Api Di Bukit Menoreh 9
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 9
Api di Bukit Menoreh (15) - SH Mintardja
Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 31-08-2019 12:26:59 Oleh Saiful Bahri Situbondo
Api di Bukit Menoreh (15) Karya dari SH Mintardja
Tidak ada yang bergerak maju. Sementara Glagah Putih berkata pula.
"Kenapa kau sendiri tidak melangkah maju?"
Anak muda itu justru melangkah surut ketika Rara Wulan menjadi semakin dekat. Tiba-tiba saja Rara Wulan itu membentaknya.
"Pergi, pergi."
Anak muda berkumis lebat itu terkejut. Seakan-akan di luar kehendaknya ketika anak muda itu meloncat beberapa langkah surut. Sementara Rara Wulan masih saja mendekatinya.
"Pergi, pergi,"
Rara Wulan itu menjerit dengan nada tinggi.
Tiba-tiba saja anak muda berkumis lebat itu meloncat meninggalkan arena.
Dengan sekuat tenaganya ia berlari menyusuri jalan berbatu padas itu.
Kawan-kawannya yang telah kehilangan kudanya pun telah berlari pula mengikutinya.
Yang lain, yang telah mengikat kudanya di pinggir jalan, berlari ke kuda mereka.
Sejenak kemudian, maka dua belas orang anak muda itu sudah berlari meninggalkan Rara Wulan.
Sepeninggal mereka, maka Glagah Putih pun berkata.
"Permainan selendangmu ternyata diluar dugaan, Rara."
Namun wajah Rara Wulan masih saja tegang. Katanya.
"Ya seadanya saja."
"Bukan seadanya. Ilmumu benar-benar mengagumkan. Selama ini aku hanya melihat kau berlatih di sanggar. Tetapi kali ini aku melihat kau berlatih menghadapi sebelas orang bersenjata."
"Apanya yang mengagumkan ?"
Nada suara Rara Wulan datar. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia baru merasakan bahwa sikap Rara Wulan agak berbeda. Karena itu maka iapun bertanya.
"Kenapa kau tidak memperbolehkan aku ikut bermain?"
"Untuk apa kau ikut? Bukankah sejak semula kau sudah mengatakan bahwa anak-anak muda itu lebih tertarik kepadaku dari kepadamu."
Glagah Putih tiba-tiba tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Rara Wulan itu meloncat mencubit lengannya kemudian memutarnya.
"Rara. Sakit,"
Glagah Putih berteriak.
"Aku tidak peduli. Kenapa kau tidak minta kakangmu itu menurunkan ilmu kebalnya kepadamu."
"Lepaskan. Lepaskan. Besok kalau aku sudah memiliki ilmu kebal, kau dapat melakukannya lagi."
Rara Wulan tidak melapaskannya. Bahkan tangannya memutar semakin keras, sehingga Glagah Putih harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa pedih lengannya itu.
"Lepaskan Rara. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Huh,"
Rara Wulan melepaskan lengan Glagah Putih sambil berkata.
"Lain kali aku buat kau jera dengan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce."
"Baik. Baik. Lain kali kita tidak akan bertemu lagi dengan dua belas anak muda yang bodoh itu."
Rara Wulan hampir saja meloncat lagi.
Tangannya sudah terjulur.
Namun niatnya diurungkannya.
Bahkan Rara Wulan dan juga Glagah Putih bergerser beberapa langkah mundur.
Dihadapan mereka muncul dari gumpalan-gumpalan padas tebing, seorang yang sudah sangat tua.
"Hampir lima puluh tahun aku menunggu,"
Desis laki-laki tua, berjanggut dan berkumis putih. Rambut yang terjulur di bawah ikat kepalanyapun nampak sudah putih seperti kapas.
"Kau siapa Kiai?"
Bertanya Glagah Putih.
Sambil terbungkuk-bungkuk orang itu bergerser selangkah maju.
Tangan kanannya berpegangan pada sebatang tongkat kayu.
Orang tua itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti.
Kemudian suaranya yang paraupun terdengar pula.
"Apakah benar kalian dua orang suami isteri?"
"Ya, Kiai."
"Apakah kalian sudah mempunyai anak?"
"Belum Kiai."
"Aku menunggu kalian lewat. Sudah aku katakan, sudah hampir limapuluh tahun aku menunggu."
"Aku sudah pernah lewat jalan ini, Kiai."
"Kebetulan aku tidak melihatnya. Tetapi menjelang batas hidupku, akhirnya aku dapat menemukan kalian. Bukan hanya karena kalian suami isteri yang belum mempunyai anak. Tetapi memiliki unsur-unsur gerak yang nampak pada kalian berdua."
"Maksud Kiai?"
"Aku sempat melihat kalian berkelahi melawan anak-anak muda bengal itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu.
"Ngger. Sebenarnya aku ingin mempersilahkan kalian singgah. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian berdua."
"Dimana rumah Kiai?"
"Di tengah-tengah hutan itu. Aku tinggal di sebuah rumah yang aku ketemukan disana. Rumah yang sudah sangat tua. Nampaknya rumah itu dibangun pada masa permulaan kerajaan Demak. Namun kemudian telah ditinggalkan penghuninya. Ketika aku ketemukan rumah itu, rumah itu sudah kosong. Kotor dan rusak. Aku mencoba membersihkannya dan tinggal didalamnya."
"Kiai sendirian saja?"
"Tidak. Aku tinggal bersama seorang muridku yang setia. Juga seorang yang sudah tua, meskipun ketika ia menjadi muridku, ia masih seorang remaja."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Menilik ujud, sinar matanya serta bayangan di wajahnya, orang tua itu bukan seorang yang jahat. Tetapi siapa tahu isi hati seseorang.
"Angger berdua,"
Berkata orang itu pula.
"sekali lagi aku ingin mempersilahkan kalian berdua singgah. Aku ingin minta kalian berdua menolongku. Aku sudah terlalu tua."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduannya mengangguk kecil.
"Baiklah, Kiai,"
Berkata Glagah Putih.
"aku akan singgah. Tetapi jika berkenan, aku ingin bertanya, siapakah Kiai itu sebenarnya?"
"Aku bukan orang penting yang pernah dikenal, ngger, namaku Namaskara. Orang memanggilku Kiai Namaskara. Tetapi itu adalah karena salahku sendiri. Aku jarang sekali keluar dan rumah yang aku ketemukan itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Namaskara itupun berkata.
"Marilah ngger. Ikutlah aku. Tetapi aku sudah tidak dapat berjalan lebih cepat dari seorang bayi yang sedang merangkak."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab.
Mereka kemudian mengikuti orang yang sudah sangat tua itu berjalan diantara onggokan batu-batu padas, menyelinap ke arah hutan di Kaki Gunung Merapi.
Glagah Putih yang sudah melewati jalan itu, tidak pernah mengetahui, bahwa ada lorong kecil di tebing, di balik onggokan batu-batu padas yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang kurus dan tidak banyak berdaun.
Kiai Namaskara berjalan terlalu lambat bertelekan tongkat kayunya.
Sebelah tangannya berpegangan pada bongkah-bongkah batu padas di sebelah lorong sempit itu.
Ternyata jalan yang harus ditempuh cukup panjang.
Lepas dari tebing berbatu-batu padas, mereka sampai ke sebuah lorong yang basah.
Kemudian mereka memasuki hutan di kaki Gunung.
Hutan yang masih lebat tertutup oleh segala jenis pepohonan.
Dari pohon-pohon raksasa sampai ke pohon-pohon perdu serta batang ilalang.
Jalan menjadi semakin sulit, Kiai Namaskara berjalan semakin lambat.
Tetapi ketika Glagah Putih akan membantunya, orang yang sudah sangat tua itu berkata.
"Terima kasih, ngger. Biarlah aku berjalan sendiri. Aku sudah terbiasa melewati lorong setapak ini."
Glagah Putih tidak menjawab.
Tetapi ia tidak lagi berusaha membantu Kiai Namaskara yang berjalan di depan dengan tongkat kayunya.
Namun beberapa saat kemudian jantung Glagah Putih dan Rara Wulan berdebaran.
Tiba-tiba saja dihadapan mereka berdiri dua ekor harimau loreng yang sangat besar.
Hampir sebesar kerbau.
"Tunggu Kiai,"
Berkata Glagah Putih.
"biarlah aku dan istriku berjalan di depan."
"Kenapa?"
Bertanya Kiai Namaskara.
"Harimau itu."
Kiai Namaskara tersenyum. Katanya.
"Harimau yang baik, ngger. Harimau itu tidak akan mengganggu kita."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.
Mereka siap untuk memusatkan nalar budinya, mempergunakan ilmu pamungkas mereka menghadapi sepasang harimau yang besar itu.
Sebenarnyalah sepasang harimau itu tidak mengganggu ketika Kiai Namaskara berjalan disebelah mereka.
Sambil mengelus kepala kedua ekor harimau itu berganti-ganti, Kiai Namaskara berkata.
"Jangan ganggu tamuku."
Kedua ekor harimau itu menjilat punggung telapak tangan Kiai Namaskara, seakan-akan mereka sedang mencium tangan itu.
"Bagus,"
Berkata Kiai Namaskara.
"pergilah bermain."
Kedua ekor harimau itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti.
Bagaimanapun juga Glagah Putih dan Rara Wulan harus mempersiapkan diri.
Harimau tentu berbeda dengan seseorang yang dengan langsung memahami pesan sebagaimana diucapkan oleh Kiai Namaskara itu.
Namun kedua harimau itu memang tidak menunjukkan sikap bermusuhan.
Mereka melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan.
Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak.
Namun kedua ekor harimau itupun kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan mereka, masuk ke dalam belukar yang lebat.
Kiai Namaskarapun melanjutkan perjalanannya yang lambat diikuti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
Bertiga mereka memasuki hutan di lereng Gunung itu semakin dalam.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi heran.
Jalan yang mereka lalui semakin dalam justru menjadi semakin lebar.
Langkah Kiai Namaskara terhenti ketika beberapa ekor kera berloncatan ke pundak dan tangannya.
Beberapa yang lain menghadang di tengah jalan.
"Minggir,"
Berkata Kiai Namaskara.
"jangan halangi jalanku. Aku membawa dua orang tamu."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa ekor kera itu berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara Kiai Namaskarapun berkata pula.
"Minggirlah. Kami akan lewat."
Kera-kera itupun berloncatan menepi.
Tidak seekorpun diantara mereka yang mengganggu.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin heran ketika mereka melihat sebuah pintu gerbang tua yang sudah rusak.
Namun bekasnya, pintu gerbang itu tentu pintu gerbang yang baik.
Tiang-tiangnya, tulang-tulang atapnya berukir dan bahkan masih ada bekas sunggingan berwarna-warni.
Namun sudah menjadi buram dan bahkan terkelupas.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dan berjalan dibawah pintu gerbang yang sudah rusak itu, Glagah Putih sempat mengamati ukiran dan sunggingan di tiangnya.
"Prada. Kau lihat Rara."
Yang menyahut justru Kiai Namaskara.
"Ya. Prada. Bangunan yang ada didalam halaman yang berpintu gerbang itu juga berukir, di sungging dan diwarnai dengan prada pula, meskipun sudah menjadi hampir tidak kelihatan tertutup oleh debu dan yang lain mulai terkelupas. Aku tidak mampu menyelamatkan bangunan yang menjadi semakin rusak itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu.
Namun mereka tertegun ketika mereka melangkah memasuki halaman yang luas, yang nampak bersih dan terpelihara rapi.
Di tengah-tengah halaman yang tua itu berdiri sebuah rumah tua yang sudah mulai rusak, meskipun tidak mendapat perawatan yang cukup.
Tetapi kayu-kayunya mulai menjadi lapuk.
Disana sini nampak beberapa, jenis kayu yang berbeda dari bangunan aslinya.
Nampaknya ada beberapa bagian yang sudah diganti tetapi dengan bahan seadanya.
Meskipun demikian, namun keagungan bangunan itu masih terasa.
"Marilah. Inilah rumahku. Karena rumah ini tidak berpenghuni serta tidak seorangpun yang mengaku memilikinya, maka rumah inipun telah aku akui sebagai rumahku."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun melangkah mengikuti Kiai Namaskara.
Langkah mereka tertegun ketika dari pintu seketeng muncul seorang yang bertubuh agak bongkok.
Ketika orang itu berjalan mendekati Kiai Namaskara, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat orang itu agak timpang pula.
Segores luka nampak di wajahnya.
Sebelah telinganya agak lebih besar dari telinganya yang satu lagi.
"Ia adalah muridku yang setia,"
Berkata Kiai Namaskara. Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat. Dengan suaranya yang bernada tinggi, orang itu berkata.
"Selamat datang di istana kami."
"Terima kasih,"
Jawab Glagah Putih.
"Namanya Sangli,"
Berkata Kiai Namaskara.
"ia ikut aku sejak remaja. Sekarang rambutnya, kumisnya yang tipis, janggutnya yang jarang, sudah memutih semuanya. Bahkan ia sudah nampak setua aku sendiri."
Orang itu tersenyum.
Meskipun tubuhnya dan wajahnya cacat tetapi nampak kelembutan terpancar di wajahnya.
Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka melihat sekelompok serigala keluar dari pintu seketeng.
Namun ketika orang yang agak bongkok itu mengayunkan tangannya maka serigala-serigala itupun berlarian menjauh.
Disudut gandok, serigala-serigala itu berpapasan dengan beberapa ekor domba yang berlari-larian ke halaman.
Serigala-serigala itu hanya berpaling saja.
Tetapi tidak seekorpun dari serigala-serigala itu mengganggu domba-domba itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan menahan nafas.
Tetapi kemudian jantung mereka telah dicengkam oleh keheranan.
Serigala-serigala itu tidak berbuat apa-apa.
Apalagi menerkamnya.
Domba-domba itupun sama sekali tidak menjadi ketakutan.
Agaknya mereka sudah terbiasa bergaul dengan serigala dan bahkan ketika dua ekor harimau yang besar itu memasuki halaman itu.
Tidak terasa ada permusuhan di halaman rumah yang besar itu.
Dua ekor harimau itupun kemudian berjalan perlahan-lahan, ke halaman samping dan hilang dibalik tanaman perdu, yang agaknya merupakan tanaman yang daunnya, atau batangnya atau akarnya dapat dipergunakan untuk membuat obat-obatan.
Segerumbul-segerumbul, terpisah-pisah menurut jenisnya.
"Marilah ngger. Naiklah,"
Kiai Namaskara memepersilahkan. Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian naik ke pendapa. Di pringgitan telah terbentang tikar pandan yang putih. Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian duduk ditemui oleh Kiai Namaskara dan Ki Sangli.
"Angger berdua,"
Berkata Kiai Namaskara kemudian.
"setelah duduk sejenak, perkenankan aku mengetahui, siapakah angger berdua ini."
"Tetapi bukankah Kiai sudah menunggu kami hampir lima puluh tahun?"
Kiai Namaskara tersenyum. Katanya.
"Aku memang sudah menunggu selama lima puluh tahun. Tetapi aku tidak tahu siapakah yang aku tunggu itu. Baru kemudian, setelah aku melihat angger berdua, sikap angger menanggapi kelakuan anak-anak muda itu, maka aku baru tahu, bahwa anggerlah yang aku tunggu."
"Kenapa kami berdua, Kiai."
"Angger belum menjawab pertanyaanku."
"O,"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian.
"Namaku Glagah Putih, Kiai. Perempuan ini adalah isteriku. Namanya Rara Wulan. Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Namaskara mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya.
"Sekarang, angger berdua akan pergi kemana?"
"Kami akan pergi ke Jati Anom. Ayahku tinggal di Jati Anom."
"Jika aku boleh tahu, siapakah nama ayah angger?"
"Orang memanggil ayahku, Ki Widura."
"Ki Widura,"
Ulang Kiai Namaskara.
"Ya, Kiai."
Kiai Namaskara mengangguk-angguk. Katanya.
"Aku seperti orang asing yang tidak mengenal siapa-siapa. Tetapi orangpun tidak mengenal aku."
"Selain Kiai sudah memperkenalkan nama Kiai, siapakah sebenarnya Kiai Namaskara itu? Seperti yang Kiai katakan, Kiai menemukan rumah ini. Dengan demikian maka Kiai tentu berasal dari tempat yang lain."
"Ya, ngger. Tetapi seperti yang aku katakan, aku bukan orang penting. Aku orang kebanyakan sehingga namaku tidak akan pernah dikenal oleh siapapun. Aku anak-anak keluarga padesan. Aku mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga akhirnya aku menetap di sebuah padepokan. Sebuah padepokan kecil di lereng Gunung Kelud. Muridku tidak lebih dari sembilan orang. Tetapi tidak semua muridku memenuhi harapanku. Ada diantara mereka yang bersikap baik. Tetapi ada pula yang sebaliknya. Tetapi aku sadar, bahwa hal seperti itu dapat saja terjadi. Mereka bukan benda-benda mati yang dapat aku bentuk menurut keinginan dan seleraku. Mereka adalah sosok yang hidup, berakal budi. Mereka dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan keluarga mereka, dipengaruhi oleh pergaulan mereka dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup mereka. Sehingga karena itu, wajarlah jika sembilan murid-muridku itu mempunyai sembilan sipat dan watak yang berbeda-beda."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Terakhir aku kehilangan delapan dari sembilan muridku. Seorang diantara mereka menyatakan kesetiaannya kepadaku. Ia ikut aku kemanapun aku pergi, karena akupun kemudian telah meninggalkan padepokan kecilku dan kembali mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga akhirnya aku temukan rumah ini."
"Sudah lama Kiai tinggal di rumah ini?"
Bertanya Glagah Putih.
"Sudah lebih dari lima puluh tahun."
"Lima puluh tahun?"
"Ya. Tetapi saat itu aku belum memisahkan diri dari kehidupan. Aku masih berhubungan dengan kehidupan sesama meskipun aku tidak pernah berterus-terang bahwa aku tinggal disini. Tetapi hampir sepuluh tahun terakhir, hubunganku dengan sesama itu semakin menjadi jauh. Dan terakhir aku jarang sekali keluar dari tempat ini."
"Tetapi Kiai sudah menunggu lima puluh tahun."
"Jika aku katakan bahwa aku menunggu, bukan berarti aku tidak mencari. Tetapi aku memang tidak pernah bertemu dengan orang yang aku cari itu. Aku harus menunggu sampai hampir lima-puluh tahun. Barulah aku bertemu dengan orang yang aku cari."
"Siapakah yang sebenarnya Kiai tunggu itu? Kami berdua atau orang lain yang mempunyai beberapa persamaan dengan kami. Atau sikap dan sifat-sifat kami yang dapat Kiai tangkap pada saat Kiai mengamati kami berdua?"
"Ngger. Aku tahu bahwa bukan angger berdua saja yang memiliki sifat dan watak yang menarik perhatianku. Tetapi angger berdualah yang pertama-tama kami temui sekarang ini."
"Apakah yang telah kami lakukan? Berkelahi?"
"Ya berkelahi. Tetapi angger berdua berkelahi bukan dikendalikan oleh kebencian, dendam dan kedengkian. Angger berkelahi karena alasan yang sangat masuk akal. Bahkan pada akhirnya, nampak jelas, bahwa angger berkelahi bukan dikendalikan oleh nafsu berkelahi semata-mata."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-manggu. Keduanya saling berpandangan sejenak. Sementara itu Kiai Namaskara berkata selanjutnya.
"Aku tertarik kepada sikap kalian di akhir perkelahian itu. Kalian brarkan anak-anak bengal itu pergi. Semula aku menduga, bahwa tentu akan jatuh korban dalam perkelahian yang jum-Jahnya tidak seimbang itu. Tetapi ternyata tidak. Kalian biarkan mereka pergi meskipun sebenarnya kalian dapat mencegahnya jika kalian mau. Menghukum mereka dan berbuat apa saja untuk memuaskan diri sendiri. Tetapi yang kalian lakukan bukan itu."
"Tetapi aku sudah melukai beberapa orang diantara mereka, Kiai,"
Sela Rara Wulan.
"Kau memang sedang marah ngger. Tetapi itu wajar sekali. Seperti orang lain, kaupun dapat menjadi marah karena kau dan suamimu sudah diganggu. Tetapi kemarahan itu tidak membakar kebencian dan dendam didadamu. Kau tumpahkan kemarahanmu. Sesudah itu, sudah. Jika saja ada diantara mereka yang kau bunuh, maka sikapkupun akan berbeda."
Rara Wulan mengerutkan dahinya.
"Kau bentak mereka dengan marah. Tetapi kemarahanmu bersih. Kau suruh mereka pergi tanpa berniat memuaskan kemarahanmu dengan mencelakai mereka meskipun itu dapat kau lakukan."
Rara Wulan tidak menjawab. Justru kepalanya tertunduk seperti juga Glagah Putih.
"Ngger,"
Berkata Kiai Namaskara kemudian.
"aku berharap agar angger berdua bersedia tinggal di rumah ini barang dua tiga hari. Mungkin ada yang menarik yang dapat angger lihat disini."
"Kiai,"
Sahut Glagah Putih.
"terima kasih atas kebaikan Kiai kepada kami berdua. Tetapi kami sedang dalam perjalanan menuju ke Jati Anom. Jati Anom bukan tujuan kami terakhir, Kiai. Kami masih akan menempuh perjalanan jauh sekali."
"Kemana?"
"Kami belum tahu, kemana kami harus pergi, Kiai. Tetapi kami akan mulai dengan perjalanan ke Barat."
"Ke barat? Tetapi angger berdua sekarang justru pergi ke arah Timur."
"Kami akan singgah di rumah ayah, Kiai. Juga singgah di rumah kakak sepupuku."
"Siapa?"
"Kakang Untara."
"Ki Tumenggung Untara? Pemimpin pasukan Mataram yang berada di Jati Anom?"
"Ya, Kiai. Kiai sudah mengenal Kakang Untara?"
"Secara pribadi belum ngger. Tetapi aku tahu, dan banyak orang yang tahu, bahwa Ki Tumenggung Untara adalah Panglima Pasukan Mataram yang berada di Jati Anom."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula.
"Nah, ngger,"
Berkata Kiai Namaskara dengan penuh harapan.
"aku mohon angger berdua bersedia singgah di rumah ini barang dua tiga hari. Setelah itu angger dapat pergi ke Jati Anom. Kemudian kembali ke Barat. Jika saja sempat, aku masih juga berharap angger singgah lagi di rumahku ini."
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan.
Namun agaknya tersirat di wajah mereka keinginan untuk mengetahui, untuk apa Kiai Namaskara mengharap mereka untuk bermalam barang dua tiga hari di rumah itu.
Dengan nada datar, Glagah Putihpun bertanya kepada Rara Wulan.
"Apakah kita dapat tinggal disini selama dua atau tiga hari, Rara?"
"Terserah sajalah kepada kakang,"
Jawab Rara Wulan. Kiai Namaskara tersneyum. Sementara itu Ki Sanglipun berkata.
"Nah, seorang perempuan yang berkata, terserah sajalah, berarti bahwa ia telah menyetujuinya."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tersenyum pula.
"Apakah benar begitu?"
Bertanya Rara Wulan. Ki Sangli tertawa. Katanya.
"Ketika orang tua Nyi Rara Wulan bertanya, apakah Rara Wulan bersedia menjadi istri Glagah Putih, angger tentu juga menjawab, terserah kepada ayah ibu."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rara Wulan tersenyum sambil menunduk.
Rara-rasanya wajahnya menjadi panas.
Tetapi ia tidak mengatakan, bahwa justru Rara Wulan sendirilah yang telah memilih Glagah Putih untuk menjadi suaminya.
Bukan orang tuanya.
Karena itu, sebelum ada orang yang bertanya kepadanya, Rara Wulan sudah mengiakannya.
Dalam pada itu, maka akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan menyatakan kesediaan mereka untuk berada di rumah itu barang dua tiga hari, meskipun itu akan berarti bahwa perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan akan tertunda.
"Nah. Jika demikian, biarlah aku mempersiapkan segala-galanya,"
Berkata Ki Sangli.
"Mempersiapkan apa Ki Sangli?"
"Bilik tidur, minum dan makan. Aku harus menyediakan nasi lebih banyak dari biasanya. Akupun harus merebus air lebih banyak dari biasanya. Akupun harus merebus air lebih banyak, kemudian menyediakan bilik tidur buat kalian berdua. Disini ada banyak bilik tidur. Tetapi tidak semuanya dapat dipakai. Tenaga kamipun tidak mampu merambah semuanya, sehingga kami hanya merawat beberapa bagian saja yang penting dan perlu. Terutama wajah dari rumah ini."
"Sudahlah Ki Sangli. Jangan merepotkan. Biarlah kami siapkan bilik tidur bagi kami. Biarlah kami membantu mengerjakan pekerjaan dapur. Apalagi Rara Wulan sudah terbiasa bekerja di dapur."
Sangli tertawa . Katanya.
"Tetapi kalian adalah tamu disini. Kami akan menghormati tamu-tamu kami sebagaimana seharusnya."
"Kami akan merasa lebih kerasan tinggal jika kami dapat melakukannya sebagaimana di rumah kami sendiri,"
Sahut Glagah Putih. Kiai Namaskaralah yang menyahut.
"Baiklah. Biarlah mereka melakukannya sebagaimana di rumah sendiri. Sangli, tunjukkan saja kepada mereka, bilik yang manakah yang dapat mereka pergunakan. Kemudian tunjukkan pula, pintu yang manakah yang menuju ke dapur."
"Baik, Kiai,"
Jawab Ki Sangli.
"Marilah. Aku tunjukkan bilik itu kepada kalian ngger. Kemudian aku akan merebus air untuk menjamu angger berdua, yang tentu merasa haus. Nanti sajalah angger Rara Wulan pergi ke dapur. Sekarang biarlah angger berdua membersihkan bilik yang akan kalian pergunakan."
Ki Sangli itupun kemudian mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan masuk ke ruang dalam lewat pintu pringgitan.
Demikian mereka berada di ruang dalam, maka merekapun menjadi semakin kagum.
Beberapa langkah dari pintu pringgitan, lantaipun menjadi agak tinggi.
Saka guru di ruang dalam itu berukir halus.
Demikian pula gebyok ketiga buah sentong.
Sentong kiri, kanan dan sentong tengah.
Pada bagian atas gebyok berukir dan diwarnai dengan sungging itu, dilukis pula berbagai macam bentuk.
Lingkaran yang terbagi oleh busur-busur lingkaran dalam warna yang beraneka.
Beberapa huruf yang tidak dapat langsung dimengerti maknanya.
Gambar burung, binatang buas dan beberapa jenis raja kaya.
Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun sejenak.
Namun kemudian iapun berjalan lebih cepat menyusul Ki Sangli yang sudah berjalan lebih dahulu.
Lewat di lantai yang lebih rendah di sebelah ketiga buah sentong itu, mereka sampai ke ruang rendah mereka sampai ke sebuah ruang yang hampir sama luasnya dengan ruang dalam.
Juga dibawah atap yang bergaya joglo.
Keempat saka gurunya juga berukir lembut.
Demikian pula uleng diatasnya dan gebyok yang membatasi ruang itu.
Tetapi di bangunan itu tidak terdapat tiga buah sentong.
Sentong kiri, kanan dan sentong tengah.
Yang ada adalah bilik-bilik yang berada di tepi.
Sementara itu di bagian tengah bangunan itu tidak bersekat sehingga kesannya sebuah ruang yang luas.
Tetapi karena sinar matahari tidak leluasa masuk ke dalamnya, maka ruangan itu menjadi tidak terlalu terang.
Hanya ada dua pintu di samping yang terbuka.
Kemudian dua pintu butulan yang menuju ke longkangan belakang, mengitari rumah induk itu dengan dapur.
Ruang di belakang itu benar-benar telah mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Pada dindingnya yang sudah tua tergantung berbagai macam perhiasan yang berwarna kuning buram.
Namun menilik ujudnya, perhiasan dinding itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar memiliki ketrampilan yang tinggi.
Agaknya Ki Sangli mengetahui, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan mengagumi benda-benda itu.
Karena itu, maka Ki Sanglipun berkata.
"Angger berdua dapat melihat benda-benda perhiasan dinding itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Merekapun kemudian mendekati salah satu perhiasan dinding yang berbentuk bulat.
Pada hiasan dinding itu terdapat lukisan seorang penunggang kuda yang tegar, yang berlari melewati padang yang kelihatannya sangat luas.
"Apakah aku boleh menyentuhnya?"
"Silahkan. Tetapi perhiasan itu tidak sempat aku bersihkan setiap hari. Kadang-kadang saja aku bersihkan. Dua atau tiga hari. Kadang-kadang lebih."
Ketika tangan Glagah Putih menyentuh perhiasan itu memang terasa debu yang melekat . Bekas jari-jari Glagah Putih itu sangat menarik perhatian. Bahkan kemudian Glagah Putihpun mengusap perhiasan dinding itu lebih banyak lagi.
"Perhiasan dinding ini dibuat dari apa?"
Bertanya Glagah Putih. Jawaban Ki Sangli sangat mengejutkan pula. Katanya.
"Emas. Semua perhiasan dinding di rumah ini terbuat dari emas."
"Emas,"
Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersama-sama mengulanginya.
"Ya."
"Ki Sangli yakin?"
"Ya. Aku yakin. Aku dapat membedakan berbagai jenis logam. Aku mengenal dengan baik, emas, kuningan, tembaga, suwasa dan sebagainya. Jika benda-benda itu terbuat dari emas, maka benda-benda itu tentu sudah berubah warnanya."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Ki Sanglipun berkata.
"Disini banyak sekali benda-benda yang terbuat dari emas murni. Bahkan pembaringan di bilik yang sebelah itupun dihiasi dengan berbagai macam benda yang terbuat dari emas. Sedang di bilik yang lain, pembaringan yang lebih kecil dibuat dari logam yang berlapis emas pula."
Glagah Putih mengusap keringatnya yang membasahi keningnya. Dengan suara yang datar iapun bertanya.
"Siapakah sebenarnya pemilik rumah ini?"
Ki Sangli itu menggeleng. Katanya.
"Aku tidak tahu. Bahkan Kiai Namaskarapun tidak tahu."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Kiai Namaskara memang sudah mengatakan, bahwa rumah ini ditemukannya begitu saja. Lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Pada saat Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum lahir.
"Nah, silahkan ngger. Bilik itu disediakan bagi angger berdua. Jika angger bersedia membersihkannya sendiri, silahkan ngger."
"Ya, Ki Sangli. Biarlah kami membersihkannya sendiri."
"Aku akan pergi ke dapur, ngger."
"Silahkan Ki Sangli. Nanti kami akan menyusul."
Ki Sangli tersenyum. Katanya.
"Baiklah jika angger berdua ingin melihat dapur rumah ini."
Demikian Ki Sangli pergi ke pintu yang menghadap kelongkangan belakang yang memisahkan rumah itu dengan dapur, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun masuk ke bilik yang ditunjukkan oleh Ki Sangli.
Bilik yang diperuntukkan bagi mereka.
Demikian mereka masuk ke dalamnya, maka jantung mereka terasa semakin berdebaran.
Ternyata bilik itu sudah nampak bersih.
Ada sebuah pintu yang terbuka, langsung ke serambi .
Bukan saja sinar yang menerangi bilik itu, tetapi udarapun membuat bilik itu terasa segar.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Sangli, maka ada beberapa perhiasan yang terbuat dari emas murni.
Sedangkan pembaringan yang besar yang ada dibilik itu dibuat dari kayu cendana.
Baunya masih saja semerbak meskipun pembaringan itu tentu sudah berada di tempat itu berpuluh tahun.
"Apa yang harus kita bersihkan kakang?"
Bertanya Rara Wulan.
"Semuanya sudah bersih. Bahkan tidak ada debu yang melekat di perabot yang ada di dalam bilik ini."
"Jika demikian, marilah kita pergi saja ke dapur."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.
"Aku ingin melihat serambi itu."
Rara Wulan tidak membantah.
Bersama Glagah Putih, maka Rara Wulanpun turun ke serambi.
Ternyata bahwa pintu di bilik sebelah yang menghadap ke serambi juga terbuka.
Dari serambi Glagah Putih dapat melihat bahwa pembaringan dibilik itu memang berlapis emas.
"Siapa yang membuat rumah sebesar dan semahal ini di tengah-tengah hutan yang lebat ini,"
Desis Rara Wulan.
"Tentu sebuah pesanggrahan. Tempat ini dahulu tentu merupakan hutan tutupan yang sering dipergunakan untuk berburu oleh keluarga istana."
"Ya,"
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"keluarga raja sering berada ditempat ini. Mereka mempergunakan tempat ini sebagai pesanggrahan. Mereka berburu, bercengkrama dan bertamasya di sekitar pasaranggahan ini."
"Tetapi keluarga raja mana? Demak? Pajang atau Mataram permulaan? Mataram masih terlalu muda. Seandainya pasanggrahan ini dibuat pada masa Panembahan Senapati, bangunannya tentu masih nampak baru. Belum ada bagian yang rusak yang harus diganti dengan bahan yang mutunya tidak sama. Mungkin jenis kayunya sama, tetapi buatannya jauh dari yang asli."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Pajang dan bahkan Demak itu tidak akan menghiasi pasanggrahannya dengan hiasan dinding yang terbuat dari emas murni.
Apalagi Mataram.
Mataram tidak memiliki kekayaan sebanyak itu.
Keduanyapun kemudian tidak menebak-nebak lagi.
Rara Wulanlah yang kemudian berkata.
"Marilah, kita pergi ke dapur."
Keduanyapun kemudian masuk kembali ke dalam bilik yang diperuntukkan bagi mereka.
Dari bilik itu mereka memasuki ruang di bangunan belakang itu langsung menuju ke pintu yang menghadap ke longkangan yang memisahkan bangunan induk itu dengan dapur.
Namun ternyata ada lorong khusus yang dilindungi dengan atap untuk menuju ke dapur menyeberangi longkangan yang tidak terlalu luas itu.
Namun di longkangan itu terdapat berbagai macam tanaman pohon bunga seperti sebuah taman.
Bunga soka merah jambu yang sedang berbunga lebat.
Ceplok piring yang bunganya putih bersih.
Yang baunya semerbak tajam sekali di malam hari.
Disudut longkangan terdapat sebatang pohon kemuning yang juga sendang berbunga.
Keduanya menarik nafas panjang.
Meskipun agak ragu, namun keduanyapun pergi juga ke dapur melalui sebuah pintu yang terbuka.
Keduanyapun kembali tercengang.
Dapur rumah itu adalah sebuah dapur yang luas.
Sayang pintu butulan di belakang agaknya sudah rusak, sehingga harus diganti dengan pintu yang lebih sederhana.
Namun didalam dapur itu terdapat perabot-perabot yang kebanyakan terbuat dari tembaga.
Dandang, tempa yang kendil dan berbagai jenis perabot yang lain.
Tetapi ada juga yang terbuat dari anyaman bambu.
Tetapi perabot-perabot anyaman bambu itu nampaknya masih belum lama dibuat.
Ki Sangli masih sibuk menyalakan api.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diatasnya di taruh sebuah tempayan.
Agaknya Ki Sangli sedang merebus air.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah menyibukan diri pula, membantu Ki Sangli bekerja di dapur.
Hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum sempat melihat-lihat berkeliling.
Ketika senja turun, serta setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mandi, maka mereka telah duduk di pringgitan bersama Kiai Namaskara dan Ki Sangli.
Di luar sadarnya, beberapa kali Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja bertanya, siapakah yang telah membuat rumah dengan perabot dan perhiasan yang mahal di tengah-tengah hutan di lereng Gunung Merapi itu.
Namun setiap kali Kiai Namaskara hanya menggelengkan kepalanya saja.
Setelah makan malam, serta berbincang-bincang sejenak, maka Kiai Namaskarapun mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk beristirahat.
"Silahkan ngger. Angger berdua tentu letih."
"Terima kasih. Kiai. Tetapi Kiai sendiri?"
Kiai Namaskara tersenyum. Katanya.
"Aku terbiasa tidur setelah lewat tengah malam, ngger."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah masih ke dalam bilik yang diperuntukkan bagi mereka.
Sebuah bilik yang terhitung luas.
Ada pintu ke ruang dalam, tetapi ada juga pintu ke serambi.
Di malam hari, maka pintu ke serambi itupun telah tertutup rapat dan diselarak dari dalam.
Glagah Putihpun telah menutup pintu yang menghadap ke ruang dalam serta menyelaraknya pula.
Berdua mereka ternyata tidak segera berbaring dipembaringan.
Mereka masih mengamati berbagai macam perhiasan serta perabot yang terbuat dari emas atau yang berlapis emas.
"Rasa-rasanya seperti di dunia mimpi,"
Berkata Glagah Putih. Rara Wulan mengangguk-angguk. Berkali-kali diusapnya sebuah patung gajah yang tentu juga terbuat dari emas. Sebuah geledag kayu berukir yang terletak di sudut ruangan, menebarkan bau kayu cendana pula.
"Sudahlah,"
Berkata Glagah Putih.
"sebaiknya kita beristirahat. Tetapi dalam keadaan yang tidak sepenuhnya kita mengerti, kita harus berhati-hati. Tidurlah. Nanti lewat tengah malam aku akan membangunkanmu,"
Berkata Glagah Putih .
Rara Wulanpun sependapat.
Karena itu, maka iapun segera berbaring dan mencoba untuk tidur.
Ia akan mendapat giliran berjaga-jaga didini hari menjelang pagi.
Sementara itu, Glagah Putih masih duduk di sebuah amben kayu yang agak panjang.
Juga berukir.
Tetapi amben kayu itu tidak terbuat dari kayu cendana.
Menilik jalur-jalur seratnya serta warnanya, agaknya amben kayu berukir itu dibuat dan kayu Sanakeling yang keras.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Rara Wulanpun tertidur nyenyak.
Ia merasa tenang karena Glagah Putih berjaga-jaga.
Rara Wulan itu mempercayai suaminya sepenuhnya.
Suaminya tentu akan melindunginya dengan ilmunya yang tinggi.
Glagah Putih masih duduk di amben kayu itu.
Dari kejauhan terdengar suara-suara malam di hutan yang lebat.
Glagah Putih juga mendengar aum harimau.
Tetapi aum harimau itu rasa-rasanya tidak menakutkan lagi.
Tidak terdengar sebagai ancaman seekor binatang buas yang lapar.
Tetapi sebagai isyarat keberadaan mereka di hutan itu dalam suasana yang damai.
Karena itu, Glagah Putihpun sama sekali tidak merasa cemas meskipun disadarinya, bahwa rumah itu berada di tengah-tengah hutan yang lebat.
Lewat tengah malam, maka sebelumnya Glagah Putih membangunkannya, Rara Wulan telah bangun dengan sendirinya.
Sambil menggeliat Rara Wulanpun duduk di bibir pembaringannya.
"Kakang masih duduk disitu sejak malam turun?"
Glagah Putih tersenyum sambil menjawab.
"Ya."
"Kakang tidak bergeser sejengkalpun?"
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya.
"Aku merasa nyaman duduk di amben kayu ini sambil mendengar suara-suara malam di tengah-tengah hutan. Aku mendengar cengkerik yang berderik, bilang dan burung-burung malam. Aku juga mendengar aum harimau di kejauhan. Tetapi tidak menegakkan bulu-bulu di tengkuku. Suara itu terdengar begitu bersahabat."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya.
"Jika kakang akan beristirahat, silahkan. Biarlah aku duduk di amben itu sampai fajar."
"Kau tidak usah berjaga-jaga, Rara. Tidak akan ada apa yang terjadi. Semuanya akan baik-baik saja."
Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya.
"bukan untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Tetapi aku harus membayar hutangku."
"Hutang apa?"
"Kau sudah terlanjur berjaga-jaga separo malam. Aku juga harus berjaga-jaga sampai pagi."
"Ah, itu tidak perlu."
"Biarlah aku mendengarkan suara-suara malam seperti yang kau dengar itu, kakang. Aku ingin. Sementara itu, kau harus beristirahat meskipun hanya sebentar."
"Aku akan berbaring disini saja. Di amben kayu ini."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Katanya.
"Tidak. Itu hakku sekarang. Kau harus pergi dari amben itu."
Glagah Putih tertawa.
Namun iapun kemudian bangkit dan berbaring di pembaringan, sementara Rara Wulan duduk diamben kayu sanakeling itu.
Tetapi Glagah Putih ternyata tidak segera tidur.
Meskipun ia tetap berbaring dipembaringan, namun ia masih saja mendengar suara-suara malam di hutan yang damai itu.
Malam itu tidak terjadi sesuatu.
Pagi-pagi sekali, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah bangun.
Namun ketika mereka pergi ke dapur, ternyata Ki Sangli sudah berada di dapur.
Ki Sangli tersenyum.
Katanya.
"Kalian sudah bangun sepati ini? Tidur sajalah lagi sampai matahari naik."
"Aku terbiasa bangun pagi-pagi Ki Sangli,"
Jawab Glagah Putih.
"demikian pula isteriku."
"Tetapi bukankah disini kalian berdua tetap saja tamu kami, sehingga kamipun harus memperlakukan kalian sebagai tamu?"
"Bukankah Kiai Namaskara dan Ki Sangli sudah berjanji bahwa kami akan dapat berbuat sebagaimana di rumah kami sendiri?"
Kiai Sangli tertawa.
Sementara itu, Rara Wulanpun segera membantu Ki Sangli bekerja di dapur, sementara Glagah Putih pergi menimba air mengisi jambangan di pakiwan.
Demikianlah, maka pada hari itu, Ki Sangli telah membawa Glagah Putih dan Rara Wulan melihat-lihat halaman samping, halaman belakang dan kebun dan rumah yang besar di tengah hutan itu.
Setelah makan pagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan bersama-sama dengan Ki Sangli di kebun belakang.
Kebun yang sejuk dengan berbagai macam pohon buah-buahan.
Sementara itu, di bawah pohon buah-buahan terdapat berbagai jenis tanaman empon-empon.
Terasa alangkah nyamannya tinggal di rumah itu.
Beberapa macam jenis buah-buahan ada di kebun itu.
Sementara itu berbagai macam burung berterbangan dan hinggap dan bahkan membuat sarangnya di dahan-dahan pohon.
Ketika Glagah Putih menengadahkan wajahnya, ia melihat sekelompok burung merpati yang terbang berkeling.
Namun tiba-tiba muncul sepasang burung alap-alap yang terbang agak tinggi di langit.
Glagah Putih menjadi berdebar-debar.
Burung merpati adalah buruan burung alap-alap.
Jika alap-alap itu lapar, maka alap-alap itu tentu akan memburu burung merpati itu sampai didapatkannya.
Tetapi ketika burung alap-alap itu terbang menyilang sekelompok burung merpati itu, tidak terjadi sesuatu.
Burung-burung merpati itu hanya menyibak seakan-akan memberi jalan kepada sepasang burung alap-alap itu.
Tetapi ala-alap itu sama sekali tidak mengganggu sekelompok burung merpati itu.
"Ada apa kakang?"
Bertanya Rara Wulan. Glagah Putih masih tetap menengadahkan wajahnya, sehingga Rara Wulanpun ikut pula memandangi langit.
"Burung itu.
"desis Glagah Putih.
"Alap-alap."
"Ya. Tetapi alap-alap itu tidak menerkam burung merpati yang terbang bergerombol."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Merekapun kemudian beranjak dari tempat mereka. Mereka masuk semakin jauh ke kebun belakang. Di kebun belakang terdapat sebuah kolam yang cukup luas. Didalam kolam itu terdapat berbagai jenis ikan.
"Ular itu mempunyai liang di bawah pohon besar itu.
"desis Rara Wulan.
"Ya."
"Ikan di kolam itu tidak akan dapat berkembang biak."
"Kenapa? "
"Ular itu tentu selalu makan ikan yang ada di kolam."
Ki Sangli menggeleng. Katanya.
"Tidak. Jika kita pergi ke sebelah kolam itu, kita akan melihat sejenis tumbuh-tumbuhan yang buahnya menjadi kegemaran ular. Walur."
"Walur? Bau bunganya tidak enak dan tajam sekali menusuk hidung."
"Ya. Tetapi itulah makanan ular."
"Bunga bangkai,"
Desis Rara Wulan.
"Ya. Bunga bangkai."
Merekapun kemudian berjalan lebih jauh ke dalam kebun. Ketika mereka mendekati dinding halaman belakang, maka Ki Sanglipun berkata.
"Kita akan melihat hutan di belakang dinding kebun itu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk. Hampir bersamaan mereka menjawab.
"Baik, Ki Sangli. Kita melihat hutan di belakang."
Lewat pintu butulan merekapun memasuki lingkungan hutan di belakang rumah yang besar itu.
Merekapun segera sampai di rawa-rawa yang ditumbuhi oleh berbagai macam tanaman perdu dan semak-semak.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut melihat beberapa ekor buaya yang meluncur dirawa-rawa itu.
"Buaya itu, Ki Sangli."
"Ya. Mereka akan makan."
"Makan apa?"
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum Ki Sangli menjawab, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat seekor rusa yang nampaknya ingin minuman air di rawa-rawa itu. Karena itu, maka Rara Wulanpun berkata dengan cemas.
"Rusa itu?"
"Kenapa?"
Bertanya Ki Sangli.
"Apakah buaya-buaya itu akan makan sepasang rusa itu?"
"Tidak. Buaya-buaya itu akan naik ke darat. Ada semacam buah yang mirip dengan semangka yang bertebaran di hutan. Buaya-buaya itu senang sekali makan buah sejenis semangka itu."
"Makan buah semangka?"
"Sejenis semangka, tetapi tidak manis. Pohonnya juga menjalar dan memenuhi lingkungan yang luas. Buahnya berserakan dimana-mana, sehingga buaya-buaya itu tidak akan kekurangan makan."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang.
Buaya-buaya itu memang tidak menghiraukan sepasang rusa yang minum dipinggir rawa-rawa itu.
Hari itu Glagah Putih banyak melihat keanehan-keanehan yang tidak masuk di akalnya.
Tidak ada permusuhan diantara berbagai jenis binatang yang ada di hutan itu.
Bahkan Ki Sangli telah menunjukkan pula, bagaimana seekor macan makan buah durian liar yang runtuh dari pohonnya.
Glagah Putih dan Rara Wulan sempat tertawa melihat seekor harimau menginjak buah durian yang sudah masak.
Durian itupun pecah dan harimau itu makan durian dengan lahapnya.
Hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan melihat hal-hal yang menakjubkan.
Yang tidak pernah dibayangkan terjadi.
Tetapi mereka sudah melihatnya.
Ketika kemudian malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulanpun duduk di ruang dalam bersama Kiai Namaskara dan Ki Sangli.
Setelah makan malam, maka merekapun berbincang-bincang tentang tentang banyak hal yang sulit dimengerti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Tidak ada benih permusuhan yang ditaburkan disini, ngger."
Berkata Kiai Namaskara.
"karena itu, diantara pepohonan hutan dan semak-semak yang lebat tidak ada sebatangpun pohon yang membuahkan kebencian, dendam dan permusuhan. Alampun telah menciptakan persahabatan di antara para penghuninya. Aku dan Ki Sangli tidak pernah tersuruk ke dalam nafsu keduniawian yang dapat menaburkan permusuhan di lingkungan ini. Kami hidup dalam suasana yang damai."
"Tetapi Kiai telah membawa kami ke dalam lingkungan yang bernafaskan kedamaian itu. Sedangkan kami merasa bahwa kami adalah sosok yang kotor dan akan dapat menodai tempat ini."
"Sudah aku katakan, ngger. Jika kalian terlibat dalam tindak kekerasan, dasarnya bukannya dendam dan kebencian. Tetapi kalian sedang menjaga kehormatan kalian."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk.
"Mudah-mudahan aku tidak salah langkah ngger. Meskipun bahwa angger berdua berbekal kemampuan olah kanuragan itu sudah merupakan cacat di dalam sikap damai angger berdua. Tetapi pada tangan yang baik, maka kemampuan itupun akan memancarkan sinar yang jernih."
"Aku mohon doa restu, Kiai. Mudah-mudahan kami berdua selalu mendapat bimbingan sehingga kami dapat meniti jalan yang dibenarkan."
"Ya, ngger. Kami akan selalu berdoa bagi angger suami isteri, agar angger tidak tergelincir di sepanjang jalan kehidupan.
"Terima kasih. Kiai,"
Sahut Glagah Putih. Namun kemudian Glagah Putih berkata.
"Kiai. Hari ini kami sudah melihat lingkungan yang tidak pernah terbayang di dalam benak kami. Tetapi kami akan bersaksi kepada banyak orang, bahwa lingkungan yang damai itu bukan sekedar ada diangan-angan."
"Bukankah angger baru sehari berada disini?"
"Sudah dua hari dua malam dengan malam nanti, Kiai. Aku kira sudah banyak yang kami lihat disini. Bahkan rasa-rasanya kami sudah melihat seisi hutan ini."
Kiai Namaskara itu tersenyum. Katanya.
"Baiklah. Jika angger besok akan meneruskan perjalanan. Tetapi angger harus berjanji."
"Berjanji apa Kiai?"
"Berjanji bahwa angger akan singgah disini lagi diperjalanan kembali dari Jati Anom."
Glagah Putih nampak menjadi ragu-ragu.
"Mungkin angger merencanakan untuk mengambil jalan lain. Tetapi aku minta angger singgah sekali lagi. Masih ada yang belum angger lihat. Justru cacat terbesar dari lingkungan ini. Jika angger bersedia, aku ingin angger membawanya keluar dari lingkungan yang damai ini. Tetapi dengan pesan, bahwa cacat itu tidak boleh jatuh ketangan siapapun juga, karena cacat itu akan dapat menjadi benih kebencian dan ke angkara murkaan jika berada di tangan yang salah."
"Apakah yang Kiai maksud dengan cacat itu?"
"Besok sajalah ngger. Pada saat angger singgah disini. Aku menyimpannya di atas pintu sentong tengah, disebuah peti kayu kecil yang terbuat dari kayu besi yang keras sekali."
"Kiai. Bagaimana pendapat Kiai jika yang Kiai maksud dengan cacat itu aku bawa besok pagi saja keluar dari lingkungan ini."
"Jangan ngger. Jika demikian, maka angger tidak akan pernah singgah disini lagi."
Glagah Putih memandang Rara Wulan sekilas.
Namun agaknya Rara Wulan tidak menunjukkan keberatannya untuk singgah di rumah itu pada perjalanan mereka kembali dari Jati Anom.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih juga tidur bergantian.
Bagaimanapun juga mereka tetap berhati-hati karena mereka merasa berada ditempat yang asing.
Namun malam itu, Glagah Putihlah yang tidur lebih dahulu.
Rara Wulanlah yang duduk di amben kayu bilik itu.
Ia masih saja mengagumi berbagai macam pajangan yang ada didalam bilik itu.
Patung seekor gajah yang terbuat dari emas itu masih saja menarik perhatiannya.
Di tengah malam, Glagah Putihpun terbangun sebelum Rara Wulan membangunkannya.
Di separo malam berikutnya, Rara Wulanlah yang tidur nyenyak.
Sementara Glagah Putih duduk di amben kayu sambil mendengarkan suara-suara malam yang sangat menarik.
Menjelang fajar, maka burung-burung liarpun mulai berkicau.
Suaranya nyaring lepas menerobos dedaunan hutan.
Kegembiraan terkesan pada kicaunya yang mengumandang.
Sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan bersiap-siap untuk meninggalkan rumah itu, meneruskan perjalanan ke Jati Anom.
"Kau akan berangkat pagi-pagi sekali ngger?"
Bertanya Kiai Namaskara.
"Ya, Kiai. Mumpung udaranya masih sejuk."
"Angger berdua,"
Berkata Kiai Namaskara.
"aku berterima kasih sekali atas kesediaan angger berdua singgah dan bahkan tinggal di rumah ini untuk dua malam. Aku merasa kerinduanku untuk berhubungan dengan sesama rasa-rasanya telah terobati. Karena itu, ngger. Aku ingin menyatakan terima kasihku tidak sekedar dengan kata-kata. Aku ingin memberi kenang-kenangan kepada angger berdua."
"Kenang-kenangan Kiai?"
"Ya, kenang-kenangan,"
Kiai Namaskara berhenti sejenak, lalu katanya selanjutnya.
"angger tahu, bahwa disini terdapat banyak sekali hiasan dinding serta pajangan yang terbuat dari emas. Ngger. Jika kau ingin bawalah seberapa angger berdua kehendaki. Disini benda-benda itu tidak akan ada artinya. Jika benda-benda berharga itu berada di tangan angger berdua, mungkin benda-benda itu akan mempunyai arti."
Kedua orang suami isteri itu menjadi tegang. Namun kemudian Glagah Putih menjawab.
"Maaf Kiai. Bukan maksud kami menolak pemberian Kiai yang tulus. Aku tahu, bahwa benda-benda berharga yang ada disini sudah menjadi milik Kiai. Tetapi kami berdua merasa bahwa kami tidak mempunyai hak untuk memiliki benda-benda berharga itu. Karena itu, Kiai. Maafkan kami bahwa kami tidak dapat menerimanya."
"Kenapa ngger. Bukankah benda-benda berharga ini sudah tidak ada yang memiliki lagi."
"Ya, Kiai. Seperti yang sudah aku katakan bahwa benda-benda berharga itu sudah menjadi milik Kiai. Tetapi rasa-rasanya aku akan dibenani oleh perasaan bersalah jika aku membawa satu atau dua benda-benda berharga yang terbuat dari emas itu."
"Tidak ngger. Kau tidak bersalah. Jika kepergian satu dua benda berharga itu merupakan satu kesalahan, biarlah aku yang menanggungnya."
"Biarlah benda-benda itu tetap berada di lingkungan dunia yang damai ini, Kiai. Selebihnya aku akan pergi mengembara. Jika aku membawa benda berharga, maka benda-benda berharga itu akan dapat menumbulkan persoalan bagi kami di perjalanan."
Kiai Namaskara menarik nafas panjang. Katanya.
"Baiklah ngger. Aku memang tidak berniat membebani perasaan bersalah bagi angger berdua. Karena itu jika benda-benda berharga itu akan dapat menimbulkan persoalan, baik karena gejolak jiwa angger berdua sendiri, maupun karena tingkah laku orang lain, biarlah benda-benda itu tetap berada disini. Tetapi pada suatu saat jika angger memerlukannya, aku persilahkan angger datang kepadaku."
"Baik Kiai. Dalam keadaan yang mendesak, kami akan menjumpai Kiai Namaskara lagi."
"Ada pesanku yang lain kepada kalian berdua ngger. Tempat ini adalah tempat yang harus tetap dirahasiakan. Karena itu, jangan katakan kepada siapapun juga. Jangan katakan kepada ayah angger, kepada sepupu angger dan kepada siapapun juga. Ingat-ingat itu ngger."
"Ya, Kiai. Kami tidak akan mengatakannya kepada siapapun juga. Kami berjanji. Karena itu pula, seandainya aku membawa benda-benda berharga dari tempat ini, apa yang harus aku katakan jika ada yang menanyakan darimana aku mendapatkannya."
"Ya, ya ngger. Angger benar. Mungkin dengan demikian angger akan dapat dituduh mendapatkan benda-benda berharga dengan cara yang tidak sah."
"Ya, Kiai."
"Baiklah ngger. Semoga kita dapat bertemu lagi."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera meninggalkan lingkungan yang tenang, tenteram dan damai itu.
Kiai Namaskara telah minta kepada Ki Sangli untuk mengantarkan keduanya sampai keluar hutan di lereng Gunung Merapi itu.
Di mulut lorong di hutan lereng Gunung Merapi itu, Ki Sangli berhenti.
Katanya.
"Selamat jalan angger berdua. Kami menunggu angger kembali dari Jati Anom."
"Ya, Ki Sangli. Kami sudah berjanji untuk singgah. Tetapi kami tidak tahu pasti, kapan kami akan kembali."
"Kapan saja, ngger. Kami menunggu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan Ki Sangli yang berdiri termangu-mangu.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling, mereka melihat dua ekor harimau berdiri termangu-mangu pula di sebelah menyebelah Ki Sangli.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun melihat beberapa ekor kijang menyembulkan kepalanya dari balik gerumbul di dekat kedua ekor harimau itu tanpa diganggu.
Kemudian seekor lembu melenguh, seakan-akan mengucapkan selamat jalan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
Di luar sadarnya, Glagah Putih dan Rara Wulan mengangkat tangannya melambai kepada Ki Sangli yang masih saja memandangi mereka.
Ternyata Ki Sanglipun telah melambaikan tangannya pula.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan menelusuri jalan setapak disela-sela batu-batu padas di lereng Gunung Merapi.
Mereka sama sekali tidak merasa cemas, bahwa mereka akan diganggu oleh seekor binatang buas.
Akhirnya keduanya turun ke jalan yang lebih besar.
Keduanyapun segera mengenali tempat itu.
Di tempat itu mereka berkelahi melawan dua belas anak muda bengal yang mengganggu mereka.
Dengan demikian, maka merekapun segera melanjutkan perjalanan mereka ke Jati Anom.
Perjalanan yang masih terhitung panjang.
Mumpung masih pagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mempercepat langkah mereka.
Beberapa lama mereka berjalan, Glagah Putih dan Rara Wulan itu berjalan semakin menjahui hutan itu.
Di perjalanan, keduanya tidak menjumpai hambatan apa-apa lagi.
Mereka tidak bertemu dengan binatang buas.
Tidak bertemu dengan anak-anak muda yang nakal dan tidak pula bertemu dengan penjahat yang akan menyamun mereka.
Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan yang langsung memasuki gerbang padepokan kecil di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Widura itu memang agak mengejutkan.
Ketika seorang cantrik memberitahukan bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan datang di padepokan, maka dengan tergesa-gesa Ki Widurapun menyongsong mereka.
"Marilah. Masuklah langsung ke ruang dalam bangunan utama,"
Ki Widura mempersilahkan. Keduanyapun kemudian langsung masuk ke ruang dalam. Namun Glagah-Putihpun kemudian berkata.
"Kita duduk di serambi saja ayah. Di dalam udaranya terasa terlalu panas."
"Baik. Baiklah. Jika kau ingin duduk di serambi, silahkan."
Mereka bertigapun kemudian duduk di sebuah amben yang agak besar di serambi.
"Kapan kau berangkat dari Tanah Perdikan? Pada saat seperti ini kau sudah berada di sini."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Glagah Putihpun menjawab.
"Aku berangkat dari Tanah Perdikan sudah dua hari yang lalu ayah."
"Dua hari yang lalu?"
"Ya."
"Jadi kemana saja kau selama ini?"
"Ayah,"
Berkata Glagah Putih yang sudah berjanji untuk tidak membuka rahasia tentang rumah di hutan lereng Gunung Merapi itu.
"aku telah memasuki kembali tugasku mencari tongkat baja putih yang di bawa oleh Ki Saba Lintang itu. Karena itu, aku mencoba menelusuri beberapa padukuhan di lereng Gunung Merapi."
"Kau temukan sesuatu yang berarti dalam tugasmu itu?"
"Tidak ayah."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Ki Widura itu bertanya tentang keselamatannya dan keselamatan seluruh keluarga di Tanah Perdikan.
"Semuanya baik-baik saja ayah."
Namun Glagah Putihpun kemudian telah bercerita tentang kedatangan seseorang yang mengaku masih mempunyai hubungan darah dengan Ki Gede.
"Namanya Ki Kapat Argajalu. Kedua orang anaknya laki-laki bernama Soma dan Tumpak."
Ki Widurapun mendengarkan cerita tentang peristiwa yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan dengan sungguh-sungguh "Aku sudah mendengar serba sedikit tentang peristiwa itu, Glagah Putih.
Kakangmu Untara juga sudah mendengarnya.
Tetapi belum terlalu jelas dan terperinci."
"Ternyata Ki Kapat Argajalu itu mempunyai hubungan dengan Ki Saba Lintang. Aku tidak tahu sejauh manakah hubungan mereka. Mungkin mereka sekedar berkenalan dan saling memanfaatkan. Mungkin dalam hubungan yang lain. Karena itu, maka aku dan Rara Wulan ingin mendengar lebih banyak tentang perguruan mereka."
"Apakah niatmu itu ada hubungannya dengan tugasmu melacak tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang?"
"Ya, ayah. Justru karena tugas itulah maka aku akan pergi ke Barat. Jika sekarang aku justru pergi ke Timur itu karena kakang Agung Sedayu minta aku mohon diri dan mohon doa restu ayah."
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya.
"Bagus. Kakakmu tidak penah melupakan doa restu orang tua. Tetapi bukankah kalian tidak terikat oleh waktu sehingga kalian dapat berada di sini beberapa hari? Mungkin kau akan pergi menemui kakangmu Untara dan kakangmu Swandaru."
Glagah Putih mengangguk. Katanya.
"Ya, ayah. Aku memang tidak terikat oleh waktu. Tetapi tentu saja kami tidak akan terlalu lama disini. Setelah aku bertemu dengan kakang Untara agaknya kami akan menempuh perjalanan kembali ke Barat."
Ki Widura mengangguk-angguk. Kepada Ki Widura Glagah Putih menunjukkan pertanda yang diterima dari Mataram yang dipakainya sebagai timang pada ikat pinggangnya.
"Kau mendapat kepercayaan yang tinggi Glagah Putih. Dengan demikian maka kita dapat menilai, bahwa tugas yang sedang kaujalani adalah tugas yang dianggap sangat penting, sehingga kau memperoleh wewenang yang luas."
"Ya, ayah. Agaknya tongkat baja putih itu diperhitungkan oleh para pemimpin di Mataram akan dapat menimbulkan gangguan yang sungguh-sungguh."
"Tongkat baja putih di tangan Ki Saba Lintang itu oleh beberapa orang pemimpin di Mataram akan dapat menimbulkan gangguan yang sungguh-sungguh."
"Tongkat baja putih di tangan Ki Saba Lintang itu oleh beberapa orang pemimpin di Mataram tentu dianggap sebagai bayangan Kangjeng Adipati Arya Penangsang yang merasa dirinya berhak atas tahta Demak pada waktu itu. Dengan tongkat baja putih itu, apalagi menjadi genap sepasang, maka Ki Saba Lintang akan dapat mempengaruhi banyak orang terutama pada garis keturunan mereka yang mendukung perjuangan Arya Penangsang. Ki Saba Lintang akan dapat mengungkit dendam disetrap jantung anak-anak yang merasa kehilangan ayahnya atau bahkan cucu-cucu yang kehilangan kakeknya. Bahkan tersisih dari lingkungannya karena mereka adalah keturunan orang-orang yang berada dalam kubu yang dikalahkan dan dianggap bersalah."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun pembicaraan itupun terputus ketika seorang cantrik menghidangkan minuman hangat serta makanan bagi mereka. Setelah minum dan makan makanan yang dihidangkan. Glagah Putihpun berkata.
"Kami akan pergi menemui kakang Untara, ayah."
"Jangan sekarang. Kalian dapat beristirahat hari ini. Besok pagi-pagi saja kalian pergi menemui Untara."
Glagah Putih memandang Rara Wulan sejenak. Namun agaknya Rara Wulan sependapat dengan mertuanya. Karena itu. maka Rara Wulanpun kemudian mengangguk. Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya.
"Rara Wulan agaknya setuju dengan usul ayah. Besok pagi saja kami akan menemui kakang Untara."
"Nah. Sekarang, beristirahatlah. Bilik bagi kalian sedang dibersihkan oleh para cantrik."
Demikianlah sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada didalam biliknya.
Namun bergantian keduanyapun segera pergi ke paki wan untuk mandi.
Menjelang senja, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan di halaman belakang padepokan kecil di Jati Anom itu ditemani oleh seorang cantrik.
Keduanya terkejut ketika mereka melihat dua ekor ayam jantang itu bertarung? "Kenapa kedua ekor ayam jantan itu bertarung?"
Bertanya Glagah Putih. Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menjawab.
"Keduanya memang sering bertarung. Kami sudah memisahkannya, seekor di sebelah Timur belumbang, seekor di sebelah Barat. Tetapi setiap kali keduanya ketemu, maka keduanya selalu saja berkelahi."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Wulanpun berdesis.
"Apakah mereka tidak dapat hidup dengan damai?"
Cantrik itupun kemudian berlari-lari mengusir kedua ekor ayam yang bertarung itu dengan melempar batu-batu kerikil.
"Kenapa tiba-tiba saja para cantrik dipadepokan ini berubah menjadi kasar?"
Bertanya Rara Wulan. Glagah Putih menggeleng sambil berdesis.
"Tidak. Mereka tidak berubah menjadi kasar. Mereka sama sekali tidak berubah. Tetapi pandangan kita terhadap merekalah yang justru berubah setelah kita berada di rumah Kiai Namaskara selama dua hari dua malam."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya.
"Ya Kitalah yang berubah."
Keduanyapun kemudian menjadi gelisah melihat dua ekor burung wulung terbang berputaran di atas halaman belakang padepokan.
Sementara itu, cantrik yang mengusir kedua ekor ayam jantang yang bertarung itu menggiring seekor induk ayam dengan tujuh ekor anaknya ke kandang.
"Masuk, masuk. Ada elang. Nanti anakmu di sambarnya."
Sambil mengangguk-angguk kecil Glagah Putih berkata.
"Sekarang kita berada di dunia yang sehari-hari kita huni."
"Ya,"
Rara Wulanpun mengangguk.
"Timang di ikat pinggangku inipun merupakan ciri dari dunia kita ini. Demikian pula tugas perjalanan kita."
"Ya."
"Kita sudah meninggalkan jejak kotor yang menodai rumah Kiai Namaskara."
"Bukankah itu atas kehendak Kiai Namaskara dapat salah memilih orang untuk singgah di dunia damainya."
Rara Wulan terdiam.
Keduanyapun kemudian berjalan menuju ke kandang domba yang berada disudut padepokan kecil itu.
Disekitar kandang domba itu dibuat pagar berkeliling agar domba-domba itu tidak berkeliaran kemana-mana.
Demikian keduanya serta seorang cantrik yang menyertai mereka sampai ke kandang, maka dilihatnya dua ekor domba jantan sedang berkelahi.
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan.
Dihutan di lereng Gunung Merapi, domba dan serigala serta harimau tidak pernah bertengkar.
Di padepokan ini sesama dombapun telah berkelahi.
Padepokan kecil ini bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, sebelum mereka singgah di rumah Kiai Namaskara, terasa sejuk, tenang dan ten-tram.
Namun ternyata bahwa padepokan kecil itu adalah padepokan yang hiruk pikuk.
Penuh pertengkaran dan bahkan perkelahian.
Tentu juga dapat terjadi saling membunuh antara berbagai jenis binatang.
Burung sikatan yang beterbangan di atas rerumputan itu tentu sedang mengintai bilalang untuk diterkam dan dimakannya.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan kandang itu, ketika cantrik yang menyertainya berusaha melerai domba yang berkelahi itu.
Namun beberapa saat kemudian, maka senjapun turun.
Keduanya pun kemudian telah kembali ke bangunan induk setelah mencuci kaki dan tangannya.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menceritakan, bahwa mereka telah berada di satu lingkungan yang terasa damai.
Di malam hari, ketika keduanya telah berada di bilik mereka, maka Glagah Putihpun berkata.
"Kita memang tidak dapat berbicara tentang lingkungan yang damai itu Rara. Bukan saja karena kita sudah berjanji untuk tidak mengatakan kepada siapapun juga, tetapi juga karena kita tidak pantas untuk membicarakannya. Jika besok kita pergi menemui kakang Untara, maka yang akan kita bicarakan adalah tindak kekerasan. Bukankah mencari dan kemudian mengambil tongkat baja putih itu juga satu tindak kekerasan terhadap sesama. Tentu Ki Saba Lintang tidak akan memberikan begitu saja. Mungkin kita akan berkelahi. Siapapun yang kalah atau menang, namun kekerasan itu sudah terjadi."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Malam itu, keduanyapun telah berbaring di pembaringannya bersama-sama. Mereka tidak merasa perlu untuk bergantian berjaga-jaga di padepokan kecil itu.
"Kita memang aneh, kakang,"
Berkata Rara Wulan.
"Apa yang aneh?"
"Dilingkungan yang tenteram dan damai kita menaruh curiga, sehingga salah seorang diantara kita harus berjaga-jaga. Tetapi sebaliknya di sini, dimana pertengkaran dan perkelahian terjadi, bahkan diantara binatang peliharaan yang sejenis, kita dapat tidur lelap bersama-sama."
Glagah Putih mengangguk. Katanya.
"Ya. Agaknya kita sudah mengenal tempat ini dengan baik. Kita percaya kepada para cantrik yang meronda dengan senjata di tangan mereka. Yang telah dengan tekun berlatih berkelahi sebagaimana kita lakukan."
Rara Wulan terdiam.
Meskipun demikian, meskipun mereka merasa berada di tempat yang aman bagi mereka, namun mereka tidak segera dapat tidur.
Baru menjelang tengah malam keduanya tertidur lelap.
Di hari berikutnya, keduanyapun telah pergi menemui Untara.
Seperti juga yang dikatakan kepada Ki Widura, Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri untuk melanjutkan pencariannya atas tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang.
"Jadi kau akan pergi ke Barat?"
Bertanya Untara.
"Ya, kakang. Kami mencium jejak Ki Saba Lintang di arah Barat."
"Ia tidak pernah berada di satu tempat untuk waktu yang lama."
"Kami akan mencoba Mungkin kami dapat menelusurinya."
Untara mengangguk-angguk.
Sementara itu Glagah Putihpun menceritakan pula peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan dengan rinci, yang mendorongnya untuk pergi ke arah Barat.
Ketika Glagah Putih menunjukkan pertanda yang diterimanya dari Mataram, maka seperti Widura, maka Untara itupun berkata.
"Kau mendapat kepercayaan yang sangat tinggi, Glagah Putih. Jika kau kehendaki, aku tidak dapat menolak menyediakan prajuritku bagi kepentingan tugasmu. Agaknya tongkat baja putih itu dianggap benda yang dapat menimbulkan bahaya yang sungguh-sungguh bagi Mataram."
"Ya, kakang. Karena benda itu adalah pertanda kepemimpinan sebuah perguruan yang besar dan disegani."
Untara menarik nafas panjang sambil berkata.
"Karena itu kau harus sangat berhati-hati."
"Ya, kakang. Kami akan sangat berhati-hati."
Untarapun kemudian memberikan pesan-pesan yang sangat berarti bagi Glagah Putih.
Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan mempunyai ilmu yang tinggi, namun Untara mempunyai pengalaman yang lebih luas, khususnya dalam mengemban tugas kenegaraan.
Glagah Putihpun sempat menemui Nyi Untara dan anaknya yang sudah menjadi semakin besar.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak terlalu lama berada di rumah kakak sepupunya.
Dari rumah Untara, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun pergi ke Sangkal Putung.
Namun mereka singgah sebentar di padepokan untuk meminjam dua ekor kuda.
Di sangkal Putung keduanya juga tidak terlalu lama.
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya sekedar datang untuk minta diri serta minta doa restu.
Di sore hari, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di padepokannya lagi.
Ketika malam turun, maka merekapun duduk di ruang dalam bangunan utama padepokan kecil itu.
Kepada Ki Widura, Glagah Putihpun mengatakan, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan akan minta diri di keesokan harinya.
"Begitu tergesa-gesa? Bukankah kalian tidak dibatasi waktu sehingga kalian dapat berangkat kapan saja?"
"Tetapi rasa-rasanya kami sudah menyia-nyiakan waktu ayah,"
Jawab Glagah Putih. Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya.
"Baiklah. Hati-hatilah diperjalanan. Tugasmu adalah tugas yang berat. Meskipun batasan yang diberikan kepada kalian cukup longgar, namun kalian tetap saja diikat oleh pertanggung-jawaban atas tugas kalian. Kalian tidak dapat melakukan tugas dengan seenaknya karena kalian tidak dibatasi oleh waktu serta keharusan untuk berhasil."
"Ya, ayah."
"Aku akan berdoa bagi kalian. Mudah-mudahan kalian selalu berada di bawah tuntunannya."
"Terima kasih ayah."
Demikianlah sambil makan malam, maka Ki Widura masih memberikan beberapa pesan. Bagaimanapun juga Ki Widura yang usianya menjadi semakin tua itu, telah menyimpan banyak sekali pengalaman di dalam dirinya. Namun akhirnya Ki Widura itupun berkata.
"Glagah Putih. Aku akan menjadi semakin tua. Seberapapun aku menghimpun ilmu, namun jika wadagku sudah tidak mampu mendukungnya, maka aku harus menghentikan segala kegiatan. Dalam keadaan yang demikian, diperlukan seseorang untuk melanjutkan tugasku disini. Kakangmu Agung Sedayu sekarang, yang merupakan murid utama dari perguruan Orang Bercambuk telah menjadi seorang prajurit. Ia akan mendaki kedudukannya dari satu tataran ke tataran berikutnya. Agaknya kita tidak dapat berharap agar Agung Sedayu bersedia memimpin padepokan kecil ini. Sementara itu, Swandaru sudah ditunggu oleh dua lingkungan yang sama-sama berharga baginya. Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Ia tahu arah pembicaraan ayahnya.
Orang yang masih belum terkait pada satu tugas tertentu adalah Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putih tidak menyahut.
Ia sengaja berdiam diri agar pembicaraan itu tidak berkepanjangan.
Seandainya ayahnya menyinggung tentang kemungkinan tentang pewarisan tugas di padepokan itu, ia akan mengalami kesulitan untuk menjawabnya.
Agaknya Ki Widura tidak mendesaknya.
Ki Widurapun belum berniat membicarakan dengan sungguh-sungguh kepemimpinan di padepokan itu.
Ia masih harus menunggu.
Jika Glagah Putih pada suatu saat mendapatkan kedudukan yang memberikan kemungkinan yang baik di masa depannya, maka ia tidak akan memaksa Glagah Putih untuk tetap tinggal di padepokan itu.
Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, maka Ki Widura telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk beristirahat.
"Besok kalian akan menempuh perjalanan panjang. Beristirahatlah."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, ayah. Besok kami akan bangun pagi-pagi. Kemudian kami akan pergi menelusuri jalan melingkar di kaki Gunung Merapi."
"Kau akan mengambil jalan pintas?"
"Ya. ayah."
"Kau akan singgah lagi di Tanah Perdikan Menoreh?"
"Tidak ayah. Tidak perlu. Kami sudah minta diri kepada keluarga di Tanah Perdikan Menoreh dan kepada Ki Gede."
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya.
"Baiklah. Sekarang tidurlah."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu telah pergi ke pembaringannya. Keduanyapun segera membaringkan dirinya di pembaringan.
"Tidurlah, Rara,"
Berkata Glagah Putih.
"besok kita berangkat pagi-pagi."
Tetapi Rara Wulan justru menyahut.
"Tidurlah kakang. Besok kita berangkat pagi-pagi."
Keduanya tertawa.
Namun beberapa saat kemudian, maka keduanyapun telah tertidur lelap.
Pagi-pagi sekali keduanya sudah terbangun.
Tetapi ternyata beberapa orang cantrik telah bangun lebih dahulu.
Bahkan nasi, sayur dan lauk-pauknya telah tersedia.
Masih mengepul.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan selesai berbenah diri, maka merekapun dipersilahkan untuk makan pagi.
"Kalian akan menempuh perjalanan panjang. Makanlah lebih dahulu."
"Terima kasih, ayah."
Setelah makan pagi dan setelah beristirahat sejenak, maka keduanyapun minta diri.
Sementara itu langitpun menjadi semakin terang.
Sebelum matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah siap untuk berangkat.
Para cantrik telah berada di halaman untuk mengucapkan selamat jalan.
Setelah Glagah Putih mencium tangan ayahnya, demikian pula Rara Wulan mencium tangan mertuanya, maka keduanyapun segera meninggalkan padepokan itu.
Di regol Glagah Putih dan Rara Wulan melambaikan tangan mereka kepada para cantrik yang melepasnya pergi meninggalkan padepokan.
Ketika Ki Widura menawarkan dua ekor kuda, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bersedia menerimanya.
Dengan nada rendah Glagah Putihpun berkata.
"Kami sengaja tidak membawa kuda, ayah."
"Sebenarnya kalian dapat berkuda ke Jati Anom. Kemudian kalian singgah lagi di Tanah Perdikan. Baru kemudian kalian pergi ke Barat dengan berjalan kaki."
"Banyak pengalaman yang kami jumpai di perjalanan, ayah,"
Jawab Glagah Putih.
Sesaat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan pintu gerbang padepokan.
Semakin lama menjadi semakin jauh.
Rasa-rasanya keduanya ingin berjalan lebih cepat lagi agar mereka segera sampai di rumah Ki Namaskara.
Keduanya tidak mengerti, kenapa mereka begitu didesak oleh keinginan untuk segera sampai di rumah yang penuh dengan kedamaian hati itu.
Perjalanan merekapun tidak terhenti.
Meskipun keringat mereka bagaikan diperas dari dalam tubuh mereka oleh teriknya sinar matahari serta langkah mereka yang rasa-rasanya agak tergesa-gesa, mereka rasa-rasanya tidak ingin untuk beristirahat.
Ketika mereka sudah melingkari kaki bukit dan mulai merayap di sisi Selatan, maka merekapun merasa bahwa mereka sudah akan sampai ke mulut lorong di sela-sela tebing berbatu padas yang menuju ke dalam hutan.
Beberapa saat kemudian, dari kejauhan mereka sudah melihat ciri-ciri dari mulut lorong itu.
Mereka melihat sebatang pohon yang besar.
Gumpalan-gumpalan batu padas yang besar serta beberapa ciri yang lain yang meyakinkan, bahwa mereka benar-benar telah sampai dimulut lorong.
Karena itu, ketika mereka sampai di celah-celah tebing berbatu padas yang mereka yakini sebagai lorong yang akan membawa mereka memasuki hutan itu, maka merekapun segera berbelok.
Mula-mula mereka tidak begitu menghiraukan keadaan di sebelah-menyebelah mereka.
Baru kemudian Rara Wulan berdesis.
"Apakah kita tidak keliru, kakang."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya.
"Menilik ciri-cirinya, lorong inilah yang menuju langsung ke rumah Kiai Namaskara."
"Tetapi sebagaimana kakang lihat, disebelah menyebelah jalan ini telah ditumbuhi semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu. Bahkan ada tumbuh-tumbuhan yang berduri."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak.
Diamatinya lorong sempit yang menuju ke rumah Kiai Namaskara yang berada di hutan di lereng Gunung Merapi itu.
Memang agak aneh, baru dua hari yang lalu Glagah Putih dan Rara Wulan melewati jalan itu.
Namun tiba-tiba saja semuanya seakan-akan sudah berubah sama sekali.
Namun mereka berjalan terus.
Semakin jauh mereka berjalan memasuki lorong itu, merekapun semakin yakin, bahwa jalan yang mereka lalui dua hari yang lalu adalah lorong itu pula.
Tetapi tentu tidak mungkin, bahwa dalam waktu dua hari di lorong itu dan disebelah menyebelah, pada tebing yang berbatu padas telah tumbuh semak-semak belukar yang begitu lebat.
Tetapi apa yang mereka saksikan ternyata seperti itu.
Namun keduanya berjalan terus.
Mereka menyusuri lorong yang sempit itu semakin mendekati hutan lereng Gunung Merapi itu.
Keduanya menjadi semakin heran ketika mereka sampai di pinggir hutan.
Meskipun mereka masih dapat mengenali tempat itu, namun rasa-rasanya segala-galanya sudah berubah.
Perubahan yang tidak masuk di nalar mereka, jika itu terjadi hanya dalam waktu dua hari.
Beberapa dahan patah yang saling menyilang.
Semak-semak berduri pepohonan merambat yang membelit pepohonan hampir sampai ke puncak.
"Apa yang telah terjadi dalam dua hari ini,"
Desis Glagah Putih.
"Tempat ini justru terasa sangat mengerikan,"
Berkata Rara Wulan.
Tetapi mereka tidak mengurungkan niatnya.
Merekapun segera memasuki lorong menuju ke rumah Kiai Namaskara.
Beberapa lama mereka berjalan diantara tetumbuhan raksasa yang dibawahnya penuh dengan belukar.
Mereka harus menyibak gerumbul-gerumbul yang diantaranya berduri.
"Jalan ini yang kita lalui dua hari yang lalu, tetapi tidak seperti ini,"
Berkata Rara Wulan.
"Ya. Tidak seperti ini dan tidak mungkin berubah seperti ini."
"Tetapi kita menghadapi kenyataan ini, kakang."
"Ya. Kita menghadapi kenyataan ini."
Keduanyapun berjalan terus. Mereka tidak menghiraukan tubuh mereka yang tergores-gores duri. Tiba-tiba saja keduanya tertegun. Mereka sudah menjadi semakin dekat rumah Kiai Namaskara. Merekapun sudah melihat gerbang halaman rumah Kiai Namaskara itu.
"Itu pintu gerbangnya kakang,"
Berkata Rara Wulan.
"Ya. Itu pintu gerbangnya."
Tetapi jantung kedua orang suami isteri itu terasa berdegup semakin keras. Mereka melihat pintu di gerbang itu sudah pecah dan roboh. Bahkan uger-ugernyapun sudah lapuk serta tulang-tulang atap pintu gerbang itu sudah berpatahan.
"Bagaimana mungkin. Bagaimana mungkin. Pintu gerbang itu memang sudah rusak. Tetapi sudah diperbaiki meskipun dengan bahan dan buatan yang tidak dapat menyamai aslinya,"
Gumam Glagah Putih. Tetapi justru karena itu, maka keduanya seakan-akan didorong untuk segera masuk ke halaman. Keduanya memang agak sulit melewati pintu gerbang yang rusak itu. Mereka harus melangkahi beberapa potong kayu yang terbujur lintang.
"Aku masih melihat ukiran dan bekas sungging pada pintu gerbang itu,"
Berkata Glagah Putih.
"Ya. Tetapi sudah sangat rusak."
Demikian mereka memasuki halaman rumah itu, keduanya tegak mematung.
Justru jantung mereka serasa berhenti berdetak.
Halaman yang mereka hadapi adalah halaman yang luas seperti yang pernah mereka lihat.
Tetapi dipenuhi oleh batang ilalang dan belukar yang lebat.
Bahkan disana-sini telah tumbuh beberapa batang pohon yang cukup besar.
"Apa artinya ini?"
Desis Rara Wulan.
"Rumah itu,"
Berkata Glagah Putih dengan suara serak. Rumah yang berdiri di depan mereka adalah rumah yang sudah separo roboh. Menilik bekasnya, rumah yang roboh itu adalah rumah yang besar, sebagaimana pernah mereka lihat dua hari yang lalu.
"Jika aku bermimpi, Rara, kenapa mimpi kita sejalan? Bukankah itu tidak mungkin?"
"Ya. Tentu bukan mimpi."
Meskipun jantung mereka berdebaran, namun keduanya melangkah di sela-sela belukar yang tumbuh di halaman menuju ke tangga rumah yang besar, tetapi sudah separo roboh itu.
"Didalamnya ada beberapa perhiasan dinding yang terbuat dari emas,"
Berkata Rara Wulan.
Glagah Putih tidak menjawab.
Sejenak kemudian, keduanya telah naik ke pendapa.
Sejenak mereka berdiri termangu-mangu.
Mereka mengenali semua yang ada dan tersisa di rumah itu.
Mereka mengenali lantainya, tiang-tiangnya yang masih berdiri.
Ukirannya, sunggingannya yang sudah hampir tidak nampak lagi, gebyoknya yang sudah roboh dan bagian-bagian yang lain.
Ketika mereka berusaha untuk masuk ke ruang dalam mereka terkejut oleh aum seekor harimau.
Dengan serta mereka berpaling.
Aum harimau itu di telinga mereka terdengar jauh berbeda dengan aum harimau dua hari yang lalu.
Sebenarnyalah bulu-bulu tengkuk mereka meremang.
Glagah Putih dan Rara Wulan itu melihat dua ekor harimau memburu seekor kijang.
Didepan rumah itu, seekor diantara kedua harimau itu berhasil menerkam kijang itu, serta mencengkeramnya dengan kuku dan giginya yang tajam.
Sementara itu yang lainpun ikut pula menggigit tengkuknya, sehingga kijang itu hanya dapat menggebat.
Terdengar kijang itu memekik pendek.
Namun kemudian terdiam.
Darah mengucur dari lukanya.
Sementara itu, kedua ekor harimau itu telah membawa kijang itu masuk ke dalam semak-semak belukar.
"Sekarang kita berada di dunia kita, Rara,"
Berkata Glagah Putih.
"Jadi, dua hari yang lalu, kita berada di mana?"
Glagah Putih menggeleng. Katanya.
"Aku tidak tahu. Aku tidak dapat mengatakannya."
Namun keduanyapun masuk lebih dalam lagi di reruntuhan rumah itu.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun mereka sama sekali tidak lagi menemukan perhiasan-perhiasan dari emas.
Tidak secuwilpun.
Bahkan ketika mereka masuk ke dalam dapur, yang mereka temukan hanyalah bekas tungku yang sudah rusak.
Tidak ada perabot apapun yang terbuat dari tembaga atau dari anyaman bambu.
"Kita lihat, apakah bekas bilik yang kita pergunakan itu masih ada."
Keduanyapun kemudian pergi ke ruang dalam. Ternyata mereka masih dapat mengenali pintu yang masuk kedalam bilik yang mereka pergunakan. Tetapi bilik itu sendiri sudah berada dibawah reruntuhan tulang-tulang dari bangunan joglo yang besar itu.
"Tidak ada yang tersisa,"
Desis Glagah Putih.
"demikian pula bilik disebelahnya."
"Apakah Kiai Namaskara terkena kutukan karena kita berdua yang kotor ini singgah disini?"
Desis Rara Wulan.
"Apakah kita harus menyalahkan diri kita sendiri?"
Rara Wulan terdiam. Namun tiba-tiba Glagah Putih teringat.
"Rara Wulan. Ketika kita akan pergi, Kiai Namaskara akan menitipkan sesuatu yang merupakan cacat di tempat ini."
"Ya. Kenapa kita tidak membawanya ketika itu. Jika kita membawanya mungkin tempat ini tidak akan menjadi reruntuhan seperti ini."
"Kiai Namaskara tidak memperkenankan."
Keduanya terdiam sesaat. Namun Glagah Putih kemudian berkata.
"Bukankah waktu itu Kiai Namaskara mengatakan, bahwa benda yang menjadikan tempat ini cacat itu berada di atas pintu sentong tengah, di dalam sebuah peti kayu."
"Kita akan melihatnya, kakang. Mungkin benda yang dimaksud oleh Kiai Namaskara itu masih ada. Mungkin cacat itupun yang telah menyebabkan rumah ini menjadi reruntuhan. Lingkungan yang sejuk damai ini menjadi lingkungan yang keras dan liar."
Keduanyapun kemudian menyusup diantara kayu-kayu yang patah ke pintu sentong tengah.
"Pintu sentong tengah itu masih berdiri, kakang,"
Desis Rara Wulan.
Keduanyapun kemudian mendekati pintu sentong tengah.
Masih nampak sisa-sisa kain yang menyekat sentong tengah itu.
Kain sutera yang halus.
Namun yang sudah terkoyak-koyak dan berwarna debu.
Dengan hati-hati Glagah Putih masuk ke dalam sentong tengah itu.
Ketika ia menyingkap papan kayu di atas pintu itu, maka sebuah kotak kayu telah terbuka.
Di dalamnya terdapat sebuah peti yang lebih kecil berwarna kehitam-hitaman.
Kayu besi.
"Peti itu ternyata benar-benar ada Rara,"
Berkata Glagah Putih.
Jantung Rara Wulanpun menjadi berdebar-debar.
Ketika Glagah Putih dengan hati-hati pula kembali ke ruang tengah, maka Rara Wulanpun segera mendekatinya.
Rara Wulan termangu-mangu melihat sebuah peti kayu yang berwarna hitam dan kotor oleh debu yang tebal.
"Apa isinya kakang?"
Bertanya Rara Wulan.
Keduanyapun kemudian membawa peti itu ke pringgitan yang sebagian juga sudah menjadi reruntuhan.
Di pringgitan keduanya berjongkok.
Glagah Putih dengan hati-hati membuka peti kayu yang terbuat dari kayu besi itu.
Demikian peti itu terbuka, keduanya terkejut.
Keduanya melihat sebuah kitab yang masih utuh dan bersih berada di dalam kotak kayu besi itu.
"Kitab kakang. Kitab apa?"
Glagah Putih merasa ragu. Namun kemudian kitab itu diambilnya. Dengan hati-hati pula kitab itupun kemudian dibuka.
"Elmu kanuragan,"
Desis Glagah Putih.
"Kitab tentang ilmu kanuragan?"
Bertanya Rara Wulan.
"Ya."
Rara Wulan menarik nafas. Sementara itu, Glagah Putihpun berkata.
"Itulah agaknya kenapa Ki Namaskara berpesan, agar yang harus disingkirkan dari rumah ini tidak jatuh ketangan siapapun juga, karena akan dapat menimbulkan kebencian, ketamakan dan keangkaramurkaan jika berada di tangan yang salah."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar iapun berkata.
"Ternyata bukan kita yang membuat tempat ini terkutuk, Rara. Tetapi Ki Namaskara sendiri. Ia datang ke dunia yang penuh kedamaian dengan membawa sebuah kitab yang berisi pengetahuan tentang ilmu kanuragan."
"Jika kitab itu kita bawa keluar dari tempat ini, apakah tempat ini akan dapat kembali menjadi istana kedamaian?"
Glagah Putih menggeleng. Katanya.
"Tidak Rara. Tempat ini sudah ternoda. Penghuni tempat inilah yang sudah menodai kedamaian dari dunia yang dihuninya. Sebenarnyalah bahwa peran penghuninya ikut menentukan, seandainya tersedia bagi kita dunia yang damai."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak.
Dilontarkannya pandangan matanya ke kejauhan.
Ditatapnya pepohonan raksasa di lebatnya hutan disekitar rumah yang besar tetapi sebagian sudah menjadi reruntuhan yang terletak di halaman yang luas.
Tetapi sebagian besar dinding halamannyapun telah roboh dan retak-retak.
"Kita tidak dapat tinggal di tempat ini terlalu lama, Rara. Kita harus keluar."
"Kita tidak dapat berjalan melenggang seperti yang seakan-akan pernah kita lakukan itu, kakang. Di dunia kita sekarang ini, mungkin sekali kita akan bertemu dengan binatang buas."
"Ya."
"Lalu bagaimana dengan kitab itu."
"Kita penuhi pesan Kiai Namaskara. Kita bawa kitab itu keluar dari tempat ini."
"Jika tidak boleh ada orang yang memilikinya, apakah tidak sebaiknya kitab itu kita musnahkan saja?"
"Tetapi Kiai Namaskara mempunyai pandangan lain terhadap kita berdua. Bukan berarti bahwa kita berdua tidak cacat. Tetapi diantara sekian banyak orang yang dipilih oleh Kiai Namaskara, agaknya pilihan itu jatuh kepada kita berdua. Karena itu, menurut pendapatku Rara, kita berdua berhak memiliki kitab itu. Kita tidak termasuk siapa-siapa yang mungkin justru akan terjerumus ke dalam sikap yang penuh dengan kebencian dan angkara murka."
Rara Wulan terdiam. Agaknya ia sedang merenungi peristiwa yang membuatnya merasa sangat bodoh menanggapi berbagai matra kehidupan.
"Kita telah bermimpi dua hari yang lalu, kakang."
"Apakah kita bermimpi selama dua hari dua malam dengan mimpi yang sejalan?"
"Apakah benar bahwa kita telah menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh sampai ke Jati Anom dan terhenti dua hari dua malam disini?"
Glagah Putih mengusap keringat di keningnya. Sementara itu Rara Wulanpun berdesis.
"Kita tidak akan dapat memecahkan rahasia ini, kakang."
"Aku setuju, Rara Wulan. Karena itu, kita tidak usah berusaha menyingkapnya. Mungkin pada suatu saat kita akan mendapatkan setidak-tidaknya dugaan-dugaan tentang keberadaan rumah ini."
"Ya, kakang."
"Mungkin pula kita dapat mengambil kesimpulan, seandainya disediakan bagi kita lingkungan yang damai seperti bayangan yang pernah hidup di hati kita itu, segala sesuatunya juga tergantung kepada penghuninya. Apakah penghuninya itu menodai atau tidak lingkungan yang tidak kita temui dalam dunia kita sehari-hari."
"Dunia yang sudah dikotori oleh segala macam nafsu manusia."
"Seperti kita. Bahwa kita berusaha membekali diri kita dengan ilmu kanuragan, adalah pertanda bahwa darah kita sudah dikotori oleh nafsu kekerasan."
"Mungkin kita dapat sedikit menenangkan hati kita, bahwa kita tidak mempergunakan ilmu dan kemampuan itu untuk tujuan yang bertentangan dengan kebaikan dalam arti yang luas."
"Untuk itu kita harus selalu berdoa Rara. Kita harus selalu ingat, tentang diri kita. darimana kita datang dan kemana kita pergi. Seandainya kita merasa terpilih oleh Kiai Namaskara dalam pemanjaan nafsunya terhadap kekerasan, semoga kita dapat menempatkan diri kita sebagai yang baik diantara yang buruk itu."
Keduanyapun terdiam untuk beberapa saat. Namun kemudian Glagah Putihpun berkata.
"Kita akan membawa kitab ini keluar dari lingkungan yang bagi kita masih diselubungi oleh tabir rahasia ini."
"Aku sependapat kakang."
"Nah. marilah. Tetapi kita harus mempersiapkan diri kita. Sekarang kita berpijak pada kenyataan yang kita hadapi sehari-hari di bumi kita."
Rara Wulan mengangguk.
Demikianlah, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri.
Sekali lagi mereka memperhatikan bangunan yang sudah rusak itu.
Keheranan dan buramnya kabut rahasia terasa semakin mencengkam mereka.
Apalagi ketika mereka melihat, bekas-bekas hiasan dinding yang nampak di dinding yang sudah rapuh itu.
Tetapi keduanyapun segera bersiap untuk meninggalkan tempat itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiri di tangga pendapa.
Mereka tidak bergerak sama sekali ketika melihat seekor ular bandotan, yang bisanya sulit untuk dilawan, sebesar betis orang dewasa, merayap di depan mereka.
Baru setelah ular itu hilang di reruntuhan, maka keduanyapun beranjak turun dari tangga pendapa.
Beberapa saat kemudian, merekapun meninggalkan rumah yang sudah menjadi rapuh itu.
Mereka menyusup gerbang halaman, lalu menyusuri jalan di hutan yang lebat itu.
Rara Wulan yang juga merasa gelisah, telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya.
Disiapkanya selendangnya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Beberapa lama mereka berjalan diantara pepohonan hutan.
Diantara semak belukar yang kadang-kadang berduri.
Sulur-sulur pepohonan dan batang-batang yang merambat membelit pohon-pohon raksasa.
Keduanyapun terkejut ketika tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan segerombolan anjing hutan.
Beberapa ekor anjing hutan menyembul dari balik gerumbul.
Anjing-anjing itu menggeram sambil menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang tajam.
"Hati-hati Rara,"
Desis Glagah Putih.
"lebih baik kita bertemu dengan dua ekor harimau daripada segerombolan anjing hutan."
Tetapi segerombolan anjing hutan itu sudah berada di sekitar mereka.
Bukan anjing hutan yang bersikap baik dan bersahabat.
Tetapi anjing hutan yang garang, buas dan liar.
Namun Glagah Putihpun telah bersiap dengan ikat pinggangnya, sementara Rara Wulan telah memutar selendangnya.
Karena itu ketika anjing hutan yang pertama meloncat menerkam, maka anjing itupun segera terlempar.
Perutnya terkoyak oleh selendang Rara Wulan.
Anjing berikutnya, kepalanya telah dipecahkan oleh ikat pinggang Glagah Putih.
Demikian pula anjing-anjing yang menyerang berikutnya.
Jilid 358 SELENDANG Rara Wulan dan ikat pinggang Glagah Putihpun telah berputar seperti baling-baling.
Beberapa ekor anjing hutanpun telah terbunuh.
Bangkainya berserakan di sekitar arena pertempuran itu, sehingga akhirn a an'ing hutan yang tersisapun segera melarikan diri.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun termangu-mangu sejenak.
Glagah Putih yang mendekati isterinya itupun bertanya.
Bagaimana keadaanmu Rara. Kau baik-baik saja?"
"Marilah lata tinggalkan tempat ini."
Keduanyapun segera beranjak pergi.
Sementara itu, segerombolan anjing hutan yang tersisa ternyata telah kembali lagi.
Mereka tertarik oleh bau darah sesamanya yang terluka dan terbunuh.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun berjalan secepatnya meninggalkan tempat itu.
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai ke tepi hutan.
Mereka memasuki lorong di padang perdu yang berbatu-batu padas.
Beberapa tebing yang miring berada di sebelah menyebelah lorong sempit yang panjang.
Disebelah menyebelah, nampak tumbuh gerumbul-gerum-bul yang liar.
Semak-semak yang menggores kaki dengan duri-durinya yang tajam.
Baru beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah sampai di mulut lorong itu.
Mereka segera turun ke jalan kecil yang mereka lalui pada saat mereka berangkat ke Jati Anom.
Di jalan itu pula mereka telah berkelahi dengan aiak-anak muda yang telah mengganggu mereka di perjalanan.
Demikian mereka mengusir anak-anak muda yang mengganggu mereka itu, mereka telah bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya Kiai Namaskara.
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian merekapun melanjutkan perjalanan mereka, setelah Rara Wulan membenahi pakaiannya, sehingga Rara Wulan itu telah mengenakan pakaiannya dengan wajar sebagaimana seorang perempuan.
Meskipun pakaiannya kotor dan kusut, tetapi Rara Wulan nampak benar-benar seorang perempuan.
Keduanyapun kemudian telah menempuh jalan yang berlawanan dengan perjalanan mereka pada saat mereka berangkat ke Jati Anom.
Namun mereka tidak lagi berniat berjalan lewat didepan kedai yang berada tidak jauh dari sebuah sendang itu.
Karena itu, maka Glagah Putihpun telah mencari jalan lain.
Mereka mengambil jalan yang berada di lereng yang sedikit lebih tinggi di kaki Gunung Merapi, sehingga dengan demikian, udarapun terasa lebih sejuk dari daerah yang letaknya lebih rendah di kaki Gunung Merapi.
Dengan demikian, maka lingkungan yang mereka laluipun terasa menjadi semakin sepi.
Mereka menjadi semakin jarang melewat padukuhan-padukuhan.
Ketika matahari menjadi semakin rendah disisi Barat, maka Rara Wulanpun telah mengajak Glagah Putih untuk beristirahat.
"Kita lihat kitab itu, kakang?"
Glagah Putihpun meletakkan peti kecil itu. Kemudian diambilnya sebuah kitab yang seakan-akan masih baru kemarin di tulis diatas kertas yang putih buram.
"Tuntunan olah kanuragan, Rara - berkata Glagah Putih sambil membuka kitab itu.
"Tuntunan olah kanuragan macam apa kakang."
Glagah Putihpun membaca sekilas. Kemudian katanya "
Tuntunan untuk memahami satu jenis ilmu. Tetapi ada syaratnya bagi mereka yang ingin mempelajarinya."
Syarat?"
"Ya."
"Harus sepasang suami isteri. Yang terbaik adalah mereka yang belum mempunyai anak. Harus seorang yang sudah memiliki landasan ilmu kanuragan. Sedangkan syarat yang terberat adalah, mengabdikan ilmu yang dipelajarinya itu kebaikan dalam arti yang luas."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya "
Apakah kita memenuhi persyaratan itu? "Syarat-syarat lahiriah telah kita penuhi.
Tetapi apakah kita akan mampu mengabdikan ilmu itu bagi kebaikan? - lalu katanya - Aku belum membaca dengan rinci Rara.
Kita akan mempelajari pengantar kitab itu sebelum kita menyatakan diri, apakah kita pantas mempelajari ijmu yang tersirat dari isi kitab itu."
"Kita memerlukan waktu dan keadaan yang khusus."
"Bukankah kita tidak dibatasi oleh waktu? Seandainya kita berhenti untuk dua atau tiga hari, untuk membaca dan mempelajari pengantar dari kitab itu, bukankah kita tidak akan dapat dianggap bersalah?"
"Ya, Rara. Aku mengerti maksudmu."
"Nah, kakang. Kita akan berhenti dua atau tiga hari."
"Dimana? Bukankah kita memerlukan tempat untuk melakukannya?"
Rara Wulan menarik nafas panjang.
Mereka tidak akan dapat kembali ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mendapatkan waktu dan tempat selama dua atau tiga hari.
Tentu mereka akan mendapat berbagai macam pertanyaan.
Apalagi jika dalam waktu dua atau tiga hari itu mereka tenggelam di dalam sanggar.
Selagi mereka termangu-mangu, maka tiba-tiba saja Glagah Putih mendapat gagasan - Kita akan berjalan terus, Rara.
Kita akan melingkari kaki gunung ini.
Disisi Barat kita akan turun dan mencari tempat yang ramai.
Jika kita menemukan sebuah rumah penginapan yang biasanya terdapat didekat pasar-pasar yang besar, Kita akan berada di penginapan itu dua atau tiga hari.
Kita akan melakukan sedikit kegiatan di pasar di pagi hari.
Kemudian, jika matahari menjadi semakin tinggi, maka kita akan berada di bilik penginapan itu."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya - Baiklah, kakang. Kita akan mencobanya."
Demikianlah, keduanyapun segera melanjutkan perjalanan. Ketika mereka menjumpai sebuah kedai yang masih membuka pintunya, maka merekapun singgah untuk membeli minum dan makan.
"Tinggal nasi megana, ngger - berkata perempuan yang berjualan di kedai yang tidak begitu besar itu.
"Megana?- ulang Rara Wulan dengan agak ragu. Agaknya pemilik kedai itu mengerti, apa yang dipikirkan oleh Rara Wulan. Karena itu, maka iapun berkata - Tetapi bukan megana yang aku buat dini hari tadi. Megana yang ini iku buat di tengah hari. Aku tidak pernah menjual barang way u."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Agaknya sikapnya agak menyinggung perasaan perempuan pemilik kedai itu. Karena itu, maka iapun berkata - Maaf, bibi. Bukan maksudku berprasangka."
"Jika kau mau makan duduklah."
"Ya, bi - jawab Rara Wulan sambil menggamit suaminya. Keduanyapun kemudian duduk di kedai yang terasa sempit itu. Selain mereka berdua, tidak ada lagi orang lain yang berada di kedai itu. Baru kemudian dua orang yang lewat berhenti dan singgah pula di kedai itu. Sejenak kemudian, telah dihidangkan dua mangkuk minuman hangat dan dua pincuk nasi megana. Ternyata megana yang dibuat oleh perempuan itu termasuk megana yang enak. Kedua orang yang masuk ke kedai itu kemudian juga memesan dua pincuk nasi megana dan dua mangkuk minuman hangat.
"Lama kalian tidak singgah - berkata perempuan itu kepada kedua orang yang datang kemudian.
"Sudah agak lama aku tidak lewat jalan ini, Yu."
"Kenapa?"
"Sejak isteriku melahirkan, aku lebih banyak di rumah. Baru beberapa hari ini aku mulai kerja lagi. Hari ini aku mendapat pekerjaan di padukuhan sebelah. Aku segera teringat nasi meganamu, Yu. Karena itu, aku memerlukan singgah."
"Kau kerja apa di padukuhan sebelah."
"Memotong pohon beringin di simpang ampat itu."
"Kau berani melakukannya?"
"Aku sudah nglakoni sepasar yu. Mengurangi makan dan mengurangi tidur. Selama sepasar itu aku setiap malam tidur dibawah pohon beringin itu. Agaknya tirakatku membuat udara menjadi panas sehingga penghuni beringin itu pergi. Aku sudah mendapat ijin pula untuk memotongnya. Hari ini aku mulai menebas dahan-dahannya. Dalam tiga hari ini agaknya aku baru dapat menyelesaikan kerja itu."
"Jadi dalam tiga hari ini kau akan selalu datang kemari?"
"Agaknya begitu, Yu."
"Berapa orang kalian kerjakan kerja kalian itu ?"
"Kami berdua saja, Yu."
"Berdua saja?"
"Ya. Bukankah sudah pekerjaan kami? "
Perempuan itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja perempuan itu bertanya kepada Rara Wulan -Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, nduk. Juga laki-laki yang berjalan bersamamu itu."
"Kami memang belum pernah lewat jalan ini, bibi. Laki-laki ini adalah suamiku."
"Kau sekarang mau pergi ke mana?"
"Aku dan suamiku adalah pengembara yang berjalan saja mengikuti langkah kakiku."
"Kau pernah nonton wayang?"
"Maksud bibi?"
"Jawabmu seperti jawaban tokoh wayang yang bertemu dan ditanya oleh raksasa di tengah jalan."
Rara Wulan tersenyum.
Tetapi perempuan penjual nasi itu tidak tersenyum.
Untuk beberapa saat perempuan itu tidak bertanya apa-apa lagi.
Sementara itu Rara Wulan dan Glagah Putih sibuk dengan nasi megananya.
Namun tiba-tiba saja perempuan itu berbicara dengan kedua orang yang datang kemudian - Siapa yang memerintahkan menebang pohon beringin itu?"
"Ki Bekel, Yu"
"Kenapa pohon itu ditebang?"
"Pohon itu sudah terlalu tua. Ketika beberapa hari yang lalu ada angin yang agak besar, dahannya patah dan hampir saja menimpa seorang anak yang baru pulang menggiring kambingnya yang baru saja di gembalakannya. Sementara itu dahan-dahan yang lainpun juga sudah semakin rapuh."
"Kau kenal baik dengan Ki Bekel?"
"Ya"
"Kau tahu tabiatnya?"
Orang itu menarik nafas panjang. Di luar sadarnya orang itu memandang Rara Wulan sekilas. Namun kemudian orang itu menggeleng -Tidak, Yu. Aku tidak mengenal banyak tentang Ki Bekel itu."
"Kau bohong."
"Seandainya aku mengenalnya, aku tidak mempedulikannya. Aku diupah untuk menebang pohon itu. Sebagai tukang blandong aku mengerjakannya. Selain itu aku tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi"
"Jika kau mau kerja sambilan, kau akan mendapat uang banyak dari ki Bekel."
Tetapi laki-laki itu menggeleng.
Katanya - Tidak.
Tidak usah Yu.
Upahku menebang pohon beringin tua yang dihuni lelembut itu sudah cukup untuk makan anak isteriku selama dua pekan.
Aku tidak mau melakukan kerja sambilan yang membuat aku tidak dapat tidur dalam sepekan."
"Bodoh, kau. Kau tinggal menemuinya dan memberikan laporan saja.- Namun yang seorang lagi bertanya - Kerja sambilan apa, yu? "
Kawannya tiba-tiba saja membentaknya - Tidak ada kerja sambilan."
Pemilik kedai yang berjualan nasi megana itu tertawa. Katanya -Kau memang pemalas. Tetapi kau tidak usah berkeberatan jika kawanmu mau mengerjakannya."
"Tidak. Kami adalah tukang blandong. Kerja kami menebang pohon, itu saja."
"Tetapi kerja sambilan itu sangat menarik. Kau tidak usah terlalu banyak mengeluarkan tenaga."
"Kerja apa, yu?"
"Jangan tanyakan - bentak kawannya. Tetapi penjual nasi megana itu tidak menghiraukannya. Katanya -Jika kau mau, pergilah. Katakan kepada Ki Bekel, bahwa kau mau kerja sambilan itu."
"Tetapi kerja sambilan itu sendiri apa?"
"Kau akan mendengarnya dari Ki Bekel. Nah, pergilah. Katakan, bahwa akulah yang menyuruhmu datang kepadanya."
"Jangan - cegah tukang blandong yang seorang lagi. Tetapi kawannya menjawab - Jika hanya itu, kenapa aku tidak pergi?- "Kau belum tahu, kerja apa yang hams kau lakukan?"
"Ya. Kerja apa?"
"Kerja itu dapat meneel 'mu."
"Omong kosong - penjual nasi megana itu memotong sambil tertawa. Katanya - Kawanmu tidak mau mengerjakan, tetapi ia merasa iri jika ada orang lain yang melakukannya."
"Baik. Aku akan pergi menghadap Ki Bekel."
"Pergilah."
Ketika orang itu pergi, maka tukang blandong yang seorang lagi itupun berkata - Sudahlah, yu. Aku akan pergi saja."
"Kenapa kau begitu tergesa-gesa?"
Tukang blandong itu tidak1 menjawab, piserahkan beberapa keping uang kepada penjual nasi megana itu sambil berkata - Aku pergi, yu. Aku bayar sekalian, makan dan minum kawanku yang kau jebak itu, yu"
"Jangan berkata begitu. Apa salahnya menangkap rejeki yang dihamburkan oleh KiBekel? Justru kau akan menyesal karena kau telah menolak rejeki itu."
"Aku sudah mendapatkan rejekiku sendiri."
Orang itupun segera beranjak keluar dari kedai itu.
Ia masih sempat berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
Dikedipkannya matanya, untuk memberi isyarat.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu, maksud isyarat itu.
Meskipun demikian terasa sesuatu bergetar didada mereka.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Glagah Putihpun berkata kepada Rara Wulan -Marilah.
Kita akan melanjutkan perjalanan."
Rara Wulanpun mengangguk. Katanya - Marilah, kakang.
Tetapi penjual nasi megana itupun dengan serta-merta berkata -Tunggu sebentar, Ki Sanak. Aku akan pergi ke pakiwan."
"Tidak, bibi. Aku akan pergi sekarang. Berapa aku harus membayar? - jawab Glagah Putih.
"Sebentar saja."
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika bibi pergi ke pakiwan aku akan pergi tanpa membayar sekepingpun."
"Itu namanya menipu."
Bukan salahku. Sekarang berapa aku harus membayar."
"Tiba-tiba saja perempuan itu berteriak.
"Pake, pak."
Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, dengan wajah yang kasar dan mata yang liar, berdiri di depan kedai itu. Dengan suara yang parau iapun bertanya - Ada apa?"
"Akj akan pergi ke pakiwan. Jaga agar anak-anak iitidak pergi"
"Kami akan pergi. Kami akan membayar sekarang. Jika kau katakan saja berapa aku harus membayar, maka aku akan meninggalkannya kepada paman."
"Tidak. Laki-laki itu tidak dapat menerimanya."
"Kau aneh, mboke. Katakan saja. Daripada kau ribut, bukankah lebih cepat kau mengatakan berapa mereka harus membayar."
"Laki-laki dungu. Tahan agar mei ika tidak pergi.
"Tidak. Aku tidak dapat menahan mereka. Mereka tidak berniat melarikan diri. Kaulah yang aneh. Kau tidak segera menyebut berapa mereka harus bayar. Tetapi kau ribut saja untuk pergi ke pakiwan. Padahal kau masih juga belum pergi."
"Jangan bodoh pake."
"Jika keduanya ingin menipu dan lari tanpa membayar, aku akan memilin leher mereka. Tetapi mereka tidak berbuat salah."
"Sudahlah, tunggui mereka agar mereka tidak pergi.
Perempuan itupun segera berlari ke luar dari kedainya. Tetapi laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kasar dan bermata liar itupun berkata - Sudahlah, pergilah. Bukan salahmu ng-ger."
Tetapi aku belum membayar."
"Kalian makan dan minum apa?"
Glagah Putihpun kemudian menyebut minuman dan makanan yang mereka makan dan minum.
"Tinggal saja uang tiga keping."
"Apakah itu sudah cukup paman?"
"Cukup tidak cukup bukan salahmu. Perempuan itu memang terlalu banyak tingkah. Semakin lama ia menjadi semakin tidak dapat dimengerti."
"Baik, paman. Ini aku tinggalkan lima keping. Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Bahkan iapun bertanya -Kenapa lima?"
"Tidak apa-apa. Paman. Aku tidak ingin bibi itu marah karena uang yang aku tinggal kurang."
"Terima kasih, ngger."
Laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berwajah kasar dan bermata liar itu menerima uang lima keping dari Glagah Putih sambil -engang-guk hormat.
"Kami minta diri paman. Kami akan melanjutkan perjalanan."
"Silahkan, ngger. Silahkan. Semoga perjalanan angger menyenangkan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan kedai itu.
Mereka memang menaruh curiga kepada laki-laki yang bermata liar itu.
Mereka semula menganggap sikap laki-laki itu hanyalah sikap pura-pura.
Tetapi ternyata laki-laki itu memang bersikap baik.
Ia tidak berbuat apa-apa.
Justru ia menyesali sikap isterinya."
Namun sebelum mereka terlalu jauh, mereka masih mendengar suara perempuan itu melengking - Tunggu ngger. Tunggu sebentar."
Perempuan itupun berlari-lari kecil menyusulnya. Namun di-belakangnya laki-laki itupun mengikutinya sambil berkata."
Mereka sudah meninggalkan uang. Bahkan lima keping."
"Ya, kau sudah mengatakannya. Itu terlalu banyak. Aku akan mengembalikannya sekeping."
"Aku sudah mengatakan bahwa itu terlalu banyak, tetapi mereka mengikhlaskannya."
Glagah Putih dan Rara Wulan memang berhenti.
Keduanya sadar, bahwa tentu ada maksud yang kurang baik dari perempuan itu.
Justru suaminya yang dalam ujud lahiriahnya mencurigakan, sikapnya jauh lebih baik dari isterinya itu.
first share di Kolektor E-Book 31-08-2019 12:26:59
oleh Saiful Bahri Situbondo
Dendam Asmara -- Okt Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long