. Meskipun demikian ia tidak memutar kudanya kembali ke arena perkelahian itu. Dengan dada yang berguncang-guncang ia melihat sekali gurunya terpelanting ketika ia menahan sergapan tiba-tiba Kebo Sindet di atas kuda. Tetapi Empu Sada itu masih cukup lincah. Ketika Wong Sarimpat berusaha menerkamnya, maka orang tua itu sudah bangun dan sekali lagi diputarnya kedua senjatanya untuk melindungi dirinya. Meskipun demikian, segera terasa bahwa perlawanannya itu akan tidak banyak berarti bagi kedua iblis itu. Sebentar lagi maka ia pasti akan kehabisan tenaga, dan kedua golok lawannya itu akan mencincang tubuhnya.

   "Hem"

   Empu Sada menggeram.

   "kalau yang membawa Mahisa Agni itu bukan Kuda Sempana, setidak-tidaknya aku mendapat kesempatan untuk mendapat kawan mati dan bahkan melarikan kudanya bersama Mahisa Agni. Mungkin aku akan berhasil memancing salah seorang dari keduanya untuk mengejarku di atas kudanya". Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Yang duduk di atas punggung kuda itu adalah Kuda Sempana, seorang dari muridnya. Perkelahian di arena menjadi semakin sengit. Namun menjadi semakin jelas pulalah bahwa Empu Sada menjadi semakin terdesak. Hanya karena tekadnya yang bulat serta hampir-hampir di dasari oleh keputusasaan, muka justru tenaganya menjadi kian dahsyat. Tetapi Kuda Sempuna yang semakin jauh dari perkelahian itu masih juga sempat melihat bahwa gurunya berkali-kali terdorong surut, bahkan terbanting jatuh. Untuk melawan kedua lawannya itu Empu Sada benar-benar telah memeras segenap tenaga, kemampuan dan ilmunya. Jatuh bangun ia berjuang. Terbersit tekad di dalam dadanya.

   "Aku akan membawa salah seorang dari mereka untuk menemaniku meninggalkan dunia yang fana ini".Kuda Sempana akhirnya tidak sampai hati lagi melihat gurunya berjuang mati-matian dalam kesulitan. Ia tidak sampai hati melihat gurunya terbanting kemudian melenting berdiri untuk segera terdorong pula surut kebelakang. Sejenak kemudian Empu Sada itu harus meloncat jauh-jauh mengambil jarak dari kedua lawannya yang menyerangnya dari jurusan yang berbeda. Dengan hati yang pedih, lebih pedih dari segala macam penderitaan yang dialaminya selama ini, Kuda Sempana segera memukul perut kudanya dengan tumitnya. Kuda itu terkejut dan segera meloncat seperti gila. Menembus keremangan malam yang di tandai oleh sesisir bulan yang sedang berkalang. Kuda Sempana sendiri bagaikan orang gila melecut-lecut kuda itu sekuat-kuat tenaganya. Ia ingin segera menjauhi tempat jahanam itu. Ia ingin melupakan apa yang baru saja dilihatnya. Dan ia sama sekali ingin melenyapkan gambaran-gambaran apa yang akan terjadi atas gurunya. Karena itulah maka ia berpacu sekuat-kuat kaki kudanya. Hampir-hampir ia tidak memperhatikan lagi Mahisa Agni yang tersangkut di punggung kuda itu pula. Demikianlah, Kuda Sempana berusaha melarikan diri dari kenangan dan angan-angannya masa-masa lampau dan masa-masa yang akan datang. Dengan demikian ia pun seakan-akan melupakan dirinya sendiri masa kini. Ia tidak tahu kemana kudanya akan pergi. Tetapi kuda itu adalah kuda yang dibawanya dari Kemundungan, sehingga kuda itu berlari menurut jalan yang dikenalnya. Kemundungan. Sedang di belakang Kuda Sempana itu gurunya bertempur antara hidup dan mati. Disadarinya bahwa nyawanya sebentar lagi akan meninggalkan tubuhnya. Tetapi ia tidak akan menyerahkan nyawanya seperti seekor lembu di pembantaian. Namun tiba-tiba perkelahian yang semakin seru dan semakin berat sebelah itu terganggu. Telinga-telinga mereka yang tajam itu mendengar suara derap seekor kuda di kejauhan. Semakin lama semakin dekat.Kebo Sindet yang berada di punggung kuda menengadahkan wajahnya. Perlahan-perlahan ia berdesis seperti kepada diri sendiri.

   "apakah yang datang itu pande keris dari Lulumbang?"

   Wong Sarimpat pun mengumpat di dalam hatinya. Ia pun menyangka bahwa yang datang itu pasti Empu Gandring. Karena itu, maka dengan penuh nafsu ia berteriak.

   "mari kita selesaikan tikus tua ini kakang. Sebentar lagi kita bantai orang yang datang untuk membunuh diri itu". Kebo Sindet memandangi Empu Sada yang sedang berusaha mengelakkan serangan Wong Sarimpat. Dengan suara berat dan datar ia menjawab.

   "Huh. Satu lagi datang seorang yang ingin membunuh Empu Sada itu pula. Wong Sarimpat. Nanti kalau orang itu datang, biarlah kita bersama-sama menguliti Empu yang malang ini. Bukankah orang itu Empu Gandring? Ia pasti menyangka bahwa Empu Sadalah yang menjadi biang keladi dari peristiwa ini. Nah, kira-kira orang tua itu akan berbuat apa?"

   Empu Sada tidak menghiraukan apa yang mereka percakapkan.

   Tetapi ia menyerang lawannya sejadi-jadinya, semakin lama semakin dahsyat, seperti angin pusaran di musim kesanga.

   Wong Sarimpat yang lebih banyak menjadi sasaran serangan Empu Sada itu mengumpat di dalam hati.

   Tetapi, ia ti dak begitu yakin akan kata-kata kakaknya.

   Karena itu, maka baginya, lebih baik membunuh orang tua ini lebih dahulu dan kemudian membunuh Empu Gandring bersama-sama pula daripada berteka-teki tentang apa yang akan dilakukan oleh Empu Gandring.

   Dengan demikian, maka tandangnya pun menjadi semakin buas.

   Ia ingin segera membinasakan Empu Sada itu secepatnya.

   Tetapi, Empu yang tua itu ternyata membuat perhitungan sendiri.

   Mungkin Empu Gandring, paman Mahisa Agni itu mendendamnya dan menyangkanya bahwa ia lah biang keladi dari penculikan kemenakannya itu.

   Tetapi yang datang itu benar Empu Gandring dan melihat perkelahian itu, maka ia pasti akan memihak Empu Gandring pasti akan memihaknya.

   Sebab ia adalah pihak yang lemah.

   Apabila Empu Gandring itu berhasil keluar dari perkelahianitu bersamanya, mengalahkan kedua iblis dari Kemundungan dan seandainya, Empu Gandring masih tetap dalam pendiriannya menyangka dirinya dengan tuduhan itu, maka lawannya adalah pihak yang lemah.

   Bukan kedua orang iblis itu lagi.

   Dengan demikian Empu Sada bertekad untuk bertempur terus.

   Meskipun Empu Sada itu menjadi semakin terdesak, tetapi ia mempunyai harapan untuk bertahan sampai kuda itu menjadi semakin dekat.

   Segala cara ditempuhnya untuk menyelamatkan dirinya.

   Meloncat-loncat, berlari-lari, melingkar-lingkar pada gerumbul-gerumbul liar.

   Ia tidak peduli lagi apa yang dikatakan orang tentang dirinya.

   Ia akan mempergunakan segala cara.

   Kebo Sindet dan Wong Sarimpat mengumpat-umpat di dalam hati.

   Bahkan Wong Sarimpat berteriak.

   "He Empu Sada apakah kau sudah kehilangan sama sekali harga dirimu. Bagaimana mungkin seorang Empu yang sakti bertempur dengan cara itu". Empu Sada tidak menyahut. Ia bertempur semakin liar. Sama sekali tak diperhatikannya lagi tata kesopanan di dalam perkelahian. Sementara itu derap kuda dikejauhan pun menjadi semakin dekat. Harapan Empu Sada pun menjadi semakin berkembang. Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menjadi semakin keras mengumpat-umpat. Akhirnya mereka, yang sedang bertempur itu melihat seekor kuda berpacu seperti angin mendekati titik perkelahian itu. Dalam pada itu, terdengar Kebo Sindet berkata.

   "Empu Sada, kalau Empu Gandring itu menjadi semakin dekat maka nyawamu pun akan menjadi semakin pendek". Empu Sada masih tetap tidak menjawab. Tetapi senjatanya bergerak semakin mantap. Kini kuda yang datang itu telah menjadi semakin dekat, dan sesaat kemudian kuda itu berhenti. Benarlah dugaan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bahwa penunggangnya adalah Empu Gandring.Demikian kuda itu berhenti terdengar Wong Sarimpat berteriak.

   "Empu Gandring ini kah orangnya yang kau cari?"

   Empu Sada segera meloncat jauh kesamping untuk melepaskan diri dari perkelahian. Dengan sebuah senyuman ia menyambut kedatangan Empu Gandring, katanya.

   "Selamat malam Empu, telah cukup lama kami menunggu kedatanganmu". Empu Gandring yang duduk di atas punggung kudanya termenung sejenak melihat apa yang sedang terjadi. Ia tidak dapat segera mengerti, mengapa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bertempur melawan Empu Sada. Yang terdengar kemudian adalah suara Kebo Sindet kepada Empu Gandring.

   "Kau telah menemukan orangnya, sumber bencana yang menimpa Mahisa Agni". Tetapi Empu Gandring tidak segera memberi tanggapan. Ia masih saja duduk membeku di atas punggung kudanya. Sementara itu Wong Sarimpat berteriak.

   "Mengapa kau masih saja seperti patung?"

   Kebo Sindetlah yang menyahut.

   "Apakah kau memerlukan penjelasan, Empu Gandring?"

   Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin menghadapi persoalan itu dengan tenang, supaya ia tidak terperosok dalam suatu sikap yang salah. Kebo Sindet terdengar berkata lagi.

   "Empu Gandring apakah kau masih sangsi bahwa kemanakanmu telah dilarikan oleh murid Empu Sada. Kau melihat sendiri bahwa Mahisa Agni berada di punggung kuda yang dipergunakan oleh Kuda Sempana. Memang akulah yang telah berbuat langsung, tetapi aku hanyalah sekedar alat. Aku tidak tahu maksud Empu Sada yang sebenarnya, dengan menculik Mahisa Agni. Baru kemudian aku tahu setelah aku menyerahkannya kepadanya. Ternyata, dendam murid Empu Sada telah begitu tajam meracuni hatinya, sehingga kedua guru dan murid ini begitu sampai hati untuk berbuat di luar perikemanusiaan atas Mahisa Agni. Sehingga, kami berdua berusaha mencegah. Kemudian yang terjadi adalah seperti yang kau lihat ini. Kami berdua terpaksa bertempurmelawan Empu Sada. Nah Empu Gandring sekarang terserah padamu apa yang akan kau lakukan. Kau akan dapat bersama-sama kami membunuh Empu Sada ini, kemudian bersama-sama kami pula mengejar Kuda Sempana. Sebab selama kami bertempur Kuda Sempana telah sempat melarikan Mahisa Agni". Empu Gandring masih tetap mematung. dilayangkannya pandangan matanya mengedari arena perkelahian itu. Dilihatnya Empu Sada berdiri tegak disisi sebuah parit yang kering. Ketika pandangan mata mereka beradu maka berkatalah Empu Sada.

   "Empu Gandring, kau telah mendengar penjelasan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi apakah kau dapat mempercayainya". Empu Gandring masih tetap tidak menjawab. Dan Empu Sada pun berkata lebih lanjut.

   "Empu Gandring, aku menyesal bahwa aku tidak mendengarkan nasihatmu dahulu, seperti Bojong Santi pernah menasehati aku juga kalau aku berhubungan dengan kedua iblis dari Kemundungan itu maka aku pasti akan ditelannya. Ternyata nasihatmu itu benar-benar terjadi, aku kini telah kehilangan semuanya. Muridku pun telah dirampasnya pula, sedang muridku yang lain telah dibunuhnya. Empu Gandring, kini Mahisa Agni itu pun telah diambilnya untuk kepentingan yang kotor. Mereka ingin mempergunakan Mahisa Agni untuk melakukan pemerasan. Adalah Kuda Sempana yang memberitahukan kepada mereka, kedua iblis dari Kemundungan itu, bahwa bakal permaisuri Tunggul Ametung sangat mengasihi kakaknya, Mahisa Agni".

   "Bohong"

   Potong Kebo Sindet.

   "jangan mempercayainya".

   "Empu Gandring"

   Berkata Empu Sada pula.

   "kau telah mendengar penjelasan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dan kau telah mendengar penjelasanku pula. Kemudian ter serah kepadamu manakah yang menurut pertimbanganmu dapat kau percaya".

   "Hebat"

   Teriak Wong Sarimpat.

   "pembelaanmu hebat sekali Empu. Tetapi sayang bahwa hanya anak-anak kecil sajalah yang mempercayainya. Tetapi sudah tentu bukan Empu Gandring dan kami berdua yang sudah kenyang makan garam".Empu Sada sama sekali tidak menanggapi teriakan Wong Sarimpat. Ia tidak ingin terlampau banyak berbicara. Tetapi ia yakin bahwa Empu Gandring dapat melihat keadaan dengan wajar, sebab orang itu dahulu pernah mengatakan kepadanya sedikit tentang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Karena itu maka Empu Sada membiarkan saja Wong Sarimpat berteriak-teriak terus.

   "Empu Gandring apa lagi yang kita tunggu? Marilah kita selesaikan saja gurunya, kemudian marilah kita susul muridnya kepadepokan Empu Sada. Mahisa Agni itu pasti dibawanya kesana untuk diperlakukannya dengan biadab"

   Wong Sarimpat berhenti sejenak. Tetapi karena Empu Gandring masih belum menjawab, maka ia berkata selanjutnya.

   "atau kau ingin mendahului kami menyelamatkan kemenakanmu itu. Sementara kami menyelesaikan orang ini? Nanti sesudah pekerjaan ini selesai, maka kami pun akan menyusulmu ke Padepokan Empu Sada itu". Ketika Wong Sarimpat terdiam, maka kesenyapan segera menerkam suasana. Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Empu Sada menjadi tegang menunggu sikap Empu Gandring. Keputusan orang itu akan menentukan keadaan. Apabila Empu Gandring berpihak kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, bersama-sama membinasakan Empu Sada, maka kemudian ia pun pasti akan binasa pula ditangan kedua iblis itu. Tetapi kalau ia berpihak kepada Empu Sada, maka keadaannya akan berbeda. Tetnyata perhitungan Empu Gandring tidak jauh berbeda dengan perhitungan Empu Sada. Kalau ia berpihak kepada Empu Sada, maka seandainya ia masih menjumpai persoalan dengan orang itu, maka kedudukan mereka pasti akan seimbang. Bahkan mungkin tiga hari, seminggu dan bahkan setahun, mereka tidak akan dapat menentukan siapakah yang akan menang dan akan kalah. Mungkin Empu Gandring mempunyai beberapa kelebihan dari Empu Sada, tetapi dalam perkelahian terbuka, maka kelebihan yang hanya selapis itu tidak akan banyak berpengaruh. Apalagi melihat cara Empu Sada berkelahi saat ini. Meloncat-loncat, berlari-lari bersembunyi dan melingkari pepohonan yang daun-daunnya menjadi berguguran. Karena itu maka Empu Gandring membulatkantekadnya. Ia memilih berpihak kepada Empu Sada. Pengenalannya kepada mereka, yang sedang berkelahi itu telah mendorongnya untuk mengambil keputusan itu. Dalam ketegangan itu Empu Gandring menggerakkan kudanya beberapa langkah maju. Keris raksasanya ternyata masih saja berada di dalam genggamannya. Sejenak ia mengawasi ketiga orang yang tegang mematung. Akhirnya terdengarlah suaranya membelah kesenyapan.

   "Empu Sada, aku berpihak kepadamu. Meskipun setelah pertempuran ini selesai, entah sehari, atau seminggu, aku masih harus berurusan dengan kau".

   "Baik Empu"

   Sahut Empu Sada.

   "aku terima syaratmu. Ternyata kau cukup bijaksana menentukan pilihan".

   "Persetan kalian"

   Tiba-tiba Kebo Sindet berteriak nyaring.

   Tanpa berkata sepatah kata pun lagi, kudanya meluncur dengan cepatnya menyerang Empu Gandring.

   Untunglah bahwa selama ini Empu Gandring tidak meninggalkan kewaspadaan, sehingga ketika golok iblis itu mematuknya, maka Empu Gandring pun segera menangkisnya dengan keris raksasanya.

   "Hem"

   Empu Gandring menggeram.

   "kau segera mulai Kebo Sindet. Baiklah, aku memang ingin segera menyelesaikan persoalan ini". Kebo Sindet tidak mcnjawab. Kudanya segera berputar untuk melakukan serangan sekali lagi. Demikianlah maka Kebo Sindet dan Empu Gandring itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing adalah orang- orang yang pilih tanding. Meskipun Empu Gandring tidak setangkas Kebo Sindet bermain-main dengan kuda, tetapi ketangkasannya menggerakkan senjata dapat mengimbangi kekurangannya, sehingga perkelahian itu pun menjadi seimbang. Keduanya sambar menyambar dengan dahsyatnya. Senjata- senjata mereka terayun-ayun dan berputaran. Seolah-olah di langittelah berterbangan seribu macam senjata dari kedua jenis senjata itu. Keris-keris raksasa dan golok-golok yang berkilat-kilat. Empu Sada masih saja berdiri di sisi sebuah parit yang kering. Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil menarik nafas dalam- dalam. Kini ia mempunyai harapan lagi untuk mempertahankan hidupnya dan menolong Mahisa Agni. Dengan penuh minat diperhatikannya perkelahian yang dahsyat antara Empu Gandring dan Kebo Sindet yang masing-masing berada di punggung kuda. Seperti sedang melihat sepasang burung garuda yang bertempur di udara. Di tempat lain, Wong Sarimpat pun memandang perkelahian itu dengan penuh gairah. Tanpa disadarinya sekali-sekali tangannya menyentuh-nyentuh luka di pangkal lengannya. Meskipun luka itu sudah tidak berdarah lagi, tetapi masih juga terasa, bahwa luka itu agak mengganggunya. Namun agaknya Wong Sarimpat tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan luka itu. Ketika ia berpaling dilihatnya Empu Sada berjalan perlahan-lahan ke arahnya sambil berkata.

   "Wong Sarimpat, kini keadaan menjadi berubah. Nah, sekarang kau tidak perlu mengumpat-umpat lagi. Aku tidak akan berlari-lari, meloncat-loncat dan bersembunyi seperti seekor kera kepanasan".

   "Persetan"

   Sahut Wong Sarimpat.

   "kau telah berhasil menipu pande keris itu".

   "He"

   Empu Sada mengerutkan keningnya.

   "apakah aku menipunya? Ah, jangan begitu Wong Sarimpat. Kau tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan kau masih juga berkata aku menipunya". Wong Sarimpat menggeram. Digerakkannya goloknya dan ia pun maju selangkah demi selangkah menyongsong Empu Sada yang mendekatinya. Keadaan menjadi semakin tegang, sejalan dengan langkah- langkah mereka, Empu Sada dan Wong Sarimpat, yang jaraknya menjadi semakin dekat. Kini senjata-senjata mereka telah siapuntuk dipergunakan. Sebuah golok besar di tangan Wong Sarimpat dan Empu Sada masih tetap menggenggam potongan tongkatnya di tangan kanan dan pedang Kuda Sempana di tangan kirinya. Ketika jarak mereka sudah tidak lebih dari ampat langkah lagi, tanpa berjanji, serentak mereka pun berlari. Sejenak mereka saling berpandangan. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan, tetapi lewat sorot mata mereka melontarlah segala macam kebencian, dendam, marah bercampur-baur. Tetapi waktu itu tidak terlampau lama. Sesaat kemudian dengan sebuah teriakan yang nyaring Wong Sarimpat meloncat menyerang. Seperti petir menyambar di langit, goloknya menyambar lawannya. Tetapi Empu Sada telah siap menanti saat yang demikian. Itulah sebabnya maka ia sama sekali tidak terkejut. Segera ia menyesuaikan dirinya, sehingga dengan kecepatan yang sama Empu Sada membebaskan dirinya dari serangan itu. Tetapi sekejap kemudian, Empu Sada lah yang berganti menyerang. Kedua senjatanya berderak susul-menyusul, demikian cepatnya bagaikan berpuluh-puluh ujung scnjata yang ditaburkan bersama-sama. Mengalami serangan itu, sekali lagi Wong Sarimpat berteriak nyaring. Ia terpaksa meloncat surut beberapa langkah. Tetapi sesaat kemudian mereka telah terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit. Pertarungan dari dua orang yang menyimpan dendam sedalam lautan di dalam dada masing-masing. Dengan demikian maka pertarungan itu menjadi pertarungan yang sangat dahsyat. Masing-masing sama sekali sudah kehilangan pengendalian diri. Yang ada di dalam hati mereka tinggallah nafsu untuk membunuh lawannya, dengan jalan dan cara apa pun juga. Sehingga perkelahian itu segera menjadi keras dan kasar, seperti perkelahian dua ekor harimau yang paling buas di dalam rimba yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan peradaban. Di sisi yang lain dua ekor kuda masih saling menyambar. Dengan gelora di dalam dada yang tidak kalah serunya, Empu Gandring dan Kebo Sindet pun bertempur mati-matian. Senjata-senjata mereka yang terayun-ayun di udara serta benturan-benturan yang terjaditak ubahnya seperti lidah api yang berlaga di langit. Percikan bunga api yang terjadi dalam setiap benturan senjata, seperti bunga-bunga yang membara yang ditaburkan dari langit. Sementara itu bulan yang sepotong masih bergayutan di langit. Sinarnya yang kckuning-kuningan menjadi semakin kabur, di saput oleh warna kemerah-merahan yang memancar dari timur. Angin yang silir berhembus lembut, menyentuh dedaunan yang telah menjadi kekuning-kuningan. Gemerisik suaranya seolah-olah membawa kabar bahwa sebentar lagi fajar akan segera datang. Ketika warna merah di punggung bukit di ujung timur menjadi semakin nyata, maka satu-satu bintang pun mencari tempat persembunyiannya, supaya wajahnya yang cantik tidak menjadi terbakar oleh terik matahari yang ganas. Ternyata mereka yang sedang bertempur pun masih juga mempunyai kesempatan menyadari bahwa fajar hampir menyingsing. Tetapi justru karena itu, maka mereka menjadi gelisah. Apabila hari menjadi pagi, maka ada kemungkinan, seseorang melihat perkelahian ditengah-tengah padang yang kering itu. Apabila demikian, maka keadaan akan menjadi berbahaya. Terutama bagi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Apalagi, apabila anak muda yang aneh, yang berpakaian prajurit Tumapel itu datang pula ke arena ini. Karena itu, maka baik Kebo Sindet maupun Wong Sarimpat, kemudian bertempur semakin bernafsu. Mereka ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun lawan-lawan mereka pun berbuat serupa. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu seolah-olah hampir tidak ada perubahan apapun. Perkelahian itu masih tetap seimbang dan dalam keadaan yang sama seperti perkelahian itu baru di mulai. Sekali-kali terbersit ingatan di kepala Kebo Sindet untuk menghindar saja dari arena, tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan adiknya bertempur sendiri. Karena itu maka tak habis-habisnya ia mengumpati Empu Sada yang licik, yang ternyatatelah menyerang kuda-kuda mereka sehingga kini Wong Sarimpat terpaksa bertempur di atas tanah. Seandainya Kebo Sindet berusaha membawa Wong Sarimpat bersamanya di atas satu punggung kuda, maka kesempatan itu sangat berbahaya bagi adiknya. Pada saat adiknya meloncat, maka Empu Gandring dan Empu Sada dapat menyerang bersama, sehingga sangat sulitlah untuk menghindarkan diri. Karena itu, maka tidak ada jalan lain daripada berkelahi terus. Bahkan Kebo Sindet itu menjadi semakin garang dan semakin bernafsu, seperti Wong Sarimpat. Bahkan Wong Sarimpat itu telah hampir sampai kepuncak kemarahannya. Ia menjadi semakin muak melihat sikap Empu Sada yang di dalam pandangan matanya menjadi semakin liar. Namun sebaliknya Empu Sada pun menjadi semakin mendendam Wong Sarimpat yang di dalam pandangan matanya menjadi semakin buas. Sebenarnyalah, bahwa kedua orang itu telah sama-sama kehilangan nilai-nilai tata kesopanan dalam pertarungan tanding. Mereka berbuat apa saja. Bahkan Wong Sarimpat yang sedang mata gelap telah berusaha menaburkan segenggarn pasir ke dalam mata Empu Sada. Untunglah Empu Sada dapat menghindar dengan cepat, dengan meloncat jauh-jauh ke belakang. Namun Empu Sada pun telah memukul pula dengan tongkatnya seonggok batu karang yang diarahkan kepada lawannya. Tetapi Wong Sarimpat pun dengan lincah dapat pula menghindari. Meskipun karena itu, maka ia mengumpat-umpat dengan bahasa yang paling kotor yang pernah dikenalnya. Akhirnya Wong Sarimpat itu tidak dapat bersabar lagi. Ia merasa wajib untuk segera memusnakan lawannya. Kalau ia tidak dapat membinasakannya dengan wajar, maka ia harus mempergunakan tenaga simpanannya. Aji kebanggannya seperti yang dimiliki oleh kakaknya, aji Bajang. Dan Wong Sarimpat merasa, bahwa kini saatnya telah tiba baginya untuk mempergunakan aji itu. Meskipun ia tahu, bahwa Empu Sada pun memiliki pula kekuatan yang akan dapatmengimbangi aji Bajangnya, namun dengan demikian, maka persoalannya akan lebih cepat selesai. Yang hancur akan lebih cepat hancur dan yang menang akan lebih cepat melihat kemenangannya. Namun Wong Sarimpat itu pun mengerti juga, bahwa masih ada kemungkinan-kemungkinan yang lain. Hancur bersama-sama atau aji-aji itu tidak berguna sama sekali. Apabila demikian, maka perkelahian itu akan berlangsung terus. Mungkin sehari lagi, seminggu atau apabila salah seorang telah menjadi kelaparan. Tetapi Wong Sarimpat tidak mau dirisaukan oleh seribu satu macam pertimbangan. Ia ingin mempergunakan Aji Bajangnya saat ini. Habis perkara. Dengan demikian maka Wong Sarimpat itu segera mengambil jarak dari lawannya. Disilangkannya goloknya di muka dadanya. Dipusatkannya segenap kekuatan dan dihimpunnya menjadi kekuatan yang dahsyat. Kekuatan lahir dan batin yang didapatnya dengan segala macam jalan. Jalan yang hitam. Yang ditemuinya di bawah kelamnya pohon-pohon tua yang rimbun, di balik batu-batu yang besar dan di dalam gelapnya goa-goa yang lembab. Empu Sada pun segera melihat apa yang sedang dihadapinya. Karena itu ia tidak boleh bermain-main lagi menghadapi sikap lawannya. Ia pun harus berbuat serupa pula. Menggerakkan segenap daya dan kekuatan yang ada padanya, memusatkannya dan kemudian menyalurkannya dalam wujud dan sifatnya yang dahsyat. Demikianlah kini kedua-duanya telah berhadapan dalam puncak kemampuan. Wong Sarimpat telah siap melontarkan Aji Bajang lewat goloknya yang besar dan Empu Sada pun telah memusatkan Aji Kala Bama pada tangan kananya yang telah siap mengayunkan potongan tongkatnya. Kali ini ia mengharap bahwa tongkatnya yang telah patah dan menjadi pendek itu tidak akan terpatahkan lagi. Waktu yang mereka perlukan ternyata tidak terlampau banyak. Segera mereka pun telah berada dalam puncak kesiagaan dalamilmu tertinggi. Sekejap kemudian terdengar dua buah teriakan nyaring yang hampir berbareng meluncur dari mulut Wong Sarimpat dan Empu Sada. Dan keduanya pun segera berloncatan seperti tatit yang meloncat dan kemudian bersabung di langit. Benturan yang terjadi benar-benar sebuah benturan yang dahsyat. Benturan antara Aji Bajang dan Kala Bama untuk yang kedua kalinya di malam itu, sesudah Empu Sada membentur Aji yang sama yang dilontarkan oleh Kebo Sindet. Kali ini pun akibatnya tidak pula kalah dahsyatnya. Bahkan Kebo Sindet dan Empu Gandring yang sedang bertempur itu pun tertegun sejenak. Kuda-kuda mereka pun berhenti berlari-lari dan seolah-olah mereka pun ingin menyaksikan, apa yang akan terjadi sesudah benturan itu. Ternyata Wong Sarimpat dan Empu Sada bersama-sama terdorong beberapa langkah surut. Mereka seakan-akan terlempar dan melambung di udara untuk sejenak kemudian terbanting jatuh di tanah. Namun demikian tubuh-tubuh mereka menyentuh tanah, maka mereka pun segera melenting bangkit berdiri, dan bersikap kembali menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun demikian terasa sesuatu pada tubuh mereka. Terasa tangan-tangan mereka menjadi nyeri karena tekanan senjata- senjata mereka pada saat benturan terjadi. Hanya tangan-tangan yang di lambari oleh kekuatan yang sedahsyat kekuatan yang berbenturan itu lah, yang masih akan mampu bertahan menggenggem senjata masing-masing. Apabila tangan-tangan itu adalah tangan-tangan wajar, maka jari-jarinya pasti akan patah berserakan di tanah, dan tulang-tulang lengannya akan hancur berkeping-keping. Tetapi tangan-tangan itu ternyata masih utuh meskipun terasa juga, genggamannya menjadi mengendor. Empu Sada yang mempergunakan hanya sepotong tongkat, merasakan, bahwa tekanan ditangannya agak terlampau keras, meskipun senjatanya tidak terpatahkan lagi. Sedang Wong Sarimpat pun merasakan sesuatu yang tidak wajar pada pangkal lengannya yang terluka. Agaknya dalam benturan yang terjadi, oleh desakankekuatan yang menghentak, maka luka itu mulai mengalirkan darah lagi.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Setan alas"

   Bentak Wong Sarimpat.

   "tangan ini agaknya akan mengganggu". Sejenak kemudian Wong Sarimpat meraba bumbung kecil di dalam kantong ikat pinggangnya yang dibuatnya dari kulit. Ia masih mempunyai beberapa butir reramuan obat di sana. Tetapi Empu Sada yang melihatnya, tidak ingin memberinya kesempatan sama sekali. Orang itu telah benar-benar menjadi mata gelap, dendam, benci, muak dan segala macam perasaan, telah mendorongnya untuk berbuat dengan nafsu yang meluap-luap. Dengan cepat sekali lagi ia mempersiapkan Aji Kala Bama. Ia harus cepat menyerang sebelum Wong Sarimpat sempat menahan arus darah yang meleleh dari luka di pangkal lengannya itu. Wong Sarimpat yang melihat sikap itu mengumpat keras-keras. Tetapi ia sadar, bahwa apabila ia terlambat menyambut. kekuatan itu, maka ia pun akan menjadi lumat. Karena itu maka niatnya untuk mengambil obat diurungkannya. Segera ia pun bersiap menyambut serangan yang bakal datang. Dan serangan itu kini dilakukan oleh Empu Sada. Bukan oleh dirinya. Sekali lagi mereka berteriak nyaring. Sekali lagi mereka berloncatan sambil mengayunkan senjata-senjata mereka. Dan sekali lagi benturan yang sedahsyat semula itu terjadi. Namun ternyata akibatnya lebih dahsyat dari pada benturan tang pertama. Dalam benturan ini, ternyata tangan-tangan mereka sudah tidak kuasa lagi mempertahankan senjata-senjata mereka tetap di tangan. Terasa betapa perasaan pedih dan nyeri menyengat tangan-tangan mereka, dan senjata-senjata mereka yang berbenturan itu pun meloncatlah bersama-sama dari tangan-tangan mereka. Meskipun segera mereka bangkit kembali setelah terbanting jatuh, dan kemudian berdiri berhadapan lagi, tetapi mereka ternyata sudah tidak bersenjata sama sekali.Empu Sada pun baru menyadari, bahwa Pedang di tangan kirinya agaknya telah terlepas pula dari tangannya, pada saat-saat ia terlempar dan terbanting jatuh di tanah. Dengan demikian maka kini mereka berhadap-hadapan tanpa sehelai senjata pun. Yang ada pada mereka hanyalah anggauta badan mereka, tangan, kaki dan tubuh yang terdiri dari kulit, daging dan tulang belulang itu. Tetapi ternyata bahwa nafsu kedua-duanya benar-benar tidak lagi dapat terkendali. Mereka benar-benar sudah tidak dapat berpikir lagi, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Yang ada di dalam kepala mereka adalah nafsu untuk membunuh. Membunuh. Tidak ada yang lain. Karena itu, maka seperti berjanji mereka pun segera mempersiapkan diri untuk melontarkan kembali kekuatan ilmu mereka yang tertinggi. Empu Gandring dan Kebo Sindet, betapa kemarahan dan kebencian mereka pun membakar dada, namun mereka masih sempat menyaksikan perkelahian dua orang yang seakan-akan telah kehilangan diri pribadi. Seakan-akan mereka telah kepanjingan iblis yang sedang berlaga di dalam tubuh-tubuh mereka. Karena itu ketika Kebo Sindet melihat Wong Sarimpat dan Empu Sada mempersiapkan kekuatan ilmu tertinggi mereka, maka hatinya pun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia berteriak.

   "Wong Sarimpat, hati-hati dengan luka ditanganmu. Lebih baik kau memungut senjatamu". Tetapi Wong Sarimpat tidak sempat berbuat sesuatu. Bahkan kata-kata kakaknya itu seakan-akan tidak didengarnya. Orang itu sudah tidak lagi sempat berpikir tentang luka-lukanya yang akan dapat menjadi berbahaya baginya. Sebenarnya dalam keadaannya Wong Sarimpat lebih baik berusaha membenturkan senjatanya daripada tubuhnya. Lebih baik pula baginya, bertempur tanpa benturan-benturan meskipun setiap ayunan dilambari oleh Aji Pamungkas masing-masing.Kebo Sindet tidak dapat berbuat apa-apa lagi ketika ia melibat kedua orang yang seolah-olah telah menjadi gila itu siap untuk saling menerkam. Ketika ia menggerakkan kudanya, maka Empu Gandring pun telah bergerak pula. Dengan demikian maka Kebo Sindet dapat menyadari keadaannya, bahwa Empu Gandring tidak akan dapat ditinggalkannya, walaupun hanya sejenak. Maka yang dapat dilakukan hanyalah melihat apa yang bakal terjadi dengan hati yang berdebar-debar. Dua ekor binatang buas yang kelaparan sedang berlaga memperebutkan sepotong tulang. Tak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya, selain maut telah merenggut jiwa mereka atau salah satu dari padanya. Sejenak kemudian Empu Gandring dan Kebo Sindet menahan nafasnya. Seolah-olah mereka sendiri terseret pula di dalam loncatan yang garang dan kemudian ikut pula dalam benturan yang segera terjadi. Tetapi Wong Sarimpat ternyata bukan seorang yang benar telah menjadi gila. Ia menyadari keadaannya. Keadaan luka di pangkal lengannya. Karena itu, maka saat mereka telah saling meloncat dan mengayunkan tangan-tangan mereka, maka Empu Sada melihat, bahwa tangan Wong Sarimpat itu sengaja tidak membentur tangannya, tetapi langsung mengarah ke dadanya. Empu Sada tergagap sesaat menghadapi keadaan itu. Tetapi keadaan sudah berada di puncak yang paling gawat. Empu Sada sudah tidak dapat berbuat apapun lagi. Ia tidak mau hanya sekedar membentur tangan Wong Sarimpat yang mengarah kedadanya, sebab dengan demikian maka geraknya akan tidak seimbang. Ia berada pada keadaan sekedar bertahan karena perimbangan gerak yang menguntungkan Wong Sarimpat. Karena itu, maka Empu Sada yang sedang menjadi kalap itu pun tidak mau terlampau banyak berpikir dan menimbang, la tidak lagi memperhitungkan tangan dan gerak Wong Sarimpat. Letak tangan Wong Sarimpat yang mengarah ke dadanya itu memberinya kesempatan yang serupa. Dada Wong Sarimpat pun tidak terlindung karenanya. Karena itu, maka Empu Sada itu pun memusatkan perhatiannya ke arah dada lawannya. Takada lagi yang nampak di matanya selain dada Wong Sarimpat. Dada yang selama ini dimuati oleh segala macam nafsu dan kehendak yang hitam lekam, sifat dan watak yang kotor dan liar. Benturan yang terjadi kemudian adalah benturan yang mengerikan. Terdengar mereka berdua berteriak nyaring hampir bersamaan untuk mentuntaskan segenap kekuatan yang tersimpan di dalam puncak ilmu masing-masing. Tetapi sejenak kemudian di susul pula oleh dua buah teriakan yang mengerikan ketika tangan- tangan itu telah menghantam dada lawan masing-masing. Empu Gandring dan Kebo Sindet yang melihat benturan itu menahan nafas niasing-masing. Benturan itu benar-benara sebuah benturan yang paling gila yang pernah mereka lihat. Masing-masing sengaja menghindari sentuhan tangan, tetapi masing-masing langsung mengarah dan menghantam dada. Kedua orang itu terlempar jauh-jauh ke belakang. Terdengar tubuh-tubuh mereka terbanting jatuh di tanah seperti seonggok pasir. Demikian keduanya jatuh di tanah, maka keduanya pun sama sekali sudah tidak bergerak-gerak lagi. Yang terdengar adalah sebuah teriakan yang mengerikan meloncat dari sela-sela bibir Wong Sarimpat, umpatan-umpatan yang paling kotor yang pernah di dengar oleh telinga.

   "Wong Sarimpat"

   Kebo Sindet mcncoba memanggilnya. Tetapi Wong Sarimpat sudah tidak menjawab lagi. Dan teriak- teriakannya pun telah terdiam pula. Yang terdengar kemudian adalah sebuah keluhan yang tertahan-tahan. Perlahan-lahan sekali.

   "Empu Gandring"

   Berkata Kebo Sindet.

   "apakah kau dapat membiarkan aku melihat adikku sejenak?". Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bukan orang yang berhati batu. Ketika ia melihat keadaan itu, maka ia tidak dapat berkeras hati menolak permintaannya. Maka jawabnya,"Aku tidak berkeberatan Sindet. Aku pun ingin melihat Empu Sada itu". Kebo Sindet menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Empu Gandring scolah-olah ingin meyakinkan jawaban orang itu sehingga Empu Gandring mengulangi.

   "Lihatlah adikmu, aku akan melihat apa yang terjadi dengan Empu Sada itu".

   "Baiklah. Kesempatan bagimu untuk membunuhnya dengan mudah supaya ia tidak mengganggumu lagi. Kemudian kau dapat mengejar muridnya ke Padepokannya. Apakah kau belum pernah melihat Padepokan Empu Sada?"

   Empu Gandring tidak menjawab.

   Tak terlintas di dalam kepalanya untuk berbuat selicik itu.

   Empu Sada yang sudah berbaring diam tidak berdaya sama sekali itu pasti tidak akan dapat melawan seandainya ia membunuhnya.

   Apalagi dengan kerisnya itu, bahkan dengan memijat hidungnya saja, maka lama-lama orang itu akan terputus nafasnya.

   Tetapi perbuatan itu adalah perbuatan yang tercela.

   Apa lagi bagi seorang Empu seperti Empu Gandring.

   Karena itu betapapun besarnya kebencian, kemarahan dan beribu macam tuntutan di dalam hati, namun tidak sepantasnya ia berbuat demikian.

   Kebo Sindet itu pun kemudian perlahan-lahan mendekati adiknya.

   Dengan wajah yang tegang ia meloncat turun dari kudanya.

   Tampaklah pada wajah yang beku itu beberapa kerut merut melintang di dahinya.

   Dan terdengarlah ia menggeram perlahan- lahan.

   Ketika ia bcrjongkok maka dilihatnya jelas, bahwa dari luka di pangkal lengan Wong Sarimpat itu, darahnya seakan-akan terperas habis.

   Darah yang merah segar.

   "Terlambat"

   Desis Kebo Sindet.

   Tak ada gunanya lagi ia mencoba menaburkan obat pada luka itu uutuk menahan arus darah yang mengalir.

   Sebab nafas Wong Sarimpat hampir-hampir sudah tidak mengalir sama sekali.

   Ketika Kebo Sindet meletakkan kupingnya di dada adiknya, maka ia menarik nafas dalam-dalam.Tetapi Kebo Sindet itu tiba-tiba menggeram.

   Sekali loncat ia telah berdiri.

   Digenggamnya goloknya erat-erat sambil berkata.

   "Empu Gandring. Apakah Empu Sada itu masih hidup?"

   Empu Gandring yang sedang berjongkok itu pun berdiri pula. Ia harus berhati-hati melihat sikap Kebo Sindet yang seolah-olah menjadi gila.

   "Bagaimana he?"

   Desak Kebo Sindet.

   "Orang ini masih hidup"

   Sahut Empu Gandring.

   "Empu Gandring, marilah kita lupakan persoalan kita. Tetapi kalau kau tidak mau membunuh setan tua itu, biarlah aku yang melakukannya. Adikku Wong Sarimpat sudah tidak dapat lagi diharapkan hidup. Nafasnya telah hampir putus dan darahnya sudah terlampau banyak yang memancar dari lukanya. Apalagi dadanya telah mengalami luka yang cukup parah pula.

   "Apa yang akan kau lakukan terhadap orang ini?"

   Bertanya Empu Gandring.

   "Orang itu akan aku bawa ke Padepokanku".

   "Untuk apa?"

   "Itu adalah urusanku Empu". Empu Gandring terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Kebo Sindet yang berdiri beberapa langkah agak jauh dari padanya. Tetapi ia tidak melihat wajah itu dengan jelas. Yang tampak dalam kesamaran sinar bulan sepotong hanyalah sikapnya yang mengerikan. Tiba-tiba Empu Gandring itu berkata perlahan-lahan.

   "Tidak Kebo Sindet. Orang ini adalah tawananku. Aku yang akan mengurus dan menyelesaikannya".

   "Siapa bilang"

   Teriak Kebo Sindet tiba-tiba.

   "ia pingsan karena tangan adikku. Adikkulah yang berhak atasnya. Karena adikku akan mati, maka akulah yang berhak berbuat apa saja atas setan tua ituuntuk membalas sakit hatiku karena ia telah membunuh adikku.

   "Tunggulah sampai ia sembuh kembali. Kelak kau akan dapat menemuinya dan membuat perhitungan apabila orang ini akan dapat hidup karena luka-luka yang pernah dideritanya kini.

   "Aku tidak sabar menunggu waktu itu. Dan apakah kau kehilangan sesuatu apabila ia aku bawa pergi? Kau akan menjadi puas pula. Kau tidak akan terpecik dosanya, tetapi kau pun akan menemukan mayatnya kelak". Empu Gandring menggelengkan kepalanya. Terbayang di dalam rongga matanya perbuatan Kebo Sindet yang sangat mengerikan.

   "Jangan keras kepala Empu"

   Bentak Kebo Sindet.

   "apakah permusuhan kita akan kita teruskan".

   "Kebo Sindet"

   Berkata Empu Gandring.

   "aku membenci Empu Sada sampai ke ujung ubun-ubunku, karena orang ini adalah orang yang mencelakai kemenakanku. Orang ini terlampau memanjakan muridnya, sehingga apa saja yang dikehendaki oleh Kuda Sempana itu dilakukannya. Sampai berbuat nista sekalipun, menghubungi orang-orang seperti kau dan adikmu.

   "Kau salah sangka. Ia sama sekali bukan karena memanjakan muridnya, tetapi karena Kuda Sempana itu menjanjikan upah yang besar kepadanya, dan kepada kami berdua". Empu Gandring mengerutkan keningnya, tetapi kemudian menjawab.

   "Apalagi demikian, Ia agaknya telah berusaha pula menjual kemanakanku. Karena itu aku mendendamnya".

   "Nah, apalagi yang kau sayangkan pada tubuh dan nyawa yang hampir terloncat dari ubun-ubun itu?"

   "Tetapi bukan seperti itu caraku untuk membalas. Aku ingin merawatnya, dan kemudian membuat perhitungan di hari-hari mendatang dengan orang ini".

   "Aku pun akan berbuat demikian"."Aku sangsi, bukan begitu kebiasaan dan sifatmu. Apalagi melihat pancaran dendam pada sikapmu kali ini. Kau mungkin akan mencoba membuatnya sadar dan sekedar memperingan luka- lukanya. Tetapi kemudian kau akan membunuhnya dengan cara yang kau senangi. Atau kau pergunakan untuk kepentingan- kepentingan lain, karena muridnya telah melarikan Mahisa Agni. Tetapi yang paling mungkin kau lakukan, kau akan membunuhnya dengan perlahan-lahan. Terdengar Kebo Sindet menggeram, seperti laku seekor serigala melihat bangkai. Namun Empu Gandring pun telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Kerisnya masih saja berada di dalam genggamannya, dan setiap saat siap dipergunakannya. Tetapi ternyata Kebo Sindet tidak segera menyerangnya. Orang itu masih saja berdiri disamping tubuh adiknya yang diam tidak bergerak. Bahkan nafasnya pun semakin lama menjadi semakin tidak teratur. Sekali lagi Kebo Sindet berpaling memandangi tubuh adiknya yang terbujur membeku di tanah. Tiba-tiba ia berteriak.

   "Empu Gandring. Lihat. Adikku kini telah mati. Apakah kau tidak juga memberikan Empu Sada itu". Empu Gandring tidak segera menjawab. Ia mencoba memandangi tubuh Wong Sarimpat. Tetapi dari tempatnya berdiri, ia sama sekali tidak dapat melihat apakah Wong Sarimpat itu telah mati atau belum. Namun sebenarnya Wong Sarimpat telah melepaskan nafasnya yang terakhir. Darah yang terlampau banyak mengalir dari lukanya, serta bekas tangan Empu Sada yang melepaskan aji Kala Bama telah merusakkan dadanya pula, sehingga karena kehabisan darah, maka daya tahan iblis dari Kemundungan itu menjadi jauh susut. Akhirnya ia tidak dapat mempertahankan hidupnya lagi. Matilah ia di samping kaki kakaknya yang berdiri tegak bagaikan patung. Namun dada orang itu bergelora sedahsyat lautan yang sedang dilanda taufan."Bagaimana Empu?"

   Desak Kebo Sindet. Alangkah marahnya Kebo Sindet ketika ia melihat Empu Gandring menggeleng sambil berkata.

   "Jangan Sindet. Akulah yang akan mengurus orang ini. Sembuh atau tidak sembuh".

   "Setan alas"

   Teriak .Kebo Sindet.

   "aku telah kehilangan adikku yang selama ini telah hidup bersamaku bertahun-tahun. Kematiannya pasti aku bela dengan mengorbankan nyawa pula. Kalau kau tidak mau menyerahkan Empu Sada, maka kaulah yang harus aku bunuh untuk mengawani adikku dalam perjalanannya kealam langgeng. Kaulah yang harus menanggung segala dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat oleh adikku, karena kau akan menjadi budaknya di sepanjang perjalanannya itu".

   "He?"

   Empu Gandring mengerutkan keningnya.

   "jadi kau dapat juga mengucapkan kata-kata dosa dan kesalahan?"

   "Persetan"

   Kebo Sindet menjadi semakin marah.

   "setidak- tidaknya Empu, marilah kita mati bersama-sama, seperti Wong Sarimpat sampyuh mati bersama lawannya".

   "Kalau memang itu yang kau kehendaki Kebo Sindet, aku tidak akan selak. Adalah menjadi kewajibanku untuk menanggulangi setiap tantangan serupa itu". Kebo Sindet terdiam sejenak. Tetapi ia masih saja menggeram mengerikan. Bahkan kemudian terdengar giginya gemeretak seperti orang kedinginan terendam di dalam air. Tampaklah sikapnya menjadi semakin buas dan liar. Tetapi Empu Gandring pun telah bersiap sepenuhnya. Setiap saat iblis itu menerkamnya, maka ia pun akan melawan dengan segenap kemampuan, bahkan seandainya Kebo Sindet itu sekaligus melepaskan aji Bajangnya. Namun sudah tentu kalau Empu Gandring tidak ingin melakukan benturan yang bodoh seperti yang terjadi atas Empu Sada dan Wong Sarimpat, yang kepalanya sedang terbakar oleh nafsu yang menyala-nyala, sehingga mereka telah melupakan segala perhitungan yang mungkin dapat mereka lakukan.Beberapa saat Empu Gandring menunggu, tetapi Kebo Sindet masih berdiri saja disamping mayat adiknya. Sebenarnya orang itu pun sedang dilanda oleh keragu-raguan. Ia mencoba memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi ia tidak melihat manfaat apa pun apabila ia harus berkelahi melawan Empu Gandring. Hasil setinggi-tinginya yang dapat dicapainya adalah mati sampyuh seperti adiknya itu. Dan ia masih belum ingin mati. Ia masih ingin berbuat sesuatu atas Mahisa Agni yang sedang dilarikan oleh Kuda Sempana. Apalagi kemudian Kebo Sindet itu lamat-lamat mendengar derap kuda dikejauhan. Tanpa dikehendakinya diangkatnya wajahnya memandang langit, seolah-olah derap kaki-kaki kuda itu menyelusuri warna-warna merah yang telah memancar di langit.

   "Anak setan itu datang lagi"

   Gumamnya. Empu Gandring pun mendengar derap kaki-kaki kuda itu. Dan ia pun menyangka bahwa yang datang itu pasti Ken Arok.

   "Empu Gandring"

   Berkata Kebo Sindet kemudian.

   "kalau kau mendengar juga derap kaki-kaki kuda itu, maka anak iblis itulah yang pasti akan datang. Sayang, aku tidak punya waktu untuk menyambutnya. Tetapi meskipun demikian, sampaikan kepadanya, bahwa aku kagum melihat ketahanan tubuhnya yang luar biasa. Kalau anak itu akan tetap hidup, maka ia benar-benar akan menjadi hantu yang menakutkan bagi seluruh Tumapel. Tidak saja Tumapel, tetapi seluruh Kerajaan Kediri akan mengaguminya". Empu Gandring tidak menyahut. Ia pun sebenarnya menjadi sangat kagum melihat ketahanan tubuh Ken Arok, yang tanpa kekuatan ilmu apa pun mampu menyelamatkan diri dari sentuhan aji Bajang.

   "Sekarang aku pergi Empu"

   Berkata Kebo Sindet.

   "tidak ada gunanya aku melayanimu kali ini. Besok pada saatnya aku akan menjumpaimu atau Empu Sada itu, untuk membuat perhitungan dan menuntut hutangmu yang kali ini belum kau lunasi".Empu Gandring masih juga berdiam diri. Namun dibiarkannya ketika Kebo Sindet itu mengangkat mayat adiknya dan menyangkutkannya di punggung kuda. Kuda itu adalah kuda milik Empu Sada.

   "Selamat tinggal Empu"

   Desis Kebo Sindet sambil meloncat ke atas punggung kuda.

   Sesaat kemudian kuda itu pun meloncat meninggalkan Empu Gandring yang masih berdiri tegak seperti patung.

   Sejenak Empu Gandring dilanda oleh keragu-raguan.

   Apakah ia akan mengejar Kebo Sindet, atau ia mempunyai kepentingm dengan Empu Sada.

   Empu Gandring itu tidak tahu benar, kemana sebenarnya Mahisa Agni dibawa.

   Tetapi menilik bahwa yang membawa itu adalah Kuda Sempana, murid Empu Sada, maka ia akan dapat menanyakannya kepada orang yang sedang pingsan itu.

   Karena itu maka niatnya untuk mengejar Kebo Sindet diurungkannya.

   Empu Gandring mengharap bahwa ia akan mendapat banyak keterangan dari Empu Sada tentang Mahisa Agni.

   Maka Empu Gandring itu pun kembali berlutut di samping Empu Sada.

   Dicobanya untuk mengendorkan segenap urat nadinya.

   Menggerakkan tangannya, dan memijit-mijit dadanya perlahan- lahan.

   Karena Empu Gandring tahu, bahwa dada itu sebenarnya telah terluka di dalam.

   Tetapi agaknya luka Empu Sada benar-benar parah.

   Meskipun denyut nadinya serta detak jantungnya masih terasa, tetapi tubuhnya tampak terlampau lemah, dan matanya yang terpejam sama sekali tidak bergetar.

   "Mudah-mudahan aku berhasil"

   Desis Empu Gandring.

   "aku harus mendapat keterangan tentang Mahisa Agni". Kemudian oleh Empu Gandring diambilnya sebulir obat reramuan dedaunan yang akan dapat memberikan kesegaran kepada orang yang sedang mengalami luka di dalam semacam Empu Sada. Tetapi karena keadaan Empu Sada maka Empu Gandring agak menjadibingung, bagaimana memasukkan obat itu supaya dapat di telan oleh Empu Sada.

   "Tak ada jalan lain"

   Desisnya, lalu dimasukkan saja obat itu ke dalam mulut Empu Sada, dengan harapan bahwa obat itu akan huncur dan meskipun sedikit-sedikit dan sangat perlahan-lahan, maka larutan obat itu akan tertelan juga.

   Ternyata usaha itu berhasil betapapun lambannya.

   Sementara itu suara derap kuda dikejauhan menjadi semakin dekat.

   Ketika kuda itu berhenti tepat di belakang Empu Gandring, maka Empu Sada telah mulai bergerak-gerak.

   Sehingga Empu Gandring itu pun kemudian meletakkannya di tanah, dan perlahan-lahan ia berdiri.

   "Siapa Empu?"

   Bertanya orang berkuda yang tidak lain adalah Ken Arok, sambil meloncat turun.

   "Empu Sada".

   "Empu Sada?"

   Ken Arok menjadi agak terkejut.

   Orang itu sama sekali tidak tampak di Panawijen.

   Yang dilihatnya hanyalah dua orang yang buas dan liar, yang disebut bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Sambil menunjuk kepada bekas-bekas pertempuran Empu Gandring berkata.

   "disini baru saja terjadi sebuah permainan yang membingungkan".

   "Kenapa Empu?"

   "Wong Sarimpat telah terbunuh".

   "Empu berhasil membunuhnya?"

   Empu Gandring menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, bukan aku".

   "Siapa yang telah melakukannya?"

   "Orang ini"

   Sahut Empu Gandring sambil menunjuk ke arah Empu Sada."Empu Sada itu? Bagaimana hal itu dapat terjadi Empu?"

   "Itulah yang membingungkan. Ketika aku sampai di sini, Empu Sada sedang bertempur melawan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat berdua. Aku pun kemudian memihak kepada Empu Sada untuk kemudian memperkecil dan mempersempit persoalan. Ternyata Empu Sada dan Wong Sarimpat telah berbenturan".

   "Dimana Wong Sarimpat dan Kebo Sindet sekarang?"

   "Mayat Wong Sarimpat telah dibawa oleh kakaknya, sedang Mahisa Agni dibawa oleh Kuda Sempana".

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hem"

   Ken Arok menggeram.

   "kemana kira-kira Kuda Sempana melarikan diri?"

   "Mungkin aku dapat bertanya kepadanya". Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia mendekati Empu Sada yang ternyata telah mulai bergerak-gerak pula.

   "Apakah Empu memberinya obat?"

   "Ya".

   "Biarlah ia mati pula seperti Wong Sarimpat".

   "Aku memerlukan keterangannya Ngger. Keterangan tentang Mahisa Agni. Mungkin ia akan bersedia memberitahukan kepadaku dalam keadaannya itu. Kalau tak ada harapan lagi baginya, maka aku rasa ia akan melapangkan dadanya, tanpa menyimpan rahasia lagi pada saat-saat menjelang kematiannya". Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kerut merut diwajahnya menyatakan kebenciannya kepada orang yang sedang terbaring diam itu. Empu Gandring pun kemudian mendekati Empu Sada itu dan berjongkok lagi disampingnya. Dilihatnya Empu Sada itu membukakan matanya dan berdesis.

   "Siapakah kau?"

   "Aku Empu Gandring"."Hem"

   Desah orang itu.

   "ada kesegaran merayapi urat-urat darahku. Apakah kau memberi aku semacam obat yang dapat memberi aku kesegaran?"

   "Ya".

   "Terima kasih".

   "Empu"

   Berkata Empu Gandring kemudian.

   "aku ingin keteranganmu tentang Mahisa Agni. Dimanakah ia dilarikan oleh muridmu?"

   "Oh"

   Empu Sada memejamkan matanya. Dikumpulkannya segenap ingatan yang ada padanya. Persoalan-persoalan yang sedang dihadapi pada saat-saat terakhir.

   "Aku juga memerlukan anak itu"

   Desisnya.

   "Empu"

   Berkata Empu Gandring.

   "kau sekarang berada dalam keadaan parah. Jangan mencoba mempertahankan anak muda itu. Apakah kau masih juga bernafsu untuk membunuhnya atau untuk keperluan apapun yang dapat memberi kepuasan kepada muridmu yang gila itu?"

   Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ken Arok berkata.

   "Hidup matimu berada ditangan Empu Gandring, Empu". Empu Sada yang lemah itu mencoba memandang wajah orang yang berkata kepadanya tentang hidup matinya. Tatapan matanya masih agak kabur dan cahaya yang kemerah-merahan masih belum mampu untuk memecahkan kesuraman pagi.

   "Siapakah kau?"

   Bertanya Empu Sada dengan suara lirih. Yang menjawab adalah Empu Gandring.

   "seorang Pelayan Dalam dari Istana Tumapel. Namanya Ken Arok".

   "Oh"

   Empu Sada mencoba menggeliat, tetapi badannya masih terlampau lemah.

   "Angger Ken Arok. Bukankah kau kawan sepekerjaan dengan Kuda Sempana sewaktu muridku itu masih berada di Istana Tumapel?""Ya"

   Sahut Ken Arok singkat.

   "Kenapa pula kau disini Agger? Apakah kau mendapat tugas untuk mencari Kuda Sempana?"

   "Ya"

   Sahut Ken Arok sekenanya.

   "Sayang"

   Desah Empu Sada.

   "aku sudah tidak dapat berbuat apa- apa lagi terhadap anak itu". Empu Gandring mengerutkan keuingnya. Tetapi orang itu tidak segera dapat mengambil kesimpulan dari kata-kata Empu Sada, sehingga ia bertanya.

   "Apa maksudmu Empu. Apakah karena keadaanmu yang parah itu ataukah karena hal-hal yang lain maka kau tidak lagi mampu berbuat apa-apa lagi atas muridmu?"

   Empu Sada tidak segera menjawab.

   Dicobanya untuk mengatur jalan pernafasannya, supaya luka di dalamnya tidak terasa sedemikian sakitnya.

   Empu Gandring yang menyadari keadaan Empu Sada tidak mendesaknya.

   Ia tahu betul, bahwa penderitaan Empu Sada benar- benar parah.

   Tetapi, agaknya Ken Arok tidak begitu sabar menunggunya, sehingga ia mendesaknya.

   "Empu Sada. Kau jangan mengingkari tanggung jawab atas muridmu. Sekarang dimana Mahisa Agni itu dilarikan?"

   Sekali lagi Empu Sada mencoba menggeliat. Tetapi sekali lagi ia menyeringai menahan sakit didadanya. Meskipun demikian ia berusaha menjawab.

   "Aku juga akan berusaha mendapatkan Mahisa Agni apabila aku berhasil memenangkan perjuangan ini. Perjuangan melawan luka di dalam diriku".

   "Jangan berkeras hati Empu"

   Sahut Ken Arok. Namun sebelum Ken Arok melanjutkan kata-katanya, maka terasa Empu Gandring menggamitnya, sehingga karena itu maka Ken Arok pun terdiam.

   "Empu Sada"

   Berkata Empu Gandring dengan nada seorang yang telah dibekali oleh berbagai macam pengalaman yang mengendap.

   "apakah kau masih juga memerlukan Mahisa Agni?"Empu Sada mencoba menganggukkan kepalanya perlahan-lahan.

   "Ya"

   Desisnya.

   "aku tidak dapat membiarkannya berada di tangan orang lain".

   "Empu Sada"

   Bertanya Empu Gandring kemudian.

   "apakah kau berselisih pendapat dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tentang tawananmu itu?"

   "Ya"

   Sahut Empu Sada perlahan-lahan.

   "Dan karena itu kau bertempur melawan mereka?"

   "Ya".

   "Sekarang Empu, bagaimanakah pendapatmu kalau aku juga memerlukan Mahisa Agni. Bukankah kau tahu bahwa ia adalah kemanakanku".

   "Ya, aku tahu Empu. Dan aku pun ingin pula berusaha mendapatkan kembali Mahisa Agni itu dari tangan Kebo Sindet".

   "Ah"

   Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.

   "kau masih terlalu bernafsu. Keadaanmu tidak akan memungkinkan lagi untuk berbuat sesuatu".

   "Tetapi Mahisa Agni itu harus di rebut dari tangan Kebo Sindet".

   "Empu"

   Berkata Empu Gandring.

   "bukankah yang membawa Mahisa Agni itu Kuda Sempana? Kenapa kau harus bersusah payah merebutnya dari tangan Kebo Sindet?"

   "Aku tidak lagi dapat menguasai muridku. Mahisa Agni itu dilarikan oleh Kuda Sempana untuk kepentingan Kebo Sindet". Ken Arok menjadi tidak bersabar lagi mendengar jawaban Empu Sada. Tetapi ia tidak berani mendahului Empu Gandring yang tampaknya masih cukup sabar. Katanya.

   "Jangan begitu Empu. Aku tahu bahwa Kuda Sempana adalah muridmu. Aku tahu bahwa kau dan Kuda Sempana telah berusaha mati-matian untuk menangkap Mahisa Agni. Bahkan kemudian kalian telah minta bantuan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bukan itu saja, ceritera tentang usahamu untuk menculik adik Mahisa Agni itu pun telah pernah akudengar. Beruntunglah bahwa pada saat itu Panji Bojong Santi melihat apa yang sedang terjadi". Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu ternyata menusuk jantungnya jauh lebih parah dari pada sakit di dadanya. Ternyata bahwa jalan kembali yang akan dicarinya itu tidak selicin yang disangkanya. Teringatlah ia akan kata-kata Kuda Sempana, bahwa dunia yang jernih telah tertutup baginya. Dan kini, terasa, betapa jauh jalan yang harus ditempuhnya untuk dapat kembali ke dalam dunia yang bersih itu. Karena Empu Sada tidak segera menjawab, maka Empu Gandring berkata pula dengan tembung orang tua.

   "Empu, dalam keadaan seperti ini seharusnya Empu tidak lagi menambah beban yang akan dapat membuat jalanmu semakin gelap". Alangkah pedihnya kata-kata itu. Justru pada saat ia mencari jalan yang terang. Sesaat kemudian maka dengan mengumpulkan segenap kekuatan dan keteguhan hatinya Empu Sada berkata.

   "Empu Gandring. Aku sependapat dengan kau, bahwa dalam keadaan ini seharusnya aku tidak perlu menambah jalanku menjadi semakin gelap. Justru karena itulah maka keadaanku menjadi demikian jeleknya. Bukan salahmu kalau kau tidak dapat mempercayai lagi kata-kataku. Dan bukan salahmu pula bahwa kau tetap berpendapat, bahwa Kuda Sempana adalah muridku yang selama ini aku manjakan. Tetapi persoalan yang sebenarnya mungkin tidak akan kau mengerti". Empu Sada berhenti sejenak. Dicobanya sekali lagi menggerakkan bagian-bagian dari tubuhnya. Meskipun betapa rasa sakit menyengat-nyengat dadanya, namun ia telah berhasil menggeliat sedikit. Tetapi sejenak kemudian terdengar orang tua itu mengeluh pendek.

   "Jangan bergerak terlampau banyak"

   Cegah Empu Gandring.

   Bagaimanapun juga ia seakan-akan dapat merasakan, betapa sakitnya penderitaan Empu Sada saat itu.Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.

   Dicobanya untuk meraba sorot mata Empu Gandring.

   Perasaan apakah yang kira-kira terpancar dari padanya.

   Tetapi Empu Sada tidak segera dapat mengetahuinya.

   Namun sementara itu cahaya kemerah-merahan di langit menjadi semakin lama semakin terang.

   Ujung Gunung Kawi tampak seperti segumpal bara raksasa yang menyala memanasi langit.

   Semakin lama cahaya kemerah-merahan itu menjadi semburat kuning.

   Semakin terang, semakin terang.

   Dan matahari pun kemudian mulai menampakkan dirinya dibalik dedaunan di arah Timur.

   "Lukamu parah Empu."

   Berkata Empu Gandring.

   "tetapi maaf. Aku memerlukan Mahisa Agni. Aku terpaksa bertanya kepadamu. Karena itu, supaya aku tidak mengganggumu, katakan ke mana Kuda Sempana itu pergi?"

   "Sudah aku katakan Empu"

   Jawab Empu Sada.

   "aku tidak lagi dapat menguasai muridku. Dan aku mengerti bahwa kau tidak akan mudah mempercayai kata-kataku. Apalagi kalau aku katakan, bahwa aku pun sedang berusaha untuk membebaskan Mahisa Agni dari tangan Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Kuda Sempana bukan karena aku masih di bakar nafsu untuk menguasai anak muda itu dengan maksud yang jahat". Empu Gandring mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling dilihatnya wajah Ken Arok berkerut-merut. Tetapi sebelum Ken Arok mengucapkan sesuatu, Empu Gandring telah mendahuluinya.

   "Hem. Kau agaknya ingin mempersulit dirimu sendiri. Aku dapat menolongmu, menyerahkan kau kepada seseorang di jalan yang akan aku lalui, supaya kau dirawatnya. Dan aku untuk seterusuya tidak akan mengganggumu apabila kau segera mengatakan di mana Mahisa Agni. Bukankah kau akan segera bebas dari pertanyaan- pertanyaanku yang barangkali sama sekali tidak menyenangkanmu ini?"

   Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.

   Ia sadar, bahwa amat sulitlah baginya untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya.Keadaan telah menjadi kalut, dan banyak hal terjadi bersimpang- siur.

   Dengan demikian maka pedih luka di dada Empu Sada itu rasa- rasanya menjadi bertambah pedih.

   Ternyata ia telah kehilangan jalan untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

   Namun sekali lagi disadarinya, bahwa bukan salah Empu Gandring apabila orang itu sudah tidak lagi sanggup mempercayainya.

   Perkelahian yang terjadi antara dirinya melawan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu bagi Empu Gandring tidak lebih dari perkelahian para perampok yang berselisih dalam pembagian hasil rampokannya.

   Karena Empu Sada tidak segera menjawab, maka Empu Gandring pun kemudian mendesaknya.

   "Bagaimana Empu? Aku ingin semuanya cepat selesai. Kalau mungkin segalanya dapat selesai dengan baik. Membatasi sekecil-kecilnya segala macam luapan dendam dan kebencian. Kalau kau bersedia menolongku Empu, maka untuk seterusnya kita tidak akan mengalami kesulitan, sebab kita tidak menaburkan benih-benih dendam yang dapat tumbuh dan berbuah kelak dengan lebatnya. Setiap persoalan yang sekecil- kecilnya akan dapat menjadi pupuk yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan dendam itu. Bagi kita Empu, bagi orang tua-tua, seandainya hati kita akan hangus sekalipun di bakar oleh dendam dan kebencian, maka akibatnya tidak akan terlampau lama, sebab umur-umur kita pun tidak akan terlampau lama pula. Tetapi apabila anak-anak kita, murid-murid kita telah di bakar pula oleh dendam dan kebencian, maka akibatnya akan sangat panjang dan jauh. Ketika Empu Gandring berhenti sejenak, maka terdengar Empu Sada menarik nafas. Dalam sekali, seakan-akan akan dilepaskannya segala macam perasaan yang menyumbat dadanya. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata.

   "Bagaimana Empu? Apakah Empu bersedia menolong aku?"

   Desis Empu Gandring.Empu Sada telah hampir menjadi putus asa karenanya. Meskipun demikian dicobanya untuk menjawab sejujurnya.

   "Empu Gandring. Aku tidak dapat berkata lain, bahwa sepengetahuanku, Mahisa Agni itu pasti di bawa ke Kemundungan oleh Kuda Sempana".

   "Oh"

   Empu Gandring menyeka peluh yang membasahi keningnya. Ketika ia melihat Ken Arok bergeser maju, maka anak muda yang hampir kehilangan kesabaran itu digamitnya..

   "Tunggulah Ngger"

   Berkata Empu Gandring.

   Empu Sada kini sekali lagi mencoba memandangi wajah Ken Arok.

   Wajah seorang anak muda yang tampan dan berwibawa.

   Seorang anak muda yang memancarkau keteguhan dan kemampuan yang melampaui anak-anak sebayanya.

   Empu Gandring kemudian bergeser maju sambil berkata.

   "Empu kenapa kau masih saja berusaha mengingkari muridmu?"

   "Empu Gandring"

   Akhimya Empu Sada berkata dengan nada yang dalam dan mata yang suram.

   "maafkan aku Empu. Aku tidak tahu, apa lagi yang harus aku katakan. Itulah yang aku ketahui. Kalau kau sayang akan kemenakanmu, kau sebaiknya segera menyusulnya ke Kemendungan. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa aku sadar. Kau tidak akan mudah mempercayai aku".

   "Empu Sada"

   Berkata Empu Gandring.

   "sebenarnya tanpa kau beritahu pun aku akan dapat mencarinya, meski pun aku memerlukan waktu lebih panjang. Tetapi dengan demikian aku berangkat dengan kemarahan di dalam dadaku. Kalau aku bertemu dengan muridmu, maka kemarahan itu akan seperti minyak yang tersentuh api. Mungkin aku akan kehilangan pengamalan diri dan mungkin aku akan berbuat sesuatu yang tidak kau inginkan atas muridmu itu Tetapi kalau aku berangkat dengan hati sejuk, maka akibatnya pun pasti akan berbeda". Hati Empu Sada serasa di sentuh dengan tajam sembilu. Sekali lagi ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi orang tua itu hampir-hampir menjadi berputus asa. Ia tidak melihatkemungkinan lagi untuk mendapatkan kepercayaan dari Empu Gandring. Dan Empu Gandring itu berkata pula.

   "Pertimbangkan Empu, supaya aku tetap dalam kesadaran, bahwa tidak sehurusnya aku menanam benih dendam di hati orang lain. Tetapi kau pun harus membantuku".

   "Oh"

   Empu Sada mengeluh.

   "hukuman ini terlampau berat bagiku. Barangkali lebih haik apabila aku mati karena dadaku hancur oleh tangan Wong Sarimpat".

   "Tidak Empu, sebenarnya kau dapat menghindari hukuman ini. Kau dapat melepaskan dirimu dari perasaan bersalah yang selalu mengejarmu. Tetapi agaknya kau tidak bersedia. Agaknya kau akan membawa rahasia itu sampai saat terakhir. Namun rahasia itu akan menyumbat jalanmu Empu. Dan kau akan menderita disaat-saat terakhir. Bukan saja penderitaan badaniah tetapi juga rohaniah.

   "Hem"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Empu Sada berdesah.

   "semoga Yang Maha Agung melihat isi dadaku. Di saat-saat aku mencoba mengurangi beban perasaanku, maka aku dihadapkan pada keadaan seperti ini. Tetapi Empu Gandring, aku sudah rela. Aku sudah ikhlas, apa saja yang akan terjadi atas diriku. Aku ikhlas menerima segala hinaan, ketidakpercayaan dan kecurigaan ini. Aku telah pasrah diri dalam segala keadaan kepada Sumber hidupku. Perasaan adalah kelengkapan dari sentuhan lahiriah. Kalau aku kini mengalami penderitaan badani dan siksaan parasaan, maka itu pun aku ikhlaskan pula. Karena aku percaya, bahwa ada yang melihat keadaanku dan hakekat dari pendirianku, batinku. Dan inilah yang tidak kau ketahui dan kau lihat Empu Gandring. Sebab tangkapan pandanganmu sangat terbatas pada tangkapan pandangan lahir semata-mata". Empu Gandring terdiam sejenak. Ia adalah seorang yang telah menelan pengalaman tiada taranya di sepanjang perjalanan hidupnya. Tetapi ia masih mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kata-kata Empu Sada itu. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Empu Sada, yang selama hidupnya berada dalam kesesatanitu mampu menyimpan pendirian yang demikian dan bahwa pendirian itu demikian teguhnya terpancang dihatinya. Empu Gandring bukanlah seorang yang hanya melihat dengan mata kepalanya saja. Empu Gandring adalah seorang yang selalu menjajagi setiap persoalan sampai sedalam-dalamnya ia mampu menyelaminya. Namun, kali ini Empu Sada berkata kepadanya, bahwa tangkapan pandangan matanya hanya terbatas pada tangkapan pandangan lahir semata-mata. Itulah sebabnya maka Empu Gandring mencoba sekali lagi melihat apa yang telah terjadi. Namun ia tidak menemukan sesuatu yang baru pada dirinya maupun pada peristiwa yang dihadapinya. Persoalan itu adalah persoalan yang tampak jelas. Persoalan yang kasat mata dari setiap bagiannya. Maka untuk sejenak mereka seakan-akan terbungkam. Empu Gandring masih berjongkok di samping Empu Sada sambil mencoba merenungkan kata-kata orang yang sedang terluka itu. Bahkan Ken Arok yang masih muda itu pun termenung pula. Tetapi Empu Gandring masih saja diliputi oleh keragu-raguan. Ia melihat suatu pertentangan yang sulit untuk dimengerti. Menurut penglihatan dan perhitungannya, maka Empu Sada telah dengan sengaja menyembunyikan Mahisa Agni. Dengan sengaja menyuruh Kuda Sempana melarikan Mahisa Agni. Tetapi menilik sikap, pembicaraan dan ketenangan Empu Sada, bahkan sikap pasrahnya, maka seakan-akan ia harus mempercayai setiap ucapan orang tua itu. Demikianlah maka ketiga orang itu hanyut dalam arus angan- angan masing-masing. Sementara itu cahaya matahari telah jatuh ke atas tubuh-tubuh mereka, ke atas pategalan yang kering dan ke atas daun-daun liar yang kekuning-kuningan. Lamat-lamat terdengar burung-burung liar mengeluh karena sarang-sarang mereka pun serasa menjadi gersang. Daun-daun yang melindunginya, satu-satu berguguran di tanah karena sentuhan angin yang betapa lembutnya.Tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara Empu Sada yang menghentak.

   "He, Empu Gandring, apakah Mahisa Agni itu benar kemanakanmu?"

   Empu Gandring memandangi wajah Empu Sada dengan curiga.

   "Apakah kau tidak percaya?"

   "Bukan Empu. Bukan maksudku untuk tidak percaya. Tetapi justru karena aku ingin mendapat kepercayaanmu. Aku ingin kata- kataku yang telah aku ucapkan itu dapat kau mengerti dan kau percaya, supaya kau tidak terlambat mendapatkan Mahisa Agni. Kalau aku nanti mampu berdiri dan berjalan, aku pun segera akan menyusulnya, sampai ke ujung dunia sekalipun". Empu Gandring mengerutkan keningnya. Namun keragu- raguannya masih mencengkam dadanya.

   "Aku tahu, bahwa kau masih tetap ragu-ragu Empu"

   Berkata Empu Sada.

   "dan aku pun tahu, hanya orang-orang yang belum mengenal masa lampau Empu Sada sajalah yang segera dapat menpercayai kata-kataku. Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa kadang-kadang yang terjadi bukanlah sekedar yang tampak. Ada sesuatu yang terjadi di dalam hatiku, sehingga aku telah berbuat sesuatu yang tidak dimengerti oleh orang lain seperti orang lain itu tidak mengerti dan tidak melihat apa yang telah terjadi di dalam hatiku itu. Sebab yang terjadi itu tidak dapat sekedar di lihat dengan mala wadag". Empu Gandring tidak menyahut, dan dibiarkan Empu Sada berkata lebih lanjut.

   "Empu Gandring. Kalau Mahisa Agni itu kemanakanmu, apakah kau mengenal seorang perempuan yang bernama Jun Rumanti?"

   Dada Empu Gandring berdesir mendengar pertanyaan itu.

   


Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini