Panasnya Bunga Mekar 2
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 2
Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja
"Aku akan pergi ke Ganter"
Berkata Mahisa Bungalan "aku akan berusaha bertemu dengan Gemak Werdi. Mudah-mudahan segala salah paham akan dapat dihapuskan"
Ki Buyut tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Sebenarnya ia masih menghendaki agar Mahisa Bungalan tinggal satu dua hari di Watan, dengan penerimaan sesuai dengan keadaan yang sekuatnya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat memenuhinya.
"Selama kau disini ngger, kau kami anggap seorang perantau yang perlu mendapat belas kasihan, sehingga kauaku persilahkan tinggal di banjar. Tetapi ternyata sambutan kami itu keliru"
"Tidak Ki Buyut. Justru yang Ki Buyut lakukan adalah tindakan yang tepat. Dan aku sangat berterima kasih karena hal itu"
Berkata Mahisa Bungalan yang kemudilan sekali lagi mohon diri untuk meninggalkan padukuhan Watan.
"Pada suatu saat aku akan kembali"
Berkata Mahisa Bungalan "aku ingin, melihat Watan yang lebih baik, dan melihat apakah Ki Lambun tidak ingkar janji"
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan dan Ki Makertipun meninggalkan Watan menuju ke Ganter.
Mahisa Bungalan ingin menjernihkan kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Gemak Werdi.
Bahkan mungkin dengan gurunya.
Ganter memang tidalk terlalu jauh dari Watan.
Karena itu, maka mereka tidak perlu berjalan terlalu lama, meskipun sampai di Ganter matahari telah jauh condong di sebelah Barat.
"Marilah"
Berkata Makerti "singgahlah di rumahku. Nanti kita akan mengunjungi Gemak Werdi"
Mahisa Bungalan tidak menolak.
Iapun ikut Makerti singgah di rumahnya.
Rumah Makerti bukanlah yang besar.
Tetapi cukup menarik.
Halamannya terasa sejuk oleh tetumbuhan dan pohon-pohon bunga.
Sebatang Kembang Kemuning tumbuh di sudut rumah.
Bunganya yang kembang, membuat seluruh batangnya menjadi hijau kekuning- kuningan.
Di dekat regol tumbuh sebatang pohon bunga Soka merah, sedangkan bunga arum dalu nampak mekar di sudut halaman."Kau telaten memelihara halaman remahmu"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Aku tidak mempunyai kerja lain. Sepeninggal isteriku, aku sibukkan diriku dengan kerja disawah dan di kebun serta halaman"
Jawab Makerti.
"O"Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Isteriku meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku tidak mempunyai seorang anakpun"
"Jadi kau tinggal di rumah ini seorang diri?"
"Dengan adikku. Ia seorang laki-laki muda yang rajin. Tetapi ia tidak tertarik pada olah kanuragan meskipun ia mempelajarinya pula. Umurnya lebih muda sedikit dani Gemak Werdi. Ia adalah adikku yang sulung. Diantara aku dan adikku masih terdapat tiga orang saudaraku. Semuanya perempuan dan ikut bersama suami masing-masing"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sebelum ia bertanya, Makerti telah melanjutkannya "Adikku pandai masak dan memelihara rumah, sementara aku sendiri mempergunakan waktu senggangku untuk berbuat serupa"
Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk.
Itulah sebabnya, maka Makerti sempat melakukan petuatangan- petualangan kecil bersama Gemak Werdi.
Agaknya ia merasa kesepian di rumahnya, sehingga timbullah keinginannya untuk berbuat sesuatu.
Kedatangan Mahisa Bungalan di rumah itu, seolah-olah telah membantu membangkitkan suasana yang sepi.
Ternyata adik Makerti yang masih muda itu merasa senang sekali mendapat kunjungan seseorang yang pantas dihormati.
Ia segera mendengar segala sesuatu tentang Mahisa Bungalan dari kakaknya, sehingga karena itu, makaadik Makerti itupun menjadi sangat hormat kepada tamunya.
"Jangan berlebih-lebihan"
Desis Mahisa Bungalan kepada Makerti "beri tahu adukmu, aku bukan orang penting di Singasari. Adalah kebetulan bahwa aku sering datang ke Kota Raja. Rumahku sendiri tidak di Kota. Raja"
Makerti tersenyum, jawabnya "Aku mengajarinya hormat kepada para tamu siapapun mereka itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
Adalah wajar bahwa seorang kakak mengajar adiknya berbuat baik Tetapi rasa-rasanya segan juga untuk menerima penghormatan yang berlebihan.
Setelah beristirahat sejenak, maka ketika Ganter mulai diselubungi oleh kegelapan, Mahisa Bungalan diantar oleh Makerti pergi ke rumah Gemak Werdi yang masih bersangkut paut sanak meskipun sudah agak jauh.
Tetapi keduanya ternyata tidak menjumpai Gemak Werdi di rumah.
Ayahnya yang menerima keduanya mempersilahkan mereka masuk.
Namun dengan menyesal ayah Gemak Werdi itu berkata "Gemak Werdi baru pergi menghadap gurunya.
Sayang kau tidak dapat bertemu dengan anak itu"
Makerti mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Apakah kakang mengetahui, persoalan apakah yang telah mendorongnya pergi menghadap gurunya?"
"Mana aku tahu Makerti. Seharusnya kaulah yang memberi-tahukan kepadaku, kenapa anak itu tiba-tiba saja ingin menghadap gurunya. Apakah ia tidak mengatakannya kepadamu?"Makerti menjadi berdebar-debar. Namun jawabnya "Gemak Werdi tidak mengatakan kepadaku kakang, bahwa ia akan menghadap guru hari ini"
Makerti hanya mengangguk-angguk saja.
Tetapi orang tua itupun merasa aneh, karena biasanya Gemak Werdi lebih banyak bergaul dengan Makerti daripada dengan orang tuanya.
Makertipun kemudian mengajak Mahisa Bungalan meninggalkan rumah Gemak Werdi.
Malam itu, Mahisa Bungalan dipersilahkan bermalam di rumah Makerti.
Terhadap Makerti, Mahisa Bungalan tidak dapat ingkar lagi tentang dirinya.
Makerti adalah orang yang baik menurut penilaian Mahisa Bungalan, sehingga terhadapnya iapun kemudian berterus terang.
"Besok pagi-pagi kita menyusul Gemak Werdi"
Berkata Makerti kepada Mahisa Bungalan "Kita akan berkuda, agar kita tidak kehilangan banyak waktu diperjalanan"
"Apakah padepokannya sangat jauh dari padukuhan ini?"
Bertanya Mahjsa Bungalan.
"Tidak terlalu jauh. Jika kita berkuda, kita akan bermalam satu hari di perjalanan. Tetapi aku tahu tempat menginap yang paling baik, karena aku dan Gemak Werdi selalu menginap di padukuhan itu. Aku kenal benar dengan seorang Buyut yang baik yang selalu memberikan tempat menginap kepadaku dan Gemak Werdi"
Jawab Makerti.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
Ternyata padepokan ku tidak terlalu dekat, sehingga diperlukan waktu bermalam diperjalanan, meskipun Makerti sudah terbiasa menginap di tempat tertentu jika ia pergi ke padepokan itu.Ketika fajar menyingsing, maka adik Makerti telah menyiapkan dua ekor kuda, yang akan dipergunakan oleh Makerti dan Mahisa Bungalan pergi ke padepokan tempat Gemak Werdi berguru.
Setelah makan pagi, dan dengan sekedar bekal di perjalanan maka Makertipun, meninggalkan rumahnya bersama Mahisa Bungalan untuk suatu perjalanan yang mendebarkan.
"Mudah-mudahan guru tidak salah paham"
Berkata Makerti. Mahiisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun kemudian mengetahui bahwa Makerti dan Gemak Werdi adalah dua orang saudara seperguruan, meskipun Makerti menurut urutan darah meskipun sudah tidak terlalu dekat, adalah paman Gemak Werdi.
"Aku sudah lama meninggalkan padepokan itu"
Berkata Makerti "aku telah mencoba mematangkan ilmuku menurut kemampuanku, meskipun ternyata sama sekali tidak berarti.
Tetapi bekal yang diberikan kepada Gemak Werdi oleh guru, agaknya lebih banyak dari yang diberikan kepadaku, meskipun ia masih belum sempat mengembangkannya.
Tetapi sesuai dengan sifat dan kemudaannya, maka ia telah berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri.
Ia ingin menyatakan kepada orang lain, bahwa ia baru saja turun dari perguruan"
"Agaknya itu sudah sewajarnya terjadi"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Apakah kau berbuat serupa pula ketika kau baru saja menyelesaikan masa berguru?"
Bertanya Makerti.
"Aku masih belum selesai berguru. Masa ini adalah masa pemantapan ilmu yang sudah aku terima dari guruku.Tetapi pada suatu saat, aku akan kembali lagi untuk menekuni ilmu yang masih belum dilimpahkan kepadaku oleh guruku"
"Gurumu tentu orang yang luar biasa"
Desis Makerti.
"Tidak. Guruku bukan orang luar biasa. Jika luar biasa itu hanyalah dalam hubungan darah. Guruku yang seorang adalah ayahku sendiri"
Jawab Mahisa Bungalan.
"O"
Makerti mengangguk. Tetapi ia bertanya "Berapa orang guru yang menuntun kau dalam olah kanuragan?"
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya kemudian "Aku menyadap ilmu dari siapapun. Bahkan dari Ki Lambunpun aku mencoba berguru. Sebenarnyalah bahwa pengalaman adalah guru yang sangat baik"
Makerti menarik nafas dalam-dalam.
Ia sadar, bahwa Mahisa Bungalan masih belum bersedia menyebut nama guru-gurunya.
Karena itu, maka iapun tidak memaksa.
Perjalanan mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh.
Matahari yang kemudian memanjat langit, sinarnya terasa semakin panas membakar kulit.
Namun ternyata bahwa keduanya adalah dua orang yang sudah terbiasa dipanggang di panasnya matahari dan direndam di dinginnya embun malam, sehingga panasnya matahari tidak terasa mengganggu perjalanan mereka.
Bahkan perjalanan itu terasa menarik bagi Mahisa Bungalan, karena daerah yang dilaluinya itu belum pernah dilihatnya sebelumnya.
Seperti yang dikatakan oleh Makerti, bahwa mereka akan bermalam satu malam diperjalanan.
Seperti biasanya, maka Makerti telah membawa Mahisa Bungalan menuju ke padukuhan di tempat ia sering singgah.Ketika matahari menjadi semakin condong, maka merekapun menjadi semakin dekat dengan tempat Makerti biasa bermalam.
Di perjalanan merekapun terpaksa beristirahat untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat pula.
Padukuhan yang mereka tuju sebagai tempat untuk singgah, adalah padukuhan yang tidak begitu besar.
Penduduknya tidak terlalu banyak, tersebar pada beberapa padukuhan kecil.
Yang terbesar dari padukuhan-padukuhan itu adalah padukuhan induk, yang merupakan pusat dari padukuhan itu.
Di padukuhan induk itu terdapat sebuah pasar kecil dengan beberapa buah warung di pinggir jalan yang cukup banyak dilalui orang.
Bukan saja orang yang bepergian dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain di selkitar padukuhan induk itu, tetapi jalan itupun merupakan jalur jalan yang panjang, yang menghubungkan banyak padukuhan di deerah yang luas.
Sebelum matahari tenggelam, maka mereka berdua telah beirada di regol halaman rumah Ki Buyut.
Sambil turun dari punggung kudanya Makerti berkata "Ki Buyut sudah agak tua.
Tetapi ia masih seorang Buyut yang bekerja keras bagi padukuhan dan rakyatnya"
Kedatangan Makerti disambut dengan gembira oleh Ki Buyut yang sudah lama tidak bertemu.
Merekapun kemudian diterima dipendapa rumahnya yang cukup besar dibanding dengan rumah-rumah lain disekitarnya.
Selelah memperkenalkan Mahisa Bungalan dan menyatakan keselamatan perjalanannya, maka Makertipun bertanya "Apakah semalam Gemak Werdi singgah disini pula Ki Buyut?"Ki Buyut mengerutkan keningnya.
Dengan ragu-ragu ia bertaya "Gemak Werdi tidak singgah sama sekali.
Apakah ia pergi ke padepokan Kenanga?"
Makerti mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk. Jawabnya "Menurut ayahnya, ia pergi ke padepokan guru. Ia pergi tanpa memberitahukannya kepadaku"
"Aneh, biasanya Ki Makerti selalu bersama angger Gemak Werdi"
Desis Ki Buyut.
"Ada sesuatu yang telah mengganggu perasaannya Ki Buyut, sehingga ia pergi tanpa aku. Tetapi bahwa ia tidak singgah dan bermalam disini, rasa-rasanya telah menggelisahkan sekali. Mudah-mudahanan ia tidak sempat berisirahat disini karena tergesa-tergesa saja"
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya "Tetapi bukankah aku tidak melakukan kesalahan terhadap angger Gemak Werdi?"
"Tentu tidak Ki Buyut. Tentu tidak"
Jawab Makerti dengan serta merta "yang terjadi adalah, Gemak Werdi nampaknya kurang senang atas peristiwa yang terjadi di Watan, sehingga ia ingin menghadap guru dan mungkin untuk mendapatkan pertimbangan"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Gumamnya "Mudah- mudahan ia tidak marah kepadaku karena sesuatu yang tidak aku sadari"
"Ki Buyut selalu berbuat baik kepadaku dan kepada Gemak Werdi. Nampaknya peristiwa yang terjadi di Watan itu begitu mencengkam hatinya, sehingga ia tergesa-gesa sekali untuk segera bertemu dengan guru"Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun masih membayang kekhawatirannya bahwa ia telah melakukan sesuatu yang tidak disenangi oleh Gemak Werdi. Dalam itu Makerti dan Mahisa Bungalan telah bermalam di rumah Ki Buyut dengan mendapat tempat dan pelayanan sebaik-baiknya seperti biasanya. Bahkan nampaknya Ki Buyut bersikap terlalu baik karena kekhawatirannya tentang Gemak Werdi. Setelah makan malam, Makerti dan Mahisa Bungalan tidak segera pergi ke bilik yang sudah disediakan. Mereka masih duduk sejenak, bercakap-cakap dengan Ki Buyut berserta keluarganya. Bahkan demikian asyiknya mereka berbicara di ruang dalam, sehingga malam pun menjadi semakin larut.
"Ki Makerti"
Berkata Ki Buyut kemudian "malam sudah larut. Silahkan Ki Makerti dan angger Mahisa Bungalan beristirahat. Bukankah besok kalian masih akan melanjutkan perjalanan"
Ki Makerti tersenyum. Nampaknya Ki Buyut memang sudah sangat mengantuk. Bahkan matanya kadang-kadang telah terkatup dan pembicaraannyapun kadang-kadang telah menjadi kabur.
"Terima kasih Ki Buyut"
Berkata Makerti kemudaan "kami akan beristirahat agar besok pagi-pagi benar kami dapat bangun dan berangkat untuk meneruskan perjalanan"
Ki Buyut mengangguk-angguk.
Tetapi kadang-kadang matanya telah terkatub.
Demikian Makerti dan Mahisa Bungalan memasuki biliknya, Ki Buyutpun segera masuk pula ke bilik tidurnya.
Begitu ia merebahkan diri, maka tiba-tiba saja telah terdengar ia mendengkur.Di dalam biliknya Makertipun rasa-rasanya telah dicekam oleh perasaan kantuk yang sangat.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan kemudlian ia menjadi curiga, apakah yang telah menyebabkannya.
Ketika ia berpaling kepada Mahisa Bungalan yang masih duduk di dingklik kayu di dalam bilik itu, ia melihat anak muda itu sedang merenungi scsualu.
"Mahisa Bungalan, apakah kau sedang mean perhitungkan sesuatu yang asing malam ini?"
"Ya Ki, Makerti. Ada sesuatu yang agaknya telah mengganggu kesadaranku"
Ki Makerti mengangguk-angguk. Kemudian iapun beringsut mendekati Mahisa Bungalan sambil berbisik "Guru ada di sini sekarang"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.
Ia menjadi heran mendengar kata-kata Makerti itu.
Tetapi sebelum ia bertanya Makerti telah berbisik pula "Aku mengenal ilmu semacam ini.
Guru tentu sedang menjajagi, apakah orang yang diceriterakan oleh Gemak Werdi mampu mengatasi ilmunya yang langsung menyentuh kesadaran orang lain"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya Ki Buyut tidak dapat bertahan lebih lama lagi untuk duduk dan berbincang.
"Bagaimana perasaanmu Mahisa Bungalan? bertanya Makerti"
"Aku akan mencoba mengatasi. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aku pernah mempelajari juga dari guru. Dan aku telah berusaha mengembangkannya sendiri, sehingga rnudah- mudahan akupun dapat mengatasinya"Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian "Tetapi aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku tidak merasa perlu untuk menanggapinya, agar kesalah pahaman itu tidak menjadi semakin meluas"
Makerti mengangguk-angguk.
Iapun menyadari, bahwa Gemak Werdi tentu sudah menghadap gurunya dan mencerkerakan apa yang sudah terjadi.
Agaknya gurunyapun yakin, bahwa Makerti akan menyusui Gemak Werdi bersama Mahisa Bungalan, sehingga karena itu, maka gurunya telah datang ke tempat Makerti selalu menginap untuk menjajagi kemampuan orang yang tentu sudah diceritakan oleh Gemak Werdi.
Mahisa Bungalan dan Makerti yang masih duduk di dalam bilik yang disediakan bagi mereka.
Dengan mengerahkan kemampuan daya tahan mereka, keduanya berusaha mengatasi ilmu yang meliputi rumah Ki Buyut.
Dengan susah payah Ki Makerti mencoba bertahan.
Tetapi karena lontaran ilmu gurunya terasa menjadi semakin kuat, maka lambat laun, daya tahannyapun rasa- rasanya menjadi semakin menurun.
Bahkan matanya perlahan-lahan mulai terpejam.
Tetapi Makerti mencoba bertahan terus.
Dengan segenap kekuatan lahir dan batinnya, ia justru mencoba berdiri dan berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.
"Luar biasa"
Desisnya ketika ia berdiri dekat dihadapan Mahisa Bungalan "aku tidak tahan lagi. Mungkin guru kini telah berada di pendapa atau di pringgitan. Ilmu ini semakin mencekik"
Mahisa Bungalan memandanginya. Perlahan-lahan ia berbisik "Apakah Ki Makerti merasa bahwa tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi?""Mungkin aku akan terjerembab dan tertidur sebentar lagi"
Desisnya "aku tidak tahan lagi"
"Duduklah di sisiku"
Desis Mahisa Bungalan.
Ki Makerti termangu-mangu sejenak.
Tetapi matanya terasa menjadi semakin berat.
Karena Ki Makerti masih bertahan untuk berdiri meskipun nampaknya keseimbangannya sudah mulai terganggu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian menarik tangannya dan mempersilahkannya duduk disisinya.
"Tenanglah"
Berkata Mahisa Bungalan.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak melepaskan tangan Ki Makerti.
Sejenak Ki Makerti masih harus bertahan dengan sekuat tenaga.
Namun kemudian terasa dari tangan Mahisa Bungalan seolah-olah tersalur arus panas ke urat darahnya dan perlahan-lahan mengalir ke seluruh tubuhnya.
Meskipun Ki Makerti sudah menjadi sangat mengantuk, tetapi ia masih merasa arus panas di tubuhnya itu.
Bahkan kemudian jantungnyapun serasa menjadi panas pula.
Perlahan-lahan namun pasti, maka perasaan kantuknya bagaikan terusir dari dirinya.
"Luar biasa"
Ki Makerti berdesis.
Mahisa Bungalan memberi isyarat agar Ki Makerti diam sejenak.
Ki Makertipun kemudian terdiam.
Seperti Mahisa Bungalan ia mencoba mendengarkan setiap desir yang paling lembut sekalipun.
Kedua orang di dalam bilik itu rasa-rasanya telah membeku.
Ki Makerti mengerti maksud Mahisa Bungalan, agar di dalam bilik itu tidak terdengar suara apapun.
Bahkan sejenak kemudian Mahisa Bungalan yang duduk sambil memegang tangan Ki Makertii itu, telah mengaturpernafasannya, sehingga suaranya teratur seperti orang yang sedang tertidur nyenyak.
Sebenarnyalah bahwa Di luar rumah Ki Buyut dua orang telah berdiri di pringgitan.
Mereka berusaha untuk mengetahui apakah seisi rumah itu sudah tertidur nyenyak.
"Sulit untuk mengerti"
Desis salah seorang dari mereka "mereka berada di dalam bilik yang berada di ruang dalam"
Yang seorang dari keduanya adalah Gemak Werdi.
Ternyata ia tidak berhasil menguasai tubuhnya seperti gurunya.
Langkahnya pun masih terdengar berdesir di atas lantai, sementara suaranyapun bergetar sampai ke telinga Mahisa Bungalan yang sangat tajam "Tetapi aku tidak, mendengar suara apapun lagi guru"
Mahisa Bungalan mengangguk kecil, sementara Ki Makerti yang juga mendengar, meskipun hanya desis lambat mengangguk pula.
"Tetapi tidak seorangpun yang dapat menolak ilmuku"
Berkata guru Gemak Werdi.
"Lalu, apakah yang akan kita kerjakan"
Bertanya Gemak Werdi. -oo0dw0oo-
Jilid 02
"SEBENARNYA aku ingin tahu pasti, apakah anak muda yang kau sebut sombong itu mampu menahan ilmuku"
"Bagaimana cara yang akan guru tempuh"
"Panggil anak itu. Jika ia masih kuat bertahan, ia tentu akan keluar dari biliknya"Sejenak Gemak Werdi termangu-mangu. Dipandanginya pintu rumah Ki Buyut yang tertutup sehingga mereka hanya dapat berdiri di pringgitan. Sejenak kemudian, maka Gemak Werdi itupun berdesis "Paman Makerti. Paman Makerti"
"Jangan takut. Berteriaklah. Tetapi kenapa Makerti yang kau panggil?"
"Jika anak itu ada bersama paman Makerti, maka ia tentu akan keluar juga dari dalam biliknya"
"Sebut namanya"
"Aku ragu-ragu. Apakah namanya itu adalah namanya sebenarnya"
Guru Gemak Werdi termangu-mangu. Namun kemudian katanya "Berteriaklah. Tidak akan ada orang yang mendengar"
Gemak Werdipun kemudian memanggil semakin keras.
Dalam pada itu, Makerti yang berada di dalam bilik bersama Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu.
Ia mendengar Gemak Werdi memanggilnya.
Tetapi setiap kali Mahisa Bungalan selalu menggeleng untuk menahan agar Makerti tidak bergerak.
Akhirnya Makerti mengerti maksud Masisa Bungalan.
Biarlah gurunya dan Gemak Werdi menganggap bahwa mereka berdua telah tertidur nyenyak.
Gemak Werdi masih mengulangi beberapa kali memanggil Makerti.
Namun sama sekali tak ada seorangpun yanng menyahut dari dalam.
"Mereka tentu sudah tertidur nyenyak"
Berkata Gemak Werdi "apakah kita akan memecah pintu dan masuk ke dalam?""Untuk apa?"
Bertanya gurunya.
"Bukankah guru ingin menjajagi kemampuan anak muda itu?"
"Bukankah aku sudah melakukannya. Ia tidak mampu melawan ilmuku. Ternyata bahwa pengetahuannya tidak terlalu tinggi. Mungkin ia memiliki kekuatan jasmaniah yang besar, tetapi itu tidak akan berarti apa-apa melawan ilmuku"
"Jadi, apakah maksud guru seterusnya?"
"Aku akan kembali ke padepokan"
"Jadi hanya begini?"
Bertanya Gemak Werdi.
"Lalu apa lagi. Aku sudah mengetahui tingkat ilmunya. Itu sudah cukup bagiku"
"Tetapi ia sudah menghina aku guru. Menghina perguruanku. Apakah kita akan membiarkannya menganggap bahwa perguruan kita tidak berarti apa-apa"
Gurunya termangu-mangu sejenak.
Kemudian katanya "Seperti perhitunganku, mereka besok akan meneruskan perjalanan ke padepokan.
Aku akan menemuinya dan melihat sikapnya selanjutnya.
Tentu ada sebabnya kenapa Makerti justru memihak kepada anak muda itu"
Gemak Werdi menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat memaksa gurunya untuk berbuat sesuatu.
"Marilah"
Ajak gurunya "kita sudah mengetahui kemampuan anak itu"
Gemak Werdi menjadi kecewa.
Ia ingin membuat Mahisa Bungalan menjadi jera.
Tetapi gurunya tidak mau bertindak lebih jauh daripada sekedar menjajagi kemampuan anak muda itu.
Karena itu, dengan wajah yang buram, ia mengikuti gurunya meninggalkan pendapa rumahKi Buyut.
Namun ia masih mencoba mengajak gurunya sekali lagi "Guru, tetapi apakah kita tidak membuktikan bahwa keduanya memang ada disini.
Mungkin kedua ekor kuda itu bukan milik paman Makerti dan anak muda itu"
"Aku yakin Gemak Werdi"
Jawab gurunya "tentu Makerti dan anak muda itulah yang datang dan menginap disini. Sandainya kau masih ragu-ragu, maka besok jika mereka sudah berada di padepokan kita akan dapat bertanya kepada mereka"
"Dan kita membiarkan perguruan kita dihinakannya"
Gumam Gemak Werdi.
Tetapi gurunya tidak menghiraukannya.
Ia pun kemudian menuju kegelapan dan mengambil kudanya yang diikat di luar regol halaman rumah Ki Buyut.
Gemak Werdi tidak dapat menahannya lagi.
Iapun kemudian meloncat ke punggung kudanya ketika gurunya telah melakukannya.
Sejenak kemudian, maka kedua ekor kuda itupun telah berderap dalam kegelapan.
Tetapi tidak seorangpun yang tinggal di sekitar rumah Ki Buyut yang mendengarnya karena mereka semuanya sedang tertidur nyenyak.
Sepeninggal Gemak Werdi dan gurunya, maka Mahisa Bungalanpun menarik nafas dalam-dalam.
Dilepaskannya tangan Makerti sambil berkata "Pengaruh ilmu itu tentu akan mengendor"
Makerti menarik nafas dalam-dalam. Terasa padanya, bahwa pengaruh ilmu gurunya itu memang semakin samar, sehingga perasan kantuknyapun menjadi semakin lenyap pula meskipun perlahan-lahan.
"Mahisa Bungalan "
Berkata Ki Makerti kemudian.
"kau memang seorang anak muda yang luar biasa. Bukan sajakarena kau berhasil melawan ilmu guru yang tidak ada taranya, tetapi kau masih dapat membagi daya tahanmu untuk membantuku. Bukankah itu berarti bahwa kau mempunyai kekuatan ganda yang dapat menangkis ilrnu yang dahsyat itu. Tetapi lebih daripada itu, kau ternyata dapat menguasai perasaanmu sehingga kau tidak kehilangan kesabaran dan meloncat keluar di saat kau mendengar percakapan antara guru dan Gemak Werdi"
Mahiisa Bungalan tersenyum. Katanya "Aku sudah sering menghadapi persoalan yang lebih menyakiti perasaan. Dan aku sudah belajar untuk menahan diri agar aku tidak terjerumus ke dalam keadaan yang tidak aku kehendaki"
Makerti mengangguk-angguk. Katanya "Kita besok akan meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan gurupun dapat menahan diri betapapun Gemak Werdi membuat ceritera apapun tentang kau dan aku"
Mahisa Bungalan tersenyum hambar. Jawabnya "Mudah-mudahan. Tetapi gurumu tentu bukan anak kecil lagi yang dengan mudah dapat dibakar perasaannya"
Makerti mengangguk-angguk. Tetapi nampak keragu- raguan membayang di wajahnya, sehingga Mahisa Bungalan bertanya "Apakah kau meragukan sikap gurumu?"
Sejenak Makerti termenung.
Kemudaan perlahan-lahan ia menyahut "Sifat guru sulit untuk diketahui.
Ia kadang seorang yang sabar dan mengerti perasaan yang keadaan orang lain.
Tetapi kadang-kadang ia seorang pemarah dan tiba-tiba saja memusuhi seseorang tanpa sebab.
Dalam pada itu guru benar-benar orang yang luar biasa.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menguasai ilmu pedang dengan sempurna.
Ia termasuk seorang yang sulit dicari tandingnya dalam ilmu kajiwan""Aku mengerti akan kelebihan gurumu.
Baru saja kita merasakan kedahsyatan ilmunya.
Itupun tentu belum seluruhnya, karena gurumu menganggap bahwa yang sedikit itu sudah cukup bagi orang lain"
Makerti ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berkata "Kau benar Mahisa Bungalan"
"Tetapi aku datang ke padepokanmu justru untuk memberikan penjelasan, aku kira, tidak akan terjadi sesuatu. Gurumu akan mendengarkan penjelasan kita. Sebab kitapun tidak akan berani berbuat sesuatu terhadapnya selain memberikan keterangan"
Makerti mengangguk-angguk.
Ia sudah melihat, betapa Mahisa Bungalan dapat menahan hati dalam keadaan yang panas sekalipun.
Karena itu, maka keduanya tanpa mengganggu Ki Buyut yang masih tertidur nyenyak, segera membaringkan diri pula di pembaringan.
Sejenak mereka masih dihanyutkan oleh angan-angan masing-masing tentang Gemak Werdi dan gurunya.
Namun sejenak kemudian keduanyapun telah tertidur pula dengan nyenyak, meskipun bukan karena pengaruh sirep.
Pagi-pagi benar keduanya telah terbangun dan mempersiapkan diri.
Ki Buyut dan keluarganya telah menjamu mereka dengan makan pagi pula seperti biasanya.
Kemudian melepaskan mereka berdua pergi deringan mengantar mereka sampai ke regol.
"Ki Buyut orang yang sangat baik "
Desis Mahisa Bungalan.
"Ya. Ia orang baik terhadap siapapun juga. Bukan hanya aku dan Gemak Werdi sajalah yang diperkenankan menginap di rumahnya atau di banjar padukuhannya. Tetapi setiap orang yang memerlukan, penginapan, maka pintu rumahnya atau banjar padukuhannya selalu terbuka.Bahkan seperti yang kita alami, maka merekapun mendapatkan jamuan seperlunya"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, sementara kudanya berpacu semakin lama semakin cepat menuju ke padepokan Gemak Werdi, yang juga disebut padepokan Kenanga karena di padepokan itu terdapat banyak pohon bunga kenanga yang jika sedang berbunga, baunya yang harus memenuhi seluruh padepokan, bahkan kadang- kadang dibawa angin sampai ke pedukuhan terdekat.
"Perjalanan kita tidak lagi sejauh perjalanan di hari pertama"
Berkata Makerti "sebelum tengah hari kita sudah berada di jalan lurus ke padepokan itu"
"Maksudmu dengan jalan lurus?"
Bertanya Mahisa Bungalan.
"Dari padukuhan terakhir, telah dibuat sebuah jalan yang panjang menuju ke padepokan itu yang merupakan sebuah bulak yang panjang pula"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Tentu jalan yang terlindung oleh bayangan pepohonan disebelah menyebelah jalan"
"Ya. Apakah kau pernah mengunjungi padepokan itu?"
Mahisa Bungalan menggeleng. Jawabnya "Belum. Aku belum pernah pergi ke padepokan itu. Aku hanya berangan- angan saja"
Makerti mengangguk-angguk. Memang banyak terdapat jalan semacam itu. Jalan yang sejuk dilindungi oleh bayangan pepepohonan yang rimbun"
Kuda mereka berduapun berpacu menyusuri jalan panjang.
Kadang-kadang ditengah-tengah bulak, namunkemudian menyusup padukuhan yang tersebar diantara sawah yang terbentang luas.
Seperti pulau-pulau berwarna hijau diantara kuningnya bulir padi yang menjadi semakin tua dan semakin runduk.
"Padukuhan itu adalah padukuhan terakhir"
Berkata Makerti.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.
Di luar sadarnya ia mengangkat wajahnya, memandang matahari yang hampir mencapai puncak langit.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Makerti, maka sebelum matahari tegak di atas kepala, maka mereka telah berada di ujung jalan menuju ke padukuhan Kenanga.
"Jalan ini panjang sekali"
Berkata Mahisa Bungalan.
"Sebenarnya juga tidak begitu panjang. Tetapi karena jarak antara padukuhan ini dengan padepokan Kenanga hanya diantarai oleh satu bulak saja, maka nampaknya bulak ini menjadi sangat panjang. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ketika mereka memasuki jalan yang panjang itu, terasa jantungnya mulai berdebar-debar. Namun demikian Mahisa Bungalan tetap berharap bahwa kedatangannya tidak menumbuhkan salah paham dengan guru Gemak Werdi.
"Makerti adalah saksi yang dapat memberikan penjelasan tentang apa yang telah terjadi. Meskipun nampaknya Gemak Werdi adalah muridnya yang terdekat, tetapi Makerti adalah muridnya pula, yang tentu juga akan didengar keterangannya"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Namun demikian, ketika mereka mulai mendekati regol padepokan itu, maka debar jantung Mahisa Bungalan memang terasa semakin cepat.
Bahkan Makertipun menjadiberdebar-debar.
Tubuhnya berkeringat dan sikapnya menjadi sangat gelisah.
"Kita sudah sampai"
Desis Makerti ketika mereka sudah berada beberapa langkah saja dari pintu gerbang yang terbuka lebar. Dalam pada itu, seseorang telah menyampaikan laporan kehadiran dua orang memasuki regol padepokan kepada Gemak Werdi dan gurunya.
"Mereka sudah datang guru"
Berkata Gemak Werdi.
"Bukankah perhitungan kita hampir tepat. Saat beginilah keduanya akan sampai di padepokan"
Desis gurunya.
"Dan guru tidak menyambutnya dengan sikap seorang pimpinan padepokan yang sedang tersinggung karena sikap anak muda itu?"
Bertanya Gemak Werdi "Sudah aku katakan.
Aku memang akan memberinya sedikit pelajaran.
Tetapi kesalahan yang dilakukan oleh anak muda itu bukanlah karena kesengajaannya menghina padepokan ini.
Menurut penilaianku ia justru bermaksud baik.
Tetapi, bahwa ia telah mengecilkan arti kehadiranmu di hadapan orang banyak itulah kesalahannya yang perlu mendapat teguran.
Dan aku akan meyakinkan anak itu, bahwa bagi padepokan ini, ia tidak berarti apa-apa.
Ia harus tahu, bahwa ilmunya masih harus mendapat banyak peningkatan agar ia pantas menegurmu di adapan orang banyak"
"Apa yang akan guru lakukan?"
"Meyakinkan, bahwa ilmunya masih sangat kecil dibandingkan dengan ilmu dari padepokan ini"
Jawab gurunya.
"Guru akan turun sendiri?"Gurunya tertawa. Katanya "Apakah kau rela aku turun menghadapi anak muda itu?"
Gemak Werdi termangu-mangu.
"Dengan demikian berarti bahwa akulah yang telah merendahkan diri dan merendahkan harga diri padepokan ini"
"Jadi, maksudi guru?"
"Saudara seperguruanmu. Anak gadisku sendiri yang akan menunjukkan kepada anak muda yang datang itu, bahwa bagi perguruan ini, ia bukan apa-apa. Justru anakku adalah seorang gadis"
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Namun nampak kegelisahan membayang di wajahnya yang basah oleh keringat.
"Kenapa bukan orang lain guru?"^ "Siapa yang kau maksud? Di sini muridku hanya dua orang. Yang satu adalah kau sendiri. Apakah kau ingin mencoba mengalahkannya?"
Wajah Gemak Werdi menjadi merah.
"Sudahlah. Jangan cemas. Ilmunya lebih lengkap dari ilmumu. Ia adalah anakku yang menyadap ilmuku sejak ia mulai dapay berjalan. Meskipun umurnya lebih muda dari umurmu, tetapi masa bergurunya jauh lebih panjang dari waktu yang kau pergunakan"
Gemak Werdi menundukkan kepalanya.
Ia mengakui, bahwa gadis itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dan ilmunya.
Meskipun umurnya masih muda, tetapi karena sejak kanak-kanak ia sudah mulai menerima tuntunan dalam olah kanuragan, maka ilmu yang dimilikinya hampirsetingkat dengan kelengkapan ilmu gurunya.
Tetapi sudah barang tentu, gadis itu masih harus mematangkannya.
Namun dengan demikian, bukan saja anak muda yang sombong itulah yang akan tersinggung karenanya.
Tetapi ia sendiri akan dihadapakan pada suatu kenyataan, bahwa ilmu seorang gadis padepokan itu jauh lebih baik dari ilmunya.
Jika gadis itu nanti berhasil menundukkan anak muda yang sombong itu, maka anak muda itupun akan memandangnya dengan tersenyum, bahwa kekalahannya dari seorang gadis bukannya ia seorang diri, tetapi anak padepokan itu sendiri, ternyata tidak dapat menyamainya.
Tetapi Gemak Werdi tidak mempunyai pilihan lain.
lebih senang melihat anak muda yang sombong itu dikalahkan dan merunduk dengan pucat dan gemetar serta mengakui kesalahannya daripada kegelisahannya sendiri karena kemenangan gadis itu.
"Sudahlah"
Berkata gurunya, tamu itu tentu sudah duduk di pendapa. Marilah, kita akan menemuinya dan memikirkan semua rencana"
"Tetapi "
Gemak Werdi ragu-ragu.
"Gadis itu. sudah siap. Semuanya sudah diatur sebaik- baiknya. Mudah-mudahan Makerti dapat memberikan sedikit peringatan sebelumnya kepada kawannya yang sombong itu, bahwa ia akan menjumpai seseorang murid dari padepokan ini yang memang dihormati sebagaimana ia harus menghormati padepokan ini"
Gemak Werdi tidak menjawab.
Meskipun kepalanya terangguk-anggul kecil.
Keduanyapun kemudian bangkit dan melangkah menuju ke pendapa.
Ternyata bahwa Makerti dan Mahisa Bungalantelah duduk di pendapa seperti yang diduga oleh guru Gemak Werdi.
Ketika keduanya membuka pintu pringgrtan, maka Makerti dengan tergesa-gesa telah membungkuk dalam- dalam sambil berdesis "Hormatku bagi guru"
Gurunya mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap berdiri, sedang Gemak Werdi berdiri termangu-mangu di belakangnya.
"Anak muda itukah yang kau sebut Gemak Werdi?"
Bertanya gurunya.
"Gemak Werdi mengangguk. Jawabnya "Ya guru"
Gurunya memadang Mahisa Bungalan yang tunduk. Kemudian terdengar ia bertanya "Siapa namamu anak muda yang perkasa. Yang dengan sadar telah menunjukkan keperkasaannya"
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Tetapi ia mengangguk hormat sambil menjawab "Namaku Mahisa Bungalan, Kiai"
"Nama yang bagus. Pantas menilik ujud dan sikapmu"
Berkata guru Gemak Werdi "kau seorang anak muda yang gagah pideksa. Tampan dan sopan. Tetapi sedikit sayang, bahwa sikapmu itu hanyalah sikap pura-pura"
Mahisa Bungalan terkejut.
Ia merasa bahwa Gemak Werdi tentu sudah sampai kepada keterangan yang menyakitkan hati gurunya, meskipun hal itu sudah direkayasa.
Namun ia masih mengharap bahwa gurunya tidak tidak terpengaruh oleh keterangan yang belum dibuktikannya.
Makerti yang sudah mengenal gurunya menjadi berdebar-debar.
Gurunya adalah seseorang yang tidakmudah terpengaruh, sehingga ia menentukan sikapnya sesuai dengan tanggapannya atas setiap peristiwa.
Dengan demikian, maka jika gurunya saat itu sudah bersikap, maka sulitlah baginya untuk dapat merubahnya, meskipun ia mengetahui bahwa gurunya mempunyai tanggapan yang keliru karena keterangan yang salah pula atas sesuatu peristiwa.
Meskipun demikian, Makerti berusaha jaga untuk memberikan penjelasan.
Dengan ragu-ragu ia berkata "Guru, apakah aku diperbolehkan memberikan sedikit keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi? Kedatangan kami berdua memang sengaja untuk memberikan penjelasan tentang sikap kami.
Mungkin guru telah mendengar keterangan dari Gemak Werdi.
Supaya bukan keberangan yang berat sebelah, maka biarlah kita berbicara tentang peristiwa yang barangkali tidak menyenangkan hati guru"
Orang tua yang berdiri di muka pintu peringgitan itu mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Makerti dengan tajamnya.
Namun kemudian katanya "Makerti, aku kira aku tidak menerima keterangan yang salah.
Bukankan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu pernah mengaku bernama lain, dan bersikap seperti seorang perantau yang tidak berarti? Tetapi tiba-tiba saja ia menunjukkan kemampuannya yang luar biasa ketika ia melihat Gemak Werdi dan kau sendiri mengalami kesulitan.
Bukankah begitu?"
Sekali lagi Makerti terkejut. Bahkan Mahisa Bungalan sendiri menjadi semakin tegang mendengar kata-kata guru Makerti itu. Apalagi ketika kemudian orang tua itu tertawa. Katanya "
Aku kira aku tidak salah menilai peristiwa itu. Bukankah benar begitu Makerti?"Makerti menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, seolah-olah di luar sadarnya "Ya, ya guru"
Tetapi dalam pada itu Gemak Werdi beringsut sambil berkata "Bukan itu saja guru. Yang penting adalah sikapnya yang telah menyinggung perguruan kita"
Gurunya masih tertawa. Katanya "Jangan hiraukan Gemak Werdi. Bagi kita anak muda itu tidak terlalu berharga untuk diperhitungkan dari segi olah kanuragan. Aku melihat kepura-puraannya tetapi yang karena maksud baiknya, ia telah menyatakan dirinya"
Gemak Werdi menjadi semakin heran mendengar kata- kata gurunya.
Seolah-olah ia justru telah memuji anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu, meskipun penilaiannya atas kemampuan kanuragan atas anak muda itu sangat rendah.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun merasa sentuhan itu.
Ia menjadi semakin ketat menjaga perasaannya.
Ketajaman nalarnya telah mulai melihat, dari arah mana guru Gemak Werdi itu akan mulai menegurnya.
Mungkin dengan halus, tetapi pada suatu saat, akan dapat pula terjadi kekerasan.
Dalam pada itu, guru Gemak Werdi itupun berkata selanjutnya "Anak muda, jangan takut.
Aku tidak akan marah"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Ia semakin berhati-hati agar ia tidak dihanyutkan oleh perasaannya.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selangkah guru Gemak Werdi itu maju sambil tersenyum.
Katanya "Kemarahan tidak akan ada artinya apa-apa bagiku selain mendatangkan penyesalan, karenasentuhan kemarahanku atasmu anak muda, akan membuat kau pingsan dan bahkan mungkin jantungmu akan berhenti berdetak"
Mahisa Bungalan mengatupkan giginya rapat-rapat.
Ia memaksa dirinya untuk mengangguk sambil berkata "Terima kasih Kiai.
Sejak aku masuk ke halaman padepokan, aku memang sudah menjadi gemetar.
Sekarang mendengar bahwa Kiai tidak marah, itu membuatku diriku menjadi sedikit menjadi tenang"
Guru Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Sementara Mahisa Bungalan bertanya "Ampun. Kiai. Jika demikian bukankah berarti bahwa tidak ada perasaan apa-apa lagi antara aku dan Gemak Werdi?"
Orang itu termangu-mangu.
Sejenak ia tertegun diam melihat Sikap Mahisa Bungalan.
Ternyata anak itu dapat menahan perasaannya, sehingga ia dapat menjaga sikap dan kata-katanya.
Namun ia juga mempunyai dugaan lain, bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang dungu, yang sama sekali tidak mengetahui maksudnya.
Untuk meyakinkan diri maka guru Gemak Werdi itu berkata "Ya, ya anak muda.
Memang tidak ada perasaan apa-apa lagi antara kau dan Gemak Werdi, karena Gemak Werdi mengerti, bahwa kau sama sekali tidak menyadari apa yang lelah kau lakukan.
Bahwa kau dalam hal ini memang tidak berpura-pura, tetapi benar-benar karena tidak mengerti bahwa tingkah lakumu itu menimbulkan gelak tertawa.
Untunglah bahwa Gemak Werdi mengerti sepenuhnya apa yang dihadapinya sehingga ia tidak mengambil sikap apapun terhadapmu.
Ia meninggalkan kau dalam kebanggaanmu, untuk menjaga agar kau tidak terjerumus ke dalam kekecewaan"Perasaan Mahisa Bungalan benar-benar menjadi sakit.
Ketika ia berpaling memandang Makerti, maka nampak Makerti sedang berpikir.
lapun telah menyadari, gurunya telah menggelitik perasaan Mahisa Bungalan, sehingga iapun mulai menyadari, arah yang akan dilalui oleh gurunya.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang muda itu masih dapat menahan hati.
Sekali lagi ia mengangguk dalami sambil berkata "Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih Kiai bahwa Gemak Werdi tidak mengambil sikap apapun terhadapku sehingga aku tidak mendapat malu di hadapan orang banyak"
Gegak Werdi yang mulai mengetahui cara gurunya mengungkat agar Mahisa Bungalan tergetar mendengar jawaban itu.
Agaknya Mahisa Bungalan tidak terbakar karenanya.
Justru karena, itu, hati guru Gemak Werdilah yang mulai menjadi hangat justru karena sikap rendah hati Mahisa Bungalan.
Guru Gemak Werdi itupun menjadi heran.
Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu sama sekali tidak merasa tersinggung.
Bahkan anak itu justru mengucapkan terima kasih kepadanya.
Namun dalam pada itu, ternyata sesuatu telah terjadi di luar dugaan Mahisa Bungalan.
Di saat ia berjuang untuk mempertahankan keseimbangan jiwanya, tiba-tiba saja telah muncul seorang gadis dalam pakaian yang tidak biasa dipergunakan oleh gadis-gadis padukuhan.
"Ayah"
Berkata gadis itu "aku tidak sabar menunggu lagi.
Anak muda itu ternyata sangat dungu, sehingga ia sama sekali tidak mengetahui maksud ayah.
Ia sama sekali tidak merasa tersinggung kehormatannya.
Bahkan ia sempat mengucapkan pujian atas sikap kakang Gemak Werdi.
Bukankah itu suatu kedunguan yang tidak adataranya? Apakah ayah akan membiarkannya berdiri di atas sikapnya yang dungu itu?"
Guru Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ada dua hal yang menarik hatiku pada anak muda itu"
"Sudahlah ayah. Sebaiknya kita berterus terang. Ayah merasa tersinggung atas sikapnya yang telah merendahkan kakang Gemak Werdi Ia sudah menghalang-halangi kakang Gemak Wardi melakukan tugas kemanusiaan. Lebih daripada itu, padepokan ini merasa tersinggung, seolah-olah memerlukan pertolongannya. Karena itu, kita, seisi padepokan ini akan me-yakinkan kepada anak muda itu, bahwa ilmu yang ada di padepokan ini tidak kalah dari ilmu di perguruan manapun juga. Juga tidak kalah dari ilmu yang dipunyai oleh anak muda yang ternyata bernama Mahisa Bungalan itu"
Hati Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar.
Sementara gadis itu berkata terus "Sekarang, lekas katakan kepadanya, bahwa akulah yang akan menunjukkan bahwa padepokan ini tidak dapat direndahkan.
Tidak usah kakang Gemak Werdi.
Aku, seorang gadis yang lebih muda dari kakang Gemak Werdi akan dapat membuktikan bahwa siapapun harus mengakui kemampuan ilmu dari padepokan ini"
Guru Gemak Werdi menjadi berdebar-debar pula.
Ia tidak mempunyai pilihan lain daripada memenuhi permintaan anak gadisnya, karena ia memang sudah mempersiapkannya sebelumnya.
Namun demikian, Anak Muda itu benar-benar telah menarik perhatiannya, sehingga katanya "Baiklah.
Kau berhak meyakinkan tamu kita akan tingkat kemampuan padepokan ini "Lalu katanya kepada Mahisa Bungalan "
Mahisa Bungalan, seperti yang aku katakan, anak gadisku akan memberimu keyakinankemampuan ilmu yang dimilikinya.
Sekedar meyakinkan.
Bukan maksudku untuk menghukummu, karena kau tidak melakukan kesalahan yang sungguh-sungguh atas muridku Gemak Werdi.
Tetapi sekali lagi orang-orang yang ada di pendapa itu terkejut.
Mahisa Bungalan mengangguk hormat sambil berkata "Kiai, tanpa perbuatan apapun, aku sudah yakin, bahwa ilmu yang ada di padepokan ini tidak kalah dari tingkat ilmu di manapun juga.
Gemak Werdi mengerutkan keningnya.
Namun iapun kemudian menggeletakkan giginya.
Namun yang menjawab adalah gadis itu "Keyakinanmu tidak meyakinkan aku.
Kau sudah benar-benar yakin, atau kau telah dihinggapi oleh perasaan takut melihat kenyataan yang ada di sini sekarang.
Meskipun kau belum melihat sesuatu, suasana di padepokan ini telah membuatmu gemetar.
Sekali lagi semuanya terkejut mendengar jawaban Mahisa Bungalan "Aku sudah gemetar sejak aku berada di perjalanan.
Semakin dekat dengan gerbang padepokan ini, aku menjadi semakin ketakutan.
Tetapi aku memaksa diriku bersama Ki Makerti untuk datang juga ke padepokan ini karena aku ingin memberikan keterangan agar persoalan yang terjadi itu tidak berlarut-larut"
Gemak Werdi menjadi tidak sabar lagi.
Dengan lantang ia berkata "Guru.
Lihatlah.
Bukankah itu bukan lagi suatu sikap rendah bati.
Tetapi itu justru merupakan kesombongan yang tiada taranya.
Ia menganggap perguruan ini tidak bernilai sama sekali untuk dilayani"
Tetapi gurunya justru tertawa.
Katanya "Pendapatmu ada juga benarnya Gemak Werdi.
Karena itu, aku tetap pada pendirianku, bahwa Mahisa Bungalan harus mengalami suatu sentuhan peristiwa yang akanmeyakinkannya, bahwa perguruan ini adalah perguruan yang patut dihormatinya Melawan atau tidak melawan ketenutan ini akan berlaku.
Ukuran batas kesakitan yang akan dialaminyalah yang akan menentukan, apakah ia benar-benar sudah yakin tentang kemampuan perguruan ini"
"Kini"
Desis Mahisa Bungalan. Tetapi guru Gemak Werdi memotongnya "Tidak ada perosalan lagi yang akan kita bicarakan. Bersiaplah. Kau akan menghadapi anak gadisku di arena"
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.
Namun iapun menyadari, betapapun penilaian guru Gemak Werdi atasnya, namun ada juga sikap sombong pada orang itu.
Ia mempercayakan nama perguruannya kepada anak gadisnya.
Namun Mahisa Bungalanpun menjadi berdebar-debar.
Jika tidak ada kelebihannya, tentu bukan gadis itulah yang ditunjuk oleh gurunya untuk meyakinkannya, bahwa perguruan Kenaga itu adalah perguruan yang memiliki kemampuan tidak kalah dengan perguruan lainnya.
"Bersiaplah anak muda"
Berkata guru Gemak Werdi itu "turunlah ke halaman, supaya kau tidak diseret oleh cantrik-cantril yang akan menonton perkelahian yang akan berlangsung dengan jujur di halaman"
Mahisa Bungalan memandang Makerti sejenak.
Namun agaknya Makerti tidak mempunyai pilihan apapun juga, sehingga karena itu, iapun telah mengangguk kecil.
Betapapun segannya, namun Mahisa Bungalan harus turun pula ke halamam.
Sejenak ia memandang Gemak Werdi.
Tetapi anak muda itu memalingkan wajahnya, seolah-olah ia tidak dapat menahan tatapan mata Mahisa Bungalan yang mengejeknya, bahwa justru seorang gadis yang harusmeyakinkan kepadanya, bahwa perguruan Kenaga adalah perguruan pantas dihormati.
Ketika mereka telah berada di halaman, beberapa orang cantrikpun ikut pula berkerumun.
Mereka berdiri dalam sebuah kelompok di sudut, sementara Gemak Werdi dan gurunya berdiri di sebelah mereka.
Makerti dengan wajah yang tegang berada disisi yang lain, sementara anak gadis yang akan bertanding dengan Mahsia Bungalan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu.
Ketika tanpa di sadari ia memandang wajah gadis itu, tiba-tiba saja tersirat sesuatu di hatinya.
Wajah gadis itu nampak secerah matahari di langit.
Sinar matanya bagaikan berpendar dalam pelupuknya.
Tetapi Mahisa Bungalan menjadi tersipu-sipu ketika ia menyadari bahwa ia sudah berdiri di arena yang ditonton oleh beberapa pasang mata.
"Nah, anak muda"
Berkata guru Gemak Werdi "bersiaplah.
Kau akan mengalami perlakuan yang mungkin tidak kau senangi.
Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku tidak ingin menghukummu.
Aku hanya ingin meyakinkan, bahwa kau tidak akan dapat menganggap perguruan ini per-guruan yang tidak masuk dalam hitungan"
Mahisa Bungalan tidak menjawab.
Tetapi dengan gerak naluriah, maka iapun segera mempersiapkan dirinya.
Sepercik keseganan telah menghambatnya untuk melayani gadis itu di arena.
Hampir saja ia mengurungkan niatnya dan pergi meninggalkan padepokan itu betapapun ia harus menanggung malu.
Namun tiba-tiba terbayang wajah ayahnya dan kedua adik-adiknya, seolah-olah memberikan kesadaran kepadanya, bahwa ia tidak berdiri seorang diri.
Jika orang-orang padepokan itu dengan harga diri yang tinggi tidak mau tersnggung oleh sikap yang mereka anggap merendahkan martabat mereka, maka apakah Mahisa Bungalan akan mengorbankan nama perguruannya de-ngan membiarkan dirinya mendapat malu.
"Ayahku adalah Mahendra"
Geram Mahisa Bungalan "aku pernah berguru kepada ayah, kepada paman Witantra yang kebetulan memiliki arus ilmu yang sama dengan ayah, Tetapi aku juga pernah mendapat banyak petunjuk dari paman Mahisa Agni.
Apakah dengan demikian aku akan membiarkan nama mereka tercemar disini, bahwa murid Mahendra yang kebetulan adalah ayahku sendiri, murid Witantra dan Mahisa Agni, tidak mampu berbuat sesuatu di sebuah perguruan yang terasing?"
Tiba-tiba saja darah Mahisa Bungalan bagaikan menjadi hangat Keragu-ragunya tiba-tiba telah lenyap meskipun ia masih tetap melihat seorang gadis cantik yang berdiri di arena.
Perubahan yang terjadi di dalam diri Mahisa Bungalan, agaknya telah membayang di wajahnya.
Guru Gemak Werdi yang memperhatikan gerak jiwa Mahisa Bungalan itu mengerutkan keningnya.
Kini ia melihat anak muda itu yang sebenarnya.
Mahisa Bungalan nampaknya tidak lagi berusaha mengekang, perasaannya, sehingga ia benar-benar akan berdiri di arena sebagaimana dirinya.
Guru Gemak Werdi itu termangu-mangu sejenak.
Anak muda yang mulai berdiri tegak itu telah mendebarkan jantungnya.
Kaki Mahisa Bungalan yang merenggang, dan punggungnya yang tidak membungkuk-bungkuk lagi, tatapan matanya yang pasti dan tangannya yang tidak lagi tergantung lemas di sisi tubuhnya, membayangkan bahwa Mahisa Bungalan memang seorang anak muda yang berilmu tinggi.Meskipun demikian, guru Gemak Werdi itu masih tetap yakin akan anak gadisnya.
Ia tahu pasti, bahwa anak gadisnya memiliki ilmu melampaui Gemak Werdi dan Makerti.
Seluruh kemampuan yang ada padanya telah dialirkan ke dalam perbendaharaan ilmu gadis itu.
Meskipun ia sadar, bahwa gadis itu masih harus- mematangkannya di dalam perjalanan hidupnya, tetapi tidak ada seorang anak mudapun yang menyimpan bekal sebanyak anak gadisnya menurut perhitungannya.
"Ia adalah aku sendiri"
Berkata guru Gemak Werdi itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, gadis itupun telah bersiap sepenuhnya.
Setapak ia bergeser.
Wajahnya masih tetap cerah.
Dipandanginya Mahisa Bungalan dengan tatapan matanya yang tajam.
Namun ada sesuatu yang kurang pada gadis itu menurut Mahisa Bungalan.
Dari sikap, tatapan matanya dan senyum di sudut bibirnya, Mahisa Bungalan dapat membaca, bahwa gadis itu mendapat petunjuk yang salah dari ayahnya.
Ayahnya tentu memberitahukan kepada gadis itu, bahwa tidak ada orang lain yang mampu mengimbanginya.
Apalagi anak-anak muda yang sebaya.
Itulah sebabnya, maka nampaknya gadis itu kurang berhati-hati.
Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak mau menganggap gadis itu lebih lemah daripadanya.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tetap berhati-hati dan selalu berusaha menguasai diri dan perasaannya, betapapun ia menyadari nama perguruannya tidak harus dikorbankan.
Sikap gadis itu ternyata kemudian pada langkah-langkah berikutnya.
Dengan kurang berhati-hati ia mengulurkan tangannya menyerang Mahisa Bungalan, seolah-olah seperti ingin menyentuh sebarang tonggak mati.Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.
Ia harus memperingatkan bahwa sikap itu sama sekali tidak menguntungkanya.
Jika Mahisa Bungalan salah langkah, maka akan sangat berbahaya bagi gadis itu sendiri.
Karena itu, dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang maka Mahisa Bungalan sama sekali tidak bergerak.
Ia membiarkan tangan gadis itu menyentuh tubuhnya seperti yang dikehendaki.
Justru karena Mahisa Bungalan tidak berkisar sama sekali, maka gadis yang menyerangnya itupun terkejut.
Tetapi ia tidak dapat menarik serangannya, Karena tangannya itupun telah menyentuh tubuh Mahisa Bungalan yang berdiri tegak seperti patung.
Sentuhan itu benar-benar telah membangunkan gadis itu dari dugaan yang salah tentang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu.
Ia sama sekali tidak membayangkan, bahwa Mahisa Bungalan memiliki daya tahan yang luar biasa.
Meskipun gadis itu sudah menduga, bahwa Mahisa Bungalan memiliki kelebihan dari Gemak Werdi, namun ia sama sekali tidak mengira, bahwa jarak itu telah membuatnya menjadi berdebar-debar.
Karena itulah, maka gadis itupun menjadi sangat berhati- hati.
Ia mulai membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu menghadapi Mahisa Bungalan.
Guru Gemak Werdi itupun terkejut bukan buatan.
Ia melihat anaknya menyerang.
Ia menjadi bingung melihat sikap Mahisa Bungalan yang sama sekali tidak menghiraukan serangan itu.
Namun kemudian, iapun menyadari, bahwa Mahisa Bungalan memiliki kelebihan yang harus diperhitungkan dengan bersungguh-sungguh.
Sejenak kemudian, maka gadis itupun telah bersiap.
Ia tidak lagi menganggap Mahisa Bungalan anak muda yangsekedar berbangga karena kelebihan-kelebihan kecil dari orang lain.
Tetapi ia kini menganggap bahwa Mahisa Bungalan benar-benar lawan yang cukup berat.
Sejenak keduanya masih saling berpandangan, seolah- olah masing-masing masih ingin mengetahui kemampuan lawannya.
Namun sejenak kemudian, gadis padepokan Kenaga itupun segera meloncat menyerang dengan kakinya yang terjulur lurus.
Mahisa Bungalan menyadari, bahwa serangan yang berikut ini bukannya sekedar gerakan yang tidak berarti.
Karena itulah maka ia tidak membiarkan dirinya disentuh lagi oleh serangan itu.
Dengan cepat Mahisa Bungalan bergeser sambil memiringkan tubuhnya Namun ternyata bahwa ia tidak hanya sekadar ingin menghindar.
Ketika kaki lawannya masih terjulur lurus tanpa menyentuhnya, maka Mahisa Bungalan dengan cepat pula telah memukul pergelangan kaki gadis itu.
Gadis itu sama sekali tidak menyangka bahwa Mahisa Bungalan akan menyerang pergelangan kakinya.
Karena itu, gerakan yang sederhana dan tiba-tiba itu kurang diperhatikannya.
Namun tiba-tiba saja terasa pergelangan kakinya disengat oleh perasaan sakit.
"Gila"
Ia bergumam.
Selangkah ia meloncat mundur.
Tetapi iapun segera bersiap menghadapi serangan Mahisa Bungalan yang menyusulnya.
Mahisa Bungalan ternyata telah memburunya.
Lebih cepat dari loncatan lawannya.
Karena itu, maka demikian kaki lawannya menyentuh tanah, maka kaki Mahisa Bungalanpun telah menginjak jari-jarinya.Ada niat Mahisa Bungaian mendorong lawannya di saat kakinya sedang terinjak.
Dengan demikian, maka keseimbangan lawannya tentu akan terganggu.
Bahkan jika Mahisa Bungalan menghantamnya dengan serangan sikunya, maka lawannya tentu akan jatuh terguling di arah kaki yang terinjak itu.
Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak berbuat demikian.
Meskipun tangannya telah bergerak, namun ia mengurungkan niatnya dan bahkan iapun telah meloncat menjauh.
Yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan itu benar-benar telah mendebarkan jantung guru Gemak Werdi Ia melihat anak gadisnya seolah-olah dihadapkan pada suatu ilmu yang tidak dapat dimengertinya.
Demikian cepat, sederhana tetapi kadang-kadang aneh sekali.
"Anak itu akan dapat bertempur menyabung nyawa dengan benturan- benturan kekerasan. Tetapi dengan permainan itu, ia menjadi bingung"
Berkata guru Gemak Werdi itu dalam hatinya.
Tetapi agaknya bukan saja guru Gemak Werdi itulah yang berpikir demikian.
Gadis itu sendiri menganggap bahwa gerakan yang aneh dari lawannya itu hanya mungkin dilakukan, karena ia belum bertempur dengan kemampuannya yang utuh.
Itulah sebabnya, maka gadis itu telah merubah sikapnya.
Jika semula ia hanya ingin meyakinkan Mahisa Bungalan, bahwa perguruan itupun mempunyai kemampuan yang cukup untuk menghadapi orang-orang lain dari luar padepokan, maka kemudian gadis itu di luar sadarnya telah bertekad untuk bertempur dengan segala kemampuan yang ada padanya.Sejenak kemudian, maka gadis itupun benar-benar telah mempersiapkan diri.
Ia tidak mau mengekang diri lagi Karena itulah, maka iapun kemudian memusatkan segenap kemampuannya untuk melawan Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar melihat sikap gadis itu.
Agaknya ia benar ingin bersungguh-sungguh.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, gadis itu ingin mengalahkan lawannya.
Selagi Mahisa Bungalan menilai lawannya, maka dengan serta merta gadis itu telah menyerangnya.
Sebuah patukan jarinya yang lurus mengembang mengarah ke pundak.
Demikian cepat dan kerasnya, sehingga Mahisa Bungalan terpaksa meloncat surut.
Tetapi serangan itu tidak terhenti.
Sambil meloncat maka gadis itu telah menyerang pula dengan tangannya yang lain dengan cara yang sama, sehingga Mahisa Bungalan terpaksa undur selangkah lagi.
Namun pada saat itulah gadis itu berputar.
Kakinya dengan derasnya telah menyambar lambung Mahisa Bungalan.
"Bukan main"
Desis Mahisa Bungalan.
Gadis itu mampu bergerak cepat sekali.
Namun Mahisa Bungalan masih dapat bergerak lebih cepat, sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Namun serangan beruntun yang dilakukan demikian cepatnya, tetapi tanpa menyentuh lawannya itu benar-benar telah memberikan gambaran, siapakah sebenarnya lawan gadis itu.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, maka lawannya masih saja beringsut dan bergeser.
Nampaknya Mahisa Bungalan masih belum bersungguh-sungguh.
Pada saat yang demikian itu, barulah ayah gadis itu menyadari Ia terlalu tergesa-gesa mengambil sikap hanyasekedar memperhitungkan keterangan muridnya.
Kini setelah ia dihadapkan pada kenyataan itu, maka iapun menyesal telah melihatkan anak gadisnya ke dalam persoalan yang sebenarnya bukan persoalan yang sederhana.
Beberapa saat kemudian ia masih mengamati anak gadisnya yang bertempur.
Serangannya benar-benar datang membadai dengan tingkat tertinggi ilmu padepokan Kenanga.
Kaki gadis itu bagaikan tidak berjejak di atas tanah, Demikian ringan tubuhnya, seperti kapas yang dipermainkan angin pusaran.
Tetapi jantungnya bagaikan berdetang semakin cepat Dalam serangan yang membadai itu, lawan anak gadisnya masih saja mampu menghindarinya dengan langkahi yang nampaknya sederhana.
"Gila"
Geram ayah gadis itu "ilmu iblis manakah yang disadapnya"
Jantungnya bagaikan semakin cepat berdentang ketika ia melihat Mahisa Bungalan mulai membalas dengan serangan-serangan.
Agaknya anak muda itu akhirnya tidak ingin menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu.
Pada kesempatan yang terbuka, maka mulailah Mahisa Bungalan dengan serangannya.
Adalah mengejutkan sekali bagi gadis itu, bahwa tiba- tiba saja punggungnya telah tersentuh sisi telapak tangan Mahisa Bungalan, meskipun tidak dengan sepenuh tenaga, justru pada saat gadis itu meloncat menyerang.
Agaknya dengan kecepatan yang tidak dapat diimbanginya, Mahisa Bungalan telah menghindar kesamping dan sebuah ayunan tangannya telah memukul gadis itu dari belakang.
Tetapi daya dorong tangan Mahisa Bungalan tidak menyebabkan gadis itu jatuh terjerembab.
Meskipun sesaat,keseimbangan gadis itu terganggu.
Namun sejenak kemudian ia berhasil memperbaiki keadaannya.
Pada saat yang demikian Mahisa Bungalan sudah siap untuk meloncat menyerang pundak gadis itu.
Tetapi tiba- tiva saja terpandang wajahnya yang cantik dan lembut, sehingga di luar sadarnya ia telah mengurungkan niatnya.
Justru pada saat itu, lawannya telah menyerangnya selagi Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Kaki gadis itu terjulur lurus mengarah ke lambungnya.
Namun seakan-akan gerak Mahisa Bungalan telah luluh dengan gerak naluriahnya.
Meskipun ia tidak menyadari sepenuhnya, namun ia telah bergeser mengelak.
Bahkan di luar kehendaknya, Mahisa Bungalanlah menangkap kaki gadis itu.
Mahisa Bungalan telah siap mengangkat kaki gadis itu, dan kemudian dengan kakinya menebas kaki gadis itu yang lain, sehingga dengan demikian gadis itu tentu akan jatuh, sementara dengan putaran pada pergelangan kaki dan lipatan yang mapan, maka Mahisa Bungalan akan dapat menguasai lawannya.
Hanya dengan gerak yang cepat dan tidak terduga, serta dilambari dengan kekuatan jasmaniah yang sangat besar sajalah maka tu akan dapat melepaskan diri.
Namun ternyata tangkapan Mahisa Bungalan pada kaki gadis itu, telah mengejutkan lawannya, sehingga di luar sadarnya gadis itu terpekik.
Mahisa Bungalanpun terkejut.
Justru karena ia tetap sadar bahwa lawannya adalah seorang gadis, maka tiba-tiba saja ia telah melepaskan tangkapannya pada kaki gadis itu dan dengan serta meloncat surut.Gadis itu terhuyung-huyung sejenak.
Namun kemudian wajahnya menjadi merah padam.
Ada sentuhan pada perasaannya sebagai seorang gadis.
Jika Mahisa Bungalan benar-benar melontarkan kakinya dan menjatuhkannya dalam tangkapan kaki, maka tentu jantunya akan berhenti mengalir.
Bukan karena perkelahian itu, tetapi adalah karena ia seorang gadis, sedangkan lawannya adalah seorang anak muda.
Mereka berdua masih belum dibatasi oleh dendam dan pandangan yang gelap karena persoalan yang bersungguh-sungguh, yang benari telah membunuh perasaan dasar mereka.
Melihat sikap gadis itu, maka Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun tiba-tiba saja telah terhenti.
Yang terjadi semuanya itu tidak lepas dari pengawasan ayah gadis itu.
Ia melihat betapa anak gadisnya mengalami kesulitan, bukan saja di arena perkelahian.
Tetapi nampaknya ia juga mengalami kesulitan perasaan justru karena sikap Mahisa Bungalan.
Namun hal itu agaknya telah menyinggung perasaannya.
Di samping penyesalannya karena ia telah melibatkan anak gadisnya yang sedang meningkat dewasa itu, iapun menyesal, bahwa dengan demikian, maka niatnya untuk menunjukkan kelebihan dari perguruannya telah menjadi kabur karena ternyata anaknya tidak mampu mengimbangi tingkat ilmu anak muda itu.
"Anak muda itu harus mendapat peringatan yang sungguh-sungguh"
Berkata ayah gadis itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka agar nama perguruannya tidak menjadi semakin lemah di mata Mahisa Bungalan, ayah gadis itupun kemudian melangkah maju sambil berkata "Cukup.
cukup buat kalian.
Selanjutnya, biarlah aku sendiri yang mengurus anak muda itu"Semua orang terkejut atas keputusan itu.
Bahkan Makerti telah bergeser sambil berdesis "Guru.
Guru sendiri yang akan melakukannya?"
Guru Makerti itu mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Makerti sejenak.
Kemudian Mahisa Bungalan yang termangu-mangu.
Katanya kemudian "Ya.
Aku akan menunjukkan bagaimana seharusnya ia menghormati perguruan ini.
Ternyata anak gadisku mempunyai pertimbangan tersendiri.
Ia telah dibebani perasaan belas kasihan kepada anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu, sehingga ia tidak dapat berbuat seperti yang aku katakan kepadanya, agar ia meyakinkan anak muda itu, bahwa perguruan ini bukannya perguruan yang lemah dan mengharapkan belas kasihannya"
Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu.
Ia melihat sorot mata yang dalam pada orang tua itu.
Menilik sikap dan geraknya, menilik ketajaman ilmu yang dilontarkannya di tempat ia menginap, dan menilik kata-katanya, maka ia tentu akan melakukan seperti yang dikatakannya.
Dan iapun tentu benar-benar memiliki kemampuan yang mengagumkan.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Mahisa Bungalanpun kemudian kembali kepada kesadarannya, bahwa ia tidak berdiri atas namanya sendiri.
Tetapi ia berdiri atas nama perguruannya pula.
Itulah sebabnya, maka iapun segera mempersiapkan diri.
Ketika guru Gemak Werdi itu melangkah ke arena, maka ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi sekali lagi Mahisa Bungalan tertarik kepada sikap gadis yang baru saja melawannya.
Demikian ia bergeser dan arena, maka tatapan matanya yang tajam menyala itupun segera menjadi luluh.
Wajahnya tidak lagi terangkat dengan carikan di ujung bibirnya.
Tetapi wajah itu menjadi agak menunduk."Apakah ia mengalami perubahan perasaan atau kekecewaan yang mempengaruhi sikapmu?"
Pertanyaan itu tumbuh di hati Mahisa Bungalan "
Atau barangkali ia memang hidup di atas dua dunia yang berbeda"
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berangan-angan terus. Tiba-tiba saja guru Gemak Werdi itu berkata menghentak "Bersiaplah. Aku ingin menunjukkan kepadamu, bagaimana kau harus menghormati kami disini"
Mahisa Bungalan mengerutkan dahinya.
Namun kemudian iapun bergeser sambil menyilangkan tangannya di dada.
Sejenak kemudian mereka masih saling berdiam diri.
Ketika lawannya bergeser, Mahisa Bungalanpun bergeser pula.
Namun sejenak kemudian, lawannya telah mulai menyerang.
Tangannya terjulur lurus.
Seperti sikap anak gadisnya maka jari-jarinyapun terkembang lurus mengarah ke dada.
Mahisa Bungalan tidak berani membiarkan lawannya menyentuhnya.
Ia bergeser selangkah.
Iapun kemudian menjajagi kesikapan lawannya dengan serangan kaki.
Ternyata lawannya cukup cepat.
Sebuah loncatan kecil telah membebaskannya dari garis serangan Mahisa Bungalan.
Bahkan kemudian iapun mulai meloncat dengan serangan yang lebih bersungguh-sungguh.
Mahisa Bungalanpun merasakan tekanan yang menjadi semakin berat.
Ia sadar, bahwa lawarnya menjadi semakin bersungguh-sungguh dalam perkelahian itu.
Dengan demikian, maka itupun telah meningkatkan pula perlawannya, untuk menyesuaikan diri agar ia tidak segera terdesak.Sikap Mahisa Bungalan membuat lawannya menjadi semakin cepat bergerak.
Bahkan lawannya mulai melepaskan unsur-unsur geraknya yang semakin rumit.
Tetapi ia menjadi heran.
Ketika ia sudah mulai pada tingkat ilmu yang lebih tinggi, anak muda itu masih tetap dapat mengimbanginya.
"Anak ini benar-benar anak aneh"
Gumamnya "aku sudah berada pada tingkatan yang hampir sampai ke puncak ilmuku"
Sementara itu Mahisa Bungalanpun selalu berusaha untuk mempertahankan dirinya.
Ia tidak mau mempertaruhkan nama ayahnya, nama pamannya Witantra dan nama Mahisa Agni.
Itulah sebabnya, setiap tingkatan ilmu lawannya, diimbanginya pula dengan tataran yang lebih tinggi.
Akhirnya, guru Gemak Werdi mencoba untuk melepaskan beberapa unsur gerak tertinggi yang ada padanya.
Iapun tidak mau mempertaruhkan namanya.
Apalagi ia sudah terlanjur terjun sendiri ke dalam arena perkelahian itu.
Ketika serangan lawannya datang semakin cepat, maka Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.
Apakah iapun harus mengimbanginya.
Dengan demikian, maka perkelahian itu semakin lama akan menjadi semakin bersungguh-sungguh.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapar membiarkan pundaknya disakiti, atau perutnya menjadi mual.
Selebihnya ia harus tetap mempertahankan nama perguruannya.
Dengan demikian, maka seperti yang diduga oleh Mahisa Bungalan, perkelahian itupun semakin lama menjadi semakin seru.
Beberapa unsur gerak tertinggi dari ilmunya, telah dilepaskan oleh guru Gemak Werdi.
Namunia masih belum dapat menguasai lawannya yang masih muda itu.
Karena itulah, maka hatinya menjadi semakin panas.
Meskipun ia termasuk orang yang sudah cukup usia dan perasaannyapun cukup mengendap, namun digelitik oleh kenyataan, hatinyapun menjadi panas.
Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar.
Mereka melihat setiap gerak menjadi semakin cepat dan keras.
Bahkan akhirnya, mereka melihat, keduanya telah benar-benar terlibat dalam perkelahian yang sengit.
Mahisa Bungalan tidak dapat menghindari kenyataan itu.
Serangan lawannya datang bagaikan badai yang semakin dahsyat, sehingga iapun telah sampai pula kepada ilmunya ditataran tertinggi.
"Anak gila"
Geram guru Gemak Werdi "ternyata ia benar-benar mampu mengimbangi ilmuku. Ia berada pada tataran yang jauh lebih tinggi dari dugaanku"
Dengan demikian maka perkelahian itupun semakin lama menjadi semakin meningkat.
Guru Gemak Werdi itupun kemudian telah dipengaruhi oleh perasaannya, sehingga pengekangan dirinya menjadi semakin mengendor.
Sementara itu justru Mahisa Bungalanlah yang masih selalu berusaha menguasai perasaannya.
Ia masih dalam tingkat mengimbangi lawannya.
Setiap kali lawannya meningkatkan tekanannya, maka Mahisa Bungalanpun meningkatkan pertahanannya pula.
Setelah bertempur untuk waktu yang cukup lama, tetapi tidak seujung jarinyapun yang sempat menyentuh kulit Mahisa Bungalan, maka hati lawannyapun menjadimendidih pula karenanya.
Di hadapan para murid dan cantrik di padepokan itu, ia harus menunjukkan bahwa ia adalah seorang guru yang mumpuni.
Apalagi atas anak muda yang namanya masih belum dikenal itu.
Karena itu, maka ketika segala usahanya untuk menguasai Mahisa Bungalan tidak berhasil, maka guru Gemak Werdi pun sampai pada puncak kemampuannya.
Ia tidak lagi dapat mengekang diri menghadapi Mahisa Bungalan yang luar biasa.
Makerti, Gemak Werdi dan anak gadis yang telah menjajagi kemampuan Mahisa Bungalan itupun menjadi berdebar-debar.
Mereka melihat gurunya telah meningkatkan ilmunya sampai puncak tertinggi "Apakah Mahisa Bungalan akan dapat bertahan lebih lama lagi"
Berkata Makerti di dalam hatinya.
Namun sementara itu, Gemak Werdi yang.
meskipun juga berdebar-debar, namun ia memang berharap bahwa Mahisa Bungalan akan melihat kenyataan, bahwa perguruannya adalah perguruan yang tidak dapat direndahkan.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah benar-benar terdesak.
Lawannya telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Perguruan yang dinamainya Perguruan Kenanga itu benar-benar harus mempertahankan harga dirinya.
Mahisa Bungalan yang masih selalu mengekang dirinya, benar-benar telah terdesak.
Bahkan, karena ia hanya berusaha untuk mengelak dan menghindar, akhirnya ia kehilangan kesempatannya.
Kecepatan bergerak lawannya telah mendorongnya pada Suatu keadaan yang tidak tertahankan lagi Ketika serangan lawannya di puncak ilmunya itu datang membadai, makaMahisa Bungalan tidak lagi berhasil mengelakkan setiap serangannya.
Ketika Mahisa Bungalan mulai tersentuh tangan lawannya, maka terasa kulitnya menjadi pedih.
Sentuhan- sentuhan yang mula-mula tidak terlalu keras.
Tetapi yang semakin lama semakin terasa sakit.
Bukan saja pada wadagnya, tetapi juga pada hatinya.
Ketika selintas Mahisa Bungalan melihat wajah-wajah yang tegang di pinggir arena, maka hatinyapun tergetar.
Kesadaran dirinyapun menjadi semakin bergelora di dalam hatinya.
Dan suatu tekad telah meledak diliatinya "Aku tidak mau menjadi tontonan disini"
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalanpun kemudian benar-benar telah menempatkan diri sebagai lawan dalam sebuah perang tanding"
Sikapnya yang terpancar dari tekad yang pasti itu telah mengejutkan lawannya pula.
Nampaknya anak muda itu menjadi semakin garang dan semakin keras.
Sambil menggeram Mahisa Bungalanpun meloncat dalam kesiagaan sepenuhnya.
Ia tidak lagi sekedar menghindar dan mengelaki Ia tidak mau disakiti oleh lawannya, dan ia tidak mau menjadi tontonan karena pimpinan perguruan itu ingin menunjukkan kelebihannya di hadapan orang-orangnya.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah pertempuran yang sangat dahsyat.
Betapapun tinggi ilmu guru Gemak Werdi, namun yang dihadapinya adalah Mahisa Bungalan.
Meskipun masih muda, tetapi Mahisa Bungalan adalah perasan dari ilmu yang tiada taranya.
Ia adalah orang yang pernah membunuh pimpinan tertinggi di Mahibit yang menentang pemerintahan Singasari.Karena itu, maka pertempuran itupun telah menyala dengan dahsyatnya.
Bagaimanapun juga, akhirnya kemarahan Mahisa Bungalanpun telah digelitik oleh kedaan, seolah-olah ia telah dihadapkan pada seorang yang dapat menentukan apa saja atas dirinya.
Guru Gemak Werdi benar-benar terkejut menghadapi kenyataan itu.
Tetapi iapun tidak dapat melangkah surut.
Ia sudah bertekad untuk menunjukkan kelebihan perguruannya, namun lawannyapun telah bertekad untuk mempertahankan harga dirinya.
Pertempuran yang semula terjadi dalam batas yang sempit itupun telah bergeser.
Semakin lama semakin luas.
Langkah mereka menjadi semakin panjang, dan kekuatan yang terlontarpun menjadi semakin besar.
Hempasan serangan Mahisa Bungalan seolah-olah telah menimbulkan angin pusaran.
Setiap sentuhan serangan lawannya, telah dibalasnya pula.
Setiap kali keduanya telah terlihat dalam putaran yang membingungkan.
Namun ternyata bahwa maksud guru Gemak Werdi untuk menunjukkan harga diri padepokannya itu semakin lama justru menjadi semakin kabur.
Meskipun orang terpenting di padepokan itu telah turun ke arena, namun yang dihadipinya benar-benar seorang yang tiada taranya.
Dalam beberapa benturan yang kemudian terjadi, maka keduanya mulai dapat mengerti, kekuatan yang sebenarnya dari kedua belah pihak.
Karena itulah, maka guru Gemak Werdi itupun tidak akan dapat mengelakkan diri dari kenyataan, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang berkekuatan raksasa.
Tetapi harga diri orang tua itu tidak mau menjadi semakin parah menghadapi Mahisa Bungalan.
Ia benar- benar telah mengerahkan puncak ilmunya dan bahkankemudian segenap tenaga cadangan yang dapat dihimpunnya.
Tenaga yang justru mempunyai kekuatan berlipat dari kekuatan wajarnya.
Itulah sebabnya kemudian di arena itu bagaikan telah bertiup badai yang dahsyat mengguncang dedaunan dan dahan-dahan.
Orang-orang yang semula berada di sekitar arena itupun telah berpencaran.
Mereka berloncatan menjauh ketika langkah-langkah kedua orang yang bertempur itu menjadi semakin panjang.
Bahkan mereka kemudian tidak lagi menghiraukan tanaman di halaman.
Pohon bunga soka dan ceplok piring telah berserakkan rata dengan tanah.
Bahkan pohon kemuning di pinggir halaman Itupun telah rontok, bukan saja bunganya, tetapi juga daunnya.
Dahan- dahannyapun berparahan dan berjatuhan di tanah.
Benturan demi benturan tidak dapat dielakkan.
Serangan yang dahsyat saling berbenturan.
Betapapun juga orang tua itu mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia tidak dapat memaksa anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu menjadi lumpuh.
Bahkan anak muda itupun semakin lama justru menjadi semakin garang.
Mahisa Bungalan yang berjuang bukan saja membebaskan diri dari serangan lawan, tetapi juga bertahan untuk tidak hanyut oleh arus perasaannya, lambat laun menjadi semakin panas pula darahnya, Ia masih jauh lebih muda dari guru Gemak Werdi itu, sehingga karena itu, maka jika orang tua itu tidak lagi mampu mengekang diri, apalagi Mahisa Bungalan yang muda.
Ternyata bahwa guru Gemak Werdi memang memiliki pengalaman yang luas dalam olah kanuragan, sesuai dengan umurnya.
Namun demikin, Mahisa Bungalan yangmuda itu agaknya tidak pula kalah dalam pengalaman.
Mahisa Bungalan adalah anak muda yang sudah terbiasa berpetulang.
Melihat daerah yang jauh dan menempuh perjalanan yang gawat.
Sudah banyak lawan yang dihadapinya, sehingga sudah banyak pula ilmu yang dikenalnya.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah sebabnya, maka ketika ia tidak lagi dapat menguasai dirinya, maka iapun telah melepaskan segenap tenaga cadangan yang ada padanya pula.
Benturan ilmu tertinggi itu telah membuat padepokan kecil itu bagaikan berguncang.
Dengan marah guru Gemak Werdi telah mempergunakan segenap kekuatan yang ada menyerang dada Mahisa Bungalan dengan kelima jarinya yang rapat terbuka.
Namun Mahisa Bungalan masih sempat mengelak dengan loncatan kecil.
Dengan cepat dan keras Mahisa Bungalan telah melontarkan serangan dengan kakinya yang berputar mendatar mengarah lambung.
Tetapi lawannyapun sempat meloncat surut Dengan sekuat tenaga lawannya memukul pergelangan kaki Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan tidak membiarkan kakinya kesakitan.
Ia menarik kakinya dalam setengah putaran.
Kemudian tiba-tiba saja ia melenting seperti seekor bilalang.
Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak sempat mengelak.
Yang dapat dilakukannya adalah memiringkan tu-buhnya dan menangkis serangan itu dengan sikunya.
Benturan yang dahsyat tidak dapat dielakkan.
Agaknya Mahisa Bungalan tidak lagi membatasi tenaganya.
Karena itulah, maka lontaran tenaga sepenuh kekuatannya itu telah mendorong lawannya beberapa langkah.
Guru Gemak Werdi itupun terhuyung-huyung karenanya.
Hampir saja ia tidak berhasil menguasaikeseimbangannya.
Namun ketika Mahisa Bungalan memburunya, ia berhasil melenting beberapa langkah.
Demikian kedua kakinya menjejaki tanah, maka iapun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Bungalan yang memburunya telah melihat kesiagaan lawannya.
Namun sekali lagi Mahisa Bungalan berusaha membenturkan kekuatannya.
Sekali dengan sepenuh kekuatannya ia meloncat menyerang dengan kaki lurus mendatar.
Lawannya tidak mau membenturkan kekuatannya.
Ia sempat mengelakkan, sehingga Mahisa Bungalan meluncur sejengkal disisinya.
Namun pada saat itulah justru orang tua itu telah berusaha menyerang Mahisa Bungalan dengan hentakkan jarinya yang rapat mengembang pada lambungnya.
Mahisa Bungalan menggeliat, sehingga ia berhasil berkisar dari garis serangan lawannya.
Namun lawannya sempat pula merubah arah tangannya sambil meloncat memburu.
Mahisa Bungalanlah yang kemudian tidak sempat mengelak.
Tetapi ia menyadari serangan yang datang ke dadanya.
Sambil menarik tubuhnya miring kekiri, ia memukul tangan lawannya.
Tetapi ternyata lawannya sudah memperhitungkannya.
Tangannya ditariknya, namun kemudian sikunyalah yang menyerang, justru kening Mahisa Bungalan.
Dengan sigap Mahisa Bungalan menahan serangan itu dengan tangan kirinya.
Namun ternyata serangan itu sangar kuatnya, sehingga meskipun sudah dilambari dengan tangat kirinya, namun serangan itu berhasil menyentuh keningnya.
Serangan itu tidak membuat keningnya menjadi sakit, meskipun kepalanya terdorong sejengkal.
Namun sentuhanitu membuat hati Mahisa Bungalan menjadi semakin panas.
Itulah agaknya ia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawannya.
Sebelum lawannya menarik sikunya, maka Mahisa Bungalan telah meloncat kesamping mengambil ancang-ancang.
Dengan kecepatan yang luar biasa, maka iapun kemudian menghantam lawannya dengan punggung kepalan tangannya mendatar setinggi punggung.
Serangan itu begitu tiba-tiba.
Lawannya berusaha untuk memiringkan tubuhnya dan menangkis serangan itu.
Tetapi ia terlambat.
Meskipun bukan punggungnya, tetapi pundaknyalah yang telah terhantam oleh kekuatan Mahisa Bungalan yang tiada taranya.
Lawannya itupun menyeringai kesakitan.
Bahkan sekali lagi ia terdorong ke samping.
Selagi ia masih terhuyung- huyung, maka kaki Mahisa Bungalan sekali lagi bergeser, menghantam paha lawannya dari samping.
Orang tua itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya.
la tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia harus jatuh berguling.
Namun dengan sigapnya iapun telah melenting berdiri dengan kesiagaan sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan.
Namun pada saat itu pulalah datang serangan Mahisa Bungalan bagaikan badai menghantam gerurnbul perdu di padang terbuka.
Demikian dahsyatnya, sehingga lawannya yang sudah berada di puncak kemampuannya itu tidak mampu bertahan lagi.
Kekuatan Mahisa Bungalan benar- kekuatan yang tidak terlawan.
Meskipun Mahisa Bungalan belum mempergunakan puncak ilmu pamungkasan yang diterimanya dari ayahnya dan Mahisa Agni yang telah luluh dalam dirinya, namun ternyata bahwa lawannya, meskipun sudah tertahan oleh tangannya yang bersilang itu, telah melemparkanya beberapa langkah surut.
Kemudianrasa-rasanya keseimbangannyapun telah lenyap sehingga iapun kemudian berputar sekali dan jatuh terjerembab.
Yang terjadi itu benar-benar mengguncangkan dada setiap orang yang menyaksikan, terutama murid-murid dari perguruan Kenanga.
Mereka harus melihat kenyataan, bahwa gurunya terjatuh dan dengan susah payah berusaha untuk bangkit.
Anak gadisnya yang berdiri termangu-mangu, tiba-tiba saja telah meloncat maju sambil berkata lantang "Kau tidak dapat dimaafkan lagi"
Mahisa Bungalan tertegun.
Apalagi ketika kemudian Gemak Werdi telah melangkah maju pula diikuti oleh beberapa orang cantrik.
Bahkan yang mengguncangkan dada Mahisa Bungalan adalah justru Makerti telah berdiri menghadapinya pula sambil berkata "Yang kau lakukan adalah sudah keterlaluan Mahisa Bungalan.
Aku adalah muridnya, yang siap untuk menuntut balas"
Mahisa Bungalan berdiri tegak seperti patung. Namun ia mencoba untuk melihat kenyataan yang mengepungnya. Murid-murid dari perguruan Kenanga.
"Apaboleh buat"
Tiba-tiba saja ia menggeram "aku bukan tontonan di sini Bukan pula sasaran untuk sekedar melepaskan kekecewaan karena kedunguan Gemak Werdi yang terjadi di Watan itu.
Aku adalah Mahisa Bungalan yang juga mempunyai harga diri seperti kalian.
Jika semuanya memang tidak dapat dicegah lagi ,maka harga diriku adalah nyawaku"
Kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan setiap dada.
Apalagi ketika nampak oleh mereka sorot mata Mahisa Bungalan yang bagaikan memancarkan api Namun merekapun berkata pula di dalam hati masing-masing "Harga diriku juga bernilai seperti nyawaku"Sejenak kemudian Mahisa Bungalan telah berdiri di dalam sebuah lingkaran.
Para murid dari padepokan itu telah mengepung Di tiga penjuru berdiri Gemak Werdi, Makerti dan anak gadis pimpinan padepokan Kenanga yang telah dijatuhkan oleh Mahisa Bungalan.
Dalam pada itu Mahisa Bungalanpun telah mempersiapkan dirinya.
Ia tidak lagi mempunyai bermacam-macam pertimbangan.
Bahkan iapun tidak lagi berusaha mengekang diri seandainya sentuhan tangannya akan berakibat maut bagi siapapun juga.
Setiap jantungpun terasa berdegup semakin cepat.
Ketegangan menjadi semakin memuncak pula.
Namun pada saat Mahisa Bungalan siap meloncat menyerang setiap orang yang mengepungnya, tiba-tiba terdengar suara dalam nada yang dalam "Tunggu, tunggulah"
Semua orang tertegun.
Ketika mereka kemudian berpaling, dilihatnya guru Gemak Werdi itu berdiri tertatih- tatih mendekati arena.
Mahisa Bungalan beringsut setapak.
Ia menjadi curiga, bahwa orang tua itupun akan ikut beramai*ramai mengeroyoknya pula.
Namun orang itupun berkata "Hentikan permusuhan ini"
Semua orang menjadi termangu-mangu, sementara orang tua itu berkata "Hentikan.
Kita sudah kehilangan pengamatan diri menghadapi anak muda itu.
Ternyata bahwa kita tidak akan dapat mengingkari kenyataan bahwa perguruan kita yang kecil ini bukanlah apa-apa baginya"
Para murid menjadi heran, sementara orang tua itu meneruskan "Pada saat-saat terakhir dari permainan angger Mahisa Bungalan.
terbukti betapa tinggi ilmu yangdimilikinya.
Meskipun kita penghuni seluruh padepokan ini bersama-sama melawannya termasuk aku sendiri, namun kita tidak akan dapat berbuat banyak.
Aku yakin, bahwa di atas kekuatannya yang baru saja kita saksikan, angger Mahisa Bungalan masih mampu melepaskan ilmu yang jauh lebih dahsyat lagi.
Ilmu yang akan dapat membakar seluruh pade-pokan ini menjadi hangus"
Murid-muridnya mendengar keterangan gurunya itu dengan bersungguh-sungguh.
Mereka memang sudah melihat, betapa anak muda itu berhasil merobohkan gurunya.
Namun mereka tidak menyadari kekuatan apakah yang masih tersimpan pada anak muda itu, yang akan dapat dilontarkannya setiap saat jika keadaan memaksa.
Kekuatan ilmu yang seolah-olah dapat meruntuhkan gunung.
Selagi para muridnya masih dicengkam oleh ketidak- pastian, maka orang tua itupun kemudian mendekati Mahisa Bungalan sambil berkata "Angger Mahisa Bungalan, aku mohon maaf atas sambutanku yang kurang baik di padepokan ini.
Tetapi ketahuilah, bahwa ternyata kami telah menerima kunjungan seorang anak muda yang tidak ada duanya"
Mahisa Bungalan masih berdiri tegak bagaikan patung, la masih diliputi oleh kecurigaan menghadapi seluruh penghuni padepokan itu.
Sementara itu, orang tua itu meneruskan "Semalam, ketika aku menjajagi ketahanan ilmu angger ternyata aku sudah salah hitung.
Aku kira angger benar-benar tidak mampu mengatasi lontran ilmuku.
Tetapi agaknya karena kebodohanku sajalah, maka aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi"
Mahisa Bungalan masih tetap berdiam diri.
Ia masih belum dapat melepaskan diri dari suasana yang baru saja mencengkam padepokan itu.
Apalagi Mahisa Bungalanmasih melihat murid-murid padepokan itu masih tetap bersiaga, termasuk Makerti.
Namun sekali lagi guru mereka itu berkata "Kalian tidak perlu berbuat apa-apa lagi.
Cepat, tinggalkan tempat ini, dan pergilah merebus air dan menanak nasi.
Kalian dapat menangkap dua ekor ayam yang paling gemuk untuk menjamu tamu kita"
Para cantrik masih termangu-mangu .Namun merekapun kemudian bergeser seorang demi seorang, sehingga akhirnya yang tinggal hanyalah Gemak Werdi, Makerti dan gadis yang masih tetap memandang Mahisa Bungalan dengan curiga.
"Kemarilah. Duduklah di pendapa"
Ajak orang tua itu.
Melihat sikapnya, Mahisa Bungalan lambat laun ditumbuhi juga kepercayaan kepadanya, bahwa ia tidak akan berbuat jahat.
Sehingga karena itu, maka iapun kemudian mengikutinya naik ke pendapa.
Makerti yang mengikutinya di belakang berdesis di telinga Mahisa Bungalan "Aku mohon maaf.
Aku tidak dapat melihat guruku mengalami kesulitan"
Mahisa Bungalan tersenyum Katanya "Aku mengerti. Kau adalah murid yang baik"
Sejenak kemudian merekapun telah duduk di pendapa mengelilingi minuman hangat yang dihidangkan.
Dengan nada datar orang tua Itupun kemudian berkata "Angger Mahisa Bungalan.
Ternyata kami salah menilai angger.
Meskipun aku sudah menduga bahwa angger memang memiliki kemampuan, tetapi ternyata yang ada sangat jauh dari perhitunganku semula"
Mahisa Bungalan tidak menjawab."Perkenankanlah kami memperkenalkan diri.
Aku adalah seorang tua yang memimpin padepokan ini.
Orang menyebutku Ki Kenanga, namun kadang-kadang juga disebut Ki Selabajra.
Gadis itu adalah anakku yang disebut Amrik yang juga kadang-kadang dipanggil Ken Padmi.
Sedangkan dua orang muridku yang lain tentu sudah kau kenal"
Mahisa Bungalan mengangguk hormat. Katanya "Terima kasih Kiai. Aku senang sekali dapat berkenalan dengan Kiai"
"Sekali lagi aku minta maaf atas penerimaan yang tidak ramah ini"
"Aku juga minta maaf Kiai. Mungkin kedatanganku telah mengguncangkan ketenangan padepokan ini, meskipun maksudku bukan demikian"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya "Aku mengerti.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akupun menyadari bahwa yang kau lakukan bukannya dengan sengaja menghina perguruan ini.
Tetapi rasa-rasanya adalah terlalu berat untuk menerima belas kasihan dari seseorang yang belum kami kenal"
"Aku melakukannya tanpa maksud buruk"
"Karena itulah, maka yang ingin kami lakukan sebenarnya hanyalah sekedar menunjukkan harga diri. Namun agaknya perasaan ini tidak lagi dapat kami kuasai. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Pengakuan yang jujur itu telah membuat penilaiannya atas orang-orang padepokan itupun agak berubah.
"Karena itu ngger"
Berkata Ki Kenanga yang juga sering disebut Ki Selabajra "anggaplah yang terjadi itu betul-betul suatu kekhilafan""Marilah kita lupakan Kiai. Jika maksud kedatanganku kemari sudah dapat dimengerti, aku sudah mengucapkan beribu terima kasih"
"Kami mengerti ngger. Bahkan lebih daripada itu. Ternyata meskipun usia angger masih jauh lebih muda dari umurku, namun angger adalah seorang yang telah dewasa lahir dan batin"
Mahisa Bungalan mengangkat Wajahnya sejenak. Namun udiam sambil menundukkan kepalanya ia bergumam "Jangan memuji Kiai. Aku tidak lebih dari yang ada ini"
"Yang ada itulah yang luar biasa"
Sahut Ki Selabajra "aku ingin mohon agar angger bersedia bermalam di sini untuk satu dua malam"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada Makerti, maka sorot mata Makertipun seolah-olah telah mempersilahkannya pula. Karena itu maka katanya "Terima kasih Kiai. Jika Kiai sudi menerima aku bermalam"
"Tentu, tentu ngger. Aku senang sekali menerima angger bermalam di sini"
Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya pula sejenak, seolah-olah ia ingin tahu, apakah orang tua itu berkata dengan jujur.
Namun nampak pada sorot matanya, maka yang dikatakannya itu benar-benar terloncat dari hatinya.
Nampaknya ia benar-benar menerima Mahisa Bungalan bermalam dengan senang.
Ketika kemudian beberapa jamuan makan dihidangkan, maka Mahisa Bungalanpun minta diri untuk mencuci tangan dan kakinya di sumur, di halaman samping padepokan itu.Pada saat Mahisa Bungalan turun itulah, Makerti telah menceriterakan, bahwa sebenarnya Mahisa Bungalan sama sekali tidak dicengkam oleh ilmu yang dilontarkan Ki Selabajra semalam.
Mahisa Bunglan sama sekali tidak tertidur nyenyak sehingga tidak menyadari apa yang telah terjadi.
"Dan kau juga mampu melepaskan diri dari pengaruh ilmuku?"
Bertanya guru Makerti.
"Sebenarnya aku tidak mampu lagi guru. Tetapi ketika Mahisa Bungalan memegang tanganku, rasa-rasanya ada semacam arus yang hangat mengalir ke seluruh tubuhku, sehingga aku dapat bertahan diri dari pengaruh ilmu guru yang sebenarnya tidak terlawan itu"
"Jadi kau juga telah dibebaskan dari pengaruh ilmu itu oleh Mahisa Bungalan?"
"Ya guru"
Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Makerti sejenak. Kemudian Gemak Werdi dan anak gadisnya yang menunduk.
"Jika demikian, ia benar-benar anak muda yang luar biasa. Ia tentu memiliki ilmu yang belum pernah kita ketahui dan tidak dapat kita bayangkan tingkat kemampuannya"
Berkata orang tua itu.
Pembicaraan itupun segera terputus, karena Mahisa Bungalan telah datang kembali, dan duduk diantara mereka.
Sejenak kemudian merekapun telah menikmati hidangan makan bersama.
Meskipun sudah tidak ada masalah lagi diantara mereka, namun rasa-rasanya masih saja ada jarak antara Gemak Werdi dan Mahisa Bungalan.
Anak muda itu masih saja dibayangi oleh sikap Mahisa Bungalan di Watan Dihadapan banyak orang, Mahisa Bungalan telah memperkecil arti kehadirannya.
"Kenapa ia tidak dengan tulus membantuku"
Pertanyaan itulah yang selalu mengganggunya "Bahkan ia telah memperkecil arti kehadiranku di padukuhan itu. Seharusnya orang-orang Watan merasa bahwa aku telah membebaskan mereka dari tingkah laku yang jahat dari Ki Lambun dan orang-orangnya"
Namun Gemak Werdi menahan semuanya itu di dalam hatinya.
Ia sadar, bahwa gurunya sudah mulai terpengaruh oleh anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu.
Apalagi setelah anak muda itu menunjukkan kemampuannya.
Bahkan gurunya menganggap bahwa Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang tatarannya tidak dapat dibayangkan.
Seperti yang diminta oleh Ki Selabajra, maka Mahisa Bungalan telah tinggal untuk dua tiga hari di padepokan kecil itu.
Dengan demikian, maka Makertipun tidak segera pulang ke rumahnya.
Iapun tinggal pula di padepokan itu untuk mengawani Mahisa Bungalan.
Demikian pula Gemak Werdi.
Namun dalam pada itu, yang sangat mengherankan Mahisa Bungalan adalah gadis yang bernama Ken Padmi itu.
Ketika ia melihat gadis itu untuk pertama kalinya, ia menganggap bahwa gadis itu adalah gadis yang sombong.
Ia dengan dada tengadah telah menantangnya memasuki arena perkelahian atas nama perguruannya.
Tetapi yang dilakukan itu agaknya adalah sekedar perintah ayahnya.
Dalam pergaulan sehari-hari, ternyata gadis itu adalah gadis yang luruh.
Hampir setiap saat ia selalu menundukkan kepalanya.
Langkahnya lembut dan sorot matanya terasa lunak.Pada malam pertama Mahisa Bungalan berada di padepokan itu, ia telah melihat, bahwa sebenarnya padepokan itu termasuk padepokan yang tenang.
Namun agaknya karena Ki Selabajra terlalu yakin akan perguruannya yang terpencil itu, sehingga beberapa orang muridnya yang kurang perbendaharaan pengalaman, menganggap bahwa perguruan itu adalah perguruan yang terbaik di seluruh muka bumi.
Mereka sudah menerima ilmu cukup dari padepokan ini menganggap bahwa mereka akan dapat berbuat apa saja terhadap orang lain.
Meskipun Ki Selabajra tidak mengajarkan kejahatan, tetapi satu dua orang muridnya yang merasa dirinya tidak terkalahkan itu, kadang-kadang dapat menyulitkan diri mereka sendiri.
Seperti yang telah dilakukan oleh Gemak Werdi yang hampir saja merenggut nyawanya sendiri, karena di luar per-hitungannya ia telah bertemu dengan orang yang bernama Ki Lambun yang memiliki ilmu yang tinggi pula.
Tanpa mengajukan permintaan, Ki Selabajra telah memberi kesempatan kepada Mahisa Bungalan untuk menyaksikan latihan-latihan bagi dua orang murid pada tataran tertinggi dari perguruan Kenanga.
Jika mereka sudah dapat menguasai ilmu pada tataran tertinggi itu, maka mereka berdua akan dapat dilepas seperti Gemak Werdi.
"Keduanya memiliki dasar yang sangat baik"
Desis Mahisa Bungalan ketika Ki Selabajra minta pendapatnya tentang kedua orang muridnya.
"Mereka akan menjadi seorang anak muda yang mengagumkan seperti Gemak Werdi"
Berkata Ki Selabajra "tetapi mereka tentu tidak banyak berarti bagi angger Mahisa Bungalan"Mahisa Bungalan tidak menyahut.
Dalam pada itu, kedua murid Ki Selabajra itu memperlihatkan, bahwa cara yang ditempuh oleh orang tua itu untuk menurunkan ilmunya, termasuk cara yang baik menurut penilaian Mahisa Bungalan.
Meskipun tidak seluruh yang ada di dalam perbendaharaan pengetahuan Ki Selabjra dituangkan, namun keduanya, seperti juga Gemak Werdi dan Makerti, mendapat kemungkinan untuk mengembangkan ilmunya sebaik-baiknya.
Seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan dan kecerdasan pikiran, akan dapat mengembangkan ilmunya setinggi-tingginya.
Adalah di luar dugaannya, bahwa pada saat itu tiba-tiba saja Ken Padmi masuk ke dalam sanggar.
Tetapi gadis itu terkejut ketika ia melihat Mahisa Bungalan ada di dalam sanggar itu pula.
Dengan tergesa-gesa ia berbalik dan melangkah keluar.
Tetapi ayahnya memanggilnya "Kemarilah Duduklah di sini"
Gadis itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian mendekati ayahnya dan duduk disebelahnya pula.
"Setelah keduanya selesai, maka akan datang giliranmu"
"Ah"
Tiba-tiba saja gadis itu berdesah "aku tidak ingin berlatih malam ini"
"Kenapa?"
Bertanya ayahnya.
Gadis itu menjadi gelisah.
Di luar sadarnya, teringat olehnya saat Mahisa Bungalan menangkap kakinya Jika saja anak muda itu ingin memperolok-olokkannya, ia tentu dapat melakukannya saat itu.
Rasa-rasanya tubuh gadis itu meremang dan wajahnyapun menjadi kemerah-merahan.Untuk sesaat gadis yang duduk di sebelah ayahnya itu hanya menundukkan kepalanya saja.
la sama sekali tidak berani berpaling.
Apalagi kepada Mahisa Bungalan.
Dalam pada itu kedua murid yang sudah hampir menyelesaikan ilmunya itu berlatih semakin cepat.
Akhirnya keduanya sampai pada tingkat tertinggi dari ilmu yang pernah dipelajarinya.
"Cukup"
Berkata Ki Selabajra "kalian dapat beristirahat.
Keduanya mengangguk dalam-dalam.
Kemudian keduanyapun keluar dari sanggar.
Yang ada di dalam sanggar itu kemudian hanyalah Ki Selabajra, Mahisa Bungalan dan Ken Padmi menunduk.
Sejenak mereka berdiam diri.
Namun kemudian Ki Selabajrapun berkata kepada anak gadisnya "Bagaimana dengan kau?"
Gadis itu menggeleng lemah Suaranya hanya terdengar seperti berbisik "Aku tidak ingin berlatih sekarang ayah"
"Kenapa tidak anakku. Di padepokan ini, kau adalah muridku yang memiliki ilmu paling lengkap dan kemampuan yang paling tinggi. Tidak ada seorangpun, meskipun ia seorang laki-laki, yang dapat mengimbangimu dalam kecepatan bergerak dan ketrampilan ilmu pedang. Karena itu, aku ingin kau menunjukkan kemampuan itu kepada angger Mahisa Bungalan"
Ken Padmi tetap menggelengkan kepalanya meskipun ia tidak menjawab.
"Anakku"
Berkata ayahnya "aku mengerti, bahwa kau menjadi sangat malu setelah kau menyadari, bahwa ilmu yang paling sempurna di padepokan ini, masih jauh dibawah kemampuan angger Mahisa Bungalan.
Aku, orang yang dianggap paling mumpuni disini, ternyata sama.
sekalitidak berarti apa-apa.
Namun justru karena itu, kau tidak perlu malu kepadanya"
Ken Padmi masih menunduk.
"Cobalah"
Gadis itu masih saja menggelengkan kepalanya.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam.
Ia mengerti, bahwa anak gadisnya menjadi malu bukan karena perbandingan ilmunya yang jauh lebih rendah dari Mahisa Bungalan.
Tetapi gadis itu malu justru karena ia seorang gadis.
Karena itu, maka Ki Selabajrapun tidak memaksanya, Mahisa Bungalan masih akan berada di padepokan itu untuk satu atau dua hari, sehingga ia masih dapat berharap, bahwa pada suatu saat, Mahisa Bungalan akan melihat anak gadisnya menunjukkan puncak kemampuannya.
Bukan untuk me-nyombongkan diri, namun dengan harapan, bahwa Mahisa Bungalan akan dapat memberikan beberapa petunjuk bagi kemajuan ilmu anak gadisnya itu.
Maka ketika Ki Selabajra menyadari bahwa pakaian anak nya sudah basah oleh keringat, berkata "Jika demikian, kau boleh pula meninggalkan ruangan ini.
Tetapi pada suatu saat, kau akan menunjukkan betapa dungunya orang terbaik di padepokan ini"
Ken Padrni ragu-ragu untuk bangkit Tegapi akhirnya, ketika ayahnya mengangguk kepadanya, iapun melangkah keluar dari ruangan itu.
Demikian ia sampai keluar pintu, maka rasa-rasanya kakinya menjadi ringan, sehingga langkahnya menjadi semakin cepat.
Tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja ia berpapasan dengan Gemak Werdi.
Sejenak keduanya salingmemandang.
Namun kemudian Gemak Werdi bertanya "
Darimana kau Padrni?"
Ken Padrni termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian menjawab "Dari Sanggar kakang Gemak Werdi "
"Siapa yang berada di sanggar?"
"Ayah dan Mahisa Bungalan"
"Apa yang mereka lakukan?"
Bertanya Gemak Werdi.
"Mahisa Bungalan melihat kawan-kawan kita berlatih"
Jawab Ken Padrni "Termasuk kau?"
Ken Padrni menggeleng. Jawabnya "Aku tidak berbuat. apa-apa. Ketika aku masuk, aku tidak mengerti bahwa Mahisa. Bungalan ada di dalam bersama ayah"
Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun meneruskan langkahnya turun ke halaman.
"Kemana kau?"
Ken Padrni masih bertanya. Gemak Werdi menggeleng. Jawabnya "Tidak kemana- mana. Aku hanya akan berada di halaman saja"
Ken Padrni tidak bertanya lagi.
Iapun kemudian masuk ke ruang dalam langsung ke dalam biliknya.
Dengan serta merta iapun merebahkan dirinya di pembaringannya.
Untuk beberapa saat Ken Padrni masih berangan-angan.
Sekilas ia membayangkan, betapa anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu memiliki kemampuan tiada taranya.
Meskipun umurnya masih sebaya dengan Gemak Werdi, namun ia sudah dapat mengalahkan ayahnya yang juga gurunya dalam olah kanuragan.
"Dari mana ia mendapatkan ilmu itu?"
Pertanyaan itulah yang mengganggunya, namun kemudian "tetapi tentu darisumber yang jernih.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nampaknya ia bukan orang yang sombong, keras kepala atau orang-orang yang merasa dirinya paling besar diseluruh dunia ini.
Ia nampaknya seorang yang rendah hati.
Jika ayah tidak memaksa, maka ia sama sekali tidak ingin menunjukkan kemampuannya.
Bahkan ayah dahululah yang telah kehilangan pengamatan diri di arena"
Tetapi yang terjadi adalah jauh dari yang dimaksudkan.
Ken Padrni menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Ia menjadi sangat malu mengenang, bahwa ia berdiri dengan wajah tengadah, mengumpati anak muda itu sebagai anak yang dungu.
Saat itu iapun yakin, akan dapat menunaikan tugas yang diberikan oleh ayahnya, mengajari anak muda yang baru datang itu untuk menghormati padepokan ini.
Beberapa saat lamanya gadis itu berangan-angan.
Penyesalan, malu dan berbagai macam perasaan campur baur.
Bahkan ia pun tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia mengagumi Mahisa Bungalan sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tiada bandingnya, yang dilakukan itu belum merupakan puncak dari kemampuannya yang sebenarnya.
Lambat laun, semua bayangan diangan-angannya itu menjadi kabur.
Sehingga akhirnya ketika matanya terpejam, maka yang nampak adalah sebuah mimpi yang indah.
Dalam pada itu, Ki Selabjra dan Mahisa Bungalan masih berada di sanggar.
Sejenak mereka masih berbicara tentang berbagai macam persoalan olah kanuragan.
Sehingga dengan demikian maka Ki Selabajra menjadi semakin yakin, bahwa Mahisa Bungalan memang seorang anak muda yang luar biasa.Ketika kemudian malam menjadi semakin dalam, dan padepokan itu menjadi sepi, maka Ki Selabajra telah mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
Digandok sebelah kiri, Mahisa Bungalan dipersilahkan beristirahat bersama Makerti.
Untuk beberapa saat mereka masih berbicara tentang peristiwa yang pernah mereka alami.
Di Watan dan di padepokan itu.
"Kau adalah murid yang setia"
Berkata Mahisa Bungalan"
Dalam keadaan yang gawat kau telah menentukan sikap terpuji. Kau berdiri di pihak perguruanmu"
Makerti tersenyum betapapun kecutnya. Katanya "Untunglah bahwa guru menyadari keadaannya dan keadaan murid-muridnya. Jika tidak, mungkin kepalaku sudah terbelah"
"Ah"desis Mahisa Bungalan "apakah kau mempunyai kesan bahwa aku adalah seorang pembunuh?"
"Memeng tidak Mahisa Bungalan. Tetapi dalam keadaan terpaksa, dan untuk membela diri, mungkin seseorang yang bukan seorang pembunuh akan dapat membunuh lawannya"
Sahut Makerti. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia tidak membantah karena hal itu memang dapat terjadi. Untuk beberapa saat mereka masih berbicara. Namun akhirnya Mahisa Bungalanpun merebahkan dirinya di amben bambu sambil berdesis "
Di Watan aku tidur di Banjar padukuhan. Di sini aku mendapat kehormatan tidur di gandok"
Namun kemudian sambungnya "itu bukan berarti bahwa aku tidak mendapat kehormatan di Watan. Sikap Ki Buyut sangat baik dan mudah-mudahan Watanakan tetap dalam suasana yang baik setelah Ki Lambun menyadari keadaannya"
Makertipun kemudian berbaring pula.
Namun angan- angannya masih terbang hilir mudik beberapa saat.
Namun kemudian matanyapun terpejam seperti Mahisa Bungalan.
Sehingga beberapa saat kemudian, keduanyapun telah tertidur nyenyak.
Pagi-pagi benar, ketika langit menjadi merah, Mahisa Bungalan telah terbangun.
Ketika ia bangkit, dilihatnya Makertipun telah membuka matanya pula.
Tetapi nampaknya Makerti masih malas untuk meninggalkan pembaringannya, sehingga Mahisa Bunglanpun kemudian meninggalkannya di dalam bilik seorang diri.
Dengan tarikan nafas panjang, Mahisa Bungalan merasakan sejuknya udara pagi.
Meskipun langit masih suram, namun di halaman beberapa ekor ayam telah turun.
Suara burung liar yang berkicau di dahan pepohonan rasa- rasanya bagaikan kidung menyambut datangnya hari baru.
Mahisa Bungalanpun kemudian turun ke halaman pula.
Dilihatnya seorang cantrik sedang menyapu di sudut.
Sementara yang lain sedang sibuk dengan kerja masing- masing.
Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen