Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 27


Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 27


Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja

   

   Glagah Putih tersenyum. Katanya.

   "Baiklah. Jika kau mau turun ke sungai, turunlah lebih dahulu. Mungkin aku baru bisa pergi ke sanggar selelah lewat tengah malam."

   Dalam pada itu.

   Agung Sedayu dan kedua orang pengiringnya telah berada di Mataram.

   Ki Lurah langsung pergi ke Kepatihan.

   Ia berharap bahwa Ki Patih masih ada di rumah.

   Ketika Ki Lurah Agung Sedayu sampai di Kepatihan, maka pemimpin prajurit Kepatihan yang sedang bertugas mempersilahkannya untuk duduk menunggu sejenak.

   "Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka, Ki Lurah. Sebenarnyalah bahwa Ki Patih Mandaraka sedang sakit, sehingga Ki Patih tidak pergi menghadap, ke istana."

   "Ki Patih sedang sakit? Jika demikian, biarlah pada kesempatan lain saja aku akan menghadap."

   "Tunggu. Aku akan menyampaikannya dahulu kepada Ki Patih. Mungkin Ki Patih dapat menerima Ki Lurah."

   "Tetapi jika Ki Patih Mandaraka sedang sakit."

   "Ki Patih memang sedang sakit. Tetapi Ki Patih tidak selalu berada di pembaringan. Kadang-kadang Ki Patih juga keluar dan turun ke halaman samping. Berjalan-jalan beberapa saat menghirup udara segar. Sebenarnyalah Ki Patih itu sudah sangat tua."

   "Ya. Ki Patih memang sudah sangat tua."

   "Meskipun demikian, segala-galanya masih tetap jernih. Ingatannya akal budinya, pendapat-pendapatnya masih tetap cerah meskipun kewadagannya sudah menjadi semakin lemah."

   "Baiklah. Aku akan menunggu. Apakah aku diperkenankan menghadap atau sebaiknya aku datang lagi pada kesempatan lain."

   "Silahkan menunggu sebentar Ki Lurah."

   Demikianlah, maka pemimpin prajurit yang sedang bertugas itupun segera masuk ke pintu seketeng menemui pelayan dalam yang berada di seketeng.

   "Aku akan bertemu dengan Narpacundaka yang bertugas hari ini,"

   Berkata pemimpin prajurit yang bertugas itu. Sejenak kemudian, maka Narpacundaka yang bertugaspun telah menemuinya di serambi samping.

   "Ada apa?"

   Bertanya Narpacundaka itu.

   "Ada seseorang yang ingin menghadap Ki Patih."

   "Bukankah kau tahu. bahwa Ki Patih sedang sakit."

   "Yang akan menghadap adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Mungkin Ki Patih akan memberinya kesempatan."

   "Ki Lurah Agung Sedayu."

   "Ya."

   "Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Patih."

   "Apakah Ki Patih sedang berbaring?"

   "Tidak. Ki Patih sedang duduk di serambi belakang."

   "Baiklah. Aku tunggu disini."

   Narpacundaka itupun kemudian telah masuk ke ruang dalam untuk menghadap Ki Patih yang berada di serambi belakang.

   "Ada apa?"

   Bertanya Ki Patih yang nampak lemah.

   "Ampun Ki Patih. Seseorang mohon diijinkan untuk menghadap Ki Patih"

   "Siapa?"

   "Ki Lurah Agung Sedayu. Pemimpin Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh."

   "Ki Lurah Agung Sedayu?"

   "Ya. Ki Patih."

   "Baiklah. Biarlah ia menghadap. Aku akan menerimanya disini saja. Bawa Ki Lurah itu kemari."

   "Baiklah. Ki Patih. Aku akan membawa Ki Lurah Agung Sedayu itu kemari."

   Demikianlah, maka sejenak kemudian. Ki Lurah Agung Sedayu itupun telah dibawa menghadap Ki Patih di serambi belakang Sementara kedua orang prajurit yang menyertainya menunggunya di gardu penjagaan di halaman Kepatihan."

   Demikianlah, maka sejenak kemudian. Ki Lurah Agung Sedayupun telah berada di serambi belakang, menghadap Ki Pauh Mendaraka yang sedang dalam keadaan sakit.

   "Bagaimana dengan para prajurit di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Lurah?"

   Bertanya Ki Patih Mandaraka.

   "Mereka dalam keadaan baik, Ki Patih."

   "Jika kau datang menghadap, kau tentu akan membawa laporan tentang prajurit-prajuritmu. Bukankah begitu?"

   "Ya, Ki Patih."

   Ki Patih itu tersenyum. Katanya.

   "Sayang. Aku sedang sakit. Ki Lurah. Tetapi katakan, apa yang akan kau laporkan."

   "Ada beberapa hal yang ingin aku laporkan. Ki Patih. Diantaranya tentang usaha Glagah Putih dan Rara Wulan memburu tongkat baja putih itu. Sedangkan yang lain adalah usaha pasukanku mengamankan daerah kademangan Prancak yang dikuasai oleh sebuah gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara."

   "Raden Mahambara?"

   Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya.

   "seorang yang namanya banyak dikenal dan pernah menebarkan ketakutan dimana-mana."

   "Ya, Ki Patih. Sedangkan laporan yang lain adalah benturan kekerasan antara prajurit Mataram dari Pasukan Khusus dengan sepasukan pengikut Ki Saba Lintang."

   "Orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu maksudmu?"

   "Ya, Ki Patih."

   Ki Patih mengangguk-angguk.

   Kemudian sambil mengelus dadanya Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang.

   Sementara itu.

   Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian telah menceriterakan apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Bahkan sejak keduanya berada di Seca sampai peristiwa yang terakhir, benturan kekerasan antara pasukan Mataram dengan pasukan dan Perguruan Kedung Jati.

   Ki Patih Mandaraka mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.

   Sekali-sekali Ki Patih Mandaraka itu mengangguk-angguk.

   Namun sekali-sekali nampak dahinya berkerut.

   "Ki Patih Mandaraka,"

   Berkata Ki Lurah kemudian.

   "sekarang di Tanah Perdikan terdapat beberapa orang tawanan. Sebagian dan mereka adalah para pengikut Raden Mahambara. sedangkan yang lain adalah mereka yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati."

   "Supaya mereka tidak memenuhi barakmu Ki Lurah. Kapan-kapan kau dapat membawa mereka ke Mataram. Tetapi sebelumnya kau harus berhubungan dahulu dengan para perwira yang bertugas di Mataram untuk menerima mereka."

   "Ya. Ki Patih. Pada saatnya aku akan membawa mereka ke Mataram. Sedangkan sebelumnya, aku ingin mendapat petunjuk dari Ki Patih, apakah yang sebaiknya kami lakukan terhadap Ki Saba Lintang yang mengaku pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati yang besar. yang menurut Ki Saba Lintang kuasanya melipuli luasnya Bumi Mataram."

   "Petunjuk apa yang kau maksudkan Ki Lurah?"

   "Beberapa orang tawanan yang ada di Tanah Perdikan mengaku berasal dan lingkungan yang berbeda-beda . Mereka berasal dari beberapa perguruan yang kemudian karena bujukan, janji-janji tetapi juga ancaman-ancaman dari perguruan Kedung Jati. telah bergabung dengan perguruan Kedung Jati itu. Selain perguruan-perguruan itu. maka ada juga beberapa gerombolan brandal. perampok dan penyamun yang dibujuk atau dipaksa untuk bergabung. Gerombolan Raden Mahambara adalah salah satu dari gerombolan yang berani menantang kekuatan perguruan Kedung Jati, sehingga Ki Saba Lintang telah mengirim Ki Wiratuhu dengan pasukannya untuk menghancurkan gerombolan Raden Mahambara. Tetapi kedatangan mereka agak terlambat, karena kami telah datang lebih dahulu. Bahkan akhirnya pasukan Ki Wiratuhu itu telah menyerang para prajurit Mataram."

   "Menurut Ki Lurah, langkah yang manakah yang akan Ki Lurah ambil?"

   "Ki Patih. Ada beberapa jalan yang dapat kami tempuh untuk semakin membatasi ruang gerak Ki Saba Lintang. Kami dapat mendatangi padepokan induk dari perguruan Kedung Jati dengan kekuatan yang besar. Menghancurkannya sehingga beberapa padepokan dan sarang-sarang gerombolan yang telah bergabung dengan Ki Saba Lintang akan kehilangan ikatannya. Tetapi untuk melakukannya, harus dicari lebih dahulu, dimanakah padepokan induk perguruan Kedung Jati itu. Bahkan mungkin Ki Saba Lintang dan para pemimpin perguruan Kedung Jati yang mendampinginya, justru tidak berada di padepokan induk itu. sehingga mereka luput dari penangkapan.

   "Sedangkan cara yang lain?"

   "Kami dapat memotong dahan-dahannya lebih dahulu, Ki Patih. Kami hancurkan satu persatu padepokan-padepokan serta sarang-sarang gerombolan pendukung perguruan Kedung Jati yang tersebar itu. Kami akan mendapat beberapa keterangan dan para tawanan, letak padepokan-padepokan serta sarana-sarana gerombolan itu. Dengan mematahkan ranting-ranting serta cabang-cabangnya lebih dahulu, maka akhirnya kita akan sampai kepada pokok batangnya serta kemudian mencerabut akar-akarnya. Ki Patih Mandaraka termangu mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata.

   "Agaknya lebih mudah ditempuh jalan yang kedua. Kalian sudah akan mendapat petunjuk dari tawanan-tawanan yang kini berada di Tanah Perdikan."

   "Ya. Ki Patih. Namun menurut Glagah Putih, meskipun kita akan mendapat keterangan dan para tawanan, tetapi harus dilihat langsung kekuatan yang ada di padepokan itu. agar pasukan Mataram tidak terjebak ke dalam sebuah padepokan yang kekuatannya melampaui kekuatan pasukan Mataram. Karena jika terjadi demikian, maka pasukan Mataram itu akan dapat dihancurkan."

   "Tentu Ki Lurah. Jangan meloncat ke dalam lubang yang gelap tanpa mengetahui seberapa dalamnya, serta isi lubang itu. Jika di atas lubang itu terdapat setumpuk jerami kering, maka kita akan beruntung. Kita akan terjatuh di tempat yang lunak. Tetapi jika dasar dari lubang yang dalam itu adalah batu-batu padas yang runcing, maka akibatnya akan jauh berbeda."

   "Ya. Ki Patih. Pendapat Glagah Putih itu dapat dimengerti. Karena itu, jika menurut petunjuk Ki Patih kami akan menempuh jalan ini. maka yang mula-mula akan kami lakukan adalah mengamati sasaran sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih."

   "Jika kau ingin mendengar pendapatku, Ki Lurah. Lakukan cara yang kedua sambil mencari keterangan, padepokan induk perguruan Kedung Jati itu."

   "Jika demikian, maka kamipun akan memilih cara yang kedua itu. Ki Patih."

   "Tetapi cara yangmanapun yang akan kau tempuh, kau harus tetap berhati-hati. Ki Lurah."

   Ki Lurah mengangguk dalam-dalam sambil menjawab.

   "Ya. Ki Patih. Kami akan sangat berhati-hati."

   "Bukan saja bagi keselamatan tertinggi dari pasukanmu, tetapi perburuan itu jangan menimbulkan kesan, bahwa Mataram sedang menghadapi musuh yang besar. Yang akan Ki Lurah lakukan adalah sekedar menebang sebatang pohon besar yang tumbuhnya tidak mapan di halaman. Ki Lurah bukan sedang babad alas untuk membuka sebuah lingkungan hunian."

   "Aku mengerti. Ki Patih."

   "Nah, mudah-mudahan Ki Lurah berhasil. Tetapi sebelum Ki Lurah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, aku minta Ki Lurah menghadap Pangeran Purbaya lebih dahulu."

   "Pangeran Purbaya."

   "Ya."

   "Apa yang harus aku sampaikan kepada Pangeran Purbaya?"

   "Katakan sebagaimana kau katakan kepadaku. Katakan pula bahwa kau telah datang kepadaku serta katakan pula pendapatku."

   "Baik Ki Patih. Aku akan menghadap Pangeran Purbaya."

   "Supaya Pangeran Purbaya percaya bahwa kau telah datang kepadaku, kau akan aku beri pertanda selembar kelebet kecil yang telah aku bubuhi tapak cincin lambang kepatihan Mataram."

   "Termin kasih, Ki Patih."

   Ki Patihpun kemudian bangkit dari tempat duduknya.

   Berjalan perlahan-lahan ke ruang dalam, diikuti oleh Narpacundaka yang sedang bertugas.

   Beberapa saat kemudian.

   Ki Putih yang kadang-kadang harus dibantu oleh Narpacundaka.

   telah kembali sambil membawa selembar kelebet kecil seperti yang dikatakannya.

   "Nah. Mudah-mudahan Pangeran Purbaya sependapat. Jika Pangeran Purbaya sependapat, maka kau akan dapat melakukannya. Bahkan Pangeran Purbaya tidak akan membiarkan kau bekerja sendiri. Pangeran Purbaya adalah seorang yang bertanggung jawab atas segala sikap serta langkah yang diambil. Jika Pangeran Purbaya sudah menyatakan sependapat, maka berarti bahwa Pangeran Purbaya akan membantumu sejauh kuasa yang disandangnya."

   "Terima kasih, Ki Patih. Aku mohon diri. Aku akan menghadap Pangeran Purbaya. menyampaikan pesan Ki Patih Mandaraka."

   "Baik, Ki Lurah. Jika saja aku tidak sedang sakit, maka aku akan dengan senang hati melibatkan diri langsung untuk menangani persoalan ini jika kelak aku sudah sembuh, aku berniat untuk dapat membantumu. Setidak-tidaknya selalu mengikuti perkembangannya dari dekat."

   "Terima kasih, Ki Patih. Tetapi untuk selanjutnya aku akan selalu memberikan laporan kepada Ki Patih."

   "Tentu saja juga kepada Pangeran Purbaya."

   "Ya. Ki Patih."

   "Baiklah. Sekarang pergilah menghadap Pangeran Purbaya. Aku tidak berarti sudah mengusirmu. Tetapi kau tentu memaklumi keadaanku. Selebihnya dalam keadaan seperti ini. waktumu akan lebih berarti jika kau berbincang lebih jauh dengan Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya tentu akan mengikuti perkembangannya dengan teliti. Ia akan sering bertanya tentang kekuatan yang ada di bawah pimpinanmu. Sejauh mana pasukanmu menyusul dalam tugasmu yang besar kali ini."

   "Ya. Ki Patih. Aku akan mohon diri. Selanjutnya aku akan menghadap Pangeran Purbaya di Dalem Kapangeranan. Mudah-mudahan Pangeran Purbaya ada di Dalem Kapangeranan."

   "Hari ini bukan hari pisowanan. Mudah-mudahan Pangeran Purbaya ada di Kapangeranan."

   Ki Lurah Agung Sedayupun segera minta diri.

   Ia mengerti bahwa Ki Patih Mandaraka agaknya sudah merasa letih duduk di serambi belakang.

   Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu serta kedua orang prajurit yang mengiringinya telah meninggalkan Dalem Kepatihan.

   Merekapun segera menuju ke Dalem Purbayan.

   Meskipun Ki Lurah Agung Sedayu sudah mengenal Pangeran Purbaya.

   tetapi jarak pengenalannya masih agak jauh.

   Meskipun demikian dengan pertanda yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka, Ki Lurah berharap bahwa kedatangannya akan mendapat tanggapan yang wajar dari Pangeran Purbaya.

   Ketika Ki Lurah memasuki regol Dalem Kapangeranan.

   maka prajurit yang bertugaspun telah menghentikannya.

   "Ada keperluan apa. Ki Sanak."

   "Aku datang untuk menghadap Kangjeng Pangeran Purbaya."

   "Ki Sanak siapa dan dan kesatuan mana?"

   "Aku Lurah prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namaku Agung Sedayu."

   "Ki Lurah Agung Sedayu."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya."

   "Apakah Ki Lurah memang diperintahkan untuk menghadap hari ini?"

   "Ya. Tetapi bukan Kangjeng Pangeran Purbaya sendiri yang memerintahkan menghadap."

   "Siapa?"

   "Ki Patih Mandaraka."

   "Ki Patih Mandaraka?"

   "Ya. Aku membawa pertanda dari Ki Patih Mandaraka."

   Ki Lurahpun kemudian menunjukkan selembar kelebet kecil yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka sendiri. Prajurit yang bertugas di Dalem Purbayan itupun kemudian berkata.

   "Baiklah, Ki Lurah. Silahkan ke gardu dan bertemu dengan Ki Lurah Singayuda."

   "Baik. Ki Sanak."

   Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian menuntun kudanya bersama kedua orang prajurit yang menyertainya ke gardu para prajurit yang bertugas.

   Di gardu itu, Ki Lurah Agung Sedayu menemui Ki Lurah Singayuda sebagaimana dikatakan oleh prajurit yang bertugas di regol halaman.

   Dengan menunjukkan pertanda dari Ki Patih Mandaraka, maka akhirnya Ki Lurah itupun diperkenankan menghadap Pangeran Purbaya di serambi sebelah kiri yang menghadap ke longkangan di belakang pintu seketeng.

   "Kau sudah menghadap eyang Patih Mandaraka?"

   "Ya. Pangeran. Aku mendapat pertanda kelebet kecil itu, yang harus aku tunjukkan kepada Kanjeng Pangeran Purbaya."

   "Baiklah. Apakah kau membawa pesan dari eyang Patih?"

   "Ya. Pangeran."

   "Katakan."

   Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian menyampaikan pesan Ki Patih Mandaraka bahwa ia harus melaporkan kepada Pangeran Purbaya sebagaimana sudah dilaporkannya kepada Ki Patih Mandaraka. Pangeran Purbayapun mengangguk-angguk sambil berkata.

   "Baiklah. Aku akan mendengarkan laporanmu."

   Ki Lurahpun segera menyampaikan laporan serta sikap serta petunjuk Ki Patih Mandaraka tentang usaha untuk membangkitkan dan mengembangkan kembali perguruan Kedung Jati.

   Pangeran Purbaya mendengar laporan Ki Lurah Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh.

   Demikian Ki Lurah Agung Sedayu selesai, maka Pangeran Purbaya itupun mengangguk-angguk sambil berkata.

   "Aku kira pendapat eyang Patih Mandaraka itu adalah pendapat yang sangat baik, Ki lurah. Aku sependapat bahwa Ki Lurah tidak langsung menebang pokok pohon yang sudah terlanjur besar, bercabang-cabang dan ranting-rantingnya yang sangat rimbun itu. Selain sulit, maka akibatnya akan dapat bermacam-macam. Mungkin akan dapat terjadi seperti sarang lebah tabuhan yang diguncang. Lebah-lebahnya akan berterbangan kemana-mana dan menyerang siapa saja yang ditemukan tanpa menilai apakah bersalah atau tidak. Demikian pula para pengikut Ki Saba Lintang itu. Jika sarang utamanya dapat ditemukan dan dihancurkan, maka para pengikutnya yang tersebar dimana-mana itu akan kehilangan ikatan sehingga merekapun akan kehilangan kendali. Mereka dapat berbuat apa saja yang dapat sangat merugikan rakyat disekitarnya dan bahkan sangat merugikan tatanan dan paugeran."

   "Ya, Pangeran. Kami, para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, menunggu perintah Pangeran."

   "Aku hanya akan mengulangi sebagaimana dikatakan oleh eyang Patih Mandaraka. Lakukan seperti yang dikehendaki oleh eyang Patih. Aku akan mendukung semua usahamu, tentu saja menurut lingkup kuasaku di Mataram. Namun aku dapat berbicara dengan para Senapati di Mataram. Aku juga dapat berbicara dengan kakakmu, Ki Tumenggung Untara."

   "Terima kasih. Pangeran. Kami akan menjalankannya dengan segala kemampuan yang ada pada kami. Namun sebelum kami bergerak, adik sepupuku akan pergi mengamati sasaran sesuai dengan keterangan yang akan kami dapatkan dari para tawanan. Dengan demikian, maka kami tidak akan terjebak ke dalam sarang kekuatan yang melampaui kemampuan kami."

   "Bagus. Tetapi tugas adik sepupu Ki Lurah itu tentu akan sangat berat dan berbahaya."

   "Ya, Pangeran. Tetapi mereka sudah melakukannya sebelumnya tugas yang mirip dengan tugas yang bakal diembannya."

   Pangeran Purbaya itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya.

   "Baiklah. Jika adik sepupumu itu akan berangkat, ajak ia agar singgah kemari. Aku ingin bertemu dengan adik sepupumu itu. Mungkin ada pesan-pesan yang kelak akan aku berikan. Mungkin pula aku dapai memberikan bantuan apa saja yang pantas baginya. Bukankah perjalanan itu akan makan waktu yang panjang?"

   "Ya. Pangeran ia akan mengamati dua atau tiga padepokan atau sarang gerombolan yang tergabung dalam perguruan Kedung Jati itu. sebelum kami akan mendatangi sarang itu. Kemudian ia akan pergi ke tempat-tempat berikutnya sepanjang kami mendapat keterangan dari para pengikut Ki Saba Lintang itu."

   "Satu kerja yang besar. Tetapi aku ingin memperkuat pesan eyang Patih Mandaraka. Yang kau lakukan itu adalah sekedar menebang sebatang pohon besar yang tumbuhnya tidak mapan di halaman. Bukan membabat hutan untuk membuka sebuah negeri. Kau tahu maksudnya. Bukankah seperti kau katakan, eyang berpesan seperti itu."

   "Aku mengerti. Pangeran."

   "Bagus. Jangan mengguncang ketenangan hidup rakyat Mataram dari ujung sampai ke ujung. Usahakan bahwa gejolak yang akan terjadi dapal dibatasi di tempat-tempat kejadian saja."

   "Aku mengerti Pangeran."

   "Baiklah. Aku akan mendukungmu dari awal. Jangan lupa, bawa sepupumu itu kemari sebelum ia berangkat untuk melihat padepokan yang pertama."

   "Kami akan segera datang kembali kemari Pangeran. Kamipun akan mohon diri kepada Ki Patih Mandaraka."

   Beberapa saat kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayupun segera minta diri.

   Ki Lurah itu merasa, bahwa ia telah mendapat kepercayaan yang tinggi dari Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Purbaya untuk menghadapi usaha Ki Saba Lintang memperluas pengaruhnya.

   Karena itu, maka iapun harus bertindak cepat agar kepercayaan yang telah diberikan kepadanya itu, tidak meragukan.

   Menjelang sore hari, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah menyeberangi Kali Praga.

   Di tepian ia melihat beberapa orang berkuda tengah menunggu rakit yang sedang menyeberang dari arah Barat dengan muatan yang penuh.

   Dibelakangnya masih ada rakit yang lain yang menyeberang searah.

   Sementara itu, sebuah rakit yang lain, baru saja meninggalkan tepian di sebelah Timur, menyusul sebuah rakit yang telah mendahuluinya.

   "Hanya ada empat buah rakit hari ini,"

   Desis Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Ya, Ki Lurah,"

   Sahut seorang prajuritnya.

   "nampaknya hari ini tidak terlalu ramai. Ada dua rakit yang tertambat di tepian. Agaknya juru satangnya sedang beristirahat hari ini."

   "Tetapi dengan demikian, beberapa orang terpaksa menunggu. Jika dua buah rakit itu berhenti hari ini serta sebuah rakit disisi Barat yang juga ditambatkan itu menyeberang, tidak akan terlalu banyak orang yang menunggu. Beberapa orang berkuda serta orang-orang yang membawa bakul dan pikulan itu tentu tidak akan dapat dibawa dalam satu rakit. Sementara itu, orang-orang baru masih berdatangan."

   Seorang prajurit tertawa pendek. Katanya.

   "Nampaknya Ki Lurah agak tergesa-gesa. Biasanya Ki Lurah menunggu dengan sabar di tepian."

   Ki Lurah Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya.

   "Ya. rasa-rasanya aku menjadi sangat tergesa-gesa. Seharusnya aku tetap bersabar."

   Ki Lurah dan kedua orang prajurit yang menyertainya itupun kemudian telah duduk di tepian seperti beberapa orang yang sudah lebih dahulu datang, sambil memegangi kendali kudanya.

   Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, ketika sebuah rakit menepi dan menurunkan penumpang-penumpangnya.

   maka rakit itu tidak dapat menampung orang-orang yang telah menunggu di tepian.

   Karena itu, maka sebagian dari mereka, termasuk Ki Lurah dan kedua orang prajuritnya harus menunggu.

   Namun pada rakit yang kedua, yang menepi di tepian sebelah Timur, maka Ki Lurah Agung Sedayu serta kedua orang prajuritnya itu sempat naik dan kemudian menyeberang ke Barat.

   Sementara itu mataharipun sudah menjadi semakin rendah.

   Sinarnya sudah mulai menjadi semburat merah.

   Cahayanya yang menimpa air Kali Praga yang kecoklat-coklatan itu nampak seperti bias cahaya beribu lampu minyak di dasarnya.

   Ki Lurah Agung Sedayu hanya singgah sebentar di baraknya.

   Kemudian segera pulang ke rumahnya.

   Rasa-rasanya Ki Lurah Agung Sedayu memang selalu tergesa-gesa hari itu.

   Kedua orang prajurit yang menyertainya telah bercerita kepada kawan-kawannya, bahwa setelah Ki Lurah menghadap Pangeran Purbaya.

   maka ia nampak tidak sabar lagi.

   Kudanyapun telah dipacunya dan bahkan ketika mereka menunggu rakit di penyeberangan Kali Praga, rasa-rasanya Ki Lurah itu tidak sabar lagi menunggu.

   Sebenarnyalah, malam itu, setelah makan malam, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah berbincang dengan Sekar Mirah.

   Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga.

   Ki Lurah telah menceritakan hasil perjalanan ke Mataram.

   "Baik Ki Patih Mandaraka maupun Kanjeng Pangeran Purbaya telah memberikan pesan-pesan mereka. Mereka sependapat untuk memilih cara memotong cabang-cabangnya lebih dahulu, baru menebang batang pohonnya dan mencabut akar-akarnya.

   "Aku kira cara itu memang cara yang terbaik. Kakang. Aku dan Rara Wulan akan mendahului pasukan prajurit Mataram untuk mengetahui kekuatan yang ada di padepokan-padepokan itu. Yang kita ketahui sekarang baru ada dua padepokan. Jung Wangi dan padepokan Naga Tapa. Kita akan dapat minta orang-orang Jung Wangi dan Naga Tapa atau mereka yang pernah berada di padepokan itu untuk memberikan beberapa keterangan yang akan dapat menjadi acuan pengamatanku atas kedua padepokan itu."

   "Baiklah Glagah Putih,"

   Berkata Ki Lurah.

   "kau dan Rara Wulan akan pergi mendahului pasukan yang akan menghancurkan padepokan-padepokan itu. Mungkin dari para tawanan yang lain kita akan mendapat keterangan-keterangan baru tentang padepokan padepokan yang lain pula."

   "Ya Kakang. Sebaiknya kita berbicara lagi dengan para tawanan. Setiap orang dapat kita panggil dan kita minia untuk memberikan keterangan tentang asal mereka sebelum mereka berada di lingkungan perguruan Kedung Jati. Kita pun dapat bertanya, dimana mereka ditempatkan setelah mereka dinyatakan sebagai murid perguruan itu."

   "Glagah Putih,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "akupun telah mendapat pesan, pada saat kalian berdua akan berangkat menjalankan tugas kalian, maka kalian diminta untuk singgah di Mataram, menghadap Kanjeng Pangeran Purbaya. Akupun akan membawa kalian menghadap pula Ki Patih Mandaraka. Mudah-mudahan Ki Patih itu segera sembuh sehingga dapat memberikan petunjuk lebih banyak lagi kepada kalian berdua."

   Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian minta Glagah Putih dan Rara Wulan untuk pergi ke barak.

   Mereka akan mendapat kesempatan bersama-sama dengan Ki Lurah Agung Sedayu berbicara dengan para tawanan yang lain untuk mendapatkan bahan sebanyak-banyaknya sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan berusaha untuk mengamati beberapa padepokan serta sarang-sarang gerombolan yang telah tergabung dalam perguruan Kedung Jati.

   Malam itu.

   setelah berbincang panjang dengan Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih masih harus menemui Sukra disanggar terbuka seperti yang dijanjikannya.

   "Apakah tidak dapat esok pagi saja?"

   Bertanya Rara Wulan.

   "Aku sudah berjanji malam ini. Anak itu tentu menunggu-nunggu."

   "Bukankah malam ini kakang berbincang-bincang dengan kakang Agung Sedayu?"

   "Setelah aku berbincang dengan kakang Agung Sedayu. Meskipun sudah lewat tengah malam."

   "Baiklah. Aku ikut pergi ke Sanggar."

   "Jika kau ikut pergi ke Sanggar, Sukra akan merasa segan. Bahkan malu."

   Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya.

   "Baiklah. Aku akan tidur saja."

   Malam itu, Glagah Putih berada di Sanggar bersama Sukra yang ingin mendapat penilaian dari Glagah Putih tentang ilmu yang telah dipelajarinya.

   Di sepinya malam itu, Glagah Putih duduk di sebuah amben bambu yang panjang di pinggir sanggar terbuka.

   Sementara itu, Sukrapun berdiri di tengah-tengah sanggar itu.

   Setelah membuka bajunya, maka Sukrapun mulai mempertunjukkan kemampuannya kepada Glagah Putih.

   Mula-mula Sukra bergerak perlahan-lahan.

   Gerak tangan dan kakinya nampak mantap dan kokoh.

   Semakin lama semakin cepat.

   Glagah Putih mengikutinya dengan saksama setiap gerak yang sekecil apapun.

   Ternyata Sukra adalah seorang yang memiliki dasar yang kuat untuk menimba ilmu kanuragan.

   Tubuhnya yang kokoh, kemauannya yang sangat besar, kesungguhan serta ketekunannya, serta kepatuhannya kepada pesan-pesan Glagah Putih sebelum Glagah Putih pergi meninggalkan Tanah Perdikan.

   "Bukan main,"

   Desis Glagah Putih.

   Namun sesuai dengan pengakuan Sukra yang sekali-kali mendapat petunjuk dan bimbingan dari Ki Jayaraga.

   maka beberapa unsur geraknya justru menjadi lebih mantap.

   Demikian, Sukra selesai, maka iapun segera duduk dengan kaki bersilang.

   Kedua tangannya bergerak perlahan-lahan di samping tubuhnya.

   Terakhir, Sukra itupun menarik nafas panjang sambil bangkit berdiri.

   Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Glagah Putih yang juga sudah berdiri.

   "Aku minta kakang tidak segan mengatakan sesuai dengan penglihatan kakang."

   Tetapi Glagah Putihpun kemudian memberi isyarat agar Sukra kembali ke tengah-tengah sanggar itu.

   "Bersiaplah."

   "Apalagi yang harus aku lakukan."

   Glagah Putih tidak menjawab.

   Tetapi iapun menyingsingkan kain panjangnya serta lengan bajunya.

   Sukrapun mengerti, bahwa Glagah Putih tidak puas menyaksikan Sukra berlatih sendiri.

   Karena itu, maka Glagah Putih tentu akan turun untuk melihat langsung kemampuan Sukra.

   Sejenak kemudian, keduanyapun telah berloncatan di tengah sanggar terbuka itu.

   Berganti-ganti Glagah Putih dan Sukra saling menyerang.

   Dengan hati-hati Glagah Putih meningkatkan ilmu selapis demi selapis agar ia dapat mengetahui tataran kemampuan Sukra.

   Sebenarnyalah bahwa tataran kemampuan Sukra sudah berada di atas dugaan Glagah Putih.

   Ia memilik bekal yang lengkap untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi lagi.

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam pertarungan itu, maka sekali-kali serangan Glagah Putih benar-benar mengenai tubuh Sukra hingga Sukra itupun terpental beberapa langkah dan bahkan terlempar jatuh.

   Namun iapun segera bangkit berdiri dan sekali-sekali membalas menyerang.

   Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih menganggap bahwa Sukra telah mencapai tataran yang melampaui dugaannya.

   Bahkan Glagah Putih masih juga mengagumi daya tahannya yang sangat tinggi.

   "Jika ia mendapat kesempatan, maka ia akan dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi,"

   Berkata Glagah Putih didalam hatinya. Namun katanya kemudian.

   "Tetapi tidak terlalu tergesa-gesa. Ia masih sangat muda. sehingga hari-harinya masih panjang. Dengan berlatih sendiri, maka setapak-setapak ilmunyapun sudah menjadi semakin meningkat. Pada saatnya maka tinggal mematangkannya serta memasuki kemungkinan yang lebih tinggi lagi."

   Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun telah memberikan isyarat kepada Sukra untuk menghentikan latihan itu.

   "Sudah cukup Sukra,"

   Berkata Glagah Putih kemudian. Sukrapun meloncat surut. Kemudian diendapkannya pernafasannya, serta dikendorkannya urat-urat dan syarafnya.

   "Aku ingin mendengar pendapat kakang."

   Glagah Putihpun kemudian telah memberikan pendapatnya dengan jujur. Ia memuji kelebihan Sukra. Tetapi juga mencela kekurangan-kekurangannya. Bahkan bagian-bagian yang terkecilpun tidak terlepas dari pengamatan Glagah Putih.

   "Besok kau dapat melihat kulitmu yang bernoda kebiruan. Tulang-tulangmu yang terasa sakit. Nah, kau cari sebabnya, kenapa hal itu dapat terjadi."

   "Baik, kakang."

   "Sekarang beristirahatlah. Akupun akan tidur meskipun malam tinggal tersisa sedikit."

   Di hari berikutnya Agung Sedayu akan membawa Glagah Putih dan Rara Wulan ke baraknya. Mereka berdua akan diberi kesempatan seluas-luasnya berbicara dengan para tawanan, untuk melengkapi bekal perjalanannya."

   Glagah Putih dan Rara Wulan berada di barak itu seharian.

   Ia sudah berbicara dengan banyak orang.

   Namun rasa-rasanya pembicaraannya hari itu masih belum cukup.

   Esok Glagah Putih dan Rara Wulan akan datang kembali ke barak.

   Setelah dua hari berbicara dengan para tawanan, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah mendapat gambaran perjalanan yang akan ditempuhnya.

   Ia akan mengamati tiga padepokan yang akan menjadi sasaran pertama Pasukan Mataram yang akan menghapus pengaruh perguruan Kedung Jati.

   Glagah Putih dan Rara Wulan akan pergi ke padepokan Jung Wangi, Padepokan Naga Tapa dan sarang gerombolan yang dipimpin oleh Ki Sura Mantep.

   "Baiklah Glagah Putih,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

   "waktu kita tidak terlalu terbatas. Kita akan menghapus tiga sarang para pengikut Ki Saba Lintang ini. Kemudian kita akan memilih padepokan yang lain lagi. Demikian berturut-turut, sehingga akhirnya Ki Saba Lintang akan semakin dibatasi ruang geraknya."

   "Bahkan mungkin Ki Saba Lintang sendiri akan keluar dari sarangnya untuk menghadapi pasukan Mataram yang akan menggulung habis perguruan besar yang akan disusunnya kembali itu, kakang."

   "Ya, kakang."

   "Jika demikian, jika kau sudah merasa cukup beristirahat, maka kau akan mulai mengembara lagi. Tetapi kau berdua akan singgah lebih dahulu di Mataram."

   "Baik, kakang. Dari Mataram akupun akan singgah di Jati Anom."

   "Baiklah. Selanjutnya tergantung kepadamu. Jika kau sudah merasa cukup beristirahat, maka kau boleh berangkat kapan saja."

   "Mungkin kami akan berangkat dalam dua tiga hari ini, kakang. Aku masih ingin bertemu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lama aku tinggalkan."

   "Baiklah, Tiga hari lagi kita akan berangkat. Kita akan pergi lebih dahulu ke Mataram menghadap Pangeran Purbaya dan Ki Patih Mandaraka."

   Demikianlah, Glagah Putih mempergunakan waktunya untuk menemui para pengawal Tanah Perdikan yang sudah lama tidak mendapat perhatiannya.

   Bersama Prastawa Glagah Putih mengunjungi padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain.

   Ketika Glagah Putih berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya Glagah Putih segan untuk meninggalkan mereka Tetapi Glagah Putih merasa bahwa ia harus mengemban kewajiban yang lebih besar dari sekedar berada di lingkungan anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

   Karena itu, maka ketika saatnya telah tiba, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan dirinya untuk menempuh perjalanan yang berat.

   Sebelum mereka berangkat, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di sanggar untuk membuka kembali kitab Ki Namaskara yang telah mereka ambil dari reruntuhan rumah yang diselubungi rahasia, yang sampai saat itu masih belum dapat dipecahkannya.

   Dengan membaca kembali beberapa bagian dari kitab itu, maka rasa-rasanya ilmu merekapun telah disegarkan kembali.

   Beberapa unsur yang baru sempat mereka pelajari dengan sebaik-baiknya.

   Dengan membuka kembali kitab itu.

   maka rasa-rasanya Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendapatkan tenaga lebih besar lagi bagi ilmunya.

   Dengan demikian, maka pada waktunya, Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar telah siap untuk berangkat mengemban kewajiban yang berat itu.

   Pagi-pagi sekali, pada hari yang sudah ditentukan, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah siap.

   Keduanya sengaja akan menempuh perjalanan sejak awal dengan berjalan kaki.

   Ki Lurah Agung Sedayu bersama kedua orang prajurit yang akan menyertainya, meskipun mereka akan membawa kuda mereka, tetapi kuda mereka itu akan mereka tuntun sampai ke Mataram.

   Mereka baru akan naik kuda pada perjalanan mereka kembali ke Tanah Perdikan.

   Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah minta diri pula semalam kepada Ki Gede Menoreh dan para pemimpin di Tanah Perdikan.

   itulah sebabnya, maka pagi-pagi sekali, menjelang keberangkatan Glagah Putih dan Rara Wulan, Prastawa telah datang untuk ikut melepas mereka pula.

   Sekar Mirah melepas Rara Wulan dengan mendekapnya sambil berbisik.

   "berhati-hatilah. Rara Wulan. Seumurmu, seharusnya kau nikmati masa-masa pengantinmu. Tetapi demikian kau menikah, maka kau langsung terjun ke dalam tugas-tugas yang berat. Kau tempuh pengembaraan demi pengembaraan tanpa dapat meneguk kesenangan yang seharusnya kau nikmati."

   Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya.

   "Aku dapat menikmati pengembaraan ini sebagai tamasya yang mengasyikkan mbokayu. Tidak ada yang memberi kepuasan lebih besar daripada menjalankan kewajiban dengan baik dan bersungguh-sungguh."

   Sekai Mirah menepuk wajah Rara Wulan dengan kedua belah telapak tangannya.

   "Kau pantas mendapat penghargaan yang tinggi dari Tanah Perdikan ini bahkan dari Mataram."

   "Kepercayaan yang diberikan kepadaku sudah merupakan penghargaan yang tinggi mbokayu."

   Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya.

   "Tetapi pada suatu saat kau harus berhenti mengembara, Rara Wulan. Kau tidak boleh menjadi perempuan yang kering seperti aku. Kewajiban yang bermacam-macam pernah aku jalani. Tetapi aku tidak pernah mengemban kewajiban sebagai seorang ibu. Kau lihat aku sebagai sebatang pohon yang subur, berdaun lebat di cabang-cabang serta ranting-rantingnya. Tetapi pohon itu tidak pernah berbuah satupun."

   "Aku mengerti, mbokayu. Pada suatu saat aku akan berhenti. Aku ingat pesan mbokayu. Tetapi jika Yang Maha Agung mempunyai rencana lain, maka kita harus menjalaninya."

   Mala Sekar Mirah tiba-tiba menjadi basah.

   Tetapi Sekar Mirah mengusap matanya pula.

   Demikianlah, beberapa saat kemudian, Sekar Mirah, Ki Jayaraga, Sukra dan Prastawa yang sudah berada di rumah itu, melepas Glagah Putih dan Rara Wulan pergi setelah beberapa hari mereka berada di rumah.

   Bersama Ki Lurah Agung Sedayu, merekapun singgah di barak prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan.

   Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Mataram disertai dua orang prajurit yang akan menuntun kuda mereka sebagaimana Ki Lurah Agung Sedayu.

   Beberapa saat mereka berjalan, maka merekapun sudah berada di tepian.

   Namun karena masih belum ada rakit yang siap menyeberangkan mereka, maka mereka harus menunggu.

   Seorang anak muda yang berpakaian rapi tiba-tiba saja bertanya kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

   "Kenapa kau tuntun kudamu? Menilik pakaianmu kau dan dua orang kawanmu itu prajurit."

   Ki Lurah Agung Sedayu memandang anak muda itu sejenak. Agaknya anak muda itu tidak sendiri. Beberpa orang laki-laki menyertainya.

   "Ya. anak muda,"

   Jawab Ki Lurah.

   "kami bertiga memang prajurit Mataram."

   "Aku lihat sejak kalian masih belum turun ketepian, kuda kalian hanya kalian tuntun saja."

   "Ya. Kami berjalan bersama dua orang yang tidak berkuda. Karena itu, maka kami harus menuntun kuda-kuda kami."

   "Kalian membawa tawanan?"

   "Tidak. Bukan tawanan. Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan yang kebetulan juga akan pergi ke Mataram. Kami hanya berjalan bersama saja."

   "Ternyata kalian bertiga terlalu baik hati,"

   Berkata anak muda itu.

   "kenapa tidak kalian pinjamkan saja seekor kuda untuk mereka berdua, sedangkan dua orang diantara kalian naik diatas punggung seekor kuda. Kuda kalian adalah kuda yang besar dan tegar yang tidak akan merasa terlalu berat mendukung dua orang sekaligus."

   Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya.

   "Mereka berdua tidak terbiasa naik kuda."

   Anak muda itu tertawa. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan yang dikatakan kebetulan saja berjalan bersama ke Mataram. Sambil tertawa anak muda itupun berkata.

   "Sebaiknya perempuan itu berkuda bersamaku saja. Biarlah yang laki-laki itu bersama salah seorang dari kalian."

   Ki Lurah Agung Sedayu itupun dengan serta merta menyahut.

   "terima kasih Ki Sanak, biarlah kami mengurus diri kami sendiri. Mungkin Ki Sanak hanya ingin sekedar bergurau. Tetapi jika terlanjur akan dapat menyinggung perasaan kami."

   Anak muda itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun berkata.

   "Aku memang hanya bergurau. Tetapi jika perempuan itu mau, apa salahnya?"

   "Sudah. Sampai disini saja. Jangan dilanjutkan,"

   Potong Ki Lurah Agung Sedayu. Anak muda itu agaknya tidak mau diperlakukan seperti itu. Tetapi seorang diantara mereka yang menyertainya, mendekatinya sambil menarik lengannya.

   "Tidak semua orang dapat kau ajak bergurau, ngger. Bahkan mungkin guraumu agak terlanjur menurut pendapat prajuril itu."

   "Mentang-mentang ia seorang prajurit paman. Ayah mempunyai pengaruh yang besar terhadap para prajurit di Mataram. Bahkan para prajurit yang berpangkat tinggi. Bukan hanya prajurit yang ditempatkan di padesan."

   Orang yang menariknya itupun menjawab.

   "Ya. Tetapi bukan pula berarti bahwa kau dapat berbuat apa saja."

   Anak muda itu masih saja bergeramang. Tetapi suaranya tidak lagi terdengar jelas. Ketika sebuah rakit menepi, serta setelah penumpangnya turun, maka orang-orang yang menunggu di tepian pun telah naik ke rakit itu. Namun Ki Lurah Agung Sedayu berkata.

   "Kita akan naik rakit berikutnya. Selain rakit itu sudah terlalu banyak penumpangnya, kita hindari anak muda itu."

   Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab.

   Tetapi mereka mengerti maksud Ki Lurah Agung Sedayu.

   Jika mereka berada dalam satu rakit dengan anak muda itu, maka akibatnya akan dapat menjadi buruk.

   Demikianlah maka anak muda itupun berada diseberang lebih dahulu pula.

   Agaknya pengiringnya itulah yang mengajak lebih dahulu meninggalkan tepian.

   Ketika Ki Lurah Agung Sedayu, kedua orang pengiringnya, Glagah Putih serta Rara Wulan masih berada diatas rakit yang sedang menyeberang, maka anak muda itu bersama pengiringnya telah melarikan kuda mereka.

   Baru beberapa saat melanjutkan perjalanan.

   Tetapi mereka hanya menuntun kuda-kuda mereka.

   Perjalanan itu terasa lama sekali.

   Meskipun mereka berlima berjalan semakin cepat ketika matahari menjadi terik, namun terasa perjalanan itu terlalu lama.

   Lewat tengah hari, barulah mereka sampai di Mataram.

   Sebelum mereka singgah di Kepatihan atau di Dalem Kapangeranan, maka mereka lebih dahulu berhenti sejenak di bawah pohon gayam yang daunnya rimbun di pingir jalan.

   Baru setelah keringat mereka agak kering, mereka meneruskan perjalanan mereka di jalan-jalan utama kota Mataram.

   "Kita akan singgah kemana lebih dahulu, kakang?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Kita akan singgah di kepatihan saja dahulu, Glagah Putih., Baru kemudian kita singgah di Purbayan."

   Demikianlah, maka mereka berlimapun lebih dahulu pergi ke kepatihan.

   Ketika mereka berlima sampai di regol kepatihan, maka prajurit yang bertugaspun telah mengenal mereka dengan baik.

   Terutama Ki Lurah Agung Sedayu.

   Karena itu, maka prajurit yang bertugas itu mengangguk hormat sambil mempersilahkan mereka memasuki pintu gerbang Dalem Kepatihan.

   Ternyata beberapa orang memperhatikan mereka pada saat mereka masuk ke pintu gerbang kepatihan.

   Bahkan mereka melihat prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu mengangguk hormat."

   Anak muda yang berpakaian rapi yang mereka jumpai di Kali Praga itu berbisik kepada seorang pengiringnya.

   "Siapakah mereka sebenarnya? Begitu mudahnya mereka memasuki Dalem Kepatihan. Para petugaspun seakan-akan sudah terbiasa melihat mereka."

   "Untunglah kau belum membuat perkara dengan mereka,"

   Desis laki-laki pengiringnya yang mencegah anak itu berselisih dengan Ki Lurah Agung Sedayu.

   Dalam pada itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah dipersilahkan menunggu sejenak.

   Lurah prajurit yang bertugaspun telah menyampaikan lewat Narpacundaka, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan menghadap.

   "Apakah Ki Lurah sendiri? Maksudku hanya dengan pengiringnya saja?"

   "Tidak Ki Patih. Ki Lurah Agung Sedayu datang bersama sepasang suami isteri yang masih muda."

   "O, tentu Glagah Putih dan Rara Wulan. Bawa mereka menghadap aku di serambi samping kanan."

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah dibawa menghadap Ki Patih Mandakara yang menerimanya di serambi samping kanan.

   "Selamat datang Ki Lurah serta kalian berdua. Bukankah kalian baik baik saja diperjalanan?"

   "Kami bertiga baik-baik saja Ki Patih. Hormat kami bertiga bagi Ki Patih Mandaraka."

   "Terima kasih, Ki Lurah."

   "Bukankah keadaan Ki Patih Mandaraka sudah berangsur baik sekarang?"

   "Ya, Beginilah orang tua Ki Lurah. Bagaimanapun juga unsur kewadagan seseorang sangat menentukan. Tetapi aku memang sudah berangsur baik."

   "Sokurlah Ki Patih. Semoga Ki Patih segera pulih seperti sediakala."

   Sementara itu seorang abdi kepaiihan sempat menghidangkan minuman hangat kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta Glagah Putih dan Rara Wulan."

   "Kalian baru datang lewat tengah hari,"

   Berkata Ki Patih.

   "Glagah Putih dan Rara Wulan hanya berjalan kaki, Ki Patih, sehingga akupun harus menuntun kudaku pula."

   "Kenapa kalian berdua hanya berjalan kaki?"

   Sambil menunduk Glagah Putihpun menjawab.

   "Kami berniat untuk sejak mulai menempuh perjalanan dengan berjalan kaki."

   Ki Patih Mandarakapun tersenyum. Katanya.

   "Satu langkah permulaan yang baik. Glagah Putih. Mudah-mudahan tugas yang kau emban akan dapat kau selesaikan dengan baik."

   "Kami berdua mohon doa restu. Ki Patih."

   Ki Lurahpun kemudian melaporkan, langkah pertama yang akan diambil oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Ada tiga sasaran yang akan mereka lihat lebih dahulu.

   Ketiga sasaran itulah yang pertama-tama akan dibersihkan oleh para prajurit Mataram setelah mendapat keterangan yang terperinci yang akan dibawa oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "Sungguh tugas yang berat yang akan kaujalani. Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku berdoa semoga kalian selalu mendapat kekuatan serta perlindungan dari Yang Maha Agung. Semoga kalian tidak mengalami sesuatu selama kalian bertugas."

   "Semoga Ki Patih. Doa restu Ki Patih Mandaraka akan menyertai kami."

   Ki Patihpun kemudian lelah memberikan berbagai macam pesan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Pesan vang sangat berani bagi tugas yang akan mereka emban kemudian.

   "Aku tidak dapat memberimu bekal apa-apa. Glagah Putih dan Rara Wulan. kecuali pesan-pesan saja. Sebagai orangtua yang umurnya jauh lebih banyak dan umur kalian berdua, aku tentu telah melihat dan mendengar lebih banyak dari kalian. Karena itu. aku dapat memberikan pesan-pesan berdasarkan penglihatan dan pendengaranku selama ini."

   "Terima kasih. Ki Patih Mandaraka. Pesan, petunjuk serta nasehat yang Ki Patih berikan, jauh lebih berharga dari bekal yang berupa apapun."

   "Glagah Putih,"

   Desis Ki Patih.

   "kalau aku melihatmu, maka aku selalu saja terkenang kepada cucuku. Rangga. Anak nakal yang memiliki ilmu tidak terbatas itu. Ternyata apa yang aku lihat ada didalam diri cucu Rangga telah ada padamu. Maksudku, ilmu yang sangat tinggi itu. Tetapi watakmu dan watak cucu Rangga memang sangat berbeda. Latar belakang kehidupanmu dan kehidupan cucu Rangga memang jauh berbeda pula."

   Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia justru menunduk semakin dalam.

   "Batu yang merupakan tangga di pintu butulan itu masih saja berlubang-lubang sebesar jari-jari tangan. Cucu Ranggalah yang melakukannya. Pada saat ia menunggu aku keluar dari ruang dalam lewat pintu butulan. jari-jarinya ditusuk-tusukkannya ke dalam batu yang baginya seakan-akan selunak tanah liat yang masih basah, yang akan dibentuk menjadi gerabah itu."

   Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang.

   Jika itu yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka yang mempunyai ketajaman penglihatan ganda, penglihatan mata lahiriahnya dan penglihatan mata hatinya, maka Ki Lurah Agung Sedayu yakin bahwa Glagah Putih memang memiliki tatanan ilmu yang sulit untuk dijajagi sebagaimana Raden Rangga.

   Dengan demikian, maka Ki Lurah Agung Sedayupun ikut berbangga pula karenanya.

   Kalau selama ini Glagah Putih selalu bersamanya, maka tidak sia-sialah ia berusaha ikut meningkatkan ilmu Glagah Putih lewat beberapa aliran ilmu.

   Ki Jayaragapun seolah-olah telah ikut menitipkan kelangsungan hidup aliran ilmunya pada perjalanan hidup Glagah Putih di dunia olah kanuragan.

   Sejenak kemudian, ruangan itupun menjadi hening.

   Dada Rara Wulan serasa bergejolak pula.

   Meskipun yang disebut adalah Glagah Putih, namun Rara Wulanpun ikut merasa tersanjung pula.

   Dalam pada itu sejenak kemudian.

   Ki Patih Mandaraka itupun berkata Glagah Putih dan Rara Wulan Selain bekal ilmu.

   karena kalian akan mengembara melewati berbagai tempat dan lingkungan yang masih, diselimuti oleh kebutuhan-kebutuhan duniawi, maka kau tidak akan dapat melepaskan diri dari pemenuhan kebutuhan duniawi itu.

   Kau tidak dapat memungut nasi begitu saja di sepanjang jalan.

   Kau juga tidak dapat meneguk minuman tanpa memperhitungkan harga minuman itu.

   Mungkin pula kau perlu menginap di suatu tempat.

   Meskipun ada banjar yang terbuka bagi siapapun.

   tetapi sekali-sekali kalian akan menginap di sebuah penginapan sehingga harus membayar sewa bilik penginapannya.

   Karena itu.

   maka kalian tidak dapat lepas dari kebutuhan uang sebagai satu kenyataan yang tidak dapat kalian ingkari.

   Dengan demikian, maka singkatnya.

   Glagah Putih dan Rara wulan.

   Aku juga ingin memberi kalian berdua bekal uang bagi perjalanan kalian."

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangkat wajah mereka. Namun Glagah Putihlah yang menjawab.

   "terima kasih, Ki Patih. Kami berdua telah mendapat bekal uang dari kakang Agung Sedayu."

   Ki Patihpun tersenyum. Katanya.

   "Tidak apa-apa. Bukankah kalian akan menempuh perjalanan panjang yang tidak dapat direncanakan panjang waktunya? Karena itu. jangan menolak. Tidak seberapa, tetapi akan dapat kalian pakai untuk memperpanjang waktu perjalananmu jika tugasmu masih belum terselesaikan."

   Glagah Putihpun berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu sambil berdesis.

   "Tetapi Kakang Agung Sedayu telah memberikan lebih dari cukup."

   "Tentu tidak ada batas penggunaan uang sehingga dapat kelebihan. Mungkin kalian harus mengeluarkan uang tanpa kalian duga serta kalian perhitungkan sebelumnya."

   Ketika Glagah Putih berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurahpun mengangguk mengiakan. Karena itu. maka tidak ada alasan lagi bagi Glagah Putih untuk menolaknya. Sambil membungkuk hormat, maka iapun berkata.

   "Kami berdua mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Patih."

   "Glagah Putih dan Rara Wulan,"

   Berkata Ki Patih.

   "uang itu tentu dapat kau pergunakan untuk berbagai macam keperluan. Mungkin kau memerlukan keterangan yang tidak dapat kau lihat langsung. Dengan uang kau mengupah seseorang. Tetapi mungkin kau menyuap seseorang. Untuk kepentingan yang besar dan berarti bagi banyak orang, maka cara itu dapat saja kau lakukan."

   Glagah Putih mengangguk dalam-dalam sambil menjawab.

   "Ya. Ki Patih. Kami mengerti."

   "Nah. dengan demikian, kau memang memerlukan uang cukup banyak. Tetapi dibanding dengan tugas yang kau emban, maka uang yang aku berikan ini sebenarnja terlalu sedikit."

   Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan menerima uang itu, maka jantung merekapun merasa berdebaran.

   Uang itu rasa-rasanya amat banyak.

   Untuk beberapa saat.

   Ki Patih Mandaraka masih memberikan pesan.

   Juga dalam hubungannya mempergunakan uang untuk menembus batas-batas yang sulit untuk disibakkan.

   Beberapa saat kemudian, maka Ki Patih itupun berkata.

   "Nah. aku kira sudah banyak yang aku pesankan kepada kalian berdua. Hati-hatilah. Kalian mengemban tugas negara."

   Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Mereka masih harus singgah di Dalem Kapangeranan untuk menghadap Pangeran Purbaya."

   Ki Lurah Agung Sedayupun mohon diri pula, karena ia masih harus mengantar Glagah Putih dan Rara Wulan menghadap Pangeran Purbaya untuk mohon diri.

   "Kedua orang suami isieri ini yang akan berangkat mengamati beberapa perguruan dan sarang gerombolan itu, Ki Lurah?"

   "Ya, Pangeran. Laki-laki itu adalah adik sepupuku."

   Pangeran Purbaya menarik nafas panjang. Katanya.

   "Mereka masih terhitung sangat muda. Dengan demikian mereka berdua telah mengorbankan masa muda mereka untuk menjalankan tugas-tugas yang terhitung sangat berat ini. Bahkan seandainya para prajurit sandipun akan menerima lugas ini dengan jantung yang berdebar-debar. Tetapi nampaknya mereka berdua menerima tugas ini dengan hati yang terbuka."

   "Mereka merasa bahwa kepercayaan yang diberikan kepada mereka adalah satu kehormatan, sehingga mereka akan menjalankannya dengan senang hati."

   Pangeran Purbaya mengangguk-angguk. Katanya.

   "Ya. Aku mengerti bahwa keduanyalah yang mendapat perintah untuk mengambil tongkat baja pulih itu dari tangan Ki Saba Lintang."

   "Ya, Pangeran. Tetapi keduanya tidak mampu melakukannya. Yang terjadi di Seca itu hampir saja memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang, namun ternyata Ki Saba Lintang berhasil lolos."

   "Aku kira. siapapun yang mendapat tugas seperti itu. tidak akan mampu melakukannya dalam waktu yang terhitung singkat. Mungkin setelah bertahun-tahun. Tetapi cara yang akan Ki Lurah tempuh itu, akan mempercepat usaha untuk menguasai tongkat baja putih itu. Tetapi sebenarnya yang penting itu bukan tongkat baja putihnya. Tetapi satu keyakinan, bahwa orang yang menguasai tongkat baja putih itu tidak mendapatkan kesempatan untuk menghasut orang banyak sehingga dapat menimbulkan persoalan-persoalan di mana-mana yang akan dapat mengganggu tegaknya Mataram."

   "Ya. Pangeran."

   "Nah, sekarang Glagah Putih dan Rara Wulan akan menjadi ujung dari serangkaian langkah yang akan diambil Mataram untuk menghancurkan kekuatan yang membayangi kekuasaan Mataram. Mumpung kekuatan itu belum benar-benar kokoh serta mengakar di hati Rakyat Mataram."

   "Ya. Pangeran."

   Dengan demikian, maka Pangeran Purbaya telah memberikan berbagai macam pesan-pesan penting bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan tegas Pangeran Purbayapun berkata.

   "Kalian tidak perlu memaksa diri jika keadaan yang kalian hadapi benar-benar gawat. Jangan terlalu berpijak pada harga diri yang berlebihan sehingga kalian mengingkari kenyataan. Jika kalian gagal, maka jangan merasa diri kalian tidak berharga. Setiap usaha menghadapi kemungkinan berhasil atau gagal. sehingga kegagalan adalah hal yang wajar."

   Glagah Putih dan Rara Wulan menundukkan kepala mereka. Tetapi mereka mendengar semua pesan Pangeran Purbaya dengan sungguh-sungguh.

   "Nah. Aku tahu, bahwa untuk melaksanakan tugas kalian, maka kalian tidak akan dapat menghindar dari harga kebutuhan dan jasa disepanjang perjalanan. Karena itu, maka kalian berdua membawa bekal uang untuk membelinya."

   Glagah Putih pun dengan serta-merta telah menjawab.

   "Ampun Pangeran. Kami sudah mendapat bekal uang dari kakang Agung Sedayu. Kami lelah mendapat pula bekal uang dari Ki Patih."

   Pangeran Purbaya tertawa. Katanya.

   "Apa salahnya? Mungkin kau harus membeli pangukan seseorang. Mungkin kau harus membeli petunjuk atau isyarat apapun di perjalanan."

   "Tetapi Ki Patih Mandaraka telah memberi mereka bekal cukup. Pangeran,"

   Berkata Ki Lurah Agung Sedayu. Sambil tertawa Pangeran Purbaya berkata.

   "Bawalah. Kelak jika kau pulang dengan bekal uangmu yang tersisa, nah. kau dapat menyebutkan pula dalam laporanmu."

   Glagah Putih dan Rara Wulan serta Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat menolaknya.

   Karena itu.

   maka uang itupun akhirnya diterimanya pula.

   Demikianlah, maka sejenak kemudian.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri pula.

   Sambil mengangguk hormat dalam sekali Glagah Putihpun berkata.

   "Ternyata kami harus membawa bekal uang banyak sekali. Kami akan menempuh perjalanan kami sebagai dua orang suami isteri yang kaya raya. yang dapat menghamburkan uang disepanjang jalan."

   "Mungkin,"

   Sahut Pangeran Purbaya.

   "tetapi mungkin sekali, kau sampai pada suatu daerah yang tidak dapat menerima uangmu."

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Sementara Pangeran Purbayapun berkata.

   "Jika kau berjalan di daerah yang terik, di ara-ara amba yang tidak berpenghuni. maka meskipun kalian membawa uang banyak, tetapi kalian tidak dapat mempergunakan uang kalian."

   "Ya. Pangeran,"

   Sahut Glagah Putih.

   "Tetapi sebaliknya, mungkin kalian berdua akan sampai pada satu daerah yang hanya dapat kalian lewati jika kalian mempunyai uang."

   "Ya. Pangeran."

   "Nah, berangkatlah. Berhati-hatilah. Berapapun banyaknya kalian berdua mempunyai uang. tetapi tidak ada orang yang menjual nyawa."

   "Ya. Pangeran.

   "sahui Glagah Puuh dan Rara Wulan hampir berbareng. Demikianlah keduanyapun kemudian meninggalkan Dalem Kapangeranan. Glagah Putih dan Rara Wulan akan langsung pergi menjalankan tugasnya, sedangkan Ki Lurah Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka akan berpisah. Glagah Putihpun bertanya.

   "Kakang. bagaimana dengan uang yang ada padaku ini? Ternyata aku harus membawa uang banyak sekali. Bagaimana kalau uang dari kakang Lurah Agung Sedayu aku kembalikan."

   "Glagah Putih. Apa yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka serta Kangjeng Pangeran Purbaya itu benar. Suatu ketika uang itu tidak akan berarti apa-apa. Tetapi yang lebih sering, kau memerlukan uang itu untuk mendapatkan bukan saja makan, minum dan penginapan, tetapi juga dapat kau pergunakan untuk memperoleh keterangan, petunjuk dan isyarat yang kau perlukan."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Keduanya sudah memiliki pengalaman mengembara, sehingga merekapun mengerti pula maksud Ki Lurah Agung Sedayu itu.

   Karena itu.

   maka akhirnya merekapun membawa bekal uang yang mereka terima dalam pengembaraan itu.

   Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta para prajurit yang menyertainya.

   "Doa restu kakang saja kami harapkan,"

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berkata Glagah Putih.

   "Kita akan saling mendoakan."

   "Hormatku kepada mbokayu Sekar Mirah serta Ki Jayaraga,"

   Desis Rara Wulan.

   "Baik Rara Wulan. Aku akan menyampaikannya. Baik-baiklah di jalan. Jika ada pendapat yang berbeda, cari kemungkinan terbaik dengan hati yang tenang. Jangan tinggalkan penalaran yang jernih. Jangan terlalu hanyut pada perasaan kalian."

   Demikianlah merekapun berpisah.

   Ki Lurah Agung Sedayu bersama kedua orang prajuritnyapun melarikan kuda mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

   Sementara itu.

   Glagah Putih dan Rara Wulan akan mulai dengan perjalanan mereka.

   Namun mereka akan singgah lebih dahulu di Jati Anom.

   Ketika mereka berjalan melewati jalan-jalan utama kota Mataram, maka sambil tersenyum Rara Wulanpun berkata.

   "Kita batalkan saja pengembaraan kita, kakang. Kita pergunakan uang itu untuk membeli tanah dan membuat rumah yang bagus dipinggir jalan utama di Mataram."

   Glagah Putih tertawa. Katanya.

   "lalu kita akan menutup pintu regol halaman rumah kita rapat-rapat jika Ki Patih Mandaraka atau Kangjeng Pangeran Purbaya lewat di jalan ini."

   Rara Wulanpun tertawa pula.

   "Nah. aku ada tiga kampil uang. Satu dari Kakang Agung Sedayu, satu dari Ki Patih Mandaraka dan satu dari Kangjeng Pangeran Purbaya. Sekarang sebaiknya kau membawanya dua."

   "Kenapa dua. Aku membawa satu saja."

   "Yang membawa satu kampil harus membawa Kitab Ki Nasmaskara pula."

   "Ah. Tidak begitu. Kitab itu tidak ada hubungannya dengan uang yang tiga kampil ini."

   "Memang tidak ada hubungannya. Tetapi bagi yang membawa, tentu ada hubungannya Nah. kau membawa dua kampil uang atau satu tetapi dengan membawa kitab Ki Namaskara itu."

   Rara Wulanpun bersungut-sungut sambil bergeremang.

   "Terserahlah. Tetapi tentu lebih aman membawa dua kampil uang daripada kitab itu. Kitab itu nilainya berpuluh kampil."

   Glagah Putih tersenyum. Katanya.

   "Nah, jika demikian kau bawa dua kampil. Simpan baik-baik, sehingga tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang berpapasan dijalan,"

   "Aku akan membeli kalung emas tretes berlian."

   "Tidak ada salahnya. Rara. Nanti diperjalanan jika kita memerlukan uang. kita menjualnya lagi."

   "Ah. kakang."

   Glagah Putih tertawa.

   Keduanyapun kemudian berjalan semakin cepat menuju ke pintu gerbang kola.

   Keduanya lelah mulai dengan tugas mereka.

   Tetapi mereka masih akan singgah di Jati Anom untuk bertemu dan sekaligus mohon doa restu kepada Ki Widura.

   Perjalanan ke Jati Anom termasuk perjalanan yang tidak terlalu panjang.

   Tidak terlalu jauh berbeda dengan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.

   Tetapi keduanya telah memilih melewati jalan yang ramai.

   Jalan utama yang banyak dilalui orang yang menempuh perjalanan dari Mataram ke Timur.

   Namun ketika mereka keluar dari pintu gerbang, matahari sudah semakin condong ke Barat.

   "Kita akan kemalaman di jalan,"

   Berkata Rara Wulan.

   "Kita akan bermalam di perjalanan."

   "Kita akan melewati jalan di pinggir hutan Tambak Baya setelah malam turun."

   "Apakah kita akan bermalam di sebelah Barat Hutan Tambak Baya."

   "Dimana. Biarlah kita berjalan terus meskipun malam, turun sampai kita merasa kantuk di perjalanan. Kita dapat bermalam dimana saja."

   Demikianlah merekapun berjalan semakin cepat membelakangi matahari yang menjadi semakin rendah.

   Ketika senja turun, maka mereka sudah mulai mengikuti jalan yang tidak terlalu jauh dari hutan Tambak Baya.

   Hutan yang menjadi garang bukan karena binatang buasnya, tetapi kadang-kadang di hutan itu bersembunyi sekelompok penyamun yang sering mengganggu orang lewat.

   Justru karena itu, maka jalan sudah mulai menjadi lengang ketika senja turun.

   Langit yang merah membuat suasana menjadi semakin terasa sepi.

   Mega-mega yang bergumpal-gumpal di langit, bagaikan membayangkan wajah-wajah garang yang muncul dari dalam hutan Tambak Baya.

   Namun Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus.

   Meskipun kemudian gelap turun namun mereka tidak juga berhenti.

   Dalam pada itu.

   keduanyapun melihat dalam keremangan ujung malam, beberapa orang yang berjalan di hadapan mereka yang juga menuju ke arali Timur.

   Ketika mereka menjadi semakin dekat, mereka menjadi semakin jelas melihat, tiga orang laki-laki dan seorang perempuan yang berjalan dengan tergesa-gesa.

   "Aku takut, kakang,"

   Terdengar suara perempuan itu.

   "Berdoalah. Jah,"

   Terdengar jawaban.

   "tetapi kita tidak dapat berhenti. Sakit ayah sudah menjadi sangat parah. Jika kita berhenti, dan bermalam di jalan mungkin kita sudah tidak akan dapat menemui ayah lagi."

   "Jangan takut. Jah. Bukankah kau tidak sendiri. Aku. kakang dan sepupu kita ini akan melindungimu. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa."

   Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Rara Wulapun kemudian berbisik.

   "Kasihan anak itu. kakang. Ia menjadi sangat ketakutan."

   "Lalu apa yang dapat kita lakukan?"

   "Kita berjalan bersama-sama mereka. Jika ada kawan lebih banyak mungkin ketakutannyapun akan berkurang."

   Glagah Putih tidak berkeberatan, sehingga keduanyapun berjalan semakin cepat.

   Tetapi keduanya telah mengejutkan keempat orang yang disusulnya itu.

   Demikian mereka menyadari bahwa ada dua orang yang berjalan di belakang mereka, maka merekapun segera berhenti.

   Tiga orang laki-laki yang ada di antara mereka itupun dengan serta-merta telah menarik pedang mereka.

   "Siapa kalian, he."

   Glagah Putihpun menggamit Rara Wulan. agar ia menjawabnya. Suara perempuan akan membuat mereka lebih tenang.

   "Kami Ki Sanak. Kami berdua akan menyeberangi hutan ini. Kami sedang mencari kawan di perjalanan."

   Sebenarnyalah, suara Rara Wulan telah menenangkan mereka. Bahkan seorang diantara mereka berdesis.

   "Seorang perempuan. Yang seorang lagi?"

   "Aku suaminya Ki Sanak."

   "Kalian akan pergi ke mana?"

   Bertanya perempuan yang berada di antara ketiga orang laki-laki itu.

   "Kami ingin mengunjungi ayah kami di Jati Anom. Ki Sanak."

   "Jati Anom? Jati Anom di kaki gunung Merapi di arah Timur itu?"

   "Ya, Ki Sanak."

   "Bukankah Jati Anom itu jauh sekali."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya.

   "Ya Jati Anom memang jauh sekali. Kau pernah pergi ke Jati Anom?"

   "Setahun yang lalu. Aku ikut ayah pergi ke Jati Anom mengunjungi seorang yang masih ada hubungan darah dengan ayah."

   "Kami memang akan menempuh perjalanan jauh."

   "Apakah kalian akan berjalan semalaman?"

   "Kami memang ingin segera sampai ke Jati Anom,"

   Jawab Glagah Putih. Namun kemudian Rara Wulanpun bertanya.

   "Ki Sanak semuanya akan pergi ke mana?"

   "Kami akan pergi ke Cupu Watu. Tidak terlalu jauh dibandingkan dengan Jati Anom."

   "Malam-malam begini?"

   Seorang yang agaknya tertua diantara mereka menjawab.

   "Ayah sedang sakit keras. Kami harus sampai ke Cupu Watu malam ini juga. Kami tidak ingin terlambat."

   "Jika demikian, marilah. Kita berjalan searah. Jika kalian nanti sampai di Cupu Watu, maka perjalanan yang akan aku tempuh masih lebih dari liga kali lipat,"

   Berkata Glagah Putih.

   "Adalah kebetulan sekali. Semakin banyak kawan di perjalanan, rasa-rasanya menjadi semakin tenang."

   "Ya,"

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   "juga dapat mengurangi perasaan lelah."

   "Ki Sanak,"

   Berkata seorang diantara ketiga orang laki-laki itu.

   "Jika Ki Sanak bersedia, nanti Ki Sanak dapat beristrahat di rumah ayah di Cupu Watu. Esok pagi-pagi kalian melanjutkan perjalanan ke Jati Anom."

   "Terima kasih Ki Sanak,"

   Jawab Glagah Putih.

   "nanti akan kami pertimbangkan setelah kita sampai di Cupu Watu."

   Merekapun terdiam sejenak.

   Di malam yang semakin kelam, merekapun melanjutkan perjalanan ke arah Timur, melewati hutan Tambak Baya yang garang.

   Jalanpun rasa-rasanya menjadi semakin sepi.

   Tidak ada orang lain lagi yang berjalan melewati jalan itu di malam hari.

   Meskipun di siang hari jalan itu adalah jalan yang banyak dilalui orang.

   Dingin malam terasa semakin mengusik mereka yang berjalan di gelapnya malam.

   Angin yang semilir terasa bagaikan menusuk sampai ke tulang.

   Keempat orang yang akan pergi ke Cupu Walu itu berjalan di depan.

   Sementara itu.

   Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di belakang mereka.

   Tiba-tiba saja keempat orang itupun berhenti.

   Bahkan mereka bergeser surut selangkah.

   "Ada apa?"

   Bertanya Glagah Putih.

   Sebelum salah seorang diantara mereka menjawab, maka merekapun telah menarik senjata-senjata mereka.

   Perempuan yang ada di antara ketiga orang laki-laki itupun menjadi gemetar, ia melangkah surut, bahkan kemudian berpegangan Rara Wulan.

   "Aku takut,"

   Berkata perempuan itu dengan suara yang bergetar.

   "Aku lakut."

   "jangan takui,"

   Berkata Rara Wulan. Sementara perempuan itu justru mendekap Rara Wulan erat-erat. Tetapi Rara Wulan telap tenang saja. Sementara itu, lima orang laki-laki yang berpakaian serba gelap berdiri di tengah-tengah jalan.

   "Jangan takut,"

   Ulang Rara Wulan.

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "jika mereka ingin berbuat jahat, maka laki-laki yang berjalan bersama kita tentu akan melawan. Menurut penglihatanku mereka berlima, sedangkan ada ampat orang lak-laki bersama kita. Jumlahnya hampir sama."

   "Tetapi mereka adalah penyamun yang garang."

   "Kita masih harus meyakinkan, apakah mereka penyamun atau hanya orang lewat seperti kita."

   Perempuan itu terdiam. Sementara itu laki-laki tertua diantara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itupun bertanya.

   "Siapakah kalian Ki Sanak yang tiba-tiba saja telah berdiri di lengah jalan."

   Seorang diantara kelima orang itu maju selangkah. Dengan nada yang berat serasa menekan jantung orang itupun menjawab.

   "Kami tidak akan berbelit-belit. Serahkan semua harta benda yang kau bawa. Uang. perhiasan, pakaian dan apa saja."

   "Kami tidak membawa apa-apa Ki Sanak. Kami menempuh perjalanan malam karena orang tua kami sedang sakit. Karena itu tidak ada yang dapat kami berikan kepadamu."

   "Kalian tentu berbohong. Jika benar kalian tidak membawa apa-apa. beri kesempatan kami menggeledah kalian."

   "Silahkan,"

   Berkata laki-laki itu.

   "kami tidak berkeberatan. Geledah kami semua. Jika ada yang berharga, ambillah. Kami memang membawa uang beberapa keping sekedar untuk bekal di perjalanan kami yang jauh. Tetapi jika uang yang beberapa keping itu akan kalian ambil, ambillah."

   Tetapi tentu saja Glagah Putih dan Rara Wulan tidak akan membiarkan orang-orang itu menggeledah mereka karena mereka membawa tiga kampil uang yang akan menjadi bekal perjalanan mereka dalam tugas mereka. Karena itu. maka Glagah Putihpun berkata.

   "Ki Sanak. Tolong, beri kesempatan kami lewat. Orang tua kami sakit keras, sehingga waktu kami hanya sedikit sekali."

   Orang yang berdiri di paling depan itupun berkata.

   "Kau jangan banyak tingkah. Aku minta kalian membuka baju kalian. Kami akan menggeledah, apakah kalian membawa uang dan perhiasan atau tidak."

   "Ada dua orang perempuan diantara kami,"

   Berkata Glagah Putih.

   "tentu mereka tidak akan dapat membuka baju mereka."

   "Perempuan merupakan mahluk yang langka diantara kami. Karena itu. maka mungkin sekali kami memerlukan dua orang perempuan itu."

   "Mbokayu,"

   Perempuan yang akan pergi ke Cupu Watu itu mendekap Rara Wulan semakin ketat.

   "aku takut."

   Tetapi penyamun yang berdiri di paling depan itupun berkata lantang.

   "Cepat. Buka baju kalian. Apakah kalian membawa uang atau tidak."

   Glagah Putihpun yang kemudian melangkah ke depan pula.

   "Jangan hambat perjalanan kami Ki Sanak. Tolong, ayah kami sakit keras. Mungkin Ki Sanak merasakan kepedihan kami. Bayangkan jiwa ayah kalian menderita sakit keras, sehingga waktupun terasa menjadi sangat sempit."

   "Diam,"

   Bentak penyamun itu.

   "kalau kau masih berusaha mengelak sekali lagi. maka aku akan menghabisimu."

   Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan. Namun yang terutama harus dipertahankan justru bukan tiga kampil uang. Tetapi kitab Ki Namaskara itu ada padanya. Karena itu maka Glagah Putih itupun kemudian berkata.

   "Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan membiarkan Ki Sanak menggeledah kami."

   "Apa?"

   Jika saja nampak, maka wajah penyamun yang berdiri di paling depan itu menjadi merah.

   "kau berani menantang kami?"

   

   Jilid 372

   "AKU tidak menantang, Ki Sanak. Kami hanya menolak untuk digeledah."

   Tetapi yang tertua diantara laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itupun menyela.

   "Kenapa kau keberatan? Kami sama sekali tidak berkeberatan. Biarkan mereka menggeledah kita. Dengan demikian, maka persoalannya akan cepat selesai, sehingga kita akan dapat melanjutkan perjalanan."

   "Tetapi menggeledah kita itu berarti merendahkan harga diri kita. Meskipun kita tidak membawa apa-apa, tetapi dengan membiarkan mereka menggeledah kita. maka kita sudah menundukkan kepala kita dibawah kaki mereka."

   "Ki Sanak,"

   Berkata laki-laki tertua itu.

   "ayahku sedang sakit. Kau jangan menambah beban persoalan kami."

   "Tetapi kita harus mempertahankan harga diri kita."

   "Jika demikian terserah kepada kalian berdua. Jangan melihatkan kami berempat. Kehadiran Ki Sanak berdua ternyata hanya akan mempersulit keadaan,"

   Orang itupun kemudian berkata kepada orang-orang yang menghentikan mereka itu.

   "geledah kami berempat. Kami tidak keberatan. Kedua orang ini bukan keluarga kami. Kami, hanya secara kebetulan berjalan bersama-sama."

   "Siapa saja yang kau sebut berempat itu."

   Orang itupun kemudian minta kepada keluarganya untuk memisahkan diri dari Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya.

   "Maaf Ki Sanak. Bukan maksud kami untuk tidak saling menolong, tetapi kami ingin segera persoalan ini selesai, agar kami dapat segera melanjutkan perjalanan."

   Glagah Putih itupun mengangguk-angguk sambil menjawab.

   "Aku mengerti, Ki Sanak. Karena itu. maka silahkan. Lakukanlah yang terbaik bagi Ki Sanak. Tetapi kami berdua tidak akan mengizinkan orang-orang itu menggeledah kami."

   Pemimpin dari para penyamun itu menjadi marah. Dengan geram iapun berkata.

   "Kau sangai sombong Ki Sanak. Kau hanya berdua dengan seorang perempuan. Kau mau apa? Jika kau menolak untuk digeledah, maka kami akan mempergunakan kekerasan. Penolakanmu bagi kami adalah satu isyarat bahwa kau berdua tentu membawa barang-barang berharga."

   "Ya,"

   Jawab Rara Wulan diluar dugaan para penyamun dan bahkan empat orang yang akan pergi ke Cupu Watu.

   "kami membawa uang dan perhiasan. Karena itu kami berdua menolak digeledah. Jika kalian menggeledah kami, maka kalian akan menemukan beberapa kampil uang yang kami bawa serta perhiasan yang aku kenakan."

   "Iblis betina kau. Kenapa kau berkata seperti itu?"

   "Kalau kami sudah berani membawa uang beberapa kampil serta mengenakan perhiasan yang mahal harganya lewat di sebelah hutan Tambak Baya. tentu kamipun siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, minggirlah. Jangan ganggu kami, atau kami akan memaksa kalian berlutut di hadapan kami."

   Kemarahan pemimpin penyamun itu lelah membakar ubun-ubunnya. Dengan geram iapun berkata.

   "Biarlah keempat orang itu melanjutkan perjalanannya. Tetapi yang dua orang ini akan menjadi makanan kita malam ini."

   "Jangan mencari perkara. Ki Sanak,"

   Berkata Glagah Putih.

   "aku peringatkan kalian sekali lagi."

   "Persetan,"

   Geram pemimpin penyamun itu.

   "ambil uang dan perhiasannya. Jika mereka menolak, bunuh mereka berdua."

   "Mbokayu,"

   Perempuan yang akan pergi ke Cupu Walu itu menjerit tertahan.

   "jangan sakiti perempuan itu."

   "Kau tidak usah turut campur, atau kaupun akan aku perlakukan seperti perempuan yang seorang itu."

   "Sudahlah. Jah. Marilah kita meneruskan perjalanan."

   Namun perempuan itu masih saja berteriak.

   "Ajak mbokayu itu pergi."

   "Kita mempunyai kepentingan sendiri-sendiri Jah. Jika kita terkait dengan mereka, maka kitapun akan mengalami kesulitan. Sementara itu ayah menunggu dalam keadaan yang tidak menguntungkan."

   "Pergi, cepat pergi,"

   Teriak penyamun itu. Laki-laki yang tertua diantara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itupun segera menarik tangan adik perempuannya sambil membentak.

   "Kita harus segera pergi."

   Perempuan itu tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu terdengar Rara Wulan berkata.

   "Pergilah. Nanti sebentar lagi kami akan segera menyusul setelah kami menyelesaikan kelima orang cucurut.kecil ini."

   Kata-kata Rara Wulan memang mengejutkan.

   Bahkan perempuan yang ketakutan itupun terkejut pula.

   Begitu berani perempuan yang berjalan berdua itu menyebut lima orang laki-laki garang itu sebagai cucurut.

   Tetapi sikap Rara Wulan itu merupakan peringatan bagi kelima orang penyamun itu.

   Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan, sehingga ia berani berkata sedemikian sombongnya.

   "Siapakah sebenarnya kalian berdua?"

   Bertanya pemimpin penyamun itu.

   "Kami orang Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak. Kami akan pergi ke Jati Anom. Jika Ki Sanak mau mendengarkan, minggirlah. Tetapi jika Ki Sanak tetap saja mau berbuat jahat, maka kami akan dapai berbuat jauh lebih kasar dari apa yang akan kalian lakukan."

   "Persetan,"

   Geram pemimpin penyamun itu.

   "ambil apa yang dapat kita ambil dari mereka. Jika mereka melawan, habisi saja mereka."

   Keempat kawannyapun segera bersiap.

   Mereka mulai berpencar serta mempersiapkan diri untuk segera menyerang.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera bersiap pula.

   Sementara itu keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu telah melanjutkan perjalanan mereka.

   Tetapi perempuan yang pergi bersama mereka itu sekali-sekali masih berpaling.

   Perempuan itu sempat melihat dalam keremangan, para penyamun itu mulai menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan.

   "Kalian jangan menyesal kalau tubuh kalian akan terkapar di jalan ini. Mungkin binatang buas dari hutan Tambak Baya itu akan datang mencabik-cabik tubuh kalian. Atau esok akan diketemukan oleh orang-orang yang lewat dijalan ini."

   Tetapi kata-kata orang itu patah.

   Tiba-tiba saja kaki Glagah Putih telah bersarang dimulutnya.

   Orang itupun terpelanting jatuh menimpa seorang kawannya.

   Terdengar orang yang tertimpa kawannya itu mengumpat kasar.

   Kedua-duanya jatuh bergulir di tanah berdebu.

   Orang yang tertimpa kawannya itupun segera meloncat bangkit.

   Sedang yang seorang lagi masih harus menyeringai menahan sakit.

   Rasa-rasanya tulang rahangnya telah menjadi retak.

   Dalam pada itu, dua orang diantara merekapun bersama-sama telah menyerang Rara Wulan.

   Tetapi dengan loncatan yang ringan.

   Rara Wulan telah melenting menghindar.

   Bahkan kemudian Rara Wulanlah yang menyerang seorang diantara mereka.

   Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi perkelahian yang sengit di antara mereka.

   Kelima orang itu segera mengerahkan tenaga kemampuan mereka.

   Tetapi ternyata mereka telah membentur kekuatan yang berada jauh diatas jangkauan mereka.

   Dalam pada itu, keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu berjalan semakin cepat.

   Mereka hanya berpikir untuk semakin menjauhi orang-orang yang sedang berkelahi itu.

   Setelah berhasil menguasai kedua orang laki-laki dan perempuan itu.

   maka mungkin sekali kelima orang penyamun itu akan mengejar mereka.

   Mungkin bukan uang dan harta yang mereka kehendaki, tetapi karena mereka, adalah seorang perempuan, maka kemungkinan buruk dapat terjadi pada perempuan itu.

   Namun keempat orang itu terkejut ketika tanpa disadari perempuan yang ada diantara mereka berempat itu berpaling.

   Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang berkelahi melawan lima orang penyamun itu telah berada di belakang mereka.

   "Mbokayu,"

   Desis pesempuan itu diluar sadarnya. Bahkan perempuan itupun tiba-tiba saja berhenti.

   "kau baik-baik saja?"

   "Aku tidak apa-apa,"

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Rara Wulan sambil tertawa.

   "Tetapi, bagaimana dengan para penyamun itu?"

   "Mereka tidak akan mengejar kita lagi. Kami.telah membuat mereka tidak berdaya. Bukan hanya malam ini. Tetapi untuk selanjutnya, mereka tidak akan dapat menyamun lagi. Kami telah membuat mereka tidak berdaya untuk selanjutnya."

   "Mereka telah mati?"

   "Tidak. Kami tidak membunuh mereka. Mereka memang terluka, tetapi luka-luka mereka akan sembuh. Tetapi mereka sudah tidak akan mampu lagi menyamun."

   Ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu, menjadi berdebar-debar.

   Mereka merasa bersalah, bahwa mereka tidak membantu kedua orang laki-laki dan perempuan itu.

   Karena itu.

   maka orang tertua diantara merekapun berkata dengan suara bergetar.

   "Maafkan kami Ki Sanak. Kami telah melakukan kesalahan yang besar dengan meninggalkan Ki Sanak berdua dalam keadaan yang sulit."

   Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Pulih berkata.

   "Sudahlah, Ki Sanak. Aku mengerti. Kalian memang tidak pernah terlibat dalam perselisihan sehingga harus mempergunakan kekerasan."

   "Darimana kau mengetahuinya?"

   Bertanya seorang diantara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu.

   "Cara kalian memegang senjata. Kalian memang membawa senjata, tetapi kalian tidak terbiasa mempergunakannya."

   "Tetapi seharusnya kami membantu kalian berdua. Bukan sebaliknya malah menyalahkan kalian berdua."

   "Sudahlah. Marilah kita berjalan terus. Bukankah waktu kalian tidak terlalu banyak?"

   Orang-orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu tidak menjawab. Meskipun mereka segera melanjutkan perjalanan, namun terasa bahwa mereka masih saja ragu-ragu."

   Karena itu.

   maka Glagah Putih dan Rara Wulanlah yang kemudian berjalan di depan.

   Dalam kegelapan malam, keenam orang itupun berjalan terus.

   Beberapa saat kemudian, merekapun telah melewati Alas Tambak Raya yang lebat dan garang itu.

   Keenam orang itu masih berjalan beberapa lama.

   Mereka melewati bulak-bulak panjang Namun kemudian merekapun melewati pula padukuhan-padukuhan.

   Keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu iiu masih juga bertanya-tanya di dalam hati, siapakah kedua orang laki-laki dan perempuan itu sebenarnya.

   Apakah mereka benar-benar orang baik-baik atau mereka sebenarnya menyimpan satu kepentingan bagi mereka berdua.

   Namun akhirnya, merekapun menjadi semakin dekat dengan Cupu Watu.

   Di tengah malam, maka mereka berenampun telah memasuki regol padukuhan Cupu Walu.

   Padukuhan yang menjadi tujuan ketiga orang laki-laki dan seorang perempuan itu.

   Glagah Pulih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak.

   Glagah Putihlah yang kemudian menjawab.

   "Baiklah, Ki Sanak. Kami akan singgah sebentar."

   "Ki Sanak,"

   Berkata yang tertua diantara keempat orang itu.

   "kami sudah sampai di Cupu Watu. Jika Ki Sanak berkenan, aku persilahkan Ki Sanak singgah sebentar."

   "Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak berdua. Tetapi rumah ayahku tidak lebih besar dari sebuah gubug yang sudah mulai rapuh."

   "Itu bukan soal Ki Sanak,"

   Jawab Glagah Putih. Merekapun kemudian berhenti di depan sebuah regol halaman yang tidak begitu luas.

   "Inilah rumah ayahku itu."

   Rara Wulan mengangguk-angguk sambil bertanya.

   "Dengan siapa ayah kalian itu tinggal?"

   "Bersama ibu. Aku tinggal di gubug sebelah."

   Agaknya laki-laki itu telah diminta oleh ibunya menjemput adik perempuannya yang tinggal di seberang Alas Mentaok.

   Beberapa saat kemudian maka merekapun telah berada di halaman.

   Perlahan-lahan laki-laki yang tertua itu mengetuk pintu rumah yang nampaknya memang sederhana.

   "Siapa?"

   Terdengar suara perempuan.

   "Aku, Nyi."

   "Kakang?"

   "Ya."

   Sejenak kemudian terdengar langkah tergesa-gesa menuju ke pintu.

   "Itu isteriku Ki Sanak,"

   Berkata laki-laki tertua itu. Pintupun kemudian terbuka. Laki-laki tertua itu dengan serta-merta bertanya.

   "Bagaimana dengan ayah?"

   "Belum ada perubahan, kang."

   Perempuan yang baru datang itu telah berlari masuk ke ruang dalam.

   "Ayah,"

   Terdengar perempuan itu menjerit tertahan.

   "Jangan menangis nduk. Ayahmu akan menjadi sangat gelisah."

   "Biyung, apakah ayah akan sembuh?"

   "Kita berdoa saja nduk."

   "Apakah ayah tidak diobati ?"

   Perempuan itu terdiam. Namun terdengar suara perempuan yang lain.

   "Kami sudah tidak mempunyai apa-apa lagi untuk membiayai pengobatan ayah. Jah. Kambing kami sudah kami jual. Sebenarnya kami sepakat untuk menjual sawah kami yang hanya sesobek kecil itu. Tetapi sawah itu masih berada di tangan orang. Kami sudah menggadaikannya sebulan yang lalu, ketika ayah baru mulai sakit."

   "Jadi, ayah tidak mendapat pengobatan lagi?"

   "Satu-satunya yang kita punya adalah halaman sempit serta rumah ini. Jika ini dijual pula, lalu ayah tinggal dimana. Gubug kami disebelahpun harus diusung pergi pula. Tetapi kemana?"

   Pembicaran mereka berhenti.

   Orang-orang yang baru datang lewat Alas Tambak Baya itupun telah berada di ruang dalam.

   Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Mereka duduk di sebuah tikar yang terbentang.

   Di ruang dalam itu terdapat sebuah amben bambu.

   Di amben bambu itulah orang yang sedang sakit itu terbaring.

   Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun duduk pula bersama keluarga mereka yang menunggui orang yang sedang sakit itu.

   Perempuan yang ikut melintasi Alas Tambak Baya itu berlutut sambil menangis di sisi ayahnya yang nampak sangat kurus.

   "Bagaimana keadaan ayah sekarang?"

   Bertanya perempuan itu.

   "Semua anggota badanku terasa sakit, Jah."

   "Jadi selama ini ayah tidak diobati?"

   "Biyungmulah yang meramu obat untukku."

   Perempuan itupun berpaling kepada ibunya sambil bertanya.

   "Oh, apa yang biyung berikan kepada ayah?"

   "Yang dapat aku ketemukan di kebun kita sendiri, Jah. Seorang tetangga memberitahukan, agar ayahmu diobati dengan ketela gantung grandel. Akarnya, sedikit batangnya, kulit batangnya, daun, tangkai daun, bunga dan buahnya."

   "Ibu lelah membuatnya?"

   "Ya, nduk. Saben hari aku membuatnya, sehingga bagian-bagian ketela gantung grandel di belakang rumah sudah hampir habis."

   "Dan keadaan ayah tidak berubah?"

   "Tidak nduk. Sakit ayahmu tidak berkurang."

   "Sebenarnya ayah itu sakit apa, biyung?"

   "Aku tidak tahu, Jah. Orang orang menyebutnya sakit panastis. Panas dan atis. Kadang-kadang ayahmu merasa bagaikan dipanggang di atas api. Tetapi kadang-kadang ayahmu merasa seperti direndam di dalam banyu wayu sewindu yang dingin sekali sehingga ayahmu menggigil."

   "O,"

   Perempuan itu terisak.

   "Sudahlah Jah. Jangan menangis,"

   Suara ayahnya terdengar perlahan dan sendat.

   "ayah sudah ikhlas meninggalkan kalian semuanya. Kalian harus hidup rukun sepeninggal ayah. Jaga biyung kalian baik-baik."

   "Kakang. Jangan berkata begitu,"

   Suara isterinya terdengar parau. Sedangkan anaknya yang tertuapun berdesis.

   "Kita masih harus berusaha, ayah."

   "Tidak akan ada gunanya lagi, ngger."

   "Yang Maha Agung yang Pengasih akan memberi jalan kepada kita, ayah. Apapun caranya. Untuk sementara biarlah biyung membuat reramuan dari bagian-bagian batang ketela gantung grandel. Meskipun reramuan itu sangat sederhana, tetapi jika reramuan itu dipergunakan oleh Yang Maha Agung untuk menyembuhkan ayah, maka ayah akan sembuh."

   Orang tua yang sakit itu menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Anaknya yang tertua itupun kemudian berkata.

   "Biarlah ayah tidur. Menurut seorang kawanku, istirahat adalah bagian dari pengobatan."

   Orang tua itu mengangguk.

   Sejenak kemudian, maka anak yang tertua itu telah duduk bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.

   Sementara itu, perempuan yang ikut melintasi Alas Tambak Baya itu pergi ke dapur untuk merebus air.

   Dalam pada itu, Glagah Putihpun berkata kepada anak yang tertua itu.

   "Ki Sanak. Aku tidak mengerti sama sekali tentang ilmu pengobatan. Tetapi seorang pernah memberitahukan kepadaku, bahwa sakit panastis itu dapat diobati dengan buah munggur, daunnya dan sedikit bunganya. Bagian-bagian dari pohon munggur itu dijemur sampai kering. Kemudian dibuat butiran-butiran kecil. Reramuan itu dapat ditelan pagi, siang dan sore hari."

   Namun. Glagah Pulihatupun terdiam ketika Rara Wulan menggamitnya sambil berdesis.

   "Kau yakin. Apakah tidak justru terjadi sebaliknya?"

   Glagah Putih justru menjadi ragu-ragu. Katanya.

   "Bukankah seseorang pernah mengatakan kepada kita tentang buah munggur itu beserta daunnya yang muda."

   Tetapi Rara Wulanpun berkata.

   "Tetapi sebaiknya kalian cari saja tabib yang baik. Bukan sekedar seorang dukun yang hanya pandai berbicara menyombongkan diri kemudian minta imbalan yang banyak. Minta syarat-syarat yang tidak masuk akal. Sebaiknya kalian menghubungi tabib yang mengerti benar ilmu obat-obatan."

   "Tetapi Ki Sanak,"

   Berkata anak yang tertua itu.

   "Ki Sanak telah mendengar sendiri, bahwa untuk minta seorang tabib yang pandai mengobati ayahku, maka harus bersedia beaya yang cukup."

   Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Nampaknya keduanya mempunyai gagasan yang sama. Meskipun agak ragu, Glagah Putih itupun berdesis.

   "Bukankah kita mempunyai bekal untuk membeayai tugas yang kita emban. Sekarang kita menghadapi tugas kemanusiaan."

   "Aku sependapat kakang. Justru aku akan mengatakannya."

   "Baiklah,"

   Berkata Glagah Putih kemudian.

   "kami akan mencoba membantu Ki Sanak sekeluarga."

   Orang itu termangu-mangu sejenak, sementara itu, Glagah Putihpun telah mengambil beberapa keping uang dari kampilnya.

   "Ki Sanak,"

   Berkata Glagah Putih sambil memberikan beberapa keping uang perak.

   "tidak seberapa. Tetapi mudah-mudahan akan dapat sedikit membantu. Mudah-mudahan seorang tabib yang baik. akan bersedia mengobati ayah Ki Sanak itu dengan imbalan beberapa keping uang perak. Tetapi ingat, tabib yang baik. Jangan sembarang orang yang mengaku mampu mengobatinya."

   Orang itu justru menjadi bingung. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti.

   "Terimalah Ki Sanak,"

   Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berkata Glagah Putih.

   "Apakah aku tidak bermimpi,"

   Desis orang itu. Bahkan saudara-saudaranyapun saling berpandangan.

   "Kenapa?"

   Bertanya Rara Wulan.

   "Ki Sanak,"

   Berkata orang itu.

   "bukankah keping-keping itu uang perak?"

   "Ya."

   "Menurut pengertianku, uang itu nilainya banyak sekali. Jika uang itu Ki Sanak berikan kepadaku, lalu apa yang Ki Sanak kehendaki? Kami sudah tidak punya apa-apa."

   "Kami tidak menghendaki apa-apa. Kami hanya ingin ayah Ki Sanak itu mendapatkan pertolongan. Tentu ada tabib yang benar-benar pandai yang dapat mengobati sakit ayah Ki Sanak itu."

   "Tetapi uang ini ?"

   "Ki Sanak. Aku mendapat bekal untuk menjalankan tugasku. Bagiku mebantu pengobatan ayah Ki Sanak itu nilainya tidak kalah dengan tugasku yang lain, yang harus aku laksanakan itu."

   "Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua?"

   "Kami memang orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang sedang mengemban satu tugas. Hanya itu yang dapat aku katakan kepada Ki Sanak."

   "Tetapi bukankah uang itu seharusnya kalian pergunakan untuk melaksanakan tugas itu?"

   "Sudah aku katakan. Membantu usaha pengobatan bagi ayah Ki Sanak nilainya tidak kalah dengan tugas lain yang aku emban. Karena itu, aku tidak bersalah jika mempergunakan uang itu sedikit untuk pengobatan ayah, Ki Sanak."

   "Kami benar-benar salah menilai kalian berdua, Ki Sanak. Seharusnya kami tidak meninggalkan kalian berdua di Alas Tambak Baya. Kami seharusnya berbuat sesuatu meskipun ternyata tanpa bantuan kami, kalian tidak mengalami kesulitan apa-apa."

   "Tidak Ki Sanak. Kalian sudah melakukan sesuatu yang benar. Jika kalian ikut dalam perselisihan itu, pekerjaanku akan menjadi semakin berat, karena kami juga harus melindungi kalian."

   Orang itu menarik nafas panjang.

   "Nah, jangan berpikiran macam-macam. Ambil uang itu dan pergunakan sebaik-baiknya untuk penyembuhan ayah Ki Sanak."

   "Lihat,"

   Berkata orang itu kepada saudara-saudaranya.

   "Betapa murah hati kedua orang yang sebelumnya belum pernah kita kenal itu."

   "Sudahlah,"

   Glagah Putih itupun kemudian berpaling kepada Rara Wulan.

   "sebaiknya kita meneruskan perjalanan kita."

   "Marilah, kakang."

   Jawab Rara Wulan.

   "Nanti dulu,"

   Berkata orang itu.

   "Ki Sanak berdua belum minum. Adikku sedang membuat minuman hangat bagi kita."

   Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak.

   Tetapi mereka tidak ingin membuat keluarga itu menjadi kecewa.

   Karena itu, maka merekapun menunggu sejenak, sehingga akhirnya minuman hangat itupun dihidangkan oleh perempuan yang ikut menyeberangi Alas Tambak Baya itu.

   Minuman hangat itu memang membuat Glagah Putih dan Rara Wulan merasa segar.

   Namun setelah mereka menghabiskan minuman mereka, maka merekapun benar-benar minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

   "Kenapa kalian berdua tidak bermalam saja di sini?"

   Bertanya anak yang tertua diantara mereka.

   "Terima kasih. Ki Sanak. Perjalanan kami masih jauh."

   "Baiklah Ki Sanak. Jika Ki Sanak berdua menginap di sini kami juga tidak dapat mmberikan tempat yang pantas."

   "Bukan itu masalahnya. Tetapi kami memang ingin segera sampai ke Jati Anom."

   Ternyata Glagah Pulih dan Rara Wulan memang tidak dapat dicegah. Keduanyapun kemudian minta diri kepada seluruh keluarga. Tetapi agaknya orang yang sakit itu sedang tidur; sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan tidak minta diri kepadanya.

   "Sampaikan saja kepada ayah kalian. Semoga lekas sembuh."

   "Terima kasih, Ki Sanak,"

   Jawab anak yang tertua itu. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melanjutkan perjalanan mereka.

   "Mudah-mudahan ada seorang tabib yang dapat mengobatinya,"

   Desis Rara Wulan.

   "Tentu ada. Masalahnya hanyalah karena mereka sudah tidak mempunyai uang sama sekali. Mungkin ada seorang tabib yang mau menolong tanpa minta imbalan apa-apa. Tetapi justru karena mereka tidak mempunyai apa-apa, maka sebelumnya mereka sudah merasa segan. Sedangkan tabib itu akan dengan senang hati menolongnya tanpa imbalan jika diminta. Karena mungkin tabib itu tidak tahu, bahwa ada orang sakit yang memerlukan pertolongannya."

   "Ya,"

   Rara Wulan mengangguk-angguk.

   "orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, kadang-kadang merasa dirinya dijauhi oleh orang lain, meskipun sebenarnya tidak demikian. Mereka merasa diri mereka rendah dan tidak berharga sama sekali. Sedangkan sebenarnya orang lain tidak menganggapnya demikian. Meskipun memang ada orang yang disebut kadang konang. Orang yang hanya mau bersahabat dan berkumpul dengan orang-orang dari tataran yang tinggi serta tidak mau berkenalan dan apalagi bergaul dengan orang-orang dari tataran, yang lebih rendah."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Sementara itu, dari Cupu Watu Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan ke arah Timur.

   Perjalanan yang ditempuh masih sangat jauh dibandingkan dengan padukuhan Cupu Watu.

   Tetapi Jati Anoni barulah langkah pertama dari pengembaraannya.

   Ketika dilangit nampak bintang Panjer Esuk di arah Timur, yang cahayanya melampaui terangnya bintang-bintang yang lain, maka keduanyapun sepakat untuk berhenti di sebuah gubug di tengah sawah.

   "Tidurlah,"

   Berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan.

   "masih ada waktu sedikit."

   Rara Wulan memang berbaring di gubug itu. Tetapi Rara Wulan tidak dapat tidur. Bahkan iapun kemudian berkata.

   "Aku hanya ingin beristirahat kakang. Tetapi aku tidak merasa mengantuk. Kakang sajalah yang tidur. Meskipun aku berbaring, tetapi mataku tidak mau terpejam."

   "Aku juga tidak mengantuk. Aku bahkan merasa lebih enak duduk bersandar tiang ini."

   Rara Wulan tidak berkata apa-apa lagi.

   Tetapi matanya benar-benar tidak mau terpejam.

   Setiap kali bayangan orang yang sakit itu timbul di angan-angannya.

   Rara Wulan membayangkan, bahwa nyawa seseorang tidak dapat ditolong lagi hanya karena ia sudah tidak mempunyai apa-apa untuk biaya pengobatan.

   "Bagaimana mungkin nyawa itu harus dikorbankan, sedang di sisi lain seseorang dapat menghamburkan uang tanpa batas untuk menyelenggarakan keramaian dalam upacara yang tidak harus diselenggarakan kecuali sekedar mencari kepuasan."

   "Kalau saja aku dapat lepas dari keterbatasanku. Aku akan membiayai pengobatan semua orang sakit dan tidak mampu lagi membiayai pengobatannya."

   Rara Wulan itupun tiba-tiba saja berdesah.

   "Ada apa Rara ?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "Kalau aku menjadi seorang Ratu,"

   Desis Rara Wulan.

   "Ratu? Kenapa kalau kau menjadi seorang Ratu?"

   "Ah, aku telah bermimpi meskipun aku tidak tidur."

   "Mimpi apa?"

   "Aku dapat mengulurkan tangan kepada setiap orang yang membutuhkan. Terutama untuk menyelamatkan jiwa seseorang."

   "Menyelamatkan jiwa?"

   "Bukan mempertahankan nyawa seseorang. Itu tentu tergantung kepada Yang Maha Agung. Tetapi membantu setiap usaha penyembuhan bagi orang-orang yang sakit, yang tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan pengobatan. Meskipun akhirnya tergantung kepada yang Maha Agung, bukankah berusaha itu dibenarkan?"

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya.

   "Ya. Kita memang wajib berusaha."

   Namun dalam pada itu, keduanyapun terdiam.

   Mereka mendengar desir langkah kaki seseorang berjalan di pematang menuju ke gubug kecil itu.

   Rara Wulanpun kemudian bangkit dan duduk di gubug itu.

   Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap melangkah menyusuri pematang menuju ke gubug itu.

   Dipundaknya dipanggulnya sebuah cangkul.

   Agaknya orang itu sedang menelusuri air karena ia mendapat giliran air di dini hari.

   Namun orang itu terkejut ketika Glagah Putih dan Rara Wulanpun meloncat turun dari gubug kecil itu.

   Keduanyapun mengangguk hormat.

   Sementara Glagah Putihpun berkata.

   "Selamat malam, Ki Sanak."

   Orang itu berhenti. Wajahnya menjadi tegang. Dalam keremangan malam ia melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih terhitung muda berada di gubugnya.

   "Kalian siapa, he?"

   "Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Perempuan ini adalah isteriku."

   "Apa yang kalian lakukan di gubugku. he?"

   "Kami kelelahan dalam perjalanan kami. Ki Sanak. Kami menumpang beristirahat sejenak sampai fajar."

   "Bohong. Kau pergunakan gubugku untuk berbuat gila, he. Iblis manakah yang telah menyusup di kepalamu, sehingga kalian telah mengotori gubug dan sawahku. Sawahku akan menjadi sangar dan cengkar, sehingga pada masa-masa mendatang hasilnya akan menyusut dengan tajam."

   "Ki Sanak. Kami berdua adalah suami isteri. Kami berdua sedang menempuh perjalanan dalam satu pengembaraan. Tujuan kami yang pertama adalah Jati Anom."

   "Omong kosong.. Kalian harus menebus kesalahan kalian. Yang dapat meruwat tanahku hanyalah darah kalian atau salah seorang dari kalian. Jika darah kalian atau seorang dari kalian menitik di sawahku, maka sawahku akan bersih dari noda yang telah kau taburkan."

   "Ki Sanak. Kami hanya beristirahat. Kami sangat letih."

   "Omong kosong. Sekarang, berikan satu jarimu. Aku akan memotongnya dan membiarkan darahnya menetes di sawahku. Baru sawahku akan menjadi suci kembali."

   Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Sementara orang itu telah menarik sebilah parang kecil yang diselipkan di punggungnya.

   "Jangan mencoba untuk melawan. Jika kau melawan maka aku akan membunuh kalian berdua."

   Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak.

   Orang itu menurut penglihatan Glagah Putih dan Rara Wulan adalah seorang petani yang lugu.

   Seorang petani yang mempercayai, jika tanahnya ternoda maka hasilnyapun akan turun dengan tajamnya.

   Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata.

   "Ki Sanak, kenapa harus jariku."

   "Jadi apamu? Lehermu?"

   "Yang penting, bahwa darahku terpercik di sawahmu. Meskipun aku tidak merasa telah mengotori sawahmu, tetapi jika kau menuntut darahku memercik di sawahmu, akan aku lakukan. Tetapi tidak perlu memotong jariku."

   "Lalu apa yang akan kau lakukan?"

   "Berikan parangmu itu, Ki Sanak,"

   Berkata Glagah Pulih kemudian.

   "Untuk apa?"

   "Biarkan aku sendiri yang menitikkan darahku di sawahmu itu."

   "Kau jangan menganggapku terlalu bodoh. Kau tentu akan mempergunakan parangku itu untuk melawan aku."

   "Tidak. Aku tidak akan berani melakukannya. Aku akan melakukan sebagaimana kau kehendaki. Tetapi tidak usah memotong jari."

   Orang itu termangu-mangu sejenak.

   Namun kemudian diberikannya parangnya kepada Glagah Putih.

   Tetapi demikian ia melepaskan parangnya, maka iapun segera menggenggam doran cangkulnya.

   Tetapi Glagah Putih memang tidak ingin menyerangnya.

   Disingsingkannya lengan bajunya, kemudian dengan parang itu dilukainya tangannya, diantara pergelangannya dan sikunya bagian dalam.

   Parang itupun kemudian telah menggores kulitnya, sehingga lukapun telah menganga.

   "Kakang,"

   
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Rara Wulan tertegun melihat Glagah Putih melukai lengannya sendiri.

   "Beri aku serbuk obat lukamu, Rara,"

   Berkata Glagah Putih kemudian. Dengan tergesa-gesa Rara Wulan telah mengambil sebuah bumbung kecil di kantong bajunya di bagian dalam.

   "Ki Sanak,"

   Berkata Glagah Putih yang dari luka di tangannya itu mengalir darah.

   "lihat. Darahku telah menetes di sawahmu. Jika kau anggap aku telah menodai sawahmu, meskipun sebenarnya sama sekali tidak aku lakukan, maka aku telah memberikan ketenangan batin padamu. Kau tidak usah merasa cemas, bahwa hasil sawahmu akan menyusut tajam."

   Orang itu berdiri bagaikan membeku di pematang sawahnya. Namun ia telah melihat darah yang mengalir dari luka di tangan Glagah Putih telah menetes di sawahnya.

   "Nah, Ki Sanak. Apakah kau sudah puas?"

   Orang itu tidak segera menjawab. Ia justru berdiri saja termangu-mangu.

   "Jawab Ki Sanak. Apakah kau sudah puas?"

   "Ya, ya. Kau telah mensucikan sawahku lagi."

   "Sawahmu tidak pernah ternoda,"

   Sahut Glagah Putih. Iapun kemudian berkata kepada Rara Wulan.

   "taburkan sedikit serbuk obat itu di lukaku,"

   Rara Wulanpun segera melakukannya.

   Ditaburkan serbuk obat di luka Glagah Putih yang telah mengalirkan darah itu.

   Terasa panas bagaikan menyengat luka itu.

   Namun hanya sekejap.

   Kemudian perasaan pedih dan panas itupun segera hilang.

   Sementara itu, darahpun segera menjadi pampat.

   Ketika Glagah Putih membersihkan serbuk di tangannya itu, maka lukanyapun tidak lagi mengeluarkan darah.

   Petani itu masih berdiri tegak di tempatnya.

   Ia terkejut ketika Glagah Putih kemudian berkata.

   "Baiklah Ki Sanak. Kami akan pergi. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kami harus melanjutkan perjalanan kami."

   Glagah Putihpun kemudian berkata kepada Rara Wulan.

   "Marilah. Kita sudah cukup lama beristirahat di gubug ini. Agaknya pemilik gubug ini tidak rela memberikan sekedar tempat untuk beristirahat kepada para pengembara sebagaimana kita berdua."

   "Tidak. Tidak Ki Sanak.

   Tiba-tiba saja orang itu menyahut.

   "bukannya aku tidak mau memberikan tempat persinggahan bagi orang yang kelelahan di perjalanan, tetapi aku telah menjadi salah mengerti tentang keadaan Ki Sanak berdua."

   "Tidak apa-apa, Ki Sanak, Ki sanak sudah dapat menjadi tenang kembali. Kami berdua minta diri."

   "Aku rninta maaf, Ki Sanak."

   "Tidak ada yang harus dimaafkan. Kau sudah termakan oleh kepercayaanmu sehingga kau tidak lagi dapat mengurai persoalan-persoalan yang kau hadapi dengan sewajarnya."

   "Baik. Baik. Aku tidak akan mengelak. Sekarang, bahkan aku ingin minta Ki Sanak berdua singgah di rumahku."

   "Terima kasih. Tetapi kami harus segera melanjutkan perjalanan. Kami masih harus menempuh jarak yang jauh bagi tujuan pertama kami. Jati Anom."

   "Apakah Ki Sanak berasal dari Jati Anom."

   "Ya,"

   Jawab Glagah Putih. Ia berharap orang itu tidak bertanya lebih banyak lagi.

   "Ki sanak. Aku minta Ki Sanak sudi singgah di rumahku. Aku minta maaf atas tuduhanku. Aku sekarang percaya, bahwa sawahku tidak ternoda."

   Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tetap pada niatnya untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Jati Anom. Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata.

   "Aku minta maaf. Kami akan melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang."

   Demikianlah keduanyapun meninggalkan petani yang berdiri termangu mangu.

   Ditimangnya parang kecilnya yang telah diserahkan kembali oleh Glagah Putih kepadanya.

   Parang yang sudah bernoda darah, meskipun hanya seleret kecil.

   Namun betapapun petani itu menyesali kekasarannya, kedua orang yang mengaku suami isteri itu sudah berjalan semakin jauh.

   Petani itu menarik nafas panjang.

   Baru kemudian ia teringat air yang harus dialirkannya ke sawahnya, karena itu memang mendapat giliran hari itu di dini hari.

   Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan gubug itu semakin jauh.

   Dengan nada datar Rara Wulanpun berkata.

   "Kakang terpaksa melukai tangan kakang."

   "Aku tidak punya pilihan lain, daripada harus mengorbankan jariku."

   "Kakang. Misalnya. Hanya misalnya. Kakang menolak apa yang kira-kira akan dilakukan?"

   "Orang itu benar-benar akan marah."

   "Lalu kita paksa orang itu duduk diam di gubugnya dengan menyentuh beberapa simpul syaraf di bahunya. Baru setelah kita jauh. orang itu akan terlepas sendiri dari kebekuannya."

   "Orang itu akan kehilangan waktu untuk mengairi sawahnya. Karena gilirannya di dini hari. maka baru esok menjelang fajar ia dapat mengairi sawahnya. Padinya yang sedang bunting itu, jika terlambat mengairinya, akan dapat menimbulkan masalah. Akhirnya, hasil sawah orang itu kemudian memang akan menurun tajam. Petani itu akan semakin yakin, bahwa sawahnya telah menjadi sangar."

   Rara Wulan mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia bertanya.

   "Selain itu, maka orang itu akan selalu dibayangi oleh kecemasan, bahwa untuk selanjutnya sawahnya tidak akan menghasilkan."

   "Ya. Karena itulah, maka lebih baik mengorbankan darahku beberapa titik. Bukankah tidak berpengaruh apa-apa padaku. Kecuali sekejap di sengat pedih saat kau taburkan serbuk obat pemampat darah itu."

   Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

   Ketika mereka kemudian sampai di Kali Opak, maka keduanyapun sempat mencuci mukanya.

   Di musim kemarau air di Kali Opak tidak begitu deras sehingga dapat diseberangi tanpa harus mempergunakan rakit.

   Sementara itu, langitpun sudah menjadi terang.

   Beberapa orang telah nampak berjalan beriring.

   Beberapa orang perempuan menggendong dagangannya, sementara beberapa orang lak-laki memikul kayu bakar atau hasil kebun mereka.

   Agaknya mereka akan pergi ke pasar yang tidak jauh lagi di sebelah Timur Kali Opak.

   Setelah berbenah diri sekedarnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun melanjutkan perjalanan mereka pula.

   Mereka berjalan beriringan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar.

   "Jika kita tidak berhenti di Cupu Watu dan di gubug itu, kita tentu sudah sampai di Gondang. Bahkan sudah melewatinya."

   Glagah Putih tersenyum. Katanya.

   "Bukankah kita perlu beristirahat."

   Rara Wulan mengangguk. Meskipun demikian iapun menyahut.

   "Tetapi kakang justru harus melukai tangan kakang."

   Glagah Putih tersenyum sambil menyahut.

   "Tetapi dengan demikian, bukankah kita tidak lagi mengantuk."

   "Aku memang tidak mengantuk."

   "Ya. Kau tidak mengantuk. Tetapi kau sedang bermimpi meskipun kau tidak tidur."

   Rara Wulanpun mengerutkan dahinya.

   Namun iapun tersenyum pula.

   Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah melewati sebuah pasar yang ramai.

   Meskipun matahari baru terbit, tetapi rasa-rasanya pasar itu sudah mulai penuh dengan orang-orang berjualan dan yang akan berbelanja.

   Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah duduk di sudut pasar itu.

   Mereka duduk di sebuah lincak bambu yang panjang, didepan seorang penjual nasi serta wedang sere yang hangat.

   "Semalaman kita tidak tidur. Minuman hangat dan nasi megana itu akan membuat kita menjadi segar kembali,"

   Berkata Glagah Putih.

   Keduanyapun tidak lagi menghiraukan orang-orang yang semakin berdesakan di pasar itu.

   Semakin tinggi matahari, maka semakin banyak orang yang datang ke pasar untuk berbelanja.

   Glagah Putih dan Rara Wulan bergeser ketika dua orang laki-laki yang tinggi tegap duduk pula di lincak itu serta membeli nasi megana dan wedang sere dengan gula kelapa.

   Setiap kali orang yang duduk di sebelah Rara Wulan itu berpaling dan memperhatikannya.

   Bahkan kemudian orang itu mulai tersenyum-senyum.

   

   first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini