Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 38


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 38



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   "Memang aku tidak pernah mengucapkannya karena kebodohanku. Karena kepicikan pengetahuanku. Tetapi itu bukan berarti bahwa Yang Maga Agung tidak menaruh kasih kepadaku. Bahkan melimpah-limpah. Adalah salah manusia sendiri apabila ia menolak kasih Yang Maha Agung. Menjauhkan diri dari padanya dan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal terima kasih."Suara tertawa Bango Samparan menjadi semakin keras, sehingga Ken Arok perlu memperingatkan.

   "Ayah, suara tertawa ayah akan dapat mengganggu orang-orang yang sedang tidur."

   "Eh,"

   Bango Samparan berusaha menahan suara tertawanya.

   "kau aneh anakku. Tetapi agaknya kau telah melupakan keadaanmu sendiri. Bagaimana mungkin kau dapat berkata, bahwa pada saat itu kasih Yang Maha Agung melimpah-limpah kepadamu? Sedangkan hidupmu sendiri tidak lebih baik dari binatang buruan yang bersembunyi di dalam semak-semak di Padang Karautan ini?"

   "Ayah,"

   Ken Arok bergeser setapak untuk menyembunyikan kegelisahannya.

   "justru pada saat aku hidup sebagai binatang buruan itulah aku melihat kasih yang berlimpah-limpah. Bukankah ayah sendiri berkata bahwa nasibku teramat baik. Bukankah ayah mengatakan bahwa karena ayah membawa aku berjudi, maka nasibku yang baik itu telah melimpah kepada ayah? Itu adalah nasib yang baik. Dan itu adalah kasih Yang Maha Agung. Tetapi akulah yang terlampau bodoh. Sehingga aku tidak mengetahuinya dan tidak berterima kasih kepada-Nya. Kemudian, bukankah kasih itu nampak pula semakin jelas padaku di akhir-akhir pengembaraanku. Yang Maha Agung telah membuka mata hatiku dengan lantaran beberapa orang yang mengenalnya lebih baik dari padaku. Nah, apakah aku tidak harus mengucapkan terima kasih?"

   "Hem,"

   Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam.

   "kau benar anakku. Kau memang kekasih Yang Maha Agung."

   "Seperti juga ayah, orang lain, dan semua orang di muka bumi."

   Wajah Bango Samparan berkerut-merut. Tetapi ia tidak segera menyahut meskipun mulutnya berkumat-kamit.

   "Karena itu kita wajib berterima kasih."

   "Tetapi,"

   Bango Samparan berhenti sejenak.

   "bagaimana dengan orang-orang yang miskin, bahkan yang hampir mati kelaparan?"

   "Itukah ukuran ayah tentang kasih?"

   Ken Arok menyahut sambil mengerutkan keningnya yang telah menjadi basah oleh keringat,"Kalau ukuran ayah tentang kasih adalah keadaan lahiriah, maka aku dapat mengerti jalan pikiran ayah, kenapa ayah menganggap bahwa nasib manusia itu ditentukan menurut kesukaan Yang Maha Agung seperti kesukaan kita.

   Apabila kita tidak senang terhadap seseorang maka kita akan mengasingkannya."

   Bango Samparan memandangi anak angkatnya. Wajahnya menjadi semakin tidak mengerti.

   "Ukuran kasih adalah ketenteraman rohaniah, ayah. Rasa damai dan dekat dengan Yang Maha Agung itu."

   "O, aku tidak mengerti Ken Arok. Tetapi baiklah aku tidak membantah. Mudah-mudahan lain kali aku dapat mengerti maksudmu."

   Bango Samparan berhenti lagi untuk sesaat.

   "Tetapi bagaimana dengan penyataanku? Apabila kau merasa dekat dengan Yang Maha Agung dalam kasihnya, eh, kenapa kau tidak memohon untuk mendapat kurnia lebih banyak lagi?"

   Wajah Ken Arok menegang.

   Kini ia merasa bahwa ayahnya hampir sampai pada maksud yang sebenarnya di samping keinginannya untuk mendapat kemenangan di medan perjudian dengan mengajaknya ikut berjudi.

   Sejenak Bango Samparan pun terdiam.

   Ketika ia melihat wajah Ken Arok yang menjadi kemerah-merahan seperti tembaga karena sinar lampu minyak serta ketegangan, maka Bango Samparan mencoba untuk menjadi lebih berhati-hati.

   "Ken Arok,"

   Berkata Bango Samparan itu pula.

   "dahulu, sebelum kau menjadi seorang yang baik dalam penilaian orang-orang di sekitarmu seperti sekarang ini, kau telah mendapat nasib yang baik. Apalagi sekarang, setelah kau mengenal Yang Maha Agung lebih baik, dan kau menjadi lebih tekun berbakti kepadaNya. Nah, apakah kasih itu tidak akan menjadi berlipat ganda."

   "Kasih itu tidak terbatas ayah."

   "Bagus,"

   Berkata Bango Samparan.

   "kalau begitu kau akan dapat mohon lebih banyak lagi.""Itu adalah pertanda bahwa kita tidak berterima kasih atas apa yang sudah kita miliki."

   "O, tidak Ken Arok, tidak. Setiap manusia ingin mencapai segala macam kebutuhannya sampai ke puncak. Kalau ia memerlukan pangkat, maka ia ingin mencapai pangkat yang setinggi-tingginya. Kalau ia ingin kaya, ia pasti ingin menjadi kaya sekaya-kayanya. Nah, apakah kau termasuk perkecualian."

   "Mungkin ayah."

   Bango Samparan menggelengkan kepalanya. Katanya.

   "Tidak Ken Arok. Cita-cita seorang tidak boleh berhenti. Cita-cita ia harus meluncur jauh di depan kita, supaya kita tidak berhenti. Berhenti berusaha dan berhenti berjuang. Tanpa cita-cita gairah hidup kita pun akan lenyap, dan kita akan menjadi beku."

   "Tetapi cita-cita harus seimbang dengan kenyataan ayah. Apabila cita-cita itu tidak seimbang dengan kenyataan diri, maka seseorang akan mudah tergelincir. Mungkin menjadi patah, tetapi mungkin juga akan melakukan hal-hal yang tidak baik."

   "O, ternyata kau bukan seorang yang berhati baja."

   "Apakah maksud ayah?"

   "Hatimu miyur. Kau sekadar mendapat makan dan pangkat yang kecil, kau sudah mandeg. Berhenti di jalan. Sedangkan orang lain akan terus berlari meninggalkan kau jauh di belakang. Padahal belum pasti bahwa nasibmu kalah baik dengan nasib orang lain."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia kini mengerti kehendak ayahnya. Ayahnya menghendaki sesuatu yang terlampau berlebih- lebihan dari padanya. Dan ia tidak lagi terkejut ketika Bango Samparan berkata.

   "Ken Arok. Kalau kau mendapat pangkat yang tinggi, jauh lebih tinggi dari pangkatmu sekarang, kau akan menjadi kaya. Kau akan dapat membantu aku sepekan sekali. Dan aku tidak akan mati kelaparan sekeluarga."

   "Dan hampir sepekan sekali ayah tetap bisa berada di medan judi."Bango Samparan mengernyitkan alisnya. Kemudian ia tersenyum.

   "Begitulah kira-kira. Tetapi kalau kau masih saja seperti sekarang, maka bantuan yang dapat kau berikan akan menjadi seperti sebutir garam yang kau tebarkan di lautan. Tetapi kalau kau menjadi seorang yang berpangkat tinggi, Ken Arok, kau akan menjadi kaya, dan kau tidak perlu lagi menghitung-hitung berapa uang yang kau berikan kepadaku. Dan aku tidak akan lagi mengejarmu untuk membawa kau turut ke arena perjudian lagi."

   Nafas Ken Arok tiba-tiba menjadi sesak, dan wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang.

   Meskipun ia sudah mengira bahwa akhirnya akan sampai pula pada persoalan itu, namun hatinya masih juga merasa sakit.

   Ayah angkatnya benar-benar tidak dapat mengerti keadaan dan perasaan orang lain.

   Ia hanya berpikir tentang kesenangannya saja.

   "Tambahan lagi anakku. Apabila kau menjadi seorang pemimpin, maka aku pun akan menjadi seorang yang terhormat pula. Kehormatan sangat penting artinya di dalam perjudian. Seandainya aku sedikit-sedikit mengelabui lawanku dengan akal, maka ia tidak akan menjadi lekas marah. Seandainya aku kalah dan masih belum dapat membayar kekalahanku itu, maka tak seorang pun yang berani memaksaku seperti dahulu dan baru-baru ini, sehingga aku harus bersembunyi di Rabut Jalu."

   Dada Ken Arok menjadi semakin bergolak, sehingga mulutnya bahkan serasa terbungkam.

   "Anakku,"

   Berkata Bango Samparan itu. Nada suaranya merendah dibuat-buat.

   "Tak ada orang lain tempat aku menumpangkan nasib selain kepadamu. Sejak aku menemukan kau Arok, aku sudah yakin, bahwa hanya kaulah yang akan dapat menjunjung martabatku. Aku tidak sekadar menjadi penjudi kecil yang kadang-kadang diusir dari arena karena aku tidak banyak mempunyai modal. Nah, dengan demikian, aku tidak akan memaksamu lagi untuk mengikuti aku ke perjudian. Apakah kau dapat mengerti? Aku tidak akan mengganggu pekerjaan yang semakin banyak. Apakah kau mengerti?"Ken Arok menggigit bibirnya.

   "Aku mengerti ayah,"

   Sahutnya sambil menahan hati.

   "Bagus, bagus, kau memang anak laki-laki yang luar biasa. Kekasih Yang Maha Agung. Nah, apakah yang akan kau lakukan?"

   "Yang akan aku lakukan adalah mempersilakan ayah meninggalkan tempat ini."

   "He,"

   Bango Samparan terlonjak. Wajahnya menegang dan mulutnya ternganga. Kemudian terbata-bata ia berkata.

   "Apa katamu he?"

   "Aku tak akan sampai hati mempersilakan ayah meninggalkan tempat ini seandainya ayah dapat mengerti keadaanku."

   "O, itukah balasanmu Ken Arok? He? Itukah?"

   "Maaf ayah. Bukan maksudku. Tetapi aku harap ayah mengerti keadaanku."

   Bango Samparan termenung sejenak. Dipandanginya lampu minyak yang bergerak-gerak ditiup angin yang menyusup lewat dinding yang tidak rapat.

   "Ken Arok. Aku mimpikan kau yang bernasib terlampau baik itu menjadi seorang pemimpin seluruh prajurit Tumapel. Eh, tidak bahkan menjadi seorang akuwu. Tidak, tidak. Tetapi kau menjadi seorang raja di Kediri."

   Dada Ken Arok berdesir tajam mendengar kata-kata ayah angkatnya itu.

   Dipandanginya wajah Bango Samparan seolah-olah baru saja dilihatnya hari ini, sehingga Bango Samparan itu terpaksa menundukkan kepalanya menghindari tatapan mata Ken Arok yang seolah-olah menyala.

   Dengan nada yang berat Ken Arok berkata.

   "Ayah, aku akan benar-benar mempersilakan ayah meninggalkan tempat ini kalau ayah masih saja membuat hatiku kisruh."

   "Tidak anakku. Aku jangan kau usir malam ini. Meskipun hantu Padang Karautan sekarang telah menjadi jinak, tetapi aku tidak mau mati kedinginan."Terdengar Ken Arok menggeram. Tetapi ayah angkatnya berkata meneruskan.

   "Maksudku baik Ken Arok."

   "Tidak. Ayah benar seorang yang hanya mengerti tentang kepentingan diri sendiri. Ayah seorang yang terlampau mementingkan diri ayah sendiri."

   "O, kau salah tangkap Ken Arok. Aku juga berpikir tentang kau, tentang nasibmu yang baik itu."

   "Dalam hubungan kepentingan ayah."

   "Hem,"

   Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam.

   "mimpiku tidak pernah salah. Dahulu aku juga serasa bermimpi, o, tidak, bahkan seolah-olah aku mendengar suara dari langit tentang seorang anak yang hampir mati kelaparan. Dan aku benar-benar menemukan kau yang ketakutan karena dihantui oleh perbuatan- perbuatanmu sendiri, tetapi setelah itu kau juga tidak berhenti merampok, memerkosa, dan bahkan membunuh,"

   Bango Samparan mengangkat tangannya ketika Ken Arok akan memotong kata- katanya.

   "jangan, jangan kau potong kata-kataku, aku belum selesai."

   Bango Samparan menelan ludahnya, lalu melanjutkan.

   "Sekarang aku bermimpi kau menjadi seorang maharaja. Eh, siapa tahu, bahwa hal itu akan terjadi. Kalau kau berhasil memanjat dari jabatanmu sekarang menjadi akuwu, misalnya, kemudian kau akan mendapat kesempatan yang lebih baik."

   "O,"

   Ken Arok tidak dapat menahan perasaannya lagi. Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan mondar-mandir.

   "Cukup ayah, cukup. Aku tidak mau mendengar lagi. Itu adalah impian yang gila."

   "Ah, jangan terlampau memandang hari depan terlampau suram. Siapa tahu. Ya, siapa tahu. Siapa tahu kalau anak yang hampir mati kelaparan itu sekarang memimpin sepasukan prajurit. Siapakah yang menyangka bahwa hantu Karautan yang dikejar-kejar orang dan akan dibunuh oleh siapa pun juga, termasuk prajurit-prajurit Tumapel, kini justru memimpin prajurit-prajurit itu sendiri."

   "Cukup, cukup,"

   Ken Arok hampir berteriak. Tanpa diketahuinya maka bulu-bulu di seluruh tubuhnya terasa meremang. Denganlantang ia berkata.

   "Lupakan mimpi yang gila itu. Aku bukan termasuk orang yang tidak mengenal terima kasih. Aku tidak akan ikut serta bermimpi seperti ayah. Sekarang silakan ayah meninggalkan tempat ini."

   "Ken Arok."

   "Aku tidak mau lagi mendengar mimpi yang gila yang tidak masuk akal. Apakah ayah sengaja membuat aku gila pula?"

   "O, kau salah terima anakku. Kau salah terima. Aku hanya ingin mengatakan."

   "Cukup, cukup,"

   Kini Ken Arok benar-benar berteriak.

   Beberapa orang yang sedang tidur terbangun karenanya.

   Bahkan ada di antara mereka yang tanpa sengaja bangun dan memandangi pedang-pedang mereka yang tersangkut di dinding, di atas pembaringannya.

   Tetapi sejenak kemudian suasana malam menjadi sunyi kembali.

   Tidak terdengar lagi suara Ken Arok membentak-bentak.

   Bango Samparan terkejut juga mendengar Ken Arok itu berteriak, memotong kata-katanya.

   Agaknya kali ini anaknya tidak sedang bermain-main.

   Ken Arok telah benar-benar menjadi marah.

   Karena itu maka Bango Samparan pun terdiam.

   Dengan jantung yang berdegup keras, Ken Arok berjalan mondar-mandir di dalam gubugnya yang sempit.

   Sekali-sekali ia berhenti.

   Mulutnya terkatup rapat-rapat, tetapi matanya seolah-olah menyala.

   Sejenak mereka saling berdiam diri dalam ketegangan perasaan masing-masing.

   Tetapi Bango Samparan benar-benar tidak berani lagi berbicara berkepanjangan.

   Kepalanya tertunduk dan bahkan tangannya menjadi gemetar.

   Namun ia masih belum beranjak dari tempatnya.

   Ketika di kejauhan terdengar anjing-anjing liar menyalak, maka Ken Arok berdesis.

   "Tinggalkan aku sendiri.""Ken Arok."

   "Aku persilakan ayah meninggalkan tempat ini."

   "O, malam terlampau gelap di Padang Karautan."

   "Ayah datang kemari tanpa mengenal takut. Seharusnya ayah juga tidak takut meninggalkan tempat ini."

   "Tetapi ketika aku datang, hari belum terlampau malam."

   "Tak ada bedanya bagi Padang Karautan."

   "Ada anakku. Anjing-anjing itu? Apakah kau ingin dagingku hacur disayat-sayat anjing liar itu? Jangan Ken Arok. Aku minta maaf kepadamu kalau aku membuatmu marah. Tetapi aku jangan kau usir dari tempat ini malam ini. Besok pagi buta aku akan pergi."

   "Tetapi aku tidak tahan mendengar ayah berbicara tanpa ujung pangkal. Membuat aku gila karena mimpi yang gila itu. Dan anjing itu berada di tempat yang jauh, di seberang sungai. Mereka tidak akan datang kemari."

   "Tidak, aku tidak akan berbicara lagi tentang mimpi itu. Tentang akuwu dan tentang maharaja di Kediri."

   Ken Arok terdiam sejenak. Ketika dilihatnya wajah Bango Samparan yang ketakutan, maka timbullah ibanya. Meskipun hatinya masih juga belum lilih benar, tetapi ia berkata.

   "Kalau ayah berjanji tidak akan menyebut-nyebut mimpi itu, aku akan membiarkan ayah bermalam di sini." (Bersambung 30) Koleksi . Ismoyo Retype . Sukasrana Proofing . Hartono Rechecking . Arema ---ooo0dw0ooo---

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jilid 30

   "AKU akan membiarkan ayah bermalam di sini. Besok pagi-pagi buta ayah harus sudah meninggalkan padang."

   "Baik, baik Ken Arok. Terima kasih,"

   Bango Samparan menelan ludahnya. Tetapi ia mendengar Ken Arok berkata.

   "Sebenarnya aku tidak percaya bahwa ayah tidak berani melewati padang ini. Hampir setiap malam ayah berkeliaran dari satu arena perjudian ke arena yang lain, bahkan di tempat-tempat yang paling ditakuti orang. Meskipun demikian, biarlah ayah beristirahat. Tetapi ingat, jangan menyebut lagi tentang mimpi yang gila itu."

   Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang memucat kini menjadi agak merah kembali. Dengan tergagap ia berkata.

   "Terima kasih Ken Arok. Ternyata kau benar-benar anakku yang baik. Memang aku selalu berkeliaran dari satu tempat judi ke tempat yang lain, tetapi tidak di Padang Karautan. Kecuali mungkin aku bertemu dengan anjing-anjing liar itu, aku juga tidak tahan dingin."

   "Udara malam ini terlampau panas,"

   Sahut Ken Arok acuh tak acuh.

   "O,"

   Bango Samparan terdiam sejenak, kemudian.

   "ya, ya, udara memang terlampau panas."

   "Tidurlah,"

   Desis Ken Arok.

   "Ya, ya terima kasih. Aku akan segera tidur. Aku memang tidak ingin lagi berkata tentang mimpi itu, kalau kau memang tidak senang mendengarnya, meskipun dapat menumbuhkan angan- angan yang menyenangkan. Akuwu, Maharaja."

   Ken Arok sudah tidak tahan lagi. Dengan serta-merta ia berdiri dan melangkah pergi.

   "Ken Arok, ke mana kau?"

   Panggil ayah angkatnya."Aku akan keluar. Ayah tidak berani pergi dari tempat ini. Akulah yang akan pergi."

   "Ke mana kau akan pergi?"

   "Ke bendungan."

   "Kenapa?"

   Ken Arok tidak menjawab, tetapi ia melangkah terus meninggalkan Bango Samparan di dalam gubugnya.

   Demikian ia lepas dari gubug itu, terasa dadanya menjadi lapang.

   Dilihatnya langit yang hitam terbentang dari segala ujung penjuru.

   Bintang yang berkilat-kilat bergayutan tak terbilang banyaknya.

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah akan dihisapnya udara di atas Padang Karautan itu habis-habis.

   Tanpa sesadarnya maka ia pun melangkah, berjalan di antara gubug-gubug yang bertebaran.

   Angin yang lembut mengusap wajahnya pelahan-lahan.

   Ketika ia lepas dari deretan gubug-gubug itu, dilihatnya parit induk yang terbujur membelah padang menjorok ke tengah.

   Di ujung parit itu terdapat sebuah sendang buatan.

   Tetapi malam itu Ken Arok tidak dapat melihat sendang itu dari tempatnya.

   Seolah- olah sendang diselimuti oleh sebuah permadani yang hitam.

   Namun demikian, terbayang di rongga matanya, tanaman-tanaman yang sudah mulai menghijau di sekitar sendang itu, meskipun setiap hari masih harus disiram air.

   Kemudian batu-batu yang sudah mulai teratur rapih.

   Puntuk-puntuk kecil dan kemudian parit-parit yang menyilang taman itu.

   Sebuah gunung kecil di tengah-tengah sendang.

   "Mudah-mudahan sendang itu menyenangkan hati Akuwu Tumapel,"

   Gumam Ken Arok di dalam hatinya. Tiba-tiba terbersit pertanyaan di dalam hatinya.

   "Kenapa setiap orang harus membuat Akuwu menjadi senang?"

   Tetapi Ken Arok itu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika tiba-tiba pula tumbuh perasaan di dalam dadanya.

   "Alangkah senangnya menjadi seorangAkuwu. Kekuasaan di Tumapel ini berpusat padanya. Apa pun yang dikehendaki, hampir pasti dapat terpenuhi."

   "Tidak, tidak,"

   Ken Arok itu menggeram sambil menggeretakkan giginya.

   "Pikiran gila ini telah mengotori dadaku. Tidak."

   Ken Arok itu kemudian berdiri dengan tegangnya. Tangannya mengepal dan kakinya seolah-olah menghujam jauh ke dalam tanah.

   "Aku tidak boleh diracuni oleh pikiran-pikiran gila itu. Kalau sekali lagi Bango Samparan menyebut-nyebut mimpinya, aku cekik ia sampai mati."

   Sekali lagi Ken Arok menggeram. Tiba-tiba untuk mengusir perasaannya itu ia meloncat berlari masuk ke dalam hitamnya malam. Seperti seorang yang dikejar hantu, ia berlari tidak ke bendungan, tetapi ke sendang yang sedang dibuatnya.

   "Tidak, tidak,"

   Ia masih menggeram.

   "aku harus melakukan perintah Akuwu, sendang itu harus siap pada saatnya."

   Ketika ia sampai ke tepi sendang yang masih belum siap itu, nafasnya menjadi terengah-engah.

   Wajahnya membayangkan ketakutan atas dirinya sendiri.

   Ia tidak mau mendengar mimpi itu lagi, meskipun perasaannya sendiri yang menyebut-nyebutnya.

   Mimpi tentang dirinya dan Akuwu Tumapel.

   "Tidak, tidak,"

   Tiba-tiba ia berteriak.

   Suaranya yang parau melayang di udara padang yang sepi, seolah-olah menggetarkan seluruh Padang Karautan, bahkan seluruh Tumapel.

   Ketika sekali lagi perasaannya diganggu oleh mimpi Bango Samparan itu, maka Ken Arok pun segera meloncat.

   Diraihnya batu- batu yang masih bertebaran di pinggir taman.

   Dengan mengatupkan mulutnya rapat-rapat, ia mengangkat sebongkah batu, dilontarkannya kuat-kuat.

   Batu-batu itu besok memang harus disusun menjadi sebuah dinding yang akan mengelilingi taman.

   Sekali, dua kali, tiga kali.

   Dan seterusnya.

   Dilontarkannya batu- batu itu ke tempat yang besok harus dibangun dinding.

   Dikerjakannya pekerjaan prajurit-prajurit Tumapel yang harusdilakukannya besok.

   Dengan wajah yang tegang dan gigi gemeretak ia melempar-lemparkan batu-batu itu.

   Tenaganya seolah olah menjadi berlipat-lipat dan kekuatannya serta ketahanannya pun menjadi berganda.

   Maka terdengarlah kemudian gemeretak batu-batu yang terlempar oleh Ken Arok itu memecahkan kesenyapan Padang Karautan.

   Susul-menyusul tidak habis-habisnya, seolah-olah pekerjaan itu telah dilakukan oleh sepuluh orang bersama-sama.

   Namun betapa kuat dan kokohnya tubuh Ken Arok, akhirnya sampai juga ke batasnya.

   Tenaganya semakin lama menjadi semakin kendor.

   Lontarannya sudah tidak lagi mencapai jarak yang diperlukan, sehingga lambat-laun, ia pun menjadi semakin lelah.

   Meskipun demikian, Ken Arok tidak mau berhenti.

   Ia tidak mau membiarkan kesempatan sekejap pun untuk mengenang kembali mimpi ayah angkatnya yang gila.

   Ia tidak mau batinnya diracuni oleh perasaan itu.

   Karena itu, betapa ia menjadi lelah dan lemah, namun masih juga dicobanya untuk mengangkat dan kemudian melemparkan bongkahan batu-batu yang besar itu.

   Tetapi akhirnya Ken Arok itu sudah tidak mampu lagi melakukannya.

   Tulang-tulangnya seraya menjadi lemas, dan nafasnya sudah menyesak di dadanya.

   Dengan lemahnya ia tertunduk di antara batu-batu yang masih berserakan.

   Bahkan kemudian ia membaringkan dirinya.

   Betapa lelah mengganggu tubuhnya, sehingga scjcnak kemudian Ken Arok itu diserang oleh perasaan kantuk yang luar biasa.

   Ketika angin padang membelai tubuhnya, terasa kesegaran merayapi kulit dagingnya.

   Namun dengan demikian maka Ken Arok itu pun jatuh tertidur.

   Ken Arok tidak dapat mengetahui betapa lama ia tertidur di padang itu, di bawah atap langit yang biru hitam, serta di bawah bintang yang bergayutan tanpa dapat dihitung jumlahnya.Anak muda itu terperanjat ketika ia mendengar gemeletuk batu tersentuh kaki.

   Dengan sigapnya ia meloncat bangun.

   Namun tiba- tiba matanya menjadi silau, ternyata matahari telah merayapi langit.

   "Hem,"

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam sambil menggosok matanya yang kesilauan.

   "aku tertidur."

   "Kami mencarimu,"

   Sahut orang yang membangunkannya, seseorang prajurit Tumapel.

   "kami hampir menjadi putus asa. Aku sangka kau hilang seperti Mahisa Agni."

   "Sebelum udara di dalam gubugku terlampau panas. Aku berjalan-jalan keluar, dan akhirnya aku sampai ke tempat ini. Di sini udara terasa segar sekali. Dan aku jatuh tertidur."

   Prajurit itu tidak mempunyai syak-wasangka. Karena itu ia menjawab.

   "Semuanya menunggu kedatanganmu dengan cemas. Untung-untungan aku mencoba mencarimu di sini, di antara batu- batu ini. Ternyata kau tertidur."

   Sekali lagi Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   "Aku lelah sekali,"

   Desisnya.

   Tanpa disengaja, Ken Arok memandangi batu-batu yang masih bertebaran.

   Prajurit itu pun mengikuti arah pandangan Ken Arok.

   Namun tiba-tiba prajurit itu mengerutkan keningnya.

   Ia melihat batu-batu yang dipersiapkan untuk dinding taman telah berpindah hampir di sepanjang sebelah sisi yang akan didirikan dinding untuk taman itu.

   Kemarin batu-batu ini masih tertumpuk.

   Wajah prajurit itu menjadi berkerut-kerut.

   Ketika ia melihat pakaian Ken Arok yang kusut dan tubuhnya yang kotor karena debu dan lumpur, maka tumbuhlah pertanyaan di dalam dirinya.

   Apakah yang sudah dilakukannya? Begitu mendesak pertanyaan itu di dalam dadanya sehingga terloncat kata-katanya.

   "Batu-batu ini telah berpindah."

   Ken Arok berpaling. Dipandanginya wajah prajurit itu, tetapi ia menjawab.

   "Orang-orang terakhir kemarin telah mulai memindahkan batu-batu itu."Wajah prajurit itu menjadi semakin aneh. Dengan terheran-heran ia berkata.

   "Aku adalah orang yang terakhir meninggalkan pekerjaan kemarin. Aku masih sempat melihat batu-batu yang tertimbun di sini. Tetapi pagi ini aku lihat batu-batu itu sudah berserakan di sepanjang batas dinding taman yang akan dibangun. Hampir di sepanjang sisi sebelah ini."

   Wajah Ken Arok itu pun kini menjadi berkerut-merut. Sejenak ia tidak menjawab. Namun kemudian ia berkata.

   "Mari, aku akan kembali ke perkemahan. Mereka terlalu lama menunggu, dan kerja hari ini akan terlampau lama terlambat mulai."

   Prajurit itu terdiam. Wajahnya masih diliputi oleh pertanyaan- pertanyaannya tentang batu-batu yang berpindah itu. Meskipun demikian ia telah menyangka bahwa Ken Arok telah melakukan pekerjaan itu.

   "Tetapi hampir tidak masuk akal,"

   Berkata prajurit itu di dalam hatinya.

   "aku masih melihat Ken Arok itu masuk ke dalam gubugnya. Seandainya ia datang kemari, maka pasti tidak sejak sore. Sedangkan pekerjaan yang sepantasnya dilakukan oleh dua tiga orang sehari penuh."

   Prajurit itu terkejut ketika Ken Arok berkata.

   "Mari, apa lagi yang kau tunggu?"

   Tanpa sesadarnya prajurit itu berguman.

   "Agaknya Hantu Karautan lah yang telah memindahkan batu-batu ini."

   Wajah Ken Arok menegang mendengar kata-kata itu.

   Tetapi segera ia berhasil menguasai dirinya.

   Prajurit itu pasti dengan sengaja menyebut Hantu Karautan, dan pasti tidak mencoba menghubungkannya dengan dirinya, meskipun sebenarnya bahwa yang telah melakukan pekerjaan itu adalah Hantu Karautan.

   Sejenak kemudian maka mereka berdua segera meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa.

   Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel sudah menunggu Ken Arok dengan gelisah.

   Bahkan seperti yang dikatakan oleh prajurit itu, ada di antaramereka yang menyangka bahwa Ken Arok hilang seperti Mahisa Agni.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun di sepanjang jalan, prajurit Tumapel itu tidak dapat melupakan apa yang telah dilihatnya.

   Batu-batu yang telah berpindah tempat.

   Tak ada orang lain di tempat itu selain Ken Arok.

   Apalagi pakaian Ken Arok tampak lusuh dan tubuhnya dikotori oleh debu dan keringat.

   Adalah mustahil apabila sejak kemarin, sejak sore kemarin, Ken Arok tidak mandi dan membersihkan tubuhnya.

   Karena itu, maka prajurit itu berketetapan.

   "Ken Arok telah melakukannya. Alangkah dahsyat tenaganya. Ternyata anak muda itu benar seorang yang melampaui sesamanya."

   Dan, ternyata prajurit itu kemudian tidak dapat menyimpan pertanyaan dan kekaguman itu di dalam hatinya.

   Satu-satu akhirnya setiap orang mendengar apa yang telah terjadi, meskipun hanya bisikan-bisikan di setiap telinga.

   Ketika Ken Arok melihat orang-orang Panawijen dan prajurit- prajurit Tumapel telah mempersiapkan diri untuk bekerja, serta melihat bayangan kegelisahan di wajah-wajah mereka, menjadi agak menyesal.

   Ia telah memperlambat kerja hari ini.

   Karena itu, demikian ia berdiri di hadapan mereka dan Ki Buyut Panawijen, segera berkata.

   "Mulailah. Aku akan segera menyusul."

   Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel segera meninggalkan perkemahan dan berpencaran ke tempat kerja masing-masing.

   Sebagian pergi ke bendungan yang sudah menjadi semakin tinggi, sebagian memperdalam parit induk yang membelah Padang Karautan, sebagian memperpanjang parit yang silang- menyilang yang kelak akan mengairi sawah-sawah, dan sebagian dari para prajutit Tumapel meneruskan kerja mereka, membuat sendang dan taman.

   Ketika mereka yang bekerja di sendang buatan itu sampai ke tempat kerja mereka, maka mereka benar-benar menjadi heran.

   Mereka melihat batu-batu yang telah berpindah dari tempatnya kemarin, seperti desas-desus yang mereka dengar.

   "Semalam Ken Arok lah yang tidur di sini,"

   Gumam salah seorang dari padanya."Luar biasa. Ia mampu melakukannya seorang diri."

   "Mungkin ia mempunyai sababat hantu-hantu padang."

   Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya.

   Namun kekaguman mereka terhadap Ken Arok menjadi bertambah-tambah.

   Ketika perkemahan itu kemudian menjadi sepi karena orang- orang yang menghuninya telah pergi ke tempat kerja mereka, maka segera Ken Arok kembali ke dalam gubugnya.

   Di sana-sini ia hanya melihat satu-dua orang yang bertugas menjaga perkemahan itu.

   Tubuhnya kini sama sekali sudah tidak merasa lelah lagi.

   Tidurnya ternyata telah dapat memulihkan seluruh tenaga yang telah diperasnya semalam.

   Dengan tergesa-gesa ia harus menyiapkan diri.

   Mandi dan makan-minum sebelum berangkat menyusul kawan-kawannya yang sedang bekerja.

   Tetapi ketika ia memasuki gubugnya, ia merasa ada sesuatu yang kurang.

   Tiba-tiba ia teringat kepada ayah angkatnya, Bango Samparan.

   Ternyata orang itu sudah tidak ada.

   "Apakah benar semalam ayah Bango Samparan itu datang kemari?"

   Desisnya. Tetapi gubugnya benar-benar telah sepi. Ia tidak melihat bekas- bekas yang dapat mengatakan kepadanya, bahwa semalam benar- benar telah ada seorang tamu. Tiba-tiba Ken Arok menjadi berdebar-debar.

   "Ah, aku pasti. Semalam ayah datang kemari. Apakah ia telah pergi sebelum pagi seperti katanya semalam."

   Ken Arok menjadi bingung.

   "Tidak, aku kira ia akan menunggu aku. Ayah memerlukan uang sekadarnya."

   Ken Arok segera keluar dari gubugnya.

   Dipandanginya keadaan di sekelilingnya, kalau-kalau Bango Samparan sedang berjalan-jalan di antara gubug-gubug di dalam perkemahan itu.

   Tetapi orang itu tidak dilihatnya.

   Bahkan Ken Arok tidak segera menjadi puas.

   Dengan tergesa-gesa ia melangkah di antara gubug yangbertebaran, kalau-kalau ia dapat menemukan ayah angkatnya.

   Namun Bango Samparan sama sekali tidak diketemukannya.

   Ketika ia melihat seorang yang sedang berjaga-jaga sambil menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak untuk makan siang, Ken Arok bertanya.

   "Apakah kau melihat seseorang di dalam gubugku?"

   Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian menggeleng.

   "Tidak. Aku tadi juga lewat di samping gubug itu, tetapi aku tidak melihat seorang pun."

   Ken Arok mengerutkan keningnya.

   Tetapi jawaban yang seorang ini tidak dapat dijadikannya pegangan.

   Ia merasa pasti bahwa semalam ayah angkatnya itu datang kepadanya dan menceritakan tentang mimpinya yang gila.

   Karena itu maka segera ditinggalkannya orang itu.

   Dengan kepala tunduk Ken Arok berjalan di antara gubug-gubug mencari orang lain yang masih berada di perkemahan.

   Ketika ia melihat dua orang sedang menyalakan api untuk masak, maka segera didekatinya orang itu sambil bertanya.

   "He, apakah kau melihat seseorang yang belum kau kenal berada di perkemahan ini atau di dalam gubugku?"

   Kedua orang itu saling berpandangan. Namun kemudian keduanya menggelengkan kepalanya.

   "Tidak. Aku tidak melihat seorang pun kecuali orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel."

   "Bukan mereka. Aku mempunyai tamu seorang yang belum kalian kenal. Tubuhnya agak gemuk, pendek. Wajahnya keras dan sorot matanya tajam."

   Sekali lagi keduanya saling memandang, dan sekali lagi keduanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Tidak. Kami tidak melihatnya."

   Ken Arok menggigit bibirnya. Wajahnya menjadi tegang dan giginya gemeretak. Dengan tergesa-gesa pula ditinggalkan kedua orang itu, yang kemudian menjadi keheran-heranan."Siapa yang dicarinya?"

   Desis yang seorang. Kawannya menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu."

   Dalam pada itu, Ken Arok sama sekali masih belum puas.

   Ia masih ingin menanyakannya kepada orang lain lagi.

   Adalah mungkin sekali bahwa orang-orang itu tidak melihat kedatangan Bango Samparan, karena mereka telah tertidur.

   Akhirnya Ken Arok melihat seorang berdiri di ujung perkemahan.

   Dijinjingnya dua buah lodong air.

   Agaknya orang itu akan pergi ke sungai untuk mengambil air, yang akan direbus untuk minum orang- orang yang sedang bekerja.

   "He,"

   Panggil Ken Arok. Orang itu adalah seorang dari Panawijen. Ketika ia melihat Ken Arok bergegas mendatanginya, maka orang itu menjadi berdebar-debar.

   "Apakah kau melihat Bango Samparan?"

   Bertanya Ken Arok dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah.

   "Siapa?"

   Bertanya orang itu kembali.

   "Bango Samparan."

   Orang Panawijen itu menggelengkan kepalanya.

   "Aku belum pernah mendengar nama itu. Bango Samparan."

   "Semalam ia berada di sini."

   Orang Panawijen itu masih terheran-heran.

   "Apakah kau tidak melihatnya?"

   "Seandainya aku melihatnya, aku juga belum mengenalnya."

   Jawab orang Panawijen itu.

   "Kalau kau melihat orang asing di sini, bertubuh gemuk agak pendek, berwajah keras, itulah dia. Bango Samparan. Apakah kau melihat?"

   Orang Panawijen yang membawa lodong bambu itu berpikir sejenak. Dicobanya untuk mengingat-ingat apakah ia melihat orangseperti yang dikatakan oleh Ken Arok itu. Tetapi akhirnya ia menggelengkan kepalanya sambil berkata.

   "Tidak. Aku tidak melihatnya."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Terbata-bata ia bertanya.

   "Benarkah itu? Kau tidak melihatnya di sini?"

   Sekali lagi orang itu menggeleng.

   "Tidak, aku tidak melihatnya."

   Sorot mata Ken Arok menjadi semakin aneh.

   Tiba-tiba saja ia memutar tubuhnya dan berjalan tergesa-gesa kembali ke gubugnya.

   Orang Panawijen yang membawa lodong bambu itu berdiri ternganga-nganga.

   Ia tidak tahu apakah yang sedang bergolak di hati anak muda itu.

   Sambil memiringkan kepalanya, ia mengangkat bahu.

   Kemudian meneruskan langkahnya ke sungai untuk mengambil air.

   Ken Arok yang menjadi semakin bingung itu segera masuk ke dalam gubugnya.

   Dibantingnya tubuhnya di atas pembaringannya.

   Sehelai tikar pandan yang kasar.

   "Apakah aku telah didatangi oleh hantu Karautan, yang sebenarnya hantu?"

   Desisnya.

   "Tidak,"

   Pertanyaan itu dibantahnya sendiri.

   "dalam pengembaraanku di padang ini, aku belum pernah menemui hantu itu. Yang ada adalah Hantu Karautan yang dikenal oleh orang-orang di sekitar padang ini. Hantu Karautan, Ken Arok. Tidak ada hantu yang lain."

   Dengan gelisahnya Ken Arok itu bangkit, berdiri, dan berjalan mondar-mandir.

   "Gila. Apakah aku sudah gila dan di dalam kegilaanku itu aku bermimpi bertemu dengan Bango Samparan yang sedang bermimpi pula? Tetapi mimpi Bango Samparan itu jauh lebih gila dari mimpiku sendiri.""Tidak, tidak,"

   Tiba-tiba Ken Arok itu berdesis.

   "aku tidak mau mendengar mimpi yang terlampau gila itu. Apakah mimpi itu disampaikan oleh Bango Samparan sendiri, atau hanya sekadar di dalam mimpiku, atau oleh hantu Karautan sekalipun."

   Tiba-tiba Ken Arok teringat bahwa semalam Bango Samparan itu datang bersama dua orang pengawal, dan bahkan beberapa orang yang berada di dalam gubug di sekitarnya terbangun karena suara tertawa Bango Samparan.

   Beberapa orang terbatuk-batuk, dan beberapa orang yang lain mendehem keras-keras.

   Sekali lagi Ken Arok meloncat keluar dari gubugnya Ia ingin mendapat kepastian tentang Bango Samparan.

   Tetapi ia menjadi kecewa ketika ia melihat gubug-gubug di sekitar gubugnya telah menjadi kosong.

   Orang-orang itu telah pergi ke tempat pekerjaan mereka masing-masing.

   "Hem,"

   Ken Arok menggeram.

   "aku harus menemukan kedua orang pengawal itu. Jika mereka semalam bertugas, maka pagi ini mereka mendapat kesempatan beristirahat. Mereka pasti tidak ikut bekerja dengan kawan-kawan mereka."

   Maka kini dengan cepatnya ia melangkah ke gubug kedua orang pengawal yang semalam telah membawa Bango Samparan kepadanya.

   Dengan serta-merta ia menyuruk lewat lubang pintu yang rendah, masuk ke dalamnya.

   Ketika dilihatnya seorang tidur membujur di pojok gubug itu, maka segera ia berkata lantang.

   "He, kaukah yang mengawal ke perkemahan semalam?"

   Orang yang sedang tidur berselimut kain panjang itu terkejut.

   Cepat ia meloncat bangun sambil menggosok matanya.

   Tetapi yang dilihatnya berdiri di muka pintu adalah Ken Arok.

   Namun Ken Arok menjadi kecewa melihat orang itu.

   Orang itu bukan salah seorang dari kedua orang yang mengantarkan Bango Samparan kepadanya.

   Meskipun demikian ia bertanya sekali lagi.

   "Apakah semalam kau bertugas?""Ya,"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut orang itu.

   "Di sisi mana?"

   "Di sisi utara,"

   Jawab orang itu.

   "Di mana kedua kawanmu yang bertugas di sisi selatan, yang telah membawa seorang tamu kepadaku."

   "Mereka sedang pergi ke sungai."

   "Bukankah mereka mendapat istirahat hari ini?"

   "Ya, mereka sedang mandi dan mencuci pakaian mereka."

   "Hem,"

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   "apakah mereka tidak mengatakan kepadamu tentang seorang tamu yang mereka bawa kepadaku semalam?"

   Orang itu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, mereka tidak mengatakan apa-apa kepadaku."

   "Gila, sungguh-sungguh gila,"

   Ken Arok mengumpat di dalam hatinya sambil keluar dari gubug itu, tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Orang di dalam gubug itu pun menjadi terheran-heran melihat tingkah lakunya, pakaiannya yang kusut, dan tubuhnya yang kotor oleh keringat dan debu.

   "Dari manakah ia semalam?"

   Bertanya orang itu di dalam hatinya.

   "setiap orang mencarinya. Bahkan Ki Buyut Panawijen telah menjadi ketakutan, kalau-kalau ia hilang pula seperti Mahisa Agni."

   Dengan lesu Ken Arok itu melangkah kembali ke gubugnya. Pikirannya menjadi semakin kalut. Apabila semalam Bango Samparan tidak datang sesungguhnya kepadanya, maka Ken Arok pasti menjadi sangat cemas tentang dirinya sendiri.

   "Apakah aku sudah menjadi gila?"

   Pertanyaan itu selalu mengganggunya.

   Di gubugnya ia pun menjadi sangat gelisah.

   Sekali ia bangkit berdiri, berjalan mondar-mandir, kemudian terduduk dengan lesunya.Tiba-tiba saja ia teringat akan kewajibannya.

   Ia sudah berjanji untuk menyusul orang-orang Panawijen dan prajurit Tumapel ke tempat mereka bekerja.

   Hari ini ia akan menunggui orang-orang yang sedang menyelesaikan bendungan.

   Karena Itu maka segera ia bangkit dan mengibas-ibaskan pakaiannya.

   "Persetan dengan Bango Samparan,"

   Gumamnya.

   "aku harus bekerja. Orang-orang itu pasti menunggu. Aku harus segera pergi kepada mereka."

   Sejenak Ken Arok menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus berganti pakaian lebih dahulu, ataukah ia akan pergi dengan pakaian yang sudah dipakainya itu. Pakaian yang lusuh dan kotor.

   "Kalau aku berganti pakaian, mandi, dan membersihkan diri lebih dahulu, maka sebentar lagi aku akan menjadi kotor lagi. Tetapi kalau tidak, terasa tubuhku gatal-gatal karena debu yang mengendap di wajah kulit ini."

   Akhirnya Ken Arok memutuskan untuk begitu saja pergi ke bendungan. Ia tidak akan berganti pakaian. Dengan pakaian yang kusut itu ia akan bekerja bersama-sama orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel.

   "Di bendungan aku dapat membersihkan badanku, mengeringkan di sinar matahari, lalu mulai bekerja bersama-sama dengan mereka."

   Sejenak kemudian Ken Arok pun melangkah keluar gubugnya sambil menyambar sepotong ubi rebus. Sambil mengunyah ia berjalan meninggalkan gubugnya. Kepada seorang pengawal yang dijumpainya ia berkata.

   "Aku pergi ke bendungan. Kalau kau melihat orang asing di sini, bertanyalah kepadanya, apakah namanya Bango Samparan."

   Pengawal itu mengangguk.

   "Baik,"

   Jawabnya.

   "Kalau orang itu menunggu aku, biarlah ia menunggu di gubugku sampai aku pulang."

   "Baik."Ken Arok pun segera pergi ke bendungan menyusul orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel yang bekerja di sana. Sementara itu para prajurit yang bekerja di sendang buatan menjadi saling bertanya-tanya.

   "Kekuatan apakah yang tersembunyi di dalam diri Ken Arok."

   "Kita mengenal beberapa orang sakti,"

   Gumam salah seorang prajurit yang bekerja di sendang.

   "mungkin beberapa orang guru yang tinggal di padepokan-padepokan. Tetapi kita tidak menjadi heran melihat kelebihan-kelebihan mereka. Seolah-olah sudah seharusnya mereka memiliki kelebihan dari kita. Tetapi kita menjadi heran melihat orang-orang muda yang luar biasa seperti pemimpin para prajurit pengawal istana, Witantra. Kemudian adik seperguruannya, Mahendra dan Kebo Ijo. Kita heran juga melihat beberapa orang yang lain. Tetapi keheranan kita tidak melonjak- lonjak seperti kali ini. Kawannya yang diajak berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya.

   "Ada dua orang sepengetahuanku yang telah membingungkan nalarku."

   "Siapa? Witantra itu?"

   "Bukan. Betapa saktinya kakang Witantra, tetapi aku masih dapat mencapainya dengan nalar dan pertimbangan."

   "Lalu siapa?"

   "Yang pertama adalah Akuwu Tunggul Ametung. Kau ingat, ketika dengan tangannya ia membunuh seekor harimau?"

   "Ya, harimau yang membunuh seorang srati gajah itu."

   "Ya, akibatnya gajahnya mengamuk. Gajah yang bodoh itu tidak tahu, siapakah yang bersalah. Gajah itu tidak tahu bahwa sebenarnya Akuwu Tunggul Ametung menolong srati-nya, tetapi justru gajah menyerang Akuwu. Bukankah begitu?"

   Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ya, ya aku ingat. Hampir saja Akuwu mati terinjak gajah itu.""Tetapi hal itu tidak terjadi. Dan itulah ajaibnya. Tiba-tiba Akuwu pun marah. Dengan penggada-nya yang kuning berkilauan, Akuwu memukul kaki gajah itu. Kaki depannya. Seketika itu gajah yang mengamuk itu jatuh terjerembab. Lumpuh."

   Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ya, gajah itu lumpuh. Seandainya Akuwu menjadi mata gelap, maka ia akan mampu membunuh gajah yang sudah lumpuh itu."

   "Ya, ia adalah orang yang aneh yang pertama aku lihat."

   "Dan yang lain? Yang seorang lagi?"

   "Yang seorang adalah orang ini, Ken Arok. Adalah tidak masuk akal bahwa seorang diri ia dapat memindahkan batu-batu sekian banyaknya. Bukan saja sedemikian banyaknya, tetapi lihatlah. Batu- batu sebesar itu, batu-batu yang harus dipikul oleh dua-tiga orang."

   Orang itu menggelengkan kepalanya.

   "Mustahil, mustahil."

   "Tetapi hal itu sudah terjadi."

   "Ya,"

   Kawannya terdiam. Dipandanginya batu-batu yang besar itu dengan sorot mata yang aneh. Sedangkan kawannya yang lain bergumam.

   "Ada dua orang aneh di Istana Tumapel. Tetapi yang seorang adalah Akuwu Tumapel sedangkan yang lain hanyalah seorang pelayan dalam, yang kali ini mendapat kepercayaan memimpin pembuatan bendungan dan sendang."

   Para prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengangkat pundak mereka sambil berdesis.

   "Aneh."

   Beberapa orang masih juga mencoba menjajagi kekuatan Ken Arok dengan mencoba mengangkat batu-batu yang besar dan berat.

   Tetapi bertiga, batu itu baru terangkat.

   Kemudian mereka harus memindahkan batu-batu itu dan memasang pada dinding yang sedang mereka buat, maka mereka memanggul batu-batu itu dengan tali dan sepotong kayu.

   Bersama-sama enam orang sekaligus.Namun kekaguman itu telah mendorong para prajurit Tumapel untuk bekerja semakin keras.

   Beberapa orang menganggap bahwa Ken Arok telah marah kepada mereka karena mereka bekerja terlampau lamban.

   Tetapi anak muda itu tidak mau menyatakan kemarahannya.

   Karena itu maka disindirnya para prajurit itu dengan suatu perbuatan yang aneh.

   Memindahkan batu-batu besar dan kecil yang cukup banyak itu seorang diri.

   Seolah-olah ia ingin berkata.

   "Beginilah cara kita bekerja. Jangan terlampau lamban dan malas."

   Sementara itu, Ken Arok sendiri telah berada di bendungan.

   Sejenak ia membersihkan dirinya kemudian berjemur sejenak sambil melihat orang-orang yang sedang bekerja.

   Ketika tubuhnya telah kering dan kesegaran pagi telah menjalar ke segenap urat nadinya, maka mulai pulalah ia bekerja.

   Tetapi apa yang dilakukan kali ini sama sekali tidak ada bedanya dengan kerja yang dilakukan oleh orang-orang lain.

   Mengangkat brunjung-brunjung bambu kecil yang sudah berisi batu bersama-sama dengan lima atau enam orang.

   Mengangkat batu-batu besar untuk diletakkan di antara brunjung- brunjung itu bersama-sama dengan dua-tiga orang.

   Sama sekali tidak nampak kelebihannya dari orang-orang lain yang bekerja bersamanya.

   Ketika Ken Arok telah tenggelam di dalam kerja, maka untuk sejenak ia melupakan Bango Samparan dan melupakan mimpi ayah angkatnya yang gila itu.

   Dicurahkannya segenap perhatiannya ke bendungan, susukan induk, dan parit-parit.

   Hatinya seolah-olah membusung apabila dilihatnya pedati-pedati yang memuat batu, tanah, dan segala macam perlengkapan, kemudian orang-orang Panawijen bersama-sama dengan para prajurit Tumapel melunakkan tanah dengan banyak-banyak.

   Sebagian lagi mengisi brunjung- brunjung bambu dengan batu dan meletakkannya di bendungan yang sudah menjadi semakin tinggi.

   "Bendungan itu hampir selesai,"

   Berkata Ken Arok di dalam hatinya.

   "aku selanjutnya akan dapat mempergunakan orang-orang itu untuk menyelesaikan sendang dan taman buatan itu. Orang-orang Panawijen pasti akan bersedia membantu, sedangkan yang sebagian lagi mulai membajak tanah untuk persawahan."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Aku harus menyiapkan semuanya tepat pada waktunya."

   Demikianlah maka orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel itu bekerja keras untuk membangunkan suatu harapan bagi masa depan.

   Bagi anak cucu.

   Mereka tidak sekedar berpikir tentang diri mereka.

   Tetapi yang penting bagi mereka adalah, mereka telah berbuat.

   Mereka telah memberikan sesuatu bagi anak cucu mereka.

   Dengan demikian maka kehadiran mereka dalam urutan turun-tumurun tidak akan membuat anak cucu mereka menyesal.

   Anak cucu mereka tidak akan mengatakan, bahwa tataran keturunan yang ini adalah tataran yang paling jelek di antara garis keturunan karena telah mengabaikan usaha untuk anak cucu mereka.

   Orang-orang yang bekerja itu sama sekali tidak menghiraukan ketika matahari memanjat semakin tinggi.

   Mereka tidak menghiraukan terik yang seakan-akan membakar punggung mereka yang telanjang.

   Sedangkan matahari pun merayap semakin tinggi.

   Setelah dilampauinya puncak langit, maka datanglah saatnya perjalanan itu berganti menurun.

   Semakin lama semakin rendah, sehingga akhirnya cahayanya menjadi kemerah-merahan.

   Orang-orang yang sedang bekerja di bendungan, di parit-parit, dan di taman pun sampai pada batas waktu mereka.

   Mereka akan segera beristirahat.

   Setelah mengeringkan keringat mereka, maka beramai-ramai mereka mandi.

   Sejenak kemudian maka bendungan itu telah menjadi sepi.

   Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah kembali ke gubug masing-masing.

   Mengambil makan mereka, kemudian duduk-duduk beristirahat sambil bercakap-cakap tentang banyak hal yang dapat menghibur kelelahan mereka.

   Dalam pada itu, dua ekor kuda berlari tidak terlampau cepat mendekati bendungan yang telah menjadi sepi itu.

   Beberapa ratuslangkah dari bendungan itu, keduanya berhenti.

   Samar-samar dalam cahaya senja, salah seorang dari mereka berkata.

   "Apakah bendungan itu tidak dijaga?"

   Yang lain menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu paman."

   Orang yang pertama, yang masih saja berusaha mencari jalan untuk dapat menghubungi bakal permaisuri Tumapel, menengadahkan wajahnya. Dan dilihatnya langit menjadi semakin suram.

   "Aku tidak segera dapat berhubungan dengan seseorang yang dapat aku percaya. Seharusnya kau, bekas seorang pelayan dalam, akan dapat lebih mudah melakukannya. Tetapi ternyata aku terlampau bodoh."

   "Namaku telah dikenal oleh hampir setiap orang Tumapel. Aku kira mereka pun sekarang mengetahui apa yang telah terjadi dengan diriku, sehingga tidak seorang pun lagi akan mempercayai aku."

   Yang lain, yang berwajah beku, mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ya, aku dapat mengerti Kuda Sempana."

   Orang itu, Kebo Sindet, terdiam sejenak. Kemudian ia melanjutkan.

   "Bagaimana dengan Ken Arok?"

   "Aku kira kita tidak akan mendapat kesempatan,"

   Jawab Kuda Sempana.

   "aku belum demikian mengenalnya."

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dengan upah yang cukup tinggi? Atau dalam pembagian yang adil?"

   Kuda Sempana menggeleng.

   "Aku tidak tahu. Tetapi ternyata anak muda itu kini mendapat kepercayaan dari Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin ia berpendirian teguh dan kita akan terjebak karenanya."

   Kebo Sindet tidak menjawab. Dipandanginya arah bendungan yang menjadi semakin kabur."Aku akan pergi ke Tumapel untuk mencari orang-orang yang dapat bekerja bersama dengan aku, menjual Mahisa Agni kepada adiknya,"

   Berkata Kebo Sindet dalam nada yang datar. Ternyata Kuda Sempana pun kini wajahnya telah hampir membeku pula. Kesan dari kata-kata itu sama sekali tidak tampak di wajahnya. Dengan nada datar pula ia bertanya.

   "Apakah aku harus ikut serta bersama paman?"

   "Ya, kau harus pergi bersamaku. Selalu. Aku tidak dapat meninggalkan kau sendiri di goa itu. Aku tidak ingin kau membunuh Mahisa Agni yang masih lemah."

   "Aku tidak akan membunuhnya dan Mahisa Agni sudah menjadi cukup segar."

   "Kau ingin berkelahi melawannya?"

   "Tidak."

   "Tetapi aku tidak percaya kepadamu, sebab kau menyimpan dendam yang tidak terkatakan. Kau harus pergi bersamaku. Kau tidak boleh bertemu Mahisa Agni tanpa aku. Sedangkan Mahisa Agni sementara ini harus tetap hidup."

   Kuda Sempana tidak menjawab. Ia kini sama sekali sudah tidak mempedulikan lagi terhadap Mahisa Agni, terhadap bendungan, terhadap Ken Dedes, dan bahkan terhadap diri sendiri.

   "Marilah, jangan risaukan Mahisa Agni. Ia tidak akan dapat keluar dari daerah rawa-rawa. Ia tahu apa yang tersembunyi di dalam air itu. Lumpur dan binatang-binatang berbisa. Hanya akulah yang mengenal jalan yang paling aman. Kau pun tidak."

   Kuda Sempana tidak menjawab.

   Sedangkan wajahnya pun tidak menunjukkan kesan apa pun.

   Beku, hampir seperti wajah Kebo Sindet, meskipun kadang-kadang wajah itu masih juga bergerak dan memberikan kesan.Kedua ekor kuda itu mulai bergerak lagi.

   Mereka tidak mendekati bendungan dan perkemahan orang-orang Panawijen, tetapi mereka menyusur sungai di seberang perkemahan.

   "Aku harus menemukan seseorang yang dapat menyampaikan penawaran kepada calon permaisuri itu,"

   Gumam Kebo Sindet.

   "apakah di perkemahan itu tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya dan dibawa bekerja bersama?"

   Kuda Sempana menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu."

   "Kita janjikan upah setinggi-tingginya. Kalau perlu apa saja yang diminta akan kita penuhi."

   "Kalau permintaanya tidak masuk akal, dan melampaui kemampuan paman, bahkan melebihi tawaran yang akan paman terima dari Ken Dedes?"

   Kebo Sindet terdiam sejenak, tetapi ia berpaling memandangi Kuda Sempana yang berkata di sampingnya. Kemudian terdengar orang itu berdesis dengan suara yang dalam, yang seolah-olah hanya melingkar-lingkar di dalam perutnya.

   "Kau memang bodoh sekali. Lebih bodoh dari yang aku duga. Baik Ken Arok maupun orang lain tidak akan mengurangi pendapatan kita."

   Kuda Sempana menjadi heran mendengar jawaban itu. Tetapi ia tidak bertanya. Dibiarkannya Kebo Sindet memberinya penjelasan.

   "Mereka tidak akan pernah mengenyam hasil dari jerih-payah mereka."

   "Kenapa?"

   Akhirnya terdengar Kuda Sempana berdesis.

   "Mereka akan mati demikian pekerjaan mereka selesai."

   "Mereka akan paman bunuh?"

   "Tentu. Mereka akan mati. Semua hasilnya akan jatuh ke tangan kita. Kau mengerti?"

   Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya tetapi dadanya terasa berdesir.

   Ternyata Kebo Sindet memang benar- benar seorang yang gila.

   Ia tidak memperhitungkan cara apa punyang dipergunakannya untuk mendapatkan harta.

   Sedangkan harta- benda dan kekayaan yang tidak terkira itu hanya ditimbunnya saja di dalam goa yang terasing.

   "Tidak masuk akal,"

   Desis Kuda Sempana di dalam hatinya.

   "orang ini benar-benar sudah tidak waras. Ia tidak beranak-isteri, tidak ber-sanak-kadang. Buat apa ia menimbun segala macam harta-benda di dalam goa itu?"

   Namun Kuda Sempana sendiri menyadari kemungkinan- kemungkinan yang bakal dialami.

   Apabila pekerjaan tentang Mahisa Agni ini selesai, maka ia pun akan mengalami nasib serupa dengan orang-orang yang sedang dicari oleh Kebo Sindet.

   Kali ini ia masih mungkin untuk diperalat, menghubungi orang-orang dalam yang bersedia berkhianat dengan janji yang menyenangkan.

   Tetapi orang itu kemudian akan mati, dan ia sendiri pun akan mati pula.

   Sejenak kemudian mereka pun saling berdiam diri.

   Dengan agak ragu-ragu Kebo Sindet meninggalkan bendungan dan menjauhi perkemahan orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel.

   Ternyata Kuda Sempana tidak dapat menghubungkannya dengan siapa pun dari perkemahan ini.

   Juga Ken Arok sangat meragukannya.

   Apakah anak muda itu dapat dikail dengan janji.

   Tetapi Kebo Sindet tidak perlu tergesa-gesa.

   Kalau mungkin hubungan itu dapat dilakukan sebelum hari perkawinan, tetapi kalau gagal, maka sesudah Ken Dedes menjadi permaisuri pun, pasti akan berhasil juga.

   Mungkin Ken Dedes akan dapat dijadikannya sapi perahan.

   Setiap kali dituntutnya sejumlah uang dan perhiasan, tetapi Mahisa Agni tidak juga dilepaskan untuk mengajukan tuntutan-tuntutan berikutnya.

   Ken Dedes dapat mempercayakan kepada orang hambanya, untuk melihat di tempat-tempat tertentu, sudah tentu tidak di sarangnya, bahwa Mahisa masih betul-betul hidup.

   (penafsiran karena kata tidak terbaca) Kebo Sindet kadang-kadang tersenyum sendiri di dalam hati, meskipun wajahnya tetap membeku.

   Rencana ini ternyata masih lebih baik dengan rencananya untuk mempergunakan nama Empu Sada."Persetan dengan Empu gila itu,"

   Katanya di dalam hati.

   "asal saja ia tidak menghalangi."

   Kuda-kuda itu berjalan semakin lama semakin jauh.

   Tidak terlampau cepat.

   Bahkan seakan-akan mereka sedang bercengkerama di luasnya padang rumput yang berwarna kekuning- kuningan.

   Sekali-sekali mereka melewati gerumbul-gerumbul perdu yang berwarna kelam.

   Tiba-tiba Kebo Sindet bergumam.

   "Kuda Sempana. Kita akan sering melewati tempat ini. Siapa tahu, suatu ketika kita akan bertemu dengan seseorang yang dapat kita jadikan alat, untuk menyampaikan penawaran kita kepada Ken Dedes."

   Kuda Sempana tidak menjawab.

   Dan Kebo Sindet pun tidak berbicara lagi.

   Sambil berdiam diri mereka meneruskan perjalanan mereka ke Tumapel untuk melihat-lihat saja kemungkinan yang dapat mereka lakukan.

   Sementara itu Ken Arok sedang marah-marah di dalam gubugnya.

   Ketika ia pulang dari bendungan, maka segera ia ingin berganti pakaian karena pakaiannya telah menjadi sangat kusut dan kotor.

   Semalam pakaian itu telah dipakainya untuk melontar- lontarkan batu, dan sehari ini dipakainya untuk bekerja di bendungan.

   Karena itu maka pakaiannya itu telah penuh dengan debu.

   Tetapi ketika ia membuka seikat bungkusan di sudut gubugnya, tempat ia menyimpan pakaian, maka tiba-tiba ia mengumpat.

   Ternyata di dalam bungkusan itu hanya terdapat seonggok rumput kering.

   "Hem, siapakah yang telah membuat gila ini?"

   Tanpa sesadarnya Ken Arok berteriak.

   Beberapa orang mendengar suara teriakan itu dan dengan tergesa-gesa mereka mendatangi.

   Mereka tertegun melihat bungkusan rumput kering di sudut gubug Ken Arok, di samping pembaringannya."Siapa he, siapa yang telah berbuat gila? Apakah aku harus bertindak kasar?"

   Tak seorang pun yang menjawab.

   "Panggil pengawal,"

   Teriak Ken Arok marah.

   Beberapa orang dengan tergesa-gesa mencari prajurit yang siang ini bertugas mengawal perkemahan ini.

   Sedangkan beberapa orang lain berkerumun, saling berguman di antara mereka, siapakah yang telah berbuat tidak sepantasnya itu.

   Seandainya orang itu bermaksud membuat suatu lelucon, maka sendau-gurau yang demikian itu sangat melampaui batas.

   Apalagi apabila ada di antara mereka yang sengaja mengambil pakaian Ken Arok yang hanya beberapa lembar, maka perbuatan itu akan merupakan cela bagi seluruh prajurit Tumapel atau orang-orang Panawijen.

   Ketika dua orang pengawal datang ke gubug itu dan melihat orang berkerumun, hatinya menjadi berdebar-debar.

   Apalagi ketika mereka masuk ke dalam gubug itu.

   Dengan lantangnya Ken Arok berteriak.

   "Lihat, lihat?"

   Mata kedua orang itu terbelalak ketika mereka melihat sebungkus rumput kering di sudut gubug Ken Arok, di samping pembaringannya.

   Mula-mula mereka tidak mengerti, apakah maksud Ken Arok dengan menunjuk seonggok tumput kering itu.

   Namun kemudian mereka mengerti, bahwa seharusnya pakaianlah yang pantas dibungkus di tempat itu.

   "Apakah kau sudah melihat?"

   "Ya,"

   Hampir bersamaan kedua prajurit itu menjawab.

   "Lalu apa katamu?"

   Bertanya Ken Arok pula. Keduanya menggelengkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata.

   "Aku tidak dapat mengerti. Aku mengawal perkemahan ini dengan baik. Aku tidak melihat seorang pun masuk atau keluar dari gubug ini. Seandainya itu karena kekhilafanku, maka aku dapatmenunjukkan siapa saja yang hari ini bertugas di perkemahan, di dapur, dan mereka yang sedang beristirahat karena semalam mereka bertugas."

   "Panggil mereka,"

   Berkata Ken Arok. Nadanya meninggi dan wajahnya menjadi tegang.

   "panggil mereka. Aku tidak senang dengan lelucon yang tidak pantas ini."

   Kedua pengawal itu mengangguk. Salah seorang di antaranya menjawab.

   "Baik. Kami akan memanggil mereka semua."

   Kedua orang itu pun kemudian keluar dari gubug Ken Arok.

   Beberapa orang lain membantunya memanggil orang-orang yang oleh kedua pengawal itu disebut namanya.

   Di dalam gubugnya Ken Arok hampir tidak sabar menunggu kedatangan kedua orang pengawal itu.

   Ketika keduanya datang, maka orang-orang yang mereka panggil pun satu-satu segera menyusul masuk ke dalam gubug itu.

   Hampir saja Ken Arok membentak-bentak mereka dengan marahnya seandainya Ki Buyut Panawijen tidak segera masuk ke dalam gubug itu pula.

   Ternyata peristiwa itu sudah pula terdengar oleh orang-orang Panawijen sehingga wajah Ken Arak menjadi agak kemerah-merahan.

   "Maaf Ki Buyut, aku sedang mengurus sesuatu peristiwa yang memalukan. Sebenarnya aku hanya ingin mengatakan kepada mereka, bahwa hal yang demikian sebaiknya tidak terulang. Permainan yang keterlaluan."

   Ki Buyut Panawijen yang telah lanjut itu mengangguk-anggukan kepalanya.

   Ia pun agaknya tidak senang melihat kejadian itu.

   Kejadian itu akan dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan di dalam perkemahan ini.

   Tetapi orang tua itu tidak segera mencampuri persoalannya, karena Ki Buyut menganggap bahwa persoalan itu masih terbatas pada prajurit-prajurit Pajang sendiri.

   Meskipun demikian Ki Buyut itu berkata.

   "Kejadian ini patut disesalkan Ngger.""Ya, Ki Buyut. Aku harus sekali-sekali bertindak terhadap orang- orang yang tidak dapat menempatkan dirinya, menyesuaikan diri dengan keadaan."

   Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, Sementara itu orang-orang yang dipanggil oleh Ken Arok telah berkumpul berjejal- jejal di dalam gubug itu. Tetapi karena di dalam gubug itu pula ada Ki Buyut Panawijen, maka Ken Arok bersikap agak hati-hati.

   "Apakah kalian berada di perkemahan siang ini?"

   Ia bertanya. Orang-orang itu menganggukkan kepala mereka. Beberapa di antara mereka menjawab.

   "Ya, kami siang ini berada di sini."

   "Lihat, apakah yang terjadi di sini?"

   Tak seorang pun yang menyahut. Mereka melihat seonggok rumput kering.

   "Ketika aku meninggalkan gubug ini, sebagai orang yang terakhir karena kelambatanku, bungkusan ini adalah bungkusan pakaian. Tetapi sekarang yang ada di sini adalah seonggok rumput. Aku tidak menyayangkan pakaianku yang hilang, sebab aku akan dapat meminjam salah seorang dari kalian dan besok akan dapat memohon ganti kepada Akuwu, tetapi sendau-gurau yang demikian sangat menyakitkan hati. Aku minta siapa yang telah berbuat, segera menyatakan dirinya. Kali ini aku tidak akan berbuat apa-apa, tetapi ingat, hal ini tidak boleh terulang."

   Orang-orang itu saling berpandangan. Tetapi wajah-wajah mereka menunjukkan perasaan mereka yang menjadi cemas. Sejenak mereka tidak dapat berkata sepatah kata pun sehingga mereka mendengar Ken Arok berkata.

   "Jangan menunggu aku mengambil tindakan."

   Salah seorang prajurit yang sudah setengah umur kemudian menjawab.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku kira, tidak seorang pun dari kami yang berbuat demikian. Kami tahu menempatkan diri kami. Meskipun kadang- kadang kami bergurau hampir tidak terkendali, tetapi kami tidak akan sampai tindakan sejauh itu."Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia dapat memahami jawaban itu. Tetapi ia tidak dapat mengerti bahwa hal itu dapat terjadi. Sejenak Ken Arok berdiam diri sambil memandangi wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Ketika terpandang olehnya wajah dua orang yang semalam mengawal perkemahan, dan sehari ini beristirahat di perkemahan, maka tiba-tiba ia berkata.

   "Baik. Baik. Semua keluar dari gubug ini. Semuanya, kecuali kedua orang ini."

   Kedua pengawal itu mengerutkan kening mereka. Pada mereka menjadi berdebar-debar. Sedangkan beberapa orang kawan mereka pun memandang mereka dengan penuh pertanyaan.

   "Apakah yang telah mereka lakukan?"

   Sesaat kemudian satu-satu orang-orang di dalam ruangan itu mengalir keluar.

   Yang tinggal di dalam gubug itu kemudian tinggallah kedua pengawal itu, Ken Arok, dan Ki Buyut Panawijen.

   Meskipun demikian para prajurit yang berkerumun masih saja berkerumun.

   Mereka berdiri berjejal-jejal di luar pintu gubug Ken Arok.

   Tetapi agaknya Ken Arok tidak senang melihat mereka.

   Karena itu maka ia melangkah ke muka pintu sambil berkata.

   "Sudahlah. Kembalilah kalian ke dalam gubug kalian masing-masing. Aku kira tidak ada lagi yang akan aku persoalkan. Aku tahu bahwa tidak ada di antara kalian yang telah melakukannya."

   Sejenak para prajurit itu saling berpandangan. Dan mereka mendengar Ken Arok berkata selanjutnya.

   "Kembalilah dan beristirahatlah. Lupakan peristiwa ini. Aku akan menyelesaikannya sendiri tanpa mengganggu kalian lagi."

   Meskipun hati para prajurit itu masih diganggu oleh berbagai pertanyaan, terutama tentang kedua kawannya yang masih berada di dalam gubug Ken Arok, namun mereka terpaksa meninggalkan tempat itu kembali ke dalam gubug masing-masing, meskipun mereka masih tetap menunggu apa yang akan terjadi atas kedua kawannya.Setelah para prajurit meninggalkan tempat itu, maka Ken Arok pun kembali masuk ke dalam ruangan gubugnya yang diterangi oleh sebuah pelita minyak yang tersangkut pada tiang bambu.

   Sinarnya yang redup berguncang ditiup angin padang yang agak keras.

   Sejenak ruangan itu dicekam oleh kesepian.

   Namun kesepian yang tegang.

   Kedua prajurit yang semalam mengawal perkemahan itu masih berdiri tegak seperti tonggak.

   Sekali-kali mereka saling berpandangan.

   Namun kemudian mereka kembali mendengar jantung masing-masing berdebaran.

   Mereka terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok memecah kesepian.

   Justru dengan nada yang rendah perlahan-lahan.

   "Duduklah."

   Sekali lagi mereka saling berpandangan. Dan sekali lagi mereka mendengar suara Ken Arok lunak.

   "Duduklah."

   Kemudian kepada Ki Buyut Panawijen, Ken Arok mempersilakan pula.

   "Silakan Ki Buyut, duduklah."

   Mereka berempat kemudian duduk berkeliling. Sejenak mereka saling berdiam diri, namun kemudian Ken Arok mulai berbicara kepada kedua prajurit itu.

   "Apakah kalian semalam mengawal perkemahan ini?"

   Hampir bersamaan mereka menjawab.

   "Ya, kami mengawal perkemahan ini semalam."

   "Ya, aku bertemu kalian semalam,"

   Sahut Ken Arok.

   Tetapi sejenak ia menjadi ragu-ragu.

   Ia ingin bertanya kepada kedua pengawal itu tentang seorang yang bernama Bango Samparan.

   Namun ia takut mendengar jawabannya.

   Seandainya kedua prajurit itu menggelengkan kepala mereka dan berkata, bahwa mereka tidak melihat seorang pun, maka itu berarti bahwa otaknya sendiri sudah tidak wajar lagi.

   Karena itu untuk sesaat Ken Arok terdiam.

   Dipertimbangkannya baik-baik pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam dadanya, supaya tidak meluncur berdesak-desakan sehingga membayangkan kegelisahannya.

   Baru sejenak kemudian Ken Arok itu bertanya.

   "Kau hari ini beristirahat?"Keduanya rnengangguk-anggukkan kepalanya dengan ragu-ragu.

   "Ya,"

   Jawab mereka.

   "Bukankah kau semalam datang kepadaku ketika aku berjalan- jalan di luar gubug ini?"

   "Ya. Kami memang datang kemari."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia menjadi ragu- ragu. Kenapa ia mesti bertanya. Kenapa kedua orang itu tidak berkata kepadanya bahwa semalam mereka mengantarkan seseorang kepadanya.

   "Semalam udara di dalam gubug terlampau panas. Aku berjalan keluar ketika kalian datang. Bukankah begitu?"

   Kedua prajurit itu menjadi heran mendengar pertanyaan Ken Arok yang melingkar-lingkar itu. Namun mereka menjawab pula.

   "Ya, udara memang terlampau panas semalam."

   "Oh,"

   Desah Ken Arok di dalam hatinya.

   Tetapi akhirnya ia tidak sabar lagi menunggu kedua orang itu berkata dengan sendirinya tentang peristiwa semalam yang dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan di dalam hatinya.

   Jawaban kedua orang itu tidak dapat disimpulkannya, apakah mereka datang hanya berdua atau dengan seseorang lain.

   Karena itu maka Ken Arok tidak lagi menunggu.

   Langsung ia bertanya dengan dada yang berdebar-debar.

   "Apakah kau semalam membawa seseorang kepadaku? Seorang tamu?"

   Wajah Ken Arok menjadi tegang selama ia menunggu kedua orang itu menjawab.

   "Kalau mereka menggeleng,"

   Berkata Ken Arok di dalam hatinya.

   "ternyata aku telah menjadi gila. Aku telah melihat apa yang sebenarnya tidak pernah ada."

   Hampir terlonjak Ken Arok ketika mendengar orang itu menjawab.

   "Ya, kami semalam mengantarkan seseorang kemari. Seorang tamu."

   "Oh,"

   Ken Arok menundukkan kepalanya. Kedua tangannya menyangga keningnya seolah-olah kepala itu menjadi terlampau berat.Kedua prajurit itu, Ki Buyut Panawijen, menjadi heran melihat tingkah lakunya, sehingga orang tua itu bertanya.

   "Apa yang telah terjadi, Ngger."

   "Oh,"

   Tergagap Ken Arok menjawab.

   "tidak apa-apa Ki Buyut. Aku hanya dibingungkan oleh perasaanku sendiri."

   Kemudian kepada kedua prajurit itu ia ingin meyakinkan dirinya sendiri.

   "Jadi kalian semalam telah membawa Bango Samparan kepadaku?"

   "Ya, seseorang,"

   Jawab mereka.

   "Bukan orang Panawijen dan bukan dari Tumapel."

   "Ya, ya. Orang itu adalah Bango Samparan."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   "Aku tidak gila,"

   Katarya di dalam hati.

   "aku tidak gila. Bango Samparan lah yang gila."

   Meskipun demikian, Ken Arok tidak dapat ingkar kepada diri sendiri, bahwa apa yang telah terjadi itu, kegelisahan, kebingungan, dan keragu-raguan, adalah akibat dari mimpi yang gila yang didengarnya dari mulut Bango Samparan.

   Seandainya ia tidak pernah mendengar mimpi itu, maka ia tidak akan bingung seandainya Bango Samparan itu benar-benar tidak pernah datang sekalipun.

   Tetapi Bango Samparan itu ternyata benar-benar telah datang di gubugnya.

   Bango Samparan itu telah berceritera kepadanya tentang sesuatu yang telah membuatnya gelisah.

   Kalau tidak, maka ia tidak akan bingung bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya tentang seseorang yang bernama Bango Samparan.

   Kalau pikirannya tidak sedang dikacaukan oleh angan-angan yang gila yang diucapkan oleh Bango Samparan itu, maka ia akan cukup tenang untuk bertanya kepada orang-orang yang langsung berkepentingan.

   Kedua orang prajurit itu masih saja duduk dengan penuh menyimpan pertanyaan di dalam dadanya.

   Ia masih belum tahu hubungan yang jelas antara seonggok rumput itu dengan tamu Ken Arok semalam.Sejenak mereka saling berdiam diri.

   Ki Buyut Panawijen hanya mengangguk-anggukkan kapalanya saja, karena ia tidak tahu ujung pangkal dari pembicaraan mereka tentang tamu yang dibawa oleh kedua prajurit itu.

   Yang mula-mula memecah kesepian adalah suara Ken Arok datar.

   "Aku minta maaf kepada kalian. Mungkin kalian menjadi gelisah atau cemas. Aku memang terlampau tergesa-gesa."

   Kedua prajurit itu saling berpandangan, tetapi keduanya tidak menjawab. Dan karena keduanya diam saja, maka Ken Arok meneruskan.

   "Sampaikan pula kepada setiap prajurit Panawijen yang ikut menjadi gelisah pula seperti kalian. Aku yakin bahwa mereka kini masih saja diliputi oleh pertanyaan tentang diri kalian berdua. Nah, sekarang kembalilah kalian ke gubug kalian. Sampaikan permintaan maafku kepada semua prajurit."

   Sekali lagi kedua prajurit itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka bertanya.

   "Apakah yang sebenarnya telah terjadi?"

   Ken Arok berpaling sejenak, memandangi seonggok rumput di samping pembaringannya. Katanya.

   "Dalam kegelisahan aku terlampau cepat menjadi marah. Apa yang kalian lihat di sini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kalian. Kalian tidak usah berpikir tentang rumput kering itu. Itu pasti pokal tamu semalam. Aku kira ia pergi ketika aku sedang berada di sendang yang sedang dibuat itu. Dan tamuku itu pulalah yang telah membawa seluruh pakaianku dan menggantinya dengan seonggok rumput kering."

   Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam, sedangkan Ki Buyut Panawijen mengangguk-anggukkan pula sambil berkata.

   "Oh, jadi semalam Angger kedatangan seorang tamu yang pergi tanpa pamit?"

   "Begitulah Ki Buyut."

   "Siapakah tamu Angger itu? Dan apakah Angger yakin bahwa tamu Angger itu yang telah berbuat?"Ken Arok terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk mengatakan hubungan antara dirinya dengan Bango Samparan. Ia sendiri sebenarnya tidak ingin mendengar tentang hubungan yang pernah terjadi itu. Bukan karena ia ingkar dan tidak mengenal terima kasih tetapi ia ingin menjauhkan diri dari setiap pengaruh yang akan dapat menyeretnya ke dalam dunia yang hitam. Kalau ia kini terseret ke dalam dunianya yang lama, maka kejahatan yang akan dapat dilakukan pasti akan lebih dahsyat dari masa-masa sebelumnya. Ia kini memiliki pedang di lambung, memiliki kekuasaan meskipun tidak terlampau besar, dan memiliki pengaruh yang cukup atas beberapa orang prajurit. Tetapi ia harus menjawab pertanyaan Ki Buyut Panawijen sehingga sekenanya ia bergumam.

   "Bango Samparan adalah seorang kawan, Ki Buyut."

   "Em,"

   Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Sama sekali tidak terlintas sejumput prasangka pun atas jawaban itu. Namun Ken Arok yang merasa tidak mengatakan sebenarnya itu menjadi semakin gelisah. Tanpa sesadarnya ia menyambung.

   "Kawan yang agak dekat di masa-masa lalu. Tetapi kami tidak sejalan dalam angan-angan dan perbuatan."

   "Em"

   Ki Buyut masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ken Arok masih saja diburu oleh kegelisahannya sendiri.

   "Tetapi, kami sudah lama sekali berpisah Ki Buyut,"

   Tergagap Ken Arok berkata terus.

   "dan sebenarnya aku tidak ingin lagi bertemu dengan orang itu."

   "Em,"

   Ki Buyut mengangguk-angguk terus.

   "Aku menyesal bahwa ia datang kemari semalam. Orang itu benar-benar gila. Ia datang dengan kegilaannya."

   "Em,"

   Ki Buyut masih mengangguk-angguk, tetapi ia heran melihat sikap Ken Arok yang tiba-tiba menjadi semakin tegang.

   Keheranan Ki Buyut Panawijen itu terpancar di dalam sorotmatanya.

   Namun Ken Arok menangkap sorot mata itu dengan alas kegelisahan, sehingga Ken Arok merasa, seakan-akan Ki Buyut Panawijen itu tidak mempercayainya.

   "Ki Buyut, aku berkata sebenarnya. Aku berkata apa yang sebenarnya terjadi."

   Ki Buyut menjadi semakin heran. Namun ia tidak segera menjawab.

   "Kenapa Ki Buyut tidak percaya, he?"

   "Oh,"

   Ki Buyut terkejut mendengar pertanyaan itu sehingga hampir-hampir ia terlonjak dari duduknya. Kening yang telah mulai berkerut dilukisi oleh garis-garis ketuaannya, menjadi semakin berkerut-merut.

   "Kenapa aku tidak percaya Ngger, kenapa? Aku percaya kepada Angger. Bahkan aku mempercayakan seluruhnya kepadamu. Sepeninggal Mahisa Agni, maka segenap kepercayaan ada padamu, Ngger."

   "Tetapi sorot mata Ki Buyut itu."

   "Oh,"

   Ki Buyut menjadi semakin bingung.

   "bagaimana dengan sorot mataku. Apakah sorot mataku mengatakan kepadamu bahwa aku tidak mempercayaimu? Oh, aku tidak tahu bagaimana aku harus memandang Angger."

   Jawaban itu terasa telah menghujam ke dalam jantung Ken Arok.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sejenak Ken Arok terbungkam.

   Ia dapat merasakan kejujuran yang terpancar dari jawaban Ki Buyut yang tua itu.

   Sehingga karena itu, maka disadarinya, betapa ia menjadi cemas dan bingung karena Bango Samparan.

   Terpatah-patah Kep Arok itu kemudian berkata.

   "Maaf Ki Buyut, maaf. Aku telah bena-benar menjadi bingung."

   Ki Buyut Panawijen tidak segera menyahut.

   Dipandanginya saja anak muda itu dengan beribu pertanyaan di dalam dadanya.

   Tetapikemudian orang tua itu pun dapat menangkap kegelisahan yang sangat telah mengganggu Ken Arok.

   Tiba-tiba orang-orang yang berada di dalam gubug itu terkejut ketika Ken Arok berkata.

   "Tinggalkan aku sendiri. Tinggalkan aku sendiri."

   Prajurit yang berada di dalam gubug itu saling berpandangan. Dan mereka mendengar Ken Arok berkata.

   "Kenapa kalian berdua belum juga meninggalkan tempat ini? Aku sudah minta maaf kepada kalian, bahkan aku pesan kepadamu berdua, aku minta maaf pula kepada setiap prajurit yang menjadi gelisah dan tersinggung karena sikapku. Aku sudah berkata pula, bahwa yang mengambil semua pakaianku dan menggantinya dengan rumput-rumput kering adalah tamuku semalam. Nah, tinggalkan aku."

   Ken Arok berhenti sejenak, lalu suaranya menurun lemah.

   "Tetapi semuanya ini bukan lelucon yang menyenangkan."

   Kedua prajurit itu pun kemudian berdiri sambil berkata.

   "Kami minta diri."

   "Silakan. Aku minta maaf untuk kesekian kalinya."

   Kedua prajurit itu pun kemudian meninggalkan gubug itu.

   Beberapa langkah mereka berpaling.

   Ketika sekali lagi mereka saling berpandangan, maka merekapun menggeleng-gelengkan kepala masing-masing.

   Mereka seolah-olah saling bertanya, apakah yang sebenarnya telah terjadi, tetapi mereka pun bersama-sama menyadari bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentang Ken Arok dan tamunya.

   Meskipun kedua prajurit itu telah meninggalkan gubug Ken Arok, namun Ki Buyut masih saja duduk di samping Ken Arok.

   Ia sebenarnya ingin mengetahui, kenapa anak muda itu menjadi sangat gelisah.

   Tetapi Ki Buyut tidak berani bertanya kepadanya.

   Sesaat mereka duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

   Kepala-kepala mereka menunduk dan angan-angan mereka mengembara ke dunia yang tidak dapat mereka jajagi.Malam yang sepi itu pun menjadi semakin sepi.

   Nyala pelita minyak masih saja berayun-ayun dibelai padang.

   Lamat-lamat di kejauhan terdengar derik belalang, dan sekali-sekali terdengar lolong anjing liar dan keluhan burung kedasih.

   Tetapi betapa malam diselimuti oleh kesenyapan yang ngelangut, namun Ken Arok masih juga dikejar oleh kegelisahannya.

   Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai dirinya supaya tidak lagi menyinggung perasaan orang lain yang tidak bersangkut-paut dan tidak mengerti sama sekali persoalan Bango Samparan.

   Ki Buyut Panawijen, seorang yang telah cukup banyak makan asin pahitnya kehidupan, dapat menghubungkan kegelisahan Ken Arok itu dengan tamunya semalam, yang menurut dugaan Ken Arok telah membawa segenap sisa pakaiannya, kecuali yang dipakainya itu.

   Tetapi Ki Buyut pun menyangka, bahkan hampir meyakininya, bahwa sebenarnya kegelisahan Ken Arok bukan hanya sekadar karena pakaiannya itu lenyap.

   Anak muda itu telah berkata, bahwa ia akan dapat meminjam kepada orang lain kemudian kembali ke Tumapel untuk mengambil pakaiannya yang lain atau minta kepada Akuwu Tunggul Ametung.

   Tetapi yang lain itulah yang agaknya tidak hendak dikatakannya.

   Yang lain itu pulalah yang sangat menggelisahkannya.

   Namun ternyata Ken Arok yang hampir tidak pernah menahan sesuatu perasaan apa pun di masa lampaunya, terlampau sukar untuk menyembunyikan kegelisahannya.

   Di masa lampau ia akan berbuat apa saja yang terbersit dibatinya.

   Ia akan berteriak apabila ia ingin berteriak.

   Ia akan berkelahi apabila ia ingin berkelahi.

   Ia akan mencegat dan menangkap gadis-gadis apabila dikehendaki.

   Bahkan ia akan membunuh apabila keinginan itu timbul di dalam benaknya.

   Perlahan-lahan ia telah berhasil menyingkir dari dunianya yang kelam itu.

   Namun untuk menahan dadanya digetarkan oleh perasaan gelisah dan pepat, adalah terlampau sulit baginya.

   Karena itu, maka tanpa disangka-sangka oleh Ki Buyut Panawijen, Ken Arok itu kemudian berkata.

   "Ki Buyut, aku telah berbohong. Aku telah mencoba membohongi Ki Buyut."Ki Buyut mengangkat wajahnya. Kini ia tahu, kenapa Ken Arok menyangkanya, bahwa ia tidak mempercayahi kata-kata anak muda itu. Orang yang telah cukup berumur itu segera dapat mengerti apa yang menyebabkan Ken Arok berbuat demikian. Perasaannya sendirilah yang mengatakannya bahwa ia telah berbohong, bahwa kata-katanya itu tidak dapat dipercaya. Namun karena itu pula Ki Buyut Panawijen menjadi kagum akan kejujuran hatinya. Hatinya yang masih cukup terbuka dalam kesederhanaannya.

   "Ki Buyut,"

   Berkata Ken Arok terbata-bata.

   "Bango Samparan sama sekali bukan hanya sekadar temanku."

   Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Bango Samparan itu mempunyai kedudukan yang khusus di hati Ken Arok, sehingga kehadirannya telah membuat anak muda itu kebingungan. Dan sebelum Ki Buyut berkata, Ken Arok meneruskan.

   "Tetapi bahwa ia yang telah mengambil pakaianku dapat aku yakini. Bango Samparan memang mempunyai sifat yang demikian. Dan itulah yang menakutkan aku. Aku tidak mau lagi disentuh oleh racun-racun yang pernah menghujam di dalam benakku di masa kanak-kanakku. Ki Buyut, Bango Samparan seorang penjudi besar, tetapi seorang perampok kecil-kecilan itu, adalah ayah angkatku."

   Ki Buyut Fanawijen masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ia menjadi semakin jelas akan persoalan anak muda itu.

   Anak muda yang ketakutan melihat bayang-bayang yang pernah menyelimutinya di masa kanak-kanak, dan yang kini tiba-tiba saja telah muncul kembali.

   Tetapi Ki Buyut Panawijen masih belum menanggapinya.

   Ia masih saja berdiam diri sambil memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh Ken Arok.

   Dan Ken Arok itu berkata terus.

   "Dan ayah angkatku itu, seperti ayah angkatku yang lain, Lembong, telah membentukku menjadi seekor serigala yang liar, yang hidup berkeliaran tanpa landasan. Sekali-sekali aku jumpai juga orang-orang yang baik, seorang yang mengajarku mengenai beberapa hal, bahkan sampai pada masalah kepandaian ilmu dan kesusasteraan. Tetapi tak seorang pun yanglangsung memperhatikan masalah kerokhanian. Sehingga suatu ketika aku bertemu dengan orang-orang yang aku anggap aneh, yang memberikan pengertian yang lain, yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Namun, kini tiba-tiba orang semacam Bango Samparan itu muncul kembali."

   Ki Buyut mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan orang tua itu berkata.

   "Anakmas, kehadiran orang-orang yang tidak kau kehendaki itu, jadikanlah alat untuk melihat diri sendiri. Bukankah kehadiran Bango Samparan dapat memberikan sekadar kenangan atas masa lampau itu. Dan Angger sudah menyadari bahwa masa lampau itu sama sekali tidak menyenangkan? Nah, dengan demikian maka Angger akan dapat semakin menjauhkan diri dari kehidupan masa lampau itu, dengan menghayati hidup ini dengan sebaik- baiknya. Hidup yang telah kau ketemukan dengan cara dan jalan yang kau kehendaki."

   Kini Ken Aroklah yang mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ia mencoba untuk memahami kata-kata orang tua itu.

   Mempergunakan keadaan ini untuk semakin meyakini jalan hidupnya yang kini menjadi semakin baik dan terang.

   Ken Arok mengatupkan giginya rapat-rapat ketika terngiang kembali suara Bango Samparan.

   "Nasibmu terlampau baik Ken Arok."

   Dan Bango Samparan itu menganggapnya menyia-nyiakan nasib yang baik itu. Nasib yang terlampau baik.

   "Anakmas,"

   Berkata Ki Buyut.

   "memang kita seakan-akan dibiarkan berdiri di persimpangan jalan. Kita di-wenang-kan untuk memilih sendiri jalan yang harus kita tempuh. Tetapi kita sudah mendapat petunjuk, ke mana jalan-jalan itu akan menuju."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ia pernah juga mendengar dahulu pada saat ia masih mengembara di Padang Karautan, bahwa jalan yang menuju ke arah keselamatan abadi, bukanlah jalan yang paling luas dan rata.

   Bukan pula jalan yang dianut oleh jumlah yang lebih banyak.

   Tetapi adalah suatu keyakinan tentang keselamatan abadi, betapapun jeleknya yangharus dilalui, betapapun sunyinya, namun keyakinan itu harus digenggamnya.

   Beribu-ribu orang yang lebih senang melalui jalan yang dipenuhi oleh kenikmatan duniawi, tetapi hanya satu-dua orang saja yang meletakkan harapannya pada kenikmatan abadi.

   Kenangan itu, serta kata-kata Ki Buyut yang telah menanjak menginjak hari-hari tuanya, ternyata mampu memberikan ketenteraman hati anak muda itu.

   Ia tidak lagi takut mendengar kata-kata Bango Samparan.

   Seandainya kini Bango Samparan datang lagi kepadanya dan mengulangi semua kata-katanya, maka hati Ken Arok tidak akan goncang lagi.

   Ia tidak perlu takut lagi seandainya mendengar Bango Samparan berkata kepadanya, bahwa nasibnya terlampau baik, sehingga hampir setiap keinginannya terpenuhi.

   Bahkan seandainya ia ingin menjadi seorang Akuwu atau Maharaja Kediri sekalipun.

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   Ia menjadi heran sendiri, bahwa ia menjadi sedemikian bingung menghadapi Bango Samparan, sehingga hampir-hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.

   Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas suatu tugas yang berat, maka keadaannya itu sangat membahayakannya.

   Bukan saja atas dirinya sendiri, tetapi atas seluruh pekerjaan dan orang-orang yang berada di dalam tanggung jawabnya.

   Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Ken Arok kemudian berkata.

   "Terima kasih Ki Buyut. Aku mengucapkan terima kasih. Mudah-mudahan aku akan selalu dapat mempertimbangkan keseimbangan perasaanku."

   Kini, Ki Buyut yang selama itu menjadi tegang, tampak tersenyum. Perlahan-lahan ia berkata.

   "Ah, sudahlah Angger. Setiap peristiwa akan dapat dijadikan pengalaman yang baik asal kita dapat menempatkan pada tempat yang wajar. Selamat malam, aku akan kembali dan beristirahat. Besok kita masih harus bekerja keras. Bendungan itu hampir siap. Kalau air sudah mengalir lewat induk susukan yang membelah padang ini, maka kita tidak perlumengangkat air dengan lodong-lodong bambu untuk setiap hari menyiram pepohonan yang sudah mulai rimbun itu, terutama di taman yang sedang dipersiapkan."

   "Ya Ki Buyut,"

   Sahut Ken Arok yang wajahnya pun kini menjadi terang.

   "aku mengharap demikian. Aku mengharap bahwa enam bulan lagi pepohonan itu telah menjadi cukup rimbun. Sawah-sawah telah dapat digenangi air, dan pategalan telah menjadi hijau. Meskipun tanaman-tanamannya belum cukup tinggi, tetapi pemandangan di daerah ini telah berubah sama sekali. Semuanya akan tampak hijau segar."

   "Begitulah Ngger. Mudah-mudahan,"

   Desis Ki Buyut.

   "Dan kini aku minta diri."

   Ki Buyut itu pun kemudian meninggalkan Ken Arok seorang diri. Sesaat Ken Arok masih duduk tepekur di tempatnya. Ia mencoba mencernakan pengalaman yang aneh ini. Tetapi kemudian ia berdiri sambil bergumam.

   "Suatu pelajaran yang baik."

   Tanpa disadarinya maka mulailah tangannya menyambar makanan yang disediakan untuknya. Ia belum sempat memakannya, karena sejak ia kembali ke gubugnya, ia menjadi sibuk karena seonggok rumput kering.

   "Gila benar Bango Samparan,"

   Ken Arok menggerutu. Tetapi kali ini tidak karena kata-katanya yang dapat meracuni dirinya, tetapi karena tubuhnya yang menjadi gatal-gatal.

   "Aku harus mencari ganti pakaian,"

   Gumamnya kemudian sambil mengunyah makanannya.

   "Kalau tidak maka sisa malam ini tidak akan dapat aku pergunakan sebaik-baiknya untuk beristirahat."

   Dan malam itu Ken Arok terpaksa membangunkan seorang prajurit yang terdekat dari gubugnya untuk meminjam pakaian.

   Tetapi agaknya prajurit itu terlampau malas sehingga pakaiannya yang tidak dipakainya semuanya masih belum dicucinya, kecuali sepasang yang akan dipakainya sendiri besok.Sambil bersungut-sungut Ken Arok terpaksa membangunkan orang lain dan meminjam pakaian dari padanya.

   Hari-hari berikutnya maka Ken Arok seolah-olah mendapat dorongan untuk bekerja lebih keras.

   Dari hari ke hari, maka kedatangan Bango Samparan telah dilupakannya.

   Ia telah mendengar laporan dari kedua orang prajurit yang melaporkan hilangnya Mahisa Agni ke Tumapel.

   Dan ia telah menyuruh dua orang yang lain untuk mengambil pakaiannya yang ditinggalkannya di baraknya di Tumapel.

   Bahkan Ken Arok telah mengirim orang yang lain untuk menyampaikan rencananya kepada Akuwu Tunggul Ametung supaya pekerjaannya tidak terlambat.

   Ken Arok minta dikirim beberapa kelompok prajurit untuk membantunya, mengerjakan pekerjaannya yang akan dilakukannya siang dan malam.

   Sehari demi sehari telah terlampaui.

   Saat perkawinan agung menjadi semakin dekat.

   Betapa hati Ken Dedes menjadi semakin sedih, namun ia tidak dapat menunda hari-hari yang telah ditentukan, bahkan sudah mulai dipersiapkan dengan teliti.

   Setiap kali ia hanya dapat menumpahkan kepahitan hatinya kepada emban pemomong-nya yang dibawanya dari Panawijen.

   Terhadap emban yang lain, bahkan terhadap Madri yang selalu melayaninya dengan baik, ia tidak mengatakan sepatah kata pun.

   Emban tua yang dibawanya dari Panawijen itu selalu berusaha untuk menghiburnya, membesarkan hatinya, dan menasihatinya supaya gadis itu mendapatkan ketenteraman.

   "Adalah lebih baik demikian Tuan Puteri,"

   Berkata emban itu suatu kali.

   "lebih baik perkawinan itu segera terjadi. Bukankah Tuan telah berada di sini cukup lama? Apakah kata orang apabila hal itu akan berkepanjangan. Betapapun juga Akuwu adalah seorang laki- laki muda, sedangkan Tuan Puteri adalah seorang gadis yang cantik."

   "Ah,"

   Ken Dedes berdesah, tetapi emban tua itu segera memotongnya.

   "sudah tentu Tuan Puteri dan Tuanku AkuwuTunggul Ametung akan menjaga diri masing-masing. Namun orang- orang di luar istana, apalagi yang tidak senang melihat kehadiran Tuan Puteri di sini, akan dapat mengatakan hal-hal yang tidak baik. Seolah-olah Tuanku bukanlah seorang permaisuri. Seolah-olah Tuan Puteri hanya sekadar seorang selir."

   Ken Dedes mengerutkan keningnya, dan ia dapat mengerti kata- kata emban pemomong-nya.

   Apabila demikian, sejenak ia dapat menahan hatinya, pasrah diri dalam kepahitan.

   Namun setiap kali, kerinduannya kepada kakaknya, yang dianggap tinggal satu-satunya keluarganya itu sangat mengganggunya.

   Dalam upacara agung, maka kenang-kenangan yang demikian pasti tidak akan dapat disingkirkannya, sehingga dalam keramaian peralatan agung, dalam kerinduan dan kegembiraan yang meluap-luap di seluruh Tumapel, ia akan merasa semakin sepi.

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terdengar ia berdesis.

   "Ya bibi, mudah-mudahan aku dapat menemukan perasaan itu. Mudah-mudahan aku dapat melepaskan rinduku kepada kakang Mahisa Agni setelah aku mempunyai seorang suami."

   Emban tua itu menelan ludahnya yang seolah-olah menyumbat kerongkongan.

   "Demikianlah hendaknya Tuan Puteri,"

   Katanya, namun hatinya menjerit setinggi langit.

   Apakah benar-benar terjadi, Mahisa Agni akan dilupakannya? O, alangkah malang nasib anak itu.

   Dalam pada itu, Ken Dedes sendiri seolah-olah menemukan suatu anggapan baru tentang Akuwu Tunggul Ametung.

   Kekecewaannya telah mendorongnya untuk menganggap bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seseorang yang terlampau mementingkan diri sendiri.

   Tetapi tak seorang pun yang dapat menahan majunya waktu.

   Hari-hari pun telah terlampaui, dan saat yang telah ditunggu-tunggu oleh segenap rakyat Tumapel itu terjadilah.Datanglah saatnya Tumapel mengadakan peralatan agung.

   Tuanku Akuwu Tunggul Ametung mengambil seorang permaisuri.

   Putra seorang pendeta dari Padepokan Panawijen.

   Namun beberapa mulut berdesah di antara rakyat Tumapel.

   "Sayang bahwa gadis itu seorang gadis yatim-piatu. Ibunya sudah tidak ada lagi, dan ayahnya hilang tidak diketahui ke mana perginya. Satu-satunya kakaknya pun hilang ditelan oleh para penjahat."

   Tetapi dengan demikian, dengan perasaan iba di hati, rakyat Panawijen menyambut bakal permaisurinya dengan ikhlas.

   Bahkan beberapa orang menganggap bahwa keprihatinan gadis bakal permaisuri itu pasti akan bermanfaat bagi Tumapel.

   Dalam upacara-upacara yang besar itu, Ken Dedes selalu berusaha untuk menahan gelora perasaannya.

   Untuk menyembunyikan kepahitan hati serta kerinduannya kepada keluarganya.

   Kadang-kadang ia tidak dapat menahan desakan air matanya, sehingga setitik-setitik menetes di pangkuannya.

   Kadang- kadang bayangan wajah ayahnya yang tua membayanginya, kemudian disusul oleh kenangan atas Mahisa Agni yang kekar dan perkasa, yang telah melepaskannya dari berbagai macam bencana.

   Terbayang pula masa kanak-kanaknya yang riang penuh gairah di Padepokan Panawijen bersama para endang.

   Bermain-main di tepian sambil melihat gemerciknya air sungai yang mengalir lambat di antara batu-batu yang menjorok.

   Mencuci sambil berdendang di bendungan.

   Sayup-sayup terdengar seruling para gembala di antara gemersiknya angin pagi.

   Ken Dedes merasakan kenikmatan hidup dalam kesederhanaan itu.

   Dan kini ia harus mencoba menikmati hidup dalam kemewahan duniawi yang melimpah-limpah.

   Pada hari-hari upacara perkawinan agung itu, seluruh Tumapel seolah-olah telah diselimuti oleh kegembiraan yang merata.

   Seolah- olah tidak ada lagi kesedihan, duka, dan kepahitan hidup.

   Rakyat yang paling miskin sampai yang paling kaya, mencoba untuk bergembira menyambut perkawinan Akuwu Tunggul Ametung.Tujuh hari tujuh malam Tumapel bermandikan suasana perkawinan.

   Hampir di setiap banjar padesan dan padukuhan terdapat berbagai macam keramaian.

   Umbul-umbul dan rontek berjajar di sepanjang jalan dari ujung ke ujung.

   Di pinggir-pinggir desa anak-anak meneriakkan keriangan hati mereka sambil menggenggam berbagai macam makanan dan permainan.

   Regol- regol desa dihiasi dengan berbagai macam bentuk hiasan janur dan dedaunan.

   Setiap wajah rakyat Tumapel menjadi cerah.

   Mereka tidak memikirkan kesulitan hidup yang kadang-kadang mereka jumpai.

   Mereka melupakan sejenak kesibukan mereka sehari-hari.

   Kesibukan kerja untuk menghidupi keluarga mereka.

   Tetapi wajah Ken Dedes sendiri tidak secerah wajah rakyat yang menyambut pengangkatannya menjadi seorang permaisuri.

   Setiap saat dikenangnya ayahnya, ibunya yang tidak dapat diingatnya dengan jelas.

   Dan yang menyedihkan baginya adalah Mahisa Agni yang hidup dan matinya masih belum dapat diketahui.

   "Kalau kakang Mahisa Agni ada, maka ia sedikit banyak akan dapat ikut menikmati kemeriahan hari-hari perkawinan ini,"

   Desisnya.

   "tetapi aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya saat-saat ini. Mungkin ia masih terikat pada sebatang tonggak. Mungkin ia baru mengalami siksaan badani, dan bahkan mungkin di luar kekuatan daya tahannya. Atau mungkin juga ia sudah terbujur mati tanpa seorang pun yang mengurusnya."

   Hati Ken Dedes menjadi semakin pedih ketika ternyata Akuwu Tunggul Ametung tidak dapat ikut mengerti kepahitan yang dirasakannya. Bahkan sekali-sekali Tunggul Ametung menegurnya.

   "Ken Dedes, setiap orang di Tumapel merayakan hari bahagia ini. Setiap orang bergembira. Tetapi kau sendiri ternyata menyambut hari-hari yang cerah ini dengan wajah yang kusut."

   Ken Dedes tidak dapat mengatakan sepatah kata pun.

   Setiap kali ia mencoba untuk menunjukkan kegembiraannya.

   Apalagi di hadapan para tamu-tamu agung yang berdatangan ke istana pada upacara-upacara resmi.

   Para pendeta, para pemimpinpemerintahan, para panglima dan senapati, dan para tamu dari luar Tumapel yang ikut merayakan hari yang berbahagia itu.

   Tetapi apabila upacara-upacara semacam itu sudah selesai.

   Apabila para tamu telah tidak ada lagi di Istana Tumapel dan tidak lagi terdengar suara gamelan yang mengiringi gadis-gadis menarikan tari-tari yang riang penuh gairah hidup menyambut perkawinan agung, maka Ken Dedes kembali ke dalam biliknya dengan wajah yang suram.

   Setelah para emban membantunya melepaskan pakaian kebesaran yang berkilauan seperti matahari, setelah para emban membantunya mengenakan pakaian sehari-hari seorang permaisuri, maka Ken Dedes itu menelungkupkan kepalanya di pangkuan pemomong-nya.

   Para emban yang meninggalkannya di dalam biliknya berdua dengan emban tua yang dibawanya dari Panawijen, masih mendengar gadis itu terisak-isak.

   Namun sambil tersenyum para emban itu saling berbisik.

   "Oh, alangkah bahagianya gadis Panawijen itu. Ia menangisi kurnia yang tidak pernah diimpikannya di masa kanak-kanak. Sebagai seorang gadis padepokan yang terpencil, maka ia kini berada di sentong tengen Istana Tumapel. Kegembiraan yang meledak telah menyebabkan ia tidak dapat menahan diri. Bukankah kalian mendengar Tuan Puteri itu menangis?"

   "Ah, bukankah itu sudah sewajarnya? Kau pun akan menangis seandainya tiba-tiba kau diambil menjadi seorang isteri senapati saja. Apalagi menjadi seorang permaisuri. Kau, pasti tidak akan dapat merasakan betapa bahagianya, sebab kau akan mati membeku karena kegirangan."

   "Uh, kalau benar aku menjadi isterti seorang senapati maka kau aku beri anugerah. Prajurit suamiku yang paling tampan akan mengambilmu menjadi selirnya."

   "Ah, tidak mau."

   Para emban itu pun kemudian tertawa.

   Meskipun mereka mencoba untuk menahan suara tertawa mereka, namun para prajurit yang berada di belakang istana mendengarnya.

   Ketikaprajurit-prajurit itu berpaling, dilihatnya beberapa orang emban lewat melintasi halaman belakang.

   "Uh,"

   Desah salah seorang dari prajurit-prajurit itu.

   "kalian mengenakan pakaian yang paling indah yang kalian punyai. Tetapi kalian tidak membawa makanan yang paling enak untuk kami yang bertugas di gardu-gardu perondan."

   "Kami tidak mengurusi makanmu,"

   Sahut salah seorang emban itu.

   "Ya, mungkin lain kali kau akan mengurusi makananku."

   "Tidak mungkin. Aku bukan emban madaran.

   "Siapa tahu kalau kau kelak menjadi isteriku."

   "Hus, jangan terlampau perasa. Bercerminlah di belumbang sebelah. Kau akan melihat wajahmu sendiri yang jelek itu."

   Prajurit itu tidak marah.

   Tetapi justru ia tertawa lebih keras dari suara para emban.

   Pemimpin peronda istana pada saat itu mendengar suara tertawa prajuritnya.

   Tetapi kali ini dibiarkannya saja para prajurit dan emban tertawa terlampau keras.

   Seluruh Tumapel memang sedang tertawa.

   Di alun-alun di muka istana itu pun sedang diadakan berbagai macam pertunjukan.

   Di bawah pohon beringin.

   Di malam hari Tumapel memancarkan sinar beribu-ribu obor di sepanjang jalan, di regol-regol, dan di banjar-banjar.

   Seolah-olah Tumapel ingin bersaing dengan wajah langit yang biru, yang ditaburi oleh berjuta-juta bintang-bintang yang gemerlapan.

   Tetapi Tumapel tidak mendengarkan suara hati seorang gadis yang sedang disambutnya.

   Hanya emban tua pemomong-nya sajalah yang dapat ikut menitikkan air mata.

   Tetapi air mata itu adalah juga air mata kesedihannya sendiri, karena ia pun sedang menangisi anak satu-satunya yang hilang tak tentu lintang bujurnya.

   Demikianlah maka wajah dan hati keputren Istana Tumapel itu tidak sejalan.

   Wajah yang cerah bercahaya karena rerangken danperhiasan yang cemerlang.

   Tetapi hati permaisuri itu sendiri menjadi suram.

   Namun setiap kali emban pemomong-nya berkata.

   "Tuan Puteri, lambat-laun Tuan Puteri pasti akan menemukan kegembiraan Tuan kembali. Kesibukan Tuan Puteri sebagai seorang permaisuri pasti akan mendesak segala macam kerinduan Tuan Puteri kepada orang- orang yang Tuan kasihi. Ayah bunda dan kakanda Tuan yang hilang itu."

   "Mungkin bibi,"

   Sahut Ken Dedes.

   "tetapi hanya untuk sementara. Setiap kali aku pasti akan teringat kepada mereka itu. Mereka yang hanya dapat merasakan pahit dan getirnya, tetapi mereka tidak sempat ikut merasakan kesenangan ini."

   "Itu adalah suatu sikap yang dapat Tuan anggap bahwa mereka telah melakukan mesu-diri, berprihatin untuk Tuan Puteri. Merekalah yang menanam dan menyiangi. Kini Tuan Puterilah yang memetik buahnya."

   "Itulah yang menyedihkan bibi. Mereka hanya menanam saja. Menanam, mengairi, menyiangi, dan memelihara. Tetapi mereka tidak ikut memetik buahnya."

   "Buah itu telah melimpah kepada puterinya, kepada adiknya yang dikasihi. Apalagi?"

   Ken Dedes tidak menyahut.

   Ia mencoba meresapkan kata-kata emban tua pemomong-nya itu.

   Ia mencoba menerima kejadian itu dengan wajar, dan ia mencoba melupakan orang-orang yang dikasihinya.

   Tetapi hal itu tidak mungkin dilakukannya.

   Sedangkan emban itu sendiri, serasa dadanya menjadi pepat.

   Setiap ia mengucapkan kata-kata penghibur bagi Ken Dedes, maka kata-kata itu bagaikan jarum-jarum yang menusuk hatinya sendiri.

   Pedih.

   Tetapi kegembiraan di Tumapel berlangsung terus.

   Seperti yang direncanakan.

   Tujuh hari tujuh malam.

   Hampir tidak ada saat-saat terluang dari berbagai macam kesenangan dan kegembiraan.Barong di sepanjang jalan diiringi dengan gamelan berirama cepat.

   Di banjar-banjar dan di pura-pura, gadis-gadis menari berebutan.

   Namun juga berbagai macam perjudian seolah-olah mendapat kesempatan tanpa terkendali.

   Adu ayam, jengkerik, dan burung gemak.

   Anak-anak bermain binten di perapatan.

   Gadis-gadis desa bermain jirak hampir semalam-suntuk dengan lampu-lampu obor yang menyala di setiap sudut halaman.

   Tetapi ternyata bahwa Akuwu Tumapel tidak juga melupakan para prajurit yang berada di Padang Karautan.

   Beberapa hari sebelum hari perkawinan itu, Ken Arok telah mengirimkan dua orang prajurit untuk datang menghadap, mohon agar Akuwu berkenan mengirimkan beberapa orang baru untuk menambah tenaga dan perbekalan di Padang Karautan.

   Orang-orang baru dengan alat-alat yang baru.

   Ken Arok telah menyampaikan rencananya untuk melakukan pekerjaannya siang dan malam, supaya sendang itu dapat siap pada waktunya.

   Sebelum enam bulan sejak hari perkawinan ini.

   Akuwu Tumapel sama sekali tidak berkeberatan.

   Bahkan kepada Ken Arok, Akuwu telah mengirimkan pesan, supaya pada saat-saat Tumapel merayakan hari-hari perkawinannya, Ken Arok dapat ikut menyaksikannya.

   Tetapi kemudian datang seorang prajarit dari Padang Karautan yang menyampaikan pesan Ken Arok, bahwa Ken Arok ingin merayakan hari-hari yang berbahagia itu di Padang Karautan, bersama dengan para prajurit dan orang-orang Panawijen.

   Sebab orang-orang Panawijen adalah orang-orang yang merasa paling berbahagia atas perkawinan itu.

   Ken Dedes adalah gadis dari Panawijen.

   "Kalau begitu,"

   Berkata Akuwu Tumapel.

   "pada saat itu aku akan mengirimkan prajurit-prajurit seperti yang diminta oleh Ken Arok, bahan-bahan makanan untuk masa-masa kerja yang lama itu dan bahan-bahan beserta jurumasak-jurumasak yang paling pandai untuk menyediakan makanan yang paling enak di hari-hari yang bahagia itu. Para prajurit yang sedang bekerja beserta orang-orangPanawijen harus menikmatinya pula kesenangan tujuh hari tujuh malam. Selama hari-hari itulah maka jurumasak-jurumasak yang pandai dari Tumapel akan menyediakan makan dan minum bagi para prajurit dan orang-orang Panawijen yang sedang bekerja membuat bendungan, parit-parit, dan sendang buatan."

   Demikianlah maka pada hari-hari perkawinan yang dirayakan tujuh hari tujuh malam itu, maka Padang Karautan pun seolah-olah dibanjiri oleh makan dan minum tiada taranya.

   Setiap orang akan dapat menikmati makanan menurut seleranya.

   Berbagai macam makanan telah disiapkan untuk mereka.

   Berlebih-lebihan sehingga bersisa terlampau banyak.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kita kirimkan sebagian dari makanan ini ke Panawijen,"

   Berkata salah seorang dari mereka.

   "orang-orang yang tinggal di Panawijen pun harus menikmati kegembiraan ini. Kawan-kawan bermain Ken Dedes semasa kecil, para endang, dan para cantrik."

   "Bagus,"

   Sahut Ki Buyut.

   "anak-anak pun harus ikut merayakannya."

   "Ya,"

   Teriak seseorang.

   "aku di sini makan makanan yang paling enak, bahkan yang seumur hidupku belum pernah aku cicipi, tetapi anak-anakku hampir tidak makan di rumah."

   Maka diputuskannya untuk mengirimkan makanan secukupnya bagi orang-orang Panawijen.

   Makanan yang seenak-enaknya meskipun tidak untuk tujuh hari tujuh malam.

   Tetapi mereka harus ikut bergembira di antara daun-daun yang menjadi semakin menguning dan tanah persawahan yang menjadi semakin kering.

   Tetapi kali ini Ken Arok tidak mau mengorbankan orang baru lagi seandainya mereka bertemu dengan Kebo Sindet dan Kuda Sempana.

   Karena itu, maka ketika beberapa orang berangkat mengantar makanan itu, Ken Arok telah menyediakan sejumlah prajurit yang akan mengawalnya, yang tidak akan mungkin dapat dikalahkan oleh Kebo Sindet.

   Kedatangan orang-orang Panawijen yang membawa makanan sedemikian banyaknya di atas punggung-punggung kuda danpedati-pedati yang ditarik oleh lembu beserta beberapa orang prajurit, ternyata telah mengejutkan perempuan dan anak-anak.

   Tetapi ketika mereka tahu apa yang telah dibawa oleh orang-orang itu, maka meledaklah kegembiraan tiada taranya.

   Sehingga serta- merta Panawijen yang kering itu telah ikut pula merayakan perkawinan Ken Dedes dalam upacara agung di Istana Tumapel.

   Sejenak orang-orang Panawijen melupakan pepohonan yang meratapi diri dalam kekeringan.

   Pepohonan yang daun-daunnya berguguran semakin lama semakin banyak.

   Anak-anak yang sejak lama tidak berlari-larian dan bermain-main di sudut desa, sejenak dapat menikmati kegembiraan.

   Setelah sekian lamanya Panawijen menjadi desa yang seakan-akan mati, maka untuk sesaat dapat menikmati hidupnya kembali.

   Para endang dan para cantrik pun ikut pula bergembira Mereka saling berceritera tentang masa lampau mereka, selagi Ken Dedes masih berada di padepokan.

   "Ken Dedes tidak pernah melupakan aku,"

   Berkata salah seorang endang .

   "ke mana pun ia pergi, aku pasti dibawanya."

   "Aku masih menyimpan sehelai kain panjang,"

   Sahut yang lain.

   "kain panjang pemberian Ken Dedes yang dahulu dipakainya. Kain panjang itu kini menjadi kenang-kenangan yang sangat berharga bagiku."

   "O,"

   Berkata yang lain lagi.

   "kenang-kenangan yang ada padaku bukan sekadar sehelai kain. Tetapi rambut Ken Dedes yang kini telah aku sisir halus. Cemara itu panjangnya hampir sedepa. Setiap kali aku menyisir rambutnya yang hitam lebat itu, dahulu aku selalu menyimpan rambutnya yang rontok. Sekarang rambut itu menjadi sehelai cemara,"

   Rambut yang panjang. Seorang endang yang lain dengan sedih bergumam.

   "Aku tidak mempunyai kenang-kenangan sama sekali dari padanya. Sehelai selendang pun tidak. Tetapi aku mempunyai bekas luka di lenganku.""Apa hubungannya antara bekas luka itu dengan Ken Dedes?"

   "Aku pernah berkelahi dengannya ketika kami masih agak kecil. Aku digigitnya sampai luka berdarah. Bekas luka itu masih ada sampai kini."

   "Oh,"

   Desah beberapa emban hampir bersamaan.

   "kenang- kenangan yang paling mengesankan."

   "Kalau tahu ia akan menjadi seorang permaisuri, maka aku akan membalasnya, menggigit lengannya supaya ia tidak akan pernah melupakan aku."

   "Jadi kau tidak membalasnya saat kau digigitnya?"

   "Aku tidak berani, aku hanya menangis melolong-lolong."

   Para endang itu pun kemudian terdiam.

   Tetapi mulut mereka masih mengunyah berbagai macam makanan yang diperuntukkan bagi mereka.

   Di ruang lain para cantrik pun sedang menikmati makanan yang serupa.

   Tetapi agaknya para cantrik itu lebih cepat hampir dua kali lipat menghabiskan makanan mereka.

   "Besok kita akan mendapat lagi,"

   Gumam salah seorang cantrik.

   "dua hari dua malam kita akan menikmati makanan seperti ini. Bahkan mungkin lebih lama lagi."

   Tak ada yang sempat menjawab karena mulut mereka sedang dipenuhi oleh berbagai macam makanan yang belum pernah mereka nikmati sepanjang umur mereka.

   Makanan yang disesuaikan dengan selera juru madaran dari Istana Tumapel.

   Di Padang Karautan, kegembiraan yang serupa agaknya tidak kalah meriahnya.

   Para prajurit menari-nari sesuka hati.

   Ada beberapa di antara mereka memang seorang penari.

   Tetapi karena tidak ada gamelan, maka mereka menari tanpa irama diiringi oleh kawan-kawannya yang mencoba menirukan suara gamelan dengan mulutnya.

   Namun demikian hal itu sangat menggembirakan.

   Mereka tertawa sambil mengunyah makanan dan minum minuman yangselama ini tidak pernah mereka nikmati.

   Mereka selama berada di Padang Karautan hanya minum air sungai, atau air panas yang direndami daun sere dan gula kelapa.

   Prajurit-prajurit yang masih segar, yang baru datang di padang itu pun mencoba untuk bergembira.

   


Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Kedele Maut Karya Khu Lung Dara Pendekar Bijaksana Karya OPA

Cari Blog Ini