Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 44


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 44



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   Tetapi seperti nasihat Kebo Sindet, maka ia merasa perlu untuk menarik pedangnya, melawan serangan-serangan anak-anak muda yang liar dan kasar itu.

   Namun pada diri Kuda Sempana sendiri telah tumbuh pula benih-benih kekasaran itu, sehingga sejenak kemudian maka perkelahian itu pun telah menjadi semakin garang dan kasar.

   Untuk sesaat Kebo Sindet masih melayani lawan-lawannya dengan tangannya pula, seperti anak-anak itu.

   Ia masih mencoba melihat kekuatan yang tersimpan pada lawan-lawannya, pada anak- anak muda itu.

   Tetapi ternyata serangan-serangan anak-anak muda itu telah membuatnya semakin lama semakin marah.

   Matanya yang terpancang di wajahnya yang membeku menjadi semakin membara.

   Bayangan yang bergerak-gerak melingkar-lingkar di sekitarnya telah memancing nafsunya untuk melepaskan kemarahannya.Sejenak kemudian perkelahian itu pun telah menjadi perkelahian yang seru.

   Ternyata masing-masing memiliki kekuatan yang cukup.

   Anak-anak muda itu kemudian bergerak seperti bayangan, melontarkan diri dalam suatu lingkaran yang kadang-kadang melebar, tetapi kadang-kadang menyempit, seolah-olah hendak menghimpit kedua orang yang berada di tengah-tengah lingkaran itu.

   Namun yang berada di tengah-tengah lingkaran itu adalah Kebo Sindet dan Kuda Sempana.

   Meskipun Kuda Sempana tidak sedahsyat Kebo Sindet, tetapi dengan pedang di tangan ia mampu melindungi dirinya.

   Pedangnya segera bergetar dalam genggamannya.

   Setiap kali menjulur dan mematuk dengan cepatnya ke arah anak-anak muda yang menyerangnya beruntun.

   Tetapi seperti pesan Kebo Sindet, maka dibiarkannya saja pancingan- pancingan yang akan dapat membuatnya lelah dan bingung.

   Ia tidak melawan serangan di luar jangkauan pedangnya.

   Ia tidak meloncat memburu atau menyerang.

   Ia seakan-akan hanya bertahan di tempatnya, seolah-olah kakinya yang sepasang itu menghunjam jauh ke dalam tanah.

   Di dalam kelamnya malam yang semakin dalam, maka perkelahian itu pun menjadi semakin seru.

   Delapan anak-anak muda yang berkelahi itu mampu berkelahi dalam suatu kerja sama yang sangat rapi.

   Hanya jajar yang gemuk itulah yang mempunyai cara tersendiri, tetapi segera ia pun berusaha menyesuaikan dirinya dengan kedelapan kawan-kawannya.

   Halaman rumah jajar yang kotor itu semakin lama menjadi semakin ribut.

   Anak-anak muda itu masih saja berkelahi sambil berputaran.

   Namun setelah beberapa lama perkelahian itu berlangsung, maka anak-anak muda itu merasakan suatu yang lain pada lawannya, dengan orang-orang yang pernah menjadi korban mereka.

   Kali ini yang dilawannya, benar-benar mampu mempertahankan dirinya, sehingga tidak semudah yang mereka sangka untuk membunuh Kebo Sindet berdua dengan Kuda Sempana.Bahkan setiap kali terasa, orang yang berwajah beku itu memiliki kemampuan yang tidak dapat segera mereka jajaki.

   Semakin lama mereka bertempur, maka anak-anak muda itu semakin dicengkam oleh perasaan yang aneh atas lawannya.

   Semakin dahsyat mereka melakukan serangan dan tekanan, maka mereka menjadi semakin jelas melihat keperkasaan lawan.

   Di antara anak-anak muda ada yang mampu memecahkan batu dengan tangannya, ada yang mampu membuat lawannya lumpuh oleh sentuhan-sentuhan pada bagian-bagian tubuh tertentu.

   Ada yang jarinya melampaui ketajaman ujung pisau, dan mampu menghunjam di dada lawan sampai ke pusat jantung.

   Tetapi melawan Kebo Sindet tangan mereka seakan-akan tidak berarti.

   Ketika beberapa jari mereka mencoba menyentuh tubuh Kebo Sindet, terasa seakan-akan mereka membentur segumpal baja yang melampaui kerasnya batu karang.

   Apalagi apabila Kebo Sindet sengaja menangkis serangan mereka, maka satu dua di antara mereka terdorong beberapa langkah dari lingkaran yang mereka buat.

   Hanya karena kelincahan dan ketangkasan mereka, maka mereka mampu untuk segera memperbaiki kedudukan mereka.

   Itulah sebabnya maka mereka kemudian merasa, bahwa perkelahian itu tidak akan ada akhirnya.

   Mereka tidak mendapat kesempatan apapun untuk menunjukkan kelebihan mereka.

   Apalagi dengan tangan untuk melumpuhkan orang yang berwajah mayat itu.

   Karena itu, maka tidak ada cara lain yang lebih baik daripada beramai-ramai mengacungkan ujung-ujung senjata ke arah setan Kemundungan itu.

   Betapa tebal kulitnya, dengan ketajaman senjata mereka yang dilambari dengan kekuatan yang melampaui kekuatan manusia biasa, maka kulit itu pasti akan terluka.

   Sejenak kemudian, maka bergemerlapanlah ujung-ujung senjata anak-anak muda itu.

   Pada umumnya mereka menggenggam sehelai pisau belati panjang.

   Hanya jajar yang gemuk itu sajalah yang kemudian menggenggam kerisnya yang kecil, tetapi keris yangdiandalkannya, sebagai sebilah keris yang mengandung kekuatan melampaui segala macam senjata.

   Melihat ujung-ujung senjata itu, Kebo Sindet mengerutkan keningnya.

   Kulitnya memang tidak kebal dan tidak pula tahan tajamnya pedang.

   Karena itu Kebo Sindet pun tidak ingin mempersulit diri.

   Ia harus berusaha untuk menarik setiap perhatian dan memperingan pekerjaan Kuda Sempana.

   Kalau anak-anak muda itu kemudian memusatkan serangan-serangan mereka kepada Kuda Sempana, maka keadaan Kuda Sempana itu akan menjadi sangat sulit.

   Ternyata usaha Kebo Sindet itu berhasil.

   Anak-anak muda itu memang memusatkan perhatian mereka kepada Kebo Sindet yang mereka anggap terlampau berbahaya.

   Kalau Kebo Sindet itu sudah berhasil mereka binasakan, maka Kuda Sempana tinggal akan menjadi permainan yang mengasyikkan seperti yang sering mereka lakukan atas korban-korban mereka.

   Tetapi kali ini mereka terbentur pada lawan yang lain.

   Kebo Sindet bukan sejenis orang yang dengan mudah dapat mereka jadikan permainan.

   Tidak mudah mereka takut-takuti atau mereka kejutkan dengan berbagai macam gerakan dan serangan.

   Apalagi ternyata Kebo Sindet tidak mau mempersulit dirinya lebih lama lagi.

   Karena itu maka tangannya segera menarik senjatanya, sebuah golok yang besar.

   Selanjutnya, maka perkelahian menjadi bertambah dahsyat dan mengerikan.

   Kini mereka tidak lagi membuat pertimbangan lain daripada menghujamkan senjata masing-masing kepada lawan.

   Di dalam gelapnya malam itu, beberapa pucuk senjata berputaran melingkar-lingkar.

   Sekali-sekali tepercik bunga api di udara.

   Benturan-benturan yang terjadi semakin lama menjadi semakin sering.

   Namun kemudian bukan anak-anak muda itu lagi yang membenturkan senjatanya, tetapi Kebo Sindetlah yang sengaja berbuat demikian.

   Sekali-sekali tampak sebuah belati panjang terloncat dari genggaman, jatuh beberapa langkah dari lingkaranperkelahian.

   Tetapi ternyata anak-anak muda itu pun cukup tangkas.

   Dengan segera mereka melindungi kawan-kawan mereka yang kehilangan senjatanya, dan memberinya kesempatan untuk memungut senjatanya kembali.

   Namun tangan mereka semakin lama menjadi semakin nyeri, sehingga perlawanan mereka pun menjadi semakin lemah.

   Meskipun demikian, tangan-tangan yang nyeri itu segera diimbangi dengan kecepatan mengatur serangan.

   Ujung-ujung pisau susul menyusul menyambar lambung dan dada seperti sekumpulan lebah yang beterbangan mengitari mangsanya.

   Setiap kali ujung-ujung senjata itu siap untuk menyengatnya.

   Ketika perkelahian itu kian bertambah sengit, maka pada saat Ken Dedes sedang duduk menghadap Akuwu Tunggul Ametung.

   Dengan wajah yang kuyu Ken Dedes mengatakan, bahwa menurut jajar yang gemuk.

   Kebo Sindet bersedia menerima tebusan itu di luar gapura kota, dengan syarat jajar itulah yang membawa tebusannya dengan mengawal sebanyak-banyaknya dua orang.

   "Betapa liciknya!"

   Geram Akuwu Tunggul Ametung.

   "Tak ada prajurit Tumapel seorang pun yang dapat menyamai Kebo Sindet. Itulah sebabnya ia membuat syarat itu."

   "Bagaimana kalau syarat itu tidak dipenuhi Tuanku. Umpamanya, jajar itu datang dengan sepasukan prajurit untuk merebut Kakang Mahisa Agni."

   "Berbahaya bagi Mahisa Agni, seperti yang dikatakan Empu Gandring. Bukankah kau pernah juga mengatakan bahwa sepasukan prajurit hanya mempercepat bencana bagi Mahisa Agni,"

   Akuwu itu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia mengeram.

   "salah seorang prajurit itu aku sendiri. Aku sendirilah yang akan menyerahkan tebusan kepada Kebo Sindet."

   Ken Dedes terperanjat mendengar keputusan Akuwu Tunggul Ametung itu.

   Tugas itu adalah tugas yang sangat berbahaya.

   Karena menurut pendengaran Ken Dedes, Kebo Sindet adalah seorang yang memiliki beberapa kelebihan dari orang lain.

   Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi ia adalah seorang yang buas dan liar.Karena itu maka permaisuri itu menyahut.

   "Jangan Tuanku. Tuanku jangan pergi sendiri. Bukankah hal itu akan sangat berbahaya bagi Tuanku."

   "Aku tahu Ken Dedes, tetapi tidak ada jalan lain Aku tidak dapat menemukan cara lain daripada aku sendiri pergi menemui Kebo Sindet sebagai prajurit pengawal. Yang seorang dari keduanya adalah Witantra. Jajar itu pun tidak akan aku bawa pula, meskipun aku akan membawa seorang yang dapat berperan sebagai jajar yang gemuk itu. Ardata, senapati perang pasukan berkuda. Bukankah Ardata itu gemuk seperti jajar yang bodoh itu? Nah, dalam pakaian yang serupa di malam hari, orang lain tidak akan segera mengenalnya. Aku dan kedua senapati itu sudah cukup untuk membuat perhitungan dengan Kebo Sindet dan Kuda Sempana."

   "Tetapi Tuanku, bagaimanakah kalau mereka membawa kawan yang berjumlah cukup banyak."

   "Pasukan pengawalku harus siap di dalam regol supaya tidak dilihat oleh Kebo Sindet. Apabila Kebo Sindet membawa kawan dalam jumlah yang banyak, kami akan memberikan tanda kepada para pengawal."

   Ken Dedes tidak segera menjawab, tetapi hatinya dilanda oleh kecemasan yang sangat.

   Ia merasa bersyukur, bahwa perhatian Akuwu Tunggul Ametung kini demikian besarnya terhadap keselamatan Mahisa Agni.

   Tetapi dengan demikian Ken Dedes menjadi cemas, bahwa akan terjadi bencana yang lebih dahsyat menimpa dirinya.

   Kalau terjadi sesuatu atas Akuwu Tunggul Ametung, maka akan hilanglah segala macam harapan bagi hari depannya.

   Ia tidak mempunyai lagi tempat untuk bergantung.

   Sama sekali.

   Semuanya akan hilang, dan dirinya sendiri pun pasti akan hanyut ke dalam ketiadaan.

   Sejenak mereka berdua duduk di dalam kediaman masing- masing.

   Akuwu Tunggul Ametung sekali-sekali mengusap wajahnya yang basah oleh keringat, sedang Ken Dedes duduk saja menundukkan kepalanya.Namun tiba-tiba dalam kediaman itu, Akuwu Tunggul Ametung dikejutkan oleh langkah tergesa-gesa.

   Kemudian ia mendengar seseorang berdiri di muka pintu bilik dengan nafas terengah-engah.

   Akuwu itu pun kemudian berdiri, berjalan ke pintu dan menyapanya, tetapi ia masih belum melihat orangnya.

   "He, siapa di muka pintu?"

   "Hamba Tuanku, hamba yang Tuanku perintahkan mengawasi jajar yang gemuk itu."

   "Oh,"

   Namun tebersit kecemasan di hati akuwu.

   "masuklah. Kenapa kau menghadap malam-malam begini?"

   Prajurit yang berdiri di luar pintu itu merayap masuk, kemudian duduk sambil menekurkan kepalanya dalam-dalam.

   "Ampun Tuanku, hamba terpaksa menghadap Tuanku malam ini."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Tetapi ia masih bertanya.

   "Aku masih mendengar nafas seseorang di luar. Siapa?"

   "Oh, prajurit pengawal istana Tuanku, yang mengantarkan hamba menghadap Tuanku."

   Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya.

   "Apakah yang akan kau sampaikan?"

   "Soal jajar yang gemuk itu Tuanku."

   "Ya, kenapa."

   "Seperti yang pernah hamba sampaikan kepada Tuanku, bahwa beberapa kali hamba berhasil mendengarkan pembicaraan mereka dengan Kebo Sindet, meskipun aku menduga bahwa Kebo Sindet pun mengetahui kehadiran hamba. Namun kadang-kadang orang itu malahan dengan sengaja memperkeras suaranya. Sekali hamba pernah terpaksa memukul kepala jajar yang gemuk itu sebelum ia melihat, siapakah hamba berdua. Tetapi yang terakhir hamba tidak berhasil mendengarkan pembicaraan mereka Tuanku, meskipun hamba dapat melihat mereka bertemu. Jajar yang gemuk itu danKebo Sindet. Sedangkan hari ini, dari prajurit pengawal di regol halaman hamba mendengar bahwa jajar itu pulang terlampau pagi. Sehari-harian kami berdua mengawasi rumahnya dari kejauhan. Ternyata kini terjadi sesuatu Tuanku."

   "Apakah yang terjadi?"

   "Ternyata jajar gemuk itu menjebak Kebo Sindet di dalam perangkapnya. Sejumlah orang-orang yang telah dipersiapkan oleh jajar yang gemuk itu berusaha untuk membunuh Kebo Sindet."

   "He?"

   Akuwu Tunggul Ametung terperanjat. Sekilas wajahnya menjadi merah tegang. Namun kemudian ia bertanya.

   "Kenapa jajar itu akan membunuhnya?"

   "Hamba tidak tahu Tuanku."

   "Gila! Ini adalah permainan yang gila,"

   Akuwu itu menggeram.

   "jajar itu ternyata juga gila."

   Tiba-tiba akuwu itu berteriak.

   "He! Perjanjian apakah yang telah dibuat oleh jajar dan Kebo Sindet itu?"

   "Hamba kurang mengetahui Tuanku."

   "Jajar itu ternyata berkhianat,"

   Geram akuwu itu pula, dan sekali lagi berteriak sambil menghentakkan kakinya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tahu. Aku tahu. Jajar itulah yang membuat cerita tentang penyerahan perhiasan besok. Tentang dua orang prajurit yang disyaratkan untuk mengawal. Tentang jajar yang gemuk, itu yang harus membawa tebusan itu. Nah, di luar regol itu telah menunggu orang-orang yang hari ini berusaha membunuh Kebo Sindet."

   Akuwu itu berhenti sejenak, lalu.

   "Aku akan pergi sekarang. Semua harus dibinasakan. Kebo Sindet dan jajar yang gemuk itu."

   Dada Ken Dedes berguncang mendengar kata-kata akuwu itu.

   Seandainya, ya, seandainya hal itu terjadi, alangkah menyedihkannya.

   Alangkah pahitnya.

   Sehingga tiba-tiba saja Ken Dedes itu berlutut di bawah kaki Akuwu Tunggul Ametung sambil memegangi kaki itu.

   "Ampun Tuanku. Jangan pergi. Jangan pergi.Biarlah apa yang telah terjadi dengan Kakang Mahisa Agni. Akuwu harus mencari jalan lain untuk membebaskannya. Tetapi bukan Tuanku sendiri yang harus pergi."

   Sejenak Akuwu Tunggul Ametung itu justru mematung.

   Ia merasakan sesuatu yang menggetarkan dadanya.

   Sikap Ken Dedes yang mencemaskan nasibnya itu justru menambah tekadnya untuk menolong Mahisa Agni.

   Untuk menyenangkan hati Ken Dedes dan melepaskannya dari kesedihan yang melandanya setiap hari, sebelum kakaknya itu dibebaskannya.

   Maka sejenak kemudian ia berkata.

   "Ken Dedes. Aku tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Seandainya Kebo Sindet terbunuh di dalam perkelahian itu, apakah untuk seterusnya kita akan dapat menemukan kesempatan untuk membebaskan Mahisa Agni? Mungkin Mahisa Agni dijaga oleh orang-orang Kebo Sindet dengan pesan-pesan khusus, seandainya Kebo Sindet tidak kembali pada saat-saat yang ditentukan. Tetapi seandainya Mahisa Agni disembunyikan di tempat yang sukar diketahui oleh orang lain kecuali Kebo Sindet sendiri, meskipun tanpa pengawasan, namun apabila Mahisa Agni tidak berhasil keluar dari tempat itu, maka betapapun lambatnya, ia akan mati pula. Mungkin karena kelaparan, haus dan mungkin karena sebab-sebab lain."

   "Lalu apakah yang akan Tuanku lakukan?"

   "Kalau mungkin menangkap Kebo Sindet dan mendengar beberapa keterangan langsung daripadanya, tentang Mahisa Agni sebelum orang itu dibinasakan. Sebab ia adalah orang yang sangat berbahaya."

   Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Akuwu Tunggul Ametung berkata.

   "Tetapi seandainya. Kebo Sindet itu menang, maka malahan masih ada harapan untuk dapat menyelamatkan Mahisa Agni. Kalau Kebo Sindet menganggap bahwa jajar itulah yang berkhianat kepadanya, maka ada kemungkinan Kebo Sindet kelak mencari cara lain untuk memeras kita. Jika demikian, maka selama itu Mahisa Agni pasti masih hidup. Tetapi akan berbeda sekali akibatnya, apabila Kebo Sindetmenganggap bahwa jajar itu telah bekerja bersama dengan kita untuk menjebaknya. Jika demikian, maka nasib Mahisa Agni ada dalam bahaya."

   Dada Ken Dedes berdesir mendengar keterangan Akuwu Tunggul Ametung itu sehingga ia berdesah.

   "Mudah-mudahan Kakang Mahisa Agni selamat."

   "Nah, aku sekarang akan mencari jalan untuk menyelamatkannya."

   "Apakah Tuanku akan pergi dengan pengawal?"

   "Ya, kali ini aku tidak perlu bersembunyi. Aku akan datang dengan sepasukan prajurit untuk mencegah kemungkinan salah seorang dari orang-orang yang tamak itu melarikan diri. Aku akan berusaha mendengar penjelasan Kebo Sindet sendiri, di mana Mahisa Agni. Tetapi kalau aku terpaksa membinasakannya, maka aku berharap bahwa Kuda Sempana akan tertangkap hidup-hidup."

   Lalu kepada prajurit yang melaporkannya akuwu itu bertanya.

   "Bukankah Kuda Sempana ada bersamanya?"

   "Hamba, Tuanku."

   "Bagus. Pada dasarnya kedua pihak yang berkelahi itu harus binasa,"

   Akuwu itu berhenti sebentar, lalu.

   "he, siapkan prajurit- prajurit pengawal dan beberapa orang pelayan Dalam yang sedang bertugas. Siapkan orang-orang yang paling baik sebanyak lima belas orang."

   "Hamba Tuanku, hamba akan menghubungi senapati yang bertugas malam ini."

   "Baik, perintahku kepadanya, segera bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Kita akan pergi berperang."

   "Hanya lima belas orang, Tuanku."

   "Ya,"

   Tetapi akuwu itu tertegun.

   "berapa orang yang menjebak Kebo Sindet.""Hamba kurang jelas, Tuanku. Tetapi sekitar sepuluh orang."

   Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Lima belas orang telah cukup. Masih ditambah kau dan aku, dan seorang kawanmu yang barangkali masih tinggal di sekitar perkelahian itu?"

   "Hamba Tuanku, kawan hamba itu berusaha melihat apa yang telah terjadi, sedang hamba harus menyampaikan peristiwa ini kepada Tuanku."

   "Kalau begitu lima belas orang terbaik telah cukup. Cepat, hubungi senapati yang bertugas. Aku tidak mempunyai waktu untuk memanggil Witantra dan Ardata. Aku cukup membawa prajurit- prajurit pengawal dan pelayan dalam yang ada."

   "Hamba, Tuanku."

   "Cepat. Aku akan segera berangkat sebelum terlambat."

   Prajurit itu kemudian surut sampai di luar pintu sambil berjongkok. Tetapi ia hampir terlonjak ketika ia tiba-tiba saja mendengar akuwu itu membentak keras-keras.

   "Cepat, kenapa kau merayap seperti siput? Apakah kau tidak dapat berlari?"

   Sambil menyembah prajurit itu menyahut.

   "Hamba, Tuanku."

   Dengan ragu-ragu prajurit itu pun segera berdiri.

   Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia berlari meninggalkan bilik itu untuk menemui senapati yang sedang bertugas.

   Sedang prajurit yang lain, yang mengantarnya menghadap akuwu segera menyusulnya di belakangnya.

   Akuwu Tunggul Ametung pun segera mempersiapkan dirinya dengan pakaian keprajuritan.

   Sebuah pedang di lambung kiri, dan di lambung kanan tergantung senjata pusakanya.

   Sebuah penggada yang berwarna kuning berkilauan.

   Ken Dedes kemudian melepas Akuwu Tunggul Ametung dengan dada yang berdebar-debar.

   Ia sendiri memimpin pasukan yang kecil itu berpacu di atas punggung kuda yang tegar, berlari kencangsekali seperti angin.

   Para prajurit yang bertugas di regol, yang belum mendengar apa yang akan dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung terkejut bukan buatan.

   Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.

   Tidak lebih dari sekejap, maka kuda-kuda itu telah lampau sambil melontarkan kepulan debu yang putih.

   Para pengawal regol itu saling bertanya-tanya di antara mereka.

   Tetapi kemudian mereka pun mendengar bisikan ke telinga mereka.

   "Akuwu akan langsung menangkap Kebo Sindet itu sendiri."

   Setiap prajurit yang mendengar berita itu menjadi berdebar- debar.

   Sebagian dari mereka telah pernah mendengar, betapa Kebo Sindet merupakan hantu yang menakutkan di sebelah timur Gunung Kawi.

   Tetapi hampir setiap prajurit pun tahu, bahwa Akuwu Tunggul Ametung bukanlah seorang anak-anak yang sedang mencoba belajar naik kuda.

   Akuwu Tunggul Ametung adalah manusia yang aneh pula, yang memiliki kelebihan dari manusia kebanyakan.

   Bahkan para prajurit Tumapel percaya akan cerita tentang akuwunya, bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang memiliki kesaktian dari langit.

   "Seandainya aku mendapat kesempatan, aku ingin menyaksikan apa yang akan terjadi,"

   Desis salah seorang prajurit.

   "Alangkah dahsyatnya,"

   Sahut yang lain.

   "kalau benar Akuwu Tunggul Ametung bertemu dan sempat bertempur melawan Kebo Sindet."

   "Pasti akan terjadi pertempuran seperti yang sering kami khayalkan dari cerita Bharatayuda,"

   Berkata yang lain.

   "seperti perang Karna dan Arjuna."

   "Tidak. Tidak seperti kedua satria itu. Kebo Sindet sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan Karna, dan Akuwu Tunggul Ametung sama sekali bukan Arjuna, meskipun permaisurinya cantik seperti Sembadra.""Ya, memang bukan. Seperti Bima dan Duryudana."

   "Entahlah,"

   Berkata yang lain.

   "tetapi perkelahian itu pasti akan sangat mengerikan. Apalagi apabila Akuwu Tunggul Ametung telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang aneh itu, penggada yang berwarna dan bercahaya kekuning-kuningan."

   "Seperti pertempuran antara guntur dan petir di langit."

   Sementara itu Akuwu Tunggul Ametung berpacu secepat-cepat kudanya dapat berlari.

   Ia masih belum menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk mengatasi keadaan yang berkembang tidak sesuai dengan rencananya itu.

   Tetapi ada satu ketetapan di hatinya, kedua pihak harus dibinasakan.

   Namun ia masih memerlukan petunjuk tentang Mahisa Agni.

   Kalau ia berhasil membinasakan Kebo Sindet tetapi kemudian tidak berhasil menemukan Mahisa Agni, maka kerjanya akan bernilai setengah.

   Sebab dengan demikian, Ken Dedes pasti masih juga selalu bersedih.

   Prajurit-prajurit pengawalnya kali ini adalah prajurit-prajurit pengawal istana dan lima orang pelayan dalam.

   Mereka adalah orang-orang pilihan yang dapat dikumpulkan malam itu.

   Mereka adalah orang-orang yang sedang bertugas mengawal istana.

   Dan Akuwu Tunggul Ametung percaya kepada kekuatan dan kesetiaan mereka.

   Karena itu maka Akuwu Tunggul Ametung dengan pasti melarikan kudanya untuk menyelesaikan persoalannya.

   "Aku harus segera mendapat penyelesaian,"

   Desisnya di dalam hatinya.

   "supaya aku tidak selalu disiksa oleh persoalan ini sehingga persoalan-persoalan lain menjadi terdesak karenanya. Selama ini masih belum selesai, maka mendung di istana masih belum dapat disingkirkan. Ken Dedes pasti masih selalu dibayangi oleh kemurungan tanpa dapat diredakannya."

   Dengan demikian maka akuwu itu pun menjadi semakin bernafsu.

   Kemarahan yang selama ini ditahan-tahannya, kini seolah- olah ingin diledakkannya.

   Ia harus membuat perhitungan terakhir.

   Derap kaki-kaki kudanya gemeretak di atas tanah berbatu-batu.

   Beberapa orang prajurit pengawal rapat berpacu di belakangnya.Tetapi beberapa orang yang lain, tidak mampu mengikutinya dalam jarak yang wajar, karena kuda-kudanya tidak setangkas kuda Akuwu Tunggul Ametung yang dilarikan melampaui kecepatan yang seharusnya.

   Namun jarak itu tidak mengganggu.

   Mereka masih tetap dalam kesatuan yang utuh apabila mereka dengan tiba-tiba saja harus berhadapan dengan lawannya.

   Prajurit penunjuk jalan, yang mula-mula melaporkan peristiwa yang terjadi kepada Akuwu Tunggul Ametung, dengan susah payah berusaha untuk tetap berada di dekat akuwu, supaya setiap saat ia dapat memberitahukan arah yang harus ditempuh, karena akuwu sendiri belum pernah melihat rumah juru taman yang telah berkhianat kepada kedua belah pihak itu.

   "Apakah rumah itu masih jauh?"

   Geram akuwu itu kemudian.

   "Tidak, Tuanku. Sudah tidak terlampau jauh. Di ujung jalan yang masuk ke mulut perkampungan di depan itu kita berbelok ke kanan, kemudian masuk ke dalam."

   "Apakah kita akan sampai?"

   "Di ujung perkampungan yang lain kita berbelok lagi ke kanan. Kita akan sampai di sebuah halaman yang kosong, kalau kita masuk lagi ke dalam, maka kita akan sampai. Satu halaman berselang dari jalan di tepi perkampungan itu."

   "Kenapa berputar-putar? Apakah tidak ada jalan yang melintas?"

   "Tidak, Tuanku. Jalan yang paling pendek hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki lewat beberapa halaman dan jalan yang terlampau sempit."

   Akuwu tidak menjawab, tetapi ia berusaha memacu kudanya semakin cepat.

   Tetapi tiba-tiba akuwu itu terperanjat.

   Tidak begitu jauh di hadapannya, di dalam perkampungan yang ditujunya, ia melihat lidah api menjilat ke udara.

   Baru saja.

   Seolah-olah sengaja menyambut kedatangannya.Bukan saja Akuwu Tunggul Ametung yang terperanjat, tetapi prajurit yang menunjukkan jalan kepadanya dan para pengawalnya.

   Hampir serempak mereka berdesis.

   "Api!"

   "Ya, api,"

   Akuwu Tunggul Ametung hampir berteriak.

   "apakah artinya ini, he?"

   Prajurit penunjuk jalan itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya.

   "Hamba tidak mengerti, Tuanku."

   Akuwu Tunggul Ametung menggeram.

   Ia mencoba mencari hubungan antara api dan perkelahian yang telah terjadi.

   Kebo Sindet harus melawan beberapa orang sekaligus.

   Apakah ia masih sempat berpikir, membakar rumah jajar yang gemuk itu? Tetapi Akuwu Tunggul Ametung tidak bernafsu untuk memikirkan jawabannya.

   Ia ingin segera sampai, dan dengan demikian ia akan mendapat jawaban itu dengan sendirinya.

   Karena itu maka kudanya justru dipacunya lebih cepat lagi.

   Semakin lama semakin cepat, sehingga kuda itu seolah-olah tidak lagi menjejak di atas tanah.

   Demikian nafsunya untuk segera sampai ke tempat jajar yang gemuk itu, sehingga Akuwu Tunggul Ametung tidak menghiraukan apa-apa lagi.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia tidak menghiraukan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di sepanjang jalan.

   Sehingga kuda pengawal utamanya terpaksa dengan susah payah berpacu di sampingnya.

   Ketika mereka hampir memasuki desa di depan mereka, maka kedua pengawal itu terpaksa sedikit menahan laju kuda Akuwu Tunggul Ametung.

   Salah seorang dari mereka berkata.

   "Ampun Tuanku. Biarlah hamba akan berada di depan sekali."

   Akuwu Tunggul Ametung tidak menjawab. Tetapi ia seolah-olah tidak menghiraukannya.

   "Ampun, Tuanku,"

   Prajurit pengawalnya mengulangi.

   "hamba akan berada di depan Tuanku sebelum memasuki perkampungan itu."Tetapi akuwu masih juga diam. Sedang mulut lorong yang masuk ke dalam desa di depan mereka menjadi semakin dekat. Kedua pengawal akuwu itu menjadi cemas. Yang kini mereka hadapi adalah orang-orang yang kuat namun licik. Baik kawan- kawan jajar yang gemuk yang berjumlah kira-kira sepuluh orang itu, maupun Kebo Sindet dan Kudu Sempana. Karena itu, maka tanpa menunggu jawaban Akuwu Tunggul Ametung, maka kedua pengawal utamanya itu berusaha untuk mendahuluinya. Akuwu Tunggul Ametung menggeretakkan giginya sambil menggeram.

   "Kenapa kalian menjadi gila, he?"

   "Hamba berdualah yang seharusnya berada di depan Tuanku dalam keadaan serupa ini."

   Akuwu Tunggul Ametung mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

   Tetapi kemudian disadari bahaya yang dapat menerkamnya setiap saat dari orang-orang yang licik itu.

   Karena itu, maka kemudian dibiarkannya kedua pengawal utamanya itu mendahuluinya, untuk meyakinkan, bahwa jalan yang akan dilaluinya tidak dirintangi oleh bahaya yang mengancam keselamatannya.

   Tetapi mereka memang sedang menuju ke tempat yang berbahaya.

   Tempat yang tidak diketahui dengan pasti, apakah yang akan dihadapinya nanti.

   Kebo Sindet dan Kuda Sempana, atau jajar yang gemuk itu dengan kawan-kawannya, atau bahkan mereka bergabung untuk dapat melepaskan diri mereka dari prajurit-prajurit Tumapel.

   "Kalau demikian,"

   Berkata akuwu di dalam hatinya.

   "aku benar- benar harus berhati-hati. Kalau kedua iblis itu justru bersepakat untuk menjebak prajurit-prajurit Tumapel, maka aku harus dapat menyesuaikan diriku bersama pasukan kecil ini."

   Namun Akuwu Tunggul Ametung masih juga tetap tatag.

   Karena ia benar-benar mempercayai kekuatan para pengawalnya, dan terutama sekali ia percaya kepada senjatanya, kepada penggadanya yang berwarna dan bercahaya kekuning-kuningan.

   Senjata yang mempunyai kekuatan yang dapat diandalkannya.

   Kalau akuwu itumateg Aji pamungkasnya untuk melambari ayunan gadanya, maka seakan-akan gunung akan menjadi runtuh dan lautan akan menjadi kering, tersentuh oleh pusakanya itu.

   Akuwu menjadi semakin gelisah ketika ia melihat lidah api menjadi semakin tinggi.

   Warna langit yang hitam, tiba-tiba menjadi semburat merah.

   Namun kebakaran itu masih belum terlampau besar.

   Masih ada kesempatan untuk melihat, apa yang sebenarnya telah terjadi.

   Kini yang berpacu paling depan adalah kedua pengawal utama Tunggul Ametung berurutan.

   Kemudian barulah akuwu sendiri yang berpacu di atas punggung kudanya dengan wajah tegang.

   Ternyata waktu yang mereka perlukan tidak terlampau lama.

   Sejenak kemudian mereka telah berbelok memasuki lorong yang akan melewati jalan kecil di muka rumah jajar yang gemuk itu.

   "He,"

   Bertanya akuwu itu kepada prajurit penunjuk jalan.

   "Di mana rumah itu?"

   "Kita telah sampai, yang terbakar itulah,"

   Jawab prajurit itu. Dengan serta-merta para prajurit itu segera mengekang kuda- kuda mereka. Kini mereka berada tidak terlampau jauh dari rumah yang memang sedang dimakan oleh api, meskipun belum lagi separonya.

   "Jadi rumahnya yang terbakar itu?"

   Bertanya akuwu. Penunjuk jalan itu menyahut.

   "Hamba Tuanku, itulah rumahnya."

   "Kita mendekat. Kita lihat, kenapa rumah itu terbakar."

   Mereka maju lagi perlahan-lahan Segera mereka memasuki halaman rumah yang kotor itu. Tak seorang pun dari tetangga- tetangga yang berani keluar rumah dan menolong memadamkan api yang merayap untuk menelan seluruh rumah dan isinya.

   "Bukan main ganasnya setan dari Kemundungan itu,"

   Desis Akuwu Tunggul Ametung.

   "tetapi di mana orang itu?"Belum lagi seorang pun yang menjawab, maka beberapa orang prajurit segera menyibak, memberi jalan kepada seorang yang dengan berjalan kaki langsung menuju ke arah Akuwu Tunggul Ametung. Aku Tunggul Ametung memperhatikan orang itu dengan seksama. Cahaya api yang menyala-nyala segera memperkenalkannya, bahwa ia adalah prajuritnya yang seorang lagi, yang bertugas mengawasi rumah jajar yang gemuk itu.

   "Kau?"

   Desis akuwu.

   "Hamba, Tuanku."

   "Apa yang kau lihat, dan apakah sebabnya maka timbul kebakaran?"

   "Ampun Tuanku,"

   Jawab prajurit itu.

   "hampir hamba menjadi pingsan melihat kelakuan Kebo Sindet, setan dari Kemundungan yang hamba kira adalah orang yang paling buas di permukaan bumi."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.

   Sekali dipandanginya api yang menyala semakin besar.

   Bagian depan rumah itu kini sudah lebih dari separo dimakan api.

   Api yang menyala dari sudut itu merayap perlahan-lahan.

   Suaranya bergemeretak seperti seribu gerobak lewat di atas tanah berbatu- batu.

   "Apa yang kau lihat?"

   Bertanya Akuwu Tunggul Ametung.

   "Pembantaian yang tidak tanggung-tanggung."

   "Hem,"

   Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam.

   "Anak-anak muda yang mencoba menjebak Kebo Sindet ternyata telah menjadi korban yang mengerikan."

   Akuwu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak melihat sesosok mayat pun di halaman rumah itu."Tetapi di manakah Kebo Sindet membunuh korbannya? Bukankah mereka bertempur di halaman ini?"

   "Hamba Tuanku,"

   Sahut prajurit itu.

   "tetapi setelah mereka dibunuh dengan cara Kebo Sindet, mereka dilemparkan ke dalam rumah itu. Sebelum Kebo Sindet pergi, rumah itu dibakarnya."

   "Hem,"

   Sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas, lalu katanya.

   "Bagaimana dengan jajar yang gemuk itu?"

   "Ia mengalami nasib paling jelek di antara kawan-kawannya. Ia ditangkapnya yang terakhir kalinya. Diikat dan dimasukkan ke dalam rumah itu pula, tanpa dibunuhnya lebih dahulu."

   "He? Jadi jajar itu masih hidup?"

   "Hamba Tuanku. Tetapi di dalam rumah itu."

   "Ambil dia."

   Prajurit itu tidak menjawab. Api kini berkobar semakin besar.

   "Apakah jajar itu kira-kira sudah terbakar di dalam rumah itu?"

   "Hamba tidak tahu, Tuanku."

   "Ambil, ambil dia,"

   Teriak Tunggul Ametung.

   "cari jalan dari sisi yang belum terbakar itu. Mungkin kau masih menemukannya di ruangan yang belum dimakan api."

   Prajurit itu menjadi ragu-ragu. Dipandanginya saja Akuwu Tunggul Ametung, seakan-akan ia tidak percaya kepada perintah itu.

   "Ambil, cepat, ambil,"

   Akuwu itu berteriak. Prajurit yang masih saja ragu-ragu itu tidak juga beranjak dari tempatnya. Tetapi seorang prajurit yang lain, pengawal Akuwu Tunggul Ametung dengan sigapnya meloncat dari kudanya dan berlari ke arah api yang sedang menyala.

   "Ingat arah api,"

   Teriak akuwu itu pula.Ternyata kemudian dua orang prajurit termasuk prajurit yang ragu-ragu itu menyusulnya, melingkar dari sudut yang masih belum terbakar.

   Dengan susah payah mereka merobek dinding dan dengan wajah yang merah oleh nyala api yang berkobar ketiganya mencoba masuk ke dalam rumah yang sudah hampir ditelan api itu.

   Wajah akuwu menjadi tegang.

   Ia melihat seolah-olah ketiga prajuritnya itu masuk ke dalam lautan api.

   Sehingga kemudian ia berteriak penuh penyesalan.

   "Keluar, keluar. Tinggalkan rumah itu. Biarkan jajar itu dimakan api. Cepat, keluar."

   Tetapi ketiga prajurit yang masuk ke dalam rumah yang telah terbakar itu tidak segera keluar.

   Sementara api semakin lama menjadi semakin ganas.

   Lidah yang merah mencuat seolah-olah hendak menyentuh langit.

   Kini sebagian besar rumah itu di bagian depan sudah terbakar.

   Api sedang merambat ke sudut tempat para prajurit memasuki rumah itu.

   "Keluar, cepat keluar,"

   Teriak Tunggul Ametung semakin keras.

   Tetapi ketiga prajurit itu masih juga belum muncul.

   Akuwu itu semakin tegang seketika akhirnya sudut itu pun mulai dijilat oleh api.

   Sedikit demi sedikit, akhirnya rumah itu kini seolah-olah menjadi seonggok bara yang menyala.

   "Gila!"

   Akuwu itu menggeram, lalu.

   "Lihat di bagian lain!"

   Ia berteriak keras sekali.

   "Lihat di bagian belakang, apakah seluruh rumah ini sudah terbakar."

   Beberapa orang prajurit segera berlari berpencaran.

   Mereka berlari ke sisi rumah itu.

   Ternyata mereka melihat bagian belakang rumah itu masih belum lenyap ditelan api.

   Dengan demikian mereka masih mengharap bahwa kawannya akan dapat menyelamatkan diri dari bagian itu.

   Ternyata harapan itu terpenuhi.

   Mereka melihat pintu belakang itu bergerak, kemudian pecah menjadi kepingan-kepingan papan, kemudian mereka melihat sesosok tubuh muncul dari dalam disusul oleh dua orang yang lain.

   Salah seorang daripadanya ternyata mendukung seseorang yang agaknya sedang pingsan."He, cepat!"

   Teriak prajurit yang melihat mereka keluar.

   Mereka berjalan tersuruk-suruk.

   Ternyata mereka telah mengalami luka-luka bakar pada tubuh mereka.

   Meskipun luka itu tidak terlampau parah, tetapi nafas mereka seolah-olah hampir putus karena asap yang bergulung-gulung di dalam rumah yang terbakar itu.

   Beberapa orang prajurit segera mencoba menolong mereka.

   Seorang yang lain mengambil orang pingsan itu dari tangan pendukungnya yang sudah menjadi terlampau payah.

   Orang yang pingsan itu adalah jajar yang gemuk, yang telah mencoba menjebak Kebo Sindet.

   "Air,"

   Desis salah seorang prajurit yang menjadi kehitam-hitaman. Bajunya tersobek oleh percikkan api. Bukan saja baju dan kainnya, tetapi juga kulitnya.

   "Marilah kita menghadap akuwu,"

   Ajak salah seorang kawannya.

   Prajurit-prajurit yang terluka oleh api itu segera tertatih-tatih menghadap Akuwu Tunggul Ametung.

   Hanya karena kekuatan yang memancar dari dalam diri mereka oleh kepatuhan maka mereka dapat selamat dari api yang hampir menelan mereka hidup-hidup.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seorang prajurit yang lain segera mencari sumur.

   Dengan upih yang ada ia segera mengambil air, langsung dilepasnya dari senggotnya, dan dibawa kepada ketiga prajurit yang sedang kehausan.

   "Hem,"

   Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam.

   "kalian memang luar biasa. Terima kasih."

   Prajurit-prajurit itu tidak segera menjawab.

   Tetapi dengan tangan gemetar diraihnya upih yang berisi air.

   Hampir tidak sabar mereka minum berganti-ganti dari upih itu.

   Perasaan haus yang hampir tak tertahankan telah mencekam leher mereka.

   Akuwu membiarkan prajurit-prajurit itu minum.

   Tetapi ia sempat memperingatkan.

   "Jangan kau turuti nafsumu untuk memuaskanhaus. Kau dapat menjadi sakit karena terlampau banyak air yang kau telan."

   Prajurit-prajurit itu kini telah mendapatkan kesadarannya kembali sepenuhnya setelah mereka mendapat tekanan perasaan yang sangat tajam ketika mereka berada di tengah-tengah api.

   Untunglah bahwa mereka tidak kehilangan sama sekali pikiran mereka, sehingga mereka masih sempat mencari jalan keluar.

   Dan bahkan masih sempat mendukung, jajar yang gemuk itu.

   Tetapi ternyata keadaan jajar yang gemuk itu agak lebih parah.

   Seutas tali masih tergantung di tangannya.

   Luka-luka di tubuhnya ternyata tidak saja luka bakar karena sentuhan api yang memercik, tetapi tubuhnya juga tergores oleh senjata dan bahkan karena pukulan-pukulan yang keras di wajahnya.

   "Apakah jajar itu tadi terikat tangannya?"

   Bertanya akuwu yang masih melihat ujung tali yang berjuntai di tangan jajar yang pingsan itu. Salah seorang prajurit yang masuk mengambilnya, menjawab dengan gemetar.

   "Hamba Tuanku. Hamba menemukannya di ruang dalam, terikat pada sebuah tiang. Hamba terpaksa memotong tali pengikatnya sehingga hamba memerlukan waktu untuk itu."

   Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Aku mencemaskan nasib kalian. Tetapi adakah luka-luka kalian sangat parah?"

   "Tidak, Tuanku,"

   Sahut salah seorang dari mereka.

   "luka-luka hamba bertiga tidak terlampau parah. Tetapi hamba telah diserang oleh kebingungan dan hampir-hampir kehilangan akal. Tetapi sekarang hamba telah dapat berpikir dengan wajar."

   "Bagus. Memang kadang-kadang dalam keadaan yang paling sulit justru kita kehilangan akal untuk berusaha melepaskan diri. Tetapi kalian masih dapat bertahan melawan kebingungan di hati kalian. Itulah yang ternyata menyelamatkan kalian.""Hamba, Tuanku,"

   Ketiga prajurit itu hampir berbareng menyahut.

   "Lalu bagaimanakah dengan jajar yang gemuk itu?"

   Bertanya Akuwu Tunggul Ametung sambil meloncat turun dari kudanya. Selangkah ia maju mendekati jajar yang pingsan yang kemudian dibaringkan di tanah.

   "Apakah luka-lukanya parah?"

   "Hamba, Tuanku,"

   Jawab salah seorang prajurit. Oleh cahaya api yang menyala semakin besar, tampak jelas pada jajar itu, warna- warna merah yang menodai pakaiannya, Darah.

   "Darah itu tidak menitik dari luka-luka bakarnya,"

   Desis Akuwu Tunggul Ametung.

   "Hamba, Tuanku. Pada tubuhnya terdapat goresan-goresan senjata tajam. Dan bahkan mungkin jajar itu telah di pukul pula dengan tangkai pedang di wajahnya."

   Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ia maju lagi mendekati jajar yang pingsan dan kemudian berdiri di sampingnya.

   Para pengawalnya pun segera turun pula dari kuda- kuda mereka dan berdiri melingkari jajar yang terbaring pingsan itu.

   Akuwu Tunggul Ametung melihat luka-luka di tubuh jajar itu.

   Ia membungkukkan badannya sedikit dan meraba tubuh yang terbujur diam itu.

   "Ia masih hidup,"

   Desisnya.

   "Hamba, Tuanku. Memang ia masih hidup."

   "Lalu di manakah kawan-kawannya yang telah berkelahi melawan Kebo Sindet,"

   Bertanya akuwu itu. Prajurit yang mengawasi perkelahian itu dan yang kini tubuhnya telah diwarnai oleh asap yang kehitam-hitaman dan luka-luka bakar menjawab.

   "Di dalam, Tuanku. Mereka ditimbun di samping jajar yang terikat pada tiang ini."Akuwu mengatubkan giginya rapat-rapat. Ia mendapat gambaran semakin jelas tentang Kebo Sindet. Bahwa sebenarnyalah bahwa orang itu sama sekali tidak dapat dibedakan dengan iblis yang sebuas-buasnya.

   "Ternyata Kebo Sindet sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk menyelesaikan mereka dalam waktu yang singkat. Aku menyesal bahwa aku datang terlambat. Aku ingin menghentikan kebuasannya itu."

   "Hamba, Tuanku. Ternyata lawan-lawannya sama sekali tidak dapat berbuat banyak ketika orang itu telah mencabut goloknya. Seperti menebasi ilalang, diselesaikannya pertempuran itu. Aku kira Kebo Sindet sengaja tidak membunuh jajar yang gemuk ini. Aku kira ia sengaja membuat jajar ini mati ketakutan, kalau pun tidak ia akan menjadi abu."

   "Ya, Kebo Sindet membiarkan jajar ini merasakan panasnya api yang menjilatnya sedikit demi sedikit. Tetapi ternyata jajar ini tidak terlampau tabah, sehingga ia telah jatuh pingsan sebelum tubuhnya dijilat api."

   "Itu lebih baik baginya, Tuanku."

   "Ya. Itu lebih baik,"

   Akuwu Tunggul Ametung mengulangi. Kini sekali lagi ia meraba tubuh jajar itu. Lalu katanya.

   "Berilah ia minum. Semula aku berhasrat untuk membinasakannya pula. Tetapi melihat keadaannya aku tidak sampai hati."

   Prajurit-prajurit itu sejenak saling berpandangan.

   Tetapi salah seorang dari mereka segera meneteskan beberapa titik air ke mulut jajar itu.

   Akuwu Tunggul Ametung masih berdiri di sampingnya dengan wajah yang tegang.

   Hatinya memang terlampau meledak-ledak.

   Tetapi hati yang meledak-ledak itu mudah juga menjadi cair.

   Ketika ia melihat wajah jajar itu seputih mayat, tubuh yang dilukisi oleh jalur-jalur luka senjata tajam dan luka-luka bakar, maka ia menjadi iba.Akuwu itu membungkuk sekali lagi ketika ia melihat bibir jajar itu bergerak.

   Kemudian ia melihat gerak lehernya.

   Agaknya jajar itu telah mampu menelan butiran-butiran air yang membasahi kerongkongannya.

   Sejenak mereka yang mengelilingi jajar itu menjadi tegang.

   Mereka seolah-olah tidak lagi memperhatikan keadaan di sekeliling mereka.

   Mereka seolah-olah sudah tidak lagi mendengar derak rumah jajar yang terbakar itu.

   Mereka tidak menghiraukan lagi panas api yang menyentuh tubuh mereka.

   Dan mereka sama sekali tidak memedulikan tetangga-tetangga jajar itu mengintip dari kejauhan dari sela-sela dinding rumah mereka.

   Ketika dada jajar itu mulai bergerak, terdengar Akuwu Tunggul Ametung berdesis.

   "Ia masih hidup, ia mulai bergerak."

   "Hamba, Tuanku,"

   Sahut salah seorang prajurit tanpa berpaling. Juru taman itu telah benar-benar merampas segenap perhatian Akuwu Tunggul Ametung dan para prajuritnya.

   "Berilah ia air beberapa tetes lagi. Jangan terlampau banyak supaya apabila ia mendapat kesulitan untuk menelannya justru tidak menyumbat pernafasan."

   "Hamba, Tuanku."

   Kemudian seorang prajurit telah meneteskan beberapa titik air ke mulut jajar yang gemuk itu. Dan mereka melihat bibir itu bergerak- gerak dan kerongkongannya telah mulai menelannya pula.

   "Ia akan segera sadar,"

   Gumam Akuwu Tunggul Ametung.

   Dan ternyata jajar itu sejenak kemudian menggerakkan kepalanya.

   Kemudian nafasnya mulai terasa semakin cepat mengalir.

   Ketika seorang prajurit sekali lagi meneteskan air di mulutnya, maka terdengar sebuah keluhan yang lambat sekali keluar dari mulut juru taman itu.

   "Nah,"

   Desis seorang prajurit yang berjongkok di samping jajar itu.

   "ia telah sadar.""Ya,"

   Sahut yang lain. Perlahan-lahan jajar itu membuka matanya. Perlahan-lahan pula dicobanya menggerakkan anggota tubuhnya. Tetapi sejenak kemudian ia menyeringai menahan sakit yang seolah-olah mencengkam segenap bagian tubuhnya.

   "Jangan bergerak,"

   Berkata salah seorang prajurit.

   Jajar itu tiba-tiba membelalakkan matanya.

   Dengan nanar dipandanginya orang-orang yang berada di sekitarnya.

   Lalu, tiba- tiba jajar itu mencoba untuk bangkit.

   Tetapi tubuhnya masih terlampau lemah sehingga ia pun terjatuh lagi, terbaring di atas tanah.

   "Jangan bergerak,"

   Seorang prajurit mencoba memperingatkan yang sekali lagi. Tetapi mereka yang berada di seputar jajar itu terkejut ketika tiba-tiba saja jajar itu berteriak.

   "Apa katamu? Apakah kau mengancam?"

   Para prajurit itu saling berpandangan. Tetapi mereka kemudian menangkap isyarat Akuwu Tunggul Ametung yang berdesis.

   "Ia sedang mengigau. Tubuhnya terlampau panas."

   Dengan demikian maka para prajurit itu pun tidak berbuat apa- apa. Mereka juga tetap berdiam diri saja ketika mereka melihat jajar itu menggeliat.

   "He,"

   Katanya.

   "apakah kalian telah berhasil? He, apakah kalian telah berhasil?"

   Tak ada seorang pun yang menjawab.

   Jajar itu mengerutkan keningnya.

   Ketika sekali lagi ia membelalakkan matanya, maka para prajurit dan bahkan Akuwu Tunggul Ametung menjadi berdebar-debar.

   Mereka melihat sesuatu yang lain pada sorot mata jajar yang gemuk itu.

   Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa jajar yang masih saja terbaring itu.

   Tetapi suara itu terputus oleh kata-katanyasendiri.

   "He, di mana Kebo Sindet? Apakah kau Kebo Sindet? Kau mengancamku?"

   Tak seorang pun yang menjawab. Dan jajar itu berkata pula.

   "Oh, ternyata kau bukan Kebo Sindet. Kau adalah anak-anak muda yang telah membantuku. Bagus. Kalian akan mendapat bagian kalian. Tetapi ingat, besok kalian harus membawa kawan-kawan lebih banyak lagi. Akulah yang akan membawa tebusan itu bersama dua orang prajurit. Kalian harus membinasakan kedua prajurit itu dan melemparkannya ke parit."

   Jajar itu berhenti sejenak, lalu meledaklah suara tertawanya.

   "Tiga pengadeg perhiasan itu akan jatuh ke tanganku. Oh, alangkah bodohnya Kebo Sindet dan Permaisuri Ken Dedes itu. Alangkah bodohnya."

   Suara tertawanya kini meninggi.

   "Bukankah Ken Dedes bersedia memberikan tebusan tiga pengadeg? Tidak hanya satu pengadeg seperti permintaan Kebo Sindet."

   Suara tertawa jajar yang gemuk itu semakin tajam membelah sepinya malam, disela-sela derak rumahnya yang sedang terbakar.

   Tetapi jajar itu sudah kehilangan kesadarannya.

   Ia sudah tidak dapat menyadari lagi bahwa rumahnya sudah hampir habis dimakan api.

   Ia sudah tidak memedulikan lagi ketika sisa-sisa bara rumah itu runtuh menimpa mayat-mayat yang sudah terbakar pula di dalam rumah itu.

   Jajar itu sama sekali sudah tidak dapat mencium bau wengur yang menusuk-nusuk hidung.

   Akuwu Tunggul Ametung berdiri saja seperti patung.

   Dadanya terasa menghentak-hentak mendengar igauan jajar yang gemuk itu.

   Perasaan iba dan kasihannya sedikit demi sedikit terhalau dari hatinya yang meledak-ledak, seperti rumah jajar itu yang sedikit demi sedikit musnah menjadi abu.

   Apalagi ketika ia mendengar jajar itu berkata terus di dalam kegilaannya.

   "Ayo, siapkan kawan-kawanmu. Aku akan menjadi kaya raya. Aku akan menjadi seorang yang paling kaya di Kediri kecuali Tunggul Ametung dan Maha Raja Kediri. Aku akan memilikitanah seluas tanah perdikan yang besar. Kalian adalah pengawal- pengawalku yang setia dan baik. Kalian akan aku pelihara seperti seekor anjing penjaga. Aku akan selalu menyediakan tulang-tulang untuk kalian supaya kalian tidak menggigit aku sendiri."

   Jajar itu tertawa terus. Suaranya meninggi membelah sepinya malam. Namun ternyata Akuwu Tunggul Ametung itu menjadi muak. Tiba-tiba saja ia membentak keras-keras sehingga para prajurit pun menjadi terkejut pula karenanya.

   "Diam! Diam juru taman yang gila! Ternyata kau adalah pengkhianat yang paling licik."

   Suara tertawa jajar itu mereda. Ia mencoba memandangi orang yang berdiri di sampingnya. Namun tiba-tiba ia mencoba bangkit sambil berteriak.

   "He, kaukah Kebo Sindet itu?"

   Tetapi sekali lagi jajar itu jatuh terbaring di tanah.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akuwu berdiri membeku di tempatnya, sedang para prajurit pun menjadi terpukau oleh sikap jajar yang gemuk itu.

   Mereka melihat jajar itu membelalakkan matanya.

   Menggeretakkan giginya sambil menggeram.

   Tetapi sejenak kemudian ia tertawa.

   "Oh, aku kira kau adalah Kebo Sindet atau hantunya yang keluar lagi dari api neraka. Bukankah Kebo Sindet sudah dimusnahkan?"

   Jajar itu berhenti sejenak.

   Suara tertawanya berderai menyusup di antara suara api yang hampir menelan seluruh rumah jajar itu.

   Ledakan-ledakan bambu berletupan susul menyusul.

   Satu demi satu kayu-kayu atap rumah itu runtuh menjadi abu, seperti jajar itu yang runtuh terbanting dalam kekecewaan dan penyesalan yang sangat.

   Kejutan dan ketakutan, ancaman-ancaman dan kengerian yang sangat ternyata telah merampas segenap kesadarannya.

   Dalam kegilaannya jajar itu kemudian berteriak.

   "Siapa kalian? He, siapa kalian?"

   Tak seorang pun yang menjawab.

   Mata jajar itu terbelalak.

   Tiba-tiba tubuhnya yang lemah itu tersentak.

   Tanpa disangka-sangka oleh para prajurit, jajar yang gemuk itu tertatih-tatih berdiri.

   Dengan wajah yang tegang dankemerah-merahan bernoda hitam oleh luka-luka bakarnya, jajar itu memandangi Akuwu Tunggul Ametung.

   Kemudian terdengar suaranya parau.

   "Siapa kau? He, siapa?"

   Akuwu tidak menjawab.

   "Apakah kau prajurit Tumapel?"

   Lalu jajar itu tertawa.

   "Ha, ternyata kau prajurit Tumapel. Kau pasti sudah membawa tebusan itu. Mana, mana, berikan kepadaku. Syaratnya, akulah yang harus menyerahkan tebusan itu kepada Kebo Sindet. Tetapi Kebo Sindet sudah mati. Kau pun sebentar lagi akan mati."

   Suara tertawa jajar itu mengguruh bercampur baur dengan suara api.

   "kau pun akan mati."

   Jajar itu maju setapak, mendekati Akuwu Tunggul Ametung.

   Akuwu Tunggul Ametung bukanlah seorang penakut.

   Seandainya yang berdiri di hadapannya itu Kebo Sindet, maka pasti akan segera timbul perkelahian yang dahsyat.

   Tetapi yang berdiri tersuruk-suruk itu adalah seorang juru taman yang telah menjadi gila.

   Karena itu, maka justru Akuwu Tunggul Ametung melangkah surut.

   Para prajurit yang melihatnya seakan-akan menjadi beku.

   Mereka tidak ubahnya patung-patung batu mati.

   Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam kepala mereka.

   "Ha, apakah kau akan lari? Kau tidak akan dapat terlepas dari tanganku,"

   Kemudian jajar yang gemuk itu berpaling kepada para prajurit yang tegak seperti tonggak.

   "Ayo, cepatlah berbuat! Bunuh saja prajurit Tumapel. Ambillah perhiasan yang tiga pengadeg itu."

   Tetapi tidak seorang pun yang bergerak.

   "Cepat. Cepat!"

   Teriak jajar yang gemuk itu.

   "Cepat sebelum orang ini lari!"

   Jajar itu maju selangkah lagi, dan Akuwu Tunggul Ametung pun mundur lagi selangkah.

   Akuwu itu menjadi bingung dan jantungnya berdebaran.

   Belum pernah ia menghadapi orang gila seperti itu.Kalau ia berbuat sesuatu, maka ia telah melakukan kesalahan.

   Terhadap orang gila, maka tidak sewajarnya dilakukan kekerasan yang dapat mengancam keselamatan orang itu.

   Apalagi jajar itu berada dalam keadaan yang sangat payah.

   Sebuah sentuhan yang perlahan-lahan akan dapat membuatnya roboh dan membahayakan jiwanya.

   Tetapi untuk terus menerus mundur menghindar adalah menjemukan sekali.

   Namun ketika orang itu maju selangkah sambil terhuyung- huyung, maka akuwu terpaksa mundur lagi setapak.

   "Berhenti di situ!"

   Geram Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi dalam kegilaannya jajar itu tertawa.

   "Kau mengancam aku, he? Lihat, kau sudah terkepung. Jangan mencoba lari. Kalau kau dengan suka rela menyerahkan tebusan yang tiga pengadeg itu, maka semuanya akan segera selesai."

   Akuwu Tunggul Ametung menggeretakkan giginya.

   "Ha, akan lari ke mana kau, he?"

   Lalu kepada para prajurit Tumapel jajar itu berteriak mengulangi.

   "Ayo cepat, kenapa kalian masih diam saja, he? Apakah kalian telah mati?"

   "Kau telah menjadi gila,"

   Berkata salah seorang prajurit itu.

   "Duduklah. Beristirahatlah."

   "Apa, kau bilang aku telah menjadi gila? Oh, aku dengar suaramu. Aku tidak gila. Perhitunganku pasti terjadi tepat seperti keinginanku. Lihat prajurit ini datang dengan tebusannya. Ha, kau lihat? Ayo, bunuh saja seperti kalian membunuh Kebo Sindet."

   Jajar itu masih saja berteriak-teriak sehingga suaranya menjadi serak. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir lewat lubang hidung dan mulutnya. Sambil terbungkuk-bungkuk ia menekan lambungnya. Namun ia masih berteriak-teriak.

   "Ayo, cepat. Cepat! Bunuh orang itu!"

   Akuwu masih berdiri kebingungan.

   Namun semakin lama perasaan ibanya telah merayapi jantungnya kembali di samping perasaan muak dan jemu.

   Melihat jajar yang gemuk itu, terbayangdi dalam angan-angan Akuwu Tunggul Ametung, betapa ia dilanda oleh kekecewaan dan ketakutan pada saat kawan-kawannya satu demi satu terbunuh oleh Kebo Sindet.

   Betapa ia dicekik oleh kengerian melihat api membakar rumahnya sedang ia terikat di dalamnya.

   Hentakan-hentakan perasaan itu telah membuatnya gila.

   Tetapi itu adalah buah dari tanamannya sendiri.

   "Juru taman,"

   Berkata salah seorang prajurit yang agaknya menjadi kasihan pula melihat jajar itu.

   "coba kau perhatikan baik- baik siapakah yang berdiri di hadapanmu. Cobalah kau melihat baik- baik apa yang ada di sekitarmu. Cobalah kau menguasai kesadaranmu dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi atasmu."

   Jajar itu sekali lagi membelalakkan matanya. Dan ia mendengar prajurit itu berkata.

   "Kau lihat aku? Kau lihat pakaianku?"

   Jajar itu masih membelalakkan matanya.

   "Pakaian ini pasti kau kenal. Kami adalah prajurit-prajurit Tumapel,"

   Prajurit itu berhenti sejenak, lalu.

   "Dan lihatlah, apakah kau melihat api itu?"

   "Api?"

   Tidak ada jawaban.

   Jajar yang gemuk itu mengatubkan mulutnya rapat-rapat.

   Tetapi pandangan matanya mengikuti telunjuk prajurit itu mengarah kepada api yang berkobar menggapai langit.

   Nafas jajar yang gemuk itu menjadi semakin terengah-engah.

   Dengan wajah yang tegang ia memandang reruntuhan rumahnya yang menyala.

   "Api?"

   Perlahan-lahan ia bergumam.

   "Cobalah mengingat-ingat. Dari manakah api itu datang?"

   Berkata prajurit yang lain.

   Jajar yang gemuk itu mengerutkan keningnya.

   Kemudian ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya.

   Namun masih belum terdapat kesan di wajah yang merah kehitam-hitaman itu.

   Kini tampak semakin jelas, kulit wajah itu telah menjadi sangatparah.

   Di beberapa bagian kulit itu telah terkelupas, dan di bagian lain menjadi hangus.

   Setapak jajar itu maju mendekati para prajurit.

   Seperti seorang yang kehilangan ia mencari-cari pada wajah-wajah prajurit itu.

   Tetapi ia tidak menemukan sesuatu.

   Karena itu maka ia pun maju lagi mendekati api yang telah menelan rumahnya.

   "Api?"

   Sekali lagi ia berdesis.

   "Ya api,"

   Sahut seorang prajurit.

   "kau masih dapat mengenal bahwa yang menyala itu api."

   Jajar itu tiba-tiba saja mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "aapi. Api."

   "Nah, kau sudah hampir menemukan kesadaranmu kembali."

   Jajar itu kemudian berdiri mematung.

   Dipandanginya api itu.

   Lama sekali ia berdiri tegak sambil memandangi api yang sedang menari-nari.

   Lama sekali.

   Akuwu Tunggul Ametung dan para prajurit Tumapel, membiarkannya berbuat sekehendak hatinya.

   Mereka tidak sampai hati berbuat sesuatu atasnya.

   Justru setelah ia menjadi gila.

   Nafsu akuwu untuk membinasakan telah menjadi pudar, seperti api yang membakar rumah jajar itu.

   Semakin lama menjadi semakin surut.

   Semakin surut.

   Jajar yang gemuk itu masih memandangi api rumahnya.

   Api yang telah menyentuh tubuhnya pula.

   Perlahan-lahan jajar itu memalingkan wajahnya.

   Dipandanginya semua yang ada di halaman.

   Pepohonan, rumpun-rumpun bambu, pagar batu yang telah rusak, regol yang hampir roboh dan beberapa macam benda yang lain.

   Perlahan-lahan sekali ia mulai dapat mengenali benda-benda yang setiap hari dilihatnya itu.

   Karena itu maka tiba-tiba ia berdesis.

   "Di manakah aku sekarang?"

   "Di halaman rumahmu sendiri,"

   Jawab seorang prajurit."Di halaman rumahku?"

   Jajar itu mengulangi, ketika sekali lagi ia memandangi regol dan pagar batu yang telah bengkah-bengkah, maka ia pun berdesis lagi.

   "Ya, aku berada di halaman rumahku. Tetapi api itu?"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ingat-ingatlah apa yang telah terjadi atasmu."

   Jajar itu terdiam. Dipandanginya api itu dengan tajamnya. Tampaklah mulutnya yang telah terluka itu bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah kata pun meloncat dari sela-sela bibirnya yang telah menjadi merah kehitam-hitaman itu.

   "Apakah kau sudah dapat menyadari keadaanmu?"

   Seseorang prajurit tiba-tiba. Jajar yang gemuk itu terkejut, dan ternyata kejutan itu telah merangsang ingatannya. Kini ia melihat apa yang telah terjadi di hadapannya. Rumahnya telah menjadi abu.

   "Oh,"

   Terdengar sebuah keluhan.

   "rumahku. Jadi api itu telah membakar rumahku?"

   Jajar yang gemuk itu menutup wajahnya dengan ke dua telapak tangannya.

   Tetapi sentuhan itu telah mengejutkan pula.

   Ia terdorong semakin dalam ke dalam kesadarannya.

   Kini ia merasa betapa wajahnya menjadi nyeri dan pedih.

   Tangannya, pundaknya, dadanya.

   Dan tiba-tiba terasa seluruh tubuhnya menjadi nyeri dan pedih.

   Perlahan-lahan ingatannya menjalar kembali di dalam kepalanya Dicobanya untuk mengulangi semua peristiwa yang baru saja terjadi di dalam batinnya.

   Dan semuanya menjadi jelas baginya.

   Sejak ia menunggu Kebo Sindet dengan gelisahnya, kemudian kedatangan adiknya.

   Baru kemudian Kebo Sindet dan Kuda Sempana datang.

   Perkelahian yang memang sudah direncanakannya segera berkobar.

   Tetapi nasibnya tidak seperti yang dikehendakinya sendiri.

   Yang terakhir ia telah diseret oleh Kebo Sindet, dan diikat pada tiang rumahnya.

   Ia masih melihat sekejap api yang menyala di sudut rumahnya itu.

   Ia masih sempat berteriak-teriak sekuat-kuat dapatdilakukannya.

   Tetapi tetangganya tidak seorang pun yang berani keluar rumah.

   Sedang api semakin lama menjadi semakin besar.

   Kengerian yang sangat telah membuatnya pingsan.

   Para prajurit Tumapel dan Akuwu Tunggul Ametung melihat bahwa jajar itu berangsur-angsur mendapatkan kesadarannya kembali.

   Mereka membiarkan jajar itu berdiri diam sambil menjelajahi peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi di dalam ingatannya.

   Perlahan-lahan mereka melihat jajar itu memalingkan wajahnya, memandangi para prajurit yang kini berdiri mematung.

   Jajar itu melihat berpasang-pasang mata memandangnya dengan tajam.

   Perlahan-lahan ia dapat mengenali pakaian-pakaian yang dikenakan oleh orang-orang itu.

   Ternyata mereka sama sekali bukan anak- anak muda yang telah diajaknya menjebak Kebo Sindet.

   Sebuah ingatan yang ngeri telah menyengat hati jajar yang gemuk itu.

   Anak-anak muda kawan-kawan adiknya itu satu demi satu mati terbunuh.

   Mereka telah menjadi umpan senjata Kebo Sindet dalam keadaan yang mengerikan.

   Ternyata senjata Kebo Sindet sama sekali tidak memilih tempat untuk hinggap.

   "Anak itu telah mati dan dilemparkan ke dalam rumah itu pula bersama adikku,"

   Jajar itu bergumam lambat sekali.

   "Kalau begitu.,"

   Mata jajar itu sekali lagi terbelalak.

   "Mereka adalah prajurit-prajurit Tumapel."

   Jajar itu kini berdiri tegak seperti patung.

   Dipandanginya para prajurit Tumapel itu dengan wajah yang tegang.

   Semakin lama semakin jelas baginya, bahwa yang di hadapannya itu memang prajurit-prajurit Tumapel.

   Tubuh jajar yang lemah itu menjadi semakin gemetar.

   Perasaannya yang terpecah-pecah semakin lama menjadi semakin mengendap, dan kesadarannya pun menjadi semakin wajar.

   Karena itulah maka hatinya menjadi semakin ngeri menghadapi prajurit- prajurit Tumapel dengan pedang di lambung.Baru saja ia mengalami peristiwa yang membuatnya hampir gila sebenarnya gila.

   Dan sekarang ia sudah harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Tumapel.

   Tetapi tiba-tiba menjalarlah suatu pertanyaan di kepalanya.

   "Bukankah aku sudah hampir mati di dalam rumah yang terbakar itu. Bukankah Kebo Sindet telah mengikatkan dan mencoba membakar aku hidup-hidup. Tetapi kenapa aku sekarang berada di sini di antara para prajurit Tumapel."

   Pertanyaan itu telah menghentak-hentak dada juru taman itu, sehingga akhirnya ia tidak dapat menahannya lagi.

   "Tetapi bukankah aku sudah hangus dimakan api?"

   Salah seorang prajurit itu menjawab.

   "Lihat ketiga prajurit ini. Mereka ikut terluka bakar karena berusaha menolongmu."

   "Oh,"

   Jajar itu terhenyak ke dalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya. Prajurit-prajurit itu telah menolongnya.

   "Apakah mereka tidak tahu apa yang akan aku lakukan atas mereka yang akan mendapat tugas mengantarkan tebusan itu?"

   Jajar itu bertanya di dalam hatinya, tetapi yang terucapkan adalah.

   "Terima kasih. Buat apa sebenarnya kalian melepaskan aku dari api itu?"

   Para prajurit itu tidak menjawab.

   Tetapi hampir serentak mereka berpaling memandang Akuwu Tunggul Ametung yang berdiri di sisi mereka.

   Jajar yang gemuk itu pun ikut pula memandang ke arah orang yang berdiri di ujung itu.

   Bayang-bayang para prajurit yang berdiri berjajar, telah menghalangi pandangannya untuk mengenal orang itu dengan baik.

   Apalagi keadaan tubuhnya yang lemah, dan bahkan otaknya yang belum saras sama sekali, tidak segera memperkenalkannya kepada orang itu.

   Tetapi kini ia menjadi semakin jelas.

   Orang yang berdiri di ujung dari deretan para prajurit itu memakai pakaian yang agak berbeda, meskipun juga pakaian keprajuritan.Tiba-tiba jajar itu berdesis lambat.

   "Siapakah orang itu?"

   Seorang prajurit yang berdiri paling dekat dengan jajar itu bertanya lirih.

   "Apakah kau belum mengenalnya?"

   Jajar itu mencoba menajamkan pandangannya. Lamat-lamat ia melihat wajah itu. Semakin lama semakin jelas. Dan tiba-tiba saja ia meloncat maju sambil menyebut nama itu.

   "Tuanku, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung."

   Tetapi tubuh jajar itu sudah terlampau lemah.

   Ia sudah tidak cukup kuat untuk melangkah sampai kehadapan Akuwu Tunggul Ametung untuk kemudian berjongkok menyembah.

   Ia sudah tidak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya, sehingga ketika kakinya terayun selangkah, maka jajar yang gemuk itu pun terbanting jatuh di tanah.

   Beberapa orang prajurit serentak berusaha menahannya tetapi jajar itu telah terjerembab jatuh.

   Namun meskipun demikian masih terdengar ia berkata hampir merengek.

   "Ampun Tuanku. Ampunkan hamba."

   Tunggul Ametung memandanginya dengan dahi yang berkerut- merut. Namun ia masih berdiri di tempatnya.

   "Ampunkan hamba Tuanku,"

   Terdengar lagi suara jajar itu mohon belas kasihan.

   "Hamba telah berkhianat, Tuanku. Tetapi ternyata hamba telah menerima hukuman atas pengkhianatan itu."

   Akuwu Tunggul Ametung berdesis lambat.

   "Apakah yang sebenarnya akan kau lakukan?"

   "Menipu Kebo Sindet dan menjebaknya. Kemudian menjebak para prajurit yang mengantar hamba besok menyerahkan tebusan. Sebab sebenarnya Kebo Sindet sama sekali tidak setuju dengan usul Tuanku Permaisuri untuk menerima tebusan dan membawa Mahisa Agni bersamanya. Namun ketidaksediaannya itu telah menumbuhkan niat jahat di kepala hamba,"

   Kata jajar itu terputus- putus di kerongkongan.Akuwu Tunggul Ametung sama sekali tidak terkejut mendengar keterangan jajar itu. Ia sudah menduga, dan ternyata dugaannya itu tepat.

   "Kini,"

   Jajar itu masih berkata di antara nafasnya yang semakin memburu.

   "apakah Tuanku akan menjatuhkan hukuman atasku, atas pengkhianatanku terhadap Tuanku dan Tuanku Permaisuri?"

   Akuwu Tunggul Ametung tidak segera menjawab.

   Ia melangkah maju mendekati jajar yang masih terbaring di tanah.

   Dengan susah payah jajar itu mencoba bangkit.

   Dengan ditolong oleh beberapa orang prajurit akhirnya ia berhasil duduk di tanah bersandar kedua belah tangannya.

   "Aku ingin mendengar beberapa keterangan tentang Kebo Sindet,"

   Berkata Akuwu Tunggul Ametung.

   "apakah benar ia tidak bersedia membawa Mahisa Agni."

   "Hamba, Tuanku."

   Terdengar Akuwu Tunggul Ametung itu menggeram.

   "Kau memang bodoh. Bodoh sekali. Kau tidak dapat menilai siapakah yang sedang kau hadapi."

   Jajar itu tidak menjawab.

   "Apakah kau tidak dapat mempergunakan otakmu, he jajar yang bodoh. Bukankah dengan demikian Kebo Sindet akan menjadi semakin buas. Tetapi adalah lebih baik bahwa ia masih hidup. Sebab dengan demikian aku masih ada kesempatan berurusan dengan iblis itu. Mudah-mudahan ia tidak kehilangan keinginannya untuk mendapatkan tebusan,"

   Akuwu itu berhenti sejenak, lalu tiba- tiba ia berteriak.

   "Kau, kaulah yang gila. Kau telah merusak semua rencana untuk menyelamatkan Mahisa Agni, dan sekaligus membinasakan iblis yang biadab itu."

   Jajar itu tidak segera menjawab. Tetapi tubuhnya yang gemetar menjadi semakin gemetar. Nafasnya menjadi semakin deras berkejaran di dadanya.Tetapi suara akuwu kemudian menurun.

   "Memang sudah tidak ada gunanya aku membunuhmu. Ketika aku berangkat dari istana aku memang ingin membunuhmu dan membunuh Kebo Sindet sama sekali setelah aku mendapat keterangan Mahisa Agni. Tetapi ternyata soalnya tidak terlampau sederhana begitu. Dan kini aku sama sekali menjadi muak melihat tampangmu dan kegilaanmu. Biarlah para prajurit mengurusmu menurut ketentuan yang berlaku atas pengkhianatanmu."

   "Ampun Tuanku, ampun,"

   Jajar itu hampir menangis.

   Akuwu Tunggul Ametung sudah tidak menjawabnya lagi.

   Ia kemudian berpaling dan melangkah meninggalkan jajar yang duduk lemah.

   Api yang menelan rumah jajar itu sudah kian mereda meskipun masih juga meronta-ronta ke udara.

   Sejenak Akuwu Tunggul Ametung berdiri tegak memandang api yang kemerah-merahan.

   Ia tidak segera dapat memutuskan, apakah yang akan dilakukannya.

   Ia harus berpikir lagi dan menyusun rencana dari permulaan sekali.

   Jajar yang gemuk yang terduduk lemah di atas tanah itu menjadi bingung dan cemas.

   Apakah yang akan dilakukan atasnya oleh para prajurit atas pengkhianatannya.

   Ketika ia berpaling dilihatnya api yang sudah membuat rumahnya menjadi onggokkan bara yang merah.

   Sebuah desir yang tajam menyengat jantung jajar itu.

   Sekali dipandanginya akuwu yang berdiri tegak seperti patung.

   Kemudian dilihatnya bayangan-bayangan yang merah kehitam-hitaman dari para prajurit Tumapel yang berdiri di sekitarnya, seperti bayangan hantu yang telah siap untuk mencekiknya.

   Pedang-pedang mereka yang tergantung di lambung serta sorot mata mereka yang tajam, membuat jantung jajar itu seperti meledak karenanya.

   Dalam ketakutan dan kecemasan itu, maka dibayangkannya apa yang sudah dan akan dapat terjadi atasnya.

   Meskipun para prajurit Tumapel tidak akan berbuat sekejam Kebo Sindet, tetapi pasti akan ada hukuman lain yang membuatnya menjadi terlampau kecut.

   Iapasti akan dilihat oleh orang-orang lain yang mengetahui persoalan itu.

   Kalau ia dibawa oleh para prajurit itu di sepanjang jalan kota, maka orang-orang Tumapel akan keluar dari rumah mereka dan melihatnya seperti melihat tontonan yang paling menarik.

   Mungkin mereka akan berteriak-teriak mengejek dan anak-anak akan melemparinya dengan batu.

   Apalagi kalau ia sempat bertemu dengan dua orang jajar juru taman, kawannya seperkerjaan.

   Terasa wajah jajar yang luka-luka itu menjadi terlampau pedih oleh tetesan keringat dinginnya yang merentul dari pelipisnya.

   Dalam kecemasan itu ia merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit dan nyeri.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari kulit dagingnya.

   Tetapi yang paling sakit dari semuanya itu adalah perasaannya.

   Penyesalan yang menghentak-hentak kepalanya, ketakutan dan kebingungan yang selalu menghantuinya.

   Ketika angin bertiup dari utara, maka lidah api yang menjulang tinggi itu bergetar.

   Bayang-bayang para prajurit itu pun tampak bergerak-gerak.

   Jajar yang sedang dalam ketakutan yang sangat itu tiba-tiba terkejut.

   Ketika ia melihat bayang-bayang yang panjang dan bergerak-gerak itu, maka kembali kegilaannya menyerang otaknya.

   Terbayang di dalam kegilaannya, hantu-hantu yang hitam tinggi dan besar bergerak-gerak untuk menerkamnya.

   Karena itu maka tiba-tiba jajar yang gemuk itu menjerit mengerikan.

   Tanpa disangka-sangka oleh para prajurit, maka jajar itu meronta.

   Dengan sisa-sisa tenaganya yang ada, maka ia berusaha berdiri.

   Sebelum para prajurit sempat berbuat sesuatu, maka jajar itu pun telah berlari tersuruk-suruk ke arah api yang sedang berkobar menelan sisa-sisa rumahnya.

   "He, kau akan lari ke mana?"

   Bertanya salah seorang prajurit."Hantu itu akan mencekik aku. Aku harus bersembunyi ke dalam rumahku."

   "Berhenti! Berhenti!"

   Teriak prajurit yang lain.

   Tetapi jajar yang itu berlari semakin kencang.

   Seperti kerasukan, jajar yang lemah itu tiba-tiba mendapatkan kekuatan tiada taranya.

   Ia mampu berlari kencang sekali.

   Serentak para prajurit yang tercengang itu menyadari keadaan.

   Agaknya jajar itu telah terserang oleh kegilaannya lagi.

   Serentak pula mereka berlari mengejar jajar yang gemuk yang akan menjerumuskan dirinya masuk ke dalam api yang sedang menjilat- jilat ke udara.

   "Berhenti! Berhenti!"

   Teriak prajurit yang lain.

   "Rumah itu adalah rumahku,"

   Jawab jajar yang gemuk itu dalam kegilaannya. Seorang prajurit yang berlari di paling depan menjadi semakin cemas.

   "Kau akan menjadi abu,"

   Teriaknya.

   "Jangan kejar aku,"

   Jajar itu pun berteriak.

   Akuwu yang berdiri tegak seperti patung, menjadi semakin terpukau di tempatnya.

   Hal itu sama sekali tidak disangka- sangkanya.

   Jajar itu sebentar lagi akan menjerumuskan dirinya ke dalam jilatan api yang merah.

   Tetapi jarak antara Akuwu Tunggul Ametung dan arah lari jajar yang gemuk itu pun agak jauh.

   Kalau Akuwu Tunggul Ametung meloncat berlari mengejar jajar itu, agaknya ia pun akan terlambat.

   Sejenak akuwu itu terpaku diam.

   Namun ia mencari jalan yang paling cepat untuk menghentikan jajar yang gila itu, supaya ia tidak membakar dirinya sendiri hidup-hidup.

   Sedang waktu untuk itu tinggal beberapa kejap saja.

   (bersambung ke

   Jilid 36)Koleksi . Ki Ismoyo Scanning . Ki Ismoyo Retype . Ki Sukasrana Proofing . Ki Mahesa Cek ulang . Ki Sunda ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 36 KETIKA Jajar itu telah menjadi semakin dekat dengan api, sedang para prajurit yang mengejarnya masih juga belum dapat menangkapnya, maka Akuwu sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi.

   Ketika terlihat olehnya sebatang bambu yang tergolek di sampingnya, maka segera diambilnya.

   Dengan cepatnya bambu itu dilontarkan ke arah Jajar yang sedang berlari kencang menuju ke dalam api yang masih menyala-nyala.

   Ternyata lemparan Akuwu Tunggul Ametung tepat mengenai sasarannya.

   Bambu itu meluncur tepat dimuka kaki Jajar yang gemuk, yang sudah dicengkam oleh kegilaannya.

   Bambu itu begitu cepat dan tiba-tiba sudah berada dimuka kakinya, sehingga Jajar itu tidak sempat untuk menghindar.

   Dengan demikian maka kakinya terantuk bambu itu dengan kerasnya.

   Sejenak kemudian terdengar Jajar itu memekik tinggi, dan tubuhnya yang lemah terbanting di atas tanah, beberapa langkah saja dari lidah api yang memerah menari-nari dalam belaian angin yang lembut.

   Dengan tangkasnya para Prajurit Tumapel segera mengerumuninya dan mengangkatnya menjauhi api yang terasa sangat panas itu.

   Terdengar Akuwu Tunggul Ametung berdesis.

   Sebenarnya ia sudah tidak ingin mempedulikan apa yang terjadi atas Jajar itu.Namun perasaannya telah memaksanya untuk melangkahkan kakinya mendekatinya.

   Perlahan-lahan Jajar yang gemuk itu dibaringkan di atas tanah.

   Sedang para prajurit itu pun segera berjongkok di sampingnya.

   Ketika Akuwu tiba pula di tempat itu, dan berdiri diarah kepalanya, maka tiba-tiba seorang prajurit berdesis.

   "Ia telah pergi Tuanku".

   "He"

   Akuwu itu terperanjat.

   "apa katamu?"

   "Juru taman ini telah meninggal".

   "Mati?"

   Hampir tidak percaya Akuwu atas telinganya.

   "Hamba Tuanku. Suatu hentakan yang sangat mengejutkan telah menghentikan sama sekali detak jantungnya yang lemah". Wajah Akuwu tiba-tiba menegang. Sejenak kemudian terdengar ia berdesis.

   "Bukan maksudku membunuhnya. Aku hanya ingin mencegah supaya ia tidak meloncat ke dalam api, dan membakar dirinya sendiri hidup-hidup".

   "Hamba Tuanku".

   "Tetapi orang itu mati".

   "Bukan karena sebab terakhir itu Tuanku. Memang tubuhnya telah terlampau lemah". Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bergumam.

   "Aku kehilangan kesempatan untuk menangkap Kebo Sindet. Kalau Kebo Sindet berusaha menghubungi aku atau Ken Dedes lagi, maka kesempatan itu betapapun kecilnya akan aku dapatkan. Tetapi bagaimana kalau Kebo Sindet menjadi mata gelap dan langsung berbuat sesuatu atas Mahisa Agni?"

   Tidak seorang pun dari para prajurit yang dapat menjawabnya.

   Mereka seolah-olah terbungkam.

   Hanya mata mereka sajalah yang berkeredipan, memandangi mayat Jajar yang gemuk yang masih terbujur di hadapan mereka.Para prajurit itu terkejut ketika mereka mendengar tiba-tiba saja Akuwu itu berkata lantang.

   "Bodoh. Juru taman itu memang bodoh". Lalu.

   "Kebo Sindet itu harus binasa supaya daerah Tumapel menjadi aman". Dan sebelum para prajurit itu menyadari keadaan mereka, Akuwu itu berkata.

   "Kita kembali ke istana. Kita siapkan sepasukan prajurit pilihan. Kita akan mencari Kebo Sindet di sarangnya". Beberapa orang prajurit saling berpandangan. Namun salah seorang dari mereka masih sempat bertanya.

   "Lalu bagaimana dengan mayat Jajar ini, Tuanku?"

   Akuwu Tunggul Ametung tertegun sejenak. Lalu katanya.

   "Bawalah. Uruslah dan besok kuburkanlah". Prajurit itu tidak menyahut lagi. Mayat Jajar yang gemuk itu segera diangkatnya dan kemudian diletakkannya di atas punggung kudanya. Ketika para prajurit itu melihat Akuwu sudah meloncat ke atas punggung kudanya, maka mereka pun menjadi bergegas-gegas pula berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing. Tetapi ketika kuda-kuda itu sudah mulai bergerak, seorang prajurit berkata.

   "He, aku tidak mempunyai tunggangan". Prajurit itu adalah prajurit yang bertugas mengintai perkelahian antara Kebo Sindet dan anak-anak muda yang menjebaknya.

   "Marilah, kita berdua"

   Sahut salah seorang prajurit yang sudah berada di atas punggung kuda.

   Prajurit itu pun segera meloncat pula.

   Tubuhnya yang tersentuh api masih terasa pedih.

   Namun ia sudah tidak sempat lagi mengeluh.

   Kuda yang dinaikinya itu pun segera berlari pula di belakang kuda-kuda yang telah mendahuluinya.

   Ternyata Akuwu yang sedang dibakar oleh kekecewaan itu telah jauh mendahului mereka.

   Kedua pengawal utamanya dengan susah payah mengejarnya dan berpacu dekat di belakangnya.Ketika prajurit yang membawa mayat Jajar yang gemuk itu berpaling, maka masih dilihatnya warna merah tersangkut di ujung pepohonan.

   Tetapi api sudah menjadi semakin surut.

   Sementara itu, dua orang lain sedang berpacu pula keluar kota Tumapel.

   Setelah mereka mengambil kuda mereka dari tempat persembunyiannya, maka segera mereka melarikannya sekencang angin.

   Derap kakinya terdengar gemeretak memecah sepi malam.

   Semakin lama semakin jauh, langsung menyusup ke dalam gelapnya malam menyusur jalan persawahan.

   Meskipun angin malam yang basah menyentuh tubuh mereka, tetapi keringat mereka seolah-olah terperas dari seluruh tubuh.

   Di lambung mereka tersangkut senjata-senjata mereka yang masih basah oleh darah yang berwarna merah segar.

   Bukan saja senjata mereka, tetapi juga pakaian mereka, dan bahkan tubuh mereka.

   Bukan darah yang mengalir dari luka mereka sendiri, tetapi darah yang terpercik dari lawan-lawan mereka yang sudah mereka binasakan.

   Kedua orang itu adalah Kebo Sindet dan Kuda Sempana.

   Hampir tanpa berpaling mereka berpacu meninggalkan kota Tumapel, kembali ke sarang mereka ditengah-tengah rawa-rawa Kemundungan.

   Wajah-wajah mereka masih membayangkan ketegangan hati dan kejemuan yang hampir meledak.

   Sekali-sekali masih terdengar Kebo Sindet menggeram.

   Namun Kuda Sempana mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

   "Setan itu terlampau licik"

   Terdengar kemudian suara Kebo Sindet memecah sepinya malam.

   Kuda Sempana tidak segera menjawab.

   Dengan sudut matanya ia memandangi wajah Kebo Sindet.

   Tetapi wajah itu hampir seperti yang setiap hari dilihatnya.

   Beku.

   Namun ketika kilat meloncat di langit, Kuda Sempana melihat di dahinya masih membayang beberapa goresan yang bagi Kebo Sindet telah cukup jelas membayangkan hatinya yang bergolak dalam ketegangan.Ternyata loncatan kilat itu telah menjentuh hati Kebo Sindet yang keras, sekeras batu akik.

   Kilat itu telah mengingatkannya kepada bendungan yang tengah diselesaikan oleh Ken Arok, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel.

   Kemudian ingatannya segera hinggap kepada orang yang selama ini disimpannya, Mahisa Agni.

   "Nasibnya memang terlampau jelek"

   Desis Kebo Sindet itu tiba- tiba.

   Kini Kuda Sempana benar-benar berpaling memandanginya.

   Ia masih menganggap Kebo Sindet itu berkata tentang Jajar yang gemuk, yang telah diikatnya pada tiang rumahnya yang sedang terbakar, tetapi ternyata Kebo Sindet meneruskan.

   "Aku hampir kehilangan kesabaran. Aku kira aku sudah tidak perlu lagi memeliharanya terlampau lama seperti memelihara seekor kucing yang tidak berarti apa-apa bagiku". Baru Kuda Sempana tahu, bahwa yang dimaksud itu adalah Mahisa Agni. Tetapi Kuda Sempana masih tetap membisu. Sesaat kemudian ia mendengar Kebo Sindet itu berkata pula..

   "Apakah kau masih akan mencoba lagi Kuda Sempana, setelah kita dihinakan sedemikian menyakitkan hati oleh seorang Jajar yang paling sombong di seluruh dunia?"

   Kebo Sindet berhenti sejenak.

   "Seorang yang merasa mampu melawan Kebo Sindet hanya bersama dengan sembilan atau sepuluh orang saja. Sebenarnya hukuman Jajar itu masih terlampau ringan. Aku seharusnya membuatnya menjadi tepung. Mencincangnya dan membiarkan mayatnya di perapatan". Terasa bulu tengkuk Kuda Sempana meremang. Anak muda itu tidak dapat mengerti, perasaan apa yang telah tergores di dinding hatinya. Ia sama sekali bukan seorang yang cengeng. Tetapi mendengar kata-kata Kebo Sindet itu terasa kengerian menyentuh perasaannya.

   "Bagaimana?"

   Kebu Sindet mendesak.Kuda Sempana menggelengkan kepalanya.

   Ia sudah tidak ingin lagi menyeret seseorang ke dalam bencana dengan kesempatan- kesempatan yang dapat diberikannya untuk memeras Ken Dedes.

   Jajar gemuk itu pun ternyata telah ditelan oleh pamrihnya yang berlebih-lebihan seperti orang-orang yang lain.

   Bahkan Jajar ini telah berbuat terlampau gila, melampaui semua orang yang telah pernah dihubunginya.

   "Apakah kau sudah kehabisan akal?"

   Bertanya Kebo Sindet pula. Dengan suara parau akhirnya Kuda Sempana menjawab.

   "Ya. Aku sudah tidak tahu lagi jalan yang dapat kita tempuh". Kebo Sindet menggeram.

   "Bagus. Kalau demikian maka hanya ada satu cara. Langsung menemui Permaisuri itu, atau membinasakan saja Mahisa Agni. Tidak ada gunanya lagi membiarkannya hidup. Tetapi Permaisuri yang terlampau kikir itu harus dapat mengetahui apa yang telah terjadi atas kakaknya. Biarlah ia tersiksa seperti Mahisa Agni pula meskipun bukan tubuhnya". Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Terasa sebuah desir yang tajam di dalam dadanya. Semakin cepat Kebo Sindet menyelesaikan Mahisa Agni, maka ia pun akan semakin cepat tidak diperlukannya lagi. Kuda Sempana sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia sudah tidak diperlukan lagi. Mungkin ia akan di bunuh bersama-sama Mahisa Agni, atau mungkin dengan cara lain.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tetapi"

   Kuda Sempana masih mendengar Kebo Sindet itu berkata.

   "hampir sudah tidak ada harapan lagi untuk dapat menghubungi Permaisuri. Aku tidak mau terjebak untuk yang ke sekian kalinya. Aku sudah terlampau bermurah hati untuk menunda kematian Mahisa Agni"

   Kebo Sindet berhenti sejenak, lalu.

   "He, Kuda Sempana. Bukankah kau telah banyak menyadap ilmu dari Kemundungan di samping ilmu gurumu sendiri. Kau seharusnya telah menjadi lebih perkasa. Aku mengharap kau akan mampu membunuh Mahisa Agni dalam suatu perkelahian yang menentukan. Apalagi Mahisa Agni kini sudah menjadi semakin lemah. Kau akanmendapat banyak kesempatan untuk membalas sakit hatimu. Apakah kau ingin berbuat demikian?"

   Sekali lagi dada Kuda Sempana berdesir.

   Kali ini menjadi semakin tajam.

   Ia tahu benar maksud Kebo Sindet dengan kata-katanya itu.

   Ia akan menjadi tontonan yang sangat menarik bagi Kebo Sindet itu.

   Ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni.

   Tetapi ia menyadari apakah yang akan terjadi pada akhir dari perkelahian itu.

   Siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah.

   "Bagaimana?"

   Kuda Sempana masih berdiam diri.

   "Kau tidak perlu takut lagi kepada kelinci cengeng itu. Ia akan segera dapat kau jatuhkan. Kemudian kau dapat berbuat apa saja atasnya. Bukankah itu menyenangkan bagimu?"

   Kuda Sempana masih belum menjawab.

   Namun tiba-tiba ia menjadi semakin muak kepada orang yang berwajah beku seperti mayat itu.

   Tetapi ia masih harus tetap menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apapun atas iblis yang mengerikan itu.

   Terbayang diruang matanya apa yang baru saja terjadi atas Jajar yang gemuk itu.

   Kuda Sempana rnenyangka bahwa Jajar itu kini telah menjadi abu, setelah ia memekik-mekik dan berteriak-teriak ketakutan dan kepanasan.

   Terasa bulu-bulu tengkuk Kuda Sempana meremang.

   Jajar yang gemuk itu benar-benar bernasib malang.

   Ia telah hancur karena pamrihnya yang berlebih-lebihan.

   Sejenak keduanya saling berdiam diri.

   Kini langkah kuda-kuda mereka menjadi semakin surut.

   Mereka telah berada di luar kota Tumapel, di antara pategalan yang hijau kehitam-hitaman di malam hari.

   Ketika tanpa dikehendakinya sendiri Kuda Sempana mengangkat wajahnya menengadah ke langit, maka dilihatnya awan yang hitam melapisi cahaya bintang yang bergayutan di udara.

   Kuda Sempana itu berpaling ketika ia mendengar Kebo Sindet berkata.

   "Kau harus melakukannya Kuda Sempana. Kau harusmelepaskan dendammu supaya tidak membara di dada dan membakar jantungmu sendiri. Kau akan mendapatkan gairah hidupmu kembali apabila kau telah berhasil melepaskan sakit hatimu. Selama ini aku melarangmu untuk membunuhnya karena aku mengharap Mahisa Agni akan dapat mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit. Tetapi ternyata Permaisuri itu terlampau kikir, dan orang-orang yang telah menghubunginya adalah orang-orang yang terlampau tamak. Karena itu apabila aku tidak merubah pikiranku karena aku menemukan jalan yang baik dengan tiba-tiba, maka kau harus melakukannya. Kita bawa Mahisa Agni itu ke Tumapel. Dan kau dapat membunuhnya di tempat yang pasti akan diketemukan oleh prajurit-prajurit Tumapel, sehingga dengan demikian berita kematiannya akan menyiksa perasaan Permaisuri". Kuda Sempana masih membisu. Namun dadanya menjadi semakin berdentangan dilanda oleh kebencian yang tiba-tiba saja memuncak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

   "Apakah kau sedang memikirkan cara yang sebaik-baiknya untuk membunuhnya?"

   Bertanya Kebo Sindet karena Kuda Sempana masih saja berdiam diri.

   "pikirkanlah cara itu". Kuda Sempana tetap dalam kediamannya.

   "Apakah kau takut?"

   Bertanya Kebo Sindet kemudian.

   "Benar? Kau sedang ketakutan?"

   Kuda Sempana tidak dapat terus menerus berdiam diri. Karena itu maka ia menjawab.

   "Tidak. Aku tidak pernah merasa takut kepada siapapun". Wajah Kebo Sindet yang beku masih tetap membeku. Tetapi jawaban Kuda Sempana itu tidak menyenangkannya. Meskipun demikian dibiarkannya saja Kuda Sempana melepaskan segala macam perasaannya seandainya diingininya. Di dalam hati Kebo Sindet berkata.

   "Kau memang sudah tidak berguna lagi bagiku. Memang sebaiknya kau sajalah yang membunuh Mahisa Agni. Kemudian kau pun akan mati pula seperti orang-orang lain yang sudah tidak dapat memberikan arti apa-apa lagi bagiku".Kini mereka sekali lagi terbenam ke dalam kediaman. Masing- masing sedang menjelajahi angan-angan sendiri. Kuda Sempana yang sedang diganggu oleh perasaan muak dan benci itu hampir tidak dapat berpikir lagi, apa yang sebaiknya dilakukan. Tetapi Kebo Sindet sedang memikirkan hal yang sangat baik baginya. Ia akan dapat mengadu kedua anak muda itu seperti menyabung ayam. Keduanya pasti menyimpan dendam yang membara di dalam dada masing-masing. Perkelahian di antara keduanya pasti akan merupakan perkelahian yang sangat menyenangkan.

   "Sayang, Wong Sarimpat tidak dapat ikut melihat tontonan yang sangat menarik ini"

   Katanya di dalam hatinya.

   "kalau ia masih sempat, maka ia akan menjadi sangat bersenang hati. Mungkin ia akan melihat perkelahian ini dengan cambuk di tangan". Kebo Sindet berpaling ke arah Kuda Sempana. Dilihatnya wajah anak muda itu pun seakan-akan telah membeku pula.

   "Ia harus diajar untuk menyadari dirinya"

   Gumam Kebo Sindet di dalam hati pula lalu tiba-tiba, seolah-olah terlonjak di dalam dadanya..

   "Aku pun harus menggenggam cambuk. Aku harus melihat seolah-olah dua ekor cengkerik sedang beradu. Aku harus menjaga keseimbangan mereka, sehingga perkelahian itu akan menjadi sangat ramai". Ia kini menemukan suatu permainan yang baginya akan sangat menjenangkan.

   "Mereka tidak perlu segera mati. Mereka harus tetap dipelihara. Mungkin aku dapat mempertontonkannya di rumah-rumah perjudian". Kebo Sindet itu tertawa di dalam hatinya, meskipun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun. Sekali-sekali ia masih berpaling memandangi wajah Kuda Sempana yang acuh tidak acuh. Namun Kebo Sindet itu sudah tidak terlampau sering berbicara lagi. Ia lebih senang berangan-angan tentang perkelahian antara kedua anak muda yang akan dipakainya sebagai ayam sabungan. Sementara itu Akuwu Tunggul Ametung yang berada di istananya duduk tepekur dihadap oleh Permaisurinya. Ken Dedes yang telah mendengar tentang sikap Jajar yang licik itu menjadi kian cemas. Ia cemas akan nasib Mahisa Agni. Mungkin dalam kekesalan dankemarahannya Kebo Sindet akan dapat berbuat apa saja untuk melepaskan perasaan yang menyesak dadanya.

   "Aku sudah berusaha"

   Berkata Akuwu Tunggul Ametung.

   "Hamba Tuanku"

   Sahut Ken Dedes perlahan sekali.

   Namun sekali dadanya dirayapi oleh kekecewaan yang mendalam.

   Ia menganggap bahwa Akuwu Tunggul Ametung terlambat berbuat sesuatu sehingga keadaan Mahisa Agni menjadi semakin sulit.

   Terbayang di dalam angan-angannya penderitaan yang terjadi atas kakaknya itu.

   Bahkan kini terbayang sesosok mayat yang terbujur di tengah- tengah hutan tanpa seorang pun yang mengurusnya.

   Mayat itu semakin lama menjadi semakin jelas.

   Mahisa Agni.

   Tiba-tiba Ken Dedes itu menjadi terisak-isak.

   Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin pepat.

   Ia baru saja dibakar oleh kemarahan yang hampir menghanguskan jantungnya.

   Kini ia melihat Ken Dedes itu menangis penuh penyesalan, sehingga tanpa sesadarnya Akuwu Tunggul Ametung itu menggeram.

   "Bukan salahku Ken Dedes, Aku sudah berusaha dan aku sendiri telah melakukannya. Tetapi keadaan memang tidak dapat teratasi. Kau jangan menyalahkan aku atau menyesali kegagalan ini". Ken Dedes terkejut mendengar kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu Sehingga justru tangisnya terputus. Dipandanginya wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang dan berkeringat. Akuwu itu masih dalam pakaian keprajuritan, dan bahkan senjata pusakanya yang ngedab-edabi masih tergantung di lambungnya. Tetapi Akuwu yang hatinya sedang gelap itu berkata seterusnya.

   "Kalau Kebo Sindet kemudian berhasil melepaskan dirinya, kalau aku terlambat datang ke rumah Jajar yang gemuk itu, sama sekali bukan maksudku. Bahkan seandainya Kebo Sindet itu kemudian menjadi gila dan membunuh Mahisa Agni itu pun bukan salahku".

   "Hamba Tuanku"

   Tiba-tiba tanpa dikehendakinya sendiri Ken Dedes memotong.

   "hamba tahu, bahwa Tuanku memang tidak bersalah. Hamba sama sekali tidak menyesali Tuanku. Hambamemang sedang menyesali keadaan yang pahit bagi hamba dan kakang Mahisa Agni".

   "Tetapi kau menyesal bahwa semuanya itu terjadi justru dihadapanku. Justru dengan sengaja kau tunjukkan kepadaku, seolah-olah kau sedang mengalami bencana karena kesalahanku. Mungkin kau menganggap bahwa aku tidak bersungguh-sungguh atau karena aku tidak segera berbuat sesuatu".

   "Tidak Tuanku. Sama sekali tidak. Hamba memang sedang menelan kepahitan yang tiada taranya, seperti apa yang selalu terjadi pada diri hamba".

   "Kau mengutuki nasibmu sendiri. Kau anggap bahwa aku seolah- olah tidak pernah berusaha membuatmu bahagia?"

   "Bukan maksud hamba. Sudah hamba katakan bahwa tidak ada orang lain yang bersalah. Keadaan yang datang berurutan telah menjadikan apa yang telah terjadi tanpa kesengajaan seorang pun".

   "Kau hanya mengatakannya, tetapi hatimu tidak menerimanya sebagai suatu keadaan yang harus kita lampaui bersama".

   "Aku telah menyerahkan diriku kepada nasib Tuanku. Aku tahu bahwa tuanku telah berusaha sebagai seharusnya dilakukan oleh manusia. Tetapi kekuasaan Yang Maha Agung lah yang menentukan akhir dari setiap persoalan".

   "Bohong"

   Bantah Akuwu Tunggul Ametung, kau tidak ikhlas menerima peritiwa itu suatu keharusan.

   Kau tidak ikhlas menerima putusan terakhir dari Yang Maha Agung.

   Ternyata kau menangis.

   Ternyata kau menyesali keadaanmu.

   Kalau kau menerima persoalan ini sebagai keharusan yang tidak dapat diingkari lagi, sebagaimana manusia tidak dapat mengingkari keharusan yang datang dari Yang Maha Agung, maka kau tidak akan menangis.

   Kau akan berkata dengan wajah tengadah, demikianlah kehendak Yang Maha Agung".

   Mata Ken Dedes masih berkaca-kaca.

   Tetapi ia sudah terisak lagi.

   Kini ia benar-benar menengadahkan wajahnya.

   Dan dengan lantang ia berkata.

   "Tuanku, kita adalah manusia yang lemah. Manusia yangjauh dari sifat-sifat sempurna. Hamba pun dapat mengatakan seperti yang Tuanku katakan. Hamba pun dapat menyebut apa yang sebaiknya hamba lakukan. Tetapi apakah hamba mampu? Apakah hamba sebagai manusia yang lemah memiliki kekuatan untuk melakukannya?"

   Wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang menjadi semakin tegang. Bahkan dari sepasang matanya seolah-olah memancarkan pergolakan di dalam dadanya. Dan ia masih mendengar Ken Dedes berkata seterusnya.

   "Tuanku. Bukan saja hamba yang bodoh ini yang tidak mampu untuk melawan perasaan hamba sendiri dan menempatkannya ke dalam keikhlasan sepenuhnya. Bukankah Akuwu sendiri juga telah dibakar oleh kemarahan dan penyesalan, bahwa Tuanku tidak berhasil menangkap Kebo Sindet".

   "Tetapi aku berdiri dalam persoalan yang berbeda"

   Nada suara Akuwu Tunggul Ametung meninggi.

   "aku sama sekali tidak menyesali orang lain, tidak menyesali apapun. Aku hanya menyesal. Hanya menyesal saja karena usahaku tidak berhasil. Usahaku sendiri, kekuatanku sendiri. Tetapi sesudah itu aku pun tidak menganggap orang lain bersalah".

   "Dan Tuanku dapat menumpahkan kepepatan hati kepada hamba?"

   Dengan beraninya Ken Dedes memotong kata-kata Akuwu Tunggul Ametung.

   "Sebab Tuanku adalah seorang Akuwu. Seorang laki-laki yang mempunyai cara sendiri untuk melepaskan penyesalan hati. Tetapi hamba adalah seorang perempuan. Yang ada di dalam bilik ini selain hamba adalah Tuanku, Akuwu Tumapel yang memegang segenap kekuasaan di tangannya. Apakah hamba dapat melepaskan kekesalan dan penyesalan kepada Akuwu dan membentak-bentak sekehendak hamba? Tidak. Hamba hanya dapat menangis. Hamba hanya dapat melepaskan penyesalan itu dalam butiran-butiran air mata. Kalau itu tidak menyenangkan hati Akuwu Tunggul Ametung, sama sekali bukan maksud hamba minta maaf". Ken Dedes berhenti sejenak, tetapi wajahnya masih tetap tangadah dan bibirnya menjadi gemetar. Dan kata-kata yang meluncur lewat bibirnya menjadi gemetar pula.

   "Hamba minta maaf Tuanku. Tetapidengan demikian hamba tahu, bahwa Tuanku ternyata tidak menerima hamba seluruhnya dalam keadaan hamba. Tuanku hanya ingin melihat hamba tertawa dan bergembira. Tuanku hanya ingin melihat hamba dapat menyenangkan hati Akuwu. Tetapi Tuanku tidak ingin melihat apabila hamba sedang dalam keadaan seperti ini". Ken Dedes berhenti sejenak. Dan kata-katanya menjadi semakin bergelar.

   "Tetapi Tuanku, seharusnya hamba tidak perlu mengatakannya atau lebih-lebih lagi mengajari Tuanku bahwa demikianlah hamba seutuhnya. Di dalam diri hamba tersimpan suka dan duka. Tawa dan air mata. Hamba tidak dapat menyembunyikannya sebelah dari padanya. Sekali-sekali hamba tertawa, dan sekali-sekali hamba menangis, di dalam pengaruh keadaan yang berbeda-beda". Ken Dedes tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba dadanya menjadi sesak dan napasnya seolah tersumbat dikerongkongan. Sejenak ia diam membeku. Namun kemudian, seperti sebuah bendungan yang pecah tertimpa banjir bandang, maka meledaklah tangis Permaisuri itu. Tangis yang masih belum tuntas, tetapi terpaksa ditahankannya. Yang kemudian tanpa dapat dikendalikan lagi membanjir dengan derasnya. Akuwu Tunggul Ametung kini berdiri mematung. Terasa dadanya akan pecah oleh perasaannya yang bergolak dengan dahsyatnya. Tetapi ia sudah tidak kuasa lagi untuk berkata sepatah katapun. Ia tidak dapat mengucapkan perasaannya yang bergelora. Akuwu itu berdiri tegak seperti tiang-tiang yang mati. Sejenak mereka terbenam dalam keadaan masing-masing. Ken Dedes menangis sepuas-puasnya, dan Akuwu Tunggul Ametung berdiri membeku. Hanya kadang-kadang saja Akuwu mencoba melepaskan ketegangan yang menyesak di dadanya dengan berjalan hilir mudik di dalam bilik itu. Namun sejenak kemudian ia telah berdiri lagi ditempatnya. Tetapi Akuwu tidak dapat membiarkan dirinya ditelan oleh kegelisahan yang membuatnya pening. Ketika tangis Ken Dedes sudah mereda, maka Akuwu itu tiba-tiba berkata.

   "Baiklah Ken Dedes. Aku akan menyiapkan prajurit. Aku akan menangkap KeboSindet di sarangnya. Aku tidak dapat membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Aku tidak dapat melihat kau menangis setiap saat. Kepalaku akan menjadi pecah karenanya. Lebih baik aku turun ke medan perang dari pada aku berada terus-menerus dalam keadaan ini". Ken Dedes terkejut mendengar kata-kata itu. Ketika ia menengadahkan kepalanya ia melihat Akuwu itu melangkah pergi. Namun ia masih mendengar Akuwu itu berkata.

   "Besok aku akan membawa orang-orang terkuat. Tidak terlalu banyak, tidak lebih dari sepuluh orang. Termasuk Witantra dan mungkin aku akan mengambil Ken Arok dari Padang Karautan untuk pergi bersamaku ke Kemundungan".

   "Tuanku. Aku tidak bermaksud demikian".

   "Aku tidak tahu maksudmu sebenarnya. Kau tidak berkata apapun tentang sesuatu yang sebaiknya aku lakukan. Aku harus memilih cara sendiri. Mungkin cara itu tidak seperti yang kau ingini. Tetapi besok aku akan pergi. Cara ini adalah cara yang sebaik- baiknya bagiku. Apakah aku akan berhasil atau tidak, itu bukan soal lagi bagiku".

   "Tuanku"

   Tetapi Ken Dedes tidak sempat mencegahnya. Akuwu Tunggul Ametung telah hilang dibalik pintu. Dengan tergesa-gesa Akuwu itu memerintahkan seorang prajurit untuk memanggil orang- orang terpenting. Termasuk Senapati pengawal istana, Witantra.

   "Sekarang semua harus menghadap"

   Perintah Akuwu. Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Hari telah terlampau jauh malam. Namun prajurit itu terkejut ketika Akuwu membentaknya.

   "Pergi, pergi. Cepat. Apakah yang kau tunggu lagi? Apakah kau menunggu matahari terbit? Atau kau menunggu aku memenggal lehermu?"

   "Ampun Tuanku"

   Sembah prajurit itu yang kemudian dengan tergesa-gesa pula pergi meninggalkan Tunggul Ametung seorang diri dalam kekesalan yang hampir-hampir memecahkan dadanya.Namun sebelum prajurit itu hilang, tiba-tiba Akuwu itu berteriak lagi.

   "He, kemari kau". Prajurit itu menjadi cemas. Apakah Akuwu sudah menjadi sedemikian marahnya, sehingga ia harus mengalami perlakuan yang tidak diingininya? Tetapi prajurit itu tertegun ketika ia mendengar Akuwu Tunggul Ametung berteriak.

   "Cepat, panggil dahulu Daksina. Ia harus datang kemari dengan Kakawin Bharatayuda".

   "Oh"

   Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam.

   Tetapi justru ia tidak segera pergi.

   Namun alangkah terkejutnya prajurit itu ketika tiba-tiba saja sebuah mangkuk tanah telah menghantam lututnya.

   Sekejap kemudian mangkuk itu pun terjatuh di lantai, pecah berserakan.

   Prajurit itu hampir-hampir saja terjatuh.

   Betapa sakit lututnya yang terkena mangkuk yang dilemparkan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu.

   Tetapi dengan sigapnya prajurit itu meloncat turun ke halaman.

   Ia sadar, apabila ia terlambat lagi, mangkuk berikutnya akan menyambar kepalanya.

   Ketika ia telah turun ke halaman, baru terasa bahwa lutut itu tidak mampu dipergunakan dengan wajar.

   Karena itu, maka ia berlari-lari menyeret sebelah kakinya sambil mengumpat tidak habis-habisnya di dalam hati.

   Kejengkelan prajurit itu dibawanya sampai kemuka pintu bilik Daksina.

   Diketuknya pintu itu sekuat tenaga sehingga seisi bilik itu terkejut.

   "Siapa?"

   Terdengar suara Daksina.

   "Cepat bangun pemalas. Akuwu memanggilmu. Bawalah Kakawin Baratayuda".

   "Hari sudah hampir pagi"

   Jawab Daksina sambil menguap.

   "Cepat. Aku lempar lututmu dengan mangkuk kala-kala kau tidak segera berangkat. Akuwu menunggumu. Atau kau ingin Akuwudatang kemari sambil membawa pedangnya untuk memenggal lebermu".

   "Apakah Akuwu sedang marah".

   "Mungkin. Tetapi cepat. Cepat"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Prajurit yang marah itu berteriak. Tetapi ia mendengar Daksina tertawa di dalam biliknya.

   "Baik, baik.

   Katanya.

   "Kau mentertawakan aku?"

   Geram prajurit itu.

   "awas, aku pukul kepalamu sampai retak".

   "Lakukanlah"

   Jawab Daksina.

   "tetapi dengan demikian aku tidak dapat menghadap Akuwu malam ini. Dan kaulah yang menyebabkan".

   "Oh anak gila. Ayo cepat keluar". Sejenak kemudian Daksina membuka pintu biliknya sambil menjinjing sebuah kitab rontal yang tebal dilapisi dengan sehelai kulit. Sebelum prajurit itu berkata sepatah kata pun, Daksina sudah berlari melintasi halaman menuju ke bilik Akuwu Tunggul Ametung.

   "Untunglah kitab rontal ini aku simpan di rumahku"

   Berkata anak itu di dalam hatinya.

   "sehingga aku tidak perlu mencari di bilik penyimpanan". Prajurit itu masih berdiri dengan mulut ternganga. Ia terkejut ketika ia mendengar derak pintu itu ditutup dari dalam. Namun segera ia meloncat dan menyeret sebelah kakinya ke gardunya.

   "Aku harus menghubungi beberapa orang Senapati terpenting malam ini juga". Beberapa orang perwira dan pemimpin prajurit pilihan menjadi terkejut ketika rumah-rumah mereka diketuk oleh beberapa orang prajurit. Sebagian dari mereka, masih belum tidur kembali setelah mereka terbangun karena beberapa orang menjadi ribut oleh api yang menyala dikejauhan, yang ternyata telah membakar rumah Jajar yang gemuk. Tetapi para perwira dan pemimpin prajurit pilihan itu menyangka, bahwa yang terjadi hanyalah sekedar kecelakaan.Mereka menyangka bahwa seseorang kurang berhati-hati atas api pelita yang mereka pasang, sehingga menyentuh dinding dan membakar rumah mereka. Namun naluri mereka sebagai seorang prajurit segera dapat menghubungkan kebakaran yang baru saja terjadi, dengan ketukan yang tergesa-gesa di pintu-pintu mereka.

   "Siapa diluar?"

   Bertanya seorang perwira yang pintu rumahnya diketuk oleh seorang prajurit.

   "Aku, prajurit yang mengemban perintah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung". Dada perwira itu menjadi berdebar-debar. Yang pertama-tama dilakukan adalah menyisipkan kerisnya di lambung. Perlahan-lahan ia berjalan ke luar biliknya dan berkata kepada isterinya.

   "Tidak ada apa-apa tenanglah. Diluar ada dua orang peronda". Tetapi isteri perwira itu menjadi cemas, dan berbisik.

   "Hati- hatilah kakang". Perwira itu tersenyum. Namun tangannya telah mendorong hulu kerisnya ke dadanya. Ketika dengan hati-hati ia membuka pintu, maka ia melihat dua bayangan berdiri di pendapa rumahnya, dan dua orang lagi di halaman.

   "Aku Ki Lurah"

   Prajurit yang berdiri di pendapa berdesis.

   "Oh"

   Perwira itu menarik nafas.

   "ada apa?"

   "Ki Lurah dipanggil oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung".

   "Kapan?"

   "Sekarang".

   "Sekarang?"

   Prajurit itu mengangguk, sambil menjawab.

   "Ya".Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal betul tabiat Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu maka ia tidak membantah. Sambil mengerutkan dahinya ia menjawab.

   "Aku akan menghadap".

   "Baiklah. Aku mohon diri". Prajurit itu segera turun dari pendapa diikuti oleh seorang peronda di rumah perwira itu. Kemudian bersama seorang temannya yang berdiri di halaman segera minta diri kepada para peronda untuk meneruskan perjalanan mereka. Di regol mereka mengambil kuda-kuda mereka, dan sejenak kemudian terdengar gemeretak di sepanjang jalan berbatu.

   "Kenapa kakang harus menghadap di malam begini?"

   Perwira itu menggeleng. Namun ia menjawab.

   "Mungkin ada hubungannya dengan kebakaran itu. Tetapi entahlah, demikianlah kebiasaan Akuwu Tunggul Ametung. Ia berbuat apa saja yang diingini pada suatu saat tanpa mempertimbangkan masalah-masalah lain". Sebagai seorang isteri prajurit, maka isteri perwira itu pun melepaskan suaminya dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi sedikit banyak ia pernah mendengar tabiat Akuwu Tunggul Ametung itu. Memang kadang-kadang suaminya harus mengharap pada saat- saat yang tidak wajar seperti saat ini. Tetapi pada saat fajar menjingsing, suaminya itu sudah pulang tanpa mendapat perintah apapun. Mungkin malam ini Akuwu tidak dapat tidur, sehingga ia memerlukan kawan untuk berbicara. Di rumah yang lain, rumah Witantra, suasana yang demikian itu telah terjadi pula. Dengan hati yang bertanya-tanya isteri Witantra melepaskan suaminya sampai di tangga pendapa. Ia sadar, bahwa suaminya adalah Senapati pengawal yang paling dipercaya. Setiap saat suaminya diperlukan. Ketika Witantra telah hilang dibalik regol rumahnya, di atas punggung kuda yang berlari kencang, maka terdengar suara lembut di belakang isteri perwira itu, suara adik perempuannya.

   "Sejak gadis padesan itu tinggal di istana, jarang-jarang hal serupa initerjadi. Tetapi kini tiba-tiba hal ini terulang seperti pada saat-saat gadis desa yang cengeng itu belum tinggal di istana".

   "Ah"

   Desah isteri Witantra.

   "kau terlampau lancang dengan kata- katamu Umang". Ken Umang tertawa. Tetapi ia tidak menyahut. Dengan langkahnya yang cekatan ia berjalan meninggalkan kakak perempuannya. Ketika ia hampir sampai di muka pintu, terdengar suara tertawanya berkepanjangan.

   "He, Ken Umang. Apakah kau sudah kepanjingan setan? suara tertawamu terlampau menakutkan". Ken Umang berhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya kakaknya berdiri membeku di tempatnya.

   "Apakah suaraku telah berobah?"

   Bertanya Ken Umang itu masih diantara derai tertawanya.

   Isteri Witantra tidak segera menjawab.

   Dalam remang-reman cahaya pelita yang redup dikegelapan malam ia hanya melihat sosok tubuh adiknya.

   Seorang gadis yang baru saja meningkat dewasa.

   Seorang gadis yang bertubuh ramping, lincah dan cantik.

   Tetapi dalam kegelapan malam yang tampak hanyalah sebuah bayangan hitam.

   Wajah gadis itu pun seolah-olah menjadi hitam pekat.

   Hitam.

   Terasa bulu-bulu tengkuk Nyai Witantra meremang.

   Tetapi dipaksanya perasaannya untuk tunduk kepada nalarnya.

   Gadis itu adalah adiknya.

   Perlahan-lahan ia melangkah maju.

   Dipaksanya dirinya untuk mendekat.

   Tetapi sebelum Nyai Witantra itu dekat benar dengan adiknya, maka Ken Umang telah memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam rumah.

   Ketika sinar pelita yang cukup terang jatuh di wajah gadis itu, maka Nyai Witantra menarik nafas dalam-dalam.

   Wajah itu sama sekali tidak berubah.

   Sementara itu di Istana Tumapel, Akuwu Tunggul Ametung dengan gelisahnya menunggu para Senapati yang dipanggilnya.

   Hampir-hampir ia tidak sabar menunggu mereka satu demi satuberdatangan.

   Sedang di sudut bilik Daksina yang terkantuk-kantuk sama sekali tidak diacuhkannya.

   Ketika para perwira kemudian telah lengkap terkumpul, maka Akuwu sama sekali tidak membawa mereka untuk berbincang.

   Yang dilakukan hanyalah mengucapkan perintah, hanya beberapa kata.

   "Besok, pada saat matahari terbit, kalian harus sudah berada di halaman ini. Lengkap dalam kesiagaan tempur. Kita akan pergi ke Kemundungan untuk menangkap iblis yang bernama Kebo Sindet". Para perwira itu mengerutkan keningnya. Sebagian besar dari mereka memang pernah mendengar nama Kebo Sindet, bahkan sebagian lagi telah dapat mengetahui pula, sampai dimana kesaktian orang yang buas itu. Witantra yang duduk diantara para perwira itu mengerutkan keningnya. Ia menyadari benar-benar siapakah yang sedang mereka hadapi. Kebo Sindet adalah orang yang memiliki ilmu setingkat dengan gurunya. Tetapi Kebo Sindet mempunyai sifat-sifat iblis yang mengerikan. Ketika para perwira tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun, maka Akuwu Tunggul Ametung bertanya lantang.

   


Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Pendekar Setia Karya Gan KL Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung

Cari Blog Ini