Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 40


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 40



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   Kambuhlah sifat-sifatnya yang keras.

   Maka katanya.

   "Kita pun tidak sedang bermain-main. Kita memangsedang bertaruh. Tetapi taruhan kita tidak sekadar tidak berarti seperti yang kau katakan. Taruhan kita adalah kehormatan kita. Kehormatan kita sebagai laki-laki dan sebagai seorang prajurit. Kehormatan laki-laki dan seorang prajurit sama harganya dengan nyawanya."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Disabarkannya hatinya dengan segala usaha. Meskipun terasa getaran di dalam nada suaranya, namun kata-katanya meluncur pelahan-lahan.

   "Kau keliru Kebo Ijo. Kau terlampau dikuasai oleh perasaan."

   "Tidak. Ayo, bersiaplah. Apakah kau takut menghadapi aku yang telah berhasil memperoleh kekuatanku kembali?"

   Tetapi Kebo Ijo sendiri tidak dapat meyakini kata-katanya. Ia masih harus bersusah-payah mempertahankan keseimbangannya. Sekali-sekali masih terasa tubuhnya memberat seperti timah dan dadanya serasa disobek dengan sembilu. Namun ia masih berteriak.

   "Untuk kedua kalinya aku akan menghantammu dengan Aji Bajra Pati. Kali ini kau pasti akan terbunuh."

   "Kau keras kepala,"

   Desis Ken Arok.

   "Aku seorang prajurit,"

   Sahut Kebo Ijo.

   "bukan pengecut cengeng seperti kau. Kalau kau tetap berkuasa di Padang Karautan, maka seluruh prajurit Tumapel yang ada di sini pun akan menjadi pengecut cengeng seperti kau."

   Terasa dada Ken Arok bergetar.

   Hampir saja ia meloncat memukul mulut Kebo Ijo pasti akan terpelanting jatuh.

   Untunglah bahwa rasa tanggung jawabnya terhadap seluruh keadaan di Padang Karautan telah mampu mencegahnya.

   Meskipun demikian terdengar anak muda itu menggeram.

   "Ayo Ken Arok, apa yang kau tunggu."

   Tiba-tiba jawaban Ken Arok sangat mengejutkan Kebo Ijo. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata.

   "Tidak Kebo Ijo. Aku tidak akan berkelahi lagi. Apabila kita terlibat dalam perkelahian sekalilagi, maka kita akan terdorong semakin jauh ke dalam kegelapan hati. Kita akan kehilangan pengamatan diri sendiri. Maka kita tidak lagi menjadi seorang pemimpin yang baik bagi para prajurit dan orang-orang Panawijen. Aku tidak peduli, apakah alasan ini kau anggap memuakkan atau tidak, tetapi itulah pendirianku. Dan kau tidak akan dapat mengubahnya."

   "Pendirian semacam itu ada di dalam pertaruhan kita. Karena itu mari kita teruskan. Baru kau dapat mengatakan tentang pendirianmu sebagai seorang pemimpin apabiIa aku sudah terbunuh mati di sini."

   "Kita bukan lagi orang-orang liar yang berkeliaran di hutan-hutan rimba. Kita adalah orang-orang yang beradab. Dengan demikian kita harus dapat membedakan diri."

   "Omong kosong."

   "Kau pasti belum pernah mengalami hidup berkeliaran di hutan- hutan belantara, di mana tidak ada adab dan tata pergaulan. Dalam dunia yang demikian maka manusia tidak ubahnya seperti binatang hutan. Siapa yang kuat, yang bertaring tajam, ialah yang menang. Apakah kau akan membangunkan peradaban yang demikian di kalangan kita. Di kalangan prajurit Tumapel? Siapa yang paling kuat, siapakah yang paling tajam pedang dan tombaknya, ialah yang akan menguasai pimpinan. Begitu?"

   "Terserah. Terserah apa yang kau katakan. Aku tidak peduli juga seperti kau tidak mempedulikan pendirianku."

   Ken Arok sekali lagi menarik nafas. Dan tiba-tiba kata-katanya semakin mengejutkan Kebo Ijo.

   "Adi Kebo Ijo,"

   Suara Ken Arok datar bernada rendah. Tetapi terasa sebuah getaran yang tertahan memancar di antara kata-katanya.

   "Kalau kau memang berkeras hati, baiklah aku akan menyatakan kekalahan diri. Lebih baik aku menyerahkan pimpinan para prajurit di Padang Karautan ini kepadamu. Aku akan dapat mengundurkan diri dengan mengajukan permohonan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Selebihnya kau akan dapat memimpin para prajurit menurut caramu. Itu akanlebih baik daripada kita selalu bertengkar tanpa berkeputusan. Akibat dari pertengkaran itu akan menjalar kepada para prajurit. Mereka akan bertengkar pula dan berkelahi. Mereka akan berkata seperti apa yang kau katakan.

   "Prajurit hanya mengenal menang atau mati."

   Maka habislah prajurit di padang ini. Separuh dari mereka akan terbunuh dan yang separuh itu pun masih akan berkelahi lagi."

   "O,"

   Tiba-tiba Kebo Ijo itu tertawa.

   Suaranya berkumandang memenuhi padang yang kering.

   Berkepanjangan semakin lama semakin keras, seperti ombak di pantai memercik terhempas di batu-batu karang.

   Tidak putus-putusnya.

   Ken Arok menjadi heran mendengar suara tertawa itu.

   Ia tidak mengerti kenapa Kebo Ijo itu tiba-tiba tertawa.

   Apakah ia bergembira mendengar keputusannya, apakah ia menjadi marah? Tetapi Ken Arok membiarkan saja anak muda itu tertawa.

   Di dalam hatinya ia berkata.

   "Kalau ia telah tertawa, maka ia pasti akan berhenti dengan sendirinya. Kalau tidak maka ia pasti akan pingsan sendiri karenanya."

   Ternyata Kebo Ijo itu pun menjadi lelah. Suara tertawanya menurun. Namun tiba-tiba anak muda itu menuding wajah Ken Arok sambil berkata.

   "Kau benar-benar pengecut yang sedang berputus asa. O, bagaimana mungkin Akuwu Tunggul Ametung menunjukmu menjadi seorang pemimpin pada suatu kerja yang cukup besar ini. Kalau itu yang kau kehendaki, maka kecewalah seluruh prajurit Tumapel atasmu. Kecewa pulalah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Ken Arok, yang diserahi pimpinan atas para prajurit Tumapel di Padang Karautan, ternyata lari terbirit-birit seperti seekor kucing melihat anjing."

   Ken Arok bukanlah seorang anak muda yang mempunyai kesabaran tanpa batas.

   Bahkan sebenarnya Ken Arokpun terlampau banyak dipengaruhi oleh perasaannya.

   Justru karena perasaan tanggung jawabnya, maka ia berhasil menekan dirinya sampai batas itu.

   Tetapi batas itu kini telah hampir terpatahkan karena sikap KeboIjo yang berlebih-lebihan.

   Karena itulah maka terasa getar di dalam dada Ken Arok pun menjadi semakin tajam.

   Ken Arok hanya memerlukan sentuhan yang betapapun halusnya untuk membakar darahnya.

   Dan Kebo Ijo ternyata masih mencobanya dan berkata.

   "Ayo, Ken Arok. Pilihlah. Berkelahi atau lari dari Padang Karautan ini."

   Gigi Ken Arok pun menyadi gemeretak. Ia sadar bahwa keadaan Kebo Ijo kini telah semakin baik. Namun kini ia sudah tidak dapat membendung kemarahannya. Dengan suara yang tertahan-tahan karena gelora di dadanya, Ken Arok menggeram.

   "Baiklah Kebo Ijo. Kalau itu yang kau ingini. Aku tidak berkeberatan. Kalau kau ingin membunuh atau dibunuh, maka aku akan berkata seperti itu juga."

   Meskipun Kebo Ijo sengaja telah membakar kemarahan Ken Arok yang dianggapnya terlampau lemah dan tidak dapat bertindak keras itu, namun ia terkejut juga.

   Ia menganggap bahwa Ken Arok tidak akan berani berbuat lebih banyak lagi karena ia harus bertanggung jawab kepada Akuwu Tunggul Ametung.

   Tetapi kesombongan dan harga diri Kebo yang berlebih-lebihan itu juga menjadi sebab, sehingga sikapnya menyadi kasar dan sombong.

   Kini mendengar bahwa Ken Arok pun telah bersikap.

   Ternyata kesabaran Ken Arok telah sampai pada batasnya sehingga ia pun kemudian lupa, bahwa apabila terjadi bencana atas dirinya atau atas diri Kebo Ijo, maka persoalannya tidak akan terhenti demikian saja.

   Mereka adalah prajurit-prajurit Tumapel, dan mereka mempunyai pertanggungjawaban untuk itu.

   Tetapi agaknya keduanya sudah tidak mempedulikannya lagi.

   Kebo Ijo yang merasa tubuhnya menjadi semakin baik karena silir angin yang segar, telah mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya.

   Kini ia tidak hanya akan menghadapi Ken Arok dengan tangannya untuk melontarkan Aji Bajra Pati.

   Tetapi tiba-tiba tangannya menarik sebuah cundrik kecil dari ikat pinggangnya.

   Ia berketetapan hati untuk membunuh lawannya.

   Cundrik itu harus diayunkan dengantangannya yang dilambarinya kekuatan Aji Bajra Pati sehingga apabila senjata itu menyentuh lawannya, maka senyata yang kecil itu pasti akan membenam jauh ke dalam tubuh lawan itu, oleh lontaran kekuatan yang tiada taranya.

   "Tak seorang pun yang dapat hidup karena serangan yang demikian,"

   Desisnya.

   "kau pun akan mati juga malam ini Ken Arok."

   Dari mata Ken Arok itu seolah-olah telah memancar api kemarahaannya.

   Dipandanginya Kebo Ijo dengan tajamnya.

   Tetapi ia tidak menjawab sepatah kata pun.

   Keduanya kini telah berdiri berhadapan berjarak beberapa langkah saja.

   Masing-masing telah dikuasai oleh kemarahan yang tidak terkendali.

   Keduanya bahkan telah berada di dalam tataran tertinggi dari kekuatan masing-masing.

   Dengan tajamnya Ken Arok memandangi tangan Kebo Ijo yang menggenggam cundrik-nya.

   Apabila tangan itu terayun, maka ia yakin, bahwa ayunan itu pasti dilambari Aji Bajra Pati yang kini sedang dibangunkan.

   Ia tidak akan dapat membenturnya seperti membentur aji itu sendiri.

   Tetapi kini di dalam tangan itu tergenggam sebilah cundrik kecil yang akan dapat membenam ke dalam dagingnya.

   Karena itu ia harus berhati-hati.

   Ia harus memusatkan segenap kekuatan lahir dan batin, untuk dapat melakukan perlawanan terhadap kekuatan Aji Bajra Pati.

   Tetapi ia harus menghindari sentuhan cundrik di tangan Kebo Ijo itu.

   Dengan demikian, karena pemusatan kekuatan yang memuncak, maka keduanya tidak mendengar ketika dedaunan di samping mereka tersibak.

   Mereka tidak melihat sebuah bayangan yang datang mendekati mereka pelahan-lahan.

   Tepat pada waktunya, ketika keduanya hampir saja meloncat dan mulai lagi dengan perkelahian yang pasti akan jauh lebih dahsyat dari perkelahian yang baru saja terjadi, maka mereka terkejut karena mereka mendengar suara nafas yang berdesah di dekat mereka.

   Desah yang sebenarnya terlampau keras.Ketika mereka berpaling, dalam keremangan malam, di dalam lindungan dedaunan, mereka melibat sebuah bayangan yang meremang.

   Dalam kegelapan rimbunnya gerumbul-gerumbul taman yang sedang mulai tumbuh, mereka tidak segera dapat mengenal bayangan itu.

   Karena itu hampir bersamaan Ken Arok dan Kebo Ijo bertanya.

   "Siapakah kau?"

   Terdengar suara terbatuk-batuk kecil. Tetapi suara itu telah menggoncangkan dada Kebo ljo. Dengan serta-merta ia bertanya sekali lagi.

   "Siapa?"

   "Aku! Kebo Ijo."

   Jawaban itu benar-benar seperti suara petir yang meledak di dalam dadanya. Tubuhnya tiba-tiba menyadi gemetar. Dan dengan suara yang gemetar pu!a ia berkata.

   Apakah guru yang berdiri di situ?"

   "Ya."

   Wajah Kebo Ijo tiba-tiba berubah menjadi seputih mayat.

   Tetapi malam yang gelap telah menyaputnya, sehingga Ken Arok tidak dapat melihat perubahan wajah itu.

   Ia hanya mendengar suara Kebo Ijo gemetar.

   Tetapi ia tidak tahu, apakah sebabnya maka suara itu gemetar.

   Namun dengan demikian maka hati Ken Arok itu pun menjadi berdebar-debar.

   Kedatangan guru Kebo Ijo yang tanpa disangka- sangka itu telah mempengaruhi pikirannya.

   Ia merasakan sesuatu yang kurang wajar atas kehadiran guru Kebo Ijo itu.

   Mungkin guru Kebo Ijo telah lama berada di tempat itu, telah melihatnya pula ketika ia berhasil menyelamatkan diri dari kekuatan Aji Bajra Pati.

   Lalu apakah maksud kedatangannya itu ada hubungannya dengan kegagalan muridnya.

   Kedua anak-anak muda itu kemudian berdiri tegak seperti patung.

   Mereka hanya dapat memandangi saja seorang tua yang berjalan mendekati mereka.

   Semakin lama semakin dekat."Hem,"

   Mereka mendengar Panji Bojong Santi menarik napas dalam-dalam.

   "aku telah melihat kalian berkelahi. Sejak permulaan sampai kalian hampir-hampit menjadi gila."

   Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Tetapi mereka masih saja berdiam diri.

   "Aku berbangga atas kalian. Ternyata anak-anak muda kini memiliki kemampuan yang cukup memberi kebanggaan kepada orang-orang tua. Ketika aku seumurmu Kebo Ijo,"

   Berkata orang tua itu seterusnya.

   "Aku tidak akan mampu berbuat terlampau banyak seperti apa yang telah kau lakukan. Aku sama sekali belum dipercaya oleh guruku untuk menerima Aji Bajra Pati. Tetapi ternyata anak-anak muda sekarang jauh berbeda dengan anak-anak muda pada zamanku. Kau ternyata telah mampu menguasai Aji Bajra Pati dengan baik. Dan aku pun berbangga pula karenanya."

   Hati Kebo Ijo menyadi semakin berdebar-debar.

   Dan Ken Arok pun hanya dapat berdiri tegak membeku.

   Ia tidak tahu arah pembicaraan guru Kebo Ijo.

   Apakah ia sedang memuji muridnya, ataukah sedang menyesalinya.

   Namun sejenak kemudian Ken Arok menjadi jelas melihat sikap Panji Bojong Santi, ketika orang tua itu berkata.

   "Tetapi Kebo Ijo, ternyata anak-anak sekarang pun lebih banyak dikuasai nafsunya daripada pikirannya yang bening. Justru karena itu, maka keadaan sekarang ini jauh lebih membuat orang- orang tua berprihatin."

   Panji Bojong Santi berhenti sejenak. Kemudian dilanjutkannya.

   "Coba pikirkanlah. Anak-anak muda sekarang ini lebih pandai, lebih cakap, dan lebih cepat mempelajari berbagai macam ilmu. Tetapi juga lebih cepat naik darah dan dikejar oleh nafsunya sendiri."

   Ketika Panji Bojong Santi berhenti berbicara, maka Padang Karautan itu menjadi sepi. Yang terdengar hanya gemersik dedaunan disentuh oleh angin yang menyapu wajah padang yang kering itu. Baru sesaat kemudian orang tua itu menyambung kata-katanya.

   "Tetapi itu bukan salah anak-anak muda saja. Kami yang tua-tua pun ternyata ikut serta mendorong kalian ke dalam tindakan-tindakan yang mencemaskan. Kebo Ijo, apakah aku harus menyesal bahwa aku telah memberimu bekal sebelum kau memasuki dunia keprajuritan? Apakah aku harus menangkapmu dan berusaha memunahkan kembali Aji Bajra Pati dari tubuhmu dengan melemahkan beberapa urat nadimu untuk sementara, sehingga kau tidak mungkin lagi berbuat dan bersikap seperti yang baru saja kau lakukan?"

   Tubuh Kebo Ijo itu pun menyadi gemetar. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa gurunya akan sampai juga di Padang Karautan dan menyaksikan apa yang telah dilakukannya. Kebo Ijo itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar gurunya bertanya.

   "Bagaimana Kebo Ijo?"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Keringat Kebo Ijo yang sudah terperas pada saat ia berkelahi melawan Ken Arok, kini masih juga mengalir.

   Keringat dingin.

   Anak muda itu tidak berani menatap wajah gurunya yang memandangi dengan tajam.

   Karena Kebo Ijo tidak segera menjawab, maka gurunya mendesaknya.

   "Bagaimana Kebo Ijo? Bagaimana perasaanmu setelah kau dapat memancing perkelahian?"

   Kepala Kebo Ijo menjadi semakin tunduk. Tetapi mulutnya masih belum dapat mengucapkan jawaban.

   "Kau berbangga?"

   Pelahan-lahan Kebo Ijo menggelengkan kepalanya.

   "Bagaimana?"

   Sekali lagi Kebo Ijo menggeleng dan menjawab lambat sekali, hampir tidak terdengar.

   "Tidak guru."

   "Tidak apa?"

   Jawabannya semakin sendat.

   "Tidak berbangga guru."

   "Lalu apa maksudmu kau memancing perkelahian? Supaya kau mendapat kedudukan tertinggi di dalam kerja besar ini?"Sekali lagi Kebo Ijo terdiam.

   "Dengarlah Kebo Ijo,"

   Berkata Bojong Santi kemudian.

   "ternyata kau keliru menilai kejantanan diri. Kau menganggap bahwa apabila kau berkelahi sampai mati, itu adalah suatu sikap jantan. Membunuh atau dibunuh. Begitu bukan istilahmu untuk menyatakan dirimu sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang prajurit pilihan?"

   Mulut Kebo Ijo menjadi seolah-olah tersumbat.

   Sedangkan Ken Arok berdiri saja seperti tonggak.

   Ia menjadi heran dan kemudian kagum terhadap guru Kebo Ijo.

   Ternyata ia mampu melihat dengan jujur apa yang telah terjadi.

   Orang tua itu tidak diburu oleh sikap berat sebelah menghadapi persoalannya dengan Kebo Ijo.

   Meskipun Kebo Ijo itu muridnya, dan ia sendiri hampir dikenal oleh orang tua itu, tetapi sikap orang tua itu benar-benar terpuji.

   "Kebo Ijo,"

   Terdengar Panji Bojong Santi itu berkata.

   "Kau dapat bersikap demikian apabila kau berdiri di atas kebenaran yang kau yakini. Tidak sekadar karena kesombongan, harga diri, dan pamrih duniawi yang memalukan. Nama, misalnya. Atau kedudukan. Tidak. Dalam persoalanmu, persoalan yang telah kau ikat dengan perjanjian bersama sebelum kalian mulai, maka sikap jantan adalah memenuhi perjanjian itu dengan jujur. Tetapi kau tidak. Perasaanmu telah dibakar oleh nafsu, kesombongan, dan harga diri yang berlebih-lebihan. Nah, ternyata kau kalah Kebo Ijo. Kau kalah, itu harus kau akui. Sampai mati pun kau tetap kalah. Tak ada orang yang akan mengagumi mayatmu. Sebab kau mati dalam kesombonganmu. Tidak seperti seorang prajurit yang mati di peperangan atau seorang laki-laki yang sedang membela kebenaran. Sikap jantan bagimu sekarang adalah mengakui kekalahanmu dan minta maaf atas sikapmu itu. Sombong dan tidak sopan."

   Mendengar kata-kata gurunya itu terasa darah Kebo Ijo seolah- olah berhenti mengalir.

   Bagaimana mungkin ia harus mengakui kesalahan dan minta maaf kepada Ken Arok.

   Bukankah dengan demikian Ken Arok akan menjadi besar kepala dan bersikap sekehendak hati kepadanya nanti.

   Ia akan dapat menghinakandirinya di hadapan para prajurit Tumapel.

   Menceriterakan apa yang terjadi dan menertawakannya.

   "Penghinaan yang demikian lebih parah daripada mati sama sekali,"

   Desisnya di dalam kati. Tetapi gurunya mendesaknya.

   "Cepat Kebo Ijo. Cepat mintalah maaf."

   Kebo Ijo masih berdiri tegak seperti patung. Cundrik-nya masih digenggamnya erat-erat.

   "Apakah kau tidak mau? Apakah kau masih ingin berkelahi lagi? Kalau kau masih ingin berkelahi lagi, maka aku akan melihatnya lebih dekat lagi. Aku akan berpesan kepada lawanmu untuk berbuat lebih parah daripada membunuhmu. Kau tahu bahwa dengan melemahkan beberapa urat nadimu, maka Aji Bajra Pati akan punah untuk sementara. Dan aku akan mengajari lawanmu berbuat demikian."

   Tubuh Kebo Ijo telah menyadi basah oleh keringat dinginnya seperti baru saja mandi.

   Nafasnya menyadi terengah-engah, melampaui pada saat ia baru berkelahi.

   Ken Arok melihat betapa hati anak muda itu menjadi terlampau pedih menghadapi kenyataan itu.

   Perintah gurunya terasa terlampau berat untuk dilakukannya.

   Maka seolah terlihat olehnya wajah Kebo Ijo yang pucat, titik-titik keringatnya yang menetes dari kening, dan tubuhnya yang gemetar, maka ia menjadi beriba hati.

   Kemarahannya telah hanyut oleh sikap guru Kebo Ijo yang mengagumkannya.

   Dan ia yakin bahwa dengan sikap gurunya itu Kebo Ijo akan menjadi jera.

   Ia pasti tidak akan mengganggunya lagi selama tugasnya di Padang Karautan.

   Karena itu maka pelahan-lahan terdengar Ken Arok itu berkata sambil membungkukkan badannya.

   "Aku mengagumi sikap tuan. Karena itu, maka aku kira tidak ada yang paling bersalah di antara kita. Bukan saja Adi Kebo Ijo yang bersalah, tetapi aku pun telah bersalah karena aku melayaninya Karena itu, maka aku kira Adi Kebo Ijo sudah tidak perlu lagi minta maaf atas kesalahannya.""Hem,"

   Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan tajamnya. Kemudian ia mengangguk sambil berkata.

   "Sikapmu mengagumkan aku anak muda. Tetapi sayang, aku tidak sependapat dengan kau. Kebo Ijo harus mendapat hukuman karena sikapnya yang sombong dan keras kepala."

   Kepada Kebo Ijo Panji Bojong Santi mengulanginya.

   "Ayo, cepat. Minta maaf kepada anak muda ini. Kau telah bersalah. Kesalahan yang demikian harus diakui. Kalau kau tidak juga mau minta maaf, maka berarti bahwa kau tidak merasa bersalah dalam hal ini. Dengan demikian maka kesalahan yang serupa akan kau ulangi lagi. Daripada hal itu terjadi, Kebo Ijo, maka lebih baik aku mencegahnya. Memunahkan untuk sementara Aji Bajra Pati sampai benar-benar jera. Sebab kekuatan itu bukanlah kekuatan yang dapat kau pakai untuk bersombong diri dan berkeras kepala."

   Wajah Kebo Ijo menjadi semakin pucat.

   Betapa jantungnya berdentangan, betapa hatinya dicekam oleh kesombongan dan harga diri yang berlebih-lebihan, tetapi kini ia berhadapan dengan gurunya.

   Bahkan gurunya telah mengancamnya untuk melemahkan kekuatan Aji Bajra Pati yang telah dimilikinya.

   Karena itu, maka keringat dikeningnya menjadi semakin deras mengalir dan menetes satu-satu, seolah-olah menetes dari sudut matanya.

   "Aku memberimu kesempatan terakhir sekarang Kebo Ijo,"

   Terdengar suara gurunya dalam nada yang rendah. Kebo Ijo benar-benar tidak dapat menghindar lagi. Betapa berat dan sakit hatinya, tetapi ia akhirnya berkata pelahan-lahan.

   "Ya, guru. Aku bersalah. Aku minta maaf."

   "Tidak kepadaku,"

   Sahut gurunya.

   "kepada anak muda yang bernama Ken Arok ini."

   Wajah Kebo Ijo terasa seolah-olah menjadi semakin tebal. Bibirnya menjadi berat seperti batu. Tetapi ia berkata juga.

   "Maafkan aku Ken Arok."

   Dan Ken Arok menyahut.

   "Aku pun minta maaf pula Kebo Ijo."Kebo Ijo tidak menjawab. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Meskipun malam ditandai oleh kegelapan, tetapi seolah-olah ia melihat jelas sekali Ken Arok tersenyum atas kemenangannya. Tetapi Kebo Ijo terkejut mendengar gurunya berkata.

   "Kau tidak ikhlas Kebo Ijo. Tetapi aku tidak dapat memaksamu tiba-tiba saja menjadi seorang yang rendah hati. Tetapi hal ini hendaknya menjadi pelajaran bagimu. Lain kali kau harus lebih berhati-hati. Menjaga diri dan berbuat baik supaya kau tidak terjerumus ke dalam keadaan yang dapat menyulitkan dirimu. Jangan kau sangka bahwa aku tidak mengetahui sifat-sifatmu. Aku sering mendengar kawan-kawanmu mengeluh, bahkan kakakmu Witantra pun mengeluh kepadaku, bahwa kau terlampau sombong, tinggi hati, dan merasa dirimu lebih baik, lebih cakap, dan lebih pandai dari orang lain. Sadari, sebelum kau terperosok semakin dalam."

   Kebo Ijo tidak menjawab. Sebagian ia dapat mengerti kata-kata gurunya, tetapi yang sebagian lagi telah membuatnya jengkel. Meskipun demikian ia tidak berani untuk membantah atau bersikap lain daripada menundukkan kepalanya.

   "Nah, sekarang kau boleh pergi Kebo Ijo. Kembalilah ke perkemahan."

   Perintah itu serasa tetesan embun yang sejuk menyiram hatinya yang membara. Segera ia membungkukkan kepalanya sambil berkata.

   "Terima kasih guru. Aku akan segera pergi ke perkemahan."

   "Ingatlah. Aku tidak rela kau berbuat serupa itu lagi."

   Kebo Ijo mengangguk sekali lagi.

   "Ya, guru. Aku akan mengingatkan untuk selanjutnya."

   Ketika Kebo Ijo telah meninggalkan taman itu, maka terdengar Bojong Santi berkata.

   "Tinggallah di sini sebentar Ken Arok."

   Mendengar kata-kata Panji Bojong Santi itu Ken Arok mengerutkan keningnya.

   Tetapi ia tidak segera menjawab.

   Sejenakia mengawasi langkah Kebo Ijo yang semakin lama menjadi semakin jauh.

   Sekali Kebo Ijo berpaling, tetapi bayangan Ken Arok dan gurunya, Panji Bojong Santi, sudah menjadi kabur, dan sesaat lagi seolah-olah hilang ditelan kegelapan.

   Dan langkahnya pun menjadi tergesa-gesa menjauhi taman yang belum selesai dibuat itu.

   Ketika ia mendengar gurunya menyuruhnya pergi, maka ia merasa terlepas dari suatu keadaan yang seakan-akan mencekik lehernya sehingga ia tidak lagi bebas bernafas.

   Seolah-olah ia telah terlepas dari panggangan api yang membara di bawah kakinya.

   Gurunya yang memaksanya untuk minta maaf kepada Ken Arok telah membuatnya seperti terlempar ke dalam neraka.

   Tetapi ia tidak dapat menolak, karena gurunya sendirilah yang menyuruhnya berbuat demikian.

   Seandainya orang itu bukan gurunya, bahkan Akuwu Tunggul Ametung sekalipun, maka ia akan tetap berdiam diri meskipun akibatnya nyawanya akan menyadi tebusan dari sikapnya yang keras kepala itu.

   Tetapi ia tidak dapat menolak terhadap gurunya.

   "Hem,"

   Ia bergumam kepada diri sendiri.

   "kalau saja guru tidak memaksa aku. Kalau saja guru tidak hadir di tempat itu."

   Tetapi kemudian hatinya sendiri menjawab.

   "Kalau guru tidak ada di tempat itu aku pasti sudah mati."

   Namun dibantahnya sendiri.

   "Lebih baik mati daripada mengalami penghinaan yang begitu berat."

   Dan hatinya pun berbantah sendiri.

   Tetapi di antara kemarahan, kekecewaan, dan kejengkelannya, terselip juga di dalam hatinya perasaan heran dan kagum terhadap Ken Arok.

   Orang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa.

   Dengan gerak dan sikap yang sederhana ia telah mampu melepaskan diri dari kehancuran akibat sentuhan Aji Bajra Pati.

   Kekuatan yang dahsyat yang jarang tandingnya.

   Namun Ken Arok dapat terlepas daripadanya.Bukan kekuatan dan kecepatan bertempur Ken Arok sajalah yang telah membuat Kebo Ijo heran dan kagum, tetapi juga sifat-sifatnya yang aneh.

   Anak muda itu terlampau sabar.

   Bertanggung jawab atas kata-kata dan perbuatannya.

   Dan bertanggung jawab atas tugas-tugas yang diserahkan kepadanya, sehingga ia bersedia untuk mengorbankan beberapa kepentingannya sendiri.

   Dalam keangkuhan dan harga diri yang berlebih-lebihan, Kebo Ijo melihat sikap Ken Arok itu aneh.

   Tetapi memberinya beberapa pengertian baru, bahwa orang-orang yang dianggapnya remeh tidak selalu dapat diatasinya dalam beberapa persoalan.

   Dan ternyata Ken Arok jauh lebih baik daripadanya dalam beberapa hal.

   Dalam kekuatan, keteguhan, dan tata perkelahian, juga dalam sikap kepemimpinan.

   Itulah sebabnya Ken Arok dapat mencekam hati prajurit-prajurit Tumapel di Padang Karautan.

   Dengan desah nafas yang semakin cepat Kebo Ijo itu pun berjalan semakin cepat pula menyusuri parit induk kemudian berbelok ke arah perkemahan para prajurit Tumapel.

   Perkemahan yang sama sekali tidak menyenangkannya, meskipun gubugnya sendiri khusus telah mendapat sebuah rak-rakan.

   Di taman yang sedang disiapkannya, Ken Arok masih berdiri termangu-mangu di hadapan Panji Bojong Santi.

   Ketika Kebo Ijo sudah tidak tampak lagi, maka bertanyalah Panji Bojong Santi.

   "Anggerkah yang bertanggung jawab atas pekerjaan besar yang sedang dilakukan di padang ini oleh prajurit-prajurit Tumapel dan orang-orang Panawijen?"

   "Ya Bapa Panji."

   Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata.

   "Meskipun kau masih muda, tetapi kau sudah cukup mengagumkan."

   "Ah, jangan memuji."

   "Tidak Ngger, aku tidak hanya sekadar memuji. Tetapi aku melihat suatu keanehan pada dirimu."Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

   "Aku melihat kau berkelahi dengan Kebo Ijo sejak permulaan sekali. Aku melihat kau datang, dan aku melihat pula kemudian Kebo Ijo menyusulmu."

   "Hem,"

   Ken Arok bergumam di dalam hatinya.

   "kenapa guru Kebo Ijo ini membiarkan saja perkelahian itu berlangsung, dan dibiarkannya muridnya mempergunakan Aji Bajra Pati? Apabila aku tidak berhasil menahan serangan aji itu, maka aku akan lumat di hadapannya, dan ia hanya akan dapat menyesali muridnya yang lancang itu. Namun terlambat."

   "Aku melihat kau mengalahkan Kebo Ijo, kemudian memaksa Kebo Ijo melepaskan Aji Bajra Pati."

   "Sama sekali bukan maksudku Bapa Panji."

   "Ya, ya aku tahu. Memang bukan maksudmu. Itu semata-mata karena nalar Kebo Ijo terlampau pendek."

   "Dan Bapa Panji membiarkannya melepaskan aji itu,"

   Ken Arok ingin mendapat penjelasan daripadanya, kenapa guru Kebo Ijo itu tidak mencegahnya.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oh,"

   Ken Arok heran ketika ia melihat Panji Bojong Santi itu tersenyum.

   "maafkan aku Ngger. Sebenarnya aku pun ingin mencegah perbuatan itu. Tetapi tiba-tiba aku melihat sesuatu yang membuat aku heran. Semula aku menyangka bahwa itu hanyalah penglihatanku saja. Tetapi aku menjadi yakin ketika kau memusatkan segenap kekuatanmu untuk melawan Aji Bajra Pati."

   "Apakah yang Bapa lihat?"

   Panji Bojong Santi menjadi ragu-ragu.

   Ia ingin mengatakan apa yang dilihatnya, tetapi apabila demikian, maka hal itu akan sangat berbahaya bagi Ken Arok.

   Anak itu akan demikian besar kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga ia akan dapat melakukan hal-hal yang tidak terkendali.

   Meskipun agaknya sampai saat ini Ken Arok adalah anak muda yang baik, sabar, dan bertanggung jawab,tetapi apabila ia terlampau sadar akan kelebihannya, maka hal itu akan dapat mempengaruhi bahkan mengubah sama sekali tabiatnya itu.

   Karena itu maka sejenak Panji Bojong Santi itu hanya berdiri saja termangu-mangu.

   Dipandanginya wajah Ken Arok yang keheran- heranan melihat keragu-raguan orang tua itu.

   Sejenak kemudian Panji Bojong Santi itu menarik nafas dalam- dalam.

   Katanya pelahan-lahan.

   "Kau memang mengagumkan anak muda. Aku melihat beberapa kelebihan ada padamu. Karena itulah maka aku berniat untuk melihat, apakah kau mampu melawan Aji Bajra Pati."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam di dalam hati.

   "Sangat berbahaya. Kalau aku menjadi lumat, maka sebagian adalah kesalahannya."

   Agaknya Panji Bojong Santi dapat menangkap perasaannya itu sehingga ia berkata.

   "Ternyata tangkapanku atas kau tidak jauh meleset Ngger. Kau memang luar biasa. Tetapi seandainya kau mendapat bencana karena Aji Bajra Pati, maka aku sudah bersedia untuk mencoba mengobatimu. Aku membawa beberapa macam obat untuk luka-luka dalam akibat benturan dengan Aji Bajra Pati."

   Ken Arok menarik nafas. Tetapi ia masih juga berdiam diri.

   "Tetapi ternyata kau sama sekali tidak memerlukan obat itu. Kau hanya terdorong dan terjatuh pelahan-lahan. Sejenak kemudian kau sudah dapat menguasai dirimu. Seperti yang kau lihat maka justru Kebo Ijo sendirilah yang terlempar dan jatuh berguling di tanah. Itu adalah pertanda bahwa daya tahanmu benar-benar luar biasa, bahkan mengandung daya dorong yang tidak kau sadari. Kalau kau hanya memiliki daya tahan, maka Kebo Ijo tidak akan mengalami keadaan yang cukup berat baginya, yang cukup waktu bagimu untuk membinasakan apabila kau kehendaki."

   Ken Arok sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya."Kalau kau mampu mengetrapkan kekuatanmu dalam sikap dan unsur-unsur gerak yang tersusun, maka kau akan menjadi seorang anak muda yang luar biasa."

   "Ah,"

   Ken Arok berdesah.

   "Ilmumu adalah kurnia dari Yang Maha Agung. Agaknya kau tidak berguru kepada seseorang yang cukup berpengalaman untuk menuntunmu menyusun ilmu yang dahsyat Tetapi seandainya kau berguru maka gurumu itu pun kelak tak akan dapat menyamaimu."

   "Ah,"

   Sahut Ken Arok.

   "itu berlebihan Bapa Panji. Tak ada kelebihan apa pun padaku. Tetapi memang aku tidak pernah berguru dalam ilmu kanuragan. Aku hanya mendapat sedikit tuntunan dari Bapa Lohgawe. Itu pun bukan soal-soal badani. Aku hanya diajarinya memusatkan pikiran, kehendak, dan getaran- getaran yang ada di dalam diriku."

   "Nah, kau, berhasil,"

   Potong Panji Bojong Santi.

   "itu adalah sumber dari kekuatan. Semua aji yang dinamai oleh penyusunnya dengan bermacam-macam, nama menurut kesenangan dan selera masing-masing pada dasarnya bersumber pada pemusatan pikiran, kehendak, dan getaran-getaran yang ada di dalam tubuh untuk dapat membangunkan segenap kekuatan yang pada keadaan wajar seolah-olah tersembunyi. Seseorang harus berbuat banyak untuk dapat berbuat demikian. Latihan-latihan dengan tekun. Percobaan- percobaan yang kadang-kadang sangat berbahaya bagi dirinya. Pengenalan atas bentuk-bentuk kekuatan dan watak-wataknya, serta pengenalan atas diri sendiri. Dengan mesu diri seseorang baru akan mendapatkan apa yang dicarinya itu pada dirinya, yang kemudian dicarinya bentuk-bentuknya yang lebih umum untuk dapat diterapkan pada orang lain. Tentu saja orang-orang yang dipilihnya sesuai dengan pengamatannya atas watak dan sifat- sifatnya, yang pada umumnya disebut murid. Tetapi agaknya kau agak lain daripada keadaan yang umum itu. Agaknya kau mendapatkan kekuatan untuk itu tanpa kau sadari. Dan itu adalah kekhususan."Terasa dada Ken Arok berdesir. Tebersitlah perasaan bangga di dalam dirinya. Namun segera ia berkata.

   "Mungkin cara hidupku yang keras di masa kanak-kanak telah membentuk aku demikian."

   Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada rendah ia berkata.

   "Mungkin, karena itu."

   Tetapi apa yang tebersit di dalam hatinya tidak diucapkannya.

   Ia belum mengenal terlampau banyak tentang sifat-sifat anak itu.

   Keadaan sebelum ia berada di Padang Karautan ini bersama-sama dengan prajurit Tumapel.

   Karena itu, apa yang diketahuinya disimpannya saja di dalam hatinya.

   Sejenak ia melihat Ken Arok mulai mengerahkan kekuatannya, ia sudah melihat keanehan pada anak itu.

   Mula-mula tidak terlampau jelas.

   Ia melihat warna semburat merah di atas kepala Ken Arok.

   Hanya kadang-kadang dilihatnya warna itu membersit, tetapi ketika dipandanginya semakin tajam maka warna itu pun lenyap.

   Tetapi ketika Kebo Ijo bersiap melepaskan Aji Bajra Pati, dan ketika Panji Bojong Santi itu telah bersiap untuk mencegahnya, maka warna merah di atas kepala Ken Arok itu menjadi semakin nyata.

   Pada saat itu Ken Arok pun ternyata sedang memusatkan segenap pikiran, kehendak, dan getaran-getaran yang ada di dalam dirinya.

   Dan pada saat yang demikian itulah warna merah di kepalanya menjadi semakin nyata.

   Warna merah seakan-akan memancar dari ubun- ubun kepalanya itu.

   Apa yang dilihat oleh Panji Bojong Santi itu sangat mempengaruhinya.

   Warna merah yang pernah dilihatnya pula oleh orang-orang tua sebayanya.

   Empu Purwa, guru Mahisa Agni, pun pernah melihat warna itu pula.

   Ketika ia berkelahi melawan Kebo Sindet maka warna yang demikian itu ternyata membersit pula di atas ubun-ubunnya.

   Dan justru warna merah itulah yang mencegah Panji Bojong Santi untuk mengurungkan niat muridnya mempergunakan Aji Bajra Pati.

   Ia ingin melihat, apakah pengaruh warna di atas kepala itu.

   Ternyata anak muda yang dari ubun-ubunnya seolah-olah membersit warna merah itu mempunyai kekuatan yang luar biasa.Dengan caranya sendiri ia berhasil menahan serangan Aji Bajra Pati, bahkan mampu melemparkan orang yang melepaskan aji itu sendiri sehingga terbanting jatuh.

   Ketika angin malam yang silir berembus semakin keras mengusap tubuh-tubuh yang berdiri tegak di Padang Karautan itu maka Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam.

   Ia telah memutuskan untuk tidak mengatakan kepada Ken Arok apa yang sudah dilihatnya.

   "Aku tidak akan mengatakannya,"

   Katanya di dalam hati.

   "Entahlah kalau ia sudah tahu dan menyadarinya. Tetapi seandainya demikian, maka aku kira kurang baik akibatnya baginya sendiri. Ia akan dapat menyadi terlampau percaya pada kekuatan sendiri. Ia masih terlampau muda. Apabila kelak perasaannya sudah mengendap, maka akan berbedalah akibatnya."

   Tetapi yang dikatakan oleh Panji Bojong Santi adalah.

   "Mari Ken Arok. Apakah kau akan mempersilakan aku mampir ke perkemahanmu?"

   "Oh,"

   Ken Arok tergagap.

   "marilah Bapa Panji. Kalau sudi maka aku persilakan singgah sebentar di perkemahan kami."

   Panji Bojong Santi tersenyum.

   "Aku memang ingin melihat perkemahanmu Ngger."

   "Terima kasih Bapa. Marilah."

   Keduanya pun kemudian berjalan meninggalkan taman yang belum siap itu, pergi ke perkemahan. Mereka melintasi beberapa parit dan susukan induk.

   "Rencana ini amat baik,"

   Desis Panji Bojong Santi.

   "Parit induk yang membelah padang, kemudian parit-parit yang seperti jari-jari yang puluhan banyaknya mencekam padang di sekitar susukan ini. Siapakah yang merencanakan semua ini?"

   "Mahisa Agni Bapa Panji. Tetapi kemudian aku mendapat perintah dari Akuwu untuk menampung air dari susukan induk ini dengan sebuah sendang buatan di tengah-tengah taman ini."Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Sebuah perpaduan rencana yang pasti akan memuaskan sekali. Memuaskan bagi orang-orang Panawijen yang kehilangan tanahnya yang subur, dan memuaskan bagi Akuwu Tunggul Ametung. Bukankah Akuwu ingin menghadiahkan taman itu kelak kepada permaisurinya yang juga berasal dari Panawijen itu?"

   "Ya, ternyata Bapa Panji telah mengetahuinya."

   "Aku mendengar dari orang-orang istana Ngger."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Panji Bojong Santi adalah guru Witantra dan Kebo Ijo, yang kedua-duanya adalah orang-orang dalam juga.

   "Dan kali ini aku memerlukan untuk melihat sendiri, apakah yang telah kalian buat di sini. Ternyata apa yang aku lihat sangat mengagumkan. Sayang, bahwa Angger Mahisa Agni tidak dapat ikut melaksanakan rencana yang amat bagus ini."

   "Ia hanya sempat memulainya Bapa."

   "Ya, ya. Sayang sekali. Mudah-mudahan ia dapat juga melihat kelak, apabila rencana ini telah siap. Parit-parit telah mengalir dan taman ini telah dipajang dengan bunga-bunga. Sebuah rakit yang indah di tengah-tengah sendang yang sedang dipersiapkan itu dan sebuah pesanggrahan kecil di pinggirnya."

   "Ya Bapa. Apabila dinding taman itu telah siap, parit induk sudah dapat mengalirkan air dan parit yang akan menampung limpahan airnya kelak siap pula untuk mengalirkannya ke padang di bawah taman ini untuk kemudian melimpahkannya ke sawah-sawah pula dan sisanya akan dilepaskan kembali ke dalam sungai, maka barulah pesanggrahan kecil itu akan mulai dibangun."

   Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya.

   "Apakah cukup waktu bagimu untuk menyiapkan pesanggrahan itu dalam waktu yang ditetapkan apabila kau bangun terakhir setelah semuanya siap?""O, kayu-kayunya telah disiapkan di Tumapel. Di sini kita tinggal memasangnya."

   Panji Bojong Santi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Anak-anak muda di Padang Karautan ini ternyata mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar dan mengagumkan.

   Mahisa Agni ternyata mempunyai pandangan yang tajam buat masa-masa mendatang, dan Ken Arok adalah seorang pelaksana yang baik, yang mampu mewujudkan angan-angan di dalam kenyataan.

   Taman itu nanti pasti akan menjadi tempat yang sangat menyenangkan, seperti sebuah taman di dalam mimpi.

   Sebuah sendang buatan, sebuah pulau kecil di tengah-tengah taman, yang dibuat seperti sebuah bukit karang, tetapi dapat ditanami bunga-bungaan.

   Sebuah pesanggrahan kecil.

   Ternyata Padang Karautan akan segera berubah menjadi sebuah tempat yang memberi kebanggaan bagi Tumapel.

   Sawah yang seolah-olah tanpa batas.

   Sebuah taman yang indah.

   Sebuah perpaduan antara kesuburan dan keindahan yang seimbang.

   Antara kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

   Dan kedua-duanya bersumber kepada Yang Maha Agung, Yang Maha Kasih, Yang Maka Murah.

   Yang menciptakan alam seisinya, dan memelihara dengan keindahan kasih-Nya tetapi yang kelak apabila datang saatnya akan menuntut pertanggungjawaban yang paling adil.

   "Sayang,"

   Tiba-tiba Panji Bojong Santi itu berdesis.

   "Kenapa Bapa?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Ada juga yang mengganggu pelaksanaan kerja yang besar ini."

   "Ya,"

   Suara Ken Arok menjadi rendah.

   "hilangnya Mahisa Agni sangat mengganggu kerja ini."

   "Karena kecemasan akan hal itu pulalah aku tidak dapat melepaskan Kebo Ijo pergi hanya dengan beberapa orang pengawalnya. Aku terpaksa mendahuluinya dan mengawasinya, kalau-kalau ia bertemu dengan orang-orang yang telah mencoba menggagalkan kerja ini. Kebo Sindet misalnya.""Oh,"

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "jadi hal itulah yang mendorong Bapa datang ke padang ini?"

   "Bukan hanya itu, tetapi aku juga harus mengawasi kelakuan Kebo Ijo yang sering membuat aku berprihatin. Seperti apa yang baru saja terjadi. Aku menyadarinya, bahwa ia bukan seorang pemimpin yang baik. Untunglah yang bertanggung jawab di sini adalah Angger Ken Arok. Aku akan dapat menitipkannya kepadamu."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa kata- kata Panji Bojong Santi itu hanya sekadar untuk menyenangkannya. Karena itu maka ia tidak menjawab. Tetapi ternyata Panji Bojong Santi itu berkata bersungguh- sungguh.

   "Jarang aku menjumpai anak-anak muda seperti kau Ngger. Meskipun kau memiliki keluarbiasaan, tetapi kau tetap sabar dan rendah hati. Karena itu maka aku berharap, bahwa cara hidup Kebo Ijo akan terpengaruh oleh sifat dan watakmu di sini. Mudah- mudahan ia dapat bercermin dan mengubah dirinya sendiri."

   "Ah,"

   Ken Arok berdesah, tetapi segera Panji Bojong Santi menyambung kata-katanya.

   "Aku berkata sesungguhnya Ngger. Dan aku akan berkata seperti ini juga nanti kepada Kebo Ijo. Ia adalah bawahanmu di sini. Adalah kewajiban seorang prajurit untuk tunduk dan taat kepada atasannya."

   Nada suara Panji Bojong Santi pun segera merendah.

   "Tetapi kau sudah mempunyai cara yang sebaik- baiknya untuk menguasai anak buahmu. Tanpa kekerasan dan tekanan dengan kekuasaan. Mereka taat dan patuh kepadamu karena mereka menyadari keharusan itu dengan ikhlas. Kau adalah seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang mengutamakan kepentingan bawahanmu daripada kepentinganmu sendiri."

   Sekali lagi Ken Arok berdesah, Bapa memuji aku berlebih-lebihan.

   Aku tidak lebih dari seorang yang bodoh.

   Aku berbuat sekadar memenuhi kewajibanku.

   Meskipun aku berusaha untuk melakukannya sebaik-baiknya.""Terlampau baik buat seorang anak muda seumurmu,"

   Sahut Panji Bojong Santi.

   Ken Arok tidak menyahut lagi.

   Ia melangkah pergi pelahan-lahan sambil memandangi bintang-bintang di atas cakrawala.

   Kini terasa betapa segarnya angin padang yang bertiup pelahan-lahan menyentuh tubuhnya yang kotor oleh keringat dan debu.

   Di sampingnya Panji Bojong Santi pun terdiam untuk sejenak.

   Langkah mereka gemerisik di atas rerumputan yang kekuning-kuningan.

   Sekali-sekali mereka melangkahi parit-parit yang menjelujur menyusuri padang yang kering.

   Sebentar lagi, apabila parit-parit itu sudah mengalirkan air, maka keadaan padang akan segera berubah.

   Tanah yang kering yang ditumbuhi oleh rerumputan dan gerumbul- gerumbul perdu yang liar itu akan segera berubah menjadi tanah persawahan yang hijau subur.

   Akhirnya mereka berdua sampai di perkemahan para prajurit Tumapel.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Beberapa buah gubug telah menyadi gelap.

   Penghuni- penghuninya sengaja memadamkan lampu-lampu minyak di dalam gubug mereka, supaya mereka dapat tidur dengan nyenyak, meskipun dengan demikian kadang-kadang mereka terganggu juga oleh nyamuk yang beterbangan di sekitar telinga mereka.

   "Tolong bawa aku ke gubug Kebo Ijo, Bgger,"

   Minta Panji Bojong Santi.

   "Baiklah Bapa,"

   Sahut Ken Arok. Keduanya pun kemudian pergi ke gubug Kebo Ijo. Gubug kecil yang dipergunakannya seorang diri. Ketika keduanya sampai di muka pintu gubug itu, maka pelahan- lahan pintunya ditarik oleh Ken Arok sambil berkata.

   "Adi, Bapa Panji ingin berkunjung ke pondokmu."

   Kebo Ijo yang sudah berbaring, segera meloncat bangkit. Dengan tergopoh-gopoh ia mempersilakan gurunya.

   "Marilah guru. Inilah pondokku yang kotor. Aku tidak dapat berbuat banyak, sebab aku tinggal mempergunakannya. Para prajurit yang mendahului akulahyang telah membuat gubug macam begini, lebih jelek dari sebuah kandang kambing."

   Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya. Ketika selangkah ia memasuki pintu, maka ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Pelahan-lahan ia bergumam.

   "Gubug ini terlampau baik buat padang yang kering ini. Ternyata persiapan kalian cukup baik. Kalian masih sempat juga membuat gubug-gubug serupa ini. Aku tidak membayangkan sebelumnya bahwa gubug-gubug di sini demikian baik. Aku kira kalian hanya memancangkan beberapa tiang-tiang bambu, kemudian memasang anyaman ilalang di atasnya. Ternyata kalian sempat membuat dinding dan membuat pondok terpisah-pisah."

   "Tidak semua Bapa,"

   Sahut Ken Arok.

   "hanya beberapa buah. Yang lain adalah barak-barak kecil untuk lima sampai sepuluh orang."

   "Tetapi bukankah kau beri berdinding juga untuk menahan dingin dan debu."

   "Ya,"

   Ken Arok mengangguk.

   "Bagus,"

   Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya pula.

   "Apalagi kalian masih sempat membuat rak-rakan tempat pakaian. Ada berapa puluh rak-rakan semacam ini harus kau buat Ngger?"

   Ken Arok terdiam sejenak.

   Ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab.

   Di perkemahan ini hanya ada satu paga semacam itu.

   Hanya khusus buat Kebo Ijo.

   Karena itu maka sejenak ia berdiam diri sambil memandangi wajah Kebo Ijo yang gelisah.

   Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya.

   Dilihatnya kedua anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu justru hanya karena pertanyaannya yang terlampau sederhana.

   Tetapi karena itu timbullah keinginannya untuk mengetahui lebih banyak mengenai pertanyaannya itu."Angger Ken Arok, ada berapa ratus rak-rakan di seluruh perkemahan ini? Apakah orang-orang Panawijen juga membuat paga paga semacam itu untuk meletakkan pakaian dan alat- alatnya?"

   Pelahan-lahan sekali Ken Arok menggelengkan kepalanya.

   "Tidak Bapa."

   "Jadi hanya para prajurit Tumapel saja yang membuat paga paga semacam itu."

   Sekali lagi Ken Arok menggeleng lemah.

   "Tidak Bapa."

   Kini Panji Bojong Santi mcngangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Kebo Ijo yang menjadi semakin gelisah. Pelahan- lahan terdengar ia berkata.

   "Aku sudah menyangka. Meskipun hal ini tampaknya tidak terlampau penting, tetapi ini adalah gambaran dari segenap sifat-sifatmu Kebo Ijo. Kau selalu ingin berlebih- lebihan, melampaui yang lain."

   Kebo Ijo menggerutu di dalam hatinya.

   Ketika ia disuruh meninggalkan taman yang sedang disiapkan itu, ia merasa terlepas dari ketegangan semacam ini.

   Tetapi kini gurunya datang lagi kepadanya.

   Bahkan soal-soal yang sama sekali tidak penting diurusinya.

   Soal paga pun ditanyakannya, bahkan dijadikannya bahan untuk memarahinya.

   Tetapi bagi Panji Bojong Santi ternyata bukan sekadar soal sebuah rak-rakan bambu.

   Yang penting baginya adalah sifat yang sombong dari muridnya itu, sehingga dilanjutkannya kata-katanya.

   "Kebo Ijo. Kau harus segera menyadari rasa tinggi hati dan rasa berlebihan itu. Kalau kau masih juga suka menyombongkan dirimu, maka kau suatu ketika akan terjerumus ke dalam suatu keadaan yang tidak kau duga-duga sebelumnya. Setiap orang di Tumapel mengenalmu sebagai seorang pembual, seorang yang pameran, dan sombong. Itu harus kau hentikan. Betapa kau mencoba bersikap tenang dan pendiam di hadapanku, tetapi aku masih juga mempunyai telinga. Aku selalu mendengar apa kata orang tentang murid-muridku. Kakakmu Mahendra kini sudah menjadi agaktenang. Kau, yang sudah berkeluarga, seharusnya lebih hati-hati menjaga diri."

   Kebo Ijo mengumpat di dalam hati. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab.

   "Ya guru."

   "Di sini kau mendapat seorang kawan yang baik,"

   Berkata gurunya lebih lanjut.

   "Ken Arok pasti akan dapat menuntunmu. Aku memang menitipkan kau kepadanya. Aku beri Angger Ken Arok wewenang untuk memberimu petunjuk-petunjuk. Agal atau halus. Dan kau harus menerima petunjuk-petunjuknya seperti dari aku sendiri."

   Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Dan ia terkejut ketika gurunya berkata pula.

   "Memang tidak menyenangkan bagimu. Apalagi kau merasa dirimu berlebih-lebihan di sini. Kau merasa lebih tinggi dari semua orang dalam semua soal. Lebih pandai, lebih mengerti, dan lebih cakap untuk memecahkan persoalan-persoalan. Kau merasa bahwa hanya pendirianmulah yang benar."

   Kebo Ijo menggigit bibirnya. Tetapi gurunya berkata terus.

   "Tak ada orang yang paling pandai dan paling mengerti di muka bumi ini. Tak ada orang yang sempurna. Hanya Yang Maha Agunglah yang sempurna, Maha Sempurna. Karena itu sadarilah kekecilan dirimu."

   Kebo Ijo mengangguk sambil menjawab untuk menyenangkan hati gurunya.

   "Ya guru."

   "Apakah kau menjawab sesungguhnya?"

   Kebo Ijo menarik alisnya. Jawabnya.

   "Ya guru."

   "Tidak sekadar untuk menyenangkan hatiku."

   "Ah,"

   Kebo Ijo berdesah. Tetapi hatinya mengumpat tidak habis- habisnya.

   "Baiklah,"

   Berkata gurunya.

   "mungkin kau tidak dapat mengerti sekarang. Mungkin kau jemu dan bahkan muak mendengar nasihatku. Mungkin kau mengumpat-umpat di dalam hatimu."Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar. Apakah Panji Bojong Santi itu dapat membaca perasaannya.

   "Tetapi Kebo Ijo,"

   Berkata gurunya itu seterusnya.

   "kalau kau nanti sempat merenungkannya, maka aku mengharap bahwa kau akan dapat membenarkan kata-kataku."

   Tanpa sesadarnya sekali lagi Kebo Ijo mengangguk.

   "Ya guru."

   Panji Bojong Santi pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah bibirnya tersenyum. Katanya.

   "Aku tidak yakin terhadap anggukan kepalamu itu Kebo Ijo. Tetapi biarlah. Kau memerlukan waktu dan pengalaman untuk memahami kebenaran kata-kataku."

   Kemudian kepada Ken Arok ia berkata.

   "Sudahlah Ngger. Tinggalkanlah aku di sini. Malam ini aku minta izin untuk bermalam di perkemahan ini."

   "Oh, kami akan sangat bersenang hati Bapa. Bukan saja malam ini, tetapi malam-malam berikutnya pun akan sangat memberi kegembiraan kepada kami, seperti paman Mahisa Agni pernah berada di perkemahan ini pula."

   "Paman Mahisa Agni?"

   "Ya, Empu Gandring."

   "Oh,"

   Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian.

   "Aku pernah juga mendengar. Bahkan kehadirannya di sini tidak dapat menyelamatkan Mahisa Agni."

   "Ya. Meskipun Empu Gandring telah berusaha sekuat-kuat tenaganya. Akulah yang terlampau bodoh waktu itu. Aku tidak dapat membantunya sama sekali. Padahal yang datang mengambil Mahisa Agni waktu itu adalah kakak-beradik dari Kemundungan dan Kuda Sempana, murid Empu Sada."

   "Ya, ya aku pernah mendengar."

   Panji Bojong Santi terdiam sesaat. Wajahnya menyadi berkerut-merut. Dan pelahan-lahan ia berkata.

   "Karena itu Kebo Ijo, kau harus berhati-hati. Sebelum kalian datang ke taman malam ini, aku melihat dua orang berkuda melintas tidak terlampau jauh dari taman yang sedang kalian buatitu. Aku tidak begitu jelas siapakah mereka itu. Tetapi menilik cara mereka berkuda, terutama yang seorang, maka aku menduga bahwa orang itu adalah Kebo Sindet. Tetapi mereka tidak mendekati perkemahan ini. Mereka hanya melintas. Aku tidak tahu, dari manakah mereka dan untuk apa mereka berkeliaran di sekitar tempat ini."

   Wajah Kebo Ijo menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Yang bertanya kemudian adalah Ken Arok.

   "Apakah menurut pendapat Bapa mereka hanya sekadar lewat?"

   "Kali ini aku kira begitu. Entahlah kalau ada maksud maksud lain yang tidak aku ketahui."

   "Tetapi mereka tahu, di sini ada sepasukan prajurit segelar sepapan. Kami tidak akan melakukan kesalahan yang serupa, datang kepada mereka ketika kami dipancingnya."

   Panji Bojong Santi mengangguk-angguk.

   Tetapi Mahisa Agni itu sudah telanjur lenyap ditelan oleh iblis Kemundungan itu.

   Kini sejenak mereka saling berdiam diri.

   Wajah-wajah mereka yang tenang memancarkan pergolakan di dalam dada masing- masing.

   Ternyata orang yang telah mengambil Mahisa Agni itu masih saja berkeliaran di sekitar bendungan ini.

   "Apakah yang sebenarnya mereka kehendaki?"

   Desis Ken Arok kemudian.

   "Mahisa Agni itu, atau menggagalkan rencana pembuatan bendungan ini? Kalau yang mereka kehendaki Mahisa Agni, maka mereka aku kira sudah tidak akan mengganggu pekerjaan kita di sini. Tetapi apa bila mereka mengambil Mahisa Agni sebagai suatu cara untuk menggagalkan pembuatan bendungan ini, maka kita yang di sini harus memperhitungkan kehadirannya setiap saat."

   Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya.

   "Menurut pendengaranku Ngger, Kebo Sindet hanya berkepentingan dengan Mahisa Agni. Itu pun hanya akan dipergunakannya sebagaialat pemerasan. Ia mengharap Tuan Puteri Ken Dedes akan menukar kakak angkatnya itu dengan apa saja yang diminta oleh Kebo Sindet."

   "Licik dan memuakkan,"

   Geram Ken Arok.

   "Bagi orang semacam Kebo Sindet maka segala jalan akan dapat ditempuh untuk mencapai maksudnya. Licik, memuakkan, bengis, dan segala macam cara."

   Ken Arok tiba-tiba menggeram. Katanya.

   "Kalau aku diberi wewenang maka aku akan dapat membawa pasukan untuk menangkapnya. Aku tidak akan kembali tanpa membawanya hidup atau mati. Untuk meyakinkan usaha itu, maka aku akan dapat memohon bantuan kepada Empu Gandring kepada Bapa Panji Bojong Santi dan kepada para perwira yang tangguh. Mereka pasti tidak akan berkeberatan. Dan Kebo Sindet itu pasti akan dapat aku tangkap."

   "Hal itu dapat kau lakukan pada saat-saat tidak seperti sekarang Ngger,"

   Sahut Panji Bojong Santi.

   "Sekarang Angger Mahisa Agni sudah telanjur berada di sarang mereka. Itu terlampau berbahaya bagi jiwanya."

   "Itulah sebabnya Bapa,"

   Desis Ken Arok.

   "Empu Gandring pun berkata demikian. Kini sedang dilakukan usaha untuk melepaskannya dengan cara yang lain. Cara yang tidak aku mengerti dan tidak seorang pun yang mengerti. Sehingga perkembangan usaha itu pun sama sekali tidak dimengerti oleh siapa pun. Entahlah apabila Empu Gandring telah mendapat beberapa keterangan tentang itu."

   Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Tetapi persoalan itu bukan persoalan yang terlalu mudah untuk dipecahkan seperti akan menangkap Kebo Sindet itu sendiri.

   Di mana pun ia bersembunyi, namun mencari dan menangkapnya pasti akan lebih mudah daripada melepaskan Mahisa Agni dari tangan hantu Kemundungan itu sendiri."Sudahlah Ngger.

   Pikirkanlah hal itu sebaik-baiknya.

   Kita tidak boleh tergesa-gesa.

   Tetapi kini yang terbentang di hadapan kaki Angger adalah bendungan, susukan induk, parit-parit, dan sendang buatan itu.

   Kalau Angger melaksanakan rencana ini dengan baik, maka apa yang Angger kerjakan itu pasti akan menyenangkan hati Angger Mahisa Agni, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, orang-orang Panawijen, dan bahkan seluruh rakyat Tumapel.

   Berkembangnya Padang Karautan menjadi daerah yang reja, akan berpengaruh pula atas kebesaran Tumapel seluruhnya."

   Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ia sadar akan kewajibannya.

   Kalau Akuwu Tunggul Ametung benar-benar ingin menangkap Kebo Sindet maka hal itu dapat diserahkan kepada orang lain tanpa menghentikan kerja di Padang Karautan.

   Mungkin Witantra sendiri atau Sidatta atau perwira-perwira yang lain.

   Ken Arok kemudian mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Panji Bojong Santi itu berkata.

   "Nah, beristirahatlah Ngger. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Angger perlu tidur meskipun hanya sejenak supaya tubuh Angger besok menjadi segar kembali."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja terasa badannya penat dan kantuk. Karena itu maka jawabnya.

   "Baiklah Bapa, aku minta diri. Mungkin aku masih dapat tidur beberapa saat."

   "Silakanlah."

   Ketika Ken Arok kemudian sampai di muka pintu, ia berpaling sambil berkata.

   "Beristirahatlah pula adi Kebo Ijo. Aku kira kau lebih lelah daripada aku karena perjalananmu hari ini. Besok kau akan melihat cara kami bekerja untuk yang pertama kali."

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya,"

   Jawab Kebo Ijo singkat.

   Terlalu singkat.

   Ken Arok menarik alisnya, bahkan Panji Bojong Santi terpaksa berpaling ke arahnya.

   Tetapi Kebo Ijo telah memalingkan wajahnya pula memandangi rak-rakan tempat ia meletakkan sebungkus pakaian."Selamat malam Bapa,"

   Desis Ken Arok pelahan sambil meninggalkan gubug itu. Dan ia mendengar orang tua itu menyahut pelahan-lahan pula.

   "Selamat tidur Ngger."

   Tetapi Ken Arok mengerutkan dahinya ketika ia memandangi cakrawala di ujung timur. Ia melihat cahaya di langit yang sudah mulai semburat merah.

   "Ah, hampir fajar,"

   Desisnya.

   "apakah aku masih dapat tidur?"

   Ketika Ken Arok sampai ke tempat terbuka di sisi perkemahan ia menarik nafas dalam-dalam.

   Ia melihat sebagian dari orang-orang Panawijen dan prajurit Tumapel bergelimpangan tidur terbujur lintang.

   Agaknya mereka menjadi penat dan kantuk, sehingga mereka tidak sempat untuk kembali ke gubug masing-masing.

   "Ternyata besok kita masih belum dapat bekerja sepenuh tenaga. Orang-orang ini pasti masih lelah dan kantuk. Agaknya mereka pun belum lama tertidur,"

   Gumam Ken Arok kepada diri sendiri.

   Ia masih melihat perapian yang membara.

   Bahkan ia masih melihat bumbung-bumbung tempat minum masih terisi dan makanan di mangkuk-mangkuk masih berserakan.

   Akhirnya Ken Arok itu pun memasuki gubugnya sendiri.

   Dibaringkannya tubuhnya tanpa membuka dan berganti pakaian.

   Pakaian yang basah oleh keringat dan kotor karena tanah dan debu.

   Namun karena lelah, maka ia pun akhirnya tertidur juga.

   Tetapi Ken Arok ternyata tidak terlalu lama lelap dalam tidurnya.

   Dipengaruhi oleh kebiasaannya maka ia pun segera terbangun ketika fajar di timur telah memancarkan sinarnya yang merah, seolah-olah langit di cakrawala itu sedang terbakar.

   Namun waktu yang pendek itu ternyata telah dapat menyegarkan tubuhnya.

   Sambil menguap Ken Arok menggeliat.

   Sebenarnya ia masih ingin tidur lebih lama lagi.

   Tetapi tanggung jawabnya telah memaksanya bangkit dan berjalan keluar dari gubugnya.

   Ketika ia menyuruk pintu, dan kemudian berada di luar, maka perkemahan itu masih terlampau sepi.

   Meskipun padang itu sudahmenjadi semakin terang oleh cahaya pagi yang turun pelahan-lahan, namun Ken Arok belum melihat seorang pun.

   "Hem, mereka masih nyenyak dalam tidurnya,"

   Desisnya.

   Pelahan-lahan ia melangkah ke sudut gubugnya.

   Diambilnya air sesiwur untuk mencuci mukanya, menghilangkan sisa-sisa kantuknya.

   Kemudian diambilnya air sesiwur pula.

   Tetapi kali ini diminumnya.

   Terasa tenggorokannya menjadi jernih dan bening.

   Banyu wayu selalu dipakainya untuk mencuci tenggorokkannya, sehingga hal itu menjadi kebiasaan baginya.

   Ken Arok itu pun kemudian berjalan menyusur gubug demi gubug.

   Sebagian gubug-gubug itu masih kosong.

   Ternyata orang- orangnya tertidur di tempat mereka bersenang-senang semalam.

   Tetapi ada pula di antaranya yang sudah berada di dalam gubugnya namun mereka masih nyenyak membenamkan dirinya di bawah kain panjangnya.

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   Hari ini seharusnya mereka telah mulai lagi dengan kerja mereka.

   Tetapi Ken Arok serasa tidak sampai hati untuk membangunkan mereka, dan memaksa mereka untuk bekerja.

   Meskipun demikian Ken Arok tidak akan dapat membiarkannya.

   Untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan mendatang, maka ia harus menepati peraturan yang sudah dibuatnya, supaya tidak menjadi kebiasaan, bahwa para prajurit dan orang-orang Panawijen itu bekerja seenaknya.

   Apabila mereka ingin sajalah, mereka bekerja tanpa perencanaan waktu yang baik.

   "Aku terpaksa membangunkan mereka,"

   Desisnya. Ketika Padang Karautan itu menjadi semakin terang, maka Ken Arok melihat seseorang keluar dari gubugnya. Ketika dilihatnya Ken Arok telah berada di sampingnya, ia terkejut. Terbata-bata ia berkata.

   "Aku kerinan. Semalam aku bangun hampir semalam suntuk."Tetapi Ken Arok tersenyum dan berkata.

   "Ternyata kau bangun paling pagi. Kau adalah orang yang paling rajin hari ini. Nah, pergilah ke sudut perkemahan itu. Bunyikanlah kentongan supaya kawan-kawanmu terbangun."

   Orang-orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia bangun paling pagi.

   "Hari ini aku adalah orang yang paling rajin,"

   Katanya di dalam hatinya.

   Dan ia berbangga karenanya.

   Dengan tergesa-gesa orang itu memaksa dirinya yang masih terkantuk-kantuk berjalan ke sudut perkemahan untuk membunyikan kentongan.

   Sekali ia menguap, namun kemudian diayunkannya tangannya memukul kentongan itu.

   Sekejap kemudian bergemalah suara kentongan itu ke seluruh perkemahan, bahkan seolah-olah udara Padang Karautan itu telah digetarkan oleh suaranya.

   Ternyata suara kentongan itu telah mengejutkan para prajurit dan orang-orang Panawijen.

   Mereka yang masih tidur dengan nyenyaknya segera berloncatan berdiri.

   Sebagian dari mereka yang tertidur di tepi perapian di luar gubug-gubug mereka segera berlari- larian ke gubug masing-masing untuk menyiapkan diri, mengambil peralatan-peralatan kecil, dan membenahi pakaian mereka.

   Tetapi ada pula yang menggeliat dengan malasnya sambil bergumam.

   "Ah, serasa baru saja mataku terpejam."

   Ternyata Kebo Ijo pun tcrkejut mendengar suara kentongan itu. Ia pun belum lama dapat tertidur. Ketika ia bangkit maka segera ia mengumpat.

   "Setan mana yang berani mengejutkan aku itu? Seharusnya ia tidak mempergunakan kentongan yang memekakkan telinga itu."

   Tetapi ia terdiam ketika kemudian dilihatnya gurunya telah duduk bersila di sudut perkemahannya.

   Agaknya gurunya telah lama terbangun.

   Bahkan mungkin tidak tidur sama sekali.

   Panji Bojong Santi telah merapihkan pakaiannya.

   Rambutnya telah dibenahinya dengan baik.

   "Bukan suara kentongan itu yang salah Kebo Ijo,"

   Berkata gurunya.

   "tetapi kaulah yang terlambat bangun.""Ya guru,"

   Sahut Kebo Ijo.

   "Kentongan itu mungkin suatu tanda, bahwa para prajurit harus sudah siap untuk berangkat. Begitu barangkali? Aku tidak tahu isyarat-isyarat yang dipergunakan di sini."

   Kebo Ijo menggeleng.

   "Aku pun belum tahu guru. Kami belum pernah membicarakan masalah tengara yang dapat kita pergunakan di padang ini. Itu adalah pokal Ken Arok sendiri."

   "Mungkin kebiasaan itu berlaku sejak kau belum datang kemari, sehingga sampai saat ini masih dipergunakannya."

   "Tetapi sejak kehadiranku, maka aku pun harus tahu setiap persoalan dan persetujuan di sini. Semuanya harus dibicarakan dengan aku."

   "Kenapa?"

   "Aku termasuk seorang pimpinan di antara dua. Aku dan Ken Arok."

   Tiba-tiba Panji Bojong Santi menggeleng.

   "Tidak. Jangan kau sangka aku tidak tahu Kebo Ijo. Coba, apakah perintah yang diberikan oleh Akuwu kepadamu?"

   Kebo Ijo terdiam.

   "Menurut kakakmu Witantra, kau dikirim untuk membantu Ken Arok di sini, karena menurut rencana Ken Arok, waktu bekerja akan diperpanjang, sehingga ia memerlukan seorang pembantu untuk melaksanakan kerja ini. Pembantu. Seorang pembantu yang dapat memimpin pekerjaan ini apabila ia beristirahat. Itu saja. Jangan merasa dirimu terlampau berkuasa. Kalau Ken Arok seorang pemimpin yang baik, ia pasti akan membawamu berbincang. Kalau tidak, itu adalah haknya untuk membuat keputusan."

   Kebo Ijo tidak menjawab. Ia tidak mau berbantah dengan gurunya, meskipun ia tidak sependapat, di dalam hatinya ia bergumam.

   "Tidak. Aku bukan sekadar seorang pembantu yang harus tunduk pada perintah. Aku adalah seorang pemimpinsepasukan prajurit yang diperbantukan kepada Ken Arok. Di antara keduanya ada perbedaan."

   Tetapi Kebo Ijo tidak mengucapkannya. Bahkan ia mendengar gurunya berkata.

   "Cepatlah Kebo Ijo, kau harus ada di antara prajurit-prajurit yang sedang bekerja itu di harimu yang pertama. Kau harus menunjukkan bahwa kau bersungguh-sungguh."

   Kebo Ijo mengerutkan dahinya. Tetapi ia menyawab.

   "Baik guru."

   Kebo Ijo itu pun segera meninggalkan gubugnya. Di sepanjang langkahnya ia menggerutu.

   "Ah, aku masih juga dianggapnya seorang anak kecil. Aku sudah cukup dewasa. Sudah berkeluarga pula. Seharusnya guru bersikap lain terhadapku. Tidak seperti seorang anak yang sedang dituntun belajar berjalan."

   Tetapi ia terdiam ketika ia melihat bahwa para prajurit dan orang-orang Panawijen telah berkumpul dan siap untuk berangkat. Ketika ia sampai di tempat itu, ia mendengar Ken Arok berkata.

   "Ternyata kalian hari ini terlambat bangun."

   "Setan,"

   Geram Kebo Ijo.

   "apakah ia menyindir aku."

   Tetapi ia mendengar Ken Arok berkata seterusnya.

   "Juru masak pun terlambat pula bangun, sehingga saat ini mereka masih belum dapat menyediakan makan pagi kalian. Tetapi tidak apa. Setelah kalian beristirahat maka agaknya kalian masih belum siap benar menghadapi kerja hari ini. Selanjutnya, kalian harus segera berangkat. Makan pagi kalian akan diantar ke tempat pekerjaan kalian masing-masing. Yang belum sempat mandi atau mencuci muka, tidak ada waktu lagi untuk melakukannya. Kalian harus segera berada di tempat kerja kalian masing-masing."

   Ken Arok berhenti sejenak. Ketika kemudian dilihatnya Kebo Ijo, ia berkata.

   "Prajurit-prajurit yang datang kemudian, bekerja pula seperti dahulu. Kita masih harus membicarakan pembagian waktu sebaik- baiknya sebelum dilakukan perpanjangan waktu bekerja. Sekarang, berangkatlah ke tempat masing-masing. Para prajurit yang baru aku tempatkan di sendang dan taman. Orang-orang yang lama, yang aku serahi memimpin bagian-bagian dari kerja itu, akanmenunjukkan kepada kalian, apa saja yang dapat kalian lakukan di hari pertama ini."

   Kebo Ijo yang berdiri di sisi para prajurit dan orang-orang Panawijen itu mengerutkan keningnya.

   Ia melihat sesuatu yang menggetarkan perasaannya.

   Ternyata Ken Arok cukup disuyuti oleh orang-orangnya.

   Meskipun pimpinan yang masih muda itu tidak bersikap keras dan kasar, tetapi Kebo Ijo melihat betapa wajah para prajurit Tumapel yang berdiri dengan alat-alat mereka di tangan itu merasa takut dan menyesal atas keterlambatan mereka.

   Sehingga ketika Ken Arok telah memerintahkan kepada mereka untuk berangkat, maka mereka pun segera menghambur ke tempat kerja masing-masing seperti sedang dikejar hantu.

   Yang tinggal di perkemahan, kecuali para juru masak dan orang- orang yang memang bertugas menjaga perkemahan, adalah Ken Arok dan Kebo Ijo.

   Betapa Kebo Ijo mengagumi sikap kepemimpinan Ken Arok, namun kemudian ia pun mendekatinya dan masih juga mencelanya.

   "Ken Arok, kau tidak dapat menangkap gelagat orang-orangmu. Mereka masih terlampau letih. Sekarang kau paksa mereka untuk bekerja."

   Sesaat Ken Arok memandangi wajah Kebo Ijo dengan penuh keheranan. Tetapi kemudian ia menyawab.

   "Kau memang aneh adi Kebo Ijo. Aku kira kau akan menyalahkan aku, kenapa aku tidak marah-marah dan membentak-bentak karena orang-orang itu terlambat bangun, atau akan menyuruh aku memukul satu-dua di antara mereka untuk memberi sedikit pelajaran, agar hal-hal yang serupa tidak terulang."

   Dada Kebo Ijo berdesir mendengar jawaban itu.

   Sejenak ia terdiam.

   Ia merasa sebuah sindiran yang tajam terhadapnya.

   Dan tiba-tiba ia menyadari pertentangan dalam sikapnya sendiri.

   Suatu ketika ia ingin menegakkan ketaatan para prajurit Tumapel, bahkan apabila perlu dengan kekerasan, tetapi tiba-tiba ia bersikap terlampau kendor menghadapi keadaan.

   Dan ia mendengar Ken Arok meneruskan.

   "Meskipun aku tidak mempergunakan kekerasan, tetapi aku pun ingin setiap peraturanyang telah aku buat, dilakukan dengan baik oleh para prajurit. Lihat, meskipun aku tidak memberikan perintah apa pun terhadap orang- orang Panawijen, karena mereka memang berada di luar kesatuan prajurit Tumapel, sehingga terhadap mereka harus dilakukan sikap yang lain, namun mereka pun terpengaruh pula oleh sikap para prajurit. Ketika para prajurit berhamburan ke pekerjaan masing- masing, maka orang-orang Panawijen pun berlari-larian pula ke bendungan. Meskipun mereka lelah dan kantuk, tetapi mereka harus berangkat ke tempat kerja mereka. Jangan menjadi kebiasaan untuk menyimpang dari keharusan, kecuali dalam hal-hal yang sangat khusus. Kebo Ijo tidak menyahut. Wajahnya menjadi panas, seolah-olah ia dihadapkan pada cermin yang membayangkan cacat sendiri. Betapa ia mencari alasan untuk mempertahankan kata-katanya, tetapi ia terpaksa untuk diam diri beberapa lama. Bahkan yang berbicara kemudian adalah Ken Arok.

   "Nah, sekarang marilah. Kita pun pergi ke tempat kerja itu. Mungkin di hari pertama kau ingin melihat-lihat setiap pekerjaan yang kita lakukan di sini. Kita akan pergi ke bendungan, kemudian menyusur parit induk pergi ke tanah yang akan dipergunakan sebagai tanah persawahan, sehingga akhirnya kita akan sampai ke taman yang sedang dikerjakan itu. Dengan demikian kau akan mendapat gambaran, bagaimana kerja ini dilakukan."

   Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata.

   "Marilah. Kita akan melihat apa saja yang telah kita lakukan dan apa yang masih harus kita perbuat."

   Akhirnya Kebo Ijo itu menyawab.

   "Marilah."

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi ia menjadi heran ketika ia melihat Ken Arok melangkahkan kakinya, sehingga terloncat pertanyaannya.

   "Apakah kita akan berjalan kaki saja?"

   Kini Ken Aroklah yang menjadi keheran-heranan mendengar pertanyaan itu. Sambil menghentikan langkahnya, dipandanginyawajah Kebo Ijo. Sejenak kemudian terdengarlah ia bertanya.

   "Lalu, apakah kita harus naik pedati?"

   Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Katanya.

   "Apakah menjadi kebiasaanmu berbuat demikian? Berjalan ke bendungan, menyusur susukan induk sampai ke sendang yang sedang kau buat itu? Itu hanya akan membuang waktu dan tenaga."

   "Bagaimanakah sebaiknya?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Bukankah kau dapat naik kuda?"

   Ken Arok menarik nafas panjang. Sambil menggelengkan kepalanya pelahan-lahan ia berkata.

   "Tidak. Kalau kita naik kuda, kita hanya seperti orang yang sedang lewat saja. Kita tidak dapat menyaksikan dari dekat, apa yang telah kita kerjakan."

   "O, kau berpikir seperti kanak-kanak. Kau sangka kita akan berkuda tanpa berhenti? Tanpa aku terangkan, seharusnya kau sudah tahu. Di tempat-tempat tertentu kita berhenti dan melihat kerja para prajurit. Kemudian kita tinggalkan mereka pergi ke tempat yang lain. Dengan demikian kita tidak kehilangan waktu di sepanjang jalan, dan kita tidak terlalu letih karenanya. Sebab kerja ini tidak hanya satu-dua hari saja."

   Tetapi sekali lagi Ken Arok menggeleng.

   "Aku di sini adalah sebagian dari mereka. Sebagian dari para pekerja. Aku harus ada di antara mereka. Aku harus melihat setiap jengkal tanah yang sedang dikerjakan. Kalau aku berkuda, maka aku akan memisahkan diri dari mereka. Dan aku adalah seorang pemimpin yang menarik garis pemisah dengan orang-orangku sendiri."

   "Ah, alasanmu selalu itu-itu saja."

   "Kau melihat hasilnya. Apakah aku harus marah-marah dan membentak-bentak setiap kali? Tidak, dan orang-orangku cukup menaati perintahku. Mereka menyadari apa yang mereka lakukan. Bukan sekadar karena terpaksa. Kerja di Padang Karautan ini tidak seluruhnya sama seperti di medan perang. Dan kita, yang diserahi pimpinan harus dapat menyesuaikan diri, di mana medan yangsedang kita hadapi. Bendungan, susukan , dan sendang itu bukanlah musuh yang harus dihadapi dengan kekerasan, tetapi harus dilakukan dengan hati gembira, menyenangi kerja yang sedang dilakukan. Dengan demikian maka hasilnya pun akan memancarkan kegembiraan pula. Kelak, setiap prajurit yang lewat di samping bendungan dan taman ini akan berkata sambil berbangga.

   "Aku ikut membuat bendungan dan taman ini."

   Dan mereka tidak melakukan sebaliknya, mengeluh sambil mengutuk.

   "Terkutuklah bendungan dan taman ini, yang telah memeras keringatku sampai kering."

   Jawaban Ken Arok itu ternyata telah menyentuh perasaan Kebo Ijo. Tetapi karena sifat-sifatnya yang tinggi hati dan sombong maka ia tidak segera mengakui kebenaran kata-kata Ken Arok itu. Bahkan ia masih membantah.

   "Tetapi untuk itu kau tidak perlu terlampau merendahkan dirimu."

   "Hanya orang-orang yang merasa dirinya terlampau berharga yang berpendirian demikian. Tetapi perasaan tinggi hati yang berlebih-lebihan itu sama sekali tidak akan bermanfaat dalam kerja ini. Kerja yang besar dan akan bermanfaat bagi banyak orang."

   Kebo Ijo terdiam sejenak. Ia tidak segera menemukan jawaban yang tepat. Tetapi ia telah mendengar Ken Arok itu berkata.

   "Marilah, jangan terlampau lama menunggu. Orang-orang itu sudah mulai dengan kerja mereka, dan kita hanya berbicara saja di sini. Di Padang Karautan ini, berbicara berkepanjangan tidak akan berguna sama sekali."

   Seleret warna merah menyambar wajah Kebo Ijo. Tetapi sebelum ia menjawab, didengarnya suara yang telah dikenalnya baik-baik.

   "Aku ikut Ngger. Apakah Angger tidak berkeberatan?"

   Ken Arok dan Kebo Ijo berpaling. Di sudut sebuah gubug berdiri guru Kebo Ijo itu.

   "Tentu,"

   Sahut Ken Arok.

   "kami akan senang sekali mengantarkan Bapa Panji melihat kerja kami.""Marilah."

   Panji Bojong Santi tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia melangkah mendekati Ken Arok. Kemudian katanya pula.

   "Marilah kita berangkat, mumpung belum terlampau siang."

   "Marilah,"

   Sahut Ken Arok.

   Keduanya segera berjalan ke arah bendungan yang sedang dikerjakan.

   Seperti berjanji mereka sama sekali tidak mengacuhkan Kebo Ijo lagi.

   Kebo Ijo kini tidak dapat berbuat lain.

   Gurunya dan Ken Arok telah berjalan mendahuluinya.

   Sehingga ia pun terpaksa melangkahkan kakinya sambil mengumpat-umpat di dalam hatinya.

   Namun ia pun berjalan di samping Ken Arok dan gurunya itu pula.

   Sejenak mereka saling berdiam diri.

   Langkah mereka seolah-olah menjadi terlampau tergesa-gesa.

   Sekali-dua kali mereka meloncati parit, gundukan-gundukan tanah, dan timbunan rangka-rangka brunjung bambu yang masih belum terisi batu.

   Sebelum mereka sampai di bendungan, mereka telah melihat orang-orang yang sedang bekerja menyelesaikan beberapa buah bendungan-bendungan kecil pada susukan induk untuk membagi air ke parit-parit.

   Kemudian mereka melihat orang-orang yang sedang memperdalam beberapa bagian dari jari-jari parit yang mencekam tanah yang telah disiapkan untuk menjadi daerah persawahan.

   Beberapa buah pedati berjalan tertatih-tatih membawa beberapa macam peralatan, dan beberapa orang sibuk mengemudikan bajak untuk melunakkan tanah.

   Beberapa pasang lembu berjalan menarik pedati dan bajak, yang dari kejauhan tampak seperti sebuah permainan yang mengasyikkan.

   Bulu-bulunya yang putih tampak berkilat-kilat ditimpa oleh cahaya matahari pagi.

   Sekali-sekali terdengar cambuk melengking memecah hiruk-pikuk orang-orang yang sedang mengisi brunjung-brunjung dengan pecahan batu dan mendorongnya turun ke sungai.

   Ketika mereka sampai ke bendungan, maka mereka pun berhenti.

   Panji Bojong Santi memandangi orang-orang yang sedang bekerja itu dengan penuh kekaguman.

   Hampir tak seorang pun yang sempat berbicara di antara mereka.

   Kerja.Memang di dalam kerja seperti ini tidak ada waktu untuk terlampau banyak berbicara.

   Pembicaraan yang berkepanjangan hanya akan menggangu saja.

   Kebo Ijo pun ternyata berdiri tegak dengan penuh kekaguman.

   Ia tidak dapat membayangkan sebelumnya, bagaimanakah bentuk dari kerja yang dilakukan oleh Ken Arok di Padang Karautan.

   Ternyata bahwa kerja yang dihadapinya benar-benar suatu kerja raksasa.

   Bukan hanya sekadar bermain-main seperti orang-orang yang sedang memperbaiki parit yang sering dilihatnya di tepi jalan-jalan Tumapel.

   Orang yang lebih banyak duduk, atau berjongkok atau bercakap-cakap daripada kerja.

   Tetapi di sini sama sekali tidak terbayang sejumput pun kemalasan dan keseganan dari para pekerja.

   Apakah mereka itu orang Panawijen atau prajurit-prajurit dari Tumapel, sudah tidak dapat dibedakan lagi di dalam kerja itu.

   Mereka bersama-sama melakukan pekerjaan mereka, yang sudah terbagi di dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok.

   Kemudian beberapa kelompok kecil merupakan suatu kesatuan yang lebih besar di bawah pimpinan seseorang.

   Dengan demikian maka kerja yang tampaknya ribut itu ternyata tidak saling bersimpang-siur.

   Masing-masing melakukan kerjanya sendiri-sendiri dengan tertib dan teratur.

   "Gila,"

   Kebo Ijo mengumpat di dalam hatinya.

   "ternyata Ken Arok mampu menguasai orang-orang itu dengan caranya. Tampaknya mereka bekerja dengan penuh kesungguhan, tetapi wajah-wajah mereka tampaknya jernih dan gembira. Adalah suatu keahlian tersendiri untuk memimpin orang-orang yang sekian banyaknya dengan cara yang demikian."

   Dan yang terdengar adalah suara Panji Bojong Santi.

   "Aku sama sekali tidak melihat prajurit-prajurit yang sedang bekerja sebagai seorang prajurit dengan kepatuhan yang mati. Tetapi aku melihat sesuatu yang hidup dan menyala di dalam kepatuhan mereka melakukan kerja ini. Mereka sudah menganggap kerja mereka ini sebagai suatu pengabdian, seperti mereka sedang berperangmengusir musuh dari tanah tumpah darah. Namun kali ini mereka tidak dicekam oleh ketegangan karena bergulat melawan maut. Tetapi wajah-wajah mereka menjadi cerah dalam terik matahari seperti mereka sedang bertamasya."

   Ken Arok tersenyum mendengar pujian itu. Katanya.

   "Bapa selalu memuji kami di padang yang kering ini."

   "Aku melihat kerja yang sebenarnya, Ngger. Di sinilah aku melihat orang bekerja. Tidak saja di bangsal-bangsal istana atau di banjar-banjar padukuhan. Bukan hanya mereka yang berbicara dan berbincang untuk melahirkan perintah-perintah bagi rakyat Tumapel. Tetapi di sinilah aku melihat kerja yang sebenarnya. Kerja yang langsung bermanfaat tidak saja bagi orang-orang Panawijen."

   "Mudah-mudahan kami berhasil di sini Bapa."

   "Tentu. Kalian akan berhasil. Kecuali apabila ada hal-hal yang tidak disangka-sangka. Hilangnya Angger Mahisa Agni adalah salah satu hambatan dari kerja raksasa ini. Seandainya masih ada, maka Angger akan mendapat kawan kerja yang luar biasa."

   "Bukan saja kawan kerja Bapa,"

   Sahut Ken Arok.

   "tetapi ia adalah seorang yang mempunyai otak cemerlang. Aku sekarang tinggal melaksanakan saja rencana yang telah dibuatnya, kecuali sendang dan taman itu."

   "Huh,"

   Tiba-tiba Kebo Ijo memotong.

   "kau mempunyai tanggapan yang berlebih-lebihan atas Mahisa Agni. Ia adalah seorang anak muda padesan biasa saja. Ia tidak lebih dari anak- anak padesan yang lain."

   "Tetapi bendungan itu adalah perwujudan dari rencananya,"

   Sahut Ken Arok.

   "Ia hanya merencanakan sebuah bendungan, tidak lebih. Prajurit-prajurit Tumapel lah yang meneruskan rencana itu dan kemudian mclaksanakannya dengan baik, yang barangkali tidak pernah diimpikan oleh Mahisa Agni sendiri.""Hem,"

   Terdengar Panji Bojong Santi berdesah. Dan tiba-tiba saja Kebo Ijo menyadari bahwa ia berada di samping gurunya, sehingga ia pun kemudian terdiam. Yang berbicara kemudian adalah Ken Arok.

   "Kesalahan yang serupa tidak boleh terulang Bapa. Kegagalan-kegagalan yang akan sangat menghambat kerja ini harus dihindari sejauh mungkin."

   Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tak habis-habisnya ia mengagumi kerja yang besar itu. Dan tanpa sesadarnya ia berkata.

   "Kebo Ijo. Kau harus mencoba menyesuaikan dirimu dengan kerja ini. Kerja ini bukanlah sekadar permainan yang dilakukan kapan saja kau mengingini. Tetapi kerja ini adalah kerja yang terus-menerus. Kerja ini berhenti apabila benar-benar telah rampung." (bersambung ke

   Jilid 32) koleksi . Ki Ismoyo scanning . Ki Ismoyo Retype . Ki Sukasrana Proofing . Ki Hartono Cek ulang . Ki Arema ---ooo0dw0oo---

   Jilid 32 KEBO IJO mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengangguk sambil menjawab.

   "Ya guru."

   Sementara itu matahari di langit merambat semakin tinggi.

   Awan yang putih selembar- selembar mengalir ke Utara didorong oleh angin padang yang kering.Ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya, maka segera keningnya berkerut.

   Dilihatnya di sudut langit segumpal awan yang kehitaman-hitaman.

   Jauh dan semakin menjauh.

   Tetapi ia bergumam di dalam hatinya.

   "Langit telah memberi peringatan. Kita harus semakin cepat bekerja sebelum musim basah tiba. Yang penting adalah, bendungan ini harus siap lebih dahulu. Yang lain- lain dapat dilakukan meskipun dimusim basah."

   Anak muda itu berpaling ketika ia mendengar Panji Bojong Santi berkata.

   "Nah, akan kau bawa kemana lagi kami ngger?"

   "Kita akan berjalan menyusur susukan ini Bapa. Setiap kali kita akan menjumpai orang-orang yang sedang bekerja menurut tugas masing-masing. Aku ingin menunjukkan kepada Adi Kebo Ijo, keseluruhan dari tugas kita di Padang Karautan ini."

   "Marilah, aku juga ingin melihatnya. Aku pasti akan menjadi semakin kagum karenanya."

   Sahut Panji Bojong Santi.

   Ketiganya pun kemudian meninggalkan bendungan.

   Mereka berjalan menyusur susukan induk.

   Ternyata susukan itu pun masih juga dikerjakan.

   Dibeberapa bagian masih perlu diperdalam, dan di tempat-tempat tertentu telah dibangunkan bendungan-bendungan kecil untuk mengangkat air dari susukan induk itu ke parit-parit.

   "Bukan main."

   Desis Panji Bojong Santi.

   "Bagaimana bapa?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Pekerjaan ini hampir tidak ada celanya. Semua bagian yang paling kecil pun tidak terlepas dari perhitungan."

   "Ya."

   Sahut Ken Arok.

   "agaknya Mahisa Agni benar-benar menguasai persoalan yang sedang direncanakan."

   "Ah."

   Kebo Ijo tiba-tiba berdesah, sehingga gurunya dan Ken Arok bersama-sama berpaling kepadanya. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.Wajahnya menjadi semakin suram ketika ia mendengar Ken Arok meneruskan kata-katanya.

   "Mahisa Agni telah membuat patok-patok di Padang ini, dan kita sekarang tinggal meneruskannya."

   Panji Bojong Santi mengangguk-angguk, sementara kaki-kaki mereka melangkah terus di atas tanah berdebu.

   Sedang mata hari melambung semakin tinggi di langit, dan sinarnya pun kini telah mulai menggatalkan kulit.

   Kebo Ijo sekali-sekali mengusap peluh yang telah membasahi keningnya.

   Dengan malasnya ditariknya kakinya di atas Padang yang kering itu.

   Tidak habis-habisnya ia mengumpat di dalam hati.

   "Bodoh benar Ken Arok ini. Apakah bedanya apabila kita berkuda sekarang ini?"

   Tetapi ia masih harus melangkahkan kakinya terus.

   Tersuruk- suruk ke dalam debu yang sudah mulai hangat.

   Apalagi ketika diangkatnya kepalanya, memandangi Padang yang kering itu.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Matanya seakan-akan menjadi silau.

   Di kejauhan, dilihatnya segerumbul warna hijau.

   Itu adalah pepohonan yang dipelihara di taman dan di sekeliling sendang buatan, yang setiap hari masih harus disiram dengan air yang diambil dari sungai.

   Berpuluh-puluh lodong bambu yang diisi air diangkut dengan pedati-pedati setiap sore, sampai pada saatnya susukan induk itu kelak mengalirkan air yang naik dari bendungan dan mengalir ke sendang buatan, setelah di sepanjang jalannya, beberapa kali harus melampaui bendungan-bendungan kecil untuk menaikkan air ke parit-parit.

   Setiap kali ketiga orang yang melihat-lihat kerja raksasa itu berhenti, setiap kali Ken Arok memberi beberapa penjelasan kepada Kebo Ijo tentang pekerjaan itu.

   Meskipun semula Kebo Ijo itu acuh tak acuh saja mendengar keterangan Ken Arok, tetapi lama kelamaan, keterangan-keterangan itu menarik perhatiannya juga.

   Kekagumannya menjadi semakin besar atas kerja raksasa itu meskipun ada sesuatu yang seolah-olah menahannya untuk mengakui betapa cakapnya Mahisa Agni menyusun perencanaan itu,meskipun di sana-sini telah banyak mendapat penyempurnaan dari Ken Arok dan nasehat-nasehat dari pamannya Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen.

   Demikianlah, maka sehari itu Ken Arok memperkenalkan kerja raksasa yang harus dihadapnya kepada Kebo Ijo.

   Bendungan yang akan mengaliri sawah dan memberi lapangan hidup yang baru bagi orang-orang Panawijen, dan sebuah taman dan sendang buatan yang indah, yang akan dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada permaisurinya, seorang gadis dari Panawijen.

   Sehingga dengan demikian Kebo Ijo segera mendapat gambaran, betapa besarnya kerja di Padang Karautan.

   Kerja yang tidak dibayangkannya semula.

   Dalam pada itu, dua orang sedang berkuda perlahan-lahan menyusur sebuah hutan yang tidak terlampau lebat, masuk ke daerah yang berawa-rawa.

   Mereka adalah Kebo Sindet dan Kuda Sempana.

   Dalam perjalanan kembali ke persembunyian mereka, mereka tidak terlampau banyak berbicara.

   Ketika mereka telah berada di bibir rawa-rawa itu, maka mereka pun berhenti.

   Dengan ketajaman matanya Kebo Sindet memandang berkeliling.

   Tetapi tak ada yang mencurigakan baginya.

   "Kuda Sempana,"

   Desis Kebo Sindet itu kemudian.

   "lama- kelamaan kau pasti akan juga dapat mengenali jalan keluar dan masuk daerah ini. Tetapi sementara itu aku telah yakin, bahwa kau tidak akan dapat meninggalkan aku lagi. Dunia di luar dunia kita, tidak akan dapat lagi menerimamu. Karena itu, jangan mencoba mempertimbangkan untuk lari dari padaku."

   Kuda Sempana tidak menjawab.

   Bahkan wajahnya pun sama sekali tidak bergerak.

   Ia duduk saja berdiam diri sambil memandangi batang-batang pohon air yang berdiri tegak di tengah- tengah rawa-rawa itu.

   Pohon-pohonan dengan akar-akarnya yang berjuntai dan bahkan seolah-olah tumbuh dari dalam air.

   Beberapa cercah sinar matahari yang menyusup lewat sela-sela dedaunan memercikkan kilatan yang putih dari dalam air yangberlumpur itu.

   Meskipun matahari telah naik semakin tinggi, tetapi rawa-rawa itu seolah-olah masih diliputi oleh selembar kabut yang tipis.

   "Marilah,"

   Berkata Kebo Sindet kemudian.

   "kali ini kita telah gagal lagi. Perkawinan itu telah berlangsung. Tetapi kita masih belum menemukan seseorang yang dapat dibawa untuk bekerja bersama menyampaikan tawaran kepada Ken Dedes tentang kakaknya laki- laki itu."

   Kuda Sempana menganggukkan kepalanya, tetapi, ia tidak menjawab.

   Kebo Sindet pun tidak berbicara lagi.

   Segera kudanya disentuhnya.

   Perlahan-lahan kuda itu turun ke dalam air dan perlahan-lahan pula berjalan menyeberang diikuti oleh Kuda Sempana.

   Sesaat kemudian maka bayangan mereka pun telah hilang, tenggelam ke dalam kabut.

   Begitu bayangan itu telah menghilang, maka sekali lagi perdu di tepi rawa-rawa itu bergerak.

   Sejenak kemudian muncul pulalah sebuah bayangan.

   Dengan hati-hati sekali sesosok tubuh bergerak mendekati tempat Kebo Sindet turun ke dalam air.

   "Di sini mereka menyeberang."

   Desisnya.

   Dan sesosok tubuh itu pun berdiri tegak dengan tegangnya di tepi rawa itu.

   Sekali-sekali dipandanginya air yang berwarna lumpur, kemudian dicobanya untuk menembus kabut yang tipis di atas rawa-rawa itu dengan sorot matanya yang tajam.

   Tetapi sesosok tubuh itu, seorang laki-laki tua, tidak berhasil melihat sesuatu selain pohon-pohon air yang berdiri liar berserakan dirawa-rawa itu.

   "Tetapi aku harus menyeberang."

   Terdengar ia berdesis perlahan- lahan.

   "Kukorbankan nyawaku yang seolah olah tinggal merupakan kelebihan saja dari keharusan hidupku. Dan dengan sisa inilah aku akan mencobanya."

   Selangkah orang itu maju, tetapi kemudian sekali lagi ia berdiri tegak seperti pepohonan di sekitarnya."Aku harus menunggu dan yakin bahwa Kebo Sindet telah jauh masuk ke dalam sarangnya."

   Laki-laki itu pun kemudian melangkah surut. Perlahan-lahan ia duduk di balik sebatang pohon. Tanpa sesadarnya dirabanya hulu pedang yang tersangkut di lambungnya.

   "Mudah-mudahan kau pun dapat membantuku."

   Desisnya. Ketika hulu pedangnya itu dilepaskannya, maka tangannya pun kemudian menarik sebuah belati panjang dari lambungnya di sisi yang lain, dan ditimang-timangnya.

   "Sepasang senjata yang akan dapat memberi keteguhan hati."

   Laki-laki itu berdesis pula.

   "Mudah-mudahan Kebo Sindet tidak menjadi semakin garang."

   Sejenak kemudian, maka laki-laki itu pun berdiri.

   Ia merasa bahwa waktunya telah cukup lama.

   Kebo Sindet pasti sudah jauh menyeberangi rawa-rawa itu.

   Maka sekali lagi ia melangkah ke tepi air, ke tempat Kebo Sindet menyeberang.

   Sejenak laki-laki tua itu tampak ragu ragu, tetapi kemudian ia bergumam.

   "Tidak ada jalan lain. Umur yang ada ini sudah terlampau banyak. Biarlah aku mencoba berbuat sesuatu sebelum aku kehilangan kesempatan."

   Perlahan-lahan laki-laki tua itu mencelupkan kakinya ke dalam air. Dengan sangat hati-hati kaki itu meraba-raba jalan yang akan dapat dilaluinya menyeberangi rawa-rawa itu.

   "Di sini Kebo Sindet tadi membelok sedikit kekiri,"

   Katanya di dalam hatinya, sedang kakinya pun masih juga terus meraba-raba mencari tumpuan yang cukup keras.

   Tetapi laki-laki tua itu tidak dapat melihat Kebo Sindet dalam jarak yang agak jauh, karena kabut yang seolah-olah masih saja bergulung-gulung di atas rawa-rawa itu.

   Meskipun semakin tinggi matahari kabut itu menjadi semakin tipis, tetapi masih juga seolah- olah sebuah tirai putih yang membatasi pandangan matanya.Kini orang tua itu harus menjadi semakin hati-hati.

   Setapak demi setapak ia maju.

   Sekali-sekali terasa kakinya terperosok ke dalam lumpur, sehingga ia harus melangkah surut.

   "Hem."

   Desahnya "berapa hari aku akan sampai ke seberang rawa-rawa ini.

   Kalau aku bertemu dengan Kebo Sindet sebelum aku menginjakkan kakiku di atas tanah, maka aku pasti akan dijadikan permainannya.

   Ia pasti lebih mengenal rawa-rawa ini dari padaku.

   Tetapi untuk sampai ke tanah itu pun aku memerlukan waktu yang pasti cukup lama."

   Lambat sekali laki-laki tua itu meraba-raba dengan kakinya.

   Setapak ia maju, tetapi kadang-kadang ia harus surut beberapa langkah ketika kakinya tidak lagi menemukan tanah yang cukup keras di hadapannya.

   Bahkan kadang-kadang ia kehilangan jalan dan ia harus berdiri saja beberapa lama di tempatnya.

   Menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap keningnya yang basah oleh keringat.

   Kemudian kembali kakinya berusaha untuk menemukan tempat berpijak.

   "Tetapi aku tidak boleh berputus-asa. Kalau hari ini aku belum berhasil, maka besok harus aku teruskan. Di tengah-tengah rawa ini banyak pepohonan yang dapat aku pakai untuk bersembunyi sebelum aku menemukan jalan."

   Berkata orang tua itu di dalam hatinya. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu.

   "Apakah ada jalan yang dapat sampai kepada setiap pohon-pohonan itu?"

   Laki-laki tua itu menggelengkan kepalanya. Desisnya.

   "Gila benar Kebo Sindet. Ia menemukan tempat persembunyian yang sebaik- baiknya."

   Sementara itu kabut yang tipis menjadi semakin tipis sedang matabari telah terlampau tinggi menggantung di langit.

   Hampir sampai ke puncaknya.

   Tetapi pandangan mata laki-laki tua itu masih juga dikaburkan oleh selembar-selembar kabut yang seakan-akan sedang bergeser naik.

   Tetapi tiba-tiba saja dada laki-laki tua itu menjadi berdebar- debar.

   Beberapa puluh langkah daripadanya, ia melihat permukaanair bergetar.

   Semakin lama semakin dekat.

   Dilihatnya sebuah benda yang bergerak-gerak di atas permukaan air, kemudian seleret tubuh yang berenang membuat gelombang-gelombang kecil.

   "Hem ular air hitam."

   Desis laki-laki tua itu.

   Semakin dekat laki-laki tua itu melihat bahwa ular itu ternyata cukup besar.

   Hampir sebesar lengan tangannya.

   Tetapi laki-laki tua itu tidak mengganggunya.

   Bahkan ia berdiri saja tegak seperti patung, sehingga ular itu meluncur beberapa langkah daripadanya.

   Dan ular itu berpaling pun sama sekali tidak.

   "Terlampau banyak bahaya dirawa-rawa ini."

   Desisnya.

   Ketika ular itu sudah semakin jauh, maka kakinya pun digerakkannya lagi.

   Setapak demi setapak.

   Namun sekali lagi ia terkejut.

   Kali ini ia tidak diganggu oleh ular air, seperti yang baru saja dilihatnya.

   Untunglah bahwa ia mampu bergerak cukup cepat tanpa meninggalkan sikap hati-hati.

   Ketika seekor ular hijau menyambarnya dari sebatang pohon, maka ia tidak sempat menghindarinya.

   Tetapi agaknya ular itu tidak melepaskannya.

   Demikian ular itu tejun ke dalam rawa-rawa, maka segera binatang itu berenang dan menyerang laki-laki tua itu lagi.

   Kali ini tidak ada pilihan lain daripadanya kecuali melawan tanpa terperosok ke dalam lumpur.

   Dengan sebuah ayunan belati panjangnya, ia segera dapat memotong leher ular.

   Tetapi dengan demikian darah ular itu menyembur dari tubuhnya dan mewarnai air rawa itu serta menyebarkan baunya yang khusus.

   Laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam.

   Ia menjadi semakin yakin bahwa bahaya yang dihadapinya memang terlampau besar.

   Tetapi ia sudah bertekad untuk melakukannya.

   Ketika laki-laki tua itu mengangkat wajahnya, maka dilihatnya kabut sudah menjadi tipis, bahkan sudah hampir lenyap sama sekali.

   Tetapi sejalan dengan itu, merayap pulalah kekecewaan di dalam hatinya."Oh."

   Ia mengeluh.

   "sudah hampir sampai tengah hari aku berdiam diri. Maju mundur, maju mundur. Ternyata aku baru mencapai jarak beberapa langkah saja dari tepi."

   Dengan sorot mata yang suram dipandanginya tepi rawa-rawa itu.

   Masih dilihatnya perdu tempat ia bersembunyi ketika Kebo Sindet lewat, kemudian terjun ke dalam rawa-rawa ini.

   Ia menundukkan kepalanya ketika dilihatnya warna-warna merah yang seolah-olah menjalar diwajah air berlumpur itu.

   Ternyata darah ular hijau yang telah dibunuhnya telah terperas dari dalam tubuhnya.

   Tetapi tiba-tiba laki-laki tua itu terkejut.

   Ia mendengar suara orang terbatuk-batuk.

   Tidak seperti lajimnya, tetapi menurut pendengarannya agak terlampau keras.

   Karena itu maka segera ia menegakkan kepalanya.

   Dicobanya untuk mengetahui arah suara itu.

   Akhirnya ia memutar dirinya, menghadap ke arah sebuah perdu di pinggir rawa-rawa itu.

   Dari sana ia menduga, seseorang telah dirinya memberitahukan kehadirannya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa kau?"

   Desis laki-laki tua itu.

   Tetapi ia tidak segera mendengar jawabannya.

   Namun tiba-tiba ia melihat gerumbul itu menguak, dan dilihatnya sesosok tubuh keluar dari rimbun perdu itu.

   Meskipun jarak mereka agak jauh, tetapi segera mereka dapat mengenal yang satu dengan yang lain.

   Wajah laki-laki tua itu menjadi tegang.

   Terdengar suaranya bergetar.

   "Kau?"

   "Ya Empu."

   Jawab orang yang baru datang itu.

   "Kau juga berada di sini?"

   "Ya Empu."

   "Dan kau tidak berbuat apa-apa?"

   "Kemarilah. Agak cepat sedikit."

   "Kenapa?""Tinggalkan tempat itu."

   "Apakah Kebo Sindet akan datang?"

   "Tidak. Aku yakin bahwa kau sedang mencarinya, karena itu kau tidak perlu menghindar seandainya ia yang datang."

   Lalu apa yang harus aku hindari di sini?"

   "Darah ular itu berbahaya bagimu Empu."

   "Apakah darah itu mengandung bisa?"

   "Tidak. Tetapi bau darah itu telah memanggil berbagai binatang air yang lain. Binatang-binatang air yang buas. Buaya-buaya kerdil, atau sejenis kadal-kadal air yang berbisa."

   "Ah,"

   Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Peringatan itu dapat dimengertinya. Darah memang dapat memanggil binatang- binatang buas dari segala jenis. Di darat, di udara mau pun di dalam air. Meskipun demikian ia berkata.

   "Hem, apakah kau akan membuat perhitungan dengan aku sebelum aku bertemu dengan Kebo Sindet."

   "Ah,"

   Sahut orang di pinggir rawa.

   "jangan terlampu berprasangka.Kalau demikian maka aku tidak akan memanggilmu menepi, sebab kalau kau tidak pergi juga, maka kau akan diseret kedalam lumpur."

   "Kau menakut-nakuti aku untuk memancingku datang kepadamu."

   "Sekali lagi jangan berprasangka. Aku tahu bahwa kau seharusnya tidak ikut bertanggung jawab atas hilangnya Mahisa Agni. Aku tahu bahwa kau akan berusaha membebaskannya. Aku tahu bahwa kau akan menemui Kebo Sindet dan menantangnya bertempur sampai salah seorang dari kalian mati. Tetapi sebelum itu kau harus banyak menghemat tenaga. Jangan kau biarkan dirimu dicincang oleh buaya-buaya kerdil, kadal-kadal air dan ular-ular hitam. Kemarilah cepat sebelum kau terlambat, Darah itu telahmenyebarkan bau yang segera dapat dikenal oleh binatang-binatang air."

   Laki-laki tua itu ragu-ragu sejenak. Tetapi tanpa sesadarnya ia maju mendekati orang yang berdiri di pinggir rawa, selangkah- selangkah dan dengan sangat hati-hati.

   "Cepat sedikit."

   "Supaya aku terperosok dan terbenam ke dalam lumpur."

   Ternyata laki-laki tua itu sama sekali tidak kehilangan ketenangannya.

   Namun dadanya pun berdesir ketika ia melihat wajah air yang buram itu seolah-olah menjadi berkerut merut.

   Terpaksa laki-laki tua itu mempercepat langkahnya.

   Tetapi ia tidak berani tergesa-gesa sekali supaya kakinya tidak terperosok.

   "Ah,"

   Orang yang berdiri di tepi rawa itu berdesah.

   "kau terlampau lamban."

   Dan tiba-tiba saja orang itu pun segera meloncat ke dalam air, berjalan cepat-cepat menyongsong laki-laki tua yang berjalan sambil meraba-raba dengan kakinya.

   "Marilah,"

   Berkata orang yang baru datang.

   "ikutlah di belakangku. Kau pasti tidak akan terperosok ke dalam lumpur."

   Melihat sikap orang itu, maka dada laki-laki tua itu berdesir.

   Dengan demikian ia menyadari bahwa bahaya benar-benar sedang mengancamnya, sehingga ia pun kemudian dengan tanpa ragu-ragu lagi berjalan pula cepat-cepat meninggalkah tempat itu.

   Ternyata waktu hanya terpaut sekejab.

   Belum lagi mereka cukup melangkah sepuluh kali, maka mereka telah melihat sesuatu tersembul kepermukaan air noda darah di air yang keruh itu.

   "Lihat,"

   Desis orang yang membawa laki-laki tua itu menepi.

   "sebentar lagi akan terjadi permainan yang mengasyikkan."Ketika mereka menjadi semakin jauh, maka mereka pun memperlambat langkah mereka. Ketika mereka berpaling, maka dada mereka pun menjadi berdebar-debar. Dari beberapa penjuru kedua orang itu melihat benda-benda yang tersembul di atas permukaan air seolah-olah meluncur dengan lajunya mendekati warna merah yang semakin banyak menodai wajah rawa-rawa yang buram itu. Sejenak kemudian air rawa itu pun memercik dan tubuh ular yang mati itu seolah-olah terlempar ke permukaan air. Namun sejenak kemudian terjadilah suatu peristiwa yang menegangkan wajah kedua orang itu. Mereka melihat beberapa ekor binatang air desak mendesak berebut bangkai ular yang terlampau kecil bagi mereka. Tetapi agaknya bau darah telah membuat binatang-binatang air itu menjadi buas, sehingga mereka pun kemudian berkelahi satu dengan yang lain. Beberapa jenis buaya-buaya kerdil, sejenis biawak berleher dan bahkan ular hitam yang berkulit mengkilat tampak juga bergumul di antara mereka. Terdengar suara binatang-binatang itu seperti sedang memekik-mekik karena marah. Mereka semakin lama menjadi semakin liar dan saling menggigit. Sejenak kemudian darah yang memerahi wajah air yang berwarna lumpur itu menjadi semakin banyak. Tidak saja dari tubuh ular yang mati dibunuh oleh laki-laki tua itu, tetapi darah yang mengalir dari tubuh-tubuh binatang yang sedang berkelahi. Binatang-binatang yang tidak dapat mempertahankan dirinya segera mati terbunuh dan tubuhnya dikoyakkan oleh binatang binatang yang lain.

   "Marilah kita ketepi,"

   Ajak orang yang datang kemudian.

   "Mengerikan."

   Desis laki-laki tua itu.

   "Untunglah kau telah meninggalkan tempat itu Empu. Kalau tidak maka kau pun akan ikut serta bergumul bersama mereka."

   Sahut yang lain.

   "Seandaianya dasar sungai ini tidak berlumpur dangembur, aku tidak akan mencemaskan nasibmu. Aku melihat kau membawa sehelai pedang dan sehelai pisau belati panjang. Binatang-binatang itu pasti tidak akan dapat mendekatimu. Tetapi dasar rawa-rawa ini adalah lawan yang hampir tak terkalahkan. Itulah sebabnya aku minta kau menghindar."

   Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan menarik nafas dalam-dalam ia berjalan mengikuti orang yang memberi petunjuk kepadanya sambil bergumam.

   "Terima kasih. Aku kira bagiku lebih baik langsung berkelahi melawan Kebo Sindet dari pada melawan buaya-buaya kerdil itu."

   Orang yang berjalan dimukanya tersenyum.

   "Bagi kami, maksudku, aku dan Kebo Sindet, hal-hal yang serupa itu telah dapat kami kenali, sehingga kami akan dapat segera menghindarinya. Hal- hal semacam itu pulalah agaknya yang telah melindungi Kebo Sindet dari segala macam kemungkinan yang membahayakan. Hampir tidak ada orang lain yang dapat sampai ketempatnya dengan selamat."

   "Ya, aku sudah melihatnya sendiri."

   Sahut laki-laki tua itu.

   "Karena itu maka aku berterima kasih kepadamu. Aku akan menunggu saja Kebo Sindet keluar dari sarangnya. Aku akan menemuinya dan menantangnya untuk berkelahi. Tetapi tidak dengan Kuda Sempana. Aku ingin mencoba dan memperbandingkan, apakah aku masih juga mampu mengimbangi kekuatannya."

   "Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan itu."

   Jawab orang yang membawanya menepi.

   "Kuda Sempana selalu dibawanya kemana ia pergi."

   "Kenapa?"

   "Kebo Sindet mencemaskan nasib Mahisa Agni. Kalau Kuda Sempana ditinggalkannya, maka ia akan melepaskan dendamnya kepada Mahisa Agni. Mungkin anak itu akan dibunuhnya atau disiksanya sampai mati.""Apakah Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan untuk melawan."

   "Kesehatannya belum pulih kembali sejak ia datang dalam keadaan yang sangat parah."

   "Ah itu terjadi beberapa waktu yang lampau. Waktu yang panjang ini aku rasa telah cukup baginya untuk mendapatkan segala kekuatannya."

   "Mungkin apabila Mahisa Agni itu berada di Padang Karautan. Tetapi ia berada di sarang Kebo Sindet."

   Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya.

   "Bagaimana dengan Empu Gandring? Apakah ia tidak berbuat sesuatu seperti kau tidak berbuat apa-apa selain menonton dan mengamati saja?"

   "Empu Gandring telah pernah mencoba pula seperti apa yang kau lakukan. Tetapi ia pun tidak dapat segera menemukan jalan kesarang iblis itu."

   "Dan Empu tukang keris itu menjadi berputus asa dan mengurungkan niatnya untuk menolong kemanakannya?"

   "Tidak. Aku telah menemuinya pula seperti aku menemui sekarang. Aku minta Empu Gandring meninggalkan saja tempat ini seperti aku ingin minta pula kepadamu. Serahkan Mahisa Agni kepadaku."

   "He."

   Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya.

   Sementara itu mereka telah sampai di atas tanah yang lembab dan licin.

   Sejenak kemudian mereka telah berada di tepi rawa-rawa itu.

   Ketika mereka telah menghibaskan kaki-kaki mereka, maka mereka pun kemudian berpaling.

   Lamat-lamat mereka masih melihat air yang bergolak.

   "Binatang-binatang itu masih bergumul."

   Desis orang yang membawa laki-laki tua itu menepi."Ya"

   Sahut laki-laki itu.

   "Ternyata darah ular itu telah memancing pergulatan yang tidak menentu di antara binatang-binatang air itu."

   "Pergumulan itu akan berlangsung lama. Semakin lama semakin banyak. Tetapi akhirnya mereka akan berhenti dengan sendirinya apabila sebagian terbesar dari mereka telah menjadi luka-luka dan lari meninggalkan pergumulan itu. Hanya ular-ular hitamlah yang biasanya paling betah berkelahi. Tidak untuk mangsa, tetapi hanya sekedar melepaskan nafsu menyerangnya saja."

   Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Dengan dada yang masih berdebar-debar dipandanginya air yang masih saja bergolak, meskipun tidak begitu jelas lagi.

   Tetapi tiba-tiba ia berpaling memandangi orang yang telah membawanya menepi, katanya "Apakah yang kau katakan tadi? Kau minta Empu Gandring mengurungkan niatnya untuk menolong kemanakannya? Dan kau sekarang juga akan berbuat serupa kepadaku?"

   "Ya Empu."

   Jawab orang itu. Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Sekali-sekali ia masih juga memandang kearah buaya-buaya. kerdil yang saling berkelahi dengan binatang-binatang air yang liar lainnya.

   "Kau aneh."

   Kemudian laki-laki tua itu berkata.

   "kalau demikian apakah kau ingin melihat Mahisa Agni itu mati perlahan-lahan, di sarang Kebo Sindet? Kau halangi orang yang akan menolongnya, tetapi kau sendiri tidak berbuat apa-apa. Padahal agaknya kau sudah mengenal jalan di dalam rawa-rawa ini seperti juga Kebo Sindet mengenalnya."

   "Ya, aku memang sudah mengenal jalan-jalan di dalam air itu. Di sini ada tiga jalan yang dapat ditempuh. Jarak dari ketiganya itu tidak terlampau jauh. Di sini, ditempat Kebo Sindet tadi masuk, kemudian kira-kira limapuluh langkah dari sini, dan yang lain kira- kira dalam jarak yang sama sebelah lain. Jalan ini adalah jalan yang tengah.""Ah, kau malah berceritera tentang jalan menuju kesarang itu."

   Sahut laki-laki tua.

   "kenapa kau tidak mengantarkan saja Empu Gandring kesana?"

   Orang itu menggeleng.

   "Aku tidak dapat melakukannya, supaya Mahisa Agni tidak dibunuhnya. Kalau Kebo Sindet melihat seorang dari kita datang kepadanya, mungkin Empu Gandring, mungkin kau dan mungkin aku, maka yang pertama-tama dilakukan sebelum melawan salah seorang dari kita adalah membunuh Mahisa Agni, atau ia memerintahkan kepada Kuda Sempana untuk membunuhnya selama ia melayani salah seorang dari kita."

   Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya.

   "Kalau begitu kita pergi berdua. Seharusnya sudah kau lakukan bersama- sama dengan Empu Gandring. Salah seorang dari kita melawan Kebo Sindet, yang lain berusaha menolong Mahisa Agni. Kalau perlu membinasakan Kuda Sempana."

   


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong

Cari Blog Ini