Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 21


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 21


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   "Bohong. Semuanya menjadi semakin jelas dengan sikap kalian sekarang ini."

   "Bagaimana dengan sikap kami sekarang ?"

   "Ternyata kalian memiliki keberanian untuk melawan kami. Jika kalian bukan telik sandi yang serba sedikit berbekal kemampuan olah kanuragan, maka kalian tentu tidak akan berani melawan kami, karena perlawanan kalian akan membuat kalian semakin menderita menjelang saat kematian kalian."

   "Kau kira kami akan begitu saja menerima kematian ?"

   "Persetan. Kalian menganggap diri kalian ini siapa, he ? Kalian mengira bahwa kalian dapat luput dari kematian karena kalian telah memata-matai kami ?"

   "Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tetapi kami akan membunuh kalian. Kami tahu bahwa kalian bukan orang-orang Babadan. Jika orang-orang Babadan menemukan mayat kalian disini, maka orang-orang Babadan akan tahu, bahwa kalian sebenarnya bukan apa-apa di dunia olah kanuragan."

   "Cukup. Aku akan mengoyakkan mulutmu."

   "Akulah yang akan melakukannya."

   Kedua orang yang mengaku orang Babadan itupun segera mempersiapkan diri.

   Sementara itu, anak-anak remaja yang melempari Glagah Putih dan Rara Wulan telah berlari-lari sampai ke tempat itu pula.

   Sambil berteriak-teriak merekapun mendekati ke kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu.

   "Tangkap mereka paman. Serahkan kepada kami,"

   Teriak seorang diantara mereka. Seorang diantara kedua orang itupun berkata dengan serta-merta.

   "Mundur. Jangan terlalu dekat. Nanti kalian dapat menjadi korban."

   Anak-anak itupun kemudian bergeser mundur. Sementara Rara Wulanpun bertanya.

   "Apakah kalian akan ikut bermain ? Jamuran atau cublak-cublak suweng ?"

   "Permainan anak-anak perempuan,"

   Sahut mereka.

   "Bukankah aku juga perempuan ?"

   "Tetapi kami bukan perempuan,"

   Teriak seorang diantara mereka. Rara Wulan tertawa. Katanya.

   "Baik. Jika demikian, lihat saja. kami akan berkelahi. Bukankah berkelahi itu mainan laki-laki?"

   Anak-anak itu terdiam.

   "Bersiaplah,"

   Berkata salah seorang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "kami benar-benar akan membunuh kalian."

   Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab.

   Tetapi keduanyapun segera mengambil jarak.

   Sementara itu Rara Wulan tidak hanya menyingsingkan kain panjangnya sampai ke bawah lutut.

   Tetapi diangkatnya kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya.

   Kedua orang yang mengejarnya itupun menjadi semakin menyadari, dengan siapa mereka berhadapan.

   "Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan."

   Demikianlah maka kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itupun sudah menempatkan dirinya.

   Seorang akan bertempur melawan Glagah Putih, yang seorang lagi akan menghadapi Rara Wulan.

   Meskipun keduanya menyadari bahwa kedua orang itu tentu memiliki bekal ilmu, namun mereka masih saja menganggap diri mereka memiliki kelebihan serta pengalaman.

   Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun mulai menyerang.

   Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah siap pula untuk menghadapinya.

   Sementera itu, Rara Wulan yang ingin bermain kejar-kejaran itu tidak berminat untuk bertempur berlama-lama.

   Seperti Glagah Putih, iapun teringat kepada orang-orang Prancak yang bertempur di seberang jembatan.

   Apakah mereka mampu mempertahankan diri atau tidak.

   Karena itu, maka Rara Wulan itupun segera meningkatkan kemampuannya, sehingga dengan cepat ia telah mendesak lawannya.

   Glagah Putihpun tidak ingin membuang banyak waktu.

   Sehingga Glagah Putihpun berusaha untuk menghentikan perlawanan orang yang memburunya itu dengan cepat.

   Sementara itu, diseberang jembatan, orang-orang Prancak masih bertempur melawan dua orang berkuda itu dengan sengitnya.

   Namun, bahwa lawan mereka telah berkurang dengan dua orang, agaknya telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengimbanginya.

   Orang-orang Prancak itu telah mengerahkan kemampuan mereka tanpa menjadi gentar meskipun kedua lawan mereka adalah orang-orang berilmu tinggi.

   Bahwa mereka berjumlah sembilan orang itu lelah memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengalahkan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu.

   Sebenarnyalah, betapapun kedua orang Babadan itu mengerahkan kemampuan mereka, tetapi sangat sulit bagi mereka untuk melawan sembilan orang Prancak.

   Ternyata bahwa orang-orang Prancak itu bukannya tidak berilmu sama sekali.

   Bahkan ada di antara mereka yang memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadapi kedua orang Babadan itu.

   Karena itulah, maka kedua orang Babadan itupun harus melihat kenyataan itu.

   Jika mereka memaksa diri untuk tertempur terus, maka ada kemungkinan mereka tidak mampu bertahan lagi, sehingga mereka akan dapat ditangkap dan menjadi tawanan di Prancak atau bahkan di padukuhan Wijil.

   Dengan demikian, maka nasib merekapun akan menjadi sangat buruk, karena mereka akan menjadi pengewan-ewan di kademangan Prancak.

   Karena itu, maka kedua orang itupun hams mengambil sikap dengan cepat.

   Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itupun segera memberi isyarat kepada kawannya untuk meninggalkan arena pertempuran.

   Karena itu, maka ketika terbuka kesempatan bagi mereka, maka keduanyapun segera berlari ke kuda mereka yang tertambat di pinggir jalan.

   Dengan cepat mereka menarik kendali yang disangkutkan pada sebatang pohon di pinggir jalan.

   Dengan cepat pula mereka pun berloncatan ke punggung kuda mereka.

   Sejenak kemudian, kedua ekor kuda dengan dua orang penunggangnya itupun segera melarikan diri, meninggalkan arena pertempuran serta meninggalkan dua ekor kuda milik kedua orang yang telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Beberapa saat kemudian, kedua orang penunggang kuda itupun telah menyeberangi jembatan di atas susukan itu.

   Dengan demikian, maka orang-orang Prancak yang berusaha mengejar mereka, telah terhenti.

   Mereka tidak berani menyeberangi jembatan itu, karena jika terjadi sesuatu dengan mereka, maka hal itu akan dianggap sebagai salah mereka sendiri.

   Dalam pada itu, kedua orang berkuda itupun telah melecut kuda mereka agar berlari semakin kencang.

   Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendesak lawan-lawan mereka.

   Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu memgalami kesulitan untuk melindungi diri mereka masing-masing.

   Serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan yang datang beruntun dengan kecepatan yang tinggi, telah membuat keduanya jatuh bangun.

   Sekali-sekali mereka terlempar karena serangan lawan-lawan mereka.

   Tetapi dengan cepat merekapun segera bangkit berdiri untuk meneruskan perlawanan.

   Ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka kedua orang itupun segera mulai berpengharapan.

   Mereka mengira bahwa kedua kawan telah berhasil menyelesaikan perkelahian mereka melawan orang-orang Prancak, sehingga mereka datang untuk menyusul dan membantu mereka.

   Karena itu, maka kedua orang itupun segera berloncatan untuk mengambil jarak.

   Ketika keduanya berpaling, maka jantung merekapun menjadi berdebaran.

   Mereka tidak melihat keduanya membawa kuda-kuda mereka.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun tidak segera memburu lawan-lawan mereka.

   Keduanyapun sempat memperhatikan kedua orang yang mengaku orang-orang Babadan itu.

   Bahkan seorang di antara mereka adalah Ki Jagabaya di Babadan Kedua penunggang kuda itupun segera melihat, kedua kawan mereka yang bertempur melawan kedua orang yang melarikan diri.

   Keduanyapun melihat bahwa kedua orang kawannya itu telah berloncatan mengambil jarak.

   "Apa yang telah terjadi ?"

   Bertanya Ki Jagabaya.

   "Nampaknya kedua orang tawanan kita itu mencoba melawan,"

   Sahut kawannya.

   "Anak-anak itu ?"

   "Mereka menonton saja."

   Sejenak kemudian, keduanyapun telah berloncatan dari punggung kuda.

   Tiba-tiba saja anak-anak remaja yang menyaksikan perkelahian itu bersorak.

   Kedatangan kedua orang itu akan membantu kedua kawannya yang segera terdesak oleh dua orang yang dituduh telik sandi dari Prancak itu.

   Demikian keduanya menyangkutkan kendali kuda mereka di sebatang pohon, maka seorang di antara mereka bertanya.

   "Apa yang terjadi ?"

   "Kedua orang ini mencoba melawan,"

   Sahut salah seorang kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih.

   "Itu lebih baik. Kita akan membunuhnya sekarang."

   "Serahkan kepada kami, paman,"

   Teriak anak-anak itu. Kedua orang berkuda itu memandangi mereka sambil tersenyum. Seorang di antara mereka berkata.

   "Baik. Aku akan mengikat mereka dan menyerahkan mereka kepada kalian."

   "Terima kasih paman, terima kasih. Kami akan mendapat mainan yang menyenangkan."

   Adalah diluar dugaan bahwa Glagah Putihpun telah tertawa pula.

   "Kenapa kau tertawa ?"

   Bertanya Ki Jagabaya.

   "Itukah yang kalian ajarkan kepada anak-anak kalian ? Apa yang kalian harapkan dari anak-anak kalian di masa depan ? Apakah kalian berharap bahwa anak-anak kalian akan menjadi sekelompok orang yang membenci sesama ? Sekelompok orang yang menjadi gembira melihat penderitaan orang lain ?"

   Dahi Ki Jagabaya itupun nampak berkerut. Namun kemudian iapun berkata.

   "Anak-anak kami bukan anak-anak yang cengeng. Mereka terlatih untuk bertindak tegas terhadap orang-orang jahat seperti kalian. Kalian yang makan upah untuk menjadi telik sandi, mengamati dan kemudian memberikan laporan tentang kelemahan-kelemahan sasarannya. Bukankah pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang sangat nista ?"

   "Apakah kau sedang bermimpi ?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "darimana kau mendapat alasan untuk menuduh kami menjadi telik sandi hanya karena kami berjalan melewati padukuhanmu ? Apakah setiap orang lain yang melewati padukuhan Babadan dapat dituduh menjadi telik sandi ? Jika benar sebagaimana kau katakan, bahwa kau telah menghukum mati beberapa orang yang kau tuduh sebagai telik sandi, maka kau benar-benar seorang yang jangat jahat."

   "Persetan,"

   Geram orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu. Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan-lawannya. Demikian pula Rara Wulan. Namun kawan Ki Jagabaya itu sendirilah yang bertanya.

   "Apakah Ki Jagabaya sudah menyelesaikan orang-orang Prancak itu ?"

   "Sudah,"

   Jawab Ki Jagabaya.

   "Bagus. Sekarang kita selesaikan dua ekor cucurut ini."

   "Kita sudah berjanji untuk menangkapnya dan mengikatnya. Kemudian menyerahkannya kepada anak-anak itu."

   "Kita akan menyeretnya ke padukuhan."

   "Biarlah anak-anak itulah yang melakukannya. Menyeret dua onggok slangkrah yang terikat. Memang sepantasnyalah keduanya disurukkan ke dalam bendungan untuk dijadikan tumbal agar bendungan itu tidak segera rusak."

   Anak-anak itu tiba-tiba bersorak.

   "Biarlah kami yang menyeret keduanya ke bendungan paman. Biarlah kami yang menceburkannya ke dalam air."

   Tiba-tiba saja Rara Wulan berkata.

   "Alangkah senangnya mereka mendapat mainan dengan mengorbankan jiwa sesama. Tetapi lebih daripada itu, bagaimana mereka menjadi sangat gembira melihat penderitaan sesamanya."

   Tetapi Ki Jagabaya di Babadan itu menyahut.

   "Ternyata kalian sudah menjadi ketakutan. Tetapi nasib kalian memang sangat buruk. Kalian akan menjadi pengewan-ewan di sini. Bukan hanya anak-anak. Tetapi seisi padukuhan Babadan akan sangat gembira, karena kami sudah berhasil menangkap sepasang telik sandi."

   "Kau pantas mati,"

   Geram Rara Wulan.

   Melihat kesungguhan di wajah Rara Wulan, orang yang menyebut dirinya Jagabaya di Babadan itu tidak dapat mengabaikannya.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi ia yakin bahwa berempat mereka akan dapat menangkap dan benar-benar mengikat keduanya untuk mereka serahkan kepada anak-anak remaja yang sedang menonton pertempuran itu.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera bergeser mengambil jarak diantara mereka.

   Keduanya telah siap untuk bertempur masing-masing melawan dua orang diantara mereka.

   Gejolak di dada Rara Wulanpun terasa menjadi semakin menghentak-hentak.

   Karena itu, maka Rara Wulanlah yang kemudian justru meloncat mulai menyerang.

   Namun lawan-lawannyapun telah bersiap pula, sehingga sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah berkobar kembali.

   Glagah Putih dan Rara Wulan masing-masing harus bertempur menghadapi dua orang lawan.

   Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menganggap orang orang Babadan itu sudah bertindak melampaui batas, maka keduanyapun segera meningkatkan kemampuan mereka.

   Dengan kecepatan yang tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan menyerang lawan-lawan mereka.

   Serangan-serangan itu datang demikian cepatnya sehingga mengejutkan lawan-lawan mereka.

   Tetapi mereka tidak mampunyai kesempatan untuk membuat penilaian atas kemampuan suami isteri yang telah mereka tuduh menjadi telik sandi itu.

   Pertempuranpun dengan ceratnya meningkat semakin sengit.

   Ki Jagabaya yang menempatkan dirinya bersama seorang kawannya melawan Glagah Putih, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan.

   Sebelum ia berhasil mengenai tubuh Glagah Putih, maka Jagabaya di Babadan itu sudah terlempar dari arena.

   Kaki Glagah Putih yang terjulur lurus menyamping telah mengenai dadanya.

   Dengan tangkasnya Jagabaya Babadan itu bangkit.

   Namun terasa dadanya menjadi sesak.

   Tulang-tulang iganya menjadi nyeri.

   Dalam pada itu, anak-anak remaja yang menonton pertempuran itu masih saja bersorak-sorak.

   Dengan lantang mereka berteriak.

   "Cepat paman. Tangkap mereka. Ikat dan serahkan kepada kami."

   Yang lainpun berteriak pula.

   "Biar aku seret perempuan itu ke tepian paman. Biarlah kami memandikannya sebelum kami surukkan perempuan itu ke bendungan."

   Suara anak-anak remaja yang riuh itu telah membuat jantung Rara Wulan semakin bergejolak.

   Meskipun ia harus bertempur menghadapi dua orang lawan, namun Rara Wulan sempat juga menjadi cemas akan watak dan tingkah laku anak-anak remaja itu kelak jika mereka menjadi semakin besar dan menjadi dewasa.

   "Mereka akan menjadi apa ? "

   Pertanyaan itu sempat mengganggu perasaan Rara Wulan.

   Namun Rara Wulan itu terkejut.

   Bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang buruk, Rara Wulan menghadapi kenyataan.

   Ia merasakan punggungnya menjadi sakit.

   Bahkan hampir saja Rara Wulan itu jatuh terjerembab.

   Seorang di antara kedua lawannya yang menyerangnya dari belakang berhasil mengenai punggung Rara Wulan dengan serangan kakinya, sehingga Rara Wulan itu terdorong beberapa langkah.

   Dengan susah payah Rara Wulan berusaha mempertahankan keseimbangannya.

   Tetapi tiba-tiba saja lawannya yang lainpun telah menyerangnya pula.

   Sambil meloncat orang itu memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya kearah kening.

   Rara Wulan yang masih dalam keadaan goyah itu justru menjatuhkan dirinya.

   Berguling beberapa kali, kemudian melenting berdiri.

   Ketika kedua lawannya itu menyerang kembali, maka Rara Wulanpun sudah siap menghadapi mereka.

   Pertempuranpun kemudian berlangsung pula dengan sengitnya.

   Rara Wulan tidak mau lagi kehilangan pemusatan perhatiannya terhadap lawannya karena sikap anak-anak remaja Babadan itu.

   Ketika serangan lawannya mengenai punggung Rara Wulan, Glagah Putih merasa cemas pula.

   Menurut penglihatannya, serangan itu tidak datang terlalu cepat dan tidak terlalu berbahaya.

   Tetapi ia melihat, bahwa serangan itu mampu mengenai punggung Rara Wulan.

   Namun Glagah Putih tidak tahu, bahwa perhatian Rara Wulan sebagian tertuju kepada sikap anak-anak remaja Babadan yang telah membuatnya menjadi cemas.

   Tetapi sakit di punggungnya yang kemudian dapat teratasi dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi itu, telah membuat Rara Wulan mengambil keputusan, untuk segera menghentikan perlawanan kedua orang Babadan itu.

   Sejenak kemudian, maka Rara Wulanpun telah meningkatkan kemampuannya.

   Dengan tangkasnya, Rara Wulan berloncatan sehingga membuat kedua orang lawannya menjadi bingung.

   Serangan-serangan Rara Wulanpun menjadi semakin sering mengenai tubuh mereka.

   Bergantian mereka terlempar dari gelanggang dan jatuh berguling di tanah.

   Seorang di antara mereka yang terlempar oleh serangan kaki Rara Wulan, justru telah menimpa sebatang pohon di pinggir jalan.

   Sambil menyeringai kesakitan, orang itupun mengumpat kasar.

   Bahkan kemudian orang itu telah mencabut pedangnya sambil berteriak.

   "Aku bunuh kau perempuan binal."

   Rara Wulan tertegun. Bahkan lawannya yang seorang lagi juga menarik senjatanya pula. Namun anak-anak Remaja yang menonton perkelahian itulah yang berteriak-teriak.

   "jangan dibunuh paman. Serahkan mereka kepada kami. Biarlah kami mendapatkan permainan yang menyenangkan."

   Tetapi kedua orang lawan Rara Wulan itu tidak menghiraukan. Merekapun kemudian mendekati Rara Wulan setapak demi setapak sambil mengacungkan senjata mereka.

   "Kau akan menyesali nasib burukmu, perempuan liar,"

   Geram seorang di antara mereka.

   Rara Wulan menarik nafas panjang.

   Tetapi dengan demikian, maka iapun akan segera mendapatkan jalan untuk menghentikan perlawanan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu.

   Sejenak kemudian, Rara Wulanpun telah memutar selendangnya.

   "Apa yang kau lakukan, perempuan binal ?"

   Bertanya seorang di antara kedua orang lawannya itu dengan lantang.

   "Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi,"

   Jawab Rara Wulan.

   "Iblis betina. Bersiaplah untuk mati,"

   Seorang di antara kedua lawannya itu berteriak.

   Hampir berbareng kedua lawannya itu meloncat menyerang.

   Namun dengan tangkas Rara Wulan menghindari.

   Sementara itu, selendangnyapun telah terjulur lurus mematuk dada seorang lawannya.

   Sentuhan itu masih belum dilambari kemampuan Rara Wulan yang sebenarnya.

   Tetapi orang yang dadanya tersentuh ujung selendang Rara Wulan itupun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah.

   Terdengar orang itu mengaduh.

   Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka mulutnya masih saja menyeringai menahan sakit Tetapi ia telah memaksa diri untuk memasuki arena pertempuran itu lagi.

   Sementara itu, kedua lawan Glagah Putihpun telah bersenjata pula.

   Untuk mengimbangi keduanya, maka Glagah Putihpun telah meningkatkan kemampuannya lebih tinggi.

   Glagah Putih tidak merasa perlu untuk mengurai ikat pinggangnya.

   Namun dengan kecepatan geraknya, dilambari kemampuannya memperingan tubuhnya, ia mampu membuat kedua lawannya kebingungan.

   Pada saat-saat lawannya kehilangan Glagah Putih yang berloncatan dengan ringannya, bahkan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah, maka serangan Glagah Putih telah melemparkan mereka sehingga terpelanting jatuh.

   Dengan demikian, maka kedua orang lawan Glagah Putih itupun segera terlibat dalam kesulitan.

   Beberapa kali orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu harus berdesah kesakitan.

   Beberapa kali ia menyeringai menahan sakit yang menusuk sampai ke tulang.

   Tubuhnya yang terbanting-banting dan beberapa kali membentur pepohonan, telah tergores luka dimana-mana.

   Luka oleh ujung bebatuan yang tajam atau oleh kerasnya batang pepohonan.

   Bahkan dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah karena beberapa giginya telah patah.

   Kawan Ki Jagabaya itupun merasakan kepalanya sudah menjadi sangat pening.

   Matanya semakin lama menjadi semakin kabur.

   Lawannya yang berloncatan melingkar-lingkar itu kadang-kadang tidak dapat dilihatnya lagi.

   Namun tiba-tiba saja serangannya telah melemparkannya.

   Ketika keningnya membentur sebatang pohon di pinggir jalan, maka di keningnya itu telah tergores luka.

   Darah mengalir semakin lama semakin deras.

   Dalam pada itu, kedua orang lawan Rara Wulanpun seakan-akan sudah tidak berdaya lagi.

   Ketika ujung selendang Rara Wulan menghantam dada seorang diantara mereka, maka orang itupun telah terlempar dengan kerasnya.

   Rara Wulan agaknya sudah tidak telaten lagi, sehingga iapun sudah meningkatkan ilmunya pula.

   Dengan kerasnya tubuh orang itu terlempar melampaui tanggul parit hingga terjatuh di kotak sawah yang sedang digenangi air.

   Orang itupun menjadi bagaikan seekor kerbau yang berada di-dalam kubangan.

   Bahkan beberapa teguk air berlumpur telah masuk lewat tenggorokannya pula.

   Seorang lawan Rara Wulan yang lainpun menjadi bimbang.

   Berdua mereka tidak dapat mengalahkan perempuan itu.

   Apalagi pada saat kawannya berkutat untuk bangkit dari kubangan lumpur.

   Tetapi ia tidak mempunyai banyak kesempatan.

   Ketika ia berusaha untuk meloncat menjauh, maka selendang Rara Wulan itu telah terjulur melingkar menjerat kedua kakinya.

   Demikian selendang itu dihentakkan maka orang itupun telah terpelanting terbanting jatuh di tanah.

   Sekali lagi Rara Wulan menghentakkannya.

   Orang yang terpelanting itu bagaikan diseret beberapa langkah, sebelum Rara Wulan menghentakkannya sekali lagi.

   Demikian lilitan ujung selendang itu terurai, maka orang itupun tidak lagi dapat bangkit dengan cepat.

   Punggungnya terasa bagaikan menjadi patah.

   Dua orang lawan Rara Wulan sudah menjadi tidak berdaya lagi.

   Senjata mereka seakan-akan tidak ada gunanya sama sekali.

   Rara Wulan berdiri termangu mangu.

   Dipandanginya kedua orang lawannya berganti-ganti.

   Seorang terbaring dijalan bulak, seorang sudah berhasil bangkit berdiri dalam lumpur yang pekat sehingga ujudnya bagaikan sebuah patung yang terbuat dari tanah liat.

   "Sekarang, apalagi yang akan kalian lakukan ?"

   Bertanya Rara Wulan.

   "apakah kalian masih ingin menangkap kami karena kami kalian anggap telik sandi ?"

   

   Jilid 367 ORANG yang terbaring itu masih berusaha untuk bangkit.

   Tetapi ia sudah tidak berdaya lagi untuk melawan.

   Sementara kawannya masih saja berdiri diam di kubangan berlumpur itu.

   Sementara itu, dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih-pun sudah kehilangan kesempatan mereka.

   Senjata mereka telah terlepas dari tangan.

   Sedangkan tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah berpatahan.

   "Sudah aku katakan,"

   Berkata Rara Wulan kemudian.

   "bahwa kamilah yang akan membunuh kalian. Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tuduhan kalian bahwa kami adalah orang-orang upahan dari orang-orang Prancak sangat menyakitkan hati. Aku mempunyai uang lebih banyak dari uang orang-orang Prancak. Akupun tidak mempunyai sangkut paut dengan perselisihan kalian dengan orang-orang Prancak. Tetapi justru kalian telah menuduh kami menjadi telik sandi dan bahkan kalian sudah dengan sungguh-sungguh bukan sekedar ancaman, untuk membunuh kami, maka kamipun benar-benar akan membunuh kalian berempat."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Keempat orang yang kesakitan itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu berteriak.

   "Anak-anak. Lari ke padukuhan. Bunyikan kentongan dan beritahukan apa yang terjadi di sini. Dua orang telik sandi dari Prancak berada di bulak ini."

   Anak-anak itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun menghambur berlari ke padukuhan.

   "Kau akan mati dicincang oleh orang-orang Babadan,"

   Geram Ki Jagabaya. Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya.

   "Mereka tidak akan dapat menangkap kami. Bukankah kalian sudah menyediakan dua ekor kuda buat kami berdua ?"

   "Setan alas."

   "Kami akan membunuh kalian, kemudian meninggalkan kalian disini. Nanti orang-orang Babadan akan datang untuk mengambil mayat-mayat kalian dan menguburkannya."

   Kemarahan keempat orang itu membayang di sorot matanya.

   Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

   Ketika orang yang menyebut dirinya Jagabaya Babadan itu berusaha untuk bergeser, maka dengan cepat Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya.

   Kakinya terayun mendatar dan menyambar kening orang itu sehingga orang itu terlempar beberapa langkah surut.

   Tubuhnya terpelanting ke dalam parit di pinggir jalan.

   Ketika ia merangkak keluar dari dalam parit, maka pakaiannya yang kotor itupun menjadi basah kuyup.

   Debupun semakin banyak melekat sehingga pakaiannya itu tidak lagi dapat dikenali warnanya lagi.

   Dalam pada itu anak-anak remaja yang berlari-lari ke padukuhan telah memasuki pintu gerbang.

   Merekapun segera pergi ke banjar untuk melaporkan apa yang terjadi di bulak.

   Sejenak kemudian, maka suara kentonganpun segera berkumandang.

   Meskipun di siang hari.

   namun yang terdengar adalah suara kentongan dalam irama titir.

   Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak nampak menjadi gelisah atau cemas.

   Meskipun suara kentongan telah menjalar sahut menyahut, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berada di bulak itu.

   Namun ketika mereka melihat orang-orang Babadan berlari menuju ke arah mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun melangkah dengan tenangnya ke arah dua ekor kuda yang ditambatkan itu.

   Sejenak kemudian merekapun berloncatan naik.

   Namun mereka tidak segera pergi.

   Baru beberapa saat kemudian, keduanya memutar kudanya dan melarikan kuda itu ke arah jembatan.

   Ada juga beberapa orang yang mencoba mengejarnya.

   Namun tidak seorangpun diantara orang-orang Babadan itu yang mampu berlari secepat lari seekor kuda.

   Dalam pada itu, orang-orang Babadan itu menemukan keempat orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu terbaring menyilang jalan.

   Ampat sosok tubuh yang berjajar rapi.

   Dengan serta-merta orang-orang padukuhan itu mencoba mendengarkan, apakah jantung mereka masih berdetak.

   "Mereka hanya pingsan,"

   Desis seseorang.

   "Titikkan air dibibirnya,"

   Berkata yang lain.

   "Air apa? Tidak ada sumur di dekat tempat ini."

   "Basahi saja lehernya dengan air parit."

   Orang-orang padukuhan Babadan itupun kemudian membasahi wajah dan leher keempat orang yang pingsan itu dengan air parit.

   Ternyata sebelum meninggalkan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan telah membuat mereka pingsan.

   Glagah Putih dan Rara Wulan tidak membunuh mereka meskipun mereka itu pantas dihukum mati karena tingkah laku mereka.

   Bahkan mereka mengaku telah membunuh lebih dari lima orang yang dituduh menjadi telik sandi kademangan Prancak untuk mengamati keadaan padukuhan Babadan.

   Mereka tentu seperti diri mereka berdua, orang-orang yang sama sekali tidak bersalah.

   Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan hanya membuat mereka pingsan dan meninggalkan mereka di bulak panjang itu.

   Dari anak-anak remaja yang menyaksikan peristiwa di bulak itu.

   orang-orang Babadan tahu, bahwa yang telah memperlakukan Ki Jagabaya dan ketiga orang kawannya dengan kasar itu adalah dua orang suami isteri.

   Seorang anak mudapun mengatakan bahwa ketika kedua orang itu lewat di padukuhan Babadan, anak muda itu sempal berbicara dengan kedua orang yang mengaku suami isteri itu.

   "Mereka memang sangat mencurigakan. Itulah sebabnya Ki Jagabaya dengan tiga orang kawannya telah menyusul mereka. Anak-anak itu tahu, bahwa keduanya pergi bersama anak kebayan di padukuhan sebelah susukan."

   "Karang Lor maksudmu ?"

   "Ya."

   Anak-anak itupun menceritakan bahwa Ki Jagabaya telah menyusul kedua orang suami isteri itu ke Karang Lor.

   Tetapi yang kemudian terjadi adalah seperti yang mereka lihat.

   Orang-orang Babadan itupun harus menyadari, bahwa kedua orang yang mengaku suami isteri itu tentu orang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

   Ki Jagabaya Babadan itu bagi orang-orang Babadan adalah orang yang pilih tanding.

   Namun berempat Ki Jagabaya tidak mampu melawan dua orang.

   Bahkan seorang diantara mereka adalah perempuan.

   Orang-orang Babadan itupun kemudian berusaha untuk membuat keempat orang itu sadar.

   Air yang diusapkan di dahi, kening dan leher mereka, telah membuat keempat orang itu menjadi lebih segar, sehingga beberapa saat kemudian, merekapun mulai menjadi sadar.

   "Marilah, kita pulang dahulu. Ki Jagabaya,"

   Berkata salah seorang laki-laki yang sudah separo baya.

   "Dimana iblis itu,"

   Geram Ki Jagabaya.

   "jika mereka tidak melarikan diri, aku akan membunuhnya."

   "Tetapi Ki Jagabaya tadi pingsan disini,"

   Berkata laki-laki separo baya itu.

   "Mereka adalah orang-orang yang sangat licik, pengecut dan tidak tahu malu."

   "Apa yang sudah mereka lakukan ? "

   Bertanya seorang anak muda.

   Ki Jagabaya itu tidak segera menjawab.

   Namun kemudian, keempat orang yang pingsan itupun telah dibantu untuk bangkit berdiri.

   Tertatih-tatih mereka berjalan dipapah oleh masing-masing dua orang.

   Dalam pada itu.

   Glagah Putih dan Rara Wulan yang melarikan kedua ekor kuda milik orang Babadan itu telah menyeberangi jembatan diatas susukan.

   Ketika mereka sampai di bulak, maka orang-orang yang berada di bulak itu telah pergi.

   Agaknya mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang pingsan dan kesakitan ke padukuhan.

   Tetapi mereka bukan orang-orang padukuhan Karang Lor.

   Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu di tengah-tengah bulak.

   Mereka sudah tidak melihat lagi dua ekor kuda milik orang Babadan yang mengejar mereka.

   "Kemana mereka pergi ?,"

   Desis Rara Wulan. Dengan ragu-ragu Glagah Putihpun menyahut.

   "Tadi kita mendengar orang-orang Babadan menyebut padukuhan Wijil. Agaknya orang-orang yang telah mencoba menangkap orang-orang Babadan itu adalah orang-orang padukuhan Wijil."

   "Ya. Agaknya mereka orang-orang dari padukuhan Wijil."

   "Jadi?"

   "Kita akan pergi ke Wijil. Padukuhan yang kelihatan itu adalah padukuhan Karang Lor. Agaknya padukuhan Wijil adalah padukuhan di arah kanan jalan itu."

   "Kita akan menyusuri jalan bulak yang panjang ini."

   "Bukankah kita sudah mempunyai kuda sekarang ?"

   Rara Wulan tersenyum sambil mengangguk. Katanya.

   "Ya. Kita sudah mempunyai seekor kuda bagi kita masing-masing."

   "Marilah kita pergi ke Wijil. Kita akan berbicara dengan orang-orang Wijil. Agaknya sikap orang-orang Wijil agak berbeda dengan sikap orang-orang Karang Lor."

   Keduanyapun kemudian melarikan kuda-kuda yang mereka dapatkan itu menuju ke sebuah padukuhan yang berada di ujung bulak yang panjang itu.

   Dengan menunggang kuda, maka bulak itu mereka lintasi dalam waktu yang terhitung pendek.

   Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati pintu gerbang padukuhan yang agaknya adalah padukuhan Wijil.

   Di pintu gerbang Glagah Putih dan Rara Wulan menghentikan kuda mereka.

   Meskipun tidak rapat, tetapi pintu gerbang padukuhan itu telah ditutup.

   Diatas pintu gerbang tertulis dengan huruf-huruf yang besar nama padukuhan itu.

   Wijil.

   "Padukuhan ini adalah padukuhan Wijil, kakang,"

   Desis Rara Wulan.

   "Ya. Nampaknya orang-orang Wijilpun harus menjadi berhati-hati setelah peristiwa yang terjadi di bulak panjang itu."

   "Menurut pendengaranku, peristiwa yang terjadi itu bukan untuk pertama kalinya, kakang."

   "Ya. Orang-orang Babadan itu mengatakan, bahwa beberapa kali orang-orang Wijil sudah mencoba, tetapi selalu gagal."

   "Sekarang ?"

   "Kita masuk ke padukuhan."

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian turun dari punggung kuda mereka.

   Perlahan-lahan Glagah Putih mendorong pintu gerbang padukuhan yang tertutup meskipun tidak terlalu rapat.

   Glagah Putih dan Rara Wulan itu terkejut ketika di belakang pintu gerbang itu ternyata berjaga-jaga beberapa orang anak-anak muda yang bersenjata.

   Demikian pintu gerbang itu didorong oleh Glagah Putih, maka anak-anak muda itupun segera mempersiapkan diri.

   Tetapi ada diantara mereka yang melihat Glagah Putih dan isterinya digiring oleh orang-orang Babadan dari padukuhan Karang Lor yang kemudian melarikan diri menyeberangi jembatan diatas susukan yang menjadi batas untuk sementara antara kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang ingin mengambil alih kekuasaan kademangan itu.

   "Kau, Ki Sanak,"

   Desis orang yang dapat mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan. Orang itu melangkah maju mendekati kedua orang suami isteri itu sambil bertanya.

   "Jadi kau luput dari tangan orang-orang Babadan itu?"

   "Yang Maha Agung masih melindungi kami berdua,"

   Jawab Glagah Putih.

   "Sekarang kalian berdua justru membawa dua ekor kuda. Dari manakah kau mendapatkannya ?"

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun memutuskan untuk mengatakan apa yang telah terjadi padanya.

   "Kami terpaksa melawan. Ki Sanak. Agaknya mereka benar-benar ingin membunuh kami berdua."

   Orang-orang padukuhan Wijil itu mengangguk-angguk. Orang yang dapat mengenalinya itu bertanya pula.

   "Jadi kalian dapat mengalahkan mereka berempat?"

   "Mungkin hanya satu kebetulan. Tetapi seperti yang aku katakan. Yang Maha Agung melindungi kami berdua."

   "Sokurlah jika Ki Sanak berdua selamat. Mereka berempat sebenarnya bukan orang-orang Babadan. Mereka adalah orang-orang jahat yang bersarang diujung hutan. Namun mereka berhasil mempengaruhi Ki Bekel Babadan untuk mengambil langkah-langkah yang keliru."

   "Mungkin Ki Sanak. Tetapi mungkin juga Ki Bekel tidak dapat memilih. Bukankah orang-orang yang bersarang di ujung hutan itu mempunyai kekuatan untuk memaksakan kehendaknya ?"

   "Mungkin juga Ki Sanak. Tetapi marilah, aku persilahkan Ki Sanak untuk pergi ke Banjar padukuhan. Kita akan dapat berbicara lebih banyak."

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan sambil menuntun kuda mereka menuju ke banjar diantar oleh beberapa orang.

   Sementara itu anak-anak muda yang ada di belakang pintu gerbang telah menutup pintu gerbang itu kembali, meskipun tidak terlalu rapat.

   Di Banjar.

   Glagah Pulih dan Rara Wulan diterima oleh Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu yang lain.

   Bebahu yang berkumpul di banjar setelah mereka mendengar bahwa lima orang dari padukuhan Wijil telah dianiaya oleh orang-orang Babadan justru di daerah yang untuk sementara tetap dianggap daerah Prancak.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang-orang yang mengaku dari Babadan itulah yang telah menyeberangi batas yang untuk sementara memisahkan dua bagian dari kademangan Prancak.

   "Silahkan. Ki Sanak,"

   Orang yang mengantar Glagah Putih dan Rara Wulan ke banjar itu mempersilahkan.

   Ketika keduanya kemudian duduk di pendapa banjar, maka orang itupun segera memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan kepada Ki Jagabaya dan para bebahu.

   Ki Jagabaya sambil mengangguk-angguk bertanya.

   "Jadi kalian telah berkelahi melawan orang-orang Babadan ?"

   "Ya. Ki Jagabaya."

   "Kalian membawa dua ekor kuda mereka."

   "Ya. Ki Jagabaya."

   "Jadi keempat ekor kuda dari orang Babadan itu sekarang berada disini."

   Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak.

   Agaknya kedua orang Babadan itu meninggalkan arena pertempuran dengan tergesa-gesa sehingga mereka hanya dapat membawa kuda-kuda mereka sendiri dengan meninggalkan dua ekor kuda milik kawan-kawan mereka.

   "Ki Sanak,"

   Berkata Ki Jagabaya kemudian.

   "sekarang Ki Sanak berdua telah terlibat dalam persoalan diantara orang-orang kademangan Prancak. Tetapi terserah kepada Ki Sanak. Apakah Ki Sanak akan melibatkan diri untuk selanjutnya sampai kita menemukan penyelesaian, atau Ki Sanak berdua akan segera meninggalkan Prancak."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi nampaknya peristiwa yang terjadi di Prancak itu sangat menarik perhatiannya.

   "Ki Jagabaya,"

   Berkata Glagah Putih kemudian.

   "apakah yang sebenarnya terjadi di kademangan Prancak ? Kenapa orang-orang Babadan dengan serta-merta menuduh aku sebagai telik sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak untuk mengamati padukuhan mereka sehingga mereka ingin menghukum kami berdua dengan hukuman mati."

   "Itulah ciri-ciri dari para bebahu di Babadan sekarang, Ki Sanak,"

   Jawab Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya itupun segera bertanya.

   "Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak ini ? Seandainya benar apa yang Ki Sanak katakan, bahwa Ki Sanak dapat melepaskan diri dari tangan empat orang dari Babadan itu, maka Ki Sanak tentu orang yang berilmu tinggi."

   "Ki Jagabaya,"

   Jawab Glagah Putih.

   "mungkin kebetulan saja bahwa aku telah berhasil melepaskan diri dari keempat orang yang mengaku orang Babadan itu. Dua orang diantara mereka nampaknya sudah tidak berdaya. Mungkin mereka mengalami kesulitan ketika mereka bertempur melawan orang-orang Wijil di bulak panjang."

   "Tetapi kami tidak berhasil menangkap mereka,"

   Berkata orang yang dapat mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "Mungkin itu satu kebetulan jika kalian menangkap mereka, maka akibatnya tidak dapat kita perhitungkan,"

   Berkata Ki Jagabaya.

   "Tetapi mereka telah menyeberangi jembatan diatas susukan itu. Selain itu. bukankah Prancak memang sudah bertekad untuk memaksa mereka tunduk kepada tatanan dan paugeran. sehingga Babadan tetap merupakan bagian dari kademangan Prancak. Bukan sebaliknya, padukuhan-padukuhan yang lain menjadi bagian dari kademangan Babadan."

   "Aku mengerti. Ki Demang sudah bertekad untuk memaksa Babadan tunduk pada tatanan. Tetapi tidak hari ini. Tidak nanti malam."

   "Kita sudah bersiap, Ki Jagabaya."

   "Kita memang sudah siap. Tetapi Ki Demang masih harus meyakinkan orang-orang Karang Lor dan Karang Wetan bahwa mereka tidak dapat berpangku tangan. Mereka tidak dapat bergaya daun ilalang, yang merunduk ke arah angin bertiup."

   "Ya,"

   Orang itu mengangguk.

   "Ki Bekel di Karang Lor dan Karang Wetan memang berbeda dengan Bekel kita di Wijil ini."

   "Itulah sebabnya kita belum dapat bergerak sekarang. Baru setelah kita semuanya sejalan dalam sikap, Ki Demang akan segera bertindak."

   Orang itu mengangguk-angguk. Jika kekerasan itu terjadi, maka orang-orang Karang Lor dan Karang Wetan yang tidak bersiap itu akan dapat menjadi sasaran pertama. Bahkan kemudian menjadi landasan gerak orang-orang Babadan di seberang susukan.

   "Ki Jagabaya,"

   Berkata Glagah Putih kemudian.

   "bagaimanapun juga kami disentuh oleh persoalan ini. Karena itu, jika Ki Jagabaya tidak berkeberatan, kami ingin mengetahui, persoalan apakah yang sebenarnya telah terjadi di kademangan Prancak ini. Sehingga kademangan ini seakan-akan telah terbelah."

   Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Katanya.

   "Baiklah Ki Sanak. Karena Ki Sanak adalah telik sandi yang diupah oleh orang Prancak. maka kalian boleh tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di kademangan ini. Tetapi katakan lebih dahulu, siapakah Ki Sanak berdua ini. Ki Sanak masih belum menjawab pertanyaanku itu."

   Glagah Putih termangu-mangu sejenak.

   Namun kemudian iapun memandang Rara Wulan sekilas.

   Agaknya Rara Wulan mengerti sehingga Rara Wulan itupun mengangguk kecil.

   Agaknya keduanya tidak lagi berniat menyembunyikan kenyataan tentang diri mereka berdua.

   Karena itu, maka Glagah Putihpun menjawab.

   "Kami adalah orang Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jagabaya. Kami telah menempuh sebuah perjalanan panjang. Sekarang kami justru dalam perjalanan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh."

   "Kalian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ?"

   "Ya, Ki Jagabaya."

   "Aku telah banyak mendengar tentang Tanah Perdikan Menoreh. Sekali aku pemah melintasi Tanah Perdikan itu dalam satu perjalanan ketika aku mencari pamanku yang pergi meninggalkan rumah serta meninggalkan anak isterinya. Aku mendengar beberapa nama yang besar di Tanah Perdikan Menoreh. Selain Ki Gede Menoreh sendiri, di Tanah Perdikan Menoreh tinggal seorang yang bernama Agung Sedayu serta isterinya Sekar Mirah. Sepasang suami isteri yang namanya dikenal tidak saja di Tanah Perdikan Menoreh. Selain mereka berdua, masih dikenali pula beberapa nama yang lain. Sehingga dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh adalah sebuah Tanah Perdikan yang kokoh."

   "Ya. Di Tanah Perdikan tinggal Ki Lurah Agung Sedayu dan isterinya. Nyi Lurah Sekar Mirah. Yang sebenarnya menjadi Lurah prajurit adalah Agung Sedayu. Tetapi isterinya juga terpercik sebutan itu pula."

   "Bukankah itu wajar sekali. Ki Sanak. Tetapi siapakah nama kalian berdua."

   "Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah isteriku. Namanya Rara Wulan."

   Ki Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya.

   "Di Tanah Perdikan Menoreh banyak terdapat orang berilmu tinggi. Karena itu, agaknya angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan tidak membual bahwa kalian mampu melepaskan diri dari keempat orang yang mengaku orang Babadan itu."

   "Sudah aku katakan, bahwa mungkin hanya satu kebetulan. Atau karena dua orang di antara mereka sudah tidak berdaya."

   "Baiklah, angger berdua. Selain kalian berdua sudah tersentuh oleh persoalan yang terjadi di kademangan ini, kalian juga berasal dari daerah yang sangat kami kenal. Jaraknyapun tidak terlalu jauh."

   "Ya, Ki Jagabaya."

   "Jika angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan tidak berkeberatan, kami akan memperkenalkan angger berdua dengan Ki Bekel Wijil serta Ki Demang Prancak."

   "Tentu kami akan sangat senang sekali Ki Jagabaya. Tetapi waktu kami tidak terlalu banyak. Kami ingin segera sampai di rumah kami, di Tanah Perdikan Menoreh."

   "Kami minta angger berdua malam ini bermalam disini. Bukankah hanya berselisih waktu satu atau dua hari ? Jika angger telah menempuh perjalanan dalam pengembaraan angger berdua beberapa bulan, apakah artinya satu dua hari atau bahkan sepekan lagi ?"

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar Glagah Putih menjawab.

   "Baiklah, Ki Jagabaya. Karena aku ingin sekali mengetahui, apakah yang telah terjadi disini, maka kami akan bermalam semalam di padukuhan ini."

   "Terima kasih ngger,"

   Berkata Ki Jagabaya.

   "nanti aku akan memperkenalkan angger dengan Ki Bekel dsn Ki Demang."

   "Terima kasih, Ki Jagabaya."

   "Namun dengan demikian, maka yang akan aku ceriterakan kepada angger berdua sekarang hanyalah persoalan pokoknya saja. Perinciannya yang lebih kecil akan angger ketahui setelah angger berdua bertemu dengan Ki Bekel dan Ki Demang nanti malam."

   "Baik Ki Jagabaya."

   "Angger berdua,"

   Berkata Ki Jagabaya kemudian.

   "Babadan dan padukuhan yang juga terhitung besar, padukuh Paliyan yang membujur panjang dan bergandengan dengan padukuhan Sambirata, telah menyatakan diri tidak mengakui kekuasaan Demang Prancak yang sekarang. Mereka menginginkan bahwa padukuhan induk kademangan Prancak berada di Babadan dan bahkan mungkin nama kademangan inipun akan dirubah menjadi kademangan Babadan atau padukuhan Babadan itulah yang mengambil alih nama Prancak. Bahkan sekarang-pun sudah ada yang menyebut padukuhan Babadan dengan sebutan padukuhan Prancak. Bahkan anak-anak di Babadan mulai tertarik untuk menyebut padukuhannya dengan sebutan padukuhan Prancak, padukuhan induk kademangan Prancak. Tetapi gejolak itu masih belum terasa penting sebagaimana sikap orang-orang Babadan yang tidak lagi mengakui kepemimpinan Ki Demang di Prancak.

   "Kenapa mereka tidak mengakui lagi kepemimpinan Ki Demang ? "

   Bertanya Glagah Putih.

   "Ki Bekel di Babadan itu juga adalah anak Ki Demang Prancak yang terdahulu."

   "Saudara kandung dengan Ki Demang Prancak yang sekarang?"

   "Tetapi berbeda ibu. Ki Demang Prancak yang terdahulu mempunyai dua orang isteri. Masing-masing mempunyai anak laki-laki. Tetapi karena ibu Ki Demang Prancak yang sekarang itu adalah isteri yang pertama, maka anaknyalah yang berhak menggantikannya. Tetapi isterinya yang kedua menjadi iri hati meskipun anaknya sudah mendapat kedudukan menjadi Bekel di padukuhan Babadan. Sebuah padukuhan yang terhitung besar."

   Glagah Putih dan Rara Wulan menarik napas panjang.

   Bagaimanapun juga.

   maka hadirnya dua orang istri di dalam satu keluarga akan menimbulkan persoalan.

   Jika bukan karena persoalan kedua orang perempuan itu sendiri, maka persoalan anak-anaknya akan dapat mencuat kepermukaan.

   Bahkan mungkin cucu-cucunya akan dapat membawa persoalan yang berkepanjangan.

   Demikianlah, maka pada hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulan akan bermalam di kademangan Prancak.

   Seperti yang dikatakan oleh Ki Jagabaya, maka lewat senja Glagah Putih dan Rara Wulan telah diajaknya menemui Ki Bekel di rumahnya.

   Ternyata sikap Ki Bekel terhadap kedua orang suami isteri itu cukup ramah.

   Nyi Bekelpun telah ikut menemui mereka pula setelah menghidangkan minuman dan makanan.

   Ki Jagabayapun kemudian telah memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang dalam perjalanan pengembaraannya.

   "Mereka tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Bekel."

   "Di Tanah Perdikan Menoreh ? Jadi kalian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ?"

   "Ya, Ki Bekel."

   "Tanah Perdikan yang besar dan kuat. Aku telah pernah mendengar beberapa nama yang besar dari para pemimpin di Tanah Perdikan itu."

   "Mereka memang orang-orang yang menonjol di Tanah Perdikan Menoreh, Ki bekel. Tetapi hanya berlaku di Tanah Perdikan Menoreh saja. Diluar Tanah Perdikan, mereka bukan apa-apa. Yang terbaik di Tanah Perdikan tidak lebih dari mereka yang berada di tataran yang terbawah bagi daerah lain yang memiliki orang-orang yang berilmu sangat tinggi."

   Ki Bekel tertawa. Katanya.

   "Kau adalah seorang yang rendah hati. Tetapi justru orang-orang yang rendah hati itulah yang memiliki banyak kelebihan."

   "Apalagi kami Ki Bekel. Tetapi kami mempunyai modal yang dapat kami banggakan. Kami mempunyai kemampuan berlari cepat. Sehingga dalam saat-saat yang gawat, kemampuan kami itu dapat kami pergunakan."

   "Tentu bukan sekedar berlari cepat,"

   Berkata Ki Bekel "

   Tetapi baiklah. Mungkin kalian berdua tidak ingin mendapat pujian yang berlebihan."

   Glagah Putih itupun menyahut.

   "Kami memang belum pantas mendapat pujian meskipun sebenarnya kami sangat menginginkan."

   Ki Bekel tertawa. Demikian pula Nyi Bekel dan Ki Jagabaya.

   "Angger Glagah Putih berdua,"

   Berkata Ki Bekel kemudian.

   "hari ini angger Glagah Putih telah terlibat dalam persoalan yang sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan angger berdua."

   "Ya, Ki Bekel. Kami telah dituduh menjadi telik sandi kademangan Prancak di Babadan. Untunglah kami dapat melarikan diri. Jika tidak, maka kami tentu sudah di bantai oleh orang-orang Babadan. Bahkan oleh anak-anak. Alangkah menderitanya menjadi mainan anak-anak yang telah kehilangan nuraninya karena pengaruh lingkungannya."

   Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya.

   "Sementara itu aku sempat membayangkan, bahwa sebelum kami berdua yang hampir saja mengalami nasib buruk, tentu sudah ada orang lain yang mengalaminya. Pengembara yang kebetulan lewat padukuhan Babadan yang sedang berselisih dengan padukuhan-padukuhan lain di kademangan Prancak."

   "Sebenarnya sikap itu bukan sikap murni orang-orang Babadan, ngger,"

   Sahut Ki Bekel.

   "Ya, Ki Bekel. Aku sudah menduga. Ketika kami melewati padukuhan Babadan, maka orang-orang Babadan memang mencurigai kami. Tetapi mereka hanya mengajukan beberapa pertanyaan. Bahkan kami telah dibiarkan untuk pergi meninggalkan padukuhan itu, meskipun kami tetap dicurigai. Baru kemudian setelah kami berada di Karang Lor, orang-orang Babadan itu menyusul kami. Agaknya orang-orang padukuhan Wijil melihat orang-orang Babadan itu menyeberangi jembatan, sehingga mereka berusaha untuk menangkap mereka. Tetapi yang terjadi tidak seperti yang dikehendaki oleh orang-orang Wijil itu."

   "Ya. Lima orang padukuhan Wijil mengalami luka parah. Mereka dirawat dengan sebaik-baiknya. Tetapi seorang diantaranya tangannya akan menjadi cacat seumur hidupnya."

   "Untunglah bagi kami. bahwa kami yang dibawa oleh orang-orang Babadan itu bertemu lagi dengan orang-orang dari padukuhan Wijil yang jumlahnya lebih banyak, sehingga kami berdua sempat melarikan diri."

   "Tetapi kalian tentu tidak hanya sekedar melarikan diri. Kuda kedua orang Babadan itu ada pada angger berdua."

   Glagah Pulih tidak segera menjawab. Tetapi iapun kemudian tertawa pendek. Rara Wulanpun tersenyum pula, sedangkan Ki Jagabaya sambil tertawa berkata.

   "Kalian tidak dapat meninggalkan ciri seorang pengembara. Apalagi dari Tanah Perdikan Menoreh."

   "Apakah ciri itu, Ki Jagabaya ?"

   "Biasanya seorang pengembara tentu berbekal ilmu. Sementara Tanah Perdikan Menoreh adalah lumbung dari orang-orang berilmu tinggi."

   "Ki Jagabaya memuji kami lagi."

   Ki Jagabaya masih saja tertawa. Demikian pula Ki Bekel dan Nyi Bekel. NAMUN sejenak kemudian, Ki Bekel itupun berkata.

   "Angger berdua. Karena kalian adalah telik sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak. maka sebaiknya kalian berdua bertemu dengan Ki Demang di Prancak. Ki Demang di Prancak adalah seorang Demang yang terhitung masih muda meskipun tidak semuda angger berdua. Ki Demang itu baru mempunyai tiga orang anak. Yang sulung laki-laki. Umurnya baru enam tahun. Dua adiknya perempuan. Seorang berusia tiga tahun, yang seorang masih bayi."

   "Terima kasih atas kesempatan ini, Ki Bekel,"

   Berkata Glagah Putih kemudian.

   Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumah Ki Demang Prancak bersama Ki Bekel dan Ki Jagabaya di Wijil.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seperu Ki Bekel di Wijil.

   Ki Demang yang masih terhitung muda itu dengan ramah menerima Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Ternyata Ki Demang sudah menerima laporan tentang keberadaan dua orang suami isteri di Wijil.

   Mereka telah dituduh menjadi telik sandi yang diupah oleh Ki Demang di Prancak.

   Dari Ki Demang sendiri.

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui lebih jelas, apa yang sebenarnya terjadi di Prancak.

   Perselisihan yang terjadi di Prancak bersumber dari pergulatan diantara keluarga Ki Demang sendiri.

   Seperti yang sudah dikatakan oleh Ki Jagabaya bahwa Ki Demang di Prancak dan Ki Bekel di Babadan adalah dua orang bersaudara seayah.

   Tetapi mereka berlainan ibu.

   "Tidak ada tatanan maupun paugeran yang dapat dipergunakan untuk melandasi tuntutan Bekel Babadan,"

   Berkata Ki Demang Prancak.

   "tetapi aku sadari, bahwa Bekel Babadan itu adalah adikku sendiri."

   "Kenapa baru sekarang timbul persoalan itu, Ki Demang. Apakah pada saat Ki Demang diwisuda, persoalan ini belum ada?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Mungkin bibit persoalan ini sudah ada di hati ibu muda. Tetapi agaknya ibu muda masih berusaha menahan diri. Namun kemudian, persoalan itu meledak juga setelah orang-orang Babadan berhubungan degan sekelompok perampok yang bersarang di ujung hutan. Semula Babadan justru memperkuat diri untuk menghadapi para perampok itu. Tetapi lambat laun para perampok itu berhasil menanamkan pengaruhnya di Babadan."

   Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sekilas.

   Nampaknya mereka telah mendapatkan jawaban, kenapa padukuhan Babadan telah membuat dinding padukuhan yang tinggi.

   Dinding itu tentu dibuat pada saat Babadan masih berusaha mempertahankan diri dari sentuhan kejahatan oleh para perampok yang bersarang di ujung hutan itu.

   Glagah Putih pun yang kemudian menyahut, Jadi dengan demikian, maka yang telah mendorong Ki Bekel di Babadan untuk mengambil alih kekuasaan di Prancak itu adalah para perampok itu."

   "Ya. Mereka telah membakar hati bukan saja Ki Bekel di Babadan, tetapi juga orang-orang Babadan yang lain. Mereka menganggap bahwa Babadan adalah padukuhan tertua di kademangan Prancak sehingga sepantasnyalah bahwa induk kademangan di Prancak itu berada di Babadan."

   "Bagaimana dengan padukuhan Paliyan?"

   "Orang-orang Paliyan telah terpengaruh pula. Ki Bekel Paliyan adalah seorang Bekel yang terhitung tua, tetapi penalarannya agak kurang cerah. Dengan sedikit janji-janji, maka Ki Bekel di Paliyan dan Sambirata sudah akan jatuh ke bawah pengaruh Bekel di Babadan. Bahkan kebencian orang orang Paliyan dan Sambirata terhadap orang-orang di seberang susukan justru melampaui orang-orang Babadan sendiri."

   Glagah Putih mengangguk angguk kecil. Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itupun bertanya.

   "Bagaimana dengan orang Karang Lor Ki Demang?"

   "Aku tidak terlalu menyalahkan orang-orang Karang Lor. Mereka merasa bahwa padukuhan mereka adalah padukuhan yang terdekat dengan Babadan. Mereka tahu bahwa yang berada di belakang orang-orang Babadan adalah para perampok yang bersarang di ujung hutan sebelah. Karena itu, maka mereka tidak bersikap keras terhadap orang-orang Babadan meskipun Karang Lor tidak mau bergabung dengan orang-orang Babadan. Agaknya Karang Lor berusaha untuk sementara tidak berhadapan langsung dengan orang-orang Babadan serta para penjahat yang memiliki kekuatan yang besar."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan keterangan Ki Demang dengan sungguh-sungguh. Apalagi ketika Ki Demang itu berkata.

   "Selain perjanjian yang mungkin dianggap saling menguntungkan oleh orang-orang Babadan dengan para perampok itu, ternyata ada persoalan lain yang membuat hubungan mereka menjadi semakin akrab."

   "Persoalan apa Ki Demang."

   Ki Demang nampaknya menjadi ragu-ragu. Dipandanginya Ki Bekel dan Ki Jagabaya di Wijil itu sekilas. Namun kemudian Ki Demang itu menarik nafas panjang.

   "Ki Sanak. Ibu muda itu adalah yang sangat berkuasa di lingkungan keluarga. Yang aku tahu, ayahkupun merasa agak segan kepadanya. Apalagi sepeninggal ibuku. Ibu muda itu agaknya menguasai segala-galanya."

   "Tetapi Ki Demang sekarang tetap saja menjadi Demang."

   "Jika saja ayahku tidak meninggal, mungkin persoalannya akan menjadi lain."

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu sejenak. Dengan ragu Glagah Putihpun bertanya.

   "Kenapa justru karena ayah Ki Demang meninggal, maka sekarang Ki Demang menjadi Demang di Prancak."

   Ki Demang itu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Ini rahasia keluarga kami, Ki Sanak. Tetapi karena persoalannya menyangkut kepemimpinan di Prancak, sedangkan Ki Sanak sudah terlanjur terlibat, maka baiklah aku ceritakan,"

   Ki Demang itu berhenti sejenak, lalu katanya selanjutnya.

   "jika ayah tidak meninggal, maka mungkin bukan aku yang menjadi Demang di Prancak."

   "Lalu siapa dan kenapa ?"

   Glagah Putih menjadi semakin ingin tahu.

   "Jika ayah tidak meninggal, agaknya yang akan menjadi Demang adalah adikku yang sekarang menjadi Bekel di Babadan. Ibu muda mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap ayah."

   "Tetapi justru setelah Ki Demang yang terdahulu meninggal, Ki Demanglah yang menggantikannya."

   "Ayah meninggal karena sakit. Lebih dari sepuluh hari ayah terbaring di pembaringan. Namun agaknya para bebahu kademangan ini mengerti sifat ibu muda. Dalam keadaan sakit, ayah dapat saja ditekan untuk menetapkan bahwa adikku itulah yang harus menggantikannya. Karena itu, maka setiap saat ayah ditunggui oleh para bebahu bergantian. Ki Jagabaya Ki Kebayan tua dan Ki Kebayan muda dan para bebahu yang lain. Sehingga dengan demikian maka ibu muda tidak mendapat kesempatan untuk menekan ayah agar membuat keputusan yang keliru."

   Demikian ayah meninggal, maka para bebahu segera mengambil keputusan untuk menetapkan aku menjadi Demang di kademangan Prancak. Bahkan Ki Bekel dan Ki Jagabaya padukuhan Wijil itupun mengetahui pula apa yang telah terjadi."

   Di luar sadarnya Glagah Putih dan Rara Wulanpun berpaling kepada Ki Bekel dan Ki Jagabaya di Wijil. Ki Bekel dan Jagabaya itu mengangguk Dengan nada rendah Ki Bekelpun berkata.

   "Ya, ngger. Itulah yang terjadi. Meskipun kami tidak melihat dari dekat, tetapi kami mengetahui apa yang telah terjadi di padukuhan induk kademangan Prancak pada waktu itu."

   Ki Demangpun kemudian berkata pula.

   "Para bebahupun kemudian menetapkan, adikku itu menjadi Bekel di Babadan, karena kedudukan itu kebetulan sekali kosong, karena Ki Bekel yang terdahulu tidak mempunyai seorang anakpun. Apalagi Ki Bekel di Babadan itu adalah saudara ibu muda itu pula. Karena itu. maka wajar sekali jika adikku itu kemudian diangkat menjadi Bekel di Babadan."

   Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

   "Tetapi adikku itu merasa bahwa kedudukan itu masih belum cukup. Kedudukan itu masih terlalu rendah baginya. Apalagi bibi agaknya akhir-akhir ini sengaja membakar perasaannya sehingga adikku itu kemudian berani dengan terbuka menentang kuasaku. Bahkan kemudian dengan terbuka pula menuntut agar aku menyerahkan kedudukan Demang ini kepadanya."

   "Baru akhir-akhir ini ?"

   Bertanya Glagali Putih.

   "Ya."

   "Apakah ada sebabnya sehingga akhir-akhir ini Ki Bekel berani menyatakan tuntutannya dengan terbuka ?"

   Bertanya Rara Wulan pula. Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil yang duduk bersama mereka. Sambil menarik nafas panjang Ki Demangpun berkata.

   "Ki Bekel dan Ki Jagabaya di Wijil sudah mengetahui apa yang terjadi di Babadan. Meskipun sebenarnya aku agak segan mengatakan kepada orang lain, namun karena keduanya sudah terlibat, apa boleh buat."

   "Tidak ada salahnya Ki Demang. Meskipun yang terjadi itu merupakan aib bagi satu keluarga, tetapi bukankah tidak menyangkut Ki Demang dan keluarga Ki Demang."

   "Ki Sanak,"

   Berkata Ki Demang kemudian.

   "sebenarnyalah bahwa ada dorongan lain yang telah membuat Babadan menjadi kehilangan nalar. Telah terjadi hubungan yang rapat antara ibu muda dengan seorang laki-laki tampan yang sudah separo baya. Ternyata laki-laki itu adalah pimpinan sekelompok perampok yang tinggal di ujung hutan. Semula ibu muda memang tidak mengetahui. Tetapi ketika hubungan itu berlanjut dan menjadi semakin jauh, laki laki itupun mengaku, bahwa ia seorang pemimpin dari segerombolan perampok yang bersarang diujung hutan."

   "Apakah ibu muda Ki Demang tidak menjadi menyesal ?"

   "Aku mengira bahwa ibu muda itu akan menyesal dan menjauhinya. Bahkan membecinya. Tetapi perkiraanku itu ternyata keliru. Ibu muda itu tidak menyesal. Bahkan keduanya akhirnya menemukan kesepakatan untuk membuat Babadan menjadi padukuhan induk kademangan Prancak."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata ada hubungan yang berkait di Babadan, sehingga Babadan telah dengan terbuka ingin mengambil alih kekuasaan Ki Demang di Prancak. Setelah merenung sejenak, Glagah Putihpun kemudian bertanya.

   "Apakah Ki Demang sudah mempunyai rencana untuk mencari penyelesaian tentang persoalan ini ?"

   "Belum, Ki Sanak. Tetapi sementara ini kami telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kekerasan jika Babadan memaksakan kehendaknya. Dukungan para Bekel sangat kami banggakan. Termasuk Ki Bekel di Wijil. Orang-orang Wijil nampaknya sudah tidak sabar lagi. Menurut Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil ini, Babadan harus ditundukkan dengan kekerasan. Para perampok yang bersarang di ujung hutan itu harus di hancurkan."

   Ki Bekel Wijilpun menyahut.

   "Bukan hanya padukuhan Wijil, ngger. Tetapi beberapa padukuhan yang lain telah bersiap pula. Yang masih belum siap adalah padukuhan Karang Lor dan Karang Wetan. Meskipun kedua padukuhan itu termasuk padukuhan yang besar, tetapi tampaknya masih ada yang menghambat para penghuninya untuk mempersiapkan diri menghadapi sikap orang-orang Babadan serta para perampok itu."

   "Ki Demang,"

   Bertanya Rara Wulan kemudian.

   "apakah hubungan Nyi Demang muda itu tidak menimbulkan ke cemburuan kepada anaknya laki-laki yang sudah menjadi Bekel itu? Bukankah umur Ki Bekel itu tentu tidak berbeda jauh dengan Ki Demang.'"

   "Adikku yang tamak itu tidak mempertimbangkan dan apalagi menilai sikap ibunya. Baginya, asal ia berhasil menguasai kademangan ini, maka akan dapat ditempuh segala macam cara."

   Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Katanya.

   "Aku juga seorang perempuan seperti Nyi Demang muda itu. Kenapa ia harus menjual harga dirinya untuk satu tujuan yang apalagi keliru dan tidak menurut tatanan."

   "Sifat ibu muda itu memang aneh. Sekarang adikku itu benar-benar tidak dapat melihat kebenaran sama sekali. Tatanan dan paugeran yang ada itupun telah diinjak-injaknya."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Agaknya memang tidak ada jalan lain bagi Ki Demang Prancak. Kecuali memaksa Babadan tunduk kepada tatanan dan paugeran itu. Namun dalam pada itu, Ki Demangpun berkata.

   "Sebenarnya Ki Sanak. Jika segala sesuatunya masih belum terlanjur menjadi kusut, adikku itu dapat menempuh jalan yang jauh lebih baik. Jika ibu muda dan adikku itu dengan baik-baik minta kepadaku, kesempatan untuk menjadi seorang Demang di Prancak, maka aku akan bersedia meletakkan jabatanku. Aku akan bersedia minta kepada para bebahu untuk menerima adikku itu sebagai Demang di kademangan Prancak. Tetapi aku tidak mau mereka menempuh cara yang tidak terpuji ini. Aku tidak mau disingkirkan dengan kasar. Apalagi aku berpegang pada tatanan dan paugeran. Karena itu, maka aku tidak mau meninggalkan kedudukanku."

   Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Namun persoalan yang berkembang di Prancak itu sangat menarik perhatian mereka. Nampaknya pada ujungnya akan terjadi benturan kekerasan antara dua orang kakak beradik itu.

   "Ki Demang,"

   Berkata Glagah Putih itu kemudian.

   "rasa-rasanya aku ingin mengikuti perkembangan dari persoalan yang ada di kademangan ini sampai tuntas. Tetapi sayang sekali, bahwa kami berdua harus segera kembali sampai di Tanah Perdikan Menoreh."

   "Terima kasih atas perhatian Ki Sanak berdua. Kami akan sangat bersenang hati jika Ki Sanak berdua bersedia mengikuti perkembangan keadaan di Prancak ini sampai tuntas. Bukankah Ki Sanak telik sandi yang sudah diupah oleh Demang Prancak?"

   Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Putih menyahut.

   "Ya. Hampir saja aku digantung di depan pintu gerbang padukuhan Babadan serta dilempari batu oleh anak-anak remaja di Babadan."

   "Nah, bukankah menarik untuk melihat kelanjutannya?"

   Bertanya Ki Bekel Wijil.

   "Ya."

   "Karena itu, angger berdua sebaiknya tinggal disini untuk sementara. Sepekan dua pekan tidak akan berarti apa-apa bagi seorang pengembara."

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian berkata.

   "Ki Demang di Prancak serta Ki Bekel dan Ki Jagabaya di Wijil. Sebenarnyalah aku ingin menyaksikan akhir dari persoalan yang timbul di kademangan ini. Tetapi aku juga harus segera pergi ke Tanah Perdikan. Karena itu, besok pagi-pagi kami berdua akan melanjutkan perjalanan ke Tanah Perdikan. Aku akan berusaha datang kembali sebelum sepekan. Menurut dugaanku, dalam sepekan ini, persoalan di kademangan ini masih belum akan dapat diselesaikan."

   Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya.

   "Tentu kami tidak akan dapat menahan Ki Sanak berdua disini. Tentu aku tidak dapat menuduh Ki Sanak telik sandi dari Babadan yang datang untuk melihat kelemahan kademangan ini. Karena itu, maka aku hanya dapat mempersilahkan. Meskipun demikian kami disini benar-benar mengharap kedatangan Ki Sanak berdua dalam pekan mendatang."

   Glagah Putih mengangguk sambil menjawab.

   "kami akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk datang kemari lagi, Ki Demang."

   "Aku berharap bahwa dalam pekan mendatang sikap Karang Lor sudah berubah, sehingga kami akan dapat mengambil langkah-langkah yang lebih mantap. Yang kemudian harus menjadi perhatian adalah kekuatan para perampok yang tinggal di ujung hutan. Jumlah tentu tidak sebanyak orang Babadan sendiri. Tetapi mereka adalah orang-orang yang garang dan kasar."

   "Tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak dapat dilawan. Ki Demang,"

   Berkata Ki Bekel di Wijil.

   "Kami ternyata mampu mengusir dua orang diantara mereka."

   "Tetapi kita harus mengerahkan orang yang jumlahnya berlipat ganda dari mereka."

   "Jika padukuhan Karang Lor dan Karang Wetan yang terhitung besar itu sudah dapat menyesuaikan sikapnya dengan sikap kita, maka aku kira, jumlah kita sudah cukup memadai."

   "Ya. Jumlahnya cukup memadai. Tetapi para perampok di ujung hutan itu dapat berbuat apa saja di luar dugaan kita."

   Ki Bekel menarik nafas panjang.

   Hari itu lima orang padukuhan Wijil terluka parah ketika mereka mencoba melawan empat orang berkuda dari Babadan.

   Sedangkan sembilan orang yang kemudian melawan empat orang dan yang kemudian tinggal dua orang saja, tiga di antara mereka telah terluka pula.

   Seorang bahkan agak parah.

   Ki Bekel itupun kemudian mengangguk sambil berkata.

   "Ya. Orang-orang dari ujung hutan itu adalah orang-orang yang tidak berjantung lagi. Mereka sudah terlalu biasa membunuh sehingga pembunuhan bagi mereka adalah hal yang sah dan wajar."

   Glagah Putih mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebaran.

   Rasa-rasanya mereka berdua ingin tetap berada di kademangan itu sampai persoalan mereka tuntas.

   Tetapi mereka tidak tahu, berapa hari dibutuhkan waktu untuk menuntaskan persoalan mereka.

   Tetapi menurut dugaan Glagah Pulih dan Rara Wulan, waktu yang diperlukan tentu lebih dari sepekan.

   Karena itu, maka Glagah Putih itupun berkata.

   "Baiklah Ki Demang. Aku besok pagi-pagi minta diri. Seperti yang aku katakan, aku akan kembali sebelum sepekan. Aku memang ingin melihat akhir dari persoalan yang timbul di kademangan ini."

   Ki Demang tidak dapat mencegahnya.

   Tetapi Ki Demang Prancak, Ki Bekel dan ki Jagabaya Wijil, minta agar Glagah Putih benar-benar kembali sebagaimana dijanjikannya.

   Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di rumah Ki Demang di Prancak.

   Sementara Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil masih berada di rumah Ki Demang sampai wayah sepi uwong.

   Namun ketika Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil minta diri, maka seseorang dengan tergesa-gesa memasuki regol halaman rumah Ki Demang.

   "Ada apa ?"

   Bertanya Ki Demang ketika orang itu sudah menghadap.

   "Ki Demang,"

   Berkata orang itu.

   "aku berada di luar padukuhan Babadan ketika aku melihat sekelompok orang dari ujung hutan itu masuk ke padukuhan Babadan."

   "Siapakah mereka ?"

   "Tentu orang-orang yang bersarang di ujung hutan. Ada di antara mereka yang berkuda. Tetapi sebagian lagi berjalan kaki. Sebagian dari mereka membawa tombak. Yang lain membawa berbagai macam senjata."

   "Kapan kau sempat melihatnya ?"

   "Baru saja. Sedikit lewat senja. Aku sempat bersembunyi di balik gerumbul yang gelap."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah mereka sudah siap untuk bergerak malam ini ?"

   "Aku tidak tahu, Ki Demang. Tetapi padukuhan Babadan sendiri masih nampak sepi."

   "Kau masuk ke dalam padukuhan itu."

   "Ya. Aku memanjat pohon gayam yang tumbuh di luar dinding padukuhan, tetapi pohon itu seakan-akan melekat pada dinding itu. Aku sempat meloncat masuk dan melihat keadaan di dalam padukuhan. Agaknya masih belum ada persiapan apa-apa."

   "Kau sempat melihat banjar padukuhan ?"

   "Ya. Aku sempat melihat banjar padukuhan. Orang-orang dari ujung hutan itu memang pergi ke banjar. Tetapi mereka tidak langsung bersiaga untuk bertempur. Meskipun demikiar aku merasa wajib untuk segera melaporkan kepada Ki Demang, mungkin terjadi hal-hal di luar pengamatanku."

   "Baik. Terima kasih. Panggil Ki Jagabaya kemari."

   "Ya, Ki Demang."

   Demikian orang itu pergi, maka Ki Bekel dan Ki Jagabaya di Wijil pun berkata.

   "Kami minta diri Ki Demang. Kami harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Siang tadi telah terjadi benturan kekerasan antara orang-orang Babadan dengan orang-orang Wijil. Mungkin persiapan mereka itu khusus ditujukan kepada orang-orang Wijil."

   "Tetapi Wijil tidak akan sendiri, Ki Bekel."

   "Tentu Ki Demang. Tetapi baiklah kami kembali ke Wijil untuk mempersiapkan diri. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu malam ini."

   "Silahkan Ki Bekel. Berhati-hatilah."

   Sejenak kemudian. Ki Bekel dan Ki Jagabaya di Wijil itu minta diri pula kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun Glagah Putih itupun berkata.

   "Baiklah kami ikut ke Wijil Ki Demang. Kami dapat bermalam di padukuhan Wijil. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel."

   Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.

   "Baiklah. Silahkan Ki Sanak. Berhati-hatilah. Jika perlu bunyikan isyarat agar padukuhan-padukuhan yang lain dapat ikut serta berbuat sesuatu."

   "Baik, Ki Demang."

   Sejenak kemudian, maka Ki Bekel, Ki Jagabaya dari Wijil, Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan padukuhan induk.

   Di sepanjang jalan, jika mereka melewati sebuah padukuhan, Ki Bekel menyempatkan diri singgah meskipun hanya sesaat di rumah Ki Bekel atau Ki Jagabaya untuk memberitahukan, bahwa ada gerakan di Babadan.

   Namun setiap kali Ki Bekel itupun berkata.

   "Mudah-mudahan tidak ada apa-apa malam ini."

   Pesan Ki Bekel Wijil itu mendapat perhatian yang cukup besar dari para Bekel di beberapa padukuhan.

   Merekapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

   Malam itu, beberapa padukuhan telah berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.

   Demikian pula di padukuhan induk.

   Demikian Ki Jagabaya menghadap Ki Demang, maka iapun segera memerintahkan anak-anak muda untuk bersiap.

   "Kita tidak perlu membunyikan kentongan lebih dahulu, agar tidak menimbulkan kegelisahan. Sementara itu tidak akan terjadi apa-apa. Kita minta saja setiap orang untuk bersiap. Jika perlu mereka akan dipanggil dengan isyarat suara kentongan."

   Demikianlah malam menjadi semakin malam.

   Glagah Putih dan Rara Wulan dipersilahkan untuk bermalam di banjar padukuhan Wijil.

   Namun sampai menjelang dini, ternyata tidak terjadi sesuatu.

   Para pengamat tidak memberikan laporan adanya gerakan dari orang-orang Babadan.

   Tidak ada sekelompok pasukan yang melintasi jembatan di atas susukan untuk menyerang salah satu padukuhan di kademangan Prancak.

   Seorang pengamat berkata kepada kawannya.

   "Mungkin mereka akan bergerak menjelang fajar. Pada saat matahari akan terbit."

   Tetapi para pengamat itu terkejut.

   Tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda.

   Tidak hanya satu dua.

   Tetapi berpuluh-puluh ekor kuda.

   Ketika kuda-kuda itu berlari di atas jembatan itu, suaranya bagaikan mematahkan blandar jembatan itu.

   Namun agaknya para penunggang kuda itupun menyadari bahwa jembatan itu tidak terlalu kokoh.

   Karena itu, maka para penunggang kuda itu beriringan satu demi satu.

   Tidak ada kesempatan dari para pengawas itu untuk melaporkan ke padukuhan.

   Kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu.

   Sebenarnyalah semuanya berlangsung dengan cepatnya.

   Beberapa saat kemudian, para penunggang kuda itu sudah sampai di sebuah padukuhan.

   Tetapi mereka tidak berhenti.

   Para penunggangnya tidak turun dari punggung kuda dan menyerang para penghuni padukuhan itu.

   Tetapi mereka melarikan kuda mereka melintasi jalan induk padukuhan.

   Derap kaki kuda yang berpuluh-puluh itu telah mengguncang seisi padukuhan.

   Mereka yang meronda di gardu-gardu, yang langsung melihat pasukan berkuda itu lewat, menjadi gemetar.

   Tubuh mereka bagaikan kedinginan.

   Ternyata orang-orang berkuda itu melarikan kuda-kuda mereka melintasi beberapa padukuhan.

   Termasuk padukuhan induk serta padukuhan Wijil.

   Glagah Putih dan Rara Wulan yang bermalam di padukuhan Wijil terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda yang berlari-larian.

   Ternyata padukuhan Wijil mendapat perhatian yang khusus.

   Karena sebelumnya orang-orang Wijil telah menyerang orang-orang Babadan.

   Agaknya orang-orang berkuda itu ingin menunjukkan kepada orang-orang Wijil, bahwa mereka mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk menghancurkan padukuhan itu.

   Sekelompok orang-orang berkuda itu telah membuat gerakan-gerakan yang sengaja memancing perhatian orang-orang Wijil.

   Beberapa orang melarikan kuda mereka berputar-putar di halaman banjar padukuhan.

   Sebagian lagi di halaman rumah Ki Bekel dan yang lain di halaman rumah Ki Jagabaya.

   Beberapa orang yang lain melarikan kuda-kuda mereka di sepanjang jalan padukuhan.

   Mereka sengaja menakut-nakuti orang yang sedang meronda sehingga para peronda itu melarikan diri dan bersembunyi.

   Orang-orang Babadan itu berteriak-teriak dengan kata-kata kasar.

   Yang lain tertawa-tawa.

   Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di banjar, tidak menampakkan diri mereka.

   Agaknya lebih baik bagi mereka untuk tidak berbuat apa-apa.

   Jika mereka berdua melakukan perlawanan kemudian menghindar jika lawan terlalu banyak, maka akibatnya akan memukul padukuhan Wijil.

   Karena itu, mereka tetap saja tidak berbuat apa-apa.

   Namun Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyelinap keluar untuk melihat orang-orang berkuda yang berputar-putar di halaman banjar.

   "Tidak lebih dari sepuluh orang, kakang,"

   Desis Rara Wulan.

   "Memang yang memasuki halaman banjar ini hanya sekitar sepuluh orang. Tetapi dengar derap kaki kuda itu."

   Rara Wulan mengangguk. Iapun mendengar derap kaki kuda yang bagaikan suara banjir bandang itu.

   "Tentu banyak sekali."

   "Tetapi apakah benar mereka orang-orang Babadan?"

   Bertanya Rara Wulan.

   "Sebagian agaknya memang orang-orang Babadan. Tetapi sebagian tentu orang-orang dari ujung hutan itu."

   Rara Wulan tidak bertanya lagi.

   Mereka hanya menyaksikan saja apa yang terjadi di halaman dari kegelapan.

   Baru beberapa saat kemudian, maka orang-orang berkuda itupun meninggalkan halaman banjar.

   Sejenak kemudian, maka derap kaki kuda itu bagaikan arus banjir yang mengalir semakin lama semakin jauh.

   Demikian orang-orang berkuda itu pergi, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera keluar dan persembunyian mereka.

   Merekapun kemudian duduk ditangga pendapa banjar padukuhan itu.

   "'Mereka sengaja memamerkan kekuatan mereka, kakang."

   Desis Rara Wulan.

   "Ya. Mereka berharap bahwa padukuhan-padukuhan di seberang jembatan ini menjadi ketakutan dan tidak lagi berniat melawan kehendak mereka."

   Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya.

   "Kenapa mereka tidak langsung saja menduduki padukuhan induk malam ini ?"

   "Merekapun tentu belum bersiap sepenuhnya. Mereka baru dapat memamerkan sekelompok orang-orang berkuda. Tetapi mereka tentu belum mempersiapkan perbekalan, kelompok-kelompok yang akan menduduki padukuhan induk, karena dengan demikian padukuhan-padukuhan yang lainpun tentu akan segera bergerak pula."

   "Ya. Tentu persiapan mereka juga belum masak. Jika hal ini dilakukan, agaknya mereka hanya ingin menyembunyikan kekalahan empat orang diantara mereka, justru termasuk Ki Jagabaya siang tadi."

   Pembicaraan merekapun terhenti. Mereka melihat Ki Bekel dan seorang anak muda memasuki regol halaman banjar itu.

   "Kalian tidak apa-apa ?"

   Bertanya Ki Bekel.

   "Tidak Ki Bekel. Kami baik-baik saja,"

   Jawab Glagah Putih sambil bangkit berdiri. Rara Wulanpun segera berdiri pula.

   "Aku mencemaskan kalian berdua. Aku kira kedatangan mereka ada hubungannya dengan usaha mereka menangkap kalian berdua."

   "Tidak, Ki Bekel. Agaknya mereka tidak tahu bahwa kami berdua berada disini. Jika mereka tahu. mungkin mereka akan berusaha menangkap kami."

   "Marilah, duduklah,"

   Berkata Ki Bekel sambil naik ke pendapa banjar itu.

   Namun demikian mereka duduk, maka Ki Jagabayapun telah datang pula ke banjar.

   Demikian pula para bebahu yang lain.

   Beberapa lama merekapun berbincang mengenai sekelompok orang-orang berkuda yang telah memasuki padukuhan Wijil, serta telah memancing ketegangan.

   Mereka telah memamerkan kekuatan serta ketrampilan mereka menunggang kuda.

   Sekelompok-sekelompok mereka telah berputar-putar di halaman banjar, di halaman rumah Ki Bekel.

   Ki Jagabaya dan beberapa halaman lain yang luas.

   "Kita akan memberikan laporan kepada Ki Demang esok pagi,"

   Berkata Ki Bekel.

   "Ya,"

   Sahut Ki Jagabaya.

   "nampaknya mereka tidak hanya memasuki padukuhan ini. Tetapi mereka tentu juga memasuki beberapa padukuhan yang lain. Bahkan agaknya mereka juga sampai ke padukuhan induk."

   "Tetapi apa yang mereka lakukan itu dapat kita ambil manfaatnya,"

   Berkata Ki Jagabaya.

   "Manfaarapa ? "

   Bertanya Ki Kebayan.

   "Kita dapat mengatakan kepada rakyat kita, bahwa kita benar-benar harus mempersiapkan diri sebaik baiknya. Lawan yang akan kita hadapi adalah mereka yang telah memamerkan kekuatan mereka."

   "Bahkan kekuatan mereka tentu lebih dari yang mereka pamerkan itu,"

   Sahut Ki Bekel. Namun Ki Bekel itupun kemudian bertanya.

   "Tetapi darimanakah mereka mendapatkan kuda sebanyak itu ?"

   "Agaknya merekapun ingin mengatakan, bahwa empat ekor kuda mereka yang berada di sini itu tidak berarti apa-apa."

   "Agaknya kuda-kuda itu dapat dipinjamnya dari gerombolan di ujung hutan serta mengumpulkan semua kuda yang berada di Babadan dan Paliyan."

   "Apakah mungkin mereka mendapatkan sekian banyaknya."

   "Tetapi kenyataan itu tidak dapat kita pungkiri. Mereka memang dapat mengumpulkan kuda sekian banyaknya."

   Ki Bekel menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba saja iapun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "Bagaimana dengan Ki Sanak ? Apakah Ki Sanak tetap akan meninggalkan kademangan ini esok pagi?"

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya, Ki Bekel. Besok pagi-pagi kami akan berangkat ke Tanah Perdikan. Tetapi kami berjanji bahwa kami akan segera kembali."

   "Angger berdua,"

   Berkata Ki Bekel kemudian.

   "sebenarnyalah kami merasa cemas menghadapi kekuatan yang tersimpan di padukuhan Babadan. Mungkin kami dapat menghimpun orang yang jauh lebih banyak. Tetapi kami tidak mempunyai orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sedangkan kami tahu, bahwa di ujung hutan itu terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi. Mungkin sekali mereka akan ikut turun ke arena pertempuran jika masanya itu datang. Pada saat benar-benar terjadi benturan antara Babadan dengan padukuhan padukuhan lain di kademangan ini, beberapa orang berilmu tinggi akan berada didalam pasukan mereka."

   "Ki Bekel,"

   Berkata Glagah Putih kemudian.

   "aku tidak mengatakan bahwa aku memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi aku akan membantu sejauh dapat aku lakukan. Aku benar-benar akan segera kembali."

   "Mudah-mudahan angger berdua tidak terlambat."

   "Apakah Ki Bekel menduga, bahwa orang-orang Babadan itu akan bergerak esok pagi atau lusa?"

   "Agaknya memang belum, ngger. Tetapi tentu tidak terlalu lama lagi."

   "Aku berjanji Ki Bekel, bahwa aku akan segera kembali."

   "Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih, ngger."

   "Tetapi apakah Ki Bekel pernah mendengar nama pemimpin gerombolan yang berada di ujung hutan itu? Yang ternyata telah mengadakan hubungan secara pribadi dengari Nyi Demang?"

   "Orang menyebutnya Raden Panengah ? "

   "Raden Panengah?"

   "Ya. Ia senang disebut Raden Panengah. Ia merasa dirinya seperti Arjuna, panengah Pandawa."

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun iapun bertanya.

   "Apakah orangnya juga setampan Arjuna?"

   "Aku belum pernah melihatnya, ngger. Tetapi kata orang, ia memang seorang yang tampan. Seorang yang wajah dan tubuhnya seperti Arjuna, meskipun orang yang mengatakan itu juga belum pernah melihat Arjuna."

   Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Tetapi Ki Jagabaya kemudian berkata.

   "Yang menjadi pemimpin sekelompok orang yang bersarang di ujung hutan itu sebenarnya adalah ayah Raden Panengah itu. Tetapi ia lebih banyak mengembara daripada berada di sarangnya."

   "Apakah Ki Jagabaya pernah mendengar namanya?"

   "Ya. Aku pernah mendengar namanya."

   "Siapa?"

   "Aku tidak tahu, apakah nama itu namanya sendiri atau sekedar sebutan. Yang pernah aku dengar, orang menyebutnya Raden Mahambara."

   "Mahambara?"

   "Ya."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya.

   "Nama yang bagus. Jika saja orang-orang Tanah Perdikan Menoreh ada yang pernah mendengarnya."

   Demikianlah, maka mereka yang berada di banjar itu tidak lagi sempat untuk beristirahat.

   Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya.

   Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergantian pergi ke pakiwan.

   Ki Bekel yang sangat berharap agar Glagah Putih dan Rara Wulan itu benar-benar kembali ke kademangan Prancak telah menawarkan untuk meminjamkan dua ekor kuda.

   "Kuda-kuda itu adalah kuda kami sendiri, ngger."

   Berkata Ki Bekel.

   "bukan kuda orang-orang Babadan."

   Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Mereka sudah menyatakan tidak bersedia membawa kuda-kuda yang mereka rampas dari orang-orang Babadan.

   "Kuda-kuda itu akan selalu memperingatkan angger berdua untuk segera kembali ke kademangan ini."

   Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak. Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata.

   "Baiklah. Ki Bekel. Kami akan meminjam dua ekor kuda. Aku benar benar berniat untuk segera kembali ke kademangan Prancak. khususnya padukuhan Wijil."

   "Terima kasih, ngger. Terima kasih"

   Ketika langit menjadi merah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera minta diri.

   Namun Ki Bekel minta mereka singgah di rumahnya untuk makan pagi sebelum mereka menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.

   Menjelang matahari terbit, maka kedua orang itupun telah meninggalkan padukuhan Wijil.

   Mereka melarikan kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

   Berkuda mereka berharap bahwa sebelum matahari terbenam, mereka telah berada di Tanah Perdikan Menoreh.

   "Kuda ini telah mengikat kita untuk segera kembali, kakang,"

   Berkata Rara Wulan.

   "Ya. Tetapi aku memang ingin tahu. apakah yang akan terjadi dengan kademangan Prancak. Agaknya menarik untuk diikuti."

   Rara Wulan mengangguk. Katanya.

   "Ya. Akupun ingin tahu pula. Namun agaknya Babadan mempunyai lebih banyak kemungkinan untuk menang jika terjadi benturan kekerasan. Orang-orang berkuda itu nampaknya orang-orang yang garang. Kebanyakan dari mereka tentu orang-orang di ujung hutan itu."

   "Menghadapi orang-orang berkuda itu kademangan Prancak memang akan mengalami kesulitan. Meskipun jumlah orang-orang sekademangan Prancak lebih banyak dari orang-orang Babadan, tetapi setiap orang dari ujung hutan itu akan dapat menghadapi empat atau lima orang sekaligus. Apalagi jika mereka tidak lagi terkendali. Korban di pihak kademangan Prancak tentu akan banyak sekali."

   "Kasihan Ki Demang."

   Keduanya terdiam sejenak.

   Kuda-kuda mereka berlari kencang di jalan yang datar.

   Namun ketika mereka melewati jalan yang rumit, maka gerak kuda merekapun menjadi sangat lamban.

   Sebenarnyalah mereka tidak menemui hambatan di sepanjang jalan.

   Ketika matahari sedikit melewati puncaknya, merekapun sempat berhenti.

   Selain untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat, maka mereka berduapun dapat beristirahat pula sambil minum dan makan.

   Seperti yang mereka harapkan, maka menjelang senja, mereka telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh.

   Rasa-rasanya udara di Tanah Perdikan itu terasa sangat sejuk.

   Angin semilir menyentuh wajah mereka yang baru saja menempuh perjalanan yang melelahkan meskipun mereka berada di punggung kuda.

   Sebagian dari jalan yang mereka lalui adalah jalan yang sulit, sehingga perjalanan mereka bergerak lamban sekali seperti seekor siput.

   Ketika senja turun, maka mereka telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

   Kedatangan mereka memang mengejutkan.

   Agung Sedayu yang sudah pulang dari barak Pasukan Khususnya, segera menyambut kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Sementara Sekar Mirah yang sedang berada di dapurpun berlari-lari ke pendapa.

   "Benar anak-anak itu pulang?"

   "Ya,"

   Sukra yang menjawab.

   "mereka telah pulang. Bahkan berkuda."

   Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun menyambut keduanya dengan wajah yang berbinar. Rara Wulan mendekap Sekar Mirah seakan-akan tidak mau melepaskannya lagi.

   "Marilah,"

   Berkata Agung Sedayu kemudian.

   "masuklah."

   Glagah Putihpun kemudian menyerahkan kudanya serta kuda Rara Wulan kepada Sukra yang juga menyambut mereka di halaman.

   "Kuda siapa yang kakang bawa ini.

   Bertanya Sukra.

   "Kau tidak menanyakan keselamatan kami di perjalanan, tetapi yang pertama kau tanyakan adanya kuda-kuda ini,"

   Sahut Glagah Putih.

   "Jika kakang sudah berada di sini, bukankah itu berarti bahwa kalian sudah selamat sampai ke tujuan."

   "Kau tidak bertanya apakah kami tidak dikejar hantu."

   Sukra itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum. Glagah Putihpun kemudian menepuk bahunya sambil bertanya.

   "Kau sudah bisa apa sekarang, Sukra ?"

   Jawab Sukra sambil tertawa.

   "Merangkak."

   Glagah Putih mengguncang tengkuk Sukra sambil tertawa. Katanya.

   "Kau bertambah liar sekarang."

   Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan itupun naik ke pendapa. Mereka langsung pergi ke ruang dalam. Setelah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Agung Sedayupun berkata.

   "Kalian tentu letih. Aku dapat melihat pada wajah kalian yang menjadi kehitam-hitaman di bakar teriknya matahari. Malam tadi kalian berada di mana ?"

   "Kami berada di kademangan Prancak, kakang. Kademangan yang bersebelahan dengan kademangan Payaman."

   "O,"

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   "perjalanan yang kalian tempuh hari ini cukup panjang. Agaknya kalian juga melewati jalan-jalan yang rumit, sehingga perjalanan kalian menjadi sangat lambat."

   "Ya, kakang. Tetapi sebenarnya kami tidak terlalu lelah. Mungkin panas matahari telah membakar kulit kami. Tetapi setelah mandi dan berbenah diri, kami akan menjadi segar kembali."

   "Mandi, berbenah diri, lalu minum dan makan,"

   Sahut Sekar Mirah. Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.

   "Nanti setelah kalian menjadi segar kembali, kami akan mendengar ceritera kalian."

   Namun Glagah Putihpun kemudian bertanya.

   "Dimana Ki Jayaraga pada saat seperti ini?"

   "Ada. Mungkin baru berada di pakiwan."

   Sebenarnyalah, sesaat kemudian, Ki Jayaragapun telah muncul di ruang tengah. Wajahnya nampak terang. Sambil tersenyum Ki Jayaragapun mencengkam kedua lengan Glagah Putih seperti tidak akan dilepaskannya kembali.

   "Kau nampak semakin tegar, Glagah Putih. Ada sesuatu yang baru pada kalian berdua. Aku melihat cahaya yang terang di mata kalian berdua."

   "Perjalanan yang baru saja aku jalani, memberikan banyak pengalaman yang sangat berarti bagi kami, Ki Jayaraga."

   "Ya. Semuanya itu aku dapat melihatnya di sorot mata kalian."

   "Ada apa di sorot mata kami ?"

   "Teja. Aku melihatnya,"

   Namun kemudian sambil tertawa Ki Jayaraga itupun berkata.

   "Bukankah kalian akan ke pakiwan ?"

   Namun Sekar Mirahpun berkata.

   "Minumlah dahulu. Minuman yang sudah dingin. Kalian tentu haus. Nanti, setelah mandi akan disediakan minuman hangat."

   Glagah Putih dan Rara Wulan memang haus.

   Demikianlah, maka bergantian mereka pergi ke pakiwan.

   Sementara itu Sekar Mirah dan Sukra sibuk di dapur menyiapkan minuman hangat serta makan malam.

   Isi rumah mereka bertambah dengan dua orang yang telah beberapa lama meninggalkan Tanah Perdikan.

   Setelah mandi dan berbenah diri, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di ruang dalam bersama Ki Jayaraga.

   Sementara itu Sukrapun telah menghidangkan minuman hangat sekaligus makan malam yang sudah disiapkan oleh Sekar Mirah.

   Sambil makan malam, tanpa diminta, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mulai menceriterakan pengalaman perjalanannya memburu tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang.

   Ada beberapa peristiwa yang sangat menarik perhatian mereka yang mendengarkan ceritera Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Pengalaman mereka menemukan dua dunia yang sangat berbeda, bahkan berlawanan di bumi yang sama, sangat menyentuh perasaan mereka.

   Tenggang waktu yang sangat pendek itu tidak akan mungkin merubah segala-galanya, bahkan watak dari kehidupan.

   "Kita memerlukan waktu khusus untuk berbicara tentang dua duniamu itu Glagah Putih dan Rara Wulan."

   "Ya. kakang. Tetapi diantara yang mengawang itu. ada yang dapat aku sentuh dengan nyata."

   "Apa itu ?"

   "Kitab. Sebuah kitab yang oleh Ki Namaskara di pesankan, agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Apalagi orang yang tidak diketahui watak dan tabiatnya."

   "Kitab itu ada pada kalian berdua ?"

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya.

   "Kau harus memenuhi pesan itu. Jaga agar kitab itu tidak jatuh ke tangan orang lain."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk. Sementara Ki Jayaragapun berkata.

   "Nah, sekarang aku dapat menghubungkan antara kitab itu dengan apa yang baru pada kalian berdua."

   Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk lagi.

   "Ada laku yang harus kalian jalani?"

   "Ya. Ki Jayaraga,"

   Jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.

   "Sudah kalian jalani dengan tuntas?"

   "Ya. Kami sudah mencoba menjalaninya dengan tuntas."

   "Bagus. Aku yakin, bahwa kalian telah menemukan kelengkapan bekal bagi masa depan kalian. Tetapi dengan demikian kewajiban kalian pun menjadi lebih berat. Kalian adalah bagian, meskipun sekecil apapun, dari kehidupan yang isinya beraneka ragam ini. Karena itu. maka kalian harus menempatkan diri di tempat yang terbaik untuk ikut menyangga keseimbangan kehidupan ini. Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, agaknya Ki Jayaragapun menganggap bahwa diperlukan kesempatan lain untuk berbicara secara khusus tentang pertemuan Glagah Putih dan Rara Wulan dengan orang yang menyebut dirinya Ki Namaskara itu. Yang kemudian mereka bicarakan adalah laporan Glagah Putih dan Rara Wulan tentang sebuah kademangan yang menilik kehidupan penghuninya sehari-hari termasuk kademangan yang aman dan tenang. Tetapi ternyata bahwa dihawali permukaan terdapat gejolak yang hesar. Nampaknya para pedagang gelap itu ingin memanfaatkan lingkungan yang tenang dan aman itu untuk saling berhubungan. Gejolak dibawah permukaan ini nampaknya masih luput dari penglihatan para bebahu di Seca. Sementara itu, para bebahu telah berhubungan dengan pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati, Ki Saba Lintang. Glagah Putih dan Rara Wulan telah menceritakan pula apa yang telah mereka lakukan dalam usaha mereka mendapatkan tongkat baja putih itu. Tetapi mereka telah gagal. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia dapat membayangkan apa saja yang telah dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun mereka masih belum berhasil.

   "Satu usaha memang menghadapi dua kemungkinan itu Glagah Putih dan Rara Wulan. Berhasil atau tidak berhasil. Yang berhasilpun masih harus dinilai, seberapa kadar keberhasilannya itu."

   "Dalam benturan kekerasan itu telah jatuh banyak korban yang ternyata sia-sia, kakang."

   "Tidak. Jangan anggap korban itu sia-sia."

   "Meskipun mereka sekelompok pedagang gelap yang sangat merugikan, tetapi rasa-rasanya aku telah dengan sengaja mengorbankan mereka untuk kepentinganku. Namun ternyata juga tidak menghasilkan apa-apa."

   "Yang terjadi adalah satu kecelakaan. Glagah Putih. Tetapi seseorang yang tidak pernah berusaha, ia tidak akan pernah menghasilkan apa-apa."

   Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Namun pembicaraan merekapun akhirnya sampai ke kademangan Prancak. Agaknya untuk sementara Agung Sedayu sengaja menyisihkan persoalan-persoalan yang masih perlu mendapat pembicaraan tersendiri.

   "Kita akan melaporkan perkembangan perguruan Kedung Jati itu ke Mataram,"

   Berkata Agung Sedayu kemudian.

   "besok atau lusa kita akan pergi ke Mataram."

   "Ya, kakang. Tetapi tidak besok atau lusa."

   "Kenapa ?"

   Glagah Putih memang nampak ragu-ragu. Tetapi kemudian iapun berkata.

   "Bagaimana dengan kademangan Prancak itu. Aku berjanji untuk segera kembali. Kami berdua memang ingin menyaksikan akhir dari perselisihan yang terjadi di kademangan Prancak."

   "Kau memerlukan waktu yang cukup panjang, Glagah Putih."

   "Tidak akan terlalu panjang, kakang. Agaknya persoalannya sudah hampir sampai ke puncak. Orang-orang Babadan sudah memamerkan kekuatannya kepada orang-orang kademangan Prancak yang tinggal di padukuhan yang lain."

   "Kapan kau akan kembali ke Prancak?"

   "Kakang. Yang ada di belakang orang-orang Babadan itu adalah sekelompok perampok yang bersarang di ujung hutan yang menjorok tidak terlalu jauh dari Prancak."

   Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Jayaraga mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.

   "Agaknya kademangan Prancak akan mengalami kesulitan menghadapi para perampok itu. Apalagi diantara para perampok itu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi, yang tidak akan dapat diimbangi oleh orang-orang kademangan Prancak. Bahkan jika mereka melawan dalam kelompok-kelompokpun mereka akan mengalami kesulitan karena para perampok itu adalah orang-orang tangkas dan berpengalaman mempergunakan senjatanya."

   "Lalu?"

   "Mereka berharap kami berdua segera kembali untuk membantu mereka. Mereka menganggap kami berdua berilmu tinggi, karena kami mampu melepaskan diri kami dari tangan ampat orang Babadan yang sebenarnya berasal dari hutan itu."

   "Apakah kalian berdua saja akan mempunyai pengaruh yang besar pada keseimbangan kekuatan di Prancak?"

   "Setidak-tidaknya kami berdua dapat menghadapi dua diantara mereka yang berilmu tinggi dan antara orang-orang yang berasal dari ujung hutan itu."

   Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata.

   "Mungkin kalian dapat mengikat dua orang diantara mereka. Tetapi bagaimana dengan yang lain ? Kalau ada dua orang lagi diantara para perampok itu memiliki ilmu yang tinggi disamping orang-orang mereka yang garang dan barangkali juga liar dan buas, apakah kalian akan menjadi sangat berarti ?"

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya.

   "Mungkin kami memang tidak akan sangat berarti."

   "Kalian harus mempertimbangkan lebih jauh."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata.

   "Apakah kakang mempunyai wewenang untuk menangani gerombolan perampok yang berada di Prancak dekat Payaman itu ?"

   Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil.

   Sejenak ia berdiam diri.

   Sementara itu.

   merekapun telah selesai makan, malam.

   Dengan tidak terasa, maka mereka bersama-sama sudah menghabiskan seceting nasi yang masih hangat.

   Tetapi Sekar Mirah tidak segera memanggil Sukra untuk menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang kotor.

   Setelah mencuci tangan mereka maka mereka yang berada di ruang dalam itu masih saja berbincang.

   "Glagah Putih,"

   Berkata Agung Sedayu kemudian.

   "aku mengerti arah pembicaraanmu. Kau akan menolong orang-orang kademangan Prancak itu dan membebaskan mereka dari pengaruh buruk gerombolan perampok itu."

   Glagah Putih menarik nafas panjang. Agung Sedayu justru tersenyum sambil berkata.

   "Tetapi pendapatmu itu dapat juga dipertimbangkan. Dapat saja kami memburu perampok yang mengganggu Tanah Perdikan Menoreh ini sampai kemanapun asal tidak memasuki wilayah kadipaten yang mempunyai pemerintahan sendiri atas nama Mataram."

   "Jadi kakang dapat membawa sekelompok prajurit sampai ke Prancak ?"

   Agung Sedayu bahkan tertawa. Katanya.

   "Prancak tidak terlalu jauh. Prancak dapat dicapai dalam sehari lebih sedikit."

   "Dalam sehari kakang. Jika kami juga berkuda sehari dari Prancak. karena kami masih harus menemukan jalan yang harus kami lalui. Kamipun kadang-kadang melalui jalan yang sangat sulit untuk dilalui. Kuda-kuda kami harus kami tuntun dengan sangat berhati-hati. Tetapi jika sejak awal kami berjalan kaki. maka bedanya tidak akan terlalu banyak."

   "Ada orang-orang kami yang sudah mengenal jalan ke Prancak. Jalan yang tidak usah melewati jalan-jalan yang rumit, meskipun kadang-kadang juga harus melewati jalan setapak untuk mendapatkan jarak yang sependek-pendeknya."

   "Jika demikian, apakah kakang dapat juga membantu orang-orang Prancak. meskipun alasannya untuk memburu sekelompok gerombolan perampok yang telah mengganggu ketenangan hidup rakyat Tanah Perdikan Menoreh?"

   Agung Sedayu masih saja tertawa. Katanya.

   "Glagah Putih. Apakah kau sudah tahu. persoalan apakah yang sebenarnya telah terjadi di kademangan Prancak?"

   "Aku sudah mendengar ceritera beberapa orang kakang. Tetapi yang aku ketahui dengan pasti, bahwa segerombolan perampok telah berdiri di belakang orang-orang Babadan. Aku justru tanpa sengaja melewati daerah yang dianggap wilayah kekuasaan para perampok itu. Aku melihat jejak kaki kuda yang hilir mudik dari ujung hutan itu ke padukuhan Babadan. Lebih daripada itu. menurut Ki Demang Prancak ada hubungan khusus antara ibu tirinya dengan pemimpin gerombolan perampok yang menyehut dirinya Raden Panengah itu."

   "Raden Panengah ?"

   "Ya. Raden Panengah. Tetapi sebenarnya ayahnyalah pemimpin yang sebenarnya dari gerombolan itu. Tetapi ayahnya lebih banyak meninggalkan sarangnya."

   "Siapa nama ayahnya ?"

   "Orang menyebutnya Raden Mahambara."

   "Mahambara ? Jadi gerombolan itu gerombolan yang dipimpin oleh Mahambara ? "

   Bertanya Ki Jayaraga.

   "Ya."

   "Orang yang disebut Raden Mahambara itu tentu sudah tua."

   "Agaknya memang demikian,"

   Sahut Glagah Putih.

   "jika Nyi Demang yang muda itu yang sudah mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah menjadi Bekel di Babadan, berhubungan akrab dengan Raden Panengah, anak Ki Mahambara, maka dapat diperkirakan bahwa Raden Mahambara itu sudah tua."

   "Aku mengenal orang itu, Glagah Putih."

   "Ki Jayaraga mengenalnya ? "

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Ya, aku mengenalnya. Mahambarapun mengenal aku. Jika kami bertemu, maka kami tidak akan saling melupakan."

   "Baiklah,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "besok aku akan mempersiapkan sekelompok prajuritku untuk memburu gerombolan perampok yang bersembunyi di ujung hutan yang tidak terlalu jauh dari kademangan Prancak."

   "Tetapi gerombolan Mahambara memang sebuah gerombolan yang berbahaya. Jika sampai sekarang ia masih memimpin sebuah gerombolan itu berarti bahwa ia mampu menyusup disela-sela kekuasaan Jipang, Pajang, Demak dan Mataram."

   "Jika demikian, maka sebaiknya kakang Agung Sedayu turun tangan,"

   Berkata Glagah Putih. Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Rara Wulanpun tertawa. Akhirnya Glagah Putihpun tertawa pula. Namun Rara Wulanpun kemudian berkata.

   "Jika Ki Jayaraga mengenal orang yang menyebut dirinya Mahambara, sebaiknya Ki Jayaraga ikut bersama kami untuk mengunjungi kenalan lamanya itu."

   Semuanya tertawa semakin berkepanjangan. Ki Jayaragapun kemudian menjawab.

   "Tentu aku tidak berkeberatan. Rara. Jika aku diijinkan, maka aku memang ingin ikut bertamasya ke Prancak menemui orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara. Seorang petualang yang berkeliaran di pesisir Utara. Namun agaknya ia mulai merambah ke Selatan. Sekarang orang-orangnya berada di Prancak dan berhasil memecah kesatuan sebuah kademangan. Orang itu tentu akan menjadikan kademangan itu landasan geraknya ke Selatan."

   "Apakah ia tidak akan menyaingi gerak perguruan Kedung Jati yang sedang berusaha untuk bangkit ?"

   "Mungkin terjadi persaingan di antara mereka. Tetapi perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang jauh lebih besar dari gerombolan Raden Mahambara. Sasarannyapun berbeda. Agaknya Kedung Jati lebih membidik kekuasaan di daerah tertentu. Misalnya bekas Kadipaten Jipang. Namun yang kemudian akan dikembangkan, sehingga akhirnya mereka merasa kokoh untuk berhadapan dengan Mataram. Sedangkan orang yang menyebut dirinya Mahambara itu adalah sebuah gerombolan perampok yang ingin mendapatkan uang dan harta benda dengan cepat. Merampok. Siapapun yang dirampok,"

   Sahut Ki Jayaraga. Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Glagah Putihpun kemudian bertanya.

   "Apakah untuk pergi ke Prancak, kakang harus minta ijin ke Mataram ?"

   "Tidak.

   "Agung Sedayu menggeleng.

   "kami sedang menjalankan tugas sehari-hari. Tugas yang memang menjadi beban tugas kami, sehingga kami tidak perlu melapor lebih dahulu ke Mataram."

   "Jadi dengan demikian, bukankah kami dapat dengan cepat berangkat?"

   Agung Sedayu tersenyum. Katanya.

   "Ya. Malam ini aku akan pergi ke barak. Tetapi lebih dahulu, kita harus menghadap Ki Gede untuk memberitahukan kedatanganmu sekaligus minta diri lagi. Selain kalian berdua akupun harus minta diri."

   "Bukankah aku juga ?"

   Bertanya Sekar Mirah.

   "Tamasya yang menarik,"

   Sahut Ki Jayaraga.

   "kita pergi bersama-sama."

   Demikianlah maka merekapun telah sepakat untuk pergi ke Prancak di keesokan harinya dengan membawa sekelompok prajurit.

   Karena itu, maka merekapun harus segera mulai mempersiapkan diri.

   Yang mula-mula akan mereka lakukan adalah menghadap Ki Gede untuk minta diri.

   Ki Gede memang terkejut ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih datang menghadap pada saat malam sudah menjadi semakin malam.

   "Kapan kau datang ngger ? "

   Bertanya Ki Gede.

   "Senja tadi, Ki Gede."

   "Kau dan isterimu ?"

   "Ya. Ki Gede."

   "Bukankah kalian baik-baik saja di perjalanan kalian selama ini?"

   "Ya. Ki Gede. Kami baik-baik saja sepanjang pengembaraan kami."

   "Sokurlah. Kalian berdua dapat beristirahat sekarang. Tetapi apakah tugas yang kalian emban itu sudah berhasil ?"

   Glagah Putih menggeleng sambil menjawab.

   "Belum Ki Gede. Kami masih harus bekerja keras."

   "Para pemimpin di Mataram menyadari, ngger. Karena itu, mereka tidak memberikan batas waktu kepada kalian."

   "Ya, Ki Gede."

   Namun Agung Sedayupun kemudian berkata.

   "Tetapi mereka berdua masih belum dapat beristirahat saat ini Ki Gede."

   "Kenapa ?"

   Agung Sedayupun segera menceriterakan dengan singkat tentang para perampok di ujung-hutan dekat kademangan Prancak."

   "Jadi angger Glagah Putih akan berangkat lagi ke Prancak esok ?"

   "Ya, Ki Gede. Mudah-mudahan kami tidak terlambat."

   "Hati-hatilah ngger. Aku belum pernah mengenal orang yang bernama Raden Mahambara. Tetapi bahwa ia telah mempergunakan nama itu, tentu ia mempunyai keyakinan yang sangat besar tentang dirinya sendiri. Agaknya anaknya yang lebih senang disebut Raden Panengah adalah anak yang manja dan bahkan sedikit cengeng. Tetapi mungkin saja kedua-duanya memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga gerombolan mereka dapat bertahan untuk waktu yang panjang."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Itulah sebabnya maka kami merasa perlu untuk minta bantuan kakang Agung Sedayu. Gerombolan itu sudah berhasil memecah keutuhan kademangan Prancak. Jika tidak ditindak sampai tuntas, maka gerombolan itu akan menjadi semakin berbahaya. Sisanya akan dapat berbuat apa saja di luar dugaan."

   "Baiklah ngger. Mudah-mudahan kalian berhasil."

   "Besok aku akan membawa sebagian dari prajurit-prajuritku. Jika ada sesuatu yang penting. Ki Gede dapat menghubungi Ki Lurah Surakerti. Aku akan menyerahkan kepemimpinan barak itu kepada Ki Lurah Surakerti."

   "Baik. baik. ngger. Mudah-mudahan di Tanah Perdikan tidak terjadi apa-apa. Selama ini Tanah ini terasa tenang-tenang saja."

   Kami berdua akan pergi bersama Sekar Mirah, Rara Wulan dan Ki Jayaraga, Ki Gede. Tetapi kami tidak akan lama. Mungkin sepekan atau dua pekan saja,"

   Berkata Agung Sedayu kemudian.

   "Baiklah, ngger. Semoga kalian berhasil menyatukan kembali kademangan yang telah terbelah itu."

   Demikianlah, keduanyapun kemudian minta diri.

   Mereka akan berangkat esok pagi-pagi sekali.

   Malam itu juga Agung Seayu dan Glagah Putih telah pergi ke barak prajurit Mataram dari pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Agung Sedayu.

   Disiapkannya sekelompok prajurit terbaik untuk memburu gerombolan perampok yang dipimpin oleh Raden Mahambara serta anaknya, Raden Panengah.

   Lebih dari itu, mereka berharap bahwa dengan demikian mereka akan dapat mempersatukan kembali kademangan Prancak.

   "Besok pagi-pagi sekali kita berangkat. Kita tidak akan terlalu lama,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada prajurit-prajuritnya yang dipilihnya untuk menyertainya. Kepada Ki Lurah Surakerti Agung Sedayupun telah menyerahkan kepemimpinan di barak itu.

   "Setiap kali hubungi Ki Gede. Bukan apa-apa, hanya sekedar untuk menyatakan kesiagaan kita untuk bergerak setiap saat."

   "Baik Ki Lurah,"

   Sahut Ki Lurah Surakerti. Kepada para prajurit yang akan dibawanya ke Prancak. Agung Sedayu berkata.

   "Kalian masih sempat beristirahat. Besok pada saat fajar menyingsing, kami yang akan pergi bersama kalian, sudah akan berada disini."

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini