Api Di Bukit Menoreh 16
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 16
Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja
Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja
Tetapi Glagah Putihpun sudah benar-benar bersiap.
Karena itu, maka serangan-serangannya menjadi sia-sia.
Tangan dan kakinya tidak pernah dapat menyentuh tubuh Glagah Putih.
Demikian pula orang yang berkumis itu.
Serangan-serangannyapun tidak berarti sama sekali bagi Rara Wulan.
Bahkan, yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi orang itu terlempar kedalam parit, setelah tubuhnya membentur pohon turi yang menjadi pohon perindang di jalan bulak itu.
Sambil bangkit berdiri orang berkumis lebat itu mengumpat.
Sementara itu, keempat orang yang berbalik itu telah berdiri memperhatikan pertempuran itu.
Merekapun segera menyadari, bahwa orang yang menyebut dirinya bernama Lemah Bengkah dan menuntut diserahkan kitab Mega Mendung itu adalah seorang yang berilmu tinggi."
"Pantas gurunya mempercayainya untuk mencari kitab itu,"
Berkata seorang diantara keempat orang yang berbalik itu.
"Tetapi apakah Ki Lurah benar-benar telah mencuri kitab itu dari gurunya?"
"Tentu tidak. Yang dicarinya adalah orang yang bernama Kasan Barong. Tetapi orang itu agaknya sangat yakin, bahwa lurahe itulah yang dicarinya."
"Mereka harus menebus kesalah-pahaman ini dengan nyawa mereka,"
Geram seorang yang bertubuh raksasa, berambut panjang bergerai dibawah ikat kepalanya sampai kebawah bahunya.
Tetapi percakapan itupun terhenti.
Mereka melihat orang yang bertubuh agak gemuk itu terpelanting jatuh.
Punggungnya telah menimpa tanggul parit yang berbatu-batu padas.
"Edan,"
Teriak orang yang bertubuh gemuk itu.
"kau patahkan tulang punggungku."
Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya orang itu bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan.
"Aku akan membunuhmu, keparat,"
Geram orang itu sambil menarik senjatanya.
Sebuah golok yang panjang, berwarna kehitam-hitaman.
Agaknya bukan golok kebanyakan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak.
Namun agaknya kawan-kawannya itupun akan segera melibatkan diri pula.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian telah mengurai ikat pinggangnya.
Orang yang bertubuh agak gemuk itu mengerutkan dahinya.
Ia mendengar beberapa orang kawannya yang berbalik itu tertawa.
Seorang diantara mereka berkata.
"Apakah perguruanmu begitu miskin sehingga tidak mampu membekalimu dengan senjata apapun?"
Glagah Putih bergeser surut. Dipandanginya orang yang mentertawakannya itu sambil berkata.
"Inilah senjataku. Ini memang senjataku."
"Apa yang dapat kau katakan dengan senjatamu itu?"
"O. Kau ingin tahu?"
Tiba-tiba saja Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan senjatanya kearah leher lawannya yang agak gemuk itu.
Ia berharap lawannya itu menangkis serangannya dengan goloknya yang panjang.
Sebenarnyalah bahwa lawannya yang agak gemuk itu telah menyilangkan goloknya untuk membentur serangan Glagah Putih.
Orang itu berharap akan dapat menebas putus ikat pinggang lawannya itu.
Namun ketika benturan itu terjadi, orang yang agak gemuk itu terkejut.
Demikian pula orang-orang yang memperhatikan pertempuran itu.
Mereka melihat golok yang panjang itu bergetar.
Bahkan golok itu telah terlepas dari tangannya.
Golok yang membentur ikat pinggang Glagah Putih itu seakan-akan telah terbentur dengan sebatang bindi baja sebesar lengan tangan orang yang agak gemuk itu.
Orang yang keghilangan goloknya itu meloncat surut.
Tetapi ia tidak sempat memungut goloknya karena tiba-tiba saja diluar perhitungannya, Glagah Putih dengan kecepatan yang sangat tinggi telah dberdiri sambil menginjak goloknya itu dengan satu kakinya.
"Iblis keparat,"
Geram orang yang bertubuh agak gemuk itu. Glagah Putih memandangi orang-orang yang berdiri diluar lingkaran pertempuran itu sambil berkata.
"Nah. kau lihat sekarang. Apa yang dapat aku lakukan dengan ikat pinggangku ini."
Orang-orang itupun menjadi tegang. Namun seorang diantara merekapun berkata.
"Kita akan menyelesaikan orang itu bersama-sama."
Namun ketika keetnpat orang itu mulai bergeser, orang berkumis lebat itu mengaduh tertahan.
Selendang Rara Wulan yang menyambar pundak kanannya, membuat tangan kananya seakan-akan menjadi lumpuh.
Bahkan orang itu tidak sempat menarik senjatanya, sebilah pedang yang tergantung di lambung kirinya.
Keempat orang yang mulai bergerak itu berpaling.
Mereka melihat kawannya yang berkumis lebat itu menyeringai kesakitan sambil mengumpat.
"Perempuan terkutuk. Iblis manakah yang telah memberikan selendang itu kepadamu?"
"Kenapa dengan selendangku?"
Orang berkumis lebat itu mengelus pundaknya yang tulangnya bagaikan retak.
Dalam pada itu, keempat orang yang berbalik itupun segera membagi diri.
Dua diantara mereka akan membantu orang yang tubuhnya agak gemuk itu.
Sedangkan dua orang yang lain akan bertempur bersama orang yang berkumis lebat.
"Bagaimana dengan perempuan ini? ,"
Bertanya seorang diantara kedua orang yang akan membantu orang yang berkumis lebat itu.
"Bukan perempuan kebanyakan. Tetapi ia adalah iblis betina. Selendangnya sangat berbahaya."
"Bagaimana dengan selendangnya? "
Bertanya yang lain.
"Jangan sampai tersentuh. Selendang itu dapat meretakkan tulang."
"Omong kosong,"
Geram kawannya.
"aku akan memotong selendang itu dengan pedangku."
Orang itupun kemudian telah menggenggam pedang yang tajamnya berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.
"Pedangku ini dapat memotong segenggam kapuk randu yang ditiupkan ke tajamnya. Apalagi selendang itu. Aku akan memangkasnya menjadi potong-potongan kecil."
Rara Wulan sama sekali tidak menanggapinya.
Tetapi iapun segera mempersiapkan diri untuk melawan ketiga orang yang kemudian berdiri memencar.
Namun seorang diantara mereka sebelah tangannya sudah tidak begitu bertenaga.
Justru tangan kanannya.
Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah terlibat dalam pertempuran melawan masing-masing tiga orang.
Namun ternyata bahwa keenam orang itupun segera mengalami kesulitan.
Pedang yang dibanggakan, yang dapat memotong selembar kapuk yang dihembus ke tajamnya, tidak mampu mengkoyakkan selendang Rara Wulan.
Bahkan selendang itu jika terjulur seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tongkat baja yang sangat berbahaya.
Dengan demikian, maka ketiga orang lawan Rara Wulan itupun segera terdesak.
Ketika orang yang tangan kanannya serasa telah menjadi lumpuh itu mencoba meloncat menyerang dengan kakinya, maka selendang Rara Wulan telah menyambar lambungnya.
Dengan derasnya orang berkumis lebat itu terlempar kesamping.
Tubuhnya terbanting dengan kerasnya di tanah yang berbatu padas.
Orang itupun mengerang kesakitan.
Ia tidak lagi dapat segera bangkit.
Tulang-tulangnya bagaikan telah berpatahan.
Kedua orang kawannya menjadi sangat marah.
Sambil menggeram merekapun segera menyerang dengan senjata masing-masing, yang berputaran seperti baling-baling.
Sementara itu, ketiga orang lawan Glagah Putih telah mendesak lawan-lawannya pula.
Meskipun orang yang agak gemuk itu sudah dapat memungut senjata kembali, tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Glagah Putih.
Bahkan senjata Glagah Putihlah yang mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya itu.
Seorang lawannya berteriak kesakitan sambil mengumpat ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai lengan seseorang.
Lengan itupun telah terkoyak, seakan-akan tergores sebilah pedang yang sangat tajam.
Namun dengan dimikian orang-orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itupun harus menyadari, bahwa kedua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku mendapat perintah dari guru mereka itu, benar-benar orang yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka seorang diantara merekapun segera bersuit nyaring untuk memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang mendahuluinya, agar merekapun segera kembali untuk mengatasi kesulitan keenam orang itu.
"Kalau bukan Lurahe Jati Ngarang sendiri, maka sulit untuk mengatasi dua orang ini,"
Desis seorang diantara mereka.
"Sementara itu, para pengikut Jati Ngarang itu sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka sama sekali tidak mampu untuk menguasai orang yang menyebut namanya Lemah Bengkah bersama istrinya itu. Jati Ngarang yang sudah berjalan semakin jauh, masih mendengar isyarat pengikutnya. Namun ia justru berkata.
"Cepat. Kita harus segera pergi. Kedua orang itu tidak boleh menyusul kita."
"Tidak ada gunanya Lurahe. Meskipun kita sudah menjadi semakin jauh, maka salah seorang dari kawan-kawan kita itu tentu akan dapat menunjukkan sarang kita jika mereka tidak berhasil mengalahkan kedua orang yang sedang mencari kitab Mega Mendung itu. Agaknya mereka sedang menemui kesulitan sehingga mereka telah memberi isyarat."
"Mereka tidak akan berkianat dengan menunjukkan sarang kita."
"Tetapi kedua orang suami isteri itu tentu mempunyai seribu cara untuk memaksa agar kawan-kawan kami itu berbicara."
"Jadi menurut pendapatmu?"
"Kita kembali kepada kawan-kawan kita itu. Kita membantu mereka. Kedu7a orang suami isteri itu harus kita bunuh. Jika mereka belum mati, maka mereka tentu akan memburu Ki Lurah karena mereka yakin bahwa Ki Lurah itu adalah orang yang mereka sebut Kasan Barfong yang telah mencuri kitab Mega Mendung."
Pemimpin segerombolan penyamun itu termangu-mangu.
Namun pada saat itu mereka membawa candu didalam peti kayu kecil itu.
Candu yang harganya mahal sekali, sehingga candu yang mereka bawa itu nilainya adalah beberapa ratus keping uang perak.
Namun akhirnya Jati Ngarang itupun berkata.
"Baiklah. Kita kembali. Kita akan membantu keenam kawan-kawan kita yang mengalami kesulitan itu."
Dengan tergesa-gesa keempat orang itupun melangkah kembali.
Mereka tidak menyangka, bahwa dua orang laki-laki dan perempuan itu mampu mengalahkan enam orang diantara mereka.
Sedangkan para perampok dan penyamun itu adalah orang-orang yang telah berpengalaman bermain dengan taruhan darah dan bahkan nyawa.
Ketika mereka sampai di arena pertempuran, maka kawan-kawan mereka sudah hampir tidak berdaya.
Dua orang yang bertempur melawan Rara Wulan hampir tidak mampu lagi berbuat apa-apa.
Sedangkan yang seorang lagi telah pingsan, terbaring di tanggul parit.
Sedangkan yang bertempur melawan Glagah Putihpun sudah menjadi tidak berdaya pula.
Jati Ngarang menggeram marah.
Kedua orang suami isteri itu seakan-akan dengan sengaja mempermainkan para pengikutnya.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selesaikan perempuan itu,"
Geram Jati Ngarang.
"jika kau mampu menangkapnya hidup-hidup, lakukanlah. Jika kalian mengalami kesulitan, bunuh saja. Aku akan membunuh laki-laki ini."
"Baik Ki Lurah."
Demikianlah, maka tiga orang telah bergeser mendekati Rara Wulan. Mereka meletakkan peti kecil berisi candu itu diatas tanggul parit dekat sebatang pohon turi. Kepada orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan orang yang meletakkan peti itu berkata.
"Kau sudah tidak mampu berkelahi lagi. Jaga peti itu. Taruhannya adalah nyawamu."
"Baik, baik kakang,"
Jawab orang itu sambil berjalan tertatih-tatih mendekati peti yang terletak dibawah pohon turi itu.
Dalam pada itu, maka Rara Wulanpun harus bertempur lagi melawan tiga orang yang baru saja memasuki arena pertempuran.
Mereka masih memiliki tenaga dan kemampuan mereka sepenuhnya.
Selebihnya seorang yang sudah mengalami kesakitan, masih mampu bergabung dengan ketiga orang kawannya itu.
"Menyerah sajalah,"
Berkata seorang yang hidungnya cacat. Agaknya bekas goresan senjata yang menyilang. Untunglah, bahwa luka itu tidak menggores di matanya.
"Kau lihat kawan-kawanmu,"
Sahut Rara Wulan.
"karena itu, kalian sajalah yang menyerah."
"Perempuan tidak tahu diri. Kami akan dapat menangkapmu dan mencincangmu menjadi sayatan-sayatan kecil. Tetapi kamipun dapat berbuat lain atasmu. Jika kau menyerah, maka keadaan akan menjadi lebih baik daripada masa-masa lalumu."
Rara Wulan tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu selendangnya telah berputar. Terdengar putaran selendang itu bergaung seperti sendaren.
"Gila perempuan ini,"
Desis salah seorang lawannya. Seorang yang lainpun menggeram.
"Marilah. Kita selesaikan saja perempuan itu secepatnya. Kita akan berpacu dengan Ki Lurah yang akan membunuh laki-laki yang sombong itu."
Orang-orang yang sudah siap bertempur melawan Rara Wulan itupun mulai bergeser.
Yang akan mereka lakukan adalah menangkap perempuan itu.
Tetapi jika sulit dilakukannya dan bahkan tidak mungkin, maka mereka akan membunuh saja perempuan binal itu.
Sementara itu, Jati Ngarang sudah berhadapan dengan Glagah Putih.
Glagah Putih menyadari, bahwa pemimpin sekelompok penyamun itu tentu orang yang berilmu tinggi, dilandasi oleh keberanian dan pengalamannya yang luas.
Dengan pedang di tangan, maka Jati Ngarangpun telah siap untuk menyerang.
"Siapapun kau, maka kau tidak akan mampu melawan pedangku ini."
Glagah Putih sempat memandangi pedang lawannya. Pedangnya yang berwarna kehitam-hitaman itu menyiratkan pantulan cahaya matahari dari pamornya yang berkeredipan.
"Hanya pedang-pedang pilihan yang dibuat dengan pamor seperti itu,"
Berkata Glagah Putih di dalam hati.
Namun Glagah Putihpun percaya penuh, bahwa senjatanya adalah senjata yang tidak ada duanya.
Dengan landasan tenaga dalamnya yang sangat tinggi, maka senjata itu merupakan senjata yang sangat berbahaya.
Karena itu, maka Glagah Putih harus berhati-hati menghadapinya.
Meskipun demikian, Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar.
Sejenak kemudian, maka pedang itupun telah berputaran.
Kilatan cahaya matahari yang terpantul dari pamornya, kadang-kadang terasa bagaikan menusuk mata Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putihpun segera menyadarinya, sehingga ia tidak lagi selalu memandangi daun pedang lawannya.
Ketika lawannya meloncat sambil mengayunkan pedangnya, maka Glagah Putihpun bergeser untuk menghindar.
Namun ketika ujung pedang itu bagaikan memburunya, maka Glagah Putih telah menepis pedang itu dengan senjatanya.
Jati Ngarang menyadari, bahwa senjata lawannya bukan senjata kebanyakan.
Tetapi ketika pedangnya bersentuhan dengan senjata lawannya yang mengaku bernama Lemah Bengkah itu, maka iapun bergumam di dalam hatinya.
"Iblis manakah yang telah memberikan senjata itu kepadanya?"
Demikianlah, maka merekapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Jati Ngarang berloncatan dengan cepat, sementara pedangnya terayun-ayun mengerikan.
Berkali-kali pedang itu menebas dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Namun jika ujung pedang itu gagal menyentuh tubuh lawannya, maka pedang itupun terjulur mematuk seperti seekor ular bandotan.
Tetapi Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Jati Ngarang.
Bahkan sekali-sekali Glagah Putih mendahului serangan-serangan yang akan dilancarkan oleh lawannya.
Dengan demikian, maka serangan-serangan Jati Ngarang itu masih belum mampu menembus pertahanan Glagah Putih dan apalagi menyentuh sasarannya.
Tetapi justru serangan-serangan Glagah Putihlah yang telah berhasil menggores di tubuh Jati Ngarang.
Jati Ngarang itu meloncat surut sambil mengumpat kasar ketika terasa ikat pinggang lawanya itu menggores lengannya.
Bahkan kemudian ternyata bahwa goresan ikat pinggang itu telah mengoyakkan kulit dan dagingnya sebagaimana tajamnya sebilah pedang.
"Gila,"
Teriak Jati Ngarang.
"apa yang telah kau lakukan dengan ikat pinggangmu?"
"Aku mampu memenggal kepalamu dengan sekali tebas,"
Sahut Glagah Putih.
"belum tentu kau dapat melakukannya dengan pedangmu itu."
"Tentu aku dapat melakukannya. Menunduklah. Aku akan menebas lehermu sehingga putus dengan sekali ayun."
"Aku tidak akan dapat mengerti apakah kau benar-benar melakukannya atau tidak. Jika kau ingin memamerkannya kepadaku, cobalah menebas leher salah seorang pengikutmu yang tidak berguna itu."
Jati Ngarang menggeram. Katanya.
"Kau memang gila. Kami telah menyatakan diri menjadi satu keluarga. Jika aku ingin menebas leher, maka itu tentu lehermu. Pedangku yang sudah keluar dari wrangkanya, sudah menjadi haus."
Glagah Putih tertawa. Katanya.
"Aku hanya mempunyai sebuah leher. Karena itu, aku tidak akan menyerahkannya kepadamu dengan suka rela."
"Dengan suka rela atau tidak, akibatnya tidak akan berbeda. Akhirnya kepalamu akan terpenggal juga."
"Kau bermimpi. Marilah kita buktikan, kepala siapakah yang akan terpenggal di arena pertempuran ini."
Jati Ngarang tidak menyahut.
Tetapi iapun segera meloncat sambil menjulujrkan pedangnya ke arah dada.
Namun Glagah Putih dengan cepat mengelak.
Ditepisnya pedang lawannya menyamping.
Dengan gerak yang sangat cepat, Glagah Putih telah mengayunkan senjata.
Jati Ngarang mengaduh tertahan.
Ujung ikat pinggang itu telah menggores lambungnya.
Meskipun luka yang kemudian menyilang tidak begitu dalam, namun terasa luka itu menjadi sangat pedih dibasahi oleh keringatnya.
Kemarahan Jati Ngarang rasa-rasanya telah membuat darah di seluruh tubuhnya mendidih.
Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan.
Lawannya dengan senjatanya yang aneh, terlalu sulit untuk dikalahkan.
Karena itu, maka Jati Ngarang itu telah berpaling sekilas untuk mengetahui, apa yang terjadi dengan kawan-kawannya.
Jati Ngarang itu terkejut melihat apa yang terjadi dengan mereka.
Juga satu kenyataan yang harus dihadapinya.
Orang-orangnya yang bertempur melawan seorang perempuan itu ternyata sudah tidak berdaya.
Dua orang tidak lagi mampu melakukan perlawanan lagi.
Meskipun mereka masih berdiri dengan senjata di tangan, tetapi rasa-rasanya mereka harus mengerahkan sisa-sisa tenaga mereka hanya untuk menyelamatkan keseimbangan mereka.
Sementara itu, dua orang yang lain, masih mencoba untuk bertempur.
Namun mereka tidak berdaya lagi mengatasi serangan-serangan selendang Rara Wulan.
Glagah Putih membiarkan lawannya untuk melihat kenyataan itu.
Karena itu, Glagah Putih tidak tergesa-gesa menyerang Jati Ngarang yang menjadi sangat gelisah.
"Kasan Barong,"
Berkata Glagah Putih.
"kau harus melihat kenyataan itu. Serahkan saja kitab yang kau curi itu. Aku akan membawanya kepada guru. Setelah itu, kau boleh meninggalkan arena ini."
"Persetan kau Lemah Bengkah,"
Geram Jati Ngarang.
"kau tidak akan dapat lari dari tanganku."
"Apakah kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi?"
Bertanya Glagah Putih.
Jati Ngarang tidak menjawab.
Tetapi iapun segera meloncat menyerang dengan sisa tenaganya.
Namun yang terjadi, justru sebaliknya dari yang diharapkannya.
Senjata aneh Glagah Putih itu telah mengenai pundaknya.
Jati Ngarang meloncat surut.
Tetapi kali ini Glagah Putih memburunya.
Senjatanya itupun terjulur lurus menyentuh dada.
Jati Ngarang tidak mampu mengelak.
Lukapun telah menganga pula didadanya.
Sambil mengerang kesakitan Jati Ngarang meloncat surut mengambil jarak.
Glagah Putih membiarkannya berdiri termangu-mangu.
Dibiarkannya Jati Ngarang itu melihat orang-orangnya yang bertempur melawan Rara Wulan.
Mereka semuanya sudah tidak berdaya lagi.
"Jangan mengingkari kenyataan ini, Kasan Barong,"
Berkata Glagah Putih.
"pergilah. Tinggalkan peti yang berisi kitab Mega Mendung itu."
Jati Ngarang termangu-mangu sejenak. Ia memang tidak dapat berbuat lain jika ia masih ingin tetap hidup. Karena itu, maka Jati Ngarang itupun berkata.
"Baiklah jika kau menghendaki peti itu. Ambillah. Tetapi dengan syarat."
"Syarat apa?"
"Jangan kau buka sebelum kau sampai ke hadapan gurumu."
"Kenapa?"
"Kitab yang kau maksudkan adalah kitab yang keramat. Akupun belum pernah membukanya. Aku hanya membawanya kemana aku pergi agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Namun ternyata kau masih belum berhasil membukanya. Bahkan akhirnya niatku untuk membuka aku batalkan setelah saudara tua seperguruanku memberitahukan, bahwa kitab itu adalah kitab keramat. Tidak setiap orang dapat dan boleh membukanya."
"Kenapa kalau aku buka disini."
"Terserah kepadamu, tetapi aku sudah memperingatkanmu, bahwa sebaiknya kau buka di hadapan gurumu. Jika terjadi sesuatu gurumu akan dapat menyelamatkanmu."
"Baik. Aku akan melakukannya."
Jati Ngarang itu termangu-mangu sejenak. Lalu iapun memberi isyarat kepadfa orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu.
"Tinggalkan peti itu disitu."
"Tetapi,"
Desis seorang kawannya. Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia membelalakkan matanya kepada orangnya itu. Sejenak kemudian Jati Ngarang dan orang-orangnyapun segera pergi. Sambil berjalan menjauh. Jati Ngarangpun berkata.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarlah mereka mengambil candu itu daripada nyawa kita. Bukankah kita menukarnya dengan benda-benda yang dapat kita rampas dari para pedagang yang lewat."
"Tetapi candu itu harganya mahal sekali."
"Mana yang lebih mahal? Candu itu atau nyawamu?"
Pengikutnya itu tidak menjawab lagi, sementara Jati Ngarang itu berkata pula.
"Selagi nyawa kita masih ada, kita akan mendapat kesempatan untuk mencarinya. Tetapi jika nyawa kita sudah tidak lagi berada di dalam tubuh kita, maka kita sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Orang-orangnya tidak menjawab.
Sementara itu, mereka berjalan semakin jauh.
Ada diantara mereka yang harus dipapah oleh kawannya yang masih sanggup berjalan dengan tegak.
Namun Jati Ngarang sendiri, tubuhnya terasa menjadi semakin lemah.
Dari luka-lukanya, darah masih tetap mengalir.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berbelok masuk ke sebuah pategalan untuk mengobati luka-luka mereka.
Setidak-tidaknya memampatkan darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, yang ternyata terdapat dimana-mana.
Bahkan selendang perempuan itu mampu menggoreskan luka di tubuh mereka.
Sementara itu Rara Wulan dan Glagah Putih berdiri termangu-mangu di atas tanggul parit.
Dengan nada ragu, Rara Wulanpun bertanya.
"Kenapa kita melepaskan mereka semuanya, kakang?"
"Apakah kita harus membunuh mereka semua? Sementara itu tentu kita tidak dapat menawan mereka, karena kita berada di perjalanan."
"Aku mengerti. Tetapi dengan demikian, kita hanya melakukan pekerjaan ini sepotong. Sementara itu, mereka masih saja memperdagangkan barang yang terlarang itu."
"Kita akan berbicara dengan Ki Demang di kademangan ini. Biarlah Ki Demang melaporkannya kepada para petugas meskipun mungkin Ki Demang akan menempuh perjalanan yang agak jauh."
"Agaknya daerah ini tidak terjangkau oleh tangan-tangan para petugas. Terbukti para perampok dan para penyamun masih saja berkeliaran di daerah ini."
"Ya. Tetapi laporan tentang perdagangan yang terlarang itu mudah-mudahan dapat mempertajam kerisauan daerah ini, sehingga daerah ini akan mendapat perhatian lebih besar. Tidak hanya sekedar perampok dan penyamun. Tetapi justru peredaran barang-barang terlarang."
"Apakah Ki Demang berani melakukannya?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya.
"Aku tidak tahu. Tetapi jika niat'Ki Umbul Telu itu dapat terlaksana. Maka persoalannya akan berbeda. Suasana di didaerah ini akan berubah."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Para Demang di daerah inipun mudah-mudahan juga tersembul nafas keberanian yang ditimbulkan oleh Ki Umbul Telu di sekitar bukit kecilnya itu, sehingga mereka akan berani memberikan perlawanan kepada para perampok dan penyamun."
"Tetapi jika hal itu dimaksudkan untuk memberikan ketenangan kepada para pedagang, maka akan dapat terjadi salah langkah, kakang. Ternyata ada juga para pedagang yang langkahnya jauh lebih buruk dari para perampok dan penyamun. Mereka telah bekerja sama dengan para perampok dan penyamun untuk mengadakan barang-barang terlarang."
"Ya, itu juga merupakan masalah yang besar. Karena itu, persoalannya harus ditangani dengan sungguh-sungguh. Bukan sekedar sambil lalu. Jika para Demang dan beberapa perguruan membantu membuka jalan perdagangan agar daerah mereka menjadi ramai kembali, itu harus disadari bahwa jalan perdagangan itu tidak akan menjadi jalan peredaran barang-barang terlarang itu.
"Kita memang bharus menemui salah seorang demang yang terdekat dan membawahi lingkungan pasar itu."
Namun Glagah Putih itupun kemudian berkata.
"Lalu sekarang, apa yang aka kita lakukan atas peti itu?"
"Kita akan memusnahkannya. Tetapi kita harus menyimpannya sedikit, sebagai bukti bahwa perdagangan barang terlarang ini memang ada. Kita akan menunjukkannya kepada Ki Demang yang membawahi pasar itu."
Demikianlah, keduanyapun kemudian telah membawa peti itu menjauhi tempat yang berpenghuni.
Mereka berjalan menyusuri sebatang sungai ke arah udik, sehingga mereka sampai di tempat yang jarang didatangi seseorang.
Ketika mereka naik tebing sungai itu, mereka telah berada di sebuah padang perdu.
"Kita akan membakarnya, setelah kita menyimpan sedikit."
Keduanyapun kemudian mencari ranting-ranting kayu kering dan ditimbunnya di atas tebing sungai itu.
Setelah mengambil sedikit contoh dari barang terlarang dan disimpannya, maka peti itu beserta isinya diletakkannya di atas setumpuk kekayuan kering.
Glagah Putihpun kemudian telah membuat api dan kemudian, menyalakan kayu-kayu kering yang ditimbunnya itu.
Sejenak kemudian, maka peti serta isinyapun telah terbakar.
Angin yang bertiup di atas tebing perdu itu telah menaburkan asapnya ke arah hutan yang lebat.
Setelah peti dan isinya itu lebur menjadi abu, maka keduanya-pun segera meninggalkan tempat itu.
Mereka segera kembali ke pasar yang sudah menjadi lebih sepi.
Kepada orang-orang yang masih ada didepan pasar, Glagah Putih dan Rara Wulanpun bertanya kepada mereka, dimanakah letak rumah Ki Demang yang membawahi pasar itu.
"Rumahnya tidak begitu jauh, Ki Sanak,"
Jawab seorang laki-laki berperawakan sedang.
"ambil jalan ini. Jalan ini adalah jalan utama padukuhan ini. Di simpang tiga, kalian akan menjumpai sebatang pohon beringin yang besar. Nah, ambil jalan ke kiri. Jika kau berjalan terus, kau akan sampai ke banjar."
"Terima kasih, Ki Sanak,"
Jawab Glagah Putih.
Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putihpun telah menelusuri jalan utama padukuhan itu.
Seperti yang dikatakan oleh laki-laki di depan pasar, ketika mereka sampai di simpang tiga, maka merekapun telah berbelok ke kiri.
Tidak sampai seratus langkah, maka merekapun telah sampai di regol halaman sebuah rumah yang besar dan berhalaman luas.
Menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, maka rumah itu tentu rumah Ki Demang.
Namun untuk meyakinkannya, maka Glagah Putihpun bertanya kepada seorang remaja yang lewat sambil membawa walesan bambu.
"Apakah rumah ini rumah Ki Demang, Tole?"
Remaja itu berhenti. Sejenak ia termangu. Namun kemudian iapun mengangguk.
"Ya, kakang. Rumah itu adalah rumah Ki Demang. Apakah kau akan menemuinya?"
Jilid 363 GLAGAH PUTIHPUN mengangguk sambil menjawab.
"Ya. Aku ingin bertemu dengan Ki Demang."
Anak itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Iapun segera meninggalkan tempat itu. Katanya.
"Maaf, Kang. Kawan-kawanku tentu sudah menunggu di bendungan."
"Kau akan memancing ikan?"
"Ya,"
Jawab anak itu sambil berlari-lari.
"Mudah-mudahan Ki Demang tanggap, Rara,"
Desis Glagah Putih.
Rara Wulan menarik nafas panjang.
Rara Wulan sudah bertemu dengan beberapa orang Demang yang lebih mementingkan dirinya dan keluarganya daripada mengemban tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Bahkan kedudukannya yang disandangnya justru dipergunakannya untuk landasan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri tanpa menghiraukan kehidupan rakyatnya.
"Mudah-mudahan Ki Demang ini berbeda,"
Berkata Rara Wulan didalam hatinya.
Keduanyapun kemudian memasuki halaman rumah Ki Demang yang luas.
Namun nampaknya rumah Ki Demang tidak berlebihan.
Meskipun nampak cukup baik, tetapi nampaknya bukani rumah yang mewah sebagaimana rumah beberapa orang Demang yang pernah mereka lihat.
Seorang laki-laki separo baya yang sedang memotong-motong batang kayu yang baru saja ditebang, melihat kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Diletakkannya kapaknya.
Sambil mengusap keringatnya yang mengalir di kening, iapun melangkah menyongsong kedua orang suami isteri itu.
"Maaf, Ki Sanak,"
Berkata Glagah Putih.
"apakah kami dapat menghadap Ki Demang."
"Ki Demang?"
"Ya, Ki Sanak."
"Silahkan menunggu sebentar, Ki Sanak. Aku akan mengatakannya kalau Ki Demang tidak sedang tidur."
Orang yang tidak berbaju, sedangkan seluruh tubuhnya basah oleh keringat itupun kemudian masuk ke longkangan lewat seketeng. Nampaknya orang itu sedang menebang sebatang pohon jambu air yang belum terlalu besar, yang tumbuh di dekat pintu seketeng.
"Udaranya terasa sejuk, di halaman ini kakang,"
Desis Rara Wulan.
"Keluarga Ki Demang pandai menata halaman. Beberapa pohon buah-buahan yang terhitung besar. Kemudian gerumbul-gerumbul pohon bunga."
Rara Wulan nampaknya tertarik kepada segerumbul pohon kembang soka merah yang baru berbunga.
Namun sejenak kemudian, seorang yang nampaknya sedikit lebih tua dari Glagah Putih keluar lewat pintu pringgitan.
Dengan ramah orang itu mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan naik dan duduk di pringgitan."
"Selamat datang di rumah kami yang sederhana ini Ki Sanak,"
Berkata Ki Demang merendah.
"Terima kasih, Ki Demang. Kami mohon maaf, bahwa tiba-tiba saja kami sudah mengganggu Ki Demang."
Ki Demang itu tertawa. Katanya.
"Sejak aku memangku jabatan ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk diganggu setiap saat selama sehari semalam di setiap harinya."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum pula.
"Maaf Ki Sanak. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku ingin bertanya siapakah Ki Sanak berdua ini."
Namaku Glagah Putih Ki Demang. Perempuan ini adalah isteriku. Kami berasal dari Jati Anom. Tetapi kami pernah tinggal di tanah Perdikan Menoreh."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya.
"Aku juga sering pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, menyeberang ke sebelah Timur Kali Praga, ke Mangir, Kepandak, Jodog, Ganjur dan sekitarnya."
"Ki Demang sering berkeliling di daerah Selatan?"
"Aku pernah menjadi pedagang wesi aji, sebelum aku ditetapkan menjadi Demang disini. Ayahkulah yang waktu itu menjadi Demang. Sebenarnya aku tidak tertarik pada jabatan ini. Aku senang mengembara sambil berdagang wesi aji dan batu-batu mulia. Tetapi setelah ayah meninggal, aku sekarang diikat oleh jabatanku."
"Tetapi bukankah dengan kedudukan Ki Demang sekarang ini, Ki Demang dapat berbuat banyak bagi rakyat kademangan ini? Arti dari keberadaan Ki Demang menjadi lebih nyata bagi orang banyak daripada seorang pedagang wesi aji."
"Ya,"
Ki Demang mengangguk-angguk.
"aku berusaha."
"Nampaknya Ki Demang berhasil."
Ki Demang tertawa lagi. Katanya.
"Kau memuji aku Ki Glagah Putih. Terima kasih. Tetapi sebenarnyalah aku belum dapat berbuat apa-apa di kademangan ini selama dua tahun aku menjabat."
"Jadi Ki Demang baru dua tahun menjabat?"
"Ya. Itupun masih dibayangi oleh sikap beberapa orang yang tidak menginginkan aku menggantikan kedudukan ayahku."
"Kenapa? Jika tatanan yang berlaku demikian, bukankah semua pihak harus menerima, senang atau tidak senang."
Ki Demang mengangguk-angguk pula. Katanya.
"Ya. Seharusnya memang demikian. Tetapi ternyata dalam kenyataannya, ada juga batu-batu kerikil yang mengganjal perjalananku."
"Tetapi Ki Demang akan dapat mengatasinya."
Ki Demang mengerutkan dahinya. Pandangannya tiba-tiba saja terlempar jauh menyusup diantara tiang-tiang pendapa rumahnya, menusuk ke halaman rumahnya yang rindang. Ki Demang itupun akhirnya berkata.
"Sudahlah, Ki Glagah Putih berdua. Itu adalah persoalanku. Tidak sepantasnya aku katakan kepada tamu-tamuku. Apalagi tamu yang masih belum aku kenal sebelumnya."
"Tidak apa-apa, Ki Demang. Jika saja itu dapat memperingan beban yang Ki Demang pikul selama ini."
"Ki Glagah Putih,"
Berkata Ki Demang kemudian mengalihkan pembicaraan.
"mungkin kedatangan kalian berdua mempunyai maksud tertentu, aku akan mendengarkannya. Jika kalian berdua memerlukan bantuan, jika saja aku dapat membantu, maka aku akan membantunya."
"Baiklah Ki Demang,"
Sahut Glagah Putih.
"ada sesuatu yang memang akan aku sampaikan kepada Ki Demang. Ketika kami berdua sedang berada di pasar, maka kami melihat sekelompok orang yang nampaknya memang sedang menunggu."
"Sekelompok orang?"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Ki Demang,"
Jawab Glagah Putih yang kemudian telah menceritakan apa yang terjadi di pasar itu.
Iapun menceritakan usahanya untuk merampas candu itu tanpa menimbulkan kecurigaan para perampok dan penyamun itu terhadap orang-orang yang ada di pasar.
Ki Demang mendengarkan keterangan Glagah Putih itu dengan sungguh-sungguh.
Sekali-sekali Ki Demang bahkan mengangguk-angguk.
Namun kadang-kadang Ki Demang itupun menarik nafas panjang.
"Itulah yang dapat kami laporkan Ki Demang,"
Berkata Glagah Putih kemudian. Ditunjukkannya sedikit candu yang dibawanya kepada Ki Demang sambil berkata.
"Aku mohon Ki Demang mempercayai kami. Kami membawa contoh dagangan terlarang yang telah kami bakar itu, Ki Demang."
Ki Demang menarik nafas panjang. Katanya.
"Terimakasih atas kesediaan Ki Glagah Putih berdua untuk menghancurkan benda-benda terlarang itu."
"Benda-benda terlarang itu akan dapat merusak banyak orang, Ki Demang."
"Aku mengerti. Akupun merasa bahwa aku dan para bebahu di kademangan ini berkewajiban untuk memberantasnya,"
Ki Demang itu berhenti sejenak, lalu.
"tetapi bagaimana kami dapat melakukannya."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka memang sudah memperhitungkan kemungkinan, bahwa Ki Demang tidak akan dapat berbuat apa-apa.
"Apakah para perampok dan penyamun itu benar-benar tidak dapat dikalahkan oleh para penghuni kademangan? Aku sudah bertemu beberapa orang Demang. Mereka mempunyai tanggapan dan sikap yang sama kepada para perampok dan penyamun itu,"
Berka Glagah Putih di dalam hatinya. Tetapi ternyata Ki Demang itu mempunyai alasan yang khusus, Persoalan yang mungkin tidak terdapat di kademangan-kademangan yang lain.
"Ki Glagah Putih,"
Berkata Ki Demang.
"tidak semestinya aku mengatakan persoalan yang agaknya lebih condong ke persoalan pribadi ini aku sampaikan kepada kalian berdua. Tetapi justru karena kalian berdua sudah menunjukkan kepedulian kalian terhadap kademangan ini, maka aku akan mengatakannya."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Ki Demang itu.
"Ki Glagah Putih berdua, sebenarnyalah bahwa ada orang yang berusaha mengguncang kedudukanku. Justru saudaraku sendiri. Tetapi kami berbeda ibu. Aku adalah anak tertua. Tetapi ketika ibuku meninggal, ayah menikah lagi. Dari pernikahan yang kedua itu, ayah juga melahirkan seorang anak laki-laki yang berselisih umur sekitar empat tahun. Adikku itu lahir pada saat ayah baru saja diwisuda menjadi Demang di kademangan ini. Menurut pendapat ibu tiriku, adikku itulah anak Demang yang pantas menggantikannya. Ketika aku lahir, ayah belum seorang Demang, sehingga aku tidak patut untuk menggantikannya."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada ragu, Glagah Putih bertanya.
"Tetapi bagaimana menurut paugeran yang berlaku ?"
"Paugeran itu mengatakan, bahwa jika seorang Demang meninggal, maka anak laki-lakinya yang tertua yang akan menggantikannya. Jika seorang Demang tidak mempunyai anak laki-laki, maka menantunya dari anaknya yang tertua. Jika Demang itu tidak mempunyai anak, maka akan diadakan pemilihan seluruh kademangan, untuk mengangkat seorang Demang yang baru. Demikian pula jika seorang Demang kehilangan kedudukannya karena kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya dalam menjalankan tugasnya."
"Jika demikian bukankah kedudukan sudah jelas, siapakah yang seharusnya menggantikan kedudukan Demang itu?"
"Tetapi ibu tiri serta adikku itu masih berusaha mengguncang kedudukanku. Menurut mereka, anak Demang itu adalah adikku itu. Aku bukannya anak Ki Demang karena ketika aku lahir, ayahku belum seorang Demang."
"Bagaimana pendapat para bebahu?"
"Mereka sependapat dengan aku. Tetapi usaha ibu tiriku dan adikku masih belum berhenti meskipun akhirnya akulah yang sudah ditetapkan menjadi Demang. Mereka mendapat dukungan dari beberapa orang yang sayangnya adalah orang-orang yang berpengaruh di kademangan ini. Mereka adalah orang-orang kaya yang akan dapat memanfaatkan kedudukan Demang itu jika kedudukan itu berada di tangan adikku."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Dengan nada berat iapun berkata.
"Dengan demikian, Ki Demang sedang menghadapi keadaan rumit di kademangan ini sendiri."
"Memang rumit, Ki Glagah Putih. Tetapi aku berharap bahwa aku akan segera dapat mengatasinya. Aku percaya kepada rakyatku, bahwa mereka akan dapat memandang persoalannya dengan jernih."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Rakyatkulah yang akan menentukan penyelesaian dari masalah ini."
Namun dengan ragu-ragu Glagah Putihpun bertanya.
"Jadi dengan demikian perhatian Ki Demang masih terikat pada persoalan yang menyangkut kedudukan Ki Demang ?"
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Katanya.
"Seharusnya tidak demikian Ki Glagah Putih. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak dapat bekerja dengan tenang."
"Aku mengerti."
"Tetapi baiklah. Apapun yang bergejolak di dalam lingkungan kami sendiri, kami harus tetap memperhatikan kehidupan rakyat kami. Namun satu hal yang harus Ki Glagah Putih lihat sebagai satu kenyataan bahwa rakyat kami sebagian terbesar adalah petani. Sebagian kecil adalah pedagang dan beberapa orang memiliki modal untuk membuka tempat-tempat usaha. Menghimpun beberapa orang yang semula membuat barang-barang kerajinan bambu, pandan dan mendong di rumah masing-masing. Ada yang menghimpun beberapa orang pande besi dan para undagi."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Ia tahu maksud Ki Demang, bahwa dengan dengan demikian, rakyatnya bukanlah orang-orang yang terbiasa memegang senjata. Karena itu, maka Glagah Putihpun berkata.
"Aku mengerti Ki Demang. Para petani, para pedagang dan orang-orang yang membuka usaha bermacam-macam kerajinan bukanlah orang-orang yang memiliki kemampuan berkelahi. Apalagi melawan para perampok. Tetapi di beberapa kademangan yang sudah aku lalui, telah sepakat untuk bekerja sama dengan perguruan Awang-awang untuk menyusun kekuatan melawan para perampok. Sehingga jika jalur jalan perdagangan yang melewati lingkungan ini dapat diamankan, maka pasar itupun tentu akan tumbuh semakin besar. Tetapi ternyata ada sisi lain yang harus diawasi, justru lebih bersungguh-sungguh. Semula aku tidak melihat bahwa jalur inipun menjadi jalur perdagangan barang-barang terlarang. Perdagangan ini ternyata merupakan bahaya yang lebih besar dari para perampok dan penyamun yang tidak secara langsung mengganggu rakyat kademangan ini."
"Ya, Ki Glagah Putih. Tetapi rencana bekerja sama dengan perguruan Awang-awang itu sangat menarik perhatian. Baiklah. Seperti yang aku katakan, aku tidak akan terpancang kepada persoalan sendiri. Aku memang harus tetap menjalankan tugas-tugas sebagai seorang Demang."
Glagah Putih menarik nafas panjang sambil berkata.
"Segala sesuatunya terserah kepada Ki Demang."
Namun pembicaraan merekapun terhenti. Seorang yang bertubuh tinggi besar, berkumis tebal memasuki halaman, rumah Ki Demang.
"Kebetulan Ki Bekel datang, Ki Glagah Putih."
"Ki Bekel?"
"Ya. Ia adalah Bekel yang memimpin padukuhan induk kademangan ini."
"O,"
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia beringsut sejengkal. Demikian pula Rara Wulan.
"Ada tamu, Ki Demang?"
Bertanya Ki Bekel.
"Ya,"
Jawab Ki Demang.
"silahkan duduk Ki Bekel."
Ki Bekel itupun kemudian duduk disebelah Ki Demang. Sambil memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti iapun berkata.
"Siapakah tamu Ki Demang ini?"
"Namanya Ki Glagah Putih, Ki Bekel. Sedangkan perempuan itu adalah isterinya."
"O,"
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya lagi.
"Apakah keperluannya menghadap Ki Demang?"
Ki Demangpun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang keperluan Glagah Putih dan isterinya datang menemui Ki Demang.
"O,"
Ki Bekel mengangguk-angguk pula.
"ternyata mereka adalah pahlawan-pahlawan keselamatan bagi rakyat kita? Aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua Ki Sanak."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Mereka tidak menegerti, apakah yang diucapkan oleh Ki Bekel itu sanjungan atau sindiran. Agaknya Ki Demangpun merasa ragu-ragu pula atas ucapan Ki Bekel itu. Karena itu, maka iapun bertanya.
"Maksud Ki Bekel?"
"Untuk apa sebenarnya mereka mencampuri persoalan keluarga besar kita? Bukankah disini ada aku, ada Ki Demang dan ada para bebahu. Bukan saja bebahu padukuhan induk ini, tetapi juga bebahu kademangan."
"Benar Ki Bekel. Tetapi ternyata apa yang kebetulan diketemukannya disini tidak kita ketemuakan sebelumnya. Bukankah kita tidak tahu, bahwa di pasar itu sering terjadi jual beli barang-barang terlarang. Bahkan tukar-menukar antara barang-barang terlarang itu dengan hasil yang didapat para perampok dan penyamun di bulak-bulak persawahan kita?"
"Mereka tentu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, Ki Demang."
"Aku tahu. Aku tidak menyalahkan kita yang tidak tahu bahwa peristiwa seperti itu terjadi di padukuhan kita."
Ki Bekel itu mengerutkan dahinya, sementara Ki Demang berkata selanjutnya.
"Tetapi jika kemudian ada orang yang datang untuk memberitahukan kepada kita, bahwa hal seperti itu telah terjadi, bukankah kita harus berterima kasih kepada mereka? Persoalannya kemudian terserah kepada kita. Bagaimana caranya kita menanganinya. Tetapi menurutpendapatku, perdagangan barang-barang terlarang itu akan membahayakan kehidupan rakyat kita."
"Tetapi apakah orang-orang ini tidak mempunyai pamrih dengan keterangannya itu?"
"Kita dapat langsung bertanya kepada mereka,"
Jawab Ki Demang, yang kemudian bertanya kepada Glagah Putih.
"Ki Glagah Putih. Apakah kepedulian Ki Glagah Putih berdua itu mengandung maksud-maksud tertentu terhadap kademangan ini?"
Wajah Glagah Putih dan Rara Wulan memang terasa menjadi panas. Tetapi mereka tahu, bahwa pertanyaan itu tidak tumbuh dari dasar hati Ki Demang. Tetapi Ki Demang hanya sekadar ingin memuaskan hati Ki Bekel.
"Ki Demang,"
Jawab Glagah Putih kemudian.
"kami berdua hanyalah orang lewat. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa di kademangan ini."
"Itu jawabannya Ki Bekel,"
Berkata Ki Demang kemudian.
"Mungkin kedua orang itu ingin mendapatkan tambahan bekal perjalanan?"
"Tlidak Ki Bekel,"
Rara Wulanlah yang menyahut.
"kami sudah mempunyai bekal yang cukup. Aku tidak yakin, bahwa Ki Bekel akan dapat membelikan bekal kepadaku lebih banyak dari bekal yang sudah ada padaku."
Jantung Ki Bekellah yang kemudian berdesir. Tetapi Ki Demang justru tersenyum. Katanya.
"Sudahlah. Aku sejak semula memang yakin, bahwa kepedulian mereka adalah semata-mata didasarkan kepada kecemasan mereka terhadap akibat buruk yang dapat terjadi karena peredaran barang-barang terlarang itu."
"Ki Demang yakin?"
"Ya, aku yakin."
"Sokurlah jika demikian. Kami, seisi kademangan ini akan berterima kasih kepada mereka."
"Ki Demang,"
Berkata Glagah Putih kemudian.
"aku rasa keperluanku datang menghadap Ki Demang sudah selesai. Segala sesuatu terserah kepada Ki Demang. Kami akan melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang."
"Kalian akan pergi ke mana?"
Bertanya Ki Bekel.
"Kami akan pergi ke Seca."
"Ke Seca? Untuk apa?"
"Kami adalah pengembara. Kami akan pergi ke mana saja yang kami ingini dan yang menarik perhatian kami."
"Tetapi kenapa Seca?"
Desak Ki Bekel.
"Nama itu sangat menarik perhatian. Aku ingin tahu, apa yang ada di balik nama itu."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun justru Glagah Putihlah yang bertanya.
"Apakah Ki bekel sering pergi ke Seca?"
Ki Bekel tergagap. Namun kemudian iapun menjawab.
"Sekali dua kali. Tetapi tidak terlalu sering."
"Baiklah Ki Bekel, Ki Demang. Kami minta diri. Contoh barang terlarang yang diperdagangkan itu akan kami tinggal saja disini. Terserah kepada Ki Demang. Tetapi mungkin untuk jangka yang agak panjang. Ki Demang dapat berhubungan dengan perguruan Awang-awang dan para Demang di sekitar bukit kecil itu. Meskipun mungkin agak jauh, tetapi jika sepanjang jalan perdagangan ini akan menjadi aman, maka perdagangan di daerah inipun akan menjadi ramai kembali."
"Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian kalian, Ki Glagah Putih berdua."
"Bukankah itu sudah menjadi kewajiban kami? Siapakah yang menemui persoalan seperti yang kami temui, tentu juga akan melakukan hal yang sama."
"Hanya mereka yang memiliki kemampuan dapat merebut barang-barang terlarang itu dari tangan sekelompok perampok dan penyamun."
"Mereka memang sekelompok perampok dan penyamun. Tetapi mereka sekedar orang-orang yang hanya pandai menggertak."
Demikianlah. Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera meninggalkan rumah Ki Demang. Dalam pada itu, sepeninggal Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Bekelpun segera minta diri pula.
"Begitu tergesa-gesa Ki Bekel. Tetapi Ki Bekel belum mengatakan keperluan Ki Bekel datang menemui aku."
"Aku tidak sengaja mencari Ki Demang. Aku hanya lewat. Dari jalan aku melihat lewat pintu regol yang terbuka ada dua orang tamu duduk di pringgitan. Tiba-tiba saja aku ingin singgah."
"O,"
Ki Demangpun mengangguk-angguk.
"Tetapi apakah Ki Bekel tidak duduk dahulu?"
"Terima Kasih Ki Demang."
Ki Bekelpun kemudian meninggalkan regol halaman Ki Demang. Namun demikian ia sampai di tikungan, maka Ki Bekelpun berjalan semakin cepat, langsung pulang ke rumahnya. Demikian ia sampai di rumah, iapun segera berteriak memanggil kepercayaannya.
"Ancak Liman."
"Ada apa Ki Bekel,"
Seseorang yang tinggi dan besar tubuhnya tidak kalah dari Ki Bekel muncul dari pintu butulan. Orang yang dipanggil Ancak Liman itupun kemudian duduk di ruang dalam menghadap Ki bekel yang wajahnya nampak gelap.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada berita buruk yang harus kau dengar,"
Berkata Ki Bekel.
"Berita buruk apa, Ki Bekel?"
"Apa yang terjadi di pasar itu telah diketahui oleh Ki Demang. Tukar menukar candu dan barang-barang hasil rampokan itu ada yang itu melihat dan menyampaikannya kpada Ki Demang."
"Siapa orangnya, Ki Bekel? Bukankah persoalannya mudah saja. Orang itu akan aku singkirkan."
"Jangan berceloteh. Dua orang suami isteri itu berhasil merampas candu itu dari tangan Jati Ngarang."
"He? Hanya dua orang? Apalagi yang seorang adalah perempuan?"
"Ya."
"Omong kosong. Tentu hanya bualan yang tidak berarti apa-apa. Seperti seekor anjing kudisan yang menggonggong di pinggir jalan."
"Tetapi orang itu membawa bukti. Candu yang dirampasnya dari Jati Ngarang itu telah dimusnahkannya. Tetapi ia menyimpan sedikit dan mereka berikan kepada Ki Demang."
"Seandainya demikian, Ki Demang mau apa? Sedangkan persoalan yang timbul diantara keluarganya sampai sekarang masih belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Apalagi mengurus persoalan yang gawat itu."
"Jangan meremehkan persoalan ini. Kedua orang suami isteri itu akan pergi ke Seca."
"Sudah aku katakan, aku akan menyingkirkan orang itu. Mereka tidak akan pernah sampai ke Seca."
"Apakah kau lebih kuat dari gerombolan Jati Ngarang?"
"Tentu bukan aku seorang diri,"
Jawab Ancak Liman.
"aku akan berhubungan dengan orang-orang yang memiliki kelebihan dari gerombolan Jati Ngarang. Tetapi Ki Bekel tentu tahu, bahwa dengan demikian, kita akan mengeluarkan beaya cukup tinggi."
"Kau gila. Kau kira aku dapat menimba uang dari sumur di belakang rumah."
"Tetapi hubungan Ki Bekel dengan Jati Ngarang dan Ki Samektaguna itu juga menghasilkan uang?"
"Kau mulai memeras?"
"Tentu tidak Ki Bekel. Atau kita biarkan saja dua orang suami isteri itu pergi ke Seca. Mereka tentu tidak tahu apa-apa tentang keberadaan Ki Samektaguna di Seca. Jika mereka mengucapkan kata Seca itu, tentu hanya kebetulan saja Ki Bekel berkepentingan dengan tempat itu."
"Setan kau Ancak Liman."
"Sekarang, terserah saja kepada Ki Bekel, apa yang harus aku lakukan. Aku tinggal melaksanakannya saja."
"Singkirkan kedua orang suami isteri itu. Dengan siapapun kau akan bekerja sama. Telusuri perjalanan keduanya. Bahkan seandainya mereka sudah ada di Seca. Jika kau sampai ke Seca, maka yang lebih dahulu harus kau hubungi adalah Ki Samektaguna agar ia berhati-hati. Ajak orang itu bersamamu menyingkirkan kedua orang suami isteri itu. Nama laki-laki itu adalah Glagah Putih.
"Baik, baik Ki Bekel."
"Kau tentu juga akan mendapat ganjaran dari Ki Samektaguna karena kau sudah memberikan keterangan tentang kedua orang suami isteri itu."
"Ah, belum tentu, Ki Bekel. Mereka tahu kalau aku adalah orang Ki bekel, sehingga mereka tentu yakin bahwa aku sudah menerima ganjaran dari Ki Bekel."
"Edan kau, Ancak Liman. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau sering menipuku"
Ancak Liman itu tertawa. Katanya.
"Tetapi tugasku kali ini cukup berat Ki Bekel. Aku harus memasuki satu dunia yang menyeramkan. Ki Bekel tahu, bahwa orang-orang yang terlibat dalam perdagangan candu adalah orang-orang yang tidak mengenal tenggang-rasa sama sekali. Ki Bekel tahu bahwa di lingkungan mereka yang paling dihargai adalah ujung-ujung senjata disamping uang."
"Bodoh kau. Tentu aku tahu. Karena itu kau tidak usah menggurui aku."
"Aku tidak bermaksud menggurui Ki Bekel. Tetapi yang aku tahu, bahwa Ki bekel itu sangat pelit. Bukankah langkah-langkah yang aku ambil itu selalu mempertaruhkan nyawa?"
"Persetan kau. Setiap ada tugas yang harus kau lakukan kau selalu mengatakan bahwa taruhannya adalah nyawa. Bukankah sejak semula kau sudah tahu bahwa tugas-tugas yang akan kau lakukan selalu harus mempertaruhkan nyawa?"
Ancak Liman tertawa. Katanya, Baiklah Ki Bekel. Aku akan melakukannya tugas ini sebaik-baiknya. Kedua orang suami isteri itu akan aku cari. Mereka berdua tentu akan segera hilang dan tidak akan pernah diketemukannya lagi."
"Bagus. Tetapi kau jangan sekedar membual. Setelah itu kita akan berbicara tentang Ki Demang."
"Biarkan saja Ki Demang. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangan menambah musuh."
"Tidak. Kita tidak akan menanganinya sendiri. Tetapi kita akan menopang pada kemelut yang terjadi di lingkungan keluarganya. Ibu tirinya misih berusaha agar anak laki-lakinya itu dapat menjadi Demang di kademangan ini."
Ancak Liman mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Bekelpun berkata.
"Nah pergilah. Kau harus berhasil agar perdagangan itu tidak terganggu. Kau tahu artinya arus perdagangan itu bagi kita. Bagi kesejahteraan kita!"
"Ya, Ki Bekel,"
Jawab Ancak Liman.
"aku akan segera berangkat. Tetapi jangan batasi waktu. Mungkin sehari. Tetapi mungkin sepekan."
"Sebelum kau berhasil membunuh suami isteri yang mencampuri urusan orang lain itu, kau jangan pulang kembali."
"Baik, Ki Bekel."
"Nah, sekarang pergilah."
"Pergi begitu saja?"
"Lalu apa lagi?"
"Aku akan pergi ke Seca Ki Bekel. Aku akan menghubungi orang-orang yang berilmu tinggi, melampaui kemampuan sekelompok orang yang dipimpin oleh Jati Ngarang itu. Selebihnya aku akan tinggal di Seca atau dimanapun juga, untuk beberapa hari."
"Uang? Bukankah itu yang akan kau katakan?"
"Itulah Ki Bekel. Ki Bekel tentu tahu, bahwa aku memang memerlukan uang banyak."
"Gila kau Ancak Setan."
"Ah, bukankah yang aku minta ini wajar?"
Ki Bekelpun kemudian masuk ke dalam biliknya. Dibawanya sekampil kecil uang dan diberikannya kepada Ancak Liman.
"Kau tahu nilai uang itu. Karena itu, kau harus berhasil."
"Tentu Ki Bekel. Jangan cemas. Tetapi bukankah uang ini juga berasal dari orang-orang yang memperdagangkan candu itu?"
"Diam kau. Aku robek mulutmu itu."
Ancak Liman tertawa. Katanya.
"Jangan marah Ki Bekel. Aku akan melakukan tugasku sebaik-baiknya."
Dengan membawa sekampil kecil uang, Ancak Liman itupun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel.
Hari itu juga Ancak Liman telah menghubungi saudara-saudara seperguruannya.
Perguruan yang dibayangi oleh kuasa kegelapan.
Disebuah dataran yang terletak di sebuah lekuk tanah yang rendah, Ancak Liman mengetuk pintu sebuah rumah yang dikelilingi oleh halaman yang terhitung luas, dengan dinding kayu gelondongan yang dipancangkan berdiri berjajar rapat di sekelilingnya.
Gumuk-gumuk kecil yang terdapat di sekitarnya, seolah-olah telah memisahkan lingkungan itu dengan dunia disekitarnya.
Ketika Ancak Liman memasuki regol halaman rumah itu.
Sebuah anak panah meluncur dan tertancap di daun pintu regol.
Ancak Liman tidak terkejut.
Ia tahu bahwa setiap tamu akan dihentikan dengan cara itu, demikian mereka memasuki regol halaman yang luas itu.
Ancak Liman pun berhenti di pintu regol.
Ia harus menunggu sehingga ia diijinkan memasuki halaman itu.
Beberapa saat kemudian, dua orang turun dari pendapa rumah itu dan berjalan menuju ke regol halaman.
Seorang diantara mereka membawa busur dengan anak panah yang sudah melekat.
Namun seorang diantara mereka tiba-tiba saja berteriak.
"He, kaukah ini kakang."
Ancak Liman lertawa. Katanya.
"Mata kalian sudah menjadi rabun bukankah belum lama aku baru menengok kalian."
"Tetapi tugas kami menghentikan setiap orang yang memasuki halaman rumah ini, kakang."
"Aku tahu. Kalian adalah orang-orang yang telah menjalankan tugas kalian dengan baik."
"Terima kasih atas pujian ini."
Ancak Limanpun kemudian berjalan bersama dengan kedua orang saudara seperguruannya itu.
"Apakah guru ada? "
"Ada. Sudah beberapa hari ini guru tidak pergi kemana-mana. Nampaknya guru merasa agak letih."
"Kenapa? Apa yang sudah dilakukannya?"
"Guru telah mencampuri perselisihan yang terjadi antara dua keluarga yang bermusuhan. Guru harus melenyapkan beberapa orang terpenting dari salah satu keluarga yang bermusuhan itu, sementara orang-orang yang harus disingkirkan itu juga mempunyai dukungan dari beberapa orang pembunuh upahan yang berilmu tinggi, sehingga guru harus mengerahkan kemampuannya."
"Kalian ikut bersama guru?"
"Aku ikut bersama guru,"
Jawab yang seorang.
"Aku bertugas menunggui rumah,"
Sahut saudara seperguruannya.
"sebenarnya aku juga ingin bersama guru. Tetapi tidak ada yang dapat dipercaya untuk tetap tinggal."
"Kalian mempunyai tugas kalian masing-masing yang sama beratnya,"
Berkata Ancak Liman.
"tetapi bukankah guru berhasil?"
"Ya. Guru berhasil menyelesaikan tugasnya. Tetapi dua orang saudara seperguruan kita terbunuh."
"Dua orang terbunuh?"
Ancak Liman terkejut.
"Ya. Jumlah kita memang semakin menyusut."
Ancak Liman menarik nafas panjang.
"Marilah, kakang. Silahkan duduk,"
Seorang diantara kedua orang yang menyongsongnya itu mempersilahkan duduk.
"aku akan menyampaikannya kepada guru bahwa kakang telah datang kemari."
Ancak Liman yang diperlakukan sebagai tamu itupun kemudian duduk di pringgitan ditemui oleh seorang saudara seperguruannya, sedangkan yang lain masuk ke ruang dalam untuk menemui gurunya.
Sejenak kemudian, seorang yang bertubuh tinggi besar dan bermata cekung, keluar dari ruang dalam.
Rambutnya yang sebagian tergerai di bawah ikat kepalanya itu sudah mulai nampak keputih-putihan.
Namun orang itu masih tetap nampak perkasa.
"Kau Ancak Liman,"
Suaranya berat bernada rendah.
"Ya, guru."
"Kenapa kau datang kemari?"
Bertanya gurunya sambil duduk di hadapan Ancak Liman. Ancak Liman menarik nafas panjang. Sebelum ia menjawab, gurunya sudah menebak.
"Kau tentu datang untuk minta tolong kepadaku atau kepada saudara-suadara seperguruanmu."
Ancak Liman tersenyum. Katanya.
"Ya, guru."
"Kau memang keras kepala. Sudah aku beritahukan kepadamu, bahwa kau tidak usah pergi ke Bekel gemblung itu. Tinggallah disini bersama-sama dengan kami."
"Aku ingin mendapat pengalaman yang berbeda guru."
"Nah, dalam keadaan yang sulit, kau masih juga lari kemari untuk meminta bantuan."
"Jika aku tidak lari kepada guru, lalu aku harus lari kemana lagi?"
"Monyet buruk. Katakan. Bantuan apa yang kau perlukan."
"Guru. Bukankah aku pernah mengatakan bahwa Ki Bekel telah terlibat dalam perdagangan barang-barang terlarang?"
"Candu?"
"Ya."
"Lalu kenapa?"
"Ada beberapa hubungan baru yang telah dilakukan oleh Jati Ngarang, seorang pemimpin perampok yang mempunyai hubungan khusus dengan kami."
"Nama itu pernah kau sebut."
"Ya. Sekarang orang itu membuka hubungan baru. Ia telah membuka perdagangan dengan seorang pedagang keliling. Tetapi dua orang suami ister agaknya telah melacak hubungan itu, sehingga keduanya telah berhasil merampas barang barang-barang yang sudah berada di tangan Jati Ngarang. Tetapi ia telah menyimpan sedikit diantaranya sebagai barang bukti yang telah diserahkan kepada Ki Demang."
"Demang di kademanganmu?"
"Ya."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa dengan Demangmu itu? Bukankah ia tidak akan dapat berbuat apa-apa?"
"Ya. Tetapi dua orang suami istri itulah yang kami cemaskan. Sekarang mereka pergi ke Seca. Jika ia berhasil melacak perdagangan itu dan berhubungan dengan para penguasa di daerah Utara ini, maka perdagangaan itu akan dapat terhenti."
"Jika perdagangan itu terhenti apa keberatanmu?"
"Ah guru. Perdagangan itu memberikan keuntungan yang besar bagi Ki Bekel tanpa berbuat apa-apa. Ia hanya berpura-pura tidak tahu bahwa di lingkungannya telah terjadi pertukaran dan perdagangan barang-barang terlarang itu saja. Bahkan ia mempunyai alasan, seandainya perdagangan itu akhirnya diketahui dan Ki Bekel dipersalahkan karena tidak berbuat apa-apa, maka Ki Bekel akan dapat mengatakan bahwa ia tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mencegahnya."
"Tetapi kenapa ia tidak melaporkannya?"
"Sampai sekarang Ki Bekel masih pura-pura tidak tahu."
"Setelah ada dua orang suami isteri yang melaporkan kepada Ki Demang, apa kata Ki Bekel?"
"Kata Ki Bekel, kedua orang itu harus dimusnahkan. Kemudian Ki Bekel baru akan mengurusi Ki Demang."
"Kau datang untuk tugas-tugas itu?"
"Ya, guru. Aku datang untuk minta bantuan kepada guru. Kita akan mencari dua orang suami isteri itu dan memusnahkannya."
"Kau tahu, untuk mempergunakan tenagaku, aku minta beberapa syarat."
"Tetapi ini lain, guru. Akulah yang memohon kepada guru."
"Jadi kau sudah diperalat oleh Ki Bekel untuk memeras tenagaku tanpa imbalan apa-apa?"
"Imbalannya adalah kesejahteraan hidupku kelak, guru. Jika kita berhasil melenyapkan kedua orang suami isteri itu, maka perdagangan gelap itu akan berlangsung terus. Ki Bekel memang mendapat penghasilan yang sangat baik, tetapi aku mendapat lebih banyak dari Ki Bekel, karena akulah jalur hubungan antara Ki Bekel dengan Jati Ngarang dan para pedagang itu."
"Kau memang ular yang licik, Ancak Liman. Tetapi kau harus tahu, bahwa untuk melakukannya, mungkin akan jatuh korban diantara kita. Apakah keuntungan yang kau dapatkan dengan hubungan itu seimbang dengan korban yang bakal diberikan? Sedangkan yang akan menjadi korban itu adalah saudara-saudara seperguruanmu. Bahkan mungkin kau sendiri."
"Guru,"
Berkata Ancak Liman kemudian.
"jika kali ini kita berhasil, maka jangkauan niatku tidak akan berhenti disini."
"Lalu apa?"
"Jalur perdagangan kita ambil alih. Kita musnahkan Jati Ngarang dan gerombolannya."
"Hati-hatilah bersikap, Ancak Liman. Jati Ngarang tidak berdiri sendiri. Selain kelompoknya, ia tentu berhubungan dengan gerombolan-gerombolan lain."
"Tetapi agaknya dalam perdagangan gelap ini lain guru. Jati Ngarang tidak berniat berbagi ladang dengan orang lain."
Gurunya mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya.
"Bagaimana dengan Ki Bekel?"
"Tidak apa-apa, Guru. Kita beri Ki Bekel percikan sekedarnya saja. Jika ia banyak tingkah, maka kita akan mencekiknya sampai mati."
"Jika itu rencanamu, aku dapat mendukungnya, Ancak Liman. Tetapi bukankah kau tidak akan mengkhianati aku?"
"Bagaimana mungkin aku berkhianat kepada guru. Bukankah guru akan dapat memburuku dan membunuh kapan saja guru kehendaki tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk dapat membela diri?"
"Baiklah. Kau memang seorang yang pandai membujuk. Sekarang kau pun telah berhasil membujukku tetapi ingat, Ancak Liman, uang dapat membuat seseorang menjadi gila. Seseorang menjadi lupa akan dirinya dan tidak mengenal kiblat lagi."
"Aku mengerti guru. Tetapi disamping itu, ketakutan untuk diburu dan dibunuh oleh guru agaknya lebih besar dari kerakusanku memburu uang."
Gurunya tertawa. Katanya.
"Lidahmu memang bercabang, Ancak Liman."
"Ampun guru. Aku berani bersumpah."
"Baiklah. Aku akan membawa empat orang terbaik dari perguruan ini. Malam nanti aku akan berada di sanggar untuk melakukan samadi. Aku ingin berhubungan dengan pepundenku untuk minta kekuatan agar kita dapat berhasil."
"Silahkan guru,"
Sahut Ancak Liman.
Hari itu, guru Ancak Liman telah memerintahkan membakar merang padi gaga.
Ia akan mandi keramas sehingga tubuhnya akan dibersihkan dari segala noda.
Kemudian dimalam harinya, guru Ancak Liman itu akan menghadap pepundennya di sanggar pemujaan.
Ketika malam turun, maka segala sesuatunya sudah dipersiapkan di sanggar.
Anglo, arang batok kelapa, tempayan, bunga setaman dan dlupak minyak kelapa.
Menjelang tengah malam, maka dlupak minyak kelapapun dinyalakan.
Demikian pula arang batok kelapa di anglo itupun telah membara pula.
Asapnya membumbung tinggi, kemudian kemenyan itu menyala.
Apinya yang merah menjilat-jilat seolah-olah menari diatas panasnya bara batok kelapa.
Guru Ancak Liman itupun kemudian menaburkan kembang setaman itu kedalam air yang dituang kedalam tempayan.
Sebilah keris pusakanya telah dicelupkan kedalam air kembang setaman itu.
Tiba-tiba saja air kembang setaman itu menjadi kemerah-merahan seperti darah.
Busa-busa kecil bermunculan dari dasar tempayan.
Bahkan kemudian, air bunga setaman didalam tempayan itu bagaikan mendidih.
Beberapa saat lamanya guru Ancak Liman itu duduk menghadap tempayan yang airnya sudah menjadi merah dan bagaikan mendidih itu.
Diucapkannya mantra-mantra yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
Keringat mengalir di seluruh tubuhnya, sehingga pakaiannya menjadi basah kuyup.
Namun akhirnya, warna air di tempayan itu berangsur menjadi jernih kembali.
Warna merah darah itupun berangsur menjadi semakin tipis dan akhirnya hilang sama sekali.
Air di tempayan itupun tidak lagi bergejolak bagaikan mendidih.
Akhirnya guru Ancak Liman itu menarik nafas panjang.
Iapun segera mengakhiri samadinya.
Demikian ia keluar dari sanggar, maka Ancak Limanpun segera mendapatkannya sambil bertanya.
"Bagaimana guru. Apakah ada isyarat bahwa usaha kita akan berhasil?"
"Kiai Godong Tales yang menunggui bukit disisi kiri, serta Kiai Arang Ori yang menunggui gumuk disisi kanan akan membantu kita. Agaknya kita akan berhasil."
Bagaimana dengan Nyai Sendawa yang menunggui sendang dibawah lengkeh bukit itu, guru."
"Aku belum berhasil menghubunginya. Tetapi aku akan langsung datang ke sendang itu nanti di dini hari."
"Apakah aku boleh ikut?"
"Tidak. Tidak seorangpun boleh ikut. Nyai Sendawa akan dapat kamanungsan."
Ancak Liman menarik nafas panjang.
Sebenarnyalah di dini hari, gurunya telah meninggalkan rumahnya pergi ke sendang kecil di bawah lengkeh bukit.
Ketika fajar menyingsing, maka guru Ancak Liman itu sudah berada di rumahnya kembali dengan penuh keyakinan iapun berkata.
"Semuanya sudah berhasil aku hubungi. Kita akan pergi dengan kepastian bahwa usaha kita akan berhasil. Kedua orang suami isteri itu memang pergi ke Seca. Kita akan menemukannya dan membunuh mereka. Setelah itu, maka kita akan melaksanakan rencana sebagaimana kau katakan tadi. Kita akan menguasai perdagangan barang-barang terlarang itu di daerah ini setelah kita hancurkan Jati Ngarang."
"Baiklah, guru. Kita harus segera berangkat sebelum kedua orang suami isteri sempat menemukan jalur perdagangan itu di Seca, sehingga ia dapat bertindak semakin jauh."
Guru Ancak Liman itupun segera mempersiapkan diri dibawanya ampat orang muridnya yang terbaik.
Seorang diantara mereka adalah Ancak Liman itu sendiri.
Namun sebelum mereka pergi ke Seca, gurunya telah memerintahkan kepada Ancak Liman untuk mencari hubungan dengan Jati Ngarang.
Apakah Jati Ngarang mau berterus terang tentang kedua orang suami isteri yang telah mengalahkannya itu.
"Tetapi jika kedua orang suami isteri itu yang membual? "
"Mungkin saja. Karena itu hubungi Jati Ngarang."
Di hari berikutnya Ancak Liman telah mencari hubungan dengan Jati Ngarang untuk meyakinkan, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Ketika Ancak Liman memasuki sarang Jati Ngarang, maka dilihatnya beberapa orang terbaik dari para pengikut Jati Ngarang itu telah terluka.
Bahkan Jati Ngarang sendiri telah terluka pula.
"Apa yang terjadi? "
Bertanya Ancak Liman.
"Tidak apa-apa,"
Jawab Jati Ngarang.
"Orang-orangmu dan bahkan kau sendiri terluka."
"Akibat wajar dari pekerjaan yang telah aku pilih. Bahkan matipun akan dapat terjadi setiap saat."
Ancak Liman mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata.
"Aku datang untuk meyakinkan hasil pertukaran yang kau lakukan di pasar itu. Bukankah kau mempunyai jalur baru untuk mendapatkan candu itu?"
"Setan kau Ancak Liman.
"geram Jati Ngarang.
"jangan-jangan kaulah yang telah berkhianat."
"Kenapa?"
"Jika kau telah berkhianat, maka aku akan membunuhmu seperti membunuh Sura Bledug dan setelah itu Kerta Pendek."
"Jangan menjadi gila, Jati Ngarang. Apa yang telah terjadi dengan gerombolanmu ?"
"Dua orang suami isteri telah datang merampas hasil pertukaran di pasar itu. Meskipun menurut keterangan mereka, yang mereka cari adalah Kitab Mega Mendung yang hilang dicuri oleh seseorang yang disebutnya Kasan Barong. Kedua orang itu menduga, bahwa akulah Kasan Barong yang mereka cari."
"He? Apa hubungannya perdaganganmu dengan kitab Mega Mendung itu?"
"Tentu tidak ada. Mungkin hanya kesalahpahaman. Tetapi mereka telah merampas peti yang diduganya berisi kitab yang aku sembunyikan."
"Apakah peti itu berisi candu ?"
"Ya."
"Jadi kau kehilangan candumu?"
"Ya.."
"Jangan bohong Jati Ngarang. Kau tentu hanya ingin menghindari kewajibanmu membayar pajak kepada Ki Bekel."
"Setan kau Ancak Liman. Jangan membuat aku menjadi semakin gelisah. Aku sudah kehilangan hartaku yang tidak sedikit untuk menukar candu itu. Akhirnya candu itu jatuh ke tangan orang lain yang tidak berhak. Bahkan mungkin orang itu tidak tahu benda apakah yang berada di dalam peti itu."
Ancak Liman tertawa. Katanya.
"Kau, yang bergelar Jati Ngarang, yang ditakuti oleh banyak orang didaerah ini harus tunduk kepada hanya dua orang suami isteri."
"Sambar petir kepalamu Ancak Liman. Kedua orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi."
"Jika kau mengancam agar aku tidak berkhianat, akupun akan membuat perhitungan jika kau yang berkhianat kepada Ki Bekel."
"Tutup mulutmu atau aku akan menyumbatnya dengan sabut kelapa."
Ancak Liman tertawa. Katanya.
"Baik. Baik. Jika yang kau katakan itu benar, maka aku akan menunggu perkembangan selanjutnya."
"Tetapi jika akhirnya aku menemukan bukti bahwa kau telah berkhianat, maka jangan menyesali nasibmu dan nasib Bekelmu yang tamak itu."
Ancak Limun pun kemudian meninggalkan Jati Ngarang. Masih dengan suara tertawanya ketika Ancak Liman itu keluar dari pintu rumah sarang gerombolan Jati Ngarang itu. Namun orang yang bertubuh tinggi besar dan berdada lebar membentaknya.
"Apa yang kau tertawakan? Jika kau mentertawakan kami, maka kau akan dapat aku cincang disini."
Ancak Liman berhenti. Dipandanginya orang bertubuh raksasa itu dari ujung kepalanya sampai ke ujung kakinya.
"Apakah kau tidak pernah tertawa?"
Sahut Ancak Liman itu.
"Sikapmu membuat jantungnya bagaikan tersulut api. Untung Ki Lurah masih sabar."
"Kau bersikap seperti itu kepadaku? Aku akan memutar kepalamu."
"Iblis. Kau berani mengancamku?"
Tetapi sebelum Ancak Liman menjawab, Jati Ngarangpun berkata.
"Biarkan orang itu pergi."
"Orang itu sangat memuakkan,"
Sahut orang bertubuh raksasa itu.
"Jangan hiraukan."
"Justru aku yang menghiraukannya,"
Sahut Ancak Liman.
"jika kau ijinkan, aku akan memberikan sedikit peringatan kepada orangmu yang tidak tahu diri itu."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus,"
Sahut orang bertubuh raksasa itu.
"Lurahe tentu tidak akan berkeberatan."
Jati Ngarang itu merenung sejenak. Sementara orang bertubuh raksasa itupun berkata selanjutnya.
"Bukankah orang ini orang upahan Ki Bekel? Apa kelebihannya? Mungkin bagi orang-orang sepadukuhannya, ia sangat ditakuti tetapi bagi kami disini, ia tidak lebih dari tikus kecil sakit-sakitan."
"Beri aku kesempatan, Jati Ngarang."
Jati Ngarang itu merenung sejenak. Namun kemudian iapun berkata.
"Baiklah. Tetapi kalian berdua harus bersikap jantan. Maksudku, yang kalah harus mengaku kalah."
"Terima kasih,"
Sahut Ancak Liman sambil tertawa.
Beberapa saat kemudian, maka Ancak Liman dan orang yang bertubuh raksasa itu sudah berada di dalam arena.
Kawan-kawan orang bertubuh raksasa itu melingkari arena itu sambil berteriak-teriak.
Patahkan tangannya.
Patahkan kakinya."
"Tidak,"
Bentak Jati Ngarang.
"yang akan berlangsung di arena adalah sekedar mengetahui, siapakah yang lebih tinggi ilmunya diantara mereka. Aku tidak ingin membuat persoalan dengan gerombolan-gerombolan lain. Aku tahu, bahwa Ancak liman itu tidak berdiri sendiri jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan seberani itu di dalam lingkungan kita disini. Aku hanya ingin tahu, siapakah yang lebih baik dari keduanya. Siapakah yang mulutnya saja yang lebar, tetapi kemampuannya tidak lebih dari ingusan yang hanya pantas menggembala itik."
Ancak Liman justru tertawa. Katanya.
"Tepat. Tidak lebih dari anak ingusan yang hanya pantas menggembala kambing."
Orang bertubuh raksasa itupun menggeram.
"Bersiaplah. Jika lehermu patah, itu bukan kesalahanku. Tetapi tulang-tulangmulah yang terlalu rapuh."
Ancak Liman tidak menjawab.
Tetapi iapun segera mempersiapkan diri.
Ternyata Ancak Liman sengaja memamerkan kemampuannya di dalam lingkungan gerombolan yang dipimpin oleh Jati Ngarang.
Pada suatu saat, ia akan datang bersama guru dan saudara-saudara seperguruannya untuk menghancurkan gerombolan itu dan merebut jalur perdagangan barang terlarang di daerah itu.
Sejenak kemudian, kedua orang itu telah terlibat dalam perkelahian.
Ancak Liman yang sedang memamerkan kemampuannya itu dengan cepat berusaha mendesak lawannya.
Bahkan iapun dengan cepat pula telah meningkatkan kemampuannya semakin tinggi.
Ternyata orang bertubuh raksasa itu tidak diberinya kesempatan, sejak perkelahian itu dimulai, maka Ancak Limanlah yang menguasai arena perkelahian itu.
Serangan-serangannya telah datang beruntun tanpa henti-hentinya.
Orang bertubuh raksasa itu terkejut mengalami serangan-serangan yang datang seperti prahara.
Iapun berusaha meloncat mundur untuk mengambil jarak dan ancang-ancang.
Tetapi Ancak Liman tidak melepaskannya.
Serangan-serangan justru selalu memburunya.
Sekali-sekali lawannya yang bertubuh raksasa itu juga mendapat kesempatan.
Tetapi serangan-serangannya menjadi tidak berarti lagi.
Setiap kali orang yang bertubuh raksasa itu terlempar dan terbanting jatuh.
Mula-mula orang itu dengan cepat bangkit dan bahkan berusaha untuk berganti menyerang.
Tetapi semakin lama setelah beberapa kali ia terpelanting, maka punggungnyapun menjadi semakin terasa sakit.
Sehingga pada suatu kali, kaki Ancak Liman berhasil menembus pertahanannya dan menghantam lambung.
Orang bertubuh raksasa itu terlempar beberapa langkah surut.
Kemudian jatuh berguling menghantam sebatang pohon manggis.
Ketika orang itu berusaha untuk segera bangkit, terasa tulang punggungnya bagaikan menjadi retak.
Lambungnya menjadi nyeri peti i perutnyapun menjadi mual.
Sehingga sesaat ia terhuyung-huyung.
Akhirnya orang itupun jatuh terkulai di tanah.
"Cukup,"
Teriak Jati Ngarang.
"kau telah memenangkan perkelahian ini."
"Sayang, bahwa orangmu tidak mampu membuat aku berkeringat setitikpun terlalu lemah dan tidak berdaya."
"Tetapi ingat, bahwa orang itu adalah orang pada urutan terakhir dalam tataran kemampuan dari orang-orangku."
Ancak Liman tertawa.
Ia tidak menjawab.
Tetapi iapun melangkah pergi meninggalkan arena perkelahian itu.
Tertatih-tatih orang bertubuh laksasa itu bangkit berdiri.
Namun demikian ia berhasil berdiri tegak, maka tangan Jati Ngarang telah terayun menampar wajahnya.
"Kau tidak pantas menjadi salah seorang pengikutku,"
Geram Jati Ngarang.
"Ampun Ki Lurah. Mungkin aku terlalu meremehkannya, sehingga aku menjadi lengah. Tetapi pada kesempatan yang lain, aku akan memperbaiki kesalahanku ini."
"Kau tidak usah membual,"
Jati Ngarang membentak. Lalu katanya.
"Yang terjadi menjadi peringatan bagi yang lain. Orang upahan itu saja mampu mengalahkan salah seorang dari kita yang selama ini kita anggap orang yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi ternyata hanya tubuhnya dan mulutnya sajalah yang besar."
Tidak seorangpun menyahut.
Mereka tahu benar bahwa pemimpinnya yang bernama Jati Ngarang itu sedang marah.
Benar-benar marah.
Ketika Jati Ngarang kemudian meninggalkan arena, maka dua orang kawan dari orang bertubuh raksasa itupun memapahnya ke baraknya.
Dalam pada itu, Ancak Liman itupun segera menemui gurunya untuk melaporkan, bahwa Jati Ngarang benar-benar telah bertemu dengan dua orang suami isteri yang mendapat tugas dari gurunya untuk mengambil kembali kitab perguruannya yang hilang.
"Tadi keduanya semula tidak tahu, bahwa Jati Ngarang telah melakukan perdagangan candu."
"Nampaknya begitu. Bahkan kedua orang itu menyebut Jati Ngarang dengan Kasan Barong."
Guru Ancak Liman itu mengangguk-angguk. Katanya.
"Dengan demikian yang terjadi atas Jati Ngarang itu bermula dari kesalahpahaman. Tetapi persoalannya tentu berkembang. Kedua suami isteri itu bukan tidak tahu apa yang telah berhasil di rampasnya, karena ia justru telah melaporkan kepada Ki Demang dengan membawa bukti."
"Ya,"
Ancak Liman mengangguk-angguk.
"Baiklah. Siapapun kedua orang suami isteri itu, akan kita temui mereka di Seca. Untuk membuka rencana kita merebut pasaran candu itu, maka keduanya harus dibunuh."
Hari itu pula, Guru Ancak Liman telah pergi ke Seca untuk menjajagi kemungkinan baru bagi gerombolannya.
Ancak Limau yang berjalan diantara saudara-saudara seperguruannya dan bahkan gurunya itu tersenyum-senyum.
Ia sudah mendapat uang cukup banyak dari Ki Bekel yang seharusnya diberikannya kepada gurunya sebagai upah dari tugas yang dibebankannya kepada Ancak Liman.
Membunuh dua orang suami isteri yang telah mengetahui, sengaja atau tidak sengaja, rahasia perdagangan gelap itu.
Namun Ancak Liman berhasil membujuk gurunya bersama beberapa orang saudara seperguruannya untuk pergi bersamanya tanpa upah sekeping uangpun.
Perjalanan ke Seca adalah perjalanan yang agak panjang.
Apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan yang tidak merasa terikat oleh waktu, sehingga harus menempuh perjalanan mereka dengan tergesa-gesa.
Itulah sebabnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mencapai Seca di hari itu juga.
Mereka harus bermalam di perjalanan mereka.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di sebuah padang perdu yang terhitung luas.
Mereka duduk bersandar sebatang pohon yang besar, yang mencuat diantara gerumbul-gerumbul perdu dan rerumputan yang terhampar di atas tanah yang tidak rata.
Di tempat yang agak jauh mereka melihat hutan yang terbentang memanjang.
Hutan yang agaknya masih liar.
Dibibir hutan itu nampak berjajar batang pohon pucang seolah-olah memagari hutan yang liar itu.
"Banyak pohon pucang di daerah ini,"
Desis Glagah Putih.
"Ya,"
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"bukan hanya di pinggir hutan itu, tetapi di padang perdu ini juga banyak terdapat pohon pucang."
"Kita akan membuat perapian,"
Berkata Glagah Putih.
Keduanya kemudian mengumpulkan kayu-kayu kering yang berserakan di sekitar pohon besar itu.
Merekapun segera menyalakan api untuk melawan udara dingin yang terasa sangat dingin.
Malam itu langit nampak jernih.
Bintang-bintang nampak berkerlipan.
Bulan hanya nampak sebentar.
Ketika malam menjadi makin dalam, maka bulanpun yang hanya sepotong itupun segera tenggelam di balik cakrawala.
Namun rasa-rasanya malam itu tidak saja terlalu dingin meskipun mereka sudah menyalakan perapian.
Tetapi ada perasaan lain yang terasa mengusik hati mereka.
Tetapi keduanya tidak tahu getar apakah yang telah menyentuh persaan mereka malam itu.
Justru karena itu, maka baik Glagsh Putih maupun Rara Wulan menjadi lebih berhati-hati.
Sampai hampir tengah malam, belum seorangpun diantara mereka yang telah tertidur.
Baru kemudian Glagah Putihpun berkata.
"Tidurlah Rara. Biarlah aku berjaga-jaga sambil memanasi tubuh diperapian."
"Kau tidak mengantuk, kakang?"
"Ada sesuatu yang membuatku tidak mengantuk malam ini."
"Apa?"
Glagah Putih menggeleng. Katanya.
"Aku tidak tahu."
"Baiklah, kakang. Aku akan tidur. Jika kakang mulai mengantuk, bangunkan aku."
Namun sebelum Rara Wulan memejamkan matanya, mereka melihat dua sosok bayangan di kegelapan yang datang mendekati mereka.
"Jangan tidur dahulu, Rara,"
Desis Glagah Putih.
Rara Walaupun kemudian duduk di samping Glagah Putih di dekat perapian.
Ternyata dua sosok bayangan itu langsung berjalan mendekati mereka berdua.
Beberapa langkah dari perapian mereka berhenti.
Seorang diantara merekapun berdesis.
"Selamat malam Ki Sanak."
"Selamat malam,"
Sahut Glagah Putih. Kedua orang itu melangkah semakin dekat. Seorang di antara mereka bertanya.
"Maaf Ki Sanak, bahwa kami telah mengganggu Ki Sanak berdua."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian bangkit berdiri. Dengan nada datar Glagah Putihpun bertanya.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah Ki Sanak berdua ini?"
Namun yang seorang diantara mereka menyahut.
"Kamilah yang seharusnya bertanya kepada kalian berdua."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu Glagah Putihpun kemudian menjawab.
"Kami berdua adalah dua orang suami isteri yang sedang mengembara, Ki Sanak."
"Mengembara ? Tanpa tujuan maksudmu?"
"Ya, Ki Sanak. Kami mengembara mengikuti langkah kaki. Kami tidak tahu, kami akan sampai kemana."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang yang lainpun bertanya pula.
"Apakah yang kau cari dalam pengembaraan kalian, Ki Sanak?"
"Kami ingin mendapat pengalaman bagi bekal hidup kami berdua di kemudian hari."
"Pengembaraan berbeda dengan pergi ngenggar-enggar penggalih, Ki Sanak. Dalam pengembaraan seseorang, mungkin sekali akan ditemuinya bahaya yang dapat mengancam jiwa."
"Asal kami tidak berbuat apa-apa yang dapat mengganggu orang lain, maka kami tidak akan menemui bencana seperti yang Ki Sanak katakan."
"Apa yang kau maui, belum tentu bahwa itulah yang terjadi. Suatu ketika di dalam pengebaraanmu, kau akan bertemu dengan peristiwa-peristiwa yang tidak kau inginkan. Bahkan mungkin sekali kau akan terperosk ke dalam kejadian-kejadian yang sangat membahayakan jiwa kalian. Kalian akan dapat masuk ke dalam satu kejadian yang memaksa kalian untuk melakukannya tanpa pilihan."
Glagah Putih mengangguk angguk. Katanya.
"memang mungkin hal seperti itu terjadi Ki Sanak. Tetapi kami berpegang kepada niat untuk tidak mencari kesulitan di sepanjang jalan pengembaraan kami. Jika kami berkelakuan wajar-wajar saja, aku kira kamipun akan diperlakukan dengan wajar oleh siapapun."
"Mudah-mudahan kalian benar."
"Sampai sekarang, kami dapat mengucap sokur, bahwa kami selamat sampai ditempat ini."
"Baiklah. Tetapi berhati-hatilah. Daerah ini bukan satu lingkungan yang tenang."
"Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi maaf jika aku bertanya sekali lagi, siapakah Ki Sanak berdua ini?"
"Aku Demang padukuhan Pucang. Kawanku ini adalah Ki Jagabaya. Kami melihat ada nyala api di padang perdu ini, sehingga kami memerlukan untuk menengoknya. Tidak biasa ada orang yang membuat perapian di padang perdu. Siapapun mereka."
"Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Demang dan Ki Jagabaya."
"Bahkan aku ingin menawarkan kepada kalian untuk bermalam di padukuhan kami dari pada kalian bermalam dipadang perdu ini."
"Terima kasih, Ki Demang,"
Jawab Glagah Putih sambil mengangguk hormat.
"kita sudah sampai separo malam. Karena itu, biarlah kami menghabiskan malam ini disini, Ki Demang."
"Jika itu pilihan kalian, terserah saja pada kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, berhati-hatilah. Malam di lingkungan terbuka di daerah ini kadang-kadang tidak bersahabat. Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan kalian."
"Sudah kami katakan, Ki Demang. Kami bersikap wajar-wajar saja kepada orang lain, sehingga agaknya orang lainpun akan memperlakukan kami dengan wajar."
"Baiklah. Selamat malam. Kami akan kembali ke padukuhan. Tetapi ingat, jika besok pagi kalian meninggalkan tempat ini, hendaknya perapian itu kau padamkan, sehingga kau yakin, bahwa tidak ada sepeletik apipun yang tersisa. Karena sepeletik api akan dapat membakar lingkungan ini, dan bahkan hutan di sebelah."
"Baik, Ki Demang. Kami akan melakukannya dengan baik."
Demikianlah keduanyapun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Sementara itu, perapian mereka masih tetap menyala menghangatkan tubuh mereka di tengah-tengah padang perdu yang dingin.
Ki Demang dan Ki Jagabayapun meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan dengan langkah-langkah panjang.
Ketika mereka kemudian hilang di kegelapan, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun tidak menghiraukannya lagi.
Dalam pada itu, langkah Ki Demang dan Ki Jagabayapun terhenti ketika mereka mulai menapak di bulak persawahan.
Beberapa orang yang berdiri di jalan bulak itu segera mengerumuninya.
Seorang diantara mereka melangkah maju sambil bertanya.
"Siapakah mereka Ki Demang. Apakah kami pantas mendatangi mereka?"
Ki Demang menggeleng. Katanya.
"Mereka hanyalah dua orang pengembara. Nampaknya mereka kelaparan di tempat tinggal mereka sehingga mereka pergi bertualang. Tidak ada yang kalian dapatkan dari mereka. Baju mereka kusut dan bahkan kumal. Mereka tidak membawa apa-apa selain sebatang tongkat kayu yang nampaknya dicabutnya dari pagar pategalan."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya.
"Aku sudah menduga, bahwa mereka adalah pengembara yang tidak berpengalaman sehingga membuat perapian di tempat terbuka. Kecuali mereka sengaja menjebak kami."
"Apalagi menjebak kalian, bahkan mereka tidak mengerti bahwa ditempat terbuka di daerah ini kadang-kadang dilewati segerombolan perampnk dan penyamun seperti kalian."
"Jangan singgung lagi. Nanti aku bakar rumah di seluruh kademanganmu."
"Maaf aku tidak bermakasud menyinggung perasaanmu."
Orang-orang yang menghentikan Ki Demang dan Ki Jagabaya itupun kemudian meninggalkan Ki Demang dan Ki Jagabaya yang berdiri termangu-mangu.
"Iblis-iblis itu sekarang lebih berkuasa dari seorang Demang,"
Geram Ki Demang setelah segerombolan perampok itu pergi.
"Apa boleh buat, Ki Demang. Jika kita tidak mau berkorban perasaan seperti ini, maka rakyat kitalah yang menjadi korban."
"Itulah yang aku pikirkan. Jika kita tidak hanya memikirkan diriku sendiri, maka aku tidak akan mau diperlakukan seperti ini meskipun aku tahu, bahwa aku tentu akan mereka bunuh."
"Kita harus bertahan hidup Ki Demang. Selagi kita masih hidup, kita akan dapat mencari jalan untuk menghancurkan, setidak-tidaknya mengusir mereka dari kademangan ini."
Dalam pada itu.
Rara Wulanpun telah tertidur sambil bersandar sebatang pohon yang besar, tidak jauh dari perapian.
Sementara itu Glagah Putih duduk sambil memanggang tangannya sehingga ia tidak menjadi kedinginan.
Di dini hari, Rara Wulan telah terbangun dengan sendirinya.
Kepada Glagah Putih iapun berkata.
"Gantian kakang. Silahkan jika kakang ingin tidur."
Glagah Putih kemudian memang menyandarkan dirinya ke pohon yang besar itu.
Tetapi Glagah Putih tidak tidur.
Meskipun sekali-sekali matanya terpejam, namun ia masih tetap menyadari apa yang terjadi disekelilingnya.
Menjelang matahari terbit, maka keduanyapun telah membenahi diri.
Mereka sempat pergi ke sebuah anak sungai yang meskipun alirannya tidak terlalu deras, namun keduanya dapat mencuci wajah mereka di air yang terasa sangat dingin.
Hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun merencanakan untuk sampai di Seca.
Mereka akan bermalam semalam.
Sementara di keesokan harinya, pasar Seca akan menjadi lebih ramai dari hari-hari biasanya, karena besok adalah hari pasaran.
"Mudah-mudahan kita dapat berhubungan setidak-tidaknya melihat saudagar yang telah memperdagangkan barang-barang terlarang itu."
"Ya. Bukankah menurut keterangannya, ia akan selalu berada di Seca pada hari-hari pasaran ?"
"Kita akan mencarinya besok."
"Apakah kita akan dapat berhubungan dengan para petugas yang berhak untuk menindak pedangang gelap itu?"
"Kita akan mencobanya. Tetapi kita tidak tahu, apakah para bebahu kademangan Seca berani bertindak."
"Jika tidak?"
"Kita akan bertindak atas nama kita sendiri. Jika mereka keberatan, maka kita akan mengalami kesulitan. Kita harus juga mempertimbangkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas rakyat Seca."
Keduanyapun terdiam sejenak.
Namun merekapun telah siap untuk berangkat menuju ke kademangan Seca.
Kademangan yang menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan adalah kademangan yang terhitung besar dan ramai, karena menjadi tempat pemberhentian para pedagang.
Bahkan menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, Seca adalah tempat yang tidak terlalu banyak diambah oleh para perampok dan penyamun, sehingga para pedagang banyak yang sempat singgah untuk menjual dan membeli dagangan.
Tetapi dalam perjalanan itu Glagah Putih berkata.
"Tetapi kita harus berhati-hati Rara. Mungkin Jati Ngarang telah memerintahkan orangnya untuk menghubungi pedagang yang telah memberikan barang barang terlarang itu, karena yang terdahulu telah kita rampas dan kita musnahkan."
"Memang mungkin sekali, kakang."
Kita harus memperhatikan kemungkinan, bahwa yang ditugaskan oleh Jati Ngarang adalah orang-orang yang telah bertempur melawan kita berdua, sehingga mereka akan dapat mengenali kita.
Dengan demikian, maka sulit bagi kita untuk dapat berhubungan dengan pedagang itu."
"Kita akan menunggu, kakang. Kita akan dapat menghubungi pedagang itu setelah petugas yang di kirim oleh Jati Ngarang itu setelah petugas yang dikirim oleh Jati Ngarang itu selesai."
"Ya. Itulah yang aku maksudkan, bahwa kita harus berhati-hati."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Demikianlah mereka sehari-harian berjalan menuju Seca.
Sekali mereka berhenti di sebuah kedai ketika matahari sedikit melewati puncak langit.
Di sore hari, ketika matahari sudah hampir tenggelam di cakarawala, keduanya telah memasuki sebuah padukuhan yang terhitung besar dan ramai, yang menurut kata orang, padukuhan itu adalah padukuhan Seca yang berada disebuah kademangan yang besar pula, yang juga bernama Seca.
Satu padukuhan yang terletak di hamparan tanah yang tidak terlalu rata.
Di Kademangan Seca ada padukuhan yang letaknya agak tinggi sementara padukuhan yang lain berada di satu dataran yang lebih rendah.
Sedangkan Seca adalah padukuhan yang terhitung besar.
Ditengah-tengah padukuhan Seca itulah terletak pasar Seca yang besar dan ramai.
Dikelilingi oleh keramaian yang menebar cukup luas.
Kedai-kedai yang bukan saja kedai makanan dan minuman, tetapi juga kedai-kedai yang berjualan kebutuhan sehari-hari.
Melihat lingkungan yang ramai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan menduga, bahwa kademangan Seca khususnya padukuhan induknya yang juga bernama Seca itu, adalah satu lingkungan yang tenteram.
Agaknya Seca tidak banyak diambah oleh para perampok yang berkeliaran di bulak-bulak panjang yang justru menuju ke Seca dan tempat-tempat ramai yang lain.
Tempat para pedagang menggelar atau membeli untuk dijual di tempat lain, dagangan mereka.
Meskipun matahari sudah menjadi semakin rendah, tetapi disekitar pasar Seca masih membekas keramaian pasar di hari itu.
Kedai-kedai di bebrapa tempat di padukuhan itupun masih terbuka.
Masih nampak pula beberapa orang yang sibuk disekitar pasar yang cukup besar itu.
"Besok pagi adalah hari pusaran,"
Desis Rara Wulan.
"Ya. Ada beberapa orang pedagang sudah berada di sini. Disebelah pasar itu tentu ada beberapa rumah penginapan. Beberapa pedati sudah berada di halaman penginapan yang luas itu."
"Pedati-pedati itu tentu mendapat pengawalan yang kuat,"
Berkata Rara Wulan.
"Ya. Tapi mungkin pedati-pedati itu dibawa oleh para pedagang dari arah lain. Mungkin jalan yang mereka lalui bukan jalan yang banyak berkeliaran perampok dan penyamun."
"Ya,"
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Yang aku ingin tahu, bagaimana dengan kademangan Seca ini sendiri."
"Apakah kita akan menemui Ki Demang, kakang?"
"Aku masih ragu-ragu. Mungkin Ki Demang Seca justru akan menentang kita."
"Ya. Memang mungkin sekali."
Keduanyapun terdiam sesaat. Mereka menepi ketika mereka melihat ampat orang, yang nampaknya para petugas di kademangan itu, berjalan dengan memanggul tombak pendek di bahu mereka. Demikian mereka berpapasan, maka Glagah Putihpun berkata.
"Agaknya kademangan Seca memiliki satu kesatuan untuk mengamankan lingkungan ini."
"Keadaan kademangan ini memang memungkinkan untuk membeayai satu kesatuan pengaman, kakang."
"Ya. Banyak pemasukan yang diterima oleh kademangan maupun padukuhan. Namun agaknya para bebahu kademangan juga bertanggung-jawab atas keselamatan para pedagang yang datang untuk menjual dan membeli dagangan di kademangan ini."
Keduanyapun terdiam. Mereka berjalan di jalan yang menjadi semakin sepi, ketika senja mulai turun. Beberapa kedai yang membuka pintunya, mulai menyalakan lampu minyak. Bahkan sebagian sudah mulai mengemasi dagangannya serta menutup pintunya.
"Kita akan mencari penginapan, Rara."
"Dimana ?"
"Sebaiknya kita bermalam di dekat pasar."
"Baiklah, kakang. Kita akan memilih penginapan yang tidak terlalu ribut."
"Kesempatan untuk memilih agaknya tidak terlalu banyak, Rara. Tetapi baiklah. Kita akan mencobanya."
Sebenarnyalah bahwa penginapan-penginapan yang terdekat dengan pasar sudah penuh.
Jika ada tempat, rasa-rasanya hanya diselipkan diantara para tamu yang sudah lebih dahulu datang.
Di bilik-bilik yang sempit, atau justru di tempat yang terbuka.
Namun akhirnya keduanyapun mendapat penginapan yang cukup baik, meskipun tidak terlalu dekat dengan pasar.
"Tidak terlalu banyak tamu disini, kakang,"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desis Rara Wulan.
"Mungkin karena penginapan ini terhitung mahal. Kali ini kita berada di antara orang-orang dari tataran yang agak tinggi."
"Yang agak tinggi. Bukan dari tataran yang terlalu tinggi."
Sebenarnyalah, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di sebuah penginapan yang terhitung mahal.
Karena itu, maka dipenginapan itu tidak terhitung terlalu banyak tamu.
Sampai malam turun, masih ada beberapa ruang yang belum terisi.
Namun ketika malam menjadi semakin malam, maka ruang-ruang di penginapan itu pun menjadi penuh.
Agaknya mereka yang datang kemudian tidak lagi mendapat tempat di penginapan yang lain.
Suasana di penginapan itupun menjadi semakin ramai.
Di pendapa yang cukup luas, beberapa orang yang telah mandi dan berbenah diri, duduk dalam kelompok-kelompok kecil.
Di sudut pringgitan, beberapa orang menabuh gamelan.
Hanya beberapa jenis saja, ditabuh oleh lima orang pengrawit dan dimeriahkan oleh seorang pesinden.
Agaknya kelompok itu adalah kelompok tetap yang memang bertugas di penginapan itu.
Setidak-tidaknya setiap malam menjelang haripasaran.
Glagah Putih dan Rara Wulaupun telah berada di pendapa pula.
Mereka duduk tidak terlalu jauh dari sekelompok pengrawit yang sedang membunyikan gamelan, melantunkan tembang yang ngerangin.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun melihat ampat orag petugas yang memasuki halaman dan berbicara dengan petugas di penginapan itu.
Ampat orang petugas yang datang itu bukan empat orang yang berpaspasan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan di jalan.
Keempat orang ini tidak membawa tombak, tetapi mereka menjinjing pedang.
"Penjagaan keamanan nempaknya cukup baik disini, kakang."
Desis Rara Wulan. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya.
"Kademangan ini nampaknya memang bebeda. Jika beberapa orang Demang di sepanjang perjalanan kita bersedia melakukan pengamanan seperti ini, kademangan mereka tentu akan menjadi ramai kembali. Setidak-tidaknya menjadi lebih ramai dari yang ada sekarang."
"Memang ada dukungan timbal balik. Kademangan ini adalah kademangan yang kaya, sehingga mereka dapat mengangkat sekelompok prajurit sebagai ujud kuasanya."
"Mungkin sekali, kakang."
Keduanyapun terdiam.
Ampat orang petugas itupun kemudian meninggalkan halaman penginapan itu.
Sementara itu perhatian Glagah Putih tertuju kepada seorang laki-laki yang sudah separo baya, yang berjongkok di samping seorang pengrawit dan bertanya lirih.
"Kau sudah melihat Sutasuni dan seorang kawannya?"
Pangrawit itu menjawab sambil memukul gendernya.
"Belum. Aku belum melihatnya."
Orang yang berjongkok di sampingnya itupun segera bergeser dan pergi meninggalkannya sambil menepuk bahunya.
Demikian orang itu pergi, maka pengrawit yang duduk disebelahnyapun berpaling kepadanya dan berbisik perlahan.
Suaranya tenggelam oleh bunyi gamelan yang mengalun lembut.
Glagah Putih menarik nafas.
Nampaknya dibalik ketenangan di sekitar pasar Seca ini juga tersimpan berbagai masalah yang bergejolak di bawah permukaan.
Glagah Putihpun melayangkan pandangan matanya mencari orang yang telah berjongkok disamping para pengrawit itu.
Ternyata orang itu sudah berada di halaman.
Ia berbicara dengan orang itu sedang berbicara dengan seorang yang lain.
Namun kemudian mereka pergi ke arah yang berbeda.
Agaknya tamu-tamu yang lain tidak memperhatikannya.
Mereka sibuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang berada di kelompok mereka masing-masing.
"Marilah kita berjalan-jalan keluar halaman Rara,"
Ajak Glagah Putih. Ternyata Rara Wulanpun tertarik pula. Karena itu, maka iapun mengangguk sambil bangkit berdiri. Keduanyapun kemudian melangkah ke regol halaman. Di regol mereka bertemu dengan salah seorang petugas di penginapan itu.
"Kemana Ki Sanak?"
Bertanya petugas di penginapan itu.
"Kami ingin berjalan-jalan sebentar. Bukankah jalan-jalan disini aman?"
"Tentu Ki Sanak. Para petugs di penginapan selalu meronda siang dan malam. Mereka tidak memberi kesempatan kepada para perampok untuk melakukan kegiatannya di kademangan ini."
"Terimakasih, Ki Sanak. Kami ingin berjalan-jalan sebentar untuk menghirup udara sejuk."
"Silahkan Ki Sanak. Tetapi malam di kademangan ini akan terasa dingin."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan regol halaman.
Mereka turun ke jalan dan melangkah ke arah pasar Seca yang esok tentu akan sangat ramai di hari pasaran.
Ternyata jalan sudah menjadi sepi.
Satu dua orang masih nampak berjalan menyusuri jalan utama kademangan yang ramai itu.
Sekali-sekali keduanya memang bertemu dengan para petugas yang sedang meronda.
Agaknya para pemimpin di kademangan Seca menyadari, bahwa tidak terlalu jauh dari kademangannya, terdapat daerah yang rawan, sehingga meskipun Seca sendiri dinyatakan aman, namun mereka tidak pernah menjadi lengah.
Glagah Putih dan Rara Wulan tertarik ketika mereka mendengar suara tembang Macapat yang ngelangut.
Suara itu terlontar dari rumah yang ada di pinggir jalan yang mereka lewati.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun seakan-akan tidak dengan sengaja, berjalan menuju kearah suara itu.
Jalan-jalan memang menjadi semakin sepi.
Dibeberapa regol halaman terpancang obor yang menyala menerangi jalan yang mereka lalui.
Keduanya berhenti di depan sebuah regol halaman yang nampak terang.
Suara tembang Macapat itu terlontar dari rumah di halaman rumah itu.
Ketika seorang datang mendekati mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan itupun mengangguk hormat.
"Marilah, Ki Sanak,"
Orang itu mempersilahkan.
"adik ipar kemarin melahirkan. Malam ini beberapa orang tetangga dan kawan-kawan berdatangan untuk menyatakan ucapan selamat. Seperti kebiasaan kami disini, kami bergantian membawa kitab-kitab babad dengan tembang Macapat."
"Terima kasih, Ki Sanak,"
Jawab Glagah Putih.
"kami sedang berjalan melihat-lihat Seca di waktu malam."
"Agaknya Ki Sanak memang bukan orang Seca."
"Bukan Ki Sanak. Kami memang bukan orang Seca."
"Tetapi jika Ki Sanak ingin ikut hadir dalam pernyataan kegembiraan ini, kami akan menerimanya dengan senang hati."
"Terima kasih. Kami akan melihat-lihat padukuhan ini, Ki Sanak."
Pembicaraan mereka terhenti.
Seorang dengan tergesa-gesa keluar dari halaman rumah itu.
Orang itu adalah orang yang menarik perhatian Gagah Putih di penginapan.
Orang yang telah berbicara dengan seorang pengrawit mempertanyakan seorang yang bernama Sutasuni.
Orang yang mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian bertanya kepada orang itu.
"Kau akan pergi kemana ?"
"Aku belum menemukan orangnya. Aku harus menemukannya malam ini. Besok segala sesuatunya harus berjalan lancar."
"Jangan gelisah. Orang itu akan kau ketemukan malam ini. Kau sudah mencarinya di penginapan yang sering dipergunakannya?"
"Sudah. Tetapi orang itu belum ada disana."
"Disebelah pasar ? Di penginapan yang ada pohon beringinnya itu?"
"Sudah. Tetapi ia juga tidak kelihatan di sana."
"Tenanglah, kadang-kadang ia datang lewat tengah malam."
"Hubungan itu baru akan berlangsung untuk pertama kali. Jika kali ini gagal, maka aku tidak akan mendapat kepercayaan lagi."
"Tunggu saja sampai tengah malam."
Orang itupun segera pergi. Sementara Glagah Putih di luar sadarnya memperhatikan orang itu sampai lewat jangkauan oncor di regol halaman. Orang yang mempersilahkan Glagah Putih itupun kemudian berkata.
"Orang itu mencari saudara sepupunya."
"Tetapi nampaknya ada sesuatu yang penting."
"Ia selalu seperti itu. Tergesa-gesa, gelisah dan cemas. Wataknya memang demikian."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Glagah Putihpun kemudian berkata.
"Baiklah. Kami minta din."
"Jadi kalian benar-benar tidak singgah?"
"Terima kasih. Salam buat adik Ki Sanak suami isteri. Semoga anaknya lekas menjadi besar dan berarti bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya dan bagi banyak orang."
"Terima kasih, Ki Sanak. Aku akan menyampaikannya."
Demikianlah maka Glaga Putih dan Rara Wulanpun melangkah meninggalkan regol halaman rumah itu, berlawanan arah dengan orang yang sedang mencari Sutasuni itu.
Namun kemudian, bahwa demikian Glagah Putih dan Rara Wulan menjauh, maka orang itupun dengan tergesa-gesa telah masuk dan menyeberangi halaman.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tiba-tiba ingin mengetahui lebih jauh tentang rumah itu.
Karena itu, maka merekapun segera melingkari sebatang pohon yang besar dan mengamati regol itu dari jarak yang agak jauh.
Dari tempat mereka Glagah Putih dan Rara Wulan dapat mendengarkan suara tembang Macapat itu.
Namun beberapa saat kemudian, mereka melihat beberapa orang keluar dari regol halaman.
Mereka pergi searah dengan orang yang mencari Sutasuni.
Meskipun demikian, suara tembang Macapat itu masih saja terdengar mengalun digelapnya malam.
Glagah Putih dan Rara Wulan masih berada di tempatnya.
Ia masih menunggu, apa pula yang akan terjadi.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu, apa yang terjadi didalam rumah itu.
Meskipun suara tembang Macapat masih mengalun, tetapi di ruang lain, seorang yang bertubuh agak kegemukan, yang duduk di sebuah amben bambu yang agak besar, dihadap oleh beberapa orang yang berdiri tegak, membentak.
"Kalian harus ketemukan Sutasuni. Malam ini kalian harus membawa Sutasuni kepadaku."
Orang-orang yang berdiri tegak itu mengangguk hormat sambil menjawab hampir berbareng.
"Baik, Ki Lurah."
Orang yang bertubuh agak gemuk yang tidak menakupkan bajunya itu, menggeram.
"Jika kalian tidak membawa Sutasuni kepadaku malam ini, maka kalian tidak akan sempat melihat matahari terbit esok pagi."
"Ya, Ki Lurah."
"Selain Sutasuni, kalian juga membawa Dermagati itu kepadaku. Ular berkepala dua itu sudah tidak berarti apa-apa lagi bagiku. Ia sudah tidak berguna. Berbeda dengan Sutasuni yang akan dapat menuntun kita kepada orang yang digelari Panji Kukuh itu."
"Ya, Ki Lurah. Tetapi Panji Kukuh adalah seorang yang memiliki kekuatan dan kuasa yang besar,"
Berkata salah seorang diantara mereka yang menghadap.
"Kau takut, he? Sejak kapan kau menjadi seorang pengecut yang tidak berharga seperti itu?"
"Ampun Ki Lurah. Aku tidak merasa takut. Aku memang tidak pernah takut kepada siapapun. Jika aku mengatakan bahwa Panji Kukuh mempunyai kekuatan dan kuasa yang besar, itu sekedar memberi peringatan kepada Ki Lurah."
"Kau kira aku terlalu bodoh untuk mengenali orang-orang dari beberapa kelompok yang berkeliaran di Seca ini? Aku memang orang baru disini. Kita memang baru memasuki lingkungan ini sejak dua tiga hari yang lalu. Tetapi kita harus tampil seperti ledakan guruh dilangit. Mengejutkan dan memaksa semua pihak mengakui kekuatan dan kuasa kita, termasuk Panji Kukuh. Mungkin kita juga akan berhadapan dengan para petugas di kademangan ini, yang agaknya cukup kuat. Tetapi aku yakin, bahwa aku akan dapat mengalahkan mereka dan kemudian menguasai lingkungan ini."
"Aku mengerti Ki Lurah. Tetapi kita harus memperhatikan selain Ki Panji Kukuh, juga kelompok Ki Samektaguna yang juga memasuki dunia perdagangan barang-barang terlarang itu selain berdagang wesi aji dan batu-batu mulia."
"Persetan dengan mereka. Malam ini kita harus menangkap Sutasuni untuk membawa kita kepada Panji Kukuh."
Orang-orang yang menghadap orang yang agak gemuk, duduk di amben sambil bersandar dinding itupun terdiam.
"Nah, sekarang pergilah. Cari Dermagati dan Sutasuni sampai katemu. Seca yang selama ini seperti orang yang sedang terlelap tidur, besok pagi akan kita bangunkan. Kita akan membersihkan orang-orang yang selama ini menguasai jalur perdagangan itu. Siapapun mereka."
"Ki Lurah. Aku hanya ingin memberikan sedikit keterangan tentang padukuhan Seca. Selama ini semuanya berlangsung di bawah permukaan, Seca nampak tenang-tenang saja. Para petugas tidak melihat kegiatan yang terjadi di kedalaman, di bawah permukaan yang tenang. Jika kita kita akan muncul ke permukaan, maka kita ikan mengejutkan padukuhan Seca. Sementara itu besok adalah hari pasaran sehingga pasar itu akan menjadi sangat ramai."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo
Elang Pemburu -- Gu Long /Tjan Id Pendekar Cacad Karya Gu Long Pendekar Cacad Karya Gu Long