Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 24


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   Terdengar orang itu berteriak mengumpat.

   Namun iapun segera roboh karena tombak yang menancap di pahanya itu.

   "Apakah kita akan bertempur terus sampai orang yang terakhir tidak mampu melawan lagi?"

   Bertanya Glagah Putih.

   Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang.

   Dalam pada itu, maka keempat orang yang harus bertempur melawan banyak orang itu sudah menghentikan perlawanan beberapa orang yang mereka duga orang-orang yang berasal dari ujung hutan itu.

   Bahkan Ki Jagabaya sendiri akhirnya terpelanting membentur dinding halaman rumah Ki Bekel di Babadan itu.

   Kepalanya menjadi pening sedangkan tulang-tulangnya serasa menjadi retak di mana-mana.

   Karena itulah maka tubuhnyapun terkulai lemah.

   Meskipun demikian, orang-orang Babadan yang sudah terpengaruh oleh harapan-harapan yang muluk menggapai langit yang sering dilontarkan oleh Nyi Demang dan anak laki-lakinya, Ki Bekel di Babadan, serta Raden Panengah yang pandai berbicara dengan gaya yang sangat menarik, seakan-akan telah kehilangan kepribadian mereka.

   Meskipun mereka melihat orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan itu sudah tidak berdaya, namun mereka sama sekali tidak melangkah surut.

   "Glagah Putih,"

   Desis Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.

   "kita harus berusaha menghentikan mereka. Jadi mereka menjadi seperti orang mabuk yang kehilangan nalarnya, maka mungkin sekali akan jatuh beberapa orang korban meskipun kita tidak sengaja melakukannya."

   "Maksud kakang ?"

   "Kita robohkan regol halaman banjar yang nampaknya tidak begitu kokoh itu, meskipun agaknya belum lama di buat."

   "Bagus kakang."

   "Kau menyerang uger-uger pintu disebelah kiri, aku disebelah kanan. Kemudian kau runtuhkan atapnya disisi kiri, aku akan berusaha untuk meruntuhkan sisi kanannya."

   "Baik, kakang. Mudah-mudahan cara ini dapat menghentikan orang-orang Babadan yang menjadi seperti kesurupan."

   Untuk beberapa saat, Glagah Putih dan Ki Lurah Agung Sedayu masih saja bertempur melawan orang-orang Babadan yang jumlahnya menjadi semakin banyak.

   Orang-orang yang tidak lagi dapat berpikir bening.

   Mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah satu perjuangan untuk membangun masa depan mereka bagi anak cucu mereka.

   Kesejahteraan yang tinggi seria kedudukan yang paling terhormat di seluruh kademangan Prancak.

   Namun beberapa saat kemudian, maka Ki Lurahpun berkata kepada Glagah Putih.

   "Sekarang, Glagah Putih. Naiklah ke tangga pendapa."

   Glagah Putihpun segera meloncat ke tangga pendapa.

   Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu.

   Bersamaan mereka telah meluncurkan ilmu puncak mereka.

   Dari tangan Glagah Putih seakan-akan telah meluncur sinar yang berwarna kehijau-hijauan.

   Sementara itu, sinar mata Ki Lurah yang bagaikan bara api itu telah memancar pula ilmunya yang jarang ada duanya.

   Demikianlah kedua kekuatan yang sangat besar itu telah meluncur, menghantam uger-uger pintu rcgol halaman rumah Ki Bekel.

   Dengan demikian, maka pintu regol halaman rumah Ki Bekel itupun telah terguncang oleh kekuatan yang sangat besar.

   Sedangkan sesaat kemudian, maka Glagah Putih dan Ki Lurah Agung Sedayu lelah menghantam atap regol yang tidak begitu kokoh itu dengan ilmu puncak mereka pula.

   Regol halaman rumah Ki Bekel itu bagaikan telah meledak.

   Sekejap kemudian, maka regol halaman rumah Ki Bekel itupun telah runtuh.

   Orang-orang yang berada di halaman itupun terkejut.

   Sekar Mirah dan Rara Wulanpun sempat terkejut pula.

   Namun merekapun segera mengerti, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih ingin segera menyelesaikan pertempuran itu tanpa harus mengorbankan nyawa seseorang.

   Sebenarnyalah, orang-orang Babadan itupun menjadi gentar.

   Merekapun kemudian berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang berdiri di tangga pendapa.

   "Kalian lihat, apa yang terjadi ?"

   Bertanya Ki Lurah Agung Sedayu dengan lantang.

   Pertempuranpun telah berhenti.

   Orang-orang yang berdiri di halaman itupun saling bepandangan sejenak.

   Mereka mula-mula merasa heran, atas apa yang terjadi.

   Namun kemudian merekapun menjadi sangat ngeri.

   Serangan serupa dapat saja ditujukan kepada mereka, sehingga dengan demikian, maka korbanpun akan berjatuhan dan mayat akan terkapar terbujur lintang di halaman.

   Ki Bekel yang masih saja belum turun ke medan pertempuran menjadi gemetar.

   Demikian pula Nyi Demang.

   Rasa-rasanya nyawanya telah melayang bersama dengan runtuhnya regol halaman rumah Ki Bekel itu.

   "Nah,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "bukan niatku menyombongkan diri. Tetapi kami dan bahkan kedua orang perempuan yang datang bersama kami berdua itupun mampu melakukannya. Jika kalian tidak menghentikan tindakan kalian yang bodoh itu, maka aku akan melakukannya dengan sasaran yang berbeda. Kalianlah yang akan menjadi sasaran. Aku tidak peduli berapa orang yang akan mati. Adalah hak kami untuk membela diri. Apalagi saat ini aku adalah seorang prajurit yang sedang mengemban tugas."

   Orang-orang yang berada di halaman itupun berdiri diam bagaikan membeku.

   Mereka melihat beberapa orang kawan mereka terkapar di halaman.

   Bahkan beberapa orang menjadi pingsan atau sudah terlanjur kehilangan nyawa mereka.

   Dalam pada itu, terdengar Ki Lurah itupun berkata selanjutnya.

   "Nah, segala sesuatunya terserah kepada kalian. Apakah kalian masih ingin bertempur terus, atau kalian akan menghentikan perlawanan dan mendengarkan kata-kataku."

   Orang-orang yang masih berada di halaman itu berdiri termangu-mangu.

   "Cepat, ambil keputusan atau kami akan kehilangan kesabaran. Jika kalian menghentikan perlawanan, maka kami akan mempunyai kesempatan untuk berbicara. Tetapi jika kalian tetap pada niat kalian untuk melawan kami, maka kami akan membunuh kalian semuanya tanpa ampun. Kami akan mengosongkan padukuhan Babadan untuk beberapa lama. Kemudian, kami akan menempatkan orang-orang baru untuk tinggal di sini. Kalian semuanya yang tersisa akan melihat, bahwa Babadan akan menjadi baru sama sekali. Para penghuni, para bebahu dan pemilikan atas Tanah di padukuhan ini akan berubah sama sekali. Semuanya akan menjadi baru. Babadan yang lama telah lebur. Yang kemudian akan menjadi bagian dari kademangan Prancak adalah Babadan yang baru."

   Orang-orang yang berada di halaman sambil memegang senjata mereka seadanya itupun masih tetap diam mematung.

   "Baiklah. Kita tidak boleh berlarut-larut dalam teka-teki ini. Sekarang kalian harus menjawabnya. Jika kalia ingin menyelesaikan persoalan kalian dengan baik, maka bawa Nyi Demang dan Ki Bekel itu kemari. Bawa mereka naik ke pendapa. Demikian pula Ki Jagabaya yang terkulai itu serta para bebahu yang lain. Tetapi jika kalian tidak melakukannya, maka kami berempat akan menyerang kalian dengan ilmu pamungkas kami. Kalian akan menjadi sasaran sebagaimana regol halaman rumah Ki Bekel ini."

   Suasanapun menjadi sangat tegang. Orang-orang yang berada di halaman itu tidak segera dapat mengambil keputusan. Namun Ki Lurah Agung Sedayu itupun berkata.

   "Aku akan menghitung sampai sepuluh. Kami berempat akan berdiri berjajar di sini. Jika sampai hitungan kesepuluh kalian belum membawa Nyi Demang dan Ki Bekel kemari, maka kami akan membunuh kalian semuanya. Kemudian kami akan menghancurkan Babadan lama ini menjadi abu. Di alasnya nanli akan dibangun Babadan baru dengan orang-orang baru."

   Rara Wulan dan Sekar Mirahpun tanggap akan maksud Ki Lurah Agung Sedayu.

   Karena itu, maka merekapun segera naik ke tangga pendapa itu pula.

   Orang-orang yang berada di halaman menjadi sangat gelisah.

   Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayupun mulai menghitung.

   "Satu, dua, tiga......"

   Ternyata orang-orang di halaman itupun menjadi gentar.

   Mereka melihat Ki Lurah Agung sedayu serta ketiga orang yang lain bagaikan algojo-algojo yang siap menebas leher mereka sehingga kepala mereka terpenggal.

   Ketika Ki Lurah Agung sedayu sampai hitungan ke lima, maka orang-orang Babadan itu menjadi sangat gelisah.

   Akhirnya seorang di antara merekapun berteriak.

   "Kita bawa Nyi Demang dan Ki Bekel ke pendapa."

   Seorang yang Iainpun menyahut.

   "Ya. Kita bawa mereka ke pendapa."

   Ternyata pernyataan itu telah menggerakkan beberapa orang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang kemampuan keempat orang yang berdiri di tangga pendapa itu.

   Jika mereka benar-benar melontarkan ilmu pamungkasnya ke arah mereka yang berdiri di halaman itu, maka seperti yang mereka katakan, mereka yang berada di halaman itupun akan mati sampai orang yang terakhir.

   Karena itu, maka beberapa orangpun segera menangkap Nyi Demang serta Ki Bekel Babadan dan menarik mereka ke pendapa.

   "Jangan, jangan."

   Nyi Demang berteriak-teriak.

   "Ki Jagabaya, tolong aku."

   Tetapi Ki Jagabaya masih terkulai dengan lemahnya. Meskipun ia mencoba untuk bangkit, tetapi ia sudah tidak berdaya sama sekali. Sementara itu Nyi Demang masih saja berteriak-teriak.

   "Jangan. Lepaskan aku. Lepaskan."

   Tetapi orang-orang Babadan itu tidak menghiraukannya. Mereka telah menyeret Nyi Demang dan Ki Bekel ke pendapa.

   "Bawa perempuan itu naik,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.

   Meskipun Nyi Demang meronta-ronta, namun ia tidak berhasil melepaskan dirinya dari tangan beberapa orang laki laki yang menyeretnya ke pendapa.

   Ki Bekelpun tidak dapat berbuat lain.

   Ia tidak meronta dan berteriak seperti ibunya.

   Tetapi Ki Bekel itu menurut saja ketika ia dibawa naik ke pendapa.

   Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian berbicara kepada orang-orang Babadan yang berada di halaman.

   "Nah. Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan pulang dahulu, atau kalian akan menunggui pembicaraan di antara kami. Kami masih menunggu Ki Jagabaya dan para bebahu. Namun jika kalian akan pergi, rawat kawan-kawan kalian. Mudah-mudahan tidak ada di antara mereka yang mati. Tetapi aku minta orang-orang yang datang dari ujung hutan itu untuk diikat pada pepohonan, kecuali Ki Jagabaya yang harus kalian bawa kemari."

   Ternyata orang-orang padukuhan Babadan melakukan perintah Ki Lurah Agung Sedayu karena mereka tidak ingin mati di halaman rumah Ki Bekel itu.

   Dalam pada itu, Nyi Demang, Ki Bekel, Ki Jagabaya yang masih lemah serta para bebahu lelah dibawa naik ke pendapa.

   Sejenak kemudian, maka orang-orang Babadan itupun menjadi sibuk.

   Mereka mengumpulkan sanak kadang, tetangga-tetangga serta kawan-kawan mereka yang terkapar di halaman.

   Beruntunglah bahwa tidak ada di antara mereka yang terbunuh.

   Tetapi ada beberapa orang yang terluka cukup parah.

   Sedangkan ada pula yang lain yang menjadi pingsan.

   Seperti yang diperintahkan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka beberapa orang yang berasal dari sarang mereka di ujung hutan, telah diikat pada batang-batang pohon di halaman.

   Orang-orang Babadan itu mengenal benar, siapakah di antara mereka yang berasal dari ujung hutan itu.

   Di pringgilan, Ki Bekel, Nyi Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu duduk dengan kepala tunduk menghadap Ki Lurah Agung Sedayu.

   Sedangkan orang-orang tua dan orang-orang terkemuka di Babadan telah naik ke pendapa pula, serta duduk agak terpisah dari mereka yang dihadapkan kepada Ki Lurah.

   Mereka ingin mengetahui apa saja yang akan dibicarakan oleh Nyi Demang, Ki Bekel serta para bebahu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

   Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayulah yang mula-mula berbicara.

   "Ki Bekel. Kenapa Ki Bekel berniat memgambil alih jabatan Ki Demang di Prancak sehingga Ki Bekel kemudian menjadi Demang di Prancak atau kademangan apapun juga namanya nanti, tetapi yang wilayahnya adalah wilayah kademangan Prancak ?"

   Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ibunya dengan wajah yang tegang.

   "Ampun Ki Lurah,"

   Nyi Demanglah yang menyahut. Namun dengan cepat Ki Lurah Agung Sedayu berkata.

   "Bukan kau Nyi. Aku bertanya kepada Ki Bekel."

   "Aku mengerti, Ki Lurah. Akupun akan menjawab atas nama Ki Bekel."

   "Sekali lagi aku katakan, aku bertanya kepada Ki Bekel. Jangan paksa aku membentak dan memaksa Nyi Demang untuk diam."

   Nyi Demang terdiam. Ia melihat wajah Ki Lurah yang menjadi kemerah-merahan. Agaknya Ki Lurah Agung Sedayu itu benar-benar menjadi marah.

   "Nah, jawablah Ki Bekel."

   Ki Bekel itu masih saja ragu-ragu. Tetapi ia terpaksa menjawab dengan suara yang sendat.

   "Aku menurut saja apa yang dimaui oleh ibu."

   "Jadi, yang mempengaruhimu agar kau melawan kakakmu adalah ibumu?"

   "Bukan maksudku untuk melawan Ki Demang di Prancak, Ki Lurah."

   "Kalau Nyi Demang masih saja menjawab, aku akan memerintahkan untuk menyumbat mulutmu."

   Nyi Demang terdiam lagi. Tetapi kegelisahan yang sangat membayang di wajah dan sikapnya. Beberapa kali ia beringsut. Namun ia tidak berani berkata apa-apa lagi.

   "Ki Bekel,"

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berkata Ki Lurah kemudian.

   "Jadi yang mempengaruhi agar kau melawan Ki Demang adalah ibumu ?"

   Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian iapun menjawab.

   "Ya, Ki Lurah."

   Nyi Demang beringsut pula setapak. Tetapi Ki Lurah mendahuluinya.

   "Jangan bicara apa-apa."

   Selanjutnya Ki Lurah itupun bertanya.

   "Selain ibumu, apakah ada orang lain yang mempengaruhimu ?"

   Wajah Ki Bekel menjadi sangat tegang. Sementara itu Ki Lurah pun berkata.

   "Aku dapat mempergunakan banyak cara untuk memaksamu berbicara. Karena itu, aku tidak mempergunakan cara yang terburuk."

   Keringat dingin membasahi pakaian Ki Bekel. Dengan gagap iapun menjawab.

   "Ada Ki Lurah."

   "Siapa?"

   Ki Bekel semakin menjadi bingung. Wajahnya menjadi sangat tegang dan pucat. Sekali-sekali ia berpaling kepada ibunya yang juga menjadi sangat tegang. Namun Ki Bekel itupun menjawab dengan penuh kebimbangan.

   "Raden Panengah."

   "Raden Panengah pemimpin gerombolan perampok yang bersarang di ujung hutan itu ?"

   Ki Bekel tidak mempunyai jawaban lain. Karena itu, maka iapun menjawab.

   "Ya, Ki Lurah."

   "Kapan kau mulai mengenal orang yang bernama Raden Panengah itu ?"

   "Sudah agak lama, Ki Lurah."

   "Siapakah yang memperkenalkan kau dengan Raden Panengah?"

   Sekali lagi Ki Bekel menjadi sangat bimbang. Namun akhirnya iapun menjawab.

   "Ibu, Ki Lurah."

   "Jika demikian, siapakah yang memulainya. Nyi Demang yang berniat melawan Ki Demang kemudian minta tolong kepada Raden Panengah, atau Raden Panengah yang ingin memanfaatkan keadaan di Babadan ini bagi kepentingannya, sehingga ia mempengaruhi Nyi Demang agar membujuk Ki Bekel untuk melawan kakaknya. Jika Ki Bekel berhasil, maka Babadan dan seluruh kademangan ini akan menjadi sarang gerombolan yang dipimpin oleh Raden Panengah itu. Meskipun ujudnya Ki Bekel yang menjadi Demang di kademangan ini, tetapi ia tidak mempunyai kuasa apa-apa. Bahkan Nyi Bekelpun akan disisihkan pula, sehingga kekuasaan yang sebenarnya akan berada di tangan Raden Panengah."

   Ki Bekel tidak menjawab. Tetapi kepalanya menjadi semakin menunduk, sementara Nyi Demang yang muda itupun menjadi gemetar.

   "Ki Bekel,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "sebenarnyalah aku tidak ingin mencampuri persoalan yang timbul di kademangan ini. Tetapi akupun tidak mau ada orang lain yang melakukannya. Selama ini orang-orang yang bersarang di ujung hutan itu telah mencampuri langsung persoalan yang timbul atau sengaja di timbulkan di Kademangan ini. Dengan kekuatan mereka berusaha memaksakan kehendak mereka. Sementara itu. Ki Bekel di Babadan adalah orang yang hatinya sangat lemah, sehingga ia bersedia melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya. Ia tidak berdiri sebagai seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan. Tetapi Ki Bekel justru menjadi semacam golek yang dipermainkan oleh orang-orang di ujung hutan. Sementara Nyi Demang adalah seorang yang tamak, yang mabuk kekuasaan dan lebih dari itu, hatinya telah tertambat pula kepada orang yang menyebut dirinya Raden Panengah. Maka lengkaplah kesalahan yang telah dilakukan oleh Nyi Demang. Sehingga ia rela mengorbankan apa saja untuk dapat mencapai maksudnya. Disahkannya segala cara tanpa menghiraukan tatanan, paugeran dan kehormatan bagi dirinya."

   Nyi Demang itupun tiba-tiba telah terisak, Ki Bekel yang melihat ibunya menangis, telah mengusap air matanya pula. Namun tidak seoran pun tahu, makna dari tangis Nyi Demang. Bahkan Ki Lurah Agung Sedayupun berkata.

   "Kita hanya dapat melihat kesan-kesan lahiriahnya saja atas kalian, para pemimpin padukuhan Babadan. Tetapi kita tidak dapat melihat, apa yang sebenarnya bergejolak didalam hati mereka. Jika kita melihat Nyi Demang menagis, kita tidak tahu apa yang ditangisinya? Apakah Nyi Demang menangis untuk menyesali kesalahan yang pernah dilakukannya? Apakah Nyi Dentang menyesal karena tidak dapat mencapai maksudnya sehingga menjadi sangat kecewa dan bahkan pendendam. Atau sekedar dilakukannya agar terasa pantas bahwa Nyi Demang itu seharusnya memang menangis? Atau karena alasan-alasan yang lain? Tangis Nyi Demang itu semakin menjadi-jadi. Dengan suara yang patah-patah iapun berkata.

   "Aku menyesali kesalahanku, Ki Lurah. Aku sangat menyesal, bahwa karena perbuatanku itu, kademangan Prancak mengalami benturan-benturan diantara keluarga sendiri."

   Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukannya. Bahkan Ki Lurah itupun berkata.

   "Untuk selanjutnya, biarlah Ki Demang berbicara langsung dengan Ki Bekel di Babadan. Keduanya adalah kakak beradik. Keduanya mempunyai ikatan darah yang sangat erat. Karena itu, aku yakin bahwa keduanya akan dapat menemukan kesimpulan yang memuaskan segala pihak. Sementara itu aku akan menyingkirkan orang-orang yang berasal dari ujung hutan. Mereka adalah tawanan yang akan aku bawa ke Mataram. Namun dalam pada itu, aku juga terpaksa membawa Nyi Demang bersama kami."

   "Ki Lurah,"

   Nyi Demang itu menjerit.

   "jangan bawa aku pergi dari padukuhan ini."

   "Untuk sementara Nyi Demang harus menyingkir dari Babadan, Nyi Demang tidak boleh mempengaruhi pembicaraan antara Ki Demang dan Ki Bekel. Antara dua orang bersaudara yang sedang bersengketa itu. Persengketaan itu timbul antara lain karena sikap Nyi Demang."

   "Tetapi aku sudah mengakui kesalahanku, Ki Lurah aku mohon ampun."

   "Selain Nyi Demang sudah membuat kademangan Prancak resah. Nyi Demang juga sudah mencoba meracun kami. Aku peringatkan, bahwa mangkuk-mangkuk yang dipergunakan untuk menghidangkan minuman bagi kami itu telah tercemar oleh racun yang keras."

   "Aku mohon ampun, Ki Lurah."

   "Itu akan kita bicarakan kemudian setelah pembicaraan antara Ki Demang dan Ki Bekel selesai."

   Nyi Demang itupun menangis semakin keras.

   Tetapi keputusan Ki Lurah Agung Sedayu tetap.

   Nyi Demang akan dibawanya ke padukuhan induk.

   Sebelum persoalannya selesai, Nyi Demang masih harus berada didalam tahanan.

   Demikianlah, sesaat kemudian, Ki Lurah Agung Sedayupun minta diri.

   Beberapa orang dari ujung hutan yang berada di Babadan telah dibawa serta ke padukuhan induk.

   Demikian pula Nyi Demang, betapapun ia menangis dan minta ampun.

   Sebenarnyalah Sekar Mirah dan Rara Wulan merasa iba pula mendengar tangis Nyi Demang.

   Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

   Merekapun tahu, bahwa Nyi Demang itu adalah seorang yang sangat berbahaya.

   Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.

   Dalam pada itu, orang-orang Babadan ternyata semakin menyadari, apakah yang telah terjadi di padukuhan mereka.

   Ki Bekel yang matanya menjadi berkaca-kaca ketika ibunya dibawa oleh Ki Lurah Agung Sedayu, menjadi gemetar menghadapi para bebahu dan rakyatnya di padukuhan Babadan.

   Mata mereka bagaikan menyala memandanginya.

   Berpuluh pasang mata.

   Sementara itu, Ki Jagabaya dan orang-orang yang selama ini melindunginya telah dibawa oleh Ki Lurah.

   Bahkan ibunya yang mengatur segala-galanya, telah pergi pula.

   Seorang yang rambutnya sudah ubanan datang mendekatinya.

   Sambil duduk di sebelahnya orang itupun berkata.

   "Jadikan peristiwa ini pengalaman yang sangat berharga Ki Bekel."

   Ki Bekel mengusap matanya yang basah. Sementara itu seorang yang lain telah mendekatinya sambil berkata.

   "Bukankah sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa Ki Bekel harus berhati-hati berhubungan dengan orang-orang dari ujung hutan itu."

   Ki Bekel masih saja menunduk. Sedangkan seorang lagi datang kepadanya. Bahkan sambil menunjuk hidungnya orang itu berkata dengan kasar.

   "Kita semua telah ditenggelamkan kedalam kubangan nafsu ibumu yang terjerat oleh laki-laki dari ujung hutan itu. Sekarang, apa tanggungjawabmu ?"

   Sedangkan orang yang bertubuh tinggi, berdada bidang yang ditumbuhi rambutnya yang lebat, yang nampak dari sela-sela bajunya yang terbuka di belahan dadanya, berkumis melintang dan bermata tajam seperti mata burung hantu membentaknya.

   "He cengeng. Kau jangan hanya dapat menangis. Apa yang terjadi di padukuhan ini adalah tanggung-jawabmu, anak manja. Sekarang ibumu sudah ditangkap dan dibawa oleh prajurit Mataram. Yang tinggal hanyalah kau saja. Lalu apa katamu ?"

   Ki Bekel itu tiba-tiba menggeram.

   Ia mengepalkan tangannya.

   Matanya memang masih basah.

   Tetapi mata itu kemudian menjadi bagaikan membara.

   Ki Bekel itu menghentakkan tangannya.

   Dengan serta-merta iapun bangkit berdiri.

   Dengan suara yang parau Ki Bekel itupun berteriak.

   "He, penjilat-penjilat yang tidak tahu diri. Apa yang kau lakukan selama ini, he ? Ketika ibuku masih berdiri dengan kokoh meskipun bersandar kepada orang-orang dari ujung hutan, kalian datang berjongkok dihadapannya sambil menyembah. Kalian berebut mendapat perhatiannya agar kalian mendapat keuntungan dari sikap ibuku. Bahkan jika aku berjalan lewat jalan utama padukuhan ini, kalian datang berpapasan dengan aku mengangguk hormat sampai wajah kalian mencium lulut. Kalian bahkan menganggap aku tidak sekedar seorang Bekel, atau seorang Demang. Lebih dari itu. Kalian menyembah aku seperti menyembah seorang Adipati. Kalian bersumpah untuk tetap setia sampai akhir hayat kalian serta mendukung langkah-langkah yang diambil oleh ibuku atas namaku."

   Ki Bekel itu berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang datang untuk menyalahkannya dan menyalahkan ibunya. Lalu katanya pula.

   "Apa yang ada di otak kalian waktu itu, he ? Dan apa pula yang berkecamuk di otak kalian sekarang ?"

   Tiba-tiba pula orang-orang yang merubung Ki Bekel itu bergeser surut. Mereka termangu-mangu sejenak. Kemudian kepala-kepala itupun tertunduk dalam-dalam. Sedangkan Ki Bekel masih berkata selanjutnya.

   "Kalian yang pada waktu itu berlutut untuk menjilat kakiku, sekarang, ketika keadaan berubah, kalian menudingku sebagai seorang yang tidak bertanggung-jawab. Bahkan sebagai seorang pengkhianat. Kenapa tudingan seperti mi tidak kalian lakukan sebelumnya. Kenapa pada waktu itu tidak seorangpun datang kepadaku untuk memberi peringatan kepadaku. Kalikan kalian semua justru mendukungnya? Kenapa? Bahkan kalian lelah bersumpah setia untuk memperjuangkan keinginan kita bersama mengambil alih kepemimpinan kedemangan Prancak itu sampai titik darah yang penghabisan? Darah yang mana? Darah siapa? Siapa?"

   Suara Ki bekel itupun terdengar menggelegar seakan-akan telah mengguncang tiang-tiang pendapa rumahnya yang kokoh itu. Orang-orang yang ada disekitarnya itupun menundukkan wajahnya semakin dalam. Sementara Ki Bekel itu masih berkata selanjutnya.

   "Kalian yang bersumpah setia untuk berjuang merebut kepemimpinan kademangan Prancak itu sekarang justru menuduh aku tidak bertanggung jawab. Ketika kalian melihat bahaya itu datang, maka tiba-tiba saja kalian yang pernah bersumpah setia itu telah menangkap ibuku dan aku, menyeret naik ke pendapa ini. Itupun ungkapan dari sumpah setia kalian? Nah, jika sekarang kalian menuntut aku untuk bertanggung-jawab, baik. Aku akan bertanggung-jawab. Apa ujud dari pertanggung-jawaban itu menurut kalian? Apakah aku harus mati malam ini? Atau aku harus pergi ke padukuhan induk kademangan Prancak untuk mengamuk seorang diri sampai mati dikrocok senjata oleh orang-orang Prancak dan para prajurit Mataram yang sekarang berada di Prancak? Atau apa? Katakan. Apa yang harus aku lakukan. Aku akan melakukannya. Atau aku harus membunuh diri di pendapa ini?"

   Tidak seorangpun yang menjawab.

   Ketika Ki Bekel itu melangkah maju mendekati orang yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan membentak-bentaknya itu, maka orang itupun telah melangkah surut.

   Namun Ki Bekel itupun kemudian mencengkam baju orang yang lebih tinggi dan lebih besar dari dirinya itu sambil membentak.

   Orang itu tidak menjawab.

   Bahkan ketika Ki Bekel itu mengguncang bajunya, orang itu tetap saja diam sambil menunduk semakin dalam.

   Ki Bekel melepaskan baju orang itu.

   Iapun melangkah mendekati orang-orang yang lain sambil berkata.

   "Kalianlah cucurut-cucurut yang pengecut itu. Kalian berteriak-teriak dengan suara yang menggelegar bagaikan meruntuhkan gunung untuk mendukung perjuanganku. Kalianlah yang sebenarnya telah menjerumuskan aku ke dalam kesulitan ini. Justru pada saat-saat yang genting, kalian benar-benar bersikap seperti seorang pengecut. Kalianlah yang sebenarnya telah mengkhianati aku dan ibuku. Kalianlah yang sebenarnya pengkhianat itu."

   Orang-orang Babadan itu bagaikan membeku di tempatnya. Dengan suara yang merendah, Ki Bekel itupun berkata.

   "Pergilah. Pulanglah. Nikmatilah keselamatan kalian dari kemarahan orang-orang berilmu tinggi dari Mataram itu. Berbangga pulalah bahwa kalian telah dapat menudingku sebagai seorang pengkhianat. Dengar. Aku memang tidak akan ingkar. Aku akan menemui kakang Demang untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanku selama ini. Jika kakang Demang memutuskan untuk menggantungku di halaman banjar, datanglah untuk menonton tubuhku yang bergayut di tali gantungan. Mungkin aku akan digantung bersama ibu. Mungkin juga Ki Jagabaya dan siapa lagi. Bersoraklah kalian karena kematianku itu akan berarti keselamatan kalian."

   Pendapa itupun telah dicengkam oleh kesenyapan yang sangat tegang. Namun tiba-tiba saja Ki Bekel itu berteriak.

   "Pergi. Pergi. Semuanya pergi."

   Beberapa orangpun segera beringsut dan turun dari pendapa. Ketika masih ada dua tiga orang yang duduk di pringgitan, Ki Bekel itu tiba-tiba saja menarik kerisnya sambil berteriak lebih keras lagi.

   "Pergi. Kau juga pergi. Atau aku bunuh kau di sini."

   Orang-orang yang berada di pringgitan itupun telah beringsut pula dan turun ke halaman.

   Mereka merasa tidak akan mungkin dapat meredakan kemarahan Ki Bekel yang bagaikan membakar ubun-ubunnya itu.

   Namun sebelum mereka sampai ke regol halaman yang roboh itu, terdengar Ki Bekel itu tertawa.

   Tertawa semakin lama semakin keras.

   Orang-orang yang akan meninggalkan halaman itu sempat tertegun.

   Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ki Bekel itu masuk ke dalam rumahnya.

   Namun suara tertawanya itu masih saja terdengar bagaikan menggetarkan atap rumahnya.

   Orang-orang yang kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel itu memang sempat merenungi sikap mereka.

   Merekapun sempat mengingat apa yang mereka lakukan sebelum orang-orang Mataram itu datang.

   Mereka memang pernah menyatakan kesetiaan mereka.

   Mereka mendukung niat Ki Bekel untuk mengambil alih kepemimpinan kademangan Prancak.

   Mereka telah mendorong Ki Bekel untuk bertindak lebih jauh dengan dukungan orang-orang dari ujung hutan itu.

   Tetapi pada saat Ki Bekel mengalami kesulitan, pada saat tangan-tangan pemerintah Mataram menggapai Ki Bekel untuk meluruskan kesalahan yang telah dilakukannya, maka mereka justru telah menindih Ki Bekel itu dengan berbagai macam tudingan dan umpatan.

   Ki Bekel memang bersalah.

   Tetapi memang tidak adil jika kesalahan itu hanya ditimpakan kepada Ki Bekel dan ibunya saja.

   Kesalahan yang dilakukan oleh Nyi Demang yang muda serta anaknya, didukung oleh para perampok dan penyamun yang bersarang di ujung hutan itu, telah menjalar ke seluruh padukuhan Babadan serta padukuhan terdekat.

   Sementara itu, Ki Bekel Babadan yang tertawa berkepanjangan di dalam rumahnya, akhirnya berhenti juga.

   Ia tertunduk di amben bambu panjang di ruang dalam.

   Pakaiannya telah menjadi basah kuyup oleh keringatnya yang mengalir seperti di peras dari dalam tubuhnya.

   Ketika jantung Ki Bekel itu terasa berdegup semakin keras, sehingga seakan-akan hendak meledak, maka Ki Bekel itu tertegun.

   Ia melihat seorang tua berdiri di pintu samping ruang dalam yang menuju ke serambi.

   Orang tua yang nampak dari ujudnya sangat sederhana.

   Dengan pakaian yang tua yang kusut.

   "Kakek,"

   Desis Ki Bekel. Orang tua itu melangkah mendekat. Sementara itu, Ki Bekel tiba-tiba saja bangkit berdiri dan cepat-cepat mendapatkannya. Tiba-tiba saja Ki Bekel itu berjongkok di hadapan orang tua itu.

   "Bangkitlah cucuku,"

   Berkata orang yang sudah nampak tua itu. Meskipun ia masih juga berdiri tegak serta ingatannya masih tetap utuh.

   "Aku minta ampun kek. Aku minta ampun. Selama ini aku tidak pernah mendengarkan nasehat kakek. Tetapi ibulah yang mengajari aku berbuat seperti itu."

   "Sudahlah. Aku tidak menyalahkan kau. Aku juga tidak menyalahkan ibumu. Ibumu sejak kecil memang seorang yang manja, agak serakah dan ingin lebih dari yang lain. Aku dan nenekmu almarhum memang agak kewalahan menghadapinya."

   "Tetapi taruhannya terlalu besar, kek. Taruhannya bukan sekedar uang, tetapi taruhannya adalah jabatanku dan bahkan nyawaku. Mungkin saja Mataram akan memutuskan aku bersalah, memberontak karena ibu sudah mencoba membunuh pemimpin prajurit yang sedang menjalankan tugasnya. Bagaimanapun juga, apapun yang dilakukan ibu, harus aku pertanggung-jawabkan."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kita berdoa saja ngger. Semoga Yang Maha Agung mengampunimu serta memberikan penyelesaian yang baik semua pihak."

   "Jika saja aku dan ibu mendengarkan nasehat kakek pada waktu itu."

   "Itu sudah lampau, ngger."

   "Kakek sudah berniat baik. Tetapi tanggapan ibu sangat buruk terhadap petunjuk kakek. Akupun telah berbuat seperti ibu pula, sehingga kakek seakan-akan tidak pernah ada di rumah ini."

   "Masih ada kesempatan ngger. Jika kakakmu Demang Prancak itu datang menemuimu atau memanggilmu, kau harus berani mengakui semua kesalahan. Kau minta ampun kepadanya."

   Ki bekel itu mengangguk sambil menjawab.

   "Ya, kek. Aku akan menyerahkan nasibku kepadanya. Bahkan seandainya kakang Demang tidak mau memaafkan aku."

   Orang tua itu menarik nafas panjang. Dibimbingnya cucunya itu dan dibawanya duduk di amben panjang. Katanya.

   "Aku mengenal kakakmu itu, angger. Meskipun ia bukan cucuku sendiri, karena ibunya bukan anakku sebagaimana kau. Tetapi sejak kecil aku bergaul dengan anak itu. Ia anak baik. Ia bukan pendendam."

   "Kalau kakang sudah berubah?"

   "Mudah-mudahan ia tidak berubah, ngger. Mudah-mudahan ia masih tetap anak yang manis seperti dahulu. Anak yang sabar, tetapi teguh akan sikap dan pendiriannya. Ia anak yang baik."

   "Ya, kek. Aku juga menganggap ia seorang kakak yang baik."

   "Nah, karena itu, jangan berprasangka buruk. Serahkan dirimu kepada kakakmu. Aku yakin ia akan memaafkanmu. Bahkan mungkin kakakmu juga akan memaafkan ibumu. Tetapi aku tidak tahu sikap para prajurit Mataram. Ibumu telah mencoba membunuh mereka dengan racun."

   "Ya, kek. Aku yakin bahwa kakang Demang akan memaafkan aku dan ibu. Tetapi mungkin prajurit Mataram tidak akan memaafkan terutama karena ibu sudah mencoba membunuh pemimpin mereka."

   "Sudahlah. Sekarang beristirahatlah. Tenangkan hatimu."

   "Terima kasih, kek. Tetapi seharusnya aku dan ibu lebih dahulu harus mohon maaf kepada kakek. Selama ini kami tidak pernah mendengarkan nasehat kakek. Bahkan kami telah dengan sengaja memisahkan kakek sehingga kakek seakan-akan tidak berada di rumah ini. Kami tidak lagi pernah menghiraukan kakek, apalagi mendengarkan nasehat kakek. Sekarang, baru kami tahu, bahwa seharusnya kami menurut petunjuk kakek itu."

   "Sudahlah. Sudah aku katakan, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Yang penting, marilah kita melihat masa depan. Kita berdoa semoga Yang Maha Agung membuka jalan bagi kita untuk dapat keluar dari kesulitan ini."

   "Ya, kek."

   "Nah, akupun akan beristirahat pula."

   "Kakek mau kemana?"

   "Aku akan pergi ke bilikku."

   "Kakek disini saja. Jangan pergi ke bilik kakek di sebelah dapur itu lagi. Tempat itu tidak pantas bagi kakek."

   "Bukankah sudah lama aku menempati bilik itu?"

   "Itulah antara lain kesalahan kami diantara kesalahan kami yang banyak sekali kepada kakek."

   Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya.

   "Aku merasa tenang berada di bilik itu. Aku senang karena udaranya terasa hangat karena bilik itu berada di dekat dapur. Setiap kali aku dapat mencium bahu yang sedap jika ada orang yang sedang masak di dapur itu."

   "Kek, maafkan kami, kek."

   Orang tua itu tidak menghiraukan lagi Ki Bekel yang mencoba mencegahnya. Katanya sambil melangkah.

   "Beristirahatlah. Aku juga akan beristirahat."

   Ki Bekel yang bangkit pula pada saat kakeknya berdiri dan melangkah meninggalkannya itu telah terduduk kembali.

   Berbagai perasaan bergulat didalam hatinya.

   Penyesalan, kebimbangan dan bahkan kecemasan yang sangat.

   Tetapi seperti yang dikatakan kakeknya, biarlah ia pasrah apa yang akan terjadi atas dirinya.

   Dihari berikutnya, dua orang bebahu kademangan telah mendatanginya.

   Dua orang bebahu itu tidak lagi merasa takut memasuki padukuhan Babadan yang telah dibersihkan oleh para prajurit Mataram.

   Meskipun demikian, ketika ia melewati gerbang padukuhan dan berpapasan dengan orang Babadan, maka rasa-rasanya kulitnya masih meremang.

   "Marilah Ki Jagabaya dan Ki Kebayan,"

   Ki Bekelpun mempersilahkannya meskipun jantungnya terasa berdegup semakin keras. Kedua orang bebahu kademangan itu tidak terlalu lama berada di rumah Ki Bekel. Merekapun segera menyampaikan pesan Ki Demang Prancak bagi Ki Bekel di Babadan.

   "Nanti sore Ki Bekel diminta datang ke rumah Ki Demang di Prancak."

   "Aku?"

   "Ya."

   "Siapa lagi?"

   "Ki Demang tidak memerintahkan orang lain untuk menghadapnya. Perintah Ki Demang hanya ditujukan kepada Ki Bekel."

   "Baik. Nanti sore aku akan datang menemui kakang Demang di Prancak,"

   Jawab Ki Bekel dengan suara yang bergetar.

   Kedua orang bebahu itupun segera minta diri.

   Sepeninggal kedua orang bebahu kademangan Prancak itu, Ki Bekel segera mencari kakeknya dan memberitahukan, bahwa kakaknya sudah memerintahkan dua orang bebahunya untuk memanggilnya menghadap."

   "Kapan ?"

   Bertanya kakeknya.

   "Nanti sore, kek."

   Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata.

   "Aku akan pergi bersamamu."

   "Kakek akan pergi ?"

   "Ya."

   "Tetapi kakang Demang hanya memanggil aku sendiri."

   Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Tetapi aku bukan orang lain, ngger. Aku adalah kakeknya. Ia adalah cucuku sebagaimana engkau. Meskipun ia bukan cucuku yang sebenarnya, tetapi aku menganggapnya ia adalah cucuku sendiri dan menurut rasaku, Ki Demang itupun telah menganggap aku sebagai kakeknya sendiri. Sebagai kakeknya yang memperanakan ibu kandungnya."

   Ki Bekel itupun termangu-mangu sejenak. Lalu katanya.

   "Baik, baiklah kek. Kita akan pergi bersama-sama. Aku akan dapat menyandarkan keselamatanku kepada kakek."

   Orang tua itu menepuk bahu cucunya sambil berkata.

   "berdoalah. Aku juga akan berdoa untukmu."

   Ki Bekel mengangguk sambil berdesis.

   "Ya, kek. Aku akan berdoa."

   Ki Bekel itupun berusaha untuk menenangkan hatinya.

   Tetapi setiap kali terasa seakan-akan jantungnya tergores welat pering wulung yang tajam.

   Ki Bekel itupun mengisi waktunya dengan berbagai macam kesibukan.

   Diturunkannya sangkar-sangkar burungnya dari gantungan.

   Diberinya semua burungnya makan dan digantinya minumnya dengan yang baru.

   Kemudian digantungkannya lagi sangkar-sangkar burung itu.

   Demikian ia selesai dengan burung-burungnya yang berjumlah dua puluh tiga sangkar itu, maka Ki Bekelpun kemudian telah pergi ke belumbang.

   Tiba-tiba saja Ki Bekel itu terjun ke dalam air dan berusaha menangkap beberapa ekor gurameh di belumbangnya itu dengan jaring.

   "Kalau bibi masih ada, bibi tentu senang sekali mendapatkan ikan gurameh sebesar ini,"

   Desis Ki Bekel ketika ia berhasil menangkap seekor gurameh yang cukup besar.

   Meskipun Ki Bekel sudah menyibukkan diri, namun rasa-rasanya matahari bergerak lambat sekali.

   Sementara itu kegelisahannya masih saja menghentak-hentak di dadanya.

   Namun akhirnya mataharipun turun pula di sisi Barat langit.

   Setelah mandi dan berbenah diri, maka Ki Bekelpun menemui kakeknya sambil berkata.

   "Kita pergi sekarang saja, kek."

   "Aku kira kita akan pergi menjelang senja."

   "Sekarang saja kek. Aku tidak sabar lagi menunggu. Apa yang akan terjadi, biarlah segera terjadi. Jika kakang ingin meng-ganiungku di banjar kademangan Prancak, biarlah ia segera menggantungku sebelum matahari terbenam."

   "Jangan begitu. Kau masih saja tidak yakin, bahwa kakakmu itu seorang yang sabar dan pemaaf."

   "Ya, kek."

   "Baiklah. Marilah kita pergi."

   "Bukankah kakek akan berganti pakaian dahulu?"

   "Berganti pakaian?"

   "Ya, kek. Bukankah kita akan bepergian?"

   Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Aku sudah tua ngger. Biarlah aku berpakaian sederhana seperti ini saja."

   "Tetapi kakek akan pergi ke rumah kakang Demang."

   "Bukankah tidak apa-apa jika aku mengenakan pakaian ini?"

   "Bukankah kiia juga harus menghormati orang yang ingin kita kunjungi."

   "Ngger. Sudahlah. Jangan pikirkan pakaianku."

   "Sebaiknya kakek berganti pakaian. Bukankah hanya berselisiah waktu sebentar saja."

   Kakek Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata.

   "Bukankah sudah lama aku tidak mempunyai pakaian yang lebih baik dari pakaian yang aku pakai ini?"

   "Kek? "

   Dahi Ki Bekelpun berkerut.

   "Jangan pikirkan itu."

   "Jadi selama ini ibu tidak pernah memikirkan pakaian kakek sama sekali. Mungkin ibu terlalu sibuk dengan keinginannya itu, kek."

   "Baru berapa lama ibumu disibukkan oleh keserakahannya itu. Tetapi bahwa ibumu tidak pernah memikirkan aku, bukankah sudah berbilang tahun? Tetapi sekali lagi aku katakan kepadamu, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Mungkin aku memang sudah tidak berarti sama sekali dalam hidupnya."

   "Tetapi kakeklah yang telah membesarkan ibu. Kakek adalah ayah dari ibuku itu. Seharusnya ibu dapat menghargai susah-payah kakek membesarkan ibu."

   "Sudahlah."

   "Ibu harus membalas kebaikan kakek. Kasih sayang kakek."

   "Bagi ibumu, apa yang aku lakukan itu bukan satu kebaikan. Jika aku bekerja keras untuk mencari nafkah bagi anak-anakku. Jika aku dimalam hari mendukungnya pada saat ia menangis. Jika aku membawanya pergi ke pasar untuk membeli baju baru serta kain panjang yang baru, jika aku membeli perhiasan dengan uang labunganku, maka semuanya itu bukan kebaikan. Bukan pertanda kasih sayang, tetapi menurut ibumu, semuanya itu adalah kewajiban."

   "Sekedar kewajiban? Jadi apa yang kakek lakukan itu sama sekali tidak dianggapnya sebagai nilai-nilai kasih sayang seorang ayah kepada anaknya?"

   "Jika ibumu menganggap bahwa apa yang aku lakukan itu adalah ungkapan kasih sayang seorang ayah, maka adalah menjadi kewajiban seorang ayah mengasihi anaknya."

   "Lalu, apa kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya?"

   "Menurut ibumu, tidak ada. Kewajiban ibumu adalah membesarkanmu."

   Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Dengan nada berat ia bertanya.

   "Apakah kakek sependapat dengan ibu?"

   Orang tua itu menggeleng. Katanya.

   "Bukan maksudku untuk menuntut kepada ibumu. Tetapi aku nasehatkan kepadamu, bahwa kau jangan pernah melupakan ayah ibumu. Jangan pernah melupakan kasih sayangnya. Pengorbanan mereka kepada anak-anaknya. Apapun yang pernah mereka lakukan atasmu, tetapi mereka adalah ayah dan ibumu. Orang-orang yang sangat khusus bagimu."

   Ki Bekel itupun mengangguk sambil berdesis.

   "Ya, kek."

   "Nah, sekarang, marilah kita pergi ke padukuhan induk kademangan Prancak untuk menemui kakakmu. Biarlah aku mengenakan pakaianku ini. Tidak apa-apa. Kakakmu tidak akan merasa bahwa aku tidak menghormatinya."

   Ki Bekel, itu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Pakailah pakaianku kek. Kakek dapat memilih yang paling sesuai dengan kakek."

   "Badanmu jauh lebih besar dari badanku. Bayangkan jika aku memaki bajumu."

   "Kain panjangnya saja kek."

   Ki Bekel tidak menjawab lagi. Meskipun sebenarnya ia ingin kakeknya tidak mengenakan pakaiannya yang sangat sederhana itu, tetapi ia tidak dapat memaksa kakeknya berganti pakaian."

   Demikianlah maka merekapun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel Babadan.

   Mereka menyusuri jalan utama menunju ke padukuhan induk kademangan Prancak.

   Ketika mereka memasuki gerbang padukuhan induk kademangan prancak, maka orang-orang yang berpapasan dengan mereka, telah berhenu sejenak.

   Memandangi keduanya seperti orang yang baru pertama kali melihatnya.

   Tetapi ada pula di antara orang-orang padukuhan induk Prancak yang sempat mengangguk hormat serta bertanya satu dua patah kata.

   "Ki Bekel di Babadan,"

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Desis seorang laki-laki yang sedang berdiri di regol halaman rumahnya.

   "Ya, paman,"

   Sahut Ki Bekel dengan suara yang dalam.

   "Selamat datang di padukuhan induk ini, Ki Bekel."

   "Terima kasih, paman."

   Tetapi laki-laki itu tidak bertanya lebih lanjut.

   Ia hanya memandanginya saja Ki Bekel dan kakeknya yang berjalan menuju ke rumah Ki Demang di Prancak.

   Namun ada juga anak-anak muda yang ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Ki Bekel itu.

   Bahkan seorang di antara mereka yang bertemu di simpang empat bertanya.

   "Ki Bekel akan pergi ke mana?"

   "Aku akan menemui, kakang Demang,"

   Jawab Ki Bekel. Ada kecurigaan di sorot mata anak muda itu, sehingga Ki Bekel itupun berkata.

   "Kakang Demang memanggilku menghadap sore ini."

   "O,"

   Anak muda itu mengangguk-angguk.

   Ketika Ki Bekel itu sampai di regol halaman rumah Ki Demang, maka jantungnyapun terasa berdegup semakin cepat.

   Kebimbangan yang dalam telah mencekamnya, sehingga Ki Bekel itupun berhenti di depan rcgol halaman yang terbuka itu.

   "Kenapa berhenti?"

   Bertanya kakeknya.

   "Aku menjadi ragu-ragu, kek."

   "Apalagi yang kau ragukan ? Kau sudah mengambil keputusan untuk datang memenuhi panggilan kakakmu. Apalagi ?"

   Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam.

   Namun kemudian Ki Bekel itupun melangkah menginjakkan kakinya pada tangga regol halaman Ki Demang di Prancak.

   Seorang yang sedang membersihkan halaman rumah K i Demang melihat, Ki Bekel Babadan memasuki rcgol halaman rumah itu.

   Karena itu, maka iapun segera menyongsongnya dan mempersilakannya naik ke pendapa.

   "Ki Demang dan beberapa orang bebahu sudah berada di pringgitan,"

   Berkata orang itu.

   Ki Bekel mengerutkan dahinya.

   Dari tempatnya berdiri, ia tidak dapat melihat jelas, siapa-siapa yang berada di pringgitan.

   Namun Ki Bekel itu melihat sekitar empat orang sudah berada di pringgitan.

   Ki Bekel yang sudah berada di tangga pendapa itu segera surut beberapa langkah ketika ia melihat orang-orang yang berada di pendapa itu bangkit berdiri.

   Ki Demanglah yang kemudian tergopoh-gopoh menyongsongnya.

   Ketika Ki Demang turun dari pendapa, maka para bebahupun segera turun pula.

   "Marilah Bekele,"

   Ki Demang itupun mempersilahkan.

   "naiklah. Kami sudah menunggu. Kami tahu bahwa aku tentu tidak menunggu senja."

   "Ya kakang,"

   Jawab Ki Bekel.

   "Marilah. Naiklah. Marilah kek. Silahkan. Sudah lama kita tidak bertemu."

   "Terima kasih ngger. Aku memang sudah agak lama tidak mengunjungimu sejak suasana dan hubungan antara Prancak dan Babadan menjadi muram."

   "Bukan maksudku. Tetapi agaknya kita didorong oleh keadaan yang sama-sama tidak kita kehendaki. Marilah, silahkan."

   Keduanyapun kemudian segera naik ke pendapa. Ki Demang dan para bebahu kademangan Prancakpun segera naik ke pendapa pula.

   "Silahkan duduk, kek."

   Orang tua itu mengangguk-angguk.

   "Terima kasih, ngger."

   Ki Bekel di Babadanpun kemudian duduk sambil menundukkan kepalanya.

   Ternyata apa yang dibayangkan sebelumnya dan bahkan sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk kademangan Prancak, berbeda sekali dengan apa yang dihadapinya setelah ia berada di rumah Ki Demang.

   Ki Bekel itu membayangkan, bahwa demikian ia memasuki halaman rumah Ki Demang, maka beberapa orang prajurit Mataram akan menyambalnya dengan ujung-ujung tombak yang merunduk.

   Kemudian dengan kasar ia didorong naik ke pendapa.

   Bahkan iapun membayangkan bahwa kakaknya akan menyambutnya dengan bentakkan-bentakkan kasar oleh kemarahan yang bagaikan meledakkan dadanya.

   Tetapi yang terjadi sama sekali tidak demikian.

   Kakaknya tetap saja berwajah cerah.

   Tidak ada tanda-tanda kemarahan di sorot matanya.

   Kakaknya masih saja tersenyum seperti yang selalu dilihatnya sebelum terjadi persoalan antara Prancak dan Babadan sehingga terbentang jarak antara dirinya dan kakaknya.

   Sejenak kemudian, maka Ki Bekel di Babadan, kakeknya serta beberapa orang bebahu kademangan Prancak itu lelah duduk kembali di pringgitan.

   "Bukankah kakek selama ini baik-baik saja ?"

   Bertanya Ki Demang di Prancak.

   "Ya, ngger. Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan kau dan para bebahu kademangan Prancak ?"

   "Baik kek. Kami baik-baik saja."

   "Sokurlah. Beberapa saat aku merasa terpisah dari kademangan ini. Sokurlah bahwa akhirnya aku telah merasa menjadi satu lagi."

   "Mudah-mudahan kek. Hal itu juga tergantung kepada Bekele Babadan. Justru untuk itulah aku memanggilnya datang kemari."

   Kakek Ki Bekel Babadan itu mengangguk-angguk. Katanya.

   "Ya. Silahkan berbicara dengan Bekele Babadan."

   Ki Demang itu menarik nafas panjang. Baru kemudian iapun berkata.

   "Adi. Adi tentu sudah tahu, untuk apa adi aku panggil kemari."

   Ki Bekel itu masih saja menunduk. Menurut penglihatannya wajah kakaknya masih tetap terang. Tetapi Ki Bekel itu masih saja merasa cemas. Mungkin kemarahan kakaknya itu masih diselubunginya. Namun mungkin saja kemarahan itu akan meledak.

   "Kenapa orang-orang Mataram itu tidak berada disini ?"

   Bertanya Ki Bekel didalam hatinya.

   "Adi,"

   Berkata Ki Demang.

   "selama ini telah terjadi masalah diantara kita. Pernyataanmu bahwa kaulah yang berhak menjadi Demang di Prancak telah menimbulkan goncangan yang besar di kademangan ini. Keberadaan para perampok yang di hutan telah memasuki kehidupan kita di kademangan Prancak. Mereka bukan saja mencampuri persoalan di antara kita, tetapi mereka telah membuat rencana yang menguntungkan bagi mereka. Keterlibatan hubungan antara bibi dengan Raden Panengah telah membuat persoalan di antara kita menjadi semakin rumit, karena Raden Panengah telah meniupkan tembang-tembang ngerangin di telinga bibi. Sehingga akhirnya bibi terbius oleh rencana Raden Panengah. Kaulah yang telah dijadikan alat bibi dan Raden Panengah untuk mencapai maksudnya."

   Ki Bekel itupun semakin menundukkan kepalanya. Dengan suara yang dalam iapun berkata.

   "Kakang. Aku mohon ampun. Aku telah melakukan satu kesalahan yang besar. Tetapi aku memang tidak mampu menolak kemauan ibu."

   "Keterlibatan gerombolan di luar lingkungan kita, telah membuat persatuan kita terbelah. Apalagi jika gerombolan itu mempunyai kekuatan yang cukup seperti gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu. Maka pengaruhnya terasa sangat besar bagi kita. Tentu saja pengaruh yang buruk itu."

   "Semua itu salahku, kakang. Aku minta ampun."

   Namun sebagaimana dikatakan oleh kakeknya, maka Ki Bekel itu dengan jantung yang berdegupan mendengar kakaknya berkata.

   "Baiklah adi. Marilah kita lupakan peristiwa itu. Sebagai seorang Demang, aku maafkan kesalahanmu. Kesalahan seorang Bekel yang memerintah di salah satu padukuhan di wilayah kademanganku. Sedangkan sebagai seorang kakak, aku merasa sangat kasihan kepadamu, adi. Aku tahu bahwa kau berada di bawah tekanan bibi. Ibumu yang mempunyai keinginan tanpa batas. Ketika di belakangnya berdiri satu kekuatan yang memadai, maka bibi menjadi lupa segala-galanya. Keinginannya yang tanpa batas itulah yang menjorok ke depan, sehingga bibi lupa kepada sanak kadang. Dan yang paling parah, bibi lupa pada tatanan dan paugeran."

   "Ya, kakang. Aku juga mohon ampun bagi ibu. Ibu memang seorang yang serakah. Sesuai dengan keterangan kakek tentang ibu sejak masa kecilnya. Ibu selalu ingin lebih dari apa yang dimilikinya atau yang seharusnya dimilikinya. Sedangkan aku tidak mempunyai keberanian untuk mencegahnya. Bahkan aku telah hanyut pula kedalamnya. Bahkan aku sama sekali tidak menaruh keberatan pada hubungan ibu dengan Raden Panengah yang tidak pantas itu."

   "Kau sudah dibius pula dengan mimpi-mimpi burukmu. Mimpi untuk menjadi seorang Demang di kademangan Prancak."

   "Ya, kakang."

   "Nah, bukankah yang terjadi itu satu pengalaman yang pantas untuk menjadi pelajaran yang mahal harganya ?"

   Bekel Babadan itu mengangguk sambil menjawab perlahan.

   "Ya, kakang."

   "Baiklah, di. Jangan lupakan pelajaran yang sangat mahal ini. Bahkan sudah ada nyawa yang dikorbankan. Justru orang-orang yang tidak bersalah. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu telah membunuh beberapa orang yang dituduhkannya mata-mata, meskipun ia tidak dapat membuktikan. Nah, apakah kau dapat menyebut harga sebuah nyawa. Bahkan beberapa ?"

   Ki Bekel di Babadan itu tidak dapat menjawab. Mulutnya bahkan terkatub rapat, sementara kepalanya menjadi semakin menunduk dalam-dalam.

   "Baiklah, adi. Kita akan berusaha melupakan perselisihan yang tidak akan menguntungkan siapa-siapa kecuali para perampok di ujung hutan itu. Jika saja para prajurit Mataram itu tidak datang ke kademangan ini, maka perselisihan diantara kita akan menjadi semakin dalam. Campur tangan pihak lain akan semakin mencengkam dan bahkan menentukan. Kita, orang-orang kademangan Prancak akan menjadi ayam aduan yang harus mengalami luka parah di arena. Sementara menang atau kalah, ayam aduan itu tidak akan mendapatkan apa. Sedangkan yang mendapat keuntungan berlipat adalah mereka yang menang dalam pertaruhan."

   Ki Bekel mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Demang berkata selanjutnya.

   "Kita berusaha melupakan persoalannya. Tetapi sebagai satu pengalaman, kita justru harus selalu mengingatnya. Sudah aku katakan, bahwa aku memaafkan kau Ki Bekel."

   "Terima kasih, kakang Demang. Ternyata apa yang dikatakan oleh kakek itu benar. Kakang akan memaafkan aku."

   "Tetapi kau jangan mengulangi kesalahanmu. Sekali berbuat salah, itu sudah cukup."

   "Ya, kakang,"

   Suara Ki Bekel merendah.

   "tetapi, tetapi bagaimana dengan ibu ?"

   "Bibi mempunyai persoalan sendiri dengan orang-orang Mataram. Demikian pula orang yang menyebut dirinya Jagabaya Babadan yang tidak lain adalah salah seorang yang sengaja ditanam oleh Raden Panengah, yang pada suatu saat akan mengusirmu. Bahkan mungkin menyingkirkanmu untuk selama-lamanya."

   "Kakang."

   "Kau hanya berguna sekarang. Pada saat kau tidak diperlukan lagi, maka kau harus pergi dan tidak boleh kembali."

   Jantung Ki Bekel itupun bergejolak semakin keras, ia mulai menyadari, betapa lemah penalarannya sehingga itu dapat menjadi mainan Raden Panengah.

   "Karena persoalannya dengan orang-orang Mataram itulah, adi, maka bibi sekarang berada di dalam tahanan orang-orang Mataram. Aku tidak tahu, keputusan apakah yang akan diambil oleh orang-orang Mataram itu karena menurut pemimpin prajurit Mataram itu, bibi sudah mencoba meracunnya."

   Jantung Ki Bekel itupun terasa berdegup semakin keras. Tetapi ia tidak dapat ingkar. Iapun tahu, bahwa ibunya berusaha untuk meracun pemimpin prajurit Mataram yang dalang ke rumahnya itu. Karena itu, maka iapun berkata.

   "Kakang. Seandainya ibu tidak dapat luput dari hukuman, apakah kakang dapat mohon keringanan atas hukuman yang bakal dijatuhkan oleh orang-orang Mataram ?"

   "Entahlah, di. Untuk mengambil keputusan, seorang yang berwenang mengadili seseorang, sangat tergantung kepada orang-orang yang harus mengadili orang-orang yang bersalah itu. Meskipun ada tatanan dan paugeran untuk memecahkan perselisihan, maka adat yang sudah berlaku dapat ditrapkan dan dipergunakan sebagai acuan untuk mengambil keputusan."

   "Tetapi apa yang kakang katakan, tentu akan dipertimbangkan oleh orang-orang Mataram itu."

   "Aku tidak yakin, di. Mereka adalah orang-orang yang keras memegang tatanan paugeran. Meskipun demikian, aku akan mencobanya."

   "Bukankah mereka masih belum kembali ke Mataram, kakang?"

   "Belum. Mereka masih ada disini. Mereka ingin mengetahui hasil akhir dari pembicaraan kita. Mereka memang tidak ingin mencampurinya. Tetapi merekapun berkepentingan untuk mengetahui apa yang kemudian terjadi."

   "Jika demikian, tolong kakang. Kami akan sangat berterima kasih jika kakang bersedia melakukannya."

   "Tentu saja aku bersedia, adi. Tetapi aku tidak tahu, bagaimana tanggapan orang-orang Mataram itu. Itu tergantung sekali kepada pemimpin pasukan dari Mataram yang diracun oleh ibumu itu."

   Terasa degup jantung Ki Bekel itu menjadi semakin keras dan semakin cepat.

   Seakan-akan ia sudah melihat ibunya berdiri di tengah alun-alun dibawah liang gantungan.

   Tali sudah melingkar di lehernya.

   Seorang algojo sudah siap uniuk menarik palang bambu tempat ibunya itu berpijak.

   Demikian palang kayu itu terlepas, maka ibunya akan berayun di tali gantungan itu.

   "Ibu,"

   Tiba-tiba saja Ki Bekel itu terisak.

   "Kau masih saja cengeng sejak kecilmu adi. Sekarang kau sudah tidak pantas lagi untuk menangis. Biarlah anak-anak yang sedang tumbuh remaja itu sajalah yang menangis."

   "Tetapi ibuku ?"

   "Biarlah ia menuai benih yang ditaburkannya. Meskipun demikian, seperti yang aku katakan, aku akan berusaha."

   Ki bekel itu menarik nafas panjang. Sambil mengusap matanya iapun berkata.

   "Terima kasih, kakang. Mudah-mudahan orang-orang Mataram itu mau mengampuni ibu. Setidak-tidaknya memperingan hukuman atas dirinya."

   "Aku akan membicarakannya dengan orang-orang Mataram. Tetapi yang penting, bagaimana dengan persoalan kita ? Jika masih ada masalah, marilah kita bicarakan. Baru kemudian, kiia bersama-sama memberikan laporan kepada Ki Lurah Agung Sedayu."

   "Kakang. Aku sudah tidak mempunyai persoalan apa-apa lagi. Aku sudah pasrah. Apa yang kakang perintahkan akan aku jalankan. Bahkan seandainya kakang menghendaki untuk mencabut kedudukanku sebagai Bekel di Babadan."

   "Tidak. Aku tidak berpikir sejauh itu. Tetapi seandainya kau tidak digerakkan oleh bibi, mungkin aku akan melakukannya. Tetapi kali ini tidak. Meskipun demikian, aku ingin memberimu peringatan, bahwa untuk selanjutnya kau harus berpegang pada satu landasan yang mantap bagi sikapmu. Jika pada kesempatan lain, datang seseorang menawarkan mimpi-mimpi yang menarik, kau tidak boleh tergelincir lagi. Karena jika kau sekali lagi melakukan kesalahan, maka aku akan mengambil langkah-langkah yang tegas, sesuai dengan paugeran yang berlaku. Aku tidak akan mengampunimu lagi."

   "Kakang. Aku berjanji, bahwa aku tidak akan melakukan kesalahan lagi. Aku akan setia kepadamu dan kepada kademangan Prancak."

   "Bagus, adi. Jika demikian, baiklah kita besok pagi pergi menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Kita beritahukan kepadanya, bahwa diantara kita sudah tidak ada masalah lagi. Tatanan dan paugeran di Prancak telah ditegakkan kembali."

   "Ya kakang. Besok aku akan datang kemari."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Datanglah wayah matahari sepenggalah. Kita akan pergi ke banjar. Ki Lurah dan prajurit-prajurit sebagian berada di banjar. Sebagian lagi berada di rumah Ki Jagabaya, yang dekat dengan banjar ini."

   "Ibu berada dimana kakang ?"

   "Bibi berada di banjar itu pula. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu juga berada di banjar, dibawah pengawasan para prajurit Mataram."

   "Apa aku boleh mengunjungi ibu, kakang ?"

   "Tidak sekarang. Biarlah besok kita berbicara dengan Ki Lurah. Mungkin kau diijinkan menengok bibi."

   Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Dalam pada itu, kakek Ki Bekel di Babadan itupun berdesis.

   "Aku, kakek Bekele Babadan, mengucap terima kasih, ngger. Aku sejak semula sudah mengira, bahwa kau masih tidak berubah. Aku memang yakin, bahwa kau akan mengampuninya."

   "Aku tahu, bahwa ia melakukannya bukan karena niat buruknya, Kek. Tetapi karena kelemahan jiwanya. Jika kelemahan itu dapat diatasinya, maka ia akan berubah."

   Ki Bekel itu menarik nafas panjang.

   Dalam keadaan yang terjepit, ternyata ia dapat juga bersikap keras.

   Ketika ia seakan-akan menjadi berputus-asa karena sikap orang-orang Babadan yang menyalahkannya, maka tiba-tiba saja ia telah berubah diluar kehendaknya sendiri.

   Ternyata pembicaraan diantara dua bersaudara itu tidak memerlukan waktu yang lama Tidak ada tawar-menawar.

   Tidak ada sikap yang saling mementingkan diri sendiri.

   Pembicaraan keduanya memang lebih condong merupakan pembicaraan antara dua orang kakak beradik daripada pembicaraan seorang Demang dengan seorang Bekel yang telah berusaha menentangnya dan bahkan berusaha untuk merebut kedudukannya.

   Karena itu, maka keduanya tidak lagi mempunyai persoalan yang harus dibicarakan.

   Sementara itu, hidanganpun telah di suguhkan oleh seorang pembantu di rumah Ki Demang.

   Beberapa saat kemudian, maka Ki Bekel itupun telah minta diri.

   Sementara langitpun telah menjadi buram.

   "Besok pagi, wayah matahari sepenggalah aku akan datang kemari."

   "Baiklah adi. Sekarang biarlah kakek tinggal dan bermalam disini. Bukankah kakek sudah lama tidak datang mengunjungi aku dan apalagi tidur di rumah ini?"

   Laki-laki tua itu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Aku rindu untuk tinggal disini barang dua tiga hari, ngger. Tetapi lain kali sejalan aku tidur disini. Sekarang, biarlah aku menemani Bekele pulang ke Babadan. Besok aku akan menemaninya lagi datang kemari."

   "Baiklah, kek. Tapi besok aku harap kakek sungguh-sungguh datang bersama adi Bekel di Babadan."

   "Tentu, ngger, aku tentu akan datang."

   Keduanyapun kemudian minta diri. Ki Demang menasehatkan agar Ki Bekel tidak berusaha untuk menemui ibunya lebih dahulu.

   "Besok kita minta ijin lebih dahulu, apakah kau diperkenankan menengoknya atau tidak. Kita tentu tidak akan dapat memaksakan kehendak kita."

   "Ya, kakang."

   Demikianlah, sesaat kemudian, maka Ki Bekel di Babadan itu pun segera meninggalkan rumah kakaknya untuk pulang ke babadan.

   Tetapi rumahnya di Babadan akan terasa sangat sepi.

   Ibunya tidak berada di rumah itu.

   Dan bahkan mungkin tidak hanya sehari-dua hari.

   Tetapi berhari-hari atau malahan selamanya.

   Ketika Ki Bekel itu memasuki regol halaman rumahnya, maka terasa jantungnya berdesir.

   Bahkan Ki Bekel itupun tertegun sejenak ketika kakinya akan menginjak tangga pendapa.

   "Sudahlah, ngger,"

   Berkata kakeknya. Agaknya orang tua itu dapat menangkap perasaan cucunya yang menyadari kesalahan yang telah dilakukannya. Ki Bekel berpaling. Dipandanginya kakeknya sekilas. Mata Ki Bekel itu menjadi basah. Katanya dengan suara yang tersendat.

   "Kek. Beruntunglah di rumah ini ada kakek. Jika kakek tidak ada di rumah ini, maka aku akan kehilangan segala-galanya. Apa artinya rumahku yang besar ini tetapi kosong sama sekali. Perabot rumah yang betapapun baik dan mahalnya, berapapun jumlah pembantu yang ada di rumah ini, tidak akan dapat mengisi kekosongan itu."

   Ki Bekel itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya.

   "Karena itu, kek. Jangan tinggal di bilik itu lagi. Kakek harus pindah ke ruang dalam. Masih ada beberapa sentong yang kosong."

   "Tetapi rasa-rasanya aku sudah mapan berada di bilikku itu, ngger."

   "Tidak, ibulah yang menempatkan kakek di bilik yang kecil dan pengab itu. Tetapi sekarang aku sendiri. Karena itu, aku minta kakek tinggal bersamaku di dalam."

   Kakeknya tersenyum. Katanya.

   "Baiklah. Tetapi marilah naik lebih dahulu."

   Keduanyapun kemudian naik ke pendapa.

   Kakeknyalah yang mengetuk pintu pringgitan agak keras.

   Seseorang terdengar melangkah ke pintu.

   Mengangkat selarak, kemudian mendorong pintu itu sehingga terbuka.

   Pembantu rumah yang membuka pintu itu mengangguk.

   Kemudian orang itupun segera kembali ke belakang.

   Kakek Ki Bekel itulah yang kemudian memasang selaraknya kembali.

   Seperti diminta oleh Ki Bekel, kakek tua itu tidak kembali ke biliknya di dekat dapur.

   Tetapi ia masih duduk di ruang dalam menemani Ki Bekel yang kesepian.

   "Sudahlah, sekarang beristirahatlah,"

   Berkata kakeknya ketika pembicaraan mereka sekali-sekali mulai menyebut Nyi Demang yang muda yang sedang ditahan oleh para prajurit Mataram.

   "Bagaimana dengan ibu, kek? "

   Suara Ki Bekel itu menjadi parau.

   "Sudah beberapa kali aku katakan, serahkan sepenuhnya kepada kakakmu agar ia dapat berpikir tenang. Jika ia masih dibebani berbagai macam persoalan, maka ia justru akan menjadi kebingungan. Karena itu, jangan menuntut lagi. Besok kita akan berbicara panjang dengan para prajurit Mataram."

   "Ya kek."

   "Tidurlah. Kau perlu banyak beristirahat."

   "Aku akan tidur, kek. Tetapi kakek tidak usah pergi ke bilik di sebelah dapur. Kakek dapat mempergunakan bilik yang mana saja yang kakek kehendaki."

   Orang tua itu tersenyum sambil mengangguk. Katanya.

   "Ya. Aku nanti akan memilih bilik yang paling sesuai."

   Ki Bekel itupun kemudian pergi ke biliknya.

   Ia masih mendengar kakeknya itu membersihkan debu dengan sapu lidi yang khusus dipergunakan di bilik yang biasanya memang kosong.

   Karena pembaringannya yang jarang dipakai, maka tikarnyapun agaknya berdebu meskipun bilik itu setiap hari dibersihkan.

   Ki Bekelpun mencoba untuk dapat tidur.

   Dipejamkannya matanya rapat-rapat.

   Dicobanya pula untuk mengosongkan angan-angannya.

   Tetapi Ki Bekel memerlukan waktu untuk dapat benar-benar tidur.

   Tetapi Ke Bekel tidak dapat tidur nyenyak.

   Beberapa saat saja ia sudah terbangun lagi.

   Bahkan dadanya mulai terasa sakit.

   Ki Bekel itupun kemudian bangkit dari pembaringannya.

   Seakan-akan diluar sadarnya, ia melangkah keluar dari biliknya.

   Ki Bekel tertegun ketika ia melihat kakeknya tidak tidur di bilik manapun.

   Tetapi kakeknya ini tidur di ruang dalam, di tikar yang dibentangkan di lantai.

   Namun ketika Ki Bekel akan membangunkannya, tangannya yang sudah terjulur untuk menyentuh kaki kakeknya itu telah tertahan.

   Kakeknya tidur nyenyak sekali, sehingga Ki Bekel itu tidak ingin mengusiknya.

   Ki Bekel itupun justru melangkah ke pintu butulan.

   Ketika ia berdiri diluar di tengah malam, maka terasa udaranya segar sekali.

   Angin berhembus perlahan sekali mengusap wajah Ki Bekel.

   Dinginnya serasa menyusup menyentuh perasaan Ki Bekel yang gelisah.

   Beberapa lama Ki Bekel berdiri di luar.

   Segarnya udara telah membual Ki Bekel itu mengantuk.

   Ki Bekel masih sempat untuk tidur beberapa lama lagi sampai menjelang fajar.

   Ketika Ki Bekel itu bangun dan keluar dari biliknya, kakeknya sudah tidak ada diruang dalam.

   Tetapi ketika Ki Bekel itu mendengar suara orang menyapu di halaman samping, maka ia tahu, bahwa kakeknyalah yang melakukan sebagaimana dilakukannya sehari-hari ketika ibunya berada di rumah.

   Ibunya yang merasa tidak berkewajiban untuk berterima kasih kepada kakeknya, karena apa yang dilakukan kakeknya untuk ibunya itulah merupakan kewajiban yang harus dilakukan.

   Ki Bekel itupun kemudian berdesis.

   "Ibu memang keterlaluan."

   Ki Bekel itupun kemudian melangkah ke halaman samping. Seperti yang diduganya, maka yang sedang menyapu halaman samping itu adalah kakeknya yang sudah tua.

   "Sudahlah, kek. Biar nanti disapu oleh para pembantu."

   Kakeknya berhenti sejenak. Sambil memegangi tangkai sapu lidinya, ia berdiri termangu-mangu. Dipandanginya cucunya itu dengan kerut yang semakin dalam di dahi.

   "Bukankah pekerjaan ini sudah aku lakukan sejak lama ? "

   Kakeknya itu justru bertanya.

   "Sudah waktunya bagi kakek untuk beristirahat."

   Kakeknya tersenyum. Katanya.

   "Tanpa melakukan apa-apa, tubuhku akan cepat menjadi lemah. Tetapi dengan berbuat sesuatu seperti ini, maka otot-ototku akan bergerak. Darahku akan mengalir lebih lancar. Aku tidak akan terlalu cepat menjadi pikun."

   "Tetapi kakek akan letih."

   "Bukankah yang aku lakukan ini tidak seberapa berat. Aku memang memerlukan merasa letih. Asal tidak terlalu letih. Dengan demikian aku akan tetap banyak makan dan minum."

   Ki Bekel menarik nafas panjang.

   Ternyata kakeknya yang sudah terbiasa menyapu halaman samping itu, tidak mau menghentikannya.

   Kakek Ki Bekel itu baru selesai setelah halaman samping menjadi bersih.

   Gilar-gilar tanpa sehelai daunpun yang tercecer di halaman.

   Tetapi jika kemudian angin berhembus, maka satu-satu daun keringpun akan berjatuhan lagi.

   Tetapi nanti, di sore hari, kakek Ki Bekel itu akan menyapu halaman samping itu lagi.

   Demikianlah yang dilakukan, pagi dan sore.

   Kakek Ki Bekel itupun kemudian menyandarkan sapu lidinya.

   Beberapa saat ia duduk di sebuah amben panjang yang terletak dibawah sebatang pohon jambu air untuk mengeringkan keringatnya.

   Baru kemudian kakek tua itu pergi ke pakiwan.

   Ketika matahari naik, maka Ki Bekel dan kakeknyapun telah bersiap.

   Mereka akan pergi ke padukuhan induk kademangan Prancak untuk bersama-sama dengan Ki Demang menemui Ki Lurah Agung Sedayu.

   Lurah prajurit Mataram yang datang ke kademangan Prancak.

   Sebelum wayah matahari sepenggalah, maka keduanya telah berada di rumah Ki Demang di Prancak.

   Bersama Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu, Ki Bekel akan menghadap Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Apakah kakek juga akan pergi bersama kami ke banjar ?"

   Bertanya Ki Demang.

   "Untuk apa ? Apakah ada yang penting aku lakukan di banjar kademangan ?"

   "Mungkin kakek akan minta ijin menemui bibi. Jika saja kakek mendapat izin, bukankah sekaligus kakek akan menengok bibi di banjar kademangan ?"

   Ternyata kakek Ki Bekel itu ragu-ragu. Namun akhirnya orangtua itupun mengangguk sambil berkata.

   "Baiklah, ngger. Kalau mungkin aku dapat bertemu dengan bibimu."

   Beberapa saat kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan rumah Ki Demang di Prancak.

   Mereka langsung menuju ke banjar kademangan yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Ki Demang.

   Di banjar, Ki Lurah Agung Sedayu telah siap untuk menerima mereka.

   Setelah duduk di pringgitan, maka Ki Demangpun telah memperkenalkan kakek Ki Bekel di Babadan itu dengan Ki Lurah Agung Sedayu.

   Dalam pada itu, setelah basa-basi sejenak, maka Ki Demangpun kemudian berkata kepada Ki Lurah.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ki Lurah Agung Sedayu. Aku datang bersama Ki Bekel di Babadan. Kami telah mengadakan pembicaraan pendahuluan kemarin. Ternyata diantara kami sudah tidak ada masalah lagi. Ki Bekel sudah mengakui kesalahannya serta mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi gejolak. Babadan akan kembali kepada kedudukan semula sebagai satu pedukuhan di dalam lingkungan sebuah kademangan."

   "Sokurlah,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "namun meskipun demikian, Ki Demang aku harap menyelenggarakan pertemuan antara para Bekel dan bebahunya di seluruh kademangan Prancak yang akan dipimpin oleh Ki Demang sendiri. Di dalam pertemuan itu akan dimantapkan kembali kedudukan para Bekel. Ki Demangpun akan dapat memberikan peringatan keras kepada para Bekel yang tidak tunduk kepada perintah Ki Demang, serta pedukuhan-pedukuhan yang menjadi ragu-ragu mengambil sikap berdasarkan paugeran yang ada. Karena pada dasarnya, setiap padukuhan, bahkan setiap orang telah terikat pada kewajiban disamping hak yang diperolehnya."

   Ki Lurah Agung Sedayu itupun terdiam sejenak. Namun kemudian iapun berkata pula.

   "Dengan demikian para Bekel yang menjadi ragu-ragu bersikap pada saat Babadan mencoba untuk mengambil alih kepemimpinan, perlu mendapat peringatan. Pada saat yang paling gawat sekalipun para Bekel harus mengambil sikap. Jika ada diantara para Bekel yang hanya menunggu kesempatan terbaik, seperti ujung ilalang yang condong kemana arah mata angin bertiup, maka setidak-tidaknya mereka harus diambil tindakan."

   "Ya, Ki Lurah,"

   Sahut Ki Demang.

   "kami akan menyerahkan hukuman apa yang terbaik bagi mereka."

   "Aku tidak akan mencampuri persoalan kademangan Prancak. Ki Demang kumpulkan mereka dan tuding orang-orang yang bersalah itu. Orang-orang yang hanya mementingkan keselamatannya sendiri tanpa bersikap sama sekali."

   Ki Demang di Prancak itu mengangguk. Dengan nada berat iapun berkata.

   "Baik Ki Lurah. Aku akan mengadakan pertemuan dengan para Bekel di padukuhan-padukuhan seluruh kademangan Prancak."

   "Dengan demikian, maka segalanya akan menjadi pasti. Tidak ada lagi yang harus diragukan,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Besok aku akan menyelenggarakannya Ki Lurah, mumpung Ki Lurah masih ada disini."

   "Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan mencampuri persoalan yang akan berkembang di Prancak. Campur tangan orang-orang yang bersarang di ujung hutan dengan sandaran tajamnya senjata telah meresahkan rakyat Prancak. Bahkan hampir saja rakyat Prancak terpecah dan saling bermusuhan sesama kadang. Biarlah kalian berbicara tentang kalian sendiri. Biarlah kalian menentukan keberadaan kalian sendiri. Campur tangan orang lain hanya akan berakibat buruk."

   "Aku tidak bermaksud mengguncang campur tangan Ki Lurah. Aku hanya ingin Ki Lurah menjadi saksi. Jika setelah kami mencapai kesepakatan ada pihak yang berusaha melanggarnya, maka kami akan dapat mengambil dndakan seperlunya tanpa terjadi salah paham dengan prajurit Mataram. Atau jika perlu kami dapat minta bantuan prajurit Mataram sesuai dengan ketentuan yang berlaku."

   Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya.

   "Baiklah. Tetapi aku harap pertemuan itu benar-benar dapat dilaksanakan esok atau setidak-tidaknya dalam waktu yang singkat, karena kami akan segera kembali ke Mataram."

   "Baik, Ki Lurah. Besok sore pertemuan itu akan kami selenggarakan. Karena banjar ini dipergunakan oleh para prajurti, maka pertemuan itu akan kami selenggarakan di rumahku."

   "Aku akan datang untuk menjadi saksi dari pembicaraan itu. Dengan pembicaraan itu maka segala sesuatunya sudah diperbaharui dan pasti."

   "Terima kasih Ki Lurah. Mudah-mudahan keberadaan Ki Lurah untuk menjadi saksi itu dapat mendorong kami untuk menemukan kepastian itu."

   Ki Lurahpun mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Ki Demang itupun berkata.

   "Ki Lurah. Selain untuk memberikan laporan tentang pembicaraanku dengan adi Bekel di Babadan, aku juga ingin menyampaikan permohonan adi Bekel untuk dapat bertemu dengan ibunya. Sokurlah kalau bibi itu tidak akan dibawa ke Mataram, kalau Ki Lurah dapat memberikan pengampunan."

   Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya.

   "Semua yang bersalah akan aku bawa ke Mataram. Selain orang-orang yang dapat kami tangkap di ujung hutan juga mereka yang tertangkap di kademangan Babadan. Tentu saja orang yang mengaku Ki Jagabaya Babadan, termasuk diantara mereka. Selain Ki Jagabaya, maka yang ikut memegang peranan dalam usaha perebutan kedudukan di kademangan Prancak adalah Nyi Demang muda. yang lelah menghasut anaknya untuk melakukan perlawanan kepada seorang Demang yang sah."

   "Ki Lurah. Aku menganggap bahwa persoalannya sudah selesai. Adi Bekel sudah mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak melakukan lagi."

   "Mungkin persoalannya dengan Ki Demang sudah Ki Demang anggap selesai. Tetapi ibu Ki Bekel itu sudah berusaha meracun kami, beberapa orang yang datang ke rumah Ki Bekel pada waktu itu untuk mengalasi pembicaraan Ki Bekel dengan Ki Demang di Prancak."

   Ki Demang menarik nafas panjang.

   Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

   Nyi Demang muda itu memang sudah berusaha membunuh dengan racun, dianlaranya adalah Ki Lurah Agung Sedayu.

   Lurah prajurit yang sedang menjalankan tugasnya di kademangan Prancak.

   Dengan demikian, maka kesalahan Nyi Demang muda im menjadi semakin bertimbun.

   "Jadi, sudah tertutup kemungkinan untuk memberikan pengampunan bagi bibi agar bibi tidak usah dibawa ke Mataram."

   "Nyi Demang itu pasti akan aku bawa ke Mataram. Sedangkan tentang pengampunan baginya, aku tidak dapat berkata apa-apa. Segala sesuatunya tergantung kepada para pejabat di Mataram."

   Ki Demang menarik nafas panjang. Iapun kemudian berpaling kepada Ki Bekel sambil berkata.

   "Adi. Kau dengar sendiri keputusan Ki Lurah Agung Sedayu tentang bibi."

   Ki Bekel itupun mengangguk. Namun kemudian iapun berkata.

   "Ki Lurah. Segala sesuatunya memang terserah kepada Ki Lurah. Namun jika Ki Lurah inengijinkan, aku dan kakek ingin bertemu dan berbicara dengan ibu sebelum ibu dibawa ke Mataram."

   Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun melambaikan tangannya memanggil seorang prajurit yang berada di halaman banjar. Prajurit itupun mendekat.

   "Panggil seorang kawanmu. Bawa Ki Bekel dan kakeknya ke bilik tahanan Nyi Demang. Peringatkan lebih dahulu para petugas jaga agar mereka berhati-hati."

   "Ya, Ki Lurah."

   Prajurit itupun kemudian memanggil seorang kawannya untuk bersama-sama membawa Ki Bekel dan kakeknya ke bilik tahanannya. Namun Ki Demang itupun berkata.

   "Aku ikut bersama mereka."

   "Silahkan Ki Demang."

   Dengan diantar oleh dua orang prajurit, maka Ki Bekel, kakeknya dan kemudian Ki Demang pergi ke bilik tahanan Nyi Demang muda yang dianggap bersalah.

   Seorang diantara para prajurit itupun sempat menemui prajurit yang bertugas menjaga para tawanan untuk menyampaikan pesan Ki Lurah Agung Sedayu, agar mereka berhati-hati.

   Sementara yang seorang lagi mengantar Ki Bekel, kakeknya serta Ki Demang Prancak ke bilik tahanan Nyi Demang muda.

   Ketika selarak pintu itu diangkat serta pintunya dibuka, maka mereka melihat Nyi Demang itu duduk di pembaringannya sambil mengusap air matanya.

   "Ibu,"

   Desis Ki Bekel. Nyi Demang itu bangkit berdiri. Namun ketika ia melihat ayahnya serta Ki Demang berdiri di pintu, maka Nyi Demang itupun berkata dengan suara parau.

   "Untuk apa mereka kemari ?"

   "Ibu. Ini kakek ingin bertemu dengan ibu. Demikian pula kakang Demang di Prancak."

   "Suruh mereka pergi. Aku tidak memerlukan mereka."

   "Tetapi kakek datang untuk menemui ibu."

   "Orangtua tidak tahu diri. Kakekmu itu hanya dapat menghalangi gegayuhanku. Kakekmu selalu menjadi penghalang jalanku. Agaknya kakekmu itu juga yang telah melaporkan kegiatanku kepada orang-orang Mataram."

   "Tidak, bibi."

   Sahut Ki Demang Prancak.

   "kakek tidak berbuat apa-apa. Yang memberikan laporan kepada para prajurit Mataram adalah dua orang pengembara yang pernah di tangkap oleh orang-orang Babadan. Jika bibi menganggap itu mustahil, maka biarlah bibi menyalahkan aku, karena akulah yang menyambut para prajurit Mataram itu serta memberikan banyak keterangan kepada mereka."

   "Aku tahu, bahwa kau selalu dengki terhadap adikmu. Sampai masa tuamu kau tetap saja selalu berusaha menekan adikmu untuk tidak pernah dapat bangkit dan menggapai cita-citanya."

   "Kalau cita-citanya wajar dan lurus, tanpa melanggar tatanan dan paugeran, aku tentu akan mendukungnya, bibi. Bukankah aku sudah banyak memberinya kesempatan. Pada saat Babadan tidak memiliki seorang Bekel karena Ki Bekel Babadan yang tua itu meninggal tanpa meninggalkan seorangpun yang dapat mewarisi kedudukannya, aku pergunakan pengaruhku untuk menempatkan adikku itu menjadi Bekel di Babadan."

   "Hanya itulah yang dapat kau berikan. Kau tidak mau memberi kesempatan lebih jauh lagi."

   "Aku tidak mempunyai jalan untuk itu, bibi."

   "Kalau kau mau memberikan kedudukanmu kepada adikmu, maka adikmu akan dapat melangkah setapak lebih tinggi. Mungkin ada kesempatan lain yang dapat mengangkatnya ke kemungkinan yang lebih tinggi lagi."

   "Apakah ibu melihat kemungkinan itu ?"

   "Tentu. Adikmu akan dapat menjadi seorang Demang di Babadan yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah kademangan Prancak."

   "Lalu aku sendiri ?"

   "Kau harus menerima kedudukan yang lebih rendah. Kau menjadi Bekel di Prancak."

   "Ibu. Bukankah itu tidak mungkin ?"

   Potong Ki Bekel di Babadan.

   "Kenapa tidak. Kau adalah anak Demang Prancak. Kau berhak mewarisi kedudukannya."

   "Tetapi kakang Demang adalah anak Demang Prancak yang lebih tua dari aku."

   "Bohong. Anak yang disebut kakakmu itu sama sekali bukan anak Demang Prancak. Ia anak orang lain, karena ibunya waktu itu selingkuh sehingga ayahmu mengambil aku sebagai isteri mudanya."

   "Bibi,"

   Potong Ki Demang. Dari sorot matanya nampak getar perasaannya.

   "Ibu. Ibu jangan mengada-ada."

   "Diam kau anak manja. Kaulah yang seharusnya menjadi Demang di Prancak. Bukan kakakmu itu."

   "Tetapi bibi tidak perlu memfitnah,"

   Geram Ki Demang.

   "Aku tidak memfitnah. Bertanyalah kepada orang-orang tua di Prancak."

   "Tidak ada orang yang pernah mengatakannya."

   "Tidak. Yang dikatakannya itu tidak benar,"

   Sahut kakek Ki Bekel itu.

   "kau memang pernah mencoba menyebarkan fitnah itu. Tetapi tidak seorangpun yang percaya. Apalagi mereka yang sudah mengenal Nyi Demang tua itu."

   "Diam kau orangtua yang tidak berguna. Pergi dari sini."

   "Ibu. Tidak baik jika ibu masih juga berusaha memfitnah. Kami datang untuk menemui ibu. Mungkin ada pesan-pesan yang akan dapat berarti bagiku dan bagi kakang Demang. Mungkin ibu memerlukan petunjuk kakek, karena ternyata apa yang dikatakan kakek tentang niat ibu untuk menggeser kedudukan Demang itu benar."

   "Diam. Diam kau anak manja yang cengeng. Kau tahu apa ? Kau hanya tahu makan dan minum. Tidur dikipasi serta dipijiti kaki dan tanganmu. Kau hanya tahu disuapi dan menangisi mainanmu yang terlepas dari tanganmu tanpa mampu mengambilnya sendiri."

   "Ibu."

   "Sekarang pergilah kalian. Besok segala sesuatunya harus sudah terselenggara."

   "Apa yang terselenggara, ibu ?"

   "Penyerahan kekuasaan di Prancak. Besok kau akan menjadi Demang di Babadan. Demang Prancak itu akan menjadi Bekel. Ia akan menyerahkan seluruh wilayah kademangan Prancak kepada Demang Baru di Babadan."

   Ki Demang Prancak, Ki Bekel Babadan dan kakeknya menjadi tegang. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat pandangan mala Nyi Demang muda itu.

   "Ibu,"

   Desis Ki Bekel. Nyi Demang muda itu tertawa berkepanjangan. Semakin lama semakin keras.

   "Kau akan menjadi Demang esok pagi, ngger. Demang Prancak itu tidak akan berdaya melawanmu. Raden Panengah sendiri akan membinasakannya dengan tangannya."

   "Ibu, ibu."

   Suara tertawa Nyi Demang itupun bagaikan mengguncang-guncang bilik tahanannya.

   "Jangan takut ngger. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Raden Panengah. Ia sudah berjanji untuk menjadi ayah yang baik bagimu. Ia akan berbuat apa saja untuk kemenanganmu. Demang Prancak itu akan dilumatkannya seperti debu."

   "Ibu,"

   Ki Bekel itu berjongkok sambil memeluk kaki ibunya. Bahkan Ki Bekel itupun tidak dapat menahan air matanya melihat keadaan ibunya.

   "Kenapa kau menangis anak cengeng. Apa saja yang tidak kau tangisi he? Sudah aku katakan, jangan takut. Dalam waktu sepenginang Raden Panengah akan menghancurkan Demang Prancak. Jika rakyatnya berniat untuk mempertahankannya, maka mereka akan disapu bersih seperti sampah di halaman rumahmu itu."

   "Ibu. Ingat ibu. Ingat Ibu harus menyadari apa yang sudah terjadi."

   "Aku sadar sepenuhnya ngger,"

   Tiba tiba wajahnya menjadi tegang.

   "Demange. Kau memang anak iblis. Kenapa kau tidak mau menyerahkan jabatanmu kepada adikmu, he? Kenapa? Kau terlalu serakah. Kau warisi rumah, sawah dan semua kekayaan Ki Demang. Bahkan kedudukannya, tanpa mengingat bahwa kau mempunyai seorang adik laki-laki."

   "Ibu, ibu. Ingat ibu. Ibu jangan terperosok terlalu jauh ke dalam alam khayalan itu."

   "Kau kira aku berkhayal? Tidak. Besok penyerahan kekuasaan itu harus terselenggara. Jika tidak, maka Raden Panengah akan menghancurkan Prancak."

   "Ibu. Jangan sebut lagi nama iblis itu. Raden Panengah sudah menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat kademangan Prancak. Aku telah dikorbankannya."

   "Kau memang bodoh. Kau memang dungu anak cengeng. Kau tidak usah ikut campur. Segala sesuatunya akan selesai dengan baik."

   "Panengah itu sudah mati, ibu. Sudah mati dibunuh oleh prajurit Mataram."

   "Apa, apa katamu?"

   "Panengah itu sudah mati dibunuh prajurit Mataram."

   "Tidak. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Raden Panengah. Tidak ada."

   "Jangankan Panengah. Orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara itupun sudah mati di tangan orang-orang Mataram."

   "Bohong. Bohong."

   "Tidak ibu. Aku tidak bohong."

   Perempuan itupun kemudian memandang Ki Demang Prancak yang sudah bergeser maju.

   "Apakah benar bahwa Raden Panengah sudah mati?"

   "Ya, bibi. Raden Panengah sudah mati."

   "Siapa yang membunuhnya?"

   "Prajurit Mataram."

   "Raden Mahambara ?"

   "Juga sudah mati. Yang membunuh Raden Mahambara juga orang Mataram, tetapi ia bukan seorang prajurit."

   "Jadi siapa? Siapa? Siapa yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Raden Mahambara ?"

   "Ki Jayaraga. Meskipun Ki Jayaraga juga terluka di bagian dalam tubuhnya, tetapi ternyata bahwa berhadapan dengan Ki Jayaraga Raden Mahambara bukannya orang yang tidak terkalahkan."

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Setan, iblis laknat keparat."

   Kakek Ki Bekel itupun yang kemudian melangkah mendekati anak perempuannya. Dengan lembut laki-laki tua itu berkata.

   "Warsiyah. Sudahlah. Bangunlah dari mimpi-mimpi burukmu itu."

   "Pergilah. Kau tahu apa ? Kau hanya tahu makan dan tidur nyenyak. Pada masa kecilku aku selalu harus tunduk kepadamu. Aku harus melakukan apa katamu. Tetapi kau tidak pernah mendukung kemauanku, niatku dan semua langkah-langkahku. Kau hanya dapat menghalangiku dan bahkan jika mampu kau akan mencegahnya. Sekarang kau datang lagi untuk menghalangi aku. Untuk mencegah niatku. Tidak Tidak ada orang yang dapat mencegahku. Tidak ada orang yang dapat menghalangi aku."

   Pandangan mata orang tua itu menjadi redup. Tetapi dengan lembut iapun berkata.

   "Aku mengerti Warsiyah. Aku mengerti bahwa cita-citamu kau gantungkan di atas awan. Tetapi kakimu tidak lagi berpijak di atas bumi. Kau kehilangan pegangan sehingga penalaranmu menjadi goyah."

   "Cukup, cukup. Aku tidak memerlukan sesorahmu."

   "Warsiyah. Cobalah, kau sempatkan dirimu untuk mengenang apa yang telah terjadi atas dirimu dan atas anak-anakmu, bukankah Demang Prancak itu juga anakmu seperti Bekel di Babadan ? Cobalah kau ingat dirimu dan apa saja yang lelah kau lakukan."

   Nyi Demang itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Nyi Demang itupun berteriak.

   "Jangan ganggu aku lagi. Pergilah. Aku tidak memerlukan kau lagi. Ternyata kau tidak dapat memenuhi kewajibanmu, menuruti dan mencukupi kebutuhanku."

   "Aku tidak mengelak, ngger. Aku memang tidak dapat memenuhi semua keinginanmu. Tetapi itu bukan berani bahwa aku mengabaikan kewajibanku."

   "Apa yang aku inginkan tidak pernah dapat kau adakan. Aku selalu kecewa sejak masa kecilku. Aku tidak punya apa-apa seperti yang dipunyai oleh kawan-kawan. Bahkan golek dari kayupun aku tidak punya. Setiap kawan-kawanku bermain anak-anakan, aku hanya dapal menggendong kedebog pisang. Sementara kawan-kawanku mempunyai golek dari kayu yang disungging manis sekali."

   "Aku minta maaf ngger. Tetapi apa yang dapat aku berikan kepadamu dan kepada saudara-saudaramu itu adalah apa yang aku punya. Semuanya. Hidupku, kerja kerasku dari pagi sampai petang, hasilnya adalah bagimu dan saudara-saudaramu. Aku berikan segala-galanya bagi anak-anakku. Sedangkan mereka yang memberi golek dari kayu yang diukir dan disungging halus itu belum tentu memberikan segala-galanya bagi anaknya. Yang mereka berikan hanyalah sebagian kecil saja, sedangkan yang lebih banyak mereka pergunakan untuk kesenangan dirinya sendiri."

   "Itu salahmu. Kenapa kau tidak dapat mencari yang lebih banyak sehingga apa yang kau berikan kepadaku dan kepada saudara-saudaraku itu hanya sebagian kecil saja dari penghasilanmu, sedangkan yang lain dapat kau pergunakan untuk menyenangkan dirimu sendiri. Bukankah anak-anakmu tidak akan pernah melarang kau menyenangkan dirimu sendiri."

   "Itu yang aku tidak mampu ngger. Aku sudah bekerja sepenuh tenaga dan waktuku. Tetapi memang hanya itulah hasilnya. Dan itu seluruhnya sudah aku berikan kepadamu dan kepada saudara-saudaramu. Kepada seluruh keluargaku."

   "Ayah adalah seorang yang bodoh. Malas dan tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan gejolak kehidupan."

   "Apapun yang kau katakan, ngger. tetapi kau sebenarnya tahu pasti, bahwa aku telah berbuat apa saja yang dapat aku lakukan. Kau tentu tahu, kapan aku bangun di pagi hari ? Kapan aku pulang dari kerja apa saja yang dapat aku kerjakan ? Jika ini aku katakan kepadamu, Warsiyah. Bukan berarti bahwa aku mulai mengeluh atau bahkan merasakan ketidak adilan Yang Maha Agung. Sama sekali tidak. Aku justru mensukuri segalanya yang telah dikurniakan kepadaku. Itulah takaran yang pantas bagiku, bagimu dan bagi keluargaku. Tanpa mensukuri kurnianya, maka kita akan selalu diburu oleh perasaan kecewa, ketidak puasan, selalu merasa kekurangan dan lebih buruk lagi, kita akan menggugat kepada kuasa Yang Maha Agung."

   Nyi Demang itu termangu-mangu sejenak. Dahinya nampak berkerut, sementara punggungnya basah oleh keringat.

   "Kita memang pantas berusaha, ngger. Berjuang untuk mencapai satu keinginan. Satu gegayuhan. Usaha dengan sekuat tenaga adalah ungkapan permohonan yang sungguh-sungguh dari satu permohonan kepada Yang Maha Agung. Tetapi takaran yang dipergunakan bagi kurnianya atas kita, harus kita terima dengan mengucapkan sukur. Kita tidak dapat menuntut lebih dengan meiniicrgiinakan cara-cara yang bertentangan dengan wewaler-Nya. Jalan yang justru dikendalikan oleh nafsu hitam yang memancar dari hati iblis yang berbulu duri."

   Ki Demang itu masih berdiri mematung, namun wajahnya menjadi semakin menunduk.

   "Ibu,"

   Desis Ki Bekel kemudian.

   "kakek benar, ibu."

   Dipandanginya anaknya dengan mata yang basah. Dengan suara yang tertahan Nyi Demang iiupun bertanya.

   "Apa maksudmu ?"

   "Apa yang ingin kita capai agaknya sudah berada diluar takaran kurnia Yang Maha Agung, sehingga kita sudah mulai menyandarkan keberhasilan niat kita yang sudah melampaui takaran itu kepada kekuatan hitam diujung hutan."

   "Warsiyah,"

   Sambung ayahnya.

   "kau harus mulai menyadari dan mengakui sebagaimana dikatakan oleh anakmu. Ia adalah anakmu, tetapi panalarannya ternyata lebih jernih dari penalaranmu."

   "Ibu. Raden Panengah dan. Raden Mahambara adalah ujud dari hati iblis yang hitam itu. Untuk dapat memandang dan mengenali iblis yang berhati kelam itu, maka kita dapat memandang Raden Panengah dan Raden Mahambara. Akupun merasa sangat terlambat dapat mengenali mereka."

   "Ngger,"

   Nada suara Nyi Demang itu merendah. Air matanyapun mengalir semakin deras.

   "Ibu dapat melihat kelemahan ibu itu ?"

   Tangis Nyi Demang itupun kemudian meledak bagaikan bendungan pecah. Tiba-tiba saja Nyi Demang itu berjongkok di hadapan ayahnya, memeluk kakinya sambil berkata disela-sela isak tangisnya.

   "Ampunkan aku ayah. Aku mohon ampun."

   Ayahnya itupun kemudian membungkuk sambil memegangi lengan anak perempuannya. Kemudian menariknya berdiri.

   "Sudahlah, Warsiyah. Sudah."

   "Ayah belum mengampuni aku,"

   Tangis Warsiyah. Tetapi ia masih belum mau bangkit berdiri.

   "Kau tidak bersalah."

   "Aku bersalah. Aku bersalah kepada ayah, kepada Bekel Babadan dan kepada seluruh warga padukuhan Babadan dan sekitarnya. Aku telah menyulut permusuhan diantara kalian. Bahkan telah mengundang campur langan prajurit Mataram."

   Orang tua itupun termangu-mangu sejenak, sementara Nyi Demang masih menangis sambil memeluk kakinya.

   "Ampunkan aku ayah. Aku mohon ampun."

   Orang tua itu mengusap matanya yang menjadi basah. Sambil menarik Nyi Demang itu agar berdiri, iapun berkata.

   "Sudah Warsiyah. Aku sudah mengampunimu."

   "Ayah."

   Ayahnya menarik Nyi Demang itu sehingga akhirnya Nyi Demang itupun berdiri.

   "Duduklah. Duduklah di pembaringanmu."

   Ki Demang menarik nafas panjang.

   Pengakuan ibu tirinya itu merupakan pertanda, bahwa ibu tirinya itu tidak akan membuat ulah lagi di kemudian hari, meskipun kemungkinan di luar dugaan itu dapat saja terjadi.

   Nyi Demang itupun kemudian duduk di bibir pembaringannya, namun isaknya masih terasa menyesakkan dadanya.

   Disela-sela isaknya, Nyi Demang itu masih juga berkata.

   "Ngger. Demange Prancak. Aku juga minta maaf kepadamu dan kepada seluruh rakyat di Prancak. Semuanya terpercik oleh sikapku yang tidak sepantasnya. Aku minta maaf."

   "Baiklah bibi. Aku sudah memaafkan bibi. Aku juga akan berbicara dengan orang-orang Mataram, agar mereka juga dapat memaafkan bibi."

   "Jangan, ngger. Jangan. Biarlah orang-orang Mataram itu menjatuhkan hukuman kepadaku. Sebelum aku menjalani hukuman, maka rasa-rasanya hutangku kepada kademangan Prancak belum terbayar. Dengan menjalani hukuman apapun yang akan dijatuhkan oleh petugas yang berwenang mengadili aku di Mataram, aku akan menerima dengan ikhlas. Aku sudah berbuat salah, karena itu aku harus dihukum, agar aku merasa bahwa kesalahanku itu sudah, aku tebus, sehingga untuk selanjutnya, jika aku masih dikaruniai umur panjang, aku dapat menjalani hidupku itu dengan tenang, karena aku sudah merasa diriku bersih kembali."

   Ketiga orang yang mengunjungi Nyi Demang itu saling berpandangan.

   Mereka dapat mengerti sikap Nyi Demang itu.

   Karena pengakuannya yang mendalam, maka ia ingin menebus kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya itu dengan menjalani hukuman yang akan dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang di Mataram.

   Ketika tangis Nyi Demang itu mereda, maka kakek Ki Bekel itupun berkata.

   "Marilah ngger. Kita kembali kepada Ki Lurah Agung Sedayu."

   "Marilah, kek,"

   Jawab Ki Demang yang kemudian minta diri kepada Nyi Demang.

   "bibi. Kami minta diri. Kami masih akan menemui Ki Lurah Agung Sedayu."

   "Silahkan ngger. Tetapi angger tidak perlu minta pengampunan bagiku."

   Ki Demang menarik nafas panjang. Katanya.

   "Baik bibi. Aku tidak akan minta pengampunan bagi bibi jika itu yang bibi kehendaki, serta yang mungkin dapat memberikan ketenangan bagi hidup bibi selanjutnya."

   "Terima kasih, ngger."

   Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya itupun minta diri kepada Nyi Demang muda yang nampaknya telah menemukan satu keyakinan baru didalam hidupnya.

   Agaknya sepercik sinar telah memancar menerangi hatinya yang kelam.

   Dalam pada itu, Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya telah pergi ke pendapa.

   Ki Lurah Agung Sedayu masih duduk di pringgitan menunggu mereka.

   Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya masih duduk beberapa saat lagi bersama Ki Lurah Agung Sedayu.

   Masih ada beberapa hal yang perlu disampaikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu kepada Ki Demang di Prancak.

   "Kami akan segera mempersiapkan diri untuk kembali ke Mataram Ki Demang,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "jika besok pertemuan Ki Demang dengan para bekel itu dapat terlaksana, maka esok lusa, kami akan kembali ke Mataram. Kami akan membawa para tawanan termasuk Nyi Demang muda."

   "Kenapa begitu tergesa-gesa, Ki Lurah. Ki Lurah dapat berada di Prancak untuk waktu yang agak lama."

   "Bukankah sudah tidak ada persoalan lagi yang harus kami tangani. Persoalan-persoalan yang timbul akan dapat Ki Demang tangani sendiri. Untuk menjaga keutuhan kademangan Prancak, serta untuk melindungi rakyatnya, Ki Demang dapat menyusun kekuatan yang terdiri dari anak-anak muda padukuhan. Kerusuhan yang mungkin timbul akan dapat Ki Demang redam sendiri tanpa menggantungkan diri kepada para prajurit. Meskipun demikian, bukan kerusuhan diluar batas kemampuan kademangan, maka para prajurit tentu akan datang membantu."

   "Terima kasih, Ki Lurah."

   "Nah, aku berharap bahwa besok sore pertemuan itu akan benar-benar dapat terlaksana."

   Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya itupun segera meninggalkan banjar.

   Ki Bekel dan kakeknya langsung kembali ke Babadan.

   Tetapi esok sore mereka harus berada di rumah Ki Demang di Prancak untuk menghadiri pertemuan dengan para Bekel diseluruh kademangan Prancak.

   Hari itu, Ki Demangpun telah memerintahkan beberapa orang bebahu mengundang para Bekel.

   Para bebahu sendirilah yang harus membagi diri pergi ke padukuhan-padukuhan agar mereka dapal menjelaskan kepada para Bekel.

   Sementara itu, Ki Lurah Agung sedayu telah memerintahkan kepada pasukannya untuk mempersiapkan diri.

   Jika besok pertemuan dengan para Bekel itu benar-benar dapat berlangsung, maka esok lusa Ki Lurah akan membawa prajuritnya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama para tawanan.

   Dalam pada itu, keadaan ki Jayaragapun telah berangsur pulih kembali, sehingga jika esok lusa mereka akan menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga tidak akan mengalami kesulitan lagi.

   Seperti yang diperintahkan oleh Ki Demang, maka di sore hari, para bebahupun telah menyebar ke padukuhan-padukuhan.

   Jika biasanya Ki Demang mempercayakan beberapa orang anak muda untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada para Bekel, namun hari itu, para bebahu sendiri yang harus datang menemui para Bekel untuk menyampaikan perintahnya agar para Bekel esok sore berkumpul di rumahnya.

   Beberapa orang Bekel yang menerima kedatangan seorang bebahu kademangan untuk menyampaikan perintah Ki Demang memang agak terkejut.

   Tetapi ketika para bebahu itu memberikan penjelasan, maka para Bekelpun memakluminya.

   Meskipun demikian, ada juga beberapa orang Bekel yang menjadi gelisah.

   Mereka merasa bahwa selama terjadi perpecahan di kademangan Prancak mereka tidak menunjukkan sikap yang tegas.

   Namun Bekel Babadan sendiri justru sudah menjadi tenang.

   Ia sudah bertemu lebih dahulu dengan Ki Demang Prancak.

   Iapun sudah membuat penyelesaian tersendiri dengan Ki demang di Prancak, sehingga persoalannya sudah dapat dianggap selesai.

   Tugas selanjutnya adalah mengembalikan orang-orang Prancak ke dalam keadaan semula sehingga mereka merasa bahwa mereka adalah penghuni sebuah padukuhan yang menjadi bagian dari kademangan Prancak.

   Ketika malam turun, maka suasana di Prancak sudah jauh berubah.

   Para peronda di beberapa padukuhan serta pedukuhan induk tidak lagi dicengkam oleh ketegangan.

   Para peronda tidak lagi merasa cemas di setiap saat.

   apalagi di padukuhan-padukuhan yang malam terakhir didatangi orang-orang Babadan serta para perampok dari ujung hutan.

   Mereka yang meronda sempat duduk berkelakar di gardu-gardu sambil menunggu ketela pohon yang mereka rebus masak.

   Sementara itu, orang-orang Babadanpun sempat melihat ke dalam diri mereka sendiri.

   Orang-orang yang termasuk mereka yang keinginannya untuk menjadikan padukuhan mereka sebagai padukuhan induk, melonjak-lonjak di dalam dada mereka, mencoba untuk menilai keadaan.

   Merekapun akhirnya sadar, bahwa sia-sialah mereka jika mereka masih saja bermimpi untuk menjadikan padukuhan mereka padukuhan induk sebuah kademangan yang akan disebut kademangan Babadan yang wilayahnya meliputi kademangan Prancak.

   Bahkan beberapa orang telah menjadi malu sendiri, bahwa untuk beberapa lama mereka telah berada di bawah pengaruh para perampok yang tinggal di ujung hutan.

   Bahkan seorang ibu tengah menangis tanpa henti menangisi anak gadisnya yang mulai mengandung karena berhubungan dengan seorang yang yang berasal dari sarang para perampok di ujung hutan itu.

   Sedangkan seorang janda kembangpun hampir saja berniat untuk membunuh diri.

   Untunglah kerabatnya sempat mencegahnya dan mencoba memberikan beberapa nasehat sehingga janda itu mengurungkan niatnya.

   Janda itulah yang untuk beberapa lama telah tinggal bersama orang yang disebut Ki Jagabaya di padukuhan Babadan.

   Untuk beberapa lama ia terlena sehingga ia tidak menyadari siapakah sebenarnya orang yang disebut Ki Jagabaya di Babadan itu.

   Ketika Ki Jagabaya itu minta kepadanya untuk tinggal bersamanya, ia justru merasa sangat bangga.

   Matanya seakan-akan menjadi rabun, bahwa ia tidak melihat betapa wajah Ki Jagabaya yang bengis itu, bagaimana sikapnya yang kasar dan kata-katanya yang kotor.

   Untuk beberapa lama ia menganggap bahwa Ki Jagabaya itu adalah laki-laki yang sangat didambakannya sepeninggal suaminya yang sakit-sakitan.

   Tetapi ketika semuanya sudah berakhir, ia mulai dapat melihat kebenaran tentang orang yang disebut Ki Jagabaya itu.

   Perasaan malu, kecewa menyesal dan berbagai macam perasaan yang bercampur baur, telah membuatnya berputus asa, sehingga janda kembang yang masih juga belum dinikahi oleh Ki Jagabaya itu berniat untuk membunuh diri.

   Ki Bekel di Babadanpun melihat luka-luka di padukuhannya yang ditinggalkan oleh para perampok yang semula tinggal di ujung hulan itu, namun yang kemudian perlahan-lahan berniat membangun landasan dari gerakan mereka di padukuhan Babadan.

   Bahkan mereka telah merencanakan untuk membuat Babadan menjadi sebuah kademangan.

   Ki Bekel itupun menyadari, bahwa ia telah dihadang oleh tugas yang berat untuk memulihkan keadaan padukuhannya sehingga orang-orang padukuhannya tidak lagi merasa segan dan malu berbaur dengan rakyat Prancak dari padukuhan yang lain di seberang susukan.

   Ki Bekel itu tidak seharusnya lagi menjadi orang cengeng dan manja yang hanya dapat bersandar kepada ibunya, bahkan pada saat ibunya tersesat, maka ia pun telah terseret pula ke arah yang sesat itu pula.

   Ki Bekel sadar, bahwa telah datang waktunya untuk bangkit dan berdiri di atas kedua kakinya sendiri.

   Namun Ki Bekel tidak sendiri.

   Para bebahunya yang dikumpulkannya, merasa mengemban kewajiban yang sama seperti Ki Bekel.

   Mereka sadar bahwa tidak ada gunanya lagi mereka untuk menuding Ki Bekel dan menyalahkannya.

   Ki Kebayan itupun berkata kepada orang-orang Babadan.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kita semuanya telah bersalah. Adalah tidak adil jika kita membebankan kesalahan ini kepada Ki Bekel semata-mata. Ki Bekel berani bertindak lebih jauh, karena Ki Bekel merasa mendapat dukungan dari rakyat Babadan. Karena itu, maka marilah kita semuanya mengakui bahwa kita bersama-sama telah terjerumus kedalam satu kesalahan yang akibatnya ternyata sangat buruk bagi padukuhan Babadan. Selama ini kita telah mengeluarkan banyak sekali uang untuk membeayai keberadaan orang-orang dari ujung hutan itu. Tetapi uang dapat dihitung jumlahnya. Lebih dari itu, kita sudah kehilangan harga diri dan kenyataan tentang diri kita sendiri."

   Rakyat Babadanpun menyadari.

   Masuknya unsur dari luar padukuhan mereka benar-benar telah merusakkan tatanan kehidupan di padukuhan mereka.

   Bahkan orang-orang dari luar lingkungan mereka itulah kemudian yang menentukan nafas kehidupan di Babadan.

   Ki Bekel sendiri tidak lebih dari sosok wayang yang berada di tangan seorang dalang yang bengis.

   Demikianlah, maka kademangan Prancakpun mulai membenahi diri.

   Seperti diperintahkan oleh Ki Demang, maka di keesokan harinya, para bebahu kademangan, para bekel serta bebahu padukuhan berkumpul di rumah Ki Demang Prancak.

   Ketika matahari turun, maka para Bekelpun mulai berdatangan disertai para bebahu masing-masing.

   Selain mereka, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah hadir pula bersama Glagah Putih.

   Seorang yang pernah berada di Prancak pada saat-saat kademangan Prancak berada dibawah bayangan campur tangan pihak lain.

   Para perampok yang tinggal di ujung hutan.

   Dalam pertemuan itu, Ki Demang tidak lagi berbicara melingkar-lingkar.

   Ki Demang langsung berbicara tentang keadaan kademangan Prancak pada saat-saat terakhir.

   Keterlibatan pihak lain yang memasuki rumah tangga kademangan Prancak.

   "Satu pengalaman yang pahit,"

   Berkata Ki Demang.

   "sementara itu ada pula para Bekel yang terombang-ambing tanpa berpijak pada satu sikap yang mantap. Justru mereka adalah orang-orang yang hanya mencari keselamatan sendiri. Pada saatnya ia akan berpihak pada mereka yang menang dalam pertarungan antara keluarga sendiri."

   Beberapa orang Bekel merasa tertusuk jantungnya.

   Mereka menundukkan kepala mereka dalam-dalam.

   Tetapi Ki Demang Prancak tidak mau menyebut nama padukuhan-padukuhan yang sengaja mengambang tanpa menentukan sikap.

   Tetapi peringatan Ki Demang Prancak sangat tajam ditujukan kepada mereka yang tidak bersikap itu.

   "Pada kesempatan lain, aku akan bersikap lebih kasar. Aku dapat menyingkirkan para Bekel yang tidak bersikap. Para Bekel yang hanya mencari keselamatan sendiri. Jika Bekel yang aku singkirkan itu mencoba untuk melawan, maka aku mempunyai kekuatan untuk memaksakan keputusanku itu. Jika perlu dengan kekerasan. Sebagaimana anak-anak yang nakal, maka jika perlu anak itu harus dicambuk."

   Para Bekel dan para bebahu itupun terdiam, sehingga suasana di pendapa rumah Ki Demang itu menjadi hening.

   Bahkan semilir angin yang menyusup diantara saka guru pendapa rumah Ki Demang itupun terdengar berdesis lembut.

   Para Bekel itupun mengerti, bahwa Ki Demang tidak sedang menceriterakan sebuah dongeng.

   Tetapi Ki Demang itu benar-benar mengungkapkan perasaan kecewanya.

   Diantara kata-katanya yang tajam menusuk, Ki Demang itupun berkata.

   "Disini hadir Ki Lurah Agung Sedayu dari Mataram. Kalian tahu, jika aku sendiri tidak mampu melakukannya, maka sepanjang aku berjalan di jalan lurus sesuai dengan tatanan dan paugeran, maka prajurit Mataram akan siap membantu. Kapan saja aku minta."

   Para Bekel itu masih saja berdiam diri.

   Tetapi mereka yakin akan kebenaran dari setiap kata Ki Demang Prancak.

   Para prajurit Mataram itu tentu akan mendukung Ki Demang sepanjang Ki Demang berjalan dialas tatanan dan paugeran.

   Dalam pertemuan itu seakan-akan hanya berlangsung satu arah.

   Bukan sebuah pembicaraan.

   Tetapi para Bekel dan bebahunya itu hanya datang untuk mendengarkan sesurah Ki Demang yang sedang marah.

   Babadan mendapat sorotan terbesar dalam pembicaraan itu.

   Namun Ki Demangpun berkata.

   "Tetapi Bekel Babadan telah menyadari segala kesalahannya. Sedangkan menurut para pemimpin dari para prajurit Mataram, yang mempunyai kesalahan terbesar adalah justru Nyi Demang muda. Isteri Ki Demang almarhum. Nyi Demang telah meracuni penalaran anaknya, didukung oleh pihak ketiga, pihak yang seharusnya berdiri diluar pagar kademangan Prancak. Namun ternyata kehadiran mereka diterima dengan baik oleh Ki Bekel di Babadan atas petunjuk ibunya, sehingga apa yang terjadi telah kalian ketahui. Beruntunglah bahwa sepasukan prajurit Mataram yang datang itu dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga segala sesuatunya tetap terkendali. Meskipun demikian, gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu sudah dihancurkan."

   Ki Demang itu berhenti sejenak, kemudian katanya pula.

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung

Cari Blog Ini