Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 48


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 48



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   "Bagaimana mereka makan hari ini?"

   Bertanya Akuwu. Ken Arok mengerutkan keningnya.

   "Hamba belum tahu, Tuanku."

   "Mereka harus berpuasa sehari ini. Nanti apabila air semakin surut, mereka akan dapat meniti bendungan menyeberang kemari bersama-sama."

   "Hamba, Tuanku."

   Sahut Ken Arok.

   "Mereka pun harus beristirahat untuk melepaskan ketegangan dan kelelahan."

   "Hamba, Tuanku.""Tetapi besok mereka harus bekerja lebih berat. Banjir pasti akan datang susul menyusul."

   "Hamba, Tuanku."

   "Tetapi "

   Tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.

   "Bagaimana dengan kau sendiri?"

   Ken Arok tidak segera dapat menjawab. Ia masih belum tahu maksud pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu.

   "Maksudku."

   Akuwu meneruskan.

   "apakah kau sempat meninggalkan bendungan ini dalam keadaan demikian?"

   Terasa dada Ken Arok berdesir. Kini ia tahu benar maksud itu. Ternyata Akuwu masih juga bermaksud membawanya mencari Mahisa Agni.

   "Tetapi bagaimana dengan bendungan ini?"

   Pertanyaan itu selalu mengganggunya. Justru pada saat udara selalu mendung dan hujan dapat turun setiap saat.

   "Aku tahu keberatanmu."

   Desis Akuwu itu kemudian.

   "justru akulah yang memberimu pekerjaan di Padang Karautan ini."

   Ken Arok masih belum dapat menjawab.

   "Biarlah soal ini kita tunda sampai besok. Aku sudah kehilangan gairah hari ini. Aku terlalu lelah setelah berusaha mengambilmu dari dalam air itu."

   Ken Arok mengangguk dalam-dalam sambil berkata.

   "Hamba, Tuanku. Sebaiknya, Tuanku beristirahat di perkemahan, Besok hamba tinggal menerima perintah, Tuanku."

   Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Kemudian katanya.

   "Kau harus membuat pertimbang. Aku tidak dapat memaksamu, kau menghadapi pekerjaan yang cukup berat pula disini."

   "Hamba, Tuanku."

   Sahut Ken Arok.

   "Sekarang aku akan kembali ke gubug itu."

   Berkata Akuwu itu kemudian. Ternyata orang yang dalam hidup sehari-hari hanya menuruti kehendak sendiri saja itu dapat juga membuatpertimbangan yang menyangkut kepentingan orang lain. Katanya.

   "Jangan lupa kepada orang-orang di seberang. Mereka pasti merasa lelah dan lapar seperti kalian. Usahakan, secepatnya mereka dapat dihubungi, maka mereka harus mendapat makan mereka."

   "Hamba, Tuanku."

   Sahut Ken Arok sambil membungkukkan badannya.

   Akuwu itu pun segera berdiri dan meniggalkan tempat itu, kembali ke gubug yang disediakan untuknya.

   Ia memang merasa terlampau letih setelah bermain-main dengan sebatang bambu untuk menggait Ken Arok dari dalam air.

   Tetapi Ken Arok pun tidak kalah lelahnya.

   Ia sudah mengarahkan segenap kekuatannya untuk bertahan diri dari dorongan arus air yang meluap-luap.

   Ketika Akuwu Tunggul Ametung telah menjadi semakin jauh bersama pengawal-pengawalnya, maka terdengar Kebo Ijo tertawa.

   Katanya.

   "Huh, apa saja yang dikatakan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu?"

   "Kenapa?"

   "Seperti seorang yang sedang mimpi. Apakah ia tidak melihat kesibukanmu disini? Ia masih juga dapat bertanya kepadamu untuk mencari anak yang hilang itu."

   "Ah."

   Orang itu memang terlampau aneh dan terlampau memikirkan diri sendiri. Dihadapannya kakang Witantra tidak lebih dari seekor kerbau penarik pedati. Diam sambil menundukkan kepala. Kemudian ngangguk dalam-dalam sambil berkata.

   "Segala titah, Tuanku hamba junjung di atas kepala. Dan kau pun rupanya akan dijangkiti penjakit itu pula."

   "Jangan berkata begitu Kebo Ijo."

   Desis Ken Arok.

   "Witantra adalah pimpinan pengawalnya. Apakah yang harus dilakukannya? Ia sudah berbuat sebaik-baiknya melakukan tugas dan tanggung jawabnya."Kebo Ijo tersenyum. Tetapi senyumnya mengandung arti yang terasa sangat menyakitkan hati. Bahkan tanpa segan-segan dihadapan orang-orang Panawijen ia menggeliat sambil berdesis.

   "Hem, memang sebaiknya berbuat demikian. Kau dan kakang Witantra akan segera naik pangkat."

   Ken Arok mencoba untuk menahan diri.

   Ketika ia berpaling dan memendangi wajah Ki Buyut Panawijen, tampak orang tua itu terheran-heran.

   Ia tidak mendengar seluruhnja kata-kata Kebo Ijo, tetapi ia melihat sikap Kebo Ijo yang aneh.

   Tetapi Ki Buyut Panawijen itu tidak bertanya apapun.

   Bahkan kemudian ia pun pergi meninggalkan kedua prajurit Tumapel yang mendapat tugas untuk memimpin pembuatan bendungan itu.

   "Hati-hatilah berbicara."

   Berkata Ken Arok Kemudian. Kebo Ijo tidak menjawab. Ia hanya tertawa saja sambil melangkah pergi.

   "Anak itu memang terlampau menuruti perasaannya saja."

   Gumam Ken Arok.

   "Keduanya, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul Ametung mempunyai beberapa persamaan. Meledak-ledak dan bahkan kadang-kadang tidak terkendali. Tetapi Akuwu adalah orang yang luar biasa. Otaknya terlampau tajam meskipun hanya kadang- kadang saja digunakan. Kekuatannya pun luar biasa. Ia mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan."

   Dipandanginya langkah Kebo Ijo yang gontai.

   Anak muda itu pun sebenarnya kelelahan pula.

   Mungkin juga kejemuan telah melanda jantungnya.

   Telah cukup lama ia berada di Padang Karautan.

   Berbeda dengan Ken Arok sendiri, yang tidak meninggalkan apa pun di Tumapel, maka Kebo Ijo meninggalkan keluarganya.

   Isterinya mungkin selalu merasa kesepian seperti Kebo Ijo itu pula.

   Tetapi Ken Arok sejenak kemudian sudah berusaha untuk melupakannya.

   Ia sudah mengenal betul tabiat anak muda itu, meskipun ia tidak menyukainya.

   Kadang-kadang perbuatan Kebo Ijo itu dapat berbahaya bagi dirinya sendiri.Pada saat guru Kebo Ijo itu berada di padang ini, maka kelakuan Kebo Ijo tanapak agak lebih baik.

   Tetapi kemudian pada suatu saat ketika Kebo Ijo itu sudah ditinggalkan lagi oleh gurunya kembali ke Tumapel, maka sifat-sifatnya tumbuh kembali betapapun ia mencoba mengekangnya.

   Kehadiran kakak seperguruannya kurang dapat mempengaruhinya, apalagi setelah ia merasa dirinya cukup dewasa dan sudah berkeluarga pula.

   Meskipun dihadapan kakak seperguruannya, ia mencoba berbuat sebaik-baiknya.

   "Anak itu tidak juga menjadi jera."

   Gumamnya kemudian.

   "tetapi justru kata-katanya yang lebih berbahaya dari perbuatannya. Dihadapanku ia berkata seperti itu, mungkin dihadapan orang lain, bahkan mungkin dihadapan anak buahnya, ia pun berkata demikian pula. Mungkin kata-katanya terdorong lebih jauh lagi, dan bahkan mungkin akan sampai pada kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang prajurit."

   Tetapi Ken Arok tidak dapat berbuat apa-apa.

   Kakak seperguruan Kebo Ijo ada dipadang ini pula.

   Biarlah saudara seperguruannya itulah yang memberinya petunjuk-petunjuk seperlunya supaya tidak terjadi salah paham.

   Ketika Ken Arok kemudian memandangi orang-orang yang berdiri di ujung bendungan itu, dilihatnya beberapa orang telah bercakap- cakap dengan asyiknya.

   Mereka telah terlepas dari ketegangan yang mencengkam dada mereka.

   Sebagian lagi telah duduk melepaskan lelah dan bahkan ada yang sudah pergi meninggalkan tebing.

   Ternyata bahwa air sungai telah benar-benar menjadi surut.

   Tetapi Ken Arok itu pun kemudian justru pergi ke pinggir sungai itu kembali.

   Diamatinya bendungan yang saat itu telah berhasil mereka selamatkan.

   Dicobanya untuk mencari kemungkinan yang lebih baik disaat-saat banjir datang dikemudian hari.

   "Disini harus dibuat parit-parit pertolongan untuk membuang air yang terlampau tinggi."

   Desisnya di dalam hati.

   Terbayang di kepalanya, susukan yang dangkal, yang menampung air yang meluap apabila banjir mencapai keadaan yang membahayakan.Namun sejenak kemudian Ken Arok pun teringat kepada orang- orang yang berada di seberang.

   Mereka masih berdiri berderet di pinggir sungai.

   Beberapa orang tampak melambaikan tangan mereka untuk memberikan isyarat.

   Mereka ingin tahu apakah yang harus mereka kerjakan.

   Beberapa orang justru mengganggu mereka dengan berbagai tingkah laku.

   Tetapi mereka itu pun segera menyadari bahwa apabila banjir tidak segera susut cukup banyak, mereka akan terpaksa berada di seberang sampai besok.

   Bahkan apabila hujan turun lagi di ujung sungai, dan banjir menjadi bertambah pula, mereka terpaksa menunggu lagi sampai hari berikutnya, sampai bendungan itu dapat dilewatinya.

   "Mereka harus mendapat makan."

   Gumam Ken Arok. Seorang prajurit yang mendengar menyahut.

   "Ya, seperti kita di sini, mereka pun pasti juga lapar."

   Ken Arok berpaling. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum.

   "Apakah kau juga lapar?"

   Prajurit itu tersenyum pula. Tetapi ia tidak menjawab.

   "Tetapi kau tidak usah cemas. Juru adang, sudah melakukan tugasnya dengan baik. Kau akan segera mendapat rangsummu. Tetapi bagaimana dengan mereka?"

   Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi kemerah- merahan. Karena prajurit itu masih diam, maka Ken Arok meneruskan.

   "Aku kira nasi telah masak. Kalian akan segera dapat makan."

   Wajah prajurit itu menjadi semakin merah. Tetapi kemudian ia mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ken Arok berkata.

   "Bendungan itu sudah tidak membahayakan lagi. Apabila kita berhati-hati, kita akan dapat menitinya."

   Dan sebelum prajurit itu menjawab, Ken Arok sudah melangkah meninggalkannya.Ternyata Ken Arok itu pergi ke ujung bendungan.

   Ditatapnya bendungan itu dengan saksama, seakan-akan ingin mengukur kekuatannya, apakah bendungan itu tidak berbahaya apabila ia pergi ke seberang meniti di atasnya.

   "He, Ken Arok."

   Terdengar seseorang memanggilnya. Ketika Ken Arok berpaling, dilihatnya Kebo Ijo berdiri di antara beberapa orang prajurit.

   "Kemana kau?"

   Ia bertanya.

   "Aku akan pergi ke seberang."

   Jawab Ken Arok pendek. Kebo Ijo rnengerutkan keningnya. Katanya.

   "Kau selalu berbuat nekad. Lihat, air masih terlampau besar."

   "Aku akan meniti di atas bendungan."

   "Terlampau berbahaya. Sedikit gocangan telah cukup melemparkan kau ke dalam air yang seolah-olah sedang bergumul itu."

   "Aku harus berhati-hati supaya aku tidak tergelincir."

   "Apakah ada sesuatu yang penting sekali harus kau kerjakan di seberang."

   "Orang-orang di seberang itu cukup gelisah. Aku harus datang untuk menenteramkannya dan memberitahukan apa yang harus mereka kerjakan."

   Kebo Ijo mengangkat pundaknya. Ia tidak menyahut lagi, tetapi tampak di wajahnya, bahwa ia agak mencemaskannya.

   "Ada juga perasaan cemas di dalam dadanya buat orang lain."

   Ken Arok bergumam di dalam hatinya.

   Sedang kakinya telah mulai menyentuh ujung bendungan.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati ia mulai meniti bendungan itu.

   Beberapa orang segera datang berkerumun di ujung jembatan.

   Ada di antara mereka yang mencoba mencegahnya.

   Tetapi Ken Arok berjalan terus.

   Ia cukup mengerti kekuatan bendungannya dan kekuatan air yang sudah mulai surut itu, sehingga menurut perhitungannya, maka bendungan itu sama sekalisudah tidak berbahaya.

   Hanya apabila ia tidak hati-hati ia akan dapat tergelincir masuk ke dalam air yang bergulung-gulung dengan warnanya yang keruh.

   Ternyata perhitungan Ken Arok itu benar.

   Sampai ke ujung yang lain di seberang, Ken Arok tidak mengalami peristiwa apapun.

   Ia selamat menginjakkan kakinya ke seberang.

   Kedatangannya segera dikerumuni oleh prajurit-prajuritnya.

   Prajurit-prajurit yang cemas dan tidak mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan, selain menunggu.

   Menunggu untuk waktu yang tidak mereka ketahui.

   "Akulah yang membawa kalian ke seberang ini, karena itu, maka aku datang menjemput kalian."

   "Apakah kami harus menyeberang?"

   Bertanya seseorang.

   "Meniti di atas bendungan itu."

   Jawab Ken Arok.

   "tetapi tidak bersama-sama, karena bendungan itu masih belum kuat benar. Satu demi satu atau dua. Tetapi jangan lebih dari lima orang sekaligus."

   Prajurit-prajurit itu saling berpandangan. Ada yang tampak ragu- ragu, tetapi ada yang segera menjawab.

   "Baiklah. Satu-satu berurutan dengan jarak yang agak panjang, sehingga tidak terlampau banyak yang berada sekaligus di atas bendungan itu. Bukankah begitu?"

   "Ya."

   Sahut Ken Arok pendek.

   "Baiklah."

   Sahut prajurit yang lain, yang bertubuh gemuk.

   "supaya kita tidak terlampau lama kedinginan di sini. Di sana kita dapat segera berganti pakaian. Kemudian duduk menghangatkan diri dimuka perapian."

   "Maksudmu, di muka perapian tempat menanak nasi?"

   Potong kawannya.

   "Ah."

   Desah Ken Arok.

   "dimana-mana aku bertemu dengan orang yang kelaparan."Prajurit yang gemuk itu mengerutkan keningnya. Katanya.

   "Apakah ada orang lain selain aku yang kelaparan?"

   "Hus."

   Desis Ken Arok.

   "sekarang bersiaplah. Siapakah yang akan pergi dahulu? Jangan berebut. Aku akan menyeberang paling akhir, setelah kalian selesai."

   Beberapa orang prajurit saling berpandangan.

   Namun kemudian mereka pun segera pergi satu demi satu ke ujung bendungan itu.

   Seorang yang sudah menyentuh bendungan itu dengan kakinya menjadi ragu-ragu.

   Air yang bergejolak di depan bendungan itu membuatnya agak pening.

   "Aku menjadi singunen."

   Katanya.

   "Jangan kau tatap air yang bergerak itu. Kau akan merasa seakan-akan terhisap olehnya, dan kau akan terjun ke dalamnya."

   "Marilah, siapa yang akan berjalan di depan."

   Berkata prajurit itu sambil melangkah surut. Tetapi orang lain pun menjadi ragu-ragu pula. Sehingga akhirnya Ken Arok bertanya.

   "Tidak ada yang berani berjalan dahulu?"

   Seorang prajurit yang berewok melangkah maju. Katanya.

   "Biarlah aku berjalan dahulu."

   "Kau tidak singunen."

   Bertanya kawannya.

   "Tidak. Rumahku pinggir Bengawan. Aku sudah biasa melihat air banjir."

   "Pergilah."

   Berkata Ken Arok.

   Prajurit itu pun segera berjalan perlahan-lahan meniti bendungan yang sudah menjadi semakin banyak tersembul di permukaan air.

   Perlahan-lahan sekali dan sangat berhati-hati.

   Seorang yang lain segera menyusulnya beberapa langkah di belakangnya.

   Setelah mereka agak ketengah maka seorang yang lain mulai menginjak bendungan itu pula.

   Berturut-turut seperti pesan Ken Arok.

   Sehingga dalam saat yang bersamaan, di atas bendungan itu tidak berdiri lebih dari lima orang.Karena kawan-kawannya yang lain kemudian berani meniti bendungan itu, maka prajurit-prajurit yang semula ragu-ragu pun akhirnya berani juga melakukannya, meskipun sama sekali tidak berani berpaling dan memandang air yang seolah-olah akan menelannya.

   Apalagi apabila mereka melihat putaran air di muka susukan induk, seolah-olah mereka akan ikut serta terhisap dan hanyut ke dalamnya.

   Orang-orang yang berada di seberang, kemudian berkumpul kembali menyaksikan kawan-kawannya yang berjalan beriringan menyeberang di atas bendungan.

   Betapapun juga, mereka menjadi tegang pula karenanya.

   Ternyata prajurit-prajurit yang meniti jembatan itu memerlukan waktu yang agak panjang.

   Ketika warna-warna suram telah mulai mengambang di atas Padang Karautan, mereka mencoba mempercepat langkah mereka, meskipun mereka tidak boleh lengah.

   Mereka masih harus tetap berhati-hati supaya tidak tergelincir masuk.

   Namun mereka berusaha sebelum gelap, mereka harus sudah selesai.

   Apabila malam yang gelap sudah menyelubungi padang, maka meniti bendungan itu akan menjadi terlampau sulit dan berbahaya.

   Tetapi untuk menunggu sampai esok bagi para prajurit itu pasti akan terlampau lama, sebab hampir sehari-harian mereka belum makan.

   Apalagi pakaian mereka telah basah kuyup oleh hujan yang seperti dicurahkan dari langit.

   Seperti air yang bergumul di depan bendungan itu, maka prajurit yang ada di seberang itu pun semakin lama menjadi semakin susut pula.

   Akhirnya tinggal beberapa orang saja bersama dengan Ken Arok.

   Sedang langit sudah menjadi semakin merah kehitam- hitaman.

   "Cepat."

   Desis seorang prajurit yang bertubuh kecil berkumis tipis.

   "kita harus selesai sebelum gelap, supaya kita tidak terjerumus masuk ke dalam air."

   "Jangan terlalu tergesa-gesa."

   Berkata Ken Arok.

   "hati-hati jangan sampai tergelincir."Dan prajurit-prajurit itu memang tidak dapat terlalu tergesa-gesa dan harus selalu berhati-hati. Tetapi akhirnya prajurit yang terakhir telah menyentuhkan kakinya di atas bendungan. Namun pada saat itu hari telah mulai menjadi gelap, sehingga dengan ragu-ragu prajurit itu melangkahkan kakinya, Sekali-sekali ia berhenti menarik nafas dalam-dalam. Sedang suara air yang sedang banjir masih saja bergemuruh mengganggu telinganya. Lamat-lamat dalam keremangan ujung malam dapat dilihatnya air bergulung-gulung di depan bendungan yang sedang dititinya.

   "Jangan tergesa-gesa."

   Berkata Ken Arok yang berjalan di belakang prajurit yang terakhir itu.

   "Lebih baik perlahan-lahan dan hati-hati daripada tergesa-gesa tetapi masuk ke dalam air itu."

   "Ya."

   Jawab prajurit itu.

   Selangkah-selangkah mereka maju.

   Beberapa orang di seberang ternyata dapat mengerti kesulitan para prajurit yang sedang menyeberang itu.

   Ternyata beberapa orang dari mereka segera menyediakan obor-obor untuk membantu menerangi bendungan.

   Tetapi obor-obor itu kadang malah membuat para prajurit yang menyeberang menjadi silau.

   Namun akhirnya semuanya dapat sampai ke seberang dengan selamat.

   Ken Arok lah yang terakhir menginjakkan kakinya di pinggir seberang sambil menarik nafas dalam-dalam.

   Ketika dilihatnya prajurit yang gemuk masih berdiri di dekat bendungan itu sambil berceritera kepada kawannya, maka berkatalah Ken Arok.

   "Apakah kau sudah memanasi dirimu di perapian sambil makan? Aku kira kau terlampau lapar dan aku kira nasi sudah masak."

   Prajurit yang gemuk itu tertawa. Jawabnya.

   "Aku masih belum lapar. Sudah terbiasa bagiku, dua hari dua malam tidak makan dan tidak minum."

   "Itukah sebabnya kau menjadi gemuk?"

   Bertanya kawannya yang berdiri di sampingnya.Sekali lagi prajurit itu tertawa lepas, sehingga beberapa orang berpaling kepadanya sehingga tiba-tiba ditutupnya mulutnya dengan tangannya.

   "Ah, aku akan pergi."

   Desisnya kemudian.

   "Kemana?"

   Bertanya kawannya.

   "Keperapian. Mungkin aku masih dapat mengeringkan pakaianku dan mendapat rangsum hangat."

   Prajurit yang gemuk itu tidak menunggu kawannya menjawab.

   Segera ia melangkah pergi.

   Sekali ia berpaling sambil tertawa.

   Cahaya obor yang kemerah-merahan membuat bayangan yang lucu pada wajahnya yang gemuk.

   Tetapi bukan saja prajurit yang gemuk itu yang pergi kedapur.

   Prajurit-prajurit yang lain pun segera menyusul.

   Ada di antara mereka yang memerlukan berganti pakaian lebih dahulu, tetapi ada juga yang langsung dengan pakaian basah, menerima rangsum hangat sambil duduk-duduk di muka perapian.

   Ternyata mereka benar-benar telah lapar sehingga mereka makan tanpa banyak berbicara.

   Ken Arok berdiri tegak beberapa langkah dari mereka.

   Meskipun ia sendiri belum makan, tetapi ia senang melihat prajurit-prajuritnya makan dengan lahapnya.

   Satu-dua di antara mereka masih sempat berkelakar, meskipun sambil menyuapi mulut-mulut mereka dengan suapan-suapan yang besar.

   Ken Arok berpaling ketika terasa pundaknya ditepuk seseorang.

   Ternyata Kebo Ijo telah berdiri di belakangnya.

   Sambil tersenyum anak muda itu berkata.

   "Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, yang kalis dari segala bahaya, yang bidjaksana dan yang dilindungi oleh Bintang Cakra telah memanggilmu."

   "Ah."

   Ken Arok berdesah.

   "Aku berkata sesungguhnya, bahwa kau harus menghadapnya sekarang juga. Bahkan sebenarnya sejak tadi kau dicarinya, tetapi ternyata kau masih berada di seberang.""Aku percaya bahwa Akuwu memanggilku. Tetapi sebutan yang kau ucapkan adalah sebutan bagi Maharaja Kediri."

   Kebo Ijo tertawa. Katanya.

   "Akuwu itu merasa dirinya lebih besar dari Maharaja Kediri."

   "Kaulah yang beranggapan begitu."

   "Huh."

   Katanya.

   "ia merasa bukan manusia biasa lagi. Ia merasa dirinya jauh lebih berharga dari pada kita. Dan Kakang Witantra membiarkan dirinya direndahkan. Agaknya kau pun akan berlutut sambil mencium kakinya pula."

   Ken Arok rnengerutkan keningnya. Kemudian katanya.

   "Adi Kebo Ijo, jangan berkata begitu. Aku tahu bahwa Akuwu memang kadang-kadang berbuat sekehendak sendiri. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia sudah lupa diri. Itu adalah tabiatnya, seperti kau sering berkata menurut seleramu sendiri."

   "Tetapi ia benar-benar seperti Maharaja yang paling perkasa. Suatu ketika aku cekik ia sampai mati."

   Ken Arok mengerutkan keningnya.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tampaklah perubahan pada wajahnya.

   Namun sejenak justru ia berdiam diri.

   Ia tidak segera menanggapi kata-kata Kebo Ijo itu, karena ia sama sekali tidak senang mendengarnya.

   Ken Arok menggigit bibirnya ketika ia mendengar justru Kebo Ijo tertawa terbahak-bahak.

   Orang-orang yang berdiri dikejauhan, yang mendengar suara tertawanya, serentak berpaling kearahnya.

   Ada diantara mereka yang ikut tertawa meskipun tidak mengetahui persoalannya, hanya karena melihat cara tertawa Kebo Ijo yang menggelikan.

   Tetapi ada juga yang acuh tidak acuh sambil menyuapi mulutnya dengan nasi hangat.

   "Kebo Ijo."

   Berkata Ken Arok kemudian.

   "aku sudah mencoba memperingatkanmu. Jangan terdorong mengucapkan kata-kata yang begitu tajam.""Kau cemas bahwa aku akan melakukannya? Jangan takut kehilangan tempat untuk menghambakan diri Ken Arok. Aku tidak akan benar-benar melakukannya."

   Sahut Kebo Ijo.

   "Aku tahu bahwa kau tidak akan melakukannya. Tetapi kelakar yang demikian agak berlebih-lebihan. Sebaiknya kau mengucapkan kata-kata yang lain, yang tidak langsung menusuk perasaan. Mungkin aku dapat mengerti caramu bergurau. Tetapi mungkin orang lain tidak, atau justru meskipun orang lain tahu benar, bahwa kau hanya bergurau, namun mereka yang tidak senang denganmu akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya."

   "Apakah kepentingan orang lain dengan aku? Apakah yang diinginkannya dariku? Kedudukanku yang tidak pernah naik pangkat ini, justru karena aku tidak dapat menjilat kaki Akuwu itu, atau apa?"

   "Kau benar-benar tidak mampu mengendalikan lidahmu. Coba katakan berapa tahun kau mengabdikan diri menjadi seorang prajurit di Tumapel. Coba sebutkan di antara orang-orangmu, apakah tidak ada yang sudah lebih dari dua kali lipat waktu pengabdiannya kepada Akuwu Tunggul Ametung dan masih saja berada di tingkat di bawahmu."

   "Tetapi mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak pantas untuk disebut namanya."

   "Sedang kau."

   Ken Arok memotong.

   "adalah orang yang berilmu tinggi dan tidak ada duanya."

   Wajah Kebo Ijo tiba-tiba menegang. Tetapi hanya sesaat, kemudian terdengar sekali lagi suara tertawanya lepas mengumandang di Padang Karautan yang sudah mulai gelap.

   "Ah, sudahlah."

   Berkata Ken Arok.

   "tetapi ingat-ingatlah pesanku supaya kau tidak terjerumus dalam kesulitan. Jangan kau lepaskan saja kata-katamu tanpa pertimbangan dan pengendalian."

   "Baiklah."

   Sahut Kebo Ijo.

   "akan aku pergunakan mulutku untuk memujinya supaya aku segera diangkat menjadi senapati agung."Ken Arok tidak menjawab lagi. Tetapi ia benar-benar tidak senang mendengar kelakar yang berlebih-lebihan justru tentang Akuwu Tunggul Ametung. Meskipun ia masih mendengar suara tertawa Kebo Ijo namun Ken Arok itu melangkah pergi meninggalkannya. Akuwu Tunggul Ametung yang memanggilnya, mungkin sudah terlalu lama menunggunya. Karena itu maka langkahnya pun menjadi tergesa- gesa, tidak saja supaya ia segera sampai ke gubug yang dipergunakan oleh Akuwu Tunggul Ametung untuk beristirahat, tetapi juga supaya ia segera menjauhi Kebo Ijo.

   "Anak itu harus mendapat peringatan."

   Desis Ken Arok.

   "tetapi karena kakak seperguruannya ada di sini, biarlah aku katakan saja kepadanya tentang adiknya itu."

   Langkah Ken Arok itu pun segera terhenti. Dilihatnya gubug itu sepi. Namun perlahan-lahan supaya tidak mengejutkan, ia berjalan mendekati pintu. Ia terhenti ketika ia melihat Witantra keluar dari dalam gubug itu. Perlahan-lahan Witantra berkata.

   "Akuwu sedang tidur."

   Ken Arok mengerutkan keningnya. Katanya.

   "Bukan kah Akuwu Tunggul Ametung memanggil aku."

   "Ya. Sejak sore ia mencarimu."

   "Kebo Ijo baru saja menjampaikan pesan itu ke padaku."

   "Ya."

   "Dan sekarang Akuwu sedang tidur?"

   "Ya."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   Kadang-kadang memang terbersit kejengkelan di dalam hatinya.

   Tergesa-gesa ia datang memenuhi panggilannya, tetapi yang memanggilnya itu ternyata sedang tidur.Tetapi justru dengan demikian ia teringat kepada Kebo Ijo.

   Ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya selagi ia bertemu dengan Witantra.

   Maka sejenak kemudian ia berkata.

   "Aku ingin berbicara dengan kau Witantra."

   Witantra mengerinyitkan alisnya.

   "Tentang?"

   "Tentang adikmu Kebo Ijo."

   Kini Witantra lah yang menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar tabiat dan kebiasaan Kebo Ijo. Katanya kemudian.

   "Apakah anak itu mengganggu pekerjaanmu disini? Aku sebenarnya juga kurang sependapat, bahwa Kebo Ijo lah yang dikirim oleh Akuwu untuk membantu pekerjaanmu."

   "Tidak."

   Ken Arok menggeleng.

   "Kebo Ijo sama sekali tidak mengganggu. Ia termasuk pekerja yang baik, meskipun mula-mula agak canggung. Tetapi pada saat-saat terakhir ia merupakan tenaga yang ikut menentukan."

   "Lalu?"

   "Kita duduk di sini Witantra."

   Witantra mengangguk. Keduanya segera duduk di atas rerumputan dimuka gubug itu.

   "Adikmu memang senang berkelakar dan bergurau."

   Berkata Ken Arok.

   "Ya."

   Witantra mengangguk, lalu diteruskannya.

   "bukankah kau merasa terganggu oleh kelakarnya yang berlebih-lebihan?"

   Ken Arok mengerutkan keningnya.

   Agaknya kakak seperguruan Kebo Ijo itu pun telah menyadari sifat-sifatnya, yang kadang-kadang terlampau berlebih-lebihan, bahwa sering sudah melampaui batas.

   Hal yang demikian seharusnya tidak boleh berkepanjangan.

   Sejenak kemudian maka ia pun menjawab.

   "Sebenarnya aku sendiri tidak merasa terlampau terganggu. Tetapi aku mencemaskannya, bahwa kadang-kadang kelakarnya dapat membahayakannya."Witantra mengerutkan keningnya. Katanya.

   "Apakah yang dikatakannya?"

   "Tentang Akuwu Tunggul Ametung."

   Jawab Ken Arok.

   "kadang- kadang terloncat ucapan-ucapannya yang mendebarkan hati."

   Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.

   "mungkin sekali, Anak itu benar-benar anak yang bengal. Apakah yang dikatakannya tentang Akuwu?"

   "Mungkin pernah mendengar apa yang dikatakannya tentang kita?"

   "Dalam hubungan dengan Akuwu?"

   "Ya."

   "Ya. Aku memang sering mendengar. Anak itu menganggap kita terlampau merendahkan diri dihadapan Akuwu Tunggul Ametung."

   "Begitulah. Lalu bagaimana sikapnya sendiri?"

   "Seperti seekor tikus dihadapan seekor kucing. Tetapi anak itu memang harus mendapat peringatan. Apakah yang dikatakan kepadamu?"

   "Itu tidak terlampau berbahaya baginya, Witantra. Tetapi yang lebih menyinggung perasaan orang-orang yang dekat dengan Akuwu adalah sebutan-sebutannya yang mengandung hinaan atas Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan."

   Ken Arok diam sejenak. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah takut didengar orang lain. Lalu.

   "Kebo Ijo pernah berkata kepadaku, meskipun aku tahu bahwa ia hanya bergurau, katanya.

   "Aku akan mencekiknja sampai mati."

   "Ah."

   Witantra berdesah.

   "begitukah?"

   "Ya. Aku cemas apabila seseorang pernah mendengar ia berkata begitu pula."

   "Hem."

   Witantra menarik nafas dalam-dalam.

   "sebenarnyalah demikian Ken Arok. Aku pernah mendapat laporan dari seorangprajurit pengawal. Ia mendengar Kebo Ijo memaki Akuwu meskipun sambil tertawa. Sebagai seorang prajurit pengawal, ia lapor kepadaku tentang seorang prajurit yang lain yang bersikap demikian."

   "Apakah yang sudah kau lakukan?"

   "Aku panggil anak itu. Aku memarahinya hampir separo malam. Tampaknya ia menjadi jera. Tetapi kini penyakit itu agaknya telah kambuh kembali."

   "Nah, terserahlah kepadamu Witantra, untuk kepentingan adikmu itu sendiri."

   "Terima kasih. Aku akan memperhatikannya."

   "Baiklah. Sekarang, sebelum Akuwu bangun, aku akan beristirahat sejenak. Aku akan berganti pakaian, makan dan duduk- duduk bersama prajurit-prajurit yang sedang beristirahat itu."

   Witantra rnengerutkan keningnya. Lalu ia berkata.

   "Aku ikut bersamamu. Aku ingin melihat-lihat keadaan mereka disini sebelum besok aku pergi mengawal Akuwu ke Kemundungan."

   Keduanya pun kemudian berdiri. Witantra melambaikan tangannya, memanggil seorang prajurit yang dibawanya dari Tumapel, prajurit pengawal.

   "Lakukan tugasmu baik-baik. Aku akan pergi sebentar. Laporkan kepada perwira yang sedang bertugas."

   Prajurit itu menganggukkan kepalanya, sedang tangan kirinya menggenggam hulu pedangnya yang masih berada di dalam sarungnya.

   "Baik."

   Jawabnya.

   "akan aku lakukan."

   Witantra pun kemudian melangkah bersama-sama dengan Ken Arok, sementara itu, prajurit pengawal itu melaporkannya kepada perwira pengawal bawahan Witantra, yang segera mengambil alih tugasnya, berjaga-jaga di depan gubug Akuwu Tunggul Ametung yang sedang tidur itu.Beberapa langkah kemudian, maka kedua orang itu terhenti ketika mereka melihat Kebo Ijo mendatanginya.

   Sambil tertawa ia bertanya kepada Ken Arok.

   "Kenapa kau tidak menghadap Akuwu?"

   "Akuwu sedang tidur."

   Jawab Ken Arok.

   "He."

   Kebo Ijo mengerutkan keningnya.

   "tetapi ia memanggilmu menurut Kakang Witantra."

   "Ya."

   Sahut Witantra.

   "tetapi pada saat Ken Arok datang, Akuwu sudah tertidur. Mungkin ia terlampau lelah setelah bekerja keras hari ini."

   Wajah Kebo Ijo menjadi berkerut-merut. Tetapi kemudian meledaklah suara tertawanya.

   "Kenapa kau tertawa?"

   Bertanya Witantra.

   "Tidak apa-apa."

   Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Tidak apa-apa."

   Sejenak Ken Arok dan Witantra saling berpandangan.

   Namun kemudian mereka meneruskan langkah mereka tanpa menghiraukan anak yang masih saja tertawa-tawa itu.

   Tetapi ternyata Kebo Ijo tidak membiarkannya pergi.

   Ia pun kemudian mengikutnya di belakang.

   Sejenak kemudian ia bertanya.

   "Kakang, apakah Akuwu akan membicarakan tentang keberangkatannya besok bersama Ken Arok?"

   "Aku tidak tahu."

   Sahut kakanya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tetapi bukankah itu yang dimaksud oleh Akuwu Tunggul Ametung? Membawa sepasukkan prajurit untuk membebaskan Mahisa Agni?"

   "Ya."

   "Apakah Ken Arok besok harus ikut serta?"

   "Aku tidak tahu.""Hem."

   Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ia masih saja berjalan mengikuti Ken Arok dan Witantra.

   "Aku kira begitulah. Dan seandainya benar, maka Akuwu benar-benar berbuat aneh."

   "Kenapa?"

   Bertanya Witantra dengan serta merta.

   "Bendungan ini seharusnya jauh lebih penting dari pada seorang Mahisa Agni. Apakah perlunya Akuwu bersusah payah berusaha membebaskannya?"

   Langkah Witantra tertegun mendengar kata-kata Kebo Ijo. Ken Arok pun kemudian terhenti juga. Bahkan keduanya kemudian berpaling memandangi Kebo Ijo yang kemudian berdiri tegak di belakang mereka.

   "Kebo Ijo."

   Berkata Witantra kemudian.

   "kita adalah prajurit. Kita sebaiknya mentabukan perintah yang dijatuhkan atas kita. Memang mungkin perintah itu tidak tepat. Apabila demikian kita dapat memberikan pertimbangan seperlunya. Nah, adalah wajar sekali apabila besok, seandainya Akuwu masih ingin membawa Ken Arok, kita dapat mengajukan keberatan-keberatan itu."

   Kebo Ijo tidak segera menyahut. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi sejenak kemudian ia berkata.

   "Apakah sebenarnya pentingnya Mahisa Agni bagi Akuwu."

   "Ia kakak Tuan Puteri Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung."

   "Tetapi Mahisa Agni sendiri adalah seorang anak padesan. Kalau ia hilang di dalam sarang iblis Kemundungan itu, adalah nasibnya yang terlampau jelek. Buat apa benarnya Akuwu memaksa diri untuk mencarinya dengan sepasukan prajurit? Bagiku, hal itu tidak akan banyak memberikan arti bagi Tumapel. Pantaslah kiranya, apabila yang hilang itu seorang putera Raja, setidak-tidaknya putera Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Bukan hanya sekedar anak padesan. Apabila Tuan Puteri Ken Dedes merajuk, biarlah Akuwu mengancamnya untuk mengembalikan saja kepadepokannya."Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya.

   "Sebaiknya kau tidak usah ikut memperbincangkannya. Itu adalah persoalan Akuwu Tunggul Ametung."

   Kebo Ijo justru tertawa pendek.

   "Aku kasihan melihat Akuwu begitu bersusah payah untuk seorang pidak pedarakan."

   "Kau. Keliru Kebo Ijo."

   Ken Aroklah yang kemudian menyahut.

   "kau membedakan antara seorang anak pidak pedarakan dengan seorang pangeran atau putera Akuwu di dalam persoalan ini."

   "Sudah tentu. Nilai dari mereka jauh berbeda."

   "Tidak Kebo Ijo. Baik ia seorang pangeran, bahkan seorang pangeran dari seorang Maharaja sekalipun dan seorang yang paling rendah dan paling hina, berhak mendapat perlindungan."

   "O, tentu. Sudah tentu. Tetapi harus disesuaikan dengan kedudukannya. Kalau yang hilang seorang pangeran, pantaslah Akuwu sendiri yang pergi mencarinya. Tetapi kalau hanya seorang Mahisa Agni?"

   "Mahisa Agni kini adalah seorang kakak dari Permaisuri Akuwu sendiri."

   Kebo Ijo tertawa. Katanya.

   "Kau terbalik mengucapkannya Ken Arok. Seharusnya kau berkata.

   "Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung hanyalah adik Mahisa Agni. Anak dari pedukuhan Panawijen."

   "Kau telah menarik garis perbedaan terlampau tajam antara seorang yang lahir di dalam lingkungan yang baik dan orang-orang yang lahir dalam keadaan yang buruk."

   "Tentu. Aku sendiri harus menghargai keturunanku."

   "Kau sudah gila Kebo Ijo."

   Desis Witantra.

   "diamlah supaya aku tidak memaksamu."

   Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak ingin diam, ia masih ingin berbicara Namun Witantralah yang berbicara pula.

   "Pergilah beristirahat. Tetapi sebelumnya, dengarlah dahulu sebagai bekalmu berangan-angan sebelum tidur. Tak ada perbedaan apa-apa antara yang kebetulan lahir sebagai seorang yang sangat miskin. Mereka berhak mendapat perlindungan yang sama, Mahisa Agni yang kini berada dalam bahaya yang mengerikan harus mendapat pertolongan."

   Sekali lagi Kebo Ijo tertawa. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan berbicara karena Ken Arok berkata.

   "Kebo Ijo. Nilai seseorang tidak saja tergantung kepada darah keturunan. Tetapi tergantung pula atas perbuatannya sendiri. Atas apa yang dikerjakannya."

   Ken Arok berhenti sejenak, lalu.

   "Aku adalah seorang yang paling hina ketika dilahirkan. Tetapi penilaian orang terhadap diriku kini telah menjadi jauh berbeda. Apakah kau pernah membayangkannya, bahwa aku seolah-olah terbuang di masa-masa itu. Disaat aku baru dilahirkan?"

   Kebo Ijo tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Ken Arok yang tegang.

   "Tetapi sekarang aku mendapat kesempatan ini."

   Ken Arok meneruskannya. Kini Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia masih mempunyai kesadaran untuk tidak membuat keributan. Perlahan- lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya.

   "Baiklah. Itu memang bukan persoalanku. Tetapi bagiku Mahisa Agni sama sekali tidak cukup bernilai untuk memaksa Akuwu meninggalkan istana. Lebih baik baginya untuk berburu kijang di hutan-hutan."

   "Pergilah Kebo Ijo."

   Potong Witantra.

   "beristirahatlah, tetapi jangan tidur dulu. Aku perlu menemuimu."

   Kebo Ijo menjadi heran, sehingga terloncat pertanyaannya.

   "Kenapa nanti? Bukankah kita sudah bertemu."

   Adik seperguruan Witantra itu memang menjengkelkan sekali, sehingga Witantra menyahut agak keras.

   "Aku perlu berbicara dengan kau seorang diri. Aku nanti ingin memberimu peringatan supaya kau tidak malu dilihat orang. Kau telah membuat banyak sekali kesalahan. Mengerti?"Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya pundaknya sambil berdesis.

   "Baiklah kakang. Sebaiknya aku makan dahulu sebanyaknya sebelum aku menghadap kakang nanti."

   "Lebih baik begitu. Makanlah, supaya mulutmu berhenti berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak bermanfaat dan kadang- kadang dapat berbahaya bagimu."

   Sahut Witantra. Kebo Ijo menganggukakan kepalanya. Berlahan-lahan ia melangkah pergi meninggalkan Ken Arok dan Witantra yang mengawasinya.

   "Anak itu benar-benar bengal. Umurnya sudah cukup dewasa, dan ia sudah berkeluarga pula. Tetapi sifatnya itu masih kadang-kadang membuat aku pusing dan bahkan guru sendiri. Ia dapat menjadi seorang yang baik dihadapan guru. Tetapi kemudian penyakitnya itu datang lagi mengganggunya."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   Ternyata bahwa kakak seperguruannya ini pun telah dibuatnya pening.

   Apalagi orang lain.

   Tetapi bahwa kata-katanya terlampau sering melukai hati orang lain dan kadang-kadang tanpa terkendali itulah yang harus mendapat perhatian.

   Saudara-saudara seperguruannya dan kawan-kawannya yang dekat, yang telah mengerti akan tabiatnya, tidak akan menjerumuskannya ke dalam kesulitan, bahwa akan berusaha melindunginya, meskipun kemudian memberikan peringatan yang keras kepadanya.

   Tetapi orang-orang lain akan berbuat sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.

   Bahkan mungkin akan menjerumuskannya ke dalam kesulitan.

   Ken Arok tersedar ketika Witantra kemudian berkata.

   "Biarlah anak itu makan. Nanti aku akan memberinya peringatan. Mungkin aku perlu menakutinya dengan berbagai macam cara, atau mengancamnya."

   "Mudah-mudahan kau berhasil."

   Desis Ken Arok.

   Keduanya pun kemudian melanjutkan langkah mereka pergi ketempat para prajurit sedang beristirahat dan makan.

   Ken Arok pun kemudian ikut pula makan bersama mereka.

   Tetapi Witantra agaknya sudah makan lebih dahulu di gubugnya.Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Ken Arok dan Witantra pun kembali ke gubug Akuwu Tunggul Ametung.

   Begitu mereka mendekat, maka terdengar suara Akuwu yang ternyata sedang terbangun.

   "He, apakah Ken Arok sudah datang?"

   "Hamba, Tuanku."

   Sahut pengawal.

   "itulah Ken Arok sudah datang."

   "Suruh ia masuk."

   "Hamba, Tuanku."

   Tetapi ketika pengawal itu hampir saja mengucapkan kata-kata untuk memberi tahukan panggilan itu kepada Ken Arok terdengar Ken Arok berdesis perlahan-lahan.

   "Aku sudah mendengarnya."

   Pengawal itu mengerinyitkan alisnya, Tetapi ia pun kemudian tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun.

   Ken Arok bersama Witantra kemudian melangkah masuk ke dalam gubug yang rendah itu.

   Kemudian mereka duduk di atas tikar yang dibentangkan di atas batang-batang rumput yang sudah kering.

   "Kau baru datang?"

   Bertanya Akuwu Tunggul Ametung.

   "Tidak, Tuanku."

   Jawab Ken Arok.

   "hamba telah menghadap sejak lama."

   "Bohong. Aku berteriak-teriak memanggilmu. Yang selalu menyahut hanyalah para pengawal. Bahkan Witantra pun pergi pula."

   "Hamba berdua hanya sekedar berjalan-jalan di luar, Tuanku."

   Berkata Witantra.

   "Tetapi kalian tidak mendengar panggilanku."

   "Mungkin hamba berdua berjalan-jalan agak terlampau jauh. Agaknya kami lupa untuk mengingat-ingat waktu dan jarak, Tuanku."Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Kemudian katanya.

   "Aku ingin berbicara dengan kalian."

   Witantra dan Ken Arok hampir bersamaan menjawab.

   "Hamba, Tuanku."

   Akuwu yang masih berada di pembaringannya itu menguap. Diusapnya matanya dengan jari-jarinya. Kemudian katanya.

   "Besok pagi aku akan meneruskan perjalananku. Aku harus menemukan Mahisa Agni supaya hidupku menjadi tenteram."

   Terbersit desis di dalam dada Ken Arok.

   "Hem, ada juga kebenarannya apabila seseorang mengatakan bahwa Akuwu Tunggul Ametung hanya memikirkan dirinya sendiri, meskipun tidak sepenuhnya. Tetapi pada saat-saat tertentu maka dirinya sendirilah yang menjadi pusat segala persoalan."

   Tetapi tiba-tiba dikenangnya pada saat ia hampir hanyut didorong oleh arus banjir yang meluap kesusukan induk.

   "Hem Akuwu memang orang yang aneh. Apakah hatinya terlampau meledak-ledak sehingga kadang-kadang dirinya sendiri tidak mampu menguasainya? Ada beberapa persamaan sifat diantara Akuwu Tunggul Ametung ini dengan Kebo Ijo."

   "He."

   Akuwu itu membentak.

   "kenapa kalian diam saja."

   Ken Arok dan Witantra terperanjat juga. Dan bersama-sama pula mereka menjawab.

   "Hamba, Tuanku."

   "Aku ingin mendapat kepastian apakah aku besok akan berangkat bersamamu Ken Arok?"

   "Hamba menunggu perintah, Tuanku."

   Jawab Ken Arok.

   "tetapi apabila diperkenankan hamba ingin mengajukan pertimbangan untuk itu."

   "Apa pertimbanganmu."

   "Langit sudah menjadi semakin tebal dilapisi oleh air, Tuanku. Hujan pasti akan semakin turun, sedang bendungan itu masih belum siap sama sekali, meskipun sebagian terbesar telah selesai dan bahkan telah dapat diselamatkan dari banjir yang pertama.Tetapi hamba masih selalu dicemaskannya. Apabila datang banjir yang lebih besar lagi, maka bendungan itu akan mengkhawatirkan."

   "Apakah kau sudah membuat parit-parit untuk menyalurkan air seperti yang kau rencanakan. Apabila air terlampau tinggi-tinggi maka air akan mengalir lewat parit-pari yang dangkal itu sehingga mengurangi tekanan yang mendorong bendungan itu."

   "Belum Tuhanku."

   "He, kenapa belum? Apakah kau menunggu bendunganmu pecah."

   "Baru hari ini kami merencanakannya. Seandainya rencana itu dikerjakan, maka baru besoklah hamba mulai."

   "Oh kalian bekerja seperti siput. Kenapa tidak kau mulai malam ini?"

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tetapi diberanikannya juga menjawab.

   "Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah terlampau letih, Tuanku."

   Akuwu mengerutkan keningnya. Lalu katanya.

   "Jadi bagaimana dengan kau? Apakah kau tidak jadi pergi besok?"

   "Seandainya hamba diperkenankan, hamba ingin menyelesaikan bendungan ini saja. Bukan karena hamba tidak sanggup untuk melakukan perintah, Tuanku, tetapi hamba hanya sekedar memberikan pertimbangan."

   "Apakah kau takut bertemu dengan Kebo Sindet?"

   Dada Ken Arok tersirap mendengar pertanyaan itu.

   Seandainya yang bertanya bukan Akuwu Tunggul Ametung, maka orang itu akan ditantangnya berlomba untuk menangkap Kebo Sindet, meskipun Ken Arok tahu, bahwa Kebo Sindet bukanlah seorang yang dapat dianggapnya seperti orang-orang kebanyakan.

   Bahkan pada saat Mahisa Agni hilang, Ken Arok tahu pasti, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, meskipun pada saat itu ia tidak terbunuh oleh iblis-iblis dan Kemundungan kakak beradik.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi tanpadiketahuinya sendiri, ia kini merasa bahwa ia akan mampu menghadapinya, menghadapi Kebo Sindet seorang lawan seorang.

   Tetapi kepada Akuwu Tunggul Ametung, sambil menahan hati, Ken Arok menjawab.

   "Ampun, Tuanku. Seandainya, Tuanku memerintahkan hamba untuk pergi mencari Mahisa Agni, maka hamba pasti akan berangkat. Untuk memenuhi perintah, maka seorang prajurit tidak boleh mengenal takut, meskipun seandainya ada juga perasaan itu di dalam dadanya. Karena itu, maka hamba akan melakukan segala perintah, Tuanku, apa pun yang akan terjadi atas diri hamba. Hamba sama sekali tidak memikirkan diri hamba sendiri, melainkan harapan yang telah dipupuk, selapis demi selapis di dalam dada orang-orang Panawijen, seperti selapis demi selapis brunjung yang disusun untuk membentuk bendungan itu, jangan sampai hanyut bersama banjir. Tetapi apabila Tuanku menghendaki lain, maka hamba pasti akan menjalankannya."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. Katanya.

   "Aku percaya bahwa kau tidak akan mengenal takut. Tetapi pendapatmu benar juga. Bendungan ini memang memerlukan perhatian."

   Akuwu itu berhenti sebentar, lalu.

   "Sebenarnya tanpa kau pun pasukanku telah cukup kuat. Seandainya Kebo Sindet mempunyai beberapa orang pengikut di dalam sarangnya, Witantra dan para pengawal pasti akan mampu berhadapan dengan orang-orang itu, sedang Kebo Sindet sendiri harus berhahapan dengan aku. Dengan Akuwu Tumapel."

   Sekali lagi dada Ken Arok berdesir. Tetapi yang ada di dalam hatinya adalah kesan yang lain. Ternyata Akuwu dapat mengerti juga keterangannya, dan bahkan membenarkannya.

   "Ken Arok."

   Berkata Akuwu.

   "besok pada saat matahari terbit, aku akan meninggalkan bendungan ini. Aku serahkan semuanya di sini kepadamu. Bendungan ini dan taman yang mengalami kerusakan-kerusakan kecil itu. Pada saatnya, taman itu harus siap. Aku ingin menghadiahkannya kepada isteriku. Aku mengharap bahwa aku akan dapat menghadiahkannya sekaligus, taman itu dan kakaknya yang hampir membuatnya gila."Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling memandangi wajah Witantra, maka Witantra itu pun mengangguk kecil.

   "Lakukanlah pekerjaanmu sebaik-baikanya Ken Arok. Sekarang pergilah, aku akan segera tidur, supaya besok aku akan dapat bangun pada waktunya."

   Akuwu diam sejenak, kemudian kepada Witantra ia berkata.

   "Kau pun harus menyiapkan pasukan kecilmu itu Witantra. Supaya besok pada saat matahari terbit, kita akan dapat berangkat segera."

   "Hamba, Tuanku. Segala titah, Tuanku akan hamba lakukan sebaik-baiknya."

   "Sekarang kalian boleh pergi."

   Ken Arok dan Witantra membungkukkan kepalanya bersama- sama sambil berkata hampir beriamaan pula.

   "Hamba, Tuanku."

   Keduanya pun kemudian pergi meninggalkan gubug Akuwu Tunggul Ametung. Witantra sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berkata-kata.

   "Akuwu kadang-kadang sempat juga berpikir dan mempertimbangkan, mana yang baik dilakukannya."

   Ken Arok mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia tersenyum.

   "Ya. Akuwu kadang-kadang memang aneh."

   "Hem."

   Witantra menarik nafas dalam-dalam.

   "Akuwu yang memang aneh atau karena kita telah kejangkitan penjakit Kebo Ijo itu."

   Ken Arok kini tidak hanya sekedar tersenyum, tetapi ia tertawa. Dan Witantra pun tertawa pula. Katanya kemudian.

   "Sudahlah. Sudah terlampau malam untuk berjalan-jalan. Sedang besok kita akan melakukan tugas kisa masing-masing Aku masih harus menemui Kebo Ijo malam ini, dan memberinya peringatan- peringatan. Aku akan memberinya banyak pesan agar ia tidak terjerumus ke dalam kesulitan karena kata-katanya dan mungkin sikapnya yang berlebih-lebihan.""Ya, sebaiknya kau memberinya pesan. Aku kadang-kadang mendapatkan kesulitan, karena Kebo Ijo benar-benar sukar dikendalikan. Pada saat ia datang ketempat ini, aku sudah harus melajaninya bemain-main. Untunglah pada saat itu gurumu datang tepat pada waktunya."

   "Aku mendengar pula. Kebo Ijo sendiri berkata kepadaku, meskipun tidak lengkap."

   "Aku kadang-kadang menjadi segan untuk menegurnya terus menerus seperti kanak-kanak. Aku segan juga kepadamu dan kepada gurumu. Aku takut menyinggung persaanmu dan perguruanmu."

   Witantra tertawa. Katanya.

   "Kau terlampau berterus-terang. Aku senang mendengarnya. Demikian seharusnya supaya kita tidak menyimpan terlampau banyak persoalan. Tentang Kebo Ijo, aku titipkan kepadamu. Aku yakin kau dapat mengatasinya. Aku akan berpesan pula kepadanya, bahwa kau akan menjadi penggantiku dan pengganti guru disini. Kebo Ijo tidak boleh menjadi bersakit hati oleh teguranmu. Kalau perlu kau dapat berbuat lebih banyak atas namaku."

   "Terima kasih atas kepercayaan itu. Tetapi aku kira, ia akan menjadi baik kalau kau menganyamnya, sehingga aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi."

   "Mudah-mudahan."

   Desis Witantra.

   "sekarang aku akan menyiapkan para pengawal, supaya Akuwu besok pagi tidak berteriak-teriak apabila aku terlambat sedikit."

   Keduanya pun kemudian segera berpisah.

   Witantra pergi menemui para pengawal yang dibawanya dari Tumapel.

   Besok mereka harus bersiap tepat pada saatnya.

   Kemudian di dalam gubugnya Witantra menunggu kedatangan Kebo Ijo untuk menemuinya.

   Sementara itu Ken Arok masih juga berjalan-jalan mengelilingi gubug-gubug yang sudah menjadi semakin lama semakin sepi.Malam menjadi semakin lama semakin dalam.

   Dikejauhan terdengar bilalang berderik-derik bersahut-sahutan di atas rerumputan yang masih basah.

   Angin yang dingin bertiup perlahan- lahan.

   Ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya kelangit, hatinya menjadi berdebar-debar.

   Ternyata mendung di langit masih juga mengalir berurutan meskipun tidak terlampau tebal, seperti noda- noda raksasa yang bergeser dipermukaan wajah malam yang gelap.

   Meskipun demikian satu-satu bintang tampak berkeredipan disudut- sudut langit yang tidak disaput oleh awan yang kelabu.

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam menghirup udara yang sejuk.

   Dipandanginya Padang Karautan yang seakan-akan tidak bertepi, menjorok ke dalam kelam yang pekat.

   Tiba-tiba Ken Arok tertegun sejenak.

   Ternyata langkahnya telah membawanya terlampau jauh.

   Dihadapannya, di dalam kesamaran malam, dilihatnya petamanan yang sedang di bangunnya.

   "Hem, kakiku telah membawa aku kemari."

   Tetapi Ken Arok tidak segera kembali.

   Dilanjutkannya langkahnya.

   Dilihatnya petamanannya yang mengalami beberapa kerusakan.

   Tanah yang longsor di pinggir susukan induk, beberapa macam tanaman telah terendam air, dan pagar batu yang miring karena tanah yang bergeser akibat dorongan air yang keras.

   "Taman ini perlu diperbaiki."

   Desisnya.

   Tetapi Ken Arok memusatkan segenap perbatiannya pada waktu yang dekat kepada bendungannya.

   Mungkin besok atau lusa banjir akan datang lagi.

   Sejenak Ken Arok duduk di atas pagar batu merenungi malam yang gelap dan dingin.

   Sekilas-sekilas terbang kembali di dalam ingatannya, masa-masa lampaunya di Padang Karautan ini, selagi ia masih hidup sebagai hantu yang menakutkan.

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   Dalam sekali."Nasibmu memang terlampau baik Ken Arok."

   Suara itu terngiang ditelinganya. Suara Bango Samparan.

   "Persetan."

   Ken Arok menggeram.

   "Aku sama sekali tidak mau diganggunya lagi. Bukan karena aku tidak mengenal terima kasih. Aku akan bersedia memberinya bantuan untuk hidupnya sehari-hari. Tetapi caranya berpikir akan dapat menyesatkan aku lagi. Aku sudah mencoba untuk hidup seperti manusia biasa. Bukan seperti hantu di padang ini, yang hanya berlindung dari terik matahari di dalam semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu dan berlindung di bawah hujan dipereng-pereng kali."

   Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya ia mencoba mengusir pikiran yang mengganggunya itu.

   "Aku tidak akan mau diganggunya lagi dengan pikiran-pikiran yang gila itu."

   Desis Ken Arok kemudian sambil berdiri.

   "aku harus bekerdja keras untuk menyelesaikan bendungan dan taman ini."

   Perlahan-lahan Ken Arok kemudian melangkahkan kakinya lagi, meninggalkan petamanan itu, kembali ke gubugnya.

   Malam telah menjadi semakin larut, dan bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya.

   Tetapi Ken Arok masih berjalan seenaknya.

   Lelah tubuhnya justru terasa berkurang oleh segarnya angin malam.

   Tetapi lambat laun matanya menjadi terlampau berat, dan mulutnya pun mulai menguap.

   "Aku harus beristirahat. Besok aku akan mulai dengan kerja yang lebih keras."

   Ken Arok itu pun kemudian mempercepat langkahnya, seolah- olah ia takut bahwa ia akan kehabisan sisa-sisa malam.

   Ketika ia sampai diperkemahan, ternyata seluruh isi perkemahan itu tertidur nyenyak.

   Tidak ada seorang pun lagi yang masih bangun.

   Penjaga yang bertugas malam itu ditemui oleh Ken Arok tidur bersandar seonggok batu sambil menggenggam tombak pendek.

   Sedang kawannya tidak jauh dari padanya, tidur mendekur di tanah yang basah."Hem."

   Ken Arok berdesah.

   "mereka terlampau lelah."

   Karenanya maka Ken Arok tidak sampai hati untuk membangunkannya.

   Tetapi dengan demikian Ken Arok sendiri tidak segera pergi ke gubugnya untuk tidur.

   Sepi malam telah mencengkamnya untuk tetap bangun betapa matanya terasa terlampau berat.

   Dan bahkan akhirnya ia memutuskan untuk tidur saja di luar, di atas berunjung-brunjung bambu di dekat para penjaga yang sedang tidur itu.

   Ken Arok tidak tahu, betapa lama ia tertidur.

   Tetapi tiba-tiba ia terbangun.

   Layap-layap ia mendengar sesuatu dikejauhan dibawa silirnya angin malam menyentuh lubang telinganya.

   Ternyata telinga Ken Arok adalah telinga yang terlampau tajam.

   Yang seolah-olah dirangkapi oleh ilmu Sapta Pangrungu.

   Yang mempunyai ketajaman mendengar tujuh kali lipat dari telinga biasa.

   Namun agaknya malam yang terlampau sepi telah membantunya pula untuk dapat mendengar suara yang paling halus sekalipun.

   Dan yang didengarnya kini adalah telapak kaki-kaki kuda meskipun masih terlampau jauh.

   Ken Arok menggosok-gosok matanya dengan tangannya.

   Sekali lagi ia mencoba untuk meyakinkan pendengarannya.

   Dan perlahan- lahan ia berdesis.

   "Ya, aku mendengar derap kaki-kaki kuda yang masih jauh sekali."

   Ken Arok menarik nafas dalam-dalam Malam sudah hampir sampai pada akhirnya.

   Sebentar lagi langit di ujung Timur akan dibayangi oleh warna-warna merah.

   Dan disaat yang demikian, ia mendengar derap kaki-kaki kuda mendekati perkemahannya.

   Perlahan-lahan Ken Arok bangkit dan turun dari atas berunjung- berunjung bambu.

   Suara derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin jelas mendekati perkemahan itu.

   Tetapi tidak terlampau banyak.

   Dua atau tiga.

   "Siapakah mereka itu?"

   Desisnya.Penjaga yang tidur bersandar batu itu masih juga tidur. Yang tidur mendengkur di tanah kini justru melingkar menyembunyikan tangannya yang kedinginan.

   "Biar sajalah."

   Desis Ken Arok.

   "Pada saatnya mereka akan terbangun."

   Ken Arok itu pun kemudian melangkah perlahan-lahan menyongsong arah derap kaki-kaki kuda itu.

   Ia belum tahu, apakah yang datang itu akan berbahaya bagi perkemahannya atau tidak.

   Namun kemudian dadanya terasa berdesir ketika ia melihat ternyata Akuwu Tunggul Ametung pun telah berdiri tegak seperti sebatang tonggak baja di muka gubugnya, dan di belakangnya Witantra berdiri dengan pedang di lambung.

   Tetapi Akuwu itu pun menjadi terkejut pula ketika ia mendengar desir langkah di belakangnya.

   Ketika ia berpaling ternyata Ken Arok telah berada beberapa langkah di belakangnya.

   "Apakah yang kau dengar?"

   Bertanya Akuwu.

   "Derap kaki-kaki kuda."

   Sahut Ken Arok.

   "Hem."

   Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "telingamu cukup baik. Tidak ada orang lain yang mendengar derap kaki-kaki kuda itu selain kau."

   "Bukankah, Tuanku mendengar juga?"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bertanya Ken Arok.

   "Ya."

   Sahut Akuwu. Ketiganya kemudian terdiam. Mereka mencoba memperhatikan derap yang semakin lama menjadi semakin dekat.

   "Beberapa ekor kuda menurut tangkapan telingamu?"

   Bertanya Akuwu kepada Ken Arok.

   "Dua."

   "Kau?"

   Akuwu itu berpaling kepada Witantra.

   "Dua.""Aku menduga bahwa ada dua ekor kuda yang datang."

   Ken Arok dan Witantra saling berpandangan sejenak.

   Ternyata perhitungan mereka sama seperti hitungan Akuwu Tunggul Ametung.

   Derap kaki-kaki kuda di Padang Karautan yang sepi itu semakin lama menjadi semakin jelas.

   Angin padang yang basah seolah-olah telah mengantarkan berita kedatangan penunggang-penunggang kuda itu jauh mendahului kuda-kuda itu sendiri.

   "Apakah ada utusan dari istana?"

   Desis Ken Arok.

   "He."

   Akuwu mengerutkan keningnya.

   "bukankah kau masih prajurit Tumapel?"

   Ken Arok menjadi heran, sehingga karena itu ia tidak segera menjawab.

   "Seorang prajurit Tumapel tidak akan bertanya demikian."

   Ken Arok menjadi semakin tidak mengerti.

   "Arah itukah arah Tumapel?"

   Bertanya Akuwu. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia menyadari kekeliruannya, dan barulah ia tahu maksud pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu.

   "Arah itu sama sekali bukan arah ke Tumapel."

   "Hamba, Tuanku. Hamba keliru. Hambat ternyata telah berkata tanpa memikirkannya lebih dahulu."

   Akuwu tidak menyahut. Perhatiannya kini tertumpah kepada dua ekor kuda itu, yang semakin lama menjadi semakin dekat.

   "Aku mengharap Kebo Sindet yang datang kepadaku tanpa aku cari."

   Desis Akuwu Tunggul Ametung.

   "Mudah-mudahan."

   Hampir bersamaan Ken Arok dan Witantra menyahut.Tiba-tiba Akuwu itu berpaling, lalu bertanya.

   "Kenapa mudah- mudahan? Apakah kau hanya sekedar ingin melihat aku berkelahi seperti melihat ayam sabungan?"

   Witantra dan Ken Arok mengerutkan keningnya.

   Tetapi mereka sudah tahu benar tabiat Akuwu itu.

   Meskipun ia sendiri yang mengucapkannya, tetapi apabila orang lain mengatakannya pula, ia menjadi tidak bersenang hati.

   Karena itu maka Witantra segera menyahut.

   "Bukan begitu, Tuanku, maksud hamba, bukankah dengan demikian pekerjaan, Tuanku akan lekas selesai. Tuanku dapat menangkap Kebo Sindet dan memaksanya berkata dimana disembunyikannya Mahisa Agni."

   "Bagaimanakah kalau aku yang ditangkapnya atau dibunuhnya?"

   "Apakah hamba berdua dan semua prajurit yang ada di padang ini akan tetap berdiam diri?"

   "Tidak. Tidak."

   Tiba-tiba Akuwu itu berteriak.

   "kau sangka aku tidak mampu melawannya sendiri? Kau sangka bahwa orang-orang macam kalian ini dapat menyelamatkan aku? Aku sendiri mampu berbuat apa saja."

   Witantra menundukkan kepalanya. Bukan karena ngeri, tetapi ia menyembunyikan bibirnya yang tersenyum. Katanya.

   "Hamba, Tuanku."

   Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian menggeram.

   "Kalian tidak usah membangunkan mereka yang sedang tidur."

   "Hamba, Tuanku."

   "Aku akan melihat, siapakah yang datang itu."

   "Kemana, Tuanku akan pergi?"

   Akuwu Tunggul Ametung tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah menyongsong ke arah derap kaki-kaki kuda yang menjadi semakin dekat.

   "Tuanku."

   Witantra mamanggil.Tetapi Akuwu tidak menghiraukannya.

   Ia berjalan saja menerobos gelap malam tanpa berpaling sama sekali.

   Witantra tidak dapat membiarkannya pergi tanpa seorang pengawalpun.

   Dan ia tidak mendapat kesempatan untuk memanggil orang lain, sehingga karena itu, maka ia pun melangkah pula mengikuti sambil berkata.

   "Tuanku sebaiknya tidak usah menyongsongnya. Ia akan datang kemari dan Tuanku akan melihat siapakah orang itu."

   Tetapi Akuwu seolah-olah sama sekali tidak mendengar.

   Ia melangkah terus, diikuti oleh Witantra yang membawa pedang di lambungnya.

   Namun hati Witantra itu menjadi agak tenteram ketika dilihatnya, dibawah kain panjang Akuwu Tunggul Ametung yang diselimutkan di badannya, tergantung sebuah penggada yang berwarna kekuning-kuningan, yang seolah-olah bercahaya di dalam gelapnya malam.

   "Akuwu telah membawa pusakanya. Ia akan menjadi seorang yang luar biasa dengan senjata itu di tangannya."

   Desis Witantra di dalam hatinya.

   Ternyata Ken Arok pun kemudian tidak dapat membiarkan kedua orang itu pergi menyongsong derap kaki-kaki kuda itu.

   Karena itu, maka ia pun segera menyusul di belakangnya.

   Berloncat-loncatan sehingga akhirnya ia telah berjalan di samping Witantra.

   Dengan dada tengadah Akuwu melangkah terus.

   Semakin lama bahkan semakin cepat.

   Seakan-akan ia menjadi tidak sabar lagi menunggu kuda-kuda itu mendekatinya.

   Derap kuda itu pun semakin lama menjadi semakin jelas.

   Dua ekor kuda.

   Suaranya menggeletar menggetarkan udara padang yang sepi.

   Hanyut bersama silirnya angin yang basah.

   Akuwu Tunggul Ametung itu akhirnya berhenti.

   Ia berdiri tegak bertolak pinggang.

   Ia kini sudah mendapat keyakinan arah derap kaki-kaki kuda itu.

   Karena itu ia tidak perlu maju lagi.

   Sebentar lagikuda-kuda itu akan lewat tepat di mukanya.

   Dan seandainya yang menunggang kuda itu Kebo Sindet, maka ia harus menghentikannya dan menangkapnya.

   "Aku tidak boleh mempergunakan pusaka ini."

   Desisnya. Witantra yang tidak begitu jelas mendengar desis itu melangkah maju dan bertanya.

   "Apakah yang Tuanku katakan?"

   Akuwu berpaling. Jawabnya.

   "Aku tidak berbicara kepadamu?"

   "Apakah Tuanku maksudkan, Tuanku berbicara berbicara dengan Ken Arok."

   "Juga tidak. Aku berbicara kepada diriku sendiri. Aku tidak boleh mempergunakan senjataku, supaya Kebo Sindet tidak menjadi hancur sewalang-walang."

   Witantra menarik nafas dalam-dalam.

   Ketika ia berpaling kepada Ken Arok maka Ken Arok pun sedang mengerutkan keningnya.

   Tetapi mereka percaya sepenuhnya akan kata-kata Akuwu itu.

   Memang pusaka Akuwu itu benar-benar luar biasa.

   Sentuhan pada sesuatu, akibatnya sangat dahsyat.

   Hancur berkeping-keping.

   "Aku harus menangkapnya utuh."

   Berkata Akuwu itu. Sekali lagi Ken Arok rnengerutkan keningnya dan Witantra menggigit bibirnya.

   "Ya."

   Berkata Witantra di dalam hati.

   "Akuwu tidak dapat menangkapnya separo atau sepertiga, apabila ia masih ingin mendengar pengakuan Kebo Sindet."

   Kini kuda itu sudah menjadi semakin dekat.

   Mata mereka yang tajam segera melihat bayangan yang samar-samar bergerak di Padang Karautan itu.

   Semakin lama semakin dekat.

   Bayangan itu langsung menuju kearah mereka.

   Tetapi beberapa langkah agak jauh, kedua ekor kuda itu berhenti.

   Seperti Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok dan Witantra yang ragu-ragu, penunggang-penunggang kuda itu pun ragu-ragu pula.

   Keduanya masih berada di atas punggung kuda masing- masing.Akuwu Tunnggul Ametung tidak sabar lagi untuk menunggu.

   Tiba-tiba ia berteriak.

   "He, siapa di atas punggung kuda itu?"

   Tidak segera terdengar jawaban.

   "Turun."

   Teriak Akuwu.

   "turun dan datang kemari. Sebutkan siapakah kau berdua."

   Kedua bayangan di atas punggung kuda itu masih belum menyahut.

   Sejenak keduanya saling berpandangan.

   Namun kemudian mereka pun meloncat turun.

   Akuwu Tunggul Ametung dan kedua orang pengiringnya mengerutkan keningnya.

   Pada saat keduanya turun, maka tampaklah di lambung mereka sarung pedang yang mencuat ke samping.

   "Mereka bersenjata pedang."

   Desis mereka di dalam hati.

   Tetapi ternyata kedua orang itu masih saja berdiri di samping kuda masing-masing.

   Akuwu Tunggul Ametung tidak sabar lagi menunggu lebih lama.

   Karena itu maka segera ia melangkah mendekati.

   Ia sama sekali tidak menghiraukannya ketika Witantra berdesis.

   "Tuanku. Tunggu."

   Akuwu berjalan terus mendekati kedua orang itu. Witantra dan Kren Aroklah yang kemudian meloncat disampingnya, dikiri dan dikanan tanpa berjanji.

   "Siapa kau?"

   Bertanya Akuwu Tunggul Ametung. Terdengar salah seorang dari mereka berkata.

   "Apakah hamba beradapan dengan, Tuanku Akuwu?"

   "Ya."

   Sahut Akuwu Tunggul Ametung.

   "akulah, Akuwu Tunggul Ametung."

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oh."

   Desis salah seorang dari kedua orang itu.

   Kemudian dengan langkah yang pendek, salah seorang dari mereka menyongsong Akuwu Tunggul Ametung itu.

   Dengan hormatnya ia menganggukkan kepalanya dalam-dalam.Dada Akuwu menjadi berdebar-debar.

   Kini jarak mereka menjadi lebih pendek.

   Dan Akuwu telah melihat bentuk orang yang sedang mengangguk kepadanya itu.

   "He, siapa kau?"

   "Hamba, Mahisa Agni."

   "He."

   Akuwu terperanjat meskipun bentuk Mahisa Agni itu sudah membuat Akuwu berdebar.

   Juga Witantra dan Ken Arok tidak kalah terkejut pula.

   Bahkan terasa dada mereka berdesir dan kemudian berdebar-debar.

   Sejenak mereka diam mematung.

   Tetapi sejenak kemudian Akuwu Tunggul Ametung meloncat maju.

   Dicengkamnya pundak Mahisa Agni dan di guncang-guncangkannya.

   Katanya.

   "He, kau masih hidup?"

   "Seperti yang, Tuanku lihat."

   "Dan kau masih dapat melepaskan dirimu dari tangan Kebo Sindet yang gila itu?"

   "Hamba, Tuanku."

   "Siapa yang menolongmu he?"

   Bertanya Akuwu itu tiba.

   Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak.

   Gurunya berpesan kepadanya supaya ia tidak menyebut-nyebut namanya.

   Gurunya tidak ingin menimbulkan kenangan lagi bagi puterinya, apalagi dalam keadaan yang paling sulit dimasa-masa mendatang.

   "Siapa he, siapa Setan, gendruwo atau dewa-dewa dari langit?"

   "Tuanku."

   Berkata Mahisa Agni kemudian.

   "yang menolong hamba adalah guru Kuda Sempana. Empu Sada."

   "He?"

   Sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung terperanjat. Juga Witantra dan Ken Arok terperanjat pula.

   "Jadi orang itu telah benar-benar menyesali perbuatannya?"

   Bertanya Akuwu."Hamba, Tuanku."

   Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia berteriak.

   "He, kenapa kau tidak menunggu aku? Kenapa kau lari lebih dahulu dari tangan Kebo Sindet sebelum aku datang he?"

   Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu.

   Sejenak ia diam mematung, dan bahkan dipandanginya Witantra dan Ken Arok berganti-ganti, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan dari pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu.

   Tetapi Witantra dan Ken Arok itu pun tidak dapat berbuat apa-apa selain saling berpandangan pula.

   "Kenapa?"

   Kembali terdengar suara Akuwu Tunggul Ametung. Mahisa Agni masih berdiri mematung. Ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab.

   "Kenapa kau tidak menunggu aku membebaskanmu? Kenapa Empu Sada he?"

   Mahisa Agni menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia masih saja berdiri mematung.

   "Kau tidak memberi kesempatan kepadaku."

   Berkata Akuwu itu kemudian.

   "Bukan kau, tetapi Empu Sada itu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk menunjuklan bahwa aku pun mampu melakukannya. Tidak perlu orang lain. Ken Dedes harus yakin, bahwa aku dapat berbuat seperti yang diingininya, membebaskan Mahisa Agni dan memhunuh Kebo Sindet. Tetapi kesempatan itu kini sudah tertutup."

   Mahisa Agni masih berdiri saja sambil berdiam diri. Ia masih ragu-ragu, bagaimana ia harus menanggapi pikiran Akuwu Tunggul Ametung yang aneh itu.

   "He, kenapa? Kenapa kau diam saja?"

   Akuwu itu kemudian berteriak.

   "apakah Empu Sada menganggap aku sama sekali tidak berdaya untuk bertindak atas Kebo Sindet itu? Itu suatu penghinaan bagi Akuwu Tunggul Ametung?"Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Samar-samar ia kini dapat menangkap perasaan Akuwu yang kecewa, karena seolah- olah ia tidak mampu melepaskannya. Akuwu ingin menunjukkan kepada Ken Dedes bahwa ialah yang berhasil melepaskan Mahisa Agni dari tengan Kebo Sindet. Tetapi yang kemudian menggetarkan dada Mahisa Agni bukanlah sikap Akuwu Tunggul Ametung itu sendiri. Namun dengan demikian ternyata kepadanya, bahwa selama ini Ken Dedes selalu berusaha agar Akuwu membebaskannya dari tangan iblis dari Kemundungan itu. Dan sebelum Akuwu itu berteriak lagi, Maiisa Agni mencoba untuk menjawab.

   "Ampun, Tuanku. Sebenarnyalah bahwa, Tuanku mempunyai kemampuan lebih dari Empu Sada. Tetapi adalah suatu kebetulan saja bahwa Empu Sada bertemu dengan Kebo Sindet, berkelahi dan Kebo Sindet terbunuh. Kebetulan yang datang tepat pada waktunya, sebab pada saat itu Kebo Sindet telah siap untuk membunuh hamba dengan caranya, karena usahanya untuk mempergunakan hamba sebagai alat pemeras dirasanya telah gagal."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Lalu terdengar suaranya menggeram.

   "Bagaimanakah cara yang akan ditempuh oleh Kebo Sindet itu untuk membunuhmu? Gantung atau pancung atau apa?"

   Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya.

   "Kebo Sindet belum sempat melakukannya. Tetapi yang telah diucapkan, cara itu adalah cara yang paling mengerikan. Hamba akan diikat di atas rawa-rawa yang menyimpan banyak sekali buaya-buaya kerdil. Kebo Sindet ingin melihat buaya-buaya itu menggapai-gapai hamba, sehingga pada saatnya, salah seekor dari padanya sempat merobek tubuh hamba dan menyeret ke dalam rawa-rawa."

   Wajah Akuwu Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram.

   "Kejam sekali. Kejam sekali. Apakah kira- kira hal itu akan dilakukannya benar-benar?""Hamba, Tuanku. Demikianlah tabiat Keto Sindet itu."

   "Setan. Seharusnya akulah yang membunuhnya. Akulah yang harus menghentikan segala kejahatannya yang mengerikan itu."

   Akuwu bergumam seolah-olah kepada diri sendiri.

   Tiba-tiba teringat pula olehnya cara yang dipilih oleh Kebo Sindet untuk membunuh Jajar yang gemuk yang telah mencoba berkhianat kepadanya.

   Hidup-hidup di masukkan ke dalam api yang menelan rumahnya sendiri.

   Oleh kenangan itu, maka wajah Akuwu itu menjadi semakin tegang.

   Dengan tajamnya dipandanginya seseorang yang berdiri disamping kudanya, yang datang bersama-sama dengan Mahisa Agni.

   Dan tiba-tiba pula Akuwu itu berteriak.

   "He bukankah kau Kuda Sempana?"

   Dada Mahisa Agni berdesir mendengar suara Akuwu dalam nada yang tinggi itu.

   Apalagi Kuda Sempana yang telah merasa banyak sekali menyimpan kesalahan, sehingga sejenak ia tidak dapat mengucapkan kata-kata.

   Witantra dan Ken Arok pun menjadi tegang pula.

   Mereka tahu benar, peranan apakah yang selama ini telah dilakukan oleh Kuda Sempana sehingga keadaan Mahisa Agni, Ken Dedes, dan bahkan seluruh Panawijen menjadi sedemikian buruknya.

   "Jawab pertanyaanku."

   Akuwu mulai berteriak lagi.

   "bukankah kau bernama Kuda Sempana?"

   Terasa darah Kuda Sempana menjadi semakin cepat mengalir sehingga dadanya menjadi berdentangan.

   "He, apa jawabmu?" ---ooo0dw0ooo--- (bersambung ke

   Jilid 39) koleksi . Ki Ismoyoscanning . Ki Ismoyo Retype . Ki Sukasrana Proofing . Ki Wijil Cek ulang . Ki Arema

   Jilid 39 SELANGKAH Kuda Sempana maju dengan kaki gemetar. Kemudian terdengar suaranya parau.

   "Hamba Tuanku, Hamba adalah Kuda Sempana."

   "O."

   Akuwu menggeretakkan giginya.

   "kau telah ikut dalam pengkhianatan itu. Kau telah menjadikan semuanya rusak sama sekali. Dan sekarang kau masih berani menampakkan dirimu setelah kau lari dari istana tanpa menjalani hukuman yang aku jatuhkan kepadamu atas permintaan Permaisuriku."

   Kuda Sempana sama sekali tidak menjawab.

   Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam.

   Namun kemudian dentang jantungnya menjadi reda setelah ia menemukan ketenangan di dalam dirinya.

   Ia telah pasrah kepada nasib yang akan membawanya.

   Hidup yang sesungguhnya bagi Kuda Sempana telah terhenti sejak ia berada di dalam tangan Kebo Sindet.

   Karena itu, maka apapun yang akan terjadi atasnya kini sudah tidak lagi menggetarkan jantungnya.

   Apalagi ia tahu pasti, bahwa Akuwu Tunggul Ametung dihadapan prajurit-prajuritnya, sama sekali bukan Kebo Sindet.

   Seandainya Akuwu Tunggul Ametung memutuskan untuk menghukumnya sampai mati, maka cara yang dipakainya pasti cara yang wajar, yang biasa dilakukan, apabila terpaksa seseorang dihukum mati karena kesalahan-kesalahannya yang tidak mungkin diampuni lagi.

   Seandainya ia termasuk orang-orang yang demikian, maka bagi Kuda Sempana sama sekali sudah tidak menggetarkan jantungnya.Karena Kuda Sempana sama sekali tidak menyahut, dan bahkan hanya menundukkan kepalanya saja, maka Akuwu itu berkata pula.

   "He, Kuda Sempana. Apakah kau tidak punya otak yang dapat mencegahmu untuk datang menemuiku seperti ini, karena hal itu akan dapat membawamu ketiang gantungan?"

   Kuda Sempana masih belum menjawab.

   "Apakah kau sekarang menjadi bisu, he, setelah kau menjadi pengikut Kebo Sindet? Bukankah kau ikut serta mencoba memeras Ken Dedes dengan mempergunakan Jajar yang gemuk itu, dan bahkan kau ikut berkelahi dan membunuh beberapa orang yang dipergunakan oleh Jajar yang gemuk itu untuk menjebak Kebo Sindet?"

   Kuda Sempana semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Akuwu ternyata tahu semua yang telah dilakukan.

   "Dan kau ikut pula mengikat Jajar yang gemuk itu di rumahnya yang sedang terbakar?"

   Kuda Sempana sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ditatapnya saja rerumputan yang basah oleh sisa-sisa air hujan yang seperti dicurahkan dari langit.

   "Nah, sekarang kau datang menyerahkan dirimu. Hukuman lipat sepuluh dari yang seharusnya. Kau harus menanggung segala macam kesalahan yang dilakukan oleh Kebo Sindet pula."

   Akuwu itu berhenti sejenak.

   "sayang bahwa hukuman gantung hanya dapat dilakukan satu kali atas seseorang. Aku sebenarnya ingin menggantungmu sepuluh kali di alun-alun, dan seandainya aku dapat menangkap Kebo Sindet maka ia harus digantung sepuluh tahun. Tetapi sayang sekali bahwa kau hanya dapat melakukan hukuman itu satu kali, lalu mati."

   Betapapun juga dada Kuda Sempana terasa tersentuh oleh kata- kata Akuwu.

   Meskipun kedengarannya aneh, namun ternyata Akuwu mencoba untuk mencurahkan segala macam perasaannya.

   Kemarahan, kejengkelan, kekecewaan dan segala macam perasaan."He, apa katamu Kuda Sempana?"

   Kuda Sempana tidak menyahut.

   Mulutnya serasa terbungkam dan ia memang sama sekali kehilangan nafsu untuk menjawab, apalagi membela diri, untuk mendapat pengampunan.

   Terasa menyesak di dadanya, pengakuan atas segala macam kesalahan yang telah dilakukannya, sejak ia masih menjadi seorang Pelayan Dalam, sejak Ken Dedes masih seorang gadis desa.

   Sekilas terbayang kembali usahanya yang pertama kali untuk memaksa Ken Dedes mengikutinya ke Tumapel, melakukan cara yang memang dapat ditempuh.

   Kawin lari sampai mereka mempunyai anak, dan orang tua gadis itu terpaksa mengakunya sebagai seorang menantu.

   Tetapi ternyata Ken Dedes tidak mau dan bahkan Mahisa Agni berhasil pula menggagalkannya, untuk melarikan saja gadis itu.

   Cara yang dapat ditempuhnya pula untuk mendapatkan Ken Dedes.

   Tetapi semuanya itu telah gagal.

   Sehingga ia terpaksa mengelabui Akuwu Tunggul Ametung dan rasanya ia telah berhasil mengambil Ken Dedes dari Panawijen.

   Tetapi sekali lagi ia gagal dan bahkan ia harus menjalani hukuman yang paling hina.

   Akhirnya ia menjadi semakin jauh tersesat.

   Semakin jauh.

   Tanpa disadarinya ia telah terdampar di Kemundungan, di sarang iblis yang paling mengerikan.

   Kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

   Kuda Sempana menggigit bibirnya.

   Adalah wajar sekali bahwa sekarang Akuwu Tunggul Ametung menghadapkannya pada hukuman yang paling berat yang dapat diberikan kepadanya.

   Tetapi dalam pada itu, dalam kediamannya, ia mendengar suara Mahisa Agni.

   "Ampun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Hamba ingin memohon, agar Tuanku sudi mempertimbangkannya Kuda Sempana telah melakukan banyak sekali kesalahan, bahkan sudah mendekati bentuk-bentuk kejahatan. Tetapi ia sudah menjalani hukumannya, jauh lebih berat dari hukuman yang dapat Tuanku berikan. Hukuman yang lebih berat dari hukuman mati."

   "He, kau sudah gila pula Mahisa Agni."

   Potong Akuwu Tunggul Ametung.

   "kaulah yang seharusnya minta kepadaku hukuman yang paling berat atasnya. Atas namamu sendiri dan atas nama adikmu,Ken Dedes. Sekarang, agaknya kau ingin minta kepadaku untuk memperingan hukuman atas Kuda Sempana. Benar begitu?"

   "Hamba Tuanku. Sebenarnya hamba memang telah melihat, betapa ia menjalani hukumannya di Kemundungan."

   "Kau sudah benar-benar gila agaknya. Bukankah di Kemundungan Kuda Sempana telah menjadi salah seorang pengikut Kebo Sindet yang paling setia?"

   "Ampun Tuanku, Itulah yang akan hamba katakan. Di Kemundungan Kuda Sempana telah menjalani hukuman mati meskipun ia masih hidup. Ia telah melepaskan diri dari kepentingan kemanusiaannya. Tidak atas kehendak sendiri, dengan ikhlas melepaskan kepentingan-kepentingan diri dan kehendak diri sendiri, tetapi ia telah dipaksa oleh keadaan di sekitarnya."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya Katanya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah kau sedang mengigau?"

   "Ampun Tuanku. Sebenarnyalah demikian."

   "Coba katakan, apakah yang sudah terjadi atasnya di Kemundungan. Apakah Kuda Sempana tidak menjadi kepala dari pengikut-pengikut Kebo Sindet."

   "Kebo Sindet adalah seorang yang melakukan segala macam kejahatannya seorang diri sepeninggal adiknya Wong Sarimpat."

   "Kemudian kedudukan Wong Sarimpat telah diganti oleh Kuda Sempana."

   "Tidak Tuanku. Kuda Sempana tidak lebih baik kedudukannya dari kuda tunggangan Kebo Sindet yang sekarang hamba pakai. Ia sudah kehilangan segala-galanya. Hidupnya memang telah terhenti perlahan-lahan sehingga sampai suatu saat, ia menjadi beku seperti segumpal batu yang mati, yang dapat diperlakukan apa saja."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.

   Tampaklah keragu-raguan memancar di wajahnya.

   Sekali dipandanginya wajah Kuda Sempana tajam-tajam, lalu pandangan matanya berpindah kewajah Mahisa Agni.

   Bahkan kemudian dipalingkannya mukanya kepada Witantra dan Ken Arok seakan-akan minta pertimbangan dari padanya.

   Tetapi Witantra dan Ken Arok tidak menunjukkan kesan apapun di wajahnya, selain keragu-raguan pula.

   Tetapi yang berkata demikian adalah Mahisa Agni.

   Orang yang seharusnya paling mendendam kepada Kuda Sempana, sehingga mau tidak mau Akuwu harus mempertimbangkannya.

   "Agni."

   Berkata Akuwu.

   "apakah sikapmu itu dipengaruhi oleh jasa yang telah diberikan kepadamu dari Empu Sada yang kebetulan adalah guru Kuda Sempana?"

   Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Kemudian jawabnya.

   "Sebagian memang benar Tuanku. Empu Sada telah menolong hamba melepaskan diri dari tangan iblis Kemundungan itu. Empu Sada pun minta pula kepada hamba, menyampaikan permohonan maafnya untuk muridnya yang sesat. Tetapi pengalaman Kuda Sempana telah mengajar kepadanya, bahwa apa yang telah dilakukannya itu ternyata suatu kesalahan yang sangat besar. Mudah-mudahan ia telah benar-benar menjadi seorang yang baik, yang menyesali semua perbuatannya lahir dan batin dan tidak akan mengulanginya lagi."

   Sorot mata Akuwu Tunggul Ametung tiba-tiba menyambar wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Selangkah ia maju sambil berkata keras-keras.

   "Kenapa bukan Empu Sada itu sendiri yang menghadap aku dan mohon maaf untuknya sendiri dan untuk muridnya he? Kenapa permohonan ampun atas kesalahan yang sedemikian besarnya, yang telah menggoncangkan Tumapel, yang telah menelan beberapa korban jiwa dan membuat Permaisuriku selalu dihantui oleh kecemasan, hanya dipesankan kepadamu?"

   Dada Mahisa Agni berdesir mendengar pertanyaan itu. Sesaat ia tidak dapat menjawab. Ketika dipandanginya Kuda Sempana dengan sudut matanya, maka dilihatnya anak muda itu semakin menunduk.

   "He, kenapa? Bukankah itu telah merendahkan Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel."Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dicobanya untuk mcnjawab.

   "Ampun Tuanku. Empu Sadapun telah merasa babwa seharusnya ia sendiri menghadap Tuanku untuk mohon ampun atas segala kesalahannya dan kesalahan muridnya. Tetapi Empu Sada merasa ketakutan untuk melakukannya. Ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk berani berhadapan dengan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung justru setelah ia berhasil menolong hamba dan melepaskan muridnya dari tangan Kebo Sindet. Bukan saja karena ia silau memandang kebesaran Akuwu Tunggul Ametung tetapi ia telah memutuskan untuk tidak lagi berada di lingkungan kehidupan yang wajar. Ia telah membuang dirinya, menyepi, menjauhkan diri dari segala masalah duniawi. Justru setelah ia merasa bahwa ia telah berbuat terlampau banyak kesalahan."

   Akuwu terdiam sejenak mendengar keterangan Mahisa Agni itu. Tetapi kemudian ia berkata.

   "Alasan itu baik juga dikemukakan. Mudah-mudahan aku dapat mempercayainya meskipun hampir tidak masuk akal. Kalau benar Empu Sada berbuat demikian, bukan sekedar ceritera yang dengan tergesa-gesa disusun oleh Mahisa Agni, maka Empu Sada adalah seorang yang terlampau bodoh."

   Akuwu berhenti sejenak, lalu kepada Kuda Sempana ia bertanya.

   "He, Kuda Sempana, apakah keuntungan yang didapat oleh gurumu dengan menjauhi pergaulan hidup yang wajar? Kalau benar ia merasa telah terlalu banyak membuat kesalahan, kenapa ia kemudian menjauhkan dirinya? Apakah dengan demikian ia merasa, bahwa kesalahan-kesalahannya itu akan terhapus dengan sendirinya tanpa berbuat sesuatu bagi sesama yang telah dinodai oleh kesalahan-kesalahannya? He, Kuda Sempana. Seorang yang mengasingkan diri itu tidak lebih dari seorang yang hilang, lalu tanpa mempunyai arti lagi selain dikenang. Padahal kenangan yang ditinggalkannya adalah kenangan yang hitam, selain sepercik jasanya telah melepaskan Mahisa Agni."

   Sekali lagi Akuwu berhenti, lalu.

   "bagiku Kuda Sempana, Empu Sada adalah orang yang menyimpan ilmu di dalam dirinya. Ia dapat berbuat banyak dengan ilmunya untuk kepentingan kemanusiaan.Itu aku memberinya lebih banyak arti dari pada menyingkir. Coba apakah yang dapat diberikan sebagai penebus segala macam kesalahannya apabila ia terpisah dari pergaulan? Menyepi, bertapa dan kemudian duduk tepekur mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung? Tetapi bagiku, bakti kepada Yang Maha Agung dengan mewujudkannya dalam tingkah laku, perbuatan dan pikiran yang bermanfaat bagi pergaulan, adalah lebih tinggi nilainya dari pada yang dilakukannya sekarang. Baik bagi manusia dan sudah tentu bagi Yang Maha Agung. Apalagi kalau ia berhasil mendorong orang lain mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Agung. Dan itu hanya dapat dilakukan apabila ia berada diantara orang-orang yang akan didorongnya itu. Barulah Empu Sada dapat dikatakan menyesali kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya."

   Kuda Sempana sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya.

   Bahkan Mahisa Agnipun kemudian menunduk pula.

   Wisaitra dan Ken Arok tanpa disadarinya sendiri mengangguk-angguk kecil.

   Mereka tidak pernah mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata sedemikian ber-sungguh-sungguh seperti saat itu.

   Sejenak Padang Karautan itu menjadi terlampau sepi.

   Yang masih terdengar adalah derik suara bilalang dan cengkerik.

   Namun tanpa mereka sadari, ternyata cahaya di Timur menjadi semakin terang.

   Orang-orang yang berdiri di padang itupun menjadi semakin jelas tampak garis-garis wajahnya.

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.

   Kini ia melihat betapa Kuda Sempana dan Mahisa Agni menjadi kurus dan cekung.

   Wajah-wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang berat selama mereka berada di tangan iblis Kemundungan.

   Sama sekali tidak nampak kegarangan dan kebuasan di wajah Kuda Sempana.

   Bahkan wajah itu seolah-olah menjadi beku dan dingin.

   Tidak ada lagi pancaran yang menyorotkan gairah hidup dari dalam dirinya.

   Sepi dan beku.

   Melihat keaadaan itu, maka kemarahan Akuwu Tunggul Ametung menjadi mereda.

   Ia mempercayai keterangan Mahisa Agni tentang Kuda Sempana.

   Keadaannya di dalam sarang iblis Kemundungan itutidak jauh berbeda, bahkan tidak lebih baik dari kuda tunggangan Kebo Sindet.

   Dengan demikian, maka nafsunya untuk menjatuhkan hukuman kepada Kuda Sempana itupun lambat laun seakan-akan dihanyutkan oleh silirnya angin pagi.

   Semakin terang, maka semakin jelas nampak oleh kedua anak-anak muda itu telah mengalami suatu masa yang terlampau berat bagi mereka.

   Pakaiannya yang kusut kumal, basah oleh air hujan, dan wajah-wajah mereka yang suram.

   Akuwu Tunggul Ametung menarik napas.

   Kemudian ia berkata.

   "Aku akan mempertimbangkan serupa keterangan Mahisa Agni. Tetapi aku tidak akan melepaskan pengawasan atasmu Kuda Sempana."

   Terasa seolah-olah setetes embun menitik pada hati Kuda Sempana yang gersang. Perlahan-lahan ia membungkuk sambil berkata.

   "Hamba hanya dapat mcngucapkan beribu terima kasih Tuanku."

   Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Dipandanginya kemudian wajah Witantra dan Ken Arok berganti- ganti. Katanya.

   "Witantra, apakah kau sependapat, bahwa untuk sementara Kuda Sempana kita beri kesempatan untuk tetap hidup?"

   Witantra mengangguk. Jawabnya.

   "Hamba Tuanku."

   Kemudian kepada Ken Arok ia bertanya.

   "Apa katamu Ken Arok?"

   "Hambapun sependapat Tuanku."

   "Baik. Aku serahkan orang ini kepadamu, meskipun aku belum mengembalikan ia pada kedudukannya semula. Seandainya ia dapat diterima kembali untuk menjadi seorang Pelayan Dalam di istana, maka ia harus mulai lagi dari tingkat yang paling bawah. Orang ini akan berada di dalam lingkunganmu."

   Ken Arok mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab.

   "Hamba Tuanku. Hamba akan mencoba berbuat sebaik-baiknya.""Nah, terserahlah kepadamu. Bawalah orang ini. Aku tidak akan membawanya ke Tumapel."

   Akuwu itu berhenti sejenak, lalu.

   "Hanya Mahisa Agnilah yang ikut aku keistana."

   Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Diberanikannya dirinya berkata.

   "Ampun Tuanku. Hamba ingin melihat bendungan yang sudah lama sekali hamba tinggalkan. Hamba belum tahu apakah bendungan itu sudah jadi atau belum. Seandainya masih ada yang harus dikerjakan maka biarlah hamba tinggal di padang ini untuk ikut serta mengerjakannya."

   Akuwu tidak segera menjawab. Tetapi tampak wajahnya nenjadi tegang. Dipandanginya wajah Mahisa Agni tajam-tajam. Lalu sejenak kemudian ia berkata.

   "Kenapa kau tidak mau ikut? Adikmu hampir mati menunggu kau datang kepadanya. Sekarang kau menolak untuk ikut pergi ke Tumapel."

   Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir.

   Ternyata Ken Dedes benar- benar menjadi prihatin karena kehilangan orang yang dianggapnya sebagai kakaknya.

   Perasaan prihatin seorang adik.

   Mahisa Agni menarik napas dalam-dalam.

   Namun kemudian dadanya telah digetarkan oleh ingatannya tentang bendungan Karautan.

   Ia menyangka bahwa bendungan itu masih belum selesai sama sekali.

   Ternyata Ken Arok sampai saat ini masih berada di padang itu.

   Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka terdengar suara Akuwu.

   "Bagaimana pertimbanganmu?"

   Mahisa Agni masih belum dapat segera menjawab. Di pandanginya Witantra yang berdiri dekat di samping Akuwu Tunggul Ametung. Dan Witantra itu sendiri berkata di dalam hatinya.

   "Kenapa Akuwu tidak membawanya ke perkemahan lebih dahulu, kemudian berbicara dengan baik sambil duduk di antara orang- orang Panawijen yang pasti akan bergembira menerima kedatangannya?"

   Tetapi Witantra tidak mengucapkannya. Ia tidak mau menyinggung perasaan Akuwu yang sering meledak-ledak itu.Tetapi ternyata Ken Arok lah yang mendapat jalan untuk mengatakan. Agaknya Ken Arok pun berpikir seperti itu pula. Maka katanya.

   "Ampun Tuanku. Sebentar lagi hamba harus sudah mulai dengan pekerjaan hamba bersama dengan orang-orang Panawijen dan para prajurit, karena matahari akan segera naik. Perkenankanlah hamba untuk kembali kepada kawan-kawan itu."

   Ken Arok berhenti sejenak. Kemudian.

   "Dan apakah tidak sebaiknya Mahisa Agni Tuanku perkenankan hari ini melihat bendungannya yang sudah hampir siap, supaya ia dapat menikmatinya pula, untuk sekedar melupakan keprihatinan yang dialaminya? Apabila kemudian Mahisa Agni harus ikut ke Tumapel, terserahlah kepada Tuanku."

   Akuwu Tunggul Ametung menengadahkan wajahnya. Langit sudah menjadi cerah oleh sinar pagi yang memancari wajah Padang Karautan yang seolah-olah luas tidak bertepi. Perlahan-lahan Akuwu itu mengangguk-anggukkan kepalanya Katanya.

   "Marilah kita kembali. Aku tidak dapat berbicara sambil berdiri saja di sini. Aku harus berbicara dengan Mahisa Agni dalam keadaan yang lebih baik, tidak di sini sambil mematung."

   Witantra menggigit bibirnya.

   Hampir saja ia tertawa.

   Bukankah Akuwu sendiri yang berbuat demikian sehingga ia harus berbicara sambil berdiri tegak seperti patung? Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian berjalan kembali ke gubugnya, Terlampau tergesa-gesa seperti sedang ditunggu oleh suatu keadaan yang terlampau penting untuk segera ditanggapi.

   Ternyata orang-orang Panawijen dan para prajurit di perkemahan mereka telah bangun dan telah mulai mempersiapkan diri.

   Mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa Akuwu Tunggul Ametung, Witantra dan Ken Arok pergi menyongsong dua orang berkuda yang ternyata adalah Mahisa Agni dan Kuda Sempana.

   Para pengawal Akuwu memang menjadi gelisah ketika dilihatnya, Akuwu tidak ada ditempatnya.

   Tetapi karena Witantra juga tidak ada, maka mereka menyangka, bahwa Akuwu sedang berjalan-jalan melihat-lihat diantar oleh Witantra.

   Tetapi bahwa mereka tidak melihat Akuwu pergi, telah membuat mereka menjadi berdebar-debar.Tetapi di sudut lain orang bertanya-tanya tentang Ken Arok.

   Kemanakah orang itu pergi? Beberapa orang menaruh perhatian, tetapi yang lain seolah-olah acuh tidak acuh saja.

   Adalah kebiasaan Ken Arok untuk pergi kemana saja tanpa diketahui oleh orang lain, sehingga kadang- kadang memang dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.

   Tetapi ia akan segera kembali dan melakukan pekerjaannya, memimpin pembuatan bendungan yang masih belum siap itu.

   Tetapi ternyata kali ini, bukan saja Ken Arok yang tidak ada di tempatnya, juga Akuwu Tunggul Ametung dan Witantra.

   "Ah, mereka pergi berjalan-jalan. Mungkin mereka pergi ke taman yang sebagian telah dirusakkan oleh banjir itu."

   Berkata Kebo Ijo di dalam hatinya, kemudian.

   "persetan dengan ketiga orang itu. Seandainya mereka matipun aku tidak akan kehilangan apa-apa."

   Kebo Ijo seolah-olah sama sekali tidak berkepentingan sama sekali atas kepergian ketiga orang yang tanpa diketahui oleh seorang pun itu. Namun, kemudian ia datang kepada para prajurit pengawal dan hertanya.

   "Kemana Akuwu Tunggul Ametung?"

   "Kami tidak tahu."

   Sahut salah seorang prajurit.

   "Apakah tidak ada seorang pun yang bertugas berjaga-jaga di muka gubugnya?"

   "Ada."

   "Tetapi kenapa tidak ada seorang pun yang tahu kemana ia pergi. Lalu apakah kerja para pengawal? Seandainya aku tidak bertugas di bendungan ini, dan seandainya aku mendapat tugas untuk mengawalnya, maka aku pasti tahu kemana ia pergi."

   Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi seorang perwira datang kepada Kebo Ijo dan berkata.

   "Aku sudah mengusutnya. Kenapa tidak seorang pun yang melihat Akuwu pergi."

   "Lalu?""Aku akan bertanggung jawab kepada Ki Witantra yang agaknya pergi bersama Akuwu Tunggul Ametung."

   "Tetapi kenapa para penjaga tidak melihat mereka keluar dari gubug masing-masing?"

   "Para prajurit agaknya merasa terlampau letih. Mereka tidak tertahankan lagi dan jatuh tertidur di tempatnya, seperti seseorang yang kena sirep."

   "Dan kau juga tertidur?"

   "Ya, aku juga tertidur. Dan kau pun tidur juga."

   Kebo Ijo mengerutkan keningnya.

   Tetapi ia tidak menyahut lagi.

   Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya meninggalkan gubug Akuwu yang kosong, namun yang kini justru ditunggui oleh dua orang penjaga.

   Ketika dilayangkannya pandangan matanya jauh ke Padang Karautan maka yang dilihatnya adalah gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan disana-sini.

   Gerumbul yang kadang-kadang rimbun meskipun daunnya masih belum terlampau segar, tetapi kadang- kadang ada yang kering kerontang, seperti baru saja habis terbakar.

   Tiba-tiba Kebo Ijo itu mengerutkan keningnya.

   Ia melihat beberapa orang berjalan kaki sambil menuntun kuda.

   Dua ekor kuda di antara lima orang yang berjalan kaki.

   "Siapakah mereka itu?"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Desisnya di dalam hati. Sejenak Kebo Ijo berdiri termangu-mangu. Kemudian dilambaikannya tangannya memanggil seseorang yang berdiri tidak jauh dari padanya. Katanya.

   "He, panggil Ki Buyut kemari."

   Orang itu segera menyampaikannya kepada Ki Buyut Panawijen yang kemudian dengan tergesa-gesa datang kepadanya.

   "Siapakah mereka Ki Buyut?"

   Bertanya Kebo Ijo.

   "Ah, mataku sudah tidak cukup jelas untuk melihat sedemikian jauh. Barangkali angger segera dapat mengenal mereka.""Yang berjalan paling depan, pasti Akuwu Tunggul Ametung, yang lain meskipun tidak bcgitu jelas tetapi pasti Kakang Witantra dan Ken Arok. Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah kedua orang lain yang menuntun kuda itu?"

   Ki Buyut yang tua itu mencoba mengerutkan keningnya dan mempertajam pandangan matanya.

   Tetapi meskipun hari telah menjadi terang, namun ia tidak segera dapat melihat orang-orang yang masih seperti bintik-bintik yang merayap semakin dekat di antara gerumbul-gerumbul yang tumbuh bertebaran di sana-sini.

   Namun semakin lama bintik-bintik itu menjadi semakin besar.

   Semakin lama menjadi semakin jelas.

   Dan Kebo Ijo menjadi semakin yakin bahwa yang berdiri dipaling depan adalah Akuwu Tunggul Ametung.

   Ia tidak dapat dikelabui lagi oleh langkahnya yang seakan-akan selalu, gelisah.

   Yang lain benar-benar Witantra dan Ken Arok, yang dicari oleh sementara orang diperkemahan itu.

   Dan yang dua kemudian? Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar.

   Semakin lama wajah- wajah mereka pun menjadi semakin jelas Demikian pula kedua orang yang sedang menuntun kuda itu pun menjadi semakin jelas pula.

   "Kuda Sempana."

   Desisnya.

   "Siapa?"

   Bertanya Ki Buyut dengan serta merta.

   "Kuda Sempana."

   Jawab Kebo Ijo.

   "Kuda Sempana?"

   Ki Buyut mengulangi.

   "apakah Akuwu Tunggul Ametung sudah berhasil menangkapnya?"

   "Entahlah."

   Sahut Kebo Ijo.

   "Lalu siapakah yang seorang lagi?"

   Dada Kebo Ijo menjadi semakin berdebar-debar.

   Semakin jelas olehnya bahwa yang seorang itu adalah Mahisa Agni.

   Ya, Mahisa Agni.Begitu keras debar jantung di dalam dadanya, sehingga tangannya pun kemudian menjadi gemetar.

   Hampir tidak dapat dipercayainya, bahwa yang datang itu adalah Kuda Sempana dan Mahisa Agni.

   "Siapakah yang seorang itu ngger?"

   Bertanya Ki Buyut itu pula. Perlahan-lahan, dalam dada yang berat Kebo Ijo menjawab.

   "Mahisa Agni, Ki Buyut."

   "He."

   Ki Buyut Panawijen hampir terlonjak mendengar jawaban itu, sehingga sejenak ia diam dalam kebingungan dan kebimbangan. Namun semakin jelas pula baginya, bahwa orang-orang yang datang itu memang seperti orang-orang yang disebut-sebut oleh Kebo Ijo.

   "Jadi benar yang satu lagi itu Angger Mahisa Agni?"

   Desis Ki Buyut Panawijen dengan suara yang gemetar pula.

   Kebo Ijo tidak segera menyahut.

   Dipandanginya orang-orang yang sedang berjalan mendekat itu dengan saksama.

   Tidak salah lagi, mereka adalah Akuwu Tunggul Ametung, Witantra, Ken Arok, Kuda Sempana dan yang seorang itu adalah Mahisa Agni.

   Wajah Kebo Ijo tiba-tiba menjadi tegang.

   Dan terdengarlah orang itu bardesis.

   "Anak itu masih tetap hidup."

   Ki Buyat barpaling kepadanya.

   Wajahnya diwarnai oleh perasaan yang aneh.

   Kedatangan Mahisa Agni yang tidak disangka-sangkanya itu telah menggoncangkan dadanya.

   Tetapi ia tidak mengerti, kenapa wajah Kebo Ijo tiba-tiba menjadi tegang.

   Maka dengan serta merta Ki Buyut itu bertanya.

   "Aku tidak mengerti ngger, bukankah kita memang mengharap angger Mahisa Agni tetap hidup?"

   "Oh."

   Kebo Ijo tergagap.

   "Ya, ya. Kita memang mengharap ia tetap hidup tetap sehat dan tetap seorang yang sombong dan berkepala besar."

   "Aku tidak mengerti ngger."

   Kebo Ijo tidak menjawab. Tatapan matanya masih melekat kepada orang-orang yang berjalan semakin dekat. Dan iamendengar Ki Buyut berkata.

   "Aku mengharap sekali anak itu pulang. Aku takut kehilangan untuk kedua kalinya. Anakku telah mati terbunuh. Dibunuh oleh Kuda Sempana. Kemudian aku menganggap angger Mahisa Agni sebagai anakku sendiri. Kalau terjadi sesuatu, maka aku akan ke hilangan dia. Aku akan kehilangan untuk yang kedua kalinya."

   Ya, ya. Ki Buyut ternyata tidak kehilangan dia. Bahkan anak itu datang sambil membawa Kuda Sempana. Mungkin ia berhasil melepaskan diri dari tangan Kebo sindet sambil menangkap Kuda Sempana sekaligus."

   Ki Buyut merasakan nada kata-kata Kebo Ijo bukan seperti yang diharapkannya Tetapi ia kemudian tidak menyahut lagi.

   Kini ia memandangi orang-orang yang datang yang semakin lama menjadi semakin dekat, semakin dekat.

   Ki Buyut ternyata tidak dapat menahan kegembiraan hatinya karena kehadiran Mahisa Agni.

   Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi kehadiran Kuda Sempana, yang telah membunuh anaknya.

   Tetapi kegembiraan hatinya yang meluap itu telah merampas segenap perhatiannya, sehingga tiba-tiba ia meloncat berlari-larian menyongsong Mahisa Agni.

   Kedatangan Mahisa Agni ternyata telah menggemparkan perkemahan itu.

   Sejenak kemudian setiap mulut telah menyebut namanya.

   Dengan serta merta orang-orang Panawijen segera berlari-larian menyongsongnya, menyusul Ki Buyut yarg sudah medahului mereka.

   Akuwu Tunggul Ametung yang berjalan di depan sekali mengerutkan keningnya melihat orang berlari-lari menyongsongnya.

   Tetapi segera disadarinya, bahwa bukan dirinyalah yang telah menarik perhatian segenap perghuni perkemahan, terutama orang- orang Panawijen, tetapi Mahisa Agni.

   Karena itu maka Akuwu itu pun kemudian menjadi acuh tidak acuh.

   Bahkan perlahan-lahan ia bergumam.

   "Anak setan itu telah berhasil menolong dirinya sendiri tanpa pertolonganku. Persetan dengan orang-orang Panawijen yang menjadi gila karena kehadirannya. Aku tidak peduli lagi."Akuwu yang bersungut-sungut itu berjalan semakin cepat. Witantra dan Ken Arok terloncat-loncat di belakangnya. Sedang beberapa langkah lagi berjalan Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Tetapi langkah mereka segera terhenti karena Ki Buyut tiba-tiba saja telah mendekap Mahisa Agni yang menjadi sedemikian kurus di dalam pandangan mata orang tua itu.

   "Ternyata kau selamat ngger."

   Berkata orang tua itu terputus- putus. Terasa tenggorokan Mahisa Agni pun menjadi kering. Perlahan- lahan ia menjawab.

   "Ya Ki Buyut. Aku selamat atas perlindungan Yang Maha Agung."

   "Syukurlah. Aku selalu berdoa untukmu ngger. Orang-orang Panawijen pun berdoa pula untukmu."

   "Terima kasih Ki Buyut."

   Tetapi Mahisa Agni tidak dapat berbicara lebih banyak.

   Kerongkongannya serasa tersumbat dan dadanya serasa menjadi sesak.

   Apalagi ketika sejenak kemudian ia sudah dikerumuni oleh orang-orang Panawijen yang memandanginya dengan sorot mata yang berapi-api.

   Lamat-lamat Mahisa Agni mendengar suara bergeramang diantara mereka.

   "Mahisa Agni telah kembali, Mahisa Agni telah kembali."

   Lalu disusul oleh yang lain.

   "Ia berhasil lolos dari tangan Kebo Sindet."

   Tetapi yang lain berkata.

   "ia menjadi terlampau kurus dan hitam. Wajahnya kering dibakar oleh terik matahari dan punggungnya seolah-olah menjadi matang dipanggang api."

   "He."

   Yang lain hampir berteriak.

   "lihat, luka di tubuhnya. Jalur- jalur senjata telah merobek kulitnya. Belum terlampau kering. Darah masih tampak pada pakaiannya yang kotor dan kumal, meskipun sudah kering."

   Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka.

   Mereka melihat jalur luka di beberapa tempat pada tubuh Mahisa Agni.

   Luka yang masih baru meskipun sudah tidak mengalirkan darah lagi.Tetapi belum ada seorang pun yang bertanya tentang luka itu.

   Hampir setiap mulut mengucapkan selamat atas kedatangannya, dan beberapa orang lagi sudah mulai bertanya-tanya bagaimana ia dapat melepaskan diri dari tangan Kebo Sindet.

   "Apakah semalam Akuwu Tunggul Ametung membebaskanmu, Agni?"

   Bertanya salah seorang dari orang-orang Panawijen.

   Mahisa Agni tidak segera menjawab.

   Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin jauh diikuti oleh Witantra.

   Tetapi ia melihat Ken Arok berdiri termangu- mangu agak jauh dari padanya.

   Dan sejenak kemudian setelah berpaling beberapa kali, Ken Arok itu melangkah kembali kepada Mahisa Agni.

   Beberapa orang menyibak ketika Ken Arok melangkah mendekati Mahisa Agni.

   Meskipun mereka telah berjumpa sebelumnya tetapi Ken Arok belum sempat mengucapkan selamat kepadanya.

   Karena itu maka berkata Ken Arok setelah ia berdiri di muka Mahisa Agni.

   "Aku mengucapkan selamat Agni."

   Ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam.

   Ia tahu benar bahwa Ken Arok telah mencoba berusaha untuk menyelamatkannya.

   Ken Arok telah mencegahnya, pada saat ia terpancing pergi ke Panawijen dan kemudian bersedia memberikan beberapa orang prajurit pilihan untuk mengawaninya.

   Tetapi ia menolak, dan dengan demikian Ken Arok sendirilah yang pergi menemaninya bersama Empu Gandring.

   Karena itu tanpa sesadarnya Mahisa Agni berdesis.

   "Terima kasih Ken Arok."

   Ken Arek mengerutkan keningnya. Katanya sambil tersenyum.

   "Kenapa kau berterima kasih kepadaku?"

   Mahisa Agnipun tersenyum pula.

   "Kau telah berusaha sebaik- baiknya. Sebelum aku ditangkap oleh kakak beradik iblis Kemundungan itu kau sudah memperingatkan aku. Tetapi aku tidak mendengarkan nasehatmu. Agaknya masih lebih menyenangkanapabila aku ditangkap oleh hantu Padang Karautan ini dari pada iblis dari Kemundungan."

   Ken Arok tertawa pendek, sambil menyahut.

   "Hantu Karautan adalah hantu yang paling baik hati."

   Mahisa Agni pun tertawa pula.

   Sedang orang-orang yang mengerumuni mereka sama sekali tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

   Mereka dahulu memang pernah mendengar nama Hantu Karautan, tetapi mereka belum pernah melihatnya.

   Bahkan akhir-akhir ini hantu itu sudah tidak pernah terdengar lagi.

   Hanya beberapa anak-anak muda pernah dibingungkan oleh orang- orang yang menyebut dirinya hantu Karautan, tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang sudah mereka kenal, menyamar diri dan berbuat aneh-aneh.

   Tetapi alis Ken Arok terangkat sedikit ketika tanpa disengaja ia memandangi wajah Kuda Sempana yang pucat.

   Bahkan kemudian ia berkata kepadanya.

   "Selamat datang Kuda Sempana."

   Kuda Sempana tergagap mendengar sapa yang tidak disangka- sangkanya itu.

   Justru dengan demikian ia terdiam sejenak.

   Dipandanginya wajah Ken Arok yang seolah-olah memancarkan perasaan yang aneh terhadapnya.

   Apalagi ketika disadarinya bahwa semua mata kemudian berpindah kepadanya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam setiap hati.

   Terasa keringat dingin mengalir di segenap tubuh Kuda Sempana itu.

   Ia melihat dendam yang menyala di dalam setiap dada, Orang- orang Panawijen itu seolah-olah telah berubah menjadi orang-orang yang liar dan siap untuk menerkamnya dan menyobek tubuhnya menjadi sewalang-walang.

   Tubuh Kuda Sempana terasa menjadi gemetar.

   Ia lebih senang dihukum gantung sekalipun di alun-alun Tumapel dari pada jatuh ketangan orang-orang yang kehilangan akal ini.

   Tiba-tiba terdengar suaranya parau bergetar.

   "Jangan, jangan."Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Ken Arok pun terkejut pula dan orang-orang Panawijen juga menjadi heran.

   "Kenapa kau Kuda Sempana?"

   Kuda Sempana tidak segera menjawab.

   Tetapi di dalam kepalanya masih terbayang orang-orang Panawijen itu beramai- ramai mengerumuninya, masing-masing dengan senjata ditangan.

   Membelah dadanya dan kemudian mencincangnya.

   Ia berusaha lari dari Kebo Sindet untuk menghindarkan diri dari kekejamannya.

   Tetapi ternyata kini ia berada di antara serigala-srigala liar yang kelaparan.

   Ketika Kuda Sempana sekali lagi mencoba menandangi wajah- wajah orang Panawijen, tampak olehnya berpuluh-puluh pasang mata memancarkan dendam kepadanya.

   Berpuluh-puluh mata seolah-olah menyala dan akan membakarnya.

   "Jangan, jangan."

   Sekali lagi ia berdesis.

   "Kenapa kau Kuda Sempana?"

   Sekali lagi Mahisa Agni bertanya. Dan orang-orang Panawijen yang mendengarnya menjadi saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, apa yang dikatakan oleh Kuda Sempana itu.

   "Oh."

   Desis Kuda Sempana di dalam hatinya.

   "mereka sudah mulai. Mereka sudah saling mengangguk dan memberi tanda untuk mulai mencincangku."

   Kuda Sempana menjadi semakin ngeri.

   Kenapa ia tidak mati saja dibunuh Mahisa Agni, dan kenapa ia begitu bodoh untuk ikut serta dengan Mahisa Agni pergi ke sarang serigala yang sedang gila ini.

   Kuda Sempana menjadi semakin ketakutan.

   Dilihatnya mata yang terpaku kepadanya itu.

   Sepasang-pasang, seolah-olah sudah menyala.

   Tiba-tiba Kuda Sempana itu melangkah surut dengan tubuh gemetar.

   Dan tiba-tiba pula tanpa disangka-sangka ia meloncat ke atas punggung kudanya.

   Dengan penuh ketakutan, disentakkannyakendali kudanya sehingga kuda itu melonjak dan berlari kencang- kencang.

   Sekejab Mahisa Agni terpaku.

   Tetapi kemudian melonjaklah di dalam hatinya pertanyaan.

   "Apakah ia menjadi terganggu otaknya melihat bayangan kesalahannya yang bertumpuk-tumpuk itu pada wajah orang-orang Panawijen?"

   Namun Mahisa Agni sejenak kemudian menyadari keadaan itu.

   Iapun segera meloncat di atas punggung kuda yang diambilnya dari Kemundungan.

   Kuda Kebo Sindet.

   Dan di pacunya pula kuda itu menyusul Kuda Sempana.

   Ternyata bahwa kuda Kebo Sindet itu adalah kuda yang baik sekali, sehingga Mahisa Agni kemudian berharap, bahwa ia akan dapat segera menyusul Kuda Sempana yang berpacu seperti orang gila.

   "Kuda Sempana, kenapa kau?"

   Mabisa Agni mencoba memanggilnya. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak berpaling.

   "Berhentilah."

   Kuda Sempana masih tetap berpacu terus.

   "Kenapakah anak itu."

   Desis Mahisa Agni di dalam hatinya, ia pasti telah dibayangi oleh dosa-dosa yang dibawanya.

   Mudah- mudahan ia tidak menjadi gila.

   Mahisa Agni pun kemudian mempercepat derap kaki kudanya.

   Ia harus segera dapat menyusulnya.

   Dalam keadaan yang demikian Kuda Sempana akan dapat menjadi orang yang sangat berbahaya.

   Dikejauhan orang-orang Panawijen melihat dua ekor kuda itu berpacu semakin lama semakin jauh dan samar.

   Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni berhasil mendekati Kuda Sempana dan berpacu di sampingnya.

   


Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini