Ceritasilat Novel Online

Angkin Sulam Piauw Perak 2


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Bagian 2



Angkin Sulam Piauw Perak Karya dari Wang Du Lu

   

   "Aku kembali mesti menderita kelaparan,"

   Pikir ia dengan masgul.

   80 Tadi pagi ia dahar cukup, tapi sekarang, mendekati tengah hari perutnya telah mulai minta makan, ini rupanya disebabkan barusan ia telah gunai tenaga terlalu banyak, hingga mesin-mesin dalam perutnya bekerja istimewa cepat.

   Tidak lama, sudah ada orang-orang yang pulang ke bio.

   Karena semua orang ketahui hal pertempuran tadi, tidak heran kalau si empeh Ong, si tukang ikan asap, waktu ia sampal sudah lantas unjuk jempolnya pada pemuda kita seraya terus berkata.

   "Bagus, saudara Lauw! Kau punya bugee benar liehay! Sendirian saja kau bisa lawan begitu banyak orang, kau mirip dengan Tio Cu Liong yang telah menjelma pula!"

   Cie Jie, si tukang tauwhu goreng, malah kasih dengar kritiknya.

   "Sayang tadi kau sia-sia tenaga terhadap Heng-houw dan Siang-kiam Leng-koan, hingga ketika Poan-koan-pit datang, kau tidak bisa lekas-lekas rubuhkan padanya! Tangkap berandal mesti tangkap tay-ongnya, pukul orang mesti pukul yang kosen dahulu maka kalau Siauw Lo Cong bisa dibikin jatuh lantas yang lain-lain tak lagi ada gunanya."

   Dan Siang Kiu, si empeh penjual loo-tauwhu, kata.

   "Pekerjaan kau hari ini bagus! Sebenarnya Thian-tay Piauw-tiam mesti dirubuhkan sekalianl Di sana, kecuali gurumu, semua orang tidak keruan! Gouw Po dan orang-orangnya berikut Siauw Lo Cong 81 yang baru datang, semua adalah bangsa telor busuk, bangsa okpa, mereka sebenarnya mesti dibikin mampus!"

   "Cukup!"

   Kata Kang Su, si penjual ikan asap pada Siang Kiu.

   "Pergilah kau jualan, buat apa kau diam lama-lama di sini. Bukankah kemarin anakmu telah datang, maka hari ini, ia tentu tidak akan datang pula. Tadi ada orang lihat dia naik kereta sambil empo bocah, ia nonton perkelahian seperti banyak orang lain. Tek Hui tidak boleh dipuji-puji dan diumpak- umpak saja, ia sebenarnya sudah terbitkan onar, coba ada terjadi perkara jiwa, bagaimana nanti akibatnya?"

   Memang biasanya, Kang Su omong dengan tandas.

   Maka mendengar dia turut bicara, semua orang lantas bungkam.

   Tek Hui diam sedari tadi, tetapi mendengar perkataannya Kang Su.

   Ia menduga apa Siauw Hong bukan gadisnya empeh Siang Kiu ini? Kemarin ini pun ia dengar suara orang perempuan dalam kamarnya Siang Kiu.

   Ia hanya tldak menyangka si manis yang lemparkan ia buah apel.

   Di bio itu tinggal orang lelaki semua, tetapi kadang-kadang ada datang orang perempuan, yang membeli makanan dan terus pasang omong dahulu sama si pedagang.

   Selagi Tek Hui ngelamun, Kang Su kata padanya.

   "Tek Hui, kau sebenarnya bukan orang golongan kami, aku pun tidak ingin kau berdiam di sini, cuma sebab mernandang Tan Moa-cu, aku ajak 82 kau berdiam sama-sama kita. Tadi kau telah berkelahi, aku harap kau tidak terbitkan onar di sini. Kau tahu, siapa nanti ganti perabotan kami kalau orang ngamuk di sini? Aku toh tidak bisa minta ganti dari kau! Jangan katakan aku banyak mulut, dalam keadaan sebagai kau, kau baik jangan cari musuh apapula sama kawanan piauwsu itu!"

   Tek Hui tidak mau layani orang bicara, ia diam saja.

   Siang Kiu dan yang lain-lain pun lantas pada berlalu.

   Hari itu tidak ada datang hamba wet buat tangkap Tek Hui, tetapi berbareng, Tek Hui juga tak dahar nasi.

   Besoknya pagi, cuaca terang seperti biasa, Tek Hui mendusin sampai siang.

   Ia tetap tidak bisa dahar, karena uangnya habis dan ia telah tahan lapar sebisa- bisanya.

   Ia berat akan buka mulut, akan "beli makanan dari Siang Kiu atau yang lainnya.

   Lebih-lebih terhadap Siang Kiu, ia malu betul akan buka mulutnya.

   Bau masakan rnenambah hebatnya nafsu makannya.

   Maka ia pikir, bagaimana ia mesti dapati uang atau makanan.

   "Lebih baik aku cari Thio Put Ceng saja,"

   Akhirnya ia pikir.

   "Ia ada orang satu kampung sama aku, padanya aku berani bicara. Sekalian aku boleh lihat bagaimana dengan Thian-tay Piauw-tiam, Kalau 83 Siauw Lo Cong ada di sana, aku boleh tempur pula padanya!"

   Tapi, ketika ia bertindak keluar, ia tidak bawa pedangnya.

   Ia lihat matahari sudah mulai doyong ke barat.

   Langit sedikit gelap, karena bergumpalnya mega.

   Sedikit-sedikit ada sinar layung.

   Di pihak lain, ia rasai matanya sedikit kabur, kedua kakinya lemas, hingga ia terperanjat sendirinya.

   "Benar-benar aku mesti cari makanan!"

   Kata ia dalam hatinya.

   "Atau aku nanti rubuh karena kelaparan. Atau celaka benar andaikata sekarang aku ketemu Gouw Po atau orang-orangnya, dengan gampang mereka bisa rubuhkan aku. Bagaimana kecewa!"

   Dengan kuatkan hati, Tek Hui bertindak keluar pekarangan.

   Hampir ia pegangan pada tembok, akan lindungi diri.

   Ia merasai tubuhnya gemetaran sedikit.

   Di depan pintu sekali, ia lihat seorang anak perempuan umur dua atau tiga belas tahun, bajunya biru, celananya berkembang, tangannya memegang sebuah mangkok besar yang kosong, dan di kempitannya ada satu bungkus saputangan.

   Ia itu lagi celingkukan ke dalam, waktu ia sampai di pintu pekarangan.

   "Apakah Siang Kiu belum pulang?"

   Tanya si nona pada pemuda kita. Tek Hui berdiri seraya awasi nona itu, roman siapa mencurigai. Si nona seperti takut ketemu orang. 84

   "Kau cari Siang Kiu apa hendak beli loo-tauwhu? ia balik menanya.

   "Beli loo-tauwhu atau tidak, tidak penting. Aku mau cari Lauw Tek Hui,"

   Sahut nona itu, yang terus mengawasi dengan tajam.

   "Aku Lauw Tek Hui sendiri,"

   Sahut pemuda kita, yang merasa heran.

   "Ada apa kau cari aku?"

   "Oh, kau jadinya Lauw Tek Hui sendiri?"

   Si nona kata, seraya terus tertawa.

   "Bagus! Nah, aku serahkan ini pada kau! Aku tak mau beli loo-tauwhu."

   Dan terus ia serahkan bungkusan kecil yang ia kempit, setelah mana ia balik tubuhnya, akan menuju ke selatan dengan cepat. Tek Hui sambuti bungkusan tanpa merasa.

   "Eh, eh!"

   Ia memanggil-manggil.

   "Tunggu dulu! Coba kasih tahu aku, apa isinya bungkusan ini?"

   Ia lantas memburu.

   "Apa kau tidak bisa buka sendiri dan lihat?"

   Tanya si nona.

   "Tapi, siapa yang kasih ini padaku?"

   Tek Hui tanya pula. Mukanya nona cilik ini bersemu merah.

   "Go Thay-thay yang suruh aku sampaikan pada kau,"

   Ia menyahut.

   "Thay-thay larang aku omong banyak sama kau, katanya kau akan mengerti sendiri!"

   "Aku akan mengerti sendiri?"

   Tanya Tek Hui dalam hatinya. 85

   "Dan hal ini kau tak boleh beritahukan pada Siang Kiu,"

   Pesan si nona.

   "Lihat......,"

   Ia angkat ia punya mangkok kosong.

   "aku datang kemari dengan berpura-pura mau beli loo-tauwhu buat sio-siauwya, sebenarnya adalah untuk serahkan bungkusan itu. Thay-thay kata, ini tanda maksud baiknya, sedang tentang lainnya, di belakang hari saja dibicarakan lebih jauh."

   Habis kata begitu, ia bertindak pula, tapi baru beberapa tindak, ia balik lagi, malah ia dekati Tek Hui, seraya terus tambahkan.

   "Hampir aku lupa! Thay- thay kasih tahu, tadi pagi ia sudah pergi ke gedungnya Gie-su Ouw Tayjin di kota luar, buat ketemu Sam Thay-thay, untuk minta bantuan guna kau, agar perkaramu tadi dibikin habis saja. Thay-thay bilang, bahwa kau tidak usah kuatir. Thay-thay pun pesan supaya kau lekas beli makanan dan dahar, karena kesehatanmu adalah paling perlu!"

   Tek Hui jadi terharu, meski sebenarnya ia belum mengerti betul.

   "Nah, aku mau pulang! Sampai ketemu pula!"

   Kata si nona cilik.

   Sekali ini, Tek Hui antap nona itu pergi, ia melainkan mengawasi.

   Lama ia berdiri diam, sampai nona itu sudah lenyap dari pemandangan mata.

   Ia celingukan.

   Di gang itu kebetulan tidak ada orang.

   maka lekas-lekas ia buka bungkusan itu.

   Untuk keheranannya, di dalam buntalan kecil itu ia dapatkan sepotorig angkin atau ikat pinggang yang biasa dipakai 86 oleh orang-orang yang yakinkan ilmu silat dan angkin itu tidak saja lemas dan kuat, juga tersulam indah dengan bunga-bungaan.

   Itulah bukan angkin yang dapat dibikin rampung dalam tempo sepuluh atau lima belas hari.

   "Ia kasihkan aku angkin, apakah artinya ini?"

   Tek Hui memikir.

   "Apa ia inginkan aku pakai angkin ini? Angkin ini ia dapat beli atau ia bikin sendiri?"

   Pada angkin itu pun terdapat tiga buah kantong untuk menyimpan uang, dan semua kantong itu sudah ada isinya, pertama-tama ada dua kim-jie-ie emas, lalu sepotong emas, beberapa lembar uang kertas masing-masing dari satu tail, dua tail dan lima tail.

   Bukan main herannya anak muda ini, jantungnya sampai berdebaran.

   Tapi, karena ia kuatir orang nanti dapat lihat ia, lekas-lekas ia masuki semua barang itu ke dalam kantong dan angkin itu terus ia libat di pinggangnya.

   Ia heran berbareng girang, karena selagi kelaparan sampai mau mampus tiba-tiba ia peroleh banyak uang.

   Dengan lupa pada sang lapar, lantas saja ia bertindak dengan gagah.

   Lenyap ia punya kepala pusing, mata seperti kabur dan kaki lemas.

   Paling utama adalah ia hendak dahar dulu.

   Di gang-gang yang berdekatan tidak ada rumah makan yang besar, maka Tek Hui masuk ke warung thee yang ia kenal, di mana ia tidak pernah datang ke 87 warung itu, tidak heran kalau pelayan warung sudah tidak kenali ia.

   "Aku minta lekas disediakan satu kuwe besar, dua mangkok mie dan daging panggang yang paling baru!"

   Ia kata, sebagai juga ia orang hartawan. Dan ia sebutkan lagi daging goreng, bakso, ayam dan daging kambing. Akhirnya ia tambahkan.

   "Sudah cukup, itu saja semua! Lekasan sedikit!"

   Semua permintaan itu disiapkan dengan bergantian, maka dengan bernafsu, Tek Hui mulai bersantap, dalam kegembiraannya, ia benar-benar mirip dengan seorang rakus atau kelaparan, sampai satu kali ia kena gigit lidahnya, sampai ia berjengit sendirinya.

   Ia pun telah kendorkan ikat pinggangnya.

   Adalah di waktu itu, ia kena rabah kantong uangnya, yang mana bikin ia tercengang.

   "Ah, apa artinya ini?"

   Tiba-tiba ia pikir.

   "Uang ini bukannya uang boleh mencuri, tetapi ini adalah uangnya orang perempuan dan aku satu laki-laki, apa aku boleh pakai atau obral? Apa aku tidak malu? Apa kata kalau Gouw Po ketahui ini? Niscaya Twie-hun-chio akan jengeki dan tertawakan aku."

   Tek Hui letaki sumpitnya, ia bingung.

   "Si nona cilik tentu budaknya Siauw Hong,"

   Ia pikir.

   "Aku mesti cari dia, akan pulangi kim-jie-ee dan uang ini. Aku boleh kasih tahu, angkin aku pakai, tetapi kim-jie-ie tak ada perlunya bagiku dan uang aku tidak berani terima. Tapi, di sini aku telah dahar dan 88 uang makan mesti dibayar. Ke mana aku mesti cari uang, akan tombok kekurangan ini?"

   Masih saja pemuda ini bingung sendirinya.

   "Kelihatan Siauw Hong ada taruh hati padaku, sejak hari itu ia membagi apel,"

   Ia pikir pula.

   "Ia pun begitu baik hati akan berdaya bikin habis perkara perkelahianku dan ia suruh aku gunai uangnya, buat aku dahar, karena tubuh adalah paling penting. Sayang ia bukannya orang lelaki, coba ia satu pemuda, aku tentu akan minta ia angkat saudara sama aku! Bagaimana aku mesti balas budinya ini? Ia seorang perempuan, ia malah gundiknya Han Kim Kong, bagaimana aku bisa dekati ia? Tidak, Tek Hui satu laki-laki, Tek Hui muridnya Pheng Jie."

   Maka, dari gembira, pemuda ini menjadi berduka.*** 89 V Tek Hui sibuk sendirinya, sampai ia tidak perhatikan orang-orang di sekitarnya, yang telah duduk bersantap di situ sebagai dia.

   Adalah selagi memikir, matanya kebentrok sama orang-orang itu, yang rata-rata mengawasi ia, karena ia dikenal sebagai anak muda yang bikin kacau di depan Thian- tay Piauw-tiam.

   Terang sesuatu orang kagumi ia, dan ini bikin hatinya terbuka.

   "Ya, aku sekarang sudah terkenal, dan punya uang juga,"

   Pikir ia.

   "Namaku aku dapatkan secara sah, tetapi uang ini?"

   Dan ia bingung pula, sampai api penerangan telah dinyalakan.

   Waktu itu kelihatan beberapa orang bertindak masuk, semua dandan sebagai piauwsu.

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Baru Tek Hui terperanjat, ia kira orang-orangnya Gouw Po cari ia, tapi, kapan orang sudah dekat, ia kenalkan mereka, terutama satu di antaranya, Tong Kim Houw, sahabat baik dari Pheng Jie.

   Ia belum sempat menegur, atau waktu melihat ia, orang she Tong itu agaknya kaget, sampai dia berjingkrak.

   "Hiantit, hiantit, oh!"

   Berseru piauwsu itu.

   "Bagaimana susah buat cari kau! Di bio tidak ada, di warung tidak ada, kiranya di sini!" 90 Tek Hui mengawasi.

   "Ada apa kau orang cari aku?"

   Ia tanya.

   "Buat satu urusan, urusan baik!"

   Sahut Tong Kim Houw.

   "Apa kau sudah dahar cukup? Kau dahar sendirian saja? Oh, begini banyak macamnya makanan? Sungguh kau punya banyak uang! Tapi tidak apa, anggap semua ini ada tanggunganku! Eh, jongos, jongos!"

   Dan ketika jongos datang, Tong Kim Houw rogoh sakunya, ia membayar semua.

   "Aku belum dahar cukup,"

   Kata Lauw Tek Hui, yang tak mengerti sikap orang itu.

   "Belum dahar cukup, itulah terlebih baik lagi!"

   Kata Tong Kim Houw.

   "Kami justeru sudah siapkan meja santapan, tinggal tunggu kau saja! Nah, hiantit, mari, mari ikut kami!"

   Ia ulur tangannya, untuk menarik tangan orang. Tek Hui berbangkit, akan benarkan angkinnya.

   "Tong Sam-siok,"

   Katanya.

   "sebenarnya ada urusan apa? Coba kau kasih keterangan."

   "Sudah, ikut saja!"

   Kim Houw tertawa "Percaya aku, ini ada urusan baik bagi kau! Kau ikut aku, nanti kau ketahui sendiri!"

   Kim Houw betot tangan orang buat diajak pergi, air mukanya ramai dengan senyuman, sebagaimana beberapa kawannya semua pada tertawa.

   Di luar warung, Kim Houw panggil kereta keledai, ia ajak Tek Hui naik atas kereta itu, yang 91 bawa mereka ke Hoat-wan Piauw-tiam, ialah piauw- tiam dari si orang she Tong ini.

   Tek Hui kenal piauw-tiam ini, sebab ia pernah datang kemari tetapi di sini ia ditolak mentah-mentah, katanya ia belum lulus dari perguruan! Tetapi sekarang, ia diperlakukan sebagai tamu agung, sedang juga ia telah diperkenalkan sama beberapa orang, yang sudah duduk menantikan, yang semua dandan secara mewah.

   Dan waktu Tong Kim Houw ajar kenal kedua pihak, nyata mereka adalah saudagar-saudagar besar dan beberapa pembesar "klas jieya yang batal memakai Gouw Po sebagai pelindung mereka untuk perjalanan mereka ke Thio-kee-kauw.

   Semua saudagar ini bawa banyak uang, mereka berurusan sama Gouw Po dan Thian-tay Piauw-tiam karena mereka dengar nama besar dari Twie-hun-chio.

   Siapa tahu di saat terakhir, piauwsu yang diagul- agulkan itu nyata jatuh merk di tangannya anak muda yang tidak dikenal, maka mereka batalkan keberangkatan mereka dan batal juga memakai Gouw Po.

   Dan selagi mereka mau cari lain-lain piauwsu, Tong Kim Houw yang cerdik sudah lantas majukan diri sambil unjuk bahwa di antara piauwsunya ada si anak muda yang jatuhkan Gouw Po.

   92 Ia aku Tek Hui sebagai keponakannya, dan dengan susah payah ia cari pemuda ini, untuk diperkenalkan dengan sekalian saudagar besar itu.

   Cuma dengan sedikit perkataan, Tong Kim Houw bisa rampas piauw dari Gouw Po.

   Ia yang akan antar sendiri piauw itu dengan Tek Hui menjadi pembantunya.

   Tapi Tek Hui mengerti, dengan perjalanan ini, ia justeru antar piauw berbareng melindungi Tong Kim Houw.

   Ia terima baik akan membantu Tong Kim Houw, karena piauwsu ini pandai sekali bicara, hingga ia kena dibujuk.

   Sehabis bersantap, Tek Hui nyatakan ia mau pulang.

   "Pulang? Buat apa?"

   Kata Kim Houw.

   "Semua barangmu di kuil, aku sudah perintah orang ambil dan bawa kemari, juga pedang kau. Kau tinggal di sini sama aku, di sini aku sudah sedia satu kamar untuk kau! Selanjutnya kau tinggal tetap di sini! Piauw-tiam ini kepunyaanku, maka kau pun boleh pandang sebagai kepunyaan kau sendiri. Kau toh aku punya sutit. Kita akan bekerja sama-sama, kau andalkan kepandaian kau, aku andalkan namaku, nanti kita terima piauw dalam jumlah-jumlah yang besar, hingga kita jadi beruntung! Adalah aneh kalau di Pak-khl-ia ini dalam kalangan piauw-tiam, kita tak akan menjagoi! Hiantit, kau adalah Tio Cu Liong! Tadi, pertandingan tadi di depan Thian-tay Piauw-tiam, adalah medang perang Tiang-poan-po! Aku adalah seumpama Lauw 93 Pie. Di belakang hari, negaraku adalah kau yang lindungi keselamatannya!"

   Tek Hui bersenyum mendengar omongon orang itu.

   Malam itu, Tek Hui bisa tidur dengan nyenyak.

   Ia dapat sebuah kamar yang bersih, pembaringan baru, kasur dan seprei baru, kelambu baru juga.

   Dan besoknya pagi, Kim Houw muncul dengan beberapa perangkat pakaian baru, ia terus minta salin pakaian, maka sebentar kemudian, dengan angkin dari si manis, ia kelihatan jadi cakap dan gagah.

   Sedang di pinggangnya itu ia punya emas, uang perak dan kertas.

   Sebagai anak muda, Tek Hui menjadi girang sekali.

   Sebentar kemudian, di depan Hoat-Wan Piauw- tiam berkumpul kereta-kereta piauw yang kemarin ini memenuhi tempatnya Gouw Po.

   Kecuali kereta barang-barang dan uang, ada juga kereta yang muat rombongan saudagar dan pembesar berikut keluarga perempuan mereka.

   Tong Kim Houw berlaku hati-hati, ia pasang mata-mata.

   karena ia kuatir Gouw Po nanti datang mengganggu ia.

   Di depan piauw-tiam pun ada berkumpul banyak orang, karena juga orang banyak menduga-duga bahwa Twie-hun-chio mestinya tak mau mengerti dan akan datang untuk terbitkan onar.

   Tetapi siapa tahu, 94 ditunggu sampai jam sepuluh, tidak ada seorang jua yang muncul dari Thian-tay Piauw-tiam! Tong Kim Houw tertawa berkakakan.

   "Mulai berangkat!"

   Kemudian ia memberikan titah.

   Semua kereta lantas bergerak, rodanya menggelindlng dengan menerbitkan suara berisik, bendera-bendera pada berkibar-kibar di atas sesuatu kereta.

   Semua pegawai dan piauwsu sebawahan nampaknya gembira.

   sebagaimana Tong Kim Houw, yang duduk atas seekor kuda besar, unjuk tampang berseri-seri.

   Tapi banyak penonton di kiri dan kanan semua tujukan mata mereka pada si piauwsu muda Lauw Tek Hui, yang juga duduk atas bebokongnya seekor kuda serba baru, seperti pakaiannya sendiri.

   Cuma dalam hal menunggang kuda, ia mirip dengan seorang yang lagi tunggang onta.

   Tetapi orang banyak tidak perhatikan sikapnya di atas kuda itu, orang hanya kagumi kegagahannya, sebagaimana banyak mulut bilang.

   "Begitu muda dan gagah! Siapa nyana dia mampu bikin tunduk Twie- hun-chio Gouw Po yang begitu kesohor! Ia telah rampas piauw besar ini, selanjutnya, semua piauw akan jatuh ke dalam tangannya!"

   Meski demikian, Tek Hui tidak jadi jumawa.

   Sekeluarnya dari Say-tit-mui, lerotan kereta menuju langsung ke Thio-kee-kauw, ialah tempat 95 tujuan.

   Di sepanjang jalan mereka berpapasan sama kereta-kereta lain atau orang-orang yang menuntun onta.

   Angin adalah angin musim pertama, yang setiap waktu menyampok-nyampok muka.

   Perjalanan ini harus melewati bukit-bukit dan gunung, dan Tong Kim Houw senantiasa waspada.

   Ia tahu piauwnya asal "rampasan dan daerah ini adalah daerah di mana Gouw Po punya pengaruh.

   Andikata Gouw Po tidak puas, ini adalah tempat di mana dia bisa lampiaskan tak-kepuasannya itu.

   Maka ia telah kisiki Tek Hui akan berlaku hati-hati juga.

   "Tidak apa,"

   Kata anak muda itu yang hatnya tabah.

   "Mana Gouw Po bisa lantas susul kita? Umpama Poan-koan-pit turut datang, aku juga tidak takut."

   Lerotan kereta jalan terus, menuju ke utara, sampai mereka berada daerah Ma Put-cu Nia.

   Itu adalah bukit yang sunyi, dengan jalanan yang sukar.

   Jalanan pun banyak tikungannya.

   Angin yang keras membikin debu dan pasir turut berterbangan.

   Di situ tidak ada orang lain yang berlalu-lintas.

   Tiba-tiba terdengar suara tajam, sampai semua tukang kereta terperanjat.

   Tek Hui menyangka pada burung alas, yang biasa berdiam di gunung, ia dongak, tetapi ia tak lihat seekor jua burung itu.

   Tong Kim Houw dekati anak muda itu.

   "Kau dengar atau tidak?"

   Ia tanya dengan pelahan. 96

   "Dengar apa?"

   Tek Hui tanya.

   "Itulah suara suitan. Di sini mesti ada orang jahat,"

   Kim Houw jawab. Tek Hui melihat kelilingan.

   "Di mana adanya mereka? Aku tak lihat!"

   Ia kata.

   "Jangan berisik,"

   Kim Houw kata.

   "Kalau saudagar-saudagar itu dapat tahu, inilah hebat, apapula di antara mereka ada orang-orang perempuan. Penjahat sudah ada, rupanya mereka belum berani lantas muncul."

   Tek Hui mau percaya keterangan itu, maka ia sudah lantas hunus pedangnya, sembari jalan terus, ia pasang mata ke kiri dan kanan.

   Ia lihat awan seperti menyambung sama puncak bukit, sedang jalanan kecil di kejauhan tertampak laksana ular melingkar.

   Mereka telah lewati lagi lima atau enam lie, barulah di sebelah depan, muncul dari jalanan tikungan, tertampak belasan orang yang semua bekal golok dan tumbak yang bergemerlapan.

   Kemudian, dari sebelah belakang, dari antara pepohonan cemara yang lebat, muncul juga belasan penunggang kuda, yang pun bersenjata semua.

   "Celaka!"

   Kata beberapa pegawai.

   "Harap saja mereka orang-orang yang dikenal, supaya dengan beberapa perkataan, mereka bisa undurkan diri."

   Meski demikian, mereka juga lantas hunus senjatanya masing-masing. 97 Dengan cekal toya cie-bie-kun, Tong Kim Houw dekati semua saudagar, akan hiburkan mereka, agar mereka jangan takut.

   "Semua-mua ada aku!"

   Ia berikan tanggungan. Lauw Tek Hui tidak tunggu sampai orang datang dekat, ia keprak kudanya akan papaki mereka itu.

   "Bilang, piauw ini ada kepunyaan Hoat-wan Piauw-tiam atau bukan?"

   Berteriak belasan orang itu.

   "Kalau bukan, kami tak mau pegat!"

   "Kawanan binatang!"

   Tek Hui membentak.

   "Kau orang sudah memegat, tidak bisa tidak, kau orang mesti mengganas!"

   Ia maju lebih jauh.

   "Eh, apa kau bukannya Lauw Tek Hui?"

   "Aku ialah Tek Hui!"

   Sahut pemuda kita, seraya ia loncat turun dari kudanya.

   Ia tidak bisa menunggang kuda, di atas bebokongnya binatang itu, ia tidak merdeka.

   Ia pun segera menerjang.

   Ia perlihatkan kegesitannya.

   Ia cegah senjata musuh mendekati tubuhnya, di lain pihak pedangnya mengancam setiap waktu.

   Dalam tempo yang pendek, seorang musuh kena dibacok rubuh dan satu yang lain kena ditikam terguling, dan sebelum yang lain-lain tahu bagaimana mesti bertindak, segera menyusul empat korban lain, maka lantas saja sisanya pada lari kabur.

   98 Itu waktu, rombongan yang menunggang kuda telah sampai dan Tong Kim Houw dan orang-orangnya papaki mereka, hingga mereka pun lantas bertempur.

   Kim Houw sendiri sudah lantas kena dikurung, hingga Tek Hui dengar teriakannya berulang-ulang.

   "Tek Hui! Hiantit, lekas, lekas!"

   Tek Hui sudah lantas lari memburu. Ia bisa lari seperti kuda cepatnya. Selagi ia mendekat, ia kenalkan Lo Cong, maka dengan murka ia menjerit.

   "Siauw Lo Cong! Kau telah datang kemari, bagus! Di kota kita belum bertarung cukup, mari di sini kita lanjuti!"

   Lo Cong pun lantas kenalkan pemuda itu.

   "Bagus!"

   Dia berseru.

   "Aku memang cari kau! Mari kau bertempur satu sama satu, mereka semua boleh suruh berhenti!"

   Ia benar-benar suruh kawan-kawannya mundur, maka Tong Kim Houw lantas terlepas dari kurungan, hingga dia bisa pergi akan lindungi piauw.

   Sisa pemegat tadi, pecundang-pecundang Tek Hui, kemball datang akan berkumpul dengan rombongannya Lo Cong.

   Di pihak Hoat-wan Piauw-tiam, semua pegawai dan piauwsu rendahan pada siap, tetapi tidak ada yang berani lancang turun tangan, mereka menjaga piauw sambil menonton.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan senjatanya mengancarn, Lo Cong dekati Tek Hui.

   99

   "Bilang padaku, kau inginkan piauw atau jiwa!"

   Tek Hui menegur sambil lintangi pedangnya.

   "Jikalau kau inginkan piauw, awas terhadap pedangku ini! Jikalau kau inginkan jiwa, baik kau lekas menyingkir!"

   Siauw Lo Cong tertawa dingin.

   "Apa? Kau suruh aku menyingkir?"

   Ia tegaskan.

   "Gampang buat aku menyingkir, asal piauw kau serahkan padaku! Asal kau lantas kutungkan batang lehermu, supaya kepalamu dipaserahkan padaku!"

   Tek Hui gusar, ia tidak mau adu bicara.

   "Awas!"

   Ia segera menyerang.

   Dengan poan-koan-pit, Lo Cong menangkis.

   Sepasang senjatanya itu bisa digeraki dalam ilmu pedang dan ruyung dengan berbareng.

   Begitulah, dengan tangan kiri ia layani pedang, dengan tangan kanan ia gencar menyerang.

   Berulang-ulang ia menikam dada, setindak dengan setindak kakinya merangsek.

   Tek Hui gusar sekali atas rangsekan orang, maka kalau tadinya ia mengalah main mundur saja, selanjutnya ia ubah sikap.

   Dari menyerang dan menangkis saja, akan umbar lawan, ia sekarang menyerang dengan seru.

   Ia tidak sangsi-sangsi akan adu pedang dengan poan-koan-pit, yang termasuk senjata berat.

   Sekarang Lo Cong merasakan orang punya tenaga besar, sedang tadinya ia tak lihat mata pada pedang musuh, yang ia berani gempur dengan 100 gegamannya.

   Maka sekarang, ia pun mesti berkelahi dengan sungguh-sungguh.

   Pemuda kita telah unjuk kegesitan tubuhnya, kesebatan mainkan pedang.

   Ia tidak mau kasih pedangnya dipengaruhi senjata musuh itu, pun ia tidak mau bikin dapat angin, akan bikin ia repot.

   Ia bernama Tek Hui, yang berarti "dapat terbang,"

   Dan sekarang ia bergerak gesit laksana burung terbang! Satu kali datanglah serangan pedang yang berbahaya, menjurus ke bawah.

   Lo Cong lihat itu, karena ia bermata celi, dengan gerakannya yang sebat, ia cepat menangkis.

   Tiba-tiba Tek Hui batalkan serangannya, hanya pedangnya ia tarik pulang, buat dipakai menggempur gegaman musuh, yang mau dipakai menangkis pedangnya.

   Dan sesudah itu, dengan gerakannya yang sebat, ia balik lagi, akan kembali menyerang ke bawah.

   Ini adalah semacam tipu pedang simpanan dari Giok-bin Lo Cia.

   Dan Tek Hui berhasil berkat bantuan tenaganya yang besar luar biasa.

   Didesak secara demikian, Lo Cong menjadi repot, tidak perduli senjatanya dua, maka tidak heran segera juga terdengar ia keluarkan jeritan seram disusul oleh rubuhnya tubuhnya yang mandi darah.

   Lengan kanannya telah terbabat kutung, sakitnya bukan main, meski demikian, dengan tangan kiri, ia masih bisa menyambit lawannya dengan poan-koan- pitnya.

   101 Di mana timpukan adalah tidak jitu dan Tek Hui pun bisa kelit, poan-koan-pit itu tidak meminta korban.

   Tong Kim Houw telah saksikan kejadian itu.

   "Keponakanku yang baik, berikanlah ia lagi satu tusukan pedang!"

   Ia berseru.

   Tek Hui dengar suara itu, ia angkat pedangnya, tetapi sebelum tangannya dikasih turun, kesangsian menyerbunya.

   Ialah, apa ia mesti binasakan seorang musuh yang sudah tidak berdaya? Itu waktu pihaknya Lo Cong pun pada kasih dengar jeritan sambil tangan diulap-ulapkan.

   "Jangan, jangan turun tangan!"

   Kemudian satu di antaranya loncat turun dari kudanya, akan hampirkan pemuda kita seraya terus untuk hormat.

   "Lauw Toa-piauw-tauw, aku minta kau suka berlaku murah,"

   Demikian ia berkata.

   "Ia sudah terluka dan bercacat. Kami pun suka mengaku kalah hari ini. Satu kuncu tidak lakukan perbuatan yang menghabiskan dan aku percaya dari seorang seperti kau, kalau kau tinggalkan dia hidup, soat sakit hati masih bisa diselesaikan, tetapi jikalau kau berlaku kejam, kau harus ingat, dia masih punya ayah dan engko, malah sahabat-sahabat juga!"

   Tek Hui balas hormat orang dan antapkan orang gotong pergi Siauw Lo Cong. Lantas dengan tidak 102 perduilkan musuh-musuhnya,Tek Hui hampirkan Tong Kim Houw. Mari kita lanjuti perjalanan kita!"

   Ia kata sembari tertawa. Ia loncat naik ke atas kudanya yang salah satu pegawai sudah siapan.

   "Marilah!"

   Sahut Tong Kim Houw, yang girang bukan main.

   Maka sampai di situ, roda-roda kereta kembali pada menggelinding.

   Kecuali gangguan angin yang menciptakan debu berterbangan dan jalanan pegunungan yang sukar, Tong Kim Houw selanjutnya tak dapat rintangan lain lagi.

   Maka pada suatu hari ia dan piauwnya semua telah sampai di tempat tujuan dengan tak kurang suatu apa, Thio-kee-kauw.

   Kabaran sudah tersiar secara luar biasa cepat, demikian juga lelakonnya Lauw Tek Hui di kotaraja.

   Di sini orang telah lantas tahu, bagaimana di depan Thian-tay Piauw-tiam sudah terjadi pertarungan hebat dan penumpahan darah, hingga namanya si anak muda jadi dibuat sebutan.

   Sekarang ada pertarungan di tengah jalan, dengan kesudahan Siauw Lo Cong jatuh merk, kejadian ini menambah naiknya nama piauwsu muda itu.

   Pembawa berita yang pertama adalah piauwsu ternama dari Pak-khia, ialah ketua Keng-bu Piauw- tiam, Louw Thian Hiong.

   Piauwsu ini telah saksikan 103 dengan mata sendiri pertempuran seru di depan piauw-tiamnya Gouw Po, maka juga kejadian itu dipercaya oleh sesuatu orang yang dengar ceritanya.

   Biasanya, kalau satu piauwsu sampai di satu tempat, apapula dia piauwsu baru, ia mesti bikin kunjungan kehormatan pada sesuatu piauwsu setempat buat sekalian belajar kenal.

   Tong Kim Houw tahu baik aturan ini karena di Thio-kee-kauw ia punya banyak sahabat.

   Ia sudah pikir akan antar Tek Hui bikin kunjungan itu.

   Ia pun hendak dengan jalan ini, mengebul sedikit, akan aku dirinya.

   "Aku adalah susiok dari Tek Hui!"

   Akan tetapi, sebelum ia dapat kesempatan akan bikin kunjungan itu, apa mau beberapa piauwsu sudah mendahulukan kunjungi ia di pondokannya, hingga ia repot menyambut beberapa tamunya itu.

   Tek Hui lantas diajar kenal, sesudah mana, beberapa piauwsu tanya ia perihal jalannya pertempuran di Pak-khia dan di Ma Put-cu Nia.

   Atas ini, ia mesti berikan penuturannya, kendati dengan ringkas.

   Beberapa piauwsu telah berikan pujiannya, malah salah satu kata.

   "Gurumu, ialah Pheng Jie ya, ada sahabat kekalku!"

   Tek Hui belum pandai bergaul, ia pun tidak bisa omong banyak, maka itu, buat sesuatu pujian, kecuali menghaturkan terima kasih, ia pun angkat kedua tangannya, akan unjuk hormat, lebih tidak.

   104 Louw Thian Hiong adalah salah satu piauwsu yang datang berkunjung itu, ia berlaku sangat manis dengan undang Lauw Tek Hui suka kunjungi rumahnya untuk bersantap.

   Ia berdiam di Tin-seng Piauw-tiam, yang katanya kepunyaan engko kandungannya, Lauw Thian Hiap namanya, gelarannya "Tiang-tin-shia.

   Piauwsu ini sudah berusia tinggi, piauw-tiamnya cukup maju, di Thio-kee-kauw dia yang paling tersohor.

   Ia pakai banyak piauwsu dan pegawai, tetapi mereka semua bukannya orang luar, kebanyakan anak keponakannya dan murid, malah yang satu adalah anak perempuannya, siapa kecuali mengerti silat, juga surat dan luas pengetahuannya, sedang buku-buku adalah si nona ini yang urus sendiri.

   Tong Kim Houw turut antar Lauw Tek Hui.

   Ketika berdua mereka bertindak ke dalam Tin-seng Piauw- tiam, semua orang di situ lantas pada awasi mereka.

   Di thia pertama lantas kelihatan seorang nona berumur tujuh atau delapan belas tahun sedang duduk di meja tulis dengan sebelah tangannya lagi ketak- ketek shui-phoa hingga ia terbitkan suara berisik.

   Nyata terlihat di jari-jarinya ada tiga buah cincin.

   Ia berkulit hitam tetapi cukup manis.

   Kelihatannya ia asik kerja hingga tak perdatai kedatangan tetamu.

   Ia baru angkat kepalanya dan menoleh tempo Thian Hiong sudah ceritakan pada engko-nya perihal kegagahannya Tek Hui.

   Thian Hiong pandai cerita, 105 sampai semua orang yang mendengar jadi mengawasi sambil tercengang.

   Tapi si nona lantas jadi tidak puas, karena baik ayahnya, mau pun pamannya, sudah tidak ajar kenal ia sama tamu yang dipuji-puji itu.

   Ia tolak shui- phoanya dan bertindak keluar, hanya selagi lewat di dekat Tek Hui, ia awaskan pemuda kita, siapa pun justeru berpaling padanya, hingga Tek Hui lihat si nona yang pakai baju biru, celana hijau, rambutnya dikepang besar dan kendor, sepatunya tersulam indah.

   Cuma sekali melihat, Tek Hui tidak perhatikan lebih jauh pada nona itu.

   Tidak demikian dengan Tong Kim Houw.

   "Apakah dia ada titlie?"

   Ia tanya. Ia sebut titlie atau keponakan pada si nona.

   "Benar, ia adalah anakku,"

   Thian Hiap manggut.

   "Apakah lauwko cuma punya ini satu titlie?"

   Tong Kim Houw tanya pula.

   "Ia anak perempuan yang ke dua,"

   Sahut tuan rumah sambil bersenyum, seraya urut kumis dan jenggotnya yang sudah putih semua.

   "Anakku yang pertama sudah menikah. Dia ini....."

   "Ia pandai mengurus buku, lauwko pandai mendidik anak,"

   Kim Houw mendahului.

   "Ia tidak punya gawe, aku suruh dia bantu- bantu saja. Di sini pun tidak ada orang luar. Ia beradat keras, disebabkan ia kurang pendidikan....." 106

   "Bukannya aku sombong,"

   Thian Hiong campur bicara.

   "keponakanku ini adalah bun bu coan cay! Dalam halnya bun, ia bukan pandai mengarang atau bersair, tetapi ia bisa urus buku-buku dan menulis surat. Dalam halnya bu, ilmu goloknya adalah aku sendiri yang ajarkan, hingga ia pantas untuk menjadi piauwsu. Ia sendiri juga yakinkan semacam ilmu....."

   "Saudaraku,"

   Kata Thian Hiap, seperti hendak mencegah adiknya.

   "Keponakanku ini bernarna Po Go. Ia adalah laksana mustika kami,"

   Thian Hiong melanjuti.

   "Piauw- tiam kandaku ini tidak bisa berjalan tanpa keponakanku."

   "Itulah sebab aku sudab tua, dan aku pikir untuk mengaso,"

   Thian Hiap bilang.

   "Than Hiong sendiri buka piauw-tiam di kotaraja dan ia jarang pulang, hingga ia tidak bisa bantu aku, terpaksa aku mesti andalkan anak perempuanku ini......"

   "Dan kanda terlalu andalkan keponakanku, sampai ia lupai satu hal,"

   Thian Hiong bilang.

   "Enso pernah bilang padaku, kanda andalkan keponakan sampal ia lupai soal pernikahan anaknya itu."

   "Tetapi anakku itu tidak boleh dinikahkan secara sembarangan,"

   Thian Hiap bilang.

   "Ia mesti dapat pasangan pemuda yang cakap, gagah dan ternama!"

   "Kau dengar,"

   Kata Thian Hiong pada Tek Hui.

   "Enso telah minta bantuanku akan carikan mantu yang sembabat guna gadisnya itu, tetapi kanda berlaku 107 begini keras! Ke mana aku mesti pergi akan cari pemuda yang kanda kehendaki?"

   Sampai di situ, Tong Kim Houw menyelak. Ia tidak ketarik oleh pembicaraan itu. Tidak lama, mereka lantas duduk bersantap.

   "Mari kita pulang, kita perlu beristirahat!"

   Kata Kim Houw sehabis bersantap.

   Tuan rumah dan saudaranya tidak bisa menahan.

   Mereka diantar dengan kereta dari Tin-seng Piauw-tiam.

   Sesampainya di hotel sudah jam dua.

   Kim Houw pakai dua kamar.

   Itu menuruti keinginan dari piauwsu ini, yang pun telah sewa hampir seluruh hotel itu.

   Ia kata pada Tek Hui.

   "Di sini kita tidak boleh perlihatkan kemiskinan, kita malah harus meniup-niup diri, kita harus pegang derajat! Ini kali kita telah terbitkan nama, selanjutnya kita akan mesti sering- sering mengantar piauw ke Thio-kee-kauw ini! Louw Thian Hiap adalah piauwsu kenamaan di sini, kita tidak boleh dapat salah dari ia, sedang Louw Thian Hiong buka piauw-tiam di Pak-khia, ia juga perlu ditempel. Tapi....."

   Tiba-tiba ia berhenti dan awasi pemuda kita, terus ia ketawa.

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau lihat atau tidak gadisnya Thian Hiap tadi?"

   Ia tanya kemudian.

   "Aku lihat. Kenapa?"

   Kim Houw tertawa pula.

   "Aku hanya mau tanya, bagaimana kau lihat macamnya nona itu?" 108 Aku tidak melihat nyata. Aku memang tdak suka awasi gadis orang."

   "Apakah kau tidak berniat menikah?"

   Kim Houw tanya, sambil unjuk roman lesu. Mukanya Tek Hui menjadi merah. Ia likat atau jengah.

   "Buat apa menikah?"

   Ia balik tanya.

   "Apa orang tidak boleh tidak menikah?"

   Kim Houw unjuk jempolnya, ia jadi gembira lagi.

   "Cocok!"

   Ia berseru. Nah, inilah ucapannya satu enghiong sejati! Kau tahu, satu manusia biar ia bagaimana gagah, satu kali ia dekati paras elok, habislah semua! Aku lihat bahwa Louw Thian Hiong lagi jalankan tipu bie-jin-kee."

   "Apa itu tipu bie-jin-kee?"

   Tek Hui tanya.

   "Tidak apa-apa, aku bicara sambil lalu saja,"

   Kim Houw tertawa pula.

   "Kita sekarang baik bicarakan urusan kita. Piauw sudah diserahkan hari ini, besok tentu perhitungan selesai. Sebenarnya aku pikir akan terus pulang besok, karena di Pak-khia mestinya sudah menunggu pekerjaan, tetapi orang-orangku berniat menunda dua hari, katanya untuk beristirahat sekalian belanja, maka aku telah putuskan, kita berangkat lusa saja."

   Tek Hui nyatakan akur. Ia memang berniat lekas pulang, karena ia ada urusannya sendiri. Bukankah ia pakai ikat pinggang istimewa, dengan isi dalam kantongnya yang istimewa juga? 109

   "Siauw Hong baik sekali,"

   Ia berpikir.

   "Kalau aku tampik pemberiannya ini, ia tentu gusar dan duka, ia pasti katakan aku tidak lihat mata padanya. Maka sekarang, dengan cara bagaimana aku mesti balas budinya?"

   Dan ia terus berpikir.

   Besoknya, benar saja rombongan saudagar telah selesai melakukan pembayaran uang tanggungan kepada Tong Kim Houw, hingga dia ini cekal lima bungkusan yang berat, yang berisikan uang perak tiga ratus tail.

   Ia lantas pisahkan empat puluh tail untuk Tek Hui, seraya kata.

   "Kau terimalah ini dahulu, untuk kau pakai seperlunya!"

   Pemuda ini girang sekali bisa menerima uang banyak, ia lantas ajak piauw-tauw sebawahan akan pergi belanja, tetapi ia tidak tahu mesti beli apa, maka ia telah beli sepasang seprei, dua potong permadani dan satu doos keju, yang semua adalah keluaran terkenal dari Thio-kee-kauw.

   Ia pun tidak terangkan ia belanja untuk siapa.

   Tempo Tek Hui sampai di hotel, di situ ada Louw Thian Hiong, hanya sedatangnya ia, piauwsu itu lantas pergi.

   Tong Kim Houw antar tamunya sampai di luar, waktu ia kembali, ia mendongkol berbareng geli di hati.

   "Nyata dugaanku cocok!"

   Kata ia sambil tertawa.

   "Louw Thian Hiong benar lagi jalankan bie-jin-kee!"

   "Apa itu bie-jin-kee?"

   Tek Hui tanya. 110

   "Tentang ini aku tidak bisa umpatkan dari kau, aku nanti terangkan,"

   Sahut Tong Kim Houw.

   "Thian Hiong pergi ke Thio-kee-kauw akan susul kita, bukan sewajarnya ia hendak sambangi engko-nya. Ia hendak carikan pasangan untuk keponakannya dan ia penuju pada kau. Niatannya adalah, kalau kau nanti nikah sama keponakannya, kau akan diminta tinggal di rumah pihak perempuan, akan menjadi mantu merangkap pegawai. Thian Hiong ingin kemudian pinjam nama dan tenaga kau, untuk majukan piauw- tiamnya sendiri."

   Tek Hui tidak puas mendengar keterangan itu, tetapi toh ia lalu ingat-ingat Po Go, siapa adalah hitam manis, mengerti mengurus buku dan keuangan dan pandai silat juga.

   "Jangan kau gusar, hiantit!"

   Kata Kim Houw seraya tepuk pundak orang.

   "Aku telah berikan jawaban pada Thian Hiong. Aku kata maksudnya itu tak akn kesampaian! Aku bilang, bahwa kau telah utarakan padaku yang kau tidak niat menikah, bahwa sebagai satu hoohan muda, kau ingin yakinkan terus ilmu kepandaian kau, bahwa kau ingin bersahabat dan merantau, agar kau tidak terikat di dalam rumah!"

   Tek Hui tercengang mendengar perkataannya piauwsu itu. Kembali Kim Houw tepuk pundak orang.

   "Hiantit, sengaja aku bilang demikian supaya Thian Hiong mati pikiran,"

   Ia kata pula.

   "Pepatah 111 bilang, put hauw yu sam, tak berbakti ada tiga macamnya, maka tentu saja aku mengerti, kau tidak nanti tidak akan menikah seumur hidupmu, karena kau mesti berikan turunan untuk keluarga Lauw. Aku hanya ada pikiran lain! Sekarang kau ternama besar, piauw-tiam kita kesohor, maka itu apabila kau berniat menikah, berapa banyak isteri kau inginkan, berapa banyak juga kau akan dapati, buat kau tinggal memilih saja, isteri macam bagaimana kau inginkan! Tapi keponakannya Thian Hiong, anak perempuan yang kemarin ini kita lihat di dalam piauw-tiam, hm...! ia begitu hitam seperti juga romannya gundik kedua dari Ut-tie Kiong, seperti adiknya Lie Kui, seperti encienya Pauw Kong, hm, ia masih kalah cakapnya dengan aku! Mustahil perempuan semacam dia sembabat sama kau? Dan, apa katanya buat nona umur delapan belas tahun yang masih belum menikah, yang setiap hari bercokol di piauw-tiam, bercampur- gaul saja sama segala kuli? Siapa tahu dia punya lelakon macam apa? Tidak lebih tidak kurang, ia hanya kenal beberapa huruf, ia bisa menghltung uang! Membuka piauw-tiam, suruh orang perempuan yang urusi, mana bisa peroleh kemajuan? Maka juga aku sudah lantas tolak Thian Hiong. aku kata.

   "Tidak bisa, tidak bisal Lauw Tek Hui ada keponakanku, ia mesti ikut aku!"

   Tek Hui awasi piauwsu itu. Ia sangkal kalau Louw Po Go hitam dan jelek, dalam hal ini Kim Houw 112 keterlaluan. Tapi ia setuju sama sikapnya piauwsu ini. Memang untuk menikah, ia mesti memilih sendiri.

   "Orang yang sembabat sama aku, yang aku penuju, adalah Siauw Hong,"

   Pikir dia.

   "Dia pun berjodoh sama aku, sejak ia lemparkan apel padaku. Terang dia cintai aku. Lihat saja ikat pinggangnya ini dan isinya. Ia begitu elok dan manis. Aku pun tidak cela Siang Kiu, ayahnya. Hanya, memikir dia, apa aku bukannya memikir yang tidak-tidak? Bukankah dia sudah ikut Han Kim Kong dan telah punyakan anak? Aku satu laki-laki, aku tidak boleh rampas gundik orang!"

   Tek Hui jadi ngelamun, hingga sesaat itu pikirannya jadi kusut.

   Menghadapi Gouw Po dan rombongannya bukan soal sulit, tetapi soal perjodohan, ini benar-benar meminta perhatiannya.

   Po Go tidak cocok, Siauw Hong tidak boleh, habis siapa yang ia mesti pilih? Malam itu ia berdiam sendirian di dalam kamarnya.

   Ia dan Kim Houw memang tempati masing- masing satu kamar, seperti keinginan si orang she Tong.

   Ia duduk menghadapi api, kupingnya dengari suara hujan di luar jendela.

   Kemudian ia tutup pintu kamar dan rebahkan diri di atas pembaringan.

   Ikat panggangnya telah diloloskan.

   "Memang, Siauw Hong memang jauh lebih menang daripada si nona yang bisa ketik shui-phoa,"

   Ia berpikir sambil gulak-gulik.

   113 Ia tidak bisa pulas.

   Maka ia keluarkan kim-jie-ie, akan pegang dan pandang-pandang benda itu yang semuanya terbikin dari emas dan indah.

   Itu adalah benda yang biasa dipakai sebagai tanda mata, dari raja pada menteri, dari menterii pada sahabatnya, untuk ikatan perjodohan, untuk selamatan.

   "Siauw Hong kasihkan ini padaku, apa maksudnya? Ia begitu perhatikan aku, apa maksudnya supaya aku beruntung dengan segala cita-citaku? Tapi mana aku senang hati selama aku belum dapat cari guruku?"

   Tek Hui tidak bisa lupai Pheng Jie, yang ia anggap ada sangat baik terhadap dia.

   Dan ingat gurunya, ia jadi berduka.

   Sang hujan, yang turun menetes, menambah kedukaannya itu.

   Dalam kesunyian, ia tak punya kawan bicara, tak ada orang yang hiburkan padanya.

   Akhirnya ia padamkan api dan paksa rebahkan diri sambil mata dimeramkan.

   la bisa pulas, akan tetapi belum lama, ia sudah mendusin, dengan terperanjat.

   la memang sudah dilatih oleh Pheng Jie, malah begitu mendusin, ia bisa segera dapat kembali kesegarannya seperti biasa.

   Hujan masih turun.

   Daun pintu telah menjadi renggang sedikit, dari situ menghembus masuk angin dengan hawanya yang dingin.

   la merasa ada orang masuk ke dalam kamarnya, tetapi ia tidak berani geraki tubuh atau kepala, sebab asal ia berkutik, 114 orang yang masuk itu bisa lantas bacok atau tikam padanya.

   la malah berpura-pura pulas, melainkan kedua matanya dibuka sedikit.

   Tetamu yang tak diundang itu telah menghampirkan pembaringan, ia pakai celana hitam, tangannya dilonjorkan ke depan.

   Tek Hui lihat tangan itu, ia terperanjat.

   Nyata sekali ia tampak tiga buah cincin di jeriji tangan, ialah tangan orang perempuan.

   "Kau mau apa, eh?"

   Tiba-tiba ia menegur seraya ia geraki tubuhnya. Orang perempuan itu kaget, tetapi kendati kaget, tangannya toh diulur ke pembaringan dipakai menjumput, setelah mana cepat sekali ia loncat mundur, akan lari keluar.

   "Kau ambil barangku?"

   Teriak Tek Hui dengan tegurannya.

   Tapi ia tidak loncat mengejar, karena ia berhadapan sama orang perempuan.

   Buat keheranannya, ia dapatkan yang diambil adalah kim- jie-ie, yang tadi ia tidak simpan lagi dalam angkin.

   Maka ia percaya, rupanya sedari tadi, ia telah diintip dan ditunggui.

   "Masa bodo!"

   Kata ia dalam hatinya, seraya terus tutup pula pintu kamarnya.

   Ia anggap barang itu tidak berharga, sedang juga ia tahu, siapa si pencuri.

   115 Ia nyalakan api, ia pakai angkin dan sepatu, akan kemudian ia perhatikan seluruh kamarnya.

   la tidak kehilangan barang lainnya, melainkan sepasang kim-jie-ie itu.

   "Benar-benar tak tahu malu!"

   Kata ia seorang diri, ketika ia berpikir lebih jauh.

   Tiba-tiba pintu dipentang pula, dengan kaget, sampai daun pintu menjeblak, karena mana, api tertiup padam.

   Terperanjat dan mendongkol, Tek Hui sambar pedangnya dan lompat keluar.

   Ia lihat di antara hujan, orang itu loncat naik ke atas genteng.

   Ia mau memburu tapi tangannya orang itu melayang dan serupa barang menyambar ia.

   Karena ia bisa lihat datangnya senjata rahasia, ia ulur tangannya, akan tanggapi itu.

   Ia dapat cekal sepotong kong-piauw.

   "Begini saja kepandaianmu? Aku tak sudi layani kau!"

   Habis kata begitu, Tek Hui masuk ke dalam, sekarang ia kunci pintu, terus ia nyalakan api yang ia bikin besar.

   "Nah, masuklah lagi dan padamkan pula api ini!"

   Ia kata dengan mendeluh.

   "Aku satu laki-laki, aku tak mau layani kau!"

   Tetapi ia menunggu dengan sia-sia, orang tidak datang pula.

   Akhirnya ia periksa piauw itu, yang kecil dan bagus dan enteng.

   Itu adalah piauw pemakaian orang perempuan.

   Dengan macam piauw itu, orang 116 sukar ditimpah hingga binasa, yang pasti adalah terluka.

   "Sungguh menyebalkan! Aku mesti lekas angkat kaki dari sini!"

   Seterusnya Tek Hui tidak bisa tidur lagi, kendati ia rebahkan diri dan coba meramkan mata.

   Sang hujan pun turun terus seantero malam, menerbitkan suara berisik.

   Karena ini, besoknya orang tidak bisa berangkat, karena jalanan becek dan licin.

   Kim Houw sendiri sibuk, ia ingin lekas pulang.

   la ingat rumah tangganya.

   "Tadi malam aku mimpi!"

   Katanya.

   "Sananya, seperginya klta, Gouw Po telah datang ke rumahku, yang ia bikin kacau, malah anakku ia lukai."

   "Tapi itu tak akan terjadi sebenar-benarnya!"

   Tek Hui bilang.

   "Jikalah Gouw Po berbuat hina secara demikian, habis musnalah namanya untuk selama- lamanya!"

   "Ya, aku hanya mengimpi,"

   Kim Houw kata.

   "Cuma, kalau itu berwujud...... Kau harus ingat, kalau Gouw Po sudah gusar dan ia lupakan segala apa."

   Tek Hui tidak kata apa-apa lagi.

   la tidak tuturkan pengalamannya semalam, rupanya Kim Houw tidak ketahui itu.

   Maka itu, orang punya piauw ia simpan.

   Sang hujan benar-benar menyebalkan, ia turun melit sekali, ia ditunggu-tunggu tetapi tak mau berhenti membasahkan bumi, sampai akhir-akhirnya Tin-seng Piauw-tiam kirim kereta untuk mengundang 117 Tong Ciangkui serta Lauw Toa-piauw-tauw, yang hendak dijamu.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku tidak mau pergi."

   Kata Tek Hui sambil goyang kepala.

   "Jangan"

   Tong Kim Houw membujuk.

   "Ketika Thian Hiong bicarakan soal jodoh keponakannya dan aku menolak, ia nampaknya tidak puas, maka kalau sekarang kita tampik undangannya, ia bisa jadi tak senang. Dalam pekerjaan kita, kita tidak boleh menyebabkan orang tak sukai kita. Louw Po Go benar hitam, tetapi ia tetap adalah gadis terhormat dari keluarga Louw, kita boleh tampik dia, siapa tahu orang lain berniat rampas padanya? Hiantit, kita jangan sebut-sebut hal jodoh, tetapi untuk persahabatan, mari kita pergi."

   Tek Hui kena dibujuk, sebab ia pun pikir, tidak ada perlunya akan ia bersikap getas, dan kalau ia tetap menolak, apa orang bisa paksa padanya.

   Demikian, hujan-hujan mereka pergi memenuhi undangan.

   Di Tin-seng Piauw-tiam, meja perjamuan tersaji sangat lengkap, dan Thian Hiong bersama Thian Hiap sambut kedua tamunya dengan hormat dan manis sekali.

   Tapi meja pesta tetap ada di ruangan depan, yang dijadikan kantor piauw-tiam.

   Di waktu pertama kali Tek Hui berdua sampai, Po Go tidak ada di mejanya, hanya kemudian ia muncul, karena ada beberapa pegawai atau tetamu 118 yang hendak berurusan sama dia, akan bikin perhitungan keuangan.

   Lebih dulu daripada itu, beberapa pegawai telah ketemui Thian Hiap, buat kasih tahu ada uang penagihan yang hendak disetorkan, atas mana tuan rumah ini kata pada pegawainya.

   "Pergi kau ke dalam, minta si nona keluar. Kasih tahu juga, bahwa di sini tidak ada orang lain, melainkan dia punya Tong Toasiok serta Lauw Toako. Dan andaikata dia belum dahar, minta ia dahar di sini saja, barang makanan cukup dan belum terganggu."

   Setelah si pegawai undurkan diri, tidak lama muncullah si nona, yang datang dengan pakai payungnya di dekat pintu.

   la masuk ke dalam dan menuju langsung ke mejanya dengan tidak perdulikan tamu-tamunya.

   Adalah Tong Kim Houw yang sembari tertawa menegur padanya, katanya.

   "Nona, mari, di sini kami sudah sediakan tempat untuk kau..............."

   "Aku sudah dahar,"

   Sahut Po Go, dengan tak menoleh lagi. Hari ini nona Louw pakai baju merah dengan celana hijau, dandanannya mentereng luar biasa. la duduk di kursinya dengan terus mainkan shui- phoanya. Tek Hui melirik si nona sambil berpikir.

   "Aku mesti tanya padanya supaya ia kembalikan aku punya sepasang kim-jie-ie, karena itu kepunyaan orang lain. 119 Tetapi jlkalau aku keliru, umpama yang semalam datang bukannya dia, akibatnya bisa hebat."

   Karena ini, ia jadi bersangsi. Dalam perjamuan ini, Tek Hui melainkan ikuti Thian Hiong, siapa kembali puji-puji keponakannya perempuan, yang katanya liehay bugeenya, dan liehay juga piauwnya.

   "Ia pandai menulis, ia pandai menghitung,"

   Kata paman ini.

   "ini bukannya pujian belaka! Coba ia anak lelaki, tentu siang-siang aku sudah ajak dia pergi ke Pak-khia, pastilah dia telah rubuhkan Twie-hun-chio Gouw Po dan Poan-koan-pit Lo Cong! Tong Toako, Lauw Piauw-tauw, jangan kau orang kecil hati,apabila sampai terjadi demikian, pastilah perasaan kau akan merosot turun. Kau ketahui sendiri, di sini kami punya rumah tangga, punya perusahaan tetap, penghidupan kami sudah ada ketetapannya, maka sayang, dia hanya anak perempuan, hingga karenanya, ia tidak bisa bantu aku."

   Biar bagaimana, ucapan tekebur itu mengandung kejelusan bagi Tong Kim Houw dan sedikit memandang enteng pada Lauw Tek Hui, kendati demikian, pemuda ini hanya ganda tertawa, tertawa yang sifatnya dingin.

   Adalah Tong Kim Houw yang tak tahan sabar, karena ia kata.

   "Tidak apa, Louw Jie-tee! Memang seharusnya kau ajak keponakan kau ke kotaraja, guna 120 bantu kau, dengan bantuannya, kau pasti akan dapat kemajuan besar dan untuk banyak uang!"

   "Tidak, tidak bisa,"

   Thian Hiong kata seraya geleng kepala.

   "Kandaku telah perlakukan keponakanku secara berlebih-lebihan dan ia hanya inginkan anaknya tinggal tetap di sini. Po Go sendiri kandung niatan turut aku pergi mengiringi piauw, tetapi ayahnya tak setuju."

   "Dalam hal ini, Thian Hiong sering sesalkan aku,"

   Kata Thian Hiap, yang sedari tadi diam saja.

   "Aku bukan pandang anakku sebagai ciankim siocia, tetapi kita adalah dari keluarga baik-baik, meskipun benar kita usahakan piauw-tiam, kita toh bukannya hidup sebagai orang-orang Kangouw penjual silat, maka itu aku tidak mufakat yang anakku mesti hidup merantau di luaran."

   Selagi berkata begitu, Thian Hiap memandang Tek Hui, seperti ia mau ajak pemuda ini bicara. Tek Hui manggut-manggut.

   "Benar!"

   Kata ia.

   "Memang apa katanya kalau orang perempuan keluar merantau? Aku sudah tinggal bertahun-tahun di dalam piauw-tiam, tetapi aku belum pernah dengar ada piauwsu perempuan!"

   Ketika Po Go dengar ucapan itu, ia pandang Tek Hui dengan mata melotot, tetapi Tek Hui tidak ambil perduli, ia melainkan tertawa. Tapi tertawa ini adalah tertawa yang mendatangkan akibat. Mendadakan Po Go berbangkit. 121

   "Kau tertawakan apa?"

   Menegur nona ini.

   "Apa kau bilang tentang aku?"

   Tek Hui pun mendongkol.

   "Aku tertawa sendiri, apakah kau bisa larang?"

   Ia jawab.

   "Sungguh tidak panas! Toh ayahmu sendiri yang bicara tentang dirimu!"

   "Kau toh turut bicara!"

   Mendesak si nona.

   "Sudah, sudah,"

   Kata dua pegawai, yang berada dekat nona itu. Tong Kim Houw dan Louw Thian Hiong melongo.

   "Po Go, jangan berlaku begini macam pada kau punya Lauw Toako ini,"

   Kata Thian Hiap.

   "Siapa punya Lauw Toako?"

   Berseru si nona.

   "Aku tidak kenal padanya! la bilang ia sudah tinggal bertahun-tahun dalam kalangan piauw-tiam, tetapi aku belum pernah dengar namanya! Dan sekarang dia datang kemari......"

   Tek Hui lompat bangun.

   "Bukannya aku sendiri yang mau datang kemari!"

   Ia bilang dengan nyaring.

   "Adalah ayah dan pamanmu yang undang aku!"

   "Mereka boleh undang kau, tetapi aku, aku sekarang mau perintah kau pergi!"

   Kata si nona tetap dengan aseran. Selanjutnya kau jangan pikir akan datang lagi ke Thio-kee-kauw ini!"

   "Sungguh mulut yang besar!"

   Kata Tek Hui dengan menghina. 122 Dalam murkanya, Po Go sembat shui-phoa, dengan apa ia sambit Tek Hui, tetapi anak muda ini dengan gampang tanggapi piauw istimewa itu. Lauw Thian Hiap jadi gusar.

   "Po Go!"

   Ia membentak.

   "Apa artinya perbuatan kau ini? Kau nanti bikin orang tertawakan kau tak mampu urus rumah tangga! Lekas pergi!"

   Tetapi Po Go justeru sembat bakhie, yang ia hendak pakai menimpuk pula.

   "Timpuklah aku!"

   Tek Hui membentak.

   "Kau punya piauw pun aku tidak takuti, apapula segala shui-phoa, segala bakhie! Hayo timpuk!"

   Thian Hiong kuatir onar jadi besar, maka ia hampirkan keponakannya, buat dibujuki dan dibawa masuk.

   Tong Kim Houw unjuk rupa tercengang, tetapi di dalam hati, ia lebih suka Po Go dan Tek Hui bertempur terus, supaya Thian Hiap dan Thian Hiong bantu gadisnya itu.

   la tak memikir lain daripada kepentingannya sendiri.Untuk kepentingannya, ia lebih suka Tek Hui tidak menikah sama Po Go dan kedua pihak mereka jadi musuh.

   "Siapa suruh Thian Hiong gunai bie-jin-kee, buat pincuk piauwsu yang susah-susah aku undang untuk bantu aku,"

   Demikian ia pikir. Ia telah bayangkan keruntuhan, kalau Tek Hui menikah sama Po Go dan jadi turut Thian Hiong. Lebih 123 hebat lagi, ia kuatir permusuhan dari Gouw Po dan pihak Lo.

   "Adatnya anakku memangnya keras,"

   Kata Thian Hiap pada Tek Hui.

   "aku minta LauwToa-piauw-tauw suka tak tarik panjang urusan ini."

   Tek Hui bersenyum.

   "Tidak apa, tidak apa"

   Ia menyahut.

   "ini ada urusan kecil, aku tak taruh di hati."

   Tong Kim Houw tak setujui sikap piauwsunya, akan tetapi ia tidak bisa kata apa-apa. Cuma dalam hatinya ia kata.

   "Kau sungguh sabar, Tek Hui."

   Waktu itu Thian Hiong keluar pula, seraya terus berkata.

   "Tek Hui, aku harap kau tidak pikir panjang urusan ini. Demikian memang adatnya keponakanku, ini disebabkan tadinya kandaku dan enso selalu kasih hati padanya, hingga ia jadi aleman dan kepala besar. Sesampainya di dalam, Po Go sudah lantas menangis. Jangan kau anggap Po Go telah menghina kau, itu melulu karena adatnya, yang luar biasa. Sebaliknya, kalau ia kagumi orang, ia kagum sampai melewati batas. Umpamanya ia pandang rendah padamu, lihat pun ia tak sudi."

   Kim Houw tidak tahu ia mesti berbuat apa, maka ia lantas pamitan. la menghaturkan terima kasih untuk perjamuan itu.*** 124 VI Thian Hiong hendak coba mencegah.

   "Apa Tong Toako tak senang?"

   Ia tanya.

   "Bukan sama sekali,"

   Sahut piauwsu itu.

   "Di mana adatnya keponakanmu luar biasa, ada lebih baik buat kami pulang saja. Bagaimana andaikata sembari menangis ia keluar pula dan serang kami? Melawan salah, tidak melawan kami bisa dapat celaka."

   Mukanya Thian Hiong menjadi merah, karena ucapannya piauwsu itu tajam sekali.

   Ia mau marah, tetapi tidak ada alasan buat marah, sebab Tong Kim Houw omong hal yang benar.

   Tek Hui sendiri masih bermuka merah.

   Thian Hiap anggap baik tamunya lekas pulang, maka ia lantas perintah orangnya siapkan kereta.

   "Tong Toako, Lauw Piauw-tauw, terima kasih,"

   Kata ia, tempo ia antar tamu-tamunya keluar. Ketika Kim Houw sampai di hotelnya, ia ikut Tek Hui masuk ke kamarnya pemuda ini.

   "Siapa bisa nikah nona semacam Po Go itu?"

   Kata ia,dengan kandung maksud.

   "Sudah mukanya hitam, adatnya pun aseran! Biar ia punya uang dua laksa dan sawah sepuluh bauw, aku masih tidak kesudian menikah sama ia! Apalagi buat dipungut mantu! Hm! Sungguh orang tak memandang mata 125 pada kita! Bukan kata kita takut, tapi kalau mesti bertempur, hm, malu betul."

   Tek Hui pun tidak puas, tetapi kembali ia tak setuju sepenuhnya dengan Tong Kim Houw.

   Adatnya Po Go benar keras, tapi kalau dibilang nona itu jelek, itulah keliru.

   Po Go betul hitam, tapi hitam manis, kalau dandan dia menarik hati.

   Hanya, hitam manis atau bukan, Tek Hui pun pikir, lekas berangkat pulang adalah paling benar.

   Waktu itu hujan masih turun, hanya makin lama makin halus.

   Sesudah sore, langit adalah terang.

   Tetapi malam itu TekHui tidak dapat tidur pulas, ia kuatir Po Go datang pula dan dari itu ia siap sedia.

   Syukur, malam itu lewat dengan tenang.

   Paginya, kereta sudah siap.

   Semua orang juga sudah sedia.

   Maka itu, Tong Kim Houw dan Tek Hui lantas berangkat pulang, meninggalkan Thio- kee-kauw, dengan tak ada yang antar.

   Kim Houw girang dengan diam-diam.

   Pihak Louw tidak muncul, itulah bagus.

   "Lebih baik lagi kalau mereka gusar,"

   Ia pikir.

   "Mana aku mau ijinkan Tek Hui dibetot-betot oleh nona hitam legam itu? Kalau Tek Hui kena ketarik, sungguh penasaran bagiku!"

   Karena ini, Kim Houw jadi makin open pada piauwsu muda itu. Dengan tak merasa, kereta telah sampai di Ma Put-cu Nia. Tek Hui lantas ingat pertempurannya 126 dengan Lo Cong, hatinya |adi besar, tangannya jadi gatal.

   "BiarlahKwee-seng-pit dan Giam-lo-pit juga datang kemari, akan tempur aku!"

   Ia ngelamun.

   "Mari lekas, lekasan,"

   Kata Kim Houw, yang lihat orang ayal-ayalan.

   "Lihat, di empat penjuru ada rimba, rumah orang tidak ada, kita bukannya takut, tetapi aku tak ingin di sini terbit perkara pula. Piauw tidak ada, saudagar-saudagar pun tidak ada, andaikala benar kita lakukan pertempuran terlebih hebat, siapa yang lihat dan siapa yang saksikan itu? Siapa nanti uwarkan itu, agar orang banyak mendapat tahu? Kalau kita yang ceritakan sendiri, siapa yang mau percaya? Maka, marilah lekasan!"

   Meskipun ia bicara demikian, Kim Houw toh tidak bisa kasih kudanya lagi. Jalanan adalah sukar, becek dan licin. Lebih ayal lagi adalah rombongan kereta.

   "Dasar kau semua bangsa gentong nasi!"

   Akhirnya ia lampiaskan kemendongkolannya pada semua pegawai.

   "Pantas sudah belasan tahun aku buka piauw-tiam, belum pernah aku dapat angkutan besar, sampai sekali ini, aku peroleh bantuannya Lauw Hiantit! Eh, kau tertawa, ya?"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia tegur seorang pegawainyayang dijuluki Bwee-touw Pa-eng atau si Garuda Tukung, yang ia sabat dengan cambuknya.

   Hampir berbareng dengan itu, dengan suara bersuit, serupa barang lewat di samping kupingnya 127 piauwsu ini, hingga ia terperanjat dan bergidik, karena itu bukan sambaran burung atau kutu.

   la lekas menoleh, maka di sebelah depan, atas tanjakan, ia tampak seorang penunggang kuda dengan pakaian hijau dan kepala dibungkus pelangi merah.

   Buat kagetnya, ia kenalkan Louw Po Go, tangan siapa memegang sebatang golok.

   "Lauw Tek Hui! Tahan!"

   Demikian terdengar suaranya si nona.

   "Ah, kulit mukanya budak ini benar-benar tebal!"

   Kata Kim Houw akhirnya, sambil tertawa.

   "Orang tidak sudi dia, dia menyusul! Nanti aku......"

   La mau keprak kudanya, tetapimendadakan ia batalkan itu.

   "Aku belum tahu sampai di mana kepandaiannya. Dia berani menyusul, ia tentu kandung maksud tidak baik. Kalau aku tidak bisa suruh ia balik, sebaliknya aku yang mendapat malu, itulah sukar."

   Maka ia terus menoleh pada Tek Hui.

   "Bagaimana sekarang?"

   Ia tanya.

   "Budak itu susul kita! Ia pandai gunai piauw! Kita layani dia atau tinggal pergi?"

   Po Go sudah menimpuk lagi dengan dua piauw terhadap Tek Hui, tetapi dua-dua senjata rahasia itu anak muda ini tanggap dengan tangannya. Melihat demikian, Tong Kim Houw makin kagumi piauwsu muda itu.

   "Apa kau mau diam saja?"

   Ia kemudian tanya.

   "Apa kau tidak niat coba tempur dia? Aku pikir, sebelum dihajar adat, ia tentu belum mau berhenti 128 mengganggu kita. Aku tidak boleh turun tangan, aku pernah tua."

   Tek Hui mendongkol, akan tetapi ia tidak ingin layani orang perempuan. Adalah si nona Louw, yang tak mau mengerti.

   "Tek Hui, kau punya nyali atau tidak?"

   Nona itu tanya.

   "Jangan kau anggap, bahwa kau sendiri yang punyai kepandaian tinggi! Jikalau kau berani tempur aku, baharulah......"

   Baharu mendengar sampai di situ, Tong Kim Houw sudah tertawa berkakakan, diturut oleh sekalian pegawainya.

   Mereka ini anggap si nona lucu, tetapi Kim Houw sendiri tertawa dengan separuh disengaja.

   Tek Hui tidak bisa tahan sabar lagi, ia hunus pedangnya dan keprak kudanya lari, akan hampirkan Po Go.

   Nona Louw benar-benar garang, ia sambut anak muda itu dengan serangannya tanpa kata apa-apa, hingga Tek Hui mesti menangkis dan terus melayani, hanya pemuda ini tidak mau turun dari kudanya.

   la lebih banyak menangkis daripada menyerang, karena niatnya adalah melukai sedikit saja pada nona jumawa itu.

   Louw Po Go garang dan liehay, goloknya ia bisa gerak-geraki dengan sebat dan bagus sekali, dengan begitu, ia jadi bisa desak anak muda lawannya, hingga akhir-akhirnya, Tek Hui tidak berani lagi berlaku seejie.

   129 Selang dua puluh jurus, Po Go putar kudanya, akan kabur ke jurusan Utara turun dari tanjakan.

   Sikapnya ini bikin ia ditertawakan oleh orang- orangnya Tong Kim Houw.

   Tek Hui mengejar.

   la duga si nona akan putar tubuh, akan hajar dia dengan piauw, maka guna mendahului ia kasih kudanya lari keras akan menyandak.

   Sekejap saja, ia tinggal terpisah dua kaki jauhnya dari nona itu.

   Po Go dapat tahu yang anak muda itu sudah datang dekat padanya, ia memikir akan membalik tubuh untuk menyerang.

   Siapa tahu, di luar sangkaan dia, anak muda itu telah dului ia, akan "tepuk pundak kirinya dengan ujung pedang.

   "Eh, kau tidak mau lekasan lari?"

   Kata Tek Hui sambil menepuk.

   Po Go kaget berbareng mendongkol, mukanya menjadi merah, bukannya ia lari, ia justeru cepatkan putar tubuh, buatterus membacok.

   la terus merangsek, sampai kedua kuda hampir adu kepala satu pada lain.

   Tek Hui main menangkis saja, sampai satu kali ia mesti tangkis bacokan yang hebat, hingga hawa- amarahnya jadi terbangkit.

   Kedua senjata kebentrok sampai menerbitkan suara nyaring.

   "Aku sebenamya tidak niat melukai kau!"

   Kata Tek Hui dengan sengit.

   "Apabila benar-benar kau penasaran, maka kita turun dari kuda, nanti aku layani 130 kau piebu dengan senjata atau tangan kosong! Kau mufakat?"

   Dan ia mengawasi dengan bengis. Mukanya Po Go menjadi merah, dari samping kupingnya, keringat menetes turun. Tiba-tiba ia bersenyum, goloknya ia angkat, cuma buat dipakai menyerang.

   "Aku mau tanya kau, kenapa kau tidak pandang mata padaku?"

   Akhirnya ia tanya, dengan malu-malu.

   "Aku bukannya tak pandang mata pada kau!"

   Tek Hui jawab.

   "Pun tak ada perlunya akan aku pandang mata padamu!"

   "Kalau begitu, kenapa kau tolak pamanku?"

   Tanya si nona. Tek Hui heran, hingga ia mendelong.

   "Apa katanya pamanmu kepadamu?"

   Ia tegaskan.

   "Kenapa aku tidak tahu?"

   Mukanya Po Go menjadi merah, ia gigit bibirnya, bahna menahan malu dan mendeluh.

   "Boleh jadi paman tidak bicara sendiri dengan kau"

   Ia bilang.

   "Ia tentu telah bicara dengan Tong Kim Houw. Jangan kau berpura-pura tidak tahu!"

   Ia mengawasi, dengan mata melotot. Baru sekarang Tek Hui mengerti. Ia merasa sulit berbareng mendongkol.

   "Oh, urusan itu?"

   Ia kata.

   "Memang itu tidak bisa jadi! Aku mana kesudian menjadi baba mantu kemudian dimestikan berdiam di rumah kau!" 131

   "Bukan begitu!"

   Po Go memotong.

   "Asal kau akur, ke mana saja kau pergi, atau ke mana saja kau suruh aku ikut, aku nanti menurut."

   Ia begitu malu, hingga ia turunkan goloknya dan tunduk, mukanya merah.

   "Begitu pun tidak bisa!"

   Tek Hui bilang.

   "Asal pernikahan aku tak mufakat......"

   Mendadakan Po Go angkat mukanya.

   "Habis, kau mau apa? Apa yang akan bikin kau puas?"

   "Aku mau tetap jadi piauwsu, lainnya tidak! Aku tidak bisa puas, kecuali aku ketemu guruku!"

   "Kalau begitu, kau tolol!"

   Kata si nona, sambil tertawa.

   "Cukup, aku tidak mau omong banyak lagi! Di mana sudah ada ketetapan, di mana kau telah berikan aku tanda mata, kau sudah bisa nikah orang lain!"

   Tek Hui heran.

   "Siapa berikan kau tanda mata?"

   Ia tanya.

   "Jangan kau ngaco!"

   "Cukup, sudah cukup!"

   Sahut si nona, sembari tertawa.

   "Di antara kita sudah ada kepastiannya! Lewat beberapa hari lagi aku nanti susul kau di Pak- khia!"

   "Jangan kau cari aku, jangan kau susul aku,"

   Tek Hui kasih tahu.

   "Taruh kata kau berhasil mencari aku, aku tidak akan ladeni kau! Satu kali aku bilang tidak, tetap tidak! Seumurku, aku tidak niat nikah!" 132 Tapi Po Go sudah larikan kudanya ke utara, hanya sebentar saja ia rnenoleh sambil bersenyum, kudanya dilarikan terus. Tek Hui mengawasi dengan hati panas.

   "Kenapa ada orang perempuan muka tebal melebihi lelaki? Inilah aneh."

   Ia putar kudanya akan hampirkan rombongannya.

   "Bagaimana?"

   Tong Kim Houw menyambut.

   "Apa budak itu sudah dipukul mundur?"

   Tek Hui manggut.

   "Apa kau lukai dia?"

   Tek Hui goyang kepala.

   Ia tidak mau bicara, ia segan tuturkan pembicaraannya barusan dengan nona she Louw itu.

   Ia mau jaga nama baiknya si nona.

   Di pihak lain, hatinya mulai tawar.

   Sudah Siauw Hong sukai ia, sekarang Po Go.

   Perjalanan lantas dilanjutkan.

   Di sepanjang jalan, pegawai-pegawai ramai bicara, terutama tentang orang perempuan, yang bikin mereka gembira.

   Tek Hui tidak suka dengar obrolan itu.

   "Hiantit, dengan kepandaian kau, dengan nama besarmu, di belakang hari kau pasti akan beruntung!"

   Kata Tong Kim Houw.

   "Kau masih begini muda, kau cakap, maka buat kau asal kau mau, seratus si elok pun kau bisa dapatkan!"

   Dan ia tertawa.

   "Dari itu, kenapa mesti nikah budak hitam itu? Kau mesti nikah satu, yang terpilihl Kau jangan kesusu, aku nanti 133 bantu kau bikin pemilihan! Kau mesti dapatkan yang keelokannya bikin ikan malu sampai dia selam selulup, yang mengerti sam ciong dan su tek, yang pandai urus dan layani suami, supaya kau merasa senang dan puas, agar kau tak kecewa. Percaya aku, aku nanti bantu kau dengan sungguh-sungguh, mataku awas, aku tak akan bikin gagal! Nona bangsa Louw Po Go, hm, tidak bisa! Lihat saja, dengan bawa-bawa golok dia berani susul kau! Apa dia bukannya perempuan gila?"

   Tek Hui bungkam atas ocehan itu, ia benar- benar tak ingin bicara.

   Maka ia bersyukur sekali, selang beberapa hari, ia sudah kembali di Pak-khia.

   Sementara itu di kota-raja orang telah dapat tahu tentang pertempuran di Ma Put-cu Nia, maka itu piauwsu muda ini namanya telah naik tinggi.

   Bersama ia, naik juga namanya Giok- bin Lo Cia Pheng Jie, sang guru.

   "Pheng Jie telah dapatkan muridnya!"

   Kata satu orang.

   "Pak-khia dapatkan pemuda gagah!"

   Kata yang lain.

   "Barangkali dia tak ada tandingannya!"

   Sekarang Tek Hui pulang, semua orang memandang ia dengan gembira dan kagum.

   Adalah Thian-tay Piauw-tiam, yang tadinya mentereng, sekarang jadi guram, malah tidak ada lagi orang yang mau serahkan barang untuk diantar ke tempat jauh.

   134 Di lain pihak, Hoat-wan Piauw-tiam menggantikan mendapat pamor, malah tembok dan rumahnya telah dikapur baru, dicat lagi, terutama papan merknya, hingga piauw-tiam ini jadi mentereng tak kepalang.

   Tong Kim Houw lantas saja tambah beberapa piauwsu, guna bisa pegang antaran barang berbareng dalam dua-tiga jurusan.

   la tambah pegawai, ia tambah kereta.

   Benderanya piauw-kie, sekarang baru dan mentereng! Ia telah siapkan beberapa puluh lembar bendera, karena setiap hari piauwnya melerot keluar dalam tiga atau empat rombongan.

   Tek Hui sendiri tidak pernah turut mengantar, ia dipakai hanya namanya.

   Beda daripada dahulu, sekarang Tong Kim Houw berpakaian sutera, begitupun isteri dan anaknya.

   Setiap hari ia repot melayani saudagar-saudagar, yang mau minta pertolongannya mengantar barang, sampai saudagar-saudagar kecil ia terpaksa tampik.

   Ia sebenarnya orang biasa, tadinya ia tidak biasa pergi ke restoran besar, malah di restoran kecil, ia biasa bikin bon, tetapi sekarang, tempatnya bersantap adalah rumah-rumah makan jempolan.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan sahabat-sahabatnya semua adalah saudagar besar dan pembesar negeri.

   Kalau pada orang lain ia bersikap angkuh, terhadap Tek Hui ia open dan manis budi bukan main, 135 ia sediakan makan dan pakai cukup, ia kasih uang secukupnya.

   Ia mirip dengan Co Coh yang lagi baiki Kwan In Tiang, ia tidak mau bikin orang menjadi tak senang terhadapnya.

   Syukur buat piauwsu ini yang bintangnya baru mulai terang, Tek Hui ada seorang jujur.

   Beberapa piauw-tiam lain telah baiki ia, bujuki padanya serta dijanjikan secara muluk, malah ada yang telah mengantar barang, semua minta ia suka pindah bekerja tetapi ia menampik dengan manis.

   Malah pun ada yang ogok- ogok, katanya.

   "Kenapa kau tak mau buka piauw-tiam sendiri? Tong Kim Houw adalah bangsa mata minyakan! Apa kau lupai hal ikhwal kau dahulu, selagi kau masih susah, ia telah tolak kau secara menghina? Satu laki-laki mesti berdiri atas kaki sendiri, jangan mau jadi budak orang!"

   Semua itu tidak memakan terhadap pemuda ini.

   Ia pun sederhana.

   Ia tidak gemar pakaian indah, ia tidak suka keluar-masuk restoran besar.

   Plesiran lainnya, juga berjudi, bukan kesukaannya, maka itu, ia tidak perlu pakai uang.

   Ia bisa pakai uang sesukanya, asal ia mau, tetapi ini ia tak lakukan.

   Sebaliknya, ia suka sekali pergi makan kuwe di tempat dahulu, akan pasang omong sama Thio Put Ceng, Tan Moa-cu dan lain-lain, yang ia anggap sebagai saudara sendiri.

   Kalau ia kirim uang, alamatnya adalah Keng-see, Kota Barat, di mana berdiam pamannya, Lauw Toa Put-cu, atau ia menderma pada orang-orang miskin.

   Terhadap piauwsu lainnya Tek Hui berlaku hormat dan manis, semua mereka itu ia bahasakan 136 Cian-pwee.

   Pada mereka itu ia minta pertolongan akan serep-serepi gurunya.

   Semua pedagang di bio tua, Kang Su dan yang lain-lain, tetap berlaku baik pada piauwsu angkatan muda ini, malah kalau Tek Hui dahar kuwe atau tauwhunya, mereka sungkan terima uangnya piauwsu ini.

   Mereka bilang, harganya tidak seberapa.

   Tapi Tek Hui sendiri sungkan hutang.

   ia tidak mau bikin orang rugi, ia tetap membayar dengan betul.

   Malah terhadap Siang Kiu, setiap mangkok loo- tauwhu, ia membayar dua tail perak! Dan paling belakang, waktu Siang Kiu sakit, ia suruh Siang Kiu jangan jualan lagi dan ia berikan tiga puluh tail, buat berobat dan hidup sehari-hari.

   "Kalau perlu, aku nanti kasih lagi!"

   Ia janjikan.

   Satu kali, di kamar Siang Kiu ini, Tek Hui ketemu si bocah perempuan budaknya Siauw Hong.

   Nona itu melainkan pandang ia sambil tersenyum.

   Di depan Siang Kiu, ia tidak berani kata apa-apa.

   Ketika ia keluar, nona itu pun keluar dengan mangkok masih kosong.

   Dia mau beli loo-tauwhu, tapi Siang Kiu tidak jualan.

   "Eh, kenapa kau diam saja?"

   Si bocah tanya sesudah mereka berada di luar.

   "Ada apa, eh?"

   Tanya Tek Hui, dengan muka merah.

   "Kenapa kau tidak tanyakan halnya Go-ie Thay- thay, ia baik atau tidak?"

   "Mustahil ia bisa tak baik?"

   "Jangan kata begitu, eh! Justeru kau yang ada banyak baik, kau telah beruntung!" 137

   "Benar aku belum beruntung. Tapi kasihlah tahu nyonya kau itu, aku tak bisa lupai dia! Andaikata ia perlu bantuanku, bilang saja, aku nanti tolong dia. Buat dia, aku tak sayang jiwaku!"

   "Nah, ini baru omongannya satu orang!"

   Budak itu tertawa.

   "Sekarang cukup, kau boleh pergi! Lain kali harap kau sering datang kemari, kapan ada perlunya, aku nanti datang kemari, dengan alasan mau beli tauwhu."

   "Aku kuatir aku tidak bisa sering datang kemari. Begini saja, kalau ada perlunya, kau cari aku di Hoat- wan Piauw-tiam".

   "Baiklah"

   Budak itu tertawa pula.

   "Buat kau sudah cukup asal kau tidak lupai Thay-thay."

   "Tentu aku tidak bisa lupa!"

   Sahut Tek Hui, yang lantas berjalan pergi. Sembari jalan, ia ngoceh dalam hatinya.

   "Mana aku bisa lupai Siauw Hong! Dia ada orang satu-satunya yang maui aku dan telah tolong padaku. Ia adalah encieku, aku mesti balas budinya."

   Tek Hui pulang dengan hati lega.

   Hanya, sesampai di kamarnya, ia ingat barang-barang yang ia beli di Thio- kee-kauw, maksudnya untuk dikasihkan pada Siauw Hong, tetapi sekarang ia tidak tahu, dengan cara bagaimana ia bisa kirim atau sampaikan barang- barang itu pada alamatnya.

   Ia tidak bisa minta bantuannya Siang Kiu.

   Ia pun sangsi minta bantuannya si budak.

   Bagaimana kalau Han Kim Kong lihat barang-barang itu, terutama seprei dan permadani? Dan kalau ada orang cerita jelek tentang dirinya dengan Siauw Hong, bagaimana 138 ia bisa cuci bersih namanya? Mau atau tidak, ia mesti buka rahasia hal perkenalannya dengan nyonya muda itu.

   Dan ini ia tak inginkan! "Baiklah, lain kali saja aku cari jalannya,"

   Ia pikir akhirnya.

   Pada suatu hari, benar baru saja Tek Hui habis berlatih seorang diri, dari pintu pekarangan ia lihat masuknya seorang yang ia kenalkan sebagai si budak cilik, hingga ia jadi heran.

   Budak itu tertawa begitu lekas dapat lihat padanya dan lari menghampirkan.

   "Kau cari aku?"

   Ia tanya.

   "Bukan cari kau, siapa lagi?"

   Budak itu balasi.

   "Selama ini, kenapa kau tidak pernah pergi ke kuil? Beberapa kali aku pergi ke sana, dengan sia-sia."

   Ia celingukan.

   "Thaythay tahu kau tinggal di sini, ia suruh aku cari kau."

   "Ada urusan apa, ha?"

   Tanya Tek Hui.

   "Tentu saja ada urusan, malah urusan baik!"

   Budak itu menyahut sembari tertawa.

   "Tapi di sini aku tidak bisa bicara. Mari kita pergi keluar."

   Tek Hui tidak setuju, sebab di luar pintu berarti di muka umum. Maka akhirnya ia ajak budak itu ke kamarnya. Di sini si nona melihat ke sekitar kamar.

   "Kamar yang bagus!"

   Ia bilang.

   "Apa kau tinggal sendirian di sini?"

   Tek Hui manggut. 139

   "Dia suruh kau datang kemari, ada urusan apa?"

   Ia tanya. Si budak tidak lantas menyahuti, ia masih saja perhatikan kamar itu.

   "Apakah isterimu tidak tinggal sama-sama di sini?"

   Kembali ia menanya. Mau atau tidak, mukanya piauwsu muda ini jadi merah.

   "Aku belum punya isteri,"

   Ia menyahut. la geleng kepala.

   "Aku tidak punya isteri". Budak itu tertawa.

   "Thay-thay suruh aku kasih tahu pada kau, bahwa hari ini Thay-thay mau pergi ke kuil Lo-thian- sie di luar Say-tit-mui,"

   Ia kasih tahu.

   "Di sana akan dibikin upacara sembahyang dan di sana Thay-thay akan tinggal sedikitnya tiga hari, maka Thay-thay pesan bahwa kau mesti pergi ke sana, akan ketemui dia."

   Tek Hui lantas goyang kepala.

   "Aku tidak bisa pergi ke sana, aku repot,"

   Ia bilang.

   "Siang kau repot, masa malam repot juga? Biar bagaimana, sebentar kau mesti pergi ke sana, kendati buat satu kali saja, jikalau tidak, tentu Thay-thay gusar, atau barangkali ia nanti mati."

   Tek Hui terperanjat.

   "Apa kau bilang?"

   Ia tanya.

   "Ada terjadi apakah?" 140

   "Aku tidak bisa menjelaskan, nanti sesudah ketemu sama Thay-thay, kau akan ketahui sendiri. Dalam beberapa hari ini, Thay-thay senantiasa menangis, ia niat habiskan jiwanya sendiri, aku yang hiburkan padanya, tetapi ini untuk sementara, maka kau perlu ketemui ia, selainnya untuk menghiburkan, kau perlu memberi nasehat. Jikalau ia tak dapat dihiburkan, ia tak akan kembali ke kota, tentu ia akan mati di sana."

   Tek Hui berdiam bahna bingung dan tak mengerti.

   "Sekarang aku mau pergi,"

   Kata si budak.

   "Aku telah sampaikan pesanan Thay-thay, selanjutnya terserah pada kau, kau mau pergi ke Lo-thian-sie atau tidak. Tinggal bagaimana liangsimmu! Sekarang aku mau pergi, aku hendak beli barang."

   La bertindak, tapi Tek Hui cegah ia.

   "Kau mesti kasih keterangan padaku!"

   Ia kata.

   "Thay-thay hadapi kesukaran apa? Setelah mendengar keterangan kau, aku hisa menimbang mesti pergi atau tidak, kalau tidak, aku tidak bisa pergi, aku banyak kerjaan!"

   Tapi si budak buka matanya lebar-lebar.

   "Aku perlukan cari kau, mana bisa tidak ada urusan penting?"

   Dia kata.

   "Apa kau sangka aku sedang permainkan kau? Jikalau kau ingin tolong dia, kau mesti pergi, tetapi kalau dia hadapi kematian dan kau tidak sudi menolong, terserah pada kau!" 141 Lantas saja ia lari keluar. Tek Hui tidak mencegah atau mengejar, sebaliknya, ia berdiri bingung.

   "Siauw Hong kenapa?"

   Ia lantas berpikir.

   "Bagaimana aku bisa cari dia, di mana kuil Lo-thian- sie? Inilah jelek bagi pemandangan. Tapi Siauw Hong lagi menghadapi bencana, bagaimana aku bisa tak menolong dia? Jangan kata dia, yang telah melepas budi padaku, kendati orang lain, aku mesti tolongi."

   Karena memikir begitu, Tek Hui ambil putusan akan pergi. Dengan tidak keruan rasa, Tek Hui bertindak keluar.

   "Siapa nona kecil itu yang cari toaya?"

   Tanya Siauw Teng, satu pegawai sambil melirik dan bersenyum.

   "Budaknya sahabatku."

   Tek Hui menyahut dengan sembarangan. Bagus bagi piauwsu ini, Tong Kim Houw telah cari dia, buat diajak damaikan satu urusan, karena ada piauw untu Thio-kee-kauw.

   "Aku tidak mau pergi!"

   Sahut Tek Hui sambil goyang kepala.

   "Kau tidak mau pergi, tidak apa, asal kau tahu,"

   Kata Kim Houw.

   "Perjalanan ke sana sudah biasa, cukup asal nama kau dipakai, yang antar boleh dua piauwsu lain. Aku percaya, selewatnya setengah tahun, Po Go akan lupakan kau, atau ia telah menikah 142 sama orang lain. Tunggu saja sampai ia sudah menikah, baru kau pergi ke sana, agar kau tidak usah digerecoki."

   Tek Hui sedang masgul, ia diam saja. Ia pun sedikit mendongkol.

   "Ada lagi satu piauw, untuk ke Timur, ke Hong- un,"

   Tong Kim Houw kata pula.

   'Tapi ini tidak berjumlah besar, pun tidak apa andaikata kau tidak turut.

   Sekarang aku lagi bicarakan angkutan yang jauh, ke Kay-hong, di Hoo-lam.

   Aku pikir, buat ini satu baik kau pergi, sekalian kau pesiar, buat angkat nama di sana."

   "Inilah boleh,"

   Tek Hui manggut.

   "Kalau begitu, sebentar malam kau turut aku pergi ke Thian-hin-lauw,"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kim Houw bilang.

   "Di sana sambil bersantap kau bisa belajar kenal sama tuan uang sekalian berikan kepastian."

   Tetapi Tek Hui goyang kepala.

   "Hari ini tidak bisa, hari ini aku mau pergi keluar kota,"

   Ia bilang.

   "Apa kau mau pergi ke Bun-tauw-kauw?"

   Kim Houw tanya.

   "Ya, aku hendak tengok pamanku"

   Ia menjawab.

   "Kalau begitu, pertemuan baik dibikin besok atau lusa saja,"

   Kim Houw kata akhirnya.

   "Kita masih ada tempo, karena kalau kejadian, hari berangkat pun ada di akhir bulan ini." 143 Tong Kim Houw selalu mengalah, inilah kepandaiannya, akan tarik hatinya Tek Hui. Kemudian ia tanya, piauwsu muda itu mau pakai uang atau tidak.

   "Tidak usah, uangku masih ada,"

   Tek Hui kasih tahu.

   "Pamanmu itu sudah tua, tinggal sendirian di desa, ia tentu sengsara, maka kenapa kau tidak mau sambut saja buat ia tinggal di sini?"

   Kim Houw tanya.

   "Buat piauw-tiam, tambah satu mulut seperti pamanmu itu tidak berarti apa-apa."

   "Hal ini nanti aku pikir pelahan-lahan,"

   Tek Hui jawab.

   Meski begitu ia bersyukur pada orang she Tong ini.

   Ini adalah tabiatnya, maka itu tidak heran, kalau pada Kim Houw ia bersyukur, pada Siauw Hong ia merasa ada hutang budi dan mesti balas budi itu, apapula Siauw Hong sekarang menghadapi ancaman kematian.

   Sehabis bersantap tengah-hari, Tek Hui perintah siapkan kuda merahnya, dengan menunggang kuda itu, dengan bawa pedangnya, dengan bekal juga belasan tail perak, ia menuju ke Say-tit-mui.

   Sesampainya di Kwan-siang, ia cari tahu di mana pernahnya Lo-thian-sie, setelah itu, ia ikuti sungai Tiang-hoo menuju ke barat.

   Tiang-hoo adalah sungai di luar Say-tit-mui, jembatan Kho-liang-kio melintang di atasnya.

   Di situ 144 tempat di mana Giok-bin Lo Cia layani "pie-bu pada Twie-hun-chio Gouw Po yang licik, bagaimana sejak pie-bu itu, Tek Hui telah kehilangan gurunya yang ia cintai dan hormati.

   Maka, menghadapi sungai itu, murid ini segera ingat gurunya.

   Air sungai yang jernih mengalir dengan tenang.

   Dengan adanya banyak pohon yang-liu di tepi sungai, hawa di situ nyaman.

   Di sungai banyak juga orang perempuan sedang cuci pakaian dan mandi, mereka itu pada menoleh kapan mereka lihat orang menunggang kuda lewat di gili-gili.

   Tapi Tek Hui tidak perhatikan orang-orang perempuan itu, hanya ia bersenyum pada beberapa bocah, yang berlari-lari di belakang kudanya.

   Setelah melalui kira-kira empat lie, di tepi jalan, Tek Hui lihat sebuah kuil besar, yang menghadapi kali.

   Di situ banyak sekali pohon yang-liu yang besar-besar, cabang-cabangnya pada meroyot ke kali.

   Dari air yang bersorot hijau, sungai di bagian itu rupanya dalam.

   Gili-gili di situ pun banyak rumputnya yang hijau- hijau.

   Di depan kuil ada beberapa buah kereta keledai yang bertenda dan satu joli serta dua ekor kuda tunggang.

   Di bawah sebuah pohon, tukang-tukang kereta dan joli sedang berjudi.

   Tiga pegawai atau bujang lagi duduk di bangku panjang, sembari minum thee dan ngobrol.

   145 Di situ banyak burung walet dan cecapung, yang beterbangan.

   Di depan kuil sekali, Tek Hui tahan kudanya.

   Ia baca nama kuil, yang ia kenal baik adalah huruf 'thian' yang di tengah.

   Ia lantas turun dari kudanya, yang ia tambat di sebuah pohon yang-liu.

   "Kau dari keluarga mana?"

   Tanya seorang pegawai, yang sedang kongkouw. Tek Hui geleng kepala, ia tahu orang keliru menyangka ia.

   "Aku orang piauw-tiam."

   "Orang piauw-tiam? Ada apa kau datang kemari?"

   "Aku cari seorang."

   "Siapa, eh? Kalau kau cari padri, tidak bisa, sebab mereka semua lagi repot membaca doa. Di sini semua nyonya-nyonya! Kau sebenarnya mau cari siapa? Kau tidak boleh lancang masuk ke dalam!"

   Tek Hui jadi melengak. Apa ia mesti kasih tahu, bahwa ia hendak cari Siauw Hong? Bagaimana ia bisa bicara sama nyonya manis itu, di hadapan orang- orang perempuan lain? "Baiklah,"

   Kata ia akhirnya. Ia hampirkan sebuah batu, akan duduk di situ, ia coba pasang omong sama tiga pegawai itu, di antara siapa ada satu yang doyan bicara.

   "Hari ini dibikin sembahyang kecil,"

   Demikian dia itu kata.

   "Yang datang adalah Sam-thay-thay dari Ouw 146 Looya dari Gie-su Gee-mui, Jie-thay-thay dari Lie-pou Silong dan Go-thay-thay dari Gie-cian Sie-wie Han Looya. Ketiga Thay-thay memang bersaudara angkat, mereka hidup senang, maka ingat pada mendiang ibu mereka masing-masing, mereka minta sekalian suhu di sini bikin sembahyang."

   "Ya, hidup senang dalam makan pakai dan uang, mereka tentu hidup senang lahir dan bathin. Umpama aku punya Sam- thay-thay. la sudah tidak punya ayah dan ibu, dari itu ia dapat diambil sebagai gundik oleh Looya. Di masanya Hujin masih hidup, ia mesti sering terima dampratan dan rasai rotan, baru sekarang ia hidup mendingan."

   "Di antara ketiga Thay-thay, yang paling cantik, adalah Go ie Thay-thay dari Han Sie-wie,"

   Kata pegawai yang ketiga.

   "tetapi nasibnya ialah yang paling sengsara. Pikir saja, siapa bisa senang akan menikah sama Han Kim Kong? Duluan ia masih dicintai, tetapi sekarang? Baiknya ia punya dua saudara angkat, yang masih punya sedikit pengaruh, jikalau tidak, ia tentunya sudah binasa tersiksa."

   "Sebenarnya Han Kim Kong punya berapa banyak gundik?"

   Tanya si gede omong.

   "Tak terhitung! Sekarang ini ia tentu punya belasan! Sudah dua gundik yang binasa di tangannya sendiri."

   Dan ia goyang kepala. 147 Diam-diam, hawa amarahnya Lauw Tek Hui meluap.

   "Kalau begitu, Siauw Hong tentu sering dihina dan dianiaya,"

   Pikir ia.

   "Pertama aku jadi piauwsu, percuma aku hajar Poan-koan-pit, jikalau aku antap seorang okpa merajalela! Jadinya Han Kim Kong adalah pengrusak orang perempuan, ia iblisnya paras elok!"

   Dengan sendirinya, Tek Hui merasa sakit buat penderitaannya si manis itu.

   "Coba aku lihat ke dalam,"

   Kata ia seraya berbangkit.

   "Sebenarnya kau cari ia?"

   Tanya pegawai ke tiga.

   "Ingat, kau jangan lancang."

   "Aku tahu,"

   Sahut pemuda kita, yang terus bertindak ke dalam.

   Kuil itu dalam, orangnya sedikit.

   Tek Hui lantas dengar suara tetabuhan keagamaan begitu lekas ia mendekati pendopo, suara itu sedih didengarnya.

   Pintu pendopo dipentang lebar, maka Tek Hui lantas lihat orang sedang memulai upacara.

   Tiga nyonya dan budak-budaknya lagi dengari hweshio kepala ajari mereka bagaimana mereka mesti berbuat, berlutut dan berbangkit.

   Ketiga nyonya tidak berkabung, tidak berpakai merah, hanya serba hijau, baju dan kun hijau, dengan rambut ditutup sama pelangi hijau juga.

   148 Siauw Hong adalah salah satu dari ketiga nyonya itu, ia yang paling kecil molek dan usianya pun masih muda, sebab dua yang lain kira-kira tiga puluh tahun, yang satu rada jangkung, yang satu pula sedikit gemuk.

   Mereka semua berlutut sambil tunduk dan berdiam, saputangan mereka ada di muka mereka.

   Suara liam-keng membarengi suara tetabuhan, suling.

   terompet, bokgi dan genta mungil.

   Dengan tak merasa, Tek Hui turut terharu.

   Ia awasi terus Siauw Hong, budak siapa nyata bukannya budak yang ia kenal baik itu.

   Hal itu bikin ia masgul, karena di situ tidak ada orang lain lagi, yang ia kenal.

   Sudah begitu, Siauw Hong juga tidak pernah menoleh ke sana dan ke sini.

   "Sebenarnya, apakah kesukarannya Siauw Hong?"

   Kecuali suara tetabuhan dan doa, kuil itu sunyi.

   Tiba-tiba Tek Hui dengar tindakan kaki di sebelah belakangnya, waktu ia menoleh, ia terperanjat.

   Di situ berdiri budak yang ia harap-harap.

   Budak itu tidak bicara, kecuali tangannya yang digerak-geraki selaku tanda supaya piauwsu muda ini mengikuti padanya, maka Tek Hui lantas bertindak sampai di samping kamarnya Touw Tee Kong.

   "Kenapa kau berlaku tolol?"

   Kata si budak, ketika ia mulai bicara, suaranya pelahan, lagunya menyesali. 149

   "Apa kata kalau kedua Thay-thay lainnya lihat kau berdiri menjublek mengawasi mereka? Apakah kau tidak bisa tunggu di luar?"

   "Sampai berapa lama aku mesti menantikan?"

   Tanya Tek Hui.

   "Sedari tadi aku telah menantikan di luar."

   "Berapa lama kau mesti menunggu, itulah aku tidak bisa bilang. Barangkali sampai sebentar malam jam dua belas. Kalau kau tidak sabaran, kau tidak usah datang! Kau tidak lihat di sana?"

   Tangannya menunjuk.

   "Yang jangkung itu Sam-thay-thay dari keluarga Ouw, dan yang gemuk Kie Jie-thay-thay. Mereka semua adalah encie dari Go-thay-thay, tentang kau, mereka tidak tahu dan mereka tidak mau dikasih tahu."

   Tek Hui heran berbareng mendongkol.

   "Kalau begitu, kenapa aku diminta datang?"

   "Tapi urusan adalah perlu! Ini bukannya karena Thay-thay ingin ketemu sama kau! Hanya, kalau ini kali kau tidak bertemu, kau orang akan tidak ketemu lagi untuk selamanya!"

   Tek Hui kaget berbareng heran.

   "Sebenarnya, urusan apakah ini?"

   Ia tegasi.

   "Aku tidak bisa bicara, aku bicara pun tak ada artinya. Inilah bukan urusanku! Maka baiklah kau menunggu saja."

   "Aku telah lihat dia, tetapi aku tidak bisa lantas bicara sama ianya, bagaimana?" 150

   "Apakah kau tak bisa menunggu? Kenapa kau tidak sabaran? Kalau begitu, percuma Thay-thay berlaku baik terhadap kau."

   "Tapi kau mesti ingat, aku sudah menunggu, aku sudah lihat dia, tetapi aku tidak bisa bicara sama ia! Kau tahu, beginilah sifatnya satu piauwsu! Kalau mau bekerja, mesti lantas bekerja, kalau mau menyerang, mesti segera turun tangan!"

   "Ah, bagaimana keras kau bicara! Apakah kau tukang makan daging manusia? Siapa yang kau hendak serang?"

   Tek Hui kepal tangannya, ia kertak giginya.

   "Siapa lagi, tentu Han Kim Kong!"

   Ia jawab.

   "Aku hendak binasakan sie-wie jahat itu! Aku tahu, dialah yang bikin Siauw Hong menderita! Sudah sejak lima tahun yang lalu, dia telah rampas Siauw Hong, yang dia paksa jadi gundiknya!"

   "Pelahan sedikit,"

   Si budak ulap-ulapi tangan. Kelihatannya piauwsu itu bisa dibikin sabar.

   "Siauw Hong panggil aku, tentu buat urusan ini,"

   Ia kata kemudian.

   "maka pergilah kau kasih tahu padanya, aku nanti balaskan sakit hatinya!"

   "Kau salah,"

   Kata si budak.

   "Kalau ia inginkan itu, buat apa ia tunggu sampai ia mau ketemu lebih dahulu sama kau? Toh cukup kalau ia perintah aku sampaikan keinginannya pada kau? Siapa tak tahu kau bisa berkelahi, kau bisa adu jiwa? Kau toh telah angkat nama! Tapi Thay-thay justeru kuatirkan kau 151 bikin onar, ia ingin kau ubah adatmu, Kalau sebentar kau ketemu sama ia, jangan kau omong keras, nanti ia kaget, ia tidak beritahukan aku apa yang ia hendak omongkan sama kau, akan tetapi aku bisa menduga,"

   Tek Hui mau menanya, tetapi si budak awasi ia sambil melotot.

   "Kau benar tolol!"

   Dia ini kata dengan berani.

   "Nah, lekas kau pergi keluar, kau tunggui jauh di luar kuil. Di sini ada pintu belakang, sebentar aku nanti berdaya akan dapati kuncinya, akan buka itu. Kau tunggu sampai jam dua belas malam, nanti aku cari kau."

   Tek Hui kerutkan alis.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah kau tak punya kesabaran, akan menunggu? Nah Terserah pada kau!"

   Habis kata begitu, budak itu lantas berlalu.

   Lauw Tek Hui tidak berani mencegah, ia awasi pula Siauw Hong, tubuh siapa nampaknya ada lebih kurus, lantas ia putar tubuhnya dan bertindak ke luar.

   Dari luar, ia pergi ke belakang, di sini benar ia lihat sebuah pintu.

   Sebenarnya pintu ini, di barat, adalah pintu samping.

   Menghadapi pintu ini ada sebuah pohon yang-liu besar, dan sedikit jauh dari pohon itu ada tempat berlumpur, yang menyambung sama sungai, air di situ tidak banyak tetapi pohon gelaga dan rumput lebat.

   Pintu itu berdebu, tanda sudah lama jarang dibuka.

   152 Sekian lama Tek Hui berdiri di depan pintu samping ini, samar-samar ia dengar suara genta di dalam.

   Ia telah ambil putusan akan menunggu, sampai malam.

   Ia tidak puas sebelum ia ketemu si nona.

   Kemudian ia pergi pula ke depan, di mana tiga pegawai itu kelihatannya curiga ia.

   "Bagaimana, eh, apa kau dapat cari?"

   Tanya yang satu. Tek Hui menyahut dengan goyangkan kepala.

   "Sebenarnya, siapa yang kau cari?"

   Pegawai itu tanya pula.

   "Ia belum datang, barangkali sebentar,"

   Tek Hui gunai alasan.

   "Kau tentu kena orang akali!"

   Kata si pegawai sambil tertawa.

   "Aku tahu betul, hari ini tidak ada orang lain yang datang kemari kecuali Thay-thay kita, maka kalau sebentar kita pulang, tinggal si padri saja, dan malamnya, apabila kau menunggu terus, kau akan ketemu iblis."

   Tek Hui tidak perduli yang orang goda ia, ia bersenyum.

   Ia hanya pikir, kalau ia mesti tunggu sampai malam, di mana sebentar ia mesti bersantap.

   Ia lihat tiga orang itu dahar dan ia tak ada yang tanyakan, sedang si tukang joli dan kusir kereta masih asik sama perjudiannya.

   Di antara samberan angin sore, matahari telah doyong rendah ke Barat.

   Siauw Hong dan dua 153 kawannya tidak tertampak keluar dan pintu samping tetap terkunci rapat.

   "Apa di dekat-dekat sini tidak ada yang jual makanan?"

   Tek Hui tanya tiga orang itu.

   "Jangan sungkan, sahabat, cobailah kuwe bulu, barang dua biji"

   Kata pegawai, yang piara kumis. Tek Hui tidak malu-malu kucing, ia ulur tangannya, akan cobai kuwe itu.

   "Terima kasih,"

   Ia kata.

   "Di sana,"

   Kata si kumisan, sambil menunjuk ke arah barat.

   "di kampung Pak-ouw-cun, ada warung kecil."

   Tek Hui menoleh, tetapi ia duduk terus, sampai sekian lama, sampai akhirnya ia kata.

   "Terlalu lama aku mesti menunggu di sini, baik aku pergi ke kampung itu, akan dahar dulu."

   Di dalam hatinya, ia pikir.

   "Makin lama aku menunggu, makin orang curigai aku. Di sana aku bisa tangsel perut, supaya sebentar malam aku tidak kelaparan. Kalau sebentar aku kembali, tentu mereka ini sudah pada pergi."

   Ia lantas samperi kudanya.

   "Tapi barangkali aku tidak datang pula,"

   Ia kata sambil loncat naik atas kudanya.

   Ia jalan putari sungai, akan pergi ke barat.

   Kampung Pak-ouw-cun cuma dua lie jauhnya dan rumah ada kira-kira lima-puluh buah, letaknya 154 tidak dekat jalanan tapi di tempat yang bagus.

   Ia hampirkan warung, yang kelihatannya terawat baik.

   Tuan rumah adalah seorang tua dengan satu nona umur enam atau tujuh-belas tahun, romannya tidak cantik tapi gesit dan pandai bekerja.

   Tuan rumah adalah tukang melayani tetamu.

   Tek Hui turun dari kudanya dan antap binatang itu makani rumput sendirian, ia pergi ke bawah tetarap, di mana ia duduk atas sebuah bangku.

   Ketika tuan rumah bawakan dia thee, ia minta phia.

   Tempo terdengar si nona bicara sama ayahnya, Tek Hui dapati suara itu mirip dengan suaranya budak dari Siauw Hong, dan suara itu tidak sekeras suaranya Po Go.

   Si nona matangi kuwenya dengan cepat, maka Tek Hui bisa lantas dahar itu.

   Ia telah makan habis lima biji.

   Kemudian ia rebahkan kepalanya di meja, terus saja ia membayar uangnya, ia samperi kudanya akan kembali ke kuil.

   Ketika itu sudah magrib, di Barat tertampak sinar layung.

   Angin meniup terlebih keras dari siangnya tadi.

   Beberapa ekor kampret sudah tertampak berterbangan.

   Sesampainya di Lo-thian-sie, Tek Hui tidak lihat kereta keledai dan joli, tidak juga kusir dan tukang pikulnya, tidak si tiga pegawai, kecuali kotoran keledai.

   Ia terperanjat.

   155

   "Apakah Siauw Hong sudah pulang?"

   Ia kata dalam hatinya. 'Kalau si manis sudah pergi, benar susah! Mustahil ia pulang dengan tidak tunggu aku lagi? Ia toh punya urusan penting."

   Di situ tidak ada orang, sukar untuk ia cari keterangan.

   Pintu kuil juga sudah ditutup.

   Malah pintu samping belum dibuka juga.

   Tek Hui tambat kudanya, ia hampirkan pintu pekarangan, akan mengintip ke dalam seraya pasang kuping.

   Ia tidak bisa melihat suatu apa, kupingnya tidak dengar suara apa pun.

   Ia niat teriaki si budak perempuan, tetapi namanya budak itu ia tidak tahu.

   Buat panggil namanya Siauw Hong, itulah tak leluasa.

   Laginya, urusannya itu si hweeshio tak boleh dapat ketahui.

   Dengan pikiran tak tetap, Tek Hui pergi ke bawah pohon yang-liu di tepi sungai, di situ ia duduk atas sebuah batu hijau besar.

   Ia tidak lapar, karena ia sudah dahar cukup banyak kuwe.

   Selagi cuaca makin gelap, ia dapatkan kawannya adalah sang kampret, yang lagi beterbangan dekat-dekat ia.

   Syukur, dalam gelap petang, sang rembulan muncul dengan cahayanya yang putih lemah, dengan beberapa bintang mendampingi, sebagai dayang- dayang dan tuan puterinya.

   "Bagus sang rembulan keluar, aku tak usah kegelapan,"

   PikirTek Hui.

   156 Saking iseng, Tek Hui hunus pedangnya, tinggal dari gurunya.

   Senjata ini tajam dan mengkilap- berkredepan, karena seringnya ia gosok dan susuti.

   Ia lantas saja bersilat dengan gembira, sampai sesaat ia lupakan Siauw Hong.*** 157 VII "Hei, tahan!"

   Demikian tiba-tiba datang suara nyaring tetapi halus dari samping.

   Tek Hui berhenti bersilat dengan cepat, waktu ia menoleh, di antara cahayanya si Puteri Malam, ia kenalkan budaknya Siauw Hong, yang lagi mendatangi dari pintu belakang.

   Dengan masih menghunus pedangnya, ia memburu akan menghampirkan.

   "Eh, kau lagi bikin apa di sini?"

   Menegur si nona.

   "Kau senggang betul, ya? Nona sedang tunggui kau, kau tahu?"

   Lauw Tek Hui lari terus ke pintu kuil.

   "Eh, taruh pedangmu!"

   Budak itu kata pula.

   "Kau nanti bikin nona kaget! Lihat, kau berlatih sampai mandi keringat! Apa artinya ini?"

   Tek Hui lekas-lekas letaki pedangnya di kaki tembok, dengan tangan bajunya, ia susut keringat, kemudian ia ikuti si budak, yang memimpin ia ke dalam.

   "Kau mesti tunggu di sini sebentar,"

   Kata budak itu sesampainya di dalam pekarangan, sedang daun pintu ia rapati dan kunci, terus saja ia lari ke dalam kuil.

   Tek Hui berdiri, dengan pikiran sedikit kusut.

   Apa artinya pertemuan ini? Tapi ia tidak usah 158 menunggu lama, atau pintu kecil, ke mana tadi si budak masuk, lantas terbuka pula, dari situ kelihatan tubuh yang kecil-langsing, yang bertindak keluar.

   Hatinya Tek Hui berdebar.

   Ia kenali Siauw Hong.

   Tapi ia tidak berani bertindak, akan memapaki.

   Hingga akhirnya, Siauw Hong berdiri di depannya, sedikit jauh.

   Nona itu pun agaknya bersangsi.

   Mereka saling awasi, tetapi karena lihat orang tidak samperi ia, Siauw Hong toh maju terus, sampai dekat, hingga sekarang Tek Hui bisa lihat ia dengan nyata, rambutnya yang hitam, baju dan kun hijau, di pundaknya ada mantel sulam yang indah.

   Tek Hui tidak tahu mesti kata apa, ia tergugu sekian lama.

   "Aku telah tunggu lama pada kau, sampai aku sudah dahar,"

   Akhirnya ia bilang, sambil bersenyum.

   Siauw Hong bersenyum juga, tetapi dengan senyuman berduka, kendati mana, keelokannya tidak jadi sirna, dengan matanya yang celi, ia terus mengawasi.

   Tiba-tiba Tek Hui terperanjat.

   Tahu-tahu Siauw Hong telah cekal tangannya, waktu ia hendak tarik tangannya itu, si nona justeru letaki kepalanya di bahunya seraya terus menangis sesenggukan.

   "Eh, kau kenapa?"

   Ia tanya.

   "Kau hendak bilang apa padaku? Bilanglah!" 159

   "Asal aku bisa bicara sama kau, sedikit saja, kendati mati, aku puas,"

   Kata si cantik itu.

   "Bilanglah!"

   Tek Hui mendesak.

   "Kau tidak boleh mati."

   Siauw Hong jadi lebih-lebih bersedih.

   "Aku tidak punya urusan apa-apa, hanya, sejak lima tahun yang lalu......"

   "Ya, aku ingat, waktu itu kau berikan aku buah apel."

   "Itu belum semua. Hanya hatiku, sejak hari itu......

   "

   Ia menangis.

   "Aku telah berikan juga kepada kau...."

   Tek Hui masih belum mengerti.

   "Coba lepaskan lenganku,"

   Ia kata.

   "Tidak, aku tidak bisa lepaskan!"

   Sahut si nona.

   "Ah!"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan Tek Hui menjadi masgul.

   "Apa aku mesti ngalami lagi lelakonnya Louw Po Go? Dengan Po Go aku bisa piebu, tetapi dia ini ada penolongku, encieku."

   Siauw Hong lihat orang tertegun dan masgul.

   "Kau jangan bersusah hati, kau adalah satu enghlong,"

   Ia kata. Dengan pelahan-lahan, Tek Hui coba loloskan lengannya.

   "Encie, marilah kita bicara,"

   Ia kata, dengan pelahan.

   "Kau tahu tentang aku, aku tidak punya orang-tua, tidak saudara atau sanak lainnya, yang aku bisa andalkan. Aku punya guru, tetapi sekarang ia 160 sudah pergi, entah ke mana. Aku tidak bisa omong, kerjaku adalah menjaga piauw, menghajar orang, tetapi yang aku hajar adalah orang-orang busuk, ialah mereka yang berani ganggu guruku, atau kau. Encie, coba kasih tahu, bagaimana Han Kim Kong perlakukan kau? Apa ia berlaku kejam? Kasih tahu padaku, biar aku mesti gadai kepala, aku nanti lakukan itu untuk kau!"

   Siauw Hong goyang kepala.

   "Sekarang belum waktunya,"

   Ia menyahut.

   "Aku memang tahu kau baik sekali."

   "Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa."

   Cahaya rembulan menyinari muka mereka. Di depan si elok, jago muda itu lemah sebagai anak kambing. Siauw Hong susut air matanya, ia mengawasi.

   "Apa kau mengerti aku?"

   Ia tanya.

   "Ya, encie."

   "Kau mengerti hatiku?"

   "Mengerti, encie."

   "Ah, encie, encie, apa itu! Aku tidak suka dengar itu!"

   "Habis apakah?"

   Tek Hui tidak berani awasi si nona yang berdiri dekat sekali, tetapi sekejap saja, ia bisa lihat orang punya rambut bagus yang hitam-mengkilap, alis yang lentik, hidung yang bangir.

   Ia suka dengar suara orang yang halus.

   161 Angin yang bersilir-silir meniup-niup rambut di pinggiran kuping.

   Di matanya, nona ini ayu dan agung, sebagai dewi Koan Im, hingga ia tak berani tak berlaku hormat padanya.

   "Kau tahu riwayat hidupku,"

   Siauw Hong kata kemudian.

   "Dalam usia lima belas tahun, Han Kim Kong telah rampas aku, yang ia paksa bawa pulang, untuk dijadikan gundiknya. Karena aku, Han Kim Kong telah hajar ayah, sampai ayah muntah darah. Toh ayah tetap berjualan tauwhu. Ayah tak sudi injak rumah keluarga Han, uang siapa pun ia tak hiraukan. Kenapa, kau kira, maka aku masih suka berdiam di rumahnya Han Kim Kong?"

   "Tentu karena itu bocah."

   "Siapa bilang itu anakku? Apa kau artikan bocah yang aku suka empo-empo? Jadinya kau belum tahu? Apa budakku tidak pernah terangkan pada kau? Tapi pergilah kau cari keterangan, tak ada orang yang tak ketahui! Itu bocah dari Su-ie Thay-thay. Su-ie Thay- thay masuk ke rumahnya Han Kim Kong lebih dahulu kira-kira setengah tahun daripada aku, baru dua bulan, ia sudah menderita, kemudian ia lahirkan anaknya itu, kemudian lagi ia binasa. Sebab satu kali, ketika ia menyebabkan gusarnya Han Kim Kong, ia didupak sampai terpelanting keluar kamar, karena mana, napasnya lalu berhenti bekerja."

   "Celaka!"

   Tek Hui berseru.

   "Han Kim Kong benar-benar jahat dan kejam!" 162

   


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien Elang Pemburu -- Gu Long /Tjan Id

Cari Blog Ini