Api Di Bukit Menoreh 18
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 18
Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja
Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja
Namun Glagah Putih tidak menjadi gentar karenanya.
Dikerahkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi udara yang panas itu.
Ternyata bahwa Glagah Putih benar-benar telah memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Daya tahan tubuhnya, tidak ubahnya sebagaimana ilmu kebal yang dapat melindungi seluruh tubuhnya.
Sehingga dengan demikian udara panas yang terpancar dari kemampuan ilmu guru Ancak Liman itu tidak terlalu banyak mempengaruhinya.
Bahkan serangan-serangan Glagah Putih semakin lama menjadi semakin garang.
Justru karena itulah, maka serangan-serangannya itu menjadi semakin menembus pertahanan guru Ancak Liman itu.
Namun Glagah Putih masih belum berniat mempergunakan ilmu puncaknya yang dinamainya Aji Namaskara.
Ilmu puncaknya yang nggegirisi, setelah ia menjalani laku sebagaimana tersebut dalam kitab yang diketemukannya didalam lingkungan tempat tinggal yang semula nampak sebagaimana rumah yang dihuni oleh Ki Namaskara.
Namun ternyata ia telah tersuruk ke dalam satu rahasia yang sangat besar tentang keberadaan lingkungan tempat tinggal Ki Namaskara itu.
Satu lingkungan yang di dalam waktu yang berbeda membayangkan dua dunia yang justru sangat berlawanan.
Dengan kemampuan daya tahannya yang sangat tinggi, yang dicapainya dengan menjalani laku yang juga sebagaimana disebut dalam kitab Ki Namaskara itu, Glagah Putih ternyata mampu mengatasi panasnya yang terpancar dari ilmu puncak lawannya itu.
"Iblis manakah yang telah melindunginya,"
Geram guru Ancak Liman itu.
Serangan-serangannyapun semakin lama menjadi semakin garang.
Ketika orang itu bagaikan terbang meloncat menyerang Glagah Putih dengan kedua tangannya terjulur lurus dengan telapak tangan terbuka, maka Glagah Putihpun dengan sigapnya meloncat menghindar, sehingga serangan itu tidak menyentuh sasarannya.
Tetapi kedua telapak tangan itu telah mengenai sebatang pohon jambu air yang cukup besar.
Terdengar bagaikan sebuah ledakan yang keras.
Sebatang pohon jambu air itu tidak saja terguncang, tetapi kedua telapak tangan guru Ancak Liman itu seakan-akan telah terpahat pada batang pohon jambu air itu dengan bekas luka bakar.
Jejak sepasang telapak tangan di batang pohon jambu air yang besar itu masih juga mengepul ketika dengan jantung yang berdebaran, Glagah Putih memperhatikannya.
Bahkan Rara Wulanpun menjadi tegang pula.
Ternyata sentuhan telapak tangan orang itu sangat berbahaya bagi siapapun dan bahkan apapun yang teraba.
Namun kegagalan orang itu membuatnya menjadi sangat marah.
Karena itu, maka iapun segera berteriak.
"Jangan berdiri saja bagaikan sedang menonton ledek munyuk. Bangun dan bunuh orang ini."
Keempat orang yang menyaksikan pertempuran itu dengan tegangnya seolah-olah telah dikejutkan dari sebuah mimpi buruk.
Mereka segera bergeser mendekati arena pertempuran.
Ancak Liman dan kedua orang saudara-seperguruannyapun segera bergeser, mengepung Glagah Putih dari segala arah.
Sedangkan seorang yang lain, telah mendapat isyarat untuk tetap mengawasi Rara Wulan.
Rara Wulan tidak segera melibatkan diri meskipun ia sudah bersiap untuk melakukannya.
Sejenak ia masih saja mengamati pertempuran yang terjadi di pategalan itu.
Agaknya Ancak Liman dan saudara-saudara seperguruanya juga sudah memiliki kemampuan untuk meningkatkan ilmu sampai tataran yang tinggi.
Merekapun sudah mampu untuk menghimpun dan melepaskan udara panas dengan lambaran ilmu mereka, meskipun belum sebaik guru mereka.
Karena itulah, maka panas udara di sekitar tubuh Glagah Putihpun menjadi semakin tinggi.
Meskipun Glagah Putih berusaha untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak, namun udara disekitarnya yang menjadi sangat panas itu mampu mulai merembes menembus pertahanan daya tahan tubuh Glagah Putih.
Keringat bagaikan diperas dari tubuh Glagah Putih yang kepanasan.
Apalagi dibarengi dengan serangan-serangan yang datang dari keempat arah.
Ketika tangan guru Ancak Liman sempat menyentuh kulitya, maka terasa kulit Glagah Putih itu bagaikan disentuh bara.
Bahkan kulitnya itupun telah terkelupas dengan luka bakar yang merah kehitam-hitaman.
Glagah Putihlah yang menjadi sangat marah.
Bukan hanya Glagah Putih, tetapi Rara Wulan yang juga menyaksikan luka bakar oleh sentuhan serangan guru Ancak Liman itupun menjadi marah pula.
Karena itu, maka Rara Wulanpun kemudian tidak hanya tinggal diam sambil menonton permainan yang mendebarkan itu.
Iapun segera menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang kemudian nampak adalah pakaian khususnya.
Seorang diantara saudara seperguruan Ancak Liman yang mendapat tugas mengawasi Rara Wulan itupun terkejut.
Baru kemudian ia menyadari, bahwa perempuan itu juga seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka orang itupun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ternyata nasibmulah yang terburuk diantara saudara-saudara seperguruanmu,"
Berkata Rara Wulan.
"Kenapa?"
Geram orang itu.
"Kita akan berhadapan dalam sebuah pertempuran. Kau tidak banyak mendapat kesempatan, kecuali jika aku kemudian tertidur selagi kita bertempur."
"Persetan dengan igauanmu itu."
"Bersiaplah untuk mati,"
Desis Rara Wulan kemudian.
Saudara seperguruan Ancak Liman yang seorang itu menggeram.
Baginya.
Rara Wulan tetap seorang perempuan.
Karena itu, ketika ia mendengar ancaman dari perempuan itu, maka telinganya bagaikan disentuh bara.
Karena itu, maka orang itu tidak menunggu lagi.
Saudara seperguruan Ancak Liman itulah yang justru lebih dahulu menyerang.
Namun serangannya tidak mampu menyentuh sasarannya.
Dengan tangkas Rara Wulan melenting menghindari serangannya.
Tetapi demikian kakinya menjejak tanah, maka iapun segera meloncat justru menyerang lawannya dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Lawannya itupun terkejut.
Ia sempat melihat Rara Wulan meloncat, kemudian berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar.
Lawannya itupun terhuyung-huyung surut ketika kaki Rara Wulan menyambar keningnya.
Orang itupun mengaduh tertahan.
Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.
Dengan susah payah ia masih mampu bertahan.
Tetapi hanya untuk sesaat.
Karena Rara Wulan tidak melepaskannya.
Demikian orang itu berhasil berdiri tegak, maka serangan Rara Wulan telah datang lagi.
Serangan dengan kaki yang terjulur lurus menyamping.
Lawan Rara Wulan itu tidak sempat mengelak.
Kaki itu benar-benar telah membentur dadanya.
Sekali lagi orang itu terlempar.
Kali ini ia benar-benar tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga iapun jatuh berguling.
Pada saat yang bersamaan, Glagah Putih yang terkurung oleh lawan-lawannya yang dengan ilmunya mampu menyebarkan udara panas itupun telah meloncat tinggi-tinggi.
Kemampuannya memperingan tubuhnya, serta tenaga dalamnya yang sangat besar, telah melemparkannya keluar dari kepungan keempat lawannya itu.
Sambil berputar diudara Glagah Putih melemparkan dirinya keluar dari panasnya udara yang serasa akan membakarnya.
Guru Ancak Liman itupun mengumpatinya.
Namun iapun melihat seorang muridnya terlempar jatuh oleh serangan perempuan yang diawasinya.
Karena itu.
maka iapun segera berteriak memberi isyarat kepada seorang muridnya yang lain untuk membantu saudara seperguruannya.
Namun kemudian guru Ancak Liman itupun berteriak pula.
"Kita tidak mempunyai banyak waktu. Kita akan menghabisi orang-orang yang tidak tahu diri ini."
Glagah Putih yang mendengar pula suara guru Ancak Liman itupun menyadari, bahwa orang-orang itu masih mempunyai simpanan ilmu yang akan segera mereka pergunakan.
Sebenarnyalah, bahwa kelima orang itupun telah memasuki tataran ilmu tertinggi mereka.
Kelima orang itupun telah berloncatan mengambil jarak dari lawan-lawan mereka.
Mereka berlimapun kemudian telah bergabung berkumpul menyatu.
Udarapun terasa bergetar.
Bukan hanya menjadi panas tetapi seakan-akan tubuh Glagah Putih dan Rara Wulan itupun ditusuk-tusuk dengan ribuan duri-duri kecil.
Semakin lama semakin banyak dan semakin terasa pedih.
Rara Wulan dan Glagah Putihpun segera berloncatan semakin mendekat.
Mereka melihat kelima orang itu dalam puncak ilmu mereka seakan-akan telah menyatu.
Ujud merekapun menjadi satu.
Menjadi ujud raksasa yang berwajah sangat menakutkan.
Dari matanya memancar api, serta tangan-tangannya yang berkuku sepanjang duri kemarung itupun menjadi merah membara.
"Jangan mempercayai penglihatan mata wadagmu, Rara,"
Desis Glagah Putih.
"pandanglah mereka dengan mata hatimu. Mereka sama sekali tidak berubah. Mereka hanya berkumpul saling berhimpitan."
"Ya, kakang. Tetapi getar dan panas udara serta kepedihan yang menusuk ini harus kita lawan."
"Kita tidak mempunyai pilihan Rara. Kita akan menghancurkan mereka."
"Apakah kita akan melakukan bersama-sama."
"Jangan. Kita tidak ingin melumatkannya. Jika saja masih ada yang mungkin selamat diantara mereka, biarlah ia selamat."
"Jadi?"
"Biarlah aku saja yang melawannya."
Rara Wulan terdiam. Sementara Glagah Putihpun berkata.
"Aji Brahala Pati itu pernah aku dengar. Ilmu yang disadap dari kuasa kegelapan. Kuasa iblis."
Rara Wulan mengangguk. Katanya.
"Silahkan kakang. Jangan biarkan mereka terlalu lama menyakiti kita."
Ujud raksasa yang menakutkan itupun mulai bergerak mendekat.
Tangannya yang dikembangkan itu terayun-ayun siap untuk menggapai Glagah Putih dan Rara Wulan.
Dari matanya masih saja memancar api.
Bahkan kemudian dari mulutnya lidahnya yang membara itu terjulur pula.
Asap panaspun dihembuskan dari mulutnya yang menganga.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun bergeser surut.
Udara menjadi semakin panas, sedangkan tusukan-tusukan di tubuh mereka terasa semakin pedih.
"Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi,"
Suara raksasa yang menakutkan itu seakan-akan bergulung melingkar-lingkar mengetuk dada Glagah Putih dan Rara Wulan.
Namun Glagah Putihpun kemudian telah mempersiapkan dirinya.
Ketika ujud raksasa itu menjadi semakin dekat, serta api yang dipancarkan dari matanya dan asap yang menyembur dari mulutnya terasa menjadi semakin panas, sedangkan tusukan-tusukan duri itu terasa semakin pedih, Glagah Putih tidak menunggu lebih lama lagi.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Iapun kemudian bersiap untuk melepaskan kekuatan ilmunya yang disebutnya Aji Namaskara.
Raksasa yang menakutkan bermata api, bertangan bara dan nafasnya menyemburkan asap panas itu menjadi semakin dekat.
Glagah Putih tidak menunggu lebih lama lagi.
Iapun kemudian telah menyilangkan kedua tangannya.
Ujung-ujung jari tangannya itupun telah menyentuh bagian atas dadanya disebelah kiri dan kanan dengan ujung-ujung jarinya.
Cahaya yang samar kehijauan membayang di dadanya yang tersentuh oleh jari-jarinya itu.
Namun kemudian Glagah Putihpun telah menjulurkan kedua tangannya dengan kedua telapak tangannya yang terbuka justru menelungkup menghadap kebuminya.
Dari ujung-ujung jari Glagah Putih itupun kemudian telah meluncur butir-butir cahaya yang kehijauan, yang kemudian menggumpal menjadi satu.
Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat.
Ketika serangan Glagah Putih itu meluncur seperti anak panah, terdengar raksasa itu bagaikan mengaum dengan nada tinggi.
Agaknya guru Ancak Liman yang telah menyatu dengan keempat muridnya itu menyadari bahaya yang sedang mengancam mereka.
Tetapi mereka tidak sempat mengelak.
Karena itulah, maka sinar yang berwarna kehijauan itupun telah menerjang tubuh ujud raksasa yang sangat menakutkan itu.
Demikian benturan yang dahsyat itu terjadi, terdengar teriakan-teriakan nyaring.
Teriakan kesakitan dari kelima orang yang menyatu dalam Aji Brahala Pati, yang dapat mengelabui penglihatan mata wadag, seolah-olah kelima orang itu telah menjadi satu dalam ujud seorang raksasa yang sangat menakutkan.
Dengan mata api, bertangan bara dan dari mulutnya menyembur asap panas yang mematikan.
Namun yang mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan diantara teriakan-teriakan nyaring itu terdengar pula suara teriakan seorang perempuan.
Perempuan itu bukan saja sesambat, tetapi ia juga telah mengancam untuk membalas dendam.
Tetapi yang kemudian dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, lima orang laki laki yang garang terlempar dan terpelanting jatuh.
Ada diantara mereka yang membentur pepohonan yang terdapat di pategalan itu.
Ternyata bahwa dua orang diantara mereka sudah tidak mampu bangkit lagi.
Seorang diantaranya adalah justru guru Ancak Liman dan yang seorang lagi adalah Ancak Liman sendiri.
Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu sejenak.
Ternyata bahwa jantung merekapun menjadi berdebaran menghadapi ujud dari ilmu iblis yang mengerikan itu.
Namun Glagah Putihpun kemudian bersama Rara Wulan telah melangkah mendekati orang-orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu.
Tiga orang diantara mereka masih dapat menggeliat dan mencoba untuk bangkit.
Namun tubuh mereka terasa sangat kesakitan dimana-mana.
Tulang-tulang mereka terasa berpatahan serta sendi-sendinya-pun bagaikan telah terlepas.
"Siapa yang masih akan melawan?,"
Bertanya Glagah Putih.
"Tidak, Ki Sanak. Tidak,"
Jawab seorang diantara mereka sambil menyeringai kesakitan. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian menyentuh leher Ancak Liman dan gurunya, maka Glagah Putihpun kemudian berkata.
"Kedua orang kawanmu ini agaknya telah mati."
"Kami menyerah,"
Berkata seorang yang lain.
"tetapi kami mohon agar kami tidak dibunuh."
"Ilmu kalian sangat mengerikan, Ki Sanak,"
Berkata Glagah Putih.
"ilmu yang baru sekali ini aku temui meskipun aku pernah mendengar tentang Aji Brahala Pati."
"Tetapi guru tidak menamainya ilmu kami Aji Brahala Pati."
"Gurumu menamai ilmu semacam ini dengan sebutan apa."
"Aji Kalapada."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi katanya.
"Apapun namanya, tetapi ilmu itu sangat mengerikan. Ilmu yang kalian sadap dari lingkungan kuasa kegelapan yang merupakan daerah kekuasaan iblis yang harus dikutuk."
Ketiga orang yang masih hidup itu tidak segera menjawab. Yang terdengar adalah erang kesakitan.
"Kami berjanji untuk meninggalkan lingkunganku. Guruku sudah meninggal. Kami tidak akan berdaya apa-apa. Alas dari ilmu ini ada pada guru. Jika kami tidak bersama guru. maka kami masih belum mampu membangunkan ilmu Kalapada,"
Berkata seorang dari mereka. Glagah Putih berpaling kepada Rara Wulan sambil berdesis.
"Untunglah, bahwa kita tidak bersama-sama melepaskan Aji Namaskara. Jika kita melakukan bersama, maka mereka tentu sudah menjadi lumat."
Rara Wulan mengangguk. Katanya.
"ilmu mereka tidak boleh dibiarkan tetap berkembang."
"Ya. Ilmu yang terkutuk itu."
"Tanpa guru, segala-galanya tidak akan mungkin dilakukan,"
Berkata seorang yang lain.
Glagah Putih dan Rara Wulan mendekati seorang yang sudah ubanan yang terbaring diam.
Di wajahnya masih terbayang dendam dan kebencian.
Agaknya sepanjang hidupnya.
orang itu selalu dibayangi oleh perasaan dendam dan kebencian itu.
Dengan nada rendah Rara Wulanpun berkata.
"Ki Sanak. Apakah arti hidup bagi kalian. Kalian tidak pernah melihat cerahnya langit, jernihnya cahaya bulan serta keredip bintang di malam hari. Yang kalian lihat bahwa langit selalu gelap, mendung, kilat, guntur dan angin prahara. Lihat kebencian dan dendam itu masih membayang di wajah orang tua ini. Ketiga orang itu tidak menjawab.
"Baiklah,"
Berkata Glagah Pulih kemudian.
"kami akanm meninggalkan kalian disini. terserah kepadamu, apa vang akan kau lakukan terhadap kedua kawanmu yang terbunuh itu. Apakah kau akan membawanya pulang ke sarangmu atau akan kau kuburkan disini. Tetapi adalah kewajibanmu menyelenggarakan kedua sosok mayat kawan-kawanmu itu."
"Kami akan melakukannya."
"Ingat. Aku tidak akan membiarkan kalian hidup jika pada kesempatan lain kami bertemu dengan kalian di jalur perdagangan gelap ini. Apalagi kalian bukan apa-apa bagi gerombolan Guntur Ketiga dan Panji Kukuh. Mereka adalah gerombolan-gerombolan yang besar yang nampaknya akan mulai menapak di perdagangan gelap di daerah ini pula."
"Ya, Ki Sanak."
"Lakukan apa yang pantas kalian lakukan. Jangan tinggalkan kedua sosok mayat itu begitu saja."
"Terima kasih atas kesempatan yang kalian berikan kepada kami. Ki Sanak."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian membenahi pakaiannya dan meninggalkan pategalan itu.
Keduanyapun percaya, bahwa tanpa guru mereka, ketiganya tidak akan mampu membangun kekuatan apa yang mereka sebut Aji Kalapada.
Aji yang sangat mengerikan, yang mencuat dari lingkungan kuasa kegelapan.
"Tetapi sulit dan hampir tidak akan mungkin ujud semacam itu dilenyapkan sama sekali,"
Desis Glagah Putih tiba-tiba.
"Apa kakang?,"
Bertanya Rara Wulan.
"Aji Kalapada. Mungkin kita mampu menghancurkannya disini. Tetapi kekuatan yang mencuat dari kuasa kegelapan itu tentu akan hadir pula di tempat lain."
"Ya, kakang. Sementara itu kita tidak akan mungkin berada di segala tempat."
"Tetapi akupun yakin, Rara. Bahwa di tempat lain juga ada kekuatan yang akan dapat melawannya."
Rara Wulan menarik nafas panjang.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah menyusuri jilan menuju ke padukuhan induk Seca.
Ketika mereka melewati jalan di sebelah pasar, dua diantara beberapa orang pedagang yang masih bermalam di penginapan di sebelah pasar itu memandang mereka.
Seorang diantara mereka mencibirkan bibirnya sambil berkata.
"Perempuan binal itu masih saja berkeliaran disini."
Namun yang seorang lagi justru tersenyum sambil berkata.
"Kau membencinya karena kau gagal mendapatkannya. Aku yakin, perempuan itu tidak akan menolak. Bukankah tadi ia berada di penginapan sebelah?"
"Edan. Aku membenci perempuan binal seperti itu. Kau tahu itu."
"Sudahlah. Jangan hiraukan."
Keduanyapun kemudian berjalan dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, setelah peristiwa yang terjadi di tepian di ujung hutan, benturan antara gerombolan Guntur Ketiga dan Panji Kukuh, maka penjagaan di Seca nampaknya menjadi semakin meningkat.
Para petugas nampak lebih sering melintas di jalan-jalan yang nampaknya tenang-tenang saja.
Ketika kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di penginapan, seorang petugas di penginapan itupun memerlukan menemui mereka.
"Ada apa?"
Bertanya Glagah Putih.
"Ki Sanak masih akan berada disini berapa hari lagi?"
"Kenapa?"
"Kami telah dihubungi oleh petugas dari kademangan yang menanyakan, berapa banyak tempat yang dapat kami sediakan jika itu diperlukan."
"Untuk apa?"
"Dua hari lagi, Seca akan kedatangan tamu yang kami anggap penting. Tamu yang akan datang bersama sekelompok pengiringnya. Mereka sudah disediakan tempat di banjar padukuhan. Tetapi jika tempat itu kurang mencukupi, mungkin ada satu dua penginapan yang akan disewa oleh Ki Demang bagi mereka."
"Siapakah mereka itu?"
"Tamu yang akan sangat dihormati disini. Orang-orang terpenting dari perguruan yang sangat besar dan berpengaruh."
"Perguruan apa?"
"Perguruan Kedung Jati."
"Perguruan Kedung Jati,"
Glagah Putih mengulang.
"Ya?"
"Jadi, apakah kami harus pergi meninggalkan penginapan ini untuk memberi tempat kepada sekelompok orang dari perguruan Kedung Jati."
"Tidak, Ki Sanak. Jika Ki Sanak masih akan berada disini, silahkan. Kami hanya menghitung masih ada berapa tempat yang dapat kami sediakan jika diperlukan. Tetapi jika banjar padukuhan yang akan diatur sebagaimana sebuah penginapan itu sudah mencukupi, maka tempat ini tidak akan dipakai."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Glagah Putihlah yang kemudian menjawab.
"Ki Sanak. Kami masih akan tinggal disini, secepatnya sampai besok hari pasaran. Apakah kedatangan para pemimpin Perguruan Kedung Jati itu juga besok pada hari pasaran?"
"Mungkin, Ki Sanak. Tetapi kedatangan mereka tentu tidak ada hubungannya dengan hari pasaran."
"Apa yang akan mereka lakukan disini?,"
Bertanya Rara Wulan.
"Aku tidak tahu, Nyi. Tetapi menurut pendengaranku, Seca akan menjadi salah satu daerah landasan perguruan Kedung Jati yang besar itu. Bahkan mungkin induk perguruan itu akan dibangun di sekitar kademangan ini."
"Kau berkata sebenarnya?,"
Bertanya Glagah Putih. Tetapi petugas di penginapan itu tertawa. Katanya.
"Aku ini siapa, Ki Sanak. Aku hanya seorang pelayan penginapan. Darimana aku tahu persoalan-persoalan yang besar seperti persoalan Perguruan Kedung Jati? Yang aku tahu, aku bekerja dengan baik disini. Menerima upah sepekan sekali. Makan kenyang dan waktu tidur cukup. Pakaian utuh. Nah, aku akan merasa hidup bahagia."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Dari kantong kempil kecil di saku bajunya Glagah Putih mengambil dua keping uang dan diberikannya kepada petugas itu.
"Nah, ambil. Kau sudah mempunyai anak?"
"Belum Ki Sanak. Kenapa?"
"Jika kau sudah mempunyai anak uang itu dapat kau belikan mainan."
"Aku belum menikah, tetapi uang ini dapat aku belikan mainan buat diriku sendiri."
Ketiga orang itupun tertawa.
"Terima kasih, Ki Sanak."
Pelayan itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih duduk di pringgitan, didekat seperangkat gamelan.
Tetapi gamelan itu tidak ditabuh.
Bukan baru sekali ini Glagah Putih dan Rara Wulan memberikan uang sekedarnya kepada para petugas.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian, maka para petugas itu selalu bersikap baik kepada mereka berdua.
Kebutuhan-kebutuhan merekapun selalu dipenuhi dalam batas-batas kemungkinan.
"Dua hari lagi,"
Desis Glagah Putih.
"Mudah-mudahan diantara mereka ada yang menginap di penginapan ini."
"Aku juga berharap seperti itu,"
Desis Glagah Putih.
"mungkin kita dapat mendengar serba sedikit, apa yang mereka bicarakan disini."
Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan semakin berharap bahwa mereka akan mendapatkan jalan untuk menuju ke tongkat baja putih yang dibawa oleh Ki Saba Lintang.
"Kakang,"
Berkata Rara Wulan kemudian.
"apakah kakang tidak berniat untuk menghubungi prajurit Mataram untuk mengikuti perkembangan keadaan di Seca?"
"Belum waktunya. Rara. Jika sejak sekarang kita sudah menghubungi prajurit Mataram dan mereka tergesa-gesa mengambil tindakan, mungkin kita justru akan kehilangan jalur itu lagi. Jika prajurit Mataram datang untuk menangkap orang-orang perguruan Kedung Jati yang datang ke Seca, maka pemimpin tertinggi perguruan itu akan membatalkan niat mereka untuk menjadikan Seca ini salah satu landasan bagi perguruan mereka yang akan mereka bangun kembali itu."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Karena itu, biarlah kita saja yang akan melihat lebih dahulu perkembangannya. Baru kita akan menyusun langkah-langkah yang sebaiknya kita lakukan. Jika kita harus menghubungi Mataram, maka kita akan melakukannya, tetapi kita harus mendapat kepastian lebih dahulu tentang keberadaan Ki Saba Lintang. Jika sekali kita bertindak dan tidak berhasil menangkap Ki Saba Lintang untuk mengambil tongkat baja putih itu, maka kita akan menjadi semakin sulit untuk menemukannya. Rara Wulan masih mengangguk-angguk.
"Marilah, kita beristirahat,"
Berkata Glagah Putih kemudian.
"Agaknya kita lebih aman berbicara disini, kakang. Di dalam bilik kita, orang yang berada disebelah menyebelah akan dapat mendengarnya jika mereka dengan sengaja mendnegarkan pembicaraan kita yang sedikit agak keras."
"Biar saja mereka mendengarkan pembicaraan kita. Bukankah kita hanya berbicara tentang nasi langgi atau nasi gurih dan telur dadar?"
"Ah, kakang. Aku jadi lapar sekarang."
"Kita beristirahat sebentar. Nanti kita keluar mencari makan di dekat pasar. Bukankah kita akan pergi ke pakiwan serta berbenah diri lebih dahulu."
Rara Wulanpun segera bangkit pula ketika Glagah Putih bangkit berdiri.
Keduanya pun kemudian pergi ke bilik mereka, mereka kemudian segera bersiap-siap untuk pergi kepakiwan, mandi dan kemudian berbenah diri.
Di dalam bilik mereka, keduanya sama sekali tidak berbicara tentang perguruan Kedung Jati.
Meskipun bilik sebelahnya tidak terisi oleh seseorang yang menginap, tetapi mungkin saja seseorang sengaja berada di dalamnya untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang yang ada di bilik sebelahnya.
Ketika kemudian, senja turun, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah keluar dari penginapan mereka, kepada petugas di penginapannya, Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri untuk berjalan-jalan melihat malam turun di kademangan Seca yang ramai itu.
"Silahkan,"
Sahut petugas di penginapan itu.
"tetapi jangan terlalu malam pulang."
"Kenapa ?"
"Malam dingin sekali. Jika kalian membeli gandos rangin buat aku, tentu sudah dingin."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Namun Rara Wulanpun berkata sambil memberikan dua keping uang.
"Bukankah sering ada penjual gandos rangin lewat di depan dan bahkan kadang-kadang berhenti di regol penginapan ini? Nah, belilah sendiri agar kau mendapatkan yang masih panas."
Petugas itu tertawa pula. Katanya.
"Terima kasih, terima kasih."
Namun Rara Wulanpun kemudian bertanya kepada petugas itu, yang sudah berganti orang dari petugas sebelum, senja.
"Kau tahu, bahwa dua hari lagi penginapan ini akan dipergunakan untuk menginap beberapa orang tamu?"
"Dari mana Nyai Tahu?"
Orang itu justru bertanya.
"Petugas siang tadi menanyakan, sampai kapan aku akan berada di penginapan ini."
"O,"
Petugas itu mengangguk-angguk.
"belum tentu Nyi. Tetapi kemungkinan itu ada. Meskipun demikian, aku persilahkan kalian berdua untuk tetap tinggal di sini. Orang-orang yang akan menginap itu belum tentu mau membelikan aku gandos rangin."
Ketiganyapun tertawa.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkan regol halaman penginapan itu.
Mula-mula mereka berjalan-jalan saja di sepanjang jalan utama di Seca yang masih saja ramai.
Beberapa kedai masih terbuka.
Bukan saja kedai makan dan minum, tetapi juga kedai yang berjualan berbagai macam kebutuhan sehari-sehari.
Namun ketika malam menjadi semakin dalam, Glagah Putih telah berjalan menuju ke sebuah rumah yang pernahmerckalewatr Rumah yang nampaknya dipergunakan oleh pengikut atau bahkan Guntur Ketiga sendiri.
Ketika pada waktu itu Glagah Putih dan Rara Wulan lewat, keduanya tertarik kepada suara tembang macapat yang dilantunkan dari rumah itu, yang menurut seseorang yang berdiri di regol, pembacaan tembang macapat itu dilantunkan sehubungan sengan sebuah kelahiran seorang bayi di rumah itu.
Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan melewati jalan itu pula, mereka melihat sekelompok petugas sedang berada di halaman rumah itu.
Keduanya berjalan terus.
Mereka sama sekali tidak berhenti, tetapi dalam sekilas mereka melihat para petugas itu sedang menangkap orang-orang yang berada di rumah itu.
"Agaknya mereka sudah mendapatkan beberapa keterangan dari orang-orang yang terluka yang berhasil mereka tangkap di tepian itu,"
Desis Glagah Pulih.
"Jika mereka para pengikut Guntur Ketiga, demikian Guntur Ketiga gagal, maka mereka tentu sudah pergi."
"Nampaknya pemilik rumah itu dan keluarganya yang telah mereka tangkap."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya.
"Ya. Agaknya memang demikian. Keluarga pemilik rumah itu yang dianggap banyak mengetahui tentang Guntur Ketiga dan gerombolannya."
"Nampaknya Ki Demang tidak mau berbuat tanggung-tanggung. Ia benar-benar membersihkan Seca dari segala unsur yang dapat membuat nama kademangan ini cacat."
"Demikian tinggi penghargaan Ki Demang kepada perguruan Kedung Jati, sehingga segala usaha untuk memberihkan kademangan ini telah dilakukan."
Keduanyapun semakin lama-lama menjadi semakin jauh.
Namun keduanyapun segera berbelok di jalan simpang.
Beberapa saat kemudian, setelah mereka berjalan melingkar, maka merekapun sampai ke jalan di dekat pasar itu.
Merekapun, kemudian singgah di sebuah kedai makan yang terhitung cukup besar.
Ketika mereka berdua masuk, maka di dalam kedai itu telah duduk beberapa orang yang sedang menikmati hidangan.
Keduanyapun kemudian duduk di sudut kedai itu.
Ditempat yang tidak terlalu terang oleh nyala lampu minyak di beberapa tempat di dalam kedai itu.
Dari tempat mereka duduk, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan beberapa orang yang sedang berbincang.
Sebagian dari mereka sedang membicarakan langkah-langkah para petugas kademangan itu yang telah menangkap beberapa orang di rumah seseorang yang sedang melahirkan."
Agaknya peristiwa itu merupakan peristiwa yang jarang sekali terjadi, sehingga hampir semua orang telah membicarakannya.
"Segerombolan orang-orang jahat telah bersembunyi di rumah itu,"
Berkata seseorang.
"Apakah penghuni rumah itu juga seorang yang jahat?"
"Tentu. Jika tempat tinggalnya menjadi sarang kejahatan, maka orang itu tentu juga dapat disebut seorang yang jahat. Setidak-tidaknya ia telah memberikan tempat dan bahkan persembunyiannya bagi para penjahat."
"Tetapi kejahatan apa yang telah mereka lakukan? Nampaknya Seca selama ini tetap tenang-tenang saja."
Kawannya tidak segera menjawab. Dihirupnya minuman hangatnya yang agaknya telah menghangatkan tubuhnya pula.
"Ternyata Ki Demang dan Ki Bekel benar-benar seorang pemimpin yang baik,"
Justru orang lain yang menyahut.
"agaknya orang-orang yang ada di rumah itu baru merencanakan melakukan kejahatan, tetapi Ki Demang, Ki Bekel dan Ki Jagabaya sudah mengetahuinya lebih dahulu, sehingga mereka dapat ditangkap."
Yang lain mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata.
"Kita dapat berbangga mempunyai pemimpin seperti mereka."
Merekapun terdiam sejenak. Masing-masing menikmati hidangan yang telah mereka pesan. Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di tempat yang agak terpisah mendengarkan pembicaraan itu sambil mengangguk-angguk. Perlahan sekali Glagah Putih berdesis.
"Para pemimpin di kademangan ini agaknya berhasil membangun kepercayaan rakyatnya, sehingga kedudukan mereka akan menjadi sangat kokoh. Tetapi, kenapa mereka berhubungan dengan para pemimpin perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang."
"Ki Saba Lintang dan para pemimpin perguruan itu yang lain, adalah orang-orang yang pandai membujuk. Jika kita mengikuti gerak mereka, maka diantara mereka selalu ada orang-orang berilmu tinggi yang muncul dari kuasa hitam, tetapi juga dari perguruan-perguruan yang baik. Perguruan-perguruan yang sebelumnya menganut jalan lurus."
"Agaknya Ki Saba Lintang serta para pemimpin yang lain dapat meyakinkan orang lain, tentang masa depan perguruannya yang besar itu. Menabur harapan serta menjanjikan masa depan yang jauh lebih baik dari masa ini."
Keduanyapun terdiam sesaat ketika mereka melihat dua orang memasuki kedai itu.
Seorang diantara keduanya agaknya sudah banyak dikenal di tempat itu.
Beberapa orang yang sudah berada di dalam kedai itupun menyapanya dengan sikap yang hormat.
Dari sapaan orang-orang yang sudah berada di kedai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui bahwa seorang diantara keduanya adalah seorang Kebayan di kademangan Seca.
Demikian mereka duduk, maka seorang yang datang bersama Ki Kebayan itupun berkata.
"Satu pilihan yang tepat, kakang Kebayan."
"Apanya yang tepat, Ki Sela Aji?"
"Tempat ini. Ternyata Seca memang tempat yang baik untuk dijadikan salah satu alas perguruan Kedung Jati. Kami berpengharapan bahwa tempat ini akan dapat mekar menjadi satu lingkungan yang lebih besar dan ramai."
"Mudah-mudahan. Kita berharap bersama-sama."
"Kita akan membuat sebuah padepokan yang besar. Tentu saja tidak di padukuhan induk ini. Biarlah tempat ini tumbuh menjadi sebuah padukuhan yang dapat menjadi salah satu pusat perdagangan di jalur ini."
"Jadi, dimana padepokan itu akan di bangun?"
"Kita memerlukan tanah yang luas. Aku masih melihat sebuah padang perdu di sebelah timur padukuhan induk ini. Mungkin kita dapat mempergunakannya tanpa mengurangi tanah garapan bagi para petani."
"Besok kita dapat melihat tempat itu."
"Bukan aku yang menentukan, Ki kebayan. Aku datang lebih dahulu sekedar untuk mempersiapkan kedatangan para pemimpin kami. Biarlah segala sesuatunya mereka yang memutuskan."
"Apakah Ki Saba Lintang sendiri akan datang?"
"Aku tidak tahu, kakang Kebayan. Tetapi sekarang Ki Saba Lintang sendiri sedang sibuk. Ada persoalan yang harus diselesaikannya. Persoalan yang harus ditangani oleh Ki Saba Lintang sendiri. Sedangkan untuk mengamati tempat ini serta lingkungannya, agaknya Ki Saba Lintang dapat mempercayakannya kepada orang lain."
"Siapakah yang bakal datang kemari?"
"Aku juga belum tahu."
Ki Kebayan itupun mengangguk-angguk. Ketika seorang pelayan kedai itu datang mendekat, maka Ki Kebayanpun segera memesan, minuman dan makanan.
"Apa yang Ki Sela Aji ingini?"
"Apa saja yang terbaik yang ada di kedai ini."
Ki Kebayanpun tersenyum. Katanya kepada pelayan itu.
"Itu sajalah dahulu. Nanti aku akan memesan lainnya lagi."
Glagah Putih dan Rara Wulan bagaikan mematung di tempatnya, Pembicaraan Ki Kebayan dengan orang yang disebutnya Ki Sela Aji itu ternyata sangat menarik perhatian mereka.
Sambil mendengarkan pembicaraan mereka, maka keduanya hanya saling memandang.
Ketika kemudian pesanan Ki Kebayan itu sudah dihidangkan, maka keduanya mulai sibuk dengan makan dan minuman mereka, sehingga mereka tidak sempat lagi berbicara tentang hubungan kedatangan Ki Sela Aji ke Seca.
Nampaknya Ki Kebayan adalah seorang yang pandai memilih jenis-jenis makanan.
Tidak henti-hentinya Ki Sela Aji memuji makan dan minuman yang dihidangkan.
Sementara itu, Ki Kebayan masih juga pesan beberapa jenis makanan lagi.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang merasa sudah cukup lama berada di kedai itu, serta sudah cukup banyak mendengar pembicaraan Ki Kebayan dengan Ki Sela Aji, tidak merasa perlu untuk menunggui mereka lebih lama lagi.
Sejenak kemudian, keduanya telah meninggalkan kedai itu.
Merekapun langsung menyusuri jalan kembali ke penginapan mereka.
Ketika mereka sampai di penginapan, mereka merasa agak heran, bahwa gamelan yang ada di pringgitan bangunan utama penginapan itu ditabuh.
Biasanya gamelan itu hanya ditabuh menjelang hari pasaran.
Jika masih banyak tamu, di malam hari setelah hari pasaran, gamelan itu juga sering ditabuh.
Tetapi tidak pada hari-hari yang lain.
Ketika mereka memasuki regol halaman penginapan dan bertemu dengan petugas di penginapan itu, maka yang pertama-tama ditanyakan oleh Rara Wulan adalah penjual gandos rangin.
"Apakah penjual itu sudah datang?"
Petugas di penginapan itu tertawa. Kalanya.
"Belum Nyi. Seandainya penjual gandos itu lewat, aku juga pura-pura tidak lahu."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rara Wulanpun tertawa pula. Namun Glagah Putihpun kemudian bertanya.
"Kenapa hari ini gamelan itu dibunyikan? Bukankah besok masih belum hari pasaran?"
"Kami sedang bersaing."
"Bersaing apa?"
"Seorang utusan khusus dari perguruan Kedung Jati sedang datang. Nampaknya orang itu ingin melihat-lihat keadaan di Seca. Nah jika banjar padukuhan itu memang tidak cukup, maka orang itu tentu akan mencari penginapan. Nah, gamelan itu ditabuh dalam rangka memancing perhatian orang itu."
"Apakah di penginapan lain tidak ada yang mempunyai seperangkat gamelan?"
"Ada. Tetapi sulit bagi mereka untuk dapat memanggil sekelompok pengrawit dan pasinden yang sudah mapan seperti yang kita punyai. Seorang diantara kami lelah berkeliling padukuhan ini. Tidak ada sebuah penginapanpun yang membunyikan gamelannya malam ini."
Glagah Putih menepuk bahu petugas ini. Katanya.
"cerdik juga lurahmu itu. Mudah-mudahan suara gamelanmu itu dapat menarik perhatian. Tetapi utusan khusus dari perguruan Kedung Jati itu sekarang baru berada di kedai tidak jauh dari pasar. Aku melihatnya bersama Ki Jagabaya."
"Ya. Mereka tadi telah datang kemari,"
Jawab petugas di penginapan itu.
"Apa katanya?"
Bertanya Rara Wulan.
"Orang itu belum mengatakan apa-apa. Tetapi aku lihat orang itu mengangguk-angguk. Orang itu sudah melihat ruangan-ruangan yang ada di penginapan ini. Nampaknya pendapa dan pringgitan ini telah menarik perhatiannya juga. Apalagi ada seperangkat gamelan yang kebetulan sedang ditabuh."
"Mudah-mudahan mereka memilih tempat ini,"
Desis Rara Wulan.
"sehingga kami akan mempunyai banyak kawan."
"Tentu tidak terlalu banyak,"
Berkata petugas itu.
"para pemimpin mereka tentu akan bermalam di banjar yang sudah diatur dengan baik sekali. Mereka akan merasa lebih nyaman bermalam di banjar daripada dipenginapan manapun. Di banjar, mereka akan dilayani oleh para bebahu kademangan. Setiap saat mereka mempunyai keperluan atau kebutuhan apapun, para bebahu akan siap menyediakannya. Agak berbeda dengan pelayanan di penginapan. Segala sesuatunya akan diperhitungkan dengan beaya. Seandainya ada yang ingin mandi dengan air hangat, maka tentu akan dihitung tersendiri pelayanan air hangatnya itu."
"Untung aku tidak pernah mandi dengan air hangat. Orang yang sehat tidak akan memerlukan air hangat untuk mandi."
"Orang-orang tua lebih senang mandi dengan air hangat meskipun di tengah hari."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.
"Sudahlah,"
Berkata Glagah Putih kemudian.
"aku akan beristirahat."
"Silahkan."
"Tetapi jika penjual gandos rangin itu lewat, kau harus membelinya,"
Berkata Rara Wulan.
Petugas itu tertawa berkepanjangan.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian langsung menuju ke bilik mereka.
Tetapi mereka masih belum menyelarak pintu.
Mereka masih akan pergi kepakiwan untuk mencuci kaki dan tangan mereka sebelum naik ke pembaringan.
Glagah Putih yang kemudian duduk di amben panjang di dalam biliknyapun berkata.
"Mudah-mudahan mereka bermalam di penginapan ini."
"Ya. Tetapi mudah-mudahan mereka bukan orang-orang yang pernah mengenal kita berdua."
Glagah Pulih mengangguk-angguk sambil berdesis.
"Ya. Mudah-mudahan."
Dalam pada itu, suara gamelan di pringgitan yang melantunkan lagu-lagu ngelangut membuat Rara Wulan mengantuk.
Karena itu, maka bergantian merekapun kemudian pergi ke pakiwan.
Tetapi seperti kebiasaan mereka, maka merekapun tidur bergantian.
Apalagi mereka berada di lingkungan yang meskipun terasa aman dan tenang di permukaan, namun mereka mengetahui, bahwa ada gejolak di kedalaman.
Gejolak karena adanya arus perdagangan terlarang yang agaknya melewati daerah itu, sementara perguruan Kedung Jatipun lelah mengarahkan pandangan matanya ke Seca.
Malampun kemudian menjadi semakin dalam.
Rara Wulanlah yang telah tidur lebih dahulu.
Sementara Glagah Putih duduk di amben kayu panjang di dalam biliknya.
Namun malampun berlalu tanpa ada persoalan yang menarik perhatiannya.
Sedikit lewat tengah malam, maka suara gamelanpun berhenti.
Para pengrawit meninggalkan pringgitan penginapan itu.
Glagah Putih masih mendengar petugas di penginapan itu membenahi beberapa macam perabot serta mangkuk-mangkuk minuman dan makanan yang masih berserakan di antara gamelan.
Kemudian petugas itupun menutup pintu pringgitan.
Namun seperti biasanya dibiarkannya pintu butulan tetap terbuka.
Menjelang dini hari, tanpa dibangunkan Rara Wulanpun telah terbangun dengan sendirinya.
Digosoknya matanya sambil beringsut turun dari pembaringannya.
"Tidurlah kakang. Aku sudah tidur terlalu lama,"
Berkata Rara Wulan.
"Masih banyak waktu,"
Berkata Glagah Putih.
"Sudah dini hari. Kau dengar ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya?"
"Belum kedua."
"Kau kira aku tidak mendengar ketika kentongan dibunyikan dengan irama dara muluk di tengah malam?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya.
"kalau begitu, kau tentu belum sempat tidur."
"Aku dengar suara kentongan itu dalam mimpiku."
"Nanti aku terlalu banyak tidur. Aku akan menjadi gemuk. Aku tidak mau."
Glagah Putih tertawa. Tetapi iapun kemudian berkata.
"Baiklah. Aku akan tidur. Sebenarnya kita tidak perlu tidur bergantian. Jika pintu itu diselarak dengan baik, kaupun dapat tidur pula meneruskan mimpimu."
Glagah Pulih masih tertawa.
Namun iapun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan, sementara Rara Wulan duduk di amben kayu sambil membenahi sanggulnya.
Glagah Putih memang sempat tidur, sementara Rara Wulan masih saja duduk di amben kayu.
Namun Rara Wulan yang duduk diam itu sama sekali tidak menimbulkan suara apapun.
Bahkan tarikan nafas nyapun terdengar ajeg sebagaimana seorang yang sedang tidur.
Tiba-tiba saja Rara Wulan itu mengerutkan dahinya.
Ia mendengar suara pintu bilik sebelah terbuka.
"Kosong, Ki Sanak."
Terdengar suara petugas penginapan itu.
"Yang sebelah?"
"Bilik itu dipergunakan oleh sepasang suami isteri."
"Apakah mereka tidak akan segera meninggalkan penginapan ini?"
"Tidak Ki Sanak."
Rara Wulan justru berusaha mendengarkan pembicaraan itu. Rasa-rasanya ia sudah pernah mendengar suara itu. Baru kemudian, ketika seorang yang lain berbicara, Rara Wulanpun segera teringat dimana ia mendengar suara itu.
"Ki Kebayan,"
Berkata Rara Wulan di dalam hatinya.
"yang seorang itu tentu Ki Sela Aji."
"Baiklah,"
Berkata Ki Kebayan.
"jika tadi kami masih belum memesannya karena kami masih ingin melihat-lihat beberapa penginapan yang lain, maka sekarang kami pasti akan memesannya."
"Bagaimana dengan banjar padukuhan?"
Bertanya petugas penginapan itu.
"Banjar padukuhan ternyata tidak akan dapat menampung. Lebih baik kami menyediakan tempat lebih banyak daripada harus mencari kesana-kemari. Bukankah esok lusa hari pasaran? Jika kami tidak memesannya sekarang, mungkin kami akan kesulitan mencari tempat bagi tamu-tamu kami."
"Baik, Ki Kebayan. Tetapi berapa bilik yang Ki Kebayan perlukan?"
"Semuanya."
"Tetapi yang satu ini sudah terisi."
"Biar saja. Bukankah mereka orang baik-baik sehingga tidak akan mengganggu tamu-tamu kita itu?"
"Mereka orang baik-baik, Ki Kebayan."
"Nah, jika demikian jangan berikan tempat kepada orang lain."
"Barangkali esok kami sudah tahu, berapa bilik yang kami perlukan. Jika malam ini kami memesannya, karena kami teringat bahwa di hari pasaran, penginapan-penginapan akan kekurangan tempat."
"Baik, Ki Kebayan. Kami tidak akan memberikan tempat kepada orang lain."
"Tetapi jika esok ternyata kami tidak akan mempergunakan seluruhnya, maka yang lain dapat kau berikan kepada orang lain. Tetapi sebelum kami menentukan bilik yang kami butuhkan, jangan berikan lebih dahulu kepada orang lain."
"Baik, Ki Kebayan."
Sejenak kemudian, maka merekapun bergeser untuk melihat bilik yang lain.
Nampaknya masih ada juga bilik yang terisi.
Tetapi tamu yang menginap di bilik itu esok akan meninggalkan penginapan.
Demikian orang-orang itu pergi, Rara Wulan menarik nafas panjang.
Jika Glagah Pulih bangun nanti, ia akan menceriterakan apa yang telah didengarnya.
Namun sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun menggeliat.
Iapun membuka matanya dan kemudian bahkan bangkit dan duduk di bibir pembaringan.
"Sudah berapa lama aku tidur? "
Bertanya Glagah Putih. Rara Wulan tersenyum. Katanya.
"Kau baru saja memejamkan mata."
"Bukankah sebentar lagi fajar akan menyingsing?"
"Baru dini hari."
"Aku sudah mendengar kokok ayam untuk ketiga kalinya malam ini."
"Kalau begitu kau belum tidur."
"Aku mendengar suara ayam jantan berkokok dalam mimpi."
"Ah kau,"
Rara Wulan bangkit sambil menjulurkan tangannya. Tetapi Glagah Putihpun bangkit pula dan bergeser.
"Jangan Rara. Sakit."
"Kau harus berlatih untuk menguasai ilmu kebal. Mungkin Aji Lembu Sekilan, mungkin Aji Tameng Waja."
"Meskipun aku mempunyai ilmu kebal, tetapi Aji Namaskara yang kau kuasai akan mampu menembusnya."
"Aku koyak kulitmu,"
Desis Rara Wulan. Tetapi Glagah Putihpun bergeser menjauh.
"jangan, jangan. Aku menyerah."
"Ssst,"
Desis Rara Wulan.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"jangan keras-keras. Nanti kita disangka sedang bertengkar."
"Tetapi jangan ..."
"Tidak. Tidak. Aku akan menaruh tanganku di punggung."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara Rara Wulan berkata.
"Semalam ada orang yang melihat-lihat bilik sebelah. Ki kebayan dan yang seorang mungkin sekali Ki Sela Aji."
"Untuk apa?"
"Mereka benar-benar akan memakai penginapan ini. Tetapi mereka tidak akan memaksa kita pergi."
"Benar?"
"Benar, kakang,"
Rara Wulan berdesis hampir berbisik.
"banjar padukuhan itu jelas tidak akan menampung. Mereka yang datang apakah Ki Saba Lintang sendiri atau bukan, akan membawa beberapa orang pengawal."
"Jadi itu sudah pasti?"
"Ya. Sudah pasti."
"Sokurlah. Beruntunglah bahwa kita mendapat tempat bermalam di penginapan ini. Tetapi kita harus berhemat untuk bertahan agak lama disini. Biasanya kita berkeliaran di hutan sehingga kita tidak perlu mengeluarkan uang sebagaimana kita berada di Seca."
"Jika persoalannya penting untuk dilaporkan setelah orang-orang yang ditugaskan oleh Ki Saba Lintang itu datang kemari, apakah tidak sebaiknya kita memberikan laporan dahulu sebelum kita melanjutkan perjalanan, mumpung belum terlalu jauh dari Mataram."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya.
"Kita akan melihat keadaan dahulu Rara. Jika perlu, kita akan kembali ke Mataram. Terlebih-lebih lagi jika kita memerlukan sepasukan prajurit. Meskipun kita mendapat wewenang dengan pertanda kewenangan itu, tetapi kita tidak tahu, apakah prajurit Mataram yang berada di sekitar daerah ini tidak disusupi oleh orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana para petugas di kademangan ini yang nampaknya kokoh. Tetapi ternyata justru para bebahu kademangan inilah yang telah membuat hubungan dengan Ki Saba Lintang."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya.
"Bahkan jika kita wenang memilih, maka aku akan minta para prajurit dari pasukan khusus di bawah pimpinan kakang Agung Sedayu."
"Ya,"
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"tentu akan lebih baik. Kita sudah lebih mengenal mereka."
"Nah, kita akan melihat, apa yang akan terjadi dalam dua tiga hari mendatang."
Rara Wulan mengangguk-angguk pula.
Sementara itu, langitpun mulai menjadi merah.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun bergantian pergi ke pakiwan untuk berbenah diri.
Hari itu kerja Glagah Putih dan Rara Wulan adalah menunggu.
Rasa-rasanya hari menjadi bertambah panjang.
Matahari bergerak dengan malasnya.
Sementara itu segala sesuatunya menjadi sangat lamban.
Dalam pada itu, para pedagang yang ada di penginapan dekat pasar sudah meninggalkan penginapannya.
Hari itu tentu akan berdatangan para pedagang yang lain.
Besok adalah hari pasaran di pasar Seca.
"Bagaimana dengan pedagang yang memasuki perdagangan terlarang itu, kakang. Apakah besok kita akan mencarinya di pasar Seca. Bukankah orang itu mengatakan bahwa di hari han pasaran ia sering berada di Seca.
"Kita melihat suasana! Jika orang-orang Ki Saba Lintang itu benar-benar datang, mereka akan lebih menarik untuk diperhatikan daripada mereka yang menelusuri perdagangan gelap, karena hubungannya dengan tugas kita lebih dekat."
"Ya kakang,"
Sahut Rara Wulan.
"Nampaknya sore nanti atau malam nanti, tamu-tamu yang disebut-sebut oleh Ki Kebayan itu akan dalang ke penginapan."
"Kita akan mengawasi mereka. Kita akan berada di sebelah perangkai gamelan itu pada saat mereka datang. Kita akan melihat apakah ada diantara mereka yang dapat kita kenali."
"Ya. Agaknya menjelang sore hari kita tidak boleh meninggalkan penginapan ini."
Betapapun lambannya, namun malam haripun akhirnya turun pula di sisi langit sebelah Barat.
Semakin lama semakin rendah.
Sementara Glagah Pulih dan Rara Wulan sudah berada di penginapannya kembali, setelah mereka berdua pergi ke pasar.
Tetapi penginapan itu masih juga sepi.
Seandainya orang-orang Ki Saba Lintang itu benar-benar akan bermalam di penginapan itu, agaknya mereka masih belum datang.
Setelah mencuci, kaki dan tangannya, serta meletakkan makanan yang mereka beli di pasar, maka Glagah Pulih dan Rara Wulanpun duduk di belakang seperangkat gamelan yang ada di pringgitan.
Namun menjelang senja, beberapa orang penabuh gamelan itu telah berdatangan.
Mereka memang dipesan untuk datang lebih awal dari biasanya.
Sebelum mereka mulai menabuh gamelan, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat berbincang dengan mereka.
Glagah Pulih dan Rara Wulan sempat bertanya, sejak kapan mereka mulai menabuh gamelan di penginapan itu.
"Sejak penginapan ini membeli gamelan ini, Ki Sanak,"
Jawab seorang penabuh yang rambutnya telah ubanan.
"sejak di penginapan ini ada gamelan, kelompok kamilah yang diminta untuk menabuh disetiap malam menjelang dan sesudah pasaran di Seca."
"Jadi sepekan dua kali,"
Desis Rara Wulan.
"Ya, Nyi. Sepekan dua kali."
"Bukankah kalian mendapat imbalan yang cukup?"
Bertanya Glagah Putih. Orang yang rambutnya telah ubanan ilu termangu-mangu sejenak. Setelah menoleh ke kiri dan kanan, iapun menjawab lirih.
"Ya, cukuplah buat membeli oleh-oleh. Tetapi sebenarnya pemilik penginapan ini dapat memberi kami lebih banyak lagi. Bunyi gamelan ini dapat memberikan daya tarik yang besar bagi para tamu. Ketika di penginapan lain belum ada gamelan, maka setiap orang yang bermalam di Seca akan memilih penginapan ini. Baru kemudian, satu dua penginapan meniru membeli seperangkat gamelan pula untuk menjadi salah satu daya tariknya."
"Kenapa kalian tidak mengusulkan kepada pemilik penginapan ini, agar imbalan bagi kalian ditambah?"
"Ada beberapa pertimbangan, Ki Sanak. Di daerah ini terdapat banyak sekali penabuh gamelan yang cakap. Jika kami terlalu banyak tuntutan, maka kami tidak akan dipakai lagi disini. Pemilik penginapan ini akan dapat memanggil orang lain yang bahkan bersedia menerima imbalan lebih kecil."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Namun mereka tidak dapat berbincang lebih panjang.
Para penabuh gamelan itupun kemudian mulai bergeser ke tempat mereka masing-masing.
Beberapa saat kemudian, maka telah mulai terdengar suara gamelan yang ngerangin.
Dengan demikian, Glagah Pulih dan Rara Wulan merasa telah mendapat tempat yang baik.
Ia berada di belakang seperangkat gamelan sehingga menjadi sedikit tersamar oleh para penabuh yang duduk di belakang jenis gamelan yang ditabuhnya.
Dalam pada itu, maka senjapun menjadi semakin gelap.
Lampu-lampu minyak telah menyala di mana-mana.
"Apakah mereka benar-benar akan datang ?"
Desis Glagah Putih.
"Menurut pendengaranku, mereka benar-benar akan datang,"
Jawab Rara Wulan.
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Dari tempat duduk mereka, keduanya melihat, ada beberapa orang tamu yang akan menginap terpaksa dipersilahkan untuk mencari penginapan yang lain.
Petugas di penginapan itu, dengan ramah dan hati-hati, menolak beberapa orang yang datang untuk menginap.
"Lihat,"
Desis Rara Wulan.
"ada beberapa orang yang harus mencari tempat lain meskipun agaknya mereka telah terbiasa datang dan menginap di penginapan ini."
Glagah Putihpun mengangguk-angguk.
Namun ketika malam menjadi semakin malam, menjelang wayah sepi bocah, maka telah datang beberapa orang bersama-sama.
Tetapi tidak sebanyak yang diperkirakan oleh Glagah Pulih dan Rara Wulan.
Orang-orang itu tentu tidak akan memenuhi semua bilik di penginapan itu.
"Berapa orang kakang?"
Desis Rara Wulan. Glagah Putih tidak segera menjawab, ia baru menghitung orang-orang yang datang diantar oleh Ki Kebayan itu.
"Hanya dua belas orang,"
Desis Glagah Putih.
"Cukup banyak. Tetapi aku kira mereka akan datang berduyun-duyun serta memenuhi periginganap ini."
"Yang lain akan menginap di banjar. Agaknya mereka justru orang-orang terpenting dari para pengikut Ki Saba Lintang."
"Atau Ki Saba Lintang sendiri."
"Mungkin saja."
Keduanyapun terdiam.
Para petugas di penginapan itupun menjadi sibuk mengatur beberapa bilik yang akan dipergunakan oleh para pengikut Ki Saba Lintang.
Mereka tentu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pengaruh di perguruan yang sedang dipersiapkan untuk tampil kembali itu.
Dari tempatnya, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat melihat dengan jelas, beberapa orang yang naik ke pendapa.
Sebelum para petugas selesai mengatur tempatnya, beberapa orang diantara mereka masih saja berdiri dan berbincang di pendapa.
Dalam pada itu, orang yang disebut bernama Sela Aji, yang telah datang mendahului kawan-kawannya, agaknya telah memilih tempat bagi dirinya sendiri.
"Biarlah aku berada di bilik di dekat perempuan cantik itu,"
Katanya kepada petugas yang menyertainya melihat-lihat bilik yang sedang dipersiapkan itu.
"Perempuan itu menginap bersama suaminya,"
Jawab petugas itu.
"Apa salahnya,"
Jawab Sela Aji.
"bukankah aku tidak akan mencari perkara."
"Lalu untuk apa Ki Sela Aji memilih tempat itu?"
Sela Aji tertawa. Katanya.
"Aku adalah seorang petugas yang harus mengawasi orang-orang kami yang berada di Seca. Aku justru ingin mengamankan tempat itu. Jika yang ada di bilik dekat perempuan cantik itu orang-orang yang brangasan, maka akan dapat timbul masalah. Justru karena itu, maka akulah yang akan berada di bilik itu, agar tidak timbul masalah. Kami dalang kemari untuk mengemban tugas tertentu. Jika tugas itu dinodai, maka persoalannya akan menjadi rumit."
Ki Kebayan dan petugas di penginapan itu mengangguk angguk. Dengan nada rendah petugas di penginapan itu berkata.
"Jika itu pertimbangan Ki Sela Aji, kami persilahkan."
Di pringgilan, Glagah Putih mencoba untuk mengenali orang-orang yang masih berdiri sambil berbincang-bincang.
Ada yang berkesan pendiam dan bersikap tenang, tetapi ada yang tidak menghiraukan keadaan disekelihngnya.
Ia tertawa kapan saja ia ingin tertawa.
Keras-keras dan berkepanjangan.
Bahkan ia berbicara dengan suara yang keras meskipun lawan bicara hanya selangkah didepannya.
Bahkan ada diantara mereka yang nampak kasar dan ganas.
Petugas yang kemudian mempersilahkan mereka setelah bilik-biliknya selesai ditata, mengangguk-angguk selelah ia memperhatikan tamu-tamunya.
"Ki Sela Aji benar,"
Berkata orang itu didalam hatinya.
"jika yang ditempatkan di dekat bilik suami isteri itu orang-orang yang kasar dan ganas, serta tanpa mempedulikan orang lain. maka akan dapal timbul persoalan. Meskipun mereka ditempatkan di bilik yang lebih jauh akan dapat timbul persoalan pula, karena mau tidak mau, kadang-kadang mereka akan berpapasan juga dengan perempuan yang menginap bersama suaminya itu. Tetapi kemungkinannya menjadi lebih kecil, sementara Ki Seja Aji sendiri akan sempat mengamatinya. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang yang berdiri di pendapa ilupun segera memasuki ruang dalam penginapan. Para petugas di penginapan ilu segera menunjukkan bilik masing-masing, sesuai dengan penempatan bagi mereka yang diatur oleh Ki Sela Aji dan Ki Kebayan. Mereka menempati brlik bilik yang diperuntukkan bagi tiga atau empat orang , kecuali Ki Sela Aji berada di bilik yang diperuntukkan bagi dua orang disebelah bilik Glagah Putih dan Rara Wulan. Sebenarnyalah, orang-orang yang mendapat lugas untuk dalang ke Scca dari perguruan Kedung Jali itu, agak sulit dikendalikan. Mereka berbicara, tertawa dan bersikap sebagaimana mereka berada di tempat tinggal mereka sendiri.
"Sikap mereka agak berbeda dengan Sikap Ki Sela Aji,"
Desis Glagah Putih.
"Ya,"
Rara Wulan mengangguk.
"ada dua atau tiga orang yang bersikap baik. Tetapi yang lain nampaknya orang-orang yang sulit dikendalikan."
"Kita harus berhati-hati, Rara. Selain kedua belas orang itu. tentu masih ada yang lain yang bermalam di banjar. Justru para pemimpin mereka."
"Sayang, kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah tidak ada disini."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayang sekali. Tetapi kita tidak sempat memberitahukan kepada mereka."
"Jika saja kita mendapat dua ekor kuda."
"Kita hanya akan kehilangan waktu. Kita tidak tahu, sampai kapan mereka akan berada disini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian.
"jika saja kita tahu, berapa hari mereka akan berada disini. Sementara itu jika kita mendapatkan dua ekor kuda, maka dari Seca sampai ke Tanah Perdikan Menoreh kita akan dapat menempuh pulang balik dalam waktu satu hari satu malam."
"Lebih dari itu Rara Wulan. Mungkin jalan yang akan kita lalui bukan jalan yang datar dan rata."
Rara Wulan mengangguk-angguk pula.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk saja di belakang gamelan itu sampai larut malam.
Mereka masih melihat beberapa orang yang justru keluar dari ruang dalam, melintasi pendapa dan turun ke halaman.
Merekapun kemudian pergi keluar regol halaman penginapan itu.
Beberapa saat kemudian, Ki Sela Aji dan seorang yang sudah lebih dari separo baya keluar pula ke pendapa.
Terdengar orang yang sudah lebih dari separo baya itu mengeluh.
"Mereka sulit diatur."
"Asal mereka tidak membuat keributan saja paman. Kita datang kemari bukannya tanpa tujuan. Jika mereka membuat keributan, akan dapat menimbulkan persoalan baru."
Orang yang sudah lebih dari separo baya itu mengangguk. Sejenak keduanya terdiam. Namun kemudian Sela Ajipun berkata.
"Paman Demung Pungut. Apakah bukan sebaiknya kita keluar dan melihat-lihat keadaan. Mungkin saja satu dua orang diantara mereka yang keluar dari penginapan ini mendapat masalah dengan tingkah laku mereka. Besok adalah hari pasaran. Mungkin sekali Seca malam ini sudah banyak didatangi orang. Mungkin para pedagang yang akan menggelar dagangannya di Seca esok. Mungkin juga para pedagang yang akan membeli barang dagangan di Seca untuk dibawa ke tempat lain. Dalam kesibukan seperti ini, anak-anak bengal itu akan dapat berbenturan kepentingan dengan mereka."
"Aku sudah pesan mewanti-wanti kepada mereka."
"Tetapi marilah, sebaiknya kita keluar pula, paman."
"Sebenarnya aku lebih senang duduk disini mendengarkan suara gamelan itu. Tetapi baiklah. Kita keluar barang sebentar."
Keduanyapun kemudian turun ke halaman dan keluar lewat pintu regol meninggalkan halaman penginapan.
"Tidak ada yang kita kenali, Rara. Mudah-mudahan merekapun tidak mengenali kita."
"Tentu tidak,"
Jawab Rara Wulan.
"nah, kita sekarang mau apa. Malam sudah menjadi semakin malam."
"Tetapi masih banyak orang yang berkeliaran di luar. Nah, lihat, masih ada juga orang yang datang untuk mencari penginapan disini."
"Jika mereka datang dari arah lain, akan berbeda Rara. Tidak semua jalan yang menuju Seca dibayangi oleh para perampok."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun ternyata bahwa petugas penginapan itu dapat menerima beberapa orang lagi menginap di penginapan itu, karena para pengikut Saba Lintang tidak mempergunakan seluruh bilik dan ruang yang ada di penginapan itu.
"Baiklah, kakang. Mari kita melihat-lihat keadaan, tetapi aku tidak akan mengenakan pakaian seperti ini. Aku akan menjadi seorang laki-laki. Aku akan mengenakan kain panjang sebagaimana seorang laki-laki. Aku akan memakai ikat kepala dan mengenakan baju khususku. Baju hitam itu tentu tidak akan menarik perhatian orang."
Glagah Putihpun tersenyum. Katanya.
"Kau tidak mau diganggu lagi?"
"Tentu. Jika saja aku tidak dapat mengendalikan diri, akan dapat terjadi benturan kekerasan."
Glagah Putih tertawa. Namun Rara Wulan itupun berdesis.
"kau mentertawakan aku?"
"Tidak. Tidak Rara."
Keduanyapun kemudian masuk ke dalam bilik mereka.
Setelah Rara Wulan membenahi pakaiannya, maka merekapun meninggalkan penginapan itu.
Meskipun malam sudah menjadi semakin larut, namun menjelang hari pasaran, Seca masih tetap belum tertidur.
Masih ada beberapa orang yang berjalan-jalan.
Masih juga ada kedai yang pintunya terbuka.
Apalagi disekitar pasar.
Bahkan beberapa pedati masih juga berderet di depan pasar.
Ternyata para petugas di pasar itu memberikan kesempatan kepada para pedagang yang akan mengatur dagangan mereka di malam hari menjelang hari pasaran.
Terutama para pedagang yang datang dari luar kademangan Seca.
Namun bagi para petugas pasar yang terpaksa menunggui kerja mereka di malam hari, para pedagang itu juga memberikan imbalan sepantasnya.
Dalam kegelapan, Rara Wulan dengan cara berpakaian, memang tidak menarik perhatian.
Ujudnya memang menyerupai seorang laki-laki.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak terlalu lama berada di sekitar pasar.
Mereka berdua justru telah pergi ke banjar untuk jika mungkin melihat siapa saja yang bermalam di banjar itu.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan banjar, maka mereka melihat di regol banjar itu telah dipasang oncor yang terang, sehingga di banjar itu seakan-akan sedang diselenggarakan satu Upacara.
"Hati-hati Rara,"
Desis Glagah Putih.
"kita akan mencoba mendekat."
Keduanyapun kemudian justru telah memasuki halaman rumah disamping banjar itu. Dengan hati-hati pula mereka menyusup ke sebelah gandok mendekati dinding halaman yang memisahkan halaman rumah itu dengan halaman banjar.
"Apakah kita meloncat?"
Desis Rara Wulan perlahan.
"Tunggu,"
Bisik Glagah Putih.
"kita belum tahu, apa yang berada di belakang dinding itu."
Rara Wulan mengangguk. Dinding halaman disekeliling banjar itu memang agak tinggi. Lebih tinggi dari dinding halaman rumah pada umumnya. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian iapun berdesis.
"Aku akan memanjat pohon nangka yang melekat dinding halaman banjar itu."
"Aku ikut kakang,"
Sahut Rara Wulan. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulanpun berkata selanjutnya.
"Bukankah aku juga pandai memanjat? Ingat kakang, aku pernah menjalani Tapa Ngalong dan bergayut pada kedua kakiku di sebuah dahan pohon yang besar."
Glagah Putih tersenyum. Katanya perlahan.
"Ya. Aku hampir melupakannya."
Demikianlah keduanyapun kemudian memanjat sebatang pohon nangka di halaman rumah sebelah banjar.
Pohon nangka yang hampir melekat dinding halaman banjar.
Dari sebatang dahan yang menjulur keatas halaman samping banjar padukuhan.
Ternyata tidak ada seorangpun di halaman samping.
Agaknya para petugas kademangan dan padukuhan itu menganggap bahwa keadaan di Seca aman, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk mengadakan pengawasan dan penjagaan khusus di banjar dan sekitarnya.
Meskipun mereka baru saja disibukkan dengan peristiwa yang terjadi di tepian sungai di ujung hutan.
Tetapi agaknya peristiwa itu mereka anggap sebagai permusuhan antara dua gerombolan yang saling mendendam serta berebut lahan.
Sehingga persoalannya akan terbatas pada permusuhan serta saling mendendam di antara mereka.
Meskipun demikian, namun penjagaan di depan banjar itu nampaknya lebih ketat daripada hari-hari biasa, meskipun hari pasaran sekalipun.
"Kita masuk ke halaman samping Rara,"
Desis Glagah Putih.
Namun mereka justru bergeser surut serta berlindung di balik rimbunnya daun nangka.
Mereka melihat dua orang petugas kademangan yang bersenjata tombak berjalan di halaman samping itu.
Mereka muncul dari sudut belakang banjar.
Demikian mereka lewat, Glagah Putih berdesis.
"Hampir saja."
Rara Wulan menarik nafas panjang.
Demikian, maka sejenak kemudian, keduanyapun segera meloncat ke halaman samping banjar padukuhan.
Merekapun segera menyelinap di balik gerumbulan perdu yang terdapat di halaman samping banjar padukuhan itu.
Dengan sangat hati-hati, keduanyapun bergeser dari balik gerumbul ke balik gerumbul yang lain, sehingga mereka berada di belakang gerumbul perdu yang agak menjorok ke depan.
Dari tempat mereka bersembunyi, mereka dapat melihat beberapa orang yang berada di pendapa.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera dapat mengenali bebahu kademangan dan padukuhan itu, yang pernah mereka lihat di tepian sungai di ujung hutan setelah dua kekuatan di bawah permukaan berbenturan memperebutkan jalur perdagangan gelap.
Yang lain, yang justru mendapat kehormatan yang tinggi dari Ki Demang dan Ki Bekel serta para bebahu adalah orang-orang yang belum pernah dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Ki Saba Lintang sendiri tidak ada diantara mereka,"
Bisik Rara Wulan.
"Ya. Sedangkan yang lain, bukan orang-orang yang pemah kita temui dalam benturan-benturan kekerasan yang terjadi dengan orang-orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati itu."
Keduanyapun kemudian saling berdiam diri.
Mereka mengikuti saja apa yang terjadi di pendapa banjar itu dari kejauhan.
Beberapa saat kemudian, mereka melihat kelompok orang berdatangan di banjar.
Agaknya mereka adalah bagian dari para pengikut Ki Saba Lintang yang bermalam di penginapan yang sama dengan penginapan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Sejenak kemudian, pendapa banjar itu menjadi semakin ramai.
Namun agaknya mereka belum melakukan perundingan apa-apa.
Mereka masih saja duduk-duduk berbincang tentang apa saja.
Sekali-sekali terdengar mereka tertawa.
Glagah Putihpun kemudian menggamit Rara Wulan sambil berdesis.
"Nampaknya belum ada yang penting untuk diikuti, Rara."
"Mungkin nanti. Lihat, beberapa orang sedang menghidangkan makan dan minum. Agaknya orang-orang yang berada di penginapan akan datang semuanya kemari untuk makan malam."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, orang-orang yang bermalam di penginapan itu seluruhnya telah berada di banjar.
Yang datang terakhir adalah Sela Aji bersama DemungPugut menggiring dua orang yang agaknya sedang mabuk tuak.
Demikian mereka mendekati tangga pendapa.
Sela Aji telah mendorong keduanya sehingga hampir saja keduanya jatuh terjerembab.
"Ada apa?,"
Bertanya seorang yang masih terhitung muda sedikit lebih tua dari Glagah Putih, yang duduk di pendapa banjar.
"Mereka mabuk, Ki Marbuka."
"O. Bawa mereka kemari."
"Kalian harus menghadap Ki Marbuka. Cepat,"
Bentak Sela Aji. Keduanyapun segera merangkak di pendapa menghadap orang yang disebutnya Ki Marbuka.
"Ampun. Aku tidak mabuk. Aku tidak mabuk sama sekali."
Yang lainpun berkata pula.
"Aku juga tidak mabuk. Ki Sela Aji telah memfitnah jika ia mengatakan aku mabuk. Aku memang agak pusing. Tetapi sejak di perjalanan menuju Seca aku sudah pusing,"
Orang itu tertawa. Namun suara tertawanyapun bagaikan tertelan kembali ketika tiba-tiba saja tangan orang yang disebut Ki Marbuka itu menampar wajahnya. Demikian kerasnya, sehingga orang yang sedang mabuk itu terpelanting jatuh.
"O,"
Orang itu mencoba untuk segera bangkit. Setengah sadar ia mengusap mulutnya yang berdarah.
"Ampun Ki Murdaka. Aku minta ampun. Kau jangan menyakiti aku seperti itu."
"Jika kau tidak mau diam aku bunuh kau,"
Bentak Ki Murdaka.
"Ya, ya. Aku akan diam,"
Sahut orang yang sedang mabuk itu.
"aku tidak akan berbicara apa-apa tentang tuak yang manis itu. Akupun tidak akan mengatakan dimana aku dapat membeli tuak itu dengan harga murah. Aku tidak mau orang lain tahu, siapa yang telah menjual tuak itu kepadaku. Seorang perempuan yang cantik, ramah dan banyak senyum,"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu tertawa lagi. Katanya.
"Tetapi ki Murdaka jangan pergi ke sana. Jangan paksa perempuan itu memilih aku atau ki Murdaka. Orang itu tentu akan memilih melayani ki Murdaka jika Ki Murdaka membeli tuak ke kedai itu. Perempuan itu tentu tidak akan menghiraukan aku lagi."
Namun sekali lagi tangan Ki Murdaka menampar wajah orang itu.
Lebih keras, sehingga orang itu terguling beberapa kali sambil mengerang kesakitan.
Orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi berdebar-debar.
Agaknya Ki Murdaka adalah seorang yang keras.
Ia telah menampar seorang yang menyertainya ke Seca itu di hadapan banyak orang tanpa ragu-ragu.
"Ampun Ki Murdaka, ampun."
"Bawa orang itu ke biliknya,"
Suara Ki Murdaka lantang.
"Biliknya tidak di banjar ini, Ki Murdaka. Ia bermalam dipenginapan bersama aku dan paman Demung Pugut serta beberapa orang yang lain."
"Urus orang itu nanti. Sekarang, seret saja ke belakang."
"Baik, Ki Murdaka."
"Ia telah mengotori pertemuan ini."
Ki Sela Ajipun kemudian mendekati orang itu. Ketika Sela Aji akan menyeretnya, orang yang mabuk itupun berkata.
"Aku akan diajak kemana? nanti sajalah. Biar aku mandi dahulu."
Ki Sela Aji tidak menghiraukannya.
Iapun segera menyeret orang itu ke belakang.
Sementara kawannya yang juga mabuk, namun kesadarannya masih lebih tinggi dari kawannya itu, sehingga ia tidak menjadi terlalu banyak berbicara, duduk di antara kawan-kawannya yang lain.
"Ingat,"
Berkata Ki Murdaka.
"aku tidak senang, bahwa seseorang yang bersamaku menjadi mabuk atau melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Aku tidak mau. Kita semuanya harus berusaha menempatkan diri kita. Sebagai seorang murid dari sebuah perguruan yang besar, maka kita harus selalu menjaga serta menempatkan diri kita sebaik-baiknya."
Orang-orang yang berada di pendapa itu terdiam. Para bebahu kademangan dan padukuhan itupun ikut terdiam sambil menundukkan kepala mereka.
"Apakah mulai ada perubahan sikap dari para pemimpin perguruan Kedung Jati, Rara."
Desis Glagah Putih perlahan.
"Maksud kakang?"
"Mereka mulai menata diri. Bukankah sebelumnya, siapapun dapat menyatakan dirinya menjadi murid dari perguruan Kedung Jati? Bukankah sebelumnya diantara mereka yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itu telah disusupi oleh gerombolan-gerombolan perampok penyamun dan pencuri. Juga disusupi oleh perguruan-perguruan yang mengangkat kemampuan serta ilmu mereka dari kuasa kegelapan."
"Ya, kakang. Juga mereka yang menumpang untuk kepentingan gerombolan mereka sendiri."
"Nampaknya sekarang mulai ada usaha untuk mentertibkan. Atau barangkali sekedar pameran kepada para bebahu di Seca karena Ki Saba Lintang ingin menjadikan daerah yang aman ini salah satu landasan bagi perguruan Kedung Jati."
"Memang banyak kemungkinan dapat terjadi kakang,"
Bisik Rara Wulan. Namun keduanyapun kemudian harus mengkuncupkan tubuh mereka ketika dua orang petugas berjalan beberapa langkah di hadapan mereka.
"Tidak ada yang kita dapatkan malam ini, Rara. Agaknya mereka masih belum akan mulai dengan pembicaraan-pembicaraan diantara mereka."
"Besok agaknya mereka akan bertebaran di pasar pada hari pasaran kakang. Bukan sekedar untuk mengendorkan ketegangan, tetapi agaknya mereka harus mengetahui pula putaran perdagangan di Seca sebelum mereka menjadikan tempat ini salah satu landasan gerakan mereka."
Glagah Putih mengangguk-ngguk. Katanya.
"Ya. Kita besok akan melihat, apa saja yang mereka lakukan disini."
Demikianlah maka sejenak kemudian, keduanya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang berada di pendapa itupun kemudian telah asyik dengan suguhan makan dan minum.
Sedangkan malam menjadi semakin larut.
Sehingga keduanya memperhitungkan, bahwa setelah makan, mereka akan segera pergi beristirahat.
Hari-hari merasa tentu masih panjang, sehingga mereka tidak akan tergesa-gesa melakukan pembicaraan.
Beberapa saat kemudian, ketika perhatian orang-orang dipendapa itu tertuju kepada hidangan yang sudah ada dihadapan mereka, maka Glagah Pulih dan Rara Wulanpun mulai beringsut.
Di pendapa Ki Demang, Ki Bekel dan para bebahu sibuk mempersilahkan tamu-tamu mereka untuk makan.
Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di penginapan mereka mendahului para pengikut Ki Saba Lintang.
Di pringgitan, para penabuh masih juga duduk di belakang gamelan mereka.
Agaknya hari itu mereka mendapat pesan untuk mulai lebih awal dan berakhir didini hari.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memasuki bilik mereka.
Setelah membenahi pakaiannya, serta setelah mencuci kaki dan tangan mereka di pakiwan, maka Rara Wulanpun berbaring di pembaringan sementara Glagah Pulih duduk di dingklik panjang.
"Sampai kapan mereka kembali ke penginapan ini,"
Desis Glagah Putih.
"Mungkin masih agak lama. Karena itu, tidurlah lebih dahulu. Kau tidak usah menunggu mereka. Jika mereka nanti kembali serta ada hal yang menarik, aku akan membangunkanmu."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia mulai mengantuk. Tanpa disadari, mata Rara Wulanpun akhirnya terpejam juga.
Jilid 365 NAMUN Glagah Putih bertahan untuk tidak segera tidur.
Ia menunggu orang-orang yang berbeda di banjar itu kembali ke penginapan.
Mungkin orang yang berada di bilik sebelah akan berbicara serba sedikit tentang kelompok mereka yang sedang berada di Seca itu.
Glagah Putih memang harus bersabar.
Sementara itu, suara gamelan masih saja terdengar di pringgitan melantunkan lagu-lagu ngelangut.
"Apakah mereka akan berada di banjar semalam suntuk,"
Desis Glagah Putih.
Namun ternyata beberapa saat kemudian, ia mendengar beberapa orang memasuki penginapan itu.
Ada diantara mereka yang sama sekali tidak menghiraukan keadaan disekitarnya, sehingga di dini hari, mereka berbicara tanpa mengendalikan diri.
"Kalian tidak berada di rumah kakekmu sendiri,"
Terdengar suara Ki Sela Aji.
"bukankah Ki Murdaka sudah mengatakan, bahwa ia tidak senang kepada orang-orang yang mabuk serta yang melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Ia ingin orang-orang Kedung Jati bersih dimata orang-orang Seca. Dengan demikian jika saatnya kita memasuki lingkungan ini, kita akan tetap dihormati sebagai murid-murid dari sebuah perguruan besar dan bertanggungjawab."
Orang-orang itu memang terdiam.
Nampaknya merekapun segera menebar dan memasuki bilik mereka masing-masing.
Namun sesaat kemudian terdengar lagi mereka berbicara terlalu keras, sehingga terdengar dari seluruh penginapan.
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Keberadaan orang-orang Ki Saba Lintang dipenginapan itu memang akan dapat menimbulkan persoalan dengan beberapa orang lain yang juga menginap di pengi napan itu, karena mereka ternyata telah mengganggu ketenangan dimalam yang sudah terlalu dalam itu.
Namun sejenak kemudian, Glagah Putih mendengar dua orang memasuki bilik sebelah.
Agaknya seorang diantara mereka adalah Sela Aji.
"Paman Demung Pugut,"
Terdengar suara Sela Aji.
"orang-orang gila itu agaknya sangat sulit dikendalikan. Agaknya mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak hati mereka."
"Padahal kita sudah memilih, Ki Sela Aji. Kita sudah memilih orang-orang yang terbaik. Tetapi orang-orang yang terbaik itupun masih juga menyusahkan kita."
"Kita harus bertindak lebih keras lagi paman. Jika perlu kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka."
"Kita memang harus bersabar. Jika kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka, mungkin sekali mereka justru mulai menentang kita."
"Mereka tidak akan berani. Jika ada yang berani, aku akan menantangnya dan membuatnya menjadi jera."
Orang yang disebut Demung Pugut itu menarik nafas panjang. Namun dalam pada itu, terdengar ketukan pintu yang keras sekali di bilik yang terletak di sayap kiri penginapan itu.
"Paman Demung Pugut mendengarnya?"
"Ya."
"Apa yang terjadi."
Namun sebelum Ki Demung Pugut menyahut, terdengar seseorang berkata lantang.
"Diam. Diam kalian. Kalian mengganggu ketenangan malam ini."
Terdengar jawaban yang tidak kalah kerasnya.
"Apa pedulimu."
"Kalian berada di penginapan. Kalian harus bertenggang rasa. Jika kalian berteriak-teriak seperti itu, kami tidak dapat beristirahat malam ini."
Ternyata Glagah Putih tidak perlu membangunkan Rara Wulan. Karena Rara Wulanpun telah terbangun dengan sendirinya.
"Ada apa kakang?"
Bertanya Rara Wulan.
"Aku belum tahu."
Ketika Rara Wulan duduk di bibir pembaringan, terdengar Sela Aji berkata.
"Aku akan melihat paman. Tentu orang-orang kita telah mengganggu orang lain yang sedang menginap dipenginapan ini pula."
Keduanyapun kemudian keluar dari biliknya, sementara masih terdengar suara keras.
"Jika kalian tidak mau tahu dengan orang lain yang dapat terganggu dengan sikap kalian, sebaiknya kalian menginap di kandang kambing."
"Persetan kau,"
Benta orang yang dianggap mengganggu itu. Dalam waktu yang pendek, beberapa orang telah berkerumun, termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Jika kau tidak mau terganggu, kenapa kau bermalam disini? Aku disini membayar sewa bilik yang aku pakai. Karena itu, terserah apa yang akan aku lakukan didalam bilik itu."
"Memang terserah apa yang akan kau lakukan. Tetapi jangan mengganggu orang lain. Aku perlu beristirahat. Besok aku masih mempunyai banyak pekerjaan."
"Itu urusanmu, bukan urusanku."
Dalam pada itu Rara Wulanpun berbisik.
"Orang yang merasa terganggu itu adalah Sutasuni, kakang. Malam itu ia bermalam di bilik sebelah bilik kita yang malam ini dipergunakan oleh Sela Aji, sehingga ia berada di bilik yang berada di sayap penginapan ini."
"Persoalannya akan menjadi rumit. Bukankah orang itu pengikut Panji Kukuh."
"Tetapi dibanding dengan perguruan Kedung Jati, Panji Kukuh adalah kelompok yang terhitung kecil."
"Tetapi jika terjadi benturan malam ini, orang-orang perguruan Kedung Jati belum tentu dapat melawan para pengikut Panji Kukuh. Namun kemudian Ki Saba Lintang tentu akan segera memburu Ki Panji Kukuh. Nampaknya Panji Kukuh akan mengalami kesulitan yang besar."
"Tetapi gerombolan Panji Kukuh tentu cukup lincah untuk menghindari tangan-tangan Ki Saba Lintang."
"Ya. Yang dapat dilakukan oleh Ki Panji Kukuh adalah bermain hantu-hantuan. Muncul dan menghilang. Tetapi dengan demikian, maka Panji Kukuh tidak akan dapat mempertahankan jalur perdagangan gelapnya."
Keduanyapun terdiam. Mereka melihat Sela Aji berusaha untuk melerai pertengkaran antara orang-orang dari perguruan Kedung Jati dengan para pengikut Panji Kukuh itu.
"Sudahlah Ki Sanak. Aku minta maaf,"
Berkata Sela Aji. Lalu katanya kepada orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu.
"Nah, sekarang kalian mengalami sendiri. Penginapan ini bukan rumah kakekmu. Disini banyak orang lain yang dapat merasa terganggu dengan sikap kalian. Jika kalian masih saja bersikap buruk dan menggangu orang lain, maka aku akan mengusir kalian dari penginapan ini dan biarlah kalian bermalam di pategalan sebagaimana biasa kalian lakukan."
Orang-orang yang telah mengganggu tetangganya itu terdiam.
"Aku juga dapat keras seperti Ki Murdaka. Bahkan siapa yang tidak menyetujui kebijaksanaanku, aku tantang untuk berkelahi melawan aku."
Orang-orang itu terdiam. Mereka tahu tingkat kemampuan Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut.
"Nah, kalian harus menghormati orang lain agar mereka juga menghormati kita."
Orang yang mempergunakan bilik itu tidak menjawab.
"Nah, Ki Sanak. Kau tidak akan terganggu lagi."
"Terima kasih,"
Desis Sutasuni.
Dalam pada itu petugas penginapan itupun kemudian mempersilahkan mereka yang berkerumun itu untuk kembali ke bilik mereka masing-masing.
Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.
Namun Ki Sela Aji sendiri serta Ki Demung Pugut masih tinggal beberapa saat di bilik yang membuat kisruh itu.
Setelah peristiwa itu, maka penginapan itu menjadi tenang.
Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan ternyata menghormati pula sikap Sela Aji.
Bagaimanapun juga, kecuali Sela Aji dan Demung Pugut memiliki kelebihan dari mereka, maka keduanya memang mendapat wewenang dari Ki Murdaka untuk mengawasi orang-orang yang dibawanya ke Seca.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi dapat tidur.
Meskipun Rara Wulan mempersilahkan Glagah Putih untuk tidur meskipun hanya sesaat, tetapi ternyata Glagah Putih tidak dapat memejamkan matanya.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apalagi ketika Sela Aji dan Demung Pugut yang kemudian kembali ke biliknya.
"Orang itu memang keras kepala,"
Berkata Sela Aji.
"Tetapi nampaknya ia mengerti bahwa kita bersungguh-sungguh, sehingga ia tidak akan mengulanginya lagi. Demikian pula kawannya yang tinggal bersamanya dalam bilik itu."
"Ya. paman. Sekarang silahkan paman tidur meskipun hanya sebentar."
"Bukan sebentar lagi langit akan menjadi merah?"
Sela Aji menarik nafas panjang. Katanya.
"Jika demikian, akulah yang akan tidur sejenak. Besok kita masih harus melihat-lihat keadaan kademangan ini. Kita harus tahu lebih dahulu keadaan tem pat ini sebelum kita akan membicarakannya tentang kemungkinan kita mendirikan salah satu landasan perguruan kita. Jika kita berhasil, maka kita tinggal membuat satu lagi landasan perguruan kita di sebelah Selatan untuk membayangi Mataram."
"Kita harus tetap memperhitungkan Tanah Perdikan Menoreh."
"Tentu paman. Ki Saba Lintang sendiri selalu memperingatkan tentang Tanah Perdikan yang besar dan kuat itu."
"Belum tentu. Tetapi kemungkinan terbesar, Ki Saba Lintang tidak akan datang. Meskipun demikian segalanya masih dapat berubah."
Ki Demang Pugut mengangguk-angguk.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar.
Nampaknya Ki Saba Lintang tidak dapat melupakan Tanah Perdikan Menoreh.
Kecuali beberapa kali Ki Saba Lintang mengalami kegagalan, di Tanah Perdikan Menoreh itu pula tersimpan pasangan tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mendengar pembicaraan lagi.
Agaknya Sela Aji benar-benar berniat untuk tidur barang sejenak.
Dalam pada itu.
menjelang fajar.
Glagah Putih dan Rara Wulan telah pergi ke pakiwan untuk mandi.
Rara Wulan tidak mau pergi sendiri ke pakiwan.
Orang-orang yang menginap di penginapan itu adalah orang-orang yang dapat berbuat apa saja di luar dugaan, karena ada diantara mereka yang tidak lagi berpijak pada tatanan bebrayan serta unggah-ungguh.
Rara Wulan bukan berarti ketakutan dengan kehadiran mereka.
Tetapi jika ia sedang mandi di pakiwan.
maka ia benar-benar berada dalam keadaan yang sangat lemah.
Sebelum fajar Glagal Putih dan Rara Wulan telah selesai berbenah diri.
Sementara itu.
orang-orang dari perguruan Kedung Jati masih belum bangun.
Mereka masih asyik mendengkur di bilik mereka masing-masing.
Tetapi para pedagang yang menginap di penginapan itu.
karena ternyata tidak semua bilik dipergunakan oleh perguruan Kedung Jati, telah siap pula pergi ke pasar.
Sebelum matahari terbit, maka beberapa orang pedagang telah meninggalkan penginapan itu untuk pergi ke pasar.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan juga turun dari pendapa, maka petugas di penginapan itu menyapa mereka.
"Apakah kalian juga akan pergi ke pasar?"
"Ya,"
Jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan.
"Nah. jika demikian aku dapat berharap,"
Berkata petugas itu sambil tersenyum.
"Berharap apa?"
"Tentu oleh-olehnya. Nagasari? Mendut atau carang gesing pisang raja?"
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Di sela-sela tertawanya Rara Wulanpun berkata.
"Jika setiap orang yang pergi ke pasar membawa oleh-oleh, maka perutmu akan kesakitan."
Petugas itu tertawa pula. Kalanya.
"Ah. Tentu tidak semua. Aku hanya berani berharap kepada kalian."
"Ah, macam-macam saja kau ini,"
Desis Glagah Putih. Namun ia masih saja tertawa. Namun Rara Wulanpun kemudian berkata.
"Baik. Aku akan membeli rujak babal, bluluk dan jambu klutuk yang masih mentah."
"Ah. Kau mau menyakiti perutku'?"
Rara Wulanpun kemudian menarik tangan Glagah Putih sambil berkata.
"Marilah, kakang. Nanti kita kesiangan."
Petugas itu tertawa, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkannya menuju ke regol halaman penginapan itu.
Meskipun hari masih pagi, tetapi jalan-jalan di Seca sudah mulai ramai.
Di hari pasaran banyak orang-orang padukuhan yang pergi ke pasar untuk menjual hasil kebunnya serta hasil kerajinan tangan mereka.
Hasil kerajinan bambu, pandan atau mendong atau jenis kerajinan yang lain.
Namun para pedagang yang berdatangan di Seca yang bahkan sudah menginap semalam, telah pergi ke pasar pula dengan membawa dagangan mereka.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan berada di pasar, maka merekapun segera berusaha untuk mencari pedagang yang telah mengadakan hubungan dengan Jati Ngarang dalam rencana mereka mengadakan perdagangan gelap.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera menemukan pedagang itu.
"Mungkin orang itu sudah menipu Jati Ngarang,"
Desis Rara Wulan. Mungkin sekali. Memang tidak semudah itu untuk mengatakan, dimana hubungan perdagangan gelap itu dapat dilakukan."
Namun untuk beberapa lama mereka masih berada di pasar.
Mungkin orang yang mereka cari itu masih belum sampai ke pasar itu.
Ketika matahari mulai naik, maka pasar Seca itu menjadi semakin penuh.
Bahkan orang yang berjual beli itu meluap sampai ke luar pasar.
Beberapa orang menjual hasil bumi mereka serta kerajinan tangan yang mereka buat di rumah mereka masing-masing itu terpaksa menggelar dadangan mereka di pinggir jalan, karena mereka tidak mempunyai tempat yang tetap didalam pasar itu.
Tetapi biasanya para tengkulaklah yang telah membeli dagangan mereka dengan harga yang rendah.
Namun bagi para petani dan mereka yang membuat kerajinan tangan di rumah itu merasa, bahwa apa yang mereka terima itu sudah cukup, sehingga mereka tidak menuntut harga yang lebih tinggi lagi.
"Orang itu tidak ada di sini,"
Desis Glagah Putih.
"Kita mempunyai sasaran pengamatan yang baru di Seca ini, kakang."
"Ya. Kita harus mengamati para pengikut Ki Saba Lintang itu."
Dalam pada itu, baru setelah matahari menjadi semakin tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan itu melihat dua orang pengikut Saba Lintang yang berada di penginapan itu ikut berdesakan didalam pasar. Glagah Putih pun menggamit Rara Wulan sambil berkata.
"Lihat. Ternyata mereka sudah bangun."
Rara Wulanpun menyahut.
"Bukankah malahan sudah semakin tinggi."
Glagah Putih terdiam. Bahkan iapun telah melihat orang yang disebut Murdaka itu berada didalam pasar itu pula, diikuti oleh Sela Aji dan Demung Pugut.
"Nampaknya orang-orang penting dari perguruan Kedung Jati itu berusaha untuk melihat padukuhan Seca dari segala segi,"
Desis Glagah Putih.
"Maksud kakang?"
"Mereka melihat dari sisi perdagangan serta kesibukan rakyat Seca dalam hubungannya dengan pasar yang ramai ini. Tetapi yang lain tentu melihat-lihat sisi kehidupan yang lain pula. Mungkin mereka akan melihat bendungan, parit dan air yang mengaliri sawah. Mungkin mereka juga memperhatikan ternak yang digembala di padang rumput. Mungkin jalan-jalan yang menghubungkan Seca keluar kademangan serta sisi-sisi kehidupan yang beraneka lainnya."
"Ya, kakang. Sebelum mereka membangunkan landasan di Seca, mereka tentu ingin mengetahui keadaan kademangan ini seutuhnya. Tentu saja termasuk manusianya. Manusia yang tinggal di kademangan Seca."
"Jika demikian, bukankah sebaiknya kita melihat-lihat kademangan ini pula? Kita sekarang sudah melihat bahwa sebagian dari mereka berada di pasar. Sebaiknya kita juga melihat, apakah diantara mereka ada yang berkeliaran."
"Jadi, untuk sementara pedagang yang berhubungan dengan Jati Ngarang itu kita lupakan dahulu ?"
Glagah Putih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab.
"Ya. Kita akan mengalihkan perhatian kita kepada orang-orang dari perguruan Kedung Jati ini."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan pasar itu pula.
Merekapun kemudian menyusuri jalan-jalan ulama di kademangan Seca.
Seperti yang mereka duga.
maka beberapa kali Glagah Putih dan Rara Wulan bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan yang sama dengan penginapan mereka.
Nampaknya orang-orang itu memperhatikan keadaan kehidupan di Seca dengan seksama.
Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berjalan keluar gerbang padukuhan.
Ternyata di luar padukuhan merekapun bertemu pula dengan dua orang pengikut Ki Saba Lintang.
Untunglah orang-orang itu tidak mengenal mereka, sehingga mereka sama sekali tidak memperhatikan keduanya.
"Ternyata mereka benar-benar sedang mengamati seluruh kademangan ini, kakang,"
Desis Rara Wulan.
"Ya. Kita dapat bertemu dengan mereka dimana-mana."
"Lalu sekarang. Apa yang akan kita lakukan?"
"Sebaiknya kita kembali ke pasar. Makan dan kemudian kembali ke penginapan."
Ternyata Rara Wulan sependapat.
Merekapun telah pergi ke pasar dan singgah di sebuah kedai.
Demikian mereka keluar dari kedai, merekapun memerlukan sekali lagi berkeliling di dalam pasar yang masih saja ramai itu.
Tetapi mereka tidak bertemu dengan pedagang yang telah berhubungan dengan Jati Ngarang.
Setelah membeli beberapa bungkus nagasari, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun kembali ke penginapan.
Demikian mereka memasuki gerbang dan berjalan ke pendapa, mereka berpapasan dengan petugas di penginapan itu.
Sebelum ia mengatakan sesuatu, Rara Wulan telah menyodorkan beberapa bungkus nagasari sambil berkata.
"Kau akan menanyakan oleh-oleh kan, nagasari atau yang lain."
Petugas itu tertawa.
Tetapi demikian ia menerima beberapa bungkus nagasari, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkannya.
Beberapa saat kemudian Glagah Pulih dan Rara Wulan telah berada di bilik mereka.
Setelah menutup piniu dan menyelaraknya dari dalam, maka Rara Wulan itupun berkata.
"Beristirahatlah kakang. Semalam kau hampir tidak sempat beristirahat sama sekali."
"Kau juga."
"Aku masih sempat meskipun sebentar."
Glagah Putih menarik nafas panjang, ia tidak terbiasa tidur di siang hari.
Tetapi kadang-kadang jika ia merasa sangat letih, ia membaringkan dirinya beberapa saat.
Namun baru saja Glagah Putih berbaring, ia mendengar dua orang memasuki bilik sebelah.
Nampaknya mereka agak tergesa-gesa.
Pintupun terdengar ditutup dan diselarak pula dari dalam.
"Berita itu tidak menyenangkan bagiku, paman."
Terdengar suara Sela Aji. Glagah Putih dan Rara Wulan mencoba untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Dengan hati-hati Glagah Putih bangkit dan duduk di amben panjang yang ada didalam biliknya.
"Kenapa kau tidak senang?"
"Akan datang lagi orang yang jumlahnya lebih banyak. Tentu diantaranya ada orang-orang tua berilmu tinggi. Namun mereka terbiasa menuruti kemauan mereka sendiri."
"Itu tentu tanggung jawab Ki Saba Lintang sendiri."
"Ya. Tetapi jika terjadi gejolak, maka rencana untuk menjadikan Seca ini salah satu landasan bagi perguruan Kedung Jati akan terganggu."
Tetapi terdengar jawaban yang agaknya diucapkan oleh Demung Pugut.
"Kau tidak perlu memikirkannya terlalu berat, Ki Saba Lintang tentu sudah mempunyai perhitungan tersendiri. Jika benar ia akan datang nanti malam, tentu ada pertimbangan-pertimbangan tertentu."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi aku tidak memberikan pendapat, bahwa sebaiknya Ki Saba Lintang sendiri datang ke Seca."
"Sudahlah. Jika Ki Saba Lintang itu benar-benar datang kau dapat mengajukan beberapa pendapat. Terutama tentang sikap para pengawal yang sekarang ada disini saja sudah harus dikendalikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi jika akan datang beberapa orang lagi yang merasa mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada siapapun juga."
"Paman tentu mengetahui, bahwa kita berdua masih memiliki pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang sekarang sudah berada di Seca, karena kemampuan kita lebih tinggi dari mereka. Tetapi jika mereka yang datang itu merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kita berdua, maka mereka tentu akan tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang kita berikan."
"Kita tinggal melaporkannya saja kepada Ki Saba Lintang."
"Sebenarnyalah kekuatan Ki Saba Lintang tergantung kepada beberapa orang berilmu tinggi itu. Paman tahu bahwa sebenarnya Ki Saba Lintang itu bukan apa-apa tanpa beberapa orang pendukungnya yang kokoh itu."
Demung Pugut terdiam.
Keduanya untuk beberapa saat saling berdiam diri.
Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan didalam biliknya juga berusaha untuk tetap duduk diam.
Mereka berharap bahwa pembicaraan antara Demung Pugut dan Sela Aji itu dilanjutkan.
Namun yang terdengar kemudian, Demung Pugut itupun berkata.
"Beristirahatlah. Aku akan melihat-lihat keluar."
"Silahkan paman. Mungkin paman akan mendapat kepastian, apakah nanti malam Ki Saba Lintang benar-benar akan datang."
"Baiklah. Tetapi seandainya Ki Saba Lintang akan datang, angger tidak perlu menjadi cemas karenanya."
Sela Aji tidak menjawab. Sementara itu terdengar pintupun terbuka.
"Apakah angger akan menyelarak pintu atau tidak?"
"Tidak usah paman. Nampaknya tidak akan ada gangguan apa-apa. Jika aku terlanjur tidur, paman tidak perlu mengetuk pintu itu."
Sejenak kemudian, maka bilik disebalah itupun menjadi sepi. Agaknya Sela Aji benar-benar ingin beristirahat. Bahkan tidur meskipun hanya sebentar. Dalam pada itu, Glagah Putihpun telah memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk membenahi pakaiannya.
"Untuk apa?"
Bertanya Rara Wulan.
"Sst,"
Desis Glagah Putih sambil memberi isyarat agar Rara Wulan berbicara perlahan-lahan.
"kita akan keluar."
"Kenapa?"
"Omong-omong."
"Maksud kakang?"
"Ada yang harus kita bicarakan. Tetapi tidak dapat kita lakukan disini."
"Jadi dimana?"
"Kita dapat berbincang di pringgitan. Jika banyak orang di pringgitan, kita perlu keluar dan berbincang sambil berjalan-jalan."
Rara Wulan tidak bertanya lagi.
Iapun kemudian membenahi pakaiannya.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun keluar dari bilik mereka.
Ketika mereka melewati pintu bilik di sebelahnya, pintu itu tertutup rapat.
Meskipun Glagah Pulih tahu, bahwa pintu itu tidak diselarak.
Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah berada di pringgitan.
Namun di pendapa itu beberapa orang sedang berbincang-bincang.
Diantara mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang.
Agaknya sejak mereka berada di penginapan itu, mereka tidak sempat memperhatikan keberadaan Rara Wulan.
Ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dan Glagah Putih melintas, maka beberapa orang diantara mereka memperhatikannya dengan tatapan mata tanpa berkedip.
Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari, bahwa orang-orang itu sedang memperhatikannya.
Tetapi keduanya seakan-akan tidak menghiraukannya sama sekali.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itu masih melihat seorang diantara mereka yang berada di pendapa itu telah memanggil petugas di penginapan itu.
"Kau tahu kenapa orang itu memanggil petugas di penginapan ini?"
Bertanya Glagah Putih. Rara Wulan mengggeleng sambil menjawab.
"Tidak."
"Orang yang memanggilnya itu akan bertanya kepada petugas itu,"
Siapakah perempuan yang ada di penginapan ini."
"Ah, kakang."
"Benar, tetapi tidak apa-apa. Kelakuan mereka akan selalu diawasi oleh Sela Aji dan Demung Pugut."
"Kalau kebetulan keduanya tidak ada?"
"Itulah yang ingin kita bicarakan."
"Apa maksud kakang?"
Glagah Putih tidak segera menjawab. Baru ketika keduanya sudah berada di luar pintu regol penginapan, Glagah Putihpun berkata.
"Agaknya Ki Saba Lintang akan datang malam nanti."
"Apa yang akan kita lakukan kakang. Tentu kita tidak akan mungkin datang kepadanya dan mengambil tongkatnya. Ia tentu dikelilingi oleh banyak orang berilmu tinggi."
"Tentu. Kita tentu tidak akan dapat mengambil langsung. Tetapi bagaimana jika kita berusaha untuk meminjam kekuatan orang lain."
"Kekuatan siapa?"
"Bukankah Sutasumi masih berada di penginapan?"
"Entahlah kakang. Tetapi agaknya ia masih berada disana."
"Aku berharap bahwa nanti malam Sutasuni merasa terganggu lagi oleh para pengikut Ki Saba Lintang."
"Apa hubungannya?"
"Aku berharap dapat terjadi benturan kekerasan."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya.
"Kita akan berpihak kepada Sutasuni?"
"Ya."
"Tetapi jika kemudian Sutasuni tidak berniat berhubungan dengan kita untuk selanjutnya?"
"Itu akibat buruk yang dapat saja terjadi. Kita memang harus meninggalkan tempat ini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya.
"Segala sesuatunya memang dapat dicoba."
"Bukankah kita tinggal meyakinkan, apakah Ki Saba Lintang itu benar-benar akan datang?"
Rara Wulan mengangguk.
"Sela Aji akan membawa berita itu. Meskipun agaknya Sela Aji sendiri merasa keberatan jika Ki Saba Lintang sendiri datang ke kademangan Seca."
"Mungkin Sela Ajilah yang paling berminat untuk menjadikan kademangan ini salah satu landasan perguruan Kedung Jati itu."
"Ya. Memang mungkin sekali."
Demikianlah mereka berduapun telah membicarakan beberapa hal yang akan mereka lakukan sehubungan dengan kedatangan Ki Saba Lintang.
Setelah pembicaraan mereka tuntas, maka merekapun segera kembali ke penginapan mereka.
Ternyata pendapa dan pringgitan penginapan itu masih saja nampak ramai.
Seperti pada saat keduanya melintas keluar dari penginapan itu, maka ketika mereka lewat di sebelah pendapa, beberapa orang memandangi mereka dengan tajamnya.
Bahkan sampai mereka hilang di balik seketeng.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera masuk ke dalam biliknya, tetapi merekapun mencari petugas penginapan itu.
"Ada apa ?"
Bertanya petugas itu.
"tadi aku lihat kalian keluar. Tetapi aku tidak sempat bertanya karena aku dipanggil oleh orang-orang yang berada di pendapa itu."
"Apa yang mereka katakan ?"
"Tidak apa-apa,"
Petugas itupun tersenyum-senyum.
"Jika tidak kau katakan, aku tidak akan membeli nagasari lagi untukmu."
"Sungguh. Tidak apa-apa. Mereka hanya sedikit bertanya tentang jalan-jalan di kademangan Seca ini."
"Baik. Aku tidak akan membeli nagasari atau gandos rangin lagi buatmu."
"Ah, jangan begitu."
"Katakan, apa yang mereka tanyakan,"
Desak Rara Wulan. Petugas itu ragu-ragu. Namun akhirnya iapun berkata.
"Mereka bertanya tentang Nyai. Hanya sekedar bertanya."
"Mereka bertanya sambil tertawa-tawa?"
Bertanya Rara Wulan. Petugas itu tidak menjawab. Tetapi petugas itu hanya tersenyum-senyum saja.
"Nah, bukankah kau yang tertawa-tawa."
"Tidak. Tetapi aku tidak dapat mengatakannya."
"Baik-baik. Sekarang pergilah ke bilikku."
"He?"
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu."
Petugas itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian iapun mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan ketika keduanya pergi ke bilik mereka.
Ternyata bilik di sebelahnya masih sepi.
Agaknya Sela Aji masih tidur sedangkan Demung Pugut masih belum kembali.
Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun berkata kepada petugas itu.
"Hitung. Berapa aku harus membayar."
"He? Apakah kalian akan pergi?"
Glagah Putih mengangguk. Katanya.
"Ya. Kami bersungguh-sungguh. Tetapi jangan salah paham. Kami tidak mempunyai persoalan dengan kau dan dengan kawan-kawanmu, para petugas di penginapan ini. Akupun berkata bersungguh-sungguh bahwa orang-orang yang menginap di penginapan ini membuat hati kami tidak tenang. Banyak masalah yang dapat timbul. Karena itu, jika keadaan menjadi semakin buruk, maka kami benar-benar akan meninggalkan penginapan ini. Agar kami tidak mempunyai hutang kepada penginapan ini, karena kami dapat pergi setiap saat bila keadaan menjadi bertambah buruk, maka kami akan membayar lebih dahulu sewanya selama kami berada disini."
Petugas itu termangu-mangu sejenak. Dari sorot matanya nampak betapa ia menjadi kecewa.
"Tetapi bukankah mereka tidak berbuat apa-apa?"
"Sampai sekarang mereka memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi nanti sore, nanti malam atau besok pagi?"
"Kami, para petugas tentu akan mencegahnya."
"Sudahlah. Lebih baik bersiap-siap. Seandainya kalian mencoba mencegahnya, kalian tentu tidak akan berhasil."
"Kenapa?"
Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun berdesis.
"Agaknya mereka adalah orang-orang berilmu."
Petugas di penginapan itu menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian berkata.
"Baiklah aku menghubungi petugas yang akan menghitung, berapa kalian harus membayar."
Sejenak kemudian petugas itupun meninggalkan bilik Glagah Putih.
Sementara Glagah Pulih dan Rara Wulan menunggu, tiba-tiba saja terdengar pintu bilik di sebelah terbuka.
Ternyata sebelumnya bilik itu kosong.
Yang kemudian masuk ke dalamnya adalah Demung Pugut dan Sela Aji.
"Ki Saba Lintang benar-benar akan datang, paman."
Desis Sela Aji.
"Seperti yang aku katakan jangan terlalu dirisaukan. Biarlah Ki Saba Lintang mengatur orang-orang yang dibawanya."
"Jika Ki Saba Lintang bermalam di banjar, maka Ki Murdaka tentu akan bermalam di tempat lain. Mungkin disini. karena penginapan yang cukup baik dan jaraknya tidak terlalu jauh dari banjar adalah penginapan ini. Ada penginapan lain yang baik. Tetapi jaraknya terlalu jauh dari banjar."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Serahkan saja nanti kepada kemauan Ki Saba Lintang sendiri. Meskipun demikian kau dapat memberikan pendapat kepadanya. Termasuk pengendalian orang-orang yang sudah datang dan yang datang bersama Ki Saba Lintang sendiri."
Sela Aji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis.
"Ya. Aku akan melaporkan kepada Ki Saba Lintang. Sementara itu, maka petugas penginapan itupun telah datang pula untuk memberitahukan berapa banyak Glagah Putih harus membayar.
"Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk tinggal lebih lama lagi,"
Berkata petugas itu. Tetapi Glagah Putih menyahut.
"Segala sesuatunya tergantung sekali kepada keadaan."
Petugas itu tidak menjawab lagi. Tetapi ternyata sekali di wajahnya, bahwa ia merasa kecewa. Beberapa saat kemudian, maka petugas itupun telah meninggalkan bilik Glagah Putih dan Rara Wulan, sementara itu Sela Ajipun berkata.
"Aku akan mengusulkan sebaiknya mereka yang datang kemudian tidak usah bermalam disini. Jika Ki Murdaka yang harus bermalam disini, tentu ada baiknya. Aku akan mempunyai kawan lagi untuk mengendalikan orang-orang itu."
"Mudah-mudahan saja Ki Murdaka yang akan bermalam disini nanti malam."
Keduanyapun kemudian terdiam. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Hampir berbisik Glagah Putih berkata.
"Semoga saja kita mendapat kesempatan."
Ketika kemudian senja turun, maka penginapan itupun menjadi semakin ramai.
Ternyata Ki Saba Lintang dan beberapa orang lagi telah datang di Seca.
Agaknya Ki Saba Lintang sendiri akan bermalam di banjar, sedangkan beberapa orang pengawalnya akan bermalam di penginapan itu.
Namun ternyata bahwa Ki Murdaka sendiri tidak ikut bermalam di penginapan itu.
tetapi Ki Murdaka tetap bermalam di banjar.
Dalam pada itu.
ketika penginapan itu menjadi semakin ramai, serta para penabuh gamelan mulai membunyikan gamelan dengan lagu-lagu yang hangat, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di pringgitan.
Sebenarnyalah keberadaan mereka di pringgitan telah menarik perhatian beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang.
Baik mereka yang sudah ada di penginapan itu sejak semalam, maupun mereka yang baru datang.
Bahkan beberapa orang yang tidak begitu menghiraukan unggah ungguh, telah mendekatinya.
Seorang yang berperawakan sedang dan berkumis tipis tiba-tiba saja telah menyapanya.
"He, perempuan cantik. Siapa namamu he?"
"Kakang,"
Rara Wulanpun segera bergeser di belakang Glagah Putih. Wajahnya membayangkan ketakutan.
"Ki Sanak,"
Berkata Glagah Putih.
"jangan ganggu isteriku."
"Siapa yang mengganggu? Bukankah aku hanya sekedar bertanya,"
first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo
Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Sukma Pedang -- Gu Long