Api Di Bukit Menoreh 22
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 22
Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja
Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja
Demikianlah, malam itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih sendiri hanya sempat beristirahat beberapa saat.
Namun mereka berdua sempat juga tidur menjelang dini.
Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, muka pada saat fajar menyingsing ia sudah berada di barak bersama Glagah Putih.
Ki Jayaraga, Sekar Murah dan Rara Wulan.
Pada saat langit menjadi merah kekuning-kuningan, maka sekelompok prajurit itupun telah meninggalkan barak.
Agung Sedayu berharap bahwa mereka akan memasuki kademangan Prancak di malam hari, agar kedatangannya tidak diketuhui oleh banyak orang.
Berbeda dengan perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan yang memerlukan waktu terlalu lama meskipun mereka berkuda, iring-iringan itu menempuh jalan yang terasa lebih cepat.
Iring iringan itu dengan penunjuk jalan yang sudah tahu benar lingkungan yang akan dituju, dapat memilih jalan yang terdekat dan tidak terlalu sulit dilalui.
Meskipun demikian, mereka akan menempuh perjalanan sehari penuh.
Dengan sekali beristirahat, maka sekelompok prajurit itu mendekati kademangan Prancak pada saat matahari telah terbenam.
Agung Sedayupun kemudian menghentikan pasukannya.
Ia minta Glagah Putih dan Rara Wulan mendahului ke padukuhan Wijil untuk mengembalikan dua ekor kuda yang telah mereka pinjam serta memberitahukan, bahwa mereka datang tidak hanya berdua.
"Baik. kakang,"
Jawab Glagah Putih.
Demikianlah maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera melarikan kuda mereka menuju ke padukuhan Wijil yang terletak di tengah-tengah kademangan Prancak tidak jauh dari padukuhan induk kademangan.
Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengejutkan Ki Bekel dan keluarganya.
Dengan serta merta Ki Bekelpun mempersilahkan keduanya naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan.
"Begitu cepat, angger datang kembali,"
Desis Ki Bekel.
"Dalam dua hari ini aku berada di perjalanan. Ki Bekel. Kemarin aku pergi ke Tanah Perdikan. Meskipun kami berkuda, tetapi kami sampai di Tanah Perdikan Menoreh menjelang senja. Hari ini kami menempuh perjalanan kembali ke kademangan Prancak. Kami sampai di kademangan ini setelah matahari terbenam."
"Apakah angger berdua telah menemui Ki Demang ?"
"Belum. Kami berdua langsung kemari untuk mengembalikan dua ekor kuda yang kami bawa."
"Ah, yang penting bukan mengembalikan dua ekor kuda. Yang penting bagi kami adalah keberadaan angger berdua di kademangan ini."
"Apakah ada gerakan-gerakan baru ?"
Bertanya Glagah Putih.
"Ya. Siang tadi mereka kembali memasuki wilayah di seberang susukan ini. Jumlah mereka ternyata banyak sekali."
"Berkuda ?"
"Sebagian. Yang lain berlari-lari. Mereka tidak masuk terlalu dalam. Tetapi mereka sempat melewati padukuhan Wijil. Mereka berputar-putar sambil menakut-nakuti orang Wijil. Kemudian mereka meninggalkan padukuhan ini setelah mereka memukuli tiga orang anak muda yang kebetulan akan pergi ke sawah."
"Ada padukuhan lain yang dimasukinya ?"
"Ada. Dua padukuhan. Tetapi mereka tidak ke padukuhan induk. Itu satu kebetulan bagi kami."
"Kenapa ?"
"Padukuhan induk sudah mulai mempersiapkan diri. Tetapi belum mapan benar. Jika orang-orang itu melewati padukuhan induk, mungkin sekali anak-anak padukuhan induk akan memberikan perlawanan, sehingga akan terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Sementara padukuhan-padukuhan lain masih belum siap benar untuk memberikan bantuan."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata.
"Besok segala sesuatunya harus sudah siap. Jika kami harus bertempur, maka kami akan bertempur."
"Jika malam ini mereka kembali?"
"Kami sudah sepakat, jika malam ini mereka kembali. Kami tidak akan menanggapinya. Tetapi besok pagi, kami semuanya sudah akan bersiap di beberapa tempat di padukuhan ini. Kami sudah mengatur isyarat diantara padukuhan-padukuhan, sehingga kami akan dapat saling membantu."
"Bagaimana dengan padukuhan Karang Lor dan Karang Wetan?"
"Mereka masih bimbang. Tetapi sampai besok, mereka tentu masih belum siap."
"Dimana anak-anak muda malam ini? Apakah mereka berkumpul di banjar atau di rumah Ki Bekel atau di mana?"
"Mereka berada di rumah masing-masing. Malam ini kami belum akan berbuat apa-apa. Seperti aku katakan tadi, jika mereka datang malam ini, biarlah mereka lewat. Kami tidak akan mengganggu. Tetapi jika itu terjadi besok, maka kami tidak akan membiarkan mereka menakut-nakuti kami lagi."
"Bukankah jumlah mereka banyak sekali. Apalagi sebagian dari mereka adalah orang-orang yang memang hidupnya bergelimang darah."
Ki Bekel menarik nafas panjang. Katanya.
"Sebenarnyalah kami memang menjadi cemas. Tetapi kami tidak dapat membiarkan diri kami menjadi sasaran olok-olok mereka. Seakan-akan kami sama sekali tidak berdaya."
"Jika terjadi benturan kekerasan, apakah itu tidak berarti bahwa korban akan berjatuhan? Terutama orang-orang Prancak di sebelah susukan ini, karena harus melawan segerombolan perampok yang besar ditambah lagi orang-orang dari tiga padukuhan besar yang sedang dibuai mimpi buruk itu?"
"Apa boleh buat. Kami tidak mempunyai pilihan. Tetapi kami masih meyakini tekad kami untuk menegakkan tatanan di kademangan ini, sehingga kami tidak akan menjadi gentar melawan apapun juga. Termasuk para perampok itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Sambil berpaling kepada Rara Wulan Glagah Putihpun berkata.
"Apakah Ki Bekel bersedia pergi ke kademangan malam ini?"
"Ada apa ngger?"
"Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan Ki Bekel. Tetapi kami berharap bahwa Ki Bekel bersedia pergi menghadap Ki Demang malam ini."
Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia-pun bertanya.
"Ada apa sebenarnya ngger?"
"Aku membawa berita yang barangkali dapat membuat Ki Demang dan para Bekel menjadi sedikit tenang."
"Berita apa ngger?"
"Tetapi bukankah Ki Bekel bersedia menghadap Ki Demang malam ini?"
"Jika hal itu akan memberikan kemungkinan yang lebih baik bagi kademangan ini, aku tentu bersedia."
"Ki Bekel. Aku datang bersama sekelompok prajurit Mataram."
"Sekelompok prajurit? Benar begitu?"
"Ya. Sekelompok prajurit yang mendapat tugas untuk menangkap para perampok yang berada di ujung hutan."
"Jadi, sekelompok prajurit itu akan berada di kademangan ini untuk bersama-sama melawan orang-orang Babadan yang dibantu oleh para perampok itu? "
"Kita akan membicarakannya. Karena itu, aku minta Ki Bekel bersedia menemui Ki Demang."
Beberapa saat kemudian, Ki Bekelpun sudah siap.
Ki Jagabayapun sudah datang pula di rumah ki Bekel, sehingga mereka bersama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan pergi ke rumah Ki Demang berkuda.
Derap kaki kuda mereka memecahkan sunyinya bulak panjang.
Angin yang dingin bertiup mengusap wajah-wajah mereka yang bergerak dengan cepat menuju ke padukuhan induk.
Ki Demang yang belum tidur, terkejut mendengar derap kaki kuda yang berhenti di depan regol halaman rumahnya.
Dengan hati-hati Ki Demang justru keluar dari rumahnya lewat pintu butulan.
Beberapa saat Ki Demang berdiri di belakang pintu seketeng yang sedikit renggang.
Dengan jantung yang berdebaran Ki Demang memperhatikan pintu regol yang didorong dari luar.
Ampat orang menuntun kudanya memasuki halaman rumahnya itu.
Namun kemudian Ki Demang itupun menarik nafas panjang.
Dari belakang pintu seketeng yang sedikit terbuka, Ki Demang melihat Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil serta dua orang suami isteri yang kemarin telah datang kepadanya.
Cahaya lampu pendapa rumah Ki Demang itu telah menerangi wajah-wajah mereka.
Ki Demang kemudian masuk kembali ke rumahnya lewat pintu butulan.
Ia menunggu tamu-tamunya mengetuk pintu pringgitan.
Baru Ki Demang itu membuka pintunya.
"Silahkan. Silahkan duduk."
Keempat orang tamu itupun kemudian duduk di pringgitan ditemui oleh Ki Demang yang berdebar-debar. Setelah mengucapkan selamat datang, maka Ki Demang itu kemudian bertanya.
"Kapan Ki Sanak berdua datang? Atau barangkali Ki Sanak berdua belum jadi meninggalkan padukuhan Wijil?"
"Sudah Ki Demang. Kemarin kami berdua telah meninggalkan padukuhan Wijil. Bahkan kami telah dipinjami dua ekor kuda oleh Ki Bekel, dengan janji, kuda itu akan segera kami kembalikan."
Ki Bekel tersenyum sambil menyahut.
"Yang penting bukan kudanya, Ki Demang. Yang penting angger berdua ini segera kembali ke kademangan Prancak."
Ki Demang tersenyum. Katanya.
"Ternyata Ki Sanak berdua juga menepati janjinya. Kalian segera berada di kademangan ini kembali."
"Ya. Ki Demang,"
Sahut Glagah Putih.
"bahkan kami tidak hanya berdua."
"Maksud Ki Sanak?"
Glagah Putih kemudian menceriterakan, bahwa ia datang dengan sekelompok prajurit Mataram dari Pasukan Khusus.
"Mereka mengemban tugas untuk menangani perampok yang berada di ujung hutan itu. Agaknya keberadaan mereka akan dapat mengancam ketenteraman hidup beberapa kademangan bahkan akan dapat menggapai Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin mereka tidak mengganggu kademangan-kademangan terdekat. Tetapi justru kademangan-kademangan yang jauhlah yang telah mereka sentuh."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya.
"Sekarang prajurit Mataram itu ada dimana?"
"Mereka berhenti beberapa puluh patok menjelang kademangan ini Ki Demang. Mereka berhenti di sebuah pategalan."
"Apakah mereka akan memasuki kademangan ini?"
"Jika Ki Demang mengijinkan. Kemudian Ki Demang dapat bertemu sendiri dengan Lurah prajurit itu."
"Siapakah yang memimpin prajurit Mataram itu?"
"Prajurit Mataram dari pasukan khusus itu dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu."
"Ki Lurah Agung Sedayu,"
Ki Demang terkejut.
"jadi Ki Lurah Agung Sedayu itu akan datang kemari?"
"Ya, kenapa? Apakah Ki Demang sudah mengenal Ki Lurah Agung Sedayu?"
"Belum Ki Sanak. Belum. Tetapi aku sudah mendengar namanya. Beruntunglah aku bahwa Ki Lurah Agung Sedayu bersedia datang ke kademangan ini."
"Baiklah Ki Demang. Ki Lurah Agung Sedayu datang bersama sekelompok prajuritnya dari Pasukan Khusus. Jika Ki Demang tidak berkeberatan menyediakan tempat bagi mereka."
"Biarlah mereka berada di banjar Ki Sanak Kami akan menyiapkan tempat itu."
"Silahkan Ki Demang. Sementara itu, biarlah kami berdua menghubungi Ki Lurah Agung Sedayu agar membawa pasukan kecilnya itu ke padukuhan induk ini."
Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan rumah ki Demang untuk menghubungi Agung Sedayu yang dengan pasukannya berhenti di pategalan.
Sementara itu, Ki Demang menjadi sibuk memanggil beberapa orang bebahu serta memerintahkan beberapa orang untuk membenahi banjar kademangan.
Menggelar tikar di pringgitan.
Membersihkan bilik-bilik gandok, di serambi samping dan belakang banjar.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menyongsong Agung Sedayu dan pasukannya Glagah Putih dan Rara Wulan telah melaporkan pertemuan mereka dengan Ki Bekel Wijil serta Ki Demang Prancak.
Dengan demikian, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah membawa pasukannya memasuki padukuhan induk kademangan Prancak.
Ki Demang dan para bebahu serta Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil menyambut kedatangan para prajurit Mataram dari pasukan khusus itu dengan gembira dan berpengharapan bahwa persoalan di kademangan-nya itu akan dapat diselesaikan dengan tuntas.
Para prajurit itu mendapat kesempatan untuk beristirahat serta berbenah diri setelah menempuh perjalanan yang panjang.
Namun mereka tidak boleh menjadi lengah.
Orang-orang Babadan yang didukung oleh para perampok yang tinggal di ujung hutan itu, akan dapat datang setiap saat seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Tiba-tiba saja mereka datang, berputar-putar untuk menakut-nakuti orang-orang Prancak, kemudian pergi lagi.
Beberapa orangpun telah ditempatkan di gerbang-gerbang padukuhan untuk mengawasi keadaan.
Sementara para prajurit itu beristirahat, maka beberapa orang perempuan yang telah diminta bantuannya, telah menjadi sibuk di dapur.
Mereka menyiapkan minuman dan makan seadanya bagi para prajurit yang telah menempuh perjalanan yang panjang.
Penunggu banjar itu, malam-malam telah memanjat pohon nangka untuk mengambil dua buah nangka muda yang terhitung besar.
Untunglah penunggu banjar itu masih mempunyai persediaan beberapa butir kelapa yang masih belum dikupas sabutnya.
Malam itu banjar kademangan Prancak telah menjadi sibuk.
Dalam pada itu, di pringgitan.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bertemu dan berbicara dengan Ki Demang dan para bebahu di Prancak, sedangkan Rara Wulan menemani Sekar Mirah di serambi samping banjar.
"Selamat datang, Ki Lurah. Aku tidak bermimpi bahwa aku akan dapat bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya.
"Terima kasih atas penerimaan yang akrab ini, Ki Demang."
"Keberadaan Ki Lurah di kademangan ini telah membangkitkan harapan kami, bahwa persoalan yang terjadi di kademangan ini akan dapat diselesaikan dengan tuntas serta berdasarkan atas tatanan dan paugeran yang berlaku. Tidak karena tekanan gerombolan perampok di ujung hutan."
"Ki Demang,"
Berkata Agung Sedayu kemudian.
"kami datang dengan mengemban tugas untuk mengambil langkah-langkah yang perlu menghadapi gerombolan penjahat yang bersarang diujung hutan itu."
"Tetapi tentu dalam kaitannya dengan dukungannya terhadap padukuhan Babadan."
"Memang ada kaitannya, Ki Demang. Tetapi yang akan kami tangani adalah para perampok di ujung hutan itu lebih dahulu."
Ki Demang dan para bebahu itu nampak termangu mangu. Hampir di luar sadarnya Ki Demangpun bertanya.
"Maksud Ki Lurah?"
"Aku sudah mendapat laporan, bahwa para perampok telah bekerjasama dengan orang-orang padukuhan Babadan untuk mengambil alih kekuasaan di kademangan Prancak Ternyata dukungan para penjahat itu telah menggetarkan hati orang-orang Prancak, sehingga mereka menjadi ragu-ragu untuk menegakkan tatanan dan paugeran,"
Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu katanya pula.
"Karena itu, maka kami datang mengatasi tingkah laku para perampok itu. Jika kami berhasil menguasai para perampok, maka rakyat kademangan Prancak akan dapat menyelesaikan persoalannya tanpa melibatkan pihak lain, dalam hal ini para perampok di ujung hutan."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya.
"Aku mengerti. Aku mengerti Ki Lurah. Mungkin pengertian kasarnya Ki Lurah akan menyerang dan menghancurkan sarang perampok itu. Dengan demikian para perampok yang berada di Babadan akan ditarik untuk mempertahankan sarang mereka. Dengan demikian maka Babadan harus bekerja sendiri tanpa bantuan para perampok itu. Dengan kata lain, kademangan Prancak akan menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa campur tangan orang lain."
"Kira-kira begitu, Ki Demang. Namun bukan berarti bahwa kami tidak akan membantu rakyat Prancak menyelesaikan masalahnya. Jika perlu kami akan menengahinya dan ikut bersaksi atas keinginan rakyat Prancak itu sendiri."
"Terima kasih, Ki Lurah. Terima kasih, satu penyelesaian yang baik sekali. Agaknya nama Ki Lurah yang besar itu bukan hanya sekedar nama. Ternyata Ki Lurah benar-benar telah mengambil jalan yang sangat bijaksana. Ki Lurah tidak secara langsung mencampuri persoalan yang bergejolak di kademangan Prancak. Tetapi Ki Lurah telah menghisap kekuatan dari ujung hutan itu agar tidak mencampuri persoalan yang sedang terjadi di kademangan ini. Mungkin Ki Sanak Glagah Putih telah memberikan laporan tentang perselisihan yang terjadi antara aku dan adikku seayah tetapi tidak seibu."
"Ya. Aku sudah mendengarnya. Karena itu, aku datang untuk menghentikan kegiatan para perampok itu. Dengan demikian mereka pun tidak akan mengganggu lagi usaha untuk mencari penyelesaian terbaik bagi rakyat Prancak."
Ki Demang itupun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba Ki Bekel Wijil itupun bertanya.
"Siapakah sebenarnya angger Glagah Putih itu. Apakah ada hubungannya dengan Ki Lurah Agung Sedayu? Atau angger Glagah Putih juga seorang prajurit ?"
"Ia bukan prajurit, Ki Bekel,"
Agung Sedayulah yang menyahut.
"Glagah Putih adalah adik sepupuku."
"O,"
Ki Bekel itupun mengangguk-angguk. Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata.
"Nah, Ki Demang. Esok menjelang fajar kami akan mendatangi sarang para perampok di ujung hutan. Kami belum berniat menyerang esok. Tetapi keberadaan kami di sekitar sarang para perampok itu, akan dapat menghisap para perampok yang sedang berada di Babadan. Kami berharap bahwa para perampok itu akan memusatkan segenap kekuatannya di sarangnya. Nah, jika kami berhasil menghancurkan mereka, maka mereka untuk selanjutnya tidak akan lagi mempengaruhi rakyat Babadan. Pada saat yang demikian, maka Ki Demang dapat memanggil Ki Bekel di Babadan itu untuk mencari jalan terbaik agar persoalan yang tumbuh di Kademangan Prancak ini dapat segera diselesakan dengan tuntas."
Ki Demang di Prancak itu mengangguk-angguk. Katanya.
"Ya, Aku mengerti."
Demikianlah, maka malam itu, para prajurit itupun beristirahat di banjar kademangan Prancak.
Menjelang fajar maka para prajurit itupun telah bersiap dan menuju ke ujung hutan.
Sementara itu, Ki Demangpun telah memerintahkan setiap padukuhan untuk semakin waspada menghadapi perkembangan keadaan."
Bersama para prajurit Mataram itu, ikut pula beberapa orang yang bukan prajurit.
Ki Jayaraga ada pula diantara mereka.
Ia berniat untuk menemui orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara.
Selain Ki Jayaraga adalah Sekar Merah, Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ketika matahari naik, maka pasukan Mataram itu sudah mendekati sarang para perampok di ujung hutan.
Pasukan Mataram itu sengaja menghindari jalan lewat padukuhan Babadan.
Sebelum mereka memasuki padang perdu yang ditandai oleh gerombolan di ujung hutan sebagai daerah kuasanya Glagah Putih sudah memberi peringatan, agar Ki Lurah Agung Sedayu menjadi sangat berhati-hati.
Serangan dapat saja datang dengan tiba-tiba dari balik gerumbul-gerumbul liar, dari balik pepohonan dan gumuk-gumuk kecil berbatu padas.
Namun pasukan Mataram itu sendiri tidak berniat datang dengan diam-diam.
Tetapi pasukan itu datang dengan segala pertanda kebesaran sebuah pasukan khusus.
Demikian mereka sampai ke ujung hutan, maka Agung Sedayupun segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk meneliti lingkungan yang mereka hadapi Prajurit Mataram dalam kelompok-kelompok kecil telah menyusup ke dalam hutan untuk menemukan lingkungan sarang perampok yang dipimpin oleh Raden Panengah atas nama ayahnya yang menyebut dirinya Raden Mahambara.
Para perampok itupun terkejut melihat keberadaan pasukan yang kuat disekitar sarang mereka.
Bahkan pasukan itu telah menempatkan kelompok-kelompok kecil, seakan-akan mengepung sarang mereka.
"Apa yang telah terjadi ?"
Bertanya seorang diantara para pengikut Raden Panengah itu kepada kawannya. Sebelum kawannya menjawab, seorang diantara mereka yang bertugas mengawasi lingkungan kekuasaan mereka telah datang dengan tergesa-gesa.
"sarang kita telah terkepung."
"Terkepung ?"
Bertanya kawannya.
"Ya. Aku harus melaporkannya kepada Raden Panengah."
"Raden Panengah berada di Babadan sekarang."
"Hubungi Raden Panengah."
"Laporkan saja lebih dahulu kepada Raden Mahambara yang saat ini sedang berada di bangunan induk tempat tinggal kita."
"Hubungi ke dua-duanya."
Sebenarnyalah, sejenak kemudian dua ekor kuda telah meluncur seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Pasukan Mataram yang mengepung sarang perampok di ujung hutan itu sengaja membiarkan kedua orang berkuda itu meninggalkan sarang mereka.
Keduanya tentu akan pergi ke padukuhan Babadan untuk melaporkan keberadaan para prajurit Mataram dan pasukan khusus di sekitar sarang mereka.
Dalam pada itu, beberapa orang prajurit telah menemukan pertanda-pertanda kekuasaan para perampok itu.
Mereka menemukan beberapa batang tombak yang tertancap di tanah dengan digantungi oleh berbagai macam benda-benda yang dapat membuai jantung berdetak lebih cepat.
Namun para prajurit telah diberi peringatan sebelumnya agar mereka tidak menyentuh berbagai macam benda yang mereka ketemukan di sekitar tempat itu.
Mungkin saja benda-benda itu telah dengan sengaja diberi racun atau bisa.
Bagi Agung Sedayu sendiri racun maupun bisa tidak menjadi masalah.
Meskipun demikian Agung Sedayu itu tetap saja berhati-hati.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun telah menebarkan pasukannya di sekitar sarang yang terdapat di ujung hutan itu.
Kelompok-kelompok kecil prajuritnya sebagian berada di padang perdu namun sebagian yang lain berada di dalam hutan, di belakang sarang para perampok itu.
Kehadiran prajurit Mataram itu telah menimbulkan kegelisahan di lingkungan para perampok itu.
Mereka tidak menduga bahwa tiba-tiba saja sepasukan prajurit Mataram mendatangi sarang mereka.
Ketika pemimpin gerombolan perampok yang terhitung mempunyai kekuatan yang besar itu mendengar laporan tentang keberadaan prajurit Mataram, iapun terkejut pula.
"Apakah kau tidak salah lihat, bahwa orang-orang itu prajurit Mataram."
"Mereka memang prajurit-prajurit Mataram, Ki Lurah. Ada beberapa diantara kami yang mengenal seragam prajurit-prajurit Mataram. Bahkan mereka telah membawa pula umbul-umbul dan kelebet yang mereka pasang di setiap kelompok pasukan mereka."
"Edan orang-orang Mataram. Mereka telah menempuh perjalanan jauh sampai ke tempat ini."
"Ya, Ki Lurah."
"Panengah ada di mana ?"
"Raden Panengah berada di Babadan."
"Panengahpun sudah menjadi gila pula. Ditungguinya janda Demang itu siang dan malam."
"Dua orang kawan kami sudah pergi ke Babadan."
"Apakah mereka dapat menembus kepungan ?"
"Kami mengenali lingkungan ini jauh lebih baik dari para prajurit itu, Ki Lurah."
"Bagus. Siapkan semua kekuatan yang ada pada kita. Panggil orang-orang kita yang berada di Babadan. Kita menghadapi ancaman yang jauh lebih berbahaya dari sekedar kekuatan orang-orang Prancak."
"Tentu orang Prancak pula yang memberikan laporan ke Mataram Ki Lurah."
"Prajurit-prajurit Mataram itu juga dungu. Kenapa mereka bersedia menempuh perjalanan demikian jauhnya ?"
Dalam pada itu Agung Sedayu telah memberikan perintah agar para prajurit tidak mengganggu lalu lintas keluar masuk sarang para perampok itu.
Ia berharap bahwa para perampok yang berada di Babadan-pun dapat terhisap masuk ke dalam sarang mereka.
Dalam pada itu, dua orang pengikut Raden Panengah telah memasuki padukuhan Babadan.
Merekapun segera mencari Raden Panengah untuk memberikan laporan tentang kedatangan sepasukan prajurit Mataram yang telah mengepung sarang mereka di ujung hutan.
"Apakah kau sedang berceloteh?"
"Tidak, Raden. Pengawas kami benar-benar telah melihat pasukan Mataram itu. Mereka tidak bermimpi."
"Gila orang-orang Mataram,"
Geram Raden Panengah.
"mereka tidak menyadari, apa yang telah mereka lakukan. Agaknya mereka telah memasuki sarang serigala yang sedang lapar."
Raden Panengahpun segera memerintahkan ormg-orangnya yang berada di Babadan untuk berkumpul.
Sebenarnya mereka sudah mempersiapkan diri malam nanti untuk menyeberangi susukan lagi.
Mereka berniat menakut-nakuti orang-orang Prancak di seberang susukan sehingga mereka akan tunduk dengan sendirinya terhadap keinginan Ki Bekel di Babadan, yang telah dikendalikan oleh Raden Panengah.
Tetapi kedatangan prajurit Mataram itu telah mengganggu rencananya.
"Prajurit Mataram itu tidak tahu, siapakah yang mereka hadapi. Mereka mengira bahwa kita adalah kumpulan pencuri jemuran atau sekelompok pencuri ayam di pinggir padukuhan."
"Kita akan menghancurkan mereka. Raden."
"Ajak Ki Rimuk dan Nyi Rimuk ke sarang. Untuk sementara Babadan dapat kita tinggalkan. Persoalan Babadan tidak harus diselesaikan segera. Tetapi orang-orang Mataram ini perlu dihadapi."
"Ya, Raden."
"Mereka tidak tahu bahwa ayah hari ini juga berada di sarang kita. Sepuluh orang Senapati Mataram akan ditelan oleh ayah. Sedangkan jika ada sepuluh yang lain, akan aku remukkan tulang-tulangnya dengan Aji Sapta Gundala."
"Raden,"
Berkata seorang pengikutnya.
"menurut pendengaranku, prajurit Mataram memiliki banyak senapati yang berilmu tinggi, sehingga sulit untuk dipatahkannya."
"Itu ceritera ngaya-wara. Mungkin ada satu dua orang senapati pinunjul. Tetapi jumlah mereka juga tidak banyak. Tentu bukan mereka pula yang dikirim kemari untuk menghadapi gerombolan yang tentu disebutnya brandal, kecu, begal dan sebangsanya. Tetapi aku tidak berkeberatan disebut gerombolan brandal, jika gerombolan brandal itu dapat menakut-nakuti sepasukan prajurit Mataram."
Pengikut Raden Panengah itu mengangguk-angguk.
"Nah, cepat. Kumpulkan orang-orang kita. Kita akan segera pergi ke sarang kita."
"Mereka sudah siap Raden."
Sejenak kemudian, maka sekelompok pengikut Raden Panengahpun telah siap meninggalkan Babadan.
Ki Rimuk dan Nyi Rimuk yang digelari sepasang raksesa dan raseksi itupun telah siap pula.
Mereka adalah orang-orang yang sangat ditakuti.
Suami isteri itu dapat berbuat sesuatu yang tidak pernah diduga akan dapat terjadi sebelumnya.
Selain itu, keduanya memiliki kekuatan yang sangat besar serta ilmu yang tinggi.
"Jangan cemas Raden,"
Berkata Ki Rimuk.
"kami berdua akan menghancurkan mereka."
"Sudah lama aku tidak mendapat lawan yang pantas, Raden,"
Berkata Nyi Rimuk kemudian.
"mudah-mudahan ada orang yang mampu diajak bercanda di lingkungan para prajurit itu."
Dalam pada itu, Ki Bekel di Babadan menjadi cemas. Dengan gelisah iapun berkata.
"Lalu, kalian akan meninggalkan kami?"
"Tidak,"
Sahut Raden Panengah.
"besok kami sudah selesai dengan orang-orang Mataram yang sombong itu. Besok pagi sebelum matahari mencapai puncak langit, kami tentu sudah dapat menghancurkan mereka. Asal ibumu tidak pergi meninggalkan Babadan, aku masih akan kembali."
Ki Bekel tidak menyahut. Namun Raden Panengahlah yang tertawa sambil menepuk bahu Ki Bekel.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"jangan gelisah."
Demikianlah, maka sebuah iring-iringan telah meninggalkan padukuhan Babadan.
Sekelompok brandal yang ada di padukuhan yang lain yang berpihak kepada Babadanpun telah dipanggil pula.
Pengawas pasukan Mataram yang mengepung sarang gerombolan perampok itupun telah melihat iring-iringan yang menuju ke ujung hutan.
Ketika pengawas itu melaporkannya kepada Ki Lurah, maka Ki Lurah-pun berkata.
"Biarlah mereka lewat. Biarlah mereka berkumpul di sarangnya. Dengan demikian kita akan menjadi lebih mudah menyelesaikannya."
"Jumlah mereka cukup banyak, Ki Lurah."
"Bukankah jumlah kita juga cukup banyak?"
Pengawas itu mengangguk-angguk.
"Awasi terus mereka,"
Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
"jika ada yang menarik perhatian, laporkan kepadaku."
"Ya, Ki Lurah."
Sementara itu, iring-iringan para pengikut Raden Panengah telah memasuki lingkungan sarang mereka.
Sementara itu pasukan Mataram mengamatinya dari kejauhan.
Tetapi mereka tidak bersembunyi.
Mereka justru memperlihatkan keberadaan mereka di sekitar sarang gerombolan perampok itu.
Ketika Raden Panengah mendekati sarangnya di ujung hutan, dilihatnya berbagai macam pertanda prajurit Mataram.
Bahkan prajurit Mataram itu sengaja menancapkan tunggul mereka di dekat lembing yang ditancapkan oleh gerombolan itu.
Tunggul, yang ditancapkan di dekat lembing-lembing yang digantungi oleh berbagai macam benda yang khusus itu telah menyinggung perasaan Raden Panengah.
Apalagi pada tunggul-tunggul itu telah dikibarkan kelebet-kelebet kecil penanda kelompok-kelompok prajurit dalam pasukan khusus itu.
Sikap prajurit Mataram itu dinilai sangat sombong oleh para pemimpin perampok yang tinggal di ujung hutan.
Tunggul kelebet dan pertanda-pertanda lain yang mereka pasang sangat menggelitik perasaan mereka yang menghuni ujung hutan itu.
Tunggul, kelebet dan pertanda-pertanda lain itu tidak hanya terdapat di padang perdu, tetapi juga di dalam hutan, di sekitar sarang gerombolan perampok yang sedang merintis hubungan dengan padukuhan Babadan.
Mereka berharap bahwa pada suatu saat, sarang mereka akan melebar sampai kademangan Prancak di sebelah menyebelah susukan.
Dalam pada itu, orang-orang dari kademangan kademangan di sekitar kademangan Prancak yang mendengar kedatangan prajurit Mataram itupun ikut berpengharapan.
Sebenarnyalah mereka ingin sarang gerombolan di ujung hutan itu disingkirkan.
Keberadaan para perampok di padukuhan Babadan itupun sebenarnya telah menggelisahkan beberapa kademangan di sekitarnya.
Mereka memperhitungkan bahwa pengaruh mereka akan tidak hanya terbatas di padukuhan Babadan saja.
Tetapi akan dapat sampai kemana-mana.
Hari itu prajurit Mataram masih belum mulai mengganggu para perampok yang tinggal di sarang mereka.
Para prajurit Mataram itu dari kejauhan mengikuti kegelisahan para perampok itu.
Mereka memperhatikan saja bagaimana para perampok itu mempersiapkan diri untuk melawan para prajurit Mataram dari Pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika matahari turun, maka agaknya seluruh kekuatan para perampok itu telah berada di sarang mereka.
Raden Mahambara sendiri saat itu sedang berada di sarang itu pula.
Karena itu maka Raden Mahambara itu telah memanggil beberapa orang yang berilmu tinggi di lingkungannya untuk membicarakan keberadaan prajurit Mataram di sekitar sarang mereka.
"Kita akan hancurkan mereka, ayah,"
Berkata Raden Panengah.
"mungkin mereka mengira bahwa ayah tidak berada di sini. Bahkan mungkin mereka juga mengira bahwa aku juga tidak berada di sini. Mereka tidak tahu. bahwa sebagian dari kita berada di Bahadan."
"Mereka tenlu sudah tahu,"
Sahut ayahnya.
"kau sendiri berada di Babadan siang dan malam. Yang mereka tidak tahu adalah bahwa jumlah kita cukup banyak untuk membantai mereka. Merekapun tidak tahu, bahwa orang-orang kita adalah orang-orang yang sangai berpengalaman. Sementara itu ada beberapa orang berilmu tinggi di antara kita. Sedangkan di antara prajurit Mataram itu tentu hanya ada seorang yang berilmu tinggi. Senapatinya saja."
"Mungkin mereka sudah tahu, ayah. Tetapi mereka tidak tahu seluruhnya. Sebenarnya yang aku maksudkan juga yang seperti ayah katakan. Agaknya orang-orang Prancak yang telah pergi melaporkan ke Malaram. Bodohnya para Senapati di Mataram, bahwa mereka mengirimkan pasukannya untuk satu kerja yang sia-sia. Bahkan hanya akan menyurukkan prajurit-prajurit ke dalam maut."
"Baiklah. Untuk menghadapi mereka, kita tidak akan bergerak lebih dahulu. Biarlah mereka datang memasuki sarang kita. Semakin basah tanah ini oleh darah prajurit Mataram, maka kedudukan kita disini akan menjadi semakin kokoh."
"Segala sesuatunya sudah siap, ayah. Seperti perintah ayah. kita akan menunggu. Tetapi jika mereka tidak segera bergerak, apakah kila dapat menahan diri untuk tetap diam di sarang ini ?"
"Mereka datang dari jauh. Perlengkapan dan bekal mereka tentu tidak terlalu banyak. Mereka tidak akan lama berada di sekitar sarang kita, karena mereka akan kehabisan perbekalan."
"Bagaimana dengan orang-orang Prancak ? Jika benar para prajurit itu datang atas permintaan orang-orang Prancak, maka orang-orang Prancaklah yang harus menanggung perbekalan mereka selama mereka berada di sini."
"Mungkin. Tetapi kita akan melihat, apakah mereka akan menunggu sampai mereka kekurangan perbekalan dan memeras orang-orang Prancak atau mereka akan segera bergerak."
"Baik, ayah."
"Aku minta Ki Rimuk dan Nyi Rimuk selalu berada di antara kita. Sedangkan Kebo Angkat akan berada di antara sekelompok orang yang akan bergerak setiap saat mengamati keadaan di sekeliling sarang kita. di samping para pengawas yang menetap di tempat yang paling mapan."
"Raden Mahambara,"
Berkata Ki Rimuk.
"kenapa kita harus menunggu. Aku menjadi kurang sabar. Mereka telah berani menancapkan tunggul di sekitar tempat yang sudah kita kuasai ini. Kenapa kita tidak segera berbuat sesuatu ? Kenapa kita harus menunggu ? Kita mempunyai banyak kelebihan dari para prajurit itu. Jika Raden mahambara memerintahkan, maka dalam sekejap aku akan membunuh Senapatinya. Kemudian yang lain, biarlah menjadi santapan anak-anak yang sudah lama tidak membasahi senjatanya dengan darah."
"Kenapa kita harus tergesa-gesa ? Biarlah mereka melihat lebih dahulu, isi dari sarang kita. Jika mereka menyadari keringkihan mereka, maka besok mereka akan pergi dengan sendirinya meninggalkan hutan ini."
"Aku tidak ingin melepaskan mereka pergi begitu saja,"
Sahut Nyi Rimuk.
"kita harus menghancurkan mereka. Mereka telah berani menjamah tanah yang kita huni ini."
Raden Mahambara tertawa. Katanya.
"Kau memang suka mencari perkara, Nyi."
"Bukan aku. Tetapi para prajurit itu."
"Tetapi kali ini kita harus mempergunakan nalar. Mereka adalah prajurit. Jika mereka berniat pergi, biarlah mereka pergi. Kalau kita memaksakan pertempuran, maka kita akan banyak kehilangan. Gerombolan kita akan menjadi lemah. Kalau hal ini terdengar oleh gerombolan lain yang selama ini bersaing dengan gerombolan kita, maka mereka akan datang dan selesailah riwayat gerombolan kita. Selama ini kita dapat mempertahankan keberadaan kita. Kita luput dari jaring kekuasaan Demak, Pajang dan kekuasaan perguruan Kedung Jati yang telah berkembang lagi. Jika sekarang kita berhadapan dengan Mataram, kita harus mempergunakan nalar kita sebaik-baiknya."
"Tetapi yang datang itu bukan pasukan yang kuat. Justru karena mereka merasa lemah itulah, maka mereka merasa perlu untuk melakukan gertakan dengan tunggul-tunggul beserta kalebetnya pertanda kelompok-kelompok mereka masing-masing. Tetapi bagiku, pertanda kebesaran pasukan itu tidak berarti apa-apa. Mereka tidak dapat mengelabui aku."
"Baiklah, Nyi. Kita akan melihat perkembangan keadaan."
"Raden Mahambara,"
Berkata Kebo Angkat.
"aku bukan perempuan. Kata orang, perempuan lebih banyak dipengaruhi oleh perasaannya daripada nalarnya. Namun kali ini ternyata aku sependapat dengan Nyi Rimuk. Jangan lepaskan mereka pergi atau bergabung dengan orang-orang Prancak di seberang susukan. Jika mereka bergabung dengan orang-orang Prancak di seberang susukan, maka akibatnya akan menjadi terlalu rumit. Meskipun orang-orang Prancak itu bukan orang-orang yang berpengalaman bertempur dalam pertempuran yang sebenarnya, namun jumlah mereka cukup banyak. Bersama-sama dengan prajurit Mataram, maka mereka akan menjadi lawan yang berat. Prajurit-prajurit Mataram itu akan dapat memberikan arah bagi orang-orang Prancak yang jumlahnya cukup banyak itu."
Nyi Rimuk tertawa. Katanya.
"Sempat juga kau memperolok-olokkan aku Kebo Angkat. Perasaan seorang perempuan adalah bagian dari penglihatan batinnya. Perasaan perempuan dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh laki-laki. Meskipun nalarnya akan mungkin menjangkaunya sebagaimana nalarmu itu, sehingga kita mempunyai kesimpulan yang sama."
Yang mendengarkan pembicaraan itu sempat tertawa pula.
"Baiklah,"
Berkata Raden Mahambara.
"aku dapat mengerti. Meskipun demikian kita akan melihat perkembangan keadaan nanti."
Tetapi menurut dugaanku, mereka tidak akan meninggalkan kita karena mereka silau melihat kekuatan kita. Agaknya kita memang harus mempertahankan sarang kita dari serbuan para prajurit yang tidak mengetahui kekuatan kita yang sebenarnya."
"Raden Mahambara,"
Berkata Ki Rimuk.
"jika kita dengan sengaja memperlihatkan kekuatan kita, kita tidak berharap bahwa mereka akan pergi begitu saja atau minta bantuan orang-orang Prancak. Tetapi kita ingin menekan agar hati mereka menjadi kuncup, sehingga mereka sudah merasa kalah sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi. Jika demikian, maka mereka tidak akan mampu mengerahkan kekuatan mereka sampai ke puncak. Mereka menjadi ragu-ragu dan tidak berpengharapan."
"Aku setuju pendapat Ki Rimuk,"
Berkata Raden Panengah.
"tetapi bagaimanapun juga, kita harus mempersiapkan diri untuk bertempur antara hidup dan mati."
Raden Mahambara mengangguk. Katanya.
"Hampir sepanjang umurku, aku hidup dalam nyala peperangan antara hidup dan mati. Sampai di hari tuaku aku tidak pernah lari dari suasana yang demikian. Sekarang, akan menyenangkan sekali jika kita dapat berhadapan dengan orang-orang Mataram."
"Ya, ayah. Jika kemudian terbukti bahwa orang-orang Prancak-lah yang telah memanggil prajurit-prajurit Mataram itu, maka kita tidak akan mengampuninya. Setelah kita selesaikan para prajurit Mataram itu, maka kita akan mengarahkan perhatian kita sepenuhnya kepada orang-orang Prancak. Ki Bekel Babadan tidak perlu lagi menghiraukan pendapat rakyat Prancak. Tidak perlu membujuk atau menakut-nakuti mereka lagi. Tetapi Ki Bekel Babadan harus berbuat lebih tegas lagi. Ki Demang Prancak itu harus disingkirkan tanpa kasihan lagi. Selama ini Ki Bekel Babadan masih belum bertindak dengan tegas."
"Baiklah. Sekarang lakukan apa yang terbaik menurut kalian menghadapi orang-orang Mataram itu."
"Aku akan memamerkan kekuatan kita. Raden,"
Sahut Kebo Angkat.
"Pergilah."
Kebo Angkatpun kemudian telah mengumpulkan orang-orang terbaik dari gerombolan yang bersarang di ujung hutan itu.
Dibawanya sekelompok orang yang rata-rata bertubuh raksasa itu ke bibir hutan.
Sementara itu ia telah memerintahkan orang yang lain menyalakan api di dapur, sehingga asapnya membumbung tinggi.
"Untuk apa ?"
Bertanya orang yang bertugas di dapur.
"Apakah kau tidak akan menyediakan makan kita hari ini ? Jumlah kita hari ini berlipat karena orang-orang kita yang berada di Babadan telah kita panggil Kemari."
"Tetapi masih belum waktunya."
"Biarlah para prajurit Mataram membayangkan, bahwa jumlah kita memang terlalu banyak bagi mereka."
Petugas di dapur itu masih juga belum tanggap. Karena itu, maka iapun bertanya.
"Apa hubungannya antara asap dan jumlah orang yang ada disini ?"
"Kau memang dungu. Yang kau ketahui hanyalah sambal terasi dan urap pedas."
Orang itu masih saja nampak bingung.
"Aku akan menampakkan diri di hadapan orang-orang Mataram bersama sekelompok orang. Biarlah orang Mataram tahu, bahwa orang-orang yang ada di tempat ini tidak hanya orang-orang yang menampakkan diri bersamaku. Selain kau yang menyalakan api didapur, biarlah ada kegiatan lain yang memancing perhatian orang-orang Mataram, sehingga orang-orang Mataram itu meyakini bahwa jumlah kita terlalu banyak bagi mereka."
"Apakah dengan demikian mereka akan pergi ?"
"Seandainya tidak, tetapi mereka sudah merasa dirinya kecil, sehingga pada saat mereka turun di medan pertempuran, hati mereka sudah kucup menjadi sebesar biji kemangi. Dengan demikian, maka mereka tidak lagi turun ke medan dengan garang."
"Tetapi bukankah mereka akan bertempur juga."
"Ternyata kau lebih bodoh dari seekor kerbau. Seorang yang turun ke medan perang, sangat terpengaruh oleh nyala tekad didalam dadanya. Jika ia turun dengan tekad yang bulat, maka akan sangat jauh berbeda dengan jika orang itu juga dengan segala kemampuannya, tetapi pada saat ia turun ke medan hatinya sudah dibayangi oleh kecemasan dan apalagi ketakutan."
Orang yang bertugas di dapur itu mengangguk-angguk.
"Nah, kau dengar ? "
Bertanya Kebo Angkat.
"Mendengar apa? "
Bertanya orang yang bertugas di dapur itu.
"Ada diantara kita yang meskipun tidak memerlukannya, menebang sebatang pohon yang besar. Kau tahu maksudnya ?"
"Ya. Supaya orang-orang Mataram itu tahu bahwa kita adalah gerombolan yang besar."
Orang yang bertugas di dapur itu mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka orang-orang di sarang gerombolan itu seakan-akan tidak menghiraukan keberadaan prajurit Mataram di sekitar mereka.
Tetapi mereka justru nampak sibuk dengan kerja mereka sehari-hari, selain sekelompok orang yang dipimpin oleh Kebo Angkat itu nampak berjaga-jaga di sekitar sarang mereka.
Agung Sedayu yang langsung mengamati kegiatan di sarang para perampok itu memang melihat, bahwa kekuatan gerombolan perampok itu cukup besar.
Mereka nampak dalam berbagai macam kegiatan.
Asap-pun mengepul dari sela-sela pohon-pohon yang besar diujung hutan.
"Api itu sangat membahayakan,"
Berkata Agung Sedayu.
"Tetapi bukankah mereka telah terbiasa melakukannya ?"
Sahut Glagah Putih.
"Ya. Tetapi jika kita menyerang mereka pada saat api menyala di perapian, akan dapat berakibat buruk. Jika mereka dengan sengaja melemparkan api ke dedaunan kering di sekitar sarang mereka, maka hutan itu akan dapat terbakar. Sulit sekali memadamkan api dalam kebakaran hutan, sehingga mungkin sekali api itu akan makan pepohonan di satu lingkungan yang sangat luas."
"Api itu harus mendapat perhatian yang khusus."
"Ya,"
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Ternyata jumlah mereka cukup banyak, kakang,"
Desis Glagah Putih kemudian.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka sengaja memberikan kesan bahwa jumlah mereka terlalu banyak. Kita justru berbuat sebaliknya. Kita harus memberikan kesan bahwa jumlah kita hanya sedikit meskipun kita telah memasang pertanda dari kelompok-kelompok di pasukan kita."
"Kenapa ?"
"Mereka akan menjadi lengah. Mereka akan meremehkan kita."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, para prajurit yang berada di sekitar sarang gerombolan perampok yang terhitung besar itu tetap saja mengamati setiap gerak di antara mereka.
Kelompok-kelompok prajurit yang berada di hutan, di belakang sarang gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara itu, telah menempatkan orang-orangnya secara khusus untuk mengamati perkembangan yang terjadi di sarang gerombolan itu.
Namun seperti Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka para pemimpin kelompok prajurit itupun menduga, bahwa kegiatan yang berlebihan di sarang gerombolan perampok itu sengaja dilakukan untuk menunjukkan bahwa jumlah mereka terlalu banyak serta mereka tidak peduli dengan keberadaan para prajurit Mataram.
Mereka dengan sengaja memberikan kesan, bahwa keberadaan prajurit Mataram disekitar sarang mereka sama sekali tidak menggetarkan jantung mereka.
Justru karena itu, maka para prajurit Mataram itupun sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap para pengikut Raden Mahambara itu.
Para prajurit yang mendapat giliran beristirahat, sehingga jika pada saatnya mereka harus mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka, maka tenaga dan kemampuan mereka itu sudah terhimpun.
Beberapa saat kemudian, mataharipun menjadi sangat rendah.
Langitpun menjadi buram.
Sementara itu, di gubug-gubug yang berada di ujung hutan itu, lampu-lampu minyak justru mulai dinyalakan.
Raden Panengah telah memberikan perintah-perintah kepada para pengikutnya untuk tetap waspada.
Setiap saat para prajurit Mataram itu dapat saja bergerak, meskipun di malam hari.
Bergantian, para pengikut Raden Panengah itu mengawasi setiap arah, sehingga mereka dapat mengetahui setiap gerakan dari pasukan Mataram.
Tetapi malam itu.
Agung Sedayu masih belum bergerak sama sekali.
Pasukannya masih tetap berada di tempatnya masing-masing.
Namun beberapa orang petugas sandinya saja yang mengamati keadaan dari jarak yang lebih dekat.
Malam itu, para prajurit Mataram masih sempat bergantian beristirahat.
Yang sedang tidak bertugas, tidur berserakan, namun dalam batas yang sudah ditentukan.
Namun sedikit lewat tengah malam, para pengikut Raden Panengah disarangnya terkejut.
Mereka mendengar panah sendaren yang meluncur di udara sampai tiga kali.
Dengan sigapnya para pengikut Raden Panengah itu berlari-lari kecil menempatkan diri di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Yang sedang tidur segera dibangunkan.
Sambil mengusap matanya yang merah, seorang diantara mereka menyambar goloknya.
Terdengar orang itu berkata lantang.
"Edan orang-orang Mataram. Mereka tidak membiarkan aku bermimpi indah."
"Kau bermimpi apa ? "
Bertanya seorang kawannya.
"Aku bermimpi menjadi seorang yang kaya raya. Aku mempunyai istana yang besar, sawah yang sangat luas. Sebulak amba menjadi milikku semua. Aku juga mempunyai lembu dan kerbau, kambing dan ayam yang tidak terhitung jumlahnya. Isteri dan anakku yang perempuan itu menjadi seperti puteri-puteri istana. Sedang anakku yang laki-laki itu menjadi seorang pendekar yang tidak terkalahkan."
"Pendekar?"
"Ya. Ia telah bertempur dengan Senapati Mataram yang membawa pasukannya kemari. Tetapi anakku itu berhasil membantainya."
Kawannya tertawa.
Namun keduanyapun harus segera pergi ke tempat yang sudah ditentukan bagi mereka.
Di dinginnya malam, dalam hembusan angin yang terasa agak basah, mereka bersiap menunggu pasukan Mataram itu bergerak.
Panah sendaren itu tentu merupakan aba-aba bagi para prajurit Mataram itu untuk menyerang sarang Raden Mahambara.
Raden Mahambara sendiri telah bersiap pula.
Demikian pula Raden Panengah serta para pemimpin yang lain.
Para pengawaspun telah bergerak maju untuk mengamati gerak pasukan Mataram.
Tetapi ternyata pasukan Mataram itu tidak bergerak sama sekali.
Para prajuritnya yang tidak bertugas masih saja tidur nyenyak.
Ada diantara mereka yang mendengar anak panah sendaren yang bergaung di udara.
Tetapi merekapun sudah tahu, bahwa anak panah sendaren yang akan dilontarkan sedikit lewat tengah malam itu tidak mempunyai arti apa-apa, kecuali sekedar mengganggu ketenangan orang-orang yang tinggal di dalam sarang gerombolan perampok itu.
Sementara itu, Raden Panengah dan orang-orangnya telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Masih banyak di antara mereka yang merunduk di belakang sebatang pohon sambil menguap.
Bahkan ada yang kemudian duduk bersandar sebatang pohon yang besar dan kembali tertidur.
Ketika ia mendengkur maka kawan yang ada di sebelahnya telah memukul perutnya sambil berkata perlahan.
"Jika Raden Panengah tahu kau tertidur, maka mulutmu tentu akan disumbat dengan tumitnya."
"He ? Apakah aku tertidur lagi ?"
"Kau bukan saja tertidur. Tetapi kau mendengkur. Jika tidak ada yang membangunkanmu, sementara prajurit Mataram itu sampai disini, maka kau akan dibantai seperti seekor kerbau di tempat pemotongan."
Orang itu bangkit berdiri sambil menggeliat. Namun tiba-tiba saja tombak pendeknya terjatuh menimpa kawannya yang sedang duduk di sebelannya.
"Aku bunuh kau,"
Bentak kawannya.
"untung bukan tajamnya yang mengenai kepalaku."
"Maaf. Aku masih bingung."
"Lihat, pasukan Mataram sudah bergerak."
"Mana?"
"Diamlah. Duduklah. Kita sedang menunggu."
Orang yang matanya masih merah itupun duduk di sebelahnya.
Tetapi ia tidak mau bersandar pepohonan lagi, agar ia tidak kembali tertidur.
Namun dalam pada itu, setelah beberapa lama mereka menunggu, namun para prajurit Mataram itu tidak bergerak sama sekali.
Para pengawas yang maju beberapa puluh langkah ke depan, tidak melihat gerakan apa-apa.
Suasana masih saja tetap sepi.
Namun sepi itu terasa menjadi sangat tegang bagi orang-orang yang berada di sarang perampok itu.
"Gila orang-orang Mataram,"
Geram Raden Panengah.
"mereka mempermainkan kita."
"Sebaiknya kitalah yang bergerak menyerang mereka malam ini,"
Geram Ki Rimuk. Tetapi Raden Panengahpun menjawab.
"Kita tidak mempersiapkan diri kita untuk menyerang. Kita sudah bersiap untuk bertahan. Kalau kita memaksa diri untuk menyerang, mungkin kita akan menjadi sangat terkejut menghadapi pertahanan orang-orang Mataram itu."
Namun Ki Rimuk itupun justru bertanya.
"Apakah ada yang dapat mengejutkan kita? Bahkan para murid dari perguruan Kedung Jatipun tidak."
"Orang-orang Mataram itu tentu lebih berbahaya dari orang-orang dari perguruan Kedung Jati."
"Tidak. Para murid dari perguruan Kedung Jati tentu lebih mengerikan tandangnya. Mereka tidak terikat pada berbagai paugeran bagi tingkah laku seorang prajurit. Tetapi tidak bagi para murid di perguruan Kedung Jati. Bahkan sebagian dari mereka bukan murid-murid murni dari perguruan itu. Tetapi sebagian dari mereka adalah murid-murid dari perguruan-perguruan lain yang menyatakan keinginan mereka untuk bergabung. Tetapi ada sebagian yang lain terdiri dari gerombolan-gerombolan brandal seperti kita. Meskipun sebenarnya secara pribadi orang-orang kita tidak kalah dari orang-orang perguruan Kedung Jati, tetapi apa yang disebut perguruan Kedung Jati adalah sekumpulan orang yang jumlahnya terlalu besar."
Tetapi Raden Panengah itupun menyahut.
"Kau benar, Ki Rimuk. Tetapi para prajurit itu adalah orang-orang yang terlatih. Baik dalam perang gelar, kerja sama di antara kelompok-kelompok atau bahkan setiap orang di dalamnya maupun kemampuan mereka secara pribadi."
"Bukankah kita tidak pernah menjadi gentar menghadapi siapapun. Bukankah kita selalu berhasil memenangkan pertempuran dalam bentuk apapun."
"Ya. Selama ini memang. Tetapi itu bukan alasan untuk meninggalkan sikap berhati-hati."
Namun Nyi Rimukpun menyela.
"Raden Panengah. Jika kita bergerak sekarang, orang-orang Mataram itu tentu sedang lengah. Mereka merasa berhasil mempermainkan kita, karena ternyata panah sendaren itu tidak memberikan isyarat apa-apa kecuali sekedar mengganggu ketenangan kita."
"Nyi. Kau lihat bahwa pasukan Mataram itu ada di sekeliling kita. Jika kita harus menyerang mereka, maka kita harus memberikan beberapa petunjuk lebih dahulu kepada orang-orang kita. Petunjuk-petunjuk itu tentu berbeda dengan petunjuk-petunjuk yang sudah kami berikan kepada mereka, namun dalam kedudukan bertahan."
"Sejak kapan kita harus melakukan urutan kesiapan menghadapi lawan seperti itu ? Bukankah sudah terbiasa bagi kita untuk ditaburkan saja di antara lawan-lawan kita,"
Sahut Nyi Rimuk.
"Tetapi menghadapi para prajurit kita harus bersikap lebih berhati-hati."
Sebelum Nyi Rimuk menyahut, terdengar suara Raden Mahambara.
"Kita akan bertahan. Kita tidak akan menyerang."
Ki Rimuk dan Nyi Rimuk tidak menyahut lagi. Apa yang dikatakan oleh Raden Mahambara adalah keputusan yang tidak dapat berubah kecuali dirubahnya sendiri.
Jilid 368 SETELAH beberapa saat tidak ada gerakan apa-apa di antara para prajurit Mataram, maka Raden Panengahpun telah memerintahkan orang-orangnya untuk beristirahat kembali.
Namun mereka diperintahkan untuk tetap berada di tempat mereka masing-masing.
Mereka tidak perlu berkumpul lagi di gubug-gubug yang telah mereka bangun di ujung hutan itu.
Tetapi justru karena itu, maka sebagian dari mereka tidak dapat tidur lagi.
Bahkan mereka menjadi marah kepada diri sendiri.
Seorang di antara mereka menggeram.
"Licik orang-orang Mataram. Mereka berusaha untuk mempengaruhi kesiagaan kita. Bukan kesiagaan lahir, tetapi kesiagaan batin."
"Kau berkata apa ?,"
Bertanya kawannya.
"apakah kau sekarang tiba-tiba menjadi arif."
"Kenapa ? "
"Aku menjadi cemas dengan kearifanmu yang tiba-tiba. Sedang sebentar lagi kita akan berada di peperangan."
"Kau menduga bahwa aku sudah akan mati?"
"Bukan aku yang mengatakannya. Tetapi kau sendiri."
"Ya. Siapapun yang mengatakannya. Tetapi aku tidak percaya dengan firasat seperti itu. Yang penting kita akan bertempur melawan orang-orang Mataram. Dari beberapa orang kawan di luar gerombolan ini aku sudah mendengar, bahwa sebenarnya pasukan Mataram itu adalah pasukan yang ringkih."
"Kawanmu itu sedang mengigau tentu."
"Tidak. Ia sudah beberapa kali bertempur, melawan prajurit Mataram."
"Jika tidak sedang mengigau kawanmu itu tentu sedang membual. Tetapi kedua-duanya menurut pendapatku tidak benar."
"Yang benar ? "
"Pasukan Mataram adalah pasokan yang kokoh. Kau dengar?"
"Aku dengar. Tetapi mulut yang mengucapkannya adalah mulut seorang pengecut."
"Tutup mulutpmu atau aku akan menyumbatnya dengan hulu pedangku."
"Kenapakau tiba-tiba menjadi sangat garang ?"
Kawannya menarik nafas panjang. Katanya.
"Orang-orang Mataram yang licik itu membuat aku tersinggung."
"Tumpahkan kemarahanmu kepada orang-orang Mataram itu."
"Ya. Jauh-jauh mereka datang kemari hanya untuk menyerahkan nyawa mereka."
"Benar begitu?"
"Kau tidak yakin bahwa kita akan dapat melakukannya nanti apabila mereka benar-benar menyerang kita."
Kawannya tertawa. Katanya.
"Kau sudah berubah sikap ?"
"Tidak. Aku tetap menganggap pasukan Mataram adalah pasukan yang kokoh. Tetapi aku adalah seorang yang memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari para prajurit Mataram itu."
"Kau memang seorang yang pandai mempermainkan lidahmu yang cabang."
"Apa ? Kau katakan lidahku bercabang ?"
"Ya."
"Terima kasih."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kawannya tertawa pula. Orang yang disebutnya lidahnya bercabang itu sama sekali tidak tertawa. Bahkan iapun kemudian beringsut menjauhinya. Kawannya yang lain, yang mendengarkan pembicaraan itupun tertawa pula. Katanya.
"Aku tidak pernah melihat kalian berdua berbicara baik-baik. Kau selalu saja mengganggunya."
Keduanyapun masih saja tertawa. Namun kemudian merekapun membaringkan tubuh mereka. Sambil menguap seorang diantara mereka berkata.
"Tetapi agaknya aku setuju. Orang-orang Mataram memang licik."
Yang lain tidak menjawab.
Tetapi ia mencoba memejamkan matanya meskipun malam sudah menjelang ke ujungnya.
Dalam pada itu, menjelang fajar, Ki Lurah Agung Sedayu telah menyebar para penghubungnya untuk menyampaikan perintahnya.
Pasukan Mataram akan menyerang sebelum matahari terbit.
Agaknya semua pengikut Raden Mahambara telah berada di sarangnya.
Sementara pasukan Mataram bersiaga, orang-orang Prancakpun telah bersiaga pula.
Mereka masih belum mendengar berita terakhir dari padang perdu di ujung hutan.
Mereka tidak tahu, apakah pasukan Mataram akan menyerang hari itu atau pada hari yang lain.
Tetapi tentu bukan dihari pertama mereka berada di padang perdu.
"Jika pasukan Mataram menyerang hari ini, kita harus bersiap sepenuhnya. Mungkin pasukan Mataram memerlukan bantuan. Tetapi mungkin orang-orang yang berada di sarang itu berlarian cerai berai seperti semut merah yang disentuh sarangnya. Atau orang-orang Babadan yang mempunyai rencana gerakan sendiri,"
Berkata Ki Demang.
Sebenarnyalah setiap padukuhan di kademangan Prancak yang berada di sebelah susukan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Hanya orang-orang dari Karang Lor yang menjadi bingung.
Mereka tidak mempunyai sikap yang tegas, sehingga mereka tidak lahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, langitpun menjadi semakin terang.
Fajarpun telah mengintip dari balik bukit.
Cahaya kemerah-merahan mulai menyentuh bibit mega tipis yang mengambang di langit.
Titik-titik embun masih nampak bergayutan di ujung dedaunan.
Sementara kicau burung-burung liar yang hinggap di dahan-dahan pepohonan hutan, terdengar bagaikan menyambut pagi yang cerah.
Sementara itu, Raden Mahambara dan para pemimpin gerombolan yang bersarang di ujung hutan itupun sudah mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan.
Merekapun menduga, bahwa pasukan Mataram akan menyerang pagi itu setelah semalam mereka mengganggu ketenangan para pengikut Raden Mahambara yang sedang beristirahat.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayupun telah membagi tugas.
Beberapa orang pemimpin kelompok telah mendapat tugas untuk menutup setiap celah di bagian belakang sarang gerombolan itu.
Sedang Ki Lurah Agung Sedayu akan menyerang dari depan.
Disayap kanan pasukannya ia telah meletakkan seorang pemimpin kelompok yang terpilih.
Ki Watu Kambang.
Untuk mendampinginya Ki Lurah meletakkan Glagah Putih dan Rara Wulan bersamanya.
Sedangkan di sayap kiri.
Agung Sedayu meletakkan dua orang pemimpin kelompok yang lain, yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Ki Saripan dan Ki Sura Rembang.
Ki Lurah juga minta Ki Jayaraga ada di sayap diantara kedua orang pemimpin kelompok itu.
"Ki Lurah,"
Berkata Ki Jayaraga.
"sebenarnyalah aku ingin dapat bertemu dan berbicara dengan Raden Mahambara."
"Baik, Ki Jayaraga. Jika benturan telah terjadi, kita akan dapat menempatkan diri kita masing-masing. Jika Ki Jayaraga dapat bergeser sedikit, mungkin sekali Ki Jayaraga akan dapat bertemu dengan Raden Mahambara."
"Aku akan berusaha mencarinya. Jika Ki Lurah sempat menemuinya, perintahkan seorang penghubung untuk memanggil aku agar aku dapat bertemu dan berbicara dengan iblis tua itu."
"Baik, Ki Jayaraga."
"Mudah-mudahan Ki Saripan dan Ki Sura Rembang akan dapat mengatasi pertempuran di sayap kiri."
"Sekar Mirah akan dapat bergeser ke kiri untuk bergabung bersama Ki Saripan dan Ki Sura Rembang."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya.
"Ya. Nyi Lurah sekarang sudah bukan Nyi Lurah setahun yang lalu. Meskipun setapak-setapak, akhirnya Nyi Lurah yang tidak jemu-jemunya memanjat tangga dari satu gigi ke gigi berikutnya, dapat mencapai tatarannya yang sekarang."
"Pencapaiannya itu tidak akan dapat dilakukan tanpa bimbingan Ki Jayaraga."
"Bukankah aku tidak seberapa terlibat kedalam peningkatan ilmunya ?"
Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Sementara Ki Jayaragapun berkata.
"Yang mengagumkan, bukannya pencapaian tataran tertinggi ilmunya itu. Tetapi bahwa Nyi Lurah tidak merasa dibatasi oleh umur untuk meningkatkan ilmunya."
Dengan nada rendah Ki Lurah Agung Sedayu itupun menyahut.
"Bukankah tidak ada batasnya sampai kapan seseorang mendapat kesempatan untuk meningkatkan ilmunya ?"
Ki Jayaragapun tersenyum.
"Baiklah,"
Berkata ki Lurah Agung Sedayu kemudian.
"kita akan melihat apa yang akan terjadi di medan. Aku sudah menghubungi semua pemimpin kelompok dari pasukan ini, agar mereka menutup setiap celah yang mungkin akan dipergunakan oleh para pengikut Raden Mahambara untuk melarikan diri."
"Kalau Raden Mahambara sendiri atau anak laki-lakinya yang melarikan diri, sulit bagi para prajurit untuk mencegahnya."
"Kitalah yang akan mencegahnya."
"Ya. Kitalah yang harus berusaha mencegahnya."
Demikianlah, setelah semua penghubung yang diperintahkan untuk menghubungi para pemimpin kelompok telah kembali, maka Agung Sedayupun mulai bersiap-siap untuk menyerang.
Diperintahkannya seorang penghubung membunyikan bende untuk yang pertama kali.
Ternyata suara bende itu bergaung melingkar-lingkar, sehingga seolah-olah seisi hutan itu mendengarnya.
Namun untuk menjaga agar isyarat itu sampai kepada semua kelompok, disamping suara bende itu, Agung Sedayupun telah memerintahkan untuk melepaskan tiga ekor burung merpati yang telah disiapkan dan memang menjadi rerangken dari pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.
Tiga ekor burung merpati yang telah dipasangi sendaren.
Dengan demikian, ketika ketiga ekor burung merpati itu terbang berputaran, maka suaranyapun telah bergaung di udara sehingga terdengar dari tempat yang jauh.
Beberapa orang pengikut Raden Mahambara ada yang mencoba berusaha melontarkan anak panahnya, membidik ketiga ekor burung merpati yang terbang melingkar-lingkar itu.
Tetapi tidak sebatang anak panahpun yang dapat menyentuhnya.
Dengan demikian, maka setiap prajurit di sekitar sarang gerombolan perampok itupun telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya.
Semua senjata telah diperiksa, sehingga tidak ada yang mengecewakan mereka setelah mereka berada di medan pertempuran.
Beberapa saat kemudian, telah terdengar suara bende untuk kedua kalinya.
Meskipun para penghubung tidak melepaskan burung merpati lagi, tetapi para prajurit yang berada di belakang sarang para perampok itu sudah memusatkan perhatian mereka sehingga meskipun lamat-lamat, mereka dapat mendengar suara bende itu.
Bende kedua memberi aba-aba bahwa semuanya harus sudah siap untuk bergerak.
Dalam pada itu, ternyata para pengikut Raden Mahambara juga dapat mengenali isyarat itu.
Mereka tahu benar bahwa jika bende itu ditabuh untuk yang pertama kali, maka pasukan Mataram itu harus mempersiakan diri.
Jika bende itu ditabuh untuk kedua kalinya, maka pasukan Mataram itu sudah harus bersiap untuk menyerang.
Pada saat bende ditabuh untuk yang ketiga kalinya, maka pasukan Mataram itu akan menyerang.
Karena itu, maka setelah bende ditabuh untuk yang kedua kalinya, maka para pengikut Raden Mahambara itupun segera mempersiapkan diri.
Mereka menunggu bende ditabuh untuk ketiga kalinya sehingga prajurit Mataram itu akan segera menyerang.
Tetapi setelah beberapa saat mereka menunggu, mereka tidak segera mendengar bende itu dipukul untuk ketiga kalinya.
Para pengikut Ki Mahambara itu tidak segera mendengar bende para prajurit Mataram itu berbunyi untuk mengisyaratkan agar pasukan Mataram itu bergerak.
Sebenarnyalah Ki Lurah Agung Sedayu teluh memberikan perintah yang lain kepada para prajuritnya.
Prajurit Mataram dari pasukan khusus yang memang mempunyai beberapa kekhususan selain kemampuannya yang dapat diandalkan, juga di setiap medan, ada-ada saja yang terasa baru sehingga tidak mudah dikenali oleh lawan.
Saat itu Ki Lurah Agung Sedayu memang tidak memerintahkan memukul bendenya untuk yang ketiga kalinya.
Ki Lurah Agung Sedayu memang hanya memerintahkan memukul bendenya dua kali saja.
Tetapi setiap prajurit dari pasukan khusus itu sudah tahu, bahwa perintah Ki Lurah, saat mereka akan menyerang segerombolan perampok yang bersarang di ujung hutan itu, adalah hitungan ke lima belas setelah bende itu ditabuh untuk yang ketiga kalinya.
Demikian penabuh bende itu berhenti menabuh bendenya, maka setiap prajurit dari pasukan khusus itu akan mulai menghitung dari angka satu sampai ke angka yang kelima belas.
Karena itu, para pengikut Raden Mahambara terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat pasukan Mataram itu sudah bergerak dengan cepatnya.
Pada saat mereka menyadarinya, maka pasukan Mataram yang bergerak dalam gelar itu telah berada di depan hidung mereka.
Tidak banyak kesempatan bagi para pengikut Raden Mahambara.
Kelompok-kelompok yang dipersiapkan dengan busur dan anak panah, banyak kehilangan waktu yang seharusnya dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Ketika mereka mulai menarik busurnya, maka para prajurit Mataram yang mempergunakan perisai di tangan kirinya sudah berlari-larian beberapa langkah saja di hadapan mereka.
Demikian beberapa batang anak panah terlepas, maka mereka tidak lagi dapat mempergunakan busur dan anak panah mereka.
Demikianlah, maka benturan yang keraspun segera terjadi.
Para pengikut Raden Mahambara merasa bahwa para prajurit itu demikian cepatnya menyergap mereka.
Seorang pengikut Raden Mahambara itupun menggeram.
"Setan orang-orang Mataram. Mereka tidak mempergunakan isyarat bende yang ditabuh untuk ketiga kalinya. Tahu-tahu mereka sudah berada di depan hidung."
Tetapi seorang yang lain berteriak.
"Licik orang-orang Mataram. Mereka sengaja menipu kita dengan tanpa isyarat suara bende yang ketiga kalinya."
Namun apapun yang sudah dilakukan oleh para prajurit Mataram, pertempuran itu sudah berlangsung dengan sengitnya.
Bahkan pasukan Mataram yang berada di belakang sarang Raden Mahambara itupun telah bergerak maju pula.
Tetapi merekapun segera membentur kekuatan gerombolan perampok yang sudah disiapkan untuk menghadapi mereka.
Raden Panengahpun ternyata juga mengumpat-umpat.
Ia juga merasa dikelabui oleh para prajurit Mataram yang tidak membunyikan bende mereka untuk yang ketiga kalinya, sehingga seakan-akan prajurit Mataram itu begitu tiba-tiba sudah berada di hadapan mereka pada jarak yang dekat.
Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Raden Panengahpun segera terjun ke medan.
Dengan kemampuannya yang tinggi Raden Panengahpun segera mendesak lawan-lawannya.
Tetapi para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu bukan pula orang-orang yang lemah.
Beberapa langkah mereka terdesak.
Namun kemudian seperti gelombang merekapun menghambur menyerang dalam kelompok-kelompok kecil.
Tiga orang telah menempatkan dirinya menghadapi Raden Penengah.
Namun Raden Panengah memang seorang yang berilmu tinggi.
Bahkan Raden Panengah yang berlandaskan ilmu yang tinggi itu bertempur dengan keras dan kasar, sehingga para prajurit yang bertempur dalam kelompok kecil untuk menghadapinya itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Di sisi lain, Ki Rimuk dan Nyi Rimuk telah turun bersama-sama di gelanggang.
Mereka bertempur seperti sepasang serigala yang lapar.
Menerkam ke kanan dan ke kiri.
Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu cukup terampil.
Beberapa orang telah menempatkan diri di sekitar sepasang suami isteri yang garang itu.
Mereka menyerang dari segala penjuru dengan ketrampilan seorang prajurit dari Pasukan Khusus.
Ternyata tidak semudah yang diduga oleh Ki Rimuk dan Nyi Rimuk.
Para prajurit itu tidak selunak orang-orang padesaan yang berkumpul setelah mendengar suara kentong dengan irama titir.
Kemudian beramai-ramai mengeroyoknya.
Dalam waktu yang pendek, maka orang-orang itu sudah terlempar dan jatuh terkapar malang melintang disekitamya.
Tetapi tidak demikian dengan para prajurit dari Pasukan Khusus itu.
Mereka tidak segera terlempar jatuh dan terbaring berserakan.
Tetapi mereka berloncatan menyerang dari segenap arah.
Kadang-kadang mengalir seperti gelombang.
Namun kadang-kadang datang bersama-sama seperti arus banjir bandang.
"Gila orang-orang Mataram,"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teriak Ki Rimuk.
"Kita akan membabad mereka seperti membabad ilalang,"
Sahut Nyi Rimuk.
Keduanyapun segera berloncatan dengan garangnya.
Sekali-sekali terdengar keduanya berteriak mengerikan, seperti teriakan hantu dari balik lubang kubur.
Yang menggetarkan jantung para prajurit Mataram adalah seorang yang berambut putih, berjanggut dan berkumis putih pula.
Tangannya yang mengembang bagaikan sayap-sayap burung alap-alap-yang melihat seekor burung merpati yang meluncur melintas di langit.
Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak terlalu lama mencoba membatasi gerak orangtua itu.
Tiba-tiba dari antara para prajurit Mataram telah menyibak seorang yang juga sudah tua.
Rambutnya juga sudah ubanan sebagaimana orang yang bertempur seperti burung alap-alap itu.
"Apakah kau sudah lupa kepadaku, Raden Mahambara,"
Terdengar orang tua itu menyapa. Raden Mahambara yang sedang bertempur dengan garangnya itu meloncat surut. Dipandanginya orang yang datang mendekatinya itu. Tiba-tiba saja Raden Mahambara itu tertawa. Katanya.
"Kau Ki Jayaraga. Aku tidak mengira bahwa kita akan bertemu disini."
"Ya. Akupun tidak mengira bahwa kau tidak lagi berkeliaran di pesisir Utara dan bahkan telah menganyam sarang disini."
"Aku masih tetap berkuasa dipesisir Utara,"
Sahut Raden Mahambara.
"disini anakkulah yang sedang membangun kerajaannya. Tetapi ternyata disini kehidupan dunia olah kanuragan terasa lebih keras. Apalagi para prajurit Mataram telah ikut campur pula."
"Apakah di pesisir Utara kau tidak mengalami benturan-benturan yang keras seperti disini."
"Ya. Dimana-mana benturan-benturan itu terjadi. Tetapi tidak sebesar disini. Disini kami harus memperhitungkan keberadaan gerombolan-gerombolan yang telah mengkaitkan dirinya dengan perguruan Kedung Jati. Disamping itu, ternyata kami juga harus memperhitungkan kedunguan para Senapati Mataram yang bersedia bersusah payah datang kemari."
"Anakmu tidak akan mendapat kesempatan disini."
"Tetapi kenapa kau sekarang berada di antara para prajurit Mataram. Apakah kau memang menjadi prajurit di Mataram ?"
Ki Jayaragapun tertawa. Katanya.
"Aku berada dimana-mana Raden. Aku ada diantara mereka yang ingin membersihkan bumi ini dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan orang banyak, sebagaimana kau lakukan bersama anakmu."
"Kau masih juga terlalu sombong, Ki Jayaraga."
"Mungkin. Tetapi sebaiknya kau sadari apa yang kau hadapi sekarang ini. Kau tidak akan mungkin mengatasi prajurit Mataram yang telah mengepung sarang anakmu ini. Prajurit Mataram yang datang kemari adalah prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu."
Raden Mahambarapun tertawa pula berkepanjangan. Katanya.
"Apa artinya Lurah prajurit bagiku. Seorang Rangga dan bahkan seorang Tumenggung tidak akan dapat mengalahkan aku."
"Lurah yang satu ini agak berbeda. Karena itu, maka Lurah yang satu ini diserahi untuk memimpin satu kesatuan dari Pasukan Khusus. Tetapi kau tidak perlu menghiraukan siapakah yang memimpin pasukan Mataram ini. Seharusnya kau memperhatikan orang yang sekarang berdiri di hadapanmu ini saja."
"Ki Jayaraga. Kenapa kau masih saja selalu mencampuri urusan orang lain ?"
"Sudah aku katakan. Aku ingin ikut membersihkan bumi ini dari orang-orang seperti kau dan anakmu. Karena itu, atas ijin Ki Lurah Agung Sedayu, kali ini aku datang untuk menghadapimu."
"Apa sebenarnya yang kau cari dalam hidupmu ? Jika kau mau minggir, apapun yang kau minta akan aku penuhi. Aku mempunyai apa saja yang dibutuhkan oleh seseorang yang dapat melihat keindahan hidup ini."
"Justru akulah yang harus bertanya kepadamu. Apa yang sebenarnya kau cari. Jika kau mencari benda-benda keduniawian yang menurut katamu dibutuhkan oleh seseorang yang dapat melihat keindahan hidup ini, apa pula yang kau dapatkan ? Kau sendiri hidup didalam lingkungan yang sunyi. Kau dan anakmu membuat sarang di ujung hutan yang lebat, berkawan serigala dan binatang buas yang lain. Apa indahnya hidup di hutan seperti ini ? Bukankah apa yang kau cari dengan mempertaruhkan nyawamu dan nyawa banyak orang itu tidak berarti apa-apa ? Agak berbeda jika kau dapat memanfaatkan hasil kejahatanmu itu untuk kau nikmati. Hidup dalam keramaian yang mempesona. Makan, minum dan pakaian yang gemebyar. Rumah yang besar dan mewah dilayani oleh puluhan pelayan yang siap melakukan tugas apapun yang kau perintahkan kepadanya. Tetapi lihat, Apa yang kau sandang sekarang. Pakaianmu kusut dan jelek. Tubuhmu kotor dan bahkan mungkin gatal-gatal. Makan tidak teratur, sehingga hanya jika kalian berhasil menangkap buruan, maka kalian dapat makan daging. Kalian hidup dalam sepi yang gelap di pinggir hutan. Lalu keindahan hidup yang manakah yang kau maksudkan?"
"Kau memang gila Jayaraga. Kau tidak tahu bagaimana aku menikmati hidup dengan hasil jerih payaliku. Aku mempunyai puluhan rumah. Aku mempunyai puluhan bahu sawah, ladang dan pategalan. Aku mempunyai puluhan ternak. Aku mempunyai apa saja dan bahkan yang tidak dipunyai orang lain."
"Alangkah pahitnya cara hidupmu, Raden. Jika kau mempunyai puluhan rumah, kenapa kau justru hidup didalam gubug-gubug miring beratap ilalang. Jika hujan airnya ikut berteduh didalam gubugmu itu. Jika kau mempunyai puluhan bahu sawah, kenapa kau harus merampas padi dari lumbung-lumbung padi di padukuhan-padukuhan. Jika kau punya segalanya, kenapa kau hidup di tataran terendah dari tataran kehidupan sesamamu?"
"Tutup mulutmu.
"bentak Raden Mahambara.
"kau tidak tahu bahagianya keluargaku karena jerih payahku ini. Isteriku memakai perhiasan emas, berlian dan batu-batu mulia yang lain. Bahkan mutiara yang paling baik. Anak-anakku perempuan juga mengenakan perhiasan di seluruh tubuhnya. Anakku laki-laki dapat terpenuhi apa saja yang di inginkan. Kuda yang paling tegar. Dan bahkan jauh lebih dari itu."
"Bukankah anakmu ada disini ? Bukankah Raden Panengah telah mengikuti jejak ayahnya ?"
"Hanya Panengah. Tetapi yang lain tidak."
"Maksudmu saudara-saudara Raden Panengah dari ibu yang lain."
Raden Mahambara itupun tiba-tiba membentak.
"Cukup. Sekarang pergilah. Atau kau akan mati di arena pertempuran ini. Mayatmu akan ditinggalkan di padang perdu ini, sehingga esok akan menjadi makanan binatang buas atau burung-burung dari jenis pemakan bangkai."
"Jangan berkata begitu. Aku masih ingin hidup lebih lama lagi. Karena itu, kau sajalah yang mati. Jika kau mati, maka hidup keluargamu mungkin akan benar-benar bahagia. Mereka tidak lagi dibayangi tindak kejahatan yang kau lakukan. Jika isterimu mengenakan cincin di jari-jarinya, ia tidak harus selalu ingat kepada pemiliknya yang barangkali telah kau bantai tanpa belas kasihan."
"Diam. Diam kau anak iblis. Bersiaplah untuk mati."
"Sayang Raden Mahambara. Aku tidak berisap untuk mati. Tetapi aku justru telah bersiap untuk membunuh."
"Persetan kau. Siap atau tidak siap, namun kau akan mati terkapar di padang rumput ini. Kau kira para prajurit Mataram itu akan peduli dengan mayatmu."
"Memang tidak, karena di padang perdu ini tidak akan ada mayatku."
"Bersiaplah Ki Jayaraga,"
Geram Raden Mahambara.
Ki Jayaraga tidak menjawab lagi.
Di sekitarnya pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya.
Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu itupun segera menunjukkan tataran kemampuan mereka.
Baik dalam perang gelar, maupun kemampuan mereka seorang-seorang.
Para pengikut Raden Mahambara dan Raden Panengah harus mengakui kenyataan itu.
Yang mereka hadapi bukan lagi domba-domba yang lemah, tetapi yang mereka hadapi adalah harimau-harimau yang garang.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Raden Mahambara telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Namun bagaimanapun juga pengaruh benturan-benturan kekuatan di masa lalu masih saja mempengaruhi perasaan mereka.
Dua kali keduanya pernah bertemu di arena pertempuran di daerah pesisir Utara.
Sekali orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara itu melarikan diri.
Sekali Ki Jayaraga telah berbaik hati membiarkannya hidup meskipun Raden Mahambara justru mengancam bahwa pada suatu saat ia justru akan membunuh Ki Jayaraga.
Dibayangi oleh kenangan itu.
maka ketika Raden Mahambara berhasil mendesak Ki Jayaraga sehingga Ki Jayaraga itu berloncatan beberapa langkah surut itupun tertawa sambil berkata.
"Jayaraga. Waktu itu kau memang terlalu sombong. Kau tidak membunuhku untuk mendapatkan kepuasan batin, memanjakan kesombonganmu. Tetapi waktu itu aku sudah berkata kepadamu, jika kau tidak membunuhku, maka akulah yang akan membunuhmu."
"Aku ingat itu. Raden Mahambara,"
Sahut Ki Jayaraga.
"waktu itu kau tidak dapat mengalahkan aku. Sekarangpun kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Dengar, jika dua kali kau luput dari kematian pada saat kau berhadapan dengan aku, maka sekarang aku tidak akan membiarkanmu hidup. Aku sudah menjadi semakin yakin, bahwa kau sudah tidak mungkin berubah. Karena itu untuk menghentikanmu, tidak ada jalan lain kecuali maut."
Raden Mahambara itu tertawa.
Namun kemudian iapun meloncat menyerang seperti banjir bandang.
Tetapi Ki Jayaragapun telah bersiap sepenuhnya.
Apapun yang dilakukan oleh Raden Mahambara, telah siap dihadapinya.
Karena itu, maka pertempuran yang sengitpun telah terjadi lagi diantara hiruk pikuk pertempuran.
Karena Ki Jayaraga bergeser ke paruh gelar, maka seperti yang sudah direncanakannya, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirahlah yang kemudian bergeser ke sayap menyatu dengan kedua orang pemimpin kelompoknya.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di sayap yang lain.
Agung Sedayu tidak lagi merasa perlu untuk selalu meneriakkan aba-aba, karena ia yakin bahwa para prajuritnya di bawah pimpinan para pemimpin kelompok akan dapat menempatkan diri mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Raden Panengah yang terlalu yakin akan kemampuan ayahnya, tidak berniat untuk mendampinginya.
Ia percaya bahwa dalam waktu yang singkat, maka pasukan Mataram itu akan diporak porandakan oleh ayahnya.
Terutama pasukan yang berada di paruh gelarnya.
Karena itu, maka Raden Panengah ingin melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan oleh ayahnya di sayap gelar pasukan Mataram itu.
Dengan garangnya Raden Panengahpun telah berloncatan menyambar-nyambar.
Bersama Raden Panengah, Kebo Angkat telah mengamuk pula bersama pasukannya yang terpilih.
Untuk beberapa saat prajurit Mataram itupun agak tertahan.
Orang-orang yang bertempur bersama Kebo Angkat serta Raden Panengah adalah para gegedug yang namanya sudah kawentar.
Tetapi para prajurit dari pasukan khusus itu sudah ditempa bukan saja oleh latihan-latihan yang sangat berai.
Tetapi merekapun memiliki pengalaman yang luas pula.
Karena itu, maka para pengikut Raden Panengah itu tidak membuat jantung mereka bergetar.
Raden Panengah sendiri memang harus mengakui kenyataan yang dihadapinya.
Para pengikutnya telah mendapatkan pengalaman yang baru.
Jika mereka terbiasa menghadapi orang-orang yang tidak berdaya, sehingga mereka seakan-akan tinggal membabad batang ilalang, kini mereka berhadapan dengan prajurit pilihan dari Pasukan Khusus yang matang.
Ternyata prajurit Mataram bukan sekumpulan orang bersenjata yang tidak mengerti mempergunakan senjatanya itu.
Senjata di tangan prajurit-prajurit Mataram itu menjadi sangat berbahaya.
Raden Panengah yang sedang berusaha untuk memberikan jalan kepada orang-orangnya itu tertegun ketika ia melihat seorang laki-laki yang tiba tiba sudah ada di hadapannya.
"Kau siapa?,"
Bertanya Raden Panengah.
"Namaku Agung Sedayu. Aku adalah Lurah prajurit yang memimpin para prajurit Mataram yang mendapat perintah untuk menangkap para perampok yang bersarang di ujung hutan ini, serta yang telah mengacaukan pemerintahan di kademangan Prancak."
"Jangan bermimpi,"
Berkata Raden Panengah.
"tidak ada kekuatan yang dapat menghalangi kami. Perguruan besar Kedung Jatipun tidak akan dapat menghentikan kami."
"Perguruan Kedung Jati memang tidak akan mempedulikan kalian, karena bagi perguruan itu, kalian tidak lebih dari debu yang berhamburan di udara. Dengan sekali tiup. debu itupun akan hanyut berserakan."
Wajah Raden Panengah menjadi merah. Dengan geramnya iapun berkata.
"Kau telah menghina kami. Selama ini tidak ada orang yang berani melakukannya. Sedangkan menyebut nama kamipun mereka harus berpikir sepuluh kali."
Tetapi jawab Agung Sedayu semakin membuat Raden Panengah itu menjadi marah. Katanya.
"Aku telah datang kepadamu dengan pasukanku. Jangankan menyebut namamu. Bahkan menghinamu. Sedangkan aku datang untuk menangkapmu."
"Persetan. Aku akan mencincangmu."
"Apapun yang kau katakan, tidak akan merubah keadaan. Tetapi kau belum menyebut namamu. Menurut sikapmu serta sikap kawan-kawanmu terhadapmu, maka kau termasuk salah seorang pemimpin dari gerombolan ini."
"Akulah yang bergelar Raden Panengah, putera ayahanda Raden Mahambara."
"O. Jadi kaulah yang bernama Raden Panengah."
"Ya. nah, apakah kau masih mempunyai keberanian untuk menghadapi aku ?"
Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya.
"Kau terlalu percaya kepada dirimu sendiri."
"Ya. Aku harus memiliki kepercayaan diri. Sebentar lagi kau akan mati di tanganku. Tetapi aku akan memberimu kesempatan melihat prajurit-prajuritmu di porak perondakan oleh ayahku. Kau akan melihat mayat yang terbujur lintang di medan pertempuran ini. Apalagi jika ayahku menjadi marah karena kesombongan orang-orangmu, maka pada saatnya nanti, orang-orangmu akan ditumpasnya sampai habis."
"Kau tidak perlu membual. Ayahmu telah berhadapan dengan orang yang tentu sudah kau kenal, atau tidak-tidaknya kau dengar namanya."
"Siapa ?"
"Ki Jayaraga. Ki Jayaraga datang bersama prajurit Mataram."
"Ki Jayaraga,"
Raden Panengah itu bergumam. Namun kemudian iapun berkata.
"Kaulah yang membual. Bagaimana mungkin Ki Jayaraga ada diantara para prajurit Mataram."
"Kau ingin melihatnya ? Aku akan memberimu kesempatan untuk melihat, apakah orang yang bertempur dengan ayahmu itu Ki Jayaraga yang sebenarnya atau sekedar bayangannya."
"Tidak perlu. Seperti aku mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap diriku sendiri, maka akupun yakin, bahwa tidak ada Ki Jayaraga di pertempuran ini."
"Baik. Baik. Katakan apa saja menurut pendapatmu. Sekarang, seperti yang aku katakan, ulurkan kedua tanganmu. Aku akan mengikatnya dan aku akan membawamu ke Mataram."
"Cukup. Kau akan segera mati."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi.
Apalagi Raden Panengahpun segera meloncat menyerangnya dengan penuh kepercayaan diri.
Raden Panengah yakin bahwa jika ia mendapat kesempatan bertempur seorang melawan seorang, maka ia tentu akan segera dapat mengalahkan pemimpin prajurit Mataram itu.
Tetapi setelah bertempur beberapa lama, ternyata Raden Panengah telah membentur kemampuan yang tidak diduga sebelumnya.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata dengan tenangnya, pemimpin prajurit Mataram itu tidak dapat langsung dikuasainya.
Prajurit yang bernama Agung Sedayu itu mampu memberikan perlawanan yang berani kepada Raden Panengah.
Ketika Agung Sedayu itu meloncat surut, menghindari serangan Raden Panengah yang datang membadai.
Raden Panengah itupun sempat berteriak.
"Ternyata kau mampu memberikan perlawanan yang baik. Agung Sedayu. Aku justru senang menghadapimu. Sudah agak lama aku tidak bertemu dengan lawan yang mampu menitikkan keringatku. Semakin gigih kau memberikan perlawanan, maka aku akan menjadi semakin mendapat kepuasan menikmati kemenanganku."
"Tetapi jika perlawanan itu kemudian justru memotong perlawananmu dan bahkan mengalahkanmu."
"Hanya malaekat yang turun dari langit yang dapat mengalahkan aku dan ayahku. Itulah sebabnya, maka alangkah bodhnya para prajurit Mataram yang telah datang kemari."
"Tetapi yang terdengar jauh lebih besar dari kau dan ayahmu adalah Ki Saba Lintang dan orang-orangnya."
"Persetan dengan Saba Lintang."
"Namanya jauh lebih banyak dikenal dari namamu. Raden Panengah dan nama ayahmu, Raden Mahambara. Nama yang terkesan dibuat-buat. Bukankah nama-nama itu bukan nama kalian yang sebenarnya ?"
Raden Panengah tidak menjawab.
Namun iapun telah meloncat menyerang seperti prahara.
Kata-kata Agung Sedayu itu sangat menyakiti hatinya.
Pertempuranpun segera berlangsung semakin sengit.
Keduanya saling menyerang dengan garangnya.
Masing-masing telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi.
Raden Panengah mengumpat kasar ketika serangan Agung Sedayu mengenai pundaknya.
Kaki Agung Sedayu yang terjulur, mampu menerobos pertahanan Raden Panengah yang lengah.
Raden Panengah terdorong surut.
Bahkan hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.
Namun Raden Panengah itu tidak jatuh terguling di tanah.
Meskipun demikian, yang terjadi itu merupakan peringatan bagi Raden Panengah, bahwa lawannya bukan orang-orang padukuhan yang rapuh.
Karena itu, maka Raden Panengahpun menjadi semakin garang.
Ditingkatkannya ilmunya semakin tinggi.
Serangan-serangannya datang beruntun, mengalir tidak henti-hetinya.
Raden Panengah tidak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyerang.
Namun lawannya adalah orang yang sangat tangguh.
Ketika serangan-serangan Raden Panengah itu datang seperti prahara, maka Agung Sedayupun telah meloncat tinggi di udara.
Kemudian dengan sekali berputar, kakinya dengan lunak menyentuh tanah justru di belakang Raden Panengah.
Raden Panengah terkejut.
Dengan cepat ia memutar tubuhnya menghadap kepada Agung Sedayu yang sudah berdiri di belakangnya.
Namun demikian ia berputar, maka kaki Agung Sedayu itu sudah terjulur lurus menyamping mengenai dadanya.
Raden Panengahpun tidak sekedar terdorong surut.
Tetapi Raden Panengah itu sudah terlempar beberapa langkah dan bahkan terbanting jatuh di tanah yang berbatu padas.
Terdengar Raden Panengah itu mengaduh tertahan.
Namun dengan cepat ia bangkit.
Yang terdengar kemudian adalah umpatan-umpatan kasar dari mulutnya.
Agung Sedayu tidak memburunya.
Seakan-akan ia memang memberi kesempatan kepada Raden Panengah untuk menilai kemampuan di antara mereka berdua.
Dalam pada itu.
Sekar Mirah yang bertempur dengan kecepatan yang tinggi, telah mendesak beberapa urung lawannya.
Tiga orang gegedug yang garang, ternyata tidak dapat menguasainya.
Perempuan itu berloncatan dengan cepatnya, seakan-akan kakinya tidak berjejak di tanah.
Tiga orang laki-laki yang garang, yang terbiasa melakukan kekerasan di mana-mana, pada saat-saat mereka merampok atau menyamun atau merampas tanpa ampun di pasar-pasar yang sedang temawon, mengalami kesulitan melawan seorang perempuan.
Seorang yang berkumis lebat melintang, yang mengenakan kalung, yang terdiri dari untaian berbagai macam jimat dan benda-benda aneh yang dianggap bertuah, menjadi sangat heran melihat Sekar Mirah yang bertempur demikian garangnya.
Perempuan yang sudah separo baya itu sama sekali tidak mengalami kesulitan menghadapi tiga orang lawan.
Bahkan orang berkumis lebat itu, tidak pernah mendapat kesempatan menembus pertahanan Sekar Mirah.
Sementara itu, kawannya, seorang yang terhitung pendek, dengan tubuh yang agak gemuk, telah mengerahkan kemampuannya pula.
Tetapi perempuan itu bertempur terlalu cepat.
Serangan-serangannya yang lebih banyak ditujukan ke arah bagian-bagian tubuh yang lemah di bagian kepala dan wajah Sekar Mirah, sama sekali tidak mampu menyentuhnya.
Sedangkan seorang lagi yang lebih banyak berusaha menyapu kaki Sekar Mirahpun tidak banyak mempengaruhi gerak Sekar Mirah yang berloncatan dengan tangkasnya.
Sehingga dengan demikian, maka ketiga orang itulah yang justru segera mengalami kesulitan.
Selagi orang yang bertubuh pendek itu meloncat menyerang dengan menjulurkan tangannya mengarah ke pelipis.
Sekar Miraah justru menyerang orang yang berkumis lebat sambil menghindari serangan orang yang bertubuh pendek itu.
Serangan orang yang bertubuh pendek itu luput, sedangkan kawannya yang berkumis lebat telah terpelanting jatuh.
Namun dalam pada itu, selagi ketiga orang yang bertempur melawan Sekar Mirah itu menjadi semakin terdesak.
Seorang yang berwajah garang telah menyibak mereka sambil berteriak kasar.
"He, perempuan binal. Apa kerjamu di sini ?"
Sekar Mirah memandang orang yang berwajah garang itu. Ia melihat bekas segores luka di wajahnya. Iapun melihat sinar mata orang itu bagaikan bara.
"Siapa kau?"
"Namaku Kebo Angkat. Aku adalah orang terbaik di lingkunganku. Karena itu, maka nasibmu yang malang telah membawamu kepadaku."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Laki-laki itu memang nampak garang. Suaranyapun menggelegar seperti guruh.
"Apakah kau lebih baik dari pemimpin gerombolan itu, Raden Panengah apalagi Raden Mahambara."
"Kecuali keduanya. Kecuali kedua orang itu, maka aku adalah orang terbaik. Karena itu, sia-sia kau berusaha melawan aku. Akhirnya kau akan mati juga. Karena itu, daripada kau mengalami kesulitan di saat terakhirmu, tundukkan saja kepalamu. Kau akan mati tanpa merasakan kesakitan dan pedih."
"Jangan berkata begitu,"
Sahut Sekar Mirah.
"kesombongan tidak akan banyak menolong. Mungkin kau dapat mempengaruhi keberanian lawan-lawanmu. Tetapi mungkin, justru membuat lawanmu makin marah."
"Persetan kau iblis perempuan. Apakah Mataram sudah kekurangan prajurit laki-laki, sehingga kau, seorang perempuan telah diturunkan di medan pertempuran."
"Di Mataram tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan."
"Sepantasnya perempuan itu berada dalam pingitan. Tidak boleh keluar regol halaman. Sedangkan kau berkeliaran dengan sepasukan prajurit laki-laki sampai di sini. Hanya perempuan-perempuan binal sajalah yang melakukannya."
"Apakah dengan sikapmu serta kata-katamu yang kasar itu kau berusaha menyembunyikan kecemasanmu ? "
"Tidak. Tidak ada yang aku sembunyikan. Jika kau anggap sikapku dan kata-kataku kasar, itu sudah menjadi adat kebiasaanku."
Sekar Mirahpun kemudian bergeser sambil berkata.
"Nah, sekarang kau akan bertempur melawan seorang perempuan. Bersiaplah. Mungkin kau akan mendapatkan sebuah pengalaman baru."
"Jangan mengharapkan belas kasihanku. Meskipun kau perempuan, tetapi karena kau sudah berani melawanku, maka aku sudah berani melawanku, maka aku akan membunuhmu. Kau bukan perempuan yang pertama aku bunuh."
"Kau sudah pernah membunuh perempuan?"
"Ya."
"Apakah mereka juga bertempur seperti aku."
"Tidak. Tetapi mereka mempertahankan harta benda mereka. Mereka tidak mau menunjukkan di mana harta benda mereka itu mereka simpan. Aku menganggap bahwa yang mereka lakukan itu adalah satu perlawanan. Karena itu, mereka pantas untuk dibunuh sebagaimana aku akan membunuhmu."
"Kalau begitu, kau adalah orang yang memang pantas dibunuh. Karena itu, bersiaplah untuk mati. Perempuan yang kau hadapi sekarang tidak akan membiarkan dirinya kau bunuh seperti beberapa orang perempuan itu. Tetapi perempuan yang sekarang kau hadapi inilah yang akan menghentikan semua perbuatanmu yang terkutuk itu."
"Aku belum pernah bertemu perempuan yang sombong sekali sebagaimana kau sekarang ini."
"Memang berbeda. Perempuan yang pernah kau temui adalah perempuan yang tidak siap untuk bertempur melawanmu. Tetapi sejak berangkat dari Mataram, aku sudah siap untuk bertempur antara hidup dan mati."
Kebo Angkat tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian segera mempersiapkan diri. Ketika jari-jari tangannya nampak mengembang, serta Kebo Angkat itu siap menerkam seperti seekor harimau. Sekar Mirah sempat berkata.
"Aku tidak melihat seekor kerbau sebagaimana kau namai dirimu sendiri. Tetapi aku melihat seekor kucing yang akan menerkam."
"Persetan kau iblis betina,"
Geram Kebo Angkat.
Kebo Angkat itu benar-benar menerkam.
Kedua tangannya dengan jari-jarinya yang mengembang itu bergerak dengan cepat mengarah ke wajah Sekar Mirah.
Tetapi Sekar Mirah bergerak lebih cepat.
Dengan tangkasnya Sekar Mirah mengelakkan serangan itu dengan meloncat surut.
Tetapi Kebo Angkat tidak membiarkannya.
Dengan kecepatan yang tinggi Kebo Angkat itu meloncat memburunya.
Namun Kebo Angkat itu terkejut Sekar Mirah tiba-tiba saja telah meloncat ke samping, sementara itu tangannya bergerak mendatar menyambar kening.
Kebo Angkat terkejut.
Tetapi ia masih mampu mengangkat tangannya menangkis serangan itu.
Tetapi pada saat tangan Sekar Mirah dan Kebo Angkat berbenturan, Sekar Mirah justru telah meloncat sambil berputar.
Kakinyapun bergerak mendatar menyambar dada Kebo Angkat.
Kebo Angkat terkejut.
Tetapi kaki Sekar Mirah seakan-akan telah menghentikan pernafasannya.
Kebo Angkat itupun telah terdorong beberapa langkah surut.
Betapapun ia mencoba bertahan, namun ia tidak berhasil untuk mempertahankan keseimbangannya, sehingga dengan demikian, maka Kebo Angkat itupun telah terbanting jatuh.
Terdengar orang itu mengumpat.
Dengan cepat iapun melenting bangkit.
Sekar Mirah sengaja tidak memburunya.
Dibiarkannya saja Kebo Angkat itu meloncat berdiri.
Dengan cepat pula Kebo Angkat itupun segera mempersiapkan diri menghadapi lawannya.
Sekar Mirahpun bergeser perlahan mendekatinya sambil berkata.
"Kau berhadapan dengan seorang perempuan Kebo Angkat."
"Persetan kau iblis betina."
"Jangan meremehkan perempuan. Jangan berbangga bahwa kau telah membunuh beberapa orang perempuan. Justru karena itu, maka akhir hidupmupun berada di tangan seorang perempuan."
"Omong kosong,"
Geram Kebo Angkat.
Dengan garangnya Kebo Angkat itupun segera meloncat menyerang seperti angin ribut.
Sementara itu, di sayap yang lain, Ki Rimuk dan Nyi Rimuk yang merasa dirinya tidak terkalahkan, tiba-tiba saja telah berhadapan dengan sepasang suami istri yang terhitung masih muda.
"He, kalian rayakan hari pernikahan kalian di medan pertempuran?"
Bertanya Nyi Rimuk.
"Kami sudah lama menikah,"
Jawab Rara Wulan.
"Kenapa kalian berdua hari ini berada di medan pertempuran yang berat ini. Meskipun pertempuran ini tidak melibatkan pasukan segelar sepapan, tetapi pertempuran ini adalah pertempuran antara hidup dan mati,"
Bertanya Nyi Rimuk pula. Sementara itu Ki Rimukpun bertanya pula.
"Kalian tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Jika kalian berdua bukan prajurit Mataram, untuk apa kalian ikut bersama mereka datang kemari kemudian melibatkan diri dalam pertempuran ini ?"
"Aku tertarik untuk melibatkan diri,"
Jawab Glagah Putih.
"sebelum pertempuran ini kami sudah pernah bersentuhan dengan kawan-kawanmu yang berada di Babadan. Kami pernah bertemu dengan Ki Jagabaya Babadan. Bukankah Ki Jagabaya Babadan itu termasuk salah seorang penghuni sarang yang ada di ujung hutan ini ?"
Ki Rimuk itupun menggeram. Katanya.
"Persetan dengan Jagabaya Babadan. Ternyata ia tidak mampu menjunjung tugas yang dibebankan kepadanya. Seharusnya Ki Jagabaya itu sudah dapat memaksa Demang Prancak menyerahkan jabatannya. Tetapi sampai hari ini, Demang Prancak masih tetap berkuasa."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ia akan tetap berkuasa Bekel Babadan itulah yang harus menyerah."
"Itu tidak akan terjadi."
"Memang. Menurut ceritera yang kau susun, itu tidak akan terjadi. Tetapi ternyata bahwa jalur ceritera yang kau susun tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, sehingga segala sesuatunya akan menjadi hambar."
"Kau jangan membual di hadapanku. Kau tidak tahu apa apa tentang persoalan yang terjadi di Prancak. Hubungan antara Prancak dan Babadan yang gawat dan tentang banyak hal yang lain karena itu, kau tidak usah berbicara tentang Babadan."
"Baik. Baik. Aku tidak akan berbicara tentang Prancak dan Babadan. Yang ternyata kau hadapi sekarang adalah kekuatan prajurit Mataram."
"Kami akan menghancurkannya."
"Apapun yang terjadi, mimpi kalian untuk menguasai kademangan Prancak tidak akan berhasil. Seandainya kali ini prajurit Mataram dapat kau patahkan, maka dalam sepekan, tempat ini akan menjadi lebur bagaikan di hanyutkan banjir bandang. Prajurit Mataram segelar sepapan akan datang kemari untuk menghancurkan kalian. Nah, pada saat itu pula, persoalan Prancak akan diselesaikan oleh para pemimpin Mataram. Tentu saja dalam penyelesaian itu, tidak akan disinggung orang-orang yang berasal dari ujung hutan ini."
"Cukup,"
Teriak Ki Rimuk.
"kau tidak usah membual. Sekarang sudah waktunya untuk membunuh kalian berdua."
"Meskipun kami bukan prajurit, tetapi kami sudah sering berada di medan pertempuran bersama para prajurit. Karena itu, maka keberadaan kami disini sekarang, bukanlah satu peristiwa yang dapat membuat kami menjadi gugup."
Ki Rimuk tidak menjawab lagi.
Tetapi iapun segera memberi isyarat kepada isterinya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi dua orang suami isteri yang agaknya memang memiliki bekal yang kokoh untuk turun ke arena.
Sejenak kemudian, maka Ki Rimukpun telah mulai menyerang Glagah Putih sedangkan Nyi Rimuk meloncat sambil menjulurkan tangannya untuk menerkam Rara Wulan.
Tetapi keduanya dengan tangkas mengelakkan serangan-serangan lawan.
Bahkan dengan cepat pula Glagah Putih dan Rara Wulan telah membangun serangan.
Sejenak kemudian keempat orang itu sudah terlibat dalam |pertempuran yang sengit.
Rara Wulan melawan Nyi Rimuk, sedangkan Glagah Putih bertempur melawan Ki Rimuk.
Ki Rimuk dan Nyi Rimuk yang merasa memiliki ilmu yang tidak terbatas, ternyata telah membentur ilmu kedua orang suami isteri yang masih terhitung muda itu.
Ki Rimuk yang merasa seorang gegedug brandal yang sangat ditakuti itu, merasa heran, bahwa orang yang masih terhitung muda itu mampu mengimbanginya, sehingga ia mampu bertahan untuk beberapa puluh langkah.
Karena itu, maka Ki Rimuk yang sangat dihormati oleh para penghuni sarangnya itu segera meningkatkan ilmu lebih tinggi lagi.
Ki Rimuk itupun berharap agar segera dapat membunuh orang yang sombongnya bertimbun itu.
Tetapi ternyata bahwa lawannya juga telah meningkatkan ilmunya, sehingga Glagah Putih itu tetap saja mampu mengimbangi ilmu Ki Rimuk.
Sementara itu Nyi Rimukpun tidak menduga, bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula.
Karena itu, maka Nyi Rimukpun harus mengerahkan ilmunya untuk menghadapinya.
Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah mematangkan dirinya dengan ilmu yang disadapnya dari kitab pemberian Ki Namaskara, serta menjalani segala macam laku yang dituntut untuk menempa diri itu, memiliki beberapa kelebihan dari Ki Rimuk dan Nyi Rimuk.
Ketika kedua orang gegedug yang sangat dihormati oleh gerombolannya itu meningkatkan ilmunya lagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan justru semakin menunjukkan kelebihan mereka.
"Ki Sanak,"
Berkata Glagah Putih yang mulai mendesaknya.
"kau tidak mempunyai kesempatan lagi. Tetapi masih ada jalan bagimu agar kau dan perempuan itu tetap hidup. Jika kalian berdua menyerah, maka kalian tidak akan dihukum mati. Aku menjamin bahwa kalian tidak akan digantung di alun-alun."
"Persetan dengan celotehmu itu. Kau jangan berbangga dengan kemenangan-kemenangan kecil yang kau peroleh di pertempuran ini. Kemenangan yang sebenarnya akan ditentukan pada akhir pertempuran ini. Siapakah yang tetap hidup, maka ialah yang akan disebut menang."
"Haruskah di antara kita ada yang mati ?"
"Jika tidak, bagaimana kita tahu, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah ?"
"Jadi bagimu, kemenangan itu diukur dengan kematian lawan?"
"Ya. Tiada ukuran lain yang dapat ditrapkan."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Dengan nada tinggi iapun berkata.
"Jika seorang sudah tidak berdaya?"
"Ia akan diinjak kepalanya sampai mati."
"Baik. Kalau itu ukuranmu, maka aku akan memakai ukuran yang kau trapkan itu pula."
Ki Rimuk tidak berbicara lagi.
Iapun segera meloncat menyerang dengan garangnya.
Namun sementara itu, Glagah Putih pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dengan demikian, maka serangan-serangan Ki Rimuk yang datang kemudian tidak menggoyahkan.
Serangan-serangan Ki Rimuk yang bagaikan prahara itu telah membentur batu karang yang kokoh, yang tidak terguncang oleh prahara sebesar apapun.
Nyi Rimukpun mengalami kesulitan untuk menyeruak pertahanan Rara Wulan yang sangat rapat.
Bahkan serangan-serangan Rara Wulanlah yang kemudian justru berhasil menyentuh sasarannya, sehingga sekali-sekali Nyi Rimuk itu tergetar surut.
Dalam pada itu, di seluruh arena, pertempuranpun menjadi semakin sengit.
Tidak hanya di bagian depan sarang Raden Mahambara.
Tetapi di bagian belakangpun pertempuran berlangsung dengan sengitnya.
Para prajurit dan Pasukan Khusus yang memiliki tataran ilmu yang tinggi serta pendalaman yang luas, semakin mendesak maju mendekati barak-barak di ujung hutan itu.
Dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuan, para pengikut Raden Mahambara mencoba mempertahankan sarang mereka.
Sarang yang terdiri dari bangunan-bangunan yang sederhana.
Sarang yang sekedar merupakan landasan yang menurut rencana mereka akan segera meloncat ke Babadan.
Bahkan seluruh kademangan Prancak apabila persoalan kedudukan Demang Prancak itu sudah diselesaikan.
Jika mereka berhasil menguasai seluruh kademangan Prancak, maka mereka akan mempunyai landasan yang sangat kokoh.
Apalagi dengan demikian, merekapun akan segera berbaur dengan penghuni kademangan Prancak itu sendiri.
Mungkin mereka memerlukan tiga atau ampat padukuhan terpenting untuk menempatkan orang-orang mereka.
Mungkin mereka akan mempergunakan banjar padukuhan.
Mungkin mereka mempergunakan rumah-rumah penduduk atau bahkan membangun rumah-rumah sendiri di antara rumah penduduk, karena halaman-halaman rumah di Prancak masih cukup luas.
Namun ternyata bahwa kekuatan dan kemampuan para prajurit dari Pasukan Khusus itu memang sulit dibendung.
Meskipun perlahan-lahan, namun pasti, para prajurit itu merambat maju mendekati jantung pertahanan para pengikut Raden Mahambara.
Raden Mahambara sendiri bertempur dengan garangnya, setelah lama Raden Mahambara tidak bertemu dengan Ki Jayaraga, maka ia masih harus tetap mengakui, bahwa Ki Jayaraga adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Pada umurnya yang menjadi semakin tua, Ki Jayaraga masih tetap saja sulit untuk diatasi.
Ki Jayaraga sendiri harus mengerahkan kemampuannya pula untuk mengimbangi Raden Mahambara yang ilmunya menjadi semakin matang.
Ki Jayaraga itupun merasa beruntung, bahwa di umurnya yang semakin tua, ia masih tetap bekerja keras sehingga ketahanan tubuh serta tenaganya masih tetap terjaga.
Setiap hari Ki Jayaraga berada di sawah.
Dijemur panasnya matahari.
Mengayunkan cangkul, serta berjalan menyusuri tanah berlumpur sampai ke lutut di belakang bajak atau garu yang ditarik oleh dua ekor lembu.
Sedangkan setiap hari, Ki Jayaraga menyisihkan waktunya serba sedikit untuk berada di sanggar tertutup atau di sanggar terbuka.
Jika ia tidak sempat melakukan di siang hari, maka di malam hari.
Ki Jayaraga berada di dalam sanggar.
Di sanggar Ki Jayaraga tidak harus berloncatan memelihara tubuhnya agar tetap liat dan mampu bergerak cepat.
Tetapi kadang-kadang Ki Jayaraga duduk saja dengan memusatkan nalar budinya.
Latihan-latihan, bahkan menemukan beberapa unsur yang baru, dapat dilakukannya justru pada saat ia duduk bersamadi.
Dengan demikian, maka Ki Jayaraga tidak menjadi bingung menghadapi Raden Mahambara yang kemampuannya sudah menjadi semakin meningkat.
Dengan garang Raden Mahambara itnpun menggeram.
"Iblis tua ini masih saja mampu mengimbangi ilmuku."
Sebenarnyalah keduanya bertempur semakin seru.
Keduanya saling menyerang dengan garangnya.
Mereka berloncatan seakan-akan kaki mereka tidak menyentuh tanah.
Sekali-sekali terjadi benturan benturan yang semakin lama menjadi semakin keras.
Sekali-sekali Ki Jayaraga tergetar surut.
Namun di kesempatan lain, Raden Mahambaralah yang terdorong beberapa langkah.
Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang telah ditempa dengan keras, masih juga harus mengagumi kemampuan Ki Jayaraga dan Raden Mahambara yang kedua-duanya sudah menjadi semakin tua.
Para prajurit yang pada umumnya masih terhitung muda itu, lebih baik menghindari arena pertempuran di sebelah menyebelah Ki Jayaraga dan Raden Mahambara.
Apalagi para pengikut Raden Mahambara.
Mereka memang mengagumi Raden Mahambara sebagai seseorang yang tidak ada duanya.
Namun ternyata orang dari Mataram yang juga sudah ubanan itu, mampu mengimbangi kemampuannya yang sangat tinggi.
Apalagi ketika mereka menyadari bahwa Raden Panengahpun telah menemukan lawan yang tidak dapat dengan segera dikalahkannya.
Bahkan sekali-sekali Raden Panengah itu justru terdesak sehingga harus berloncatan mengambil jarak.
Para pengikut Raden Mahambara itu harus menghadapi kenyataan tentang prajurit Mataram itu.
Orang yang menilai bahwa prajurit Mataram itu sebenarnya ringkih, merasa membentur batu karang yang tidak tergoyahkan.
"Ternyata prajurit Mataram bukannya kekuatan yang rapuh seperti yang dikatakan orang,"
first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien Pendekar Cacad Karya Gu Long