Panasnya Bunga Mekar 9
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 9
Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja
"Kita harus cepat bertindak"
Desis yang seorang "jika kita terlambat, kita akan kehilangan mereka lagi"
Yang lain mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak segera menjawab.
Demikianlah keduanya telah berangan-angan bahwa mereka akan dapat menyelesaikan tugas merekadengan baik.
Mereka akan dapat menangkap dan membunuh perempuan yang telah dilepaskan oleh seorang yang tidak mereka kenal.
Tidak seorangpun diantara mereka yang dapat mengatakan, siapakah orangnya, karena semuanya telah terbunuh.
Sedangkan keterangan yang mereka dapatkan dari orang-orang di sekitar pasar itu, hanya memberikan gambaran samar-samar.
Sejenak kemudian, salah seorang dari kedua orang berkuda itu berdesis "Jika benar orang itu adalah orang yang kita cari, mudah-mudahan orang di warung yang bersandar dinding itu tidak menjadi curiga terhadap kita berdua dan membawa perempuan itu menyingkir"
"Malam ini kita akan mengawasi pedukuhan itu"
Sahut yang lain. Kita berempat. Jika kita melihat mereka meninggalkan padukuhan itu, kita akan bertindak"
"Apakah kita akan dapat menunggu mereka di jalan yang pasti akan dilaluinya?"
"Bukankah kita berempat? Kita berada di tempat yang terpisah. Jika ternyata perempuan itu pergi bersama seorang laki-laki yang tentu pembunuh dari kawan-kawan kita itu, kita melepaskan isyarat. Kita akan segera berkumpul dan membunuh mereka"
"Baiklah. Itu akan kita kerjakan sebelum kita sempat berbicara dangan nenek di warung itu besok"
Demikianlah, maka merekapun memutuskan unluk mengawasi seisi padukuhan di sebelah, seperti yang dikatakan orang di warung itu.
Jika malam itu mereka tidak melihat sesuatu, maka besok salah seorang dari mereka akan datang ke rumah itu untuk melihat apakah benar perempuan itu adalah perempuan yang mereka cari, agar mereka tidak terlibat dalam pekerjaan yang sia-sia yang justru akan dapat menyembunyikan orang yang sebenarnya.Dalam pada itu, selagi orang-orang itu sibuk dengan rencananya Mahisa Bungalan telah berada di rumah kakek tua yang sedang menyembunyikan anak dan cucunya.
Dengan hati-hati, agar tidak didengar oleh isteri Pangeran Kuda Padmadata, Mahisa Bungalan menceriterakan, apa yang dilihat dan didengarnya di pasar dipadukuhan sebelah.
"Jadi"
Bertanya kakek tua itu "bagaimana pendapatmu ngger. Apakah orang-orang itu benar-benar mencari saudara perempuannya, atau sekedar sebagai selubung usahanya untuk menemukan anak dan cucuku"
"Itulah yang meragukan kek. Tetapi nampaknya mereka sama sekali tidak tertarik ketika orang yang bersamanya di warung itu mengatakan bahwa aku tinggal bersama seorang perempuan yang baru saja tinggal di rumah ini"
Kakek tua itu mengangguk-angguk.
Namun kemudian katanya "Meskipun demikian ngger, tetapi kita jangan meninggalkan kewaspadaan.
Sebaiknya kita berdua untuk dua tiga hari tidak meninggalkan rumah meskipun hanya sekedar pergi ke sawah.
Kita tidak tahu, apa yang bakal terjadi"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Aku sependapat kek. Besok kita berdua tinggal di rumah"
Keduanya berhenti berbicara ketika cucu kakek itu mendekat.
Ia duduk diantara Ki Wastu dan Mahisa Bungalan.
Karena kehadiran cucunya, maka Ki Wastu teh membelokkan pembicaraan mereka kepada keadaa mereka sehari-hari.
Ketika malam turun, maka ke empat orang yang sedang mencari isteri Pangeran Kuda Padmadata yang hilang itu telah berada di tempat yang tersembunyi untuk mengawasi,apakah ada orang yang meninggalkan padukuhan.
Namun ternyata sampai larut malam mereka tidak melihat seorangpun pergi.
Karena mereka yakin bahwa tidak akan ada lagi yang mereka tunggu, maka merekapun sempat berbaring dan tertidur beberapa saat.
Menjelang dini hari, mereka meninggalkan tempat persembunyian mereka untuk berkumpul kembali.
"Kita akan melakukan rencana kita"
Berkata salah seorang dari mereka "kita akan dapat menyelesaikan masalah ini, karena kita bukan orang-orang dungu seperti penunggu hutan itu"
Kawannya tertawa. Katanya "Aku kira, akupun dapat melakukan seperti yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal itu"
"Kita yakin akan diri kita"
Berkata yang lain lagi "jika kita berempat, karena kita terlalu berhati-hati. Sebenarnya kita masing-masing dapat melakukannya"
Yang lain mengangguk-angguk, sementara mereka menyiapkan diri untuk melaksanakan rencana mereka.
Dua orang akan datang lagi ke warung dipasar itu untuk menanyakan rumah orang yang telah disebut-sebut itu, agar mereka dapat melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Tanpa menimbulkan kecurigaan, maka dua orang itupun bertanya sambil mengunyah makanan seakan-akan sekedar berbicara tanpa maksud apa-apa"
Tanpa curiga, nenek penjual di warung itupun kemudian menunjukkan rumah Mahisa Bungalan meskipun hanya sekedar arahnya."Aku belum pernah melihatnya. Tetapi aku kenal semua orang di padukuhan itu, termasuk tetangga-tetangganya terdekat"
Berkata nenek itu.
Tetapi keterangan yang pendek itu sudah cukup meyakinkan, bahwa mereka akan dapat menemukan rumah yang mereka cari.
Dengan demikian, maka seorang diantara ke empat orang itupun segera berusaha untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya.
Seorang dari antara mereka, bukan yang termasuk pernah dilihat oleh Mahisa Bungalan diwarung itu, telah berusaha menemukan rumahnya.
Ia harus melihat dan meyakinkan, bahwa perempuan di rumah itu adalah perempuan yang mereka cari, karena orang itupun pernah melihat isteri Pangeran Kuda Padmadata ketika ia disingkirkan dari rumahnya ke hutan terpencil itu.
Mula-mula ia hanya sekedar mengawasi di longkangan.
Dengan hati-hati iapun kemudian mendekat.
Ketika anak itu lewat di halaman, orang yang sedang mengintainya itu melangkah memasuki regol halaman dengan sikap ketua- tuaan.
"Ngger"
Ia memanggil "apakah aku dapat bertanya sedikit?"
Anak laki-laki itu termangu-mangu. Ketika ia hampir mendekat, maka kakeknya telah muncul di halaman sambil berkata "Masuklah. Biar kakek yang datang"
Anak itu termangu-mangu sejenak.
Namun ia tidak berani melanggar perintah kakeknya.
Tetapi pada saal itulah, seorang perempuan muncul di pintu.
Hanya sekejap untuk memanggil anaknya dari pintu.Betapa ia berhati-hati namun ternyata bahwa yang sekejap itu telah menumbuhkan persoalan yang gawat baginya.
Laki-laki di regol yang melihat sekilas itu telah menjadi berdebar-debar.
Nampaknya perempuan itu adalah perempuan yang sedang dicarinya.
Kekita Ki Wastu sudah mendekati regol, maka laki-laki dengan sikap ketua-tuaan itupun bertanya sebuah nama seorang laki-laki.
Apakah benar rumah itu adalah rumah orang yang dicarinya"
Ki Wastu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil menjawab "Bukan Ki Sanak. Aku tidak mengenal orang itu"
Orang dengan sikap ketua-tuaan itupun kemudian melangkah pergi.
Tetapi kemudian ia telah menghubungi seorang kawannya yang lain untuk meyakinkan, apakah penglihatannya itu benar.
Kawannyapun kemudian mendekati rumah itu dari arah belakang.
Tetapi tidak terlalu dekat.
Ia menunggu beberapa saat untuk dapat melihat seorang perempuan lewat.
Apakah di longkangan, di halaman samping atau di kebun belakang.
Tetapi akhirnya ia melihat juga.
Perempuan yang ditunggunya itu pada suatu saat melintasi halaman belakang menuju ke pakiwan.
Dada orang itu menjadi berdebar-debar.
Iapun yakin, bahwa perempuan itu adalah perempuan yang dicarinya.
Ketika kemudian perempuan itu keluar dari pakiwan dan dengan tergesa-gesa masuk lewat pintu butulan, maka iapun yakin akan penglihatannya.
Dengan hati-hati iapun kemudian meninggalkan tempatnya.
Ia tidak sempat melihat Mahisa Bungalan yang kemudian keluar dari pintu belakang.Ternyata Mahisa Bungalan dan Ki Wastu yang berada di dalam rumah ternyata juga tidak melihat, bahwa ada orang yang melihat-lihat rumahnya dari jarak yang tidak terlalu dekat.
Bahwa orang itu telah berhasil melihat isteri Pangeran Kuda Padmadata yang mendapat pesan dari ayahnya, untuk tidak terlalu sering keluar rumah.
Bahkan ayahnya berpesan, bahwa perempuan itu sama sekali tidak boleh keluar halaman.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi berdebar- debar ketika ia mendengar seorang tetangganya yang lewat bertanya "He, anakmas, apakah kau baru saja menerima tamu?"
"Tidak paman"
Jawab Mahisa Bungalan.
"Tadi aku lihat seseorang berdiri termangu-mangu di sebelah halaman belakang rumahmu. Aku kira ia kemudian masuk ke halaman rumahmu lewat regol depan"
Mahisa Bungalan termenung sejenak. Sekilas ketegangan membayang di wajahnya. Namun sekejap kemudian ia sudah tersenyum sambil menjawab "Mungkin seseorang yang sedang mencari rumah sanak kadangnya"
Sepeninggal tetangganya itu, maka Mahisa Bungalanpun menemui Ki Wastu. Ia mengatakan apa yang didengarnya dari tetangganya dan dihubungkan dengan apa yang telah diketahui oleh Ki Wastu di halaman, tentang orang yang mencari rumah seseorang.
"Apakah sebenarnya yang mereka lakukan?"
Bertanya Mahisa Bungalan kemudian.
"Mencurigakan"
Sahut Ki Wastu "agaknya kita sudah mulai diawasi.
Bahkan mungkin bukan sekedar diawasi.
Tetapi dalam waktu yang singkat, kita akan menima tamu yang tidak kita kehendaki"Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Wastu berkata dengan nada dalam "Angger.
Sebenarnya aku tidak berhak menahan angger disini.
Apalagi dalam keadaan yang gawat seperti sekarang ini.
Angger, mempunyai ayah bunda yang merindukan angger kembali dengan selamat.
Bahkan mereka tentu berpengharapan, bahwa kelak mereka akan melihat anak laki-lakinya menjadi seorang yang hidup tenang.
Apakah kata mereka tentang orang tua yang tidak tahu diri, yang melibatkan anaknya ke dalam suatu peristiwa yang gawat, yang dapat mengancam jiwanya?"
Mahisa Bungalan beringsut setapak.
Katanya "Sudahlah kek.
Jangan merajuk seperti kanak-kanak.
Kita sudah berada dalam keadaan yang tanpa kita rencanakan dan kita kehendaki.
Sementara itu, aku yang meninggalkan rumah untuk merantau, tentu sudah memperhitungkan segala sesuatu akibat yang dapat terjadi atas diriku.
Termasuk kemungkinan seperti yang akan kita hadapi"
Orang tua itu mengangguk-angguk.
Tatapan matanya yang menjadi suram, kadang-kadang nampak memancar.
Tetapi kadang-kadang redup.
Sejenak keduanya saling berdiam diri.
Ternyata orang tua itu tidak dapat menahan perasaannya.
Dengan suara parau ia berkata "Alangkah bahagianya ayah dan bundamu anakmas.
Kau adalah seorang anak laki-laki yang baik, yang memberikan kebanggaan kepada orang tuanya"
"Jangan memuji kek"
Berkata Mahisa Bungalan "yang harus kita perhitungkan sekarang, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan anak dan cucu kakek itu"
"Sulit untuk melakukannya ngger. Bahkan hampir tidak mungkin. Jika yang datang ke rumah ini orang-orang sakti dalam jumlah yang banyak, maka apa yang telah akulakukan selama ini adalah sia-sia"
Orang tua itu menundukkan sepalanya.
Katanya selanjutnya "anakku hanyalah seorang.
Cucuku baru seorang.
sementara mereka akan mengalami bencana ini.
Dengan demikian maka jalur namaku akan berakhir sampai di sini.
Tidak ada seorangpun yang akan meneruskan aliran darah di dalam jantungku ini"
"Kenapa tiba-tiba kakek menjadi putus asa? Semula aku tidak mengira bahwa orang seperti kakek ini begitu mudahnya berputus asa"
Potong Mahisa Bungalan.
"Ada seribu macam gejolak perasaan di dalam hatiku. Sebenarnya aku lebih condong untuk mempersilahkan angger meninggalkan rumahku ini"
"Jangan menjadi cengeng"
Desis Mahisa Bungalan "kita harus menentukan sikap. Kau boleh berputus asa dan bahkan membunuh diri. Tetapi tidak dengan anak dan cucumu yang masih sangat muda itu"
Kakek itu mengerutkan keningnya.
Dipandanginya wajah Mahisa Bungalan yang justru nampak bagaikan menyala.
Karena itu, maka darahnya yang serasa mulai membeku itupun telah mengalir perlahan-lahan semakin lama menjadi semakin deras.
Bahkan kemudian darah orang tua itu bagaikan mendidih di dalam jantungnya.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya kemudian dengan wajah tengadah "Kita sembunyikan mereka di dalam sanggar.
Tempat itu sulit untuk diketemukan orang yang tidak mengenal rumah ini sebaik-baiknya.
Pintunya tidak jelas dan letaknyapun di antara ruang-ruang yang tertutup.
Mahisa Bungalan menarik nafas.
Ketika ia mula-mula berada di rumah itu, iapun tidak segera mangenal letaksanggar itu.
Karena itu maka katanya "Bagus kek.
Tetapi kakek harus berpesan, jangan menimbulkan bunyi yang dapat menarik perhatian"
Orang tua itupun kemudian termangu-mangu sejenak.
Namun iapun kemudian berdiri sambil memanggil anak dan cucunya untuk mendekat.
Dengan singkat kakek tua itu memberitahukan bahwa keadaan menjadi gawat bagi mereka.
Karena itu, sebaikrlya anak dan cucunya itu menempatkan diri sebaik-baiknya untuk menghindarkan diri dari kemungkinan yang paling buruk.
"Apa yang akan terjadi kek?"
Bertanya cucunya.
"Orang tua itu memandang cucunya sejenak. Kemudian katanya "Tidak apa-apa. Tetapi kau jangan nakal ya. Kau dan ibu harus bersembunyi di dalam sanggar kakek yang meskipun agak gelap tetapi tempat itu adalah tempat yang paling aman bagi kalian"
Sejenak anak itu termangu-mangu. Ketika ia berpaling kepada ibunya, dilihataya wajah ibunya menjadi muram. Bahkan kemudian setitik air mata telah mengambang di pelupuknya.
"Seharusnya aku tidak menemui anakku"
Berkata perempuan itu "tanpa aku, ia akan lebih aman. Meskipun aku harus mati, tetapi dengan demikian anakku akan terbebas dari kejaran orang-orang yang menginginkan kematiannya"
Anak laki-laki itu mengerutkan keningnya.
Namun kakeknya berkata "Jangan menyesali keadaan.
Lihat, anakmu menjadi heran, kenapa kau mengeluh.
Sebaiknya kau pasrahkan saja segalanya kepada Tuhan Yang Maha Pelindung, sementara kita berusahasebagaimana dapat kita lakukan karena Tuhan mengaruniakan akal budi dan wadag ini"
Perempuan itu mengusap matanya.
"Marilah"
Berkata kakek tua itu "bukankah kau sudah menanak nasi dan membuat lauknya.
Bawa sajalah.
Mungkin kau akan menunggu sampai waktu yang cukup lama.
Biarlah anakmu tidak menjadi lapar.
Jika saatnya datang aku akan memanggilmu keluar.
Ingat, sebelum aku memanggil, kau berdua harus tetap berada di dalam.
Kecuali jika sudah lewat semalam"
"Apa artinya lewat semalam itu ayah?"
Bertanya perempuan itu. Ayahnya termangu-mangu. Namun ia menggelengkan kepalanya sambil berkata "Marilah. Lihatlah tempat itu dan biasakan di dalam gelap"
Perempuan dan anak laki-lakinya itupun kemudian mengikuti kakek tua itu masuk ke dalam sanggar yang agak gelap.
Kemudian dengan hati-hati kakek itu mengaburkan pintunya yang sempit dengan menyandarkan beberapa potong kayu bakar dan sepapah belarak kering.
Ketika ia masuk ke dalam rumah, ia melihat Mahisa Bungalan berdiri di muka pintu yang dibukanya sedikit Dengan berdebar-debar, orang tua itu bertanya "Apa yang kau lihat?"
Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Jawabnya singkat "Belum ada yang aku lihat kek"
Kakek itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian "Aku mempunyai senjata yang sering aku pergunakan di saat mudaku.
Tetapi demi anak dan cucuku, maka senjata itu akan aku pergunakan lagi sekarang jika perlu"Mahisa Bungalan berpaling.
Dipandanginya wajah kakek tua itu.
Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata "Anak dan cucumu adalah milikmu yang paling berharga kek.
Karena itu, kau harus mempertahankannya dengan taruhan apa saja yang ada padamu"
"Ya. Aku mengerti"
Desis orang tua itu "aku akan mengambil senjataku. Tetapi barangkah kau memerlukan senjata ngger? Senjata pendek atau senjata panjang?"
"Berapa pucuk senjatamu kakek?"
Bertanya Mahisa Bungalan. Orang tua itu tersenyum. Katanya "Yang aku banggakan hanyalah satu. Tetapi aku mempunyai jenis senjata yang lain. Meskipun bukan pusaka yang mempunyai nilai gaib"
Mahisa Bungalanpun tersenyum pula.
Katanya "Berikan padaku senjata yang tidak kau pakai kek.
Aku dapat mempergunakan senjata apa saja.
Yang pendek, yang panjang, yang lentur atau yang lemas sekalipun.
Senjata apapun akan lebih baik untuk menghadapi senjata lawan dari jenis apapun pula"
Kakek tua itupun kemudian melangkah memasuki biliknya. Ketika ia keluar, ia membawa sebilah pedang dan perisai. Selain sejata itu, iapun membawa sebatang tombak pendek"
"Pakailah tombakku. Aku akan memakai pedang dan perisaiku"
Berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Pedang yang dipegang oleh orang tua itu benar-benar pedang mendebarkan.
Pedang yang sudah berusia sangat tua, tetapi yang masih tetap terpelihara.
Meskipun ujudnya benar- benar seperti pedang, namun buatannya mirip dengan keris.
Pedang kakek tua itu berwarna kehitaman dengan pamordan guratan-guratan yang memberikan kesan yang keagungan.
Sedangkan perisai di tangan kirinya, mempunyai bentuk khusus.
Perisai itu tidak terlalu besar, melengkung sampai kebatas siku.
"Senjatamu bagus kek"
Berkata Mahisa Bungalan kemudian. Orang tua itu mengangguk-angguk. Sejenak ia memandangi pedangnya, kemudian perisainya, yang tidak terlalu besar.
"Aku mempelajari watak senjataku ini dengan sungguh- sungguh"
Berkata orang tua itu "karena itu, maka senjata ini adalah senjata yang paling baik bagiku"
Sambil menerima tombak dari tangan orang tua itu, Mahisa Bungalan berkata "Tombak pendek inipun tombak yang bagus sekali. Tombak yang memiliki keseimbangan panjang dan berat yang seolah-olah telah diperhitungkan semasak-masaknya"
"Mudah-mudahan kau dapat mempergunakannya"
Gumam kakek tua itu. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sambil meminang tombak pendek itu, ia melangkah kembali ke pintu dan memandang keluar dari celah-celah yang sempit. Dengan suara datar Mahisa Bungalan berkata "Aku tidak melihat sesuatu"
Orang tua itu tiba-tiba saja tertawa pendek.
Katanya "Agaknya kita sajalah yang dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan.
Karena itu, maka kita seolah-olah berada dalam keadaan yang gawat, sementara tidak ada apapun juga yang bakal terjadi"Mahisa Bungalanpun tertawa pula.
Namun ia tidak beringsut dari tempatnya.
Dalam pada itu, kakek tua itupun melangkah ke pintu belakang.
Mungkin bahaya itu akan datang dari arah belakang.
Menurut seorang tetangga, maka ada orang yang melihat-lihat halaman belakang rumahnya dengan termangu-mangu, yang justru disangkanya telah datang bertamu kepadanya lewat regol halaman depan.
Tetapi kakek tua itupun tidak melihat seseorang di halaman belakang.
Meskipun demikian kedua orang yang sedang berjaga- jaga itu tidak kehilangan kewaspadaan.
Mereka masih tetap mengawasi keadaan, meskipun kadang-kadang mereka duduk menghilangkan ketegangan sambil minum seteguk air jahe.
"Ketegangan ini sangat melelahkan"
Berkata orang tua itu kemudian.
Mahisa Bungalan hanya dapat menarik nafas dalam- dalam.
Tetapi iapun merasakan ketegangan yang semakin memuncak.
Sementara itu, empat orang yang sedang memburu isteri Pangeran Kuda Padmadata itupun telah yakin, bahwa perempuan yang mereka cari berada di dalam rumah itu.
Karena itu, maka merekapun segera bersiap.
Mereka tidak mau kehilangan lagi.
Jika mereka berhasil, maka mereka akan mendapat upah yang tidak ada taranya.
Mungkin mereka akan menerima upah yang dapat mereka pergunakan untuk seumur hidup mereka.
"Kita akan datang ke rumah itu"
Berkata salah seorang yang menjadi pemimpin dari ke empat orang itu "kita harusbersiap menghadapi orang yang telah membunuh enam orang penjaga di hutan itu"
Salah seorang dari ke empat orang itu tertawa. Katanya "jangan membuat perbandingan antara kita dengan mereka"
Yang lain menyahut "Ya. Kita memang tidak dapat diperbandingkan dengan tikus-tikus kelaparan itu"
"Jangan sombong"
Sahut pemimpinnya "kita harus tetap berhati-hati. Bahkan mungkin selain orang itu, masih ada orang lain yang harus kita perhitungkan"
"Kau tahu tentang kami"
Sahut seorang yang bertubuh kekurus-kurusan, tetapi berjambang panjang. Katanya selanjutnya "Kita adalah orang-orang yang terpilih dari antara sepuluh ribu orang"
Pemimpinnya mengangguk-angguk. Namun katanya "Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati. Jika kalian sudah siap lahir dan batin, kita akan berangkat. Kita tidak perlu menunggu malam. Biarlah pertempuran ini menjadi tontonan"
Ke empat orang itupun segera bersiap. Mereka menyandang senjata masing-masing. Sementara orang yang bersikap ketua-tuaan itupun berkata "Aku akan datang dari regol depan. Siapa yang akan memasuki alaman rumah itu dari belakang"
"Tidak ada"
Jawab orang yang agak pendek "kita semua akan masuk dari depan. Memanggil orang yang telah membunuh ke enam tikus kecil itu dan menantangnya bertempur sampai mati di halaman"
"Perang tanding?"
"Jika memang aku harus berperang tanding, aku akan melakukannya"
Berkata orang bertubuh agak pendek itu."Jangan mengigau"
Bentak pemimpinnya "kita harus membunuh mereka, bukan sekedar bersombong diri dengan memamerkan ilmu kita masing-masing"
"Mudah-mudahan mataku tidak rabun"
Berkata orang yang bersikap ketua-tuaan "tetapi aku yakin, bahwa aku benar"
Dengan demikian, maka ke empat orang itupun segera bersiap untuk berangkat.
Mereka segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing.
Mereka tidak menunggu gelap, karena mereka tidak perlu mencemaskan campur tangan orang lain.
Menurut penilaian mereka, orang-orang di pedukuhan itu tidak akan sanggup membantu apapun juga.
Pada saat orang-orang itu berangkat, maka di rumah Ki Wastu, kegelisahan menjadi semakin mencengkam.
Kakek tua itu dan Mahisa Bungalan berjalan mondar-mandir di dalam rumah.
Sekali-kali kakek tua itu melekati pintu sanggarnya yang sudah disamarkan.
Dengan suara lirih ia memanggil anak dan cucunya.
"Apakah kami sudah boleh keluar?"
Bertanya cucunya.
"Tunggu. Sebentar lagi kau boleh keluar. Tetapi berhati- hatilah. Jangan berbuat sesuatu yang dapat membahayakan dirimu sendiri"
Anak laki-laki itu mengeluh. Tetapi ia mengerti, bahwa ia memang harus bersembunyi. Ketika Mahisa Bungalan sekali lagi berdiri di muka pintu yang terbuka sedikit, maka iapun terkejut Ia melihat beberapa orang berkuda berada di depan regol halaman.
"Kek"
Desis Mahisa Bungalan "lihat.
Ternyata mereka datang"Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Itu lebih daripada aku harus menunggu sampai menjadi gila oleh ketegangan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Sekarang persoalannya menjadi jelas.
Ternyata mereka menemukan persembunyian anak dan cucuku"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Tidak ada jalan lain. Kita memang harus mempertahankannya dengan segenap yang kita miliki"
Kakek tua itu termangu-mangu sejenak. Namun ia masih bergumam "Aku seharusnya tidak menyeretmu ke dalam kesulitan ini anak muda"
"Kau masih juga merajuk dalam keadaan seperti ini kek?"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Mahisa Bungalan. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun juga.
"Lihat kek, apakah ada orang lain yang lewat halaman belakang"
Berkata Mahisa Bungalan kemudian. Kakek tua itupun kemudian pergi ke pintu butulan. Dengan hati-hati ia mengintip lewat lubang pintu yang tidak tertutup rapat. Tetapi ia tidak melihat sesuatu.
"Tidak ada"
Berkata kakek tua itu kepada Mahisa Bungalan. Orang-orang yang berkuda itupun kemudian memasuki halaman. Salah seorang dari merekapun berteriak "He, siapakah penghuni rumah ini?"
Mahisa Bungalan berdesis "Aku saja kek yang menemui mereka. Berhati-hatilah. Jika perlu, terserah kebijaksanaan yang manakah yang akan kau ambil"
"Akulah yang mempunyai rumah ini. Biarlah aku yang menemui mereka""Aku pernah melihat mereka, dan merekapun pernah melihat aku pula. Setidak-tidaknya dua orang di antara mereka di warung itu"
Kakek tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Terserahlah. Tetapi berhati-hatilah. Jangan terlalu terikat akan harga diri. Jika perlu, panggil aku sabelum aku mengambil keputusan yang sesuai, karena sebenarnyalah otakku memang tumpul"
Mahisa Bungalan tidak menjawab lagi.
Ketika ia mendengar salah seorang dari ke empat orang berkuda, itu memanggil sekali lagi, maka iapun segera mendorong pintu dan melangkah keluar sambil bergumam "Tidak ada pilihan lain.
Aku belum membawa tombak ini.
Tetapi setiap saat aku akan mempergunakannya"
Kakek tua itupun menerima tombak pendek dari tangan Mahisa Bungalan.
Ia sadar, setiap saat ia harus bertindak cepat dalam keadaan yang gawat.
Sejanak kemudian Mahisa Bungalanpun keluar dari pintu depan.
Ketika ia turun ke halaman, dilihatnya ke empat orang itu berpencar.
Sementara itu, kakek tua di dalam rumah itupun berusaha berlindung di balik daun pintu.
"He, kau penghuni rumah ini?"
Bertanya salah seorang dari penunggang kuda itu.
"Ya. Aku penghuni rumah ini. Bukankah kau yang aku lihat berada di warung di padukuhan sebelah?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya "Kau masih mengenal aku"
"Ya. Aku masih mengenalmu"
Jawab Mahisa Bungalan.Orang itu termangu-mangu sejenak.
Sekilas ia memandang wajah kawan-kawannya yang mulai berpencar di halaman rumah itu.
Kemudian kembali ia memandang Mahisa Bungalan sambil berkata "Adalah kebetulan sekali bahwa aku telah bertemu dengan pemilik rumah ini"
"Apakah kau mempunyai sesuatu keperluan?"
Bertanya Mahisa Bungalan.
"Ya. Aku ingin berbicara dengan kau barang sejenak"
Ketika orang itu kemudian meloncat turun dari kudanya, maka kawan-kawannyapun kemudian berloncatan turun pula.
Merekapun kemudian mengikat kuda mereka di pohon-pohon perdu yang bertebaran di pinggir halaman.
Orang yang agaknya pemimpin dari kelompok kecil itupun kemudian mendekati Mahisa Bungalan, sementara kawan-kawannya berdiri beberapa langkah daripadanya.
"Ki Sanak"
Berkata orang itu "aku ingin bertanya langsung kepada persoalannya. Apakah saudara perempuanku ada disini?"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.
Ia sadar, bahwa orang-orang itu sebenarnya tidak akan dapat dibawa dalam pembicaraan apapun juga.
Mereka tentu akan memaksa memasuki rumahnya untuk melihat apakah perempuan yang dicarinya ada di rumah itu.
Meskipun demikian Mahisa Bungalan menjawab "Bagaimana mungkin saudara perempuanmu ada di rumah ini"
"Jangan banyak bicara"
Desak orang itu "bawalah perempuan itu kemari.
Aku memerlukannya.
Bawa pulla anak laki-lakinya.
Dengan demikian maka kau akan selamat"Mahisa Bungalan tidak melihat kemungkinan apapun lagi kecuali bertempur.
Karena itu, maka jawabnya mengatasi kegarangan lawannya "Ki sanak.
Sebenarnyalah bahwa aku tidak tahu dimanakah saudara perempuanmu itu bersembunyi.
Jika kau memaksa untuk melihat, silahkan.
Di rumah ini hanya ada seorang perempuan.
Yaitu isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anaknya laki-laki.
Perempuan itu aku ambil dari hutan tutupan dengan membunuh semua penjaganya.
Karena itu, jika kau memerlukannya, kaupun harus berbuat serupa.
Membunuh semua penjaganya"
Jantung ke empat orang yang datang kehalaman rumah itu berdentang terlalu keras.
Mereka sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan mendapat jawaban yang demikian langsung dan terbuka.
Dengan demikian, maka merakapun mulai menilai anak muda yang berdiri di hadapan mereka.
Anak muda itulah agaknya yang telah membunuh para penjaga di hutan tutupan itu.
Sambil menggeram pemimpin kelompok kecil itu berkata "Jangan berbangga dengan tingkah lakumu.
Kau dapat membunuh kucing-kucing itu dengan mudah.
Tetapi jika kau bertemu dengan harimau-harimau yang buas, maka kau harus berpikir ulang untuk menentukan langkah sebelumkan menyesal"
"Aku tidak melihat perbedaan antara kucing hutan dan harimau yang jinak dan tidak bergigi lagi"
Jawab Mahisa Bungalan.
Terdengar orang itu menggeram.
Darahnya mulai menjadi panas.
Bahkan kawan-kawannya tidak lagi sabar untuk menunggu pembicaraan yang berkepanjangan.
Namun merekapun menjadi berdebar-debar melihat sikapMahisa Bungalan yang yakin akan dirinya sendiri manghadapi orang-orang yang seharusnya ditakuti.
"Anak muda"
Berkata pemimpin kelompok itu "sekarang baiklah kita memikirkan cara yang terbaik untuk menyelesaikan hal ini. Serahkan perempuan itu kepadaku, dan kau akan tetap hidup tanpa aku usik sama sekali"
"Perempuan itu adalah kakakku. Huh, sekarang kau tahu apa yang harus kau lakukan. Aku tidak akan mempertahankannya dan kau tantu akan memaksakan kehendakmu. Karena itu, kita akan bertempur. Kecuali jika kalian mengurungkan niat kalian"
"Persetan. Anak yang tidak tahu diri. Kau masih ter lalu muda untuk mati"
Geram pemimpin kelompok itu.
"Karena itu aku akan bertahan. Kalianlah yang akan mati seperti ke enam kawanmu di pinggir hutan tutupan itu, saat aku merebut kakakku dari tangan kawan-kawanmu yang kau sebut kucing-kucing hutan itu"
Orang-orang yang datang di halaman rumah itu sudah tidak sabar lagi.
Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah meloncat menyerang Mahisa Bungalan yang berdiri termangu-mangu.
Namun tidak kehilangan kewaspadaan.
Karena itu, maka serangan yang meluncur dengan kerasnya itu tidak berarti sama sekali baginya.
Dengan mudah ia bergeser mengelak.
Namun dengan demikian pertempuran itupun telah meledak.
Ke empat orang itu telah mengepung Mahisa Bungalan dari segala penjuru.
"Jangan menyesal"
Geram pemimpin kelompok itu.
Mahisa Bungalan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, sementara Ki Wastu memperhatikannyadengan hati yang berdebar-debar.
Namun untuk sementara la masih tetap berada di tempatnya.
Ia masih curiga, bahwa mungkin masih ada orang lain yang datang kemudian.
Meskipun demikian, maka ia tidak lengah.
Selain senjata yang akan dipergunakan, ia memegangi tombak yang akan dipergunakan oleh Mahisa Bungalan apabila diperlukan.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru.
Mahisa Bungalan yang masih menjajagi kemampuan lawan itupun segera mengetahui, bahwa ke empat orang itu memang memiliki ilmu yang dapat mereka banggakan.
Namun ternyata kecepatan Mahisa Bungalan sulit diimbangi oleh ke empat lawannya.
Mahisa Bungalan berloncatan diantara ke empat lawannya.
Menyusup diantara serangan-serangan yang datang beruntun.
Bahkan dengan tangkasnya, kadang-kadang ia berhasil menipu lawannya, sehingga dua orang diantaranya mereka hampir saja saling berbenturan.
Dalam pada itu, ternyata perkelahian di halaman rumah itu telah menarik perhatian.
Beberapa orang yang melihat pertempuran itupun menjadi berdebar-debar.
Namun ternyata bahwa yang seorang telah memberitahukan kepada yang lain, sehingga sejenak kemudian, seisi padukuhan itu mengetahui, bahwa di halaman rumah Ki Wastu telah terjadi pertempuran yang sengit.
"Anak itu mempunyai banyak musuh"
Berkata salah seorang dari antara mereka "ketika ia datang, ia diketemukan hampir mati oleh Ki Wastu, karena anak itu berkelahi dan membunuh lawan-lawannya"
"Mungkin bukan kesalahannya"
Sahut yang lain "mungkjn ia telah disudutkan pada satu-satunya kemungkinan yang dapat ditempuh. Nampaknya ia bukanseorang anak muda yang jahat, atau seorang yang memang mempunyai kesenangan berkelahi"
Beberapa orang telah melihat pertempuran itu dari kejauhan.
Mereka menjadi berdebar-debar.
ketika mereka melihat pertempuran yang semakin lama menjadi semakin seru.
Apalagi karena Mahisa Bungalan harus bertempur melawan empat orang yang garang.
Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih tetap dapat bertahan.
Ia masih mampu menghindari setiap serangan.
Ia berloncatan dari sudut ke sudut halaman, dari seberang ke seberang.
Dengan demikian, maka ke empat lawannya harus memburunya susul menyusul.
Mereka tidak berhasil mengepung Mahisa Bungalan dalam lingkaran, karena kecepatan geraknya.
Dalam pertempuran yang sengit itu, Mahisa Bungalan merasa betapa manfaat landasan ilmu yang diberikan oleh orang tua itu.
Yang meskipun hanya sekedar alas bagaikan ompak bagi tiang, namun alas itu telah mengangkat dan meningkatkan keseluruhan ilmunya dengan segala macam kemungkinannya.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalanpun kemudian mampu bergerak lebih cepat.
Mempunyai kekuatan yang bagaikan berlipat sementara pernafasannyapun menjadi semakin landung dan teratur, sesuai dengan setiap keadaan yang terjadi pada tubuhnya.
Dengan demikian, maka lawannyapun menjadi bingung karenanya.
Setiap kali mereka kehilangan Mahisa Bungalan.
Meskipun Mahisa Bungalan juga masih belum berhasil melumpuhkan salah seorang dari lawannya, namun lawannyapun tidak dapat berbuat terlalu banyak atasnya."Anak setan"
Geram pemimpin kelompok itu "ternyata anak ini licik seperti demit. Ia hanya dapat berlari-lari mengelilingi halaman"
"Siapa yang licik"
Sahut Mahisa Bungalan "aku hanya seorang diri. Tetapi kalian berempat"
"Aku kira anak muda yang telah berhasil membunuh enam orang pengawal itu adalah seorang anak muda yang tanggon. Tetapi ternyata dugaanku keliru"
Desis yang lain. Mahisa Bungalan justru tertawa. Katanya "Inilah aku. Apapun yang kau katakan tentang diriku, inilah kenyataannya. Dan kalian memang tidak dapat mengalahkan aku"
Pemimpin, kelompok itu tidak sabar lagi. Dengan garangnya ia berkata "Kita akan membantainya. Kita akan membunuhnya dengan senjata dan mencincang mayatnya sampai lumat"
Sekejap kemudian, maka ke empat orang itu telah menggenggam senjata mereka masing-masing.
Dengan garangnya mereka mengacu-acukan senjata mereka dan agaknya mereka benar-benar siap untuk mencincang Mahisa Bungalan.
Pada saat yang demikian, Ki Wastu melihat, bahwa keadaan menjadi gawat bagi Mahisa Bungalan.
Betapapun ia mampu bergerak cepat, namun empat pucuk senjata di tangan empat orang yang benar-benar mampu menguasainya, akan merupakan bahaya yang mungkin sulit untuk dilakukan.
Karena itu, maka Ki Wastu mulai berpikir, apakah ia sudah waktunya untuk berbuat sesuatu.
Apalagi ternyata selain empat orang itu, tidak ada orang lain yang memasuki halaman lewat regol yang manapun juga.Dalam pada itu, orang-orang yang melihat pertempuran itu dari kejauhan yang jumlahnya semakin lama manjadi semakin banyak, menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka melihat empat pucuk senjata teracu ke arah Mahisa Bungalan yang berdiri termangu-mangu.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah anak muda itu masih mampu bertahan"
Desis salah seorang.
"Ia tidak mempunyai senjata apapun juga"
Sahut yang lain.
Dalam pada itu, Ki Wastu tidak dapat menunggu lebih lama lagi.
Jika ia membiarkan Mahisa Bungalan bertempur tanpa senjata melawan empat orang itu, betapapun ia mampu berloncatan seperti burung sikatan, namun ia tentu akan sedikit demi sedikit tergores ujung senjata lawannya.
Karena itu, ketika ke empat orang lawan Mahisa Bungalan itu siap untuk menerkam Mahisa Bungalan dengan senjatanya, maka orang itu tiba-tiba saja telah muncul dari balik pintu sambil berkata "Angger.
Inilah senjatamu.
Apakah belum waktunya kau pergunakan?"
Semua orang berpaling kepada orang tua itu.
Ia membawa sebatang tombak pendek.
Sementara itu, iapun membawa pula pedang yang khusus dengan sebuah perisai kecil di tangan kirinya.
Sejenak ke empat orang lawan Mahisa Bungalan itu memperhatikan orang tua itu yang berdiri termangu-mangu itu.
Ki Wastu masih berdiri tegak.
Iapun sempat memandang ke empat orang yang berdiri membeku sambil memperhatikannya.
Sasaat kemudian, orang tua itupun melangkah maju tanpa menghiraukan orang-orang yang berdiri berpencar di halaman rumahnya.
Sambilmengacukan tombak pendek itu ia berkata "Inilah senjatamu"
Mahisa Bungalanpun maju selangkah.
Sambil menerima senjatanya ia berkata "Terima kasih kek.
Ke empat orang ini ternyata adalah orang-orang yang licik.
Mereka hanya berani bertempur dalam kelompok.
Mereka tidak herani berperang tanding, dengan atau tidak dengan senjata"
"Persetan"
Pemimpin kelompok itu berteriak "aku tidak peduli apa yang kau katakan, karena sebentar lagi kau akan mati. Kecuali jika kau bersedia menyerahkan perempuan itu bersama dengan anaknya"
"Maksudmu isteri Pangeran Kuda Padmadata itu Ki Sanak?"
Bertanya kakek tua itu.
"Ya. Aku memerlukannya"
"Untuk apa?"
"Akan aku bawa menghadap Pangeran Kuda Padmadata"
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan tertawa.
Katanya "Jangan mengigau.
Siapa yang akan menyerahkan perempuan itu kepada Pangeran Kuda Padmadata? Bukankah kalian telah menyimpannya di hutan tutupan itu? Aku tahu, bahwa perempuan dan anak laki-lakinya itu harus dibunuh.
Dengan demikian, maka tidak seorangpun yang akan mempersoalkan warisan yang kelak akan ditinggalkan oleh Pangeran Kuda Padmadata"
"Parsetan"
Teriak pemimpin kelompok itu "apa pedulimu tentang kematian parempuan dan anak laki-lakinya jika itu memang kami kehendaki.
Minggirlah kakek tua, supaya kau tidak terinjak oleh kaki-kaki kami""Maaf Ki Sanak.
Aku tidak dapat minggir, karana perempuan itu adalah anakku, sedangkan anak laki-laki itu adalah cucuku.
Diakui atau tidak, dikenal atau tidak oleh Pangeran Kuda Padmadata, namun aku akan mempertahankannya karena mereka adalah jiwa yang akan mempertahankan garis keturunanku.
Yang akan mewarisi namaku, karena aku tidak mempunyai warisan apapun juga selain nama dan darah katurunan"
Terdangar salah seorang dari ke empat orang itu tertawa.
Katanya "Kakek tua yang malang.
Jika kau ingin membunuh diri, minumlah racun warangan.
Atau cobalah menggantung diri di pengeret rumahmu, atau hanyutkan dirimu jika kali sedang banjir.
Tetapi jangan mempergunakan tangan-tangan kami karena kami akan membunuh orang-orang yang menentang kami, karena kami tidak ingin dirintangi.
Bukan sebagai alat untuk membunuh diri"
Orang tua itu termangu-mangu. Katanya "Aku tidak akan membunuh diri. Aku akan mempertahankan anakku perempuan dan cucuku laki-laki. Jika aku mati, merekapun akan mati. Karena itu, aku akan bertahan untuk tetap hidup"
Pemimpin kelompok itupun menggeram.
Katanya "Aku tidak peduli apa yang kau katakan.
Akupun tidak akan memberikan siapapun yang terlibat dalam persoalan ini untuk tetap hidup.
Aku akan membunuh semuanya.
Aku akan membakar rumah ini dan memasukkan tubuh kalian ke dalamnya bersama perempuan dan anak laki-laki itu.
Dengan demikian, benar seperti yang dikatakan oleh anak muda itu, bahwa Pengeran Kuda Padmadata tidak akan diganggu lagi oleh perempuan dan anak pedesaan yang tidak berarti apa-apa itu.
Darah yang mengalir di tubuhnyaakan mengotori keturunan Kediri sehingga kemurnian darah bangsawan dari istana Kediri akan menjadi kabur"
Kakek tua itu mengerutkan keningnya.
Dengan suara bergetar ia berkata "Kau sudah menghina keturunanku Aku memang seorang dari padesan.
Tetapi bukan anakkulah yang datang menyerahkan dirinya kepada Pangeran Kuda Padmadata.
Tetapi Pangeran itulah yang datang ke rumah kami dan dengan memelas mohon kapadaku, agar aku mengijinkan anakku manjadi isterinya"
"Tetapi kau harus melihat dirimu sendiri. Kau harus merasa bahwa kau adalah orang padesan. Kau tidak berhak mewarisi apapun juga dari Pangeran Kuda Padmadata. Karena hanya darah para bangsawan sajalah yang akan dapat mawarisi harta benda dari istana Kediri"
"Aku dan anakku tidak mimpi untuk mendapat warisan apapun juga. Kami sudah merasa bahagia hidup dengan tata cara dan kebiasaan kami. Tetapi kami tidak mau selalu terganggu tingkah laku kalian yang gila itu"
"Persetan"
Geram pemimpin kelompok itu "kau kira aku tidak tahu, bahwa pamrih itu kau dukung, kau jinjing, kau junjung di atas kepalamu. Jangan banyak bicara. Serahkan mareka untuk aku binasakan. Dengan damikian aku sudah membersihkan darah keturunan Kediri"
"He Ki Sanak"
Berkata orang tua itu "apakah aku dapat bertanya serba sedikit tentang dirimu sendiri? Apakah kalian juga berdarah bangsawan murni, sehingga kalian sangat barnafsu untuk membersihkan noda-noda pada darah katurunan Kediri?"
Sejenak orang itu terbungkam.
Wajahnya menjadi marah, dan mulutnya bagaikan tersumbat.
Namun sejenak kemudian suaranya bagaikan meledak "Persetan.
Bunuh mereka berdua.
Lemparkan mayat meraka ke dalam apiyang akan berkobar membakar rumah itu.
Perempuan dan anak laki-lakinya itupun harus dilemparkan pula ke dalam api hidup-hidup"
Orang tua itu surut selangkah.
Ia mengambil jarak dari Mahisa Bungalan, karena mereka tidak akan bertempur berpasangan.
Orang tua itupun sadar, bahwa ia akan melawan dua orang diantara ke empat orang yang mendatangi rumahnya itu.
Sejenak ketegangan yang panas telah mambakar halaman itu.
Beberapa orang yang melihat peristiwa itu dari kejauhan menjadi, semakin berdebar-debar.
Apalagi karena Ki Wastu telah turun kehalaman itu pula.
Ki Wastu yang mereka kenal sebagai saorang petani yang hanya mampu mengganggam cangkul dan menyabit rumput untuk memberi makan binatang peliharaannya.
Kini ia memegang pedang yang khusus di tangan kanan, dan perisai di tangan kiri.
Nampaknya memang anah.
Orang tua itu seolah-olah menjadi orang lain dari yeng mereka kenal sehari-hari.
Dalam pada itu, Ki Wastu dan Mahisa Bungalan telah bersiap untuk bertempur.
Ki Wastu yang sudah melihat, bagaimana Mahisa Bungalan mengalahkan kedua orang yang memburunya di bulak di saat anak muda itu datang ke padukuhan itu, diatasi dengan ilmu yang disadap dari orang tua itu, maka anak muda itu adalah anak muda yang memiliki kemampuan yang pilih tanding.
Sementara Ki Wastu sendiri adalah seorang yang mamiliki ilmu yang mengagumkan.
Tetapi untuk waktu yang lama, orang tua itu telah mamiliki jalan kehidupan yang tenang sebagai seorang petani.
Namun ternyata pada suatu saat, ia harus mengambil senjatanya dari simpanan, karana ia harus mampertahankan anak perempuan dan cucunya.
Ketegangan itu memuncak ketika ke empat orang yang memasuki halaman itu mulai bergerak.
Tanpa berjanjimereka telah membagi diri.
Mereka telah melihat kecepatan bergerak Mahisa Bungalan.
Namun bagi mereka, yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan itu hanyalah sekedar berlari-lari kian kemari.
Kini, dua ditantara mereka harus menghadapinya, sementara dua orang yang lain telah menghadapi Ki Wastu dari dua arah.
"Bunuh kakak tua itu secepatnya"
Berkata pemimpin kelompok itu "kemudian kita berramai-ramai mencincang anak muda ini. Keduanya akan kita lemparkan ke dalam api yang segera akan menelan gubuk kakek gila ini"
Orang-orangnyapun segera mapan.
Sementara Ki Wastu telah menggerakkan pedangnya.
Seolah-olah ia ingin mengetahui, apakah tangannya yang tua itu masih mampu melakukannya.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Wastu masih tetap seorang yang pilih tanding.
Meskipun ia menjadi semakin tua, tetapi ia tidak pernah lupa memasuki sanggarnya meskipun hanya untuk sesaat setiap hari.
Kadang-kadang pagi-pagi sebelum cucunya bangun.
Namun kadang-kadang di malam hari, selagi cucunya tertidur nyenyak.
Kini ia berdiri berhadapan dengan dua orang yang berwajah kasar dan bengis.
Namun untuk mempertahankan anak dan cucunya, Ki Wastu sama sekali tidak menjadi gentar.
Mahisa Bungalan yang kemudian menggenggam sebatang tombak pendek, telah bersiap sepenuhnya.
Setiap saat ia dapat maloncat menyerang, atau menangkis jika serangan datang.
Ternyata pemimpin kelompok itu tidak menunggu lebih lama lagi.
Ialah yang pertama-tama meloncat menyerang Mahisa Bungalan, disusul dangan seorang kawannya.Namun Mahisa Bungalan telah siap dengan tombaknya.
Ia menangkis serangan partama dan kemudian meloncat menghindari serangan yang kadua.
Namun dalam pada itu, tombaknya telah berputar menyambar seorang lawannya.
Tetapi lawannya mampu bergerak cepat.
Ia berhasil bergaser menghindari sarangan tombak Mahisa bungalan yang mengarah lambung.
Bahkan kamudian dengan serta marta ia memukul Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tidak kalah cepatnya, menarik tombaknya agar landesannya tidak manjadi cacat karena sentuhan senjata pada sentuhan tegak.
Dengan tangkasnya ia meloncat surut.
Namun ketika seorang lawannya meloncat memburu, tiba-tiba saja ia terkejut dan dengan serta merta menggeliat sambil menjatuhkan diri ke samping.
Ternyata Mahisa Bungalan meloncat surut, namun dengan mengacukan tombaknya menyongsong lawannya yang memburunya.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat sesuatu atas lawannya yang sedang berguling itu.
Ketika ia berusaha untuk menyerang, tiba-tiba serangan yang lain telah meluncur ke arah tengkuk.
Dengan sigap ia bergeser menghindari serangan itu.
Kemudian memutar tombaknya mendatar, menyambar lawan yang seorang lagi.
Namun serangan itupun gagal, karena lawannya sempat meloncat surut.
Sementara itu, dua orang yang lain telah bertempur melawan Ki Wastu, yang ternyata keduanya telah salah hitung Mereka mengira, bahwa Ki Wastu akan jatuh dan terbunuh pada tusukan yang pertama.
Namun ternyata bahwa Ki Wastu memiliki kecapatan bergerak yang mengagumkan.
Meskipun orang itu telah tua.
dan dalam hidupnya sehari-hari ia tidak lebih dari seorangpetani yang selalu bekerja di sawah, namun dengan pedang dan perisainya, ternyata orang tua itu telah berubah menjadi seorang yang sangat garang.
Ketika serangan pertama dari lawannya gagal, maka Ki Wastu telah memulai menunjukkan kemampuannya.
Ia melenting tinggi dengan menyerang seorang lawannya.
Senjatanya terjulur lurus kening, ia masih mampu menggeliat dan berputar di udara.
Demikian ujung kakinya menyentuh tanah, maka iapun telah melenting sekali lagi, menghindari serangan lawan yang menyambarnya.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ketika lawannya yang seorang mamburunya sambil menyerangnya, orang tua itu tidak sempat menghindar lagi.
Karena itu, maka ia telah mempergunakan perisainya untuk menangkis serangan itu.
Namun dengan demikian, telah terjadi benturan kekuatan.
Orang yang menyerangnya benar-benar tidak manduga, bahwa orang tua itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
Karena itulah, maka ketika senjatanya membentur perisai orang tua itu.
hampir saja ia kehilangan keseimbangan.
Tangannya terasa pedih dan seakan-akan pada tangan itu ia telah didorong selangkah surut.
"Gila"
Geram lawannya "orang tua itu masih mempunyai kekuatan yang luar biasa"
Namun orang itu merasa, bahwa yang terjadi itu adalah karana ia kurang berhati-hati.
Ia menganggap orang tua itu terlalu lemah, sehingga karena itu, maka ia telah didesak oleh ketidak hati-hatiannya sendiri.
Dengan demikian, maka kedua orang yang bertempur melawan orang tua itu menjadi semakin berhati-hati.
Mereka tidak lagi manganggap orang tua itu sebagaimana dilihatnya pada wadagnya yang mulai berkeriput.
Namun yang ternyata masih memiliki kemampuan yang luar biasa.Karana itulah, maka pertempuran itupun semakin lama justru menjadi semakin sengit.
Dugaan kedua orang lawannya, bahwa pada dua tiga langkah orang tua itu telah kehabisan nafas, ternyata keliru sama sekali.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan- pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin banyak, maskipun hanya dari kajauhan.
Mereka sama sekali tidak berani mendekat.
Mereka bahkan kadang- kadang menjadi gemetar melihat senjata beradu.
Beberapa orang yang berhati kecil, telah meninggalkan tempatnya untuk menyingkir jauh-jauh.
Mereka menjadi cemas, apabila orang-orang itu kemudian mengamuk dan menyerang orang yang tidak terlibat sama sekali dalam persoalan mereka.
Sementara itu, Mahisa Bungalan ternyata tidak lagi mengekang diri menghadapi kedua orang lawannya.
Justru kemudian ia berharap untuk dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan segera.
Ketika ia melihat beberapa orang di kejauhan, maka iapun menjadi berdebar-debar.
Jika pertempuran itu berkepanjangan, maka semakin banyak orang yang mengetahuinya, dan persoalan itupun akan menjadi semakin tersebar luas.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan dengan tombak pendeknya bertempur semakin garang.
Tombaknya berputar-putar semakin cepat.
Kadang-kadang mematuk, namun kadang-kadang menyambar mendatar.
Kedua lawannya semakin lama semakin menjadi semakin terdasak.
Ujung tombak Mahisa Bungalan itu seakan-akan telah bercabang.
Mahisa Bungalan tidak lagi terlalu banyak memikirkan akibat putaran tombaknya atas lawannya.
Karena lawannyapun telah bertempur semakin kasar dan buas.Kedua orang yang bertempur malawan Mahisa Bungalan itupun merasa semakin terdesak.
Tetapi mereka berusaha untuk tetap bertahan.
Mereka berharap agar kedua kawannya dengan cepat menyalesaikan kakek tua yang bersenjata pedang dan perisai itu.
Namun ternyata bahwa kedua orang yang bertempur melawan kakek tua itupun tidak segera berhasil menyelasaikan tugasnya.
Kakek tua itu ternyata masih memiliki kecepatan gerak dan kekuatan yang sulit untuk diimbangi oleh lawannya.
Karena itu, bukannya kedua lawannya segera mengalahkannya, tetapi justru keduanya semakin lama merasa, semakin terdesak seperti kadua orang lawan Mahisa Bungalan.
Sementara di halaman terjadi pertempuran yang sengit, di dalam sanggar anak perempuan Ki Wastu beserta cucunya laki-laki menunggu dengan gelisah.
Kedua-duanya mendangar sasuatu telah terjadi.
Tetapi keduanya tidak tahu dengan pasti.
Namun mereka dapat menduga, bahwa yang terjadi itu adalah pertempuran yang sangit di halaman.
Kedua orang itu menjadi cemas dan gametar.
Mereka pernah mengalami keadaan yang serupa.
Meraka pernah mangalami parlakuan yang tidak berperi-kemanusiaan setelah sebelumnya terjadi pertempuran yang sengit.
Untunglah pada waktu itu anaknya dapat disalamatkan, kemudian dirinya sandiri tidak segera dibunuh karena masih akan dipergunakan sebagai umpan untuk menangkap anak laki-lakinya.
Kini pertempuran itu telah berlangsung lagi.
Ia sama sekali tidak tahu, akibat apa yang akan terjadi.
Sejenak perempuan itu termangu-mangu.
Namun ketika malihat pedang di dinding, ia menarik nafas dalam-dalam.
Tarnyata perempuan itu akan memilih mati daripada jatuh ke tangan orang-orang itu sekali lagi.
Ia pernah mangalami siksaan lahir dan batin yang tidak ada taranya.
Hanyakarana katabahannya sajalah, maka ia tidak menjadi korban yang lebih biadab lagi dari orang-orang yang menyembunyikannya di hutan.
Namun gambaran-gambaran yang buram menjadi samakin jelas.
Sekali-sekali bayangan yang mengerikan itu bagaikan siap untuk menerkamnya.
"Satu dua pekan lagi, jika aku tidak berhasil dilepaskan dari tangan mereka, aku tentu sudah menjadi korban kebiadaban mereka"
Berkata perempuan itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia tidak akan dapat mambiarkan dirinya sekali lagi jatuh ke tangan mereka.
Yang dapat dilakukan oleh perempuan itu hanyalah berdoa di dalam sanggar yang tertutup itu.
Sekali-sekali ia mendengar dentang senjata beradu.
Jika anak laki-lakinya dengan wajah yang pucat memandanginya, maka dipeluknya anak itu melekat dadanya.
Namun ia tidak dapat berbuat sasuatu.
Seperti pesan Ki Wastu, maka kedua orang anak dan ibu itu selalu berusaha untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian.
Karena itu, betapapun tekanan beresaan yang menghimpit dada, namun kedua orang itu bertahan untuk tidak menimbulkan suara apapun juga.
Di luar Mahisa Bungalan bertempur dengan tombak pendeknya.
Semakin lama tombak itu berputar semakin cepat.
Jika Mahisa Bungalan menyambar lawannya yang seorang, maka ia harus memperhatikan lawannya yang lain.
Ternyata kedua lawannya itu mampu bekerja bersama dengan baiknya.
Keduanya saling mengisi, dan seakan-akan keduanya mempunyai pusat kehendak yang bersamaan.
Namun Mahisa Bungalan mampu bergerak terlampau cepat.
Betapapun lawannya mampu bekerja bersama,namun mereka tidak segera dapat menguasai anak muda itu.
Bahkan setiap usaha untuk mengurungnya, selalu dapat dibelah oleh kemampuan Mahisa Bungalan yang mengagumkan.
Ketika seorang lawannya berusaha untuk berada dalam garis serangan dari arah punggung, sementara yang lain memancing perhatian Mahisa Bungalan dari depan, anak muda itu telah, menempatkan diri pada keseimbangan tubuh, sehingga ketika benar-benar terjadi seperti yangi diperhitungkannya, serangan yang datang bersama dari dua arah, maka ia sempat melenting kasamping.
Tetapi ternyata seorang lawannya menarik serangannya, la meloncat selangkah surut.
Namun demikian kakinya menjejak tanah, maka iapun bagaikan dilontarkan menyerang Mahisa Bungalan dengan ujung senjatanya secepat tatit menyambar di langit.
Namun Mahisa Bungalan sempat menggeliat, ia sempat memukul senjata lawannya dengan tangkai tombaknya, sehingga ujung senjata itu berubah arah dan sama sekali tidak menyentuhnya.
Bahkan Mahisa Bungalan sempat mempersiapkan diri untuk memburunya dan menyerang lambung.
Tetapi ketika Mahisa Bungalan siap untuk meloncat, ia justru harus meloncat surut.
Serangan dari lawannya yang seorang hampir saja mematuk lehernya.
Untunglah ia sempat mengelak dengan memiringkan kepalanya.
Namun lawannya bergerak cukup cepat.
Senjata itupun tiba-tiba saja telah terayun mendatar, menebas leher Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tergetar meHhat serangan itu.
Namun ia tidak menjadi bingung, Selagi senjatanya tidak padakemungkinan untuk menangkis, maka iapun harus merundukkan kepalanya dalam-dalam.
Tetapi pada saat itu pula, lawannya yang lain telah menyerangnya dengan serangan mendatar setinggi lambung, Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat lain daripada melemparkan dirinya beberapa langkah surut.
Namun sekilas ia melihat kaki lawannya mulai bergerak.
Serangan berikutnya dari lawannya yang lain telah menyusul.
Karena itu, demikian kedua kakinya berdiri tegak di atas tanah, maka dengan serta merta, Mahisa Bungalanpun berjuang dengan tombak terjulur lurus ke depan, menyongsong lawannya yang meloncat menyerang.
Lawannya terkejut melihat gerak yang demikian cepat.
Dengan serta merta iapun berusaha untuk menahan dirinya dan menghindari ujung tombak yang justru siap menyongsongnya.
Karena dorongan kekuatan sendiri, lawannya ternyata terlalu sulit untuk menghindarkah diri dari ujung tombak Mahisa Bungalan.
Karena itu, maka dengan senjatanya ia berusaha memukul ujung tembak lawannya.
Mahisa Bungalan sempat menarik ujung tombaknya.
Tetapi dengan satu putaran, tombak itu telah mematuk sekali lagi ke arah lambung.
Sekali lagi orang itu berusaha menghindar dan menangkis.
Tetapi tubuhnya telah menjadi condong dan kehilangan keseimbangan.
Karena itu, maka orang itupun justru telah terjatuh ke samping.
Meskipun ia berhasil lepas dari sasaran ujung tombak Mahisa Bungalan, namun ternyata bahwa ia telah terjatuh karena kehilangan keseimbangan.Mahisa Bungalan tidak melepaskan kesempatan itu.
Iapun segera memburunya dan siap untuk menghunjamkan tombaknya pada saat orang itu belum sempat untuk memperbaiki kedudukannya.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak sempat melakukannya.
Serangan yang dahsyat telah datang menyusul dari samping.
Lawannya yang seorang tidak membiarkan Mahisa Bungaian menghunjamkan ujung tombak pendeknya kepada lawannya.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan harus mengurungkan serangannya.
Ia harus meloncat menghindar.
Namun karena itu, lawannya yang terjatuh itu telah sempat berguling dan melenting berdiri siap menghadapi segala kamungkinan.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Ia harus mulai lagi dari permulaan.
Tetapi dengan demikian, ia sudah mengetahui dengan pasti tingkat kemampuan kedua lawannya dalam olah senjata.
Sementara itu, kedua lawan Mahisa Bungalan itupun sekali-kali berusaha mengamati kedua kawannya yang bertempur melawan kakek tua itu.
Mereka berharap agar orang tua itu akan segera dapat dibunuh.
Sehingga kedua kawannya itu akan bertempur bersama mereka melawan Mahisa Bungalan.
Tetapi ternyata orang tua itupun masih cukup kuat.
Ia masih mampu berloncatan dengan cepatnya seperti orang- orang muda yang berilmu tinggi.
Bahkan kemudian kedua lawannya itupun harus mengakui, bahwa orang tua itu memiliki kemampuan jauh di atas mereka seorang-seorang.Dengan demikian, maka kedua orang itu harus bertempur berpasangan sebaik-baiknya.
Keduanya harus dapat saling mengisi agar mereka tidak terjebak, dalam kesulitan.
Karena itulah, maka keduanya, seperti juga lawan Mahisa Bungalan, telah bertempur bagaikan dikendalikan oleh satu kehendak.
Keduanya seolah-olah mengerti, apa dan dalam keadaan yang bagaimana kedudukan kawannya.
Tetapi lawannya adalah orang tua yang berpengalaman.
Ki Wastu adalah perantau dan sekaligus pemburu yang baik di masa mudanya.
Yang pernah melakukan pengembaraan dengan berbagai macam suasana.
Ki Wastu di masa mudanya terlalu sering bertempur berhadapan dengan sesama dan melawan orang-orang jahat yang dijumpainya.
Tetapi Ki Wastu juga terlalu sering bertempur melawan berbagai jenis binatang.
Binatang yang tidak mempergunakan ilmu apapun juga, salah satu kekuatan dan gerak nalurinya.
Namun demikian, beberapa jenis binatang memiliki kecepatan bergerak dan senjata pada dirinya yang sangat berbahaya.
Karena itulah, meskipun umurnya menjadi semakin tua, tetapi kemampuan Ki Wastu seolah-olah tidak berkurang.
Bahkan semakin lama ia manjadi semakin matang.
Meskipun Ki Wastu tidak dapat mengingkari keharusan alam yang berlaku bagi dirinya yang menjadi semakin tua, namun latihan yang teratur, telah membuat tubuhnya yang tua itu masih tetap memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah sebabnya, maka melawan dua orang sekaligus, Ki Wastu masih tetap berbahaya.
Loncatan-loncatan yang cepat, disusul dengan gerak pedangnya yang berputaran, membuat kedua lawannya harus berhati-hati.Namun sejenak kemudian ternyata Ki Wastu telah sampai ke puncak ilmunya.
Serangannya meningkat dengan cepat dan cermat.
Seolah-olah tidak ada langkahnya yang salah, dan tidak ada gerak senjatanya yang tidak berarti.
Maskipun kadang-kadang serangannya gagal sama sekali, namun dengan demikian ia sudah berhasil mendesak lawannya surut, dan memecah kerja sama yang terjalin dengan rapi.
"Orang tua ini bertenaga iblis"
Geram salah seorang lawannya.
Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang luar biasa dalam umurnya yang sudah tua itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka tidak tahu, apa yang dapat terjadi pada mereka yang sedang bertempur itu.
Namun yang mereka lihat adalah benturan senjata yang mengerikan.
Enam pucuk senjata telah beradu di halaman itu.
Setiap saat ujung senjata itu akan dapat menjemput maut.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang ternyata memiliki kemampuan yang tinggi, di atasi dengan ilmu yang dipelajarinya dari orang tua itu, sehingga ilmunyapun menjadi semakin mengagumkan, perlahan-lahan mulai mendesak lawannya.
Dengan tombak pendeknya ia memaksa lawannya untuk mengerahkan kemampuan puncaknya.
Tombak yang berputar seperti baling-baling, dengan ujungnya yang berputar membatasi jarak serangan lawannya.
Namun yang tiba-tiba mampu mematuk lawannya seperti ujung anak panah yang meloncat dari busurnya.
Menebas mendatar seperti pedang dan kemudian menerkam bagaikan kuku seekor burung Garuda.
Dengan demikian, maka lawannya harus mengakui, bahwa mereka semakin lama menjadi semakin terdesak.Mereka seolah-olah tidak banyak mendapat kesempatan lagi untuk menyerang.
Namun mereka masih mempunyai harapan.
Agaknya Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga beberapa saat kemudian maka anak muda itupun akan segara kehabisan nafas.
Selebihnya, kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Bungalan itupun masih mengharap, bahwa kedua kawannya akan dapat menyelesaikan orang tua itu lebih cepat lagi.
Orang tua itu nampaknya akan lebih cepat menjadi lelah dan kehilangan keseimbangan, meskipun mula-mula ia memiliki kemampuan yang mengejutkan.
Tetapi ternyata bahwa kedua lawan Ki Wastupun tidak dapat segera manguasainya.
Kedua orang itu bahkan kadang-kadang menjadi bingung dan karena orang tua itu masih mampu bergerak dongan tangkasnya.
Dalam pada itu, tarnyata Mahisa Bungalan tidaklah seperti yang diharapkan oleh kedua orang lawannya.
Anak muda itu tidak segera menjadi letih dan kehilangan kemampuan dan kekuatan perlawanannya.
Semakin lama anak muda itu justru menjadi semakin cepat bergerak dan kekuatannyapun menjadi semakin bertambah-tambah.
Agaknya pengaruh ilmu yang dipelajarinya dari orang lua itu benar-benar mulai menjalari seluruh tubuhnya.
Pernafasannya yang mulai berkejaran, justru mulai teratur.
Keringatnya yang mengalir di tubuhnya, seolah-olah seperti embun yang menitik di keringnya padang yang luas Karena itu, maka kedua orang lawan Mahisa Bungalan itu menjadi bingung.
Anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang mengagumkan dan keadaan yang kurang dapat mereka mengerti.
Semakin lama ia tidak semakin lemah, bahkan juslru sebaliknya.Karena itu, maka kedua lawannya itupun harus berjuang semakin keras, justru pada saat-saat mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Dengan demikian mereka merasa, bahwa akhirnya mereka akan ketinggalan dari anak muda itu, yang seolah- olah suma sekali tidak terpengaruh oleh pengerahan kemampuannya.
Yang diharapkan kemudian adalah kedua orang kawannya yang bertempur melawan orang tua di bagian lain halaman itu.
Seharusnya mereka segara dapat mengalahkan lawannya dan kemudian bersama-sama menghancurkan anak muda yang telah membunuh enam orang di hutan tutupan itu.
"Ternyata anak ini memang anak iblis"
Salah seorang dari kedua lawan Mahisa Bungalan itu manggeram di hatinya "itulah agaknya, ia dapat membunuh orang-orang yang diparcaya mengawasi parempuan itu"
Kini, orang itu sendiri telah berhadapan dengan anak muda itu.
Orang yang merasa dirinya jauh lebih kuat dari enam orang yang terbunuh itu.
Namun berdua, mareka sama sekali tidak segera dapat mangalahkan Mahisa Bungalan, maskipun mula-mula mereka merasa dapat malakukannya seorang diri.
Sementara itu, dua orang yang bertempur melawan Ki Wastupun tidak dapat berbuat banyak.
Meskipun keduanya telah mengarahkan kekuatannya, namun mereka tidak sagara dapat mengalahkan orang tua itu.
Bahkan semakin terasa, bahwa orang tua itu dapat bergerak semakin cepat.
"Gila"
Geram yang seorang.Namun tiba-tiba saja telah timbul akal liciknya. Ketika ia melihat seonggok belarak kering disudut rumah orang tua itu.
"Jika perempuan dan anak itu berada di dalam rumah itu, maka api akan dapat melemahkan perlawanannya"
Dengan demikian, maka iapun telah memikirkan suatu cara yang paling licik. Ketika tidak mungkin lagi baginya untuk mengalahkan orang tua itu, maka iapun berkata kepada kawannya "Tahan orang tua itu. Aku akan berbuat sesuatu yang sangat menarik hati"
Kawannya termangu-mangu Ia tidak segara mengerti apa yang dimaksud oleh kawannya. Namun iapun menjawab "Lakukanlah. Aku akan membunuhnya seorang diri"
Dalam pada itu, yang seorang itupun segara meloncat meninggalkan arena, sementara kawannya telah menghentakkan segenap kemampuannya untuk menahan orang tua itu, agar ia tetap bertempur melawannya.
Betapapun beratnya, namun dengan menghentakkan segenap kemampuannya, orang itu dapat bertahan baberapa saat.
Sementara kawannya dengan tergesa-gesa telah mengambil titikan dari kantong ikat pinggangnya.
Tarnyata orang tua itu segera mangerti apa yang akan dilakukan oleh orang itu.
Karana itu, maka hatinyapun telah berdesir.
Sekejap ia menjadi bingung, sehingga dengan demikian maka ia telah kehilangan sikap yang mantap, karana di dalam rumah itu terdapat anak dan cucunya.
Jika api benar-benar berkobar, maka kedua orang itu tentu akan hangus di dalamnya.
Pada saat-saat yang demikian lawannya barusaha memanfaatkan keadaan.
Meskipun ia hanya seorang diri, namun menghadapi orang tua yang mendapat goncanganperasaan itu.
justru hampir saja ia barhasil menghunjamkan senjatanya kaperut orang tua itu.
Hanya karena gerak-gerak naluriah sajalah, maka orang tua itu sampat menghindar, sementara pikirannya masih tetap terikat pada seonggok belarak kering.
Dalam pada itu, maka orang yang menyalakan api titikan itu telah mempergunakannya.
Ketika api mulai merambat, maka emput itupun telah dilemparkan ke dalam belarak kering yang teronggok di sudut rumah.
"Kau licik, gila"
Teriak orang tua itu. Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ketika ia sudah malemparkan emput yang barasap, maka iapun tertawa sambil berkata "Jika anak dan cucumu bersembunyi di dalam rumah itu kakek tua, maka ia akan mati terbakar"
Orang tua itu benar-benar kehilangan akal, sementara lawannya masih saja menyerangnya dengan ujung senjata.
Dalam kebimbangan itulah, maka tiba-tiba saja terdengar Mahisa Bungalan berteriak "Kakek.
Masih ada kesempatan.
Jika kau lumpuhkan lawanmu, kau akan dapat memadamkan api itu"
Kata-kata Mahisa Bungalan terputus karena lawannya berbareng telah menyerangnya dengan dahsyatnya.
Tetapi kata-kata itu seakan-akan telah membangunkan kakek tua itu dari mimpinya yang buruk.
Tiba-tiba saja ia sadar, bahwa lawannya tinggal seorang, karena yang seorang masih sibuk dengan apinya.
Karena itulah, maka orang tua itu tidak dapat berpikir lebih panjang lagi.
Ketika ia melihat asap yang semakin besar, sebelum api benar-benar berkorbar, maka kemarahannya tidak lagi dapat dikendalikan.Dalam pada itu, maka orang yang menyaksikan dari kejauhan menjadi semakin berdebar-debar.
Jika api benar- benar berkobar, maka rumah itu akan menjadi musnah dan jika benar di dalam rumah itu bersembunyi anak parampuan dan cucunya, maka merekapun akan manjadi arang pula jika keduanya tidak sempat melarikan diri keluar dari rumah yang akan dimakan api itu.
Tetapi tidak seorangpun yang berani berbuat sesuatu.
Mereka menjadi ketakutan melihat ampat orang yang buas dan liar di halaman orang tua itu.
Namun dalam pada itu, ternyata orang tua itu benar- benar telah sampai ke puncak kemarahannya.
Ia tidak mau membiarkan rumahnya terbakar.
Lebih daripada itu, anak dan cucunya yang berada di dalam sanggarnya.
Karena itu, maka iapun telah menghentakkan kemampuan puncaknya untuk mengalahkan lawannya.
-oo0w0oo-
Jilid 08 Sementara itu, seorang lawannya yang bermain dengan api itu telah berdiri dan melangkah selangkah surut.
Ia melihat api mulai menyala.
Lidah yang merah terjulur menjilat-jilat dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah kering.
Namun tiba-tiba orang itu terkejut.
Selagi ia memandang api yang mulai membakar rumah itu, ia mendengar jerit ngeri yang bagaikan membelah langit.
Ketika ia berpaling, ia terkejut luar biasa.
Baru ia sadar akan kelengahannya Seandainya ia tidak tercengkam oleh lidah api yang mulai menjilat, dan segera kembali ke arena pertempuran, maka hal itu agaknya tidak terjadi.Dalam pada itu, ia melihat kawannya terlempar dengan dada yang menganga oleh pedang orang tua itu.
Darah yang merah segera mengalir membasahi halaman.
"Mati"
Desis kawannya yang baru saja menyalakan api.
Orang tua itu berlari ke sudut rumahnya, maka dengan serta merta iapun mencegahnya.
Dengan garangnya orang itu menyerang Ki Wastu yang berusaha untuk memadamkan api yang mulai membakar rumahnya.
Tetapi Ki Wastu tertahan oleh kawannya yang seorang.
Karena itu.
tanpa berpikir lagi, Ki Wastu telah bertempur dengan segenap kemampuannya.
Ternyata ia masih mampu bergerak dengan cepat dan kuat, sehingga pada serangan yang garang, lawannya terdorong selangkah surut.
Ki Wastu tidak membiarkan lawannya menghalang-halangi lagi, sehingga karena itu, maka iapun memburunya, dengan cepat ia meloncat menebas lambung lawannya dengan pedangnya.
Tetapi karena serangan yang tergesa-gesa itu.
Lawannya justru sempat mengelak.
Ia meloncat selangkah mundur.
Bahkan kemudian dengan tangkasnya orang itu meloncat membalas serangan Ki Wastu dengan serangan yang garang pula.
Orang tua itupun sempat menangkis serangan itu dengan perisai kecilnya.
Dengan demikian.
justru lumbung lawannya telah terbuka.
Ki Wastu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Apalagi ia telah kehilangan pertimbangan karena kegelisahannya.
Sejenak kemudian terdengar sekali lagi pekik yang meninggi.
Lawan Ki Wastu itu terdorong surut, ketika Ki Wastu menarik pedangnya yang menghunjam ke dada lawannya, maka orang yang garang itu terhuyung-huyung uti kemudian jatuh terlelungkup.Ki Wastu tidak menunggu apa yang terjadi atas lawannya.
Ia tidak menghiraukan lagi, apakah lawannya itu mati atau pingsan.
Yang dilakukan kemudian adalah berlari-lari ke sudut rumahnya, melepaskan senjata dan perisainya, kemudian berusaha untuk memadamkan api yang mulai berkobar.
Tanpa menghiraukan panasnya api yang menyala, ia menarik dinding rumahnya dengan segenap tenaganya, sehingga dinding itu justru telah terlepas.
Tali-talinya putus dan tiang rumah itupun telah berderak patah.
Tetapi api telah merayap sampai menjilat atap.
Sehingga dengan demikian, usaha orang tua itu seakan-akan telah sia- sia.
Dalam pada itu, beberapa orang yang menyaksikan api itupun menjadi sangat gelisah.
Namun kematian dua orang yang buas dan liar di halaman itu, membuat mereka menjadi lebih berani.
Beberapa orang mulai mendekat, sedang yang lain mulai melingkar dari arah lain.
Dalam pada nu, maka Mahisa Bungalanpun menjadi sangat gelisah pula.
Iapun menjadi bingung seperti Ki Wastu.
Api yang menyala itu telah menyalakan kemarahannya pula.
Karena itu, seperti Ki Wastu, iapun tidak memikirkan apapun juga kecuali melumpuhkan lawannya dengan segera.
Di saat yang gawat itu, maka orang-orang yang mendekati rumah itu dari arah lain tidak dapat menunggu lebih lama lagi.
Merekapun bagaikan mendapat aba-aba untuk segera menolong.
Namun kemudian mereka tertegun sejenak ketika mereka mendengar suara menggelegar "Orang-orang gila, siapa yang membantu memadamkan api itu, akan aku bunuh di halaman ini"Namun suara itu terputus, karena tombak Mahisa Bungalan telah mematuk dadanya.
Sehingga orang itu menggeliat.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tatapan mata yang penuh dengan kemarahan.
Namun akhirnya orang itu jatuh di tanah.
Sesaat kemudian, kawannya yang merasa tidak mampu berbuat apa-apa, ternyata telah menjadi putus asa.
Ketika ia menyerang Mahisa Bungalan dengan membabi buta, maka nasibnyapun tidak lagi dapat ditolong.
Ujung tombak Mahisa Bungalan sekali lagi menembus tubuh lawannya yang mengamuk seperti orang gila.
Yang terdengar kemudian adalah suara teriakan tertahan.
Ketika teriakan itu terputus, maka orang itupun kemudian roboh di tanah.
Sejenak Mahisa Bungalan mengawasi kedua kawannya itu berganti-ganti.
Tetapi ia tidak sempat mengamatinya, apakah keduanya benar telah terbunuh.
Yang dilakukannya kemudian adalah berlari-lari membantu memadamkan api yang menyala membakar rumah orang tuai itu.
Dalam hiruk pikuk itu, Ki Wastu masih sadar, bahwa ia harus menyelamatkan anak dan cucunya apabila api sulit dipadamkan.
Karena itu, maka iapun segera berlari memutari rumahnya.
Dengan serta meria, Ki Wastu yang tidak sempat lagi membuka pintu sanggar itu, telah berlari melanggar daun pintu yang berderak patah.
Hampir saja Ki Wastu melanggar anak dan cucunya yang menjadi ketakutan.
Sanggar itu ternyata telah penuh dengan asap.
Tetapi perempuan dan anak laki-laki itu tidak berani keluar seperti pesan Ki Wastu.
Dengan demikian, maka yang dapat dilakukan hanyalah berkisar menyudut sanggar.
Namun mereka tidak berani melanggar pesan dengan mencari jalan keluar.Karena itu, demikian Ki Wastu masuk, keduanya telah menghambur mendapatkannya sambil bertanya dengan cemas "Bagaimana ayah?"
"Cepat keluarlah. Rumah ini telah terbakar"
Perempuan dan anak laki-lakinya itu tidak bertanya lebih banyak lagi.
Mereka mulai melihat api yang menjilat dinding.
Bukan saja asapnya yang menyesak di dalam sanggar itu.
Karena itu, maka perempuan itupun kemudian membimbing anaknya berlari-lari keluar dari sanggar.
Ternyata Ki Wastu masih tetap berhati-hati.
Meskipun keempat erang yang datang ke rumahnya telah terbunuh.
Namun mungkin masih ada orang lain yang berbahaya bagi keselamatan anak dan cucunya itu.
Karena itu, maka iapun telah memungut senjata dan perisainya.
Ia sudah melepaskan harapan untuk menyelamatkan rumahnya.
Meskipun orang-orang di sekitarnya telah datang membantu, namun api yang sudah mulai membakar rumah yang terbuat dari bambu dan kayu itu, tidak dapat dikuasai lagi.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang mencoba memadamkan api itupun telah melepaskan usaha mereka.
Mereka justru berdiri semakin jauh, karena mereka tidak tahan lagi dipanggang oleh panasnya api yang menelan seluruh rumah dan isinya.
Di tengah-tengah halaman itu berdiri Ki Wastu dengan anak dan cucunya.
Kemudian di belakangnya Mahisa Bungalan berdiri tegak dengan tombak di tangan.
Dengan tegang mereka memandangi api yang bagaikan menjilat langit.
Asap mengepul tinggi ke udara.
Orang- orang yang berdiri melingkari halaman rumah itu samasekali tidak berdaya untuk menguasai lagi.
meskipun jumlah mereka semakin lama menjadi semakin banyak.
Beberapa orang yang datang kemudian berusaha untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Mereka melihat empat sosok mayat yang tergolek di halaman dengan darah yang mulai membeku.
"Kami tidak tahu, apakah persoalannya"
Berkata salah seorang dari tetangganya yang melihat apa yang telah terjadi di halaman itu "aku hanya melihat perkelahian itu terjadi dengan sengitnya.
Kemudian keempat orang itupun telah terbunuh.
Dua orang dibunuh oleh anak muda itu, sedangkan yang dua lagi, telah dibunuh oleh Ki Wastu"
"Ki Wastu?"
Beberapa orang saling bertanya.
Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa orang tua itu ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa, sehingga ia mampu membunuh dua orang yang garang dan kasar itu.
Namun dalam pada itu, tidak seorangpun yang dapat mengatakan dengan pasti, kenapa keempat orang itu tiba- tiba saja telah mendatangi rumah Ki Wastu dan kemudian terjadi perselisihan sehingga mengakibatkan keempat orang itu terbunuh.
"Mungkin mereka akan merampok"
Desis yang seorang.
"Apakah ada hubungannya dengan perempuan yang baru saja datang ke rumah Ki Wastu itu? Yang katanya adalah anaknya, ibu dari anak laki-laki yang tinggal bersamanya"
"Mungkin sekali"
Sahut yang lain "aku melihat seseorang melihat-lihat rumah dan halaman Ki Wastu dari arah belakang"
"Besok kita bertanya kepadanya"Merekapun terdiam. Mereka hanya dapat melihat api yang sudah menelan seluruh rumah dan isinya. Bahkan dengan perlahan-lahan api itupun mulai surut. Asap yang hitam keputih-putihan mengepul tinggi sampai ke langit. Orang-orang yang menyaksikan api yang mulai surut itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa, selain merasa iba kepada orang tuam anak dan cucunya.
"Benar-benar suatu malapetaka"
Gumam seseorang.
Kawannya hanya berpaling.
Namun ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, ternyata yang terjadi itu telah di dengar oleh bebahu padukuhan.
Ki Buyut dengan beberapa orang pembantunya dengan tergesa-gesa telah datang untuk menyaksikan apa yang telah terjadi.
Ketika mereka menyaksikan orang-orang berkerumun, terdengar ia menarik nafas dalam-dalam.
"Rumah itu telah menjadi abu"
Ki Buyut berdiri termangu-mangu di halaman yang panas itu. Ia masih melihat asap yang mengepul, empat sosok mayat yang tergelatak di tanah, dan senjata-senjata yang terlempar dari tangan.
"Apa yang terjadi Ki Wastu?"
Bertanya Ki Buyut kepada Ki Wastu. Ki Wastu mengangguk hormat sambil menjawab "Aku mohon maaf Ki Buyut. Mungkin aku telah membuat seisi padukuhan ini menjadi gelisah. Tetapi aku tidak berniat untuk berbuat demikian"
"Siapakah mereka?"
Bertanya Ki Buyut.
Ki Wastu memang sudah gelisah jika pada suatu saat la mendapat pertanyaan yang demikian.
Namun ia arusmenjawab, karena itu, maka katanya "Ki Buyut.
Masalah ini sebenarnya menyangkut masalah keluarga.
Tetapi pihak- pihak tertentu telah mengupah beberapa orang untuk berbuat kejahatan atas diri kami.
Jika Ki Buyut berkenan, biarlah pada satu saat aku akan menceritakan segalanya.
Ki Buyut mengangguk-angguk.
Jawabnya "Aku ingin tahu Ki Wastu.
Peristiwa ini benar-benar peristiwa penting bagi padukuhan ini.
Kedatangan keempat orang yang tidak kami kenal ini telah menumbuhkan persoalan yang gawat.
Apalagi mereka ternyata telah terbunuh disini.
Kami tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa meskipun Ki Wastu termasuk orang tua yang dihormati dipadukuhan ini, tetapi sebenarnya bahwa Ki Wastu digolongkan sebagai orang baru disini"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya "Benar Ki Buyut. Aku dapat mengerti seandainya tumbuh pertanyaan di dalam hati Ki Buyut dan orang-orang dipadukuhan ini "Siapakah orang tua ini sebenarnya"
"Ya"
Sahut Ki Buyut "selebihnya hampir tidak masuk akal.
bahwa Ki Wastu, seorang petani tua yang mencari selembar tanah untuk bertani, ternyata mampu bertempur melawan empat orang meskipun barang kali dibantu oleh anak muda itu.
Menurut pengamatan kami sebelumnya, Ki Wastu tentu akan mati ketakutan melihat satu orang saja yang segarang itu datang dengan pedang teracu"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku akan mengatakan yang sebenarnya pada suatu saat Ki Buyut, bersamaan waktu aku akan menyebut segala sebab bahwa hal ini dapat terjadi"
Ki Buyut mengangguk-angguk.
Katanya "Kami para bebahu, para tetangga tentu akan berbelas kasihan.
Tetapi merekapun selalu dibayangi oleh kecemasan akibai dariperistiwa ini.
Sudah sepantasnya kami memberikan tempat berteduh kepadamu.
Sebenarnya aku ingir mempersilahkan kau tinggal di rumahku.
Tetapi apakah dapat menjamin bahwa tidak akan terjadi sesuatu.
Bahwa sanak kadang orang-orang yang terbunuh ini tidak akan mendendam dan kemudian mencarimu dalam kelompok yang lebih besar.
Jika demikian, maka keluargaku ikut terpercik oleh keadaan yang gawat tanpa aku ketahui sebab musababnya"
"Ki Buyut"
Berkata Ki Wastu aku tidak dapat ingkar, bahwa kemungkinan-kemungkinan masih akan dapat terjadi. Dendam akan berkembang dan pembalasanakan dapat mengejar kami, kapanpun dan dimanapun kami berada. Karena itu, maka biarlah kami berada di halaman ini"
"Ah, itu tidak mungkin"
Sahut Ki Buyut, bagaimana jika hujan turun. Dan apakah yang dapat kalian lakukan antara debu yang berserakan itu"
"Kami akan membangun sebuah gubug keiil. Kami dapat tinggal di dalamnya. Itupun masih harus kami perhitungkan, sampai kapan kami berani bertahan tinggal di padukuhan ini"
Ki Buyut mariarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya "Ki Wastu.
Jika kau tidak berkeberatan, kau dapat tinggal untuk sementara di dalam banjar.
Tidak ada keluarga yang lain yang tinggal disana.
Banjar itu dapat menampung siapa saja yang memerlukan.
Jangankan penghuni padukuhan ini jika ia benar-benar membutuhkan.
Orang lewatpun dapat tidur di banjar jika mereka kemalaman di padukuhan ini dan memerlukan penginapan"
Ki Wastu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya sambil mengangguk hormat "Terima kasih Ki Buyut. Kamisekeluarga mengurapkan terima kasih atas kemurahan itu, sementara kami akan mendirikan gubug kecil"
"Tinggalah di banjar"
Ki Buyut melanjutkan "dan datanglah ke rumahku nanti malam. Aku ingin kau berceritera tentang dirimu dan keadaanmu sekarang ini"
"Baiklah Ki Buyut. Aku akan datang"
Jawab Ki Wastu.
"Kau membuat aku dan seluruh isi padukuhan ini menjadi heran. Tetapi kau jangan sakit hati bahwa karena itu. kami akan bertanya, kenapa selama ini kini selalu berpura-pura menjadi seorang petani yung bodoh dan lemah. Mungkin kau sedang bersembunyi. Tetapi mungkin kau sedang menyembunyikan sesuatu"
"Ki Buyut benar. Aku akan menceritakannya"
Jawab Ki Wastu.
Ki Buyut mengangguk-angguk.
Lalu katanya "Aku akun pulang.
Tetangga-tetanggamu tentu tidak akan berkeberatan membantumu.
Disini banyak terdapat bahan-bahan yang dapat kau pergunakan untuk membangun rumahmu kembali.
Di hutan sebelah kau akan mendapatkan jenis kayu yang cukup.
Semantara diujung padang perdu terdapat hutan bambu"
"Terima kasih Ki Buyut. Kami mengucapkan terima kasih. Segalanya akan kami pertimbangkan. Tetapi kami juga mempertimbangkan, apakah kami memerlukan tempat baru untuk bersembuyi dan sekaligus menyembunyikan sesuatu"
Ki Buyut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia sudah mengerti bahwa sesuatu tersembunyi dibalik kehidupan petani tua itu.
Sejenak kemudian, Ki Buyutpun minta diri.
Katanya "Ki Wastu.
Pergunakan banjar padukuhan ini unluk sementara kau perlukan.
Akutidak tahu apa yang akan kau lakukan kemudian.
Apakah kau akan membangun kembali rumahmu, yang tentu akan dibantu oleh tetangga-tetanggamu dan bahkan para bebahu padukuhan, atau kau akan melakukan hal yang lain yang tidak kami ketahui sebelumnya"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih Ki Buyut. Kami akan mempergunakan kemurahan Ki Buyut sebaik-baiknya. Untuk sementara kami memang akan tinggal di banjar"
Sahut Ki Wastu.
Setelah memerintahkan beberapa orang untuk menyelenggarakan mayat-mayat yang terkapar di halaman itu, maka Ki Buyutpun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Wastu yang sudah hangus menjadi abu.
Sementara itu, beberapa orang telah sibuk dengan mayat- mayat yang terbujur dengan darah yang sudah membeku.
Beberapa orang justru tidak berani menyentuh mayat itu.
Mereka lebih senang mengerjakan yang lain meskipun ada juga keinginan mereka untuk membantu.
Ketika halaman rumah itu dibersihkan, maka beberapa orang mempersilahkan Ki Wastu.
anak perempuan dan cucunya untuk pergi ke Banjar.
Sementara Mahisa Bungaian tetap berada di halaman itu untuk mengawasi keadaan.
Ia tidak sampai hati melepaskan orang-orang padukuhan itu bekerja tanpa perlindungan.
Jika masih ada satu dua orang kawan-kawan mereka yang terbunuh itu berkeliaran, maka ia harus berbuat sesuatu.
Demikian juga, keselamatan anak dan cucu Ki Wastupun harus mendapat perlindungan.
Sehingga karena itu, maka Ki Wastu harus tetap berada di dekat dengan anak dan cucunya.
Sejenak kemudian, maka halaman rumah itupun teluh dibersihkan.
Bersih dari mayat-mayat yang terkapar, danbersih dari bara yang panas.
Asap tidak lagi mengepul dan sisa-sisa api yang berserakanpun telah dikumpulkan.
"Terima kasih"
Gumam Mahisa Bungalan "Tuhan Yang Maha Pemurahlah yang akan membalas segala kebaikan budi"
"Yang kami lakukan adalah kewajiban kami"
Jawab salah seorang tetangganya "adalah menjadi beban kami bersama, suka dan duka diantara kita bertetangga"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Bagaimanapun juga, kalian sudah berbuat sesuatu di atas atas kemanusiaan"
Sementara itu, Mahisa Bungalanpun kemudian bersama tetangga-tetangganya meninggalkan halaman itu.
Mahisa Bungalan menyusul Ki Wastu ke Banjar, sementara tetangga-tetangganyapun pulang ke rumah masing-masing.
Di Banjar, Ki Wastu masih saja dicengkam oleh kegelisahan.
Ia tidak meletakkan senjatanya jauh daripadanya.
Seolah-olah ia masih saja dibayangi oleh kecemasan, bahwa tiba-tiba akan muncul beberapa orang untuk menangkap anak dan cucunya dan membunuh mereka bersama-sama.
Ketika Mahisa Bungalan dalang ke Banjar, Ki Wastupun menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Kehadiranmu telah mengurangi keteganganku"
Mahisa Bungalan mengagguk sambil menjawab "Ya. Kita masih harus berhati-hati"
Ki Wastu mengangguk-angguk Katanya "Anak dan cucuku di ruang belakang. Mereka mendapat yang baik untuk tidur. Di sebelah ada ruang untuk memasak. Tetapi aku tidaktahu, apakah ada yang dapat dimasak besok, karena semuanya telah menjadi abu"
"Kita dapat mengambil di sawah. Ketela pohon itu mungkin sudah dapat dipetik hasilnya, meskipun sedikit demi sedikit"
Jawab Mahisa Bungalan.
"Dengan itu kita hanya dapat bertahan beberapa waktu"
Jawab Ki Wastu. Tetapi katanya kemudian "Namun yang penting, apakah yang akan terjadi besok atau lusa. Apakah kematian keempat orang itu tidak akan disusul dengan peristiwa-peristiwa lain yang akan dapat meningkatkan kematian"
"Mungkin sekali"
Sahut Mahisa Bungalan "tetapi kita harus mampu mengurusi segala peristiwa dan kemudian mencari penyelesaian sebaik-baiknya"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kita akan berbicara dengan Ki Buyut. Beristirahatlah"
Mahisa Bungalan memang merasa letih.
Ia memiliki kemampuan dan daya tahan yang luar biasa.
Tetapi keletihan jiwanya membuatnya ingin beristirahat barang sejenak.
Setelah membersihkan dirinya, maka Mahisa Bungalanpun kemudian duduk di serambi belakang.
Ia ingin duduk seorang diri tanpa diganggu oleh siapapun juga.
Sambil memandang kebun yang terbentang, Mahisa Bungalan sempat berangan-angan tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
Ia melihat, betapa buruk nasib anak perempuan Ki Wastu.
Ia ditinggal suaminya tanpa dapat berbuat sesuatu meskipun ia mengerti dan mengetahui tempat tinggalnya.
Di Kediri.
Semantara orang-orang yang jahat ingin memusnahkannya, karena anak laki-lakinya itu mempunyai hak warisan dari Pangeran yang sudah lama tidak menjenguknya.Sementara itu, Ki Wastu justru duduk di pendapa banjar.
Juga seorang diri.
Diluar persetujuan mereka, seolah-olah mereka sengaja mengawasi bagian depan dan belakang dari banjar itu.
Sementara, itu, di dalam banjar, di ruang bagian belakang, anak perempuan Ki Wastu duduk memeluk anak laki-lakinya.
Betapa ia berjuang untuk dapat mengendalikan perasaannya.
Ingin kiranya ia berteriak menangis.
Tetapi dengan demikian, anak laki-lakinya tentu semakin gelisah dan ketakutan.
Karena itu, betapa pampat dadanya.
Perempuan itu tetap menahan diri.
Bahkan ia masih berusaha untuk dapat menenangkan hati anaknya.
"Kenapa rumah kita dibakar ibu?"
Bertanya anak itu. Ibunya membelai rambut anak itu sambil berkata "Tidak ada yang membakar rumah kita ngger. Tetapi agaknya suatu kecelakaan sudah terjadi"
"Tetapi siapakah yang sudah berkelahi di halaman?"
Bertanya anak itu.
Ibunya tidak akan dapat ingkar.
Anak itu mendengar dengan telinga sendiri, apa yang telah terjadi.
Iapun mengerti, bahwa perkelahian di halaman itu telah merenggut beberapa nyawa.
Anak itu melihat, meskipun kemudian menyembunyikan wajahnya, bahwa beberapa sosok mayat telah terkapar.
Karena ibunya tidak segera menjawab, maka anak itu bertanya lagi "Siapa yang telah berkelahi dengan kakek dan paman Mahisa Bungalan?"
"Mereka orang-orang jahat ngger. Mereka menyerang kakek dan pamanmu Mahisa Bungalan"
Jawab ibunya."Kenapa ibu?"
Anak itu mendesak.
Hampir saja ibunya tidak dapat menahan air matanya.
Tetapi ia berusaha sejauh yang dapat dilakukan.
Dengan suara yang mulai parau ia berkata "Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi.
Apapun yang sudah terjadi, mereka dapat dikalahkan oleh kakek dan paman Mahisa Bungalan.
Mereka tidak dapat menggaggu kita lagi"
Anak itu tidak berkata lagi, maka ibunya berkata "Tidurlah. Kau harus mencoba menenangkan dirimu. Tidak akan ada apa-apa lagi ngger. Pamanmu Mahisa Bungalan dan kakek ada di banjar ini. Sementara para bebahu padukuhan inipun sangat baik kepada kita"
Anak itu termangu-mangu.
Namun iapun kemudian berbaring di sebuah amben bambu yang besar di bagian belakang dari banjar padukuhan itu, sementara ibunya duduk di sebelahnya sambil memijit kakinya.
Betapapun hatinya dibakar oleh kegelisahan, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya kepada anak laki-lakinya bahwa hatinya bergejolak.
Untuk beberapa saat, anak laki-laki itu masih belum memejamkan matanya.
Seolah-olah ia masih memandangi atap yang agak lain dari atap di rumahnya.
Atap itu tidak terbuat dari raguman sebelah bambu yang dilindungi oleh anyaman rumput ilalang.
Tetapi rusuk atap rumah itu terbuat dari kayu dan dilindungi dengan anyaman ijuk yang tebal.
Namun sejenak kemudian seperti dibuai oleh ayunan, maka matanya mulai menjadi redup.
Silirnya angin kemudian mengipasinya, sehingga anak itupun sejenak kemudian telah tertidur.
Betapa sesak yang menyumbat jantung ibunya bagaikan meledak.
Betapapun juga perempuan itu bertahan, akhirnyaair matanya telah pecah dan mengalir di pipinya.
Meskipun ia tidak menangis memekik tinggi, namun iapun menjadi terisak-isak.
Diluar sadarnya ia mulai membayangkan, betapa panasnya saat-saat ia mulai mekar di sebuah padukuhan kecil.
Kadang-kadang ia berbangga karena kurnia kecantikan wajahnya.
Jika tidak ada seorangpun yang menyaksikan, ia menyempatkan diri bercermin di wajah belumbang yang bening.
Jika air sedang tenang, ia dapat melihat wajahnya sendiri yang mulai menginjak usia dewasa.
"Apakah aku cantik?"
Kadang-kadang ia bertanya kepada dirinya sendiri.
Namun iapun sadar, bahwa ia adalah bunga yang sedang mekar.
Tetapi sesaat kemudian, iapun mulai dipanggang di atas panasnya bara nasibnya yang malang.
Ia masih sempat menikmati kebahagiaan beberapa saat bersama suaminya Pangeran Kuda Padmadata.
Tetapi setelah itu, iapun mulai merasa sepi.
Suaminya pergi ke daerah yang sesuai dengan tataran dan derajatnya.
Untuk beberapa tahun, hatinya justru dibakar oleh sepi.
Hanya karena anak laki-lakinya sajalah maka ia masih tetap pempunyai gairah untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan.
Namun akhirnya ia masih saja diburu oleh nasib buruk.
Sehingga akhirnya ia telah terlempar ke dalam suatu suasana yang mengerikan dan selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
"Seandainya maut itu memang akan datang, aku akan rela menyerah, asal anakku akan mendapatkan tempatnya sebagai anak seorang Pangeran"
Keluhnya di dalam hati.
Tetapi ia sama sekali tidak mempunyai harapan.
Tidak ada jalan yang dapat ditempuh.
Ia tidak akan berani datang ke istana kepangeranan untuk menerangkanbahwa anak itu adalah anak Pangeran Kuda Padmadata.
Dan iapun tidak akan berani menuntut apapun juga dari suaminya yang meninggalkannya sekian lama tanpa kabar berita.
Tidak sulit untuk mencari istana Pangeran Kuda Padmadata di Kediri"
Berkata perempuan itu kepada diri sendiri. Tetapi jika itu hanya akan menghadapkan anak kepada kematian, maka tidak ada gunanya menemukan istana itu, bagaimanapun megahnya"
Perempuan itu menjadi semakin tirisak.
Tetapi ia mencoba untuk tidak menggangu perasaan ayahnya dan seorang anak muda yang telah menolongnya.
Ia ingin menekan duka deritanya di dalam dadanya sendiri, meskipun ia sadar, bahwa ayahnyapun tentu telah terlibat pula dalam kegelisahan yang tiada taranya "Aku tidak boleh menambah sakit hati ayah"
Berkata perempuan itu di dalam hatinya.
Sementara anak laki-lakinya tidur nyenyak, maka perempuan itu duduk dengan air mata yang menitik di pangkuannya.
Sekali-kali tangannya mengusap pipinya.
Namun air mata itu masih saja mengalir.
Di pendapa, Ki Wastu merenungi keadaannya pula.
Ia mencoba untuk mencari, jalan manakah yang sebaiknya akan ditempuhnya, la sadar, bahwa anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu tentu tidak akan dapat ditahannya terlalu lama.
Anak yang luar biasa itu, pada suatu saat tentu akan pergi, melanjutkan perjalanannya "Apakah aku harus pergi jauh untuk mencari tempat persembunyian"
Berkata Ki Wastu di dalam harinya "Apakah dengan demikian, bagi kami sekeluarga dunia ini tidak lebih baik dari sebuah hutan belantara? Kami adalah kelinci-kelinci yang selalu diburu oleh serigala-serigala yang buas dan liar"Tetapi Ki Wastu tidak menemukan cara yang paling baik untuk menemukan jalan ke masa depan yang tenang bagi anak dan cucunya.
Ia masih selalu membayangkan, beberapa orang memburu dengan senjata di tangan.
Jika mereka mengetahui bahwa empat orang yang memburunya telah terbunuh, maka mereka tentu akan mengirimkan enam orang.
Jika enam orang terbunuh, mereka akan mengirimkan sepuluh orang, sehingga akhirnya, sepasukan segelar sepapan akan datang mengepungnya dan terjadi rampokan seperti yang biasa dilakukan di alun-alun.
Beberapa orang prajurit dengan tombak telanjang melingkari seekor harimau liar yang lapar, yang dilepaskan di antara ujung-ujung tombak sebagai tontonan yang sangat menarik perhatian.
Betapapun kuat dan garangnya harimau itu, namun ujung-ujung tombak yang bagaikan daun ilalang di padang itu, akhirnya akan mengoyak tubuhnya sampai lumat.
"Kemana aku harus mencari perlindungan?"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bertanya Ki Wastu kepada diri sendiri.
Namun ia tidak kunjung mendapat jawaban.
Tetapi yang selalu terbayang, langkah yang pertama yang dapat dilakukannya, adalah menjauhkan diri.
Lari dan bersembunyi.
Ia harus menemukan tempat yang dapat dijadikan persembunyian meskipun untuk sementara, sebelum ia menemukan langkah-langkah selanjutnya yang lebih baik bagi masa depan anak dan cucunya.
Tetapi ada juga niatnya untuk menghubungi Pangeran Kuda Padmadata.
Apakah Pangeran itu sama sekali tidak mempunyai perasaan, jika ia mengetahui anaknya dalam keadaan yang gawat.
Seandainya ia tidak mau tahu lagi tentang keadaan isteri yang diketemukannya di padesan kecil dan tidak berarti sama sekali di dalam jalur hidupnya, apakah ia dapat berbuat demikian pula terhadap anaknya."Menurut pengamatanku.
Pangeran Kuda Padmadata bukannya orang yang terlalu mementingkan diri sendiri"
Berkata Ki Wastu "jika saja ada kesempatan untuk mengatakan tentang keadaan anaknya, mungkin hatinya akan tersentuh"
Ki Wastu menjadi ragu-ragu. Mahisa Bungalan telah menyatakan diri untuk pergi ke Kediri, menghadap Pangeran Kuda Padmadata.
"Biarlah ia pergi. Tetapi selama ia dalam perjalanan, apakah nasib kami tidak selalu berada di ujung duri"
Berkata Ki Wastu kepada diri sendiri.
Dengan demikian maka Ki Wastupun condong untuk mengambil keputusan, meninggalkan padukuhan itu untuk menemukan tempat baru yang jauh.
Setidak-tidaknya untuk sementara, di saat-saat Mahisa Bungalan pergi ke Kediri.
Bukan berarti bahwa ia akan takut menghadapi bahaya yang betapapun gawatnya, namun jika ia gagal bertahan, maka anak dan cucunya itupun akan menjadi korban.
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam.
Iapun kemudian berdiri dan melangkah ke belakang mencari Mahisa Bungalan.
Ketika ia lewat di muka bilik anak perempuannya, maka ia masih mendengar isak di dalam.
Tetapi ia tidak berhenti.
Ia tahu pasti, perasaan apakah yang bergejolak di dalam hati anak perempuannya itu.
Ketika ia menjengukkan kepalanya di serambi belakang, dilihatnya Mahisa Bungalan duduk dengan mata redup.
Nampaknya iapun sedang merenungi keadaan yang gawat bagi kedua ibu dan anaknya itu.Mahisa Bungalan beringsut ketika Ki Wastu mendekatinya dan kemudian duduk di sisinya "Kita memerlukan sikap"
Berkata Ki Wnstu.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
katanya "Ya kek.
Mungkin bahaya itu akan datang menyusul.
Berita kematian empat orang itu diketahui oleh setiap orang di padukuhan ini, bahkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Berita demikian akan dengan cepat menjalar dan sampai ke telinga kawan-kawan keempat orang yang terbunuh itu"
Mereka akan mengirimkan orang-orang yang lebih baik untuk melepaskan dendam. Selain itu. kewajiban merekapun belum dapat mereka lakukan dengan baik"
Sambuug Ki Wastu yang gelisah.
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Ia menyadari keadaan sepenuhnya, nyawa perempuan dan anak laki-lakinya itu benar-benar berada dalam bahaya.
Diluar sadarnya.
Mahisa Bungalanpun mula merenung.
Adalah diluar kemampuannya untuk menghalangi keinginan sekelompok keluarga Pangeran Kuda Padmadata untuk memiliki warisan tanpa dibagi dengan anak laki-laki dari Pangeran itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Warisan adalah harapan bagi seorang anak, tetapi sekaligus sumber bencana.
Orang tua yang tidak mempunyai warisan apapun yang dapat diberikan kupada anak keturunannya, akan menjadi gelisah dan menyesal, bahwa hidupnya adalah sia- sia bagi masa depan keturunannya.
Tetapi warisan akan dapat membuat seseorang menjadi cemas, bahwa anak- anaknya akan saling bertengkar karena warisan.
Semakin besar warisan itu, maka kemungkinan yang buruk akan menjadi semakin besar pula, meskipun tidak berarti bahwa semua orang akan terlibat ke dalam keadaan yang serupa.Kini ternyata bahwa putera Pangeran Kuda Padmadata itu telah terjerumus ke dalam keadaan yang gawat.
justru karena Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran yang kaya, yang memiliki warisan yang banyak sekali bagi keturunannya.
Tetapi keluarganya tidak ingin melihat, anak Kuda Padmadata yang lahir dari perempuan desa itu sempal memiliki warisan yang tidak ternilai itu.
Mahisa Bungalan terkejut ketika orang tua yang duduk di sampingnya itu bertanya "Bagaimana pendapatmu ngger?"
Mahisa Bungalan berpaling.
Kemudian sambil beringsut setapak ia berkata "Kita memang harus memperhitungkan segala kemungkinan, kek.
Jika aku pergi ke Kediri untuk menghadap Pangeran Kuda Padmadata sebelum ibu dan anak itu disembunyikan sebaik-baiknya, rasa-rasanya hati ini tidak akan sampai.
Seperti yang kakek katakan, mereka dapat mengirimkan orang-orang yang lebih baik dan lebih banyak.
Padahal kita menyadari, bahwa kemampuan seseorang itu sangat terbatas.
Pada suatu saat kita akan sampai pada batas kemampuan kita.
Sehingga kita tidak akan dapat mengatasinya lagi"
"Jadi apakah yang baik kita lakukan?"
Bertanya orang tua itu.
"Ya, apakah yang baik kita lakukan?"
Mahisa Bungalan mengulangi. Keduanya terdiam. Sejenak keduanya merenung. Namun nampaknya hari depan masih terlalu suram.
"Kek"
Berkata Mahisa Bungalan kemudian "sebaiknya kita mencari tempat persembunyian lebih dahulu"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya "Akupun berpikir demikian ngger. Setelah kita menemukan tempatyang sebaik-baiknya, maka salah seorang dari kita akan pergi ke Kediri menghadap Pangeran Kuda Padmadata"
Mahisa Bungalan memandang orang tua itu sejenak. Lalu "Jika demikian, kemanakah sebaiknya kita pergi? Ke Utara atau Ke Selatan? Ke Barat atau Ke Timur?"
"Orang-orang yang datang itu datang dari arah Utara. Dengan demikian.
"kita akan bersembunyi ke tempat yang semakin jauh. Kita akan pergi ke Selatan"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, tetapi iapun bertanya "Apakah kita akan dapat menemukan tempat yang dapat melindungi kita seperti padukahan ini? Artinya, orang-orang dari tempat yang baru itu akan dapat menerima kita dengan senag hati, dan dapat menganggap kita sebagai petani yang mencari tanah garapan yang baru?"
"Kenapa tidak ngger?"
"Ki Wastu"
Mahisa Bungalan berdesis "kedatangan Ki Wastu ke tempat ini memang tidak mencurigakan.
Seorang laki-laki tua dan seorang cucunya.
Baru kemudian aku datang menyusul, selanjutnya seorang perempuan yang ternyata adalah anak kakek.
Tetapi di tempat yang baru, maka kita datang lengkap seperti jumlah orang yang sedang dicari.
Mereka yang kehilangan empat orang itu tentu akan dapat mengetahui, penghuni rumah yang terbakar itu berjumlah empat orang.
Jika mereka bertanya, maka mereka akan dengan mudah menemukannya.
empat orang"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya "Itu memang mungkin sekali. Seorang laki-laki tua, seorang perempuan dan anak laki-lakinya, dan seorang anak muda"
Mahisa Bungalan tidak menjawab.
Tetapi ia sedang memperhatikan segala kemungkinan.
Kemungkinan yang baik, tetapi juga kemungkinan yang pahit.
Nampaknya tidak ada jalan yang baik yang dapat ditempuh.
Segalanyamengandung bahaya dan kemungkinan-kemungkinan yang gawat.
Seolah-olah tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri.
Ki Wastupun menyadari, bahwa jalan terlalu gelap.
Hari depan anak dan cucunya itu seolah-olah tidak akan dapat diharapkan lagi.
Sekilas terbayang padepokan-padepokan yang pernah disinggahi oleh Mahisa Bungalan.
Padepokan yang telah meninggalkan bekas yang tidak terhapus dari hatinya.
Di padepokan itu, terdapat tidak hanya satu dua orang yang dapat membantu melindungi perempuan dan anak laki- lakinya.
Tetapi di padepokan itu terdapat beberapa orang murid.
Mereka tentu tidak akan berkeberatan jika Mahisa Bungalan datang kepada mereka dan menitipkan laki-laki tua itu dengan anak cucunya.
Tetapi Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Bayangan itupun mulai mengabur ketika kemudian ia melihat kemungkinan yang buruk bagi padepokan itu.
Meskipun di padepokan-padepokan itu ada beberapa orang murid yang terpercaya, tetapi tingkat tertinggi yang dimiliki oleh padepokan-padepokan itu masih belum dapat dipercaya sepenuhnya.
Jika orang-orang yang ditugaskan oleh mereka yang ingin membinasakan perempuan dan anak laki-lakinya itu datang setelah mereka menemukan jejaknya, maka padepokan itu justru akan hancur menjadi abu.
Tidak akan ada kekuatan yang dapat melindungi perempuan dan anak laki-lakinya itu yang dapat diharapkan dari padepokan-padepokan kecil yang terpencil itu.
Bahkan dengan demikian maka ia akan dapat mengundang bencana bagi perempuan dan anak-anak laki-lakinya itu, sekaligus padepokan yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang terjadi di antara keluarga Pangeran Padmadata.Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun segera menghapus kemungkinan itu dari angan-angannya.
Ia tidak akan menjerumuskan kedua belah pihak ke dalam kesulitan.
Namun dengan demikian, apakah yang sebaiknya di lakukan.
Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri.
Mereka mencoba mencari kemungkinan yang sebaik-baiknya untu bersembunyi.
Sementara Mahisa Bungalan akan meninggalkan mereka, pergi ke Kediri menemui Panger Kuda Padmadata.
Dalam kebingungan, akhirnya Mahisa Bungalan berdesis "Kak.
Jika keadaan tidak terpecahkan lagi, aku mempunyai pertimbangan jika kau sependapat"
Ki Wastu memandang wajah Mahisa Bungalan dengan kerut merut di keningnya, sambil bertanya "Apakah kau menemukan jalan?"
"Jika hany jika tidak ada jalan lain"
Pendekar Bloon Karya SD Liong Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien