Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 61


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 61



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   "O, aku benar-benar telah menjadi gila. Gila segala-galanya". Tetapi sudah tentu bahwa Ken Umang bukanlah Ken Dedes.

   "Ken Dedes adalah seorang perempuan yang halus dan lembut. Seorang perempuan lambang dari cita-cita yang agung. Sedang Ken Umang adalah lambang dari dunia ini. Dunia dengan segala macam warnanya yang cemerlang. Dunia tempat kita meneguk airnya. Bukan, bukan sekedar meneguk airnya, tetapi kita harus meneguk kegembiraannya sampai tuntas. Dan aku memerlukan kedua- duanya"

   Ken Arok bergumam di dalam hatinya, namun kemudian.

   "O, itu adalah perbuatan yang sangat bodoh. Aku harus menyelesaikan rencanaku lebih dahulu. Kalau aku memalingkan perhatianku, maka aku akan terlempar jatuh ke dalam bencana". Tetapi pancaran mata Ken Umang yang seakan-akan bara api yang menyentuh jantungnya, tidak dapat dilupakannya. Namun Ken Umang tidak duduk bersama mereka, karena di antara mereka ada Witantra. Ia hanya meletakkan mangkuk-mangkuk minuman, kemudian meninggalkan mereka dengan langkah yang menyentuh hati. Hati Ken Arok.

   "Gadis ini pasti dapat menghangatkan kehidupan. Sedang Ken Dedes adalah sumber dari cinta dan cita-cita. Namun untuk memperjuangkan cita-cita aku memerlukan gairah yang menyala". Tetapi Ken Arok tidak dapat berangan-angan terlampau lama. Sejenak kemudian Mahisa Agni dan Witantra telah terlibat dalam pembicaraan, sehingga mau tidak mau, Ken Arok pun harus memperhatikannya pula. Namun, Ken Arok tidak lama lagi duduk bersama mereka. Sejenak kemudian ia minta diri dengan berbagai macam alasan. Dengan demikian, maka Mahisa Agni dan Witantra tidak dapat menahannya lagi.Sepeninggal Ken Arok, maka Witantra pun mempersilahkan Mahisa Agni bersitirahat di biliknya, karena ia pun akan pergi untuk sesuatu keperluan.

   "Beristirahatlah"

   Berkata Witantra.

   "Pekerjaan kita masih terlampau banyak".

   "Terima kasih"

   Sahut Mahisa Agni.

   Maka sepeninggal Witantra, Mahisa Agni pun segera pergi ke biliknya.

   Langkahnya lambat, sedang kepalanya tertunduk dalam- dalam.

   Berbagai persoalan tersangkut di kepalanya.

   Sedang persoalan pamannya masih terlampau gelap baginya.

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Langkah kuda Witantra sudah tidak terdengar lagi.

   Yang kini terdengar tinggallah tarikan nafasnya sendiri.

   Perlahan-lahan Mahisa Agni menarik daun pintu biliknya Tetapi ketika ia menjengukkan kepalanya, maka tiba-tiba saja darahnya serasa berhenti.

   Sama sekali tidak terlintas di dalam benaknya, bahwa hal itu dapat terjadi, sehingga dengan demikian sesaat ia berdiri saja membeku di depan pintu.

   Dengan dada serasa retak, Mahisa Agni melihat Ken Umang berbaring di pembaringannya.

   Ketika pintu itu terbuka, maka gadis itu berpaling.

   Namun seperti acuh tak acuh saja ia berdesis.

   "Masuklah Agni". Agni masih tegak di luar pintu. Kakinya seakan-akan menjadi beku sehingga ia tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukannya.

   "Masuklah"

   Sekali lagi ia mendengar suara Ken Umang. Namun suara itu bagaikan ringkik iblis betina yang mengerikan.

   "Kenapa kau berdiri saja di situ? Masuklah Agni. Tidak ada orang lain di rumah. Kakang Witantra baru saja pergi, sedang isterinya pun tidak ada di rumah pula. Apa lagi yang kita segani sekarang?"

   Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Nafasnya menjadi semakin memburu. Namun kakinya masih merasa membeku di tempatnya.Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa gadis itu. Disela- sela tertawanya ia berkata.

   "Kemarilah anak Panawijen. Adikmu telah menjadi seorang Permaisuri. Tidak sepantasnya masih kau saja tetap menjadi seorang pemalu seperti anak-anak padesan yang lain". Dada Mahisa Agni benar-benar serasa menjadi bengkah. Tetapi ketika Ken Umang itu memandanginya, sorot mata gadis itu seakan- akan telah memukaunya, sehingga ia tidak berdaya untuk meninggalkan tempatnya. Sebagai seorang laki-laki muda, maka darahnya pun telah mulai merangkak ke kepalanya. Sikap dan tatapan mata Ken Umang seakan-akan bara yang telah memanasi darahnya yang selama ini dingin membeku. Sejenak Mahisa Agni berdiri seperti patung. Terasa dadanya berguncang-guncang, seperti air laut dihempas angin prahara.

   "Kenapa kau ragu-ragu?"

   Terdengar suara Ken Umang.

   Seulas senyum telah membuat jantung Mahisa Agni menjadi semakin panas.

   Namun, tiba-tiba Mahisa Agni menggeretakkan giginya.

   Ia adalah seorang anak muda yang hampir sepanjang umurnya berada di padepokan seorang pendeta.

   Ia telah terlatih untuk menggunakan nalar di samping perasaannya.

   Sehingga dengan demikian ia dapat menimbang budi dengan pandangan yang wening.

   Demikian juga ketika ia kini seakan terbentur pada suatu keadaan yang hampir tidak dapat dihindarinya sebagai seorang laki- laki muda.

   Maka dengan sekuat keteguhan hatinya, ia berhasil manguasai dirinya, dalam keweningan budi.

   Karena itu, perlahan- lahan Mahisa Agni berhasil menenangkan hatinya.

   Ia mulai dapat melihat jalan yang harus dilaluinya.

   Ia mulai menyadari bahwa rumah ini adalah rumah Witantra, dan gadis tu adalah adik iparnya.

   Apabila terjadi sesuatu atas gadis itu, meskipun sebagian adalah karena kesalahannya sendiri, apakah yang harus dikatakannya?Mahisa Agni menjadi ngeri memikirkannya, dan kengerian yang demikian itu ditanggapinya dengan ucapan syukur.

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia masih mendengar Ken Umang memanggilnya.

   "Agni, Agni". Mahisa Agni kini telah menjadi tenang. Sambil mengangguk- anggukkan kepalanya ia berkata.

   "Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan, Ken Umang?"

   Pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu serasa membakar telinga gadis itu.

   Tiba-tiba saja ia terloncat berdiri.

   Wajahnya menjadi merah membara.

   Sejenak ia berdiri saja di tempatnya tanpa berbuat sesuatu.

   Namun tampaklah sinar matanya yang seakan- akan ingin menusuk pusat jantungnya.

   "Udara terlampau panas"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Aku akan berada di halaman". Ken Umang masih berdiri membeku, ia tidak menyangka sama sekali, bahwa anak muda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Tetapi sebelum Ken Umang berbuat sesuatu Mahisa Agni telah melangkahkan kakinya, turun ke halaman. Tanpa tujuan ia berjalan saja sambil menjinjing keris yang masih belum dikenakannya di punggungnya. Sekali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ken Umang pun segera berlari keluar dari bilik Mahisa Agni. Wajahnya yang merah itu serasa menjadi panas, sepanas hati di dalam dadanya.

   "Setan yang bodoh"

   Ia mengumpat.

   "Pada suatu saat kau akan bersimpuh di bawah kakiku. Aku adalah Ken Umang. Seribu kali aku akan membalas sakit hatiku. Setiap anak-anak muda menangis- nangis dihadapanku. Dan kau membuat hatiku serasa terbakar". Ken Umang itu pun langsung masuk ke dalam biliknya sendiri. Dihempaskannya dirinya di pembaringannya. Tetapi ia tidak mau menangis. Justru dendam yang membara telah mewarnai matanya.Peristiwa itu telah membuat Mahisa Agni menjadi bingung. Usahanya untuk menemukan pembunuh pamannya belum berhasil. Tetapi apakah ia dapat bertahan beberapa hari lagi tinggal di rumah Witantra? Kalau Witantra tidak ada di rumah, ia pasti merasa seakan-akan rumah itu menjadi rumah hantu. Sebagai manusia Mahisa Agni menyadari, bahwa dadanya tidak berlapis baja. Betapa kerasnya batu hitam, tetapi titik air yang terus-menerus, pasti akan membuat lekuk di permukaannya. Dan Mahisa Agni merasa dirinya masih juga bernafas seperti manusia biasa. Masih juga makan nasi dan meneguk air. Itulah sebabnya, ia merasa rumah Witantra tidak aman lagi baginya. Pada suatu saat ia akan terperosok ke dalan suatu bencana yang akan membuat namanya hancur tanpa arti. Dan dengan demikian ia akan kehilangan semuanya. Ia tidak akan berhasil menangkap pembunuh pamannya, dan sekaligus ia akan kehilangan namanya. Karena ia adalah saudara Permaisuri Ken Dedes, maka Ken Dedes pun pasti akan tersangkut pula. Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Sudah tentu ia tidak akan dapat tinggal bersama Ken Arok, karena Ken Arok pun hanya sekedar mendapat sebuah pembaringan di baraknya.

   "Apakah aku dapat menemui Ken Dedes?"

   Pertanyaan itu telah terbersit di hatinya. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya.

   "Tidak. Aku tidak akan mengganggunya dengan perkara-perkara yang tidak bersangkut paut apapun dengan dirinya".

   "Tetapi lalu apa yang akan aku lakukan?"

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Namun akhirnya ia tidak dapat menemukan jalan apapun.

   Tinggal di rumah Witantra akan sangat berbahaya baginya, sedang tempat yang lain tidak dapat diketemukannya.

   Ketika Witantra pulang, barulah Mahisa Agni mengikutinya masuk ke pendapa.

   Meskipun demikian hatinya sama sekali sudah tidak tenteram.

   Setiap kali ia menjadi gelisah.

   Apalagi ketika malam menjadi semakin malam, dan Witantra minta diri untuk beristirahat.Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni masuk ke dalam biliknya, dan dengan tergesa-gesa pula ia menyelarak pintu dari dalam.

   Baru ia dapat menarik nafas dalam-dalam.

   Disangkutkannya kerisnya pada dinding biliknya di atas pembaringannya.

   Perlahan-lahan ia berbaring.

   Namun tiba-tiba ia bangkit.

   Sesuatu terasa menusuk hidungnya.

   Bau yang sangat harum.

   Bau bunga yang ternyata terjatuh dari sanggul Ken Umang yang tadi berbaring di pembaringan itu.

   Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa Agni memungut bunga itu.

   Bunga melati yang diuntai dalam suatu rangkaian yang panjang.

   Dan bunga itu kini berada di tangan Mahisa Agni.

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Terasa pengaruh bau bunga itu menggetarkan jantungnya.

   Sekali lagi terseret oleh perasaan seorang laki-laki muda.

   Namun sekali lagi Mahisa Agni berhasil menghentakkan dirinya dari pengaruh parasaannya itu.

   Bahkan kemudian ia menjadi semakin menyadari keadaannya, bahwa sebenarnyalah hatinya adalah hati yang lemah.

   "Aku memang harus segera meninggalkan rumah ini"

   Ia berdesis.

   "Kalau tidak, maka sentuhan di hati mudaku, akan mencelakakan aku, apabila aku pada suatu ketika kehilangan kemudi". Demikianlah, maka Mahisa Agni justru mengambil keputusan, bahwa ia harus meninggalkan rumah itu secepatnya. Meskipun ia masih menimang untaian bunga itu di tangannya, namun ia tetap berada dalam kesadarannya. Nalarnya masih tetap utuh bekerja di dalam dirinya. Perlahan-lahan Mahisa Agni itu pun kemudian melangkah ke sudut biliknya dan menyangkutkan untaian bunga itu di dinding. Sekali lagi ia memandang bunga itu. Namun kemudian ia kembali ke pembaringannya dan perlahan-lahan diletakkannya pula tubuhnya di pembaringan itu. Meskipun kemudian, matanya dipejamkannya, namun ia lidak dapat menghapus angan-angannya yang hilir mudik dikepalanya.Bayangan tentang pamannya, ibunya yang masih tinggal di Lulumbang, Ken Dedes, Ken Arok, Witantra dan Ken Umang, serasa berganti-ganti mengganggunya, sehingga ia tidak segera dapat tertidur. Namun lambat laun, kesadaran Mahisa Agni pun menjadi semakin, sehingga akhirnya ia tertidur nyenyak. Ia terbangun pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Setelah membenahi pakaiannya, maka ia pun segera membuka pintu biliknya perlahan-lahan. Dengan hati-hati ia menjengukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang mengintai musuh di medan peperangan. Ketika tidak terlihat olehnya seorang pun, maka ia pun segera melangkah keluar dari biliknya. Namun ia masih tetap berhati-hati seperti sedang berada di peperangan. Kerisnya, pusaka peninggalan Empu Gandring itu dijinjingnya di tangan kanan.

   "Kalau keris ini tertinggal di dalam bilik itu, aku akan dijebaknya dengan keris ini"

   Ia bergumam.

   Meskipun masih samar-samar, namun langit telah menjadi agak cerah.

   Burung-burung liar berkicau, seolah-olah sedang mendendangkan kidung yang gembira menyambut matahari pagi.

   Mumpung masih agak gelap, Mahisa Agni pun segera mandi.

   Alangkah segarnya.

   Dan ia merasa bahwa ia tidak akan dapat berlama-lama menghirup segarnya udara pagi di rumah itu.

   Karena apabila kesegaran pagi ini telah lewat, seperti embun yang menguap karena sentuhan panas matahari.

   Maka udara pun akan segera menjadi panas pengab.

   Dan ia tidak akan tahan terpanggang di dalamnya.

   "Hari ini adalah hariku yang terakhir"

   Gumam Mahisa Agni.

   "Dan nanti malam aku akan minta diri. Meskipun tugasku belum selesai, dan aku belum menemukan pembunuh paman. Namun untuk sementara aku harus menghindar dari rumah ini". Demikianlah, maka pada hari itu Mahisa Agni sama sekali tidak berada di rumah Witantra. Ia minta diri ketika matahari naik.Kemudian berjalan saja menyusuri kota, dari satu lorong ke lorong lain tanpa tujuan. Ketika matahari kemudian bergeser turun di sebelah Barat, maka ia pun singgah ke barak Ken Arok untuk minta diri.

   "Kenapa tiba-tiba saja kau memutuskan untuk meninggalkan Tumapel"

   Bertanya Ken Arok dengan curiga.

   "Tidak apa-apa Ken Arok"

   Jawab Mahisa Agni.

   "Aku sudah terlampau lama di sini. Tetapi aku mengharap bahwa pada suatu ketika aku dapat berada di sini kembali". Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia berkata.

   "Apakah kau telah melepaskan niatmu untuk mencari pembunuh pamanmu?"

   "Tentu tidak. Sampai sepanjang umurku aku akan tetap mencarinya"

   Jawab Mahisa Agni. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.

   "Kau mendendamnya bukan, Agni?"

   "Mungkin aku memang mendendam, Ken Arok"

   Jawab Mahisa Agni.

   "Tetapi yang lebih membuatku hampir gila adalah alasan apakah yang membuat orang itu membunuh paman Empu Gandring. Kalau aku kemudian mengetahui alasan itu, aku kira aku tidak akan menjadi sepanas sekarang". Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Mahisa Agnilah yang kemudian berbicara. Katanya.

   "Seperti nasehatmu Ken Arok, aku akan menyerahkan persoalanku kepada Witantra sebagai pemimpm tertinggi dari pasukan pengawal. Dan aku akan minta kepadamu untuk membantunya apabila kau tidak berkeberatan".

   "Tentu Agni. Aku sama sekali, tidak berkeberatan".Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah mengucapkan terima kasih, maka Mahisa Agni pun kemudian minta diri untuk kembali ke rumah Witantra. Ketika ia telah berada beberapa langkah dari rumah Witantra itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia melihat sesosok tubuh berdiri di regol bersandar dinding. Mahisa Agni menarik nafas. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sudah menjadi semakin rendah. Bahkan telah menyentuh punggung bukit di ujung Barat. Mahisa Agni tidak dapat melangkah surut. Kalau ia berbelok, atau kembali ke arah yang berlawanan, pasti akan sangat menyakitkan hati. Karena itu, meskipun tengkuknya meremang seperti disentuh hantu, ia berjalan terus. Dadanya menjadi kian berdebar-debar ketika ia menjadi semakin dekat dan melihat gadis itu tersenyum.

   "Darimana kau sehari-harian Agni?"

   Terdengar suara gadis itu semanak. Terasa jantung Mahisa Agni berdetak semakin cepat. Dengan suara yang datar ia menjawab.

   "Berjalan-jalan Ken Umang. Aku ingin melihat wajah kota ini saluruhnya sebelum uku kembali ke Panawijen". Ken Umang tertawa. Katanya.

   "Kau hanya melihat wajah kota ini di siang hari. Apakah kau tidak ingin melihat kehidupan kota ini di malam hari?"

   "Sudah Ken Umang. Aku sudah sering berjalan-jalan di malam hari bersama Witantra. Tetapi kota ini tertidur nyenyak apabila matahari telah terbenam". Ken Umang tertawa. Katanya.

   "Kalau kau berjalan-jalan dengan kakang Witantra, memang, kau hanya akan melihat bayangan lampu-lampu di regol halaman. Tetapi apakah kau pernah menyusuri jalan-jalan di tengah-tengah padukuhan di kota ini? Apakah kau pernah pergi ke banjar-banjar di sudut-sudut kota?Nah, apabila kau ingin melihat gadis-gadis berlatih menari, marilah, pergilah bersama aku. Aku akan menunjukkan kepadamu, bagaimana kami, gadis-gadis, berlatih menari". Sejenak Mahisa Agni berdiri mematung. Ia benar-benar berdiri di simpang jalan. Hati laki-laki mudanya mendorongnya untuk menerima ajakan itu. Bahkan sebuah alasan telah memperkuatnya. Katanya di dalam sudut hatinya.

   "Mungkin aku akan bertemu dengan orang yang sedang aku cari itu". Namun tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya sambil berkata.

   "Terima kasih Ken Umang. Mungkin aku akan pergi melihatnya lain kali. Tetapi kini aku terlampau lelah setelah aku berjalan hampir sehari penuh".

   "Salahmu. Dan perjalananmu yang melelahkan itu pasti tidak akan melihat apapun yang berarti". Mahisa Agni tidak menyahut.

   "Tetapi kalau kau mau pergi bersamaku, kau tidak akan menjadi kian lelah. Justru sebaliknya. Kau akan menjadi segar. Dan semalam kau akan dapat tidur dengan nyenyak". Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   "Terima kasih Ken Umang. Mungkin tidak malam ini". Wajah Ken Umang yang cerah sudah mulai menjadi muram. Senyumnya sudah tidak menghiasi bibirnya lagi. Katanya.

   "Mahisa Agni. Kau jangan menyakitkan hatiku. Kalau kau tidak angin berjalan-jalan, sudahlah. Tetapi apakah kau bersedia mengantar aku malam ini? Hari ini adalah hari latihan. Aku akan berlatih di banjar. Lima hari lagi akan datang hari Aditya ketiga di bulan Palguna ini? Nah, Ki Buyut akan merayakan hari lahirnya pada windu yang kesembilan". Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas. Namun ia menjadi makin menyadari keadaannya, sehingga justru ia bertahan semakin kuat. Jawabnya.

   "Maaf Ken Umang. Kali ini aku benar minta maaf. Mungkin lain kali aku akan mengantarkanmu".Semua sisa-sisa senyum di wajah Ken Umang seakan-akan telah tersapu bersih. Wajah itu kini menjadi tegang. Dan gadis itu pun kini berdiri gemetar.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau terlampau sombong anak Panawijen. Kau tidak melihat ke dirimu sendiri. Kalau kau mau bercermin di permukaan belumbangmu, kau akan melihat, bahwa kau sama sekali tidak berarti apapun bagi Tumapel. Kesempatan ini terlampau baik bagimu Mahisa Agni. Tetapi agaknya kau tidak dapat melihat ke masa depan yang baik selain sawah-sawahmu. Memang kau sepantasnya berada di terik matahari di belakang bajak-bajakmu. Kau telah menyia-nyiakan belas kasihanku, ingat, aku adalah adik Pimpinan Tertinggi Pasukan Pengawal Istana Tumapel. Dan kau adalah seorang anak padesan yang tidak berarti apa-apa. Kalau sekarang kau masih sempat menyombongkan dirimu, suatu ketika kau akan mencium ujung jari kakiku. Kau sangka aku tidak dapat berbuat jauh lebih banyak dari yang aku lakukan sekarang? Kau sangka bahwa aku tidak akan dapat menjadi seorang Permaisuri seperti adikmu, gadis yang dungu itu?"

   Terasa dada Mahisa Agni berguncang.

   Tetapi ia berusaha untuk tetap mengendalikan perasaannya.

   Ken Umang ternyata adalah seorang gadis yang tidak selembut wajahnya.

   Karena itu, maka gadis itu pasti akan dapat berbuat apa saja untuk memuaskan sakit hatinya.

   Dan dada Mahisa Agni menjadi kian berdebar-debar ketika ia mendengar Ken Umang berkata.

   "Nah, baiklah. Tetapi kembalikan untaian bungaku yang terjatuh d ibilikmu kemarin". Sejenak Mahisa Agni terbungkam. Ia berdiri mematung. Namun dadanya serasa menjadi semakin berdentangan.

   "Supaya kau tidak berprasangka, bahwa aku akan mengambil barang-barangmu, nah antarkan aku masuk ke dalam bilikmu itu untuk mengambil bunga itu". Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.

   "Sayang Ken Umang, bunga itu sudah tidak ada di dalam bilikku"."He"

   Ken Umang membelalakkan matanya.

   "Di mana kau letakkan bunga itu?"

   Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab.

   Ia merasa keadaannya menjadi semakin sulit.

   Sudah tentu ia tidak akan dapat mengantarkan Ken Umang masuk ke dalam biliknya dengan alasan apapun.

   Menilik kekerasan hati gadis itu, maka banyak hal akan dapat terjadi.

   Karena itu, maka ia pun tidak segera dapat menjawab.

   "Kau apakan bunga yang kuuntai hampir sehari penuh itu?"

   Desak gadis itu. Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Ia tidak segera menemukan jawabnya. Apalagi ketika dilihatnya sekilas mata Ken Umang yang seakan-akan telah menyala itu.

   "Kau apakan hai anak padesan yang sombong?"

   Bentak Ken Umang. Mahisa Agni kini mengangkat wajahnya. Ia tidak senang mengalami perlakukan yang demikian. Untunglah bahwa ia masih tetap menyadari, bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis.

   "Ken Umang"

   Berkata Mahisa Agni kemudian.

   "Kau jangan bersikap terlampau berlebih-lebihan. Mungkin kau dapat menghina aku, dan mungkin aku tidak akan berbuat apa-apa, karena kau seorang perempuan. Tetapi apakah sikap yang demikian itu baik bagimu? Bagi seorang gadis kota yang seharusnya lebih banyak mengenal unggah-ungguh daripada anak-anak padesan?"

   Tetapi ternyata kemarahan yang membakar dada Ken Umang tidak mereda, justru menjadi kian membara. Kini sorot mata gadis itu langsung menusuk ke dadanya. Katanya dengan suara yang gemetar.

   "Kau mau apa? Kalau kau ingin berbuat sesuatu lakukanlah". Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.

   "Aku akan melakukan kesalahan yang sangat besar apabila aku melakukan sesuatu atasmu dalam keadaan ini".Gigi gadis itu menjadi gemeretak. Tiba-tiba ia berlari masuk ke halaman, menyusup dibawah pintu regol sambil berkata.

   "Aku akan mencari bungaku di dalam bilikmu. Aku akan merusak apapun yang kau punyai di dalam bilik itu. Kalau kau tidak rela, cegahlah aku". Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sudah tentu ia tidak berani menyusul gadis itu ke dalam biliknya. Gadis yang sendang sakit hati itu dapat saja berteriak, dan menyebutnya apa saja. Dengan demikan, maka ia akan kehilangan semua kesempatan di dalam rumah itu. Karena itu, maka Mahisa Agni sama sekali tidak pergi ke dalam biliknya. Ia langsung naik ke pendapa dan masuk ke pringgitan. Setelah sejenak ia duduk, maka Witantra pun kemudian keluar pula dari ruang dalam. Kesempatan itu, dipakai oleh Mahisa Agni untuk menyatakan maksudnya, meninggalkan Tumapel, meskipun ia belum berhasil menemukan pembunuh pamannya.

   "Aku harus segera kembali ke Padang Karautan Witantra"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Tetapi bukankah kau berhasrat untuk menemukan pembunuh Empu Gandring?"

   "Ya, sebenarnya demikian".

   "Tetapi, apakah ada sesuatu yang membuat kau mendapat kesulitan? Mungkin ancaman dari seseorang atau dari sesuatu pihak?"

   "Aku kira, aku tidak akan menghindari ancaman apapun juga Witantra. Tetapi"

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   "Tetapi, apakah ada persoalan lain?"

   Mahisa Agni tidak segera menjawab. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata.

   "Aku mempunyai banyak kewajiban di Padang Karautan Witantra. Aku tidak dapat meninggalkan mereka terlampau lama. Selain PadangKarautan, akupun harus singgah dahulu di Lulumbang. Aku harus memberikan laporan kepada keluarga Empu Gandring".

   "Apa yang akan kau katakan kepada mereka? Kau sama sekali belum berhasil menemukan pembunuh itu".

   "Itulah yang akan aku laporkan, bahwa aku belum dapat menemukan pembunuh itu. Tetapi aku telah bertemu dengan orang yang aku cari itu, meskipun aku tidak berhasil menangkapnya". Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Waktu yang aku perlukan tidak terbatas"

   Berkata Mahisa Agni kemudian.

   "Karena itu, aku akan pulang lebih dahulu. Namun demikian, aku akan tetap minta bantuanmu Witantra. Apabila kau menemukannya, tolong, tanyakan kepadanya, apakah alasannya maka ia membunuh paman Empu Gandring. Selebihnya, terserah kepada peraturan yang ada. Apakah hukuman orang yang membunuh orang lain tanpa sebab dan tidak dalam suatu perkelahian yang adil". Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Apabila mungkin"

   Berkata Mahisa Agni kemudian.

   "Aku mengharap seseorang memberitahukan kepadaku. Mungkin Ken Arok akan bersedia melakukannya".

   "Baiklah, Aku akan mencobanya. Dan aku kira Ken Arak memang akan bersedia memberitahukan hal itu kepadamu".

   "Aku akan menunggu di Padang Karautan. Apabila dalam suatu kesempatan aku tidak terlampau sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan seorang petani, maka aku akan datang berkunjung kemari". Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Kapankah kau akan berangkat ke Panawijen atau ke Lulumbang?"

   Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Kalau ia menunggu esok, maka malam ini sesuatu akan dapat terjadi atasnya, apabila Ken Umang benar-benar telah disilaukan oleh sakit hatinya. Karena itu, maka iatidak mempunyai pilihan lain daripada menjawab.

   "Sekarang Witantra".

   "Sekarang?"

   Mahisa Agni mengangguk.

   "He, apakah kau sedang bermimpi?"

   "Aku memang lebih senang menempuh perjalanan di malam hari. Tidak panas dan tidak terlampau banyak berpapasan dengan orang- orang lain, yang kadang-kadang membuat persoalan tanpa kita kehendaki. Karena itu, aku akan berangkat sekarang". Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Kedatanganmu memberikan persoalan kepadaku. Sekarang kepergianmu pun memberikan kesan yang aneh kepadaku. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak kau katakan. Apakah kau mendapat petunjuk-petunjuk yang lain tentang pembunuhan itu?"

   Mahisa Agni menjadi bingung, bagaimana menjawab pertanyaan itu.

   Agaknya Witantra dapat melihat sikapnya, bahwa sebenarnya ada sesuatu masalah yang telah memaksanya meninggalkan rumah itu.

   Tetapi bagaimanapun juga, maka sudah barang tentu, ia tidak akan mengatakannya.

   "Tidak ada petunjuk lain dan bahkan petunjuk apapun Witantra, dan juga tidak ada sebab apapun, selain kuwajibanku yang telah memanggil aku di Padang Karautan". Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Sokurlah, kalau tidak ada persoalan-oersoalan yang lain, yang justru akan dapat menghambat persoalan yang masih belum selesai itu".

   "Tidak Witantra"

   Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.

   "Tetapi sebaiknya kau menunggu sampai esok". Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.

   "Terima kasih".

   "Dalam waktu dekat, aku akan segera datang lagi ke Tumapel". Witantra sudah tidak dapat menahan Mahisa Agni lagi. Karena itu, maka dilepaskannya saja Mahisa Agni itu kemudian meninggalkan rumahnya.Katika ia minta diri kepada isteri Witantra maka Nyai Witantra itu pun terkejut pula. Bahkan ia bertanya.

   "Apakah pelayanan kami mengecewakan?"

   "Oh tidak. Tidak"

   Jawab Mahisa Agni dengan serta-merta.

   "Aku berterima kasih sekali. Dan aku tidak akan melupakan kebaikan hati kalian". Ketika Mahisa Agni menuntun kudanya ke regol halaman, dan ketika kuda itu meringkik, maka Ken Umang yang masih berada di dalam bilik Mahisa Agni terkejut. Ternyata Maliisa Agni benar-benar tidak mau masuk ke dalam biliknya. Dengan tergesa-gesa Ken Umang itu meloncat keluar dan dari celah-celah daun pintu mengintip ke halaman. Dilihatnya Mahisa Agni diantar oleh kakaknya suami isteri sampai ke regol halaman. Kemudian Mahisa Agni itu pun hilang dibalik dinding halaman dan kegelapan malam.

   "Kemanakah anak itu?"

   Desisnya. Ketika kemudian kakak perempuannya masuk ke ruang dalam, ia bertanya.

   "Kemanakah tamu itu malam-malam begini?"

   "Pulang".

   "Pulang? Kemana?"

   "Kerumahnya, Padang Karautan". Dada Ken Umang berdesir. Tetapi segera ia meredakan luapan perasaannya, sehingga tidak berkesan di wajahnya. Namun kemudian ia pergi ke dalam biliknya, menjatuhkan diri di pembaringan sambil mengumpat-umpat di dalam hati.

   "Anak desa yang dungu. Aku telah kehilangan harga diriku sebagai seorang gadis karena aku tergila-gila kepada ketampanan dan kejantanan yang memancar dari dirinya. Tetapi aku dicampakkanya tanpa belas kasihan". Tetapi hanya sejenak kemudian ia sudah bangkit sambil menggeretakkan giginya. Dengan penuh dendam ia berkata.

   "Aku telah dihinakannya. Aku harus membalas dengan cara apapun".Sementara itu Mahisa Agni telah memacu kudanya disepanjang jalan Tumapel. Sekali-kali ia berpaling, namun malam yang gelap sajalah yang dilihatnya memutarinya. Sebenarnya ia masih saja dicengkam oleh keragu-raguan meninggalkan kota ini. Ia masih selalu dibayangi oleh tugas yang telah ditetapkannya sendiri di atas pundaknya. Mencari pembunuh pamannya. Tetapi ternyata ia tidak berhasil. Bahkan ia hamper- hampir saja jatuh ke dalam kesulitan, apabila ia tidak segera menghindar dari rumah Witantra. Seluruh keluarga Empu Gandring menjadi kecewa, ketika mereka menerima kedatangan Mahisa Agni dengan tangan hampa. Namun mereka masih tetap berpengharapan, bahwa suatu ketika pembunuhan itu akan dapat tersingkap. Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa seseorang telah mencoba membunuh Mahisa Agni dengan curang. Sementara itu, sepeninggal Mahisa Agni, Witantra sama sekali tidak menghentikan usahanya, mencari pembunuh Empu Gandring. Tetapi usahanya selalu sia-sia. Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa salah seorang anak buahnya telah melakukannya. Setiap kali Witantra selalu berusaha menghubungi Ken Arok. Namun bagaimanapun juga, rahasia pembunuhan itu masih tetap gelap sama sekali. Sama sekali tidak ada petunjuk secercah pun yang dapat dipakai untuk merintis jalan, mencari pembunuh yang licik itu. Maka lambat laun, usaha pencaharian itu pun menjadi semakin kendor. Baik Witantra, maupun Ken Arok, telah hampir tidak pernah membicarakannya lagi. Ketika pada suatu ketika Mahisa Agni datang lagi ke Tumapel untuk mengantarkan ibunya bersama dua orang prajurit yang memang mendapat tugas untuk itu, Witantra dengan menyesal mengatakan, bahwa usahanya sama sekali belum berhasil."Bagaimanapun juga, aku mengucapkan beribu terima kasih Witantra"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Mudah-mudahan pada suatu ketika orang itu diketemukan. Aku yakin, bahwa tuntutan keadilan tidak akan dapat dihindarkannya". Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Begitulah hendaknya". Dalam pada itu, ketika hampir semua orang telah melupakan peristiwa pembunuhan yang menggemparkan itu, Ken Arok berkunjung ke rumah sahabatnya, seorang prajurit pengawal yang masih muda, Kebo Ijo. Kunjungan itu sendiri sama sekali tidak menarik. Setiap kali Ken Arok memang sering berkunjung ke rumahnya dan sebaliknya, Kebo Ijo pun selalu datang ke baraknya. Namun kunjungan Ken Arok kali ini telah sangat menarik perhatian Kebo Ijo. Ken Arok yang datang dengan pakaian lengkap seorang Pelayan Dalam, membawa sebilah keris yang terselip di punggungnya. Keris yang agak lain dari keris yang pernah dilihatnya.

   "He, Ken Arok. Apakah kau mendapat sebilah keris baru?"

   Ken Arok tidak segera menjawab. Diputarnya kerisnya yang terselip di punggung itu, sehingga hulunya kini berada di lambungnya. Kebo Ijo menjadi semakin tertarik. Ia pun kemudian menjadi semakin dekat di belakang Ken Arok.

   "He, kerismu itu agak aneh"

   Katanya.

   "Kenapa?"

   Bertanya Ken Arok.

   "Hulu kerismu bukanlah ukiran biasa". Ken Arok tertawa. Katanya.

   "Memang kerisku sangat menarik perhatian. Mungkin di seluruh Tumapel, bahkan di seluruh dunia, tidak akan ada yang serupa"."Lihat, apakah kerismu itu benar-benar sebilah keris atau hanya sekedar mainan anak-anak". Ken Arok mengerutkan keningnya.

   "Jangan menghina"

   Katanya.

   "Tetapi hulu itu". Ken Arok menarik keris dan sarungnya sama sekali dari lambungnya. Ditimangnya sejenak, lalu .katanya.

   "Aku membuat hulu keris mi dengan caraku".

   "Bagaimana?"

   "Aku mengambil sebatang dahan hidup. Begitu saja aku jadikan hulu kerisku ini. Kayu cangkring".

   "Tetapi dengan demikian kerismu menjadi sangat menarik Ken Arok"

   Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika tangannya terjulur, Ken Arok menarik keris itu.

   "Jangan. Hanya orang-orang yang bijaksana saja yang boleh memakai keris ini".

   "Omong kosong"

   Jawab Kebo Ijo.

   "Lihat, aku ingin melihat wilahan keris itu".

   "Keris ini bukan keris mainan, Kebo Ijo".

   "Dan aku bukan anak-anak yang baru dapat bermain-main"

   Jawab Kebo Ijo. Akhirnya Ken Arok tidak dapat mencegahnya lagi. Dengan hati- hati sekali Kebo Ijo menarik keris itu dari wrangkanya. Demikian ia melihat wilahan keris itu, maka dengan serta-merta ia bergumam.

   "Bukan main, bukan main". Setelah diangkatnya keris itu di atas kepalanya, maka dengan seksama diperhatikannya setiap lekuk pada wilahannya. Pamor yang seakan-akan bercahaya kebiru-biruan di atas besi baja pilihan. Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang tidak lazim terdapat pada wilahan keris.

   "Ken Arok, apakah mataku yang kurang baik, atau memang terdapat pada wilahan keris ini?""Apa yang kau lihat?"

   "Bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan". Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian, jawabnya.

   "Itulah letak kelebihan keris itu dari keris-keris yang lain. Meskipun mungkin ada seorang Empu yang sanggup membuat keris dengan dapur dan pamor yang sama, tetapi tidak akan ada seorang Empu pun yang sanggup membuat bintik-bintik yang seolah-olah menyala, apalagi di dalam kegelapan. Warna kuning itu akan memancar seperti kunang- kunang emas". Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Keris itu agaknya sangat menarik perhatiannya.

   "Ken Arok, dari manakah kau mendapat keris ini?"

   "Keris itu adalah keris peninggalan". Kebo Ijo mengerutkan keningnya.

   "Tetapi bukankah hulu keris ini baru dan pada beberapa bagian aku melihat, seolah-olah keris ini baru saja dibuat".

   "Apakah kau sudah melihatnya dengan teliti?"

   Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam.

   Ia melihat jalur-jalur yang aneh pada pamor keris itu.

   Meskipun Ken Arok telah membersihkannya, namun ada juga noda-noda yang masih tersangkut pada lekuk-lekuk yang lembut pada wilahan keris itu.

   Tetapi Kebo Ijo tidak dapat menyebutkannya, bahwa jalur-jalur yang aneh itu, adalah bekas darah yang telah menjadi kering, yang masih tinggal ketika keris itu dibersihkan.

   Tetapi keseluruhan dari keris itu, menurut tangkapan mata Kebo Ijo adalah keris yang paling sempurna yang pernah dilihatnya.

   Karena itu, terdorong oleh wataknya, maka Kebo Ijo itu pun berkata.

   "Ken Arok, apakah keris ini merupakan pusaka warisan bagimu?"

   "Ya, keris itu adalah keris peninggalan. Satu-satunya warisan yang aku miliki dari orang tuaku".Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia bertanya.

   "Siapakah sebenarnya kau ini? Kalau orang tuamu memberikan warisan serupa ini, maka orang tuamu pasti seorang yang memiliki keahlian dalam menilai keris. Aku memang mempelajarinya serba sedikit. Meskipun belum sempurna benar, tetapi aku dapat membedakan dan dapat mengerti bahwa keris ini adalah keris yang luar biasa". Tetapi Ken Arok menggelengkan kepalanya. Jawabnya.

   "Orang tuaku adalah orang kebanyakan, seorang patani yang miskin". Kebo Ijo tidak mendesaknya. Ia menganggap bahwa Ken Arok sengaja merahasiakannya.

   "Tetapi"

   Berkata Kebo Ijo kemudian.

   "Aku belum pernah melihat kau mempergunakan keris ini. Kau selalu membawa keris yang lain, yang menurut penilaianku, keris yang sama sekali tidak bernilai apapun. Baik sebagai senjata maupun sebagai sipat kandel". Ken Arok tertawa. Katanya.

   "Keris yang berharga tidak setiap hari dibawa kemana-mana. Hanya apabila perlu dan penting sajalah keris itu akan disandang".

   "Tetapi sekarang kau membawa keris ini, apakah ada sesuatu, yang penting akan terjadi?"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ken Arok menggelengkan kepalanya.

   "Kali ini tidak. Aku hanya sekedar ingin memakainya. Aku tidak tahu, apakah sebabnya. Mungkin karena sudah terlalu lama aku menyimpannya". Kebo Ijo memandang wajah Ken Arok dengan penuh curiga. Kalau keris itu keris pusaka, maka alasan Ken Arok itu terlampau dibuat-buat. Karena itu, maka Kebo Ijo mendesaknya.

   "Apakah kau merahasiakan sesuatu Ken Arok, sehingga kau tidak mau mengatakan yang sebenarnya".

   "Aku berkata sebenarnya"

   Jawab Ken Arok. Sekali lagi Kebo Ijo termangu-mangu. Namun kemudian, ia berkata.

   "Aku tahu. Agaknya kau hanya ingin memamerkan kerismu itu"."Yah. Kalau kau berpendapat demikian, tidak ada salahnya. Aku memang ingin menunjukkan kepadamu, bahwa aku mempunyai sebilah keris yang sangat baik". Kebo Ijo mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap bercuriga. Meskipun demikian, ia bertanya.

   "Apakah kau tidak hanya sekedar berpura-pura untuk sesuatu maksud yang tidak aku ketahui?"

   "Tidak Kebo Ijo. Aku tidak mempunyai maksud apapun. Aku benar-benar hanya ingin mengeluarkan pusaka itu sekali waktu dari simpanan, kemudian aku memang juga ingin menunjukkan kepadamu bahwa aku mempunyai pusaka yang yang baik sekali". Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia bertanya.

   "Betulkah bagitu?"

   "Apakah kau tidak percaya?"

   Sekali lagi Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia berkata bersungguh-sungguh.

   "Ken Arok. Selama ini aku belum pernah mempunyai sebilah keris sebagus ini. Apakah kau tidak berkeberatan apabila keris ini kau berikan kepadaku?"

   "He"

   Ken Arok membelalakkan matanya.

   "Mana mungkin. Keris itu adalah keris pusaka, satu-satunya peninggalan dari orang tuaku. Kepada Akuwu pun tidak akan aku serahkan, apabila ia menginginkannya".

   "Tetapi, aku bukan Akuwu Tunggul Ametung. Aku adalah sahabatmu".

   "Maaf Kebo Ijo. Keris itu memiliki banyak sekali kasiat. Ia dapat membuat hati menjadi tenteram. Ketenangan di dalam keluarga. Tetapi apabila keris itu berada di medan peperangan, ia akan membakar seluruh kekuatan lawan menjadi abu".

   "Ya, ya. Aku percaya. Aku memang melihat kelebihan pada keris ini, meskipun aku tidak mengenal bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan. Sejak aku belajar mengenal keris, aku belum pernah melihat bintik-bintik yang demikian itu"."Karena itu, keris itu tidak akan dapat aku serahkan kepada siapapun".

   "Ken Arok. Bukankah kau belum berumah tangga, sehingga kau belum memerlukan ketenteraman di dalam sebuah keluarga. Tolonglah aku. Isteriku kadang-kadang sering membuat keributan di dalam rumah. Mungkin keris itu akan dapat berpengaruh".

   "Bohong"

   Jawab Ken Arok.

   "Aku yakin bahwa bukan itu maksudmu yang sebenarnya. Aku berani bertaruh, tujuh helai rambut. Kau pasti akan memamerkan keris itu kepada kawan- kawanmu apabila keris itu ada padamu".

   "Ah". Ken Arok tertawa. Sambil menunjuk wajah Kebo Ijo yang masih berusaha untuk berkata bersungguh-sungguh.

   "Jangan bohong". Namun kemudian Ken Arok berkata.

   "Tetapi kalau kau tunjukkan kepada orang-orang yang mengerti tentang keris, tidak apalah. Mereka akan memberikan penilaian yang wajar atas keris itu. Kalau ada cacatnya mereka pasti akan mengatakan cacat itu, sedangkan kalau ada kelebihannya, mereka akan menyebutkan kelebihan itu pula". Tiba-tiba wajah Kebo Ijo menjadi cerah. Dengan serta-merta ia berkata.

   "Jadi kau berikan keris ini kepadaku?"

   "He? Siapa bilang?"

   Potong Ken Arok.

   "Sudah aku katakan bahwa keris itu adalah keris pusaka. Tidak akan aku lepaskan kepada siapapun juga, meskipun kepada Akuwu Tunggul Ametung, bahkan kepada Maharaja di Kediri".

   "Lalu apa maksudmu?"

   "Sejauh-jauhnya keris itu hanya dapat aku pinjamkan untuk sementara".

   "Begitu pun jadilah"

   Sahut Kebo Ijo.

   "Aku ingin meminjam kerismu untuk beberapa lama. Mudah-mudahan pengaruhnya akan memberikan ketenteraman di dalam keluargaku, meskipun akumasih meragukan bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan itu". Dada Ken Arok berdesir. Agaknya Kebo Ijo memang mengenal keris, sehingga ia dapat melihat kelainan pada kerisnya karena bintik-bintik yang aneh itu.

   "Tetapi"

   Berkata Kebo Ijo kemudian.

   "Yang pasti, bahwa keris itu adalah yang luar biasa. Aku melihat kesejukan memancar dari keris ini. Tetapi aku tidak mengerti, kenapa aku agak menyayangkan ketiga bintik-bintik yang berwarna kuning ini. Tetapi aku kira pengaruhnya tidak akan dapat melampaui kemampuan kerismu memberikan ketenteraman dan kesejukan". Kebo Ijo berhenti sejenak, lalu.

   "Namun, di medan perang kerismu memang mempunyai pengaruh yang luar biasa. Bahkan aku menjadi cemas, bahwa keris akan dapat membawa malapetakan bagi lawan". Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Tetapi"

   Berkata Kebo Ijo.

   "Semuanya itu belum merupakan kepastian. Yang sudah pasti, kerismu adalah keris yang luar biasa. Buatannya halus dan cermat, hulunya yang aneh inipun justru memberikan warna yang lain daripada keris yang biasa kita kenal".

   "Ya, demikianlah".

   "Jadi, bagaimana? Apakah aku dapat memakai kerismu beberapa lama?"

   "Baiklah. Tetapi aku pesan kepadamu. Seandainya keris itu kau perlihatkan juga kepada orang-orang yang mengerti tentang keris, jangan sekali-sekali kau sebutkan, bahwa keris itu adalah kerisku".

   "Kenapa?"

   "Kalau keris itu benar-benar keris yang baik, mereka pasti akan membuat aku bertambah pekerjaan dengan melayani mereka". Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Ia tidak, segera tahu maksud Ken Arok. Apakah hubungannya, antara keris yang baik dan pekerjaan Ken Arok yang kian menjadi banyak.Sehingga karena itu ia terpaksa bertanya.

   "Kenapa pekerjaanmu menjadi kian banyak dengan pelayanan itu?"

   "Mereka tentu akan datang kepadaku dan bertanya-tanya tentang keris itu"

   Jawab Ken Arok.

   "Karena itu, aku minta kau tidak usah mengatakan bahwa keris itu adalah kerisku. Katakan saja bahwa keris itu kerismu, dan kau terima warisan, dari orang tuamu. Atau kau katakan apa saja tentang keris itu, asal tidak kau katakan, bahwa keris itu dari aku". Kebo Ijo merenung sejenak. Kemudian ia mengangguk- anggukkan kepalanya sambil menjawab.

   "Baik. Baik. Aku tidak akan mengatakan apapun tentang keris itu".

   "Baiklah"

   Jawab Ken Arok.

   "Tetapi ingat. Kalau kau meminjam keris itu untuk kepentingan apapun, namun jangan sampai menimbulkan persoalan apapun padaku. Kalau kau menambah persoalan betapapun kecilnya, maka keris itu akan segera aku ambil kembali".

   "Tentu, tentu. Aku tidak akan membuat persoalan apapun karena keris itu". Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia berkata.

   "Hati-hatilah dengan pusaka itu".

   "Aku bukan anak-anak lagi. Aku adalah seseorang yang pernah mempelajari masalah keris meskipun belum sempurna". Sekali lagi Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sambil minta diri ia bergumam.

   "Aku titipkan keris itu kepadamu. Aku akan pulang. Jagalah baik-baik".

   "Tentu, tentu". Ken Arok itu pun kemudian meninggalkan rumah Kebo Ijo. Disepanjang jalan hatinya menjadi berdebar-debar. Ia harus menunggu perkembangan keadaan. Keris itu memang ditinggalkanya di rumah Kebo Ijo sebagai kelanjutan rencananya. Kalau rencana ini gagal maka keseluruhannya pun pasti akan gagal. Bahkan apabila seseorang mengenal bahwa keris itu adalah buatanEmpu Gandring yang terakhir, maka pasti akan timbul persoalan karenanya. Namun agaknya Ken Arok memang sudah menyusun rencananya dengan cermat. Dan otaknya yang cerah, agaknya telah sangat membantunya untuk menyelesaikan rencana itu. Baru saja Ken Arok keluar, dari pintu rumah Kebo Ijo. Kebo Ijo ternyata telah dihinggapi oleh penyakitnya. Ia adalah anak muda yang sombong. Yang terlampau senang dipuji dan kadang-kadang sifat-sifat itu mendapatkan bentuknya yang berlebih-lebihan sehingga Kebo Ijo menjadi tidak begitu disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Demikian pula dengan keris itu. Belum lagi Ken Arok sampai ke baraknya, Kebo Ijo telah berpakaian rapi. Kemudian ia pergi berjalan-jalan kemana saja tanpa tujuan tertentu. Yang penting baginya adalah menunjukkan bahwa ia mempunyai sebilah keris yang baru. Memang yang mula-mula didatanginya adalah orang-orang yang dianggapnya mengerti tentang keris. Mereka yang disangkanya akan dapat memberikan pujian atas keris itu, dan sudah tentu kepadanya.

   "Darimana kau dapat keris itu Kebo Ijo?"

   Bertanya salah seorang kawannya yang mengagumi keris itu.

   "Tentu dari orang tuaku. Keris ini adalah keris warisan. Ayahku adalah seorang yang banyak menyimpan keris-keris yang baik serupa ini. Tetapi keris yang diberikan kepadaku adalah keris yang paling baik". Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka benar kagum melihat keris itu. Buatannya yang halus dan cermat. Terlebih-lebih lagi bahwa keris itu seakan-akan mempunyai kekuatan yang tidak kasat mata. Pamornya yang bercahaya kebiru- biruan, dan yang sangat menarik perhatian adalah bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan sehingga seolah-olah di dalam cahaya yang kebiru-biruan itu memancar percikan-percikan warna keemasan."Bukan main"

   Berkata kawannya yang lain.

   "Hanya keris yang tiada taranya dapat memancarkan cahaya yang demikian cerahnya. Aku memang pernah melihat keris yang seakan-akan menyalakan warna kebiru-biruan, dan aku pernah juga melihat keris yang bagaikan bara api di malam hari. Tetapi aku tidak pernah merasakan getar yang langsung menyusup sampai ke pusat jantung seperti ketika aku menyentuh tangkai keris ini". Kebo Ijo mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Dan ia pun kemudian meninggalkan kawan-kawannya yang sedang mengaguminya. Ia pergi dari seorang kawan ke kawannya yang lain. Demikianlah dalam beberapa hari saja, telah banyak kawan- kawan Kebo Ijo yang mengetahui, bahwa Kebo Ijo memiliki sebilah keris yang amat bagus. Tetapi sampai sekian jauh, Kebo Ijo tidak mau memamerkan kerisnya itu kepada Witantra. Ia takut kalau kakak seperguruannya itu akan mendesaknya, darimana ia mendapat keris itu. Kalau ia mengatakannya bahwa keris itu didapatkannya dari ayahnya, maka Witantra pasti akan bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa warisan itu baru kini dilihatnya, setelah ia bergaul sekian lama dengan Kebo Ijo sebagai saudara seperguruan. Ken Arok yang telah menyusun rencananya dengan cermat, mengikuti perkembangan keadaan dengan seksama. Hampir setiap hari ia medengar, kawan-kawan Kebo Ijo mempercakapkan keris yang pernah dipamerkannya kepadanya. Namun setelah Kebo Ijo puas dengan kekaguman beberapa orang kepadanya, maka kawan-kawannya pun telah mulai melupakannya pula. Sebagian yang lain sudah tidak memperhatikannya lagi. Adalah soal yang sangat wajar, bahwa seseorang menerima warisan sebilah keris. Dan Kebo Ijo adalah salah seorang dari mereka yang menerima warisan serupa itu.Sedang Kebo Ijo sendiri pun akhirnya hampir melupakannya pula, bahwa ia masih menyimpan sebilah keris yang hampir tiada celanya kepunyaan Ken Arok. Semuanya itu sama sekali tidak terlepas dari pengamatan Ken Arok. Hampir setiap kejap mata ia mematangkan rencananya. Tidak seorang pun orang-orang di dalam istana Tumapel yang terlepas dari pengamatannya. Sejak Akuwu Tunggul Ametung, sampai kepada jajar dan Juru Taman. Apalagi para emban, juru dang, juru pengangsu, juru penebah. Semuanya diperhatikannya seorang demi seorang. Tetapi dari sekian banyak orang yang diperhatikan oleh Ken Arok, namun masih ada seorang yang terlepas dari pengawasannya. Seorang yang bagi Ken Arok tidak begitu penting, meskipun ia selalu dekat dengan Ken Dedes. Yaitu emban tua pemomong Ken Dedes. Ketika Kebo Ijo telah jemu memamerkan keris yang dipinjamnya dari Ken Arok, maka Ken Arok merasa, bahwa ia sudah hampir sampai kepada puncak rencana yang telah disusunnya. Ia harus bekerja semakin cermat dan kadang-kadang ia harus masih berjuang melawan segala macam persoalan di dalam dirinya sendiri. Apalagi setiap persoalan dipikirkan dan dilaksanakannya seorang diri. Ia tidak percaya kepada siapapun juga. Meskipun ia berusaha membangunkan suasana yang aneh di dalam istana Tumapel dengan menghambur-hamburkan simpanannya yang didapatkannya dari beberapa orang perampok, dan yang masih disimpannya di dalam hutan, namun tidak seorangpun yang tahu, bahwa sumber dari keadaan yang aneh itu adalah Ken Arok. Yang terjadi di Istana Tumapel adalah suasana yang diliputi oleh kabut rahasia. Hampir setiap orang hanya sekedar memikirkan dirinya sendiri. Tidak seorang pun yang tahu, siapakah yang mulai, membiuskan segala macam asap kemaksiatan. Kini hampir setiap orang di dalam lingkungan istana telah dihinggapi oleh penyakit harta dan benda. Suap dan judi. Dan segala macam kelemahan batin yang lain. Betapa prihatin Witantra melihat suasana itu. Tetapi ia kehilangan kesempatan untuk mencarinya. Akuwu Tunggul Ametungtanpa sesadarnya telah menjauhkan pimpinan pengawal itu dari padanya. Bahkan beberapa anak buahnya pun telah tidak dapat dipercaya lagi. Sekali dua kali, Witantra sendiri hampir terjerat dalam keadaan yang serupa. Namun setiap ia mencoba menyelusur sumber dari segala kekalutan itu, ia terbentur kepada banyak sekali kesulitan. Ken Arok melihat suasana itu dengan hati yang berdebar. Ia tidak boleh meleset. Setiap langkah harus diperhitungkannya. Dan langkah yang kemudian adalah menyingkirkan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kematian Tunggul Ametung bukanlah tujuan yang terakhir. Tujuan yang terakhir adalah memperisteri Ken Dedes. Seorang perempuan yang memiliki kelebihan dari perempuan- perempuan lain. Perempuan yang demikian itulah yang dari guwa- garbanya kelak akan melahirkan orang-orang besar di Tanah Tumapel, bahkan di seluruh daerah Kediri dan tanah-tanah di sekitarnya. Ken Arok yang telah disilaukan oleh cita-citanya yang membumbung sampai ke langit itu, kemudian sudah tidak dapat melangkah surut lagi. Empu Gandring telah dikorbankannya. Kemudian datang giliran Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu yang hanya memikirkan diri sendiri. Akuwu yang sama sekali tidak dapat mengerti, apa yang sedang berkembang dan apa yang sedang bergolak di wilayahnya. Dan saat yang ditunggu-tunggu oleh Ken Arok itu pun telah datang. Dalam malam yang gelap, Ken Arok berjalan tersuruk-suruk pergi ke rumah Kebo Ijo. Udara yang pengap panas telah memeras keringat dari tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit yang hitam kelam, dilapisi oleh mendung yang tebal."Hujan akan turun"

   Desis Ken Arok.

   "Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Tetapi hujan yang nanti akan turun, apabila tidak terlampau cepat, justru akan dapat membantuku". Dengan hati-hati Ken Arok berjalan di dalam kelam, menyusuri jalan sempit yang menuju ke rumah Kebo Ijo. Tidak lewat jalan yang cukup lebar seperti biasanya, yang akan sampai ke regol depan, tetapi Ken Arok memilih jalan sempit yang menuju ke butulan dinding halaman rumah Kebo Ijo. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Ken Arok berusaha untuk memasuki halaman rumah Kebo Ijo dari arah belakang. Dengan lincahnya ia meloncat seperti seekor tupai tanpa menimbulkan suara apapun. Kemudian dengan mengendap- endapkan dirinya ia berjalan mendekati rumah sahabatnya itu. Beberapa saat ia berdiri di belakang rumah itu untuk memperhatikan keadaan, kalau-kalau masih ada seseorang pembantu rumah Kebo Ijo yang masih terbangun. Namun rumah itu telah benar-benar menjadi sepi. Sepi, tanpa sepercik bunyi apapun. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang sahabat, ia sudah sering datang ke rumah itu. Ia mengenal semua segi dan sudut-sudutnya seperti ia mengenal rumahnya sendiri. Namun Ken Arok sadar sesadar-sadarnya, sejak ia bersahabat terlampau erat dengan Kebo Ijo itu, bahwa pada suatu saat sahabatnya ini pun harus, diumpankannya. Ia akan menjadi salah satu alas untuk meloncat mencapai cita-citanya. Setelah menenangkan hatinya sejenak, Ken Arok itu pun segera mulai bekerja. Dengan hati-hati ia berusaha membuka selarak pintu belakang. Ia tidak ingin melakukannya dengan kekerasan, supaya rencananya dapat berlangsung dengan sempurna. Ken Arok menahan nafas ketika ia mendengar selarak itu bergeser dan berderit. Sejenak ia menunggu. Kalau-kalau seseorang terbangun karenanya. Tetapi agaknya rumah itu masih tetap sepi.Maka dengan sangat berhati-hati Ken Arok kemudian mendorong pintu itu, sehingga perlahan-lahan pintu itu pun terbuka. Semakin lama semakin lebar, semakin lebar. Ketika pintu itu kemudian menganga, Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Sebagian terbesar dari usahanya telah berhasil, karena seterusnya, pekerjaannya, tidak akan begitu berat lagi. Dengan tidak mendapat kesukaran apapun juga Ken Arok masuk ke ruang tengah. Didapatkannya sebuah geledeg dari kayu. Disitulah kerisnya disimpan oleh Kebo Ijo. Dengan hati-hati Ken Arok membuka geledeg itu, kemudian diambilnya kerisnya. Sekali lagi Ken Arok menarik nafas dalam- dalam. Ditekankannya keris itu di dadanya sambil berdesis.

   "Kini datang lagi saatnya aku memerlukan pertolonganmu"

   Sejenak kemudian Ken Arok itu pun dengan hati-hati pula merayap keluar dari ruang tengah.

   Ia mengambil jalan seperti pada saat ia masuk.

   Selarak pintu yang tersandar miring, dilepaskannya sama sekali, kemudian ditutupnya pintu itu rapat-rapat kembali, sehingga kesan yang pertama-tama akan dilihat adalah, bahwa pintu itu lupa tidak diselarak.

   Demikianlah, setelah berada di luar, Ken Arokpun kemudian meloncat dan berlari-lari kecil di dalam gelapnya malam menuju ke istana.

   Semuanya harus terjadi malam itu.

   Malam itu, tidak dapat ditundanya lagi.

   Semakin dekat Ken Arok dengan dinding halaman istana, Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar.

   Kali ini ia tidak masuk lewat pintu gerbang.

   Baik pintu gerbang depan maupun samping.

   Tetapi Ken Arok ingin meloncati dinding yang cukup tinggi itu.

   Tetapi Ken Arok memang seakan-akan telah menguasai keadaan.

   Ia mengerti benar-benar, dimanakah tempat-tempat, sudut-sudut dan bagian-bagian yang dijaga dan mendapat pengawasan langsung.

   Karena itu, maka ia dapat memilih tempat yang lepas sama sekali dari segala pengawasan.Dengan kemampuan yang ada padanya, Ken Arok meloncat ke atas dinding yang tinggi itu dengan penuh kewaspadaan.

   Kemudian meloncat masuk ke dalam kegelapan.

   Dengan hati-hati ia berjalan terbungkuk-bungkuk menyusup dinding.

   Sebagai seorang pelayan dalam, maka ia mengenal segala lekuk dan liku Istana Tumapel.

   Dan ia mengenal pula, dimanakah Akuwu Tunggul Ametung sedang tidur.

   Ken Arok sebenarnyalah memang orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan.

   Ia ternyata berhasil menyusup dari sela-sela daerah pengawasan para penjaga, mendekati bilik tempat tidur Akuwu.

   Ia merayap setapak demi setapak, dari balik gerumbnl yang satu ke balik gerumbul yang lain.

   Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam.

   Dan para penjaga pun menjadi semakin letih.

   Sementara itu, Keri Arok telah berada beberapa langkah dari serambi belakang Istana Tumapel.

   Dengan hati-hati dilihatnya keseluruhan suasana halaman belakang istana itu dari kegelapan.

   Sejenak ia berjongkok di balik sebuah gerumbul bunga.

   Namun betapapun juga, hatinya, masih juga berdebar-debar.

   Dengan cermat Ken Arok memperhitungkan setiap keadaan.

   Ia harus sangat berhati-hati.

   Betapapun ia memiliki kemampuan yang mengagumkan, namun Istana Tumapel pun berisi banyak sekali prajurit dan orang-orang yang memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak dapat diabaikannya.

   Sehingga akhirnya pada suatu saat Ken Arok menemukan kesempatan itu.

   Kesempatan yang ditunggu-tunggunya.

   Ketika seorang penjaga baru saja lewat di depan pintu serambi, Ken Arok justru melangkah dengan tenangnya, masuk ke dalam.

   Namun begitu ia berada di dalam serambi, segera ia berlindung di balik sehelai tirai.

   Dadanya pun menjadi kian berdebar-debar.

   Dan tiba-tiba saja ia menjadi cemas."Mudah-mudahan Akuwu sedang berada di biliknya sendiri.

   Kalau Akuwu berada di bilik Ken Dedes, maka usahaku akan gagal, atau aku terpaksa berbuat dengan agak kasar"

   Desisnya di dalam hati.

   "Akuwu akan berada di dalam bilik itu semalam penuh". Ken Arok menahan nafasnya ketika ia mendengear langkah kecil- kecil lewat di depan tirai itu. Seorang emban.

   "Aku harus melihat bilik Akuwu lebih dadulu"

   Ia berkata di dalam hatinya pula.

   Sejenak kemudian Ken Arok pun meloncat dari balik tirai yang satu ke balik tirai yang lain.

   Kemudian ia turun ke longkangan dalam.

   Ketika seorang prajurit lewat, ia segera berjongkok di balik sebuah arca yang berada di dalam kegelapan, di sudut longkangan.

   Ia menarik nafas dalam-dalam ketika prajurit itu kemudian hilang dari pintu samping.

   Dan longkangan itu pun kembali menjadi sepi.

   Kalau ia kemudian naik tangga, ia akan memasuki bagian dalam dari Istana Tumapel.

   Dan ia akan melampaui beberapa ruangan sebelum ia sampai ke dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung.

   Namun bagian istana yang terpisah satu dengan yang lain, agaknya mempermudah usahanya untuk mendekati bilik Akuwu Tunggul Ametung.

   Kadang-kadang ia masih harus bersembunyi di balik tirai yang tebal, dan kadang-kadang dibalik daun pintu yang terbuka.

   Bahkan kadang-kadang dibalik peti-peti dan kotak-kotak tempat hiasan dan juga dibalik patung-patung yang berserakan di dalam istana.

   Akhirnya Ken Arok sampai juga kedekat bilik Akuwu Tunggul Ametung.

   Dengan dada yang berdebar-debar ia berjongkok di balik sebuah tirai yang gelap.

   Dicobanya untuk mengatur perasaannya yang bergejolak.

   Yang bahkan kadang-kadang masih juga disentuh oleh keragu-raguan.

   Namun setiap kali Ken Arok menggeretakkan giginya.

   Ia sudah tidak dapat melangkah surut.

   Tidak.

   Tidak dapat.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia harus berjalan terus.

   Dan malam ini semuanya harus dilakukan.

   Kalau tidak ia pastiakan gagal.

   Dan apa yang akan terjadi atasnya, sama sekali tidak dapat dibayangkannya.

   Tetapi dada Ken Arok masih juga berdebar-debar.

   Ia memerlukan waktu untuk dapat mengatur perasaannya.

   Sehingga akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam.

   "Bilik itu sangat sepi"

   Katanya di dalam hati.

   "Mudah-mudahan Akuwu Tunggul Ametung tidur di dalamnya". Maka sejenak kemudian jatuhlah keputusannya. Ia harus melaksanakan selagi bilik itu masih sepi. Sesaat kemudian Ken Arok pun berdiri. Dipasangnya telinganya baik-baik. Karena ia tidak mendengar apapun juga, maka ia pun menjengukkan kepalanya. Sepi. Benar-benar sepi. Dengan hati-hati Ken Arok melangkah mendekati pintu bilik. Perlahan-lahan sekali ia mendorong kesamping. Dan pintu itu pun mulai terbuka. Seperti kebiasaannya, Akuwu yang merasa aman di dalam istananya tidak pernah mengancing pintunya, seperti juga pintu-pintu bilik yang lain. Dalam Ken Arok menjadi bertambah sesak ketika ia melihat Akuwu tidur terbujur di pembaringannya dengan tenangnya. Sejenak ia berdiri diam di luar pintu. Namun tiba-tiba ia menyadari bahwa setiap saat seorang emban atau seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas akan lewat di muka bilik ini. Karena itu, maka Ken Arok pun dengan tergesa-gesa meloncat masuk. Namun ternyata bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang luar biasa. Betapa pun Ken Arok mencoba menghilangkan gemerisik yang mungkin timbul oleh langkahnya, dan betapa halusnya suara loncatannya, ternyata telah menyentuh pendengaran Akuwu yang sedang tidur nyenyak itu. Dada Ken Arok bergetar dahsyat sekali, ketika ia melihat Akuwu Tunggul Ametung bergerak, dan bahkan kemudian membuka matanya.Datanglah suatu saat dimana ia tidak mampu lagi untuk berpikir. Akuwu Tunggul Ametung telah membuka matanya meskipun ia masih dipengaruhi oleh suasana yang masih kabur, karena baru saja ia terbangun. Tetapi dalam waktu sekejap Akuwu itu pasti sudah akan bersikap lain. Kalau Akuwu itu menyadari apa yang dihadapinya, maka ia tidak akan membiarkan dadanya berlubang oleh keris buatan Empu Gandring itu. Karena itu, maka dalam keadaan tanpa pilihan itulah, maka Ken Arok segera meloncat menerkam Akuwu Tunggul Ametung yang belum menyadari benar keadaannya. Ia hanya melihat sebuah bayangan seolah-olah terbang menimpanya. Kemudian terasa sesuatu menghunjam di dadanya. Dengan gerak naluriah, Akuwu Tunggul Ametung mencoba membela dirinya. Tetapi semuanya sudah terlambat. Ken Arok pun bukan orang kebanyakan, sedang keris yang dipakainya pun adalah sebilah keris buatan Empu Gandring yang hampir tidak ada tara bandingnya. Meskipun demikian, hempasan tangan Akuwu Tunggu Ametung telah mengenai kening Ken Arok. Sesaat matanya menjadi berkunang-kunang, dan ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat bertahan lagi ia pun terhempas di atas lantai, sehingga terasa kepalanya seakan-akan berputar. Sejenak Ken Arok mencoba bertahan untuk tidak kehilangan seluruh kesadarannya. Dalam keadaannya ia sempat melihat, Akuwu Tunggul Ametung bangkit sambil memegang hulu keris yang masih tertancap di dadanya. Dengan kemarahan yang memancar dari wajahnya ia memandang Ken Arok yan masih terbaring di lantai. Namun ketika Akuwu Tunggul Ametung mencoba untuk berdiri, maka ia pun terdorong surut, dan jatuh ke atas pembaringannya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Akuwu Tunggul Ametung menghembuskan nafasnya yang terakhir di pinggir pembaringannya yang menjadi merah oleh darah yang memancar dari lukanya.Tetapi ternyata darah Akuwu tidak terlampau banyak mengalir. Darah itu pun segera menjadi biru dan merah beku. Ken Arok yang masih belum mampu menguasai keseimbangannya, masih juga terbaring di lantai. Dengan sekuat tenaganya ia memusatkan segenap kemampuan yang ada padanya sehingga perlahan-lahan ia berhasil menguasai dirinya. Perlahan pula ia bangkit. Kemudian memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Semuanya itu hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Namun dalam waktu yang sangat singkat itu, bilik Akuwu telah menjadi berubah sama sekali. Kesan yang timbul bagi mereka yang pertama-tama melihat bilik itu, adalah sesuatu perkelahian. Karena ternyata letak Akuwu Tunggul Ametung pun tidak lagi seperti pada saat ia masih tidur nyenyak. Beberapa macam hiasan yang terdorong oleh tubuh Ken Arok pun telah tergeser, dan darah yang menitik di beberapa tempat pada saat Akuwu mencoba bangkit berdiri. Setelah Ken Arok menjadi sadar sesadar-sadarnya, maka barulah ia dapat menilai keadaan yang sedang dihadapinya. Akuwu Tunggul Ametung ternyata telah mati. Dengan serta-merta, Ken Arok pun kemudian memutus sehelai tali yang berwarna kekuning-kuningan yang memang telah dibawanya dari baraknya. Tali itu kemudian dilemparkannya ke sudut pembaringan. Dan tanpa mengambil kerisnya dari dada Akuwu Tunggul Ametung, maka Ken Arok pun kemudian barusaha meninggalkan bilik itu untuk seterusnya keluar dari halaman istana. Tetapi seperti pada saat ia masuk, maka ia tidak mengambil jalan melalui regol-regol halaman. Tetapi ia menyusur tempat yang gelap dan kemudian meloncati dinding halaman, untuk seterusnya pergi menghilang. Beberapa puluh langkah dari dinding yang diloncatinya, Ken Arok berhenti. Dipandanginya dinding yang tegak membeku itu. Seolah- olah ia ingin melihat, apa yang kini sedang terjadi di dalam istana.Tetapi istana itu masih sepi. Seandainya seseorang telah menemukan Akuwu Tunggul Ametung yang terbunuh itu, maka pasti akan segera terdengar tanda-tanda dari para pengawal. Maka Ken Arok pun segera meneruskan langkahnya. Ia ingin segera sampai ke baraknya. Namun sebelum ia bertemu dengan seorang pun di dalam barak itu, ia harus membersihkan dirinya lebih dahulu. Ternyata Ken Arok mampu bekerja dengan cermat. Ia berusaha, menghilangkan setiap jejak yang mungkin ditimbulkan. Karena itu, tanpa setahu seorang pun, ia telah berhasil masuk ke dalam biliknya dan langsung membaringkan dirinya di pembaringannya. Tetapi ternyata ia tidak mendapat kesempatan untuk membuat penilaian tentang peristiwa yang baru saja dilakukannya. Karena belum lagi ia meluruskan letak kakinya, Tumapel telah digemparkan oleh suara titir yang menjalar dari sebuah kentongan ke kentongan lainnya di sudut-sudut padukuhan, di gardu-gardu, di panggungan- panggungan. Para Pelayan Dalam yang sedang tidak bertugas, dan berada di baraknya segera berloncatan dari pembaringan mereka. Sejenak kemudian mereka telah berada di luar bilik masing-masing. Suara titir itu semakin lama menjadi semakin merata. Kemudian di antara suara titir yang mengumandang di seluruh kota itu, terdengar perintah setiap pimpinan pasukan agar setiap orang di dalam pasukannya segera bersiap.

   "Sesuatu telah terjadi"

   Bisik setiap orang. Ken Arok pun kini telah berada di antara kawan-kawannya. Dengan wajah tegang ia ikut berbisik-bisik pula.

   "Sesuatu telah terjadi". Ternyata penghubung yang sedang bertugas di istana telah melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Sekejap kemudian para pemimpin tertinggi Tumapel telah mendengar, apa yang terjadi di istana.Orang yang pertama-tama datang, kecuali para petugas di istana adalah Witantra. Dengan gemetar ia melangkah masuk dalam bilik Akuwu. Tidak seorang pun yang berani merubah apa yang ada di dalam bilik itu. Namun demikian Witantra sudah tidak dapat melihat, bagaimanakah letak Akuwu pada saat diketemukan, karena ketika ia memasuki ruangan itu, Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung, menjerit tinggi sambil memeluk jenazahnya. Dan sejenak kemudian Ken Dedes itu pun telah menjadi pingsan.

   "Bawalah ia ke bilik sebelah"

   Perintah Witantra kepada para emban.

   Dengan ditangisi oleh para emban, Ken Dedes kemudian dibawa ke bilik sebelah.

   Dengan cemas dan gemetar emban pemomongnya berusaha sedapat-dapat dilakukan untuk membuat pemongannya itu menjadi sadar.

   Namun, demikian Permaisuri itu sadar, maka sekali lagi terpekik dan ia segera menjadi pingsan kembali.

   Witantra dan beberapa pemimpin Tumapel yang lain berdiri termangu-mangu di dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung.

   Sekali-kali terdengar Witantra menggeretakkan giginya.

   Ia adalah pimpinan pasukan pengawal.

   Karena itu, sebagian terbesar tanggung jawab atas peristiwa itu berada di tangannya.

   Setelah meneliti sejenak, maka Witantra segera mengeluarkan perintah.

   "Tidak seorang pun yang diperkenankan keluar dari halaman istana. Semua pintu harus dijaga". Perintah itu pun dalam sekejap telah merata. Setiap pintu regol pun segera ditutup. Tidak seorang pun yang diperkenankan keluar. Namun dalam pada itu, para pemimpin pasukan yang lain pun segera berada di istana. Mereka pun kemudian berkerumun di depan bilik Akuwu. Tetapi belum seorang pun yang berani terubah sama sekali, apa yang terdapat di dalam bilik itu.Di luar istana, para prajurit pun ternyata telah bersiap pu1a. Mereka pun segera mendengar, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah terbunuh di dalam biliknya. Para prajurit yang tidak berada di dalam barak, tetapi di rumah masing-masing pun segera berlari-larian ke induk pasukan masing- masing untuk mendengar apa yang telah terjadi. Dan mereka pun hanya dapat menggeretakkan gigi mereka, setelah mereka mendengar apa yang telah terjadi atas Akuwu Tunggul Ametung. Tanpa perintah apapun lagi, maka setiap pemimpin pasukan telah mengetahui apa yang wajib mereka lakukan. Mereka telah mempersiapkan pasukan masing-masing dalam kesiap-siagaan tertinggi. Yang pertama-tama terlintas di dalam kepala mereka, ialah suatu usaha untuk merebut kekuasaan dari tangan Akuwu yang terbunuh itu oleh sekelompok orang-orang yang tidak menyukainya. Kesimpulan itu diambil, karena Tumapel saat itu tidak sedang berada dalam perselisihan dengan pihak luar yang manapun juga. Bersama beberapa orang tua-tua dan pemimpin prajurit, Witantra mulai meneliti satu demi satu, apa yang terdapat di dalam bilik Akuwu. Karena ternyata letak Akuwu sudah berubah, ketika dengan serta merta Permaisurinya memeluknya sambil menjerit, maka Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian diangkat dan dibaringkan di pembaringannya. Namun keris yang tertancap di dada Akuwu itu masih belum dilepaskan. Ternyata Witantra mempunyai pandangan yang tajam sekali atas apa yang terjadi di dalam bilik itu. Meskipun beberapa bagian dari hiasan yang ada telah tergeser, dan beberapa titik darah yang memercik dari luka Akuwu, namun dengan nada yang berat Witantra berkata.

   "Akuwu tidak mendapat banyak kesempatan untuk membela dirinya. Mungkin timbul juga sedikit perkelahian, namun agaknya Akuwu telah tertusuk selagi ia masih tidur". Orang-orang lain yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata.

   "Kalau Akuwu mendapat kesempatan, maka ia tidak akan terbunuh. Tidak adaorang lain yang dapat melawannya, apalagi apabila ia sempat mengambil pusakanya".

   "Ya, karena itu, maka hal ini dapat terjadi karena kelengahan"

   Witantra berhenti sejenak, kemudian.

   "Setiap orang yang bertugas malam ini akan dimintai pertanggungan jawab. Mereka harus segera berkumpul setelah menyerahkan tugasnya kepada giliran berikutnya". Dalam pada itu Ken Arok yang telah siap pula di dalam baraknya menjadi berdebar-debar ketika pemimpin pasukannya memerintahkan kepadanya dan beberapa perwira yang terdekat dan terpandang untuk mengikutinya ke istana. Sebenarnya baginya, lebih baik tinggal di baraknya daripada pergi ke istana. Apa yang terjadi di istana itu, akan dapat menggetarkan jantungnya, apabila ia harus menyaksikannya sekali lagi. Namun demikian, kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia telah melakukannya dengan sempurna. Apabila timbul keragu- raguannya yang demikian, maka justru ia ingi melihat akibat dari perbuatannya itu. Tetapi ia tidak dapat memilih. Dikehendaki atau tidak, mendapat perintah untuk bersama-sama dengan pimpinannya pergi ke istana. Dengan dada berdebar-debar Ken Arok dengan tergesa-gesa bersama-sama dengan beberapa orang terkemuka di dalam lingkungannya memasuki bagian dalam istana. Kedatangan mereka telah menambah jumlah para pemimpin yang telah ada di dalam istana itu. Sejenak kemudian mereka berdiri di luar bilik. Pemimpin pasukannya itu pun kemudian menemui Pimpinan tertinggi Pelayan Dalam beserta Witantra. Sejenak mereka bercakap-cakap dan sejenak kemudian pemimpin pasukannya itu pun memanggil Ken Arok mendekatinya. Ken Arok masuk ke dalam bilik itu dengan ragu-ragu. Namun telah berhasil menekan perasaannya, sehingga tidak ada kesan lain di wajahnya dari pada ketegangan yang memuncak."Bawa sekelompok pasukanmu untuk mengambil alih tugas Pelayan Dalam yang ada di istana. Mereka yang bertugas pada saat Akuwu terbunuh harus segera berkumpul seperti yang dilakukan oleh prajurit Pengawal Istana dan prajurit-prajurit dari kesatuan- kesatuan yang lain yang sedang bertugas". Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk dalam sambil menjawab.

   "Baik. Akan kami lakukan". Ken Arok pun segera kembali ke dalam kelompok yang dipimpinnya. Ternyata semuanya telah bersiap untuk melakukan tugas apa saja. Termasuk mengambil alih tugas di dalam istana malam itu. Sejenak kemudian semua petugas dari segala kesatuan dan ikatan telah berkumpul. Mereka akan diperiksa seorang demi seorang oleh pemimpin pasukan masing-masing. Ken Arok, yang mendapat perintah untuk mengambil alih tugas Pelayan Dalam malam itu, telah langsung memimpin sekelompok pasukannya. Dan ia sendiri telah berada pula dekat bilik tempat Akuwu dibaringkan. Ketika kebingungan dan kegelisahan telah mereda. Serta ketika para pemimpin tertinggi setiap kesatuan sudah siap untuk meninggalkan bilik itu dan memeriksa bawahan mereka masing- masing, maka tiba-tiba Ken Arok maju menyusup diantara mereka sambil berkata.

   "Apakah aku diperkenankan menyatakan pendapat?"

   Witantra mengerutkan keningnya. Ia mengenal Ken Arok secara pribadi. Karena itu maka katanya.

   "Apakah yang akan kau katakan?"

   Ken Arok menahan nafasnya sejenak.

   Kemudian diedarkannya tatapan matanya berkeliling.

   Dipandanginya setiap wajah yang berada di dalam bilik itu.

   Satu demi satu.

   Dan setiap mata yang tersentuh oleh tatapan mata anak muda itu terasa sebuah getar telah meronta di dalam dada mereka.

   Ternyata Pelayan Dalam yang seorang ini, meskipun bukan pimpinan pasukan, dan apalagi pimpinan tertingginya, mempunyai perbawa yang luar biasa."Sebelum kita mulai memeriksa seorang demi seorang, segala kesatuan yang bertugas, kemanakah kita harus memusatkan perhatian kita?"

   Bertanya Ken Arok kepada Witantra.

   Pertanyaan itu memang terdengar aneh sekali.

   Beberapa orang saling berpandangan.

   Namun Witantra sendiri mengetahui arah pertanyaan itu, karena ia masih menimang sehelai tali yang berwarna kekuning-kuningan yang terputus dan diketemukan di dalam bilik itu juga.

   Karena itu maka sambil mengangkat tali berwarna kuning itu ia menjawab.

   "Ya, aku sependapat, meskipun tidak mutlak. Bukankah kau melihat tali ini, sehingga kau mengajukan pertanyaan itu?"

   "Ya"

   Jawab Ken Arok.

   "Dan aku mendengar dari orang-orang yang telah hadir lebih dahulu, bahwa tali itu diketemukan di dalam bilik ini juga".

   "Ya"

   Sahut Witantra.

   "Aku sependapat sepenuhnya, siapakah yang harus mendapat perhatian lebih banyak".

   "Baiklah"

   Berkata Ken Arok.

   "Selanjutnya, apakah aku diperkenankan melihat keris yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung itu?"

   Witantra mengerutkan keningnya. Dipandanginya para pemimpin tertinggi dari pasukan-pasukan yang lain, selain para tetua Pemerintahan Tumapel.

   "Nanti dulu Angger Witantra"

   Berkata seorang tua.

   "Kita sedang menunggu seorang pendeta untuk mengucapkan doa dan mantra. Pendeta itulah yang akan mengambil keris itu dari dada Akuwu Tunggul Ametung. Kita tidak tahu, apakah keris itu mengandung tuah dan kekuatan yang hitam". Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Ken Arok menyahut.

   "Aku tidak dapat menolak kepercayaan itu. Tetapi kita harus dengan cepat mengetahui, siapakah pembunuhnya, sebelum ia sendiri sempat melarikan diri. Karena itu, biarlah aku menyediakan diri untuk melihat keris itu. Seandainya ada kekuatanhitam yang bagaimanapun juga, aku kira aku akan dapat mengatasinya". Orang-orang tua yang ada di dalam bilik itu mengerutkan kening? mereka yang telah berkerut-merut. Salah seorang maju kedepan sambil berkata.

   "Kau masih terlampau muda".

   "Tetapi kita bertanggung jawab. Kalau pembunuh itu sempat melarikan diri, maka kita akan kehilangan jejak".

   "Lalu apakah dengan keris itu kau dapat menemukan pembunuhnya?"

   "Belum tentu. Tetapi kadang-kadang kita dapat mengenal keris seseorang. Apalagi keris yang mampu menembus dada Akuwu". Witantra tidak segera dapat memberikan keputusan. Pendapat Ken Arok itu memang dapat diterima oleh akal. Tali kuning yang dipegangnya itu telah sedikit memberikan arah. Kemudian apabila keris itu memang dapat berbicara, maka ia akan segera dapat mencari jejak pembunuhnya. Orang-orang tua yang berdiri di dalam bilik itu menjadi bimbang. Mereka sebenarnya masih menunggu seorang pendeta yang dapat menawarkan pengaruh jahat dari keris itu. Tetapi agaknya Ken Arok terlampau mendesak. Dan agaknya para pemimpin pasukan lebih condong untuk melakukannya segera. Dalam keragu-raguan itu Witantra berkata.

   "Baiklah. Kita cabut saja keris itu. Nanti kita lihat bersama-sama, apakah diantara kita atau siapapun juga, ada yang pernah mengenal, senjata siapakah yang tertinggal setelah dipakainya untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin pembunuh itu terlalu tergesa-gesa karena Akuwu sempat melakukan perlawanan meskipun tidak begitu berarti, sehingga ia tidak sempat membawa senjatanya". Para pemimpin kesatuan prajurit Tumapel mengangguk- anggukkan kepala mereka, sedang orang-orang tua masih juga menjadi ragu-ragu.

   "Baiklah. Kita lihat saja keris itu".Witantra pun kemudian maju mendekat. Dengan tangam gemetar diraihnya keris itu. Dan sambil memejamkan matanya, maka dicabutlah keris yang berlumuran darah yang telah membeku itu sambil berdesis.

   "Biarlah aku menanggung segala akibatnya. Bukan orang lain. Akulah yang paling bertanggung jawab atas kejadian yang paling memalukan ini, sehingga seorang Akuwu telah terbunuh di dalam biliknya". Ken Arok berdiri tegak ditempatnya. Ternyata Witantra sendirilah yang melakukannya, mencabut keris itu dari dada Akuwu Tunggul Ametung. Tangan Witantra menjadi semakin gemetar ketika ia kemudian mengangkat keris itu. Dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata keris itu adalah keris yang luar biasa. Meskipun telah dilumuri oleh darah yang merah kehitam-hitaman, namun masih juga tampak cahaya kebiru-biruan memancar dari padanya.

   "Keris yang memiliki daya kemampuan yang luar biasa"

   Ia berdesis. Namun kemudian Witantra itu mengerutkan keningnya. Ternyata diantara cahaya yang kebiru-biruaa itu terdapat tiga bintik cahaya berwarna kekuning-kuningan. Sambil menahan nafasnya, dengan suara gemetar Witantra itu berkata.

   "Nah, siapakah yang telah mengenal keris ini?"

   Beberapa orang .mengerutkan keningnya.

   Ketika keris itu masih tertancap di dada Akuwu mereka tidak begitu banyak berkesempatan untuk melihatnya dengan jelas karena kesibukan, kebingungan dan memang maksud yang demikian itu masih belum terlintas di dalam kepala setiap orang yang ada di dalam bilik itu.

   Namun kini, segenap perhatian mereka tertumpah pada keris itu.

   Pada keris yang bercahaya kebiru-biruan dan berbintik kuning.

   Keris yang memiliki kekhususan dan tidak ada duanya.

   Karena itu, maka beberapa di antara orang-orang tua itu pun menjadi berdebar-debar.

   Ternyata ada beberapa diantara mereka yang rasa-rasanya telah pernah melihat dan mengenal keris itu.

   Satu dua pemimpin pasukan yang ada di dalam bilik itu pun menjadibertanya-tanya di dalam hati.

   Apakah penglihatan matanya itu benar.

   Tiba-tiba seorang tua maju kedepan.

   Dengan wajah yang tegang diamatinya keris itu.

   Ujungnya, pamornya yang terbalut oleh darah yang membeku, kemudian hulu keris yang mempunyai bentuk yang tidak lazim itu.

   Dengan bibir gemetar orang tua itu berkata "Aku pernah melihat keris ini.

   Ya, aku pernah melihatnya, ketika pemiliknya minta pertimbangan tentang nilai dari keris ini".

   Dahi Witantra menjadi berkerut-merut.

   "Apakah Angger Witantra belum pernah melihatnya?"

   Bertanya orang tua itu. Witantra menggelengkan kepalanya.

   "Belum. Aku belum pernah melihatnya". Bibir orang tua itu bergerak-gerak, tetapi sama sekali tidak terdengar suara apapun yang diucapkannya.

   "Siapakah yang mempunyai keris ini?"

   Desak Witantra. Selangkah demi selangkah orang tua itu bergeser mundur.

   "Siapa?"

   Desak Witantra. Tetapi orang tua itu justru menggelengkan kepalanya.

   "Siapa? Siapa?"

   Witantra malangkah maju.

   "Sebutkan, siapakah yang mempunyai keris ini?"

   Orang tua itu masih belum mengucapkan sesuatu. Bahkan ia berpaling untuk menatap wajah kawan-kawannya, para tetua Pemerintahan Tumapel.

   "Katakan, katakan"

   Witantra hampir berteriak. Orang tua itu bahkan menjadi gemetar.Namun dalam pada itu, seorang tua yang lain melangkah maju. Dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya.

   "Apakah Angger Witantra memang belum pernah melihat keris ini"

   "Belum, aku memang belum pernah melihatnya". Orang tua itu memandang wajah Witantra dengan tajamnya. Kemudian katanya.

   "Sebenarnya kami mengharap bahwa Angger Witantra sendirilah yang akan menyebut, siapakah yang memiliki keris ini".

   "Jangan membuat aku menjadi gila. Katakanlah, siapa yang memiliki keris ini. Aku benar-benar tidak tahu dan baru kali inilah aku melihat keris ini". Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dengan nafas yang terengah-engah.

   "Terlampau berat untuk menyebutkannya. Tetapi apaboleh buat kalau Angger menghendakinya".

   "Katakan"

   Witantra hampir berteriak.

   "Keris itu milik perguruan Angger Witantra sendiri, atau setidak- tidaknya milik saudara seperguruan Angger".

   "He?"

   Jawaban orang tua itu serasa ledakan petir di telinga Witantra yang berdiri tegak dengan tubuh gemetar.

   Sejenak pemimpin pasukan pengawal istana itu seolah-olah membeku di tempatnya sambil memandangi keris itu.

   Sekali-kali ia menatap orang tua yang mengatakan, bahwa keris itu keris perguruannya.

   Setelah getar di dadanya mereda, maka dengan suara gemetar ia bertanya.

   "Apakah yang kau maksud sebenarnya?"

   "Demikianlah. Keris itu adalah keris yang seharusnya Angger kenal dengan baik".

   "Aku tidak mengenal keris ini. Perguruanku tidak mengenal pula keris ini". Witantra berkata dengan tegas.

   "Sebutkan, sebutkan, siapakah pemiliknya?"Orang tua itu menjadi ragu-ragu.

   "Sepanjang umurku, aku belum, pernah melihat guruku memiliki keris serupa itu". Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya.

   "Memang aku kira keris itu bukan keris yang temurun dari guru ke murid. Menurut pengakuannya keris itu diterima sebagai warisan dari ayahnya sendiri".

   "Ya, tetapi kau belum menyebut orangnya".

   "Keris itu pernah, dibawa kepadaku pula, untuk mendapat penilaian tentang bentuk dan pamornya. Keris itu menang keris yang luar biasa".

   "Tetapi sebut namanya. Siapa orang yang membawa keris itu?"

   Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dan Witantra berteriak.

   "Katakanlah. Hanya ada tiga orang murid di perguruanku, Aku sendiri, Mahendra dan Kebo Ijo. Siapakah diantara kami yang pernah datang kepadamu dan kepada orang lain untuk memperlihatkan keris itu?"

   "Maaf ngger. Orang itu adalah yang kau sebut terakhir"

   "Kebo Ijo?"

   Mata Witantra terbelalak. Orang itu menganggukkan kepalanya.

   "Ya, Angger Kebo Ijo. Aku kira banyak orang yang pernah melihat Angger Kebo Ijo membawa keris itu. Aku sendiri yakin, bahwa keris itulah yang pernah dibawa ke rumahku". Dada Witantra serasa akan meledak mendengar keterangan itu. Apalagi ketika terpandang olehnya tali yang berwarna kuning keemasan yang diketemukannya di dalam bilik itu. Petunjuk, yang ada memang mendekatkan keterangan itu pada kemungkinan terjadi. Ketika ia mendengar Ken Arok berbicara, maka serasa ruangan.itu akan meledak.

   "Aku juga pernah melihat keris itu Witantra. Maaf, memang menjadi sifat Kebo Ijo. Ia memamerkankeris itu kepada banyak orang, sehingga banyak sekali yang akan dapat menjadi saksi, bahwa keris itu adalah keris Kebo Ijo. Aku adalah sahabatnya yang terdekat. Aku tahu benar, bahwa ia sangat berbangga dengan keris itu. Tetapi aku tidak tahu, bahwa pada suatu saat ia telah mempergunakan kerisnya". Wajah Witantra menjadi merah seperti darah. Antara terdengar dan tidak ia menggeram.

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak mungkin. Betapa gilanya anak itu, tetapi ia tidak akan melakukannya". Meskipun demikian sebagai seorang prajurit ia berkata.

   "Tangkap anak itu. Bawa ia kemari". Seorang pandega pengawal istana menganggukkan kepalanya sambil berkata.

   "Akan segera aku jalankan". Tetapi sebelum orang itu berangkat, maka Ken Arok berkata.

   "Witantra. Mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki. Kita mengetahui, bahwa Kebo Ijo bukanlah seorang kebanyakan dan dapat dianggap ringan. Apalagi ia merasa, bahwa ia telah berbuat kesalahan. Aku kira akan lebih baik, apabila, dicari jalan lain untuk membawanya kemari".

   "Maksudmu?"

   "Aku akan menemuinya. Aku akan membawanya kemari dengan cara seorang sahabat". Witantra mengerutkan keningnya. Katanya kemudian.

   "Kau dapat mencobanya Ken Arok. Pergilah bersama perwira itu". Ken Arok mengangguk sambil berkata.

   "Terima kasih atas kesempatan ini". Kemudian kepada perwira pandega pengawal itu ia berkata.

   "Marilah kita pergi". Keduanya pun kemudian meninggalkan istana. Perwira itu semula ingin membawa beberapa orang terpercaya apabila terjadi sesuatu, tetapi Ken Arok berkata.

   "Itu tidak perlu. Aku akan mencoba membujuknya".Keduanya pun kemudian berpacu dia tas punggung kuda. Dalam sepi malam derap kaki-kaki kuda itu mengumandang menyusup kesegenap sudut kota. Sejenak kemudian mereka telah sampai ke barak pasukan pengawal istana. Semua orang telah bersiap, dan para perwiranya pun telah hadir pula. Demikian juga para perwira yang tinggal di rumah masing-masing, diantaranya Kebo Ijo. Kebo Ijo terkejut ketika ia melihat Ken Arok mencarinya bersama seorang perwira bawahan Witantra.

   "Tunggulah di sini"

   Berkata Ken Arok.

   "Aku akan mencoba membujuknya". Perwira itu mengerutkan keningnya. Ia melihat Kebo Ijo dalam sikapnya yang wajar. Tidak tampak tanda-tanda apapun padanya. Bahkan ketika ia melihat kedatangan mereka, ia masih saja tersenyum dengan tenangnya.

   "Anak itu licik seperti setan"

   Desis Ken Arok. Perwira itu menganggukkan kepalanya. Ken Arok pun kemudian menemui Kebo Ijo seorang diri. Dibawanya Kebo Ijo menyendiri, meskipun tidak terlampau jauh, sehingga perwira bawahan Witantra itu dapat mengawasinya apabila terjadi sesuatu.

   "Kebo Ijo"

   Berkata Ken Arok perlahan-lahan agaknya Tumapel sedang disaput oleh kabut yang hitam". Kebo lio tertawa pendek .

   "Kematian Akuwu maksudmu?"

   "Ya. Tumapel akan terguncang karenanya. Akuwu sama sekali belum mempunyai seorang putera yang akan dapat menggantikan kedudukannya". Kebo Ijo tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Ken Arok yang tampak bersungguh-sungguh itu sejenak. Kemudian sekali lagi Kebo Ijo tertawa.

   "Kenapa kau tampak murung sekali? Bukankah Akuwu Tunggul Ametung itu bukan sanak, bukan kadangmu?""Benar Kebo Ijo. Akuwu memang bukan sanak bukan kadang. Tetapi yang penting bagiku adalah Tumapel. Lalu bagaimana dengan Tumapel kemudian?"

   "Itu bukan urusanmu Ken Arok. Kau tidak usah ikut berpusing kepala".

   "Tentu tidak mungkin Kebo Ijo". Kebo Ijo tertawa. Kali ini lebih keras. Dalam pada itu, perwira yang mendapat tugas bersama Ken Arok menjadi heran melihat sikap Kebo Ijo. Timbulah perasaan curiga di dalam hatinya, seakan-akan anak itu sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah terjadi. Karena itu, maka ia pun kemudian mendekatinya.

   "Kemarilah"

   Panggil Kebo Ijo.

   "Jangan seperti orang asing di sini". Perwira itu menganggukkan kepalanya. Ia sudah banyak mengenal tentang Kebo Ijo. Meskipun demikian sikapnya tidak menyenangkannya.

   "Kau juga berduka seperti Ken Arok?"

   Bertanya Kebo Ijo.

   "Jagalah mulutmu Kebo Ijo. Sejak dahulu aku telah memperingatkan kau. Apalagi dalam keadaan serupa ini"

   Desis Ken Arok. Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.

   "Adalah menjadi kuwajiban kita untuk memikirkan hari depan Tumapel. Kita tidak dapat berpeluk tangan, acuh tidak acuh saja menanggapi setiap keadaan. Apalagi puncak dari persoalan kali ini".

   "Kenapa kau tidak memilih aku saja untuk menjadi seorang Akuwu?"

   Desis Kebo Ijo sambil tersenyum.

   "Ah"

   Ken Arok berdesah.

   "Kau memang terlalu bodoh". Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Mungkin, mungkin aku memang terlampau bodoh. Tetapi, apakah sebenarnyamaksudmu menemui aku dalam keadaan yang gawat ini? Apakah kau akan minta aku untuk mencari pembunuhnya, atau bahkan menjadi Akuwu sama sekali". Ken Arok menarik nafas. Kemudian jawabnya.

   "Aku hanya sekedar utusan Kebo Ijo. Kau dipanggil oleh kakang Witantra".

   "He? Kakang Witantra memanggil aku?"

   "Ya".

   "Ada persoalan apa dengan kakang Witantra?"

   "Tidak tahu Kebo Ijo. Aku hanya sekedar seorang utusan. Dalam keadaan serupa ini, mungkin sekali ada tugas-tugas yang akan dibebankan kepadamu". Kebo Ijo mengerutkan dahinya.

   "Kenapa aku, bukan pimpinan pasukanku atau orang lain". Ken Arok menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu. Tetapi aku kira, karena kau adalah adik seperguruannya. Kepercayaannya kepadamu melampaui kepercayaannya kepada siapapun juga. Apalagi kau pun termasuk di dalam kesatuannya". Kebo Ijo berpikir sejurus. Kemudian katanya.

   "Kalau pimpinan pasukan mengijinkan, aku tidak berkeberatan".

   "Kenapa tidak. Aku datang bersama seorang perwira tinggi dari kesatuanmu yang dapat memberikan perintah Witantra itu".

   "Baiklah. Aku akan segera berkemas. Temuilah pimpinan pasukanku. Aku orang penting di pasukan ini, sehingga aku selalu diperlukannya".

   "Ya aku tahu. Kau perwira yang paling terpercaya dalam pasukan ini. Tetapi pimpinanmu tidak boleh berkeberatan".

   "Terserahlah kepada kalian". Kebo Ijo pun kemudian meninggalkan mereka untuk berkemas. Dengan tergesa-gesa ia masuk ke dalam barak pasukannya untuk mengambil kelengkapan yang diperlukan, sambil menemuipimpinannya untuk menyampaikan maksud Ken Arok dan perwira bawahan Witantra itu.

   "Dimanakah mereka?"

   Bertanya pemimpin pasukan itu.

   "Sebentar lagi mereka akan datang kemari". Sementara itu Ken Arok dan perwira Pengawal itu telah masuk ke dalam barak itu pula. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya perwira itu berkata perlahan-lahan.

   "Bukan main anak itu. Tetapi sikapnya sudah keterlaluan".

   "Ia mencoba untuk menyembunyikan kesan perasaannya yang mungkin sangat tertekan".

   "Mungkin, mungkin demikian, sehingga sikapnya menjadi bertambah liar".

   "Tetapi aku tidak sampai hati mengatakan maksud Witantra sebenarnya".

   "Itu tidak perlu. Biarlah kakang Witantra mengatakan sendiri kepadanya".

   "Kau benar. Tetapi hal itu akan mengakibatkan persoalan yang berkepanjangan. Apakah kau yakin, bahwa Witantra dapat menarik batas antara tugasnya sebagai seorang Manggala Pasukan Pengawal dan sebagai saudara tua seperguruan?"

   "Jadi bagaimana maksudmu?"

   "Sebaiknya kau memulainya. Tetapi setelah agak dekat dari istana. Kita akan mendapat kesan, apakah dugaan kita itu benar. Kau dapat mengajukan beberapa pertanyaan tentang keris yang tertancap di dada Akuwu itu". Perwira itu tidak segera menyahut. Tetapi ia mengangguk- anggukkan kepalanya. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa Witantra adalah kakak seperguruan Kebo Ijo. Apalagi ia telah mendengar lamat-lamat Witantra berdesis.

   "Tidak mungkin. Betapa gilanya anak itu, tetapi ia tidak akan melakukannya"."Hal itu tidak mustahil terjadi"

   Katanya di dalam hati.

   "Bahwa suatu saat kakang Witantra berdiri di persimpangan jalan. Betapa teguhnya kakang Witantra, namun suatu ketika ia dapat tergelincir dalam sikap yang tidak terpuji". Karena itu, maka kemudian pandega itu pun mengangguk- anggukan kepalanya. Ia dapat memulai seperti rencana Ken Arok itu. Dengan demikian ia akan mendapat kesan, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

   "Tetapi, kenapa harus setelah dekat dari istana?"

   Tiba-tiba ia bertanya.

   "Tidak banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu"

   Jawab Ken Arok.

   "Mungkin kita memang terlampau berprasangka. Tetapi seandainya Kebo Ijo memberontak, kita tidak akan terlampau banyak mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa Kebo Idjo bukanlah seorang yang dapat dianggap ringan. Ia adalah saudara seperguruan Witantra. Apalagi akhir-akhir ini ia mendapat banyak sekali kemajuan di dalam ilmunya. Aku tidak tahu, apakah hal itu sejalan dengan rencana-rencananya yang lain, termasuk pembunuhan kali ini". Perwira itu tidak menjawab lagi. Kini mereka telah berada di dalam lingkungan dalam barak itu, dan beberapa langkah lagi mereka akan naik ke bilik pimpinan pasukan pengawal di dalam barak itu.

   "Aku membawa perintah kakang Witantra"

   Berkata perwira itu.

   "Silahkanlah".

   "Kebo Ijo diperlukan di istana".

   "Ya. Aku sudah mendengar dari Kebo Ijo sendiri".

   "Aku memerlukan ijinmu".

   "Baiklah. Aku hanya dapat mentaati perintah itu". Sejenak kemudian Kebo Ijo pun telah ikut bersama Ken Arok dan perwira Pasukan Pengawal itu menuju ke istana. Tidak banyak yangmereka percakapkan di sepanjang jalan. Ken Arok hanya berbicara sepatah-sepatah, apalagi perwira itu. Ia hampir tidak berbicara sama sekali. Seperti yang telah mereka rencanakan, maka setelah mereka menjadi semakin dekat dengan istana, perwira itu mulai mereka- reka, apakah yang akan dikatakan kepada Kebo Ijo. Sejenak ia menyambar wajah Ken Arok, dan ketika Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, maka ia segera siap untuk memulainya. Perwira itu kemudian menempatkan kudanya dekat di samping Kebo Ijo. Hati-hati ia mulai berkata.

   "Kebo Ijo, apakah kau tahu, apakah sebabnya Akuwu itu dibunuh orang?"

   "He"

   Kebo Ijo mengerutkan keningnya.

   "Pertanyaanmu seperti pertanyaan orang bermimpi".

   "Tidak Kebo Ijo, aku bertanya sebenarnya".

   "Persetan dengan igauanmu". Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Sifat Kebo Ijo memang tidak disukainya. Ia mengharap lebih baik Ken Arok saja yang menanyakannya, supaya darahnya sendiri tidak mendidih. Tetapi Ken Arok sebagai seorang sahabat, menurut pengakuannya sendiri, tidak sampai hati untuk mempersoalkannya.

   "Kebo Ijo"

   Berkata perwira itu.

   "Apakah kau menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh para perwira tertinggi dan para pemimpin pemerintahan kini di istana?"

   "Tentu. Seperti yang kalian sedihkan. Kematian Akuwu Tunggul Ametung".

   "Ya, sudah tentu. Tetapi sehubungan dengan kematian itu. Kami para perwira tertinggi, telah dibingungkan oleh senjata yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung itu".

   "Kenapa dengan senjata itu? Apakah senjata itu telah menakut- nakuti kalian?"Perwira itu menjadi semakin menahan hati. Tetapi ia masih mencoba untuk bersabar.

   "Seharusnya kau tahu, hubungan antara perintah Witantra memanggilmu dan senjata yang tertinggal di dada Akuwu dari pembunuhnya itu".

   "O, kau benar-benar sedang mengingau. Persetan dengan ingauanmu. Katakan, apakah sebenarnya yang kau maksudkan. Atau barangkali apakah perintah kakang Witantra yang harus aku jalankan. Mencari pembunuhnya atau apa?"

   "Ya"

   Jawab perwira itu yang hampir kehilangan kesabaran.

   "Kakang Witantra memang memerintahkan kepadamu untuk mencari pembunuhnya". Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Sementara Ken Arok mendengarkan percakapan itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia mencoba mendengar setiap pembicaraan itu dengan jelas, karena itu, maka ia menempatkan dirinya pada sisi Kebo Ijo yang lain. Dengan demikian maka mereka kini berkuda berjajar tiga. Tanpa mereka sadari langkah kuda mereka menjadi semakin lambat.

   "Biarlah kakang Witantra mengucapkan perintah itu sendiri"

   Jawab Kebo Ijo kemudian.

   Perwira itu menjadi semakin tersinggung, dan Ken Arok pun mengharap, bahwa Kebo Ijo akan berkata sekenanya, seperti biasanya juga, dalam persoalan yang gawat ini.

   Ia mengharap perwira itu pun akan menjadi marah, dan selanjutnya, ia akan mendapat kesempatan seperti yang direncanakannya.

   "Kebo Ijo"

   Berkata perwira itu.

   "Kau memang seorang yang mengagumkan. Kau dapat menahan perasaanmu dan bahkan menyalurkannya dalam bentuk-bentuk yang tidak disangka-sangka".

   "Apakah maksudmu?"

   "Jangan berputar-putar. Katakanlah, siapakah yang memiliki keris yang berwarna kebiru-biruan, berbintik tiga buah dengan warna yang kekuning-kuningan? Ciri yang lain, tangkai keris itu sama sekalibukan sebuah ukiran seperti lazimnya, tetapi sepotong kayu dalam bentuknya yang khusus".

   "He"

   Mata Kebo Ijo terbelalak mendengar pertanyaan itu.

   "Apakah kau mengenal keris itu?"

   "Kenapa dengan keris itu?"

   Ia bertanya.

   "Kau sebenarnya telah mengerti jawab dari pertanyaanmu itu. Tetapi biarlah aku menjawab juga. Keris itulah yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung". Jawaban perwira itu menyambar telinga Kebo Ijo seperti tajamnya ujung senjata. Terasa telinganya menjadi panas dan dadanya berguncang-guncang. Sejenak justru ia terbungkam. Namun, tanpa sesadarnya ia telah menarik kekang kudanya, sehingga, kuda itu berhenti karenanya.

   "Aku hormati kau sebagai perwira atasanku"

   Berkata Kebo Ijo sambil menggeretakkan giginya.

   "Tetapi jangan mengigau terus menerus. Aku bukan anak-anak lagi dan aku bukan orang yang paling rendah martabatku di dunia ini, sehingga kau dapat menghinaku sesuka hatimu". Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Ia memang sudah menduga bahwa Kebo Ijo yang berdarah panas itu pasti akan segera menjadi marah. Dan ia mengharap perwira itu akan marah pula. Ken Arok pun kemudian menahan nafasnya. Ia melihat perwira itu menjadi tegang. Sejenak ia diam di atas punggung kudanya yang telah berhenti pula. Namun agaknya ia masih berusaha untuk menahan dirinya, betapapun darahnya telah mendidih. Ketegangan itulah yang diharapkan oleh Ken Arok untuk mendapat kesempatan berbicara sendiri dengan Kebo Ijo. Karena itu maka ia pun mendekati keduanya sambil berkata sareh.

   "Kebo Ijo. Demikianlah yang benarnya telah kami lihat di istana. Keris yang dicabut dari dada Akuwu itu adalah keris yang dikatakannya tadi.Banyak orang yang akan dapat menjadi saksi bahwa keris itu adalah kerismu".

   "Tetapi "

   Kebo Ijo memotong, tetapi. Ken Arok mendahuluinya.

   "Tunggu dulu Kebo Ijo. Kami tidak segera dapat mengambil keputusan tentang keris itu. Apalagi Witantra yang memang belum pernah melihatnya". Ken Arok berhenti sebentar lalu.

   "Aku mempunyai cara yang sebaik-baiknya. Bagimu dan bagi orang-orang yang kini berada di istana. Sebaiknya kau pulang sebentar. Kau lihatlah kerismu itu. Kalau kerismu itu masih tetap dalam simpanan, maka bawalah keris itu. Kau sudah membuktikan, bahwa keris itu sama sekali bukan kerismu". Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Kini ia harus berpikir dengan sungguh-sungguh. Agaknya perwira itu dan Ken Arok tidak sedang bermain-main.

   "Tetapi apakah kita biarkan Kebo Ijo pulang dahulu?"

   Bertanya perwira itu.

   "Aku akan pergi bersamanya. Aku akan mempertanggung- jawabkannya. Akulah yang nanti akan membawanya ke istana. Dengan atau tidak dengan keris itu". Perwira pasukan Pengawal istana itu berpikir sejenak. Dalam keragu-raguan ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam.

   "Percayakanlah ia kepadaku"

   Desis Ken Arok.

   "O, jadi kalian menyangka bahwa aku akan lari?"

   Peram Kebo Ijo.

   "Aku bukan pengecut. Seandainya aku sekalipun yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku akan mengangkat dadaku dihadapan siapapun juga. Bahkan dihadapan kakang Witantra"

   Kebo Ijo menggeretakkan giginya. Katanya kemudian.

   "Tetapi aku akan membuktikannya. Aku akan membawa keris itu kepada kalian". Perwira itu tidak menyahut. Betapapun darahnya serasa mendidih, tetapi ia mendapat kesan yang aneh pada Kebo Ijo yang tampaknya benar-benar tidak tahu menahu sama sekali tentang pembunuhan itu. Kebo Ijo sama sekali tidak menunjukkankecemasan, apa lagi ketakutan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat membahayakan keselamatannya. Karena itu maka perwira itu masih saja ragu-ragu.

   "Biarlah Kebo Ijo mencoba membuktikan"

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berkata Ken Arok.

   "Aku akan menyertainya. Kembalilah kepada Witantra, dan katakan bahwa sebentar lagi kami akan menghadap". Perwira itu tidak segera menjawab. Ia masih merenungi keadaan yang dihadapinya. Namun sejenak kemudian ia berkata.

   "Semuanya akan tergantung kepadamu Ken Arok, kepada tanggung jawabmu. Apabila terjadi sesuatu yang tidak menjadi keinginan kakang Witantra, maka kesalahan itu pasti akan dilimpahkan kepadamu. Aku hanya mendapat perintah sekedar menyertaimu. Kaulah yang memang mendapat tugas untuk membawanya ke istana".

   "Tanpa orang lain aku akan menghadap sendiri"

   Sahut Kebo Ijo.

   Perwira itu mengerutkan dahinya.

   Tetapi ia masih tetap menahan diri, meskipun seandainya hal itu terjadi di dalam keadaan yang lain, ia pasti sudah bertindak atas kekuasaan yang ada padanya sebagai seorang perwira tinggi di dalam pasukannya.

   Seandainya Kebo Ijo akan melawan sekalipun, pasti ia akan melakukan kekerasan.

   Tetapi dalam keadaan kalut itu, ia berusaha untuk tidak menambah pekerjaan Witantra menjadi semakin sulit.

   Itulah sebabnya ia tetap menahan hati untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat keadaan menjadi kian gelap.

   "Nah"

   Berkata Ken Arok.

   "Marilah Kebo Ijo. Kau harus membuktikan bahwa bukan kau yang melakukannya. Keris itu bukan kerismu. Mungkin ada persamaan dalam berbagai hal, dan mungkin ada orang lain yang dengan sengaja menjerumuskan kau dalam kesulitan. Namun tidak ada seorang pun yang mampu membuat keris serupa benar dengan keris asli milikmu itu". Kebo Ijo tidak menyahut lagi. Segera ia menarik kekang kudanya, berputar pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok.Ken Arok yang masih sempat mendekati perwira itu berbisik.

   "Percayakan ia kepadaku. Aku adalah sahabatnya, dan aku tahu, betapa ia licik seperti iblis". Perwira itu mengangguk-anggukan kepalanya.

   "Ya, ia licik seperti demit. Ia licik seperti iblis". Sejenak perwira itu memandangi derap kuda Ken Arok yang berpacu di jalan-jalan kota menyusul Kebo Ijo yang sudah hampir hilang di tikungan.

   "Hem, mudah-mudahan Ken Arok tidak gagal". Sekilas tumbuhlah niatnya untuk mengikuti keduanya. Tetapi niat itu pun kemudian diurungkannya. Ken Arok agaknya dapat dipercaya untuk membawa Kebo Ijo ke istana. Perwira itu tidak mau menyinggung perasaan Ken Arok. Maka ia pun kemudian menggerakkan kudanya, kembali ke istana. Ia harus segera melaporkan apa yang terjadi. Dengan demikian maka orang- orang yang menunggunya di istana tidak menjadi gelisah dan bertanya-tanya. Mendengar laporan perwira itu, Witantra mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bertanya.

   "Kita menunggu mereka sesaat sebelum mengambil kesimpulan. Mungkin Kebo Ijo benar-benar dapat membuktikan dengan membawa kerisnya kemari. Sehingga dengan demikian namanya pun akan menjadi bersih karenanya". Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali lagi ia mendapat kesan, bagaimanapun juga Kebo Ijo adalah adik seperguruan Witantra, sehingga kenyataan yang dihadapinya akan terasa terlampau pahit. Sementara itu, Kebo Ijo berpacu secepat-cepatnya pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok. Tanpa mengurangi kecepatan derap kudanya ia menyelusur jalan-jalan yang semakin kecil. Dengan tergesa-gesa ia meloncat turun ketika ia sampai di muka regol halaman rumahnya yang tertutup. Cepat ia membuka pintu regol itudan cepat-cepat pula ia melangkah di halaman, naik ke pependapa dan mengetuk pintu pringgitan.

   "Siapa?"

   Bertanya isterinya.

   "Aku. Aku pulang Nyi"

   Sahut Kebo Ijo. Isterinya terkejut. Dengan tergesa-gesa pula ia membuka pintu. Ketika dilihatnya Kebo Ijo berdiri tegak dalam kegelapan malam, maka dengan cemasnya ia bertanya.

   "Ada apa kakang? Apakah semuanya sudah selesai?"

   Kebo Ijo menggeleng.

   "Belum Nyai. Semuanya masih gelap". Isterinya mengangguk-anggukkan kepala.

   "Tetapi kenapa kakang pulang?"

   Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya.

   "Tidak apa-apa. Ada sesuatu yang tertinggal. Aku bersama Ken Arok".

   "O"

   Kemudian ia mempersilahkan Ken Arok.

   "marilah, masuklah". Ken Arok sudah terlampau biasa memasuki rumah itu. Hampir setiap hari. Namun tiba-tiba saat itu ia merasa sehelai garis batas telah terentang dihadapannya. Namun dengan penuh kesadaran ia menghadapi persoalannya. Bagaimanapun juga perasaannya bergolak, namun nalarnya tetap mampu mengatasinya, sehingga dengan demikian tidak ada kesan apapun tersirat di wajahnya. Sambil tersenyum ia menjawab.

   "Terima kasih. Kami berdua hanya sebentar. Kalau aku masuk ke rumah, kau akan menjadi sibuk merebus air".

   "Tidak. Aku tidak akan menjadi sibuk. Tetapi masuklah". Ken Arok pun kemudian melangkah masuk. Dengan dada yang berdebar-debar ia duduk di atas sebuah bale-bale bambu. Dilihatnya Kebo Ijo sedang membuka geledegnya, lewat pintu yang tidak tertutup rapat. Derit pintu geledeg di ruang tengah itu serasa menggores jantung Ken Arok. Perlahan-lahan sekali pintu itu pun terbuka. Ken Arok melihat Kebo Ijo terperanjat sekali. Sejenak ia membeku di muka geledeg itu. Peluh yang dingin satu-satu menitikdari keningnya. Darah Kebo Ijo serasa berhenti mengalir ketika ia melihat kerisnya sudah tidak berada lagi ditempatnya. Sejenak Kebo Ijo tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sorot mata aneh ditatapnya wajah Ken Arok yang menjadi tegang. (bersambung ke jilid-49) koleksi . Ki Ismoyo scanning . Ki Ismoyo Retype . Dewi KZ Proofing . Ki Wijil Cek ulang . Ki Arema ---ooo0dw0ooo---

   


Duri Bunga Ju -- Gu Long Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin Pendekar Cacad Karya Gu Long

Cari Blog Ini