Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 35


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 35



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   Namun bahkan sejenak ia terdiam membeku.

   Pertanyaan Empu Sada itu sama sekali tidak diduga-duganya dan yang semakin mengherankannya, darimana Empu Sada pernah mendengar nama Jun Rumanti?Karena Empu Gandring tidak segera menjawab, maka Empu Sada bertanya pula.

   "Bagaimana Empu. Apakah kau mengenalnya?"

   Perlahan-lahan penuh kebimbangan Empu Gandring menganggukkan kepalanya. Dengan nada datar ia menjawab.

   "Ya Empu, aku mengenalnya".

   "Jawabmu hambar Empu. Aku ingin mengetahui sebenarnya, apakah kau mengenal nama itu?"

   Debar di dada Empu Gandring terasa semakin cepat. Tetapi ia pun kemudian ingin mengetahui, apakah maksud Empu Sada dengan menyebut nama itu. Karena itu maka jawabnya.

   "Baiklah aku menjawab dengan mantap Empu. Jun Rumanti adalah adikku. Ibu Mahisa Agni. Kau puas? Tetapi sekarang akulah yang bertanya, darimana kau mengenal nama itu dan dari mana kau mendengarnya Apapula maksudmu dengan menyebut nama itu?"

   "Nama itu mempunyai suatu kesan tersendiri di dalam hatiku Empu. Aku mengenal Jun Rumanti dahulu sebagai seorang gadis. Tetapi aku tidak pernah mendengar dari padanya, sadar atau tidak sadar bahwa ia mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Empu Gandring dari Lulumbang".

   "Kapan kau mengenal Jun Rumanti?"

   Bertanya Empu Gandring.

   "Sebelum ia kawin dan mempunyai seorang anak yang ternyata bernama Mahisa Agni". Empu Gandring mengerutkan keningnya. Lamat-lamat ia teringat ceritera tentang Jun Rumanti pada masa gadisnya. Meskipun anak itu sendiri tidak pernah berkata kepadanya atau mengadukan kesulitan-kesulitannya kepadanya bahkan sepeninggal suaminya, gadis itu seakan-akan telah menghilang, namun kisah tentang gadis itu memang pernah didengarnya dari orang lain. Tetapi itu telah terjadi puluhan tahun yang lampau, pada saat Mahisa Agni belum lahir sedekat-dekatnya pada saat Mahisa Agni hilang dibawa oleh ayahnya. Dan di antara kisah itu sama sekali tidak pernah dijumpainya nama Empu Sada.Namun keduanya memang belum pernah saling mengenal pada saat itu, baik orangnya maupun namanya. Seperti Empu Sada, maka Empu Gandring pun pada saat mudanya masih belum mempergunakan nama itu.

   "Empu Gandring"

   Berkata Empu Sada.

   "kalau Jun Rumanti itu dahulu pernah menyebut namamu, maka keadaan Mahisa Agni, setidak-tidaknya hubungan diantara kita tidak akan menjadi sejelek ini.

   "Apakah huhunganmu dengan Jun Rumanti, Empu?"

   Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya.

   "Apakah pada masa gadisnya, kau mempergunakan nama lain Empu?"

   Empu Gandring menggeleng.

   "Ya Empu. Namaku pada waktu itu adalah Basu Nala".

   "Oh, jadi kaukah itu?.

   Empu Sada terperanjat.

   "Apakah kau pernah mengenal nama itu?"

   "Baru namanya. Tetapi aku belum mengenal orang yang bernama Nala, seperti kau pasti juga belum pernah mengenal seorang anak muda yang saat itu bernama Pranuntaka". Wajah Empu Gandring tiba-tiba menjadi berkerut-merut. Tanpa sesadarnya ia bertanya.

   "Apakah hubunganmu dengan anak itu?"

   "Hubungan itu terlampau erat Empu. Bahkan tak dapat dipisahkan. Pranuntaka itu adalah Empu Sada, seperti Basu Nala itu kemudian bernama Empu Gandring".

   "Jadi, kaukah anak muda yang saat itu pergi merantau dan ketika ia kembali ditemuinya Jun Rumanti telah bersuami dan beranak seorang laki-laki. Dan kau mempergunakan nama itu?"

   "Ya".

   "Lalu laki-laki itu pergi pula membawa luka dihatinya?"

   "Ya"."Oh, jadi saat itu Pranuntaka pergi meninggalkan Jun Rumanti dengan dendam yang mengeram di dadanya? Sehingga dendam ini kemudian melimpah kepada anak laki-lakinya yang bernama Mahisa Agni?"

   "Kau salah Empu. Seperti Jun Rumanti, mula-mula salah pula menyangka aku berbuat demikian. Justru setelah aku tahu bahwa Mahisa Agni itu adalah anak Jun Rumanti, seakan-akan aku menemukan sesuatu yang tidak wajar pada diriku. Selain itu, pengalamanku dalam hubungan dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah memberi pula aku kesadaran, bahwa aku akhirnya harus melepaskan diri dari kesesatan ini. Meskipun semula aku hanya ingin mencuci tangan, supaya aku tidak tersangkut dalam kejahatan hilangnya Mahisa Agni". Empu Gandring memandangi Empu Sada yang terbaring itu dengan wajah yang tegang. Ketika ia berpaling, maka dengan sungguh-sungguh Ken Arok pun sedang mendengarkan ceritera Empu Sada itu. Meskipun anak muda itu tidak mengenal ujung pangkal dari ceritera itu, namun dengan demikian maka ceritera itu telah sangat menarik baginya. Ceritera tentang Mahisa Agni dan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Dengan singkat Empu Sada mencoba menceriterakan apa yang pernah terjadi atas dirinya di Kemundungan. Tentang meninggalnya seorang muridnya dan tentang dirinya sendiri yang hampir mati pula. Kemudian usahanya memasuki Istana dan bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Jun Rumanti. Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa dalam nada dan tekanan kata-katanya, bahwa Empu Sada itu berkata dengan jujur, sehingga tak ada alasan baginya untuk tidak mempercayainya. Sedang Ken Arok lagi sibuk membayangkan, perempuan yang manakah di dalam Istana Ken Dedes yang kira-kira bernama Jun Rumanti itu? Tetapi Ken Arok itu tidak berhasil menemukannya. Empu Sada sama sekali tidak menyebut-nyebut bahwa perempuan itu adalah emban kinasih dari puteri bakalpermaisuri. Tetapi hal itu kemudian sama sekali tidak dianggap penting oleh Ken Arok. Sekali lagi mereka dicengkam oleh angan-angan masing-masing yang membubung tinggi ke udara. Ken Arok yang muda itu tunduk termenung seperti orang yang sedang memperhatikan sesuatu di atas tanah di bawah kakinya, sedang Empu Gandring kini duduk di tanah sambil memandangi tempat dikejauhan. Sementara itu Empu Sada yang berbaring diam mengerutkan keningnya beberapa kali. Tiba-tiba hampir bersamaan Empu Gandring dan Empu Sada itu tertawa pendek sehingga Ken Arok terperanjat karenanya..

   "Apakah yang mereka tertawakan?"

   "Empu Gandring"

   Empu Sada itu berdesis.

   "aneh sekali. Kenapa kau menyebut namamu masa kanak-kanak dengan Basu Nala?.

   "Apakah itu memang namamu?"

   "Ya, Jum Rumanti mengenal namaku Basu Nala".

   "Aku mengenal nama itu Empu. Basu Nala. Tetapi aneh. Aku sangka Basu Nala bukanlah anak yang bernama Wijang?"

   Empu Gandring pun tertawa perlahan-lahan..

   "Hem"

   Ia menarik nafas dalam-dalam.

   "masa kanak-kanak yang aneh. Wijang adalah nama yang diberikan kepadaku di tempat pengengeran, karena sejak anak-anak aku tidak tinggal bersama keluargaku, yang kemudian aku diambilnya menjadi murid. Tetapi bagaimana bisa aku mengenal kau yang di masa itu mempergunakan nama lain pula Empu. Bukankah kau menyebut namamu Talam?"

   "Itu adalah namaku sebenarnya. Tetapi terhadap seorang gadis aku ingin namaku agak menjadi baik. Karena itulah aku memperkenalkan diriku kepada Jun Rumanti dengan nama Pranuntaka dari Ngarang". Keduanya mengangguk-angguk perlahan. Hubungan keduanya adalah hubungan yang aneh. Mereka mengenal yang satu atas yang lain dalam keadaan yang agak kalut. Ternyata hubungan yang demikian itu kini menumbuhkan suatu kenangan yang aneh. Merekamengenal yang satu dengan yang lain dengan nama-nama mereka masing-masing. Dan mereka pernah mendengar nama-nama yang lain pula, tetapi mereka merasa belum pernah mengenal orangnya, pada saat mereka meningkat dewasa.

   "Kalau aku tahu bahwa Jun Rumanti itu adik seorang yang bernama Wijang, maka aku akan segera tahu, bahwa kau adalah paman Mahisa Agni, Empu". Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya.

   "Aku sangka bahwa Empu Sada itu hanya sekedar gelar yaag dipergunakan oleh seorang yang bernama Talam. Ternyata Empu Sada itu adalah Pranuntaka pula".

   "Akhirnya kita bertemu dalam keadaan ini Empu. Pertemuan yang lebih baik dari pertemuan kita di Padang Karautan dahulu. Sekarang kita menjadi lebih banyak mengetahui tentang diri kita masing-masing. Mungkin kau menganggap bahwa aku memang tidak jujur sejak aku meningkat dewasa. Ternyata aku telah mencoba menaikkan nilai harga diriku dengan menipu adikmu, membuat sebuah nama yang aku anggap lebih baik dari namaku yang sebenarnya. Seandainya kau tinggal bersama adikmu, atau kita bertemu pada suatu kesempatan di tempat adikmu, maka aku pasti akan menjadi sangat malu. Tetapi itu adalah ceritera yang kini tinggal kenangan yang menyenangkan. Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan.

   "Sekarang aku tahu, kenapa Pranuntaka itu kemudian dikabarkan mati. Pranuntaka, nama yang khusus dibuat untuk Jun Rumanti, sehingga ketika Jun Rumanti itu lepas dari tangannya, maka nama Pranuntaka itu pun sudah tidak berarti lagi. Tetapi, kepahitan yang dialami tidak dapat mati berkubur bersama- sama dengan nama Pranuntaka itu. Kepahitan itu tetap bersarang di dalam dada anak muda yang bernama Talam, dan kemudian bergelar sebagai seorang Empu. Empu Sada. Dan aku pun kini dapat mengerti pula, kenapa Empu Sada kadang-kadang berkelakuan aneh, sehingga berkali-kali aku harus mencoba mencegahnya. Ternyata Empu Sada itu pun tidak mampumelepaskan dirinya dari seorang anak muda yang bernama Talam dan khusus melahirkan sebuah nama Pranuntaka untuk seorang gadis". Empu Sada mencoba mengangguk.

   "Kau benar Empu. Dan akhirnya adalah yang kau lihat sekarang. Tetapi aku rela mengalaminya, karena aku sedang dalam perjalanan kembali setelah aku berpuluh-puluh tahun berada di jalan yang sesat". Empu Gandring memandangi wajah Empu Sada yang parah itu dengan mata yang suram. Kini tumbuhlah kepercayaannya kepada orang yang terluka di dalam dadanya itu. Sebenarnya anak-anak yang bernama Talam itu bukanlah seorang anak yang terlampau nakal. Baru kini Empu Gandring dapat meraba-raba, apakah yang menyebabkan Talam itu kemudian menjadi seorang Empu Sada.

   "Nah Empu Gandring"

   Desis Empu Sada.

   "aku sudah mencoba mengatakan semuanya. Bagaimanakah tanggapanmu sekarang? Apakah kau masih tetap berpendapat bahwa aku sengaja menyembunyikan Mahisa Agni untuk muridku itu?"

   Perlahan-lahan Empu Gandring menggelengkan kepalanya. Perlahan pula ia berkata.

   "Tidak Empu. Aku kini percaya kepadamu. Aku percaya bahwa kau sedang berada di jalan kembali dari jalan yang sesat yang selama ini kau tempuh".

   "Kalau begitu kau pun percaya bahwa Mabisa Agni dibawa oleh Kuda-Sempana ke Kemundungan. Kebo Sindet itu pun pasti pergi ke Kemundungan pula". Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.

   "Ya, aku percaya bahwa mereka pergi ke Kemundungan. Untuk membebaskan Mahisa Agni, maka aku harus pergi ketempat itu pula".

   "Aku kira memang tidak ada jalan lain Empu. Tetapi apabila aku dapat sembuh dari luka-luka di dalam ini, aku pun ingin pergi ke Kemundungan. Aku ingin melepaskan Mahisa Agni dengan tanganku"."Aku takut, dengan demikian kita akan terlambat."

   Sahut Empu Gandring.

   "sebaiknya kau menyembuhkan luka-lukamu. Aku akan pergi mendahului. Kalau kau sempat, maka susulah aku". Empu Sada tidak segera menjawab. Sesaat dicobanya untuk merasakan nyeri di dalam dadanya. Memang dalam kedaan demikian tidak mungkin baginya untuk pergi ke Kemundungan menyusul Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Ken Arok yang selama mendengar pcrcakapan kedua orang itu menjadi bingung dan kalut oleh nama-nama yang telah mereka sebutkan, kini menyadari pula, bahwa bahaya telah meraba-raba diri Mahisa Agni. Kini orang yang mengancam keselamatan anak muda itu adalah orang yang jauh lebih liar dari Empu Sada. Apalagi orang itu baru saja kehilangan adiknya, maka banyak hal yang dapat terjadi atas Mahisa Agni. Kebo Sindet akan dapat melepaskan kemarahannya kepada anak muda itu. Sedang Kebo Sindel adalah seorang yang berhati batu, berjantung kayu. Ia dapat mencekik orang sampai mati dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menggenggam makanan yang disuapkannya ke dalam mulutnya.

   "Empu"

   Berkata Ken Arok itu kemudian.

   "aku rasa Mahisa Agni memang segera memerlukan pertolongan".

   "Ya, aku akan segera mencarinya"

   Sahut Empu Gandring.

   "Apakah aku dapat turut serta Empu?"

   "Jangan ngger. Kau harus kembali ke Padang Karautan. Kau harus menggantikan kedudukan Mahisa Agni menyelesaikan bendungan itu. Bukankah Angger menerima tugas itu pula dari Tumapel? Dan bukankah angger masih harus membuat sebuah taman apabila air telah naik? Taman yang akan dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada Permaisurinya Ken Dedes?"

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tugas itu memang harus dilakukan. Tetapi ini tidak dapat melepaskan hasratnya untuk melihat bagaimanakah nasib Mahisa Agni seterusnya. Karena itu maka katanya.

   "Empu, aku hanya akan sekedar mengetahuikeadaan Mahisa Agni. Selanjutnya aku akan kembali ke Padang Karautan, meneruskan pekerjaan pembuatan bendungan itu".

   "Marilah kita membagi tugas Ngger. Semuanya penting bagi Angger. Tetapi Mahisa Agni itu dapat Angger serahkan saja kepadaku. Aku akan pergi ke Kemundungan. Akan aku minta Mahisa Agni dengan segala cara". Ken Arok tidak segera menjawab. Timbulah pertentangan di dalam dirinya. Keduanya dapat dianggapnya penting. Mencari Mahisa Agni atau kembali ke Bendungan Karautan. Apakah Empu Gandring seorang diri akan dapat menyelesaikan pekerjaannya merebut Mahisa Agni? Ken Arok tahu, bahwa Kebo Sindet dan Empu Gandring adalah dua kekuatan yang seimbang. Kalau Empu Gandring memiliki beberapa kelebihan, maka kekasaran Kebo Sindet akan segera dapat mengimbanginya. Mungkin Empu Gandring akan dapat mempergunakan pusakanya yang jarang-jarang ditarik dari wrangkanya, yang telah dipergunakan untuk melawan kedua iblis dari Kemundungan itu sekaligus. Tetapi keris itu baru akan bermanfaat apabila dapat terjadi sentuhan dengan tubuh Kebo Sindet. Tetapi apabila ia memaksa untuk ikut serta dengan Empu Gandring karena ia memperhitungkan pula kekuatan Kuda Sempana, maka bagaimanakah dengan Bendungan itu? Mungkin prajurit yang telah diserahinya untuk memimpin pekerjaan itu akan dapat melakukan tugasnya dengan baik, tetapi untuk keseluruhan tanggung jawab, beserta penyelesaian taman seperti yang dikehendaki Akuwu Tunggul Ametung, adalah terletak ditangannya. Dalam keragu-raguan itu ia mendengar Empu Gandring berkata.

   "Sudahlah Ngger, Sebaiknya Angger kembali ke Karautan. Pekerjaan itu sudah hampir sampai pada puncaknya". Sebentar lagi air akan segera naik, dan taman itu harus segera disiapkan pula. Kalau aku segera berhasil menemukan Mahisa Agni, maka aku akan segera membawanya kembali ke Padang Karautan.Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia masih dalam keragu-raguan, tetapi ia tidak membantah.

   "Tetapi, sebelum itu Ngger"

   Berkata Empu Gandring.

   "barangkali kau bersedia menolong sahabatku ini. Sahabat yang pernah dipisahkan oleh cara hidup yang berbeda. Tetapi agaknya persahabatan kami di masa kanak-kanak telah mempertautkan kami kembali dalam satu pengertian dan kembali memberikan kepercayaan".

   "Oh"

   Ken Arok pun kemudian berpaling. Dilihatnya wajah yang pucat sayu dari seorang tua yang terbaring diam menatap langit yang menjadi semakin cerah.

   "Apakah yang harus aku lakukan?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Empu Sada"

   Berkata Empu Gandring.

   "apakah yang harus kami lakukan apabila kami menolongmu? Bukankah kau masih juga ingin sembuh dari luka-lukamu dan mencari Kebo Sindet? Bukankah kau masih belum ingin mengakhiri hidupmu?"

   Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya.

   "Itu adalah keinginanku Empu. Keinginan manusia. Tetapi keputusan tcrakhir tidak berada di tangan manusia".

   "Ya, ya"

   Empu Gandring pun mengangguk-angguk pula.

   "kau benar Empu. Tetapi usaha apakah yang harus kami jalankan sebagai ungkapan dari kesungguhan permohonan kami, manusia, kepada Yang Maha Pencipta?"

   Empu Sada tersenyum, jawabnya.

   "Empu, kalau Angger Ken Arok berkesempatan, apakah aku sebaiknya dibawa saja kembali ke Padepokanku?"

   "Apakah ada seseorang yang dapat merawatmu Empu?"

   "Di Padepokan itu masih ada beberapa orang muridku. Salah seorang daripadanya cukup dapat aku percaya. Bahkan sebenarnya, aku telah meletakkan segala macam persoalan padepokanku kepadanya. Juga ciri kebesaran Empu Sada yang selama ini tidak pernah terpisah dari padanya"."Tongkat panjangmu?"

   "Ya. Sebenarnya, karena penyesalan atas kelakuanku setelah aku mengetahui, betapa sesatnya jalanku, maka aku bertekad untuk meletakkan senjata itu selamanya. Tetapi aku diragukan oleh keadaan yang berbahaya bagi Mahisa Agni, sehingga aku terpaksa mengangkat senjata itu lagi. Tetapi bukan senjataku yang selama itu tidak pernah terpisah daripadaku. Aku juga membawa sebatang tongkat panjang, tetapi tongkat itu terpatahkan". Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kesungguhan dari kata-kata Empu Sada telah mempertebal kepercayaannya, sehingga tanpa ragu-ragu lagi ia akan dapat pergi mencari Mahisa Agni dan merebutnya dari tangan Kebo Sindet. Maka Empu Gandring pun segera membulatkan rencananya, Ken Arok akan dimintanya untuk mengantarkan Empu Sada, seterusnya anak muda itu akan kembali ke Padang Karautan, meneruskan pekerjaan Mahisa Agni yang masih belum selesai. Ia sendiri akan segera pergi ke Kemundungan menyusul Kebo Sindet untuk merebut Mahisa Agni. Ternyata Ken Arok sama sekali tidak berkebaratan untuk mengantarkan Empu Sada yang terluka itu ke Padepokannya. Tetapi sebenarnya ia masih tetap pada keinginannya untuk turut mencari Mahisa Agni. Namun karena Empu Gandring tetap juga berkeberatan karena beberapa pertimbangan, terutama Bendungan Padang Karautan, maka Ken Arok tidak dapat memaksanya.

   "Kita berpisah di sini Ngger"

   Berkata Empu Gandring.

   "sudah tentu apabila aku memerlukan, maka aku akan minta bantuan Angger. Namun sementara ini, marilah kita membagi tugas".

   "Baiklah Empu. Meskipun, sebenarnya aku ingin pergi bersama Empu, tetapi biarlah aku mengantarkan Empu Sada ke Padepokannya, dan kembali ke Padang Karautan. Sementara aku menunggu Empu di sana, apabila Empu memerlukan, maka aku akan dapat membawa prajurit Tumapel untuk keperluan itu. Mungkin tempat Kebo Sindet perlu dihancurkan, atau dikepungsupaya ia tidak dapat melarikan dirinya oleh sepasukan prajurit pilihan".

   "Ya, ya Ngger. Terima kasih. Aku akan selalu ingat kepada Angger Ken Arok apabila keadaan memaksa".

   "Baiklah Empu". Maka, mereka pun kemudian berpisah. Ken Arok mengantar Empu Sada yang luka ke Padepokkannya, sedang Empu Gandring pergi ke Kemundungan. Dari Empu Sada, Empu Gandring mendapat beberapa petunjuk tentang keadaan di sekitar sarang iblis itu.

   "Kau harus berhati-hati sekali Empu"

   Berkata Empu Sada.

   "supaya kau tidak dicabik-cabik oleh anjing-anjing liar yang berkeliaran di sekitar Kemundungan. Apalagi di malam hari".

   "Ya Empu, aku akan berhati-hati"

   Jawab Empu Gandring.

   "usahakan agar lukamu segera sembuh. Kalau kau ingin pergi juga ke Kemundungan, maka mudah-mudahan kita akan dapat bertemu". Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya, sebenarnya ia ingin merebut Mahisa Agni dengan tangannya, sebagai suatu tebusan atas dosanya, menjerumuskan anak itu ke dalam bencana. Tetapi, ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa keadaanya tidak memungkinkan. Ia tidak dapat memaksa diri dan berpacu ke Kemundungan. Seandainya, ia akan sampai ke sana pula, maka itu hanya berarti, membunuh dirinya sendiri. Karena itu, maka Empu Sada terpaksa mengendapkan keinginannya untuk sesaat..

   "Kalau luka-luka di dada ini dapat sembuh, maka aku masih akan berusaha"

   Desisnya di dalam hati.

   "kecuali kalau Empu Gandring telah mendahului aku". Empu Sada itu pun kemudian, diangkut ke atas punggung kuda oleh Ken Arok, dan kemudian anak muda itu pun naik pula di atas satu kuda sambil menjaga agar Empu Sada tidak terjatuh. Sedang dalam pada itu, Empu Gandring telah berpacu menuju ke Kemundungan.Sementara itu, Kuda Sempana sedang berpacu pula dengan hati yang hampa. Ia menurut saja kemana kudanya berlari. Tak ada niatnya sama sekali untuk menentukan arah perjalanannya. Karena kudanya lari kea rah Kemundungan, maka Kuda Sempana yang membawa Mahisa Agni yang sedang pingsan itu pun ke Kemundungan pula. Tetapi Kuda Sempana sendiri sama sekali tidak tahu dan tidak berusaha untuk mengetahui, apakah yang seterusnya akan terjadi atas anak muda yang dibawanya itu dan atas dirinya sendiri. Agak jauh di belakang Kuda sempana, Kebo Sindet pun berpacu seperti dikejar hantu. Orang itu adalah penunggang Kuda yang baik, sedang kuda yang dipergunakan adalah kuda yang cukup baik pula, meskipun bukan kudanya sendiri. Maka jarak antara Kebo Sindet dan Kuda Sempana semakin lama menjadi semakin dekat. Apalagi kemudian Kuda Sempana tidak berhasrat menguasai kudanya. Ketika kudanya berlari semakin lamban, maka ia pun tidak berusaha melecutnya supaya langkahnya menjadi semakin cepat dan panjang. Dibiarkanya saja kuda itu berlari sekehendak sendiri. Semakin lama semakin lambat. Itulah sebabnya, maka jarak antara Kuda Sempana dan Kebo Sindet pun menjadi semakin dekat. Sehingga ketika matahari menjadi semakin tinggi memanjat langit, maka dada Kuda Sempana pun berdesir karenanya. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki-kaki kuda agak jauh di belakangnya. Ketika ia berpaling, maka ia belum melihat sesuatu. Apalagi kemudian jalan yang ditempuhnya mulai mendaki bukit-bukit gundul. Jalan yang berliku dan melingkari batu- batu besar yang menjorok. Namun langkah kuda itu semakin lama menjadi semakin jelas didengarnya.

   "Siapakah yang menyusul aku?"

   Desisnya. Tetapi hatinya yang kosong tidak juga mendorongnya untuk mempercepat lari kudanya. Meskipun dadanya kemudian menjadi berdebar-debar juga, tetapi ia masih saja tetap dalam sikap dan keadaannya. Bahkan akhirnya ia bergumam.

   "Siapa pun yang menyusul aku tidak akan ada bedanya. Biarpun ia guru, Empu Sada, biarpun iaKebo Sindet atau siapa saja. Justru karena itulah maka Kuda Sempana sama sekali tidak berhasrat untuk menghindarinya. Ia telah kehilangan segala macam usaha untuk kepentingan apapun juga. Ketika suara kuda itu menjadi semakin dekat, maka tanpa sesadarnya ia berpaling. Hatinya sama sekali tidak tergerak oleh penglihatannya, bahwa yang datang itu adalah Kebo Sindet. Hatinya seolah-olah telah terlanjur membeku. Beku seperti wajah Kebo Sindet yang menyusulnya. Sejenak kemudian Kebo Sindet itu pun telah berada di sampingnya. Katanya bergumam.

   "Kuda Sempana, lihat, inilah pamanmu Wong Sarimpat". Ketika Kuda Sempana berpaling dan melihat tubuh Wong Sarimpat tersangkut di punggung kuda seperti tubuh Mahisa Agni, maka barulah ia terperanjat. Kebo Sindet melihat wajah Kuda Sempana yang menjadi tegang. Dipandanginya tubuh Wong Sarimpat yang sudah membeku dingin di punggung kuda bersama dengan Kebo Sindet.

   "Ia sudah mati"

   Desis Kebo Sindet.

   "Kenapa?"

   Bertanya Kuda-Sempana.

   "Wong Sarimpat mati terbunuh dalam perkelahian melawan Empu Sada. Sedang aku harus melayani Empu Gandring yang datang menyusul itu. Aku tidak tahu, apakah ada setan atau hantu atau iblis yang manjing di dalam diri Empu Sada, sehingga ia berhasil membunuh Wong Sarimpat. Kuda Sempana merasa sesuatu melonjak di dalam hatinya. Gurunya ternyata berhasil membunuh Wong Sarimpat. Tetapi bagaimanakah nasib gurunya itu kemudian? "Tetapi"

   Kebo Sindet meneruskan.

   "aku kira Empu Sada pun akan mati pula. Ketika aku meninggalkannya, nafasnya telah tersangkut di kerongkongannya.Dada Kuda Sempana berdesir mendengar kata-kata Kebo Sindet itu. Bagaimanapun juga maka berita tentang gurunya telah membuatnya semakin kehilangan arah hidupnya. Kini, bagi Kuda Sempana seolah-olah tidak ada lagi hari depan yang dapat ditunggunyu. Ia seakan-akan tidak boleh lagi ikut serta mengharap bahwa besok, lusa dan seterusnya, matahari yang cerah selalu akan terbit di ujung Timur. Matahari yang terbit, fajar yang cerah penuh dengan harapan dihari-hari yang bakal datang, sama sekali bukan miliknya. Itu adalah milik mereka yang hidup dalam ketenteraman dan kedamaian hati. Tetapi, hidupnya, hari depannya, dan jalan yang akan dilaluinya, adalah gelap dan kelam. Kuda Sempana itu terperanjat ketika ia mendengar Kebo Sindet berkata.

   "Bagimu Kuda Sempana, kematian kedua orang itu mempunyai nilai yang berbeda, bahkan berlawanan. Empu Sada, bekas gurumu itu mati selagi ia berusaha mengkhianati usahanya sendiri, mengkhianati keinginan muridnya sendiri. Sedang pamanmu Wong Sarimpat gugur dalam menyelesaikan usaha yang sudah dirintisnya. Memenuhi keinginanmu, meskipun kau bukan muridnya. Tetapi ia telah menyerahkan seluruh hidupnya untukmu. Untuk mendapatkan Mahisa Agni seperti yang kau kehendaki. Kini Mahisa Agni telah berada ditanganmu. Kau akan dapat berbuat apa saja atasnya. Tetapi sayang, Wong Sarimpat tidak dapat menyaksikan kau mengikat Mahisa Agni itu pada sebatang pohon. Melecutnya dan menyentuh badannya dengan obor yang menyala. Membakar wajahnya dan kemudian menguliti tubuhnya". Terasa seluruh tubuh Kuda Sempana meremang mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh Kebo Sindet itu. Ia sama sekali tidak dapat mengerti jalan pikiran iblis dari Kemundungan itu. Penilaiannya atas gurunya dan Wong Sarimpat baginya terasa terlampau dibuat-buat, meskipun ia tidak tahu apakah yang sebenarnya telah terjadi antara gurunya dan Kebo Sindet. Ia banya mendengar satu dua kalimat yang kurang dapat dimengertinya. Namun ia tidak sependapat dengan kata-kata Kebo Sindet itu.Meskipun demikian, Kuda Scmpana itu tidak menjawab apalagi membantah. Dibiarkannya Kebo Sindet mengumpat-umpati Empu Sada sesuka hatinya. Tetapi kalau gurunya itu benar-benar mati sampyuh dengan Wong Sarimpat, maka luka dihatinya akan bertambah parah. Sejenak mereka kemudian saling berdiam diri. Mereka memanjat bukit-bukit gundul, berkelok-kelok menurut jalan yang berliku-liku mendaki. Namun, tiba-tiba Kebo Sindet itu tertegun sambil memanggil Kuda Sempana.

   "He, berhenti dahulu". Kuda Sempana pun berhenti pula. Ketika ia melihat wajah Kebo Sindet yang beku seperti wajah mayat, Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu pada wajah itu.

   "Kuda Sempana"

   Berkata Kebo Sindet.

   "kita tidak kembali ke Kemundungan". Dengan serta-merta Kuda Sempana bertanya.

   "Kemana kita akan pergi?"

   "Kita harus bersembunyi untuk sementara"

   Jawab Kebo Sindet.

   "Empu Gandring dan prajurit-prajurit Tumapel pasti akan mencari kita. Kalau gurumu sempat memberitahukan arah kita sebelum ia mati, atau seandainya gurumu telah mati sekalipun, maka menurut hematku, Empu Gandring dan prajurit gila dari Tumapel itu pasti akan datang ke Kemundungan untuk mencari Mahisa Agni. Aku sudah mengatakan bahwa Mahisa Agni itu kau bawa ke Padepokan Empu Sada. Tetapi aku tidak tahu, apakah Empu Gandring dapat mempercayainya. Seandainya ia peryaya, maka setelah Padepokan itu didatanginya, dan tidak ditemuinya Mahisa Agni di sana ia pasti akan datang juga ke Kemundungan". Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya yang beku hampir tidak mengacuhkannya sama sekali, apakah Empu Gandring akan mengejarnya bersama Ken Arok, danbahkan akan mengeroyoknya bersama seluruh prajurit Tumapel sekalipun.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bukankah sebaiknya kita menghindari untuk sementara?"

   Bertanya Kebo Sindet.

   "itu bukan berarti kita takut menghadapi lawan, tetapi kita harus dapat mempertimbangkan kekuatan kita". Kuda Sempana mengangguk kosong, jawabnya.

   "ya paman".

   "Bagus"

   Sahut Kebo Sindet.

   "kita beralih arah. Kita tidak pergi ke Kemundungan. Kita mencari tempat untuk mengubur pamanmu Wong Sarimpat, untuk seterusnya bersembunyi sementara. Aku tidak akan mencemaskan rumah dan simpananku di Kemundungan. Meskipun seluruh prajurit Tumapel dikerahkan, aku pasti, bahwa mereka tidak akan dapat menemukan harta simpananku. Begitu?"

   "Baik paman"

   Jawab Kuda Sempana begitu saja meloncat dari bibirnya.

   "Nah, marilah kita berbelok. Kita tinggalkan jalan sempit ini. Kita melintas lewat padang rumput yang sempit turun di tebing sebelah dan kemudian menyeberangi hutan sempit di kaki bukit. Kuda Sempana telah benar-benar menjadi seperti seonggok benda mati. Ketika Kebo Sindet berbelok arah, maka Kuda Sempana itu pun mengikut saja dibelakangnya tanpa menyadari tujuannya. Anak muda itu pun sama sekali tidak ingin untuk mengetahui lebih banyak lagi, kemana mereka akan pergi. Demikianlah maka kedua orang itu pun menempuh lintasan padang rumput di lereng bukit gundul untuk kemudian menuruni tebing dengan sangat hati-hat. Sejenak kemudian mereka melihat sebujur hutan yang hijau berada dihadapan mereka. Seperti raksasa hijau yang sedang berbaring tidur dengan nyenyaknya meskipun sinar matahari yang cerah telah melimpah ke atas tubuhnya.

   "Hutan itu tidak begitu lebat dan tidak terlampau tebal"

   Desis Kebo Sindet.

   "tetapi cukup untuk menghilangkan jejak. Mungkin Empu Gandring seorang ahli mengikuti jejak-jejak kaki kuda.Dengan memasuki hutan itu, maka jejak kita akan hilang. Sebab hutan itu adalah hutan yang lembab dan berawa-rawa disana-sini. Kuda Sempana mengangguk-anggukkan saja kepalanya dengan hati yang kosong, Ia sama sekali tidak berkepentingan apa pun dengan hutan yang lebat dan berawa-rawa. Tetapi ia tidak menjawab. Kebo Sindet pun kemudian mempercepat cepat kudanya dan Kuda Sempana tanpa sesadarnya mengikutinya beberapa langkah di belakangnya masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat dan hilang ditelan dedaunan yang hijau. Matahari di langit mengapung semakin lama semakin tinggi. Sinarnya yang cerah memercik ke atas dedaunan, rerumputan dan puncak-puncak bukit. Semakin lama semakin panas. Dan ujung- ujung daun alang-alang pun kemudian menunduk lesu karena terik yang hampir tak tertahankan. Dalam pada itu seekor kuda berlari dengan kencangnya menuju ke bukit gundul. Kemudian mendaki lewat jalan berliku-liku melingkari batu-batu besar yang menjorok. Sinar matahari yang membakar kulitnya sama sekali tidak dirasakannya. Meskipun kulitnya yang basah oleh keringat dan kotor karena debu menjadi semerah tembaga. Tetapi kudanya berpacu terus. Sekali-sekali orang tua yang berada di atas punggung kuda itu mengusap wajahnya dengan lengan bajunya. Dan sekali-sekali dibetulkannya letak kerisnya yang besar yang tersangkut di punggungnya. Hulunya yang berukir dan berselut. perak mencuat di atas pundaknya. Sedang dilambungnya tergantung sebuah keris yang lebih kecil dari keris yang biasa. Tetapi kasiat keris itulah yang luar biasa. Dengan dada yang berdebaran orang itu, Empu Gandring, memacu kudanya sejadi-jadinnya. Ia ingin segera sampai ke Kemundungan, menyusul kemenakannya yang dilarikan oleh Kuda Sempana. Dengan harap-harap cemas ia melihat telapak-telapakkaki kuda yang masih baru di sepanjang jalan yang dilaluinya. Dan hatinya melonjak ketika ia melihat bahwa tidak hanya ada seekor kuda yang baru saja melintasi jalan itu. Tetapi dua.

   "Aku kira benar juga kata Empu Sada. Kuda Sempana pergi juga ke Kemundungan"

   Berkata orang tua itu di dalam hatinya.

   Dengan demikian maka Empu Gandring itu pun menjadi semakin bernafsu.

   Dipacunya kudanya semakin cepat.

   Tetapi ia tidak dapat terlampau cepat, sebab ia harus memperhatikan juga telapak- telapak kaki kuda yang diikutiya.

   Tetapi, tiba-tiba Empu Gandring itu menarik kekang kudanya, sehingga kudanya menjadi terkejut.

   Sambil meringkik kuda Empu Gandring itu berhenti.

   Namun demikian tiba-tiba, sehingga kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya.

   Dengan lembut Empu Gandring menepuk tengkuk kudanya.

   Dan sejenak kemudian maka kuda itu pun telah menjadi tenang kembali.

   "Telapak kaki-kaki kuda ini berbelok"

   Gumam Empu Gandring kepada diri sendiri.

   Tiba-tiba pula orang tua itu menjadi bimbang.

   Kemana ia harus mengikuti jejak orang-orang yang dicarinya? Apakah ia harus menyelusur jejak yang berbelok itu, atau kah harus langsung pergi ke Kemundungan? Sejenak Empu Gandring berhenti sambil merenung.

   Dadanya diamuk oleh keragu-raguan.

   Namun untuk sesaat ia tidak berhasil mengambil keputusan.

   "Aku kira mereka melalui jalan lain"

   Desis Empu Gandring.

   "Kebo Sindet pasti mengenal daerah ini sebaik-baiknya. Mungkin ia sengaja memancing aku kejurusan yang salah. Sementara itu ia lewat jalan lain kembali ke Kemundungan. Adalah mustahil kalau orang selicik Kebo Sindet sengaja membuat bekas telapak kaki sejelas itu.Meskipun demikian, Empu Gandring tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Dipertimbangkannya segala kemungkinan dan diperhitungkannya segala macam cara.

   "Baiklah aku coba mengikuti jejak ini"

   Katanya kemudian di dalam hati.

   "kalau benar dugaanku, maka aku akan sampai juga ke Kemundungan meskipun aku harus sangat berhati-hati, sebab setiap kemungkinan dapat terjadi di sepanjang jalan. Mungkin Kebo Sindet sudah menyediakan tempat untuk menjebakku. Empu Gandring itu pun kemudian menggerakkan kekang kudanya, mengikuti jejak-jejak kaki kuda Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Semakin lama derap kaki kudanya semakin cepat karena bekas-bekas kaki kuda yang diikutinya tampak dengan jelas di atas padang rumput yang sempit. Tetapi jalan yang ditempuhnya menjadi semakin sukar. Kuda Empu Gandring itu pun barus menuruni tebing. Telapak-telapak kaki kuda yang diikutinya menjadi semakin sukar untuk dikenal karena batu-batu padas di lereng-lereng bukit gundul. Namun tiap kali Empu Gandring dapat menemukan kelanjutan dari bekas kaki-kaki kuda itu, sehingga akhirnya Empu Gandring pun sampai pada lereng yang menghadap pada pinggiran hutan yang hijau rimbun. Dada Empu Gandring menjadi berdebar-debar melihat hutan itu. Hutan akan menjadi tempat yang paling baik untuk menjebaknya. Dari balik-balik pohon, dari dalam gerumbul-gerumbul yang rimbun, maka Kebo Sindet akan dapat menyerangnya dengan licik.

   "Tetapi apakah aku akan berhenti disini?"

   Desis Empu Gandring di dalam hatinya.

   "Tidak. Aku harus mendapatkan kemanakanku itu". Dengan demikian maka kuda Empu Gandring itu pun berjalan terus. Tetapi ketika kuda itu sudah sampai pada mulut hutan, maka Empu Gandring pun memperlambat langkahnya. Dengan hati-hati dimasukinya hutan yang tidak terlampau lebat, tetapi cukup rimbun. Beberapa saat Empu Gandring masih dapat melihat bekas-bekas telapak kaki kuda yang diikutnya. Sempalan-sempalan ranting dandedaunan yang terinjak-injak. Bahkan seolah-olah bekas-bekas kaki kuda itu menjadi semakin jelas.

   "Hem"

   Empu Gandring menarik nafas dalam.

   "aku melihat bekas kaki ini menjadi semakin jelas. Apakah Kebo Sindet dengan sengaja memancing aku?"

   Dalam keragu-raguan itu Empu Gandring menjadi semakin hati- hati.

   Didengarnya setiap gemersik daun-daun kering yang jatuh tersentuh angin.

   Dilihatnya setiap gerak ranting-ranting dan ujung pepohonan.

   Semua yang tertangkap oleh inderanya, selalu mendapat perhatiannya.

   Sebab dalam hutan yang demikian itu, bahaya akan dapat berada di setiap punggung dedaunan dan di setiap sisi pepohonan.

   Tetapi, Empu Gandring adalah seorang tua yang telah cukup menyimpan perbendaharaan pengalaman.

   Ia seolah-olah dapat berbicara dengan firasat di dalam dirinya.

   Dan kali ini ia tidak menangkap tanda-tanda bahwa ia sedang diintai oleh lawannya itu.

   Meskipun demikian, Empu Gandring tidak juga dapat melepaskan kewaspadaannya.

   Ia menyadari siapakah yang menjadi lawannya kini.

   Iblis Kemundungan itu akan dapat berbuat apa saja tanpa, menilai harga diri dan kejantanan.

   Tetapi Empu Gandring itu tiba-tiba menarik kekang kudanya.

   Hatinya menjadi berdebar-debar dan wajahnya menjadi tegang.

   Dilihatnya dihadapannya tanah menjadi gembur lembab dan bahkan dis ana-sini mulai tergenang air.

   "O, jadi hutan ini berada di daerah rawa-rawa"

   Desisnya. Dan kini ia mulai membuat perhitungan yang lain, kenapa Kebo Sindet menempuh jalan ini .

   "Ternyata Kebo Sindet berusaha menghilangkan jejaknya di daerah rawa-rawa ini". Empu Gandring pun kemudian berhenti. Telapak-telapak kaki kuda yang diikutinya memang sengaja masuk ke daerah rawa-rawa.Empu Gandring itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Adalah sangat sulit untuk mengikuti jejak di daerah gempur dan berair ini. Setan itu benar-benar licik". Sesaat Empu Gandring duduk mematung di atas punggung kudanya. Ia melihat telapak kaki kuda memasuki daerah yang berair. Tetapi apakah ia akan dapat menyelusur dan menemukan dimana telapak kaki itu keluar dari air? Apakah ia harus mengitari seluruh hutan dan rawa-rawa ini. Apakah ia harus mengelilingi setiap pinggiran air yang sekian luasnya? Empu Gandring menyadari bahwa rawa-rawa ini bukan saja terdiri dari apa yang dilihatnya itu. Tetapi rawa-rawa ini akan melebar dan sangat luas menjorok masuk ke daerah hutan ini. Adalah sangat berbahaya baginya untuk memasukinya. Ia tidak tahu, daerah manakah yang dapat diinjak oleh kaki-kaki kudanya. Kalau kudanya terperosok pada bagianbagian yang sangat gembur, maka kuda dan penunggangnya pasti akan terbenam ke dalam lumpur. Adalah sangat sukar untuk mencoba berenang pada air yang berlumpur seperti rawa-rawa yang terbentang dihadapannya, yang ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan air dan sulur-sulur yang tergantung pada pepohonan. Empu Gandring menarik nafas. Sekali lagi dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Air yang coklat berlumpur, sinar matahari yang seberkas-seberkas jatuh ke permukaan air. Pepohonan dan cabang-cabangnya yang rapuh berkait dengan sulur-sulur yang bergayutan dengan tumbuh-tumbuhan berduri.

   "Kebo Sindet mengenal daerah ini seperti ia mengenal rumah sendiri"

   Desis Empu Gandring kepada diri sendiri.

   "tetapi aku menjadi orang asing di sini.

   ". Untuk sesaat Empu Gandring masih saja duduk mematung di atas punggung kudanya. Kini dadanya benar-benar dilanda oleh kebimbangan dan nafsunya untuk mengejar kemenakannya bersama-sama. Begitu dahsyat gelora itu mengamuk di dadanya, sehingga kepala Empu Gandring itu pun kemudian, menjadi pening.

   "Hem, apakah yang sebaiknya aku lakukan? Tidak mungkin aku akan berjalan terus. Aku akan dapat mati tanpa arti di dalam rawa-rawa itu. Tetapi aku harus menemukan Mahisa Agni hidup atau mati."

   Namun Empu Gandring masih belum menemukan jalan manakah yang akan ditempuhnya.

   Angin yang silir bertiup di sela-sela pepohonan menggerakkan daun dan ranting.

   Bayangan sinar matahari seolah-olah melonjak- lonjak di dalam air yang keruh.

   Lamat-lamat dikejahan terdengar burung-burung liar berkicau bersahut-sahutan.

   Namun udara di hutan itu masih juga terasa betapa lembabnya.

   "Aku harus sampai ke Kemundungan"

   Empu Gandring itu tiba- tiba menggeram.

   "Kebo Sindet pasti hanya sekedar mengelabuhi aku. Ia pasti mengambil jalan lain, tetapi akhirnya ia akan sampai pula ketempat persembunyiannya di Kemundungan". Dengan serta-merta Empu Gandring itu pun segera menggerakkan kendali kudanya, dan kudanya pun segera berputar pula. Sesaat kemudian, maka kuda itu pun segera meloncat berlari. Kali ini meluncur keluar dari hutan berawa-rawa itu menuju ke Kemundungan. Empu Gandring merasa bahwa ia telah kehilangan waktu sesaat dengan memasuki hutan itu, sehingga dengan demikian maka ia harus berpacu untuk mengurangi keterlambatannya. Ia sedapat mungkin harus sampai ke Kemundungan sebelum Mabisa Agni mendapat perlakuan yang tidak wajar. Dengan demikian maka Empu Gandring berusaha untuk secepat- cepatnya mencapai sarang iblis yang liar dan buas itu. Dipercepatnya lari kudanya. Namun terasa langkah kuda itu seakan- akan menjadi terlampau lamban. Setiap kali Empu Gandring harus menyentuh perut kuda itu dengan tumitnya atau menggelitik tengkuknya dengan pangkal kendali. Dan setiap kali kuda itu pun meloncat semakin cepat. Namun masih juga terasa, alangkah lambatnya. Sejenak kemudian Empu Gandring telah lepas dari daerah hutan yang tidak begitu lebat. Didakinya lereng bukit gundul lewat jalan yang tadi ditempuhnya dalam arah yang berlawanan. Padangrumput yang tidak terlampau luas itu pun telah dilintasinya. Dan kini Empu Gandring telah menemukan kembali jalan yang wajar menuju ke Kemundungan. Kudanya pun kemudian dipacunya semakin cepat. Seakan-akan ia sedang berlomba dengan matahari yang bergerak ke Barat. Tetapi matahari itu agaknya berjalan terlampau cepat, sehingga sejenak kemudian bayangan Empu Gandring telah menjadi kian panjang karena matahari telah menjadi semakin condong ke Barat. Dengan demikian, maka perjalanan Empu Gandring yang juga menuju kearah Barat itu pun menjadi silau. Tetapi Empu Gandring masih berpacu terus. Akhirnya bukit gundul itu pun dilampauinya. Ketika ia menuruni lereng di sisi Barat, maka segera Empu Gandring dapat melihat, dimanakah rumah Kebo Sindet itu. Kini Empu Gandring mulai memperlambat langkah kudanya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Di dalam hatinya ia mengharap, mudah-mudahan ia masih dapat menemukan kemanakannya dalam keadaan hidup. Tetapi semakin dekat, Empu Gandring itu pun menjadi semakin curiga. Rumah Kebo Sindet di lereng bukit kecil itu tampaknya masih terlampau sepi. Pintu lorongnya masih tertutup, dan masih belum dilihatnya ada tanda-tanda seseorang berada di dalamnya.

   "Apakah orang itu masih belum datang?"

   Desis Empu Gandring.

   Ketika ia menjadi semakin dekat, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati.

   Bahkan ketika kudanya mulai menginjakkan kakinya di dalam lingkungan rumah itu, maka Empu Gandring menarik kekangnya, dan kuda itu pun berhenti.

   Sejenak Empu Gandring berdiam diri seolah-olah membeku di atas punggung kudanya.

   Dipandanginya gubug Kebo Sindet itu dengan tajamnya.

   Gubug bambu beratap ilalang, berpintu lereg tidak cukup rapat.Empu Gandring menarik nafas dalam.

   Di dalam hatinya ia bertanya.

   "Apakah sebenarnya hidup bagi Kebo Sindet? Dengan susah payah ia mengumpulkan harta benda. Bahkan dengan segala macam cara. Tetapi apakah arti harta benda itu baginya? Orang itu tidak beranak tidak beristeri. Tidak juga mempergunakannya sendiri. Ia hidup di dalam gubug yang hampir roboh, tidak di dalam sebuah istana yang mewah. Tidak dilingkungi oleh kepuasan lahiriah. Agaknya ia makan pun tidak teratur pula. Apa saja yang ada pada hari itu. Lalu apakah gunanya harta benda yang didapatkannya?"

   Empu Gandring tidak dapat menemukan jawabnya.

   Ia menganggap Kebo Sindet sebagai seorang yang aneh.

   Seorang yang tidak wajar seperti kebanyakan orang.

   Empu Gandring pernah merasakan dan mengalami berprihatin.

   Menjauhkan diri dari kepuasan badani.

   Tetapi ia sama sekali tidak selalu di kejar-kejar oleh nafsu untuk mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya, bahkan dengan segala macam cara seperti Kebo Sindet.

   Membunuh, merampok, memeras dan sebagainya.

   Kadang-kadang untuk kepentingan itu, nyawanya dipertaruhkan.

   Tetapi kalau harta benda itu sudah dimilikinya, maka orang itu sama sekali tidak dapat menikmatinya.

   "Aku kadang-kadang masih juga ingin makan enak dan tidur nyenyak di tempat yang nyaman"

   Desis Empu Gandring.

   "dan kadang-kadang aku masih juga menyisihkan milikku sedikit-sedikit untuk kepentingan anak cucu kelak, seperti orang-orang sewajarnya. Tetapi Kebo Sindet ini terlampau aneh bagiku. Untuk apakah harta benda yang dikumpulkannya selama ini bersama-sama dengan adiknya?"

   Tetapi Empu Gandring tidak mau dirisaukan oleh pertanyaan- pertanyaan itu.

   Kini yang penting baginya adalah mencari Mahisa Agni.

   Dihadapannya itu adalah rumah Kebo Sindet.

   Karena itu ia harus mulai berbuat sesuatu.

   Empu Gandring itu pun kemudian meloncat turun dari kudanya.

   Perlahan-lahan dan hati-hati ia melangkah maju.

   Kemudian kudanyaitu pun ditambatkannya pada sebatang pohon.

   Dan ia pun melangkah lagi semakin dekat dengan gubug Kebo Sindet.

   Meskipun Empu Gandring itu sudah menjadi semakin dekat namun ia masih belum melihat atau mendengar sesuatu.

   Rumah itu terlalu sunyi.

   Empu Gandring itu pun kemudian sudah berdiri di muka pintu.

   Perlahan-lahan ia mengetuk pintu itu.

   Tetapi suara ketukannya hilang saja ditelan sunyi.

   Akhirnya Empu Gandring tidak bersabar lagi.

   Dicobanya untuk mendorong pintu lereg itu.

   Ia terkejut ketika dengan mudahnya pintu pun terbuka.

   Kini Empu Gandring dapat melihat isi gubug kecil itu.

   Hampir tak ada sesuatu apa pun di dalamnya.

   Hanya sebuah amben terbujur membeku.

   Di sana-sini berceceran alat-alat untuk menggarap tanah.

   Cangkul, parang dan sebatang srumbat kelapa dari kayu.

   "Kosong"

   Desis Empu Gandring, Ketika dilihatnya benda-benda itu maka ia pun berguman .

   "Hem, agaknya orang ini bekerja juga bercocok tanam". Dengan hati-hati Empu Gandring itu melangkah masuk. Rumah itu benar-benar kosong. Tak ada bekas yang baru di dalam rumah itu, sehingga menurut dugaan Empu Gandring, belum ada seorang pun yang baru saja memasukinya.

   "Mereka belum datang"

   Desisnya. Empu Gandring itu pun kemudian terhenyak di atas amben bambu di dalam rumah itu. Suaranya berderit seperti sebuah keluhan yang paling pahit.

   "Aku harus menunggu sampai mereka datang."

   Desisnya.

   "aku akan memintanya dengan baik. Kalau tidak, terpaksa aku mempergunakan kekerasan". Tetapi Empu Gandring kemudian, tidak merasa tenteram berada di dalam gubug itu. Ia pun segera berdiri dan melangkah keluar."Kalau Kebo Sindet melihat kudaku, mungkin ia tidak akan memasuki rumahnya ini"

   Katanya di dalam hati.

   Maka Empu Gandring itu pun menutup pintu rumah Kebo Sindet kembali seperti semula.

   Dibawanya kudanya ke belakang semak- semak yang agak rimbun.

   Dari tempat itu pula ia menunggu sambil mengawasi kalau-kalau Kebo Sindet bersama Kuda Sempana akan datang.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi Kebo Sindet ternyata tidak akan datang ke Kemundungan Kebo Sindet telah memperhitungkan bahwa Empu Gandring pasti akan menyusulnya.

   Mungkin dengan prajurit Tumapel yang aneh, yang kepalanya seakan-akan memancarkan cahaya kemerah- merahan.

   Seorang anak muda yang mampu bertahan tidak luluh oleh kekuatan tertinggmya, Aji Bajang.

   Dengan susah payah, Kebo Sindet ternyata berhasil melintasi hutan dan rawa-rawa yang cukup berbahaya.

   Tanahnya gembur dan berlumpur.

   Tetapi iblis itu mengenal daerah itu dengan baik.

   sehingga ia dapat memilih jalan yang paling baik untuk melintasi daerah itu.

   Di seberang rawa-rawa maka hutan menjadi semakin rindang.

   Hampir tidak ada pohon-pohon yang cukup besar dan lebat.

   Tetapi banyak sekali gerurnbul-gerumbul perdu yang rimbun dan liar berduri.

   "Kita sudah hampir sampai"

   Desis Kebo Sindet. Kuda Ssmpana tidak menyahut. Sekali ia berpaling, tetapi kemudian dipandanginya jalan di depan matanya. Yang tampak hanyalah hijaunya dedaunan dan percikan sinar matahari seberkas- berkas jatuh di atas tanah yang lembab.

   "Tak banyak orang yang dapat mencapai tempat ini. Tempat ini dikelilingi oleh rawa-rawa. Seseorang yang tidak mengenal tempat ini baik-baik akan dengan mudah terperosok masuk ke dalam tanah berlumpur. Kalau demikian maka nasibnya akan sangat malang. Sebab ia pasti tidak akan dapat melepaskan dirinya. Hanya hantudan tetekan sajalah yang dapat mencapai tempat ini selain Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kuda Sempana masih berdiam diri.

   "Inilah tempat tinggal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang sebenarnya. Itulah sebabnya maka aku sama sekali tidak berkeberatan bahwa rumahku di Kemundungan akan dibongkar oleh seluruh prajurit Tumapel. Sebab mereka pasti hanya akan menemukan benda-benda yang sebenarnya kurang berharga bagiku. Di dalam goa dibelakang gubugku itu tidak akan banyak dijumpai barang-barang yang penting. Dan kini Kuda Sempana, kau telah berada di dalam daerah Kebo Sindet yang selama ini tidak pernah didatangi orang lain". Kuda Sempana masih tetap membungkam. Dengan hati yang kosong ia mengikuti saja Kebo Sindet yang menyusup-nyusup disela-sela pepohonan. Disana-sini masih juga tergenang air. Tetapi daerah rawa-rawa yang sebenarnya telah lampau.

   "Di ujung yang lain dari hutan ini pun terdiri dari tanah yang gembur dan berawa-rawa"

   Berkata Kebo Sindet itu pula. Dan Kuda Sempana pun menganggukkan kepalanya tanpa menyadari arti kata-kata Kebo Sindet. Ketika Kuda Sernpana tidak juga menjawab, maka Kebo Sindet itu berkata.

   "Kuda Sempana. Aku telah mengatakan kepadamu keadaan daerah ini. Daerah ini dikelilingi oleh genangan-genangan air berlumpur. Kadang-kadang di tempat-tempat tertentu air itu cukup dalam. Setinggi tubuhmu, bahkan ada yang lebih dalam lagi. Orang-orang yang kurang mengenal daerah ini tidak akan dapat membedakannya. Karena itu Kuda Sempana tanpa aku kau jangan mencoba pergi terlampau jauh. Jangan mencoba menjajagi rawa- rawa ini. Itu akan sangat berbahaya bagimu. Kau akan tetap tinggal di sini kecuali aku menghendaki kau meninggalkan tempat ini". Baru saat itulah Kuda Sempana menyadari keadaannya. Ternyata ia telah terperosok ke dalam daerah yang tak dikenalnya. Bukan itu saja, tetapi ia telah berada di suatu tempat yang tidak dapatditinggalkannya. Ini berarti bahwa ia pun telah berada di dalam kekuasaan Kebo Sindet.

   "Kau mengerti maksudku?"

   Bertanya Kebo Sindet.

   Kini Kuda Sempana mengangguk.

   Tetapi keadaan itu pun tidak banyak berpengaruh atas perasaannya.

   Dimana saja ia berada dan dalam keadaan apapun, baginya tidak banyak mempunyai perbedaan arti.

   Hidup yang sebenarnya bagi Kuda Sempana seakan- akan telah berhenti.

   Dan kini hidup baginya hanya sekedar dijalani tanpa arah, tanpa tujuan dan tanpa cita-cita.

   "Bagus"

   Gumam Kebo Sindet kemudian.

   "kau adalah seorang anak muda yang patuh". Kata-kata itu pun terdengar janggal ditelinga Kuda Sempana. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Demikianlah mereka berjalan terus di atas punggung-punggung kuda masing-masing. Kuda Sempana kini telah berubah pula menjadi seorang yang acuh tak acuh atas kedaan sekelilingnya. Wajahnya tiba-tiba saja menjadi mirip dengan wajah Kebo Sindet. Beku dan mati, meskipun sebab-sebabnya agak berbeda. Wajah Kebo Sindet membeku tetapi penuh dibakar oleh. nafsu, sedang wajah Kuda Sempana membeku mati. Gersang.

   "Kita mencari tempat yang baik untuk mengubur Wong Sarimpat"

   Berkata Kebo Sindet itu kemudian.

   "sebentar lagi kita akan sampai ke sebuah Goa. Disitulah aku akan memelihara Mahisa Agni untuk suatu kepentingan. Ia harus diobati dan disembuhkan dari luka-luka yang mungkin diderita. Anak muda itu tidak boleh terlampau lama dalam keadaannya, supaya bagian-bagian tubuhnya tidak ada yang terlanjur menjadi rusak. Kuda Sempana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Meskipun demikian diamat-amatinya juga tubuh Mahisa Agni yang lemah tergantung di kudanya. Ia mendendam kepada anak muda itu sejak Mahisa Agni menghalangi keinginannya membawa Ken Dedes ke Tumapel di pinggir kali di bawah Bendungan. Beberapa kali ia berkelahi melawan anak muda itu. Beberapa kali ia inginmelumpuhkan, bahkan membinasakannya. Sehingga gurunya telah terseret pula ke dalam arus dendamnya yang tiada terkendali. Namun akibatnya ternyata sama sekali tidak disangkanya. Dua kali gurunya mengalami bencana, bahkan hampir membunuhnya. Mungkin kali ini gurunya telah benar-benar meninggal akibat benturan dan sampyuh melawan Wong Sarimpat. Seandainya demikian, maka apa yang terjadi benar-benar diluar kehendaknya. KudaSempana itu berpaling ketika Kebo Sindet berkata pula.

   "Lihat Kuda Sempana. Dihadapan kita ada sebatang pohon Randu Alas yang besar. Disampingnya ada sebatang pohon Jati yang sebaya umurnya dengan pohon Randu Alas itu. Umur pohon-pohon itu telah berbilang ratusan tahun. Diantara kedua batang pohon itu kau akan rnenjumpai sebuah Goa di bawah bukit-bukit batu karang yang kecil. Disitulah kita akan bersembunyi untuk sementara. Dibawah pohon Randu Alas akan kita kuburkan Wong Sarimpat". Tanpa sesadarnya Kuda Sempana melihat kearah pohon-pohon yang ditunjuk oleh Kebo Sindet. Tiba-tiba saja tubuhnya meremang. Sejak semula ia sama sekali tidak memperhatikan apa pun yang ada di sekitarnya. Juga kedua batang pohon raksasa itu. Dan kini tiba-tiba saja ia melihat kedua batang pohon itu. Tinggi menjulang, se-akan-akan menggapai langit yang telah jadi kemerah- merahan. Mencuat di antara pepohonan yang tidak begitu rapat, dikitari oleh gerumbul-gerumbul yang rimbun. Kuda Sempana sendiri menjadi heran. Kenapa ia tidak melihat kedua batang pohon itu sejak semula? Bukankah kedua batang pohon itu tampak seperti dua orang raksasa di antara pepohonan yang lain? Tetapi sejenak kemudian Kuda Sempana pun telah menjadi acuh tak acuh pula. Juga kedua pohon raksasa itu tidak akan berarti apa- apa baginya. Goa yang berada di bawah gumuk karang itu pun tidak berarti pula baginya. Ia sudah kehilangan arti hidupnya, dan hilanglah semuanya baginya.Sejenak kemudian mereka pun telah sampai di bawah kedua batang pohon yang berjarak beberapa puluh langkah itu. Diantara kedua batang pohon itu terdapat sebuah gumuk batu karang. Dan di bawah gumuk itu terdapat sebuah Goa.

   "Inilah rumah kita untuk sementara"

   Desis Kebo Sindet sambil meloncat dari kudanya..

   "Ikatkan kudamu dan angkatlah Mahisa Agni. Tidurkanlah ia di dalam Goa itu". Seperti orang bermimpi Kuda Sempana pun turun dari kudanya. Diangkatnya tubuh Mahisa Agni seperti yang dikatakan oleh Kebo Sindet dan dibawanya tubuh itu kemulut Goa. Tetapi ketika ia melihat ke dalam Goa yang gelap itu, ia menjadi ragu-ragu sejenak.

   "Masuklah"

   Berkata Kebo Sindet.

   "tak ada binatang buas di dalamnya". Kuda Sempana pun kemudian melangkah masuk. Dalam keremangan cahaya yang masuk dari mulut Goa Kuda Sempana melihat sebuah amben kayu yang cukup besar, Di amben itu lah kemudian Mahisa Agni dibaringkannya. Sejenak kemudian Kebo Sindet pun masuk pula kedalam Goa itu. Dirabanya tubuh Mahisa Agni. Diurutnya dibeberapa bagian dari lehernya.

   "Ambillah air"

   Berkata Kebo Sindet kepada Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia tidak tahu kemana ia harus mengambil air.

   "Ambillah air"

   Kebo Sindet mengulangi.

   "Kemana aku harus mengambil air?"

   Bertanya Kuda Sempana kemudian.

   "Oh"

   Desah Kebo Sindet.

   "di dalam daerah yang penuh dengan rawa-rawa ini kau bertanya kemana kau harus mengambil air?"

   "Apakah aku harus mengambil air berlumpur itu?"

   "Bertahun-tahun aku selalu minum air berlumpur itu. Tetapi aku tidak menjadi sakit-sakitan".Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya lagi "dengan apa aku membawa air itu kemari?"

   Mata Kebo Sindet itu pun kemudian beredar di sekeliling ruangan itu. Kemudian katanya sambil menunjuk ke arah sudut ruangan itu.

   "Ambillah mangkuk tanah itu. Pakailah untuk mengambil air, dan cepat". Kuda Sempanaun segera pergi ke sudut ruangan itu mengambil mangkuk tanah yang kotor. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Kotor bagi Kebo Sindet agaknya tidak menjadi soal lagi. Kemudian, Kuda Sempana pun pergi keluar Goa, berjalan di sela- sela gerumbul-gerumbul liar mengambil air dari rawa-rawa. Air yang berwarna coklat keputih-putihan. Sementara itu Kebo Sindet masih memijat-mijat Mahisa Agni. Sekali-kali dilehernya dan sekali-kali di bagian punggungnya.

   "Anak ini terlampau lama pingsan"

   Desisnya.

   "mudah-mudahan aku masih dapat membangunkannya. Kalau ia mati, maka aku pun kehilangan pula. Aku telah kehilangan adikku, dan aku akan kehilangan kemungkinan untuk mendapatkan harta dari calon permaisuri Tunggul Ametung itu". Sementara itu Kuda Sempana pun datang sambil menjinjing mangkuk tanah yang berisi air. Tetapi air itu terlampau kotor. Namun demikian Kebo Sindet sama sekali tidak menghiraukannya. Dimasukannya sebutir reramuan obat-obatan dan dihancurkannya di dalam air itu, perlahan-lahan air itu dimasukkan ke dalam mulut Mahisa Agni. Sedikit demi sedikit. Sejenak mereka menunggu. Meskipun tak sepatah kata pun yang mereka ucapkan, namun tampaklah wajah-wajah yang beku itu menegang. Mereka menunggu, apakah Mahisa Agni masih dapat sadar kembali seperti semula, meskipun detak jantungnya masih juga dapat mereka dengar apabila mereka menempelkan telinga mereka di dada anak itu.Tetapi sesaat kemudian, Kuda Sempana itu pun mulai dihinggapi lagi oleh perasaan acuh tak acuhnya. Bahkan ia bertanya di dalam hati.

   "Buat apakah sebenarnya aku ikut serta menjadi cemas atas nasib Mahisa Agni. Hidup atau mati sama sekali tidak ada bedanya bagiku. Kalau ia mati, biarlah ia mati. Sudah lama aku menghendakinya supaya ia mati. Tetapi kalau ia dapat hidup lagi, aku pun tidak akan berkeberatan. Mudah-mudahan aku masih mempunyai gairah untuk membalas sakit hatiku. Tetapi apakah .sebenarnya kepentingan Kebo Sindet bersusah payah mengobatinya. Biar sajalah ia mati, dan kemudian dikuburkan bersama Wong Sarimpat. Tetapi pertanyaan itu disimpannya saja di dalam hatinya. (bersambung ke

   Jilid 28) Koleksi . Ismoyo Retype . Sukasrana Proofing . Wiek Cek Ulang . Arema ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 28 KUDA SEMPANA itu berpaling ketika ia melihat Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam.

   Anak muda itu menjadi heran ketika ia melihat dahi Kebo Sindet itu menjadi berkerut-merut.

   Wajah itu hampir selamanya membeku.

   Agaknya masalah Mahisa Agni itu benar-benar menegangkan urat syarafnya.

   "Kuda Sempana"

   Kebo Sindet itu tiba-tiba memanggilnya,.

   "lihat dadanya mulai bergerak". Kuda Sempana menganggukkan kepalanya."Kau lihat dada itu?"

   Bertanya Kebo Sindet pula,.

   "aku mengharap bahwa bagian-bagian badannya masih cukup baik. Untunglah bahwa daya tahan tubuhnya benar-benar luar biasa. Orang-orang lain pasti sudah mengalami banyak kerusakan apabila mengalami keadaan seperti Mahisa Agni. Ia terlalu lama berada dalam keadaan tidak menyadari dirinya meskipun jantungnya tetap berdetak. Meskipun demikian, akibat dari keadaan ini akan ditanggung oleh Mahisa Agni untuk waktu yang cukup lama. Kau harus telaten memeliharanya sampai ia sembuh benar. Setiap kali aku pergi, kau harus merawatnya. Jangan kau bunuh dia tanpa ijinku lebih dahulu, supaya kau tidak aku bunuh pula". Dada Kuda Sempana berdesir, tetapi ia tidak menjawab.

   "Kalau ia sudah sembuh benar-benar, nah, kau dapat berbuat sekehendakmu atasnya. Anak itu akan aku ikat pada pohon Randu Alas itu. Lalu kau boleh berbuat sesuka hatimu atasnya, untuk membalas sakit hatimu. Tetapi anak ini harus sembuh lebih dahulu". Sekali lagi Kuda Sempana mengangguk. Tetapi hatinya masih saja selalu bertanya-tanya.

   "Buat apa sebenarnya Kebo Sindet bersusah payah mengobatinya. Mungkin untuk melakukan pemerasan atau apapun. Tetapi perbuatan itu benar-benar tidak pantas dilakukan. Disembuhkannya Mahisa Agni dari sakit dan penderitaan badaniah untuk kemudian mengalami penderitaan badaniah yang lain. Bahkan mungkin penderitaan batin untuk sepanjang umurnya". Sementara itu wajah Kebo Sindet pun menjadi semakin kendor ketika ia melihat tubuh Mahisa Agni mulai dialiri oleh udara yang hangat. Perlahan-lahan Kebo Sindet melihat anak muda itu menggerakkan kepalanya. Perlahan-lahan sekali. Namun itu adalah pertanda yang menyenangkan bagi Kebo Sindet, pertanda bahwa Mahisa Agni masih dapat dibangunkannya kembali.

   "Lihat Kuda Sempana"

   Berkata Kebo Sindet.

   "anak ini akan segera menyadari keadaannya. Tetapi ia akan menjadi sangat lemah. Ia akan memerlukan waktu dua atau tiga minggu untuk memulihkan kembali tenaganya".Kini Kuda Sempana pun memperhatikan keadaan Mahisa Agni itu. Ia melihat anak muda itu mulai menggerakkan tubuhnya. Tangannya dan kakinya.

   "Bagus"

   Kebo Sindet berkata lantang.

   "aku berhasil". Kemudian dilumurkannya air sisa dari larutan obat yang diminumkannya kepada Mahisa Agni itu pada bagian-bagian kaki dan tangannya, sehingga terasa tubuh itu menjadi semakin hangat. Sementara itu, di Kemundungan, Empu Gandring menunggu kedatangan Kebo Sindet di belakang gerumbul yang agak rimbun. Dari tempatnya itu, ia akan dapat melihat apabila seseorang memasuki lingkungan rumah Kebo Sindet itu. Tetapi sudah begitu lama ia menunggu, namun yang ditunggunya masih juga belum tampak datang.

   "Gila benar Kebo Sindet"

   Desahnya.

   "aku akan menunggu sampai malam. Sampai tengah malam". Dan Empu Gandring kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Dengan gelisah diikutinya matahari yang merayap dengan lambannya menuju ke Barat, ke balik punggung gunung. Namun sampai matahari kemudian terbenam, Kebo Sindet dan Kuda Sempana tidak juga kunjung datang.

   "Baiklah"

   Desahnya.

   "aku akan menunggu di sini sampai kau datang". Tetapi yang ditunggunya tidak juga kunjung datang, sehingga begitu lelahnya maka Empu Gandring itu pun ingin untuk tidur sejenak sambil memanjat pohon.

   "Tak seorang pun yang akan melihat aku di sini. Mudah-mudahan kudaku pun cukup terlindung juga". Kemudian, pada sebuah dahan yang kuat, maka Empu Gandring itu pun menyandarkan diri untuk sejenak beristirahat. Ketika Empu Gandring itu tersadar, maka disekitarnya adalah gelap gulita. Hanya di langit dapat dilihatnya bintang gemintang berhamburan."Hem"

   Orang tua itu menghela nafas.

   Ia masih mendengar dengus nafas kudanya.

   Tetapi ketika ia memandangi gubug Kebo Sindet maka gubug itu masih juga sepi dan gelap.

   Tetapi apa yang dilihatnya itu belum memberinya keyakinan.

   Perlahan-lahan ia turun, dan dengan hati-hati didekatinya gubug itu.

   Namun gubug itu masih juga kosong.

   "Apakah ia tidak kembali kerumahnya?."

   Desisnya. Orang tua itu pun menjadi semakin gelisah. Kalau Mahisa Agni tidak dibawanya kemari, maka sangatlah sulit baginya untuk menemukannya dalam keadaan hidup.

   "Apakah Kebo Sindet bersembunyi di belakang rawa-rawa itu?"

   Katanya di dalam hati.

   Tetapi jawaban atas pertanyaan itu adalah kegelisahan yang menjadi semakin memuncak.

   Tetapi Empu Gandring masih menyabarkan dirinya.

   Betapa ia menjadi gelisah dan cemas, namun orang tua itu tidak segera mau meninggalkan gubug itu.

   Dengan kesal ia kembali ketempatnya bersembunyi, memanjat sebatang pohon dan mencoba untuk menenangkan hatinya, beristirahat mengurangi lelahnya.

   Tetapi hampir setiap saat Empu Gandring menyadari keadaannya.

   Didengarnya di Pedukuhan kecil yang bernama Kemundungan ayam jantan berkokok untuk yang pertama kalinya.

   Didengarnya ratapan burung hantu dikejauhan, seperti keluh kesah seorang yang kehilangan anaknya.

   Didengarnya anjing-anjing liar berteriak mengerikan, sahut menyahut di atas bukit gundul.

   Dan didengarnya pula kokok ayam untuk yang kedua kalinya.

   Empu Gandring tidak lagi dapat tidur sekejap pun.

   Bahkan ia menjadi ngeri mendengar salak anjing-anjing liar sahut-menyahut.

   "Ternyata bukit gundul itu menyimpan bahaya yang sempurna"

   Desisnya "iblis dari Kemundungan dan anjing-anjing liar itu.

   Keduanya sama-sama berbahaya bagiku".

   Tetapi meskipun kemudian ayam berkokok untuk ketiga kalinya, dan bayangan merah telah memancar di ujung Timur, namun EmpuGandring masih tetap menunggu, kalau-kalau tiba-tiba Kebo Sindet dan Kuda Sempana muncul dari dalam gelap membawa Mahisa Agni.

   "Aku menyesal telah melepaskannya"

   Gumam Empu Gandring seorang diri.

   Kenapa aku tidak menahannya? Ternyata Kuda Sempana telah mengelabui perhitunganku.

   Aku sangka Kuda Sempana berbuat untuk gurunya.

   Ketika Kemudian matahari menjenguk dari balik-balik dedaunan di ujung Timur, maka Empu Gandring menjadi tidak bersabar lagi.

   "Aku tidak dapat tinggal di sini menunggu Kebo Sindet yang tidak kunjung datang"

   Katanya.

   "aku harus mencarinya". Empu Gandring itu pun kemudian meloncat turun. Dibenahinya pakaiannya dan dihampirinya kudanya. Desisnya.

   "Kita akan berjalan lagi. Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan berhenti. Mudah-mudahan kita tidak sama-sama menjadi lelah. Bukankah kau telah makan sekenyang-kenyangmu?"

   Kudanya seakan-akan dapat memahami kata-kata Empu Gandring. Tetapi kuda itu tidak dapat bertanya.

   "Apakah kau sudah makan pula Empu?"

   Untunglah, bahwa Empu Gandring telah membiasakan dirinya untuk tidak menyentuh makanan sampai beberapa hari, sehingga karena kebiasaan itu, ia menjadi sangat tahan untuk menahan lapar dan dahaga.

   Ketika terpandang oleh Empu Gandring tidak jauh dari tempat itu pedukuhan kecil yang hijau, yang bernama Kemundungan, maka timbullah keinginannya untuk memasukinya.

   Mungkin di sana ia akan mendapat keterangan tentang Kebo Sindet atau Kuda Sempana.

   Mungkin orang-orang itu melihat atau pernah mendengar dimana Kebo Sindet sering bersembunyi apabila ia tidak kembali ke gubugnya, atau barangkali Kebo Sindet mempunyai rumah yang lain selain rumahnya itu.Dengan demikian maka Empu Gandring itu pun segera meloncat ke punggung kudanya dan kudanya itu pun kemudian berlari ke Kemundungan.

   Tetapi kuda itu tidak berlari terlampau kencang.

   Empu Gandring tidak ingin membuat orang-orang Kemundungan menjadi terkejut karenanya.

   Ketika Empu Gandring memasuki pedukuhan itu, maka segera ia mengetahui bahwa padukuhan itu adalah pedukuhan yang sangat miskin.

   Tanahnya yang subur tidak cukup luas untuk dapat memberi mereka makan secukupnya.

   Meskipun ada juga daerah-daerah yang dapat ditanami pada musim hujan, tetapi hasilnya tidak cukup memuaskan.

   Pedukuhan itu hampir-hampir dikitari oleh bukit-bukit gundul yang tandus.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aneh"

   Gumam Empu Gandring.

   "ada juga orang yang kerasan tinggal di daerah seperti ini. Kalau mereka mau pindah ke daerah Lulumbang, maka di sana akan dapat digarap tanah persawahan yang cukup baik dibandingkan dengan tanah yang cengkar ini. Kenapa mereka tidak berusaha seperti orang-orang Panawijen, membuat bendungan atau apapun yang dapat mengairi tanah di sekitar padukuhan ini, atau pindah berpencaran mencari tempat- tempat baru yang lebih baik?"

   Pertanyaan itu telah menyertainya memasuki padesan itu semakin dalam.

   Dilewatinya lorong-lorong sempit di antara rumah- rumah kecil dari bambu beratap ilalang.

   Halaman-halaman berpagar batu yang dilekatkan dengan tanah yang agak liat.

   Sekali-kali Empu Gandring melihat seorang dua orang menjengukkan kepalanya lewat pintu-pintu yang sudah terbuka, tetapi kepala-kepala itu pun segera lenyap kembali di balik dinding.

   "Aku harus menemukan rumah tetua padesan ini"

   Desis Empu Gandring seorang diri.

   "mungkin seorang buyut, atau mungkin seorang yang sekedar dianggap tertua di padukuhan ini". Tetapi Empu Gandring tidak menemukan seorang pun yang dapat ditanyainya.Namun akhirnya orang itu menemukan sebuah rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah di sekitarnya. Agak lebih besar dan halamannya agak lebih luas. Pada dinding halaman depan didapatinya sebuah regol yang sangat sederhana, bahkan telah agak condong terdesak oleh umur.

   "Aku harus mendapatkan seseorang yang dapat aku ajak berbicara. Mungkin di dalam rumah ini". Empu Gandring itu pun kemudian turun dari kudanya dan dituntunnya kudanya memasuki halaman rumah itu. Dengan hati- hati diamatinya segenap bagiannya. Sudut-sudut halaman dan setiap pepohonan. Ternyata di halaman itu pun tumbuh berbagai macam tumbuh-tumbuhan liar yang tidak terpelihara.

   "Apakah aku salah masuk?"

   Katanya di dalam hati.

   "tetapi rumah ini adalah rumah yang terbaik yang terdapat di padesan ini". Kemudian Empu Gandring itu pun menambatkan kudanya. Mengingsar sedikit keris di punggungnya, dan kemudian perlahan- lahan berjalan ke arah pintu yang hanya terbuka sedikit. Sampai di muka pintu, Empu Gandring itu menjadi ragu-ragu . Tetapi ia tidak mempunyai cara lain untuk mengetahui serba sedikit tentang padukuhan itu, bahkan apabila mungkin mengenai Kebo Sindet dan kebiasaan-kebiasaannya. Maka Empu Gandring itu pun kemudian melangkah semakin dekat, dan dengan perlahan-lahan mengetuk pintu rumah itu. Sekali dua kali, tak ada jawaban dari dalam. Tetapi ketika Empu Gandring mengetuk semakin keras, maka terdengar suara orang membentak dari dalam.

   "He, siapa itu?"

   Empu Gandring terkejut mendengar jawaban yang sama sekali tidak disangkanya. Dari lontaran suaranya maka Empu Gandring sudah menduga bahwa orang itu sama sekali bukan orang yang ramah.

   "Siapa he?"

   Terdengar teriakan itu lagi."Aku"

   Sahut Empu Gandring.

   "Aku siapa he, apakah kau tidak mempunyai nama?"

   Empu Gandring menarik nafas. Orang apakah yang sedang dihadapinya kini? "Aku, Empu Gandring"

   Terpaksa ia menjawab.

   "Empu Gandring"

   Suara itu mengulangi.

   "aku belum pernah mengenal namamu. Apakah kau bukan orang Kemundungan?"

   "Bukan. Aku bukan orang Kemundungan".

   "Persetan dengan kau. Agaknya kau belum mengenal daerah ini". Empu Gandring tidak menjawab lagi. Tetapi kata-kata terakhir orang di dalam rumah itu menarik perhatiannya. Sesaat kemudian ia melihat seorang yang bertubuh tinggi kekar muncul dari dalam rumah itu. Wajahnya yang keras dan pandangan matanya yang penuh mengandung kecurigaan, sama sekali tidak menyenangkan Tetapi Empu Gandring tidak mau berprasangka, meskipun ia tidak meninggalkan kewaspadaan. Dengan tajamnya orang itu memandangi Empu Gandring dari ujung jari kakinya sampai keujung rambutnya yang telah menjadi dua warna. Seolah-olah orang itu keheranan, bahwa dihadapannya berdiri seorang tua yang bernama Empu Gandring.

   "Kaukah yang menyebut dirimu Empu Gandring?"

   "Ya, Ngger"

   Jawab Empu Gandring.

   "Umurku hampir setua umurmu. Kau panggil aku dengan panggilan itu?"

   "Eh, Benarkah? Maaf"

   Sahut Empu Gandring.

   "kalau begitu kau benar-benar awet muda. Aku sangka umurmu sebaya dengan umur anakku wuragil".

   "Persetan. Aku tidak peduli. Tetapi apa maumu datang kemari. Apa lagi kau berani memasuki daerah Kemundungan denganmembawa senjata, seolah-olah kau laki-laki sendiri di muka bumi ini".

   "O, maafkan aku adi"

   Berkata Empu Gandring.

   "tetapi sebenarnya senjataku sama sekali tidak berarti. Aku membawanya sebagai kawan dalam perjalanan apabila aku melewati hutan ilalang, supaya aku mempunyai alat untuk menebasnya". Sejenak orang itu berdiam diri. Tetapi matanya tidak berkedip memandang hulu keris Empu Gandring yang mencuat dari balik punggungnya. Namun orang itu kemudian berkata.

   "Aku tidak peduli pada macam senjatamu, tetapi kedatanganmu kedaerah ini dengan senjata itu akan membahayakan nyawamu".

   "Kenapa?"

   Bertanya Empu Gandring.

   "Buang saja senjatamu itu ke dalam jurang di pinggiran desa ini. Kemudian pergilah meninggalkan Kemundungan. Jangan kembali lagi, supaya kau tidak diterkam anjing hutan". Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya.

   "Bukankah senjata ini betapapun jeleknya, akan berguna bagi keselamatanku apabila aku bertemu dengan anjing hutan?"

   "Tak ada gunanya. Anjing itu tidak hanya satu. Tidak hanya sepuluh. Bahkan tidak hanya lima belas".

   "Apalagi kalau aku tidak bersenjata"

   Potong Empu Gandring.

   "Persetan"

   Teriak orang itu.

   "tetapi buang senjatamu".

   "Anjing-anjing hutan tidak akan dapat membedakan, apakah seseorang bersenjata atau tidak".

   "Bodoh kau"

   Orang itu semakin berteriak. Ternyata teriakkannya telah didengar oleh beberapa orang tetangganya, yang kemudian menjenguk dari pintu rumahnya atau bahkan keluar halaman melihat apa yang terjadi.

   "Bahaya yang dapat menerkam nyawamu bukan saja anjing-anjing hutan itu". Dahi Empu Gandring itu pun berkerut. Tetapi ia mencoba menghilangkan setiap kesan yang dapat ditangkapnya dari mulutorang itu di wajahnya. Bahkan ia bertanya.

   "Bukan saja dari anjing hutan itu? Lalu dari siapa lagi".

   "Persetan. Dari setan belang atau dari hantu tetekan. Tetapi bahaya itu akan menerkammu dari segenap arah".

   "Tetapi aku selamat sampai ke tempat ini".

   "O, alangkah bodohnya kau. Alangkah bodohnya kau"

   Orang itu pun berteriak keras-keras, tetapi tiba-tiba suaranya menurun perlahan, tetapi masih juga tajam.

   "Kau bodoh. Adalah kebetulan bahwa kau selamat sampai padesan ini, meskipun kau bersenjata. Tetapi senjatamu itu justru berbahaya bagimu. Kau dengar".

   "Ya, ya aku dengar"

   Sahut Empu Gandring.

   Tiba-tiba kesannya terhadap orang itu pun berubah.

   Orang itu memang seorang yang kasar dan sama sekali tidak ramah.

   Tetapi maksudnya memberitahukan kepadanya adanya bahaya yang mengancamnya itu benar-benar di luar dugaanya.

   Ternyata orang itu adalah orang yang baik.

   Tetapi maksud yang baik itu diungkapkannya dengan caranya yang kasar dan tidak menyenangkan.

   "Kalau kau tidak bersenjata"

   Berkata orang itu.

   "mungkin kau akan keluar dengan selamat dari daerah ini. Tetapi kalau masih juga kau bawa kerismu yang besar dan yang kecil itu. maka bangkaimu tidak akan dapat diketemukan kembali. Bangkaimu akan dicincangnya sampai lumat untuk memberi makan anjing-anjing hutan supaya mereka tidak mengganggu ternak padesan ini yang tidak seberapa jumlahnya". Namun dengan demikian Kemendungan menjadi semakin menarik bagi Empu Gandring. Empu Gandring masih juga berdiam diri, tegak di tempatnya. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar- samar ia dapat meraba, apakah sebabnya orang itu berkeras mengusirnya dan bahkan menyuruhnya membuang senjatanya. Orang itu sama sekali tidak ingin merampas apalagi memiliki senjata itu. Tidak pula karena ia ingin mencelakainya. Tetapi bahkan sebaliknya. Orang yang kasar itu ingin menyelamatkannya."He"

   Bentak orang itu.

   "kenapa kau berdiri saja seperti patung. Apakah kau menunggu nyawamu dicabut dari tubuhmu?"

   "Tidak Ki Sanak"

   Sahut Empu Gandring.

   "aku dapat mengerti maksudmu. Karena itu aku mengucapkan terima kasih. Tetapi adi tidak usah mencemaskan nasibku. Aku akan mencoba untuk menyelamatkan diriku sendiri".

   "O, kau benar-benar orang gila. Aku bisa memaksamu. Mengambil senjatamu dan membuangnya jauh-jauh". Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Memang di sepanjang hidupnya ia sering menjumpai orang-orang yang demikian. Orang yang bermaksud baik, tetapi caranya benar-benar tidak dapat dimengerti. Seperti kanak-kanak yang tidak ingin melihat adiknya terperosok ke dalam kubangan. Untuk mencegahnya, kadang-kadang adiknya itu pun dipukulinya. Meskipun maksudnya baik, tetapi adik itu menangis sejadi-jadinya.

   "Apakah kau tuli"

   Teriak orang kasar itu.

   "Baiklah Ki Sanak. Aku akan menurut seperti yang kau nasehatkan itu. Tetapi apakah adi dapat memberitahukan kepadaku, apakah sebabnya maka aku harus berbuat demikian".

   "Tutup mulutmu"

   Bentak orang itu.

   "jangan terlampau banyak bicara. Kau hanya dapat melakukannya".

   "Bukankah lebih baik bagiku apabila aku melakukan sesuatu dengan pengertian yang baik. Bukan sekedar melakukannya tanpa mengetahui maksudnya". Ternyata orang yang bertubuh kekar itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan serta-merta ia meloncat dan langsung menampar wajah Empu Gandring. Empu Gandring adalah orang yang hampir mumpuni akan ilmu kanuragan. Ia melihat gerak orang itu. Ia mengerti apa yang akan dilakukan. Tetapi Empu Gandring itu tidak beranjak dari tempatnya. Dibiarkannya tangan orang itu mengenai wajahnya yang sudah mulai berkerut-merut dilukisi oleh garis-garis umur.Ketika tangan orang itu hampir menyentuh wajahnya, barulah Empu Gandring menggerakkan kepalanya, searah dengan gerak tangan orang itu. Meskipun tangan orang itu merasa mengenai wajah Empu Gandring, tetapi Empu Gandring hampir-hampir tidak merasakan sentuhan itu, seperti yang sudah di perhitungkannya. Namun Empu Gandring itu pun melangkah surut sambil berdesak pendek.

   "Jangan adi".

   "Kau tidak mau mendengar kata-kataku"

   Teriak orang kasar itu.

   "aku harus memaksamu. Kalau perlu, akulah yang akan membunuhmu". Empu Gandring tahu benar, bahwa orang itu hanya menakut- nakutinya. Tetapi ia memerlukan keterangan tentang Kebo Sindet segera. Karena itu, maka ia harus segera pula mendapat kesempatan bertanya. Maka orang tua itu tidak banyak lagi mempunyai waktu untuk melayaninya. Ia harus langsung mendapat jalan untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang iblis Kemundungan. Maka katanya.

   "Adi. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Aku tahu bahwa kau ingin menyelamatkan aku dari tangan orang yang barangkali ditakuti di daerah ini, bukankah begitu?"

   Orang itu telah mengangkat tangannya kembali, tetapi Empu Gandring mencegahnya.

   "Jangan Ki Sanak. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang terakhir".

   "Itu bukan urusanmu. Pergi atau kau mati di Kemundungan. Kau telah memasuki daerah ini dengan membawa senjata. Hanya akulah yang boleh bersenjata di daerah ini meskipun bukan atas kehendakku sendiri. Aku harus membunuh setiap orang asing yang aku curigai, apalagi yang membawa senjata. Tetapi lebih baik bagimu untuk segera pergi dan jangan mencoba kembali. Jangan bertanya lagi. Kalau kau bertanya lagi, aku akan memukul mulutmu sampai hancur".

   "Baik"

   Berkata Empu Gandring.

   "Aku tidak akan bertanya, tetapi aku akan menebak. Tunggu, jangan terlampau lekas marah. Bukankah menebak berbeda dengan bertanya? Nah, bukankah kauharus berbuat demikian itu karena di sebelah padesan ini, di lereng bukit gundul tinggal orang-orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?"

   Wajah orang itu tiba-tiba menegang. Sejenak ia berdiri diam tanpa mengucapkan jawaban.

   "Kebo Sindet dan Wong Sarimpat ingin merahasiakan dirinya sejauh-jauh mungkin. Kau, yang agaknya orang terkuat di Kemundungan, harus membantunya. Kalau tidak maka kau sendiri akan mengalami bencana. Bukankah begitu? Aku tidak bertanya, aku hanya menebak". Orang itu masih diam mematung. Dipandanginya wajah Empu Gandring dengan tanpa berkedip.

   "Tetapi kau orang baik. Sebenarnya kau tidak ingin berbuat demikian. Karena itu kau berusaha mengusir aku. Bukankah kau seharusnya membunuh aku?"

   Terdengar gigi orang itu gemeretak. Dengan suara parau ia berkata.

   "Mulutmu memang lancang sekali. Kau mengetahui rahasia yang tersimpan di Kemundungan. Sebenarnya aku sayang akan nyawamu orang tua. Tetapi karena kau menebak tepat, maka kau benar-benar akan aku bunuh".

   "Sebaiknya kau tidak melakukannya. Apabila Kebo Sindet marah karenanya, maka biarlah ia marah kepadaku"

   Sahut Empu Gandring.

   "ketahuilah, bahwa aku datang kemari sengaja untuk mencari Kebo Sindet itu. Tetapi semalam suntuk aku menunggu rumahnya, orang itu tidak datang. Dengan demikian maka aku akan mencoba mencari keterangan tentang orang itu di padesan ini". Sejenak orang itu seakan-akan membeku. Kata-kata Empu Gandring itu benar-benar telah menggoncangkan dadanya. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bagi orang-orang Kemundungan merupakan hantu yang tidak dapat disentuh meskipun hanya dengan kata-kata. Tiba-tiba seseorang datang untuk mencarinya. Dalam kebingungan orang itu bertanya di dalam hatinya.

   "Apakahorang ini kawan Kebo Sindet? Kalau demikian, alangkah mengerikan. Aku telah menampar wajahnya. Mudah-mudahan orang ini belum mengenal siapa Kebo Sindet itu. Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Empu Gandring pun berkata pula.

   "Bagaimana adi, apakah kau dapat memberi aku beberapa keterangan mengenai Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?"

   Orang itu tidak segera Menjawab. Sekali lagi ia memandangi Empu Gandring dari ujung kakinya sampai keujung rambutnya yang sudah mulai keputih-putihan.

   "Apakah pertanyaanku aneh?"

   Berkata Empu Gandring pula. Orang itu menelan ludahnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya.

   "Siapakah sebenarnya kau? Apakah kau sudah mengenalnya atau belum?"

   "Aku sudah mengenal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Aku sudah bertemu dengan orang-orang itu. Tetapi ketika aku menungguinya di rumahnya, mereka tidak kunjung datang. Yang tidak aku ketahui adalah, apakah mereka mempunyai sarang yang lain selain gubugnya di bukit gundul itu, atau tempat-tempat persembunyian yang lain? Setidak-tidaknya aku ingin mengerti, kemana saja orang-orang itu sering pergi dan apa saja yang dilakukannya setiap hari". Orang yang bertubuh kekar itu masih juga dicengkam oleh keragu-raguanan. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelemahannya itu. Bahkan kemudian ia masih membentak, meskipun terasa nada kebimbangannya.

   "Apakah perlumu mencarinya? Apakah kau ingin mati? Kalau kau sudah mengenalnya, maka mustahil kau mencari sampai ke rumahnya. Kau pasti akan lari menjauhi dan bahkan bersembunyi sepanjang umurmu". Empu Gandring dapat mengerti pertanyaan itu. Bagi orang-orang Kemundungan, maka Kebo Sindet adalah hantu yang paling menakutkan. Orang-orang di padesan ini pasti tidak akan berani melanggar pantangan yang diberikan oleh iblis itu. Tetapi ia memerlukannya, memerlukan keterangan itu."Ki Sanak"

   Berkata Empu Gandring.

   "apakah kau mengetahui serba sedikit tentang Kebo Sindet?"

   "Jangan menggigau"

   Orang itu masih membentak.

   "pergi dari sini, atau aku akan membunuhmu?"

   Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.

   Terasa sulitnya untuk mendapatkan sedikit saja keterangan tentang orang itu.

   Apakah orang itu akan dipaksanya untuk berbicara? Tetapi bagaimana kalau ia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat? Kini Empu Gandring pun menjadi ragu-ragu pula.

   Ia pasti akan mampu menankap orang itu, memilin tangannya dan memaksanya berbicara, tetapi apakah ia akan sampai hati berbuat demikian.

   Mungkin orang itu akan berbicara pula, tetapi orang itu untuk seterusnya pasti akan selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.

   Mungkin ia akan kehilangan keseimbangan karena ketakutannya, sehingga orang itu akan berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya.

   Membunuh diri atau lari bersembunyi dan tidak berani muncul kembali diantara manusia.

   Tiba-tiba Empu Gandring itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ia telah menemukan cara itu.

   Meskipun mungkin agak tidak disenanginya sendiri.

   Orang tua itu bukan seorang yang biasa menyombongkan dirinya, menunjukkan kelebihannya kepada orang lain.

   Tetapi cara ini, menyombongkan dirinya, masih lebih baik dari memaksa dan menyakiti orang itu untuk berbicara.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena itulah maka tiba-tiba pula Empu Gandring itu berdiri bertolak pinggang.

   Katanya lantang.

   "He, ki Sanak. Aku sudah bersabar bertanya kepadamu tentang Kebo Sindet. Tetapi kau sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan kau selalu mengancam dan menakut-nakuti aku. Aku bukan anak kecil lagi. Rambutku telah berubah menjadi dua warna. Wajahku pun telah mulai berkerut- merut. Karena itu, aku sudah tidak akan mengenal takut lagi. Umurku sudah sampai pada lingsir sore. Sebentar lagi, ibarat matahari, pasti akan terbenam. Karena itu, jangan memaksa lagi aku pergi. Jangan menakut-nakuti aku lagi. Aku tidak takutmeskipun Kebo Sindet itu sendiri yang datang kemari sekarang ini. Nah, sekarang kau mau apa?"

   Wajah orang itu pun segera berubah.

   Selangkah ia mundur.

   Tanpa dikehendakinya sendiri wajahnya pun kemudian beredar ke halaman rumah-rumah di sekitarnya.

   Sekilas ia melihat beberapa orang tetangganya menyaksikan keributan itu.

   Beberapa orang laki- laki kurus dengan pakaian yang kumal berdiri dengan gemetar, sedang beberapa anak muda yang berwajah pucat menyaksikannya dengan berdebar-debar.

   Orang yang bertubuh kekar itu adalah orang yang ditakuti di padepokan itu.

   Orang itu seakan-akan menjadi wakil dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk melakukan semacam pungutan dan sebagainya.

   Meskipun orang itulah yang pertama-tama menentang sikap Kebo Sindet, dan bahkan hanya orang itulah yang berani melawannya, tetapi ia tidak berdaya menghadapi iblis yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Bahkan dengan licik maka Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah memaksanya untuk melakukan pekerjaan untuk mereka, pekerjaan yang justru bertentangan dengan keinginannya sendiri.

   Tetapi selagi ia masih ingin hidup, maka ia tidak akan dapat ingkar.

   Ia harus melakukan pemerasan dan pemaksaan terhadap kawan-kawan sedesanya.

   Namun dalam saat-saat yang memungkinkan ia masih juga merasa bahwa lingkungannya itu harus mendapat perlindungan.

   Tetapi apa yang dilakukannya sama sekali tidak berarti.

   Sehingga untuk seterusnya orang itu harus melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan suara batinya.

   Tetapi hatinya itu tidak cukup kuat untuk mempertahankan suaranya, sehingga ia masih mementingkan hidupnya daripada membela pendiriannya.

   Menghadapi Empu Gandring orang itu menjadi ragu-ragu.

   Ia ingin mengusir orang yang bernama Empu Gandring untuk menghindarkan diri dari pertengkaran atau perkelahian.

   Sebab adalah menjadi kuwajibannya untuk membunuh orang-orang yang pantas dicurigai.

   Kalau ia tidak berbasil, maka nasib orang itu pun tidak akan menjadi lebih baik.

   Setiap kali ada orang yang berkeras kepala, dan ia menjumpai kesulitan untuk mengusirnya maka orangitu pasti akan mati dengan cara yang menyedihkan.

   Sebab setiap kali Kebo Sindet atau Wong Sarimpat pasti akan bertindak sendiri atas orang itu.

   Beberapa puluh kali ia menyaksikan bagaimana Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau kedua-duanya melakukan hal serupa itu.

   Bahkan orang yang tersesat, masuk ke padesan ini untuk bertanya, akhirnya orang itu tidak lagi dapat keluar dari desa ini.

   Hanya orang-orang yang bernasib baik, yang kebetulan segera menjadi takut kepada orang Kemundungan yang kekar itu dan lari tanpa dilihat oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat lah yang masih dapat meninggalkan padesan ini dengan tubuhnya.

   Tetapi kini orang Kemundungan yang kekar itu tidak berhasil menakut-nakuti Empu Gandring.

   Bahkan orang tua itu kini berdiri bertolak pinggang dan menantangnya.

   Orang yang bertubuh kekar itu tiba-tiba menarik nafas dalam- dalam.

   Ia sadar sepenuhnya, dengan siapa ia berhadapan.

   Setelah beberapa lama ia berbicara serta melihat sikap dan mendengar kata-kata Empu Gandring, maka orang Kemundungan dapat menduga, bahwa orang ini bukan orang kebanyakan.

   "Bagaimana Ki Sanak?"

   Tiba-tiba Empu Gandring bertanya.

   "Apakah kau bersedia memberi aku beberapa penjelasan mengenai Kebo Sindet?"

   Orang yang bertubuh kekar itu menjadi semakin ragu-ragu.

   Sekali lagi ia memandangi orang-orang di sekelilingnya.

   Tetapi ia masih tetap diam.

   Empu Gandring melihat sikap orang itu.

   Sikap yang bagi Empu Gandring cukup memberi petunjuk, bahwa orang itu akan dapat memberikan beberapa isyarat kepada kawan-kawannya.

   "Hem"

   Empu Gandring bergumam.

   "apa yang akan kau lakukan?"

   Orang itu tidak menjawab, tetapi ia mundur selangkah.

   "Ki Sanak."

   Berkata Empu Gandring kemudian.

   "aku dapat mengerti hampir sebagian besar dari apa yang sering terjadi disini"sejenak Empu Gandring berhenti. Ditatapnya wajah orang yang bertubuh kekar itu. Pengalaman yang mengendap di dalam dada Empu Gandring ternyata mampu menangkap apa yang sebenarnya sedang dihadapi. Katanya seterusnya.

   "Bukankah kau akan memberikan isyarat bahwa ada seseorang yang tak dapat kau kuasai? Adi, ternyata kau tidak dapat bersikap dalam pendirianmu sendiri. Kau masih terombang-ambing di dalam arus angin pusaran. Kau harus tunduk kemana angin bertiup, supaya kau tidak roboh karenanya. Tetapi bahwa kau telah berusaha untuk berbuat baik itu pantas sekali dihargai. Tetapi belum lagi sesilir bawang kau sudah berpikir untuk memberikan tanda atau isyarat kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kau tahu akibat dari isyaratmu atas orang yang kau anggap tidak dapat kau kuasai itu. Tetapi hal itu kau lakukan juga karena kau takut dirimu sendiri akan mendapat akibat yang tidak menyenangkan". Orang yang bertubuh kekar itu masih berdiri di tempatnya. Kini wajahnya menjadi semakin tegang. Hatinya menjadi semakin bimbang dan bahkan menjadi bingung.

   "Tetapi kalau kau berkeras untuk melakukannya, memberi isyarat itu, maka aku tidak akan berkeberatan. Semalam suntuk aku menunggunya, tetapi ia tidak kunjung datang. Kalau mendengar isyaratmu ia akan datang kemari, maka aku akan sangat berterima- kasih kepadamu. Hati orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya orang tua ini memang orang tua yang mempunyai beberapa kelebihan. Tetapi meskipun demikian orang itu tidak segera berbuat sesuatu. Dipandanginya saja Empu Gandring itu dengan berbagai perasaan yang aneh di dalam dirinya.

   "Kenapa kau masih saja berdiam diri? Ayo, berikan isyarat itu. Mungkin seseorang akan memanggilnya atau dengan tanda lain, kentongan misalnya". Orang itu menjadi semakin bingung. Belum pernah ia berhadapan dengan seorang yang dengan beraninya menghadapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Hanya orang-orang yang belummengenalnya sajajalah yang berani mencoba melawannya, justru karena orang-orang itu tidak tahu, siapakah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi orang ini sudah mengenalnya, bahkan menunggunya semalam suntuk.

   "Ayo, apalagi yang kau tunggu?"

   Tiba-tiba orang itu menggelengkan kepalanya, katanya.

   "Tidak. Aku tidak akan memberikan isyarat apapun".

   "Kenapa?"

   "Kau mempunyai kesan yang lain bagiku. Ternyata kau sama sekali tidak takut terhadap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kau adalah seorang yang pilih tanding seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi mungkin kau juga belum mengetahui sepenuhnya tentang orang itu".

   "Aku sudah mengenalnya dengan baik. Aku sudah bertempur melawannya dan ia melarikan diri". Meskipun orang itu sudah menduga bahwa Empu Gandring termasuk seorang yang pilih tanding, tetapi ketika ia mendengar bahwa Kebo Sindet melarikan dirinya, maka dadanya berdesir.

   "Apakah kau tidak percaya?"

   Orang itu tidak menjawab.

   Tetapi apabila benar demikian, maka orang ini adalah orang yang aneh.

   Ia telah menampar wajah orang itu tanpa berbuat sesuatu.

   Kenapa ia bersikap demikian? Apabila hal itu terjadi atas Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, maka akibatnya sudah dapat dibayangkan.

   Alangkah malangnya nasib orang yang demikian.

   Tetapi meskipun demikian kecemasannya masih juga mencengkam hatinya.

   Apakah orang ini sengaja membiarkannya dahulu sebelum ia berbuat sesuatu.

   Memberinya waktu untuk merasakan betapa sakitnya perasaan takut yang menusuk-nusuk jantung?Orang itu terkejut ketika Empu Gandring membentaknya.

   "He, kenapa kau diam saja? Ayo, berbuatlah sesuatu. Memberi isyarat kepada Kebo Sindet, memanggilnya atau kalau kau merasa dirimu sanggup, lawanlah aku. Bukankah menjadi kewajibanmu untuk berbuat demikian?"

   Tetapi karena bukan kebiasaan Empu Gandring menakut-nakuti orang, maka kata-katanya pun berloncatan seolah- olah tidak tersusun dengan baik.

   Namun justru karena itu, kesan yang timbul di dalam hati orang itu menjadi semakin mencemaskannya.

   Sekali lagi orang itu menggeleng, jawabnya.

   "Tidak. Aku tidak akan memberinya isyarat apapun".

   "Oh, jadi kau sendiri akan melawan aku berkelahi?"

   "Juga tidak"

   Orang itu menggeleng lagi.

   "Lalu apa yang akan kau lakukan? Bukankah kau sudah mulai menampar mukaku. Dan bukankah kau sudah mengancam aku supaya aku tidak bertanya-tanya lagi?"

   Dada orang itu berdesir. Ternyata orang tua itu mulai mengungkit-ungkit kelancangannya.

   "Aku tidak akan berbuat sesuatu"

   Berkata orang itu. Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam mendengar jawabannya. Maka katanya.

   "Baiklah, kalau kau tidak ingin berbuat sesuatu, maka aku pun tidak akan berbuat sesuatu pula atasmu. Tetapi aku minta kau mengatakan kepadaku, apakah Kebo Sindet mempunyai tempat yang lain selain gubugnya itu?"

   Orang itu pun terdiam. Sekali lagi ia memandangi berkeliling. Dilihatnya laki-laki kurus, anak-anak muda yang pucat, perempuan- perempuan dikejauhan, masih memandanginya dengan penuh pertanyaan.

   "Hem"

   Empu Gandring bergumam.

   "aku tahu, kau takut kepada Kebo Sindet, tetapi apakah kau tidak takut kepadaku? Kalau aku mau, aku pun dapat berbuat seperti Kebo Sindet. Menangkapi kau dan orang-orang Kemundungan, membunuh dengan cara yangsering dilakukan oleh Kebo Sindet. Bukankah Kebo Sindet sering membunuh korbannya dengan perlahan-lahan. Mengikatnya di sarang semut atau memanggangnya di atas api yang tidak cukup panas untuk mematikannya atau merebus dalam air hangat-hangat? Nah, manakah yang kau kehendaki?"

   Bulu-bulu orang itu meremang.

   Tiba-tiba ia telah kehilangan kegarangannya.

   Belum lagi ia mencoba melawan, tetapi ia sudah terpengaruh oleh kata-kata Empu Gandring.

   Meskipun demikian, orang itu masih tetap ragu-ragu.

   Apakah benar Empu Gandring mampu berbuat seperti Kobo Sindet? Antara percaya dan tidak, maka orang itu berdiri kebingungan.

   Empu Gandring dapat melihat keragu-raguan itu.

   Karena itu maka ia harus menguasainya.

   Menghilangkan keragu-raguan itu tanpa menyakitinya.

   Karena itu, maka tiba-tiba orang tua itu melangkah mundur sambil berkata.

   "He orang Kemundungan. Aku ingin kau berkata tentang Kebo Sindet. Aku tahu kau takut kepadanya, tetapi aku pun mampu berbuat seperti orang itu. Terserah kepadamu, siapakah yang akan kau takuti kemudian. Tetapi aku peringatkan, apabila kau telah melihat apa yang aku lakukan, dan kau tidak juga mau berkata tentang Kebo Sindet, maka kau akan mengalami nasib yang menyedihkan. Suara Empu Gandring itu menderu di telinga orang yang bertubuh kekar itu seperti suara guntur yang meledak di langit. Mengejutkan, menakutkan dan mencemaskan. Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, ia melibat Empu Gandring meloncat seperti bilalang. Tanpa mereka lihat dengan mata, keris Empu Gandring yang besar itu pun telah berada di dalam genggamannya.

   "Ayo, katakan"

   Katanya.

   "apa yang dapat dilakukan oleh Kebo Sindet? Membelah batu itu, merobohkan pohon nyiur dengan goloknya atau apa?"

   Orang Kemundungan itu justru terbungkam.

   Tetapi tiba-tiba biji matanya serasa meloncat dari pelupuknya ketika ia melihat keris Empu Gandring berputar seperti baling-baling, sehingga Empu Gandring sendiri seakan-akan hilang ditelan oleh pusaran kerisnya.Belum lagi debar jantungnya mereda, maka orang itu sekali lagi dikejutkan oleh suara berderak.

   Tiba-tiba ia melihat tiga batang pohon tal roboh bersamaan, disusul oleh sebatang pohon siwalan yang sedang berbuah lebat.

   Kini orang itu seakan-akan membeku karenanya.

   Bukan saja orang itu, tetapi orang-orang lain yang melihat pun menjadi ngeri.

   Mereka pernah melihat Kebo Sindet membuat pengeram-eram.

   Dan mereka pun menjadi ngeri.

   Tetapi kali ini mereka pun dicengkam oleh perasaan yang serupa.

   Sejenak kemudian orang Kemundungan yang bertubuh tinggi kekar itu melihat Empu Gandring telah berdiri dihadapannya.

   Kerisnya sudah tidak berada di dalam genggamannya lagi.

   Yang dilihatnya adalah tangkai keris itu mencuat di belakang pundaknya.

   "Apalagi yang dapat dilakukan oleh Kebo Sindet?"

   Bertanya Empu Gandring. Dengan gemetar orang itu menjawab.

   "Tuan, aku mohon maaf atas kelancanganku tuan. Barangkali tuan sangat marah kepadaku karenanya".

   "Ya, aku sangat marah"

   Sahut Empu Gandring, tetapi nada suaranya tidak meyakinkan.

   "aku ingin membunuhmu, mencincangmu atau menghukum picis karena kau sudah menampar mukaku".

   "Ampun tuan. Bunuhlah aku, tetapi jangan dengan cara itu".

   "Sekehendakkulah. Tetapi kalau kau ingin bebas dari penderitaan, maka katakan saja kepadaku, di mana Kebo Sindet sering berada selain di dalam rumahnya itu?"

   "Tak ada gunanya tuan. Kalau tuan tidak membunuh aku, maka orang itulah yang akan membunuh aku. Bahkan mungkin dengan cara yang lebih mengerikan. Karena itu, tolonglah tuan, bunuhlah aku dengan cara yang agak baik, supaya aku tidak mengalami penderitaan".Empu Ganring terkejut mendengar permintaan orang itu. Orang itu merasa bahwa dirinya pasti akan mati. Kalau tidak dibunuh oleh Empu Gandring maka Kebo Sindet lah yang akan membunuhnya. Sehingga dengan demikian, maka orang itu telah benar-benar menjadi putus asa. Kehadirannya di Padukuhan Kemundungan ternyata telah membawa bencana bagi orang itu. Orang yang sebenarnya baik hati, tetapi karena tekanan keadaan, akhirnya menjadi seorang yang kasar dan tampak bengis. Tetapi Empu Gandring tidak ingin membiarkannya ditelan keputusasaan, sehingga timbulah keinginannya untuk menolong orang itu, mclepaskannya dari ketakutan. Empu Gandring itu pun kemudian bertanya.

   "Ki Sanak, kenapa kau merasa bahwa kau harus mati? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu supaya kau dapat terlepas karenanya?"

   "Tak ada gunanya. Kalau aku berbicara tentang Kebo Sindet maka aku pasti akan dibunuhnya. Kalau aku tidak mau berbicara maka tuan akan membunuh aku. Bukankah sudah jelas? Aku tidak dapat melawan tuan seperti aku tidak akan mampu melawan Kebo Sindet. Apakah yang dapat aku lakukan?"

   Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, katanya.

   "Nah, kalau demikian, kalau kau sudah pasti bahwa kau akan mati, kenapa kau masih juga takut kepada Kebo Sindet? Dan bukankah Kebo Sindet sekarang tidak ada di rumah ini sehingga ia tidak akan tahu apa yang kau lakukan?"

   "Kebo Sindet tahu segala-galanya. Seperti hantu ia tiba-tiba saja muncul di segala tempat bersama adiknya Wong Sarimpat, atau salah seorang dari mereka".

   "Omong kosong. Mereka adalah orang-orang biasa, Wong Sarimpat ternyata dapat mati terbunuh seperti kebanyakan orang".

   "He"

   Wajah orang itu menegang.

   "Wong Sarimpat terbunuh?"

   "Ya"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut Empu Gandring.

   "kami berkelahi berpasangan. Aku berada sepihak dengan Empu Sada melawan kedua iblis. TernyataWong Sarimpat terbunuh oleh lawannya dan Kebo Sindet menghindari perkelahian". Orang yang bertubuh kekar itu terdiam sejenak. Tetapi matanya memancarkan keragu-raguan. Sehingga, Empu Gandring berkata.

   "Jangan ragu-ragu. Wong Sarimpat benar-benar telah terbunuh. Ia sudah mati. Aku melihat sendiri mayatnya yang membeku akibat sentuhan Aji Kala Bama". Orang yang bertubuh kekar itu masih saja berdiri mematung. Dan Empu Gandring berkata terus.

   "Dengan demikian, maka kekuasaannya di padukuhan ini pun pasti akan goyah".

   "Tetapi"

   Tiba-tiba orang itu berkata.

   "Kebo Sindet itu pun mampu melakukannya seorang diri. Membunuh aku dengan caranya".

   "Kau sudah merasa bahwa kau pasti akan mati. Apa lagi yang kau takuti. Nah, sekarang sebaiknya kau katakan kepadaku apa yang kau ketahui tentang Kebo Sindet itu". Sekali lagi orang itu terbungkam. Dan Empu Gandring berkata seterusnya.

   "Berkatalah tentang iblis itu. Bukankah kau lebih senang mati oleh tanganku dari pada oleh iblis itu? Kalau kau harus mati juga, maka kau sudah berbuat sesuatu yang baik bagiku, bagi orang lain dan bagi banyak orang". Orang itu masih tetap berdiam diri.

   "Apalagi Kebo Sindet tidak berada di tempat ini. Ia tidak akan tahu apa yang kau katakan kepadaku. Atau, dapatkah kau memilih? Mati atau pergi bersamaku ke tempat lain . Apakah yang sebenarnya mengikatmu di Kemundungan?"

   Orang itu menggeleng lemah.

   "Tak ada tempat untuk bersembunyi di kolong langit ini".

   "Bodoh. Itu terlampau berlebih-lebihan, menganggap Kebo Sindet seakan-akan seorang yang mampu berbuat apa saja,mengetahui apa saja. Tidak. Ia seorang biasa yang mengenal takut dan cemas. Ternyata ia bersembunyi. Nah, apa katamu?"

   Orang yang bertubuh kekar itu memandang Empu Gandring dengan tajamnya.

   Tetapi kata-kata Empu Gandring yang terakhir itu telah menyentuh hatinya.

   Memang, selama ini ia takut bukan buatan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, sehingga seolah-olah kedua orang itu bukan manusia biasa lagi.

   Tetapi menurut orang yang berdiri dihadapannya, dan bernama Empu Gandring itu, ternyata Wong Sarimpat dapat juga terbunuh dan Kebo Sindet mengenal juga takut dan cemas.

   "Bagaimana?"

   Bertanya Empu Gandring.

   "aku ingin mendengar serba sedikit tentang Kebo Sindet. Sesudah itu, kalau kau takut tinggal di sini, pergilah ke Lulumbang, pedukuhan tempat tinggalku. Kau dapat hidup di sana sebagai seorang petani yang wajar. Kau akan dapat menjadi seorang yang baik, yang berbuat tanpa bertentangan dengan panggilan hatimu. Menakut-nakuti orang, bahkan menyakiti". Tiba-tiba orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya.

   "Apakah mungkin begitu tuan?"

   "Kenapa tidak?"

   "Alangkah menyenangkan apabila itu bukan sekedar impian saja".

   "Kenapa impian?"

   "Tuan akan segera membunuh aku setelah aku berkata apa yang aku ketahui tentang Kebo Sindet".

   "Itu bukan kebiasaanku Ki Sanak"

   Sahut Empu Gandring.

   Sekali lagi orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Hidup sebagai seorang petani yang wajar adalah hidup yang diimpikannya selama ini.

   Tetapi ia merasa bahwa hidup yang demikian itu tidak akan pernah dihayatinya selama Kebo Sindet masih hidup di Kemundungan.

   Sebab ia terpaksa melakukan hal-hal di luar kemauannya sendiri."Apakah kau bersedia?"

   Bertanya Empu Gandring. Agaknya orang itu masih ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia mengangguk.

   "Marilah, masuklah ke rumah. Barangkali aku dapat memenuhi keinginan tuan meskipun hanya beberapa hal yang mungkin tak berarti bagi tuan". Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia berhasil memaksa orang itu untuk berbicara dengan caranya. Meskipun nada suara orang itu masih dipenuhi oleh kebimbangan, namun dengan beberapa penjelasan nanti ia akan dapat meyakinkan, bahwa Kebo Sindet kini tidak akan muncul segera di padukuhan ini. Empu Gandring pun kemudian mengikuti orang itu masuk ke dalam rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah di sekitarnya, meskipun rumah itu sendiri adalah rumah gubug yang terlampau sederhana. Mereka pun kemudian duduk di atas sehelai tikar pandan yang diayam kasar, yang terbentang di atas sebuah bale-bale bambu. Sejenak Empu Gandring memperhatikan isi rumah itu. Tidak jauh berbeda dengan gubug Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Rumah ini hampir tidak berisi perabot lain yang lajim di dalam rumah tangga yang wajar. Tetapi Empu Gandring menyadari, bahwa keadaan yang sulitlah yang menyebabkan orang-orang di padukuhan ini tidak sempat mengisi rumahnya dengan beberapa macam alat rumah tangga yang diperlukan. Di dalam rumah itu Empu Gandring melihat beberapa alat-alat pertanian yang sudah usang tersangkut di dinding. Agaknya mereka pun tidak sempat membuat atau. membeli alat-alat semacam itu.

   "Inilah seluruh milikku"

   Desah orang bertubuh kekar itu. Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya.

   "Siapakah namamu Ki Sanak?"

   Orang itu menarik nafas. Jawabnya.

   "Namaku Tambi".

   "Tambi"

   Empu Gandring mengulangi,"Ya.

   Aku hidup sendiri di rumah ini.

   Isteri dan seorang anakku mati Ketakutan.

   Mereka tidak tahan hidup seperti yang dialaminya.

   Beberapa tahun mereka bertahan.

   Tetapi akhirnya perempuan itu tidak kuat lagi.

   Anaknya masih kecil itu pun mati pula beberapa bulan kemudian".

   


Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung Pendekar Cacad Karya Gu Long Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung

Cari Blog Ini