Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 42


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 42



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   "Aku dapat mengerti, tetapi aku benar-benar hampir mati karenanya."

   "Bukan maksudku Agni."

   Berkata Empu Sada kemudian.

   "dan aku pun telah menemukan ukuran, bahwa dengan demikian kau tidak akan mati. Bahkan aku agaknya terlampau rendah menilai ilmumu yang sekarang berkembang dengan pesatnya, sehingga jantungku sendiri terasa akan rontok membentur kekuatan Aji Gundala Sasra yang telah jauh maju."

   "Ah."

   Mahisa Agni berdesah.

   "Dengan demikian Agni."

   Berkata Empu Purwa kemudian.

   "kau dapat menilai dirimu pula. Kebo Sindet dan kami yang tua-tua ini pasti tidak akan terlampau banyak terpaut. Kini kau akan mendapat ukuran, bahwa kau masih belum mampu mengimbangi Kebo Sindet.Jarak itu masih agak jauh. Dan kau masih harus bekerja lebih keras lagi."

   Mahisa Agni yang kini telah duduk di hadapan gurunya dan Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Aku sudah terlampau jemu berada di sini guru."

   Katanya kemudian.

   "Karena itu kau harus bekerja lebih keras Agni, supaya kau dapat segera melepaskan dirimu."

   Sahut gurunya.

   "aku sudah memberitahukan kepadamu Agni, bahwa aku dan sekarang Empu Sada tidak ingin membebaskan kau dengan cara yang terlampau biasa. Aku sekarang mendapat kawan untuk mengalahkan Kebo Sindet seandainya aku sendiri tidak mampu karena kekuatan kami berimbang. Tetapi dengan Empu Sada, kami berdua pasti akan dapat membunuhnya. Namun dengan demikian Kebo Sindet tidak akan mengalami goncangan perasaan yang dahsyat. Ia tidak akan terkejut. Adalah wajar, bahwa aku berdua dengan Empu Sada dapat mengalahkannya. Tetapi apabila ia harus berhadapan dengan kau sendiri, yang selama ini disangkanya telah kehilangan segala keberanian dan keinginan untuk lepas dari padanya, maka ia pasti akan terkejut sekali. Sikapmu yang seakan-akan kehilangan segala macam harga diri adalah suatu loncatan yang jauh, loncatan yang akan menentukan hari depanmu sendiri dan hari-hari terakhir bagi Kebo Sindet."

   Mahisa Agni tidak segera menjawab kata-kata gurunya.

   Meskipun ia dapat mengerti, tetapi ia hampir-hampir sudah tidak tahan lagi berada di sarang Kebo Sindet yang menjemukan itu.

   Bukan karena tekanan-tekanan badaniah yang harus ditanggungkannya, bukan pula karena pekerjaan-pekerjaan berat yang harus dilakukannya, tetapi berbagai hal selalu saja mengganggunya.

   Karena itu maka sejenak kemudian ia berkata.

   "Guru, aku dapat mengerti, dan aku akan sangat senang melakukannya. Tetapi dengan demikian maka aku tidak dapat lagi berada di lingkungan pekerjaan yang sudah aku mulai. Bendungan di Padang Karautan seperti yang guru sendiri menghendaki."Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya.

   "Ya Agni. Kau memang tidak akan dapat melupakan pekerjaan yang kau tinggalkan setengah jalan itu. Aku pun dapat mengerti. Bahkan kau pasti merasa banyak kehilangan waktu selama kau berada di tempat ini. Tetapi Agni, kalau tidak sekarang, maka kapan kau akan mendapat kesempatan untuk memperdalam ilmumu? Mumpung kau masih cukup muda dan mumpung kesempatan ini datang kepadamu. Agni, kau tidak usah mencemaskan bendunganmu. Anak muda yang bernama Ken Arok itu telah melakukan apa saja yang akan kau lakukan. Orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel bekerja dengan baik sehingga pekerjaan itu pasti akan cepat selesai."

   Mahisa Agni menundukkan kepalanya.

   Terbayanglah Padang rumput yang luas dan kering terbentang dihadapannya.

   Dikenangkannya bagaimana ia merentang tali dan memasang patok-patok di Padang yang panas itu.

   Kemudian terbayang pula, betapa kerja itu dimulai dengan penuh tekad yang menyala di dalam setiap orang Panawijen.

   Apalagi ketika Tunggal Ametung mengirimkan sepasukan pradjurit di bawah pimpinan Ken Arok, seorang Pelayan Dalam, untuk membantunya.

   "Agni."

   Berkata gurunya.

   "kerja itu kini dipimpin oleh orang yang mengenal watak dan keadaan Padang yang kering itu. Tidak seorang pun yang lebih mengenal daerah itu selain Hantu Karautan. Dan hantu itu kini telah banyak sekali berbuat untuk merubah wajah Padang Karautan itu."

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Kau dapat mengerti Agni?"

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula.

   "Ya, aku pun dapat merasakan kerinduanmu untuk segera keluar dari lingkungan ini. Kau di sini seakan-akan sedang berada dalam pengasingan yang sangat menjemukan. Bahkan setiap kali kau masih harus mengalami perlakuan yang kasar dan memuakkan dari Kebo Sindet yang ingin membuatmu kehilangan segala akal danbudi. Kehilangan keberanian dan harga diri. Dan agaknya kau sudah bermain bagus sekali sehingga sampai saat ini Kebo Sindet itu tidak mencurigaimu."

   "Ya guru."

   Jawab Agni "sampai saat ini Kebo Sindet masih menganggap aku menjadi semakin kehilangan nafsu untuk melepaskan diriku." (bersambung ke

   Jilid 33) untuk kalangan sendiri Koleksi . Ki ismoyo Retype . Ki Sukasrana Proofing . Ki Mahesa Re-checking. Ki Arema Produksi . Pelangisingosari ---ooodw0ooo---

   Jilid 33 SEPERCIK.

   keringat dingin menetes dikening jajar yang gemuk itu.

   Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Permaisuri akan menjadi tenang menghadapi keadaan itu.

   Namun dengan demikian justru jajar itulah yang menjadi gelisah.

   Lidahnya seolah kehilangan kekuatan untuk mengatakan sesuatu.

   "Sekarang pergilah. Katakan kepada para prajurit itu, bahwa merekapun aku perkenankan meninggalkan halaman ini. Ternyata kau tidak berbahaya bagiku."

   "Oh "

   Jajar itu mengerutkan keningnya. Matanya yang sipit menjadi semakin sipit."Tetapi, tetapi, bagaimana dengan perhiasan itu Tuanku ?"

   "Tunggulah, aku sedang berpikir untuk itu."

   "Bagaimana kalau hari ini kakanda Tuanku itu mengalami bencana."

   "Tidak. Itu tidak akan terjadi. Sekian lama mereka menunggu untuk mendapat tebusan. Maka mereka pasti akan menunggu sehari-dua hari lagi."

   "Tetapi"

   "Pergilah."

   "Tuanku."

   "Pergilah."

   Jajar itu tidak dapat menjawab lagi.

   Harapannya untuk mendapatkan perhiasan hari itu juga telah gagal Tetapi ia tidak berputus asa.

   Ia memastikan bahwa Permaisuri akan memberikan perhiasan itu kepadanya.

   Soalnya hanyalah waktu.

   Sekarang, besok atau mungkin dua tiga hari lagi.

   Tetapi barang-barang itu pasti akan menjadi miliknya.

   Dengan gemetar jajar itu membungkukkan badannya sambil berkata "Ampun Tuanku.

   Perkenankanlah hamba meninggalkan tempat ini."

   Ken Dedes mengangguk.

   Dipandanginya jajar itu beringsut mundur.

   Kemudian berjalan sambil berjongkok beberapa langkah.

   Baru-Baru kemudian tertatih-tatih ia berjalan kesudut halaman menemui para prajurit dan kawan-kawannya, untuk menyampaikan perintah Permairsuri, bahwa mereka diperkenankan meninggalkan taman itu.

   Tetapi ternyata sebelum mereka beranjak dari tempatnya, mereka melihat Permaisuri itu berdiri dan berjalan meninggalkan taman itu pula.

   Ternyata Permaisuri sudah tidak mempunyai minat lagi untuk bermain-main ditaman itu Hatinya kini sedang dicengkam oleh kecemasan dan kebingungan.

   Ia percaya bahwa memangdituntut tebusan untuk Mahisa Agni, tetapi ia tidak pernah mendapat jaminan yang meyakinkan tentang keselamatan kakaknya itu.

   Karena itu setiap kali ia mendengar tentang Mahisa Agni, maka seakan-akan luka didalam dadanya menjadi semakin parah.

   Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi ia tidak dapat.

   Seandainya ia dapat memutuskan sendiri, maka apapun akan di serahkannya untuk membebaskannya.

   Apalagi hanya tiga pengadeg perhiasan.

   Permaisuri itu kini sama sekali sudah tidak ada minat lagi untuk bermain-main ditaman.

   Dengan tergesa-gesa ia berjalan diiringi oleh emban-embannya dan emban pemomongnya.

   "Bibi "berkata Ken Dedes "aku menjadi pening. Aku ingin beristirahat."

   "Silahkanlah Tuanku "sahut emban yang tua itu "

   Tuanku memang harus beristirahat.

   Sebaiknya Tuanku tidak terlampau dicengkam oleh kegelisahan memikirkan angger Mahisa Agni.

   Sebaiknya Tuanku menganggap persoalan itu sebagai persoalan yang biasa.

   Persoalan yang meskipun harus diselesaikan, tetapi tidak membuat Tuanku sendiri menjadi bersedih."

   "Tidak dapat bibi. Aku tidak dapat acuh tak acuh saja atas persoalan kakang Mahisa Agni."

   Emban yang tua itu tidak menyahut. Hampir terloncat-loncat ia berjalan dibelakang Ken Dedes yang dengan tergesa-gesa masuk kedalam biliknya. Beberapa emban pengiringnya tinggal didepan pintu, sedang pemomong Ken Dedes mengikutinya masuk kedalam.

   "Persoalan kakanda Tuan Putri itu benar-benar menggelisah kan "

   Bisik seorang emban kepada kawannya.

   "Sudah tentu "

   Sahut yang lain "Mahisa Agni adalah satu-satunya keluarga yang masih ada."

   "Tetapi tebusan itu memang tidak masuk diakal kita"

   Berkata yang lain."Jangan kau sebut-sebut "

   Berkata seorang yang lebih tua "lebih baik kita diam supaya tidak mempersulit perasaan Tuan Puteri itu sendiri."

   Yang lain menganggukkan kepalanya, dan merekapun terdiam karenanya.

   Didalam biliknya, wajah Ken Dedes menjadi semakin muram.

   Persoalan itu ternyata berkepanjangan, seolah-olah tidak akan berujung.

   Persoalan yang selalu membayanginya sejak lama, sejak perkawinan agung belum dilakukan.

   "Tuanku"

   Berkata emban tua pemomong Ken Dedes "Tuanku terlampau memikirkan kakanda Tuan Puteri, angger Mahisa Agni.

   Bukan maksudku untuk melupakannya, tetapi persoalan ini jangan menjadi beban yang memberati perasaan Tuanku, sehingga seolah-olah hidup Tuan Puteri selalu dibayangi oleh kemuraman dan kesedihan.

   Ingatlah Tuanku, bahwa Tuanku adalah seorang Permaisuri.

   Seandainya wajah Tuan Puteri itu selalu muram, maka seluruh istana ini akan menjadi muram.

   Karena itu, usahakanlah untuk mengurangi tekanan perasaan yang tumbuh karena angger Mahisa Agni.

   Seorang isteri adalah sumber cahaya dari ke uarga.

   Kalau sumber itu suram, maka cahayanyapun akan suram.

   Dan wajah-wajah yang lainpun akan menjadi suram pula."

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lirih "Aku menyadari bibi, tetapi bagaimana aku dapat melakukanya? Apalagi setelah jajar itu mengatakan, bahwa ia telah ditemui oleh Kuda Sempana dan-dan menyampaikan permintaan itu."

   "Apakah Tuan Puteri percaya kepadanya?"

   Bertanya emban tua itu.

   "Tentu tidak sepenuhnya bibi. Aku tidak percaya kepada jajar itu sepenuhnya, dan aku tidak pula percaya kapada Kuda Sempana."

   "Lalu apakah yang menarik perhatian Tuanku atas jajar itu?"

   "Jajar itu hanya sekedar merupakan sentuhan-sentuhan yang akan dapat dipakai untuk mempersoalkannya lebih lanjut. Itu lebihbaik bagiku daripada tidak ada hubungan sama sekali dengan orang yang telah menyebunyikan kakang Mahisa Agni."

   Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Sebenarnya ia sependapat dengan pikiran Ken Dedes itu.

   Ia memang menganggap lebih baik hubungan dengan jajar itu dan seterusnya dengan Kuda- Sempana dipelihara, meskipun hal-hal yang lain masih harus dibicarakan.

   "Bagaimana pendapatmu bibi?"

   Bertanya Ken Dedes kemudian.

   Emban itu ragu-ragu sejenak.

   Tetapi kemudian ia berkata "Adalah jalan yang paling baik yang harus Tuanku tempuh adalah mmyampaikan persoalan ini kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.

   Tuanku Akuwu Tunggul Ametung adalah suami Tuanku, dan Tuanku Tunggul Ametung adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi di Tumapel."

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Jawabnya "Ya, bibi.

   Memang tidak ada jalan lain.

   Aku harus menyampakan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.

   Tetapi sebenarnya aku meragukannya.

   Apakah Tuanku Akuwu akan menaruh minat atas persoalan ini.

   Sudah sekian lama aku menuggu, sejak hari perkawinan kami.

   Tetapi Akuwu seolah-olah telah melupakannya.

   Setiap kali ia mendengar persolan itu, Tuanku Akuwu seolah selalu menghindarkan dirinya."

   "Tetapi persoalan ini harus mendapat penjelasan Tuanku. Meskipun kita tidak dapat mempercayai jajar itu dan apalagi Kuda- Sempana, tetapi harus ditemukan cara yang sebaik-sebaiknya untuk melepaskan angger Mahisa Agni."

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku menyadari bibi. Dan aku akan mencoba sekali lagi menyampaikannya kepada Akuwu."

   "Silahkan Tuanku. Sebaiknyalah demikian. Jangan menuggu terlampau lama."

   Sekali lagi Ken Dedes mengangguk-anggukkan kapalanya. Wajahnya yang suram masih saja suram."Malam nanti aku akan menghadap Tuanku Akuwu Tunggul Ametung untuk menyampaikan persoalan ini. Mudah-Mudahan Tuanku Akuwu menemukan jalan yang sebaik-baiknya."

   Demikianlah ketika matabari telah terbenam, dan lampu-lampu didalam istana Tumapel telah dinyalakan, maka Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung sedang duduk sambil menekurkan kepalanya dalam-dalam.

   Disisinya Akuwu Tunggul Ametung berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya.

   Beberapa saat mereka saling berdiam diri.

   Masing-Masing sedang hanyut kedalam dunia angan-angannya sendiri.

   Diluar angin yang sejuk berhembus perlahan, menggerakkan dedaunan dan ranting-ranting yang kecil Suara cengkerik di rerumputan berderik-derik menggelitik hati, seperti sedang sesambat karena ditinggalkan kekasih.

   "Ken Dedes "

   Terdengar kemudian suara Akuwu Tunggul Ametung berat "

   Kau terlampau terpengaruh oleh keadaan Mahisa Agni."

   Ken Dedes mengangguk lemah "Hamba Tuanku."

   "Apakah kau tidak dapat melupakannya ?"

   Ken Dedes terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga wajahnya yang basah itu terangkat "Apakah maksud Tuanku?"

   Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam.

   Kemudian katanya "Kau adalah seorang Permaisuri.

   Bukan hanya aku dan orang-orang seisi istana saja yang selalu memperhatikanmu.

   Tetapi setiap orang di Tumapel ini setiap saat selalu menilaimu.

   Mereka mengharap kau bergembira, berwajah cerah dan jernih.

   Demikianlah hendaknya gambaran dari keadaan Tumapel.

   Tetapi agaknya kau tidak berbuat demi kian.

   Akhir-Akhir ini wajahmu selalu muram dan sedih.""Ampun Tuanku.

   Hamba sudah berusaha untuk berbuat demikian justru karena hamba menyadari kedudukan hamba.

   Tetapi setiap kali hamba tidak mampu bertahan diri terhadap arus perasaan hamba yang melanda dinding jantung."

   "Kau terlampau perasa Ken Dedes. Cobalah kau berjuang untuk mengatasi perasaanmu itu."

   "Hamba akan mencoba Tuanku."

   "Baiklah. Cobalah sehari dua hari. Kau harus menjadi seorang yang riang dan mempunyai gairah yang segar memandang Tumapel dan segenap isinya."

   "Hamba akan mencoba Tuanku."

   "Nah, apabila demikian, sekarang beristirahatlah. Mungkin kau menjadi terlampau lelah. Bukan oleh kerja jasmaniah, tetapi karena usahamu melawan perasaanmu sendiri."

   Sekali lagi Ken Dedes terkejut mendengar katai itu. Sekali lagi ia mengangkat wajahnya dan bertanya "Tetapi bagaimanakah tentang Mahisa kakang Agni ?"

   "He "

   Kini Akuwu Tunggul Ametunglah yang terperanjat "bagaimana kau ini Ken Dedes. Baru saja kau mengatakan kepadaku, bahwa kau akan berusaha, sekarang kau sudah menanyakan lagi tentang Mahisa Agni."

   "Ampun Tuanku. Hamba akan berusaha untuk menyembunyikan kepedihan hati hamba. Hamba akan berusaha untuk menunjukkan gairah hidup hamba sebagai seorang Permaisuri, meskipun seorang Permaisuri itru juga seorang manusia biasa. Apa lagi hamba Tuanku. Tetapi disamping itu, hamba ingin Tuanku berbuat sesuatu untuk menemukan kakang Mahisa Agni."

   "Ah "

   Akuwu Tunggul Ametung berdesah "kau selalu kembali kepada masalah itu.

   Ken Dedes, aku ingin kau memberikan sumbangan kepadaku.

   Sebagai seorang Permaisuri terhadap seorang Akuwu.

   Aku ingin mendapat dorongan darimu, agar aku menjadi semakin tekun dan bersungguh-sungguh memikirkanTumapel.

   Memikirkan kemajuan dan kesempurnaannya.

   Bagaimana aku harus membuat istana ini lebih indah, dan megah.

   Bagaimana aku menjadi semakin disegani dan ditakuti oleh rakyatku.

   Bagaimana aku dapat menentukan kehendakku tanpa seorangpun yang berani menyanggah."

   Ken Dsdes mengerutkan keningnya. Sepercik kekecewaan telah mewarnai hatinya. Semakin lama semakin jelas.

   "Itukah yang dianggapnya kemajuan dan kesempurnaan?. Istana yang indah dan megah, disegani dan ditakuti, kehendak yang tidak terbantah.

   Berkata Ken Dedes didalam hatinya "sama sekali berbeda dengan angan-anganku. Tetapi yang penting sekarang, bagaimana Akuwu berbuat sesuatu untuk kakang Makisa Agni."

   Dan Ken Dedes mendengar Akuwu itu berkata terus "Ken Dedes. Sudah tentu aku tidak dapat berbuat sesuatu yang hanya berkisar kepada kepentingan diri sendiri. Sebab aku adalah seorang Akuwu."

   Kerut-merut diwajah Ken Dedes menjadi semakin dalam.

   Kemudian katanya "Ampun Tuanku.

   Hamba akan selalu ikut serta memikirkan keadaan Tumapel.

   Hamba ingin Tumapel menjadi daerah yang paling baik disegenap sudut Kerajaan Kediri.

   Hamba merasa bangga atas keputusan Tuanku untuk membuka tanah dipadang Karautan.

   Seperti yang Tuanku katakan, bahwa hal itu Tuanku lakukan bukan sekedar menyenangkan hati hamba setelah hamba ke hilangan segala-galanya, kecuali kakang Mahisa Agni saya itu.

   Bukan sekedar karena hamba ingin Panawijen hidup kembali meskipun dalam ujudnya yang lain.

   Tetapi Tuanku berkata, bahwa kemakmuran didaerah-daerah kecil akan berpengaruh kepada hidup keseluruhan Tumapel.

   Bila padang Karautan menjadi hijau dan subur, maka Tumapelpun kan diperciki oleh kesuburan itu.

   Demikian pula didaerah-daerah lain di wilayah Tumapel kelak.

   Dan hamba akan senang sekali ikut memikirkannya.

   Bukan sekedar istana ini seisinya.

   Bukan se kedar keinginan diri untuk ditaati setiap kata- katanya tanpa pertimbangan.

   Bukankah dengan demikian itu juga sekedar berkisar kepada kepentingan diri.""Ken Dedes "

   Potong Akuwu Tunggul Ametung, sehingga Ken Dedes menjadi terkejut karenanya.

   Tetapi Akuwu Tunggul Ametung itu kemudian menarik-nafas dalam-dalam.

   Ditahankannya perasaannya yang meledak-ledak sebagai kebiasaan hidupnya sehari-hari.

   Tetapi kepada Ken Dedes ia selalu menjaga dirinya Selalu diingatnya, bahwa ia pernah melihat seberkas sinar yang tak dikenalnya memancar dari tubuh Permaisuri itu.

   Sejenak kemudian mereka terhempas dalam kediaman.

   Masing- Masing mencoba untuk menahan diri.

   Betapapun gejolak jantung mereka, namun mereka ingin bersikap tenang.

   Mereka berusaha untuk menyaring setiap kata yang melontar lewat sela-sela, bibir mereka.

   Terdengar desah yang panjang meluncur dari dada Akuwu Tunggul Ametung.

   Perlahan-Perlahan ia berkata "Kau salah mengerti Ken Dedes.

   Kau belum dapat mengikuti caraku memerintah Tumapel.

   Tetapi itu adalah wajar sekali, sebab kau belum cukup lama ikut serta mendengar dan mengerti tentang pemerintahan.

   Mudah-Mudahan pada saatnya kau akan sependapat dengan aku."

   Ken Dedes kini menjadi semakin tunduk. Setetes air menitik dari matanya "Hamba Tuanku. Mudah-Mudahan hamba akan segera dapat mengerti."

   "Kalau kau tidak selalu dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan, maka kau akan segera dapat mengikuti segala persoalan Tumapel seperti seharusnya seorang Permaisuri. Kau wenang untuk ikut serta dalam pembicaraan-bicaraan khusus. Karena itu, Ken Dedes. Lupakan saja Mahisa Agni."

   Kini Ken Dedes benar-benar terperanjat Tanpa sesadarnya ia terloncat berdiri. Namun ketika terpandang olehnya Akuwu Tunggul Ametung, maka perlahan-lahan dijatuhkannya dirinya diatas tempat duduknya.

   "Ampun Tuanku"

   Desisnya. Namun kata-katanya terputus. Terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya."Bukankah hal itu lebih baik bagimu Ken Dedes."

   Dengan sekuat tenaga Ken Dedes mencoba menahan perasaannya. Tersendat-sendat ia berkata "Bagaimana mungkin Tuanku sekarang berkata demikian.?"

   "Ken Dedes. Marilah kita memandang kedepan. Kita tidak terpukau oleh masa lampau sehingga kita kehilangan arah. Kita hanya merenung dan bersedih tanpa berbuat sesuatu."

   "Hamba Tuanku. Hamba sependapat. Tetapi apakah dengan melupakannya kita telah berbuat sesuatu ?"

   Kening Akuwu Tunggul Ametung menjadi berkerut-merut.

   Hampir ia kehilangan kesabaran dan berteriak seperti kebiasaannya.

   Tetapi selalu ia ingat, ada kelebihan Ken Dedes dari orang-orang lain.

   Cahaya itu.

   Ya cahaya yang memancar dari tubuhnya yang pernah dilihat oleh Akuwu, selalu mempengaruhinya.

   "Ken Dedes "

   Berkata Akuwu itu kemudian "maksudku, kita berbuat sesuatu untuk kepentingan yang lebih besar.

   Kita tidak boleh terpukau oleh masa lalu, sehingga kerja yang lain terbengkalai.

   Apakah manfaatnya aku mencari Mahisa Agni dengan berbagai macam cara, tetapi bendungan yang dibuat oleh orang- orang Panawijen itu tidak selesai ? Apakah manfaatnya kau memberikan perhiasan seperti yang kau katakan itu, tetapi kita kehabisan beaya untuk meneruskan bendungan itu ? Ken Dedes, apabila kelak bendungan itu berhasil, maka orang-orang Panawijen akan sangat berterima kasih.

   Mereka akan memuji kemurahan hati kita atas bantuan yang telah kita berikan.

   Mereka akan hidup dalam kesejahteraan, dan mereka akan selalu mengenang segala macam jasa yang telah kita berikan.

   Dan merekapun akan segera melupakan Mahisa Agni."

   "Kakang Mahisa Agnilah yang telah mulai dengan pekerjaan besar itu "

   Tiba-tiba Ken Dedes menyahut.

   "Aku tahu. Tetapi apakah artinya Mahisa Agni itu kemudian ? Ia tidak berada lagi dipekerjaannya.""Itu sama sekali bukan karena kehendaknya sendiri."

   "Apapun alasannya. Tetapi ia tidak dapat meneruskan pekerjaan itu. Akulah yang menyelesaikannya. Akulah yang memberi semua kebutuhan dalam pekerjaan itu. Alat dan perbekalan."

   Terasa sebuah desir yang tajam mematuk jantung Ken Dedes.

   Sejenak ia terdiam dan sepercik lagi kekecewaan mewarnai hatinya.

   Namun ia masih berusaha sekuat-kuat tenaga untuk menahan diri.

   Untuk selalu dapat mengendalikan perasaan dan nalarnya.

   Jika ia menjadi kehilangan akal, maka maksudnya untuk minta pertolongan Akuwupun akan tertutup sama sekali.

   "Ampun Tuanku "

   Berkata Ken Dedes kemudian.

   Suaranya menjari rendah dan bergetar "hamba akan mencoba mengerti semua keinginan Tuanku.

   Tetapi hamba mengharap bahwa Tuankupun akan dapat mengerti keadaan hamba.

   Hamba sama sekali tidak dapat menyanggah kebenaran kata-kata Tuanku.

   Tetapi hamba ingin menyatakan kelemahan diri dan perasaan hamba.

   Betapa hamba ingin mengabdikan diri kepada keinginan dan cita- cita Tuanku, tentang masa depan Tumapel, tetapi hamba tidak akan dapat melepaskan diri dari kedirian.

   Mungkin keduanya dapat berjalan seiring.

   Hamba sebagai seorang Permaisuri dan hamba sebagai Ken Dedes yang lemah.

   Seorang yang hidupnya selalu diguncang oleh angin yang kasar."

   Akuwu Tunggul Ametung merasakan sebuah sentuhan yang halus didalam dadanya.

   Permaisuri itu.

   adalah seorang manusia biasa.

   Seorang yang memiliki sifat-sifat kemanusiaannya.

   Dan tiba- tiba saja dikenangkannya masa lampau Ken Dedei yang sangat pahit.

   Apa yang terjadi atasnya, dan bagaimana ia dapat sampai diistana ini.

   Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam.

   Dan tiba-tiba ia terhenyak keatas tempat duduknya, sebuah batu hitam yang dilambari oleh sebuah permadani yang tebal.

   Perlahan- lahan terdengar ia berkata seperti sedang mengeluh"Memang kita adalah orang-orang yang telah diamuk oleh nafsu memikirkan diri sendiri."

   Ken Dedes mengangkat wajahnya. Dilihatnya wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang. Tetapi ia tidak segera berkata sesuatu. Ia mengharap bahwa hati Akuwu itu akan mencair dari dalam.

   "Tetapi permintaan itu tidak mungkin dipenuhi Ken Dedes "

   Berkata Akuwu Tunggul Ametung.

   "Hamba memang sudah menyangka demikian Tuanku"

   Sahut Ken Dedes "hambapun tidak ingin memenuhi seluruhnya. Tetapi hamba ingin usaha yang nyata untuk melepaskannya."

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah kau percaya kepada Jajar itu ? "

   Bertanya Ken Arok.

   "Tidak Tuanku, hamba tidak mempercayainya."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.

   Ia heran mendengar jawaban Ken Dedes.

   Karena itu ia bertanya "Ken Dedes, kalau kau tidak percaya kepada Jajar itu, kenapa kau ingin berhubungan dengan dia dan bahkan kau sudah membicarakan soal tebusan meskipun kau masih ingin menawarnya ?"

   "Tuanku "

   Jawab Ken Dedes "Jajar itu akan dapat kita jadikan jembatan penghubung, antara kita dan orang-orang yang membawa kakang Mahisa Agni.

   Maksud hamba apabila kita dapat memelihara hubungan itu, apapun yang akan Tuanku lakukan, hamba akan berterima kasih sekali.

   Apalagi kelak apabila kakang Mahisa Agni benar-benar telah dapat dibebaskan.

   "Apakah yang harus aku lakukan ? Memberikan tebusan kepada Jajar itu ? "

   Bertanya Tunggul Ametung "apakah kau percaya bahwa setelah menerima tebusan itu Mahisa Agni akan benar-benar dibebaskan ?"

   "Hamba memang tidak percaya Tuanku. Mungkin orang-orang yang membawa Mahisa Agni itu yang ingkar, tetapi juga mungkin Jajar yang gemuk itulah yang ingkar."Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-Tiba ia berkata "Aku akan menangkap Jajar itu. Aku harus tahu dimana orang-orang yang mengambil Mahisa Agni. Dengan demikian maka aku akan segera dapat menangkap mereka."

   "Tuanku "

   Ken Dedes memotong dengan serta merta "bukankah Tuanku pernah mengatakan pula, seperti apa yang dipesankan oleh mPu Gandring dahulu, bahwa kekerasan akan berbahaya bagi kakang Mahisa Agni?"

   "Jadi apa ? Apa yang harus aku lakukan ? "

   Hampir-hampir Akuwu Tunggul Ametung berteriak. Namun tiba-tiba nadanya menurun "Ken Dedes, aku menjadi bingung. Kau tidak percaya kepada Jajar itu, dan kau tidak ingin aku mempergunakan kekerasan? Lalu apakah yang harus aku lakukan ?"

   "Tuanku, itulah yang aku ingin mendapatkan dari Tuanku. Apakah yang akan Tuanku lakukan. Selain yang Tuanku katakan, kekerasan?"

   "Jadi aku harus menyerahkan tebusan kepada Jajar itu dengan tanpa jaminan. Tebusan itu dapat hilang seperti garam yang kita lemparkan kedalam laut."

   "Tuanku, hamba sama sekali tidak mengerti manakah yang sebaiknya Tuanku lakukan. Tetapi bukankah Tuanku dapat mengajukan syarat kepada Jajar itu untuk disampaikan kepada Kuda-Sempana. Seandainya Tuanku memberikan tebusan, maka tebusan itu cukup mendapat jaminan, sehingga tidak seperti garam yang terbenam kedalam laut."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.

   Tampaklah betapa jantungnya menjadi tegang oleh persoalan itu.

   Hampir- Hampir saja ia membanting kakinya sambil berteriak.

   Tetapi pengaruh Ken Dedes atasnya terasa terlampau mencengkam.

   Tetapi untuk memenuhi tuntutan yang gila itupun sama sekali tidak terlintas didalam pikirannya.

   Harga dirinya sebagai Akuwu benar-benar tersinggung karenanya dan kecuali itu, maka tebusan itu bagi Akuwu Tunggul Ametung adalah kehilangan yang sia-sia.Menurut pertimbangannya, maka hilangnya Mahisa Agni tidak akan banyak berpengaruh bagi Tumapel.

   Disaat-saat ini pengaruh itu memang masih terasa pada Ken Dedes, yang langsung tidak langsung mempengaruhi juga kepada dirinya sendiri dan pemerintahannya.

   Namun lambat-laun Ken Dedespun pasti akan melupakannya.

   Karena itu maka dengan nada yang dalam ia berkata "Ken Dedes.

   Persoalan kita dengan Mahisa Agni sebenarnya telah selesai.

   Ternyata kita melakukan segala-galanya tanpa Ma hisa Agni, dan semuanya berjalan dengan baik.

   Perkawinan kita dapat juga berlangsung.

   Bendungan itupun akan segera siap pula.

   Semuanya dapat dilakukan tanpa Mahisa Agni.

   Sebaiknya kaupun menyadari.

   Jangan terlampau menggantungkan dirimu kepadanya.

   Jangan terlampau terpengaruh olebnya.

   Kau harus yakin, bahwa kau akan dapat melupakannya.

   Bahwa Tumapel akan menjadi besar tanpa anak itu, dan bahwa bendungan itupun akan dapat mengalirkan air nya untuk tanah-tanah persawahan tanpa kehadirannya.

   Nah, apa lagi yang kau inginkan daripadanya Ken Dedes.

   Bukankah Mahisa Agni itu menurut pengakuanmu juga bukan kakak kandungmu sendiri?"

   Dada Ken Dedes seolah-olah ingin meledak karenanya. Tetapi dengan sekuat tenaga yang ada padanya, ditabahkannya hatinya. Ia tidak boleh menyerah dan berputus asa. Jika demikian, maka semuanya benar-benar akan gagal. Tetapi ia harus tetap berusaha.

   "Tuanku"

   Berkata Ken Dedes dengan gemetar "sudah hamba katakan keadaan dan kelemahan hamba.

   Sudah hamba katakan diri hamba yang tidak dapat ingkar dari kedirian.

   Hamba adalah seorang yang lemah dan ringkih.

   Lahir dan batin.

   Sebenarnyalah Tuanku, bahwa hamba tidak akan dapat melupakannya.

   Bukan sekedar karena kakang Mahisa Agni itu telah dipersaudarakan dengan hamba sejak kanak-kanak, sudah seperti kakak kandung sendiri, tetapi hamba tidak dapat melupakan semua kebaikannya.

   Hamba tidak akan dapat melupakan semua pengorbanannya.

   Hamba sampaikan perasaan hamba ini kepada Tuanku, Bukan saja sebagaiseorang Akuwu yang berkuwajiban melindungi rakyatnya, tetapi juga sebagai seorang suami.

   Kepada siapa hamba harus mengadu, jika tidak kepada Tuanku, Akuwu Tumapel.

   Kepada siapa hamba harus membagi duka, jika tidak kepada suami hamba."

   "Oh "

   Terdengar Akuwu Tunggul Ametung berdesah "Kau membuat aku pening. Kau tidak memberikan apa-apa kepadaku sebagai seorang Permaisuri kepadaku, kepada Tumapel. Tetapi kau malahan membuat aku hampir gila."

   Sekali lagi sepercik kekecewaan menghunjam langsung kepusat jantung Ken Dedes.

   Tetapi ia tidak ingin surut.

   Ia harus mendapat kesempatan sekali ini, meskipun kadang-kadang sehelai-sehelai perasaan putus asa telah menyaput hatinya.

   Bagi Ken Dedes, usaha membebaskan Mahisa Agni sama sekali tidak akan mengganggu rencana pekerjaan Akuwu yang lain.

   Ia akan dapat menyisihkan sedikit waktunya untuk berbuat.

   Ken Dedes tahu benar, bahwa sebenarnya Akuwu Tunggul Ametung masih mempunyai banyak kesempatan.

   Menurut penilikan Ken Dedes, Akuwu Tunggul Ametung tidak mempergunakan waktunya sebaik- baiknya.

   Ia tidak terikat pada suatu rencana yang matang.

   Tetapi ia berbuat sesuai dengan keinginannya sesaat-sesaat, kapan ia ingat dan kapan saja ia mau Itulah sebabnya maka ia menjadi terlampau sibuk untuk sesaat, sedang disaat-saat yang lain waktunya hanya dipergunakannya untuk berburu tanpa berbuat sesuatu, tidur separijang hari dan kadang-kadang marah-marah karena hal-hal yang kecil kepada hamba-hambanya.

   Sekali-Sekali ia sibuk dengan berbagai macam rontal.

   Diperintahkannya hambanya, juru kidung membaca untuknya.

   Dibawanya beberapa orang tua-tua untuk memperbincangkan isi kidung atau kakawin.

   Semuanya terjadi seperti yang diingininya.

   Tidak ada waktu-waktu yang direncanakannya untuk berbagai macam kepentingan itu.

   Meskipun ia sedang menyiapkan pertemuan bagi para pembantunya, tetapi tiba-tiba ia ingin mendengarkan ceritera yang disenanginya, maka di panggilnya juru kidungnya.

   Dan dihabiskannya waktunya untuk mendengarkan ceritera-ceritera itu.

   Ketika orang-orang yangdipanggilnya hadir, maka ia tidak membicarakan sesuatu masalah apapun kecuali dibawanya orang-orang itu untuk membicarakan ceritera yang baru didengarnya.

   Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.

   Ia sadar bahwa kehadirannya diistana itu memang belum menumbuhkan suasana yang baru.

   Tetapi ia sudah mempunyai beberapa rencana untuk itu.

   Ia ingin membuat Akuwu Tunggul Ametung berbeda dengan Akuwu itu sebelumnya.

   Namun setelah perkawinannya, justru Akuwu seolah-olah kehilangan segenap waktunya.

   Ia tenggelam dalam suasana perkawinannya untuk beberapa saat.

   Meskipun kini perlahan-lahan Akuwu telah kembali kedalam lingkungan pemerintahan, tetapi ia akan kembali seperti saat-saat yang pernah dijalaninya.

   Menurut kehendaknya yang meledak-ledak.

   "Namun agaknya persoalan kakang Mahisa Agni tidak menarik perhatiannya "

   Pikir Ken Dedes. Tetapi ia masih berusaha, katanya "Ampun Tuanku. Sekali ini hamba mohon dengan sangat, agar Tuanku sudi mendengarkannya."

   "Aku akan menjadi gila."

   "Seandainya Tuanku tidak mempunyai waktu, perkenankan hamba menyelesaikannya sendiri. Tetapi hamba ingin Tuanku memberikan keleluasaan kepada hamba untuk memilih jalan yang dapat hamba tempuh."

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   "Hamba belum tahu Tuanku. Mungkin atas ijin Tuanku hamba akan mempergunakan beberapa kekuatan prajurit, namun mungkin hamba terpaksa mempergunakan tebusan. Karena itu, seandainya Tuanku tidak berkeberatan, biarlah hamba menyelesaikan persoalan ini."

   "Oh, tidak. Tidak "

   Potong Akuwu Tunggul Ametung "kau tidak boleh berbuat sendiri.

   Apalagi memboroskan kekayaan istana Tumapel.

   Kau tahu Ken Dedes, aku sedang berpikir bagaimana akudapat menjadikan istana ini menjadi istana yang terbaik dan termegah diseluruh Kediri.

   Aku ingin kau memiliki sejumlah perhiasan yang paling berharga dari Permaisuri-Permaisuri Akuwu diseluruh Kediri.

   Bahkan di dalain persidangan Agung nanti, apabila kau mendapat kesempatan untuk pergi bersamaku, bersama-sama dengan Permaisuri dari daerah-daerah lain diwilayah Kediri, kau akan menjadi seorang Permaisuri yang paling cantik.

   Kau akan menjadi Permaisuri yang memiliki segala macam perhiasan melampaui yang lain, bahkan harus melampaui Permaisuri Maharaja Kediri."

   Tetapi perlahan-lahan Ken Dedes menggelengkan kepalanya "Itu sama sekali tidak perlu bagi hamba Tuanku."

   "Oh, alangkah bodohnya kau. Aku ingin kau menjadi Permaisuri tercantik. Aku ingin kau menjadi Permaisuri yang paling kajen keringan."

   "Tetapi itu sama sekali bukan untuk hamba. Tetapi itu semata- mata hanya sekedar untuk kebanggaan Tuanku. Untuk kepentingan Tuanku sendiri."

   "Ken Dedes."

   "Apabila Tuanku berpikir untuk kepentingan hamba, maka biarlah hamba menentukan semuanya itu sendiri meski pun menurut pertimbangan-pertimbangan Tuanku."

   "Tidak. Tidak. Kau tidak dapat berbuat menurut kehendakmu. Aku adalah Akuwu Tumapel. Bukan kau."

   Terasa dada Ken Dedes menjadi bergelora.

   Tiba-Tiba tumbuhlah keberanian didalam dirinya untuk memaksakan kehendaknya.

   Desakan yang ada didalam dirinya sudah tidak tertahankan lagi.

   Karena itu maka katanya "Benar Tuanku.

   Tuanku adalah Akuwu Tumapel.

   Tetapi ingatkah Tuanku, bahwa Tuanku pernah berkata kepada hamba, bahwa Tuan ku telah menyerahkan apa saja yang Tuanku miliki kepada hamba ? Bukankah itu berarti bahwa hambalah yang kini mempunyai kekuasaan atas segala-galanya, bahkan atas Tuanku Akuwu Tunggul Ametung sendiri.

   Tuanku telahberkata, apapun yang ada didalam istana, bahkan seluruh milik dan kekuasaan Tuanku telah Tuanku berikan kepada hamba.

   Tidak hanya satu kali, tetapi berulang kali Tuanku katakan.

   Sejak aku pertama-tama masuk kedalam istana ini.

   Kemudian, beberapa saat menjelang perkawinan, dan pada saat-saat perkawinan itu hampir berlangsung, ketika hamba mohon penun daan karena tiadanya kakang Mahisa Agni.

   Nah, apakah Tuanku akan ingkar?"

   Wajah Tunggul Amctung tiba-tiba menjadi merah, semerah soga.

   Terhentak ia berdiri.

   Tubuhnya menjadi gemetar dan wajahnya menegang.

   Sesaat justru ia terbungkam.

   Tetapi terasa darahnya seolah-olah mendidih didalam dirinya.

   Apalagi ketika dilihatnya Ken Dedes tidak lagi menundukkan kepalanya, bahwa wajah Permaisuri itu kini terangkat seolah-olah menantangnya.

   Tetapi justru karena itu maka sejenak Akuwu itu terdiam.

   Ia berdiri saja membeku dalam ketegangan.

   Tubuhnya bergetar oleh getaran jantung yang berdentangan di dalam dadanya.

   Dalam keadaannya itu Akuwu Tunggul Ametung telah kehilangan pengendalian diri.

   Siapapun yang berada didekatnya, ia tidak dapat mempertimbangkannya lagi.

   Kemarahannya benar-benar telah memuncak sampai dikepalanya.

   Namun baru sejenak kemudian ia mampu berkata dengan suara yang terputus-putus "Kau, kau berani berkata begitu kepadaku he anak Panawijen.

   Aku adalah Akuwu Tunggul Ametung.

   Aku telah mengambil kau dari lembah kepapaan masuk kedalam istana ini.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekarang kau.

   minta suatu yang tidak akan mungkin dapat kau miliki.

   Kekuasaan atas Tumapel,"

   Akuwu Tunggul Ametung terhenti sesaat justru karena kalimat-kalimat yang berdesakan ingin melontar keluar dalam waktu yang bersamaan.

   Namun saat itu ternyata telah dipergunakan oleh Ken Dedes yang justru menjadi semakin berani "Tuanku.

   Hamba tidak pernah minta apapun dari Tuanku sebelum ini.

   Sebelum hamba membicarakan masa lah kakangMahisa Agni.

   Tetapi Tuanku sendirilah yang memberikannya kepada hamba.

   Meskipun demikian hamba tidak akan pernah mempergunakan segala macam wewenang karena akibat pelimpahan kekuasaan atas Tumapel itu dari Tuanku, seandainya Tuanku sudi mendengarkan permohonan hamba yang berangkai tidak akan berarti apa-apa bagi Tuanku dan sama sekali tidak akan mengganggu waktu dan terlampau banyak mempergunakan pikiran.

   Tetapi Tuanku sama sekali tidak berminat membicarakan kakang Mahisa Agni Seandainya kakang Mahisa Agni dibunuh sekalipun oleh Kuda-Sempana maka hamba tidak akan menyesal, apabila Tuanku telah berusaha meskipun tidak berhasil.

   Tetapi Tuanku sama sekali tidak menaruh minat apapun atas satu-satunya keluarga hamba, satu-satunya orang yang mengerti tentang diri hamba."

   "Omong kosong"

   Bentak Akuwu Tunggul Ametung "aku telah mencoba untuk menjadi orang yang paling dekat padamu. Untuk mengerti keadaanmu dan untuk menjadi pegangan hidupmu. Tetapi agaknya kau telah menyia-nyiakannya."

   "Hamba akan berterima kasih seandainya Tuanku mencoba, hanya mencoba untuk mengerti keadaan hamba. Tetapi Tuanku tidak berbuat demikian, sehingga hamba terpaksa menyebut-nyebut pelimpahan kekuasaan yang pernah Tuanku ucapkan."

   "Tidak. Tidak. Kau memang anak yang tidak tahu budi. Kau memang anak yang terlampau tamak he perempuan Panawijen."

   "Cukup"

   Tiba-tiba suara Ken Dedes melengking tinggi mengatasi suara Akuwu Tunggul Ametung.

   Sehingga Tunggul Ametung itupun terkejut.

   Tetapi bukan saja Akuwu Tunggul Ametung yang terkejut, namun Ken Dedes sendiri pun terkejut karenanya.

   Sejenak keduanya terbungkam.

   Namun sejenak kemudian Ken Dedes menundukkan kepalanya.

   Betapa ia mencoba bertahan, namun titik-titik air matanya berjatuhan satu-satu di atas pangkuannya.

   Namun titik air mata itu sama sekali tidak dapat mendinginkan jantungnya yang serasa membara.

   Betapa sakit hatinya mendengarkata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu.

   Betapa pedihnya luka yang hampir sembuh itu kini terkorek kembali.

   Diantara isak tangisnya, terdengar Ken Dedes berkata "Ya Tuanku.

   Tuanku benar.

   Hamba memang hanya sekedar seorang perempuan yang papa.

   Hamba memang berasal dari sebuah padepokan kecil di Panawijen.

   Tetapi apakah atas kehendak hamba maka hamba masuk kcdalam istana ini ? Sebagai manusia hamba mempunyai perasaan dan nalar.

   Seandainya hamba dapat menyaput perasaan hamba dengan gemerlapnya kckayaan istana ini, seandainya luka dihati hamba dapat disembuhkan dengan emas, intan berlian yang tidak hanya tiga pengadeg.

   Seandainya, ya seandainya semua itu dapat mengobati hati hamba, maka hamba benar-benar seorang yang tidak tahu diri, orang yang tamak dan kerdil.

   Tetapi Tuanku, ketahuilah, bahwa semuanya itu tidak berarti apa-apa bagi luka dihati hamba.

   Tidak akan dapat menawarkan duka yang menghentak-hentak didalam dada hamba.

   Yang dapat menjinakkan perasaan hamba saat itu satu-satunya adalah kebaikan hati Tuanku.

   Tuanku aku anggap sebagai satu-satunya orang yang mengerti akan keadaan hamba, meskipun Tuanku pula yang telah melindungi Kuda-Sempana mengambil hamba dari naungan orang tua hamba, sehingga orang tua hamba yang tinggal satu-satunya itu telah membuang diri dengan meninggalkan akibat yang parah bagi Panawijen.

   Ternyata orang tua hamba telah kehilangan keseimbangan berpikir karena hamba hilang dari padanya.

   Tetapi kini, ternyata hamba melihat Tuanku sebenarnya.

   Hamba melihat bahwa Tuanku tidak lebih dari manusia biasa."

   Ken Dedes berhenti sejenak untuk menelan ludahnya yang serasa menyumbat kerongkongan.

   Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihat nya Akuwu Tunggul Ametung berdiri membeku.

   Namun ketegangan diwajahnya masih membayangkan hatinya yang panas.

   Tetapi Ken Dedes sudah tidak menghiraukannya lagi.

   Bahkan ia berkata terus meskipun ia kemudian menunduk kan kepalanya pula"Ternyata Tuanku adalah manusia biasa yang hanya dikuasai oleh pamrih.

   Hamba kini menduga bahwa bukan karena sesal, maka Tuanku melepaskan hamba dari tangan Kuda-Sempana "Ken Dedes "

   Akuwu Tunggul Ametung memotong, tetapi Ken Dedes berkata terus dengan nada tinggi "Tunggu Tuanku.

   Hamba belum selesai.

   Hamba hanya ingin mengatakan bahwa Tuanku adalah seorang manusia yang hanya melihat kepentingan diri.

   Tuanku hanya mengerti tentang keinginan Tuanku sendiri.

   Tuanku melepaskan hamba dari Kuda-Sempana, Tuanku berjanji untuk melimpahkan segalanya kepada hamba, Tuanku memberikan bantuan ke pada.

   kakang Mahisa Agni dipadang Karautan dan yang lain-lain ternyata hanya terdorong oleh nafsu Tuanku sendiri, supaya Tuanku dapat berbuat sekehendak hati Tuanku atas hamba."

   "Bohong, bohong "

   Akuwu Tunggul Ametung berteriak.

   Hampir- Hampir ia lupa diri dan meloncat menampar pipi Ken Dedes yang putih dan basah oleh air mata.

   Tetapi untunglah bahwa ia masih mampu menahan dirinya meskipun dadanya serasa hampir meledak.

   Dengan lantangnya ia berkata dalam nada yang tinggi hampir melengking "Oh, Ken Dedes.

   Kau anggap Mahisa Agni itu manusia yang paling utama didunia ini sehingga kau bersedia mengorbankan segalanya untuknya.

   Kau anggap bahwa persoalannya adalah persoalan yang maha penting, melampaui persoalanmu sendiri sehingga hampir-hampir kau korbankan dirimu sendiri untuknya ? Ken Dedes, apakah engkau tidak menyadari bahwa kini kau berhadapan dengan Akuwu Tunggul Ametung yang berkuasa tanpa batas di Tumapel atas nama Maharaja Kediri."

   "Hamba mengerti Tuanku "jawab Ken Dedes. Meskipun matanya telah menjadi basah oleh air mata, tetapi kini ia menengadahkan wajahnya "Tetapi yang penting bagi hamba, bukanlah terlepasnya kakang Mahisa Agni.

   Suara Ken Dedes menjadi bergetar karena hentakan jantungnya didalam dada "Sudah hamba katakan, bahwaseandainya kakang Mahisa Agni terbunuh sekalipun hamba tidak akan menyesal apabila Tuanku telah berusaha berbuat sesuatu."

   "Oh begitu"

   Potong Tunggul Ametung "Baik.

   Baik.

   Besok aku kerahkan seluruh pasukan Tumapel untuk mencari Kebo Sindet.

   Aku tidak akan gagal.

   Aku tidak perlu lagi mempersoalkan seperti berulang kali kau katakan, bahwa cara itu akan berbahaya bagi keselamatan Mahisa Agni."

   "Itu lebih baik dari pada Tuanku tidak berbuat apapun "

   Ken Dedes menyahut "tetapi apa yang Tuanku lakukan itu sama sekali tidak bersungguh-sungguh. Tuanku hanya melepaskan kemarahan dan luapan-luapan kejemuan saja.

   Ken Dedes berhenti sejenak.

   Keringatnya telah memenuhi punggungnya sehingga kembannya menjadi kuyup seperti kainnya menjadi kuyup oleh air mata "Yang penting bagi hamba Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, yang kini telah hamba ketahui adalah, bahwa Tuanku sama sekali tidak mencoba mengerti perasaan hamba.

   Tuanku tidak memperhatikan kepahitan perasaan hamba selama ini.

   Baik Tuanku sebagai Akuwu Tumapel, maupun sebagai Tuanku Tunggul Ametung, suami hamba."

   Darah Akuwu Tunggul Ametung serasa benar-benar telah mendidih.

   Tidak pernah ia berhadapan dengan seseorang yang berani menentang matanya apabila ia sedang marah, apalagi menjawab kata-katanya sepatah dengan sepatah.

   Tetapi anak Panawijen yang telah dipungutnya dari kepapaan itu berani berbuat demikian terhadapnya.

   Ia berani menentang matanya dan berani membantah kata-katanya sepatah dengan sepatah.

   Betapa luapan kemarahannya tidak tertahankan lagi.

   Matanya telah menjadi merah, dan giginya menjadi geme retak.

   Tangannya bergetar seakan-akan istana ini akan diruntuhkannya.

   Dan yang berada dihadapannya itu tidak lebih dari perempuan Panawijen.

   Perempuan padesan.Tiba-Tiba saja Akuwu Tunggul Ametung kehilangan segala macam pertimbangannya.

   Ia tidak lagi dapat mengekang diri.

   Ia tidak lagi melibat bahwa yang duduk dihadapannya itu hanyalah sekedar seorang perempuan, namun perempuan itu adalah Permaisurinya sendiri.

   Dalam kegelapan hati, maka Akuwu itu melangkah maju.

   Tangannya sudah bergetar.

   Hampir saja ia berteriak dan menunjuk hidung Ken Dedes, dan mengucapkan umpatan yang paling menyakitkan hati.

   Tetapi langkah itu tiba-tiba terhenti.

   Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang.

   Sejenak ia berdiri mematung, namun kemudian Akuwu Tunggul Ametung yang perkasa itu melangkah surut.

   Tubuhnya kian bergetar dan keringat dinginnya semakin banyak mengalir dipunggungnya.

   Ken Dedes yang duduk dengan gemetar, karena kemarahan dan kekecewaan yang membara didadanya, tiba-tiba menjadi heran.

   Ia sudah pasrah atas apa saja yang akan dilakukan Akuwu itu atasnya, bahkan dibunuh sekalipun, la tidak akan menghindar.

   Ia hanya ingin Akuwu Tunggul Ametung mendengar perasaan yang selama ini menyesak didadarya.

   Dan itu sudah ditumpahkannya.

   Ia sudah cukup puas, meskipun akibatnya akan sangat berbahaya baginya.

   Ia sudah meredupkan matanya ketika Akuwu Tunggul Ametung melangkah maju, meskipun dadanya tetap tengadah.

   Ia tidak perlu melihat tangan Akuwu yang mungkin akan mencengkam lehernya.

   Tetapi tiba-tiba langkah Akuwu itu tertegun.

   Bahkan kemudian ia melihat Akuwu Tunggul Ametung itu melangkah surut.

   Setapak demi setapak.

   Wajahnya yang membara segera berubah menjadi pucat sepucat mayat meskipun masih dalam ketegangan.

   Matanya yang membelalak seolah-olah akan meloncat dari pelupuknya.

   Dengan gemetar Akuwu itu memalingkan wajahnya.

   Tangannya seolah-olah ingin menolakkan sesuatu yang meloncat dari wajah Ken Dedes yang keheranan.

   "Tidak. Tidak "

   Teriak Akuwu itu.Ken Dedes menjadi semakin heran. Akuwu itu melangkah semakin jauh dari padanya.

   "Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak akan berbuat apa- apa."

   Ken Dedes yang keheranan itu kemudian menjadi cemas.

   Ia tidak tahu apa yang telah terjadi.

   Tetapi ia melihat Akuwu itu seakan- akan berada didalam ketakutan yang amat sangat.

   Akuwu Tunggul Ametung yang perkasa.

   Yang tidak pernah gentar melihat lawan yang betapapun kuatnya.

   Bahkan seorang yang telah mampu membunuh seekor gajah yang sedang mengamuk hanya seorang diri.

   Betapa kemarahan dan kekecewaan membakar dada Ken Dedes, namun ia menjadi sangat cemas melihat keadaan Akuwu Tunggul Ametung.

   Apabila terjadi sesuatu atasnya, maka ialah yang akan bertanggung jawab Didalam ruangan itu hanyalah ada mereka berdua saja.

   Sedangkan para emban dan pelayan, pasti ada yang mendengar pertengkaran mereka.

   Tetapi lebih daripada itu, bagaimanapun juga Akuwu Tunggul Ametung itu adalah suaminya.

   Karena itu, maka perlahan-lahan ia berdiri.

   Selangkah ia maju sambil berdesis "Tuanku.

   Tuanku.

   Kenapakah Tuanku?"

   Akuwu Tunggul Ametung itu justru menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya menjadi gemetar dan keringat dinginnya menjadi semakin banyak mengalir.

   "Tuanku."

   Terdengar suara Ken Dedes lirih.

   "Tidak. Tidak Ken Dedes, aku tidak akan berbuat apa-apa atasmu."

   "Ya Tuanku "

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut Ken Dedes "hamba tahu. Tuanku tidak akan berbuat apa-apa atas hamba. Tetapi kenapa Tuanku menjadi seolah-olah ketakutan."

   "Hentikan Ken Dedes. Hentikan."Ken Dedes menjadi semakin heran. Kini ia berdiri di belakang Akuwu Tunggul Ametung yang masih saja menutupi wajahnya yang pucat dengan kedua tangannya.

   "Ampun Tuanku. Apakah yang sudah hamba perbuat? Hamba tidak berbuat apa-apa seperti Tuanku juga tidak akan berbuat apa- apa atas hamba."

   "Oh "

   Akuwu Tunggul Ametung mencoba menenangkan hatinya yang seolah-olah dicengkam oleh kecemasan yang sangat.

   "Aku melihatnya lagi. Aku melihatnya lagi. Lebih dahsyat dari yang pernah aku lihat. Terasa betapa panasnya. Kepalaku hampir terbakar olehnya."

   "Apakah yang Tuanku lihat ? "

   Bertanya Ken Dedes yiing menjadi semakin heran pula. Akuwu Tunggul Ametung menarik napas dalam-dalam. Di tengadahkannya wajahnya. Tetapi ia masih belum berani berpaling "Panas sekali. Panas sekali."

   "Apakah yang panas Tuanku."

   "Wajahku."

   "Oh "

   Ken Dedes berkata lembut "mungkin Tuanku menjadi sangat marah. Tuanku telah dibakar oleh perasaan sendiri. Seperti kebanyakan orang yang sedang diamuk oleh kemarahan, seperti hamba pula, maka wajah ini akan menjadi panas."

   Akuwu Tunggul Ametung tidak segera menyahut Tetapi jawaban Ken Dedes itu mengherankannya pula. Dengan demikian ia mendapatkan kesimpulan, bahwa Ken Dedes sama sekali tidak sengaja berbuat sesuatu.

   "Lalu bagaimanakah hal itu dapat terjadi ? "pikirnya. Perlahan-lahan Akuwu Tunggul Ametung berpaling Ia melihat Ken Dedes berdiri tegak dibelakangnya. Ken Dedes seperti yang selalu dilihatnya. Seperti yang pernah dilihatnya di-Panawijen, seperti yang sehari-hari dilihatnya diistana. Seperti yang baru sajadi-bentaknya. Tetapi yang tiba-tiba saja Permaisuri itu seolah-olah menjadi orang yang lain, yang menakjubkan menurut penglihatannya. Anak Panawijen, puteri seorang pendeta itu seolah- olah berubah menjadi gumpalan cahaya yang menyilaukannya. Bahkan terasa betapa panasnya. Akuwu Tunggul Ametung pernah melihat dari tubuh Ken Dedes itu memancar cahaya yang silau. Tetapi sesaat tadi ia melihat bukan saja sekedar cahaya yang silau, yang memancar dari bagian-bagian tubuhnya Kali ini ia melihat Ken Dedes itu dalam keseluruhannya telah memancarkan cahaya yang menyilaukan, bahkan terasa panas diwajahnya. Akuwu Tunggul Ametung kini berdiri termangu-mangu. Ken Dedes yang kini adalah Ken Dedes Permaisurinya. Yang memandangnya dengan penuh keheranan namun juga kecemasan.

   "Apakah yang telah terjadi Tuanku ? "

   Bertanya Ken Dedes pula.

   Akuwu Tunggul Ametung menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Ia mengambil kesimpulan bahwa Ken Dedes sendiri tidak menyadari apa yang telah terjadi dengan dirinya.

   Karena itu maka Akuwu itupun menjawab "Tidak apa-apa.

   Aku hampir-hampir lupa diri dan berbuat diluar kesadaran.

   Maafkan aku."

   "Tuanku tidak bersalah. Tuanku adalah seorang yang paling berkuasa di Tumapel. Tuanku dapat berbuat apa saja sekehendak Tuanku."

   Akuwu itu tidak menjawab.

   Tetapi ia tidak dapat mengingkari penglihatannya.

   Ia sadar bahwa Ken Dedes memang bukan sekedar seorang anak yang dipungutnya dari kepapaan.

   Seorang anak padepokan yang kecil.

   Akuwu itu pernah mendengar dari seseorang tua bahwa orang yang bercahaya dari dalam dirinya, adalah seorang yang linuwih.

   Seorang yang dari dalam dirinya seolah-olah memancar api yang paling panas dan menyorotkan sinar yang paling terang, ia adalah seorang pilihan yang kelak akan menurunkan orang-orang besar."Apakah Ken Dedes juga akan dapat menurunkan orang besar ? "

   Berkata Akuwu itu didalam hatinya "lebih besar dari aku? Bahkan sebesar raja Kediri?"

   Dada Tunggul Ametung menjadi berdebar-debar.

   "Jika demikian, maka Ken Dedes harus merasa dirinya berbahagia diistana ini. Ia harus menjadi seorang Permaisuri yang dapat memberi keturunan kepadaku. Anakku akan mewarisi anugerah yang mengalir ditubuh Ken Dedes."

   Karena itu maka tiba-tiba Tunggul Ametung itu berkata "Ken Dedes. Baiklah. Baiklah aku akan berusaha untuk melepaskan Mahisa Agni."

   Ken Dedes terkejut mendengar keputusan Akuwu Tunggul Ametung yang tiba-tiba itu. Sejenak ia berdiri saja terpaku ditempatnya. Karena jantungnya yang berdebar-debar terlampau cepat, maka Permaisuri itu seolah-olah menjadi beku ditempatnya.

   "Ken Dedes "

   Berkata Akuwu itu "kau dengar? Aku akan berusaha melepaskan Mahisa Agni. Tetapi aku harus berhati-hati supaya usaha itu tidak gagal karena keingkaran. Baik Kebo Sindet yang mengambil Mahisa Agni, maupun Jajar yang gemuk itu."

   Ken Dedes tidak segera menyahut.

   Ia melangkah surut dan perlahan-lahan duduk ditempatnya kembali.

   Terasa sesuatu kini bergetar didalam dadanya.

   Ia merasa gembira atas keputusan itu, tetapi ia tidak dapat menyingkirkan perasaan kecewa yang telah mencengkam jantungnya.

   Keputusan Akuwu tiba-tiba saja berubah itu menumbuhkan berbagai persoalan didalam diri Ken Dedes.

   Apalagi ia menyaksikan sikap Akuwu yang tidak wajar, seolah-olah orang yang perkasa itu menjadi ketakutan.

   "Apakah yang membuatnya ketakutan? "

   Pertanyaan itu selalu timbul saja didalam dirinya "agaknya ketakutannyalah yang telah memaksanya untuk merubah keputusan. Bukan karena kesadarandidalam dirinya bahwa seharusnya ia mengerti tentang perasaanku, perasaan seorang isteri."

   Terasa perasaan kecewa masih saja selalu mengganggu Permaisuri itu.

   Meskipun ia tidak tahu, apakah yang menyebabkan Akuwu menjadi seolah-seolah ketakutan, tetapi dengan demikian maka Ken Dedes masih saja menganggap bahwa Akuwu itu berbuat demikian karena kepentingan diri semata-mata.

   Untuk menghindarkan dirinya dari ketakutan yang agaknya sangat mengganggunya.

   Tetapi seharusnya ia tidak menolak kesempatan itu.

   Apa pun yang menyebabkannya, namun setiap kesempatan untuk melepaskan Mahisa Agni harus diterimanya sebaik-baiknya.

   Ken Dedes itu kemudian mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata "Bagaimana Ken Dedes.

   Apakah kau mendengar bahwa aku akan berusaha melepaskan Mahiia Agni?"

   Ken Dedas menganggukkan kepalanya, jawabnya "Hamba Tuanku. Hamba mengucapkan terima kasih atas kesempatan itu"

   "Tetapi aku tidak akan berbuat tergesa-gesa. Aku akan melihat setiap kemungkinan. Aku harus yakin bahwa aku tidak berada dijalan yang salah."

   "Hamba Tuanku. Hamba kira Tuanku tidak akan kekurangan cara untuk berusaha membebaskan kakang Mahisa Agni."

   "Ya, ya. Aku akan berusaha."

   "Terima kasih Tuanku, hamba mengharap bahwa usaha itu akan segera berhasil. Agaknya orang-orang yang mengambil kakang Mahisa Agni itu sudah tidak dapat bersabar lagi menunggu."

   "Ya ya. Aku akan berbuat secepat-cepatnya.

   Berkata Akuwu itu kemudian "Nah, sekarang pergilah tidur.

   Beristirahatlah supaya hatimu menjadi tenang.

   Kau adalah seorang Permaisuri.

   Kau adalah bulan dilangit yang gelap, bagi Tumapel.

   Kalau kau menjadi suram, maka Tumapel menjadi suram.

   Kalau kau menjadi cerah, maka Tumapel akan menjadi cerah.""Kalau Tuanku telah melenyapkan awan yang menyaput bulan, maka bulan akan menjadi selalu cerah."

   "Ah "

   Akuwu Tunggul Ametung berdesah.

   "Baiklah, baiklah."

   Sejenak kemudian maka Permaisuri itupun segera kembali kebiliknya. Diluar biliknya, duduk emban tua pemomongnya. Ketika emban itu melihat Ken Dedes mendatanginya, maka dengan tergesa-gesa diusapnya air yang mengambang di matanya.

   "Kenapa kau bibi?"

   Bertanya Ken Dedes "apakah kau menangis?"

   "Tidak Tuan Puteri. Hamba tidak menangis."

   "Tetapi pipimu basah bibi."

   Emban tua itu menggeleng "Tidak Tuan Puteri. Hamba hanya terlampau mengantuk. Hamba tidak tahu, apakah sebabnya."

   "Kau mengelak bibi. Apakah kau mendengar pertengkaranku dengan Tuanku Akuwu, dan kau menangis karenanya? Lalu kau mendahului aku kemari?"

   Emban tua itu menundukkan kepalanya.

   Tetapi ia tidak menjawab.

   Ken Dedespun kemudian tidak bertanya lagi.

   Ia langsung masuk kedalam biliknya dan emban itupun mengikutinya dibelakangnya.

   Kemudian dibantunya Permaisuri itu melepaskan pakaiannya untuk berganti dengan pakaian tidurnya.

   "Akuwu telah menyatakan kesediaannya bibi"

   Berkata Ken Dedes itu kemudian "tetapi aku belum tahu, apa yang akan dikerjakannya"

   Emban itu tidak menyahut. Tetapi ia tidak berani mengangkat wajahnya.

   "Mudah-Mudahan Akuwu berhasil"

   Desis Ken Dedes kemudian. Tetapi emban tua itu tidak pula menjawab. Ketika Ken Dedes berpaling kearahnya dilihatnya setitik air jatuh di lantai.

   "Kau menangis lagi bibi?"

   Ken Dedes menjadi heran.Emban tua itu tidak dapat ingkar lagi. Titik-Titik air telah merayap dipipinya yang sudah ber-kerut-merut.

   "Kenapa kau menangis.?"

   "Hamba terharu mendengar keputusan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung Tuan Puteri."

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Bagi Ken Dedes, emban itu adalah seorang yang bergaul dengan Mahisa Agni sejak anak muda itu masih kanak-kanak.

   Karena itu maka pasti telah tumbuh ikatan batin pula diantara keduanya.

   Di antara Mahisa Agni dan emban tua itu.

   Karena itu dibiar kannya saja emban itu menitikkan air matanya, sambil membenahi pakaian yang baru dilepasnya.

   Ketika malam menjadi semakin malam, maka emban itupun meninggalkan bilik Ken Dedes.

   Permaisuri itu berbaring diatas pembaringannya.

   Tetapi matanya seakan-akan tidak mau terpejam.

   Angan-Angannya masih saja berkeliaran kemana-mana Mahisa Agni, padang Karautan, Akuwu Tunggul Ametung dan orang-orang yang telah menyembunyikan Mahisa Agni.

   Namun karena letihnya, maka semakin lama maka mata yang bulat itupun menjadi semakin redup.

   Bayangan cahaya pelita didinding ruangan itupun tampaknya menjadi semakin kabur.

   Achirnya Ken Dedes itupun tertidur.

   Dihari berikutnya Ken Dedes menunggu saja dengan cemas, apakah yang sudah dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung.

   Ia tidak berani bertanya lagi, seolah-olah ia tidak percaya akan kesanggupan Akuwu.

   Tetapi Akuwu-Akuwu tidak menyebut- nyebutnya lagi.

   Akuwu tidak mengatakan kepadanya, usaha apakah yang sudah dilakukan.

   Meskipun demikian Ken Dedes masih mengharap bahwa Akuwu telah berbuat dengan diam-diam.

   Dihari itu Ken Dedes hampir tidak keluar dari biliknya.

   Ia duduk saja dengan hati yang berdebar-debar.

   Emban pemomongnya mengawaninya dengan telaten, meskipun sebenarnya hatinya sendiri dicengkam oleh kecemasan yang dahsyat.

   Namun, apabila iaselalu berada disarnping Ken Dedes, maka ia mengharap bahwa ia akan ikut serta mendengar perkembangan selanjutnya.

   Tetapi hari itu Akuwu Tunggul Ametung sama sekali tidak mengatakan apapun tentang usahanya melepaskan Mahisa Agni.

   Meskipun demikian Ken Dedes masih tetap berharap, kalau tidak hari ini, besok atau lusa Akuwu pasti akan berbuat sesuatu.

   Mungkin Akuwu merasa tidak perlu lagi minta pertimbangan-pertimbangan dari padanya.

   Mungkin Akuwu akan mengejutkannya, dengan membawa kepadanya Mahisa Agni yang sudah terbebaskan.

   "Tetapi mungkin...

   Ken Dedes tidak berani, mendengar suara hatinya sendiri. Dicobanya untuk mengusir kecemasan yang menyesak didalam dirinya. Tetapi ia tidak pernah berhasil.

   "Ada juga baiknya aku tidak tercerigkam oleh kegelisahan ini "

   Katanya didalam hati "dengan kegelisahan, kecemasan dan prasangka-prasangka kakang Mahisa Agni tidak akan dapat tertolong."

   Tetapi sampai saat matahari lingsir ke-Barat dan kemudian bertengger diatas punggung bukit, Akuwu Tunggul Ametung tidak mengatakan apapun.

   Dan Ken Dedes masih harus bersabar menunggu sampai besok.

   Dipetamanan Jajar gemuk yang telah berhasil menghubungi Permaisuri itupun menunggu dengan gelisahnya.

   Ternyata Ken Dedes sama sekali tidak turun ketaman.

   Bahkan embannyapun sama sekali tidak ada yang diutusnya untuk menyampaikan pesan apapun kepadanya.

   "Eh"

   Desis Jajar yang gemuk itu "kenapa Permaisuri tidak memanggil aku atau mengirimkan pesannya kepadaku."

   Ketika kawan-kawannya telah siap pergi meninggalkan taman, ia masih saja duduk dibawah pohon sawo kecik sambil menahan kegelisahannya.

   Ia sama sekali tidak ingin meninggalkan taman itu sebelum dapat bertemu dengan Ken Dedes.

   ia sudah ditelan oleh mimpinya, perhiasan yang tidak ternilai harganya."He"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sapa temannya yang kemarin akan berkelahi dengan Jajar yang gemuk itu "apakah kau tidak pulang?"

   Jajar yang gemuk itu menggeleng "Tidak."

   Dan diluar sadarnya, terdorong oleh kesombongannya ia berkata "Aku menunggu Permaisuri."

   "Untuk apa?"

   "Aku mempunyai janji dengan Permaisuri. Setidak-tidaknya Permaisuri akan mengirimkan pesannya lewat embannya.

   "He"

   Kedua kawannya saling berpandangan "apakah Permaisuri berjanji akan turun ketaman menemuimu.

   "Ya."

   "Hari ini?"

   "Ya."

   Sekali lagi kedua Jajar itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka berkata "Bukan saatnya lagi Permaisuri turun ketaman. Lihat, matahari hampir terbenam."

   Jajar yang gemuk itu tidak menjawab.

   Tetapi ia masih saja duduk bersandar pohon sawo kecik ditaman istana Tumapel.

   Kedua kawannya segera meninggalkannya.

   Diregol mereka saling berbisik "O.

   Jajar itu benar-benar telah gila.

   Agaknya kesempatan yang diberikan oleh Permaisuri kemarin telah membuatnya semakin gila.

   Ia menunggu Permaisuri atau utusannya untuk roenyampaikan pesan kepadanya."

   Tiba-Tiba keduanya tertawa hampir meledak.

   Ketika mereka berpaling, mereka melihat Jajar yang duduk bersandar pohon sawo itu memandangnya dengan tajam.

   Bahkan kemudian mengacungkan tinjunya kepada kedua kawannya.

   Tetapi kedua kawannya masih saja tertawa.

   Perlahan-lahan mereka meninggalkan taman itu, dan hariptin menjadi semakin suram.Jajar yang menunggu itupun menjadl terlampau kecewa.

   Ia masih juga mengharap seseorang muncul diregol petamanan dan menyampaikan pesan kepadanya.

   Tetapi sampai hari menjadi gelap, tidak seorangpun yang datang.

   "Gila.

   Desisnya. Ia kehilangan harapan bahwa hari itu Permaisuri akan datang kepadanya membawa tiga pengadeg perhiasan.

   "Setidak-tidaknya dua pengadeg "desisnya. Jajar itu menggeliat. Lalu berdiri bertolak pinggang.

   "Apakah aku membuat harga tebusan terlampau mahal sehingga Permaisuri itu lebih senang mengorbankan kakaknya? "

   Jajar itu menyesal karenanya. Desisnya "Kalau aku berjumpa dengan Permaisuri aku akan menurunkan tawaranku."

   Akhirnya Jajar itupun meninggalkan taman itu dengan hati kecewa.

   Bahkan ia bersungut-sungut perlahan "Bukan salahku kalau Mahisa Agni besok dipenggal kepalanya atau digantung dialun-alun.

   Bukan salahku.

   Aku sudah memberikan jasa-jasa baikku untuk kepentingan kemanusiaan, melepaskan Mahisa Agni dari tangan setan-setan itu."

   Ketika Jajar itu keluar dari istana, hari sudah mulai gelap. Diregol-regol ia melihat beberapa orang prajurit memandanginya dengan heran. Bahkan ialah seorang dari padanya bertanya "He, juru taman, kenapa kau baru pulang ?"

   Juru taman yang sedang kecewa itu menjawab acuh tak acuh "Aku tertidur.

   Dan Jajar itu sama sekali tidak memperhatikannya lagi ketika para prajurit itu tertawa.

   Kekecewaannya telah mendorongnya untuk berjalan tergesa- tergesa.

   Tetapi disebuah tikungan ia terhenti, hampir-hampir ia melonjak karena terperanjat.

   Tanpa diduga-duga, dihadapannya, didalam keremangan malam ia melihat bayangan yang bergerak- gerak.

   Semakin lama semakin dekat.

   Tidak hanya sesosok bayangan, tetapi dua.

   Dan keduanya itu berjalan mendekati nya.Jajar itu masih berdiri tegak ditempatnyai Ia menunggu dua sosok bayangan itu menjadi semakin dekat.

   Meskipun ia belum tahu siapakah keduanya, tetapi Jajar gemuk itu segera mempersiapkan dirinya, seandainya dua orang itu bermaksud jahat kepadanya.

   "Apakah keduanya adalah kawan-kawanku yang iri hati? "

   Jajar itu berdesis didalam hatinya.

   "Atau bahkan sama sekali tidak berkepentingan dengan aku. Keduanya hanya orang-orang lewat saja seperti aku?"

   Tetapi Jajar itu melihat keduanya ditengah-tengah jalan, seakan- akan sengaja mencegatnya ditempat itu, ditikung an yang gelap itu.

   Darahnya serasa berhenti ketika ia mendengar salah seorang dari kedua bayangan itu menyapanya "Selamat malam Ki Sanak."

   Terasa bulu-bulu Jajar yang gemuk itu serentak berdiri.

   Sapa itu benar-benar telah membuat dadanya bergetar.

   Ia segera menyadari, bahwa yang berdiri dihadapannya itu adalah Kuda- Sempana dan kawannya yang wajahnya seperti wajah mayat yang beku.

   Jajar itu tidak segera menjawab.

   Dicobanya meng amati keduanya dengan saksama.

   Dan semakin lama ia sema kin jelas, bahwa sebenarnyalah yang berbicara kepadanya itu adalah kawan Kuda-Sempana yang berwajah beku sebeku mayat.

   "Apakah kau baru pulang?"

   Bertanya Kebo Sindet.

   "Ya"

   Sahut Jajar itu.

   "Aku menunggumu terlampau lama disini"

   Berkata Kebo Sindet kemudian.

   "Bukankah tidak biasa kau pulang sampai malam begini?"

   "Ya "

   Sahut Jajar itu.

   "Kenapa kau pulang terlampau malam ? "

   Bertanya Kebo Sindet pula.

   "Aku menunggu Permaisuri. Tetapi Permaisuri hari ini tidak pergi ketaman. Aku ingin mendengar penjelasan tentang permintaanmu itu."Kebo Sindet mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Aku menunggu kau disini untuk kepentingan itu juga. Seandainya kau sudah mendapat kabar apalagi men dapatkan barangnya, aku akan menjadi senang sekali. Tetapi bagaimana ?"

   "Sudah aku katakan. Aku belum dapat bertemu dengan Permaisuri hari ini."

   Kebo Sindet tidak-tidak segera menyahut. Namun kebekuan wajahnya membuat Jajar itu menjadi berdebar-debar.

   "Apakah aku berhadapan dengan hantu ? "

   Desisnya didalam hati.

   "Baiklah "

   Berkata Kebo Sindet "kau masih mempunyai waktu empat hari lagi."

   "Tetapi bagaimana apabila dalam empat hari ini Permaisuri tidak pergi ketaman ?"

   Jajar itu menjadi heran ketika ia melibat Kebo Sindent itu menengadahkan wajahnya.

   Sejenak.

   Dan sejenak kemudian orang itu menjawab pertanyaan Jajar yang gemuk itu.

   Tetapi sekali lagi Jajar itu menjadi heran.

   Jarak mereka tidak begitu jauh, hanya beberapa langkah saja, tetapi Kebo Sindet berkata terlampau keras "Waktumu tinggal empat hari lagi Ki Sanak.

   Apa bila empat hari ini kau tidak berhasil, maka perjanjian kita batal."

   Jajar yang keheranan itu bertanya "Apakah akibat da ri pembatalan perjanjian ini? "Tidak ada akibat apa-apa. Kita masing-masing dapat berbuat sekehendak kita sendiri. Kita tidak terikat lagi oleh perjanjian apapun."

   "Dan kau dapat menghubungi orang lain lagi untuk keperluan ini?"

   "Tentu. Aku dapat menghubungi orang lain yang akan lebih dapat aku harapkan dari padamu."

   "Aku minta waktu.""Waktumu masih empat hari. Kau harus berkata Permaisuri, bahwa nasib Mahisa Agni tergantung pada kesediaannya. Tidak ada pembicaraan lain. Kau mengerti?"

   "Sejak kemarin aku sudah mengerti. Tetapi kaupun harus mengerti bahwa tidak setiap hari Permaisuri pergi ketaman, dan persoalan yang dihadapinya bukan hanya persoalan Mahisa Agni saja. Apa lagi Akuwu Tunggul Ametung."

   "Aku tidak ingin mendengar alasan apapun. Aku memberi waktu lima hari. Sehari sudah lampau, maka yang tinggal adalah empat hari lagi."

   "Cobalah mengerti."

   "Aku tidak ingin tawar menawar mengenai waktu. Kalau barang- barang yang aku kehendaki sudah ada ditanganku, maka kita dapat mengadakan tawar menawar, berapa banyak aku dapat memberimu selain yang kau dapatkan dari usahamu sendiri."

   "Kau mementingkan dirimu sendiri"

   Bantah Jajar itu "aku sudah berusaha dan akan terus berusaha. Tetapi seandainya aku mundur sehari dua hari bagaimana ?"

   "Tidak. Tidak ada waktu lagi."

   Jajar itu terdiam sejenak. Pikirannya saat itu hanya dicengkam oleh kegelisahan, apabila dalam empat hari ini Permaisuri tidak hadir ditaman, sehingga ia tidak sempat memikirkan persoalan-persoalan yang lain.

   "Sudahlah. Pulanglah meskipun tidak ada seorangpun yang menunggu dirumah. Mungkin kau akan segera tidur, atau kau masih mempunyai acara-acara lain, berkeliaran disepanjang jalan-jalan gelap dan pergi mengunjungi rumah-rumah perjudian."

   "Aku tidak pernah berjudi."

   "Jangan membohongi aku, pergilah."Jajar itu tidak sempat menjawab. Kebo Sindet dan Kuda- Sempana yang seolah-olah seperti orang bisu itupun kemudian meninggalkannya dan hilang didalam kegelapan.

   "Setan alas"

   Jajar yang gemuk itu mengumpat sendiri.

   Perlahan- lahan ia mengayunkan kakinya meneruskan langkah nya.

   Tetapi sekali lagi ia tertegun ketika ia mendengar gemerisik dedaunan dipinggir jalan.

   Jajar yang gemuk itu mencoba untuk melihat kearah suara itu.

   Tetapi ia tidak melihat sesuatu.

   Malam menjadi semakin gelap dan suara gemerisik itu berasal dari dalam bayangan gerumbul- gerumbul yang pekat hitam.

   Tetapi Jajar itu mendengar desir dipinggir jalan itu semakin lama semakin jauh.

   "Ada yang mengintip pembicaraanku "

   Desisnya. Dada Jajar itu menjadi berdebar-debar. Berbagai dugaan membayang dikepalanya.

   "Siapakah yang mencoba untuk mengintip itu ? "

   Ia bertanya kepada dirinya sendiri "Apakah kawan-kawanku yang iri hati itu ? Juru taman yang bodoh dan sombong ? Atau prajurit-prajurit yang melihat Permaisuri berbicara dengan aku mengikutiku dan ingin mendengar persoalanku dengan Permaisuri ? Atau mungkin kawan- kawan Kuda-Sempana yang mengawasinya ? Seandainya aku berusaha untuk menangkapnya, maka ia memerlukan kawan untuk membantunya.

   Hem, mungkin Kuda-Sempana mengetahui dan merasa, bahwa ia berdua bersama kawannya yang wajahnya sebeku mayat itu tidak sanggup melawan aku seorang."

   Jajar yang gemuk itu masih berdiri tegak ditempat nya.

   Ia yakin bahwa suara gemerisik itu adalah suara langkah orang yang tersuruk-suruk pergi menjauh.

   Tiba-Tiba pertanyaan didalam dirinya berkisar kepada sikap kawan Kuda-Sempana yang wajahnya dapat menegakkan bulu- bulunya.

   Orang itu menengadahkan wajahya dan memiringkankepalanya seolah-olah mencoba menangkap sesuatu dengan pendengarannya.

   Kalau demikian apakah orang itu mendengar juga suara desir dipinggir jalan itu ? Lalu apakah sebabnya maka suaranya menjadi kian mengeras dan seolah-olah dengan sengaja diperdengarkan kepada orang-orang yang sedang mengintainya ? Jajar yang gemuk itu mengerutkan keningnya "Ah sekali lagi ia berdesah "kalau begitu maka orang-orang ini adalah kawan-kawan Kuda-Sempana.

   Mereka ingin memancing ke keruhan, kemudian bersama-sama mengeroyok aku."

   Jajar yang gemuk itu mengangkat dadanya.

   "Hem "i a menarik nafas dalam-dalam "agaknya Kuda-Sempana dan kawannya itu mampu menilai, siapakah aku. Mereka terpaksa memanggil kawan- kawannya untuk menghadapi aku seorang diri."

   Jajar itu kemudian mengayunkan kakinya, melangkah perlahan- lahan pulang kerumahnya.

   Tetapi sekali lagi ia tertegun, sehingga langkahnya terhenti.

   Bukan karena ia mendengar langkah orang lain, bukan karena ia melihat sesosok bayangan, tetapi ia tersentak oleh pikirannya sendiri.

   "Kalau orang-orang itu kawan-kawan Kuda-Sempana yang sengaja memancing kekeruhan, lalu apa pa mrihnya ? Aku belum berhasil membawa apapun dari istana."

   Wajah Jajar itu menjadi tegang.

   Tiba-Tiba ia sampai pada suatu kesimpulan yang mendirikan bulu romanya "O, mereka sedang menunggu aku.

   Kalau aku membawa perhiasan itu, maka mereka akan berramai-ramai menangkapku dan membunuhku.

   Mungkin aku akan dibantainya seperti membantai sapi dipembantaian."

   Terasa tubuh Jajar itu menjadi gemetar. Dan tanpa sesadarnya ia berpaling, seolah-olah ada orang yang sedang mengikutinya. Meskipun kemudian ia tidak melihat seorangpun, namun hatinya masih juga berdebar-debar.

   "Setan alas "

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia mengumpat.

   Dan sejenak kemudian maka iapun segera berjalan cepat-cepat pulang kerumahnya.Dihari berikutnya, pagi-pagi benar Jajar itu telah berada ditaman.

   Jauh sebelum waktunya, sehingga para prajurit yang sedang bertugas menjadi heran.

   Apalagi kedua kawan-kawannya, juru taman yang hampir-hampir saja berkelahi dengan Jajar yang gemuk itu.

   Ketika mereka datang, mereka melibat juru taman itu telah duduk bersandar pohon sawo kecik.

   "He,"

   Bisik salah seorang dari padanya "orang Yang gemuk itu benar-benar telah menjadi gila. Agaknya ia sudah, jemu hidup."

   "Aku tidak tahu, bagaimana jalan pikiran orang gila itu. Mungkin ia pernah bertemu Permaisuri sebelum berada diistana ini."

   "Nasibnya akan jauh lebih jelek dari Kuda-Sempana yang pernah menjadi gila karena Permaisuri itu pula."

   Keduanya berusaha untuk menahan tertawa mereka, supaya tidak menyinggung perasaan kawannya yang dianggapnya sedang gila itu.

   Tetapi mereka tidak mengerti, apakah yang menyebabkan Jajar itu menjadi gila.

   Tanpa menyapa, maka kedua kawannya itu langsung melakukan pekerjaan mereka.

   Dibiarkannya Jajar yang gemuk itu duduk saja bersandar pohon sawo kecik.

   Ternyata yang bergolak dikepala Jajar itu kini menjadi semakin kisruh.

   Ia tidak saja digelisahkan oleh sikap Permaisuri yang agaknya acuh tidak acuh, tetapi juga oleh suara gemerisik ditikungan ketika ia bertemu dengan Kuda-Sempana dan Kebo Sindet.

   Ketika matahari nemanjat langit semakin tinggi, Jajar itu menjadi semakin gelisah.

   Ia tidak melibat seorangpun turun dari serambi belakang istana dan berjalan ketaman.

   Meskipun ia hampir mati karena debar jantungnya, namun Permaisuri tidak juga kunjung datang.

   Sementara itu Permaisuripun menjadi gelisah pula di biliknya.

   Akuwu Tunggul Ametung masih belum mengatakan apa yang dilakukannya.

   Dengan demikian maka kekecewaan dihatinyasemakin menjadi tebal pula.

   Akuwu Tunggul Ametung ternyata hanyalah seorang yang berbuat sesuka hatinya untuk kepentingan dirinya sendiri.

   Persoalan-Persoalan yang tidak langsung menyangkut kepentingannya, tidak akan banyak mendapat perhatian.

   Seandainya Mahisa Agni itu bukan kakak angkatnya, maka perhatiannya pasti akan hilang sama sekali terhadap persoalan yang demikian.

   Sehingga seandainya kini Akuwu Tunggul Ametung berbuat sesuatu, itupun sekedar untuk kepentingan dirinya sendiri; supaya ia tidak selalu terganggu oleh kemuraman Permaisurinya.

   Tetapi Ken Dedes masih mencoba menyabarkan dirinya.

   Ia masih belum akan bertanya kepada Akuwu Tunggul Ametung, apa yang sudah dilakukannya.

   Meskipun hatinya selalu dicengkam oleh kegelisahan, namun ia masih bertahan dan mencoba untuk tidak berwajah muram.

   Matahari yang semakin tinggi akhirnya ngglewang disebelah Barat.

   Sinarnya menjadi kemerah-merahan dan achirnya pudar sama sekali dibalik Gunung.

   Jajar gemuk yang menunggu Permaisuri ditaman benar-benar menjadi bingung.

   Ia tidak dapat lagi duduk dengan tenang.

   Sekali- kali ia berdiri, berjalan mondar-mandir.

   Setiap kali dijenguknya diregol petamanan apabila ia mendengar langkah seseorang.

   Tetapi yang lewat adalah Pelayan Dalam yang bersenjata, atau prajurit- prajurit Pengawal Istana.

   "Setan alas "

   Jajar itu mengumpat "mereka selalu mengganggu saja."

   Tetapi yang ditunggunya, Permaisuri atau utusan nya, tidak juga kunjung datang.

   "Apakah Permaisuri benar-benar merelakan kakaknya itu ?"

   "berkata Jajar itu didalam hatinya "

   Mungkin tawaranku benar- benar terlalu tinggi, sehingga tidak ada seorangpun yang nilainya sama seperti tuntutanku.

   O, kalau aku sempat be temu, maka tuntutan itu akan aku turunkan.

   Dua pengadeg sudah cukup.

   Ataukalau masih terasa terlampau tinggi, satu setengah pengadeg saja.

   Ah, barangkali cukup sepengadeg ditambah dengan beberapa potong perhiasan.

   Bahkan apabila perlu, sepengadeg saja sudah cukup.

   Aku tidak akan menyerahkannya kepada Kebo Sindet.

   Aku harus menemukan jalan untuk menghindar dari padanya."

   Tiba-Tiba Jajar yang gemuk itu mengerutkan keningnya. Terbayang olebnya beberapa orang yang selalu mengendap-endap disekitar Kuda-Sempana dan kawannya yang menunggunya di tikungan gelap.

   "Mungkin hari ini mereka telah menunggu aku lagi."

   Desisnya "aku harus mencari jalan lain. Meskipun aku belum membawa perhiasan-perhiasan itu, tetapi aku harus menghindari mereka."

   Jajar itupun menjadi kehilangan harapannya, bahwa hari itu ia akan dapat bertemu dengan Permaisuri, ketika gelap malam telah turun menyelimuti istana Tumapel.

   Dengan wajah yang suram, Jajar itu kemudian berjalan tertatih- tatih keluar taman.

   Langkahnya menjadi terlampau berat dan lambat.

   Ia masih berharap bertemu dengan Permaisuri diserambi belakang istana atau barangkali satu dua embannya diutus untuk menunggu dan memanggilnya.

   Karena itu maka Jajar yang gemuk itu berjalan sambil menebarkan pandangan matanya berkeliling.

   Setidak-tidaknya ia bertemu dengan seorang emban yang dapat menjawab pertanyaannya.

   Tetapi ia tidak bertemu dengan seorang emban yang dapat menjawab pertanyaannya.

   Tetapi ia tidak ber temu seorangpun dari emban-emban itu.

   Yang dijumpainya adalah para peronda yang berdiri diregol belakang dan dilihatnya prajurit- prajurit yang duduk digardu sambil terkantuk-kantuk.

   "Oh"

   Jajar itu berdesah.

   Tetapi ia harus menerima kenyataan itu.

   Permaisuri tidak datang ketaman dan tidak mengirimkan utusan apapun.

   Seperti kemarin Jajar yang gemuk itu berjalan cepat-cepat meninggalkan istana.

   Tetapi hari ini ia tidak ingin lewat jalan yang ditempuhnya kemarin.

   Ia akan mengambil jalan lain supaya ia tidakdiganggu lagi oleh kawan Kuda-Sempana yang berwajah mengerikan itu.

   Dengan tergesa-gesa ia meloncat-loncat dijalan kecil, menyusur diantara rumah-rumah yang berhalaman luas dan berdinding cukup tinggi.

   Diregol-regol halaman ia melihat lampu-lampu minyak tergantung, melontarkan nyalanya yang kemerah-merahan.

   Apabila angin yang silir bertiup lembut, maka nyala lampu itupun ber- guncang perlahan-lahan pula.

   "Setan alas"

   Jajar itu mengumpat-umpat disepanjang jalan "Setan alas."

   Ketika ia muncul dari jalan sempit disela-sela halaman-halaman yang luas itu, maka sampailah ia ditempat terbuka.

   Ia harus melintasi sebuah parit dan kemudian ia akan sampai pada jalan kecil yang menyilang.

   Sekali lagi ia berbelok, maka sampailah ia dirumahnya.."Setan itu tidak akan mengganggu aku lagi hari ini "

   Tetapi Jajar itu mengumpat "kalau aku pulang juga, maka mereka pasti akan mencari aku dirumah."

   Tiba-Tiba langkahnya berhenti. Dirabanya sakunya. Ia masih mempunyai beberapa keping uang.

   "Aku akan singgah ditempat perjudian saja. Kalah atau menang, aku akan dapat melupakan kegelisahan ini. Persetan Kuda-Sempana dan kawannya itu."

   Sejenak Jajar yang gemuk itu termangu-mangu..

   Tetapi hatinya kemudian menjadi tetap.

   Ia tidak akan pulang, supaya ia dapat melupakan kegelisahan dan kekecewaannya.

   Tetapi alangkah terperanjatnya Jajar yang gemuk itu.

   Ketika ia mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia mendengar seseorang menyapanya "He, akan kemana kau Ki Sanak.

   Apakah kau tidak akan pulang.

   Bukankah arah kerumahmu bukan arah yang kau ambil itu?"Sambil terlonjak Jajar itu memutar tubuhnya.

   Tiba-Tiba saja ia telah berdiri berhadapan dengan Kuda-Sempana dan kawannya.

   Meskipun keduanya masih berada didalam bayang-bayang yang lebih gelap, namun Jajar itu segera mengenalinya, bahwa kedua orang itu adalah Kuda-Sempana dan kawannya.

   "Bagaimanakah kabarnya ? "

   Bertanya kawan Kuda-Sempana. Jajar itu menggeretakkan giginya "Belum. Aku belum menerima apapun."

   Kebo Sindet mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia maju mendekati Jajar itu "Benar begitu ?"

   Jajar itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih menahan diri, katanya "Apakah kau beranggapan lain? Aku hampir gila menunggu Permaisuri ditaman itu. Tetapi ia tidak kunjung datang. Embannyapun tidak juga datang menemui aku ditaman."

   Kebo Sindet tidak segera menjawab.

   Ia maju lagi selangkah mendekati Jajar yang gemuk itu.

   Dengan tajamnya diamatinya wajah Jajar yang gemuk itu.

   Jajar itu melihat mata Kebo Sindet pada wajahnya yang beku.

   Tiba-Tiba kengerian yang sangat telah mencengkam dadanya, seakan-akan ia berdiri berhadapan dengan hantu yang paling menakutkan.

   Tetapi sekali lagi Jajar yang gemuk itu menjadi heran ketika Kebo Sindet mengangkat wajahnya, memiringkan sedikit kepalanya seolah-olah ia sedang mendengarkan se suatu.

   Dan sekali lagi Jajar itu menjadi semakin bingung ketika tiba-tiba saja suara Kebo Sindet menjadi semakin keras dalam nada yang semakin tinggi "Ki Sanak.

   Kali ini aku percaya bahwa kau memang belum bertemu dengan Permai suri.

   Waktumu tinggal tiga hari.

   Kalau dalam tiga hari ini kau tidak berhasil, maka perjanjian kita batal.

   Kau tahu ?"

   Tanpa sesadarnya Jajar itu menganggukkan kepalanya "Ya. Aku tahu.""Baik, sekarang pergilah kemana kau suka. Aku kira kau tidak akan pulang, tetapi kau akan mencari tempat untuk melepaskan kejemuanmu. Berjudi barangkali ?"

   "Aku tidak pernah berjudi."

   "Jangan bohong "

   Sahut Kebo Sindet "bagiku sama saja. Apakah kau sering berjudi atau tidak. Tidak ada bedanya untuk mendapatkan tebusan itu."

   Jajar itu tidak menjawab.

   "Pergilah "

   Desis Kebo Sindet "waktumu sudah berkurang satu hari lagi."

   Jajar itu tidak sempat menjawab.

   Ia berdiri saja seperti patung ketika ia melihat Kebo Sindet itu melangkah meninggalkannya.

   Kuda-Sempana yang benar-benar seperti orang bisu berjalan saja dibelakangnya.

   Ketika mereka sudah tidak tampak lagi, maka Jajar itu segera menyadari dari dirinya dan keadaannya.

   Sekbli ia mengumpat sambil memilin kumisnya "Setan alas.

   Namun kengerian dihatinya tidak juga dapat diusirnya.

   "Aku sudah mengambil jalan lain, tetapi setan itu dapat menjumpaiku disini "desis Jajar yang gemuk itu "ternyata ia tidak menunggu dijalan yang akan aku lalui. Tetapi agaknya ia menunggu didepan regol istana. Setan itu pasti mengikuti aku dan menghentikanku disini, ditempat sepi.

   Jajar yang gemuk itu menggeretakkan giginya "Besok aku akan mengambil jalan yang lain untuk keluar dari istana. Bukan regol depan, tetapi regol butulan."

   Sambil menggeram Jajar itu melangkahkan kakinya. Tetapi sekali lagi ia tertegun. Seperti kemarin ia mendengar desir daun-daun kering.

   "He "

   Jajar itu hampir kehilangan keseimbangan karena berbagai perasaan yang menyesakkan dadanya "siapa kau ? Kenapa kauselalu mengintip aku. Ayo keluarlah dari persembunyianmu, cepat atau aku harus memaksamu keluar?"

   Tidak ada jawaban.

   "Ayo keluar"

   Jajar itu berteriak, tetapi tidak juga ada jawaban.

   Jajar yang sedang diamuk oleh perasaan sendiri itu tiba-tiba kehilangan pengamatan diri.

   Dengan serta merta ia meloncat maju kearah suara gemerisik ditepi jalan sempit dibelakang rimbunnya dedaunan.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi langkahnya terhenti.

   Terasa sesuatu menghantam keningnya.

   Terlampau keras, sehingga matanya menjadi ber- kunang-kunang.

   Sejenak ia kehilangan keseimbangan dan terlempar jatuh ditanah.

   Kepala Jajar yang gemuk itu menjadi pening.

   Tertatih-tatih ia mencoba untuk berdiri Meskipun dengan susah payah, achirnya ia berhasil tegak diatas kedua kakinya.

   Namun sementara itu ia telah mendengar langkah berlari menjauh.

   Tidak hanya seorang, tetapi dua orang.

   "Oh"

   Nafas Jajar itu menjadi terengah-engah. Dengan nanar dipandanginya keadaan sekelilingnya yang gelap. Tetapi ia tidak melihat seorangpun. Ia kini tidak lagi mende ngar suara apapun kecuali suara cengkerik yang berderik-derik bersahut-sahutan.

   "Oh, setan alas."

   Desisnya "siapa yang berani bermain-main dengan aku? Sayang, aku dahuluinya. Kalau tidak, kepalanya pasti aku pilin sehingga patah."

   Tetapi orang yang memukulnya telah lari menghilang di kejauban.

   Hati Jajar itu menjadi kian kisruh.

   Otaknya menjadi kabur.

   Ia sama sekali tidak tahu apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya.

   Kuda-Sempana dan kawannya yang mengerikan, kemudian orang-orang yang mengintainya dan telah memukul keningnya."Oh, oh, aku hampir gila karenanya.

   Jajar itu mengumpat tidak habis-habisnya. Ia mengumpati Permaisuri Ken Dedes pula karena sikapnya yang menurut penilaian Jajar yang gemuk itu, acuh tidak acuh saja.

   "Pasti emban tua itulah yang menghasutnya. Emban tua itu takut kehilangan perhatian seandainya Mahisa Agni dilepaskan. Ia ingin Mahisa Agni itu tidak usab dibebaskan. Dengan demikian maka satu- satunya orang yang terdekat pada Ken Dedes selain Akuwu adalah emban tua itu sendiri. Ia merasa sebagai pengganti ibu bapa dan keluarga Permaisuri itu karena tidak ada orang lain."

   Jajar itupun kemudian pergi meninggalkan tempat itu sambil tidak henti-hentinya mengumpat.

   Ia melangkah asal saja melangkah.

   Tiba-Tiba ia tersentak oleh angan-angannya sendiri "Oh, kenapa aku tidak berbuat sesuatu? Aku harus menemui adikku dan kawan-kawannya.

   Hem.

   alangkah bodohnya aku.

   Aku harus berbuat sesuatu.

   Harus.

   Kuda-Sempana dan kawannya itu harus tahu, siapakah aku ini.

   Adikku akan membantuku menyelesaikan masalahnya.

   Aku akan menerima semua perhiasan itu sendiri.

   Tiba-Tiba Jajar yang gemuk itu tersenyum.

   Langkahnya menjadi semakin mantap.

   Ia mengharap dapat bertemu dengan adiknya ditempat perjudian.

   Sementara itu Ken Dedes, Permaisuri Tunggul Ametung tidak dapat lagi menahan dirinya.

   Didera oleh kegelisahannya maka diberanikan dirinya untuk bertanya kepada Akuwu Tunggul Ametung, apakah yang sudah dilakukannya untuk membebaskan Mahisa Agni.

   "Aku tidak berbuat dengan tergesa-gesa Ken Dedes. Aku harus berhati-hati. Ternyata yang kita hadapi adalah Kebo Sindet. Seorang yang tidak saja mempunyai banyak kelebihan dari orang lain, tetapi ia adalah setan yang tidak dapat di sanak.

   Berkata Akuwu Tunggul Ametung.

   "Ampun Tuanku. Tetapi apakah Akuwu telah berbuat sesuatu ?"Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Ia merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Katanya "Kau tidak mempercayai aku Ken Dedes."

   "Bukan maksud hamba tidak mempercayai Tuanku. Tetapi hamba yang siang dan malam digelisahkan saja oleh persoalan itu, ingin mendengar apakah yang kira-kira akan dapat terjadi dengan kakang Mahisa Agni."

   Hampir saja Akuwu Tunggul Ametung mengumpat.

   Mahisa Agni bagi Ken Dedes agaknya lebih penting dari segala-galanya, lebih penting dari dirinya, Akuwu Tumapel.

   Tetapi Akuwu itu tidak dapat melepaskan perasaannya begitu saja.

   Ia tidak dapat melupakan bahwa Ken Dedes adalah seseorang yang kinacek.

   Seseorang yang memiliki, kelebihan yang aneh dari orang lain.

   "Ken Dedes "

   Berkata Akuwu Tunggul Ametung itu kemudian "aku telah berbuat banyak untuk kepentingan Mahisa Agni.

   Aku dapat mengambil beberapa kesimpulan.

   Sebenarnya aku sengaja tidak akan memberitahukannya kepadamu, sebelum aku mendapat keputusan yang terakhir, apa yang akan aku lakukan."

   "Ampun Tuanku. Hamba tidak dapat menahan diri terlampau lama didalam kegelisahan dan kecemasan."

   Wajah Akuwu Tunggul Ametung menjadi tegang.

   "Baik, baik. Aku akan mengatakannya."

   Ken Dedes mengerutkan wajahnya. Ia tahu benar, nada suara Akuwu Tunggul Ametung adalah nada yang tidak menyenangkan. Tetapi ia tidak mempedulikannya.

   "Ken Dedes "

   Berkata Akuwu Tunggul Ametung.

   "Kita ternyata berhadapan dengan hantu yang dahsyat. Besok kau harus berusaha memanggil Jajar yang gemuk itu Lima hari yang dikatakan oleh Jajar itu benar-benar saat yang di kehendaki oleh Kebo Sindet. Batas waktu yang diberikan oleh iblis dari Kemundungan itu. Kalau hari itu kita belum mendapatkan cara yang sebaik-baiknya untuk memecahkannya, mungkin Kebo Sindet akan mengambil cara lain. Cara yang tidak kita ketahui.""Apakah yang harus hamba katakan kepada Jajar itu Tuanku ?"

   "Katakan kepadanya, bahwa dihari yang kelima sejak perjanjian yang dibuatnya, yang sekarang telah berkurang dengan dua hari, permintaannya agar dipenuhinya."

   Ken Dedes terperanjat mendengar kesanggupan itu. Tanpa sesadarnya, dengan serta-merta ia bertanya "Apakah Tuanku akan memenuhi permintaannya, menyerahkan tiga pengadeg perhiasan?"

   "Jangan bodoh"

   Suara Akuwu mengeras, tetapi sejenak kemudian disambungnya dengan nada yang datar "aku mengharap bahwa aku tidak akan tertipu."

   "Ken Dedes, kau harus berkata kepada Jajar itu, bahwa dihari yang ditentukan itu, Mahisa Agni harus dibawa oleh Kebo Sindet. Itu adalah syarat penyerahan. Kalau tidak imika semuanya tidak akan dapat terjadi. Kita hanya akan menjadi bulan-bulanan. Setiap kali ia menuntut sesuatu, dan setiap kali Mahisa Agni itu tidak akan juga diserahkanrya."

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia menjadi heran "Jadi apakah maksud Tuanku ? Setelah kakang Mahisa Agni diserahkan, maka Tuanku akan memenuhi permintaannya ?"

   Ken Dedes melihat wajah Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin tegang.

   Dan tiba-tiba ia berkata hampir berteriak "Aku adalah Akuwu Tumapel.

   Aku memegang kekuasaan tertinggi untuk menegakkan ketenteraman hidup rakyatku.

   Ya, Ken Dedes.

   Aku akan menyerahkan permintaan Kebo Sindet setelah Mahisa Agni itu diserahkan."

   Ken Dedes menjadi bingung mendengar kata-kata Akuwu yang saling bertentangan itu.

   Tetapi Akuwu kemudian memberikan penjelasan "Tetapi setelah penyerahan itu selesai, setelah kita tidak mempunyai hutang lagi kepada Kebo Sindet maka aku akan menangkapnya.

   Aku akan membunuhnya."Wajah Ken Dedes menjadi berkerut-merut Apakah dengan demikian Akuwu Tunggul Ametung telah berbuat dengan jujur dalam tukar-menukar ini? Tetapi sejenak kemudian Ken Dedes telah dapat menyadarinya, bahwa yang dihadapi oleh Akuwu kini adalah Kebo Sindet.

   Bukan orang yang dapat diajak untuk berbicara dengan baik.

   Bukan orang yang masih mempunyai meskipun hanya sepercik kesadaran diri hidup dalam peradaban manusia.

   "Ken Dedes"

   Berkata Akuwu Tunggul Ametung "kau harus dapat menyimpan rahasia ini. Kalau rahasia ini kau bocorkan, maka taruhannya adalah kakakmu, Mahisa Agni."

   Ken Dedes menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia ber desis "Hamba Tuanku."

   "Pada hari yang ditentukan, Witantra akan menyiapkan sepasukan kecil prajurit untuk mengurung iblis itu supaya tidak dapat lepas. Aku tidak memerlukan terlampau banyak-orang, supaya Kebo Sindet tidak mengetahuinya. Aku sendirilah yang akan menghadapi iblis itu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menandinginya. Mungkin orang-orang seperti mPu Gandring, atau Panji Bojong Santi, guru Witantra. Tetapi aku tidak perlu minta tolong kepada mereka itu. Aku sendiri yang akan mengakhiri perbuatan-perbuatannya yang gila itu."

   Terasa sesuatu berdesir didalam dada Ken Dedes.

   Tiba-Tiba ia merasa matanya menjadi panas.

   Sejenak mereka dicengkam oleh kediaman.

   Dada Ken Dedes yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar.

   Ia merasakan kesungguhan kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu.

   Kali ini agaknya Akuwu Tunggul Ametung akan benar-benar bertindak.

   "Nah"

   Sejenak kemudian terdengar Akuwu itu berkata "kau harus membantu aku.

   Kau panggil Jajar itu, dan kau beritahukan apa yang harus dilakukan.

   Tetapi awas, jangan sampai rencana ini didengar oleh siapapun.

   Emban yang selalu berada didekatmupun tidak boleh mendengarnya."Ken Dedes kemudian membungkukkan kepalanya dalam-dalam.

   Dengan suara yang dalam ia menjawab "Hamba Tuanku.

   Hamba akan melakukan segala titah.

   Hamba akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya sebagai pernyataan terima kasih hamba yang tiada taranya.

   Tetapi.

   ...

   Suara Ken Dedes terputus ditengah.

   "Tetapi"

   Akuwu mengulangi.

   "Tetapi, apakah tidak ada orang lain yang dapat Tuanku perintahkan untuk menangkap Kebo Sindet ?"

   Suara Ken Dedes menjadi semakin perlahan-lahan "Kenapa mesti Tuanku sendiri."

   "Tidak. Tidak ada orang lain. Tetapi kenapa jika aku sendiri yang nielakukannya ?"

   "Hamba menjadi cemas Tuanku, seperti kecemasan yang selama ini pernah hamba alami."

   "Oh"

   Tiba-tiba terasa sesuatu yang sejuk menyentuh dada Akuwu Tunggul Ametung yang sedang tegang itu.

   Karena itu maka darahnyapun terasa berangsur menjadi dingin.

   Ternyata Ken Dedes mencemaskannya pula.

   Maka jawabnya "Jangan cemas.

   Aku akan mengatasi keadaan."

   "Tetapi Tuanku, Kebo Sindet adalah orang yang licik seperti pernah Tuanku katakan."

   "Jangan takut."

   Ken Dedes menundukkan kepalanya.

   Kini ia telah di kejar pula oleh kecemasan yang lain.

   Ia tidak dapat melepaskan diri dari keadaannya.

   la adalah seorang isteri.

   Betapapun juga, apabila Akuwu Tunggul.

   Ametung benar-benar berhasrat menangani sendiri penangkapan Kebo Sindet, maka kepergiannya itu akan terasa juga berat dihatinya.

   Permaisuri itu kini berdiri disudut yang sulit.

   Kalau ia membiarkan kakaknya Mahisa Agni, maka ia akan selalu dikejar oleh perasaan bersalah.

   Mahisa Agni, selain satu-satunya keluarganya yang masih ada, meskipun bukan kakak kandungnya, juga seseorang yang telah melepaskannya dari bencana.

   Tidak hanya satu kali, tetapi beberapakali.

   Tetapi apakah ia akan dapat melepaskan suaminya pergi dengan tanpa me nyimaskannya, karena ia tahu siapakah yang akan dihadapinya? Apakah ia harus memilih salah satu dari keduanya ? Biar sajalah Mahisa Agni hilang dan tidak perlu diketemukan tetapi Akuwu tidak pergi menghadapi Kebo Sindet, atau biar saja apa yang akan terjadi dengan Akuwu Tunggul, Ametung, asalkan Mahisa Agni dapat dibebaskan ? Tetapi kemungkinan yang lain dapat saja terjadi.

   Yang paling pahit baginya adalah apabila Akuwu Tunggul Ametung gagal, bahkan ia sendiri terpaksa mengalami bencana sedang Mahisa Agni tidak dapat dilepaskan.

   "Tidak"

   Permaisuri itu mencoba menenteramkan diri nya sendiri "Akuwu akan berhasil membebaskan kakang Mahisa Agni dan sekaligus berhasil menangkap Kebo Sindet."

   Ken Dedes itu terkejut ketika ia mendengar suara Akuwu Tunggul Ametung perlahan-lahan "Sudahlah Ken Dedes.

   Jangan kau risaukan persoalan ini.

   Aku sudah mendapat gambaran menurut perhitunganku, bahwa- aku akan berhasil.

   Aku akan membawa beberapa orang prajurit pengawal pilihan.

   Dan aku mempunyai keyakinan, bahwa betapa saktinya Kebo Sindet, ia tidak akan dapat melawan pusakaku.

   Ia akan hancur menjadi debu apabila ia mencoba melawan."

   Ken Dedes masih belum menjawab.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sekarang tenteramkan hatimu. Aku mengharap akan berhasil. Marilah kita berdoa supaya usaha ini mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung."

   Perlahan-lahan Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Kini ia tidak dapat menahan titik air matanya Dengan tersendat-sendat ia menjawab "Hamba Tuanku."

   "Tidurlah"

   Desis Akuwu itu kemudian.

   Lupakan semuanya, supaya kau dapat tidur nyenyak."

   "Hamba akan mencoba Tuanku.""Jangan lupa. Besok kau panggil Jajar itu. Kata kan, bahwa permintaan Kebo Sindet akan dipenuhi dibatas terakhir. Tetapi Mahisa Agni harus dibawanya serta sebagai syarat penyerahan. Aku mengharap Kebo Sindet tidak akan berkeberatan karena ia memerlukan perhiasan itu."

   Suara Akuwu tiba-tiba merendah "kalau cara ini gagal karena Kebo Sindet tidak bersedia, maka aku akan mengambil cara terachir. Menangkap Kebo Sindet itu lebih dahulu, baru mencari Mahisa Agni."

   Ken Dedes menundukan kepalanya dalam-dalam, sambil berkata "Hamba akan membenarkan setiap cara yang akan Tuanku tempuh.

   Sebab hamba sendiri tidak tahu apakah yang sebaiknya dilakukan.

   Tetapi hamba telah mengucapkan beribu terima kasih, karena Tuanku bersungguh-sungguh ingin membebaskan satu-satunya sisa keluarga hamba."

   "Sekarang tidurlah"

   Berkata Akuwu itu kemudian.

   "Hamba Tuanku."

   Ken Dedespun kemudian kembali kebiliknya.

   Seperti kata Akuwu Tunggul Ametung ia harus merahasiakan cara yang akan diambil olehnya.

   Dan ia akan mematuhinya.

   Ken Dedes terkejut ketika seakan-akan tiba-tiba saja ia melihat bayangan matahari jatuh diatas atap biliknya.

   Ternyata semalam suntuk ia tidak memejamkan matanya.

   Kegelisahan, kecemasan dan harapan bercampur-baur didalam dirinya.

   Tetapi ingatan Ken Dedes segera berkisar kepada Jajar yang gemuk.

   Juru taman yang telah menyampaikan pesan Kebo Sindet kepadanya tentang Mahisa Agni.

   Hari ini ia harus menyampaikan pesan Akuwu Tunggul Ametung kepada Jajar itu.

   Tetapi ia harus berhati-hati supaya ia tidak terdorong mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak boleh diucapkannya.

   Karena itu, maka meskipun mata hari belum meloncati dedaunan yang rendah diujung halam an istana, namun Ken Dedes telah bersiap turun kehalaman dan kemudian masuk kedalam taman.Beberapa emban menjadi heran melihat kelaltuannya.

   Pagi-Pagi benar Permaisuri itu telah turun ketaman.

   Biasanya Ken Dedes tidak tergesa-gesa.

   Apabila matahari telah tinggi, barulah ia pergi.

   Dalam pada itu, kedua juru taman, kawan Jajar yang gemuk dipetamananpun menjadi semakin heran.

   Pagi itu kawannya yang gemuk itu pun sudah berada ditaman, ketika mereka datang.

   Duduk bersandar pohon sawo kecik.

   Ia sama sekali tidak menghiraukan kedua kawan-kawannya itu.

   Hanya seleret ia msmandanginya sambil berpikir "Apakah orang-orang ini yang kemarin memukul aku? "

   Tetapi ia tidak berkata apapun. Tiba-Tiba Jajar yang duduk terkantuk-kantuk itu terkejut ketika ia melihat seorang emban masuk kedalam taman. Emban itu berhenti sejenak, berpaling dan menganggukkan kepalanya.

   "He "

   Tiba-tiba Jajar itu berteriak tanpa sesadarnya "siapa yang datang ?"

   Emban itu meletakkan telunjuknya dimuka mulutnya.

   "Siapa he ? "

   Jajar itu semakin keras berteriak. Emban itu menjadi jengkel. Perlahan-lahan ia berdesis "Akuwu. Tuanku Akuwu."

   Jajar yang gemuk itu tidak mendengar dengan jelas, tetapi ia melihat gerak mulut emban itu.

   Dan ia menangkap maksudnya.

   Yang datang adalah Akuwu Tunggul Ametung.

   Karena itu maka tiba-tiba dadanya terasa seperti dihentakkan oleh kecemasan.

   Kalau Akuwu mendengar ia berteriak-teriak kepada embannya, maka setidak-tidaknya kepalanya akan menjadi pening.

   "Aku harus bersembunyi"

   Katanya didalam hati.

   Ia tahu benar tabiat Akuwu Tunggul Ametung.

   Kalau Akuwu itu marah, maka apapun yang ada, pasti akan menerima akibat kemarahannya.

   Tetapi kalau Akuwu itu tidak segera menemukannya, maka sebentar nanti ia sudah melupakannya.Jajar yang gemuk itu segera berlari terbirit-birit.

   Hampir terjerembab ia menyusup regol butulan dan bersembunyi di belakang dinding, seperti seekor kera yang ketakutan.

   Kedua kawannya menjadi heran melihat sikapnya.

   Mereka menjadi semakin tidak mengerti apakah yang sebenarnya terjadi atas kawannya itu.

   Tetapi kesimpulan yang paling mudah mereka ambil adalah, Jajar yang gemuk itu sudah menjadi gila.

   Sejenak kemudian, maka dua orang emban yang lain memasuki petamanan istana.

   Disusul oleh seorang emban tua dan Permaisuri Ken Dedes.

   Ken Dedes yang segera ingin membicarakan masalah Mahisa Agni dengan Jajar yang gemuk itu berusaha menahan hatinya.

   la tidak mau tergesa-gesa, supaya Jajar yang gemuk itu tidak sengaja memperlambat pembicaraan.

   Bahkan yang pertama-tama dilakukan adalah melihat ikan emas yang berenang dikolam yang tidak terlampau luas.

   Seperti biasa para emban mclayaninya dan berusaha ber gembira bersama Permaisuri.

   Tetapi setiap kali, tampaklah betapa hati Permaisuri itu dibayangi oleh kegelisahannya.

   Achirnya Ken Dedes tidak ingin menunda-nundanya lagi.

   Kepada seorang embannya ia berkata - He, dimana juru taman yang gemuk itu? "Ampun Tuan Puteri.

   Tadi hamba melihat Jajar yang gemuk itu berada didalam taman ini.

   Tetapi, agaknya ia sedang menyembunyikan dirinya dibalik regol butulan.

   Emban itu menjadi heran kenapa Permaisuri mencari juru taman yang gemuk itu.

   "Kenapa ia bersembunyi ?"

   "Mungkin karena Tuanku datang ketaman."

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Panggillah kemari. Aku ingin berbicara."

   "Hamba Tuanku."Emban itupun segera pergi mencari Jajar yang gemuk. Emban itu adalah emban yang pertama-tama masuk kedalam taman. Ialah yang melihat kemana Jajar yang gemuk itu lari terbirit-birit. Tertawanya hampir tidak tertahankan lagi ketika ia melihat Jajar yang gemuk itu duduk mendekap lututnya.

   "He kenapa kau ?"

   Bentak emban itu begitu ia menjengukkan kepalanya diregol butulan.

   Jajar yang gemuk itu ternyata terkejut bukan kepalang, sehingga terlonjak beberapa cengkang.

   Tetapi ketika dilihatnya seorang emban saja yang berdiri diregol butulan, ia mengumpat lantang "Gila kau.

   Apakah kau mau aku pilin lehermu."

   Emban itu tertawa. Jawabnya "Apakah kau akan mencobanya ?"

   "Pergi. Jangan ganggu aku."

   Emban itu masih tertawa.

   "Ah, kenapa kau menjadi ketakutan ? Aku menjunjung perintah Tuanku Akuwu. Kau dipanggil menghadap."

   "He aku? Kenapa?"

   Emban itu menggeleng "Aku tidak tahu. Mungkin Akuwu mendengar kau membentak-bentak ketika aku datang. Mungkin persoalan lain."

   Tiba-Tiba tubuh Jajar itu gemetar.

   Ia tidak sempat berpikir lagi, bahwa seandainya Akuwu yang datang ketaman, meskipun biaianya diantar oleh beberapa emban dan Permaisuri, tetapi Akuwu pasti memerintahkan seorang prajurit atau seorang Pelayan-Dalam untuk memanggil seseorang.

   Bukan seorang emban.

   "Cepat, sebelum Akuwu mencarimu kemari.

   Berkata emban itu.

   "Tetapi, tetapi "

   Jajar itu tergagap.

   "Cepat.

   "dan emban itu tidak menunggunya. Segera ia pergi meninggalkan Jajar yang ketakutan. Tetapi Jajar itu tidak dapat ingkar. Apabila Akuwu memanggilnya, meskipun itu tidak biasa,bahwa seorang Akuwu memanggil seorang Jajar langsung, maka ia harus menghadap. Tubuh Jajar itu menjadi semakin gemetar ketika ia sudah berdiri. Langkahnya menjadi sangat berat, dan nafasnya seakan-akan terputus dikerongkongan. Tetapi ia harus melangkah terus. Betapapun hatinya menjadi berdebar-debar.

   "Oh, kepalaku pasti akan dipukulnya. Atau aku harus berbuat hal- hal yang aneh-aneh. Itu tidak akan berarti apa-apa bagiku, tetapi bagaimana dengan perjanjian yang telah aku buat dengan kawan Kuda-Sempana yang berwajah mayat itu. Dan bagaimana dengan rencanaku dengan adikku yang semalam sudah aku mulai."

   Jajar itu berhenti sejenak disisi regol butulan.

   Tetapi ia harus melangkah terus.

   Begitu ia sampai diregol, maka segera ia berlutut dan berjalan maju sambil berjongkok.

   Tetapi tiba-tiba mulutnya berdesis.

   Ia tidak melihat Akuwu Tunggul Ametung.

   Yang dilihatnya hanyalah Permaisuri yang duduk diatas sebuah batu hitam dikelilingi oleh beberapa orang emban.

   Sedang emban yang memanggilnya sedang ber simpuh menghadap Permaisuri sambil menunjuk kapada jajar yang gemuk itu.

   "Oh apakah Permaisuri yang memanggilku?"

   Nafasnya kini menjadi semakin sesak "Gila emban itu. Ia membuat aku hampir pingsan. Ternyata Permaisuri yang memanggil aku menghadap."

   Jajar itu menarik nafas dalam-dalam.

   Sekali, dua kali, tiga kali dan beberapa kali.

   Ditenangkannya hatinya.

   Tetapi karena yang dihadapinya kini bukan Akuwu Tunggul Ametung, maka justru dadanya menjadi semakin berdebar-debar.

   Jajar itu telah melupakan kelakar emban yang hampir menghentikan detak jantungnya.

   Tetapi kini ia dicengkam oleh harapan yang membubung sampai keawang-awang.

   Permaisuri itu pasti sudah membawa tiga pangadeg perhiasan.

   Tanpa sesadarnya jadar itu tersenyum sendiri.

   Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling mencari kedua kawannya.

   Ia harus menyatakankemehangannya kepada mereka, bahwa benar-benar Permaisuri memanggilnya.

   Tetapi ia tidak menemukannya.

   Perlahan-lahan jajar itu seakan-akan merayap mendekati Ken Dades Kemudian ditundukkannya kepalnya dalam-dalam sambil berkata "Ampun Tuanku.

   Hamba telah menghadap."

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus berhati- hati. Ia harus mengatakan apa yang dapat dikatakan dan menyimpan yang lain supaya ia tidak melepaskan kesalahan yang akibatnya akan dapat membabayakan Mahisa Agni.

   "Jajar"

   Berkata Permaisuri itu "aku akan berkata langsung pada persoalannya."

   Jajar itu menundukkan wajahnya memandangi butiran-butiran batu kerikil dikakinya. Begitu besar harapan mencengkam dadanya, maka batu-batu kerikil itu seolah-olah telah berubah menjadi butiran-butiran emas murni, intan dan berlian.

   "Aku akan mendapatkannya"

   Katanya didalam hatinya.

   Perlahan-lahan ia mendengar Permaisuri itupun berkata.

   Sepatah demi sepatah.

   Terang dan las-lasan.

   Tetapi arah dari kata-kata Permaisuri itu ternyata tidak seperti yang dikehendakinya.

   Permaisuri itu tidak segera menyerahkan seperti perhiasan dari tiga pengadeg.

   Tetapi Permaisuri itu justru mengajukan beberapa syarat penyerahan.

   Mahisa Agni harus dibawa serta pada batas waktu yang di tentukan.

   "O "

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Keringat dingin mengalir membasahi punggung Jajar yang gemuk itu. Setelah ia terbang dengan angan-angan nya sampai kcujung langit, tiba-tiba ia jatuh terbanting kedalam dasar jurang yang paling dalam.

   "Apakah kau mendengar juru taman ?"

   Jajar itu terbungkam. Dadanya menjadi sesak, dan untuk sejenak ia tidak dapat menjawab pertanyaan Permaisuri itu."Bagaimana juru taman ? "ulang Permaisuri "apa kah kau mendengar dan mengerti ?"

   


Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung

Cari Blog Ini