Bunga Di Kaki Gunung Kawi 47
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 47
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja
"Setan kecil"
Kebo Sindet mengumpat pula.
Kemarahannya yang meluap-luap telah membuatnya semakin buas.Perkelahian itu ternyata merupakan perkelahian yang terlampau dahsyat.
Perkelahian yang sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Kuda Sempana.
Meskipun Kuda Sempana sendiri telah mendapat lambaran yang cukup, tetapi ketika ia dihadapkan pada puncak ilmu itu, ia hanya dapat berdiri saja memandanginya dengan mata yang hampir tidak berkedip.
Ia hampir-hampir tidak dapat mengenal sama sekali, apakah yang sedang disaksikannya itu.
Gerak yang terlampau cepat, keras dan kadang-kadang membingungkan.
Putaran-putaran senjata dan benturan-benturan yang terjadi membuatnya menjadi pening.
Hatinya berdesir tajam apabila ia mendengar dentang kedua senjata itu beradu.
Benturan antara golok Kebo Sindet dan pedang di tangan Mahisa Agni kadang-kadang telah melemparkan bunga- bunga api yang memercik diudara.
Benturan antara dua kekuatan raksasa yang sedang diamuk oleh kemarahan di dalam hati masing- masing.
Tetapi perkelahian itu tidak bergeser dari tanah yang lembab, bahkan telah menjadi agak gembur itu.
Hanya beberapa langkah saja mereka akan terdorong ke dalam air yang keruh, yang di dalamnya bersarang berbagai macam binatang-binatang air yang buas dan rakus.
Ternyata Kebo Sindet masih tetap berusaha untuk menekan Mahisa Agni, dan mendorongnya ke dalam rawa-rawa itu.
Tetapi kini usahanya tidak lagi dapat dilakukannya dengan mudah seperti pada saat Mahisa Agni belum bersenjata.
Kini ternyata kekuatan mereka banar-benar menjadi seimbang.
Bukan Mahisa Agni lah yang selalu dapat didesak oleh lawannya tetapi mereka seakan-akan mendapat kesempatan yang sama untuk mendorong lawannya.
Kadang-kadang Mahisa Agni berada dalam keadaan yang sulit dan berdiri pada arah rawa-rawa itu.
Seakan- akan Kebo Sindet tinggal mendesaknya beberapa langkah, kemudian mendorongnya masuk ke dalam air yang keruh itu.
Tetapi tiba kesempatan itupun bergeser.
Mahisa Agni berhasil menekan lawannya sehingga Kebo Sindet terpaksa mengumpat keras-keras.Kedua orang yang sedang bertempur itu adalah orang-orang yang memiliki kekuatan jauh lebih besar dari orang-orang kebanyakan.
Tenaga mereka dalam cak-cakan ilmu yang hampir sempurna, benar-benar merupakan kekuatan-kekuatan yang dahsyat.
Dan kedua kekuatan yang dahsyat itu kini sedang beradu dengan dahsyatnya pula.
Ketika matahari menjadi semakin jauh melampaui puncak langit, maka keringat mereka yang sedang berkelahi itu seakan-akan telah terperas sehingga tuntas.
Tubuh-tubuh mereka yang basah dan kotor menjadi mengkilap seperti tembaga.
Namun kini tubuh-tubuh mereka telah mulai diwarnai oleh warna darah masing-masing.
Sekali-kali mereka tidak berhasil menangkis dan menghindari serangan lawan yang membadai, sehingga ujung- ujung senjata itu telah berhasil menyentuh kulit mereka.
Mereka menggeram dan kadang-kadang berdesis pendek, apabila terasa kulit mereka tergores oleh tajamnya senjata.
Tetapi kedahsyatan mereka tidak menjadi cair.
Mereka masih tetap dalam tingkat yang hampir sempurna.
Meskipun tata gerak mereka mempunyai watak yang berbeda.
Mahisa Agni yang sudah dapat pesan dari kedua orang-orang tua yang menuntunnya, tidak dapat dikejutkan oleh tata gerak lawannya yang kasar dan buas, yang kadang-kadang hampir tidak terduga-duga.
Demikianlah, maka perkelahian itu menjadi semakin dahsyat, Kuda Sempana sudah tidak mampu lagi menilai apakah yang sebenarnya terjadi atas kedua orang yang sedang bertempur itu, sehingga ia masih saja berdiri mematung dengan dada yang berdebaran.
Namun sebenarnyalah bahwa ia telah melibatkan diri dalam perkelahian itu pada saat ia melontarkan pedangnya, sehingga meskipun ia masih tetap berdiri di tempatnya, tetapi sebenarnya ia memang telah berpihak.
Dengan demikian maka dengan harap-harap cemas ia menyaksikan pertempuran itu.
Ia ingin melihat Mahisa Agni memenangkan perkelahian itu.
Kalau Mahisa Agni kemudian ternyata dapat dikalahkan, maka nasibnya pun akan tergantung diujung jari Kebo Sindet pula.
Disadarinya bahwa yang akan terjadi atasnya adalah suatu peristiwa yang pasti belum pernah dilihatnya.
Dada Mahisa Agni itu berdesir ketika langit yang cerah menjadi semakin lama semakm suram.
Awan yang hitam mengalir dari ujung langit.
menebar semakin luas.
Sekali-kali dikejauhan terdengar guruh meledak dan tatit menyambar-nyambar.
Sejenak ingatan Mahisa Agni lari ke Padang Karautan.
Namun sejenak kemudian ia berhasil mengekang dirinya.
Katanya di dalam hati "Biarlah apa yang terjadi di Padang Karautan.
Mudah-mudahan Ken Arok dapat mengatasinya.
Yang penting bagiku sekarang adalah keluar dari neraka iblis ini".
Dengan demikian maka Mahisa Agni segera menemukan kemantapannya kembali, ia ternyata telah berhasil menyingkirkan segala persoalan yang lain, kecuali melenyapkan iblis dari Kemundungan ini.
Ketika mereka berdua tenggelam semakin dalam di arena pertempuran itu, maka para prajurit Tumapel di Padang Karautan dan orang-orang Panawijen sedang di cemaskan oleh mendung yang semakin menebal di arah ujung sungai.
Ken Arok yang memimpin pembuatan bendungan itu menjadi berdebar-debar.
Seandainya pada saat itu banjir datang, apakah bendungannya sudah dapat menahannya? Kesibukan Ken Arok sejak semalam menjadi kian meningkat.
Sejak kehadiran Akuwu Tunggul Ametung yang sedang berusaha untuk mencari Mahisa Agni.
Hari ini seharusnya mereka akan berangkat ke Kemundungan.
Tetapi awan yang hitam di langit telah meragukan Ken Arok.
Apabila banjir datang, dan ia tidak ada di padang ini menunggui bendungan yang sudah hampir siap itu, maka hatinya pasti tidak akan dapat menjadi tenang.
"Tuanku"
Berkata Ken Arok.
"apakah perjalanan ini dapat ditunda?""Taruhannya adalah nyawa Mahisa Agni"
Sahut Akuwu Tunggul Ametung.
"Sehari akan sangat berarti bagi Kebo Sindet. Keterlambatan yang sehari itu akan dapat membuat kita menyesal". Ken Arok menjadi ragu-ragu. Kedua-duanya teramat penting baginya. Ia berminat sekali untuk berusaha melepaskan Mahisa Agni. Ia melihat bagaimana Mahisa Agni itu hilang, sehingga ia akan mendapat kepuasan apabila ia dapat turut menemukannya. Tetapi bendungan ini terasa memberatinya untuk meninggalkan Padang Karautan. Seolah-olah ia mendapat kepercayaan sepenuhnya justru dari Mahisa Agni, untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah dimulainya. Seandainya langit masih selalu bersih, ia akan dengan tenang ikut di dalam rombongan Akuwu Tunggul Ametung. mencari Mahisa Agni, langsung di sarang iblis dari Kemundungan itu. Dalam keragu-raguan itu terdengar Ken Arok berdesis.
"Tetapi bendungan ini? Seandainya hamba tidak dicemaskan oleh banjir, maka hamba sama sekali tidak berkeberatan untuk meninggalkannya". Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keberatan Ken Arok untuk meninggalkan bendungan itu. Karena itu maka katanya.
"Nanti, aku akan mengambil keputusan setelah senja. Aku menunda perjalananku sampai sore. Apabila memungkinkan kau dapat ikut. Kalau tidak. aku akan pergi dengan pasukan kecil ini. Aku merasa cukup kuat. Meskipun seandainya Kebo Sindet mempunyai pasukan segelar sepapan". Sambil menunggu sampai senja, Akuwu berkesempatan untuk melihat petamanan yang telah disiapkan oleh Ken Arok. Sehingga Akuwu sendiri kemudian menjadi ragu-ragu. Apakah kehadirannya di Padang Karautan itu karena ia memerlukan sekali membawa Ken Arok serta, ataukah sekedar ingin melihat sendiri, apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh prajurit-prajuritnya di padang yang luas itu. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung mengagumi apa yang telah dilihatnya. Parit-parit yang panjang menjelujur membelah tanah yang kering, kemudian berleret-leret seolah-olah jari-jari yangberpuluh-puluh jumlahnya menyengkam Padang Karautan dikedua belah sisi sungai. Sedang agak jauh di tengah-tengah, di ujung parit induk, telah menjadi hijau dan segar oleh tanaman-tanaman yang merupakan bagian dari taman yang dikehendakinya. Sebuah telaga buatan yang cukup luas untuk menampung air, yang kemudian disalurkan lewat parit-parit untuk melepaskan sisa-sisa air kembali ke dalam sungai agak jauh di bawah.
"Sebuah perencanaan yang luar biasa"
Desis Akuwu Tunggul Ametung di dalam hatinya.
"gabungan pengetahuan antara Mahisa Agni dibidang pertanian dan kecerdasan serta keprigelan Ken Arok dibidang pelaksanaannya. Ternyata anak itu mempunyai selera yang matang pula dalam pembuatan taman yang indah ini. Akuwu Tunggul Ametung terkejut ketika ia mendengar guntur yang meledak di langit seolah-olah terlampau dekat diatas kepalanya. Seleret sinar tatit menyala menyilaukan matanya. Ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit dilihatnya awan menjadi semakin gelap, dan lebih gelap lagi diarah ujung sungai yang membelah Padang Karautan itu.
"Hujan itu telah jatuh di sana"
Desisnya. Bersama beberapa orang pengawalnya, Akuwu kemudian berjalan kembali ke perkemahan. Ketika ia sampai, maka dilihatnya perkemahan itu terlampau sepi.
"Kemana orang-orang itu?"
Ia bertanya kepada seorang yang dijumpainya. Orang itu adalah orang Panawijen yang mendapat tugas untuk menunggu perkemahan mereka dan menyiapkan rangsum bagi orang-orang Panawijen. Sambil berlutut dan menundukkan kepalanya dalam-dalam ia menjawab.
"Ampun tuanku. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel sedang pergi ke bendungan"."Seluruhnya?"
Bertanya Akuwu pula "biasanya ada beberapa orang yang tinggal dan beristirahat untuk melakukan pekerjaan di malam hari".
"Mereka semuanya telah dipanggil pergi ke bendungan itu".
"Kenapa?"
"Air mulai naik Tuanku. Agaknya hujan di ujung sungai akan menyebabkan banjir". Dada Akuwu Tunggul Ametung itu berdesir. Ia tidak tahu benar kekuatan bendungan yang telah ada itu. Tetapi banjir memang sesuatu yang mendebarkan dalam pekerjaan serupa itu. Bukan saja bendungan dan tanah persawahan yang telah dipersiapkan, dan bahkan sebagian telah mulai dikerjakan sambil menunggu air naik, tetapi apabila bendungan itu gagal oleh banjir, maka pertamanan yang sudah mulai tampak asri itupun akan gagal pula. Karena itu, maka hati Akuwu Tunggul Ametung pun dirayapi pula oleh kecemasan, sehingga dengan serta-merta ia berkata kepada Witantra.
"Kita pergi ke bendungan".
"Marilah Tuanku"
Jawab Witantra yang selalu siap disamping Akuwu.
Dengan tergesa-gesa Akuwu Tunggul Ametung dan pengawalnya pun segera pergi ke bendungan untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Dari jauh telah tampak orang-orang yang berkerumun di pinggir sungai.
Berjajar-jajar dan bersiap.
Agaknya perhatian mereka benar-benar tercurah kepada bendungan mereka yang belum siap benar menghadapi banjir yang pertama.
Di ujung bendungan itu berdiri Ken Arok, Kebo Ijo, Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang-orang tua.
Tampaklah membayang di wajah-wajah mereka, kecemasan hati.
Air sungai itu semakin lama menjadi semakin keruh.
"Hujan menjadi semakin lebat diujung sungai"
Terdengar Ken Arok bergumam.Ki Buyut Panawijen menganggukkan kepalanya. Desisnya "Mudah-mudahan banjir tidak menjadi semakin besar".
"Tetapi kita harus bersiap. Kita harus dapat mengatasi banjir yang betapapun besarnya". Kebo Ijo yang tegang, tiba-tiba tertawa pendek. Katanya "Apakah yang dapat kita lakukan sekarang, justru air sudah mulai naik dan deras?"
"Apapun,"
Desis Ken Arok "kita akan kehilangan segala-galanya.
Tanah persawahan dan parit-parit itu akan muspra.
Atau kita harus mulai lagi dari permulaan sekali membangun bendungan yang besar ini? Belum lagi kita perhitungkan petamanan yang sudah mulai tampak hijau, justru Akuwu Tunggul Ametung sedang berada di Padang Karautan ini".
Kebo Ijo itu tersenyum hambar.
Katanya perlahan hampir berbisik.
"Akuwu Tunggul Ametung adalah suatu gambaran dari orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Perhatiannya sama sekali tidak tertuju kepada bendungan ini, tetapi yang mendapat perhatiannya paling besar adalah petamanan yang dikehendakinya".
"Ah jangan begitu adi Kebo Ijo. Kalau Akuwu tidak menaruh perhatian atas bendungan ini, maka ia tidak akan mengirimkan aku dan kau kemari bersama pasukan kita masing-masing".
"Apa kau sangka itu bukan sekedar kepentingan diri? Ia ingin mendapat pujian dari isterinya yang datang dari Panawijan".
"Ssst"
Desis Ken Arok.
"jangan terlampau keras". Kebo Ijo berpaling memandangi wajah Ki Buyut Panawijen. Tetapi, perhatian Ki Buyut seluruhnya tertumpah ke pada bendungan dan air yang semakin keruh.
"Sekarang,"
Kebo Ijo meneruskan.
"ia datang untuk membawa kita mencari Kebo Sindet. Untuk melepaskan Mahisa Agni. Kau tahu apakah hubungan Mahisa Agni dengan Akuwu? Apakah itu bukan sekedar kepentingan sendiri"."Ah, kau terlampau berprasangka". Kebo Ijo tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya. Dengan pandangan matanya ia menunjuk kepada rombongan Akuwu Tunggul Ametung yang menjadi semakin dekat.
"Akuwu datang kemari".
"Ya"
Sahut Ken Arok.
"Kau harus memberi keputusan, apakah kau akan bersedia untuk pergi".
"Akuwu adalah seorang prajurit. Aku hanya dapat memberi pertimbangan kepada perintah yang aku terima. Tetapi keputusannya ada pada Akuwu. Terserahlah, apakah aku akan diperintahkannya ikut serta, atau aku diperkenankan tinggal".
"Kalau kau boleh memilih?"
"Aku akan tinggal di sini sampai aku melihat nasib bendungan ini". Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata sepatahpun karena Akuwu sudah menjadi semakin dekat, dan bahkan langsung pergi ke ujung bendungan. Wajahnya tampak berkerut-merut. Air yang keruh itu ternyata benar-benar telah menarik perhatiannya.
"Ia tidak akan berbuat apa-apa"
Desis Kebo Ijo.
"mungkin ia akan berteriak-teriak. Lalu pergi membawa kau ke Kemundungan". Ken Arok tidak menyahut. Ia membungkukkan kepalanya sambil berkata "Tuanku, air menjadi semakin besar".
"Dan kalian berkumpul saja di sini tanpa berbuat sesuatu?"
Ken Arok mengerutkan dahinya.
Apakah yang dapat dilakukannya? "Selagi kalian masih sempat.
Ayo, sebagian pergi keseberangan meniti di atas bendungan ini.
Hati-hati.
Bawalah patok-patok bambu dan tali ijuk".Beberapa orang yang mendengar perintah Akuwu itu sejenak menjadi bingung.
Mereka tidak segera mengerti maksudnya, sehingga ia masih saja berdiri termangu-mangu.
Tetapi Ken Arok segera tanggap akan maksud itu.
Ia sendiri memang sudah sudah memikirkannya sebelumnya, sehingga ia telah menyediakan tali-tali dan beberapa buah patok.
Karena itu perintah Akuwu itu telah mendorongnya untuk segera melakukannya.
Ken Arok itu segera berteriak kepada orang-orangnya.
"He, sebagian dari kalian pergi ke seberangan membawa beberapa buah patok dan tali-tali ijuk. Mari, bersama aku, meniti di atas bendungan ini selagi air belum menjadi semakin besar". Beberapa orang masih berdiri kebingungan ketika Ken Arok mengulangi "Ayo cepat, jangan berdiri termangu-mangu". Meskipun para prajurit itu sebagian masih belum mengerti maksud itu, namun mereka segera berlari-lari mengambil beberapa buah patok bambu dan tali-tali ijuk.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bawa saja seluruhnya"
Berkata Akuwu Tunggul Ametung.
"semua patok yang ada. Disini masih tersedia banyak bambu sehingga kami yang di sini akan dapat membuatnya". Ken Arok mengerutkan keningnya. Ternyata Akuwu itu benar- benar mampu berpikir cepat, meskipun kadang-kadang orang itu sama sekali segan untuk berpikir. Biasanya Akuwu berbuat apa saja yang teringat olehnya. Namun dalam hal yang penting serupa ini, agaknya ia telah mempergunakan kecerdasan dan kecepatannya berpikir. Karena maka Ken Arok itupun mengulangi.
"Ya, bawalah semua patok yang ada. Bawa beberapa macam alat-alat, kelewang, cangkul, dan yang lain-lain". Beberapa orang prajurit segera melakukannya dengan cepat, sedang Ken Arok sendiri akan ikut serta menyeberang sungai yang sedang banjir itu."Hamba akan ke seberang Tuanku, biarlah di sini adi Kebo Ijo memimpin para prajurit yang tersisa dan orang-orang Panawijen".
"Pergilah"
Sahut Akuwu Tunggul Ametung.
"cepat, sebelum bendungan itu dadal". Daia Ken Arok berdesir. Air ternyata menjadi semakin tinggi. Terlampau cepat menurut perhitungannya. Sehingga dengan demikian Ken Arok tidak sempat untuk berbicara lagi, untuk memberi terlampau banyak pesan kepada Kebo Ijo. Ia mengharap bahwa Kebo Ijo akan mengerti dengan sendirinya, apakah yang harus dilakukannya. Ken Arok diikuti oleh beberapa orang prajurit segera menyeberang meniti bendungan. Air sudah menjadi tinggi, hampir meluap di atas bendungan itu. Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tetap menyadari apa yang harus dilakukannya. Meskipun air sungai itu menjadi semakin keruh dan bergulung-gulung dengan derasnya, namun Ken Arok masih sempat juga berhenti di atas bendungan itu. Kepada beberapa orang prajurit ia berteriak.
"ikatkan tali-tali itu pada brunjung-brunjung yang ringkih. Yang lain cepat meloncat ke tepi. Tancapkan patok-patok itu kuat-kuat". Kini para prajurit itu mengerti apa yang harus mereka lakukan. Karena itu maka sebagian dari mereka yang membawa patok-patok bambu segera berlari ketepi seberang dan dengan cepat menancapkan patok-patok bambu. Mereka yang tidak sempat membawa alat-alat yang cukup, segera mencari batu-batu besar untuk alat pemukul, sedang yang lain mempergunakan ganden- ganden kayu yang memang telah mereka siapkan sebelumnya. Langitnya yang mendung menjadi semakin mendung. Titik-titik air telah berjatuhan satu-satu. Semakin lama semakin sering, seperti hati Ken Arok yang semakin berdebar-debar. Ketika ia memandangi orang-orang yang masih berada di seberang, ia melihat kesibukan yang sama. Bukan saja Kebo Ijo yang berlari-lari kian kemari, tetapi ternyata Akuwu TunggulAmetung sendiri ikut serta dalam kerja yang ribut itu. Beberapa orang dengan tergesa-gesa membuat patok-patok bambu, sedang yang lain turun ke bendungan, dan seperti yang dilakukan oleh Ken Arok, mereka mengikat brunjung-brunjung yang ringkih dengan tali- tali ijuk yang kuat, kemudian menambatkannya pada patok-patok di tebing. Pekerjaan itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang sangat darurat. Tetapi mereka bertekad untuk menyelamatkan bendungan itu dari banjir yang pertama. Hujan pun semakin lama menjadi semakin deras, tetapi orang- orang Panawijen dan para prajurit Tumapel sama sekali tidak meninggalkan pekerjaan mereka. Bahkan beberapa orang telah langsung turun ke bendungan, untuk menanam patok-patok bambu dan mengikat patok-patok itu pada patok-patok yang berada ditebing. Setiap hati menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat air menjadi semakin tinggi. Bahkan kemudian sedikit demi sedikit telah mencapai puncak bendungan yang belum siap benar. Apabila air itu kemudian melampauinya, maka bahaya bagi bendungan itu menjadi semakin besar. Sedikit demi sedikit, air itu akan mendorong bendungan yang masih belum mantap benar. Bahkan orang-orang yang berdiri di sisi sungai itu seolah-olah melihat bendungan itu bergoyang.
"Tambatkan semua tali yang ada"
Teriak Ken Arok.
Suaranya telah menggerakkan setiap orang untuk melakukan pekerjaan apa saja.
Patok-patok bambu, tali ijuk dan tali-tali tambang yang lain telah terikat pada brunjung-brunjung yang tampak ringkih.
Beberapa orang mencoba mengikat brunjung- brunjung itu dengan brunjung-brunjung yang lain yang lebih kuat kedudukannya.
Mereka harus mencegah supaya tidak ada satu brunjung pun yang terlempar oleh air yang membanjir itu.
Sebab dengan demikian, maka satu-satu demi satu brunjung-brunjung yang lainpun akan terlempar pula.
Air yang meluap akan menjadi semakin banyak.
Dan apabila demikian, besok sebelum fajar,mereka akan menemukan bendungan itu menjadi brunjung- brunjung yang berserakan.
Dengan demikian, maka kesibukan di bendungan itu pun menjadi semakin meningkat, seperti ketegangan di dalam setiap dada orang- orang yang menyaksikan, air menjadi semakin tinggi merayap mencapai puncak bendungan.
Sedang hujan pun semakin lama menjadi semakin deras seperti ditumpahkan dari langit.
Angin yang kencang bertiup dari Selatan menggoyangkan dedaunan dan pepohonan yang sedang menghijau di taman yang belum siap benar itu.
Ken Arok dengan dahi yang berkerut-merut berdiri tegak di ujung bendungan.
Dadanya berdebaran seperti hendak meledak.
Ditatapnya air yang bergulung-gulung semakin keruh dan semakin tinggi itu.
"Air ini harus mendapat saluran"
Desisnya.
"kalau tidak maka bendungan ini tidak akan kuat menahannya". Tetapi Ken Arok masih belum menemukan cara untuk menyalurkan air yang semakin menanjak. Sekali lagi orang-orang Panawijen itu seakan-akan melihat bendungan itu berguncang. Namun dada mereka berguncang lebih dahsyat lagi. Apalagi dada Ken Arok. Para prajurit dan orang-orang Panawijen kini sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Setiap tali yang ada telah terikat pada patok- patok bambu di pinggir bendungan. Segala usaha telah dilakukan, dan segala cara telah ditempuh. Kini, di dalam hujan yang lebat itu mereka hanya tinggal menunggu, apakah yang akan terjadi atas bendungan yang sudah sekian lama mereka kerjakan. Menelan banyak sekali tenaga dan beaya yang telah diberikan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Agaknya hujan yang lebat itu turun diseluruh permukaan bumi. Ternyata di Kemundungan pun hujan menjadi kian lebat. Tatit dan guruh meledak bersahut-sahutan di langit, seakan-akan sedang bersabung.Sedang di pinggir rawa-rawa yang gembur, Mahisa Agni dan Kebo Sindet masih juga menyabung nyawa. Semakin lama semakin seru. Hujan dan petir sama sekali sudah tidak mereka hiraukan lagi. Apalagi mereka yang sedang bertempur sedangkan Kuda Sempana pun berdiri saja tanpa beranjak dari tempatnya, meskipun hujan seakan-akan tertumpah dari langit. Tetapi ia hanya dapat menyaksikan saja perkelahian itu tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia sudah tidak dapat berusaha apapun lagi setelah melemparkan pedangnya kepada Mahisa Agni. Namun pedang itu ternyata sangat bermanfaat baginya. Sehingga dengan pedang itu Mahisa Agni mampu membuat keseimbangan di dalam perang tanding yang sedang berlangsung dengan sengitnya dibawah hujan yang sangat lebat, sehingga titik air hujan yang terlampau padat itu, seolah-olah merupakan pedut yang gelap. Tetapi hujan itu sama sekali tidak terpengaruh atas kedahsyatan perkelahian itu. Setiap kali Kuda Sempana menahan nafasnya apabila seleret warna merah tergores pada kulit salah seorang dari mereka yang sedang bertempur itu. Namun air hujan segera menghapusnya. Meskipun demikian, darah masih juga mewarnai tetesan air yang mengusap tubuh mereka menjadi kemerah- merahan. Namun betapapun lebatnya hujan, itu tidak mampu memadamkan api yang berkobar di dalam dada masing-masing. Bahkan air hujan itu serasa minyak yang disiramkan ke dalam api yang sedang menyala-nyala. Tetapi, oleh air hujan yang melimpah ruah dari langit, tanah di tepi rawa-rawa yang lembab menjadi semakin basah, sehingga dengan demikian menjadi bertambah licin. Setiap kali kedua orang yang sedang berkelahi itu harus mempertahankan keseimbangan mereka apabila mereka hampir-hampir tergelincir. Setiap kali mereka harus membagi perhatian mereka. Selain pedang lawan, maka tanah yang basah itu telah menjadi lawan yang ikut menentukan.Meskipun ke dua belah pihak mengalami, tetapi agaknya tanah yang licin telah agak terbiasa bagi Kebo Sindet. Berbeda dengan Mahisa Agni, maka tanah yang licin menjadi lawan yang harus mendapat perhatian. Sehingga dengan demikian, maka ternyata Mahisa Agni harus bekerja lebih keras dari lawannya. Setiap kali Mahisa Agni harus berusaha untuk mendapat kan tempat berpinjak yang mapan supaya ia tidak tergelincir jatuh. Namun usaha itupun telah memerlukan sebagian dari perhatiannya yang seharusnya ditumpahkannya seluruhnya kepada perlawanannya atas Kebo Sindet, sehingga dengan demikian maka kadang-kadang Mahisa Agni terdesak dalam kesulitan. Bahkan ujung golok lawannya menjadi semakin sering berhasil menyentuh kulitnya, meskipun hanya seujung jarum. Tetapi yang seujung jarum itu telah menitikkan setitik darah. Di Pandang Karautan orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel menjadi semakin tegang. Air benar-benar hampir melonjak melampaui bendungan. Ken Arok yang berdiri tegak seperti patung, selalu berkata di dalam hatinya, bahkan kemudian berguman "Air harus mendapat saluran yang mapan, supaya tidak menecah bendungan itu atau melemparkan brunjung-brunjung itu satu demi satu.
"Tetapi bagaimana?"
Ken Arok semakin lama menjadi semakin tegang. Tiba-tiba terdengar giginya gemeretak. Terdengar di antara derak hujan ia berteriak.
"Aku akan pergi ke seberang".
"Air sudah mulai naik"
Teriak seorang prajurit.
"Sebelum air meluap".
"Jangan, pekerjaan itu terlampau berbahaya". Tetapi Ken Arok tidak mendengarkannya, diikatkannya kain panjangnya, dan dengan hentakan yang kuat itu meloncat ke atas bendungan yang basah."Ken Arok"
Teriak prajurit yang lain yang kemudian disusul oleh teriakan kawannya.
Tetapi Ken Arok berlari terus meniti jembatan.
Orang-orang yang berdiri di seberangpun menjadi tegang.
Merekapun berteriak-teriak pula "Ken Arok.
Jangan".
Dan suara Tunggul Amecng melengking "He, apakah kau gila?"
Tetapi ken Arok tidak kembali.
Bahkan ia berteriak sambil berlari "Air harus segera mendapat saluran".
Orang yang menyaksikan Ken Arok meloncat dari brunjung ke brunjung yang sedang dilanda banjir itu menjadi berdebar-debar.
Tetapi betapa mereka mencoba memperingatkan, namun Ken Arok berlari terus.
Tunggul Ametung berdiri terpaku di tempatnya sambil menahan nafasnya, sedang Kebo Ijo seakan-akan membeku dengan mulut ternganga dan mata yang tidak berkedip meskipun air hujan meleleh di seluruh wajahnya.
Ken Arok sendiri sama sekali sudah tidak sempat memikirkan keselamatannya.
Meskipun demikian hatinya berdesir ketika terasa oleh kakinya, segumpal air yang meloncati bendungan.
Bukan dirinya sendiri yang dicemaskannya, tetapi bendungan yang sedang diinjaknya.
Maka sekali lagi ia berteriak sebelum mencapai tepi yang lain.
"Air harus mendapat saluran". Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Ia langsung dapat menangkap maksud Ken Arok. Memang air harus mendapat saluran. Meskipun demikian ia masih belum beranjak dari tempatnya, dipukau oleh ketegangan hatinya melihat Ken Arok sedang meniti bendungan yang kadang-kadang seolah-olah tampak berguncang itu. Namun akhirnya Ken Arok sampai juga ke tepi seberang dengan selamat. Bendungan itu masih berada ditempatnya, dan air tidak segera meluap menyeret Ken Arok dalam ulekan yang mematikan.
"Tuanku"
Nafas Ken Arok memburu di lubang hidungnya.
"air harus mendapat saluran yang cukup. Parit pembuangan air ituterlampau kecil, sehingga tidak dapat menampung arus air yang semakin deras mengalir". Akuwu Tunggul Ametung berpikir sejenak, lalu katanya.
"Ya, kita harus berusaha mendapatkan saluran yang dapat melepaskan air cukup banyak".
"Bagaimana kalau ... . suara Ken Arok tertahan.
"Parit induk maksudmu?"
"Hamba Tuanku".
"Ya, parit induk itu harus dibedah. Kita harus menggali tanah dimulut parit induk itu supaya air dapat naik kedalamnya. Dengan demikian bahaya atas bendungan itu akan jauh berkurang".
"Tetapi, tetapi"
"Kenapa tetapi?"
"Saluran parit induk itu belum siap benar Tuanku. Apalagi untuk menerima banjir. Di ujung parit induk itu terdapat petamanan yang juga masih belum siap juga. Kalau sendang buatan itu meluap maka sebagian dari petamanan itu akan rusak".
"Bukankah ada saluran yang dapat melepaskan air dari belumbang itu".
"Semuanya masih belum siap benar. Tebingnya masih mudah sekali runtuh"
"Aku tidak peduli. Taman itu tidak sepenting bendungan ini. Ayo, kerjakan apa yang ingin kau kerjakan". Hati Ken Arok menjadi berdebar-debar. Dan ia mendengar Akuwu itu berteriak "Kenapa kau berdiri saja seperti patung. Cepat, lakukanlah yang baik menurut pertimbanganmu. Apakah kau menunggu bendungan itu pecah?"
"Hamba Tuanku"
Jawab Ken Arok.
Tanpa dikehendakinya ia berpaling kepada Kebo Ijo.
Tetapi Kebo Ijo itu segera melemparkan pandangan matanya ke samping.
Meskipun demikian seakan-akan iamendengar Ken Arok berkata "Akuwu Tunggul Ametung bukan seorang yang terlampau mementingkan diri sendiri".
Sejenak kemudian maka mereka pun segera berlari-larian kemulut saluran induk yang memang belum digali.
Menurut perhitungan Ken Arok, tebing aluran itu harus siap dahulu, dan sendang buatan di ujung saluran induk itu pun harus sudah siap pula untuk menerima air sebelum limpahannya disalurkan kembali kesungai dibagian bawah.
Tetapi keadaan telah memaksanya menggali mulut saluran induk itu untuk menyelamatkan bendungannya.
Beberapa orang segera bekerja tanpa mengenal lelah.
Di bawah hujan yang lebat, mereka menggali untuk menyalurkan air kesusukan induk.
Akuwu sendiri ikut serta menunggui orang-orang yang sedang bekerja itu.
Kepada beberapa orang yang berdiri kebingungan, Akuwu berkata.
"He, kenapa kau hanya nonton saja. Cepat, berbuatlah sesuatu". Seperti tersadar dari mimpi merekapun segera berbuat apa saja untuk membedah sebuah saluran air yang dapat mengurangi bahaya atas bendungan yang sedang dilanda banjir.
"Dari sebelah ini"
Teriak Ken Arok "jangan dari mulutnya supaya kalian tidak terganggu oleh air yang segera melimpah ke parit ini.
Apabila sudah cukup, larilah ujungnya kita pecahkan".
Semua tenaga telah dicurahkan.
Tidak ada seorang pun yang tidak melakukan kerja.
Di seberang yang lain, orang-orang yang melihat apa yang dilakukan oleh Ken Arok, segera berbuat serupa.
Tetapi parit-parit di seberang tidak sebesar parit induk itu.
Meskipun demikian, sedikit banyak akan dapat membantu mengurangi dorongan air atas bendungan itu.
Tetapi, betapapun mereka memeras tenaga mereka, namun kerja itu terasa terlampau lamban.
Sepercik-percik air sudah mulaimelampaui puncak bendungan.
Sebentar lagi air pasti akan melimpah-limpah dan bahayapun akan menjadi semakin besar.
Pada saat yang bersamaan, Mahisa Agni sedang berjuang sekuat- kuat tenaganya, setinggi-tinggi ilmunya untuk melawan Kebo Sindet.
Tanah yang menjadi semakin licin telah membuatnya sedikit terganggu.
Untunglah, bahwa Kuda Sempana telah memberikan pedang kepadanya.
Seandainya tidak, maka nyawanya pasti tidak akan tertolong lagi, dan tubuhnya akan hancur di mulut buaya- buaya kerdil yang buas dan rakus.
Tetapi, kini ia menghadapi lawan yang baru, yang seakan-akan membantu Kebo Sindet dalam perkelahian itu.
Tanah yang licin.
Sedang Kuda Sempana masih tegak di tempatnya.
Hanya kadang-kadang saja ia menahan nafasnya, tetapi kemudian dilepaskan tarikan nafasnya yang panjang.
Kini ia tidak dapat berpura-pura lagi.
Ia menjadi cemas apabila keadaan Mahisa Agni dalam bahaya.
Tetapi kecemasan itupun beralasan berdasarkan apa yang telah dilakukan.
Bagi Kuda Sempana pertempuran itu hampir tidak dapat dimengertinya.
Meskipun demikian ia dapat melihat bahwa kaki Mahisa Agni kadang-kadang terganggu oleh tanah yang semakin licin oleh hujan yang tercurah dari langit.
Tetapi Kuda Sempana tidak dapat berbuat apa-apa.
Namun Mahisa Agni sendiri telah memeras segenap kemampuannya.
Ia masih cukup kuat bertahan dari desakan Kebo Sindet meskipun ujung golok lawannya itu kadang-kadang menyentuh kulitnya.
Tetapi pedangnya sendiri pun mampu juga melukai kulit lawannya.
Membuat goresan-goresan yang menitikkan darah.
Sehingga tubuh mereka yang berkelahi, yang basah oleh air hujan dan keringat, menjadi semakin diwarnai oleh darah mereka sendiri.
Di Padang Karautan, orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel pun telah bekerja memeras tenaga mereka.
Dengan tergesa-gesa mereka menggali mulut susukan induk untukmembantu mengurangi tekanan air yang semakin tinggi.
Parit yang telah dipersiapkan untuk kepentingan itu ternyata terlampau kecil, sehingga tidak dapat diharapkan lagi.
Semakin lama galian(?) orang-orang Panawijen dan para prajurit itu menjadi semakin dalam dan lebar.
Setapak demi setapak parit itu merayap kepinggir sungai.
"Hati-hati,"
Teriak Ken Arok "air itu akan memecah tanah yang semakin tipis.
Jangan sampai ada di antara kalian yang diseret oleh luapan yang pertama".
Suara itu segera disahut oleh beberapa orarg yang meneriakkan peringatan serupa.
Beberapa orang yang bekerja di ujung susukan itu menyadari, bahwa apabila mereka lengah, mereka akan diseret oleh luapan air yang pertama kali akan melimpah ke parit induk itu.
"Beri saja jalan secukupnya"
Akuwu Tunggul Ametunglah yang kemudian berteriak.
"kemudian air itu akan membuat jalannya sendiri menurut kekuatannya".
"Ya, kita hanya cukup membuka jalan sedikit saja"
Ulang Kebo Ijo.
Ken Arok sendiri kemudian berlari kebagian paling ujung dari susukan induk itu.
Setelah tanah yang mereka gali cukup dalam dan lebar, maka segera ia teriak "Pergi.
Kalian harus menyingkir.
Aku akan memecahkan mulut susukan ini".
Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel itu segera menepi, Yang tinggal adalah Ken Arok sendiri dengan sebuah cangkul di tangan.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hati-hati"
Teriak Akuwu Tunggul Ametung.
Sesaat Ken Arok memandangi air yang bergulung-gulung semakin tinggi.
Digenggamnya cangkulnya erat-erat seperti saat- saat ia menggenggam pedang.
Kini ia tidak sedang bertempur melawan lawannya, tetapi ia sedang berjuang melawan air.Meskipun demikian anak muda itu telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya.
Terasa bahwa saat-saat yang demikian itu sama sekali tidak ubahnya seperti pada saat-saat ia bertempur.
Akibat dari usahanya itu akan besar sekali artinya, tidak saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh orang-orang Panawijen yang meletakkan harapannya pada bendungan itu, dan selebihnya bagi orang-orang padukuhan disekitarnya yang akan dilimpahi juga oleh hasil kerja ini, bahkan bagi seluruh Tumapel akan terpercik juga hasilnya.
Itulah sebabnya dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk menyelamatkan bendungan ini.
Semakin tipis tanah yang tersisa di mulut susukan itu, orang- orang Panawijen, para prajurit, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul Ametung menjadi kian berdebar-debar.
Sebuah sobekan yang kecil telah cukup untuk memberi kesempatan kepada air yang meluap itu melimpah dengan derasnya dan seterusnya pasti akan membuat jalannya sendiri, merobek mulut susukan itu menjadi semakin lebar.
Saat yang demikian itulah yang menegangkan setiap wajah yang sedang berdiri disekitar susukan induk itu.
Ken Arok dengan sepenuh perhatian, sedikit demi sedikit mulai menyentuh bibir susukan itu.
Dan pada ajunan yang kemudian, sepercik air telah mengalir masuk.
Seterusnya, sebuah arus yang dahsyat meloncat pada bibir susukan yang sobek oleh ayunan cangkul Ken Arok, terasa kaki Ken Arok bergetar sesaat oleh desakan air yang memukul seperti ayunan pukulan seseorang yang paling sakti.
Namun Ken Arok adalah seseorang yang menyimpan kekuatan yang tidak tersangka-sangka di dalam tubuhnya.
Sejenak ia bertahan, supaya tidak hanyut oleh desakan arus air yang menghantamnya, semakin lama semakin tinggi.
"Cepat, cepat"
Akuwu berteriak.
Tetapi Ken Arok tidak segera dapat meloncat.
Ia harus mempertahankan dirinya, sebelum ia berkesempatan mengumpulkan tenaganya untuk mendorongnya dengan suatu loncatan.Pada saat yang demikian Ken Arok harus berbuat sejauh dapat dilakukan.
Pemusatan kekuatan, pemusatan segenap getar di dalam dirinya untuk melawan maut yang telah menyentuhnya, sedang orang-orang yang menyaksikannya sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Pada saat yang demikian, Kuda Sempana pun hanya berdiri saja dengan tegangnya tanpa dapat berbuat sesuatu.
Ternyata Kebo Sindet memanfaatkan tanah yang licin itu dengan liciknya.
Karena kakinya telah terbiasa, maka pengaruh tanah yang licin itu tidak terlampau banyak baginya, sehingga dalam perkelahian berikutnya, dipergunakannya cara yang paling licik.
Ia berloncat-loncatan dan berputar-putar dengan gerak yang panjang.
Dengan demikian ia mergharap bahwa Mahisa Agni tidak akan dapat mengimbanginya.
Ternyata usaha itu agaknya memberikan harapan baru baginya.
Sekali-kali Mahisa Agni terpaksa bertahan untuk tidak tergelincir jatuh.
Dan dalam saat-saat yang demikian itulah maka serangan Kebo Sindet datang menghantamnya seperti banjir yang dengan dahsyatnya menghantam bendungan.
Namun dalam saat-saat yang demikian, Mahisa Agni sama sekali tidak berusaha lain kecuali menangkis serangan lawannya.
Ia harus mempergunakan segenap kekuatannya dan dipusatkannya pada ujung tangannya yang menggenggam pedang.
Meskipun demikian, namun gerak Mahisa Agni menjadi sennkin terbatas.
Untunglah bahwa Mahisa Agni tidak kehilangan akal, sehingga ia mampu mengatasi setiap usaha dan cara lawannya untuk membinasakannya.
Sehingga betapa Kebo Sindet mencari akal namun ia tidak dapat segera melakukan maksudnya, mendorong Mahisa Agni jatuh ke dalam mulut binatang-binatang air.
Betapa perkelahian itu menjadi semakin seru.
Kebo Sindet yang menggeram, menerkam dengan ujung goloknya seperti harimau lapar, barus menghadapi lawannya yang tangguh seperti banteng ketaton.(bersambung ke
Jilid 38) Koleksi . Ki Ismoyo Scanning . Ki Ismoyo Retype . Ki Sukasrana Proofing . Ki Wijil Cek ulang . Ki Arema ---ooo0dw0ooo---
Jilid 38 AKHIRNYA, Kebo Sindet tidak telaten menghadapi lawannya yang tidak segera dapat ditundukkannya.
Di dalam hujan yang sangat lebat, orang itu menggeretakkan giginya.
Beberapa langkah ia meloncat surut, kemudian seperti sebatang tonggak ia berdiri tegak, memusatkan segenap kekuatannya.
Dibangkitkannya semua kekuatan dan getaran yang ada di dalam dirinya, disalurkannya lewat urat nadinya, dipusatkannya pada tangan kanannya yang menggenggam goloknya.
Bukan sekedar kekuatan yang sudah mencapai puncaknya, tetapi segenap kekuatan cadangan yang tersimpan rapat-rapat di dalam dirinya.
Kali ini Kebo Sindet bertekad untuk melepaskan aji pamungkasnya, aji yang dahsyat sedahsyat petir di udara.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar melihat sikap lawannya.
Tetapi ia tidak dapat sekedar melihat apa yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet.
Yang akan terjadi itu pasti akan langsung menyangkut dirinya.
Apabila ia tidak segera berbuat sesuatu untuk mengimbanginya, maka ia akan menjadi lumat sama sekali.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni pun segera berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang.
Meskipun dengan hati yang berdebar-debar, maka segera dibangunkannya kekuatan puncaknya dalam hubungan lahir dan batinnya.
Dijulurkannya tangan kirinya lurus ke depan, dan di silangkannya pedangnya di muka dadanya.Tangan anak muda itu tampak bergetar.
Aji Gundala Sasra yang mendapat penyempurnaan dengan unsur-unsur kekuatan dan gerak yang serasi dari inti kedahsyatan Aji Kala Bama yang luluh, seolah- olah mengalir pada telapak tangannya.
Mahisa Agni belum pernah membuat pertandingan-pertandingan dari kekuatannya dengan kekuatan-kekuatan lain dalam benturan langsung.
Namun ia dapat menduga, bahwa kekuatan yang ada di dalam dirinya, setidak-tidaknya akan mampu mengimbangi kekuatan lawannya.
Sejenak kedua orang itu seolah-olah membeku.
Namun sejenak kemudian berbareng dengan meledaknya guntur di langit, terdengar Kebo Sindet berteriak nyaring.
Goloknya terangkat tinggi-tinggi, dan bersamaan dengan loncatannya, goloknya terayun deras sekali menghantam lawannya yang sudah siap menunggunya.
Di Padang Karautan, yang terdengar adalah suara Akuwu Tunggul Ametung berteriak keras sekali, sekeras ledakan petir yang bersabung.
"Ken Arok, cepat meloncat ketepi."
Tetapi Ken Arok sudah tidak mendapat kesempatan lagi.
Tanah di bawah kakinya seakan-akan surut dengan cepatnya, sedangkan air naik secepat itu pula.
Dada anak muda itu menjadi berdebar-debar.
Dikerahkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Kekuatan yang telah ada di dalam tubuhnya tanpa diketahuinya sendiri.
Sejenak Akuwu Tunggul Ametung menjadi bingung.
Kebo Ijo dan prajurit-prajurit yang lain seakan-akan telah kehilangan akal mereka.
Bahkan mereka telah menjadi berputus asa.
Ken Arok tidak akan dapat tertolong lagi.
Ki Buyut Panawijen menjadi pucat seperti mayat, sedang orang-orang Panawijen benar-benar telah kehilangan nalar dan harapan.
Akuwu Tunggul Ametung pun masih berdiri membeku.
Ia adalah orang yang hampir-hampir tidak pernah berpikir, apalagi menanggapi persoalan yang tiba-tiba.
Tetapi, kali ini Akuwu TunggulAmetung sama lekali tidak berputus asa dan tidak membiarkan Ken Arok hanyut tanpa berbuat sesuatu.
Meskipun demikian, meskipun ia sedang dirisaukan oleh persoalan yang sedang dihadapinya, namun sesaat jantungnya bergetar.
Ia melihat sesuatu yang aneh baginya.
Ternyata daya tangkap dan tanggapan Akuwu Tunggul Ametung atas persoalan- persoalan yang bukan sekedar masalah lahiriah, jauh lebih baik dari orang-orang yang ada di sekitarnya, bahkan tidak jauh berbeda dari Empu Purwa, Empu Gandring dan beberapa orang lain.
Lamat-lamat di dalam hujan yang sangat lebat ia melihat warna yang kemerah- merahan di atas ubun-ubun Ken Arok yang sedang mengerahkan segenap kekuatan yang seakan-akan telah tersedia di dalam dirinya, untuk bertahan supaya ia tidak hanyut.
Bahwa ia masih tetap dapat berdiri, adalah suatu hal yang hampir tidak mungkin dan tidak masuk akal.
Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Ken Arok masih dapat bertahan, berdiri tegak menahan arus air yang luar biasa dan sudah hampir mencapai setinggi dada.
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk meloncat karena justru tanah di bawah kakinya menjadi surut hanyut di dalam arusnya banjir yang mendapat saluran untuk mengalir.
Kalau ia berusaha untuk meloncat juga, maka ia akan terperosok semakin dalam dan segera akan tenggelam.
Akuwu Tunggul Ametung yang sesaat dipukau oleh tanggapan mata hatinya itu, segera menyadari keadaan.
Tiba-tiba sekali lagi ia berteriak.
Sekali lagi orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak masuk diakal mereka.
Akuwu itu tiba-tiba melenting seperti bilalang.
Sekali sambar tangannya telah menggenggam ujung sebatang bambu yang tertumpuk di pinggir bendungan.
Kemudian sekali lagi ia melenting sambil menjinjing bambu itu.
Terdengarlah kemudian suaranya mengguntur.
"Tangkaplah pangkalnya. Peganglah erat- erat. Aku akan menarikmu."
Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel hampir tidak dapat mengerti apa yang telah terjadi.
Adalah di luar nalar merekabahwa seseorang mampu melakuannya, menjinjing sebatang bambu utuh yang panjang sambil meloncat sedemikian jauhnya, kemudian mengulurkan bambu itu dari pinggir susukan induk kepada Ken Arok yang sedang berjuang menguasai diri, melawan air yang kini telah mencapai setinggi dadanya.
Sejenak Ken Arok terpukau melihat gerak Akuwu Tunggul Ametung.
Demikian ia mengaguminya, sehingga ia hampir lupa kepada dirinya sendiri.
Tetapi segera ia sadar setelah pangkal sebatang bambu yang dijulurkan Akuwu Tunggul Ametung itu hampir menyentuh hidungnya.
Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah berbuat tepat pada waktu.
Apabila ia terlambat sekejap, maka keadaannya akan menjadi lain, karena sekejap kemudian tanah di bawah kaki Ken Arok itu seolah-olah telah hanyut diseret oleh banjir bandang.
Apabila Ken Arok ikut serta terseret oleh arus itu maka usahanya untuk melepaskan diri akan menjadi semakin sulit dan usaha untuk menolongnya pun menjadi semakin sulit pula.
Tetapi pada saatnya tangan Ken Arok menyambar pangkal bambu yang dijulurkan kepadanya meskipun sesaat ia masih dirayapi oleh keragu-raguan, bahwa justru Akuwu Tunggul Ametung lah yang akan ikut terseret bersamanya.
Tetapi sekali lagi orang-orang Panawijen dan para prajurit itu berdiri dengan mulut ternganga, meskipun air hujan masuk ke dalamnya.
Dada mereka terasa berhenti berdetak ketika mereka melihat bagaimana Ken Arok berusaha menahan diri berpegangan pada pangkal bambu yang ujungnya dipegang oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Dua kekuatan di pangkal dan di ujung itu hampir tidak dapat dinilai oleh orang-orang yang berdiri memaku di sekitarnya.
Bahkan orang-orang yang berada di seberang pun terpukau sama sekali melihat apa yang terjadi, meskipun hanya samar-samar karena hujan yang terlampau deras.Perlahan-lahan Akuwu menarik bambu itu.
Dikerahkannya segenap kekuatan yang ada padanya.
Bambu, Ken Arok dan banjir adalah lawan yang cukup berat baginya.
Tetapi ternyata Akuwu adalah seorang yang memiliki tenaga yang luar biasa.
Orang-orang yang terpesona melihat hal itu terjadi, justru berdiri saja mematung, tanpa dapat berbuat sesuatu.
Mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, apalagi berlari dan ikut serta menahan bambu yang sedang mengangkat tubuh Ken Arok dari dalam arus air.
Sedang Ken Arok sendiri, berpegang pada pangkal bambu itu.
Terasa seolah-olah air menghisapnya dan menariknya ke dalam lingkaran maut.
Tetapi ia bertahan terus.
Bertahan dengan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan.
Betapa lambatnya, namun Ken Arok terseret semakin menepi.
Agaknya dua kekuatan di ujung dan pangkal sebatang bambu itu akan dapat menyelamatkannya.
Meskipun kadang-kadang segumpal air menghantam wajahnya, namun sekejap kemudian Ken Arok berhasil mengangkatnya ke atas permukaan air.
Mereka yang menyaksikan, Ken Arok tertarik sedikit demi sedikit menepi itu, menahan nafas mereka.
Wajah-wajah mereka menjadi semakin tegang dan darah mereka serasa berhenti mengalir.
Seperti Kuda Sempana yang saat itu menahan nafasnya pula, jantungnya pun seakan-akan berhenti berdetak.
Ia tahu benar, bahwa kedua orang yang mempersiapkan kekuatan pamungkas mereka.
Loncatan Kebo Sindet yang hampir-hampir tidak dapat diikuti oleh mata itu, adalah permulaan dari benturan yang sekejap lagi pasti akan terjadi.
Dada Kuda Sempana lah yang akan meledak, sesaat kemudian ketika ia melihat golok Kebo Sindet terayun deras sekali seperti petir yang menyambar dari langit disertai suaranya yang melengking semakin tinggi.
Tetapi Mahisa Agni telah bersiap sepenuhnya untuk menerima serangan itu.
Ia kali ini sengaja tidak ingin menghindar.
Ia inginmengalami benturan itu, supaya perkelahian itu segera sampai pada akhirnya.
"Disini kita akan mendapat kepastian."
Gumannya di dalam hati.
Sesaat kemudian anak muda itu menggeretakkan giginya, Di sentakkannya kakinya menyongsong serangan Kebo Sindet itu.
Dengan pedangnya Mahisa Agni dengan sengaja membenturkan kekuatannya melawan kekuatan aji lawannya.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benturan yang terjadi adalah benturan yang dahsyat sekali.
Sepercik bunga api meloncat ke udara, meskipun hujan yang lebat sekali masih tercurah dari langit.
Seolah-olah sepasang petir sedang bersabung di udara.
Bersabung dengan penuh dendam dan benci.
Akibat dari benturan itu pun dahsyat sekali.
Keduanya terlempar beberapa langkah surut.
Terasa kekuatan benturan itu telah menyalar di tubuh mereka, seakan-akan menghentak jantung di dalam dada masing-masing, sehingga sekejap kemudian mata mereka menjadi berkunang-kunang.
Kebo Sindet merasakan sesuatu yang menyesak pernafasannya, sehingga ia menjadi tersengal-sengal.
Namun ia masih cukup menyadari apa yang telah terjadi, sehingga ia masih mampu untuk berusaha jatuh di atas kedua kakinya.
Sedang Mahisa Agni masih juga menyadari keadaannya sepenuhnya.
Meskipun dadanya terasa sesak, tetapi akibat benturan-benturan itu masih tidak separah Kebo Sindet.
Agaknya ilmunya yang luluh dengan kekuatan Aji Empu Sada, telah berhasil mengatasi kekuatan lawannya, meskipun perbedaan itu masih belum terlampau banyak.
Ternyata dalam kekurangannya, Kebo Sindet masih memiliki kelebihan pengalaman yang cukup untuk mempertahankan dirinya.
Tetapi sekali lagi Mahisa Agni dihadapkan kepada lawan yang lain.
Ketika ia berusaha berdiri tegak di atas kedua kakinya, maka tiba-tiba keseimbangannya terganggu oleh tanah yang licin.
Dalam keadaan yang sulit itu, akhirnya Mahisa Agni tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian ia terpelanting jatuh.Kebo Sindet yang terluka di dadanya, yang berhasil tegak pada kedua kakinya, meskipun agak tertatih-tatih, melihat Mahisa Agni terpelanting jatuh.
Baginya itu adalah suatu kesempatan.
Tetapi pada saat yang demikian barulah ia menyadari, bahwa golok di tangannya yang langsung berbenturan dengan pedang Mahisa Agni telah terpelanting jatuh.
Terasa kemudian bahwa tangannya menjadi pedih.
Kebo Sindet itu mengumpat dengan kata-kata yang paling kotor.
Ia sadar, bahwa kekuatan Mahisa Agni ternyata telah melampaui kekuatannya.
Namun ia menjadi berpengharapan ketika ia melihat bahwa Mahisa Agni pun telah tidak bersenjata lagi.
Meskipun pangkal pedangnya tidak terlepas dari tangannya, betapapun dahsyatnya benturan yang terjadi, tetapi pedang itulah yang ternyata kurang baik bagi benturan kekuatan yang dahsyat.
Ternyata pedang itu terputus hampir di pangkalnya.
Dan kini Kebo Sindet melihat Mahisa Agni terpelanting jatuh tergelincir karena tanah yang licin.
Pada saat Mahisa Agni masih belum menemukan kesempatan untuk bangun, maka ia harus mempergunakan setiap kemungkinan.
Ia harus cepat menyerang dan membinasakan lawannya.
Kebo Sindet mencoba mengumpulkan kekuatannya yang terakhir.
Terdengar ia menggeram keras.
Luka di dalam dadanya tidak dihiraukannya.
Sekali lagi ia mateg aji pamungkasnya.
Seperti seekor harimau lapar Kobo Sindet meloncat menerkam Mahisa Agni yang masih belum sempat bangkit.
Tetapi Mahisa Agni memang tidak segera bangkit.
Ia menyadari bahwa Kebo Sindet pasti akan mempergunakan kesempatan itu.
Kesempatan pada saat ia kehilangan keseimbangan.
Karena itu maka ia masih saja berbaring di tempatnya.
Justru sambil berbaring dipusatkannya segala kekuatan dan getaran di dalam dirinya.
Kekuatan lahir dan batin.
Mahisa Agni hanya sempat menggeser diri dalam sikap yang dikehendaki.
Ia menempatkan dirinya membujur bertentang arahterkaman Kebo Sindet.
Dilepaskannya sama sekali hulu pedang yang patah.
Ia tidak dapat mempergunakannya lagi.
Lawannya pun tidak mempergunakan senjata, selain kekuatan aji tertingginya.
Mahisa Agni yang telah mendalami dan mengenali watak kekuatannya sendiri, kali ini tidak menjalurkannya dan memusatkannya di tangannya, tetapi kekuatannya disalurkannya pada kedua kakinya.
Dengan berdebar-debar ia menunggu terkaman iblis dari Kemundungan itu.
Kebo Sindet dengan sepenuh tenaganya, menjulurkan tangannya.
Ia telah siap mencekik leher Mahisa Agni, menindihnya dan membuatnya tidak bernafas.
Meskipun kekuatannya tidak sebesar kekuatan Mahisa Agni, tetapi perbedaan itu tidak terlampau besar, sehingga apabila tangannya telah menerkam leher lawannya, ia yakin, pada saat sentuhan itu terjadi, Mahisa Agni pasti sudah kehilangan sebagian besar dari kekuatannya.
Leher lawannya tidak akan sekuat tangannya untuk menolak kekuatan aji pamungkasnya.
Tetapi Kebo Sindet lupa bahwa Mahisa Agni pun memperhitungkan waktu sekejap demi sekejap.
Anak muda itupun menyadari, bahwa apabila ia menyia-nyiakan waktu yang sekejap, maka akibatnya akan tidak diduga-duganya.
Itulah sebabnya, ia telah siap menyambut Kebo Sindet yang seakan-akan melayang menerkamnya sambil berteriak nyaring.
Matanya yang membara menjadi semakin liar, dan wajahnya yang beku itu memancarkan nafsu iblisnya.
Tetapi Mahisa Agni telah siap menyambutnya.
Pada saat yang telah diperhitungkan Mahisa Agni menekuk lututnya, dan menyambut terkaman Kebo Sindet itu dengan kekuatan puncaknya, dengan ajinya yang telah disempurnakan.
Sekali lagi terjadi sebuah benturan yang dahsyat.
Benturan antara dua kekuatan yang pilih tanding.
Dua kekuatan raksasa yang dilontarkan dengan nafas kebencian, dendam dan nafsu yang meluap-luap.Sekali lagi keduanya harus mengalami akibat yang dahsyat pada tubuh masing-masing.
Ternyata Mahisa Agni yang membentur serangan Kebo Sindet itu dengan kakinya, terdorong beberapa langkah, meluncur di atas tanah yang licin menuju ke bibir rawa- rawa.
Dengan sekuat tenaga anak muda itu mencoba menahan dirinya dengan mencengkamkan jari-jari tangannya pada tanah berlumpur.
Meskipun tidak terlampau banyak, namun usaha itu telah menahannya Mahisa Agni berhenti beberapa langkah yang pendek saja dari bibir rawa-rawa.
Bahkan kepalanya telah terperosok kedalam gemburnya lumpur rawa-rawa yang berwarna gelap.
Tetapi Mahisa Agni tidak terjerumus masuk dalamnya.
Sedang sendi-sendi tulang kakinya terasa berpatahan.
Perasaan sakit yang luar biasa telah menyalari seluruh tubuhnya.
Namun Mahisa masih tetap sadar, apa yang telah terjadi dengan dirinya.
Ia masih sempat melihat akibat dari peristiwa itu dan peristiwa- peristiwa berikutnya.
Mahisa Agni masih mendengar Kebo Sindet berteriak mengerikan.
Benturan itu agaknya telah membuat lukanya semakin parah.
Tetapi lebih dari pada itu, dorongan kaki Mahisa Agni telah melemparkan Kebo Sindet yang seakan-akan sedang terbang di atasnya.
Tubuh iblis itu melambung tinggi dan melayang ke arah yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Kebo Sindet.
Dalam usahanya terakhir Kebo Sindet menggeliat di udara, namun ia tidak berhasil menghentikan lontaran kekuatan Mahisa Agni, sehingga tubuhnya melayang langsung kedalam air yang keruh berlumpur.
Sejenak kemudian tubuh itu pun terbanting jatuh ke dalam rawa- rawa.
Suara teriakan Kebo Sindet masih terdengar sesaat.
Mahisa Agni sejenak melupakan segala macam penderitaan tubuhnya.
Ia berusaha untuk bangkit, dan melihat apa yang telah terjadi.
Sebuah desir yang tajam menggores jantungnya.
Ia melihat Kebo Sindet menggelepar di dalam air.
Dan ia melihat Kebo Sindet masih berusaha untuk mencoba menyelamatkan dirinya.
Kebo Sindet itu telah mengenal betul watak dan tabiat rawa-rawa itu, sehinggaketika tubuhnya telah berada di dalam air, justru ia menghentikan segala macam gerak yang sama sekali tidak berarti, yang akan mendorongnya semakin cepat terbenam ke dalam lumpur.
Mahisa Agni kini sudah berdiri pada lututnya.
Tubuhnya terasa lemah sekali, seakan-akan semua tulang-tulangnya dilolosi.
Karena itu maka ia tidak berusaha untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya, Ia tidak mau jatuh tergelincir karena tanah yang licin, apalagi tergelincir masuk rawa-rawa menyusul Kebo Sindet.
Dengan demikian maka dengan nafas terengah-engah dan sekali- sekali menyeringai menahan sakit, ia melihat Kebo Sindet berada di dalam air.
"Setan iblis."
Kebo Sindet mengumpat di dalam air.
Namun ia masih berdiri diam.
Dengan mata yang menyalakan dendam tiada taranya dipandanginya Mahisa Agni.
Tetapi sejenak kemudian ia sadar akan dirinya.
Ia harus segera keluar dari rawa-rawa itu.
Dicobanya untuk menggerakkan kakinya sedikit, bergeser ke tepi.
Tetapi ternyata tanah berlumpur di bawah kakinya terlampau gembur, sahingga sedikit demi sedikit, Kebo Sindet itu seolah-olah dihisap kedalam bumi.
Sejenak terbersit kecemasan membayang di wajah yang beku itu.
Bayangan yang hampir sepanjang hidupnya tidak pernah mewarnai wajahnya.
Namun kini tampaklah, betapa Kebo Sindet telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat.
Setiap kali ia bergerak, betapapun kecilnya, maka kakinya menjadi semakin dalam terperosok ke dalam lumpur di dasar rawa-rawa itu.
Meskipun demikian Kebo Sindet masih berusaha untuk melangkah ketepi.
Perlahan-lahan ia beringsut.
Namun perlahan- lahan ia terbenam semakin dalam.
"Gila, kau gila Mahisa Agni."
Teriaknya. Kecemasan semakin mencengkam jantungnya.
"kalau aku berhasil ke luar dari rawa-rawa ini, maka aku cincang kau habis-habisan."Mahisa Agni masih terdiam ditempatnya. Ia masih berdiri pada lututnya. Namun kengerian membayang di hatinya. Ia tahu benar, apakah yang tersimpan di dalam air yang keruh itu. Ia dapat membayangkan apakah yang akan terjadi atas Kebo Sindet itu apabila ia tidak segera dapat keluar dari dalam air berlumpur itu. Sejenak Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi ia mendengar suara Kebo Sindet.
"He Mahisa Agni. Kalau aku nanti keluar dari rawa-rawa ini, kaulah yang akan aku lemparkan masuk. Kaulah yang akan menjadi makanan buaya-buaya kerdil di sini."
Mahisa Agni tidak menjawab.
Sekali-sekali perasaan sakit seolah- olah menyengat di seluruh tubuhnya.
Namun ia yakin bahwa Kebo Sindet pun terluka setidak-tidaknya separah dirinya sendiri.
Tetapi karena keadaannya, maka seolah-olah luka itu tidak terasa, Kebo Sindet sedang dicemaskan oleh rawa-rawa yang kini seakan-akan sudah membelenggunya.
Tetapi iblis itu tidak berputus asa.
Ia masih juga berusaha.
Setiap kali ia menggerakkan tubuhnya, maka mulutnya pasti mengumpat tidak habis-habisnya.
Wajahnya kini sama sekali tidak lagi membeku seperti wajah mayat.
Namun jelas ketegangan dan kecemasan yang mengerikan, membayang di wajah itu.
Ketika kakinya terperosok semakin dalam, Kebo Sindet itu mengumpat-umpat semakin keras.
Tetapi ia masih belum menyerah.
Ia masih berusaha terus.
Perlahan-lahan sekali.
Tetapi ternyata kaki-kakinya semakin dalam terhisap masuk ke dalam tanah berlumpur di dasar rawa-rawa.
Kesabaran Kebo Sindet pun semakin lama menjadi semakin mencair.
Usaha untuk melepaskan diri semakin lama menjadi semakin kabur, sehingga iblis itu memaki-maki semakin keras dan kotor.
Mahisa Agni yang berdiri pada lututnya melihat, betapa wajah Kebo Sindet yang sehari-hari dilihatnya selalu membeku itu menjaditegang.
Kemudian diulas oleh kecemasan hatinya dan akhirnya wajah itu seolah-olah telah membayangkan keputus asaan.
Betapa dendam membara di dalam dada Mahisa Agni, ketika dilihatnya akhir yang mengerikan dari hidup Kebo Sindet itu terasa sentuhan halus menyinggung hatinya.
Ia memang ingin membinasakan iblis dari Kemundungan itu, tetapi tidak dengan cara itu.
Tidak dengan cara yang demikian mengerikan.
Tiba-tiba Mahisa Agni pun melupakan betapa tubuhnya menjadi hampir lumpuh.
Perlahan-lahan dan hati-hati ia bangkit.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setapak- setapak ia melangkahkan kakinya meninggalkan pinggiran rawa- rawa itu.
Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar Kebo Sindet berteriak.
"He, jangan lari pengecut. Sebentar lagi aku akan keluar dari air ini. Tubuhku terasa bertambah segar. Dan kau akan mengalami kematian yang paling mengerikan."
Mahisa Agni melihat wajah Kebo Sindet semakin menjadi tegang dan berputus-asa.
Namun wajah itu masih juga memancarkan dendam dan kebencian tiada taranya.
Tiba-tiba dada Mahisa Agni berdesir tajam Ia melihat sesuatu dikejauhan bergerak-gerak di permukaan air.
Satu, dua disusul oleh yang lain semakin lama semakin banyak.
Buaya-buaya kerdil.
Wajah Mahisa Agni tiba-tiba menjadi pucat.
Buaya-buaya itu pasti telah mencium bau darah yang meleleh dari tubuh Mahisa Agni.
Dan buaya-buaya itu sebentar lagi pasti akan menyeret tubuh Kebo Sindet semakin ketengah dan mengoyak-ngoyaknya.
Mahisa Agni menjadi ngeri sekali membayangkan apa yang akan terjadi Karena itu maka tiba-tiba ia melangkah semakin cepat, secepat dapat dilakukan.
Sejenak ia mencari-cari ditempat ia berkelahi melawan Kebo Sindet sebelum Kebo Sindet terlempar ke dalam air.
Ia sama sekali tidak memperdulikan Kebo Sindet berteriak-teriak memanggilnya dan memaki-makinya.
"Pengecut licik. Jangan lari. Tunggu, sebentar lagi aku akan mengoyak tubuhmu dan melemparkannya kemulut-mulut buaya kerdil."Dan buaya-buaya kerdil itu benar-benar telah mendekat. Mahisa Agni yang menjadi semakin berdebar-debar karenanya, dengan serta-merta berteriak.
"Buaya-buaya itu telah datang. Cepat, kalau kau dapat melakukannya, naiklah."
Kebo Sindet mengerutkan keningnya.
Sesuatu hal yang jarang sekali dilakukannya.
Wajahnya kini seakan-akan telah mencair, telah tidak membeku lagi.
Ketika ia berpaling, dikejauhan dilihatnya permukaan air yang bergerak-gerak.
Dada iblis dari Kemundungan itu berdesir tajam.
Kini ia berhadapan dengan kenyataan, bahwa buaya-buaya kerdil itu segera akan menyerangnja, tubuhnyalah yang sebentar lagi akan dikoyak-koyakkannya.
Sama sekali bukan Mahisa Agni.
Jantung Kebo Sindet serasa melonjak-lonjak di dalam dadanya.
Ia sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu.
Ia ingin mengikat Mahisa Agni dan menggantungkannya dekat di permukaan air.
Ia ingin melihat buaya-buaya kerdil itu melonjak-lonjak meraih tubuh yang tergantung itu, sehingga pada suatu saat tubuh itu terkoyak oleh gigi-gigi buaya kerdil yang tajam.
Tetapi buaya-buaya itu kini berenang perlahan-lahan ke arahnya, dan ia tidak dapat berbuat apa-apa.
"Setan, iblis."
Ia mengumpat-umpat.
"Mahisa Agni, seharusnya kau lah yang berada di sini. Ayo, kemarilah. Kau harus menggantikan tempat ini. Kaulah yang akan menjadi makanan buaya kerdil itu. Cepat, datang kemari supaya aku mengampunkan kesalahanmu."
Mahisa Agni berdiri tegak ditempatnya. Ia melihat buaya-buaya kerdil itu menjadi semakin dekat. Debar di dalam dadanya pun menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
"Kau kemari, he anak setan."
Teriak Kebo Sindet.
"kau kemari. Aku akan memaafkan semua kesalahanmu. Kau akan kuampuni."
Kebo Sindet itu berhenti sejenak.
"tetapi kalau tidak, maka kau akan aku cincang sebelum kau mati. Aku dapat membunuhmu dengan segala macam cara yang aku kehendaki."Mahisa Agni kini melihat Kebo Sindet itu kehilangan ketenangannya, Ia berusaha untuk meloncat, tetapi kakinya seolah- olah telah digenggam erat-erat oleh lumpur di dasar rawa itu. Meskipun demikian Kebo Sindet masih berusaha. Ia mencoba untuk tidak menginjakkan kakinya lagi. Ia berusaha untuk berenang. Berenang ketepi. Namun kakinya telah benar-benar terbenam semakin dalam. Sedang buaya-buaya itu menjadi semakin dekat. Bukan saja Kebo Sindet yang menjadi cemas, tetapi Mahisa Agni pun menjadi semakin cemas juga. Tanpa disengajanya anak muda itu berpaling kepada Kuda Sempana. Ternyata wajah Kuda Sempana pun menjadi kian pucat. Ia tidak menghiraukan lagi titik-titik air hujan yang menyiram wajah itu. Tiba-tiba Mahisa Agni melihat sesuatu tergolek di tanah. Golok Kebo Sindet. Golok yang terlepas dari tangan iblis itu pada saat benturan kekuatan diantara mereka terjadi. Dengan serta merta, seolah-olah di luar sadarnya Mahisa Agni melangkah mendekati. Diambilnya golok itu, dan sejenak ia berdiri dalam kebimbingan. Namun kemudian ia memutar tubuhnya menghadap kepada Kebo Sindet yang kini sudah kehilangan ketenangannya menggelepar di dalam air yang seakan-akan semakin menghisapnya. Dengan lantang Mahisa Agni itu berkata.
"Kebo Sindet, ini senjatamu. Mungkin kau memerlukannya untuk melawan binatang-binatang air yang buas itu."
Mahisa Agni tidak menunggu jawaban Kebo Sindet.
Beberapa langkah ia maju.
Kemudian dilontarkannya hulu golok itu kearah Kebo Sindet yang sedang dilanda oleh gejolak perasaan yang dahsyat.
Ia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi atasnya, sehingga kenyataan itu terasa terlampau pahit untuk diterimanya.
Mahisa Agni masih berdiri dengan dada yang berdebar-debar.
Tetapi menyimpan dendam di dalam hatinya, tetapi ia tidak dapat melihat kenyataan itu terjadi atas Kebo Sindet.
Kenyataan yang bertentangan keinginan iblis itu sendiri.Kebo Sindet ternyata cukup cekatan untuk menerima goloknya.
Tepat pada saat itu, buaya-buaya kerdil itu telah menjadi semakin dekat.
Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir ketika ia melihat seekor yang berada di paling depan mengangakan mulutnya yang lebar dengan gerigi yang tajam berderet panjang.
Mahisa Agni masih sempat melihat Kebo Sindet mengayunkan goloknya dan buaya yang terdepan itu melengking tinggi.
Tubuhnya menggeliat dan darah memancar kemerah-merahan.
Buaya yang malang itu pun kemudian terbenam di dalam air.
Tetapi buaya-buaya itu tidak hanya seekor.
Dibelakangnya segera menyusul seekor, seekor dan seekor lagi.
Berturut-turut.
Mahisa Agni tidak ingin melihat apa yang terjadi seterusnya.
Segera ia memalingkan wajahnya.
Tetapi ia terperanjat ketika ia melihat Kuda Sempana berlari-lari menggenggam pangkal pedangnya yang sudah terputus.
"Apa yang akan dilakukannya?"
Desis Mahisa Agni di dalam hatinya.
Sesaat kemudian Mahisa Agni baru mengetahui apa yang akan diperbuatnya.
Kuda Sempana itu ternyata telah memotong dua tiga helai sulur beringin.
Seperti pada saat ia pergi kebatang itu, maka ia pun kemudian berlari-lari pula kembali.
Mahisa Agni tahu maksud Kuda Sempana.
Secercah kebanggan membersit di hatinya.
Ternyata di dalam diri Kuda Sempana itu masih tersisa rasa kemanusiaannya.
"Marilah, kita usahakan agar orang itu dapat terlepas dari mulut buaya-buaya kerdil itu."
Katanya dengan nafas terengah-engah.
Dalam keadaan demikian kedua anak-anak muda itu dapat melupakan apa yang telah terjadi atas diri mereka.
Mereka ternyata bersungguh-sungguh ingin melepaskan Kebo Sindet dari mulut binatang-binatang air yang rakus itu.
Biarlah ia mati, tetapi dengan cara yang lebih baik.Maka dengan tergesa-gesa Kuda Sempana dan Mahisa Agni telah menyambung sulur-sulur itu, dan kemudian terdengar suara Mahisa Agni mengatasi desir air hujan yang masih saja turun.
"Kebo Sindet, tangkaplah ujung sulur itu. Kami akan berusaha menarikmu keluar."
Perlahan-lahan dengan hati-hati sekali keduanya mendekati bibir rawa-rawa.
Kemudian dilontarkannya ujung sulur itu kepada Kebo Sindet yang sedang berjuang melawan binatang-binatang air yang buas itu.
Dengan serta-merta maka tangan kiri Kebo Sindet menyambar ujung sulur yang dilontarkan kepadanya.
Namun ia masih juga berteriak.
"Mahisa Agni. Kau terlampau sombong. Tetapi kau akan menyesal apabila aku telah keluar dari lumpur ini."
Mahisa Agni dan Kuda Sempana sama sekali tidak memperdulikannya.
Buaya-buaya semakin banyak berkerumun di sekitar Kebo Sindet.
Namun sebagian dari buaya-buaya itu tiba-tiba melengking dan tenggelam ke dalam air.
Sambil menarik Kebo Sindet, Mahisa Agni masih juga sempat merasa heran.
Dalam keadaan serupa itu Kebo Sindet masih mampu bertahan terhadap sekian banyak buaya-buaya kerdil meskipun ia mempergunakan goloknya.
Tetapi ia tidak sempat berpikir terlampau lama.
Ia harus segera menarik orang itu keluar air.
Perlahan-lahan Kebo Sindet merasa dirinya terangkat menepi.
Semakin lama semakin menepi.
Tetapi buaya-buaya kerdil itu mengejarnya terus sehingga ia masih juga harus berjuang dengan goloknya melawan buaya-buaya yang menyergapnya.
Kebo Sindet menggeliat ketika tubuhnya kemudian terangkat ke atas tanah berlumpur.
Ia masih melihat beberapa ekor buaya mengejarnya naik ke darat.
Sambil berpegangan pada sulur beringin yang ditarik oleh Mahisa Agni dan Kuda Sempana dengan tangan kirinya ia masih harus mengayun-ayunkan goloknya dengan tangan kanannya, menebas mulut-mulut buaya yang menganga.
Dan ia masih juga sempat melihat beberapa ekor buaya yang mengejarnya itu melengking, kemudian menggelepar mati.
Berturut-turut, tidak hanya satu dua.
Tetapi hampir semua buaya yang mengejarnya ke darat, tidak pernah dapat menyentuhnya.Tetapi ketika Kebo Sindet itu telah berada di atas permukaan air, barulah dapat dilihat oleh Kuda Sempana dan Mahisa Agni, bahwa sebagian tubuhnya telah terkoyak oleh mulut-mulut buaya kerdil itu.
Luka-luka di tubuhnya menjadi arang kranjang dan darah meleleh hampir dari seluruh wajah kulitnya.
Sejenak kemudian Kebo Sindet telah berada beberapa langkah dari rawa-rawa itu.
Buaya-buaya kerdil telah tidak mengejarnya lagi.
Tiba-tiba saja orang itu melepaskan pegangannya.
Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri.
Dipandanginya Mahisa Agni dan Kuda Sempana dengan mata yang paling liar dan dengan wajah yang merah membara, semerah darah yang meleleh dari luka-luka di seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba Kebo Sindet itu tertawa.
Mengerikan sekali, seperti suara hantu dari dalam kubur yang mendapat mayat baru bagi santapannya.
Disela-sela suara tertawanya ia berkata.
"Nah. Mahisa Agni yang sombong. Kini kau akan sampai pada suatu batas kematian dengan cara yang paling mengerikan yang pernah terjadi atas diri seseorang. Jangan menyesal. Kau tidak akan dapat melawan aku. Aku kini bersenjata, dan kau sama sekali tidak."
Terasa dada kedua anak-anak muda itu berdesir.
Mereka tidak menyangka bahwa Kebo Sindet masih mampu berdiri tegak dengan garangnya.
Suara tertawa Kebo Sindet masih menggetarkan udara.
Semakin lama semakin keras, semakin keras.
Akhirnya suara tertawa yang mengerikan itu sampai kepuncaknya.
Terdengar suara itu meninggi.
Tetapi Mahisa Agni dan Kuda Sempana terkejut, ketika tiba-tiba suara tertawa itu terputus.
Mereka melihat Kebo Sindet terhuyung- huyung dan sesaat lagi mereka melihat orang itu berteriak.
Matanya yang liar menjadi semakin liar.
Namun tiba-tiba orang itu jatuh di atas lututnya.
Dengan susah payah ia bertahan, namun tampak pada wajahnya bahwa Kebo Sindet sedang menahan rasa sakit yang amat sangat.
Meskipun demikian ia masih juga berteriak.
"Mahisa Agni, berlututlah. Berlututlah sebelum kau mati. Kau juga KudaSempana. Kau ternyata telah berkhianat. Kau pun akan mengalami nasib serupa dengan Mahisa Agni. Kau "
Kebo Sindet tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, Dadanya telah digoncangkan oleh perasaan sakit yang tidak tertahankan.
Ia menahan dirinya sambil bertelekan pada goloknya.
Tetapi tiba-tiba ditengadahkannya dadanya.
Dan seolah-olah mendapat kekuatannya kembali ia mengangkat goloknya dan menunjuk Mahisa Agni dengan ujung golok itu.
"Kemari. Kemari."
Ia berteriak.
"aku bunuh kalian, Aku bunuh"
Suaranya terputus.
Sejenak Kebo Sindet menengadahkan wajahnya, seolah-olah ingin melihat apakah mendung masih tebal tergantung di langit.
Namun sejenak kemudian perlahan-perlahan tubuh itu seakan-akan bergoyang.
Dan sejenak berikutnya Kebo Sindet itu roboh di atas tanah berlumpur yang basah.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hujan masih jatuh dari Iangit.
Meskipun sudah tidak terlampau lebat.
Seleret cahaya dari Utara memancar berkeredipan diantara titik-titik air hujan yang menjadi semakin mereda.
Sesilir angin bertiup dari Selatan, menggerakkan ujung dedaunan yang sedang mengangguk-angguk ditimpa oleh titik-titik hujan satu-satu.
Langit semakin lama menjadi semakin cerah, dan hujan pun menjadi semakin tipis.
Perlahan-lahan Mahisa Agni dan Kuda Sempana melangkah mendekati tubuh Kebo Sindet yang diam membeku.
Goloknya masih erat di dalam genggamannya.
Tetapi ternyata orang itu sudah tidak bernafas lagi.
"Kebo Sindet telah mati."
Desih Mahisa Agni.
"Ya."
Sahut Kuda Sempana pendek.
Mereka kemudian menyentuh tubuh yang membeku itu.
Menelentangkannya dan dengan wajah tegang memandangi wajah yang hampir tidak pernah bergetar oleh tanggapan yang bagaimanapun juga.
Kali ini wajah itu pun membeku pula.
Bahkan masih tampak betapa ketegangan mencengkam jantungnya.
Tetapi dari sepasang matanya sama sekali sudah tidak memancar apa punlagi.
Sorot yang menyala di mata itu telah pudar, bahkan telah padam sama sekali.
Sejenak Mahisa Agni dan Kuda Sempana masih berdiri di sisi mayat itu.
Perlahan-lahan tubuh Mahisa Agni kini mulai merasa, betapa nyeri dan pedih menyengat segenap bagian tubuhnya.
Tulang-tulangnya serasa berpatahan dan kulitnya menjadi lenyu, akibat perkelahiannya melawan Kebo Sindet agaknya memang terlampau payah bagi dirinya.
Luka-lukanya kini terasa betapa sakit dan pedih.
Ketika tanpa disengajanya ia berpaling, maka dadanya berdesir.
Dilihatnya bangkai buaya-buaya kerdil berserakan di pinggir rawa- rawa itu.
"Aneh."
Mahisa Agni berdesis.
"Apakah Kebo Sindet dalam keadaannya itu mampu membunuh sekian banyak binatang air yang cukup lincah menghadapinya itu?"
Tetapi Mahisa Agni melihat kenyataan itu.
Bangkai-bangkai binatang air itu berserakan di pinggir rawa-rawa.
Bahkan Mahisa Agni masih melihat permukaan air di pinggiran rawa-rawa itu bergolak seakan-akan mendidih.
Ternyata buaya- buaya kerdil itu sedang berebut bangkai kawan-kawan mereka sendiri.
Bau darah telah membuat mereka menjadi semakin buas dan garang.
Ternyata bukan saja Mahisa Agni yang menjadi heran melihat sekian banyak bangkai berceceran.
Bangkai buaya-buaya yang mencoba mengejar Kebo Sindet yang tertarik ketepian.
Perlahan-lahan terdengar Mahisa Agni berdesis.
"Bukan main. Kebo Sindet benar-benar seorang yang luar biasa. Dalam keadaannya ia masih mampu melakukan perlawanan yang luar biasa atas buaya-buaya yang buas itu."
Kuda Sempana mengangguk perlahan-lahan.
Ia tidak dapat membayangkan kekuatan apakah yang dapat membuatnya begitu tangkas dan garang.
Bahkan Mahisa Agni berkata di dalam hatinya,"Seandainya aku yang mengalami nasib itu, apakah aku dapat berbuat seperti itu?"
Dengan wajah yang disaput oleh keheranan mereka kedua anak- anak muda itu sejenak berdiri saja membeku berdiri saja membeku di samping mayat Kebo Sindet.
Sejenak mereka merenung apa yang baru saja terjadi atas diri mereka.
Terasa bulu-bulu diseluruh tubuh Mahisa Agni meremang.
Bagaimanakah kiranya seandainya ia harus mengulangi peristiwa yang baru saja terjadi? "Mengerikan sekali."
Tiba-tiba Mahisa Agni itu berdesis. Kuda Sempana berpaling mendengar desis itu. Bahkan ia bertanya.
"Apakah yang mengerikan?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab.
"Buaya-buaya itu."
Kuda Sempana percaya saja akan jawaban Mahisa Agni. Ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam dada anak muda yang masih tampak lemah dan pucat itu.
"Bagaimanakah dengan mayat itu?"
Terdengar Mahisa Agni kemudian bertanya.
"Terserahlah kepadamu."
Jawab Kuda Sempana.
"Marilah kita jauhkan dari rawa-rawa ini, supaya buaya-buaya kerdil itu tidak mencium bau darahnya dan nanti malam menyeretnya ke dalam sarang mereka."
Kuda Sempana ragu-ragu sejenak. Kemudian terdengar ia bertanya.
"apakah kau tidak ingin beristirahat dahulu?"
Mahisa Agni menarik nafas sekali lagi. Perlahan-lahan ia menggeleng.
"Biarlah aku menitikkan keringat sampai tuntas. Nanti aku akan beristirahat dengan tenang."
"Baiklah."
Jawab Kuda Sempana.Tetapi ketika keduanya mulai berlutut disamping mayat Kebo Sindet untuk mengakatnya, mereka terkejut oleh desir dedaunan di dalam gerumbul tidak jauh dari mereka.
Mereka melihat daun-daun yang bergerak.
Tetapi mereka menyadari, bahwa bukan angin dan bukan titik-titik air hujan yang telah mengguncangnya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri.
Di sebelahnya Kuda Sempana pun telah berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya.
la mendengar gemerisik pula dan melihat dedaunan yang bergoyang di gerumbul dihadapan mereka.
Mahisa Agni yang masih lemah itu mencoba menenangkan pernafasannya.
Dicobanya untuk mengusai segenap sisa-sisa kekuatan yang ada padanya, supaya apabila diperlukan, ia masih juga mampu mengadakan perlawanan untuk membela dirinya.
Daun yang bergoyang-goyang itu semakin keras berguncang.
Namun sejenak kemudian Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Dilihatnya dari dalam gerumbul itu seseorang merangkak keluar.
Dan ternyata orang itu adalah orang yang telah dikenal dengan sebaik-baiknya.
Empu Purwa.
"Guru."
Dengan serta merta Mahisa Agni berdesis. Empu Purwa itu kemudian menggeliat sambil bertelekan lambung, desahnya.
"penat sekali aku bersembunyi di dalam gerumbul itu. Hampir aku tidak tahan. Air hujan yang melimpah dari langit membuat aku hampir-hampir tidak dapat bernafas. Apalagi setelah aku melihat beberapa buah gerumbul yang lain telah tersapu rata oleh perkelahian yang baru saja terjadi."
Orang tua itu berhenti sejenak, lalu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian.
"Bagaimana dengan kau Agni?"
Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam pula. Kemudian jawabnya.
"Aku selamat guru. Dan inilah Kebo Sindet."
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia maju mendekat sambil bergumam.
"Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung. Aku melihat seluruhnya. Sejak kau mulai sampai kau berhasil melemparkan Kebo Sindet ke dalam rawa-rawa."Mahisa Agni mengangguk lemah.
"Ya guru."
"Semula aku menjadi cemas melihat keadaanmu. Kau terlampau bernafsu, sehingga kau kurang cermat mempersiapkan dirimu di dalam perlawananmu atas Kebo Sindet itu. Hampir-hampir kau menjadi korban ketergesa-gesaanmu itu."
Empu Purwa berhenti sejenak, lalu.
"Tetapi sekali lagi kau harus mengucap sukur. Kau mendapatkan pertolongan dalam keadaan yang sulit itu. Ternyata Angger Kuda Sempana telah menolongmu."
"Ya guru."
Jawab Mahisa Agni perlahan-lahan.
"Kau harus berterima kasih kepadanya."
"Ya guru. Aku berterima kasih kepada Kuda Sempana."
"Akulah yang harus berterima kasih kepada Mahisa Agni. Ia telah membebaskan aku dari kemungkinan yang paling pahit dari akhir hidupku. Dibunuh oleh Kebo Sindet dengan caranya."
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Kemudian katanya semakin lambat.
"Kini terserah kepada Mahisa Agni. Tetapi aku mengharap, bahwa seandainya ia ingin juga membunuh aku, mudah-mudahan ia mempergunakan cara yang lebih baik dari cara yang akan dipilih oleh Kebo Sindet."
"Ah."
Empu Purwa berdesah.
"apakah Mahisa Agni juga akan membunuhmu?"
"Seandainya demikian, itu pun wajar sekali."
Sahut Kuda Sempana.
Empu Purwa mengerutkan keningnya.
Didampinginya Mahisa Agni yang berdiri tegak ditempatnya, meskipun tubuhnya masih tampak lemah, Namun orang tua itu telah mendapat keyakinan, menilik sikap dan wajah muridnya, bahwa Mahisa Agni sudah pasti tidak akan melakukannya.
Meskipun demikian Empu Purwa itu bertanya kepada muridnya.
"Apakah kau akan berbuat demikian?"
Mahisa Agni menggeleng lemah. Jawabnya.
"Tidak guru. Aku tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnyasekarang. Kebo Sindet sudah niati. Mudah-mudahan kejahatannya mati pula bersamanya."
Dada Kuda Sempana berdesir.
Ia tahu benar maksud kata-kata Mahisa Agni tentang Kebo Sindet.
Ia tahu benar, bahwa Mahisa Agni mengharap, agar ia masih belum dicengkam dalam pengaruh orang yang telah mengurungnya beberapa lama itu.
Karena itu maka katanya.
"Aku mengharap seperti harapanmu itu pula Agni. Mudah- mudahan kejahatan Kebo Sindet mati bersama matinya. Aku mengharap bahwa selama aku di sini, kejahatan dan wataknya itu tidak terlampau banyak mempengaruhi otakku. Aku sendiri bukanlah orang baik-baik, tetapi mudah-mudahan kejahatan yang ada di dalam diriku tidak bertambah-tambah karenanya."
Empu Purwa menggelengkan kepalanya. Katanya.
"Ada dua kemungkinan Ngger. Kau memang dapat menjadi semakin tersesat seperti Kebo Sindet, seandainya kau menemukan kepuasan di sarang ini, atau kau merasa mendapat daerah pelarian yang dapat melupakan segala bentuk kekecewaanmu. Tetapi aku kira kau tidak menemukannya di dalam dunia Kebo Sindet. Kau agaknya bertambah kecewa dan kehilangan gairah untuk menentukan hari depanmu. Bahkan mungkin kau telah sampai pada suatu garis perbatasan dari daerah keputus asan. Setapak kau maju lagi maka hidupmu tidak terasa kau miliki lagi."
"Bukan setapak lagi Kiai."
Sahut Kuda Sempana.
"aku telah sampai ke daerah itu. Aku sudah menjadi putus asa dan kehilangan hidupku sendiri. Aku sama sekali menjadi acuh tidak acuh tentang diriku, tentang keadaan di sekitarku dan tentang apa saja. Karena itu aku pun tidak akan mengacuhkan lagi sendainya Mahisa Agni akan membunuh ku."
Empu Purwa tersenyum. Katanya.
"Pengakuanmu itu mempunyai arti penting di dalam langkah-langkahmu kemudian. Pengakuanmu telah membawa kau selangkah surut dari daerah yang tidak kau kenal itu. Dari sikap acuh tidak acuh tentang hari depanmu sendiri. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dirimu kembali."Kuda Sempana menundukkan kepalanya. Sekilas terbang di dalam angan-angannya masa-masa yang telah pernah dilampauinya. Sebersit penyesalan melonjak di dalam dadanya. Tetapi segera ia sadar, bahwa ia telah berdiri di atas keadaannya kini. Dan kata-kata Empu Purwa itu agaknya dapat menyentuh hatinya. Menemukan dirinya kembali dalam keseimbangan yang wajar. Hujan yang tercurah dari langit telah berangsur teduh. Titik-titik kecil yang masih berjatuhan satu-satu melontarkan kilatan sinar yang memancar dari langit. Sejenak mereka yang berdiri di atas tanah berlumpur itu saling berdiam diri. Empu Purwa merenungi mayat Kebo Sindet dengan mata yang hampir tidak berkedip. Namun sejenak kemudian ia berkata.
"Memang seharusnya ia mati. Tidak ada usaha yang dapat nyelamatkannya."
Mahisa Agni mengangkat wajahnya, lalu katanya.
"Aku sudah berusaha guru. Seandainya ia harus mati, biarlah ia mati dengan cara yang lebih baik."
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.
"Aku melihat bahwa kalian telah berusaha. Aku melihat, betapa Angger Kuda Sempana berlari-lari memotong sulur-sulur batang beringin. Tetapi kalian tidak berhasil. Golok yang kau lemparkan itu pun hanya dapat menyelamatkannya dari beberapa ekor buaya yang kelaparan. Sedang jumlah buaya di dalam rawa-rawa itu cukup banyak, apalagi di sekitar tempat ini."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya mayat Kebo Sindet yang arang kranjang.
"Tetapi orang itu terlampau dahsyat."
Desisnya.
"dalam keadaannya, ia masih mampu membunuh sekian banyak buaya- buaya kerdil."
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berpaling kearah bangkai buaya yang berserakan di pinggir rawa-rawa, bahkan dilayangkannya pandangan matanya beredar di wajah air yang keruh itu.
"Aku tidak dapat membayangkan, apakah yang terjadi seandainya akulah yang terperosok masuk ke dalamnya."
Gumam Mahisa Agni seolah-olah kepada diri sendiri. Empu Purwa tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Namun tiba- tiba ia memutar tubuhnya sambil berkata.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Marilah kita lihat. Hati- hati, jangan sampai tergelincir."
Sejenak Mahisa Agni terdiam.
Ia menjadi heran.
Mengapa gurunya mempunyai perhatian yang demikian besar terhadap buaya-buaya kerdil yang telah menjadi bangkai itu.
Namun sejenak kemudian dilangkahkannya kakinya, mengikuti langkah gurunya.
Dan dibelakang mereka Kuda Sempana berjalan pula mengikuti mereka.
Ketika mereka telah sampai diantara mayat-mayat buaya-buaya kerdil itu, mereka pun segera berhenti.
Seleret dipandanginya warna air yang masih memerah.
Mereka masih melihat sesuatu yang bergerak-gerak di antara warna air yang merah itu.
Buaya-buaya kerdil.
Namun sekali lagi terdengar Mahisa Agni berdesis.
"Bukan main. Kebo Sindet berhasil membunuh sekian banyak buaya-buaya ini dalam keadaannya. Sebelah tangannya berpegangan pada sulur kayu yang kami tarik. Sambil berbaring ia harus melawan buaya- buaya ini."
Gurunya tidak menyahut.
Tetapi dipandanginya saja bangkai- bangkai buaya itu, sehingga Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian ikut pula memandangi bangkai-bangkai itu seperti sedang menghitungnya.
Di antara buaya-buaya itu terdapat luka-luka yang panjang.
Ternyata ayunan golok Kebo Sindet benar-benar dahsyat dan mengerikan.
Sekali ayun, buaya yang disentuhnya tidak akan dapat hidup lagi.Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat pada beberapa ekor diantara mereka tidak ditemukan bekas sobekan golok pada tubuh bangkai itu.
Bahkan buaya-buaya itu hampir tidak terluka sama sekali.
Hal itu agaknya telah sangat menarik perhatian Mahisa Agni sehingga selangkah ia maju.
Diamatinya beberapa ekor bangkai buaya di antara mereka.
Yang ada pada bangkai-bangkai itu hanyalah luka yang tidak terlampau besar.
Pada umumnya sebuah lubang dikepalanya.
Bukan saja Mahisa Agni yang sangat tertarik atas luka yang aneh itu, tetapi Kuda Sempana pun agaknya menaruh perhatiannya pula.
Seperti Mahisa Agni, maka ia pun mengamat-amati luka yang baginya agak terlampau aneh.
"Apakah Kebo Sindet telah melubangi kepala buaya-buaya kerdil ini dengan tusukan goloknya?"
Pertanyaan itu membersit di dalam hati Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Tetapi sebagai seeorang yang mengenal bermacam-macam jenis senjata, mereka menjadi ragu-ragu. Luka-luka tusukan golok itu tidak akan meninggalkan bekas yang demikian.
"Kau heran melihat lubang-lubang itu?"
Bertanya Empu Purwa sambil tersenyum. Mahisa Agni mengangguk kecil. Jawabnya.
"Ya guru. Luka-luka ini tidak dapat kami mengerti. Senjata Kebo Sindet adalah sebuah golok. Dan golok tidak akan dapat menimbulkan luka-luka yang demikian."
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya.
"Jangan kau hiraukan luka-luka itu. Buang sajalah bangkai- bangkai itu ke dalam rawa-rawa. Lalu kalian masih mempunyai pekerjaan lagi, menguburkan mayat Kebo Sindet. Sesudah itu, sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Kalian masih mempunyai hari depan yang cukup panjang untuk mulai dengan kehidupan yang baru."Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi agaknya ia masih belum puas sebelum dapat menemukan sebab dari luka yang berbentuk lubang itu. Maka katanya.
"Baiklah guru. Bangkai ini akan aku buang ke dalam rawa-rawa Tetapi lubang-lubang ini selalu menimbulkan pertanyaan bagiku. Apakah yang sudah dilakukan oleh Kebo Sindet sehingga ia berhasil melakukan keanehan ini. Dalam keadaannya yang parah dengan sebelah tangan yang menggengam golok dan yang lain berpegangan pada sulur itu, namun ia masih mampu membunuh sekian banyak buaya-buaya kerdil ini dengan luka-luka yang terlampau aneh bagi kami."
Sekali lagi Empu Purwa tersenyum. Katanya.
"Apakah kau ingin tahu benar, apakah sebabnya maka luka-luka itu berbentuk lubang? Dan apakah sebabnya Kebo Sindet berhasil membunuh sekian banyak buaya kerdil ini?"
Hampir bersamaan Mahisa Agni dan Kuda Sempana menganggukkan kepalanya.
"Ya Kiai."
Empu Purwa mengangguk-angguk perlahan. Kemudian diedarkannya pandangan matanya, mencari sesuatu di atas tanah- tanah berlumpur itu. Tiba-tiba orang tua itu membungkukkan badannya memungut sebutir batu kecil sebesar telur merpati.
"Lihatlah."
Katanya sambil melepaskan batu itu jatuh di atas tanah yang gembur.
"lihatlah bekasnya. Sebuah lubang."
Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka melihat sebuah lubang pada tanah yang gembur, mirip seperti lubang-lubang yang ada di kepala beberapa ekor buaya-buaya kerdil itu.
"Tetapi."
Tiba-tiba Mahisa Agni berdesis.
"bagaimana mungkin Kebo Sindet mampu melakukannya."
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian melangkahkan kakinya sambil berkata.
"Sudahlah, jangan hiraukan. Kalian masih mempunyai banyak pekerjaan."
Mahisa Agni dan Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak mereka memandangi bangkai-bangkai yang berserakan itu.Namun kemudian mereka menyadari, bahwa pekerdiaan mereka memang masih banyak.
Melemparkan bangkai-bangkai itu ke dalam rawa-rawa dan kemudian menguburkan Kebo Sindet.
Tetapi ketika mereka akan segera mulai, terdengar Empu Purwa berkata.
"Sebaiknya kalian menunggu tanah menjadi agak kering, supaya tidak terlampau licin. Kalau kau tergelincir maka kau lah yang akan masuk ke dalam rawa-rawa itu. Terutama Mahisa Agni, beristirahatlah dahulu. Mungkin kau masih mempunyai sisa makanan."
Mahisa Agni mengangguk kecil sambil menjawab.
"Ya guru. Aku memang merasa terlampau letih."
"Itu adalah wajar sekali."
Jawab gurunya sambil berjalan meninggalkan tempat itu.
Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian melangkah pula dengan hati-hati meninggalkan tempat itu untuk sejenak beristirahat.
Tubuh Mahisa Agni masih terasa lemah sekali.
Tulang- tulangnya masih terasa nyeri dan otot-ototnya pun masih terlampau tegang.
Namun dalam pada itu, ia mendapat kesempatan untuk memikirkan lubang-lubang di kepala buaya-buaya kerdil itu.
Sehingga akhirnya ia berdesis.
"Ternyata guru pun sudah berusaha, membantu melepaskan Kebo Sindet dari mulut-mulut buaya itu."
"He."
Kuda Sempana bertanya.
"Gurulah yang melakukannya."
Jawab Mahisa Agni.
"dilemparinya buaya-buaya itu dengan batu dari tempat persembunyiannya, supaya tubuh Kebo Sindet tidak diseret masuk ke dalam rawa-rawa itu."
Kuda Sempana mengerutkan keningnya, Tetapi kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya.
"Itu adalah mungkin sekali. Ternyata Empu Purwa telah berbuat banyak."
Kuda Sempana berhenti sejenak, lalu.
"Kini aku tahu, apakah kira-kira yang terjadi di sini. Agaknya selama ini kau tetap berada di dalam asuhangurumu, yang dahulu aku sangka tidak lebih dari seorang tua yang tidak banyak berarti di Panawijen. Kau mendapat kesempatan itu, sehingga kau mampu mengalahkan Kebo Sindet."
Tetapi Kuda Sempana dan bahkan Mahisa Agni terperanjat ketika mereka mendengar jawaban dari belakang mereka.
"Bukan saja aku yang telah berbuat banyak, Kuda Sempana. Tetapi apakah kau sudah mengenal orang ini?"
Dengan serta merta keduanya berpaling.
Mereka terperanjat, terlebih-lebih lagi adalah Kuda Sempana ketika dilihatnya seseorang berdiri di samping Empu Purwa itu sambil tersenyum kepadanya.
Sejenak Kuda Sempana seakan-akan membeku di tempatnya.
Sama sekali tidak diduganya, bahwa ia akan dapat bertemu di tempat itu.
Peristiwa yang tiba-tiba itu ternyata telah membuat goncangan di dalam dadanya.
Orang itu masih berdiri di samping Empu Purwa sambil tersenyum.
Ditatapnya saja wajah Kuda Sempana yang menjadi pucat, namun kemudian menjadi kemerah-merahan penuh kebimbangan dan kecemasan.
Wajah orang itu dikenalnya dengan baik, tetapi ciri kekhususannya tidak dilihatnya waktu itu.
"Apakah kau ragu-ragu Kuda Sempana?"
Bertanya orang itu.
"Mungkin kau merasa aneh bahwa aku tidak membawa tongkat panjangku, tetapi kini aku membawa pedang."
Dada Kuda Sempana tergetar. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Tongkat itu telah aku serahkan kepada muridku yang aku anggap paling jauh dari padaku saat itu. Muridku yang sama sekali tidak menarik perhatianku karena sifat-sifatnya yang tidak sejalan dengan perguruanku. Tetapi ternyata murid itu adalah murid yang paling dekat dengan jalan yang benar. Jalan yang kita jauhi bersama-sama sehingga tampak oleh kita anak itu adalah anak yang paling bengal diantara kita."
Kuda Sempana masih berdiri kaku ditempatnya. Tetapi debar di dadanya menjadi semakin bergelora."Tetapi kau tidak usah ragu-ragu Kuda Sempana, bahwa aku adalah gurumu."
Terasa sesuatu mendesak di dalam hatinya.
Sekian lama ia terlempar ke dalam neraka yang paling pedih.
Sekian lama ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu atas kehendaknya sendiri.
Dan ia menekan perasaan itu dalam-dalam dilubuk hati.
Kini tiba-tiba ia bertemu dengan gurunya.
Gurunya yang dahulu selalu berusaha untuk memenuhi keinginannya, meskipun ia harus memberikan imbalan kepadanya.
Gurunya yang telah pernah disangkanya mati, setelah beberapa kali bertemu dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Pertemuan-pertemuannya dengan gurunya, selama ia berada di bawah pengaruh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, telah membuatnya kehilangan jalur-jalur ikatan batin.
Tiba-tiba kini orang itu berdiri dihadannya.
Kuda Sempana akhirnya tidak dapat lagi menahan gelora hatinya yang sudah sekian lama membeku, Tiba-tiba ia meloncat dan berlutut di depan Empu Sada.
Banyak sekali yang akan ditumpahkannya untuk mengurangi kepepatan hati.
Banyak sekali yang akan dikatakannya untuk melapangkan perasaannya.
Tetapi kerongkongannya serasa tersumbat, sehingga sama sekali tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.
"Aku tahu sebagian besar dari perasaanmu, karena aku melihat sikapmu pada saat-saat terakhir. Kau agaknya telah menyesali semuanya yang terjadi atasmu. Bukan sekedar kesulitan jasmaniah yang kau alami tetapi kau menyesali pula sebab-sebab dari peristiwa yang telah menyeretmu di tempat ini."
Empu Sada berhenti sejenak, lalu.
"dan penyesalanmu itu adalah jalan yang sudah terbuka bagimu untuk menemukan kembali hari depan yang wajar. Kalau kau menyesali semua perbuatanmu dengan jujur, maka dalam umurmu yang masih muda itu, kau pasti masih akan menemukan kesempatan."Kuda Sempana tidak dapat berkata apa pun selain menundukkan kepalanya. Kini penyesalan yang tajam telah memuncak di dalam hatinya. Tetapi semuanya telah terjadi. Noda yang hitam telah melekat pada perjalanan hidupnya. Tetapi ia mendengar gurunya berkata.
"Hari depanmu masih panjang."
Kuda Sempana masih juga berdiam diri.
Ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menundukkan kepala.
Terasa tangan gurunya meraba pundaknya dan menarik berdiri.
Seperti anak-anak yang sedang berlati berjalan, ia dibimbing oleh gurunya dan dibawanya duduk bersama-sama di samping sebongkah batu besar.
Empu Purwa dan Mahisa Agni pun ikut pula bersama mereka, duduk di atas batu-batu kecil yang basah.
Tetapi tubuh dan pakaian mereka pun ternyata masih basah kuyup oleh hujan.
Bahkan warna darah masih melekat pada pakaian Mahisa Agni.
Ketika gurunya melihat setitik-titik darah masih meleleh dari luka- luka anak muda itu, maka segera diberikannya obat yang untuk sementra dapat memempatkan darah, sehingga luka-luka itu menjadi tertutup karenanya.
Sambil berbicara tentang Kuda Sempana dan hari-hari yang akan datang, maka mereka pun beristirahat sebelum mereka mengerjakan pekerjaan yang telah menunggu mereka.
Melemparkannya bangkai-bangkai buaya ke dalam rawa-rawa dan menguburkan Kebo Sindet.
Pada saat itu.
Ken Arok pun duduk dengan lemahnya di atas sebuah brunjung bambu yang masih belum dilemparkan ke dalam sungai.
Disamping-sampingnya duduk Akuwu Tunggul Ametung, Ki Buyut Panawijen, Kebo Ijo dan beberapa orang lain.
Mereka melihat, betapa Ken Arok menahankan lelah dan kecemasan.
Nafasnya menjadi terengah-engah dan tubuhnya terasa gemetar.
Tetapi bibirnya membayangkan sebuah senyum kelegaan."Mudah-mudahan bendungan itu selamat."
Desisnya. Akuwu Tunggul Ametung pun ternyata sedang kelelahan pula setelah dengan sekuat tenaganya, ia menarik Ken Arok dari dalam air yang melandanya.
"Aku kira bendungan itu akan selamat."
Berkata Akuwu itu pula.
Ken Arok tidak menyahut.
Ia melihat orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel masih berdiri memagari ujung bendungan.
Tetapi bahwa hujan telah menjadi reda adalah suatu harapan bagi orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel bahwa bendungan mereka akan terselamatkan.
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Air tidak naik lagi."
Desis seseorang.
"Ya."
Sahut yang lain.
"sebagian telah berhasil meluncur lewat susukan induk."
"Tetapi taman itu tergenang air sama sekali. Mungkin sebagian menjadi rusak karenanya."
Beberapa orang yang mendengarnya tanpa mereka sengaja segera berpaling kearah taman yang sedang disiapka oleh Ken Arok agak jauh ketengah Padang Karautan.
Tetapi mereka tidak melihat sesuatu selain sebuah kelompok yang hijau kehitam-hitaman dikejauhan.
Seperti bayangan sebuah puntuk kecil menjorok ditengah-tengah padang yang luas.
Tetapi mereka telah membayangkan, bahwa taman itu telah digenangi air yang meluap dari sendang buatan karena air susukan induk yang menampung banjir.
Dan mereka membayangkan, bahwa sebagian dari pepohonan yang baru tumbuh dan berkembang akan menjadi berserakan.
Tetapi seperti perintah Akuwu Tunggul Ametung sendiri bendungan itu jauh lebih penting dari taman yang sedang disiapkan itu.
Apabila bendungan itu gagal, maka taman itu pun tidak akan dapat diselesaikan, karena tidak ada air yang akan menggenangi sendang buatan.
Dan tanahnya pun akan menjadi kering.Orang-orang Panawijen yang berdiri di ujung bendungan itu pun masih juga berdiri rapat.
Di antara mereka terdapat para prajurit Tumapel yang dengan tegang melihat, apakah air masih akan naik terus dan menghanyutkan bendungan.
Mereka kemudian menguak ketika mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok dan beberapa orang yang lain berjalan ketepi sungai di ujung bendungan itu.
Meskipun mereka masih kelelahan, tetapi mereka ingin juga melihat apakah yang kini terjadi dengan bendungan mereka.
Air yang keruh masih juga bergulung-gulung? seolah-olah menggoncang bendungan itu perlahan-lahan.
Tetapi kini sebagian dari arus banjir itu telah meluap dan tumpah tertampung pada susukan induk yang mengalir membelah Padang Karautan.
Mulut susukan induk itu ternyata semakin lama menjadi semakin besar disobek oleh arus air yang tidak tertahankan.
Namun dengan demikian bahaya bagi bendungan itu pun menjadi berkurang.
Tetapi di sana-sini tampak tebing susukan itu menjadi longsor.
Susukan itu memang belum siap benar menerima arus air, apalagi arus banjir.
Namun terlebih penting lagi bagi mereka, adalah menjelamatkan bendungan itu.
Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Arok menjadi berdebar-debar memandang air yang keruh kehitam-hitaman itu bergulung-gulung di depan bendungan.
Mereka masih membayangkan bahwa bencana masih bisa terjadi.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar seseorang berbisik.
"Air telah turun."
Kawannya yang berdiri di sampingnya mencoba melihat permukaan air yang keruh itu. Dan tiba-tiba ia berdesis pula.
"Ya, air telah turun."
Desis itu kemudian menjalar dari mulut ke mulut. Mereka memang melihat bendungan itu seolah-olah naik semakin tinggi. Jarak permukaan air dan bendungan itu menjadi semakin lebar."Air telah turun."
Desis itu terdengar terus.
"Ya, air telah turun."
Sejenak kemudian hampir setiap mulut mengatakan tentang air yang telah mulai turun, meskipun belum selebar tapak tangan.
Tetapi hal itu telah menumbuhkan kegembiraan bagi orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel.
Kemungkinan bahwa bendungan itu akan hanyut menjadi semakin kecil, meskipun mereka harus memeras tenaga pada saat banjir yang pertama itu.
Hampir setiap orang menarik nafas dalam-dalam pada saat yang bersamaan.
Mereka menyaksikan air semakin lama memang semakin surut.
Sedang langit pun menjadi semakin cerah.
Agaknya di ujung sungai itu pun hujan sudah teduh.
Sejenak Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Arok berdiri saja mematung, seolah-olah mereka ingin meyakinkan apakah benar- benar air sudah mulai turun.
Ternyata mereka pun kemudian melihat, seolah-olah bendungan itu bergerak naik menyembul dari permukaan air.
Akuwu Ken Arok, Kebo Ijo, Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang yang berada disekitarnya pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan terdengar Ken Arok berdesis perlahan.
"Air memang sudah turun."
"Ya."
Sahut Akuwu Tunggul Ametung.
"kalian berhasil menyelamatkannya. Tetapi ingat, ini baru banjir yang pertama dalam musim hujan ini. Pada saat-saat mendatang akan datang banjir yang kedua dan berikutnya."
"Kami akan bekerdja sekuat tenaga kami, Tuanku, semoga banjir yang kemudian tidak pula menghancurkan bendungan ini."
"Kalian telah berhasil menyelamatkannya kini. Kalian dapat melihat bagian-bagian yang masih harus kalian sempunakan. Jangan kalian lepaskan tali-tali pengikat brunjung-brunjung dengan patok-patok di tepian. Ternyata tali-tali dan tambang-tambang itu telah membantu menyelamatkan berdungan ini, sampai pada saatnya kalian yakin, bahwa bendungan kalian telah sempurna."Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.
"Hamba, Tuanku. Tali-tali itu justru akan hamba tambah lagi. Tetapi hamba akan dapat membuat parit-parit pembantu, untuk membuang air yang berlebihan apabila banjir datang. Hamba dapat memotong saluran induk itu dan mengorbankan beberapa bagian dari tanah persawahan untuk membuat parit-parit yang dapat mengurangi tekanan banjir. Parit-parit yang dangkal yang hanya berguna apabila air naik terlampau tinggi."
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pikiran itu adalah pikiran yang sangat baik, yang segera dapat dipergunakan untuk melawan banjir yang pasti akan datang susul menyusul selama musim basah ini. Meskipun menurut peritungan pranata mangsa, hujan yang paling lebat masih akan turun satu atau dua bulan lagi."
Tetapi tiba-tiba Akuwu itu pun memalingkan wajahnya, memandang kejauhan agak ketengah Padang Karautan. Dilihatnya segerumbul tanaman yang hijau Perlahan-lahan ia berdesis.
"Apakah yang kira-kira terjadi atas taman itu setelah banjir."
"Mungkin sebagian akan menjadi rusak, Tuanku."
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Lalu bergumam.
"Pekerjaanmu berikutnya adalah memperbaiki petamanan itu. Ken Arok megerutkan keningnya. Dipandanginya segerumbul tanaman yang hijau kehitam-hitaman dikejauhan. Taman itu tampak menjadi semakin segar. Tetapi Ken Arok menyadari, bahwa ada bagian-bagian yang pasti harus diperbaikinya. Meskipun demikian, bahwa bendungan itu terselamatkan, adalah suatu hal yang sangat menggembirakannya. Tanpa disadari ia merasa bertanggung jawab terhadap Mahisa Agni tentang keselamatan bendungan itu. Seolah- olah Mahisa Agni telah memberikan beban itu diatas pundaknya, tanpa dapat diserahkannya kepada orang lain. Dan baginya terasa, tanggung jawab atas bendungan itu justru lebih dari tanggung jawabnya membuat taman yang justru dibebankan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi setelah Akuwu Tunggul Ametung sendiribersikap demikian pula. Keselamatan bendungan itulah yang tebih penting dari segalanya. Ternyata air semakin lama semakin susut meskipun perlahan- lahan sekali. Tetapi dengan demikian bahaya bagi bendungan itu pun susut pula meskipun juga perlahan-lahan sekali. Ketika orang-orang yang berada di ujung bendungan itu yakin bahwa bencana yang lebih besar sudah tidak akan menimpa lagi untuk saat itu, maka ketegangan di dalam dada mereka pun perlahan-lahan menjadi semakin kendor. Beberapa orang telah bergerak dari tempatnya, mundur beberapa langkah. Sedang Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok, Ki Buyut Panawijen, Kebo Ijo dan beberapa orang lain segera meninggalkan tempat itu, duduk di atas batu-batu sambil melepaskan ketegangangan yang selama ini mencengkam hati mereka. Witantra yang duduk di belakang Akuwu Tunggul Ametung, masih saja merenungi orang- orang yang berdiri di pinggir sungai yang banjir itu. Namun tiba-tiba Ken Arok bergumam.
"Sebelum air surut, orang- orang yang berada di seberang tidak dapat pulang keperkemahan malam ini."
Akuwu pun berpaling kearah mereka. Mereka pun masih juga berdiri di ujung bendungan di seberang. Tetapi agaknya ketegangan di dalam hati mereka pun telah menjadi reda.
Sukma Pedang -- Gu Long Golok Halilintar Karya Khu Lung Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen