Panasnya Bunga Mekar 10
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 10
Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja
Berkata Mahisa Bungalan.
"Katakanlah"
Sahut Ki Wastu dengan penuh harapan.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian "Ki Wastu.
Aku adalah seorang yang datang dari Singasari.
Aku mempunyai rumah dan tempat tinggal.
Aku mempunyai lingkungan dan keluarga.
Jika memang tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh, apakah kakek bersedia untuk pergi ke Singasari.
Jaraknya memang cukup jauh.
Tetapi jika kita dapat mencapai tempat tinggalku yang juga tidak berada di dalam pusat pemerintahan, maka aku kira untuk sementara kakek dan keluargamu akan mendapat perlindungan"
Ki Wastu menegang sejenak.
Namun kemudian ia bertanya "Tetapi anak muda.
Setiap tempat di muka bumiini akan menjadi sasaran pencarian.
Mungkin mereka akan sampai juga ke Singasari.
Mungkin satu dua orang akan menelusuri sejak padukuhan ini mengikuti jejak perjalanan kita, sampai ke Singasari.
Mungkin mereka akan menemukan kita juga.
Apakah dengan demikian, kami tidak akan mempersulit keadaan keluargamu?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Mungkin memang demikian.
Tetapi adalah menjadi kewajiban setiap orang untuk saling menolong.
Aku kira keluargaku tidak akan berkeberatan.
Bukankah kemungkinan bahwa orang-orang yang mencari anak dan cucu kakek itu sampai ke Singasari sangat kecil"
"Betapapun kecilnya tetapi itu mungkin sekali terjadi"
Sahut Ki Wastu.
"Kakek sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu yang dapat dipergunakan untuk melindungi anak dan cucumu. Sementara aku pergi ke Kediri, maka di rumah akan ada ayahku, Mahendra. Kedua adikku, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Jika perlu, maka paman-pamankupun akan dapat membantu"
"Siapakah mereka?"
"Aku kira aku tidak perlu menjelaskan semua orang yang bersedia berbuat sesuatu atas dasar kewajiban itu. Tetapi percayalah, bahwa anak dan cucumu akan mendapat perlindungan di rumahku. Bahkan jika masih meragukan, kita akan dapat mohon perlindungan kepada prajurit- prajurit Singasari.
"Apakah itu mungkin?"
Bertanya Ki Wastu.
"Kenapa tidak. Prajurit-prajurit Singasari akan dapat diminta perlindungannya, karena mereka memang berdiri pada sikap seorang kesatria. Adalah menjadi kewajibanmereka untuk melindungi siapapun yang memerlukannya"
Jawab Mahisa Bungalan.
Orang tua itu termangu-mangu sejenak.
Terbayang harapan yang cerah bagi anak dan cucunya.
Namun terbayang juga perjuangan yang berat menuju ke Singasari.
Apalagi ia membawa seorang perempuan dan seorang anak laki-laki.
Tiba-tiba saja Ki Wastu itu berkata "Anakmas, aku pasrah kepada anakmas.
Tentu anakmas lebih banyak mengenal Singasari daripada aku.
Sementara aku akan dapat menjual sesuatu yang masih ada padaku untuk membeli bekal perjalanan"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.
Namun kemudian Ki Wastu menunjukkan selingkar cincin di jari- jarinya.
Katanya "Aku akan menjualnya.
Mungkin timangku ini dapat juga aku jual.
Aku akan membeli sebuah pedati, seekor lembu dan perlengkapannya.
Jika pada anak perempuanku masih juga ada perhiasan, aku akan dapat menjualnya pula untuk menambahinya jika masih kurang"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Katanya "Apakah pedati tidak justru memperlambat perjalanan"
Ki Wastu menarik nafas. Katanya "Mungkin. Tetapi apakah seorang perempuan dan seorang anak-anak akan dapat berjalan sampai ke Singasari"
"Tentu dapat"
Berkaja Mahisa Bungalan.
Tetapi iapun tidak dapat ingkar, bahwa mungkin sekali mereka akan kelelahan.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun justru meraba kantong ikat pinggangnya.
Ia membawa beberapa bekal yang diberi oleh ayahnya, yang sewakla-waktu dapat dijualnya.Tetapi Mahisa Bungalan tidak mengatakannya, bahwa ia mempunyai beberapa bentuk cincin, beberapa butir permata dan logam mulia.
Hanya jika diperlukan sekali sajalah, ia akan memberikannya satu dua butir kepada orang tua itu untuk menambah, agar dapat membeli sebuah pedati dan dua ekor lembu untuk membawa anak perempuan dan cucunya pergi ke Singasari.
Dalam pada itu, Ki Wastu berkata "Angger Mahisa Bungalan.
Seandainya kita memaksa seorang perempuan dan anak-anak untuk berjalan ke Singasari, maka aku kira kita baru akan sampai dalam waktu yang terhitung akan lebih panjang daripada kita membawa sebuah pedati yang akan dapat berjalan terus, meskipun lambat.
Sudah tentu kita akan beristirahat disepanjang jalan.
Namun aku kira, perjalanan kita akan dapat lebih rancak"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
Tetapi ia belum mengatakan bahwa jika diperlukan, iapun akan dapat membantu menjual sesuatu yang masih ada padanya.
Jika benda-benda itu terpisah dari ikat pinggangnya dan ikut terbakar, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Namun dalam pada itu, Ki Wastupun ingat, bahwa ia harus pergi ke rumah Ki Buyut.
Ia akan mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa yang telah memusnahkan rumahnya, namun ia harus menjelaskan juga, bahwa ada empat sosok mayat yang terkapar di halaman.
"Tetapi, aku harus pergi ke rumah Ki Buyut, ngger"
Berkata Ki Wastu kemudian "apakah aku dapat mengatakan, bahwa kita akan meninggalkan padukuhan ini ke tempal yang belum pasti?"
Sebaliknya Ki Wastu mengatakan demikian, agar jejak kita tidak terlalu cepat diikuti.
Siapa tahu, bahwa beberapaorang akan datang dan memaksa Ki Buyut untuk mengatakan.
Jika Ki Buyut benar-benar tidak mengetahui, maka mereka tentu tidak akan dapat berbuat terlalu banyak terhadapnya"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Tetapi, apakah dengan demikian Ki Buyut tidak akan mengalami kesulitan?"
Bertanya Ki Wastu.
"Kita dapat mempertimbangkannya. Tetapi aku kira, bagi orang-orang itu akan dapat dilihat, apakah Ki Buyut berkata sebenarnya atau sekedar berpura-pura"
Ki Wastupun kemudian bersiap-siap untuk pergi. Tetapi ia masih juga berpesan "Angger Mahisa Bungalan. Jika sesuatu terjadi, biarlah anak itu memukul kentongan. Aku akan segera datang"
Mahisa Bungalan menyadari, bahwa orang tua itu tentu masih selalu dibayangi oleh kegelisahan. Karena itu maka Mabisa Bungalanpun berkata "Kek, untuk sementara kita akan aman. Meskipun demikian, aku akan selalu ingat pesan itu"
Demikianlah, maka kakek tua itupun kemudian minta diri kepada anak perempuannya untuk pergi sebentar ke rumah Ki Buyut.
"Aku takut ayah"
Desis ariak perempuannya.
Ki Wastu memandangi cucunya yang masih tidur nyenyak.
Kemudian katanya "Angger, Mahisa Bungalan ada di sini.
Meskipun demikian, jika terjadi, sesuatu, kau dapat memukul kentongan itu.
Aku akan mendengarnya dari rumah Ki Buyut"
Anak perempuannya itupun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "Tetapi jangan terlalu lama ayah""Aku hanya sebentar"
Jawab ayahnya "jika kemudian ruangan-ruangan ini menjadi gelap,nyalakan lampu yang ada"
"Dari mana aku mendapat api?"
Bertanya perempuan itu "Aku tidak berani minta kepada tetangga. Dan aku tidak berani ditinggalkan oleh Ki Sanak Mahisa Bungalan jika ayah belum datang"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya "Biarlah angger Mahisa Bungalan membuat api"
Sepeninggal Ki Wastu maka seperti yang dipesan oleh kakek tua itu, maka Mahisa Bungalanpun membuat api dengan batu thithikan.
Kemudian dinyalakannya seikat belarak kering yang didapatkannya di belakang.
Dengan api itu, maka iapun kemudian menyalakan lampu dan bahkan perapian untuk merebus air.
Dalam pada itu, Ki Wastupun telah diterima oleh Ki Buyut di pendapa rumahnya.
Tanpa orang lain, Ki Wastu menceriterakan sebagian dari keadaannya yang sebenarnya.
Tetapi ia masih belum menyinggung, bahwa laki-laki yang meninggalkan anak perempuannya itu adalah seorang Pangeran.
"Jadi laki-laki itu sampai hati untuk mengupah orang agar membunuh isterinya"
Bertanya Ki Buyut.
"Bukan laki-laki itu Ki Buyut. Tetapi keluarganya yang tidak mau kehilangan warisan"
Jawab Ki Wastu. Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya "Adalah perbuatan yang terkutuk"
"Karena itu, maka kami sudah memutuskan untuk menyingkir saja Ki Buyut. Agar tidak terjadi pembunuhan- pembunuhan lagi, alau pada suatu saat kamilah yang akan terbunuh"
Berkata Ki Wastu kemudian."Kalian akan menyingkir ke mana?"
Bertanya Ki Buyut.
"Itulah yang kami tidak tahu Ki Buyut. Mungkin kami akan menjelajahi daerah yang luas dan panjang, sehingga pada suatu saat kami menemukan daerah yang meyakinkan, tidak akan dicapai oleh orang-orang yang berniat buruk itu"
Ki Buyut mengangguk-angguk.
Tetapi nampak wajahnya dibayangi oleh iba di hatinya.
Bahkan seakan-akan kepada diri sendiri ia berkata "Nasib itu memang sulit untuk dihindari.
Kalian telah mengalami suatu kesulitan, yang sebenarnya bukan karena kesalahan yang pernah kalian lakukan"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam, ia memang dibayangi oleh masa depan yang sangat suram, seakan-akan segalanya yang akan dilakukan, tidak banyak bermanfaat baginya untuk menghindarkan diri dari orang-orang yang bermaksud buruk terhadap anak dan cucunya.
Kesediaan Mahisa Bungalan untuk membawa anak dan cucunya ke Singasari, agaknya memang memberikan harapan.
Tetapi jika bencana itu terjadi di sepanjang, maka sangat sulit baginya untuk melawannya.
Jika orang-orang itu kemudian mengirimkan orang- orangnya lagi.
maka jumlahnya akan tentu berlipat, dan diantara mereka tentu akan terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang semakin tinggi.
Tetapi keluarganya memang harus berbuat sesuatu.
Jika ia tidak berusaha sama sekali, maka bencana itu akan lebih cepat datang, tanpa harapan untuk dapat mengelak sama sekali.
Karena itu.
maka Ki Wastupun kemudian berkata "Ki Buyut.
Kami berniat untuk menjauhkan diri tanpa mengertitujuan sama sekali.
Tetapi dimana kami merasa bahwa kami dapat hidup tenang, maka kami akan tinggal di tempat itu untuk waktu yang tidak dapat direncanakan, mungkin kami harus berpindah tempat lagi, jika kami merasa, bahwa hidup kami akan mulai diusik oleh orang-orang yang berniat jahat terhadap keluarga kami itu"
"Jadi, kalian akan merantau tanpa tujuan?"
Beranya Ki Buyut.
"Begitulah agaknya Ki Buyut. Kami harus melakukan yang bukan pilihan kami. Tetapi kami tidak dapat mengelak lagi"
Berkata Ki Wastu.
"Sulit bagiku untuk membayangkan, apa yang akan terjadi atas seorang perempuan dan anak-anak. Apakah mereka harus berjalan menempuh teriknya matahari dan dinginnya embun malam disepanjang bulak-bulak panjang tanpa batas?"
Bertanya Ki Buyut.
"Apaboleh buat Ki Buyut"
Sahut Ki Wastu.
Namun Ki Wastupun kemudian mengatakan, bahwa dengan menjual sisa-sia barangnya yang melekat pada tubuhnya, ia ingin mendapatkan sebuah pedati.
Dengan pedati itu ia dan keluarganya akan menempuh perjalanan tanpa batas.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Buyut mengerutkan keningnya.
Sejenak ia termangu- mangu.
Namun kemudian katanya "Ki Wastu.
Meskipun kau bukan orang yang cikal bakal di pudukuhan ini, namun kau sudah kami anggap sebagai keluarga kami.
Kau sudah kami anggap sebagai orang tua yang pantas kami hormati.
Karena itu, Ki Wastu, jika kau memang memerlukan sebuah pedati, maka kau tidak perlu menjual sisa barang- barangmu yang masih melekat pada tubuhmu.
Biarlah, orang-orang padukuhan ini memberimu sebuah kenang- kenangan, bahwa kau pernah tinggal di padukuhan ini"
"Apakah maksud Ki Buyut?"
Bertanya Ki Wastu.Ki Buyut termangu-mangu sejenak.
Kemudian katanya "Biarlah kau tidak usah membeli pedati dengan menjual barang-barangmu.
Jika kau memerlukan pedati, pakailah pedatiku.
Pedati yang akan selalu mengingatkanmu kepada padukuhan ini, kepada penghuninya, tetapi juga kepada pengalaman pahit yang pernah terjadi"
Ki Wastu mengerutkan dahinya. Setapak ia bergeser. Dengan suara yang bergetar karena getar jantungnya ia berkata "Ki Buyut, apakah benar pendengaranku, betapa besar belas kasihan Ki Buyut terhadap keluarga kami"
"Sudah menjadi kewajiban kita Ki Wastu"
Sahut Ki Buyut "kita harus saling menolong. Agaknya hanya itulah yang dapat kami berikan. Padukuhan ini sudah tentu tidak akan dapat memberikan perlindungan kepada keluargamu. Kami sama sekali tidak memiliki kekuatan unluk melawan kekerasan"
Ki Wastu untuk sejenak bagaikan membeku. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Ki Buyut demikian baik hati, sehingga ia tidak perlu menjual apapun juga untuk mendapatkan sebuah pedati.
"Betapa besar rasa terima kasih kami sekeluarga Ki Buyut"
Suara Ki Wastu menjadi semakin bergetar "kami sekeluarga tidak akan melupakannya. Kami selalu mengenang padukuhan ini. Kami akan selalu mengenang Ki Buyut dan semua penghuninya"
"Besok pedati itu sudah siap Ki Wastu"
Berkata Ki Buyut "bukan maksudku agar kau cepat meninggalkan padukuhan ini, tetapi setiap saat, pedati itu sudah siap kau pergunakan bersama keluargamu"
"Terima kasih Ki Buyut. terima kasih. Aku akan segera membicarakannya dengan anak dan cucuku. Jugamembicarakannya dengan Mahisa Bungalan, anak muda yang telah ikut menyelamatkan keluargaku"
"Bukan saja sebuah pedati dengan dua ekor lembu. Tetapi aku akan dapat memberimu sekedar bekal bahan makan di perjalanan. Mungkin kau tidak segera mendapatkan tempat untuk sekedar tinggal beberapa saat. Mungkin kalian harus merantau untuk waktu yang tidak dapat dibatasi"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Suaranya masih bergetar ketika ia menjawab "Tidak ada kata-kata yang dapat aku ucapkan Ki Buyut Aku dan keluargaku telah berhutang budi kepada Ki Buyut, kepada padukuhan ini dan penghuninya"
"Tidak perlu kau bebani perasaanmu dengan anggapan seperti itu. Semuanya terserah kepadamu. Kapan kau akan berangkat, dan sampai kapan kau akan tinggal di banjar. Kaulah yang dapat menduga, apakah keadaan menjadi gawat atau masih dapat kau anggap tenang"
Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali.
maka Ki Wastupun kemudian minta diri.
Betapa baik sikap dan tanggapan Ki Buyut tentang keadaannya.
Dengan demikian, maka ketika ia sampai ke banjar, hampir tidak sabar lagi menunggu Mahisa Bungalan yang sedang berada di belakang berjalan mendapatkannya di pendapa banjar.
"Ternyata Ki buyut adalah orang yang sangat baik"
Berkata Ki Wastu yang kemudian menceriterakan apa yang disanggupkan oleh Ki Buyut bagi keluarganya.
"Sukurlah"
Berkata Mahisa Bungalan "jika keadaan berangsur baik dan tidak ada kecemasan lagi di dalam kehidupan kakek kelak, maka kakek tidak akan melupakan padukuhan ini""Tentu, tentu ngger. Aku tidak akan melupakannya"
Jawab Ki Wastu.
"Dengan demikian, apakah kakek berhasrat untuk segara meninggalkan tempat ini?"
Bertanya Mahisa bungalan.
"Aku kira begitu ngger. Semakin cepat semakin baik. Mungkin orang-orang yang bermaksud buruk itupun bekerja cepat, agar mereka tidak kehilangan kita. Terutama anak dan cucuku itu"
"Baiklah Ki Wastu Besok kita sudah bersiap, jika benar Ki Buyut akan memberikan pedati, maka demikian pedati itu ada, maka kita akan berangkat"
Berkata Mahisa Bungalan. Ki Wastu mengangguk-angguk. Lalu katanya "Aku akan berbicara dengan anak dan cucuku"
Ketika Ki Wastu kemudian masuk ke ruang di bagian belakang banjar itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian turun kehalaman dan berjalan-jalan hilir mudik.
Ketika malam menjadi semakin gelap maka di gardu di muka banjar itupun mulai terisi oleh beberapa orang anak muda yang meronda.
Mahisa Bungalan yang kemudian berada diantara anak- anak muda itupun mulai dihujani dengan berbagai macam pertanyaan tentang peristiwa yang telah terjadi.
Anak-anak muda itu tidak puas mendapat keterangan sekedarnya.
Teetapi mereka ingin mengetahui lebih banyak.
letapi Mahisa Bungalan tidak dapat menceriterakan Semuanya, la hanya menyatakan apa yang sebenarnya dapat dilihat oleh tetangga-tetangganya.
Agar ia tidak terlalu banyak mengalami kesulitan untuk menjawab, maka Mahisa Bungalanpun kemudian meninggalkan gardu itu dan masuk ke ruang dalam banjar.Sementara Ki Wastu sedang duduk terkantuk-kantuk di ruang dalam.
"Aku akan tidur sejenak, ngger"
Berkata Ki Wastu.
"Tidurlah kek. Aku akan berada di serambi belakang. Kita akan mendapat kesempatan untuk tidur bergantian"
"Aku akan tidur lebih dahulu"
Berkata kakek tua itu.
Ketika Mahisa Bungalan turun ke serambi belakang dan duduk di dalam gelap, maka Ki Wastupun membaringan dirinya pada sebuah kayu yang rendah di depan pintu bilik anak perempuan dan cucunya, seolah-olah ia sama sebali tidak mau melepaskan pengawasannya atas pintu itu.
Namun sejenak kemudran Ki Wastu itupun telah tertidur.
Dalam pada itu.
ibu dan anak laki-laki yang berada di dalam bilik itupun menjadi gelisah.
Anak laki-laki itu merasa perutnya menjadi lapar.
Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat merengek minta makan.
Yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar mereguk air dan beberapa potong gula kelapa yang didapatkannya dari seorang tetangga yang baik.
"Besok kakek akan ke sawah"
Ibunya menghibur, bukankah kita masih mempunyai beberapa batang pohon ketela?"
Anak laki-lakinya yang sedang terbangun itupun mengangguk.
Namun ia tidak dapat menyembunyikan bunyi perutnya yang lapar.
Menjelang pagi, Ki Wastu sudah terbangun, iapun kemudian pergi ke serambi belakang dan mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat."Akupun duduk terkantuk-kantuk disini"
Berkata Mahisa bungalan "aku juga tertidur meskipun hanya sekejap- sekejap"
"Sekarang tidurlah sampai pagi. Aku akan duduk disini"
Mahisa Bungalan tidak menjawab.
Tetapi ia tidak pergi ke ruang dalam.
Betapapun dinginnya malam menjelang pagi, namun Mahisa Bungalan telah berbaring di sebuah amben bambu di serambi.
Sejenak kemudian Mahisa Bungalanpun sempat tidur meskipun tidak terlalu lama, karena fajarpun kemudian mulai menyingsing.
Malam itu telah dilampaui dengan tanpa terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki.
Menjelang pagi, anak-anak muda yang berada di gardupun telah pulang ke rumah masing- masing.
Namun bagi Mahisa Bungalan, anak-anak muda itu justru mencemaskannya.
Jika orang-orang yang berusaha membunuh ibu dan anak itu benari datang menyusul di malam itu maka anak-anak muda yang tidak tahu menahu itu akan mengalami kesulitan.
Mungkin tanpa mereka sadari, mereka mencoba untuk melawan.
Namun dengan demikian, maka akibatnya akan sangat gawat bagi mereka.
Ternyata bahwa datangnya pagi telah membual Mahisa Bungalan justru agak tenang.
Di siang hari segalanya menjadi semakin jelas dan pasti.
Namun, yang bergejolak di dalam hatinya juga sebuah pengharapan agar pedati itu benar-benar datang.
Dengan demikian, mereka akan semakin cepat meninggalkan tempal itu.
Tempat yang mungkin masih akan dikunjungi oleh orang-orang yang tidak dikehendakinya.Ternyata seperti yang dikatakan, bahwa menjelang matahari naik sepenggalah, maka Ki Buyut sendiri telah dalang kebanjar membawa sebuah pedati diikuli oleh beberapa orang pamong.
Dengan hati tergetar Ki Wastu menerima pedati itu.
Berpuluh kali ia mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Ki Buyut.
Ki Buyut dan para pamongpun mengerti, betapa perasaan terimakasih itu benar-benar melonjak dari dasar hati Ki Wastu.
Bukan sekedar sikap lahiriahnya saja.
Dengan tangan gemetar Ki Wastu meraba pedati itu hampir pada setiap bagiannya.
Kemudian dua ekor lembu yang besar dan kuat.
"Luar biasa"
Desis Ki Wastu.
"Nah Ki Wastu. Kami sudah memberikan sesuatu yang barangkali bermanfaat bagi Ki Wastu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku mempersilahkan Ki Wastu segera meninggalkan tempat ini. Kami masih akan dengan senang hati menerima Ki Wastu tinggal bersama kami di padukuhan ini, tetapi kamipun tahu keadaan Ki Wiastu yang sulit itu"
Berkata Ki Buyut kemudian. Lalu "Karena itu, terserahlah kepada Ki Wastu. Dan akupun tidak akan bertanya dan tidak akan berusaha mengerti, ke mana Ki Wastu akan pergi, karena pengertianku tentang tujuan Ki Wastu, akan dapat berbahaya bagi Ki Wastu"
Wajah Ki Wastu menegang.
Seolah-olah Ki Buyut itu mengerti apa yang pernah dipikirkannya.
Karena itu, dengan ragu-ragu ia berkata "Kami percaya sepenuhnya kepada Ki Buyut.
Tetapi sebenarnyalah kami tidak tahu, kemana kami akan pergi"Ki Buyut tersenyum.
Katanya "Baiklah.
Di dalam pedati itu terdapat beberapa onggok bekal yang dapat kalian pergunakan di sepanjang jalan"
Terima kasih yang tidak terhingga masih saja selalu diucapkan oleh Ki Wastu.
Dan sekali-kali Mahisa Bungalan juga menyatakannya.
Sejenak kemudian, maka Ki Buyutpun minta diri meninggalkan banjar itu.
Di regol ia berpesan "Ki Wastu.
Kapan saja Ki Wastu akan berangkat, aku harap Ki Wastu sudi memberitahukan kepadaku"
"Baiklah Ki Buyut. Kami akan singgah di rumah Ki Buyut. Kami akan minta diri. dan kami tidak akan pernah melupakan kebaikan hati ini"
Sahut Wastu.
Sepeninggal Ki Buyut, maka Ki Wastupun mulai berbicara bersungguh-sungguh dengan keluarganya dan Mahisa Bungalan.
Mereka menganggap bahwa semakin cepat meninggalkan tempat itu, akan semakin baik.
Setiap saat, kawan-kawan dari keempat orang itu akan dapat datang, karena berita kematian mereka tentu sudah tersebar dari mulul ke mulut, dari pasar ke pasar dan dari padukuhan ke padukuhan.
"Malam nanti kita berangkat"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Kenapa malam?"
Bertanya Ki Wastu.
"Tidak banyak orang yang mengetahui kepergian kita"
"Aku berjanji untuk singgah di rumah Ki Buyut"
"Senja kita pergi ke rumah Ki Buyut dengan pedati ini. Selanjutnya kita tinggulkan daerah ini menuju ke Singasari"
Berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Ki Buyut mengangguk-angguk.
Iapun ternyata sependapat dengan Mahisa Bungalan.
Sementara anak dancucunya tidak dapat memberikan pendapat lain karena moreka merasa hidup mereka hanya sekedar terganlung kepada Ki Wastu dan Mahisa Bungalan.
Demikian, maka merekapun segera bersiap-siap.
Tetapi karena tidak ada lagi yang dapat mereka persiapkan, maka mereka segera selesai.
Pedati itu sudah siap untuk berangkat.
Di dalamnya telah tersimpan seonggok bahan makanan yang dapat mereka pergunakan beberapa saat di perjalanan menjelang tempal baru yang masih akan mereka cari.
Menunggu senja, Ki Wastu masih sempat mencari rumput di pinggir parit, di ujung padukuhan.
Lembu yang akan membawa mereka itupun tidak boleh lapar.
Di perjalanan, mereka akan dapat mencari rumput untuk makanan lembu-lembu itu tanpa takut kekurangan.
Demikianlah, ketika matahari telah turun, pedati dan keluarga Ki Wastupun telah bersiap-siap.
Mereka sempal minta diri kepada satu dua orang tetangga.
Namun Ki Wastu sama sekali tidak pernah menyebut arah perjalanan mereka.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Wastu selalu berkata bahwa ia menuju ke tempat yang sama sekali tidak diketahui.
Ketika senja datang, maka Ki Wastupun segera berangkat meninggalkan banjar menuju ke rumah Ki Buyut.
Sekali lagi Ki Wastu minta diri.
Dengan iba hati, Nyai Buyutpun telah memberikan bekal pakaian kepada anak perempuan Ki Wastu.
Sebagai seorang perempuan, Nyai Buyut mengetahui, bahwa anak perempuan Ki Wastu itu tidak akan dapat memakai pakaian gantung kepuh seperti seorang laki-laki.
Ketika gelap mulai turun, dengan berat hati Ki Wastu berangkat meninggalkan padukuhan yang untuk beberapa saat lamanya telah memberikan tempat tinggal baginya.Namun akhirnya ia harus meninggalkan padukuhan itu, karena tingkah beberapa orang yang tidak mengenal peri- kemanusiaan.
Ketika mereka meninggalkan gerbang padukuhan, cucu Ki Wastu itu masih sempat menjengukkan kepalanya.
Dengan nada ragu ia bertanya kepada ibunya "Kita akan pergi ke mana ibu?"
Ibunya membelai kepala anak laki-lakinya sambil menjawab "Kita akan mengikuti kakek dan pamanmu Mahisa Bungalan ngger. Kita akan pergi ke tempat yang belum pernah kita lihat"
Anak itu memandang ibunya dengan wajah yang tegang.
Namun ia tidak bertanya lagi.
Iapun menyadari bahwa mereka sedang mencari tempat untuk mencari ketenangan.
Demikianlah maka pedati itupun berjalan dengan lambannya menempuh jalan-jalan padukuhan.
Kemudian lewat gerbang di ujung lorong, dan turun ke jalan di tengah bulak panjang.
Tidak banyak orang yang menghiraukan.
Karena pedati memang berjalan di malam hari membawa hasil sawah untuk dijual di pasar yang agak jauh, karena pemiliknya memerlukan barang lain yang akan didapatkannya di pasar itu pula.
Dengan demikian, maka perjalanan pedati itupun sama sekali tidak mendapat hambatan apapun juga.
Semakin lama menjadi semakin jauh dari padukuhan yang telah menjadi tempat tinggal Ki Wastu untuk beberapa lamanya.
"Jika kau telah dan mengantuk, tidurlah"
Berkata Ki kastu kepada anak dan cucunya. Tetapi rasa-rasanya mereka selalu diguncang oleh roda- roda pedati yang melintasi di sepanjang jalan. Karena itu,maka anak perempuannya itupun menjawab "Aku belum mengantuk ayah"
Namun kemudian sambil membelai rambul di anak laki-lakinya ia berkata "Tidurlah. Seolah- olah kau berada di dalam ayunan"
Anak itu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya kakeknya dan Mahisa Bungalan duduk di bagian depan. Ki Wastu memegang kendali lembu yang berjalan seenaknya di gelapnya malam yang menjadi emakin pekat.
"Perjalanan kita akan cukup panjang"
Berkata Ki Wastu kepada anak perempuannya "mudah-mudahan kau dan anakmu tidak jemu berada di dalam pedati ini hampir siang dan malam"
"Apakah pedati ini tidak akan pernah berhenti?"
Tiba-tiba aja cucunya yang sudah mulai menguap bertanya.
"Tentu. Pedati ini akan berhenti setiap kali. Lembu- lembu itu tentu juga mengenal lelah. Ibumu akan merebus ubi kayu atau ubi rambat yang kita bawa. Mungkin jika sempat juga menanak nasi. Sementara lembu itu beristirahat dan makan rumput, kau mendapat kesempatan untuk makan nasi. Mungkin kita berhenti di dekat sebatang sungai. Kita akan turun ke sungai, mandi dan mencari ikan"
Anak itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. la mulai membayangkan perjalanan yang panjang dan lama. Namun tiba-tiva ia tersenyum sendiri sambil berkata "Perjalanan yang menyenangkan sekali"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam.
Diluar sadarnya disentuhnya senjatanya yang diletakkan di bawah tikar yang terbentang di dalam pedati itu, di atasi dengan damen kering, sehingga menjadi lunak.
Di sebelahnya teraba juga tangkai tombak pendek Mahisa Bungalan.Tetapi Ki Wastu merasa agak tenang, bahwa ia tidak perlu menjual barangnya yang tersisa dan melekat di tubuhnya untuk membeli sebuah pedati, karena pedati itu telah didapatkannya dari Ki Buyut.
Dengan demikian barang-barang itu akan menjadi bekal yang setiap saat dapat saja dijual untuk hidup mereka.
Demikianlah perjalanan itu telah dimulai.
Di malam yang kelam, mereka melihat bintang gemerlapan di langit.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka anak perempuan Ki Wastu itupun membaringkan dirinya di bagian belakang dari pedati itu, sementara Ki Wastupun berbaring pula di bagian depan menyilang.
Meskipun mereka harus berbaring melingkar, namun pada suatu saat, mata merekapun terpejam juga, sementara cucu Ki Wastu telah tertidur nyenyak.
Mahisa Bungalanlah yang kemudian memegang kendali dua ekor lembu yang berjalan lamban sekali.
Sekilas dipandanginya jalan yang tidak nampak ujungnya, yang seolah-olah menghunjam ke dalam gelap tidak berbatas.
Jika ia mengangkat kapalanya, maka dilihatnya bintang- bintang berhamburan di langit.
Rasa-rasanya menjadi ngelangut dan sepi.
Tetapi pengalaman- pengalaman semacam itulah yang memang diinginkannya dalam perantauannya.
Ia melihat kehidupan dari berbagai segi.
Ia melihat warna-warna jiwa beberapa orang yang berbeda, bahkan saling bertentangan.
Mahisa Bungalan duduk sambil berselimut kain panjangnya.
Kakinya yang sebelah tergantung di belakang lembunya, sedang yang lainnya ditekuknya pada lututnya di atas pedati yang berguncang-guncang itu.
"Mudah-mudahan orang-orang itu tidak segera menyusul"
Tiba-tiba saja ia berdesis ketika ia mulaimembayangan niat buruk terhadap anak perempuan dan cucu Ki Wastu itu.
Dalam pada itu, berita tentang kematian empat orang berada di halaman rumah Ki Wastu itu sudah tersebar.
Dari mulut ke mulut berita itu menjalar sampai ke tempat yang jauh.
Akhirnya, seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan dan Ki Wastu, berita kematian empat orang itupun sampai ke telinga kawan-kawan mereka yang terbunuh itu.
"Tetapi apakah benar mereka berempat"
Desis salah seorang dari kawannya yang ragu-ragu atas berita itu.
"Mungkin sekali. Seorang laki-laki muda berhasil membunuh enam orang di hutan itu. Apalagi menurut pendengaranku, mereka bartempur berdua. Yang seorang sudah tua. Tetapi ternyata bahwa masing-masing dari mereka mampu membunuh empat orang, meskipun salah seorang dari keempat orang itu berhasil membakar rumahnya. Namun seorang perempuan dan seorang anak laki-laki telah diselamatkan"
"Gila"
Yang lain menggeram "dimana mereka sekarang tinggal setelah rumah itu terbakar"
Mereka tentu tinggal di salah seorang keluarga, atau mungkin di rumah Ki Buyut atau banjar padukuhan"
Ternyata berita kematian keempat arang itu telah embuat kawan-kawan mereka menjadi sangat marah.
Bukan saja karena usaha keempat orang itu untuk membunuh perempuan dan anak laki-lakinya itu gagal, tetapi kematian itu benar-benar telah menyinggung harga diri mereka.
Karena itu, maka salah seorang diantara mereka yang tidak sabar lagi berkata "Aku akan pergi ke padukuhan itu.Aku akan mencarinya sampai aku mendapatkan mereka, Aku akan membunuh mereka di halaman banjar, atau di rumah Ki Buyut, agar setiap orang mengetahui bahwa kita tidak akan dapat dihalangi oleh siapapun juga"
"Apa yang akan kau lakukan?"
Bertanya kawan-kawan.
"Aku akan pergi mencari mereka, kau dengar?"
"Dan menyerahkan lehermu?"
Sahut seorang kawannya yang lain.
"Gila. Kau telah menghina aku"
Jawabnya.
"Kau memang tidak mempunyai otak. Kau dengar, empat orang telah mati. Mereka adalah orang-orang terbaik diantara kita. Nah, apakah kita masih meragukan bahwa perempuan itu mempunyai pengawal yang kuat, yang telah membunuh enam orang pula di hutan itu?"
"Pengecut. Kau takut?"
"Bukan takut. Tetapi otakku masih waras. Masih dapat membuat pertimbangan-pertimbangan dengan jernih"
Kawannya yang marah itupun menarik nafas dalam- dalam.
Iapun mengerti, bahwa tentu ada orang yang memiliki kemampuan luar biasa.
Menurut pendengaran mereka keempat orang itu terbunuh oleh dua orang keluarga perempuan itu.
Seorang anak muda dan seorang yang sudah tua itu masih memiliki kemampuan yang luar biasa.
Dalam kebimbangan itu, salah seorang dari mereki berkata "Kita akan menyampaikannya kepada Ki Wangut yang sedang berada di Kediri, la akan mengambil sikap.
Dan kita akan menjalankan perintahnya.
Persoalannya memang sudah berkembang.
Bukan saja karena kita akan mendapatkan upah yang besar.
Tetapi harga diri kita tidakboleh dikorbankan.
Kematian demi kematian.
Jika hal ini tidak diakhiri, maka kita semuanya akan tumpas sampai habis"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
Agaknya mereka sependapat.
Karena pimpinan mereka adalah Ki Wangut yang berada di Kediri, mengamati istana Pangeran Kuda Padmadata, maka salah seorang dari mereka akan mencarinya untuk menyampaikan laporan itu.
Akhirnya merekapun memutuskan, mengirimkan dua orang pergi ke Kediri.
Dua orang yang sudah mengenal berapa segi dari istana Pangeran Kuda Padmadata.
Berita kematian empat orang itu, membuat darah Ki Wangut bagaikan mendidih, ia sama sekali tidak menduga, bahwa keempat orangnya yang terbaik itu akan terbunuh.
Apalagi justru saat mereka sudah menemukan perempuan dan anaknya itu.
"Iblis itu benar-benar harus dimusnahkan"
Geram Ki Wangut "aku sendiri akan mencarinya"
Dengan demikian, maka Ki Wangutpun kemudian meninggalkan Kediri.
Pengamatannya terhadap istana Pangeran Kuda Padmadata telah diserahkan kepada salah seorang pengikutnya yang berada di Kediri, didampingi oleh dua orang lain yang tinggal di rumahnya pula.
Mereka harus mengawasi, jika ada orang yang tidak dikenal menghadap Pangeran Kuda Padmadata.
Salah seorang abdi di dalam istana itu telah dihubungi, dan akan dapat menjadi penunjuk apa yang telah terjadi di istana itu.
Sementara itu Ki Wangutpun segera kembali ke padukuhannya.
Dengan tergesa-gesa ia mengumpulkan pengikut-pengikutnya untuk menentukan apakah yang sebaiknya dilakukan."Aku sendiri akan mencarinya"
Berkata Ki Wangut "tetapi aku tidak akan menjadi dungu dan kehilangan akal.
Aku akan membawa beberapa orang terbaik diantara kita.
Kita sudah dapat menjajagi kemampuan para pelindungnya, empat orang kita telah terbunuh.
Karena itu, kita harus membawa kekuatan yang menyakinkan"
"Sepuluh orang"
Desis salah seorang dari mereka.
"Gila"
Sahut Ki Wangut "aku akan berangkat dengan empat orang saja"
"Apakah Ki Wangut tidak akan mengalami nasib serupa?"
"Kau sangka aku tidak lebih dari kelinci-kelinci yang terbunuh itu?"
Tidak seorangpun yang menjawab. Mereka percaya, ahwa Ki Wangut memiliki kemampuan yang sulit dijajagi. Bahkan ia memiliki beberapa jenis ilmu melampaui kemampuan seorang perwira prajurit Kediri.
"Meskipun demikian"
Berkata Ki Wangut "aku akan mengajak kakak seperguruanku, la memiliki kemampu ilmu melampaui kemampuanku. Bahkan dengan demikian, kekuatan kami sudah meyakinkan. Aku, kakak seperguruanku dan dua orang lagi diantara kalian yang terbaik"
"Meyakinkan sekali"
Desis salah seorang dan mereka aku akan ikut serta. Aku ingin melihat pembalasan itu terjadi. Alangkah senangnya, jika akupun mendapat kesempatan menusukkan senjataku ke lambung orang itu"
"Gila"
Geram Ki Wangut "kau akan mengambil keuntungan saja dari peristiwa ini.
Aku akan pergi bersama kakak seperguruanku.
Yang lain akan aku tentukan kemudian.
Yang harus aku lakukan segera adalah pergi kepadepokan kakak seperguruanku.
Aku tidak mau ketinggalan lerlalu jauh.
jika perempuan serta para pelindungnya itu menyingkir, aku akan sempat menemukan jejaknya"
Ternyata Ki Wangut tidak membuang waktu lagi.
Setelah ia mempersiapkan segala sesuatunya, maka iapun segera meninggalkan padepokannya.
Ia tidak mau mengalami kesulitan lagi dengan buruannya.
Karena itu, ia telah berusaha menghubungi orang terbaik yang pernah dikenalnya dan yang mungkin akan dapat diajaknya kerja bersama.
Dengan tergesa-gesa.
dan seolah-olah hampir tidak beristirahat sama sekali, Ki Wangut telah berpacu sebuah padukuhan yang terpencil, di kaki sebuah bukit kecil yang tidak banyak diketahui orang.
Sehari penuh Ki Wangut berada di perjalanan.
Bahkan ia masih meneruskan perjulanannya ketika gelap malam turun.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali-kali ia memberi kesempatan kudanya untuk beristirahat.
Namun sejenak kemudian ia telah berjalan lagi, diikuti oleh seorang pengiringnya.
Kedatangannya di padepokan terpencil yang disebut padepokan Wara Amba itu telah mengejutkan para penghuninya.
Seorang yang sudah mulai menginjak setengah baya mendapat laporan dari seorang cantriknya, bahwa seseorang telah mencarinya.
"Siapa?"
Bertanya orang itu.
"Namanya Ki Wangut"
Jawab cantrik itu.
"Anak setan"
Geramnya "suruh ia kemari"
Diantar oleh cantrik itu, maka Ki Wangut telah menghadap kakak seperguruannya, kedatangannya ternyata telah mendapat sambutan yang menggembirakan.
Karenamereka sudah lama tidak bertemu, maka pertemuan itu mampaknya merupakan pertemuan yang akrab sekali.
"Mari, masuklah anak setan"
Berkata orang yang sudah separo baya itu "kau masih awet muda. Atau akulah yang cepat menjadi tua"
"Kakang Tunda Warapun nampaknya awet muda"
Sahut Ki Wangut. Saudara seperguruannya itu tertawa. Katanya "Marilah. Matamu masih tetap liar"
Ki Wangutpun segera masuk ke ruang dalam rumah Tunda Wara.
Sejenak mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing selama mereka tidak bertemu.
Sekarang kau mandi.
Kemudian kau akan kami jamu makan.
meskipun sudah dingin.
Kau tentu mempunyai keperluan khusus.
Biarlah besok pagi saja kau berbicara"
Ki Wangut tidak membantah.
Iapun kemudian pergi ke pakiwan.
Setelah makan, meskipun nasi telah dingin, namun memberikan kesegaran di tubuhnya, maka iapun dipersilahkan beristirahat di dalam bilik di gandok.
Tetapi Ki Wangut tidak segera dapat tidur, ia telah digelisahkan oleg tugasnya yang ternyata dapat dicerai-beraikan oleh seorang yang tidak dikenalnya, tetapi ia tidak dapat memaksa kakak seperguruannya untuk mendengarkan keadaannya itu.
Karena itu, betapapun gelisahnya, ia harus menunggu sampai hari berikutnya.
Oleh kelelahan, maka akhirnya Ki Wangutpun tertidur pula.
Namun, Ki Wangut ternyata terbangun selagi langit masih buram.
Meskipun udara terasa dingin, namun ia telah pergi ke pakiwan dan membenahi pakainnya, seolah- olah ia tidak sabar lagi untuk bertemu dan berbicara dengan kakak seperguruannya tentang kewajiban yang baruembannya, tetapi sebagian terbesar dari yang sudah dilakukannya adalah kegagalan.
Betapa gelisahnya menunggu.
Namun akhirnya, ia telah mendapat kesempatan untuk duduk bersama kakak perguruannya di pendapa padepokan terpencil itu.
"Jika tidak ada keperluan penting, kau sudah melupakan aku"
Berkata Ki Tunda Wara.
"Tentu tidak kakang. Tetapi sebagaimana kau ketahui, aku adalah seorang yang sibuk dengan kerja-kerja yang tidak berarti, sehingga karena itu, aku telah kehabisan waktu"
"Dan sekarang, katakan, apakah keperluanmu? Apakah kau kehabisan pengikut? Karena itu, maka kau hanya membawa seorang saja dalam perjalanan yang jauh ini"
"Tidak kakang. Aku masih mempunyai cukup pengaruh terhadap orang-orangku. Aku sengaja hanya membawa satu orang bersamaku sekarang agar tidak menarik perhatian orang"
"Baiklah. Katakan apa keperluanmu datang kemari"
Ki Wangutpun menjadi ragu-ragu. la sengaja tidak mengajak pengikutnya dalam pembicaraan itu, meskipun pengikutnya itu sudah mengetahui segala-galanya.
"Kakang"
Berkata Ki Wangut "aku mengalami kesulitan dengan tugas yang sekarang dibebankan kepadaku"
"Kau selalu mengalami kesulitan dengan pekerjaanmu. He, apakah kau masih juga menjual tenaga dan nyawa orang untuk mendapatkan makan dan minum?"
"Ah"
Desah Ki Wangut sambil beringsut "tentu bukan sekedar untuk makan dan minum kakang.
Aku cukup mempunyai sawah dan ladang di sekitar padepokan""Ya, aku tahu.
Tetapi bukankah kau masih saja mengandalkan kemampuanmu? Tidak jauh bedanya dengan merampok dan menyamun"
Ki Wangut menjadi berdebar-debar.
Tetapi iapun kemudian mengatakan apa yang telah terjadi atasnya.
Telah sepuluh orang pengikutnya terbunuh.
Katanya kemudian "Aku tidak ingin orang-orangku benar-benar akan habis kakang.
Karena itu, aku datang untuk mohon pertolonganmu"
Ki Tunda Warapun tertawa. Katanya "Kau akan mengajak aku memburu perempuan dan anaknya itu?"
Ki Wangut termangu-mangu sejenak.
Ia menjadi ragu- ragu melihat sikap kakak seperguruannya itu.
Namun akhirnya dikatakannya juga akal yang sudah lama tersimpan di dalam dadanya.
Bahkan sejak ia berangkat dari padepokannya, ia sudah berniat untuk membujuk kakak seperguruannya dengan cara yang khusus, yang sesuai dengan sifat-sifat orang itu seperti yang dikenalnya dahulu.
"Kakang"
Berkata Ki Wangut kemudian "mungkin kakang tidak tertarik kepada hadiah yang akan kami terima, meskipun jumlahnya adalah sebanyak bilangan yang belum pernah aku kenal sebelumnya.
Tetapi barangkali yang lebih menarik bagi kakang adalah, bahwa perempuan itu cantik sekali.
Jika tidak, ia tidak akan diambil menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata, dan menguasainya untuk beberapa lama"
"He?"
Ki Tunda mengerutkan keningnya.
Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata "Anak iblis.
Kau membujukku dengan cara licik itu he? Kau tahu bahwa aku mempunyai kumpulan perempuan-perempuan cantik dariseluruh sudut negeri ini.
Sekarang kau menawarkan untuk menambah dengan seorang lagi ya?"
Ki Wangut tertawa.
Katanya "Mungkin kakang akan tertarik Tetapi upah itu sendiri benar-benar telah menumbuhkan seleraku untuk melakukan pekerjaan itu, meskipun harus mengorbankan beberapa orang-orangku.
Tetapi aku kira, sepuluh orang itu sudah terlalu banyak, sehingga jika kakang bersedia, maka tentu tidak akan ada lagi di antara kita yang terbunuh, sementara kakang akan mendapat tambahan seorang perempuan cantik, tetapi anak laki-lakinya harus kita musnahkan"
"Ah, aku sudah menjadi semakin tua Wangut. Apakah masih pantas aku lakukan, memburu perempuan- perempuan cantik seperti itu?"
"Tentu masih kakang. Pantas atau tidak pantas, bukannya satu hal yang pantas dipertimbangkan. Satu- satunya yang harus kakang perhitungkan adalah, apakah kakang masih memerlukan atau tidak"
Ki Tunda Wara tertawa. Katanya "Sayang, bahwa untuk mendapatkan perempuan-perempuan cantik, masih banyak jalan yang dapat ditempuh. Jauh lebih mudah dari jalan yang kau tawarkan itu"
Ki Wangut mengerutkan keningnya.
Ia mulai gelisah Tetapi ia berkata "Ada dua keuntungan kakang.
Perempuan cantik dan sekaligus harta benda yang tidak terniiai harganya.
Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran yang kaya raya.
Yang memiliki keping-keping emas tak terbilang jumlahnya.
Yang memiliki permata sebanyak bintang yang bertaburan di langit"
Ki Tunda Wara tertawa semakin keras. Katanya "Kau masih suka berbohong sejak mudamu. Tetapi kebohongan yang tidak tanggung-tanggung kadang-kadangmenyebabkan orang lain semakin tertarik juga. Dan kebohonganmu kali ini memang sangat menarik"
"Aku tidak berbohong kakang. Aku mengatakan yang sebenarnya. Perempuan itu sangat cantik, dan uang itu sangat banyak. Mungkin aku tidak akan mampu menyimpannya sendiri meskipun sudah aku bagi-bagikan dengan orang-orangku. Apalagi untuk menyimpan perempuan itu. Jika aku-sendiri yang mendapatkannya, maka selain anak laki-laki itu, maka perempuan itupun tentu akan aku bunuh"
"Kenapa tidak kau lakukan saja? Jika kau menemukan perempuan itu dan anaknya, Kepung mereka dengan duapuluh lima orang. Meskipun tanpa aku, maka dengan duapuluh lima orang, kau tentu akan berhasil"
"Membunuh perempuan itu?"
Bertanya Ki Wangut.
"Ya"
Jawab Ki Tunda Wara. Ki Wangut menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jadi kakang sudah menghentikan kegamaran kakang?"
"Lihatlah di bagian belakang dari padepokan ini. Aku mempunyai tiga buah barak yang penuh dengan perempuan cantik. Ada yang bagi kepentinganku sendiri, ada pula yang aku berikan kepada pengikut-pengikutku yang paling setia"
"Dan mereka kerasan tinggal disini?"
Suara tertawa Ki Tunda Wara meledak.
Katanya "Anak setan yang dungu.
Kenapa kau bertanya, kerasan atau tidak? Jika seorang dari mereka berani melarikan diri.
maka ia tentu akan tertangkap, sebelum ia berhasil melampaui dinding luar padepokan ini.
Dan setiap orang di padepokan ini mengetahui akibat dari perbuatan yang demikian"
"Apa akibatnya?"Ki Tunda Wara tertawa berkepanjangan.
"Jadi kakang sudah tidak tertarik lagi kepada seorang perempuan muda yang cantik, meskipun ia sudah mempunyai seorang anak? Jika tidak, aku akan mempergunakan saran kakang. Aku akan membawa duapuluh lima pengikut dan mengepung perempuan itu. aku akan memberikan perintah kepada orang-orangku untuk membunuh perempuan cantik itu bersama anaknya"
Ki Wangut berhenti sejenak, lalu "tetapi bagaimana jika sekali lagi aku mohon pertolongan kakang.
Pengawal perempuan itu benar-benar seorang yang luar biasa.
Aku akan melawan salah seorang dari mereka, dan kakang yang seorang, sementara aku akan membawa dua orang kepercayaanku, sekedar untuk menyakinkan.
bahwa perempuan dan anak laki-lakinya harus mati"
Ki Tunda Wara menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia berkata Ketahuilah anak iblis. Jika aku pergi bukannya karena aku memerlukan uang atau perempuan. Tetapi karena kau merengek minta aku membantumu"
Ki Wangut termangu-mangu sejenak, ia mulai berharap- harap cemas.
Untuk beberapa saat Ki Wangut menunggu.
Sekilas ia memandang wajah saudara seperguruan itu.
Hatinya menjadi berdebar-debar ketika Ki Tunda Wara berkata "Aku akan membantumu.
Tetapi aku yakin, bahwa rencana ini tidak boleh gagal.
Karena itu, aku akan membawa yang palingbaik.
Selebihnya, kaupun harus membawa orang- orangmu yang terbaik agar kegagalan itu tidak terulang lagi"
"Terima kasih kakang"
Sahut Ki Wangut dengan serta merta "aku akan membawa pengikutku. Tidak hanya satu atau dua orang. Tetapi berapa saja kau butuhkan."Orang-orang yang terbaik. Yang penting bukan jumlahnya, tetapi apakah mereka mampu bertempur atau tidak"
Jawab Ki Tunda Wara.
"Semula aku ingin membawa dua orang saja. Berempat dengan aku dan kakang. Tetapi jika kakang mempunyai pertimbangan lain, maka akupun akan menuruti nasehat itu"
"Kau memang sombong. Kau anggap dirimu mumpuni. Karena itu kau hanya akan pergi berempat saja"
Jawab Ki Tunda Wara "tetapi menurut partimbanganku, itu tidak cukup.
Kedua orang pengawal itu mampu membunuh empat orang-orangmu yang terbaik.
Karena itu, maka kita harus datang lebih empat orang.
Bukan berarti bahwa kemampuanmu dan kemampuanku tidak lebih baik dari keempat orang-orangmu itu, tetapi kemungkinan lain dapat saja terjadi.
Setelah kegagalan itu, maka mereka mengundang beberapa orang lain untuk bersama-sama menjadi pelindung perempuan itu dengan janji bahwa mereka akan mendapat upah yang banyak jika parempuan itu berhasil bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata"
Ki Wangut mengangguk-angguk. Katanya "Aku sependapat kakang. Jika kakang membawa dua orang terbaik dari padepokan ini. aku akan mambawa lebih dari dua orang"
Ki Tunda Wara merenung sejenak. Lalu katanya "Kapan menurut pertimbanganmu, sebaiknya kita berangkat"
"Secapatnya kakang. Mungkin orang-orang yang kita buru itu sudah meninggalkan padukuhannya. Kita harus mencarinya ke mana mereka pergi"
"Besok pagi-pagi kita akan berangkat. Aku akan menyiapkan segalanya yang perlu. Hari ini aku akan mengumpulkan orang-orang terpenting dari padepokan ini,agar mereka tinggal di rumah dan menjaganya dengan baik selama aku pergi mengikutimu tanpa batas waklu. Mungkin sepekan, mungkin sebulan. Tetapi mungkin kita tdak akan pernah ketemu dengan orang yang kau cari itu, sampai saatnya mereka menghadap Pangeran Kuda Padmadata. Justru Pangeran itulah yang memerintahkan pengawal- pengawalnya untuk memburu kita karena kita sudah berusaha membunuh isteri dan anaknya. Sehingga dengan demikian, maka yang terjadi kemudian adalah sebaliknya dari yang terjadi sekarang. Kitalah yang akan menjadi buruan"
"Ah, mustahil"
Jawab Ki Wangut "apakah kita tidak akan berhasil mencari perempuan dan anaknya itu?"
"Mungkin sakali terjadi demikian. Kita bukan Tuhan yang dapat melihat seluruh isi dunia ini sehingga kita dapat melakukan apa saja"
Ki Wangut mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian "Kita akan berusaha kakang. Kita akan mencarinya sampai ketemu"
"Tentu kau akan berkata begitu. Tetapi tidak dengan aku. Jika aku sudah jemu berburu, maka aku akan kembali ke padepokan ini kapan saja aku ingin"
Ki Wangut menarik nafas panjang. Namun ia harus menjawab "Baiklah kakang. Tetapi biarlah kita mencobanya"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah aku katakan, besok kita akan berangkat. Hari ini aku akun mengemasi padepokanku sebelum aku pergi"
Ki Wangut tidak dapat memaksa.
Iapun harus menunggu sehari dan semalam lagi.
Namun demikian, ia mulai berpengharapan bahwa ia akan dapat memenuhi tugasnya, membunuh perempuan dan anaknya itu.Sehari itu dihabiskannya waktunya dengan berbincang- bincang.
Diajaknya seorang pengikutnya untuk membicarakan banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
"Mungkin kita benar-benar akan kehilangan mereka"
Berkata pengiringnya.
"Memang mungkin, tetapi aku tidak dapat memaksa kakang Tunda Wara untuk berangkat hari ini. Jika aku mencoba memaksanya, maka mungkin justru ia akan mengurungkan kesediaannya"
Sebenarnyalah, betapapun gelisahnya Ki Wangut memang harus menunggu.
Sehari semalam itu rasa-rasanya bagaikan bertahun-tahun.
Namun akhirnya saat yang ditunggu itupun datang.
Menjelang dini hari, Ki Tunda Wara telah bersiap.
Demikian juga Ki Wangut dan pengiringnya "Kita akan berangkat, mumpung masih belum pagi"
Berkata Ki Tunda Wara "jalan-jalan masih belum dijamah oleh sinar matahari. Meskipun akhirnya kita akan kepanasan di jalan, namun sebagian dari perjalanan sudah kita tempuh"
Demikianlah maka sebelum langit menjadi cerah, Ki Tunda Wara serta dua orang kepercayaannya berpacu meninggalkan padepokannya bersama Ki Wangut dan seorang pengiringnya.
Seperti saat Ki Wangut berangkat ke padepokan Wara Amba, maka ketika mereka menampuh perjalanan yang sebaliknya, merekapun seakan-akan hampir tidak pernah beristirahat, kecuali mengingat kuda- kuda mereka yang lelah dan haus.
Namun setelah beristirahat sejenak, merekapun segera melanjutkan perjalanan mereka.
Tidak banyak yang mereka perbincangkan di sepanjang perjalanan.
Ki Tunda Wara seolah-olah sedang diliputi oleh sebuah angan-angan tentang pekerjaan yang akandilakukannya atas permintaan saudara seperguruannya.
Ia sadar sepenuhnya bahwa Ki Wangut telah benar-benar tersinggung.
Bukan sekedar upah yang besar, tetapi kematian demi kematian yang dialami oleh orang-orangnya membual Ki Wangut semakin mendendam kepada perempuan dan anak laki-lakinya itu.
"la tentu bersumpah kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan berusaha dengan cara apapun juga, agar perempuan dan anaknya itu terbunuh"
Berkata Ki Tunda Wara di dalam hatinya, lalu "Bahkan seandainya orang yang mengupahnya itu mencabut niatnya, Wangut lentu akan masih tetap, berusaha atas kehendaknya sendiri. Ada atau tidak ada upah buat melakukannya"
Sebenarnyalah bahwa Ki Wangut memang sudah dibakar oleh dendam, meskipun baginya upah masih merupakan harapan tersendiri.
Tetapi seperti yang diduga oleh Ki Tunda Wara, seandainya upah itupun tidak lagi dijanjikan, maka ia tentu akan tetap berusaha membunuhnya.
Bahkan kedua-duanya.
Yang berjanji untuk mengupahnya itupun akan menjadi sasaran kemarahannya, karena ia sudah terlanjur mengorbankan orang-orangnya yang terbaik.
Kedatangan Ki Wangut kembali ke padepokannya menjelang tengah malam telah disambut olah pengikutnya dengan berbagai macam tanggapan.
Ada yang menyambutnya dengan gembira, karena kehadiran Ki Tunda Wara akan mempercepat penyelesaian tugas yang dibebankan kepada padepokan itu.
Tetapi ada juga yang menyesali ketergesa-gesaan Ki Wangut yang telah memanggil saudara seperguruannya itu.
Dengan demikian berarti bahwa upah yang harus mereka terima akan susut hampir separo.Tetapi ketika hal itu dikatakannya kepada kawannya, kawannya menjawab "Aku lebih senang menerima separo, bahkan seperempat dari yang seharusnya aku terima dari pada aku harus mati terbunuh seperti kesepuluh orang yang terdahulu"
Orang yang menganggap tindakan Ki Wangut itu tergesa-gesa menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis "Ya, kau benar"
Demikianlah, Ki Wangut tidak mau bekerja lamban.
Malam itu juga ia menentukan dua orang yang terpercaya.
Seorang yang mengikutinya ke padepokan Ki Tunda Wara, seorang lagi yang baru datang dari pesisir Utara mengunjungi pertemuan lingkungan perguruannya sebelum ie berada di padepokan Ki Wangut.
"Sepuluh orang saudara-saudaramu di sini sudah terbunuh"
Berkata Ki Wangut kepada orang itu.
"Siapakah yang bersalah? Kesepuluh orang itu terlalu bodoh ataukah lawannya memiliki kelebihan, bahkan mung kin membunuh mereka dengan licik?"
"Apapun caranya, dan betapapun dungunya yang terbunuh, tetapi itulah yang terjadi"
"Tentu ada sebabnya yang khusus, bahwa keenam orang pertama itu telah mati hanya melawan seorang saja"
Sementara keempat saudaraku yang terbaik itu mati oleh dua orang yang bukan orang-orang yang mempunyai nama"
"Kau jangan mencari-cari"
Jawab Ki Wangut "kita akan pergi dengan penuh kewaspadaan. Bahkan mungkin niat kita akan kita tunda jika ternyata bahwa perempuan ituberada di dalam lingkungan yang dapat membahayakan kita"
"Dan kita sudah menjadi pengecut"
Jawab orang yang baru datang dari pesisir Utara itu.
"He"
Potong Ki Wangut "kau kira kau sudah dapat melampaui kemampuanku? Aku masih merasa harus berhati-hati.
Dan kesombonganmu itulah termasuk salah satu sebab yang dapat membunuhmu seperti keenam orang yang mati melawan seorang saja yang mereka anggap tidak berarti, tetapi yang ternyata telah menyapu mereka tanpa ampun.
Sedang keempat orang itu mati karena mereka- menganggap orang tua yang sudah tidak mempunyai tenaga same sekali nampaknya, namun ternyata bahwa ia masih sanggup membunuh dua diantara mereka"
Orang itu menggeretakkan giginya.
Nampaknya ia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu berbuat demikian dengan wajar.
Tentu ada sesuatu yang menyebabkan hal itu terjadi.
Tetapi ia tidak membantah lagi.
Sementara Ki Tunda Waralah yang berkata selanjutnya "Aku bukan anak kecil lagi dalam dunia pengembaraan, kakerasan dan bahkan dalam dunia yang dipenuhi oleh kabul kematian.
Tetapi aku tidak ingin berbuat tergesa-gesa.
Aku Sependapat dengan Wangut Hanya anak-anak yang baru turun dari perguruan dan merasa tulangnya sekeras baja sajalah yang akan dengan sombong menganggap dirinya tidak terkalahkan.
Justru kesombongan semacam itulah yang telah membunuh sebagian besar dari mereka"
Yang mendengarkan keterangan itupun terdiam.
Mereka mengerti, siapakah Ki Tunda Wara, yang mempunyai kelebihan dari saudara seperguruannya.
Ki Wangut.
Karena itu, maka orang-orang yang mendengarkan pembicaraan itupun kemudian menyadari pula, bahwakadang-kadang mereka menganggap diri mereka tidak terkalahkan.
Kelengahan itu, sebagian dari sebab kematian mereka.
Menghadapi pengawal-pengawal perempuan dan anak laki-lakinya itu, maka sudah sewajarnya, bahwa Ki Tunda Wara dan Ki Wangut harus berhati-hati Karana mareka cukup mempunyai pengalaman, sehingga mereka tidak akan terjebak dalam sikap yang tidak teramamti.
Demikianlah, maka malam itu, Ki Wangut dan Ki Tunda Wara telah menyusun rencana yang akan mereka lakukan kemudian.
Ternyata Ki Tunda Wara cukup berhati-hati dan tidak tergesa-gesa seperti yang dikatakannya.
Karena ia sudah mendengar seluruhnya apa yang telah terjadi, maka iapun kemudian berkata kepada Ki Wangut "Jika demikian, apa perlunya kita dengan serta merta pergi mencari mereka? Biarlah dua orang dari padepokanku kau perintahkan untuk pergi ke padukuhan itu dengan laku sandi.
Biarlah mereka mencari keterangan tentang perempuan dan anak-anaknya itu"
Ki Wangut mengangguk-angguk.
Iapun ternyata sependapat.
Karena itu, maka iapun telah menunjuk dua dari orang-orangnya untuk pergi mencari keterangan tentang perempuan dan anak laki-lakinya yang rumahnya telah terbakar habis.
Di keesokan harinya, maka kedua orang itupun lelat berangkat.
Meskipun dengan hati yang berdebar-debar Jika mereka terjebak ke dalam pengamalan pengawal- pengawalnya, maka tidak ada harapan lagi baginya unluk keluar.
Tetapi perintah Ki Wangut sudah tegas "Kau harus kembali selambat-lambatnya lewat dua malam.
Jika kau tidak kembali, kalian telah aku anggap mati di perjalanan"Kedua orang itupun dengan hati-hati telah melakukan tugasnya.
Mereka telah pergi ke padukuhan sesuai dengan berita yang sampai ke telinga mereka.
Ternyata yang mereka dengar itu benar.
Keduanya masih melihat bekas rumah yang terbakar.
Dan keduanyapun mendengar langsung dari beberapa orang yang bertemu di dalam warung, apa yang telah terjadi.
"Kasihan"
Berkata salah seorang dari kedua orang yang dikirim oleh Ki Wangut itu "lalu, apakah mereka telah berusaha membangun rumah mereka kembali?"
Tetapi orang-orang yang berada di warung itu menggeleng. Salah seorang dari mereka berkata "Tidak ada bekal apapun dapat mereka pergunakan untuk membangun kembali rumah mereka"
"Lalu, dimanakah mereka sekarang tinggal?" ?Untuk beberapa saat lamanya, mereka barada di banjar"
Jawab yang lain.
"Sekarang, apakah mereka sekarang masin tinggal di banjar?"
"Tidak. Mereka telah meninggalkan padukuhan ini"
"He, mereka telah pergi?"
Kedua orang itu terkejut, tepapi mereka berusaha untuk menyembunyikan perasaan mereka. Sementara salah seorang dari keduanya bertanya "Kemana mereka pergi?"
"Kami tidak tahu"
Jawab orang di warung itu "mungkin ke tempat saudaranya yang jauh sekali"
"Kenapa jauh sekali?"
"Mereka berusaha untuk mendapatkan sebuah pedati, membawa perempuan dan anak laki-lakinya dengan pedati""Darimana mereka mendapat pedati?"
"Dari orang-orang padukuhan itu. Ki Buyut memberi pedati bersama orang-orang se padukuhan"
Kedua orang itu menjadi gelisah. Namun mereka tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Bahkan dari orang- orang mereka mendengar bahwa Ki Buyutpun tidak tahu, kemana perempuan dan anak-anak laki-laki itu pergi bersama orang pelindungnya.
"Tentu sulit untuk melacaknya"
Berkata salah seorang dari mereka.
"Kita tidak bertugas untuk melacak. Kita hanya berusaha untuk mendapat keterangan tentang mereka di padukuhan ini"
Sahut yang lain. Lalu "Kita harus kembali, agar mereka tidak menganggap bahwa kita telah mati terbunuh pula seperti kawan-kawan kita itu"
Yang lain mengangguk-angguk. Namun katanya "Tetapi kita masih mempunyai waktu. Kita akan bertanya arah perjalanan mereka. Dan kita akan mencoba menelusuri perjalanan mereka pada satu dua padukuhan saja"
Kawannya tidak berkeberatan.
Karena itu, maka keduanyapun telah bartanya arah perjalanan perempuan dan anak laki-lakinya dengan sangat berhati-hati, sehingga tidak banyak menarik perhatian, seolah-olah yang mereka lakukan itu sama sekali tidak mengandung maksud tertentu.
Ketika mereka mengetahui arah perjalanan perempuan itu, maka keduanyapun telah pergi ke padukuhan berikutnya.
Tetapi karena mereka yakin, tidak ada jalan simpang yang dapat ditempuh oleh pedati itu, maka mereka tidak bertanya kepada siapapun juga tentang usaha mereka.
Baru di padukuhan berikutnya, mereka harus berhenti di simpang jalan.
Kedua arah jalan yang bercabang itu dapatdilalui sebuah pedati, sehingga karena itu, maka merekapun harus bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya, apakah mereka melihat sebuah pedati yang membawa seorang perempuan dan anak-anak.
Yang beberapa hari yang lalu meninggalkan padukuhan sebelah, padukuhan yang nampak dari itu.
"O"
Orang itu mengangguk-angguk "maksud Ki Sanak, orang-orang yang rumahnya terbakar itu?"
"Ya. Jadi kalian mengetahuinya? Mereka adalah saudara-saudaraku"
Sahut salah seorang dari kedua orang yang mencarinya itu.
"Tentu saja kami mengetahuinya"
Jawab orang yang ditanya itu "mereka memang meninggalkan padukuhan mereka.
Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui kemana mereka pergi, mereka pergi ke tempat yang mereka tidak ketahui.
asal saja mereka meningglkan padukuhan, yang membuat kesan yang pahit dalam hidupnya"
"Kasihan mereka. Apakah kau tidak tahu ke arah mana mereka pergi?"
Orang itu sama sekali tidak berprasangka. Maka iapun kemudian menjawab "Aku tidak melihat pedati mereka lewat jalan ini. Tetapi beberapa orang mengatakan. bahwa ia mengambil jalen ke arah Barat"
"Ke arah Barat?"
Ulang salah seorang dari kedua orang itu "apakah kau sama sekali tidak dapat menduga, tlatah manakah yang akan mereka datangi"
"Tentu tidak. Jalan itu akan dapat mencapai banyak padukuhan, banyak kota dan padepokan"
"Ya, ya. Kau benar. Baiklah, terima kasih. Biarlah aku mengajak saudara-saudaraku untuk mencarinya. Kami sangat mengasihi sebagai seorang saudara. Mereka memangjatuh miskin. Tetapi mereka mempunyai harga diri yang berlebih-lebihan, sahingga mereka tidak mau minta bantuan kepada saudara-saudaranya yang tentu dengan senang hati akan membantunya"
Demikianlah, maka kedua orang itupun segera minta diri.
Mereka tidak melanjutkan perjalanan mereka, karena mareka memang tidak bertugas untuk melacak perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Yang harus mereka laporkan adalah apa yang mereka dengar dari orang-orang di sepanjang jalan.
Apa yang mereka katakan tentang perempuan dan anak laki-lakinya.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera kambali ke padepokan untuk melaporkan, apa yang telah dilakukan oleh perempuan dan anak laki-lakinya itu menurut pendengaran mereka.
"Jadi mereka telah pergi"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Geram Ki Wangut.
"Ya. Mereka telah meninggalkan padepokan itu"
Jawab para pengikutnya yang telah menjelidiki keadaan mareka. Ki Wangut mengangguk-angguk. Kemudian katanya "Sudah saatnya kita menyusul kakang"
Ki Tunda Wara merenung sejenak. Ia mencari segala macam kemungkinan yang paling baik dilakukan. Namun katanya kemudian "Kau benar Wangut. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama lagi. Dengan demikian maka jarak kita akan menjadi semakin jauh"
"Jadi, menurut pendapat kakang, kita harus segera berangkat"
"Ya. Besok pagi-pagi kita akan berangkat. Aku sudah membawa dua orang kepercayaanku. Apakah kau juga akan membawanya?""Dua orang terbaik dari padepokan ini"
Jawab Ki Wangut Demikianlah, maka merekapun segera mengemasi diri.
Mereka sudah memutuskan untuk berangkat mencari perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Menjelang pagi, keenam orang itupun telah bersiap.
Sejenak Ki Wangut masih memberikan beberapa pesan.
Baru sejenak kemudian, iapun bersama dengan lima orang telah berangkat meninggalkan padepokan mereka.
Tetapi mereka tidak bergabung menjadi satu kelompok yang akan mengejutkan orang-orang yang berjumpa dengan mereka di tengah jalan.
Tetapi mereka membagi kelompok itu menjadi dua kelompok kecil.
Masing-masing dengan tiga orang.
Mereka tidak perlu berpacu dengan kecepatan penuh.
Meskipun mereka sudah tertinggal beberapa hari, namun mereka yakin, akan dapat menemukan tempat persembunyian perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Seperti yang dikatakan oleh dua orang petugas yang melihat keadaan padukuhan yang ditinggalkan oleh perempuan dan anak laki-lakinya itu, maka keterangan yang diterima oleh Ki Wangut di sepanjang jalan tidak ada bedanya.
Merekapun segera menemukan jalan simpang yang dikatakan oleh kedua orang itu.
Dan merakapun telah memilih jalan ke jurusan Barat.
Meskipun mereka tidak lagi dapat melihat bekas pedati itu, karena telah terhapus oleh jejak-jejak kaki dan pedati- pedati yang lain, namun mereka menganggap, bahwa mereka masih memiliki beberapa cara untuk menemukannya."Tentu mereka memerlukan singgah di Warung atau kedai yang manapun juga di sepanjang jalan yang mereka lalui"
Berkata Ki Wangut dan pengikutnya yang berkuda di depan "mungkin mereka membeli makanan. Telapi mungkin mereka membeli bahan mentah"
Ternyata Ki Wangut cukup telaten.
Meskipun perjalanan mereka tidak laju seperti orang-orang yang pergi bertamasya, namun mereka masih tetap yakin akan dapat menemukan buruannya.
Di malam hari mereka bermalam di tempat-tempat yang mereka anggap terasing.
Namun pernah juga mareka bermalam di sebuah banjar padukuhan.
Dengan para peronda Ki Wangut sempat berbincang ketika ia sengaja ikut duduk di dalam gardu, sementara kawan-kawannya telah tertidur lelap di dalam banjar.
Dengan sangaja Ki Wangut menggiring pembicaraan mereka kepada kemungkinan, apakah ada seorang diantara mereka yang melihat sebuah pedati dalam perjalanan jauh, membawa seorang perempuan, seorang anak laki-laki dan dua orang yang lain.
Tiba-tiba saja salah seorang berkata "Aku melihatnya.
Mereka lewat jalan di sebelah padukuhan"
Dada Ki Wangut menjadi berdebar-debar.
Ia sudah berkuda cukup lama.
Ia sudah bermalam beberapa malam.
Karana kecakapan mereka, maka Ki Wangut dan Ki Tunda Wara berhasil mengikuti jejak pedati yang dicarinya itu.
Dan kini, sekali lagi ia akan mendapat petunjuk tentang pedati itu.
Seperti kedua orang yang memberi keterangan tentang pedati itu sebelumnya, maka iapun pura-pura mencari saudaranya yang karena sesuatu hal telah pergi meninggalkan keluarga yang lain.
Ia mendapat tugas darikeluarga besar dan hampir seisi padukuhannya untuk mancari sampai mereka diketemukan.
Tidak seorangpun yang mencurigainya.
Para peronda itu percaya bahwa Ki Wangut dan kawan-kawannya, benar- benar sedang mencari sekelompok keluarganya yang sedang berselisih dan meninggalkan lingkungannya "
Kenapa mereka pergi meninggalkan padukuhan?"
Bertanya salah seorang dari para peronda itu.
"Sebenarnya persoalannya tidak terlalu besar. Telapi adalah menjadi tabiat perempuan itu. Ia keras hati"
Jawab Ki Wangut. Para peronda itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang mendesaknya "Persoalan yang tidak terlalu besar itu apakah cukup kuat untuk mandorongnya pergi?"
"Suaminya kawin lagi. Iapun kemudian pergi bersama anak dan kakaknya, membawa anak laki-lakinya yang masih kecil meninggalkan kami. Sanak kadangnya. Kami yang ditinggalkan, berusaha mencarinya dan meyakinkannya, bahwa bagaimanapun juga sebaiknya ia kembali pulang. Segalanya dapat kami bicarakan dan mancari jalan yang lebih baik dari memutuskan persaudaraan"
Para peronda itu mengangguk-angguk, salah seorang dari mereka berkata "ternyata itu bukan persoalan yang tidak terlalu besar bagi seorang perempuan. Jika suaminya kawin lagi, maka seolah-olah dunia ini tidak akan berarti lagi baginya"
"Ada yang kami takutkan"
Berkata Ki Wangut "jika ia tidak dapat menguasai perasaannya lagi, maka mungkin sekali perempuan itu akan menempuh jalan sesat. Karenaitu, kami tergesa-gesa memburunya, kemanapun mereka pergi"
"Kenapa baru sekarang kalian menyusulnya? Bukankah kecepatan kuda kalian berlipat ganda dari kecepatan pedati itu?"
Bertanya salah seorang peronda.
"Kami melakukannya segera setelah hal itu kami ketahui. Tetapi kami tidak dapat menemukan jalan yang mereka tempuh dengan segera, sehingga untuk beberapa lama kami harus mencari. Kadang kadang kami menempuh jalan yang salah, sehingga kami harus berpacu kembali. Akhirnya kami sampai ke tempat ini"
Para peronda itu mendengarkan ceritera Ki Wangut itu dengan bersungguh-sungguh.
Sambil mengangguk-angguk salah seorang dari mereka berkata "Mudah-mudahan kalian segera akan dapat menyusul mereka.
Agaknya dalam waktu dua tiga hari lagi, kalian akan dapat menemukannya.
asal kalian tidak menempuh jalan yang salah.
"Dua tiga hari?"
Bertanya Ki Wangut.
"Ya. Sudah satu hari satu malam yang lewat, pedati itu melalui jalan di sebelah padukuhan"
Jawab peronda itu "karena itu, maka secepatnya dalam dua hari lagi, kalian baru akan dapat menyusulnya. Mungkin malam ini pedati itu berjalan terus meskipun perlahan-lahan"
Jawab peronda itu. Namun kemudian iapun bertanya "Tetapi apakah kalian tidak mengetahui, bahwa mungkin ada sanak kadang yang akan dikunjunginya"
Ki Wangut menggelengkan kepalanya. Katanya "Se pengetahuanku, tidak ada seorangpun saudaranya di tempat yang begini jauh. Tetapi mungkin diluar pengetahuan kami, ada orang yang akan mereka datangi"
Ki Wangut berhenti sejenak, lalu "Yang kami sesalkan. Ialah sikap ayah dan kakaknya. Mereka sama sekali tidak berusahamencegahnya. Tetapi mereka justru membantu usaha pelarian ini"
"Itu dapat dimengerti"
Jawab salah seorang peronda itu.
"ayahnyapun tentu merasa tersinggung, bahwa anaknya telah dihinakan dan disakiti perasaannya"
Ki Wangut mengangguk-angguk.
Tetapi ia merasa gembira bahwa jalan yang ditempuh agaknya menjadi semakin dekat.
Jika benar pedati itu lewat, sehari semalam sebelum ia sampai ke padukuhan itu, maka tidak sampai dua hari lagi, ia akan dapat menyusulnya.
Pagi-pagi benar, Ki Wangut telah bersiap-siap.
Ketika para peronda meninggalkan gardu itu, Ki Wangut masih sempat mengucapkan terima kasih, karena ia tidak meninggalkan gardu sampai saat para peronda pulang, ia dapat tidur mendengkur di sudul gardu itu, sementara anak- anak muda memandanginya sambil tersenyum.
Salah seorang dari mereka berkata "la tentu telah sekali setelah menempuh perjalanan yang_sangat panjang.
Kawan-kawannya sama sekali tidak mampu lagi bertahan sampai tengah malam.
Mereka tertidur nyenyak di banjar"
Sahut yang lain.
"Biarlah. Ia masih akan berjalan jauh"
Namun pagi-pagi benar, ketika para peronda meninggalkan gardu, Ki Wangutpun telah terbangun dan berkemas untuk melanjutkan perjalanannya yang panjang.
Kawan-kawannya segara dibangunkannya pula.
Merekapun segera bersiap dan meninggalkan banjar itu, setelah minta diri kepada seorang tua yang ditugaskan memelihara banjar itu.Sejenak kamudian Ki Wangut.
Ki Tunda Wara dan para pengikutnyapun segera berpacu menurut arah yang diberitahukan oleh para peronda.
Jalan yang mereka lalui ternyata tidak terlalu banyak simpangan yang dapat membingungkan.
Jalur jalan pedati itu agaknya menyusur jalan lurus yang banyak dikenal oleh banyak orang, termasuk Ki Wangut dan Ki Tunda Wara.
Jalan itu menuju ke Singasari.
"Gila"
Geram Ki Wangut "perempuan itu akan menyembunyikan dirinya ke dalam kota"
"Tidak ada bedanya"
Berkata Ki Tunda Wara.
"Bagaimana jika mareka menyampaikan persoalannya kepada prajurit di Singasari"
Bertanya Ki Wangut.
"Apakah para prajurit itu begitu mudahnya percaya?"
Sahut Ki Tunda Wara "meskipun demikian, kita akan mencapai pedati itu sebelum mereka memasuki kota Singasari"
Ki Wangut mengangguk-angguk.
Tetapi ia mempunyai gambaran tentang kemungkinan yang buram.
Jika perempuan itu benar-benar menyampaikan persoalannya kepada prajurit Singasari, sehingga terdengar oleh para perwira dan kesatria, mungkin persoalannya akan dapat mengalir ke Kediri.
Mungkin Pangeran Kuda Padmadata akan mendengar berita tentang keadaan isteri dan anak laki- lakinya, sehingga dengan demikian, ia dapat mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelamatkan mereka.
"Banyak hal yang dapat ditempuh"
Berkata-Ki Wangut di dalam hatinya, lalu "Pangeran itu seolah-olah sudah melupakan tentang isteri dan anaknya itu"
Ternyata bahwa Ki Tunda Warapun berpendapat demikian. Pangeran Kuda Padmadata tidak akanmempedulikan lagi keadaan isterinya. Seandainya isteri dan anaknya yang berasal dari padukuhan itu akan mati, ia tidak akan merasa kehilangan.
"Bahkan mungkin rencana ini sudah diketahui pula oleh Pangeran Kuda Padmadata itu sandiri dengan diam-diam"
Berkata Ki Tunda Wara di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka perjalanan merekapun tidak menemui kesulitan apapun juga.
Mereka masih saja membagi diri dalam dua kelompok.
Ki Wangut dengan dua orang pengiringnya dan Ki Tunda Wara dengan dua orang pengiringnya pula.
Namun ternyata ada juga sekelompok perampok yang malang, yang tidak mengetahui siapakah orang-orang berkuda di tengah-tengah bulak di gelapnya malam.
Ketika Ki Wangut dan pengiringnya yang berkuda di depan, dihentikan oleh empat orang perampok, maka iapun menjadi sangat marah.
"Kami tergesa-gesa"
Bentak Ki Wangut "jika tidak, kami tidak akan melanjutkan perjalanan di malam hari"
Tetapi perampok-perampok itupun membentak dengan kasar "Turun, dan serahkan semua barang dan perhiasan yang kau bawa. Senjata, barang-barang dagangan dan barangkali timang dan wrangka keris"
Ki Wangut meloncat turun dari kudanya. Diserahkannya kendali kudanya kepada pengiringnya sambil berkata "Duduk saja di situ. Aku akan mengusir orang-orang itu"
Sikap itu sudah mendebarkan keempat perampok yang malang itu.
Namun mereka memaksa diri untuk menjajagi kemampuan orang yang dianggap dapat menjadi korbannya.
Namun ternyata bahwa dalam loncatan- loncatan pertama, Ki Wangut sudah membunuh dua orangdi antara mereka.
Sedangkan yang dua orang lagi lari tunggang langgang.
"Gila"
Geram Ki Wangut. Sementara itu Ki Tunda kuda di belakang telah menyusulnya.
"Kenapa?"
Bertanya Ki Tunda Wara. Sambil menunjuk dua sosok mayat yang tarkapar di jalan, ia menggeram "Tikus-tikus itu mencoba mangganggu perjalanan kita. Dua orang terbunuh, yang dua melarikan diri"
Ki Tunda Wara mengangguk-angguk. Katanya "Jangan hiraukan mereka, tidak mengenal kita. Tetapi jika di daerah ini banyak penyamun dan perampok, apakah pedati yang berjalan terdahulu itu tidak dirampok orang-orang itu?"
Ki Wangut tidak menjawab.
Tetapi iapun segera meloncat ke punggung kudanya dan sejenak kemudian, iring-iringan itupun meneruskan perjalanan.
Dalam pada itu, dua orang penyamun yang lari tunggang langgang, ketika sudah yakin tidak dikejar lagj oleh orang yang dengan gerak yang tiba-tiba berhasil membunuh dua orang kawannya, sempat juga berhenti dengan nafas terengah-engah dan berbicara di antara mereka "Setan alas.
Hari-hari yang sangat sial"
"Dua orang kawan kita telah terbunuh"
Gumam yang lain.
"Kemarin, baru saja kita hampir mati oleh dua orang penunggang pedati itu. Aku kira mereka adalah orang- orang yang akan menjual hasil tanahnya, atau keperluan lain dengan membawa harta benda. Ternyata yang turun dari pedati itu adalah dua orang yang menghajar kita berempat habis-habisan. Untunglah kita tidak dibunuhnyasaat itu. Tetapi kematian bagi dua orang kawan kita itupun datang juga malam ini"
"Agaknya dua orang penunggang pedati kemarin, hatinya lebih baik dari penunggang kuda itu. Kemarin kita sama sekali tidak berdaya. Untuk laripun kita tidak dapat lagi. Tetapi mereka tidak membunuh kita. Mereka justru berpesan agar kita menghentikan tingkah laku yang dibenci orang ini Tetapi kita tidak menghiraukan. Dan malam ini dua orang diantara kita sudah-mati. Mungkin besok kita berdua"
"Nasihat itu baik juga kita kalau kita perhatikan"
Gumam yang lain. Kawannya tidak menjawab. Tetapi agaknya iapun sadar, pada suatu saat, di jalan yang sepi itu lewat juga orang yang tidak dapat dikalahkannya.
"Kita mengambil mayat kawan-kawan kita"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desis yang seorang.
"Apakah orang-orang berkuda itu sudah pergi?"
Yang lain masih gemetar.
"Mungkin. Marilah kita lihat dengan hati-hati"
Kedua orang itupun kemudian dengan sangat hati-hati merayap kembali untuk melihat, apakah orang-orang berkuda itu sudah meninggalkan kedua sosok mayat kawannya yang sudah terbunuh.
Ketika ternyata bahwa orang-orang berkuda itu sudah pergi, maka keduanya telah meloncat ke jalan untuk mengambil kedua orang kawannya yang terbunuh untuk diserahkan kepada sanak kadangnya.
"Kematian yang demikian pada suatu saat akan menerkam kita juga, jika kita masih saja melakukanpekerjaan seperti ini"
Gumam salah seorang dari keduanya.
Kawannya sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu, Ki Wangut dan pengiringnya telah meluncur semakin jauh menuju ke arah Singasari.
Dalam pada itu, perjalanan pedati yang membawa Ki Wastu, anak dan cucunya berserta Mahisa Bungalan menjadi semakin mendekati Singasari.
Namun ternyata bahwa pedati itu tidak langsung memasuki kota, karena Mahisa Bungalan ingin membawa mereka ke rumahnya.
"Tetapi meskipun kita sampai ke rumah ayahku, persoalannya masih belum selesai"
Berkata Mahisa Bungalan "karena kita masih akan berbicara dangan Pangeran Padmadata"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Berkali- kali aku memikirkannya.
Tetapi aku masih tetap ragu-ragu.
Apakah ada perlunya kita menyampaikan persoalan ini kepada Pangeran Kuda Padmadata.
Kami sama sekali tidak pernah mengharapkan apapun dari warisan Pangeran itu.
Yang kami harapkan hanyalah hidup yang tenang tanpa diganggu oleh siapapun"
"Kakek"
Berkata Mahisa Bungalan "persoalan tidak akan berakhir, jika kita masih belum bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata.
Orang-orang yang memburu anak dan cucumu tentu masih akan mencari di manapun kalian bersembunyi.
Tetapi jika Pangeran Kuda Padmadata mengetahui persoalan ini dan mengambil sikap tertentu, maka tidak akan ada persoalan lagi.
Apapun yang akan diputuskan oleh Pangeran Kuda Padmadata tentu akan mengikat segaia pihak"
"Tentu masih ada persoalan"
Jawab Ki Wastu tetapi jika kemudian Pangeran itu menyatakan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan anak dan cucuku, kukira barulahpersoalannya selesai.
Mereka tidak akan mengejar anak dan cucuku lagi seperti sedang berburu binatang di hutan yang lebat"
"Tetapi kakek"
Berkata Mahisa Bungalan "apapun yang akan kita hadapi kemudian, biarlah segera kita ketahui kemungkinannya. Baik atau buruk"
Ki Wastu mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah pedati itu masih maju perlahan-lahan.
Kadang-kadang mereka memerlukan beristirahat untuk waktu, yang cukup lama.
Mereka harus memberikan kesempatan sepasang lembu itu untuk beristirahat dan makan rumput yang dapat mereka sabit di pinggir-pinggir jalan.
Bahkan di hari-hari terakhir, di malam hari, pedati itu kadang-kadang berhenti lebih dari separo malam.
Anak perempuan Ki Wastu dan cucunya ternyata menjadi sangat letih, meskipun mereka berdua sebagian besar waktunya dipergunakannya untuk duduk.
Tetapi mereka selalu digoncang oleh roda pedati yang kadang-kadang menggilas batu-batu yang berserakan.
Kadang-kadang justru anak perempuan Ki Wastu itu turun dari pedati dan berjalan mengiringinya untuk mengurangi penat-penat kakinya.
Baru beberapa tonggak kemudian, ia naik lagi ke atas pedatinya.
Di saat-saat tertentu pedati itupun harus berhenti pula.
Memberi kesempatan anak perempuan Ki Wastu untuk merebus air dan menanak nasi.
Sementara Mahisa Bungalan dan Ki Wastu menyediakan makan sepasang lembu penarik pedati itu.Karena itulah, akan jarak mereka dengan orang-orang yang memburunya menjadi cepat sekali berkurang.
Bahkan akhirnya, di saat mereka mendekati Singasari, orang-orang yang memburunya sudah berada dekat di belakang mereka.
Ki Wangut dan para pengiringnya yakin, bahwa mereka akan dapat menyusul pedati itu sebelum pedati itu memasuki kota Singasari.
Mereka yakin, bahwa mereka akan berkesempatan untuk menyelesaikan tugas mereka.
Siang atau malam, jika mereka bertemu dengan orang- orang yang ada di dalam pedati itu maka mereka harus dibinasakan.
Apalagi menurut keterangan yang mereka dapatkan di sepanjang jalan, bahwa isi pedati itu hanyalah empat orang.
"Dua laki-laki, seorang perempuan dan seorang anak- anak"
Berkata salah seorang penunggu kedai"
Pedati itu berhenti sebentar. Perempuan itu memerlukan beberapa macam rempah-rempah yang akan dibawanya"
Keterangan ini memberikan gambaran yang cerah.
Dua orang itu memang berhasil membunuh empat orang pengikut Ki Wangut.
Tetapi yang akan menyusulnya adalah Ki Wangut sendiri bersama dua orang kepercayaannya, diikuti oleh orang yang jarang ada bandingnya, Ki Tunda Wara dengan dua orang pengikutnya pula.
"Keduanya tentu akan segera dapat kami selesaikan"
Berkata Ki Wangut di dalam hatinya.
Dalam pada itu, pedati yang membawa Mahisa Bungalan itupun ternyata langsung menuju ke padukuhannya.
Pedati itu mengambil jalan simpang, melepaskan diri dari jalur jalan ke Singasari, memasuki sebuah padukuhan di sebelah simpang tiga.
Di sebelah padukuhan itu terdapat sebuah bulak pendek.
Seberangbulak pendek itulah letak padukuhan tempat tinggal Mahendra yang dikenal sebagai seorang saudagar permata dan wesi aji.
Namun dalam apda itu, Ki Wangut yang hampir berhasil memburu pedati itu, sempat terlihat bahwa pedati telah berbelok, tidak langsung menuju Singasari, tetapi mengambil jalan simpang, memasuki sebuah padukuhan kecil.
"Sebentar lagi kita akan mendapatkan mereka"
Ia menggeram. Para pengikutnyapun sudah melihat pedati yang berbelok itu. Karena itu, maka Salah seorang dari mereka berkata "Marilah. Kita akan segera mendapatkannya"
"Kita tidak terlalu tergesa-gesa"
Berkata Ki Wangut.
"justru karena pedati itu tidak langsung memasuki kota Singasari"
"Jadi?"
Bertanya pengikutnya.
"Kita akan mengikutinya sampai pedati itu berhenti di halaman sebuah rumah. Kecuali jika pada suatu saat, pedati itu mengambil jalan lain yang menuju ke gerbang kota Singasari"
Jawab Ki Wangut.
Pari pengikutnya mengetahui, bahwa Ki Wangut akan mengakhiri pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, maka Ki Wangutpun tidak dengan tergesa-gesa menyusul pedati itu dan menghentikannya di tengah bulak.
Tetapi ia ingin melihat, dimana pedati itu akan berhenti dan kepada siapa isteri Pangeran Kuda Padmadata itu akan menyembunyikan diri.
"Menyenangkan sekali"
Berkata Ki Wangut "kita akan mengetuk pintunya dan dan memasuki rumah itu sebagaitamu yang sopan. Kemudian kita minta dipertemukan kepada perempuan itu untuk memenggal kepalanya bersama anak laki-lakinya"
"Tidak semudah Ki Wangut"
Desis pengikutnya. Ki Wangut tertawa, katanya "dan aku sudah memperhitungkan dengan cermat, seorang akan melawan aku dan kau berdua, sedang yang lain akan melawan kakang Tunda Wara dan dua orang pengikutnya"
Salah seorang kawannya berkata "Sejak semula aku sudah ingin membantainya"
Ki Wangut tertawa. Katanya "Jika kau pergi tanpa aku dan kakang Tunda Wara, maka kaulah yang akan dibantainya"
Orang itu menggeretakkan giginya.
Tetapi ia tidak menyahut.
Dalam pada itu, pedati itupun berjalan terus.
Jaraknya dangan beberapa orang yang memburunya memang menjadi semakin pendek.
Namun ternyata bahwa Ki Wangut tidak ingin menyusulnya.
Ketika pedati itu berjalan di bulak yang pendek, maka Ki Wangut yang menjadi semakin dekatpun yakin, bahwa pedati itulah yang disusulnya.
Ia melihat seorang perempuan duduk di bagian belakang pedati itu.
Seorang laki-laki yang berjalan di sisi lembu yang menarik pedati itu, sementara seorang anak laki-laki berlari-lari mendahuluinya.
Namun kemudian berhenti dan menunggu.
Ketika pedati itu lawat di depannya, maka anak laki-laki itupun meloncat dan memanjat lewat bagian belakang"
"Anak laki-laki yang lincah"
Berkata Ki Wangut "sayang.
Sebentar lagi, ia harus mati bersama ibunya.
Danbahkan kedua laki-laki itupun harus mati.
Jika ada orang lain yang ikut campur, maka merekapun harus mati pula.
Demikianlah, Ki Wangut telah memperlambat jalan kudanya.
Ia mengambil jarak tertentu di belakang pedati itu.
Kemudian mengikutinya memasuki padukuhan di seberang bulak pendek itu.
Dengan berdebar-debar Ki Wangut memperhatikan pedati itu yang kemudian berbelok ke sebuah halaman rumah yang berhalaman cukup luas.
Rumah yang cukup baik bagi padukuhan yang tidak terlalu besar dan ramai itu.
Ki Wangut berhenti beberapa puluh langkah dari regol rumah itu.
Bahkan kemudian ia menunggu Ki Tunda Wara yang sebentar kemudian telah menyusulnya, tetapi dengan meninggalkan kedua pengiringnya di mulut lorong.
"Apa yang kau lihat?"
Bertanya Ki Tunda Wara.
"Pedati itu"
Jawab Ki Wangut.
Ya. Aku sudah melihatnya pula. Lalu apakah kau bermaksud menyusunya sekarang?"
Ki Wangut termangu-mangu. Kemudian katanya "
Bagaimana pertimbangan kakang?"
"Kita sudah memberi kesempatan kepadanya sampai ke tujuan"
"Ya. Tetapi bukankah, kita memang baru saja menyusulnya? Aku melihat pedati pertama kali simpang tiga. Dan tiba-tiba saja, timbul keinginanku untuk melihat di mana pedati itu berhenti. Sekarang kita sudah mengetahui, bahwa pedati itu berhenti di rumah yang berhalaman luas itu""Kita belum tahu, rumah siapakah yang disinggahi itu? Mungkin sanak kadangnya. Tetapi mungkin juga tempat yang dapat memberikan perlindungan kepadanya"
"Jadi, apakah sebaiknya kita berusaha untuk mengetahui, siapakah yang berada di dalam rumah itu? bertanya Ki Wangut. Ki Tunda Wara termangu-mangu sejenak. Namun inpun kemudian mengangguk sambil berkata "Kita harus berhati- hati. Dua orang yang berada di dalam pedati itu sudah cukup membuatmu pening. Apalagi jika di dalam rumah itu ada orang lain yang akan dapat membantu mereka berdua"
Ki Wangut mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba seorang pengikutnya berkata "Jadi kita masih harus menunggu lagi?"
Ki Wangut mengangguk. Jawabnya "Kita harus memperhitungkan segenap kemungkinan"
"Ki Wangut masih juga bersabar? Bagaimana jika kita kehilangan mereka lagi?"
"Hanya ada dua regol di padukuhan ini. Jika kita mengawasi keduanya, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat lepas dari tangan kita"
"Tetapi pekerjaan yang demikian akan memakan waktu yang lama. Mungkin hari ini kita belum dapat menyelesaikan pekerjaan itu"
"Lebih baik kita tunda satu hari, daripada kita semuanya tidak akan dapat berhasil melakukannya"
Pengikut Ki Wangut itu mengatupkan mulutnya rapat- rapat, namun ia mengumpat di dalam hatinya.
"Tunggulah di luar regol padukuhan di ujung lorong itu"
Berkata Ki Wangut kepada kedua pengiringnya "Janganmenarik perhatian.
Sedang di ujung yang lain akan diawasi oleh para pengikut kakang Tunda Wara.
Kami berdua akan singgah sebentar di kedai kecil itu untuk mendapat beberapa keterangan tentang rumah itu"
Kedua pengikut Ki Wangut nampak ragu-ragu.
Tetapi tatapan mata Ki Wangut telah memaksa mereka mengangguk dan memenuhi perintah itu.
Demikian kedua orang itu menuju ke ujung lorong, maka Ki Tunda Warapun kembali kepada para pengikutnya untuk memberikan pesan serupa.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru kemudian, bersama Ki Wangut keduanya telah singgah di sebuah kedai kecil yang terletak di pinggir jalan itu, berdekatan dengan beberapa tempat yang berserakan untuk menjajakan beberapa jenis dagangan.
Agaknya tempat itu baru tumbuh menjadi sebuah pasar.
Tanpa menarik perhatian, maka Ki Wangutpun kemudian berbicara tentang padukuhan itu dan sebuah rumah yang agak besar di pinggir jalan itu pula.
"O"
Berkata penjual di kedai itu "rumah itu adalah rumah seorang saudagar permata barang-barang berharga dan wesi aji"
Ki Wangut dan Ki Tunda Wara saling berpandangan sejenak.
Sesuai dengan pekerjaannya yang menjelajahi beberapa daerah dan padukuhan, maka seorang saudagar biasanya memiliki kemampuan untuk membela diri, atau mempunyai satu dua orang pengawal yang dapat dipercaya.
Karena itu, maka merekapun mulai terlarik kepada keterangan penjual di kedai itu.
"Siapakah namanya?"
Bertanya Ki Tunda Wara.
"Ki Mahendra? jawab penjual itu.
"Apakah ia masih muda?"
Bertanya Ki Wangut.Penjual itu menggeleng.
Jawabnya "Tidak.
Orang itu sudah tidak dapat disebut muda lagi.
Ia sudah melampaui masa mudanya dan mulai dengan pertengahan umurnya yang kemudian.
Tetapi ia masih menjalankan pekerjaannya.
Ia masih pergi ke beberapa tempat yang dapat menjadi daerah pasarannya.
Ki Tunda Wara dan Ki Wangut masih bertanya tempat sekelompok pengawal yang akan dapat mengganggu pekerjaan mereka.
"Ada beberapa orang anaknya"
Berkata penjual itu "dua orang anak muda yang kini ada di rumah.
Aku tidak tahu pasti, apakah saudagar itu sekarang ada.
Kadang-kadang ia tiba-tiba saja kami lihat duduk di pendapa atau menyiangi tanaman bunganya, atau berjalan-jalan di depan ini.
Tetapi sesaat kemudian, ia sudah berpacu dengan kudanya ke tempat yang jauh untuk menawarkan barang-barang yang dibawanya"
"Apakah kau melihat sebuah pedati yang lewat di depan kedai ini?"
Tiba-tiba saja Ki Wangut bertanya.
"Ya, ya. Aku melihatnya"
Jawab penjual itu.
"Apakah kau mengenal siapa yang ada di dalamnya?"
Penjual itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil menjawab "Sayang. Aku tidak memperhatikannya"
Ki Wangut dan Ki Tunda Wara menjadi kecewa.
Ia ingin bertanya, apakah penjual di warung itu mengenal salah seorang dari mereka.
Namun dalam percakapan itu, Ki Tunda Wara dan Ki Wangut tidak mendapat gambaran, bahwa rumah itu adalah rumah yang berperisai tebal.
Di rumah itu, tidak terdapat pengawal-pengawal yang akan dapat menggangguusahanya untuk menyelesaikan tugasnya.
Seandainya ada, maka di rumah itu terdapat tiga orang laki-laki.
Saudagar itu sendiri dan dua orang anak laki-lakinya yang masih sangat muda, sedang anak yang sulung sudah tidak ada di rumah.
"Siapakah anaknya yang sulung itu?"
Bertanya Ki Wangut kemudian.
"Mahisa Bungalan. Ia sudah lama meninggalkan rumahnya. Mungkin ia pergi merantau karena titisan darah ayahnya"
"Ayahnya seorang pengembara?"
Bertanya Ki Wangut.
"Maksudku ia soerang saudagar yang sering pergi jauh membawa barang dagangannya"
Ki Wangut mengangguk-angguk, nama itu pernah di dengarnya, anak muda yang berada di rumah orang tua, anak perempuan serta cucu laki-lakinya adalah Mahisa Bungalan.
Orang-orang Ki Wangut yang mencari keterangan keluarga perempuan dan anak laki-lakinya memang pernah menyebutnya.
Anak muda yang bersama perempuan yang di rumah kakek itu bernama Mahisa Bungalan.
"Kita harus melakukan sebelum mereka memasuki rumah rumah itu. Kita harus memperhitungkan tiga orang lagi diantara mereka"
Berkata Ki Tunda Wara.
"Tetapi mereka mereka tidak memiliki kemampuan seperti Mahisa Bungalan dan kakek tua itu"
Sahut Ki Wangut.
Ki Tunda Wara tidak dapat mempersoalkannya lagi, karena hal itu sudah terjadi.
Tetapi ia mempunyai pendapat yang sama seperti yang dikatakan oleh Ki Wangut.Di rumah itu tentu Mahisa Bungalanlah yang paling disegani.
Namun saudagar dan kedua anak muda yang lain itupun harus diperhitungkann baik-baik.
"Kita masih harus menunggu"
Berkata KiTunda Wara.
"Ya. Kita masih harus menunggu sampai malam. Mungkin kita akan bergerak dan memasuki rumah itu. Menghancurkan semuanya tanpa ampun, dan aku kira di dalam rumah itu ada juga beberapa jenis perhiasan dan permata di samping beberapa jenis wesi aji. Bukankah itu patut diperhitungkan juga"
Ki Tunda Wara mengerutkan keningnya, kemudian dengan bersungut-sungut ia berkata "Kau masih anak iblis. Ternyata kau tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh harta benda itu"
"Bukankah sudah aku katakan bahwa yang aku lakukan ini adalah karena aku akan mendapat upah yang banyak sekali, sementara perempuan yang kita buru adalah perempuan yang sangat cantik, tetapi aku sama sekali tidak tertarik kepada perempuan yang manapun juga"
"Persetan dengan perempuan itu"
Potong Ki Tunda Wara "aku berbaut karena kau merengek-rengek, aku tidak memikirkan apapun juga dalam kerja ini "
"Juga tidak memikirkan perempuan yang sangat cantik itu"
"Tidak. Aku belum pernah melihatnya. Karena itu ia tidak dapat menggerakkan minatku. Sekali lagi aku katakan bahwa aku melakukan semuanya ini karena kau. Sadari hal itu. Jika ada persoalan lain, itu tentu tumbuh kemudian. Tetapi aku sama sekali tidak berminat untuk memiliki harta benda ataupun perempuan itu"Ki Wangut mengangguk-angguk, tetapi ia tersenyum di dalam hati, ia mengenal saudara perguruannya dengan baik. Dan iapun mengetahui di padepokannya tersimpan beberapa orang perempuan yang tidak akan dapat meninggalkannya. Kecuali mereka yang memang sudah waktunya dicampakkan pergi. Agar padepokannya tidak menjadi penuh karenanya. Dengan demikian, maka Ki Tunda Wara dan Ki Wangut sudah memutuskan untuk memasuki rumah itu dengan pertimbangan yang lebih masak. Mereka masih juga memikirkan orang-orang di sebelah menyebelah. Jika mereka memiliki keberanian dan bahkan ada di antara mereka yang memiliki kemampuan, maka usaha itu akan mengalami kesulitan.
"Kita tidak mengetahui keadaan padukuhan ini sebaik- baiknya"
Berkata Ki Tunda Wara "kita jangan terjebak oleh ketergesa-gesaan sehingga kita akan mengalami kegagalan lagi"
Ki Wangut mengangguk-angguk.
Ia sadar, bahwa orang- orangnya tentu akan mengeluh dan tidak menyetujuinya.
Tetapi iapun tidak mau mau gagal lagi.
Sehingga karena itu, iapun harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya.
Seperti yang pernah dilakukan, maka merekapun menyingkir di siang hari, meskipun mereka masih juga mengawasi jalan keluar dari padukuhan itu.
Kemudian di malam hari, mereka berusaha untuk dapat menginap di banjar padukuhan, sementara empat orang diantara mereka, masih tetap mengawasi jalan keluar.
Di banjar itulah mereka dapat berbicara dengan beberapa orang anak muda yang berada di gardu di depan banjar itu.
Dari mereka, Ki Wangut dan Ki Tunda Wara mendengar serba sedikit tentang keadaan padukuhan itu dan keadaanMahendra yang di padukuhannya dikenal sebagai seorang saudagar.
Kedua anaknya itu juga sering berada di banjar ini"
Berkata anak-anak muda itu.
Keduanya mengangguk-angguk.
Dan anak-anak muda itupun berceritera beberapa hal tentang kedua adik Mahisa Bungalan dan tentang Mahisa Bungalan sendiri.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahendra anak-anaknya bukanlah orang-orang yang sombong di padukuhannya.
Mereka tidak dengan sengaja menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tidak ada taranya.
Bahkan kadang-kadang Mahendra berusaha untuk menyatakan dirinya, tidak lebih dari orang-orang di sekitarnya.
Meskipun di masa mudanya, Mahendra adalah seorang anak muda yang lain dari kawan-kawannya, karena mempunyai banyak kelebihan.
Namun di hari tuanya, seolah-olah apa yang pernah dilakukannya di masa mudanya itu sudah dilupakan orang.
Apalagi anak-anak yang kemudian tumbuh dewasa sebaya dengan anak Mahendra, tidak mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh Mahendra di masa mudanya, selagi ia masih selalu berada diantara saudara-saudara seperguruannya.
Karena itulah, maka ceritera tentang Mahendra dan kedua anak laki-lakinya yang muda, sama sekali tidak menggetarkan jantung Ki Wangut dan Ki Tunda Wara.
"Yang harus diperhitungkan hanyalah Mahisa Bungalan dan orang tua itu"
Berkata Ki Wangut ketika mereka sudah berada di serambi belakang banjar padukuhan.
Sementara itu, di rumah Mahendra, Mahisa Bungalan duduk berdua saja dengan ayahnya di pendapa.
Ki Wastu,anak perempuan dan cucunya telah di persilahkan beristirahat di gandok sebelah kiri.
-oo0dw0oo-
Jilid 09 KEDATANGAN Mahisa Bungalan memang telah mengejutkan orang tuanya. Apalagi ia datang bersama seorang kakek dan seorang perempuan dan anaknya. Tetapi Mahendra tidak menunjukkan sikap yang masam, ketika ia menyambut tamu-tamunya.
"Mahisa Bungalan"
Bertanya Mahendra "aku balum jelas, bagaimanakah kedudukan kakek tua itu beserta anak perempuannya. Keteranganmu yang singkat itu menumbuhkan teka-teki padaku"
"Seperti yang aku katakan ayah. Perempuan itu adalah isteri dari Pangeran Kuda Padmadata di Kediri"
Sahut Mahisa Bungalan.
"Apakah kau mempunyai hubungan khusus dengan perempuan itu?"
Bertanya ayahnya.
"Tidak ayah. Sebenarnya tidak. Aku hanya ingin menolongnya, karena seolah-olah di dunia ini tidak ada lagi tempat baginya. Ia selalu diburu oleh bayangan maut"
Jawab Mahisa Bungalan. Dan iapun menceriterakan bagaimana ia membebaskan perempuan itu dari sebuah gubug di hutan tertutup. Bahkan karena itu, ia sudah terpaksa membunuh beberapa orang yang mengawasinya.
"Jadi sekian banyak orang yang digerakkan untuk membunuhnya bersama anaknya? Apakah nilai warisan Pangeran Kuda Padmadata itu sedemikian banyaknya, sehingga sebagian kecil daripadanya cukup untukmengupah sekian banyak orang"
Mahisa Bungalnn menarik nafas dalam-dalam.
Pertanyaan ayahnya itu memang dapat dimengertinya.
Sehingga iapun bertanya kepada diri sendiri.
Berapa banyak warisan yang mungkin akan ditinggalkan Pangeran itu kelak.
Karena Mahisa Bungalan tidak segera menajwab, maka Mahendrapun kemudian berkata "Agaknya kaupun tidak mengerti Mahisa Bungalan.
Tetapi baiklah kita anggap bahwa ada pihak yang ingin membunuh perempuan dan anak itu, agar keduanya tidak dapat lagi berbicara tentang warisan"
Mahendra berhenti sejenak, lalu "Adalah satu kenyataan, bahwa perempuan dan anaknya itu kini berada di rumah ini.
Katakan Mahisa Bungalan, apakah rencanamu kemudian? Selama ini aku menanti-nanti kapan kau pulang setelah kau puas bertualang.
Bukankah kita sudah ditunggu pula untuk datang kepada kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra, menyerahkan tekad pengabdianmu dalam lingkungan keprajuritan"
"Ayah"
Berkata Mahisa Bungalan kemudian "aku ingin menghadap Pangeran Kuda Padmadata.
Aku ingin mendapat penjelasan, apakah yang sebenarnya telah terladi.
Apakah benar bahwa perempuan itu memang isterinya.
Jika demikian, maka ia mempunyai seorang anak laki-laki"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata "Mungkin Pangeran Kuda Padmadata memang seorang yang kaya raya.
Yang memiliki berpuluh-puluh keping emas, intan, berlian dan jenis-jenis permata yang lain.
Aku yang mengenal nilai permata memang dapat membayangkan, betapa banyak harta benda itu.
Namun apakah mungkin, bahwa rencana itu juga dilakukan karena harga diri.
Keluarga Pangeran Padmadata tidak mau melihat keturunan Pangeran KudaPadmadata dikotori oleh darah keturunan tataran padukuhan"
Mahisa Bungalan meng-angguk-angguk.
Iapun tidak membantah kemungkinan itu.
Sementara itu ayahnya berkata selanjutnya "Namun bagaimanapun juga usaha pembunuhan itu tidak berbeda.
Karena itu, memang sebaiknya Pangeran Kuda Padmadata memberikan penjelasan tentang hal ini.
Kecuali jika rencana ini memang sudah diketahuinya pula"
"Ah"
Desah Mahisa Bungalan "aku kira ia bukan orang yang demikian bengisnya terhadap anak laki-lakinya. Mungkin ia dapat berbuat demikian terhadap isterinya tetapi terhadap darah dagingnya sendiri?"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "Jadi kau masih akan melakukan perjalanan ki Kediri?"
"Ya ayah"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Mahesa Bungalan.
"Perjalanan yang berbahaya. Siapa tahu, bahwa d Kediri telah menunggu beberapa orang yang sudah memperhitungkan, bahwa kemungkinan seperti yang akan kau lakukan itu akan terjadi"
"Memang mungkin"
Jawab Mahisa Bungalan "tetapi apakah dengan demikian kita tidak mengambil satu sikap apapun?"
"Maksudku bukan begitu. Tetapi kau harus berhati hati menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi"
Mahendra berhenti sejenak, lalu "jika kau benar-benar ingin ke Kediri, datanglah kepada pamanmu Mahisa Agn atau pamanmu Witantra.
Mereka pernah berada di Kediri untuk satu jabatan tertinggi.
Karena itu, mungkin keduanya akan dapat banyak memberikan petunjuk kepadamu, apa yangsebaiknya kau lakukan.
Karena tidak mustahil bahwa justru di Kediri terdapat orang-orang yang benar-benar tidak dapat terkalahkan yang melingkari Pangeran Kuda Padmadata.
Mungkin orang-orang yang sedang mengejar perempuan itu sama sekali tidak mengenal jalur induk dari rencana ini.
Dan mereka bukanlah orang yang sebenarnya patut diperhitungkan, karena mereka dipilih sekedar untuk membunuh seorang perempuan dan anak-anak"
"Tetapi mereka kini menyadari, bahwa mereka tidak dapat berbuat tanpa perhitungan. Beberapa orang diantara mareka sudah terbunuh"
Jawab Mahisa Bungalan.
"Ya. Karena itulah maka baik kau yang akan pergi ke Kediri, maupun yang ditinggalkan disini harus berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan"
Berkata Mahendra.
"Ya ayah. Aku akan menghubungi paman Mahisa Agni dan paman Witantra sebelum aku pergi ke Kediri"
Sahut Mahisa Bungalan "tetapi apakah tidak sebaiknya kita berbicara dengan kakek itu"
"Tidak ada salahnya. Panggillah"
Berkata Mahendra. Mahisa Bungalan pun kemudian memanggil Ki Wastu untuk ikut berbicara tentang rencana kepergian Mahisa Bungalan ke Kediri.
"Kau tinggal disini saja kek. Mudah-mudahan kalian aman tinggal di rumah ini"
Berkata Mahisa Bungalan.
Ki Wastu membungkuk dalam-dalam.
Katanya "Aku mengucapkan beribu terima kasih.
Tetapi apakah dengan demikian, kami tidak akan terlalu banyak mengganggu.
Angger Mahisa Bungalan sudah mempertaruhkan nyawanya menyelamatkan anak dan cucuku tanpa pamrih.
Dan sekarang, tidak mustahil bahwa persoalannya akan merambat sampai kerumah ini, justru karena kami berada disini""Kemungkinan-kemungkinan itu memang dapat terjadi Ki Wastu"
Berkata Mahendra "tetapi ini adalah kemungkinan yang paling baik yang dapat kita tempuh bersama. Karena itu, tenangkan hati kalian disini, meskipun kita semuanya memang harus berhati-hati. Biarlah Mahisa Bungalan pergi ke Kediri"
"Ada semacam kecemasan di hati"
Berkata Ki Wastu "bukan saja karena kami akan ditinggalkan oleh angger Mahisa Bungalan, tetapi juga perjalanan angger Mahisa Bungalan itu sendiri"
"Mudah-mudahan tidak banyak hambatan di perjalanan"
Berkata Mahisa Bungalan "demikian juga, mudah mudahan tidak akan ada sesuatu yang dapat mengancam keselamatan kalian disini. Selama aku pergi, kalian tinggal bersama ayah dan adik-adikku"
Ki Wastu tidak dapat menolak rencana yang akan dilakukan oleh Mahesa Bungalan, meskipun dengan demikian ia merasa, bahwa Mahisa Bungalan telah terlalu banyak berbuat bagi keluarganya.
Selebihnya, ia memang benar-benar merasa cemas, seandainya orang-orang yang tentu masih saja memburu anak dan cucunya itu sampai pula ke rumah yang akan ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan itu.
Ia tidak terlalu mencemaskan dirinya sendiri, seandainya ia akan menjadi korban, karena itu memang sudah men jadi beban kewajibannya, bahkan tanggung jawabnya.
Tetapi jika isi rumah itu harus mengalami akibat yang buruk, maka ia tidak akan sampai hati membiarkannya terjadi.
Namun agaknya Mahisa Bungalan sudah bertekad bulat.
Dihari berikutnya, Mahisa Bungalan sudah akan siap untuk berangkat.
Tetapi Mahisa Bungalan akan singgah di Singansari, menjumpai Mahisa Agni dan Witantra untukmendapat keterangan apakah yang sebaiknya dilakukan di Kediri.
Demikianlah, ketika matahari terbit, Mahisa Bungalan meninggalkan rumahnya menuju ke Kediri.
Ketika ia keluar dari padukuhannya, maka ia tidak terlepas dari pengamatan orang-orang Ki Wangut yang dengan tergesa-gesa melaporkannya.
"Anak muda itu"
Berkata pengikut Ki Wangut itu "ia tentu yang berada di pedati yang kita ikuti. Ialah yang kemudian turun dan berjalan di sisi lembunya untuk beberapa tonggak menjelang akhir dari perjalanan mereka.
"Kemana anak itu?"
Desis Ki Wangut.
Pengiringnya menggelengkan kepalanya.
Namun Ki Tunda Warapun kemudian tersenyum sambil berkata "Adalah kebetulan sekali.
Dengan demikian, maka kekuatan yang ada di rumah itu telah berkurang.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana